Jumat, 27 November 2020

Penjelasan Mengenai Hadits Mutawatir Dan Hadits Ahad


Hadits dilihat dari segi kuantitas perawinya dibagi menjadi dua, yakni hadis mutawatir dan hadis ahad. 

Mutawatir menurut bahasa adalah isim fa’il musytaq dari at-tawatur artinya At-tatabu’ (berturut-turut).

Adapun hadis mutawatir menurut istilah ulama hadis adalah

حُوَ خَبْرٌ عَنْ مَحْسُوْسٍ رَوَاهُ عَدَدٌ جَمٌّ يُجِبُ فيِ العَادَةِ اِحَالَةُ اِجْتِمَاعِهِمْ و تَوَاطُئِحِمْ عَلى الْكَذِبِ

Khabar yang di dasarkan pada pancaindra yang di kabarkan oleh sejumlah orang yang mustahil menurut adat mereka bersepekat untuk mengkabarkan berita itu dengan dusta

Ada juga yang mengartikan hadis mutawatir sebagai berikut:
Secara bahasa, mutawatir adalah isim fa’il dari at-tawatur yang artinya berurutan. Sedangkan mutawatir menurut istilah adalah “apa yang diriwayatkan oleh sejumlah banyak orang yang menurut kebiasaan mereka terhindar dari melakukan dusta mulai dari awal hingga akhir sanad”. Atau : “hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang banyak pada setiap tingkatan sanadnya menurut akal tidak mungkin para perawi tersebut sepakat untuk berdusta dan memalsukan hadits, dan mereka bersandarkan dalam meriwayatkan pada sesuatu yang dapat diketahui dengan indera seperti pendengarannya dan semacamnya”

ﻤﺎﺭﻭﺍﻩ ﺠﻤﻊ ﺘﺤﻴﻝ ﺍﻟﻌﺎﺩﺓ ﺘﻭﺍﻁؤﻫﻡ ﻋﻟﻰ ﺍﻟﻜﺫﺏ 

Hadis Mutawatir adalah berita hadis yang bersifat indriawi (didengar atau dilihat) yang diriwayatkan oleh banyak orang yang mencapai maksimal di seluruh tingkatan sanad dan akal menghukumi mustahil menurut tradisi (adat) jumlah yang maksimal itu berpijak untuk kebohongan. 

Keberadaan hadis mutawatir memiliki syarat-syarat begitu ketat untuk dipenuhi, yakni: Diriwayatkan Oleh Banyak Perawi, Adanya Keseimbangan Antar Perawi Pada Thabaqat Pertama Dengan Thabaqat Berikutnya, Mustahil Bersepakat Bohong, Berdasarkan Tanggapan Pancaindera.

Hadis Ahad adalah hadis yang tidak memenuhi beberapa persyaratan hadis mutawatir.

Dalam makalah ini penulis memaparkan penjelasan tentang pegertian hadis mutawatir dan hadis ahad, pembagian hadis mutawatir dan ahad, faedah hadis mutawatir dan hadis ahad, korelasi hadis mutawatir dan hadis ahad. Di dalam makalah ini juga kami sertakan kitab-kitab yang membahas tentang hadis mutawatir dan hadis ahad, dan pendapat para ulama tentang hadis mutawatir.

Setting Historis Munculnya Hadis Mutawatir dan Hadis Ahad

Dikotomi hadits mutawatir dan ahad hanyalah ditinjau dari segi kuantitas atau jumlah rawinya saja, tidak dilihat dari segi kualitas rawinya. Keduanya mempunyai perbedaan dalam jumlah periwayatan hadis nabi, perbedaan ini muncul karena ketika nabi bersabda kepada para sahabat ataupun generasi selanjutnya sampai pada sanad yang terakhir tidak sama jumlah pendengarnya.

Sebelum pertengahan abad ke-3 H / 9 M, para ahli kalam mempunyai pemahaman bahwa sebuah hadis tidak pada teori isnad, melaikan rasionalitas mereka yang lebih ditekankan dan melihat hadis sebagai sunnah yang hidup yakni lebih melihat pada perilaku Rasulullah. Akan tetapi metode yang diungkapkan para ahli kalam tersebut sudah mulai hilang ketika sunnah beralih menjadi hadis yang lebih lengkap lagi dengan sanad dan matan. Para ahli ushul dari ahli kalam tidak mempermasalahkan tentang kualitas para perawi hadis, yang terpenting adalah permasalahan tentang jumlah orang yang meriwayatkan hadis tersebut.

Pengertian dari Hadits Mutawatir dan Hadits Ahad

1.Hadis mutawatir

a.Pengertian Hadis Mutawatir

Mutawatir menurut bahasa berarti المتتابع(al-mutatabi) yakni yang datang berikutnya atau beriring-iringan yang antara satu dengan yang lain tidak ada jaraknya.  Menurut beberapa ulama’ salah satunya adalah Mahmud at-Tahhan dalam bukunya Tafsir fii Mustalah al-Hadits, menyatakan:

مارواه عدد كثر تحيل العادة توا طؤهم على الكذب

“Hadits yang diriwayatkan oleh sejumlah perawi secara tradisi”

 Sedangkan menurut Abuu Ya’laa al-Muusilli at-Tamimi, hadits mutawatir adalah:

فالخير المتوا تر هو خبر عن محسوس أخبر به جماعة بلغوا في الكثيرة مبلغا تحيل العا دة تواطؤهم على لكذب فيه

“Suatu hadits hasil tanggapan dari panca indera, yang diriwayatkan oleh sejumlah rawi, yang menurut adat kebiasaan mustahil mereka berkumpul dan bersepakat dusta”

Jadi menurut istilah hadis mutawatir adalah hadis yang diriwayatkan oleh sejumlah perowi yang banyak pada tiap tingkatan (thabaqat) sehingga mustahil mereka sepakat untuk berbohong, dan proses tersebut dapat di indera oleh panca indera.  Dari pemaparan definisi tersebut, dapat dikatakan bahwa terdapat kriteria atau syarat-syarat hadis ditetapkan sebagai hadis mutawatir, yakni apabila:

Diriwayatkan Oleh Banyak Perawi

Para perawi hadis mutawatir syaratnya harus berjumlah banyak. Para ulama hadis mempunyai perbedaan pendapat tentang menentukan seberapa banyak perawi yang harus meriwayatkan sebuah hadis sehingga dikatakan sebagai hadis mutawatir. Ada yang berpendapat 3 orang, 4 orang, 5 orang, 10 orang, bahkan ada yang berpendapat 300 orang lebih. Dengan adanya jumlah perawi yang banyak inilah yang akan memungkinkan bahwa hadis yang disampaikan tidak memiliki keraguan terhadap kebenaran hadis tersebut.

Adanya Keseimbangan Antar Perawi Pada Thabaqat Pertama Dengan Thabaqat Berikutnya

Terdapat berbagai pendapat mengenai keseimbangan perawi pada thabaqat pertama dengan thabaqat berikutnya. Ada yang berpendapat bahwa, apabila jumlah perawi pada tingkatan awalnya tidak sama dengan tingkatan selanjutnya maka hadis tersebut tidak dapat digolongkan sebagai hadis mutawatir. Namun, pendapat lain menyatakan bahwa adanya perbedaan perawi pada setiap Thabaqat bukanlah menjadi masalah karena pada dasarnya hadis yang disampaikan sama banyaknya. Dan hal tersebut bisa dikategorikan sebagai hadis mutawatir.

Mustahil Bersepakat Bohong

Berdasarkan jumlah perawi yang banyak, maka periwayatan suatu hadis ini secara logika sangat sulit untuk bersepakat berbohong dalam periwayatannya, karena mengingat bahwa hadis yang diriwayatkan tersebut dalam jumlah yang banyak. Namun tidak dapat dipungkiri bahwa kuantitas bukan merupakan suatu hal yang mutlak ketika hadis dikatakan mutawatir atau bukan, karena realitas yang ada sekarang ini para periwayat hadispun masih ada kemungkinan untuk berbohong dalam periwayatannya.

Berdasarkan Tanggapan Pancaindera

Maksudnya adalah berita yang disampaikan itu merupakan hasil dari sesuatu yang didengar dengan telinga, dilihat dengan mata, dan bukan merupakan hasil yang disandarkan pada logika atau akal belaka. Sehingga, apabila berita tersebut merupakan hasil dari pemikiran atau logika suatu peristiwa dan bukan merupakan hasil istinbath, maka hadis tersebut tidak dapat dikatakatan sebagai hadis mutawatir. Hadis itu berdasarkan tanggapan pancaindera, misalnya ungkapan periwayatan  :

سمعنا= Kami mendengar (dari Rasulullah bersabda begini)
راينا او لمسنا= Kami sentuh atau Kami melihat (Rasulullah melakukan begini dan seterusnya)

Pembagian Hadis Mutawatir

Dalam pembagiannya, sebagian ulama membagi hadis mutawatir menjadi dua, yakni mutawatir lafdzi dan mutawatir ma’nawi. Namun ada pula yang membaginya menjadi tiga, yakni dengan menambahkan hadis mutawatir ‘amali.
Mutawatir Lafdzhi

Yang dimaksud dengan hadis mutawatir lafdzhi menurut Mahmud at-Tahhan ialah  :

المتواتراللفظي هوماتواترلفظه ومعنه

“Hadis yang mutawatir lafaz dan maknanya”.

Maksudnya adalah bahwa hadis mutawatir Lafdzhi ini merupakan hadis yang periwayatannya masih dalam satu lafaz. 

Beberapa ulama ada yang berpendapat dan menetapkan bahwa hadis mutawatir lafdzhi itu tidak ada atau sedikit sekali, karena kurang mengetahui tentang perawinya, apakah dalam meriwayatkan tersebut telah bersepakat untuk tidak berdusta atau hanya kebetulan saja. Sedangkan menurut pendapat ulama yang menetapkan adanya hadis mutawatir lafdzhi ialah menilai dari segi sedikit atau banyak jumlahnya, atau melihat dari segi makna beberapa lafaz yang sama.  

Perbedaan pendapat tersebut dapat dimaklumi karena mengingat bahwa terdapat perbedaan pula dalam hal jumlah perawi hadis mutawatir. 

Berikut adalah contoh dari hadis mutawatir lafdzhi :

مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ

“Barangsiapa berbuat dusta terhadap diriku, hendaklah ia menempati neraka”.

Dalam periwayatan hadis tersebut, muncul berbagai pendapat tentang jumlah periwayat yang meriwayatkannya, diantaranya adalah :

a.Abu Bakar al-Sairiy menyatakan bahwa hadis ini diriwayatkan secara marfu’ oleh 40 (empat puluh) sahabat.
b.Ibnu al-Shalkah berpendapat bahwa hadis ini diriwayatkan oleh 62 (enam puluh dua) sahabat, dimana 10 (sepuluh) diantaranya dijamin masuk surga.
c.Ibrahim al-Harabi dan Abu Bakar al-Bazariy mengatakan, hadis ini diriwayatkan oleh 40 (empat puluh) sahabat.
d.Abu Qasim ibn Manduh berpendapat bahwa hadis ini diriwayatkan oleh lebih dari 80 (delapan puluh) sahabat.
e.Sebagian lagi mengatakan bahwa hadis ini diriwayatkan oleh lebih dari 100 (seratus) bahkan 200 (duaratus) sahabat.

Mutawatir Ma’nawi

Yang dimaksud dengan hadis mutawatir ma’nawi adalah :

مَاتَوَاتَرَمَعْنَهُ دُوْنَ لَفْظِهِ

“Hadis yang mutawatir maknanya, bukan lafalnya”.

Ada pula yang mengatakan hadis mutawatir ma’nawi ialah  :

هُوَأَنْ يَنْقِلَ جَمَاعَةٌ يَسْتَحِيْلُ تَوَاطُؤُهُمْ عَلَى الْكَذِبِ وَوُقُوْعُهُ مِنْهُمْ مُصَادَفَةً فَيَنْتَقِلُوْا وَقَائِعَ مُخْتَلِفَةً تَشْتَرِكُ كُلَّهُنَّ فِى أَمْرٍ مُعَيَّنٍ

“Hadis yang dinukilkan oleh sejumlah orang yang mustahil mereka sepakat berdusta atau karena kebetulan. Mereka menukilkan dalam berbagai bentuk, tetapi dalam satu masalah atau mempunyai titik persamaan”

Contoh dari hadis mutawatir ma’nawi :

كَانَ النَبِيُّ صَلَىّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يَرْفَعُ يَدَيْهِ فِي شَيْءٍمِنْ دُعَائِهِ إِلَاّ فِى الْإِسْتِسْقَاءِ وَإِنَّهُ يَرْفَعُ حَتَّى يُرَى بَيَاضُ إِبْطَيْهِ

“Nabi SAW tidak mengangkat kedua tangannya dalam doa-doa beliau, kecuali dalam shalat istisqa, dan beliau mengangkat tangannya hingga tampak putih-putih kedua ketiaknya” (H.R. Bukhari)

Hadis-hadis yang semakna dengan hadis tersebut banyak sekali, lebih dari 100 (seratus) hadis.

Hadis Mutawatir ‘Amali

Perbuatan dan pengamalan syari’ah islamiyah yang dilakukan Nabi SAW secara terbuka atau terang-terangan yang kemudian disaksikan dan diikuti oleh para sahabat adalah pengertian dari mutawatir ‘amali, sebagaimana pendapat para ulama yang mengatakan bahwa:

مَا عُلِمَ مِنَ الدِّيْنِ بِاالضَرُوْرَةِوَتَوَاتِرَبَيْنَ الْمُسْلِمِيْنَ أَنْ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَعَلَهُ أَوْ أَمَرَبِهِ أَوْ غَيْرَ ذَلِكَ

“Sesuatu yang diketahui dengan mudah bahwa ia dari agama dan telah mutawatir dikalangan umat muslim (orang islam) bahwa Nabi SAW mengajarkannya atau menyuruhnya atau selain itu”. 

Contoh hadis mutawatir ‘amali adalah hadits yang menjelaskan tentang shalat baik waktu maupun rakaatnya, tentang haji, tentang zakat dan lain-lain. Semua itu bersifat terbuka dan disaksikan oleh banyak sahabat dan kemudian diriwayatkan oleh sejumlah besar kaum muslim dari masa ke masa.

Faedah Hadis Mutawatir

Hadits Mutawatir memberikan faedah ilmu yakin, karena kepastian khobarnya. Sebagaimana Al Qur’an yang diriwayatkan kepada kita secara Mutawatir dengan Mutawatir Lafdhi. Semua ini menunjukkan penjagaan Allah kepada Al Qur’an dan Sunah Nabi-Nya, Firman-Nya :

إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ

“Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Quran, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya” (QS. Al Hijr : 9).

Hadis mutawatir itu memberi faedah ilmu dharuriy atau yakin, artinya yakni suatu keharusan untuk meyakini kebenaran suatu berita dari Nabi SAW yang diriwayatkan secara mutawatir tanpa ada keraguan sedikitpun. 

Para perawi hadis mutawatir tidak perlu lagi diselidiki tentang keadilan dan kedhabitannya (kuatnya hafalan/ingatan), karena kuantitas para perawi hadis sudah menjamin tidak mungkin terjadi kesepakatan bohong.

Ibnu Thaimiyah mengatakan bahwa suatu hadis dianggap mutawatir oleh sebagian golongan lain dan kadang-kadang telah membawa keyakinan bagi suatu golongan tetapi tidak bagi golongan lain. Barang siapa yang telah meyakini akan kemutawatiran suatu hadis, wajib baginya mempercayai kebenarannya dan mengamalkan sesuai tuntutannya. Sedang bagi orang yang belum mengetahui dan meyakini akan kemutawatirannya, wajib baginya mempercayai dan mengamalkan suatu hadis mutawatir yang disepakati oleh para ulama sebagaimana kewajiban mereka mengikuti ketentuan-ketentuan hukum yang disepakati oleh imam. 

Pendapat ulama’ tentang Hadits Mutawatir

Di kalangan para ulama’ terdapat berbagai macam pendapat mengenai hadits mutawatir ini. Mereka berbeda-beda dalam memberikan tanggapan, sesuai dengan disiplin ilmu yang mereka miliki, diantaranya adalah :

1.Ahli hadits mutaqaddimin, tidak terlalu mendalam dalam memberikan bahasan, sebab hadits mutawatir itu pada hakikatnya tidak dimasukkan ke dalam pembahasan masalah-masalah, seperti:

a.Ilmu Isnad yaitu ilmu matarantai sanad, artinya sebuah disiplin ilmu yang hanya membahas masalah shahih dan tidaknya, diamalkan dan tidaknya suatu hadits.

b.Ilmu Rijal Al-Hadits, artinya semua pihak yang terkait dengan persoalan periwayatan hadits dan metode penyampaiannya.

Oleh sebab itu, jika status hadits itu mutawatir, maka kebenaran didalamnya wajib diyakini dan semua isi yang terkandung didalamnya wajib diamalkan, sekalipun diantara para perawinya orang kafir.

2.Ahli hadits mutaakhirin dan ahli Ushul berpendapat bahwa hadits dapat disebut dengan mutawatir jika memiliki kriteria-kriteria atau syarat-syarat sebagaimana yang telah dijelaskan diatas.

Korelasi hadits mutawatir dengan kualitas hadits

Sebagian ulama mengatakan bahwa hadits mutawatir hanya dikaji dari segi jumlah perawinya saja dan tidak tertuju pada kajian kualitas dari perawi tersebut. Sehingga hadits mutawatir tidak termasuk ke dalam pembahasan ilmu hadits, ini disebabkan bahwa ilmu hadits menilai shahih atau tidaknya suatu hadits dilihat dari para perawi dan cara penyampaian periwayatannya. Sedangkan dalam hadits mutawatir, kualitas pribadi para perawinya tidak dijadikan acuan atau sasaran pembahasan. Dengan demikian, maka hadits mutawatir tidak membutuhkan kajian tentang isnad dikarenakan yang dibutuhkan hadits mutawatir hanya jumlah atau kuantitas bukan kualitas perawinya. Oleh karena itu, bukan berarti karena hadits mutawatir memiliki banyak perawi hadits sehingga bisa disebut sebagai hadits shahih. Hadits mutawatir bisa saja berstatus shahih, hasan, maupun dha’if dikarenakan kualitas dari hadits tersebut itu sendiri.Sehingga “bisa saja” dikatakan, bahwa hadits mutawatir itu tidak melihat dari segi jumlah atau kuantitas melainkan kualitas pribadi dari perawi hadits tersebut. 

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dalam “Majmu Fatawa” (4/48) berkata :
وَالصَّحِيحُ الَّذِي عَلَيْهِ الْجُمْهُورُ : أَنَّ التَّوَاتُرَ لَيْسَ لَهُ عَدَدٌ مَحْصُورٌ وَالْعِلْمُ الْحَاصِلُ بِخَبَرِ مِنْ الْأَخْبَارِ يَحْصُلُ فِي الْقَلْبِ ضَرُورَةً كَمَا يَحْصُلُ الشِّبَعُ عَقِيبَ الْأَكْلِ وَالرِّيِّ عِنْدَ الشُّرْبِ وَلَيْسَ لَمَّا يَشْبَعُ كُلُّ وَاحِدٍ وَيَرْوِيه قَدْرٌ مُعَيَّنٌ ؛ بَلْ قَدْ يَكُونُ الشِّبَعُ لِكَثْرَةِ الطَّعَامِ وَقَدْ يَكُونُ لِجَوْدَتِهِ كَاللَّحْمِ وَقَدْ يَكُونُ لِاسْتِغْنَاءِ الْآكِلِ بِقَلِيلِهِ ؛ وَقَدْ يَكُونُ لِاشْتِغَالِ نَفْسِهِ بِفَرَحِ أَوْ غَضَبٍ ؛ أَوْ حُزْنٍ وَنَحْوِ ذَلِكَ

“Yang benar, sebagaimana yang dipilih mayoritas ulama bahwa, Mutawatir tidak memiliki batasan tertentu. Ilmu didapatkan dengan khobar dari pengabaran yang didapatkan oleh hati secara dharurat, sebagaimana didapakatkan rasa kenyang setelah makan dan minum. Tidaklah sama takaran kenyang untuk masing-masing individu dengan ukuran-ukuran tertentu. Terkadang rasa kenyang didapatkan karena banyak makannya, namun bisa juga karena kualitas makanannya, seperti daging, atau sudah merasa cukup dengan makanan yang sedikit dan bisa juga karena faktor dirinya yang tidak berselera, karena sedang gembira atau marah atau lagi sedih dan yang semisalnya”.

Ada beberapa riwayat yang ditunjukkan untuk membuktikan bahwa hadits mutawatir tidak berdasarkan pada kualitas perawi, yaitu riwayat tentang hadits berdusta atas nama Nabi :

وحدثنا محمدبن عبيد الغبري حدثنا أبو عوانة عن أبي حصين عن ابي صالح عن أبي هريرة قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلممَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ

“Imam Muslim menyatakan, telah menyampaikan kepada kami (dengan menggunakan metode sama) dari Muhammad bin Ubaid al-Ghobiri, telah menyampaikan kepada kami dari Abu ‘Awanah dari Husain dari Abi Salih dari Abu Hurairah, dia berkata: Rasulullah SAW bersabda: Barang siapa berdusta atas namaku secara sengaja, maka bersiap-siaplah menduduki kedudukannya di dalam neraka” (HR. Muslim)

Hadits tersebut merupakan hadits mutawatir dan berstatus shahih. 

Kitab-kitab yang membahas tentang hadits mutawatir

Sebagian ulama telah mengumpulkan hadits-hadits mutawatir dalam sebuah kitab tersendiri. Diantara kitab-kitab tersebut adalah :

1.Al-Azhar Al-Mutanatsirah fi Al-Akbar Al-Mutawatirah, karya As-Suyuthi. Dalam kitab tersebut, As Suyuthi menyusun bab demi bab dan setiap hadits diterangkan sanad-sanadnya yang dipakai oleh pentakhrijnya. 
2.Qathf Al-Azhar, karya As-Suyuthi, ringkasan dari kitab diatas.
3.Al-La’ali’ Al-Mutanasirah fi Al-Hadits Al-Mutawatirah, karya Abu Abdillah Muhammad bin Thulun Ad-Dimasyqi.
4.Nazm Al-Mutanasirah min Al-Hadits Al-Mutawatirah, karya Muhammad bin Ja’far Al-Kattani.
5.Ithaf Dzawil Fadha’il al-Musythahirah bi Maa Waqaa’ min Ziyadah ‘Alaa al-AzharAl-Mutanasirah min Al-Hadits Al-Mutawatirah, karya ustadz Syeikh Abdul ‘Aziz al-Ghammari.
6.Luqt al-Liaalii Al-Mutanasirah fi Al-Hadits Al-Mutawatirah, karya Abii al-Faidh Muhammad Murtadhaa al-Husainii az-Zubaidii al-Misri.

2.Hadis Ahad

Pengertian hadits Ahad

Hadits ahad yaitu hadits yang para rawinya tidak melebihi jumlah rawi hadits mutawatir, tidak memenuhi persyaratan mutawatir serta tidak mencapai derajat mutawatir sebagaimana dinyatakan dalam kaidah ilmu hadits  : 

مَالَمْ تَبْلُغُ نَقْلَتُهُ فِى الْكَثِرَةِ مَبْلَغَ الْخَبَرِ الْمُتَوَاتِرْ سَوَاءٌ كَانَ الْمُخْبِرُ وَاحِدًا أَوْ اِثْنَيْنِ أَوْ ثَلَاثًا اَوْ اَرْبَعَةً اَوْ خَمْسَةَ اَوْ إِلَى غَيْرِ ذَلِكَ مِنَ الْأَعْدَادِ الَّتِى لَا تَشْعُرُ بِأَنَّ الْخَبَرَ دَخَلَّ بِهَا فِى خَبَرِالْمُتَوَاتِرِ

“Khabar yang jumlah perawinya tidak mencapai batasan jumlah perawi hadis mutawatir, baik perawi itu satu, dua, tiga, empat, lima dan seterusnya yang tidak memberikan pengertian bahwa jumlah perawi tersebut tidak sampai kepada jumlah perawi hadits mutawatir”


Adapula yang meriwayatkan hadits ahad sebagai  :
هُوَمَا لَايَنْتَهِى إِلَى التَّوَاتُرِ

“Hadits yang tidak mencapai derajat mutawatir”

Pembagian hadits ahad

Berdasarkan jumlah rawi dari tiap-tiap thabaqah, Hadits ahad dibagi menjadi 3 macam, yaitu: masyhur, ‘aziz, dan gharib.

Hadits Masyhur 

Hadits Masyhur menurut bahasa, yaitu (al-intisyar wa al-dzuyu’) sesuatu yang sudah tersebar dan populer. Hadits ini dinamakan Masyhur karena telah tersebar luas dikalangan masyarakat. Kemudian maksud dari hadits Masyhur, ialah  :

مَارَوَاهُ الثَّلَاثَةُ فَأَكْثَرَوَلَمْ يَصِلْ دَرَجَةَ التَّوَاتُرِ

“Hadits yang diriwayatkan oleh tiga orang atau lebih, serta belum mencapai derajat mutawatir.”

Hadits masyhur ini ada yang berstatus shahih, hasan, dan dhaif . Yang dimaksud dengan hadits  masyhur shahih adalah hadits masyhur yang telah memenuhi ketentuan-ketentuan hadits shahih, baik pada sanad maupun matannya, seperti hadits Ibnu ‘Umar:

إِذَاجَاءَأَحَدُكُمُ الْجُمُعَةَ فَلْيَغْتَسِلْ(رواه البخارى)

“Bagi siapa yang hendak pergi melaksanakan shalat jum’at, hendaknya ia mandi”. (HR. Bukhari)

Sedangkan yang dimaksud dengan hadits masyhur hasan adalah hadits masyhur yang telah memenuhi ketentuan-ketentuan hadis hasan, baik mengenai sanad maupun matannya, seperti sabda Rasulullah SAW :

لَاضَرَرَوَلَاضِرَارَ

“Jangan melakukan perbuatan yang berbahaya (bagi diri sendiri dan orang lain)”

Kemudian yang dimaksud dengna hadits masyhur dha’if ialah hadits masyhur yang tidak mempunyai syarat-syarat hadits shahih dan hasan, baik sanand maupun matannya, seperti halnya hadis berikut:

طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيْضَةٌعَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ وَمُسْلِمَةٍ

“Menuntut ilmu merupakan kewajiban bagi muslim laki-laki dan perempuan”

Dalam istilah, hadits masyhur terbagi menjadi dua macam. Macam-macam hadits masyhur tersebut antara lain  :

1)Masyhur Ishthilahi

Yang dimaksud dengan Masyhur Ishthilahi yakni :

مَا رَوَاهُ ثَلَاثَةٌ فَأَكْثَرَ فِى كُلِّ طَبَقَةٍ مِنْ طَبَقَاتِ السَّنَدِمَالَمْ يَبْلُغْ حَدَّالتَّوَاتُرِ

“Hadits yang diriwayatkan oleh tiga orang atau lebih pada setiap tingkatan (thabaqah) pada beberapa tingkatan sanad tetapi tidak mencapai kriteria mutawatir”

Contoh hadits Masyhur Ishthilahi :

إِنَّ اللهَ لاَ يَقْبِضُ الْعِلْمَ انْتِزَاعًا يَنْتَزِعُه مِنَ الْعِبَادِ...

Hadits diatas diriwayatkan 3 orang sahabat, yaitu Ibnu Amru, Aisyah, dan Abu Hurairah. Dengan demikian, hadits ini masyhur di kalangan sahabat karena terdapat 3 sahabat yang meriwayatkan hadits tersebut.

2)Masyhur Ghayr Ishthilahi

Istilah Masyhur Ghayr Ishthilahi, berarti:

مَااشْتُهِرَعَلَى الأَلْسِنَةِمِنْ غَيْرِ شُرُوْطٍ تُعْتَبَر

“Hadits yang populer pada ungkapan lisan (para ulama) tanpa ada persyaratan yang definitif”

Hadits Masyhur Ghayr Ishthilahi adalah hadits yang populer atau terkenal dikalangan kelompok tertentu, sekalipun jumlah periwayatnya tidak mencapai 3 orang atau lebih. Popularitas hadits ini tidak dilihat dari jumlah banyaknya perawi yang meriwayatkan, melainkan popularitas hadits itu sendiri dikalangan ulama dalam bidang ilmu tertentu.

Misalkan hadis yang populer dikalangan ulama fiqih saja :

أَبْغَضُ الْحَلَالِ إِلَى اللهِ الطَّلَاقُ

“Sesuatu yang halal yang paling dimurkai oleh Allah adalah talak” (HR. Al-Hakim)

Hadits tersebut populer dikalangan ulama fiqih dan juga diriwayatkan oleh satu perawi saja, sehingga hadits tersebut bisa dikatakan sebagai hadits masyhur ghayr ishthilahi.

Hadits ‘Aziz

‘Aziz berasal dari kata ‘Azza-Ya’izzu yang berarti sedikit atau jarang adanya, dan juga bisa berasal dari kata ‘Azza-Ya’azzu yang berarti kuat.

Sedangkan menurut istilah, Hadits ‘Aziz adalah :

مَارَوَاهُ اِثْنَانِ وَلَوْكَانَ فِى طَبَقَةٍوَاحِدَةٍثُمَّ رَوَاهُ بَعْدَذَلِكَ جَمَاعَةٌ

“Hadits yang diriwayatkan oleh dua orang, sekalipun dua orang ini ditemukan masih dalam satu generasi, kemudian setelah itu ada banyak orang yang sama meriwayatkan”

Dinamakan Aziz karena kelangkaan hadits ini. Sedangkan pengertiannya adalah hadits yang jumlah perowinya tidak kurang dari dua.

Contoh:

حَدَّثَنَا يَعْقُوبُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ قَالَ حَدَّثَنَا ابْنُ عُلَيَّةَ عَنْ عَبْدِ الْعَزِيزِ بْنِ صُهَيْبٍ عَنْ أَنَسٍ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ح و حَدَّثَنَا آدَمُ قَالَ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَنْ قَتَادَةَ عَنْ أَنَسٍ قَالَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَالِدِهِ وَوَلَدِهِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ


“Rasulullah SAW, bersabda: Tidak sempurna iman salah satu diantara kamu sekalian sampai aku lebih dicintainya daripada ia mencintai dirinya sendiri, orang tuanya, anak-anaknya, dan semua manusia”

Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Bukhori dan Muslim dari dua sahabat yakni Anas dan Abi Hurairoh. Hadis aziz juga ada yang sahih, hasan dan dhaif tergantung pada terpenuhi atau tidaknya ketentuan –ketentuan yang berkaitan dengan sahih, hasan dan dhoif.

Hadits Gharib

Dari segi bahasa kata Gharib berarti sendirian, terisolir jauh dari kerabat, asing, sulit dipahami. Sedangkan dari segi istilah adalah :

مَا تَفَرَّدَبِرِوَايَتِهِ شَخْصٌ وَاحِدٌ فِى أَيَّ مَوْضِعٍ وَقَعَ التَفَرُّدُ بِهِ السَّنَدُ

“Hadits yang dalam sanadnya terdapat seorang yang menyendiri dalam meriwayatkannya, dimana saja penyendirian dalam sanad itu terjadi”

Bisa juga dikatakan bahwa hadits Gharib adalah hadis yang periwayatannya dilakukan oleh seorang perawi yang menyendiri tanpa ada orang lain lagi yang meriwayatkannya.
Ada dua macam Hadits Gharib, antara lain  :

1)Gharib Mutlak, yaitu:

هُوَمَا كَانَتِ الْغَرَبَةُ فِي أَصْلِ سَنَدِهِ وَأَصْلِ السَّنَدِ هُوَطَرَفَهُ الَّذِي فِيْهِ الصَّحَا بِي

“Hadits yang Gharabah-nya (perawinya satu orang) terletak pada pokok sanad. Pokok sanad adalah ujung sanad yaitu seorang sahabat.”

Gorib mutlaq terjadi apabila penyendirian perawi hanya terdapat pada satu thabaqat. Contoh :

أَخْبَرَنَا عَلِىُّ بْنُ أَحْمَدَ أَخْبَرَنَا عَلِىُّ بْنُ أَحْمَدَ بْنِ عَبْدَانَ أَنْبَأَنَا سُلَيْمَانُ بْنُ أَحْمَدَ اللَّخْمِىُّ حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ عَبْدِ الْبَاقِى الأَذَنِىُّ حَدَّثَنَا أَبُو عُمَيْرِ بْنُ النَّحَّاسِ حَدَّثَنَا ضَمْرَةُ عَنْ سُفْيَانَ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ دِينَارٍ عَنِ ابْنِ عُمَرَ عَنِ النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – قَالَ : الْوَلاَءُ لُحْمَةٌ كَلُحْمَةِ النَّسَبِ لاَ يُبَاعُ وَلاَ يُوهَب‎

“kekerabatan dengan jalan memerdekakan, sama dengan kekerabatan dengan nasab, tidak boleh dijual dan tidak boleh dihibahkan”.

Hadis ini diterima dari Nabi oleh Ibnu Umar dan dari Ibnu Umar hanya Abdullah bin Dinar saja yang meriwayatkanya. Sedangkan Abdulallah bin Dinar adalah seorang tabiin hafid, kuat ingatannya dan dapat dipercaya.

إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِاالنِّيَاتِ وَإِنَّمَا لِكُلٍّ امْرِئٍ مَا نَوَى

Hadits diatas diriwayatkan oleh sahabat Umar bin Khattab langsung dari Nabi saw., dan dari Umar diriwayatkan oleh Alqamah bin Waqqash Al-Laitsi, kemudian Muhammad bin Ibrahim, kemudian Yahya bin Sa’id Al-Khudri. Dengan demikian hadits diatas dikatakan Hadits Gharib Mutlak dikarenakan hanya sahabat Umar bin Khattab yang meriwayatkannya.

2)Gharib Nisby (Relatif), yaitu :

مَا كَانَتِ الْغَرَبَةُ فِي أَثْنَاءِ سَنَدِهِ

“Hadits yang terjadi gharabah (perawinya satu orang) ditengah sanad.”

Misalkan hadits yang diriwayatkan Anas r.a :

عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ النَّبِّيَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَخَلَ مَكَّةَ وَعَلَى رَأْسِهِ الْمِغْفَرِ

“Dari Anas r.a bahwa Nabi Saw masuk ke kota Makkah diatas kepalanya mengenakan igal.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Hadits tersebut dikalangan tabi’in hanya Malik yang meriwayatkannya dari Az-Zuhri. Boleh jadi pada awal sanad dan akhir sanad lebih dari satu orang, namun ditengah-tengahnya terjadi gharabah, artinya hanya seorang saja yang meriwayatkannya. Gharabah Nisbi ini terbagi menjadi 3 macam, yakni sebagai berikut :

a)Muqayyad bi ats-tsiqah

Ke-gharib-an perawi hadits dibatasi pada sifat ke-tsiqah-an (kepercayaan) seorang atau beberapa orang perawi saja, misalnya:

عَنْ اَبِي وَاقِدٍ اَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَقْرَأُ فِي الْأَضْحَى وَالْفِطْرى

“Dari Abu Waqid bahwa Nabi Saw membaca surah Qaf dan Iqtarabat As-Sa’ah pada shalat Idul adha dan Idul Fitri.”
Hadits diatas hanya diriwayatkan oleh Dhamrah bin Sa’id secara gharabah (sendirian) dari Ubaidillah bin Abdullah dari Abu Waqid. Dikalangan para perawi yang tsiqah tidak ada yang meriwayatkannya selain dia.

b)Muqayyad bil al-balad

Disebut sedemikian rupa karena suatu hadits diriwayatkan oleh penduduk tertentu ysedang penduduk lain tidak meriwayatkannya. Misalkan hadis yang diriwayatkan oleh rawi-rawi yang berasal dari Basrah saja :

أُمِرْنَا أَنْ نَقْرَأُ بِفَا تِحَةِ الْكِتَابِ وَمَا تَيَسَّرَ

“Kami diperintahkan agar membaca Al-Fatihah dan surah yang mudah dari Al-Qur’an.”

Hadits tersebut diriwayatkan oleh Abu Dawud dari Ath-Thayalisi dari Hamman dari Abu Qatadah dari Abu Nadhrah dari Abu Sa’id yang mana mereka adalah penduduk yang berasal dari Basrah.

c)Muqayyad al-rawi

Maksudnya adalah bahwa periwayatan suatu hadits dibatasi dengan perawi hadits tertentu, misalnya hadits dari Sufyan bin Uyaynah dari Wa’il bin Dawud dari putranya Bakar bin Wa’il dari Az-Zuhri dari Anas, bahwa:

اَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَوْ لَمْ عَلَى صَفِيَّةَ بِسَوِيْقٍ وَتَمْرٍ

Hadits diatas diriwayatkan oleh Abu Dawud, At Tirmidzi, An Nasa’i dan Ibnu Majah. Tidak ada yang meriwayatkannya dari Bakar selain Wa’il dan tidak ada yang meriwayatkannya dari Wa’il kecuali Ibnu Uyaynah.

Faedah Hadits Ahad 

Hadits-hadits ahad memiliki faedah-faedah sebagai berikut:

Pertama, menunjukkan dugaan kuat (zhann), yaitu dugaan terkuat akan keabsahan penisbatan hadits tersebut kepada orang yang menjadi sumber penukilan. Hal itu berbeda-beda sesuai dengan derajatnya. Hadits ahad bisa juga memberikan faedah ilmu (yaqiin) jika memiliki berbagai indikasi (qaraa’in) yang menguatkan hal itu dan dikuatkan oleh dalil pokok (yaitu Al-Qur’an atau hadits shahih).

Kedua, mengamalkan kandungannya, yaitu dengan membenarkannya jika berupa berita dan menerapkannya (melaksanakannya) jika berupa tuntutan.

Kriteria Hadits Ahad 

Adapun yang berkaitan dengan perawi hadits (sanad) adalah bahwa mereka harus adil, dhabit, paham dengan hadits yang disampaikan, melakukan apa yang telah diriwayatkannya, menyampaikan hadits dengan huruf-hurufnya, serta mengetahui perubahan makna hadits dari lafal hadits yang sebenarnya.

Sedangkan persyaratan yang berkaitan dengan substansi hadits, yakni:
1.Sanadnya bersambung dengan Rasulullah.
2.Terhindar dari Syuzuz (kejanggalan-kejanggalan) dan ‘Illat (cacat).
3.Tidak bertentangan dengan as-Sunnah al-Masyhurah serta tidak bertentangan dengan prilaku sahabat dan tabi’in.
4.Sebagian ulama’ salaf tidak mencela hadits tersebut.
5.Tidak terdapat penambahan dalam sanad dan matannya.

Korelasi hadits ahad dengan kualitas hadits

Pembagian hadits ahad yang dibedakan menjadi masyhur, ‘aziz dan gharib tidak bertentangan dengan pembagian hadits ahad pada shahih, hasan dan dha’if. Sebab pembagian hadits ahad pada 3 macam tersebut, bukan bertujuan untuk menentukan makbul dan mardudnya suatu hadits, tetapi bertujuan untuk mengetahui banyak sedikitnya sanad. Sedangkan pembagian hadits ahad pada shahih, hasan dan dha’if adalah bertujuan untuk menentukan dapat diterima atau ditolaknya suatu hadits.

Dengan demikian hadits ahad ini ada yang berkualitas shahih, hasan dan dha’if. Maka dari itu, tidak setiap hadits ahad berkualitas dha’if. Adakalanya berkualitas shahih, apabila memenuhi syarat-syarat yang dapat diterima dan tidak bertentangan dengan hadits-hadits terdahulu. Hanya saja, pada umumnya, apabila ada hadits ahad berkedudukan shahih itu sangat jarang bahkan sangat sedikit jumlahnya.
Ali bin al-Husain berpendapat bahwa yang dikatakan hadits yang baik itu, ialah yang telah dikenal dan dipopulerkan dalam pembicaraan oleh masyarakat. 

Kitab-kitab yang membahas tentang hadits ahad

Berikut ini kitab-kitab yang didalamnya berisi tentang hadits mayhur:

1.Al-Maqasid al-Hasanah fi ma Isytahara ‘ala al-Alsinah, karya As-Sakhawi.
2.Kasyf Al-Khafa’ wa Muzill al-Ibbas fi ma Isytahara min al-Hadits ‘ala Alsinah an-Nas, karya Al-Ajaluni.
3.Tamyiz Ath-Thayyib min Al-Khabits fi ma Yadur ‘ala Alsinah An-Nas min Al Hadits, karya Ibnu ad-Daiba Asy-Syaibani.
Kitab-kitab yang didalamnya terdapat banyak hadits Gharib, yakni :
1.Athraf al-Gharaib wa Al-Afrad, karya Muhammad bin Thahir Al-Maqsidi.
2.Al-Afrad, karya Ad-Daruquthni
3.Al-Hadits ash-Shihah wa al-Gharaib, karya Yusuf bin Abdurrahman Al-Mizzi Asy-Syafi’i.
4.Musnad al-Bazzar.
5.Al-Mu’jam Al-Awsath, karya Ath-Thabarani.

Takhtimah

Dari penjelasan di atas kita dapat menyimpulkan bahwa jika hadist ditinjau dari segi jumlah perawi atau sumber berita, hadist dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu hadist mutawatir dan hadist ahad.

Hadist mutawatir adalah hadist yang diriwayatkan oleh banyak rawi baik dari thabaqat pertama (sahabat) sampai kepada thabaqat yang terakhir (thabi’it thabi’in). Dilihat dari cara periwayatannya, hadist mutawatir dapat dibagi menjadi dua bagian yakni:
1)Hadist mutawatir lafdzi yaitu Hadis yang mutawatir lafaz dan maknanya.
2)Hadist mutawatir ma’nawi adalah Hadis yang mutawatir maknanya, bukan lafalnya.
3)Hadits mutawatir ‘amali adalah Sesuatu yang diketahui dengan mudah bahwa ia dari agama dan telah mutawatir dikalangan umat muslim (orang islam) bahwa Nabi SAW mengajarkannya atau menyuruhnya atau selain itu.

Lawan dari hadits mutawatir adalah hadist ahad  yakni hadist yang dilihat dari perawinya tidak mencapai tingkat mutawatir  atau terkadang mendekati jumlah hadist mutawatir. Berbeda dengan hadist mutawatir, hadist ahad mengalami pencabangan. Pencabangan ini dilatar belakangi oleh jumlah perawi dalam masing-masing thabaqat. Dalam hadist ahad dikenal dengan istilah hadist masyhur, hadist aziz, dan hadist gharib.

1.Hadist masyhur adalah hadist yang diriwayatkan oleh tiga orang atau lebih perawi hadist tetapi belum mencapai tingkat mutawatir.
2.Hadist aziz adalah hadist yang diriwayatkan oleh dua orang walaupun jumlah dimaksud hanya terdapat dalam satu thabaqat.,kemudian setelah itu orang-orang meriwayatkannya.
3.Hadist gharib adalah hadist yang dalam sanadnya hanya terdapat seorang perawi hadist.

Semo Bermanfaat ‎

 

Penjelasan Mengenai Hadits Qudsi


Ulama berbeda pendapat dalam mendefinisikan hadis qudsi

Al-Jurjani mengatakan,

الحديث القدسي هو من حيث المعنى من عند الله تعالى ومن حيث اللفظ من رسول الله صلى الله عليه وسلم فهو ما أخبر الله تعالى به نبيه بإلهام أو بالمنام فأخبر عليه السلام عن ذلك المعنى بعبارة نفسه فالقرآن مفضل عليه لأن لفظه منزل أيضا

Hadis qudsi adalah hadis yang secara makna datang dari Allah, sementara redaksinya dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sehingga hadis Qudsi adalah berita dari Allah kepada Nabi-Nya melalui ilham atau mimpi, kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyampaikan hal itu dengan ungkapan beliau sendiri. Untuk itu, al-Quran lebih utama dibanding hadis qudsi, karena Allah juga menurunkan redaksinya. (at-Ta’rifat, hlm. 133)

Sementara al-Munawi memberikan pengertian,

الحديث القدسي إخبار الله تعالى نبيه عليه الصلاة والسلام معناه بإلهام أو بالمنام فأخبر النبي صلى الله عليه وسلم عن ذلك المعنى بعبارة نفسه

Hadis qudsi adalah berita yang Allah sampaikan kepada Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam secara makna dalam bentuk ilham atau mimpi. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyampaikan berita ‘makna’ itu dengan redaksi beliau. (Faidhul Qodir, 4/468).

Demikian pendapat mayoritas ulama mengenai hadis qudsi, yang jika kita simpulkan bahwa hadis qudsi adalah hadis yang maknanyadiriwayatkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dari Allah, sementara redaksinya dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Dan inilah yang membedakan antara hadis qudsi dengan al-Quran. Dimana al-Quran adalah kalam Allah, yang redaksi berikut maknanya dari Allah ta’ala.

Kemudian, ada ulama yang menyampaikan pendapat berbeda dalam mendefinisikan hadis qudsi. Diantaranya az-Zarqani. Menurut az-Zarqani, hadis qudsi redaksi dan maknanya keduanya dari Allah. Sementara hadis nabawi (hadis biasa), maknanya berdasarkan wahyu dalam kasus di luar ijtihad Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, sementara redaksi hadis dari Rasulullah ‎shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Az-Zarqani mengatakan,

الحديث القدسي أُوحيت ألفاظه من الله على المشهور والحديث النبوي أوحيت معانيه في غير ما اجتهد فيه الرسول والألفاظ من الرسول

Hadis qudsi redaksinya diwahyukan dari Allah – menurut pendapat yang masyhur – sedangkan hadis nabawi, makna diwahyukan dari Allah untuk selain kasus ijtihad Rasulullah, sementara redaksinya dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. (Manahil al-Urfan, 1/37)

Berdasarkan keterangan az-Zarqani, baik al-Quran maupun hadis qudsi, keduanya adalah firman Allah. Yang membedakannya adalah dalam masalah statusnya. Hadis qudsi tidak memiliki keistimewaan khusus sebagaimana al-Quran. (simak: Manahil al-Urfan, 1/37)
Perbedaan Hadis Qudsi dengan al-Quran

Terlepas dari perbedaan ulama dalam mendefinisikan hadis qudsi, ada beberapa poin penting yang membedakan antara hadis qudsi dengan al-Quran, diantaranya,

Al-Quran: turun kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dibawa oleh Jibril sebagai wahyu

Hadis Qudsi: tidak harus melalui Jibril. Artinya, bisa melalui Jibril dan bisa tidak melalui Jibril, misalnya dalam bentuk ilham atau mimpi.

Al-Quran: sifatnya qath’i tsubut (pasti keabsahannya), karena semuanya diriwayatkan kaum muslimin turun-temurun secara mutawatir.Karena itu, tidak ada istilah ayat al-Quran yang diragukan keabsahannya dari Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam.

Hadis Qudsi: tidak ada jaminan keabsahannya. Karena itu, ada Hadis Qudsi yang shahih, ada yang dhaif, dan bahkan ada yang palsu.

Al-Quran: membacanya bernilai pahala setiap huruf. Orang yang membaca satu huruf al-Quran mendapat 10 pahala.

Hadis Qudsi: semata membaca tidak bernilai pahala. Kecuali jika diniati untuk mempelajari, sehinga bernilai ibadah pada kegiatan mempelajarinya.

Al-Quran: teks dan maknanya merupakan mukjizat. Karena itu, tidak ada satupun makhluk yang bisa membuat 1 surat yang semisal al-Quran.

Hadis Qudsi: teks dan maknanya bukan mukjizat. Sehingga bisa saja seseorang membuat hadis qudsi palsu.

Al-Quran: membacanya bernilai pahala setiap huruf. Orang yang membaca satu huruf al-Quran mendapat 10 pahala.

Hadis Qudsi: semata membaca tidak bernilai pahala. Kecuali jika diniati untuk mempelajari, sehinga bernilai ibadah pada kegiatan mempelajarinya.

Al-Quran: teks dan maknanya merupakan mukjizat. Karena itu, tidak ada satupun makhluk yang bisa membuat 1 surat yang semisal al-Quran.

Hadis Qudsi: teks dan maknanya bukan mukjizat. Sehingga bisa saja seseorang membuat hadis qudsi palsu.

Al-Quran: bersifat sakral, sehingga orang yang mengingkari satu huruf saja statusnya kafir.

Hadis Qudsi: tidak sakral, sehingga mengikuti kajian hadis pada umumnya. Karena itu, bisa saja orang tidak menerima hadis qudsi, mengingat status perawinya yang tidak bisa diterima.

Al-Quran: tidak boleh disampaikan berdasarkan maknanya tanpa teks aslinya persis seperti yang Allah firmankan. Tidak boleh ada tambahan atau pengurangan satu hurufpun.

Hadis Qudsi: boleh disampaikan secara makna.

Al-Quran: menjadi mukjizat yang Allah gunakan untuk menantang manusia, terutama masyarakat arab.

Hadis Qudsi: tidak digunakan sebagai tantangan kepada makhluk Allah lainnya.

Istilah Lain Hadis Qudsi

Beberapa ulama menyebut Hadis Qudsi dengan selain istilah yang umumnya dikenal masyarakat. Ada yang menyebutnya Hadis Ilahiatau Hadis Rabbani. Semacam ini hanya istilah, yang hakekatnya sama, yaitu hadis yang dinisbahkan kepada Allah.

Diantara ulama yang menggunakan istilah hadis ilahi adalah Syaikhul Islam sebagaimana beberapa keterangan beliau di Majmu’ Fatawa dan Minhaj as-Sunnah. Demikian pula al-Hafidz Ibnu Hajar.

Dalam salah satu pernyataannya, al-Hafidz Ibnu Hajar mengatakan,

الأحاديث الإلهية: وهي تحتمل أن يكون المصطفى صلى الله عليه وسلم أخذها عن الله تعالى بلا واسطة أو بواسطة

Hadis Ilahi ada kemungkinan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengambilnya dari Allah tanpa perantara atau melalui perantara. (Faidhul Qodir, 4/468).

Sementara ulama yang menggunakan istilah hadis Rabbani diantaranya adalah Jalaluddin al-Mahalli, salah satu penulis tafsir Jalalain. Dalam salah satu pernyataannya,

الْأَحَادِيثَ الرَّبَّانِيَّةَ كَحَدِيثِ الصَّحِيحَيْنِ: أَنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِي بِي

Hadis Rabbani itu seperti hadis yang disebutkan dalam dua kitab shahih: “Saya sesuai prasangka hamba-Ku kepada-Ku. (Hasyiyah al-Atthar ’ala Syarh al-Mahalli).

Beberapa Contoh Hadits Qudsi 

Hadits Ke-1

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " لَمَّا قَضَى اللَّهُ الْخَلْقَ، كَتَبَ فِي كِتَابِهِ عَلَى نَفْسِهِ، فَهُوَ مَوْضُوعٌ عِنْدَهُ: إِنَّ رَحْمَتِي تَغْلِبُ غَضَبِي"

 (رواه مسلم (وكذلك البخاري والنسائي وابن ماجه  

Diriwayatkan dari Abi Hurairah r.a, dia berkata; telah bersabda Rasulullah ﷺ, “Ketika Allah menetapkan penciptaan makhluk, Dia menuliskan dalam kitab-Nya ketetapan untuk diri-Nya sendiri: Sesungguhnya rahmat-Ku (kasih sayangku) mengalahkan murka-Ku”

~diriwayatkan oleh Muslim (begitu juga oleh al-Bukhari, an-Nasa-i dan Ibnu Majah)

Hadits Ke - 2

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: " قَالَ اللَّهُ تَعَالَى: كَذَّبَنِي ابْنُ آدَمَ وَلَمْ يَكُنْ لَهُ ذَلِكَ، وَشَتَمَنِي وَلَمْ يَكُنْ لَهُ ذَلِكَ، فَأَمَّا تَكْذِيبُهُ إِيَّايَ فَقَوْلُهُ: لَنْ يُعِيدَنِي كَمَا بَدَأَنِي، وَلَيْسَ أَوَّلُ الْخَلْقِ بِأَهْوَنَ عَلَيَّ مِنْ إِعَادَتِهِ، وَأَمَّا شَتْمُهُ إِيَّايَ فَقَوْلُهُ: اتَّخَذَ اللَّهُ وَلَدًا، وَأَنَا الْأَحَدُ الصَّمَدُ، لَمْ أَلِدْ وَلَمْ أُولَدْ، وَلَمْ يَكُنْ لِي كُفُوًا أَحَدٌ"

 (رواه البخاري (وكذلك النسائي 

Diriwayatkan dari Abi Hurairah r.a., bahwasanya Nabi ﷺ bersabda, telah Berfirman Allah ta'ala: Ibnu Adam (anak-keturunan Adam/umat manusia) telah mendustakanku, dan mereka tidak berhak untuk itu, dan mereka mencelaku padahal mereka tidak berhak untuk itu, adapun kedustaannya padaku adalah perkataanya, “Dia tidak akan menciptakankan aku kembali sebagaimana Dia pertama kali menciptakanku (tidak dibangkitkan setelah mati)”, aadpun celaan mereka kepadaku adalah ucapannya, “Allah telah mengambil seorang anak, (padahal) Aku adalah Ahad (Maha Esa) dan Tempat memohon segala sesuatu (al-shomad), Aku tidak beranak dan tidak pula diperankkan, dan tidak ada bagiku satupun yang menyerupai”.

~ Diriwayatkan oleh al-Bukhari (dan begitu juga oleh an-Nasa-i)

Hadits Ke-3

عَنْ زَيْدِ بْنِ خَالِدٍ الْجُهَنِيِّ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ: "صَلَّى لَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَاةَ الصُّبْحِ بِالْحُدَيْبِيَةِ، عَلَى إِثْرِ سَمَاءٍ (١) كَانَتْ مِنْ اللَّيْلَةِ، فَلَمَّا انْصَرَفَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَقْبَلَ عَلَى النَّاسِ، فَقَالَ لَهُمْ: "هَلْ تَدْرُونَ مَاذَا قَالَ رَبُّكُمْ؟ قَالُوا: اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ، قَالَ: أَصْبَحَ مِنْ عِبَادِي مُؤْمِنٌ بِي وَكَافِرٌ، فَأَمَّا مَنْ قَالَ: مُطِرْنَا بِفَضْلِ اللَّهِ وَرَحْمَتِهِ، فَذَلِكَ مُؤْمِنٌ بِي، كَافِرٌ بِالْكَوْكَبِ، وَأَمَّا مَنْ قَالَ: مُطِرْنَا بِنَوْءِ(٢) كَذَا وَكَذَا، فَذَلِكَ كَافِرٌ بِي، مُؤْمِنٌ بِالْكَوْكَبِ"
(رواه البخاري (وكذلك مالك والنسائي

١. عقب مطر
        ٢. الأنواء: ثمان وعشرون منزلة, ينزل القمر كل ليلة في منزلة

Diriwayatkan dari Zaid bin Khalid al-Juhniy r.a, beliau berkata, Rasulullah ﷺ memimpin kami shalat shubuh di Hudaibiyah, diatas bekas hujan(1) yang turun malamnya, tatkala telah selesai, Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ menghadap kepada manusia (jama'ah para shahabat), kemudian beliau bersabda, “Tahukah kalian apa yang telah difirmankan Tuhan kalian?”, (para sahabat) berkata, “Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui”, Rasulullah ﷺ bersabda, “(Allah Subhanahu wa ta'ala berfirman) Pagi ini ada sebagian hamba-Ku yang beriman kepada-Ku dan ada yang kafir, adapun orang yang mengatakan, 'kami telah dikaruniai hujan sebab keutamaan Allah (fadlilah Allah) dan kasih sayang-Nya (rahmat-Nya), maka mereka itulah yang beriman kepada-Ku dan kafir kepada bintang -  bintang'; dan adapun yang berkata, 'kami telah dikaruniai hujan sebab bintang(2) ini dan bintang itu, maka mereka itulah yang kafir kepada-Ku dan beriman kepada bintang - bintang' ”.
~ Diriwayatkan oleh al-Bukhari (dan begitu juga oleh an-Nasa-i)
“bekas langit” maksudnya bekas/akibat hujan
al-anwa': 28 tingkatan/keadaan; fase bulan setiap malam di tingkatan fasenya. (ditempat lain disebutkan artinya adalah bintang – bintang, serupa dengan yang ada dilanjutan hadits ini)

Hadits Ke-4

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " قَالَ اللَّهُ: يَسُبُّ بَنِي بَنُو آدَمَ الدَّهْرَ، وَأَنَا الدَّهْرُ، بِيَدِي اللَّيْلُ وَالنَّهَارُ"
(رواه البخاري (وكذلك مسلم

Diriwayatkan dari Abi Hurairah r.a, beliau berkata, telah bersabda Rasulullah ﷺ, “Allah Telah Berfirman,'Anak – anak adam (umat manusia) mengecam waktu; dan aku adalah (Pemilik) Waktu; dalam kekuasaanku malam dan siang' ”
~Diriwayatkan oleh al-Bukhari dan begitu juga Muslim.

di dalam al-Qur'an, Allah Azza wa Jalla, menggunakan istilah - istilah yang berbeda untuk menyebutkan waktu, pada ulama mendefinisikannya kurang lebih sebagai berikut:

dahr (دهر) = masa keberadaan alam semesta, mulai dari penciptaan alam semesta sampai masa kiamat. Kata ini misalnya terdapat dalam al-Quran surah al-Insan ayat 1:

هَلْ أَتَىٰ عَلَى الْإِنْسَانِ حِينٌ مِنَ الدَّهْرِ لَمْ يَكُنْ شَيْئًا مَذْكُورًا 

Bukankah telah datang atas manusia satu waktu dari masa, sedang dia ketika itu belum merupakan sesuatu yang dapat disebut? 
ashr (عصر) = masa hidup yang dilalui sesuatu (seseorang), misalnya waktu ashr manusia, yaitu masa hidup manusia mulai dari lahir hingga meninggal. Seperti yang disebutkan dalam al-Quran surah al-ashr ayat:1 :

وَالْعَصْرِ
Demi masa

ajal (أجل) = masa berakhirnya sesuatu, misal: ajal manusia. Seperti dalam surah Yunus ayat 49.

قُلْ لَا أَمْلِكُ لِنَفْسِي ضَرًّا وَلَا نَفْعًا إِلَّا مَا شَاءَ اللَّهُ ۗ لِكُلِّ أُمَّةٍ أَجَلٌ ۚ إِذَا جَاءَ أَجَلُهُمْ فَلَا يَسْتَأْخِرُونَ سَاعَةً ۖ وَلَا يَسْتَقْدِمُونَ 

Katakanlah: "Aku tidak berkuasa mendatangkan kemudharatan dan tidak (pula) kemanfaatan kepada diriku, melainkan apa yang dikehendaki Allah". Tiap-tiap umat mempunyai ajal. Apabila telah datang ajal mereka, maka mereka tidak dapat mengundurkannya barang sesaatpun dan tidak (pula) mendahulukan(nya).
Waqt (وقت ) = masa dimana suatu pekerjaan harus selesai, misal waktu sholat, dst. Seperti digunakan dalam surah an-Nisa ayat 103 (dalam bentuk jamak = mauqut)

فَإِذَا قَضَيْتُمُ الصَّلَاةَ فَاذْكُرُوا اللَّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَىٰ جُنُوبِكُمْ ۚ فَإِذَا اطْمَأْنَنْتُمْ فَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ ۚ إِنَّ الصَّلَاةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ كِتَابًا مَوْقُوتًا 

Maka apabila kamu telah menyelesaikan shalat(mu), ingatlah Allah di waktu berdiri, di waktu duduk dan di waktu berbaring. Kemudian apabila kamu telah merasa aman, maka dirikanlah shalat itu (sebagaimana biasa). Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.

Hadits Ke – 5

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " قَالَ اللَّهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى: أَنَا أَغْنَى الشُّرَكَاءِ عَنْ الشِّرْكِ؛ مَنْ عَمِلَ عَمَلًا أَشْرَكَ فِيهِ مَعِي غَيْرِي(1)، تَرَكْتُهُ وَشِرْكَهُ".

  (رواه مسلم (وكذلك ابن ماجه

Diriwayatkan dari Abi Hurairah r.a, beliau berkata, Telah bersabda Rasulullah ﷺ, “Telah berfirman Allah tabaraka wa ta'ala (Yang Maha Suci dan Maha Luhur), Aku adalah Dzat Yang Maha Mandiri, Yang Paling tidak membutuhkan sekutu; Barang siapa beramal sebuah amal menyekutukan Aku dalam amalan itu(1), maka Aku meninggalkannya dan sekutunya”

~ Diriwayatkan oleh Muslim (dan begitu juga oleh Ibnu Majah)
Adalah juga termasuk syirik jika seseorang beramal dengan amalan disamping ditujukan kepada Allah Subhanahu wa ta'ala juga ditujukan kepada yang selain-Nya.

Hadits ke – 6

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ
" إِنَّ أَوَّلَ النَّاسِ يُقْضَى يَوْمَ الْقِيَامَةِ عَلَيْهِ رَجُلٌ اسْتُشْهِدَ، فَأُتِيَ بِهِ فَعَرَّفَهُ نِعَمَهُ فَعَرَفَهَا، قَالَ: فَمَا عَمِلْتَ فِيهَا؟ قَالَ قَاتَلْتُ فِيكَ حَتَّى اسْتُشْهِدْتُ، قَالَ: كَذَبْتَ، وَلَكِنَّكَ قَاتَلْتَ لِأَنْ يُقَالَ: جَرِيءٌ، فَقَدْ قِيلَ، ثُمَّ أُمِرَ بِهِ فَسُحِبَ عَلَى وَجْهِهِ حَتَّى أُلْقِيَ فِي النَّارِ. وَرَجُلٌ تَعَلَّمَ الْعِلْمَ وَعَلَّمَهُ وَقَرَأَ الْقُرْآنَ، فَأُتِيَ بِهِ، فَعَرَّفَهُ نِعَمَهُ فَعَرَفَهَا، قَالَ: فَمَا عَمِلْتَ فِيهَا؟ قَالَ: تَعَلَّمْتُ الْعِلْمَ وَعَلَّمْتُهُ، وَقَرَأْتُ فِيكَ الْقُرْآنَ، قَالَ: كَذَبْتَ، وَلَكِنَّكَ تَعَلَّمْتَ الْعِلْمَ لِيُقَالَ: عَالِمٌ، وَقَرَأْتَ الْقُرْآنَ لِيُقَالَ: هُوَ قَارِئٌ، فَقَدْ قِيلَ، ثُمَّ أُمِرَ بِهِ، فَسُحِبَ عَلَى وَجْهِهِ حَتَّى أُلْقِيَ فِي النَّارِ. وَرَجُلٌ وَسَّعَ اللَّهُ عَلَيْهِ، وَأَعْطَاهُ مِنْ أَصْنَافِ الْمَالِ كُلِّهِ، فَأُتِيَ بِهِ، فَعَرَّفَهُ نِعَمَهُ فَعَرَفَهَا، قَالَ: فَمَا عَمِلْتَ فِيهَا؟ قَالَ: مَا تَرَكْتُ مِنْ سَبِيلٍ تُحِبُّ أَنْ يُنْفَقَ فِيهَا إِلَّا أَنْفَقْتُ فِيهَا لَكَ، قَالَ: كَذَبْتَ، وَلَكِنَّكَ فَعَلْتَ لِيُقَالَ: هُوَ جَوَادٌ، فَقَدْ قِيلَ، ثُمَّ أُمِرَ بِهِ فَسُحِبَ عَلَى وَجْهِهِ، ثُمَّ أُلْقِيَ فِي النَّارِ".

رواه مسلم (وكذلك الترمذي والنسائي)

Diriwayatkan dari Abi Hurairah r.a, beliau berkata, Aku telah mendengar Rasulullah ﷺ bersabda, “Sesungguhnya salah seorang yang pertama di hisab di hari kiamat adalah seorang laki-laki yang mati syahid (gugur dalam peperangan); kemudian disebutkan baginya semua kenikmatan-kenikmatan yang diberikan kepadanya, dan dia mebenarkannya. Kemudia Allah Subhanahu wa ta'ala bertanya kepadanya, 'Apa yang kamu kerjakan dengan nikmat itu?', lelaki itu menjawab, 'Aku berperang untuk-Mu hingga aku syahid'; Allah menjawab, “Kamu berdusta, (akan tetapi sesungguhnya) engkau berperang agar orang menyebutmu pemberani, dan (orang – orang) telah menyebutkan demikian itu, kemudian diperintahkan (malaikat) agar dia diseret di atas wajahnya hingga sampai di neraka dan dilemparkan kedalamnya”.  
Dan (selanjutnya adalah) seorang laki – laki  yang mempelajari ilmu dan mengamalkannya serta dia membaca al-Quran, kemudian dia didatangkan, kemudian disebutkan nikmat – nikmat yang diberikan kepadanya dan dia membenarkannya. Kemudian Allah bertanya, 'Apa yang kamu kerjakan dengan nikmat – nikmat itu?' lelaki itu menjawab, 'Aku mencari ilmu dan mengamalkannya/mengajarkannya, dan aku membaca al-Quran karena-Mu'. Allah berfirman, “kamu berdusta, (akan tetapi) kamu mencari ilmu itu agar disebut sebagai 'alim (orang yang berilmu), dan kamu membaca al-Quran agar orang menyebutmu qari', dan kamu telah disebut demikian itu (alim & qari')” kemudian diperintahkan (malaikat) kepadanya, agar dia diseret di atas wajahnya hingga sampai di neraka dan di masukkan kedalam neraka”
Dan (selanjutnya) seorang laki – laki yang diluaskan (rizkinya) oleh Allah. Dan dikaruniai berbagai harta kekayaan. Kemudian dia dihadapkan, dan disebutkan nikmat – nikmat yang diberikan kepadanya, dan dia membenarkannya. Kemudia Allah Subhanahu wa ta'ala berfirman, “Apa yang kamu kerjakan dengan nikmat – nikmat itu?”, lelaki itu menjawab, “Tidaklah aku meninggalkan jalan yang aku cintai selain aku menginfakkan hartaku untuk-Mu”; Allah Subhanahu wa ta'ala berfirman, “Kamu berdusta, tetapi kamu melakukan itu semua agar orang menyebutmu dermawan, dan kamu telah disebut demikian”. Kemudian diperankkan (malaikat) kepadanya, agar dia diseret di atas wajahnya, hingga sampai dineraka dan dimasukkan kedalam neraka.

~HR. Muslim (dan begitu juga at-Tirmidzi dan an-Nasai)

Hadits Ke – 7

عَنْ عُقْبَةَ بْنِ عَامِرٍ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: " يَعْجَبُ رَبُّكَ مِنْ رَاعِي غَنَمٍ، فِي رَأْسِ شَظِيَّةِ الْجَبَلِ(١)، يُؤَذِّنُ بِالصَّلَاةِ وَيُصَلِّي، فَيَقُولُ اللَّهُ، عَزَّ وَجَلَّ: انْظُرُوا إِلَى عَبْدِي هَذَا، 
يُؤَذِّنُ وَيُقِيمُ الصَّلَاةَ، يَخَافُ مِنِّي، قَدْ غَفَرْتُ لِعَبْدِي، وَأَدْخَلْتُهُ الْجَنَّةَ" 
رواه النسائي بسند صحيح 

Diriwayatkan dari Uqbah bin Amir r.a., beliau berkata, aku mendengar Rasulullah صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ bersabda, “Tuhanmu bangga terhadap seorang pengembala kambing, yang berada di atas gunung/bukit, dia mengumandangkan adzan untuk sholat dan mengerjakan sholat, kemudian Allah 'azza wa jalla (Yang Maha Perkasa dan Maha Luhur) berfirman, 'Lihatlah hambaku ini, dia mengumandangkan adzan dan menegakkan sholat (iqomat) karena takut kepada-Ku, maka sesungguhnya Aku telah mengampuni hambaku ini, dan Aku akan memasukkannya kedalam surga'”

~Diriwayatkan oleh an – Nasai dengan sanad yang shahih.

Hadits Ke – 8

 عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: " مَنْ صَلَّى صَلَاةً لَمْ يَقْرَأْ فِيهَا بِأُمِّ الْقُرْآنِ، فَهِيَ خِدَاجٌ(1) ثَلَاثًا، غَيْرَ تَمَامٍ، فَقِيلَ لِأَبِي هُرَيْرَةَ: إِنَّا نَكُونُ وَرَاءَ الْإِمَامِ، فَقَالَ: اقْرَأْ بِهَا فِي نَفْسِكَ، فَإِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ: قَسَمْتُ الصَّلَاةَ بَيْنِي وَبَيْنَ عَبْدِي نِصْفَيْنِ، وَلِعَبْدِي مَا سَأَلَ، فَإِذَا قَالَ الْعَبْدُ:{ الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ } قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ: حَمِدَنِي عَبْدِي، وَإِذَا قَالَ:{ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ } قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ: أَثْنَى عَلَيَّ عَبْدِي، وَإِذَا قَالَ:{ مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ } قَالَ اللَّهُ: مَجَّدَنِي عَبْدِي - وَقَالَ مَرَّةً: فَوَّضَ إِلَيَّ عَبْدِي، فَإِذَا قَالَ:{ إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ } قَالَ: هَذَا بَيْنِي وَبَيْنَ عَبْدِي وَلِعَبْدِي مَا سَأَلَ، فَإِذَا قَالَ:{ اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ } قَالَ: هَذَا لِعَبْدِي وَلِعَبْدِي مَا سَأَلَ". 
(رواه مسلم (وكذلك مالك والترمذي وأبو داود والنسائي وابن ماجه 

Diriwayatkan dari Abi Hurairah r.a. Bahwasanya nabi ﷺ bersabda, “Barangsiapa mengerjakan sholat dengan tanpa mebaca, di dalam sholatnya, umm al-Quran (surah al-Fatihah), maka sholatnya kurang (diucapkan beliau tiga kali, sebagai penegasan), tidak sempurnalah sholatnya.” 
kemudian disampaikan kepada Abi Hurairah, sesungguhnya kami berada di belakang imam, maka beliau berkata, bacalah dengannya (ummum Quran) untuk dirimu sendiri (sebagai makmum tetap membaca al-fatihah), karena sesungguhnya aku mendengar Rasulullah ﷺ bersabda, “Allah 'azza wa jalla berfirman, 'Aku membagi sholat antara Aku dan hamba-Ku menjadi dua bagian. Dan bagi hamba-Ku apa yang dia mohonkan, maka ketika hambaku berkata { الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ} (Segala Puji Hanya Bagi Allah, Tuhan semesta alam) Allah 'azza wa jalla berfirman, Hambaku telah memuji-Ku, dan ketika seorang hamba berkata, { الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ } (Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang) Allah 'azza wa jalla berfirman, 'Hambaku telah memujiku', dan ketika seorang mengucapkan, { مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ } (Yang Menguasai di Hari Pembalasan), Allah berfirman, 'Hambaku telah memuliakan Aku' – dan (Abu Hurairah) pernah mengatakan (dengan redaksi), 'Hambaku telah berserah diri kepadaku', dan ketika seseorang berkata, { إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ } (Hanya kepada Engkau kami menyembah dan hanya kepada Engkau kami memohon pertolongan), Allah Subhanahu wa ta'ala berfirman, 'ini adalah bagian-Ku dan bagian hamba-Ku, dan bagi hamba-Ku apa yang dimintanya', dan ketika seseorang berkata, :
 
{ اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ } 

(Tunjukilah kami jalan yang lurus, (yaitu) Jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat. ), Allah Subhanahu wa ta'ala berfirman, 'Ini adalah bagi hambaku, dan bagi hambaku apa yang dia pinta ' ”

(diriwayatkan oleh Imam Muslim, dan begitu juga oleh Imam Malik, Imam Tirmidzi,  dan Imam Abu Dawud, Imam Nasai dan Imam Ibnu Majah)

Hadits Ke – 9

:عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
"إِنَّ أَوَّلَ مَا يُحَاسَبُ بِهِ الْعَبْدُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مِنْ عَمَلِهِ صَلَاتُهُ. فَإِنْ صَلُحَتْ فَقَدْ أَفْلَحَ وَأَنْجَحَ، وَإِنْ فَسَدَتْ فَقَدْ خَابَ وَخَسِرَ، فَإِنْ انْتَقَصَ مِنْ فَرِيضَتِهِ شَيْءٌ قَالَ الرَّبُّ عَزَّ وَجَلَّ: انْظُرُوا هَلْ لِعَبْدِي مِنْ تَطَوُّعٍ فَيُكَمَّلَ بِهَا مَا انْتَقَصَ مِنْ الْفَرِيضَةِ، ثُمَّ يَكُونُ سَائِرُ عَمَلِهِ عَلَى ذَلِكَ".

رواه الترمذي(1) وكذلك أبو داود والنسائي وابن ماجه وأحمد

Diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a., beliau berkata, telah bersabda Rasulullah ﷺ, “Sesungguhnya perkara/amal seorang hamba yang dihisab pertama kali adalah shalatnya. Seandainya (shalatnya) baik, maka benar-benar paling beruntung dan paling sukses, dan seandainya (sholatnya) buruk, maka dia benar-benar akan kecewa dan merugi, dan seandainya kurang sempurna shalat fardlunya, Allah 'azza wa jalla berfirman, 'lihatlah apakah bagi hambaku ini (ada amal) sholat sunnah (mempunyai sholat sunnah) yang bisa menyempurnakan sholat fardlunya,' kemudian begitu juga terhadap amal-amal yang lainnya juga diberlakukan demikian ”

Hadits diriwayatkan oleh at-Tirmidzi(1), dan begitu juga oleh Abu Dawud dan Imam An-Nasai dan Ibn Majah serta Imam Ahmad.
1. sunan Tirmidzi hadits no. 413 juz 2 hal. 271, begitu juga dapat dibaca di kitab Misykatul mashaabiyh, hadits no. 1330-1331 juz 1, halaman 419, dan disahihkan oleh at-Tirmidzi

Hadits Ke – 10

: عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، عَن النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ
" يَقُولُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ: الصَّوْمُ لِي، وَأَنَا أَجْزِي بِهِ، يَدَعُ شَهْوَتَهُ وَأَكْلَهُ وَشُرْبَهُ مِنْ أَجْلِي، وَالصَّوْمُ جُنَّةٌ(1)، وَلِلصَّائِمِ فَرْحَتَانِ: فَرْحَةٌ حِينَ يُفْطِرُ، وَفَرْحَةٌ حِينَ يَلْقَى رَبَّهُ، وَلَخُلُوفُ(2) فَمِ الصَّائِمِ أَطْيَبُ عِنْدَ اللَّهِ مِنْ رِيحِ الْمِسْكِ".

(رواه البخاري (وكذلك مسلم ومالك والترمذي النسائي وابن ماجه

Diriwayatkan dari Abi Hurairah r.a., dari Nabi ﷺ, beliau bersabda, ”Allah Azza wa Jalla berfirman, 'Puasa itu untukku, dan Aku yang akan memberikan ganjarannya, disebabkan seseorang menahan syahwatnya dan makannya serta minumnya karena-Ku, dan puasa itu adalah perisai, dan bagi orang yang berpuasa dua kebahagiaan, yaitu kebahagian saat berbuka, dan kebahagiaan ketika bertemu dengan Tuhannya, dan bau mulut orang yang berpuasa lebih harum disisi Allah, daripada bau minya misk/kesturi' ”

Hadits riwayat al-Bukhari, dan begitu juga oleh imam Muslim, dan Imam Malik, dan Tirmidzi dan an-Nasai serta Ibnu Majah.

Hadits Ke – 11

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: " قَالَ اللَّهُ: أَنْفِقْ يَا ابْنَ آدَمَ، أُنْفِقْ عَلَيْكَ 
(رواه البخاري (وكذلك مسلم

Diriwayatkan dari Abi Hurairah r.a, sesungguhnya Rasulullah ﷺ bersabda, “Allah Subhanahu wa ta'ala berfirman, berinfaklah wahai anak adam, (jika kamu berbuat demikian) Aku memberi infak kepada kalian”.

Diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan begitu juga oleh Imam Muslim

Hadits Ke – 12

عَنْ أَبِي مَسْعُودٍ الْأَنْصَارِيِّ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " حُوسِبَ رَجُلٌ مِمَّنْ كَانَ قَبْلَكُمْ، فَلَمْ يُوجَدْ لَهُ مِنْ الْخَيْرِ شَيْءٌ، إِلَّا أَنَّهُ كَانَ يُخَالِطُ(1) النَّاسَ، وَكَانَ مُوسِرًا، فَكَانَ يَأْمُرُ غِلْمَانَهُ أَنْ يَتَجَاوَزُوا عَنْ الْمُعْسِرِ، قَالَ (2) قَالَ اللَّهُ : نَحْنُ أَحَقُّ بِذَلِكَ مِنْكَ، تَجَاوَزُوا عَنْهُ"

(رواه مسلم (وكذلك البخاري والنسائي

Diriwayatkan dari Abu Mas'ud al-Anshari r.a., beliau berkata, telah bersabda Rasulullah ﷺ, “Ada seorang lelaki sebelum kalian yang dihisab, dan tidak ditemukan satupun kebaikan ada padanya kecuali bahwa dia adalah orang yang banyak bergaul dengan manusia, dan dia orang yang lapang(berkecukupan), serta dia memerintahkan kepada pegawai-pegawainya untuk membebaskan orang-orang yang kesulitan (dari membayar hutang), kemudian Rasulullah ﷺ bersabda, Allah Subhanahu wa ta'ala berfirman,'Kami *(Allah) lebih berhak untuk berbuat itu daripada dia, (oleh karena itu) bebaskan dia' ”

Hadits riwayat Muslim, begitujuga oleh al-Bukhari dan an-Nasai.

Hadits Ke – 13
:عَنْ عَدِيَّ بْنَ حَاتِمٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ يَقُولُ
"كُنْتُ عِنْدَ رَسُولِ اللَّهِ، صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَجَاءَهُ رَجُلَانِ: أَحَدُهُمَا يَشْكُو الْعَيْلَةَ(1)، وَالْآخَرُ يَشْكُو قَطْعَ السَّبِيلِ(2)، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَمَّا قَطْعُ السَّبِيلِ فَإِنَّهُ لَا يَأْتِي عَلَيْكَ إِلَّا قَلِيلٌ، حَتَّى تَخْرُجَ الْعِيرُ إِلَى مَكَّةَ بِغَيْرِ خَفِيرٍ. وَأَمَّا الْعَيْلَةُ، فَإِنَّ السَّاعَةَ لَا تَقُومُ حَتَّى يَطُوفَ أَحَدُكُمْ بِصَدَقَتِهِ، لَا يَجِدُ مَنْ يَقْبَلُهَا مِنْهُ، ثُمَّ لَيَقِفَنَّ أَحَدُكُمْ بَيْنَ يَدَيْ اللَّهِ، لَيْسَ بَيْنَهُ وَبَيْنَهُ حِجَابٌ وَلَا تَرْجُمَانٌ يُتَرْجِمُ لَهُ، ثُمَّ لَيَقُولَنَّ لَهُ: أَلَمْ أُوتِكَ مَالًا؟ فَلَيَقُولَنَّ: بَلَى، ثُمَّ لَيَقُولَنَّ: أَلَمْ أُرْسِلْ إِلَيْكَ رَسُولًا؟ فَلَيَقُولَنَّ: بَلَى، فَيَنْظُرُ عَنْ يَمِينِهِ، فَلَا يَرَى إِلَّا النَّارَ، ثُمَّ يَنْظُرُ عَنْ شِمَالِهِ، فَلَا يَرَى إِلَّا النَّارَ، فَلْيَتَّقِيَنَّ أَحَدُكُمْ النَّارَ وَلَوْ بِشِقِّ تَمْرَةٍ، فَإِنْ لَمْ يَجِدْ فَبِكَلِمَةٍ طَيِّبَةٍ".

رواه البخاري

Diriwayatkan dari 'Adiy ibn Hatim r.a., beliau berkata, ketika aku sedang berada disamping Rasulullah ﷺ, kemudian datanglah dua orang laki-laki, salah satunya mengadukan tentang kemiskinan, dan lelaki yang lainnya mengadukan tentang perampokan di jalan, kemudian Rasulullah ﷺ bersabda, “Adapun mengenai perampokan, sesungguhnya kelak dalam waktu yang tidak lama, akan datang suatu masa, ketika sebuah kafilah tidak memerlukan pengawal saat menuju Makkah, dan adapun tentang kemiskinan, tidak akan datang hari Kiamat, (sehingga datang masa dimana) seorang diantara kalian berdiri untuk mencari orang yang mau menerima sedekah, namun tidak dapat menemukan seorangpun yang mau menerimanya, kemudian (dihari kiamat) setiap orang diantara kalian akan berdiri dihadapan Allah, yang tidak ada diantaranya dan Allah hijab/tabir, dan tidak pula ada penerjemah yang menerjemahkan/juru bicara untuk orang tersebut, kemudian Allah Subhanahu wa ta'ala berfirman, 'bukankah Aku telah memberimu harta?' Kemudian orang itu menjawab, 'benar', kemudian Allah Subhanahu wa ta'ala berfirman, 'bukankah telah aku utus kepadamu seorang Rasul? ', lalu orang itu menjawab, 'benar', kemudian ia melihat ke arah kanannya, maka ia tidak mendapati kecuali Neraka, kemudian dia melihat ke arah kirinya, dan tidak mendapati kecuali Neraka. Maka jagalah diri-diri kalian dari api Neraka, meskipun dengan (bersedakah) separuh buah kurma, dan jika dia tidak mendapatinya (kurma/barang untuk bersedekah) maka (bersedahlah) dengan perkataan yang baik”

Hadits diriwayatkan oleh Imam Bukhari.

Hadits Ke – 14

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: " إِنَّ لِلَّهِ تَبَارَكَ وَتَعَالَى مَلَائِكَةً سَيَّارَةً فُضُلًا(1)، يَتَتَبَّعُونَ مَجَالِسَ الذِّكْرِ، فَإِذَا وَجَدُوا مَجْلِسًا فِيهِ ذِكْرٌ، قَعَدُوا مَعَهُمْ، وَحَفَّ بَعْضُهُمْ بَعْضًا بِأَجْنِحَتِهِمْ، حَتَّى يَمْلَئُوا مَا بَيْنَهُمْ وَبَيْنَ السَّمَاءِ الدُّنْيَا، فَإِذَا تَفَرَّقُوا عَرَجُوا وَصَعِدُوا إِلَى السَّمَاءِ، قَالَ (2) : فَيَسْأَلُهُمْ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ وَهُوَ أَعْلَمُ بِهِمْ: مِنْ أَيْنَ جِئْتُمْ؟ فَيَقُولُونَ: جِئْنَا مِنْ عِنْدِ عِبَادٍ لَكَ فِي الْأَرْضِ، يُسَبِّحُونَكَ وَيُكَبِّرُونَكَ وَيُهَلِّلُونَكَ وَيَحْمَدُونَكَ وَيَسْأَلُونَكَ، قَالَ: وَمَا يَسْأَلُونِي؟ قَالُوا يَسْأَلُونَكَ جَنَّتَكَ، قَالَ: وَهَلْ رَأَوْا جَنَّتِي؟ قَالُوا: لَا أَيْ رَبِّ، قَالَ: فَكَيْفَ لَوْ رَأَوْا جَنَّتِي! قَالُوا: وَيَسْتَجِيرُونَكَ، قَالَ: وَمِمَّ يَسْتَجِيرُونَنِي؟ قَالُوا: مِنْ نَارِكَ يَا رَبِّ، قَالَ: وَهَلْ رَأَوْا نَارِي؟ قَالُوا: لَا، قَالَ: فَكَيْفَ لَوْ رَأَوْا نَارِي! قَالُوا: وَيَسْتَغْفِرُونَكَ، قَالَ (1) فَيَقُولُ: قَدْ غَفَرْتُ لَهُمْ، فَأَعْطَيْتُهُمْ مَا سَأَلُوا، وَأَجَرْتُهُمْ مِمَّا اسْتَجَارُوا، قَالَ(1) يَقُولُونَ: رَبِّ فِيهِمْ فُلَانٌ، عَبْدٌ خَطَّاءٌ إِنَّمَا مَرَّ فَجَلَسَ مَعَهُمْ، قَالَ(1): فَيَقُولُ: وَلَهُ غَفَرْتُ؛ هُمْ الْقَوْمُ، لَا يَشْقَى بِهِمْ جَلِيسُهُمْ"

رواه مسلم وكذلك البخاري والترمذي والنسائي 

Diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a., bahwasanya Nabi ﷺ bersabda, sesungguhnya Allah tabaaraka wa ta'ala (Maha Memberkati dan Maha Tinggi)  memiliki banyak malaikat yang selalu mengadakan perjalanan yang jumlahnya melebihi malaikat pencatat amal, mereka senantiasa mencari majelis-majelis dzikir. Apabila mereka mendapati satu majelis dzikir, maka mereka akan ikut duduk bersama mereka dan mengelilingi dengan sayap-sayapnya hingga memenuhi jarak antara mereka dengan langit dunia. Apabila para peserta majelis telah berpencar mereka naik menuju ke langit. Beliau melanjutkan: Lalu Allah Yang Maha Mulia lagi Maha Agung menanyakan mereka padahal Dia lebih mengetahui daripada mereka: Dari manakah kamu sekalian? Mereka menjawab: Kami datang dari tempat hamba-hamba-Mu di dunia yang sedang mensucikan [Tasbih], mengagungkan [Takbir], membesarkan [Tahlil], memuji [Tahmid] dan memohon kepada Engkau.
Allah bertanya lagi: Apa yang mereka mohonkan kepada Aku? Para malaikat itu menjawab: Mereka memohon surga-Mu. Allah bertanya lagi: Apakah mereka sudah pernah melihat surga-Ku? Para malaikat itu menjawab: Belum wahai Tuhan kami. 
Allah berfirman: Apalagi jika mereka telah melihat surga-Ku? Para malaikat itu berkata lagi: Mereka juga memohon perlindungan kepada-Mu. 
Allah bertanya: Dari apakah mereka memohon perlindungan-Ku? Para malaikat menjawab: Dari neraka-Mu, wahai Tuhan kami. 
Allah bertanya: Apakah mereka sudah pernah melihat neraka-Ku? Para malaikat menjawab: Belum. ‎
Allah berfirman: Apalagi seandainya mereka pernah melihat neraka-Ku?‎
Para malaikat itu melanjutkan: Dan mereka juga memohon ampunan dari-Mu. Beliau bersabda, kemudian Allah berfirman: Aku sudah mengampuni mereka dan sudah memberikan apa yang mereka minta dan Aku juga telah memberikan perlindungan kepada mereka dari apa yang mereka takutkan. 
Beliau melanjutkan lagi lalu para malaikat itu berkata: Wahai Tuhan kami! Di antara mereka terdapat si Fulan yaitu seorang yang penuh dosa yang kebetulan lewat lalu duduk ikut berdzikir bersama mereka. Beliau berkata, lalu Allah menjawab: Aku juga telah mengampuninya karena mereka adalah kaum yang tidak akan sengsara orang yang ikut duduk bersama mereka. 

Hadits diriwayatkan oleh Imam Muslim, begitu juga oleh Imam Bukhari at-Tirmidzi dan an-Nasa'i.

Hadits Ke – 15

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : "يَقُولُ اللَّهُ تَعَالَى: أَنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِي بِي، وَأَنَا مَعَهُ إِذَا ذَكَرَنِي، فَإِنْ ذَكَرَنِي فِي نَفْسِهِ، ذَكَرْتُهُ فِي نَفْسِي، وَإِنْ ذَكَرَنِي فِي مَلَإٍ، ذَكَرْتُهُ فِي مَلَإٍ خَيْرٌ مِنْهُمْ، وَإِنْ تَقَرَّبَ إِلَيَّ بِشِبْرٍ، تَقَرَّبْتُ إِلَيْهِ ذِرَاعًا، وَإِنْ تَقَرَّبَ إِلَيَّ ذِرَاعًا، تَقَرَّبْتُ إِلَيْهِ بَاعًا(1) وَإِنْ أَتَانِي يَمْشِي، أَتَيْتُهُ هَرْوَلَةً"
(رواه البخاري (وكذلك مسلم والترمذي وابن ماجه

Diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a., beliau berkata, telah bersabda Rasulullah ﷺ, “Telah berfirman Allah Subhanahu wa ta'ala, 'Aku adalah sebagaimana prasangka hambaku kepadaku, dan Aku bersamanya ketika dia mengingatku, dan jika hambaku mengingatku dalam sendirian, maka Aku mengingatnya dalam diri-Ku sendiri, dan jika dia mengingatku di dalam sebuah kelompok/jama'ah, (maka) Aku mengingatnya dalam kelompok yang lebih baik dari kelompok tersebut, dan jika dia mendekat kepada-Ku sejengkal, Aku mendekat kepadanya sehasta, dan jika dia mendekat kepadaku sehasta, Aku mendekat kepadanya satu depa, dan jika dia mendatangiku dengan berjalan, Aku mendatanginya dengan berjalan cepat' ”
Hadits diriwayatkan oleh Imam Bukhari, begitu juga oleh Imam Muslim, Imam Tirmidzi dan Imam Ibnu Majah.

Hadits Ke – 16

عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا، عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فِيمَا يَرْوِي عَنْ رَبِّهِ عَزَّ وَجَلَّ، قَالَ: "إِنَّ اللَّهَ كَتَبَ الْحَسَنَاتِ وَالسَّيِّئَاتِ، ثُمَّ بَيَّنَ ذَلِكَ: فَمَنْ هَمَّ بِحَسَنَةٍ فَلَمْ يَعْمَلْهَا، كَتَبَهَا اللَّهُ لَهُ عِنْدَهُ حَسَنَةً كَامِلَةً، فَإِنْ هُوَ هَمَّ بِهَا فَعَمِلَهَا، كَتَبَهَا اللَّهُ لَهُ عِنْدَهُ عَشْرَ حَسَنَاتٍ، إِلَى سَبْعِمِائَةِ ضِعْفٍ، إِلَى أَضْعَافٍ كَثِيرَةٍ، وَمَنْ هَمَّ بِسَيِّئَةٍ فَلَمْ يَعْمَلْهَا، كَتَبَهَا اللَّهُ لَهُ عِنْدَهُ حَسَنَةً كَامِلَةً، فَإِنْ هُوَ هَمَّ بِهَا فَعَمِلَهَا، كَتَبَهَا اللَّهُ لَهُ سَيِّئَةً وَاحِدَةً" 
رواه البخاري ومسلم

Diriwayatkan oleh Ibn 'Abbas r.anhumaa, dari Nabi ﷺ, Sesungguhnya Alloh menulis semua kebaikan dan keburukan. Barangsiapa berkeinginan berbuat kebaikan, lalu dia tidak melakukannya, Alloh menulis di sisiNya pahala satu kebaikan sempurna untuknya. Jika dia berkeinginan berbuat kebaikan, lalu dia melakukannya, Alloh menulis pahala sepuluh kebaikan sampai 700 kali, sampai berkali lipat banyaknya. Barangsiapa berkeinginan berbuat keburukan, lalu dia tidak melakukannya, Alloh menulis di sisiNya pahala satu kebaikan sempurna untuknya. Jika dia berkeinginan berbuat keburukan, lalu dia melakukannya, Alloh menulis satu keburukan saja. 
Hadits riwayat Bukhari dan Muslim.

Hadits Ke – 17

عَنْ أَبِي ذَرٍّ الْغِفَارِيِّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِيمَا يَرْوِيهِ عَنْ رَبِّهِ عَزَّ وَجَلَّ أَنَّهُ قَالَ: " يَا عِبَادِي: إِنِّي حَرَّمْتُ  الظُّلْمَ عَلَى نَفْسِي وَجَعَلْتُهُ بَيْنَكُمْ مُحَرَّمًا فَلَا تَظَالَمُوا. يَا عِبَادِي: كُلُّكُمْ ضَالٌّ إِلَّا مَنْ هَدَيْتُهُ فَاسْتَهْدُونِي أَهْدِكُمْ، يَا عِبَادِي: كُلُّكُمْ جَائِعٌ إِلَّا مَنْ أَطْعَمْتُهُ فَاسْتَطْعِمُونِي أُطْعِمْكُمْ، يَا عِبَادِي: كُلُّكُمْ عَارٍ إِلَّا مَنْ كَسَوْتُهُ فَاسْتَكْسُونِي أَكْسُكُمْ، يَا عِبَادِي: إِنَّكُمْ تُخْطِئُونَ بِاللَّيْلِ وَالنَّهَارِ، وَأَنَا أَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعًا، فَاسْتَغْفِرُونِي أَغْفِرْ لَكُمْ . يَا عِبَادِي: إِنَّكُمْ لَنْ تَبْلُغُوا ضَرِّي فَتَضُرُّونِي، وَلَنْ تَبْلُغُوا نَفْعِي فَتَنْفَعُونِي، يَا عِبَادِي: لَوْ أَنَّ أَوَّلَكُمْ وَآخِرَكُمْ وَإِنْسَكُمْ وَجِنَّكُمْ كَانُوا عَلَى أَتْقَى قَلْبِ رَجُلٍ وَاحِدٍ مِنْكُمْ مَا زَادَ ذَلِكَ فِي مُلْكِي شَيْئًا، يَا عِبَادِي: لَوْ أَنَّ أَوَّلَكُمْ وَآخِرَكُمْ وَإِنْسَكُمْ وَجِنَّكُمْ كَانُوا عَلَى أَفْجَرِ قَلْبِ رَجُلٍ وَاحِدٍ مِنْكُمْ مَا نَقَصَ ذَلِكَ مِنْ مُلْكِي شَيْئًا، يَا عِبَادِي: لَوْ أَنَّ أَوَّلَكُمْ وَآخِرَكُمْ وَإِنْسَكُمْ وَجِنَّكُمْ قَامُوا فِي صَعِيدٍ وَاحِدٍ فَسَأَلُونِي، فَأَعْطَيْتُ كُلَّ وَاحِدٍ مَسْأَلَتَهُ، مَا نَقَصَ ذَلِكَ مِمَّا عِنْدِي إِلَّا كَمَا يَنْقُصُ الْمِخْيَطُ إِذَا أُدْخِلَ الْبَحْرَ. يَا عِبَادِي: إِنَّمَا هِيَ أَعْمَالُكُمْ أُحْصِيهَا لَكُمْ، ثُمَّ أُوَفِّيكُمْ إِيَّاهَا، فَمَنْ وَجَدَ خَيْرًا فَلْيَحْمَدْ اللَّهَ، وَمَنْ وَجَدَ غَيْرَ ذَلِكَ فَلَا يَلُومَنَّ إِلَّا نَفْسَهُ “. 
رواه مسلم (وكذلك الترمذي وابن ماجه)

Dari Abu Dzar Al Ghifari radhiallahuanhu dari Rasulullah shollallohu ‘alaihi wa sallam sebagaimana beliau riwayatkan dari Rabbnya Azza Wajalla bahwa Dia berfirman : Wahai hambaku, sesungguhya aku telah mengharamkan kezaliman atas diri-Ku dan Aku telah menetapkan haramnya (kezaliman itu) diantara kalian, maka janganlah kalian saling berlaku zalim. Wahai hambaku semua kalian adalah sesat kecuali siapa yang Aku beri hidayah, maka mintalah hidayah kepada-Ku niscaya Aku akan memberikan kalian hidayah. Wahai hambaku, kalian semuanya kelaparan kecuali siapa yang aku berikan kepadanya makanan, maka mintalah makan kepada-Ku niscaya Aku berikan kalian makanan. Wahai hamba-Ku, kalian semuanya telanjang kecuali siapa yang aku berikan kepadanya pakaian, maka mintalah pakaian kepada-Ku niscaya Aku berikan kalian pakaian. Wahai hamba-Ku kalian semuanya melakukan kesalahan pada malam dan siang hari dan Aku mengampuni dosa semuanya, maka mintalah ampun kepada-Ku niscaya akan Aku ampuni. Wahai hamba-Ku sesungguhnya tidak ada kemudharatan yang dapat kalian lakukan kepada-Ku sebagaimana tidak ada kemanfaatan yang kalian berikan kepada-Ku. Wahai hamba-Ku seandainya sejak orang pertama diantara kalian sampai orang terakhir, dari kalangan manusia dan jin semuanya berada dalam keadaan paling bertakwa diantara kamu, niscaya hal tersebut tidak menambah kerajaan-Ku sedikitpun . Wahai hamba-Ku seandainya sejak orang pertama diantara kalian sampai orang terakhir, dari golongan manusia dan jin diantara kalian, semuanya seperti orang yang paling durhaka diantara kalian, niscaya hal itu tidak mengurangi kerajaan-Ku sedikitpun juga. Wahai hamba-Ku, seandainya sejak orang pertama diantara kalian sampai orang terakhir semunya berdiri di sebuah bukit lalu kalian meminta kepada-Ku, lalu setiap orang yang meminta Aku penuhi, niscaya hal itu tidak mengurangi apa yang ada pada-Ku kecuali bagaikan sebuah jarum yang dicelupkan di tengah lautan. Wahai hamba-Ku, sesungguhnya semua perbuatan kalian akan diperhitungkan untuk kalian kemudian diberikan balasannya, siapa yang banyak mendapatkan kebaikan maka hendaklah dia bersyukur kepada Allah dan siapa yang menemukan selain (kebaikan) itu janganlah mencela kecuali dirinya. 

Diriwayatkan oleh Imam Muslim, begitu juga oleh Imam Tirmidzi dan Imam Ibn Majah‎

Semoga Bermanfaat Dan Kita Mampu Mempelajari Serta Mengambil Hikmah ‎

Wallohul Muwaffiq Ila Aqwamith Thoriq‎

 

Penjelasan Kisah Harut Marut


Alkisah, dua malaikat diutus Allah untuk turun ke Kota Babil, yakni sebuah kota di Irak bekas ibu kota Babilonia Kuno. Harut dan Marut, demikian nama dua malaikat tersebut. Saat itu, warga kota diliputi kegelisahan dan kesyirikan akibat tersebarnya sihir. Negeri yang saat itu dipimpin Raja Nebucadnezar pun carut-marut akibat tersebarnya sihir hingga dapat menyebabkan penyakit sampai membuat suami istri bercerai.‎

Sihir yang tersebar tersebut bermula ketika Raja Nebucadnezar menahan orang-orang Yahudi setelah menyerang Palestina. Tawanan tersebut pun mulai memainkan sihir saat tiba di Kota Babil. Yahudi memang dikenal sebagai bangsa yang sangat dekat dan mahir mempraktikkan ilmu sihir. Dengan pengetahuan sihir yang mumpuni, mereka kemudian menakut-nakuti warga Babil dengan membuat lingkaran besar sebagai lingkaran sihir.

Allah swt berfirman :‎

وَاتَّبَعُواْ مَا تَتْلُواْ الشَّيَاطِينُ عَلَى مُلْكِ سُلَيْمَانَ وَمَا كَفَرَ سُلَيْمَانُ وَلَكِنَّ الشَّيْاطِينَ كَفَرُواْ يُعَلِّمُونَ النَّاسَ السِّحْرَ وَمَا أُنزِلَ عَلَى الْمَلَكَيْنِ بِبَابِلَ هَارُوتَ وَمَارُوتَ وَمَا يُعَلِّمَانِ مِنْ أَحَدٍ حَتَّى يَقُولاَ إِنَّمَا نَحْنُ فِتْنَةٌ فَلاَ تَكْفُرْ فَيَتَعَلَّمُونَ مِنْهُمَا مَا يُفَرِّقُونَ بِهِ بَيْنَ الْمَرْءِ وَزَوْجِهِ وَمَا هُم بِضَآرِّينَ بِهِ مِنْ أَحَدٍ إِلاَّ بِإِذْنِ اللّهِ وَيَتَعَلَّمُونَ مَا يَضُرُّهُمْ وَلاَ يَنفَعُهُمْ وَلَقَدْ عَلِمُواْ لَمَنِ اشْتَرَاهُ مَا لَهُ فِي الآخِرَةِ مِنْ خَلاَقٍ وَلَبِئْسَ مَا شَرَوْاْ بِهِ أَنفُسَهُمْ لَوْ كَانُواْ يَعْلَمُونَ

Artinya : “Dan mereka mengikuti apa yang dibaca oleh syaitan-syaitan pada masa kerajaan Sulaiman (dan mereka mengatakan bahwa Sulaiman itu mengerjakan sihir), Padahal Sulaiman tidak kafir (tidak mengerjakan sihir), hanya syaitan-syaitan lah yang kafir (mengerjakan sihir). mereka mengajarkan sihir kepada manusia dan apa yang diturunkan kepada dua orang malaikat di negeri Babil Yaitu Harut dan Marut, sedang keduanya tidak mengajarkan (sesuatu) kepada seorangpun sebelum mengatakan: “Sesungguhnya Kami hanya cobaan (bagimu), sebab itu janganlah kamu kafir”. Maka mereka mempelajari dari kedua Malaikat itu apa yang dengan sihir itu, mereka dapat menceraikan antara seorang (suami) dengan isterinya dan mereka itu (ahli sihir) tidak memberi mudharat dengan sihirnya kepada seorangpun, kecuali dengan izin Allah. dan mereka mempelajari sesuatu yang tidak memberi mudharat kepadanya dan tidak memberi manfaat. Demi, Sesungguhnya mereka telah meyakini bahwa Barangsiapa yang menukarnya (kitab Allah) dengan sihir itu, Tiadalah baginya Keuntungan di akhirat, dan Amat jahatlah perbuatan mereka menjual dirinya dengan sihir, kalau mereka mengetahui.” (QS. Al Baqoroh : 102)‎

Banyak tersebar di tengah masyarakat tentang kisah Malaikat yang diturunkan ke bumi namun akhirnya mereka tergoda untuk mabuk, lalu berzina dan membunuh. Ini adalah kisah yang dhaif dan batil. Simak penjelasan berikut:

Ibnu Hibban rahimahullah berkata: telah menceritakan kepada kami Al-Hasan bin Sufyan, ia berkata, telah menceritakan kepada kami Abu Bakar bin Abi Syaibah, ia berkata; telah menceritakan kepada kami Yahya bin Abi Bukair, dari Zuhair bin Muhammad, dari Musa bin Jubair, dari Nafi’, dari Ibnu Umar radhiyallahu’anhu, bahwa ia pernah mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda:

إِنَّ آدَمَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمَّا أَهْبَطَهُ اللَّهُ تَعَالَى إِلَى الأَرْضِ ، قَالَتِ الْمَلاَئِكَةُ : أَيْ رَبِّ ، {أَتَجْعَلُ فِيهَا مَنْ يُفْسِدُ فِيهَا وَيَسْفِكُ الدِّمَاءَ وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَ قَالَ إِنِّي أَعْلَمُ مَا لاَ تَعْلَمُونَ} ، قَالُوا : رَبَّنَا نَحْنُ أَطْوَعُ لَكَ مِنْ بَنِي آدَمَ . قَالَ اللَّهُ تَعَالَى لِلْمَلاَئِكَةِ : هَلُمُّوا مَلَكَيْنِ مِنَ الْمَلاَئِكَةِ ، حَتَّى يُهْبَطَ بِهِمَا إِلَى الأَرْضِ ، فَنَنْظُرَ كَيْفَ يَعْمَلاَنِ . قَالُوا : رَبَّنَا ، هَارُوتُ وَمَارُوتُ . فَأُهْبِطَا إِلَى الأَرْضِ ، وَمُثِّلَتْ لَهُمَا الزُّهَرَةُ امْرَأَةً مِنْ أَحْسَنِ الْبَشَرِ ، فَجَاءَتْهُمَا ، فَسَأَلاَهَا نَفْسَهَا ، فَقَالَتْ : لاَ وَاللَّهِ ، حَتَّى تَكَلَّمَا بِهَذِهِ الْكَلِمَةِ مِنَ الإِِشْرَاكِ . فَقَالاَ : وَاللَّهِ لاَ نُشْرِكُ بِاللَّهِ أَبَدًا . فَذَهَبَتْ عَنْهُمَا ثُمَّ رَجَعَتْ بِصَبِيٍّ تَحْمِلُهُ ، فَسَأَلاَهَا نَفْسَهَا ، فَقَالَتْ : لاَ وَاللَّهِ ، حَتَّى تَقْتُلاَ هَذَا الصَّبِيَّ ، فَقَالاَ : وَاللَّهِ لاَ نَقْتُلُهُ أَبَدًا . فَذَهَبَتْ ثُمَّ رَجَعَتْ بِقَدَحِ خَمْرٍ تَحْمِلُهُ ، فَسَأَلاَهَا نَفْسَهَا ، فَقَالَتْ : لاَ وَاللَّهِ ، حَتَّى تَشْرَبَا هَذَا الْخَمْرَ . فَشَرِبَا ، فَسَكِرَا فَوَقَعَا عَلَيْهَا ، وَقَتَلاَ الصَّبِيَّ ، فَلَمَّا أَفَاقَا ، قَالَتِ الْمَرْأَةُ : وَاللَّهِ مَا تَرَكْتُمَا شَيْئًا مِمَّا أَبَيْتُمَاهُ عَلَيَّ إِلاَّ قَدْ فَعَلْتُمَا حِينَ سَكِرْتُمَا ، فَخُيِّرَا بَيْنَ عَذَابِ الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ ، فَاخْتَارَا عَذَابَ الدُّنْيَا.

“Sesungguhnya Adam ketika ia diturunkan oleh Allah ke bumi, para malaikat berkata, “Wahai Rabb-ku, apakah Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?”

Allah berfirman: “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.”

Mereka berkata, “Wahai Rabb kami, kami lebih taat kepadamu dari pada bani adam (manusia)”.

Allah berkata kepada para malaikat, “Datangkan kepadaku dua malaikat dari malaikat-malaikat yang ada sehingga keduanya diturunkan ke bumi dan kita lihat bagaimana keduanya berbuat?”.

Para malaikat berkata: “Wahai Rabb kami, turunkanlah Harut dan Marut”.

Kemudian keduanya pun diturunkan ke bumi, dan dinampakkanlah hiasan dunia kepada mereka berdua dalam bentuk seorang wanita yang paling cantik. Wanita itu pun datang kepada mereka berdua dan kedua malaikat itu meminta diri wanita tersebut (untuk disetubuhi, pent).

Sang wanita berkata, “Tidak !! Demi Allah, sampai kalian berdua mengucapkan kalimat syirik ini”.

Keduanya berkata, “Demi Allah, kami tidak akan berbuat syirik kepada Allah. Wanita itu pun meninggalkan mereka berdua. Kemudian wanita itu kembali dengan membawa seorang bayi, maka kedua malaikat itu kembali meminta diri sang wanita”.

Sang wanita berkata, “Tidak!! Demi Allah, sampai kalian membunuh bayi ini”.

Kedua malaikat itu berkata, “Demi Allah, kami tidak akan membunuhnya selamanya”.

Maka sang wanita pergi. Kemudian ia kembali lagi membawa segelas khamer. Kedua malaikat kembali meminta diri sang wanita. Maka sang wanita berkata, “Tidak!! Demi Allah, sampai kalian minum khamer ini”.

Akhirnya, keduanya pun meminum khamer tersebut,lalu keduanya mabuk sehingga keduanya menyetubuhi sang wanita itu, dan membunuh bayi. Tatkala keduanya sadar, sang wanita berkata, “Demi Allah, tidak satu pun yang kalian tinggalkan dari apa yang kalian abaikan di hadapanku, kecuali telah kalian lakukan ketika kalian mabuk. Keduanya pun diperintahkan untuk memilih siksa dunia atau siksa akhirat. Maka keduanya memilih siksa dunia”.

(HR. Ahmad dalam Al-Musnad II/134 no. 6178, Ibnu Hibban dalam Shahih-nya XIV/63 no.6186, Ibnu Abi ad-Dunya dalam Al-Uqubat no.222, Abd bin Humaiddalam Al-Muntakhab no.787, dan selainnya).‎

Hadits ini BATIL. Tidak benar datangnya dari Nabi ‎Shallallahu‘alaihi wasallam. ‎Syaikh Syu’aib Al-Arnauth dalam ta’liq-nya terhadap Musnad Imam Ahmad berkata: “Isnad hadits ini dhaif (lemah), dan matannya batil” (Musnad Ahmad II/134).

Di dalam sanad hadits ini ada seorang perawi yang bernama Zuhair bin Muhammad At-Tamimiy Al-Marwaziy. Dia tsiqah (orang terpercaya), tapi biasa meriwayatkan hadits yang munkar, seperti hadits Harut dan Marut ini. Selain itu, gurunya yang bernama Musa bin Jubair, dia adalah seorang perawi hadits yang mastur (tidak jelas orangnya atau tidak diketahui jati dirinya). Intinya, hadits ini batil baik sanad, maupun matannya.

Dan hadits ini adalah termasuk berita isra’iliyyat (berita-berita yg datang dari Bani Israil).

Ibnu katsir berkata ;

: وَ هَذَا حَدِيْثٌ غَرِيْبٌ مِنْ هَذَا اْلوَجْهِ ، وَ رِجَالُهُ كُلُّهُمْ ثِقَاتٌ مِنْ رِجَالِ " الصَّحِيْحَيْنِ " إِلاَّ مُوْسَى بْنَ جُبَيْرٍ هَذَا هُوَ اْلأَنْصَارِي .... ذَكَرَهُ ابْنُ أَبِي حَاتِمٍ فِي " كِتَابِ الْجَرْحِ وَالتَّعْدِيْلِ " ( 4 / 1 / 139 ) وَ لَمْ يَحْكِ فِيْهِ شَيْئًا مِنْ هَذاَ وَ لاَ هَذَا ، فَهُوَ مَسْتُوْرُالْحَالِ ، وَ قَدْ تَفَرَّدَ بِهِ عَنْ ناَفِعٍ .

"Ini hadis nyeleneh dari jalur ini . Sedang perawi –perawinya  secara keseluruhan termasuk bisa di percaya dari perawi – perawi Bukhari dan Muslim  kecuali Musa  bin Jubair  al anshari . ibnu Abi Hatim dalam kitab “ Al Jrh wa al ta`dil “ 4/1/139  dan beliau tidak bercerita sesuatu tentang dia  baik yang ini atau itu . Jadi dia tidak di kenal identitasnya . Dan hanya dia yang meriwayatkannya dari Nafi`
Harut dan Marut sebagaimana yang disebut dalam ayat di atas adalah bagian dari malaikat langit, dimana keduanya diturunkan kedunia ini berkaitan dengan maraknya praktek sihir pada zaman setelah Nabi Sulaiman. Mereka berdua tidaklah mengajarkan amalan sihir, melainkan mereka turun memberikan peringatan.

At-Thabathabai menjelaskan bahwa keberadaan dua malaikat tersebut adalah untuk menepis bahwa apa yang terjadi pada Sulaiman yang menguasai jin, manusia, angin dan sebagainya adalah karena sihir. Padahal apa yang terjadi pada Nabi Sulaiman adalah mukjizat yang telah diberikan Allah kepadanya. Sedangkan turunnya Harut dan Marut adalah untuk mengajarkan ilmu sihir, sehingga masyarakat tahu mana yang disebut mukjizat dan mana yang disebut dengan sihir. Bagaimana mungkin Sulaiman melakukan sihir, yang mana sihir tersebut merupakan bentuk kekufuran kepada-Nya. Hal ini disebabkan Sulaiman adalah ma’shum atau terjaga. Demikianlah mengapa Harut dan Marut diutus ke muka bumi ini, yaitu hanya sebagai ujian bagi manusia dengan statusnya sebagai guru dalam ilmu.

Al-Maraghi berpendapat bahwa ayat di atas berbicara tentang tuduhan terhadap Sulaiman yang dalam memperoleh kekuasaannya melalui sihir serta sihir pada mulanya diajarkan oleh dua malaikat Harut dan Marut. Hal ini karena orang-orang pada waktu Nabi Sulaiman mengira bahwa apa yang diperolehnya adalah hasil dari sihir, padahal apa yang diberikan Allah kepadanya adalah mukjizat.

Kecurigaan masyarakat diperparah pasca meninggalnya Nabi Sulaiman dengan isu dari tukang sihir yang mendapatkan informasi dari setan bahwa semasa Nabi Sulaiman hidup, sihir adalah dilarang, demikian juga dengan karya-karya yang menunjukkan praktek sihir dikumpulkan atau disita dan ditanam dalam singgasana Sulaiman. Dari peristiwa tersebut setan menghembuskan berita bahwa Nabi Sulaiman tempo dulu adalah belajar dari sihir ini, dan buktinya adalah di bawah singgasananya ada beberapa karya yang berkaitan dengan sihir.

Dengan datangnya Harut dan Marut yang membawa sihir adalah sebagai ujian kepadanya dan kepada yang mereka ajari. Ia menyatakan sesuai dengan pengertian lahiriyah, ayat 102 surat al-Baqarah menunjukan bahwa apa yang diturunkan kepada Harut dan Marut bukanlah ilmu sihir tetapi sejenis ilmu sihir. Keduanya mendapat ilham dan petunjuk tentang ilmu sihir tanpa seorang pun mengajar. Hal ini untuk menjaga kemuliaan malaikat. Malaikat yang diturunkan ke muka bumi dengan pakaian manusia yang shaleh serta penuh wibawa adalah untuk mentransformasikan sifat ruhaniyahnya malaikat supaya dapat dicerna oleh indera (kondisi manusia yang materi) manusia. Lebih lanjut ia mengatakan bahwa dengan adanya sihir ini manusia tidak boleh kufur atau ingkar demikian juga dengan mengamalkannya adalah larangan keras, kecuali dalam keadaan terpaksa demi keselamatan jiwa. Al-Maraghi menambahkan bahwa kebiasaan orang-orang di zaman Harut dan Marut sama seperti keadaan di zaman sekarang. Jika bermaksud memutuskan permasalahan rohaniyah, mereka akan berkonsultasi dengan orang bijak dan agung, yakni para ahli taqwa dan bijak.

Setan yang ikut menimba ilmu gaib (sihir) dari yang diajarkan oleh Harut dan Marut, akhirnya menyebarkan sihir tersebut kepada manusia. Akan tetapi jauh setelah itu ketika Nabi Sulaiman berkuasa, sihir beliau larang. Semua buku-buku sihir pada masanya konon beliau tanam di bawah singgasana beliau. Seperti diketahui kekuasaan yang dianugerahkan Allah kepada beliau sangat besar. Manusia, jin, setan, binatang, angin ditundukkan Allah untuk beliau.

Ketika Nabi Sulaiman wafat, setan yang telah lepas kendali menemukan dan mengajarkan kembali sihir-sihir tersebut. Di sinilah sebagian orang Yahudi mengikuti setan-setan, dan percaya apa yang dibisikkan setan kepada mereka, bahwa sebenarnya kekuasaan Nabi Sulaiman bersumber dari sihir dan kehebatan yang terlihat pada beliau itu adalah karena sihir.

Sedangkan mengenai ilmu sihir yang diajarkan oleh Harut dan Marut sampai sekarang masih belum tersingkapkan hakekat ilmu yang mereka pelajari. Apakah ilmu itu mempunyai pengaruh tersendiri atau karena sebab lain yang masih abstrak. Atau memang sama sekali tidak ada pengaruhnya dan hanya karena kepercayaan yang bersangkutan sehingga timbul kekuatan ghaib. Juga masalah sihir yang belum jelas permasalahannya. Apakah yang mereka pelajari itu hanya jimat-jimat, jampi-jampi atau hipnotis, atau bahkan bisikan setan?

Jelasnya, semua jenis ilmu tersebut merupakan perincian dari penjelasan secara global pengertian yang telah disebutkan di dalam al-Qur’an. Dalam hal ini al-Maraghi tidak mempersoalkan jenis ilmu yang mereka pelajari dari keduanya. Sebab, jika hal tersebut bermanfaat, maka Allah pasti akan menjelaskan perinciannya. Tetapi masalah tersebut sepenuhnya Allah serahkan kepada hasil penyelidikan-penyelidikan umat Islam dan perkembangan ilmu pengetahuan yang mereka miliki. Pada prinsipnya hanya Allah-lah yang menyingkap segala misteri dan menampakkan hakekat sesuatu.

Harut dan Marut tidak dianugerahi kekuatan ghaib melebihi yang lainnya. Bahkan keberhasilan mereka itu karena adanya hubungan yang diciptakan Allah. Jadi, jika ada seseorang yang tertimpa bahaya karena perbuatan mereka, maka kejadian tersebut hanyalah kehendak Allah dan atas izin-Nya. Sebab, hanya Allah-lah yang menciptakan sebab akibat tertimpanya musibah.

Didalam tafsir disebut kan bahwa setelah kematian Nabi Sulaiman, kerajaan Bani Israil terbagi dua. Yang pertama adalah kerajaan putra Nabi Sulaiman bernama Rahbi’am dengan ibu kota Yerusalem. Sedangkan kerajaan kedua dipimpin oleh Yurbiam putra Banath, salah seorang anak buah Nabi Sulaiman yang gagah berani dan diserahi oleh beliau kekuasaan yang berpusat di Samirah.Tetapi masyarakatnya sangat bejat dan mengaburkan ajaran agama.

Terjadi persaingan antara kedua kerajaan itu, tentu saja putra Sulaiman mengandalkan dirinya sebagai anak seorang Nabi yang memiliki nama yang sangat harum di masyarakat. Sedangkan musuh-musuhnya berusaha memperkecil keutamaan ini dan menyebarkan isu negatif dan kebohongan atas Nabi Sulaiman seperti bahwa dia telah kafir dan kekuasaan yang sedemikian besar adalah karena sihir, agar nama baik Nabi Sulaiman dan anaknya ikut tercemar. Mereka itulah yang dimaksud oleh ayat 102 surat al-Baqarah ketika menyatakan bahwa mereka mengikuti apa yang dibaca oleh setan-setan pada masa kerajaan Nabi Sulaiman, yakni kitab Allah mereka tinggalkan, lalu mereka membaca kitab setan. Mereka menuduh Nabi Sulaiman yang mendapat anugerah kekuasaan dari Allah dengan mengatakan bahwa Nabi Sulaiman telah kafir dan mengajarkan sihir, padahal Nabi Sulaiman tidak kafir juga tidak menggunakan sihir tetapi setan-setan yang kafir dan menggunakan sihir serta mereka mengajarkan manusia tentang sihir.

Orang-orang Yahudi juga mengikuti sihir yang diajarkan oleh dua malaikat yang merupakan hamba-hamba Allah yang tercipta dari cahaya dan hanya taat kepada-Nya. Mereka berdua adalah Harut dan Marut, yang ketika itu di negeri Babil, satu kota populer pada masa lampau di wilayah timur sekitar dua ribu tahun sebelum masehi. Keduanya memang mengajarkan sihir, tetapi berbeda dengan setan dan juga berbeda dengan orang-orang Yahudi yang mengikuti setan. Keduanya tidak mengajarkan sesuatu kepada seorang pun sebelum mengatakan : “Sesungguhnya kami hanya cobaan bagimu, sebab itu janganlah kafir”.

Dari ayat 102 surat al-Baqarah di atas dapat difahami bahwa asal usul sihir itu bermula dari Harut dan Marut. Keduanya tahu tentang sihir, dan mengajarkannya kepada manusia, tetapi mereka tidak mengajarkannya, kecuali setelah memberitahu sisi positif dan sisi negatifnya. Perhatikan bagaimana mereka berkata: “sesungguhnya kami hanya cobaan (bagimu), sebab itu janganlah kamu kafir”. Ini berarti, ia tidak menganjurkan mempelajarinya. Berbeda dengan setan karena itu pula sangat diragukan kebenaran siapa yang berkata: “saya mempelajari sihir untuk menggunakannya dalam kebaikan”. Boleh jadi ia tulus saat mengucapkan, tetapi setelah menguasainya, setan akan datang untuk menggoda. Seorang yang memiliki senjata, lebih mudah menganiaya daripada yang tidak memilikinya. Begitulah keadaan manusia yang mengetahui sihir, dan karena itu, Harut dan Marut mengingatkan, bahwa mereka adalah cobaan. Cobaan menyangkut mempelajarinya dan cobaan pula ketika telah menguasainya, apakah digunakan dalam kebaikan atau sebaliknya.

Cobaan itu juga bertujuan untuk membedakan yang taat dan yang durhaka, serta untuk membuktikan bahwa sihir berbeda dengan mukjizat. Karena itu para penyihir bukanlah Nabi, dan karena itu pula jangan gunakan sihir yang dapat menyesatkan dan merugikan kalian, Demikian nasehat Harut dan Marut. Tetapi diantara yang diajarkan itu ada yang membangkang dan enggan mengikuti nasehat. Maka mereka mempelajari dari kedua malaikat itu apa yang dengan sihir itu, mereka dapat menceraikan antara seseorang dengan pasangan suami isteri.

Al-Zamakhsyari menegaskan bahwa datangnya kedua malaikat yang mengajarkan sihir adalah ujian dari Allah bagi manusia, barangsiapa yang yang mempelajarinya dan mengamalkannya, maka orang tersebut termasuk dalam golongan orang kafir. Demikian sebaliknya jika ada orang yang menjauhi atau mempelajari sihir dan tidak mengamalkannya maka orang tersebut masuk kategori muslim.

Lebih lanjut al-Zamakhsyari menyatakan dengan mengutip qira’ah Hasan bahwa jika kata al-malakain dibaca kasrah lamnya, maka artinya adalah kedua orang yang datang dari negeri Babil, sehingga ia lebih cenderung mengomentari eksistensi sihir dari pada Harut dan Marut, karena apa yang dibawa (sihir) oleh kedua malaikat adalah lebih penting dan berpengaruh terhadap kehidupan manusia.

Turunnya kedua malaikat yang mengajarkan sihir, maka yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana mungkin Allah memerintahkan malaikat untuk mengajari manusia ilmu sihir? Menanggapi hal tersebut, al-Thabari menyatakan bahwa Allah menurunkan kebaikan dan kejahatan adalah bersama-sama, akan tetapi Allah tetap menjelaskan dengan diutusnya para Rasul yang menunjukkan mana yang halal dan mana yang haram, semisal: zina, mencuri dan sejenisnya. Dan sihir adalah satu di antara yang dilarang Allah dan telah diberitahukan bahwa larangan keras bagi yang melaksanakannya.

Hal tersebut berangkat dari asumsi bahwa ilmu sihir adalah tidak berdosa, adapun yang menyebabkan dosa adalah dengan mengamalkannya. Sehingga benar apa yang dilakukan oleh kedua malaikat tersebut sebelum mengajarkan ilmu sihir, mereka mengatakan dengan: innama nahnu fitnatun fala takfur. Inilah bentuk dari ketaatan malaikat bahwa dengan diturunkannya di dunia adalah sebagai ujian dan kedua malaikat tersebut mempunyai spesialisasi bentuk sihir, yaitu memisahkan hubungan antara suami-istri. Oleh karenanya, seorang mukmin akan menjadi murni imannya jika mampu meningggalkan belajar dari kedua malaikat Harut dan Marut dan seorang akan menjadi kafir lagi hina dengan belajar sihir. Padahal pengajaran dari kedua malaikat tersebut adalah dalam koridor taat kepada Allah, karena Allah telah memberi izin kepada mereka untuk mengajarkan ilmu Allah yang mereka dapatkan.

Pertentangan antara kebaikan dan kejelekan seseorang dalam berprilaku dapat bercermin dari argumen tentang eksistensi makhluk halus, diantaranya adalah malaikat dan setan, dua simbol yang bertentangan. Di satu sisi malaikat adalah makhluk gaib yang murni mewakili aspek kebaikan murni dari eksistensi, sementara setan dan kaki tangannya mewakili aspek kejahatan murni. Tuhan itu tunggal dan tak terbatas, tidak memiliki sifat yang berlawanan, semua makhluk lainnya memiliki sifat kebalikan, karena itu malaikat mewakili aspek baik manusia sementara setan mewakili aspek buruk manusia. Malaikat mengajak manusia menuju aspek spriritual murni atau kemalaikatan manusia, sementara setan menggoda menuju kejahatan.

Pertentangan hal itu, baik dalam diri manusia dan di alam semesta, terus berlangsung sejak adanya eksistensi. Setiap orang merasakan stimulus ke arah baik dan buruk pada waktu yang bersamaan. Stimulus ke arah kebaikan berasal dari malaikat atau jiwa manusia yang bersih, sedangkan stimulus ke arah kejahatan berasal dari setan yang bersama dengan jasmani manusia, yang mewakili aspek binatangnya.

Oleh sebab itu manusia harus berjuang keras dengan jiwa yang mendorong kepada kejelekan. Kalau malaikat memberi petunjuk yang benar dan memberi inspirasi kepada manusia dengan keimanan, tingkah laku yang baik serta kebajikan. Dan mengajak manusia melawan godaan setan. Begitu juga nafsu jelek berusaha membujuknya untuk berbuat keburukan.

Bukankah kehidupan seseorang merupakan sejarah pertentangan terus menerus antara inspirasi malaikat dan godaan setan? Inilah sebabnya manusia bisa berangkat kepada ke tempat yang paling tinggi atau terbuang ke tempat yang paling rendah. Juga, inilah sebabnya mengapa posisi manusia, para Nabi dan orang suci besar, berada di tingkatan yang lebih tinggi daripada malaikat terbesar. Juga, walaupun malaikat memiliki pengetahuan tentang Allah dan Asmaul Husna serta sifat-sifat-Nya melebihi manusia, tetapi manusia bisa bercermin atas Asmaul Husna dan sifat-sifat-Nya yang lebih komprehenship karena ada indera-indera manusiawi yang lebih maju, kemampuan berefleksi dan bawaan manusia yang kompleks.

Adanya kisah Harut dan Marut dapat dipahami sebagai kisah simbolik. Hal ini dapat diambil pelajaran bahwa manusia biasanya menduga dirinya lebih pandai dan lebih benar dari pihak lain yang sedang melaksanakan satu tugas dalam satu arena, misalnya pemerintahan atau lapangan permainan. Bukankah pemain seringkali dinilai salah dan keliru oleh penonton? Bukankah kelompok oposisi seringkali menganggap kebijaksanaan pemerintah keliru? tetapi penilaian mereka tidak selalu benar. Persilahkan penonton bermain, berilah kendali pemerintahan kepada penentang, tidak jarang terbukti bahwa dugaan mereka tentang kemampuannya dan ketidak-mampuan pihak lain, ternyata sangat meleset. Tidak berbeda dengan para malaikat yang diwakili oleh Harut dan Marut tersebut.

Adanya kisah Harut dan Marut juga dapat diambil pelajaran, bahwa dengan tingginya sebuah kedudukan suatu saat bisa jatuh, terkecuali jika seseorang itu mampu akan mengekang hawa nafsu dan keinginan duniawi yang dapat menjerumuskan manusia ke dalam jurang kehinaan. Demikian juga dengan ajarannya, sihir dalam perkembangannya selalu mendapat tempat mulai dari zaman Nabi Musa sampai sekarang, sihir selalu menjadi perhatian yang menarik dan banyak disukai manusia.‎

Mengakhiri pembahasan hadits seputar kisah Harut Marut ini, berikut penulis kutipkan perkataan Ibnu Katsir dalam tafsirnya ketika menafsirkan surat al-Baqarah ayat 102 ini:

وقد روي في قصة هاروت وماروت عن جماعة من التابعين، كمجاهد والسدي والحسن البصري وقتادة وأبي العالية والزهري والربيع بن أنس ومقاتل ابن حيان وغيرهم، وقصها خلق من المفسرين، من المتقدمين والمتأخرين. وحاصلها راجع في تفصيلها إلى أخبار بني إسرائيل، إذ ليس فيها حديث مرفوع صحيح متصل الإسناد إلى الصادق المصدوق المعصوم الذي لا ينطق عن الهوى. وظاهر سياق القرآن إجمال القصة من غير بسط ولا إطناب فيها، فنحن نؤمن بما ورد في القرآن على ما أراده الله تعالى، والله أعلم بحقيقة الحال

Artinya: “Kisah Harut dan Marut banyak diriwayatkan kisahnya dari sekelompok tabi’in seperti Mujahid, as-Suddy, al-Hasan al-Bashri, Qatadah, Abul ‘Âliyyah, az-Zuhry, ar-Rabi’ bin Anas, Muqatil, Ibnu Hayyan dan yang lainnya. Demikian juga, kisahnya banyak diceritakan oleh para mufassir, baik yang terdahulu ataupun yang belakangan. Kesimpulannya, semua kisah secara terperincinya merupakan kisah-kisah Bani Israil, karena tidak ada satupun hadits Marfu’ yang shahih yang bersambung sanadnya kepada Rasulullah saw yang menceritakan akan hal itu. Sedangkan al-Qur’an menceritakan kisahnya secara global, tanpa penjelasan yang panjang. Karena itu, kami mengimani apa yang ada dalam al-Qur’an menurut kehendak Allah, dan hanya Allah yang lebih mengetahui hakikat sebenarnya”.

Demikian bahasan seputar kisah Harut dan Marut ini, semoga bermanfaat.
Wallohul Muwaffiq Ila Aqwamith Thoriq‎

Doa Nabi Sulaiman Menundukkan Hewan dan Jin

  Nabiyullah Sulaiman  'alaihissalam  (AS) merupakan Nabi dan Rasul pilihan Allah Ta'ala yang dikaruniai kerajaan yang tidak dimilik...