Dinasti Xià (Hanzi: 夏 Indonesia: Sia) merupakan dinasti pertama yang
tercatat dalam buku sejarah Cina. Catatan sejarah paling awal ditemukan
dalam buku sejarah Shàngshū yang mengatakan bahwa Dinasti Xià memiliki
puluhan ribu negara upeti, sehingga secara umum menganggap Dinasti Xià
adalah sebuah negara yang terbentuk dari gabungan berbagai suku bangsa,
dan para sejarawan dari aliran ajaran Marxisme di Tiongkok daratan
menetapkan Dinasti Xià sebagai sebuah negara budak.
Menurut catatan buku sejarah, Dinasti Xià adalah negara yang didirikan
oleh putra dari Yǔ yaitu Qǐ. Yǔ mewariskan singgasana kepada anaknya Qǐ,
yang menganti cara terdahulu,Chánràngzhìdù (mewariskan singgasana
kepada orang bijaksana atau yang berkemampuan - Bahasa Inggris
en:Elective Law) menjadi Shìxízhì (mewariskan singgasana dari ayah
kepada anak atau kepada orang yang mempunyai hubungan darah atau
keluarga dekat. Dinasti Xià secara keseluruhan diwariskan sebanyak 13
generasi, 16 raja (atau 14 generasi, 17 raja, tergantung perbedaan
pendapat tentang Yǔ dianggap sebagai raja Dinasti Xià atau pemimpin
gabungan suku), sekitar 400 tahun, yang kemudian dimusnahkan olehDinasti
Shang.
Xià dalam Literatur sejarah
Menurut cataran literatur kuno Cina, sebelum berdirinya Dinasti Xià,
sering terjadi perang untuk memperebutkan kekuasaan sebagai pemimpin
dari gabungan suku antara suku Xiàdengan suku-suku di sekitarnya. Suku
Xià mulai berkembang sekitar zaman Kaisar Zhuanxupada zaman legenda Cina
kuno. Banyak catatan literatur Cina kuno mencatat keberadaan suku Xià
pada masa Kaisar Zhuānxù. Di antaranya Shiji, Xiàběnjì dan Dàdàilǐjì
Dìxìmengatakan Yǔ adalah cucu dari Zhuānxù, tetapi ada catatan literatur
lain yang mengatakan Yǔ adalah cucu generasi ke-5 dari Zhuānxù. Dari
catatan-catatan literatur tersebut menunjukkan bahwa suku Xià
kemungkinan besar adalah salah satu dari keturunan Zhuānxù.
Gǔn
Dalam catatan literatur Cina kuno, Gǔn adalah salah satu tokoh suku Xià
yang paling awal terdapat catatannya. Dalam Guóyǔ Zhōuyǔ diceritakan
bahwa Gǔn sebagai pemimpin dari suku Xià dianugerahkan daerah Chóng, dan
digelar sebagai Chóngbó Gǔn. Kemudian Yǔ mengantikan Gǔn sebagai
Chóngbó Yǔ. Ini membuktikan bahwa suku Xià awalnya aktif di sekitar
daerah Chóng. Pada waktu itu Huánghé (Sungai Kuning) meluap. Untuk
menghadapi banjir, banyak suku membentuk gabungan suku untuk menghadapi
banjir, dan Gǔn dipilih oleh Sìyuè (Empat Prefektur) menjadi pemimpin
dari pekerjaan mengendalikan banjir tersebut. Gǔn mengendalikan banjir
selama 9 tahun tetapi akhirnya dinyatakan gagal. Penyebab dari kegagalan
Gǔn kemungkinan besar karena dia kurang mampu mempersatukan orang dari
berbagai suku. Menurut catatan Shàngshū Yáodiǎn, pada mulanya Yao oleh
karena sifat Gǔn yang suka saling menyalahkan dan membeda-bedakan suku,
tidak setuju mengangkat Gǔn sebagai pemimpin dari pekerjaan
mengendalikan banjir. Diduga bahwa pada waktu Gǔn menjabat sebagai
pemimpin dari pekerjaan pengendalian banjir, sudah banyak suku yang
tidak puas dengannya. Dalam Shàngshū Hóngfàn danGuóyǔ Lǔyǔ terdapat
catatan tentang Gǔnzhànghóngshuǐ, yang menceritakan bahwa cara Gǔn
mengendalikan banjir adalah dengan menggunakan tanah dan kayu untuk
membendung air, yang akhirnya gagal, dan ini juga mungkin merupakan
salah satu dari kegagalan Gǔn dalam mengendalikan banjir selama 9 tahun.
Pada akhirnya, setelah Gǔn gagal dalam mengendalikan banjir, dia
dihukum mati di Yǔshān (Gunung Yu).
Yu
Yǔ adalah putra dari Gǔn. Yǔ bukan hanya tidak menunjukkan rasa dendam,
malahan tetap menghormati Shun, dan mendapatkan kepercayaan dari Shùn.
Shùn menyerahkan tugas mengendalikan banjir kepada Yǔ. Yǔ memperbaiki
cara ayahnya mengendalikan banjir, secara besar mempersatukan orang dari
berbagai suku, sehingga akhirnya berhasil mengendalikan banjir. Dalam
catatan Shǐjì Xiàběnjì tercatat waktu Yǔ mengendalikan banjir, bekerja
keras, tiga kali melewati pintu rumahnya tetapi tidak pernah masuk –
dengan alasan reuni dengan keluarga akan menghabiskan banyak waktu dan
pikiran dari tugasnya mengendalikan banjir. Kegigihan dan ketekunannya
dalam melaksanakan tugas mendapat penghargaan dari banyak kalangan, dan
ini mungkin juga merupakan salah satu faktor dari bersatu berbagai suku.
Oleh karena Yǔ berhasil mengendalikan banjir dan mengembangkan
pertanian, sehingga kekuatan suku Xià menjadi kuat, menjadi pemimpin
dari gabungan berbagai suku. Kemudian Shùn mengutus Yǔ untuk menyerang
suku Sānmiáo. Yǔ mengusir suku Sānmiáo kedaerah perairan Dānjiāng dan
Hànshuǐ, berhasil mengkokohkan kekuatan kerajaan. Dalam Mòzǐ Fēigōng
diceritakan bahwa setelah Yǔ berhasil menaklukkan suku Sānmiáo, suku Xià
sudah menjadi suku yang sangat penting diperairan Huánghé pada waktu
itu. Shùn mewariskan singgasana kepada Yǔ, Yǔ pernah mengadakan
pertemuan persekutuan antar suku diTúshān (Gunung Du), dan sekali lagi
menyerang suku Sānmiáo (pada waktu itu suku diZhōngyuán (pusat daratan
Tiongkok) sering berperang dengan suku Sānmiáo). DalamZuǒzhuàn (walau
mungkin terlalu dibesar-besarkan) dikatakan terdapat puluhan ribu negara
upeti menghadiri pertemuan persekutuan di Túshān, dengan demikian boleh
diperkirakan betapa besarnya pengaruh suku Xià pada waktu itu. Pada
suatu pertemuan antar suku diHuìjī, pemimpin suku Fángfēngshì, waktu
pertemuan datang terlambat dan dihukum mati oleh Yǔ. Ini membuktikan
bahwa suku Xià pada awal pengukuhan kekuasaannya telah muncul sifat
monarki atas kekuasaan. Menyusul dengan semakin kuatnya kekuasaan
gabungan suku bangsa dengan suku Xià yang merupakan keturunan dari suku
Húangdìsebagai inti kekuatan, hubungan ekonomi berbagai daerah juga
semakin kuat. Dalam catatan sejarah kuno sering terdapat catatan tentang
Yǔ menentukan pembayaran upeti sesuai dengan jarak negara-negara
upetinya, ini juga membuktikan pengendalian ekonomi suku Xià terhadap
suku-suku lain disekitarnya.
Dalam catatan literatur kuno juga sering diceritakan nafsu Yǔ atas
kekuasaan pada usia tuanya. Walaupun Yǔ ingin mempertahankan kekuasaan
pemerintahan dalam suku Xià sendiri, tetapi tetap harus mempertimbangkan
tradisi Chánràng, sehingga ia menerapkan suatu siasat yang efektif. Yǔ
pada mulanya mengangkat Gāotáo dari suku Yǒuyǎnshì yang memiliki
reputasi tinggi sebagai ahli warisnya, guna menunjukkan penghargaan Yǔ
terhadap tradisi Chánràng. Tetapi Gāotáo lebih tua dari Yǔ, sehingga
belum sempat mewarisi singgasana sudah meninggal. Kemudian Yǔ memilih Yì
dari suku Dōngyí yang tidak begitu berpengaruh menjadi ahli waris. Pada
waktu itu banyak suku yang tidak mendukung Yì, dan malahan mendukung
putra dari Yǔ, Qǐ. Yǔ berharap jika kelak Yì tidak mendapat dukungan
dari masyarakat, maka akan mewariskan singgasana kepada putranya Qǐ.
Qi
Setelah Yǔ meninggal, Yì sama sekali tidak mendapatkan kedudukannya,
malahan dengan dukungan masyarakat, Qǐ mendapatkan kedudukan sebagai
pemimpin (tetapi menurutZhúshūjìnián, Yì sebenarnya sempat naik takhta,
namun kemudian Qǐ membunuh Yì dan merebut kekuasaan). Sehingga Yì
memimpin pasukan gabungan dengan suku Dōngyímenyerang Qǐ. Setelah
melalui perang selama beberapa tahun, akhirnya Yì dibunuh oleh Qǐ,
sehingga Qǐ berhasil naik takhta sebagai raja. Dan ini oleh kebanyakkan
sejarawan dianggap sebagai awal dari dinasti pertama di Tiongkok yang
menerapkan cara Shìxízhì (Putra tertua merupakan ahli waris Kekan) -
Dinasti Xià. Kemudian juga terdapat banyak suku yang masih menganut cara
Chánràng (bawahan terkuat menjadi penerus kekuasaan) tidak puas dengan
kekuasaan Qǐ. Pemimpin dari suku Yǒuhùshì yang tinggal disekitar daerah
sekarangGuānzhōng provinsi Shǎnxī, memimpin pasukan gabungannya
menyerang Qǐ, dan di daerah Gān (sekarang selatan dari Hùxiàn provinsi
Shaanxi) melakukan pertempuran sengit. Sebelum perang, Qǐ menyebut
kedudukan kekuasaannya sebagai Gōngxíngtiān(melaksanakan mandat langit),
yang juga merupakan dasar dari terbentuknnya Tiānzǐlùn(teori putra
langit). Qǐ memiliki dukungan dari masyarakat di Zhōngyuán, dalam hal
jumlah pasukan jauh lebih unggul, sehingga akhirnya berhasil mengalahkan
Yǒuhùshì. Kemenangan kedua dari Qǐ membuktikan bahwa prinsip dalam
masyarakat di Zhōngyuán telah berubah dari tradisi Chánràngzhì menjadi
Shìxízhì.
Suku Xià pada mulanya bermarga Sì, tetapi mulai dari Qǐ diubah menjadi
Xià sesuai dengan nama kerajaannya. Dan pada waktu yang bersamaan, Qǐ
tidak lagi menggunakan Bósebagai gelar kebesaran dan diganti menjadi
Hòu, dengan gelar Xiàhòu Qǐ.
Selama masa pemerintahan Qǐ, putranya Wǔguān sering melakukan
pemberontakan.Hánfēizǐ Shuōyí mengatakan Wǔguān adalah seorang yang
Hàiguóshāngmínbàifǎ(merugikan negara, menyakiti rakyat, merusak hukum),
sehingga akhirnya dibunuh. Selain kekacauan dalam suku Xià sendiri, guna
untuk memperkuat kekuasaan gabungan antar suku bangsa disekitarnya,
suku Xià juga sering melakukan peperangan dengan suku Dōngyí.
Tàikāng Kehilangan Kerajaan
Setelah Qǐ meninggal, putranya Tàikāng meneruskan singgasana. Tàikāng
hanya tahu hidup foya-foya, tidak mengurusi pemerintahan, selama masa
pemerintahannya, kekuatan suku Xià menjadi lemah, sehingga suku Tàihào
dan Shǎohào dari Dōngyí mengambil kesempatan menyerang ke barat.
Pemimpin suku Dōngyí merupakan seorang jagoan memanah yang bernama Yì.
Dalam catatan Lǚshìchūnqiū Wùgōng menganggap bahwa busur panah adalah
diciptakan oleh Yì. Yì memimpin pasukan Dōngyí pindah kedaerah milik
Yǒuxiàshì, Qióngshí(sekarang selatan Luoyang, provinsi Hénán), dan
melakukan perkawinan dengan orang setempat, menjalin hubungan yang baik,
dan membentuk suku Yǒuqióngshì. Yì dengan dukungan dari rakyat Xià
berhasil mendapatkan kekuasaan atas pemerintahan Dinasti Xià. Sedangkan
Tàikāng melarikan diri kebawah naungan Zhēnxúnshì.
Yì setelah mendapat kekuasaan tidak mengangkat diri sendiri sebagai
raja, tetapi mengangkat adik dari Tàikāng, Zhòngkāng sebagai raja.
Tetapi sebenarnya seluruh kekuasaan dan keputusan berada ditangan Yì.
Hal ini menimbulkan rasa tidak puas dari banyak suku lainnya.
Diantaranya Yǒuhéshì dan Yǒuxīshì yang bertanggung jawab atas astronomi
secara terang-terangan menentang. Yì dengan alasan merusak tata
astronomi dan sia-sia pada jabatannya, mengerahkan pasukan menyerang
mereka dan mendapatkan kemenangan.
Setelah Zhòngkāng meninggal, anaknya Xiàng mengantikannya. Tidak lama
kemudian Xiàng lari kebawah naungan Zhēnxúnshì dan Zhēnguànshì yang
mendukung Dinasti Xià. Akhirnya Yì menjadi penguasa tunggal Dinasti Xià.
Tetapi setelah mendapat kekuasaan, Yì sama seperti dengan Tàikāng,
tidak lagi mengurusi urusan negara, setiap hari pergi berburu. Ia
memecat menteri-menteri setia seperti Wǔluó , Bókùn, Lóngyǔ, dan malahan
memakaiHánzhuó yang diusir dari suku Bómíngshì. Hánzhuó mengumpulkan
komplotannya, sehingga kekuasaannya semakin besar. Sampai suatu hari, ia
mengambil kesempatan waktu Yì pergi berburu, membunuh Yì dan seluruh
keluarganya. Setelah merampas kekuasaan dari Yì. Hánzhuó menganugerahkan
daerah Gē kepada putranya Yì, dan menganugerahkan daerah Liáo kepada
putranya yang lain, Jiāo. Jiāo memimpin pasukannya memusnahkan
Zhēnxúnshì dan Zhēnguànshì yang mendukung Dinasti Xià, membunuh Xiàng
yang bersembunyi di Zhēnxún. Istri Xiang, Mín pada waktu itu telah
hamil, dari lubang tembok, ia berhasil melarikan diri dari serangan
Jiāo, dan bersembunyi di rumah ibunya di suku Yǒuréngshì, dan tidak lama
kemudian melahirkan Shǎokāng (Tàikāng, Zhòngkāng, dan Shǎokāng sama
bernama Kāng, agar tidak membingungkan, mulai ditambahkan tanda generasi
- yaitu nama tengah - di depan namanya).
Masa kejayaan Shǎokāng
Shǎokāng setelah dewasa, bekerja sebagai pengurus peternakan suku
Yǒuréngshì, akibatnya ketahuan oleh Jiāo tempat keberadaannya. Jiāo
mengutus orang ke suku Yǒuréngshì untuk membunuhnya, Shǎokāng terpaksa
lari dan bersembunyi di sukuYǒuyúshì (keturunan dari Shùn). Pemimpin
dari Yǒuyúshì pada waktu itu tidak ada anak laki-laki, hanya ada dua
anak perempuan, sehingga sangat sayang kepada Shǎokāng. Ia menghadiahkan
daerah Lúnyì kepada Shǎokāng, sehingga Shǎokāng dapat memakai Lúnyì
sebagai markasnya, membentuk pasukannya sendiri. Ia mulai mengumpulkan
sisa-sisa pasukan Dinasti Xià, dan membagikan tugas masing-masing. Ia
menempatkan mata-mata di pasukan Jiāo, untuk persiapan merebut kembali
kekuasaan Dinasti Xià. Pada saat itu, bekas menteri Dinasti Xià, Mǐ yang
bersembunyi di suku Yǒugéshì - setelah mendengar kabar bahwa Shǎokāng
ingin merebut kembali kekuasaan Dinasti Xià - memimpin sisa pasukan suku
Zhēnguànshì dan Zhēnxúnshì bergabung dengan Shǎokāng dan mengalahkan
pengkhianat Hánzhuó lalu mengangkat Shǎokāng sebagai raja Dinasti Xià.
Shǎokāng juga berhasil memusnahkan Jiāo (putra Hánzhuó) di daerah Guò,
dan mengutus putranya Zhù memusnahkan Yì (kakak Jiāo) di daerah Gē,
sehingga suku Yǒuqióngshì dari kaum Dōngyíyang menguasai Zhōngyuán
sebanyak 3 generasi dan ratusan tahun akhirnya musnah. Shǎokāng berhasil
merebut kembali kekuasaan Dinasti Xià, yang dalam sejarah disebut
sebagai Shǎokāngzhōngxìng (masa kejayaan Shǎokāng). Dari Tàikāng
kehilangan kekuasaan sampai Shǎokāngzhōngxìng menunjukkan keberhasilan
suku Huáxiàmenaklukkan suku-suku disekitar Zhōngyuán (terutama suku
Dōngyí).
Pertengahan Periode
Putra Shǎokāng, Zhù mengantikan kedudukan raja. Ia mengerti ketidak
puasan suku Yí di timur terhadap Dinasti Xià, untuk memperkokoh
kekuasaan di timur, ia memindahkan ibukota dari Yuán (sekarang Jǐyuán,
provinsi Hénán) ke Lǎoqiū (sekarang utara dari Kāifēngxiàn, provinsi
Hénán). Ia berkonsentrasi mengembangkan peralatan perang dan
perlengkapan prajurit. Ia juga mengutus orang untuk menyerang suku Yí di
daerah pesisir pantai timur (sekarang bagian barat provinsi Shāndōng,
bagian timur provinsi Ānhuī dan sekitar provinsi Jiāngsū). Pada waktu
itu, ia juga mendapatkan barang keramat, Jiǔwěihú (serigala sembilan
ekor - Jepang: Bijuu). Wilayah Dinasti Xià juga pada masa pemerintahan
Zhù meluas sampai kedaerah pesisir Dōnghǎi (sekarang Huánghǎi). Selama
masa pemerintahan Zhù, boleh dikatakan merupakan masa paling makmur dan
maju dari Dinasti Xià. Orang Xià juga sangat menghargai dan menghormati
Zhù. Menurut catatan Guóyǔ Lǔyǔ menganggap Zhù secara keseluruhan
mewarisi karier dari Yǔ.
Pada masa pemerintahan putra dari Zhù, Huái, suku Dōngyí dan suku Huáxià
hidup dalam damai. Sembilan suku Yí (Jiǔyí): Quǎnyí, Yúyí, Fāngyí,
Huángyí, Báiyí, Chìyí, Xuányí, Fēngyí, dan Yángyí yang tinggal di daerah
perairan Huáihé (Sungai Huai) dan Sìshuǐ sering datang menyembah dan
menyerahkan upeti. Setelah Huái meninggal, digantikan oleh putranya
Máng. Setelah Máng meninggal, digantikan oleh putranya Xiè. Selama
periode ini, hubungan antara suku Dōngyí dan suku Huáxià terus
berkembang. Pada masa pemerintahan Xiè, suku Dōngyí pada umumnya sudah
membaur dengan suku Huáxià, maka ia mengalihkan perhatiannya ke barat.
Dan pada waktu itu, ia mulai melakukan anugerah tempat dan gelar kepada
negara-negara upeti. Dan ini merupakan permulaan dari Zhūhóuzhì(sistem
feodal) Cina beberapa abad kemudian. Setelah Xiè meninggal, putranya
Bùjiàngmengantikan. Bùjiàng sempat beberapa kali memimpin pasukannya
menyerang Jiǔyuàn di barat.
Akhir Periode
Setelah Bùjiàng meninggal, adiknya Jiōng mengantikannya. Setelah Jiōng
meninggal, putranya Jìn mengantikannya. Jìn naik takhta tidak lama,
meninggal karena sakit, kemenakannya, putra dari Bùjiàng, Kǒngjiǎ yang
naik takhta. Ia mengubah tradisi Dinasti Xià yang sembahyang terhadap
leluhur, mulai menitik-beratkan sembahyang kepada langit. Dalam Shǐjì
Xiàběnjì dikatakan Kǒngjiǎ adalah seorang yang Hàofāngguǐshén (suka
meniru dewa dan hantu), Shìyínluàn (urusan negara menjadi kacau). Banyak
suku dan negara upeti mulai tidak puas dengan pemerintahan Dinasti Xià,
tetapi hubungan antara suku Dōngyí dan suku Huáxià masih baik. Ini
mungkin karena pembauran antara suku Dōngyí dan suku Huáxià udah sangat
tinggi. Setelah Kǒngjiǎ meninggal, digantikan oleh putranya Gāo. Setelah
Gāo meninggal, digantikan oleh putranya Fā. Pada periode ini, hubungan
antara Dinasti Xià dengan suku dan negara upetinya memburuk, keributan
dalam istana kerajaan juga semakin parah. Mulai dari masa pemerintahan
Kǒngjiǎ sampai Lǚgǔi (Xià Jié), gejolak dalam kerajaan sendiri tidak
pernah berhenti.
Jie
Setelah Fā meninggal, putranya Jié mengantikannya. Selama masa
pemerintahan Jié, hubungan antara suku dan negara upeti dengan Dinasti
Xià sudah retak. Suku dan negara yang membayar upeti kepada Dinasti Xià
semakin berkurang sehingga Jié sering menyerang suku dan negara upeti
yang tidak taat kepada Dinasti Xià. Dalam catatan literatur kuno
dikatakan bahwa Jié sangat hidung belang, setiap kali setelah
mengalahkan suatu suku, pasti memilih perempuan dari suku tersebut yang
ia sukai, kemudian dibawa pulang ke istana untuk dijadikan selir. Guóyǔ
Jínyǔ mencatatkan suku Yǒushīshì, Zhúshūjìnián mencatatkan suku
Mínshānshì dan Mòxǐshì, semua pernah mengalami nasib yang sama. Di
antaranya selir dari Mòxǐshì terlebih dahulu sudah terikat perkawinan
dengan Yīyǐn, tetapi dirampas oleh Jié di Luó, sehingga Yīyǐn dalam
amarahnya pergi bergabung dengan Shāng Tāng. Serangan-serangan yang
dilakukan oleh Jié juga membuat marah beberapa suku yang cukup kuat dan
berpengaruh. Suku Yǒumínshì (keturunan Shùn) oleh karena tidak menuruti
kemauan Jié sehingga dimusnahkan. Suku Shāng bermarga Zǐ yang aktif di
daerah barat daya provinsi Shāndōng, pada waktu Dinasti Xià yang sedang
mengalami kekacauan mulai berkembang dan maju. Jié juga dengan alasan
suku Shāng tidak patuh, menyerang dan mengalahkan pemimpin suku Shāng
yang bernama Tāng. Tāng dipenjarakan di Xiàtái(ada yang mengatakan
Diàotái), kemudian dilepas. Selain hubungan luar Dinasti Xià yang
semakin memburuk, dalam catatan literatur juga diceritakan Jié salah
memakai orang dalam pemerintahannya.
Jié hanya tahu berfoya-foya untuk diri sendiri, tidak memedulikan
penderitaan rakyat. Sekitar akhir abad ke 17 SM, pemimpin dari suku
Shāng, Tāng memimpin pasukan gabungan dari berbagai suku dan negara
upeti menyerang Jié dan memusnahkan suku-suku yang membela Dinasti Xià:
Wéi, Gù, Kūn, Wú, dan terakhir di Cānghuáng berperang dengan Jié.
Kekuatan Tāng sangat besar, Jié tidak sanggup bertahan sambil melarikan
diri dan berperang. Akhirnya ia akalah di daerah suku Yǒusōngshì. Jié
lari ke Míngtiáo (sekarang pertengahan provinsi Hénán - versi lain
mengatakan sekarang merupakan Ānyi, provinsi Shanxi) dan dikejar oleh
Tāng. Perang besar-besaran terjadi di Míngtiáo. Sekali lagi Jié
mengalami kekalahan, dan diasingkan oleh Tāng ke Lìshān - Gunung Li (ada
yang mengatakan Géshān - Gunung Ke), tinggal bersama Mòxǐshì. Akhirnya
Jié melarikan diri keNáncháo(sekarang Cháoxiàn, provinsi Anhui) dan
meninggal di sana.
Setelah Pertempuran Míngtiáo, Dinasti Xià digulingkan, dan atas dukungan
dari suku-suku dan negara upeti, di Háo mengelar diri sebagai Wáng
(raja). Dinasti pertama dalam sejarah Tiongkok dengan kekuasaan
Shìxízhì, Dinasti Xià, yang diwariskan sebanyak 13 generasi (buku
sejarah Shìběn mencatat 12 generasi), 16 raja, selama 471 tahun
(menurutZhúshūjìnián), pada akhir abad ke-17 SM, awal abad ke-16 SM
musnah.
Keturunan
Setelah Dinasti Xià musnah, sisa keturunannya masih bermukim di
Zhōngyuán. Ada dua kelompok masing-masing pindah ke selatan dan utara.
Jié membawa banyak keturunan Dinasti Xià dari Lìshān pindah ke Náncháo
di selatan, ini adalah kelompok selatan. Kelompok utara masuk ke dataran
Mongol, dan berbaur dengan masyarakat setempat, dan inilah yang
kemudian dikenal dengan sebutan suku Xiōngnú. Dalam Shǐjì
Xiōngnúlièzhuàntercatat "Xiōngnú, leluhurnya adalah keturunan dari raja
Xià (yaitu Yǒuxiàshì)". Kuòdìpǔsecara lebih jelas menyatakan "Putranya
(yang dimaksud putra dari Jié), Xūnzhōu (atau Xūnyù) mengawini selir
dari Jié, pindah ke padang luar di utara, hidup beternak dan
berpindah-pindah (yang dimaksud adalah kaum suku pengembala di padang
rumput utara) yang oleh orang Cina disebut sebagai Xiōngnú".
Wilayah kekuasaan
Wilayah kekuasaan Dinasti Xià dari barat mulai dari barat provinsi Hénán
dan selatanprovinsi Shānxī; timur sampai perbatasan tiga provinsi
Hénán, Shandong dan Héběi; selatan mulai dari provinsi Húběi, utara
sampai provinsi Héběi. Pada waktu itu kekuasaan Dinasti Xià merambah
sampai bagian selatan dan utara Huánghé (Sungai Huang), sampai perairan
Chángjiāng (Sungai Jang). Ibukota Dinasti Xià antara lain: Yángchéng
(sekarang timur dariDēngfēng, provinsi Henan), Zhuóxín (sekarang barat
laut Dēngfēng, provinsi Hénán), Ānyi (sekarang barat laut Xiàxiàn,
provinsi Shānxī).
Struktur negara Dinasti Xià adalah berasal dari gabungan suku, dengan ciri-ciri seperti:
Wilayah yang diperintah langsung oleh negara adalah wilayah dalam suku
sendiri. Di luar wilayah suku Xià sendiri, pemimpin dari suku lain
diatas wilayah sendiri, memiliki kekuasaan pemerintahan yang mandiri;
terhadap raja Dinasti Xià, mereka hanya bernaung di bawah kerajaan dan
membayar upeti, sebagai tanda saling menghormati.
Dalam struktur kekuasaan dan pemerintahan, ada dua cara, yaitu monarki
dan demokrasi, dimana struktur pemerintahan negara mengutamakan
demokrasi suku dari pada monarki raja.
Daftar penguasa dinasti
Nama anumerta (Shi Hao 諡號)
Urutan Lama memerintah. Tionghoa Hanyu Pinyin
01 45 禹 Yǔ juga dipanggil (大禹; dà yǔ)
02 10 啟 Qǐ
03 29 太康 Tài Kāng
04 13 仲康 Zhòng Kāng
05 28 相 Xiāng
06 21 少康 Shǎo Kāng
07 17 杼 Zhù
08 26 槐 Huái
09 18 芒 Máng
10 16 泄 Xiè
11 59 不降 Bù Jiàng
12 21 扃 Jiōng
13 21 廑 Jǐn Guoyu: jìn, putonghua: jǐn
14 31 孔甲 Kǒng Jiǎ
15 11 皋 Gāo
16 11 發 Fā
17 52 桀 Jié juga Lu Gui (履癸 lǚ guǐ)