Pusoko di Keraton Ngayogjokarto Hadiningrat disebut sebagai Kagungan
Dalem (harfiah=milik Raja) yang dianggap memiliki kekuatan magis atau
peninggalan keramat yang diwarisi dari generasi-generasi awal. Kekuatan
dan kekeramatan dari pusaka memiliki hubungan dengan asal usulnya,
keadaan masa lalu dari pemilik sebelumnya atau dari perannya dalam
kejadian bersejarah.
Dalam lingkungan Keraton, pusaka dapat dalam bentuk baik benda nyata
ataupun pesan yang terdapat dalam sesuatu yang lebih abstrak seperti
penampilan. Baik nilai sejarah spiritual dan fungsional berdekatan
dengan Sultan dan kebijaksanaanya. Pusaka merupakan sebuah aspek budaya
Keraton Yogyakarta. Sebagai sebuah lembaga yang terdiri dari Sultan dan
keluarganya, termasuk keluarga besarnya yang disebut dengan trah, dan
pejabat/pegawai Kerajaan/istana,
Keraton memiliki peraturan mengenai hak resmi atas orang yang akan
mewarisi benda pusaka. Pusaka memiliki kedudukan yang kuat dan orang
luar selain di atas tidak dapat dengan mudah mewarisinya. Keberadaaannya
sebanding dengan Keraton itu sendiri.
Benda-benda pusaka keraton memiliki nama tertentu. Sebagai contoh adalah
Kyai Permili, sebuah kereta kuda yang digunakan untuk mengangkut
abdi-Dalem Manggung yang membawa Regalia.
Selain nama pusaka tersebut mempunyai gelar dan kedudukan tertentu,
tergantung jauh atau dekatnya hubungan dengan Sultan. Seluruh pusaka
yang menjadi inventaris Sultan (Sultan’s property) dalam jabatannya
diberi gelar Kyai jika bersifat maskulin atau Nyai jika bersifat
feminin, misalnya Kyai Danumoyo sebuah guci tembikar, yang konon berasal
dari Palembang, yang kini berada di Pemakaman Raja-raja di Imogiri.
Apabila pusaka tersebut sedang/pernah digunakan oleh Sultan, maupun
dipinjamkan kepada orang tertentu karena jabatannya diberi tambahan
gelar Kanjeng sehingga selengkapnya bergelar Kanjeng Kyai (KK) atau
Kangjeng Nyai (KNy). Sebagai contoh adalah Kanjeng Nyai Jimat, sebuah
kereta kuda yang dipergunakan oleh Sultan HB I - Sultan HB IV sebagai
kendaraan resmi (sebanding dengan mobil dengan plat nomor polisi
Indonesia 1 sebagai kendaran resmi Presiden RI dan merupakan kereta
terkeramat dari Keraton Yogyakarta.
Beberapa pusaka yang menempati kedudukan tertinggi dan dipercaya
memiliki kekuatan paling magis mendapat tambahan gelar Ageng sehingga
selengkapnya bergelar Kanjeng Kyai Ageng (KKA). Salah satu pusaka
tersebut adalah KKA Pleret, sebuah tombak yang konon pernah digunakan
oleh Panembahan Senopati untuk membunuh Arya Penangsang. Tombak ini kini
menjadi pusaka terkeramat di keraton Yogyakarta dan mendapat kehormatan
setara dengan kehormatan Sultan sendiri. Penghormatan terhadap KKA
Pleret ini telah dimulai sejak Panembahan Senopati. Sebagai simbol rasa
Syukur karena dengan Wasilah Tombak Tersebut bisa mengalahkan Haryo
Penangsang dan mendapatkan hadiah Bumi Mentaok.
Wujud benda pusaka di Keraton Yogyakarta bermacam-macam. Benda-benda tersebut dapat dikelompokkan menjadi:
(1) Senjata tajam;
(2) Bendera dan Panji kebesaran;
(3) Perlengkapan Kebesaran;
(4) Alat-alat musik;
(5) Alat-alat transportasi;
(6) Manuskrip, babad (kronik) berbagai karya tulis lain yang berkaitan dengan sejarah;
(7) Perlengkapan sehari-hari; dan
(8) Lain-lain.
Pusaka dalam bentuk senjata tajam diantaranya berupa tombak Kanjeng Kyai
Gadatapan (Sebuah Tombak yang pada masa Perjuangan Pangeran Mangkubumi
digunakan dalam peperangan di Bagelen) dan Kanjeng Kyai Gadawedana,
sebagai pendamping Kanjeng Kyai Ageng Plered . Serta Tombak Kanjeng
Kyai Wijoyo Kusumo dll.
Keris Kanjeng Kyai Kopek (Sebilah keris berdapur Jalak yang riwayat nya
pemberian Sunan Kalijogo sebagai simbol berdirinya Mataram) Kanjeng Kyai
Bathang Gajah. Kanjeng Kyai Maheso Gendari dll.
Pedang Kanjeng Kyai Pengarab-arab, untuk eksekusi mati narapidana dengan
pemenggalan kepala dan Pedang Kanjeng Kyai Mangunoneng, pedang yang
digunakan untuk memenggal seorang pemberontak, Tumenggung Mangunoneng.
Pusaka dalam bentuk bendera/panji misalnya Kanjeng Kyai Pujo dan Kanjeng Kyai Puji. Kanjeng Tunggul Wulung.
Pusaka yang digunakan sebagai perlengkapan kebesaran terdiri dari satu
set regalia kerajaan yang disebut Kanjeng Kyai Upocorodan satu set
lambang kebesaran Sultan yang disebut Kanjeng Kyai Ampilan serta
perlengkapan Baju Kebesaran (Mahkota, sumping.akik [cicin dengan mata
dari batu mulia] dan lain sebagainya).
Pusaka dalam kelompok alat-alat musik dapat berupa set gamelan (misal
Kanjeng Kyai Kancil Belik yang berbentuk Gong) maupun alat musik
tersendiri (misal cymbal Kanjeng Kyai Udan Arum dan Kanjeng Kyai
Tundhung Mungsuh). [hiasan telinga], baju kebesaran,
Pusaka dalam golongan alat-alat transportasi dapat berupa kereta kuda
maupun yang lain (misal tandu yang pernah digunakan oleh Sultan HB I,
Kanjeng Kyai Tandu Lawak, dan pelana kuda yang disebut Kanjeng Kyai
Cekathak).
Benda pusaka dalam kelompok Manuskrip antara lain adalah Kanjeng Kyai
Suryaraja (buku matahari raja-raja) yang dikarang oleh Sultan HB II
semasa beliau masih menjadi putra mahkota, Kanjeng Kyai Alquran yang
berupa manuskrip kitab suci Al - Qur'an Peninggalan Panembahan Senopati
beserta tafsirnya dan Kanjeng Kyai Bharatayudha yang berupa ceritera
wayang.
Pusaka dalam bentuk perlengkapan sehari-hari misalnya Ny Mrico, sebuah
periuk yang hanya digunakan untuk menanak nasi saat upacara Garebeg
Mulud tahun Dal (terjadi hanya delapan tahun sekali).
Pusaka kelompok lain-lain misalnya wayang kulit tokoh tertentu (misalnya
KK Jayaningrum [tokoh Arjuna], KK Jimat [tokoh Yudhistira], dan KK
Wahyu Kusumo[tokoh Batara Guru]) maupun tembikar (misalnya K Danumurti
sebuah enceh/kong (guci tembikar), yang konon berasal dari Aceh, yang
juga terdapat di pemakaman Imogiri) dan lain sebagainya.
Regalia
Regalia merupakan pusaka yang menyimbolkan karakter Sultan Yogyakarta
dalam memimpin negara berikut rakyatnya. Regalia yang dimiliki terdiri
dari berbagai benda yang memiliki makna tersendiri yang kesemuanya
secara bersama-sama disebut KK Upocoro. Macam benda dan dan maknanya
sebagai berikut:
Banyak (berwujud angsa yang terbuat dari emas) menyimbolkan kelurusan, kejujuran, serta kesiap siagaan serta ketajaman;
Dhalang (berwujud kijang yang terbuat dari emas) menyimbolkan kecerdasan dan ketangkasan;
Sawung (berwujud ayam jantan dari Emas) menyimbolkan kejantanan dan rasa tanggung jawab;
Galing (berwujud burung merak jantan dari emas) menyimbolkan kemuliaan, keagungan, dan keindahan;
Hardawalika (berwujud raja ular naga dari emas) menyimbolkan kekuatan;
Kutuk (berwujud kotak uang peninggalan walisongo) menyimbolkan kemurahan hati dan kedermawanan;
Kacu Mas (berwujud tempat saputangan emas pemberian sultan usmani Turki) menyimbolkan kesucian dan kemurnian;
Kandhil (berwujud lentera minyak) menyimbolkan penerangan dan pencerahan; dan
Cepuri (berwujud nampan sirih pinang), Wadhah Ses(berwujud kotak rokok),
dan Kecohan (berwujud tempat meludah sirih pinang) menyimbolkan proses
membuat keputusan/kebijakan negara.
KK Upocoro selalu ditempatkan di belakang Sultan saat upacara resmi
kenegaraan (state ceremony) dilangsungkan. Pusaka ini dibawa oleh
sekelompok gadis remaja yang disebut dengan abdi-Dalem Manggung.
Lambang kebesaran
Kanjeng Kyai Ampilan sebenarnya merupakan satu set benda-benda penanda
martabat Sultan. Benda-benda tersebut adalah Dampar Kencana (singgasana
emas) berikut Pancadan/Amparan (tempat tumpuan kaki Sultan di muka
singgasana) dan Dampar Cepuri (untuk meletakkan seperangkat sirih pinang
di sebelah kanan singgasana Sultan);
Panah (anak panah);
Gendhewa (busur panah);
Pedang; Tameng (perisai);
Elar Badhak (kipas dari bulu merak);
Kanjeng Kyai Alquran (manuskrip Kitab Suci tulisan tangan);
Sajadah (karpet/tikar ibadah);
Songsong (payung kebesaran);
dan beberapa Tombak.
KK Ampilan ini selalu berada di sekitar Sultan saat upacara resmi
kerajaan (royal ceremony) diselenggarakan. Berbeda dengan KK Upocoro,
pusaka KK Ampilan dibawa oleh sekelompok ibu-ibu/nenek-nenek yang sudah
menopause.
Gamelan
Gamelan merupakan seperangkat ansambel tradisional Jawa. Orkestra ini
memiliki tangga nada pentatonis dalam sistem skala slendro dan sistem
skala pelog.
Keraton Yogyakarta memiliki sekitar 18-19 set ansambel gamelan pusaka,
16 diantaranya digunakan sedangkan sisanya (KK Bremoro dan KK Panji)
dalam kondisi yang kurang baik.
Setiap gamelan memiliki nama kehormatan sebagaimana sepantasnya pusaka yang sakral.
Tiga buah gamelan dari berasal dari zaman sebelum Perjanjian Giyanti dan
lima belas sisanya berasal dari zaman Kasultanan Yogya.
Tiga gamelan tersebut adalah
Gamelan monggang yang bernama Kanjeng Kyai Guntur Laut,
Gamelan kodhok ngorek yang bernama Kanjeng Kyai Maeso Ganggang,
Gamelan sekati yang bernama Kanjeng Kyai Guntur Madu.
Ketiganya merupakan gamelan terkeramat dan hanya dimainkan/dibunyikan pada even-even tertentu saja.
Gamelan monggang KK Guntur Laut konon berasal dari zaman Majapahit.
Gamelan yang dapat dikatakan paling sakral di Keraton ini merupakan
sebuah ansambel sederhana yang terdiri dari tiga buah nada dalam sistem
skala slendro.
Pada zamannya gamelan ini hanya dimainkan dalam upacara kenegaraan yang
sangat penting yaitu upacara pelantikan/pemahkotaan Sultan, mengiringi
keberangkatan Sultan dari istana untuk menghadiri upacara penting,
perayaan maleman (upacara pada malam tanggal 21,23,25, 27 dan 29 bulan
Romadhon), pernikahan kerajaan, upacara garebeg, dan upacara pemakaman
Sultan.
Gamelan ini memiliki nilai sejarah penting. Atas perkenan Sunan PB II KK
Guntur laut dimainkan saat penyambutan Sri Sultan HB I pada
penandatanganan Perjanjian Giyanti di tahun 1755.
Kanjeng Kyai Maeso Ganggang juga merupakan gamelan kuno yang konon juga berasal dari zaman Majapahit.
Gamelan kodhok ngorek ini juga menggunakan sistem skala slendro. Gamelan
ini didapatkan oleh Pangeran Mangkubumi dari Perjanjian Giyanti.
Penggunaannya juga sangat sakral dan selalu dimainkan pada upacara
kenegaraan seperti upacara pemahkotaan Sultan dan pernikahan kerajaan.
Gamelan nomor dua di Keraton ini juga dimainkan dalam peringatan ulang
tahun Sultan, upacara sunatan putra Sultan, dan untuk megiringi prosesi
Gunungan ke Masjid Gede.
Gamelan sekati Kanjeng Kyai Guntur Madu dimainkan di Pagongan Kidul saat
Upacara Sekaten, serta dalam upacara sunatan dan pernikahan Putra
Mahkota.
Konon gamelan ini berasal dari zaman Kasultanan Demak. Versi lain
mengatakan alat musik ini buatan Sultan Agung saat memerintah Kerajaan
Mataram.
Gamelan ini menjadi milik Kesultanan Yogyakarta setelah perjanjian
Giyanti sementara pasangannya KK Guntur Sari menjadi milik Kasunanan
Surakarta.
.
Agar gamelan sekati ini tetap berjumlah sepasang maka dibuatlah
duplikatnya (jw. dipun putrani) dan diberi nama KK Naga Wilaga yang
dibunyikan di Pagongan Utara. Kekhususan gamelan ini adalah bentuknya
yang lebih besar dari gamelan umumnya dan instrumen kendhang (gendang)
yang mencerminkan Hinduisme digantikan oleh bedug kecil (dianggap
mencerminkan Islam).
KK Guntur Sari dipergunakan untuk mengiringi Beksan Lawung, sebuah
tarian sakral, pada upacara pernikahan putra Sultan. KK Surak
diperdengarkan untuk mengiringi uyon-uyon (lagu-lagu tradisional Jawa),
tari-tarian, dan wayang kulit. Gamelan-gamelan ada yang berpasangan
secara khusus antara lain KK Harja Nagara (dalam skala slendro) dengan
KK Harja Mulya(dalam skala pelog) dan KK Madu Murti (dalam skala
slendro) dengan KK Madu Kusumo (dalam skala pelog).
Kereta kuda pilihan
Pada zamannya kereta kuda merupakan alat transportasi penting bagi
masyarakat tak terkecuali Keraton Yogyakarta. Keraton Yogyakarta
memiliki bermacam kereta kuda mulai dari kereta untuk bersantai dalam
acara non formal sampai kereta kebesaran yang digunakan secara resmi
oleh raja. Kereta kebesaran tersebut sebanding dengan mobil berplat
nopol Indonesia 1 atau Indonesia 2 (mobil resmi presiden dan wakil
presiden Indonesia). Kebanyakan kereta kuda adalah buatan Eropa terutama
Negeri Belanda walaupun ada beberapa yang dibuat di Roto Wijayan (misal
KK Jetayu).
KNy Jimat merupakan kereta kebesaran Sultan HB I sampai dengan Sultan HB
IV. Kereta kuda ini merupakan pemberian Gubernur Jenderal Jacob
Mossel.
KK Garudho Yakso merupakan kereta kebesaran Sultan HB VI sampai X
(walaupun dalam kenyataannya Sultan HB IX dan HB X sudah menggunakan
mobil). Kereta kuda buatan Deen Haag tahun 1861 ini terakhir kali
digunakan pada tahun1989, saat prosesi Kirab Jumenengan Dalem (perarakan
pemahkotaan raja).
KK Wimono Putro adalah kereta yang digunakan oleh Pangeran Adipati Anom
(Putra Mahkota). KK Jetayu merupakan kendaraan yang digunakan Sultan
untuk menghadiri acara semi resmi. KK Roto Praloyomerupakan kereta
jenazah yang hanya digunakan untuk membawa jenazah Sultan. Konon kereta
ini baru digunakan dua kali yaitu pada saat pemakaman Sultan HB VII dan
HB IX.
Kyai Harsunaba adalah kendaraan yang digunakan dalam resepsi pernikahan,
sementara K Jongwiyat, K Manik Retno, K Jaladaradan K Mondro Juwolo
kadang-kadang digunakan oleh Pangeran Diponegoro
Selain itu juga terdapat kereta, K Noto Puro, K Roto Biru, K Kutho
Kaharjo, K Puspo Manik, Rejo Pawoko, Landower Surabaya, Landower Wisman
dan lain-lain. Masing-masing kereta tersebut memiliki kegunaan
sendiri-sendiri.
Dan masih banyak lagi pusaka Kraton yang tidak berani untuk di tuliskan.