Jumat, 27 November 2020

Etika Dan Toleransi Dalam Kehidupan


يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُم مِّن ذَكَرٍ وَأُنثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوباً وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ


[Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal]. (al-Qur’an)

Toleransi dalam kajian fiqih Islam masuk kategori al-mu’amalat (interaksi sosial) yang mendapatkan porsi besar. Hal ini tampak dalam berbagai penjelasan Rasulullah SAW yang termaktub dalam banyak sekali literatur hadis. Bahkan dalam konsep al-Qur’an, manusia akan terpuruk dalam kesesatan jika dia tidak menemukan singkronisasi kebajikan, baik yang ada hubungannya secara vertikal maupun horizontal.

Berbagai kodifikasi hadis telah dibukukan oleh ulama, khususnya hadis-hadis yang secara tematik membahas tentang toleransi. Terkait dengan masalah toleransi ini, kekeliruan tampak sangat jelas pada tuduhan kalangan non muslim ketika memasukkan toleransi pada ranah at-ta`abbbudiyah (ibadah), yang jelas bukan ranah sosial. Karena itu, umat Islam harus waspada, pada batas wilayah apakah Islam membenarkan toleransi dan pada wilayah manakah Islam menolak toleransi.‎‎

عَنِ ابْنِ عَمْرٍو رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ :خَيْرُ الأَصْحَابِ عِنْدَ اللهِ خَيْرُهُمْ لِصَاحِبِهِ وَخَيْرُ الْجِيرَانِ عِنْدَ اللهِ خَيْرُهُمْ لِجَارِهِ (أَخْرَجَهُ أَحْمَدُ، وَالتِّرْمِذِيُّ وَابْنُ حِبَّانَ، وَالْحَاكِمُ وَالْبَيْهَقِيُّ فِى الشُّعَبِ وَ سَعِيْدُ بْنُ مَنْصُورٍ وَالدَّارِمِيُّ وَالبُخَارِيُّ فِى الأَدَبِ الْمُفْرَدِ وَابْنُ خُزَيْمَةَ)

Dinarasikan Ibnu `Amr RA, sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda, “Sebaik-baik sahabat di sisi Allah adalah yang paling baik di antara mereka terhadap sesama saudaranya. Dan, sebaik-baik tetangga di sisi Allah adalah yang paling baik di antara mereka terhadap tetangganya.” (HR. Ahmad, Turmudzi, Ibnu Hibban, Hakim, Baihaqi dalam Syu’abul Iman, Sa’id bin Manshur, ad-Darimi, Bukhari dalam al-Adab al-Mufrad, dan Ibnu Khuzaimah).
Agama Islam adalah agama yang sangat menjunjung tinggi keadilan. Kedalian bagi siapa saja, yaitu menempatkan sesuatu sesuai tempatnya dan memberikan hak sesuai dengan haknya. Begitu juga dengan toleransi dalam beragama. Agama Islam melarang keras berbuat zalim dengan agama selain Islam dengan merampas hak-hak mereka. Allah ‎Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

لَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُم مِّن دِيَارِكُمْ أَن تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ.

“Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil” (QS. Al-Mumtahah: 8)

Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’diy rahimahullah menafsirkan, “Allah tidak melarang kalian untuk berbuat baik, menyambung silaturrahmi, membalas kebaikan , berbuat adil kepada orang-orang musyrik, baik dari keluarga kalian dan orang lain. Selama mereka tidak memerangi kalian karena agama dan selama mereka tidak mengusir kalian dari negeri kalian, maka tidak mengapa kalian menjalin hubungan dengan mereka karena menjalin hubungan dengan mereka dalam keadaan seperti ini tidak ada larangan dan tidak ada kerusakan.”‎

Akan tetapi toleransi ada batasnya dan tidak boleh kebablasan. Semisal mengucapkan “selamat natal” dan menghadiri acara ibadah atau ritualkesyirikan agama lainnya. Karena jika sudah urusan agama, tidak ada toleransi dan saling mendukung.

Berikut beberapa bukti bahwa Islam adalah agama yang menjunjung toleransi terhadap agama lainnya dan tentunya bukan toleransi yang kebablasan, diantaranya:

Toleransi dalam Perspektif Hadis Nabi saw.
Dalam hadis Rasulullah saw. ternyata cukup banyak ditemukan hadis-hadis yang memberikan perhatian secara verbal tentang toleransi sebagai karakter ajaran inti Islam.  Hal ini tentu menjadi pendorong yang kuat untuk menelusuri ajaran toleransi dalam Alquran, sebab apa yang disampaikan dalam hadis merupakan manifestasi dari apa yang disampaikan dalam Alquran.
Di dalam salah satu hadis Rasulullah saw., beliau bersabda :
         
حَدَّثَنِا عبد الله حدثنى أبى حدثنى يَزِيدُ قَالَ أنا مُحَمَّدُ بْنُ إِسْحَاقَ عَنْ دَاوُدَ بْنِ الْحُصَيْنِ عَنْ عِكْرِمَةَ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ قِيلَ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّ اْلأَدْيَانِأَحَبُّ إِلَى اللَّهِ قَالَ الْحَنِيفِيَّةُ السَّمْحَةُ.

[Telah menceritakan kepada kami Abdillah, telah menceritakan kepada saya Abi telah menceritakan kepada saya Yazid berkata; telah mengabarkan kepada kami Muhammad bin Ishaq dari Dawud bin Al Hushain dari Ikrimah dari Ibnu 'Abbas, ia berkata; Ditanyakan kepada Rasulullah saw. "Agama manakah yang paling dicintai oleh Allah?" maka beliau bersabda: "Al-Hanifiyyah As-Samhah (yang lurus lagi toleran)]"

Ibn Hajar al-Asqalany ketika menjelaskan hadis ini, beliau berkata: “Hadis ini di riwayatkan oleh Al-Bukhari pada kitab Iman, Bab Agama itu Mudah” di dalam sahihnya secara mu'allaq dengan tidak menyebutkan sanadnya karena tidak termasuk dalam kategori syarat-syarat hadis sahih menurut Imam al-Bukhari, akan tetapi beliau menyebutkan sanadnya secara lengkap dalam al-Adâb al-Mufrad  yang diriwayatkan dari sahabat Abdullah ibn ‘Abbas dengan sanad yang hasan. Sementara Syekh Nasiruddin al-Albani mengatakan bahwa hadis ini adalah hadis yang kedudukannya adalah hasan lighairih.”Nasaruddin al-Bani.
Berdasarkan hadis di atas dapat dikatakan bahwa Islam adalah agama yang toleran dalam berbagai aspeknya, baik dari aspek akidah maupun syariah, akan tetapi toleransi dalam Islam lebih dititikberatkan pada wilayah mua’malah. Rasulullah saw. bersabda :

حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ عَيَّاشٍ حَدَّثَنَا أَبُو غَسَّانَ مُحَمَّدُ بْنُ مُطَرِّفٍ قَالَ حَدَّثَنِي مُحَمَّدُ بْنُ الْمُنْكَدِرِ عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ رَحِمَ اللَّهُ رَجُلًا سَمْحًا إِذَا بَاعَ وَإِذَا اشْتَرَى وَإِذَا اقْتَضَى.

[Telah menceritakan kepada kami 'Ali bin 'Ayyasy telah menceritakan kepada kami Abu Ghassan Muhammad bin Mutarrif berkata, telah menceritakan kepada saya Muhammad bin al-Munkadir dari Jabir bin 'Abdullah ra. bahwa Rasulullah saw. bersabda: "Allah merahmati orang yang memudahkan ketika menjual dan ketika membeli,  dan ketika memutuskan perkara"].HR Bukhari.

Toleransi antar umat beragama merupakan hal yang sangat penting untuk selalu kita bina dan kita lestarikan, karena dengan saling bertoleransi antar sesama dalam kehidupan ini akan tercipta kedamaian dan keharmonisan, tanpa adanya rasa permusuhan dan saling mencurigai. Bahkan Rasulullah sendiripun telah memberi contoh kepada kita semua. Dimana pada masa hidup Rasulullah toleransi antar umat beragama itu beliau gambarkan dalam hubungan jual-beli dan saling memberi dengan non muslim.

Sebagaimana diterangkan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam kitab al-Maghazi hadits nomor 4467:

فَعَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا قَالَتْ: تُوُفِّيَ النَّبِيُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَدِرْعَهُ مَرْهُوْنَةٌ عِنْدَ يَهُوْدِيْ بِثَلاَثِيْنَ. يَعْنِي: صَاعًا مِنْ شَعِيْرٍ (كتاب المغازي، رقم الحديث 4467)

Dari Aisyah RA. Dia berkata: Nabi telah wafat sedangkan baju besinya telah diberikan kepada seorang yahudi sebagai gadai dengan 30 sha’ gandum. (Kitab al-Maghazi, hadits nomor 4467)

Selain itu Rasulullah juga tidak enggan untuk menerima hadiah apapun dari umat lain (non muslim). Dan dari situlah para ahli fiqih berpendapat bahwa menerima pemberian hadiah dari semua kelompok baik dari kalangan muslim maupun non muslim bahkan mereka yang memerangi umat Islam sekalipun itu diperbolehkan secara syar’i. Dan hal ini diterangkan dalam kitab al-Mughni juz 13, halaman 200, sebagai berikut:

وَيَجُوْزُ قَبُوْلُ هَدِيَةِ الْكُفَّارِ مِنْ أَهْلِ الْحَرْبِ لِأَنَّ النَّبِيَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَبِلَ هَدِيَةَ اْلمُقَوْقِسِ صَاحِبِ مِصْرَ (المغني، ج 13، ص: 200)

Boleh menerima hadiahnya non muslim ahli harb, karena Nabi Saw. menerima hadiah dari Makukis penguasa Mesir. (Kitab al-Mughni, Ibnu Qudamah, juz 13, hal. 200)

Ajaran berbuat baik terhadap tetangga meskipun non-muslim

Mencintai semua tetangga

Mencintai sesama tetangga dijelaskan, antara lain, dalam sebuah hadis yang  diriwayatkan oleh Anas bin Malik sebagai berikut:

عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: وَالَّذِى نَفْسِى بِيَدِهِ لَا يُؤْمِنُ عَبْدٌ حَتَّى يُحِبَّ لِجَارِهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ (أَخْرَجَهُ مُسْلِمٌ وَ أَبُو يَعْلَى)

Dinarasikan Anas bin Malik RA, sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda, “Demi (Allah) yang jawaku di tangan-Nya, tidaklah beriman seorang hamba sehingga dia mencintai tetangganya sebagaimana dia mencintai dirinya sendiri.” (HR. Muslim dan Abu Ya’la: 2967).

Mencintai diri sendiri tidaklah cukup untuk menggambarkan kualitas keimanan seseorang, melainkan juga harus dibuktikan dengan mencintai semua tetangganya. Kata “tetangga” dalam teks hadis ini cakupannya bersifat umum, yakni tetangga sesama Muslim atau tetangga non Muslim.

Sebagaimana diketahui, Rasulullah SAW tidak hanya bertetangga dengan Muslim namun beliau juga bertetangga dengan non Muslim. Di sekitar Madinah kala itu ada orang Yahudi, Nasrani, dan lainnya. Mereka sama-sama mempunyai hak untuk dicintai. Dalam riwayat lain, mereka juga punya hak untuk mendapatkan kedamaian.

Dalam redaksi hadis lain Rasulullah SAW bersabda:

عَنِ ابْنِ عَمْرٍو رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ :خَيْرُ الأَصْحَابِ عِنْدَ اللهِ خَيْرُهُمْ لِصَاحِبِهِ وَخَيْرُ الْجِيرَانِ عِنْدَ اللهِ خَيْرُهُمْ لِجَارِهِ (أَخْرَجَهُ أَحْمَدُ، وَالتِّرْمِذِيُّ وَابْنُ حِبَّانَ، وَالْحَاكِمُ وَالْبَيْهَقِيُّ فِى الشُّعَبِ وَ سَعِيْدُ بْنُ مَنْصُورٍ وَالدَّارِمِيُّ وَالبُخَارِيُّ فِى الأَدَبِ الْمُفْرَدِ وَابْنُ خُزَيْمَةَ)

Dinarasikan Ibnu `Amr RA, sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda, “Sebaik-baik sahabat di sisi Allah adalah yang paling baik di antara mereka terhadap sesama saudaranya. Dan, sebaik-baik tetangga di sisi Allah adalah yang paling baik di antara mereka terhadap tetangganya.”

Hadis ini diriwayatkan oleh Ahmad: 6566, Turmudzi: 1944, Ibnu Hibban: 518, Hakim: 1620, Baihaqi dalam Syu’abul Iman: 9541, Sa’id bin Manshur: 2388, ad-Darimi: 2437, Bukhari dalam al-Adab al-Mufrad: 115, dan Ibnu Khuzaimah: 2539.

Pada teks hadis di atas tampak jelas bahwa sebaik-baik insan Muslim adalah dia yang terbaik mu’amalah (hubungan sosialnya) dengan semua tetangganya, baik tetangga Muslim maupun non Muslim. Mereka semua harus mendapatkan sentuhan kasih sayang dan kedamaian.

Itulah sebabnya, sejarah membuktikan bahwa banyak unsur masyarakat yang berdampingan secara damai dengan Rasulullah, sebelum Madinah dinyatakan sebagai tanah haram (yang tidak boleh dihuni kecuali oleh Muslim). Rasulullah SAW kala itu bahkan bertetangga dengan orang Yahudi, Nasrani, dan lain-lain secara damai.

Berikut ini teladan dari salafus shalih dalam berbuat baik terhadap tetangganya yang Yahudi. Seorang tabi’in dan beliau adalah ahli tafsir, imam Mujahid, ia berkata, “Saya pernah berada di sisi Abdullah bin ‘Amru sedangkan pembantunya sedang memotong kambing. Dia lalu berkata,

ياَ غُلاَمُ! إِذَا فَرَغْتَ فَابْدَأْ بِجَارِنَا الْيَهُوْدِي

”Wahai pembantu! Jika anda telah selesai (menyembelihnya), maka bagilah dengan memulai dari tetangga Yahudi kita terlebih dahulu”.

Lalu ada salah seorang yang berkata,

آليَهُوْدِي أَصْلَحَكَ اللهُ؟!

“(kenapa engkau memberikannya) kepada Yahudi? Semoga Allah memperbaiki kondisimu”.

‘Abdullah bin ’Amru lalu berkata,

إِنِّي سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُوْصِي بِالْجَارِ، حَتَّى خَشَيْنَا أَوْ رُؤِيْنَا أَنَّهُ سَيُوّرِّثُهُ

‘Saya mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berwasiat terhadap tetangga sampai kami khawatir kalau beliau akan menetapkan hak waris kepadanya.” ‎

Bermuamalah yang baik dan tidak boleh dzalim terhadap keluarga dan kerabat meskipun non-muslim

Misalnya pada ayat yang menjelaskan ketika orang tua kita bukan Islam, maka tetap harus berbuat baik dan berbakit kepada mereka dalam hal muamalah. Allah Ta’ala berfirman,

وَإِنْ جَاهَدَاكَ عَلى أَنْ تُشْرِكَ بِي مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ فَلا تُطِعْهُمَا وَصَاحِبْهُمَا فِي الدُّنْيَا مَعْرُوفًا

“Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik.” (QS. Luqman: 15)

Larangan menzalimi kafir dzimmi

Di samping menjalin kemesraan dengan non Muslim, Rasulullah SAW juga mengadakan kontak dagang dengan non Muslim. Bahkan, menurut keterangan sebuah hadis, Nabi SAW sempat meminjam barang kepada seorang Yahudi dengan menggadaikan baju besinya. Klimaks dari toleransi itu tercatat dalam hadis bahwa Rasulullah SAW melarang umatnya untuk menyakiti kafir dzimmi, sebagai berikut:

عَنِ ابْنِ مَسْعُودٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : مَنْ آذَى ذِمِّيًّا فَأَنَا خَصْمُهُ وَمَنْ كُنْتُ خَصْمَهُ خَصَمْتُهُ يَوْمَ القِيَامَةِ (أَخْرَجَهُ الخَطِيبُ فِي تَارِيخِ بَغْدَادٍ)

Dinarasikan Ibnu Mas’ud RA, sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda, “Siapa yang menyakiti seorang kafir dzimmi, maka aku kelak yang akan menjadi musuhnya. Dan siapa yang menjadikanku sebagai musuhnya, maka aku akan menuntutnya pada hari kiamat.”

Hadis ini diriwayatkan Khathib al-Baghdadi dalam Tarikh Bagdad: 8/370. Hadis ini juga memiliki dua jalur sanad yang sama-sama lemah.‎‎

Dari paparan di atas, tampak begitu mulianya ajaran Islam di mata internal umat Islam maupun non Muslim. Ibarat lebah, sekiranya orang tidak menganggunya tentu dia akan dapat menikmati madunya. Namun sekiranya ada orang yang mengganggunya jangan disalahkan apabila ia menyengat bahkan mematikan.

Itulah gambaran kehadiran umat Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin. Rahmat atau kasih saying itu tidak hanya dirasakan umat Islam, tapi non Muslim pun juga ikut merasakannya.

Maka hati-hati memahami hadis yang sekilas dapat difahami keliru sehingga mengidentikkan Islam sebagai teroris, seperti ‘menghabisi’ non Muslim di jalanan dan lainnya. Seharusnya hadis-hadis seperti ini difahami secara proporsional. Kajian hadis di Barat diwarnai dengan teks-teks seperti di atas secara parsial, sehingga Islam tidak pernah difahami sebagai agama pembawa rahmat (kasih sayang).‎

Islam melarang keras membunuh non-muslim kecuali jika mereka memerangi kaum muslimin.

Dalam agama Islam orang kafir yang boleh dibunuh adalah orang kafir harbi yaitu kafir yang memerangi kaum muslimin. Selain itu semisal orang kafir yang mendapat suaka atau ada perjanjian dengan kaum muslimin semisal kafir dzimmi, kafir musta’man dan kafir mu’ahad, maka dilarang keras untuk dibunuh. Jika melanggar maka ancamannya sangat keras.

مَنْ قَتَلَ قَتِيلًا مِنْ أَهْلِ الذِّمَّةِ لَمْ يَجِدْ رِيحَ الْجَنَّةِ وَإِنَّ رِيحَهَا لَيُوجَدُ مِنْ مَسِيرَةِ أَرْبَعِينَ عَامًا

“Barangsiapa membunuh seorang kafir dzimmi, maka dia tidak akan mencium bau surga. Padahal sesungguhnya bau surga itu tercium dari perjalanan empat puluh tahun. ”

Adil dalam hukum dan peradilan terhadap non-muslim

Contohnya ketika Umar bin Khattab radhiallahu’anhu membebaskan dan menaklukkan Yerussalem Palestina. Beliau menjamin warganya agar tetap bebas memeluk agama dan membawa salib mereka. Umar tidak memaksakan mereka memluk Islam dan menghalangi mereka untuk beribadah, asalkan mereka tetap membayar pajak kepada pemerintah Muslim. Berbeda ketika bangsa dan agama lain mengusai, maka mereka melakukan pembantaian.

Umar bin Khattab juga memberikan kebebasan dan memberikan hak-hak hukum dan perlindungan kepada penduduk Yerussalem walaupun mereka non-muslim.

Ajakan toleransi agama yang “kebablasan”

Toleransi berlebihan ini, ternyata sudah ada ajakannya sejak Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memperjuangkan agama Islam.
Suatu ketika, beberapa orang kafir Quraisy yaitu Al Walid bin Mughirah, Al ‘Ash bin Wail, Al Aswad Ibnul Muthollib, dan Umayyah bin Khalaf menemui Nabi ‎shallallahu ‘alaihi wa sallam, mereka menawarkan tolenasi kebablasan kepada beliau, mereka berkata:

يا محمد ، هلم فلنعبد ما تعبد ، وتعبد ما نعبد ، ونشترك نحن وأنت في أمرنا كله ، فإن كان الذي جئت به خيرا مما بأيدينا ، كنا قد شاركناك فيه ، وأخذنا بحظنا منه . وإن كان الذي بأيدينا خيرا مما بيدك ، كنت قد شركتنا في أمرنا ، وأخذت بحظك منه

“Wahai Muhammad, bagaimana jika kami beribadah kepada Tuhanmu dan kalian (muslim) juga beribadah kepada Tuhan kami. Kita bertoleransi dalam segala permasalahan agama kita. Apabila ada sebagaian dari ajaran agamamu yang lebih baik (menurut kami) dari tuntunan agama kami, maka kami akan amalkan hal itu. Sebaliknya, apabila ada dari ajaran kami yang lebih baik dari tuntunan agamamu, engkau juga harus mengamalkannya.”‎

Kemudian turunlah ayat berikut yang menolak keras toleransi kebablasan semacam ini,

قُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ. لَا أَعْبُدُ مَا تَعْبُدُونَ. وَلَا أَنتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ. وَلَا أَنَا عَابِدٌ مَّا عَبَدتُّمْ. وَلَا أَنتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ. لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ

“Katakanlah (wahai Muhammad kepada orang-orang kafir), “Hai orang-orang yang kafir, aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah. Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah. Untukmulah agamamu dan untukkulah agamaku”. (QS. Al-Kafirun: 1-6).

Bahkan dalam suatu riwayat mengata-kan bahwa Imam Ibnu Abbas pernah berkata:

قَالَ اْبنُ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ لَوْ قَالَ لِيْ فِرْعَوْنُ: بَارَكَ اللهُ فِيْكَ قُلْتُ: وَفِيْكَ، وَفِرْعَوْنُ قَدْ مَاتَ. رواه البخاري (صحيح البخاري، ص: 72، رقم: 95)

Kalau saja Fir'aun mendo'akanku; semoga Allah memberkatimu. Maka saya akan mendo'akannya juga; semoga Allah memberkatimu, tapi Fir'aun sudah mati.(Diriwayatkan oleh Imam Bukhari kitab Shahihul Adab al-Mufrad al-Baniy Bab Kaifa Yad'u lidzimmy, hal. 72, hadits nomor 95)

Oleh karena itu, dari teladan yang diberikan oleh Rasulullah Saw., kita sebagai umatnya yang selalu mengharapkan keselamatan hidup di dunia dan akhirat, selayaknya harus terus berusaha untuk meniru perilaku-perilaku dan sikap-sikap sosial beliau, karena bagaimanapun Rasulullah adalah teladan bagi kita semua. Sesuai dengan firman Allah SWT dalam surat al-Ahzab ayat 21 sebagai berikut:

لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُوْلِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِّمَنْ كَانَ يَرْجُوْ اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيْراً (سورة الأحزاب: 21)

Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak menyebut Allah. (Qs. al-Ahzab: 21)

Sikap toleransi atau istilah jawa menyebutnya dengan sebutan teposeliro yang mempunyai arti tepo (nepakno) seliro (awak), yaitu menempatkan diri pada lingkungan disekitarnya, ini merupakan nilai-nilai ajaran Islam yang begitu mulia, dan sikap seperti ini juga ditunjukkan oleh seorang tokoh dunia yaitu Sayyidina Umar Bin Khattab ra. terhadap Uskup Sophronius di hadapan kaum Nasrani dan kaum muslim di Baitul Maqdis Yerussalem.

Selanjutnya, di depan Gereja Kanisat al-Qiyamah (Gereja Anastasis) Uskup Sophronius menyerahkan kunci kota Yerussalem kepada Kholifah Umar Bin Khattab ra. Kemudian Sayyidina Umar meminta diantarkan ke suatu tempat untuk menunaikan sholat. Dan oleh Uskup Sophronius, beliau diantarkan ke dalam gereja. Akan tetapi, Kholifah Umar menolak penghormatan tersebut sembari mengatakan bahwa dirinya khawatir hal itu akan menjadi suatu dasar bagi kaum muslimin generasi berikutnya untuk mengubah gereja-gereja menjadi masjid. Akhirnya, Sayyidina Umar melaksanakan sholat (munfaridan) di luar atau di teras gereja tersebut. Hal ini dijelaskan dalam kitab Samahah al-Islam, hal. 34-37 sebagai berikut:

كَتَبَ لِلنَّصَارَى فِيْ بَيْتِ الْمُقَدَّسِ أَمَانًا عَلَى أَنْفُسِهِمْ وَاَوْلاَدِهِمْ وَنِسَائِهِمْ وَاَمْوَالِهِمْ وَجَمِيْعِ كَنَائِسِهِمْ لاَ تُهْدَمُ وَلاَ تُسْكَنُ وَحِيْنَ جَاءَ وَقْتُ الصَّلاَةِ وَهُوَ جَالِسٌ فِيْ صُحْنِ كَنِيْسَةِ الْقِيَامَةِ خَرَجَ وَصَلَّى خَارِجَ الْكَنِيْسَةِ عَلَى الدَّرَجَةِ الَّتِى عَلَى بَابِهَا بِمُفْرَدِهِ وَقَالَ لِلْبَطْرِكْ: لَوْ صَلَّيْتُ دَاخِلَ الْكَنِيْسَةِ لَاَخْذُهَا الْمُسْلِمُوْنَ مِنْ بَعْدِيْ وَقَالُوْا: هُنَا صَلَّى عُمَرُ ثُمَّ كَتَبَ كِتَابًا يُوْصَى بِهِ الْمُسْلِمِيْنَ أَلاَ يُصَلِّى أَحَدٌ مِنْهُمْ عَلَى الدَّرَجَةِ إِلاَّ وَاحِدًا وَاحِدًا غَيْرَ مُجْتَمِعِيْنَ لِلصَّلاَةِ فِيْهَا وَلاَ مُؤَذِّنِيْنَ عَلَيْهَا. اَمَّا عَهْدُهُ لَهُمْ فَقَدْ كَانَ مَثَالاً فِي السَّمَاحَةِ وَالْمُرُوْءَةِ لاَ يَطْمَعُ فِيْهِ طَامِعٌ مِنْ اَهْلِ حَضَارَةِ مِنْ حَضَارَاتِ التَّارِيْخِ كَائِنَةُ مَا كَانَتْ فَكَتَبَ لَهُمُ اْلعَهْدَ الَّذِىْ قَالَ فِيْهِ: (هَذَا مَا أَعْطَى عَبْدُ اللهِ عُمَرُ أَمِيْرُ الْمُؤْمِنِيْنَ أَهْلَ اَيْلِيَاءِ مِنَ اْلأَمَانِ . أَعْطَاهُمْ أَمَانًا لِأَنْفُسِهِمْ وَأَمْوَالِهِمْ وَكَنَائِسِهِمْ وَصَلَبَانِهِمْ سَقِيْمِهَا وَبَرِيْئِهَا وَسَائِرِ مِلَّتِهَا . اِنَّهُ لاَ تُسْكَنُ كَنَائِسُهُمْ وَلاَ تُهْدَمُ وَلاَ يُنْتَقَصُ مِنْهَا وَلاَ مِنْ خَيْرِهَا وَلاَ مِنْ صَلِيْبِهِمْ وَلاَ مِنْ شَيْئٍ مِنْ اَمْوَالِهِمْ وَلاَ يَكْرَهُوْنَ عَلَى دِيْنِهِمْ وَلاَ يُضَارُ اَحَدٌ مِنْهُمْ وَلاَ يُسْكَنُ بِاَيْلِيَاءِ مَعَهُمْ اَحَدٌ مِنَ الْيَهُوْدِ (سماحة الإسلام، ص: 37-34)

Dari kutipan cerita diatas, kita dapat mengambil sebuah kesimpulan bahwa begitu besar sikap toleransi (teposeliro) antar sesama meskipun berbeda agama dan keyakinannya yang diajarkan oleh Islam dan itupun dicontohkan langsung oleh Nabi Muhammad dan khalifah Umar Bin Khattab ra.

Dan hasil dari pertemuan kedua tokoh besar tersebut menghasilkan sebuah piagam perdamaian yang dikenal dengan “perjanjian Aelia”yang berbunyi:

Inilah perdamaian yang diberikan oleh hamba Allah ‘Umar Amirul Mukminin, kepada rakyat Aelia: dia menjamin keamanan diri, harta benda, gereja-gereja, salib-salib mereka, yang sakit maupun yang sehat, dan semua aliran agama mereka. Tidak boleh mengganggu gereja mereka baik membong-karnya, mengurangi, maupun menghilangkanya sama sekali, demikian pula tidak boleh memaksa mereka meninggalkan agama mereka, dan tidak boleh mengganggu mereka. Dan tidak boleh bagi penduduk Aelia untuk memberi tempat tinggal kepada orang Yahudi

Hal yang sama juga diterangkan dalam kitab Haekal Umar bin Khattab pada halaman 316, yang diterbitkan oleh Litera Antar Nusa.

Semoga Bermanfaat

Bagaimana Harus Bergaul Dalam Kehidupan


Manusia adalah makhluk  sosial, yaitu makhluk yang tidak dapat hidup sendiri, tapi dia hidup secara bersama atau bermasyarakat. Mengapa demikian, karena manusia tidak akan bisa memenuhi kebutuhan dan urusanya sendiri, sehebat dan setangguh apapun manusia, pasti memerlukan uluran bantuan orang lain, ketika manusia sakit, dia membutuhkan dokter untuk membantu mengobatinya, ketika manusia ingin belajar, dia membutuhkan seorang pembimbing (guru) untuk mengajarinya, dan lain sebagainya. Oleh sebab itu, interaksi (bergaul) sesama manusia sangat diperlukan agar terjalin hubungan yang harmonis diantara mereka, sekalipun demikian aspek bergaul yaitu memilih teman benar-benar harus diperhatikan, karena sekali salah dalam menentukan pillhan, maka akibatnya pun akan fatal. ‎
Islam sebagai agama yang sempurna dan menyeluruh telah mengatur bagaimana adab-adab serta batasan-batasan dalam pergaulan. Pergaulan sangat mempengaruhi kehidupan seseorang. Dampak buruk akan menimpa seseorang akibat bergaul dengan teman-teman yang jelek, sebaliknya manfaat yang besar akan didapatkan dengan bergaul dengan orang-orang yang baik.

Pengaruh Teman Bagi Seseorang

Banyak orang yang terjerumus ke dalam lubang kemakisatan dan kesesatan karena pengaruh teman bergaul yang jelek. Namun juga tidak sedikit orang yang mendapatkan hidayah dan banyak kebaikan disebabkan bergaul dengan teman-teman yang shalih.

Mengenai dampak pergaulan Rasululah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :  

حَدَّثَنِي مُوسَى بْنُ إِسْمَاعِيلَ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْوَاحِدِ حَدَّثَنَا أَبُو بُرْدَةَ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ سَمِعْتُ أَبَا بُرْدَةَ بْنَ أَبِي مُوسَى عَنْ أَبِيهِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَثَلُ الْجَلِيسِ الصَّالِحِ وَالسَّوْءِ كَحَامِلِ الْمِسْكِ وَنَافِخِ الْكِيرِ ، فَحَامِلُ الْمِسْكِ إِمَّا أَنْ يُحْذِيَكَ ، وَإِمَّا أَنْ تَبْتَاعَ مِنْهُ ، وَإِمَّا أَنْ تَجِدَ مِنْهُ رِيحًا طَيِّبَةً ، وَنَافِخُ الْكِيرِ إِمَّا أَنْ يُحْرِقَ ثِيَابَكَ ، وَإِمَّا أَنْ تَجِدَ رِيحًا خَبِيثَة 

“Telah menceritakan kepadaku Mūsa bin Ismail, telah menceritakan kepada kami Abdul Wahid, telah menceritakan kepada kami Abû Burdah bin Abdullah dia berkata : Aku mendengar Abû Burdah bin Abi Mûsa dari ayahnya ra berkata, Rasulullah saw bersabda :Permisalan teman yang baik dan teman yang buruk ibarat seorang penjual minyak wangi dan seorang pandai besi. Penjual minyak wangi mungkin akan memberimu minyak wangi, atau engkau bisa membeli minyak wangi darinya, dan kalaupun tidak, engkau tetap mendapatkan bau harum darinya. Sedangkan pandai besi, bisa jadi (percikan apinya) mengenai pakaianmu, dan kalaupun tidak engkau tetap mendapatkan bau asapnya yang tak sedap.” (HR. Bukhari ) 

Hadis ini juga diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam kitab Shahihnya (4/2026), terdapat pula dalam Shahih Ibnu Hibban (2/320) dan terdapat dalam kitab Kanzul amal fî sunan al-Aqwal wa al-Af’al (9/44). Menurut Su’aib al-Arnauth sanad hadis ini Shahih berdasarkan kriteria Bukhari dan Muslim, Nashiruddin al-Albani juga mengatakan bahwa hadis ini tergolong hadis Shahih sehingga bisa dijadikan hujjah (Silsilah al-Ahadis ash-Shohihah 7/26)

Takhrij Hadits

Hadits di atas diriwayatkan oleh al-Imam al-Bukhari  dalam ash-Shahih (no. 2101 dan 5534), Muslim t (8/37—38), Ibnu Hibban rahimahullah dalamShahih-nya, al-Baihaqi rahimahullah dalam Syu’abul Iman, dan Ahmad rahimahullah (4/404—405), semua melalui jalan Abu Burdah rahimahullah, dari Abu Musa rahimahullah, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam. Asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani rahimahullah menyebutkan jalan-jalan lain yang dapat dirujuk dalam kitab beliau, Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah, hadits no. 3214.

Perintah Untuk Mencari Teman yang Baik dan Menjauhi Teman yang Jelek

Allah Ta’ala berfirman,
 
وَكَيْفَ تَكْفُرُونَ وَأَنْتُمْ تُتْلَى عَلَيْكُمْ آَيَاتُ اللَّهِ وَفِيكُمْ رَسُولُهُ وَمَنْ يَعْتَصِمْ بِاللَّهِ فَقَدْ هُدِيَ إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ
 
“Bagaimana mungkin (tidak mungkin) kalian menjadi kafir, sedangkan ayat-ayat Allah dibacakan kepada kalian, dan Rasul-Nyapun berada ditengah-tengah kalian? Dan barangsiapa yang berpegang teguh kepada (agama) Allah maka sesungguhnya dia telah diberi petunjuk kepada jalan yang lurus.” (QS. Ali ‘Imran: 101).
Allah juga memerintahkan agar selalu bersama dengan orang-orang yang baik. Allah Ta’ala berfirman,
 
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَكُونُوا مَعَ الصَّادِقِينَ
 
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar(jujur).” (QS. At Taubah: 119).

Imam Muslim rahimahullah mencantumkan hadits di atas dalam Bab : Anjuran Untuk Berteman dengan Orang Shalih dan Menjauhi Teman yang Buruk”. Imam An Nawawi rahimahullah menjelaskan bahwa dalam hadits ini terdapat permisalan teman yang shalih dengan seorang penjual minyak wangi dan teman yang jelek dengan seorang pandai besi. Hadits ini juga menunjukkan keutamaan bergaul dengan teman shalih dan orang baik yang memiliki akhlak yang mulia, sikap wara’, ilmu, dan adab. Sekaligus juga terdapat larangan bergaul dengan orang yang buruk, ahli bid’ah, dan orang-orang yang mempunyai sikap tercela lainnya.” (Syarh Shahih Muslim 4/227)

Ibnu Hajar Al Asqalani rahimahullah mengatakan : “Hadits di ini menunjukkan larangan berteman dengan orang-orang yang dapat merusak agama maupun dunia kita. Hadits ini juga mendorong seseorang agar bergaul dengan orang-orang yang dapat memberikan manfaat dalam agama dan dunia.”( Fathul Bari 4/324)

Manfaat Berteman dengan Orang yang Baik

Hadits di atas mengandung faedah bahwa bergaul dengan teman yang baik akan mendapatkan dua kemungkinan yang kedua-duanya baik. Kita akan menjadi baik atau minimal kita akan memperoleh kebaikan dari yang dilakukan teman kita.

Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’adi rahimahullah menjelaskan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan permisalan pertemanan dengan dua contoh (yakni penjual minyak wangi dan seorang pandai besi). Bergaul bersama dengan teman yang shalih akan mendatangkan banyak kebaikan, seperti penjual minyak wangi yang akan memeberikan manfaat dengan bau harum minyak wangi. Bisa jadi dengan diberi hadiah olehnya, atau membeli darinya, atau minimal dengan duduk bersanding dengannya , engkau akan mendapat ketenangan dari bau harum minyak wangi tersebut. Kebaikan yang akan diperoleh seorang hamba yang berteman dengan orang yang shalih lebih banyak dan lebih utama daripada harumnya aroma minyak wangi. Dia akan mengajarkan kepadamu hal-hal yang bermanfaat bagi dunia dan agamamu. Dia juga akan memeberimu nasihat. Dia juga akan mengingatkan dari hal-hal yang membuatmu celaka. Di juga senantiasa memotivasi dirimu untuk mentaati Allah, berbakti kepada kedua orangtua, menyambung silaturahmi, dan bersabar dengan kekurangan dirimu. Dia juga mengajak untuk berakhlak mulia baik dalam perkataan, perbuatan, maupun bersikap. Sesungguhnya seseorang akan mengikuti sahabat atau teman dekatnya dalam tabiat dan perilakunya. Keduanya saling terikat satu sama lain, baik dalam kebaikan maupun dalam kondisi sebaliknya.

Jika kita tidak mendapatkan kebaikan-kebaikan di atas, masih ada manfaat lain yang penting jika berteman dengan orang yang shalih. Minimal diri kita akan tercegah dari perbuatan-perbuatn buruk dan maksiat. Teman yang shalih akan senantiasa menjaga dari maksiat, dan mengajak berlomba-lomba dalam kebaikan, serta meninggalkan kejelekan. Dia juga akan senantiasa menjagamu baik ketika bersamamu maupun tidak, dia juga akan memberimu manfaat dengan kecintaanya dan doanya kepadamu, baik ketika engkau masih hidup maupun setelah engkau tiada. Dia juga akan membantu menghilangkan kesulitanmu karena persahabatannya denganmu dan kecintaanya kepadamu. (Bahjatu Quluubil Abrar, 148)

Ibnul Qoyyim Al-Jauziyah  berkata: “Bergaul dengan orang sholih itu dapat menghalangimu dari enam perkara (dan membawamu) kepada enam perkara lainnya, yaitu:

(1) Dari keragu-raguan kepada keyakinan.
(2) Dari riya’ (suka pamer dan ingin dipuji) kepada ikhlas (karena Allah semata).
(3) Dari kelalaian kepada dzikrullah (selalu ingat kepada Allah).
(4) Dari sikap tamak terhadap dunia kepada semangat mengejar kehidupan akhirat.
(5) Dari kesombongan kepada sikap tawadhu’ (rendah diri).‎
(6) Dari niat yang buruk kepada nasehat (yang baik).

Memandangnya Saja Sudah Membuat Hati Tenang
Para ulama pun memiliki nasehat agar kita selalu dekat dengan orang sholih.
Al Fudhail bin ‘Iyadh berkata,
 
نَظْرُ المُؤْمِنِ إِلَى المُؤْمِنِ يَجْلُو القَلْبَ
 
“Pandangan seorang mukmin kepada mukmin yang lain akan mengilapkan hati." Maksud beliau adalah dengan hanya memandang orang sholih, hati seseorang bisa kembali tegar. Oleh karenanya, jika orang-orang sholih dahulu kurang semangat dan tidak tegar dalam ibadah, mereka pun mendatangi orang-orang sholih lainnya.
‘Abdullah bin Al Mubarok mengatakan, “Jika kami memandang Fudhail bin ‘Iyadh, kami akan semakin sedih dan merasa diri penuh kekurangan.”
Ja’far bin Sulaiman mengatakan, “Jika hati ini ternoda, maka kami segera pergi menuju Muhammad bin Waasi’.”
Ibnul Qayyim Al-Jauziyah mengisahkan, “Kami (murid-murid Ibnu Taimiyyah), jika kami ditimpa perasaan gundah gulana atau muncul dalam diri kami prasangka-prasangka buruk atau ketika kami merasakan sempit dalam menjalani hidup, kami segera mendatangi Ibnu Taimiyah untuk meminta nasehat. Maka dengan hanya memandang wajah beliau dan mendengarkan nasehat beliau serta merta hilang semua kegundahan yang kami rasakan dan berganti dengan perasaan lapang, tegar, yakin dan tenang”.‎

Kisah Thalq bin Habib rahimahullah

Nama ini tidak asing bagi para penuntut ilmu. Seorang pemuka tabi’in, Thalq bin Habib al-‘Anazi al-Bashri. Hadits-haditsnya diriwayatkan oleh al- Imam Muslim dalam ash-Shahih, Abu Dawud, at-Tirmidzi, an-Nasa’i, Ibnu Majah, dan lainnya ‎rahimahumullah. Tahukah Anda bahwa dahulu beliau terpengaruh dengan mazhab Khawarij yang mereka terjatuh pada pemahaman mengafirkan para pelaku dosa besar? Mereka berkeyakinan bahwa pelaku dosa besar, seperti orang yang bunuh diri, kekal di dalam neraka. Mereka pun tidak meyakini adanya syafaat untuk pelaku dosa besar sehingga dikeluarkan dari neraka.

Dalam sebuah perjalanan, ketika Thalq bin Habib bersama kawan-kawan sepemahaman melakukan perjalanan haji atau umrah, Allah Subhanahu wata’ala menyelamatkan Thalq dari paham takfir tatkala bermajelis dengan sahabat Jabir bin Abdillah ‎radhiyallahu ‘anhu, seorang ulama dari generasi sahabat, generasi terbaik umat ini.

Kisah beliau diriwayatkan oleh al – Imam Ahmad rahimahullah dalam al-Musnad. Dalam kisah tersebut Thalq bin Habib rahimahullah berkata,

كُنْتُ مِنْ أَشَدِّ النَّاسِ تَكْذِيبًا بِالشَّفَاعَةِ حَتَّى لَقِيتُ جَابِرَ بْنَ عَبْدِ اللهِ فَقَرَأْتُ عَلَيْهِ كُلَّ آيَةٍ ذَكَرَهَا اللهُ عَزَّ وَجَلَّ فِيهَا خُلُودُ أَهْلِ النَّارِ، فَقَالَ :  يَا طَلْقُ، أَتُرَاكَ أَقْرَأَ لِكِتَابِ اللهِ مِنِّي وَأَعْلَمَ بِسُنَّةِ رَسُولِ اللهِ, فَاتُّضِعْتُ لَهُ؟ فَقُلْتُ: لَا،  وَاللهِ، بَلْ أَنْتَ أَقْرَأُ لِكِتَابِ اللهِ مِنِّي وَأَعْلَمُ بِسُنَّتِهِ مِنِّي. قَالَ: فَإِنَّ الَّذِي قَرَأْتَ أَهْلُهَا هُمُ الْمُشْرِكُونَ، وَلَكِنْ قَوْمٌ أَصَابُوا ذُنُوبًا فَعُذِّبُوا بِهَا ثُمَّ أُخْرِجُوا، صُمَّتَا-وَأَهْوَى بِيَدَيْهِ إِلَى أُذُنَيْهِ-إِنْ لَمْ أَكُنْ سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ يَقُولُ يَخْرُجُونَ مِنْ النَّارِ؛ وَنَحْنُ نَقْرَأُ مَا تَقْرَأُ

Dahulu aku termasuk orang yang paling keras pengingkarannya terhadap adanya syafaat (yakni syafaat bagi pelaku dosa besar untuk keluar dari neraka, -pen.), hingga (Allah Subhanahu wata’alamudahkan) aku berjumpa dengan sahabat Jabir bin Abdillah z. Di hadapannya, aku bacakan semua ayat yang Allah Subhanahu wata’ala firmankan dalam al-Qur’an tentang kekekalan penghuni neraka (yakni Thalq memahami mereka yang sudah masuk neraka tidak mungkin mendapat syafaat untuk keluar termasuk pelaku dosa besar, -pen.). Seusai membacakan ayat-ayat tersebut Jabir berkata, “Wahai Thalq, apakah engkau menyangka dirimu lebih paham terhadap al-Qur’an dariku? Dan apakah engkau anggap dirimu lebih tahu tentang sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dariku?” Thalq menjawab, “Tidak demi Allah, bahkan engkau lebih paham terhadap Kitab Allah dan lebih mengetahui tentang sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam daripada aku.” Jabir berkata, “Wahai Thalq, sesungguhnya semua ayat yang engkau baca tentang (kekekalan ahli neraka) mereka adalah musyrikin (orang-orang yang mati dalam keadaan musyrik.) Akan tetapi (yang mendapatkan syafaat adalah) kaum yang melakukan dosa besar (dari kalangan muslimin) yang diazab di neraka, kemudian mereka dikeluarkan darinya.” Jabir lalu menunjuk kepada dua telinganya dan berkata, “Sungguh tuli kedua telinga ini jika aku tidak mendengar dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam sabda beliau, ‘Mereka (pelaku dosa besar) keluar dari neraka (setelah diazab),’ sedangkan kita membaca ayat-ayat al-Qur’an.”

Lihatlah manfaat besar ketika seorang duduk bersama ulama, duduk dengan seorang yang baik. Membuahkan faedah besar yang dipetik seumur hidup, bahkan sesudahnya. Thalq bin Habibrahimahullah diselamatkan dari pemahaman yang salah tentang pelaku dosa besar.‎

Dalam kisah Thalq bin Habib, ada sebuah faedah yang tidak ingin kita lewatkan. Faedah yang terulang, namun perlu selalu diingatkan, yaitu wajibnya kembali kepada para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dalam hal memahami al-Kitab dan as- Sunnah. Faedah itu ada dalam pertanyaan Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu dan jawaban Thalq bin Habib rahimahullah.

Jabir radhiyallahu ‘anhu berkata, “Wahai Thalq, apakah engkau menyangka dirimu lebih paham terhadap al-Qur’an dariku? Dan apakah engkau anggap dirimu lebih tahu tentang sunnah RasulullahShallallahu ‘alaihi wasallam dariku?” Thalq menjawab, “Tidak, demi Allah, bahkan engkau lebih paham terhadap Kitab Allah dan lebih mengetahui tentang sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam.”

Percakapan yang sangat indah. Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu mengingatkan kepada Thalq sebelum beliau menjelaskan syubhat (kerancuan) berpikir yang ada pada diri Thalq. Beliau ingatkan bahwa para sahabat adalah orang yang paling mengerti al-Kitab dan as-Sunnah. Ini pula yang disabdakan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam ketika beliau mengabarkan akan adanya perselisihan dan perpecahan umat di akhir zaman. Beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam membimbing umatnya untuk berpegang teguh dengan sunnah beliau dan sunnah al-Khulafaar-Rasyidin, serta memerintah mereka untuk mengikuti jalan sahabat, generasi terbaik yang telah diridhai oleh Allah Subhanahu wata’ala. Ketika Thalq menyadari hal itu dan mau mendengar perkataan Jabir, selamatlah beliau dari pemikiran Khawarij.‎

Mudharat Berteman dengan Orang yang Jelek

Sebaliknya, bergaul dengan teman yang buruk juga ada dua kemungkinan yang kedua-duanya buruk. Kita akan menjadi jelek atau kita akan ikut memperoleh kejelekan yang dilakukan teman kita. Syaikh As Sa’di rahimahulah juga menjelaskan bahwa berteman dengan teman yang buruk memberikan dampak yang sebaliknya. Orang yang bersifat jelek dapat mendatangkan bahaya bagi orang yang berteman dengannya, dapat mendatangkan keburukan dari segala aspek bagi orang yang bergaul bersamanya. Sungguh betapa banyak kaum yang hancur karena sebab keburukan-keburukan mereka, dan betapa banyak orang yang mengikuti sahabat-sahabat mereka menuju kehancuran, baik mereka sadari maupun tidak. Oleh karena itu, sungguh merupakan nikmat Allah yang paling besar bagi seorang hamba yang beriman yaitu Allah memberinya taufik berupa teman yang baik. Sebaliknya, hukuman bagi seorang hamba adalah Allah mengujinya dengan teman yang buruk. (Bahjatu Qulubil Abrar, 185)

Kebaikan Seseorang Bisa Dilihat Dari Temannya

Salah satu alat ukur yang bisa digunakan untuk menjast (memastikan) baik dan buruk perilaku seseorang adalah dari teman bergaulnya, sebagaimana sabda Rasulullah saw : 

أَخْبَرَنَا أَبُو بَكْرٍ مُحَمَّدُ بْنُ الْحَسَنِ بْنِ فُورَكٍ رَحِمَهُ اللهُ , ثنا عَبْدُ اللهِ بْنُ جَعْفَرٍ الْأَصْبَهَانِيُّ , ثنا يُونُسُ بْنُ حَبِيبٍ , ثنا أَبُو دَاوُدَ الطَّيَالِسِيُّ , ثنا زُهَيْرُ بْنُ مُحَمَّدٍ , أَخْبَرَنِي مُوسَى بْنُ وَرْدَانَ , عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ , قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ” الْمَرْءُ عَلَى دِينِ خَلِيلِهِ فَلْيَنْظُرْ أَحَدُكُمْ مَنْ يُخَالِلُ “ 

“Telah menceritakan kepada kami Abu Bakr Muhammad bin Hasan bin Fûrak ra, telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Ja’far al-Asbahaniy, telah menceritakan kepada kami Yûnus bin Jayyib, telah mencertikan kepada kami Abu Dāwud ath-Thoyalisi, telah menceritakan kepada kami Zuhair bin Muhammad, telah mengkhabarkan kepadaku Mûsa bin Wardān dari Abî Hurairah berkata : Rasulullah saw bersabda “Agama Seseorang sesuai dengan agama teman dekatnya. Hendaklah kalian melihat siapakah yang menjadi teman dekatnya.” (HR. at-Turmudzi) Hadis ini juga disebutkan oleh al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman (12/44) nomor. 8990. Imam Ahmad dalam Musnad Ahmad (4/299), terdapat pula dalam Mu’jam Ibnu Asākir (2/241). Imam Turmudzi menilai hadis ini adalah hadis hasan gharib, 

an-Nawawiy memberikan komentar bahwa sanad hadis ini shahih, Nashiruddin al-Albani menshahihkan hadis ini (Misykātul Mashabih. 3/87). 

Menurut Ibnu Taimiyah hadis ini tergolong hadis hasan sehingga bisa dijadikan hujjah (al-Imān li Ibni Taimiyah. Hlm,55).

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadikan teman sebagai patokan terhadapa baik dan buruknya agama seseorang. Oleh sebab itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kepada kita agar memilih teman dalam bergaul. Dalam sebuah hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

المرء على دين خليله فلينظر أحدكم من يخالل

“Agama Seseorang sesuai dengan agama teman dekatnya. Hendaklah kalian melihat siapakah yang menjadi teman dekatnya.” (HR. Abu Daud dan Tirmidzi, dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Silsilah Ash-Shahihah, no. 927)

Jangan Sampai Menyesal di Akhirat

Memilih teman yang jelek akan menyebakan rusak agama seseorang. Jangan sampai kita menyesal pada hari kiamat nanti karena pengaruh teman yang jelek sehingga tergelincir dari jalan kebenaran dan terjerumus dalam kemaksiatan. Renungkanlah firman Allah berikut :

وَيَوْمَ يَعَضُّ الظَّالِمُ عَلَى يَدَيْهِ يَقُولُ يَا لَيْتَنِي اتَّخَذْتُ مَعَ الرَّسُولِ سَبِيلاً يَا وَيْلَتَى لَيْتَنِي لَمْ أَتَّخِذْ فُلَاناً خَلِيلاً لَقَدْ أَضَلَّنِي عَنِ الذِّكْرِ بَعْدَ إِذْ جَاءنِي وَكَانَ الشَّيْطَانُ لِلْإِنسَانِ خَذُولاً

“ Dan ingatlah ketika orang-orang zalim menggigit kedua tanganya seraya berkata : “Aduhai kiranya aku dulu mengambil jalan bersama Rasul. Kecelakaan besar bagiku. Kiranya dulu aku tidak mengambil fulan sebagai teman akrabku. Sesungguhnya dia telah menyesatkan aku dari Al Qur’an sesudah Al Qur’an itu datang kepadaku. Dan setan itu tidak mau menolong manusia” (Al Furqan:27-29)

Lihatlah bagiamana Allah menggambarkan seseorang yang teah menjadikan orang-orang yang jelek sebagai teman-temannya di dunia sehingga di akhirat menyebabkan penyesalan yang sudah tidak berguna lagi.

Akhlak yang mulia adalah ukuran keimanan 

Ketika kita hendak memilih seseorang menjadi teman kita, secara umum, kita harus memilih teman yang benar-benar memberikan manfaat untuk kehidupan dunia dan akhirat – sebagaimana perkataan Ibnu Hajr dan an-Nawawiy- , terlepas dari keumuman hal tersebut ada kriteria penting (urgen) yang harus dimiliki teman tersebut, yaitu akhlak yang terpuji (mulia) karena akhak adalah cerminan dan tolak ukur keimanan seseorang, secara dhahir (eksplisit) keimanan seseorang dapat dilihat dari akhlak (tabi’at)nya dalam kehidupan sehari-hari, baik secara individu maupun sosial. Rasulullah saw menegaskan hal ini dalam sabdanya : 

حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ حَنْبَلٍ حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَمْرٍو عَنْ أَبِى سَلَمَةَ عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم-: « أَكْمَلُ الْمُؤْمِنِينَ إِيمَانًا أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا ». 

Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Hambal, telah menceritakan kepada kami yahya bin Sa’id dari Muhammad bin Amr dari Abi Salamah dari abu Hurairah berkata : Rasulullah saw bersabda : ” Orang mu’min yang paling sempurna imannya adalah orang mu’min yang paling baik akhlaknya diantara mereka” ( HR. Imam Ahmad ) Hadis ini juga diriwayatkan ole hath-Thahawiy dalam Syarhu Musykil Atsar (11/260), al-Baihaqiy dalam Syu’abul Iman (1/128), Sunan al-Kubra (10/192), ath-Thabrani dalam al-Mu’jam al-Ausath (4/356), Abu Dāwud dalam Sunannya (4/354), at-Turmudzi dalam Sunannya (3/466), ad-Dārimiy dalam Sunannya (2/415) dan Ibnu Hibban dalam Shohihnya (2/227). Menurut Syu’aib al-Arnauth dalam Shahih Ibnu Hibban sanad hadis ini hasan, Nashiruddin al-Albani menshahihkan hadis ini (Silsilah ash-Shohihah . 2/378) dan Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa hadis ini memenuhi standar shahih jadi bisa dijadikan hujjah (al-Imān li Ibni Taimiyah. Hlm,132). 

Jika dilihat dari sudut sejarah, ternyata salah satu faktor diutusnya Rasulullah saw adalah berkenaan dengan masalah akhlak, yang ketika itu penduduk (masyarakat) Arab memiliki perangai (akhlak) yang buruk, bahkan bisa dikatakan bejat tak bermoral, hal ini sebagaimana sabda Rasulullah saw : 

 حَدَّثَنَا سَعِيدُ بْنُ مَنْصُورٍ قَالَ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْعَزِيزِ بْنُ مُحَمَّدٍ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَجْلَانَ عَنْ الْقَعْقَاعِ بْنِ حُكَيمٍ عَنْ أَبِي صَالِحٍ عن أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّمَا بُعِثْتُ لِأُتَمِّمَ صَالِحَ الْأَخْلَاقِ. 

“Telah menceritakan kepada kami Sa’id bin Mansûr berkata, telah menceritakan kepada kami Abdul Aziz bin Muhammad dari Muhammad bin ‘Ajlan dari al-Qa’qai bin Hukaim dari Abi Shālih dari Abu Hurairah RA berkata : Rasulullah saw bersadda : “Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang baik”. (HR. Ahmad dan ditashih oleh Baihaqi menurut syarat Muslim).

Sifat Teman yang Baik

Ibnu Qudamah Al Maqdisi rahimahullah berkata :

وفى جملة، فينبغى أن يكون فيمن تؤثر صحبته خمس خصال : أن يكون عاقلاً حسن الخلق غير فاسق ولا مبتدع ولا حريص على الدنيا

“ Secara umum, hendaknya orang yang engkau pilih menjadi sahabat memiliki lima sifat berikut : orang yang berakal, memiliki akhlak yang baik, bukan orang fasik, bukan ahli bid’ah, dan bukan orang yang rakus dengan dunia” (Mukhtasar Minhajul Qashidin 2/36).

Kemudian beliau menjelaskan : “Akal merupakan modal utama. Tidak ada kebaikan berteman dengan orang yang bodoh. Karena orang yang bodoh, dia ingin menolongmu tapi justru dia malah mencelakakanmu. Yang dimaksud dengan orang yang berakal adalah orang yang memamahai segala sesuatu sesuai dengan hakekatnya, baik dirinya sendiri atau tatkala dia menjelaskan kepada orang ain. Teman yang baik juga harus memiliki akhlak yang mulia. Karena betapa banyak orang yang berakal dikuasai oleh rasa marah dan tunduk pada hawa nafsunya, sehingga tidak ada kebaikan berteman dengannya. Sedangkan orang yang fasik, dia tidak memiliki rasa takut kepada Allah. Orang yang tidak mempunyai rasa takut kepada Allah, tidak dapat dipercaya dan engkau tidak aman dari tipu dayanya. Sedangkan berteman denagn ahli bid’ah, dikhawatirkan dia akan mempengaruhimu dengan kejelekan bid’ahnya. (Mukhtashor Minhajul Qashidin, 2/ 36-37)‎

Hendaknya Orang Tua Memantau Pergaulan Anaknya

Kewajiban bagi orang tua adalah mendidik anak-anaknya. Termasuk dalam hal ini memantau pergaulan anak-anaknya. Betapa banyak anak yang sudah mendapat pendidikan yang bagus dari orang tuanya, namun dirusak oleh pergaulan yang buruk dari teman-temannya. Hendaknya orangtua memperhatikan lingkungan dan pergaulan anak-anaknya, karena setap orang tua adalah pemimpin bagi keluarganya, dan setiap pemimpin kan dimintai pertanggungjawaban terhadap apa yang dipimpinnya. AllahTa’ala juga berfirman :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَائِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُون

“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan “ (At Tahrim:6).

Kesimpulan

Inti (natijah) dari semua apa yang telah dipaparkan diatas adalah anjuran untuk selektif dalam memilih teman bergaul, karena besarnya efek dari pergaulan itu, jika salah dalam memilih, maka fatal pula akibatnya dan penyesalan tiada gunanya, oleh karena itu Islam sangat menganjurkan kita untuk selektif dalam memilih teman, sebisa mungkin pilihlah teman yang banyak memberikan manfaat dari pada teman yang memberikan madharat (keburukan). Karena orang yang memiliki sifat buruk dapat mendatangkan bahaya bagi orang yang berteman dengannya, dapat mendatangkan keburukan dari segala aspek bagi orang yang bergaul bersamanya. Sungguh betapa banyak kaum yang hancur karena sebab keburukan-keburukan mereka, dan betapa banyak orang yang mengikuti sahabat-sahabat mereka menuju kehancuran, baik mereka sadari maupun tidak.

Semoga Allah Ta’ala senantiasa menjaga kita dan keluaraga kita dari pengaruh teman-teman yang buruk dan mengumpulkan kita bersama teman-teman yang baik. Wallohul musta’an.‎

 

Persoalan Doa Iftitah Dan Berbagai Versinya


Pernah suatu ketika ada sahabat yang bertanya tentang mana yang benar dalam membaca doa Iftiftah. Sedangkan yang diketahui ada dua doa Iftiftah yang sering digunakan di masyarakat. Sehingga seorang sahabat tersebut bingung dalam menentukan pilihan. Dengan alasan-alasan yang cukup masuk akal karena di masyarakat Dia tumbuh subur organisasi keagamaan yang terkadang membuat opini tentang doa Iftiftah yang berhaluan organisasi maupun aliran.‎

Doa iftitah itu sesungguhnya bukan terbatas pada dua yang macam yang beredar di masyarakat, akan tetapi ada banyak sekali versinya. Yang penting, semua versi itu bersumber dari petunjuk nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wasallam. Sebab doa iftitah itu bagian dari rangkaian ibadah shalat, sedangkan shalat itu harus merujuk kepada yang dicontohkan oleh beliau Rosululloh Sholallohu 'alaihi Wasallam .

Doa Iftitah adalah doa yang dibaca ketika shalat, antara takbiratul ihram dan ta’awudz sebelum membaca surat Al Fatihah.

Hukum Membaca Doa Iftiftah

Hukum membacanya adalah sunnah. Diantaranya dalilnya adalah hadist dari Abu Hurairah:

كان رسول الله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إذا كبَّر في الصلاة؛ سكتَ هُنَيَّة قبل أن يقرأ. فقلت: يا رسول الله! بأبي أنت وأمي؛ أرأيت سكوتك بين التكبير والقراءة؛ ما تقول؟ قال: ” أقول: … ” فذكره

“Biasanya Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam setelah bertakbir ketika shalat, ia diam sejenak sebelum membaca ayat. Maka aku pun bertanya kepada beliau, wahai Rasulullah, kutebus engkau dengan ayah dan ibuku, aku melihatmu berdiam antara takbir dan bacaan ayat. Apa yang engkau baca ketika itu adalah:… (beliau menyebutkan doa iftiftah)” (Muttafaqun ‘alaih)

Setelah menyebut beberapa doa iftitah dalam kitab Al Adzkar, Imam An Nawawi berkata: “Ketahuilah bahwa semua doa-doa ini hukumnya ‎mustahabbah (sunnah) dalam shalat wajib maupun shalat sunnah” (Al Adzkar, 1/107).

Demikianlah pendapat jumhur ulama, kecuali Imam Malik rahimahullah. Beliau berpendapat, yang dibaca setelah ‎takbiratul ihram adalah الحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ العَالَمِينَ yaitu surat Al Fatihah. Tentu saja pendapat beliau ini tidak tepat karena bertentangan dengan banyak dalil.

Macam-macam Doa Iftitah

Ada beberapa macam jenis doa iftitah yang dibaca oleh Rasulullah Shallallahu ’alaihi Wasallam dan sahabatnya, berdasarkan riwayat-riwayat yang shahih.

Berikut ini macam-macam doa iftitah yang shahih, berdasarkan Hadits Nabi Shallallahu ’alaihi Wasallam:

Pertama

.وَجَّهْتُ وَجْهِيَ لِلَّذِيْ فَطَرَ السَّمَوَاتِ وَالاَرْضَ حَنِيْفًا مُسْلِمًا وَمَا أَنَا مِنَ الْمُشْرِكِيْنَ.إِنَّ صَلاَتِى وَنُسُكِى وَمَحْيَايَ 
وَمَمَاتِى لله رَبِّ الْعَالَمِيْنَ . لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَبِذَلِكَ أُمِرْتُ وَأَنَا مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ.

Saya hadapkan wajahku kepada Dzat yang menciptakan langit dan bumi dengan hanif/lurus dan berserah diri, dan tidaklah saya termasuk orang-orang yang menyekutukan Alloh swt. Sesungguhnya, sholatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah aku persembahkan untuk Alloh yang menguasai seluruh alam. Tidak ada sekutu bagi-Nya, dan yang demikian itu aku diperintahkan dan saya termasuk orang-orang yang berserah diri.”

Sebagaimana hadits dari ِAli bin Abi Thalib ra:

عَنْ عَلِيِّ ابْنِ أَبِى طَالِبٍ رَضِيَ الله عَنْهُ أَنَّ رَسُوْلَ الله صلى الله عليه وسلم كَانَ إِذَا ابْتَدَأَ الصَّلاَةَ الْمَكْتُوْبَةَ قَالَ: وَجَّهْتُ وَجْهِيَ لِلَّذِيْ فَطَرَ السَّمَوَاتِ وَالاَرْضَ حَنِيْفًا مُسْلِمًا وَمَا أَنَا مِنَ الْمُشْرِكِيْنَ . إِنَّ صَلاَتِى وَنُسُكِى وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِى لله رَبِّ الْعَالَمِيْنَ . لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَبِذَلِكَ أُمِرْتُ وَأَنَا مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ 

(رواه البيهقى :8/2

Dari Ali bin Abi Thalib ra bahwa Rasulullah saw biasa ketika memulai sholat wajib berkata:”Saya hadapkan wajahku kepada Dzat yang menciptakan langit dan bumi dengan hanif/lurus dan berserah diri, dan tidaklah saya termasuk orang-orang yang menyekutukan Alloh swt. Sesungguhnya, sholatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah aku persembahkan untuk Alloh yang menguasai seluruh alam. Tidak ada sekutu bagi-Nya, dan yang demikian itu aku diperintahkan dan saya termasuk orang-orang yang berserah diri.” (HR Al-Baihaqy II: 8

Namun ada juga riwayat Imam Muslim Dari Sayyidina Ali dengan di tambah Sayyidul Istighfar. Seperti dibawah ini

وَجَّهْتُ وَجْهِيَ لِلَّذِي فَطَرَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ حَنِيفًا، وَمَا أَنَا مِنَ الْمُشْرِكِينَ، إِنَّ صَلَاتِي، وَنُسُكِي، وَمَحْيَايَ، وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ، لَا شَرِيكَ لَهُ، وَبِذَلِكَ أُمِرْتُ وَأَنَا مِنَ الْمُسْلِمِينَ، اللهُمَّ أَنْتَ الْمَلِكُ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ أَنْتَ رَبِّي، وَأَنَا عَبْدُكَ، ظَلَمْتُ نَفْسِي، وَاعْتَرَفْتُ بِذَنْبِي، فَاغْفِرْ لِي ذُنُوبِي جَمِيعًا، إِنَّهُ لَا يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلَّا أَنْتَ، وَاهْدِنِي لِأَحْسَنِ الْأَخْلَاقِ لَا يَهْدِي لِأَحْسَنِهَا إِلَّا أَنْتَ، وَاصْرِفْ عَنِّي سَيِّئَهَا لَا يَصْرِفُ عَنِّي سَيِّئَهَا إِلَّا أَنْتَ، لَبَّيْكَ وَسَعْدَيْكَ وَالْخَيْرُ كُلُّهُ فِي يَدَيْكَ، وَالشَّرُّ لَيْسَ إِلَيْكَ، أَنَا بِكَ وَإِلَيْكَ، تَبَارَكْتَ وَتَعَالَيْتَ، أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوبُ إِلَيْكَ

“Aku hadapkan wajahku kepada Dzat yang Maha Pencipta langit dan bumi sebagai muslim yang ikhlas dan aku bukan termasuk orang yang musyrik. Sesungguhnya shalatku, sembelihanku, hidupku dan matiku, hanya semata-mata untuk Allah Rabb semesta alam. Tidak ada sekutu bagiNya. Oleh karena itu aku patuh kepada perintahNya, dan aku termasuk orang yang aku berserah diri. Ya Allah, Engkaulah Maha Penguasa. Tidak ada Ilah yang berhak disembah selain Engkau. Mahasuci Engkau dan Maha Terpuji. Engkaulah Tuhanku dan aku adalah hambaMu. Aku telah menzhalimi diriku sendiri dan akui dosa-dosaku. Karena itu ampunilah dosa-dosaku semuanya. Sesungguhnya tidak ada yang bisa mengampuni segala dosa melainkan Engkau. Tunjukilah aku akhlak yang paling terbaik. Tidak ada yang dapat menunjukkannya melainkan hanya Engkau. Jauhkanlah akhlak yang buruk dariku, karena sesungguhnya tidak ada yang sanggup menjauhkannya melainkan hanya Engkau. Aka aku patuhi segala perintah-Mu, dan akan aku tolong agama-Mu. Segala kebaikan berada di tangan-Mu. Sedangkan keburukan tidak datang dari Mu. Orang yang tidak tersesat hanyalah orang yang Engkau beri petunjuk. Aku berpegang teguh dengan-Mu dan kepada-Mu. Tidak ada keberhasilan dan jalan keluar kecuali dari Mu. Maha Suci Engkau dan Maha Tinggi. Kumohon ampunan dariMu dan aku bertobat kepadaMu” (HR. Muslim 2/185 – 186)

Doa ini biasa dibaca Rasulullah Shallallahu ’alaihi Wasallam dalam shalat fardhu dan shalat sunnah.

Kedua

اللَّهُمَّ بَاعِدْ بَيْنِي وَبَيْنَ خَطَايَايَ، كَمَا بَاعَدْتَ بَيْنَ المَشْرِقِ وَالمَغْرِبِ، اللَّهُمَّ نَقِّنِي مِنَ الخَطَايَا كَمَا يُنَقَّى الثَّوْبُ الأَبْيَضُ مِنَ الدَّنَسِ، اللَّهُمَّ اغْسِلْ خَطَايَايَ بِالْمَاءِ وَالثَّلْجِ وَالبَرَدِ

“Ya Allah, jauhkanlah antara aku dan kesalahanku sebagaimana Engkau telah menjauhkan antara timur dan barat. Ya Allah, sucikanlah kesalahanku sebagaimana pakaian yang putih disucikan dari kotoran. Ya Allah, cucilah kesalahanku dengan air, salju, dan air dingin” (HR.Bukhari 2/182, Muslim 2/98)

Sebagaimana hadits dari Abu Hurairah ra:

قَالَ أَبُوْ هُرَيْرَةُ كَانَ رَسُوْلُ الله صلى الله عليه وسلم يَسْكُتُ بَيْنَ التَّكْبِيْرِ وَبَيْنَ الْقِرَاءَةِ إِسْكاَتَةً . فَقُلْتُ بِأَبِى وَأُمِّى يَا رَسُوْلَ الله إِسْكَاتُكَ بَيْنَ التَّكْبِيْرِ وَالْقِرَاءَةِ مَا تَقُوْلُ قَالَ أَقُوْلُ : أَللَّهُمَّ بَاعِدْ بَيْنِى وَبَيْنَ خَطَايَايَ كَمَا بَا عَدْتَ بَيْنَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ . أَللَّهُمَّ نَقِّنِى مِنَ الْخَطَايَا كَمَا يُنَقَّى الثَّوْبُ اْلأَبْيَضُ مِنَ الدَّنَسِ. أَللَّهُمَّ اغْسِلْ خَطَايَايَ بِالْمَاءِ وَالثَّلْجِ وَالْبَرَدِ. 

(رواه البخاري :189/1

Abu Hurairah ra berkata :Adalah Rasulullah saw diam sebentar antara bacaan takbir dan bacaan al-fatihah. Aku bertanya:”Dengan nama bapak dan ibuku, ya Rasulullah! Selama anda diam sejenak antara takbir dan bacaan fatihah, apa yang anda baca?” Beliau saw menjawab:”Aku membaca:”Ya Alloh, jauhkanlah antaraku dan kesalahanku seperti jauhnya timur dan barat. Ya Alloh, sucikanlah aku dari kesalahanku, seperti halnya kain putih dibersihkan orang dari kotoran. Ya Alloh, bersihkanlah segala kesalahanku dengan air salju dan air dingin.” (HR Bukhari I:189) 

Doa ini biasa dibaca Rasulullah Shallallahu ’alaihi Wasallam dalam shalat fardhu. Doa ini adalah doa yang paling shahih diantara doa iftitah lainnya, sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Hajar dalam Fathul Baari (2/183).

Ketiga

اللَّهِ أَكْبَرُ وَجَّهْتُ وَجْهِيَ لِلَّذِي فَطَرَ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضَ حَنِيفًا مُسْلِمًا وَمَا أَنَا مِنَ الْمُشْرِكِينَ، إِنَّ صَلَاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ لَا شَرِيكَ لَهُ وَبِذَلِكَ أُمِرْتُ وَأَنَا أَوَّلُ الْمُسْلِمِينَ، اللَّهُمَّ أَنْتَ الْمَلِكُ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ سُبْحَانَكَ وَبِحَمْدِك

“Aku hadapkan wajahku kepada Dzat yang Maha Pencipta langit dan bumi sebagai muslim yang ikhlas dan aku bukan termasuk orang yang musyrik. Sesungguhnya shalatku, sembelihanku, hidupku dan matiku, hanya semata-mata untuk Allah Rabb semesta alam. Tidak ada sekutu bagi-Nya. Oleh karena itu aku patuh kepada perintahNya, dan aku termasuk orang yang aku berserah diri. Ya Allah, Engkaulah Maha Penguasa. Tidak ada Ilah yang berhak disembah selain Engkau. Mahasuci Engkau dan Maha Terpuji”. (HR. An Nasa-i, 1/143. Di shahihkan Al Albani dalam Sifatu Shalatin Nabi 1/251)

Keempat

إِنَّ صَلَاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ لَا شَرِيكَ لَهُ، وَبِذَلِكَ أُمِرْتُ وَأَنَا مِنَ الْمُسْلِمِينَ. اللَّهُمَّ اهْدِنِي لِأَحْسَنِ الْأَعْمَالِ وَأَحْسَنِ الْأَخْلَاقِ لَا يَهْدِي لِأَحْسَنِهَا إِلَّا أَنْتَ، وَقِنِي سَيِّئَ الْأَعْمَالِ وَسَيِّئَ الْأَخْلَاقِ لَا يَقِي سَيِّئَهَا إِلَّا أَنْتَ

“Sesungguhnya shalatku, sembelihanku, hidupku dan matiku, hanya semata-mata untuk Allah Rabb semesta alam. Tidak ada sekutu bagi-Nya. Oleh karena itu aku patuh kepada perintahNya, dan aku termasuk orang yang aku berserah diri. Ya Allah, tunjukilah aku amal dan akhlak yang terbaik. Tidak ada yang dapat menujukkanku kepadanya kecuali Engkau. Jauhkanlah aku dari amal dan akhlak yang buruk. Tidak ada yang dapat menjauhkanku darinya kecuali Engkau”. (HR. An Nasa-i 1/141, Ad Daruquthni 112)

Kelima

سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ تَبَارَكَ اسْمُكَ وَتَعَالَى جَدُّكَ وَلَا إِلَهَ غَيْرُكَ

“Maha suci Engkau, ya Allah. Ku sucikan nama-Mu dengan memuji-Mu. Nama-Mu penuh berkah. Maha tinggi Engkau. Tidak ilah yang berhak disembah selain Engkau” (HR.Abu Daud 1/124, An Nasa-i, 1/143, At Tirmidzi 2/9-10, Ad Darimi 1/282, Ibnu Maajah 1/268. Dari sahabat Abu Sa’id Al Khudri, dihasankan oleh Al Albani dalam Sifatu Shalatin Nabi1/252)‎

Sebagaimana hadits dari Aisyah ra :

عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ :كَانَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم إِذَا افْتَتَحَ الصَّلاَةَ قَالَ :سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ وَتَبَارَكَ اسْمُكَ وَتَعَالَى جَدُّكَ وَلاَ إِلَهَ غَيْرُكَ 

(رواه الترمذى وأبو داود وابن ماجه بأسانيد ضعيفة.شرح الترمذى :5/2 

Dari Aisyah ra berkata:”Adalah Nabi saw ketika memulai sholat membaca:”Maha Suci Engkau ya Alloh dan dengan pujian-Mu dan kesucian nama-Mu dan ketinggian dan kebesaran-Mu, dan tidak ada Tuhan selain Engkau.”(HR Tirmidzi, Abu Dawud, Ibnu Majah dengan sanad dhaif, Syarah Tirmidzi II:5)

Doa ini juga diriwayatkan dari sahabat lain secara marfu’, yaitu dari ‘Aisyah, Anas bin Malik dan Jabir Radhiallahu ’anhuma. Bahkan Imam Muslim membawakan riwayat :

أن عمر بن الخطاب كان يجهر بهؤلاء الكلمات يقول : سبحانك اللهم وبحمدك . تبارك اسمك وتعالى جدك . ولا إله غيرك

“Umar bin Khattab pernah menjahrkan doa ini (ketika shalat) : (lalu menyebut doa di atas)” (HR. Muslim no.399)

Demikianlah, doa ini banyak diamalkan oleh para sahabat Nabi, sehingga para ulama pun banyak yang lebih menyukai untuk mengamalkan doa ini dalam shalat. Selain itu doa ini cukup singkat dan sangat tepat bagi imam yang mengimami banyak orang yang kondisinya lemah, semisal anak-anak dan orang tua.

Keenam

سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ وَتَبَارَكَ اسْمُكَ، وَتَعَالَى جَدُّكَ، وَلَا إِلَهَ غَيْرَكَ

3x  لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ

3x  اللَّهُ أَكْبَرُ كَبِيرًا

“Maha suci Engkau, ya Allah. Ku sucikan nama-Mu dengan memuji-Mu. Nama-Mu penuh berkah. Maha tinggi Engkau. Tidak ilah yang berhak disembah selain Engkau, Tiada Tuhan yang berhak disembah selain Allah (3x), Allah Maha Besar (3x)” (HR.Abu Daud 1/124, dihasankan oleh Al Albani dalam Sifatu Shalatin Nabi 1/252)

Ketujuh

اللهُ أَكْبَرُ كَبِيرًا، وَالْحَمْدُ لِلَّهِ كَثِيرًا، وَسُبْحَانَ اللهِ بُكْرَةً وَأَصِيلًا

“Allah Maha Besar dengan segala kebesaran, segala puji bagi Allah dengan pujian yang banyak, Maha Suci Allah, baik waktu pagi dan petang” (HR. Muslim 2/99)‎


عَنْ عَبْدِ الله بْنِ عُمَرَ قَالَ: بَيْنَمَا نَحْنُ نُصَلِّى مَعَ رَسُوْلِ الله صلى الله عليه وسلم فَقَالَ رَجُلٌ مِنَ الْقَوْمِ : الله أَكْبَرُ كَبِيْرًا وَالْحَمْدُ لله كَثِيْرًا وَسُبْحَانَ الله بُكْرَةً وَأَصِيْلاً . فَقَالَ رَسُوْلُ الله صلى الله عليه وسلم مَنْ الْقَائِلُ كَلِمَةَ كَذَا وَكَذَا , فَقَالَ رَجُلٌ مِنَ الْقَوْلِ : أَنَا يَا رَسُوْلَ الله قَالَ: عَجِبْتُ لَهَا وَذَكَرَ كَلِمَةً مَعْنَاهَا فُتِحَتْ أَبْوَابُ السَّمَاءِ قَالَ ابْنُ عُمَرَ : مَا تَرَكْتُهُ مُنْذُ سَمِعْتُ رَسُوْلَ الله صلى الله عليه وسلم يَقُوْلُهُ 

(رواه النسائى :125/2

Dari Abdullah bin Umar ra berkata:”Suatu ketika kami melakukan sholat bersama Rasulullah saw, kemudian ada seorang laki-laki dari suatu kaum berkata:”Allohu Akbar Kabiiran wal-hamdulillaahi Katsiiran wa Subhaanallohi bukrotan wa Ashiilaa.” Maka Rasulullah saw bersabda:”Siapa yang mengucapkan kalimat ini dan itu.” Maka Laki-laki tadi berkata:”Saya ya Rasulullah!” Bersabda Rasulullah saw:”Saya kagum kepada kalimatnya dan kemudian Rasulullah menyebutkan makna kalimat tersebut’ dibukakan pintu-pintu langit’. Ibnu Umar berkata:”Saya tidak pernah meninggalkannya semenjak saya mendengar Rasulullah saw berkata demikian.”(HR An-Nasaiy II:125)

Kedelapan

الْحَمْدُ لِلَّهِ حَمْدًا كَثِيرًا طَيِّبًا مُبَارَكًا فِيهِ

“Segala puji bagi Allah dengan pujian yang banyak, pujian yang terbaik dan pujian yang penuh keberkahan di dalamnya” (HR. Muslim 2/99).

Hadits tersebut diriwayatkan oleh Anas bin Malik Radhiallahu ’anhu, ketika ada seorang lelaki yang membaca doa iftitah tersebut, Rasulullah ‎Shallallahu ’alaihi Wasallam bersabda:

لقد رأيت اثني عشر ملكاً يبتدرونها ؛ أيهم يرفعها

“Aku melihat dua belas malaikat‎ ‎bersegera menuju kepadanya. Mereka saling berlomba untuk mengangkat doa itu (kepada Allah Ta’ala)”

Kesembilan

اللَّهُمَّ لَكَ الحَمْدُ أَنْتَ قَيِّمُ السَّمَوَاتِ وَالأَرْضِ وَمَنْ فِيهِنَّ، وَلَكَ الحَمْدُ لَكَ مُلْكُ السَّمَوَاتِ وَالأَرْضِ وَمَنْ فِيهِنَّ، وَلَكَ الحَمْدُ أَنْتَ نُورُ السَّمَوَاتِ وَالأَرْضِ وَمَنْ فِيهِنَّ، وَلَكَ الحَمْدُ أَنْتَ مَلِكُ السَّمَوَاتِ وَالأَرْضِ، وَلَكَ الحَمْدُ أَنْتَ الحَقُّ وَوَعْدُكَ الحَقُّ، وَلِقَاؤُكَ حَقٌّ، وَقَوْلُكَ حَقٌّ، وَالجَنَّةُ حَقٌّ، وَالنَّارُ حَقٌّ، وَالنَّبِيُّونَ حَقٌّ، وَمُحَمَّدٌ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَقٌّ، وَالسَّاعَةُ حَقٌّ، اللَّهُمَّ لَكَ أَسْلَمْتُ، وَبِكَ آمَنْتُ، وَعَلَيْكَ تَوَكَّلْتُ، وَإِلَيْكَ أَنَبْتُ، وَبِكَ خَاصَمْتُ، وَإِلَيْكَ حَاكَمْتُ، فَاغْفِرْ لِي مَا قَدَّمْتُ وَمَا أَخَّرْتُ، وَمَا أَسْرَرْتُ وَمَا أَعْلَنْتُ، أَنْتَ المُقَدِّمُ، وَأَنْتَ المُؤَخِّرُ، لاَ إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ

“Ya Allah, segala puji bagi Engkau. Engkau pemelihara langit dan bumi serta orang-orang yang berada di dalamnya. Segala puji bagi Engkau. Engkau memiliki kerajaan langit, bumi dan siapa saja yang berada di dalamnya. Segala puji bagi Engkau. Engkau adalah cahaya bagi langit, bumi dan siapa saja yang berada di dalamnya. Segala puji bagi Engkau. Engkau Raja langit dan bumi dan Raja bagi siapa saja yang berada di dalamnya. Segala puji bagi Engkau. Engkaulah Al Haq. Janji-Mu pasti benar, firman-Mu pasti benar, pertemuan dengan-Mu pasti benar, firman-Mu pasti benar, surga itu benar adanya, neraka itu benar adanya, para nabi itu membawa kebenaran, dan Muhammad Shallallahu’alaihi Wasallam itu membawa kebenaran, hari kiamat itu benar adanya. Ya Allah, kepada-Mu lah aku berserah diri.Kepada-Mu lah aku beriman. Kepada-Mu lah aku bertawakal. Kepada-Mu lah aku bertaubat. Kepada-Mu lah aku mengadu. Dan kepada-Mu aku berhukum. Maka ampunilah dosa-dosaku. Baik yang telah aku lakukan maupun yang belum aku lakukan. Baik apa yang aku sembunyikan maupun yang aku nyatakan. Engkaulah Al Muqaddim dan Al Muakhir. Tiada Tuhan yang berhak disembah selain Engkau” (HR. Bukhari 2/3, 2/4, 11/99, 13/366 – 367, 13/399, Muslim 2/184)

Doa istiftah ini sering dibaca Rasulullah Shalallahu ’alaihi Wasallam ketika shalat malam. Namun tetap masyru’ juga dibaca pada shalat wajib dan shalat yang lain.

Kesepuluh

اللهُمَّ رَبَّ جَبْرَائِيلَ، وَمِيكَائِيلَ، وَإِسْرَافِيلَ، فَاطِرَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ، عَالِمَ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ، أَنْتَ تَحْكُمُ بَيْنَ عِبَادِكَ فِيمَا كَانُوا فِيهِ يَخْتَلِفُونَ، اهْدِنِي لِمَا اخْتُلِفَ فِيهِ مِنَ الْحَقِّ بِإِذْنِكَ، إِنَّكَ تَهْدِي مَنْ تَشَاءُ إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ

“Ya Allah, Rabb-nya malaikat Jibril, Mikail, dan Israfil. Pencipta langit dan bumi. Yang mengetahui hal ghaib dan juga nyata. Engkaulah hakim di antara hamba-hamba-Mu dalam hal-hal yang mereka perselisihkan. Tunjukkanlah aku kebenaran dalam apa yang diperselisihkan, dengan izin-Mu. Sesungguhnya Engkau memberi petunjuk menuju jalan yang lurus, kepada siapa saja yang Engkau kehendaki” (HR. Muslim 2/185)

Doa iftitah ini juga sering dibaca Rasulullah Shalallahu ’alaihi Wasallam ketika shalat malam. Namun tetap masyru’ juga dibaca pada shalat wajib dan shalat yang lain.

Kesebelas

10x الله اكبر
10x الحمد لله

10x لا اله الا الله

10x استغفر الله

10x اللهُمَّ اغْفِرْ لِي ،وَاهْدِنِي، وَارْزُقْنِي وَعَافِنِي

10x اللهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنَ الضِّيقِ يَوْمَ الْحِسَابِ

“Allah Maha Besar” 10x

“Segala pujian bagi Allah” 10x

“Tiada Tuhan yang berhak disembah kecuali Allah” 10x

“Aku memohon ampun kepada Allah” 10x

“Ya Allah, ampunilah aku, berilah aku petunjuk, berilah aku rizki, dan berilah aku kesehatan” 10x

“Ya Allah, aku berlindung dari kesempitan di hari kiamat” 10x

(HR. Ahmad 6/143, Ath Thabrani dalam Al Ausath 62/2. Dihasankan Al Albani dalam Sifatu Shalatin Nabi 1/267)

Kedua Belas

اللَّهُ أَكْبَرُ [ثلاثاً] ، ذُو الْمَلَكُوتِ، وَالْجَبَرُوتِ وَالْكِبْرِيَاءِ وَالْعَظَمَةِ

“Allah Maha Besar” 3x

“Yang memiliki kerajaan besar, kekuasaan, kebesaran, dan keagungan” (HR. Ath Thayalisi 56, Al Baihaqi 2/121 – 122)

Ketiga Belas ‎

. أَلله أَكْبَرُ كَبِيْرًا (3×) وَالْحَمْدُ لله كَثِيْرًا (3×) وَسُبْحَانَ الله بُكْرَةً وَأَصِيْلاً (3×) أَعُوْذُ بِالله مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ مِنْ نَفْخِهِ وَنَفْثِهِ وَهَمْزِهِ 

”Allohu Akbar (3 x), dan wal-Hamdulillahi Katsiiran (3x) , wa Subhaanallohi bukrotan wa Ashiilaa (3x) , A’uudzubillaahi minasy-syaithaanir-rajiim min-nafkhihi wa naftsihi wa hamzihi ( Artinya, Alloh Maha Besar (3x) ,Segala puji bagi Alloh dengan pujian yang banyak (3x), Maha Suci Alloh pada pagi dan sore hari (3x), aku berlindung kepada Alloh dari godaan syetan yang terkutuk, dan dari tiupannya, dari ludahannya dan dari dorongan/tekanannya.”‎

Sebagaimana hadits dari Ibnu Jabir bin Muth’am dari ayahnya:

عَنِ ابْنِ جُبَيْرٍ بْنِ مُطْعِمٍ عَنْ أَبِيْهِ أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم لَمَّا دَخَلَ فِى الصَّلاَةِ كَبَّرَ قَالَ: أَلله أَكْبَرُ كَبِيْرًا – قَالَهَا ثَلاَثًا-وَالْحَمْدُ لله كَثِيْرًا –قَالَهَا ثَلاَثًا- وَسُبْحَانَ الله بُكْرَةً وَأَصِيْلاً-قَالَهَا ثَلاَثًا- أَعُوْذُ بِالله مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ مِنْ نَفْخِهِ وَنَفْثِهِ وَهَمْزِهِ 

(رواه البيهقى :9/2

Dari Ibnu Jabir bin Muth’am dari ayahnya bahwa Nabi saw ketika masuk di dalam sholat, membaca takbir:”Allohu Akbar (3 x), dan wal-Hamdulillahi Katsiiran (3x) , wa Subhaanallohi bukrotan wa Ashiilaa (3x) , A’uudzubillaahi minasy-syaithaanir-rajiim min-nafkhihi wa naftsihi wa hamzihi ( Artinya, Alloh Maha Besar (3x) ,Segala puji bagi Alloh dengan pujian yang banyak (3x), Maha Suci Alloh pada pagi dan sore hari (3x), aku berlindung kepada Alloh dari godaan syetan yang terkutuk, dan dari tiupannya, dari ludahannya dan dari dorongan/tekanannya.” (HR Al-Baihaqy II:9)


Catatan: Al-Imam An-Nawawy membolehkan mengumpulkan beberapa riwayat dalam satu bacaan, dan Imam Ibnu Taimiyah membolehkan membaca salah satu bacaan dengan tidak mengkhususkan satu dan yang lain (suatu saat menggunakan salah satu riwayat bacaan ini dan suatu saat bacaan yang lain). 
Sebagaimana keterangan berikut.

-.فَيُسْتَحَبُّ الْجَمْعُ بَيْنَهَا كُلَِّهَا لِمَنْ صَلَّى مُنْفَرِدًا وَلِلإِمَامِ إِذَا أَذِنَ لَهُ الْمَأْمُوْمُوْنَ .

(ألاذكار:32

Maka disunnahkan mengumpulkan keduanya(semua), bagi orang yang sholat sendiri, dan bagi seorang Imam ketika mendapat idzin makmum.”(Al-Adzkar :32)

-. وَاخْتَارَ ابْنُ هُبَيْرَةَ وَالشَّيْخُ تَقِىُّ الدِّيْنِ جَمْعَهُمَا . وَاخْتَارَ الشَّيْخُ تَقِىُّ الدِّيْنِ أَيْضًا أَنَّهُ يَقُوْلُ هَذَا تَارَةً وَهَذَا أُخْرَى 

(الإنصاف :47/2

Dan Ibnu Hubairah dan Syekh Taqiyyudin memilih mengumpulkan keduanya. Syekh Taqiyyudin juga memilih, seseorang boleh membaca dengan satu riwayat pada suatu saat dan boleh membaca riwayat yang lain pada saat yang lain juga.” (Al-Anshaf II:47) 

Adab Membaca Doa Iftitah

Beberapa adab membaca doa iftitah dijelaskan oleh Imam An Nawawi dalam kitab Al Adzkar (1/107) :

Disunnahkan menggabung beberapa doa iftitah, dalam shalat yang sendirian. Atau juga bagi imam, bila diizinkan oleh makmum. Jika makmum tidak mengizinkan, maka jangan membaca doa yang terlalu panjang. Bahkan sebaiknya membaca yang singkat. 

Imam An Nawawi nampaknya mengisyaratkan hadits:
 
إذا أم أحدكم الناس فليخفف . فإن فيهم الصغير والكبير والضعيف والمريض . فإذا صلى وحده فليصل كيف شاء

“Jika seseorang menjadi imam, hendaknya ia ringankan shalatnya. Karena di barisan makmum terdapat anak kecil, orang tua, orang lemah, orang sakit. Adapun jika shalat sendirian, barulah shalat sesuai keinginannya” (HR.Muslim 467)

Jika datang sebagai makmum masbuk, tetap membaca doa Iftiftah. Kecuali jika sudah akan segera ruku’, dan khawatir tidak sempat membaca Al Fatihah. Jika demikian keadaannya, sebaiknya tidak perlu membaca istiftah, namun berusaha menyelesaikan membaca Al Fatihah. Karena membaca Al Fatihah itu rukun shalat.
Jika mendapati imam tidak sedang berdiri, misalnya sedang rukuk, atau duduk di antara dua sujud atau sedang sujud, maka makmum langsung mengikuti posisi imam dan membaca sebagaimana yang dibaca imam. Tidak perlu membaca doa Iftiftah  ketika itu.
Para ulama Syafi’iyyah berbeda pendapat mengenai anjuran membaca doa Iftiftah  ketika shalat jenazah. Menurut An Nawawi, yang lebih tepat adalah tidak perlu membacanya, karena shalat jenazah itu sudah selayaknya ringan.
Membaca doa Iftiftah  itu hukumnya sunnah, tidak wajib. Jika seseorang meninggalkannya, tidak perlu sujud sahwi.
Yang sesuai sunnah, doa Iftiftah  dibaca dengan sirr (lirih). Jika dibaca dengan jahr (keras) hukumnya makruh, namun tidak membatalkan shalat.
Demikian tulisan ringkas ini. Semoga bermanfaat.

والحمد لله رب العالمين، وصلى الله وسلم على نبينا محمد وعلى آله وصحبه أجمعين

 

Doa Nabi Sulaiman Menundukkan Hewan dan Jin

  Nabiyullah Sulaiman  'alaihissalam  (AS) merupakan Nabi dan Rasul pilihan Allah Ta'ala yang dikaruniai kerajaan yang tidak dimilik...