Jumat, 20 November 2020

Sejarah Bali (Pulau Dewata)


Terputus nya Bali Dengan Nusa Jawa

Kebanyakan orang-orang menduga, bahwa pulau Bali dengan pulau Jawa asal mulanya menjadi satu daratan. Akan tetapi kapan putusnya kedua pulau itu  , sehingga sekarang terdapat Selat Bali, para achli tiada dapat menentukannya.

Bali pertama kali diperkenalkan oleh seorang pertapa dari Gunung Raung di Jawa Timur yang bernama Maha Rsi Markandeya dari Kalingga (Dieng) pada abad ke – 8. Dalam doanya beliau mendapat wahyu untuk pindah kepulau Dawa, sebuah pulau yang panjang. Dengan membawa 800 orang pengikut mereka memulai perjalanan hingga akhirnya tiba diwilayah Bali Barat. Namun dalam perjalanan ini ¾ pengikutnya meninggal dunia dimakan harimau dan ular besar dihutan sehingga mereka memutuskan untuk kembali ke Gunung Raung.

Setelah  mendapatkan pengikut baru dan melakukan ritual menanam Panca Dhatu yang terdiri dari 5 jenis logam sebagai penolak bala akhirnya mereka kembali ke Pulau Dawa dan berhenti di kaki Gunung Agung tepatnya Besakih. Agama hindu yang lebih tepat disebut adama Bali mulai diperkenalkan dan mereka menyembah Sanghyang Widhi 3 kali sehari dengan menggunakan sesajen atau bebali yang mengandung 3 unsur yaitu air, api dan bunga yang harum.

Jadi penamaan Bali berasal dari kata bebali yang artinya sesajen.

Kisah perjalanannya rombongan Maharesi Markandeya ketika melakukan perpindahan dari Jawa ke Bali, sama sekali tiada menyebutkan tentang perjalanan mereka itu mempergunakan alat-alat pengangkutan dilaut untuk menyeberang. Hal itu mempertebal kepercayaan orang-orang, bahwa kedua pulau itu bekas menjadi satu daratan, sehingga memungkinkan orang-orang Bali Aga itu berjalan kaki menuju ketempat tanah-tanah yang dibukanya itu.

Menurut uraian sebuah kitab bernama “Usana Bali” , bahwa putusnya pulau Jawa dengan pulau Bali, adalah disebabkan kesaktian seorang Pendita bernama Mpu Sidhimantra.  Pendita itu bertempat tinggal; di Jawa Timur, kersahabat karib dengan seekor ular besar yang bernama  “NAGA  BASUKIH “   Naga itu berliang didesa Besakih yang terletak dikaki Gunung  Agung, merupakan sebuah goa  besar yang dianggap suci. Karena persahabatan itu  Mpu Sidhimantra tiap-tiap bulan purnama raya, selalu datang ke Besakihmendapatkan Naga Basukih dengan membawa madu, susu dan mentega, untuk sahabatnya itu.

Mpu Sidhimantra mempunyai seorang anak laki-laki bernama Ida Manik Angkeran. Anaknya itu gemar berhudi, tiada menghiraukan nasehat ayahnya Oleh karena dalam perjudian itu sering kalah, sehingga menimbulkan ingatannya yang jahat. Pada suatu ketika menjelang bulan purnama raya, Mpu Sidhimantra kebetulan sakit, tiada sanggup  mendapatkan sahabatnya pergi ke Bali. Kesempatan itu dipergunakan oleh Ida Manik Angkeran untuk memuaskan nafsunya mencari  modal untuk berjudi. Sebuah  “ bajra”  kepunyaan ayahnya lalu diambilnya dengan diam-diam, tanpa ijin orang tuanya ia lalu pergi ke Bali mendapatkan Naga Basukih sahabat ayahnya itu. Sampai disana ia lalu duduk bersila sambil membunyikan  “bajra”  yang dibawanya itu sehingga Naga Basukih keluar dari liangnya.

Atas pertanyaan ular besar itu, Ida Manik Angkeran lalu menerangkan, bahwa ayahnya masih sakit, oleh karena itu ia menjadi wakilnya membawa pasuguh berupa madu, susu dan mentega, yang biasa dihidangkan oleh ayahnya tiap-tiap bulan. Pemberian Ida Manik Angkeran itu diterima oleh Naga Basukih dengan senang hati, kemudian ditanyakan kepadanya, apa yang dikehendakinya untuk bekalnya pulang kembali ke Jawa. Ida Manik Angkeran menjawab, bahwa ia tiada minta apa-apa, seraya dipersilakannya Naga Basukih supaya masuk kegoanya, sebelum ia mohon diri.

Naga Basukih lalu masuk kegoanya, sedang ekornya yang begitu panjang  sebagian masih berada diluar. Ida Manik Angkeran kagum melihat sebuah batu permata besar yang melekat pada ujung ekor Naga Basukih itu, sehingga menimbulkan hasratnya  hendak mengambil  batu permata yang tiada ternilai harganya itu.  Terpikir olehnya, bahwa batu permata itu cukup nanti dipakainya berjudi seumur hidup. Sejenak berpikir demikian, ekor Naga Basukih itu lalu dipenggalnya batu permata itu lalu dibawanya lari.

Akan tetapi baru ia sampai dihutan  “Camara Geseng”  tiba-tiba ia mati hangus terbakar, karena bekas jejak kakinya dapat dijilat  oleh Naga Basukih yang sedang marah itu. Sekarang tersebutlah Mpu Sidhimantra , cemas mengenangkan  nasib  anaknya sudah lama tiada pulang-pulang, sedang  “bajra”  pusakanya telah hilang.Ia lalu pergi mendapatkan sahabatnya itu, seraya menanyakan keadaan anaknya yang sudah lama tidak pernah pulang.

Naga Basukih lalu menerangkan kepada sahabatnya itu, bahwa Ida Manik Angkeran sudah mati, lantaran keberaniannya memenggal ekornya yang berisi batu permata. Mpu Sidhimantra menyesali perbuatan anaknya itu, seraya bermohon kepada sahabatnya itu supaya dosa anaknya itu suka diampuninya. Ia berjanji kepada sahabatnya itu, apabila anaknya itu dapat dihidupkan kembali, biarlah Ida Manik Angkeran selama hidupnya tinggal di Bali untuk menjadi abdipura Besakih sebagai  “Pemangku”  (penyelenggara upacara di pura). Permintaan Mpu Sidhimantra diluluskan, maka Ida Manik Angkeran lalu hidup kembali berkat kesaktian Naga Basukih itu.

Maka semenjak itulah Ida Manik Angkeran disuruh oleh ayahnya supaya bertempat tinggal di Bali, tiada dibolehkan lagi pulang ke Jawa. Mpu Sidhimantra pulang kembali ke Jawa, setelah anaknya hidup lagi sebagai sediakala. Maka untuk mencegah kemungkinan  anaknya itu  akan menyusul perjalanannya , lalu digoreskanlah tongkatnya, sehingga daratan pulau Bali dengan pulau Jawa menjadi putus  karenanya. Demikianlah ceriteranya, asal mulanya ada Selat Bali yang disebut  “SEGARA RUPEK”

Ceritera kitab itu merupakan dongeng dan tachyul, tetapi kenyataannya sukar dibantah. Keturunan Ida Manik Angkeran itu disebut  “Ngurah Sidemen”  ternyata sampai kini berkewajiban menjadi  “Pemangku”  di Pura Besakih.

Penulis bangsa Eropah bernama Raffles , Hageman  dan R. Van Eck, sama-sama membenarkan, bahwa Bali dan Jawa bekasnya menjadi satu daratan, oleh bencana alam yang disebabkan meletusnya sebuah gunung berapi, maka terjadilah gempa bumi besar, sehingga daratan kedua pulau itu menjadi putus.

Mereka menerangkan, bahwa peristiwa itu terjadi di alam abad ke XIII *). Akan tetapi sayang keterangan mereka itu kurang jelas, gunung mana yang dikirakan meletus oleh mereka itu. Hasil penyelidikan menyatakan, bahwa sepanjang pantai Selat Bali itu, sekarang banyak terdapat  mata air panas berbau belerang. Kemungkinan disana dahulu terdapat sebuah gunung berapi yang sudah meletus.Diantara mata air panas itu sebuah disebut : Banyu Wedang, artinya air panas.   

Sementara itu terdapat sebuah kitab bernama : Nagara-Kertagama karangan Prapanca, menerangkan bahwa putusnya pulau Jawa dengan pulau Madura terjadi dalam tahun Úaka 124. Bilangan tahun Úaka itu mempergunakan perhitungan  “candra-sangkala”  yaitu dengn perkataan yang berbunyi “ samudra nanggung bumi “  Keterangan kitab itu  sesuai  dengan pernyataan sebuah kitab bernama : “Wawatekan” yang menerangkan bahwa  “segara rupek”  itu , ialah “segara nanggung bumi”. Baik  “samudra”  maupun  “sagara”  sama artinya dengan lautan atau selat. Kedua perkataan itu sama dengan angka  4, menurut perhitungan tahun Candra-sangkala. Perkataan “nanggung” sama dengan angka  2. Sedang perkataan  “bumi” sama dengan angka  1. Oleh karena caranya menghitung angka-angka itu harus berbalik, maka terjadilah bilangan tahun saka 124, atau tahun Masehi 202.

Meskipun kitab-kitab itu sudah menerangkan demikian, namun pernyataan itu tiada dapat dipakai pegangan yang kuat, untuk mnentukan putusnya Pulau Bali dengan Pulau Jawa  memang terjadi semasa itu. Mustahil Prapanca tiada menyebutkan dalam kitab karangannya itu,   bahwa putusnya Pulau Bali dengan Pulau Jawa bersamaan waktunya, apabila memang benar demikian halnya.

 Dalam pada itu seorang penulis bernama  C.W. Laedbeater  menerangkan didalam sebuah kitab karangannya bernama: “The Occult  History of Java”  bahwa putusnya Pulau Jawa dengan Pulau Sumatra terjadi dalam tahun Masehi 915 (meletusnya Gunung Krakatau), yang menyebabkan  putus kedua pulau tersebut. Dapatlah keterangan penulis itu dipakai sandaran untuk menyatakan, bahwa putusnya Pulau Bali dengan Pulau Jawa terjadi pada waktu itu? Memang jikalau ditilik  dari letak  ketiga pulau itu (Sumatera, Jawa dan Bali) seakan-akan berangkai hanya dipisahkan oleh selat-selat yang sempit, tidaklah mustahil kejadian di Selat Sunda dapat dipengaruhi keadaan di Selat Bali.

Sementara kitab-kitab itu tiada memberi ketegasan waktu mana kiranya putusnya Pulau Jawa dengan Pulau Bali terjadi, maka pendapat umum lebih condong mempercayai theori ilmu bumi. Pada zaman dahulu sebagian besar kepulauan Indonesia belum ada, masih bersatu dengan benua Asia, maka pada suatu ketika yaitu pada achir  zaman es, konon katanya gunung-gunung es  yang terdapat dikutub Utara dan dikutub  Selatan menjadi cair, sehingga permukaan laut naik dan merendam daerah-daerah yang rendah.

Oleh karena itu terjadilah lautan Tiongkok Selatan, laut Jawa,  dan Selat Malaka. Kemungkinan ketika itulah terjadinya Selat Bali itu, lantaran dataran disana rendah, turut terendam air laut  yang sedang pasang itu.  Jika memang demikian halnya, sudah tentu putusnya Pulau Bali dengan Pulau Jawa itu terjadi beberapa ratus abad  sebelum tarich Masehi.

Demikianlah keterangan-keterangan yang diperoleh mengenai hal ichwal putusnya Pulau Bali dengan Pulau Jawa itu, namun para achli belum ada yang berani menerangkan, kapan sebenarnya peristiwa itu terjadi. Baiklah hal itu dipakai sebagai gambaran saja, untuk meraba-raba , bahwa kedua pulau itu pada suatu masa kiranya memang benar mula-mula menjadi satu daratan - 

Sejarah Kerajaan

Kerajaan Bali terletak di sebuah pulau yang tidak jauh dari daerah Jawa Timur, tepatnya di sebelah timur Pulau Jawa, maka dalam perkembangan sejarahnya, Bali mempunyai hubungan yang sangat erat dengan Pulau Jawa. Ketika kerajaan Majapahit runtuh, banyak dari rakyat Majapahit yang melarikan diri kemudian menentap di Bali. Sehingga sampai saat ini masih ada kepercayaan bahwa sebagian dari masyarakat Bali adalah  pewaris tradisi Majapahit.

Sumber Sejarah

Sumber sejarah Kerajaan Bali didapat dari beberapa berita dari Jawa dan juga  prasasti-prasasti di Bali. 
1.‎ Prasasti Sanur menunjukkan adanya kekuasaan raja-raja dari Wangsa atau Dinasti Warmadewa. 
2. Prasasti Calcuta, India (1042) dalam prasasti ini dikemukakan tentang asal-usul Raja Airlangga yang merupakan keturunan raja-raja Bali, 

Dinasti Warmadewa. Raja Airlangga lahir dari hasil perkawinan Raja Udayana dari Kerajaan Bali dengan Mahendradata (putri Kerajaan Medang Kamulan adik raja Dharmawangsa) Selain itu, komplek Candi Gunung Kawi (Tampak Siring) merupakan makam dari raja-raja Bali. Komplek candi tersebut dibangun pada masa pemerintahan Raja Anak Wungsu.

Kehidupan Politik

Karena kurangnya sumber-sumber dan bukti dari adanya kerajaan Bali, menyebabkan sistem dan bentuk pemerintahan raja-raja Bali kuno tidak dapat diketahui dengan jelas, namun raja-raja yang pernah berkuasa diantaranya: 1.
 
Raja Sri Kesari Warmadewa yang memiliki istana di Singhadwala. Buktinya terdapat  pada prasasti Sanur (913 M).

1.Dalam prasasti itu disebutkan bahwa Raja Sri Kesari Warmadewa berhasil mengalahkan musuh-musuhnya di daerah pedalaman. Raja Sri Kesari Warmadewa adalah raja pertama dan merupakan pendiri Dinasti Warmadewa. 

2.‎Raja Urganesa yang memerintah daritahun 915 M-942 M. Memerintah Kerajaan Bali untuk menggantikan Raja Sri Kesari Warmadewa. Pusat pemerintahannya terdapat di Singhadwala. Masa pemerintahan Raja Urganesa meninggalkan 9 buah prasasti yang ditemukan di Babahan, Sembiran, Pentogan, dan Batunhya. Dalam prasasti-prasasti itu berisi tentang pembebasan pajak terhadap daerah-daerah tertentu dalam kekuasaannya dan menunjukkan bahwa otoritasnya meliputi area yang cukup luas. Selain itu juga terdapat prasasti yang berisi tentang pembangunan tempat-tempat suci. Sistem dan bentuk pemerintahan pada masa pemerintahan Raja Urganesa telah teratur terutama tentang pemberian tugas kepada pejabat-pejabat istana. 

3.Raja Tabanendra Warmadewa yang menggantikan Raja Urganesa sebagai raja Kerajaan Bali selanjutnya. Raja Tabanendra Warmadewa memerintah bersama  permaisurinya yang bernama sang Ratu Luhur Sri Subhadrika Dharadewi. Keadaan  pada masa pemerintahan Raja Tabanendra Warmadewa tidak dapat diketahui karena kurangnya berita-berita dan sumber-sumber dari prasasti. 

4.‎Raja Jayasingha Warmadewa atau Raja Sri Candrabhayasingha Warmadewa. Masa  pemerintahannya tidak dapat diketahui karena tidak adanya sumber yang terkait dengannya. 

5.Raja Jayasandhu Warmadewa. Masa kekuasaan dan pemerintahannya juga tidak dapat diketahui dengan pasti. 

6.Sri Maharaja Sri Wijaya Mahadewi memerintah pada tahun 983. Kerajaan Bali pada masa ini diperintah oleh seorang raja putri. Beberapa ahli menafsirkan bahwa dia raja  putri ini adalah putri dari Mpu Sindok (Dinasti Isyana). 

7.Dharma Udayana Warmadewa memerintah setelah masa pemerintahan Sri Maharaja Sri Wijaya Mahadewi. Masa pemerintahan Udayana 989-1022 M. Dia memerintah  bersama permaisurinya yang bernama Mahendradata (Gunapria Dharmapadni) yang merupakan putri dari Raja Jawa Timur 
Makutawamsawardhana, dan karena hal tersebut, hubungan Kerajaan Bali dengan kerajaan-kerajaan di Jawa Timur berjalan dengan baik dan pada masa ini penulisan prasasti-prasasti dengan menggunakan huruf dan bahasa Jawa Kuno dimulai. Udayana dan Mahendradata dikaruniai tiga orang anak lelaki, yaitu Airlangga, Dharmawangsa, dan Anak Wungsu.

 8.Raja Marakata kemudian menggantikan Udayana setelah kematiannya. Namun dia hanya memerintah sebentar hingga tahun 1025.

 9.Raja Anak Wungsu adalah Raja Bali yang memerintah setelah Marakata. Dan Anak Wungsu adalah Raja Bali yang berhasil mempersatukan seluruh wilayah Bali. Pada masa pemerintahannya, kehidupan rakyat Bali aman dan sejahtera. Rakyat Bali pada masa itu sudah mulai bervariasi, mereka hidup dari bercocok tanam, pande besi, tukang kayu, dan pedagang. Raja Anak Wungsu juga memberikan perhatian besar  pada masalah-masalah keagamaan dengan jalan menjamin kesejahteraan para pertapa. Anak Wungsu menjadi raja termasyur karena pada masa pemerintahannya, dibangun kompleks candi-candi dan gua-gua meditasi di tebing-tebing jurang sungai Pakerisan dan situs Gunung Kawi. 

10. ‎Raja Jaya Sakti yang kemudian memerintah Bali adalah keturunan dari
Airlangga yang pada masa itu Airlangga telah menjadi penguasa Jawa Timur. 

11.Raja Bedahulu adalah Raja Bali yang terakhir memerintah pada tahun 1343 M. Raja Bedahulu juga dikenal dengan sebutan Sri Astasura Ratna Bhumi Banten.

Kerajaan Mengwi

Kerajaan Mengwi adalah sebuah kerajaan di Bali yang dahulu diceritakan diperintah oleh raja-raja dengan dinasti yang berbeda-beda secara turun temurun yaitu :

Sekitar tahun 1408 M, pemerintahan dikendalikan oleh Dinasti Tegeh Kori yang sebagaimana disebutkan Babad Mengwi dalam sejarah Puri Pemecutan, raja-raja yang memerintah yaitu :

Kyai Made Tegeh yang kemudian bergelar Kyai Agung Anglurah Mengwi I
Kyai Gede Tegal sebagai Kyai Agung Anglurah Mengwi II.
Kyai Ngurah Pemayun yang bergelar Kyai Agung Anglurah Mengwi III.
Kyai Ngurah Agung yang bergelar Kyai Agung Anglurah Mengwi IV.
Kyai Ngurah Tegeh yang bergelar Kyai Agung Anglurah Mengwi V.
Kyai Ngurah Gede Agung yang bergelar Kyai Agung Mengwi VI 
bersama Ngurah Cemenggon Beringkit beserta Ngurah Ngui { Petandakan } 
menyerahkan kerajaan serta mandat kekuasaan kepada Gusti Agung Putu yang yang ketika itu berada di Puri Belayu.

Selanjutnya sekitar tahun 1686 M, kekuasaan atas Mengwi dipegang oleh Dinasti I Gusti Agung Putu, putra dari I Gusti Agung Marutiyang dahulu sebagai penguasa Kerajaan Gelgel. Dalam Cikal Bakal Raja - Raja Mengwidiceritakan I Gusti Agung Putu sebagai Raja I Mengwi dengan pusat ibu kotanya disebut dengan Kawyapura yang perluasan kekuasaannya meliputi :

Kaba-kaba (yang dahulu dalam Babad Kaba-Kaba disebutkan wilayah tersebut dikuasai oleh Arya Belog)
Marga selatan, Bukit Jimbaran sampai Uluwatu,
ke Utara sampai gunung Beratan,
ke Timur sampai sungai Petanu, termasuk daerah Sukawati.
ke Barat sampai sungai Yeh Panah dll
Kini diceritakan perluasan wilayah kerajaan pada tahun 1736 – 1767 yang dalam Babad Blambangan sebagaimana disebutkan :

Wilayah Blambangan berada di bawah kekuasaan Kerajaan Mengwi sejak tahun 1736, dan menempatkan Pangeran Menak Jingga/Pangeran Danuningrat sebagai raja bawahan. 

Serangan Badung ke Mengwi pada 1891. penyerangan ini diceritakan dibawah perintahan Nararya Agung Ngurah Alit Pemecutan (1860 – 1901) sebagai raja Badung (dinasti Denpasar ke-V), yaitu kakanda dari Nararya Agung Made Ngurah Pemecutan (Ida Tjokorde Ratu Made Agung Gede Ngurah Pamecutan 1876 – 1906 alias Bethara Mur ring Rana) yang menciptakan Perang Puputan Badung 1906 itu;

Penyerangan kerajaan Badung ke kerajaan Mengwi tidak dalam bentuk perang besar, sehingga tidak banyak korban baik manusia maupun harta benda. Kondisi Kerajaan Mengwi saat itu dalam kondisi paling lemah sebagai akibat dari banyaknya perang yang telah dilakukan, disamping adanya pembelotan keluarga kerajaan Mengwi di kawasan Timur, sehingga ketika itu Mengwi lebih memilih takluk lebih dahulu daripada harus menumpahkan darah.

Setelah kerajaan Mengwi takluk maka sebagian besar daerah kekuasaannya diserahkan kepada Badung mencakup Desa Kapal, Munggu, terus ke selatan hingga ke daerah Bukit (termasuk Pura Luhur Uluwatu) dan ada sedikit bukti, bahwa ‎ Banyak penduduk Gulingan hingga Penarungan dan sekitarnya merupakan laskar Badung yang ditugaskan menetap di sana. 

Kerajaan Badung juga menempatkan keturunan Puri Belaluan di daerah Kapal, Gaji, Abian Base, untuk mencegah bangkitnya kembali Kerajaan Mengwi. 
Karenanya, banyak penduduk di sana yang kawitannya ada di Badung.
Setelah runtuhnya Kerajaan Mengwi disebutkan dimana perang antara Badung dengan Mengwi berakhir maka tiga serangkai Raja Tabanan, Raja Badung Pemecutan dan Raja Gianyar sepakat untuk mengadakan perjanjian kerjasama di bidang pertahanan.

Sebagai tambahan, Kerajaan Mengwi dalam beberapa Babad juga diceritakan :
Dalam Babad Puri Andhul Jembrana, juga diceritakan, putra Ki Gusti Blambang Murti yang bernama Gusti Gede Giri, setelah Kerajaan Jembrana ditaklukan oleh Mengwi, sangat tunduk dan bakti terhadap Mengwi dan sering menghadap bersama putranya. Sangat berbahagia dan sejahtera. ‎

 

Sejarah Kudus


Kudus awalnya kota di tepi Sungai Gelis,dan salah satu kota di Pulau Muria, bernama Kota Tajug. Disebut "Tajug" karena struktur atas Menara Kudus yang berbentuk 'Tajug'. Warga hidup dari bertani, membuat batu bata, menangkap ikan,dan berdagang. Setelah kedatanganSunan Kudus, Kota itu dikenal sebagai "Al-Quds" yang berarti "Kudus". Kota Tajug memang sudah lama menjadi kota perdagangan,tapi karena posisinya agak jauh dari Selat Muria, tidak ada pelabuhan besar di Kota Tajug, hanya pelabuhan transit, yang nanti akan transit lagi ke Pelabuhan Tanjung Karang di tepi Selat Muria.Pada saat itu, Selat Muria masih dalam dan lebar, sebagai jalan pintas perdagangan. Pelabuhan Tanjung Karang adalah pelabuhan transit penghubung ke pelabuhan Demak, Jepara dan Juwana. Komoditas utama export Pelabuhan Tanjung Karang adalah kayu yang berasal dari muria,yang juga digunakan sebagai salah satu material pembangunan Masjid Agung Demak.

Pedagang dari Timur Tengah, Tiongkok, dan pedagang antar pulau dari sejumlah daerah di Nusantara berdagang kain, barang pecah belah, dan hasil pertanian di Tajug, tepatnya di Pelabuhan Tanjung Karang. Warga Tajug juga terinspirasi filosofi yang dihidupi Sunan Kudus,Gusjigang. Gus berarti bagus, ji berartimengaji, dan gang berarti berdagang. Melalui filosofi itu, Sunan Kudus menuntun masyarakat menjadi orang berkepribadian bagus, tekun mengaji, dan mau berdagang. Dari pembauran lewat sarana perdagangan dan semangat ”gusjigang” itulah masyarakat Kudus mengenal dan mampu membaca peluang usaha. Dua di antaranya usaha batik dan jenang.Kini, selat muria sudah hilang ditelan sedimentasi,begitupun dengan Pelabuhan Tanjung Karang,hilang dan hancur ditelan sedimentasi.

Berdirinya Masjid Menara Kudus sebagai Hari Jadi Kabupaten Kudus. Masjid Menara Kudus tidak lepas dari peran Sunan Kudus sebagai pendiri dan pemrakarsa. Sebagaimana para walisongo yang lainnya, Sunan Kudus memiliki cara yang amat bijaksana dalam dakwahnya. Di antaranya, dia mampu melakukan adaptasi dan pribumisasi ajaran Islam di tengah masyarakat yang telah memiliki budaya mapan dengan mayoritas beragama Hindudan Buddha. Pencampuran budaya Hindu dan Budha dalam dakwah yang dilakukan Sunan Kudus, salah satunya dapat kita lihat pada masjid Menara Kudus ini. Masjid ini didirikan pada tahun 956 H atau 1549 M. Hal ini dapat diketahui dari inskripsi (prasasti) pada batu yang lebarnya 30 cm dan panjang 46 cm yang terletak pada mihrab masjid yang ditulis dalam bahasa Arab.

Sebenarnya,banyak orang salah paham dengan menara kudus.Masyarakat berpikir bahwa menara kudus dibangun bersama dengan Masjid Menara Kudus,padahal tidak.Menara kudus sudah ada dari zaman hindu buddha,dan umurnya jauh lebih tua dari Masjid Menara Kudus.Kini, kejayaan dan kemakmuran Kota Kudus karena perdagangan,terulang lagi karena Industri,dan posisi Kudus yang strategis sebagai lalu lintas perdagangan jawa.Terletak di jalur Pantura ,atau AH2(Asian Highway 2) membuat Kota kudus ramai,dan maju.Bahkan Kudus adalah yang paling maju di Karesidenan Pati dan di Semenanjung Muria.Pendapatan perkapita Kudus juga yang tertinggi di jawa tengah,karena hasil industri yang besar,serta penduduk yang tidak terlalu banyak,tapi dengan kepadatan penduduk yang relatif tinggi.

Sejarah Kota Kudus tidak terlepas dari Sunan Kudus. Karena keahlian dan ilmunya, maka Sunan Kudus diberi tugas memimpin para Jamaah Haji, sehingga beliau mendapat gelar “Amir Haji” yang artinya orang yang menguasai urusan para Jama’ah Haji. Beliau pernah menetap di Baitul Maqdis untuk belajar agama Islam. Ketika itu disana sedang berjangkit wabah penyakit, sehingga banyak orang yang mati. Berkat usaha Ja’far Shoddiq, wabah tersebut dapat diberantas.

Atas jasa-jasanya, maka Amir di Palestina memberikan hadiah berupa Ijazah Wilayah, yaitu pemberian wewenang menguasai suatu daerah di Palestina. Pemberian wewenang tersebut tertulis pada batu yang ditulis dengan huruf arab kuno, dan sekarang masih utuh terdapat di atas Mihrab Masjid Menara Kudus.

Peran Sunan Kudus‎

Beliau lahir di Jipang Panolan yang letaknya di sebelah utara kota Blora , sekitar tahun 1400 dengan nama Ja'far Shodiq.
Ayahnya bernama Raden Usman Haji yang bergelar dengan sebutan Sunan Ngudung.

Ja'far Shodiq mengajarkan agama Islam khususnya di sekitar Kudus dan di Jawa Tengahpesisir Utara pada umumnya.
Ia adalah seorang ulama yang ahli dalam menyiarkan agama Islam dengan ilmu
Tauhid
Usul
Hadits
Sastra Mantiq
dan Fiqih.
Karena itulah ia mendapat gelar sebagai Waliyyul 'Ilmi , bahkan menurut sebagaian riwayat ia termasuk salah seorang Pujangga yang berinisiatif mengarang cerita-cerita pendek yang berisi fisafat dan berjiwa agama.
Salah satu ciptaannya yang terkenal adalahGending Maskumambang dan Mijil.

Menurut sejarah , pada abad VIII juga hidup seorang wali yang terkenal di Iran , yang namanya juga Ja'far Shodiq.
Tapi Ja'far Shodiq yang ini adalah seorang Imam Syi'ah yang keenam.
Imam Ja'far Shodiq yang terkenal di Iran ini tidak saja sebagai seorang Imam dari Kaum Syi'ah , akan tetapi juga sebagai seorang yang terkemuka didalam soal-soal hukum maupun ilmu pengetahuan lainnya.

Jadi Ja'far Shodiq yang di Iran bukanlah Ja'far Shodiq yang menjadi salah seorang anggotaWalisongo di Jawa.

 Guru - Gurunya

Disamping belajar agama pada ayahnya ,
Ja'far Shodiq juga belajar kepada beberapa ulama terkenal lainnya , seperti
Kyai Telingsing‎
Ki Ageng Ngerang
dan Sunan Ampel.

Nama asli Kyai Telingsing adalah Ling Sing.
Ia seorang ulama dari Cina yang datang ke Pulau Jawa bersama Laksamana Jendral Cheng Hon.
Dalam sejarah disebutkan bahwa Jendral Cheng Hoo yang beragama Islam itu datang ke Jawa untuk mengadakan tali persahabatan dan menyebarkan agama Islam melalui perdagangan.
Di Jawa , Ling Sing atau The Ling Sing akhirnya dipanggilTelingsing.
Ia tinggal di sebuah daerah subur yang terletak di antara Sungai Tanggulangin dan Sungai Juwana sebelah Timur.
Di daerah tersebut , Telingsing tidak hanya mengajarkan agama Islam saja tetapi juga mengajarkan Seni Ukir yang indah pada penduduk sekitar.

Banyak yang datang berguru seni kepada Kyai Telingsing , termasuk Ja'far Shodiq itu sendiri.
Dengan belajar kepada ulama dari Cina itu , Raden Ja'far Shodiq mewarisi bagian dari sifat positif masyarakat Cina , yaitu ketekunan dan kedisiplinan dalam mengejar atau mencapai cita-cita.
Hal ini berpengaruh besar bagi kehidupan dakwah Ja'far Shodiq di masa mendatang , yaitu tatkala menghadapi masyarakat yang kebanyakan masih beragama Hindu dan Budha.
Selanjutnya Raden Ja'far Shodiq berguru pada Sunan Ampel di Surabaya selama beberapa tahun.

Strategi Dakwah

Ja'far Shodiq termasuk pendudukung gagasanSunan Kalijaga dan Sunan Bonang yang menerapkan strategi dakwah kepada masyarakat sebagai berikut :

» Membiarkan dulu adat istiadat dan kepercayaan lama yang sukar di ubah.
Mereka sepakat untuk tidak menggunakan jalan kekerasan atau radikal menghadapi masyarakat yang demikian.
» Bagian adat yang tidak sesuai dengan ajaran Islam tetapi mudah dirubah , maka segera dihilangkan.
» Tut Wuri Handayani.
Mengikuti dari belakang terhadap kelakuan dan adat rakyat tetapi di usahakan untuk dapat mempengaruhi sedikit demi sedikit.
» Tut Wuri Hangiseni.
Mengikuti dari belakang sambil mengisi ajaran agama Islam.
» Mengambil ikan tetapi tidak membuat keruh airnya.
Menghindarkan konfrontasi secara langsung atau secara keras di dalam cara menyiarkan agama Islam.
» Tidak menghalau masyarakat dari umat Islam.
Bagi kalangan umat Islam yang sudah tebal imannya harus berusaha menarik simpati masyarakat non-muslim agar mau mendekat dan tertarik dengan ajaran dengan cara melaksanakan ajaran Islam secara lengkap.
Yang secara otomatis tingkah laku dan gerak-gerik mereka sudah merupakan dakwah nyata yang dapat memikat masyarakat non-musilm.
Pada akhirnya akan mengubah atau boleh saja merubah adat serta kepercayaan masyarakat yang tidak sesuai dengan ajaran Islam.

Strategi dakwah tersebut diterapkan oleh Sunan Kalijaga ,
Sunan Bonang ,
Sunan Muria ,
Sunan Kudus ,
dan Sunan Gunung Jati.
Karena siasat mereka inilah akhirnya mereka disebut Kaum Abangan atau Aliran Tuban.
Sedangkan pendapat Sunan Ampel , Sunan Giri , dan Sunan Drajat disebut Kaum Putihan atau Aliran Giri.
Namun atas inisiatif Sunan Kalijaga ,
kedua pendapat yang berbeda itu pada akhirnya dapat di kompromikan.

 Merangkul Masyarakat Hindu
Pada suatu hari Ja'far Shodiq membeli seekor Sapi{riwayat lain disebut Kebo Gumarang}.
Sapi itu berasal dari Hindia yang dibawa pedagang asing.
Kemudian sapi tersebut ditambatkan pada halaman rumahnya.

Rakyat Kudus yang mengetahui hal tersebut tergerak hatinya untuk ingin tahu apa yang akan dilakukan Ja'far Shodiq terhadap sapi tersebut.
Karena sapi dalam pandangan Hindu adalahHewan Suci yang menjadi kendaraan para Dewadan menyembelih sapi merupakan perbuatan dosa yang dikutuk para Dewa.

Dalam sekejar halaman rumah Ja'far Shodiq di banjiri rakyat , baik yang beragama Islam maupun Hindu.
Ja'far Shodiq keluar dari rumahnya ,
"Sedulur-sedulur yang saya hormati ,
segenap sanak-kadang yang saya cintai.
Saya melarang saudara-saudara menyakiti apalagi menyembelih sapi.
Karena di waktu saya masih kecil , saya pernah mengalami saat yang berbahaya , hampir mati kehausan.
Lalu seekor sapi datang menyusui saya", kata Ja'far Shodiq.

Mendengar cerita tersebut para pemeluk agama Hindu terkagum-kagum.
Mereka menyangka Ja'far Shodiq adalah titisanDewa Wisnu.
"Demi rasa hormat saya kepada hewan yang pernah menolong saya , maka dengan ini saya melarang penduduk Kudus menyakiti atau menyembelih sapi", Ja'far Shodiq menjelaskan lebih lanjut yang kontan membuat para penduduk terpesona dengan kisah tersebut.

Setelah para penduduk lebih cermat mendengarkan dan ingin lebih tahu tentang cerita tersebut.
Maka Ja'far Shodiq menlanjutkan ceritanya dengan mengatakan bahwa di antara surat-suratAl-Qur'an juga ada surat yang dinamakan Surat Sapi atau dalam Bahasa Arabnya Al-Baqarah.
Masyarakat semakin penasaran dan tertarik.
Kok ada sapi didalam Al-Qur'an . . ?
Dalam setiap bercerita ,
Ja'far Shodiq tidak pernah menyelesaikannya.
Ia takut orang akan jenuh mendengarnya karena terlalu lama.
Tapi justru hal itulah membuat mereka penasaran dan ingin tahu lebih banyak lagi.
Akhirnya masyarakat jadi sering mendengarkan keterangan Ja'far Shodiq tentang surat Al-Baqarah dan mendengarkan ceramahnya tentang agama Islam.

Kemudian Ja'far Shodiq membuat masjid yang tidak jauh berbeda dengan candi-candi milik orang Hindu.
Masjid Menara Kudus yang unik dan antik itu hingga sekarang dikagumi orang di seluruh dunia karena keanehannya.
Bentuknya yang mirip candi itulah membuat orang-orang Hindu pada masa itu merasa akrab dan tidak takut atau segan untuk masuk kedalam masjid guna mendengarkan ceramah atau cerita Ja'far Shodiq.

Merangkul Masyarakat Budha
Setelah masjid berdiri , maka Ja'far Shodiq membuat Padasan atau tempat wudhu dengan pancuran yang berjumlah delapan.
Masing-masing pancuran diatasnya diberi arcakepala Kebo Gumarang.
Hal ini sesuai dengan ajaran Budha
"Sanghika Marga" atau Jalan Berlipat Delapan , yaitu

» Harus Memiliki Pengetahuan Yang Benar
» Mengambil Keputusan Yang Benar
» Berkata Yang Benar
» Hidup Dengan Cara Yang Benar
» Bekerja Dengan Benar
» Beribadah Dengan Benar
» Menghayati Agama Dengan Benar

Karena usahanya itu pun membuat umat Budha penasaran hingga mereka berdatangan ke masjid untuk mendengarkan keterangan Ja'far Shodiq.
Dalam legenda dikisahkan bahwa Raden Ja'far Shodiq atau Sunan Kudus itu suka mengembara , baik ke tanah Hindustan maupun ke tanah Suci Mekkah.

Sewaktu berada di Mekkah , ia menunaikan ibadah haji yang kebetulan disana ada wabah penyakit yang sulit teratasi.
Bahkan penguasa Negeri Arab kala itu sampai mengadakan sayembara.
Bagi siapa saja yang berhasil melenyapkan wabah penyakit itu akan diberi hadiah cukup besar jumlahnya.

Sudah banyak orang yang mencoba tapi tidak pernah berhasil hingga pada suatu hari Sunan Kudus menghadap penguasa negeri itu.
Kedatangan Sunan Kudus atau Ja'far Shodiq ini disambut dengan sinis oleh mereka.

"Dengan apa Tuan akan melenyapkan wabah penyaki ini . . ?", tanya Sang Amir.
" Dengan doa . . ! ", jawab Sunan Kudus.
"Hanya doa . . ?
Kami sudah puluhan kali melakukannya.
Di tanah Arab ini banyak ulama dan syekh-syekh ternama , tapi mereka tak pernah berhasil mengusir wabah penyakit ini", kata Sang Amir.
"Saya mengerti memang tanah Arab ini gudangnya para ulama.
Tapi jangan lupa ada saja kekurangannya sehingga doa mereka tidak terkabulkan", kata Sunan Kudus.
"Hemm , sungguh berani Tuan berkata demikian.
Lalu apa kekurangan mereka . . ?", tanya Sang Amir dengan nada berang.
"Anda sendiri yang menyebabkannya", kata Sunan Kudus dengan tenang.
"Anda telah menjanjikan hadiah yang menggelapkan mata hati mereka sehingga doa mereka tidak ikhlas.
Mereka berdoa hanya karena mengharapkan hadiah", kata Sunan Kudus menjelaskan lebih lanjut.

Sang Amir pun terbungkam seribu bahasa dengan perkataan tersebut.
Sunan Kudus lalu dipersilahkan melaksanakan niatnya.
Kesempatan itu tidak di sia-siakan oleh Sunan Kudus yang kemudian secara khusus ia berdoa dan membaca beberapa amalan.
Dalam tempo singkat wabah penyakit yang mengganas di negeri Arab telah menyingkir.
Bahkan beberapa orang yang menderita sakit keras secara mendadak langsung sembuh.

Bukan main senangnya hati Sang Amir dan rasa kagum mulai menjalar di hatinya.
Hadiah yang telah di janjikannya hendak diberikan kepada Sunan Kudus , tetapi ditolak secara halus oleh Sunan Kudus.
Akhirnya karena dipaksa dan Sang Amir gak enak kalau tidak memberikan hadiah kepada Sunan Kudus , apalagi Sang Amir terlanjur berjanji.
Maka sebagai gantinya , Sunan Kudus hanya meminta sebuah Batu yang berasal dari Baitul Maqdis dan Sang Amir pun mengizinkannya.

Kemudian batu tersebut dibawa ke tanah Jawa dan dipasang pada tempat pengimaman Masjid Kudus yang di dirikannya sewaktu kembali dari tanah suci.
Masjid yang ia dirikan sewaktu rakyat Kudus masih banyak beragama Hindu dan Budha.
Masjid tersebut dinamakan Kudus , maka Raden Ja'far Shodiq pada akhirnya disebut Sunan Kudus.
Karena masjid tersebut memiliki menara yang unik , orang-orang akhirnya menyebut masjid itu dengan sebutan Masjid Menara Kudus.

 Silsilah Sunan Kudus‎
Seperti kita ketahui bahwa walisongo masih keturunan Rasulullah - melalui jalur Fatimah az-Zahra
dan Ali bin Abi Thalib.
» Imam Husain
» Ali Zainal Abidin
» Muhammad al-Baqir
» Ja'far ash-Shadiq
» Ali al-Uraidhi
» Muhammad al-Naqib
» Isa ar-Rumi
» Ahmad al-Muhajir
» Ubaidullah
» Alwi Awwal
» Muhammad Sahibus Saumiah
» Alwi ats-Tsani
» Ali Khali' Qasam
» Muhammad Shahib Mirbath
» Alwi Ammi al-Faqih
» Abdul Malik Azmatkhan
» Abdullah Khan
» Jamaludin Akbar al-Husaini atau Syekh Jumadil Qubro
» Maulana Malik Ibrahim atau Sunan Gresik
» Raden Rahmat atau Sayyid Ahmad Rahmatillah atau Sunan Ampel
» Siti Syarifah atau Nyai Ageng Maloka atau Nyai Ageng Manyuran yang menjadi istri Raden Usman Haji atau Sunan Ngudung
» Raden Ja'far Shodiq atau Sunan Kudus.

Sunan Kudus diperkirakan lahir pada tahun 1400 dan wafat pada tahun 1550 dalam posisi sujudsewaktu memimpin sholat subuh.

Makam Sunan Kudus di sekitar Masjid Menara Kudus yang beliau dirikan pada tahun 1549 , di Desa Kauman Kecamatan Kota Kabupaten Kudus Jawa Tengah.

Sunan Kudus memohon kepada Amir Palestina yang sekaligus sebagai gurunya (Sayid Alhasany)  untuk memindahkan wewenang wilayah tersebut ke pulau Jawa. Permohonan tersebut dapat disetujui dan Ja’far Shoddiq pulang ke Jawa. Setelah pulang, Ja’far Shoddiq mendirikan Masjid di daerah Kudus pada tahun 956 H atau 1548 M. Semula diberi nama Al Manar atau Masjid Al Aqsho, meniru nama Masjid di Yerussalem yang bernama Masjidil Aqsho. Kota Yerussalem juga disebut Baitul Maqdis atau Al-Quds. 

Dari kata Al-Quds tersebut kemudian lahir kata Kudus, dan Ja'far Shodiq pun disebut dengan Sunan Kudus yang kemudian digunakan untuk nama kota Kudus sekarang.  Masjid buatan Sunan Kudus tersebut dikenal dengan nama masjid Menara di Kauman Kulon. Sejak Sunan Kudus bertempat tinggal di daerah itu, jumlah kaum muslimin makin bertambah sehingga daerah disekitar Masjid diberi nama Kauman, yang berarti tempat tinggal kaum muslimin.

Ada cerita rakyat di Kudus tentang 'apa sebab masyarakat Kudus sampai sekarang tidak menyembelih sapi'?. Sebelum kedatangan Islam, daerah Kudus dan sekitarnya merupakan Pusat Agama Hindu. Dahulu Sunan Kudus ketika dahaga pernah ditolong oleh seorang pendeta Hindu dengan diberi air susu sapi. Maka sebagai rasa terima kasih, Sunan Kudus waktu itu melarang menyembelih binatang sapi dimana dalam agama Hindu, sapi merupakan hewan yang dimuliakan.   
 
Hari Jadi Kota Kudus di tetapkan pada tanggal 23 September 1549 M dan diatur dalam Peraturan Daerah (PERDA) No. 11 tahun 1990 tentang Hari Jadi Kudus yang di terbitkan tanggal 6 Juli 1990 yaitu pada era Bupati Kolonel Soedarsono. Hari jadi Kota Kudus dirayakan dengan parade, upacara, tasyakuran dan beberapa kegiatan di Al Aqsa / Masjid Menara yang dilanjutkan dengan ritual keagamaan seperti doa bersama dan tahlil.  

Wisata alam
Air Terjun Monthel, di Desa Colo
Air Terjun Gonggomino, di Desa Rahtawu
Air Tiga Rasa Rejenu, di Desa JapanDukuh Rejenu
Wisata sejarah
Masjid Menara Kudus, di Desa Kauman
Masjid Bubrah, di desa Demangan
Tugu Identitas Kudus, di DesaGetaspejaten
Museum Kretek, di Desa Getaspejaten
Museum Situs Patiayam, di Desa Terban
Museum Sunan Kudus, di Desa Kauman
Goa Jepang, di Desa Colo
Goa Siluman, di Desa Terban
Kelenteng Hok Hien Bio Kudus, di DesaPloso
 
Wisata religi (ziarah)
Makam Sunan Kudus, di Desa Kauman
Makam Sunan Muria, di Desa Colo
Makam Sunan Kedu, (dia berasal dari daerah Kedu dan menjadi murid Sunan Kudus), di Desa Gribig
Makam Syeh Syadzili (dekat Air Tiga Rasa), di Desa Japan
Makam Kyai Telingsing (Merupakan guruSunan Kudus dan sesepuh dari Kota Kudus yang berasal dari China dengan nama asli The Ling Sing), di DesaSunggingan
Makam Keluarga Trah Tjondronegoro III dan Keluarga Besar R.A. Kartini, di DesaKaliputu
Makam Mbah Tanggulangin, di Dukuh Plenyian Desa Demaan
Makam Sedo Mukti, di Desa Kaliputu
Makam Sosro Kartono & para Bupati, di Desa Kaliputu
Sejarah Kyai Telingsing

‎Sebelum berdirinya Kerajaan Islam di Demak, terjadilah kejadian yang menggemparkan di daerah Kudus. Peristiwa itu terjadi pada diri Kanjeng Sunan Sungging. 

Pada suatu hari Kanjeng Sunan Sungging bermain layang-layang tersiratlah niat beliau untuk melihat dan berkeliling Wilayah Nusantara. Maka mulailah beliau merambat melalui benang layang-layang yang sedang melayang diangkasa. Pada waktu Kanjeng Sunan Sungging sampai ditengah-tengah angkasa, putuslah benang tersebut dan melayanglah beliau bersama layang-layang tersebut hingga sampai ke Tiongkok. 

Selang beberapa tahun, Kanjeng Sunan Sungging mempersunting seorang gadis Tiongkok. Dalam beberapa tahun kemudian hamillah istri tersebut dan melahirkan bayi laki-laki yang diberi nama The Ling Sing. Setelah The Ling Sing menginjak dewasa, maka ayahandanya Kanjeng Sunan Sungging memberi petuah kepada anak tersebut. Apabila engkau ingin menjadi orang yang mulia di dunia dan akherat, maka ikutilah jejakku. Apakah yang ayahanda maksudkan ? Pergilah kau ke Kudus yang termasuk wilayah Nusantara, disanalah aku pernah berdiam. 

Maka berangkatlah The Ling Sing ke Kudus. Setelah ia sampai ketempat yang dituju, maka mulailah The Ling Sing menyiapkan diri untuk membenahi sekelilingnya dan berdakwah. 

Dimana pada waktu itu masyarakat Kudus masih kuat memeluk agama hindu. The Ling Sing yang lebih terkenal dengan sebutan Kyai Telingsing yang telah lama berdakwah telah lanjut usia dan ingin segera mencari penggantinya. Pada suatu hari Kyai Telingsing berdiri sambil menengok kekanan dan kekiri. (bahasa Jawa Ingak-Inguk) seperti mencari sesuatu. 

Tiba-tiba Sunan Kudus muncul dari arah selatan, dan secara tiba-tiba Sunan Kudus membangun masjid dalam waktu yang amat singkat, bahkan ada yang mengatakan masjid itu muncul dengan sendirinya. Berhubung dengan hal tersebut desa tempat masjid tersebut berdiri dinamakan desa Nganguk dan masjidnya dinamakan masjid nganguk wali. 

Akhirnya kedua tokoh tersebut bekerja sama dalam mengembangkan dakwah di Kudus. Dan dengan taktik dan siasat dari Kyai Telingsing dan Ja’far Shodiq (Sunan Kudus) akhirnya berhasillah cita-cita keduanya untuk menyebarkan Islam di Kudus. 

Pada suatu hari Sunan Kudus akan kedatangan rombongan tamu dari Tiongkok. Maka dipanggillah Kyai Telingsing untuk membuat sebuah kenang-kenangan kepada tamu tersebut. Oleh Kyai telingsing dibuatlah sebuah kendi yang bertuliskan indah di dalamnya. Setelah kendi tersebut jadi, maka segera diberikan kepada Sunan Kudus. Sunan Kudus setelah melihat kendi yang menurutnya kurang bagus dan biasa-biasa saja yang tidak pantas untuk dihadiahkan kepada tamu dari Tingkok tersebut, wajahnya berubah sinis dan menerimanya dengan kurang berkenan dan dilemparlah kendi tersebut. 

Setelah kendi tersebut pecah, terdapatlah lukisan yang indah, dimana ditengah-tengahnya tertulis kalimat syahadat. Seketika itu terperanjatlah beliau menunjukkan kekagumanya, sehingga beliau menyadari, betapa kyai Telingsing adalah seorang yang memiliki karomah. 

Diantara sabda dari Kyai Telingsing, “Sholat Sacolo Saloho Donga sampurna", artinya : Sholat adalah sebagai do’a yang sempurna Lenggahing panggenan 

Tersetihing ngaji artinya : Menempatkan diri pada sesuatu yang benar, suci dan terpuji. 

Beliau kini makamnya di kampung sunggingan-Kudus. Ada sebagian orang yang mengatakan kalau beliau adalah seorang pemahat yang masuk dalam aliran Sun Ging. Dari nama Sun Ging inilah kemudian terjadi kata Nyungging yang artinya memahat atau mengukir, dan dari kata Sung Ging itu pulalah terjadi namanya Sunggingan sampai saat Ini.

 

Kyai Ageng Tarub dan keturunan nya


Kurang lebih pada tahun 1300 M ada utusan ( Mubaligh ) dari Arab yaitu Syeh Jumadil Kubro (Jamaluddin Akbar) beliau mempunyai putri bernama Thobiroh dan Thobiroh mempunyai putra Syeh Maulana Maghribi. Pada saat itu beliau mendapat perintah untuk mengembangkan Syiar agama Islam di Tanah Jawa, karena pada saat itu orang-orang jawa masih memeluk agam Budha serta pada saat itu juga orang-orang jawa masih ahli dalam bertapa dalam hal mendekatkan diri dengan Sang Pencipta, sehingga orang-orang Tanah Jawa banyak yang istilah jawa disebut “ Ora Tedhas Papak Palu ning Pande “ ( Kebal kulitnya terhadap senjata apapun ).

Kemudian Syeh Maulana Maghribi mulai memasukkan syariat Islam di tengah-tengah masyarakat Jawa dalam berKhalwat untuk mendekatkan diri kepada ALLAH dengan cara bertapa pula sehingga seperti budaya masyarakat Jawa yang masih beragama budha dengan maksud untuk menarik perhatian masyarakat jawa untuk bias memeluk agama Islam. Namun cara bertapa yang dilakukan oleh Syeh Maulana Maghribi lain dengan cara yang dilakukan oleh masyarakat Jawa umumnya, Syeh Maulana Maghribi dalam bertapa dengan cara naik ke atas pohon dengan menggelantungkan badannya seperti kelelawar cara seperti ini oleh masyarakat Jawa disebut dengan bertapa Ngalong ( Kalong ) kemudian dalam bertapa Syeh Maulana Maghribi bertemu dengan putrid Bupati Tuban I yang bernama DEWI RETNO ROSO WULAN adik perempuan R. Sahid ( Sunan Kalijaga ). Yang saat itu Dewi Retno Roso Wulan diperintah oleh Ayahandanya Adipati Wilotikto untuk melakukan bertapa Ngidang dengan cara masuk hutan selama 7 tahun tidah boleh pulang dan tidak boleh makan kecuali makan daun-daun yang berada di hutan.

Perintah bertapa ini dilakukan oleh Dewi Retno Roso Wulan agar supaya cita-citanya untuk bertemu dengan kakaknya Raden Sahid dapat terwujud. Namun dalam proses pencarian R. Sahid berjalan ia bertemu dengan Syeh Maulana Maghribi, pertemuan ini terjadi pada saat masih menjalankan bertapa, dan dari pertemuannya ini mereka terjalin rasa saling mencintai dan saling ada kecocokan yang akhirnya menjadi suami istri . Pertemuan keduanya yang sudah menjadi suami istri, dilanjutkan dengan pulang ke Adipati Tuban untuk menghadap Ayahandanya, tetapi Dewi Retno Roso Wulan yang sudah dalam keadaan hamil pulang seorang diri dan tidak bersama suaminya Syeh Maulana Maghribi. Sesampainya di Kadipaten Tuban Dewi Retno Roso Wulan ditanya oleh Ayahandanya “ Siapa Suamimu, sehingga kamu pulang dalam keadaan hamil? “ Saat ditanya Dewi Retno Roso Wulan diam tidak menjawab karena rasa takutnya kepada ayahandanya, akhirnya Dewi Retno Roso Wulan kembali ke hiutan untuk mencari suaminya yaitu Syeh Maulana Maghribi ayah dari anak yang dikandungnya itu. Ditengah perjalanannya Dewi Retno Roso Wulan melahirkan seorang bayi laki-laki yang keliahatan lucu, tempat dimana Dewi Retno Roso Wulan melahirkan bayi itu sampai sekarang diberi nama Desa BABAR.

Setelah si Jabang bayi lahir niat untuk mencari Syeh Maulana Maghribi ayah dari bayi itu oleh Dewi Retno Roso Wulan tetap dilanjutkan dan saat mencari ayah si bayi Dewi Retno Roso Wulan masih dalam keadaan bertapa. Kemudian bayi di letakkan di Sendang ( Mata Air) dekat Syeh Maulana Maghribi bertapa diatas pohon Giyanti. Setelah melihat istrinya datang dengan bayinya Syeh Maulana Maghribi turun dari pertapaannya untuk menimang bayi yang putranya sendiri hasil pernikahannya dengan Dewi Retno Roso Wulan, entah ada rahasia apa yang kemudian bayi itu dibuatkan tempat yang sangat indah dan terbuat dari emas yang disebut BOKOR KENCONO.

Sementara itu Dewi Kasihan ditinggal wafat suami tercintanya yang bernama Aryo Pananggungan dan belum dikaruniai keturunan, karena sayangnya Dewi Kasihan terhadap suaminya walau sudah wafat setiap malam ia selalu menengok makam suaminya. Pada saat itu Syeh Maulan Maghribi membawa putranya yang telah dimasukkan ke Bokor Kencono kemudian diletakkan didekat makam Aryo Pananggungan tersebut.

Di malam itu juga kebetulan Dewi Kasihan keluar dari rumah menengok arah makam suaminya, ternyata didekat makam suaminya ada Bokor Kencono yang sangat indah tersebut dan ternyata didalamnya ada bayi yang sangat mungil dan sangat lucu. Serta ada tulisan bahwa bayi itu bernama Nur Rohmat dan siapapun yang merawat hendaknya memberikan Nama Julukan agar anak tersebut berkembang dengan baik.


Disaat itu pula Dewi Kasian sangat terperanjat hatinya ketika melihat si jabang bayi, lalu diambilnya jabang bayi itu lalu dibawa pulang. Kabar mengenai orang meninggal bias memberikan anak pada istri jandanya telah tersiar sampai kepelosok negeri.

Masyarakat berbondong-bondong ingin melihat kebenaran berita tersebut. Akhirnya Dewi Kasihan yang semula tidak memiliki harta benda namun dengan adanya kabar tersebut yang bisa mendatangkan banyak orang dan banyak memberikan uluran tangan kepada Dewi Kasihan sehingga lambat laun Dewi Kasihan menjadi kaya rayaberkat uluran tangan dari orang-orang yang dating melihat bayi tersebut. Jabang bayi tersebut oleh Dewi Kasihan diberi nama JOKO TARUB.

Nama JOKO TARUB diambil dari kata TARUBAN yang diatas makam suaminya, karena saat jabang bayi diambil Dewi Kasihan berada diatas makam ARYA PENANGGUNGAN atau suaminya, dimana makam tersebut dibuat bangunan TARUBAN.

Pada usia kanak-kanak JOKO TARUB mempunyai kegemaran menangkap kupu-kupu di lading, setelah dewasa JOKO TARUB mulai berani masuk hutan untuk mencari burung-burung dihutan pada suatu saat Joko Tarub sedang mencari burung dihutan Joko Tarub bertemu dengan orang tua (Syaikh Maghribi Sang Ayahandanya) yang memberikan bimbingan ilmu Agama dan diberi aji-aji dan Pusaka yang diberi nama “ TULUP TUNJUNG LANANG “.

Diwaktu mendapat pusaka berupa tulup tersebut JokoTarub langsung bergegas pulang untuk menyampaikan berita tersebut kepada ibu asuhnya yakni Dewi Kasian,selain itu juga Joko Tarub bercerita bahwa di tengah hutan Joko Tarub telah berjumpa dengan orang yang sudah sangat tua, dalam pertemuannya itulah Joko Tarub diberi Pusaka berupa sebuah TULUP ( Sumpit. Red ) yang diberi nama “ TULUP TUNJUNG LANANG “, mengingat rasa sayangnya kepada Joko Tarub anak satu-satunya Dewi Kasihan tidak memperbolehkan lagi Joko Tarub pergi ke hutan untuk mencari burung, mereka khawatir kalua anak satu-satunya ini diterkam binatang buas atau dibunuh orang yang tidak senang dengan Joko Tarub. Namun Joko Tarub tidak takut lebih-lebih sekarang dia telah memiliki bekal pusaka Tulup Tunjung Lanang, maka Joko Tarub masih saja senang masuk hutan untuk berburukususnya burung-burung.

Kebiasaan berburu burung tetap saja dilakukan oleh Joko Tarub sehingga pada suatu ketika saat Joko Tarub sampai di atas pegunungan, dia mendengar suara burung perkutut yang sangat indah sekali suaranya. Kemudian pelan-pelan Joko Tarub mendekati arah suara burung perkutut itu berada, setelah menemukannya langsung Joko Tarub melepaskan anak tulup itu kearah burung tersebut, namun usahanya gagal. Dan kegagalannya itu membuat si Joko Tarub berfiki dan beranggapan bahwa burung Perkutut itu pasti bukan sembarang burung atau bukan burung Perkutut biasa.

Usaha berburu burung dilanjutkan hingga terdengar lagi suara burung dari arah selatan, kemudian dia dekati lagi dengan sangat pelan-pelan lalu dilepaskannya lagi anak tulup kearah burung tersebut, akan tetapi tidak mengenainya lagi dan ternyata anak tulup justru mengenai dahan pohon jati dimana burung perkutut itu hinggap dan bersuara. Dan tempat yang ditinggalkan burung perkutut tadi sekarang diberi nama “ KARANG GETAS “. Usaha berburu burung selalu gagal sehingga Joko Tarub merasa sedih, karena kesedihannya maka Joko Tarub memberinya nama “ DUKUH SEDAH “.

Kemudian terdengar lagi suara burung dari arah yang sama didekati dengan pelan-pelan dan pada posisi yang strategis dan burung dalam keadaan terpojok, maka anak Tulup pun kembali dilepaskan namun tidak kena lagi dan burung pun terbang kea rah selatan lagi, dan tempat tersebut diberi nama “ DUKUH POJOK “. Akan tetapi Si Joko Tarub pemuda yang tidah mudah putus asa maka upaya memburu burung perkutut tadi terus saja dilakukan. Burung perkutut yang dia buru tadi terbang kea rah selatan terus dan hinggap di sebuah pohon asam, Joko Tarub selalu berusaha melepaskan anak tulupnya kearah burung tersebut akan tetapi usahanya selalu gagal dan burung itu terbang lagi menuju arah selatan terus. Dan tempat burung perkutut hinggap di pohon asam tadi dan tempat yang ditinggalkan diberi nama “ DUKUH KARANGASEM “

Sambil mengejar burung perkutut yang selaluterbang menuju arah selatan Joko tarub sambil merenungi burung tersebut, dalam ucapannya mengatakan ini burung yang wajar ataukah burung yang merupakan godaan? Dan tempat Joko Tarub merenungkan burung tersebut maka diberi nama “ DUKUH GODAN”. Setelah merenung sesaat lantas Joko Tarub kembali bergegas untuk mengejar burung buruannya tadi yang menuju kea rah selatan dan terus keselatan, dan tempat melihat burung terbang menuju arah selatan Joko Tarub memberikan nama “ DUKUH JENTIR”.

Karena kemauannya yang keras Joko Tarub terus berusaha mengejar dan melacak kea rah selatan dimana burung perkutut tadi terbang, ketika saat pencariannya Joko Tarub tiba disuatu tempat yakni SENDANG TELOGO dan di tepi sendang itu Joko Tarub Menancapkan Tulup Pusakanya, karena saat itu tiba waktunya Sholat Dzuhur, sambil istirahat Joko Tarub menuju kearah sendang untuk mengambil air wudlu untuk Sholat Dzuhur. Disaat Joko Tarub berwudlu tiba-tiba datanglah bidadari untuk mandi, saat itu pula ada salah satu pakain dari bidadari yng diletakkan diatas Tulup Pusaka Joko Tarub yang sedang ditancapkan ditepi sendang, setelah habis wudlu dan sholat dzuhur Joko Tarub langsung pulang tanpa membawa buah hasil buruannya kemudian sesampainya dirumah Joko tarub laporan kepada ibunya sambil berkata “ Ibunda saya berburu hari ini tidak mendapatkan satu burung pun, akantetapi saya hanya mendapatkan pakain perempuan yang ditaruh diatas tulup saya dan dia sedang mandi di SENDANG TELAGA……”

Tanpa banyak bertanya sang Ibu langsung menyimpan pakaian tersebut di ruang kusus untuk menumpuk padi ( Lumbung.red ), kemudian Joko Tarub bergegas kembali lagi ke sendang dengan membawa pakaina ibunya, setelah sampai di dekat sendang ternyata para bidadari sudah terbang, dan masih ada yang tertinggal satu bidadari yang masih berada di tepi sendang Telogo dengan menangis sedih sambil berkata “ Sopo sing biso nulung aku, yen wadon dadi sedulur sinoro wedi, yen kakung tak dadekke bojoku “ artinya “ Barang siapa yang bis menolong aku jika dia perempuan aku jadikan saudaraku dan jika dia laki-laki maka akan saya jadikan suami” disaat itu Joko Tarub mendekat di bawah pohon sambil melontarkan pakaian ibunya tadi, setelah berpakaian bidadari itu langsung diajak pulang ke rumah ibunya dan disampaikan kepada ibunya bahwa putrid ini adalah putri Sendang Telogo.

Sesuai dengan Ikrar atau janji sang bidadari yang menyatakan “ Sopo sing biso nulung aku, yen wadon dadi sedulur sinoro wedi, yen kakung tak dadekke bojoku “, akhirnya Joko Tarub menikah dengan bidadari yang bernama DEWI NAWANG WULAN. Adapun sendang yang digunakan untuk mandi bidadari diberi nama “ SENDANG TELOGO BIDADARI “ yang berada di DUKUH SREMAN desa POJOK Kecamatan Tawangharjo Kabupaten Grobogan. 

Tanah Sendang Telaga Bidadari tersebut milik Keraton SURAKARTA HAININGRAT atau disebut TANAH PERDIKAN, dan sampai saat ini lokasi Sendang Bidadari oleh masyarakat masih dikeramatkan kususnya pada malam 10 Muharam.

Setelah Joko Tarub menikah dengan Dewi Nawang Wulan mendapat gelar KI AGENG atau SUNAN TARUB, beliau menyebarkan Agama islam untuk meneruskan perjuangan ayahandanya yakni Syekh Maulana Maghribi. Dalam pernikahannya beliau dikaruniai seorang keturunan yang diberi nama DEWI NAWANGSIH.

Nilai-Nilai yang terkandung dalam legenda “Joko Tarub dan Dewi Nawang Wulan”.

1. Nilai Moral,

Setelah membaca legenda “Joko Tarub dan Dewi Nawang Wulan” dapat diambil nilai-nilai moral yang tekandung didalamnya. Seperti, kita harus berlaku jujur dengan tindakan-tindakan kita. Ketidakterusterangan Nawang Wulan kepada Joko Tarub bahwa dia adalah seorang bidadari, dan kedustaan Joko Tarub yang sebenarnya telah mencuri pakaian dan selendang Nawang Wulan berakibat mereka harus berpisah. Nawang Wulan harus kembali ke kahyangan walaupun ia sangat mencintai suaminya. Dalam legenda ini diajarkan bahwa sebaik-baiknya kita menyimpan kebohongan akan ketahuan juga pada akhirnya.

Perilaku yang baik akan ditunjukkan dengan memegang amanah yang dipercayakan kepada kita. Amanah Nawang Wulan untuk tidak melihat sesuatu yang ditanak olehnya, dilanggar oleh Joko Tarub karena sifat manusia yang selau ingin tahu.

Ini merupakan tantangan yang berat bagi setiap manusia. Berlaku jujur dan terbuka. Serta menjaga kepercayaan yang begitu sulit dilaksanakan oleh manusia.

2. Nilai Sosial,

Nilai-nilai lain yang tersirat dari legenda ini adalah nilai sosial. Nilai sosial merupakan nilai yang terkandung dalam menjalani hidup bermasyarakat atau bergaul dengan orang lain disekitar kita.

Nilai sosial dalam legenda “Joko Tarub dan Dewi Nawang Wulan” ditunjukkan ketika rekan-rekan dari Nawang Wulan meninggalkan dirinya sendirian di telaga. Ini tidak menunjukkan kesetiakawanan yang selama ini mereka bina. Mereka bertujuh selalu bersama-sama. Namun, ketika salah seorang teman mereka mengalami kesulitan tidak ada yang membantu Nawang Wulan. Nawang Wulan justru malah ditinggalkan sendirian di bumi yang asing bagi mereka.

Sebaiknya kita sebagai sesama makhluk Tuhan harus saling tolong menolong dan membantu dalam keadaan apapun. Walaupun hasilnya akan nihil, setidaknya kita berusaha membantu semaksimal mungkin.

3. Nilai Etika,

Nilai etika merupakan nilai-nilai kesopanan yang tersirat dari sebuah peristiwa. Seperti nilai etika yang terkandung dalam legenda “Joko Tarub dan Dewi Nawang Wulan” dalam cerita di atas. Nilai-nilai kesopanan yang terlihat adalah ketika Joko Tarub mengintip ke tujuh bidadari yang sedang mandi di telaga, apalagi sampai menyembunyikan salah satu pakaian dari bidadari tersebut di dalam lumbung padi rumahnya. Pada akhirnya perbuatan ini menimbulkan prahara dalam biduk rumah tangga Joko Tarub. Tindakan seperti ini sungguh tidak terpuji. Apalagi setting tempat legenda ini berasal dari daerah jawa. Terkenal dengan tata krama dan kesopanan yang maha tinggi. Sungguh tidak mencerminkan budaya jawa.

Sifat-sifat seperti itu hendaknya untuk ditinggalkan dengan memperteguh iman dan taqwa kepada Tuhan.

4. Nilai Estetika,

Nilai estetika atau nilai keindahan pada legenda “Joko Tarub dan Dewi Nawang Wulan” adalah cara menggambarkan kecantikan dan keelokan ke tujuh bidadari yang sedang mandi di telaga. Kecantikan Nawang Wulan yang akhirnya menjadi penguaasa laut selatan juga memiliki nilai estetika sendiri. Selain itu juga perasaan cinta yang dimiliki oleh sepasang makhluk Tuhan yang saling mencintai menggambarkan suasana yang indah.

Maka, setiap keelokan yang sedap dipandang mata dan enak dirasa pada setiap penikmatnya akan menimbulkan kesan keindahan yang mendalam.

5. Nilai Budaya,

Nilai-nilai budaya yang terdapat dalam legenda “Joko Tarub dan Dewi Nawang Wulan” adalah budaya yang sejak dulu terjaga sampai saat ini yaitu kepercayaan tentang adanya Nyi Roro Kidul di pesisir pantai selatan. Pada setiap waktunya warga pesisir memberikan sesajen kepada ratu penguasa laut selatan tersebut, sebagai wujud terima kasih telah menjaga laut kidul dari bencana dan marabahaya.

6. Nilai Religi.

Nilai-nilai religi yang dapat dijumpai pada legenda “Joko Tarub dan Dewi Nawang Wulan” adalah terdapat dewa-dewi, bidadari dan roh halus yang ada pada cerita di atas. Ini menunjukka ada kepercayaan animisme, atau percaya pada roh halus atau roh nenek moyang. Kepercayaan tentang adanya roh halus yang disembah juga merupakan salah satu bentuk animisme meskipun sekarang tingkat kekentalan animismenya berkurang karena telah bergeser dengan adanya agama. Roh halus sudah tidak dijadikan sesembahyang lagi tetapi sudah menjadi legenda terutama di kawasan pesisir selatan.

Menurut beberapa catatan dan keterangan dari berbagai sumber, termasuk dari Keraton Surakarta Hadiningrat, bahwa Kyaii Ageng Ngerang mempunyai nama asli Siti Rohmah Roro Kasihan, setelah menikah dengan Ki Ageng ngerang, nama beliau berubah menjadi Nyai Ageng Ngerang. Beliau mempunyai tali lahir maupun batin dengan sultan – sultan dan guru besar agama yang bersambung pada Raja Brawijaya V, raja majapahit Prabu Kertabumi,

Beliau diberikan nama dengan sebutan Nyai Ageng Ngerang dan makamnya ada didusun Ngerang Kecamatan Tambakromo Kabupaten Pati, ada beberapa versi yang mengatakan, beliau senang membantu orang yang sedang di ganggu demit dan termasuk didusun Ngerang juga banyak demit yang pating sliwerang, kemudian dikalahkan dan diusir oleh beliau dari dusun itu, maka oleh karena itu beliau disebut Nyai Ageng Ngerang.

Dilihat dari silsilah beliau kebawah dan seterusnya. Nyai Ageng Ngerang yang makamnya di Ngerang Tambakromo Pati adalah Nyai Ageng Ngerang, Siti rohmah Roro Kasihan. Beliau di peristri Ki Ageng Ngerang I.Ki Ageng Ngerang I Putra dari Syaihk Maulana Malik Ibrahim. Dan atas perkawinan Nyai Ageng Ngerang dan Ki Ageng Ngerang I, beliau mempunyai dua orang Putra, Pertama adalah seorang putri dan belum diketahui dan dijelaskan namanya didalam buku – buku maupun sumber lain.

Putri Beliau yang pertama diperistri oleh Ki Ageng Selo. Dan Ki Ageng Selo adalah putra dari Ki Ageng Getas Pendawa. Putra yang kedua beliau adalah Ki Ageng Ngerang II yang disebut Ki Ageng Pati, makamnya sekarang berada di Ngerang Pakuan Juana, Ki Ageng Ngerang II mempunyai empat putra yaitu Ki Ageng ngerang III, Ki Ageng Ngerang IV, Ki Ageng Ngerang V dan Pangeran Kalijenar.

Sedangkan Ki Ageng Ngerang III, Makamnya sekarang ada di Laweyan solo Jawa Tengah. Ki Ageng Ngerang III ini yang telah menurunkan Ki Ageng Penjawi. Ki Ageng Penjawi, orang yang pernah menjadi Adipati Kadipaten pati setelah gugurnya Arya Penangsang, Arya Penangsang adalah adipati Jipang Panolan dan Arya penagnsang adalah putra Pangeran Sedalepen.

Ki Ageng Penjawi sangat berjasa dalam menumpas pemberontakan yang dilakukan oleh laskar Soreng yang dpimpin oleh Arya Penangsang, untuk membunuh semua keturunan Sultan Trenggono, karena iri hati. Sedangkan Ki Ageng Penjawi sebagai panglima perang bersama Danang Sutawijaya, Ki Juru Mertani, Ki Pemanahan ( tiga Serangkai ) akhirnya dapat mengalahkan Arya Penangsang beserta bala tentaranya.

Dari silsilah Nyai Ageng Ngerang keatas, beliau menjadi Putri bungsu Raden Bondan Kejawan, Lembu Peteng, atas pernikahanya dengan Dewi Nawangsih. Dan Raden Bondan Kejawan sendiri merupakan Putra dari Raja Brawijaya V, Raja majapahit, Prabu Kertabumi. Raja Brawijaya bertahta pada tahun 1468 – 1478 M.

Ayah Nyai Ageng Ngerang masih saudara Raden Patah. Raden Patah adalah orang yang pertama kali menjadi Sultan pada Kerajaan Islam pertama di pulau jawa, yaitu Kasultanan Demak Bintoro. Kerajaan islam pertama dijawa yang didirikan oleh Raden Patah dan Raden Patah bergelar “Akbar Alfatt” Raden Patah juga Putra Raja Brawijaya V dengan ibu keturunan Champa, daerah yang sekarang adalah perbatasan Kamboja dan Vietnam.

Hubungan Nyai Ageng Ngerang dengan Jaka Tarub/Kidang Telangkas/ Nur Rohmat  

Jaka tarub mempunyai istri bernama Nawang Wulan. Nawang Wulan dan Ki Jaka Tarub mempunyai Putri Nawangsih dan Nawangsih diperistri Raden Bondan Kejawan, Lembu Peteng. Dan dari perkawinan Raden Bondan Kejawan dan Nawangsih, telah menurunkan tiga putra, pertama Syaikh Ngabdullah yang sekarang terkenal dengan sebutan Ki Ageng Wanasaba, dan putra kedua adalah Syaikh Abdullah yang terkenal dengan sebutan Ki Ageng Getas Pandawa dan yang bungsu adalah Siti Rohmah Roro Kasihan yang terkenal dengan sebutan Nyai Ageng Ngerang.

SAUDARA – SAUDARA BELIAU

Seperti yang disebutkan diatas. Diceritakan bahwa pada sekitar tahun 1468 – 1478 M. ada seorang Prabu Kertabumi yang bertahta, raja Brawijaya V. kerajaan Majapahit yang menikah dengan seorang putri yang bernama Dewi Wandan Kuning. Atas pernikahan itu menurunkan putra bernama Raden Bondan Kejawan, Lembu Peteng. Dan dari perkawinan Raden Bondan Kejawan dan Dewi Nawangsih yang menjadi putri Ki Ageng Jaka Tarub dan Nawangwulan. Pernikahan Raden Bondan Kejawan dan Dewi Nawangsih mempunyai tiga orang Putra yaitu : 1.Ki Ageng Wanasaba (Abdullah)

2.Ki Ageng Getas Pendawa 

3.Nyai Ageng Ngerang / Roro Kasihan

1. Ki Ageng Wanasaba Yang nama aslinya adalah Kyai Ageng Ngabdullah merupakan kakak kandung Nyai Ageng Ngerang yang pertama / sulung, yang sekarang makamnya ada di daerah yang bernama kabupaten Wonosobo, tepatnya di desa Plobangan Selo merto. Dalam masa hidupnya, Ki Ageng Wanasaba juga sebagai seorang Pemimpin yang yang hebat dan karismatik. Ki Ageng Wanasaba dikenal juga dengan julukan Ki Ageng Dukuh, akan tetapi desa Plobangan lebih dikenal dengan Ki wanu / Ki wanusebo. Perbedaan nama tersebut disebabkan dialek daerah Wanasaba tersebut terpengaruh oleh dialek Banyumas.

Ki Ageng Wanasaba dipercaya dan diyakini sebagai waliyullah, yang telah melanglang buana keberbagai tempat dalam rangka mencari ilmu sekaligus menyiarkan agama Islam. Ki Ageng Wanasaba merupakan cucu dari Prabu Brawijaya V, Raja Majapahit dan merupakan putra Raden Bondan Kejawan/Lembu Peteng , putra Brawijaya V yang menikah dengan Nawangsih, dan Nawangsih sendiri putri dari Kyai Ageng Tarub yang menikah dengan Dewi Nawang wulan.

Ki Ageng Wanasaba mempunyai Putra yaitu Pangeran Made Pandan, nama lain dari Ki Ageng Pandanaran. Pangeran Made Pandan mempunyai putra Ki Ageng Pakiringan yang mempunyai istri bernama Rara Janten. Dari pasangan ini mempunyai empat Putra yaitu Nyai Ageng Laweh, Nyai Ageng Manggar, Putri dan Ki juru Mertani.

Situs makam Ki Ageng Wanasaba saat ini dipugar, dikeramatkan dan dijaga dengan baik oleh warga sekitar. Lokasi situs ini sangat dihormati oleh masyarakat, karena KI Ageng Wanasaba merupakan tokoh penyebar agama islam dan sekaligus cikal bakal dari desa Plobangan Selomerto kabupaten wonosobo. Di sekitar makam Ki Ageng Wanasaba terdapat tiga makam kuno. Konon tiga makam itu juga merupakan pendahulu, seorang ulama yang sejaman dengan Ki Ageng Wanasaba.

2. Ki Ageng Getas Pendawa, Yang nama aslinya adalah Kyai Ageng Abdullah atau yang disebut Raden Depok adalah saudara kandung beliau, Ki Ageng Getas Pendawa merupakan kakak kandung Nyai Ageng Ngerang yang kedua. Ki Ageng Getas Pendawa juga seorang yang hebat, berwibawa dan karismatik serta sangat sederhana dalam hidup dan kehidupan manusia.

Beliau juga seorang pemimpin yang tegas dan berwibawa, oleh karena itu beliau disebut Ki Ageng Getas Pendawa. Beliau sangat tangguh dan konon sangat kuat dalam riyadhoh / tirakat, mengolah batin untuk mendekatkan diri kepada Allah, dengan harapan bisa menenangkan diri dan dapat menyebarkan agama islam dengan ikhlas, tulus dan berhasil. Makam beliau juga dikeramatkan oleh warga sekitar. Makam Ki Ageng Getas Pandawa ada di desa Kuripan Purwodadi, Grobogan.

Ki Ageng Getas Pendawa mempunyai putra yang bernama Ki Ageng Sela, Nyai Ageng Pakis, Ki Ageng Purna. Ki Ageng Kare, Ki Ageng wanglu, Ki Ageng Bokong dan Ki Ageng Adibaya. Sedangkan Ki Ageng Sela mempunyai Putra KI Ageng Enis dan Ki Ageng Enis menurunkan putra yang bernama Ki Ageng Pemanahan.

Legenda lain Syaikh Maghribi

Sapa ta Syekh Maulana Maghribi iku? Adhedhasar Babad Demak panjenengane iku sawijine wong Arab kang mumpuni ilmu agama Islam. Asale saka tanah Pasai. Critane isih tedhak turune Kangjeng Nabi Muhammad SAW, lan klebu golongan wali ing tanah Jawa. Anggone angejawa mbarengi adege karaton Demak. Panjenengane mula kagungan ancas tujuwan ngislamake wong Jawa. Sabedhahe kraton Majapait ganti kraton Demak kang disengkuyung dening para wali. Sawise tentrem negarane para wali andum gawe nyebarake agama Islam. Syekh Maulana kawitan ditugasi ana ing Blambangan. Ana kana dipundhut mantu dening sang adipati. Nanging durung nganti taunan nuli ditundhung, sebabe apa ora kecrita. Saoncate saka Blambangan banjur menyang Tuban, menyang panggonane kanca akrabe lan padha-padha saka Pasai, tunggale Sunan Bejagung karo Syekh Siti Jenar. Saka kono Syekh Maulana banjur lelana tabligh menyang Mancingan.

Nalika tabligh ana Mancingan iki Syekh Maulana sejatine wis peputra kakung asma Jaka Tarub (utawa Kidang Telangkas) saka garwa asma Rasa Wulan, ya rayine Sunan Kalijaga (R. Sahid). Wektu ditinggal ramane lunga Kidang Telangkas isih bayi. Kawuningana nalika oncat saka Blambangan sejatine Syekh Maulana uga ninggal wetengan kang mbabar kakung, diparingi asma Jaka Samudra. Ing tembe Jaka Samudra jumeneng waliyullah ana Giri, ajejuluk Prabu Satmata utawa Sunan Giri. 

Nalika Syekh Maulana tekan Mancingan ing kana wis ana sawijine pendhita Budha kang limpad, asmane Kyai Selaening. Daleme ana sawetane Parangwedang. Dene papan pamujane kyai iki karo murid-muride ana candhi kang didegake ana sadhuwure gunung Sentana. Sakawit Syekh Maulana ethok-ethok meguru karo Kyai Selaening. Ana bebrayan umum Syekh Maulana kadhangkala sok ngatonake pangeram-eram. Suwe-suwe Kyai Selaening midhanget bab iki. Syekh Maulana ditimbali lan dipundhuti priksa apa anane. Ya ing kono iku Syekh Maulana ngyakinake Kyai Selaening bab ilmu agama kang sanyata. Wong loro iku banjur bebantahan ilmu.

Nanging Kyai Selaening ora keconggah nandhingi ilmune Syekh Maulana. Mulane panjenengane genti meguru marang Syekh Maulana. Panjenengane banjur ngrasuk agama Islam. Wektu iku ing padepokane Kyai Selaening wis ana putra loro playon saka Majapait kang ngayom ana kono, asmane Raden Dhandhun lan Raden Dhandher, karo-karone putrane Prabu Brawijaya V saka Majapait. Bareng Kyai Selaening mlebu Islam putra Majapait iku uga banjur dadi Islam, asmane diganti dadi Syekh Bela-Belu lan Kyai Gagang (Dami) Aking. 

Syekh Maulana ora enggal-enggal jengkar saka Mancingan nanging sawatara taun angasrama ana kana, mulang agama marang warga-warga desa. Daleme ana padepokan ing sadhuwure Gunung Sentana, cedhak karo candhi. Candhi iki baka sethithik diilangi sipate. Kyai Selaening isih tetep ana padhepokan sawetane Parangwedang nganti tekan ajale. Welinge marang anak putune, aja pisan-pisan kuburane dimulyakake. Makame iki lagi taun 1950-an dipugar karo sedulur saka Daengan. Banjur ing taun 1961 dipugar luwih apik maneh dening sawijine pengusaha saka kutha. Bareng wis dianggep cukup anggone syiar agama Syekh Maulana banjur jengkar saka Mancingan lan meling supaya tilas padhepokane iku diapik-apik kayadene nalika wong-wong padha mbecikake candi.

Ya ing padhepokan iku wong-wong banjur yasa kijing. Sapa sing kepengin nyuwun berkahe Syekh Maulana cukup ana ngarep kijing iki, kayadene ngadhep karo panjenengane. Syekh Maulana Maghribi utawa Syekh Maulana Malik Ibrahim sawise saka Mancingan nerusake tindake syiar agama ana ing Jawa Timur. Bareng seda jenazahe disarekake ana makam Gapura, wilayah Gresik. Syekh Maulana Maghribi nurunake ratu-ratu trah Mataram.

Urutane silsilah: Bupati Tuban-Dewi Rasa Wulan (nggarwa Syekh Maulana)-Jaka Tarub (nggarwa Dewi Nawangwulan)-Nawangsih (nggarwa Radhen Bondhan Kejawan)-Kyai Ageng Getas Pendhawa-Kyai Ageng Sela-Kyai Ageng Anis/Henis-Kyai Ageng Pemanahan (Kyai Ageng Mataram)-Kanjeng Panembahan Senapati-Kanjeng Susuhunan Seda Krapyak-Kanjeng Sultan Agung Anyakrakusuma-Kanjeng Susuhunan Prabu Amangkurat (Seda Tegalarum)-Kanjeng Susuhunan Paku Buwana I-Kanjeng Susuhunan Mangkurat Jawi-ratu-ratu karaton Surakarta, Yogyakarta, Pakualaman, lan Mangkunegaran. 

Masiya makame Syekh Maulana ing Gunung Sentana dudu pasareyan sing sabenere, nanging saben ana rombongan ziarah Wali Sanga mesthi merlokake ziarah ana pasareyan Syekh Maulana ing Parangtritis. Panggonan liya sing mesthi dadi jujugane ziarah Wali Sanga yaiku makam Gunung Pring, Muntilan (pasareyane Kyai Santri) lan makam Bayat. Kayadene makam pepundhen kraton liyane, saben wulan Ruwah makame Syekh Maulana uga nampa kiriman dhuwit lan ubarampe “kuthamara” saka kraton Yogyakarta. Saben tanggal 25 Ruwah ing makam iki diadani wilujengan sadranan.

Sedikit sejarah tentang Kyai Ageng Tarub (Sayid Nur Rohmat / Raden Kidang Telangkas) Putra Syaikh Maghribi dengan Dewi Roro wulan.

 

Doa Nabi Sulaiman Menundukkan Hewan dan Jin

  Nabiyullah Sulaiman  'alaihissalam  (AS) merupakan Nabi dan Rasul pilihan Allah Ta'ala yang dikaruniai kerajaan yang tidak dimilik...