Sabtu, 21 November 2020

Sejarah Singkat Syaikh Abdul Wahhab As-Sya'roni


Setiap sufi mempunyai pengalaman spritual sendiri-sendiri dan berbeda termasuk Imam Abd Al-Wahhab  al-Sya’rani yang mempunyai pengalaman spritual yang unik, yakni ketika ia terjatuh di sungai Nil ia di selamatka oleh seekor buaya, walaupun pada umumnya buaya akan menerkam setiap apa saja yang mendekatinya, namun berbeda dengan beliau yang sebaliknya di selamatkan oleh buaya. jika kita coba untuk menghubungkan dengan rasional, mungkin diantara kita pasti tidak menerima hal tersebut, tapi seperti itulah keistemewaan beliau.

Untuk tarekat yang diikuti oleh beliau kami masih belum bisa menentukan walaupun ada diantara guru beliau yang seorang pengikut tarekat Syadziliyah, tapi beliau sendiri mempunyai kesenangan belajar tarekat tersebut tapi dalam karya-karya beliau tidak  ada yang menyebutkan kalau beliau menganut ikut tarekat Syadziliyah. Beliau adalah seorang ahli sufi dan fikih. Terlihat dari karya-karya beliau yang banyak menerangkan tentang dua bidang keilmuan tersebut.‎

Nama lengkap beliau adalah Abdul Wahab bin Ahmad bin Ali bin Ahmad bin Ali bin Muhammad bin Musa Asy-Sya’rani Al-Anshari Asy-Syafi’i Asy-Syadzili Al-Mishri. Abdul Wahab Asy-Sya’rani terkenal dengan panggilan Imam Asy-Sya’rani, yaitu salah seorang sufi terkenal yang diakui sebagai wali quthub pada zamannya yang memperoleh gelar sufistik Imamul Muhaqqiqin wa Zudwatul Arifin (pemuka ahli kebenaran dan teladan orang-orang makrifat). Beliau dilahirkan di desa Qalqasandah – Mesir pada tanggal 27 Ramadhan 989 H. / 12 Juli 1493 M.

Nasab beliau

Nasab beliau dapat diketahui dengan melihat di dalam kitab beliau sendiri, Lataif al-Minan, beliau berkata : “Sesungguhnya aku, dengan memuji Allah Ta’ala, Abdullah bin Ahmad bin Ali bin Muhammad bin Zarfa bin Musa bin Sultan Ahmad bin Sultan Sa’id bin Sultan Fashin bin Sultan Mahya bin Sultan Zaufa bin Sultan Rabban bin Sultan Muhammad bin Musa bin Sayyid Muhammad bin al-Hanifah bin Imam Ali bin Abi Thalib.”

Nama Asy-Sya’rani adalah panggilan yang diberikan kepadanya yg diambil dari nama sebuah desa tempat tinggalnya di mana dia dibesarkan, yaitu Sya’rah, sebuah desa di wilayah Mesir. 

Menuntut ilmu

Beliau menghafaz al-Quran ketika berumur lebih kurang 7 atau 8 tahun. Kemudian beliau menghafaz matan al-Ajrumiyyah dalam ilmu nahu dan matan Abi Syuja’ dalam fiqh asy-Syafi’e. Kemudian beliau pergi ke masjid al-Ghamri untuk menuntut ilmu dan beliau bersungguh-sungguh menghafal kitab Minhaj at-Thalibin karya Imam an-Nawawi, Alfiyyah Ibnu Malik, at-Taudhih Syarh Alfiyyah Ibnu Malik karya Ibnu Hisyam, Alfiyyah al-‘Iraqi, kitab at-Talkhis dalam ilmu balaghah karya al-Quzwini, matan as-Syatibiyyah dalam ilmu qiraat, Qawaid Ibnu Hisyam, sehingga beliau menghafal kitab Raudhah  at-Thalibin karya Imam an-Nawawi sehingga bab Qadha. Usaha beliau untuk menghafal kitab Raudhah at-Thalibin ini bukanlah usaha yang mudah kerana kitab ini sangat tebal dan sekarang kitab ini dicetak lebih kurang 8 jilid. Ini menunjukkan karamah beliau.

Beliau telah menuntut dengan Syeikh Aminuddin, Imam masjid al-Ghamri dan beliau membaca kepadanya kitab Kutubus Sittah.

Kemudian, beliau turut belajar dengan Syeikh as-Syams ad-Dawakhili, Syeikh an-Nur al-Muhalla, Syeikh an-Nur al-Jawarihi, Syeikh Mulla Ali al-‘Ajmi, Syeikh Ali al-Qasthalani, Syeikhul Islam Zakariyya al-Ansari, al-Asymawi, dan Syihabuddin ar-Ramli.

Beliau kemudiannya jatuh cinta kepada ilmu hadith dan sentiasa menyibukkan diri dengannya dan mengambil hadith dari ahlinya.

Kemudian beliau melalui jalan ahli tasawwuf melalui Syiekh Ali al-Marsufi, Syeikh Muhammad asy-Syanawi dan Syeikh Ali al-Khawas.
Syaikh Asy-Sya’rani sejak kecil sangat cinta akan ilmu dan gemar sekali menuntut ilmu khususnya ilmu-ilmu dunia dan sufistik. Karena kemuliannya, jika dia sedang berjalan banyak orang menghampirinya dan berebut tangan untuk menyalami dan mencium tangannya hanya sekadar untuk memperoleh berkah dari sang wali. Banyak dari kalangan orang-orang Yahudi dan Nasrani yang menyatakan bertaubat dan akhirnya berbaiat masuk islam dan menjalani amalan sufi yang dibimbing langsung oleh Syaikh Asy-Sya’rani. Demikian pula banyak para penjahat dan pelaku maksiat yang akhirnya sadar dan bertaubat dari perbuatan buruknya setelah mendengar pengajian-pengajian yang disampaikan oleh Syaikh Asy-Sya’rani.

Selain itu, dia seorang Syaikhul Islam, faqih, Ushuli, Muhaddits (pakar hadits), dan Shufi. Dia dikenal sebagai ulama yang arif dalam khazanah keilmuan Islam. la menulis lebih dari 60 buah kitab, kebanyakan bercorak tasawuf. Di antara karyanya yang paling menarik adalah yang berupa otobiografi, al-Lathaiful Minan. Dalam kitab al-Lathaiful Minan itu diterangkan tentang perjalanan hidup seorang sufi yang penuh dengan keteladanan. Dan yang patut menjadi contoh suri tauladan dalam awal kehidupannya adalah, ia hafal Al-Qur’an pada usia delapan tahun.

Karamahnya sudah terlihat sejak masa kanak-kanak. Dia tidak pernah takut dengan makhlauk apapun, seperti ular, kalajengking, buaya, pencuri, jin dan sebagainya (lihat di kitab “Jami’u Karamatil Aulia jilid 2 halaman 277, cetakan “Darul Fikr”, Beirut – Libanon). Pada suatu hari ketika dia tenggelam di Sungai Nil, dengan sangat menakjubkan, dia diselamatkan oleh seekor buaya, yang disangkanya sebongkah batu.

Syaikhul Islam Zakaria Al-Anshari (w. 916 H/1511 M) memberi izin kepadanya untuk mengajarkan fiqih. Sejak kecil ia sudah bergaul dengan para ‘arifin. Semua gurunya mengajarkan syariat dan tasawuf, dan meninggal dalam keadaan ridha terhadap dirinya. Dia dikenal sebagai ulama yang tidak fanatik buta dalam menganut kepercayaan tertentu. Akhlaqnya sangat mulia, baik sebagai sufi, maupun sebagai orang shalih. Ia menolak memakan sesuatu yang telah disedekahkannya. Dia sangat berlapang dada dalam segala urusannya dengan sesama muslim, bahkan dengan musuh yang paling membecinya sekalipun. Da tidak pernah berlama-lama dalam mengunjungi sahabat. Dan sepanjang hidupnya, ia terpelihara dari keinginan meminta-minta. Bahkan, ia belum pernah mengungkapkan godaan-godaan batin yang telah membuatnya menderita kepada seorang manusia pun, sehingga kerap keluar asap dari mulut, telinga, dan hidungnya. Asap yang keluar itu dikenali muridnya sebagai bentuk nafsu buruk yang dapat dikendalikan, sehingga keluar sebagai semacam kotoran dari tubuhnya. la tidak pernah mengejar kedudukan tinggi dan derajat duniawi.

Dia sadar akan zaman yang melahirkannya, dan tak pernah mencoba hidup menurut masa lalu atau masa mendatang. Bila menghadapi kesulitan, ia selalu berserah diri kepada Allah, tidak kepada manusia. Sepanjang hidupnya, ia meng­habiskan seluruh waktunya di lingkungan kefakiran dan kezuhudan.

Mendengar Binatang Bertasbih
Sejak umur empat puluh, Asy-Sya'rani tidak lagi tergoda untuk berbuat dosa. Ia merasa, Allah telah memelihara¬nya dari melakukan segala perbuatan tak terpuji.

Asy-Sya'rani dikenal memiliki kemampuan melihat jauh, dalam ilmu waktu.Dari sinilah ia memberikan keteladanan. Namun di hadapan umum, ia tidak pernah memperlihatkan kemampuan yang luar biasa itu kepada orang lain.

Meskipun begitu, orang sering mengenali karamahnya. Seperti ketika menjamu tetamunya, selalu makanan yang dihidangnya tiba¬ tiba berlipat ganda. Secara menakjubkan ia juga mampu mendengar binatang-binatang atau benda-benda mati bertasbih memuji Allah.

Asy-Sya'rani dikenal alim dan wara'. la tidak pernah melupakan shalat wajibnya. la menghindari buang angin di dalam masjid, baik di masjidnya mahupun di masjid lain. la selalu menghadap Allah, juga ketika berbaring dengan isterinya sebagaimana ketika bersembahyang.

Terhadap para muridnya, ia senantiasa berbuat adil. la juga merasa enggan dicium tangannya.Dalam tidurnya, ia sering bergaul dengan orang-orang yang telah mati dan menanyai mereka perihal suasana-suasana di alam kubur. la telah melihat arwah para wali dan disambut ramah oleh mereka. Sebaliknya,banyak juga orang bermimpi tentang dia, di antaranya para gabenor. Dan ini menambahkan kepercayaan mereka terhadapnya.

Syaikh Asy-Sya’rani dikenal memiliki kemampuan yang luar biasa. Dia dapat melihat jauh ke depan, dalam arti waktu. Dan dari sinilah ia memberikan keteladanan-keteladanan. Namun di hadapan umum, ia tidak pernah memperlihatkan kemampuan yang dimilikinya kepada orang lain. Meskipun begitu, orang sering mengenali karamahnya. Seperti ketika dia menjamu tamu-tamunya, sering makanannya tiba­ tiba berlipat ganda. Secara menakjubkan ia juga mampu mendengar binatang-binatang atau benda-benda mati bertasbih memuji Allah swt.

Syaikh Asy-Sya’rani dikenal alim dan wara’. Dia tidak pernah melupakan kewajiban-kewajibannya sebagai hamba Allah. Ia selalu menghindari buang angin di dalam masjid, baik di masjidnya maupun di masjid lain. Dia selalu menghadap Allah, juga ketika berbaring dengan istrinya sebagaimana kala bersembahyang. Terhadap para muridnya, dia senantiasa berbuat adil. Dia juga merasa enggan dicium tangannya. Dalam tidurnya, ia sering bergaul dengan orang-orang yang telah mati dan bertanya kepada mereka tentang keadaan di alam kubur. Dia dapat melihat arwah para wali dan disambut ramah oleh mereka.

Perjalanan Rohani Beliau

Berikut beberapa mimpi Syaikh Asy-Sya’­rani, sebagaimana dituliskan dalam otobiografinya itu: “Dulu aku mempunyai seorang tetangga yang suka menghina sesamanya. Allah melaknatnya dengan penyakit asma dan lumpuh. Selama kira-kira sepuluh tahun, ia tidak dapat berbaring, dagunya bertumpu di atas lutut, otot-ototnya kian melemah. Kemudian ia mati, dan dikuburkan. Aku bertemu dengannya setelah kematiannya, dan bertanya, “Apakah kau masih lumpuh?” “Ya, dan kelak aku akan dibangkitkan seperti ini pula. Semua ini lantaran kau dan Syaikh Syu’aib si ‘tukang khutbah’ itu,” jawabnya. Tatkala hal ini kusampaikan kepada Syaikh Syu’aib, ia berkata, “Ya, hal itu memang benar. Bila aku lewat di depannya, ia selalu membuang ingus dan melemparkan dahaknya ke wajahku karena benci.” Demikian pula dengan diriku, setiap kali lewat di hadapannya, ia mengumpatku dengan kata-kata yang tak patut ditunjukkan kepada kawanan sapi pun. Semoga Allah mengampuni dan mengasihinya.

Syaikh Abdul Wahhab Asy-Sya’rani meninggal di Mesir pada bulan Jumadil Awal 973 H./ November 1565 M.

Karya-Karyanya
1.      Al-Jawahir wa al-Durar al-Kubra (Mutiara-mutiara dan Permata-permata agung)
2.      Al-Yawaqit wa al-Jawahir fi Aqa’id al-Akabir (Permata-permata Yakut dan Mutiara-mutiara tentang Akidah-akidah para ulama Besar [kalangan sufi])
3.      Al-Tabaqat al-Kubra (peringkat-peringkat atau generasi-generasi yang Agung) atau disebut juga Lawaqih al-Anwar fi Tabaqat al-Akhyar (kilatan-kilatan Cahaya tentang Peringkat-peringkat atau generasi-generasi Orang-orang Terpilih)
4.      Al-Anwar al-qudsiyyah fi ma’rifat qawa’id al-Sufiyyah (cahaya-cahaya kudus dalam hal mengenal kaidah-kaidah para sufi).
5.      Lawaqih al-Anwar al-Qudsiyyah fi Bayan al-Uhud al-muhammadiyyah (kilatan-kilatan kudus dalam meenjelaskan jani-janji (pesan-pesan) Muhammad.
6.      Al-Kibrit al-Ahmar fi Uluww al-Syaikh al-Akbar (belerang Merah (pemaparan) tentang kemuliaan Syaikh al-Akbar [ibnu Arabi].
7.      Al-Qawa’id al-Kasfiyyah fi al-Illahiyyah (kaidah-kaidah Ketersingkapan tetang sifat-sifat Ketuhanan
8.      Masyariq al-Anwar al-Qudsiyah fi Bayan al-Uhud al-Muhammadiyyah (pancaran cahaya-cahaya kudus tentang penjelasan janji-janji [pesan-pesan] Muhammad).
9.      Madarik al-safilin ila Rusum Tariq al-arifin  (alur pengetahuan kelas rendah munuju sketsa Jalan orang-orang Arif)
10.  Lata’if al-Minan  (kelembutan-kelembutan karunia)
11.  Mizan al-Kubra (Neraca yang Agung) dll‎

 

Manaqib Imam Al Baihaqi


Imam Al Baihaqi adalah seorang ulama ‎ahli fiqh, ushul fiqh, hadist, dan salah seorang ulama besar mazhab Syafi’i. Beliaulah penulis kitab Sunan Al Baihaqi yang terkenal itu.

Nama Beliau

Imam Al-Baihaqi bernama lengkap Imam Al-Hafizh Al-Muttaqin Abu Bakar Ahmad bin Al-Husain bin Ali bin Musa Al-Khusrauijrdi Al-Khurasani Al-Baihaqi. Baihaq adalah sejumlah perkampungan di wilayah Naisabur. Beliau adalah seorang ulama besar dari Khurasan (desa kecil di pinggiran kota Baihaq) dan penulis banyak kitab terkenal.

Kelahiran Beliau

Al-Baihaqi lahir di bulan Sya’ban tahun 384 H yang bertepatan dengan bulan September 994 Masehi1. Lahir di desa Khusraujirdi, termasuk daerah Baihaq, Naisabur.

Perjalanan Menuntut Ilmu

Imam Al-Baihaqi hidup pada masa Daulah Al-‘Abbasiyah. Beliau mengembara mencari ilmu ke Khurasan, Irak, dan Hijaz. Dalam Siyar A’lam An-Nubala, Imam Adz-Dzahabi bercerita tentang perjalanan Imam Al-Baihaqi dalam menuntut ilmu. Beliau mengatakan bahwa Imam Al-Baihaqi ketika berusia 15 tahun telah mendengar dari Abu Al-Hasan Muhammad bin Al-Husain Al-Alawi, sahabat dari Abu Hamid bin Asy-Syarqi dan beliau adalah guru yang paling dahulu bagi Imam Al-Baihaqi. Beliau luput dari menyimak secara langsung dari Abu Nu’aim Al-Isfarayini, sahabat Abu ‘Uwanah, dan meriwayatkan darinya secara ijazah mengenai jual beli. Beliau juga mendengar dari Imam Al-Hakim Abu Abdillah Al-Hafizh lalu memperbanyak riwayat darinya dan lulus darinya.‎

Guru Beliau

Beliau berguru kepada ulama-ulama terkenal dari berbagai negara. Beliau harus menempuh perjalanan panjang dan melelahkan untuk bisa menghadiri majelis ilmu tersebut. Di antara guru-gurunya adalah sebagai berikut:

Imam Abul Hassan Muhammad bin Al-Husain Al-Alawi

Abu Abdillah Al-Hakim, pengarang kitab Al-Mustadrak ‘ala Ash-Shahihain

Abu Tahir Az-Ziyadi

Abu Abdur-Rahman Al-Sulami

Abu Bakr bin Furik

Abu Ali Al-Ruthabari

Hilal bin Muhammad Al-Hafar

Ibnu Busran

Al-Hasan bin Ahmad bin Farras

Ibnu Ya’qub Al-Ilyadi, dll.

Murid-Murid Beliau

Dalam kitab Siyar A’lamin Nubala(18/169), Imam Adz-Dzahabi mengatakan bahwa di antara perawi yang meriwayatkan dari beliau adalah:

Syaikhul Islam Abu Ismail Al-Anshari dengan ijazah

Putranya sendiri: Ismail bin Ahmad bin Al-Husain

Cucu beliau: Abu Al-Hasan bin Ubaidillah bin Muhammad bin Ahmad

Abu Zakariya Yahya bin Mandah Al-Hafidz

Abu Ma’ali Muhammad bin Ismail Al-Farisi

Abdul Jabbar bin Abdul Wahhab Ad-Dahhan

Abdul Jabbar bin Muhammad Al-Khuwairi

Abdul Hamid bin Muhammad Al-Khuwairi

Abu Bakar Abdurrahman bin Abdullah bin Abdurrahman Al-Bahiri, dll.

Pujian Ulama Kepada Beliau

Imam Al-Haramain mengatakan, “Tidak ada satu pengikut Asy-Syafi’i pun melainkan Asy-Syafi’i memiliki jasa kepadanya, kecuali Al-Baihaqi, karena dia berjasa kepada Asy-Syafi’i berkat karya-karyanya yang berisikan pembelaan terhadap mazhabnya dan pendapat-pendapatnya.”

At-Taj As-Subki mengatakan, “Imam Al-Baihaqi adalah salah satu imam kaum muslimin dan penyeru kepada tali Allah yang kukuh. Beliau adalah penghafal besar, ahli ushul yang tiada bandingnya, zuhud, wara’, taat kepada Allah, membela mazhab, baik ushul maupun furu’-nya, salah satu bukit ilmu.”

Abdul-Ghaffar Al-Farsi Al-Naisaburi dalam bukunya “Dzail Tarikh Naisaburi” memuji imam Al-Baihaqi setinggi langit dengan mengatakan, “Abu Bakr Al-Baihaqi Al-Faqih Al-Hafizh Al-Ushuli Ad-Din Al-Wari’, orang nomor satu pada zamannya dalam hal hafalan, orang yang tiada bandingannya di antara para sejawatnya dalam hal kesempurnaan dan ketelitian, salah satu pemuka murid Al-Hakim, dan dia mengunggulinya dengan berbagai macam ilmu. Beliau menulis hadis, menghafalkannya semenjak kecil, mendalaminya, serta menguasainya. 

Beliau mengambil ilmu ushul dan melakukan perjalanan menuntu ilmu ke Irak, daerah berbukit dan Hijaz, kemudian menulis karya ilmiah. Karyanya hampir mencapai seribu juz, yang belum pernah didahului oleh seorang pun sebelumnya. Beliau menghimpun ilmu hadis dan fikih, menjelaskan tentang ‘illat hadis dan meninjau tentang perbedaan-perbedaan hadis-hadis. Para ulama meminta beliau untuk berpindah dari daerah An-Nahiyah ke Naisabur untuk mendengar kitab-kitabnya. Beliau pun datang padatahun 314 H, lalu mereka bermajelis untuk mendengarkan kitab Al-Ma’rifah dan para ulama menghadirinya. Dia mengikuti jalan ulama, merasa puasdengan yang sedikit.”‎

Imam Adz-Dzahabi pun memuji beliau dengan mengatakan, “Seandainya Al-Baihaqi mau membuat madzhab untuk dirinya di mana dia berijtihad, niscaya dia mampu melakukannya karena keluasan ilmu dan pengetahuannya tentang perselisihan ulama. Karena itu, kalian melihatnya membela permasalahan-permasalahan yang didukung oleh hadis sahih.”

Akhlak Beliau

Ibnu ‘Asakir berkata, Syekh Abu Al-Hasan Al-Farisi berkata, “Al-Baihaqi berjalan di jalan para ulama, qana’ah terhadap yang sedikit, dihiasi dengan zuhud dan wara’,serta tetap seperti demikian sampai meninggal.”‎

Ibnu Katsir berbicara tentang akhlak beliau, “Al-Baihaqi adalah orang yang zuhud dan menerima sesuatu yang sederhana, banyak beribadah dan wara’.”

Karya Beliau

Sejumlah kitab penting telah ditulisnya dan mempunyai nilai tinggi di sisi para ulama-ulama setelahnya. Bahkan ada yang berpendapat bahwa karyanya mencapai seribu jilid9. Kitab-kitab karangan beliau pun mempunyai keistimewaan dibandingkan yang lainnya, karena diurutkan dengan urutan yang begitu teliti dan cermat dan tidak ada yang seperti beliau. Karena itu tidak ada yang seperti beliau sebelumnya‎ 

Di antara karya beliau:

Kitab As-Sunan Al-Kubra dalam 10 jilid

Kitab Syu’ab Al-Iman dalam 2 jilid

Kitab Dala’il An-Nubuwwah dalam 4 jilid

Kitab Al-Asma wa Ash-Shifat dalam 2 jilid

Kitab Ahkam Al-Qur’an dalam 2 jilid

Kitab Takhrij Ahadits Al-Umm

Kitab Al-Ma’rifat fi As-Sunan wa Al-Atsar dalam 4 jilid

Kitab Al-Mu’taqad dalam 1 jilid

Kitab Al-Ba’tswa An-Nusyur dalam 1 jilid

Kitab At-Targhib wa At-Tarhib dalam 1 jilid

Kitab Nushus Asy-Syafi’i dalam 2 jilid

Kitab As-Sunan Ash-Shaghir dalam 1 jilid besar

Kitab Al-Madkhal ila As-Sunan dalam 1 jilid

Kitab Fadhail Al-Auqat dalam 2 jilid

Kitab Manaqib Asy-Syafi’i dalam 1 jilid dan masih banyak lagi yang lainnya.

Meninggalnya Beliau

Imam al-Baihaqi meninggal pada hari Sabtu di Naisabur, Iran, tanggal 10 Jumadil Ula 458 H (9 April 1066 M). Dia lantas dibawa ke tanah kelahirannya yaitu Baihaq dan dimakamkan di sana. Beliau hidup selama 74 tahun.‎

Pandangan Imam Baihaqi tentang As-Sunah‎

Berkata Al-Baihaqi setelah membahas masalah ini : Seandainya tidak ada ketetapan berhujjah dengan As-Sunnah, tentulah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam khutbahnya, setelah mengajarkan perkara agama kepada mereka yang menyaksikannya, tidak akan mengatakan.

"Artinya : Ketahuilah hendaknya yang hadir di antara kalian untuk menyampaikan kepada yang tidak hadir, berapa banyak orang yang menerima berita lebih paham dari pada orang yang mendengar".

Kemudian Al-Baihaqi menyebutkan hadits yang berbunyi.

"Artinya : Semoga Allah membahagiakan seseorang yang mendengarkan sebuah hadits dari kami, kemudian ia menyampaikannya (kepada yang lain) sebagaimana yang ia dengar, dan berapa banyak orang-orang yang menerima kabar lebih paham dari pada orang yang mendengar".

Hadits ini adalah hadits mutawatir sebagaimana yang akan saya terangkan, insya Allah.

Berkata Imam Syafi'i : "Ketika Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menganjurkan ummatnya untuk memperhatikan sabdanya, menghafalkan dan menyampaikannya, hal ini menunjukkan bahwa beliau tidak akan memerintahkan untuk menyampaikan sabdanya kecuali bahwa sabda beliau itu sendiri berkedudukan sebagai hujjah bagi yang telah sampai kepadanya sabda beliau itu, karena itu, apa yang dinyatakan dari beliau halal maka boleh dilakukan, dan yang haram harus ditinggalkan, yang berupa hukuman (sanksi) maka harus di tegakkan, yang berhubungan dengan harta antara diambil atau diberi, dan yang berupa nasehat adalah untuk kebaikan untuk duniawi dan ukhrawi".

Kemudian Al-Baihaqi menyebutkan hadits dari Abu Rafi', ia berkata : Bersabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

"Artinya : Sungguh akan aku dapatkan seseorang diantara kalian yang tengah bersandar di atas dipannya kemudian datang kepadanya suatu perkara dariku yang aku perintahkan kepadanya atau aku larang baginya, lalu ia berkata : "Saya tidak tahu, apa yang kami temukan di dalam Kitabullah maka kami mengikutinya". [Hadits Riwayat Abu Daud dan Al-Hakim]

Dan dari hadits Al-Miqdam bin Ma'di Karib, bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam mengharamkan beberapa hal pada hari (peperangan) Khaibar, antara lain : (memakan) daging keledai dan lain-lainnya, kemudian beliau bersabda.

"Artinya : Hampir seorang laki-laki duduk di atas dipannya tatkala disampaikan ucapanku (haditsku), lalu ia berkata : 'Antara aku dan kalian terdapat Kitabullah, apa yang kami dapati didalamnya (Al-Qur'an) halal maka kami akan menghalalkannya dan apa yang kami dapati didalamnya haram maka kami akan mengharamkannya'. Ketahuilah bahwa apa yang diharamkan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah sama dengan apa yang diharamkan Allah".

Al-Baihaqi mengatakan : " Ini adalah berita dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tentang apa yang akan terjadi pada masa setelah beliau berupa penolakan ahli bid'ah (mubtadi') terhadap haditsnya. Ternyata keautentikan berita ini terbukti setelah beliau tiada".

Kemudian Al-Baihaqi meriwayatkan dengan sanadnya dari Syubaib bin Abi Fadalah Al-Makki bahwa Imran bin Hushain Radhiyallahu 'anhu menyebutkan tentang syafaat, lalu seorang laki-laki di antara kaumnya berkata kepadanya : "Wahai Abu Najid, sesungguhnya engkau menyebutkan kepada kami beberapa hadits yang mana hadits-hadits itu tidak memiliki dasar di dalam Al-Qur'an". Maka Imran marah dan ia berkata kepada orang itu :

"Apakah engkau telah membaca Al-Qur'an ?". Laki-laki itu menjawab : "Ya", Imran berkata : "Apakah di dalam Al-Qur'an engkau dapatkan (dasar) bahwa shalat Isya adalah empat raka'at, apakah engkau mendapatkan di dalamnya bahwa shalat Maghrib tiga raka'at, shalat Shubuh dua raka'at, shalat Zhuhur empat raka'at dan shalat Ashar empat raka'at ?" Laki-laki itu menjawab : "Tidak", Imran berkata : "Lalu dari siapa engkau mengambil (dalil) itu, bukankah kalian mengambilnya dari kami dan kami mengambilnya dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ?.! Apakah kamu dapatkan di dalamnya (Al-Qur'an) bahwa (zakat) setiap empat puluh ekor domba adalah satu domba, dan (zakat) setiap sekian onta adalah sekian ekor, dan (zakat) sekian dirham adalah sekian ?" Laki-laki itu menjawab : "Tidak", Imran berkata lagi : "Lalu dari siapa engkau mengambil dalil itu, bukankah kalian mengambilnya dari kami dan kami mengambilnya dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ?!. Imran berkata lagi : " Di dalam Al-Qur'an engkau mendapatkan ayat yang berbunyi.

"Artinya : Dan hendaklah mereka melakukan thawaf sekeliling rumah yang tua itu (Baitullah) ". [Al-Hajj : 29].

Apakah di dalamnya engkau mendapatkan keterangan bahwa hendaknya kalian melakukan thawaf tujuh kali lalu melaksanakan shalat dua raka'at di belakang maqam Ibrahim ?! Apakah di dalamnya (Al-Qur'an) engkau menemukan keterangan tentang tidak bolehnya jalab, junub dan nikah syighar dalam Islam ?! Tidaklah engkau mendengar bahwa Allah Subhanahu wa Ta'ala telah berfirman di dalam kitab-Nya.

"Artinya : Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah" [Al-Hasyr : 7]

Imran berkata lagi : "Sesungguhnya kami telah mengambil dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam banyak hal yang kalian tidak mengetahui tentang semua itu".

Kemudian Al-Baihaqi berkata : "Hadits yang menyatakan bahwa suatu hadits harus dicocokkan terhadap Al-Qur'an adalah bathil dan tidak benar bahkan batal dengan sendirinya karena di dalam Al-Qur'an tidak ada dalil yang menunjukkan suatu hadits harus dihadapkan pada Al-Qur'an".

Sampai disini pembahasan Imam Al-Baihaqi dalam kitabnya yang berjudul Al-Madkhal Ash-Shagir, suatu kitab yang mengantar pada pembahasan tentang bukti-bukti kenabian. Ia juga telah menyebutkan masalah ini dalam kitab yang berjudul Al-Madkhal Al-Kabir, yaitu suatu kitab yang mengantar pada pembahasan tentang Sunnah-Sunnah Rasul, dalam kitab kedua ini Imam Al-Baihaqi menyebutkan hal ini lebih gamblang dari pada kitab yang pertama, di antaranya menyebutkan tentang bab mengenal Sunnah-Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan kewajiban mengikuti Sunnah-Sunnah itu dengan menyebutkan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.

"Artinya : Sungguh Allah telah memberi karunia kepada orang-orang yang beriman ketika Allah mengutus di antara mereka seorang rasul dari golongan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, membersihkan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka Al-Kitab dan Al-Hikmah". [Ali-Imran : 164].

Berkata Imam Syafi'i : "Aku mendengar dari para Ahli Ilmu Al-Qur'an bahwa maksud dari kata Al-Hikmah dalam ayat ini adalah Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. ‎

 

Manaqib Imam Syafi'i


Imam Syafi’i bernama lengkap Abu Abdullah Muhammad bin Idris As Syafi’i, lahir di Gaza, Palestina pada tahun 150 Hijriah (767-820 M), berasal dari keturunan bangsawan Qurays dan  dari ayahnya, Nasab beliau secara lengkap adalah Muhammad bin Idris bin al-‘Abbas bin ‘Utsman bin Syafi’ bin as-Saib bin ‘Ubayd bin ‘Abdu Zayd bin Hasyim bin al-Muththalib bin ‘Abdu Manaf bin Qushay. garis keturunannya bertemu di Abdul Manaf (kakek ketiga rasulullah) dan dari ibunya masih merupakan cicit Ali bin Abi Thalib r.a. 

Semasa dalam kandungan, kedua orang tuanya meninggalkan Mekkah menuju palestina, setibanya di Gaza, ayahnya jatuh sakit dan berpulang ke rahmatullah, kemudian beliau diasuh dan dibesarkan oleh ibunya dalam kondisi yang sangat prihatin dan serba kekurangan, pada usia 2 tahun, ia bersama ibunya kembali ke mekkah dan di kota inilah Imam Syafi’i mendapat pengasuhan dari ibu dan keluarganya secara lebih intensif.

Kelahiran dan kehidupan keluarga
Idris bin Abbas menyertai istrinya dalam sebuah perjalanan yang cukup jauh, yaitu menuju kampung Gaza, Palestina, dimana saat itu umat Islam sedang berperang membela negeri Islam di kota Asqalan.

Pada saat itu Fatimah al-Azdiyyah sedang mengandung, Idris bin Abbas gembira dengan hal ini, lalu ia berkata, "Jika engkau melahirkan seorang putra, maka akan kunamakan Muhammad, dan akan aku panggil dengan nama salah seorang kakeknya yaitu Syafi'i bin Asy-Syaib."

Akhirnya Fatimah melahirkan di Gaza, dan terbuktilah apa yang dicita-citakan ayahnya. Anak itu dinamakan Muhammad, dan dipanggil dengan nama "asy-Syafi'i".

Kebanyakan ahli sejarah berpendapat bahwa Imam Syafi'i lahir di Gaza, Palestina, namun di antara pendapat ini terdapat pula yang menyatakan bahwa dia lahir di Asqalan; sebuah kota yang berjarak sekitar tiga farsakh dari Gaza. Menurut para ahli sejarah pula, Imam Syafi'i lahir pada tahun 150 H, yang mana pada tahun ini wafat pula seorang ulama besar Sunniyang bernama Imam Abu Hanifah.

Imam Ahmad bin Hambal berkata, “Sesungguhnya Allah telah mentakdirkan pada setiap seratus tahun ada seseorang yang akan mengajarkan Sunnah dan akan menyingkirkan para pendusta terhadap Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam. Kami berpendapat pada seratus tahun yang pertama Allah mentakdirkan Umar bin Abdul Aziz dan pada seratus tahun berikutnya Allah menakdirkan Imam Asy-Syafi`i.

Nasab Beliau 

Idris, ayah Imam Syafi'i tinggal di tanah Hijaz, ia merupakan keturunan dari al-Muththalib, jadi dia termasuk ke dalam Bani Muththalib. Nasab Dia adalah Muhammad bin Idris bin Al-Abbas bin Utsman bin Syafi’ bin As-Sa’ib bin Ubaid bin Abdi Yazid bin Hasyim bin Al-Mutthalib binAbdulmanaf bin Qushay bin Kilab bin Murrah bin Ka’ab bin Lu’ay bin Ghalib bin Fihr bin Malik bin An-Nadhr bin Kinanah bin Khuzaimah bin Mudrikah bin Ilyas bin Mudhar bin Nizar bin Ma’ad bin Adnan. Nasabnya bertemu dengan Rasulullah di Abdul-Manaf.

Dari nasab tersebut, Al-Mutthalib bin Abdi Manaf, kakek Muhammad bin Idris Asy-Syafi`ie, adalah saudara kandung Hasyim bin Abdi Manaf kakek Nabi Muhammad shallallahu `alaihi wa alihi wasallam .

Kemudian juga saudara kandung Abdul Mutthalib bin Hasyim, kakek Nabi Muhammad shallallahu `alaihi wa alihi wasallam , bernama Syifa’, dinikahi oleh Ubaid bin Abdi Yazid, sehingga melahirkan anak bernama As-Sa’ib, ayahnya Syafi’. Kepada Syafi’ bin As-Sa’ib radliyallahu `anhuma inilah bayi yatim tersebut dinisbahkan nasabnya sehingga terkenal dengan nama Muhammad bin Idris Asy-Syafi`ie Al-Mutthalibi. Dengan demikian nasab yatim ini sangat dekat dengan Nabi Muhammad shallallahu `alaihi wa alihi wasallam .

Bahkan karena Hasyim bin Abdi Manaf, yang kemudian melahirkan Bani Hasyim, adalah saudara kandung dengan Mutthalib bin Abdi manaf, yang melahirkan Bani Mutthalib, maka Rasulullah bersabda:

Hanyalah kami (yakni Bani Hasyim) dengan mereka (yakni Bani Mutthalib) berasal dari satu nasab. Sambil dia menyilang-nyilangkan jari jemari kedua tangan dia.
—HR. Abu Nu’aim Al-Asfahani dalam Hilyah nya juz 9 hal. 65 - 66

Masa belajar Sang Imam

Setelah ayah Imam Syafi’i meninggal dan dua tahun kelahirannya, sang ibu membawanya ke Mekah, tanah air nenek moyang. Ia tumbuh besar di sana dalam keadaan yatim. Sejak kecil Syafi’i cepat menghafal syair, pandai bahasa Arab dan sastra sampai-sampai Al Ashma’i berkata,”Saya mentashih syair-syair bani Hudzail dari seorang pemuda dari Quraisy yang disebut Muhammad bin Idris,” Imam Syafi’i adalah imam bahasa Arab.

Belajar di Makkah

Di Makkah, Imam Syafi’i berguru fiqh kepada mufti di sana, Muslim bin Khalid Az Zanji sehingga ia mengizinkannya memberi fatwah ketika masih berusia 15 tahun. Demi ia merasakan manisnya ilmu, maka dengan taufiq Allah dan hidayah-Nya, dia mulai senang mempelajari fiqih setelah menjadi tokoh dalam bahasa Arab dan sya’irnya. Remaja yatim ini belajar fiqih dari para Ulama’ fiqih yang ada di Makkah, seperti Muslim bin khalid Az-Zanji yang waktu itu berkedudukan sebagai mufti Makkah.

Kemudian dia juga belajar dari Dawud bin Abdurrahman Al-Atthar, juga belajar dari pamannya yang bernama Muhammad bin Ali bin Syafi’, dan juga menimba ilmu dari Sufyan bin Uyainah.

Guru yang lainnya dalam fiqih ialah Abdurrahman bin Abi Bakr Al-Mulaiki, Sa’id bin Salim, Fudhail bin Al-Ayyadl dan masih banyak lagi yang lainnya. Dia pun semakin menonjol dalam bidang fiqih hanya dalam beberapa tahun saja duduk di berbagai halaqah ilmu para Ulama’ fiqih sebagaimana tersebut di atas.

Belajar di Madinah

Kemudian dia pergi ke Madinah dan berguru fiqh kepada Imam Malik bin Anas. Ia mengaji kitab Muwattha’ kepada Imam Malik dan menghafalnya dalam 9 malam. Imam Syafi’i meriwayatkan hadis dari Sufyan bin Uyainah, Fudlail bin Iyadl dan pamannya, Muhamad bin Syafi’ dan lain-lain.

Di majelis dia ini, si anak yatim tersebut menghapal dan memahami dengan cemerlang kitab karya Imam Malik, yaitu Al-Muwattha’ . Kecerdasannya membuat Imam Malik amat mengaguminya. Sementara itu As-Syafi`ie sendiri sangat terkesan dan sangat mengagumi Imam Malik di Al-Madinah dan Imam Sufyan bin Uyainah di Makkah.

Dia menyatakan kekagumannya setelah menjadi Imam dengan pernyataannya yang terkenal berbunyi: “Seandainya tidak ada Malik bin Anas dan Sufyan bin Uyainah, niscaya akan hilanglah ilmu dari Hijaz.” Juga dia menyatakan lebih lanjut kekagumannya kepada Imam Malik: “Bila datang Imam Malik di suatu majelis, maka Malik menjadi bintang di majelis itu.” Dia juga sangat terkesan dengan kitab Al-Muwattha’ Imam Malik sehingga dia menyatakan: “Tidak ada kitab yang lebih bermanfaat setelah Al-Qur’an, lebih dari kitab Al-Muwattha’ .” Dia juga menyatakan: “Aku tidak membaca Al-Muwattha’ Malik, kecuali mesti bertambah pemahamanku.”

Dari berbagai pernyataan dia di atas dapatlah diketahui bahwa guru yang paling dia kagumi adalah Imam Malik bin Anas, kemudian Imam Sufyan bin Uyainah. Di samping itu, pemuda ini juga duduk menghafal dan memahami ilmu dari para Ulama’ yang ada di Al-Madinah, seperti Ibrahim bin Sa’ad, Isma’il bin Ja’far, Atthaf bin Khalid, Abdul Aziz Ad-Darawardi. Ia banyak pula menghafal ilmu di majelisnya Ibrahim bin Abi Yahya. Tetapi sayang, guru dia yang disebutkan terakhir ini adalah pendusta dalam meriwayatkan hadits, memiliki pandangan yang sama dengan madzhab Qadariyah yang menolak untuk beriman kepada taqdir dan berbagai kelemahan fatal lainnya. Sehingga ketika pemuda Quraisy ini telah terkenal dengan gelar sebagai Imam Syafi`ie, khususnya di akhir hayat dia, dia tidak mau lagi menyebut nama Ibrahim bin Abi Yahya ini dalam berbagai periwayatan ilmu.

Di Yaman

Imam Syafi’i kemudian pergi ke Yaman dan bekerja sebentar di sana. Disebutkanlah sederet Ulama’ Yaman yang didatangi oleh dia ini seperti: Mutharrif bin Mazin, Hisyam bin Yusuf Al-Qadli dan banyak lagi yang lainnya. Dari Yaman, dia melanjutkan tour ilmiahnya ke kota Baghdad di Iraq dan di kota ini dia banyak mengambil ilmu dari Muhammad bin Al-Hasan, seorang ahli fiqih di negeri Iraq. Juga dia mengambil ilmu dari Isma’il bin Ulaiyyah dan Abdul Wahhab Ats-Tsaqafi dan masih banyak lagi yang lainnya.

Di Baghdad, Irak

Kemudian pergi ke Baghdad (183 dan tahun 195), di sana ia menimba ilmu dari Muhammad bin Hasan. Ia memiliki tukar pikiran yang menjadikan Khalifah Ar Rasyid.

Di Mesir

Di Mesir Imam Syafi'i bertemu dengan murid Imam Malik yakni Muhammad bin Abdillah bin Abdil Hakim. Di Baghdad, Imam Syafi’i menulis madzhab lamanya (qaul qadim). Kemudian beliu pindah ke Mesir tahun 200 H dan menuliskan madzhab baru (qaul jadid). Di sana dia wafat sebagai syuhadaul ilm di akhir bulan Rajab 204 H.

Keteguhannya Membela Sunnah

Sebagai seorang yang mengikuti manhajAsh-habul Hadits, beliau dalam menetapkan suatu masalah terutama masalah aqidah selalu menjadikan Alquran dan Sunnah Nabi sebagai landasan dan sumber hukumnya. Beliau selalu menyebutkan dalil-dalil dari keduanya dan menjadikannya hujjah dalam menghadapi penentangnya, terutama dari kalangan ahli kalam. Beliau berkata, “Jika kalian telah mendapatkan Sunnah Nabi, maka ikutilah dan janganlah kalian berpaling mengambil pendapat yang lain.” Karena komitmennya mengikuti sunnah dan membelanya itu, beliau mendapat gelar Nashir as-Sunnah wa al-Hadits.

Terdapat banyak atsar tentang ketidaksukaan beliau kepada Ahli Ilmu Kalam, mengingat perbedaan manhaj beliau dengan mereka. Beliau berkata,“Setiap orang yang berbicara (mutakallim) dengan bersumber dari Alquran dan sunnah, maka ucapannya adalah benar, tetapi jika dari selain keduanya, maka ucapannya hanyalah igauan belaka.” Imam Ahmad berkata, “Bagi Syafi’i jika telah yakin dengan keshahihan sebuah hadits, maka dia akan menyampaikannya. Dan prilaku yang terbaik adalah dia tidak tertarik sama sekali dengan ilmu kalam, dan lebih tertarik kepada fiqih.” Imam Syafi ‘i berkata, “Tidak ada yang lebih aku benci daripada ilmu kalam dan ahlinya.” Al-Mazani berkata, “Merupakan madzhab Imam Syafi’i membenci kesibukan dalam ilmu kalam. Beliau melarang kami sibuk dalam ilmu kalam.” Ketidaksukaan beliau sampai pada tingkat memberi fatwa bahwa hukum bagi ahli ilmu kalam adalah dipukul dengan pelepah kurma, lalu dinaikkan ke atas punggung unta dan digiring berkeliling di antara kabilah-kabilah dengan mengumumkan bahwa itu adalah hukuman bagi orang yang meninggalkan Alquran dan Sunnah dan memilih ilmu kalam.

Karya tulis Sang Imam

Salah satu karangannya adalah “Ar risalah” buku pertama tentang ushul fiqh dan kitab “Al Umm” yang berisi madzhab fiqhnya yang baru. Imam Syafi’i adalah seorang mujtahid mutlak, imam fiqh, hadis, dan ushul. Ia mampu memadukan fiqh ahli Irak dan fiqh ahli Hijaz. Imam Ahmad berkata tentang Imam Syafi’i,”Dia adalah orang yang paling faqih dalam Al Quran dan As Sunnah,” “Tidak seorang pun yang pernah memegang pena dan tinta (ilmu) melainkan Allah memberinya di ‘leher’ Syafi’i,”. Thasy Kubri mengatakan di Miftahus sa’adah,”Ulama ahli fiqh, ushul, hadits, bahasa, nahwu, dan disiplin ilmu lainnya sepakat bahwa Syafi’i memiliki sifat amanah (dipercaya), ‘adalah (kredibilitas agama dan moral), zuhud, wara’, takwa, dermawan, tingkah lakunya yang baik, derajatnya yang tinggi. Orang yang banyak menyebutkan perjalanan hidupnya saja masih kurang lengkap,”

Mazhab Syafi'i

Dasar madzhabnya: Al Quran, Sunnah, Ijma’ dan Qiyas. Dia juga tidak mengambil Istihsan(menganggap baik suatu masalah) sebagai dasar madzhabnya, menolak maslahah mursalah, perbuatan penduduk Madinah. Imam Syafi’i mengatakan,”Barangsiapa yang melakukan istihsan maka ia telah menciptakan syariat,”. Penduduk Baghdad mengatakan,”Imam Syafi’i adalah nashirussunnah (pembela sunnah),”

Muhammad bin Daud berkata, “Pada masa Imam Asy-Syafi`i, tidak pernah terdengar sedikitpun dia bicara tentang hawa, tidak juga dinisbatkan kepadanya dan tidakdikenal darinya, bahkan dia benci kepada Ahlil Kalam (maksudnya adalah golongan Ahwiyyah atau pengikut hawa nafsu yang juga digelari sebagai Ahlul-Ahwa’ seperti al-Mujassimah, al-Mu'tazilah, Jabbariyyah dan yang sebagainya) dan Ahlil Bid’ah.” Dia bicara tentang Ahlil Bid’ah, seorang tokoh Jahmiyah, Ibrahim bin ‘Ulayyah, “Sesungguhnya Ibrahim bin ‘Ulayyah sesat.” Imam Asy-Syafi`i juga mengatakan, “Menurutku, hukuman ahlil kalam dipukul dengan pelepah pohon kurma dan ditarik dengan unta lalu diarak keliling kampung seraya diteriaki, “Ini balasan orang yang meninggalkan kitab dan sunnah, dan beralih kepada ilmu kalam (ilmu falsafah dan logika yang digunakan oleh golongan Ahwiyyah)”

Dia mewariskan kepada generasi berikutnya sebagaimana yang diwariskan oleh para nabi, yakni ilmu yang bermanfaat. Ilmu dia banyak diriwayatkan oleh para murid- muridnya dan tersimpan rapi dalam berbagai disiplin ilmu. Bahkan dia pelopor dalam menulis di bidang ilmu Ushul Fiqih, dengan karyanya yang monumental Risalah. Dan dalam bidang fiqih, dia menulis kitab Al-Umm yang dikenal oleh semua orang, awamnya dan alimnya. Juga dia menulis kitab Jima’ul Ilmi.

Dia mempunyai banyak murid, yang umumnya menjadi tokoh dan pembesar ulama dan Imam umat islam, yang paling menonjol adalah:

Ahmad bin Hanbal, Ahli Hadits dan sekaligus juga Ahli Fiqih dan Imam Ahlus Sunnah dengan kesepakatan kaum muslimin.
Al-Hasan bin Muhammad Az-Za’farani
Ishaq bin Rahawaih,
Harmalah bin Yahya
Sulaiman bin Dawud Al Hasyimi
Abu Tsaur Ibrahim bin Khalid Al Kalbi dan lain-lainnya banyak sekali.

Kitab “Al Hujjah” yang merupakan madzhab lama diriwayatkan oleh empat imam Irak; Ahmad bin Hanbal, Abu Tsaur, Za’farani, Al Karabisyi dari Imam Syafi’i.

Dalam masalah Al-Qur’an, dia Imam Asy-Syafi`i mengatakan, “Al-Qur’an adalah Qalamullah, barangsiapa mengatakan bahwa Al-Qur’an adalah makhluk maka dia telah kafir.”

Sementara kitab “Al Umm” sebagai madzhab yang baru Imam Syafi’i diriwayatkan oleh pengikutnya di Mesir; Al Muzani, Al Buwaithi, Ar Rabi’ Jizii bin Sulaiman. Imam Syafi’i mengatakan tentang madzhabnya,”Jika sebuah hadits shahih bertentangan dengan perkataanku, maka buanglah perkataanku di belakang tembok,”

“Kebaikan ada pada lima hal: kekayaan jiwa, menahan dari menyakiti orang lain, mencari rizki halal, taqwa dan tsiqqah kepada Allah. Ridha manusia adalah tujuan yang tidak mungkin dicapai, tidak ada jalan untuk selamat dari (ucapan) manusia, wajib bagimu untuk konsisten dengan hal-hal yang bermanfaat bagimu”.

"Ikutilah Ahli Hadits oleh kalian, karena mereka orang yang paling banyak benarnya.”

Dia berkata, “Semua perkataanku yang menyelisihi hadits yang shahih maka ambillah hadits yang shahih dan janganlah taqlid kepadaku.”

Dia berkata, “Semua hadits yang shahih dari Nabi Shalallahu 'alaihi wassalam maka itu adalah pendapatku meski kalian tidak mendengarnya dariku.”

Dia mengatakan, “Jika kalian dapati dalam kitabku sesuatu yang menyelisihi Sunnah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam maka ucapkanlah sunnah Rasulullah dan tinggalkan ucapanku.”

Nasihat Imam Syafi’i

Dalam salah satu kitabnya, Diwan al-Syafi'i, terdapat berbagai nasehat-nasehat berharga dalam bentuk sya'ir, diantaranya adalah bagaimana menyikapi hidup agar selalu berjalan dan khusnudzon kepada Allah SWT sehingga mendapat keberkahan hidup di dunia maupun akhirat nanti. Berikut diantara Sya'ir Imam al-Syafi'i tersebut :

دع الأيام تفعل ماتشاء ** وطب نفسا إذا حكم القضاء
 
Biarkan saja hari-hari berbuat sesukanya, dan lapangkanlah jiwamu jika qodlo’ telah ditetapkan.

ولا تجزع لحادثة الليالي **  فمالحوادث الدنيا بقاء
 
Janganlah engkau berduka atas apa yang terjadi, tidak ada apa pun di dunia ini yang abadi
 
وكن رجلا على الأهوال جلدا **  وشيمتك السماحة والوفاء
 
Jadilah engkau laki-laki yang tangguh, perangaimu penuh toleransi juga menepati janji

وإن كثرت عيوبك في البرايا ** وسرك أن يكون لها غطاء
 
Jika engkau tau bahwa engkau banyak memiliki aib di mata manusia, dan engkau menginginkan tutup atas aib-aibmu tersebut

تستر بالسخاء فكل عيب ** يغطيه كما قيل السخاء
 
Tutuplah aib-aibmu tersebut dengan kedermawanan, sebagaimana telah dikabarkan, bahwasanya setiap aib bisa ditutup dengan kedermawanan

ولا تر للأعادي قط ذلا **  فإن شماتةالأعدا بلاء
 
Jangan sekali-kali engkau perlihatkan kehinaanmu kepada musuh-musuhmu,karena caci-maki dari musuh adalah sebuah balak

ولا ترج السماحة من بخيل **  فما في النارللظمآن ماء
 
Janganlah engkau mengharapkan kemurahan dari orang bakhil, karena dalam sebuah api tidak ada air yang bisa menghilangkan dahaga

ورزقك ليس ينقصه التأني ** وليس يزيد في الرزق العناء
 
"Tidak akan berkurang rizkimu sebab santai dalam bekerja, dan tidak akan bertambah pula dengan semangat usaha"

ولا حزن يدوم ولا سرور **  ولا بؤسعليك ولا رخاء
 
Tidak ada kesusahan yang abadi tidak pula kesenangan, tidak pula kesengsaraan yang saat ini sedang menimpamu, tidak pula kelapangan hidup

إذا ما كنت ذا قلب قنوع ** فأنت ومالك الدنيا سواء
 
Jika engkau memiliki hati yang menerima (qona’ah), maka engkau dan raja-raja dunia adalah sama

ومن نزلت بساحته المنايا **  فلا أرضتقيه ولا سماء
 
Barangsiapa yang telah datang kematian di halaman rumahnya, maka tidak ada tempat di bumi yang dapat menghalanginya, tidak pula di langit

وأرض الله واسعة ولكن ** إذا نزل القضا ضاق الفضاء
 
Bumi Allah itu luas, tetapi ketika qodlo’ (ketentuan) telah ditetapkan, maka sesuatu yang luas akan menjadi sempit

دع الأيام تغدر كل حين ** فما يغني عن الموت الدواء
 
Biarkan saja hari-hari memperdayaimu setiap saat, karena tidak ada obat apapun bagi kematian

Nasihat Khusus Untuk Kaum Suami
 
Wahai para suami!
1.    Apa yang memberatkanmu—wahai hamba Allah—untuk tersenyum di hadapan istrimu ketika masuk menemuinya, agar engkau memperoleh ganjaran dari Allah Ta'ala?
2.    Apa yang membebanimu untuk bermuka cerah ketika melihat istri dan anak-anakmu, padahal engkau akan mendapatkan pahala karenanya?
3.    Apa sulitnya apabila engkau masuk ke rumah sambil mengucapkan salam secara sempurna: “Assalaamu ‘alaikum warahmatullaahi wabarakaatuh,” agar engkau memperoleh tiga puluh kebaikan?
4.    Apakah yang menyusahkanmu jika engkau berkata kepada istrimu dengan perkataan yang baik, sehingga dia meridhaimu, sekalipun dalam perkataanmu tersebut agak sedikit dipaksakan?
5.    Apakah menyusahkanmu—wahai hamba Allah—jika engkau berdo’a: “Ya Allah. Perbaikilah istriku, dan curahkan keberkahan padanya?”
6.    Tahukah engkau bahwa ucapan yang lembut merupakan sedekah?
7.    Apa yang memberatkanmu untuk membawa hadiah (oleh-oleh) untuk istri dan anak-anakmu ketika engkau pulang dari safar?
8.    Luangkan waktumu untuk menemani istrimu membaca al-Qur-an, membaca buku-buku yang bermanfaat, dan mendatangi majlis ta’lim (majelis ilmu) yang mengajarkan al-Qur-an dan as-Sunnah menurut pemahaman para Sahabat.
9.    Tahukah engkau wahai hamba Allah, bahwa jima’ (ber­setubuh) akan mendatangkan ganjaran dari Allah? Bahkan Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam bersabda:
 
(( مِنْ أَمَاثِلِ أَعْمَالِكُمْ إِتْيَانُ الْحَلَالِ – يَعْنِى النِّسَاءَ. ))
 
“Di antara amal perbuatan kalian yang paling utama adalah mendatangi (bersetubuh) yang halal, yaitu dengan istri-istri kalian.”
 
[Hadits shahih: diriwayatkan oleh Ahmad (IV/231), Abu Nu’aim dalam Hilyatul Auliya’ (II/26, no. 1391), dan ath-Thabrani dalam al-Mu’jamul Kabiir (XXII, no. 848). Lihat: Silsilah al-Ahaadiits ash-Shahiihah (no. 441)]
 
Nasihat Khusus Untuk Kaum Istri
 
Wahai para istri!
1.    Apakah yang menyulitkanmu jika engkau menemui suamimu ketika dia masuk ke rumahmu dengan wajah yang cerah sambil tersenyum manis?
2.    Beratkah bagimu untuk menghilangkan debu di wajah, kepala, dan pakaian suamimu kemudian engkau men­ciumnya?
3.    Berhiaslah untuk suamimu dan raihlah pahala di sisi Allah Ta'ala. Sesungguhnya Allah itu indah dan menyukai keindahan, gunakanlah wangi-wangian! Bercelaklah! Berpakaianlah dengan busana terindah yang kau miliki untuk menyambut kedatangan suamimu. Ingat, janganlah sekali-kali engkau bermuka muram dan cemberut di hadapannya!
4.    Janganlah engkau melembutkan suaramu kepada laki-laki yang bukan mahram sehingga terfitnahlah orang-orang yang di dalam hatinya terdapat penyakit, sehingga ia ber-prasangka buruk kepadamu!
5.    Jadilah seorang istri yang memiliki sifat lapang dada, tenang, dan selalu ingat kepada Allah di dalam segala keadaan!
6.    Ringankanlah segala beban suami, baik berupa musibah, luka, dan kesedihan!
7.    Didiklah anak-anakmu dengan baik, penuhilah rumahmu dengan tasbih, takbir, tahmid, dan tahlil; serta perbanyaklah membaca al-Qur-an, khususnya surat Al-Baqarah, karena surat tersebut dapat mengusir syaitan!
8.    Bangunkanlah suamimu untuk mengerjakan shalat malam, anjurkanlah dia untuk berpuasa sunnah dan ingatkanlah dia kembali tentang keutamaan berinfak; serta janganlah melarangnya untuk berbuat baik kepada orang tua dan menjaga tali silaturahim!
9.    Perbanyaklah istighfar untuk dirimu, suamimu, orang tuamu, dan semua kaum Muslimin; serta berdo’alah selalu agar diberikan keturunan yang shalih dan memperoleh kebaikan dunia dan akhirat; dan ketahuilah bahwa Rabbmu Maha Mendengar do’a. Sebagaimana firman Allah Ta'ala:
 
وَقَالَ رَبُّكُمُ ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ
 
    “Dan Rabb kalian berfirman: “Berdo’alah kepada-Ku, niscaya Aku akan mengabulkan untuk kalian ....” (QS. Al-Mu’min [40]: 60)
10.    Bersihkanlah rumahmu dari segala gambar-gambar makhluk hidup, alat-alat yang melalaikan, alat-alat musik, dan segala sesuatu yang dapat merusak!
 

Akhir Hayat Sang Imam

Pada suatu hari, Imam Syafi'i terkena wasir, dan tetap begitu hingga terkadang jika ia naik kendaraan darahnya mengalir mengenai celananya bahkan mengenai pelana dan kaus kakinya. Wasir ini benar-benar menyiksanya selama hampir empat tahun, ia menanggung sakit demi ijtihadnya yang baru di Mesir, menghasilkan empat ribu lembar. Selain itu ia terus mengajar, meneliti dialog serta mengkaji baik siang maupun malam.

Pada suatu hari muridnya Al-Muzani masuk menghadap dan berkata, "Bagamana kondisi Anda wahai guru?" Imam Syafi'i menjawab, "Aku telah siap meninggalkan dunia, meninggalkan para saudara dan teman, mulai meneguk minuman kematian, kepada Allah dzikir terus terucap. Sungguh, Demi Allah, aku tak tahu apakah jiwaku akan berjalan menuju surga sehingga perlu aku ucapkan selamat, atau sedang menuju neraka sehingga aku harus berkabung?".

Setelah itu, dia melihat di sekelilingnya seraya berkata kepada mereka, "Jika aku meninggal, pergilah kalian kepada wali (penguasa), dan mintalah kepadanya agar mau memandikanku," lalu sepupunya berkata, "Kami akan turun sebentar untuk shalat." Imam menjawab, "Pergilah dan setelah itu duduklah disini menunggu keluarnya ruhku." Setelah sepupu dan murid-muridnya shalat, sang Imam bertanya, "Apakah engkau sudah shalat?" lalu mereka menjawab, "Sudah", lalu ia minta segelas air, pada saat itu sedang musim dingin, mereka berkata, "Biar kami campur dengan air hangat," ia berkata, "Jangan, sebaiknya dengan air safarjal". Setelah itu ia wafat. Imam Syafi'i wafat pada malam Jum'at menjelang subuh pada hari terakhir bulan Rajab tahun 204 Hijriyyah atau tahun 809 Miladiyyah pada usia 52 tahun.

Tidak lama setelah kabar kematiannya tersebar di Mesir hingga kesedihan dan duka melanda seluruh warga, mereka semua keluar dari rumah ingin membawa jenazah diatas pundak, karena dahsyatnya kesedihan yang menempa mereka. Tidak ada perkataan yang terucap saat itu selain permohonan rahmat dan ridha untuk yang telah pergi.

Sejumlah ulama pergi menemui wali Mesir yaitu Muhammad bin as-Suri bin al-Hakam, memintanya datang ke rumah duka untuk memandikan Imam sesuai dengan wasiatnya. Ia berkata kepada mereka, "Apakah Imam meninggalkan hutang?", "Benar!" jawab mereka serempak. Lalu wali Mesir memerintahkan untuk melunasi hutang-hutang Imam seluruhnya. Setelah itu wali Mesir memandikan jasad sang Imam.

Jenazah Imam Syafi'i diangkat dari rumahnya, melewati jalan al-Fusthath dan pasarnya hingga sampai ke daerah Darbi as-Siba, sekarang jalan Sayyidah an-Nafisah. Dan, Sayyidah Nafisah meminta untuk memasukkan jenazah Imam ke rumahnya, setelah jenazah dimasukkan, dia turun ke halaman rumah kemudian salat jenazah, dan berkata, "Semoga Allah merahmati asy-Syafi'i, sungguh ia benar-benar berwudhu dengan baik."

Jenazah kemudian dibawa, sampai ke tanah anak-anak Ibnu Abdi al-Hakam, disanalah ia dikuburkan, yang kemudian terkenal dengan Turbah asy-Syafi'i sampai hari ini, dan disana pula dibangun sebuan masjid yang diberi nama Masjid asy-Syafi'i. Penduduk Mesir terus menerus menziarahi makam sang Imam sampai 40 hari 40 malam, setiap penziarah tak mudah dapat sampai ke makamnya karena banyaknya peziarah.


Inilah nasehat Imam Syafi'i rahimahullah kepada para penuntut ilmu. Inilah nasehat yang dulu dipegangi dengan kuat dan mengantarkan banyak orang meraih manfaat menuntut ilmu. Mari sejenak kita perhatikan:


أَخِي لَنْ تَنَالَ العِلْمَ إِلاَّ بِسِتَّةٍ سَأُنْبِيْكَ عَنْ تَفْصِيْلِهَاٍ  بِبَيَانٍ: ذَكَاءٌ وَحِرْصٌ وَاجْتِهَادٌ وَدِرْهَمٌ وَصُحْبَةُ أُسْتَاذٍ وَطُوْلُ زَمَان

"Saudaraku, ilmu tidak akan diperoleh kecuali dengan enam perkara yang akan saya beritahukan rinciannya: (1) kecerdasan, (2) semangat, (3) bersungguh-sungguh, (4) dirham (kesediaan keluarkan uang), (5) bersahabat dengan ustadz, (6) memerlukan waktu yang lama.”


Inilah sikap mental yang seharusnya kita tanamkan kepada anak didik kita. Siap berpayah-payah, semangat bertekun-tekun belajar. 

Sesungguhnya yang dimaksud dirham bukanlah banyaknya harta, tetapi terutama kesediaan/kerelaan hati mengeluarkan uang untuk meraih ilmu. Berpijak pada nasehat yang ditanamkan di awal belajar, lapar itu lebih disukai santri asalkan dapat membeli buku. Sikap ini saya pegang saat kuliah. Bukan untuk nyentrik jika kuliah pakai kresek (kantong plastik belanja). Tapi karena buku lebih utama.

Teringat kawan-kawan masa kecil yang cemerlang. Mereka justru akrab dengan rasa lapar. Tetapi mereka amat bersemangat. Lapar kerap jadi pilihan karena mendahulukan ilmu dan mereka justru menjadi cemerlang justru karena itu. Perhatian hanya tertuju pada belajar. Tidak disibukkan oleh urusan makanan. Maka sulit saya memahami penjelasan "sebagian ahli": tidak sarapan sulitkan belajar

Bersahabat dengan Ustadz bukan karena mengharap nilai yang bagus, tapi untuk meraup ilmu yang barakah dan berlimpah. Dulu kesempatan memijat ustadz merupakan kesempatan penuh manfaat. Memijat merupakan kesempatan mendengar limpahan nasehat ustadz. Ini bukanlah soal joyful learning. Justru ini soal kesediaan berpayah-payah demi meraih ilmu yang lebih utama. Ada semangat di sana.

Bersahabat dengan ustadz bahkan tak hanya terkait kesempatan meraup kesempatan lebih banyak untuk memperoleh curahan ilmu darinya. Lebih dari itu adalah ikatan jiwa antara murid dan guru. Teringat, ketika guru sakit, sedih sekali perasaan ini & bersegera mendo'akan. Ikatan semacam ini menjadikan kehadiran guru senantiasa dinanti dan tutur katanya didengarkan sepenuh hati. Inilah bekal amat berharga.

Ketika murid benar-benar memiliki keterikatan hati dengan guru, cara mengajar yang monoton pun tetap membangkitkan antusiasme. Sebaliknya, ketika guru semata hanya mengandalkan metode mengajar, cara yang atraktif pun tak jarang hanya memikat sesaat di kelas. Murid betah mendengarnya karena menarik dan lucu, tapi tak menumbuhkan antusiasme untuk belajar lebih serius di luar kelas. Apalagi jika salah memahami istilah belajar tuntas sehingga seakan tak perlu lagi belajar setiba di rumah, bahkan hingga tertidur pulas di malam hari. Padahal antusiasnya anak belajar sepulang sekolah merupakan salah satu tanda belajar otentik. Jika kita sangat meminati sesuatu, sakit pun tak menghalangi untuk menekuninya.

Maka membekali murid dengan menumbuhkan sikap percaya kepada guru, hormat serta ikatan emosi dengan guru amat mendesak dilakukan. Dalam hal ini, kita dapat membincang dari kacamata efektivitas pembelajaran. Tapi saya lebih suka melihat dari segi kebarakahan belajar. Masalah "barakah" memang terasa makin asing dalam pembicaraan tentang pendidikan, hatta itu sekolah Islam. Padahal ini sangat penting.

Prinsip lain yang dinasehatkan oleh Imam Syafi'i rahimahullah bagi penuntut ilmu adalah طُوْلُ زَمَان(memerlukan waktu lama). Seorang santri (murid) harus menyiapkan diri menghabiskan waktu yang panjang untuk mencapai pemahaman yang mendalam terhadap ilmu.

Jauhi sikap instant dan tergesa-gesa (isti'jal) ingin menguasai ilmu dengan segera. Penghambat tafaqquh(upaya memahami secara sangat mendalam) adalah sikap tergesa-gesa. Pengetahuan dapat diperoleh dengan cepat, tetapi pemahaman yang matang dan mendalam hanya dapat diraih dengan kesabaran dan kesungguhan. Grabbing informations dapat dicapai dengan speed reading. Tetapi untuk pemahaman mendalam, yang diperlukan adalah deep reading.

Kesediaan mencurahkan perhatian dan menempuh proses yang lama merupakan kunci untuk meraih keutamaan-keutamaan ilmu yang sangat tinggi. Banyak hal yang dapat dipelajari dalam waktu singkat. Tapi untuk menghasilkan penguasaan yang matang kerap memerlukan waktu panjang. Meski demikian, sekedar siap menjalani masa yang panjang tidak banyak bermakna apabila tidak disertai ketekunan. Ada kesabaran, ada ketekunan.

Sebagian ilmu menuntut ketekunan untuk masa yang panjang. Keduanya diperlukan. Ini memerlukan daya tahan yang tinggi. Ada orang yang cerdas sehingga mudah memahami. Tapi ada sebagian ilmu yang menuntut ketekunan, masa yang panjang dan sekaligus kecerdasan. Dalam bidang sains pun sabar, tekun dan cerdas diperlukan secara bersamaan. Semisal untuk bidang yang memerlukan observasi longitudinal.

Jika ada guru yang bertanya, apa bekal penting bagi seorang murid, maka nasehat Imam Syafi'i rahimahullah ini yang seharusnya ditanamkan kuat-kuat. Ditanamkan kuat-kuat hingga membekas. Bukan sekedar menjadi pengetahuan sekilas. Semoga ini dapat membentuk sikap belajar yang kuat dan mantap.

Jika adab tertanam kuat dan sikap belajar mengakar dalam diri murid, maka guru yang monoton pun akan didengar sepenuh perhatian. Lebih-lebih guru yang bagus kemampuannya mengajar. Tetapi sekedar pintar mengajar, tak bermakna jika murid lemah adabnya buruk sikapnya.

Aku melihat pemilik ilmu hidupnya mulia walau ia dilahirkan dari orangtua terhina.
Ia terus menerus menerus terangkat hingga pada derajat tinggi dan mulia.
Umat manusia mengikutinya dalam setiap keadaan laksana pengembala kambing ke sana sini diikuti hewan piaraan.
Jikalau tanpa ilmu umat manusia tidak akan merasa bahagia dan tidak mengenal halal dan haram.

Diantara keutamaan ilmu kepada penuntutnya adalah semua umat manusia dijadikan sebagai pelayannya.
Wajib menjaga ilmu laksana orang menjaga harga diri dan kehormatannya.
Siapa yang mengemban ilmu kemudian ia titipkan kepada orang yang bukan ahlinya karena kebodohannya maka ia akan mendzoliminya.

Wahai saudaraku, ilmu tidak akan diraih kecuali dengan enam syarat dan akan aku ceritakan perinciannya dibawah ini:
Cerdik, perhatian tinggi, sungguh-sungguh, bekal, dengan bimbingan guru dan panjangnya masa.
Setiap ilmu selain Al-Qur’an melalaikan diri kecuali ilmu hadits dan fikih dalam beragama.
Ilmu adalah yang berdasarkan riwayat dan sanad maka selain itu hanya was-was setan.

Bersabarlah terhadap kerasnya sikap seorang guru.
Sesungguhnya gagalnya mempelajari ilmu karena memusuhinya.
Barangsiapa belum merasakan pahitnya belajar walau sebentar,
Ia akan merasakan hinanya kebodohan sepanjang hidupnya.
Dan barangsiapa ketinggalan belajar di masa mudanya,
Maka bertakbirlah untuknya empat kali karena kematiannya.
Demi Allah hakekat seorang pemuda adalah dengan ilmu dan takwa.
Bila keduanya tidak ada maka tidak ada anggapan baginya.

Ilmu adalah tanaman kebanggaan maka hendaklah Anda bangga dengannya. Dan berhati-hatilah bila kebanggaan itu terlewatkan darimu.
Ketahuilah ilmu tidak akan didapat oleh orang yang pikirannya tercurah pada makanan dan pakaian.
Pengagum ilmu akan selalu berusaha baik dalam keadaan telanjang dan berpakaian.
Jadikanlah bagi dirimu bagian yang cukup dan tinggalkan nikmatnya tidur

Mungkin suatu hari kamu hadir di suatu majelis menjadi tokoh besar di majelis itu.

 

Doa Nabi Sulaiman Menundukkan Hewan dan Jin

  Nabiyullah Sulaiman  'alaihissalam  (AS) merupakan Nabi dan Rasul pilihan Allah Ta'ala yang dikaruniai kerajaan yang tidak dimilik...