Rabu, 25 November 2020

Legenda Manusia Harimau Gunung Dempo


Gunung Dempo (3159 mdpl) terletak di perbatasan provinsi Sumatera Selatan dan provinsi Bengkulu tepatnya di kota dingin penghasil kopi robusta yang terkenal enak, yaitu Kota Pagaralam. Gunung Dempo terletak di kota Pagaralam, dengan jarak tempuh darat sekitar 7 jam dariPalembang, ibukota provinsi Sumatera Selatan.

Sesuai dengan namanya, Kota Pagaralam dikelilingi oleh pegunungan Bukit Barisan dan yang tertinggi adalah Gunung Dempo.

Untuk mencapai lokasi, dari terminal Pagar Alam terlebih dulu mencarter mobil/taksi jurusan Pabrik Teh PTPN VII Persero yang jaraknya mencapai 8 km dari terminal. Mobil carteran akan tiba ke desa terdekat dari puncak gunung Dempo bernama Kampung 4 yang dapat memakan waktu lebih dari 20 menit karena jalannya cukup terjal dan berkelok melewati hamparan kebun teh hijau. Dari sana, proses pendakian dapat dimulai.

Pada hari-hari biasa di Gunung Dempo dapat ditemui banyak orang yang sengaja naik ke puncak utuk mencari kayu atau sekedar berhiking. Adapun wisatawan yang sengaja menyambangi pintu pendakian dengan hanya untuk berwisata di lerang gunung Dempo.

Meski gunung ini cukup tinggi terdapat air jernih yang dapat ditemui sampai setengah perjalanan, sehingga para pendaki tidak perlu khawatir kehabisan air minum selama perjalanan. Sebuah sungai kecil yang jernih mengalir di perbatasan hutan pertanda kita mulai memasuki daerah hutan yang ditumbuhi dengan tumbuhan yang mirip seperti yang kita temui di gunung Gede-Pangrango, yaitu hutan montana. Jalan setapak penuh dengan akar-akar yang melintang, kemiringan lereng sendiri cukup curam untuk memeras keringat. Tidak ada tanda-tanda khusus, keadaan hutan ini hampir homogen dan sangat hening.

Empat atau lima jam perjalanan pendaki akan memasuki daerah dengan vegetasitumbuhan berpohon rendah dan semakin rendah, beberapa daerah agak terbuka, pandangan pun menjadi luas. Gunung Dempo memiliki dua puncak yang satunya bernama Puncak Api. Menjelang puncak pertama Dempo yang merupakan dataran masif. Puncak pertama ditumbuhi tanaman yang rendah mirip perdu. Dari puncak pertama ini turun kembali ke lembah yang diapit oleh puncak pertama dan puncak utama. Di lembah ini terdapat sebuah sumber mata air mengalir. Hanya air jernih ini sedikit kecut rasanya, mungkin pengaruh rembesan belerang. Dilembah inilah juga para pendaki dapat mendirikan tenda sebagai camp pendakian.

Pendakian kepuncak utama tidak terlalu sulit. Lerengnya terdiri dari kerikil dan batu-batu dengan kemiringan lereng sekitar 40°, cukup stabil untuk didaki. Puncak utama gunung Dempo (3159 m), merupakan kawah gunung berapi yang masih bergejolak dengan diameter sekitar seratus meter persegi. Dinding kawah cukup terjal dan tidak mungkin bisa dituruni tanpa peralatan yang memadai. Pemandangan dari puncak cukup mengasyikan. Jika tidak tertutup awan, pandangan akan lepas memandang daratan bengkulu jika menghadap arah selatan. Selain kawah yang memberikan kesan khusus, tampak juga terhamparan provinsi Bengkulu dengan Lautan Hindia dengan hamparan lembah yang sunyi dan hening. Perjalanan turun hanya memakan waktu dua jam jika anda berlari. Namun, lebih dianjurkan untuk menuruni Dempo dengan berhati-hati. ini akan memakan waktu sekitar lima tingga enam jam. Bila tidak memungkinkan untuk kembali ke kota, anda bisa menginap di Dusun IV, dengan terlebih dahulu minta izin kepala keamanan di sana. Jika Anda ingin mendaki Gunung Dempo dan belum pernah mendakinya. Anda Bisa Menyewa Guide yang Bernama Iwang Welly Anggoro ‎yang Tinggal Di Kp 1 Gunung Dempo.

Legenda Manusia Harimau 

Telah banyak lagenda yang kita dengar tentang manusia jadi-jadian (Jelmaan) Harimau yang sakti mandraguna. Memiliki kekuatan dahsyat bahkan dapat menghindar dari terjangan senjata tajam. Belum lama ini kita menyeksikkan sebuah tayangan dari salah satu stasiun TV di Jakarta yang menayangkan tentang penampakan manusia-manusia jadi-jadian itu. Bagai manakah cerita lagenda itu sebenarnya? 

Penulis berusaha menguak misteri dan sempat mewawancarai beberapa orang yang dinilai cukup mengetahui (berkompeten) untuk menceritakan kembali tentang seluk-beluk kejadian manusia Harimau tersebut, berikut penuturan mereka: 

Kisah manusia Harimau berawal dari sebuah tarian Ulu yaitu silat Harimau, silat ini bernuansa magis, dan tidak semua dan sembarangan orang yang dapat terpilih, kendati yang mengikuti latihan silat tersebut dalam jumlah banyak. Namun yang terpilih langsung mendapatkan wangsit dari Suhu (Guru besar yang memiliki langsung Ilmu Harimau) yang berada di Gunung Dempo. Lantas yang menjadi pertanyaan kita adalah siapa Suhu itu sebenarnya? Manusia (Puyang) ataukah mahluk haluskah (Dedemit)? Misteri ini hingga kini belum terjawab.

Memang hal-hal yang berbau mistik sukar dinalar secara ilmiah, namun fakta menunjukkan dan membuktikan bahwa kekuatan spritual itu memang ada. Mereka yang terpilih (memiliki ilmu Harimau) itu dapat dibuktikan secara kasab mata. Sebelum kita masuk kedalam cerita silat Ulu atau silat Harimau, tak salahnya kalau kita mengamati terlebih dahulu bagai mana kondisi di puncak Gunung Dempo tersebut. 

Gunung Dempo. 

Gunung Dempo memiliki ketinggian lebih kurang 3.159 meter dari permukaan laut (dpl), iklim berkabut, dengan suhu dipuncak gunung mencapai dibawah 1 – 3 derajat Celcius. Selain itu dipuncak masih terdapat beberapa kawah dan diantaranya, airnya dapat diminum langsung. Salah satu keunikkan ciptaan ilahi ini adakah terdapat pohon kayu Panjang Umur, yang tertanam secara rapih dan tertata dengan jarak antara pohon sepanjang 2 meter, dan bila tumbuh kurang dari itu, tanam itu akan mati dengan sendirinya. 

Tentu, sepintas lalu kita akan mengatakan bahwa tanaman ini ada orang yang menanam, merawat dan memeliharanya, karena tanaman itu tertata dengan baik, bagaikan sebuah perkebunan. Jawabannya tidak, tumbuh-tumbuhan itu tertata dengan sendirinya secara alamiah. Konon katanya, kayu Panjang Umur inilah yang selalu dibawak oleh sangmurid yang berhasil menuntut ilmu (Wisudawan) Harimau ini, disamping beberapa ranting kayu lainnya.

Tanaman lainnya adalah pohon Kayu Api, dipuncak gunung Dempo anda tidak akan mampu memasak air dengan menggunakan kompor minyak atau kompor gas. Karena air tidak akan masak dan mendidih disana kecuali anda menggunakan Kayu Api, yaitu kayu hijau sebangsa tanaman yang masih basah dan bila kayunya digesek-gesekkan akan mengeluarkan api. Dengan menggunakan kayu api inilah anda akan dapat memasak air dan nasi dipuncak gunung itu.

Kayu Api (Tanaman basah) ini didalam Al-Quran disebut sebagai mana Firman Allah swt dalam surat Yaa siin 80 : 

الذى جعل لكم من الشجر الخضر نارا فإذا انتم منه توقدون

Al Ladzii Ja’ala Lakum Minasy Syajaril Akhdari Naaran Faidzaa Antum Minhu Tuuqiduun. Artinya : Yaitu Allah swt yang menjadikan api untukmu dari kayu yang hijau. Lalu dari kayu itu kamu dapat menyalakan api. Maha benar Allah dengan segala firmannya.

Allah telah membuktikan semua kebenaran ayat-ayatnya itu, kepada kita orang-orang yang berakal. Dipuncak gunung Dempo Allah memperlihatkan kebenaran ayatnya Kayu Api meskipun basah namun dapat mengeluarkan api dan dapat digunakan untuk memasak pada suhu dibawah nol derajat. 

Ritual silat. 

Biasanya ritual silat diadakan di luar desa atau ditempat yang sudah ditentukan oleh sang pawang, dan jumlah peserta yang akan mengikuti ritual silat biasanya diperkirakan sekitar antara 15 – 25 orang. Ritual ditata sedemikian rupa dengan berbagai sesajenan dan membakar kemenyan atau dupa. 

Selain itu di dalam arena silat telah pula disediakan sebuah pintu yang nantinya akan digunakan bagi mereka yang mendapatkan titisan wangsit (lulus ritual) dipanggil ke Gunung Dempo, mereka yang berangkat dan terpilih itu biasanya tidak lebih dari dua orang dari peserta ritual yang ada. 

Para calon pendekar itu berangkat dengan mengendarai seekor Harimau (menunggangi Harimau), dan dengan sekejap mata pula mereka telah tiba di padepokan sang Guru Besar (dalam bahasa China sering disebut Suhu) yang berdiam (bersemedi) di puncak Gunung Dempo tersebut. Ritual seperti ini umumnya berlaku di wilayah Kabupaten Bengkulu Utara, Mukomuko, Seluma, Bengkulu Selatan, Kaur dan Krui, untuk lulus menjadi seorang sakti mandraguna.

Mereka yang lulus dan diakui sebagai murid dari perguruan ini (setelah pulang dari Gunung Dempo), biasanya membawa oleh-oleh kayu Panjang Umur dan berbagai ranting kayu lainnya. Oleh-oleh ini sebagai bukti bahwa murid yang bersangkutan benar-benar telah sampai menemui sang Suhu di puncak gunung tersebut. 

Berbeda halnya dengan ritual yang dilakukan di daerah Kabupaten Pagar Alam (salah satu daerah yang berada dikaki Gunung Dempo), untuk menjadi murid dari perguruan silat Harimau (silat Ulu), tidaklah begitu sulit. Seseorang cukup mengikuti ritual yang diiringi berbagai tetabuhan gendang. Suara gendang akan semakin kencang (keras) terdengar bila ada diantara peserta ritual silat yang diketahui berangkat (dipanggil) ke Gunung Dempo oleh sang Guru Besar. 

Suara tetabuhan ini konon tidak boleh berhenti dan harus semakin kencang, karena dikhawatirkan sang murid yang berangkat tidak tahu arah pulang kembali ke- arena silat. Sementara murit-murit lainnya yang belum terpilih semakin giat berlatih seakan-akan kesurupan (kesetanan). 

Menurut penuturan mereka, ilmu silat Harimau sangat ampuh, jika dibandingkan dengan ilmu silat-silat lainnya, silat Harimau bermain dibawah (rendah) bagaikan Harimau yang sedang mengendap-endap akan menerkam musuh atau mangsanya. 

Selain itu keunikan silat Ulu ini adalah dapat menggunakan setiap ruas tubuh (badan manusia) untuk digunakan (dijadikan) sebagai senjata yang dapat mematikan (ampuh), itulah rahasia ilmu silat Harimau, ungkap para murid. 

Kesaktian. 

Kesaktian apa saja yang dimiliki mereka ? , peserta pelatihan silat terbagi dalam dua kelompok, pertama mereka yang hanya mendapatkan pelajaran ilmu silat Harimau, dan kedua mereka yang mendapatkan ilmu silat Harimau dan sekaligus dapat menyembuhkan berbagai penyakit (Dukun sakti mandraguna). 

Mereka ini adalah orang yang diakui sebagai murid langsung dari sang Guru Besar yang berada di Gunung Dempo, dan memiliki ilmu magis yang tinggi. Selain itu mereka dapat berkomunikasi dalam jarak jauh (Telepati) sesama mereka dimanapun mereka berada, dan dalam jarak jauh sekalipun (diseberang lautan).

Manusia harimau dapat berjalan dengan cepat, bagaikan kilat. Karena itu pada zaman revolusi 1945 banyak pemuda-pemuda yang menekuni ilmu Harimau ini. Konon katanya, musuh tidak dapat mengejar dan sulit untuk menemui mereka, jumlah mereka yang menuntut ilmu ini semakin lama semakin berkurang sesuai dengan kemajuan zaman. Generasi muda lebih senang duduk dibangku sekolah dari pada duduk dipuncak gunung. 

Sebenarnya ada alasan lain yang lebih tepat yaitu adanya perkembangan pesat agama Islam, sehingga telah membuat kepercayaan yang semula sycretisme (Hindhu-Bhudha) beralih kepada keyakinan agama Islam. 

Dalam agama Islam sendiri diajarkan sebagai mana Firman Allah swt dalam An-Nahl 100 dikatakan :

انما سلطانه على الذين يتولونه والذين هم به مشركون

In Namaa Sulthaanuhu ‘Alalladzii Nayatawal Launa Huu Walladziina hum Bihii Musyrikuun. Artinya : Kekuasaan satan itu terbatas hanya pada orang-orang yang mengambilnya menjadi pemimpin, dan orang-orang yang mempersekutukan Tuhan dengan dia. 

Jadi jelas bahwa orang-orang beriman yang benar-benar berserah diri kepada Allah swt, maka setan itu tidak akan mampu menggodanya, dan setan itu pasti akan kalah.

Dalam surat Yaa siin 60 Allah swt berfirman : 

ألم اعهد إليكم يابنى آدم لاتعبدالشيطان انه لكم عدومبين

Alam a’had ilaikum yaa Banii Aadama ‘laa ta’budusy syaithaan inaahuu lakum ‘aduw wum mubiin. Artinya : Bukankah Aku telah memerintahkan kepadamu hai anak-anak Adam, supaya kamu jangan menyembah setan, sebab setan itu sudah nyata musuhmu. 

Meskipun Allah swt telah banyak mengingatkan kita umat manusia, tetapi kecenderungan terhadap kerakusan (keserakahan) materi dan kesombongan (merasa memiliki ilmu kekuatan magis), tetap saja menjadi pilihan mereka yang tidak beriman atau mereka yang taklik buta (menurut saja tanpa berfikir Islami), Hal itu terjadi karena kedangkalan wawasan Al-Quran.

Begitulah al-kisah sang manusia Harimau, berawal dari ilmu silat Harimau atau silat Ulu, selanjutnya berkembang menjadi dukun sakti mandraguna, dan akhirnya juga kembali kepada Allah swt. 

كل نفس ذائقة الموت ثم إلينا ترجعون

Kullu Nafsiin Dzaa Iqatul Maut Tsumma Ilainaa Turjauun. Artinya : Setiap mahluk yang bernyawa pasti akan merasakan mati, kemudian semuanya akan kembali kepada Allah swt. 

Di India ada sebuah desa yang dihuni suku Symphai, mereka tinggal dikaki Gunung Himalaya, gunung yang tertinggi di dunia. Kepercayaan mereka tentang manusia harimau, persis seperti apa yang kita ungkapkan diatas, mereka umumnya adalah pemeluk agama Hindhu-Bhuddha 

Belum ada leteratur yang menyebutkan bahwa ilmu manusia harimau yang berada di Indonesia berasal dari negeri India (Symphai). Kendati kepercayaan dan ritualnya sama, namun hal itu mungkin saja terjadi mengingat negeri India merupakan pusat pengembangan agama Hindhu dan Bhudha di dunia. 

Siluman Hariamu. 

Siluman Manusia Harimau itu sebenarnya ada, namun
 tidak kasat mata, sebagai mana yang diterangkan didalam Al-Quran, firman Allah swt dalam surat Jin 72 : 6. 

وانه كان من الجن رجال من الإنس ياخذون برجال من الجن فزادهم رهقا

Wa an-nahuu kaana rijaalun minal insi ya’uudzuuna birijaalim minal jin-ni fazaaduuhum rahaqaa. Artinya : Dan bahwasanya, ada beberapa orang laki-laki dari golongan manusia meminta perlindungan kepada beberapa laki-laki dari golongan Jin, dengan itu mereka hanya tambah mempersombongkan golongan Jin saja. 

Dalam surat Jin 72 : 11 dikatakan, 

وانا من الناس الصالحون ومن الدون ذالك كنا طراق قدادا

Wa an-naa min-nash shaalihuuna wa min-naa duuna dzaalik, kun-naa tharaa iqa qidaadaa. Artinya : Dan bahwasanya diantara kami ada orang-orang yang salih, dan ada pula yang tidak demikian. Kami menempuh jalan yang berbeda-beda. 

Allah swt mencontohkan bagi mereka yang tidak mau mendengar berbagai peringatan Tuhannya akan kebenaran (Firman) sebagai mana yang diingatkan Allah dalam surat Al-Ankabut (29 : 40) 

فقل لن أخذا بذنبه لا منهم من أرسلنا عليه حاسبا. ومنهم من أخذته الصيحة ومنهم من كشفنا به الأرض ومنهم من اغرقنا وماكان له ليظلمهم ولكن كانوا أنفسهم يظلمون

Fakul-lan akhadzam bidzam bih, la minhum man arsalnaa ‘alaihi haashibaa; wa minhum man akhadzat-hush shaihah; wa minhum man khasafnaa bihil ardh; wa minhum man aghraqnaa; wa maa kaanal laahu liyazhlimahum wa laakin kaanuu anfusahum yazhlimun. Artinya : Masing-masing bangsa itu Kami siksa dengan empat macam siksaan, karena dosa-dosanya : Ada diantaranya yang kami hujani dengan batu krikil seperti kaum Aad, ada yang Kami hancurkan dengan kekuatan halilantar bergemuruh dahsyat seperti kaum Tsamud, ada pula yang Kami benamkan kedalam tanah seperti Qarum, dan ada pula yang Kami tenggelamkan seperti kaim Nuh. Dengan siksaan-siksaan itu, Allah tidak akan menganiaya mereka, namun mereka jualah yang menganiaya diri sendiri karena dosa-dosanya. 

Mereka yang mendekati diri selain kepada Allah swt (berkawan dengan setan), akan merasakan azab Tuhan itu, sebagai mana yang diterangkannya dalam surat Al-Ankabut (29 : 40). Karena itu Allah memerintahkan kita untuk menjelajahi muka bumi ini (mempelajari sejarah), bagai mana kesudahannya orang yang mendustakan kebenaran. Firman Allah dalam Surat Al-An’aam (6 : 11) 

قد سيروا فى الأرض ثم انظروا كيف كان عاقبة المكذبين

Qad siiruu fil ardhi tsum-man zhuruu kaifa kaana ‘aaqibatul mukadz-dzibiin. Artinya : Katakanlah ! Jelajahilah muka bumi ini, kemudian perhatikanlah bagai mana kesudahannya orang-orang yang telah mendustakan kebenaran itu. 

Catatan lain : Jika suatu ketika kita berada dipuncak gunung Dempo, tiba-tiba diselimuti oleh kabut tepat, anda cukup Azan atau berdoa dank abut pun akan sirna, hilang. Semuanya ini tentu merupakan kebesaran Allah SWT dan bukti kebesarannya. 

Wallohu A'lam

 

Riwayat Musnahnya Sebuah Desa Di Dieng


DI tengah sebuah hamparan ladang di Desa Pekasiran, sebuah desa di pegunungan Dieng Kecamatan Batur Banjarnegara, berdiri sebuah tugu beton menjulang tinggi. Pada salah satu sirinya, tertempel plat logam bertuliskan huruf kapital: TUGU PERINGATAN ATAS TEWASNJA 332 ORANG PENDUDUK DUKUH LEGETANG SERTA 19 ORANG TAMU DARI LAIN-LAIN DESA SEBAGAI AKIBAT LONGSORNJA GUNUNG PENGAMUN-AMUN PADA TG. 16/17-4-1955.

Kecuali keterangan pada tugu tersebut, tak ada dokumen atau tulisan khusus tentang peristiwa tragis yang terjadi 58 tahun silam itu, termasuk di Pos Pengamatan Gunung Api Gunung Dieng di Desa Karantengah, yang didirikan pemerintah tahun 1954. 

Beberapa orangtua di Pekasiran, yang usianya kini sudah renta, masih merekam secara jelas kejadian itu dalam benak mereka.  Mereka pulalah yang kelak menjadi penutur cerita tentang musibah tersebut kepada anak-cucu dan cicitnya.

Kisah ini sudah lama, tetapi banyak yang belum mengetahuinya. Kisah ini hendaknya menjadi ibroh, bahwa apabila suatu daerah bermaksiat semua, bisa jadi Allah akan mengazabnya secara langsung.

أَأَمِنْتُمْ مَنْ فِي السَّمَاءِ أَنْ يَخْسِفَ بِكُمُ الأرْضَ فَإِذَا هِيَتَمُورُ

"Apakah kamu merasa aman terhadap Allah yang dilangit bahwa Dia akan menjungkirbalikkan bumi bersama kamu, sehingga dengan tiba-tiba bumi itu bergoncang?" (QS Al Mulk 67: 16).

Dukuh Legetang adalah sebuah daerah di lembah pegunungan Dieng, sekitar 2 km ke utara dari kompleks pariwisata Dieng Kabupaten Banjarnegara.

Dahulunya masyarakat dukuh Legetang adalah petani-petani yang sukses sehingga kaya. Berbagai kesuksesan duniawi yang berhubungan dengan pertanian menghiasi dukuh Legetang. Misalnya apabila di daerah lain tidak panen tetapi mereka panen berlimpah. Kualitas buah/sayur yang dihasilkan juga lebih dari yang lain. Namun barangkali ini merupakan "istidraj" (disesatkan Allah dengan cara diberi rizqi yang banyak dan orang tersebut akhirnya makin tenggelam dalam kesesatan). Masyarakat dukuh Legetang umumnya ahli maksiat dan bukan ahli bersyukur. Perjudian disana merajalela, begitu pula minum-minuman keras  yang sangat cocok untuk daerah dingin. Tiap malam mereka mengadakan pentas Lengger (sebuah kesenian yang dibawakan oleh para penari perempuan dengan berdandan molek, yang sering berujung kepada perzinaan dan pesta seks. Anak yang kimpoi sama ibunya dan beragam kemaksiatan lain sudah sedemikian parah di dukuh Legetang. ‎
Alkisah pada suatu malam turun hujan yang lebat dan masyarakat Legetang sedang tenggelam dalam kemaksiatan. Tengah malam hujan reda. Tiba-tiba terdengar suara "buum", seperti suara benda yang teramat berat berjatuhan. Pagi harinya masyarakat disekitar dukuh Legetang yang penasaran dengan suara yang amat keras itu menyaksikan bahwa Gunung Pengamun-amun sudah terbelah (bahasa jawanya: tompal), dan belahannya itu ditimbunkan ke dukuh Legetang. Dukuh Legetang yang tadinya berupa lembah itu bukan hanya rata dengan tanah, tetapi menjadi sebuah gundukan tanah baru menyerupai bukit. Seluruh penduduknya mati. Gegerlah kawasan dieng... Seandainya gunung Pengamun-amun sekedar longsor, maka longsoran itu hanya akan menimpa dibawahnya. Akan tetapi kejadian ini bukan longsornya gunung. Antara dukuh Legetang dan gunung Pengamun-amun terdapat sungai dan jurang, yang sampai sekarang masih ada. Jadi kesimpulannya, potongan gunung itu terangkat dan jatuh menimpa dukuh Legetang. Siapa yang mampu mengangkat separo gunung itu kalau bukan Allah? 

Tugu beton yang sudah lapuk dimakan usia masih berdiri tegak di tengah ladang di desa Pekasiran di pegunungan Dieng Kecamatan Batur, Banjarnegara. Tapi tugu setinggi sekitar 10 meter itu jadi penanda tragedi dan misteri terkuburnya dusun Legetang bersama seluruh penghuninya akibat longsornya Pengamunamun pada 1955.

Tragedi Musnahnya Dusun Legetang 1955

Sampai saat ini, dataran tinggi Dieng merupakan kawasan yang masih labil. Otoritas yang berwenang pun telah menyebarkan peringatan tentang hal tersebut. Di wilayah yang sejatinya merupakan kaldera raksasa ini dapat saja terjadi pergerakan tanah yang tiba-tiba, baik itu merekah maupun longsor.

Rekan-rekan Kompasianer mungkin ada yang belum mendengar cerita tentang sebuah dusun yang hilang karena “ketiban gunung”.

Pada tengah malam tanggal 16 April 1955, menjelang pergantian hari, Dusun Legetang yang masuk dalam wilayah administrasi Desa Pekasiran, Kecamatan Batur, Banjarnegara, tiba-tiba lenyap dari permukaan bumi. Penyebabnya adalah potongan puncak gunung/bukit Pengamun-amun yang beberapa minggu sebelumnya telah terlihat retakannya, pada malam yang dingin itu bongkahan tanah berukuran raksasa tersebut tiba-tiba “terbang” dan berpindah ke lembah dimana Dusun Legetang berada.

Sebanyak 332 jiwa penduduk Dusun Legetang dan 19 orang dari desa-desa tetangga yang tengah berkunjung ke dusun tersebut ikut tertimbun dan dianggap meninggal. Beredar cerita tentang kondisi sosial masyarakat dusun yang sebagian besar berperilaku kurang terpuji, yang mengingatkan orang akan kaum Sodom Gomorah yang dihukum Tuhan dengan cara yang kurang lebih sama.

Yang sangat aneh dan menjadi misteri adalah, mengapa kawasan antara kaki gunung dan perbatasan Dusun Legetang yang berjarak beberapa ratus meter (jurang dan sungai), tidak ikut tertimbun. Terbangkah bongkahan longsoran gunung Pengamun-amun itu? Wallahualam.


Data pada pahatan monumen marmer di pertigaan Desa Kepakisan, tetangga Pekasiran, menuju ke objek wisata kawah Sileri menyebutkan, jumlah korban jiwa 450 orang. Jauh melebihi korban tewas akibat bencana gas beracun kawah Sinila tahun 1979 yang merenggut 149 nyawa dan menjadi perhatian dunia internasional itu merenggut 149 nyawa.

Salah seorang saksi tragedi Legetang, Suhuri warga Pekasiran RT 03/04 yang kini berusia sekitar 72 tahun mengatakan, musibah terjadi malam hari pukul 23.00 saat musim hujan. ”Saya dan beberapa teman malam itu tidur di masjid. Saya baru dengar kabar gunung Pengamunamun longsor jam tiga pagi,” katanya. Suhuri mengaku lemas seketika begitu mendengar kabar tersebut, karena kakak kandungnya, Ahmad Ahyar, bersama istri dan 6 anaknya tinggal di dusun Legetang. Namun Suhuri maupun keluarganya dan warga lain tak berani langsung ke dusun yang berjarak sekitar 800 meter dari pusat desa Pekasiran, karena beredar kabar tanah dari lereng gunung Pengamunamun masih terus bergerak.
Lenyapnya desa Legetang dan penghuninya juga menyimpan misteri, karena Suhuri dan beberapa warga Desa Pekasiran lain seusianya yang kini masih hidup mengatakan, antara kaki gunung sampai perbatasan kawasan pemukiman di dusun itu sama sekali tidak tertimbun, padahal jaraknya beberapa ratus meter. ”Longsoran tanah itu seperti terbang dari lereng gunung dan jatuh tepat di pemukiman. Sangat aneh”, kata Suhuri sembari menjelaskan, gejala lereng gunung akan longsor sudak diketahui 70 hari sebelum kejadian. Para pencari rumput pakan ternak dan kayu bakar untuk mengasap tembakau rajangan di samping untuk memasak, melihat ada retakan memanjang dan cukup dalam di tempat itu. Tapi tanda-tanda tadi tak membuat orang waspada, meski sering jadi bahan obrolan di Legetang. Orang baru menghubung-hubungkan soal retakan di gunung itu setelah Legetang kiamat,” katanya.
Waktu itu semua orang tercengang dan suasana mencekam melihat seluruh kawasan dusun Legetang terkubur longsoran tanah. Tak ada sedikit pun bagian rumah yang kelihatan. Tanda-tanda kehidupan penghuninya juga tak ada, kenang Suhuri. ”Alam Legetang sebagian besar cekung. Tanah dari lereng gunung seakan diuruk ke cekungan itu dan meninggi dibanding tanah asli disekitarnya. Banyak warga yang dibiarkan terkubur karena sulit dievakuasi,” ujar Suhuri.

Pencarian terhadap korban, menurut Suhuri, hanya dipusatkan ke titik yang diduga merupakan lokasi rumah bau (kepala dusun) Legetang bernama Rana. Setelah dilakukan penggalian cukup lama oleh warga. Tapi tak sedikit para korban dibiarkan terkubur, karena amat sulit dievakuasi. Satu istri Rana lainnya, bernama Kastari, satu-satunya warga Legetang yang selamat, karena ia pergi dari rumah sebelum gunung itu longsor.

Kini tanah lokasi bencana itu sedikit demi sedikit digarap warga untuk budidaya tembakau dan sayur. Sekitar 1980, ketika kentang menggusur tanaman tembakau dan jagung di pegunungan Dieng, bekas dusun Legetang pun berubah jadi ladang kentang dan kobis, termasuk tanah kuburan umum milik bekas dusun tersebut.

Ada beberapa hal yang mengiringi hilangnya Legetang ini.

1. Legetang, Memiliki Intro yang Sama dengan Pompeii Sebelum Menghilang

Kala itu, pada 1950-an, Legetang dikenal sebagai wilayah yang sangat subur. Hasil pertaniannya begitu melimpah. Buah dan sayurannya merupakan kualitas terbaik. Petani-petaninya hidup makmur.

Sangat disayangkan, perilaku mereka tak semaju peradabannya. Perzinaan merupakan hal yang umum. Perjudian menjadi adat.

Seperti halnya Pompeii yang menjadi pusat hiburan bagi warga Roma, warga Legetang sering menggerlar hiburan tari-tarian yang dibawakan wanita-wanita. Tak jarang hiburan tersebut berakhir menjadi sebuah pesta seks.

2. Sebuah Longsor Dahsyat Mengubur Legetang dalam Satu Malam

Perisitiwa ini terjadi pada malam hari sesaat setelah hujan reda. Terdengar suara seperti sebuah ledakan besar. Pagi harinya masyarakat disekitar dukuh Legetang yang penasaran dengan suara yang amat keras itu menyaksikan bahwa Gunung Pengamun-amun yang terletak di dekat perkampungan sudah terbelah dan belahannya itu menimbun Legetang.

Legetang yang tadinya berupa lembah itu bukan hanya rata dengan tanah, tapi menjadi sebuah gundukan tanah baru menyerupai bukit. Seluruh penduduknya terkubur dalam longsoran tanah.

Waktu itu semua orang tercengang. Suasana mencekam melihat seluruh kawasan Legetang terkubur longsoran tanah. Tak ada sedikit pun bagian rumah yang kelihatan.

Alam Legetang sebagian besar cekung. Tanah dari lereng gunung seakan diuruk ke cekungan itu dan meninggi dibanding tanah asli di sekitarnya. Banyak warga yang dibiarkan terkubur karena sulit dievakuasi

3. Legetang seolah sudah “diincar” Gunung Pengamun-amun

Antara kaki gunung sampai perbatasan kawasan pemukiman Legetang sama sekali tidak tertimbun, padahal jaraknya beberapa ratus meter. Longsoran tanah itu seperti terbang dari lereng gunung dan jatuh tepat di pemukiman.

Selain itu antara Legetang dan gunung Pengamun-amun terdapat sungai dan jurang, yang sampai sekarang masih ada.

Seperti layaknya teori-teori konspirasi lain di dunia, kisah longsoran tanah terbang ini terus diceritakan turun temurun.

Jika melancong ke Dieng, berkunjung ke tugu peringatan Legetang bukan ide buruk. Tugu beton itu kini sudah lapuk dimakan usia. Tugu yang masih berdiri tegak di tengah ladang di desa Pekasiran, Kecamatan Batur, Banjarnegara.

Sebuah tugu setinggi 10 meter menjadi penanda tragedi terkuburnya Legetang bersama seluruh penghuninya akibat longsornya Gunung Pengamun-amun pada 1955.‎

Kini longsoran tanah yang dulunya menguruk Legetang dimanfaatkan sebagai lahan pertanian kentang dan kubis. Tanah tersebut dikenal sangat subur.

Sebagian masyarakat yang kini tinggal di bekas tanah Legetang keberatan jika diminta menceritakan kisah hilangnya Legetang. Mereka takut hal buruk akan menimpa mereka.

Sejarah memang bukan pelajaran favoritku dulu. Aku bukan seorang suci yang berkata,” ayo ambil hikmah dari kisah-kisah ini.”

Sejujurnya, aku tertarik dengan kisah-kisah masa lalu karena hal tersebut sangat menarik dari sudut pandangku. Aku cukup bisa menikmatinya. Memandang peristiwa masa lalu dengan perspektif orang modern.

“Membayangkan bagaimana kisah hidup kita dimasa kini akan diceritakan pada generasi mendatang”

Sungguh kisah tenggelamnya dukuh Legetang ini menjadi peringatan bagi kita semua bahwa Azab Alloh yang seketika itu tak hanya terjadi di masa lampau, di masa para nabi, tetapi azab itu pun bisa menimpa kita di zaman ini.

Bahwa sangat mudah bagi Alloh untuk mengazab manusia-manusia durjana dalam hitungan detik. Andaikan di muka bumi ini tak ada lagi hamba-hamba yang bermunajat di tengah malam menghiba ampunan-Nya, mungkin dunia ini sudah kiamat.

Kita berhutang budi kepada para ibadurrahman, para hamba Alloh yang berjalan dengan rendah hati, tak menyombongkan dirinya. Mereka senantiasa bersujud memohon ampunan-Nya.

Ya, semua makhluq di bumi berhutang budi kepada mereka...

Wallohu A'lam‎

 

Gunung Penanggungan Yang Banyak Menyimpan Sejarah


Gunung Penanggungan (dahulu bernama ‎Gunung Pawitra) (1.653 m dpl) adalah‎gunung berapi kerucut (istirahat) yang terletak di Jawa Timur, Indonesia. Posisinya berada di dua kabupaten, yaituKabupaten Mojokerto (sisi barat) danKabupaten Pasuruan (sisi timur), berjarak kurang lebih 55 km dari Surabaya. Gunung Penanggungan merupakan gunung kecil yang berada pada satu kluster denganGunung Arjuno dan Gunung Welirang yang jauh lebih besar. Gunung Penanggungan sering disebut sebagai miniatur dariGunung Semeru, karena hamparan puncaknya yang sama-sama terdapat pasir dan batuan yang luas. Menurut kepercayaan Jawa Kuna, Gunung Penanggungan merupakan salah satu bagian puncak Mahameru yang dipindahkan oleh penguasa alam. Penanggungan merupakan salah satu gunung suci dari sembilan gunung suci di Jawa.

Dilihat dari sisi sejarah, gunung ini memiliki nilai yang penting. Di sekujur lereng gunung ini ditemui berbagai peninggalan purbakala, baik candi, pertapaan, maupun petirtaan dari periode Hindu-Buddha di Jawa Timur. Berdasarkan studi selama dua tahun (2012-2014) ditemukan 116 situs percandian atau objek kepurbakalaan, mulai dari kaki sampai mendekati puncak gunung. Beberapa struktur yang ditemukan adalah Gapura Jedong (926 Masehi), Petirtaan Jalatunda (abad ke-10),Petirtaan Belahan, Candi Kendalisodo, Candi Merak, Candi Yudha, Candi Pandawa, dan Candi Selokelir. Selain bangunan Hindu, ditemukan pula punden berundak dan tempat pertapaan. Candi-candi di Gunung Penanggungan memiliki gaya yang unik, yaitu bangunannya menempel pada dinding gunung/lereng, tidak berdiri sendiri.

Vegetasi yang menutupnya merupakan kawasan hutan Dipterokarp Bukit, hutan Dipterokarp Atas, hutan Montane, danHutan Ericaceous atau hutan gunung.

Untuk mencapai puncak Gunung Penanggungan terdapat 4 ( empat ) arah pendakian yaitu via Trawas, Jolotundo, Ngoro dan via Pandaan. Bagi pendaki yang memilih start dari Desa Jolotundo dan Ngoro, di sepanjang jalan akan melewati candi - candi peninggalan purbakala. Yang memilih start dari Desa Trawas dan Pandaan hampir tidak menjumpai peninggalan purbakala. 

Jalur Trawas 

Untuk mencapai Trawas, dari Surabaya atau Dari Malang naik bis menuju Pandaan, naik lagi Minibus menuju ke Trawas. Selama perjalanan jalan yang dilalui sudah beraspal. Dari Desa Trawas,Mojokerto,kita menuju ke desa Rondokuning ( 6 km ) dengan kendaraan roda 4 atau roda 2. Dari desa Rondokuning melewati jalan setapak hutan alam menuju ke puncak Penanggungandengan memakan waktu sekitar 3 jam. Sepanjang jalan, pendaki akan melihat pemandangan dari celah - celah lebatnya pohon kaliandra, puncak Gunung Bekel yang merupakan anak Gunung Penanggungan terlihat angker. Rumah - rumah penduduk, pabrik - pabrik, sawah - sawah terlihat di bawah. 

Jalur Jolotundo 

Untuk mencapai Jolotundo dari Trawas naik lagi minibus sekitar 9 Km. Desa Jolotundo merupakan salah satu desa yang berada dekat dengan puncak Gunung Penanggungan ( 6,5 Km ). Pendakian lewat Jolotundo membutuhkan total waktu 3 jam. Perjalanan tidak melewati pedesaan, tetapi langsung menyusup ke dalam hutan alam. kemiringan medannya 40 derajat, melewati jalan setapak. Di kanan - kiri terdapat pohon - pohon besar. Hati - hati, di sekitar sini banyak jalan setapak yang menyesatkan. 

Setelah perjalanan memakan waktu 1 jam, hutan alam terlewati, berganti memasuki hutan caliandra yang amat lebat dengan jalan menanjak. Berjalan sekitar 30 menit pendaki melewati Batu talang, sebuah batu yang panjangnya 7 km tanpa putus, bersumber dari leher Gunung Penanggungan yang memanjnag seperti talang air menerobos hutan sampai ke Desa Jolotundo dan Desa Balekambang. 

Dari Batu talang, terus menyusup hutan caliandra. Sekitar 300 m, sampailah di Candi Putri, sebuah candi peninggalan Airlangga yang berukuran 7x7x4 m dalam keadaan tidak utuh. Candi Putri ini dikelilingi oleh hutan caliandra yang sangat lebat. Dari Candi Putri, sekitar 200 m sampai di Candi Pure, yaitu sebuah candi yang berukuran 7x6x2 m terbuat dari batu andesit. 

Dari Candi Pure, sekitar 150 m sampai di Candi Gentong. Disini terdapat meja. Candi gentong dan meja sebenarnya bukan candi, tetapi menurut masyarakat setempat dinamakan candi. Candi Gentong merupakan peninggalan kuno yang terbuat dari batu kali. Posisinya bersebelahan. Gentong terletak di sebelah Utara, meja terletak di sebelah selatan tetapi dalam 1 lokasi. Gentong berdiameter 40 cm bagian mulut dan 90 cm bagian perut, tebal 15 cm. Setengan badannya terpendam di dalam tanah. Sedangkan meja panjang 175 cm, lebar 100 cm dan tinggi 125 cm. 

Setelah melewati Candi Gentong, perjalanan dilanjutkan menyusur ke atas. Lebih kurang berjalan 50 m sampai di Candi Shinto. Keadaan candi sangat memprihatinkan, panjang 6 m, lebar 6 m, tinggi 3 m, terletak di hutan wilayah RPH Seloliman. Setelah melewati hutan kurang lebih 300 m akan ditemui candi lagi, yaitu Candi Carik dan sekitar 300m Candi Lurah. Dan sampailah di puncak. 

Jalur Ngoro 

Untuk mencapai Ngoro bisa dari arah Pandaan atau dari Arah Mojokerto. Dari arah Pandaan naik minibus jurusan Ngoro sedangan dari arah Mojokerto naik minibus menuju arah Ngoro. Desa Ngoro lebih mudah dicapai lewat Mojokerto karena terletak di tikungan jalan jurusan antara Japanan, Mojosari, Kabupaten Mojokerto; persisnya di kaki Gunung Penanggungan sebelah Utara. Dari desa Ngoro kita menuju ke desa Jedong ( 6 Km ) dengan kendaraan angkutan pedesaan lalu perjalanan di teruskan menuju dusun Genting sekitar 3 Km. Masyarakat Desa Genting sebagaian besar penduduknya suku Madura. 

Dari dusun Genting, pendaki naik ke atas memasuki hutan lindung, melewati jalan setapak menyusur ke atas, kemudian menurun dan melewati Candi wayang dan sekitar 2 km menuju puncak dengan medan yang sangat miring antara 70 - 80 derajat. Jalur lewat desa Ngoro ini lebih sulit dibandingkan dengan jalur desa Jolotundo.

Penanggungan memiliki banyak sekali sejarah, inilah beberapa sejarah yang muncul sejak beribu-ribu tahun lalu :

1. Tempat Suci

Petirtaan Jolotundo hanyalah satu dari puluhan situs purbakala yang ditemukan di kaki Gunung Penanggungan, Mojokerto, Jawa Timur. Semua ini berkat jasa WF Stutterheim, arkeolog Belanda yang pertama kali menemukan sebuah situs dan melaporkannya kepada pemerintah kolonial Belanda. Sejak saat itu dimulailah penelitian dan penggalian arkeologi di gunung ini. Tak kurang 81 situs candi dan 50 monumen punden berundah telah ditemukan. Semuanya berasal dari sekitar abad 10-16 M.

Banyaknya candi yang ditemukan mengukuhkan kedudukan Penanggungan sebagai gunung suci. Ada legenda yang mengatakan Penanggungan merupakan jelmaan gunung keramat Mahameru di India. Seperti termuat dalam Kitab Tantu Panggelaran, karya sastra jaman Majapahit.

Konon, Jawadwipa -sebutan lain Pulau Jawa- tidaklah stabil, selalu terombang- ambing ombak Samudra Hindia dan Laut Jawa. Para dewa di kahyangan lalu memutuskan untuk memindahkan Gunung Mahameru -yang menjadi pusat alam semesta- dari Jambhudwipa (India) ke Jawadwipa. Mahameru lalu digotong bersama-sama sambil terbang di angkasa. Dalam perjalanan, bagian lereng Mahameru berguguran membentuk rangkaian pegunungan di Pulau Jawa. Bagian yang berat jatuh membentuk Gunung Semeru, sedang puncaknya menjadi Gunung Penanggungan.

Penanggungan dikenal juga sebagai Pawitra yang berarti kabut karena tubuhnya selalu diselimuti kabut. Walau setinggi 1659 m di atas permukaan laut, gunung ini tak mudah dilalui. Cuacanya selalu berubah-ubah, berkabut dan gerimis, tak peduli musim. Namun itu tak menghalangi niat para resi di masa lalu untuk menjadikannya pusat pemujaan.

Hal ini dikuatkan oleh penemuan sebuah prasasti peninggalan Sri Maharaja Rake Hino Pu Sindok pada 929 M. Prasasti itu menyebutkan bahwa Mpu Sindok, Raja Medang Kemulan, membebaskan Desa Cunggrang dari pungutan pajak (sima). Sebagai gantinya, penduduk  harus memelihara Sanghyang Dharmasrame in Pawitra dan Sanghyang Prasada Silungsilung, yang merupakan bangunan suci (parasada) dan asrama bagi para pertapa di Pawitra.

Sementara itu, Raja Airlangga sempat mengungsi ke Pawitra ketika kerajaannya diserang pasukan pemberontak pimpinan Wurawari tahun 1016 M. Dia yakin musuhnya takkan  berani menggempur pasukannya di Pawitra yang suci.

2. Kaya obyek wisata

Panoramanya yang indah, membuat Penanggungan difavoritkan menjadi tempat wisata  sejak dulu. Seperti dikisahkan dalam Kakawin Negarakertagama pupuh 58 ayat 1, tentang perjalanan Raja Hayamwuruk (1350-1389 M) dari Majapahit ke Cunggrang karena terpesona keindahan Pawitra. Cunggrang adalah asrama para pertapa yang terletak di tepi jurang kaki Gunung Penanggungan.

Kini, banyak obyek wisata tersebar di kaki Gunung Penanggungan. Selain petirtaan Jolotundo yang bisa dicapai lewat Desa Tamiajeng, ada juga pemandian air panas di Trawas, atau wisata lingkungan di PPLH (Pusat Pendidikan Lingkungan Hidup) Seloliman, tepat di bawah Wanawisata Jolotundo. Sementara yang suka dengan sejarah dapat melakukan tour arkeologis dari candi ke candi, menyusuri pebukitan di sekitar gunung.

Penanggungan memiliki puncak yang dikelilingi empat puncak kecil, yaitu: Puncak Gajahmungkur (1084 m), Kemuncup (1238 m), Sarahklopo (1235 m), dan Bekel (1240 m), yang menggambarkan replika sistem mata angin kosmis. Di setiap puncak tersebar bangunan bersejarah seperti candi dan gua pertapaan. Cara termudah merunut candi-candi tersebut dengan mendaki melalui Desa Seloliman yang berjarak 13 km dari Desa Tamiajeng. Di Bukit Bekel misalnya, berturut-turut bisa kita jumpai Candi Putri, Rupa, Gentong, dan Sinta.

Candi-candi ini umumnya dilengkapi dengan punden berundak dan altar sesaji. Untaian bunga kering dan sisa dupa nampak menghiasi beberapa altar, menjadi bukti bahwa tempat ini tak pernah sepi dari peziarah.

Pada malam tententu, Penanggungan selalu penuh oleh para peziarah. Mereka adalah sisa-sisa pemeluk hindu syiwa-wisnu yang masih bertahan di Pulau Jawa. Mereka berasal dari  Mojokerto, Surabaya, Malang, Pasuruan, dan kota sekitarnya. Selain mengunjungi candi-candi, mereka juga menyucikan diri di petirtaan Jolotundo.

Air yang mengalir dari kolam ini berasal dari tubuh Mahameru, dan dipercaya dapat bersifat amerta atau abadi. Dengan minum dan mandi di kolam keabadian ini, maka pikiran yang kusut akan dijernihkan, hati yang resah ditenangkan.  Begitu pula jika berdoa di candi-candi ini. Membuat tubuh lebih sehat dan panjang umur. Seperti para dewa di swargaloka.

3. Rawan penjarahan

Candi-candi Penanggungan kaya akan relief kisah kuno. Cerita Sudhamala (kisah ruwat Dewi Durga), Arjuna Wiwaha (perkawinan Arjuna dengan bidadari), Panji (kisah cinta antara putra mahkota Jenggala dan putri Kediri), Ramayana, serta kisah-kisah hewan mendominasi relief dinding dan bata candi. Relief juga ditemukan pada ribuan pecahan gerabah dan bata yang berserakan di sekitar candi.

Tak jarang relief ini berpindah tangan ke tas dan kantong para pengunjung. Tempatnya yang terbuka serta minimnya pengawasan membuat banyak arca dan gerabah yang raib, menjadi koleksi pribadi pengunjung dan kolektor profesional. Arca wisnu di petirtaan Jolotundo, contohnya. Untuk mengurangi penjarahan liar, pemerintah lalu menetapkan kawasan ini sebagai cagar budaya dan hutan lindung pada 1986. Pengawasan dan pengelolaannya diserahkan kepada perhutani dan dinas purbakala. Sayangnya, hal ini tak mengurangi tingginya penjarahan.

Belakangan, tak hanya benda purbakala yang dijarah, tapi juga kayu-kayu di sekitar hutan Penanggungan. Penebangan liar dan perambahan ladang di dalam hutan ini justru mendapat restu dari petugas kehutanan setempat. Misalnya ladang kubis tepat di depan lokasi Candi Putri. Akibat penjarahan hutan ini sungguh fatal. Puluhan orang tewas akibat bencana air bah dadakan di pemandian air panas Trawas. Kalau hal ini terus berlanjut, swargaloka tanah jawa pun akan musnah. Sehingga bukan kedekatan dengan Sang Pencipta yang didapat, tapi dengan Sang Maut.

 

Legenda Gunung Baluran


Taman Nasional Baluran adalah salah satu Taman Nasional di Indonesia yang terletak di wilayah Banyuputih, Situbondodan Wongsorejo, Banyuwangi (sebelah utara), Jawa Timur, Indonesia. Nama dariTaman Nasional ini diambil dari nama gunung yang berada di daerah ini, yaituGunung Baluran. Gerbang untuk masuk ke Taman Nasional Baluran berada di 7°55'17.76"S dan 114°23'15.27"E. Taman nasional ini terdiri dari tipe vegetasisabana, hutan mangrove, hutan musim, hutan pantai, hutan pegunungan bawah, hutan rawa dan hutan yang selalu hijau sepanjang tahun. Tipe vegetasi sabanamendominasi kawasan Taman Nasional Baluran yakni sekitar 40 persen dari total luas lahan.

Di Taman Nasional ini terdapat 26 jenis mamalia, di antaranya adalah:

Banteng (Bos javanicus javanicus)
Kerbau liar (Bubalus bubalis)
Ajag (Cuon alpinus javanicus)
Kijang (Muntiacus muntjak muntjak)
Rusa (Cervus timorensis russa)
Macan tutul (Panthera pardus melas)
Kancil (Tragulus javanicus pelandoc)
Kucing bakau (Prionailurus viverrinus)
Satwa banteng merupakan maskot/ciri khas dari Taman Nasional Baluran.

Selain itu, terdapat sekitar 155 jenis burung, di antaranya termasuk burung langka seperti:

Layang-layang api (Hirundo rustica)
Tuwuk asia (Eudynamys scolopacea)
Burung merak (Pavo muticus)
Ayam hutan merah (Gallus gallus)
Kangkareng (Anthracoceros convecus)
Burung rangkong (Buceros rhinoceros)
bangau tong-tong (Leptoptilos javanicus)
Taman nasional ini dibagi menjadi beberapa pos pengamatan. Pos di Taman Nasional ini antara lain:

Batangan. Di sini terdapat peninggalan sejarah berupa goa Jepang, makam putraMaulana Malik Ibrahim, atraksi tarianburung merak pada musim kawin (antara bulan Oktober/November) dan berkemah. Fasilitas yang ada di sini antara lain pusat informasi dan bumi perkemahan.
Bekol dan Semiang. Di sini terdapat fasilitas pengamatan satwa seperti ayam hutan, merak, rusa, kijang, banteng, kerbau liar, dan burung. Fasilitas yang adadi sini antara lain wisma peneliti, wisma tamu, dan menara pandang.
Bama, Balanan, dan Bilik. Di sini merupakan lokasi wisata bahari, lokasi memancing, menyelam/snorkeling, dan atraksi perkelahian antar rusa jantan (pada bulan Juli/Agustus) dan atraksi kawanankera abu-abu yang memancingkepiting/rajungan dengan ekornya pada saat air laut surut.
Manting, dan Air Kacip. Di sini terdapat sumber air yang tidak pernah kering sepanjang tahun, dan merupakan habitatmacan tutul.
Popongan, Sejile, Sirontoh, Kalitopo. Di sini terdapat fasilitas untuk naik sampan di laut yang tenang, melihat berbagai jenis ikan hias, dan lokasi pengamatan burung migran.
Curah Tangis. Di sini terdapat fasilitas untuk kegiatan panjat tebing dengan tinggi 10-30 meter, dan kemiringan sampai 85%.
Musim kunjungan terbaik adalah bulan Maret s/d Agustus setiap tahunnya.

Legenda Buyut Cungking 

Taman Nasional Baluran selain sebagai kawasan konservasi ternyata juga menyimpan legenda yang cukup menarik. Legenda ini sangat erat kaitannya dengan daerah Cungking, Banyuwangi.
         
Legenda ini berwal dari seorang anak kecil pendatang yang mempunyai kesaktian luar biasa kemudian diberi nama Cungking (bahasa Jawa : gampang dicangking, yang kemudian terkenal dengan buyut Cungking). Buyut Cungking mengabdi pada perempuan yang tidak mempunyai suami dan anak yang bernama Buyut Barat. Sebagai seorang pengabdi ia mengerjakan semua pekerjaan yang diberikan kepadanya. Salah satu tugasnya dalah menggembalakan sepasang kerbau milik Buyut Barat. Setiap pukul 05.00 WIB sepasang kerbau ini digembalakan dari Cungking ke Baluran. Setelah pukul 06.00 WIB sepasang kerbau ini ke Cungking untuk mebajak sawah, apabila sudah selesain tugasnya maka dibawa pulang lagi ke Baluran. Tiap perjalanan Cungking-Baluran selalu melewati Watu Dodol dan selalu diawasi penjaga Watu Dodol yang bernama Cinde Kesilir atau Cinde Kanginan. Jadi Buyut cungking ini tinggalnya di Cungking, Banyuwangi hanya pada hari Senin dan Jumat sedangkang pada hari-hari yang lain dihabiskan di Baluran. Sepasang kerbaunya dikandangkan di Tegal Keramat.
          
Pada saat Buyut Cungking menggembalakan kerbaunya dating waktu sholat dhuhur. Buyut Cungking adalah orang yang taat dalam menjalankan ibadah, maka dimanapun dia berada selalu melaksanakan kewajibannya kepada Sang Pencipta. Pada saat berniat untuk mengambil air wudlu, di dekat tempat menggembalakan kerbaunya terdapat 2 (dua) sumber air yaitu sumber air yang terletak di bukit dan sumber air yang ada di dekat pantai. Pada saat Buyut Cungking naik ke bukit dia melihat kolam yang penuh dengan air, kemudian berkata : “ Kebek, kolam iki”. Akhirnya dikemudian hari dinamakanlah bukit itu dengan sebutan Bekol, diambilo dari singkatan perkataan tersebut. Sedangkan sumber air yang lain terdapat di dekat pantai, pada saat mengambil air wudlu Buyut Cungking kurang hati-hati hampir saja dia terpeleset tetapi tetapi tidak sampai terjatuh karena berpegangan pada kayu Lamer. Tetapi sungguh ajaib kayu Lamer tersebut setelah dipegang Buyut Cungking berubah menjadi kayu Manting. Buyut Cungking pun berkata :” Semua anak cucunya nanti kalau datang ke Baluran harus besedia untuk membersihkan dan mandi di sumber ini “ kemudian diberilah nama Sumber Manting. Konon Sumber Manting ini memiliki kekuatan magis, bagi siapa saja yang cuci muka ataupun mandi akan awet muda dan banyak rejeki.
          
Buyut Cungking sambil menggembalakan kerbaunya senang bermain perosotan di bukit-bukit. Salah satunya di bukit Talpat yang berasal dari adanya kayu Talok yag jumlahnya hanya empat batang di bukit tersebut. Sehingga diberi nama Talpat (bahasa Jawa : talok papat)
          
Nah, asal usul nama Baluran sendiri ini berawal dari tempat bekas perosotan Buyut Cungking. Pada saat Buyut Cungking menggembalakan kerbaunya, dia bermain-main di daerah Talpat disana terdapat sumber air. Buyut Cungking mandi dan bermain perosotan di bukit yang ada didekat talpat tersebut. Bekas tempat perosotan tersebut membentuk balur-balur (bahasa Jawa : mbalur-mbalur) maka daerah tersebut dinamakan Baluran. Sedangkan gunung yang paling besar dan menonjol di tempat tersebut dinamakan gunung Baluran.
          
Pada saat berada di Talpat, Buyut Cungking bertemu dengan ratu mahluk halus yang bernama Ratu Belawan. Ratu tersebut merasa heran, kemudian berkata “ disini kok terdapat orang cungking? “ ada keperluan apa disini? “. Buyut Cungking menjawab “ keperluan saya disni untuk mandi dan menggembalakan kerbau.“ Wah kebetulan, saya ini juag ada keperluan sama kamu”. Saya mau punya hajat dan mau minta tolong sama kamu untuk memotongkan kerbau.” Besok pukul 07.00 WIB kamu datang ke sini untuk memotong kerbau saya.” Buyut Cungking menyanggupi pekerjaan itu, kemudian dia cepat-cepat pulang. Tetapi di luar dugaan ternyata pukul 05.00 WIB Ratu Belawan kedatangan tamu mahluk halus dari kerajaan Bugis dan tamu itu yang memotong kerbau milik Ratu Belawan. Akhirnya Ratu Belawan merasa tidak enak karena sudah terlanjur janji dengan Buyut Cungking.
          
Pada keesokan harinya sesuai dengan perjanjian Buyut Cungking datang tepat pada waktunya ke Baluran. Sesampainya disana Ratu Belawan minta maaf karena kerbaunya telah disembelih orang lain. Buyut Cungking merasa kecewa dengan peristiwa itu. Kemudian Buyut Cungking masuk ke dapur untuk membuktikan kebenarannya. Ternyata di dapur sudah terdapat abon, empal dan gulai, karena merasa kecewa Buyut Cungking mengucapkan sumpah : “ abon jadi kijang, empal jadi mejangan dan gulai jadi banteng “ dan sumpah itu menjadi kenyataan. Setelah bersumpah demikian Buyut Cungking pergi begitu saja. Melihat kejadian tersebut Ratu Belawan menyuruh bawahannya yang disebut punawakan untuk mengejar Buyut Cungking. Karena merasa kesal, jengkel dan kecewa atas kejadian tersbut, Buyut Cungking berhenti di suatu tempat di dekat Talpat. Tiba-tiba saja Buyut Cungking menghunus senjata tajam 7 (tujuh) pusaka dan mengiriskannya di rambut bagian kepala. Potongan rambut tersebut jatuh dan sungguh menakjubkan berubah menjadi seorang yang mirip Buyut Cungking tetapi dalam keadaan yang sudah mati. Setelah itu Buyut Cungking pergi untuk kembali ke Cungking. Punakawan suruhan Ratu Belawan mencari Buyut Cungking ke seluruh penjuru tetapi tidak ketemu dengan Buyut Cungking. Namun tiba-tiba dia melihat seseorang yang tergeletak di bawah pohon, dengan tergesah-gesah punakawan tersebut segera menghampirinya untuk melihat siapa yang tergeletak itu. Ternyata seseorang tersebut adalah mirip sekali dengan Buyut Cungking dan sudah dalam keadaan mati. Punakawan tersebut mengira itu adalah Buyut Cungking diapun duduk terdiam sambil merenung. Dengan perasaan yang sangat sedih dia menguburkan mayat tersebut. Kuburan itu dinamakan kuburan si lancing atau sering disebut pasarean si lancing yang terletak + 1 km dari Bekol kea rah Talpat. Karena rasa sedih yang begitu mendalam dan rasa putus asa tidak bisa mebawa pulang Buyut Cungking, punakawan tersebut akhirnya mengambil jalan pintas dengan bunuh diri.
          
Pada Akhir serita Buyut Cungking menghilang dengan hanya meninggalkan bajunya di daerah Cungking dan tak seorang pun tahu kemana perginya Buyut Cungking. Pada tempat Buyut Cungking meninggalkan bajunya itulah kemudian dibangun pesarean yang dikeramatkan.
          
Untuk menghormati dan mengenang Buyut Cungking, orang-orang yang masih keturunan Buyut Cungking selalu memperingati setiap tanggal 15 Sura dan 1 Syawal sebagai kegiatan adat istiadat dari nenek moyang mereka yang harus dilestarikan.
          
Untuk tanggal 15 Sura melakukan acara ritual di Baluran dengan tujuan untuk meminta keselamatan, ziarah ke Manting, Keramat, Pesarean si Lancing dan tempat-tempat yang mempunyai kaitan sejarah dengan Buyut Cungking. Mebersihkan tempat-tempat tertentu yang ada di Baluran. Acara selamatan ini wajib mempersembahkan 3 (tiga) macam makanan yaitu : Jenang pangapura, tumpeng panggang ayam dan kupat lepet.
          
Sedangkan pada 1 Syawal di Baluran mereka mengadakan silaturahmi, kegiatan ini dilakukan setelah 7 hari lebaran ketupat. Diantara 2 (dua) acara ritual ini yang paling banyak diminati adalah 15 Sura, karena acara ini dipandang sacral dan membawa berkah bagi yang mengikutinya.

 

Jejak Sejarah Petinggi Mataram Di Burangrang


Gunung Burangrang terdapat didaerah JAWA BARAT , yang mana disana terdapat makam -makam Panembahan Adipati kerajaan Mataram ,yang melarikan diri pada penjajahan Belanda dan bersembunyi dikaki bukit Burangrang  tersebut sampai akhir hayatnya . Mitos keangkeran gunung Burangrang sudah menjadi mitos masyarakat Jawa Barat.,apabila ada pesawat ataupun burung melewati diatas makam tersebut pasti akan jatuh .

Tatar pasundan memang pantas disebut  tanah parahyangan, keindahan yang dimilikinya memang  pantas menjadikannya  rumah para dewa (parahyangan). Kepingan keindahan itu dapat kita nikmati di Curug Cijalu, Subang Jawa Barat.

Wana Wisata Curug Cijalu berada dalam kawasan cagar alam Gunung Burangrang termasuk KPH Bandung Utara. Kawasan wisata ini berada pada ketinggian 1300 meter di atas permukaan laut. Menurut warga sekitar, jika hari cerah dari ketinggian kawasan tersebut kita bisa melihat kota Subang, kota Purwakarta dan Waduk Jatiluhur.

Curug Cijalu memiliki ketinggian sekitar 70 meter. Tumpahan airnya mengalir deras membelah bukit di kawasan gunung Burangrang jatuh ke kolam yang berada di dasar curug. Para pengunjung biasanya bermain-main air di kolam tersebut. Namun, karena suhu airnya yang sangat dingin para pengunjung biasanya tak berlama-lama bermain air.

Menurut cerita masyarakat sekitar, dahulu nama curug ini adalah curug Cikondang. Hingga suatu waktu ada seorang pendekar yang datang dan menetap di sana.  Konon, menurut masyarakat pendekar tersebut memiliki taji (jalu) hingga kemudian nama curug tersebut dikenal dengan nama curug Cijalu.


Di kawasan ini masih terdapat 2 curug lainnya, yaitu curug Putri / Perempuan dan curug Cilemper. Curug Putri berada 100 meter dari curug Cijalu. Curug ini dahulu dinamakan curug Cibuntu, namun sekarang lebih dikenal dengan curug Putri / Perempuan.

Masyarakat mengibaratkan kedua curug yang berdekatan ini seperti sepasang kekasih. Curug Cijalu dianggap curug “laki-laki” (dalam bahasa sunda, jalu artinya laki-laki) sedangkan curug Cibuntu sebagai “perempuan”nya. Curug ini tingginya hanya sekitar 30 meter. Meskipun tak terlalu tinggi namun curug ini begitu cantik, sesuai dengan namanya. Aliran air mengalir perlahan mengikuti tebing batu, menjadikan curug ini begitu eksotis di depan kamera.

Curug lainnya bernama curug Cilemper. Curug ini berada sekitar 500 meter dari curug Cijalu. Curug Cilemper lebih tinggi dari curug Cijalu yaitu sekitar 100 meter, debit airnya pun lebih besar. Namun karena letaknya yang tersembunyi dan jalan menuju curug ini cukup terjal sehingga tak banyak pengunjung yang sampai ke curug ini.

Belum puas menikmati keindahan kawasan curug di siang hari, pengunjung juga bisa menikmati suasana malam dengan camping di kawasan tersebut. Nikmati sensasi menginap ditengah hutan, ditemani gemuruh suara aliran air curug yang menghantam bebatuan.

Kawasan curug Cijalu sudah dibuka sejak 1 September 1984. Menurut warga sekitar, dahulu banyak keturunan Tionghoa yang berkunjung kesini untuk berdoa. Mereka menganggap curug ini tempat mandinya para bidadari.

Kawasan wana wisata curug Cijalu secara administratif masuk ke wilayah Desa Cipancar, Kecamatan Serang Panjang, Kabupaten Subang, Jawa Barat. Curug ini dapat dicapai dari Kota Subang sekitar 37 Km ke arah selatan, atau sekitar 63 Km dari kota Bandung ke arah utara. Sedangkan dari kota Purwakarta, curug ini sekitar 40 Km ke arah selatan.

Dari Jalan Raya Wanayasa – Jalan Cagak Anda akan menemukan gerbang Kawasan Wisata Cijalu di daerah Serang Panjang. Kemudian Anda harus menyusuri jalan desa sepanjang 3 Km. Suasana pedesaan khas tanah pasundan dan hamparan kebun teh akan menyambut Anda sebelum memasuki wana wisata curug Cijalu.

Sejarah Wanayasa

Wanayasa adalah sebuah daerah di kaki Gunung Burangrang, dan sekian juta tahun yang lalu berada di kaki Gunung Sunda (lihat peta rekonstruksi Gunung Sunda). Ketika Gunung Sunda meletus, abu volkaniknya melahirkan tanah yang subur di daerah sekitarnya, termasuk Wanayasa. Selain itu juga, melahirkan cekungan-cekungan dalam radius 100 km, yang kemudian di bagian selatan Gunung Sunda dikenal dengan sebutan cekungan Danau Bandung Purba. Di bagian utara, diduga cekungan tersebut masih menyisakan jejaknya yang kini dikenal dengan nama Situ Wanayasa dan Situ Cibeber, yang disebut masyarakat setempat sebagai “pangparatan” Situ Wanayasa.

Tanda-tanda bahwa Situ Wanayasa merupakan situ alam antara lain dengan banyaknya sumber air di area dan di dalam Situ Wanayasa itu sendiri. Oleh karena itu, sampai sekarang belum diketahui kedalaman sesungguhnya dari Situ Wanayasa tersebut, karena tak pernah kering sama sekali. Bentuknya seperti kuali (katel), yang membuat “tambakan” Situ Wanayasa sangat kokoh, dengan bagian terdalam diduga berada di bagian barat daya Pasir Mantri sekarang. Oleh karena itu, anggapan bahwa Situ Wanayasa merupakan situ yang dibuat pada zaman Dalem Santri, sulit diterima. Pasalnya, beberapa catatan Belanda dan sumber-sumber naskah kuna mengisyaratkan, Situ Wanayasa sudah ada jauh sebelum Dalem Santri lahir. Kisah tentang Eyang Tambak, misalnya, menurut tokoh masyarakat Wanayasa yang sudah berusia lanjut seperti Kiai Atang (Ama Atang) serta beberapa tokoh tua lainnya, bukan “membuat” tambakan Situ Wanayasa, namun “memperbaiki” tambakan tersebut yang suka bocor dan “urug” di beberapa bagian yang tanahnya labil. Eyang Tambak (nama aslinya belum teridentifikasi) adalah salah seorang tokoh yang disegani di Wanayasa pada masanya, sehingga ia diangkat menjadi pengatur air dari Situ Wanayasa untuk kepentingan persawahan yang airnya mengandalkan Situ Wanayasa. Eyang Tambak diperkirakan hidup sektar abad ke-19. Dan jauh sebelum masa itu Situ Wanayasa sudah ada. Artinya usia Situ Wanayasa jauh lebih tua daripada Dalem Santri maupun EyangTambak.Luas Situ Wanayasa membentang sekitar 17 ha. Namun sekarang luasnya tinggal menyisakan sekitar 7 ha lagi. Sisanya telah berubah menjadi persawahan penduduk. Terdapat empat penclut (bukit kecil) di area Situ Wanayasa dan empat penclut lagi berada di pinggir situ tersebut. Kini yang tersisa hanya penclut Pasir Mantri. Di setiap penclut tersebut terdapat makam dan petilasan kuna, yang erat kaitannya dengan perjalanan sejarah Wanayasa. Makam dan petilasan lainnya juga terdapat di sekitar daerah Wanayasa. Misalnya saja Makam Dalem Santri, Bupati Karawang yang memindahkan ibukota Kabupaten Karawang dari Bunut ke Wanayasa, terletak di penclut pertama dari timur. Tepatnya di Kampung Cibulakan, Desa Babakan, Kecamatan Wanayasa. Sedangkan di Pasir Mantri, penclut keempat yang kini merupakan satu-satunya penclut yang berada di tengah Situ Wanayasa, terdapat makam Kiai Warga Nala (Kiai Agung) dan Mas Bagus Jalani (Kiai Gede). Keduanya merupakan tokoh ulama di Wanayasa. Tampaknya Pasir Mantri ini merupakan kompleks pemakaman tokoh-tokoh agama (ulama) di Wanayasa. Sayangnya makam lainnya yang ada di Pasir Mantri, sekitar delapan atau sembilan makam lagi, belum teidentifikasi.Beberapa situs dan petilasan menandakan, bahwa sejak zaman prasejarah diduga telah ada kehidupan di Wanayasa. Antara lain dengan ditemukannya kapak batu di Pasir Kuda. Kemudian pada zaman sejarah, sebelum masuknya agama Islam ke Wanayasa, diduga telah ada kehidupan masyarakat yang mempunyai kepercayaan lama dan Hindu-Budha. Antara lain ditandai dengan ditemukannya Batu Kasur, Batu Tanceb, Batu Tapak, arca Nandi (Batu Babantengan) yang diduga saat itu merupakan wilayah Kerajaan Saung Agung.
Pada zaman Kerajaan Sunda (Pajajaran), tercatat dalam beberapa naskah kuna, antara lain Carita Parahiyangan dan Bujangga Manik, di Wanayasa terdapat sebuah kerajaan bernama Kerajaan Saung Agung dengan rajanya Ratu Hyang Banaspati. Ada dugaan bahwa Batu Tapak di Cekselong (Desa Babakan, Kecamatan Wanayasa) merupakan tinggalan pada masa itu. Walaupun kepastiannya memerlukan penelitian lebih lanjut.

Kerajaan Saung Agung merupakan kerajaan-wilayah Kerajaan Sunda terakhir yang ditaklukkan oleh Kerajaan Cirebon pada masa kepemimpinan Syarif Hidayatullah atau lebih dikenal dengan nama Sunan Gunung Jati. Pada tahun 1530,bagian utara Tatar Sunda yang berbatasan dengan Sungai Citarum, sebelah timur telah dapat dikuasai oleh Kerajaan Cirebon. Sedangkan bagian barat dikuasai Banten. Nama Saung Agung, menurut Edi S. Ekadjati kemudian diganti dengan Wanayasa, yang merupakan reduplikasi dari nama yang dibawa dari Cirebon. Hal itu tampaknya ditandai pula dengan banyaknya kesamaan nama tempat yang berada di Wanayasa dan sekitarnya (termasuk Purwakarta) dengan nama yang terdapat di wilayah Cirebon (termasuk Kuningan, Majalengka, dan Indramayu). Nama-nama itu antara lain: Wanayasa, Sindangkasih, Ciracas (di Cirebon Caracas, sama dengan di Kalijati), Cibuntu, Panembahan, Pawenang, Lemah Duhur, Gandasoli, Leuwihujan, Gembong (di Cirebon Gembongan), Maniis, Plered, Palumbon (di Cirebon Plumbon), Bunder, Bongas, Depok, dan banyak lagi yang lainnya.

Di bagian selatan Wanayasa (Kecamatan Beber Kabupaten Cirebon), terdapat tiga nama berdekatan membentuk segitiga, yakni Bakom, Karanganyar, Cipulus. Nama yang sama terdapat pula di bagian selatan Wanayasa (Purwakarta), juga dengan posisi membentuk segitiga, yakni Cibakom, Karanganyar, Cipulus. Bedanya Bakom di Cirebon menjadi Cibakom di Wanayasa (Purwakarta). Di antaranya juga ada dua gunung yang bernama sama: Gunung Sembung (di Sukatani dan Cirebon) serta Gunung Karung (di Maniis dan Luragung). Walaupun pada perkembangan selanjutnya terdapat nama-nama kampung atau daerah yang tampaknya sangat lazim di wilayah kekuasaan Kerajaan Mataram saat itu, antara lain Kampung Krajan. Nama Kampung Krajan terdapat hampir di seluruh Pulau Jawa, dari Jawa Timur hingga Banten. Teori reduplikasi ini didukung pula oleh hasil-hasil penelitian para ahli genetika sejarah seperti Paul Michel Munoz.

Di bidang pemerintahan, Wanayasa pernah menjadi kaumbulan dengan nama Umbul Aranon. Dan ketika merupakan bagian dari Tatar Ukur di bawah Dipati Ukur Wangsanata bernama Ukur Aranon dengan nama umbulnya Ngabei Mertawana. Bersama Ukur Sagalaherang dan Ukur Krawang disebut sebagai Ukur Nagara Agung, merupakan bagian dari Ukur Sasanga bersama enam wilayah lainnya di Bumi Ukur. Ketika Tatar Ukur diubah menjadi Kabupaten Bandung di bawah Tumenggung Wira Angun-angun, Ukur Aranon termasuk di dalamnya.

Diduga kuat nama Wanayasa pada saat itu sudah ada, walaupun belum menjadi nama wilayah administratif pemerintahan. Barulah pada tahun 1681 Wanayasa dipersiapkan untuk menjadi kabupaten. Lalu pada tanggal 16 Agustus 1684 Kabupaten Wanayasa diresmikan dengan bupatinya yang pertama Raden Demang Suradikara. Yang kemudian mendapat gelar Aria, sehingga namanya menjadi Radem Aria Suradikara, yang lebih dikenal dengan nama Dalem Aria. Pengganti Dalem Aria, menurut sumber-sumber tradisional berturut-turut adalah: Dalem Panengah, Dalem Rajadinata, Dalem Raden Suradikara II, Dalem Raden Suradikara III, dan Dalem Raden Suradikara IV atau Dalem Sumeren. Kabupaten Wanayasa dibubarkan pada tahun 1789 dan digabungkan dengan Kabupaten Karawang. Lalu sempat digabungkan dengan Kabupaten Sumedang, dan digabungkan kembali dengan Kabupaten Karawang.

Ketika Wanayasa merupakan afdeeling bagian dari Kabupaten Sumedang, Wanayasa dijadikan ibukota Keresidenan Priangan sejak tahun 1816, yang membawahi Kabupaten-kabupaten: Sumedang, Bandung, Cianjur, Sukapura, dan Limbangan. Residennya saat itu adalah W.C van Motman. Bahkan ketika Wanayasa digabungkan kembali dengan Kabupaten Karawang pada tahun 1820, ibukota Keresidenan Priangan masih tetap di Wanayasa, paling tidak sampai tahun 1824. Padahal saat itu Wanayasa juga dijadikan ibukota Kabupaten Karawang sejak tahun 1821. Keresidenan Priangan dipindahkan ke Cianjur tahun 1829.

Bupati Karawang saat itu adalah Raden Tumenggung Surianata yang berasal dari Bogor. Dan dikenal dengan seburan Dalem Santri. Ia meninggal dunia tahun 1827 dan dimakamkan di Wanayasa. Makamnya terletak di Kampung Cibulakan, Desa Babakan (Kecamatan Wanayasa). Menurut sumber-sumber di Wanayasa, penggantinya adalah Raden Suriadinata, yang dikenal dengan sebutan Dalem Bogor. Ia tidak lama menjadi Bupati Karawang, hanya sekitar dua tahun. Oleh karena itu disebut juga dengan istilah Dalem Panyelang. Meninggal dunia sekitar tahun 1829 dan dimakamkan di Wanayasa. Makamnya terletak di Pemakaman Blok Desel, Gang Mayit Wanayasa. Pada batu nisannya tertera: R. Suria di Nata bin R. Karta di Reja, wafat Rabiul Awal 1244 (H). Kemudian digantikan oleh Raden Tumenggung Suriawinata atau Dalem Sholawat pada tahun 1829. Ialah yang memindahkan ibukota Kabupaten Karawang dari Wanayasa ke Sindangkasih, yang kemudian dinamai Purwakarta.

Wanayasa juga tercatat dalam sejarah perniagaan kopi di Priangan. Kopi-kopi yang berasal dari Bandung, Sumedang, Cisalak, Sagalaherang dan sekitarnya, serta tentu saja dari Wanayasa sendiri; dikumpulkan, ditimbang ulang, dan ditimbun di Gudang Kopi di Wanayasa. Kemudian dibawa dengan pedati ke Pelabuhan Cikao di tepi Sungai Citarum untuk dikapalkan ke Batavia. Bekas Gudang Kopi itu sekarang jadi gedung SDN 1 Wanayasa. Gudang Kopi tersebut tercatat dijadikan bangunan sekolah pada tahun 1864 dengan murid pertamanya 19 orang, yang berusia antara 10 – 23 tahun. Guru pertamanya adalah Mas Muharam dari Dawuan (Cikampek sekarang).

Wanayasa menjadi tempat transit hasil kopi, karena Wanayasa dilewati oleh jalan tradisional yang menghubungkan Kawali (di Ciamis sekarang) dengan Pakuan (di Bogor sekarang). Jalan yang disebut-sebut sebagai “Highway Pajajaran” tersebut diduga sudah ada sejak zaman Kerajaan Sunda di bawah kekuasan Prabu Wretikandayun. Menyusuri Kawali – Karang Sambung – Tomo – Kutamaya – Cisalak – Sagalaherang – Wanayasa – Kembang Kuning – Cikao – Tanjungpura – Cibarusah – Warung Gede – Cileungsi – Pakuan.

Menurut R.A Sumarsana, juru kunci situs Karang Kamulyan Ciamis, dari Wanayasa jalan tersebut belok ke utara melalui Rancadarah (lewat Situ Wanayasa) terus sampai Simpang (Purwakarta), dari sana berbelok ke Cigedogan lalu menyeberangi Sungai Cikao ke Kembang Kuning, dan seterusnya. Jadi anggapan bahwa jalan lama itu memutar ke arah Bojong, lalu di Cikeris berbelok ke Sindangpanon, sulit diterima. Karena jalan ke arah Bojong awalnya merupakan jalan kontrak, yang dibuat untuk kepentingan perkebunan teh, sama halnya dengan jalan Sindangpanon ke Pondoksalam. Begitu pula dengan anggapan bahwa jalan lama itu melalui Gandasoli yang keluar dari Galian. Secara logika pun, jika jalan tersebut yang dipergunakan, maka pusat Kota Wanayasa tidak akan berada di tempatnya yang sekarang, tapi di jalur jalan antara Babakan – Gandasoli. Dan ini lagi yang tak masuk akal, jauh dari Gudang Kopi. Logikanya, jalan “Highway Pajajaran” itu, ya jalan yang dekat ke Gudang Kopi dan melalui Alun-alun Wanayasa. Pasalnya, kopi sudah ditanam di Priangan, termasuk di Wanayasa pada awal abad ke-18. Mulai ditanam di Priangan tahun 1707, dan ditanam secara besar-besaran sepuluh tahun kemudian. Gudang Kopi di Wanayasa, diperkirakan dibangun pada pertengahan abad ke-18, setelah tanaman kopi dipanen dan menampakkan hasilnya yang menggembirakan VOC (VOC dibubarkan tahun 1799).

Menurut Haryoto Koento, jalan yang menyusuri Sungai Cikapundung (Kota Bandung sekarang), mulai dari Alun-alun – Jalan Braga – Coblong – Dago hingga ke Maribaya, pada abad ke-17 bernama Jalan Wanayasa. Dari Maribaya berbelok ke utara, melewati jalan lama Cupunagara, Sanca, yang tembus ke Cisalak. Dari sana orang bisa memilih, ke selatan menuju Sumedang dan ke barat menuju Wanayasa. Jalur jalan yang sama juga dipergunakan oleh orang Bandung ketika mengangkuti material pembangunan gedung-gedung pemerintah, ketika ada wacana memindahkan ibukota Pemerintah Hindia Belanda ke Bandung sekitar akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20. Material-material itu dibawa dari Batavia dengan kapal ke Pelabuhan Cikao, kemudian diangkut dengan pedati kerbau ke Bandung melalui jalur “Highway Pajajaran”. Banyak orang Bandung yang harus “mondok-moek” bahkan bermukim di Cikao, sehingga sejak itu namanya menjadi Cikao bandung.

Wanayasa juga tercatat dalam sejarah perkebunan teh di Indonesia. Adalah Jacobson, ahli teh dari Belanda yang kali pertama membuat Kebun Percobaan di Cisurupan (Garut) dan Wanayasa (Purwakarta) pada tahun 1827. Diduga kebun percobaannya itu di sekitar Pasir Nagara Cina sekarang. Pasalnya, beberapa botanikus kenamaan Belanda saat itu seperti Christian Heinrich Macklot sempat berkunjung ke Pasir Nagara Cina tahun 1831. Tak hanya Macklot, beberapa botanikus terkenal pun sempat datang ke Pasir Nagara Cina. Lalu pada tahun 1828 Jacobson membuka perkebunan teh skala besar di Wanayasa. Yang diikuti dengan pembangunan pabrik teh Wanayasa (diduga di daerah Sindangpanon dan Sukadami sekarang). Merupakan pabrik teh yang pertama dibangun di Indonesia. Keberhasilan Jacobson itulah yang kemudian memicu Pemerintah Hindia Belanda, bekerja sama dengan pengusaha partikulir, membuka perkebunan teh di berbagai daerah.

Jacobson membawa beberapa tenaga untuk perkebunan teh dan pabriknya langsung dari Cina. Para pekerja lainnya juga kebanyakan orang-orang Cina dari Makao, sehingga disebut Cina Makao. Mereka ditempatkan di sebuah bukit di kaki Gunung Burangrang, yang kemudian dikenal dengan nama Pasir Nagara Cina. Artinya, sebelum perlawanan Cina Makao di Purwakarta tahun 1832, orang-orang Cina Makao sudah bermukim di Pasir Nagara Cina. Justru orang-orang Cina Makao sebagian besar hengkang dari Pasir Nagara Cina setelah peristiwa tersebut. Beberapa orang di antaranya memilih tinggal di daerah sekitar Wanayasa.

Macklot, sang botanikus muda kelahiran Jerman, pada tahun 1832 menjadi tentara KNIL. Ia ditempatkan di Wanayasa, memimpin pasukan artileri yang dilengkapi senjata berat seperti meriam. Tiga buah meriam di antaranya dibawa Macklot ketika memadamkan perlawanan Cina Makao di Purwakarta tanggal 8 – 9 Mei 1832. Perlawanan Cina Makao itu meluas hingga ke Tanjungpura. Tapi di sana mampu dipadamkan oleh pasukan Belanda pimpinan Alibasah Sentot Prawirodirjo, mantan senapati andalan Pangeran Diponegoro, yang saat itu sudah menyerahkan diri ke pihak Belanda setelah ditangkap nya Pangeran Diponegoro. Sisa-sisa “karaman” Cina Makao kembali ke timur. Mereka bertemu dengan pasukan Bupati Priangan serta pasukan Macklot di Dawuan. Terjadi lagi pertempuran hebat di sana. Macklot terluka di Dawuan dan meninggal dunia 12 Mei 1832 di Purwakarta pada usia 33 tahun.

Sehari kemudian, tanggal 10 Mei 1832 Cina Makao dari Pasir Nagara Cina mengikuti jejak teman-temannya yakni Cina Makao dari Cilangkap, melakukan penyerangan ke Purwakarta. Tapi mereka terhenti di tanjakan Pasir Panjang oleh tentara Belanda. Terjadilah pertempuran hebat sehingga memakan banyak korban di kedua belah pihak. Darah membasahi bumi hingga “ngaranca”, seperti layaknya rawa. Maka daerah itupun dinamai Rancadarah. Mayat-mayat ditumpuk di sebuah lembah (legok). Ketika pejabat Pemerintah Hindia Belanda akan mendata jumlah korban, ia harus menggunakan “sigay” untuk menuruni lembah tersebut. Maka sejak itulah dinamakan Legok Sigay.

Sisa-sisa pemukiman Cina Makao di Pasir Nagara Cina, di antaranya adalah Pintu Hek yang merupakan pintu gerbang ke pemukiman tersebut. Kemudian gang di samping Klinik Dokter Ridwan sekarang, menurut almarhum Bapak R. Moh. Idris (Bapak Eni) dulunya bernama Gang Babah Kecil, karena di ujung gang tersebut tinggal Cina Makao dari Pasir Nagara Cina yang tidak turut hengkang dari Wanayasa setelah Peristiwa Rancadarah. Ia disebut Babah Kecil karena berperawakan kecil. Tak ada keterangan Babah Kecil menikah dengan masyarakat setempat, namun ia ditakdirkan berusia lanjut, sehingga banyak orang Wanayasa saat itu yang sempat mendengar kisah perlawanan Cina Makao di Purwakarta langsung dari Babah Kecil.

Beberapa catatan penting tentang Wanayasa:Pada zaman Kerajaan Sunda (Pajajaran) di Wanayasa sudah ada kerajaan wilayah bernama Kerajaan Saung Agung dengan rajanya Ratu Hyang Banaspati. Ia memberontak kepada Kerajaan Sunda, karena tidak setuju Prabu Jayadewata (Prabu Siliwangi) dan penggantinya Prabu Surawisesa, melakukan kontak (hubungan diplomatik) dengan Portugis.Wanayasa pernah menjadi kaumbulan, termasuk wilayah Tatar Ukur dibawah Dipati Ukur dengan nama Ukur Aranon dengan umbulnya bernama Ngabei Mertawana. 

Wanayasa menjadi kabupaten “anu madeg mandiri” antara tahun 1681 – 1789. Kabupaten tersebut dipersiapkan tahun 1681 dan diresmikan 16 Agustus 1684 dengan regent pertamanya Demang Suradikara. Batas-batas wilayahnya: sebelah timur Sungai Cilamaya, sebelah selatan Sungai Cisomang, sebelah barat Sungai Citarum, dan sebelah utara Ciasem. Wanayasa menjadi ibukota Keresidenan Priangan sejak tahun 1816. Saat itu Wanayasa menjadi bagian (afdeling) dari Kabupaten Sumedang. Residen Priangan saat itu W.C. van Motman. Ketika Wanayasa menjadi bagian dari Kabupaten Karawang, tahun 1820, Wanayasa masih tetap menjadi ibukota Keresidenan Priangan. Ibukota Keresidenan Priangan baru dipindahkan ke Cianjur tahun 1829. Tahun 1835, Asisten Residen Karawang, Jacobson, memindahkan kantornya dari Sindangkasih (Purwakarta) ke Wanayasa. Asisten Residen sebelumnya, G. de Seriere, turut pindah dari Wanayasa ke Sindangkasih bersamaan dengan dipindahkannya ibukota Kabupaten Karawang dari Wanayasa ke Purwakarta.Wanayasa menjadi ibukota Kabupaten Karawang tahun 1821 – 1830. 

Kemudian ibukota Kabupaten Karawang dipindahkan ke Sindangkasih (Purwakarta) tahun 1830 oleh Dalem Sholawat yang menjadi Bupati Karawang tahun 1829. Sebelumnya Bupati Karawang di Wanayasa adalah Dalem Santri (R. Surianata) tahun 1821 – 1827 dan Dalem Bogor (R. Suriadinata) tahun 1827 – 1829, ia disebut juga Dalem Panyelang.Wanayasa dilalui jalan “Highway Pajajaran”, yakni jalan yang sekarang melalui Alun-alun Wanayasa dan Situ Wanayasa. Tidak lewat Cikeris, tidak juga lewat Gandasoli. Situ Wanayasa merupakan situ alam, yang sudah ada sebelum Dalem Santri menjadi Bupati Karawang dan Eyang Tambak lahir.

 

Doa Nabi Sulaiman Menundukkan Hewan dan Jin

  Nabiyullah Sulaiman  'alaihissalam  (AS) merupakan Nabi dan Rasul pilihan Allah Ta'ala yang dikaruniai kerajaan yang tidak dimilik...