Sabtu, 21 November 2020

Jejak Sejarah Di Gunung Argopuro


Gunung Argopuro merupakan salah satu gunung yang memiliki pemandangan yang menawan. Gunung Argopuro berada di jajaran dataran tinggi YANG (Hyang). Pegunungan ini memiliki banyak puncak, beberapa puncak yang populer didaki adalah puncak Rengganis dan Puncak Argopuro di ketinggian 3.088 mdpl.

Untuk mendaki gunung ini sangat dibutuhkan stamina dan mental yang prima, hal ini disebabkan panjangnya jalur dan tantangan dari belantara yang ada. Untuk pendaki pemula tidak terlalu disarankan untuk menjelajah sendiri belantara argopuro, akan lebih aman ditemani oleh pendaki yang sudah mengenal medan Argopuro sebelumnya.

Flora dan Fauna Argopuro

Gunung Argopuro memiliki banyak persediaan air di setiap pos yang di lewati. Hutan argopuro juga dihuni oleh berbagai flora dan fauna. Sedikitnya ada 16 burung endemik dan 11 jenis burung migran di kawasan Pegunungan YANG Argopuro. Burung – burung endemik itu tidak dijumpai di tempat lain,  salah satunya : burung Berinji Gunung, Cica Matahari, Cinenen Jawa, Kipasan Mutiara, Meninting Kecil, Opior Jawa, Prenjak Jawa, Takur Bututut, Takur Tor Tor, Takur Tulung Tumpuk, Tesia Jawa Walet Gunung, Walik Kepala Ungu, Wregan Jawa dan burung yang memiliki ciri-ciri seperti burung Kacamata Jawa dan burung Sikatan Aceh.  Spesies burung – burung itu paling banyak dijumpai di ketinggian 2.000 hingga 2.500 mdpl di kawasan hutan heterogen yang memiliki banyak buah-buahan, biji-bijian dan serangga.

Mendaki Argopuro Jalur Bremi

Bremi – Taman Idup

Salah satu jalur yang sering di daki adalah melewati desa krucil Bremi. Desa ini salah satu pintu gerbang kawasan Dataran Tinggi YANG. Pendaki akan menikmati lebatnya hutan Argopuro. Dengan pepohonan yang tinggi menjulang, memayungi parapendaki selama perjalanan. Perjalanan ini akan berakhir saat para pendaki menemukan sebuah danau yang sangat menakjubkan dan sangat indah, dimana penduduk sering menyebutnya dengan nama Danau Taman Idup. Di sinilah pendaki akan menghabiskan hari pertama untuk istirahat dan menikmati keindahan Danau Taman Idup.

Taman Idup – Aengkenik – Cisentor

Hari berikutnya pendaki akan melanjutkan perjalanan menuju pemberhentian selanjutnya. Selama perjalanan ini pendaki akan menikmati berbagai macam vegetasi Argopuro. Mulai dari semak-belukar, pepohonan tinggi, ilalang yang sangat tinggi dan masih banyak lagi. Sampai suatu saat pendaki akanberistirahat sejenak untuk makan siang di tempat yang sering disebut Aengkenik di tempat itu terdapat sumber air alamiah, para pendaki dapat menikmati dan mengisi air untuk bekal perjalanan di sini.

Setelah istirahat sebentar untuk menghimpun tenaga, pendaki akan meneruskan perjalanan menuju pemberhentian berikutnya. Perjalanan ini akan sangat panjang, namun itu tidak akan banyak terasa melelahkan karena selama perjalanan kita akan keluar-masuk rerimbunan hutan Argopuro. Menjelang sore pendaki akan sampai pada pemberhentian selanjutnya yang sering disebut Cisentor. Di tempat ini terdapat sebuah bangunan semi-permanen yang didirikan untuk beristirahat para pendaki. Di tempat ini pula terdapat sungai yang mengalir sangat deras dengan air yang sangat jernih. Air itu dapat kitamanfaatkan untuk membersihkan diri dan untuk memasak. Pendaki akan menghabiskan malam di tempat ini.

Cisentor – Rawa Embik – Puncak

Pagi harinya setelah sarapan, pendaki akan melanjutkan perjalanan menuju puncak. Perjalanan menuju puncak ini tidak akan membutuhkan waktu yang lama. Pendaki akan melewati beberapa sabana, kemudian beristirahat sejenak di sebuah sabana terakhir, dimana biasanya di tempat itu dapat ditemui para rusa berkumpul untuk minum. Tempat itu biasa di sebut Rawa Embik. Dari Rawa Embik perjalanan semakin terjal dan menanjak, sebelum akhirnya sampai di sebuah percabangan. Gunung Argopuro memiliki beberapa puncak. Puncak tertingginya adalah puncak Rengganis.

Cisentor – Cikasur

Setelah puas menikmati puncak, pendaki kembali ke Cisentor untuk melanjutkan perjalanan ke pemberhentian selanjutnya. Melewati beberapa sabana yang sangat luas, pendaki akan dimanjakan dengan pemandangan hamparan sabana yang tidak habis-habis luasnya. Seringkali pendaki juga dapat menjumpai rusa, burung merak ataupun babi hutan liar di tempat ini.

Menjelang sore pendaki akan tiba di tempat yang dinamai Cikasur. Di tempat ini pendaki biasanya akan disambut teriakan bersahut-sahutan dari burung Merak. Burung eksotis ini biasa muncul dan mencari makan di tempat ini. Di tempat ini juga terdapat sebuah sungai yang sangat jernih dengan hamparan tumbuhan selada air, sungai ini biasa dipanggil dengan nama sungai Qolbu. Konon cikasur adalah sebuah lapangan terbang yang dahulu dipakai pada jaman penjajahan Jepang.

Hari berikutnya biasanya dipakai untuk beristirahat dan memulihkan stamina, setelah melakukan perjalanan panjang dan melelahkan. Dapat juga kita mengeksplorasi Cikasur lebih dalam. Ditempat ini selain burung merak, satwa liar yang sering muncul adalah gerombolan rusa, babi hutan yang ukuran tubuhnya seukuran sapi dewasa.

Hari berikutnya setelah santap pagi. Kita akan melanjutkan perjalanan turun menuju desa terakhir yaitu Baderan.

Legenda Gunung Argopuro

Argopuro bisa di artikan Gunung Pura atau bisa di sebut juga Pura di Puncak Gunung. Karena banyak di temukan struktur bangunan berarsitek mirip Pura yang merupakan tempat peribadatan umat Hindu. Dan berawal dari sanalah gunung ini dinamakan Argopuro.

Banyak di jumpai reruntuhan bangunan dan tinggal puing – puing yang berserakan dan ditumpuk begitu saja seolah tak bernilai sejarah. Sisa – sisa reruntuhan itu masih nampak jelas, ada beberapa situs purbakala di sekitar kawasan puncak Argopuro.

Kawasan puncak yang dimaksud meliputi ketinggian 3.000 meter dari permukaan laut ke atas, yang didalamnya mencakup areal seluas hampir satu km persegi, yang didalamnya terdapat komplek bukit dan alun – alun, komplek kawah dan komplek candi.

Komplek bukit dan alun – alun merupakan pintu masuk kawasan puncak, sebuah alun – alun yang luas di pegunungan Yang Argopuro. Alun – alun ini dibatasi langsung oleh sebuah kawah dengan lubang dalam., sedangkan disebelah timur masih terdapat lima kawah, baik lubang maupun tempat yang dinamakan alun – alun SIJEDING.

Komplek candi yang dimaksud bukan candi dalam arti sebenarnya, melainkan merujuk dari jenis peninggalan dan struktur bangunan sejarah kepurbakalaan yang terdapat di gunung ini. Jumlah seluruhnya ada tujuh komplek meliputi situs kolam dan taman sari, Situs Puncak Rangganis, dua bangunan candi, dan tiga bangunan pura.

Masyarakat sekitar lebih mengenal Rengganis daripada Argopuro . Rengganis sebuah nama seorang Dewi yang begitu melekat di hati masyarakat kaki gunung Argopuro. Konon menurut legenda penduduk setempat, dari sanalah Dewi Rengganis tinggal dan memerintah kerajaannya. Diceritakan pula bahwa alun – alun Rawa Embik adalah sebuah padang rumput dibawah alun – alun puncak adalah sumber mata air yang terus mengalir sepanjang tahun. Tempat itu merupakan padang penggembalaan hewan ternak yang mensuplai kebutuhan keraton di puncak.

Dituturkan bahwa Dewi Rengganis adalah salah seorang Putri dari Prabu Brawijaya yang lahir dari salah satu selirnya. Karena tidak diakui keberadaannya, pada saat dewasa ia didampingi seorang Patih dan pengikut – pengikutnya yang setia melarikan diri dan mendirikan kerajaan keraton di puncak gunung ini.

Diperkirakan puing – puing yang terdapat di Rengganis suatu peninggalan tertinggi yang ditenui di Pulau Jawa adalah bekas Kuil Hindu abad ke 12 Masehi. Situs Rengganis memperlihatkan aspek rancang bangun jaman prasejarah dan jaman klasik akhir di pulau Jawa. Salah satu hal yang paling menonjol dari peninggalan kepurbakalaan di Rengganis, adanya tembok pagar luar yang mengelilingi bangunan serta struktur bangunan lebih memperlihatkan struktur Pura daripada Candi.

Satu hal yang tidak dijumpai pada peninggalan kepurbakalaan masa Majapahit akhir yang berada di gunung-gunung lain seperti Gunung Penanggungan, dan Gunung Arjuna. Benarkah struktur bangunan yang disebut PURA sesuai dengan Pura dalam arti dan fungsi yang sesungguhnya pada saat ini? Ataukah Pura itu adalah sebuah Candi dengan model lain. Benarkah Komplek kuno yang ada dalam pesantren dimana para Resi, Pendeta atau Biarawan menghabiskan waktu untuk tinggal dan belajar di Puncak ini?
Ataukah memang suatu komplek keraton?

Tempat peribadatan disini belum bisa memastikanbentuk tradisi dari aliran dan sekte apa para Rahib itu semua. Terlepas apakah itu keraton atau karesian dapatkah dibayangkan bagaimana Perikehidupan dan aktifitas yang dilakukan sehari-hari di Puncak Gunung yang indah, dingin, dan terpencil itu pada jaman alam masih liar yang waktu itu masih buas.

Legenda tinggallah cerita turun temurun dari mulut ke mulut yang semakin bias dan sulit dibuktikan secara ilmiah. Hipotesa dari penyelidikan terdahulu belum seluruhnya terbukti. Sebagian besar data masih berupa misteri dan beberapa benda-benda bernilai sejarah itu telah hilang dan dihancurkan. 

Menurut penduduk sekitar sekitar tahun 80-an Situs Purbakala di Gunung Argopuro masih nampak terawat dan masih belum banyak benda yang hilang, selepas itu kini situs Purbakala itu semakin rusak, kotor dan bangunan dengan teras-teras berdinding batu itu tinggalah batu-batu berserakan yang dihiasi bungkus mie instan. Sejumlah Arca dari Gunung ini telah terpencar oleh ulah orang-orang yang tak bertanggungjawab sebagian ada yang ditemukan di Gunung Semeru dan tempat lainnya. Justru para peziarah lokal yang memberi sesajen persembahan dan membersihkan lingkungan ini, secara tidak langsung telah menjaga dan merawat keberadaan benda-benda yang bernilai sejarah.

Masih terselubung kabut dan misteri dari reruntuhan bangunan kuno yang dingin dan diam itu telah membuktikan bahwa bangsa kita telah Religius, Berilmu Pengetahuaan, Berbudaya dan Berseni sejak lama.‎

 

Jejak Sejarah di Gunung Wukir Magelang


Candi Gunung Wukir, Candi Canggal, atau Shiwalingga adalah candiHindu yang berada di Dusun Canggal, Desa Kadiluwih, Kecamatan Salam,Kabupaten Magelang, Jawa Tengah.

Candi ini berada di atas Bukit Wukir, yang oleh masyarakat sekitar disebut Gunung Wukir, di lereng barat Gunung Merapi. Lokasi ini berada di sebelah timur laut kota Muntilan. Candi Gunung Wukir dapat dicapai dengan angkutan umum ke arah Kecamatan Ngluwar hingga desa Kadiluwih, yang disambung dengan berjalan kaki ke atas bukit.

Candi ini merupakan candi tertua yang dapat dihubungkan dengan angka tahun. Berdasarkan prasasti Canggal yang ditemukan pada tahun 1879 di reruntuhan, candi ini didirikan pada saat pemerintahan raja Sanjaya dari zaman Kerajaan Mataram Kuno, yaitu pada tahun 732 M (654 tahun Saka). Prasasti ini memiliki banyak informasi berkait dengan Kerajaan Medang atau Mataram Hindu. Berdasarkan prasasti ini, Candi Gunung Wukir mungkin memiliki nama asli Shiwalingga atauKunjarakunja.

Kompleks tempat reruntuhan candi ini berada mempunyai ukuran 50 m × 50 m. Bangunan candi sendiri terbuat dari jenis batuandesit setidaknya terdiri atas satu candi induk dan tiga candi perwara. Selain prasasti, di kompleks candi ini juga ditemukanyoni, lingga (lambang dewa Siwa), dan arca lembu betina atau Nandi.

Pada papan informasi, disebutkan candi ini belum pernah dipugar karena batu-batu asli banyak yang belum ditemukan. Juga diceritakan bahwa pada situs candi tersebut dulu ditemukan sebuah prasasti  berangka tahun 732 M, berhuruf Pallawa dan berbahasa Sanskerta.  Prasasti itu dinamakan sebagai Prasasti Canggal.  Namun prasasti tak lagi berada di tempat ini karena sudah dibawa ke museum di Jakarta.

Dalam prasasti Canggal termaktub hal-hal berikut ini:
1.Raja Sanjaya yang gagah berani  berhasil menaklukkan musuh-musuhnya.

2.Raja Sanjaya menggantikan pamannya yang gugur di medan perang.  Pamannya tersebut adalah Raja Sanna.

3.Atas keberhasilan Raja Sanjaya itu maka dibangun sebuah lingga di atas bukit.

Raja Sanjaya bergelar  Rakai Mataram Sang Ratu Sanjaya Raja Sanjaya Merupakan pewaris Kerajaan Sunda yang keluar dari Sunda dan membangun pemerintahan baru yang di sebut dengan Mataram Kuno (Kalingga Pura) dan di anggap  anggota dinasti Syailendra yang menguasai wilayah jawa Tengah pada masa Mataram Hindu.   Pendiri dinasti ini adalah Dapunta Syailendra.  Adapun raja-raja yang terkenal dari dinasti ini antara lain Sri Maharaja rakai Panangkaran yang mendirikan Candi Borobudur, Candi Mendut, dan Candi Sewu (Candi Budha).  Dan juga Sri Maharaja Rakai Pikatan yang mendirikan Candi Prambanan (candi Hindu) dan beberapa candi di Pllaosan (candi Budha).  Raja-raja dinasti ini pada umumnya memiliki agama yang tidak sama, namun memiliki tolleransi yang sangat tinggi. (Ini yang menjawab rasa penasaran saya pada keberadaan arca Nandi , lingga dan yoni, namun terdapat arca Budha di tengah candi Ngawen.

Sayang, batu-batu bernilai sejarah tinggi ini banyak ditumbuhi lichen, bahkan lumut daun di permukaannya.

Dan juga di temukan beberapa makam kuno di Gunung Wukir tersebut. Menurut salah satu Murid Mbah Dalhar Watucongol pemakaman tersebut adalah makam Para Pejuang Islam Era Mataram Sebelum Pangeran Singosari Gunung Pring. Dan makam tersebut diantaranya adalah Sayid Abdurrohman dan Sayid Muhammad dari Mesir.

 

Sejarah Gunung Lawu (Wukir Mahendra Giri)


Gunung Lawu (3.265 m) terletak di Pulau Jawa,Indonesia, tepatnya di perbatasan Provinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur. Status gunung ini adalah gunung api "istirahat" dan telah lama tidak aktif, terlihat dari rapatnya vegetasi serta puncaknya yang tererosi. Di lerengnya terdapat kepundan kecil yang masih mengeluarkan uap air (fumarol) dan belerang (solfatara). Gunung Lawu mempunyai kawasan hutan Dipterokarp Bukit, hutan Dipterokarp Atas, hutan Montane, dan hutan Ericaceous. Gunung Lawu adalah sumber inspirasi dari nama kereta api Argo Lawu, kereta api eksekutif yang melayani Solo Balapan-Gambir.

Gunung Lawu memiliki tiga puncak, Puncak Hargo Dalem, Hargo Dumiling dan Hargo Dumilah. Yang terakhir ini adalah puncak tertinggi.

Di lereng gunung ini terdapat sejumlah tempat yang populer sebagai tujuan wisata, terutama di daerah Tawangmangu, Cemorosewu, dan Sarangan. Agak ke bawah, di sisi barat terdapat dua komplek percandian dari masa akhir Majapahit: Candi Sukuh dan Candi Cetho. 

Di kaki gunung ini juga terletak komplek pemakaman kerabat Praja Mangkunagaran: Astana Girilayu dan Astana Mangadeg. Di dekat komplek ini terletak Astana Giribangun, mausoleum untuk keluarga presiden kedua Indonesia, Suharto.

Pendakian

Gunung Lawu sangat populer untuk kegiatan pendakian. Setiap malam 1 Sura banyak orang berziarah dengan mendaki hingga ke puncak. Karena populernya, di puncak gunung bahkan dapat dijumpai pedagang makanan.

Pendakian standar dapat dimulai dari dua tempat (basecamp): Cemorokandang di Tawangmangu, Jawa Tengah, serta Cemorosewu, di Sarangan, Jawa Timur. Gerbang masuk keduanya terpisah hanya 200 m.

Pendakian dari Cemorosewu melalui dua sumber mata air: Sendang (kolam) Panguripan terletak antara Cemorosewu dan Pos 1 dan Sendang Drajat di antara Pos 4 dan Pos 5.

Pendakian melalui Cemorokandang akan melewati 5 selter dengan jalur yang relatif telah tertata dengan baik.

Pendakian melalui cemorosewu akan melewati 5 pos. Jalur melalui Cemorosewu lebih nge-track. Akan tetapi jika kita lewat jalur ini kita akan sampai puncak lebih cepat daripada lewat jalur Cemorokandang. Pendakian melalui Cemorosewu jalannya cukup tertata dengan baik. Jalannya terbuat dari batu-batuan yang sudah ditata.

Jalur dari pos 3 menuju pos 4 berupa tangga yang terbuat dari batu alam. Pos ke 4 baru direnovasi, jadi untuk saat ini di pos 4 tidak ada bangunan untuk berteduh. Biasanya kita tidak sadar telah sampai di pos 4.

Di dekat pos 4 ini kita bisa melihat telaga Sarangan dari kejahuan. Jalur dari pos 4 ke pos 5 sangat nyaman, tidak nge-track seperti jalur yang menuju pos 4. Di pos 2 terdapat watu gedhe yang kami namai watu iris (karena seperti di iris).

Di dekat pintu masuk Cemorosewu terdapat suatu bangunan seperti masjid yang ternyata adalah makam.Untuk mendaki melalui Cemorosewu (bagi pemula) janganlah mendaki di malam hari karena medannya berat untuk pemula.
Di atas puncak Hargo Dumilah terdapat satu tugu.

Obyek wisata di sekitar gunung Lawu antara lain:

Telaga Sarangan
Kawah Telaga Kuning
Kawah Telaga Lembung Selayur.
Wana wisata sekitar Gunung Lawu
Sekitar Desa Ngancar:
Air Terjun Pundak Kiwo
Air Terjun Watu Ondo
Air Terjun Jarakan
Watu Ongko
Pasir Emas
Tawangmangu
Air Terjun Srambang
Cemorosewu
Candi Sukuh
Candi Cetho
Komplek pemakaman kerabat Praja Mangkunagaran:
Astana Girilayu
Astana Mangadeg
Astana Giribangun

MAKAM KERAMAT GUNUNG LAWU (JAWA TENGAH)

Nama asli gunung lawu adalah Wukir Mahendra Giri
Puncak tertinggi Gunung Lawu (Puncak Argo Dumilah) berada pada ketinggian 3.265 m dpl.

Sejak Jaman Prabu Brawijaya V, Raja Majapahit pada abad ke 15 hingga Kerajaan Mataram II banyak upacara spiritual diselenggarakan di Gunung Lawu. Hingga saat ini Gunung Lawu masih mempunyai ikatan yang erat dengan Keraton Surakarta dan Keraton Yogyakarta terutama pada bulan suro, para kerabat keraton sering berjiarah ketempat - tempat keramat di Gunung Lawu.

Ada sebuah gua yang disebut Sumur Jolotundo menjelang puncak. Terdapat sebuah bangunan disekitar Puncak Argodumilah yang disebut Hargo Dalem untuk berjiarah. Disinilah tempatnya eyang Sunan Lawu. Tempat bertahtah raja terakhir Majapahit memerintahkan makhluk halus. Hargo Dalem adalah Makam Kuno tempat Mukswa sang Prabu Brawijaya. Pejiarah wajib melakukan Pesiwanan (upacara ritual) sebanyak tujuh kali untuk melihat penampakan eyang sunan lawu. Namun tidak jarang sebelum melakukan tujuh kali pendakian, pejiarah sudah dapat berjumpa dengan eyang sunan lawu.

Pawom Sewu terletak didekat pos 5 Jalur Cemoro Sewu. Tempat ini berbentuk tatanan / susunan batu yang merupai candi. Dulunya digunakan bertapa para abdi Raja Prabu Brawijaya V.

Air Terjun Gerojogan Sewu, di areal taman gerojogan disini terdapat banyak kera.
Cerita Wayang Prabu Baladewa pada saat menjelang perang Baratayudha, disuruh Kresna untuk bertapa digerojogan sewu. Hal ini untuk menghindari Baladewa ikut bertempur di medan perang, sebab kesaktiannya tanpa ada musuh yang sanggup menandinginya.

Ada juga air terjun Pringgodani, tempat bertapa Prabu Anom Gatotkaca anaknya Bima. Untuk menuju kesana melawati jalanan yang sempit dan terjal. Disini terdapat bertapaan yang juga ada sebuah kuburan yang konon merupakan kuburan Gatotkaca. Kuburan ini dikeramatkan dan banyak pejiarah yang datang. Di atasnya terdapat hutan Pringgosepi.

SEJARAH KERAMAT DI GUNUNG LAWU

Harga Dalem diyakini Masyarakat setempat sebgai tempat Mukswa Prabu Brawijaya, Raja Majapahit yang terakhir. Harga Dumilah diyakini sebagai tempat pemokswaan Ki Sabdopalon dan Harga Dumilah merupakan tempat yang penuh misteri yang sering dipergunakan sebgai ajang menjadi kemampuan olah bathin dan meditasi.

Raja majapahit terakhir Sinuwun Bumi Nata Brawijaya Ingkang Jumeneng Kaping V memiliki salah seorang isteri yang berasal dari negeri Tiongkok bernama Putri Cempo dan memiliki Putera Raden Patah dan bersamaan dengan pudarnya Kerajaan Majapahit, jinbun Fatah mendirikan Kerajaan Islam di Glagah Wangi (Demak).

Prabu Brawijaya bersemedi dan memperoleh wisik yang pesannya : sudah saatnya cahaya Majapahit memudar dan wahyu kedaton akan berpindah kekerajaan yang baru tumbuh serta masuknya agama baru (Islam) memang sudah takdir dan tak bisa terlelakan lagi.

Prabu Brawijaya dengan hanya disertai abdinya yang setia sabdopalon diam - diam meninggalkan keraton naik ke gunung lawu. sebelum sampai dipuncak dia bertemu dengan 2 orang umbul (bayan/kepala dusun) yaitu Dipa Menggala dan Wangsa Menggala. Sebagai abdi dalem yang setia mukti dan mati mereka tetap bersama Raja.

Sampailah Prabu Brawijaya bersama 3 orang abdi di puncak Hargodalem. Saat itu Prabu Brawijaya sebelum Muksa bertitah kepada 3 orang abdinya dan mengangkat Dipa Menggala menjadi penguasa gunung lawu dan membawahi semua makhluk gaib (peri, jin dan sebagainya) dengan wilayah kebarat hingga ke wilaya merapi/Merbabu, ketimur hingga gunung wilis, keselatan hingga pantai selatan dan keutara hingga dengan pantai utara dengan gelar Sunan Gunung Lawu dan mengangkat wangsa Menggala menjadi patihnya, dengan gelar Kyai Jalak.

Prabu Brawijaya Muksa di Hargo Dalem, sedangkan Sabdo Palon Muksa di Puncak Harga Dumilah . Karena kesaktian dan kesempurnaan ilmunya Sunan Gunung Lawu dan Kyai Jalak kemudian menjadi Makhluk gaib yang hingga kini masih setia melaksanakan tugas sesuai amanat Sang Prabu Brawijaya.

Tempat - tempat lain yang diyakini misterius oleh penduduk setempat selain tiga puncak tersebut yakni : Sendang Inten, Sendang Drajat, Sendang Panguripan, Sumur Jalatunda, Kawah Candradimuka, Repat Kepanasan/Cakrasurya dan Pringgodani.

Sejarah singkat penelitian

Gunung Lawu yang terletak di perbatasan Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah dan Magetan, Jawa Timur menyimpan sejuta misteri. 

Tak hanya Gunung Lawu yang penuh dengan misteri, bangunan yang ada di lereng Gunung Lawu inipun juga diselimuti misteri. 

Seperti Keberadaan dua candi purba yang masih menjadi satu rangkaian dari misteri Gunung Lawu masih mendapat banyak respons dari para peniliti lokal maupun asing.   

Kehadiran para peneliti ini banyak menimbulkan spekulasi tentang kedua candi ini. Baik dari bentuk candi, batu yang digunakan maupun relief candi. 

Menurut sejarahnya, Lawu merupakan gunung purba, dan keberadaannya dibuktikan dengan ditemukannya banyak candi dan batu besar di Kaki Lawu.

Berdasarkan hasil dari penelitian pihak asing, menurut Polet -biasa dipanggil Pak PO, sosok yang sangat dekat dengan Lawu, menyebutkan jika keberadaan Candi Cetho dan Sukuh tersebut bukan dibuat pada zaman Brawijaya. 

Bahkan jauh sebelum era Brawijaya candi ini sudah ada. Saat Prabu Brawijaya menemukan candi ini, Raja Majapahit terakhir itu menambahkan bebarapa bentuk bangunan atau pahatan pada candi.

"Keanehan lain adalah hasil pahatan yang terdapat pada  relief Candi Cetho dan Sukuh sangat simple dan sederhana. Berbeda dengan pahatan jaman Majapahit yang lebih detil juga dan rapi,

Bukti lain yang menunjukkan usia candi di bawah lereng Gunung Lawu ini tertua dibandingkan candi-candi lain di dunia, saat utusan peneliti dari Suku Maya dari Amerika Latin datang ke Candi Sukuh pada tahun 1982 silam.

Menurutnya, ketika itu peneliti dari suku maya ini datang ke candi Sukuh dengan di dampingi oleh pecinta alam asal Australia. Yang sangat tertarik dan ingin meneliti lebih lanjut adanya candi di Inonesia yang memiliki bentuk sama dengan candi pada peradaban Inca. 

Mereka sengaja melakukan penelitian untuk mengetahui jarak pembuatan candi di Indonesia dengan candi yang ada di suku maya. 

"Mereka mengambil sempel lumut dan batu untuk diteliti pada tahun 1982. Hasilnya sangat mengagetkan peneliti Suku Maya ini. Setelah diteliti, ternyata Candi Sukuh usianya jauh lebih tua dibandingkan dengan candi milik Suku Maya,"

Karena itulah banyak peneliti yang mengamini jika candi yang ada di Lawu bukan peninggalan Brawijaya, justru keberadaanya jauh sebelum Brawijaya ada.

Tak hanya itu, berbeda dengan candi lainnya, hanya candi di bawah lereng Gunung Lawu inilah yang menghadap ke arah kiblat atau ke arah barat. Sedangkan kebanyakan candi lain di Indonesia selalu menghadap ke timur.
   
Lokasi candi yang terletak di ketinggian kaki Gunung Lawu seringkali diselimuti kabut tebal yang turun dengan tiba-tiba, memiliki kesan mistis yang membuat penasaran bagi yang melihatnya.

Yang sangat menarik dari penelitian pada kedua candi adalah pahatan yang ada di candi ini bila diamati dan diteliti sudah membentuk pahatan tiga dimensi. Ini menunjukkan bahwa peradaban zaman dahulu sudah lebih dulu mengenal bentuk tiga dimensi. 

Selain itu ada fenomena lain yang terjadi di sekitar Lawu. Masyarakat sekitar lereng Gunung Lawu sering melihat sekelebat sinar (cahaya) yang membentuk portal (gerbang) yang berasal dari tiap sudut candi yang berbentuk segi delapan membentuk seperti gerbang ke atas. 

"Waktu zamannya Soekarno cahaya itu sering muncul. Zaman Soeharto pun juga sering terlihat. Namun, saat ini sudah jarang terlihat," 

Dan masyarakat kata dia, meyakini itu adalah portal atau gerbang gaib. Bahkan penelitian dari NASA, Amerika Serikat (AS), melihat bentuk bentuk Candi Sukuh dari luar bumi itu terlihat sangat beraturan. 

Membentuk segi delapan. Dan dari sisi tersebut muncul cahaya di waktu-waktu tertentu membentuk suatu titik. 

"Bagi yang sering keluar malam ada obyeknya sendiri yakni wisata spiritual. Diyakini itu sebagai pintu masuk dimensi lain. Namun, tidak ada yang berani mendekat. Masalahnya dulu ada yang hilang," 

Menurut cerita, dahulu di Gunung Lawu ada suatu desa yang hilang. Bahkan sampai sekarang tidak pernah diketahui keberadaannya. 

"Yang tersisa dan diketahui hanya dari barang peninggalannya saja seperti lumpang, peralatan dapur yang terbuat dari gerabah yang di gunakan pada abad pertengahan masih banyak yang berceceran. Tepatnya di pertengahan puncak Lawu," 

Justru penemuan peralatan dapur yang di atas seperti lumpang dan alat makan banyak  terbuat dari batu, dan kemungkinan berasal dari zaman batu.

Dua buah candi baru ditemukan di jarak 1,5 kilometer di atas candi Sukuh, Ngargoyoso, Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah. Meski belum seluruh bangunannya terungkap, candi baru itu diperkirakan berusia jauh lebih tua dari bangunan candi yang ada di dunia. Analisa sementara, candi tersebut dibangun sebelum adanya peradaban manusia.

Hal ihwal penemuan candi baru tersebut. Saat menggali area di atas Candi Sukuh dan Candi Cetho. Dalam penggalian tersebut, rupanya ditemukan sebuah bangunan mirip candi. 

Setelah yakni bangunan yang ditemukan tersebut adalah candi, dan langsung menghubungi Dinas Kepurbakalaan Jawa Tengah dan melanjutkan penggalian. Dari analisa awal Dinas Kepurbakalaan, candi baru yang ditemukan tersebut masuk dalam katagori candi purba. 

"Di atas Candi Sukuh sebelah utara ditemukan situs candi purba baru, ada di antara daerah Cemoro Pogog dan Cemoro Bulus. Terus di utara Candi Centho, kami temukan adanya sebuah sendang raja. Temuan itu memang belum ada namanya, tapi karena ditemukannya di daerah cemoro Pogog dan Cemoro bulus, maka candi tersebut dinamakan sesuai daerah di mana candi itu ditemukan," 

Dugaan candi baru itu termasuk candi purba bisa dilihat dari kontruksi bangunannya. Tidak ada goretan pahatan seperti pada bangunan candi pada umumnya. Prediksi sementara masyarakat di sana, candi tersebut merupakan candi purba yang dibangun saat zaman batu. 

"Soalnya peradapan seperti pahat dan tatah belum ada di candi baru ini. Semua dari batu. Batunya pun belum begitu ada tatahan, jadi seperti batu gunung yang di tata jenisnya dari batu seperti fosil. Namun nanti biar Dinas Purbakala yang membuka,"

Meski tidak terdapat pahatan, diakuinya, bentuk bangunan sama dengan candi umumnya, yakni berupa stupa. Di candi tersebut juga terdapat pintu gerbang untuk pelataran, yang persis seperti Candi Sukuh. Hanya saja, ukuran candi baru tersebut diperkirakan lebih besar dari Candi Sukuh.  

Proses penggalian harus dilakukan dengan hati-hati, selain letak candi baru itu berada di ketinggian, konstruksi tanah di sana juga sangat berbahaya. Konstruksi tanah di sekitar candi baru tersebut sangat empuk dan rawan ambles.

Suara ombak laut terdengar dari Puncak Lawu

Puncak Lawu masih meninggalkan beragam tanya yang sampai saat ini belum banyak yang terungkap. Cerita yang berkembang di masyarakat lereng Gunung Lawu seakan tiada habisnya.

Sama persis seperti kabut yang sering menyelimutinya, misteri Lawu tetap menggelitik setiap orang yang ingin mengetahuinya. Selain banyak menyimpan misteri, Lawu juga memberi banyak manfaat bagi masyarakat sekitar.  

Kearifan budaya lokal yang masih dijaga sampai saat ini membuat gunung Lawu tetap terjaga kelestariannya sampai saat ini. 

Meski termasuk gunung purba namun ekosistemnya tetap terjaga. Oleh sebab itu gunung yang memisahkan dua provinsi ini dijulukan gunung seribu misteri, seribu jamu (obat), dan seribu bunga pantas di sematkan pada Gunung Lawu. 

"Berbagai macam spesies bunga langka ada di sini, termasuk anggrek hitam Lawu yang sangat langka ada di Lawu. Demikian juga banyak tanaman obat juga tumbuh subur di hutan ini," kata Mbah Karwo, juru kunci Gunung Gandul, Sepanjang, Tawangmangu, Karanganyar, Jawa Tengah.

Gunung yang awalnya bernama Wukir Mahendra Giri ini puncaknya berbentuk datar. Kondisi tersebut disebabkan karena erupsi hebat gunung ini beribu-ribu tahun lalu. Selain itu di puncak Lawu terdapat sebuah sumur misterius terkait dengan Lawu.

Menurut Karwo, sumur di puncak lawu ini bukan sembarang sumur. Konon, sumur Jalatunda ini memiliki alur sampai ke laut selatan.

"Meski namanya sumur namun bentuknya adalah sebuah gua kecil yang disebut Sumur Jolotundo. Gua ini gelap dan sangat curam turun ke bawah kurang lebih sedalam lima meter lebih dan berbentuk seperti obat nyamut atau berbentuk seperti spiral," terangnya.

Keberadaan sumur Jalatunda sangat dikeramatkan oleh masyarakat sekitar dan sering di gunakan untuk menyepi. Bentuknya adalah lubang dengan diameter sekitar tiga meter. Untuk turun ke dalam sumur harus menggunakan tali dan lampu senter karena gelap. 

Di dalam sumur terdapat pintu goa dengan garis tengah 90 centimeter. Di sini bisa terdengar suara debur ombak pantai laut selatan yang jauhnya mencapai ratusan kilometer dari puncak Lawu.

"Meskipun orang awan sekalipun, bisa mendengar deburan ombak dari sumur tersebut. Bentuknya sih hanya kecil saja. Namun bisa masuk ratusan orang ke dalamnya," 

Selain itu hembusan nafas gunung atau malangbot Lawu ada di Pacitan Jawa Timur. 
"Artinya gunung itu memang diam, tapi di dalamnya ada rongga atau lempeng dan berada di Pacitan," 

Kemisterian Lawu sangat banyak. Selain satu-satunya gunung yang memiliki tiga puncak Lawu, yaitu puncak Harga Dalem, Harga Dumiling dan Harga Dumilah, juga terkait jalur pendakiannya. Jalur tersebut dibuka untuk tujuan komersil yakni mempermudah jalur pendakian bagi para pecinta alam.

Namun, sebenarnya pintu masuk ke Gunung Lawu itu melalui Candi Cetho, Ngargoyoso, Karanganyar. Sedangkan jalur pendakian ke puncak lawu saat ini yaitu Cemoro Kandang di Tawangmangu, Karanganyar dan Cemoro Sewu, Magetan, Jawa Timur bila diibaratkan rumah,merupakan bagian belakang dapur. 

"Khan ada itu tradisi turun temurun nek munggah ki metua lor yen mudhun metu kidul. (jika naik Lawu lewat utara dan turunnya lewat Selatan," 

Dan satu yang paling menarik dari Gunung Lawu yang membedakan dengan gunung lainnya bila diambil gambar dari sisi manapun atau sudut manapun bentuknya akan tetap sama alias tidak berubah.

Bahkan misteri terselubung di gunung yang dulunya bernama Wukir Mahendra tersebut juga diakui oleh para peneliti National Aeronautics and Space Administration (NASA), Amerika Serikat. Dari angkasa, mereka melihat penampakan cahaya segi delapan beraturan atau oktagon di lereng gunung, tepatnya di Candi Sukuh.

Dari lokasi itu pula, para peneliti NASA juga kerap melihat sinar lurus mengarah ke angkasa.

”Itu diberitahukan oleh para peneliti dari Australia saat melakukan penelitian ke Candi Sukuh. Mereka mendengar keterangan dari para peneliti NASA, karena itu mereka datang ke sini untuk menelitinya,”

”Masyarakat dulu sering melihat cahaya tersebut namun tidak berani mendekat, takut hilang. Karena mendengar cerita zaman dulu ada satu desa di Lawu yang hilang dan sampai saat ini tidak diketahui keberadaannya. Hanya ditemukan sisa peralatan rumah tangga bertebaran di mana-mana,” 

Bukan rahasia lagi bila Gunung Lawu menjadi pusat spiritual budaya di tanah Jawa. Apalagi, konon puncak Lawu dipercaya sebagai tempat mukso atau menghilangnya dua raja besar di tanah Jawa, yaitu Prabu Airlangga, (Raja Kediri Lama) dan Prabu Brawijaya V (Raja Majapahit terakhir).

Tak heran bila dari zaman sebelum era Majapahit sampai saat ini Gunung Lawu tetap disakralkan oleh masyarakat.

Meski mendapat julukan salah satu gunung terangker di Indonesia, Gunung Lawu menjadi tempat yang paling sering dikunjungi oleh masyarakat dan juga para tokoh besar Nusantara.

”Mulai zaman dulu, zaman leluhur Gunung Lawu banyak dipakai sebagai tempat spiritual. Presiden Soekarno pernah datang ke puncak Lawu. Bahkan, Pak Soeharto menjadikan Gunung Lawu sebagai tempat lelaku spiritualnya,” 

Saya membantah apa yang dilakukan itu musyrik. Karena persemedian merupakan sarana untuk mendekatkan diri kepada ALLOH Pencipta Alam Semesta. 

“Bukan mengajarkan untuk musyrik, namun sebagai orang Jawa jangan sampai Jawanya hilang. Semua hasil yang didapat itu dari Yang Maha Kuasa. Namun kita tetap harus berusaha, salah satunya dengan menyepi memohon keridhaan Allah SWT,” 

Pak Soeharto terhadap Gunung Lawu tidak diragukan lagi. Bahkan, Presiden ke-2 RI itu pun juga beristirahat selamanya di lereng Lawu.

“Pak Harto sering sekali naik ke puncak. Saya pernah mengikuti beliau naik ke puncak. Tenaganya luar biasa. Meskipun usianya sudah tidak muda lagi, namun Pak Harto selalu berhasil sampai puncak. Kecintaan Pak Harto pada Gunung Lawu tidak diragukan lagi. Sampai akhir hayatnya pun beliau lebih memilih dimakamkan di kaki Gunung Lawu, di kompleks Astana Giribangun, Matesih, Karanganyar,”

Candi Cetho

Tepat di kaki Gunung Lawu, terdapat sebuah candi yang bernama Candi Cetho. Candi ini masih digunakan sebagai tempat doa oleh umat Hindu juga Kejawen. Bau dupa dan kabut yang seakan-akan turun membuat suasana makin misterius.

Karanganyar adalah nama kabupaten yang terletak kurang lebih 14 Km di sebelah timur kota Solo. Kabupaten ini menyimpan potensi wisata yang luar biasa. Mulai dari wisata budaya sampai ke wisata alam yakni Gunung Lawu.

Berada pada ketinggian 1.400 mdpl di lereng Gunung Lawu, Candi Cetho terletak di Dusun Cetho, Desa Gumeng, Kecamatan Jenawi, Kabupaten Karanganyar. Candi Hindu ini terkesan misterius dan sangat kental aura spiritualnya. 

Selain dikarenakan bau dupa yang cukup menyengat dan aneka sesajen yang ada di candi ini, sering juga kabut tebal tiba-tiba turun menyelimuti candi dan kemudian hilang kembali. 

Perjalanan ke Candi Cetho adalah sebuah tantangan keberanian dan uji nyali tersendiri. Hanya bisa dicapai melalui jalan aspal sempit yang menanjak curam dan berkelok-kelok melewati Kebun Teh Kemuning. 

Rasa was-was dan takut akan terbayar lunas begitu sampai di kompleks candi. Sejuknya udara pegunungan dan indahnya pemandangan alam akan menjadi teman setia menjelajahi Candi Cetho.

Nama Cetho sendiri merupakan sebutan yang diberikan oleh masyarakat sekitar, yang juga adalah nama dusun tempat situs candi ini berada. Cetho dalam Bahasa Jawa mempunyai arti 'jelas'.

Disebut Cetho, karena di dusun ini orang dapat melihat dengan sangat jelas pemandangan pegunungan yang mengitarinya yaitu Gunung Merbabu, Gunung Merapi, Gunung Lawu, dan di kejauhan tampak puncak Gunung Sindoro dan Gunung Sumbing. 

Selain itu dari dusun ini kita juga disuguhkan dengan pemandangan luas Kota Solo dan Kota Karanganyar yang terbentang luas di bawah. 

Kompleks candi ini masih digunakan oleh penduduk setempat dan juga peziarah yang beragama Hindu sebagai tempat pemujaan. Candi ini juga merupakan tempat pertapaan bagi kalangan penganut kepercayaan asli Jawa atau Kejawen.

Saat tiba di kompleks Candi Cetho, pengunjung akan disambut dengan kabut serta gapura yang menjulang tinggi dengan anggun, identik dengan Pulau Bali. Dua buah patung penjaga yang berbentuk mirip dengan patung pra sejarah berdiri membisu di bawahnya. 

Di halaman gapura terdapat batu besar yang ditata berbentuk kura-kura raksasa. Ada pula relief menyerupai bagian tubuh manusia, yaitu alat kelamin laki-laki yang panjangnya hampir 2 meter. Tak heran bila akhirnya Candi Cetho ini pun disebut Candi Lanang.

Dalam riwayat nya Candi Cetho adalah tempat sarana pemujaan memohon petunjuk keterangan pada Dzat Yang Maha Pencipta untuk urusan yang lg di hadapi. Tidak hanya orang Hindu ataupun Kejawen yang ritual di tempat tersebut. Akan tetapi banyak juga di antara para Kyai yang melestarikan budaya dengan menggunakan tempat tersebut sebagai sarana untuk bermujahadah dan bermunajat.

Uji Keperawanan Di Candi Sukuh Gunung Lawu

Candi Sukuh - Ditemukan oleh arkeolog pada masa pemerintahan Gubernur Raffles tahun 1815. Usaha pelestarian komplek candi ini dilakukan oleh Dinas Purbakala sejak tahun 1917. Konon, candi ini didirikan pada abad ke 15 masehi semasa dengan pemerintahan Suhita, Ratu Majapahit yang memerintah pada tahun 1429-1446. Belum banyak wisatawan menyadari, bahwa Candi Sukuh yang terletak di lereng Gunung Lawu, Kabupaten Karanganyar yang mudah dicapai dengan kendaraan bermotor baik roda dua maupun roda empat, karena hanya berjarak sekitar 27 km dari pusat kota Karanganyar. 

Candi Sukuh ini sesungguhnya merupakan candi paling menarik di Jawa. Bukan cuma bangunan-bangunan fisiknya yang mengentalkan hal itu. Namun suasana alam yang berkabut tebal serta hawa dingin menusuk tulang yang selalu tersaji saban hari, sering kali menebar nuansa mesum.

Selain menampilkan ornamen orang bersenggama secara vulgar, di lantai pelataran Candi Sukuh juga terpampang jelas relief yang menggambarkan secara utuh alat kelamin pria yang sedang ereksi, berhadap-hadapan langsung dengan vagina. “Lantaran situasinya seperti itu, masyarakat setempat kadang menyebut Candi Sukuh sebagai Candi Rusuh (saru atau tabu).  

Memahami Candi Sukuh secara utuh memang tidak cukup melihat kulitnya saja. Kita harus berani masuk hingga ke relung paling dalam. Tapi sanggupkah kita menyibak kesakralan candi paling erotis tersebut, agar kita bisa bermimpi tentang surga di sana?

Menurut sejarah, Candi Sukuh yang berada di Desa Berjo, Kecamatan Ngargoyoso, Kabupaten Karanganyar, itu dibangun pada sekitar abad ke-15 oleh masyarakat Hindu Tantrayana. Dalam catatan sejarah, candi ini merupakan candi termuda dalam sejarah pembangunan candi di Bumi Nusantara. Candi ini dibangun pada masa akhir runtuhnya Kerajaan Majapahit. Kompleks situs purbakala Candi Sukuh berada di ketinggian 910 meter diatas permukaan laut. Berhawa sejuk dengan panorama indah.

Memasuki kompleks candi, kita akan bertemu dengan trap pertama yang pintu masuknya melalui sebuah gapura. Pada sisi gapura sebelah utara terdapat relief `manusia ditelan raksasa` yakni sebuah `sengkalan rumit` (candrasengkala) yang bisa dibaca `Gapura (9) buta (5) mangan (3) wong (1)` atau gapura raksasa memakan manusia, yang merujuk sebuah tahun yakni 1359 Saka, atau tahun 1437 Masehi, tahun dimana pembangunan gapura pertama selesai. 
Di sisi selatan gapura juga terdapat relief raksasa yang berlari sambil menggigit ekor ular. Menurut candrasengkalanya berbunyi `Gapura buta anahut buntut` (gapura raksasa menggigit ekor ular), yang merujuk pula tahun 1359 Saka atau 1437 Masehi.

Saat wisatawan menaiki anak tangga dalam lorong gapura, akan disuguhi relief yang sangat vulgar terpahat di lantai. Relief ini menggambarkan phallus yang berhadapan dengan vagina. Inilah yang kemudian menjadi trademark dari popularitas Candi Sukuh. 

Konon dulu, seorang suami yang ingin menguji kesetiaan istrinya, dia akan meminta sang istri melangkahi relief ini. Jika kain kebaya yang dikenakannya robek, maka dia tipe isteri setia. Tapi sebaliknya, jika kainnya hanya terlepas, sang isteri diyakini telah berselingkuh. Namun berbeda dengan sumber yang lain yang admin anehdidunia.com temukan, di sumber lain mengatakan bahwa jika sang gadis yangtidak perawan atau melakukan perselingkuhan melaukan tes ini, maka kain yang digunakan akan robek dan meneteskan darah.

Dan apabila seorang lelaki mengetes keperjakaannya, maka dia harus melangkahinya juga dan jika laki laki tersebut terkencing kencing, maka menjadi bukti bahwa lelaki tersebut sudah tidak perjaka atau pernah melakukan perselingkuhan. Dalam perkembangannya sekarang, cukup banyak anak-anak usia ABG yang datang ke sini berhasrat mengikuti tradisi dan kepercayaan para leluhur tadi. Tapi, karena malu, kurang percaya diri, serta takut kalau-kalau benar terjadi pada diri mereka, maka niat coba-coba itu sering tidak dilaksanakan.

Meskipun memberi kesan porno, relief tersebut sesungguhnya mengandung makna yang mendalam. Relief tersebut sengaja dipahat di lantai pintu masuk dengan maksud agar siapa saja yang melangkahi relief itu segala kotoran yang melekat di badan menjadi sirna sebab sudah terkena `suwuk`. Relief ini mirip lingga-yoni, lambang kesuburan dalam agama Hindu yang melambangkan Dewa Syiwa dengan istrinya, Parwati.

Trap kedua lebih tinggi ketimbang trap pertama dengan pelataran yang lebih luas. Gapura kedua ini sudah rusak, dijaga sepasang arca dengan wajah kosmis. Garapannya kasar dan kaku, mirip arca jaman prasejarah di Pasemah. Pada latar pojok belakang dapat dijumpai seperti jejeran tiga tembok dengan pahatan-pahatan relief, yang disebut relief Pande Besi. Sebuah gambaran tentang pembuatan senjata yang hingga saat ini masih ada di berbagai wilayah.

Relief sebelah selatan menggambarkan seorang wanita berdiri di depan tungku pemanas besi, kedua tangannya memegang tangkai `ububan` (peralatan mengisi udara pada pande besi). Boleh jadi dimaksudkan agar api tungku tetap menyala. Ini menggambarkan berbagai peristiwa sosial yang menonjol pada saat pembangunan candi ini.

Di bagian tengah terdapat relief yang menggambarkan Ganesya dengan tangan memegang ekor. Sengkalan rumit ini dapat dibaca `Gajah Wiku Anahut Buntut`, merujuk tahun 1378 Saka atau tahun 1496 Masehi. Relief pada sebelah utara menggambarkan seorang laki-laki sedang duduk dengan kaki selonjor. Di depannya tergolek senjata-senjata tajam seperti keris, tumbak dan pisau.

Sedangkan trap ketiga merupakan trap tertinggi atau sering disebut sebagai trap paling suci. Trap ini melambangkan kehidupan manusia setelah mati, dimana jiwa dan roh manusia terangkat ke nirwana (surga). Konon, mereka yang punya beban hidup berat akan terlepas jika melakukan permohonan di puncak trap ketiga ini. Sebaliknya, segala permohonan yang diminta dengan niat tulus dan hati bersih juga akan terkabul.

Sebelah selatan jalan batu ada terdapat candi kecil, yang di dalamnya ada arca dengan ukuran kecil pula. Menurut mitologi setempat, candi kecil itu merupakan kediaman Kyai Sukuh, penguasa gaib kompleks candi tersebut. Ada juga arca garuda dua buah berdiri dengan sayap membentang. Salah satu arca garuda itu ada prasasti menandai tahun saka 1363. Juga terdapat prasasti yang diukir di punggung relief sapi yang menyiratkan bahwa Candi Sukuh adalah candi untuk pengruwatan.

Dengan bukti-bukti relief cerita Sudamala, Garudeya serta prasasti-prasasti, maka dapat dipastikan Candi Sukuh pada zamannya adalah tempat suci untuk melangsungkan upacara-upacara besar (ritus) ruwatan. Sedangkan ditilik dari bentuk candi yang mirip dengan “punden berundak”, candi ini ditujukan sebagai tempat pemujaan roh-roh leluhur. Tradisi `ruwatan` juga masih dipelihara dengan baik oleh masyarakat penganut Hindu dan Kejawen yang berdiam di sekitar kawasan candi sampai saat ini.‎

 

Gunung Raung sebagai tempat Terakhir Maharesi dari Dieng


Gunung Raung adalah sebuah gunung yang besar dan unik,dan Gn. Raung merupakan bagian dari kelompok pegunungan Ijen yang terdiri dari beberapa gunung, diantaranya Gn.Suket (2.950mdpl), Gn.Raung (3.332mdpl), Gn.Pendil (2.338), Gn.Rante (2.664), Gn.Merapi (2.800), Gn.Remuk (2.092), dan Kawah Ijen. yang berbeda dari ciri gunung pada umumnva di pulau Jawa ini. Keunikan dari Puncak Gunung Raung adalah kalderanya yang sekitar 500 meter dalamnya, selalu berasap dan sering menyemburkan api. G. Raung termasuk gunung tua dengan kaldera di puncaknya dan dikitari oleh banyak puncak kecil, menjadikan pemandangannya benar-benar menakjubkan. 

Selain itu gunung ini juga terletak di paling ujung pulau jawa bahkan keindahan gunung ini dapat kita lihat dari pulau dewata bali, tepatnya ketika kita berada di pantai Lovina Singaraja Bali Utara pada akhir siang atau ketika sunset di Lovina Beach. Keindahan gunung raung ini akan terlihat indah. Jajaran pegunungan di timur pulau jawa ini memiliki keindahan yang sangat unik. Gunung ini terletak di Kab. Banyuwangi Jawa Timur. Gunungapi raksasa ini muncul di sebelah timur dari suatu deretan puing gunungapi yang berarah baratlaut – tenggara. Di Puncaknya terdapat sebuah kaldera yang berbentuk elips dan terdapat kerucut setinggi kurang lebih 100 m dan menpunyai puncak 3.332 mdpl.
Keangkeran Gunung Raung sudah terlihat dari nama-nama pos pendakian yang ada, mulai dari Pondok Sumur, Pondok Demit, Pondok Mayit dan Pondok Angin. Semua itu mempunyai sejarah tersendiri hingga dinamakan demikian.

Pondok Sumur misalnya, katanya terdapat sebuah sumur yang biasa digunakan seorang pertapa sakti asal Gresik. Sumur dan pertapa itu dipercaya masih ada, hanya saja tak kasat mata. Di Pondok Sumur ini, saat berkemah,juga terdengar suara derap kaki kuda yang seakan melintas di belakang tenda.

Selanjutnya Pondok Demit, disinilah tempat aktivitas jual-beli para lelembut atau dikenal dengan Parset (Pasar Setan). Sehingga, pada hari-hari tertentu akan terdengar keramaian pasar yang sering diiringi dengan alunan musik. Lokasi pasar setan terletak disebelah timur jalur, sebuah lembah dangkal yang hanya dipenuhi ilalang setinggi perut dan pohon perdu.

Pondok Mayit adalah pos yang sejarahnya paling menyeramkan, karena dulu pernah ditemukan sesosok mayat yang menggantung di sebuah pohon. Mayat itu adalah seorang bangsawan Belanda yang dibunuh oleh para pejuang saat itu.

Tak jauh dari Pondok Mayit, adalah Pondok Angin yang juga merupakan pondok terakhir atau base camp pendaki. Tempat ini menyajikan pemandangan yang memukau karena letaknya yang berada di puncak bukit, sehingga kita dapat menyaksikan pemandangan alam pegunungan yang ada disekitarnya. Gemerlapnya kota Bondowoso dan Situbondo serta sambaran kilat jika kota itu mendung, menjadi fenomena alam yang sangat luar biasa. Namun, angin bertiup sangat kencang dan seperti maraung-raung di pendengaran. Karenanya gunung ini dinamakan Raung, suara anginnya yang meraung di telinga terkadang dapat menghempaskan kita didasar jurang yang terjal.

Sebelah barat yang merupakan perbukitan terjal itu adalah lokasi kerajaan Macan Putih, singgasananya Pangeran Tawangulun. Di sini, juga sering terengar derap kaki suara kuda dari kereta kencana. Konon, pondok Angin ini merupakan pintu gerbang masuk kerajaan gaib itu.

Konon, di perbukitan yang mengelilingi kaldera itulah kerajaan Macan Putih berdiri. Sebuah kerajaan yang berdiri saat gunung ini meletus tahun 1638. Pusatnya terletak di puncak Gunung Raung. Kerajaan tersebut dipimpin oleh Pangeran Tawangulun. Beliau adalah salah-satu anak raja Kerajaan Majapahit yang hilang saat bertapa di gunung. Keberadaan kerajaan itu sedikit banyak masih memiliki hubungan yang erat dengan penduduk setempat. Misalnya bila terjadi upacara pernikahan di kerajaan, maka hewan-hewan di perkampungan banyak yang mati. Hewan-hewan itu dijadikan upeti bagi penguasa kerajaan.

Konon, menurut masyarakat setempat, seluruh isi dan penghuni kerajaan Macan Putih lenyap masuk ke alam gaib atau dikenal dengan istilah mukso. Dan hanya pada saat tertentu, tepatnya setiap malam jum’at kliwon, kerajaan itu kembali ke alam nyata.

Biasanya, akan terdengar suara derap kaki kuda ditempat yang sakral.Bila mendengar suara tersebut lebih baik pura-pura tidak mendengar. Jika dipertegas, suara akan bertambah keras dan mungkin akan menampak wujudnya. Bila demikian, kemungkinan kita akan terbawa masuk ke alam gaib dan kemudian dijadikan abdi dalem kerajaan Macan Putih.


Jalur pendakian 


Untuk mendaki G. Raung, paling mudah adalah dari arah Bondowoso. Dari Bondowoso terus menuju desa Sumber Wringin dengan menggunakan Colt melalui Sukosani. Perjalanan diawali dari desa Sumber Wringin melalui kebun pinus dan perkebunan kopi menuju Pondok Motor. Di Pondok Motor kita dapat menginap dan beristirahat, kemudian kita dapat melanjutkan perjalanan ke puncak yang membutuhkan waktu sekitar 9 jam.

Dari Pondok Motor ke G. Raung, dimulai dengan melalui kebun selama 1 jam lalu pendakian memasuki hutan dengan sudut pendakian yang tidak terlalu besar yaitu sekitar 20 derajat. Hutan gunung ini terdiri dari pohon glentongan, arcisak, takir dan lain-lain.

Setelah pendakian selama 2 jam atau sekitar 1300 - 1400 m pendaki akan menemukan jalan berkelok dan naik turun sampai ketinggian sekitar 1500 - 1600 m. Di daerah ini mulai terlihat pohon cemara lalu pendakian diteruskan menuju pondok sumur (1750 M). setelah itu pendakain akan mulai sulit dan sudut pendakian mulai membesar dan jalur pendakian kurang jelas karena hanya semak-semak dan kemudian terus mendaki selama 3 jam hingga dicapai Pondok Demit.

Kemudian pendaki harus mendaki lagi selama sekitar 8 jam hingga dicapai batas hutan, yang dikenal dengan nama Pondok Mantri atau Parasan pada ketinggian sekitar 2900 - 3000 m. di tempat inilah pendakian beristirahat untuk berkemah. Perjalanan dilanjutkan melalui padang alang-alang (sekitar 1 jam perjalanan), selanjutnya menuju puncak Gunung Raung yang sedikit berpasir dan berbatu-batu. Dari tempat berkemah menuju puncak G. Raung, hanya diperlukan waktu sekitar 2 (dua) jam saja.

Puncak G. Raung ini berada pada ketinggian 3.332 m dari permukaan laut dan sering bertiup angin kencang. Dari pinggir kawah tidak terdapat jalur yang jelas untuk menuju dasar kawah sehingga pendaki yang bermaksud menuruni kawah agar mempersiapkan tali temali ataupun peralatan lainnya untuk sebagai langkah pengamanan. Dalam perjalanan ke Puncak G. Raung, tidak ada mata air. Sebaiknya untuk air dipersiapkan di Sumber Wringin atau di Sumber Lekan. Untuk mendaki G. Raung tidak diperlukan ijin khusus, hanya saja kita perlu melaporkan diri ke aparat desa di Sumber Wringin.


Jejak Seorang pertapa dari Dieng (Kalingga Pura/ Mataram Kuno) di Gunung Raung

JEJAK Hindu masih banyak ditemui di bumi Blambangan, Banyuwangi, Jawa Timur. Salah satunya, Situs Siwa Lingga Gumuk Payung di Lereng Gunung Raung, Desa Jambewangi, Kecamatan Sempu. Situs berbentuk lingga yoni ini diyakini peninggalan Maha Resi Markendya dari Kalingga Pura (Dieng sekarang) sebelum menyebarkan Hindu ke Bali, sekitar abad VIII. Selain situs, di lokasi itu pernah ditemukan sejumlah arca dan genta kuno. Seperti apa kondisinya?

Situs Siwa Lingga Gumuk Payung berada di tengah hutan pinus dan berada di puncak bukit, tepatnya di RPH Sidomulyo, Desa Jambewangi, luasnya sekitar setengah hektar. Kawasan ini masuk Kesatuan Pemangku Hutan (KPH) Banyuwangi Barat. Untuk mencapainya diperlukan perjuangan cukup berat. Jalan berliku dan berbatu. Dari perkampungan warga, jaraknya sekitar 5 kilometer ke arah hutan. Namun, pengunjung bisa menggunakan kendaraan roda empat hingga ke lokasi.

Situs yang diduga bekas candi ini pertama kali ditemukan sekitar tahun 1980. Seorang buruh pemotong pinus menemukan gundukan batu di tengah hutan. Gundukan itu tersusun rapi, bahkan ada patung di tengahnya. Karena takut, buruh tersebut memagari tumpukan batu tersebut. Dia menduga, benda aneh itu adalah kuburan kuno.

Temuan ini akhirnya menyebar. Tak berselang lama, sejumlah pemburu barang antik membongkar gundukan tanah tersebut. Konon, para pemburu yang datang dari sejumlah daerah di Jawa ini menemukan emas batangan dan beberapa benda keramat lainnya. Sejak itulah, situs itu makin diincar para pemburu harta karun. Mereka terus menggali dan mengambil barang-barang yang ditemukan. Akibatnya, kondisi situs makin amburadul. Tumpukan batu yang semula tersusun rapi menjadi hancur dan berserekan. “Setelah menggali dan merusak situs, para pemburu meninggalkannya begitu saja,” kata Katijo, tokoh umat Hindu yang juga penanggung jawab situs Siwa Lingga Gumuk Payung, Selasa (16/5)lalu.

Pasca digali secara liar, situs itu menjadi bukit pinus yang tak terurus. Situs ini mulai dikenal lagi oleh warga tahun 2007 lalu. Ceritanya, penggembala kerbau asal desa setempat nekat membawa ternaknya ke hutan. Tanpa disengaja, dia menemukan tumpukan batu cadas yang berserakan dan lubang bekas galian liar. Ada juga benda mirip lesung (alat penumbuk padi-red) terbuat dari batu. Karena penasaran, penggembala ini berusaha merapikannya. Keanehan muncul. Sejurus kemudian, enam ternak kerbaunya mendadak menghilang di lokasi. Penggembala ini pun terkaget, lalu pulang dan menceritakan peristiwa mistis tersebut ke warga. Keesokan harinya, dia membawa sebungkus bunga dan menghidupkan dupa di lokasi. Keajaiban kembali muncul. Mendadak, enam ekor kerbau yang hilang tiba-tiba terlihat tiduran di dekat situs. Sejak itulah, lokasi ini disakralkan warga. “Berbekal cerita itu, kami akhirnya menelusurinya. Ternyata, tempat ini menyimpan banyak peninggalan kuno,” kata Katijo yang juga seorang pemangku.

Menurut Katijo, pihaknya bersama sejumlah warga sempat melakukan penggalian beberapa kali. Hasilnya, ditemukan batu mirip Siwa Lingga. Ada juga temuan sebuah genta, arca berlengan empat berbahan kuningan, serta sejumlah batu cadas yang diukir cukup rapi. Pria ini meyakini, batu ukiran tersebut adalah bekas ornamen bangunan candi. Pascapenggalian, tim purbakala dari Museum Trowulan, Mojokerto, Jawa Timur sempat turun dan melakukan penelitian. Dugaan awal, situs ini adalah kuil Hindu di zaman Kerajaan Kediri. “Namun karena tidak ada prasasti resmi, penelitian tidak dilanjutkan lagi,” kata Katijo. Dilihat dari bekas tumpukan batu cadas yang ditemukan, situs ini diduga pintu gerbang dari candi utama. Justru, candi yang asli masih tertimbun tanah dan menjadi bukit, lokasinya hanya berjarak sekitar 100 meter dari lokasi. Konon, warga kerap kali melihat cahaya terang dari lokasi situs ini.

Meski hanya tersisa tumpukan batu cadas, situs Siwa Lingga Gumuk Payung sangat disakralkan warga, terutama umat Hindu Jawa yang tersebar di empat desa di sekitar lokasi. Tahun 2007 silam, umat Hindu menggelar upacara prayascita di situas tersebut. Sejak itu, setiap hari Minggu Kliwon, bulan sembilan digelar upacara piodalan. “Kami juga menggelar persembahyangan rutin setiap kliwon di tempat ini,” katanya. Untuk mensakralkan lokasi, tumpukan batu situs disusun menjadi bentuk Siwa Lingga. Di sekilingnya ditanami berbagai jenis bunga. Untuk merawat lokasi ini, umat Hindu bekerja sama dengan pihak Perhutani selaku pemilik wilayah.

Menurut Katijo, situs ini tak hanya digunakan bersembahyang oleh umat Hindu. Warga dari luar daerah kerapkali datang dan menggelar ritual di lokasi situs. Rata-rata mereka datang untuk meminta berkah atau petunjuk lainnya.

Selain situs, tak jauh dari lokasi juga terdapat sumber mata air yang keluar dari batu. Mata air ini dikenal dengan sumber patirtan watu pecah. Di dekatnya juga ada situs keramat yang dikenal watu gedek. Bentuknya tebing batu yang cukup tinggi. Tempat ini diyakini sebagai pintu masuk menuju Situs Syiwa Lingga.‎

 

Gunung Padang Legenda Siti Nurbaya


Selama beberapa tahun terakhir kita di hebohkan dengan pemberitaan tentang penemuan dan penelitian situs Gunung Padang di Cianjur dan juga di Garut. Padahal legenda Gunung Padang di Pasundan meliputi daerah Ciamis Daeyeuh Luhur serta di beberapa kabupaten lain yang di wilayah tersebut terkenal dengan Kramat Gunung Padang. 

Dan dalam kesempatan ini penulis sengaja ingin memberitahukan tentang legenda sejarah Gunung Padang di Sumatera Barat yang dalam sejarah nya sebagai tempat pengasingan Siti Nurbaya serta beberapa Ulama Zaman Kerajaan Pagaruyung.

Gunung Padang merupakan objek wisata yang menjadi legenda hidup cerita Siti Nurbaya. Bukit yang tak begitu tinggi tersebut, dimanfaatkan kalangan pencinta olahraga climbing untuk menguji nyali

Gunung Padang merupakan objek wisata yang menjadi legenda hidup cerita Siti Nurbaya. Bukit yang tak begitu tinggi tersebut, dimanfaatkan kalangan pencinta olahraga climbing untuk menguji nyali. Tak jarang empat jalur pemanjatan yang ada di kawasan Siti Nurbaya tersebut menjadi dinding alam favorit bagi para climber.

Tebing yang terbentuk dari batuan basal ini menjulang dengan ketinggian sekitar 30 meter. Menariknya, tebing Gunung Padang menyediakan tingkat kesulitan yang bervariasi. Menurut informasi, terdapat sekitar 4 jalur yang bisa dimanfaatkan para climber untuk menguji nyali.

Selain menawarkan wisata alam, Gunung Padang juga menyimpan wisata sejarah. Di bukit tersebut, pernah ditanam jasad Siti Nurbaya yang mewakili budaya kelam kawin paksa wanita Minang. Kisah roman Kasih Tak Sampai: karangan Marah Rusli tersebut bermula dari keelokan Gunung Padang.

Di Gunung Padang, pengunjung juga akan menjumpai sejumlah meriam tua peninggalan tentara Jepang sebagai benteng pertahanan untuk menghalau musuh yang hendak masuk ke tepian Muara Pantai Padang.

Akses menuju Gunung Padang hanya bisa ditempuh dengan berjalan kaki. Pengunjung bisa memarkirkan kendaraan di kaki gunung tersebut sebelum melanjutkan dengan berjalan kaki. Uniknya, jalan menuju Gunung Padang itu pengunjung harus mendaki ratusan anak jenjang yang panjang dan berliku. Kepenatan menaiki anak tangga akan terobati saat melempar pandangan ke sebelah kanan.

Indahnya riak gelombang laut, semaraknya gedung-gedung yang menjulang di tengah Kota Padang, dan belasan kapal nelayan lego jangkar, akan Anda temui. Panorama itu akan mehilangkan kepenatan kaki Anda saat menghitung satu demi satu jenjang menuju puncak Gunung Padang. Selain wisata sejarah, sekelompok anak muda juga memanfaatkan dataran di puncak bukit sebagai areal camping. Ratusan kuburan cina dengan motif dan ukiran nan indah akan menghiasi setiap jengkal puncak Gunung Padang.

Cukup beragam pilihan wisata termasuk wisata spritual yang ditawarkan jika berkunjung ke Gunung Padang. Jiwa alam seakan merasuki jiwa kita ketika kita berada di puncak Gunung Padang, atau memandang laut dari dekat di kaki Gunung Padang. Tapi Gunung Padang yang mana ini? karena akhir-akhir ini Gunung Padang menjadi terkenal, dan ternyata ada di beberapa tempat memiliki nama Gunung Padang. - Berdiri kokoh di pesisir Pantai Kota Padang. Berada persis di mulut muara Sungai Batang Arau. 

Bukit ini memiliki ketinggian lebih kurang 80 km dari permukaan laut. Kondisi lahannya 25 % berpasir, 45 % tanah liat dan 35 % berbatuan. Dan pada beberapa ruas dinding batunya yang vertikal sering dijadikan sebagai arena panjat tebing. Gunung Padang merupakan rangkaian dari Bukit Gado-Gado, Bukit Air Manis dan Bukit Putuih. Pola rangkaian melingkar ini sepertinya melindungi Kota Padang dari keganasan tiupan angin barat dan hempasan ombak Samudera Indonesia. 

Ketangguhan Gunung Padang menghadapi fenomena alam telah terbukti dalam sejarah. Seperti gempa di kawasan pantai bagian barat pulau Sumatera pada tahun 1696, 1763, 1770, 1797, 1833, 1864, dan 1892. 

Beberapa diantaranya pernah menimbulkan gempa besar dan tsunami, seperti tahun 1696 dan 1797 yang menghancurkan Kota Padang, bahkan beberapa perahu yang tertambat di Muaro Padang sampai terlempar ratusan meter ke arah daratan. Terakhir gempa tahun 2009 yang memporakporandakan Kota Padang. Namun Gunung Padang masih tangguh dan tidak bergeming sedikitpun. Dan hari ini, Gunung Padang semakin berbenah dan mempercantik diri, agar semakin menarik untuk dikunjungi. 

Beberapa daya tarik Gunung Padang saat ini adalah : 
1. Gerbang masuk dengan pola dan arsitektur Minangkabau. 
2. Jalan masuk beraspal beton. 
3. Pagar dinding pengaman 
4. Susunan batu pijat refleksi 
5. Gazebo/Pesanggrahan 

Struktur kawasan Gunung Padang menyajikan kerimbunan pepohonan dan belukar yang bercirikan tropis. Beberapa dinding cadasnya dapat digunakan sebagai wadah panjat tebing. 
Sedangkan pada salah satu ceruk batu cadasnya terdapat sebuah duplikat makam Legenda Sitti Nurbaya. 

Di bagian puncak Gunung Padang terhampar taman yang rimbun dan dari sini kita bisa melihat hamparan Samudera Indonesia, Pantai Air Manis, Pulau Pisang Gadang, Kota Padang dan pantainya, dan beberapa pulau dari kejauhan. 

Daya tarik lain adalah beberapa bunker atau benteng kecil, yang dapat kita jumpai tidak beberapa jauh dari gerbang masuk sampai ke puncak Gunung Padang. Satu diantaranya memiliki meriam dengan panjang lebih kurang 8 meter.

Legenda Gunung Padang Sejak dulu sampai sekarang orang masih menyebut Gunung Padang sebagai Gunung Monyet (Monkey Mountain). 

Hal lain yang sudah mulai terlupakan adalah legenda yang melekat pada keberadaan Gunung Padang ini. 

1. Legenda Siti Nurbaya Gunung Padang merupakan tempat pertemuan Siti Nurbaya dengan Syamsul Bahri. Dan tempat Siti Nurbaya di kuburkan pada sebuah gua batu disebelah kanan sebelum sampai ke Puncak Gunung Padang 

2. Legenda Tiga Makam Kuno berusia sekitar 5 abad 

(Makam Keramat) 

1- Makam Syekh Zainuddin Dulu disebut juga dengan Makam Terbang. Waktu Syekh ini wafat di kuburkan di Seberang Padang. Kemudian makam itu terbang setelah Syekh tersebut dalam mimpi sahabatnya agar dipindahkan ke Gunung Padang.
Diperkirakan terletak di mulut gua yang menghadap kearah laut dan berkemungkin berada di sisi kanan taman Sitti Nurbaya. 

2- Makam Syekh Basyir dan Syekh Alamsyah gelar Raja Pesisir Syekh Basyir diyakini manusia berdarah putih. Waktu Syekh Basyir akan dikuburkan di Gunung Padang, ketika melintasi Sungai Batang Arau air sungai tersibak sehingga tidak perlu menggunakan perahu untuk menyeberang.
Terletak ke arah Selatan jalan menurun dari Puncak Gunung Padang atau Taman Siti Nurbaya, jaraknya  200M setelah melewati komplek perkuburan Muslim dan Cina Muslim. 
Makam dua syekh tersebut terletak di bagian atas dalam komplek berpagar tembok. 

Legenda Gunung Padang memiliki ular Naga (Ba Ula Nago) Konon bersarang dalam gua yang panjang di perut gunung dengan mulut gua menghadap ke laut. Bisa dipahami bahwa diperlukan biaya yang tidak murah untuk memelihara tempat yang seharusnya indah seperti wilayah Gunung Padang ini. 

Namun dengan pemandangan dari puncak Gunung Padang yang indah, bunker-bunker peninggalan Jepang, dan makam Siti Nurbaya yang masyhur, tempat ini bisa dijual ke para pejalan. Dari kocek merekalah biaya perawatan dan pemeliharaan seharusnya berasal.

 

Doa Nabi Sulaiman Menundukkan Hewan dan Jin

  Nabiyullah Sulaiman  'alaihissalam  (AS) merupakan Nabi dan Rasul pilihan Allah Ta'ala yang dikaruniai kerajaan yang tidak dimilik...