Dinasti Abbasiyah didirikan oleh Abu Al-Abbas, nama lengkapnya adalah
Abul Abbas Abdullah Al-Saffah Muhammad ibn Ali ibn Abdullah ibn Al-Abbas
pada tahun 132 H (750 M) s.d 656 H (1258 M).
Dinamakan khilafah Abbasiyah karena para pendiri dan penguasa dinasti
ini adalah keturunan Al-Abbas paman Nabi Muhammad SAW. Dinasti Bani
Abbasiyah terbentuk melalui kudeta atau revolusi yang dilakukan oleh Abu
Abbas as-Shaffah dengan dukungan kaum Mawali dan Syiah terhadap dinasti
Umayyah di pusat kota Damaskus pada tahun 132 H/750 M.
Gelar as-Shaffah “bloodshedder” bearti “yang haus darah” diberikan
belakangan oleh para penulis sejarah sehubung dengan kebijakannya
membunuh seluruh keturunan Umayyah dan semua lawan politiknya termasuk
kelompok Syiah yang sebelumnya membantu Abbasiyah menjatuhkan dinasti
Bani Umayyah.
Sebelum berdirinya Dinasti Abbasiyah terdapat tiga poros utama yang
merupakan pusat kegiatan, anatara satu dengan yang lain memiliki
kedudukan tersendiri dalam memainkan peranya untuk menegakan kekuasaan
keluarga besar paman Rasulullah, Abbas bin Abdul Muthalib.Dari nama Al-
Abbas paman Rasulullah inilah nama ini di sandarkan pada tiga tempat
pusat kegiatan, yaitu Humaimah, Kufah,dan khurasan.
Di kota Mumaimah bermukim keluarga Abbasiyah, salah seorang pimpinannya
bernama Al-imam Muhammad bin Ali yang merupakan peletak dasar-dasar bagi
berdirinya dinasti Abbasiyah.Para penerang Abbasiyah berjumlah 150
orang di bawah para pimpinannya yang berjumlah 12 orang dan puncak
pimpinannya adalah Muhammad bin Ali.
Propaganda Abbasiyah dilaksanakan dengan strategi yang cukup matang
sebagai gerakan rahasia.Akan tetapi,imam Ibrahim pemimpin Abbasiyah yang
berkeinginan mendirikan kekuasaan Abbasiyah,gerakannya diketahui oleh
khalifah Ummayah terakhir,Marwan bin Muhammad. Ibrahim akhirnya
tertangkap oleh pasukan dinasti Umayyah dan dipenjarakan di haran
sebelum akhirnya diekskusi. Ia mewasiatka kepada adiknya Abul Abbas
untuk menggantikan kedudukannya ketika tahu bahwa ia akan terbunuh,dan
memerintahkan untuk pindah ke kufah.Sedangkan pemimpin propaganda
dibebankan kepada Abu Salamah.Segeralah Abul Abbas pindah dari Humaimah
ke kufah di iringi oleh para pembesar Abbasiyah yang lain seperti Abu
Ja’far,Isa bin Musa, dan Abdullah bin Ali.
Penguasa Umayyah di kufah, Yazid bin Umar bin Hubairah, ditaklukan oleh
Abbasiyah dan di usir ke Wasit.Abu Salamah selanjutnya berkemah di kufah
yang telah di taklukan pada tahun 132 H. Abdullah bin Ali, salah
seorang paman Abbul Abbas di perintahkan untuk mengejar khaliffah
Umayyah terakhir, marwan bin Muhammad bersama pasukannya yang melarikan
diri, dimana akhirnya dapat di pukul di dataran rendah sungai Zab.
Khlifah itu melarikan diri hingga ke fustat di mesir, dan akhirnya
terbunuh di Busir, wilayah Al- Fayyum, tahun 132 H/750 M. Dan beririlah
Dinasti Abbasiyah yang di pimpin oleh khalifah pertamanya, yaitu Abbul
Abbas Ash- Shaffah dengan pusat kekuasaan awalnya di Kufah.
Pemberontakan terhadap Bani Umayyah
Abu al-'Abbas merupakan pemimpin salah satu cabang Bani Hashim, yang
menisbatkan nasabnya kepada Hasyim, buyut Nabi Muhammad, melalui
al-Abbas, paman Nabi SAW.Bani Hasyim mendapat dukungan besar dari
golongan Syi’ah yang berpikir bahwa keluarganya, yang telah diturunkan
dari Nabi Muhammad dan Ali bin Abi Thalib, akan menurunkan pemimpin
besar lainnya atau Mahdi yang akan membebaskan Islam. Kebijakan
tanggung-tanggung penguasa terakhir Umayyah untuk mentoleransi Muslim
non-Arab dan Syi’ah telah gagal memadamkan kerusuhan antara
minoritas-minoritas itu.
Kerusuhan ini menimbulkan pemberontakan selama masa Hisyam bin
Abdul-Malik di Kufah, kota terkenal di Irak selatan. Muslim Syi’ah
memberontak pada 736 dan menguasai kota sampai 740, dipimpin Zaid bin
Ali, cucu Husain bin Ali. Pemberontakan Zaid gagal, dan dipadamkan oleh
pasukan Bani Umayyah pada 740. Pemberontakan di Kufah menandai kuatnya
Bani Umayyah dan bertambahnya kekacauan di Dunia Islam.
Abu al-'Abbas memilih berfokus ke Khurasan, daerah militer penting di
Iran timur. Pada 743, kematian Khalifah Bani Umayyah Hisyam bin
Abdul-Malik meletuskan perang saudara di dalam Khilafah Islam. Abu
al-'Abbas, didukung oleh Syi’ah, Khawarij, dan daerah Khurasan, memimpin
pasukannya menang terhadap Bani Umayyah dan akhirnya menjatuhkan
penguasa terakhirnya Marwan II pada 750.
Perang saudara ditandai dengan oleh kenabian 1000 tahun yang didorong
sejumlah Syi’ahbahwa Abu al-'Abbas merupakan mahdi. Sejumlah sarjana
Muslim yang menonjol menulis karya seperti Jafr yang mengatakan muslimin
yang setia bahwa perang saudara yang brutal merupakan konflik besar
antara yang hak dan batil. Pilihan Bani Umayyah memasuki pertempuran
dengan bendera putih dan Bani Abbasiyah memasukinya dengan bendera hitam
membesarkan teori-teori itu. Warna putih, bagaimanapun dianggap
kebanyakan orang Persia sebagai tanda duka cita.
Mengenai bahwa ada kemungkinan kembalinya kekuatan Khilafah Bani
Umayyah, Abu al-'Abbas mencari-cari seluruh anggota yang tersisa dari
keluarga Umayyah untuk menghukum mati mereka. Itulah yang membuat,
pelarian ke al-Andalus, atau Spanyol, dipimpin oleh Abd ar-Rahman I di
mana Khilafah Bani Umayyah akan bertahan selama 3 abad. Karena usahanya
untuk menyingkirkan keluarga Bani Umayyah, Abu al-'Abbas memperoleh
julukanas-Saffah, atau tulisan berdarah.
Setelah kemenangan terhadap Bani Umayyah, pemerintahan pendek Abu
al-'Abbasditandai dengan usaha mengkonsolidasi dan membangun kembali
Khilafah. Para pendukungnya diwakili dalam pemerintahan baru, namun
selain dari kebijakannya terhadap keluarga Umayyah, Abu al-'Abbas secara
luas dipandang sejarawan sebagai pemenang yang mendingan. Orang-orang
Yahudi, Kristen Nestorian, dan Persia secara baik diwakili dalam
pemerintahan Abu al-'Abbas dan dalam meneruskan administrasi Abbasiyah.
Pendudukan juga didorong, dan pabrik kertas pertama didirikan di
Samarkand.
Sama-sama revolusioner merupakan perbaikan pasukan Abu al-'Abbas, yang
beranggotakan termasuk non-Muslim dan non-Arab sangat berbeda dengan
Bani Umayyah yang menolak pasukan dari 2 golongan itu. Abu al-'Abbas
memilih yang berbakat Abu Muslim sebagai komandan militernya, yang akan
menjabat sampai 755 dalam ketentaraan.
Pemerintahan dinasti
Selama dinasti ini berkuasa, pola pemerintahan yang diterapkan
berbeda-beda sesuai dengan perubahan politik, sosial, dan budaya.
Berdasarkan perubahan pola pemerintahan dan politik itu, para sejarawan
biasanya membagi masa pemerintahan Bani Abbas menjadi lima periode,
yaitu:
1) Periode Pertama (132 H/750 M – 232 H/847 M), disebut periode pengaruh Persia pertama.
2) Periode Kedua (232 H/847 M – 334 H/945 M), disebut masa pengaruh Turki pertama.
3) Periode Ketiga (334 H/945 M – 447 H/1055 M), masa kekuasaan dinasti
Buwaih dalam pemerintahan khalifah Abbasiyah. Periode ini disebut juga
masa pengaruh Persia kedua.
4) Periode Keempat (447 H/1055 M – 590 H/1194 M), masa kekuasaan dinasti
Bani Seljuk dalam pemerintahan khalifah Abbasiyah, Periode ini disebut
juga masa pengaruh Turki kedua.
5) Periode Kelima (590 H/1194 M – 656 H/1258 M), masa khalifah bebas
dari pengaruh dinasti lain, tetapi kekuasaannya hanya efektif di sekitar
kota Bagdad.
Menurut Ira M. Lapidus menyederhanakan fase dinasti Bani Abbas menjadi dua, yaitu:
1) Masa awal dinasti Bani Abbas (750-833 M).
2) Masa kemunduran dinasti Bani Abbas (833-945 M).
Menurut Muhammad Hudlari Bek, kekuasaan Bani Abbasiyah ada lima periode, yaitu:
1. Periode kekuatan dan penuh karya, berlangsung 100 tahun (132-232 H/750-847 M)
2. Periode berkuasanya Mamalik Turki, berlangsung 102 tahun (232-334 H/847-945 M)
3. Periode berkuasanya raja- raja dinasti Buwaihi, berlangsung 113 tahun (334-447 H/945-1055 M)
4. Periode berkuasanya raja- raja dinasti Saljuk, berlangsung 83 tahun (447-530 H/1005-1136 M)
5. Periode Bani Abbasiyah mendapat kembali pengaruh politiknya, berlangsung 126 tahun (530-656 H/1135-1258 M)
Pada periode Pertama (132 H/750 M – 232 H/847 M), pemerintahan Bani
Abbas mencapai masa keemasannya. Secara politis, para khalifah
betul-betul tokoh yang kuat dan merupakan pusat kekuasaan politik dan
agama sekaligus. Periode ini berhasil menyiapkan landasan bagi
perkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan dalam Islam. Namun, setelah
periode pertama ini berakhir, pemerintah Bani Abbas mulai menurun dalam
bidang politik. Meskipun filsafat dan ilmu pengetahuan terus berkembang.
Masa pemerintahan Abu Al- Abbas, pendiri dinasti Abbasiyah, sangat
singkat, yaitu dari tahun 750-754 M. Oleh karena itu,
Pembina sebenarnya dari daulat Abbasiyah adalah peminpin selanjutnya
yaitu khalifah Abu Ja’far Al-Manshur (754-775 M). Dia dengan keras
menghadapi lawan-lawannya dari Bani Umayyah, Khawarij, dan Syi’ah yang
merasa dikucilkan dari kekuasaan. Untuk mengamankan kekuasaannya,
tokoh-tokoh besar yang mungkin menjadi saingan baginya satu per satu
disingkirkannya. Abdullah bin Ali dan Shalih bin Ali, keduanya adalah
pamannya sendiri yang ditunjuk sebagai gubernur oleh khalifah sebelumnya
di Syria dan Mesir, karena tidak bersedia membaitnya, dibunuh oleh Abu
Muslim Al-Khurasani atas perintah Abu Ja’far.
Abu Muslim Al-Khurosani sendiri karena dikhawatirkan akan menjadi pesaing baginya, dihukum mati pada tahun 755 M.
Selanjutnya, Abu Ja’far Al- Manshur melakukan perubahan mendasar bagi
perkembangan dinasti Abbasiyyah sebagai Negara adikuasa di masa
mendatang, yaitu:
1) Pada tahun 762 M, Abu memindahkan ibukota dari Damaskus ke
Hasyimiyah, kemudian dipindahkan lagi ke Baghdad dekat dengan Ctesiphon,
bekas ibu kota Persia. Dengan demikian, ibu kota pemerintahan dinasti
Bani Abbas berada di tengah-tengah bangsa Persia.
2) Mengangkat sejumlah personil atau aparat untuk menduduki jabatan di lembaga eksekutif dan yudikatif.
3) Di bidang pemerintahan, Al- Manshur menciptakan tradisi baru dengan
mengangkat wazir sebagai koordinator departemen. Wazir pertama yang
diangkat adalah Khalid bin Barmak, berasal dari Balkh, Persia.
4) Membentuk lembaga protokol Negara dan sekretaris Negara
5) Membentuk kepolisian negara di samping membenahi angkatan bersenjata.
6) Menunjuk Muhammad ibn Abd Al-Rahman sebagai hakim pada lembaga kehakiman negara.
7) Jawatan pos yang sudah ada sejak masa dinasti Bani Umayyah di tingkatkan peranannya dengan tambahan tugas.
Kalau dahulu hanya sekedar untuk mengantar surat, pada masa Al-Manshur,
jawatan pos ditugaskan untuk menghimpun seluruh informasi di
daerah-daerah, sehingga administrasi kenegaraan dapat berjalan lancar.
Para direktur jawatan pos bertugas melaporkan tingkah laku gubernur
setempat kepada khalifah. Khalifah Abu Ja’far Al-Manshur berusaha
menaklukkan kembali daerah-daerah yang sebelumnya membebaskan diri dari
pemerintah pusat dan memantapkan keamanan daerah pembatasan.
Di antara usaha- usahanya tersebut adalah merebut benteng-benteng di
Asia, kota Malatia, wilayah Coppadocia, dan Cicilia pada tahun 756-758
M. ke Utara, bala tentaranya melintasi pegunungan Taurus dan mendekati
selat Bosporus. Di pihak lain, dia berdamai dengan kaisar Constantive V
dan selama genjatan senjata 758-765 M, Bazantium membayar upeti tahunan.
Bala tentaranya juga berhadapan dengan pasukan Turki Khazar di
Kaukasus, Daylami di laut Kaspia, Turki di bagian lain Oksus dan India.
Pada masa Al-Manshur, pengertian khalifah kembali berubah. Dia berkata,
“Innama ana Sulthan Allah fi ardhihi”, artinya sesungguhnya saya adalah
kekuasaan Tuhan di bumi- Nya. Dengan demikian, konsep khilafah dalam
pandangannya dan berlanjut dari Allah, bukan dari manusia, bukan pula
sekedar pelanjut nabi sebagai pada masa al-Khulafa al-Rasyadun.
Di samping itu, berbeda dari daulat Bani Umayyah, dalam penggunaan
khalifah disebut “Khalifah Allah”, artinya penguasa yang diangkat oleh
Allah. Dalam dinasti Abbasiyah, khalifah-khalifah Abbasiyah memakai
“gelar tahta”, seperti Al-Manshur adalah “gelar tahta” Abu Ja’far.
“gelar tahta” itu lebih populer daripada nama yang sebenarnya. Kalau
dasar-dasar pemerintahan daulat Abbasiyah diletakkan dan dibangun oleh
Abu Al-Abbas dan Abu Ja’far Al-Manshur, maka puncak keemasan dari
dinasti ini berada pada delapan khalifah sesudahnya, yaitu
Al-Mahdi (775-785 M), Al-Hadi (775-786 M), Al-Harun Al-Rasyid (786-809
M), Al-Amin (809-813 M), Al- Ma’mun (813-833 M), Al- Mu’tashim (833-842
M), Al-Wasiq (842-847 M), dan Al-Mutawakkil (847-861 M).
Pada masa khalifah Al-Mahdi (775-785 M), perekonomian mulai meningkat
dengan peningkatan disektor pertanian, melalui irigasi, dan peningkatan
hasil pertambangan seperti perak, emas, tembaga, dan besi. Serta dagang
transit antara Timur dan Barat juga membawa kejayaan. Bashrah menjadi
pelabuhan yang penting. Pada masa khalifah ketiga ini, para tahanan
penjara yang sebelumnya dipenjara sebelum ia memerintah dikeluarkan
kecuali yang melakukan kesalahan. Kemudian iapun membuat jalan untuk
menuju Mekkah dan membangun perairan dari sumur- sumur besar untuk minum
para musafir, dan dialirkan ke penjara-penjara serta dijaga
kebersihannya. Ia pun merehabilitasi masjid Al-Haram dan ia
menghilangkan nama al- Walaid bin Abdil Malaik dari dinding masjid
Al-Haram dan diganti namanya. Kemudian ia juga membuat kantor-kantor pos
surat untuk penduduk Mekkah, Madinah, dan Yaman, dan menunjuk
wakil-wakil raja di berbagai Daulat Abbasiyah.
Pada masa khalifah al-Mahdi, Baghdad menjadi pusat perdagangan
internasional dan perkembangan berbagai ilmu, seperti Assyiir hikmah,
adab,, dan musik. Pada masa Al-Harun Al-Rasyid (786-809 M), dan putranya
Al- Ma’mun (813-833 M), daulat Abbasiyah mencapai puncak kejayaannya.
Pada masa Al- Harun Al-Rasyid sebagai khalifah menggantikan khalifah
Al-Mahdi, kekayaan yang dimiliki dimanfaatkan untuk keperluan sosial.
Rumah sakit, lembaga pendidikan dokter, dan farmasi didirikan. Pada
masanya, sudah terdapat paling tidak sekitar 800 orang dokter.
Di samping itu, pemandian pamandian umum juga dibangun. Tingkat
kemakmuran yang paling tinggi terwujud pada masa khalifah ini.
Kesejahteraan sosial, kesehatan, pendidikan, ilmu pengetahuan, dan
kebudayaan serta kesusasteraan berada pada masa keemasannya. Pada masa
inilah Negara Islam menempatkan dirinya sebagai Negara terkuat dan tak
tertandingi.
Dalam tradisi Persia terdapat Jundishapur Academy, lembaga yang menjadi
tempat menyimpan puisi-puisi dan cerita-cerita untuk raja pada Sasania,
kemudia Al-Harun Al-Rasyid melanjutkan tradisi itu dengan mendirikan
Khizanat al-Hikmat yang berfungsi sebagai perpustakaan, tempat
penerjemahan, dan penelitian. Pada masa Al-Harun Al-Rasyid, sebelum
meninggal ia telah menyiapkan dua anaknya yang diangkat menjadi putra
mahkota untuk menjadi khalifah, yaitu Al- Amin dan Al-Ma’mun. Al-Amin
diberi hadiah berupa wilayah bagian Barat sedangkan Al- Ma’mun diberi
hadiah berupa wilayah bagian timur.
Pada masa khalifah Al-Ma’mun (813-833 M), yang menggantikan khalifah
Al-Harun Al-Rasyid, dikenal dengan khilafah yang sangat cinta kepada
ilmu. Pada masa pemerintahannya, penerjemahan buku digalakkan. Untuk
menerjemahkan buku- buku Yunani, ia menggaji penerjemah-penerjemah dari
golongan Kristen dan menganut agama lain yang lain. Ia juga mendirikan
sekolah, salah satu karya besarnya yang terpenting adalah pembangunan
Bayt al- Hikmat, yang dahulu bernama Khizanat al-Hikmat, didirikan oleh
Al-Harun Al-Rasyid. Bangunan ini berfungsi sebagai tempat penyimpanan
buku-buku kuno yang didapat dari Persia, Bizantium, Etiopia, dan India.
Di Bayt al-Hikmat, Al-Ma’mun memperkerjakan Muhammad Ibn Musa
Al-Hawarijmi yang ahli dalam bidang aljabar dan astronomi, dan
orang-orang Persia.
Sejak abad ke 9 M. Bayt al- Hikmat dijadikan tempat penerjemah
karya-karya filosof klasik di bawah bimbingan Hunyn Ibn Ishaq. mereka
menerjemahkan buku-buku filsafat karya Galen, Aristoteles, dan Plato. Di
Bayt al-Hikmat juga terdapat observatorium astronomi untuk meneliti
perbintangan. Pada masa Al- Ma’mun inilah Baghdad mulai menjadi pusat
kebudayaan dan ilmu pengetahuan. Pada masa Al-Ma’mun, faham mu’tazilah
menjadi madzhab resmi dinasti Bani Abbas (827 M), karena Al-Ma’mun
penganut aliran Mu’tazilah dan banyak dipengaruhi oleh ilmu pengetahuan
dan falsafat Yunani.
Faham Mu’tazilah yang dijadikan alat oleh al-Ma’mun untuk menguji para
pemuka agama dan hakim adalah ajaran tentang kemakhlukan Al-Qur’an.
Dalam pandangan Mu’tazilah, al-Qur’an tidak qadim (dahulu), tetapi
muhdats (baru). Karena sebagian (ayat) Al-Qur’an diturunkan lebih dahulu
dari yang lainnya sedangkan sesuatu yang qadim tidak mungkin didahului
oleh yang lain (idz al-qadim huwa ma la yataqaddamuh ghayruh). Aliran
Mu’tazilah beragumentasi dengan Al-Quran surat Al-Hijr ayat 9.
Pada masa Al-Mu’tashim (833-842 M), sebagai khalifah selanjutnya,
memberikan peluang besar kepada orang-orang Turki untuk masuk dalam
pemerintahan, keteribatan mereka dimulai sebagai tentara pengawal. Tidak
seperti pada masa daulat Umayyah, dinasti Abbasiyah mengadakan
perubahan sistem ketentaraan. Praktik orang-orang muslim mengikuti
perang sudah terhenti. Tentara dibina secara khusus menjadi
prajurit-prajurit professional. Dengan demikian, kekuatan militer
dinasti Bani Abbas menjadi sangat kuat. Walaupun demikian, dalam periode
ini banyak tantangan dan gerakan politik yang mengganggu stabilitas,
baik dari kalangan Bani Abbas sendiri maupun dari luar. Gerakan- gerakan
itu seperti gerakan Syi’ah dan konflik antarbangsa serta aliran
pemikiran keagamaan, semua dapat dipadamkan.
Pada Masa Al-Watsiq, sebagai khalifah selanjutnya. Al-Watsiq berusaha
melepaskan diri dari pengaruh Turki dengan memindahkan ibu kota dari
Baghdad ke Samarra. Namun, khalifah Al-Watsiq menjadi mudah dikuasai
oleh tentara pengawal Turki. Kemudian khalifah Al-Watsiq digantikan oleh
Al-Mutawakkil sebagai khalifah besar terakhir, khalifah sesudahnya
umumnya lemah-lemah dan tidak dapat melawan tentara pengawal dan
Sultan-sultan yang menguasai ibu kota. Ibu kota kembali dipindahkan ke
Baghdad oleh khalifah al-Mu’tadhid.
Dari gambaran di atas terlihat bahwa, Terdapat beberapa perbedaan pokok antara Bani Abbas dan Bani Umayyah
1) Dengan ibukota Bagdad, pemerintahan menjadi jauh dari pengaruh Arab
2) Dalam stuktur Negara, Bani Abbas terdapat Wazir ( Perdana menteri )
3) Terbentuknya militer professional pada Bani Abbas
4) Bani Abbas lebih menekankan kepada pembentukan peradaban Islam dan perkembangan kebudayaan daripada ekspansi.
Adapun seluruh Khalifah Dinasti Bani Abbasiyah yang berkuasa berjumlah 37 orang, diantaranya sebagai berikut:
1) Abu Abbas as-Saffah 132-136 H/749-754 M
2) Abu Ja’far al-Mansur 136-158 H/754-775 M
3) Abu Abdullah Muhammad al-
Mahdi 158-169 H/775-785 M
4) Abu Muhammad Musa al- Hadi 169-170 H/785-786 M
5) Abu Ja’far Harun ar- Rasyid 170-193 H/786-809 M
6) Abu Musa Muhammad al- Amin 193-198 H/809-813 M
7) Abu Ja’far Abdullah al- Ma’mun 198-218 H/813-833 M
8) Abu Ishaq Muhammad al- Mu’tashim 218-227 H/833-842 M
9) Abu Ja’far Harun al- Watsiq 227-232 H/842-847 M
10)Abu Fadl Ja’far Muhammad al-Mutawakkil 232-247 H/847-861 M
11)Abu Ja’far Muhammad al- Muntashir 247-248 H/861-862 M
12)Abu Abbas Ahmad al-Musta’in 248-252 H/862-866 M
13)Abu Abdullah Muhammad al- Mu’tazz 252-255 H/866-869 M
14)Abu Ishaq Muhammad al- Muhtadi 255-256 H/869-870 M
15)Abu Abbas Ahmad al- Mu’tamid 256-279 H/870-892 M
16)Abu Abbas Muhammad al- Mu’tadhid 279-289 H/892-902 M
17)Abu Muhammad Ali al-Muktafi 289-295 H/902-908 M
18)Abu Fadl Ja’far al-Muqtadir 295-320 H/908-932 M
19)Abu Mansur Muhammad al- Qahir 320-322 H/932-934 M
20)Abu Abbas Ahmad ar-Radhi 322-329 H/934-940 M
21)Abu Ishaq Ibrahim al-Muttaqi 329-333 H/940-944 M
22)Abu Qasim Abdullah al- Mustaqfi 333-334 H/944-946 M
23)Abu Qasim al-Fadl al-Mu’thi 334-363 H/946-974 M
24)Abu Fadl Abdul Kari math- Tha’I 363-381 H/974-991 M
25)Abu Abbas Ahmad al-Qadir 381-422 H/991-1031 M
26)Abu Ja’far Abdullah al-Qa’im 422-467 H/1031-1075 M
27)Abu Qasim Abdullah al-muqtadi 467-487 H/1075-1094 M
28)Abu Abbas Ahmad al- Mustazhhir 487-512 H/1094-1118 M
29)Abu Mansur al-Fadl al- Murtasyid 512-529 H/1118-1135 M
30)Abu Ja’far al-Mansur ar- Rasyid 529-530 H/1135-1136 M
31)Abu Abdullah Muhammad al- Muqtafi 530-555 H/1136-1160 M
32)Abu Muzaffar al-Mustanjid 555-566 H/1160-1170 M
33)Abu Muhammad al-Hasan al- Mustadhi’ 566-575 H/1170-1180 M
34)Abu al-Abbas Ahmad an-Nashir
575-622 H/1180-1225 M
35)Abu Nasr Muhammad az- Zhahir 622-623 H/1225-1226 M
36)Abu Ja’far al-Mansur al- Mustanshir 623-640 H/1226-1242 M
37)Abu Ahmad Abdullah al- Musta’shim 640-656 H/1242-1256 M
Khalifah dinasti Bani Abbasiyah terakhir yaitu al-Musta’shim yang dibunuh oleh bangsa Mongol
di bawah pimpinan Hulagu Khan yang menaklukkan Baghdad tahun 656 H/1258 M.
Seorang pangeran keturunan Abbasiyah berhasil lolos dari pembunuhan dan
meneruskan khilafah dengan gelar Khilafah yang berkuasa di bidang
keagamaan saja di bawah kekuasaan kaum Mamluk di Kairo, Mesir tanpa
kekuasaan duniawi yang bergelar Sultan.
Para khalifah dinasti Bani Abbasiyah yang ada di Mesir berjumlah 22 orang yaitu:
1) Al-Mustanshir 659-660 H/1261-1261 M
2) Al-Hakim I 660-701 H/1261-1302 M
3) Al-Mustakfi I 701-740/1302-1340 M
4) Al-Watsiq I 740-741 H/1340-1341 M
5) Al-Hakim II 741-753 H/1341-1352 M
6) Al-Mu’tadhid 753-763 H/1352-1362 M
7) Al-Mutawakkil I 763-779 H/1362-1377, pertama kali.
8) Al-Mu’tashim 779 H/1377 M, pertama kali.
9) Al-Mutawakkil I 779-785 H/1377-1383 M, kedua kali.
10)Al-Watsiq II 785-788 H/1383-1386 M
11)Al-Mu’tashim 788-791 H/1386-1389 M, kedua kali.
12)Al-Mutawakkil I 791-808 H/1389-1406 M, ketiga kali.
13)Al-Musta’in 808-816 H/1406-1414 M
14)Al-Mu’tadhid II 816-845 H/1414-1441 M
15)Al-Mustakfi II 845-855 H/1441-1451 M
16)Al-Qa’im 855-859 H/1451-14-79 M
17)Al-Mustanjid 859-884 H/1455-1479 M
18)Al-Mutawakkil II 884-903 H/1479-1497 M
19)Al-Mustamsik 903-914 H/1497-1508 M, pertama kali.
20)Al-Mutawakkil III 914-922 H/1508-1516 M, pertama kali.
21)Al-Mustamsik 922-923 H/1516-1517 M, kedua kali.
22)Al-Mutawakkil III 923 H/1517 M, kedua kali.
Jabatan khalifah yang di sandang oleh keturunan Abbasiyyah di Mesir
berakhir ketika diambul oleh Sultan Salim I dari Turki Utsmani yang
menguasai Mesir pada tahun 923 H/1517 M. Sejak saat itu, hilanglah
Khalifah Abbasiyah untuk selama-lamanya
Ilmu-Ilmu Yang Dikembangkan Pada Masa Dinasti Bani Abbasiyah
Pada masa Bani Abbasiyah, ilmu dibedakan menjadi dua yaitu ilmu naqli dan ilmu aqli.
Dengan klasifikasinya sebagai berikut:
Ilmu Naqli
1) Ilmu Tafsir
Tafsir bi al-Ma’tsur (metode penafsiran oleh sekelompok mufassir dengan
cara memberi interpretasi al-Qur’an dengan hadis dan penjelasan para
sahabat besarm, termasuk pendapat ahli kitab yang sudah masuk Islam dan
pendapat orang yang menguasai kitab Taurat dan Injil).
Tokohnya adalah Ibnu Jarir Ath Thabari dengan karyanya Jami al-Bayan fi
Tafsir al-Qur’an terdiri dari 30 Juz, al- Suda (w. 127 H) menyandarkan
tafsirnya kepada Ibn Abbas, Ibn Mas’ud dan sahabat-sahabat lainnya serta
Muqotil Ibn Sulaiman yang menyandarkan tafsirnya kepada para sahabat
yang mengutip dari Taurat yang diriwayatkan oleh orang Yahudi.
Tafsir Diroyah/Tafsir bi al-Ra’yi/ Tafsir bi al-Aqli (menafsiran al-
Qur’an dengan menggunakan akal lebih banyak daripada al- Hadis).
Tokohnya adalah Abu Bakar al-Asham (w. 240 H), Abu Muslim Muhammad Ibn
Baadr al- Ishfahani (w. 322 H) dengan tafsirnya Jami’ut Ta’wil 14 jilid,
Ibn Jaru al-Asadi (w. 387 H), ar- Razy dengan tafsirnya Al- Muqthathaf,
dan lain-lain. Mereka menganut paham Mu’tazilah.
2) Ilmu Hadis
Tokohnya adalah al-Aimmah al- Sittah (imam yang enam) yaitu
Imam Al-Bukhari, (194-256 H) dengan kitabnya al-Jami al-Shahih dan Tarikh al-Kabir,
Imam Al-Muslim (204-261 H) dengan kitabnya al- Jami Shahih Muslim,
Imam Ibnu Majjah (209-273 H) dengan kitabnya Sunan Ibnu Majjah,
Imam Abu Dawud (202-275 H) dengan kitabnya Sunan Abi Dawud,
Imam al-Tarmidzi (wafat 279 H) dengan kitabnya Sunan al-Tirmidzi, dan
Imam al-Nasa’I (225-303 H) dengan kitabnya Sunan al-Nasa’i.
3) Ilmu Fiqih
Tokohnya adalah
Imam Abu Hanifah al- Nu’man Ibn Sabit (700-767 M) dengan kitabnya Musnad al-Imam al-A’dhom atau Fiqh al-Akbar,
Imam Malik Ibn Anas (713-795 M) dengan kitabnya al-Muwatha,
Imam Muhammad Ibn Idris al-Syafi’i (767-820 M) dengan kitabnya al- Risalah, dan
Imam Ahmad Ibn Hambal (780—855 M) dengan kitabnya al-Musnad.
Para fuqaha terbagi menjadi dua golongan, yaitu:
- Ahl al-Hadis yaitu golongan yang menyandarkan kepada hadis dalam
mengambil hukum, pemukanya Ahmad Ibn Hambal dengan karyanya Musnad Ahmad
ibn Hanbal
- Ahl al-Ra’yi yaitu golongan yang menggunakan akal di dalam menggali hukum, pemukanya Abu Hanifah.
4) Ilmu Tasawuf atau Mistisisme Islam
Tokohnya adalah
Imam Abu Bakr Muhammad al-Kalabadi dengan karyanya al-Ta’arruf li Mazhab al-Allaf,
Imam Abu Hamid al-Ghazali (1058-1111 M) dengan karyanya Ihya ‘Ulum al-Din,
Imam Abu Nasr as- Sarraj al-Tusi dengan karyanya al-Luma’, dan lain-lain.
5) Ilmu Kalama tau Theologi
Tokohnya adalah dari kalangan Mu’tazilah adalah
Imam Washil bin Atha’ (w. 748 M),
Imam al-Nazam (185-221 H), dan
Imam al-Jahir (w. 256 H),
sedangkan golongan dari Ahli Sunnah seperti
Imam Abu al-Hasan al- Asy’ari (873-935 M),
Imam Abu Hamid al-Ghazali (1058-1111 M) , dan
Imam Abu Mansur al-Maturidi (w. 944 H).
6) Ilmu Tarikh atau Sejarah
Tokohnya adalah
Syaikh Ibnu Hasyim (abad ke 8),
Syaikh Ibn Sa’d (abad ke 9), dan
Syaikh Abu Ja’far Muhammad at-Tabari (835-923 M) karyanya Kitab
Akhbarul Rasul wa Mulk (The Book of the Annals of Prophets and Kings)
tentang sejarah manusia hingga tahun 913,
Syaikh Firdawsi (penyair dan Bapak Sejarah Persia) karyanya Book of Kings (Shah-Namah),
Syaikh Ibnu Khaldun (1332-1406 M) ahli dalam
teori pendidikan, karyanya Muqaddimah.
7) Ilmu Bahasa, Ilmu Tata Bahasa, Ilmu Al-Qori’ah, dan Ilmu Agama Lainya
Tokohnya adalah
al-Kindi (801-873 M),
Ibn Sina (980-1037 M),
al-Farabi (870-950 M),
al-Razi (865-925 M),
Ibn Miskawaih (932-1030 M), dan
al-Ghazali (1058-1111 M). 8)
Ilmu Sastra
Tokohnya adalah
Abu al-Farraj al-Isfahani dengan karyanya Kitab al-Aghani,
Firdawsi dari Tus, karya puisinya Shah-Namah (Book of Kings) merupakan
karya sastra monumental terdiri dari 60.000 kuplet (120.000 baris), dan
Al-Jasyiari dengan karyanya Alf Lailat wa Laila atau One Thousand Nigh and One (Seribu Satu Malam) di pertengahan abad ke 9.
9) Ilmu Falak
Tokohnya adalah
Syaikh Muhammad al- Fazzari (w.158 H) yang dipandang ahli falak Islam
yang awal sekali dan menerjemah buku al-Sind Hind yang dianggap orang
karangan Rahma Sidhanta yang mengandung banyak info mengenai falak dan
matematik.
Ilmu Aqli
1) Ilmu Kedokteran
Tokohnya adalah
Imam al-Razi (Rhazes) (865-925 M), karyanya Al-Hawi (Continens) (30
jilid), al-A’sah (The Nerves), dan al-Jami (The Universal) menuliskan
filsafat, teologi, matematika, astronomi, dan ilmu pengetahuan alam, dan
Imam Ibn Sina (Avicenna) (980-1037 M) mengembangkang ilmu pengatahuan
Hippocrates dan Galen maupun filsafat Aristoteles dan Plato yang
berpengaruh terhadap alam berfikir Timur dan Barat
2) Ilmu Kimia
Tokohnya adalah
Imam Jabir Ibn Hayyan yang berpendapat bahwa logam seperti timah, besi,
dan tembaga dapat diubah menjadi emas atau perak dengan menggunakan obat
rahasia. Ia mengetahui cara membuat asam belerang, asam sendawa, dan
aqua regia yang dapat menghancurkan emas dan perak.
3) Ilmu Astronomi
Tokohnya adalah
Al-Biruni dengan kitabnya al-Hind dan al- Qanun al-Mas’udl fi al-Hai’a wa al-Nuju.
Ia secara akurat menentukan garis lintang dan garis bujur, mengukur
secara teliti gaya berat khusus terhadap 18 batu dan logam mulia serta
menguraikan kerja mata air alami sumur-sumur artesis,
Syaikh Nasiruddin Tusi menyusun table astronomi Ilkanian (Zij), menulis
tentang astronomi dan kalender, matematika, dan geomancy, dan
Syaikh Qutubuddin Shirazi menulis pandangan terhadap alam, optic geometris, dan pelangi.
4) Ilmu Matematika
Tokohnya adalah
al-Khawarizmi menemukan angka 0 pada abad ke 9. Sedangkam angka 1-9 berasal dari Hindu di India.
Kemudian Abul Wafa (940-997 M) ahli matematika-astronom dari Persia,
sebagai orang pertama yang menunjukkan keadaan umum dari teorema
relativitas sinus segitiga yang berhubungan dengan bentuk bola, table
susunan sinus, tangens, table kalkulasi tangens, memperkenalkan secant
dan cosecant dan contoh hubungan antara enam garis trigonometric.
5) Ilmu Optik
Tokohnya adalah
Syaikh Ali al-Hasan Ibn Haitsam (Alhaze) menulis buku tentang Optical Thesaurus, mengoreksi teori Euclid dan Ptolemy.
6) Ilmu Fisika
Tokohnya adalah
Imam Al-Bakhi (934 M) karyanya dijadikan dasar dan prinsip karya-karya
geografi setelahnya oleh al-Istakhir (950 M), Ibnu Hawqal (975 M) dan
al- Maqdisi (985M) dan al-Biruni menulis deskripsi tentang India, dan
Nasiri Khusraw, penulis otobiografi-geografis abad ke 9 menulis Diwan,
Safar-Namah (Book of Trave) dan Rawshanai- Namah (Book of Light)
7) Geografis
Tokohnya adalah
Imam Abu al-Hasan Ali al-Mas’ud (abad ke 10) menulis buku Maruj al-Zahab
tentang geografi, agama, adat istiadat dan lain-lain, dan
Imam Zamakhsyari (w.1144 M) seorang Persia, menulis Kitabul Amkina wal
JIbal wal Miyah (The Book of Places, Mountains and Waters).
Pendidikan Islam Pada Masa Dinasti Bani Abbasiyah
Lembaga pendidikan pada masa Abbasiyah terdiri dari dua tingkatan,yaitu:
1) Maktab atau kutub atau masjid, yaitu lembaga pendidikan terendah,
tempat anak-anak mengenal dasar bacaan, hitungan, dan tulisan serta
tempat para remaja belajar dasar-dasar ilmu agama, seperti Tafsir,
Hadis, fiqih, dan bahasa
2) Tingkat pendalaman, para pelajar yang ingin memperdalam ilmunya,
pergi keluar daerah menuntut ilmu kepada seseorang atau beberapa orang
ahli dalam bidangnya masing-masing.
Lembaga pendidikan pada masa Bani Abbasiyah disimbolkan dengan
berdirinya perpustakaan dan akademi. Perpustakaan pada masa Bani
Abbasiyah merupakan sebuah universitas, karena di samping terdapat
kitab-kitab disana juga orang dapat membaca, menulis dan berdiskusi.
Menuntut ilmu adalah suatu kewajiban untuk semua laki-laki dan
perempuan.
Pada masa Bani Abbas, anak-anak perempuan hanya belajar di rumah saja.
Mereka tidak diizinkan pergi ke maktab atau masjid untuk belajar. Itu
pun bagi yang mampu memanggil guru ke rumahnya dan bagi yang tidak mampu
maka mereka tidak belajar. Perkembangan lembaga pendidikan itu
mencerminkan terjadinya perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan.
Hal ini sangat ditentukan oleh perkembangan bahasa Arab, baik sebagai
bahasa administrasi yang sudah berlaku sejak masa Bani Umayyah maupun
sebagai bahasa ilmu pengetahuan.
Disamping itu, kemajuan itu ditentukan oleh dua hal, yaitu:
1) Terjadinya asimilasi antara bangsa Arab dengan bangsa lain yang lebih
dahulu mengalami perkembangan dalam bidang ilmu pengetahuan, misalnya
pengaruh Persia terlihat dalam bidang pemerintahan, filsafat dan sastra,
sedangkan pengaruh India dalam bidang kedokteran, ilmu matematika, dan
astronomi.
2) Gerakan terjemahan berlangsung tiga fase, yaitu:
a) Fase pertama, pada masa khalifah al-Manshur hingga Harun al-Rasyid.
Pada fase ini yang lebih banyak diterjemahkan adalah karya-karya dalam
bidang astronomi dan mantiq.
b) Fase kedua, berlangsung mulai masa khalifah al-Mm’mun hingga tahun
300H. buku-buku yang banyak diterjemahkan adalah dalam bidang filsafat,
dan kedokteran.
c) Fase ketiga, berlangsung setelah tahun 300 H, terutama setelah adanya
pembuatan kertas. Bidang-bidang ilmu yang diterjemahkan semakin
meluas.
Proses Runtuhnya Dinasti Abbasiyah
Dinasti Bani Abbasiyah Setelah mengalami kemajuan, dinasti Bani
Abbasiyah mengalami kemunduran dan kehancuran yang disebabkan oleh
faktor internal dan eksternal.
Adapun faktor internal,yaitu:
1) Lemahnya Khalifah Sejak berakhirnya kekuasaan dinasti Saljuk atas
Baghdad, khalifah Abbasiyah merdeka kembali, namun kekuasaannya hanya di
daerah Baghdad saja. Sementara itu, wilayah Abbasiyah lainnya
diperintah oleh dinasti- dinasti kecil yang tersebar di sebelah timur
dan barat Baghdad. Khalifah dinasti Bani Abbasiyah di Baghdad berhasil
mengambil kesempatan dari kelemahan kaum Saljuk dan dari gerakan-gerakan
pemisahan serta mengumumkan kemerdekaannya memerintah Baghdad dan
kawasan-kawasan sekitarnya.
Usaha untuk mengembalikan kekuasaan khalifah dinasti Bani Abbasiyah ini
dirintis oleh khalifah al- Mustarsyid (512-529 H/1118-1135 M), kemudian
dilanjutkan oleh anaknya, khalifah al-Rasyid (529-530 H/1135-1136 M) dan
dilanjutkan oleh khalifah al-Muqtafi (530-555 H/1136-1160 M). Dengan
demikian, sejak masa itu khalifah Bani Abbasiyah mempunyai pengaruh
kembali, meskipun dalam wilayah yang terbatas.
2) Persaingan antar bangsa Adanya kecenderungan bangsa- bangsa Maroko,
Mesir, Syia, Irak, Persia, Turki, dan India, untuk mendominasi kekuasaan
sudah dirasakan sejak Abbasiyah berdiri. Periode I, pengaruh Persia,
periode II, pengaruh Turki, Periode III, pengaruh Persia II, periode IV,
pengaruh Turki II, dan periode V, bebas pengaruh tetapi hanya di
Baghdad saja.
3) Kemerosotan ekonomi Pada periode kemunduran, pendapatan Negara
menurun sementara pengeluaran meningkat lebih besar. Hal ini disebabkan
wilayah kekuasaannya semakin menyempit, banyak terjadi kerusuhan yang
mengganggu perekonomian rakyat, diperingankannya pajak, dan banyak
dinasti kecil yang memerdekakan diri tidak lagi membayar upeti. 4)
Konflik keagamaan Kekecewaan orang Persia terhadap cita-cita yang tak
tercapai mendorong sebagian mereka mempropagandakan ajaran Mazuisme,
Zoroasterisme, dan Mazzdakisme.
Antara orang beriman dan kaum zindik terjadi konflik bersenjata seperti
gerakan al-Afsyn dan Qaramitah. Adanya konflik Syiah dan Ahlussunnah.
Terjadi Mihnah pada masa al-Ma’mun (813-833 M) yang menjadikan
Mu’tazilah menjadi mazhab resmi Negara. Al- Mutawakkil (847-861 M)
menghapus Mu’tazilah digantikan dengan golongan Salaf pengikut Hambali
yang tidak toleran terhadap Mu’tazilah yang rasional, menyempitkan
horizon intelektual. Mu’tazilah bangkit kembali pada masa Buwaihi dan
Saljuk, Asy’ariah menyingkirkan Mu’tazilah yang didukung al-Ghazali
tidak menguntungkan bagi pengembangan kreativitas entelektual Islam.
Sementara itu, faktor eksternal kemunduran dinasti Bani Abbasiyah, yaitu:
1) Perang Salib Perang antara umat Kristen dengan umat Islam yang
berlangsung dari tahun 1095-1291 M, telah menelan banyak korban jiwa,
ini menyebabkan khilafah Bani Abbasiyah menjadi lemah.
2) Serangan Hulagu Khan Hulagu Khan, cucu Jengis Khan, melakukan
serangan-serangan menuju Baghdad dengan mengalahkan Khurasan di Persia
dan Hasysyasyin di Alamut terlebih dahulu.
Pada tanggal 10 Februari 656 H/1258 M, ia dan pasukannya sampai ke tepi
kota Baghdad. Perintah untuk menyerah ditolak oleh khalifah
al-Musta’shim (khalifah terakhir Bani Abbasiyyah), sehingga Baghdad
dikepung dan dihancurkan
Faktor-faktor penting yang menyebabkan kemunduran Bani Abbas pada masa ini, sehingga banyak daerah memerdekakan diri, adalah:
Luasnya wilayah kekuasaan daulah Abbasiyyah sementara komunikasi pusat
dengan daerah sulit dilakukan. Bersamaan dengan itu, tingkat saling
percaya di kalangan para penguasa dan pelaksana pemerintahan sangat
rendah.
Dengan profesionalisasi angkatan bersenjata, ketergantungan khalifah kepada mereka sangat tinggi.
Keuangan negara sangat sulit karena biaya yang dikeluarkan untuk tentara
bayaran sangat besar. Pada saat kekuatan militer menurun, khalifah
tidak sanggup memaksa pengiriman pajak ke Baghdad.
Masa Disintegrasi (1000-1250 M)
Akibat dari kebijaksanaan yang lebih menekankan pembinaan peradaban dan
kebudayaan Islam dari pada persoalan politik itu, provinsi-provinsi
tertentu di pinggiran mulai lepas dari genggaman penguasa Bani Abbas,
dengan berbagai cara di antaranya pemberontakan yang dilakukan oleh
pemimpin lokal dan mereka berhasil memperoleh kemerdekaan penuh.
Disintegrasi dalam bidang politik sebenarnya sudah mulai terjadi di
akhir zaman Bani Umayyah. Akan tetapi berbicara tentang politik Islam
dalam lintasan sejarah, akan terlihat perbedaan antara pemerintahan Bani
Umayyah dengan pemerintahan Bani Abbas. Wilayah kekuasaan Bani Umayyah,
mulai dari awal berdirinya sampai masa keruntuhannya, sejajar dengan
batas-batas wilayah kekuasaan Islam. Hal ini tidak seluruhnya benar
untuk diterapkan pada pemerintahan Bani Abbas.
Kekuasaan dinasti ini tidak pernah diakui diSpanyol dan seluruh Afrika
Utara, kecuali Mesir yang bersifat sebentar-sebentar dan kebanyakan
bersifat nominal. Bahkan dalam kenyataannya, banyak daerah tidak
dikuasai khalifah. Secara riil, daerah-daerah itu berada di bawah
kekuasaan gubernur-gubernur provinsi bersangkutan. Hubungannya dengan
khilafah ditandai dengan pembayaran pajak.
Ada kemungkinan bahwa para khalifah Abbasiyah sudah cukup puas dengan
pengakuan nominal dari provinsi-provinsi tertentu, dengan pembayaran
upeti itu. Alasannya adalah:
Mungkin para khalifah tidak cukup kuat untuk membuat mereka tunduk kepadanya,
Penguasa Bani Abbas lebih menitik beratkan pembinaan peradaban dan kebudayaan daripada politik dan ekspansi.
Akibat dari kebijaksanaan yang lebih menekankan pembinaan peradaban dan
kebudayaan Islam daripada persoalan politik itu, provinsi-provinsi
tertentu di pinggiran mulai lepas dari genggaman penguasa Bani Abbas.
Ini bisa terjadi dalam salah satu dari dua cara:
Seorang pemimpin lokal memimpin suatu pemberontakan dan berhasil
memperoleh kemerdekaan penuh, seperti daulah Bani Umayyah di Spanyol dan
Bani Idrisiyyah diMarokko.
Seseorang yang ditunjuk menjadi gubernur oleh khalifah, kedudukannya
semakin bertambah kuat, seperti daulah Aghlabiyah di Tunisia dan
Thahiriyyah di Khurasan.
Kecuali Bani Umayyah di Spanyol dan Bani Idrisiyyah di Marokko,
provinsi-provinsi itu pada mulanya tetap patuh membayar upeti selama
mereka menyaksikan Baghdad stabil dan khalifah mampu mengatasi
pergolakan-pergolakan yang muncul. Namun pada saat wibawa khalifah sudah
memudar mereka melepaskan diri dari kekuasaan Baghdad. Mereka bukan
saja menggerogoti kekuasaan khalifah, tetapi beberapa di antaranya
bahkan berusaha menguasai khalifah itu sendiri.
Menurut Ibnu Khaldun, sebenarnya keruntuhan kekuasaan Bani Abbas mulai
terlihat sejak awal abad kesembilan. Fenomena ini mungkin bersamaan
dengan datangnya pemimpin-pemimpin yang memiliki kekuatan militer di
provinsi-provinsi tertentu yang membuat mereka benar-benar independen.
Kekuatan militer Abbasiyah waktu itu mulai mengalami kemunduran. Sebagai
gantinya, para penguasa Abbasiyah mempekerjakan orang-orang profesional
di bidang kemiliteran, khususnya tentara Turki dengan sistem perbudakan
baru seperti diuraikan di atas. Pengangkatan anggota militer Turki ini,
dalam perkembangan selanjutnya teryata menjadi ancaman besar terhadap
kekuasaan khalifah. Apalagi pada periode pertama pemerintahan dinasti
Abbasiyah, sudah muncul fanatisme kebangsaan berupa gerakan syu'u
arabiyah (kebangsaan/anti Arab).
Gerakan inilah yang banyak memberikan inspirasi terhadap gerakan
politik, di samping persoalan-persoalan keagamaan. Nampaknya, para
khalifah tidak sadar akan bahaya politik dari fanatisme kebangsaan dan
aliran keagamaan itu, sehingga meskipun dirasakan dalam hampir semua
segi kehidupan, seperti dalam kesusasteraan dan karya-karya ilmiah,
mereka tidak bersungguh-sungguh menghapuskan fanatisme tersebut, bahkan
ada di antara mereka yang justru melibatkan diri dalam konflik
kebangsaan dan keagamaan itu.
Masa disintegrasi ini terjadi setelah pemerintahan periode pertama Bani
Abbasiyah mencapai masa keemasannya, pada masa berikutnya pemerintahan
dinasti ini mulai menurun, terutama di bidang politik. Dimana salah satu
sebabnya adalah kecenderungan penguasa untuk hidup mewah dan kelemahan
khalifah dalam memimpin roda pemerintahan.
Berakhirnya kekuasaan Dinasti Seljuk atas Baghdad atau khilafah
Abbasiyah merupakan awal dari periode kelima. Pada periode ini, khalifah
Abbasiyah tidak lagi berada di bawah kekuasaan suatu dinasti tertentu,
walaupun banyak sekali dinasti Islam berdiri. Ada di antaranya yang
cukup besar, namun yang terbanyak adalah dinasti kecil. Para khalifah
Abbasiyah, sudah merdeka dan berkuasa kembali, tetapi hanya di Baghdad
dan sekitarnya. Wilayah kekuasaan khalifah yang sempit ini menunjukkan
kelemahan politiknya. Pada masa inilah tentara Mongol dan Tartar
menyerang Baghdad. Baghdad dapat direbut dan dihancur luluhkan tanpa
perlawanan yang berarti. Kehancuran Baghdad akibat serangan tentara
Mongol ini awal babak baru dalam sejarah Islam, yang disebut masa
pertengahan.
Sebagaimana terlihat dalam periodisasi khilafah Abbasiyah, masa
kemunduran dimulai sejak periode kedua. Namun, faktor-faktor penyebab
kemunduran itu tidak datang secara tiba-tiba. Benih-benihnya sudah
terlihat pada periode pertama, hanya karena khalifah pada periode ini
sangat kuat, benih-benih itu tidak sempat berkembang. Dalam sejarah
kekuasaan Bani Abbas terlihat bahwa apabila khalifah kuat, para menteri
cenderung berperan sebagai kepala pegawai sipil, tetapi jika khalifah
lemah, mereka akan berkuasa mengatur roda pemerintahan. Di samping
kelemahan khalifah, banyak faktor lain yang menyebabkan khilafah
Abbasiyah menjadi mundur, masing-masing faktor tersebut saling berkaitan
satu sama lain. Beberapa di antaranya adalah sebagai berikut:
Persaingan antar Bangsa
Khilafah Abbasiyah didirikan oleh Bani Abbas yang bersekutu dengan
orang-orang Persia. Persekutuan dilatar belakangi oleh persamaan nasib
kedua golongan itu pada masa Bani Umayyah berkuasa. Keduanya sama-sama
tertindas. Setelah khilafah Abbasiyah berdiri, dinasti Bani Abbas tetap
mempertahankan persekutuan itu. Menurut Ibnu Khaldun, ada dua sebab
dinasti Bani Abbas memilih orang-orang Persia daripada orang-orang Arab.
Sulit bagi orang-orang Arab untuk melupakan Bani Umayyah. Pada masa itu mereka merupakan warga kelas satu.
Orang-orang Arab sendiri terpecah belah dengan adanya ashabiyah
(kesukuan). Dengan demikian, khilafah Abbasiyah tidak ditegakkan di atas
ashabiyah tradisional.
Meskipun demikian, orang-orang Persia tidak merasa puas. Mereka
menginginkan sebuah dinasti dengan raja dan pegawai dari Persia pula.
Sementara itu bangsa Arab beranggapan bahwa darah yang mengalir di tubuh
mereka adalah darah (ras) istimewa dan mereka menganggap rendah bangsa
non-Arab ('ajam).
Selain itu, wilayah kekuasaan Abbasiyah pada periode pertama sangat
luas, meliputi berbagai bangsa yang berbeda, seperti Maroko, Mesir,
Syria, Irak, Persia, Turki, dan India. Mereka disatukan dengan bangsa
Semit. Kecuali Islam, pada waktu itu tidak ada kesadaran yang merajut
elemen-elemen yang bermacam-macam tersebut dengan kuat. Akibatnya, di
samping fanatisme kearaban, muncul juga fanatisme bangsa-bangsa lain
yang melahirkan gerakan syu'ubiyah.
Fanatisme kebangsaan ini nampaknya dibiarkan berkembang oleh penguasa.
Sementara itu, para khalifah menjalankan sistem perbudakan baru.
Budak-budak bangsa Persia atau Turki dijadikan pegawai dan tentara.
Mereka diberi nasab dinasti dan mendapat gaji. Oleh Bani Abbas, mereka
dianggap sebagai hamba. Sistem perbudakan ini telah mempertinggi
pengaruh bangsa Persia dan Turki. Karena jumlah dan kekuatan mereka yang
besar, mereka merasa bahwa negara adalah milik mereka; mereka mempunyai
kekuasaan atas rakyat berdasarkan kekuasaan khalifah. Kecenderungan
masing-masing bangsa untuk mendominasi kekuasaan sudah dirasakan sejak
awal khalifah Abbasiyah berdiri.
Akan tetapi, karena para khalifah adalah orang-orang kuat yang mampu
menjaga keseimbangan kekuatan, stabilitas politik dapat terjaga. Setelah
al-Mutawakkil, seorang khalifah yang lemah, naik takhta, dominasi
tentara Turki tak terbendung lagi. Sejak itu kekuasaan Bani Abbas
sebenarnya sudah berakhir. Kekuasaan berada di tangan orang-orang Turki.
Posisi ini kemudian direbut oleh Bani Buwaih, bangsa Persia, pada
periode ketiga, dan selanjutnya beralih kepada Dinasti Seljuk pada
periode keempat, sebagaimana diuraikan terdahulu.
Munculnya dinasti-dinasti yang lahir dan ada yang melepaskan diri dari
kekuasaan Baghdad pada masa khilafah Abbasiyah, di antaranya adalah:
Yang berbangsa Persia.
Bani Thahiriyyah di Khurasan, (205-259 H/820-872 M).
Bani Shafariyah di Fars, (254-290 H/868-901 M).
Bani Samaniyah di Transoxania, (261-389 H/873-998 M).
Bani Sajiyyah di Azerbaijan, (266-318 H/878-930 M).
Bani Buwaih, bahkan menguasai Baghdad, (320-447 H/ 932-1055 M).
Yang berbangsa Turki.
Thuluniyah di Mesir, (254-292 H/837-903 M).
Ikhsyidiyah di Turkistan, (320-560 H/932-1163 M).
Ghaznawiyah di Afganistan, (351-585 H/962-1189 M).
Bani Seljuk/Salajiqah dan cabang-cabangnya:
a. Seljuk besar, atau Seljuk Agung, didirikan oleh Rukn al-Din Abu
Thalib Tuqhril Bek ibn Mikail ibn Seljuk ibn Tuqaq. Seljuk ini menguasai
Baghdad dan memerintah selama sekitar93 tahun (429-522H/1037-1127 M).
Dan Sulthan Alib Arselan Rahimahullah memenangkan Perang Salib ke I atas
kaisar Romanus IV dan berhasil menawannya.
b. Seljuk Kinnan di Kirman, (433-583 H/1040-1187 M).
c. Seljuk Syria atau Syam di Syria, (487-511 H/1094-1117 M).
d. Seljuk Irak di Irak dan Kurdistan, (511-590 H/1117-1194 M).
e. Seljuk Ruum atau Asia kecil di Asia tengah (Jazirah Anatolia), (470-700 H /1077-1299 M).
Yang berbangsa Kurdi:
al-Barzuqani, (348-406 H/959-1015 M).
Abu 'Ali, (380-489 H/990-1095 M).
al-Ayyubiyyah, (564-648 H/1167-1250 M), didirikan oleh Sulthan
Shalahuddin al-ayyubi setelah keberhasilannya memenangkan Perang Salib
periode ke III.
Yang berbangsa Arab:
Idrisiyyah di Maghrib, (172-375 H/788-985 M).
Aghlabiyyah di Tunisia (184-289 H/800-900 M).
Dulafiyah di Kurdistan, (210-285 H/825-898 M).
'Alawiyah di Thabaristan, (250-316 H/864-928 M).
Hamdaniyah di Aleppo dan Maushil, (317-394 H/929- 1002 M).
Mazyadiyyah di Hillah, (403-545 H/1011-1150 M).
Ukailiyyah di Maushil, (386-489 H/996-1 095 M).
Mirdasiyyah di Aleppo, (414-472 H/1023-1079 M).
Yang mengaku dirinya sebagai khilafah:
Umayyah di Spanyol.
Fatimiyah di Mesir.
Dari latar belakang dinasti-dinasti itu, nampak jelas adanya persaingan
antarbangsa, terutama antara Arab, Persia dan Turki. Di samping latar
belakang kebangsaan, dinasti-dinasti itu juga dilatar belakangi paham
keagamaan, ada yang berlatar belakang Syi'ah maupun Sunni.
Kemerosotan Ekonomi
Khilafah Abbasiyah juga mengalami kemunduran di bidang ekonomi bersamaan
dengan kemunduran di bidang politik. Pada periode pertama, pemerintahan
Bani Abbas merupakan pemerintahan yang kaya. Dana yang masuk lebih
besar dari yang keluar, sehingga Baitul-Mal penuh dengan harta.
Pertambahan dana yang besar diperoleh antara lain dari al-Kharaj,
semacam pajak hasil bumi.
Setelah khilafah memasuki periode kemunduran, pendapatan negara menurun
sementara pengeluaran meningkat lebih besar. Menurunnya pendapatan
negara itu disebabkan oleh makin menyempitnya wilayah kekuasaan,
banyaknya terjadi kerusuhan yang mengganggu perekonomian rakyat.
diperingannya pajak dan banyaknya dinasti-dinasti kecil yang
memerdekakan diri dan tidak lagi membayar upeti. Sedangkan pengeluaran
membengkak antara lain disebabkan oleh kehidupan para khalifah dan
pejabat semakin mewah. jenis pengeluaran makin beragam dan para pejabat
melakukan korupsi. Kondisi politik yang tidak stabil menyebabkan
perekonomian negara morat-marit. Sebaliknya, kondisi ekonomi yang buruk
memperlemah kekuatan politik dinasti Abbasiyah kedua, faktor ini saling
berkaitan dan tak terpisahkan.
Munculnya aliran-aliran sesat dan fanatisme kesukuan.
Fanatisme keagamaan berkaitan erat dengan persoalan kebangsaan. Karena
cita-cita orangPersia tidak sepenuhnya tercapai, kekecewaan mendorong
sebagian mereka mempropagandakan ajaran Manuisme, Zoroasterisme dan
Mazdakisme. Munculnya gerakan yang dikenal dengan gerakan Zindiq ini
menggoda rasa keimanan para khalifah. Al-Mansurberusaha keras
memberantasnya, bahkan Al-Mahdi merasa perlu mendirikan jawatan khusus
untuk mengawasi kegiatan orang-orang Zindiq dan melakukan mihnah dengan
tujuan memberantas bid'ah. Akan tetapi, semua itu tidak menghentikan
kegiatan mereka. Konflik antara kaum beriman dengan golongan Zindiq
berlanjut mulai dari bentuk yang sangat sederhana seperti polemik
tentang ajaran, sampai kepada konflik bersenjata yang menumpahkan darah
di kedua belah pihak. Gerakan al-Afsyin dan Qaramithah adalah contoh
konflik bersenjata itu.
Pada saat gerakan ini mulai tersudut, pendukungnya banyak berlindung di
balik ajaranSyi'ah, sehingga banyak aliran Syi'ah yang dipandang ghulat
(ekstrim) dan dianggap menyimpang oleh penganut Syi'ah sendiri. Aliran
Syi'ah memang dikenal sebagai aliran politik dalam Islam yang berhadapan
dengan paham Ahlussunnah. Antara keduanya sering terjadi konflik yang
kadang-kadang juga melibatkan penguasa. Al-Mutawakkil, misalnya,
memerintahkan agar makam Husein Ibn Ali di Karballa dihancurkan. Namun
anaknya, al-Muntashir (861-862 M.), kembali memperkenankan orang Syi'ah
"menziarahi" makam Husein tersebut. Syi'ah pernah berkuasa di dalam
khilafah Abbasiyah melalui Bani Buwaih lebih dari seratus tahun. Dinasti
Idrisiyah di Marokko dan khilafah Fathimiyah di Mesir adalah dua
dinasti Syi'ah yang memerdekakan diri dari Baghdad yang Sunni.
Konflik yang dilatarbelakangi agama tidak terbatas pada konflik antara
muslim dan zindiqatau Ahlussunnah dengan Syi'ah saja, tetapi juga antar
aliran dalam Islam. Mu'tazilah yang cenderung rasional dituduh sebagai
pembuat bid'ah oleh golongan salafy. Perselisihan antara dua golongan
ini dipertajam oleh al Ma'mun, khalifah ketujuh dinasti Abbasiyah
(813-833 M), dengan menjadikan Mu'tazilah sebagai mazhab resmi negara
dan melakukanmihnah. Pada masa al-Mutawakkil (847-861 M), aliran
Mu'tazilah dibatalkan sebagai aliran negara dan golongan Sunni kembali
naik daun. Tidak tolerannya pengikut Hanbali terhadap Mu'tazilah yang
rasional dipandang oleh tokoh-tokoh ahli filsafat telah menyempitkan
horizon intelektual padahal para salaf telah berusaha untuk
mengembalikan ajaran Islam secara murni sesuai dengan yang dibawa oleh
Rasulullah.
Aliran Mu'tazilah bangkit kembali pada masa Bani Buwaih. Namun pada masa
Dinasti Seljukyang menganut paham Sunni, penyingkiran golongan
Mu'tazilah mulai dilakukan secara sistematis. Dengan didukung penguasa
aliran Asy'ariyah tumbuh subur dan berjaya. Pikiran-pikiran al-Ghazali
yang mendukung aliran ini menjadi ciri utama paham Ahlussunnah.
Pemikiran-pemikiran tersebut mempunyai efek yang tidak menguntungkan
bagi pengembangan kreativitas intelektual Islam konon sampai sekarang.
Berkenaan dengan konflik keagamaan itu, Syed Ameer Ali mengatakan:
“ Agama
Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam seperti juga agama
Isa‘alaihis salaam, terkeping-keping oleh perpecahan dan perselisihan
dari dalam. Perbedaan pendapat mengenai soal-soal abstrak yang tidak
mungkin ada kepastiannya dalam suatu kehidupan yang mempunyai akhir,
selalu menimbulkan kepahitan yang lebih besar dan permusuhan yang lebih
sengit dari perbedaan-perbedaan mengenai hal-hal yang masih dalam
lingkungan pengetahuan manusia. Soal kehendak bebas manusia... telah
menyebabkan kekacauan yang rumit dalam Islam ...Pendapat bahwa rakyat
dan kepala agama mustahil berbuat salah ... menjadi sebab binasanya
jiwa-jiwa berharga ”
Ancaman dari Luar
Apa yang disebutkan di atas adalah faktor-faktor internal. Di samping
itu, ada pula faktor-faktor eksternal yang menyebabkan khilafah
Abbasiyah lemah dan akhirnya hancur.
Perang Salib yang berlangsung beberapa gelombang atau periode dan menelan banyak korban.
Serangan tentara Mongol ke wilayah kekuasaan Islam. Sebagaimana telah
disebutkan, orang-orang Kristen Eropa terpanggil untuk ikut berperang
setelah Paus Urbanus II (1088-1099 M) mengeluarkan fatwanya. Perang
Salib itu juga membakar semangat perlawanan orang-orang Kristen yang
berada di wilayah kekuasaan Islam. Namun, di antara komunitas-komunitas
Kristen Timur, hanya Armenia dan Maronit Lebanon yang tertarik dengan
Perang Salib dan melibatkan diri dalam tentara Salib.
Pengaruh perang salib juga terlihat dalam penyerbuan tentara Mongol.
Disebutkan bahwa Hulagu Khan, panglima tentara Mongol, sangat membenci
Islam karena ia banyak dipengaruhi oleh orang-orang Budha dan Kristen
Nestorian. Gereja-gereja Kristen berasosiasi dengan orang-orang Mongol
yang anti Islam itu dan diperkeras di kantong-kantong ahlul-kitab.
Tentara Mongol, setelah menghancur leburkan pusat-pusat Islam, ikut
memperbaiki Yerusalem.