Selasa, 24 November 2020

Sejarah Perkembangan Tebu Ireng


Tebuireng adalah nama sebuah pedukuhan yang termasuk wilayah administratif Desa Cukir, Kecamatan Diwek, Kabupaten Jombang, berada pada kilometer 8 dari kota Jombang ke arah selatan. Nama pedukuhan seluas 25,311 hektar ini kemudian dijadikan nama pesantren yang didirikan oleh Kiai Hasyim.

Menurut penuturan masyarakat sekitar, nama Tebuireng berasal dari kata ”kebo ireng” (kerbau hitam). Konon, ada seorang penduduk yang memiliki kerbau berkulit kuning. Suatu hari, kerbau tersebut menghilang dan setelah dicari kian kemari, kerbau itu ditemukan dalam keadaan hampir mati karena terperosok di rawa-rawa yang banyak dihuni lintah. Sekujur tubuhnya penuh lintah, sehingga kulit kerbau yang semula berwarna kuning kini berubah menjadi hitam. Peristiwa ini menyebabkan pemilik kerbau berteriak ”kebo ireng …! kebo ireng …!”Sejak sat itu, dusun tempat ditemukannya kerbau itu dikenal dengan nama Kebo Ireng.

Pada perkembangan selanjutnya, ketika penduduk dusun tersebut mulai ramai, nama Kebo Ireng berubah menjadi Tebuireng. Tidak diketahui dengan pasti kapan perubahan itu terjadi dan apakah hal itu ada kaitannya dengan munculnya pabrik gula di selatan dusun tersebut, yang banyak mendorong masyarakat untuk menanam tebu? Karena ada kemungkinan, karena tebu yang ditanam berwarna hitam maka dusun tersebut berubah nama menjadi Tebuireng. Dan awal Mbah Hasyim Rawuh ke Dusun tersebut untuk mencari tempat berupa hutan (kebun) tebu ireng.

Berdirinya Pesantren Tebuireng

Pondok Pesantren Tebu ireng didirikan oleh Kyai Hasyim Asy’ari pada tahun 1899 M. dan mendapat pengakuan dari pemerintah Hindia Belanda pada 16 Rabiul Awwal 1324 H / 6 Februari 1899 M. 
Beliau dilahirkan pada hari Selasa Kliwon tanggal 24 Dzul Qa’dah 1287 H. bertepatan dengan 14 Februari 1871 M. Kelahiran beliau berlangsung di rumah kakeknya, Kyai Utsman, di lingkungan Pondok Pesantren Gedang Jombang. Hasyim kecil tumbuh dibawah asuhan ayah, ibu dan kakeknya di Gedang. Dan seperti lazimnya anak kyai pada saat itu, Hasyim tak puas hanya belajar kepada ayahnya, pada usia 15 tahun ia pergi ke Pondok Pesantren Wonokoyo Pasuruan lalu pindah ke Pondok Pesantren Langitan Tuban dan ke Pondok Pesantren Tenggilis Surabaya. Mendengar bahwa di Madura ada seorang kyai yang masyhur, maka setelah menyelesaikan belajarnya di Pesantren Tenggilis ia berangkat ke Madura untuk belajar pada Kyai Muhammad Kholil. Dan masih banyak lagi tempat Hasyim menimba ilmu pengetahuan agama, hingga ahirnya beliau diambil menantu oleh salah satu gurunya yaitu Kyai Ya’qub, pada usia 21 tahun Hasyim dinikahkan dengan putrinya yang bernama Nafisah pada tahun 1892. 

Selanjutnya bersama mertua dan isterinya yang sedang hamil pergi ke Mekkah untuk menunaikan ibadah haji sambil menuntut ilmu. Namun musibah seakan menguji ketabahannya, karena tidak lama istrinya tiba-tiba jatuh sakit dan meninggal. kesedihan itu semakin bertumpuk, lantaran empat puluh hari kemudian buah hatinya, Abdullah, wafat mengikuti ibunya. Selama di Mekkah, Hasyim muda berguru kepada banyak ulama’ besar yaitu Syekh Syuaib bin Abdurrahman, Syekh Muhammad Mahfuzh at-Turmusi dan Syekh Muhammad Minangkabau dan masih banyak lagi ulama’ besar lainnya. Sejak pulang dari pengembaraannya menuntut ilmu di berbagai pondok pesantren terkemuka dan bahkan ke tanah suci Mekkah, beliau ingin mengamalkan ilmu yang telah beliau dapatkan.

Pada penghujung abad ke-19, di sekitar Tebuireng bermunculan pabrik-pabrik milik orang asing (terutama pabrik gula). Bila dilihat dari aspek ekonomi, keberadaan pabrik-pabrik tersebut memang menguntungkan karena akan membuka banyak lapangan kerja. Akan tetapi secara psikologis justru merugikan, karena masyarakat belum siap menghadapi industrialisasi. Mereka belum terbiasa menerima upah sebagai buruh pabrik. Upah yang mereka terima biasanya digunakan untuk hal-hal yang bersifat konsumtif-hedonis. Budaya judi dan minum minuman keras pun menjadi tradisi.

Ketergantungan rakyat terhadap pabrik kemudian berlanjut pada penjualan tanah-tanah rakyat yang memungkinkan hilangnya hak milik atas tanah. Diperparah lagi oleh gaya hidup masyarakat yang amat jauh dari nilai-nilai agama.

Kondisi ini menyebabkan keprihatinan mendalam pada diri Kiai Hasyim. Beliau kemudian membeli sebidang tanah milik seorang dalang terkenal di dusun Tebuireng. Lalu pada tanggal 26 Rabiul Awal 1317 H (bertepatan dengan tanggal 3 Agustus 1899 M.), Kiai Hasyim mendirikan sebuah bangunan kecil yang terbuat dari anyaman bambu (Jawa: tratak), berukuran 6 X 8 meter.‎ Bangunan sederhana itu disekat menjadi dua bagian. Bagian belakang dijadikan tempat tinggal Kiai Hasyim bersama istrinya, Nyai Khodijah, dan bagian depan dijadikan tempat salat (mushalla). Saat itu santrinya berjumlah 8 orang,‎ dan tiga bulan kemudian meningkat menjadi 28 orang.

Kehadiran Kiai Hasyim di Tebuireng tidak langsung diterima dengan baik oleh masyarakat. Gangguan, fitnah, hingga ancaman datang bertubi-tubi. Tidak hanya Kiai Hasyim yang diganggu, para santripun sering diteror. Teror itu dilakukan oleh kelompok-kelompok yang tidak menyukai kehadiran pesantren di Tebuireng. Bentuknya beraneka ragam. Ada yang berupa pelemparan batu, kayu, atau penusukan senjata tajam ke dinding tratak. Para santri seringkali harus tidur bergerombol di tengah-tengah ruangan, karena takut tertusuk benda tajam. Gangguan juga dilakukan di luar pondok, dengan mengancam para santri agar meninggalkan pengaruh Kiai Hasyim. Gangguan-gangguan tersebut berlangsung selama dua setengah tahun, sehingga para santri disiagakan untuk berjaga secara bergiliran.

Ketika gangguan semakin membahayakan dan menghalangi sejumlah aktifitas santri, Kiai Hasyim lalu mengutus seorang santri untuk pergi ke Cirebon, Jawa Barat, guna menemui Kiai Saleh Benda kerep, Kiai Abdullah Panguragan, Kiai samsuri Wanantara, dan Kiai Abdul Jamil Buntet. Keempatnya merupakan sahabat karib Kiai Hasyim. Mereka sengaja didatangkan ke Tebuireng untuk melatih pencak silat dan kanuragan selama kurang lebih 8 bulan.

Dengan bekal kanuragan dan ilmu pencak silat ini, para santri tidak khawatir lagi terhadap gangguan dari luar. Bahkan Kiai Hasyim sering mengadakan ronda malam seorang diri. Kawanan penjahat sering beradu fisik dengannya, namun dapat diatasi dengan mudah. Bahkan banyak diantara mereka yang kemudian meminta diajari ilmu pencak silat dan bersedia menjadi pengikut Kiai Hasyim. Sejak saat itu Kiai Hasyim mulai diakui sebagai bapak, guru, sekaligus pemimpin masyarakat.

Selain dikenal memiliki ilmu pencak silat, Kiai Hasyim juga dikenal ahli di bidang pertanian, pertanahan, dan produktif dalam menulis. Karena itu, Kiai Hasyim menjadi figur yang amat dibutuhkan masyarakat sekitar yang rata-rata berprofesi sebagai petani. Ketika seorang anak majikan Pabrik Gula Tjoekir berkebangsaan Belanda, sakit parah dan kritis, kemudian dimintakan air do’a kepada Kiai Hasyim, anak tersebut pun sembuh.

Luasnya pengaruh Kiai Hasyim

Dengan tumbuhnya pengakuan masyarakat, para santri yang datang berguru kepada Kiai Hasyim bertambah banyak dan datang dari berbagai daerah baik di Jawa maupun Madura. Bermula dari 28 orang santri pada tahun 1899, kemudian menjadi 200 orang pada tahun 1910, dan 10 tahun berikutnya melonjak menjadi 2000-an orang, sebagian di antaranya berasal dari Malaysia dan Singapura. Pembangunan dan perluasan pondok pun ditingkatkan, termasuk peningkatan kegiatan pendidikan untuk menguasai kitab kuning.

Kiai Hasyim mendidik santri dengan sabar dantelaten. Beliau memusatkan perhatiannya pada usaha mendidik santri sampai sempurna menyeleseaikan pelajarannya, untuk kemudian mendirikan pesantren di daerahnya masing-masing. Beliau juga ikut aktif membantu pendirian pesantren-pesantren yang didirikan oleh murid-muridnya, seperti Pesantren Lasem (Rembang, Jawa Tengah), Darul Ulum (Peterongan, Jombang), Mambaul Ma’arif (Denanyar, Jombang), Lirboyo (Kediri), Salafiyah-Syafi’iyah (Asembagus, Situbondo), Nurul Jadid (Paiton Probolinggo), dan lain sebagainya.

Pada masa pemerintahan Jepang, tepatnya tahun 1942, Sambu Beppang (Gestapo Jepang) berhasil menyusun data jumlah kiai dan ulama di Pulau Jawa. Ketika itu jumlahnya mencapai 25.000an orang, dan mereka rata-rata pernah menjadi santri di Tebuireng. Hal ini menunjukkan batapa basar pengaruh Pesantren Tebuireng dalam pengembangan dan penyebaran Islam di Jawa pada awal abad ke-20.

Karena kemasyhurannya, para kiai di tanah Jawa mempersembahkan gelar ”Hadratusy Syeikh” yang artinya ”Tuan Guru Besar” kepada Kiai Hasyim. Beliau semakin dianggap keramat, manakala Kiai Kholil Bangkalan yang dikeramatkan oleh para kiai di seluruh tanah Jawa-Madura, sebelum wafatnya tahun 1926, telah memberi sinyal bahwa Kiai Hasyim adalah pewaris kekeramatannya. Diantara sinyal itu ialah ketika Kiai Kholil secara diam-diam hadir di Tebuireng untuk mendengarkan pengajian kitab hadis Bukhari-Muslim yang disampaikan Kiai Hasyim. Kehadiran Kiai Kholil dalam pengajian tersebut dinilai sebagai petunjuk bahwa setelah meninggalnya Kiai Kholil, para Kiai di Jawa-Madura diisyaratkan untuk berguru kepada Kiai Hasyim.

Bisa dikatakan, Pesantren Tebuireng pada masa Kiai Hasyim merupakan pusatnya pesantren di tanah Jawa. Dan Kiai Hasyim merupakan kiainya para kiai. Terbukti, ketika bulan Ramadhan tiba, para kiai dari berbagai penjuru tanah Jawa dan Madura datang ke Tebuireng untuk ikut berpuasa dan mengaji Kitab Shahih Bukhari-Muslim.

Keberadaan Pesantren Tebuireng akhirnya berimplikasi pada perubahan sikap dan kebiasaan hidup masyarakat sekitar. Bahkan dalam perkembangannya, Pesantren Tebuireng tidak saja dianggap sebagai pusat pendidikan keagamaan, melainkan juga sebagai pusat kegiatan politik menentang penjajah. Dari pesantren Tebuireng lahir partai-partai besar Islam di Indonesia, seperti Nahdlatul Ulam (NU), Masyumi (Majelis Syuro A’la Indonesia), Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI), serta laskar-laskar perjuangan seperti Sabilillah, Hizbullah, dsb.

Pada awal berdirinya, materi pelajaran yang diajarkan di Tebuireng hanya berupa materi keagamaan dengan sistem sorogan danbandongan..‎Namun seiring perkembangan waktu, sistem pengajaran secara bertahap dibenahi, diantaranya dengan menambah kelas musyawaroh sebagai kelas tertinggi, lalu pengenalan sistem klasikal (madrasah) tahun 1919, kemudian pendirian Madrasah Nidzamiyah yang di dalamnya diajarkan materi pengetahuan umum, tahun 1933.

Tebuireng Sekarang

Menapaki akhir abad ke-20, Pesantren Tebuireng menambah beberapa unit pendidikan, seperti Madrasah Tsanawiyah (MTs), Madrasah Aliyah (MA), Sekolah Menengah Pertama (SMP), Sekolah Menengah Atas (SMA), hingga Universitas Hasyim Asy’ari (UNHASY, kini IKAHA). Bahkan unit-unit tersebut kini ditambah lagi dengan Madrasah Diniyah, Madrasah Mu’allimin, dan Ma’had Aly, disamping unit-unit penunjang lainnya seperti Unit Penerbitan Buku dan Majalah, Unit Koperasi, Unit Pengolahan Sampah, Poliklinik, Unit Penjamin Mutu, unit perpustakaan, dan lain sebagainya (akan dijelaskan kemudian). Semua unit tersebut (selain UNHASY), merupakan ikon dari eksistensi Pesantren Tebuireng sekarang.

Secara geografis, letak Pesantren Tebuireng cukup strategis, karena berada di tepi jalan raya Jombang-Malang dan Jombang-Kediri. Lalu lintas yang melewati Desa Cukir terbagi dalam tiga jalur.Pertama jalur utara-barat daya yang merupakan lintasan dari kota Jombang menuju Kediri-Tulungagung-Trenggalek melewati Pare. Keduaadalah jalur utara-tenggara yang merupakan lintasan dari kota Jombang menuju Malang melalui kota Batu. Ketiga ialah jalur barat-timur yang merupakan lintasan dari Desa Cukir menuju Kecamatan Mojowarno. Mencari kendaraan umum tidak terlalu sulit di desa ini, karena hampir setiap 2-3 menit sekali, ada mikrolet yang lewat. Pada jalur pertama dan kedua tidak hanya dilalui mikrolet (sebagaimana jalur ketiga), melainkan juga dilalui bus dan truk angkutan barang dari Surabaya-Kediri-Tulungagung-Trenggalek lewat Jombang dan Pare. Kondisi seperti ini sudah tampak sejak awal tahun 1990-an, sebagaimana hasil penelitian Imron Arifin (1993).

Pada awal tahun 1900-an, penduduk Tebuireng rata-rata berprofesi sebagai petani dan pedagang. Namun sekarang keadaannya sudah berbeda. Mayoritas penduduk Tebuireng kini bekerja sebagai pedagang, pegawai pemerintah dan swasta, dan sebagian lagi berprofesi sebagai guru. Jarang sekali yang berprofesi sebagai petani.

Penduduknya rata-rata memiliki sepeda motor. Rumah mereka sudah tergolong bagus, tidak ada lagi yang terbuat dari anyaman bambu (gedek) seperti pada awal pendirian Pesantren Tebuireng. Pesawat TV yang dulu hanya dimiliki oleh sebagian pegawai Pabrik Gula Tjoekir, kini sudah menghiasi setiap rumah penduduk. Banyak diantara mereka sudah memiliki mobil dan komputer.

Suasana sehari-hari di Dukuh Tebuireng lebih ramai dibanding dengan kota kecamatannya, Diwek. Keberadaan Pabrik Gula Tjoekir, Pasar Cukir, Puskesmas dan poliklinik yang melayani rawat-inap, keberadaan Kantor Pos, bank-bank swasta dan pemerintah yang dilengkapi ATM, mengudaranya beberapa pemancar radio, serta banyaknya mini market, toko-toko kelontong, warung-warung dan kedai-kedai yang berjejer di sepanjang jalan, membuat kawasan ini selalu ramai dengan beragam aktivitas.

Semaraknya suasana Tebuireng dan sekitarnya, ditopang oleh keberadaan pesantren-pesantren yang tersebar di hampir setiap sudut desa. Suasana kahidupan pesantren sangat terasa di kawasan ini. Setiap hari, orang-orang bersarung, berpeci, dan berjilbab, berlalu-lalang di sekitar jalan raya. Bila lebaran tiba, kawasan Tebuireng dan sekitarnya menjadi sepi karena para santri/siswa pulang kampung (mudik). Ini membuktikan bahwa keberadaan santri/siswa merupakan faktor utama yang membuat semarak kehidupan di Tebuireng dan sekitarnya.
 
***

Dari uraian di muka, terlihat jelas bahwa Pesantren Tebuireng memiliki peran yang sangat signifikan, sejak awal berdirinya hingga sekarang. Peran itu dimulai dari perjuangan merebut dan mempertahankan kemerdekaan RI, perjuangan menyebarkan ajaran agama dan mencerdaskan kehidupan bangsa, pengembangan ekonomi masyarakat dan penguatan civil society. Banyaknya kader-kader terbaik bangsa yang lahir dari lembaga ini, juga merupakan bukti bahwa Pesantren Tebuireng tidak pernah lelah berjuang. Peran vital itu semakin dikukuhkan dengan keikutsertaan para pengasuh dan alumninya dalam percaturan politik nasional.

Dua orang tokohnya, Kiai Hasyim Asy’ari dan Kiai Wahid Hasyim, bahkan mendapat gelar pahlawan nasional. Keduanya juga merupakan tokoh pendiri dan penerus perjuangan Nahdlatul Ulama, organisasi Islam terbesar di Indonesia dan Asia Tenggara. Salah seorang keturunan Kiai Hasyim, yaitu KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur), pernah menjadi presiden keempat Republik Indonesia. Karena itu, tidak berlebihan kiranya bila sebagian masyarakat menyebut Tebuireng sebagai ”Pesantren Perjuangan”.
___________

Versi lain yang menuturkan bahwa nama Tebuireng berawal dari pemberian nama oleh seorang punggawa kerajaan Majapahit yang masuk Islam dan kemudian tinggal di sekitar dusun tersebut.

Tanggal pendirian tratak ini dicatat sebagai awal berdirinya Pesantren Tebuireng. 

Konon, kedelapan orang santri itu dibawa oleh Kiai Hasyim dari pesantren Keras (asuhan Kiai Asy’ari).

Metode sorogan diterapkan baik bagi santri pemula maupun bagi santri senior. Untuk santri pemula, dilakukan dengan cara maju satu persatu dan menyodorkan kitabnya masing-masing. Lantas gurunya membacakan salah satu kalimat dalam bahasa Arab, kemudian menerjemahkan dalam bahasa setempat dan menerangkan maksudnya. Santri yang mengaji diharuskan menyimak kitabnya sambil memberi tanda tertentu pada kalimat yang baru dibacakan. Metode sorogan untuk pemula ini biasanya dilaksanakan oleh santri senior pembantu Kiai, yang disebut qori’ atau badal. Sedang untuk santri senior, metode sorogan lazim diterapkan untuk pengajian yang bersifat khusus. Caranya, santri yang bersangkutan menghadap kiai sambil membawa kitab yang akan dibaca. Kiai hanya tinggal menyimak dan meluruskan bacaan yang salah, serta memberikan komentar bila diperlukan. Metode ini cukup efektif untuk memacu kemajuan santri dalam hal penguasaan kitab klasik.

Pengembangan Pesantren Tebuireng

Pendidikan semula berlangsung secara sorogan (santri membaca, guru menyimak) dan bandongan (guru membaca, santri menyimak). Sejak tahun 1916 mulai dirintis pendidikan dalam bentuk klasikal, meskipun masih sangat sederhana. Baru pada tahun 1926 pendidikan banyak mengalami penyempurnaan baik kurikulum maupun metodenya, termasuk tambahan pelajaran umum yang meliputi bahasa Indonesia, Ilmu Bumi dan Berhitung.

Untuk meningkatkan pendidikan di Tebuireng, Kyai Hasyim menunjuk Abdul Wahid Hasyim (putra) dan Moh. Ilyas (santri), -sebelumnya telah diutus untuk belajar di Makkah- untuk mengembangkan pendidikan di Tebuireng. Kesempatan baik ini, dimanfaatkan oleh mereka berdua untuk mengadakan pembaharuan dalam tiga bidang yakni:

Memperluas pengetahuan para santri
Memasukkan pengetahuan modern ke dalam kurikulum madrasah
Meningkatkan sistem pengajaran bahasa Arab secara aktif

Sebagai langkah pembaharuan, tahun 1934 Abdul Wahid Hasyim merintis Madrasah Nidhomiyah yang banyak menyajikan pelajaran umum dan ditunjang dengan memasukkan surat kabar, majalah, buku-buku pengetahuan umum yang berbahasa Indonesia, Arab dan Inggris. Perkembangan sistem pendidikan ini tidak meninggalkan pola pengajaran khas pondok pesantren yaitu pengajian kitab klasik (kuning).

Usaha pembaharuan ini memang tidak menampak hasil nyata dalam waktu dekat. Namun saat penjajahan Jepang diberlakukan larangan surat menyurat selain dengan huruf latin, hal itu tidak menimbulkan masalah bagi santri Tebuireng. Dengan modal mempelajari pengetahuan umum di Tebuireng, banyak alumni Tebuireng dengan cepat mampu menguasai keadaan untuk menolong umat Islam yang terjajah. Misalnya di bidang politik menjadi anggota ‘sangi kay’ (DPR tingkat Karesidenan), menguasai sentra-sentra ekonomi, bahkan pasca kemerdekaan banyak yang menduduki jabatan kepala di suata jawatan.

Model pendidikan ini olah Abdul Wahid Hasyim disebut ‘da’wah dari dasar’. Dengan demikian gerakan bagi pembaharuan pendidikan Islam, pemahaman kehidupan agama dan gerakan sosial, terpadu dalam misi Pondok Pesantren Tebuireng. Akibat dari aktivitas Tebuireng ini tidak hanya dirasakan oleh santri-santrinya, tetapi juga oleh masyarakat muslim di luar Pondok Pesantren. Tujuan pendidikan yang dirintis oleh Abdul Wahid Hasyim ini adalah untuk mensejajarkan derajat dan martabat santri dengan pelajar-pelajar dari Barat.

Pada 25 Juli 1947 Kyai Hasyim dipanggil menghadap Allah SWT. Jabatan pengasuh digantikan oleh putranya sendiri, KH. Abdul Wahid Hasyim yang memgang jabatan hingga tahun 1950. Ketika beliau diangkat menjadi menteri agama RI dalam kabinet RIS, kedudukan sebagai pengasuh digantikan KH. Baidlowi, menantu Kyai Hasyim. Berturut-turut wewenang pengasuh diemban oleh KH. Abdul Karim Hasyim dan kemudian oleh KH. Abdul Kholiq Hasyim yang saat itu telah non-aktif sebagai seorang senior Divisi Brawijaya.

Saat kepemimpinan KH. Abdul Kholiq ini Madrasah Nidhomiyah berganti nama menjadi Madrasah Salafiyah Syafi’iyah. Perubahan nama ini sebenarnya diakibatkan oleh perubahan dalam approuch terhadap pemberian ajaran agama yang melebar, dengan memiliki jenjang pendidikan dasar, lanjutan pertama dan lanjutan atas. Karena masih merupakan sebuah percobaan, pada masa 10 tahun pertama konsep salafiyah ini masih mengalami perubahan bentuk dan nama berkali-kali, seperti wustho, mu’alimin dan lain sebagainya.

Lambat laun sistem salafiyah ini menetap dalam bentuk yang baku, yaitu 6 tahun pendidikan dasar (ibtida’iyah), dan 3 tahun lanjutan atas (aliyah), dengan komposisi 65% mata pelajaran agama dan 35% mata pelajaran umum. Pada tahun 1965 KH. Abdul Kholiq wafat, sedangkan kakak beliau KH. A. Wahid Hasyim telah mendahuluinya pada tahun 1953 dan kemudian menyusul KH. Abdul Karim Hasyim tahun 1973 di tanah suci Mekkah.

Kedudukan selanjutnya dipegang KHM. Yusuf Hasyim yang telah menjadi pengasuh dari tahun 1965 hingga tahun 2006 dan beberapa bulan sebelum beliau meninggal posisi pengasuh dipegang KH. Ir. Solahuddin Wahid putra dari KH. A. Wahid Hasyim hingga kini.

Di samping itu salah seorang menantu Kyai Hasyim yaitu Kyai Idris Kamali, secara tekun memimpin pengajian agama dalam bentuk pengajian sorogan sejak tahun 1950 an hingga tahun 1972, ketika beliau berangkat ke tanah suci untuk menetap di sana hingga beberapa waktu dan akhirnya wafat pada tahun 1986 di Cirebon.

Langkah Antisipatif

Pada masa berikutnya dikembangkan beberapa jalur pendidikan formal.

Pertama, jalur pendidikan formal yang berbentuk Salafiyah disempurnakan.

Kedua, jalur sekolah persiapan yang dirintis tahun 1970, dimana santri putus sekolah (drop out) dari sekolah-sekolah non agama (seperti SMU, SMP) memperoleh ajaran agama belaka. Sekolah ini lama belajarnya 2 tahun, untuk kemudian santrinya memasuki jalur pendidikan agama di atas. Dengan demikian jalur kedua ini sebagai by-pass untuk memasuki jalur pertama pada tingkat lanjutan.

Ketiga, jalur SMP dan SMU A. Wahid Hasyim yang dibuka tahun 1975. Tujuannya adalah untuk menampung mereka yang ingin bersekolah umum, dengan tetap memperoleh pelajaran agama dalam bentuk pengajian atau kursus.
Bagi santri Tebuireng yang mau berminat melanjutkan belajar ke perguruan tinggi, telah dirintis Universitas Hasyim Asy’ari pada tahun 1967 dengan Fakultas Syari’ah, Da’wah dan Tarbiyah yang sekarang berubah menjadi Institut KeIslaman Hasyim Asy’ari (IKAHA) dengan tiga Fakultas Syari’ah, Dakwah dan Tarbiyah.

Di tahun 2006 dibuka jenjang pendidikan Ma’had Aly (setingkat perguruan tinggi) yang disediakan khusus untuk santri-santri dengan kualifikasi dan kemampuan tertentu. Proses seleksi penerimaannya pun ketat. Jenjang pendidikan ini didirikan semasa kepemimpinan KH. Ir. Salahuddin Wahid setelah melihat semakin menurunnya kualitas santri dalam memahami dan mendalami kitab klasik yang menjadi rujukan pesantren selama ini.

Disamping disediakan lembaga pendidikan formal, juga disediakan sarana penunjang kegiatan untuk kelancaran belajar para santri. Misalnya Koperasi Pondok Pesantren (1973), Perpustakaan A. Wahid Hasyim (1974), Pusat Data Pesantren (PDP) 1977, Usaha Kesehatan Pondok Pesantren, Koperasi Jasa Boga (1993), Warung Telekomunikasi (1994), dan Warung Internet (1998).

KITAB-KITAB KARYA HADRATUS SYAIKH KH. MUHAMMAD HASYIM ASY’ARI PENDIRI PONDOK PESANTREN TEBUIRENG JOMBANG DAN JAM’IYAH NAHDLATUL ULAMA’

Adabul ‘Alim Wal Muta’allim 
Adalah sebuah kitab yang mengupas tentang pentingnya menuntut dan menghormati ilmu serta guru. Dalam kitab ini KH. M. Hasyim Asy’ari menjelaskan kepada kita tentang cara bagaimana agar ilmu itu mudah dan cepat dipahami dengan baik. Kitab yang terdiri dari beberapa bab ini, memberikan pula kepada kita pencerahan tentang mencari dan menjadikan ilmu benar-benar memberikan manfaat kepada masyarakat. Salah satu contoh yang diberikan oleh KH. M. Hasyim Asy’ari kepada kita adalah bahwa ilmu akan lebih mudah diserap dan diterima apabila kita dalam keadaan suci atau berwudhu terlebih dahulu sebelum mencari ilmu. Banyak hal yang bisa kita petik dalam rangka mencari ilmu ketika kita membaca kitab ini.

Risalah Ahlis Sunnah Wal Jama’ah 
Merupakan pedoman bagi warga NU dalam mempelajari tentang apa yang disebut ahlus sunnah wal jama’ah atau sering disingkat dengan ASWAJA. Dalam kitab ini, Hadratus Syaikh juga mengulas tentang beberapa persoalan yang berkembangan dimasyarakat semisal, apa yang disebut dengan bid’ah? Menerangkan pula tentang tanda-tanda kiamat yang terjadi pada masa sekarang ini. Banyak golongan yang mengaku bahwa mereka juga merupakan golongan ahlus sunnah wal jamaa’h. Akan tetapi dalam ibadah, amal perbuatannya banyak menyimpang dari tuntunan Rasulullah SAW. Dalam kitab ini diuraikan dengan jelas tentang bagaimana sebenarnya ahlus sunnah wal jama’ah tersebut.

At-Tibyan Fin Nahyi An-Muqothoatil Arham Wal Aqorib Wal Ikhwan 
Merupakan kumpulan beberapa pikiran khususnya yang berhubungan dengan Nahdlatul Ulama. Dalam kitab ini, ditekankan pentingnya menjalin silaturrohim dengan sesama serta bahayanya memutus tali sillaturohim. Didalam kitab ini pula, termuat Qunun Asas atau udang-undang dasar berdirinya Nadhatul Ulama (NU) serta 40 hadits nabi yang berhubungan dengan pendirian Nahdlatul Ulama. Dalam kitab ini, dikisahkan bahwa KH. Muhammad Hasyim Asy’ari pernah mendatangi seorang kyai yang ahli ibadah karena kyai tersebut tidak mau menyambung silaturrohim dengan masyarakat sekitar sehingga sempat terjadi perdebatan antara keduanya.

An-Nurul Mubin Fi Mahabbati Sayyidil Mursalin 
Merupakan karya KH. Muhammad Hasyim Asy’ari yang menjelaskan tentang rasa cinta kepada nabi Muhammad SAW. Dalam kitab tersebut, dijelaskan pula tentang sifat-sifat terpuji nabi Muhammad SAW yang bisa menjadi suri tauladan bagi kita semua. Dijelaskan pula tentang kewajiban kita taat, menghormati kepada perintah Allah SWT yang telah disampaikan melalui nabi Muhammad SAW baik melalui al-qur an atau hadits. Silsilah keluarga nabi Muhammad SAW, tidak luput dari pembahasan. Singkat kata, dalam kitab ini, kita mendapatkan sejarah yang relatif lengkap dan menarik untuk dikaji serta dijadikan tauladan menuju insan kamil.

Ziyadatut Ta’liqot 
Merupakan kitab yang berisi tentang polemik beliau dengan KH. Abdullah Bin Yasin Pasuruan tentang beberapa hal yang berkembang pada masa itu. Perdebatan terjadi pada beberapa masalah yang tidak sesuai antara pandangan Nahdlatul Ulama dengan KH. Abdullah Bin Yasin Pasuruan. Banyak sekali permasalahan yang diperdebatkan sehingga kitab ini begitu tebal dan permasalahan yang diperdebatkan masih terjadi dimasyarakat.

At-Tanbihatul Wajibat Li Man Yasna’ Al-Maulid Bil Munkaroti 
Adalah sebuah kitab tentang pandangan KH. Muhammad Hasyim Asy’ari tantang peringatan maulid nabi Muhammad SAW yang disertai dengan perbuatan maksiat atau munkar. Dalam kitab tersebut, diceritakan bahwa pada jaman dulu, disekitar Madiun, setelah pembacaan shalawat nabi, para pemuda segera menuju arena untuk mengadu keahlian dalam hal bela diri silat atau pencak. Acara itu, masih dalam rangkaian peringatan maulid serta dihadiri oleh gadis-gadis yang saling berdesakan dengan para pemuda. Mereka saling berteriak kegirangan hingga lupa bahwa saat itu, mereka sedang memperingati maulid nabi Muhammad SAW. Hal tersebut menimbulkan keprihatinan KH. Muhammad Hasyim Asy’ari sehingga beliau mengarang kitab ini.

Dhou’ul Misbah Fi Bayani Ahkamin Nikah 
Kitab ini berisi pikiran ataupun pandangan KH. Muhammad Hasyim Asy’ari tentang lembaga perkawinan. Dalam kitab tersebut, beliau menangkap betapa pada saat itu, banyak pemuda yang ingin menikah, akan tetapi tidak mengtahui syarat dan rukunnya nikah. Tidak tahu pula tentang tata cara / sopan santun dalam pernikahan sehingga dalam mereka menjadi bingung karenanya. Dalam kitab tersebut, terkandung beberapa nasehat yang penting agar lembaga perkawinan betul-betul bisa menjadi sebuah keluarga yang Sakinah, Mawaddah Wa Rahmah sesuai tuntunan agama.

KITAB-KITAB KARYA KH.ISHOM HADZIQ (GUS ISHOM) CUCU HADRATUS SYAIKH KH. MUHAMMAD HASYIM ASY’ARI

Miftahul Falah Fi Ahaditsin Nikah 
Adalah berisi hadits-hadist tentang perkawinan yang melengkapi kitab Dhou’ul Misbah Fi Bayani Ahkamin Nikah. Ditulis oleh almarhum gus Ishom Hadzik, kitab tersebut banyak menampilkan hadits-hadits yang sangat baik dalam rangka membentuk dan membina sebuah mahligai perkawinan yang berlandaskan tuntunan syariat Islam.

Audhohul Bayan Fi Ma Yata’allaq Bi Wadhoifir Ramadhan 
Adalah sebuah kumpulan kitab karya gus Ishom Hadzik yang berisi hadits-hadits tentang keutamaan bulan ramadhan yang mulia. Terdiri dari beberapa bab, hadits-hadits pilihan dalam kitab ini, memberikan kita tentang betapa mulianya bulan ramadhan. Dalam kitab tersebut, dapat kita ketahui tentang amalan-amalan yang sangat baik dilakukan ketika bulan ramadhan.
Irsyadul Mukminin 
Merupakan karya terakhir dari almarhum gus Ishom Hadzik. Ketika yang lebih mengarah kepada akhlak serta tasawuf ini, memberikan kita pengetahuan tentang ajaran Islam dari sisi moral dan tasawuf. Sungguh, sebagaimana kitab lainnya, kitab ini jika kita kaji dengan mendalam, akan menemukan pencerahan batiniah yang sangat bermanfaat bagi kehidupan kita yang lebih baik dimasa mendatang.‎

 

Runtuhnya Majapahit Bukan Karena Serangan Demak


Raden Patah dianggap anak durhaka dan tak tahu balas budi. Sudah diberi kekuasaan, malah menikam ayahandanya sendiri dari belakang. Ia menyerang dan hancurkan kerajaan Majapahit. Fakta sejarah ini sebenarnya yang tidak didukung oleh bukti-bukti yang akurat.

Fakta sejarah ini, terutama dicatat dalam naskah Darmogandul dengan tema Sabdopalon. Dikisahkan, Raden Patah dengan kerajaan barunya, yaitu Kerajaan Demak, menyerang Kerajaan Majapahit yang notabene dipimpin oleh ayah kandungnya sendiri, Prabu Brawijaya V.

Pada dasarnya, belum ada bukti konkret tentang kebenaran atas penyerangan Raden Patah atas Kerajaan Majapahit. Dalam catatan yang ditulis oleh Darmogandul, Raden Patah menyerang Majapahit dan mengakibatkan runtuhnya Majapahit adalah pada tahun 1478.

Yang lebih mengenaskan, karena peralihan antara kerajaan Majapahit menuju kerajaan Demak, dihubung-hubungkan sebagai perang antar-agama, yaitu agama Hindhu-Budha yang dianut Majapahit dan Islam. Fakta yang berlebihan. Sebab, sebagaimana kerajaan-kerajaan di tanah Jawa di era-era sebelum-sebelumnya, persoalan agama sangat jarang menjadi pemantik konflik, apalagi sampai menyebabkan perang berdarah.

Keruntuhan Kerajaan Majapahit, tidak berkaitan dengan penyerangan Kerajaan Demak dengan alasan keagamaan. Tetapi, keruntuhan Majapahit lebih banyak disebabkan konflik berkepanjangan para pemimpin internalnya sendiri. Urusan-urusan kerakyatan jadi tak terabaikan, Negara pun tidak lagi hadir dalam melindungi rakyat.

Berdirinya Kerajaan Demak, kemudian menjadi harapan baru rakyat akan hadirnya perubahan yang lebih baik, damai, aman dan sejahtera. Dengan kata lain, tanpa diserang pun, Kerajaan Majapahit pasti akan runtuh sendiri karena sudah kronis dalam konflik tak berkesudahan.

Ajaran Srategi Sunan Ampel dan Sunan Giri pada Demak

Setelah Syekh Maulana Malik Ibrahim wafat, maka Sunan Ampel diangkat sebagai sesepuh Wali Songo, sebagai Mufti atau pemimpin agama Islam se-Tanah Jawa. Beberapa murid dan putera Sunan Ampel sendiri menjadi anggota Wali Songo, mereka adalah Sunan Giri, Sunan Bonang, Sunan Drajad, Sunan Kalijaga, Sunan Muria, Sunan Bintoro  atau Raden Patah, Sunan Kudus dan Sunan Gunung Jati.

Raden Patah atau Sunan Bintoro  memang pernah menjadi anggota Wali Songo menggantikan kedudukan salah seorang wali yang meninggal dunia. Dengan diangkatnya Sunan Ampel sebagai sesepuh maka para wali lain tunduk patuh kepada kata-katanya. Termasuk fatwa beliau dalam memutuskan peperangan dengan pihak Majapahit.

Para wali yang lebih muda menginginkan agar tahta Majapahit direbut dalam tempo secepat-cepatnya. Tetapi Sunan Ampel berpendapat bahwa masalah tahta Majapahit tidak perlu diserang secara langsung, karena kerajaan besar itu sesungguhnya sudah keropos dari dalam, tak usah diserang oleh Demak Bintoro sebenarnya Majapahit akan segera runtuh. Para wali yang lebih muda menganggap Sunan Ampel terlalu lamban dalam memberikan nasehat kepada Raden Patah.

“Mengapa Ramanda berpendapat demikian?” tanya Raden Patah yang juga adalah menantunya sendiri. “Krena aku tidak ingin di kemudian hari ada orang menuduh Raja Demak Bintoro yang masih putera Raja Majapahit Prabu Kertabumi telah berlaku durhaka, yaitu berani menyerang ayahandanya sendiri”. Jawab Sunan Ampel dengan tenang.

“Lalu apa yang harus saya lakukan?”

“Kau harus sabar menunggu sembari menyusun kekuatan”, ujar Sunan Ampel. “Tak lama lagi Majapahit akan runtuh dari dalam, diserang Adipati lain. Pada saat itulah kau berhak merebut hak warismu selaku putera Prabu Kertabumi”.

“Majapahit diserang adipati lain? Apakah saya tidak berkwajiban membelanya?”

“Inilah ketentuan Tuhan”,sahut Sunan Ampel. Waktu kejadiannya masih dirahasiakan. Aku sendiri tidak tahu persis kapankah persitiwa itu akan berlangsung. Yang jelas bukan kau adipati yang menyerang Majapahit itu. Sunan Ampel adalah penasehat Politik Demak Bintoro sekaligus merangkap Pemimpin Wali Songo atau Mufti Agama se-Tanah Jawa. Maka fatwa nya dipatuhi semua orang.

Kekhawatiran Sunan Ampel pun terbukti. Dikemudian hari ternyata orang-orang pembenci Islam memutar balikkan fakta sejarah, mereka menuliskan bahwa Majapahit jatuh diserang oleh kerajaan Demak Bintoro yang rajanya adalah putera raja Majaphit sendiri. Dengan demikian Raden Patah dianggap sebagai anak durhaka. Ini dapat anda lihat didalam serat darmo gandul maupun sejarah yang ditulis sarjana kristen pembenci Islam.

Raden Patah dan para wali lainnya akhirnya tunduk patuh pada fatwa Sunan Ampel. Tibalah saatnya Sunan Ampel Wafat pada tahun 1478 M. Sunan Kalijaga diangkat sebagai penasehat bagian politik Demak, Sunan Giri diangkat sebagai pengganti Sunan Ampel sebagai Mufti, pemimpin para wali dan pemimpn agama se-Tanah Jawa.setelah Sunan Giri diangkat sebagai Mufti sikapnya terhadap Majapahit sekarang berubah. Ia mneyetujui aliran tuban untuk memberi fatwa kepada Raden Patah agar menyerang Majapahit.

Mengapa Sunan Giri bersikap demikian?

Karena pada tahun 1478 kerjaan Majapahit diserang oleh Prabu Rana Wijaya atau Girindrawardhana dari kadipaten kediri atau keling. Dengan demikian sudah tepatlah jika Sunan Giri meneyetujui penyerangan Demak atas Majapahit. Sebab pewaris sah tahta kerajaan Majapahit adalah Raden Patah selaku putera Raja Majapahit yang terakhir.

Demak kemudian bersiap-siap menyusun kekuatan. Namun belum lagi serangan dilancarkan. Prabu Rana Wijaya atau Girindra wardana  keburu tewas diserang oleh Prabu Udara pada tahun 1498.

Pada tahun 1512, Prabu Udara selaku Raja Majapahit merasa terancam kedudukannya karena melihat kedudukan Demak yang didukung Giri Kedaton semakin kuat dan mapan. Prabu udara kuatir jika terjadi peperangan akan menderita kekalahan, maka dia minta bekerjasama dan minta bantuan Portugis di Malaka. Padahal putera mahkota Demak yaitu Pati Unus pada tahun1511 telah menyerang Protugis.

Sejarah telah mencatat bahwa Prabu Udara telah mengirim utusan ke Malaka untu menemui Alfinso d’Albuquerque untuk menyerahkan hadiah berupa 20 genta (gamelan), sepotong kain panjang bernama “Beirami” tenunan kambayat, 13 batang lembing yang ujungnya berbesi dan sebagainya. Maka tidak salah jika pada tahun 1517 Demak menyerang Prabu Udara yang merampas tahta majapahit secara sah. Dengan demikian jatuhlah Majapahit ke tangan Demak. Seandainya Demak tidak segera menyerang Majapahit tentunya bangsa Portugis akan menjajah Tanah Jawa jauh lebih cepat daripada Bangsa Belanda. Setelah Majapahit jatuh pusaka kerajaan diboyong ke Demak Bintoro. Termasuk mahkota rajanya. Raden Patah diangkat sebagai raja Demak yang pertama.

Sunan Ampel juga turut membantu mendirikan Mesjid Agung Demak yang didirikan pada tahun 1477 M. Salah satu diantara empat tiang utama mesjid Demak hingga sekarang masih diberi nama sesuai dengan yang membuatnya yaitu Sunan Ampel.

Beliau pula yang pertama kali menciptakan huruf pegon atau tulisan arab berbunyi bahasa Jawa. Dengan huruf pegon ini beliau dapat menyampaikan ajaran-ajaran Islam kepada para muridnya. Hingga sekarang huruf pegon tetap diapaki sebagai bahan pelajaran agama Islam dikalangan pesantren.

Penyerangan Demak kepada Portugis di Malaka 

Sejak tahun 1509, Pati Unus, raja Demak, sudah merancang rencana untuk menguasai Malaka. Saat itu Malaka berada di bawah kekuasaan Kesultanan Malaka. Dengan kata lain, perlu dicatat bahwa serangan Demak ke Malaka jelas bukanlah sebuah serangan anti-kekuasaan asing, tetapi sebuah invasi imperialis. Tahun 1511, Alfonso D'Alburquerque, Laksamana armada Portugis, mendahului Pati Unus dengan menaklukkan Malaka. Sultan Malaka Mahmud Syah melarikan diri ke Bintan.

Pati Unus sangat mengerti bahwa kekuatan utama Portugis adalah pada armada lautnya. Portugis memiliki kapal yang kuat, bahkan lebih kuat dibandingkan dengan kapal Majapahit. Selain itu, Portugis sudah menggunakan meriam yang dipasang di masing - masing kapal di mana pada waktu itu meriam adalah senjata pamungkas yang tidak bisa ditandingi oleh senjata apapun.

Oleh karena itu, langkah pertama Pati Unus adalah menghidupkan kembali kekuatan armada Majapahit yang tertidur lama pada saat masa - masa perebutan kekuasaan. Kapal - kapal baru tersebut juga dilengkapi dengan Cetbang, yaitu meriam api, di mana kapal dan cetbang juga merupakan kekuatan andalan Armada Majapahit. Pusat produksi kapal-kapal ini adalah Semarang, gerbang masuk Demak, dengan bantuan orang-orang Tionghoa lokal.

Selanjutnya Pati Unus menghimpun kekuatan - kekuatan nusantara untuk membentuk armada gabungan dengan satu tujuan, mengusir Portugis dari Malaka. Ia juga meminta bantuan orang-orang Jawa yang ada di Malaya untuk jadi agen dalam di Malaka. Tetapi ternyata, ketika Pati Unus terlanjur berangkat ke Malaka,orang-orang Jawa ini terlanjur dipergoki Portugis dan melarikan diri ke Cirebon. Pati Unus pun bertempur tanpa bantuan mata-mata dan agen dalam - kapal-kapalnya dengan mudah diremuk meriam-meriam yang ditodongkan ke laut di Benteng Portugis di Malaka.

Dikuasainya Malaka pada tahun 1511 oleh orang-orang Portugis merupakan ancaman tersendiri bagi Kerajaan Demak. Pada tahun 1512, Kerajaan Demak di bawah pimpinan Pati Unus (Pangeran Sabrang Lor) dengan bantuan Kerajaan Aceh menyerang Portugis di Malaka. Namun, serbuan Demak tersebut mengalami kegagalan. Penyerangan dilakukan sekali lagi bersama Aceh dan Kerajaan Johor, tetapi tetap berhasil dipatahkan oleh Portugis. Perjuangan Kerajaan Demak terhadap orang-orang Portugis tidak berheti sampai di situ. Kerajaan Demak selalu menyerang dan membinasakan setiap kapal dagang Portugis yang melewati jalur Laut Jawa. Karena itulah kapal dagang Portugis yang membawa rempah-rempah dari Maluku (Ambon) tidak melalui Laut Jawa, tetapi melalui Kalimantan Utara.

Upaya Demak untuk mengusir Portugis diwujudkan dengan ditaklukkannya Kerajaan Pajajaran oleh Fatahilah pada tahun 1527. Penaklukkan Pajajaran ini disebabkan Kerajaan Pajajaran mengadakan perjanjian perdagangan dengan Portugis, sehingga Portugis diperbolehkan mendirikan benteng di Sunda Kelapa. Ketika orang-orang Portugis mendatangi Sunda Kelapa (sekarang Jakarta), terjadilah perang antara Kerajaan Demak di bawah pimpinan Fatahilah dengan tentara Portugis. Dalam peperangan itu, orang-orang Portugis berhasil dipukul mundur. Kemudian, pelabuhan Sunda Kelapa diganti namanya oleh Fatahilah menjadi Jayakarta yang berarti kejayaan yang sempurna.‎

 

Sejarah Kesultanan Selangor


Kesultanan Selangor terletak di tengah-tengah Semenanjung Malaysia yang mengelilingi Wilayah Persekutuan Putrajaya dan Kuala Lumpur. Selangor merupakan bagian dari wilayah persekutuan Malaysia. Menteri Besar Selangor pernah menetapkan negeri ini sebagai negeri termaju di Malaysia pada tanggal 27 Agustus 2005. Hal itu didasarkan pada perkembangan ekonomi Selangor yang kian maju.

Kesultanan Selangor didirikan oleh Raja Lumu bin Daeng Celak atau Sultan Salehuddin Shah ibni al-Marhum Yamtuan Muda Daeng Celak pada tahun 1756 M. Ia merupakan keturunan Bugis. Sebelum berdiri (pada abad ke-15), Selangor telah berada di bawah kekuasaan Malaka. Setelah Malaka mengalami masa kehancurannya, Selangor kemudian menjadi rebutan kerajaan Johor, Aceh, Siam, dan juga Portugis. Sultan Salehuddin Shah berperan besar melepaskan Selangor dari kekuasaan Johor, sehingga kemudian dapat berdiri sendiri.

Sejarah Kesultanan Melayu Selangor bermula di Kuala Selangor. Ketiadaan ketua kaum di Kuala Selangor pada ketika itu telah menimbulkan keinginan  orang Perak dan Kedah untuk menjadi Penghulu di kawasan itu. Malangnya tiada seorang pun daripada mereka telah diterima baik oleh penduduk tempatan. Keadaan ini sangat berbeza daripada kedatangan Raja Lumu yang telah disambut baik dan diiktiraf menjadi yang Di Pertua Negeri Selangor yang pertama.

Mereka yang datang ke kawasan itu hanya dibenarkan untuk meneroka tanah baru dan membuat kediaman di sepanjang pinggir Sungai Selangor. Sehingga kini masih lagi terdapat beberapa buah kampung mengikut nama negeri atau tempat asal peneroka ini. Umpamanya Kampung Kedah, Kampung Siam, Kampung Asahan, dan Kampung Kuantan.

 SEJARAH AWAL KESULTANAN SELANGOR

Peranan orang Bugis di dalam sejarah ‎Malaysia cukup penting sekali. Hal ini bermula daripada perbalahan dalaman Kesultanan Johor Riau Lingga. Pada waktu itu, Raja Kechil memerintah Johor Riau-Lingga. Baginda mendirikan pusat pemerintahan di Siak, Sumatra. Ini menyebabkan Daeng Loklok, iaitu orang Bugis, bergelar Bendahara Husain, ingin mengambil alih tampuk pemerintahan Johor tetapi hasratnya tidak dipersetujui oleh Raja Kechil. Untuk mendapatkan sokongan bagi menjayakan hasratnya itu, Daeng Loklok kemudiannya menemui Raja Sulaiman untuk menggunakan pengaruh baginda bagi mendapatkan bantuan daripada lima adik-beradik Raja Bugis, iaitu Daeng Perani, Daeng Menambun, Daeng Merewah, Daeng Chelak, dan Daeng Kemasi.

Sebaik-baik sahaja Raja Bugis menerima utusan daripada Raja Sulaiman, tujuh buah armada perang Bugis terus menuju Riauuntuk menyerang Raja Kechil. Dalam serangan itu, Raja Kechil telah ditumpaskan dan baginda melarikan diri ke Lingga pada tahun 1728 bersamaan tahun 1134H. Sebagai balasan, Raja Sulaiman bersetuju untuk melantik Raja-raja Bugis  menjadi Yamtuan Besar atau Yang Di-Pertuan Muda bagi memerintah Johor, Riau, dan Lingga.

Selepas mendapat tahu yang Riau jatuh ke tangan Raja Kechil semula, Raja Bugis telah datang ke Selangor untuk mengumpulkan bala tentera  dengan tujuan untuk menyerang Raja Kechil. Raja Bugis dengan 30 buah armada perangnya menuju Riauuntuk menawannya kembali. Dalam perjalanan ke Riau, mereka telah menawan Linggi, sebuah daerah di Negeri Sembilan ‎yang pada ketika itu dikuasai Raja Kechil. Apabila mendapat tahu tentang penaklukan itu, Raja Kechil segera ke Linggi untuk menyerang balas.

Angkatan tentera Bugis telah berpecah dengan 20 buah daripada kapal perangnya meneruskan perjalanan  ke Riau dan diketuai oleh tiga orang daripada lima adik-beradik Raja Bugis.Raja Sulaiman dari Pahang turut datang memberikan bantuan untuk menawan Riau semula. Dalam peperangan ini mereka telah berjaya menawan Riau semula. Raja Sulaiman dan Raja Bugis kemudiannya telah mendirikan kerajaan bersama.

Kegagalan mempertahankan Riau dan menawan Linggi semula daripada tangan Bugis menyebabkan  Raja Kechil kembali ke Siak.  Pada tahun 1729, Bugis sekali lagi menyerang Raja Kechil di Siak semasa Raja Kechil ingin memindahkan alat kebesaran Diraja Johor, iaitu sebuah meriam, ke Siak. Setelah berjaya mengambil alat kebesaran tersebut semula, Raja Sulaiman kemudiannya ditabalkan sebagai Sultan Johor dengan membawa gelaran Sultan Sulaiman Badrul Alam Shah yang memerintah Johor, Pahang, Riau, dan Linggi.

Sultan Sulaiman telah melantik Daeng Marewah sebagai Yamtuan Muda Riau. Kemudian adik perempuan baginda, Tengku Tengah, dikahwinkan dengan Daeng Parani yang mangkat di Kedah semasa menyerang Raja Kechil di sana. Seorang lagi adik Sultan Sulaiman, Tengku Mandak, dikahwinkan dengan Daeng Chelak (1722-1760) yang dilantik sebagai Yamtuan Muda II Riau pada tahun 1730-an. Kemudian anak Daeng Parani, iaitu Daeng Kemboja, dilantik menjadi Yamtuan Muda III Riau (yang juga memerintah Linggi di Negeri Sembilan).

Anak Daeng Chelak, Raja Haji, telah dilantik sebagai Yamtuan Muda IV Riau. Baginda yang hampir dapat menawan Melaka daripada Belanda pada tahun 1784  mangkat setelah ditembak dengan peluru Lela oleh Belanda di Telok Ketapang, Melaka. Baginda dikenali sebagai Almarhum Telok Ketapang.

Pada tahun 1730-an, seorang Bugis bernama Daeng Mateko yang berbaik-baik dengan Raja Siak  mengganggu ketenteraman Selangor. Ini menyebabkan Daeng Chelak dengan angkatan perang dari Riau datang ke Kuala Selangor untuk menangani keadaan ini. Daeng Mateko dapat dikalahkan dan beliau kemudiannya melarikan diri ke Siak. Semenjak itu Daeng Chelak sentiasa berulang-alik dari Riau ke Kuala Selangor.

Pada tahun 1742 Daeng Chelak ke Kuala Selangor dan beliau bersama-sama dengan orang Bugis melancarkan serangan ke atas  Perak. Beliau tinggal beberapa lama di Perak sebelum berpindah ke Selangor semula. Semasa berada di Kuala Selangor, Daeng Chelak  telah diminta oleh penduduk setempat supaya terus menetap di situ sahaja. Pada ketika inilah  rombongan daripada Riau memanggil Daeng Chelak pulang ke Riau. Walau bagaimanapun, Daeng Chelak telah meminta salah seorang puteranya, iaitu Raja Lumu, datang ke Kuala Selangor. Daeng Chelak akhirnya mangkat pada tahun 1745.

Ketika Sultan Salehuddin Shah mangkat pada tahun 1778 M, putranya yang bernama Raja Ibrahim Marhum Saleh diangkat sebagai Sultan II Selangor dengan gelar Sultan Ibrahim Shah (1778-1826 M). Semasa pemerintahannya, Selangor pernah mengalami sejumlah peristiwa penting. Tepatnya pada tanggal 13 Juli 1784 M, bala tentara Belanda menyerang Selangor hingga dapat menguasai Kota Kuala Selangor. Di samping itu, Selangor pernah diintervensi oleh Inggris. Hal ini bermula dari kesepakatan kerja sama antara Selangor dengan Perak yang berujung pada perselisihan utang-piutang. Robert Fullerton, Gubernur Inggris di Pulau Pinang, melakukan intervensi dengan cara ikut serta menyelesaikan perselisihan di antara mereka.
Meski demikian, Sultan Ibrahim Shah pernah berperan besar dalam mengharmoniskan hubungan antara Belanda dan Sultan Mahmud Johor, serta antara Sultan Mahmud dan Raja Ali (Yamtuan Muda Riau yang menggantikan Raja Haji).

Sultan Ibrahim Shah mangkat pada tanggal 27 Oktober 1826 M, putranya, Raja Muda Selangor diangkat sebagai Sultan Selangor III dengan gelar Sultan Muhammad Shah (1826-1857 M). Ketika memerintah, Sultan Muhammad Shah pernah mengalami masalah internal kesultanan. Sejumlah daerah di Selangor, seperti Kuala Selangor, Kelang, Bernam, Langat, dan Lakut memisahkan diri. Hal itu terjadi karena Sultan, dianggap oleh sebagian peneliti sejarah, tidak mampu menguasai sultan-sultan dan pembesar-pembesar di daerah-derah tersebut. Meski demikian, selama 31 tahun memerintah, Sultan telah mengembangkan perekonomian kesultanan, salah satunya mendirikan pabrik biji timah di Ampang.

Sultan Muhammad Shah meninggal pada tahun 1857 M. Sepeninggalan Sultan, Selangor sempat mengalami masa perpecahan di antara para pembesar kesultanan dalam soal memilih pemimpin yang baru. Setelah melalui perdebatan panjang, akhirnya terpilih Raja Abdul Samad Raja Abdullah sebagai Sultan Selangor IV dengan gelar Sultan Abdul Samad (1857-1898 M). Ia merupakan anak dari saudara (keponakan) Sultan Muhammad Shah. Pada masa Sultan Abdul Samad, pabrik biji timah telah beroperasi, bahkan sudah mulai dipasarkan ke negeri-negeri Selat dan China.

Pada tahun 1868 M, Sultan Abdul Samad mengangkat menantunya, Tengku Dhiauddin ibni Almarhum Sultan Zainal Rashid (Tengku Kudin), sebagai Wakil Yamtuan Selangor. Tidak hanya itu, Sultan Abdul Samad juga menyerahkan Langat menjadi milik menantunya itu.

Kemajuan perekonomian yang dialami Selangor menyebabkan negeri ini diminati oleh bangsa China. Sejumlah pedagang asal China ada yang melakukan “kerja sama gelap” dengan beberapa pembesar Selangor untuk mengakses kekayaan perekomian negeri ini (belum ditemukan data waktu kejadian ini). Akibat dari siasat negatif ini, Selangor mengalami suasana penuh pertikaian dan peperangan. Pada tahun 1874 M, pihak Inggris memaksa Sultan Abdul Samad untuk menerima Residen Inggris di Klang, Selangor. Dengan cara ini, Inggris dengan leluasa dapat mengintervensi kepentingan dalam negeri Selangor.‎

Sultan Abdul Samad mangkat pada tanggal 6 Februari 1898 M, dalam usia 93 tahun. Ia dimakamkan di Jugra. Ia kemudian digantikan oleh cucunya, Raja Muda Sulaiman ibni Almarhum Raja Muda Musa. Pada tanggal 17 Februari 1898 M, Raja Muda Sulaiman dilantik sebagai Sultan Selangor V dengan gelar Sultan Alauddin Sulaiman Shah (18981938) M. Pada masa pemerintahannya, Selangor mengalami kemajuan cukup pesat yang ditandai dengan pembangunan fisik berupa jalan raya dan landasan kereta api. Ketika itu, program pembangunan rumah ditingkatkan, terutama di daerah Klang. Ia dikenal bijaksana dalam memimpin Selangor. Ketika usia pemerintahannya genap 40 tahun, ia diberi sambutan yang sangat hangat dari seluruh rakyatnya berupa upacara Jubli Emas di Klang. Pada tanggal 30 Maret 1938 M, ia mangkat dan dimakamkan di Klang dengan gelar “Marhum Atiqullah”.

Pada tanggal 4 April 1938 M, putra Sultan Alauddin Sulaiman Shah kemudian dilantik sebagai Sultan Selangor VI dengan gelar Sultan Hisamuddin Alam Shah(1938-1942 M). Masa pemerintahan Sultan Hisamuddin Alam Shah tidak begitu lama, hanya empat tahun. Hal itu disebabkan karena pada tahun 1942, ia dipaksa turun oleh tentara Jepang yang sebelumnya mampu menguasai seluruh kerajaan Melayu, termasuk Selangor.

Pemerintah Jepang kemudian melantik kakak Sultan Hisamuddin Alam Shah, Tengku Musauddin sebagai Sultan Selangor VII dengan gelar Sultan Musa Ghiatuddin Riayat Shah (19421945 M). Pihak Jepang memberikan syarat agar Sultan Hisamuddin Alam Shah mau membantu kakaknya dalam tata kelola pemerintahan. 

Pada tahun 1945 M, terjadi perubahan struktur pemerintahan Selangor. Ketika itu, Inggris menguasai kerajaan-kerajaan di Semenanjung Malaya, termasuk Selangor. Salah satu bentuk penguasaan Inggris adalah menuntut agar Sultan Hisamuddin Alam Shah kembali memimpin di Selangor. Pada tanggal 31 Agustus 1957 M, Sultan Hisamuddin dilantik sebagai Timbalan Yang Dipertuan Agong Negara Persekutuan Tanah Melayu, sementara itu jabatan Yang Dipertuan Agong pertama kali dipegang oleh Yang di-Pertuan Besar Negeri Sembilan, Tuanku Abdul Rahman ibni almarhum Tuanku Muhammad. Ketika Tuanku Abdul Rahman mangkat pada tanggal 1 April 1960 M, Sultan Hisamuddin Alam Shah dilantik sebagai Yang Dipertuan Agong yang kedua. Lima bulan kemudian Sultan Hisamuddin mangkat, tepatnya pada tanggal 1 September 1960 M.

Tahta kekuasaan kemudian dipegang oleh putra sulung Sultan Hisamuddin, Raja Abdul Aziz sebagai Sultan Selangor IX dengan gelar Sultan Salahuddin Abdul Aziz Shah (1960-2001 M). Ketika berkuasa, ia telah banyak melakukan perubahan dan memberikan kemajuan yang sangat besar bagi rakyat Selangor. Pada masa pemerintahannya, Inggris masih melakukan sejumlah intervensi kebijakan dalam negeri dan luar negeri Selangor. 

Pada tahun 1986 M, Residen Frank Swettenham berusaha menyatukan Selangor bersama dengan Negeri Sembilan, Pahang, dan Perak ke dalam Negeri-negeri Melayu Bersatu dengan pusat ibu kotanya di Selangor. Ternyata, persatuan ini terus berkembang. Pada tahun 1948 M, persatuan ini berubah nama menjadi Persekutuan Malaya. Dan, pada tahun 1963 M, berubah lagi menjadi Persekutuan Malaysia. Selangor kemudian merelakan status ibu kotanya berpindahkan ke Kuala Lumpur pada tahun 1974 M.

Pada tanggal 22 November 2001 M, Sultan Salahuddin Abdul Aziz Shah meninggal. Putranya yang bernama Tengku Idris Shah kemudian diangkat sebagai Sultan Selangor X dengan gelar Sultan Sharafuddin Idris Shah (2001 M–sekarang).‎

Silsilah Para Sultan ‎

Sultan Selangor yang pertama (Raja Lumu) adalah keturunan suku Bugis, yang mengaku keturunan dari penguasa Luwu diSulawesi Selatan. Bangsawan dari keturunan ini terlibat dalam perselisihanKesultanan Johor-Riau pada awal abad ke-18, akhirnya mendukung penuh kepada Sultan Abdul Jalil dari dinasti Bendaharaterhadap penuntut yang mengaku ahli waris dari keturunan Malaka-Johor, yaituRaja Kecil. Untuk alasan ini, parapenguasa Bendahara Johor-Riau menjalin hubungan erat dengan para bangsawan Bugis, memberikan mereka gelar dan kawalan ke banyak daerah di dalam kerajaan Johor, termasuk Selangor. Putera Daeng Chelak, Raja Lumu tiba di Selangor dan mendirikan kerajaan baru di Kuala Selangor pada tahun 1766. Ia dinobatkan oleh Sultan Perak sebagai Sultan Salehuddin Shah, dan menjadi Sultan pertama dari Selangor.

Daeng Lumu adalah punca kerajaan awal di Kuala Selangor. Daeng Lumu dilantik menjadi Yang DiPertuan Kelang pertama, dan Daeng Loklok dilantik menjadi Datuk Maharaja Lela.

Sultan Iskander Zulkernain (1752-1765), Raja Kerajaan Perak ke-15 pun menyambut utusan dari Daeng Lumu diKuala Bernam sebagai pertemuan dengan baginda. Ketibaan Daeng Lumu disambut dengan penuh istiadat raja. Setelah semua ujian itu tidak mendatangkan apa-apa bencana terhadap Daeng Lumu, baginda Sultan Iskander Zulkernain pun mengesahkan perlantikan tersebut; setelah Sultan Sulaiman I, Raja Kerajaan Johor-Riau-Lingga menolak permohonan Bugis Luwok Diraja sabagai Raja Kelang. Pertabalan penuh sejarah itu dilakukan di Pulau Pangkor dalam tahun 1756. Selesai sahaja pertabalan, Raja Lumu pulang ke Kuala Selangor.

Itulah Raja Selangor yang pertama bersemayam di atas Bukit Selangor yang dikenal dengan nama "Bukit Malawati". MenurutTuffatul al Nafis karangan Almarhum Raja Ali Al Haji, Riau, disitu ketika Tengku Raja Selangor (Raja Lumu) pergi bermain ke Pulau Pangkor, Raja Lumu dijemput oleh Yang DiPertuan Perak untuk mengadap. Kemudian Raja Lumu pun berangkat pulang ke Kuala Selangor.

Kemangkatan Raja Lumu meninggalkan empat orang anak, iaitu Raja Ibrahim, Raja Nala, Raja Punuh dan Raja Sharifah. Baginda juga telah melantik seorang Bugis bernama Daeng Loklok bergelar Datuk Maharaja Lela Husain. Seorang daripada anak perempuannya bernama Cik Long Halijah berkahwin dengan Raja Ibrahim, putera Raja Lumu dan juga Raja Selangor Kedua.

Raja Lumu mangkat dan dikebumikan di atas Bukit Selangor dan dinamakan "Marhum Salleh". Baginda memerintah kerajaan Daeng Lumu adalah punca kerajaan awal di Kuala Selangor. Daeng Lumu dilantik menjadi Yang DiPertuan Kelang Pertama, Daeng Loklok dilantik menjadi Datuk Maharaja Lela.

Kemangkatan Raja Lumu meninggalkan empat orang anak, iaitu Raja Ibrahim, Raja Nala, Raja Punuh dan Raja Sharifah. Baginda juga telah melantik seorang Bugis bernama Daeng Loklok bergelar "Datuk Maharaja Lela Husain". Seorang daripada anak perempuannya bernama Cik Long Halijah berkahwin dengan Raja Ibrahim, putera Raja Lumu dan juga Raja Selangor kedua. Raja Lumu mangkat dan dikebumikan di atas Bukit Selangor dan dinamakan "Marhum Salleh". Baginda memerintah dari tahun 1743 (1756) hingga 1778.

Berikut ini adalah daftar sultan yang pernah berkuasa di Kesultanan Selangor:

Sultan Salehuddin Shah ibni al-Marhum Yamtuan Muda Daeng Celak atau namanya aslinya Raja Lumu bin Daeng Celak (1756-1778 M)
Sultan Ibrahim Shah ibni al-Marhum Sultan Salehuddin Shah (1778-1826 M)
Sultan Muhammad Shah ibni al-Marhum Sultan Ibrahim Shah (1826-1857 M)
Sultan Abdul Samad ibni al-Marhum Raja Abdullah (1857-1898 M)
Sultan Alauddin Sulaiman Shah ibni al-Marhum Raja Muda Musa (1898-1938M)
Sultan Hisamuddin Alam Shah ibni al-Marhum Sultan Alauddin Sulaiman Shah (19381942 M)
Sultan Musa Ghiathuddin Riayat Shah ibni al-Marhum Sultan Alauddin Sulaiman Shah (19421945 M)
Sultan Hisamuddin Alam Shah ibni al-Marhum Sultan Alauddin Sulaiman Shah (19451960 M)
Sultan Salahuddin Abdul Aziz Shah ibni al-Marhum Hisamuddin Alam Shah (1960-2001 M)
Sultan Sharafuddin Idris Shah ibni al-Marhum Sultan Salehuddin Abdul Aziz Shah (2001 M-…)
Periode Pemerintahan

Sejak tahun 1756 M hingga sekarang, Kesultanan Selangor telah berdiri selama sekitar dua setengah abad. Dalam rentang waktu yang demikian panjang, Selangor pernah mengalami masa-sama kejayaannya, terutama pada masa pemerintahan Sultan Alauddin Sulaiman Shah (18981938) M. Selangor juga pernah mengalami masa suramnya, terutama ketika diintervensi oleh Inggris.
Wilayah Kekuasaan

Secara keseluruhan, luas Selangor adalah 7,956 km2 yang terbagi ke dalam sembilan wilayah kekuasaan, yaitu:

1. Hulu Selangor, yang diperintah oleh Majlis Daerah Hulu Selangor.
2. Hulu Langat, terbagi ke dalam:
Majlis Perbandaran Kajang, yang memerintah seluruh wilayah Langat dan Kajang.
Majlis Perbandaran Ampang Jaya, yang memerintah seluruh Ampang dan Hulu Klang.
3. Gombak, yang diperintah oleh Majlis Perbendaran Selayang.
4. Kuala Selangor, yang diperintah oleh Majlis Daerah Kuala Selangor.
5. Kuala Langat, yang diperintah oleh Majlis Daerah Kuala Langat.
6. Klang, yang diperintah oleh Majlis Perbendaran Klang.
7. Petaling, terbagi ke dalam:
Majlis Bandaraya Petaling Jaya, yang memerintah Petaling Jaya.
Majlis Bandaraya Subang Jaya, yang memerintah seluruh wilayah Subang Jaya, Puchong, Serdang, USJ, dan Seri Kembangan.
Majlis Bandaraya Shah Alam, yang memerintah Shah Alam dan Sungai Buloh.
8. Sabak Bernam, yang diperintah oleh Majlis Daerah Sabak Bernam.
9. Sepang, yang diperintah oleh Majlis Perbendaran Sepang.

Struktur Pemerintahan
Kesultanan Selangor memiliki prinsip pemerintahan “demokrasi berparlemen”. Prinsip ini sebenarnya juga dianut oleh wilayah-wilayah persekutuan dalam negara Malaysia. Dalam struktur pemerintahan Selangor, sultan tetap merupakan pemimpin tertinggi di kesultanan. Ia dibantu oleh seorang Yang Dipertuan Besar/Agong. Sementara itu, seseorang yang bakal menggantikan posisi sultan bergelar Raja, yang biasanya berasa dari keturunan sultan.

Sejak tahun 1967 M, Selangor memiliki lagu kebangsaan sendiri yang berjudul “Duli Yang Maha Mulia”. Pencipta lagu ini tidak diketahui identitasnya. Lagu ini digubah oleh Syaiful Bahri. Berikut ini adalah syair lagu tersebut:

Duli Yang Maha Mulia
Selamat di atas takhta
Allah lanjutkan usia Tuanku
Rakyat mohon restu bawah Duli Tuanku
Bahagia selama-lamanya
Aman dan sentosa
Duli Yang Maha Mulia

 

Sejarah Kesultanan Perak Darul Ridzuan


Negeri Perak Darul Ridzuan ini sememangnya bertuah kerana mewarisi sejarah dan kegemilangan dua buah empayar Melayu yang terkenal iaitu empayar Sriwijaya dan empayar Kesultanan Melayu Melaka. Umum mengetahui bahawa Parameswara yang menjadi pengasas empayar Melaka adalah berasal dari Palembang dan berketurunan dari pengasas empayar Sriwijaya.

Ada berbagai-bagai pendapat mengenai asal usul nama Negeri Perak. Setengah pendapat mengatakan bahawa nama itu diambil bersempena dengan Bendahara Tun Perak dari Melaka dan setengahnya pula mengatakan ia diambil dari ‘kilatan ikan dalam air’ yang berkilau seperti perak. Justeru dari pengenalan nama negeri ini sendiri telah membayangkan tentang khazanah yang terkandung di buminya.

Negeri Perak sebenarnya telah wujud pada zaman pra sejarah lagi. Kota Tampan di Lenggong merupakan satu-satunya kawasan yang terbukti wujudnya Zaman Batu Lama di Tanah Melayu. Bertolak dari tarikh antara 400,000 hingga 8,000 tahun sebelum masihi, Negeri Perak telah mengalami evolusi dari masa ke masa. Kesan peninggalan sejarah zaman batu ini terbukti dengan jumpaan alat-alat batu dan fosif-fosil manusia dikenali dengan nama Perak Man.

Negeri Perak merentasi Zaman Hoabinhian seterusnya Zaman Batu Baru dan Zaman Logam, yang dapat dibuktikan dengan jumpaan-jumpaan tertentu.

Ini disusuli pula dengan zaman Hindu/Buddha yang dijangkakan berlaku serentak dengan lain-lain kawasan di Tanah Melayu.

Selepas zaman ini, alam persejarahan Negeri Perak telah maju setapak lagi dengan wujudnya kerajaan-kerajaan tempatan seperti Manjung di Daerah Dinding dan Beruas (wujud setelah Manjung luput). Begitu juga beberapa kerajaan lagi di Perak Tengah dan Ulu seperti Tun Saban dan Raja Roman. Serentak dengan itu Islam mula bertapak kukuh di negeri ini.

Titik sejarah Negeri Perak sebenarnya bermula dengan penabalan Sultan Muzaffar Syah l yang berketurunan dari Sultan Mahmud Syah Melaka pada tahun l528. Walaupun zaman Kesultanan Negeri Perak telah muncul tetapi kuasa-kuasa tempatan masih diakui berkuasa. Corak pemerintahan yang dijalankan adalah urutan dari sistem feudal di Melaka yang berdemokrasi.

Negeri Perak lebih dikenali setelah kekayaan buminya diketahui iaitu ekoran dari penemuan bijih timah di Larut pada tahun l848 oleh Cik Long Jaafar. Dengan kejumpaan ini ekonomi Negeri Perak berkembang dengan pesat dan lebih banyak kawasan perlombongan dibuka. Selain bijih timah, getah juga memainkan peranan yang penting dan ditanam setelah 34 orang Sultan memerintah turun temurun.
Implikasi dari perkembangan ekonomi ini telah mengwujudkan masyarakat majmuk terutama kaum Cina yang bekerja di lombong-lombong di negeri ini.

Inggeris yang telah lama menaruh hati terhadap Negeri Perak telah campur tangan melalui Perjanjian Pangkor l874 setelah wujudnya kacau bilau di Larut. Dari campur tangan ini sistem pentadbiran Residen telah diperkenalkan dengan J.W.W.Birch sebagai Residen pertamanya.

Pada mulanya sistem Residen dijangkakan mendatangkan implikasi yang baik, tetapi kerana pelaksanaannya yang menyeleweng dan ditambah dengan sikap masyarakat pribumi yang tidak mahu dijajah, telah berlaku penentangan yang diketuai oleh Datuk Maharaja Lela. Akibatnya J.W.W.Birch dibunuh pada tahun 1875.

Sistem Residen masih juga diteruskan sehinggalah kedatangan Jepun di Tanah Melayu pada tahun 194l. Negeri Perak turut mengalami kepahitan semasa pendudukan Jepun hingga tahun l945.
Babak penjajahan Inggeris selepas Jepun menyerah diri belum berakhir, malah diteruskan sehingga darurat berlaku pada tahun 1948. Keganasan banyak berlaku di Negeri Perak yang mana Parti Komunis Malaya bertanggung jawab mengenainya.

Selepas pendudukan Jepun di Tanah Melayu kedudukan Negeri-negeri Melayu adalah tidak stabil. Ditambah dengan kemunculan semangat kebangsaan untuk menuntut kemerdekaan di kalangan rakyat jelata. Inggeris sedaya upaya mengekalkan kedudukannya dengan memperkenalkan beberapa sistem pentadbiran seperti Malayan Union pada tahun l946.

Rakyat jelata mengembeling tenaga bersama-sama dengan pembesar-pembesar negeri telah menentang habis-habisan semua sistem Inggeris. Sehinggalah Inggeris mengisytiharkan kemerdekaan ke atas Tanah Melayu pada tahun l957.

Kemerdekaan Tanah Melayu, bererti kebebasan negeri-negeri gabungannya dan Negeri Perak adalah salah satu dari negeri-negeri tersebut. Perkembangan pesat di semua bidang terus berjalan sehingga sekarang setelah 34 orang Sultan memerintah turun temurun.

Demi mengenang jasa pejuang-pejuang kebangsaan Negeri Perak samada baginda Sultan sendiri mahu pun pengikut-pengikutnya, maka makam-makamnya telah dipulih dan diabadikan serta diisytiharkan sebagai pahlawan tanah air. ZAMAN PRA SEJARAH Negeri Perak mengalami zaman pra sejarahnya yang terbahagi kepada empat bahagian pada keseluruhannya iaitu Zaman Batu Lama (Palaeolithic), Zaman Hoabinhian, Zaman batu Baru (Neolithic) dan Zaman Logam (Metal Age).

Zaman Batu Lama (Paleolitik)
Zaman ini dianggarkan berlaku antara 400,000 hingga 8,000 tahun sebelum masihi. Satu-satunya kesan peninggalan ini di Tanah Melayu ialah tapak yang dijumpai di Kota Tampan, Lenggong. Peninggalan zaman ini juga dikenali dengan kebudayaan Tampan di mana peninggalannya merupakan alat-alat batu yang belum sempurna buatannya.

Zaman Hoabinhian
Zaman ini dianggarkan berlaku antara 8,000 hingga 2,000 tahun sebelum masihi. Kesan peninggalannya dijumpai di Gua Badak, Lenggong, Gunung Pondok, Padang Rengas dan beberapa buah gua lagi di Negeri Perak; berupa alat-alat batu yang lebih elok buatannya termasuk lesung batu untuk membuat pencelup merah (haematite).

Zaman Batu Baru (Neolitik)
Zaman ini wujud antara 2,000 hingga 300 tahun sebelum masihi. Kesan-kesan daripada alat-alat peninggalan yang dijumpai di Gua badak, Lenggong dan persekitarannya, Gua Tambun, Ipoh dan lain-lain lagi berkeadaan lebih sempurna dan licin serta dapat dikenali jenisnya. Mereka juga telah pandai menggunakan tembikar untuk memasak makanan dan membuat pondok tempat tinggal. Disamping itu mereka juga telah pandai bercucuk tanam.

Zaman Logam (Metal Age)
Zaman ini ujud antara 500 hingga 200 tahun sebelum masihi. Tempat-tempat yang pernah dijumpai seperti di Changkat Menteri, Sungkai dan Slim River menunjukkan bahawa masyarakatnya telah menggunakan logam seperti gangsa dan besi untuk membuat mata lembing, mata kail dan mata anak panah. Terdapat juga sejenis alat besi yang anih bentuknya yang dikenali sebagai ‘Tulang Mawas’ yang dijumpai tertanam di dalam kubur Batu Ubin.

Zaman Hindu/Buddha
Jumpaan di Kuala Selensing, Perak dianggap sebagai zaman peralihan sebelum Hindu/Buddha, manakala zaman Hindu/Buddha pula merupakan zaman pembukaan lembaran Sejarah Negeri Perak Pengaruh kebudayaan orang-orang India dan kepercayaan Hindu di rantau ini sejak awal kurun masihi lagi telah mengubah sama sekali sistem nilai masyarakat di Tanah Melayu. Jumpaan patung-patung Hindu/Buddha dan beberapa alat pemujaan seperti di Bidor, Jalong dan Pengkalan Pegoh membuktikan wujudnya pengaruh ini. Zaman Kedatangan Islam dan sebelum kesultanan Kerajaan Manjung di Beruas dianggap sebagai Kerajaan tertua di Perak. Selepas lenyapnya Manjung, kira-kira pada awal kurun ke l5 telah wujud Kerajaan Melayu Beruas. Dari bukti-bukti yang terpahat di batu nisan yang ada menunjukkan bahawa sebuah Kerajaan Islam. Adalah dipercayai bahawa Islam datang ke Perak melalui negeri seperti Melaka dan negeri-negeri di Pantai Timur.

Disamping itu Islam telah berkembang hingga ke pendalaman Negeri Perak melalui jalan Sungai Perak. Selain Kerajaan Beruas terdapat kuasa-kuasa pembesar tempatan di Ulu Perak seperti Kerajaan Roman, Tun Saban, To’ Temong dan lain-lain kerajaan yang belum dapat dikesan.

Zaman Kesultanan Titik kegemilangan sejarah Negeri Perak ialah setelah wujudkan sistem kesultanan yang merangkumi kawasan seluas 8,ll0 batu persegi. Pertabalan Sultan Mudzaffar Shah l pada tahun l528 telah membuka lembaran baru ke arah pemodenan.

Kejumpaan bijih timah oleh Cik Long Jaafar di Larut pada tahun l824 telah mencepatkan lagi kemajuan Negeri Perak. Ditambah dengan kemasukan Inggeris pada tahun l874 telah memperkenalkan getah sebagai sumber ekonomi yang baharu. Akibat dari ini banyak imigran terutama kaum Cina dan India datang ke negeri ini.

Dari dua sumber ekonomi di atas di samping sumber ekonomi tradisionalnya, Negeri Perak Darul Ridzuan telah berkembang pesat di bawah naungan 34 orang sultannya hingga sekarang ini.
Penjajahan Inggeris yang berlaku bermula dari tahun l874 telah memperkenalkan beberapa sistem pentadbirannya yang mana akhirnya wujud penentangan terhadap sistem tersebut.

Campur tangan Inggeris Termeterinya Perjanjian Pangkor pada 20 Januari l874 antara Inggeris dan pembesar-pembesar Melayu Perak telah mengesahkan kekuasaan Inggeris di Perak khasnya dan Negeri-Negeri Melayu amnya. Beberapa faktor mempengaruhi campur tangan ini diantaranya ialah kekayaan bumi Perak sendiri, pergeseran pembesar-pembesar untuk berkuasa dan kacau bilau yang berlaku di Larut antara puak-puak Cina.

Melalui campur tangan ini Inggeris memperkenalkan sistem Residen yang dianggap dapat membaiki sistem pemerintahan tradisional. TEKS PERJANJIAN PANGKOR PADA 20 JANUARI l874 Raja Abdullah diakui sebagai Sultan yang sah menggantikan Sultan Ismail yang akan diberi gelaran serta pencen sebanyak $l,000/- sebulan.

Sultan akan menerima seorang Residen Inggeris yang nasihatnya mesti diminta dan diikuti dalam segala hal kecuali yang menyentuh agama dan adat istiadat orang-orang Melayu.
Semua pungutan dan kawalan cukai serta pentadbiran negeri mestilah dijalankan atas nama sultan tetapi disusun menurut nasihat Residen.

Menteri Larut akan terus berkuasa, tetapi tidak lagi diakui sebagai pemerintah yang merdeka. Sebaliknya seorang Pegawai Inggeris akan dilantik di Larut yang mempunyai bidang kuasa yang luas untuk mentadbirkan daerah tersebut.

Gaji Residen akan dibayar oleh Sultan, bukan dibayar oleh Kerajaan Inggeris. Penentangan terhadap sistem Pentadbiran Inggeris Sistem Residen bukanlah sebagai pembaikan kepada sistem pemerintah tradisional, tetapi dianggap sebagai sistem penindas. Ini disebabkan Inggeris lebih mendapat manafaatnya. Dalam pelaksanaannya pula penyelewengan kuasa telah dilakukan oleh Residen pertamanya J.W.W.Birch. Implikasinya masyarakat pribumi tidak puas hati dan berlakulah penentangan. Di akhirnya J.W.W. Birch dibunuh pada tahun 1875. Walaupun begitu sistem ini diteruskan hingga Jepun bertapak di Tanah Melayu.

Sistem Pemerintahan Residen Kuasa Residen yang diperkenalkan menerusi sistem pemerintahan ala Barat yang dikatakan lebih moden itu didapati serba bertentangan dengan pola pemerintahan tradisional Melayu. Sultan dan Pembesar-pembesar tidak lagi berfungsi sebagai pemerintah mutlak kecuali hal-hal yang bersangkutan dengan ugama dan adat istiadat Orang Melayu sahaja. Justru itu telah berlaku penentangan demi penentangan tetapi sistem ini terus berlanjutan sehingga pendudukan Jepun.

Perang Dunia Pertama – ‘Zaman Meleset’ Walaupun Perang Dunia Pertama yang meletus pada tahun l914 itu berlaku di Eropah, tetapi bahangnya turut dirasai oleh seluruh dunia.

Negeri Perak terlibat secara tidak langsung menerusi hubungan perdagangan antarabangsa dengan ekspot utama bijih timah dan getah aslinya, telah mengalami kemerosotan pendapatan. Implikasinya, seluruh pembangunan terpaksa dibekukan sehingga dunia kembali aman.

Perang Dunia Kedua Bahana Perang Dunia Kedua turut dirasai di Persekutuan Tanah Melayu pada 8 Disember l94l dengan pendaratan tentera-tentera Jepun di Kota Bharu.
Negeri Perak telah jatuh ke tangan Jepun pada l Januari l942 . Pahit getir zaman pendudukan Jepun ini ditanggung oleh rakyat sehingga tahun l945.‎

Perak merupakan salah satu negeri tertua di Tanah Melayu. Belum ditemukan data yang memberikan informasi secara pasti tentang kapan mulai berdirinya Negeri Perak, sebagai cikal bakal Kesultanan Perak pada masa awal sejarah. Sejumlah pakar sejarah sering mengkaitkan Negeri Perak dengan nama sejenis logam, perak. Ada juga pakar sejarah lainnya, seperti Halim Nasir yang berpendapat bahwa nama Perak diambil dari nama Sungai Perak di Chegar Galah, yang di dalamnya terdapat sejenis ikan berwarna putih seperti perak.

Sejarah awal berdirinya Perak dapat ditelusuri melalui dua sumber utama, yaitu Sejarah Melayu dan Salasilah Perak. Kedua sumber tersebut mencatat bahwa Kesultanan Perak berdiri pada tahun 1528 M. Proses berdirinya Kesultanan Perak tidak terlepas dari peran Kesultanan Melaka ketika itu. Pada tahun 1551 M, Melaka jatuh di tangan Portugis. Sultan Mahmud Shah (Sultan Melaka ke-7 yang memerintah antara tahun 1488-1551 M) melarikan diri dan menetap di Kampar, yang sekarang masuk dalam wilayah Provinsi Riau. Ia kemudian diangkat sebagai Sultan Kampar.
Tun Saban, Pembesar Negeri Perak yang memerintah kawasan Hulu Sungai Perak hingga Kuala Temong, bersama dengan Nakhoda Kassim pergi menghadap Sultan Mahmud Shah. Tun Saban meminta agar putra Sultan Mahmud Shah yang bernama Muzaffar Shah bersedia memimpin di Perak. Para pembesar Perak merasa perlu adanya kepemimpinan yang berasal dari keturunan Malaka karena kebesaran dan kewibawaan sultan-sultan Malaka serta struktur pemerintahan Kesultanan Malaka pada saat itu yang telah berpengaruh besar dalam keseluruhan wilayah Tanah Melayu.

Pada tahun 1528 M, Muzaffar Shah kemudian diangkat sebagai Sultan Perak I dengan gelar Paduka Seri Sultan Muzaffar Shah I. Ibukota Kesultanan Perak berpusat di Tanah Abang. Berdasarkan paparan tersebut, maka dapat dikatakan bahwa Kesultanan Perak merupakan kelanjutan dari Kesultanan Malaka yang telah jatuh di tangan Portugis pada tahun 1551 M.

Silsilah para Sultan Negri Perak

1- Sultan Muzaffar Shah (1528-1540 M)
2- Sultan Mansur Shah I (1549-1577 M)
3- Sultan Ahmad Tajuddin (1577-1584 M)
4- Sultan Tajul Ariffin Shah (1584-1594 M)
5- Sultan Alauddin Shah (1594-1603 M)
6- Sultan Mukaddam Shah (1603-1619 M)
7- Sultan Mansur Shah II (1619-1627 M)
8- Sultan Mahmud Shah (1627-1630 M)
9- Sultan Salehuddin Shah (1630- 635 M)
10- Sultan Muzzaffar Shah II (1636-1653 M)
11- Sultan Mahmud Iskandar Shah (1653-1720 M)
12- Sultan Alauddin  Mughayat Shah (1720-1728 M)
13- Sultan Mudzaffar Shah III (1728-1744 M)
14- Sultan Muhammad Shah (1744-1750 M)
15- Sultan Iskandar Zulkarnain (1754-1764 M)
16- Sultan Mahmud Shah (1764-1771 M)
17- Sultan Alauddin Mansur Shah (1771-1786 M)
18- Sultan Ahmaddin Shah (1786-1806 M)
19- Sultan Abdul Malek  Shah (1806-1818 M)
20- Sultan Abdullah Mu‘azzam Shah (1818-1830 M)
21- Sultan Shahabuddin Ri‘ayat Shah (1830-1851 M)
22- Sultan Abdullah Muhammad Shah (1851-1857 M)
23- Sultan Ja‘afar Shafuddin  Shah (1857-1865 M)
24- Sultan Ali Al-Mukammil Innayat Shah (1865-1871 M)
25- Sultan Ismail Mu‘abiddin Ri‘ayat Shah (1871-1874 M)
26- Sultan Abdullah Muhammad Shah (1874-1877 M)
27- Sultan Yusuf Sharifuddin Mu‘azal Shah (1877-1887 M)
28- Sultan Idris Murshidul Azam Shah (1887-1916 M)
29- Sultan Abdul Jalil Nasiruddin Shah (1916-1918 M)
30- Sultan Alang Iskandar Shah (1918-1938 M)
31- Sultan Abdul Aziz Al-Mutasimbillah Shah (1938-1948 M)
32- Sultan Yusuff Izzuddin Shah (1948-1963 M)
33- Sultan Idris Iskandar Shah (1963-1984 M)
34- Sultan Azlan Muhibbuddin Shah (1984-Sekarang)
Periode Pemerintahan

Kesultanan Perak telah berdiri selama hampir lima abad, yaitu terhitung sejak tahun 1528 M hingga kini. Kesultanan Perak bergabung dalam federasi Kerajaan Malaysia pada tanggal 1 Februari 1948 M. Pada tanggal 16 September 1963 M, kesultanan ini secara resmi menjadi sebuah negeri persekutuan Malaysia dengan nama Negeri Perak Darul Ridzuan. Sekarang yang memimpin di Perak Darul Ridzuan adalah Sultan Azlan Muhibbuddin Shah.
Dalam Hikayat Misa Melayu, Sultan Iskandar Zulkarnain (1754-1764 M) digambarkan sebagai sosok pahlawan yang memiliki sifat-sifat ideal. Sultan Iskandar Zulkarnain berperan besar dalam mempersatukan kembali Kesultanan Perak yang pernah terpecah menjadi dua bagian akibat perang. Pada masanya, Kesultanan Perak mengalami masa kegemilangan. Sebagian pakar sejarah menyebut masa itu sebagai masa keemasan. 

Inggris pernah berkuasa di Kesultanan Perak selama beberapa masa kepemimpinan sultan-sultan Perak. Besarnya pengaruh Inggris di negeri-negeri Melayu disebabkan karena Inggris telah lama mengkaji struktur politik, sosial, dan ekonomi masyarakat Melayu. Setelah mengetahui berbagai kelemahan negeri-negeri Melayu, Inggris akhirnya menguasai negeri-negeri tersebut, termasuk Kesultanan Perak. Kekuasaan Inggris di Perak semakin kuat ketika pada masa pemerintah Sultan Ali al-Mukammil Innayat Shah (1865-1871 M) terjadi perselisihan perebutan tahta kekuasaan.

Setelah Sultan meninggal dunia pada tahun 1871 M, tahta kekuasaan seharusnya dipegang oleh putranya, Raja Muda Abdullah yang ketika itu masih menetap di Batak Rabit, sebuah tempat di Hilir Perak, Kesultanan Perak, Malaysia, namun Raja Muda Abdullah menolak pulang ke Sayong untuk diangkat sebagai Sultan Perak. Penolakan tersebut mengakibatkan jenazah Sultan Ali al-Mukammil Innayat Shah baru dimakamkan setelah satu bulan kemudian. Hal itu disebabkan karena para pembesar kesultanan ketika itu tidak kunjung menerima berita kesediaan Raja Muda Abdullah. Karena kondisi yang demikian akut, akhirnya para pembesar kesultanan memutuskan untuk memakamkan  Sultan Ali al-Mukammil Innayat Shah dan mengangkat Raja Bendahara Ismail sebagai Sultan Perak dengan gelar Sultan Ismail Mu‘abiddin Ri‘ayat Shah (1871-1874 M).

Pengangkatan tersebut ternyata tidak disukai oleh Raja Muda Abdullah. Belum ditemukan data tentang apa dan mengapa yang menjadi ketidaksukaan Raja Muda Abdullah dengan pengangkatan itu. Akhirnya, terjadi perselisihan antara Raja Muda Abdullah dan Sultan Ismail. Perselisihan itu berujung pada diangkatnya Raja Abdullah sebagai Sultan Perak dengan gelar Sultan Abdullah Muhammad Shah (1874-1877 M). Di samping adanya perselisihan kepentingan kekuasaan, di Kesultanan Perak juga terjadi perselisihan dan peperangan antar pedagang gelap dari China, Ghee Hin, dan Hai San di sekitar Kelian Puah dan Kelian Baharu yang juga menyebar ke daerah-derah lain (sepanjang tahun 1861-1862 M dan 1871-1874 M).

Rupanya, kondisi tersebut dimanfaatkan oleh Inggris untuk mencampuri urusan dalam negeri Perak. Ketika berupaya melakukan politik campur tangan tersebut, Inggris memberikan alasan kepada penguasa di Perak bahwa kepentingan rakyat Perak jangan dikorbankan, dan kekayaan sumber daya alam yang ada sepenuhnya dapat dieksplorasi untuk kepentingan perekonomian kesultanan. Dengan strategi yang amat jitu ini, pihak Inggris dapat mempengaruhi Raja Muda Abdullah dan beberapa pembesar Perak untuk berunding di Pulau Pangkor. Pedagang-pedagang dari Ghee Hin dan Hai San juga turut serta dalam perundingan tersebut. Pada tanggal 20 Februari 1874 M, lahirlah Perjanjian Pangkor yang sangat berpengaruh dalam masa depan kehidupan masyarakat Melayu pada umumnya dan masyarakat Perak pada khususnya.

Dalam perjanjian tersebut ditentukan bahwa Sultan Perak hanya bertindak sebagai pemimpin agama Islam dan adat istiadat Melayu saja. Urusan pemerintahan dan ekonomi kesultanan dipegang oleh Residen Inggris, yaitu Gubernur Negeri Selat, yang diserahi tugas dan tanggung jawab untuk melaksanakan rancangan pembangunan Sistem Residen. Residen Inggris pertama yang memulai tugas itu adalah J.W.W.Birch. Dengan munculnya perjajian tersebut, ternyata perselisihan antara kelompok yang bertikai di Kesultanan Perak semakin mereda.

Akan tetapi, lambat-laun Sultan Abdullah dan para pembesar kesultanan mulai merasakan penyesalan yang amat dalam karena mereka pernah menandatangani Perjanjian Pangkor. Penyesalan itu dipicu oleh arogansi pihak Residen Inggris yang berhak sepenuhnya mengurusi masalah pemerintahan dan ekonomi dalam negeri Perak, sementara Sultan Abdullah diberi kewenangan terbatas, yaitu hanya mengurusi masalah keislaman dan adat-istiadat Melayu. Pada tanggal 2 November 1875 M, mereka akhirnya memutuskan untuk membunuh J.W.W Birch dan para pengikutnya di Pasir Salak. Sebagai dampaknya, pihak Inggris melancarkan serangan terhadap orang-orang Perak yang telah membunuh residennya. Di bawah pimpinan Kapten Speedy, tentara Inggris mengepung perairan Perak. Mereka kemudian membakar rumah-rumah warga, menyerang kota pertahanan Perak di Batak Rabit, dan membunuh masyarakat Perak yang ditemui di mana-mana. Dengan modal persenjataan yang terbatas, tentara dan masyarakat Perak tetap melakukan perlawanan demi mempertahankan harkat dan martabat negeri. Peperangan tersebut terus berlangsung hingga tahun 1876 M.

Wilayah Kekuasaan

Wilayah kekuasaan Kesultanan Perak meliputi sembilan daerah, yaitu: Batang Padang (2,730 km2), Kinta (1,958 km2), Kuala Kangsar (2,541 km2), Larut Matang/Selama (2,103 km2), Hilir Perak (1,727 km2), Keriang (938 km2),  Manjung (1,168 km2), Hulu Perak (6,558 km2), dan Perak Tengah (1,282 km2). Luas keseluruhan wilayah Kesultanan Perak adalah 21,005 km2 (2.1 juta hektar).
Struktur Pemerintahan

Struktur pemerintahan Kesultanan Perak secara umum sama dengan struktur pemerintahan yang berlaku di Kesultanan Malaka. Sultan merupakan penguasa tertinggi di Kesultanan Perak. Ia dibantu oleh sejumlah pembesar kesultanan. Ada 12 pembesar kesultanan dengan gelarnya masing-masing, sebagaimana berikut ini:

1- Yang Amat Berhormat Orang Kaya Bendahara Seri Maharaja wakil al Sultan Wazir Kabir (pembesar ini pada masa Sultan Muzaffar Shah adalah Megat Terawis)
2- Yang Amat Berhormat Orang Kaya Besar Maharaja Di Raja
3- Yang Amat Berhormat Orang Kaya Temenggong Paduka Raja
4-  Yang Amat Berhormat Orang Kaya Menteri Paduka Tuan
5- Yang Berhomat Orang Kaya-kaya Laksamana Raja Mahkota
6- Yang Berhomat Orang Kaya-kaya Sri Adika Raja Shahbandar Muda
7- Yang Berhomat Orang Kaya-kaya Panglima Kinta Sri Amar di-Raja
8- Yang Berhomat Orang Kaya-kaya Panglima Bukit Gantang Sri Amar Bangsa di-Raja
9- Yang Berhomat Orang Kaya-kaya Shahbandar Paduka Indra
10- Yang Berhomat Orang Kaya-kaya Setia Bijaya di-Raja
11- Yang Berhomat Orang Kaya-kaya Imam Paduka Tuan
12- Yang Berhomat Orang Kaya-kaya Mahakurnia Indra di-Raja
Proses suksesi kepemimpinan di Kesultanan Perak boleh dibilang lebih kompleks dibandingkan dengan negeri-negeri lain di kawasan Malaysia. Sultan yang sedang berkuasa mengangkat pangeran-pangeran dari keturunannya untuk memperoleh gelar-gelar kebangsawanan. Susunan pangeran tersebut didasarkan pada perintah sultan yang sangat ketat. Namun demikian, sultan yang berkuasa berikutnya dapat menentukan kebijakan lain soal susunan tersebut. Berikut ini adalah susunan pangeran-pangeran sultan yang telah diterapkan sejak tanggal 25 Februari 1953 M:

Duli Yang Teramat Mulia (Tuanku) Raja Muda, Wakil us-Sultan, Wazir ul-Azam Negara Perak Dar ur-Ridzwan
1- Duli Yang Amat Mulia Raja di-Hiler
2- Yang Amat Mulia Raja Kechil Besar
3- Yang Mulia Raja Kechil Sulong
4- Yang Mulia Raja Kechil Tengah
5- Yang Mulia Raja Kechil Bongsu.
Kehidupan Sosial-Budaya

Jumlah penduduk di Kesultanan Perak adalah 1,930,382 yang terdiri atas: Batang Padang (152,137), Kinta (751,825), Kuala Kangsar (154,048), Larut Matang/Selama (273,321), Hilir Perak (191,098), Keriang (52,651),  Manjung (191,004), Hulu Perak (82,195), dan Perak Tengah (82,103).

Kesultanan Perak dikenal dengan hasil ekonominya berupa biji timah. Dengan hasil bumi ini, Perak menjadi kesultanan yang kian berkembang dan terus maju. Pada masa lalu, kekayaan sumber daya alam ini mendatangkan banyak minat kerajaan lain untuk menguasasi Perak. Pada tahun 1575 M, Kesultanan Aceh pernah menyerang Perak dan menjadikannya sebagai negeri jajahan. Pada tahun 1651 M, Belanda pernah mengepung Perak dan memaksa Sultan Muzzaffar Shah II agar mau menandatangani perjanjian dengan Hindia Belanda (VOC). Dalam perkembangan selanjutnya, tepatnya pada tahun 1953 M, perjanjian antara Perak dan Hindia Belanda ditandatangani antara Sultan Iskandar Zulkarnain dan Thomas Acheppers. Akibat dari perjanjian tersebut, Perak setuju menjual biji timah ke Belanda.‎

Kesultanan Perak memiliki tiga bentuk warisan seni dan kebudayaan Melayu, yaitu:

1. Seni Tampak atau Seni Rupa

Seni tampak atau seni rupa mencakup bangunan apa saja yang mempunyai struktur, seperti kota, istana, masjid, makam, dan sebagainya. Dalam lanskap istana kesultanan Melayu, kota memainkan peran yang sangat penting karena di dalam kota ini masjid dan istana didirikan. Sultan melakukan tugas-tugas pemerintahan di istana kesultanan.

Sultan Iskandar Zulkarnain (1754-1764 M) pernah memerintahkan para pembesar kesultanan agar mengurus istana kesultanan di Pulau Indera Sakti. Tiga pembesar kesultanan, Bendahara Megat Abu Kassim, Temenggong Tan Bantan, dan Orang Kaya Menteri Sharif Hussain, mundur dari jabatannya karena merasa tidak sanggup memikul tanggung jawab tersebut. Padahal, istana tersebut dianggap sebagai istana paling indah di zaman itu.
2. Seni Persembahan

Seni persembahan merupakan seni yang melibatkan gerakan atau aktivitas. Yang termasuk dalam seni ini adalah tarian, nyanyian, permainan rakyat, dan sebagainya. Seni ini biasanya dilakukan sebagai pengiring upacara adat istiadat, baik oleh kalangan istana kesultanan maupun masyarakat umum. Salah satu contoh seni ini adalah adat melenggang perut ketika perempuan mengandung genap tujuh bulan.

3. Seni Bahasa, yang terdiri dari seni peribahasa, pantun, syair, dan sebagainya.

 

Doa Nabi Sulaiman Menundukkan Hewan dan Jin

  Nabiyullah Sulaiman  'alaihissalam  (AS) merupakan Nabi dan Rasul pilihan Allah Ta'ala yang dikaruniai kerajaan yang tidak dimilik...