Sejarah Terbentuknya Daulah Idrisiyyah.
Islam telah mencapai puncak kejayaannya pada masa Daulah Abasiyah, yang
berlangsung kurang lebih selama 500 tahun. Mulai dari tahun 132 H s/d
656 H. Atau dari tahun 750 M s/d 1258 M. Pada masa ini Islam menjadi
pusat dunia dalam berbagai aspek peradaban. Kemajuan itu hampir mencakup
semua aspek kehidupan; mulai dari bidang ekonomi, politik, sosial,
hukum, budaya, ilmu pengetahuan dll.
Tetapi tidak dipungkiri dibalik itu semua tersimpan persoalan politik
yang pada akhirnya bermuara pada persoalan disintegrasi daulah tersebut.
Masalahnya ada pada kebijakan pemerintahan Daulah Abasiyah yang lebih
menitikberatkan terhadap pembinan peradaban dan kebudayaan. Sedangkan
masalah politik yang sebenarnya tak boleh diabaikan karena ini
menyangkut integritas sebuah bangsa. Masalah politik yang didalamnya ada
ekpansi, kebijakan politis, dsb. tidak disentuh sehingga mempercepat
pelepasan wilayah-wilayah tertentu yang berada jauh dari pantauan
pemerintah pusat Daulah Abbasiyah.
Dalam sejarah Politik Islam, disintegrasi politik tersebut sebenarnya
sudah terjadi sejak berakhirnya pemerintahan Bani Ummayah. Ada perbedaan
mendasar diantara dua pemerintahan tersebut. Pada Masa Bani Ummayah,
wilayah kekuasaan sejajar dengan batas-batas wilayah kekuasaan Islam
(mulai dari awal berdirinya sampai akhir kehancurannya). Sedangkan pada
masa Pemerintahan Abbasiyah ada sebagian wilayah kekuasaan yang tidak
pernah diakuinya seperti di daerah Spanyol dan Afrika utara, kecuali
Mesir yang bersifat sebentar-sebentar bahkan kenyataannya banyak daerah
yang tidak dikuasai oleh khalifah.
Dan seperti diketahui bahwa salah satu faktor yang mendukung berdirinya
Dinasti Abbasiyah adalah keberhasilan mereka membentuk solidaritas dari
berbagai kalangan yang merasa senasib dalam ketertindasan melawan
Dinasti Umaiyyah . Di antara kelompok yang bersekutu dengan daulah
Abbas ketika itu dan membantu mereka untuk menumbangkan Dinasti
Umaiyyah adalah kelompok Syi’ah dan Alawiyyun.
Namun pada perkembangan selanjutnya, Bani Abbas mengkhianati mereka,
bahkan cenderung memusuhi mereka, utamanya ketika al-Hadi menduduki
tahta kekhalifahan (785). Al-Hadi menganut politik yang bertolak
belakang dengan bapaknya, al-Mansur, yang banyak memperhatikan dan
menarik simpati golongan non Abbasiyah, utamanya dari kalangan Umaiyyah
dan Syi’ah. Al-Hadi bahkan mengejar-ngejar, menangkapi dan memenjarakan
para petinggi-petinggi Umaiyyah dan Syi’ah dengan tuduhan tidak loyal.
Kondisi tersebut membuat kelompok-kelompok yang dulunya pro terhadap
Bani Abbas kecewa dan menjadi kelompok oposisi, bahkan berusaha
melakukan pemberontakan.
Salah satunya adalah Maulay Idris yang ikut dalam pemberontakan yang
dilakukan oleh kalangan Alawiyah dan Syi`ah terhadap Musa al-Hadi,
khalifah Abbasiyah yang berkuasa pada saat itu
Sayidina Idris bin Abdullah bin Hasan bin Ali Bin Abi Thalib (172-177 H) :
Ketika terjadi perselihan pada masa kholifah abbasiah, Al-hadi pada
tahun 169 H sehingga menjadikan dua orang saudara melarikan diri dari
kepemimpinan Kholifah al-Abbasiah, yang pertama Yahya bin Abdullah bin
Hassan bin Hassan bin ali yang nantinya memiliki pengaruh di daerah
dailam (suku Iran) pada masa Harun al-Rosysid, yang kedua yaitu Idris
bin Abdullah yang nantinya berhasil mempengaruhi orang-orang Maghrib
(Maroko).
Pada tahun 172 H berdirilah daulah Idrisiah di tangan Maulay idris bin
Abdullah al-alawi yang tiba di daerah Maroko beserta gurunya yaitu
Rassyid setelah orang –orang Abbasiyah melakukan penindasan terhadap
Ahlu al-bait al alawi, dan kebetulan kedatangannya di Maghrib di sambut
baik oleh salah satu Kabilah Barbar, al-Robbah al-Barbariyah dan
sekaligus sebagai pendukung pertama akan berdirinya Daulah Idrisiyyah
sebagai daulah yang merdeka yang sengaja didirikan untuk menyebarkan
Islam di seperempat Maghrib, keberadaaan daulah Idirisiyah semakin
menguat ketika banyaknya kabilah yang berdatangan untuk bernaung di
bawah naungan daulah Idrisiyah, seperti kabilah zanata, zaro'ah,
meknesa, dan yang lainnya, sehingga daulah Idrisiyyah berhasil
memperluas kekuasaanya sampai daerah Qoirowan, dan bahkan berhasil
memperluas kekuasaanya sampai samudra atlantik ( gunung zerhon dekat
meknes ).
Perkembangan yang sangat signifikan yang di raih oleh daulah Idrisiyah
ini menumbuhkan ketakutan pada diri Harun al-Rasyid akan gangguan yang
suatu saat bisa datang menghampirinya, di tambah lagi dengan adanya
berita rencana penyerangan yang akan di lakukan oleh daulah Idrisiyyah
ke daerah afrika, maka Harun al-Rosyid berniat untuk untuk melenyapkan
keberadaan Daulah idrisiyah sehingga dia mengutus tentara yang sangat
banyak untuk mensukseskan niatnya itu, akan tetapi di tengah perjalanan
Harun al-Rasyid mengubah strateginya itu, dengan membatalkan
pemberangkatan para tentara, di karenakan kesulitan yang akan mereka
hadapi sebelum sampai di tanah Maghrib dengan kondisi perjalanan yang
sangat sulit, melainkan harun al-rasyid mengganti rencananya itu dengan
memberikan perintah kepada Yahya al-Barmaki untuk mendatangkan laki-laki
yang terkenal dengan lemah-lembutnya sehingga mampu untuk masuk ke
dalam kawasan daulah Idrisiyyah tanpa di ketahui asal-usulnya sehingga
bisa membunuh Idris bin Abdullah, dan pada akhirnya Harun ar-Rosyid
menemukannya dan langsung mengutus Rosyid sulaiman bin jarir yang masih
merupakan kerabat dari daulah Fatimiah (al Mahdi) untuk berjalan menuju
Maghrib sampai bertemu dengan khalifah Idris awal, dan di karenakan
Rosyid sulaiman bin jarir ini di kenal sebagi dokter yang berfaham ahlul
bait maka Maulay idris pun sangat menghormati keberadaanya, dan karena
penghormatan yang dia terima akhirnya dia pun berhasil mencari
kesempatan untuk membunuh maulay Idris awal.
Adapun mengenai kematian Khalifah Idris bin Abdullah banyak sekali
riwayat yang tersebar, mulai dari riwayat yang mengatakan bahwa Rosyid
berhasil membunuhnya dengan cara menumbuk racun yang di campurkan dengan
obat, atau ada riwayat lain yang mengatakan bahwa dia mencampurkan
racun dengan alat siwak yang setelah itu di berikan kepada Idris bin
Abdullah yang sedang merasa sakit gigi, dan adapun riwayat yang terakhir
mengatakan bahwa ia menyajikan anggur yang sudah di campur dengan
racun.
Sayidina Idris Tsani (Al Mutsanna) (177-213 H)
Ketika maulay Idris awal meninggal dunia, dia pun meninggalkan putranya
yang masih dalam kandungan dan masyarakat barbar yang bernaung di bawah
kekuasaanya, oleh karena pengharapan dari masyerakat akan kembalinya
sosok seperti Idris awal dan setelah dua bulan idris awal meninggal
dunia putra laki-lakinya pun lahir maka masyarakat barbar langsung
memberikan nama dengan nama ayahnya, yaitu Idris tsani, dan dialah
yang mendirikan kota fes, bahkan banyak anggapan yang me ngatakan bahwa
dia pendiri sejati Daulah idrisiyah karena peran yang telah di
lakukannya.
Ketika usia idris tsani mencapai 11 tahun masyarakat barbar membai'atnya
pada bulan Robi'ul awal tahun 177 H di kota walailah, dan di ikuti
oleh semua kabilah di Maghrib, salah satunya adalah kabilah
Zanatah,al-Robbah,Shonhajjah dan Musomadah. Dan pada tahun 192 H Idris
tsani mulai melanjutkan pembangunan kota fes sehingga mencapai
kesempurnaanya pada tahun setelahnya sehingga fes di jadikannya sebagai
ibu kota dari Maghrib, atau ketika itu dari Daulah Idrisiyyah,dan
setelah Idris II berhasil membangun kota fes, idris tsani pun
mengalihkan perhatiannya, untuk memerangi kabilah Shifriyah, salah satu
kabilah yang merupakan bagian dari sekte Khowarij.
Idris tsani Wafat pada bulan Jumadil akhir tahun 213 H ketika umur 36
tahun, yang kemudian di gantikan oleh putranya Muhammad bin idris.
Pada masanya ini pemerintahan idrisiyah mengalami perpecahan sehingga
keluarlah Isa bin idris untuk menyendiri di kota Azmur dengan tidak
menta'ati kembali kholifah Muhammad bin idris dan menobatkan dirinya
sebagai kholifah yang baru . maka untuk memeranginya Muhammad bin idris
meminta bantuan kepada saudaranya al qosim, pemimpin tanger, namun
permintaan itu pun di tolak, kemudian kholifah meminta pertolongan lagi
kepada saudara yang lain yaitu umar, pemimpin meknes dan dia menanggapi
permintaan Muhammad bin idris untuk memerangi isa dan tentaranya yang
kebanyakan menggunakan tentara barbar, akhirnya kholifahpun berhasil
meraih kemenangan sehingga dapat mengusir isa dan pergerakan kholifah
pun tidak berhenti sampai di sini saja, karena ternyata kholifah
muhammad bin idris masih terus memperluas kekuasaanya sampai ke daerah
Tanger.
Sayidina Ali Bin Umar Bin Idris Tsani (221-234H)
Pada bulan Robi'ul Tsani di tahun 221 H Muhammad bin idris tsani
meninggal dunia, maka putranya Ali bin Muhammad degan terpaksa
menggantikannya pada Tahun 221H ketika masih berumur 9 tahun dan
masyarakat menjulukinya dengan julukan yang pernah di terima oleh ali
bin abi tholib ya itu “Haidaroh”. Karena usia umurnya yang masih belia
itu, kekuasaan pun untuk sementara di serahkan kepada saudaranya yaitu
Yahya bin Muhammad bin Idris, dan pada masa Yahya inilah kerajaan
mencapai masa keemasan dengan keberhasilannya dalam memperluas wilayah
dan pengaruhnya, di tambah lagi dengan perkembangan pembangunan di kota
fes yang sudah terbukti dengan terciptanya tempat pemandian, perhotelan
dan benteng di bagian luar, sehingga menjadikan banyak masyarakat
Maghrib yang datang menuju kota fes. Dan Ali bin Muhammad pun meninggal
pada bulan rajab tahun 235H.
Ketika Ali bin Muhammad bin idris meninggal dunia lalu kemudian di
gantikan oleh putranya Yahya bin ali bin Muhammad bin idris, dan pada
masa itu kerajaan pun mengalami kekacauan sehingga pada saat itu di
nyatakan sebagai masa kelam, dengan di awali lahirnya revolusi yang di
mulai dari penyebaran fitnah yang berasal dari tanah andalus sehingga
menjadikan sang khalifah Yahya Bin Ali bin Muhammad meninggal dunia,
lalu fes pun akhirnya di kuasai oleh Abdurrahman bin abi sahl yang telah
berhasil memprofokatori lahirnya revolusi.
Namun Istri dari Sang Khalifah Yahya bin ali bin Muhammad tidak tinggal
diam dengan apa yang sedang terjadi di negrinya melainkan terus mencari
bantuan untuk ikut meredam terjadinya konflik dengan menulis surat
kepada ayahnya Ali bin umar bin idris penguasa kota Riff, sekaligus
masih saudara dengan sang kholifah Yahya bin Ali yang nasabnya bertemu
di Khalifah Idris tsani, untuk datang ke kota fes dan meredam
terjadinya revolusi, sehingga datanglah Ali bin umar bin idris ke kota
fes dan berhasil menguasainya, maka terputuslah silsilah kepemimpinan
daulah idrisiah dari jalur Muhammad bin idris tsani menjadi Umar bin
idris tsani penguasa kota Riff, dan pada masa yang lain beralih juga ke
al-Qosim bin idris al-zahid.
Namun sebelum seluruh penduduk Maroko ta'at terhadap kepemimpinan Ali
bin umar bin idris, datanglah Abdul Rozak al-fihri, ulama dari golongan
Shifriyah, salah golongan dari aliran khowarij untuk kembali menyerang
Ali bin Umar dengan di ikuti oleh masyarakat yang tunduk di bawahnya
yang berada di sekitar fes sehingga menjadikan Ali bin umar melarikan
diri menuju daerah Aurobbah.
Lalu ada sebagian dari penduduk fes yang mengutus delegasi mereka untuk
menghadap kepada Yahya bin Kosim bin Idris tsani yang masih saudara dari
Ali bin Umar agar berkenan datang ke fes untuk kembali memerangi Abdul
Rozak al-Fihri, dan setelah Yahya bin Idris tsani datang, masyarakat
dan orang-orang andalus dari daerah Ribbiddinpun bersama-sama
membai'atnya untuk berperang melawan Abdul Rozak al-Fihri dan memaksanya
untuk keluar dari tanah Maghrib dan Andalus, sehinga setelah itu Yahya
bin Idris tsani menghabiskan waktunya untuk memerangi kaum Khawarij
al-sifriyah sampai terjadi banyak sekali kejadian di antara dua pihak di
bawah kepemimpinan Yahya bin Qasim bin Idris tsani, sampai dia terbunuh
oleh Robi' bin sulaiman pada tahun 292 H.
Syekh Salawi berkata bahwa setelah kematian Yahya bin Muhammad bin Idris
tsani atau bisa di sebut juga Yahya I pada tahun 234 H, Sampai
kematian Yahya bin Qosim bin idris tsani atau bisa di sebut juga Yahya
III pada tahun 292 H, banyak sekali terjadi kejadian di Maghrib yang di
sebabkan oleh meluasnya kekacauan yang lebih di akibatkan oleh
peperangan antara keturunan Maulay Idris dan Khowarij al-Sifriah,
sehingga mempengaruhi kondisi perekonomian dan kemasyarakan daulah
Idrisiyah itu sendiri, di tambah lagi pada saat itu terjadi kekeringan,
tidak adanya makanan pokok dan banyaknya kematian yang belum pernah
terjadi sebelumnya, dan Pada tahun 267 H pernah juga terjadi gempa yang
sangat besar yang belum pernah terjadi sebelumnya sehingga berhasil
menghancurkan benteng, merobohkan dinding atap rumah dan meruntuhkan
batu batuan dari pegunungan yang menjadikan masyarakat menjauh dari kota
dan gempa itu pun terasa sampai ke daerah Andalus,Tilmisan Tanger dan
lain sekitarnya.
Pada tahun 267 H, Maghrib akhirnya mencapai tingkat kekacauan yang
paling akut yang menjadikan daulah Idrisiyah terpecah belah, sehingga
Ibnu Kholdun ssendiri, Sejarawan islam ternama yang berasal dari Maghrib
tidak mampu untuk menggambarkan permulaan dan berakhirnya dinasti
Idrisiyyah.
Yahya IV bin idris bin amr (292-310 H ).
Pada saat Yahya bin Qosim bin Idris tsani terbunuh, Yahya bin Idris bin
Amr bin Idris tsani menggantikan kekuasaanya setelah di baiat oleh
masyarakat, dan pada masanya dia berhasil memperluas kekuasaan ke
semua wilayah Maghrib bagian utara.
Yahya bin Idris bin Amr bin Idris tsani Atau bisa juga di sebut Yahya
IV, adalah pemimpin yang mampu untuk bersikap adil, pemberani,
bijaksana, tidak cinta kepada hal-hal materi dan kekutamaan-keutamaan
yang lainnya salah satunya adalah kealimannya dalam bidang fiqih, hadits
nabawi dan lain sebagainya. Dan Yahya IV berkuasa selama 15 tahun
sampai munculnya daulah Fathimiah di afrika pada akhir abat 3 H yang
berhasil menyebarkan pengaruh dan kekuasaanya di Maghrib.
Dan pada tahun 300 H pemimpin Bani Fathimiah yaitu Ubaidillah al-Mahdi
berhasil menguasai dan menundukkan Yahya IV, sehingga Yahya IV dengan
terpaksa meminta perdamaian dengan syarat yang siap untuk di
laksanakannya yaitu menyerahkan upeti dan bai'at kepada Abdullah al
Mahdi dan dari sinilah pengaruh daulah Fathimiah mulai meluas. Dan yahya
IV meninggal dunia pada tahun 332H setelah 20 tahun di kurung di dalam
penjara, dan ketika dia di kurung ini, al-Hassan bin Muhammad pun
menggantikannya dan berkuasa selama dua tahun (310-312).
Dan daulah idrisiyyah pun terus berjalan dengan berbagai macam masanya,
mulai dari masa keemasan dan masa keruntuhanya sehingga kerajaan ini pun
runtuh setelah berkuasa selama dua abad 3o tahun, (172-375).
Penguasa Dinasti Idrisiyyah
Idris I – (788–791)
Idris II – (791–828)
Muhammad bin Idris – (828–836)
Ali bin Muhammad dikenal sebagai "Ali I" – (836–848)
Yahya bin Muhammad, dikenal sebagai "Yahya I" – (848–864)
Yahya bin Yahya, dikenal sebagai "Yahya II" – (864–874)
Ali bin Umar, dikenal sebagai "Ali II" – (874–883)
Yahya bin Al-Qassim, dikenal sebagai "Yahya III" – (883–904)
Yahya bin Idris bin Umar, dikenal sebagai "Yahya IV" – (904–917)
Dibawah kekuasaan Fatimiyah – (917-925)
Al-Hajjam al-Hasan bin Muhammad bin al-Qassim – (925–927)
Al-Qasim Gannum – (937-948)
Abu al-Aisy Ahmad – (948-954)
Al-Hasan bin Guennoun, dikenal sebagai "Hassan II" – (954–974) (tidak terkait dengan Hassan II yang lahir pada tahun 1929)