Sabtu, 21 November 2020

Manaqib Imam Abu Hanifah


Semakin jauh dari masa Rasulullah dan semakin luas daerah-daerah yang mengenal Islam, semakin luas pula perkembangan ilmu keislaman. Perkembangan di sini diartikan dalam hal yang positif bukan perkembangan yang keluar dari garis besar tuntunan Islam. Misalnya, dahulu di zaman Rasulullah dan sahabatnya, huruf-huruf Alquran ditulis dengan tanpa menggunakan harokat dan tanda titik. Setelah orang-orang non-Arab mengenal Islam, penulisan huruf-huruf Alquran lebih disederhanakan dengan menambahkan titik pada huruf-huruf yang hampir sama, lalu di masa berikutnya ditambahkan harokat. Yang demikian dimaksudkan agar orang-orang non-Arab mudah membacanya.

Demikian juga dalam permasalahan agama secara umum, para sahabat dimudahkan dalam memahami Islam karena mereka bisa bertanya langsung dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para tabi’in bisa bertanya kepada para sahabat. Adapun orang-orang setelah mereka, dengan penyebaran Islam yang luas membutuhkan penyederhanaan yang lebih mudah dipahami oleh akal pikiran mereka. Orang pertama yang melakukan usaha besar menyederhanakan permasalahan ini adalah seorang imam besar yang kita kenal dengan Imam Abu Hanifahrahimahullah. Beliau menyusun kajian fikih dan mengembangkannya demi kemudahan umat Islam.

Kelahiran dan Masa Kecilnya

Sebagaimana orang-orang lebih mengenal Imam Syafii daripada nama aslinya yaitu Muhammad bin Idris, jarang juga orang yang tahu bahwa nama Imam Abu Hanifah adalah Nu’man bin Tsabit bin Marzuban, kun-yahnya Abu Hanifah. Ia adalah putra dari keluarga Persia (bukan orang Arab). Asalnya dari Kota Kabul (ibu kota Afganistan sekarang). Kakeknya, Marzuban, memeluk Islam di masa Umar bin Khattab radhiallahu ‘anhu, lalu hijrah dan menetap di Kufah.

Imam Abu Hanifah dilahirkan di Kufah pada tahun 699 M. Ayahnya, Nu’man, adalah seorang pebisnis yang sukses di Kota Kufah, tidak heran kita mengenal Imam Abu Hanifah sebagai seorang pebisnis yang sukses pula mengikuti jejak sang ayah. Jadi, beliau tumbuh di dalam keluarga yang shaleh dan kaya. Di tengah tekanan peraturan yang represif yang diterapkan gubernur Irak Hajjaj bin Yusuf, Imam Abu Hanifah tetap menjalankan bisnisnya menjual sutra dan pakaian-pakaian lainnya sambil mempelajari ilmu agama.

Memulai Belajar

Sebagaimana kebiasaan orang-orang shaleh lainnya, Abu Hanifah juga telah menghafal Alquran sedari kecil. Di masa remaja, Imam Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit mulai menekuni belajar agama dari ulama-ulama terkemuka di Kota Kufah. Ia sempat berjumpa dengan sembilan atau sepuluh orang sahabat Nabi semisal Anas bin Malik, Sahl bin Sa’d, Jabir bin Abdullah, dll.

Saat berusia 16 tahun, Abu Hanifah pergi dari Kufah menuju Mekah untuk menunaikan ibadah haji dan berziarah ke kota Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Madinah al-Munawwaroh. Dalam perjalanan ini, ia berguru kepada tokoh tabi’in, Atha bin Abi Rabah, yang merupakan ulama terbaik di kota Mekah.

Jumlah guru Imam Abu Hanifah adalah sebanyak 4000 orang guru. Di antaranya 7 orang dari sahabat Nabi, 93 orang dari kalangan tabi’in, dan sisanya dari kalangan tabi’ at-tabi’in. Jumlah guru yang demikian banyak tidaklah membuat kita heran karena beliau banyak menempuh perjalanan dan berkunjung ke berbagai kota demi memperoleh ilmu agama. Beliau menunaikan haji sebanyak 55 kali, pada musim haji para ulama berkumpul di Masjidil Haram menunaikan haji atau untuk berdakwah kepada kaum muslimin yang datang dari berbagai penjuru negeri.

Seorang Ulama Berpengaruh

Imam Abu Hanifah menciptakan suatu metode dalam berijtihad dengan cara melemparkan suatu permasalahan dalam suatu forum, kemudian ia mengungkapkan pendapatnya beserta argumentasinya. Imam Abu Hanifah akan membela pendapatnya di forum tersebut dengan menggunakan dalil dari Alquran dan sunnah ataupun dengan logikanya. Diskusi bisa berlangsung seharian dalam menuntaskan suatu permasalahan. Inilah metode Imam Abu Hanifah yang dikenal dengan metode yang sangat mengoptimalkan logika.

Metode ini dianggap sangat efektif untuk merangsang logika para murid Imam Abu Hanifah sehingga mereka terbiasa berijtihad. Para murid juga melihat begitu cerdasnya Imam Abu Hanifah dan keutamaan ilmu beliau. Dari majlis beliau lahirlah ulama-ulama besar semisal Abu Yusuf, Muhammad asy-Syaibani, az-Zuffar, dll. dan majlis beliau menjadi sebuah metode dalam kerangka ilmu fikih yang dikenal dengan Madzhab Hanafi dan membuah sebuah kitab yang istimewa, al-Fiqh al-Akbar.

Imam Abu Hanifah beberapa kali ditawari untuk memegang jabatan menjadi seorang hakim di Kufa, namun tawaran tersebut senantiasa beliau tolak. Hal inilah di antara yang menyebabkan beliau dipenjara oleh otoritas Umayyah dan Abbasiah.

Karya Imam Hanafi 

Hasil karya dan karangan Imam Abu Hanifah, meskipun ia diakui sebagai ahli dalam agama Islam, namun sampai sekarang tidak banyak yang dapat kita nikmati. Hal ini dapat dimaklumi sebab dilihat segi dari masa hidupnya yang sebenarnya sudah banyak bahan, namun belum dituangkan dalam bentuk karya yang sistematis, sampai akhir hidupnya dalam penjara yang relatif lama sehingga apa yang kita baca pada pendapat-pendapat beliau pun sebenarnya banyak merupakan kodifikasi dari murid-muridnya atau bahkan hanya sekedar hasil kuliah dari beberapa murid beliau untuk kemudian dikodifikasikannya.

Pada saat beliau masih hidup, masalah-masalah agama dan buah fikirannya tersebut dicatat oleh sahabatnya, dikumpulkan berikut juga paham mereka sendiri, yang kemudian disebut sebagai “mazhab Imam Hanafi”. Dalam usaha itu, ulama Hanafiyah membagi hasil yang mereka kumpulkan itu dibagi kepada 3 tingkatan, yang tiap-tipa tingkatan itu merupakan suatu kelompok yaitu :

1. Tingkat pertama dinamakan Masailul –Ushul (masalah-masalah pokok)

Merupakan suatu kumpulan kitab yang bernama Zhaahirur riwayat yaitu pendapat-pendapat Abu Hanifah yang terdapat dalam kumpulan kitab itu mempunyai riwayat yang diyakini kebenarannya karena diriwiyatkan oleh murid-murid dan sahabat-sahabat beliau yang terdekat dan kepercayaannya. Kitab zhahirur riwayat dihimpun oleh Imam Muhammad bin Hasan terdiri atas 6 kitab yaitu :

a. Kitab Al Mabsuth (Terhampar)

Kitab ini memuat maslah-masalah keagamaan yang dikemukakan oleh Imam Abu Hanifah. Di samping itu juga memuat pendapat-pendapat Imam Abu Yusuf dan Muhamamd bin Hasan yang berbeda dengan pendapat Imam Abu Hanifah, juga perbedaan pendapat Abu Hanifah dengan Ibnu Abi Laila yang meriwayatkan kitab Al-Mabsuth ialah Ahmad bin Hafash Al-Kabir, murid dari Muhammad bin Hasan.

b. Kitab Al-Jaami’ush shaghir (himpunan kecil)

Diriwayatkan oleh Isa bin Abban dan Muhammad bin Sima’ah yang keduanya murid Muhammad bin Hasan.kitab ini dimulai dengan bab shalat. Karena sistematika kitab ini tidak teratur, maka disusun kembali oleh Al-Qodhi Abdut-Thahir Muhammad bin Muhammad Adalah-Dabbas

c. Kitab Al Jaami’ul Kabir (Himpunan Besar). Kitab ini sama dengan Al-Jaami’ush Shaghir hanya uraiannya lebih luas.

d. Kitab As-Sairu Al-shaghir (sejarah hidup kecil). Berisi tentang jihad (hukum perang)

e. Ktab As-Sairul Kabiir (sejarah hidup besar). Berisi masalah-masalah fiqih yang ditulis oleh Muhammad bin Hasan

f. Kitab Az-Ziyaadat.

Keenam buku tersebut dikumpulkan dalam Mukhtashar al-Kafi yang disusun oleh Abu Fadhal Al-Muruzi.

2. Tingkat kedua ialah kitab Masaa-ilun Nawadhir (persoalan langka)

Merupakan persoalan yang diriwiyatkan dari pasa pemuka mazhab di atas, tetapi tidak diriwayatkan dalam buku-buku yang sudah disebut tadi, diriwayatkan dalam buku-buku lain yang ditulis oleh Muhammad, seperti Al-Kisaniyat, Al-Haruniyyat, Al-Jurjaniyyat, Al-Riqqiyyat, Al-Makharij Fil Al-Hayil dan Ziyadat Al Ziyadat yang diriwayatkan oleh Ibnu Rustam. Buku-buku tersebut termasuk buku mengenai fiqih yang diimlakan (didiktekan) oleh Muhammad. Riwayat seperti itu juga disebut ghair zhahir al-riwayah karena pendapat-pendapat itu tidak diriwayatkan dari Muhammad dengan riwayat-riwayat yang zhahir (tegas) kuat, dan shahih seperti buku-buku pada kelompok pertama.

3. Tingkat yang ketiga dinamakan Al-Fataawa Al-Waaqi’aat (kejadian dan fatwa)

Merupakan kumpulan pendapat sahabat-sahabat dan murid-murid Imam Abu Hanifah. Buku pertama mengenai al-Fatawa ialah Al-Nawazil ditulis oleh Faqih Abu Laits Al-Samarqandi. Setelah itu sekelompok syaikh menulis buku yang lain seperti Majmu’ al-Nawazil wa al-Waqiat yang ditulis oleh Al-Nathifi dan Al-Waqiat yang ditulis oleh Shadr A-Syahid Ibnu Mas’ud.

Dalam bidang fiqih ada kitab Al Musnad kitab Al-Makharij dan Fiqih Al-Akbar, dan dalam masalah aqidah ada kitab al-Fiqh Al-Asqar. Dalam bidang ushul fiqih buah pikiran Imam Abu Hanifah dapat dirujuk antara lain dalam Ushul as-Sarakhsi oleh Asy-Sarakhsi dan Kanz al-wusul ila ilm al usul karya Imam al-Bazdawi.

Di samping itu terdapat kumpulan pendapat Imam Hanafi yang berhubungan dengan masalah warisan yang bernama kitab Al-Faraidh dan kitab yang memuat maslah-masalah muamalat yang bernama Asy-Syuruuth 

Buku yang memuat sirah (biografinya) adalah Khabar Abu Hanifah karya Asy-Syaibany dan Abu Hanifah = Hayatihu, Wa’ Asruhu, Wa Arahu Wa Fiqhuhu karya Muhammad Abu Zahrah ‎Ada lagi kitab Al-Kharraaj karya Abu Yusuf murid Abu Hanifah, yaitu kitab pertama yang mula-mula meletakkan pokok-pokok undang-undang tentang perbendaharaan negara.

Pujian Ulama kepada Sang Imam

Imam Malik

"Subhanallah, Saya belum pernah melihat sosok seperti dia, Demi Allah, jika Abu Hanifah berpendapat bahwa sebuah alat terbuat dari emas, maka pasti ia sanggup mempertengahkan kebenaran atas perkataannya itu."

Imam Syafi'i

"Barangsiapa ingin memperdalam fikih, maka hendaklah menjadi anak asuh bagi Abu Hanifah, Abu Hanifah merupakan orang yang diberi taufik oleh Allah dalam bidang fikih."

"Barangsiapa belum membaca buku-buku Abu Hanifah, maka ia belum memperdalam ilmu, juga belum belajar fikih."

Imam Ahmad bin Hambal

"Subhanallah, ia berada dalam posisi keilmuan, wara' dan zuhud, mementingkan akhirat, yang tidak dilihat oleh seorangpun."

Ibnu Juraij

"Aku mendengar bahwa an-Nu'man (julukan Abu Hanifah) orang yang paling wara', menjaga agama dengan ilmunya, tidak mengedepankan pecinta dunia diatas pecinta akhirat, saya berkeyakinan bahwa dalam dunia keilmuan dia akan memiliki prestasi yang menakjubkan."

Imam Fudhail bin Iyadh

"Abu Hanifah merupakan pribadi fakih yang terkenal dengan kefakihannya, kekayaan yang cukup luas, terkenal dengan kebaikan terhadap setiap orang yang mengganggunya, sangat sabar dalam menuntut ilmu baik siang maupun malam, selalu diam, sedikit berbicara hingga datang kepadanya masalah-masalah halal dan haram, sangat cermat dalam menunjukkan kebenaran, selalu lari dari harta penguasa."

Penolakan Sebagai Hakim

Khalifah Abu Ja'far Al-Mansur berkata kepada menterinya, "Aku sedang membutuhkan seorang hakim yang bisa menegakkan keadilan di negara kita ini, dengan kualifikasi dia tidak takut kepada siapapun dalam menegakkan kebenaran, paling memahami Al-Qur'an danSunnah Rasulullah. Menurutmu siapa yang layak menduduki posisi ini?", lalu sang menteri menjawab, "Sejauh pengetahuan saya, ulama yang paling tepat menduduki jabatan ini adalah Abu Hanifah An-Nu'man, betapa bahagianya kita jika ia menerima tawaran sebagai hakim ini!", "Apa mungkin seseorang bisa menolak jika kita yang memintanya?" tanya Khalifah lagi, "Sejauh yang kami tahu, dia tidak pernah tunduk kepada permintaan siapapun, tampaknya dia tidak suka menduduki posisi sebagai hakim, maka utuslah seseorang utusan mudah-mudahan hatinya terbuka, dan menerima tawaran ini."

Khalifah kemudian mengutus seorang utusan memintanya untuk menghadap seraya menawarkan posisi sebagai hakim. Abu Hanifah menjawab, "Aku akan istikharah terlebih dahulu, shalat 2 rakaat meminta petunjuk kepada Allah, jika hatiku dibuka maka akan aku terima, jika tidak maka masih banyak ahli fikih lain yang bisa dipilih salah satu daintara mereka oleh Amirul Mukminin."

Waktu terus berjalan, ternyata Abu Hanifah tak kunjung menghadap Khalifah, maka ia mengutus seorang utusan memintanya menghadap, Abu Hanifah kemudian pergi menghadap namun ia beritikad untuk menolak jabatan hakim yang ditawarkan kepadanya.

Ternyata Khalifah tidak menyerah begitu saja, ia bersumpah agar Abu Hanifah menerima jabatan sebagai hakim yang ditawarkan, akan tetapi Abu Hanifah tetap menolaknya, seraya berkata, "Wahai Amirul Mukminin, sesungguhnya aku tak pantas untuk menduduki jabatan hakim," lalu Khalifah malah menjawab, "Engkau dusta!" sehingga Abu Hanifah pun berkata, "Sekiranya Anda telah menghukumi saya sebagai pembohong, maka sesungguhnya para pembohong tak layak menjadi hakim, dan sebaiknya Anda jangan mengangkat rakyat Anda yang tidak memenuhi kualifikasi untuk menduduki jabatan yang strategis ini. Wahai Amirul Mukminin, takutlah kepada Allah, dan jangan Anda delegasikan amanah kecuali kepada mereka yang takut kepada Allah, jika saya tidak mendapat jaminan keridhaan, bagaimana saya akan mendapat jaminan terhindar dari murka?". Khalifah lalu memerintahkan mencambuknya seratus cambukan, lalu dijebloskannya ke penjara.

Selang beberapa hari, khalifah mendapat teguran dari seorang kerabatnya, "Wahai Amirul Mukminin, sesungguhnya Anda telah mencambuk diri Anda dengan seratus ribu pukulan pedang."

Maka khalifah segera memerintahkan untuk membayar 30.000 dirham (sekitar Rp.2,1 miliar) kepada Abu Hanifah sebagai ganti atas yang telah dideritanya, lalu membebaskannya dan mengembalikan ke rumahnya.

Ternyata setelah harta tersebut diberikan, ia menolaknya. Maka khalifah memerintahkan untuk menjebloskan kembali ke penjara. Hanya saja para menteri mengusulkan bahwa Abu Hanifah segera dibebaskan dan cukup diberi dengan penjara rumah, serta melarangnya untuk duduk bersama masyarakat atau keluar dari rumah.

Akhir Hayat Sang Imam 

Selang beberapa hari setelah mendapatkan tahanan rumah, ia terkena penyakit, semakin lama semakin parah. Akhirnya ia wafat pada usia 68 tahun. Berita kematiannya segera menyebar, ketika Khalifah mendengar berita itu, ia berkata, "Siapa yang bisa memaafkanku darimu hidup maupun mati?" Salah seorang ulama Kufah berkata, "Cahaya keilmuan telah dimatikan dari kota Kufah, sungguh mereka tidak pernah melihat ulama sekaiber dia selamanya." Yang lain berkata, "Kini mufti dan fakih Irak telah tiada."

Jasadnya dikeluarkan dipanggul di atas punggung kelima muridnya, hingga sampai tempat pemandian, ia dimandikan oleh Al-Hasan bin Imarah, sementara Al-Harawi yang menyiramkan air ke tubuhnya. Ia disalatkan lebih dari 50.000 orang. Dalam enam kali putaran yang ditutup dengan salat oleh anaknya, Hammad. Ia tak dapat dikuburkan kecuali setelah salat Ashar karena sesak, dan banyak tangisan. Ia berwasiat agar jasadnya dikuburkan di Kuburan Al-Khairazan, karena merupakan tanah kubur yang baik dan bukan tanah curian.

Imam Abu Hanifah wafat di Kota Baghdad pada tahun 150 H/767 M. Imam Ibnu Katsir mengatakan, “6 kelompok besar Penduduk Baghdad menyolatkan jenazah beliau secara bergantian. Hal itu dikarenakan banyaknya orang yang hendak menyolatkan jenazah beliau.”

Di masa Turki Utsmani, sebuah masjid di Baghdad yang dirancang oleh Mimar Sinan didedikasikan untuk beliau. Masjid tersebut dinamai Masjid Imam Abu Hanifah.

Sepeninggal beliau, madzhab fikihnya tidak redup dan terus dipakai oleh umat Islam, bahkan menjadi madzhab resmi beberapa kerajaan Islam seperti Daulah Abbasiyah, Mughal, dan Turki Utsmani. Saat ini madzhab beliau banyak dipakai di daerah Turki, Suriah, Irak, Balkan, Mesir, dan India.

Pandangan Imam Hanafi tentang Ketuhanan

Suatu ketika al-Imam Abu Hanifah ditanya makna "Istawa", beliau menjawab: “Barangsiapa berkata: Saya tidak tahu apakah Allah berada di langit atau barada di bumi maka ia telah menjadi kafir. Karena perkataan semacam itu memberikan pemahaman bahwa Allah bertempat. Dan barangsiapa berkeyakinan bahwa Allah bertempat maka ia adalah seorang musyabbih; menyerupakan Allah dengan makhuk-Nya” (Pernyataan al-Imam Abu Hanifah ini dikutip oleh banyak ulama. Di antaranya oleh al-Imam Abu Manshur al-Maturidi dalam Syarh al-Fiqh al-Akbar, al-Imam al-Izz ibn Abd as-Salam dalam Hall ar-Rumuz, al-Imam Taqiyuddin al-Hushni dalam Daf’u Syubah Man Syabbah Wa Tamarrad, dan al-Imam Ahmad ar-Rifa’i dalam al-Burhan al-Mu’yyad)..


Di sini ada pernyataan yang harus kita waspadai, ialah pernyataan Ibn al-Qayyim al-Jawziyyah. Murid Ibn Taimiyah ini banyak membuat kontroversi dan melakukan kedustaan persis seperti seperti yang biasa dilakukan gurunya sendiri. Di antaranya, kedustaan yang ia sandarkan kepada al-Imam Abu Hanifah. Dalam beberapa bait sya’ir Nuniyyah-nya, Ibn al-Qayyim menuliskan sebagai berikut:

“Demikian telah dinyatakan oleh Al-Imam Abu Hanifah an-Nu’man ibn Tsabit, juga oleh Al-Imam Ya’qub ibn Ibrahim al-Anshari. Adapun lafazh-lafazhnya berasal dari pernyataan Al-Imam Abu Hanifah...
bahwa orang yang tidak mau menetapkan Allah berada di atas arsy-Nya, dan bahwa Dia di atas langit serta di atas segala tempat, ...
Demikian pula orang yang tidak mau mengakui bahwa Allah berada di atas arsy, --di mana perkara tersebut tidak tersembunyi dari setiap getaran hati manusia--,...
Maka itulah orang yang tidak diragukan lagi dan pengkafirannya. Inilah pernyataan yang telah disampaikan oleh al-Imam masa sekarang (maksudnya gurunya sendiri; Ibn Taimiyah).

Inilah pernyataan yang telah tertulis dalam kitab al-Fiqh al-Akbar (karya Al-Imam Abu Hanifah), di mana kitab tersebut telah memiliki banyak penjelasannya”.

Apa yang ditulis oleh Ibn al-Qayyim dalam untaian bait-bait syair di atas tidak lain hanya untuk mempropagandakan akidah tasybih yang ia yakininya. Ia sama persis dengan gurunya sendiri, memiliki keyakinan bahwa Allah bersemayam atau bertempat di atas arsy. Pernyataan Ibn al-Qayyim bahwa keyakinan tersebut adalah akidah al-Imam Abu Hanifah adalah kebohongan belaka. Kita meyakini sepenuhnya bahwa Abu Hanifah adalah seorang ahli tauhid, mensucikan Allah dari keserupaan dengan makhluk-Nya. Bukti kuat untuk itu mari kita lihat karya-karya al-Imam Abu Hanifah sendiri, seperti al-Fiqh al-Akbar, al-Washiyyah, atau lainnya. Dalam karya-karya tersebut terdapat banyak ungkapan beliau menjelaskan bahwa Allah sama sekali tidak menyerupai makhluk-Nya, Dia tidak membutuhkan kepada tempat atau arsy, karena arsy adalah makhluk Allah sendiri. Mustahil Allah membutuhkan kepada makhluk-Nya.

Sesungguhnya memang seorang yang tidak memiliki senjata argumen, ia akan berkata apapun untuk menguatkan keyakinan yang ia milikinya, termasuk melakukan kebohongan-kebohongan kepada para ulama terkemuka. Inilah tradisi ahli bid’ah, untuk menguatkan bid’ahnya, mereka akan berkata: al-Imam Malik berkata demikian, atau al-Imam Abu Hanifah berkata demikian, dan seterusnya. Padahal sama sekali perkataan mereka adalah kedustaan belaka.

Dalam al-Fiqh al-Akbar, al-Imam Abu Hanifah menuliskan sebagai berikut:

“Dan sesungguhnya Allah itu satu bukan dari segi hitungan, tapi dari segi bahwa tidak ada sekutu bagi-Nya. Dia tidak melahirkan dan tidak dilahirkan, tidak ada suatu apapun yang meyerupai-Nya. Dia bukan benda, dan tidak disifati dengan sifat-sifat benda. Dia tidak memiliki batasan (tidak memiliki bentuk; artinya bukan benda), Dia tidak memiliki keserupaan, Dia tidak ada yang dapat menentang-Nya, Dia tidak ada yang sama dengan-Nya, Dia tidak menyerupai suatu apapun dari makhluk-Nya, dan tidak ada suatu apapun dari makhluk-Nya yang menyerupainya” (Lihat al-Fiqh al-Akbar dengan Syarh-nya karya Mulla ‘Ali al-Qari’, h. 30-31).

Masih dalam al-Fiqh al-Akbar, Al-Imam Abu Hanifah juga menuliskan sebagai berikut:

وَاللهُ تَعَالى يُرَى فِي الآخِرَة، وَيَرَاهُ الْمُؤْمِنُوْنَ وَهُمْ فِي الْجَنّةِ بِأعْيُنِ رُؤُوسِهِمْ بلاَ تَشْبِيْهٍ وَلاَ كَمِّيَّةٍ وَلاَ يَكُوْنُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ خَلْقِهِ مَسَافَة.

“Dan kelak orang-orang mukmin di surga nanti akan melihat Allah dengan mata kepala mereka sendiri. Mereka melihat-Nya tanpa adanya keserupaan (tasybih), tanpa sifat-sifat benda (Kayfiyyah), tanpa bentuk (kammiyyah), serta tanpa adanya jarak antara Allah dan orang-orang mukmin tersebut (artinya bahwa Allah ada tanpa tempat, tidak di dalam atau di luar surga, tidak di atas, bawah, belakang, depan, samping kanan atau-pun samping kiri)”” ( Lihat al-Fiqh al-Akbar dengan syarah Syekh Mulla Ali al-Qari, h. 136-137).

Pernyataan al-Imam Abu Hanifah ini sangat jelas dalam menetapkan kesucian tauhid. Artinya, kelak orang-orang mukmin disurga akan langsung melihat Allah dengan mata kepala mereka masing-masing. Orang-orang mukmin tersebut di dalam surga, namun Allah bukan berarti di dalam surga. Allah tidak boleh dikatakan bagi-Nya “di dalam” atau “di luar”. Dia bukan benda, Dia ada tanpa tempat dan tanpa arah. Inilah yang dimaksud oleh Al-Imam Abu Hanifah bahwa orang-orang mukmin akan melihat Allah tanpa tasybih, tanpa Kayfiyyah, dan tanpa kammiyyah.

Pada bagian lain dari Syarh al-Fiqh al-Akbar, yang juga dikutip dalam al-Washiyyah, al-Imam Abu Hanifah berkata:

ولقاء الله تعالى لأهل الجنة بلا كيف ولا تشبيه ولا جهة حق

“Bertemu dengan Allah bagi penduduk surga adalah kebenaran. Hal itu tanpa dengan Kayfiyyah, dan tanpa tasybih, dan juga tanpa arah” (al-Fiqh al-Akbar dengan Syarah Mulla ‘Ali al-Qari’, h. 138).

Kemudian pada bagian lain dari al-Washiyyah, beliau menuliskan:

وَنُقِرّ بِأنّ اللهَ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى عَلَى العَرْشِ اسْتَوَى مِنْ غَيْرِ أنْ يَكُوْنَ لَهُ حَاجَةٌ إليْهِ وَاسْتِقْرَارٌ عَلَيْهِ، وَهُوَ حَافِظُ العَرْشِ وَغَيْرِ العَرْشِ مِنْ غَبْرِ احْتِيَاجٍ، فَلَوْ كَانَ مُحْتَاجًا لَمَا قَدَرَ عَلَى إيْجَادِ العَالَمِ وَتَدْبِيْرِهِ كَالْمَخْلُوقِيْنَ، وَلَوْ كَانَ مُحْتَاجًا إلَى الجُلُوْسِ وَالقَرَارِ فَقَبْلَ خَلْقِ العَرْشِ أيْنَ كَانَ الله، تَعَالَى اللهُ عَنْ ذَلِكَ عُلُوّا كَبِيْرًا.

“Kita menetapkan sifat Istiwa bagi Allah pada arsy, bukan dalam pengertian Dia membutuhkan kepada arsy tersebut, juga bukan dalam pengertian bahwa Dia bertempat atau bersemayam di arsy. Allah yang memelihara arsy dan memelihara selain arsy, maka Dia tidak membutuhkan kepada makhluk-makhluk-Nya tersebut. Karena jika Allah membutuhkan kapada makhluk-Nya maka berarti Dia tidak mampu untuk menciptakan alam ini dan mengaturnya. Dan jika Dia tidak mampu atau lemah maka berarti sama dengan makhluk-Nya sendiri. Dengan demikian jika Allah membutuhkan untuk duduk atau bertempat di atas arsy, lalu sebelum menciptakan arsy dimanakah Ia? (Artinya, jika sebelum menciptakan arsy Dia tanpa tempat, dan setelah menciptakan arsy Dia berada di atasnya, berarti Dia berubah, sementara perubahan adalah tanda makhluk). Allah maha suci dari pada itu semua dengan kesucian yang agung” (Lihat al-Washiyyah dalam kumpulan risalah-risalah Imam Abu Hanifah tahqiq Muhammad Zahid al-Kautsari, h. 2. juga dikutip oleh Mullah Ali al-Qari dalam Syarh al-Fiqhul Akbar, h. 70).

Dalam al-Fiqh al-Absath, al-Imam Abu Hanifah menuliskan:

قُلْتُ: أرَأيْتَ لَوْ قِيْلَ أيْنَ اللهُ؟ يُقَالُ لَهُ: كَانَ اللهُ تَعَالَى وَلاَ مَكَانَ قَبْلَ أنْ يَخْلُقَ الْخَلْقَ، وَكَانَ اللهُ تَعَالَى وَلَمْ يَكُنْ أيْن وَلاَ خَلْقٌ وَلاَ شَىءٌ، وَهُوَ خَالِقُ كُلّ شَىءٍ.

“Aku katakan: Tahukah engkau jika ada orang berkata: Di manakah Allah? Jawab: Dia Allah ada tanpa permulaan dan tanpa tempat, Dia ada sebelum segala makhluk-Nya ada. Allah ada tanpa permulaan sebelum ada tempat, sebelum ada makhluk dan sebelum segala suatu apapun. Dan Dia adalah Pencipta segala sesuatu” (Lihat al-Fiqh al-Absath karya al-Imam Abu Hanifah dalam kumpulan risalah-risalahnya dengan tahqiq Muhammad Zahid al-Kautsari, h. 20).

Pada bagian lain dalam kitab al-Fiqh al-Absath, al-Imam Abu Hanifah menuliskan:

“Allah ada tanpa permulaan (Azali, Qadim) dan tanpa tempat. Dia ada sebelum menciptakan apapun dari makhluk-Nya. Dia ada sebelum ada tempat, Dia ada sebelum ada makhluk, Dia ada sebelum ada segala sesuatu, dan Dialah pencipta segala sesuatu. Maka barangsiapa berkata saya tidak tahu Tuhanku (Allah) apakah Ia di langit atau di bumi?, maka orang ini telah menjadi kafir. Demikian pula menjadi kafir seorang yang berkata: Allah bertempat di arsy, tapi saya tidak tahu apakah arsy itu di bumi atau di langit” (al-Fiqh al-Absath, h. 57).


Dalam tulisan al-Imam Abu Hanifah di atas, beliau mengkafirkan orang yang berkata: “Saya tidak tahu Tuhanku (Allah) apakah Ia di langit atau di bumi?”. Demikian pula beliau mengkafirkan orang yang berkata: “Allah bertempat di arsy, tapi saya tidak tahu apakah arsy itu di bumi atau di langit”.
Klaim kafir dari al-Imam Abu Hanifah terhadap orang yang mengatakan dua ungkapan tersebut adalah karena di dalam ungkapan itu terdapat pemahaman adanya tempat dan arah bagi Allah. Padahal sesuatu yang memiliki tempat dan arah sudah pasti membutuhkan kepada yang menjadikannya dalam tempat dan arah tersebut. Dengan demikian sesuatu tersebut pasti baharu (makhluk), bukan Tuhan.

Tulisan al-Imam Abu Hanifah ini seringkali disalahpahami atau sengaja diputarbalikan pemaknaannya oleh kaum Musyabbihah. Perkataan al-Imam Abu Hanifah ini seringkali dijadikan alat oleh kaum Musyabbihah untuk mempropagandakan keyakinan mereka bahwa Allah berada di langit atau berada di atas arsy. Padahal sama sekali perkataan al-Imam Abu Hanifah tersebut bukan untuk menetapkan tempat atau arah bagi Allah. Justru sebaliknya, beliau mengatakan demikian adalah untuk menetapkan bahwa Allah ada tanpa tempat dan tanpa arah. Hal ini terbukti dengan perkataan-perkataan al-Imam Abu Hanifah sendiri seperti yang telah kita kutip di atas. Di antaranya tulisan beliau dalam al-Washiyyah: “Jika Allah membutuhkan untuk duduk atau bertempat di atas arsy, lalu sebelum menciptakan arsy dimanakah Ia?”.

Dengan demikian menjadi jelas bagi kita bahwa klaim kafir yang sematkan oleh al-Imam Abu Hanifah adalah terhadap mereka yang berakidah tasybih; yaitu mereka yang berkeyakinan bahwa Allah bersemayam di atas arsy. Inilah maksud yang dituju oleh al-Imam Abu Hanifah dengan dua ungkapannya tersebut di atas, sebagaimana telah dijelaskan oleh al-Imam al-Bayyadli al-Hanafi dalam karyanya; Isyarat al-Maram Min ‘Ibarat al-Imam (Lihat Isyarat al-Maram, h. 200). Demikian pula prihal maksud perkataan al-Imam Abu Hanifah ini telah dijelasakan oleh al-Muhaddits al-Imam Muhammad Zahid al-Kautsari dalam kitab Takmilah as-Saif ash-Shaqil (Lihat Takmilah ar-Radd ‘Ala an-Nuniyyah, h. 180).

Asy-Syaikh ‘Ali Mulla al-Qari di dalam Syarah al-Fiqh al-Akbar menuliskan sebagai berikut:

“Ada sebuah riwayat berasal dari Abu Muthi’ al-Balkhi bahwa ia pernah bertanya kepada Abu Hanifah tentang orang yang berkata “Saya tidak tahu Allah apakah Dia berada di langit atau berada di bumi!?”. Abu Hanifah menjawab: “Orang tersebut telah menjadi kafir, karena Allah berfirman “ar-Rahman ‘Ala al-arsy Istawa”, dan arsy Allah berada di atas langit ke tujuh”. Lalu Abu Muthi’ berkata: “Bagaimana jika seseorang berkata “Allah di atas arsy, tapi saya tidak tahu arsy itu berada di langit atau di bumi?!”. Abu Hanifah berkata: “Orang tersebut telah menjadi kafir, karena sama saja ia mengingkari Allah berada di langit. Dan barangsiapa mengingkari Allah berada di langit maka orang itu telah menjadi kafir. Karena Allah berada di tempat yang paling atas. Dan sesungguhnya Allah diminta dalam doa dari arah atas bukan dari arah bawah”.

Kita jawab riwayat Abu Muthi’ ini dengan riwayat yang telah disebutkan oleh al-Imam al-Izz ibn Abd as-Salam dalam kitab Hall ar-Rumuz, bahwa al-Imam Abu Hanifah berkata: “Barangsiapa berkata “Saya tidak tahu apakah Allah di langit atau di bumi?!”, maka orang ini telah menjadi kafir. Karena perkataan semacam ini memberikan pemahaman bahwa Allah memiliki tempat. Dan barangsiapa berkeyakinan bahwa Allah memiliki tempat maka orang tersebut seorang musyabbih; menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya”. Al-Imam al-Izz ibn Abd as-Salam adalah ulama besar terkemuka dan sangat terpercaya. Riwayat yang beliau kutip dari al-Imam Abu Hanifah dalam hal ini wajib kita pegang teguh. Bukan dengan memegang tegung riwayat yang dikutip oleh Ibn ‘Abi al-Izz; (yang telah membuat syarah Risalah al-‘Aqidah ath-Thahawiyyah versi akidah tasybih). Di samping ini semua, Abu Muthi’ al-Balkhi sendiri adalah seorang yang banyak melakukan pemalsuan, seperti yang telah dinyatakan oleh banyak ulama hadits” (Syarh al-Fiqh al-Akbar, h. 197-198).

Asy-Syaikh Musthafa Abu Saif al-Hamami, salah seorang ulama al-Azhar terkemuka, dalam kitab karyanya berjudul Ghauts al-‘Ibad Bi Bayan ar-Rasyad menuliskan beberapa pelajaran penting terkait riwayat Abu Muthi’ al-Balkhi di atas, sebagai berikut:

Pertama: Bahwa pernyataan yang dinisbatkan kepada al-Imam Abu Hanifah tersebut sama sekali tidak ada penyebutannya dalam al-Fiqh al-Akbar. Pernyataan semacam itu dikutip oleh orang yang tidak bertanggungjawab, dan dengan sengaja ia berdusta mengatakan bahwa itu pernyataan al-Imam Abu Hanifah dalam al-Fiqh al-Akbar, tujuannya tidak lain adalah untuk mempropagandakan kesesatan orang itu sendiri.

Kedua: Kutipan riwayat semacam ini jelas berasal dari seorang pemalsu (wadla’). Riwayat orang semacam ini, dalam masalah-masalah furu’iyyah (fiqih) saja sama sekali tidak boleh dijadikan sandaran, terlebih lagi dalam masalah-masalah ushuliyyah (akidah). Mengambil periwayatan orang pemalsu semacam ini adalah merupakan pengkhiatan terhadap ajaran-ajaran agama. Dan ini tidak dilakukan kecuali oleh orang yang hendak menyebarkan kesesatan atau bid’ah yang ia yakini.

Ketiga: Periwayatan pemalsu ini telah terbantahkan dengan periwayatan yang benar dari seorang al-Imam agung terpercaya (tsiqah), yaitu al-Imam al-Izz ibn Abd as-Salam. Periwayatan al-Imam Ibn Abd as-Salam tentang perkataan al-Imam Abu Hanifah jauh lebih terpercaya dan lebih benar dibanding periwayatan pemalsu tersebut. Berpegang teguh kepada periwayatan seorang pendusta (kadzdzab) dengan meninggalkan periwayatan seorang yang tsiqah adalah sebuah pengkhianatan, yang hanya dilakukan seorang ahli bid’ah saja. 

Seorang yang melakukan pemalsuan semacam ini, cukup untuk kita klaim sebagai orang yang tidak memiliki amanah. Jika orang awam saja melakukan pemalsuan semacam ini dapat menjadikannya seorang yang tidak dapat dihormati lagi, terlebih jika pemalsuan ini dilakukan oleh seorang yang alim, maka jelas orang alim ini tidak bisa dipertanggungjawabkan lagi dengan ilmu-ilmunya. Dan “orang alim” semacam itu tidak pantas untuk kita sebut sebagai orang alim, terlebih kita golongkannya dari jajaran Imam-Imam terkemuka, atau para ahli ijtihad. Dan lebih parah lagi jika pengkhianatan pemalsu ini dalam tiga perkara ini sekaligus. Padahal dengan hanya satu pengkhianatan saja sudah dapat menurunkannya dari derajat tsiqah. Karena jika satu riwayat sudah ia dikhianati, maka kemungkinan besar terhadap riwayat-riwayat yang lainpun ia akan melakukan hal sama (Lebih lengkap lihat Ghauts al-‘Ibad Bi Bayan ar-Rasyad, h. 99-100).

Kemudian dalam bait sya’ir di atas, Ibn al-Qayyim tidak hanya membuat kedustaan kepada al-Imam Abu Hanifah, namun ia juga melakukan kedustaan yang sama terhadap al-Imam Ya’qub. Yang dimaksud al-Imam Ya’qub dalam bait sya’ir ini adalah sahabat al-Imam Abu Hanifah; yaitu Abu Yusuf Ya’qub ibn Ibrahim al-Anshari. Dalam menyikapi perbuatan Ibn al-Qayyim ini, asy-Syaikh Musthafa Abu Saif al-Humami berkata: “Tidak diragukan lagi apa yang ia nyatakan ini adalah sebuah kedustaan untuk tujuan mempropagandakan keyakinan bid’ahnya” (Lihat Ghauts al-‘Ibad Bi Bayan ar-Rasyad, h. 99).

Penilaian yang sama terhadap Ibn al-Qayyim semacam ini juga telah diungkapkan oleh al-Muhaddits al-Imam Muhammad Zahid al-Kautsari dalam kitab bantahannya terhadap Ibn al-Qayyim sendiri, berjudul Takmilah ar-Radd ‘Ala Nuniyyah Ibn al-Qayyim. Karya Al-Imam al-Kautsari ini adalah sebagai tambahan atas kitab karya Al-Imam Taqiyyuddin as-Subki berjudul as-Saif ash-Shaqil Fi ar-Radd ‘Ala ibn Zafil, kitab yang juga berisikan serangan dan bantahan terhadap bid’ah-bid’ah Ibn al-Qayyim. Yang dimaksud dengan “Ibn Zafil” oleh Al-Imam Taqiyyuddin as-Subki dalam judul kitabnya ini adalah Ibn al-Qayyim al-Jawziyyah; murid dari Ibn Taimiyah (Lihat Takmilah ar-Radd ‘Ala an-Nuniyyah, h. 108).

Dengan demikian riwayat yang sering dipropagandakan oleh Ibn al-Qayyim, yang juga sering dipropagandakan oleh kaum Wahhabiyyah bahwa al-Imam Abu Hanifah berkeyakinan “Allah berada di langit” adalah kedustaan belaka. Riwayat ini sama sekali tidak benar. Dalam rangkaian sanad riwayat ini terdapat nama-nama perawi yang bermasalah, di antaranya; Abu Muhammad ibn Hayyan, Nu’aim ibn Hammad, dan Nuh ibn Abi Maryam Abu ‘Ishmah.

Orang pertama, yaitu Abu Muhammad ibn Hayyan, dinilai dla’if oleh ulama hadits terkemuka yang hidup dalam satu wilayah dengan Abu Muhammad ibn Hayyan sendiri. Ulama hadits tersebut adalah al-Imam al-Hafizh al-‘Assal. Kemudian orang kedua, yaitu Nu’aim ibn Hammad adalah seorang mujassim (Lihat Tahdzib at-Tahdzib, j. 10, h. 409).

Demikian pula Nuh ibn Abi Maryam yang merupakan ayah tiri dari Nu’aim ibn Hammad, juga seorang mujassim (Lihat Tahdzib at-Tahdzib, j. 10, h. 433).

Dan Nuh ibn Abi Maryam ini adalah anak tiri dari Muqatil ibn Sulaiman; pemuka kaum mujassimah. Dengan demikian, Nu’aim ibn Hammad telah dirusak oleh ayah tirinya sendiri, yaitu Nuh ibn Abi Maryam. Demikian pula Nuh ibn Abi Maryam telah dirusak oleh ayah tirinya sendiri, yaitu Muqatil ibn Sulaiman. Orang-orang yang kita sebutkan ini, sebagaimana dinilai oleh para ulama ahli kalam, mereka semua adalah orang-orang yang berkeyakinan tasybih dan tajsim. Dengan demikian bagaimana mungkin riwayat orang-orang yang berakidah tasybih dan tajsim semacam mereka dapat dijadikan sandaran dalam menetapkan permasalahan akidah?! Sesungguhnya orang yang bersandar kepada mereka adalah bagian dari mereka sendiri.

Al-Imam al-Hafizh Ibn al-Jawzi dalam kitab Daf’u Syubah at-Tasybih, dalam penilaiannya terhadap Nu’aim ibn Hammad, mengutip perkataan Ibn ‘Adi, mengatakan: “Dia (Nu’aim ibn Hammad) adalah seorang pemalsu hadits” (Lihat Daf’u Syubah at-Tasybih, h. 32).

Kemudian al-Imam Ahmad ibn Hanbal pernah ditanya tentang riwayat Nu’im ibn Hammad, tiba-tiba beliau memalingkan wajahnya sambil berkata: “Hadits munkar dan majhul” (Daf’u Syubah at-Tasybih, h. 32). Penilaian Al-Imam Ahmad ini artinya bahwa riwayat Nu’aim ibn Hammad ada sesuatu yang sama sekali tidak benar.

(Masalah): Jika kaum Musyabbihah, seperti kaum Wahhabiyyah, mengatakan bahwa adz-Dzahabi telah mengutip riwayat dari kitab al-Asma’ Wa ash-Shifat karya al-Hafizh al-Bayhaqi bahwa pernyataan “Allah berada di langit” adalah berasal dari al-Imam Abu Hanifah.

(Jawab): Kita katakan: Riwayat al-Hafizh al-Bayhaqi dalam kitab al-Asma’ Wa ash-Shifat dengan memepergunakan kata “In shahhat al-hikayah...” (al-Asma’ Wa ash-Shifat, h. 429). Hal ini menunjukan bahwa riwayat tersebut bermasalah. Artinya, riwayat yang dikutip al-Hafizh al-Bayhaqi ini bukan untuk dijadikan dalil. Yang menjadi masalah besar ialah bahwa tulisan al-Bayhaqi “In shahhat ar-riwayah...” ini diacuhkan oleh adz-Dzahabi untuk tujuan memberikan pemahaman kepada para pembaca bahwa pernyataan “Allah berada di langit” adalah statemen al-Imam Abu Hanifah. Ini menunjukan bahwa adz-Dzahabi tidak memiliki amanat ilmiyah. Hal ini juga menunjukan bahwa adz-Dzahabi telah banyak dipengaruhi oleh faham-faham gurunya sendiri, yaitu Ibn Taimiyah. al-Imam al-Muhaddits Muhammad Zahid al-Kautsari dalam Takmilah ar-Radd ‘Ala Nuniyyah Ibn al-Qayyim menuliskan bahwa pernyataan al-Bayhaqi dalam al-Asma’ Wa ash-Shifat: “In shahhat ar-riwayah...” menunjukan bahwa dalam riwayat tersebut terdapat beberapa cacat (al-khalal).

Namun hal terpenting dari pada itu ialah bahwa al-Imam al-Bayhaqi dalam kitab al-Asma’ Wa ash-Shifat tersebut, di dalam banyak tempat banyak menyebutkan tentang kesucian Allah dari pada tempat dan arah, salah satunya pernyataan beliau berikut ini:

“Sebagian sahabat kami (kaum Ahlussunnah dari madzhab Asy’ariyyah Syafi’iyyah) mengambil dalil dalam menafikan tempat dari Allah dengan sebuah hadits sabda Rasulullah: “Engkau ya Allah az-Zahir (Yang segala sesuatu menunjukan akan keberadaan-Nya) tidak ada suatu apapun di atas-Mu, dan Engkau ya Allah al-Bathin (Yang tidak dapat diraih oleh akal pikiran) tidak ada suatu apapun di bawah-Mu”. Dari hadits ini dipahami jika tidak ada suatu apapun di atas Allah, dan tidak ada suatu apapun di bawah-Nya maka berarti Dia ada tanpa tempat” (al-Asma’ Wa ash-Shifat, h. 400).

Pada halaman lain dalam kitab al-Asma’ Wa ash-Shifat, Al-Imam al-Bayhaqi menuliskan: “Apa yang diriwayatkan secara menyendiri (tafarrud) oleh al-Kalbi dan lainnya memberikan pemahaman bahwa Allah memiliki bentuk, padahal sesuatu yang memiliki bentuk maka pasti dia itu baharu, membutuhkan kepada yang menjadikannya dalam bentuk tersebut. Sementara Allah itu Qadim dan Azali (tanpa permulaan)” (al-Asma’ Wa ash-Shifat, h. 415).

Pada bagian lain dari kitab di atas, al-Imam al-Bayhaqi menuliskan: “Sesungguhnya Allah ada tanpa tempat” (al-Asma’ Wa ash-Shifat, h. 448-449).

Juga mengatakan: “Sesungguhnya gerak, diam, dan bersemayam atau bertempat itu adalah termasuk sifat-sifat benda. Sementara Allah tidak ada sekutu bagi-Nya, Dia tidak membutuhkan kepada suatu apapun, dan tidak ada suatu apapun yang menyerupai-Nya” (al-Asma’ Wa ash-Shifat, h. 448-449).

Dengan penjelasan ini menjadi sangat terang bagi kita bahwa keyakinan Allah berada di langit yang dituduhkan sebagai keyakinan Al-Imam Abu Hanifah adalah kedustaan belaka yang sama seakali tidak benar dan tidak dapat dipertanggungjawabkan. Tuduhan semacam ini tidak hanya kedustaan kepada Al-Imam Abu Hanifah semata, tapi juga kedusataan terhadap orang-orang Islam secara keseluruhan dan kedustaan terhadap ajaran-ajaran Islam itu sendiri.

Manaqib Imam Achmad ibnu Hanbal


Nasab dan kelahiran Imam Achmad 

Beliau adalah Abu Abdillah Achmad bin Muhammad bin Hanbal bin Hilal bin Asad bin Idris bin Abdullah bin Hayyan bin Abdullah bin Anas bin ‘Auf bin Qasith bin Mazin bin Syaiban bin Dzuhl bin Tsa‘labah adz-Dzuhli asy-Syaibaniy. Nasab beliau bertemu dengan nasab Nabi pada diri Nizar bin Ma‘d bin ‘Adnan. Yang berarti bertemu nasab pula dengan nabi Ibrahim.

Ketika beliau masih dalam kandungan, orang tua beliau pindah dari kota Marwa, tempat tinggal sang ayah, ke kota Baghdad. Di kota itu beliau dilahirkan, tepatnya pada bulan Rabi‘ul Awwal -menurut pendapat yang paling masyhur- tahun 164 H.

Ayah beliau, Muhammad, meninggal dalam usia muda, 30 tahun, ketika beliau baru berumur tiga tahun. Kakek beliau, Hanbal, berpindah ke wilayah Kharasan dan menjadi wali kota Sarkhas pada masa pemeritahan Bani Umawiyyah, kemudian bergabung ke dalam barisan pendukung Bani ‘Abbasiyah dan karenanya ikut merasakan penyiksaan dari Bani Umawiyyah. Disebutkan bahwa Hanbal dahulunya adalah seorang panglima.

Masa Menuntut Ilmu

Imam Ahmad tumbuh dewasa sebagai seorang anak yatim. Ibunya, Shafiyyah binti Maimunah binti ‘Abdul Malik asy-Syaibaniy, berperan penuh dalam mendidik dan membesarkan beliau. Untungnya, sang ayah meninggalkan untuk mereka dua buah rumah di kota Baghdad. Yang sebuah mereka tempati sendiri, sedangkan yang sebuah lagi mereka sewakan dengan harga yang sangat murah. Dalam hal ini, keadaan beliau sama dengan keadaan syaikhnya, Imam Syafi‘i, yang yatim dan miskin, tetapi tetap mempunyai semangat yang tinggi. Keduanya juga memiliki ibu yang mampu mengantar mereka kepada kemajuan dan kemuliaan.

Beliau mendapatkan pendidikannya yang pertama di kota Baghdad. Saat itu, kota Bagdad telah menjadi pusat peradaban dunia Islam, yang penuh dengan manusia yang berbeda asalnya dan beragam kebudayaannya, serta penuh dengan beragam jenis ilmu pengetahuan. Di sana tinggal para qari’, ahli hadits, para sufi, ahli bahasa, filosof, dan sebagainya.

Setamatnya menghafal Alquran dan mempelajari ilmu-ilmu bahasa Arab di al-Kuttab saat berumur 14 tahun, beliau melanjutkan pendidikannya ke ad-Diwan. Beliau terus menuntut ilmu dengan penuh azzam yang tinggi dan tidak mudah goyah. Sang ibu banyak membimbing dan memberi beliau dorongan semangat. Tidak lupa dia mengingatkan beliau agar tetap memperhatikan keadaan diri sendiri, terutama dalam masalah kesehatan. Tentang hal itu beliau pernah bercerita, “Terkadang aku ingin segera pergi pagi-pagi sekali mengambil (periwayatan) hadits, tetapi Ibu segera mengambil pakaianku dan berkata, ‘Bersabarlah dulu. Tunggu sampai adzan berkumandang atau setelah orang-orang selesai shalat subuh.’”

Perhatian beliau saat itu memang tengah tertuju kepada keinginan mengambil hadits dari para perawinya. Beliau mengatakan bahwa orang pertama yang darinya beliau mengambil hadits adalah al-Qadhi Abu Yusuf, murid/rekan Imam Abu Hanifah.

Imam Ahmad tertarik untuk menulis hadits pada tahun 179 saat berumur 16 tahun. Beliau terus berada di kota Baghdad mengambil hadits dari syaikh-syaikh hadits kota itu hingga tahun 186. Beliau melakukan mulazamahkepada syaikhnya, Hasyim bin Basyir bin Abu Hazim al-Wasithiy hingga syaikhnya tersebut wafat tahun 183. Disebutkan oleh putra beliau bahwa beliau mengambil hadits dari Hasyim sekitar tiga ratus ribu hadits lebih.

Pada tahun 186, beliau mulai melakukan perjalanan (mencari hadits) ke Bashrah lalu ke negeri Hijaz, Yaman, dan selainnya. Tokoh yang paling menonjol yang beliau temui dan mengambil ilmu darinya selama perjalanannya ke Hijaz dan selama tinggal di sana adalah Imam Syafi‘i. Beliau banyak mengambil hadits dan faedah ilmu darinya. Imam Syafi‘i sendiri amat memuliakan diri beliau dan terkadang menjadikan beliau rujukan dalam mengenal keshahihan sebuah hadits. Ulama lain yang menjadi sumber beliau mengambil ilmu adalah Sufyan bin ‘Uyainah, Ismail bin ‘Ulayyah, Waki‘ bin al-Jarrah, Yahya al-Qaththan, Yazid bin Harun, dan lain-lain. Beliau berkata, “Saya tidak sempat bertemu dengan Imam Malik, tetapi Allah menggantikannya untukku dengan Sufyan bin ‘Uyainah. Dan saya tidak sempat pula bertemu dengan Hammad bin Zaid, tetapi Allah menggantikannya dengan Ismail bin ‘Ulayyah.”

Demikianlah, beliau amat menekuni pencatatan hadits, dan ketekunannya itu menyibukkannya dari hal-hal lain sampai-sampai dalam hal berumah tangga. Beliau baru menikah setelah berumur 40 tahun. Ada orang yang berkata kepada beliau, “Wahai Abu Abdillah, Anda telah mencapai semua ini. Anda telah menjadi imam kaum muslimin.” Beliau menjawab, “Bersama mahbarah (tempat tinta) hingga ke maqbarah (kubur). Aku akan tetap menuntut ilmu sampai aku masuk liang kubur.”Dan memang senantiasa seperti itulah keadaan beliau: menekuni hadits, memberi fatwa, dan kegiatan-kegiatan lain yang memberi manfaat kepada kaum muslimin. Sementara itu, murid-murid beliau berkumpul di sekitarnya, mengambil darinya (ilmu) hadits, fiqih, dan lainnya. Ada banyak ulama yang pernah mengambil ilmu dari beliau, di antaranya kedua putra beliau, Abdullah dan Shalih, Abu Zur ‘ah, Bukhari, Muslim, Abu Dawud, al-Atsram, dan lain-lain.

Beliau menyusun kitabnya yang terkenal, al-Musnad, dalam jangka waktu sekitar enam puluh tahun dan itu sudah dimulainya sejak tahun tahun 180 saat pertama kali beliau mencari hadits. Beliau juga menyusun kitab tentang tafsir, tentang an-nasikh dan al-mansukh, tentang tarikh, tentang yangmuqaddam dan muakhkhar dalam Alquran, tentang jawaban-jawaban dalam Alquran. Beliau juga menyusun kitab al-Manasik ash-Shagir dan al-Kabir, kitab az-Zuhud, kitab ar-Radd ‘ala al-Jahmiyah wa az-Zindiqah(Bantahan kepada Jahmiyah dan Zindiqah), kitab as-Shalah, kitab as-Sunnah, kitab al-Wara‘ wa al-Iman, kitab al-‘Ilal wa ar-Rijal, kitabal-Asyribah, satu juz tentang Ushul as-Sittah,Fadha’il ash-Shahabah.

Pujian dan Penghormatan Ulama Lain Kepadanya

Imam Syafi‘i pernah mengusulkan kepada Khalifah Harun ar-Rasyid, pada hari-hari akhir hidup khalifah tersebut, agar mengangkat Imam Ahmad menjadi qadhi di Yaman, tetapi Imam Ahmad menolaknya dan berkata kepada Imam Syafi‘i, “Saya datang kepada Anda untuk mengambil ilmu dari Anda, tetapi Anda malah menyuruh saya menjadi qadhi untuk mereka.”Setelah itu pada tahun 195, Imam Syafi‘i mengusulkan hal yang sama kepada Khalifah al-Amin, tetapi lagi-lagi Imam Ahmad menolaknya.

Suatu hari, Imam Syafi‘i masuk menemui Imam Ahmad dan berkata, “Engkau lebih tahu tentang hadits dan perawi-perawinya. Jika ada hadits shahih (yang engkau tahu), maka beri tahulah aku. Insya Allah, jika (perawinya) dari Kufah atau Syam, aku akan pergi mendatanginya jika memang shahih.” Ini menunjukkan kesempurnaan agama dan akal Imam Syafi‘i karena mau mengembalikan ilmu kepada ahlinya.

Imam Syafi‘i juga berkata, “Aku keluar (meninggalkan) Bagdad, sementara itu tidak aku tinggalkan di kota tersebut orang yang lebih wara’, lebih faqih, dan lebih bertakwa daripada Ahmad bin Hanbal.”

Abdul Wahhab al-Warraq berkata, “Aku tidak pernah melihat orang yang seperti Ahmad bin Hanbal.” Orang-orang bertanya kepadanya,“Dalam hal apakah dari ilmu dan keutamaannya yang engkau pandang dia melebihi yang lain?” Al-Warraq menjawab, “Dia seorang yang jika ditanya tentang 60.000 masalah, dia akan menjawabnya dengan berkata, ‘Telah dikabarkan kepada kami,’ atau, ‘Telah disampaikan hadits kepada kami’.”Ahmad bin Syaiban berkata, “Aku tidak pernah melihat Yazid bin Harun memberi penghormatan kepada seseorang yang lebih besar daripada kepada Ahmad bin Hanbal. Dia akan mendudukkan beliau di sisinya jika menyampaikan hadits kepada kami. Dia sangat menghormati beliau, tidak mau berkelakar dengannya.” Demikianlah, padahal seperti diketahui bahwa Harun bin Yazid adalah salah seorang guru beliau dan terkenal sebagai salah seorang imam huffazh.

Keteguhan di Masa Penuh Cobaan

Telah menjadi keniscayaan bahwa kehidupan seorang mukmin tidak akan lepas dari ujian dan cobaan, terlebih lagi seorang alim yang berjalan di atas jejak para nabi dan rasul. Dan Imam Ahmad termasuk di antaranya. Beliau mendapatkan cobaan dari tiga orang khalifah Bani Abbasiyah selama rentang waktu 16 tahun.

Pada masa pemerintahan Bani Abbasiyah, dengan jelas tampak kecondongan khalifah yang berkuasa menjadikan unsur-unsur asing (non-Arab) sebagai kekuatan penunjang kekuasaan mereka. Khalifah al-Makmun menjadikan orang-orang Persia sebagai kekuatan pendukungnya, sedangkan al-Mu‘tashim memilih orang-orang Turki. Akibatnya, justru sedikit demi sedikit kelemahan menggerogoti kekuasaan mereka. Pada masa itu dimulai penerjemahan ke dalam bahasa Arab buku-buku falsafah dari Yunani, Rumania, Persia, dan India dengan sokongan dana dari penguasa. Akibatnya, dengan cepat berbagai bentuk bid‘ah merasuk menyebar ke dalam akidah dan ibadah kaum muslimin. Berbagai macam kelompok yang sesat menyebar di tengah-tengah mereka, seperti Qadhariyah, Jahmyah, Asy‘ariyah, Rafidhah, Mu‘tazilah, dan lain-lain.

Kelompok Mu‘tazilah, secara khusus, mendapat sokongan dari penguasa, terutama dari Khalifah al-Makmun. Mereka, di bawah pimpinan Ibnu Abi Duad, mampu mempengaruhi al-Makmun untuk membenarkan dan menyebarkan pendapat-pendapat mereka, di antaranya pendapat yang mengingkari sifat-sifat Allah, termasuk sifat kalam (berbicara). Berangkat dari pengingkaran itulah, pada tahun 212, Khalifah al-Makmun kemudian memaksa kaum muslimin, khususnya ulama mereka, untuk meyakini kemakhlukan Alquran.

Sebenarnya Harun ar-Rasyid, khalifah sebelum al-Makmun, telah menindak tegas pendapat tentang kemakhlukan Alquran. Selama hidupnya, tidak ada seorang pun yang berani menyatakan pendapat itu sebagaimana dikisahkan oleh Muhammad bin Nuh, “Aku pernah mendengar Harun ar-Rasyid berkata, ‘Telah sampai berita kepadaku bahwa Bisyr al-Muraisiy mengatakan bahwa Alquran itu makhluk. Merupakan kewajibanku, jika Allah menguasakan orang itu kepadaku, niscaya akan aku hukum bunuh dia dengan cara yang tidak pernah dilakukan oleh seorang pun.’”Tatkala Khalifah ar-Rasyid wafat dan kekuasaan beralih ke tangan al-Amin, kelompok Mu‘tazilah berusaha menggiring al-Amin ke dalam kelompok mereka, tetapi al-Amin menolaknya. Baru kemudian ketika kekhalifahan berpindah ke tangan al-Makmun, mereka mampu melakukannya.

Untuk memaksa kaum muslimin menerima pendapat kemakhlukan Alquran, al-Makmun sampai mengadakan ujian kepada mereka. Selama masa pengujian tersebut, tidak terhitung orang yang telah dipenjara, disiksa, dan bahkan dibunuhnya. Ujian itu sendiri telah menyibukkan pemerintah dan warganya baik yang umum maupun yang khusus. Ia telah menjadi bahan pembicaraan mereka, baik di kota-kota maupun di desa-desa di negeri Irak dan selainnya. Telah terjadi perdebatan yang sengit di kalangan ulama tentang hal itu. Tidak terhitung dari mereka yang menolak pendapat kemakhlukan Alquran, termasuk di antaranya Imam Ahmad. Beliau tetap konsisten memegang pendapat yang hak, bahwa Alquran itu kalamullah, bukan makhluk.

Al-Makmun bahkan sempat memerintahkan bawahannya agar membawa Imam Ahmad dan Muhammad bin Nuh ke hadapannya di kota Thursus. Kedua ulama itu pun akhirnya digiring ke Thursus dalam keadaan terbelenggu. Muhammad bin Nuh meninggal dalam perjalanan sebelum sampai ke Thursus, sedangkan Imam Ahmad dibawa kembali ke Bagdad dan dipenjara di sana karena telah sampai kabar tentang kematian al-Makmun (tahun 218). Disebutkan bahwa Imam Ahmad tetap mendoakan al-Makmun.

Sepeninggal al-Makmun, kekhalifahan berpindah ke tangan putranya, al-Mu‘tashim. Dia telah mendapat wasiat dari al-Makmun agar meneruskan pendapat kemakhlukan Alquran dan menguji orang-orang dalam hal tersebut; dan dia pun melaksanakannya. Imam Ahmad dikeluarkannya dari penjara lalu dipertemukan dengan Ibnu Abi Duad dan konco-konconya. Mereka mendebat beliau tentang kemakhlukan Alquran, tetapi beliau mampu membantahnya dengan bantahan yang tidak dapat mereka bantah. Akhirnya beliau dicambuk sampai tidak sadarkan diri lalu dimasukkan kembali ke dalam penjara dan mendekam di sana selama sekitar 28 bulan –atau 30-an bulan menurut yang lain-. Selama itu beliau shalat dan tidur dalam keadaan kaki terbelenggu.

Selama itu pula, setiap harinya al-Mu‘tashim mengutus orang untuk mendebat beliau, tetapi jawaban beliau tetap sama, tidak berubah. Akibatnya, bertambah kemarahan al-Mu‘tashim kepada beliau. Dia mengancam dan memaki-maki beliau, dan menyuruh bawahannya mencambuk lebih keras dan menambah belenggu di kaki beliau. Semua itu, diterima Imam Ahmad dengan penuh kesabaran dan keteguhan bak gunung yang menjulang dengan kokohnya.

Imam Achmad dalam masalah Bid'ah Hasanah 

Al-Imam Ahmad bin Hanbal termasuk ulama mujtahid yang mengakui bid’ah hasanah. Hal ini dapat dilihat dengan memperhatikan fatwa beliau kepada muridnya. Al-Imam Ibn Qudamah al-Maqdisi

meriwayatkan dalam kitab al-Mughni (1/838):

قَالَ الْفَضْلُ بْنُ زِيَادٍ: سَأَلْتُ أَبَا عَبْدِ اللهِ فَقُلْتُ: أَخْتِمُ الْقُرْآنَ؛ أَجْعَلُهُ فِي الْوِتْرِ أَوْ فِي التَّرَاوِيْحِ؟ قَالَ: اجْعَلْهُ فِي التَّرَاوِيْحِ حَتَّى يَكُوْنَ لَنَا دُعَاءٌ بَيْنَ اثْنَيْنِ. قُلْتُ: كَيْفَ أَصْنَعُ؟ قَالَ: إِذَا فَرَغْتَ مِنْ آخِرِ الْقُرْآنِ فَارْفَعْ يَدَيْكَ قَبْلَ أَنْ تَرْكَعَ وَادْعُ بِنَا وَنَحْنُ فِي الصَّلاةِ وَأَطِلِ الْقِيَامَ. قُلْتُ: بِمَ أَدْعُوْ؟ قَالَ: بِمَا شِئْتَ. قَالَ: فَفَعَلْتُ بِمَا أَمَرَنِيْ وَهُوَ خَلْفِيْ يَدْعُوْ قَائِمًا وَيَرْفَعُ يَدَيْهِ. قَالَ حَنْبَلٌ: سَمِعْتُ أَحْمَدَ يَقُوْلُ فِي خَتْمِ الْقُرْآنِ: إِذَا فَرَغْتَ مِنْ قِرَاءَةِ: قُلْ أَعُوْذُ بِرَبِّ النَّاسِ فَارْفَعْ يَدَيْكَ فِي الدُّعَاءِ قَبْلَ الرُّكُوْعِ. قُلْتُ: إِلَى أَيِّ شَيْءٍ تَذْهَبُ فِيْ هَذَا؟ قَالَ: رَأَيْتُ أَهْلَ مَكَّةَ يَفْعَلُوْنَهُ، وَكَانَ سُفْيَانُ بْنُ عُيَيْنَةَ يَفْعَلُهُ مَعَهُمْ بِمَكَّةَ. انتهى. (الإمام ابن قدامة المقدسي، المغني، 1/838).

“Al-Fadhl bin Ziyad berkata: “Aku bertanya kepada Abu Abdillah Ahmad bin Hanbal: “Aku akan mengkhatamkan al-Qur’an, aku baca dalam shalat witir atau tarawih?” Ahmad menjawab: “Baca dalam tarawih sehingga kita dapat berdoa antara dua rakaat.” Aku bertanya: “Bagaimana caranya?” Ia menjawab: “Bila kamu selesai dari akhir al-Qur’an, angkatlah kedua tanganmu sebelum ruku’, berdoalah bersama kami dalam shalat, dan perpanjang berdirinya.” Aku bertanya: “Doa apa yang akan aku baca?” Ia menjawab: “Semaumu.” Al-Fadhl berkata: “Lalu aku lakukan apa yang ia sarankan, sedangkan ia berdoa sambil berdiri di belakangku dan mengangkat kedua tangannya.”
Hanbal berkata: “Aku mendengar Ahmad berkata mengenai khatmil Qur’an: “Bila kamu selesai membaca Qul a’udzu birabbinnas, maka angkatlah kedua tanganmu dalam doa sebelum ruku’.” Lalu aku bertanya: “Apa dasar Anda dalam hal ini?” Ia menjawab: “Aku melihat penduduk Mekah melakukannya, dan Sufyan bin ‘Uyainah melakukannya bersama mereka.” (Lihat pula, Ibn al-Qayyim, Jala’ al-Afham, hal. 226).

Kesimpulan:
Dalam riwayat di atas ada beberapa anjuran dari Imam Ahmad bin Hanbal:
1) Anjuran mengkhatamkan al-Qur’an dalam shalat taraweh
2) Setelah khatam, dianjurkan membaca doa
3) Dibaca sebelum ruku’ shalat taraweh
4) Kedua tangan diangkat dan doanya baca yang panjang
5) Doa yang dibaca bebas
6) Demikian ini dasarnya bukan al-Qur’an, bukan hadits dan bukan pula amaliah sahabat
7) Dasarnya justru penduduk Mekkah melakukan demikian
8) Imam Sufyan bin ‘Uyainah, juga melakukan demikian
9) Berarti apa yang beliau fatwakan termasuk bid’ah hasanah
10) Berarti bid’ah hasanah memang ada

Di antara bid’ah hasanah al-Imam Ahmad bin Hanbal adalah mendoakan gurunya dalam shalat sebagaimana diriwayatkan oleh al-Hafizh al-Baihaqi berikut ini:

قَالَ اْلإِمَامُ أَحْمَدُ بْنُ حَنْبَلٍ: إِنِّيْ لأَدْعُو اللهَ لِلشَّافِعِيِّ فِيْ صَلاَتِيْ مُنْذُ أَرْبَعِيْنَ سَنَةً، أَقُوْلُ: اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لِيْ وَلِوَالِدَيَّ وَلِمُحَمَّدِ بْنِ إِدْرِيْسَ الشَّافِعِيِّ. (الحافظ البيهقي، مناقب الإمام الشافعي، 2/254).

“Al-Imam Ahmad bin Hanbal berkata: “Saya mendoakan al-Imam al-Syafi’i dalam shalat saya selama empat puluh tahun. Saya berdoa, “Ya Allah ampunilah aku, kedua orang tuaku dan Muhammad bin Idris al-Syafi’i.” (Al-Hafizh al-Baihaqi, Manaqib al-Imam al-Syafi’i, 2/254).

Kesimpulan:
1) Tidak ada riwayat dari hadits maupun dari sahabat, mendoakan orang tua dan guru dalam sujud di dalam shalat
2) Imam Ahmad melakukannya selama 40 tahun, dengan redaksi doa susunan beliau sendiri
3) Amaliah beliau termasuk bid’ah hasanah.

Karya sang Imam

Ahmad bin Hanbal menulis kitab al-Musnad al-Kabir yang termasuk sebesar-besarnya kitab "Musnad" dan sebaik baik karangan dia dan sebaik baik penelitian Hadits. Ia tidak memasukkan dalam kitabnya selain yang dibutuhkan sebagai hujjah. Kitab Musnad ini berisi lebih dari 25.000 hadits.

Di antara karya Imam Ahmad adalah ensiklopedia hadits atau Musnad, disusun oleh anaknya dari ceramah (kajian-kajian) - kumpulan lebih dari 40 ribu hadits juga Kitab ash-Salat dan Kitab as-Sunnah.

Karya-Karya Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullahSunting
Kitab Al Musnad, karya yang paling menakjubkan karena kitab ini memuat lebih dari dua puluh tujuh ribu hadits.
Kitab at-Tafsir, namun Adz-Dzahabi m‎engatakan, “Kitab ini telah hilang”.
Kitab an-Nasikh wa al-Mansukh
Kitab at-Tarikh
Kitab Hadits Syu'bah
Kitab al-Muqaddam wa al-Mu'akkhar fi al-Qur`an
Kitab Jawabah al-Qur`an
Kitab al-Manasik al-Kabir
Kitab al-Manasik as-Saghir
Menurut Imam Nadim, kitab berikut ini juga merupakan tulisan Imam Ahmad bin HanbalSunting
Kitab al-'Ilal
Kitab al-Manasik
Kitab az-Zuhd
Kitab al-Iman
Kitab al-Masa'il
Kitab al-Asyribah
Kitab al-Fadha'il
Kitab Tha'ah ar-Rasul
Kitab al-Fara'idh
Kitab ar-Radd ala al-Jahmiyyah
Sakit dan Wafatnya

Pada akhirnya, beliau dibebaskan dari penjara. Beliau dikembalikan ke rumah dalam keadaan tidak mampu berjalan. Setelah luka-lukanya sembuh dan badannya telah kuat, beliau kembali menyampaikan pelajaran-pelajarannya di masjid sampai al-Mu‘tashim wafat.

Selanjutnya, al-Watsiq diangkat menjadi khalifah. Tidak berbeda dengan ayahnya, al-Mu‘tashim, al-Watsiq pun melanjutkan ujian yang dilakukan ayah dan kakeknya. Dia pun masih menjalin kedekatan dengan Ibnu Abi Duad dan konco-konconya. Akibatnya, penduduk Bagdad merasakan cobaan yang kian keras. Al-Watsiq melarang Imam Ahmad keluar berkumpul bersama orang-orang. Akhirnya, Imam Ahmad bersembunyi di rumahnya, tidak keluar darinya bahkan untuk keluar mengajar atau menghadiri shalat jamaah. Dan itu dijalaninya selama kurang lebih lima tahun, yaitu sampai al-Watsiq meninggal tahun 232.

Sesudah al-Watsiq wafat, al-Mutawakkil naik menggantikannya. Selama dua tahun masa pemerintahannya, ujian tentang kemakhlukan Alquran masih dilangsungkan. Kemudian pada tahun 234, dia menghentikan ujian tersebut. Dia mengumumkan ke seluruh wilayah kerajaannya larangan atas pendapat tentang kemakhlukan Alquran dan ancaman hukuman mati bagi yang melibatkan diri dalam hal itu. Dia juga memerintahkan kepada para ahli hadits untuk menyampaikan hadits-hadits tentang sifat-sifat Allah. Maka demikianlah, orang-orang pun bergembira pun dengan adanya pengumuman itu. Mereka memuji-muji khalifah atas keputusannya itu dan melupakan kejelekan-kejelekannya. Di mana-mana terdengar doa untuknya dan namanya disebut-sebut bersama nama Abu Bakar, Umar bin al-Khaththab, dan Umar bin Abdul Aziz.

Menjelang wafatnya, beliau jatuh sakit selama sembilan hari. Mendengar sakitnya, orang-orang pun berdatangan ingin menjenguknya. Mereka berdesak-desakan di depan pintu rumahnya, sampai-sampai sultan menempatkan orang untuk berjaga di depan pintu. Akhirnya, pada permulaan hari Jumat tanggal 12 Rabi‘ul Awwal tahun 241, beliau menghadap kepada rabbnya menjemput ajal yang telah dientukan kepadanya. Kaum muslimin bersedih dengan kepergian beliau. Tak sedikit mereka yang turut mengantar jenazah beliau sampai beratusan ribu orang. Ada yang mengatakan 700 ribu orang, ada pula yang mengatakan 800 ribu orang, bahkan ada yang mengatakan sampai satu juta lebih orang yang menghadirinya. Semuanya menunjukkan bahwa sangat banyaknya mereka yang hadir pada saat itu demi menunjukkan penghormatan dan kecintaan mereka kepada beliau. Beliau pernah berkata ketika masih sehat, “Katakan kepada ahlu bid‘ah bahwa perbedaan antara kami dan kalian adalah (tampak pada) hari kematian kami.”

Demikianlah gambaran ringkas ujian yang dilalui oleh Imam Ahmad. Terlihat bagaimana sikap agung beliau yang tidak akan diambil kecuali oleh orang-orang yang penuh keteguhan lagi ikhlas. Beliau bersikap seperti itu justru ketika sebagian ulama lain berpaling dari kebenaran. Dan dengan keteguhan di atas kebenaran yang Allah berikan kepadanya itu, maka madzhab Ahlussunnah pun dinisbatkan kepada dirinya karena beliau sabar dan teguh dalam membelanya. 

Ali bin al-Madiniy berkata menggambarkan keteguhan Imam Ahmad,“Allah telah mengokohkan agama ini lewat dua orang laki-laki, tidak ada yang ketiganya. Yaitu, Abu Bakar as-Shiddiq pada Yaumur Riddah (saat orang-orang banyak yang murtad pada awal-awal pemerintahannya), dan Ahmad bin Hanbal pada Yaumul Mihnah.‎

 

Manaqib Imam Malik bin Anas


Dalam perjalanan sejarah Islam, kodifikasi hadits merupakan salah satu bagian terpenting yang berfungsi menjaga kemurnian agama. Selama 1400 tahun lebih, para ulama mempelajari teks hadits, berusaha mengenali orang-orang yang meriwayatkannya, menetapkan status keabsahan hadits, dan kemudian menyebarkannya ke tengah umat dengan lisan mereka atau melalui usaha pembukuan. Sebuah usaha yang tidak sederhana yang membedakan teks-teks syariat Islam dibanding dengan teks ajaran lainnya.

Salah seorang ulama yang memiliki jasa besar dalam perkembangan dan pembukuan hadis adalah imam besar umat ini yang berasal dari Kota Madinah, ia adalah Malik bin Anas rahimahullah. Beliau adalah orang pertama yang membukukan hadits dalam kitabnya al-Muwatta.

Mari sejenak mengenal seorang imam yang mulia ini…

Beliau adalah Imam malik bernama lengkap Abu Abdullah Malik bin Anas bin Malik bin Abi Amir bin Amr bin Haris bin Gaiman bin Kutail bin Amr bin Haris Al Asbahi, lahir di Madinah pada tahun 712-796 M. Berasal dari keluarga Arab yang terhormat dan berstatus sosial yang tinggi, baik sebelum datangnya islam maupun sesudahnya, tanah asal leluhurnya adalah Yaman, namun setelah nenek moyangnya menganut islam mereka pindah ke Madinah, kakeknya Abu Amir adalah anggota keluarga pertama yang memeluk agama islam pada tahun ke dua Hijriah.

Tahun kelahirannya bersamaan dengan tahun wafatnya salah seorang sahabat Nabi yang paling panjang umurnya, Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu. Malik kecil tumbuh di lingkungan yang religius, kedua orang tuanya adalah murid dari sahabat-sahabat yang mulia. Pamannya adalah Nafi’, seorang periwayat hadis yang terpercaya, yang meriwayatkan hadis dari Aisyah, Abu Hurairah, Abdullah bin Umar, dan sahabat-sahabat besar lainnya,radhiallahu ‘anhum. Dengan lingkungan keluarga yang utama seperti ini, Imam Malik dibesarkan.

Kakek dan ayahnya termasuk ulama hadis terpandang di Madinah, oleh sebab itu, sejak kecil Imam Malik tak berniat meninggalkan Madinah untuk mencari ilmu, karena beliau merasa Madinah adalah kota sumber ilmu yang berlimpah dengan ulama ulama besarnya. Imam Malik menekuni pelajaran hadis kepada ayah dan paman pamannya juga pernah berguru pada ulama ulama terkenal seperti Nafi’ bin Abi Nuaim, Ibnu Syihab Al Zuhri, Abu Zinad, Hasyim bin Urwa, Yahya bin Said Al Anshari, Muhammad bin Munkadir, Abdurrahman bin Hurmuz dan Imam Ja’far AsShadiq.

Awalnya, saudara Imam Malik yang bernama Nadhar lebih dahulu darinya dalam mempelajari hadits-hadits Nabi. Nadhar mendatangi para ulama tabi’in untuk mendengar langsung hadits-hadits yang mereka riwayatkan dari para sahabat. Kemudian Imam Malik pun mengikuti jejak saudaranya dalam mempelajari hadits. Beberapa waktu berlalu, Imam Malik melangkahi saudaranya dalam ilmu hadits. Kecemerlangannya semakin tampak karena Malik juga menguasai ilmu fiqh dan tafsir.

Perjalanan Menuntut Ilmu dan Menjadi Ulama Madinah 

Ibu Imam Malik adalah orang yang paling berperan dalam memotivasi dan membimbingnya untuk memperoleh ilmu. Tidak hanya memilihkan guru-guru yang terbaik, sang ibu juga mengajarkan anaknya adab dalam belajar. Ibunya selalu memakaikannya pakaian yang terbaik dan merapikan imamah anaknya saat hendak pergi belajar. Ibunya mengatakan, “Pergilah kepada Rabi’ah, contohlah akhlaknya sebelum engkau mengambil ilmu darinya.”

Imam Malik belajar dari banyak guru, dan ia memilih guru-guru terbaik di zamannya agar banyak memperoleh manfaat dari mereka. Di antara pesan dari gurunya yang selalu beliau ingat adalah untuk tidak segan mengatakan “Saya tidak tahu” apabila benar-benar tidak mengetahu suatu permasalahan. Salah seorang guru beliau yang bernama Ibnu Harmaz berpesan, “Seorang yang berilmu harus mewarisi kepada murid-muridnya perkataan ‘aku tidak tahu’.

Setelah mempelajari ilmu-ilmu syariat secara komperhensif, Malik bin Anas mulai dikenal sebagai seorang yang paling berilmu di Kota Madinah. Beliau menyampaikan pelajaran di Masjid Nabawi, di tengah-tengah penuntut ilmu yang datang dari penjuru negeri.

Salah satu hal yang menarik dari kajian fiqih yang beliau sampaikan adalah penafsiran-penafsiran hadits dan pendapat-pendapat beliau banyak dipengaruhi oleh aktifitas yang dilakukan penduduk Madinah. Menurut Imam Malik, praktik-praktik yang dilakukan penduduk Madinah di masanya tidak jauh dari praktik masyarakat Madinah di zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Penduduk Madinah juga mempelajari Islam dari para leluhur mereka dari kalangan para sahabat Nabi. Jadi kesimpulan beliau, apabila penduduk Madinah melakukan suatu amalan yang tidak bertentangan dengan Alquran dan sunnah, maka perbuatan tersebut dapat dijadikan sumber rujukan atau sumber hukum. Inilah yang membedakan Madzhab Imam Malik disbanding 3 madzhab lainnya.


Sifat dan Karakter Imam Malik

Dari segi fisik, Imam Malik dikarunia fisik yang istimewa; berwajah tampan dengan perawakan tinggi besar. Mush’ab bin Zubair mengatakan, “Malik termasuk seorang laki-laki yang berparas rupawan, matanya bagus (salah seorang muridnya mengisahkan bahwa bola mata beliau berwarna biru), kulitnya putih, dan badannya tinggi.” Abu Ashim mengatakan, “Aku tidak pernah melihat ahli hadits  setampan Malik.”

Selain Allah karuniai fisik yang rupawan, Imam Malik juga memiliki kepribadian yang kokoh dan berwibawa. Orang-orang yang menghadiri majlis ilmu Imam Malik sangat merasakan wibawa imam besar ini. Tak ada seorang pun yang berani berbicara saat ia menyampaikan ilmu, bahkan ketika ada seorang yang baru datang lalu mengucapkan salam kepada majlis, jamaah hanya menjawab salam tersebut dengan suara lirih saja. Hal ini bukan karena Imam Malik seorang yang kaku, akan tetapi aura wibawanya begitu terasa bagi murid-muridnya. Demikian juga saat murid-muridnya berbicara dengannya, mereka merasa segan menatap wajahnya tatkala berbicara. Wibawa itu tidak hanya dirasakan oleh para penuntut ilmu, bahkan para khalifah pun menghormati dan mendengarkan nasihatnya.

Imam Syafii yang merupakan salah seorang murid Imam Malik menuturkan, “Ketika melihat Malik bin Anas, aku tidak pernah melihat seoarang lebih berwibawa dibanding dirinya.” Demikian juga penuturan Sa’ad bin Abi Maryam, “Aku tidak pernah melihat orang yang begitu berwibawa melebihi Malik bin Anas, bahkan wibawanya mengalahkan wibawa para penguasa.”

Imam Malik juga dikenal dengan semangatnya dalam mempelajari ilmu, kekuatan hafalan, dan dalam pemahamannya. Pernah beliau mendengar 30 hadits dari Ibnu Hisyam az-Zuhri, lalu ia ulangi hadits tersebut di hadapan gurunya, hanya satu hadits yang terlewat sedangkan 29 lainnya berhasil ia ulangi dengan sempurna. Imam Syafii mengatakan,

إذا جاء الحديث، فمالك النجم الثاقب

“Apabila disebutkan sebuah hadits, Malik adalah seorang bintang yang cerdas (menghafalnya).

Imam Malik sangat tidak suka dengan orang-orang yang meremehkan ilmu. Apabila ada suatu permasalahan ditanyakan kepadanya, lalu ada yang mengatakan, ‘Itu permasalahan yang ringan.” Maka Imam Malik pun marah kepada orang tersebut, lalu mengatakan, “Tidak ada dalam pembahasan ilmu itu sesuatu yang ringan, Allah berfirman,

إِنَّا سَنُلْقِي عَلَيْكَ قَوْلًا ثَقِيلًا

“Sesungguhnya Kami akan menurunkan kapadamu perkataan yang berat.” (QS. Al-Muzammil: 5)

Semua permasalahan agama itu adalah permasalahan yang berat, khususnya permasalahan yang akan ditanyakan di hari kiamat.”

Imam Malik juga seorang yang sangat perhatian dengan penampilannya dan ini adalah karakter yang ditanamkan ibunya sedari ia kecil. Pakaian yang ia kenakan selalu rapi, bersih, dan harum dengan parfumnya. Isa bin Amr mengatakan, “Aku tidak pernah melihat seorang yang berkulit putih ataupun merah yang lebih tampan dari Malik. Dan juga ian seseorang yang lebih putih dari pakaiannya.” Banyak riwayat-riwayat dari para muridnya yang mengisahkan tentang bagusnya penampilan Imam Malik, terutama saat hendak mengajarkan hadits, namun satu riwayat di atas kiranya cukup untuk menggambarkan kebiasaan beliau.

Hendaknya demikianlah seorang muslim, terlebih seseorang yang memiliki pengetahuan agama. Seorang muslim harus berpenampilan rapi, bersih, dan jauh dari bau yang tidak sedap. Sering kita lihat saudara-saudara muslim yang dikenal sebagai orang yang taat, mereka berpenampilan lusuh, pakaian tidak rapi karena jarang distrika atau karena lama tidak diganti, dan keluar bau tidak sedap dari tubuh atau pakaiannya, ironisnya ini terkadang terjadi saat shalat berjamaah. Agama kita sangat menganjurkan kebersihan dan Allah mencintai keindahan.

Kecintaannya kepada ilmu menjadikan hampir seluruh hidupnya diabdikan dalam dunia pendidikan, tidak kurang empat Khalifah, mulai dari Al Mansur, Al Mahdi, Harun Arrasyid dan Al Makmun pernah jadi muridnya, bahkan ulama ulama besar Imam Abu Hanifah dan Imam Syafi’i pun pernah menimba ilmu darinya, menurut sebuah riwayat disebutkan bahwa murid Imam Malik yang terkenal mencapai 1.300 orang. Ciri pengajaran Imam malik adalah disiplin, ketentraman dan rasa hormat murid terhadap gurunya.

Karya Imam Malik

Karya Imam malik terbesar adalah bukunya Al Muwatha’ yaitu kitab fiqh yang berdasarkan himpunan hadis hadis pilihan, menurut beberapa riwayat mengatakan bahwa buku Al Muwatha’ tersebut tidak akan ada bila Imam Malik tidak dipaksa oleh Khalifah Al Mansur sebagai sangsi atas penolakannya untuk datang ke Baghdad, dan sangsinya yaitu mengumpulkan hadis hadis dan membukukannya, Awalnya imam Malik enggan untuk melakukannya, namun setelah dipikir pikir tak ada salahnya melakukan hal tersebut Akhirnya lahirlah Al Muwatha’ yang ditulis pada masa khalifah Al Mansur (754-775 M) dan selesai di masa khalifah Al Mahdi (775-785 M), semula kitab ini memuat 10 ribu hadis namun setelah diteliti ulang, Imam malik hanya memasukkan 1.720 hadis. Selain kitab tersebut, beliau juga mengarang buku Al Mudawwanah Al Kubra.

Ia menyusun kitab Al Muwaththa', dan dalam penyusunannya ia menghabiskan waktu 40 tahun, selama waktu itu, ia menunjukan kepada 70 ahli fiqh Madinah.

Kitab tersebut menghimpun 100.000 hadits, dan yang meriwayatkan Al Muwaththa’lebih dari seribu orang, karena itu naskahnya berbeda beda dan seluruhnya berjumlah 30 naskah, tetapi yang terkenal hanya 20 buah. Dan yang paling masyur adalah riwayat dari Yahya bin Yahyah al Laitsi al Andalusi al Mashmudi.

Sejumlah ‘Ulama berpendapat bahwa sumber sumber hadits itu ada tujuh, yaitu Al Kutub as Sittah ditambah Al Muwaththa’. Ada pula ulama yang menetapkan Sunan ad Darimi sebagai ganti Al Muwaththa’. Ketika melukiskan kitab besar ini, Ibn Hazmberkata,” Al Muwaththa’ adalah kitab tentang fiqh dan hadits, aku belum mnegetahui bandingannya.

Hadits-hadits yang terdapat dalam Al Muwaththa’ tidak semuanya Musnad, ada yang Mursal, mu’dlal dan munqathi. Sebagian ‘Ulama menghitungnya berjumlah 600 hadits musnad, 222 hadits mursal, 613 hadits mauquf, 285 perkataan tabi’in, disamping itu ada 61 hadits tanpa penyandara, hanya dikatakan telah sampai kepadaku” dan “ dari orang kepercayaan”, tetapi hadits hadits tersebut bersanad dari jalur jalur lain yang bukan jalur dari Imam Malik sendiri, karena itu Ibn Abdil Bar an Namiri menentang penyusunan kitab yang berusaha memuttashilkan hadits hadits mursal , munqathi’ dan mu’dhal yang terdapat dalam Al Muwaththa’ Malik.

Imam Malik menerima hadits dari 900 orang (guru), 300 dari golongan Tabi’in dan 600 dari tabi’in tabi’in, ia meriwayatkan hadits bersumber dari Nu’main al Mujmir, Zaib bin Aslam, Nafi’, Syarik bin Abdullah, az Zuhry, Abi az Ziyad, Sa’id al Maqburi dan Humaid ath Thawil, muridnya yang paling akhir adalah Hudzafah as Sahmi al Anshari.

Adapun yang meriwayatkan darinya adalah banyak sekali di antaranya ada yang lebih tua darinya seperti az Zuhry dan Yahya bin Sa’id. Ada yang sebaya seperti al Auza’i., Ats Tsauri, Sufyan bin Uyainah, Al Laits bin Sa’ad, Ibnu Juraij dan Syu’bah bin Hajjaj. Adapula yang belajar darinya seperti Asy Safi’i, Ibnu Wahb, Ibnu Mahdi, al Qaththan dan Abi Ishaq.

Malik bin Anas menyusun kompilasi hadits dan ucapan para sahabat dalam buku yang terkenal hingga kini, Al Muwatta.

Di antara guru dia adalah Nafi’ bin Abi Nu’aim, Nafi’ al Muqbiri, Na’imul Majmar,Az Zuhri, Amir bin Abdullah bin Az Zubair,Ibnul Munkadir, Abdullah bin Dinar, dan lain-lain.

Di antara murid dia adalah Ibnul Mubarak,Al Qoththon, Ibnu Mahdi, Ibnu Wahb, Ibnu Qosim, Al Qo’nabi, Abdullah bin Yusuf,Sa’id bin Manshur, Yahya bin Yahya al Andalusi, Yahya bin Bakir, Qutaibah Abu Mush’ab, Al Auza’i, Sufyan Ats Tsaury,Sufyan bin Uyainah, Imam Syafi’i, Abu Hudzafah as Sahmi, Az Zubairi, dan lain-lain.

Imam malik tidak hanya meninggalkan warisan buku, tapi juga mewariskan Mazhab fiqhinya di kalangan sunni yang disebut sebagai mazhab Maliki, Mazhab ini sangat mengutamakan aspek kemaslahatan di dalam menetapkan hukum, sumber hukum yang menjadi pedoman dalam mazhab Maliki ini adalah Al Quran, Sunnah Rasulullah, Amalan para sahabat, Tradisi masyarakat Madinah, Qiyas dan Al Maslaha Al Mursal ( kemaslahatan yang tidak didukung atau dilarang oleh dalil tertentu.

Pujian Ulama untuk Imam Malik

An Nasa’i berkata,” Tidak ada yang saya lihat orang yang pintar, mulia dan jujur, tepercaya periwayatan haditsnya melebihi Malik, kami tidak tahu dia ada meriwayatkan hadits dari rawi matruk, kecuali Abdul Karim”.

(Ket: Abdul Karim bin Abi al Mukharif al Basri yang menetap di Makkah, karena tidak senegeri dengan Malik, keadaanya tidak banyak diketahui, Malik hanya sedikit mentahrijkan haditsnya tentang keutamaan amal atau menambah pada matan).

Sedangkan Ibnu Hayyan berkata,” Malik adalah orang yang pertama menyeleksi para tokoh ahli fiqh di Madinah, dengan fiqh, agama dan keutamaan ibadah”.

Imam as-Syafi'i berkata, "Imam Malik adalah Hujjatullah atas makhluk-Nya setelah para Tabi'in[3] ".

Yahya bin Ma'in berkata, "Imam Malik adalah Amirul mukminin dalam (ilmu)Hadits"

Ayyub bin Suwaid berkata, "Imam Malik adalah Imam Darul Hijrah (Imam madinah) dan as-Sunnah ,seorang yang Tsiqah, seorang yang dapat dipercaya".

Ahmad bin Hanbal berkata, " Jika engkau melihat seseorang yang membenci imam malik, maka ketahuilah bahwa orang tersebut adalah ahli bid'ah"

Seseorang bertanya kepada as-Syafi'i, " apakah anda menemukan seseorang yang (alim) seperti imam malik?" as-Syafi'i menjawab :"aku mendengar dari orang yang lebih tua dan lebih berilmu dari pada aku, mereka mengatakan kami tidak menemukan orang yang (alim) seperti Malik, maka bagaimana kami(orang sekarang) menemui yang seperti Malik?

Imam Abu Hanifah berkata, "Aku tidak pernah melihat seseorang yang lebih pandai tentang sunnah Rasulullah dari Imam Malik."

Abdurrahman bin Mahdi berkata, " Aku tidak pernah tahu seorang ulama Hijaz kecuali mereka menghormati Imam Malik, sesungguhnya Allah tidak mengumpulkan umat Muhammad, kecuali dalam petunjuk."

Ibnu Atsir berkata, "Cukuplah kemuliaan bagi asy-Syafi'i bahwa syaikhnya adalah Imam Malik, dan cukuplah kemuliaan bagi Malik bahwa di antara muridnya adalah asy-Syafi'i."

Abdullah bin Mubarak berkata, "Tidak pernah aku melihat seorang penulis ilmu Rasulullah lebih berwibawa dari Malik, dan lebih besar penghormatannya terhadap hadits Rasulullah dari Malik, serta kikir terhadap agamanya dari Malik, jika dikatakan kepadaku pilihlah Imam bagi umat ini, maka aku akan pilih Malik."

Laits bin Saad berkata, "Tidak ada orang yang lebih aku cintai di muka bumi ini dari Malik."

Akhir Hayat Sang Imam Agung 

Menjelang waFat, Imam Malik ditanya masalah kemana ia tak pergi lagi ke Masjid Nabawi selama tujuh tahun, ia menjawab, "Seandainya bukan karena akhir dari kehidupan saya di dunia, dan awal kehidupan di akhirat, aku tidak akan memberitahukan hal ini kepada kalian. Yang menghalangiku untuk melakukan semua itu adalah penyakit sering buang air kecil, karena sebab ini aku tak sanggup untuk mendatangi Masjid Rasulullah. Dan, aku tak suka menyebutkan penyakitku, karena khawatir aku akan selalu mengadu kepada Allah." Imam Malik mulai jatuh sakit pada hari Minggu sampai 22 hari lalu wafat pada hari Minggu, tanggal 10 Rabi'ul Awwal 179 Hijriyyah atau 800 Miladiyyah. dengan usia 85 tahun. Beliau dikuburkan di Baqi’. Semoga Allah merahmati Imam Malik dan menempatkannya di surganya yang penuh dengan kenikmatan.

Masyarakat Medinah menjalankan wasiat yang ia sampaikan, yakni dikafani dengan kain putih, dan disalati diatas keranda. Imam shalat jenazahnya adalah Abdullah bin Muhammad bin Ibrahim al-Hasyimi yang merupakan gubernur Madinah. Gubernur Madinah datang melayat dengan jalan kaki, bahkan termasuk salah satu yang ikut serta dalam mengangkat jenazah hingga ke makamnya. Dia dimakamkan di Pemakaman Baqi', seluruh murid-murid dia turut mengebumikan dia.

Informasi tentang kematitan dia tersebar di seantero negeri Islam, mereka sungguh sangat bersedih dan merasa sangat kehilangan, seraya mendoakan dia agar selalu dilimpahi rahmat dan pahala yang belipat ganda berkat ilmu dan amal yang dia persembahkan untuk kejayaan Islam. ‎

 

Manaqib Imam Ibnu Majah


Di suatu hari tepatnya pada tahun 207 H / 209 H. s/d 273 H = (824 M / 826 M s/d 887 M ) Allah menurunkan anugerahnya kepada rakyat daerah Qazwin, karena di tempat itulah seorang imam yang jujur dan cerdas dilahirkan. Imam itu adalah Abu Abdullah Muhammad bin Yazid Ar-Rabi’ bin Majah Al-Qazwinî Al-Hâfidz, namun beliau biasa dipanggil Ibnu Majah. 

Sebutan Majah ini dinisbatkan kepada ayahnya Yazid, yang juga dikenal dengan sebutan Majah Maula Rab’at. Ada juga yang mengatakan bahwa Majah adalah ayah dari Yazid. Walaupun demikian, tampaknya pendapat pertama yang lebih shahih. Kata “Majah” adalah gelar ayah Muhammad, bukan gelar kakeknya, seperti diterangkan penulis Qamus jilid 9, hal. 208. Ibn Katsr dalam Al-Bidayah wan-Nibayah, jilid 11, hal. 52.

Imam Ibnu Majah mulai menginjakkan kakinya di dunia pendidikan sejak usia remaja, dan menekuni pada bidang hadits sejak menginjak usia 15 tahun pada seorang guru yang ternama pada kala itu, yaitu Ali bin Muhammad At-Tanafasy (wafat tanggal 233 H). Bakat dan minat yang sangat besar yang dimilikinyalah yang akhirnya membawa Imam Ibnu Majah berkelana ke penjuru negeri untuk menelusuri ilmu hadits. Sepanjang hayatnya beliau telah mendedikasikan pikiran dan jiwanya dengan menulis beberapa buku Islam, seperti buku fikih, tafsir, hadits, dan sejarah.
 Dalam bidang sejarah Imam Ibnu Majah menulis buku “At-Târîkh” yang mengulas sejarah atau biografi para muhaddits sejak awal hingga masanya, dalam bidang tafsir beliau menulis buku “Al-Qur’ân Al-Karîm” dan dalam bidang hadits beliau menulis buku “Sunan Ibnu Majah”. Disayangkan sekali karena buku “At-Târîkh” dan “Al-Qur’ân Al-Karîm” tidak sampai pada generasi selanjutnya karena dianggap kurang monumental.
Perjalanan Menuntut Ilmu

Sama halnya dengan para imam-imam terdahulu yang gigih menuntut ilmu, seorang imam terkenal Imam Ibnu Majah juga melakukan perjalanan yang cukup panjang untuk mencari secercah cahaya ilmu, karena ilmu yang dituntut langsung dari sumbernya memiliki nilai lebih tersendiri daripada belajar di luar daerah ilmu itu berasal. Oleh sebab itu Imam Ibnu Majah sudah melakukan rihlah ilmiyah-nya ke beberapa daerah; seperti kota-kota di Iraq, Hijaz, Syam, Pârs, Mesir, Bashrah, Kufah, Mekah, Madinah, Damaskus, Ray (Teheran) dan Konstatinopel.
Dalam pengembaraannya Imam Ibnu Majah bertemu banyak guru yang dicarinya, dari merekalah nantinya ia menggali sedalam-dalamnya ilmu pengetahuan dan menggali potensinya. Rihlah ini akhirnya menghasilkan buah yang sangat manis dan bermanfaat sekali bagi kelangsungan gizi umat Islam, karena perjalanannya ini telah membidani lahirnya buku yang sangat monumental, yaitu kitab “Sunan Ibnu Majah”.
Para Guru dan Murid Imam Ibnu Majah

Dalam perjalanan konteks rihlah ilmiyah-nya ternyata banyak para syeikh pakar yang ditemui sang imam dalam bidang hadits; diantaranya adalah kedua anak syeikh Syaibah (Abdullah dan Usman), akan tetapi sang imam lebih banyak meriwayatkan hadits dari Abdullah bin Abi Syaibah. Dan juga Abu Khaitsamah Zahîr bin Harb, Duhîm, Abu Mus’ab Az-Zahry, Al-Hâfidz Ali bin Muhammad At-Tanâfasy, Jubârah bin Mughallis, Muhammad bin Abdullah bin Numayr, Hisyam bin Ammar, Ahmad bin Al-Azhar, Basyar bin Adam dan para pengikut perawi dan ahli hadits imam Malik dan Al-Lays.
Seperti dikatakan pepatah “Ilmu yang tak diamalkan bagaikan pohon yang tak berbuah”, bait syair ini sarat makna yang luas. Walaupun pohon itu indah dan tegar, namun kalau tidak bisa mendatangkan manfaat bagi yang lain maka tidak ada maknanya, seorang penuntut ilmu sejati biasanya sangat senang sekali untuk men’transfer’ ilmunya kepada orang lain, karena dengan seringnya pengulangan maka semakin melekatlah dalam ingatan. Imam Ibnu Majah giat dalam memberikan pelajaran bagi murid-murid yang patut untut diacungi jempol.
Di antara murid yang belajar padanya adalah Abu Al-Hasan Ali bin Ibrahim Al-Qatthân, Sulaiman bin Yazid, Abu Ja’far Muhammad bin Isa Al-Mathû’î dan Abu Bakar Hamid Al-Abhâry. Keempat murid ini adalah para perawi Sunan Ibnu Majah, tapi yang sampai pada kita sekarang adalah dari Abu Hasan bin Qatthân saja.

Sanjungan Para Ulama Terhadap Imam Ibnu Majah

Berkat istiqamah dan kegigihannya dalam dunia pendidikan, ditambah lagi ketekunannya dalam disiplin hadits; maka wajar apabila Imam Ibnu Majah termasuk ulama yang paling disegani pada masanya. Dan tak heran apabila beliau sering mendapatkan penghargaan yang tinggi dan sanjungan dari ulama-ulama selainnya.
Abu Ya’la Al-Kahlily Al-Qazwîny berkata : “Imam Ibnu Majah adalah seorang kepercayaan yang besar, yang disepakati tentang kejujurannya, dan dapat dijadikan argumentasi pendapat-pendapatnya, ia mempunyai pengetahuan luas dan banyak menghafal hadits”.
Sanjungan yang senada banyak juga yang menyampaikannya pada beliau, seperti Abu Zar’ah Ar-Râzî dan Zahaby dalam bukunya “Tazkiratu Al-Huffâdz” mengilustrasikannya sebagai ahli hadits besar dan mufassir, pengarang kitab Sunan dan tafsir, serta ahli hadits kenamaan negerinya.
Kejujuran, kecerdasan dan pengetahuannya yang sangat luas telah menobatkan Imam Ibnu Majah menjadi ulama ternama. Seorang penuntut ilmu yang cerdas tidak ada artinya apabila tidak memiliki keindahan akhlak, tetapi seorang penuntut ilmu tadi akan lebih terhormat dan mulia pula. Karena akhlak mulia adalah simbol atau refleksi dari ilmu yang dimilikinya. Statement ini diperkuat dengan kalam Allah dalam Al-Quran : “…Allah meninggikan orang-orang yang beriman diantaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan dengan beberapa derajat, dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.”
Seorang mufassir dan kritikus hadits besar yang bernama Ibnu Kasir dalam karyanya “Al-Bidâyah” mengatakan : “Muhammad bin Yazid (Ibnu Majah) adalah pengarang kitab Sunan yang masyhur. Kitabnya itu bukti atas ilmu dan amalnya, keluasan pengetahuan dan pandangannya, serta kredibilitas dan loyalitasnya terhadap hadits dan ushûl serta furû’.”
Begitulah sebahagian kecil sanjungan yang diterima Ibnu Majah selama ini. Semoga Allah menyertakan beliau termasuk golongan orang-orang yang dibanggakan-Nya di hadapan malaikat-malaikat-Nya.
Karya-karya Imam Ibnu Majah

Imam Ibnu Majah mempunyai banyak karya tulis, di antaranya:
1. Kitab As-Sunan, yang merupakan salah satu Kutubus Sittah (Enam Kitab Hadits yang Pokok).
2. Kitab Tafsir Al-Qur’an, sebuah kitab tafsir yang besar manfatnya seperti diterangkan Ibn Kasir.
3. Kitab Tarikh, berisi sejarah sejak masa sahabat sampai masa Ibn Majah.
Metodologi Imam Ibnu Majah

Kalau kita berbicara seputar metodologi yang digunakan oleh imam Ibnu Majah dalam pengumpulan dan penyusunan hadits, maka seyogianyalah kita untuk mengulas dan menilik lebih lanjut dari metode sang imam dalam menyusun kitab “Sunan Ibnu Majah”. Karena buku yang digunakan sebagai salah satu referensi bagi umat Islam ini adalah buku unggulan beliau yang populer sepanjang sekte kehidupan. Walaupun beliau sudah berusaha untuk menghindarkannya dari kesalahan penulisan, namun sayang masih terdapat juga hadits-hadits yang dhoif bahkan maudû’ di dalamnya.
Dalam menulis buku Sunan ini, Imam Ibnu Majah memulainya terlebih dahulu dengan mengumpulkan hadits-hadits dan menyusunnya menurut kitab atau bab-bab yang berkenaan dengan masalah fiqih, hal ini seiring dengan metodologi para muhadditsîn yang lain. Setelah menyusun hadits tersebut, imam Ibnu Majah tidak terlalu memfokuskan ta’lîqul Al-Hadits yang terdapat pada kitab-kitab fikih tersebut, atau boleh dikatakan beliau hanya mengkritisi hadits-hadits yang menurut hemat beliau adalah penting.
Seperti kebanyakan para penulis kitab-kitab fikih yang lain, dimana setelah menulis hadits mereka memasukkan pendapat para ulama fâqih setelahnya, namun dalam hal ini Imam Ibnu Majah tidak menyebutkan pendapat para ulama fâqih setelah penulisan hadits.
Sama halnya dengan imam Muslim, imam Ibnu Majah ternyata juga tidak melakukan pengulangan hadits berulang kali kecuali hanya sebahagian kecil saja dan itu penting menurut beliau.
Ternyata kitab Sunan ini tidak semuanya diriwayatkan oleh Ibnu Majah seperti perkiraan orang banyak selama ini, tapi pada hakikatnya terdapat di dalamnya beberapa tambahan yang diriwayatkan oleh Abu Al-Hasan Al-Qatthany yang juga merupakan periwayat dari “Sunan Ibnu Majah”. Persepsi ini juga sejalan pada “Musnad Imam Ahmad”, karena banyak orang yang menyangka bahwa seluruh hadits di dalamnya diriwayatkan seluruhnya oleh beliau, akan tetapi sebahagian darinya ada juga yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Imam Ahmad dan sebahagian kecil oleh Al-Qathî’î, namun imam Abdullah lebih banyak meriwayatkan dibanding dengan Al-Qathî’î. Namun dalam pembahasan kali ini kita kita tidak berbicara banyak seputar “Musnad Imam Ahmad”, karena biografi dan metodologi beliau telah diulas pada diskusi sebelumnya.
Ketika Al-Hasan Al-Qatthâny mendapatkan hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dari Sya’bah dengan perantara perawi lainnya, dan pada hadits yang sama juga beliau mendapatkan perawi selain gurunya Ibnu Majah, maka hadits ini telah sampai pada kategori hadits Uluwwu Al-Isnâd meskipun beliau hanya sebatas murid dari sang imam Ibnu Majah, namun derajatnya sama dengan gurunya dalam subtansi Uluwwu Al-Hadîts tersebut, ada juga berhasil disusun oleh sang imam dengan uraian sebanyak 32 kitab menurut Zahaby, dan 1500 bab menurut Abu Al-Hasan Al-Qatthâny serta 4000 hadits.

Sekilas Tentang Kitab “Sunan Ibnu Majah”
Para ulama memandang bahwa kitab hadits Imam Ibnu Majah “Sunan Ibnu Majah” sebagai kitab keenam dari Kutubussittahsetelah Shahih al-Bukhari, Shahih Muslim,Sunan Abu Dawud, Jami’ at-Tirmidzi danSunan an-Nasa`i.

Ada baiknya terlebih dahulu untuk membedah data buku monumental ini. Agar kita lebih terkesan dan tertarik lagi untuk menginfestasikan diri kita pada bidang hadits.
Buku hadits yang dikarang oleh Imam Ibnu Majah ini dikenal dengan nama “Sunan Ibnu Majah”. Karena termasuk buku yang telah menyita perhatian bagi umat Islam, sehingga Abu Al-Hasan Muhammad Shâdiq bin Abdu Al-Hady As-Sanady (wafat tahun 1138) pun mendedikasikan pikirannya untuk men-syarah buku ini yang kemudian akhirnya di-ta’lîq oleh Fuad Abdu Al-Bâqy.
Kitab ini memiliki keistimewaan yang patut diberikan applause, berkat kegigihan imam Ibnu Majah dalam menciptakan karya yang terbaik dan bermanfaat bagi Muslim sedunia, dapat kita lihat bahwa buku ini memiliki susunan yang baik dan tidak ada pengulangan hadits yang serupa kecuali memang dianggap penting oleh sang Imam. Shiddîq Hasan Khân dalam kitab ‘Al-Hittah’ berkata, “Tidak ada ‘Kutubu As-Sittah’ yang menyerupai seperti ini (baca : Kitab “Sunan Ibnu Majah”), karena ia menjaga sekali adanya pengulangan hadits-hadits, walaupun ada itupun hanya sebahagian kecil saja. Seperti imam Muslim R.A. halnya yang mendekati buku ini. Dimana beliau tidak mengadakan pengulangan hadits dalam beberapa sub judul kitab, tapi beliau mengulang hadits tersebut dalam hanya dalam satu judul.
Buku “Sunan Ibnu Majah” terdiri dari 32 (tiga puluh dua) kitab menurut Al-Zahabî, dan 1500 (seribu lima ratus) bab menurut Abu Al-Hasan Al-Qatthanî, dan terdiri dari 4000 (empat ribu) hadits menurut Az-Zahabî. Tapi kalau kita teliti ulang lagi dengan melihat buku yang di-tahqîq oleh Muhammad Fuad Abdul Bâqî rahimahullah, bahwa buku ini berjumlah 37 (tiga puluh tujuh) kitab selain dari muqaddimah, berarti kalau ditambah dengan muqaddimah maka jumlahnya 38 (tiga puluh delapan) kitab. Sedangkan jumlah babnya terdiri dari 1515 (seribu lima ratus lima belas) bab dan 4341 (empat ribu tiga ratus empat puluh satu) hadits. Hal ini disebabkan adanya perbedaan nasakh.
Kitab hadits yang terdiri dari 4341 (empat ribu tiga ratus empat puluh satu) hadits ini ternyata 3002 (tiga ribu dua) hadits diantaranya telah di-takhrîj oleh Imam Bukhari, Muslim, Abu Daud, Tirmidzi, Nasai dan yang lainnya. Dan 1239 (seribu dua ratus tiga puluh sembilan) hadits lagi adalah tambahan dari Imam Ibnu Majah.
Klasifikasi hadits tersebut adalah :
- Empat ratus tiga puluh delapan hadits diriwayatakan oleh para rijâl yang terpercaya dan sanadnya shahih.
- Seratus sembilan puluh sembilan hadits sanadnya adalah hasan
- Enam ratus tiga belas hadits sanadnya dho’îf
- Sembilan puluh sembilan hadits sanadnya adalah mungkar, wâhiah dan makzhûbah

Kedudukan Sunan Ibn Majah di antara Kitab-kitab Hadits
Sebagian ulama tidak memasukkan Sunan Ibn Majah ke dalam kelompok “Kitab Hadits Pokok” mengingat derajat Sunan ini lebih rendah dari kitab-kitab hadits yang lima.
Sebagian ulama yang lain menetapkan, bahwa kitab-kitab hadits yang pokok ada enam kitab (Al-Kutubus Sittah/Enam Kitab Hadits Pokok), yaitu:
1. Sahih Bukhari, karya Imam Bukhari.
2. Sahih Muslim, karya Imam Muslim.
3. Sunan Abu Dawud, karya Imam Abu Dawud.
4. Sunan Nasa’i, karya Imam Nasa’i.
5. Sunan Tirmizi, karya Imam Tirmizi.
6. Sunan Ibn Majah, karya Imam Ibn majah.
Ulama pertama yang memandang Sunan Ibn Majah sebagai kitab keenam adalah al-Hafiz Abul-Fardl Muhammad bin Tahir al-Maqdisi (wafat pada 507 H) dalam kitabnya Atraful Kutubus Sittah dan dalam risalahnya Syurutul ‘A’immatis Sittah.
Pendapat itu kemudian diikuti oleh al-Hafiz ‘Abdul Gani bin al-Wahid al-Maqdisi (wafat 600 H) dalam kitabnya Al-Ikmal fi Asma’ ar-Rijal. Selanjutnya pendapat mereka ini diikuti pula oleh sebagian besar ulama yang kemudian.
Mereka mendahulukan Sunan Ibnu Majah dan memandangnya sebagai kitab keenam, tetapi tidak mengkategorikan kitab Al Muwatta’ karya Imam Malik sebagai kitab keenam, padahal kitab ini lebih sahih daripada Sunan Ibn Majah, hal ini mengingat bahwa Sunan Ibn Majah banyak zawa’idnya (tambahannya) atas Kutubul Khamsah. Berbeda dengan Al-Muwatta’, yang hadits-hadits itu kecuali sedikit sekali, hampir seluruhnya telah termuat dalam Kutubul Khamsah.

Di antara para ulama ada yang menjadikan Al-Muwatta’ karya Imam Malik ini sebagai salah satu Usulus Sittah (Enam Kitab Pokok), bukan Sunan Ibn Majah. Ulama pertama yang berpendapat demikian adalah Abul Hasan Ahmad bin Razin al-Abdari as-Sarqisti (wafat sekitar tahun 535 H) dalam kitabnya At-Tajrid fil Jam’i Bainas-Sihah. Pendapat ini diikuti oleh Abus Sa’adat Majduddin Ibnul Asir al-Jazairi asy-Syafi’i (wafat 606 H). Demikian pula az-Zabidi asy-Syafi’i (wafat 944 H) dalam kitabnya Taysirul Wusul.
Oleh sebab itu buku ini dianggap istimewa disebabkan isinya mayoritas diisi dengan hadits yang shahih, sedangkan hadits yang mungkar dan wâhiah hanya sedikit.
Menurut syeikh Al-Bâny, dalam sunan ini terdapat sekitar delapan ratus hadits yang masuk dalam kategori hadits dho’îf. Kesalahan dan kekhilapan adalah suatu hal yang biasa , namun kesilapan itu akhirnya lebih berarti daripada tidak berbuat sama sekali. Ahmad bin Sulaiman Ayyub dalam bukunya “Musthalah Al-Hadîts lilhadîts Al-Bâni” mengatakan bahwa Imam Ibnu Majah tidak menghukumi bahwa kitabnya ma’sûm dari maudhû’, maka seandainya ia tidak menghukumi seperti itu, maka ia telah berkontroversi karena realitanya tidak begitu.‎
Wafatnya Sang Imam
Suatu hari umat Islam di dunia ditimpa ujian, kesedihan menimpa kalbu mereka. Karena setelah memberikan kontribusi yang berarti bagi umat, akhirnya sang imam yang dicintai ini dipanggil oleh yang Maha Kuasa pada hari Senin tanggal 22 Ramadhan 273 H/887 M. Almarhum dimakamkan hari Selasa di tanah kelahirannya Qazwîn, Iraq.
Ada pendapat yang mengatakan beliau meninggal pada tahun 275 H, namun pendapat yang pertama lebih valid. Walaupun beliau sudah lama sampai ke finish perajalanan hidupnya, namun hingga kini beliau tetap dikenang dan disanjung oleh seluruh umat Islam dunia. Dan ini adalah bukti bahwa beliau memang Seorang Ilmuan Sejati. ‎

 

Doa Nabi Sulaiman Menundukkan Hewan dan Jin

  Nabiyullah Sulaiman  'alaihissalam  (AS) merupakan Nabi dan Rasul pilihan Allah Ta'ala yang dikaruniai kerajaan yang tidak dimilik...