Senin, 23 November 2020

Rahasia Dibalik Angka 40


Ternyata, puasa bukan amalan ibadah umat Islam saja. Ia juga merupakan amalan lazim masyarakat sebelum agama Islam diturunkan seperti Mesir kuno, Yunani kuno, bangsa Romawi dan China kuno. Pada permulaan sejarah manusia, diyakini oleh banyak agama puasa sebagai salah satu wasilah mencapai keagungan spiritual dan menjadi penawar kealpaan yang bisa menjauhkan pelakunya dari kemungkaran.

Bangsa Phoenix di Mesir, berpuasa untuk menghormati Dewi Isis. Sekitar tahun 193 SM, bangsa Romawi kuno berpuasa selama setahun penuh dalam setiap lima tahunan untuk menghormati Dewa Osiris. Osiris adalah Dewa pelindung kematian, saudara sekaligus suami Dewi Isis.

Bangsa Yunani mempelajari kelebihan puasa dari bangsa Mesir kuno. Puasa, dalam kamus militer Yunani kuno, dianggap sebagai persiapan awal menghadapi peperangan. Bangsa Romawi pun meniru ritual puasa dari bangsa Yunani. Mereka percaya, puasa bisa menjadi benteng diri karena mengandung dua dimensi kekuatan baik secara fisik maupun metafisik (ketahanan dan kesabaran). Sedangkan dalam ajaran China kuno, puasa termasuk salah satu ajaran Budha dalam rangka menyucikan diri.

Demikian juga puasa yang diperintahkan Allah SWT pada ajaran samawi (agama wahyu) seperti Yahudi dan Nasrani melalui para nabi yang diutus pada mereka. Dalam Kitab Taurat dikisahkan (Surah Eksodus), Nabi Musa AS berpuasa selama 40 hari di Gunung Sinai. Saat itulah Nabi Musa AS diamanahkan beban kepemimpinan.

Tradisi puasa Musa As itu kemudian diteruskan bangsa Yahudi sebagai bentuk penolak bala atas bencana yang menimpa. Mereka percaya, puasa bisa mereda murka Tuhan dan mengampuni dosa-dosa mereka. Bangsa Yahudi juga berpuasa untuk mengenang peristiwa kemusnahan Bandar Jerusalem di tangan Nebucednezar II (605-562 SM) putera Nabopelessar, pendiri kerajaan Babylon baru tahun 597 SM.

Adapun Nabi Isa As, Rasul dari bangsa Yahudi yang terakhir bersama dengan ibunya, Maryam binti Imran, turut melaksanakan ibadah puasa pada hari tersebut. Nabi Isa AS bersama para hawari (pengikutnya) hendak meneruskan tradisi puasa 40 hari Nabi Musa AS. Tradisi puasa  inilah yang kemudian diteruskan dalam ajaran Kristen setiap kali merayakan hari raya Paskah sebelum akhirnya para teolog mereka memperkenalkan model puasa dengan tidak memakan daging, ikan, dan telur.

Ada yang berpuasa meninggalkan makan, minum, tidak bersetubuh, atau cukup dengan tidak berkata-kata saja seperti puasanya Siti Maryam (aku tidak akan berkata-kata dengan seorang manusiapun pada hari ini, QS Maryam [19]: 26). Seperti nazarnya Siti Maryam, suku Aborigin di Australia pun melakukan hal yang sama. Mereka mewajibkan puasa dari berkata-kata bagi seorang istri yang ditinggal mati suaminya selama satu tahun penuh.

“…sebagaimana telah diwajibkan pada umat sebelum kamu,” (QS al Baqarah [2]: 183).

Puasa dalam ajaran Islam benar-benar disesuaikan dengan fitrah dan kemampuan manusia. Sebab, yang menjadi tujuan puasa dalam Islam bukanlah kepedihan, penderitaan, atau untuk menyiksa diri. Melainkan, mendidik pelakunya agar mampu mengendalikan nafsu syahwat perut dan kelamin.

Semuanya dilakukan sesuai kemampuan manusia dan kadar kekuatan manusia dalam menahan rasa lapar. Umat Islam hanya disuruh berpuasa dari makanan dan minuman sekira 13 jam. Mulai dari imsyak sampai waktu Maghrib Sungguh, sesuai dengan kekuatan maskimal seorang manusia menahan rasa lapar.

Besar atau tidaknya pahala puasa, tidak dinilai dari kuat tidaknya seseorang menahan rasa lapar. Sekalipun seseorang kuat berpuasa sampai waktu Isya tiba tanpa terlebih dahulu sahur misalnya, alih-alih mendapatkan pahala yang besar yang ada malah puasanya tidak memiliki pahala. Ini perumpamaan, betapa seseorang mesti menunaikan ibadah puasa sesuai dengan ketentuan yang telah digariskan Allah dan Rasul-Nya.

Puasa dilakukan sebagai bukti kecintaan seseorang kepada Allah SWT Berkat kecintaan kepada Allah SWT, seseorang menunaikan segala titah-Nya. Memenuhi perintah Allah SWT merupakan syarat meraih ridha dan maghfirah-Nya.

Puasa 40 hari

Apakah puasa selama 40 hari ada ajarannya dari Rasul dan bolehkah kita mengamalkannya?

Puasa 40 hari pernah dilakukan Nabi Musa a.s. sebagai persiapan untuk menerima wahyu di bukit Turisina Mesir.

Ahli tafsir Imam Qurtubi memetik pendapat As-Syaabi dan Qatadah menerangkan, puasa 40 hari diamalkan umat Nabi Musa dan Nabi Isa. Menurut sejarah, Nabi Musa bersama kaumnya berpuasa selama 40 hari semasa berada di Bukit Tursina, Mesir.

Nabi Isa dan pengikut setianya mengamalkan puasa ala Nabi Musa dan kaumnya. Dalam surah Mariam dinyatakan, Nabi Zakaria dan Mariam sering mengamalkan puasa. 

AJARAN KRISTEN
 
Amalam Nabi Isa tersebut kini menjadi ajaran agama Kristen. Dalam ajaran Kristen, Yesus Kristus (Nabi Isa a.s.) menjalankan puasa 40 hari.

Kini umat Kristen melaksanakan puasa 40 hari masa pra-Paskah, namun hanya berupa tidak memakan makanan tertentu, misalnya biasanya sehari-hari makan daging, selama 40 hari tidak makan daging. Yang biasanya masak dengan garam, selama 40 hari masak tidak memakai garam.

Dalam Islam, puasa 40 hari tidak dikenal atautidak disyariatkan sehingga tidak ada ajarannya dari Rasulullah Saw.

Yang ada dan jelas dalilnya, adalah IBADAH SELAMA 40 HARI (namun tidak secara khusus menyebutkan ibadah puasa), sebagaimana hadits berikut ini:

“Barangsiapa mengikhlashkan dirinya kepada Allah (dalam beribadah) selama 40 hari maka akan zhahir sumber-sumber hikmah daripada hati melalui lidahnya”. (HR. Abu Dawud dan Abu Nu’man dalamAl-Hilyah).

“Barangsiapa yang shalat karena Allah selama 40 hari secara berjama’ah dengan mendapatkan Takbiratul pertama (takbiratul ihramnya imam), maka ditulis untuknya dua kebebasan, yaitu kebebasan dari api neraka dan kebebasan dari sifat kemunafikan.”(HR. Tirmidzi).

“Siapa yang menekuni (menjaga dengan teratur) shalat-shalat wajib selama 40 malam, tidak pernah tertinggal satu raka’atpun maka Allah akan mencatat untuknya dua kebebasan; yaitu terbebas dari neraka dan terbebas dari kenifakan.” (HR. Al-Baihaqi,Syu’abul Iman). Wallahu a’lam bish-shawab.*

Dalil Hadits rahasia Amalan 40 hari : puasa, ibadah, tawajuhhan dzikir, dakwah
Hadits riwayat Abu Dawud dan Abu Nu’man dalam kitab Al-Hilyah :

Nabi Muhammad Saw. bersabda yang maksudnya : “Barangsiapa mengikhlashkan dirinya kepada Allah (dalam beribadah) selama 40 hari maka akan zhahir sumber-sumber hikmah daripada hati melalui lidahnya”. (HR. Abu Dawud dan Abu Nu’man dalam alhilyah).

– Imam at Tirmidzi meriwayatkan dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu, ia mengatakan, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda:

مَنْ صَلَّى لِلَّهِ أَرْبَعِينَ يَوْمًا فِي جَمَاعَةٍ يُدْرِكُ التَّكْبِيرَةَ الْأُولَى كُتِبَتْ لَهُ بَرَاءَتَانِ بَرَاءَةٌ مِنْ النَّارِ وَبَرَاءَةٌ مِنْ النِّفَاقِ

“Barangsiapa yang shalat karena Allah selama 40 hari secara berjama’ah dengan mendapatkan Takbiratul pertama (takbiratul ihramnya imam), maka ditulis untuknya dua kebebasan, yaitu kebebasan dari api neraka dan kebebasan dari sifat kemunafikan.” (HR. Tirmidzi, dihasankan oleh Syaikh Al Albani (wahabi majnun) di kitab Shahih Al Jami’ II/1089, Al-Silsilah al-Shahihah: IV/629 dan VI/314).
– hadits yang diriwayatkan Imam Al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman, dari Anas bin Malik radliyallah ‘anhu:

مَنْ وَاظَبَ عَلَى الصَّلَوَاتِ الْمَكْتُوْبَةِ أَرْبَعِيْنَ لَيْلَةً لا تَفُوْتُهُ رَكْعَةٌ كَتَبَ اللهُ لَهُ بِهَا بَرَاءَتَيْنِ، بَرَاءَةٌ مِنَ النَّارِ وَبَرَاءَةٌ مِنَ النِّفَاقِ

“Siapa yang menekuni (menjaga dengan teratur) shalat-shalat wajib selama 40 malam, tidak pernah tertinggal satu raka’atpun maka Allah akan mencatat untuknya dua kebebasan; yaitu terbebas dari neraka dan terbebas dari kenifakan.” (HR. Al-Baihaqi, Syu’abul Iman, no. 2746)

– Dalam kitab syarah al-hikam

Nabi SAW bersabda :” Barangsiapa Yang Mengamalkan Ilmu Yang Ia Ketahui Maka Allah Akan Memberikan Kepadanya Ilmu Yang Belum Ia Ketahui”.

– Hadits qudsy shahih Riwayat Hakim

Dari Abu Darda Ra. berkata : “Aku mendengar Rasulullah Saw. Bersabada, “Sesungguhnya Allah Swt berfirman kepada Isa As. : “Aku akan mengirimkan satu umat setelahmu (ummat Muhammad Saw.), yang jika Aku murah hati pada mereka, mereka bersyukur dan bertahmid, dan jika Aku menahan diri, mereka sabar dan tawakal tanpa [harus] mempunyai hilm (kemurahan/kemurahan hati) dan ‘ilm (ilmu) .” Isa bertanya: “Bagaimana mereka bisa seperti itu ya Allah, tanpa hilm dan ‘ilm?” Allah menjawab: “Aku memberikan mereka sebagian dari hilmKu dan ‘ilmu-Ku.” [HR. Hakim. Katanya Hadits ini shahihmenurut syarat Bukhary, tetapi ia tidak meriwayatkannya, sedangkan adzahaby menyepakatinya”. I/348]

Keterangan : Hadits ini juga terdapat pada Muntakhab hadits SyaikhulHadits Maulana Yusuf, Hadits No. 27, Bab ikhlash dan Juga terdapat pada kitab Ucapan Nabi Isa as dalam kisah-kisah literature umat islam, Tarif Khalidi.

– Dalam hadits qudsy (Kitab Futuh Mishr wa Akhbaruha, Ibn ‘Abd al-Hakam wafat 257 H).

Allah mewahyukan kepada Isa untuk mengirimkan pendakwah ke para raja di dunia. Dia mengirimkan para muridnya. Murid-muridnya yang dikirim ke wilayah yang dekat menyanggupinya, tetapi yang dikirim ke tempat yang jauh berkeberatan untuk pergi dan berkata: “Saya tidak bisa berbicara dalam bahasa dari penduduk yang engkau mengirimkan aku kepadanya.” Isa berkata: “Ya Allah, aku telah memerintahkan murid-muridku apa yang Kau perintahkan, tetapi mereka tidak menurut.” Allah berfirman kepada Isa: “Aku akan mengatasi masalahmu ini.” Maka Allah membuat para murid Isa bisa berbicara dalam bahasa tempat tujuan mereka diutus.

– Dalam hadis qudsi, Nabi Isa as. Juga bersabda:

“Isa As. berkata: “Buat kalian tidak ada gunanya mendapat ilmu yang belum kalian ketahui, selama kalian tidak beramal dengan ilmu yang telah kalian ketahui. Terlalu banyak ilmu hanya menumbuhkan kesombongan kalau kalian tidak beramal sesuai dengannya.” [ Diriwayatkan oleh (Abu ‘Abdallah Ahmad bin Muhammad al-Syaibani) Ibn Hanbal (… – 241 H), Kitab al-Zuhd, 327. Dan (Abu Hamid Muhammad bin Muhammad) Al-Ghazali (… – 505 H), Ihya’ ‘Ulum al-Din, 1:69-70].
Salah satu materi pengajian yang dibahas oleh Kyai Masyhuri di Pondok Pesantren Al-Madinah Kecamatan Diwek Kabupaten Jombang adalah puasa mutih selama 40 hari. Pembahasan puasa mutih menarik perhatian terutama menyangkut nilai-nilai Islam yang telah diadaptasi dalam budaya Jawa. Apakah pengertian puasa mutih? Puasa mutih adalah puasa yang dilakukan dengan cara memakan makanan hanya yang berwarna putih saja. Misalnya nasi putih, ketela pohon dan tahu direbus.
 
TINJAUAN PUASA MUTIH DARI ILMU BIOLOGI

Kyai Masyhuri menjelaskan puasa mutih dari sudut pandang agama Islam dan ilmu biologi bahwa sirkulasi darah manusia berlangsung selama 40 hari. Bila sebuah sel darah telah berumur 40 hari maka sel tersebut akan rusak dan tugasnya digantikan oleh sel-sel darah yang baru diproduksi oleh tulang. Hal ini senada dengan tinjauan dari ilmu Biologi yang saya pelajari dari bangku sekolah. Itulah salah satu bukti bahwa Islam dan ilmu pengetahuan modern telah men-sinkron-kan diri sejak lama, bahkan sebelum para ilmuwan Barat melek aksara.

Nah, selama 40 hari pula sari-sari makanan yang masuk ke dalam tubuh bertahan dan membentuk homeostatis tubuh. Ada yang berupa protein, vitamin, lemak, air, dan zat-zat lain yang terkandung di dalam makanan. Bagaimana dengan feses yang kita buang setiap hari? Yang kita keluarkan melalui sistem ekskresi, buang air besar dan buang air kecil, hanyalah ampas saja. Sementara sari-sari makanan akan tetap beredar di tubuh manusia selama 40 hari.

Dalam pandangan Islam, jika makanan yang dikonsumsi seorang muslim adalah makanan haram, maka selama 40 hari tersebut darahnya mengandung makanan haram. Ini artinya amal ibadah manusia tersebut selama 40 hari tidak akan diterima Allah. Dari pemikiran inilah awal mula para pelaku ritual puasa mutih menjalankan puasa tidak makan makanan selain yang berwarna putih. Padahal tubuh manusia membutuhkan nutrisi yang seimbang dan lengkap setiap hari.

Dengan dasar aliran darah yang membawa sari-sari makanan bertahan di dalam tubuh manusia selama 40 hari, maka tradisi umat Islam dari suku Jawa mengisyaratkan pertobatan manusia dilakukan selama 40 hari dengan menjalankan puasa mutih. Saya tidak tahu pasti siapakah wali atau ulama yang mengajarkan puasa mutih. Namun menurut telisik beberapa sumber sejarah, tradisi puasa mutih sudah ada sejak jaman Kanjeng  Sunan Bonang dan Kanjeng  Sunan Kalijogo. Mungkin dari situlah kebiasaan puasa mutih berawal hingga bertahan sampai sekarang.

وَإِذْ وَاعَدْنَا مُوسَى أَرْبَعِينَ لَيْلَةً ثُمَّ اتَّخَذْتُمُ الْعِجْلَ مِنْ بَعْدِهِ وَأَنْتُمْ ظَالِمُونَ  (البقرة : 51 )

“Dan (ingatlah), ketika kami berjanji kepada Musa (memberikan Taurat, sesudah) empat puluh malam, lalu kamu menjadikan anak lembu (sembahan) sepeninggalnya dan kamu adalah orang-orang yang zalim”

Ayat ini merupakan uraian yang ketiga dari nikmat Allah swt yang diberikan kepada Bani Israil. Peletakan ayat ini beriringan dengan ayat sebelumnya mengisyaratkan adanya ‎korelasi integratif (hubungan kesatuan yang tidak terpisahkan) diantara keduanya. Dimana pada ayat sebelumnya, Allah swt mengkisahkan penyelamatan Bani Israil dari pengejaran Fir’aun dan kaumnya yang merupakan nikmat penyelamatan jasmani. 
Sedang pada ayat ini, Allah swt mengungkapkan janji-Nya memenuhi harapan Bani Israil untuk memiliki kitab suci sebagai pedoman hidup, sesuai dengan permintaan  mereka,  yang  merupakan nikmat penyelamatan ruhani.

Dalam hal janji untuk menurunkan  kitab suci Taurat kepada ‎Nabi Musa as sebagai pedoman kehidupannya dan kehidupan  umatnya ‎(Bani Israil),  Allah swt menuntut ‎tamhid (introduksi/upaya pendahuluan) kepada Nabi Musa as dalam bentuk keharusan melaksanakan munajat (menghadapkan diri) lebih dulu selama waktu yang ditentukan,  yakni selama 40 (empat puluh) malam. Hal ini sesuai dengan isyarat penggunaan  kata kerja‘fi’il’ yang menunjuk arti ‘janji’ pada ayat di atas ‘waa’adna’ dalam bentuk ‎mufa’alah yang berfaedah musyarakah (persekutuan dua fihak dalam satu pekerjaan). 

Secara sederhana dapat diilustrasikan, seakan-akan Allah swt berfirman : “Wahai Musa! Aku berkenan memberimu Taurat, kitab suci yang engkau inginkan buat pedoman hidupmu dan umatmu, dengan catatan engkau laksanakan lebih dulu munajat kepada-Ku selama empat puluh malam”. Mengapa bargaining munajat untuk memperoleh kitab suci dilakukan selama empat puluh hari ‘arba’in’ ? Dan mengapa pula pelaksanaannya pada malam hari ‘lailatan’ ?

Angka empat puluh ‘arba’in’ adalah angka yang menunjukkan kesempurnaan dalam banyak hal, sebagaimana  disebutkan pada teks-teks keagamaan baik dalam al-Quran maupun al-Hadis. ‎
Diantaranya adalah:

Pertama; Proses penciptaan manusia pertama (Adam as) – diungkapkan hadis riwayat Ibn Mas’ud ra dalam Tafsir Ibn Katsir – peniupan ruh ke kerangka jasad berselang waktu 40 tahun. 

Kedua; Fase (tahapan) penciptaan manusia dalam rahim ibunya, dari fase nuthfah (sperma), ‘alaqah (gumpalan darah yang menempel di dinding rahim), mudhghah (sekerat daging) hingga ke peniupan ruh, masing-masing berlangsung selama 40 hari. ‘Inna ahadakum yujma’u khalqahu fi bathni ummihi arba’ina yauman tsumma takunu ‘alaqatan mitsla dzalik tsumma takunu mudghatan mitsla dzalik’ 

Ketiga; Akal manusia pada umumnya mencapai tingkat kesempurnaan potensinya pada usia 40 tahun. ‘Hatta idza balagha asyuddahu wa balagha arba’ina sanah’ (al-Ahqaf : 15). 
Karena itu junjungan kita Nabi Muhammad saw pun dinyatakan sebagai rasul pada saat beliau telah berusia 40 tahun. 

Keempat; Orang yang menghafal dan mengamalkan kandungan 40 hadis akan dibangkitkan bersama para ulama. ‘Man hafidza ‘ala ummati arba’ina haditsan fi ma yanfa’uhum min amri dinihim ba’atsahul-Lahu yaumal-qiyamati minal-‘ulama’‎ 

Kelima; Orang yang mengamalkan shalat 40 waktu di masjid Nabawi akan selamat dan terbebas dari siksa api neraka serta terbebas dari nifaq. ‘Man shalla fi masjidi arba’ina shalatan la yafutuhu shalatun kutibat lahu baraatun minan-nar wa najatun minl-‘adzab wa bari-a minan-nifaq’ . 

Alhasil angka 40 bukan hanya sekedar menunjuk kwantitas (jumlah) semata, melainkan dibaliknya terdapat rahasia. Yakni  ketika melewati kurun waktu 40 hari kondisi ruhani Nabi Musa as telah berada dalam keadaan yang sempurna dan benar-benar telah siap untuk menerima kitab yang mulia.  Karena itu tidak heran jika dikalangan Para Salikin (orang-orang yang merambah jalan menuju Allah swt) dikenal maqamat (stasiun-stasiun persinggahan ruhani) sejumlah 40, seperti yang dilakukan oleh Tokoh Sufi Jawa, Sultan Hadiwijaya yang masyhur dengan sebutan Joko Tingkir, yang divisualisasikan lewat kisah penaklukannya terhadap 40 ekor buaya. 

Dikalangan para kyai pun angka 40 kerap digunakan untuk meriyadlah (melatih) jiwa santri-santrinya, seperti anjuran berjama’ah selama 40 hari berturut-turut, dan melakukan amalan-amalan wirid atau puasa selama 40 hari lamanya.

Selanjutnya disebutkannya waktu malam hari ‘lailatan’, paling tidak dilatar belakangi dua alasan. 

Pertama;  malam hari adalah waktu yang paling baik digunakan untuk bermunajat (menghadapkan diri) kepada Allah swt, oleh karena suasanananya yang gelap dan hening serta tidak adanya aktifitasapapun, sehingga dapat membantu melahirkan ketenangan batin dan kekhusukan jiwa dalam menghadap kepada Allah swt. 

Kedua;  malam hari adalah waktu dimana orang-orang yang sore hari lumrahnya melakukan maksiat, kelelahan dan tertidur tanpa lebih dulu menjalani tobat. Maka jika pada saat yang sama, ada hamba-Nya yang bermunajat, Allah swt tentu akan lebih bermurah hati mencurahkan rahmat. Karena itulah maka Allah swt dalam beberapa firman-Nya menganjurkan manusia untuk menghadapkan diri pada malam hari. 

Bahkan Rasulullah saw pun secara lugas menyatakan dalam sabdanya :  

ينزل ربنا تبارك وتعالى في كل ليلة إلى السماء الدنيا حين يبقى ثلث الليل الآخر فيقول : من يدعوني فأستجيب لَه من يسألني فأعطيه من يستغفرني فأغفر لَه

“Tuhan turun ke langit dunia pada setiap malam di sepertiga malam terakhir, kemudian berfirman : Siapakah yang berdoa kepada-Ku, maka Aku kabulkan. Siapakah yang memohon kepada-Ku, Aku penuhi permohonannya. Siapakah yang meminta ampunan kepada-Ku, Aku ampuni dirinya”

Pelajaran dari yat ini, adalah : Jika Nabi Musa as saja yang berpredikat sebagai kalimul-Lah dan salah seorang ulul-azmi, untuk mendapatkan keinginannya melakukan bargaining bermunajat kepada Allah swt selama 40 hari. 
Wajarkah bila kita menginginkan sesuatu hanya dengan bermodalkan topang dagu?
Istafti qalbak!. Ya ayyuhal insan‎

 

Sejarah Singkat Pangeran Pekik Surabaya


Ini adalah kisah Pangeran dari negeri Surabaya.. ia bernama Pangeran Pekik.. Pangeran Pekik tinggal bersama ayahnya Raja Jayalengkara yang merupakan penguasa kerajaan Surabaya…

Kerajaan Surabaya adalah kerajaan yang makmur yang kaya dengan angkatan laut yang kuat.. Pangeran Pekik merupakan pemuda yang tangguh dan kuat.. ia ikut ayahnya untuk berdagang hingga Maluku.. Pangeran Pekik banyak belajar strategi perang dan perdagangan dari ayahnya… Pangeran Pekik juga ahli dalam bidang seni.. dengan kreatifitasnya ia menciptakan wayang krucil yang lebih kecil dari wayang jawa..

Di masa kejayaan ayahnya… Kerajaan Surabaya menghadapi serangan dari Kerajaan Mataram yang dipimpin oleh Panembahan Senopati dan dua puluh tahun kemudian Raja Jayalengkara menghadapi serangan anak Panembahan Senopati yaitu Prabu Hanyokrowati.. selama tiga puluh tahun Kerajaan Surabaya bertempur melawan Kerajaan Mataram yang berniat menaklukan Raja Jayalengkara ayah Pangeran Pekik… 

Namun selama waktu itu pula Kerajaan Surabaya tetap berdiri kokoh karena pasukan tempur yang kuat dan armada angkatan laut yang tangguh… Baru setelah Kerajaan Mataram di pimpin oleh Sultan Agung seorang raja yang cerdik dan bijak… Kerajaan Surabaya dapat ditaklukan Kerajaan Mataram.. kali ini Sultan Agung pemimpin Kerajaan Mataram tidak berperang dengan Raja Jayalengkara karena mengetahui pasukan Raja Jayalengkara sangatlah kuat di medan pertempuran.. namun Sultan Agung menggunakan taktik untuk mengisolasi Kerajaan ini sehingga perdagangan yang merupakan tulang punggung perekonomian Kerajaan Surabaya hancur.. Rakyat Surabaya lama kelamaan banyak yang menderita kelaparan dan wabah penyakit karena wilayah Kerajaan Surabaya di isolasi… yang menyebabkan Raja Jayalengkara menyerah kepada Kerajaan Mataram dengan damai..

Akhirnya setelah Kerajaan Surabaya berhasil ditaklukan Sultan Agung, Kerajaan Surabaya menjadi bagian dari Kerajaan Mataram.. Sultan Agung yang terkenal bijak melihat sosok pemimpin di Kerajaan Surabaya ia adalah Pangeran Pekik.. karena Pangeran Pekik terkenal berani,bijak, dan alim.. ia diangkat oleh Sultan Agung menjadi pemimpin ulama di wilayah Ampel..

Karena kebaikan dan kebaikan hati yang dimiliki Pangeran Pekik… Sultan Agung kemudian berniat menikahkan adiknya yang bernama Ratu Pandansari.. melihat sosok Pangeran Pekik yang pemberani, baik, dan alim karena juga pemimpin ulama.. Ratu Pandansari setuju untuk menikah dengan Pangeran Pekik.. akhirnya Sultan Agung dan Pangeran Pekik kini bersaudara..

Jatuhnya Giri

Suatu Ketika wilayah Giri Kedaton yang dipimpin oleh Panembahan Agung Giri Kawis Guna mencoba lepas dari Kerajaan Mataram..

Panembahan Agung Giri Kawis Guwo merupakan sosok yang sangat disegani karena ia merupakan keturunan Sunan Giri yang kuat..

Sultan Agung memerintahkan perwira Kerajaan Mataram untuk menaklukan Panembahan Kawis Guwo.. namun tidak ada yang berani..

Tapi ketika Sultan Agung memerintahkan Pangeran Pekik.. Pangeran Pekik dengan gagah berani langsung maju siap menumpas pemberontakan di Giri Kedaton yang dipimpin Panembahan Agung Giri Kawis Guwo..
“Saya siap menerima perintah dari Sultan untuk menumpas pemberontak itu… “ tegas Pangeran Pekik dengan gagah berani..

Sultan Agung sangat terkesan dengan keberanian Pangeran Pekik dan memerintahkan pasukannya untuk mendampingi Pangeran Pekik untuk bertempur melawan Panembahan Kawis Guwo dan pasukannya..

Terjadilah Perang hebat di Giri Kedaton.. Pasukan Pangeran Pekik menghadapi pasukan Panembahan Agung Giri Kawis Guwo.. Pangeran Pekik dengan pedangnya maju ke medan perang… anak panah di siapkan oleh pasukan Sultan Agung…
Pasukan Panembahan Kawis Guwo yang kalah jumlah sangat kerepotan menghadapi serangan Pangeran Pekik dan pasukannya… 

Dengan bekal strategi perang yang dipelajarinya dari ayahnya… Pangeran Pekik memerintahkan pasukan panah untuk melesakkan anak panah ke arah pasukan Panembahan Kawis Guwo … akhirnya banyak pasukan Panembahan Kawis Guwo yang berguguran.. setelah terdesak… Panembahan Kawis Guwo menyerah kepada Pangeran Pekik..

Pangeran Pekik kembali ke Kerajaan Mataram dengan kemenangan.. Sultan Agung sangat bangga dan istrinya Ratu Pandansari juga bangga kepada suaminya..

Kematian Pangeran Pekik

Sejak 1645 Sultan Agung digantikan putranya yang bergelar Amangkurat I sebagai raja Mataram selanjutnya. Raja baru ini cenderung kurang suka terhadap Pangeran Pekik, yang merupakan mertuanya sendiri.
Dikisahkan dalam naskah-naskah babad, Amangkurat I memiliki calon selir seorang gadis Surabaya bernama Rara Hoyi putri Ki Mangun-jaya. Karena masih kecil, Rara Hoyi pun dititipkan pada Ki Wiroreja. Setelah dewasa, kecantikan Rara Hoyi menarik hati Pangeran Tejaningrat ( Amangkurat II ) , putra Amangkurat I yang lahir dari permaisuri yang merupakan putri Pangeran Pekik.

Pada suatu hari Pangeran Adipati Anom (Pangeran Tejaningrat ) berkunjung kerumah Tumenggung Wirorejo bermaksud hanya main-main saja. dengan tidak terduga bahwa di Katemanggungan ada seorang gadis yang sedang membatik kain. Sang Pangeran merasa terpikat hatinya. demi melihat gadis cantik molek yang tumbuh di sebuah Tamansari Katemanggungan Wirorejan. Begitu pula Rara Hoyi setelah bertemu pandangan matanya , deras berdebar debar jantungnya dan segera lari masuk ke Pendapa Katemanggungan sambil duduk termangu-mangu. Sang Pangeran manunggu kehadiran si Cantik Jelita,namun tidak mungkin keluar karena malu. Ki Tumenggung Wirorejo keluar menghadap Sang Pangeran dengan sembahnya, sambil unjuk atur : kepada Pangeran .. anak gadis yang Paduka cari itu sebenarnya puteri Piningit dari Surabaya, yang akan menjadi isteri Ayahanda Raja Sunan Prabu Mangkurat Agung ..

Setelah Sang Pangeran mendengar keterangan dari Ki Tumenggung Wirorejo , segera minta pamit kembali ke Keraton . Di Kesatriyan Sang Pangeran tidak dapat tidur, dan selalu terbayang-bayang wajah gadis itu, selalu menggoda dipelupuk matanya, akhirnya Sang Pangeran jatuh sakit.

Hal ini terdengar oleh Kangjeng Ratu Pandansari ( Wandansari ), Isteri Pangeran Pekik , bahwa Sang Pangeran jatuh sakit wuyung, kasmaran dengan Roro Hoyi sengkeran Sang Prabu Susuhunan Amangkurat I.

Atas persetujuan Pangeran Pekik, Rara Hoyi dibawa masuk ke Keraton dan ditempatkan di Kesatriyan, untuk mengobati penyakit Sang Pangeran. Pangeran Pekiklah yang bertanggung jawab apabila Sang Ayah marah, menurut pendapatnya mestinya sang Ayah mau mengalah dengan anaknya. Ora ono macan arep tegel mangan gogore dewe.

Dugaan ini ternyata meleset, setelah Sang Prabu mendengar Rara Hoyi jatuh cinta kepada Sang Pangeran,dan malah mendapat dukungan dari Pangeran Pekik,beliau geram dan murka. Maka Pangeran Pekik dan Kangjeng Ratu Wandansari serta Pangeran Tejaningrat begitu pula Tumenggung Wirorejo dan Nyi Tumenggung dipanggil menghadap.

Susuhunan Prabu Amangkurat I. Dalam Pasewakan ( Rapat ) yang luar biasa Sang Raja marah - marah dan menjatuhkan hukuman mati kepada Pangeran Pekik dan Tumenggung Wirorejo  dan jenazahnya dimakamkan di Makam Banyusumurup Imogiri. ‎
Selanjutnya Pangeran Tejaningrat harus membunuh Rara Hoyi dari tangannya sendiri.. Pangeran Tejaningrat dengan membawa keris terhunus meninggalkan Paseban menuju ke Kesatriyan, sesampainya di Kesatriyan tidak tega akan menusuk Rara Hoyi. Rara Hoyi tanggap bahwa yang menyebabkan onar didalam Keraton Mataram adalah dirinya , maka setelah melihat Sang Pangeran membawa keris terhunus , ditubruklah keris itu sehingga tembus sampai kepunggungnya, Rara Hoyi meninggal seketika itu juga.

Geram Sang Prabu Susuhunan Amangkurat belum mereda, dan memerintahkan agar Kesatriyan dibakar habis-habisan, sedang Pangeran Tejaningrat diasingkan (dibuang) ke Hutan Larangan ( tutupan ). Di Hutan Tutupan Pangeran Tejaningrat kedatangan Pangeran Puruboyo dan Bantheng Wulung yang  mengajak Trunojoyo , anak Adipati Cakraningrat dari Sampang Madura. Maksud kedatangan mereka mengajak perundingan, agar Sang Pangeran mau merebut kekuasaan Sang Ayah Prabu Amangkurat I, karena beliau bertindak sewenang-wenang terhadap anaknya serta kawula nya. ‎

 

Sejarah Situs Gunung Kelir Bantul


KECAMATAN Pleret dikenal memiliki banyak cagar budaya yang bertebaran di beberapa dusun. Hal itu cukup beralasan mengingat salah satu kecamatan di Kabupaten Bantul ini pernah menjadi pusat pemerintahan Dinasti Mataram. Tahun 1618, Sultan Agung membangun Kerto sebagai ibu kota kerajaan namun nampaknya tidak diikuti tindakan memindahkan ibu kota kerajaan secara resmi. 

Menurut sejarawan Belanda de Haen, dalam kunjungannya ke Mataram tahun 1623 dia menduga Sultan Agung masih menjalankan roda pemerintahannya di Kota Gede. Lalu, tahun 1647 Amangkurat I membangun Kedaton Pleret menjadi ibu kota kerajaan menggantikan Kota Gede dan Kerta. Kali ini penerus Dinasti Mataram ini benar-benar ingin menjadikan Pleret sebagai ibu kota kerajaan. 

Terbukti dengan digunakannya konsep tata ruang Jawa catur gatra untuk mengembangkan ibu kota baru ini. Dalam rangka menjadikan Pleret sebagai ibukota kerajaan, Amangkurat I selain membangun Kraton juga membuat Masjid Agung, Pasar dan Alun-alun. Disamping itu, penerus Sultan Agung ini juga mendirikan cepuri (benteng kraton), saluran air dan bendungan dan danau besar yang sekarang dikenal dengan wilayah Segoroyoso (berasal dari kata segoro = laut; yasan = buatan).

Dengan kondisi seperti diatas dapat dimaklumi bila Pleret dan sekitarnya sangat kaya dengan situs-situs bersejarah. Namun serangkaian peristiwa berikutnya mengubah arah nasib wilayah Pleret. Diawali dengan penyerbuan Trunojoyo ke Kedaton Pleret tahun 1677 yang meluluhlantakkan Kedaton Pleret. Tahun 1800 VOC membangun pabrik gula 'Kedaton Pleret' di lokasi bekas Kraton. Perusahaan Belanda ini membangun pabrik gula dengan memanfaatkan berbagai material yang ada, termasuk batu bata bekas bangunan Kraton. 

Pada tahun 1826 pertempuran pasukan Pangeran Diponegoro melawan VOC juga merambah ke kawasan ini. Selanjutnya Perang Gerilya tahun 1948 dimana pasukan pejuang pimpinan Jendral Sudirman bertempur melawan tentara Belanda juga menyentuh wilayah Pleret. Bahkan, pabrik gula Kedaton Pleret yang dibangun Belanda turut hancur lebur. Namun, tidak semua cagar budaya yang ada di Pleret luluh lantak oleh dinamika sejarah. Masih ada satu bangunan cagar budaya yang secara fisik relatif terlihat utuh. Baik struktur maupun arsitektur bangunan tersebut masih dapat dinikmati dan dikagumi meskipun sudah berusia 3 abad lebih.

Situs Gunung Kelir dapat dikatakan satu-satunya bangunan cagar budaya peninggalan Amangkurat I yang masih terlihat baik struktur dan arsitekturnya. Bangunan ini adalah makam Ratu Malang, salah seorang isteri Amangkurat I yang meninggal bersama anak yang sedang dikandungnya. Bangunan makam dikerjakan tahun 1665 dan selesai tahun 1668. Makam ini memiliki luas kurang lebih 900 m2 yang dikelilingi tembok berbahan bata putih, tinggi tembok 2 meter sedang tebal berkisat 120-155 cm. batuan andesit digunakan untuk nisan yang berada di makam tersebut. 

Dalam makam terdapat 28 nisan, 19 nisan dibagian depan makam diduga adalah makam para niyaga (penabuh gamelan), 8 nisan berada dibagian tengah dimana salah satunya adalah nisan Ratu Mas Malang dan satu nisan menyendiri dibagian belakang adalah nisan Ki Dalang Panjang Mas. Di area makam terdapat beberapa tanaman keras seperti Beringin yang akarnya mengangkat beberapa bagian tembok bangunan makam. Selain itu dimusim penghujan banyak lumut tumbuh disrtiap jengkal tembok bangunan yang cepat atau lambat dapat merusak cagar budaya ini. Namun secara keseluruhan, bila disbanding pebninggalan Amangkurat I di Kecamatan Pleret, bangunan yang juga diberi nama Makam Antaka Pura ini masih tergolong utuh. 

Entah mengapa hiruk pikuk peperangan disetiap zaman tidak berimbas pada kerusakan Situs Gunung Kelir. Mengapa Trunajaya tidak menghancurkan makam ini saat melakukan bumi hangus Kedaton Pleret? Mengapa Pemerintah Belanda tidak memanfaatkan bata putih makam ini saat membangun pabrik gula? Apakah mereka semua masih menaruh rasa hormat pada sebuah makam? Inilah keunikan Situs Gunung Kelir, makam Ratu Mas Malang, selir Sunan Amangkurat I. 

Situs Pasarean Gunung Kelir ini berada di Dukuh Gunung Kelir Desa Plered Kec Plered Kabupaten Bantul, Yogyakarta turut menyimpan sebuah kisah yang dramatis Dinasti Mataram pada masa  Pemerintahan Sunan Amangkurat I. Tersebutlah Sang Raja, Ki Dalang Panjang Mas dan Ratu Mas Malang adalah tokoh utama dalam kisah ini.

Mungkin di zaman serba digital ini, sebagian besar orang sudah lupa bahkan tak paham sama sekali kisah panjang Ki Dalang Panjang Mas yang menghebohkan Negara Mataram ketika Sunan Amangkurat I berkuasa.‎

Apalagi sekarang ini hanya tinggal batu nisan yang berserak dalam pagar tembok yang sudah tak utuh lagi. Maka, wajar kiranya bila hanya sedikit orang yang datang menjenguk. Itulah Situs Makam Gunung Kelir. Terletaknya 100 meter di atas permukaan air laut, tepatnya di bukit kecil bernama Gunung Kelir. Secara administratif posisi situs itu berada di Dukuh Gunung Kelir, Desa Pleret, Kecamatan Pleret, Kabupaten Bantul.

Berdasarkan Laporan Studi Teknis Arkeologis Situs Makam Ratu Mas Malang dari Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Yogyakarta (27 September-12 Oktober 2004), makam ini dibangun pada tahun 1668 oleh Sunan Amangkurat I, Raja keempat Kerajaan Mataram Islam yang bertahta pada tahun 1646-1677. Amangkurat I inilah yang memindahkan kraton dari Kerta ke Pleret. Amangkurat I lahir pada 1619 dari permaisuri kedua Sultan Agung yang bernama Raden Ayu Wetan.

Kondisi Situs Pemakaman

Sunan Amangkurat I menamakan makam itu Antaka Pura atau istana kematian. Tokoh utama yang disemayamkan di makam itu bernama Ratu Mas Malang. Ratu Mas Malang adalah salah satu garwa selir dari Amangkurat I yang karena sayangnya kemudian diangkat menjadi permaisuri. Sebelum menjadi istri Sang Raja, Ratu Mas Malang bersuamikan Ki Dalang Panjang Mas, seorang dalang tersohor sekaligus penulis kraton. Namun, Ratu Mas Malang sebenarnya bukan penghuni pertama makam itu. Sebelumnya, mantan suaminya, Ki Dalang Panjang Mas, sudah lebih dahulu dikebumikan di situ meski tidak berdampingan.
"Jika engkau memutar pandanganmu sedikit ke kanan, engkau akan menjumpai lima nisan di atas tanah yang agak tinggi. Tepat di tengahnya, bersemayam Nyai Panjang Mas, isteri ki dalang. Dia juga biasa dipanggil Ratu Malang. Sedangkan di samping bawah nisan Ratu Malang itu, terserak belasan nisan-nisan tanpa nama, nisan-nisan para penabuh gamelan, sinden dan entah siapa lagi." 

Bagaimana mungkin dalang, isteri dalang, sinden dan para penabuh gamelan serta sekotak wayang bisa binasa bersama? Apakah maut begitu kompak bekerja?
Memasuki areal luar makam, kita akan disambut dengan suasana sunyi dan sepi. Hawa yang angker dan wingit pun begitu terasa menyelimuti lokasi ini ketika berkunjung ke makam ini. Ditambah dengan pohon-pohon tua yang berusia ratusan tahun seperti beringin dan kamboja tampak memayungi batu-batu nisan yang berwarna hitam. Namun, cukup berbeda ketika memasuki ruang makam, suasana begitu sejuk dan teduh serta cukup menenangkan. 

Kompleks makam ini dikelilingi oleh pagar yang terbuat dari susunan batu putih dengan ketinggian sekitar 2,5 meter yang tampak sudah tak utuh dikarenakan oleh faktor alam. Beberapa bagian nampak runtuh karena tanah tidak stabil dan bisa jadi dikarenakan gempa bumi. Dalam kompleks makam ini secara keseluruhan terdapat 18 nisan yang membujur, 14 diantaranya tersusun dari batuan andesit monolith dan sisanya hanya ditandai dengan tumpukan batu putih. Luas kompleks secara keseluruhan kurang lebih tiga puluh kali tiga puluh meter persegi
Memang, makam itu sengaja dibuat oleh Sunan Amangkurat I untuk istrinya, Ratu Mas Malang. Tapi, di tempat itu juga menyimpan jasad seorang dalang legendaris, Ki Panjang Mas. Tempat peristirahatan terakhir Sang Dalang itu berada di sudut barat laut. Nisannya diapit dua pohon beringin tua. Posisi makam Ki Panjang Mas terpisah dengan kelompok makam lainnya. Komposisi batu nisan Ki Panjang Mas hanya berupa onggokan batu diplester namun kini terlihat plesteran semennya sudah mengelupas.
Gunung Kelir dinamakan demikian karena terdapatnya tembok pagar makam yang digambari wayang dengan cara digurat atau ditatah. Gambar-gambar wayang yang berjajar-jajar di sepanjang permukaan tembok pagar inilah yang kemudian dianggap sebagai, atau seperti kelir wayang dalam pementasan wayang kulit. Berawal dari situlah bukit ini kemudian dinamakan Gunung Kelir. Pada dinding dalam dan luar tembok dihiasi dengan relief wayang kulit, yang diambil dalam adegan cerita tertentu.‎

Menurut Juru Kunci Makam, Surakso Sumarno alias Slamet tidak membantah kalau di komplek makam itu kadang muncul peristiwa ganjil. Misalnya: di keheningan malam mendadak terdengar derap langkah kaki kuda, atau kadang terdengar alunan gamelan yang sedang mengiringi pergelaran wayang kulit seperti gendhing sampak. “Mau percaya tau tidak ya terserah,” ucapnya.‎

Di luar kompleks makam terdapat beberapa peninggalan lain, yaitu berupa sendang atau sumber mata air. Sendang ini diberi nama “Sendang Moyo” yang dibangun di atas batu. Sendang ini tidak akan pernah kering walaupun musim kemarau. konon sendang ini adalah tempat yang akan dijadikan peristirahatan terakhir Ratu Malang, namun karena setelah digali terus keluar air, maka tempat pemakaman Ratu Mas Malang dipindahkan ke tempat sebelah barat Sendang Moyo tersebut. Sendang ini juga dikelilingi tembok dan di sebelah barat sendang ini berdiri sebuah pohon besar (=Pohon Kepuh) yang sudah ratusan tahun umurnya. 
Di luar tembok makam yang mengelilingi sendang ini juga ditemukan sebuah batu berbentuk persegi panjang yang mirip peti kayu untuk menyimpan wayang. Penduduk setempat juga percaya bahwa di dalamnya dipendam wayang milik dalang Ki Panjang Mas. Batu persegi empat ini lebih dikenal dengan "Watu Jonggol", konon siapa saja yang cakupan tangannya mampu mencapai keseluruhan panjang batu ini, keinginannya akan terkabul.

Kemisteriusan terbunuhnya  Kyai Dalang Mas

Ki Dalang Panjang Mas atau juga disebut Anjang Mas berasal dari Keturunan Majapahit. Ki Panjang Mas adalah putra seorang dalang murid Sunan Kalijaga. Hidupnya sejak masa Mataram Islam diperintah oleh Panembahan Seda Krapyak (Panembahan Hanyokrowati) hingga masa pemerintahan Sunan Amangkurat I, Nama aslinya Soponyono. Ki Panjang Mas adalah seorang dalang yang termasyhur. Kisah tutur yang turun-temurun menyuratkan bahwa nama Panjang Mas didapatnya ketika ia mementaskan wayang di Keraton Ratu Kidul. Ia tidak mau diberi imbalan uang, sehingga penguasa Laut Selatan memberinya baki panjang terbuat dari Emas. Nah, dari “hadiah” itulah maka sebutannya popular menjadi Ki Dalang Panjang Mas. Namun disamping itu, ia memang memiliki suara yang merdu, ontowecana setiap tokoh pewayangan gamblang terdengar, dan olah nafasnya sangat panjang sehingga suluknya tak terputus-putus.
Pada masa tenarnya Ia juga berprofesi sebagai penulis di kraton yang membuat peraturan tentang tata cara Meruwat. Dalam upacara ruwatan , Ki Panjang Mas menggantikan pertunjukan wayang beber dengan wayang kulit. Selain itu, ia juga membuat aturan bahwa barang siapa yang ingin melakukan upacara ruwatan harus memohon ijin dahulu kepadanya. Tentu saja, sebagai dalang yang laris dan sangat dihormati, Ki Dalang Panjang Mas memiliki rombongan pangrawit berikut pesindennya. 

Salah seorang pesindennya adalah istrinya sendiri, wanita yang konon berasal dari daerah Malang itu berparas cantik. Jika ditilik dari sisi “katuranggan”, maka bentukan bagian-bagian tubuhnya nyaris sempurna. Kemolekan Nyai Panjang Mas itulah yang membuat Sunan Amangkurat I kesengsem dan cinta berat. Sang Raja tidak peduli kalau wanita itu sudah menjadi istri Ki Panjang Mas.

Keinginannya tidak ada yang berani membendung, meski harus ada yang dikorbankan. Suatu ketika Ki Panjang Mas diundang untuk mementaskan wayang di balaiurung kraton. Sudah pasti, istrinya yang berperan sebagai sinden mengikutinya.
Di tengah-tengah pergelaran wayang, tiba-tiba blencong (lampu untuk menerangi kelir) di atas kepala Ki Panjang Mas berguncang hebat dan padam karena terkena anak panah. Suasananya pun menjadi gelap. Bersamaan dengan padamnya blencong, ternyata tubuh Ki Panjang Mas sudah terhunjam anak panah. Seketika itu tewas. Siapa yang berulah? Tak ada orang yang tahu. Namun, sejarah mencatat setelah Ki Panjang Mas terbunuh, si waranggana alias Nyai Panjang Mas diperistri oleh Sunan Amangkurat I.

Di lain sisi, kematian Ki Panjang Mas bukan sekadar disulut persoalan cinta dari Amangkurat I. Sebagai dalang, Ki Panjang Mas tak jarang menyelipkan kritik terhadap situasi dan kondisi zamannya. Memang, pada masa pemerintahan Amangkurat I lebih dekat dengan Kompeni. Hal itu berbeda dengan Ayahandanya, Sultan Agung Hanyokrokusumo yang jelas antikompeni. Tak pelak lagi, saat itu banyak priyayi yang tidak puas dengan pola kepemimpinan Amangkurat I. Muncul berbagai pemberontakan. Baru setahun bertahta, adik Amangkurat I, bernama Pangeran Alit dibantu seorang ulama bernama Pasingsingan membrontak pada tahun 1647. Berdasarkan catatan Bernard H.M. Vlekke yang dikutip untuk Laporan Studi Teknis Arkeologis Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Yogyakarta, pemberontakan Pangeran Alit dapat ditumpas dan Amangkurat I berusaha menghabisi para ulama dan keluarganya yang berjumlah 6.000 orang.

Ada lagi kemelut di Mataram karena ulah Pengeran Adipati Anom –yang tak lain adalah putra Amangkurat I sendiri dari istrinya putri Pangeran Pekik dari Surabaya. Semula hanya persoalan wanita, yakni Roro Oyi, seorang wanita simpanan Amangkurat I yang diambil istri oleh Adipati Anom. Konflik bapak-anak ini kemudian meruncing menjadi perebutan tahta. Belum lagi pemberontakan Trunojoyo dan Pangeran Kajoran yang dibantu oleh Kraeng Galensung, tokoh dari Makasar yang menyeberang ke Jawa setelah makasar jatuh ke tangan Belanda.

Tentu saja, kiprah Ki Panjang Mas tidak seberani tokoh-tokoh pembrontak itu. Indra Tranggono dalam cerpennya tersebut di atas menyuratkan, bahwa telinga Amangkurat I risih bila mendengar sentilan-sentilan kritis dari Ki Panjang Mas saat mendalang. Apalagi sudah ada bumbu rasa untuk memiliki Nyai Panjang Mas. Maka, tak ada jalan lain kecuali menghabisi Ki Panjang Mas. Jasad Ki Panjang Mas dimakamkan di Gunung Kelir. Konon, tak hanya Ki Panjang Mas saja yang terbunuh. Anggota rombongannya berupa pengrawit ikut dilibas.
Sunan Amangkurat Setia Menunggui Mayat Ratu Mas Malang

Kematian Ki Dalang Panjang Mas telah memuluskan niat Sunan Amangkurat I untuk segera mengakhiri masa janda Nyai Panjang Mas. Wanita berparas elok itu pun dijadikan selir. Karena saking cintanya, maka Nyai Panjang Mas pun dinaikkan derajatnya menjadi Permaisuri dengan gelar Kanjeng Ratu Mas Malang.
Rasanya belum sepenuhnya puas luapan kasih sayang Sunan Amangkurat I terhadap Sang Permaisuri, mendadak Ratu Mas Malang meninggal pada tahun 1665 Masehi. Kepergian yang serasa mendadak itu membuat Amangkurat I curiga mengenai penyebab tewasnya sang istri. Setelah dilakukan penyelidikan, diduga kematian Ratu Mas Malang karena diracuni oleh orang sekitarnya. Kemurkaan Amangkurat I pun tak terbendung lagi, sehingga beliau kemudian menghukum istrinya yang lain di dalam kamar tanpa diberi makan.
Ternyata rasa cinta Sunan Amangkurat I memang tak ternilai kepada Ratu Mas Malang. Dalam Babad Tanah Jawi dikisahkan, bahwa ketika Ratu Mas Malang meninggal, Amangkurat I tidak segera menguburkan Jenazahnya. Bahkan setiap malam, Sang Raja itu setia menunggui jasad kaku Ratu Mas Malang.

Sunan Amangkurat I rela tidur bersanding mayat istrinya. Ketika dalam tidurnya itu bahwa Amangkurat I bermimpi bahwa Ratu Mas Malang telah berkumpul kembali dengan Ki Dalang Panjang Mas. Ketika keesokan harinya bangun, Sang Penguasa Mataram pun tersadar dengan perbuatan yang telah memisahkan Ratu Mas Malang dengan Ki Dalang Panjang Mas. Untuk itu, Amangkurat I memerintahkan supaya jisim atau jasad istrinya itu dimakamkan di Gunung Kelir meski tidak berjajar dengan Kyai Dalang Panjang Mas.‎

 

Sekilas Sejarah Perjuangan Syarif Abdurrohman Alqodri (Pangeran Kajoran)


‎Segala puji bagi Allah, Tuhan seru sekalian alam yang telah mengajarkan ilmu kepada manusia dengan kalam. Yang telah memberikan taufiq, hidayah,dan inayah kepada manusia yang Dia kehendaki. Maka sudah sepantasnya kami mengucapkan rasa syukur kepada-Nya dengan ucapan alhamdulillahirrabbil’aalamiin.

Shalawat serta salam semoga tercurahkan kepada junjungan kita Nabi Agung Sayyidina, wahabibina, wamaulana, Muhammad Shalawallahu’alaihi Wassalam beserta keluarganya, sahabatnya, dan para pengikutnya, amin ya rabbal’alamiin.

‘Amma ba’du. 

Di sini kami akan menceritakan sejarah desa Gringgingsari secara ringkas. Desa Gringgingsari terletak di daerah pegunungan. Termasuk wilayah kecamatan Wonotunggal kabupaten Batang. Dahulunya masuk wilayah kabupaten Pekalongan. Desa Gringgingsari dapat terkenal, karena ada makam Auliya’ yaitu makamnya mbah Syarif Abdurrahman Alqodri Alhasany yang terkenal dengan nama mbah Pangeran Kajoran. Makamnya terletak di pemakaman umum desa Gringgingsari yang lokasinya ada di sebelah barat Masjid Al Karomah. Banyak para penziarah yang datang ke makam tersebut untuk berdo’a meminta kepada Allah agar hajatnya terkabul. Mbah Pangeran Kajoran menjadi tumpuan, sandaran warga desa Gringgingsari karena jasanya yang telah membawa pelita, untuk menerangi warga Gringgingsari dari kegelapan, menuju zaman pencerahan. Di sini kami tidak akan menceritakan silsilahnya, karena kurang begitu tahu. Yang akan kami ceritakan adalah perjuangannya di desa Gringgingsari.

Desa Gringgingsari

Berdasarkan riwayat, cerita-cerita dari para sesepuh yang kami terima, bahwa desa Gringgingsari dahulunya bernama Karangsirno. Yang menjadi sesepuhnya adalah mbah Wongsogati I. Agama yang dipeluknya agama Budha. Setelah mbah Wongsogati I meninggal, diganti oleh putranya mbah Bromogati. Setelah mbah Bromogati meninggal diganti oleh putranya yang bernama mbah Wongsogati II, cucu dari mbah Wongsogati I.

Pada waktu dipimpin oleh mbah Wongsogati II desa Karangsirno dilanda musibah, yaitu sejenis penyakit yang dinamakan penyakit to’un dengan gejala pagi sakit sorenya meninggal. Banyak warga desa yang meninggal akibat serangan penyakit tersebut. Sudah banyak cara yang dilakukan untuk meredam penyakit tersebut namun belum juga berhasil. Akhirnya selaku pemimpin yang merasa bertanggung kepada warganya, mbah Wongsogati II pergi ke luar desa dengan tujuan untuk mencari seseorang yang bisa menanggulangi wabah penyakit yang sedang melanda desanya. Dalam perjalanannya beliau melewati sebuah sungai yang bernama kalikupang. Di situ beliau berjumpa dengan dua orang yang sedang berdzikir di tepi sungai. Beliau menunggu kedua orang tersebut. Setelah mereka selesai berdzikir kemudian beliau menghampiri keduanya dan menyapanya. Dan akhirnya mereka bertiga saling memperkenalkan diri. Keduanya masing-masing bernama Pangeran Kajoran dan Pangeran Trunojoyo.

Kemudian mbah Wongsogati II menyampaikan isi hatinya, yaitu tentang musibah yang sedang melanda desanya. Dan beliau bertanya apakah mereka berdua bisa untuk mengatasi wabah penyakit tersebut. Pangeran Kajoran menyatakn sanggup untuk membantu menyembuhkan penyakit tersebut tapi dengan sebuah syarat, yaitu mereka bersedia untuk memeluk agama Islam dengan sukarela. Demi kesembuhan penyakit tersebut mbah Wongsogati II bersedia untuk mengajak warga desanya memeluk agama Islam asalkan desa Karangsirno terbebas dari wabah yang sedang melanda. Akhirnya mereka bertiga saling punya janji atau tanggungan. Maka tempat tersebut dinamakan “KEDUNG SINANGGUNG “

Selanjutnya mereka berangkat pergi menuju desa Karangsirno. Sampai di suatu tempat Pangeran Kajoran bertanya di manakah letak desa Karangsirno. Kemudian mbah Wongsogati II menunjukan suatu tempat yang terlihat jauh di arah selatan. Mereka memandang ( nyawang ) tempat yang ditunjukan oleh mbah Wongsogati II. Akhirnya tempat tersebut dinamakan “ KETAWANG “ yang berarti tempat untuk nyawang / memandang. Di tempat tersebut juga ada sebuah pohon gringging atau kayu jaran. Dari sinilah nantinya desa Karangsirno diganti namanya menjadi desa Gringgingsari. Sekarang tempat tersebut lebih dikenal dengan nama tikungan / enggokan Petung. Lokasinya kurang lebih 200 meter ke arah barat dari pertigaan kalikupang.

Setelah sampai di desa Karangsirno mbah Wongsogati II mengumpulkan warganya. Lalu memperkenalkan Pangeraan Kajoran dan Pangeran Trunojoyo kepada mereka. Warga diberi penjelasan bahwa Pangeran Kajoran sanggup untuk ngusadani desa Karangsirno bisa pulih kembali asalkan warganya bersedia untuk memeluk agama Islam secara sukarela dan nama Karangsirno diganti dengan Gringgingsari. Masyarakat sepakat. Akhirnya masyarakat dibai’at oleh mbah Pangeran Kajoran untuk masuk agama Islam. Masyarakat diajak untuk menyembah Allah, dan meninggalkan sesembahan yang lama yaitu agama Budha. Diajak berdo’a kepada Allah agar wabah penyakitnya sirna. Atas izin Allah akhirnya desa Karangsirno yang sudah berganti nama Gringgingsari terbebas dari wabah penyakit yang selama ini melanda dan sudah memakan banyak korban. Dan masyarakatnya juga sudah hidup dalam suasana yang baru yaitu kehidupan yang Islami berkat hidayah dari Allah dengan perantara Syekh Syarif Abdurrrahman atau lebih dikenal dengan nama Pangeran Kajoran.

Pancuran sendang Depok

Setelah masyarakat desa Gringgingsari memeluk agama Islam, wabah penyakit kini sudah hilang sama sekali. Masyarakat tentram dan hatinya lega. Aktifitas sehari-hari bisa berjalan kembali dengan lancar. Mereka juga mulai giat belajar mendalami ajaran Islam dibawah bimbingan Syekh Syarif Abdurrahman atau Pangeran Kajoran.

Pada suatu hari Pangeran Kajoran mengajak beberapa orang pergi ke hutan mencari bambu untuk dibuat rangken atau bahan atap pembuatan masjid desa Gringgingsari. Ketika sampai di hutan dan sudah tiba masuk waktu shalat beliau mencari air untuk berwudlu, namun tidak ada sumber air yang dijumpainya. Akhirnya beliau menancapkan tongkatnya ke tanah, dengan izin Allah keluarlah air dari bekas tongkat yang ditancapkan oleh beliau. Dari situlah bukti karomah yang dimiliki oleh Pangeran Kajoran selaku seorang Waliyullah. Kemudian dibuat pancuran dari bambu. supaya air tersebut lebih mudah digunakan untuk berwudlu. Kemudian mereka menjalankan shalat di hutan tersebut. Bahkan Pangeran juga sempat berniat untuk mendirikan masjid di kawasan tersebut namun urung. Akhirnya tersebut dinamakan garung dari kata langgar yang wurung atau tidak jadi. Setiap selasai shalat merekapun selalu istirahat sambil ndeprok / duduk-duduk untuk menghilangkan lelah. 

Maka dari istilah inilah tempat tersebut dinamakan Depok yang asalnya dari kata ndeprok. Sampai sekarang pancuran Depok masih menjadi tujuan utama para penziarah untuk mandi dan mengambil airnya. Atas izin Allah air tersebut dapat menyembuhkan beberapa penyakit. Dan yang lebih istimewa air tersebut bisa langsung diminum tanpa harus dimasak lebih dahulu. Rasanya begitu segar sekali apalagi kalau kita meminumnya langsung dari pancuran. Bahkan air di pancuran Depok mempunyai kandungan mineral yang cukup tinggi yang sangat berguna sekali untuk kesehatan tubuh bagi yang meminumnya. Lokasi pancuran Depok kurang lebih 2 km arah selatan desa Gringgingsari dengan jalan agak menanjak terutama di gunung Klengkong. Mulai tahun 2009 jalan ke arah sana sudah mulai dilebarkan dan bisa di lalui oleh kendaraan roda dua dan empat. Namun karena belum diaspal jadi kalau habis hujan tidak bisa dilalui.

Desa Sodong

Untuk selanjutnya mereka melanjutkan perjalanannya masuk hutan, keluar hutan, namun belum juga menemukan bambu yang dicari. Kemudian mereka membuat sebuah tempat untuk berteduh namanya sodong ( ompyong ). Dari sinilah kemudian nama desa Sodong lahir yang letaknya di sebelah selatan Gringgingsari. Kemudian mereka melanjutkan perjalanannya kembali untuk mencari bambu. Akhirnya mereka pun menemukan rumpun bambu yang dicari. Kemudian bambu tersebut ditebang dan dibawa ke tanah lapang untuk dipotong-potong. Rumpun bambu yang kemudian tumbuh lagi oleh masyarakat desa Sodong disengker artinya tidak boleh ditebang oleh siapapun kecuali untuk kepentingan umum. Tempat tersebut dinamakan dapuran larangan / rumpun terlarang.

Mereka bekerja berhari-hari. Bekas tempat istirahat mbah Pangeran Kajoran bekerja juga disengker oleh masyarakat desa Sodong, yang melarang siapapun untuk duduk di atasnya. Konon katanya barangsiapa yang berani duduk di tempat tersebut akan kena laknat atau bebendu. Tempat tersebut kemudian dipagari supaya tidak diceroboh oleh siapapun. Tapi tempat tersebut sekarang sudah tidak berbekas karena perkembangan zaman. Pada tahun 1973 tempat tersebut terkena proyek pembangunan Sekolah Dasar Inpres dan pelebaran jalan, dan akhirnya pagar tersebut dibongkar.

Berperang dengan Ki Ajar Pendek

Untuk membuat rangken membutuhkan tali / tambang untuk merangkai bambu-bambu tersebut. Karena tidak ada tambang, maka mbah Pangeran Kajoran menyuruh sebagian orang untuk pergi mencari rotan. Kebetulan disebelah selatan desa Sodong ada gunung kecil dan di tempat tersebut banyak tumbuh pohon rotan. Mereka pergi ke tempat tersebut dan mulai menebang rotan dan memotongnya. Tanpa mereka sadari bahwa hutan tersebut ada yang menguasainya. Dan akhirnya mereka tertangkap oleh anak buah penguasa hutan tersebut. Kemudian mereka dibawa ke desa Silurah dan di hadapkan kepada penguasa desa tersebut yaitu Ki Ajar Pendek. Mereka pun akhirnya ditahan oleh Ki Ajar Pendek. Karena sudah berhari-hari mereka tidak pulang akhirnya mbah Pangeran Kajoran merasa cemas. Kemudian beliau menyuruh seseorang untuk mencarinya. Setelah dicari akhirnya terdengar kabar bahwa mereka sedang ditahan di desa Silurah atas kesalahan telah mengambil rotan di hutan tanpa seizin dari Ki Ajar Pendek. Utusan itu melaporkan hal tersebut kepada Pangeran Kajoran.

Singkat cerita akhirnya Pangeran Kajoran minta ma’af kepada Ki Ajar Pendek atas kesalahan yang telah dilakukan oleh orang-orang suruhannya. Tapi Ki Ajar Pendek tidak mau menerima permintaan maaf dari Pangeran Kajoran dengan begitu saja. Dia bersedia menerima maaf asalkan Pangeran Kajoran bersedia untuk adu kekuatan dan mengalahkannya. Demi kebebasan orang-orangnya, akhirnya Pangeran Kajoran bersedia untuk menerima tantangan dari Ki Ajar Pendek. Akhirnya pertarungan jarak jauh tingkat tinggi pun dimulai. Ki Ajar Pendek ada di desa Silurah sedangkan Pangeran Kajoran berada di desa Sodong.

Ki Ajar Pendek tahu bahwa waliyullah itu orang suci. Maka iapun menggunakan kesaktiannya dengan membuat hujan cacing supaya mengotori Pangeran Kajoran. Namun Pangeran Kajoran dengan karomahnya menciptakan hujan bebek yang akhirnya memakan cacing-cacing tersebut. Ki Ajar Pendek menjadi geram karena merasa kalah, kemudian ia mengeluarkan ilmunya yang lain yang lebih dahsyat yaitu hujan api. Namun sekali lagi karomah Pangeran Kajoran yang berupa hujan air mampu memadamkan api tersebut. Ki Ajar Pendek pun semakin marah karena selalu kalah dengan Pangeran Kajoran. Akhirnya iapun mengeluarkan kesaktiannya yang lain yaitu berupa hujan batu. 

Pangeran Kajoranpun tidak mau kalah. Beliau kemudian menciptakan angin topan yang dahsyat. Dengan kekuatan angin topan yang dahsyat tersebut, batu-batu itupun berterbangan dan jatuh di suatu tempat yang jauh. Batu tersebut jatuh di sebuah tempat yang sekarang bernama desa Kuwasan kecamatan Talun Kabupaten Pekalongan. Rumah Ki Ajar Pendek dan seisinya juga ikut terbang terbawa angin hingga tinggal batur atau bekasnya saja. Bekas rumah Ki Ajar Pendek oleh orang-orang silurah dinamakan kebun batur dan sampai sekarang masih ada. Pakaiannya jatuh di desa Sengare, sedangkan ilir atau kipas dari bambu jatuh di desa sumilir. Kedua desa tersebut masuk kecamatan Talun kabupaten Pekalongan dan terletak di sebelah barat Gringgingsari. Sedangkan bokor atau tempat menyimpan beras jatuh di desa Donowangun Talun Pekalongan. Jambangan tempat untuk menaruh air yang terbuat dari batu besar jatuh di suatu tempat yang sekarang bernama dukuh Jambangan desa Batursari Talun Pekalongan.

Menurut cerita bahwa jambangan yang ada di dukuh Jambangan tidak pernah kering airnya. Walaupun musim kemarau airnya selalu ada tanpa diketahui darimana sumbernya. Pada zaman pemerintahan Belanda, karena batu itu ¾-nya terbenam ke dalam tanah akibat jatuh sewaktu terbawa angin sewaktu terjadi pertarungan antara Pangeran Kajoran dan Ki Ajar Pendek maka oleh pemerintah Belanda batu tersebut diangkat ke atas untuk memudahkan orang-orang mengambil airnya. Namun setelah batu jambangan tersebut diangkat justru malah jadi kering tidak keluar lagi airnya sampai sekarang.

Lalu bagaimanakah nasib Ki Ajar Pendek yang juga ikut terbang terbawa angin? beliau jatuh di pendopo kabupaten Batang. Pada waktu itu kebetulan Kanjeng Adipati Batang sedang duduk di pendopo kabupaten dan angop atau menguap. Kemudian dengan kesaktiannya Ki Ajar Pendek masuk ke mulut Kanjeng Adipati dan bersembunyi di dalam perutnya. Kemudian ia disuruh keluar dan akhirnya dijadikan tukang merawat kuda Kanjeng Adipati Batang.

Kemudian Pangeran Kajoran melarang warga Gringgingsari untuk besanan dengan warga desa Silurah selama tujuh turunan. Namun larangan tersebut hari ini sudah berakhir, terbukti sudah banyak warga Gringgingsari yang besanan dengan warga Silurah dan alhamdulillah tidak tejadi hal-hal yang buruk. Hutan rotan yang pernah menjadi sengketa atas izin Allah telah berubah menjadi hutan bambu kecil-kecil. Sedangkan gunung kecil tersebut dinamakam gunung Raga Kesuma. Siapa saja yang lewat di kaki gunung tersebut pasti kulitnya akan mengalami perubahan warna yaitu menjadi cerah kekuningan. Penulis sudah membuktikannya. Namun jika sudah melewati kaki gunung tersebut warna kulit akan berubah seperti semula. Wa allahu’alam.

Pembangunan masjid

Rintangan sudah berlalu. Rencana membuat rangken pun diteruskan. Bambu-bambu tersebut dibawa ke Gringgingsari untuk dibuat rangken. Talinya menggunakan penjalin atau rotan. Kemudian masjid didirikan. Atapnya menggunakan ijuk. Tiangnya dari kayu, dindingnya terbuat dari anyaman bambu, dan mustokonya terbuat dari pengaron atau paso tempat air yang terbuat dari tanah liat. Lantainya masih menggunakan tanah, jika mau shalat digelari tikar. Setelah masjid selesai dibangun ternyata belum ada sumber air untuk berwudlu. Kemudian Pangeran Kajoran pergi ke arah selatan desa Gringgingsari. Sampai di suatu tempat yang bernama Klatak atau juga Genting beliau meletakan ujung tongkatnya di tepi sungai dan kemudian menariknya dari tepi sungai tersebut sambil berjalan pulang ke Gringgingsari. 

Dengan karomah yang dimilikinya tanah yang dilalui Pangeran Kajoran jadi terbelah oleh ujung tongkatnya yang sedang ditarik dan membentuk aliran sungai sampai ke sebelah barat masjid. Akhirnya masyarakat Gringgingsari mendapat manfaat yang banyak. Sungai tersebut tidak hanya digunakan untuk berwudlu, namun juga untuk keperluan mandi, minum, memasak, dan juga untuk mengairi sawah. Oleh masyarakat Gringgingsari sungai tersebut dinamakan kali jamban. Untuk menjaga kesucian air tersebut, dari hulu sungai jamban yaitu dari tempat pertama kali Pangeran Kajoran menarik tongkatnya sampai areal masjid, siapapun dilarang untuk buang air besar, perempuan yang sedang haid dan nifas juga dilarang mandi di sungai tersebut. Siapa yang melanggar larangan tersebut baik disengaja atau tidak, akan terkena laknat atau bendu. Sudah banyak buktinya yang terkena laknat. Juga dilarang untuk kencing di areal masjid dan kawasan pemakaman.

Masjid peninggalan Pangeran Kajoran sudah direhab beberapa kali. Rehab terakhir tahun 2004 dan sampai sekarang belum selesai 100%. Jadi sudah tidak asli lagi. Yang masih asli hanya mustoko pengaron yang ada di samping mustoko yang baru.

Peninggalan Pangeran kajoran

Peninggalan – peninggalan Pangeran Kajoran dan tempat sejarah yang masih ada sampai sekarang yaitu 
a.   Rumpun bambu atau dapuran larangan di desa Sodong
b  . Pancuran Depok yang selalu dikunjungi penziarah untuk mengambil airnya dan mandi. Dilarang mandi sambil telanjang.
.     Masjid Al Karomah. Pemberian nama Al Karomah oleh remaja masjid pada tahun 1987.
d.    Pakaian lengkap. Namun karena sudah berusia ratusan tahun maka pakaiannya  sudah rusak, kecuali kuluk / ketu / kopiah. Jubahnya tersimpan di desa Kajoran  Magelang.
e.   Tasbih
f.   dari pengaron atau paso.‎

 

Bunga Tunjung Biru


Bunga Tunjung  Biru atau nama latinnya "Nymphaea Caerula" adalah tanaman air sejenis teratai dengan kelopak bunga berwarna biru cerah. Benang sari & putiknya sendiri berwarna kuning keemasan. sehingga secara kereluruhan, bunga ini berwarna sangat indah & mengagumkan. tanam-an ini berasal dari India dan Mesir dimana tempat asalnya, Bunga Tunjung Biru dianggap suci. di India, bunga ini dikenal dengan nama indian, "Sacred Blue Lotus" sedangkan di Mesir orang menyebutnya ."Egyptian Sacred Blue Lily".

Dalam kepercayaan Hindu kuno, Bunga Tunjung Biru adalah tanaman suci yang digunakan untuk per-sembahyang-an untuk menghormati Bhatara Wisnhu. selain itu, bunga suci ini dapat digunakan sebagai tanaman herbal yang berkhasiat untuk menyembuhkan beberapa penyakit kronis. Bunga Tunjung Biru juga dipercaya dapat mengusir roh halus.

Bunga Tunjung Biru umumnya mekar pada pagi hingga siang hari dan ketika sore matahari condong kebarat, bunga ini mulai meng-uncup-kan kelopaknya.
untuk memetik bunga yang dianggap suci ini,
sangat dianjurkan untuk berdo'a terlebih dahulu.

Makna Tunjung Biru

Tumbuh  di lumpur dengan batang dan daun terendam air, tumbuhan ini memekarkan bunganya di udara. Itulah teratai atau tunjung yang dianggap mewakili gambaran entitas yang bersemi di bhur loka (alam bawah), tumbuh di bwah loka (alam tengah) dan menghasilkan bungan nan indah di swah loka (alam atas). Bagi beberapa kalangan, tumbuhan ini dipandang mengoneksikan tri loka sebagai satu kesatuan tempat hidup yang memberikan pesan, bahwasanya kemuliaan dalam bentuk bunga mekar melar nan cantik yang mencuat ke udara hanyalah bentuk ejawantah sebuah pertumbuhan yang berproses di lumpur yang kotor dan batangnya yang dari waktu ke waktu selalu terendam dalam dinginnya air. Apa yang dipertontonkan sebagai keindahan dalam bentuk bunga yang dapat dikagumi, dipuja-puji dan dinikmati banyak makhluk, hanyalah sari-sari lumpur kotor yang berproses bersama air dan sinar matahari selama bermasa-masa.

Tumbuhan unik ini juga memberi manusia sebuah pelajaran, bahwa secara umum orang-orang biasa meletakkan perhatiannya pada hasil akhir. Orang-orang bisa dengan mudah dan cepat mengagumi keindahan bunga tunjung yang demikian indahnya menyembul diari perairan. Dengan pesona warna-warni ia segera menyihir hati manusia dari jaman ke jaman. Banyak orang mengagumi bunga out, tetapi hanya sedikit yang mau mengerti, bahwa untuk menghasilkan bunga secantik itu dibutuhkan proses panjang dan terutama ia yang cantik itu (bunga tunjung) tidaklah diturunkan dari sorga, melainkan kecantikan itu asal mulanya dari lumpuran becek, jauh dari dasar air telaga.

Lantas bunga tunjung banyak dijadikan sebagai persembahan kepada dewa-dewa, ia digunakan sebagai sarana di dalam upacara pemurnian diri. Barangkali upacara bicara tentang symbol yang sarat makna, tetapi lebih sederhana dari itu kita bisa membaca sebuah upacara persembahan sebagai bentuk teater tentang dunia pengharapan. Melalui persembahan bunga tunjung, para penyembah meletakkan harapannya untuk mampu memiliki kemahiran mengelolah diri dalam hidup ini sehingga kelak dapat berbuah atau berbunga seperti tunjung itu. Boleh saja kehidupan ini susah dan “becek” terkesan kotor menjijikkan, namun semua itu bukanlah manusia, sebab manusia hanyalah sebiji “benih” yang bersemi di lumpur kehidupan yang nampak keras, jorok, kotor dan dingin. karena itu, bagi manusia bijak ia tidak mengidentikkan diri dengan kekacauan hidup itu sendiri, tetapi ia memandang kekacauan, dingin dan kotor itu sebagai media yang mengolah dirinya untuk tumbuh menjadi pribadi mulia.

Para pemuja kesempurnaan, para pengabdi pendamba kemuliaan memotivasi dirinya untuk mampu memiliki kapasitas seperti bungan tumbuhan teratai, bahwa proses kehidupan akan mendewasakan dan mematangkan dirinya, hingga kelak berhasil mewujudkan dirinya sebagai pribadi mulia, insan yang memiliki kekaryaan yang dibutuhkan dunia, bahkan keharuman kemulyaannya tersebar hingga memenuhi ruang sorgawi. Itulah bunga indah mewangi yang dihasilkan oleh pejuang-pejuang kehidupan yang dengan sadar dan penuh semangat mau berproses, karena mereka tahu, benih yang ada pada dirinya adalah benih unggul, benih itu berasal dari Tuhan itu sendiri.

Pemuliaan bunga tunjung, bukanlah semata-semata suatu semarak aktifitas mental yang diperuntukkan menjangkau alam esoteric yang gaib, karena sesungguhnya gaib itu adalah kenyataan itu sendiri dan kenyataan ini sebenarnya hanya suatu yang gaib (maya). 
Di atas semua itu, bunga tunjung berbicara tentang kasih itu sendiri, di mana usaha-usaha keras penuh penderitaan (dalam lumpur dan air) tidak perlu dipamer-pamerkan pada khalayak umum, pengalaman getir seperti itu tidaklah perlu dibagi bersama, tetapi manakala sesuatu kemuliaan, keharuman mulai bersemi dan terus berbiak mekar, itulah saatnya dibagikan kepada berbagai pihak. Berbagai keindahan, kebahagiaan dan pertunjukkan kemuliaan, adalah makanan mental yang vital. 

Demikianlah, tunjung menyembunyikan akarnya di dalam lumpur hitam, supaya orang tidak jijik dan sakit hati melihatnya, tetapi ia mempertontonkan bunga keindahannya, karena dengan itu orang-orang yang memandangnya merasa gembira dan semangat. Jadi, persembahkanlah bunga tunjung kepada kehidupan, persembahkan keindahan, keharuman dan kemuliaan kepada sesama makhluk dan dunia.

 Mitologi Bunga Tunjung Biru

Sebenarnya teratai telah lama dianggap suci oleh banyak agama di dunia, seperti di India dan Mesir, dalam sebuah monumen di lembah Nil, juga pada gulungan papirus tunggal terdapat lukisan bunga lotus ini terdapat ditempat yang terhormat. Demikian pula ditemukan pada pilar bangunan ibukota Mesir, pada takhta dan bahkan pada hiasan kepala Raja, sehingga teratai muncul dimana-mana.

Tuhan dalam aspek Ibu ilahi sering digambarkan sebagai yang duduk atau berdiri diatas teratai besar, symbol kemurnian dan kebijaksanaan. Tanaman ini misterius dan sakral telah dimuliakan selama berabad-abad sebagai symbol alam semesta. Hiranya Garbha, “telur” (atau rahim) emas yang muncul sering disebut Lotus Surgawi. Dewa juga digambarkan mengapung tertidur di perairan primordial, membentang di bunga teratai yang mekar.

Kelopak bunga teratai menunjukkan perluasan jiwa. Sedangkan kemampuan tumbuhan ini tumbuh dari lumpur dan menghasilkan keindahan melambangkan tekad janji spiritual. dalam ikonografi Hindu, Dewa sering digambarkan dengan bunga lotus sebagai tenpat duduk mereka. Juga perlu dicatat, bahwa sebagian besar Budha, Cina, Hindu, Jepang dan dalam sistem religi Asia lainnya sering digambarkan sebagai duduk diatas bunga lotus. Menurut legenda, Budha Gautama lahir dengan kemampuan untuk berjalan dan di mana-mana ia melangkah, bunga teratai mekar.

Warna bunga tunjung atau teratai atau lotus seringkali ditemukan dalam lima warna yang berbeda: putih, merah, biru, ungu, dan merah muda.

Tunjung Putih

Diartikan kemurnian pikiran dan ketenangan dari sifat manusia, serta kesempurnaan spiritual.

Tunjung Merah

Melambangkan kasih tanpa pamrih, gairah, kasih sayang, dan kebaikan. Bunga lotus yang sepenuhnya mekar melambangkan kebesaran dan kemurahan hati. Hal ini juga terkait dengan Avalokitesvara, yang merupakan Bodhisattva dalam ajaran Buddha, sedangkan dalam ajaran Hindu kuno di India disebut dengan Avatara Kalki. Dalam cerita Sun Go Kong kita juga pernah mengenalnya, Dewi Kwan Im Po Sat.

Tunjung Merah Muda

Dipercaya sebagai tempat tertinggi dan suci, dan sangat dihormati. Ini juga merupakan alasan, bahwa semua dewa menurut kepercayaan Hindu dan juga Buddha sendiri duduk di atas lotus merah muda. Lotus merah muda melambangkan keadaan pikiran seseorang, yang merupakan tahap di mana ia telah pencerahan tertinggi.

Tunjung Biru

Diartikan pengetahuan. melambangkan kendali seseorang atas pikiran dan semangat dan melepaskan aspirasi materialistis dalam hidup serta mencapai kesempurnaan jiwa. Bunga lotus biru tidak sepenuhnya benar­ benar terbuka. Keadaan ini diartikan bahwa seseorang tidak boleh berhenti untuk belajar dalam mencapai kebijaksanaan dalam hidup.

Tunjung Ungu

Menandakan mistis dan merupakan bagian esoterik ajaran Buddha terkait 8 jalan dalam Buddhis. Bunga lotus juga melahirkan simbolisme dalam berbagai budaya. Keindahan bunga lotus menginspirasi pada karya seni, puisi, arsitektur, dan desain. Lotus tumbuh keluar dari air berlumpur, tidak terpengaruh dan tak tersentuh oleh kotoran, sehingga dianggap yang tertinggi di antara semua bunga.‎

 

Doa Nabi Sulaiman Menundukkan Hewan dan Jin

  Nabiyullah Sulaiman  'alaihissalam  (AS) merupakan Nabi dan Rasul pilihan Allah Ta'ala yang dikaruniai kerajaan yang tidak dimilik...