Dinasti Fatimiyah adalah salah satu dari Dinasti Syiah dalam sejarah
Islam. Dinasti ini didirikan di Tunisia pada tahun 909 M. sebagai
tandingan bagi penguasa dunia muslim saat itu yang terpusat di Baghdad,
yaitu bani Abbasiyah. Dinasti Fatimiyah didirikan oleh Sa’id ibn Husain,
kemungkinan keturunan pendiri kedua sekte Islamiyah. Berakhirnya
kekuasaan Daulah Abbasiyah di awal abad kesembilan ditandai dengan
munculnya disintegrasi wilayah. Di berbagai daerah yang selama ini
dikuasai, menyatakan melepaskan diri dari kekuasaan pemerintah di
Baghdad dan membentuk daulah-daulah kecil yang berdiri sendiri (otonom).
Di bagian timur Baghdad, muncul dinasti Tahiriyah, Saariyah, Samaniyah,
Gasaniyah, Buwaihiyah, dan Bani Saljuk. Sementara ini di bagian barat,
muncul dinasti Idrisiyah, Aglabiyah, Tuluniyah, Fatimiyah, Ikhsidiyah,
dan Hamdaniyah.
Dinasti Fathimiyah adalah merupakan salah satu dinasti Islam yang pernah
ada dan juga memiliki andil dalam memperkaya khazanah sejarah peradaban
Islam. Sama halnya pengutusan Muhammad SAW sebagai Rasulullah telah
menoreh sejarah Islam, yang pada awalnya hanya merupakan bangsa
jahiliyah yang tidak mengenal kasih sayang dan saling menghormati.
Jikalau ditarik garis horizontal sejarah Islam, maka akan diketahuilah
bahwa dari sekian banyak sejarah peradaban Islam yang termaktub dalam
buku-buku sejarah peradaban banyak terjadi pertumpahan darah hanya demi
menegak dan mempertahankan kepemimpinan. Maka adalah sangat janggal jika
uraian makalah ini menganalisis persoalan sejarah dalam korelasi
hubungannya terhadap konsepsi teologi, karena substansi pembahasan
makalah ini, bukan untuk melihat sejarah masa lalu umat Islam yang mesti
diapresiasikan oleh umat masa kini dalam rangka menakar dogma teologis
ke arah yang lebih luas adan universal.
Fase pendirian Dinasti Fathimiyah.
Dinasti Fathimiyah berdiri pada tahun 297 H/910 M, dan berakhir pada
567H/1171 M yang pada awalnya hanya merupakan sebuah gerakan keagamaan
yang berkedudukan di Afrika Utara, dan kemudian berpindah ke Mesir.
Dinasti ini dinisbatkan kepada Fatimah Zahra putri Nabi Muhammad SAW dan
sekaligus istri Ali bin Abi Thalib Radhiallahu anhu. Dan juga dinasti
ini mengklaim dirinya sebagai keturunan garis lurus dari pasangan Ali
bin Abi Thalib dengan Fatimah Zahra binti Rasulullah SAW. Namun masalah
nasab keturunan Fathimiyah ini masih dan terus menjadi perdebatan antara
para sejarawan. Dari dulu hingga sekarang belum ada kata kesepakatan
diantara para sejarawan mengenai nasab keturunan ini, hal ini disebabkan
beberapa faktor diantaranya ;
Pertama, pergolakan politik dan madzhab yang sangat kuat sejak wafatnya Rasulullah SAW.
Kedua, ketidakberanian dan keengganan keturunan Fatimiyah ini untuk
mengiklankan nasab mereka, karena takut kepada penguasa, ditambah lagi
penyembunyian nama-nama para pemimpin mereka sejak Muhammad bin Ismail
hingga Ubaidillah al Mahdi.
Dinasti Fatimiyah beraliran syiah Ismailiyah dan didirikan oleh Sa’id
bin Husain al Salamiyah yang bergelar Ubaidillah al Mahdi. Ubaidillah al
Mahdi berpindah dari Suria ke Afrika Utara karena propaganda Syiah di
daerah ini mendapat sambutan baik, terutama dari suku Barber Ketama.
Dengan dukungan suku ini, Ubaidillah al Mahdi menumbangkan gurbernur
Aglabiyah di Afrika, Rustamiyah Kharaji di Tahart, dan Idrisiyah Fez
dijadikan sebagai bawahan.
Pada awalnya, Syiah Ismailiyah tidak menampakkan gerakannya secara
jelas, baru pada masa Abdullah bin Maimun yang mentransformasikan ini
sebagai sebuah gerakan politik keagamaan, dengan tujuan menegakkan
kekuasaan Fatimiyah. Secara rahasia ia mengirimkan misionaris ke segala
penjuru wilayah muslim untuk menyebarkan ajaran Syiah Ismailiyah.
Kegiatan inilah yang pada akhirnya menjadi latar belakang berdirinya
dinasti Fatimiyah.
Para Penguasa Kekhalifaan Fatimiyah
Al-Mahdi (909-934)
Al-Qa’im (934-946)
Al-Manshur (946-952)
Al-Mu’izz (952-975)
Al-Aziz (975-996)
Al-Hakim (996-1021)
Al-Zhahir (1021-1035)
Al-Mustanshir (1035-1094)
Al-Musta’li (1094-1101)
Al-Amir (1101-1130)
Al-Hafizth (1130-1149)
Al-Zafir (1149-1154)
Al-Fa’iz (1154-1160)
Al-Adhid (1160-1171)
Pasca kematian Abdullah ibn Maimun, tampuk pimpinan dijabat oleh Abu
Abdullah al-Husain, melalui propagandanya ia mampu menarik simpati suku
Khitamah dari kalangan Berber yang bermukim didaerah Kagbyle untuk
menjadi pengikut setia. Dengan kekuatan ini, mereka menyeberang ke
Afrika Utara dan berhasil mengalahkan pasukan Ziyadat Allah selaku
Penguasa Afrika Utara saat itu.
Syi’ah Islamiyah mulai menampakkan kekuatannya setelah tampuk
Pemerintahan dijabat oleh Sa’id ibn Husain al-Islamiyah yang
menggantikan Abu Abdullah al-Husain. Di bawah kepemimpinannya, Syi’ah
Islamiyah berhasil menaklukkan Tunisia sebagai pusat kekusaan daulah
Aglabiyah pada tahun 909 M. Said memproklamasikan dirinya sebagai imam
dengan gelar Ubaidillaj al Mahdi.
Sa’id mengaku dirinya sebagai putera Muhammad al-Habib seorang cucu imam
Islamiyah. Namun kalangan Sunni berpendapat bahwa Sa’id berasal dari
keturunan Yahudi sehingga dinasti yang didirikannya pada awalnya disebut
dinasti Ubaidillah. Sementara Ibn Khaldun, Ibn al-Asir dan Philip K.
Hitti berpendapat bahwa Sa’id memang berasal dari garis keturunan
Fatimah puteri Nabi Muhammad SAW, yang bersambung garis keturunannya
hingga Husain bin Ali bin Abi Thalib.
Ubaidillah merupakan khalifah pertama daulah Fatimiyah. Ia memerintah
selama lebih kurang 25 tahun (904-934 M). Dalam masa pemerintahannya,
al-Mahdi melakukan perluasan wilayah kekuasaan ke seluruh Afrika,
meliputi Maroko, Mesir, Multa, Alexandria, Sardania, Corsica, dan
balerick. Pada 904 M, Kahalifah al-Mahdi mendirikan kota baru dipantai
Tunisia yang diberi nama kota Mahdiyah yang didirikan sebagai ibukota
pemerintahan
Di Afrika Utara kekuasaan mereka segera menjadi besar. Pada tahun 909
mereka dapat menguasai dinasti Rustamiyah dan Tahert serta menyerang
bani Idris di Maroko. Pekerjaan daulah Fatimiyah yang pertama adalah
mengambil kepercayaan ummat Islam bahwa mereka adalah keturunan Fatimah
binti Rasulullah dan istri dari Ali bin Abu Muthalib.
Daulah Fatimiyah memasuki era kejayaan pada masa pemerintahan Abu Tamin
Ma’Abu Daud yang bergelar al-Mu’iz (953-997). Al-Mu’iz behasil
menaklukkan Mesir dan memindahkan pemerintahan ke Mesir. Pada masa ini
rakyat merasakan kehidupan yang makmur dan sejahtera dengan
kebijakan-kebijakan untuk mensejahterakan rakyatnya. Indikatornya adalah
banyaknya bangunan fisik seperti Mesjid, Rumah sakit, Penginapan, jalan
utama yang dilengkapi lampu dan pusat perbelanjaan. Pada masa ini pula
berkembang berbagai jenis perusahaan dan kerajinan seperti tenunan,
kermik, perhiasan emas, dan perak, peralatan kaca, ramuan, obat-obatan.
Kesuksesan lainnya adalah dalam bidang pengembangan ilmu pengetahuan.
Besarnya minat masyarakat kepada ilmu pengetahuan mendapat dukungan
penguasa dengan membangun Dar al-Hikmah pada tahun 1005 M dan perguruan
tinggi al-Azhar (yang sebelumnya adalah bangunan masjid), yang
mengajarkan ilmu kedokteran, Fiqh, Tauhid, Al-Bayan, Bahasa Arab,
Mantiq, dan sebagainya.
Perkembangan dan kemajuan Dinasti Fatimiyah.
Pada masa pemerintahan Fatimiyah, persoalan agama dan negara tidak dapat
dipisahkan. Agama dipandang sebagai pilar utama dalam menegakkan
daulah/negara. Untuk itu, pemerintah Fatimiyah sangat memperhatikan
masalah keberagamaan masyarakat meskipun mereka berstatus sebagai warga
negara kelas dua seperti orang Yahudi, Nasrani, Turki, Sudan.
Mayoritas khalifah Fatimiyah bersikap moderat, bahkan penuh perhatian
terhadap urusan agama non muslim sehingga orang-orang Kristen Kopti
Armenia tidak pernah merasakan kemurahan dan keramahan selain dari
pemerintahan Muslim. Banyak orang Kristen, seperti al-Barmaki, yang
diangkat jadi pejabat pemerintah dan rumah ibadah mereka dipugar oleh
pemerintah.
Akan tetapi, Kemurahan hati yang ditampilkan Khalifah Fatimiyah terhadap
orang Kristen tidak urung menimbulkan isu negatif. Al-Mu’iz yang
dikenal dengan kewarakan dan ketaqwaannya diisukan telah murtad, mati
sebagai orang Kristen dan dikubur di gereja Abu Siffin di Mesir kuno.
Namun, menurut Hasan, isu tersebut tidak benar sebab tidak ada sejarawan
yang menyebutkan seperti itu, dan hanya cerita karangan (Khurafat) yang
sengaja dienduskan oleh orang-orang yang tidak senang kepadanya
termasuk dari sisa-sisa penguasa Abbasiyah yang sengaja ingin melemahkan
kekuatan Fatimiyah.
Sementara itu, agama yang didakwahkan Fatimiyah adalah ajaran Islam,
menurut pemahaman Syi’ah Islamiyah yang ditetapkan sebagai mazhab
negara. Untuk itu, para missionaris daulah Fatimiyah sangat gencar
mengembangkan ajaran tersebut dan berhasil meraih pengikut yang banyak
sehingga masa kekuasaan daulah Fatimiyah dipandang sebagai era
kebangkitan dan kemajuan mazhab Islamiyah.
Meskipun para Khalifah berjiwa moderat, akan tetapi terhadap orang yang
tidak mau mengakui ajaran Syi’ah Islamiyah langsung dihukum bunuh. Pada
tahun 391 H khalifah al-Hakim membunuh seorang laki-laki yang tidak mau
mengakui keutamaan/fadhilah Ali bin Abi Thalib, dan di tahun 395 H,
al-Hakim juga memerintahkan agar di mesjid, pasar dan jalan-jalan
ditempelkan tulisan yang mencela para sahabat.
Jelasnya peranan agama sangat diperhatikan sekali oleh penguasa untuk
tujuan mempertahankan kekuasaan. Buktinya, sikap tegas khalifah
Fatimiyah terhadap orang yang tidak mau mengakui mazhab Isma’iliyah
dapat berupa apabila sikap seperti dapat berakibat munculnya
instabilitas negara. Al-Hakim misalnya, agar terjalin hubungan yang baik
dengan rakyatnya yang berpaham sunni, al-Hakim mulai bersikap lunak
dengan menetapkan larangan mencela sahabat khususnya khalifah Abu Bakar
dan Umar. Al-Hakim juga membangun sebuah madrasah yang khusus
mengajarkan paham sunni, memberikan bantuan buku-buku bermutu sehingga
warga Syi’ah ketika merasa senang sebab merasakan tengah hidup dikawasan
sunni.
Sikap yang diambil para khalifah Fatimiyah tidak sekejam yang dilakukan
Abdullah al-Saffah yang berusaha mengikis habis siapa-siapa pengikut
Bani Ummayyah di awal masa kekuasaannya. Dalam hal ini para khalifah
Fatimiyah memberlakukan masyarakat secara sama selama mereka bersedia
mengikuti ajaran Syi’ah Isma’iliyah yang merupakan madzhab negara.
Ketidak senangan khalifah Fatimiyah kepada Abbasiyah tidak menunjukkan
dalam bentuk kekerasan. Hanya saja, Khalifah Fatimiyah melarang
menyebut-nyebut bani Abbasiyah dalam setiap khutbah jum’at dan
mengharamkan pemakain jubah hitam serta atribut bani Abbasiyah lainnya.
Pakaian yang dipakai untuk khutbah adalah berwarna putih.
Meskipun al-Mu’iz menuntaskan pemberontakan, akan tetapi ia akan selalu
menempuh jalan damai terhadap pera pemimpin dengan Gubernur dengan
menjanjikan penghargaan kepada yang bersedia menunjukkan loyalitasnya.
Banyak diantara para Gubernur yang bersedia mengikuti mazhab
Isma’iliyah, padahal mereka sebelumnya adalah Gubernur yang diangkat
khalifah Abbasiyah. Sikap mereka ini juga dilakukan oleh penganut Yahudi
dan Nasrani. Mereka bersedia masuk Islam dan menganut mazhab
Isma’iliyah ketika mereka ditawarkan memegang jabatan tertentu didalam
pemerintahan.
Tindakan tegas dalam bentuk pemberian hukum bunuh baru dilakukan
terhadap orang yang menolak paham Isma’iliyah. Hanya satu peristiwa yang
diambil tindakan tegas terhadap orang yang tidak mau mengikuti faham
Isma’iliyah, yaitu ketika raja muda Zarida di Afrika yang bernama Mu’iz
ibn Badis menghina dinasti Fatimiyah dengan tidak menyebut-nyebut nama
khalifah Fatimiyah al-Muntasir pada saat khutbah jum’at melainkan
menyebut-nyebut nama khalifah Abbasiyah. Tidak diambinya tindakan tegas
dikarenakan al-Muntasir lebih tertarik pada pemberontakan Al-Bassasiri
terhadap pemerintahaan Abbasiyah. Momen ini dinilai al-Muntasir sebgai
kesempatan untuk menegakkan kembali kekuasaannya di Asia Barat setelah
Tughril menegakkan kekuasaan Abbasiyah di wilayah itu.
Dalam bidang administrasi pemerintahan tidak benyak berubah. Sistem
administrasi yang dikembangkan khalifah Abbasiyah masih tyerus saja
dipraktekkan. Khalifah menjabat sebagai kepala negara baik dalam urusan
keduniaan maupun dalam urusan spritual. Ia berwenang mengangkat
sekaligus menghentikan jabatan-jabatan di bawahnya. Selain itu
sakralisasi khalifah yang muncul di masa pemerintahan Abbasiyah masih
tetap dipertahankan yang indikatornya dapat dilihat dari gelar yang
disandang para khalifah Fatimiyah seperti al-Mu’iz dinillah, al-Aziz
billah, al-Hakim bin Amrullah dan sebagainya.
Ada tiga hal yang dapat disoroti mengenai perkembangan dan kemajuan yang dicapai pada masa Dinasti Fatimiyah berkuasa yakni :
Kemajuan Administrasi Pemerintahan
pengelolaan negara yang dilakukan Dinasti Fatimiyah ialah
denganmengangkat para menteri. Dinasti Fatimiyah membagi kementrian
menjadi dua kelompok. Pertama kelompok militer yang terdiri dari tiga
jabatan pokok
Pejabat militer dan pengawal khalifah
Petugas keamanan
Resimen-resimen
yang kedua adalah kelompk sipil yang terdiri atas
Qadhi (Hakim dan direktur percetakan uang)
Ketua Dakwah yang memimpin pengajian
Inspektur pasar (pengawas pasar, jalan, timbangan dan takaran)
Bendaharawan negara (menangani Bait Maal
Kepala urusan rumah tangga raja
Petugas pembaca Al Qur'an, dan
Sekretaris berbagai Departemen
Selain pejabat pusat, disetiap daerah terdapat pejabat setingkat
guberbur yang diangkat oleh khalifah untuk mengelola daerahnya
masing-masing. Administrasi dikelola oleh pejabat setempat.
Ketika Al Muiz berhasil menguasai Mesir, di kawasan ini berkembang empat
madzhab Fikih : Maliki, Hanafi, Syafi’I, Hanbali, sedangkan Al Muiz
sendiri menganut madzhab Syiah. Dalam menyikapi hal ini Al Muiz
mengangkat hakim dari kalangan Sunni dan Syiah. Akan tetapi
jabatan-jabatan penting diserahkan kepada ulam Syiah sedangkan Sunni
hanya menduduki jabatan rendahan. Pada tahun 973 M, semua jabatan di
berbagai bidang politik, agama dan militer dipegang oleh Syiah. Oleh
karena itu sebagian pejabat Fathimiyah yang Sunni beralih ke Syiah
supaya jabatannya meningkat. Disisi lain al Muiz membangun toleransi
agama sehingga pemeluk agama lain seperti Kristen diperlakukan dengan
baik dan diantara mereka diangkat menjadi pejabat istana.
Dari mesir Dinasti Fatimiyah tumbuh semakin luas sampai ke Palestina,
dan kemudian propaganda Syiah Ismailiyah semakin tersebar luas melalui
sebuah gerakan agen rahasia.
Perkembangan ilmu pengetahuan
Dinasti Fatimiyah memiliki perhatian besar terhadap ilmu pengetahuan.
Fatimiyah membangun masjid Al Azhar yang akhirnya di dalamnya terdapat
kegiatan-kegiatan pengembangan ilmu pengetahuan sehingga berdirilah
Universitas Al Azhar yang nantinya menjadi salah satu perguruan Islam
tertua yang dibanggakan oleh ulama Sunni. Al Hakim berhasil mendirikan
Daar al Hikmah, perguruan Islam yang sejajar dengan lembaga pendidikan
Kordova dan Baghdad. Perpustakaan Daar al Ulum digabungkann dengan Daar
al Himmah yang berisi berbagai buku ilmu pengetahuan. Beberapa ulama
yang muncul pada saat itu adalah sebagai berikut:
Muhammad al Tamimi (ahli Fisika dan Kedokteran)
Al Kindi (ahli sejarah dan filsafat)
Al nu’man (ahli hukum dan menjabat sebagai hakim)
Ali bin Yunus (ahli Astronomi)
Ali Al Hasan bin al Khaitami (ahli Fisika dan Optik)
Disamping itu kemajuan bangunan fisik sungguh luar biasa.
Indikasi-indikasi kemajuan tersebut dapat diketahui dari banyaknya
bangunan-bangunan yang dibangun berupa masjid-masjid, universitas, rumah
sakit dan penginapan megah. Jalan-jalan utama dibangun dan dilengkapi
dengan lampu warna-warni, dalam bidang industri telah dicapai kemajuan
besar khususnya yang berkaitan dengan militer seperti alat-alat perang,
kapal dan sebagainya.
Puncak Kejayaan Dinasti Fatimiyah.
Sepanjang kekuasaan Abu Mansyur Nizar al-Aziz (975-996), Kerajaan Mesir
Senantiasa diliputi kedamaian. Ia adalah khalifah Fatimiyah yang kelima
dan khalifah pertama yang memulai pemerintahan di Mesir. Dibawah
kekuasaannyalah dinasti Fatimiyah mencapai puncak kejayaannya. Nama sang
khalifah selalu disebutkan dalam khutbah-khutbah jum’at disepanjang
wilayah kekuasaanya yang berbentang dari Atlantik hingga laut Merah,
juga di mesjid-mesjid Yaman, Mekkah, Damaskus, Bahkan di Mosul. Kalau
dihitung-hitung, kekuasannya meliputi wilayah yang sangat luas.
Di bawah kekuasaannya kekhalifahan Mesir tidak hanya menjadi lawan
tangguh bagi kekhalifaan di Baghdad, tapi bisa dikatakan bahwa
kekhalifaan itu telah menenggelamkan penguasa Baghdad dan ia berhasil
menempatkan kekhalifaan Fatimiyah sebagai negara Islam terbesar di
kawasan Meditera Timur. Al-Aziz menghabiskan dua juta dinar untuk
membangun istana yang dibangun menyaingi istana Abbasiyah, musuhnya yang
diharapkan akan dikuasai setelah Baghdad berhasil ditaklukkan. Seperti
pendahulunya ia melirik wilayah Spanyol, tetapi khalifah Kordova yang
percaya diri itu ketika menerima surat yang pedas dari raja Fatimiyah
memberikan balasan tegas dengan berkata, “Engkau meremehkan kami karena
kau telah mendengar tentang kami. Jika kami mendengar apa yang telah dan
akan kau lakukan kami akan membalasnya”.
Bisa dikatakan bahwa diantara para khalifah Fatimiyah khalifah Al-Aziz
adalah khalifah yang paling bijaksana dan paling murah hati. Dia hidup
di kota Kairo yang mewah dan cemerlang, dikelilingi beberapa mesjid,
istana, jembatan, dan kanal-kanal yang baru, serta memberikan toleransi
yang terbatas kepada umat Kristen, sesuatu yang tidak pernah mereka
rasakan sebelumnya. Sikap dan prilakunya ini tidak pelak lagi
dipengaruhi oleh wazirnya yang beragama Kristen “Isa ibn Nasthir” dan
isterinya yang berasal dari Rusia, ibu dari anak laki-laki dan
pewarisnya, Al-Hakim, saudara perempuan dari dua bangsawan keluarga
Melkis yang berkuasa di Iskandariyah dan Yerussalem.
Dalam masa kejayaan ini tergores sejarah yang menunjukkan kegemilangan
Fatimiyah bahwa salah satu golongan sekte syiah yang bernama Qaramithah
(Carmatian) yang dibentuk oleh Hamdan Ibnu Qarmat di akhir abad IX,
menyerang Makkah pada tahun 951 M dan merampas Hajar Aswad dengan
mencurinya selama dua puluh tahun. Hal ini disebabkan mereka meyakini
bahwa hajar aswad adalah merupakan sumber takahayul. Gerakan ini
menentang pemerintahan Pusat Bani Abbas, namun Hajar Aswad ini akhirnya
dikembalikan oleh Bani Fathimiyah setelah didesak oleh kalifah Al Mansur
pada tahun 951 M.
Masa Kemunduran dan Runtuhnya Daulah Fatimiyah.
Gejala-gejala yang menunjukkan kemunduran dinasti Fatimiyah telah
terlihat Dipenghujung masa pemerintahan Al-Aziz namun baru kelihatan
wujudnya pada masa pemerintahan al-Muntasir yang terus berlanjut hingga
berakhirnya kekuasaan adalah Fatimiyah pada masa pemerintahan al-Adid
567 H / 1171 M.
Adapun faktor yang menyebabkan kemunduran dan runtuhnya daulah Fatimiyah
dapat diklarifikasikan kepada faktor internal dan eksterna:
Faktor Internal
Faktor internal yang paling signifikan dalam menghantarkan kemunduran
daulah Fatimiyah adalah di karenakan lemahnya kekuasaan pemerintah.
Menurut Ibrahim Hasan, para khalifah tidak lagi memiliki semangat juang
yang tinggi seperti yang ditunjukkan para pendahulu mereka ketika
mengalahkan tentara Berber di Qairawan. Kehidupan para khalifah yang
bermewah-mewah merupakan penyebab utama hilangnya semangat untuk
melakukan ekspansi.
Selain itu, para khalifah kurang cakap dan memerintah sehingga roda
pemerintahan tidak bejalan secara efektif, ketidak efektifan ini
dikarenakan khalifah yang diangkat banyak yang masih berusia relatif
muda sehingga kurang cakap dalm mengambil kebijakan . Tragisnya mereka
ibarat boneka ditangan para wajir karena peranan wajir begitu dominan
dalam mengatur pemerintahan.
Fenomena ini muncul pasca wafatnya al-Aziz, setelah al-Aziz wafat ia
digantikan puternya bernama Abu Mansur al-Hakim yang pada saat
pengangkatannya masih berusia 11 tahun. Kebijakan dalam pemerintahannya
sangat tergantung kepada keputusan Gubernur bernama Barjawan yang
meskipun pada akhirnya dihukum al-hakim karena penyalahgunaan kekuasaan.
Bukti lain ketidak cakapan khalifah adalah munculnya perlawanan orang
Kristen terhadap penguasa. Perlawanan ini muncul dikarenakan orang
Kristen tidak senang dengan maklumat al-Hakim yang dianggap
menghilangkan hak-hak mereka sebagai warga negara. Maklumat tersebut
berisikan tiga alternatif pilihan yang berat bagi orang Kristen. Masuk
Islam, atau meninggalkan tanah air, atau berkalung salib sebagai simbol
kehancuran.
Setelah al-Hakim wafat, ia digantikan puteranya bernama Abu Hasyim Ali
yang bergelar al-Zahir. Pada saat pengangkatannya al-Zahir masih berusia
16 tahun dan kebijakan pemerintahan berada ditangan bibinya bernama
Siti al-Mulk, sepeninggalan bibinya al-Zahir menjadi raja boneka
ditangan para wajirnya.
Pengangkatan khalifah dalam usia relatif muda masih terus berlanjut
hingga masa akhir pemerintahan daulah Fatimiyah, bahkan khalifah ke tiga
belas yang bernam al-Faiz dinobatkan pada saat masih balita nanun
keburu meninggal dunia sebelum berusia dewasa. Sementara khalifah
terakhir bernam al-Adid dinobatkan disaat berusia sembilan tahun.
Faktor lainnya diperparah oleh peristiwa alam. Wabah penyakit dan
kemarau panjang sehingga sunagi Nil kering, menjadi sebab perang
saudara. Setelah meninggal Abu Tamim Ma’ad al Muntashir diganti oleh
anaknya al Musta’li. Akan tetapi Nizar, (anak Abu Tamim Ma’ad yang
tertua) melarikan diri ke Iskandariyah dan menyatakan diri sebagai
khalifah. Oleh sebab ini fatimiyah terpecah menjadi dua.
Selain itu, faktor internal lainnya sebagai penyebab kehancuran daulah
Fatimiyah adalah persaingan dalam memperoleh jabatan dikalangan wajir.
Pada masa al-Adid sebagai khalifah terakhir misalnya, terjadi persaingan
antara Abu Sujak Syawar dan Dargam untuk merebutkan jabatan wajir yang
akhirnya dimenangkan Dargam. Karena sakit hati, Syawar meminta bantuan
Nuruddin al-Zanki untuk memulihkan kekuasannya di Mesir, jika berhasil
ia berjanji untuk menyerahkan sepertiga hasil penerimaan negara
kepadanya.
Tawaran ini diterima Nur al-Din, lalu ia mengutus pasukan dibawah
pimpinan Syirkuh dan keponakannya Salah al-Din al-Ayyubi. Pasukan ini
mampu mengalahkan Dargam sehingga Syawar kembali memangku jabatan wazir
dan memenuhi janjinya kepada Nur al-Din.
Perebutan kekuasaan ditingkat wazir ini merupakan awal munculnya
kekuasaan asing yang pada akhirnya mampu merebut kekuasaan dari tangan
daulah Fatimiyah dan membentuk dinasti baru bernama Ayyubiyah.
Faktor Eksternal
Adapun faktor eksternal yang menjadi penyebab runruhnya daulah Fatimiyah
adalah menguatnya kekuasaan Nur al-Din al-Zanki di Mesir. Nur al-Zanki
adalah Gubernur Syiria yang masih berada di bawah kekuasaan Bani
Abbasiyah. Popularitas al-Zanki menonjol pada saat ia mampu mengalahkan
pasukan salib atas permohonan khalifah al-Zafir yang tidak mampu
mengalahkan tentara salib.
Dikarenakan rasa cemburunya kepada Syirkuh yang memiliki pengaruh kuat
di istana dianggap sebagai saingan yang akan merebut kekuasaannya
sebagai wazir, syawar melakukan perlawanan. Agar mampu menguat
kekuasannya, Syawar meminta bantuan tentara Salabiyah dan menawarkan
janji seperti yang dilakukannya terhadap Nural-Din.
Tawaran ini diterima King Almeric selaku panglima perang salib dan
melihatnya sebagai suatu kesempatan untuk dapat menaklukkan Mesir.
Pertempuran pun pecah di Pelusium dan pasukan Syirkuh dapat mengalahkan
pasukan salib.Syawar sendiri dapat ditangkap dan dihukum bunuh dengan
memenggal kepalanya atas perintah khalifah Fatimiyah.
Dengan kemenangan ini, maka Syirkuh dinobatkan menjadi wazir dan pada tahun
565 H / 1117 M. setelah Syirkuh wafat, jabatan wazir diserahkan kepada
Salah al-Din Ayyubi. Selanjutnya Salah al-Din mengambil kekuasaan
sebagai khalifah setelah al-Adid wafat. Dengan berkuasanya Salah al-Din,
maka diumumkan bahwa kekuasaan daulah Fatimiyah berakhir. Dan membentuk
dinasti Ayyubiyah serta merubah orientasinya dari paham syi’ah ke
sunni.
Khalifah Fatimiyah berakhir pada tahun 567 H / 1117 M. Untuk
mengantipasi perlawanan dari kalangan Fatimiyah, Salah al-Din membangun
benteng bukit di Muqattam dan dijadikan sebagai pusat pemerintahan dan
militer. Yang kini bangunan benteng tersebut masih berdiri kokoh di
kawasan pusat Mishral qadim (Mesir lama) yang terletak tidak jauh dari
Universitas dan juga dekat dengan perumahan Mahasiswa Asia di Qatamiyah.
Daulah Fatimiyah merupakan salah satu imperium besar sepanjang sejarah
Islam. Pada awalnya, daulah ini hanya berupa dinasti kecil yang
melepaskan diri dari kekuasaan daulah Abbasiyah. Mereka mampu memerintah
lebih dua abad sebelum ditaklukkan oleh dinasti Ayyubiyah dibawah
kepemimpinan Salah al-Din al-Ayyubi.
Dalam masa pemerintahannya, Dinasti Fatimiyahsangat konsern dengan
pengembangan paham Syi’ah Isma’iliyah. Untuk kesuksesannya, mereka
mewajibkan seluruh aparat di jajaran pemerintahan dan warga masyarakat
untuk menganut paham tersebut. Upaya ini cukup berhasil yang ditandai
dengan banyaknya masyarakat yang bersedia menerimanya meskipun berasal
dari non muslim.
Kemunduran daulah Fatimiyah dikarenakan tidak efektifnya kekuasaan
pemerintah dikarenakan pra khalifah hanya sebagai raja boneka sebab roda
pemerintah didominasi oleh kebijakan para wazir sementara khalifah
hanya hidup menikmati kekuasaannya di istana nya yang megah.