Minggu, 29 November 2020

Penjelasan Tentang Keutamaan Kuda


Bila ada perintah dan kebaikan yang paling banyak diabaikan oleh Muslim saat ini, barangkali perintah dan kebaikan itu adalah yang terkait sunnah memanah dan berkuda.

Bisa jadi karena kuda dianggap kendaraan masa lampau yang kini sudah tergantikan oleh berbagai kendaraan baik yang digunakan di masa damai maupun dalam perang. Padahal, ada hadits sahih yang diriwayatkan oleh hampir seluruh perawi yang menegaskan bahwa “Kebaikan akan selalu terikat di ubun-ubun kuda sampai hari kiamat.”

Artinya, memelihara kuda pada saat ini pun masih merupakan sunnah yang seharusnya kita lakukan. Bahkan ada hadits yang mewajibkan muslim laki-laki yang mampu untuk memiliki kuda. Orang yang berinfaq untuk memelihara kuda adalah seperti orang yang membuka tangannya untuk bersedekah, tidak menahannya, dan kencing serta kotorannya di sisi Allah adalah seperti wewangian kasturi.

Hal ini diperkuat dengan Hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Umar ra.

عَنِ ابْنِ عُمَرَ؛ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ : اَلْخَيْلُ فِي نَوَاصِيْهَا الْخَيْرُ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ

Bahwa Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam bersabda: “Kuda, pada ubun-ubunnya itu terdapat kebajikan sampai hari kiamat.” (HR Bukhari, Muslim)

Hadis ini menunjukkan kemanfaatan umum dan secara khusus dalam peperangan karena secara asal, di antara fungsi kuda adalah memang tunggangan perang, seperti tersirat dalam Surat Al ‘Aadiyat. Adapun panah, bahkan kelak Ya’juj dan Ma’juj juga menggunakan panah terbuat dari kayu. Adapun tank, pesawat dan lain-lain memang bisa menggantikan, tetapi tidak dalam semua sisi. Semua mestinya dilazimi oleh kaum muslimin.

Allah SWT Berfirman ;

وَأَعِدُّوا لَهُمْ مَا اسْتَطَعْتُمْ مِنْ قُوَّةٍ وَمِنْ رِبَاطِ الْخَيْلِ

تُرْهِبُونَ بِهِ عَدُوَّ اللَّهِ وَعَدُوَّكُمْ وَآخَرِينَ مِنْ دُونِهِمْ

لا تَعْلَمُونَهُمُ اللَّهُ يَعْلَمُهُمْ وَمَا تُنْفِقُوا مِنْ شَيْءٍ

فِي سَبِيلِ اللَّهِ يُوَفَّ إِلَيْكُمْ وَأَنْتُمْ لا تُظْلَمُونَ

“Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Allah, musuhmu dan orang-orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya; sedang Allah mengetahuinya. Apa saja yang kamu nafkahkan pada jalan Allah niscaya akan dibalas dengan cukup kepadamu dan kamu tidak akan dianiaya (dirugikan).” (QS Al-Anfal 60)

Ayat tersebut adalah ayat perintah, namanya perintah maka apa yang ada di dalamnya menjadi wajib. Ada dua hal yang diperintahkanNya dalam ayat ini, yaitu yang pertama terkait dengan persiapan kekuatan apa saja – yang dalam banyak hadits ini terkait dengan  panah – memanah atau persiapan senjata lainnya. Yang kedua spesifik terkait dengan kuda. Kuda di sini tidak bisa digantikan dengan lainnya karena spesifik, bahkan dalam riwayat lain – bila perlu dijelaskan seperti apa warnanya kuda tersebut - Nabi akan menjelaskannya, seperti apa penunggang kudanya – Nabipun akan bisa menjelaskannya.
 
Jadi perintah penyiapan atau pemeliharaan kuda dalam ayat tersebut diatas – ya spesifik untuk kuda, sedangkan persiapan (senjata-senjata) lainnya – masuk perintah yang pertama yaitu kekuatan apa saja yang kita sanggupi. 

عَنْ جَرِيْرِ بْنِ عَبْدِاللهِ. قَالَ:
رَأَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم يَلْوِي نَاصِيَةَ فَرْسٍ بِإِصْبِعِهِ، وَهُوَ يَقُوْلُ : اَلْخَيْلُ مَعْقُوْدٌ بِنَوَاصِيْهَا الْخَيْرُ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ: اَلأَجْرُ وَالْغَنِيْمَةُ

Hadits riwayat Jarir bin Abdullah Radhiyallahu’anhu, ia berkata:
Aku melihat Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam menggosok-gosok ubun-ubun kuda dengan anak jari beliau sambil bersabda: Kuda, telah terikat pada ubun-ubunnya itu kebajikan hingga hari kiamat: Pahala dan harta rampasan perang.
Kuda Perang

وَالْعَادِيَاتِ ضَبْحًا (١) فَالْمُورِيَاتِ قَدْحًا (٢) فَالْمُغِيرَاتِ صُبْحًا (٣)فَأَثَرْنَ بِهِ نَقْعًا (٤)فَوَسَطْنَ بِهِ جَمْعًا (٥)إِنَّ الإنْسَانَ لِرَبِّهِ لَكَنُودٌ (٦)وَإِنَّهُ عَلَى ذَلِكَ لَشَهِيدٌ (٧) وَإِنَّهُ لِحُبِّ الْخَيْرِ لَشَدِيدٌ (٨) أَفَلا يَعْلَمُ إِذَا بُعْثِرَ مَا فِي الْقُبُورِ (٩) وَحُصِّلَ مَا فِي الصُّدُورِ (١٠) إِنَّ رَبَّهُمْ بِهِمْ يَوْمَئِذٍ لَخَبِيرٌ (١١
Terjemah Surat Al ‘Aadiyaat Ayat 1-11

1. Demi kuda perang yang berlari kencang terengah-engah,‎
2. dan kuda yang memercikkan bunga api (dengan pukulan kuku kakinya),‎
3. dan kuda yang menyerang (dengan tiba-tiba) pada waktu pagi,‎
4. sehingga menerbangkan debu,‎
5. lalu menyerbu ke tengah-tengah kumpulan musuh,‎
6. Sungguh, manusia itu sangat ingkar, (tidak berterima kasih) kepada Tuhannya,‎
7. dan sesungguhnya dia (manusia) menyaksikan (mengakui) keingkarannya,‎
8. dan sesungguhnya cintanya kepada harta benar-benar berlebihan.‎
9. Maka tidakkah dia mengetahui apabila apa yang di dalam kubur dikeluarkan,‎
10. dan apa yang tersimpan di dalam dada dilahirkan?‎
11. Sungguh, Tuhan mereka pada hari itu Mahateliti terhadap keadaan mereka.

أَخْبَرَنِي أَحْمَدُ بْنُ حَفْصٍ قَالَ حَدَّثَنِي أَبِي قَالَ حَدَّثَنِي إِبْرَاهِيمُ بْنُ طَهْمَانَ عَنْ سَعِيدِ بْنِ أَبِي عَرُوبَةَ عَنْ قَتَادَةَ عَنْ أَنَسٍ قَالَ لَمْ يَكُنْ شَيْءٌ أَحَبَّ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَعْدَ النِّسَاءِ مِنْ الْخَيْلِ

"Telah mengabarkan kepada kami [Ahmad bin Hafsh] berkata; telah menceritakan kepadaku [ayahku] berkata; telah menceritakan kepadaku [Ibrahim bin Thahman] dari [Sa'id bin Abu 'Urwah] dari [Qatadah] dari [Anas] ia berkata, "Tidak ada sesuatu yg lebih dicintai Rasulullah setelah isteri kecuali kuda perang. [HR. Nasai No.3508].
Ciri-ciri Kuda Perang yang Disunahkan

 مُحَمَّدُ بْنُ رَافِعٍ قَالَ حَدَّثَنَا أَبُو أَحْمَدَ الْبَزَّازُ هِشَامُ بْنُ سَعِيدٍ الطَّالَقَانِيُّ قَالَ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ مُهَاجِرٍ الْأَنْصَارِيُّ عَنْ عَقِيلِ بْنِ شَبِيبٍ عَنْ أَبِي وَهْبٍ وَكَانَتْ لَهُ صُحْبَةٌ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَسَمَّوْا بِأَسْمَاءِ الْأَنْبِيَاءِ وَأَحَبُّ الْأَسْمَاءِ إِلَى اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ عَبْدُ اللَّهِ وَعَبْدُ الرَّحْمَنِ وَارْتَبِطُوا الْخَيْلَ وَامْسَحُوا بِنَوَاصِيهَا وَأَكْفَالِهَا وَقَلِّدُوهَا وَلَا تُقَلِّدُوهَا الْأَوْتَارَ وَعَلَيْكُمْ بِكُلِّ كُمَيْتٍ أَغَرَّ مُحَجَّلٍ أَوْ أَشْقَرَ أَغَرَّ مُحَجَّلٍ أَوْ أَدْهَمَ أَغَرَّ مُحَجَّلٍ

"Telah mengabarkan kepada kami [Muhammad bin Rafi'] berkata; telah menceritakan kepada kami [Abu Ahmad Al Bazzar Hisyam bin Sa'id Ath Thalaqani] berkata; telah menceritakan kepada kami [Muhammad bin Muhajir Al Anshari] dari ['Aqil bin Syabib] dari [Abu Wahb] dan ia pernah menyertai Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, ia berkata, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Namailah diri kalian dgn nama para nabi, & nama yg paling disukai Allah 'azza wajalla adl Abdullah & 'Abdurrahman. Ikatlah kuda perang & usaplah ubun-ubunnya & pahanya, siapkanlah ia & gunakanlah untuk kebaikan. Dan hendaknya kalian memiliki kuda hitam kemerah-merahan yg dahinya berwarna putih, atau yg berwarna blonde dahi & kakinya berwarna putih, atau kuda hitam yg dahi & kakinya berwarna putih. [HR. Nasai No.3509].

أَخْبَرَنَا إِسْحَقُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ قَالَ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ قَالَ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ ح وَأَنْبَأَنَا إِسْمَعِيلُ بْنُ مَسْعُودٍ قَالَ حَدَّثَنَا بِشْرٌ قَالَ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ يَزِيدَ عَنْ أَبِي زُرْعَةَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَكْرَهُ الشِّكَالَ مِنْ الْخَيْلِ وَاللَّفْظُ لِإِسْمَعِيلَ

"Telah mengabarkan kepada kami [Ishaq bin Ibrahim] berkata; telah menceritakan kepada kami [Muhammad bin Ja'far] berkata; telah menceritakan kepada kami [Syu'bah]. (dalam jalur lain disebutkan) Telah memberitakan kepada kami [Isma'il bin Mas'ud] berkata; telah menceritakan kepada kami [Bisyr] berkata; telah menceritakan kepada kami [Syu'bah] dari [Abdullah bin Yazid] dari [Abu Zur'ah] dari [Abu Hurairah] berkata, "Nabi shallallahu 'alaihi wasallam tidak menyukai kuda yg ketiga kakinya berwarna putih. Dan ini adalah  lafadz Isma'il. [HR. Nasai No.3510].

أَخْبَرَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ قَالَ حَدَّثَنَا يَحْيَى قَالَ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ قَالَ حَدَّثَنِي سَلْمُ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَنْ أَبِي زُرْعَةَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ كَرِهَ الشِّكَالَ مِنْ الْخَيْلِ قَالَ أَبُو عَبْد الرَّحْمَنِ الشِّكَالُ مِنْ الْخَيْلِ أَنْ تَكُونَ ثَلَاثُ قَوَائِمَ مُحَجَّلَةً وَوَاحِدَةٌ مُطْلَقَةً أَوْ تَكُونَ الثَّلَاثَةُ مُطْلَقَةً وَرِجْلٌ مُحَجَّلَةً وَلَيْسَ يَكُونُ الشِّكَالُ إِلَّا فِي رِجْلٍ وَلَا يَكُونُ فِي الْيَدِ

"Telah mengabarkan kepada kami [Muhammad bin Basysyar] berkata; telah menceritakan kepada kami [Yahya] ia berkata; telah menceritakan kepada kami [Sufyan] berkata; telah menceritakan kepadaku [Salm bin 'Abdurrahman] dari [Abu Zur'ah] dari [Abu Hurairah] dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, bahwa beliau tak menyukai kuda yg salah satu kakinya berwarna putih. 'Abdurrahman berkata, Syikal adl kuda yg ketiga kakinya berwarna putih & yg satunya hitam, atau ketiga kakinya hitam & satu kakinya berwarna putih. Dan syikal tak ada kecuali pada kaki, bukan pada tangan. [HR. Nasai No.3511].

Keberkahan Kuda

أَخْبَرَنَا إِسْحَقُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ قَالَ أَنْبَأَنَا النَّضْرُ قَالَ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَنْ أَبِي التَّيَّاحِ قَالَ سَمِعْتُ أَنَسًا ح وَأَنْبَأَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ قَالَ حَدَّثَنَا يَحْيَى قَالَ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ قَالَ حَدَّثَنِي أَبُو التَّيَّاحِ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْبَرَكَةُ فِي نَوَاصِي الْخَيْلِ

"Telah mengabarkan kepada kami [Ishaq bin Ibrahim] berkata; telah memberitakan kepada kami [An Nadlr] berkata; telah menceritakan kepada kami [Syu'bah] dari [Abu At Tayyah] berkata; aku mendengar [Anas]. (dalam jalur lain disebutkan) Telah menceritakan dan memberitakan kepada kami [Muhammad bin Basysysar] berkata; telah menceritakan kepada kami [Yahya] berkata; telah menceritakan kepada kami [Syu'bah] berkata; telah menceritakan kepadaku [Abu At Tayyah] dari [Anas bin Malik] berkata, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Pada ubun-ubun kuda itu telah tertulis keberkahan. [HR. Nasai No.3515].

أَخْبَرَنَا الْحَسَنُ بْنُ إِسْمَعِيلَ بْنِ مُجَالِدٍ قَالَ حَدَّثَنَا عِيسَى بْنُ يُونُسَ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ يَزِيدَ بْنِ جَابِرٍ قَالَ حَدَّثَنِي أَبُو سَلَّامٍ الدِّمَشْقِيُّ عَنْ خَالِدِ بْنِ يَزِيدَ الْجُهَنِيِّ قَالَ كَانَ عُقْبَةُ بْنُ عَامِرٍ يَمُرُّ بِي فَيَقُولُ يَا خَالِدُ اخْرُجْ بِنَا نَرْمِي فَلَمَّا كَانَ ذَاتَ يَوْمٍ أَبْطَأْتُ عَنْهُ فَقَالَ يَا خَالِدُ تَعَالَ أُخْبِرْكَ بِمَا قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَتَيْتُهُ فَقَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ اللَّهَ يُدْخِلُ بِالسَّهْمِ الْوَاحِدِ ثَلَاثَةَ نَفَرٍ الْجَنَّةَ صَانِعَهُ يَحْتَسِبُ فِي صُنْعِهِ الْخَيْرَ وَالرَّامِيَ بِهِ وَمُنَبِّلَهُ وَارْمُوا وَارْكَبُوا وَأَنْ تَرْمُوا أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ أَنْ تَرْكَبُوا وَلَيْسَ اللَّهْوُ إِلَّا فِي ثَلَاثَةٍ تَأْدِيبِ الرَّجُلِ فَرَسَهُ وَمُلَاعَبَتِهِ امْرَأَتَهُ وَرَمْيِهِ بِقَوْسِهِ وَنَبْلِهِ وَمَنْ تَرَكَ الرَّمْيَ بَعْدَ مَا عَلِمَهُ رَغْبَةً عَنْهُ فَإِنَّهَا نِعْمَةٌ كَفَرَهَا أَوْ قَالَ كَفَرَ بِهَا
 
"Telah mengabarkan kepada kami [Al Hasan bin Isma'il bin Mujalid] berkata; telah menceritakan kepada kami [Isa bin Yunus] dari ['Abdurrahman bin Yazid bin Jabir] berkata; telah menceritakan kepadaku [Abu Salam Ad Dimasyqi] dari [Khalid bin Yazid Al Juhani] berkata; ['Uqbah bin 'Amir] melewatiku dan berkata, "Wahai Khalid, keluarlah bersama kami untuk melempar." Kemudian pada suatu hari aku memperlambat jalan darinya, kemudian ia berkata, "Wahai Khalid, kemarilah. Aku kabarkan kepadamu apa yang telah disabdakan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam." Kemudian aku datang kepadanya dan ia berkata, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Sungguh, dgn satu anak panah Allah memasukkan tiga orang ke dalam Surga; yaitu pembuatnya yg dalam membuatnya mengharapkan kebaikan, orang yg memanah & orang yg mengambilkan anak panah. Panah & berkudalah, & kalian memanah lebih aku sukai daripada kalian berkuda. Tidak ada hiburan kecuali dalam tiga hal; seorang laki-laki yg melatih kudanya, candaan seorang terhadap isterinya, & lemparan anak panahnya. Dan barangsiapa yg tak melempar setelah ia mengetahui ilmunya karena tak menyenanginya, maka sesungguhnya hal itu adl kenikmatan yg ia kufuri. [HR. Nasai No.3522].

Pada ubun-ubun kuda perang terdapat kebajikan hingga hari kiamat
عَنِ ابْنِ عُمَرَ؛
أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ : اَلْخَيْلُ فِي نَوَاصِيْهَا الْخَيْرُ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ

Hadits riwayat Ibnu Umar Radhiyallahu’anhu:
Bahwa Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam bersabda: Kuda, pada ubun-ubunnya itu terdapat kebajikan sampai hari kiamat.

عَنْ جَرِيْرِ بْنِ عَبْدِاللهِ. قَالَ:
رَأَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم يَلْوِي نَاصِيَةَ فَرْسٍ بِإِصْبِعِهِ، وَهُوَ يَقُوْلُ : اَلْخَيْلُ مَعْقُوْدٌ بِنَوَاصِيْهَا الْخَيْرُ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ: اَلأَجْرُ وَالْغَنِيْمَةُ

Hadits riwayat Jarir bin Abdullah Radhiyallahu’anhu, ia berkata:
Aku melihat Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam menggosok-gosok ubun-ubun kuda dengan anak jari beliau sambil bersabda: Kuda, telah terikat pada ubun-ubunnya itu kebajikan hingga hari kiamat: Pahala dan harta rampasan perang.

عَنْ عُرْوَةَ الْبَارِقِي، قَالَ:
قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم : اَلْخَيْلُ مَعْقُوْدٌ فِي نَوَاصِيْهَا الْخَيْرُ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ: اَلأَجْرُ وَالْمُغْنِمُ

Hadits riwayat Urwah Al-Bariqi Radhiyallahu’anhu, ia berkata:
Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam bersabda: Kuda, telah terikat pada ubun-ubunnya itu kebajikan hingga hari kiamat, yaitu pahala dan harta rampasan perang.‎
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ. قَالَ:
قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم : اَلْبَرْكَةُ فِي نَوَاصِي الْخَيْلِ

Hadits riwayat Anas bin Malik Radhiyallahu’anhu, ia berkata:

Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam bersabda: Keberkahan itu berada pada ubun-ubun kuda

Ibnu ‘Abdil-Barr rahimahullah berkata :
 
فِيهِ إِشَارَةٌ إِلَى تَفْضِيل الْخَيْل عَلَى غَيْرِهَا مِنْ اَلدَّوَابِّ لِأَنَّهُ لَمْ يَأْتِ عَنْهُ صَلَّى اَللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي شَيْءٍ غَيْرِهَا مِثْلَ هَذَا الْقَوْلِ
 
“Dalam hadits ini terdapat isyarat terhadap pengutamaan kuda atas hewan-hewan yang lain, karena tidak ada perkataan dari beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam sedikitpun semisal perkataan ini sedikitpun selain dari kuda” [Fathul-Baariy, 6/56].
Banyak terdapat dalam nash-nash Al-Qur’an dan As-Sunnah yang menjelaskan tentang keutamaan, keberkahan, dan manfaat kuda. Dan di antara manfaat dan keutamaan kuda yang paling penting adalah dipergunakannya hewan tersebut untuk berjihad di jalan Allah.
Allah ta’ala berfirman :
 
وَأَعِدُّوا لَهُمْ مَا اسْتَطَعْتُمْ مِنْ قُوَّةٍ وَمِنْ رِبَاطِ الْخَيْلِ تُرْهِبُونَ بِهِ عَدُوَّ اللَّهِ وَعَدُوَّكُمْ وَآخَرِينَ مِنْ دُونِهِمْ لا تَعْلَمُونَهُمُ اللَّهُ يَعْلَمُهُمْ وَمَا تُنْفِقُوا مِنْ شَيْءٍ فِي سَبِيلِ اللَّهِ يُوَفَّ إِلَيْكُمْ وَأَنْتُمْ لا تُظْلَمُونَ
 
“Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Allah, musuhmu dan orang-orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya; sedang Allah mengetahuinya. Apa saja yang kamu nafkahkan pada jalan Allah niscaya akan dibalas dengan cukup kepadamu dan kamu tidak akan dianiaya (dirugikan)” [QS. Al-Anfaal : 60].‎
 
عَنْ عُرْوَة الْبَارِقِيُّ، أَنّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: " الْخَيْلُ مَعْقُودٌ فِي نَوَاصِيهَا الْخَيْرُ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ الْأَجْرُ وَالْمَغْنَمُ "
 
Dari ‘Urwah Al-Baariqiy : Bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda : “Kebaikan terikat pada ubun-ubun kuda hingga hari kiamat, yaitu : adanya pahala (kelak di akhirat) dan ‎ghaniimah (harta rampasan perang)” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 2850 & 2852 & 3119 & 3643, Muslim no. 1873, At-Tirmidziy no. 1694, dan yang lainnya].
 
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ يَقُولُ، قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " مَنِ احْتَبَسَ فَرَسًا فِي سَبِيلِ اللَّهِ إِيمَانًا بِاللَّهِ، وَتَصْدِيقًا بِوَعْدِهِ فَإِنَّ شِبَعَهُ وَرِيَّهُ، وَرَوْثَهُ، وَبَوْلَهُ فِي مِيزَانِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ "
 
Dari Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu, ia berkata : Telah bersabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Barangsiapa yang menahan seekor kuda di jalan Allah dengan keimanan dan membenarkan janji-Nya, maka kenyangnya kuda itu, kotorannya, dan air kencingnya akan ada di dalam timbangan (miizaan) kebaikannya kelak di hari kiamat” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 2853, An-Nasaa’iy no. 3582, Ahmad 2/374, dan yang lainnya].
Kuda termasuk harta dan perhiasan sebagaimana firman Allah ta’ala :
 
وَالْخَيْلَ وَالْبِغَالَ وَالْحَمِيرَ لِتَرْكَبُوهَا وَزِينَةً وَيَخْلُقُ مَا لا تَعْلَمُونَ
 
“Dan (Dia telah menciptakan) kuda, bagal, dan keledai, agar kamu menungganginya dan (menjadikannya) perhiasan. Dan Allah menciptakan apa yang kamu tidak mengetahuinya” [QS. An-Nahl : 8].
Diperbolehkan seseorang memberi nama pada kudanya dan memakan dagingnya.
Dari beberapa nash tersebut di atas nampak bahwa cara bertabaruk pada kuda adalah dengan memeliharanya, serta meniatkannya dan menggunakannya untuk berjihad di jalan Allah ta’ala.

حَدَّثَنَا قَبِيصَةُ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ عَنْ نَافِعٍ عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ أَجْرَى النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا ضُمِّرَ مِنْ الْخَيْلِ مِنْ الْحَفْيَاءِ إِلَى ثَنِيَّةِ الْوَدَاعِ وَأَجْرَى مَا لَمْ يُضَمَّرْ مِنْ الثَّنِيَّةِ إِلَى مَسْجِدِ بَنِي زُرَيْقٍ قَالَ ابْنُ عُمَرَ وَكُنْتُ فِيمَنْ أَجْرَى قَالَ عَبْدُ اللَّهِ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ قَالَ حَدَّثَنِي عُبَيْدُ اللَّهِ قَالَ سُفْيَانُ بَيْنَ الْحَفْيَاءِ إِلَى ثَنِيَّةِ الْوَدَاعِ خَمْسَةُ أَمْيَالٍ أَوْ سِتَّةٌ وَبَيْنَ ثَنِيَّةَ إِلَى مَسْجِدِ بَنِي زُرَيْقٍ مِيلٌ
‎‎

Telah bercerita kepada kami [Qabishah] telah bercerita kepada kami [Sufyan] dari ['Ubaidullah] dari [Nafi'] dari [Ibnu 'Umar radliallahu 'anhuma] berkata; Nabi shallallahu 'alaihi wasallam memacu kuda pacuan dari Al Hafya' hingga Tsaniyatul Wada' dan memacu kuda yang bukan kuda pacuan dari Tsaniyatul Wada' hingga masjid Bani Zurai'. Ibnu 'Umar radliallahu 'anhuma: "Aku termasuk orang yang ikut dalam pacuan kuda itu". Berkata ['Abdullah] telah bercerita kepada kami [Sufyan] berkata telah bercerita kepadaku ['Ubaidullah], berkata [Sufyan]: "Jarak antara Al Hafya' ke Tsaniyatul Wada' antara lima atau enam mil sedangkan jarak antara Tsaniyatul Wada' ke masjid Bani Zurai' satu mil". HR Bukhari 

Nabi Sulaiman Punya Kuda Bersayap

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَوْفٍ حَدَّثَنَا سَعِيدُ بْنُ أَبِي مَرْيَمَ أَخْبَرَنَا يَحْيَى بْنُ أَيُّوبَ قَالَ حَدَّثَنِي عُمَارَةُ بْنُ غَزِيَّةَ أَنَّ مُحَمَّدَ بْنَ إِبْرَاهِيمَ حَدَّثَهُ عَنْ أَبِي سَلَمَةَ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ قَدِمَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ غَزْوَةِ تَبُوكَ أَوْ خَيْبَرَ وَفِي سَهْوَتِهَا سِتْرٌ فَهَبَّتْ رِيحٌ فَكَشَفَتْ نَاحِيَةَ السِّتْرِ عَنْ بَنَاتٍ لِعَائِشَةَ لُعَبٍ فَقَالَ مَا هَذَا يَا عَائِشَةُ قَالَتْ بَنَاتِي وَرَأَى بَيْنَهُنَّ فَرَسًا لَهُ جَنَاحَانِ مِنْ رِقَاعٍ فَقَالَ مَا هَذَا الَّذِي أَرَى وَسْطَهُنَّ قَالَتْ فَرَسٌ قَالَ وَمَا هَذَا الَّذِي عَلَيْهِ قَالَتْ جَنَاحَانِ قَالَ فَرَسٌ لَهُ جَنَاحَانِ قَالَتْ أَمَا سَمِعْتَ أَنَّ لِسُلَيْمَانَ خَيْلًا لَهَا أَجْنِحَةٌ قَالَتْ فَضَحِكَ حَتَّى رَأَيْتُ نَوَاجِذَهُ
 
Telah menceritakan kepada kami [Muhammad bin Auf] berkata, telah menceritakan kepada kami [Sa'id bin Abu maryam] berkata, telah mengabarkan kepada kami [Yahya bin Ayyub] ia berkata; telah menceritakan kepadaku [Umarah bin Ghaziyah] bahwa [Muhammad bin Ibrahim] menceritakan kepadanya dari [Abu Salamah bin 'Abdurrahman] dari ['Aisyah radliallahu 'anha] ia berkata, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam tiba dari perang Tabuk atau Khaibar, sementara kamar 'Aisyah ditutup dengan satir. Ketika ada angin yang bertiup, satir itu tersingkap hingga boneka-bonekaan 'Aisyah terlihat. Beliau lalu bertanya: "Wahai 'Aisyah, ini apa?" 'Aisyah menjawab, "Anak-anak bonekaku." Lalu beliau juga melihat patung kuda yang mempunyai dua sayap. Beliau bertanya: "Lalu suatu yang aku lihat di tengah-tengah boneka ini apa?" 'Aisyah menjawab, "Boneka Kuda." Beliau bertanya lagi: "Lalu yang ada di bagian atasnya ini apa?" 'Aisyah menjawab, "Dua sayap." Beliau bertanya lagi: "Kuda mempunyai dua sayap!" 'Aisyah menjawab, "Tidakkah engkau pernah mendengar bahwa Nabi Sulaiman mempunyai kuda yang punya banyak sayap?" 'Aisyah berkata, "Beliau lalu tertawa hingga aku dapat melihat giginya." HR Abu Dawud‎

Mengenai kuda untuk bangsa Arab, hingga kini terbukti kuda terbaik adalah kuda Arab. Mengenai kemuliaan umat ini, bisa jadi sekarang kemuliaan tersebut memudar seiring dengan memudarnya gairah kita untuk memelihara, memiliki atau sekedar belajar berkuda.
 
Maka setelah kita memahami kewajiban yang satu ini beserta sejumlah besar fadhilahnya, so what ? Apa yang bisa dan perlu kita lakukan ?
 
Langkah pertama yang paling logis tentu mempelajarinya yang lebih detil, oleh sebab itu insyaAllah kami akan ulangi Daurah Berkuda ini pada kesempatan-kesempatan berikutnya dan di kota-kota yang membutuhkannya.
 
Selanjutnya yang tidak kalah pentingnya tentu saja adalah implementasinya di lapangan, bagaimana kita bisa bener-bener memiliki dan memelihara kuda, kita juga bisa bermain-main dengan hal yang berpahala ini, dimana jual –beli kudanya, dimana jasa pemeliharaannya dlsb-dlsb. insyaAllah semua masih dalam tahap penyiapan action plankita secara menyeluruh.
 
Pengalaman kami ketika menghadirkan kembali Dinar dan Dirham, Kuttab, Bymaristan, Kebun Al-Qur’an, Menggembala dlsb. insyaAllah juga akan kami daya gunakan untuk menghidup-hidupkan sunnah yang terkait dengan berkuda ini, lengkap dengan konsep balapan kuda seperti yang dicontohkan Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam - InsyaAllah !
 
Menunggang kuda adalah terapi bagi sejumlah penyakit, dan inysaAllah akan lebih menarik dan tentu jauh lebih bermanfaat dibandingkan sejumlah olah raga popular dj jaman kegelapan modern ini seperti sepak bola, golf dan berbagai olah raga mahal lainnya.
 
Berkuda adalah semudah berenang, begitu kita berhasil memulainya yang pertama kali – maka selanjutnya insyaAllah mudah. Sebagian besar peserta Daurah Berkuda kali ini belum pernah sekalipun naik kuda sebelumnya, namun ketika kami menutup Daurah – sebagian besar sudah bisa bisa berkuda like a pro - karena Daurah Berkuda bukan hanya terkait teori tetapi juga harus praktek langsung !

Permainan menunggang kuda adalah salah satu permainan yang tidak mendatangkan dosa dan bahkan merupakan permainan yang disaksikan oleh para malaikat. Rumah yang di halamannya ada kuda yang tidak terikat, setanpun akan takut mendekatinya. Kuda adalah bagian dari kehormatan kaum muslimin, yang dengannya tubuh akan menjadi sehat, rumah tangga menjadi indah dan tentunya mengamalkan salah satu sunnah Nabi Muhammad SAW.

 

Penjelasan Tentang Memelihara Burung


وعن ابن مسعود رضي الله عنه قال: كنا مع رسول الله صلى الله عليه وسلم في سفر ، فانطلق لحاجته ، فرأينا حمرة معها فرخان ، فأخذنا فرخيها، فجاءت الحمرة تعرش فجاء النبي صلى الله عليه وسلم فقال: من فجع هذه بولدها ؟ ردوا ولدها إليهاورأى قرية نمل قد حرقناها ، فقال : من حرق هذه ؟ قلنا: نحن. قال:إنه لا ينبغي أن يعذب بالنار إلا رب النار.

Diriwayatkan dari Ibnu Mas'ud RA. Ia berkata aku pernah bersama Rasulullah SAW di sebuah perjalanan ketika beliau sedang membuang hajatnya, kami melihat ada seekor burung yang mempunyai dua ekor anak. Lalu induknya datang dan terbang berputar-putar mencari anaknya. Kemudian Nabi SAW datang dan bersabda:'' Siapakah yang mempermainkan burung itu dengan mengambil anaknya? Kembalikanlah anak burung itu kepadanya.''Dan beliau juga melihat perkampungan semut yang telah kami bakar. Beliau bertanya:'' Siapakah yang telah membakar perkampungan semut ini?''Kami menjawab: '' Kami.'' beliau bersabda:'' Siapapun tidak pantas menyiksa sesuatu dengan api kecuali Tuhan yang telah membuat api.''(HR. Abu Dawud: 2675)

وعن ابن عمر رضي الله عنهما أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال:عذبت امرأة في هرة حبستها حتى ماتت ، فدخلت فيها النار ، لا هي أطعمتها وسقتها، إذ هي حبستها ولاهي تركتها تأكل من خشاش الأرض.
 
Diriwayatkan dari Ibnu Umar RA . Bahwasanya Rasulullah SAW pernah bersabda:'' Ada seorang wanita di siksa di dalam neraka, lantaran seekor kucing yang di kurung olehnya sampai mati. Di mana ia tidak memberi makan dan minum kepada kucingnya saat ia mengurungnya dan ia juga tidak membiarkan pergi untuk mencari serangga atau makanan di bumi.''( Muttafaq 'alaih Bukhari: 2365 dan Muslim : 2242)

Imam Al-Quffal pernah ditanya ditanya tentang hukum mengurung burung dalam sangkar untuk didengar suaranya. Maka beliau menjawab : Diperbolehkan apabila pemilik burung tersebut merawatnya, dengan memberikan apa yang dibutuhkan burung tersebut (makan dan minum), sebab burung yang dikurung tersebut sama seperti binatang yang di ikat.

Syekh Al-Qulyubi juga menjelaskan bahwa diperbolehkan mengurung binatang, meskipun hanya sekedar untuk mendengarkan suaranya atau untuk bersenang-senang saja.

Dalam Al Quran Allah telah berfirman bahwa burung-burung itu juga beribadah dengan bertasbih dan shalat:
أَلَمْ تَرَ أَنَّ اللَّهَ يُسَبِّحُ لَهُ مَنْ فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَالطَّيْرُ صَافَّاتٍ ۖ كُلٌّ قَدْ عَلِمَ صَلَاتَهُ وَتَسْبِيحَهُ ۗ وَاللَّهُ عَلِيمٌ بِمَا يَفْعَلُونَ
 
"Tidaklah kamu tahu bahwasanya Allah: kepada-Nya bertasbih apa yang di langit & di bumi & (juga) burung dengan mengembangkan sayapnya. Masing-masing telah mengetahui (cara) shalat & tasbihnya, & Allah Maha Mengetahui apa yang mereka kerjakan." (QS. An Nur :41)

Salah satu diantara nikmat yang Allah berikan untuk manusia adalah binatang.

وَالأَنْعَامَ خَلَقَهَا لَكُمْ فِيهَا دِفْءٌ وَمَنَافِعُ وَمِنْهَا تَأْكُلُونَ. وَلَكُمْ فِيهَا جَمَالٌ حِينَ تُرِيحُونَ وَحِينَ تَسْرَحُونَ. وَتَحْمِلُ أَثْقَالَكُمْ إِلَى بَلَدٍ لَّمْ تَكُونُواْ بَالِغِيهِ إِلاَّ بِشِقِّ الأَنفُسِ إِنَّ رَبَّكُمْ لَرَؤُوفٌ رَّحِيمٌ. وَالْخَيْلَ وَالْبِغَالَ وَالْحَمِيرَ لِتَرْكَبُوهَا وَزِينَةً وَيَخْلُقُ مَا لاَ تَعْلَمُونَ

Dan Dia telah menciptakan binatang ternak untuk kamu; padanya ada (bulu) yang menghangatkan dan berbagai-bagai manfaat, dan sebagiannya kamu makan. dan kamu memperoleh pandangan yang indah padanya, ketika kamu membawanya kembali ke kandang dan ketika kamu melepaskannya ke tempat penggembalaan.  dan ia memikul beban-bebanmu ke suatu negeri yang kamu tidak sanggup sampai kepadanya, melainkan dengan kesukaran-kesukaran (yang memayahkan) diri. Sesungguhnya Tuhanmu benar-benar Maha Pengasih lagi Maha Penyayang,  dan (dia telah menciptakan) kuda, bagal dan keledai, agar kamu menungganginya dan (menjadikannya) perhiasan. dan Allah menciptakan apa yang kamu tidak mengetahuinya.. (QS. An-Nahl: 5 – 8).

Allah tegaskan dalam ayat di atas, salah satu manfaat hewan piaraan adalah ‘kamu memperoleh pandangan yang indah padanya’.Sekalipun hewan ini tidak ditunggangi, dia bisa menjadi pemandangan menarik bagi pemiliknya. Orang jawa menyebutnya ’klangenan’. Dirawat hanya untuk dipandang dan dijadikan hiasan. Fungsi semacam ini, ada pada burung piaraan.

Di samping ayat di atas, terdapat sebuah hadis yang secara tegas membolehkan kita memelihara burung. Hadis itu dari sahabat Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu. Beliau memiliki adik laki-laki yang masih kanak-kanak, bernama Abu Umair. Si Adik memiliki burung kecil paruhnya merah, bernama Nughair.‎

Dalam satu riwayat hadits diceritakan ;

عَنْ أَنَسٍ، قَالَ: كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَحْسَنَ النَّاسِ خُلُقًا، وَكَانَ لِي أَخٌ يُقَالُ لَهُ أَبُو عُمَيْرٍ - قَالَ: أَحْسِبُهُ - فَطِيمًا، وَكَانَ إِذَا جَاءَ قَالَ: «يَا أَبَا عُمَيْرٍ، مَا فَعَلَ النُّغَيْرُ» نُغَرٌ كَانَ يَلْعَبُ بِهِ

“Dari Anas,  dia berkata ; Nabi Sholallahu ‘alaihi wassallam adalah orang yang paling baik akhlaknya. Dan aku memiliki seorang saudara yang biasa dipanggil dengan sebutan Abu Umair . [dia [perawi] berkata : perkiraanku , dia anak yang baru disapih. Beliau Shalallahu ‘alaihi wassallam datang, lalu memanggil : “Wahai Abu Umair, apa yang sedang dilakukan oleh si Nughair. Sementara anak itu sedang bermain dengannya ". (HR. Bukhari 6203, Muslim 2150, dan yang lainnya).

Imam Ibnu Hajar Al-Asqolani dalam kitab Fathul Bari menerangkan bahwa hadits ini menunjukkan kebolehannya memelihara burung didalam sangkar.

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ عُذِّبَتْ امْرَأَةٌ فِي هِرَّةٍ سَجَنَتْهَا حَتَّى مَاتَتْ فَدَخَلَتْ فِيهَا النَّارَ لَا هِيَ أَطْعَمَتْهَا وَسَقَتْهَا إِذْ حَبَسَتْهَا وَلَا هِيَ تَرَكَتْهَا تَأْكُلُ مِنْ خَشَاشِ الْأَرْضِ

"Dari 'Abdulloh bahwa Rosulullah shollallohu 'alaihi wasallam bersabda: "Seorang wanita disiksa Allah pada hari kiamat lantaran dia mengurung seekor kucing sehingga kucing itu mati. Karena itu Allah Subhanahu Wa Ta'ala memasukkannya ke neraka. Kucing itu dikurungnya tanpa diberi makan dan minum dan tidak pula dilepaskannya supaya ia dapat menangkap serangga-serangga bumi."(Shohih Muslim, no.4160)

As-Syarwani (w. 1301 H) – ulama madzhab Syafiiyah – mengatakan,

وسئل القفال عن حبس الطيور في أقفاص لسماع أصواتها وغير ذلك فأجاب بالجواز إذا تعهدها مالكُها بما تحتاج إليه لأنها كالبهيمة تُربط

”al-Qaffal ditanya tentang hukum memelihara burung dalam sangkar, untuk didengarkan suaranya atau semacamnya. Beliau menjawab, itu dibolehkan selama pemiliknya memperhatikan kebutuhan burung itu, karena hukumnya sama dengan binatang ternak yang diikat.” (Hasyiyah as-Syarwani, 9/210).

Imam Syaukani dalam Nailul Author : "Hadits ini digunakan dalil tentang keharoman mengurung kucing atau hewan peliharaan lainnya tanpa memberi makan dan minum, sebab hal tersebut merupakan bentuk penyiksaan pada makhluk Alloh".

Dari uraian diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa memelihara burung itu hukumnya diperbolehkan, meskipun hanya sekedar untuk menikmati keindahan suaranya,bulu-bulunya atau sekedar untuk bersenang-senang asalkan pemilik burung merawatnya dengan baik, dengan mencukupi keperluan makanan dan minumannya.Sedangkan menngawinkan hewn tersebut bukanlah suatu keharusan bagi pemiliknya.‎
Pertanyaan mengenai hukum memelihara burung juga pernah disampaikan kepada Imam. Jawaban beliau,

ليس في ذلك حرج إذا لم تُظلم وأحسن إليها في طعامها وشرابها سواء كانت ببغاء أو حماماً أو دجاجاً أو غير ذلك بشرط الإحسان إليها وعدم ظلمها ، وسواء كانت في حوض أو أقفاص أو أحواض ماء كالسمك

“Tidak masalah memelihara burung, selama tidak mendzaliminya dan disikapi dengan baik dalam memberi makanan atau minuman. Baik burung kakatua, burung dara, ayam atau binatang peliharaan lainnya, dengan syarat diperlakukan dengan baik dan tidak menzhaliminya. Baik binatang itu dipelihara di dalam kolam, sangkar atau aquarium seperti ikan misalnya. Wallahu a’lam.” Fatâwa Islamiyyah (4/596).

Kemudian ada beberapa adab yang perlu diperhatikan ketika memelihara burung, disamping memenuhi kebutuhan hidupnya,

Pertama, dilarang melakukan pemborosan

Islam melarang manusia melakukan pemborosan dalam urusan apapun. Termasuk pemborosan dalam urusan hobi.

Kedua, jangan habiskan waktu hanya untuk burung. Seolah-olah manusia telah menjadi pelayan bagi burung itu, sampai melalaikannya dari aktivitas yang lain.

Dulu Nabi Sulaiman pernah memiliki kuda piaraan yang sangat beliau cintai.

وَوَهَبْنَا لِدَاوُودَ سُلَيْمَانَ نِعْمَ الْعَبْدُ إِنَّهُ أَوَّابٌ . إِذْ عُرِضَ عَلَيْهِ بِالْعَشِيِّ الصَّافِنَاتُ الْجِيَادُ . فَقَالَ إِنِّي أَحْبَبْتُ حُبَّ الْخَيْرِ عَنْ ذِكْرِ رَبِّي حَتَّى تَوَارَتْ بِالْحِجَابِ . رُدُّوهَا عَلَيَّ فَطَفِقَ مَسْحًا بِالسُّوقِ وَالْأَعْنَاقِ

(Ingatlah) ketika dipertunjukkan kepadanya kuda-kuda yang tenang di waktu berhenti dan cepat waktu berlari pada waktu sore ( ) Dia berkata: “Sesungguhnya aku menyukai kesenangan terhadap barang yang baik (kuda) sehingga aku lalai mengingat Tuhanku sampai kuda itu hilang dari pandangan”. “Bawalah kuda-kuda itu kembali kepadaku”. lalu ia potong kaki dan leher kuda itu.(QS. Shad: 30 – 33).

Karena kuda itu telah melalaikan Sulaiman, beliaupun menyembelihnya.‎

Penjelasan Tentang Jual-Beli Kucing


Pandangan Hukum Agama seputar Bisnis dan Proses Akad pindah tangan hewan kucing perlu di cermati. Pada perkembangan globalisasi saat ini anjing merupakan aset yang sangat menguntungkan bagi orang-orang yang memiliki usaha dalam bidang bisnis ternak anjing, selain itu juga pada saat ini anjing merupakan sahabat dari manusia. Anjing adalah mamalia karnivora yang telah mengalami domestikasi dari srigala sejak tahun 15.000 tahun yang lalu atau mungkin 100.000 tahun yang lalu berdasarkan bukti genetic fosil dan tes DNA.

Dari Rofi’ bin Khodij, beliau mendengar sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

الْحَجَّامِ وَكَسْبُ الْكَلْبِ وَثَمَنُ الْبَغِىِّ مَهْرُ الْكَسْبِ شَرُّ

“Sejelek-jelek penghasilan adalah upah pelacur, hasil penjualan anjing dan penghasilan tukang bedah.” (HR. Muslim)‎

Juga dari Rofi’ bin Khodij, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

خَبِيثٌ الْحَجَّامِ وَكَسْبُ خَبِيثٌ الْبَغِىِّ وَمَهْرُ خَبِيثٌ الْكَلْبِ ثَمَنُ
 
“Hasil penjualan anjing adalah penghasilan yang buruk. Upah pelacur juga buruk. Begitu pula penghasilan tukang bedah adalah khobits (jelek).” (HR. Muslim)

Syariat Islam melarang kita untuk membunuh kucing atau binatang lainnya yang tidak mengganggu. Bila kita tidak sudi untuk memberinya makanan, maka hendaknya kita juga tidak mengganggunya, apalagi menyiksa dan membunuhnya.

عُذِّبَتِ امْرَأَةٌ فِى هِرَّةٍ سَجَنَتْهَا حَتَّى مَاتَتْ ، فَدَخَلَتْ فِيهَا النَّارَ ، لاَ هِىَ أَطْعَمَتْهَا وَلاَ سَقَتْهَا إِذْ حَبَسَتْهَا ، وَلاَ هِىَ تَرَكَتْهَا تَأْكُلُ مِنْ خَشَاشِ الأَرْضِ متفق عليه

“Ada seorang wanita yang disiksa karena seekor kucing, wanita itu mengurung seekor kucing hingga mati, akibatnya wanita itupun masuk ke neraka. Tatkala wanita itu mengurung kucing, ia tidak memberinya makan, tidak juga memberinya minum, tidak juga ia membiarkannya pergi mencari makanan sendiri dengan menangkap serangga.” (Muttafaqun ‘alaih)

Sebaliknya, Islam menganjurkan umatnya untuk berbuat baik kepada binatang-binatang yang tidak mengganggu mereka,

بينما رجل يمشي بطريق، اشتد عليه العطش، فوجد بئرا فنزل فيها، فشرب، ثم خرج، فإذا كلب يلهث يأكل الثرى من العطش، فقال الرجل: لقد بلغ هذا الكلب من العطش مثل الذي كان بلغ مني، فنزل البئر فملأ خفه ماء، ثم أمسكه بفيه حتى رقى، فسقى الكلب، فشكر الله له، فغفر له. قالوا: يا رسول الله، وإن لنا في هذه البهائم لأجرا؟ فقال: في كل كبد رطبة أجر. متفق عليه

“Tatkala seseorang sedang berjalan di suatu jalan, ia ditimpa rasa haus yang amat sangat, kemudian ia mendapatkan sumur. Iapun segera turun ke dalamnya, dan minum airnya. Setelah merasa cukup, ia segera keluar. Sekeluarnya dari sumur, ia mendapatkan seekor anjing yang sedang menjulur-julurkan lidahnya sambil menjilati tanah karena kehausan. Menyaksikan pemandangan ini, orang tersebut berkata: Sungguh anjing ini sedang merasakan kehausan sebagaimana yang tadi aku rasakan, maka iapun bergegas turun kembali ke dalam sumur. Ia mengisikan air ke dalam sepatunya, lalu dengan mulutnya menggigit sepatunya itu hingga ia keluar dari sumur. Tanpa menunggu sejenakpun, ia meminumkan air itu ke anjing tersebut. Allah berterima kasih (menerima amalannya) dan mengampuninya. Para sahabat bertanya: “Ya Rasulullah, apakah (perlakuan) kita kepada binatang-binatang semacam ini akan mendapatkan pahala?” Beliau menjawab: “Pada setiap makhluq yang berhati basah (masih hidup) terdapat pahala.” (Muttafaqun ‘alaih)

Ini adalah salah satu bukti nyata bahwa agama Islam adalah agama pembawa kerahmatan bukan hanya untuk pemeluknya saja, akan tetapi bagi alam semesta, termasuk binatang. Karena itu Islam mengharamkan atas umatnya untuk membunuh binatang tanpa tujuan yang jelas dan dibenarkan.

لا تتخذوا شيئا فيه الروح غرضا. مسلم

“Janganlah engkau jadikan makhluq bernyawa sebagai sasaran.” (Riwayat Muslim)

Bila hal ini telah kita ketahui bersama maka jelaslah bahwa kita tidak dibenarkan dengan sengaja menabrak kucing atau lainnya.

Akan tetapi bila tidak disengaja dan kita telah berusaha sebisa mungkin untuk menghindari kucing yang melintas, dan ternyata tetap tertabrak juga, insya Allah tidak apa-apa. Tidak ada kafarat (tebusan)nya, karena anda tidak berbuat kesalahan.

Dan kucing termasuk binatang yang tidak boleh diperjualbelikan. Karenanya, walaupun kucing yang anda tabrak adalah kucing piaraan seseorang, maka anda tidak berkewajiban untuk mengganti rugi atau menebusnya.

Ada beberapa hadits yang menunjukkan larangan jual beli kucing. Di antaranya:

Dari Jabir Radhiallahu ‘Anhu, katanya:

نهى رسول الله صلى الله عليه وسلم عن ثمن الكلب والسنور

“Rasulullah SHallallahu ‘Alaihi wa Sallam melarang harga dari Anjing dan Kucing.” (HR. At Tirmidzi No. 1279, Abu Daud No. 3479, An Nasa’i No. 4668, Ibnu Majah No. 2161, Al-Hakim No. 2244, 2245, Ad Daruquthni No. 276, Al-Baihaqi, As Sunan Al-KubraNo. 10749, Ibnu Abi Syaibah, Al-Mushannaf, 54/4. Abu Ya’la No. 2275)

Imam At Tirmidzi mengatakan, hadits ini idhthirab(guncang), dan tidak shahih dalam hal menjual kucing. (Lihat Sunan At Ttirmidzi No. 1279) dan Imam An Nasa’i mengatakan hadits ini: munkar!(Lihat Sunan An Nasa’i No. 4668)

Syaikh Muhammad bin Abdurrahman Al-Mubarakfuri Rahimahullah mengatakan:

وقال الخطابي: وقد تكلم بعض العلماء في إسناد هذا الحديث. وزعم أنه غير ثابت عن النبي صلى الله عليه وسلم. وقال أبو عمر بن عبد البر: حديث بيع السنور لا يثبت رفعه. هذا آخر كلامه.

“Berkata Al-Khathabi: sebagian ulama membicarakan isnad hadits ini dan mengira bahwa hadits ini tidak tsabit (shahih) dari NabiShallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Berkata Abu Umar bin Abdil Bar: hadits tentang menjual kucing tidak ada yang shahih marfu’. Inilah akhir ucapannya.” (Syaikh Muhammad bin Abdurrahman Al-Mubarakfuri, Tuhfah Al-Ahwadzi, 4/501. Cet. 2, 1383H-1963M. Maktabah As Salafiyah. Lihat juga Imam Abu Thayyib Syamsul Azhim Abadi, ‘Aunul Ma’bud, 9/271. Darul Kutub Al-‘Ilmiyah)

Berkata Imam Ibnu Abdil Bar Rahimahullah:

وليس في السنور شيء صحيح وهو على أصل الإباحة وبالله التوفيق

“Tidak ada yang shahih sedikit pun tentang kucing, dan dia menurut hukum asalnya adalah mubah (untuk dijual). (Imam Ibnu Abdil Bar, At Tamhid, 8/403. Muasasah Al-Qurthubah)

Pendhaifan yang dilakukan para imam di atas telah dikritik oleh Imam lainnya. Berkata Imam An Nawawi Rahimahullah:

 وَأَمَّا مَا ذَكَرَهُ الْخَطَّابِيّ وَأَبُو عَمْرو بْن عَبْد الْبَرّ مِنْ أَنَّ الْحَدِيث فِي النَّهْي عَنْهُ ضَعِيف فَلَيْسَ كَمَا قَالَا ، بَلْ الْحَدِيث صَحِيح رَوَاهُ مُسْلِم وَغَيْره . وَقَوْل اِبْن عَبْد الْبَرّ: إِنَّهُ لَمْ يَرْوِهِ عَنْ أَبِي الزُّبَيْر غَيْر حَمَّاد بْن سَلَمَة غَلَط مِنْهُ أَيْضًا ؛ لِأَنَّ مُسْلِمًا قَدْ رَوَاهُ فِي صَحِيحه كَمَا يُرْوَى مِنْ رِوَايَة مَعْقِل بْن عُبَيْد اللَّه عَنْ أَبِي الزُّبَيْر ؛ فَهَذَانِ ثِقَتَانِ رَوَيَاهُ عَنْ أَبِي الزُّبَيْر ، وَهُوَ ثِقَة أَيْضًا . وَاَللَّه أَعْلَم .

“Ada pun apa yang dikatakan Al-Khathabi dan Ibnu Abdil Bar, bahwa hadits ini dhaif, tidaklah seperti yang dikatakan mereka berdua, bahkan hadits inishahih diriwayatkan oleh Imam Muslim dan selainnya. Sedangkan ucapan Ibnu Abdil Bar bahwa tidak ada yang meriwayatkan hadits ini dari Abu Az Zubair selain Hammad bin Salamah saja, itu merupakan pernyataan yang salah darinya juga, karena Imam Muslim telah meriwayatkan dalam Shahihnya sebagaimana diriwayatkan dari riwayat Ma’qil bin Abaidillah dari Abu Az Zubair, dan keduanya adalah tsiqah, dan dua riwayat dari Az Zubair juga tsiqah . ” (Imam An Nawawi, Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim, 5/420. Mawqi’ Ruh Al-Islam. Lihat juga Imam Al-Mula ‘Ali Al-Qari,Mirqah Al-Mafatih Syarh Misykah Al-Mashabih, Mawqi’ Ruh Al-Islam.)

Berkata Syaikh Al-Mubarakfuri Rahimahullah:

لا شك أن الحديث صحيح فإن مسلما أخرجه في صحيحه كما ستعرف

“Tidak ragu lagi, bahwa hadits ini adalah shahih karena Imam Muslim telah mengeluarkannya dalam kitab Shahihnya sebagaimana yang akan kau ketahui.” (Tuhfah Al-Ahwadzi, 4/500)

Imam Al-Mundziri Rahimahullah mengatakan:

والحديث أخرجه البيهقي في السنن الكبرى من طريقين عن عيسى بن يونس وعن حفص بن غياث كلاهما عن الأعمش عن أبي سفيان عن جابر ثم قال: أخرجه أبو داود في السنن عن جماعة عن عيسى بن يونس . قال البيهقي: وهذا حديث صحيح على شرط مسلم دون البخاري .

“Hadits ini dikeluarkan oleh Al-Baihaqi dalam As Sunan Al-Kubra dari dua jalan, dari ‘Isa bin Yunus dan dari Hafsh bin Ghiyats, keduanya dari Al-A’masy dari Abu Sufyan dari Jabir. Kemudian dia berkata: Abu Dua mengeluarkannya dalam As Sunan, dari Jamaah dari ‘Isa bin Yunus. Berkata Al-Baihaqi: Hadits ini shahih sesuai syarat Muslim tanpa Al-Bukhari.” (Tuhfah Al-Ahwadzi , 4/500-501,‘Aunul Ma’bud , 9/270)‎

Para ulama berselisih pendapat mengenai hukum jual-beli kucing. Dan ulama yang tidak memperbolehkan jual-beli kucing secara mutlak mendasarkan kepada hadits riwayat Imam Muslim  berikut ini:

 عَنْ أَبِي الزُّبَيْرِ، قَالَ: سَأَلْتُ جَابِرًا عَنْ ثَمَنِ الْكَلْبِ وَالسِّنَّوْرِ، فَقَالَ: زَجَرَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ ذَلِكَ --رواه مسلم

“Dari Abi az-Zubair ra ia berkata, saya bertanya kepada Jabir ra tentang hasil penjualan anjing dan kucing. Lantas Zabir ra pun menjawab, bahwa Rasulullah melarang hal tersebut”. (H.R.Muslim)

Hadits ini shahih. Dan, secara zhahir menunjukkan keharaman jual beli kucing, Imam An Nawawi menyebutkan:

وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَة وَطَاوُسٍ وَمُجَاهِد وَجَابِر بْن زَيْد أَنَّهُ لَا يَجُوز بَيْعه ، وَاحْتَجُّوا بِالْحَدِيثِ

Dari Abu Hurairah, Thawus, Mujahid, Jabir bin Zaid, bahwa tidak boleh menjual kucing. Mereka berhujjah dengan hadits ini. (Al Minhaj, 5/420)

Dalam Nailul Authar, Imam Asy Syaukani mengatakan:

وفيه دليل على تحريم بيع الهروبه قال أبو هريرة ومجاهد وجابر وابن زيد

“Dalam hadits ini terdapat dalil haramnya menjual kucing, inilah pendapat Abu Hurairah, Jabir, dan Ibnu Zaid.” (Nailul Authar, 5/145)

Nampak ada perbedaan dengan apa yang dikatakan Imam An Nawawi dan Imam Abu Thayyib yang menyebutkan Jabir bin Zaid (sebagai satu orang), sedangkan di sisi lain Imam Asy Syaukani dan Syaikh Al-Mubarakuri menyebut Jabir, lalu Ibnu Zaid, sebagai dua orang yang berbeda.

Perbedaan lain adalah tentang posisi Thawus. Beliau disebut oleh Imam An Nawawi (dalam Al-Minhaj) dan Imam Abu Thayyib (dalam ‘Aunul Ma’bud) termasuk yang mengharamkan, tetapi oleh Imam Asy Syaukani (dalam Nailul Authar) dan Syaikh Al-Mubarakfuri (Tuhfah Al-Ahwadzi)disebutkan bahwa Thawus membolehkan menjual kucing. Wallahu A’lam

Ada pun jumhur (mayoritas) ulama mengatakan bahwa menjual kucing adalah boleh, karena dhaifnya hadits tersebut. (Tuhfah Al-Ahwadzi, 4/500). Namun, yang benar adalah hadits tersebut adalah shahih sebagaimana diriwayatkan Imam Muslim dan lainnya.

Tetapi, apakah makna pelarangan ini? Apakah bermakna haram? Demikianlah yang menjadi pandangan sebagian ulama. Namun sebagian lain mengartikan bahwa larangan ini menunjukkan makruh saja, yaitu makruh tanzih (makruh yang mendekati kebolehan) sebab menjual kucing bukanlah perbuatan yang menunjukan akhlak baik dan muru’ah (citra diri). (Ibid)

Imam An Nawawi Rahimahullah mengatakan;

 وَأَمَّا النَّهْي عَنْ ثَمَن السِّنَّوْر فَهُوَ مَحْمُول عَلَى أَنَّهُ لَا يَنْفَع ، أَوْ عَلَى أَنَّهُ نَهْي تَنْزِيه حَتَّى يَعْتَاد النَّاس هِبَته وَإِعَارَته وَالسَّمَاحَة بِهِ كَمَا هُوَ الْغَالِب . فَإِنْ كَانَ مِمَّا يَنْفَع وَبَاعَهُ صَحَّ الْبَيْع ، وَكَانَ ثَمَنه حَلَالًا هَذَا مَذْهَبنَا وَمَذْهَب الْعُلَمَاء كَافَّة إِلَّا مَا حَكَى اِبْن الْمُنْذِر . وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَة وَطَاوُسٍ وَمُجَاهِد وَجَابِر بْن زَيْد أَنَّهُ لَا يَجُوز بَيْعه ، وَاحْتَجُّوا بِالْحَدِيثِ . وَأَجَابَ الْجُمْهُور عَنْهُ بِأَنَّهُ مَحْمُول عَلَى مَا ذَكَرْنَاهُ ، فَهَذَا هُوَ الْجَوَاب الْمُعْتَمَد .

“Ada pun tentang larangan mengambil harga kucing, hal itu dimungkinkan karena hal itu tidak bermanfaat, atau larangannya adalah tanzih, sehingga manusia terbiasa menjadikannya sebagai barang hibah saja, ada yang menelantarkannya, dan bermurah hati, sebagaimana yang biasa terjadi. Jika dia termasuk yang membawa manfaat maka menjualnya adalah penjualan yang sah dan harganya adalah halal. Inilah pendapat madzhab kami dan madzhab semua ulama kecuali apa yang diriwayatkan oleh Ibnul Mundzir. Bahwa dari Abu Hurairah, Thawus, Mujahid, Jabir bin Zaid, mereka tidak membolehkan menjualnya, mereka berhujjah dengan hadits tersebut. Jumhur menjawab bahwa hadits tersebut maknanya sebagaimana yang kami sebutkan, dan ini adalah jawaban yang dapat dijadikan pegangan.” (Al Minhaj, 5/420. Mawqi’ Ruh Al-Islam)

Demikian. Jadi menurut mayoritas ulama, larangan itu bukan bermakna haram tetapi masalah kepantasan dan adab, sebab memang kucing bukan hewan yang biasa diperjualbelikan sebab keberadaannya yang mudah didapat, dan manusia pun biasanya bisa seenaknya saja memeliharanya atau dia membiarkannya. Tetapi, bagi yang ingin berhati-hati dengan mengikuti pendapat yang mengharamkannya, tentu bukan pilihan yang salah. Perbedaan dalam hal ini sangat lapang, dan tidak boleh ada sikap keras dalam mengingkari. 

Namun, hadits riwayat Imam Muslim tersebut dipersoalkan oleh para ulama yang memperbolehkan jual-beli kucing. Dalam sebuah keterangan yang terdapat dalam kitab Asna al-Mathalib dikatakan bahwa yang dimaksud larangan (mengambil) hasil penjualan kucing sebagai terdapat dalam hadits tersebut adalah larangan terhadap kucing liar. Sebab, kucing liar itu tidak memilik kemanfaatan untuk menghibur dan selainnya. Atau bisa juga dikatakan bahwa larangan tersebut masuk kategori sebagai makruh tanzih, bukan makruh tahrim. 

وَيَجُوزُ بَيْعُ الْهِرَّةِ الْأَهْلِيَّةِ وَالنَّهْيُ عن ثَمَنِ الْهِرَّةِ كَمَا في مُسْلِمٍ مُتَأَوَّلٌ أَيْ مَحْمُولٌ على الْوَحْشِيَّةِ إذْ لَيْسَ فِيهَا مَنْفَعَةُ اسْتِئْنَاسِ وَلَا غَيْرُهُ أو الْكَرَاهَةُ فيه

“Dan boleh jual-beli kucing. Sedang larangan dari (mengambil) hasil penjualan kucing sebagaimana hadits yang terdapat dalam Shahih Muslim itu ditakwil artinya ditafsirkan bahwa yang dimaksud kucing tersebut adalah kucing liar.  Karena tidak ada manfaat penghibur dan selainnya. Atau yang yang dimaksud larangan itu adalah makruh tahzih” (Zakariya al-Anshari, Asna al-Mathalib, Bairut-Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, cet ke-1, 1422 H/2000 M, juz, 2, h. 31)  

Dengan mengacu kepada keterangan di atas, maka yang tidak diperbolehkan adalah jual-beli kucing liar, sedang kucing rumahan atau kucing yang dijadikan sebagai hewan hias seperti kucing anggora adalah boleh. Dari sini juga dapat dipahami bawa secara umum menjual hewan hias atau peliharaan adalah boleh sepanjang mengandung kemanfaatan, tidak najis, tidak membahayakan dan tidak ditemukan dalil yang melarangnya.‎

Penjelasan Tentang Jual-Beli Online


Hukum akad (transaksi) jual beli melalui alat elektronik sah, apabila sebelum transaksi kedua belah pihak sudah melihat mabi’ (barang yang diperjualbelikan) atau telah dijelaskan baik sifat maupun jenisnya,serta memenuhi syarat-syarat dan rukun-rukun jual beli lainnya  dengan dasar pengambilan hukum;

1. Syarh al-Yaqut an-Nafis karya Muhammad bin Ahmad al-Syatiri:

وَالْعِبْرَةُ فِي الْعُقُودِ لِمَعَانِيهَا لَا لِصُوَرِ الْأَلْفَاظِ وَعَنِ الْبَيْعِ وَ الشِّرَاءِ بِوَاسِطَةِ التِّلِيفُونِ وَالتَّلَكْسِ وَالْبَرْقِيَاتِ كُلُّ هذِهِ الْوَسَائِلِ وَأَمْثَالِهَا مُعْتَمَدَةُ الْيَوْمِ وَعَلَيْهَا الْعَمَلُ

Yang diperhitungkan dalam akad-akad adalah subtansinya, bukan bentuk lafalnya. Dan jual beli via telpon, teleks dan telegram dan semisalnya telah menjadi alternatif utama dan dipraktikkan.

2. Nihayah al-Muhtaj ila Syarh al-Minhaj karya Syihabuddin Ar-Ramli:

(وَالْأَظْهَرُ أَنَّهُ لَا يَصِحُّ) فِي غَيْرِ نَحْوِ الْفُقَّاعِ كَمَا مَرَّ (بَيْعُ الْغَائِبِ) وَهُوَ مَا لَمْ يَرَهُ الْمُتَعَاقِدَانِ أَوْ أَحَدُهُمَا ثَمَنًا أَوْ مُثَمَّنًا وَلَوْ كَانَ حَاضِرًا فِي مَجْلِسِ الْبَيْعِ وَبَالِغًا فِي وَصْفِهِ أَوْ سَمْعِهِ بِطَرِيقِ التَّوَاتُرِ كَمَا يَأْتِي أَوْ رَآهُ فِي ضَوْءٍ إنْ سَتَرَ الضَّوْءُ لَوْنَهُ كَوَرَقٍ أَبْيَضَ فِيمَا يَظْهَرُ

(Dan menurut qaul al-Azhhar, sungguh tidak sah) selain dalam masalah fuqa’-sari anggur yang dijual dalam kemasan rapat/tidak terlihat- (jual beli barang ghaib), yakni barang yang tidak terlihat oleh dua orang yang bertransaksi, atau salah satunya. Baik barang tersebut berstatus sebagai alat pembayar maupun sebagai barang yang dibayari. Meskipun barang tersebut ada dalam majlis akad dan telah disebutkan kriterianya secara detail atau sudah terkenal secara luas -mutawatir-, seperti keterangan yang akan datang. Atau terlihat di bawah cahaya, jika cahaya tersebut menutupi warna aslinya, seperti kertas putih. Demikian menurut kajian yang kuat.

Dalam pandangan madzhab Syafi’i (sebagaimana referensi kedua),  barang yang diperjual belikan disyaratkan dapat  dilihat secara langsung oleh kedua belah pihak. Hal ini merupakan bentuk kehati-hatian agar tidak terjadi penipuan (ghoror) dalam jual beli karena Rasulullah melarang praktek yang demikian, sebagaimana  dalam sebuah hadis dinyatakan:
نَهَى رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ بَيْعِ الْغَرَرِ

Artinya: Rasulullah saw melarang jual beli yang didalamnya terdapat penipuan. (HR.Muslim).

Jumhur ulama membolehkan jual beli barang dengan sifat (menyebutkan sifat-sifatnya atau menampilkan gambarnya), dengan syarat sifat-sifat barang yang mempengaruhi nilai barang harus jelas (ukuran,jenis, kapan penyerahan barang dll) dan juga terbebas dari unsur penipuan. Mereka mengatakan bahwa penyebutan sifat-sifat barang yang akan dijual sama kedudukannya dengan melihat. Diantara dalil mereka: من أسلف في شيء فليسلف في كيل معلوم ووزن معلوم إلى أجل معلوم “Barangsiapa yang jual beli salaf (salam) maka hendaklah berjual beli salaf (salam) dengan ukuran tertentu, dan berat tertentu, sampai waktu tertentu.” (HR. Al-Bukhary dan Muslim) Sabda nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: في كيل معلوم ووزن معلوم إلى أجل معلوم “Ukuran tertentu, berat tertentu, sampai waktu tertentu.” Menunjukkan bolehnya menjual barang dengan sifat. Hendaknya antum membeli barang pesanan setelah uang dikirim kepada antum, supaya tidak terjatuh dalam pembelian hutang dangan hutang. Dengan demikian diperbolehkan juga antum membeli dengan cara seperti itu. Apabila ketika waktu penerimaan barangnya berbeda dari yang sudah disepakati maka pembeli berhak untuk membatalkan akad. Disana ada 2 solusi yang bisa dijadikan alternatif: Pertama: Barang dikirim dahulu baru dikirim uang, dan ini jarang dilakukan. Kedua: Uang dan Barang dikirim bersamaan, dan tidak masalah mana saja yang datang terlebih dahulu.

Jual-beli adalah akad mu’awadhah, yakni akad yang dilakukan oleh dua belah pihak, yaitu pihak penjual dan pihak pembeli, yang objeknya bukan manfaat, tetapi lebih kepada benda, dan bukan untuk kenikmatan seksual.

Rukun jual beli menurut jumhur ulama :
1. Asda penjual.
2. Ada pembeli.
3. Ijab Kabul.
4. Barang yang diakadkan. (al Fiqhul Islami wa Adillatuhu juz V hal 3309)

Syarat sah jual beli itu adalah :
1. Syarat-syarat pelaku akad : bagi pelaku akad disyaratkan, berakal dan memiliki kemampuan memilih. Jadi orang gila, orang mabuk, dan anak kecil (yang belum bisa membedakan) tidak bisa dinyatakan sah.
2. Syarat-syarat barang yang diakadkan :

Suci (halal dan baik)
Bermafaat
Milik orang yang melakukan akad
Mampu diserahkan oleh pelaku akad
Mengetahui status barang (kualitas, kuantitas, jenis dan lain-lain)
Barang tersebut dapat diterima oleh pihak yang melakukan akad. (Fiqih Sunnah juz III hal 123)

Jual beli barang yang tidak ditempat transaksi diperbolehkan dengan syarat harus diterangkan sifat-sifatnya dan ciri-cirinya. Kemudian jika barang sesuai dengan keterangan penjual, maka sahlah jual belinya. Tetapi jika tidak sesuai maka pembeli mempunyai hak khiyar, artinya boleh meneruskan atau membatalkan jualbelinya. Hal ini sesuai dengan hadis Nabi riwayat Al Daraquthni dari Abu Hurairah yang artinya: ”barang siapa membeli sesuatuyang ia tidak melihatnya, maka ia berhak khiyar jika ia telah melihatnya”.

Jual beli hasil tanaman yang masih terpendam , seperti ketela, kentang, bawang dan sebagainya juga diperbolehkan, asal diberi contohnya, karena akan mengalami kesulitan atau kerugian  jika harus mengeluarkan semua hasil tanaman yang terpendam untuk dijual. Dan dalam objek ditransaksi yang tidak diketahui kualitas dan kuantitasnya seperti menggunakan tempat mandi umum menurut tarif yang ditentukan, tanpa diketahui jumlah air yang terpakai atau waktu penggunaan tempat mandi. Jadi, di sini bukan persyaratan yang sangat menentukan, tetapi yang menentukan jika kedua belah pihak rela dan tidak ada pihak-pihak yang dirugikan.

Demikian juga jual beli barang yang telah terbungkus/tertutup. Seperti makanan kaleng, LPG, dan sebagainya, asalkan diberi label yang menerangkan isinya. Pada transaksi jualbeli secara online, sama halnya dengan transaksi jual beli biasa yang dilakukan didunia nyata, dilakukanoleh para pihak terkait, walaupun dalam jualbeli secara elektronik tidak bertemu secara langsung satu sama lain,tetapi berhubungan melalui internet. Ijab qobul bisa dilakukan melalui via sms atau e-mail, dan mencapai kesepakatan antara penjual dan pembeli.

Berikut ini hal-hal yang terkait dengan jualbeli via internet:

a.) Penjual atau pengusaha yang menawarkan sebuah produk melalui internet sebagai pelaku usaha

b.) Pembeli dan konsumen yaitu setiap orang yang tidak dilarang oleh undang-undang yang menerima penawaran dari penjual atau pelaku usaha dan keinginan untuk melakukan transaksi jual beliproduk yang ditawarkan oleh penjual/pelaku usaha.


c.) Bank sebagai pihak penyalur dana dari pembeli atau konsumen kepada penjual atau pelaku usaha, karena pada transaksi jualbeli secara elektronik, penjual dan pembeli tidak berhadapan langsung, sebab mereka berada pada lokasi yang berbeda.

d.) Pelaku usaha/ penjual sebagai penyedia jasa layanan akses internet.

Pelaksaan transaksi jual beli secara online ini dilakukan dalam beberapa tahap, sebagai berikut:

a.) Penawaran yang dilakukan oleh penjual atau pelaku usaha melalui website pada ineternet. Penjual atau pelaku usaha menediakan katalog produk dan pelayanan yang akan diberikan. Masyarakat yang memasuki website pelaku usaha tersebut dapat melihat barang-barang yang ditawarkan oleh penjual. Salah satu keuntungan transaksi jual beli melalui di toko online ini adalah pembeli dapat berbelanja kapan saj dan dimana saja tanpa dibatasi ruaang dan waktu. Penawaran melaui internet terjadi apabila pihak lain yang menggunakan media internet memasuki situs penjaual ,oleh karena itu,apabila seorang tidak menggunakan media internet dan memasuki situs milik pelaku usaha yang menawarkan sebuah produk maka tidak bisa dinamakan penawaran. Dengan demikan penawaran melalui media internet hanya dapat terjadi apabila seseorang membuak situs internet.

b.) Penerimaan, dapat dilakukan tergantung penawaran yang terjadi. Apabila penawaran dilakukan melalui e-mail addrees, maka penerimaan dilakuakn melalui e-mail, karena penawaran hanya ditunjukkan pada sebuah e-mail yang dituju sehingga hanya pemegang e-mail tersebut yang dituju. Penawaran melalui website ditujukan untuk seluruh masyarakat yang membukla website tersebut. Setiap orang yang berminat untuk membeli barang yang ditawarkan itu itu dapat membuat kesepakatan deangan penjual. Apabila cocok maka langkah selanjutnay registrasi atau pembayaran.

c.) Pembayaran, dapat dilkuakan baik nsecara langsung maupun tidak langsung, misalnya melalui fasilitas internet, namun tetap bertumpun pada sistem keuangan nasional, yang mengacu system local.

d.) Pengiriman, merupakan suatu proses yang dilakukan setelah pembayaran atas barang yang ditawarkan oleh penjual kepada pembeli, dalam hal ini pembeli berhak atas penerimaan barang yang dimaksud. Pada kenyataannya, barang yang dijadikan objek perjanjian dikrimkan oleh penjual kepada pembeli dengan biaya pengiriman sebagaiman telah diperjanjikan antara penjual dan pembeli.

Jual beli melalui online (internet) yang sebenarnya juga termasuk jual beli via telepon, sms dan alat telekomukikasi lainya, maka mareka yang terpenting adalah ada barang yang diperjual belikan, halal dan jelas oleh miliknya, sebagaimana hadis Nabi (yang maknanya): "tidak sah jual beli kecuali sesuatu yang dimiliki seseorang" (HR. at-Turmudziy dan Abu Dawud).

Ada harga wajar yang disepakati kedua belah pihak, tidak ada unsur manipulasi atau penipuan dalam transaksi (HR. al-Bukhariy dan Muslim). Prosedur transaksinya benar, diketahui dan saling rela antar kedua belah pihak, sebagaimana makna firman Allah SWT: "...kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku secara saling rela di antara kamu..." (an-Nisaa' ayat 29). 

Pada dasarnya segala sesuatu itu hukumnya boleh sepanjang tidak ada dalil yang mengharamkannya. Berpijak dari landasan kaidah fiqhiyyah tersebut maka jual-beli lewat online (internet) itu diperbolehkan, dan sah. kecuali jika terjadi penyimpangan, manipulasi, penipuandan sejenisnya, maka secara hukumnya ditetapkan, yaitu haram.  Oleh karena itu jika ada masalah terkait ketidaksesuaian barang antara yang ditawarkan dan dibayar dengan yang diterima, maka berlaku hukum transaksi pada umumnya, bagaimana kesepakatan yang telah dijalin. Inilah salah satu faktor yang dapat menjadi penyebab batalnya transaksi jual beli dan dapat menjadi salah satu penyebab haramnya jual beli, baik online atau bukan karena adanya manipulasi atau penipuan.

Adapun keharaman jual beli via internet karena beberapa sebab :

1. Sistemnya haram, seperti money gambling. Judi itu haram baik di darat maupun di udara (online/ internet).

2. Barang/jasa yang menjadi objek transaksi adalah barang yang diharamkan, seperti narkoba, video porno, online sex, pelanggaran hak cipta, situs-situs yang bisa membawa pengunjung ke dalam perzinaan.

3. Karena melanggar perjanjian (TOS) atau mengandung unsur penipuan.

4. Dan lainnya yang tidak membawa kemanfaatan tapi justru mengakibatkan kemudharatan.

Transaksi via tulisan (baca: faks atau internet) bisa dianalogkan dengan transaksi dengan tulisan yang ditujukan kepada orang yang tidak berada di majelis transaksi. Kasus semacam ini dibolehkan oleh mayoritas ulama karena adanya saling rela, meski kerelaan pihak kedua tidak langsung terwujud. Hal ini tidaklah masalah asalkan ada qobul (penyataan menerima dari pihak kedua) pada saat surat sampai kepada pihak kedua. Inilah pendapat mayoritas ulama. Tapi ada sebagian ulama Syafi’iyyah yang tidak membolehkannya.

Ijab dan qobul disyaratkan harus berturut-turut dan tolak ukur berturut-turut adalah kembali pada urf(kebiasaan masyarakat setempat). Menurut mayoritas ulama (selain Syafi’iyyah), qobul tidak diharus sesegera mungkin demi mencegah adanya pihak yang dirugikan dan supaya ada kesempatan untuk berpikir. Jika ijab itu via surat maka disyaratkan adanya qobul dari pihak kedua pada saat surat sampai ke tangannya.

Demikian pula disyaratkan adanya kesesuaian antara ijab dan qobul serta tidak ada indikasi yang menunjukkan bahwa salah satu pihak yang bertransaksi membatalkan transaksi.Menurut mayoritas ulama pihak yang mengeluarkan ijab (pihak pertama) boleh meralat ijabnya.

Banyak ulama kontemporer yang berpendapat bahwa transaksi dengan piranti-piranti modern adalah sah dengan syarat ada kejelasan dalam transaksi tersebut. Di antara mereka adalah Syeikh Muhammad Bakhit al Muthi’i, Mushthofa az Zarqa’, Wahbah Zuhaili danAbdullah bin Mani’.

Alasan beliau-beliau adalah sebagai berikut:

1. Berdasar pendapat banyak ulama di masa silam yang menyatakan sahnya transaksi via surat menyurat dan jika ijab (penyataan pihak pertama) adalah sah setelah sampainya surat ke tangan pihak kedua. Demikian pula mengingat sahnya transaksi dengan cara berteriak.

2. Yang dimaksud dengan disyaratkannya ‘kesatuan majelis transaksi’ adalah adanya suatu waktu yang pada saat itu dua orang yang mengadakan transaksi sibuk dengan masalah transaksi. Bukanlah yang dimaksudkan adalah adanya dua orang yang melakukan transaksi jual beli dalam satu tempat dan waktu.

Berdasarkan penjelasan tersebut maka majelis akad dalam pembicaraan via telepon adalah waktu komunikasi yang digunakan untuk membicarakan transaksi. Jika transaksi dengan tulisan maka majelis transaksi adalah sampainya surat atau tulisan dari pihak pertama kepada pihak kedua. Jika qobul tertunda dengan pengertian ketika surat sampai belum ada qobul dari pihak kedua maka transaksi tidak sah. Untuk sahnya jual-beli ini dipersyaratkan harga barang yang diperjual-belikan sudah jelas walaupun dengan nilai yang lebih tinggi dari harga seandainya dibayar tunai dan waktu penyerahannya juga sudah ditentukan secara jelas.

 

Penjelasan Tentang Jual-Beli Dengan Kredit


Dalam hal ini, hukum dan aturan jual beli dalam Islam menjadi hal yang sangat diprioritaskan. Hal tersebut dikarenakan jika akad jual belinya tidak sesuai dengan tata aturan yang ditetapkan oleh syariat, maka dapat dipastikan akad jual beli yang berlangsung tidak bisa dianggap sah. Jika demikian keadaannya, maka akan terjadi kezaliman terhadap pihak lain yang saling malakukan transaksi, padahal Islam senantiasa mengatur umatnya agar hidup berdampingan, dan tidak saling merugikan. Oleh karena itu, dalam pelaksanaan jual beli Islam telah menetapkan tata aturan yang secaa detail disebutkan dalam ilmu fikih muamalah. Adapun dasar hukum yang menjelaskan tentang jual beli dapat dilihat dalam penjelasan ayat-ayat al-Qur’an sebagai berikut:

Al-Qur’an Surah al-Baqarah ayat 275:

وَأَحَلَّ اللّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا

“Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.”

Ayat di atas merupakan dalil naqlimengenai diperbolehkannya akad jual beli. Atas dasar ayat inilah, maka manusia dihalalkan oleh Allah melakukan praktik jual beli dan diharamkan melakukan praktik riba.

Al-Qur’an Surah al-Baqarah ayat 282:

...وَأَشْهِدُوْا إِذَا تَبَايَعْتُمْ...

“... dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli.”

Berbeda dengan ayat yang pertama, ayat ini yaitu menjelaskan secara teknis dalam jual beli, bagaimana seharusnya praktik jual beli yang benar yang benar tersebutdijalankan. Berkaitan dengan ayat di atas, telah sama-sama kita ketahui bahwa akad jual beli merupakan suatu bentuk transaksi yang dilakukan antara dua orang atau lebih untuk saling memenuhi kebutuhan keseharian mereka. Akan tetapi terkadang terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, sehingga dalam proses jual beli tersebut ada baiknya manakala didatangkan saksi atau alat bukti lain yang menunjukkan transaksi tersebut. Hal tersebut dimaksudkan untuk memberikan kesaksian atau bukti bahwa kedua belah pihak tersebut betul-betul telah melakukan akad jual beli. Oleh karena itu, Al-qur’an mengajarkan agar dalam praktik jual beli hendaknya ada saksi yang menyatakan keabsahan transaksi jual beli antara kedua belah pihak.

Al-Qur’an Surah an-Nisa’ ayat 29:

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَأْكُلُواْ أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلاَّ أَن تَكُونَ تِجَارَةً عَن تَرَاضٍ مِّنكُمْ

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang bathil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku suka-sama suka di antara kamu.”

Ayat ini melarang manusia untuk melakukan perbuatan tercela dalam mendapatkan harta. Allah melarang manusia untuk tidak melakukan penipuan, kebohongan, perampasan, pencurian atau perbuatan lain secara batil untuk mendapatkan harta benda. Tetapi diperbolehkan mencari harta dengan cara jual beli yang baik yaitu didasari atas suka sama suka.  

Al-Qur’an Surah al-Baqarah ayat 198:

لَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَن تَبْتَغُواْ فَضْلاً مِّن رَّبِّكُمْ

“Tidak ada bagimu untuk mencari karunia (rizki hasil perniagaan) dari Tuhamu.”

Penjelasan yang dapat dipetik dari ayat tersebut adalah bahwa, perniagaan adalah jalan yang paling baik dalam mendapatkan harta, di antara jalan yang lain. Asalkan jual beli dilakukan dengan syarat dan ketentuan yang telah diatur oleh syariat.

Berkaitan dengan jual beli, rasulullah SAW pernah ditanya oleh salah satu sahabatnya mengenai pekerjaan yang baik, maka jawaban beliau ketika itu adalah jual beli. Peristiwa ini sebagaimana dijelaskan dalam hadis:

عَنْ رِفَاعَةَ بْنِ رَافِعٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سُئِلَ الْكَسْبِ أَفْضَلُ ؟ قَالَ: عَمَلُ الرَّجُلِ بِيَدِهِ وَكُلُّ بَيْعٍ مَبْرُوْرٍ

“Dari Rifa’ah bin Rafi’ ra. Ia berkata,bahwasannya Rasulullah  SAW pernah ditanya: Usaha apakah yang paling halal itu (ya Rasulullah ) ? Maka beliau menjawab,“Yaitu pekerjaan seseorang dengan tangannya sendiri dan setiap jual beli itu baik.” (HR. Imam Bazzar. Imam Hakim menyatakan shahihnya hadits ini)

Di zaman yang serba canggih ini perkembangan sistem ekonomi sudah sangat pesat. Beragam sistem ditawarkan oleh para niagawan untuk bersaing menggaet hati para pelanggan. Seorang niagawan muslim yang tidak hanya berorientasi pada keuntungan dunia sudah semestinya cerdik dan senantiasa menganalisa fenomena yang ada agar mengetahui bagaimanapandangan syariat terhadap transaksi ini. Dengan demikian tidak mudah terjerumus ke dalam larangan-Nya.

Di antara sistem yang saat ini terus dikembangkan adalah sistem kredit, yaitu cara menjual barang dengan pembayaran secara tidak tunai (pembayaran ditangguhkan atau diangsur).

Di dalam ilmu fikih, akad jual beli ini lebih familiar dengan istilah jual belitaqsith (التَقْسيـْط). Secara bahasa,taqsith itu sendiri berarti membagi atau menjadikan sesuatu beberapa bagian.

Meskipun sistem ini adalah sistem klasik, namun terbukti hingga kini masih menjadi trik yang sangat jitu untuk menjaring pasar, bahkan sistem ini terus-menerus dikembangkan dengan berbagai modifikasi.

Hukum Jual-Beli dengan Sistem Kredit

Secara umum, jual beli dengan sistem kredit diperbolehkan oleh syariat. Hal ini berdasarkan pada beberapa dalil, di antaranya adalah:

1. Firman Allah Ta’ala:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى فَاكْتُبُوهُ

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya.” (QS. Al Baqarah : 282)

Ayat di atas adalah dalil bolehnya akad hutang-piutang, sedangkan akad kredit merupakan salah satu bentuk hutang, sehingga keumuman ayat di atas bisa menjadi dasar bolehnya akad kredit.

2. Hadis ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha,

beliau mengatakan,

اشْتَرَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ يَهُودِيٍّ طَعَامًا بِنَسِيئَةٍ، وَرَهَنَهُ دِرْعَهُ

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam membeli sebagian bahan makanan dari seorang yahudi dengan pembayaran dihutang dan beliau juga menggadaikan perisai kepadanya.” (HR. Bukhari:2096 dan Muslim: 1603)

Dalam hadis ini Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam membeli bahan makanan dengan sistem pembayaran dihutang, itulah hakikat kredit.

Berikut adalah sedikit ringkasan pembahasan mengenai jual beli secara kredit atau yang dikenal dengan Al-Bai’ut-Taqsiith –(البيع التقسيط).
Definisi jual beli kredit secara terminologis adalah menjual sesuatu dengan pembayaran tertunda, dengan cara memberikan cicilan dalam jumlah-jumlah tertentu dalam beberapa waktu secara tertentu, lebih mahal daripada harga kontan. Atau dengan definisi lain : Pembayaran secara tertunda dan dalam bentuk cicilan dalam waktu-waktu yang ditentukan.
Jual beli apapun pada asalnya adalah boleh kecuali ada dalil yang mengharamkannya. Allah ta’ala telah berfirman :

يَا أَيّهَا الّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَأْكُلُوَاْ أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلاّ أَن تَكُونَ تِجَارَةً عَن تَرَاضٍ مّنْكُمْ

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. [QS. An-Nisaa’ : 29].

ذَلِكَ بِأَنّهُمْ قَالُوَاْ إِنّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرّبَا وَأَحَلّ اللّهُ الْبَيْعَ وَحَرّمَ الرّبَا

Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba,padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. [QS. Al-Baqarah : 275].
Dua ayat di atas berlaku umum untuk semua jenis jual beli, termasuk jual beli secara kredit. Sampai ayat ini, para ulama mu’tabar tidak berbeda pendapat mengenai jual beli kredit. Hal itu dikarenakan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam sendiri pernah melakukan jual beli dengan menunda waktu pembayaran sebagaimana terdapat dalam hadits :

عن عائشة رضى الله تعالى عنها أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ اشْتَرَى طَعَاماً مِنْ يَهُودِيٍّ إِلَى أَجَلٍ وَرَهَنَهُ دِرْعاً مِنْ حَدِيدٍ

Dari ‘Aisyah radliyallaahu ‘anhaa : “Bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam pernah membeli makanan dari seorang Yahudi dengan pembayaran tertunda dan menggadaikan baju besinya sebagai boroh atau gadai” [HR. Bukhari no. 2068, 2096, 2200, 2251, 2252, 2386, 2509, 2513, 2916, 4467; Muslim no. 1603; An-Nasa’i no. 4609, 4650; Ibnu Majah no. 2436; dan Ahmad no. 23626, 24746, 25403, 25467].

Kemudian, para ulama berselisih pendapat mengenai hukum jual beli dengan penundaan waktu pembayaran plus penambahan harga. Ringkasnya, hal itu terbagi menjadi 2 (dua) kelompok besar pendapat :
1.     Mengharamkannya
2.     Membolehkannya

Pendapat pertama merupakan pendapat sebagian ulama, dan pendapat kedua merupakan pendapat jumhur ulama.

Makna Dua Jual Beli dalam Satu Jual Beli (بيعتان في بيعة)

عن أبي هريرة قَالَ : نَهَى رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ عَنْ بَيْعَتَيْنِ فِي بَيْعَةٍ

Dari Abu Hurairah radliyallaahu ’anhu ia berkata : ”Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam melarang dua jual beli dalam satu jual beli (baca : dua jual beli dalam satu akad/transaksi – Abul-Jauzaa’) [HR. Tirmidzi no. 1231, Ahmad no. 9582, 10153; An-Nasa’i no. 4632; Ad-Daarimi no. 1379; Ibnul-Jarud no. 600; Abu Ya’la no. 6124; Ibnu Hibban no. 4973; Al-Baihaqi 5/343; dan Al-Baghawiy no. 21111 - shahih).

قال ابن مسعود : " صفقتان في 
صفقة ربا "

Ibnu Mas’ud berkata : ”Transaksi dalam dua penjualan adalah riba” [HR. Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushannaf 8/192/2; Ahmad no. 3783, dan Ibnu Hibban no. 1053 – shahih. Lihat Irwaaul-Ghalil 5/148-149].

1.     Pendapat yang mengharamkannya memaknai hal itu sebagaimana perkataan : “Aku jual barang ini kepadamu, secara kontan 10 ribu rupiah dan jika secara angsuran (kredit) 12 ribu rupiah”. Dan inilah kredit pada umumnya sebagaimana yang lazim di jaman sekarang.

2.     Pendapat yang membolehkannya memaknai hal itu dengan dua inti perkataan, yaitu :

a.      “Aku jual kepadamu baju ini secara kontan seharga 50 ribu rupiah, dan secara kredit 55 ribu rupiah”; namun ketika berpisah ia tidak bersepakat dalam satu harga, apakah akan mengambil yang kontan atau secara kredit. Jadi antara penjual dan pembeli bersepakat dalam transaksi tanpa menentukan penjualan mana yang akan diambil (kontan atau kredit).

b.     “Aku jual sepeda ini padamu seharga 100 ribu dengan syarat kamu menjual kambingmu”. Atau sebaliknya : “Aku jual sepeda ini padamu dengan syarat kamu menjual kambingmu seharha 200 ribu”. Ketika pembeli menyepakati, maka otomatis berlangsung dua akad jual beli dalam satu jual beli. Transaksi ini sangat rentan terhadap kedhaliman pada harta.

Maka, di sini jumhur ulama mengatakan bahwa jual-beli secara kredit sebagaimana lazimnya tidak termasuk dalam larangan di atas (kecuali jika sampai berpisah penjual dan pembeli bersepakat namun tidak menentukan jenis pembayaran yang akan dilakukan – sebagaimana telah dijelaskan).
Inti perkataan tersebut saya modifikasi dari contoh yang dikemukakan Al-Imam At-Tirmidzi dalam Sunan-nya (no. 1231).

Tepatnya penjelasan At-Tirmidzi tersebut adalah sebagai berikut :

وقد فسر بعض أهل العلم قالوا بيعتين في بيعة أن يقول أبيعك هذا الثوب بنقد بعشرة وبنسيئة بعشرين ولا يفارقه على أحد البيعين فإذا فارقه على أحدهما فلا بأس إذا كانت العقدة على أحد منهما قال الشافعي ومن معنى نهى النبي صلى الله عليه وسلم عن بيعتين في بيعة أن يقول أبيعك داري هذه بكذا على أن تبيعني غلامك بكذا فإذا وجب لي غلامك وجب لك داري وهذا يفارق عن بيع بغير ثمن معلوم ولا يدري كل واحد منهما على ما وقعت عليه صفقته

Sebagian ahli ilmu menafsirkannya, mereka berkata : “Aku menjual baju ini dengan kontan senilai sepuluh dan dengan berangsur senilai dua puluh” dan ia tidak berpisah (yaitu tidak bersepakat) dengannya pada salah satu harga. Kalau ia berpisah dengannya di atas salah satunya, maka itu tidak apa-apa apabila akad berada di atas salah satu dari keduanya. Berkata Imam Asy-Syafi’i : “Dan dari makna larangan Nabi ‎shallallaahu ‘alaihi wasallam dari dua penjualan dalam satu transaksi, seseorang berkata : ‘Aku menjual rumahku kepadamu dengan syarat kamu menjual budakmu kepadaku dengan harga sekian. Kalau budakmu telah wajib untukku maka aku wajibkan rumahku untukmu’ dan ini berpisah (yaitu bersepakat) dengan penjualan tanpa harga yang pasti dan setiap dari keduanya tidak mengetahui bagaimana bentuk transaksinya”.
      
Penjelasan serupa juga disampaikan oleh Al-Khaththabi dalam Ma’aalimus-Sunan.

Mana Yang Lebih Kuat ?

InsyaAllah yang lebih kuat adalah Pendapat Kedua (yang membolehkannya). Sebagaimana yang telah disinggung, jual beli kredit yang berlangsung seperti sekarang bukanlah dua jual beli dalam satu transaksi. Sebab, ketika berpisah, mereka umumnya telah menyepakati jenis pembayaran yang akan dilakukan (yaitu bersepakat dengan akad kredit). Maka pada akhirnya di sini hanya ada satu jual beli saja dalam satu transaksi. Adapun contoh perkataan dari pendapat kedua (yang membolehkan kredit), maka sangat jelas bahwa akhir transaksi terdapat dua jual beli dalam satu transaksi dari pihak penjual maupun pembeli yang penuh gharar(ketidakjelasan) dan manipulasi.

Bagaimana dengan Pernyataan : Tafsiran Perawi Lebih Didahulukan daripada Selainnya ?

Hujjah di atas adalah hujjah yang dipakai oleh para ulama yang mengharamkan kredit dengan tambahan harga, sebab terdapat perkataan perawi hadits larangan dua jual beli dalam satu transaksi. Simmak bin Harb - perawi hadits – telah membawakan tafsiran tentang larangan dua jual beli dalam satu transaksi dengan perkataan : [إن كان بنقد فبكذا و كذا , و إن كان إلى أجل فبكذا و كذا] “Apabila dibayar secara kontan maka sekian, dan apabila secara kredit sekian”.
Selain dari apa yang telah dijawab di atas, maka hal itu dapat dijawab sebagai berikut :

1- Tafsiran seorang perawi tidaklah mutlak didahulukan, sebab belum tentu yang membawakan hadits itu lebih paham daripada yang disampaikan. Rasulullahshallallaahu ‘alaihi wasallam telah bersabda :

نَضَّرَ اللهُ امْرَأً سَمِعَ مَقَالَتِي فَوعَاهَا وَحَفِظَهَا وَبَلَّغَهَا، فَرُبَّ حَامِلِ فَقْهٍ إِلَى مَنْ هُوَ أفقَهُ مِنْهُ

“Semoga Allah memberikan cahaya kepada wajah orang yang mendengar perkataanku, kemudian ia memahaminya, menghafalkannya, dan menyampaikannya.Betapa banyak orang yang membawa fiqh kepada orang yang lebih paham daripadanya” [HR. Tirmidzi no. 2658; shahih].

Hadits di atas menjelaskan bahwa kedudukan pembawa hadits (rawi) tidak mutlak selalu lebih unggul dalam pemahaman dibandingkan orang yang disampaikan.

2- Madzhab jumhur ulama ushul-fiqh adalah tidak bertaqlid kepada pendapat shahabat. Kalau seorang shahabat memberi kekhususan pada sebuah nash umum atau menafsirkan nash yang masih global pengertiannya dengan salah satu kemungkinan penafsirannya tanpa penjelasan sebab adanya pengkhususan dan penafsiran tersebut, maka pendapatnya tidak bisa dijadikan hujjah dalam mengkhususkan nash umum tersebut atau dalam penafsiran nash yang masih penuh kemungkinan tersebut. Apabila demikian halnya yang berlaku pada shahabat dengan segala kemuliaan dan keutamaannya, tentu bagi seorang tabi’in atau orang sesudah mereka lebih jelas lagi. Dan sebagai catatan, Simmak bin Harb ini adalah seorang tabi’i, bukan seorang shahabat.

Perkataan seorang perawi dapat didahulukan jika memang terdapat qarinah yang jelas bahwa perkataannya tersebut merupakan penjelasan yang bersumber pada ujung sanad (dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam atau shahabat untuk kasus hadits mauquf). Contohnya adalah tentang masalah berdzikir dengan tangan kanan :

حدثنا عبيد الله بن عمر بن ميسرة ومحمد بن قدامة في آخرين قالوا ثنا عثام عن الأعمش عن عطاء بن السائب عن أبيه عن عبد الله بن عمرو قال رأيت رسول الله صلى الله عليه وسلم يعقد التسبيح قال بن قدامة بيمينه

Telah menceritakan kepada kami ‘Ubaidillah bin ‘Umar bin Maisarah dan Muhammad bin Qudamah dan yang lainnya mereka berkata : Telah menceritakan kepada kami ‘Atsaam dari Al-‘Amasy dari ‘Atha’ bin Saib dari ayahnya dari Abdillah bin ‘Amru ia berkata : “Aku melihat Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam menghitung bacaan tasbihnya”. Berkata Muhammad bin Qudamah (perawi hadits) :“Yaitu dengan tangan kanannya” [HR. Abu Dawud no. 1502].

Perkataan perawi (Muhammad bin Qudamah) :“Yaitu dengan tangan kanannya” tidaklah mungkin hanyalah penafsirannya semata. Penjelasan itu didapatkan dari penjelasan rawi di atasnya sampai di ujung sanad yang merupakan penjelasan dari orang yang melihatfi’il Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam(yaitu Abdullah bin ‘Amru radliyallaahu ‘anhuma). Hadits tersebut dibawakan oleh Abdullah bin ‘Amr dengan apa yang dilihat, bukan sekedar interpretasi semata. Sehingga, dari apa yang dilihat tersebut dikatakan/dijelaskan kepada perawi selanjutnya (murid-muridnya).

Bagaimana Penjelasan Hadits Abu Hurairah ?

Dari Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam :

من باع بيعتين في بيعة فله أوكسهما أو الربا

Barangsiapa yang menjual dengan dua penjualan dalam satu transaksi, maka baginya harga yang terendah atau riba [HR. Abu Dawud no. 3461, Ibnu Hibban no. 4974, Al-Haakim no. 2292, dan Al-Baihaqi 3/343;]

Adapun pengertiannya adalah bahwa hadits Abu Hurairah (yang terdapat keharusan memilih harga terendah) merupakan jual-beli‘ienah yang memang termasuk riba. Ibnul-Qayyim dalam Tahdzibus-Sunan (9/240) mengatakan : “Makna kalimat dalam hadits terdahulu : ‘…barangsiapa yang melakukan dua jual beli dalam satu jual beli, hendaknya ia mengambil yang termurah, bila tidak ia memakan riba’ ; yaitu seperti jual beli ‘ienah. Demikian yang dijelaskan oleh Syaikh Al-Khaththabi. Karena itu artinya dua jual beli dalam satu jual beli. Yang termurah adalah harga kontan. Apabila yang diambil adalah yang lebih mahal, yaitu pembayaran berjangka, maka ia telah mengambil harta riba. Kemungkinan yang terjadi hanya salah satu dari dua : mengambil harga termurah atau memakan riba. Itu hanya terjadi pada jual beli ‘ienah”

Jual beli ‘ienah gambarannya adalah sebagai berikut :

Si (A) menjual mobil kepada si (B) dengan pembayaran tempo (5 tahun) seharga 50 juta. Mobil diterima si (B). Kemudian si (A) mensyaratkan untuk membeli kembali mobil tersebut seharga 40 juta secara kontan dari si (B). Maka di sini terdapat unsur manipulasi dan riba. Si (A) sebenarnya tidak berkeinginan untuk menjual mobil kepada si (B), melainkan ia hanya ingin “menggandakan” uangnya yang 40 juta itu menjadi 50 juta (ada tambahan 10 juta) dalam tempo 5 tahun. Ini riba. Sedangkan si (B) tujuannya tidaklah ingin membeli mobil si (A), melainkan hanya menginginkan uang kontan 40 juta dengan konsekuensi ia harus mengembalikan sebesar 50 juta di tahun kelima. Jadi sebenarnya ini hanya manipulasi riba yang dibungkus atas label jual-beli.

Dalam jual beli ini terdapat dua jual beli dalam satu jual beli. Jika penjual dan pembeli memilih harga terendah (yaitu 40 juta kontan), maka jual beli itu adalah mubah dan terbebas dari riba. Namun jika yang disepakati seperti di atas, maka itulah larangan dalam hadits Abu Hurairah. Wallaahu a’lam.

Kesimpulan :

1- Jual beli kredit pada asalnya adalah boleh.

2- Walaupun boleh, namun sudah selayaknya kita menghindarinya untuk menghindari perselisihan yang ada. Harus diakui bahwa hujjah ulama yang mengharamkannya pun terbilang cukup “kuat”. Apalagi hal itu didukung oleh para ulama-ulama Ahlus-Sunnah yang terkenal seperti Ibnu Sirin, Simak bin Harb, Ats-Tsauri, Ibnu Qutaibah, An-Nasa’i, Ibnu Hibban, dan yang lainnya.

3- Selayaknya bagi kita untuk menghindari kredit (jangan menggampangkannya), karena pada hakekatnya kredit itu adalah hutang. Jika kita mati dan tunggakan kredit itu masih ada, maka statusnya adalah seperti hutang dimana kita tetap “tertahan” sampai kredit kita tersebut terselesaikan.

4- Bersikap zuhud dan wara’ adalah utama.Beli kalau ada uang, dan tidak membeli kalau memang tidak ada uang.

Semoga ada manfaatnya.

 

Doa Nabi Sulaiman Menundukkan Hewan dan Jin

  Nabiyullah Sulaiman  'alaihissalam  (AS) merupakan Nabi dan Rasul pilihan Allah Ta'ala yang dikaruniai kerajaan yang tidak dimilik...