Selasa, 24 November 2020

Sejarah Kisah Peperangan Pati vs Mataram


Tingkat kebenaran sejarah tradisional nusantara versi babad memang banyak dipertanyakan namun karena minimnya sumber valid yang tersisa pada periode itu tetap saja ia “dielu-elukan”, misal tak kurang dari seorang H. J. De Graaf.

Sejarah tersebut pada umumnya didominasi oleh catatan penguasa (pemenang) tentang pergolakan di seputaran 3-A, yakni tahta, harta dan wanita ---bandingkan dengan 3-G (gold, glory and gospel)--- yang tidak jarang justru terjadi di antara kalangan dekat sendiri sehingga berbuah perang saudara dan berdampak pada munculnya catatan tulis ataupun lisan semacam legenda atau serat tandingan atau katakanlah “dendam budaya” yang tidak jarang dimanfaatkan oleh pemerintah kolonial untuk mempersedap praktek politik devide et impera-nya dan nuansanya masih terasa hingga sekarang. Dan, fenomena itu terjadi juga pada khasanah sejarah Pati (baca:Pathi) Jawa Tengah Indonesia.

Dalam versi babad, sejarah Pati beriring-erat dengan Mataram Islam (abad XVII) bahkan lahir dari rahim yang sama ---ada yang mengatakan beririsan pula dengan masa Majapahit (1293 hingga 1500 M)---, karenanya Pati-Mataram Islam (Ngayogyakarta dan Surakarta Hadiningkrat, sekarang) menorehkan catatan persaudaraan yang hangat, kerjasama politik-ekonomi-militer yang bermakna dan ironisnya diakhiri dengan perang saudara yang memilukan.
Sejarah kekuasaan Pati dimulai dari ketika Kerajaan Pajang yang dipimpin oleh Sultan Hadiwijaya sebagai kelanjutan dari Kerajaan Demak Bintara menghadapi tuntutan hak Harya Penangsang (Jipang-Bojonegoro) yang merasa paling legal sebagai pewaris tahta eks Kerajaan Demak itu, meski dalam prakteknya diskursus hak ini debateble. Sultan Hadi Widjoyo bermaksud mempertahankannya dan terjadilah perang. Untuk memadamkan “pemberontakan” ini Sultan Hadiwijaya medeklarasikan sayembara bahwa siapa yang bisa membunuh Harya Penangsang akan diberi hadiah.

Dan, majulah para tamtama Pajang yang berasal dari Selo Grobogan, yakni Kyai Penjawi dan Kyai Pemanahan serta Ki Juru Martani  sebagai pengatur strategi dengan menggunakan seorang bocah Danang Sutawijaya sebagai eksekutornya. Atas keberhasilan itu mereka berdua diberi hadiah alas (hutan) mentaok (mataram) dan bumi Pati. Pemanahan memilih alas mentaok plus harta kekayaan dari nadzar Ratu Kalinyamat karena terbalasnya kematian suaminya oleh Harya Penangsang dan direalisir menjadi Kadipaten Mataram di bawah Kerajaan Pajang.

Sementara itu, Penjawi mendapatkan bumi Pati yang saat itu sudah merupakan kota dengan jumlah penduduk 10.000 jiwa, menjadi Kadipaten Pati juga di bawah Kerajaan Pajang. Sebagai catatan: oleh karena dari rahim kelahiran yang sama inilah dalam perkembangan hubungan Pati-Mataram ---meskipun kenyataannya Mataram pada akhirnya justru mencaplok Pajang sebagai Bapak kandungnya--- pihak Pati selalu berpendirian bahwa antara Mataram dan Pati secara politik sederajad yang notabene pendirian ini dipertahankannya hingga titik darah penghabisan.

Awalnya, Kadipaten Pati-Mataram di bawah Kerajaan Pajang hidup rukun karena setara dan bersaudara (adik-kakak). Namun setelah Mataram yang bercorak politik luar negeri ekspansionis dan dalam perkembangannya mampu melumat Kerajaan Pajang yang atasannya itu rupan-rupanya mulai memandang sebelah mata terhadap Pati. Logikanya barangkali adalah karena Pati merupakan bawahan Pajang dan semenjak Pajang takluk oleh Mataram, maka otomatis Pati ialah bawahan Mataram.

Penguasa Mataram setelah Panembahan Senopati wafat pada tahun 1601 M, di ganti oleh putranya Mas Jolang atau Sultan Anyakrawati kelak terkenal sebutan Sultan Seda Krapyak. Kemudian setelah Sultan Anyakrawati meninggal di ganti oleh putranya yaitu Raden Mas Anyokrokusuma. Cucu Panembahan Senopati ini menjadi Raja Mataram sangat terkenal tahun 1613 – 1645 M.

Penguasa di Kadipaten pati jiga mengalami perubahan. Setelah Adipati Pragola I wafat karena usia tua, kekuasaan diserahkan putranya yaitu Adipati Pragola II. Cucu Ki Ageng Penjawi ini memerintah Kadipaten Pati dengan arif bijaksana sehingga rakyatnya merasa aman sejahtera.

Adipati Pragola II (wasis Djoyo Kusumo) mempunyai istri bernama Raden Ajeng Tulak atau Ratu Mas Sekar yg merupakan Adik Sultan Agung.
Adipati Pragola II adalah adik ipar Sultan Agung Anyokrokusuma yang sama-sama merupakan keturunan Prabu Brawijaya Raja Majapahit.

Adipati Pragola II dalam nenjalankan roda pemerintahan di Kadipaten Pati mendapat dukungan penuh dari enam tumenggung. Ke enam tumenggung tersebut yaitu, Tumenggung Mangunjaya, Adipati Kenduruan, Tumenggung Ramananggala, Tumenggung Tohpati, Adipati Sawunggaling, dan Tumenggung Sindurejo. Mereka telah bersumpah setia untuk membela buni Pati hingga titik darah penghabisan.

Awal perselisihan dan adudomba

Ketika Mataram sedang memusatkan perhatian menyusun kekuatan untuk menggempur daerah Surabaya, Adipati Pragola II berselisih dengan pembesar di Jepara. Perselisihan tersebut hingga memuncak dan sang Adipati Pragola mengirim ke enam Tumenggung ke Jepara untuk menyelesaikannya. Keesokan harinya dengan seribu prajurit tempat kediaman penguasa Jepara di porakporandakan hingga rata dengan tanah.

Patih Jepara Ki Laksamana marah atas peristiwa tersebut dan pergi melapor ke penguasa Mataram. Ki Laksamana sampai di Mataram di terima oleh Tumenggung Endranata. Patih Ki Laksana melapor bahwa Adipati Pragola Pati akan memberontak Mataram.

Pada pisowahan agung di kerajaan Mataram, yg bersamaan dengan hari raya, dihadiri oleh para punggawa kerajaan dan para pimpinan antara lain dari Bagelan, Grobogan, Kudus, Kalinyamat, Demak, dan Lasem.

Satu-satunya yg tidak hadir adalah Adipati Pragola II dari Kadipaten Pati. Ketidak hadiran Adipati Pragola II dalam pisowahan karena alasan yg sama seperti Adipati Pragola I ayahnya,yang beranggapan bahwa Pati dan Mataram itu sedrajat.

Mengetahui adik iparnya tidak hadir Sultan Agung marah besar dan menanyakan pada raden Purbaya,belum sempat menjawab sudah di dahului oleh Tumenggung Endranata, bahwa Adipati Pragola II akan memberontak Mataram, bahkan Adipati Pragola II sudah menginventasisasi berbagai senjata untuk menggulingkan Raja Mataram. 

Laporan ini membuat Raja Mataram hati-hati sehingga ia mengirimkan telik sandi ke Pati, untuk mengetahui sepak terjang Adipati Joyo Kusumo, laporan yang diterima sesuai dengan apa yang pernah dilaporkan istri Kyai Demang bahwa Pati sedang menyusun kekuatan. Raja Mataram segera mengirimkan pasukan ke Pati. Pasukan ini sebenarnya akan dipersiapkan untuk melawan Surabaya. konsentrasi Mataram sedang disibukan dengan penumpasan Surabaya.. Tapi dialihkan menuju ke wilayah Pati guna mencegah terjadinya pemberontakan di wilayah tersebut.

Perang saudara ini bisa dicegah dengan mengadakan perkawinan politik antara anak Sultan Agung dengan anak Joyo Kusumo, dan ini sangat efektif untuk meredam pemberontakan di Wilayah Pati. Pasukan Mataram kemudian dialihkan kembali ke penyerangan Surabaya Disamping itu juga untuk mencegah terjadinya pemberontakan wilayah, Pati salah satu kekuatan yang menjadi perhitungan politik Sultan Agung, sehingga harus dipertahankan supaya tetap mendukung Mataram.

Adi pati Joyo Kusumo gagah berani tampil sebagai pemimpin wilayah Pantai, mereka mengumpulkan Penguasa Utara di Juana. Bahkan ketika pengirimin pasukan untuk menyerang Surabaya ia menjadi panglimanya menggantikan Adipati Sujanapura yang gugur dalam pertempuran. Adipati Joyo Kusumo juga ikut dalam menumpas Pemberontakan Tuban. ‎bersama Lasem bahu membahu untuk menundukan kekuatan dan strategi perang Tuban dengan besar-besaran,. sedangkan palimanya Adipati Martoloyo lebih senang menunggu musuh daripada menyerang dahuluan. Joyo Kusumo juga pernah menjadi ‎panglima yang gagah berani. Ia bahu membahu dengan pasukan Tumenggung Alap-alap

Setelah penyerangan Surabaya selesai, penarikan pasukan kembali ke wilayahnya masing-masing. Temenggung Endranata mulai kasak-kusuk di dalam Keraton Mataram, ia menterjemahkan mimpi Sultan Agung, tentang kedatangan seorang berbaju putih yang mengharuskan menyingkirkan empat orang terkemuka yang dapat menjadi duri dalam daging di Mataram. Temenggung Endratara membisikan siapa saja yang menjadi penghalang Sultan Agung.

Adipati endranata melemparkan isyu bahwa Pati akan mengadakan penyerangan terhadap Mataram.. Pargola memperluas wilayahnya dengan mengangkat enam Bupati MangunJaya, Kanduruwan,Raja Menggala, Toh Pati, Sawunggaling dan Sindurejo. Mereka ia bersumpah sampai titik darah penghabisan

Kisah awal peperangan

Raja Sultan Agung memanggil beberapa adipati menghadap ke Mataram, Raja menanyakan kenapa Adipati Pragola tidak menghadap. Temenggung Endranata menerangkan bahwa Pati tengah menyusun kekuatan dengan penguasa-penguasa pantai utara, kecuali Demak yang masih setia kepada Mataram, hal ini membuat murka Sultan Agung.

Akhirnya Sultan Agung memutuskan Pati di serbu. Pati diserbu dari tiga penjuru, yaitu arah timur, selatan dan barat. Ratusan ribu prajurit Mataram dikerahkan untuk menghancurkan Pati. Kadipaten Pati memang dianggap oleh Sultan Agung yg paling kuat karena satu-satunya wilayah yg belum terkalahkan.
 
Persiapan dilakukan mulai dari penunjukan para pimpinan, persenjataan, dan perbekalan selama perang. Sebagai Senapati Mataram untuk menyerang Pati ditunjuk Tumenggung Alap-alap. 

Raja mengatur pasukan sebelah kanan yang dipimpin Adipati Martoloyo membawai pasukan Mancanegara, pasukan ini bermukim di Pekuwon Juwana bagian timur.

Pasukan Mataram dari arah selatan dipimpin oleh Pangeran Madura yg membawahi prajurit Kedu, Begalan dan Pamijen, pasukan ini mendirikan tenda-tenda perkemahan di kaki Gunung Kendeng sekitar daerah Cengkalsewu sebelah selatan Pati.

Pasukan dari arah barat dipimpin oleh Pangeran Sumedang (Rangga Gempol) yang membawahi pasukan khusus berkuda,pasukan ini mendirikan barak di sekitar wilayah Matraman Margorejo sebelah barat Pati.

Terakhir keluarga Raja yang memimpin pasukan-pasukan Pamejagan mataram. Pengawal pribadi terdiri dari 2.000 prajurit semua kapendak yang ada diantara mereka harus mengikuti raja.

Pasukan mengepung melewati Pajang dan Taji sehingga banyak penduduk berlarian menuju ke Kota Pati. Kadipaten Pati dikepung prajurit dari segala penjuru, pasukan telik sandi Pati melaporkan bahwa ada gerakan dari pasukan menuju Pati yang dipimpin langsung oleh Sultan Agung. 

Adipati Pati mengumpulkan rakyatnya yang masih setia untuk berkumpul menyelenggarakan pesta. Untuk pengikutnya yang setia sebab esok akan mengadakan pertempuran habis-habisan.

Jalannya Peperangan

Adipati Pragola II mengetahui wilayah Pati sudah di kepung rapat oleh pasukan musuh.,ia tetap tegar dan tidak akan mundur selangkah pun. Apalagi seluruh rakyat Pati mendukung untuk mempertahankan kedaulatan rakyat Pati hingga titik darah penghabisan. Semua prajurit Kadipaten Pati sudah siap siaga menempati pos-pos pertahanan yg sudah ditentukan. Para punggawa Kadipaten Pati juga tidak tinggal diam, mereka memimpin laskar andalan yg terdiri dari prajurit-prajurit terlatih.

Pasukan Pati mengenakan pakaian yang sama hitam-hitam, sedangkan rakyat berpakaian seadanya. Mereka berkumpul menunggu Adipati Pragola yang sedang siap-siap, ia mandi, mengenakan baju yang sangat bagus, melengkapi diri dengan pakaian-pakain pusaka (Kere Wojo), dan jimat pusaka.

Adipati Pati bersama pasukannya menuju sector kanan, Serangan Pati ditujukan pada sayap kanan pasukan Mataram yang berada dibawah pimpinan Matralaya, dalam pasukan itu juga ada Adipati Endranata berada. Pihak Mataram mengalami kekalahan besar, dihajar dengan pasukanPati dengan kekuatan penuh, sehingga pasukan Mataram ditarik mundur sampai daerah perbatasan. Sisa-sisa Pasukan Mataram kocar-kacir menyelamatkan diri, misalnya Raja Niti, Mangun Oneng dan Kertajaya. Mataram lari ke Kunduruan, Pasukan Mataram meminta pertimbangan dengan Eyang Kunduruan agar membantu pasukan Mataram, namun Eyang tidak mau sehingga terjadi penyerbuan di kenduruan. Eyang Kunduruan telah siap dengan pasukan penuh ditambah Pasukan dari Adipati Pati. Mereka bahu-membahu memukul Pasukan Mataram, Pasukan Eyang Kunduruan mengusir Pasukan Mataram sampai di luar desa.

Melihat kemenangan di tangan Adipati Pati Pragola, dalam pertempuran ini Temenggung Endranata melarikan diri dan membelot ke Pasukan Pati. Juga pusat dan sayap kiri pasukan Mataram menderita kerugian besar, Pasukan Sawung Galing berhasil memporakporandakan pasukan inti Mataram, sehingga hanya keluarga Raja dengan 2000 pengawal yang masih bertahan.

Adipati Pragola mengobrak-abrik strategi Kalajengking, dia menyerang Pasukan tengah menuju ke arah Susuhunan. Pasukan Temenggung Singanaru dihajar habis-habisan sehingga seluruh anak buahnya tewas, Temenggung Singanaru berlari menyelamatkan diri, ia kehilangan seluruh anak buahnya, sehingga menimbulkan keadaan darurat.

Pasukan Adipati Pati terlena, setelah memenangkan pertarungan, sehingga dia menarik pasukan Pati kembali ke markasnya, pengejaran terhadap Pasukan Mataram hanya sampai di tapal batas saja. Mereka tidak mengejar lagi karena menduga sisa Pasukan Mataram kembali ke Mataram.

Raja Mataram memerintahkan mundur semua pasukan, untuk menyusun kembali Pasukan Mataram yang tersisa. Banyak Pasukan Mataram yang kocar-kacir kehilangan induk semangnya. Sultan Mataram memerintahkan Pasukan Mataram yang ada di tiga sector, sayap kanan, kiri dan tengah untuk tidak melakukan serangan, ditahan dulu pasukannya menunggu komando berikutnya.

Raja Mataram di dalam hutan, mengumpulkan para pemimpin pasukan untuk mengkaji ulang strategi perang, dan untuk menemukan stategi baru untuk menundukan Pati. kemudian memukul gong pusaka Kiai Bicak, tetapi tidak berbunyi. Ia kehilangan semangat dan berdoa kepada Allah, setelah itu gong berbunyi lagi dengan suara nyaring, ini menggobarkan semangat para prajurit Mataram, yang tadinya sudah mundur. Sekarang mereka maju lagi untuk bertempur.

Sisa Pasukan Mataram yang bertahan ditapal batas, dan pasukan yang masih di hutan Jepara, Purwodadi, Kudus bergabung kembali dengan Pasukan Sultan Mataram, setelah telik sandi menginstruksikan untuk segera merapat dan bertemu dengan pasukan Sultan Mataram, sambil menunggu bantuan dari Kerajaan Mataram yang akan menyerbu Surabaya, untuk dialihkan dahulu membantu Pasukan Mataram yang mau menyerang Pati.

Meskipun demikian, Adipati Pragola masih yakin akan kemenangannya. Ia mengadakan pembunuhan besar-besaran pada pihak Mataram. Raja Mataram segera mengirim pasukan tambahan danmengarahkan pengawal dan keluarganya, yang dipimpin oleh Pangeran Purbaya dan keluarganya. Mereka merapat bergabung dengan sisa pasukan Mataram dengan menggunakan strategi kombinasi, mengecoh pertahanan Pati. Pasukan Mataram bergerak melawan Adipati Kunduruan di daerah Selatan, Prawirataruna, Temenggung Toh Pati dan Tumenggung Mangunjaya bertahan di arah timur, Tumenggung Sindurejo dan Raja Menggala bertahan di sector Barat melawan gempuran Pasukan Tumenggung Alap-alap. sedangkan Pasukan Tumenggung Sawunggaling kocar-kacir melawan pasukan inti, ia tertangkap Pasukan Mataram dan di ekskusi ditempat.

Meskipun demikian, Adipati Pragola dengan semangat menyala-nyala maju ke depan, tetapi Raja Mataram menyerahkan tombak Kiyai Baru kepada Lurah Kapedak, Naya Derma. Tepat ketika raja sekali lagi memukul gongnya Naya Derma menusuk Pragola sehingga mengakibatkan luka ringan sebelah kiri. Pargola jatuh dari kudanya kemudian ia bangkit, dan memacu kudanya keluar dari kepungan Pasukan Mataram. Dia berlari untuk merawat lukanya, ditengah jalan kudanya berhenti dan Sang Adipati  Wafat di Sendang Sani pada hari Jum’at Wage tanggal 4 Oktober 1627 M. . Mendengar Adipati Pragola wafat. Temenggung Endranata dan pasukannya membelot, menganggap ini suatu alasan untuk kembali ke Pasukan Mataram. Semua pasukan Pati dimusnahkan, juga mereka yang ditangkap hidup lebih suka memilih mati.

Raja memerintahkan agar jenazah Pragola ditegakan dan jimat-jimatnya diambil. Melihat percikan darah pada Kiai Baru, raja mengerti bahwa adiknya terbunuh dengan senjata itu.

Sementera itu Tumenggung Mangunjaya melarikan diri ke dalam istana dan menyampaikan berita kekalahan kepada para wanita disana juga kepada empat menteri jaga : Sura Prameya, Rangga Jaladra, Sura Antaka dan Pengalasan. Mereka bertempur terus sampai mati dengan 200 prajurit yang masih ada. Ini dilakukan dialun-alun, hanya Mangunjaya yang membawa berita kekalahan kepada para wanita, mereka cepat berlari meninggalkan Kadipaten Pati menuju ke Gunung Prawata. Melalui pintu belakang bersama putra mahkota yang masih muda.

Temenggung Alap-alap dengan beberapa pasukannya mengobrak-abrik Pasukan Pati, mereka memporakporandakan istana dan menguras habis istana bersama dengan pengikut-pengikutnya, kekayaannya dirampas dan rumahnya dibakar diratakan dengan tanah. ia memerintahkan untuk membawa para wanita ke Mataram.

Sultan Mataram bertemu dengan adiknya yang juga istri Pragola, ia bertanya kenapa Pati harus memberontak terhadap Mataram, janda Pragola menceritakan bahwa Sultan Mataram dan Pragola Pati diadu domba oleh Adipati Endranata. Raja Mataram marah besar, sehingga ia memerintahkan Martalulut dan Singanegara untuk membunuh Adipati Endranata dan dipertontonkan ususnya di Pasar Gede.
Adipati Pragolo Djoyo Kusumo sebagai tokoh Pahlawan Sejati Korban Fitnah dari pejabat yang Lalim.
Adipati Pragola II rela berkorban hingga titik darah penghabisan, Adipati gugur di medan perang untuk mempertahankan wilayah dan kedaulatan negeri Pati. Namanya harum dikenang dan diagungkan oleh masyarakat Pati.
Tentu saja, tewasnya Adipati junjungannya yang berarti kehancuran Kadipaten Pati dapat dimaklumi secara psikologis membawa luka yang mendalam bagi rakyatnya. Mulai saat itu hingga sekarang sebagai tanda peringatan atas naasnya Adipati Pragola II yang sangat dihormatinya itu hari Jumat Wage menjadi hari yang disakralkan oleh (sebagian) orang-orang Pati.‎

 

Sejarah Pangeran Karangkendal


Syekh Magelung Sakti alias Syarif Syam alias Pangeran Soka alias Pangeran Karangkendal. Konon Syekh Magelung Sakti berasal dari negeri Syam (Syria), hingga kemudian dikenal sebagai Syarif Syam. Namun, ada pula yang berpendapat bahwa ia berasal dari negeri Yaman.

Syarif Syam memiliki rambut yang sangat panjang, rambutnya sendiri panjangnya hingga menyentuh tanah, oleh karenanya ia lebih sering mengikat rambutnya (gelung). Sehingga kemudian ia lebih dikenal sebagai Syekh Magelung (Syekh dengan rambut yang tergelung).

Mengapa ia memiliki rambut yang sangat panjang ialah karena rambutnya tidak bisa dipotong dengan apapun dan oleh siapapun. Karenanya, kemudian ia berkelana dari satu tempat ke tempat lain untuk mencari siapa yang sanggup untuk memotong rambut panjangnya itu. Jika ia berhasil menemukannya, orang tersebut akan diangkat sebagai gurunya. Hingga akhirnya ia tiba di Tanah Jawa, tepatnya di Cirebon.

Muhammad Arifin Syam adalah putra dari kepala bagian pembesar istana dibawah kekuasaan Raja Hut Mesir, beliau sejak bayi telah ditinggalkan oleh ayah bundanya kehadirat Allah SWT, dan akhirnya dibesarkan oleh seorang muslim yang taat, disalah satu kota terpencil bagian negara Syam.

Nama Arifin Syam sendiri diambil dari kota dimana beliau dibesarkan kala itu yaitu Negara Syam. Dalam keumuman manusia seusianya, Arifin Syam dikenal sangat pendiam namun pintar dalam segi bahasa bahkan saking pintarnya beliau sudah terkenal sejak usia 7 tahun dengan panggilan sufistik kecil dikalangan guru dan pendidik lainnya. Karena pintar inilah beliau banyak diperebutkan kalangan guru besar diseluruh negara bagian Timur Tengah, dan sejak usia 11 tahun beliau telah menempatkan posisinya sebagai pengajar termuda diberbagai tempat ternama sepeti : Madinah, Mekkah, Istana Raja Mesir, Masjidil Aqso Palestina dan berbagai tempat ternama lainnya.

Namun dalam kepribadiannya, beliau banyak dihujat oleh ulama fukkoha, dikarenakan rambutnya yang semakin hari semakin memanjang tidak terurus, sehingga dalam pandangan para ahlul fikokkha, Srifin Syam terkesan bukan sebagai seorang pelajar religius yang mengedepankan makna tatakrama seorang sufistik agung.

Hal semacam ini bukan karena Arifin Syam tidak mau mencukur rambutnya yang lambat laun jatuh ke tanah, namun beliau sediri sudah ratusan kali beriktiar kebelahan dunia untuk mencari orang sakti yang benar-benar mampu memotonga rambutnya, pasalnya sejak dilahirkan ke alam dunia, rambut Arifin Syam sudah tidak bisa dipotong oleh sejenis benda tajam maupun alat lainnya dan kisah ini berlanjut hingga beliau berusia 40 tahun. 

di usia 30 tahun beliau diambil oleh Istana Mesir dan menjadi panglima perang dalam mengalahkan pasukan Romawi dan Tartar, dan dari sinilah nama beliau mulai mashur dikalangan masyarakat luas sebagai panglima perang tersakti diantara panglima perang sebelumnya. sebab keumuman seorang panglima kala itu bisa dilihat dari strategi perangnya dan juga kelihaiannya dalam memainkan pedang, panah maupun tombak dikancah peperangan, namun lain dengan Arifin Syam, yang kini sudah bergelar dengan nama Panglima Mohammad Syam Magelung Sakti, beliau acap kali tidak membawa pedang maupun tombak dalam memimpin pasukannya, namun beliau selalu menebaskan rambutnya yang seperti kawat baja disetiap menghadapi ribuan pasukan musuh sehingga dengan kesaktian rambutnya pula membuat pasukan musuh pontang panting.

Kisah kesaktian rambutnya mulai mashur di usia 32 tahun dan pada usia 34 tahun beliau bertemu secara yakodho / lahir dengan Nabiyullah Hidir AS yang mengharuskan beliau mencari guru mursyid sebagai pembimbingnya menuju maqom kewalian kamil. Kisah pertemuan dengan Nabiyullah  Hidir AS membuat beliau meninggalkan istana Raja Mesir yang kala itu sangat membutuhkan tenaganya, bahkan bukan hanyaitu beliau pun kerap dinantikan oleh seluruh muridnya dalam pengena (Waliyullah).

Dengan perbekalan makanan dan ratusan kitab yang dibawanya, Mohammad Syam Magelung Sakti mulai mengarungi belahan dunia dengan membawa perahu jukung (Perahu getek) seorang diri, beliau mulai mendatangi beberapa ulama terkenal dan singgah untuk mengangkatnya menjadikan muridnya, diantara yang disinggahi beliau antara lain : Syeikh Dzatul Ulum Libanon, Syeikh Attijani Yaman bagian Selatan, Syeikh Qowi bin Subhan bin Arsy Bairut, Syeikh Assamargondi bin Zubair bin Hasan India, Syeikh Muawwiyah As-salam Malaka, Syeikh Mahmud Yerussalem, Syeikh Zakariyya bin Salam bin Zaab Tunisia, Syeikh Marwan bin Sofyan Siddrul Muta’allim Campa, dan masih banyak yang lainnya. Namun walau begitu banyaknya para Waliyullah yang beliau datangi, tidak satu pun dari mereka yang menerimanya, mereka malah berbalik berkata "Sesungguhnya akulah yang meminta agar menjadi muridmu wahai sang Waliyullah"

Dengan kekecewaan yang mendalam, Moh. Syam Magelung Sakti mulai meninggalkan mereka untuk terus mencari Mursyid yang diinginkannya hingga pada suatu hari beliau bertemu dengan seorang pertapa sakti bangsa Sanghiyang bernama Resi Purba Sanghiyang Dursasana Prabu Kala Sengkala di perbatasan sungai selat malaka.

" Datanglah wahai kisanak di pulau Jawa, sesungguhnya disana telah hadir seorang pembawa kebajikan bagi seluruh Wliyullah, benamkan hati dan pikiranmu ditelapak kakinya, sesungguhnya beliau mengungguli dari semua Waliyullah yang ada" Dengan perkataan sang Resi barusan, Moh. Syam sangat senang mendengarnya dan setelah pamit beliaupun langsung meneruskan perjalanannya menuju pulau Jawa.

Mungkin pembaca sekalian merasa bingung dengan perkataan Resi tadi yang menanyatakan "Benamkan hati dan pikiranmu ditelapak kakinya" seolah perkataan ini terlalu riskan di ucapkan pada seorang yang mempunyai derajat Waliyullah. Sebelum meneruskan cerita selanjutnya, ada baiknya dijelaskan terlebih dahulu kata bahasa tadi agar tidak salah tafsir nantinya…

Dalam pemahaman ilmu tauhid, bahwasannya tingkat ke Walian di bagi menjadi beberapa bagian dan tingkat tertinggi disini adalah Maqom Quthbul Mutlak, yang di teruskan dengan Maqom Atmaniyyah, Arba’atul ‘Amadu, Muqoyyad, Autad, Nuqiba, Nujaba ‘ Abdal, Nasrulloh, Rijalulloh dan lain sebagainya.

Diantara Wali yang ada, semua Waliyullah derajatnya dibawah telapak Quthbul Muthlak sendiri derajatnya sebagai penerus Rosululloh, yaitu dibawah ketiak atau pundaknya Nabiyulloh Muhammah SAW (Maqom Qurbah). Jadi walau Moh. Syam Magelung Sakti pada waktu itu derajatnya sudah mencapai Waliyullah Kamil, namun dalam hal Maqom, beliau belum ada apa-apanya dengan Maqom Quthbul Mauthlak yang barusan Misteri bedarkan tadi. Kami lanjutkan ke cerita semula…

Setelah Moh. Syam sampai dilaut pulau Jawa, beliau akhirnya singgah disalah satu pedesaan sambil tiada hentinya bertafakkur memohon kepada Allah SWT, untuk cepat ditemukan dengan Mursyid yang diinginkannya, tepatnya pada malam jum’at kliwon ditengah heningnya malam yang sunyi tiba-tiba beliau dikejutkan oleh suara uluk salam dari seseorang "Assalamu’alaikum Ya Akhi min Ahli Wilyah" lalu beliau pun dengan gugup menjawabnya " Wa’alaikum salam Ya Nabiyulloh Hidir AS yang telah membawaku ke pintu Rohmatallil’alamiin.

Lima tahun sudah Ananda mencari riddhoku dan kini ananda telah mencapainya, datanglah ke kota Cirebon dan temuilah Syarif Hidayatulloh, sesungguhnya dialah yang mempunyai derajat raja sebagai Maqom Quthbul Mutkhlak, terang Nabiyulloh Hidir AS, sambil menghilang dari pandangannya. Dengan semangat yang menggebu beliau langsung mengayuh jukungnya menuju kota Cirebon yang dimaksud, sedangkan ditempat lain Syarif Hidayatulloh / Sunan Gunung Jati yang sudah mengetahui kedatangan Moh. Syam Magelung Sakti lewat Maqomnya saat itu beliau langsung mengutus uwaknya sekaligus mertuanya Mbah Kuwu Cakra Buana untuk menjemputnya di pelabuhan laut Cirebon.

Sesampainya ditempat dimana Sunan Gunung Jati memerintahkannya. Mbah Kuwu tidak langsung menghadapkannya kepada Kanjeng Sunan, melainkan mengujinya terlebih dahulu, hal semacam ini bagi pemahaman ilmu tauhid disebut "Tahkikul ‘Ubudiyyah Fissifatir Robbaniah / meyakinkan seorang Waliyulloh pada tingkat ke Walian diantara hak dan Nur Robbani yang dipegangnya.

Setelah Moh. Syam sudah berada dihadapan Mbah Kuwu Cakra Buana, beliau langsung uluk salam menyapanya " wahai kisanak, taukah anda dimana saya harus bertemu dengan Sunan Gunung Jati? namun yang ditanya malah mengindahkan pertanyaannya dan balik bertanya.. " sudahkah kisanak sholat dhuhur, setelah menempuh perjalanan yang cukup jauh? terang Mbah Kuwu. 

Ditanya seperti itu Moh. Syam langsung mengangguk mengiyakan bahwa memang dirinya belum melaksanakan sholat dhuhur, lalu Mbah Kuwu mengambil satu bumbung kecil yang terbuat dari bambu "Masuklah dan sholat berjamaah denganku" Sambil terheran-heran Moh. Syam mengikuti langkah manusia aneh dihadapannya yang tak lain adalah Mabh Kuwu Cakra Buana, masuk kedalam bumbung bambu yang ternyata dalamnya sangat luas dan bertengger Musholla besar yang sangat anggun, setelah usai sholat Mbah Kuwu mengajaknya  menuju kota Cirebon, namun sebelum sampai ketempat tujuan atas hawatif yang diterimanya dari sunan Gunung Jati, Mbah Kuwu memotong rambutnya dan langsung menghilang dari hadapan Moh. Syam Magelung Sakti. Tahu rambutnya telah terpotong beliau langsung berkeyakinan bahwa tiada lain manusia tadi (Mbah Kuwu) adalah Sunan Gunung Jati yang dimaksud. lalu beliaupun memanggilnya tiada henti hingga keseluruhan pelosok desa.

Kisah terpotongnya rambut Moh. Syam yang kini terkenal dengan sebutan Syeikh Magelung Sakti kini masih dilestarikan dan menjadi nama desa hingga kini yaitu di Desa Karang Getas sebelah selatan kantor wali kota Cirebon dan tahukah anda berapa meter rambut Syeikh Magelung Sakti, sesungguhnya? yaitu 340 m, atau sepanjang jalan Karang Getas, antara perbatasan desa Pagongan hingga lampu merah pasar Kanoman. Panjangnya rambut syeikh Magelung Sakti ini sudah dapat restu dari beberapa ulama khosois seperti Syeikh Auliya Nur Ali, Syeikh Kamil Ahmad Trusmi, Syeikh Ahmad Sindang Laut, Syeikh Asnawi bin Subki Gedongan.

Dengan rasa bersemangat Moh. Syam terus mencari keberadaan Sunan Gunung Jati yang dianggapnya barusan memotong rambutnya, beliau terus berlari sambil memanggil nama Sunan Gunung Jati terus-menerus, pada suatu tempat tanpa disadari olehnya, beliau masuk dalam kerumunan orang banyak yang tak lain sedang dibuka perlombaan memperebutkan putri cantik dan sakti, Nyimas Gandasari Panguragan. Merasa dirinya masuk gelanggang arena, Wanita cantik yang tak lain adalah Nyimas Gandasari langsung menyerangnnya… Merasa dirinya diserang secara mendadak, Moh. Syam langsung mengelak dan menjauhinya, namun bagaimana dengan Nyimas Gandasari sendiri yang kala itu sedang diperebutkan para jawara dari berbagai pelosok daerah. beliau sangat tersinggung dengan menghindarinya pemuda yang barusan masuk tadi, maka dengan serangan berapi-api Nyimas Gandasari langsung melipat gandakan tenaganya untuk menglahkan pesaing yang kini sedang dihadapinya.

Dengan perasaan dongkol, Moh. Syam akhirnya memutuskan untuk melayaninya dengan bersungguh hati hingga ditengah perjalanan Nyimas Gandasari sangat kewalahan. Merasa kesaktiannya kalah dibawah pemuda asing yang kini sedang dihadapinya, maka dengan sesekali loncatan Nyimas Gandasari berucap "Ya Kanjeng Susuhan Sunan Gunung Jati, Yajabarutihi ila sulthonil alam, kun fayakun Lailaha Illallah Muhamad Rosululloh" lalu beliau langsung terbang ke awang-awang dengan maksud agar pemuda tadi tidak sampai mengejarnya. lain dengan jalan pikiran Moh. Syam waktu itu setelah beliau mendengar nama Sunan Gunung Jati disebutnya, beliau tambah berambisi utnuk mencari tahu, maka disusullah Nyimas Gandasari, hingga sampai tangan kanannya terperangkap.

Merasa dirinya panik Nyimas Gandasari langsung melepaskan tangan Moh. Syam sambil tubuhnya menukik tajam kebawah. pada saat yang bersamaan Sunan Gunung Jati yang sedang tafakkur disungai Kali Jaga, kedatangan Nyimas Gandasari yang wajahnya terlihat pucat pasi dan sambil menuding kearah depan Nyimas Gandasari, memohon kepada gurunya agar pemuda yang mengejarnya tidak melihat dirinya. lalu dengan menyelipkan tubuhnya dibawah bekiak kakinya, kanjeng sunan Gunung Jati berkata pada pemuda yang barusan datang dihadapannya " Wahai kisanak, anda mencari siapa ditempat yang sepi seperti ini?" lalu Moh. Syam pun menjawabnya " Kisanak mohon maaf sesungguhnya saya datang kemari mencari gadis untuk meminta bantuannya, dimana saya bisa menemui Sunan Gunung Jati?" dengan tersenyum akhirnya Sunan Gunung Jati melepaskan wujud kecil Nyimas Gandasari ke wujud semula dan meminta berterus terang dengan apa yang pernah di ikrarkan sebelumnya, yaitu wajib mematuhi janjinya untuk menikah dengan orang yang mengalahkan kesaktiannya.

Dengan perjalanan ini akhirnya Moh. Syam berganti nama dengan sebutan Pangeran Soka dan dipenghujung cerita antara Nyimas Gandasari dan Pangeran Soka akhirnya berikrar untuk meneruskan perjalanan hidupnya menuju ilmu tauhid yang lebih matang hingga mereka berdua mufakat menjalankan nikah bisirri tanpa hubungan badan selayaknya suami istri, namun akan bersatu dengan nikah hakikiyah di alam surga kelak dengan disaksikan langsung oleh Sunan Gunung Jati Min Quthbil Mutlak ila Jami’il Waliyulloh.

Syaikh Magelung Sakti dan Nyi Mas Gandasari

Sosok Syekh Magelung Sakti tidak dapat dilepaskan dari Nyi Mas Gandasari, yang kemudian menjadi istri beliau. Pertemuan keduanya terjadi saat Syekh Magelung Sakti yang di kenal juga sebagai Pangeran Soka, ditugaskan untuk berkeliling ke arah barat Cirebon. Pada saat ia baru saja selesai mempelajari tasawuf dari Sunan Gunung Jati, dan mendengar berita tentang sayembara Nyi Mas Gandasari yang sedang mencari pasangan hidupnya.

Babad Cerbon juga tidak jelas menyebutkan siapakah yang dimaksud sebagai putri Mesir itu. Namun, menurut masyarakat di sekitar makam Nyi Mas Gandasari di Panguragan, dipercaya bahwa Nyi Mas Gandasari berasal dari Aceh, adik dari Tubagus Pasei atau Fatahillah, putri dari Mahdar Ibrahim bin Abdul Ghafur bin Barkah Zainal Alim. Ia diajak serta oleh Ki Ageng Selapandan sejak kecil dan diangkat sebagai anak, saat sepulangnya menunaikan ibadah haji ke Makkah.

Versi lain menyebutkan bahwa Nyi Mas Gandasari, yang sebenarnya adalah putri Sultan Hud dari Kesultanan Basem Paseh (berdarah Timur Tengah), merupakan salah satu murid di pesantren Islam putri yang didirikan oleh Ki Ageng Selapandan.

Konon, karena kecantikan dan kepandaiannya dalam ilmu bela diri, telah berhasil menipu pangeran dari Rajagaluh, sebuah negara bawahan dari kerajaan Hindu Galuh-Pajajaran (yang kemudian menjadi raja dan bernama Prabu Cakraningrat). Pada waktu itu, Cakraningrat tertarik untuk menjadikannya sebagai istri. Tak segan-segan ia pun diajaknya berkeliling ke seluruh pelosok isi kerajaan, bahkan sampai dengan ke tempat-tempat yang amat rahasia. Hal inilah yang kemudian dimanfaatkan oleh Pangeran Cakrabuana, orang tua angkat Nyi Mas Gandasari untuk kemudian menyerang Rajagaluh.

Ki Ageng Selapandan yang juga adalah Ki Kuwu Cirebon waktu itu dikenal juga dengan sebutan Pangeran Cakrabuana (masih keturunan Prabu Siliwangi dari Kerajaan Pajajaran), berkeinginan agar anak angkatnya, Nyi Mas Gandasari, segera menikah. Setelah meminta nasihat Sunan Gunung Jati, keinginan ayahnya tersebut disetujui Putri Selapandan dengan syarat calon suaminya harus pria yang memiliki ilmu lebih dari dirinya.

Meskipun telah banyak yang meminangnya, ia tidak bisa menerimanya begitu saja dengan berbagai macam alasan dan pertimbangan. Oleh karenanya kemudian ia pun mengadakan sayembara untuk maksud tersebut, sejumlah pangeran, pendekar, maupun rakyat biasa dipersilakan berupaya menjajal kemampuan kesaktian sang putri. Siapapun yang sanggup mengalahkannya dalam ilmu bela diri maka itulah jodohnya. Banyak diantaranya pangeran dan ksatria yang mencoba mengikutinya tetapi tidak ada satu pun yang berhasil. Seperti Ki Pekik, Ki Gede Pekandangan, Ki Gede Kapringan serta pendatang dari negeri Cina, Ki Dampu Awang atau Kyai Jangkar berhasil dikalahkannya.

Hingga akhirnya Pangeran Soka memasuki arena sayembara. Meskipun keduanya tampak imbang, namun karena faktor kelelahan Nyi Mas Gandasari pun akhirnya menyerah dan kemudian berlindung di balik Sunan Gunung Jati.

Namun, Pangeran Soka terus menyerangnya dan mencoba menyerang Nyi Mas Gandasari dan hampir saja mengenai kepala Sunan Gunung Jati. Tetapi sebelum tangan Pangeran Soka menyentuh Sunan Gunung Jati, Pangeran Soka menjadi lemas tak berdaya. Sunan Gunung Jati pun kemudian membantunya dan menyatakan bahwa tidak ada yang menang dan tidak ada yang kalah. Namun, kemudian keduanya dinikahkan oleh Sunan Gunung Jati.

Selain berjasa dalam syiar Islam di Cirebon dan sekitarnya, Syarif Sam dikenal sebagai tokoh ulama yang mempunyai ilmu kanuragan tinggi pada zamannya. Ia membangun semacam pesanggrahan yang dijadikan sebagai tempat ia melakukan syiar Islam dan mempunyai banyak pengikut. Sampai dengan akhir hayatnya, Syekh Magelung Sakti dimakamkan di Karangkendal, dan sampai sekarang tempat tersebut selalu diziarahi orang dari berbagai daerah.

Di situs makam Syekh Magelung Sakti terdapat sumur peninggalan tokoh ulama tersebut, padasan kramat, depok (semacam pendopo) Karangkendal, jramba, kroya, pegagan, dukuh, depok Ki Buyut Tersana, dan pedaleman yang berisi pesekaran, paseban, serta makam Syekh Magelung Sakti sendiri.

Berjauhan dengan makam suaminya Syekh Magelung Sakti, makam Nyi Mas Gandasari terdapat di Panguragan, sehingga ia kemudian dikenal juga sebagai Nyi Mas Panguragan.‎

 

Sejarah Kadipaten Sukapura (Dinasti Mataram Di Sunda)


Cikal Bakal Sukapura

Cikal bakal Kabupaten Tasikmalaya berasal dari Umbul Surakerta dengan ibukotanya Dayeuh Tengah. Daerah ini sekarang menjadi nama sebuah desa yang termasuk ke dalam Kecamatan Salopa, kira-kira 5 km sebelah Timur Kecamatan Sukaraja. Pada waktu itu, penguasa Negara Surakerta bernama Sareupeun Cibuniagung. Ia memiliki seorang puteri tunggal yang bernama Nyai Punyai Agung (Ageng). Nyai Punyai Agung menikah dengan Entol Wiraha yang menggantikannya menjadi penguasa Surakerta. Dari perkawinan tersebut lahirlah Wirawangsa, yang berkuasa di Surakerta menggantikan ayahnya.

Sewaktu Wirawangsa berkuasa, Surakerta statusnya menjadi umbul. Umbul Surakerta termasuk  wilayah Priangan yang dipegang oleh Dipati Ukur Wangsanata.
Ketika Dipati Ukur diperintah Sultan Agung untuk menyerang Batavia bersama-sama tentara Mataram di bawah pimpinan Tumenggung Bahurekso, Dipati Ukur membawa sembilan umbul, di antaranya, Umbul Surakerta, Wirawangsa. Tetapi Dipati Ukur gagal dalam penyerangan itu. Ia bersama sebagian tentaranya mengundurkan diri ke Gunung Pongporang yang terletak di Bandung Utara dekat Gunung Bukitunggul. Tindakannya dianggap oleh Mataram sebagai pemberontakan sehingga Dipati Ukur dikejar-kejar tentara Mataram.
Karena tindakan Dipati Ukur itu dianggap membahayakan, Sultan Agung memerintahkan untuk menangkapnya hidup atau mati dengan suatu perjanjian, bahwa barangsiapa yang berhasil menangkap Dipati Ukur akan diberi anugerah. Pada waktu itu yang menjadi bupati wedana di Priangan sebagai pengganti Dipati Ukur adalah Pangeran Rangga Gede, dan diminta untuk menangkap Dipati Ukur, tetapi tidak berhasil karena dia meninggal pada waktu menjalankan perintah itu.

Dipati Ukur tertangkap di daerah Cengkareng sekarang oleh tiga umbul Priangan Timur, kemudian dibawa ke Mataram, dan oleh Sultan Agung dijatuhi hukuman mati. Ketiga umbul yang ikut menangkap Dipati Ukur adalah Umbul Surakerta Ki Wirawangsa, Umbul Cihaurbeuti Ki Astamanggala, dan Umbul Sindangkasih Ki Somahita. Ketiga umbul tersebut juga menangkap delapan umbul lainnya yang biluk (setia) kepada Dipati Ukur. Atas jasanya, ketiga umbul tersebut diangkat menjadi mantri agung di tempatnya masing-masing. Ki Wirawangsa diangkat menjadi mantri agung Sukapura dengan gelar Tumenggung Wiradadaha, Ki Astamanggala diangkat menjadi mantri agung Bandung dengan gelar Tumenggung Wiraangun-angun, dan Ki Somahita menjadi mantri agung Parakanmuncang digelari Tumenggung Tanubaya.

Setelah diangkat menjadi mantri agung Sukapura, kota kabupaten pun dipindahkan dari Dayeuh Tengah di Sukakerta ke Leuwi Loa (wilayah desa Sukapura) daerah Sukaraja sekarang, terletak di tepi sungai Ciwulan. Oleh karena ibukota pindah ke Sukapura, nama kabupaten pun disebut Kabupaten Sukapura. Perubahan nama Leuwi Loa menjadi Sukapura berdasarkan alasan karena di Leuwi Loa didirikan pura yang bermakna ‘kraton’ dan suka bermakna ‘asal’ atau ‘tiang’. Jadi, sukapura bermakna jejernya karaton karena di tempat inilah berdirinya bupati Sukapura yang pertama.

Karena kekuasaan Sultan Agung Mataram  begitu luas sepertihalnya masa keemasan Majapahit tempo dulu. Maka seluruh Pulau Jawa pun ada dibawah kendali dan perintahnya. Hingga pada suatu ketika datang perintah dari Sultan Agung kepada Bupati di tatar Pasundan yg pusat pemerintahannya berada di Sumedang, agar mempersiapkan pasukan untuk menyerang Sumenep Madura.

Maka Bupati Sumedang beserta pasukannya berangkat untuk menyerang Sumenep di Madura. Namun tugas yg diemban oleh Bupati Sumedang untuk menaklukan Sumenep Madura gagal selanjutnya Bupati Sumedang dibuang kedaerah terpencil yaitu Gajahmati.

Sultan Agung lalu menitahkan pada Dipati Ukur untuk menggantikan kedudukan Pangeran Sumedang menjabat sebagai Bupati.

Setelah Dipati Ukur menjabat sbg Bupati di Tatar Pasundan yg pusat pemerintahannya di Sumedang lalu Sultan Agung menugaskan Dipati Ukur untuk bersama-sama pasukan Banureksa menyerang VOC yg berpusat di Jayakarta.
Pada tahun 1628 terjadi penyerangan pertama pasukan gabungan menyerang Belanda di Jayakarta. Dari darat dipimpin oleh Dipati Ukur sementara dari lautan dipegang oleh pasukan dari Jawa Tengah dan Jawa Timur dibawah komando Banureksa, Pasukan gabungan itu bergerak bagaikan air bah.

Tugas yg diemban Dipati Ukur untuk mengusir Belanda dari tanah Jawa gagal selanjutnya Dipati Ukur melarikan diri bersama tiga orang Wadana yaitu Wadana Saunggantung, Wadana Taraju dan Wadana Malangbong. Mereka menghindar dari hukuman Sultan Agung sehingga kursi kepemimpinan di Sumedang kosong selama 9 Bulan.

Untuk menghindari kekosongan kepemimpinan tsb maka Sultan Agung mengangkat Raden Wirawangsa menjabat sbg Bupati.


Awal terbentuknya Sukapura
Terbentuknya Pemerintahan di Sukapura, berkaitan erat dengan kemunduran serta kehancuran dari kejayaan Majapahit di Jawa Timur. Karena berawal dari sanalah cikal bakalnya Sukapura.

Kabupatian Sukapura sezaman dengan kerajaan dan kebesaran Mataram dengan rajanya “Sultan Agung Hanyokro Kusumo”.

Pemerintahan Sukapura terbagi dalam tiga Periode yakni :
1. Periode Sukapura 1632 – 1628
2. Periode Manonjaya 1829 – 1901
3. Periode Tasikmalaya 1901 - Sekarang

Kabupaten Sukapura berdiri dan diresmikan setelah selesai Perang Dipati Ukur yg tertuang dlm Piagam Sultan Mataram tepatnya tanggal 26 Juli 1632.

Yg menjadi Bupati pertama pd wkt itu adalah Rd. Wirawangsa. Diangkatnya menjadi Bupati karena beliau mampu merendam dan menghentikan Perang Dipati Ukur, setelah menjadi Bupati nama beliau diganti menjadi Rd. Tumenggung Wiradadaha ke 1, nama tersebut mengandung arti :
Wira adalah Prajurit (satria) dan Dadaha = Penuh keberanian

Setelah menerima gelar kehormatan dan pengukuhan jabatan sbg Bupati maka beliau mengalihkan pusat pemerintahannya dari Sumedang ke Sukakerta tepatnya di Leuwi Loa (belakang Kecamatan Sukaraja Sekarang) dan diberi nama Sukapura yg mengandung arti : Suka = Tiang dan Pura = Negara

Piagam Pengangangkatan Ngabehi Wirawangsa menjadi Bupati Sukapura. (dari Sultan Agung)
“Penget serat piagem ingsoen soeltan kagadoeh dening ki ngabehi Wirawangsa kang satija maring ingsoen, soen djenengaken mantra agoeng Boepati Soekapoera, wedana kalih welas desane wong tigang atoes, ikoe kang kawerat dening ki wadana sarta soen pradikaken satoeroe (na) ne lan soen titipaken ngoelon ing Banten ngalor ing Tjirebon, adja na kang ngaribiroe sakarepe….. Titi serat piagem, kang anoerat dina senen tanggal ping sanga sasi moekaram taoen djim akir, kang anoerat abdaning ratoe poen nitisastra.

Terjemahan : Dengan piagam ini Sultan (Mataram) mengangkat Ngabehi Wirawangsa yg setia kpd Sultan menjadi mantra agung Bupati Sukapura, membawahi 12 kepala desa dengan penduduk 300 jiwa. Daerah itu emnjadi daerah perdikan sampai dengan keturunannya yg dititipkan ke Banten dan Cirebon. Jangan ada yg mengganggu….. Ini surat piagam ditulis tanggal 9 Muharram tahun jimakhir oleh abdi Ratu Nitisastra.‎

1. Bupati Sukapura kesatu (1632-1674)
Diantara Bupati yg dipercaya di tatar Pasundan oleh Sultan Agung pd masa itu hanya Raden Wirawangsa, krn beliau setia pada Sultan Agung, berani dan sakti serta cakap dlm pemerintahan sehingga disayang oleh Raja dan dihormati oleh rakyatnya dan yg lbh menakjubkan dari semua itu pemerintahan Sukapura dibebaskan dari segala bentuk upeti atau pajak untuk Mataram.

Raden. Wirawangsa menjabat Bupati Sukapura pd th. 1632 – 1674. Beliau dibantu oleh Raden Dewi Munigar sbg Penasehat Utama.

Rd. Dewi Munigar adalah seorang wanita yg arif, bijaksana serta sakti, beliau mempunyai keistimewaan dlm pandangan batin, sehingga bila Raden Wirawangsa mempunyai kesulitan dlm mengelola Negara atw mempunyai masalah mk beliau meminta petunjuk pd Rd. Dewi Munigar.

Disamping penasehat. Raden Wirawangsa dibantu oleh dua org Patih yakni Patih Raden Singadinata dan Wiradinata yg lbh dikenal dgn nama Mbah Jenggot.

Raden Wirawangsa sangat cakap dlm mengendalikan roda pemerintahan sehingga dipuji oleh Sultan Agung dan mendapat gelar Raden Tumenggung Wiradadaha yg artinya Prajurit yg gagah perkasa berani dlm membela keadilan dan kebenaran.

Sultan Agung memberi amanat kpd Raden Wirawangsa :
“Wahai Wirawangsa aku titipkan Sukapura kpdmu untuk engkau pimpin dan engkau olah menjadi Negara yg makmur, subur serta gemah ripah loh jinawi, maka nsaling fitnah untuk mencapai tujuan, hiduplah kalian dengan rukun, aman dan damai karena awal serta akhir akan dialami oleh anak dan cucumu serta turunan Sukapura karena esok atau lusa SUKAPURA NGADAUN NGORA yg artinya Negara Sukapura akan lebih maju, maju dlm segala hal baik pertanian ataupun pembangunan untuk mencapai kesejahteraan hidup”. Demikianlah wejangan dari Sultan Agung Raja Mataram yang Adil dan Bijaksana.

Raden Tumenggung Wiradadaha memimpin Negara Sukapura dengan 12 Wilayah Kawedanaan dgn adil dan Bijaksana sehingga Negara Sukapura menjadi Negara yg Aman, makmur dan rakyatnya cukup sandang serta cukup pangan.
Dari sinilah mulai berdirinya Bupati Sukapura yang pertama. Yang dapat menggembirakan hati Kanjeng Bupati bukan sekedar kabupaten saja namun terlebih lagi adalah negara (Sukapura) dengan isinya dimerdekakan oleh Kanjeng Sultan Agung hingga tujuh turunan. Dengan kemerdekaan ini, rakyat tidak perlu membayar upeti setiap tahun kepada Mataram, sehingga tidak memberatkan rakyat. Wilayah yang dimerdekakan berjumlah 12 yaitu :

1. Sukakerta,
2. Kalapa Genep
3. Linggasari
4. Parakan Tilu (Pameungpeuk)
5. Parung
6. Karang
7. Bojong Eureun
8. Suci (Garut bagian Timur)
9. Panembong (Garut)
10. Cisalak (Subang bagian Selatan)
11. Nagara (kandang wesi / Batuwangi)
12. Cidamar (Cidaun / Sindangbarang)


Sepertinya Kanjeng Sultan Agung belumlah merasa cukup membalas budi kesetiaan Kanjeng Bupati, maka oleh beliau selain ke 12 wilayah diatas, diberikan tambahan 3 wilayah lagi dari 9 wilayah yang disita dari Dipati Ukur, wilayah tersebut adalah :

1.      Saunggantang

2.      Taraju

3.      Malangbong

Jumlah 15 wilayah tersebut terdiri dari 300 desa dengan 890 kepala keluarga yang diperkirakan masing-masing mempunyai 5 anggota keluarga. Selain dari itu Kanjeng Bupati tidak habis-habisnya dihormati meskipun oleh masyarakat yang tidak termasuk dalam wilayahnya. Bila ada seseorang yang mempunyai keunggulan, akan ditanyakan anak siapakah itu dan dari mana asalnya. 

Agar tidak penasaran hatinya dan agar menjadi bahagia,  untuk  menjawab pertanyaan itu maka,  inilah sejarah Kanjeng Bupati Wiradadaha I. 

==========================================

Kanjeng Sunan Seda Krapyak atau Panembahan Hanyokowati (Sultan Mataram II) mempunyai putera bernama Pangeran Kusuma Diningrat, pada masa itu karena belum ada sekolah seperti sekarang maka orang yang ingin mendapat pengetahuan pada umumnya melakukan pengembaraan dengan tujuan untuk menjadi pimpinan yang bijaksana, pada akhirnya Pangeran Kusuma Diningrat sampai di tanah Sunda (Priangan) di kampung Cibadak Kecamatan Singaparna sekarang. 

Setelah menetap beberapa lama mempunyai istri yang bernama RA Sudarsah puteri Pangeran Rangga Gempol cucu Pangeran Geusan Ulun Sumedang dan kemudian mempunyai 5 putera dimana putera yang terakhir bernama Sareupeun Cibuniagung. Sareupeun Cibuniagung mempunyai putera bernama Dalem Wiraha yang menjadi Umbul di Sukakerta dan beristri Nyai Ageung puteri dari Sareupeun Sukakerta yang ibunya adalah keturunan Galuh (Imbanegara). Kemudian berputera Rd. Wirawangsa alias Rd. Tumenggung Wiradadaha Ke I, Bupati Sukapura pertama. 

Jika kita menyelusuri Genealogy Kaum Bangsawan Sukapura, mereka ada yang berasal dari keturunan Tumenggung Wiradadaha (Wirawangsa), sebagian lagi adalah keturunan dari Raden Suryadiwangsa (Suryadiningrat I).

Kedua leluhur kaum bangsawan Sukapura ini, memiliki garis silsilah sebagai berikut :

Tumenggung Wiradadaha (Wirawangsa)
Tumenggung Wiradadaha (Wirawangsa) bin Raden Entol Wiraha bin Pangeran Kusumah Diningrat bin Kanjeng Ratu Padjang (Permaisuri Panembahan Hanyokrowati) binti Sayyid Abdul Halim (Pangeran Benawa) bin Sayyid Abdurrahman (Jaka Tingkir) bin Sayyid Shihabudin (Ki Ageng Pengging) bin Sayyid Muhammad Kebungsuan (Handayaningrat)  bin Maulana Husain Jumadil Kubro bin Syeikh Ahmad Syah Jalaluddin bin Sayyid ’Abdullah Azmatkhan bin Sayyid Abdul Malik Al-Muhajir bin Sayyid ‘Alwi ‘Ammil Faqih bin Syeikh Muhammad Shohib Mirbath‎

Disebutkan bahwa Tumenggung Wiradadaha (Wirawangsa) adalah keturunan dari Raden Suryadiwangsa (Suryadiningrat I), dan ada juga yang menyebutkan sebagai keturunan dari Panembahan Senapati Mataram (Panembahan Senapati adalah salah seorang zuriat dari Syeikh Muhammad Shohib Mirbath).

Dengan demikian, bisa dikatakan Para Bangsawan Sukapura (Tasikmalaya), adalah keturunan dari Syeikh Muhammad Shohib Mirbath, yang merupakan seorang ulama dari Hadramaut (Yaman).

Sementara Silsilah Syeikh Muhammad Shohib Mirbath, sampai kepada Rasulullah adalah :

Syeikh Muhammad Shohib Mirbath bin ‘Ali Khali Qasam bin ‘Alwi Shohib Baiti Jubair bin Muhammad Maula Ash-Shaouma’ah bin ‘Alwi al-Mubtakir bin ‘Ubaidillah bin Ahmad Al-Muhajir bin ‘Isa An-Naqib bin Muhammad An-Naqib bin ‘Ali Al-’Uraidhi bin Ja’far Ash-Shadiq bin Muhammad al-Baqir bin ‘Ali Zainal ‘Abidin bin Husain Asy-Syahid bin Fathimah Az-Zahra binti Nabi Muhammad Rasululloh SAW.

==========================================

Selama tanah Sukapura menjadi wilayahnya, Kanjeng Bupati Wiradadaha Ke I dengan ponggawa-ponggawanya tidak henti-hentinya berjuang untuk kesejahteraan dan kemakmuran negara. Begitupun dengan rakyatnya memandang kepada Beliau sebagai Bapak Pelindung . Maka, Rakyat dan Pimpinannya selalu sejalan dan saling mengerti kemauan masing2 sehingga negara Sukapura pada saat itu peribahasa Negara Loh Jinawi rea ketan rea keton sugih dunia teu aya kakarungan, tur aman tina banca pakewuh dapat dicapai. Allah yang maha penguasa, pengasih dan penyayang, hanya dari Allah lah tidak ada barang atau kekayaan yang langgeng/kekal, serta masing-masing sudah ditentukan kodrat. Kabupaten Sukapura yang sedang menikmati kebahagiaan, mendadak suram citranya. Yang menjadi penyebab adalah meninggalnya Kg. Dalem Wiradadaha I, pengayom negara Sukapura, Bupati yang telah mengorbankan dirinya dalam peperangan demi negara serta isinya, telah berpulang ke alam baka. Jenazah Kg. Bupati dimakamkan di Pasir Baganjing, oleh sebab itu setelah wafat beliau sering disebut “Dalem Baganjing”. Lamanya memegang tampuk ke-bupatian adalah 42 tahun dan pada saat wafat meninggalkan 28 putra/putri. Penggantinya adalah putra nomer 3 bernama Rd. Jayamanggala.
BUPATI Ke – II 1674
Sewaktu Rd. Jayamanggala menjadi Bupati pada tahun 1674, namanya menjadi Rd. Tumenggung Wiradadaha II, namun amat disayangkan sifat beliau serta budi dan kegagahannya tidak sempat disumbangkan kepada tanah air, karena sepulangnya pelantikan di Mataram, diwilayah Banyumas mendadak sakit dan kemudian wafat. Jenazahnya tidak langsung dimakamkan, namun langsung dibawa ke Sukapura dalam keranda dan dimakamkan di Pasir Huni kecamatan Sukaraja. Itulah mengapa Kg. Bupati sering disebut “Dalem Tambela”. Kanjeng Bupati meninggalkan 8 putra/putri, namun karna belum ada yang pantas untuk menggantikannya, kekuasaannya diteruskan oleh adiknya bernama R. Anggadipa, putra ke 4 dari Kg. Dalem Wiradadaha I.

1674-1723

BUPATI Ke – III

Sukapura ceria, jalan-jalan dihias, disetiap perempatan dibangun gapura dan dihiasi, setiap gapura dihiasi oleh daun beringin, mangle serta bubuai. Apalagi disekitar bangunan kaprabon yang megah sudah penuh hiasan yang membuat keceriaan itu ialah tiada lain, yaitu pelipur hati Sukapura beserta isinya karna pengganti Bupati II adalah Putra ke IV dari Kg. Bupati Wiradadaha I, bernama R. Anggadipa. Pada saat dilantik R. Anggadipa diganti namanya R. Tumenggung Wiradadaha III. Cara memimpin negara serta perhatian pada rakyatnya mengikuti Kg. Dalem Wiradadaha I, namun sesuai dengan tabiat beliau yang kuat ke-Islamannya karena sedari kecil beliau menuntut ilmu ke Panembahan Wali Yuloh Syeh Haji Abdoel Mohji, dari Pamijahan yang dikeramatkan dan terkenal sampai kini. Dengan begitu keadaan seisi Sukapura pada zaman itu selain Kg. Bupati mensiarkan agama Islam, beliau juga mengikuti syariat Nabi Muhamad S.A.W., buah pemikiran serta apa yang dimiliki Kg. Bupati, negara bertambah tenteram raharja, dengan dibantu 4 putra yang setia kepada Kg. Wiradadaha III. Ke 4 putra masing-masing diberi kepangkatan patih dengan kewajiban yang berbeda :

1.      Dalem. Joedanagara, tugasnya menjaga keamanan negara.

2.     R. Anggadipa II yang bernama Dalem Abdoel, tugasnya memajukan pertanian dan irigasi yang manfaatnya dapat dirasakan sampai sekarang, sawah-sawah yang berhasil dibuka yang terkenal sampai kini, yaitu Leuwi Budah dan Koleberes dikecamatan Sukaraja sekarang, irigasi yaitu di Pamengpeuk, Sukapura yaitu Irigasi Cibaganjing dan Ciramajaya di Mangunreja.

3.    R. Somanagara, tugasnya adalah sesuai dengan namanya, yaitu mengurus dan mengatur administrasi negara.

4.    R. Indrataroena, tugasnya adalah mengurus dan mengatur keuangan negara.

Kg. Bupati Wiradadaha III, selain terkenal kekayaannya, pengetahuan serta ilmunya juga terkenal dengan banyak putra-putri, karena putra-putrinya saja ada 62. Itulah sebabnya beliau disebut “Dalem Sawidak”. Sewafatnya Kg. Bupati Wiradadaha III diganti oleh putra ke II bernama Rd. Soebamanggala.

1723-1745

BUPATI Ke – IV

Setelah R. Soebamanggala mengganti Ayahnya, namanya diganti menjadi R. Tumenggung Wiradadaha IV. Beliau terkenal sebagai Bupati penghulu atau pemimpin agama, karna sedari kecil beliau berguru kepada Panembahan Wali Yuloh Syeh Haji Abdoel Mohji di Pamijahan, kecamatan Karangnunggal. Berkuasanya beliau tidak lama karena keburu wafat, jenazahnya dimakamkan tidak jauh dari makam Syech Abdoel Mohji oleh karena itu dirinya disebut “Dalem Pamijahan”. Selama Kg. Dalem menjabat sebagai bupati semua berjalan lancar dan mulus, namun sayangnya tidak mempunyai keturunan sebagai pengganti beliau. Keempat patih yang tersebut diatas masing-masing tidak bersedia menerima jabatan bupati, pada saat bermusyawarah saudara yang paling tua, yaitu Patih I bernama R. Joedanagara memberikan saran kepada saudara lainnya, yaitu mengingat serta mengikuti batinnya, tidak akan ada satu turunanpun diantara para saudara yang akan mampu menerima tampuk kebupatian Sukapura, kecuali dari turunan R. Anggadipa II alias “Dalem Abdoel”, Patih II, karna dirinyalah yang banyak berjasa kepada Sukapura serta isinya pada zaman beliau. Setelah para saudara mendengarkan saran Dalem Joedanagara mereka tidak ragu lagi, langsung mengangkat R. Demang Setjapati putra Kg. Dalem Abdoel yang sejak kecil diasuh oleh Kg. Dalem Wiradadaha IV.

1745-1747

BUPATI Ke – V

Setelah R. Demang Setjapati memegang tampuk ke-bupatian namanya berganti menjadi Kg. Tumenggung Wiradadaha V, namun nama tersebut lebih termasyur dengan Kg. Dalem Tumenggung Setjapati, yang merupakan nama yang didapat dari buyut Ibu bernama R. Demang Setjapati I, putra dari Sunan Batuwangi yang termasyur menjadi Senopati di Mataram. Beliau menjadi Bupati tidaklah lama karena wafat, kemudian digantikan oleh Putra ke II, yaitu R. Djajanggadiredja.

1747-1765

BUPATI Ke – VI

Nama R. Djajanggadiredja diganti menjadi Kg. Tumenggung Wiradadaha VI. Pada zaman beliaulah Sukapura mulai mendekatkan diri dengan Kompeni (VOC). Alasannya karena beliau ingat pada pesan Kg. Sultan Agung bahwa kemerdekaan Sukapura hanya sampai pada turunan ke 7, jadi beliau merasa tidak akan lama lagi Kompeni akan menguasai seluruh tanah Priangan. Setelah beliau berselisih pendapat dengan para patihnya beliau mengajukan pengunduran diri, kemudian menjadi Begawan dikampung Ciwarak, Distrik Mandala zaman dulu. Patih yang tidak sejalan dengan bupati dicopot kepangkatannya dan dibuang ke Selong (Ceylon/Srilangka).

1765-1807

BUPATI Ke – VII

Setelah Kg. Bupati Wiradadaha VI mengundurkan diri, oleh Sri P.K.T. Petrus Albertus van der Parra (1761-1775), kedudukannya digantikan oleh putra sulungnya, yaitu R.Djajamanggala ke II yang diganti namanya menjadi Kg. Dalem Wiradadaha VII, karena pada saat itu Kompeni sudah berkuasa diseluruh tanah Priangan, pada saat itu beliau baru berusia 18 tahun, dalam menjalankan pemerintahan dengan restu Kompeni beliau didampingi oleh Kg. Eyang dari Ibu (R. Ayu Ganda Wiresa), yaitu Dalem Tumenggung Wiratanoebaja, Regent Parakanmuncang ke III, sampai beliau berumur 22 tahun. Pada saat pemerintahan Kompeni Kabupaten Sukapura berada dibawah Keresidenan Cirebon. Sewaktu pimpinan ada dibawah Residennya, yaitu Peter de Beck, ia mengetahui bahwa Kg. Dalem Wiradadaha VII, seorang Bupati yang ahli mengatur negara, oleh karena itu beliau diberi gelar Adipati. Pada saat menerima gelar tersebut, Kg. Bupati teringat pada kebaikan hati Kg. Eyang Bupati Parakanmuntjang ke III, yang sudah membimbing dan mendampingi pada saat beliau masih kecil. Untuk itu, pada saat beliau dilantik menjadi Adipati pada tahun 1800, namanya diganti R. Adipati Wiratanoebaja. Pada tahun 1807, Kg. Adipati Wiratanoebaja wafat jenazahnya dimakankan di Pasir Tando, meninggalkan putra-putri sebanyak 37.

1807-1811 dan 1814-1837

BUPATI Ke – VIII

Setelah Kg. Adipati Wiratanoebaja wafat pada tahun itu juga diganti oleh putranya yang ke 5, bernama R. Demang Anggadipa atau Kg. Dalem Wiradadaha VIII, serta pada tahun yang sama, kabupaten Sukapura dipindahkan dari Leuwi Loa ke daerah Desa Sukapura di wilayah Kecamatan Sukaraja sekarang. Karena prestasinya, ditahun 1815 oleh Resident Walken Berg, Kg. Bupati dianugerahkan gelar Adipati. Tugas Kg. Bupati tiada lain adalah memajukan kesejahteraan rakyatnya, yaitu dengan mengolah tanah agar negara tidak kekurangan pangan. Namun pada masa itu, sesuai dengan permintaan pemerintah (Belanda) sawah-sawah harus ditanami tarum (pohon nila). Kemauan beliau yang begitu keras, permintaan tersebut tidak dipenuhi oleh Kg. Bupati, karena khawatir rakyatnya akan kekurangan pangan. Bagai timun melawan durian, akhirnya Kg. Bupati diturunkan dari tahta, dan tanah Sukapura sampai mulai dari Ciwulan ke barat, digabungkan ke kabupaten Limbangan (Garut). 

Meskipun begitu Kg. Bupati tidak kecewa dan penasaran, karena beliau merasa sudah puas berkorban untuk kepentingan negara serta rakyatnya. Setelah berhentinya Kg. Wiradadaha VIII, Kabupaten Sukapura diganti pimpinan oleh Kg. Dalem Surjadilaga yang termasyur dengan sebutan “Dalem Taloen”, keturunan leluhur Sumedang. Latar belakang pemerintah Belanda mengangkat Kg. Dalem Taloen, tiada lain adalah karna jasa-jasanya terhadap pemerintah Belanda, maka tidak diragukan lagi bahwa permintaan menanam tarum (pohon nila) di tanah Sukapura pasti akan terlaksana. Setelah dua tahun lamanya Kg. Dalem Taloen bertahta di kabupaten Sukapura, beliau memohon untuk dipulangkan ke Sumedang, karena tidak dapat memenuhi permintaan pemerintah Belanda. Pemerintah Belanda terus berusaha untuk melaksanakan tujuannya, akhirnya Sukapura diserahkan ke Kg. Bupati Limbangan (Garut), dengan permintaan agar kebun tarum tetap dilaksanakan. Inipun tidak tercapai, karena beliau tidak sanggup memenuhi apa yang diinginkan oleh pemerintah Belanda. Pada akhirnya terpikir oleh pemerintah Belanda, bahwa permintaannya tidak akan terlaksana, karena tidak sesuai dengan kemauan rakyat. 

Singkat cerita, pemerintah Kabupaten Sukapura dibawah Kg. Dalem Limbangan (Garut), bermusyawarah dengan Kg. Dalem Sukapura (Wiradadaha III) yang telah diberhentikan, memohon agar Sukapura sebelah barat ditanami tarum (pohon nila) dan dibangun pabrik-pabriknya dengan perjanjian (persyaratan), bahwa bilamana pekerjaan telah berhasil, tanah Sukapura akan dikembalikan lagi. Tanpa menunggu lagi, rakyat Sukapura dengan keikhlasannya bersama memenuhi permintaan pimpinannya (Wiradadaha VIII), dalam waktu singkat kebun tarum (pohon nila) berikut pabrik-pabrik selesai ditanami dan dibangun tanpa kekurangan suatu apapun. Sesuai dengan janji, pemerintahan yang pada masa itu dipegang oleh P.K.T. Johanes Graff van den Bosch (1830-1833), Kg. Dalem Wiradadaha VIII diangkat kembali sebagai Bupati dan tanah-tanah yang pernah diserahkan ke Limbangan (Garut) dikembalikan lagi kecuali, Suci dan Panembong. Baru saja Kg. Bupati mengatasi suatu masalah, timbul masih lain yang menggangu ketenangan hatinya. Adik Kg. Bupati bernama R. Wiratanoewangsa yang menjadi Patih di kabupaten Cipejeuh, diberhentikan dari jabatannya karena berbeda pendapat dengan Dalem Cipejeuh. Merasa sudah pupus harapannya, R. Wiratanoewangsa secepatnya kembali ke Sukapura, memasrahkan dirinya kepada kakaknya. Sementara pemerintah Belanda bermaksud membangun gudang garam di Banjar, Kalipucang dan Pangandaran. Meskipun pembangunan telah dicoba untuk dilaksanakan, namun tidak terlaksana, karena selain terserang wabah penyakit, pada zaman itu daerah tersebut masih angker. Yang berkuasa atas daerah tersebut yaitu Pangeran Kornel (Bupati Sumedang), karena merasa bimbang dengan belum terlaksana permintaan pemerintah Belanda, secepatnya memanggil putranya bernama Kg. Tumenggung Koesoemahjoeda agar pembangunan gudang-gudang tersebut dapat terlaksana. 

Singkatnya Kg. Dalem Koesoemahjoeda menerima permintaan ayahnya, lalu ingat pada R. Wiratanoewangsa dan merasa bahwa pemberhentiannya itu oleh kakaknya, yaitu Dalem Cipejeuh tidaklah terlalu berat kesalahannya. Dengan maksud meringankan beban dan menebus dosa kakaknya yang telah menghukum orang yang tidak berdosa, setelah memohon izin dan restu kepada ayahnya, yaitu Kg. Pangeran Kornel, lalu Kg. Dalem Koesoemahjoeda mengunjungi P.K.T. Besar (Belanda), menyampaikan agar permintaan pembangunan gudang garam di 3 tempat itu diserahkan kepada Patih Cipejeuh yang telah diberhentikan, dengan persyaratan, bila pembangunan gudang-gudang tersebut selesai dalam waktu 6 bulan, R. Wiratanoewangsa akan diberikan tanah dari Galuh sampai Sumedang sebanyak 6 distrik, yaitu

1.      Pasir Panjang,

2.      Banjar,

3.      Kawasen,

4.      Kali Peucang

5.      Cikembulan

6.      Parigi

Setelah Kg. Dalem Koesoemahjoeda diizinkan oleh Sri P.K.T. Besar, ia segera menyampaikan kepada R. Wiratanoewangsa melalui perantaraan Kg. Pangeran Kornel, agar permintaan pemerintah Belanda tersebut dilaksanakan oleh Kg. R. Wiratanoewangsa. Seterimanya perintah tersebut, R. Wiratanoewangsa segera berangkat ke wilayah yang akan dibangun gudang-gudang tersebut. Sesuai persetujuan Kg. Pangeran Kornel, dalam waktu yang telah ditetapkan, gudang di 3 tempat itu selesai tanpa kekurangan suatu apapun. Tidak lama kemudian, R. Wiratanoewangsa diangkat kembali menjadi Patih dan diberi gelar Tumenggung, menguasai 6 distrik tersebut dan namanya-pun diganti menjadi R. Tumenggung Danoeningrat.

 Adapun tempat tinggalnya, membangun wilayah baru dikampung Tembong Gunung (Kali Manggis), yang telah selesai diberi nama Nagara Harjawinangun pada tahun 1832. Pada masa itu, R. Tumenggung Danoeningrat memohon kepada pemerintah Belanda agar mengizinkan kakaknya (Wiradadaha VIII) untuk kembali memimpin negara, serta tanah miliknya diserahkan kepada kakaknya dan dia dijadikan Patihnya. Dengan bertambah luasnya kekuasaan yang dipegang Kg. Dalem Wiradadaha VIII, kabupaten Sukapura dari wilayah Desa Sukapura Kecamatan Sukaraja dipindahkan ke wilayah Harjawinangun. Lama kelamaan Kg. Bupati merasa bahwa wilayah Harjawinangun kurang cocok sebagai pusat pemerintahan, maka pada tahun 1832 dipindahkan lagi ke sebelah tenggara pusat pemerintahan, yaitu di wilayah Pasir Panjang yang diberi nama “Manonjaya”. Sebelum pembangunan pusat kota selesai, Kg. Adipati Wiradadaha VIII pada tahun 1837 wafat. Beliau menjadi bupati selama 30 tahun meninggalkan putra-putri 14. Jenazahnya dimakamkan di suatu gunung disebelah selatan kota Manonjaya yang disebut Tanjung Malaya.

1837-1844‎

BUPATI Ke – IX

Sepeninggalan Kg. Adipati Wiradadaha VIII, pada tahun itu juga R. Tumenggung Danoeningrat menjadi bupati, namun tidak sampai mendapat gelar atas kebijaksanaannya, karena pada tanggal 4 Januari 1844, wafat. Putra-putrinya ada 13, jenazahnya dimakamkan di Tanjung Malaya.

1844-1855

BUPATI Ke – X

Yang menjabat bupati kemudian adalah putra sulungnya yang bernama R. Ranggawiradimanggala, yang kemudian namanya diganti menjadi Kg. R. Tumenggung Wiratanoebaja, yang mengikuti nama dari buyut Kg. Dalem Parakanmuntjang ke III. Menjabat sebagai bupati selama 12 tahun kemudian wafat tanggal 6 Juni 1855, jenazahnya di Tanjung Malaya, dan tidak mempunyai putra-putri. Setelah wafat,  Kg. Dalem sering disebut “Dalem Soemeren”. Jabatan kemudian  diserahkan ke adiknya yang bernama R. Tanoewangsa.

1855-1875

BUPATI Ke – XI

Pada hari Selasa tanggal 11 September 1855, R. Ranggatanoewangsa dilantik dan diganti menjadi R. Wiratanoebaja. Ditahun 1872 mendapat gelar Adipati dan diganti namanya menjadi R. Adipati Wiraadegdaha. Pada masa beliau, pemerintah mulai memberlakukan aturan pajak tanah yang dimusyawarahkan oleh 7 Bupati di seluruh Priangan ditahun 1869; yang dipimpin oleh komisaris Jendral P.K.T. Otto van Rees (Gubernur Jendral Hindia Belanda; 1884-1888). Setelah hasil musyawarah dikirimkan ke 2 e Kamer, pada bulan Juli 1871, peraturan pajak tanah di Priangan diberlakukan. Jasa Kg. Bupati kepada negara serta isinya sangatlah besar dibanding yang lainnya, bukan hanya dari segi kesejahteraan negara tetapi juga dari segi penyempurnaan adat serta tata krama dan juga besar jasanya dalam memajukan pembangunan. Uraian hasil-hasil yang dicapai itu dicatat dalam isi sejarah Sukapura oleh R. Kertinagara alias R. Abdoelah Saleh.

Sinom
Salin rupana nagara, tina rajinna Bupati putus sagala aturan, keras marentahna abdi, tur cecet ngolah nagari, nimbulkeun hasil jeung untung, atawa nyalin aturan, ngalengitkeun tata aki, nu katimbang kurang pantes ku anjeunna.

Saperti tata jeung basa, réa nu leungit diganti, basa kula jadi kaula, diganti ku jisim abdi, atawa ku simkuring, ari jawab nu disaur, baheula mah jaman kuna kaulan mungguh lalaki, eta kitu ngawalon ka para menak.

Sarta laguna lalambat, sorana pating celengking, harita disalin ku “kah”, sarta teugeug henteu ngelik, panganggo nya kitu deui, baheula mah jaman sepuh, para istri menak-menak, baju jubah ninggang bitis, dikekemben ngalempay panjang ka tukang.
Ari istri piluaran, lamun marek ka Bupati, makena karembong dua, dipake apok sahiji, nu hiji nyalindang nyampir, dina taktak kagugusur, karembong Damayu modang, atawa cinde palangi, teu dibaju awakna tembong ngaliglag.
Ari sinjangna nu lumrah, batik Tegal jeung Ciamis, nu pangalusna Tembaya, ari ménak nu kapilih, batik sawud dasar muslim, wedal Sukapura pencut, anu potong dalapan, ditambiran boéh mori, ari nyaba tara tinggal kanjut kundang.‎

Ari mungguh pamegetna, panganggona menak kuring, sinjang gincu sabuk Jamblang, nyoren duhung tebeh gigir, raksukan senting purikil, poleng atawa cit salur, nu pangalusna Madras, sarta tara nganggo lapis ari lain midang, atawa angkat mah.
Udeng wedal Sukapura, batik hideung sawunggading, mun soga Goenawidjaja, atawa gambir saketi, modang beureun ngatumbiri, dasar koneng hurung ngempur, carécét poleng Banggala, nganggo ambar tinggarawing, digamparan lilingga tanduk bubutan.
Mungguhing di cacah-cacah, totopong balangkréng sisi, sabuk sateng nyorén gobang, totopong dipasang tegil, baju kamsol make kancing, emas hurung tinggalebur, carécét jimpo kasar, digantelan catut beusi, ali loklak dudukuy Beulah kalapa.‎

Éta kabeh tata huma, ku Kanjeng dalem disalin, ku tata cara ayeuna, malah imah ge disalin, baheula jaman aki, suhunan panjang dijagul, wangkilas sapanjang imah, hawuna dijero bumi, sayang hayam rimbil sakuriling imah.
Sareng sajaba ti éta, réa deui nu disalin, tata atanapi basa, sumawonten pakem hasil, saperti untungna bumi, atawa pertikel laku, teu kirang-kirang wehwelna, mepeling ka abdi-abdi, sumawonna pangolahna kauntungan.
Nalika jaman harita, sagala banget diungkil, saban tahun tambah-tambah, jakat, cuké ku kumisi, nyekapan ka para abdi, nu baku kagungan untung, dalah para warga-warga, sepuh-anom pakir-miskin, sadayana rata sami kapasihan.

Begitulah cerita tentang beliau, namun bagi orang yang berhasil itu banyak gangguan dan yang iri. Pada tahun 1875 beliau mendapat musibah yang disebabkan oleh peraturan pajak tanah sampai diberhentikan dengan hormat. Untuk beberapa tahun beliau tidak diperkenankan tinggal di tempat kelahirannya tetapi di tempatkan di Bogor dan diberi pensiun f. 300 setiap bulannya. Itu sebabnya Kg. Dalem sering disebut “Dalem Bogor”. Ditahun 1908 Kg. Dalem Bogor diperkenankan kembali ke Manonjaya, hingga beliau wafat di tahun 1912. Jenazahnya dimakamkan di Tanjung Malaya.

1875-1901

BUPATI – XII

Setelah berhentinya Kg. Dalem Adipati Wiraadegdaha ditahun 1875, jabatannya diganti oleh adiknya yang bernama R. Demang Danoekoesoemah, patih Manonjaya dan setelah menjabat bupati namanya diganti menjadi R. Tumenggung Wirahadiningrat. Beliau adalah Bupati terakhir di kabupaten Manonjaya, beliau juga termasuk Bupati yang rajin, sabar, adil, bijaksana, termasyur sebagai Bupati yang paling baik. Jasa beliau oleh pemerintah ditahun 1893 diberi gelar Adipati, tahun 1898 mendapat “Bintang Payung Kuning” dan ditahun 1900 dianugrahkan bintang “Oranje Nassau”. Itulah sebabnya sering disebut “Dalem Bintang”. Pada tahun itu juga beliau mendapat surat perintah resmi untuk memindahkan kabupaten ke Tasikmalaya, namun sepertinya dari pesan leluhur ada peribahasa “Galunggung Ngadek Tumenggung”, beliau tidak ada maksud menduduki kabupaten baru, sebab sudah melewati gelar Tumenggung, maka secara  mendadak setelah menerima surat perintah itu beliau jatuh sakit sampai wafat.

1901-1908

BUPATI Ke – VIII

Dengan berhentinya Kg. Adipati Wirahadiningrat pada tahun 1901, kedudukannya digantikan oleh putra saudaranya yaitu putra Kg. Dalem Bogor yang bernama R. Rangga Wiratanoewangsa, Patih Manonjaya. Setelah memegang jabatan Bupati namanya diganti menjadi R. Tumenggung Prawira Adiningrat. Pada tanggal 1 oktober 1901, Kg. Dalem dipindahkan Kabupatennya ke Tasikmalaya, namun tetap disebut Kabupaten Sukapura. Beliau menjabat bupati hanya selama 7 tahun dan tidak lama sejak mendapat gelar “Aria”, ditahun 1908 beliau wafat, ketika sedang berobat di Cianjur. Itu sebabnya mengapa Kg. Bupati sering disebut “Dalem Aria”.

1908

BUPATI XI

Setelah wafatnya Kg. Aria, yang menjabat sebagai Bupati Sukapura pada tanggal 23 Agustus 1908, adalah putra sulungnya yang bernama R.A. Wiratanoeningrat. Kg. Dalem Adipati Wiratanoeningrat pada saat sebelum menjadi Bupati Sukapura, menjabat Sebagai Wedana wilayah Ciheulang. Pada tahun 1901 kabupaten Sukapura mengalami perubahan besar, yaitu wilayah Mangunreja serta Tasikmalaya sebagian ditiadakan. Dari wilayah Mangunreja yang dimasukkan ke Sukapura hanya diwilayah Mangunreja, Dedetaraju, Sukaraja, Karang dan Parung. Sisanya yaitu wilayah Cikajang, Batuwangi,  Kandangwesi, Nagara digabungkan ke kabupaten Limbangan (Garut). Dari wilayah Tasikmalaya yang masuk ke Sukapura hanyalah wilayah Tasikmalaya, Ciawi, Indihiang dan Singaparna. Sedangkan wilayah Malangbong dibagikan ke dua kabupaten, yaitu sebagian ke kabupaten Limbangan (Garut) dan sebagian ke kabupaten Sumedang. 

Pada tahun 1910 daerah dibawah kabupaten ini tinggal 14 distrik. Pada tahun 1913 nama Kabupaten Sukapura diganti Menjadi Tasikmalaya hingga kini. Daerah bawahannya tinggal 10 wilayah. Atas putusan Bestuurservorming pada tahun 1925, Tasikmalaya menjadi ibukota Keresidenan Priangan Timur, tetapi pada tahun 1931 Keresidenan itu mengalami perubahan lagi. Dengan kejadian tersebut sering timbul pertanyaan apakah itu pertanda yang menyebabkan “Sukapura Ngadaun Ngora”. Agak sulit untuk menjawab pertanyaan ini, namun bila mengingat kepada cerita para sepuh dahulu yang menyebutkan; Bila Rawa Lakbok dengan hutan belantaranya sudah menjadi sawah, negara akan pindah ke Banjar. Yang merubah Rawa Lakbok dan hutan belantaranya menjadi persawahan yang amat luas adalah Kg. Dalem Adipati Wiratanoeningrat. Atas jasa beliau rawa yang luasnya kurang lebih 30.000 ha, hutan yang begitu lebatnya sekarang telah menjadi persawahan yang begitu suburnya. 

Meskipun sekarang ditempat bekas Rawa Lakbok dan Hutan belantaranya itu belum ada batu marmer yang ditulis dengan huruf emas, yang bertuliskan nama Kg. Dalem Adipati Wiratanoeningrat, namun akan selalu teringat oleh rakyat yang mendapatkan penghasilan dari sawah yang sebelumnya adalah rawa, itu tidak akan hilang untuk selama ratusan tahun. Anak cucu rakyat yang mendapatkan kesejahteraan dari jasa Kg. Bupati akan mengetahui dari cerita nenek dan kakeknya bahwa yang membuka Rawa Lakbok serta hutan belantaranya bernama Kg. Dalem Adipati Wiratanoeningrat, Bupati keturunan leluhur Sukapura, dan penuturan cerita itu terus disampaikan secara turun-temurun. Selain karena tersohor membuka Rawa Lakbok, sebenarnya masih banyak lagi jasa Kg. Bupati kepada rakyatnya, yaitu membuka persawahan, perkebunan yang ada di Banjar, Kawasen, Padaherang, Pamarican, atau ringkasnya cerita bahwa tempat-tempat yang tadinya masih rawan serta hutan belantara sekarang atas jasa Kg. Bupati yang tidak pernah mengingat kepada kesusah-payahannya, merubah semua itu menjadi persawahan hijau dan perkebunan palawija yang luas dan bermanfaat pada kehidupan rakyatnya di wilayah bawahan beliau. Tidak hanya sampai disitu perhatian beliau kepada rakyatnya, kesemua itu juga dijaga oleh beliau dari bahaya yang akan merusak pertanian, yaitu membasmi segala binatang perusak. Meneliti kehidupan rakyatnya bukan hanya dengan cara pertanian, tetapi juga dengan jalan memajukan bermacam koperasi dagang dari batik, tenun, anyaman dan peternakan. Malah dari usaha memajukan peternakan kuda dan sapi, beliau mendirikan perkumpulan yang dinamai “Sangiang Kalang” dan “Lembu Andini”. Untuk menolong segala keperluan yang membutuhkan modal, beliau membentuk suatu perkumpulan yang tidak asing lagi bagi semua orang, yaitu “Pakoempoelan Doeit Hadiah” (PDH), perkumpulan ini pada saat buku ini ditulis telah mencapai f 70.000 lebih. Dengan pengumpulan dana dari perkumpulan ini, bukan hanya digunakan untuk menolong orang yang membutuhkan modal untuk berdagang dan bertani saja, namun juga digunakan untuk menolong orang yang ingin melanjutkan sekolah di sekolah menengah dan sekolah atas. 

Diantaranya ada yang telah diberikan bantuan untuk yang sedang bersekolah di Geneescundige Hooge School di Betawi dan di Militaire Academi di Breda. Meningkatkan pendidikan kerakyatanya itu tidak saja kepada pendidikan duniawi, namun juga pada keagamaan. Bukan hanya puluhan, namun ratusan madrasah yang pernah didirikan oleh kiai-kiai yang dipelopori oleh Kg. Bupati. Untuk menyatukan para kiai agar selalu sejalan dan setujuan, oleh beliau diikat dalam suatu perkumpulan yang diberi nama “Idharu Biatil Muluki Wal Umaro”, yang artinya tunduk pada pimpinan, patuh pada pemerintah serta jajarannya. Anggota dari perkumpulan tersebut ada 1.350 kiai, belum termasuk lagi yang bukan golongan kiai. Untuk keperluan rakyat agar memudahkan dan melancarkan hubungan mata pencahariannya, Kg. Bupati tidak berdiam diri, secara seksama membangun beberapa jembatan-jembatan. Diantara jembatan yang termasyur :

1.      Jembatan Gantung Kawat jalan ke Ciwarak

2.      Jembatan Gantung Kawat jalan ke Linggasari

3.      Jembatan Gantung Kawat jalan ke Talegong

4.      Jembatan Gantung Kawat jalan ke Leuwi Budah-Tanjung

5.      Jembatan Gantung Kawat jalan ke Cigugur

6.     Jembatan bambu beralas besi di Mangunjaya (sangat disayangkan jembatan ini tidak sampai selesai karena diterjang banjir kali Ciseel).

Selain itu, beliau pernah bermaksud pula untuk membangun suatu rumah fakir miskin Islam yang dibiayai dari sebagian pendapatan zakat fitrah untuk fakir miskin, yang biasanya dikumpulkan dari orang-orang setahun sekali, namun karena terpikirkan oleh beliau, aturan ini tidak bermanfaat bagi fakir miskin, sebab sumbangan dari perorangan itu tidak akanmencukupi.Atas jasa Kg. Bupati yang begitu besarnya, pemerintah tidak ragu, berdasarkan surat P.K.T. Goepernoer Djendral tanggal 21 Agustus 1920, No. 1, diberi gelar “Adipati”, ditambah lagi surat P.K.T. Besar tanggal 24 Agustus 1922, No. 39, beliau menerima bintang dalam “Officer de Order van Orangje Nassau” dan menurut surat Goepernoemen tanggal 21 Agustus 1926, No, 13, diberikan lagi “Gele Songsong”. Kebijaksanaan Kg. Bupati didalam keunggulannya mengolah negara, berdasarkan surat-surat seperti dibawah ini :

23 Agustus 1908-23 Agustus 1933
Pada masa inilah selama 25 tahun Kg. Dalem Adipati Wiratanoeningrat menjabat sebagai Bupati. Melihat pada kebijaksanaan beliau sebagaimana yang telah dianugerahkan oleh berbagai kehormatan yang tersebut diatas tadi, tepat sekali seumpama nama beliau dicatat didalam arsip Pemerintahan Hindia Belanda, diperuntukan bagi putra-putranya yang beliau sayangi. Kg. Dalem Adipati Wiratanoeningrat dilahirkan pada tanggal 19 Febuari 1878, di Nanggrang, wilayah Taraju. Ibunya bernama R. Ajoe Ratna Puri. Putri sulung dari Kg. Dalem Tumenggung Aria Prawira Adiningrat (Dalem Aria), bupati ke XIII, cucu Kg. Dalem Adipati Wiraadegdaha (Dalem Bogor), buyut Kg. Dalem Tumenggung Danoeningrat bupati IX. Nama Kg. Dalem Adipati Wiratanoeningrat ialah Aom Saleh. Sepeninggal Kg. Ibu, pada usia 8 bulan, beliau diasuh oleh eyang sepupu, Kg. Dalem Adipati Wirahadiningrat (Dalem Bintang) bupati ke XIII, sewaktu usianya 8 tahun pada saat ayahnya Kg. Dalem Aria menjadi wedana di Jampang Wetan, disekolahkan disekolah Belanda di Sukabumi selama 2 tahun, kemudian dipindahkan kesekolah Belanda di Bogor. Setelah 2 tahun lamanya belajar disekolah itu, saat umur 12 tahun beliau lalu masuk kesekolah menak (Hoofden-School) di Bandung sampai tahun 1896. Menurut surat residen Priangan Schappen tanggal 5 April 1897, No. 2932/8, beliau ditugaskan sebagai Joeroe Serat Controluer Bandung Utara, dan kurang lebih 3 tahun, juga berdasarkan surat Kg. Resident yang tersebut diatas tertanggal 5 Oktober 1901, No. 12937/8, menerima pengangkatan menjadi asisten wedana di Andir, wilayah Ujung Berung Barat, daerah Bandung. 

Setelah kurang lebih 7 tahun memegang jabatan tersebut diatas, berdasarkan surat Goepernemen tertanggal 12 Febuari 1908, No. 28, beliau menerima pengangkatan menjadi wedana di wilayah Cihelang daerah Sukabumi. Hanya 7 bulan beliau menjabat diwilayah tersebut, dengan keputusan pemerintah yang telah dijanjikan dalam pembangunan, mengolah serta mengatur urusan pemerintahan, maka berdasarkan surat Goepernement tertanggal 23 Agustus 1908, No. 2, beliau diangkat menjadi Bupati di Sukapura. Istri beliau, bernama Rd. Ayoe Radja Pamerat, dilahirkan pada tanggal 3 Januari 1893. Ibunya bernama R. Ayoe Tedja Pamerat, putri R. Djajadiningrat, pensiunan wedana Jampang; cucu Kg. Dalem Adipati Martanagara, bupati Bandung; buyut Kg. Dalem Koesoemahjoeda, wilayah kabupaten Sumedang.Sapa hingkang dasaraken becik, ora wurung benjang manggih harja sarta saturun-turunne, yén kalakon dadi agung, begitulah nasehat dari kiai Ageng Sela ketika memberikan nasehat kepada putra dan cucunya. Nasehat itu tidak menyimpang sedikitpun dari ajaran keagamaan menurut Kg. Dalem Koesoemahjoeda (buyut Kg. Dalem Istri turunan dari Ibu), yang telah memberikan kasih sayang tanpa pamrih kepada Kg. Dalem Tumenggung Danoeningrat, buyut Adipati Wiratanoeningrat, menurut apa yang telah tersirat dalam pesan para kanjeng bupati ke VIII dan IX. Sampai kepada waktu penyusunan sejarah ini putra-putri Kg. Dalem Adipati Wiratanoeningrat ada 19, yang nama-namanya adalah sebagai berikut.

1.      Nyi R. Roekiah (Juag Nana), isteri Kg. Dalem Tumenggung A. Soeria Nata Atmadja.

2.      Nyi R. Tarqijah (Juag Enggah), isteri R. Tjintaka.

3.      R. Djaelani.

4.      Nyi R. Soehaemi (Juag Tatan), isteri R. Hilman Djajadiningrat.

5.      Nyi R Siti Fatmah Koeraesin (Juag Dadan)

6.      R. Achmad Moh. Harmaen (Aom Herman).

7.      R. Moh. Ali (Aom Mali).

8.      R. Moh. Fatah Djoebaedi (Aom Edy).

9.      R. Moh. Hasan Rahmat.

10.  R. Moh. Husein Rahmat (Aom Tiki).

11.  Nyi R. Djoebaedah (Juag Djamdjam).

12.  Nyi R. Siti Rahmah (Juag Siti rahmah)

13.  Nyi R. Koerniasih (Juag Ade).

14.  R. Abdul Kadir (Aom Kadir).

15.  Nyi R. Siti Roekiah.

16.  R. Abdoel Moehjidin (Aom Moehji).

17.  R. Abdoellah (Aom Abdoellah).

18.  R. Sapei (Aom Sapei).

19.  R. Abdoellah Solichin (Aom Solichin).

Kg. Dalem Adipati Wiratanoeningrat mempunyai 9 adik yang nama-namanya adalah sebagai berikut;

1.     R. Ajoe Radjamirah, isteri R.Rg. Danoeatmadja Wadana Pansiun  Limbangan

2.      R. Rg. Prawiraadiningrat (Aom Rio), Wadana Lurahgung)

3.      R. Kd. Wiratanoewangsa (Aom Tjoetjoe), Wadana Cilimus

4.     R. Prawiraadiningrat (Aom Dikdik), Controleur Resident gentschapsbedrijven Sukabumi

5.      R. Ponpon Prawiraadiningrat

6.      R. Soele Prawiraadiningrat

7.      Agan Tjitjih

8.      R. Tjentén

9.      R. Daroes

1938-1944

BUPATI Ke – XV

Setelah bupati ke XIV wafat digantikan oleh R. Tumenggung Wiradipoetra paman misan dari bapak, putra Dalem Bintang. Pengangkatan Bupati berdasarkan surat dari pemerintah No. 16. Diberi gelar Adipati, beristri R. Bentang Radja saudari misan dari bapak, yaitu putra Dalem Bogor.

1944-1947

BUPATI Ke – XVI

Berdasarkan permintaan Kg. Dalem Adipati Wiradipoetra untuk berhenti dan pensiun, kemudian digantikan oleh adiknya yang bernama R. Tumenggung Aria Soenarya (sebelumnya Bupati Ciamis), putra dari bupati ke XII, R. Tumenggung Wirahadiningrat.

1947-1949

BUPATI Ke – XVII

Dengan kepindahan R. Tumenggung Aria Soenarya ke Bandung, maka jabatan bupati digantikan lagi oleh R. Tumenggung Wiradipoetra (adalah bupati Sukapura ke XV). Pada tahun 1949 Dalem Wiradipoetra mengajukan pensiun.

 

Doa Nabi Sulaiman Menundukkan Hewan dan Jin

  Nabiyullah Sulaiman  'alaihissalam  (AS) merupakan Nabi dan Rasul pilihan Allah Ta'ala yang dikaruniai kerajaan yang tidak dimilik...