Sabtu, 21 November 2020

Sejarah Bojonegoro


Kabupaten Bojonegoro terletak Provinsi Jawa Timur, Indonesia. Dengan Ibu kotanya adalah Bojonegoro. Kabupaten Bojonegoro sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Tuban, sebelah timur dengan Kabupaten Lamongan, sebelah selatan dengan Kabupaten Nganjuk, Kabupaten Madiun, dan Kabupaten Ngawi, sebelah barat dengan Kabupaten Blora (provinsi Jawa Tengah). 

Bagian barat Bojonegoro merupakan bagian dari Blok Cepu, yang merupakan salah satu sumber deposit minyak bumi terbesar di Indonesia. Sungai Bengawan Solo mengalir dari selatan, menjadi batas alam dari Provinsi Jawa Tengah, kemudian mengalir ke arah timur, sepanjang wilayah utara Kabupaten Bojonegoro. 

Kota Bojonegoro terletak di jalur Surabaya-Cepu-Semarang, dan dilintasi jalur kereta api jalur Surabaya-Semarang-Jakarta. Kabupaten Bojonegoro terdiri atas 27 kecamatan, dan terbagi atas 419 desa dan 11 kelurahan. Adapun pusat pemerintahan adalah di Kecamatan Bojonegoro.

Sejarah Bojonegoro

Pada  Tahun [ 898-91O ] yang berkuasa atas wilayah Jawa Tengah dan jawa Timur adalah masa Pemerintahan Maha Raja Rakai Balitung, kala itu Bojonegoro belum ada dan hanyalah sebuah hutan rimba yang diberi nama Alas Tua , diapit-apit oleh pegunungan kapur sebelah utara dan pegunungan kapur sebelah selatan,serta dialiri oleh sungai Solo dan  Kali Brantas. Di hutan ini mulai di diami oleh orang-orang dari Kerajaan Medang Kamulan,setelah di diami beberapa orang imigran dari jawa tengah,  maka  timbullah perkampungan-perkampungan misalnya:  perkampungan Gedung,Rahu [ yang sekarang Ngraho ],Esdander /Bedander [ sekarang Dander ],Toja,Adiluwih dll.

Para imigran yang mendirikan perkampungan-perkampungan itu terikat dalam persukuan-persukuan yang  atas dasar  keluarga masing-masing. Dan  setiap persukuan mempunyai  kepala suku, kepala Suku yang paling kuat saat itu bernama Ki Ruhadi  di Dukuh Randu Gempol, karena  ia di anggap mempunyai  kekuatan gaib [ charisma ] yang besar dan lantaran keberaniannya, maka ia di segani oleh para penduduk dan kepala-kepala suku yang lain.

Lama kelamaan karena  pengaruh  kultur Hinduisme  yang makin meresap , maka Ki Ruhadi akhirnya menghindukan daerahnya. Dengan system pemerintahan yang Hinduisme nama Ki Ruhadi di ubah menjadi Rakai Purnawikan dan di angkat menjadi raja yang beraliran syiwa.  Sedangkan Dukuh Randu Gempol di ubah menjadi Kerajaan Hurandu Purwa [ yang letaknya di Ds.Plesungan kapas sekarang ]. Kemudian iapun menaklukan datuk-datuk sekitarnya. Kerajaannyapun di perluas dari gunung pegat di hutan Babatan [ sekarang babat ] hingga ke Purwosari,cepu,Jatirogo [ tuban ] dan hutan wangi [ sekarang ngawi ].

Pegunungan kapur  utara dan pegunungan kapur selatan  di pakainya sebagai benteng pertahanan.Sungai Solo  di pakai sebagai lalu lintas perdagangan,[jl.gajah mada,kartini dan darma bakti hingga jl.jaksa agung suprapto pada waktu masih merupakan sungai solo yang ramai akan lalu lintas ],sedangkan ibu kota kerajaan di pusatkan di Kedaton [ sekarang Ds.kedaton kapas ] yang ± tahun 1.115 menjadi pusat keramain  kerajaan Hurandu Purwa.

 Setelah lenyapnya raja dan kerajaan Hurandu Purwa,pada abad X yakni; tatkala Maharaja Airlangga bertahta di kahuripan [ 1006-1042 ],maka kembali nama kerajaan Hurandu Purwa di liputi misteri. Waktu itu ada seorang raja putri Mahasia dari Wengker memperluas wilayah kekuasaannya ke utara. Kerajaan-kerajaan kecil yang ikut di caploknya adalah; Djulungpudjut, Ketanggapura, Argasoka. Adapun Ketanggapura terletak di Ds.Sumberrejo sekarang. Sedangkan Argasoka terletak di Ds. Prambon kec.Soko sekarang. Dan ini menandakan bahwa pada abad XI itu tidak ada sebuah kerajaan luas yang bersatu,melainkan kerajaan-kerajaan kecil yang bertebaran di berbagai tempat.

Sedangkan kekuasaan Raja Putri Mahasia di kota Gedah [ yang terletak diperbatasan  Nganjuk-Kertosona sekarang ]. Dan ketika Raja Airlangga dengan bantuan Mpu Baradah dapat menaklukan Kerajaan Wengker { Raja Putri Mahasia }, Dengan demikian seluruh wilayah jawa timur menjadi kekuasaan Prabu Airlangga. Dan untuk menyenangakn hati,Prabu Airlangga membuat padang perburuan di Karang Kahuripan,Krapyak dan Bedander ( sekarang Dander ). Dengan demikian hanya ada satu Kabupaten yang diperbolehkan berdiri disini yaitu;Kabupaten Rajekwesi yang terletak di ( desa Senori sekarang ),sebagai Bupatinya Airlangga menunjuk kemenakannya sendiri yaitu Pandaprana. Sedangkan putrinda Airlangga yang bernama Dyah Sangramawijaya Dharma tungga Dewi atau biksumi kilicuci lebih memilih sebagai pertapa dan tidak kawin serta tidak mau mewarisi tahta ayahanda. Ia kemudian mendirikan pertapaan-pertapaan di Mojosari,Glagahwangi dan Sendang Siwalan. Untuk menjalankan tapanya Dyah kilicucipun sering mengunjungi pertapaan-pertapaan dibekas kerajaan Hurandu Purwa ini.

Kemudian dalam masa perkembangan kerajaan Singosari ( 1222-1292 ), Kabupaten Rajekwesi memperluas dirinya ke barat dan ke timur,Bupati-bupati keturunan Pandaprana menganggap dirinya berkuasa penuh sebagai raja. Akibat tindakan absolute bupat-bupati itu maka pecahlah kabupaten Rajekwesi ini,masing-masing menjadi Kabupaten Rajekwesi Wetan,Bahuwerno,Getasan, Kenur ( sekarang kanor ),Asem Kasapta ( sekarang ngasem ),dan Malino ( sekarang Klino ).

Dan masing-masing kabupaten kecil-kecil menganggap punya hak otonomi daerah serta merdeka. Pada masa Pemerintahan Kerta Redjasa Djayawardhana ( Raden Wijaya )tahun( 1293-1309 ) Raja Majapahit yang pertama, kabupaten-kabupaten Rajekwesi wetan, Bahuwerno, Getasan,Kenur dan Asem Kasapta di lebur menjadi satu Kabupaten yaitu;Kabupaten Kahuripan dengan  Perwitasarimenjadi Adipatinya.Dan Adipati ini masih keturunan Pandaprana. Pada masa pemerintahan adipati inilah kali solo di bendung di daerah Gumolong ( sekarang Trucuk ).Dan pada masa itu pelabuhan Tuban terkenal sebagai pelabuhan transito. Hasil-hasil kayu,kelapa,buah-buahan,sayur-mayur dari Kahuripan di ekspor keluar melalui Sungai solo.

Dan candi-candipun di dirikan untuk memuliakan Hyang Wisnu,Brahma dan syiwa di antaranya di gunung pandan,Merak urak dan Plumpang, tapi sayang candi yang di dirikan oleh Prabu Airlangga dan di jaga dan di pelihara dengan baik di jaman Majapahit itu telah di hancurkan oleh tentara Islam dari Demak,ketika ia menyerang Kahuripan dari daerah Bonang Tuban. Sebuah candi yang masih berdiri megah terletak di Ds. Banjararum. Candi ini dirikan oleh adipati Perwitasari,conon candi tersebut tertimbun tanah yang terletak di Dusun Pagak ( sekarang). Sedangkan beberapa candi budha dengan pertapaan kecil-kecil tersebar di dusun Banjarsari dan Mentora di daerah soko. Kemudian pada jaman kerajaan islam di Demak ( 1521 ),boleh dikatakan nama Kahuripan ditelan jaman atau telah dilupakan oleh sejarah.Karena pada waktu perampok Loka Djaja menjarah beberapa buah desa di wilayah kahuripan,kabupaten dan isinya tak luput dari bahaya api.Hanya beberapa pedusunan kecil yang terletak di kalirejo dan leran saja yang masih berdiri.

Kemudian sekitar tahun 1523 timbullah dua kabupaten islam dibekas kabupaten itu.Dua kabupaten itu adalah kabupaten Jipang Panolan dan Kabupaten Waru.Kemudian sultan Demak mengangkat seorang hamba sahayanya yaitu Raden Wirabaya sebagai Adipati Jipang dan bekas Senopati Anggakusuma sebagai Adipati Waru.Adapun di kabupaten tersebut,diserahkan oleh Sultan Demak kedalam kekuasaan Sunan Bonang. Kemudian sunan Bonang menyerahkan kedua kabupaten tersebut kepada Sunan Kalijaga muridnya. Ketika Adipati Wiroboyo mangkat,maka Sultan Demak mengangkat Pangeran Sekar sebagai Adipati Jipang.Tatkala beliau terbunuh oleh kemenakannya sendiri maka,Ario Penangsang ( Putra Pangeran Sekar ) diangkat menjadi Adipati Jipang Panolan.

Sedangkan dalam tahun-tahun berikutnya Bupati-bupati Rajekwesi dan Boworeno di angkat langsung oleh Sunan Kalijaga dan mereka itu semua adalah putra keturunan Sunan Kalijaga. Dan ini penting untuk mengkokohkan pundamen kekuasaan.  Ketika Ario Penagsang memberontak pada Demak,maka kedua Kabupaten Rajekwesi dan Boworeno dibakarnya lantas dipersatukannya dengan Jipang Panolan. Waktu itu Demak tidak berbuat apa-apa sehingga Ario Penangsang praktis tidak berkuasa atas Tuban juga,karena masa itu Tuban termasuk wilayah Rajekwesi. Salah seorang kepercayaan Ario Penangsang Ki Ageng Wiropati di angkat menjadi Buyut ( setingkat Demang )di Banjarsari.

Dan seorang lagi Ageng Ki Badjoel Seto diangkat menjadi Buyut di Krapyak ( kalirejo). Tatkala kerajaan Pajang berdiri (kesultanan) dengan Sultan Hadiwijaya (Joko Tingkir ) sebagai Sultannya ( 1563-1582 ), maka kekuasaan Ario Penagsang di pesisir utara hamper menandingi Pajang.Melihat hal yang demikian maka Sultan Pajang ingin mengenyahkan Ario penangsang. Setelah Ario Penangsang berhasil di enyahkan / dibunuhnya,hancurlah Jipang Panolan. Sultan Pajang akhirnya mempersatukan Jipang dengan Pajang. Sedangkan pada waktu Ario Pangiri di pindahkan sebagai Bupati Demak,maka putra mahkota Pangeran Pajang yaitu Pangeran Bawono diperbantukan sementara sebagai Bupati Jipang.Sedangkan wilayah Jipang sendiri dibagi menjadi dua bagian yaitu Kabupaten Jipang dan Kabupaten Rajekwesi.

Untuk Kabupaten Jipang tetap di perintahnya sendiri, sedang untuk kabupaten yang baru ( Rajekwesi ) di tunjuk Pangeran Timur ( putra pangeran Trenggono ) sebagai Bupatinya.

Pada awal abad ke-19, Indonesia saat itu dibawah pemerintahan Belanda. Pada tahun 1824 M terdapat 3 daerah di sekitar Bojonegoro yang belum dikuasai pemerintahan Belanda yaitu:
Kabupaten Mojoranu (dander), dipimpin bupati R.T. Sosrodiningrat.
Kabupaten Padangan (desa pasinan) dipimpin bupati R.T. Prawirogdo
Kabupaten Baurno (desa kauman) dipimpin Bupati R.T. Honggrowikomo

Ketiga bupati ini merupakan bawahan dari bupati Madiun yang bernama R.T Ronggo, yang mewakili kerajaan Mataram di Jawa tengah. Adapun saat itu nama Bojonegoro belum muncul. Pemerintahan Belanda mendesak ketiga Kabupaten digabungkan menjadi satu yang harus berada di bawah pemerintahan Belanda. Maka ketiga bupati diajak untuk bermusyawarah di daerah padangan pada tahun 1826. 

Akan tetapi bupati mojoranu, yaitu R.T Sosrodinigrat sedang berpergian ke desa cabean, daerah rejoso Nganjuk. Dan kekuasaan Kabupaten mojoranu diserahkan sementara kepada Pateh Demang R. Sumosirjo. Pemerintahan Belanda memandang upaya penyatuan ketiga daerah gagal, sehingga pihak Belanda membuat rambu-rambu di wilayah mojoranu, serta mendirikan kembali Kabupaten rajekwesi sebagai wilayah tandingan dan penjara. 

Pemerintahan Belanda mengangkat R.T Purwonegoro sebagai Bupati Rajekwesi. Padahal R.T Purwonegoro juga saat itu masih berstatus sebagai bupati Probolinggo. Kepemimpinan R.T Purwonegoro di Kabupaten rejekwesi tidak sesuai yang diharapkan pihak Belanda, sehingga diganti dengan R.T joyonegoro.

R.T Sosrodilogo mengadakan hubungan dengan Pangeran Dipenogoro di Mataram. Pada suatu waktu R.T joyonegoro melihat R.M Suratin, R.T Sosrodiningrat sebagai bupati mojoranu saat itu juga R.M Suratin ditangkap dan dijebloskan di penjara Rajekwesi. Kejadian tersebut diketahui R.T Sorodilogo, sehingga meminta bantuan Pangeran Dipenogoro dari Mataram, hingga dikirim bala bantuan sebanyak 40 tentara.

Hingga terjadi peperangan kecil diantara wilayah Mojoranu dan Rajekwesi. 40 orang dari Kerajaan Mataram tersebut ditawan, dan R. Sumodirjo sebagai Pateh Demangan gugur. Adapun R.T Sosrodilogo dimasukan ke dalam penjara dengan tuduhan sebagai pemberontak, dia  dipenjara di rajekwesi.

R.T Sosrodilogo bertemu dengan adiknya R.M Suratin untuk mengadakan pemberontakan, tetapi dengan perencanaan yang lebih matang. Hingga akhirnya keduanya keluar dari penjara, maka dimulailah peperangan kembali. Kabupaten Rajekwesi dikepung dari berbagai arah, hingga akhirnya kekuatan dari kerajaan rajegwesi melemah. Pasukan Mojoranu terus melakukan serangan hingga menghancurkan pasukan rajekwesi.

Dengan kekalahan wilayah Rajekwesi yang merupakan wilayah bawahan Belanda, maka pihak Belanda semakin meningkatkan pertahanan untuk menahan pemberontakan dari rakyat. Kemenangan pasukan Sosrodilogo memicu semangat untuk memukul mundur tentara Belanda di berbagai wilayah lainnya. Kota Baorno (perbatasan Surabaya dan tuban) yang dikuasai Belanda, mendapat serangan dari rakyat sehingga membuat pihak Belanda kewalahan. 

Pasukan rakyat berhasil menguasai wilayah selatan Padangan, yang kemudian ingin membebaskan wilayah Ngawi dari pendudukan Belanda. Perlawanan rakyat juga untuk mengusir Belanda juga dipicu dari terjadinya Perang di penogoro di Mataram untuk melawan Belanda pada tahun 1825. Kemudian juga terjadi perlawanan rakyat melawan Belanda di wilayah kota Blora yang dipimpin Raden Ngabel Tortonoto, hingga akhirnya kota Blora berhasil dikuasai oleh rakyat.

Adapun saat itu, Bupati rajekwesi R.T joyonegoro melarikan diri ke wilayah Sedayu. Wilayah Kabupaten Sedayu saat itu juga merupakan wilayah bawahan Belanda. Bupati Sedayu (sekutu Belanda) mengirim tentara untuk menyerang wilayah Kabupaten Mojoranu, hingga akhirnya pasukan Sedayu bertempur dengan pasukan Mojoranu. Dan peperangan dimenangkan pasukan Mojoranu, hingga akhirnya pasukan Sedayu terdesak dan kembali mundur ke markasnya.

Wilayah Rajekwesi yang dikuasai Rakyat akhirnya jatuh kembali ke pihak Belanda, salah satu penyebabnya yaitu kesalahan fatal dari pasukan rakyat itu sendiri, setelah memenangkan peperangan akan tetapi banyak dari pasukan rakyat yang justru bersenang-senang, tanpa bersikap untuk memperkuat pasukan untuk menghadapi serangan dari pihak Belanda sehingga hal ini dimanfaatkan Belanda untuk melakukan serangan balik dengan cepat dan kekuatan penuh.

Bantuan dari pihak Belanda mengalir terus sekutunya di Rembang dan Rejekwesi. Pasukan Belanda dikirim masuk ke wilayah Rajekwesi sehingga membuat pasukan rakyat terdesak mundur. 

Pada tanggal 26 januari 1828 belanda dapat memasuki kota rajekwesi. R.T Sorodilogo malarikan diri ke arah selatan planturan. Semangat pangikut R.T Sosrodilogo menjadi lemah. Pada tanggal 7 maret 1828 bisa dikatakan pahlawan rakyat di daerah rembang. Rajekwesi dan lain-lain dianggap rampung.

R.T Sosrodilogo bersama saudarannya yaitu raden bagus menjadi buronan oleh pihak belanda. Belanda mengadakan seyembara untuk menangkap kedua orang tersebut. Raden bagus akhirnya diserahkan kepada bupati setempat R.T Sosrodilogo melarikan diri ke jawa tengah dan bergabung dalam peperangan dipenogoro. Namun ahirnya pada tanggal 3 oktober 1828 R.T Sosrodilogo menyerah kepada belanda.

Setelah peperangan usai maka pemerentahan belanda mengundang R.T Sosorodilogo dan bupati sedayu menghadiri pesta besar-besaran (suka-suka bojono) untuk merayakan keberhasilan mengalahkan pasukan mojoranu. Saat itu pula pemerentah belanda mengangkat R.T Joyonegoro menjadi bupati bojonegoro. Nama kabupaten Bojonegoro di ambil untuk menggantikan kerajaan Rajekwesi yang sudah hancur. BOJO yang berarti bersenang-senang dalam perayaan tersebut. Sedangkan NEGORO berati Negara. Saat itu pemerentahan belanda dipimpin oleh H. Marcus De Kock dengan perangkat Letnan Gubernur Jendar (1826-1830).

R.T Joyonegoro Bupati Bojonegoro 1827-1844.

Berdasarkan cerita pusat kabupaten rejekwesi dulunya terletak di daerah Ngumpak Dalem, maka setelah peperangan dipindah ke daerah boghadung yang terletak di sebelah utara rajekwesi. Berdasarkan pertimbangan pada pejabat waktu itu. Tidak baik mendirikan Negara di lokasi yang sama dengan alas an rejekwesi pernah kalah dalam peperangan mojoranu. Desa Boghadung yang terletak sebelah utara bengawan solo masih ikut darah tuban waktu itu.

Di tahun 1828 bengawan solo sudah terpecah menjadi dua aliran. Desa Boghadung yang tedinya berada di sebelah utara bengawan. Setelah pindah di Boghadung ini kabupaten rajekwesi berubah menjadi nama Bojonegoro.

Di sini di berkembang cerita bahwa kata BO dari bojonegoro diambil dari kata Boghadung yang akhirnya menjadi kata Bojonegoro. Ada pula cerita lain yang mengatkan bahwa bojonegoro berasal dari kata BOJON yang artinya SUGU atau tanah yang diberikan untuk Negara dari daerah Tuban. R.T Joyonegoro beserta keluarganya pindah ke bojonegoro dan pension menjadi bupati bojonegoro pada tahun 1844M.

Sejarah Karang Anyar


Kabupaten Karanganyar, adalah sebuah Kabupaten di Provinsi Jawa Tengah. Ibukotanya adalah Karanganyar, sekitar 14 km sebelah timur Kota Surakarta. Kabupaten ini berbatasan dengan Kabupaten Sragen di utara, Kabupaten Ngawi dan Kabupaten Magetan (Jawa Timur) di timur, Kabupaten Wonogiri di selatan, serta Kabupaten Boyolali, Kota Surakarta, dan Kabupaten Sukoharjo di barat. Kabupaten Karanganyar memiliki sebuah kecamatan exclave yang terletak diantara Kabupaten Boyolali, Kabupaten Sukoharjo, dan Kota Surakarta, yaitu Kecamatan Colomadu.

Asal mula Kabupaten Karanganyar tak dapat dipisahkan dengan sejarah Kerajaan Mataram. Kala itu, Kerajaan Mataram berkedudukan di Kartasura, Kabupaten Sukoharjo yang dipimpin Sinuhun Prabu Amangkurat Jawa.

Pencetus nama Karanganyar adalah Raden Mas Said atau akrab dikenal panggilan Pangeran Sambernyawa. Nama Karanganyar sendiri berasal dari bahasa Jawa yang bermakna kewibawaan yang rangkap lahir dan batin untuk mencapai tujuan atau cita-cita baru.
 
Asal usul dancikal bakal Karanganyar berasal dari Raden Ayu Diponegoro atau Nyi Ageng Karang yang saat kecil bernama Raden Ayu Sulbiyah. Dia adalah istri Pangeran Haryo Diponegoro (Adik Sunan Amangkurat Jawa /Pangeran Suryo Putro) Setelah Pangeran Diponegoro ditangkap Belanda dan diasingkan ke Afrika Selatan maka Nyi Ageng Karang mengasingkan diri di hutan belantara. “Cikal bakal Karanganyar adalah Nyi Ageng Karang yang bertapa di hutan setelah suaminya ditangkap penjajah Belanda,”

Saat bertapa, Nyi Ageng Karang mendapat wangsit akan bertemu ksatria yang akan meneruskan cita-cita luhurnya. Ksatria tersebut akan dikawal tiga pengikutnya. Beberapa waktu kemudian, Nyi Ageng Karang bertemu dengan Raden Mas Said di dalam hutan belantara. Raden Mas Said dikawal oleh tiga pengikutnya.

Nyi Ageng Karang lantas menceritakan wangsit yang diterimanya ketika bertapa kepada Raden Mas Said. Di hutan tersebut, Raden Mas Said diteguhkan bakal menjadi pemimpin baru yang mampu mengayomi masyarakatnya. “Nah, hutan tersebut lalu diberi nama Karanganyar oleh Raden Mas Said,”

Setelah meninggal dunia, Nyi Ageng Karang dimakamkan di wilayah Kelurahan Tegalgede, Kecamatan Karanganyar, Karanganyar. Sementara Raden Mas Said dimakamkan di kompleks Astana Mangadeg yang terletak di wilayah Kecamatan Matesih, Karanganyar.

Para pejabat pemerintah kabupaten (Pemkab) Karanganyar selalu berziarah ke petilasan Nyi Ageng Karang saat peringatan Hari Ulang Tahun (HUT) Karanganyar. Tak hanya itu, masyarakat juga kerap berziarah ke petilasan Nyi Ageng Karang pada Kamis malam.

Mereka membawa air dan menggelar ritual di sekitar petilasan tersebut hingga subuh. Mereka ingin meminta berkah atau keselamatan. “Biasanya paling ramai saat malam Jumat, warga yang berziarah ingin ngalap berkah dengan menggelar ritual dan berdoa,”

Proses historis terbentuknya Kabupaten Karanganyar dimulai dari pemerintahan Desa Badran anyar yang kecil, yang terbentuk pada masa perjuangan Raden Mas Said, pada tahun 1741-1757. Ketika itu Raden Mas Said yang dikenal sebagai Pangeran Sambernyawa menjadikan beberapa daerah sebagai pusat perlawanan terhadap Belanda. Daerah-daerah tersebut adalah daerah Nglaroh, daerah Sembuyan, dan daerah Matesih, yang selanjutnya menjadi titik sejarah dan awal dari proses pertumbuhan perintahan.

Berdasarkan Staatsblad Nomor 30 tahun 1847, tanggal 5 Juni 1847, Kabupaten Anom (Onderregent) Karanganyar terbentuk, bersama-sama dengan dibentuknya 2 (dua) Kabupaten Anom lain, yaitu Kabupaten Anom Wonogiri dan Anom Malangjiwan, yang berada dalam wilayah pemerintahan Kadipaten Mangkunegaran. Dalam pelaksanaan pemerintahannya, pada setiap Kabupaten Anom, termasuk pada Kabupaten Anom Karanganyar dibentuk Kantor Urusan Pemerintahan, Kantor Urusan Pengadilan, Kantor Urusan Kepolisian, dan Kantor Urusan Perkebunan.

Pada tahun 1917, dengan Rijksblad Mangkunegaran nomor 37 dibentuk 2 (dua) Kabupaten, yaitu : Kabupaten Karanganyar dan Kabupaten Wonogiri. Dan pada tanggal 18 November 1917, Kanjeng Gusti Pangeran Arya Mangkunegara VII melantik KRMT. Hardjo Hasmoro sebagai Bupati Karanganyar.

Berdasarkan Rijksblad Mangkunagaran Nomor 10 tahun 1923, Kabupaten Karanganyar dibagi menjadi 3 (tiga) Wilayah Kawedanan, yaitu :

Kawedanan Karanganyar
Kawedanan Karangpandan
Kawedanan Jumapolo

Dalam 3 (tiga) Kawedanan tersebut terdapat 14 (empat belas) wilayah Kapanewon/Kecamatan, yaitu:

Kapanewon Karanganyar
Kapanewon Tasikmadu
Kapanewon Jaten
Kapanewon Kebakkramat
Kapanewon Mojogedhang
Kapanewon Karangpandan
Kapanewon Matesih
Kapanewon Tawangmangu
Kapanewon Ngargoyoso
Kapanewon Kerjo
Kapanewon Jumapolo
Kapanewon Tugu (sekarang Jumantono)
Kapanewon Jatipuro
Kapanewon Jatiyoso

Pada tahun 1930 Kabupaten Karanganyar dihapuskan dan secara administratif dimasukkan ke dalam wilayah Kabupaten Kota Mangkunegaran dengan maksud agar pengelolaan terhadap perkebunan-perkebunan milik Mangkunegaran lebih efisien dan efektif.

Pada masa pendudukan Jepang (1942-1945), daerah Karanganyar masih disebutkan sebagai Kawedanan, bagian dari Kabupaten Kota Mangkunegaran, hanya jabatan dan wilayahnya diganti dengan istilah/bahasa Jepang.
Pada tahun 1930 Kabupaten Karanganyar dihapuskan dan secara administratif dimasukkan ke dalam wilayah Kabupaten Kota Mangkunegaran dengan maksud agar pengelolaan terhadap perkebunan-perkebunan milik Mangkunegaran lebih efisien dan efektif.

Pada masa pendudukan Jepang (1942-1945), daerah Karanganyar masih disebutkan sebagai Kawedanan, bagian dari Kabupaten Kota Mangkunegaran, hanya jabatan dan wilayahnya diganti dengan istilah/bahasa Jepang.
Masa Setelah Proklamasi Kemerdekaan RI

Setelah Proklamasi Kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945, Presiden RI mengeluarkan Piagam Kedudukan yang menetapkan Sri Susuhunan Paku Buwono XII dan Sri Mangkunegara VIII, masing-masing sebagai Kepala daerah Kasunanan Surakarta dan Kepala Daerah Mangkunegaran.

Pada akhir tahun 1945 di Surakarta timbul gerakan anti Swapraja yang berkembang hingga Karanganyar, Sragen, Klaten, Boyolali, Wonogiri dan Kota Surakarta menyatakan lepas dari Pemerintah Swapraja. Hal ini mendapat tanggapan dari Pemerintah Pusat dengan terbitnya Penetapan Pemerintah No. 16/SD Tahun 1946 yang antara lain menetapkan daerah-daerah tersebut tergabung dalam Karesidenan surakarta yang dipimpin oleh seorang Residen.
Setelah proklamasi kemerdekaan terjadi reorganisasi pemerintahan daerah di Indonesia. 
Tiga Kapanewon yang sebelumnya tidak termasuk wilayah Kabupaten Karanganyar, setelah proklamasi kemerdekaan dimasukkan ke dalam wilayah Kabupaten Karanganyar. 
Tiga Kapanewon tersebut adalah 
Kapanewon Malangjiwan (sekarang Kecamatan Colomadu), 
Kapanewon Kaliyoso (sekarang Gondangrejo), dan 
Kapanewon Jenawi. 

Sejak saat itu maka wilayah Kabupaten Karanganyar menjadi 17 (tujuh belas) Kapanewon/Kecamatan.

Daerah Kabupaten Karanganyar terdiri dari:
1. Kawedanan Wonoharjo
‎Kecamatan Gondangrejo (gabungan dari bekas Kapanewon Bonorejo dan Kaliyoso)
‎Kecamatan Colomadu
2. Kawedanan Karanganyar
‎Kecamatan Karanganyar
‎Kecamatan Tasikmadu
‎Kecamatan Jaten
‎Kecamatan Kebakkramat
Kecamatan Mojogedang
3. Kawedanan Karangpandan
‎Kecamatan Karangpandan
‎Kecamatan Matesih
‎Kecamatan Tawangmangu
‎Kecamatan Ngargoyoso
‎Kecamatan Kerjo
Kecamatan Jenawi
4. Kawedanan Jumapolo
Kecamatan Jumapolo
‎Kecamatan Jumantono
‎Kecamatan Jatiyoso 
        Kecamatan Jatipuro‎

 

Babad Ponorogo


Pada zaman dahulu sebelum adanya kerajaan Wengker dan Kabupaten Ponorogo, di daerah sebelah barat dan timur pernah dihuni oleh manusia. Sebelah timur di kaki gunung Pandan seudah pernah didiami manusia. Karena disana banyak ditemukan fosil atau tulang manusia yang bentuknya besar-besar dan disebut sebagai tulang raksasa. Kemudian di sebelah barat yaitu di sekitar Kecamatan Sampung pernah juga ditemukan fosil hewan dan manusia kemudian disana juga ditemukan alat-alat pertanian seperti linggis, kapak, dan alu yang semuanya berasal dari batu. Sehingga pada waktu itu disebut Zaman Batu.

Jika dihuni oleh manusia berarti memang benar sebab disana ada bukti-bukti peninggalannya. Hanya saja belum bisa diketahui dari bangsa apa dan negara mana. Waktu itu manusia belum bisa baca tulis, karena belum mempunyai huruf sehingga tidak dapat membuat bukti-bukti tertulis atau prasasti atau peninggalan sejarah yang tertulis. Keadaan seperti ini disebut zaman prasejarah dimana zaman sebelum manusia dapat menulis sejarah. Zaman Wengker dahulu di Ponorogo ini memiliki suatu kerajaan. Kerajaan ini oleh banyak orang disebut dengan Kerajaan Wengker. Kerajaan Wengker ini ada sekitaran tahun 986-1037 M. Selanjutnya datangnya agama Islam di Ponorogo dan berdirinya Kadipaten Ponorogo pada tahun 1486 M.

Zaman  Kerajaan Wengker

Setelah  kerajaan Mataram Kuno di Jawa Tengah banyak rakyatnya yang pindah ke Jawa Timur. Pada tahun 928M Empu Sendhok memindahkan pusat Pemerintahan ke Jawa Timur  Tidak sedikit rakyat yang mengikuti jejak Empu Sendhok untuk pindah ke Jawa Timur.

Mpu Sendok kemudian mendirikan sebuah  Kerajaan yang diberi nama keraajaan Watonmas. Letaknya berada disekitar sungai Brantas antara Malang dan Surabaya. Kemudian Empu Sendhok itu dinobatkan sebagai raja pertama dengan gelar Sri Isana Wikrama Darrmotungga Dewa, yang mana menjadi moyang bagi raja-raja di Jawa selama 300 tahun berturut-turut sampai dengan tiga keturunan. Akan tetapi kerajaan Watonmas itu tidak bertahan lama karena diserang oleh musuh sehingga kerajaan Watonmas itu runtuh. Kemudian muncul suatu kerajaan baru yaitu kerajaan Kahuripan.

 Kerajaan Kahuripan dipimpin oleh seorang raja yang bernama Raja Airlangga. Masa pemerintahan Raja Erlangga antara tahun 1000-1042. Setelah Empu Sendhok, ternyata juga ada rombongan lain dari Jawa Tengah yang pindah ke Jawa Timur di bawah pimpinan putra Raja Medhang yang bernama Kettu Wijaya.

Kemudiaan Kettu Wijaya beserta rombongannya berjalan melewati jalur sebelah selatan hingga di sebelah timur Gunung Lawu kemudian mereka beristirahat dan menetap disana. Dengan kejadian  itu mereka mendirikan sebuah kerajaan yang bernama kerajaan Wengker. Berdirinya kerajaan Wengker itu dibuktikan dengan adanya sebuah prasasti yang ditemukan di Sendang Kanal Madiun. Didalam prasasti tertulis berdirinya kerajaan Wengker pada tahun 986 – 1037 M dengan rajanya yang bergelar Kettu Wijaya.

Nama Wengker merupakan akronim dari “Wewengkon angker” atau tempat yang angker. Wilayah kerajaan Wengker meliputi sebelah Utara yaitu Gunung Kendeng sampai Gunung Pandan. Kemudian sebelah timur merupakan Gunung Wilis ke selatan sampai ke laut selatan. Kemudian sebelah selatan merupakan wilayah laut selatan dan sebelah barat dari pegunungan mulai laut kidul ke utara samapai ke Gunung Lawu.

Kerajaan Wengker itu kerajaan yang kuat, amat sentosa, rajanya sakti mandraguna dan rakyatnya banyak yang berilmu tinggi dan senang dalam melakukan dalam tapa brata.  

Disamping itu Kerajaan Wengker dikelilingi oleh sungai yang menjadi batas kota dan sebagai benteng pertahanan. Selain itu juga terdapat tiga benteng dalam tanah istilahnya Benteng Pendem. 

Pada tahun 947 M, Empu Sendhok digantikan anaknya yang bernama Sri Isyanatungga Wijaya yang menikah dengan Sri Lokapala. Selanjutnya ia digantikan putranya, Sri Makuyhawangsa Wardana. Sri Makuthawangsa Wardana mempunyai dua orang putri. Salah satu putrinya menikah dengan Dharmawangsa. Selanjutnya sang menantu itulah yang kemudian memegang kekuasaan di Medhang. Salah satu putri Makuthawangsa yang bernama Mahendradatta menikah dengan Udayana dan mempunyai anak bernama Airlangga. Dalam memimpin Medhang, Dharmawangsa mempunyai ambisi besar memperluas wilayah. Kerajaan Medhang saat itu diperkirakan di sekitar daerah Maospati Magetan.

Pada tahun 1016, kerajaan Medhang diserang Sriwijaya bersama sekutunya yaitu Wurawari dan Wengker, sehingga raja Dharmawangsa dan seluruh pembesar kerajaan tewas. Kemudian peristiwa itu dikenal dengan sebutan “Pralaya” atau kehancuran. Selain itu beserta sekutunya ingin menghancurkan Medhang. Sementara keterlibatan Wengker adalah pengaruh ekspansif Medhang yang berusaha memperluas wilayah dengan menaklukkan kerajaan-kerajaan kecil dan juga persaingan dalam bidang ekonomi.

Satu-satunya keluarga Kerajaan yang berhasil lolos dari serangan tersebut adalah Airlangga yang pada saat itu sedang melangsungkan pernikahan dengan putri Dharmawangsa. Pada wakti itu usia airlangga 16 tahun, beserta Narotama ia bersembunyi di hutan sekitar daerah Wonogiri untuk menyusun kekuatan 

Dan pada tahun 1019 M, Airlangga dinobatkan menjadi raja Kahuripan yang terletak di bekas reruntuhan kerajaan Medhang. Saat itu bekas kerajaan Medhang sepeninggal Dharmawangsa merupakan wilayah yang kecil karena setelah terjadinya Pralaya, wilayah Medhang menjadi terpecah-pecah. Airlangga merupakan raja yang tersohor dan berpengaruh besar.

Tahun 1028 M, Airlangga memulai usahanya menyatukan kembali wilayah Medhang termasuk terhadap kerajaan Wengker. Tahun 1031 Wengker bisa ditaklukkan. Pada tahun 1035 kerajaan Wengker ternyata bangkit dan kuat lagi. Airlangga kembali menyerang Wengker dengan kekuatan pasukan yang besar. Pada tahun 1037 M, Kettu Wijaya mengalami kekalahan, terpaksa meninggalkan harta benda dan permaisurinya. Kettu Wijaya lari ke desa Topo kemudian pindah ke Kapang diikuti bebrapa prajuritnya. Karena terus diserang pasukan Airlangga lari ke Sarosa. Dan akhirnya Kettu Wijaya dapat dikalahkan dan ia dibunuh oleh prajuritnya sendiri. Kettu Wijaya hilang beserta jiwa raganya (muksa). Dengan demikian berakhir riwayat kerajaan Wengker dibawah pimpinan Kettu Wijaya. Selanjutnya wilayah Wengker menjadi daerah kekuasaan Airlangga.

Berselang sekitar 200 tahun muncul kerajaan baru yaitu kerajaan Bantarangin. Terletak di desa Sumoroto kurang lebih 12km arah barat kota Ponorogo yang masih bagian wilayah kerajaan Wengker.

Pada tahun 1078 kerajaan Bantarangin Wengker dipimpin oleh Prabu Kelono Sewandono dan patihnya bernama Kelono Wijaya yang masih saudara kandung. Prabu Kelono Sewandono memiliki paras yang tampan sampai dijuluki Tubagus Kelono Sewandono. Sedangkan adiknya berwajah jelek, keningnya nong nong, mata pendul, bermulut lebar, gigi besar-besar, pundak benjol dan rambutnya gimbal dr hal tersebut dijuluki Bujang Ganong. Meskipun berwajah jelek namun dia memiliki kesaktian yang luar, ahli bertapa dan kaya akan ilmu kanuragan. 

Pada suatu malam Kelono Sewandono bermimpi bertemu dengan putri Kediri yang bernama Dewi Songgolangit. Keesokan harinya beliau mengutus adiknya yaitu Kelono Wijaya untuk melamar Dewi Songgolangit ke Kediri. Sang Prabu Kertojoyo raja Kediri mengetahui jika putrinya ketakutan melihat tamunya yang baru datang, namun akan menolak takut karena raja Bantarangin itu orangnya sakti mandraguna. 

Kemudian dia minta persyaratan untuk proses pernikahan nanti yaitu:
1.  1-    Seperangkat gamelan (gong) yang belum ada di bumi ini dan digunakan untuk mengiringi jalannya temanten dari Wengker sampai Kediri.
2. 2-     Berbagai mcam hewan isi hutan yang dihalau ke Kediri untuk mengisi kebun binatang
3.    3-  Manusia yang berkepala harimau.

Setelah selesai Kelono Wijoyo pun segera mohon diri dan Sesampainya di Bantarangin segera disampaikan  apa saja yang menjadi permintaan Putri Kediri. Prabu Kelono Sewandono murka mendengar apa yang dikatakan adiknya. Permintaan itu tidak wajar, tidak akan terlaksana, maka kerajaan kediri akan diserang dengan peperangan. 

Dengan kesaktian ilmunya seluruh hewan hutan dapat dikumpulkan di alun-alun lalu merakit alat musik model baru yang terbuat dari bambu dan kayu seperti seruling (terompet), angklung, ketipung dan gendang. Ketuk, kenong dan kempul juga dari bambu. Seperangkat alat musik (gamelan) yang terbuat dari bambu semuanya sudah disiapkan termasuk penabuhnya (pemainnya). Tinggal manusia berkepala harimau (macan) yang akan diketemukan nanti.

Sesudah semua persyaratan selesai calon temanten laki-laki yaitu Raja Bantarangin diiring menuju kerajaan Kediri. Gamelan (musik) dipukul dengan sorak sorai, gembira, gemuruh laksana batu bata runtuh. Waktu itu Kelono Wijaya tidak boleh ikut karena nanti akan menakuti Putri Kediri dan dikatakan kakaknya bila ikut memalukan karena jelek rupanya. Akhirnya mengalah dan menerima untuk menjaga kerajaan.

Ternyata di Kerajaan Kediri sang Patih Kediri yang bernama Singolodro yang juga disebut Barongseta juga menghendaki ingin menyunting Dewi Songgolangit. Patih Singolodro itu juga sakti mandraguna, dan kondang dapat berubah menjadi harimau putih karena itu disebut Barongseto. Mendengar ramai-ramai gemuruh sorak-sorai masuk kota secepat kilat dengan penuh keberanian menerjang barisan pengiring pengantin. Para pengiring temanten bubar lari kesana kemari. Hewan yang digiringpun lari tak karuan hanya tinggal Barongseta berhadapan dengan Kelono Sewandono.

Keduanya lalu perang tanding Prabu Kelono Sewandono naik kuda sambil membawa Tombak Pusaka dan Patih Singolodro membawa tameng dengan sebilah pedang. Setelah sekian lama adu kesaktian akhirnya Patih Singolodro terkena tusukan Tombak Prabu Kelono Sewandono seketika berubah menjadi harimau gembong yang berwarna putih dan menyerang. Prabu Kelono Sewandono  dan cajarnya mengenai leher kuda bagian belakang yang menyebabkan Sang Prabu terlepas dari kudanya. Bergulung-gulung antara harimau dengan manusia. Akhirnya Kelono Sewandono jatuh terbanting dicengkram oleh harimau. Kemudian dicakar, dicengkeram, dikunyah-kunyah, dibangting-banting seperti kucing makan tikus dibuat permainan oleh Singolodro.

Kelono Wijaya yang menunggu kerajaan, merasa malu karena kakaknya menghinanya, malu mengakui saudaranya karena jelek rupa lalu dia pergi dari kerajaan bertapa di gunung Wilis menggugat para dewa menuntut keadilan minta wajah yang bagus seperti kakaknya. Kemudian permintaan itu diterima, turunlah Dewa dari kayangan memberi topeng mas yaitu topeng manusia yang bagus seperti halnya Kelono Seswandono, satunya berupa pecut atau cambuk yang diberi nama pecut Samandiman. Setelah Kelono Wijaya sampai di alun-alun Kediri tahu kakaknya dimakan harimau gembong, lalu didekatinya. Pecut Samandiman diacungkan diatasnya. Tidak tahu asal usulnya darimana, seketika Singolodro kehabisan tenaga, lemah lunglai tanpa daya sambil mengaduh.

Kelono Wijaya menolong kakaknya, dengan mengucap mantra-mantra sambil memegang seluruh tubuhnya, seketika kekuatan Kelono Sewandono kembali seperti sediakala, luka-luka sudah hilang, hanya luka bekas cakaran kuku harimau di mukanya yang tidak bisa pulih. Setelah selesai menolong kakaknya lalu menolong Singolodro. Diraba seluruh tubuhnya seketika itu berubah menjadi manusia tetapi kepalanya masih kepala harimau. Ini untuk mencukupi permintaan Dewi Songgolangit yang ketiga. Dengan kesaktian Kelono Wijaya, hewan-hewan yang tadinya lepas kesana kemari dengan petikan jari tangan saja sudah datang sendiri, setelah berkumpul terus menghadap Raja Kediri. Singolodro yang berubah berkepala harimau berada di belakang jadi genaplah persembahan 3 macam yang menjadi persyaratan Dewi Songgolangit telah dapat dipenuhi.

Kemudian diketahui jika putri Songgolangit hilang tidak diketahui kemana arahnya lalu bersama-sama mencarinya. Sampai disalah satu gunung di sana terdapat gua yang tertutup batu. Penutup gua itu diketuk dengan jari oleh Singolodro. Batu hancur lebur, kelihatan Dewi Songgolangit merebahkan tubuhnya dibatu. Prabu Kelono Sewandono senang hatinya, lalu dibujuk di ajak pulang, disanjung akan kecantikannya diajak ke kerajaan Bantarangin. 

Karena sepatah katapun Dewi Songgolangit tidak menjawab Prabu Kelono Sewandono pun marah, karena merasa dihina. Diapun berkata : “Orang idiajak bicara sepatah katapun kok tidak menjawab hampa diam seperti batu” terbukti sumpah yang dikatakan Prabu Kelono Sewandono, seketika Dewi Songgolangit berubah menjadi batu, berwujud arca seorang wanita.

Prabu Kelono Sewandono lalu pasrah, bila Dewi Songgolangit  memang bukan jodohnya, lalu diputuskan untuk pulang. Karena pinangannya gagal,akan lewat jalan semula merasa malu maka mencari jalan lain. Kelono Wijaya yang punya Pecut Samandiman pemberian dewa akan dicoba untuk memperlihatkan kesaktiannya. Lalu diperintahkan  untuk lewat jalan bawah tanah mulai dari gua yang kemudian disebut gua Selomangleng di gunung Klotok, tanah dicambuk pecut bisa gugur, bisa berlubang seperti terowongan yang mudah dilewati. Sampai di Kerajaan Bantarangin dapat melihat keluar dengan cara membelah sungai. Tempat pemunculannya merupakan gua yang yang dinamakan gua Bedali dari kata mbedhah kali (Jawa). Karena didalam gua itu terdapat sungai yang airnya mengalir.

 Selanjutnya Raja Bantarangin karena merasa kecewa akan menikah yang gagal, dia tidak akan menikah. Sebagai hiburan yang menjadi gantinya lalu ia memelihara anak laki-laki muda yang ganteng atau yang biasa disebut dengan gemblak. Raja Bantarangin juga dikenal sebagai Raja Warok pertama. Warok berasal dari WARA yang memiliki arti pria agung, pria yang diagungkan.

Sesudah peristiwa itu Raja Bantarangin, mempunyai peninggalan berupa seperangkat gamelan (musik) terbuat dari bambu. Itu diwariskan kepada rakyat lalu diperagakannya. Mencontoh perjalanan Rajanya seperti itu lalu menjadi sebuah kesenian yang dinamakan REYOG 

Wengker Zaman Majapahit

Dimasa pemerintahan Airlangga, wilayah kerajaan wengker tidak pernah terjadi peprangan maupun persengketaan, sebaliknya menjadi daerah yang aman tentram. Airlangga membagi Kahuripan menjadi dua yaitu Kediri atau Daha dan Jenggala atau Panjalu. Sepeninggal airlangga terjadi perang saudara antara kedua kerajaan tersebut. Situasi yang tidak stabil digunakan Wengker menyusun kekuatan baru sehingga sampai berdirinya Majapahit nama Wengker masih terdengar jelas bahkan hubungan kedua kerajaan terjalin dengan baik.

Dimasa pemerintahan Majapahit, Wengker dipimpin oleh seorang Raja yang bernama Kudamerta atau Wijayarajasa. Dalam kitab Nagarakartagama disebutkan “Priya haji sang umunggu Wengker bangun hyang Upandra Nurun Narpari Wijayarajasanopamana parama-ajnottama”. Bahwa yang membangun kerajaan Wengker adalah Wijayarajasa sebagai raja pertama. Kemudian dalam kitab ini juga disebutkan Raden Kudamerta menikah dengan Bhre Dhaha. Raden Kudamerta berkedudukan di Wengker dengan nama Bhre Parameswara dari Pamotan yang dikenal dengan nama Sri Wijayarajasa. Yang dimaksud Bhre Dhaha adalah Dewi Maharajasa adik dari Tribhuwana. Berarti Wijayarajasa adalah menantu Raden Wijaya.

Selain menjadi Raja Wengker, Wijayarajasa merupakan tokoh yang mempunyai peran besar di Majapahit antara lain salah satu dari 8 tokoh yang diundang pada waktu pengangkatan Mahapatih Gajahmada tahun 1364 M, diangkat menjadi anggota dewan Sapta Prabu, menjadi anggota dewan pertimbangan agung tahun 1351 M, mengambil tindakan tegas terhadap kesalahan yang dilakukan Gajahmada atas peristiwa Bubat dan pernah mendapat penghargaan dari Ratu Tribhuwana Tunggadewi setelah meredakan pemberontakan.

Putra Wijayarajasa yang bernama Susumma Dewi atau Paduka Sori menikah dengan Hayam Wuruk pada tahun 1357 M, setelah prabu Hayam Wuruk gagal menikah dengan putri Pajajaran yang meninggal pada peristiwa Bubad. Pernikahan itu merupakan pernikahan keluarga karena ibu Susumma Dewi adalah adik Tribhuwana Tunggadewi yang merupakan ibu Hayam Wuruk. Hayam Wuruk dan Susumma Dewi merupakan sama-sama cucu Raden Wijaya atau Kertarajasa Jayawardhana pendiri Majapahit.

Dari pernikahan-pernikahan yang melibatkan dua kerajaan yaitu kerajaan Majapahit dan kerajaan Wengker. Bahwa untuk pergi ke Bubad disamakan dengan ke Wengker. Seperti kita ketahui bahwa Perang Bubad terjadi sebagai akibat strategi politik Mahapatih Gajah Mada sebagai  salah satu cara Majapahit menaklukkan kerajaan disekitarnya. Walaupun wengker adalah daerah kekuasaan Majapahit tetapi kekuatan Wengker sangat diperhitungkan Majapahit. Kerajaan Wengker jarang diungkap keadaannya karena peran Wijayarajasa lebih banyak di Majapahit dibanding memimpin kerajaannya sendiri. 

Pusat pemerintahan Wengker ketika dipimpin Wijayarajasa berada di sekitar Kecamatan Sambit Ponorogo. Wijayarajasa meninggal pada tahun 1310 Saka dan dimakamkan di Manar dengan nama Wisnubhawano.

Zaman kepimpinan Wengker dimasa Majapahit berikutnya adalah Dyah Suryawikrama Girishawardana, ia adalah anak Dyah Kertawijaya. Ia memimpin Wengker sejak ayahnya masih memimpin pemerintahan Majapahit tahun 1447-1451 M. Setelah kekosongan kekeuasaan selama tiga tahun ia memimpin Majapahit selama 10 tahun (1456-1466 M). Dalam kitab Pararaton ia bergelar Bhre Hyang Purwawisesa. Ia meninggal tahun 1466 M dan dimakamkan di Puri. Sampai masa ini nama Wengker masih disebut dalam sejarah Majapahit.

Zaman Majapahit terakhir yaitu Brawijaya V sampai runtuhnya kerajaan Majapahit, Wengker masih ada. Tetapi yang berkuasa di kerajaan Wengker sudah tidak ada. Pemerintahannya hanya tinggal daerah Kademangan. Berada di sebelah selatan juga disebut Kademangan Wengker, Demangnya bernama Kethut Suryangalam. Melihat kata Ketut kiranya perubahan dari kata Kettu, nama raja Wengker pertama yaitu Kettu Wijaya. Dapat disimpulkan Ketut Suryangalam masih keturunan Kettu Wijaya.

Demang Suryangalam kondang akan kedigdayaannya, sakti mandraguna, tidak mempan segala senjata. Sampai zaman Wengker berakhirnya, rakyatnya beragama Hindu. Memuja kepada Syiwa, Brahma dan Budha yang arca-arcanya semua ada di Ponorogo.

Zaman Islam Kadipaten Wengker

Diakhir kejayaan Majapahit yang mana wilayah Majapahit terpecah-pecah. Wilayahnya seperti Demak, Jepara, Tuban, Gresik dan Surabaya memerdekakan diri. Kerajaan Majapahit itu terakhirnya kerajaan Hindu di Tanah Jawa. Raja yang terakhir Prabu Brawijaya V juga masih ada Brawijaya VI dan VII tetapi sudah tidak ada kekuasaan sama sekali. Runtuhnya Majapahit pada tahun 1478 oleh Raja Kediri atau Daha yang bernama Ronowijaya Girinda Wardana, lalu dikalahkan oleh Adipati Demak Bintoro Pangeran Glagah Wangi. Pusaka kerajaan dan Pendopo kerajaan dipindah ke Demak. Raden Djoko Piturun putra Brawijaya V ikut diboyong ke Demak. Demak menguasai kota-kota pesisir lain seperti Lasem, Tuban, Gresik dan Sedayu. Pangeran Glagah Wangi  diakui sebagai pemimpin kota-kota dagang pesisir dan pewaris Sah Majapahit  dengan gelar Sultan Syah Alam Akbar Al Fatah.

Sultan Fatah merupakan putra Prabu Majapahit dengan putri Cina yang pada waktu itu hamil muda kemudian diberikan kepada Arya Damar, setelah lahir diberi nama Raden Hasan dan oleh ayahandanya di beri Nama Raden Djoko Probo dan saat sowan ke Majapahit oleh Prabu  Brawijaya terakhir di beri julukan Pangeran Jimbun. Atas jasanya menumpas pemberontakan di kasih tanah bumi perdikan di Glagah Wangi dan akhirnya bergelar Pangeran Glagah Wangi. 

Arya Damar Adipati Palembang menyatakan kepada permaisurinya bahwa putranya tersebut akan menjadi raja Islam yang pertama di Jawa. Sebagaimana kita ketahui bahwa kerajaan Islam yang pertama di tanah Jawa adalah Demak Bintoro.

Bintoro dikembangkan atas dasar Islam. Mendengar hal tersebut raja Majapahit Prabu Brawijaya mengangkat Pangeran Jimbun  menjadi mangkubumi di Bintoro dengan Gelar Pangeran Notoprojo Glagah Wangi. Berkat dukungan para wali, Bintoro berkembang menjadi kerajaan Islam pertama Dengan nama Demak pada tahun 1403 Saka atau tahun 1481 M, dibawah pimpinan  Panembahan Djimbun dengan gelar Sultan Syah Alam Akbar Al Fatah.

Seiring munculnya Demak Majapahit semakin parah dilanda krisis, Majapahit telah direbut oleh Girishawardana yang sebenarnya tidak berhak atas tahta Majapahit. Pada waktu Raja Brawijaya terakhir, telah memberi kekuasaan kepada putra beliau di Demak yang kelak kemudian berkembang menjadi kerajaan Demak. 

Hal yang berbeda dialami putra Brawijaya V lain yang bernama Raden Djoko Piturun yang belum mempunyai wilayah kekuasaan. Hingga terdengar berita bahwa sebelah timur Gunung Lawu ada seorang demang dari Kutu yang tidak mau menghadap ke Majapahit. Maka Raden Djoko Piturun disuruh menghadapkan demang tersebut ke Majapahit. Kemudian Raden Djoko Piturun menghadap kakaknya Didemak dan minta pendapat Para Wali. Oleh Sunan Kalijogo Raden Djoko Piturun Di bekali Pusaka dan di sertai Kyai Muslim (Kyai Ageng Mirah) Seloaji dan juga 40 Santri senior Kadilangu untuk menuju Kadipaten Wengker. Tetapi perjalanan mereka tidak boleh bersamaan.

Demang Kutu tersebut adalah Ki Ageng Suryangalam atau terkenal dengan sebutan Kutu. Ia merupakan Punggawa Majapahit yang masih termasuk kerabat keraton maka oleh Prabu Kertabumi atau Brawijaya V, ia diberi jabatan Demang. Kademangan Kutu atau Surukubeng wilayahnya adalah bekas kerajaan Wengker yang mana seiring semakin melemahnya Majapahit. Kyai Ageng Kutu meneruskan tata cara dan adat kerajaan Wengker dahulu. Para pembantu dan punggawanya diajarkan beladiri dan berperang serta tapa brata.

Raden Djoko Piturun datang dari Demak Disertai dengan Seloaji  diutus memeriksa bekas kerajaan Wengker yang ada di sebelah timur Gunung Lawu dan disebelah barat Gunung Wilis ke selatan sampai laut selatan. Mereka berangkat berdua, sampai sebelah barat Gunung Wilis bertemu dengan Kyai Ageng Mirah. Kyai Ageng Mirah itu merupakan putra dari Kyai Ageng Gribig dan  Kyai Gribig putra dari Wasi Begono. Wasi Begono putra dari Brawijaya V. . Mereka kemudian sepakat berjuang bersama dan saling atur strategi,  Mereka selalu koordinasi terhadap apa yang mereka hadapu dalam perjuangan ini. Kyai Ageng Mirah senang setelah mendapat informasi karena masih sama2 keturunan Majapahit. Setelah saling berkenalan dan saling mengutarakan apa yang menjadi kepentingannya.  mereka bertiga lalu meneruskan perjalanan melakukan pengamatan sampai laut selatan.

Pihak Raden Djoko Piturun  berusaha melakukan pendekatan persuasif terhadap pihak Ki Ageng Kutu, antara lain dilakukan Kyai Ageng Mirah terhadap Kyai Ageng Kutu secara dialogis agar Kyai Ageng Kutu bersedia mengahdap ke Majapahit. Tetapi Kyai Ageng Kutu menolak dengan alasan antara lain kerajaan Majaphit yang memberi pintu bagi penyebaran agama Islam padahal wilayah Wengker kebanyakan menganut agama sendiri yaitu Hindu dan Budha. Kyai Ageng Kutu menganggap penyebaran Islam yang dipimpin Para Wali justru Majapahit mengangkat Pangeran Jimbun menjadi penguasa Demak Bintoro. Kyai Ageng Mirah menjelaskan bahwa pengangkatan Raden Patah tidak salah karena masih putra Brawijaya V. Tetepi Kyai Ageng Kutu tetap menganggap hal yang dilakukan Majapahit merupakan hal yang menyalahi aturan kerajaan sendiri. Akhirnya upaya dialogis yang dilakukan Kyai Ageng Mirah gagal.

Peperangan Raden Djoko Piturun dan Ki Ageng Kutu

Upaya persuasif dari pihak Raden Djoko Piturun  yang gagal dilaporkan kepada Prabu Brawijaya V, dan langkah yang dilakukan Brawijaya adalah mengirim pasukan Majapahit untuk menumpas Kyai Ageng Kutu dan setelah selesai Raden Djoko Piturun di minta agar Menghadap ke Demak. Dan diperintahkan untuk segera berangkat.  Rombongan pasukan tersebut di pimpin oleh Raden Djoko Piturun Sendiri.  Pada dasarnya Raden Djoko Piturun tidak mau bermusuhan dengan pihak Wengker mengingat jasa Kyai Ageng Kutu terhadap Majapahit begitu banyak. Tetapi Seloaji memberi nasihat bahwa apa yang dianggap Kyai Ageng Kutu benar adalah menurut Kyai Ageng Kutu sendiri, sedangkan pihak kerajaan menganggap hal yang menyalahi peraturan dan Raja pun langsung memerintahkan untuk menumpas, maka ia menasehati Raden Djoko Piturun ‎untuk tidak ragu-ragu dalam ‎bertindak.

Kemudian terjadilah peperangan antara tentara Majapahit yang dipimpin Raden Djoko Piturun beserta Kyai Ageng Mirah dan Seloaji serta beberapa tokoh lain. Jalannya peperangan termasuk didalamnya strategi perang yang dilakukan. Maka pada tahun 1468 M, Kutu sebagai ibukota Wengker jatuh ke tangan Raden Djoko Piturun dan bala tentaranya. Saat Ditengah kondisi yang sama sama kuat, Bathara Katong kehabisan akal untuk menundukkan Ki Ageng Kutu. Kemudian dengan akal cerdasnya Bathara Katong berusaha mendekati putri Ki Ageng Kutu yang bernama Niken Gandini (Sulastri), dengan akan dijadikan istri. Niken Gandini dimanfaatkan Bathara Katong untuk mengambil pusaka Tombak Koro Welang, sebuah pusaka pamungkas dari Ki Ageng Kutu. Pertempuran berlanjut dan Ki Ageng Kutu menghilang, pada hari Jumat Wage di sebuah pegunungan di daerah Wringinanom Sambit Ponorogo. Tempat menghilangnya Ki Ageng Kutu disebut dengan Gunung Bacin, terletak di daerah Bungkal. Bathara Katong kemudian, mengatakan bahwa Ki Ageng Kutu akan moksa dan terlahir kembali di kemudian hari. Hal ini mungkin dilakukan untuk meredam kemarahan warga atas meninggalnya Ki Ageng Kutu.

 Kyai Honggolono sebagai tangan kanan Kyai Ageng Kutu Tewas dalam pertempuran ini. Raden Djoko Piturun  sangat terharu melihat kematian Ki Honggolono dan musnahnya Kyai Ageng Kutu mengingat mereka berdua adalah para perwira yang berjasa besar kepada Majapahit terutama ketika merebut kembali Wengker yang sempat dikuasai Kediri. 

Konsolidasi dalam keluarga Kyai Ageng Kutu juga dilakukan antara lain menikahi putri Kyai Ageng Kutu yaitu Niken Sulastri, putra pertama Kyai Ageng Kutu yang bernama Surohandoko menggantikan kedudukan ayahnya di Kademangan Kutu, Suryongalim dijadikan Kepala Desa di Ngampel, Warok Gunoseco menjadi kepala desa di Siman, Warok Tromejo di Gunung Loreng Slahung.

Setelah selesai kemudian kembali ke Demak sebagai Penerus Majapahit, Kyai Ageng Mirah ikut sampai Demak. Setelah beberapa bulan di Demak, oleh Sultan Demak atas Saran Kanjeng Sunan Kalijogo dan Kanjeng Sunan Giri Raden Djoko Piturun, Seloaji dan Kyai Ageng Mirah diutus kembali ke Wengker dengan diberi pangkat. Raden Djoko Piturun diangkat menjadi Adipati bergelar Kanjeng Panembahan Batoro Katong. Penamaan gelar Batara, karena Wengker rakyatnya semua beragama Budha 

Terjadinya Nama Ponorogo

Perjalanan Rombongan Dari Demak Pun sampai Di Wengker dan pada suatu hari, yang kebetulan pada saat malam jumat bulan purnama, Adipati Batoro Katong, Seloaji, Kyai Ageng Mirah dan Senopati  Joyodipo duduk bersama di oro-oro (tanah gersang dan luas) untuk mengadakan musyawarah. Kemudian Adipati Batoro  Katong memulai pembicaraan, “Kyai Ageng Mirah, saya minta Kyai Ageng memikirkan pusat kota yang akan kita bangun ini, dimana dan bagaimanakah sebaiknya sebaiknya tempat untuk pendirian pusat kota itu diletakkan?”
Kemudian Kyai Ageng Mirah menjawab, “Begini Raden, kalau untuk pusat kota sebaiknya kita pilih yang berbentuk Bathok Mengkureb (tempurung tengkurap). Itulah tanah dan tempat yang sebaik-baiknya untuk dihuni”

Kemudian Joyodipo yang lebih mengenal daerah itu menyambung, “Raden, kalau berkenan dan sudi mendengar pendapat saya, untuk pusat kota Raden saya silahkan memilih ditengah-tengah tanah yang luas itu. Marilah sekarang saja kita semua kesana! Saya persilahkan Raden dan semua untuk melihat! 

Empat orang tersebut terheran-heran, semua melihat dengan sungguh-sungguh arah yang ditunjuk Joyodipo. Seloaji dan Kyai Ageng Mirah tidak melihat sesuatu apapun yang ada disana, akan tetapi Adipati Batoro  Katong melihat ada sesuatu di tengah-tengah padang rumput yang luas. Batoro Katong melihat benda berbeda berjumlah tiga buah. Batoro Katong bertanya kepada Joyodipo, “Kakang Joyodipo, saya melihat ada tombak, payung yang sedang terbuka dan satunya lagi saya kurang begitu jelas. Benda apakah itu kakang? Apakah maksud kakang menunjukkan benda ini kepada kami?” 

Raden diminta untuk menyembah tiga kali. Setelah menyembah tiga kali barulah Seloaji dan Kyai Ageng Mirah dapat menyaksikan keberadaan tiga benda tersebut. Joyodipo mengatakan bahwa dia dan kakaknya bernama Joyodrono adalah abdi dari ayahanda Raden  yaitu Prabu Brawijaya V. Adapun pusaka itu ada disini karena kamilah yang membawanya. Dahulu ayahanda bersabda, jika kelak ada orang yang dapat melihat pusaka ini, itulah tanda kesetiaan Sang Prabu kepada orang itu maka berikanlah pusaka itu, selain itu Sang Prabu juga bersabda bahwa dahulu Raden  memang diharapkan untuk menjadi raja menggantikan Sang Prabu. Itulah titah dari Ayahanda Raden  dan sekarang Radenlah yang mewarisinya. Payung ini bernama Payung Tunggul Wulung, adapun tombak ini bernama Tombak Tunggul Nogo dan satunya berupa sabuk yang bernama Sabuk Cinde Puspito.

Batoro  Katong menyembah tiga kali lalu mengambil Payung Tunggu Wulung, Seloaji mengambil tombak Tunggul Nogo, sedangkan Kyai Ageng Mirah mengambil sabuk (ikat pinggang) Cinde Puspita. Setelah ketiga barang itu diambil, terdengar suara gemuruh tiga kali. 

Bersamaan dengan itu, tanah berhamburan ke atas dan jatuh ke kanan kiri. Tanah yang berjatuhan tadi akhirnya menjadi gundukan tanah sebanyak lima puluh buah. Adapun tempat suara gemuruh terjadi, muncullah gua dengan lobang menganga. Kelak setelah empat puluh hari gua tersebut tertutup kembali seperti semula. Oleh Joyodipo gua tadi diberi nama Gua Sigala-gala. Adapun gundukan tanah tadi diberi nama ‎Gunung Lima dan Gunung Sepikul dari situlah asal muasal Ponorogo 

Setelah itu dimulai lah membabat hutan sekitar dipimpin oleh Tiga orang disertai empat puluh santri yang sudah bisa membaca Qur’an dan mengerti maknanya. Diperintah babat di hutan Wengker membangun desa sampai menjadi kota. Semua kebutuhan dicukupi, berupa alat pembabat hutan, peralatan pertanian dan perkakas rumah tangga. Hanya waktu itu keluarga, anak dan istri tidak boleh ikut.

Sampai di sebelah barat Gunung Wilis, sebelah timur Gunung Lawu disana mereka istirahat. Ketepatan ditempat yang banyak glagahnya dan tanahnya berbau wangi, disitulah mulai dibabat.‎ Orang yang berjumlah 40 dibagi menjadi empat kelompok yaitu utara 10, timur 10, selatan 10 dan barat 10 orang kemudian Batoro  Katong, Seloaji dan Kyai Ageng Mirah ditengah sebagai pengawas dan komando 

Dan saat itu Musyawarah berlanjut untuk memberikan nama kota yang akan didirikan tersebut. setelah mufakat dan kemauan terikat mereka memutuskan kota bernama Pramanaraga. Pramana artinya perana yaitu menyatunya sumber cahaya dari matahri, bulan dan bumi yang berpengaruh menyinari kehidupan manusia yang digelar di alam raya. Ketiga unsur tersebut dinamakan Trimurti, bertempat dan menyatu dengan badan manusia menjadi mani. Mani laki-laki yang bercampur perempuan mendapat sabda dari kehendak Yang Maha Kuasa menjelma menjadi manusia. Jadi Pramana dan raga diumpamakan seperti madu dan manisnya, atau bunga dan sarinya, umpama api dan nyalanya. Sedangkan pana berarti mengerti akan segala situasi, mengerti dengan pemahaman yang sesungguhnya.

Setelah dapat tertata, lalu membuat kota dan berdasar putusan musyawarah nama Kadipaten Barunya PONOROGO. Dari kata Sankrit (sansekerta) Pramana Raga, disingkat menjadi Ponorogo. Pono artinya sudah mengerti semuanya, lahir dan batin sedangkan Rogo itu badan maknanya sudah mengerti pada raganya, bisa menempatkan diri artinya tepo seliro. Jadi Ponorogo berarti manusia yang telah mengetahui, mengerti kepada dirinya sendiri yaitu manusia yang sudah mengetahui unggah-ungguh (sopan santun) atau manusia yang sudah mengerti tentang tata krama.

Kemudian esok harinya, sewaktu fajar menyingsing, terdengar suara riuh rendah bunyi-bunyian, kentongan, bende, lesung, dan alat bunyi yang lain dipukul bersamaan sebagai pertanda lahirnya kota baru Pramanaraga. 

Pada hari Ahad Pon tanggal 1 Bulan Besar tahun 1418 Saka, bertepatan dengan Tanggal 11 Agustus 1496 atau 1 Dzulhijjah 901 Hijriyah. Diresmikan sebagai berdirinya kota Ponorogo, menjadi daerah Kabupaten. Adipatinya disebut Kanjeng Panembahan Batoro Katong, Patihnya Seloaji, dan Penghulu Agamanya Kyai Ageng Mirah serta Senopati Agung Joyodipo dan Guru Para Prajurit Kyai Ageng Joyodrono. 

Selanjutnya tanggal 11 Agustus ditetapkan sebagai Hari Jadi Kabupaten Ponorogo.

Kemudian dengan Membawa Pusaka Masing-masing Kanjeng Panembahan dan semua pejabat berkeliling kota hingga pelosok desa. Disetiap tempat dipasang pengumuman tentang pendirian kota baru itu. Mulailah Pramonorogo dikenal masyarakat sebagai kota kadipaten yang baru. Sekarang kota Pramonorogo terkenal dengan sebutan Ponorogo.

Setelah istana kadipaten didirikan, Batara Katong kemudian memboyong permaisurinya, Niken Sulastri ke istana kadipaten, sedang adiknya, Suromenggolo tetap di tempatnya yakni di Dusun Ngampel. 

Berdirinya kota ini diperingati atau ditulis pada batu menggunakan Candra Sengkolo Memet. Candra Sengkolo Memet itu berupa gambar atau bangunan berupa gambar 4 jumlahnya, yaitu urut dari arah ke kanan, 1. Gambar orang semedi (bertapa), 2. Gambar pohon beringin, 3. Gambar garuda terbang, 4. Gambar Gajah. Pencipta memberi arti orang 1, beringin (kayu) 4, burung terbang 0, gajah 8 jadi dapat dibaca 1408 dalam hitungan Saka.

Kemudian jangka sepuluh tahun, membuat prasasti lagi di batu. Tertulis aksara Jawa, angka aksara Jawa 1418 tahun Saka atau 1496 M itu merupakan peringatan mulai patihnya Demang Suryongalam putra Ki Ageng Kutu. Dan Patih Seloaji pun Kembali Bertugas di Demak Sebagai Senopati Keprajuritan. 

Ponorogo sudah tidak ada keributan lagi. Para Warokan dan Warok yang semula suka mengganggu kepada para santri sudah tidak mengganggu lagi. Para pemimpin desa, tetua para warok bersama-sama pergi ke Kadipaten untuk menyerahkan diri dan minta tuntunan hidup bermasyarakat dalam kaidah Keagamaan.

Para pamong praja, mulai Demang, para mantri, para bupati, prajurit dipenuhi. Pejabat lainnya dicukupi lebih-lebih permasalahan pertanian. Batoro Katong sendiri selalu memberi contoh, mempunyai kebun merica di desa Mrican dan desa Sahang Ngebel (sahang=merica). Juga beternak hewan seperti sapi, kerbau dan kuda. Selama 10 tahun kota Ponorogo menjadi aman tentram, tidak ada curi-mencuri, perampokan atau brandal.

Sebelum itu situasi kota tidak aman tenteram, lebih-lebih usaha perkembangannya agama Islam selalu mendapat rintangan. Nama santri itu dimana saja terlihat berbeda, sebab busananya serba putih, sarung putih, baju takwa model cina juga putih. Padahal pakaian penduduk aslinya serba hitam. Jadi kelihatan mencolok bedanya. Jika ada santri lewat jalan melewati rumah penduduk asli, untung-untungnya hanya dijuluki, ujarnya : Santri Buki (santri Busuk”. Celakanya lagi kadang-kadang diejek agar marah. Jika marah lalu diajak gulat, bila sial ada juga yang meludahi.

Berdasar kenyataan seperti itu Panembahan  Katong dan Kyai Ageng  Mirah lalu mengatur atau menyiasati santri, bila keluar dari rumah akan mengajar mengaji, tidak boleh sendirian, harus ada temannya paling tidak 3 – 5 orang .


Kesimpulan

Dari peristiwa itu dapat kita ketahui mengenai sejarah perjalanannya kerajaan Wengker hingga berdirinya Ponorogo. Kerajaan Wengker yang terkenal selama kurang lebih 500 tahun. Walaupun kerajaan Wengker kerajaan yang kecil tetapi sangat diperhitungkan kekuatannya oleh kerajaan-kerajaan besar seperti Kahuripan dan Majapahit serta peletak dasar-dasar pemerintahan, politik, ekonomi, sosial dan budaya dari daerah Ponorogo ini.

Nama Ponorogo bermula dari Pramonorogo  kemudian lama kelaman kata Pramonorogo  berubah menjadi Ponorogo. Pono bermakna pandai, mengerti sedangkan Rogo bermakna badan. 

Ponorogo berdiri pada tahun 1486 M. Dengan Adipati bernama Raden Katong, Patihnya Seloaji dan Penghulu (pemuka) agamanya Kyai Ageng Mirah. Berdirinya Ponorogo ini tidak terlepas dari perjuanga tiga orang yang sangat berjasa yaitu Raden Djoko Piturun. Seloaji dan Kyai Ageng Mirah. 

Dari usaha mereka agama Islam tersebar luas di daerah Ponorogo meskipun sebelumnya ada pertentangan-pertentangan dengan adanya Islam. Karena dulunya semua warga di Wengker ini menganut agama Hindu dan Budha. Kemudian Ponorogo menjadi kota yang aman tentram, terbebas dari pencuri dan para brandalan

Selanjutnya tanggal 11 Agustus ditetapkan sebagai Hari Jadi Kabupaten Ponorogo.

Kesenian Reog yang menjadi seni perlawanan masyarakat Ponorogo mulai dihilangkan dari unsur-unsur pemberontakan, dengan menampilkan cerita tentang Kerajaan Bantar Angin sebagai sejarah reog. 
Para punggawa dan anak cucu Bathara Katong, inilah yang kemudian mendirikan pesantren-pesantren sebagai pusat pengembangan agama Islam. Adapun turunan bathara katong yang masih ada sampai sekarang yaitu di Pacitan. Serta di berbagai daerah di Jawa timur.

 

Sejarah Sultan Hadlirin dan Peristiwa Geger Kalinyamat


Sosok Sultan Hadlirin dan Ratu Kalinyamat memang tak asing bagi rakyat Jepara. Nah sekarang tahukah anda siapa Sultan Hadlirin dan Ratu Kalinyamat ? pertanyaan ini memang terdengar agak lucu tapi jika anda merasa orang jepara tapi tak tahu sejarahnya mungkin terdengar sangat lucu dan aneh ! nah berikut sejarahnya.

Sultan Hadlirin adalah gelar dari Kerajaan Demak kepada Sultan Kerajaan Kalinyamat yang bernama Toyib. Beliau di beri gelar Sultan Hadlirin karena beliau adalah pendatang yang hadir ke Jepara untuk menyebarkan Agama Islam. Sultan Hadliri mempunyai Istri yang berasal dari Kearajaan Demak yaitu Putri Sultan Trenggono yang bernama Retna Kencana yang mempunyai gelar Ratu Kalinyamat.

Nama dan Gelar 

Pangeran Toyib memiliki beberapa nama dan gelar, yaitu

1- Sunan Hadiri, yang artinya Ulama Pendatang (Gelar Keagaman); Karena menjadi penyebar agama Islam di Jepara.
2- Sultan Hadlirin, yang artinya Raja Pendatang (Gelar Kesultanan); Karena menjadi sultan pertama di Jepara.
3- Pangeran Kalinyamat, (Gelar Tokoh Masyarakat); Karena sebagai pendiri Kota Kalinyamat.

Sejarah dan Asal Usul Sultan Hadlirin

Sebenarnya Sultan Hadlirin bukan asli orang Jepara melainkan orang aceh.semasa kecilnya sultan Hadlirin bernama Raden Toyib. Beliau merupakan putra dari raja yang berkuasa di wilayah aceh yang bernama Syech Mukhayyat Syah. Raden Toyib memilki kakak bernama Raden Takyim. Perbedaan yang mencolok dari Raden Takyim dan Toyib adalah Raden Takyim suka berfoya-foya, malas serta bermewah-mewahan sedangkan raden Toyib lebih memilih mempelajari ilmu-ilmu yang berhubungan dengan tata pemerintahan.

Setelah Syech Mukhayyat syah merasa dirinya telah uzur dan lanjut usia beliau bermaksud mengankat Raden Toyib sebagai seorang sultan, karena kecakapannya dan ketekunananya mempelajari ilmu-ilmu pemerintahan meskipun yang lebih berhak menjadi sultan adalah kakaknya Raden Takyim.

Karena pengangkatan raden Toyib sebagai sultan menimbulkan konflik baru, maka ketika mengetahui masalah tersebut raden Toyib dengan suka rela menyerahkan tahtanya kepada raden Takyim, karena sebenarnya Raden Toyib tidak mementingkan jabatan seorang sultan hanya saja atas desakan ayahandanya beliau mau menerima jabatan itu.

Begitulah akhirnya raden Toyib pergi mengembara dengan bantuan kapal para pedagang ia berhasil keluar dan mengarungi lautan luas tanpa tujuan yang pasti, kecuali satu niat untuk menegmbangkan agama islam.
Konon beliau terdampar di daratan Tiongkok. Bahkan kebetulan sekali raden Toyib diangkat anak oleh seorang patih Tionghoa yang bernama Cie Wie Gwan. Karena loghatnya orang cina dibut namanya dengan Toyab.

Singkat cerita setelah 5 tahun tinggal di di rumah patih Cie Wie Gwan, Raden Toyib mengembara lagi. Akhirnya beliau terdampar di pelabuhan pesisir pantai utara yang bernama Bandar Jepara. Saat itu Bandar Jepara merupakan pelabuhan perdagangan yang sudah ramai. Sebab ia merupakan salah satu dari delapan buah kerajaan yang merdeka di Jawa dan Madura. Masing-masing Banten, Jakarta, Cirebon Prawoto, Kedu, Madura dan Kalinyamat.sehinnga Bandar jepara merupakan garis pelayaran dan perdagangan negeri malaka.

Konon untuk menyebarkan agama islam beliau menyamar dengan memakai pakaian ala kadarnya. Karena keramahannya dalam menyiarkan agama islam banyak orang tanpa terasa telah berubah keyakinannya dari agama Hindu Budha beralih kepada ke taukhid Islam yang bawa Raden Toyib.

Beberapa lamanya tinggal di Jepara tiba-tiba tanpa suatu alasan yang pasti Raden Toyib ingin mengbdikan dirinya ke kerajaan Kalinyamat yang menguasai Jepara saat itu. Setibanya di kraton kepada penjaga istana dengan terus terang Raden Toyib menyampaikan maksudnya ingin menghadap kanjeng Ratu kalinyamat. Permintaan tersebut di kabulkan dan akhirnya kanjeng Ratu Kalinyamat memberi pekerjaan sebagai tukang kebon.

Pada suatu hari kanjeng ratu berkenan memeriksa kerajaannya. Tiba-tiba hati kanjeng Ratu berdebar-debar beliau merasa raden Toyib bukan manusia biasa. Kangjeng Ratu langsung menyai asal-usulnya, Raden Toyib tidak mau mengaku ia langsung di masukkan ke dalam penjara. Entah mengapa Raden toyib mau menceritakan asal usulnya kepada kanjeng ratu. Hati kanjeng ratu menjadi berdebar-debar untuk kedua kalinya, kanjeng ingat ramalan mendiang ayahnya tentang jodohnya yang bukan bersal dari kalangan mayrakat pribumi Jawa melainkan negeri seberang.

Karena Raden Toyib adalah seorang anak muda yang gagah perkasa tampan rupawan, hati Ratu kalinyamat tak karuan hati wanita mana yang tak menolak raden Toyib. Ia merasa bukan mustahil Raden Toyib adalah jodohnya. Hingga akhirnya Ratu kalinyamat meminta Raden Toyib untuk menikahinya. Setelah menikah Ratu Kainyamat menyerahkan tahtanya kepada suaminya Raden Toyib.

Silsilah Ratu Kalinyamat

Ada beberapa versi cerita mengenai siapa sebenarnya Kanjeng Ratu Kalinyamat. Menurut babad tanah jawi edisi Meinsma, Ratu kalinyamat adalah seorang putri pangeran Trenggono dan cucu Raden patah, Sultan Demak yang pertama.

Dari perkawinannya dengan putrid cina Cina, Raden patah mempunyai enam anak. Yang paling seorang putri, Ratu Mas kawin dengan pangeranCirebon. Adik-adiknya berjumlah lima orang semunya laki-laki, masing-masing pangeran Sabrang Lor, Pangeran Sedo Lepen, Pangeran Trenggono, Raden Kanduruwan dan Raden Pamekas.

Siapa nama sebenarnya Kanjeng ratu kalinyamat ini , ada beberapa yang mencoba di hubungkan. Naskah Hikayat Hasanuddin dari banten menyebutnya dengan julukan Arya Jepara. Sumber lain menyebutkan ia bernama asli Ratu Kencana sementara juru kunci makam menuturkan bahwa nama aslinya ialah Raden Ayu Wuryani

Kekuasaan Pemerintahan Sultan Hadlirin

Begitulsh akhirnya Raden Toyib diberi gelar Sultan Hadlirin dan menjadi adipati Jepara sekaligus merupakan pengampu putra mahkota Aria Pangiri yang belum dewasa. Penobatan tersebut kira-kira terjadi pada tahun 1536 dan tetap menjadikan Kalinyamat sebagai pusat pemerintahan. Kekuasaannya meliputi negeri Jepara, Pati, Rembang dan Juana.

Setelah penobatan suaminya lebih bersifat pendamping.saja. hampir semua urusan pemerintahan di serahkan kepada Sultan Hadlirin, bahkan Patih Cie Wie Gwan (ayah angkat sewaktu di Tiongkok) kini diundang oleh Sultan Hadlirin untuk dating ke Jepara, dan akhirnya diangkat sebagai patih kerajaan guna membantu pemerintahan Sultan Hadlirin.

Menikah Dengan Putri Sunan Kudus

Tahun demi tahun berlalu, pemerintahan Sultan Hadlirin dengan di dampingi oleh istrinya dengangaya kepemimpinan yang adil dan bijaksana berjalan sangat maju dan pesat. Bahkan Bandar Jepara menjadi semakin ramai saja. Namun setelah lama perkawinannya dengan Ratu Kalinyamat Sultan Hadlirin belum jua di di beri momongan. Hingga Sultan mengambil anak dari Sultan Hasanuddin dari banten yang bernama Dewi Wuryan Retnowati sebagai anak angkatnya. Sayang putri angkatnya meninggal sebelum usia baligh.

Perasaan Kanjeng Ratu sangat gelisah sepeninggal putri angkatnya karena sampai saat itu belum jua di kasih keturunan, hal itu beralasan kuat mengingat kekuasaannya sangat luas. Jika belum jua di kasih lantas siapa yang meneruskan ketahtaannya itu ? di dorong dengan kegelisahan tersebut Kanjeng Ratu berupaya mencari jalan keluar pemecahannya. Setelah berpikir-pikir lama akhirnya sultan di perbolehkan menikah lagi. Dan di putuskan sultan Hadlirin menikah dengan putrid sunan kudus bernama Raden Ayu Pridobinabar, perkawinan tersebut seakan-akan mengabungkan dua kekuasaan antara Jepara dan Kudus. Konon semua urusan berkaitan dengan pernikahan Sultan Hadlirin dengan Putri sunan Kudus di Urus oleh Kanjeng Ratu Kalinyamat
.
Wafatnya Sultan Hadlirin

Ada dua penuturunan cerita tentang kematian Sultan Hadlirin meski kedua penuturunan itu menyatakan Arya Jipang atau Arya Penangsang yang membunuhlah Sultan Hadlirin.

Versi Pertama

Penuturan yang pertama mencoba menghubungkan pembunuhan dengan krisis perebutan tahta di Demak Bintoro. Sehingga dalam penyebab kematian tersebut bebrbau politik.

Ketika Demak terjadi krisis hebat dalam perebutan tahta kerajaan, konon kekuasaan Sultan semakin memuncak. Setelah Raden Patah meninggal yang disusul pula dengan Pangeran Sabrang Lor, Sultan Demak II, tahta kerajaan harusnya berpindah tangan ke adiknya yang paling tua yaitu Pangeran Seda Lepen. Namun ia harus juga meninggal setelah di bunuh oleh Sunan Prawoto yang nampaknya telah mengincar tahta kerajaan Demak. Karena pembunuhan tersebut tahta kerajaan jatuh ke tangan Pangeran Trenggana ayah Sunan Prawoto.

Setelah Pangeran meninggal cita-cita Sunan Prawoto tercapai, ia menjadi pewaris tahta kerajaan Demak. Namun Arya Penangsang menjadi geram karena pembunuh ayahnya menjadi malah muncul sebagai Sultan Demak. Bahkan ia menuntut haknya sebagai pewaris kesultanan Demak yang sah. Maka Arya Penangsang menyuruh abdinya yang bernama Rangkut untuk membunuh Sunan Prawoto. Usaha tersebut berhasil, tapi kekuasaan dan kekayaan jatuh ketangan Sultan Hadlirin yang sekaligus mendapat hak menjadi pengampu Arya Pangiri, putra mahkota kerajaan Demak hingga dewasa. 

Hal itu bisa terjadi karena istri Sultan Hadlirin adalah kakaknya Sunan Prawoto. Tentu saja Kanjeng Ratu Kalinyamat dan Sultan Hadlirin meminta keadilan kepada Sunan Kudus atas perbuatan murid nya Arya Penangsang kepada Sunan Prawoto. Tapi Sunan Kudus membenarkan perbuatan Arya Penangsang malah ia berkata “kakamu telah hutang pati pada Arya Penangsang oleh karenanya kakakmu bagaikan membayar hutang saja”. Kanjeng Ratu menjadi kecewa atas perkataan Sunan Kudus dan ia segera pulang bersama suaminya. Namun di tengah perjalanan itu ia dihadang oleh utusan Arya Penangsang yang memang di tugaskan untuk mencegatnya dan suaminya. Dalam pencegatan itulah akhirnya Sultan Hadlirin berhasil dibunuh oleh utusan Arya Penangsang dengan Keris Setan Kober. Hal itu terjadi kira-kira tahun 1471 tahun Jawa atau 1549 M.

Versi Kedua

Sebuah penuturan hikayat menyatakan bahwa Sultan Hadlirin ikut andil dalam pembanguna masjid menara Kudus. Konon sebelum pembangunan masjid, Sunan Kudus mengumpulkan segenap keluarganya dan pembantunya, Sunan Kudus membagi tugas dalam permusywaratan ternyata Sultan mendapat tugas untuk membuat mihrab masjid. Segera diputuskan pula bahwa masjid harus jadi pada hari Jum’at Wage. 

Seluruh bagian-bagian masjid harus terkumpul, entah kenapa pada hari itu Sultan tidak hadir ke lokasi pendirian masjid. Sunan kudus masih bersabar ia berpikir barangkali ada urusan mendadak sehingga Sultan tak bias hadir. Singkat cerita setelah lama belum munculakhirnya tiba-tiba Sultan muncul. Tentu saja Sunan Mau memarahinya, malah ia langsung kebelakang masjid. Dalam hati Sunan Kudus merasa heran mau apa menantunya itu. Sunan terus mengamati ia semakin heran melihat sultan Hadlirin memunguti daun-daun pisang yang telah kering (jawa=klaras) dan mengikat dengan talu pada tiang-tiang yang dipancangkan pada tempat mihrab. Memdadak Sunan mendengar gelegar cambuk tiga kali, mendadak terkejut sebab yang tadinya hanya sekumpulan klaras yang di ikat telah berubah menjadi sebuah tembok yang kuat. 

Tanpa bertele Sultan pergi tanpa berpamitan dan langsung kembali ke Jepara. Segera sepeninggal Sultan tiba-tiba telah berdiri dengan megahnya. Tentu saja membuat perasaan Sunan menjadi marah dan geram ia mnendang mihrab itu, konon Sunan sampai terjengkang jengkang. Ia merasa Sultan pamer kesaktian di depannya. Ia merasa di remehkan dan di hina, akhirnya ia memanggil Arya Penangsang dan menuruh untuk membunuh Sultan Hadilrin. 

Padahal Arya Penangsang sendiri merasa takut dan gentar mengdapi Sultan Hadlirin. Maka ia memrintahkan abdinya yang bernama Ki Rangkud dengan di bekali Keris Setan Kober dan menyuruh untuk membunuh sultan dan langsung mengejar sultan. Setelah terkejar abdinya merasa gemetar untuk menghadapi sultan. Sultan merasa terkejut ada orang yang menghadangnya, ia bertanya apa sebenarnya yang di inginkannya, karena takut abdi itu berterus terang bahwa dia di utus untuk membunuh nya. Sungguh heran, Sultan Hadlirin tak sedikit pun marah. Bahkan seakan-akan ia sudah tahu ajalnya telah tiba. Ia menyuruh segera abdinya untuk melaksanakan tugasnya. Akhirnya sultan berhasil di bunuh.

Ratu kalinyamat Bertapa

Tahun inin adalah tahun yang berkabung. Betapa tida dua orang yang dicintainya suaminya kakaknya suami yang terkasih harus meninggalkan dia. Peristiwa tersebut membuat Kanjeng Ratu sangat tertekan dan nelangsa. Maka didoronglah oleh kesedihannya yang berat, ia bersumpah akan terus bertapa sampai Arya Penangsang terbunuh.

Dalam pertapaan Kanjeng ratu menjalankan tirakat “Topo Wudo” atau telanjang. Ini naskah ‘Babad Tanah Jawi’ yang dituturkan dalam rakitan tembang Pangkur yang sangat memikat.
“Nimas Ratu Kalinyamat
Tilar pura mratapa aneng wukir
Tapa wuda sinjang rambut
Apane wukir Donorojo
Aprasapa nora tapih-tapihan angsun
Yen tan antuk adiling hyang
Patine sedulur mani’
Artinya :
“Nimas Ratu Kalinyamat
Meninggalkan istana bertapa di gunung
Bartapa telanjang berkain rambut
Di gunung Donorojo
Bersumpah tidak (akan) sekali-kali
Memakai pakain aku
Jika tidak memperoleh keadilan Tuhan
(atas) meninggalnya saudaraku’

Ungkapan bahwa Ratu kalinyamat bertapa “dengan telanjang” dan berkain rambut haruslah di beri penafsiran dan di artikan apa adanya. Perkataan ‘wuda” dalam bahasa jawa tidah hanya telanjang. Akan tetapi bisa kiasan “tidak mengenakan perhiasaan yang bagus-bagus dan pakain yang indah-indah.

Kepergian Kanjeng Ratu membuat suasana geger keratin. Tak urung Adpati pajang, Prabu Hadiwijaya bersama Ki Pamahan dan Ki Panjawi melacak dan mencari kemana perginya Kanjeng Ratu Kalinyamat untuk bertapa. Sebenarnya keberadaan tempat pertapaan Kanjeng Ratu tidak jauh dari keratin hanya berjarak beberapa maeter kea rah timur dari pesanggrahan. Apalagi letaknya juga berada di pinggir sungai sehingga cocok untuk bertirakat. Tempat itu sampai sekarang di sebut dengan nama “Gilang” berasal dari kata gilang-gilang atau luas. Bahkan masih di temukan batu bekas alas Ratu untuk Sholat dan Wudlu.

 Adipati Hadiwijaya akhirnya menyusul ke tempat Pertapaannya Ratu dan membujuk Ratu untuk kembali ke keratin, namun tekad Ratu sudah bulat ia tak kan pulang sebelum Arya penangsang mati terbunuh. Bahkan Ratu berpindah tempat tapa ke Gunung Donorojo (Donoroso) kembali Adipati Hadiwijaya menyusul dan membujuk agar turun dari pertapaannya namun kembali Kanjeng ratu menolaknya. Dalam kesempatan itu Ratu meminta untuk membunuh Arya Penangsang aka tetapi Adipati Pajang menolak. 
Tapi  Berkat desakan Ki Pamanahan dan Ki Panjawi yang telah di kasih arahan oleh Sunan Kalijogo  Adipati Hadiwijaya akhirnya mau melakukannya.

Malam harinya bersama Ki Pamanahan, Ki panjawi dan Ki Juru Mertani berunding mangatur siasat. Akhirnya Adipati Hadiwijaya membuat sayembara “Barng siapa yang berani membunuh Arya Penangsang Sultan Pajang akan memberi hadiah negeri Pati dan Mataram. Tak seorang pun berani untuk menyanggupi maju melawan Arya Penangsang. Kemabali mereka berunding dan akhirnya diutuslah Danang Sutowijoyolah yang maju menghadapi Arya penangsang. Setelah strategi di rencanakan dengan matang berangkat lah Danang Sutowijoyo yang di bekali dengan tombak yang sakti bernama Kyai Pleret, bersama Ki Pamanahan, Ki Panjawi, Ki Juru Mertani serta kurang lebih 200 orang kea rah bengawan Caket dan bersiap menghadang Arya Penangsang.

Alkisah Ki Pamanhan mendekati penyabit rumput yang biasa memberi makan kuda-kuda milki Aryo Penangsang. Telinga penyabit rumput itu di potong dan sebuah surat tantangan di gantungkan pada bekas potongan telinga itu. Penyabit itupun dengan mengerang-erang krsakitan berlari kerumah tuannya. Setelah sampai di pintu gerbang istana Ki Mataun, Patih negeri Jipang terkejut. Ia membayangkan Gustinya pasti akan marah bila mengetahuinya. Karena itulah ia melarangnya menghadap Aryo penangsang.

Waktu itu Aryo Penangsang sedang makan. Ia mendengar keributan di luar, ia memanggil Ki Mataun dan menanyai sebab keributan di luar. Sat itu juga Aryo Penangsang melihat abdinya berlumuran darah. Maksud dari surat itu adalah Jika benar-benar kamu laki-laki,ayo berperang tanding tanpa bala tentara menyeberanglah ke barat Bengawan aku tunggu sekarang”

Dengan tergesa-gesa dan muka yang merah Aryo Penangsang langsung menunggangi si Gagak Rimang(kuda kebanggannya). Maka langsunglah Aryo Penangsang langsung berangkat tanpa bala tentaranya. Setelah sampai di Bengawan Sore-Coket, konon masyarakat disitu beranggapan bila ingin berperang tapi melewati Bengawan Coket akan memui kesialan. Benar anggapan masyarakat itu terjadi setelah Gagak Rimang melihat kuda berwarna putih bersih mendadak timbl birahinya. Ia segera melonjak-lonjak tanpa bisa lagi dikendalikan oleh tuannya. 

Ketika ia masih berusaha mengendalikan kuda banal yang dibakar birahi tersebut, Danang Sutawijaya berhasil menikam Arya Penangsaang dengan kyai Pleretnya itu. Usus Arya pun terburai keluar, namun usaha tersebut nampaknya belum juga berhasil bahkan usunya yang terurai itu sisampirkan ke hulu kerisnya. Gagak Rimang memang banal ia terus mengejar kuda putih Danang Sutawijaya yang memang di bawa menjauh. Setelah berhasil mengejar Danang Sutawijaya ia bermaksud mencabut keris pusaka setan kober miliknya, ia betul-betul lupa bahwa ususnya masih menyangkut di hulu kerisnya. 

Maka terputuslah usunya yang terburai dengan bersamaan tercabutnya setan kober dari rangkanya. Maka tewaslah Aryo Penangsang dengan mengenaskan dan tragis.

Penobatan Ratu kalinyamat

Setelah kematian suminya yang menjadi Adipati Jepara tanpa meninggalkan putra yang menjadi penggantinya. Dan setelah selesai pertapaannya dinobatkanlah Kanjeng ratu Kalinyamat sebagai ratu di Jepara. Pentasbian ini terjadi dengan di tandainya Surya Sengkala : “Trus Karya Tataning Bumi” atau kira-kira tahun 1549 M dengan dugaan tanggal 12 Rabi’ulAwal.

Ratu Kalinyamat merupakan seorang kepala keperintahan yang cakap dan di segani. Bahkan sumber sejarah Portugis De Couto dalam bukunya yang terkenal “Da Asia” menyebutkan Ratu Kalinyamat “Rainha de jepara senhora ponderosa e rica”. Artinya Raja jepara, seorang perempuan yang kaya dan mempunyai kekuasaan besar. Kebesaran dan kehebatan kekuasaan Ratu Kalinyamat dapat di lihat dari serangan yang di lakukan ketika ia masih berkuasa. Pada tahun 1550 yang kemudian di ulanginya 1574 ia menyerang orang Portugis di Malaka.

Bedhahe Kalinyamat

Bagaimapun besar dan kuatnya Ratu Kalinyamat ia tetaplah manusia biasa yang tak luput dari takdir illahi. Ia adalah manusia biasa yang suatu saat harus kembali memenuhi panggilan Tuhanya. Sayangnya tahun berapa dank arena peristiwa apa kemangkatan Ratu ini tak di ketahui secara pasti. Tak ada sumber yang menyebutkan tak ada peningggalan yang dapat di buktikan. Bahkan karyaikarya tulisan Jawa pun tak satupun mencantumkanperistiwa ini. Adasementara kemungkinan yang mengatakan bahwa Kanjeng ratu Kalinyamat baru saja meninggal tahun 1579 M. 
Demikian juga dengan penerus kerajaan kalinyamat setelah kemangkatan beliau. 
Siapakah penggantinya?
Bagaimana kepemimpinannya? 
Tak satupun sumber-sumber otentik yang menyebutkannya.

Sementara anggapan di kalangan para sejarawaan, bahwa kedudukan ratu Kalinyamat digantikan oleh sultan Hasanuddin dari Banten yang tergolong masih keponakan sekaligus sebagai anak anggkatnya. Menurut versi ini, anak angkat ini bergelar Pangeran Jepara. Sayang, pada masa pemerintahan Pangerang Jepara ini terjadi pemberontakan di Pajang oleh Mataram yang berakhir dengan kekalahan pihak Pajang. Sehinnga pemberontakan ini terjadi pada tahun 1578 mengakibatkan keruntuhan Kesultanan Pajang.

Dua belas tahun kemudian, tiba giliran Jepara di serang bala tentara Mataram. Agaknya kali ini Jepara keteteran membendung serangan Mataram yang dahsyat. Maka tak ayal lagi, Kerajaan Jepara bernasib serupa dengan Pajang. Peristiwa ini terjadi pada tahun 1599 M yang meruntuhkan kekuasaan Kerajaan Kalinyamat yang di kenal dengan ssebutan Bedhahe Kalinyamat.

 

Doa Nabi Sulaiman Menundukkan Hewan dan Jin

  Nabiyullah Sulaiman  'alaihissalam  (AS) merupakan Nabi dan Rasul pilihan Allah Ta'ala yang dikaruniai kerajaan yang tidak dimilik...