Peradaban Islam di Afrika Utara bermula dari serangakaian penaklukan
bangsa Arab pada abad ke-7dan abad ke-8. Antara serangkaian penaklukan
tersebut dan pada pertengahan abad ke-13, sejarah wilayah ini sejalan
dengan periode kekhilafahan dalam sejarah perkembangan Timur Tengah dan
merupakan varian dari tipe peradaban Islam di Timur Tengah. Peradaban
Arab Islam di Afrika Utara dibentuk berdasarkan integrasi kalangan
penakluk Arab dengan masyarakat Barbar dan kota-kota di wilayah Laut
Tengah.
Penaklukan bangsa Arab baik terhadap masyarakat Barbar maupun tehadap
kota-kota Bizantium bermula dengan serangan bertubi-tubi yang
dilancarkan dari Mesir. Sekitar tahun 670 M., Tunisia berhasil dikuasai
dan Qayruwan dibangun sebagai pusat operasi militer bangsa Arab, dan
bangsa Arab sampai di Maroko pada tahun 711 M. Serangkaian penaklukan
bangsa Arab mengantarkan pada sebuah awal yang baru atau rezim
Arab-Muslim di Tunisia dan pengambilan Islam sebagai basis bagi beberapa
rezim koalisi kesukuan di wilayah Afrika Utara lainnya. Pada abad ke-13
sebuah pemerintahan teritorial baru berhasil ditegakkan di Maroko. Elit
keagamaan Islam dan sejumlah institusi dapat ditemukan diseluruh
penjuru Afrika Utara, dan penduduk setempat secara substansial telah
berpindah ke agama Islam.
Latar Belakang Berdirinya Diansti Aghlabiyah
Dinasti Aghlabiyah adalah salah satu Dinasti Islam di Afrika Utara yang
berkuasa selama kurang lebih 100 tahun (800-900 M). Di luar wilayah yang
dinamakan Ifriqiyah (Afrika Kecil, terutama Tunisia), sempalan dari
“Afrika” Latin, Harun al-Rasyid pada 800 M. telah mengangkat Ibrahim bin
al-Aghlab sebagai gubernur. Ibrahim bin al-Aghlab (800-811 M.)
memerintah sebagai penguasa yang berdiri sendiri, dan setahun setelah
pengangkatannya, tak satupun Khalifah Abbasiyah yang menjalankan
kekuasaan di luar perbatasan barat Mesir. Aghlabiyah merasa puas dengan
gelar Amir, tetapi tidak merasa perlu mencatumkan nama Khalifah di mata
uang mereka, sekalipun sebagai bukti kekuasaan spiritualnya. Dari
ibukotanya, Qayruwan, sampai ke Qartago, mereka menguasai Mediterania
tengah selama abad-abad kejayaan mereka.
Nama Dinasti Aghlabiyah ini diambil dari nama ayah, Amir yang pertama,
yaitu Ibrahim bin al-Aghlab. Beliau adalah seorang pejabat Khurasan
dalam militer Abasiyah. Ibrahim bin al-Aghlab, seorang yang dikenal
mahir di bidang administrasi. Dengan kemampuan ilmu administrasinya,
Ibrahim bin al-Aghlab mampu mengatur roda pemerintahan dengan baik.
Dinasti Aghlabiyah merupakan tonggak terpenting dalam sejarah peradaban
Islam atau konflik berkepanjangan antara Asia dan Eropa, di bawah
pimpinan Ziyadatullah I. Pada tahun 800 M, Ibrahim I diangkat sebagai
Gubernur (Amir) di Tunisia oleh Khalifah Harun ar-Rasyid. Karena ia
sangat pandai menjaga hubungan dengan Khalifah Abasiyah seperti membayar
pajak tahunan yang besar, maka Ibrahim I diberi kekuasaan oleh
Khalifah, meliputi hak-hak otonomi yang besar seperti kebijaksanaan
politik, termasuk menentukan penggantinya tanpa campur tangan dari
penguasa Abbasiyah. Hal ini dikarenakan jarak yang cukup jauh antara
Afrika Utara dengan Baghdad. Sehingga Aghlabiyah tidak terusik oleh
pemerintahan Abbasiyah.
Dinasti Aghlabiyah berdiri di Aljazair dan Sicilia pada tahun
184-296/800-909 M. Dinasti ini didirikan oleh Ibrahim bin al-Aghlab yang
diberi otonomi wilayah yang sekarang disebut Tunisia oleh Khalifah
Harun ar-Rasyid. Disamping itu, Dinasti ini juga di kenal dengan armada
angkatan laut yang di miliki, sehingga di waktu masa kejayaannya, sangat
tangguh dan perkasa di medan pertempuran lebih khususnya di lautan. Dan
banyak para sejarawan yang mengakui kekuatan armada angkatan laut
Dinasti Aghlabiyah.
Adapun susunan para penguasa Dinasti Aghlabiyah yang memerintah adalah sebagai berikut :
1. Ibrahim I bin al-Aghlab (800-812 M).
2. Abdullah I (812-817 M).
3. Ziyadatullah I(817-838 M).
4. Abu ‘Iqal al-Aghlab (838-841 M).
5. Muhammad I (841-856 M).
6. Ahmad (856-863 M).
7. Ziyadatullah II(863 M).
8. Abu Ghasaniq Muhammad II (863-875 M).
9. Ibrahim (875-902 M).
10. Abdullah II (902-903 M).
11. Ziyadatullah III (903-909 M).
Perkembangan Dinasti Aghlabiyah
Aghlabiyah merupakan Dinasti kecil pada masa pemerintahan Abasiyah, yang
para penguasanya adalah berasal dari keluarga Bani al-Aghlab, sehinggga
Dinasti tersebut dinamakan Aghlabiyah. Awal mula terbentuknya Dinasti
kecil tersebut yaitu ketika Baghdad di bawah pemerintahan Harun
ar-Rasyid. Di bagian Barat Afrika Utara terdapat dua bahaya besar yang
mengancam kewibawaannya, diantaranya adalah sebagai berikut:
a. Ancaman dari Dinasti Idrisiyah yang beraliran Syi’ah.
b. Ancaman dari Golongan Khawarij.
Dengan adanya dua ancaman tersebut, terdoronglah Harun ar-Rasyid untuk
menempatkan bala tentaranya di Ifriqiyah di bawah pimpinan Ibrahim bin
al-Aghlab. Setelah berhasil mengamankan wilayah tersebut, Ibrahim bin
al-Aghlab mengusulkan kepada Harun ar-Rasyid supaya wilayah tersebut di
hadiahkan kepadanya dan anak keturunannya secara permanen. Karena jika
hal itu terjadi, maka ia tidak hanya mengamankan dan memerintah wilayah
tersebut, akan tetapi juga mengirim upeti ke Baghdad setiap tahunnya
sebesar 40.000 dinar. Harun al-Rasyid menyetujui usulannya, sehingga
berdirilah Dinasti kecil (Aghlabiyah) yang berpusat di Ifriqiyah yang
mempunyai hak otonomi penuh. Meskipun demikian masih tetap mengakui akan
kekhalifahan Baghdad. Pendiri Dinasti Aghlabiyah adalah Ibrahim bin
al-Aghlab pada tahun 800 M. Pada tahun itu Ibrahim diberi provinsi
Ifriqiyah (Tunisia Modern) oleh Harun ar-Rasyid sebagai imbalan atas
pajak tahunan yang besarnya 40.000 dinar dan meliputi hak-hak otonom
yang besar. Untuk menaklukan wilayah baru dibutuhkan suatu proses yang
panjang dan perjuangan yang besar, namun tidak seperti Ifriqiyah yang
sifatnya adalah pemberian. Salah satu kinerja pertama atau kesuksesan
pertama yang diraih oleh pemerintahan Aghlabiyah adalah keberhasilan
memadamkan gejolak yang muncul dari Kharijiyah Barbar di wilayah mereka.
Banyak penerus Ibrahim bin al-Aghlab terbukti sama bersemangatnya dengan
Ibrahim sendiri. Dinasti Aghlabiyah menjadi salah satu titik penting
dalam sejarah konflik berkepanjangan antara Asia dan Eropa. Dengan
armada perang yang lengkap, mereka memorak-porandakan kawasan pesisir
Italia, Prancis, Korsika, dan Sardinia. Salah satu dari mereka adalah
Ziyadatullah I (817-838 M.), pada tahun 827 M. Ziyadatullah mengirim
ekspedisi ke Sisilia Bizantium, yang didahului oleh operasi bajak laut.
Ekspedisi ini, juga ekspedisi-ekspedisi berikutnya, berhasil ditaklukan.
Sisilia menjadi basis menguntungkan bagi operasi-operasi melawan
wilayah daratan, terutama Italia. Selain Sisilia, Malta, dan Sardinia
juga berhasil direbut oleh para bajak laut yang operasinya meluas jauh
sampai ke Roma. Pada saat yang sama, para bajak laut muslim dari Kreta
terus-menerus menyerbu pulau-pulau kecil di Laut Aegea, dan pada
pertengahan abad ke-10, mereka menyerang kawasan pesisir Yunani. Tiga
prasasti Kufik yang ditemukan di Athena mengungkapkan adanya pemukiman
Arab di sana, ayng diduga bertahan sampai awal abad ke-10.
Selain itu Dinasti Aghlabiyah berhasil menaklukan kota-kota di sepanjang pantai Italia, yaitu sebagai berikut:
1. Brindisi (836/221 H),
2. Napoli (837 M),
3. Calarbia (838 M),
4. Toronto (840 M)
5. Bari (840 M),
6. Benevento (840 M).
Penaklukan umat Islam atas kepulauan Sisilia (dalam literatur bahasa
Arab disebut Siqilliyah) merupakan buih terakhir dari gelombang serbuan
yang dibawa bangsa Arab ke Afrika Utara dan Spanyol. Para pemimpin
ekspansi ke kepulauan itu, dan ke daratan Eropa Tengah adalah
panglima-panglima perang Dinasti Aghlabiyah dari Qayruwan yang menyerang
wilayah itu pada abad ke-9 M. Meski demikian, upaya-upaya sporadis yang
dilakukan oleh para pengembara muslim, tentara-tentara bayaran, dan
para perompak telah dilakukan jauh sebelum itu. Faktanya, ketika pada
652 M. angkatan laut Bizantium di Alexandria mendapat serangan dan
kekuatan maritim beralih ke tangan orang Arab, pada saat yang sama
terjadi serangan atas kekuatan Bizantium di Sisilia yang dilakukan oleh
panglima perang Khalifah Mu’awiyah. Kejayaan Siracuse (dalam literatur
bahasa Arab disebut Saraqusah, Saraqushshah) tenggelam dalam serangan
pertama ini. Rampasan perang muslim, termasuk para wanita, kekayaan
gereja, dan benda-benda berharga lainnya, mengundang para pengembara
muslim untuk kembali ke daerah itu pada paruh kedua abad ke-7. Pada abad
ke-8, kaum Barbar dan para pejuang Arab di Afrika Utara, serta umat
Islam Spanyol mulai merambah pulau-pulau di bagian utara dan timur serta
menebarkan kekuatan di antara penduduk Sisilia, Corsica, dan Sardinia.
Mesti diingat bahwa pada saat itu, perompakan dan penjarahan dianggap
sebagai alat-alat sah untuk hidup, baik oleh penduduk muslim maupun
penduduk Kristen. Tetapi tidak ada kebijakan politis yang terencana
dalam gerakan-gerakan ekspansi pertama ini.
Bagaimanapun, berkembangnya kekuatan Dinasti Aghlabiyah di Qayruwan,
pada tahun pertama abad ke-9 M. telah mengubah situasi politik di
wilayah itu. Suatu upaya dari para pemberontak Siracuse untuk melawan
Gubernur Bizantium pada tahun 827 M. memberikan peluang kepada umat
Islam untuk melakukan invasi. Ziyadatullah I (817-838 M.), Khalifah
Aghlabiyah ketiga, langsung mengirim 70 armada membawa sekitar 10.000
tentara dan 700 ekor kuda di bawah pimpinan Qadhi Wazir berusia 70 tahun
dan As’ad bin al-Furath. Ketika itulah penaklukan yang sebenarnya baru
dimulai. Pasukan Afrika berlabuh di Masara kemudian bergerak ke
Siracuse. Suatu wabah yang menyebar di perkemahan orang Arab membunuh
As’ad dan banyak prajuritnya. Pasukan itu kemudian mendapat suntikan
kekuatan baru dari Spanyol, sehingga mereka berhasil menguasai kota
Palermo (bahasa Arab, balarm, asalnya merupakan koloni Phoenix) pada
tahun 831 M. dan serta dan mendapatkan titik tolak penting untuk
penaklukan berikutnya serta menempatkan gubernur baru di sana. Sekitar
tahun 845 M. kota Messina jatuh. Pada tahun 878 M. benteng Siracuse yang
cukup kuat menyerah setelah 9 bulan pengepungan. Benteng itu
dihancurkan pada masa kekuasaan Khalifah Aghlabiyah, Ibrahim II (874-902
M.) yang bergelimang darah. Saat rezimnya berada di ambang kehancuran,
Ibrahim II datang sendiri ke Sisilia. Di sisni ia memangkas
distrik-distrik di sekitar Gunung Etna, dan pada tahun 902 M.
menghancurkan Taormina.
Ibrahim II meninggal dan dikuburkan di Sisilia. Penaklukan kepulauan
itu, yang dimulai tahun 827 M. mencapai kesempurnannya. Unutk masa 180
tahun berikutnya, sebagian atau seluruh Sisilia, yang berada di bawah
pergolakan para pemimpin Arab, menjadi salah satu provinsi dari dunia
Arab. Layaknya Spanyol yang menjadi batu loncatan (point d’appoi) untuk
peperangan dan penaklukan lebih jauh ke utara, Sisilia juga menjadi batu
loncatan untuk pergerakan berikutnya menuju Italia. Sebelum kematiannya
pada 902 M. Ibrahim II membawa pasukannya untuk melakukan perang suci
menuju pinggiran Italia, Calarbia, tetapi ia bukanlah orang Arab pertama
yang menjejakkan kaki di tanah Italia.
Tak lama setelah Palermo jatuh, jenderal-jenderal Aghlabiyah ikut campur
dan memperuncing konflik di antara para Lombardo di Italia Selatan,
yang kekuasannya masih dipegang oleh Kaisar Bizantium, dan ketika Naples
pada 837 M. meminta bantuan penguasa Arab, teriakan perang umat Islam
bergema dan memenuhi dataran Vesurius sebagaimana yang telah terjadi
sebelumnya di bagian utara yang disebut “Pegunungan Api”. Sekitar 4
tahun kemudian, Bari, yang terletak di wilayah Adriatik, yang kelak
menjadi markas utama untuk masa 30 tahun berikutnya, ditaklukan.
Pada saat yang bersamaan, para pejuang muslim sampai di gerbang Venezia.
Pada tahun 846 M. bahkan Romawi merasa terancam oleh pasukan Arab yang
berlabuh di Ostia. Karena tidak mampu merobohkan benteng pertahanan Kota
Keabadian, mereka merusak Katedral St. Paulus di luar gerbang kota, dan
melecehkan kuburan-kuburan pontiffs. Tiga tahun kemudian, pasukan
muslim yang lain mencapai Ostia tetapi dipukul mundur oleh keganasan
laut dan angkata laut Italia. Sebuah lukisan dari sketsa-sketsa Raphael
mengingatkan kita akan pertempuran laut itu, serta penyelamatan Romawi
yang menakjubkan. Tetapi cengkrama umat Islam atas Italia masih begitu
kuat, sehingga Paus Yohanes VIII (872-882 M.) dengan hati-hati
mempertimbangkan untuk membayar pajak selama dua tahun.
Pasukan kerajaan Aghlabiyah tidak menghentikan operasi mereka sebatas di
pantai-pantai Italia. Pada 869 M. mereka menaklukan Maeta. Dari Italia
dan Spanyol, gerakan penyerbuan pada abad ke-10 ini terus meluas melalui
pegunungan Alpen terdapat sejumlah kastil dan benteng yang banyak
memiliki petunjuk untuk para turis tentang alur serbuan bangsa Saracen
ini. Beberapa nama tempat di Swiss, seperti Gaby dan Algaby (al-Jaby,
pengumoul pajak) yang diungkapkan dalam karya Baedeker dengan judul
Switzerland, bisa jadi berasal dari bahasa Arab.
Karena tidak tahan terhadap serangan berkepanjangan dari pasukan
Aghlabiyah pada Bandar-bandar Italia, termasuk kota Roma, maka Paus
Yohanes VIII (840-872 M) terpaksa minta perdamaian dan bersedia membayar
upeti sebanyak 25.000 uang perak pertahun kepada Aghlabiyah. Pasukan
Aghlabiyah juga berhasil menguasai kota Regusa di Pantai Yugoslavia (890
M.), Pulau Malta (869 M.), menyerang Pulau Corsika dan Mayorka, bahkan
pasukan Aghlabiyah berhasil menguasai Kota Portofino di Pantai Barat
Italia (890 M.), dan Kota Athena di Yunani pun berhasil berada dalam
jangkauan penyerangan mereka.
Dengan keberhasilan penaklukan-penaklukan tersebut, menjadikan Dinasti
Aghlabiyah kaya raya, para penguasa bersemangat dalam membangun Tunisia
dan Sicilia. Ziyadatullah I membangun Masjid Agung Qayruwan, sedangkan
Amir Ahmad membangun Masjid Agung Tunis dan juga membangun hampir 10.000
benteng pertahanan di Afrika Utara. Tidak cukup itu, jalan-jalan,
pos-pos, armada angkutan, irigasi untuk pertanian (khususnya di Tunisia
Selatan, yang tanahnya kurang subur). Demikian pula dengan perkembangan
di bidang arsitektur, bidang ilmu, bidang seni, dan kehidupan
keberagaman.
Selain sebagai Ibu Kota Dinasti Aghlabiyah, Qayruwan juga sebagai pusat
penting munculnya Mazhab Maliki, tempat berkumpulnya ulama’-ulama’
terkemuka, seperti Sahnun yang wafat (854 M) pengarang Mudawwat, Kitab
Fiqh Maliki, Yusuf bin Yahya, yang wafat (901 M), Abu Zakariyah
al-Kinani, yang wafat (902 M), dan Isa bin Muslim, wafat (908 M).
Karya-karya dari ulama’ pada masa Dinasti Aghlabiyah tersimpan dengan
rapih dan utuh di Masjid Agung Qayruwan.
Masjid besar Qayruwan, yang masih berdiri sebagai sebagai saingan bagi
masjid-masjid termasyhur di Timur, mulai dibangun di bawah kekuasaan
Ziyadatullah I dan disempurnakan oleh Ibrahim II (874-902 M.). tempat
berdirinya masjid itu juga merupakan lokasi berdirinya bangunan suci
‘Uqbah pendiri Qayruwan. Masjid ‘Uqbah oleh para penerusnya telah
dihiasi dengan pilar-pilar marmer yang didapat dari puing-puing Qartago,
yang kemudian dimanfaatkan lagi oleh penguasa Aghlabiyah.
Menara-persegi yang melengakapi bangunan masjid ini, yang juga merupakan
peninggalan bangsa Umayyah terdahulu, dan termasuk yang paling lama
bertahan di Afrika, memperkenalkan bentuk menara ala Suriah kepada
masyarakat Afrika barat-laut. Model menara itu bahkan tidak pernah
tergantikan oleh bentuk-bentuk lain yang lebih ramping dan tinggi
seperti yang ada dalam peninggalan Persia dan bangunan ala Mesir.
Adapun langkah-langkah yang dilakukan oleh pemimpin Aghlabiyah adalah sebagai berikut:
1. Penguasa Aghlabiyah pertama berhasil memadamkan gejolak Kharijiyah Barbar di wilayah mereka.
2. Dilanjutkan dengan dimulainya proyek besar merebut Sicilia dari
tangan Bizantium pada tahun 827 M, dibawah Ziadatullah I yang amat cakap
dan energik, dengan meredakan oposisi internal di Ifriqiyyah yang
dilakukan Fuqaha’ (pemimpin-pemimpin religius) dan Maliki di Qayruwan.
Pada zaman keemasan Dinasti Aghlabiyah terdapat banyak
peninggalan-peninggalan bersejarah berupa tempat-tempat yang bernuansa
religius khususnya bagi umat Islam, diantaranya adalah sebagai berikut:
1) Pembangunan Masjid Agung Qayruwan oleh Ziyadatullah I.
2) Pembangunan Masjid Agung Tunis oleh Ahmad.
3) Pembangunan karya-karya pertanian dan irigasi yang bermanfaat, khususnya di Ifriqiyah selatan yang kurang subur.
Di bawah kekuasaan Aghlabiyah inilah tejadinya perubahan penting di
tengah kawasan Afrika kecil. Dari kawasan yang tadinya dihuni oleh para
penganut Kristen yang berbicara dengan bahasa Latin menjadi kawasan para
penganut agama Islam yang berbicara dengan bahasa Arab. Bagaikan rumah
judi,
Runtuhnya Kekuasaan Dinasti Aghlabiyah
Akhir abad ke-9, posisi Dinasti Aghlabiyah di Ifriqiyah mengalami
kemunduran, karena amir (Gubernur) yaitu Ziyadatullah III tenggelam
dalam kemewahan (berfoya-foya) dan dengan masuknya propaganda Syi’ah
yang dilancarkan oleh Abu Abdullah as-Syi’ah atas isyarat Ubaidillah
al-Mahdi dan telah menanamkan pengaruh atau doktrin-doktrin yang sangat
kuat dikalangan orang-orang Barbar. Dan menimbulkan kesenjangan sosial
antar penguasa Aghlabiyah di satu pihak dan orang-orang Barbar di pihak
lain, telah menambah kuatnya pengaruh itu dan pada akhirnya membuahkan
kekuatan militer.
Puncak kemunduran atau kehancuran dari Dinasti Aghlabiyah terjadi pada
tahun 909 M. Kekuatan militer yang dibangun Ubaidillah al-Mahdi berhasil
mengalahkan kekuatan militer yang dimiliki oleh Dinasti Aghlabiyah yang
dulunya dikenal dan ditakuti karena ketangguhan di medan pertempuran.
Sehingga dengan mudahnya pemerintahan Dinasti Aghlabiyah digulingkan
dari kedudukan tertinggi dan berhasil mengusir Ziyadatullah ke Mesir,
setelah usahanya gagal untuk mendapatkan bantuan dari pemerintahan pusat
di Baghdad.