Minggu, 22 November 2020

Sejarah Dinasti Aghlabiyah


Peradaban Islam di Afrika Utara bermula dari serangakaian penaklukan bangsa Arab pada abad ke-7dan abad ke-8. Antara serangkaian penaklukan tersebut dan pada pertengahan abad ke-13, sejarah wilayah ini sejalan dengan periode kekhilafahan dalam sejarah perkembangan Timur Tengah dan merupakan varian dari tipe peradaban Islam di Timur Tengah. Peradaban Arab Islam di Afrika Utara dibentuk berdasarkan integrasi kalangan penakluk Arab dengan masyarakat Barbar dan kota-kota di wilayah Laut Tengah.

Penaklukan bangsa Arab baik terhadap masyarakat Barbar maupun tehadap kota-kota Bizantium bermula dengan serangan bertubi-tubi yang dilancarkan dari Mesir. Sekitar tahun 670 M., Tunisia berhasil dikuasai dan Qayruwan dibangun sebagai pusat operasi militer bangsa Arab, dan bangsa Arab sampai di Maroko pada tahun 711 M. Serangkaian penaklukan bangsa Arab mengantarkan pada sebuah awal yang baru atau rezim Arab-Muslim di Tunisia dan pengambilan Islam sebagai basis bagi beberapa rezim koalisi kesukuan di wilayah Afrika Utara lainnya. Pada abad ke-13 sebuah pemerintahan teritorial baru berhasil ditegakkan di Maroko. Elit keagamaan Islam dan sejumlah institusi dapat ditemukan diseluruh penjuru Afrika Utara, dan penduduk setempat secara substansial telah berpindah ke agama Islam.

Latar Belakang Berdirinya Diansti Aghlabiyah

Dinasti Aghlabiyah adalah salah satu Dinasti Islam di Afrika Utara yang berkuasa selama kurang lebih 100 tahun (800-900 M). Di luar wilayah yang dinamakan Ifriqiyah (Afrika Kecil, terutama Tunisia), sempalan dari “Afrika” Latin, Harun al-Rasyid pada 800 M. telah mengangkat Ibrahim bin al-Aghlab sebagai gubernur. Ibrahim bin al-Aghlab (800-811 M.) memerintah sebagai penguasa yang berdiri sendiri, dan setahun setelah pengangkatannya, tak satupun Khalifah Abbasiyah yang menjalankan kekuasaan di luar perbatasan barat Mesir. Aghlabiyah merasa puas dengan gelar Amir, tetapi tidak merasa perlu mencatumkan nama Khalifah di mata uang mereka, sekalipun sebagai bukti kekuasaan spiritualnya. Dari ibukotanya, Qayruwan, sampai ke Qartago, mereka menguasai Mediterania tengah selama abad-abad kejayaan mereka.

Nama Dinasti Aghlabiyah ini diambil dari nama ayah, Amir yang pertama, yaitu Ibrahim bin al-Aghlab. Beliau adalah seorang pejabat Khurasan dalam militer Abasiyah. Ibrahim bin al-Aghlab, seorang yang dikenal mahir di bidang administrasi. Dengan kemampuan ilmu administrasinya, Ibrahim bin al-Aghlab mampu mengatur roda pemerintahan dengan baik. Dinasti Aghlabiyah merupakan tonggak terpenting dalam sejarah peradaban Islam atau konflik berkepanjangan antara Asia dan Eropa, di bawah pimpinan Ziyadatullah I. Pada tahun 800 M, Ibrahim I diangkat sebagai Gubernur (Amir) di Tunisia oleh Khalifah Harun ar-Rasyid. Karena ia sangat pandai menjaga hubungan dengan Khalifah Abasiyah seperti membayar pajak tahunan yang besar, maka Ibrahim I diberi kekuasaan oleh Khalifah, meliputi hak-hak otonomi yang besar seperti kebijaksanaan politik, termasuk menentukan penggantinya tanpa campur tangan dari penguasa Abbasiyah. Hal ini dikarenakan jarak yang cukup jauh antara Afrika Utara dengan Baghdad. Sehingga Aghlabiyah tidak terusik oleh pemerintahan Abbasiyah.

Dinasti Aghlabiyah berdiri di Aljazair dan Sicilia pada tahun 184-296/800-909 M. Dinasti ini didirikan oleh Ibrahim bin al-Aghlab yang diberi otonomi wilayah yang sekarang disebut Tunisia oleh Khalifah Harun ar-Rasyid. Disamping itu, Dinasti ini juga di kenal dengan armada angkatan laut yang di miliki, sehingga di waktu masa kejayaannya, sangat tangguh dan perkasa di medan pertempuran lebih khususnya di lautan. Dan banyak para sejarawan yang mengakui kekuatan armada angkatan laut Dinasti Aghlabiyah.


Adapun susunan para penguasa Dinasti Aghlabiyah yang memerintah adalah sebagai berikut :
1. Ibrahim I bin al-Aghlab (800-812 M).
2. Abdullah I (812-817 M).
3. Ziyadatullah I(817-838 M).
4. Abu ‘Iqal al-Aghlab (838-841 M).
5. Muhammad I (841-856 M).
6. Ahmad (856-863 M).
7. Ziyadatullah II(863 M).
8. Abu Ghasaniq Muhammad II (863-875 M).
9. Ibrahim (875-902 M).
10. Abdullah II (902-903 M).
11. Ziyadatullah III (903-909 M).

Perkembangan Dinasti Aghlabiyah

Aghlabiyah merupakan Dinasti kecil pada masa pemerintahan Abasiyah, yang para penguasanya adalah berasal dari keluarga Bani al-Aghlab, sehinggga Dinasti tersebut dinamakan Aghlabiyah. Awal mula terbentuknya Dinasti kecil tersebut yaitu ketika Baghdad di bawah pemerintahan Harun ar-Rasyid. Di bagian Barat Afrika Utara terdapat dua bahaya besar yang mengancam kewibawaannya, diantaranya adalah sebagai berikut:

a. Ancaman dari Dinasti Idrisiyah yang beraliran Syi’ah.
b. Ancaman dari Golongan Khawarij.

Dengan adanya dua ancaman tersebut, terdoronglah Harun ar-Rasyid untuk menempatkan bala tentaranya di Ifriqiyah di bawah pimpinan Ibrahim bin al-Aghlab. Setelah berhasil mengamankan wilayah tersebut, Ibrahim bin al-Aghlab mengusulkan kepada Harun ar-Rasyid supaya wilayah tersebut di hadiahkan kepadanya dan anak keturunannya secara permanen. Karena jika hal itu terjadi, maka ia tidak hanya mengamankan dan memerintah wilayah tersebut, akan tetapi juga mengirim upeti ke Baghdad setiap tahunnya sebesar 40.000 dinar. Harun al-Rasyid menyetujui usulannya, sehingga berdirilah Dinasti kecil (Aghlabiyah) yang berpusat di Ifriqiyah yang mempunyai hak otonomi penuh. Meskipun demikian masih tetap mengakui akan kekhalifahan Baghdad. Pendiri Dinasti Aghlabiyah adalah Ibrahim bin al-Aghlab pada tahun 800 M. Pada tahun itu Ibrahim diberi provinsi Ifriqiyah (Tunisia Modern) oleh Harun ar-Rasyid sebagai imbalan atas pajak tahunan yang besarnya 40.000 dinar dan meliputi hak-hak otonom yang besar. Untuk menaklukan wilayah baru dibutuhkan suatu proses yang panjang dan perjuangan yang besar, namun tidak seperti Ifriqiyah yang sifatnya adalah pemberian. Salah satu kinerja pertama atau kesuksesan pertama yang diraih oleh pemerintahan Aghlabiyah adalah keberhasilan memadamkan gejolak yang muncul dari Kharijiyah Barbar di wilayah mereka.

Banyak penerus Ibrahim bin al-Aghlab terbukti sama bersemangatnya dengan Ibrahim sendiri. Dinasti Aghlabiyah menjadi salah satu titik penting dalam sejarah konflik berkepanjangan antara Asia dan Eropa. Dengan armada perang yang lengkap, mereka memorak-porandakan kawasan pesisir Italia, Prancis, Korsika, dan Sardinia. Salah satu dari mereka adalah Ziyadatullah I (817-838 M.), pada tahun 827 M. Ziyadatullah mengirim ekspedisi ke Sisilia Bizantium, yang didahului oleh operasi bajak laut. Ekspedisi ini, juga ekspedisi-ekspedisi berikutnya, berhasil ditaklukan. Sisilia menjadi basis menguntungkan bagi operasi-operasi melawan wilayah daratan, terutama Italia. Selain Sisilia, Malta, dan Sardinia juga berhasil direbut oleh para bajak laut yang operasinya meluas jauh sampai ke Roma. Pada saat yang sama, para bajak laut muslim dari Kreta terus-menerus menyerbu pulau-pulau kecil di Laut Aegea, dan pada pertengahan abad ke-10, mereka menyerang kawasan pesisir Yunani. Tiga prasasti Kufik yang ditemukan di Athena mengungkapkan adanya pemukiman Arab di sana, ayng diduga bertahan sampai awal abad ke-10.

Selain itu Dinasti Aghlabiyah berhasil menaklukan kota-kota di sepanjang pantai Italia, yaitu sebagai berikut:
1. Brindisi (836/221 H),
2. Napoli (837 M),
3. Calarbia (838 M),
4. Toronto (840 M)
5. Bari (840 M),
6. Benevento (840 M).

Penaklukan umat Islam atas kepulauan Sisilia (dalam literatur bahasa Arab disebut Siqilliyah) merupakan buih terakhir dari gelombang serbuan yang dibawa bangsa Arab ke Afrika Utara dan Spanyol. Para pemimpin ekspansi ke kepulauan itu, dan ke daratan Eropa Tengah adalah panglima-panglima perang Dinasti Aghlabiyah dari Qayruwan yang menyerang wilayah itu pada abad ke-9 M. Meski demikian, upaya-upaya sporadis yang dilakukan oleh para pengembara muslim, tentara-tentara bayaran, dan para perompak telah dilakukan jauh sebelum itu. Faktanya, ketika pada 652 M. angkatan laut Bizantium di Alexandria mendapat serangan dan kekuatan maritim beralih ke tangan orang Arab, pada saat yang sama terjadi serangan atas kekuatan Bizantium di Sisilia yang dilakukan oleh panglima perang Khalifah Mu’awiyah. Kejayaan Siracuse (dalam literatur bahasa Arab disebut Saraqusah, Saraqushshah) tenggelam dalam serangan pertama ini. Rampasan perang muslim, termasuk para wanita, kekayaan gereja, dan benda-benda berharga lainnya, mengundang para pengembara muslim untuk kembali ke daerah itu pada paruh kedua abad ke-7. Pada abad ke-8, kaum Barbar dan para pejuang Arab di Afrika Utara, serta umat Islam Spanyol mulai merambah pulau-pulau di bagian utara dan timur serta menebarkan kekuatan di antara penduduk Sisilia, Corsica, dan Sardinia. Mesti diingat bahwa pada saat itu, perompakan dan penjarahan dianggap sebagai alat-alat sah untuk hidup, baik oleh penduduk muslim maupun penduduk Kristen. Tetapi tidak ada kebijakan politis yang terencana dalam gerakan-gerakan ekspansi pertama ini.

Bagaimanapun, berkembangnya kekuatan Dinasti Aghlabiyah di Qayruwan, pada tahun pertama abad ke-9 M. telah mengubah situasi politik di wilayah itu. Suatu upaya dari para pemberontak Siracuse untuk melawan Gubernur Bizantium pada tahun 827 M. memberikan peluang kepada umat Islam untuk melakukan invasi. Ziyadatullah I (817-838 M.), Khalifah Aghlabiyah ketiga, langsung mengirim 70 armada membawa sekitar 10.000 tentara dan 700 ekor kuda di bawah pimpinan Qadhi Wazir berusia 70 tahun dan As’ad bin al-Furath. Ketika itulah penaklukan yang sebenarnya baru dimulai. Pasukan Afrika berlabuh di Masara kemudian bergerak ke Siracuse. Suatu wabah yang menyebar di perkemahan orang Arab membunuh As’ad dan banyak prajuritnya. Pasukan itu kemudian mendapat suntikan kekuatan baru dari Spanyol, sehingga mereka berhasil menguasai kota Palermo (bahasa Arab, balarm, asalnya merupakan koloni Phoenix) pada tahun 831 M. dan serta dan mendapatkan titik tolak penting untuk penaklukan berikutnya serta menempatkan gubernur baru di sana. Sekitar tahun 845 M. kota Messina jatuh. Pada tahun 878 M. benteng Siracuse yang cukup kuat menyerah setelah 9 bulan pengepungan. Benteng itu dihancurkan pada masa kekuasaan Khalifah Aghlabiyah, Ibrahim II (874-902 M.) yang bergelimang darah. Saat rezimnya berada di ambang kehancuran, Ibrahim II datang sendiri ke Sisilia. Di sisni ia memangkas distrik-distrik di sekitar Gunung Etna, dan pada tahun 902 M. menghancurkan Taormina.

Ibrahim II meninggal dan dikuburkan di Sisilia. Penaklukan kepulauan itu, yang dimulai tahun 827 M. mencapai kesempurnannya. Unutk masa 180 tahun berikutnya, sebagian atau seluruh Sisilia, yang berada di bawah pergolakan para pemimpin Arab, menjadi salah satu provinsi dari dunia Arab. Layaknya Spanyol yang menjadi batu loncatan (point d’appoi) untuk peperangan dan penaklukan lebih jauh ke utara, Sisilia juga menjadi batu loncatan untuk pergerakan berikutnya menuju Italia. Sebelum kematiannya pada 902 M. Ibrahim II membawa pasukannya untuk melakukan perang suci menuju pinggiran Italia, Calarbia, tetapi ia bukanlah orang Arab pertama yang menjejakkan kaki di tanah Italia.

Tak lama setelah Palermo jatuh, jenderal-jenderal Aghlabiyah ikut campur dan memperuncing konflik di antara para Lombardo di Italia Selatan, yang kekuasannya masih dipegang oleh Kaisar Bizantium, dan ketika Naples pada 837 M. meminta bantuan penguasa Arab, teriakan perang umat Islam bergema dan memenuhi dataran Vesurius sebagaimana yang telah terjadi sebelumnya di bagian utara yang disebut “Pegunungan Api”. Sekitar 4 tahun kemudian, Bari, yang terletak di wilayah Adriatik, yang kelak menjadi markas utama untuk masa 30 tahun berikutnya, ditaklukan. 

Pada saat yang bersamaan, para pejuang muslim sampai di gerbang Venezia. Pada tahun 846 M. bahkan Romawi merasa terancam oleh pasukan Arab yang berlabuh di Ostia. Karena tidak mampu merobohkan benteng pertahanan Kota Keabadian, mereka merusak Katedral St. Paulus di luar gerbang kota, dan melecehkan kuburan-kuburan pontiffs. Tiga tahun kemudian, pasukan muslim yang lain mencapai Ostia tetapi dipukul mundur oleh keganasan laut dan angkata laut Italia. Sebuah lukisan dari sketsa-sketsa Raphael mengingatkan kita akan pertempuran laut itu, serta penyelamatan Romawi yang menakjubkan. Tetapi cengkrama umat Islam atas Italia masih begitu kuat, sehingga Paus Yohanes VIII (872-882 M.) dengan hati-hati mempertimbangkan untuk membayar pajak selama dua tahun.

Pasukan kerajaan Aghlabiyah tidak menghentikan operasi mereka sebatas di pantai-pantai Italia. Pada 869 M. mereka menaklukan Maeta. Dari Italia dan Spanyol, gerakan penyerbuan pada abad ke-10 ini terus meluas melalui pegunungan Alpen terdapat sejumlah kastil dan benteng yang banyak memiliki petunjuk untuk para turis tentang alur serbuan bangsa Saracen ini. Beberapa nama tempat di Swiss, seperti Gaby dan Algaby (al-Jaby, pengumoul pajak) yang diungkapkan dalam karya Baedeker dengan judul Switzerland, bisa jadi berasal dari bahasa Arab.

Karena tidak tahan terhadap serangan berkepanjangan dari pasukan Aghlabiyah pada Bandar-bandar Italia, termasuk kota Roma, maka Paus Yohanes VIII (840-872 M) terpaksa minta perdamaian dan bersedia membayar upeti sebanyak 25.000 uang perak pertahun kepada Aghlabiyah. Pasukan Aghlabiyah juga berhasil menguasai kota Regusa di Pantai Yugoslavia (890 M.), Pulau Malta (869 M.), menyerang Pulau Corsika dan Mayorka, bahkan pasukan Aghlabiyah berhasil menguasai Kota Portofino di Pantai Barat Italia (890 M.), dan Kota Athena di Yunani pun berhasil berada dalam jangkauan penyerangan mereka.

Dengan keberhasilan penaklukan-penaklukan tersebut, menjadikan Dinasti Aghlabiyah kaya raya, para penguasa bersemangat dalam membangun Tunisia dan Sicilia. Ziyadatullah I membangun Masjid Agung Qayruwan, sedangkan Amir Ahmad membangun Masjid Agung Tunis dan juga membangun hampir 10.000 benteng pertahanan di Afrika Utara. Tidak cukup itu, jalan-jalan, pos-pos, armada angkutan, irigasi untuk pertanian (khususnya di Tunisia Selatan, yang tanahnya kurang subur). Demikian pula dengan perkembangan di bidang arsitektur, bidang ilmu, bidang seni, dan kehidupan keberagaman.

Selain sebagai Ibu Kota Dinasti Aghlabiyah, Qayruwan juga sebagai pusat penting munculnya Mazhab Maliki, tempat berkumpulnya ulama’-ulama’ terkemuka, seperti Sahnun yang wafat (854 M) pengarang Mudawwat, Kitab Fiqh Maliki, Yusuf bin Yahya, yang wafat (901 M), Abu Zakariyah al-Kinani, yang wafat (902 M), dan Isa bin Muslim, wafat (908 M). Karya-karya dari ulama’ pada masa Dinasti Aghlabiyah tersimpan dengan rapih dan utuh di Masjid Agung Qayruwan.

Masjid besar Qayruwan, yang masih berdiri sebagai sebagai saingan bagi masjid-masjid termasyhur di Timur, mulai dibangun di bawah kekuasaan Ziyadatullah I dan disempurnakan oleh Ibrahim II (874-902 M.). tempat berdirinya masjid itu juga merupakan lokasi berdirinya bangunan suci ‘Uqbah pendiri Qayruwan. Masjid ‘Uqbah oleh para penerusnya telah dihiasi dengan pilar-pilar marmer yang didapat dari puing-puing Qartago, yang kemudian dimanfaatkan lagi oleh penguasa Aghlabiyah. Menara-persegi yang melengakapi bangunan masjid ini, yang juga merupakan peninggalan bangsa Umayyah terdahulu, dan termasuk yang paling lama bertahan di Afrika, memperkenalkan bentuk menara ala Suriah kepada masyarakat Afrika barat-laut. Model menara itu bahkan tidak pernah tergantikan oleh bentuk-bentuk lain yang lebih ramping dan tinggi seperti yang ada dalam peninggalan Persia dan bangunan ala Mesir.

Adapun langkah-langkah yang dilakukan oleh pemimpin Aghlabiyah adalah sebagai berikut:
1. Penguasa Aghlabiyah pertama berhasil memadamkan gejolak Kharijiyah Barbar di wilayah mereka.
2. Dilanjutkan dengan dimulainya proyek besar merebut Sicilia dari tangan Bizantium pada tahun 827 M, dibawah Ziadatullah I yang amat cakap dan energik, dengan meredakan oposisi internal di Ifriqiyyah yang dilakukan Fuqaha’ (pemimpin-pemimpin religius) dan Maliki di Qayruwan.

Pada zaman keemasan Dinasti Aghlabiyah terdapat banyak peninggalan-peninggalan bersejarah berupa tempat-tempat yang bernuansa religius khususnya bagi umat Islam, diantaranya adalah sebagai berikut:

1) Pembangunan Masjid Agung Qayruwan oleh Ziyadatullah I.
2) Pembangunan Masjid Agung Tunis oleh Ahmad.
3) Pembangunan karya-karya pertanian dan irigasi yang bermanfaat, khususnya di Ifriqiyah selatan yang kurang subur.

Di bawah kekuasaan Aghlabiyah inilah tejadinya perubahan penting di tengah kawasan Afrika kecil. Dari kawasan yang tadinya dihuni oleh para penganut Kristen yang berbicara dengan bahasa Latin menjadi kawasan para penganut agama Islam yang berbicara dengan bahasa Arab. Bagaikan rumah judi,

Runtuhnya Kekuasaan Dinasti Aghlabiyah

Akhir abad ke-9, posisi Dinasti Aghlabiyah di Ifriqiyah mengalami kemunduran, karena amir (Gubernur) yaitu Ziyadatullah III tenggelam dalam kemewahan (berfoya-foya) dan dengan masuknya propaganda Syi’ah yang dilancarkan oleh Abu Abdullah as-Syi’ah atas isyarat Ubaidillah al-Mahdi dan telah menanamkan pengaruh atau doktrin-doktrin yang sangat kuat dikalangan orang-orang Barbar. Dan menimbulkan kesenjangan sosial antar penguasa Aghlabiyah di satu pihak dan orang-orang Barbar di pihak lain, telah menambah kuatnya pengaruh itu dan pada akhirnya membuahkan kekuatan militer.

Puncak kemunduran atau kehancuran dari Dinasti Aghlabiyah terjadi pada tahun 909 M. Kekuatan militer yang dibangun Ubaidillah al-Mahdi berhasil mengalahkan kekuatan militer yang dimiliki oleh Dinasti Aghlabiyah yang dulunya dikenal dan ditakuti karena ketangguhan di medan pertempuran. Sehingga dengan mudahnya pemerintahan Dinasti Aghlabiyah digulingkan dari kedudukan tertinggi dan berhasil mengusir Ziyadatullah ke Mesir, setelah usahanya gagal untuk mendapatkan bantuan dari pemerintahan pusat di Baghdad.

 

Sejarah Kekaisaran Seljuk Agung


Kekaisaran Seljuk Raya atau Kekaisaran Seljuk Agung adalah imperium IslamSunni abad pertengahan yang pernah menguasai wilayah dari Hindu Kushsampai Anatolia timur dan dari Asia Tengah sampai Teluk Persia. Dari tempat awal mereka di Laut Aral, Seljuk bergerak pertama ke Khorasan dan lalu ke Persia daratan sebelum menguasai Anatolia timur. Kekaisaran ini didirikan oleh Dinasti Seljuk.

Para Sultan Seljuk

1. Seljuq bin Duqaq (... - 1038)

Suku Seljuk dipersatukan oleh Seljuq bin Duqaq, seorang pemimpin konfederasi suku-suku Turki yang mengabdi kepada salah seorang Khan di Turkistan. Seljuk pindah dari dataran tinggi Kirghiz(Kazakhstan) bersama seluruh anggota sukunya ke Jand di provinsi Bukhara, dan mendiami daerah tersebut atas izin penguasa Samaniah. Ketika Dinasti Samaniah (Samanid) dikalahkan oleh Dinasti Gaznawiyah, Seljuk memerdekakan diri dan menguasai wilayah yang sebelumnya dikuasai Dinasti Samaniah tersebut.

2. Tugril Beq (1038 - 1063)

Kemudian di bawah kepimpinan Tugril Beq (.... - 1063), Dinasti Seljuk berhasil mengalahkan Dinasti Gaznawiyah dan menguasai wilayah tersebut, Tugril Beq menduduki jabatan sultan dan secara resmi mendapat pengakuan dari Khalifah Abbasiyah saat itu. Daerah kekuasaan Tugril Beq meliputi Iran dan Transoksania. Ia lalu memperluas kekuasaanya hingga hampir ke seluruh Iran. Pada masa kejayaannya, Tugril Beq mengontrol kekhalifahan Abbasiahpada tahun 447 H/1055 M.

3. Sultan Alp Arslan (1063 - 1072)

Pada tahun 1063, Tugril Beq wafat dan tidak memiliki keturunan laki-laki. Akhirnya keponakan tertuanya, Alp Arslan (1029 - 1072) naik tahta sebagai Sultan. Selama masa pemerintahannya, Alp Arslan berhasil mengatasi perlawanan dari saudara-saudaranya dan menyelesaikan konflik internal yang ada. Dalam memerintah, ia didampingi seorang perdana menteri bernama Nizam Al-Mulk. Nizam juga mendampingi putra Alp Arslan, Maliksyah, yang naik tahta kemudian sepeninggal Alp Arslan pada tahun 1072 dan memerintah 20 tahun berikutnya.

4. Sultan Maliksyah (1072 - 1092)

Dia adalah penguasa ke-4 Dinasti Seljuk. Pada masa pemerintahannya, Maliksyah mendapat perlawanan keras dari pamannya, Qaurad bin Jufri (Kavurt) yang menguasai Seljuk Kirman. Dia menuntut agar kesultanan diserahkan padanya. Maka terjadilah pertarungan antara paman - keponakan di sebuah tempat dekat Hamadzan. Qaurad kalah dalam pertarungan itu dan terbunuh. Dengan demikian maka Maliksyah mampu menguasai kerajaan Seljuk yang berada di Kirman. Kemudian dia mengangkat Syah bin Alp Arslan sebagai sultan di tempat itu. Peristiwa tersebut terjadi pada tahun 465 H/1073 M. 

Kekuasaan Maliksyah meluas sampai dari Afghanistan sampai Asia Kecil. Maliksyah menyerahkan wilayah-wilayah yang dikuasai di negeri Syam pada saudaranya yang bernama Tajud Daulah Tatmasy pada tahun 470 H/1077 M. Hal ini dilakukan sebagai upaya untuk mengawasi jalannya penaklukan-penaklukan di daerah lainnya. Tajud Daulah Tatmasy inilah yang mendirikan pemerintahan Seljuk di Syam. Sultan juga mengangkat seorang kerabatnya, Sulaiman bin Qatalmasy bin Israil untuk memerintah di wilayah Asia Kecil, yang sebelumnya berada di bawah kekuasaan Romawi pada tahun 470 H/1077 M. Hal ini juga dilakukan sebagai usaha mengawasi wilayah-wilayah yang ditaklukkan. Sulaiman bin Qatalmasy inilah yang kemudian mendirikan pemerintahan Seljuk Ruum (Romawi).

5. Sultan Mahmud Maliksyah (1092 - 1094)

Sultan ke-5 Dinasti Seljuk, yang sebenarnya berhasil menjadikan Maliksyah sebagai sultan, tetapi tidak mendapat kekuasaan dari Maliksyah dan Alp Arslan.

6. Sultan Bakiyaruq Bin Maliksyah (1094 - 1105)

Putra Sultan Maliksyah ini naik tahta di usia tiga belas tahun dan musuhnya menganggapnya belum berpengalaman. Dia berperang untuk mendapatkan kembali kontrol dari tanah Seljuk yang strategis, tanah yang saat ini bagian dari Irak dan Iran. Wilayahnya berbatasan dengan Suriah ketika pasukan Eropa tiba untuk Perang Salib Pertama, tetapi perhatian utamanya terletak di Damaskus, Aleppo, dan Mosul yang dikuasai oleh musuh.pada tahun 1105. Bakiyaruq meninggal di Borujerd dan dikebumikan ke Isfahan.

7. Sultan Maliksyah II (1105)

Cucu dari Sultan Maliksyah, secara teoritis dia adalah kepala negara, meskipun pada prakteknya, saudaranya Ahmad Sanjar di Khurasan memegang kekuasaan secara lebih efektif.

8. Sultan Muhammad Tapar alias Mehmed I (1105 - 1118)

Putra dari sultan Maliksyah dan saudara tiri dari Bakiyaruq, Muhammad Tapar atau Mehmed I bersekutu dengan Radwan dari Aleppo dalam pertarungan sungai Khabur melawan Killij Arslan I, yang merupakan Sultan Rum pada tahun 1107. kemudian Killij dikalahkan dan dibunuh. Menyusul konflik intern dengan saudari tirinya, Barkiyaruq, dia diberi gelar Malik dari propinsi Armenia dan Azerbaijan. Tidak puas dengan jabatan ini, dia memberontak tetapi akhirnya harus melarikan diri ke Armenia. Tahun 1104 Barkiyaruq jatuh sakit akibat kelelahan berperang dan setuju untuk membagi wilayah kesultanan dengan Mehmed I . Mehmed I menjadi Sultan setelah Barkiyaruq wafat pada tahun 1105.

9. Ahmad Sanjar (1118 –- 1157)

Putra dari Sultan Maliksyah dan adik dari Mehmed I. Awalnya menjabat Sultan Khorasansampai ia mendapatkan sisa wilayah itu setelah kematian Muhammad I (Mehmed I). Ia diberi wilayah khurasan dan memerintah di bawah kekuasaan kakaknya, Mehmed I. Selama beberapa tahun berikutnya Ahmed Sanjar menjadi penguasa sebagian besar Persia dengan ibukota di Nishapur. Sejumlah penguasa memberontak terhadap dia dan terus terjadi perpecahan di kekaisaran Seljuk Agung.

Sanjar melakukan kampanye untuk menghilangkan Assasin Alamut, dan berhasil mengusir mereka dari sejumlah benteng-benteng mereka. Namun, skenario menunjukkan bahwa dalam perjalanan ke benteng mereka di Alamut, Sanjar terbangun dan menemukan belati di sampingnya yang merupakan pesan dari Hasan Bin Sabah, yang merupakan pemimpin kelompok Assassin Alamut dan dalam pesannya Hasan meminta untuk berdamai. Sanjar terkejut dan langsung mengirim utusan untuk membicarakan hal ini dan kemudian keduanya menyetujui perdamaian tersebut. Tahun 1141, Sanjar bersiap untuk menghadapi pasukan Khara Khitai yang melibatkan pertempuran di Samarkand. Perang ini dinamakan perang Qutwan, Sanjar mengalami kekalahan dan harus kehilangan wilayahnya di timur. Sanjar wafat pada tahun 1157 dan dimakamkan di Merv. Makamnya dihancurkan oleh pasukanMongol pada tahun 1221 ketika Mongol menyerang Samarkand dan membumi hanguskannya.

Pembagian Wilayah 

Wilayah Imperium Turki Seljuk dibagi menjadi lima bagian:

1- Seljuk Besar (Iran); wilayahnya meliputi Khurasan, Rayy, Jabal, Irak, Persia, dan Ahwaz. Ia merupakan induk dari yang lain. Jumlah Syekh yang memerintah seluruhnya delapan orang. Pada masa Maliksyah, wilayah dinasti Seljuk sangat luas, sehingga kemudian wilayahnya tersebut dibagi-bagikan kepada saudara-saudaranya. Ia sendiri tetap menduduki wilayah kekuasaannya di Seljuk Iran yang disebut Seljuk Besar. Seljuk Iran merupakan induk bagi cabang cabang Seljuk lainnya. Sepeninggal Maliksyah, anaknya, Barkiyaruk naik tahta atas dukungan dari kaum Madrasah Nizam Al Mulk.

2- Seljuk Al-Qawurdiyun (Kirman); wilayah kekuasaannya berada di bawah keluarga Qawurt Bek ibn Dawud ibn Mikail ibn Seljuk. Jumlah syekh yang memerintah dua belas orang. Disebut al - Qawurdiyun, nama yang dinisbahkan pada pendirinya, Qawur Qara Arslan Beq, saudara seayah Alp Arslan yang pergi ke Kirman dengan kelompok Guzz dan berhasil mendirikan pemerintahan di daerah Persia itu. Saat Maliksyah berkuasa, Qawurd berusaha menggulingkannya, tapi ia kemudian dibunuh, lalu Maliksyah memberikan wilayah itu kepada Syah Bin Qawurd yang mewariskan daerah itu untuk keturunannya.

3- Seljuk Al-Iraq (Irak dan Kurdistan); pemimpin pertamanya adalah Mughirs al-Din Mahmud. Seljuk ini secara berturut-turut diperintah oleh sembilan syekh, dimulai dari kekuasaan Sultan Muhammad Bin Maliksyah, setelah ia mendapat bagian utara dari wilayah kekuasaan Seljuk. Sultan berikutnya adalah Mahmud, anak sulung Sultan Muhammad yang secara de facto hanya berkuasa di Irak. Namun semakin lama semakin banyak terjadi kekacauan menyangkut pengangkatan sultan sultan baru.situasi ini seringkali dimanfaatkan oleh Khalifah Abbasiyah untuk mengurangi pengaruh mereka.

4- Seljuk As-Syam (Suriah); diperintah oleh keluarga Tutush ibnu Alp Arselan ibnu Daud ibnu Mikail ibnu Seljuk, yang memerintah Suriah atas perintah Sultan Maliksyah. Jumlah syekh yang memerintah lima orang. Namun sepeninggal Tutusy, Seljuk Suriah tidak berumur panjang. Anaknya, Ridwan yang memeintah Allepo meninggal dunia dan tidak memiliki penerus yang kuat. Syams- al Muluk, anak Tutusy yang memerintah Damaskus juga wafat. Kemudian Seljuk Suriah jatuh ke tangan wali dan penguasa daerah.

5- Sljuk Ar-Ruum (Romawi/Asia Kecil); diperintah oleh keluarga Qutlumish ibnu Israil ibnu Seljuk dengan jumlah syeikh yang memerintah seluruhnya 17 orang. Kejayaan kesultanan ini berlangsung di masa Sulaiman bin Qutulmisy, sepupu Alp Arslan atas perintah Sultan Maliksyah. Ketika sulaiman tewas saat berperang dengan Tutusy, Maliksyah mengangkat anaknya yaitu Killij Arslan I untuk menggantikan ayahnya. Dinasti ini dapat bertahan lama dibanding dinasti lainnya meskipun banyak permasalahan intern.

SEJARAH PERJALANAN DINASTI SALJUK

Saljuk adalah nama keluarga keturunan Saljuk bin Duqaq (Tuqaq) dari suku bangsa Guzz dari turki yang menguasai Asia barat daya pada abad ke-11 dan akhirnya mendirikan sebuah kekaisaran yang meliputi kawasan Mesopotamia, Suriah, Palestina,dan sebagian besar Iran. Wilayah kekuasaan mereka yang demikian luas menandai awal kekuasaan suku bangsa Turki di kawasan Timur Tengah hingga abad ke-14.

Dinasti saljuk dibagi menjadi lima cabang, yaitu Saljuk Iran, Saljuk Irak, Saljuk Kirman, Saljuk Asia Kecil dan Saljuk Suriah. Dinasti Saljuk dididirikan oleh Saljuk bin Duqaq dari suku bangga Guzz. Akan tetapi, tokoh yang dipandang sebagai pendiri Dinasti Saljuk yang sebenarnya adalah Tugril Beq. Ia berhasil memperluas wilayah kekuasaan Dinasti Saljuk dan mendapat pengakuan dari Dinasti Abbasiyah. Dinasti Saljuk melemah setelah para pemimpinnya meninggal atau ditaklukkan oleh bangsa lain. Peninggalan dinasti ini adalah Kizil Kule (Menara Merah) di Alanya, Turki Selatan, yang merupakan pangkalan pertahanan Bani Saljuk dan Masjid Jumar di Isfahan, Iran.

Bani Saljuq merupakan kepanjangan dari kekhalifahan Bani Abbasiyyah di Baghdad, dinasti ini merupakan periode ke 2 setelah Bani Abbasiyyah berhasil menumbangkan Dinasti Buwaihi dan Dinasti Ghaznah. Dinasti saljuk didirikan oleh Tughri Beg, yang bertahan memerintah wilayah kekuasaannya selama sekitar dua abad. Dinasti Saljuq merupakan wilayah kekuasaan Bani Buwaihi yang menganut aliran Syi’ah. Pusat pemerintahannya berada di kota Naisaphur yang kemudian di pindah ke wilayah Ray di Iran, dan selanjutnya kota Baghdad difungsikan sebagai kota keagamaan dan kerohanian. Keberhasilan Bani Saljuq dalam mempertahankan kekuasaannya, tak lepas dari para wazir (pembantu sulthan/menteri) yang senantiasa loyal dan patuh terhadap sulthan serta kecintaan mereka terhadap ilmu pengetahuan. 

Diantara mereka yang telah berjasa dalam membangun dan mempertahankan dinasti Bani saljuq adalah;
Abu Muhammad bin Muhammad Fakhrul, Wazir pada masa Sulthanal-
Qa’im.
Abu Syarwan bin Khalid al-Qasyani, Wazir pada masa Sulthan al-
Mustarsyid.
Ibnu al-Attar, ia menjadi Wazir pada masa al-Nasir.
Abu Nasr Muhammad bin Manshural-Kundari, Wazir pada masa Sulthan
Tghrul Beg dan Alb Arsalam.
Tajuddin Abu al-Ghanayim, Wazir pada masa Sulthan Sanjar.
Ali bin al-Hasan al-Tughra, Wazir pada masa Sulthan Sanjar.
Sa’ad bin Ali bin Isa, Wazir pada masa Sulthan Mahmud.
al-Ustadz al-Tughra’i, Wazir pada masa Sulthan Mas’ud bin Muhammad
di Irak.
Nizam al-Mulk, Wazir Pada masa Sulthan Sultan Malik Syah.

Prestasi Kerajaan Saljuk Kesultanan Saljuk meninggalkan beberapa prestasi yang sangat baik. Di antaranya :

Kesultanan mereka memiliki peran untuk menunda kehancuran khilafah Abassiyah selama sekitar dua abad. Dimana sebelum kedatangan mereka pemerintahan Abassiyah hampir saja runtuh akibat perilaku jahat orang-orang Buwaihi penganut ajaran Syi’ah Rafidhah.

Kesultanan Saljuk telah mampu mencegah rencana penyatuan wilayah Timur Arab oleh pemerintahan Fathimiyah/Ubaidilah di Mesir untuk berada di bawah satu payung pemerintahan mereka yang Syi’ah.

Usaha keras kesultanan Saljuk merupakan bibit yang di tanam untuk mampu menyatukan wilayah Islam yang kemudian terealisir pada masa pemerintahan Shalahuddin Al-Ayyubi yang berada di di bawah pemerintahan Bani Abbas yang Sunni.

Kesultanan Saljuk telah ikut membangkitkan gairah ilmiah di wilayah-wilayah yang menjadi kekuasaannya. Mereka juga mampu menebarkan rasa aman di wilayah itu.

Mereka mampu menghadang gerakan Salibisme yang dipimpin imperium Bizantium, sebagaimana mereka yang telah berusaha untuk menghadang gelombang serbuan Mongolia.

Mereka mampu mengangkat tinggi-tinggi panji-panji madzhab Sunni di wilayah-wilayah kekuasaannya.

Kemajuan Peradaban Dinasti Saljuk.

Saljuk (Saljuq) ibn Tuqaq adalah seorang pemimpin kaum Turki yang tinggal di Asia Tengah tepatnya Transoxania atau Ma Wara’ al-Nahar atau Mavarranahr. Thughril Beg, cucu Saljuq yang memulai penampilan kaum Saljuk dalam panggung sejarah. Pada tahun 429/1037 ia tercatat sudah menguasai Merv. Kekuasaannya makin bertambah luas dari tahun ke tahun dan pada tahun 1055 menancapkan kekuasaannya atas Baghdad. Tughril meninggal tanpa meninggalkan keturunan dan digantikan kemenakannya Alp Arselan yang kemudian digantikan puteranya Maliksyah yang merupakan penguasa terbesar dari dinasti Saljuk. Sesudah itu bani Saljuk mengalami kemunduran sebelum kekuasan mereka di Baghdad pudar sama sekali pada tahun 552 H/ 1157 M.Dalam bidang keagamaan, masa ini ditandai dengan kemenangan kaum Sunni, terutama dengan kebijakan Nidham al-Mulk mendirikan sekolah-sekolah yang disebut dengan namanya Madaris Nidzamiyyah. 

Hal lain yang perlu dicatat dari masa ini dan masa sebelumnya adalah munculnya berbagai dinasti di dunia Islam yang menggambarkan mulai hilangnya persatuan dunia Islam di bidang politik. Seperti dinasti Fatimiyah lahir di Mesir (969) dan bertahan sampai tahun 1171. Dari segi budaya dan pemikiran keagamaan, terdapat berbagai wilayah dengan pusatnya sendiri yang masing-masing mempunyai peran sendiri dalam mengekspresikan Islam, sesuai dengan kondisi masing-masing. Misal, Andalus dan Afrika Utara mengembangkan seni yang mencapai puncaknya pada al-Hambra dan pemikiran filsafat denngan tokoh Ibn Tufail dan Ibn Rusyd. Pada masa ini merupakan puncak kemajuan pendidikan Islam, yaitu pada masa Khalifah Abbasiyah Malik Syah, wazir Nizham al-Mulk dari bani Saljuk yang membangun Madrasah Nizhamiyah yang nantinya menjadi perguruan tinggi terbesar di zamannya.

Kekaisaran Seljuk Agung yang mulai menancapkan kekuasaan pada abad ke-11 M hingga 14 M itu didirikan suku Oghuz Turki yang memeluk Islam mulai abad ke-10 M. Sejatinya, Kekaisaran Seljuk dirintis oleh Seljuk Beg. Namun, Kerajaan Seljuk yang berdiri pada 1037 M itu baru terwujud pada era kepemimpinan Tugrul Beg yang berkuasa hingga 1063 M. Sejarah mencatat Dinasti Seljuk sebagai kerajaan yang mampu menghidupkan kembali kekhalifahan Islam yang ketika itu nyaris tenggelam. Dalam waktu yang singkat, wilayah kekuasaan Kerajaan Seljuk pun kian bertambah luas. Dinasti Seljuk mencapai puncak kejayaannya ketika menguasai negeri-negeri di kawasan Timur-Tengah seperti Irak, Persia, Suriah serta Kirman. Sebagai negara yang sangat kuat, Dinasti Seljuk amat disegani. 

Pada tahun 1055 M, Kerajaan Seljuk sudah mampu menembus kekuasaan Dinasti Abbasiyah, Dinasti Fatimiah. Dua dasawarsa berikutnya, ketangguhan militer Seljuk mampu memukul mundur Bizantium yang bercokol di Palestina — kota suci ketiga bagi umat Islam — dalam pertemuran Minzikert 1071 M. Pemerintahan Dinasti Seljuk yang berpusat di Anatolia itu amat toleran. Kehadirannya seakan menjadi penerang bagi rakyatnya. Meski berasal dari salah satu suku di Turki, para penguasa Seljuk sangat menghargai perbedaan ras, agama, dan jender. Tak heran, bila bangunan tempat ibadah umat Nasrani dan Yahudi berdiri berdampingan dengan masjid. Di bawah bendera Seljuk, umat Islam dapat hidup dalam kedamaian, keadilan serta kemakmuran. Pada era dinasti ini aktivitas keagamaan berkembang dengan pesat. Hal itu ditandai munculnya kegiatan sufisme. Tak cuma itu, ilmu pengetahuan pun turut berkembang.

Sederet ilmuwan dan ulama muncul dari Dinasti Seljuk seperti, Al-Ghazali (1038 M - 1111 M) serta Umar Al-Khayam — seorang penyair terkemuka. Kekaisaran Seljuk juga sangat mendukung dan mendorong perkembangan kebudayaan, salah satunya seni bina bangun atau arsitektur. Tak heran, bila pada era kekuasaan Dinasti Seljuk banyak berdiri karya-karya arsitektur yang mengagumkan. Dinasti ini mampu menghidupkan kembali pencapaian Kekhalifahan Umayyah dan Abbasiyah dalam bidang bina bangunan. variasi dan kualitas ornamen-ornemen serta bentuk dan teknik arstitektur peninggalan Dinasti Seljuk mampu menjadi inspirasi bagi para arsitek Muslim dan para ahli batu di seluruh dunia. Keunggulan dan kehebatan arsitektur warisan Dinasti Seljuk dapat disaksikan dari bangunan-bangunan peninggalan bersejarah di Iran, Anatolia serta wilayah Asia Minor Muslim. Para arsitek dunia mencatat ada dua karya seni arsitektur yang paling unik warisan Dinasti Seljuk, yakni caravanserai (tempat singgah bagi para pendatang) serta madrasah. 

Caravanserai banyak berdiri di wilayah kekuasaan Seljuk lantaran dinasti itu amat mendorong perdagangan dan bisnis. Sedangkan gedung madrasah yang menyebar di daerah kekuasaan Kerajaan Seljuk mencerminkan geliat aktivitas pembelajaran. Kontribusi Dinasti Seljuk dalam bidang arsitektur begitu besar. Sejarah mencatat beberapa kontribusi Dinasti Seljuk dalam bidang arsitektur antara lain; pertama, memperkenalkan konsep baru empat iwan masjid. Kedua, mengembangkan dan memperbanyak madrasah untuk sarana pendidikan. Ketiga, memperkenalkan caravanserai. Keempat, mengembangkan dan mengelaborasi arsitektur makam. Kelima, keberhasilan membangun kubah berbentuk kerucut. Keenam, mempromosikan penggunaan motif-motif muqarnas. Ketujuh, memperkenalkan elemen pertama seni baroque yang menyebar ke seluruh Eropa di abad ke-16 M. Kehebatan dan keunikan gaya ersitektur Seljuk telah diakui dunia, termasuk arsitektur modern. Para arsitek Barat pun banyak belajar dari arsitektur Seljuk.
Kemajuan yang dicapai Dinasti Saljuk tersebut antara lain :

1.      Bidang Ilmu Pengetahuan

Disamping membagi wilayah menjadi lima, dipimpin oleh gubernur yang bergelar Syeikh atau Malik itu, penguasa Bani Seljuk juga mengembalikan jabatan perdana menteri yang sebelumnya dihapus oleh penguasa Bani Buwaih. Jabatan ini membawahi beberapa departemen.Pada masa Alp Arselan Rahimahullah, ilmu pengetahuan dan agama mulai berkembang dan mengalami kemajuan pada zaman Sultan Maliksyah yang dibantu oleh perdana menterinya Nizham al-Mulk. Perdana menteri ini memprakarsai berdirinya Universitas Nizhamiyah (1065 M) dan Madrasah Hanafiyah di Baghdad. 
Hampir di setiap kota di Irak dan Khurasan didirikan cabang Nizhamiyah. 

Menurut Philip K. Hitti, Universitas Nizhamiyah inilah yang menjadi model bagi segala perguruan tinggi di kemudian hari. Perhatian pemerintah terhadap perkembangan ilmu pengetahuan melahirkan banyak ilmuwan muslim pada masanya. Diantara mereka adalah az-Zamakhsyari dalam bidang tafsir, bahasa, dan teologi; al-Qusyairy dalam bidang tafsir; Abu Hamid al-Ghazali Rahimahullah dalam bidang teologi; dan Farid al-Din al-'Aththar dan Umar Khayam dalam bidang sastra.Bukan hanya pembangunan mental spiritual, dalam pembangunan fisik pun dinasti Seljuk banyak meninggalkan jasa. Maliksyah terkenal dengan usaha pembangunan di bidang yang terakhir ini. Banyak masjid, jembatan, irigasi dan jalan raya dibangunnya.

Setelah Sultan Maliksyah dan perdana menteri Nizham al-Mulk wafat Seljuk Besar mulai mengalami masa kemunduran di bidang politik. Perebutan kekuasaan diantara anggota keluarga timbul. Setiap propinsi berusaha melepaskan diri dari pusat. Konflik-konflik dan peperangan antar anggota keluarga melemahkan mereka sendiri. Sementara itu, beberapa dinasti kecil memerdekakan diri, seperti Syahat Khawarizm, Ghuz, dan al-Ghuriyah. Pada sisi yang lain, sedikit demi sedikit kekuasaan politik khalifah juga kembali, terutama untuk negeri Irak. Kekuasaan dinasti Seljuk di Irak berakhir di tangan Khawarizm Syah pada tahun 590 H/l199 M

Pada abad ke-11 hingga 14 M, kawasan Asia Tengah dan Timur Tengah dikuasai sebuah dinasti Islam bernama Seljuk. Pada masa itu, ilmu pengetahuan berkembang  dengan pesat. Di zaman itu, madrasah dan rumah sakit tumbuh bak cendawan di musim hujan. Dinasti Seljuk pun tercatat telah turut mengibarkan bendera kejayaan Islam pada abad pertengahan.
Dinasti Seljuk dipimpin oleh suku Oguz Turki yang berasal dari Asia Tengah. Bangsa Seljuk mulai bermigrasi ke Anatolia sejak abad ke-11 M dan membentuk basis kekuatan yang hebat dalam dunia Islam. Migrasi bangsa Seljuk ke Anatolia yang begitu cepat dari timur menuju barat  telah mengubah wajah dan karakter Anatolia yang sebelumnya memiliki karakter seperti negara Eropa.

Seiring pesatnya migrasi bangsa Seljuk, telah membuat Anatolia lebih berkarakter Turki dibandingkan  Eropa,  sejak abad ke-12 M. Seiring bergulirnya waktu, bangsa Seljuk pun berhasil membangun Kekaisaran Seljuk Agung yang wilayah kekuasaannya terbentang dari Anatolia hingga Asia Selatan.

Tak heran, jika sejarah menuliskan kebesaran dan keagungan Kekaisaran Seljuk Agung dengan tinta emas. Pada masa Pemerintahan Sultan Meliksah I,  wilayah kekuasaan Dinasti Seljuk begitu luas, terbentang dari Kashgor sebuah daerah di ujung daerah Turki, sampai ke Yerussalem.

Wilayah yang luas itu dibagi menjadi lima bagian: Pertama, Seljuk Besar. Wilayahnya meliputi Khurasan, Rayy, Jabal, Irak, Persia, dan Ahwaz. Ia merupakan induk dari yang lain. Jumlah Syekh yang memerintah seluruhnya delapan orang. Kedua, Seljuk Kirman. Wilayah kekuasaannya  berada di bawah keluarga Qawurt Bek ibn Dawud ibn Mikail ibn Seljuk. Jumlah syekh yang memerintah dua belas orang.

Ketiga, Seljuk Irak dan Kurdistan. Pemimpin pertamanya adalah Mughirs al-Din Mahmud. Seljuk ini secara berturut-turut diperintah oleh sembilan syekh. Keempat Seljuk Suriah. Diperintah oleh keluarga Tutush ibnu Alp Arselan ibnu Daud ibnu Mikail ibnu Seljuk, jumlah syekh yang memerintah lima orang.

Kelima Seljuk Ruum. Diperintah oleh keluarga Qutlumish ibnu Israil ibnu Seljuk dengan jumlah syeikh yang memerintah seluruhnya 17 orang. Pada era kekuasaan Seljuk terdapat sejumlah penelitian mengenai kemajuan ilmu pengetahuan. Ada sejumlah peneliti yang menyebutkan  bahwa pada masa ini terjadi stagnasi dalam bidang ilmu pengetahuan, sastra, seni, juga ilmu filsafat di Dunia Islam.

Namun, berbagai macam peningggalan baik berupa buku-buku pengetahuan karya ilmuwan Muslim serta peninggalan budaya Islam pada era  kekuasaan Dinasti Seljuk telah mematahkan dugaan itu. Megahnya sejumlah monumen dan masjid membuktikan bahwa pada masa pemerintahan Dinasti Seljuk justru ilmu pengetahuan berkembang dengan pesat di Dunia Islam.

Ada dua institusi penting yang berkembang pesat  pada masa pemerintahan Dinasti Seljuk, yakni madrasah dan rumah sakit. Pada masa itu, madrasah dan rumah sakit dibangun di mana-mana. Madrasah, perpustakaan dan rumah sakit bermunculan di wilayah-wilayah yang dikuasai Dinasti Seljuk, seperti kota Baghdad, Merv, Isfahan, Nishapur, Mosul, Damaskus, Kairo, Aleppo, Amid (Diyarbakir), Konya, Kayseri dan Malatya.

Insititusi itu berkembang menjadi pusat-pusat kebudayaan Seljuk Islam. Pada masa pemerintahan Dinasti Seljuk, arsitektur bangunan banyak yang terbuat dari batu-batuan yang tahan lama. Sehingga berbagai macam bangunan yang dibangun bangsa Seljuk kebanyakan masih bertahan selama beberapa abad. Salah satu bukti bahwa ilmu pengetahuan dan sastra  tidak padam pada masa pemerintahan Dinasti Seljuk adalah banyaknya para ilmuwan dan intelektual Muslim yang terus mengembangkan ilmunya.

Beberapa ilmuwan dan budayawan terkemuka yang lahir pada masa itu antara lain; el-Juvayni, Ebu Ishak al-Shirazi,  Omer al-Hayyam, al-Bedi' al-Usturlabi, Ebu'l-Berekat Hibetullah bin Malka el-Bagdadi, Samav'el al-Magribi, Serefeddin al-Tusa, Kamal al-din bin Yunus, Shahabeddin Yahya bin Habes al-Suhrawardi, Fahr al-din al-Razi, Ibnu al-Razzaz al-Jezeri, Ibnu al-Esir, serta  Seyfeddin el-Amidi.

Pada era kepemimpinan Sultan Dinasti Seljuk Meliksah I (1072 -1092) di dunia islam pernah berdiri observatorium besar di kota Isfahan. Sedangkan seorang ilmuwan bernama Omer el-Hayyam dan teman-temannya memanfaatkan observatorium tersebut untuk melakukan penelitian hingga akhirnya menghasilkan karya berjudul Zic-i Melikshahiatau (Buku Tabel Astronomi) dan  Takvim-i Jalali (Kelender Jalalaean). 

Pada masa itu,  seorang ilmuwan bernama El-Bed' al-Usturlabi menuliskan bukunya yang berjudul  al-Zij al-Mahmudi (Buku Tabel Astronomi Mahmudi). Sedangkan, seorang ilmuwan yang bernama Ebu Mansur membuat karya berjudul el-Zij al-Senceri ( Buku Tabel Astronomi Senceri). Istana para Sultan Seljuk baik di Baghdad, Isfahan serta Merv selalu dipenuhi para pelajar, ilmuwan, juga para penulis. Mereka menuliskan karya-karyanya baik dalam bahasa Arab maupun bahasa Persia. Bahkan Literatur Islam Persia mulai mendunia di bawah Dinasti Seljuk. 

Beberapa penulis besar yang karyanya masih bisa dinikmati pada saat ini antara lain karya Jalaladdin-i Rumi Hakani, Senayi, Nizami, Attar, Mevlan, dan Sa'di. Para penulis besar tersebut hidup dan mempersembahkan karya-karyanya kepada para sultan Dinasti Seljuk. Kondisi ekonomi dan kesehatan masyarakat yang membaik di bawah kekuasaaan Dinasti Seljuk berhasil meningkatkan  aktivitas dan prestasi masyarakatnya  dalam bidang literatur, seni dan ilmu pengetahuan. Peningkatan aktivitas masyarakat dalam bidang seni dan ilmu pengetahuan ini mendapat dorongan yang signifikan dari pemerintah Dinasti Seljuk. 

Sejak abad-ke 14 M, ratusan madrasah ditemukan tersebar luas di Anatolia. Hampir setiap wilayah Anatolia terdapat madrasah. Hal ini jelas menunjukkan bahwa Dinasti Seljuk sangat memperhatikan dunia pendidikan bagi rakyatnya. Gambaran berbeda terlihat di pusat Kekuasaan Islam di wilayah yang dikuasai bangsa lain seperti di Mesir, Syuriah, dan Palestina di mana madrasah hanya ditemukan di kota-kota besar saja, tidak seperti di Anatolia, baik di desa dan di kota pemerintah membangun madrasah.  Madrasah-madrasah yang dibangun Dinasti Seljuk tersebut masih banyak yang berdiri dengan tegak hingga saat ini dan dapat ditemukan di berbagai kota besar, kota kecil, juga desa yang berada di Anatolia.

Kekaisaran Seljuk Agung ini berakhir pada tahun 656 H/1258 M saat balatentara Mongol menyerang dan menaklukkan Baghdad.

Saksi Kemajuan Sains Dinasti Seljuk

Berbagai macam peninggalan yang diwariskan Dinasti Seljuk telah menjadi bukti bahwa ilmu pengetahuan berkembang dengan baik,  seperti ilmu fisika dan geometri. Hal itu tampakdari bangunan-bangunan peninggalan Dinasti Seljuk yang hingga kini masih berdiri kokoh dan megah.

* Masjid

Kehebatan para arsitektur Dinasti Seljuk terlihat pada arsitektur dan teknik bangunan masjid-masjidnya. Masjid Seljuk sering disebut Masjid Kiosque. Bangunan masjid ini biasanya lebih kecil yang terdiri dari sebuah kubah, berdiri melengkung dengan tiga sisi yang terbuka. Itulah ciri khas masjid Kiosque. Model masjid khas Seljuk ini seringkali dihubungkan dengan kompleks bangunan yang luas seperti karavanserai serta madrasah.

* Karavanserai

Para sultan Dinasti Seljuk banyak membangun karavanserai sebagi tempat singgah bagi para musafir. Selain itu, karavanserai juga dibangun untuk kepentingan perdagangan dan bisnis. Para musafir maupun pedagang dari berbagai negeri akan dijamu di karavanserai selama beberapa hari secara gratis.

Bangunan karavanserai sendiri terdiri dari halaman, dan ruang utama di mana terdapat banyak kamar untuk menginap. Karavanserai pertama kali dibangun pada 1078 M oleh Sultan Nasr di antara rute Bukhara hingga Samarkand. Struktur bangunan karavanserai Seljuk meniru istana padang pasir Dinasti Abbasiyah yang berbentuk segi empat.

* Madrasah

Bangunan madrasah Dinasti Seljuk pertama kali muncul di Khurasan pada awal abad ke-10 M, sebagai sebuah adaptasi dari rumah para guru untuk menerima murid. Pada pertengahan abad ke-11 M, bangunan madrasah diadopsi oleh penguasa Seljuk Emir Nizham Al-Mulk menjadi bangunan publik. 

Emir Nizham Al-Mulk sendiri terispirasi oleh penguasa Ghaznawiyyah dari Persia. Di Persia, madrasah dijadikan tempat pembelajaran teknologi. Madrasah tertua yang dibangun Nizham Al-Mulk terdapat di Baghdad pada  1067 M.

Madrasah yang dibangun Dinasti Seljuk terdiri dari halaman gedung yang dikelilingi tembok dan dilengkapi dengan asrama untuk menginap para pelajar. Selain itu, di dalam madrasah juga terdapat banyak ruang belajar. Bangunan madrasah Seljuk sesuai dengan arsitektur Iran.

* Menara
Bentuk menara masjid yang dibangun oleh Dinasti Seljuk cenderung mengadopsi menara silinder sebagai ganti menara berbentuk segi empat.

* Mausoleum

Bangunan mausoleum (makam yang indah dan megah) warisan Dinasti Seljuk menampilkan beragam bentuk termasuk oktagonal (persegi delapan), berbentuk silinder dan bentuk-bentuk segi empat ditutupi dengan kubah (terutama di Iran). Selain itu ada pula yang atapnya berbentuk kerucut terutama yang berada di Anatolia. 

Bangunan mausoleum biasanya dibangun di sekitar tempat tinggal tokoh atau bisa pula letaknya dekat masjid atau madrasah. Dinasti seljuk membangun mausoleum untuk memakamkan dan menghormati kebesaran para penguasa Dinasti tersebut. ‎

 

Sejarah Dinasti Fatimiyah


Dinasti Fatimiyah adalah salah satu dari Dinasti Syiah dalam sejarah Islam. Dinasti ini didirikan di Tunisia pada tahun 909 M. sebagai tandingan bagi penguasa dunia muslim saat itu yang terpusat di Baghdad, yaitu bani Abbasiyah. Dinasti Fatimiyah didirikan oleh Sa’id ibn Husain, kemungkinan keturunan pendiri kedua sekte Islamiyah. Berakhirnya kekuasaan Daulah Abbasiyah di awal abad kesembilan ditandai dengan munculnya disintegrasi wilayah. Di berbagai daerah yang selama ini dikuasai, menyatakan melepaskan diri dari kekuasaan pemerintah di Baghdad dan membentuk daulah-daulah kecil yang berdiri sendiri (otonom). Di bagian timur Baghdad, muncul dinasti Tahiriyah, Saariyah, Samaniyah, Gasaniyah, Buwaihiyah, dan Bani Saljuk. Sementara ini di bagian barat, muncul dinasti Idrisiyah, Aglabiyah, Tuluniyah, Fatimiyah, Ikhsidiyah, dan Hamdaniyah.

Dinasti Fathimiyah adalah merupakan salah satu dinasti Islam yang pernah ada dan juga memiliki andil dalam memperkaya khazanah sejarah peradaban Islam. Sama halnya pengutusan Muhammad SAW sebagai Rasulullah telah menoreh sejarah Islam, yang pada awalnya hanya merupakan bangsa jahiliyah yang tidak mengenal kasih sayang dan saling menghormati.

Jikalau ditarik garis horizontal sejarah Islam, maka akan diketahuilah bahwa dari sekian banyak sejarah peradaban Islam yang termaktub dalam buku-buku sejarah peradaban banyak terjadi pertumpahan darah hanya demi menegak dan mempertahankan kepemimpinan. Maka adalah sangat janggal jika uraian makalah ini menganalisis persoalan sejarah dalam korelasi hubungannya terhadap konsepsi teologi, karena substansi pembahasan makalah ini, bukan untuk melihat sejarah masa lalu umat Islam yang mesti diapresiasikan oleh umat masa kini dalam rangka menakar dogma teologis ke arah yang lebih luas adan universal.

Fase pendirian Dinasti Fathimiyah.

Dinasti Fathimiyah berdiri pada tahun 297 H/910 M, dan berakhir pada 567H/1171 M yang pada awalnya hanya merupakan sebuah gerakan keagamaan yang berkedudukan di Afrika Utara, dan kemudian berpindah ke Mesir. Dinasti ini dinisbatkan kepada Fatimah Zahra putri Nabi Muhammad SAW dan sekaligus istri Ali bin Abi Thalib Radhiallahu anhu. Dan juga dinasti ini mengklaim dirinya sebagai keturunan garis lurus dari pasangan Ali bin Abi Thalib dengan Fatimah Zahra binti Rasulullah SAW. Namun masalah nasab keturunan Fathimiyah ini masih dan terus menjadi perdebatan antara para sejarawan. Dari dulu hingga sekarang belum ada kata kesepakatan diantara para sejarawan mengenai nasab keturunan ini, hal ini disebabkan beberapa faktor diantaranya ;

Pertama, pergolakan politik dan madzhab yang sangat kuat sejak wafatnya Rasulullah SAW.

Kedua, ketidakberanian dan keengganan keturunan Fatimiyah ini untuk mengiklankan nasab mereka, karena takut kepada penguasa, ditambah lagi penyembunyian nama-nama para pemimpin mereka sejak Muhammad bin Ismail hingga Ubaidillah al Mahdi.

Dinasti Fatimiyah beraliran syiah Ismailiyah dan didirikan oleh Sa’id bin Husain al Salamiyah yang bergelar Ubaidillah al Mahdi. Ubaidillah al Mahdi berpindah dari Suria ke Afrika Utara karena propaganda Syiah di daerah ini mendapat sambutan baik, terutama dari suku Barber Ketama. Dengan dukungan suku ini, Ubaidillah al Mahdi menumbangkan gurbernur Aglabiyah di Afrika, Rustamiyah Kharaji di Tahart, dan Idrisiyah Fez dijadikan sebagai bawahan.

Pada awalnya, Syiah Ismailiyah tidak menampakkan gerakannya secara jelas, baru pada masa Abdullah bin Maimun yang mentransformasikan ini sebagai sebuah gerakan politik keagamaan, dengan tujuan menegakkan kekuasaan Fatimiyah. Secara rahasia ia mengirimkan misionaris ke segala penjuru wilayah muslim untuk menyebarkan ajaran Syiah Ismailiyah. Kegiatan inilah yang pada akhirnya menjadi latar belakang berdirinya dinasti Fatimiyah.

Para Penguasa  Kekhalifaan Fatimiyah

Al-Mahdi (909-934)
Al-Qa’im (934-946)
Al-Manshur (946-952)
Al-Mu’izz (952-975)
Al-Aziz (975-996)
Al-Hakim (996-1021)
Al-Zhahir (1021-1035)
Al-Mustanshir (1035-1094)
Al-Musta’li (1094-1101)
Al-Amir (1101-1130)
Al-Hafizth (1130-1149)
Al-Zafir (1149-1154)
Al-Fa’iz (1154-1160)
Al-Adhid (1160-1171)

Pasca kematian Abdullah ibn Maimun, tampuk pimpinan dijabat oleh Abu Abdullah al-Husain, melalui propagandanya ia mampu menarik simpati suku Khitamah dari kalangan Berber yang bermukim didaerah Kagbyle untuk menjadi pengikut setia. Dengan kekuatan ini, mereka menyeberang ke Afrika Utara dan berhasil mengalahkan pasukan Ziyadat Allah selaku Penguasa Afrika Utara saat itu.

Syi’ah Islamiyah mulai menampakkan kekuatannya setelah tampuk Pemerintahan dijabat oleh Sa’id ibn Husain al-Islamiyah yang menggantikan Abu Abdullah al-Husain. Di bawah kepemimpinannya, Syi’ah Islamiyah berhasil menaklukkan Tunisia sebagai pusat kekusaan daulah Aglabiyah pada tahun 909 M. Said memproklamasikan dirinya sebagai imam dengan gelar Ubaidillaj al Mahdi.

Sa’id mengaku dirinya sebagai putera Muhammad al-Habib seorang cucu imam Islamiyah. Namun kalangan Sunni berpendapat bahwa Sa’id berasal dari keturunan Yahudi sehingga dinasti yang didirikannya pada awalnya disebut dinasti Ubaidillah. Sementara Ibn Khaldun, Ibn al-Asir dan Philip K. Hitti berpendapat bahwa Sa’id memang berasal dari garis keturunan Fatimah puteri Nabi Muhammad SAW, yang bersambung garis keturunannya hingga Husain bin Ali bin Abi Thalib.

Ubaidillah merupakan khalifah pertama daulah Fatimiyah. Ia memerintah selama lebih kurang 25 tahun (904-934 M). Dalam masa pemerintahannya, al-Mahdi melakukan perluasan wilayah kekuasaan ke seluruh Afrika, meliputi Maroko, Mesir, Multa, Alexandria, Sardania, Corsica, dan balerick. Pada 904 M, Kahalifah al-Mahdi mendirikan kota baru dipantai Tunisia yang diberi nama kota Mahdiyah yang didirikan sebagai ibukota pemerintahan

Di Afrika Utara kekuasaan mereka segera menjadi besar. Pada tahun 909 mereka dapat menguasai dinasti Rustamiyah dan Tahert serta menyerang bani Idris di Maroko. Pekerjaan daulah Fatimiyah yang pertama adalah mengambil kepercayaan ummat Islam bahwa mereka adalah keturunan Fatimah binti Rasulullah dan istri dari Ali bin Abu Muthalib.

Daulah Fatimiyah memasuki era kejayaan pada masa pemerintahan Abu Tamin Ma’Abu Daud yang bergelar al-Mu’iz (953-997). Al-Mu’iz behasil menaklukkan Mesir dan memindahkan pemerintahan ke Mesir. Pada masa ini rakyat merasakan kehidupan yang makmur dan sejahtera dengan kebijakan-kebijakan untuk mensejahterakan rakyatnya. Indikatornya adalah banyaknya bangunan fisik seperti Mesjid, Rumah sakit, Penginapan, jalan utama yang dilengkapi lampu dan pusat perbelanjaan. Pada masa ini pula berkembang berbagai jenis perusahaan dan kerajinan seperti tenunan, kermik, perhiasan emas, dan perak, peralatan kaca, ramuan, obat-obatan.

Kesuksesan lainnya adalah dalam bidang pengembangan ilmu pengetahuan. Besarnya minat masyarakat kepada ilmu pengetahuan mendapat dukungan penguasa dengan membangun Dar al-Hikmah pada tahun 1005 M dan perguruan tinggi al-Azhar (yang sebelumnya adalah bangunan masjid), yang mengajarkan ilmu kedokteran, Fiqh, Tauhid, Al-Bayan, Bahasa Arab, Mantiq, dan sebagainya.

Perkembangan dan kemajuan Dinasti Fatimiyah.

Pada masa pemerintahan Fatimiyah, persoalan agama dan negara tidak dapat dipisahkan. Agama dipandang sebagai pilar utama dalam menegakkan daulah/negara. Untuk itu, pemerintah Fatimiyah sangat memperhatikan masalah keberagamaan masyarakat meskipun mereka berstatus sebagai warga negara kelas dua seperti orang Yahudi, Nasrani, Turki, Sudan.

Mayoritas khalifah Fatimiyah bersikap moderat, bahkan penuh perhatian terhadap urusan agama non muslim sehingga orang-orang Kristen Kopti Armenia tidak pernah merasakan kemurahan dan keramahan selain dari pemerintahan Muslim. Banyak orang Kristen, seperti al-Barmaki, yang diangkat jadi pejabat pemerintah dan rumah ibadah mereka dipugar oleh pemerintah.

Akan tetapi, Kemurahan hati yang ditampilkan Khalifah Fatimiyah terhadap orang Kristen tidak urung menimbulkan isu negatif. Al-Mu’iz yang dikenal dengan kewarakan dan ketaqwaannya diisukan telah murtad, mati sebagai orang Kristen dan dikubur di gereja Abu Siffin di Mesir kuno. Namun, menurut Hasan, isu tersebut tidak benar sebab tidak ada sejarawan yang menyebutkan seperti itu, dan hanya cerita karangan (Khurafat) yang sengaja dienduskan oleh orang-orang yang tidak senang kepadanya termasuk dari sisa-sisa penguasa Abbasiyah yang sengaja ingin melemahkan kekuatan Fatimiyah.

Sementara itu, agama yang didakwahkan Fatimiyah adalah ajaran Islam, menurut pemahaman Syi’ah Islamiyah yang ditetapkan sebagai mazhab negara. Untuk itu, para missionaris daulah Fatimiyah sangat gencar mengembangkan ajaran tersebut dan berhasil meraih pengikut yang banyak sehingga masa kekuasaan daulah Fatimiyah dipandang sebagai era kebangkitan dan kemajuan mazhab Islamiyah.

Meskipun para Khalifah berjiwa moderat, akan tetapi terhadap orang yang tidak mau mengakui ajaran Syi’ah Islamiyah langsung dihukum bunuh. Pada tahun 391 H khalifah al-Hakim membunuh seorang laki-laki yang tidak mau mengakui keutamaan/fadhilah Ali bin Abi Thalib, dan di tahun 395 H, al-Hakim juga memerintahkan agar di mesjid, pasar dan jalan-jalan ditempelkan tulisan yang mencela para sahabat.

Jelasnya peranan agama sangat diperhatikan sekali oleh penguasa untuk tujuan mempertahankan kekuasaan. Buktinya, sikap tegas khalifah Fatimiyah terhadap orang yang tidak mau mengakui mazhab Isma’iliyah dapat berupa apabila sikap seperti dapat berakibat munculnya instabilitas negara. Al-Hakim misalnya, agar terjalin hubungan yang baik dengan rakyatnya yang berpaham sunni, al-Hakim mulai bersikap lunak dengan menetapkan larangan mencela sahabat khususnya khalifah Abu Bakar dan Umar. Al-Hakim juga membangun sebuah madrasah yang khusus mengajarkan paham sunni, memberikan bantuan buku-buku bermutu sehingga warga Syi’ah ketika merasa senang sebab merasakan tengah hidup dikawasan sunni.

Sikap yang diambil para khalifah Fatimiyah tidak sekejam yang dilakukan Abdullah al-Saffah yang berusaha mengikis habis siapa-siapa pengikut Bani Ummayyah di awal masa kekuasaannya. Dalam hal ini para khalifah Fatimiyah memberlakukan masyarakat secara sama selama mereka bersedia mengikuti ajaran Syi’ah Isma’iliyah yang merupakan madzhab negara.

Ketidak senangan khalifah Fatimiyah kepada Abbasiyah tidak menunjukkan dalam bentuk kekerasan. Hanya saja, Khalifah Fatimiyah melarang menyebut-nyebut bani Abbasiyah dalam setiap khutbah jum’at dan mengharamkan pemakain jubah hitam serta atribut bani Abbasiyah lainnya. Pakaian yang dipakai untuk khutbah adalah berwarna putih.

Meskipun al-Mu’iz menuntaskan pemberontakan, akan tetapi ia akan selalu menempuh jalan damai terhadap pera pemimpin dengan Gubernur dengan menjanjikan penghargaan kepada yang bersedia menunjukkan loyalitasnya. Banyak diantara para Gubernur yang bersedia mengikuti mazhab Isma’iliyah, padahal mereka sebelumnya adalah Gubernur yang diangkat khalifah Abbasiyah. Sikap mereka ini juga dilakukan oleh penganut Yahudi dan Nasrani. Mereka bersedia masuk Islam dan menganut mazhab Isma’iliyah ketika mereka ditawarkan memegang jabatan tertentu didalam pemerintahan.

Tindakan tegas dalam bentuk pemberian hukum bunuh baru dilakukan terhadap orang yang menolak paham Isma’iliyah. Hanya satu peristiwa yang diambil tindakan tegas terhadap orang yang tidak mau mengikuti faham Isma’iliyah, yaitu ketika raja muda Zarida di Afrika yang bernama Mu’iz ibn Badis menghina dinasti Fatimiyah dengan tidak menyebut-nyebut nama khalifah Fatimiyah al-Muntasir pada saat khutbah jum’at melainkan menyebut-nyebut nama khalifah Abbasiyah. Tidak diambinya tindakan tegas dikarenakan al-Muntasir lebih tertarik pada pemberontakan Al-Bassasiri terhadap pemerintahaan Abbasiyah. Momen ini dinilai al-Muntasir sebgai kesempatan untuk menegakkan kembali kekuasaannya di Asia Barat setelah Tughril menegakkan kekuasaan Abbasiyah di wilayah itu.

Dalam bidang administrasi pemerintahan tidak benyak berubah. Sistem administrasi yang dikembangkan khalifah Abbasiyah masih tyerus saja dipraktekkan. Khalifah menjabat sebagai kepala negara baik dalam urusan keduniaan maupun dalam urusan spritual. Ia berwenang mengangkat sekaligus menghentikan jabatan-jabatan di bawahnya. Selain itu sakralisasi khalifah yang muncul di masa pemerintahan Abbasiyah masih tetap dipertahankan yang indikatornya dapat dilihat dari gelar yang disandang para khalifah Fatimiyah seperti al-Mu’iz dinillah, al-Aziz billah, al-Hakim bin Amrullah dan sebagainya.

Ada tiga hal yang dapat disoroti mengenai perkembangan dan kemajuan yang dicapai pada masa Dinasti Fatimiyah berkuasa yakni :

Kemajuan Administrasi Pemerintahan
‎pengelolaan negara yang dilakukan Dinasti Fatimiyah ialah denganmengangkat para menteri. Dinasti Fatimiyah membagi kementrian menjadi dua kelompok. Pertama kelompok militer yang terdiri dari tiga jabatan pokok

Pejabat militer dan pengawal khalifah
Petugas keamanan
Resimen-resimen

yang kedua adalah kelompk sipil yang terdiri atas

Qadhi (Hakim dan direktur percetakan uang)
Ketua Dakwah yang memimpin pengajian
Inspektur pasar (pengawas pasar, jalan, timbangan dan takaran)
Bendaharawan negara (menangani Bait Maal
Kepala urusan rumah tangga raja
Petugas pembaca Al Qur'an, dan
Sekretaris berbagai Departemen

Selain pejabat pusat, disetiap daerah terdapat pejabat setingkat guberbur yang diangkat oleh khalifah untuk mengelola daerahnya masing-masing. Administrasi dikelola oleh pejabat setempat.

Ketika Al Muiz berhasil menguasai Mesir, di kawasan ini berkembang empat madzhab Fikih : Maliki, Hanafi, Syafi’I, Hanbali, sedangkan Al Muiz sendiri menganut madzhab Syiah. Dalam menyikapi hal ini Al Muiz mengangkat hakim dari kalangan Sunni dan Syiah. Akan tetapi jabatan-jabatan penting diserahkan kepada ulam Syiah sedangkan Sunni hanya menduduki jabatan rendahan. Pada tahun 973 M, semua jabatan di berbagai bidang politik, agama dan militer dipegang oleh Syiah. Oleh karena itu sebagian pejabat Fathimiyah yang Sunni beralih ke Syiah supaya jabatannya meningkat. Disisi lain al Muiz membangun toleransi agama sehingga pemeluk agama lain seperti Kristen diperlakukan dengan baik dan diantara mereka diangkat menjadi pejabat istana.


Dari mesir Dinasti Fatimiyah tumbuh semakin luas sampai ke Palestina, dan kemudian propaganda Syiah Ismailiyah semakin tersebar luas melalui sebuah gerakan agen rahasia.

Perkembangan ilmu pengetahuan

Dinasti Fatimiyah memiliki perhatian besar terhadap ilmu pengetahuan. Fatimiyah membangun masjid Al Azhar yang akhirnya di dalamnya terdapat kegiatan-kegiatan pengembangan ilmu pengetahuan sehingga berdirilah Universitas Al Azhar yang nantinya menjadi salah satu perguruan Islam tertua yang dibanggakan oleh ulama Sunni. Al Hakim berhasil mendirikan Daar al Hikmah, perguruan Islam yang sejajar dengan lembaga pendidikan Kordova dan Baghdad. Perpustakaan Daar al Ulum digabungkann dengan Daar al Himmah yang berisi berbagai buku ilmu pengetahuan. Beberapa ulama yang muncul pada saat itu adalah sebagai berikut:

Muhammad al Tamimi (ahli Fisika dan Kedokteran)
Al Kindi (ahli sejarah dan filsafat)
Al nu’man (ahli hukum dan menjabat sebagai hakim)
Ali bin Yunus (ahli Astronomi)
Ali Al Hasan bin al Khaitami (ahli Fisika dan Optik)

Disamping itu kemajuan bangunan fisik sungguh luar biasa. Indikasi-indikasi kemajuan tersebut dapat diketahui dari banyaknya bangunan-bangunan yang dibangun berupa masjid-masjid, universitas, rumah sakit dan penginapan megah. Jalan-jalan utama dibangun dan dilengkapi dengan lampu warna-warni, dalam bidang industri telah dicapai kemajuan besar khususnya yang berkaitan dengan militer seperti alat-alat perang, kapal dan sebagainya.

Puncak Kejayaan Dinasti Fatimiyah.

Sepanjang kekuasaan Abu Mansyur Nizar al-Aziz (975-996), Kerajaan Mesir Senantiasa diliputi kedamaian. Ia adalah khalifah Fatimiyah yang kelima dan khalifah pertama yang memulai pemerintahan di Mesir. Dibawah kekuasaannyalah dinasti Fatimiyah mencapai puncak kejayaannya. Nama sang khalifah selalu disebutkan dalam khutbah-khutbah jum’at disepanjang wilayah kekuasaanya yang berbentang dari Atlantik hingga laut Merah, juga di mesjid-mesjid Yaman, Mekkah, Damaskus, Bahkan di Mosul. Kalau dihitung-hitung, kekuasannya meliputi wilayah yang sangat luas.

Di bawah kekuasaannya kekhalifahan Mesir tidak hanya menjadi lawan tangguh bagi kekhalifaan di Baghdad, tapi bisa dikatakan bahwa kekhalifaan itu telah menenggelamkan penguasa Baghdad dan ia berhasil menempatkan kekhalifaan Fatimiyah sebagai negara Islam terbesar di kawasan Meditera Timur. Al-Aziz menghabiskan dua juta dinar untuk membangun istana yang dibangun menyaingi istana Abbasiyah, musuhnya yang diharapkan akan dikuasai setelah Baghdad berhasil ditaklukkan. Seperti pendahulunya ia melirik wilayah Spanyol, tetapi khalifah Kordova yang percaya diri itu ketika menerima surat yang pedas dari raja Fatimiyah memberikan balasan tegas dengan berkata, “Engkau meremehkan kami karena kau telah mendengar tentang kami. Jika kami mendengar apa yang telah dan akan kau lakukan kami akan membalasnya”.

Bisa dikatakan bahwa diantara para khalifah Fatimiyah khalifah Al-Aziz adalah khalifah yang paling bijaksana dan paling murah hati. Dia hidup di kota Kairo yang mewah dan cemerlang, dikelilingi beberapa mesjid, istana, jembatan, dan kanal-kanal yang baru, serta memberikan toleransi yang terbatas kepada umat Kristen, sesuatu yang tidak pernah mereka rasakan sebelumnya. Sikap dan prilakunya ini tidak pelak lagi dipengaruhi oleh wazirnya yang beragama Kristen “Isa ibn Nasthir” dan isterinya yang berasal dari Rusia, ibu dari anak laki-laki dan pewarisnya, Al-Hakim, saudara perempuan dari dua bangsawan keluarga Melkis yang berkuasa di Iskandariyah dan Yerussalem.

Dalam masa kejayaan ini tergores sejarah yang menunjukkan kegemilangan Fatimiyah bahwa salah satu golongan sekte syiah yang bernama Qaramithah (Carmatian) yang dibentuk oleh Hamdan Ibnu Qarmat di akhir abad IX, menyerang Makkah pada tahun 951 M dan merampas Hajar Aswad dengan mencurinya selama dua puluh tahun. Hal ini disebabkan mereka meyakini bahwa hajar aswad adalah merupakan sumber takahayul. Gerakan ini menentang pemerintahan Pusat Bani Abbas, namun Hajar Aswad ini akhirnya dikembalikan oleh Bani Fathimiyah setelah didesak oleh kalifah Al Mansur pada tahun 951 M.

Masa Kemunduran dan Runtuhnya Daulah Fatimiyah.

Gejala-gejala yang menunjukkan kemunduran dinasti Fatimiyah telah terlihat Dipenghujung masa pemerintahan Al-Aziz namun baru kelihatan wujudnya pada masa pemerintahan al-Muntasir yang terus berlanjut hingga berakhirnya kekuasaan adalah Fatimiyah pada masa pemerintahan al-Adid 567 H / 1171 M.

Adapun faktor yang menyebabkan kemunduran dan runtuhnya daulah Fatimiyah dapat diklarifikasikan kepada faktor internal dan eksterna:

Faktor Internal

Faktor internal yang paling signifikan dalam menghantarkan kemunduran daulah Fatimiyah adalah di karenakan lemahnya kekuasaan pemerintah. Menurut Ibrahim Hasan, para khalifah tidak lagi memiliki semangat juang yang tinggi seperti yang ditunjukkan para pendahulu mereka ketika mengalahkan tentara Berber di Qairawan. Kehidupan para khalifah yang bermewah-mewah merupakan penyebab utama hilangnya semangat untuk melakukan ekspansi.

Selain itu, para khalifah kurang cakap dan memerintah sehingga roda pemerintahan tidak bejalan secara efektif, ketidak efektifan ini dikarenakan khalifah yang diangkat banyak yang masih berusia relatif muda sehingga kurang cakap dalm mengambil kebijakan . Tragisnya mereka ibarat boneka ditangan para wajir karena peranan wajir begitu dominan dalam mengatur pemerintahan.

Fenomena ini muncul pasca wafatnya al-Aziz, setelah al-Aziz wafat ia digantikan puternya bernama Abu Mansur al-Hakim yang pada saat pengangkatannya masih berusia 11 tahun. Kebijakan dalam pemerintahannya sangat tergantung kepada keputusan Gubernur bernama Barjawan yang meskipun pada akhirnya dihukum al-hakim karena penyalahgunaan kekuasaan.

Bukti lain ketidak cakapan khalifah adalah munculnya perlawanan orang Kristen terhadap penguasa. Perlawanan ini muncul dikarenakan orang Kristen tidak senang dengan maklumat al-Hakim yang dianggap menghilangkan hak-hak mereka sebagai warga negara. Maklumat tersebut berisikan tiga alternatif pilihan yang berat bagi orang Kristen. Masuk Islam, atau meninggalkan tanah air, atau berkalung salib sebagai simbol kehancuran.

Setelah al-Hakim wafat, ia digantikan puteranya bernama Abu Hasyim Ali yang bergelar al-Zahir. Pada saat pengangkatannya al-Zahir masih berusia 16 tahun dan kebijakan pemerintahan berada ditangan bibinya bernama Siti al-Mulk, sepeninggalan bibinya al-Zahir menjadi raja boneka ditangan para wajirnya.

Pengangkatan khalifah dalam usia relatif muda masih terus berlanjut hingga masa akhir pemerintahan daulah Fatimiyah, bahkan khalifah ke tiga belas yang bernam al-Faiz dinobatkan pada saat masih balita nanun keburu meninggal dunia sebelum berusia dewasa. Sementara khalifah terakhir bernam al-Adid dinobatkan disaat berusia sembilan tahun.

Faktor lainnya diperparah oleh peristiwa alam. Wabah penyakit dan kemarau panjang sehingga sunagi Nil kering, menjadi sebab perang saudara. Setelah meninggal Abu Tamim Ma’ad al Muntashir diganti oleh anaknya al Musta’li. Akan tetapi Nizar, (anak Abu Tamim Ma’ad yang tertua) melarikan diri ke Iskandariyah dan menyatakan diri sebagai khalifah. Oleh sebab ini fatimiyah terpecah menjadi dua.

Selain itu, faktor internal lainnya sebagai penyebab kehancuran daulah Fatimiyah adalah persaingan dalam memperoleh jabatan dikalangan wajir. Pada masa al-Adid sebagai khalifah terakhir misalnya, terjadi persaingan antara Abu Sujak Syawar dan Dargam untuk merebutkan jabatan wajir yang akhirnya dimenangkan Dargam. Karena sakit hati, Syawar meminta bantuan Nuruddin  al-Zanki untuk memulihkan kekuasannya di Mesir, jika berhasil ia berjanji untuk menyerahkan sepertiga hasil penerimaan negara kepadanya.

Tawaran ini diterima Nur al-Din, lalu ia mengutus pasukan dibawah pimpinan Syirkuh dan keponakannya Salah al-Din al-Ayyubi. Pasukan ini mampu mengalahkan Dargam sehingga Syawar kembali memangku jabatan wazir dan memenuhi janjinya kepada Nur al-Din.

Perebutan kekuasaan ditingkat wazir ini merupakan awal munculnya kekuasaan asing yang pada akhirnya mampu merebut kekuasaan dari tangan daulah Fatimiyah dan membentuk dinasti baru bernama Ayyubiyah.

Faktor Eksternal

Adapun faktor eksternal yang menjadi penyebab runruhnya daulah Fatimiyah adalah menguatnya kekuasaan Nur al-Din al-Zanki di Mesir. Nur al-Zanki adalah Gubernur Syiria yang masih berada di bawah kekuasaan Bani Abbasiyah. Popularitas al-Zanki menonjol pada saat ia mampu mengalahkan pasukan salib atas permohonan khalifah al-Zafir yang tidak mampu mengalahkan tentara salib.

Dikarenakan rasa cemburunya kepada Syirkuh yang memiliki pengaruh kuat di istana dianggap sebagai saingan yang akan merebut kekuasaannya sebagai wazir, syawar melakukan perlawanan. Agar mampu menguat kekuasannya, Syawar meminta bantuan tentara Salabiyah dan menawarkan janji seperti yang dilakukannya terhadap Nural-Din.

Tawaran ini diterima King Almeric selaku panglima perang salib dan melihatnya sebagai suatu kesempatan untuk dapat menaklukkan Mesir. Pertempuran pun pecah di Pelusium dan pasukan Syirkuh dapat mengalahkan pasukan salib.Syawar sendiri dapat ditangkap dan dihukum bunuh dengan memenggal kepalanya atas perintah khalifah Fatimiyah.

Dengan kemenangan ini, maka Syirkuh dinobatkan menjadi wazir dan pada tahun

565 H / 1117 M. setelah Syirkuh wafat, jabatan wazir diserahkan kepada Salah al-Din Ayyubi. Selanjutnya Salah al-Din mengambil kekuasaan sebagai khalifah setelah al-Adid wafat. Dengan berkuasanya Salah al-Din, maka diumumkan bahwa kekuasaan daulah Fatimiyah berakhir. Dan membentuk dinasti Ayyubiyah serta merubah orientasinya dari paham syi’ah ke sunni.

Khalifah Fatimiyah berakhir pada tahun 567 H / 1117 M. Untuk mengantipasi perlawanan dari kalangan Fatimiyah, Salah al-Din membangun benteng bukit di Muqattam dan dijadikan sebagai pusat pemerintahan dan militer. Yang kini bangunan benteng tersebut masih berdiri kokoh di kawasan pusat Mishral qadim (Mesir lama) yang terletak tidak jauh dari Universitas dan juga dekat dengan perumahan Mahasiswa Asia di Qatamiyah.

Daulah Fatimiyah merupakan salah satu imperium besar sepanjang sejarah Islam. Pada awalnya, daulah ini hanya berupa dinasti kecil yang melepaskan diri dari kekuasaan daulah Abbasiyah. Mereka mampu memerintah lebih dua abad sebelum ditaklukkan oleh dinasti Ayyubiyah dibawah kepemimpinan Salah al-Din al-Ayyubi.

Dalam masa pemerintahannya, Dinasti Fatimiyahsangat konsern dengan pengembangan paham Syi’ah Isma’iliyah. Untuk kesuksesannya, mereka mewajibkan seluruh aparat di jajaran pemerintahan dan warga masyarakat untuk menganut paham tersebut. Upaya ini cukup berhasil yang ditandai dengan banyaknya masyarakat yang bersedia menerimanya meskipun berasal dari non muslim.

Kemunduran daulah Fatimiyah dikarenakan tidak efektifnya kekuasaan pemerintah dikarenakan pra khalifah hanya sebagai raja boneka sebab roda pemerintah didominasi oleh kebijakan para wazir sementara khalifah hanya hidup menikmati kekuasaannya di istana nya yang megah.‎

 

Doa Nabi Sulaiman Menundukkan Hewan dan Jin

  Nabiyullah Sulaiman  'alaihissalam  (AS) merupakan Nabi dan Rasul pilihan Allah Ta'ala yang dikaruniai kerajaan yang tidak dimilik...