Jumat, 20 November 2020

Tempat Yang dikeramatkan di Hutan Randublatung


Keberadaan tempat – tempat yang di anggap khusus oleh masyarakat dikawasan hutan dan merupakan sumber legenda masyarakat setempat, hal ini merupakan komitmen Perhutani KPH Randublatung dalam menjaga dan melestarikan budaya setempat serta menghargai sesuai dengan kaidah budaya yang dianut mereka, berikut beberapa lokasi  yang mempunyai ikatan emosional budaya yang ada didalam kawasan hutan dan dimasukkan dalam kawasan lindung

1.    TAPAN SUMENGKO

Tapan Sumengko adalah sebuah tempat yang sampai saat ini dipercaya oleh masyarakat setempat, terutama masyarakat Dusun Sumengko sebagai areal yang di keramatkan.   Lokasinya sekitar 9 km dari kantor KPH Randublatung, tepatnya di petak 68 RPH Sumengko BKPH Boto, luasnya mencapai 1,9 ha.

Konon tempat ini dijadikan tempat pertapaan oleh leluhur dusun Sumengko dan sampai saat ini hawa magis masih terasa disekitar lokasi.

Tempat ini berupa tanah dengan rimbunan pepohonan yang besar dan lapangan cukup datar yang ditengahnya terdapat pohon dimana dibawah pohon tersebut leluhur dusun ini melakukan pertapaan.

Lain waktu lain sejarah, lokasi ini sekarang hanya di gunakan untuk acara-acara tertentu seperti “Sedekah Bumi” untuk memohon berkah dan keselamatan bagi dusun Sumengko. Ritual pertapaan dan acara lainnya saat ini hanya tinggal cerita yang tersimpan sebagai sejarah yang sesekali menjadi bahan cerita untuk anak cucu.

Sedekah Bumi yang dilakukan di lokasi ini menjadi suatu tradisi yang dilaksanakan setiap tahun pada bulan suro hari Jumat Pahing. Berbagai makanan dan sesajian menjadi prasyarat dalam upacara Sedekah Bumi.

Upacara ini juga diikuti oleh seluruh masyarakat dusun Sumengko Desa Bodeh yang setiap tahun hampir tidak melewatkan upacara ini. Menurut seorang narasumber, dalam lokasi ini pengunjung atau siapa pun tidak boleh melakukan hal-hal yang sifatnya negatif atau mengganggu penghuni kawasan ini,. Apabila hal tersebut dilanggar maka akan berdampak negatif atau akan terjadi hal-hal aneh yang menimpa si pelanggar. Konon menurutnya siapapun tidak boleh membawa hewan peliharaan atau membuang kotoran menghadap ke arah sumber mata air (sendang) yang ada di sebelah utara Tapan Sumengko.

Tidak heran kalau lokasi ini bersih dari kotoran hewan atau manusia dan keberadaannya tetap dijaga dan dipertahankan.

Lalu bagaimana kita menyikapi fenomena tersebut yang notabene lokasi tersebut berada dalam wilayah pengelolaan hutan KPH Randublatung?

Kita memang harus bersikap dan menyikapi masalah tersebut. Cara pandang yang bijak adalah bagaimana kita mengkolaborasikan antara kepentingan perusahaan dalam hal ini Perum Perhutani dengan budaya masyarakat setempat sehingga dapat terjalin hubungan yang harmonis . Kita memandang bahwa manusia itu hidup dengan budaya dan berbudaya. Seperti halnya yang terjadi di Dusun Sumengko, mereka mempunyai budaya dan tradisi yang sangat kental dengan kepercayaan yang terkadang tidak dapat diukur dengan logika. Untuk itu kita harus menghormati budaya tersebut dan usaha yang kita lakukan tidak merubah atau bahkan menghilangkan budaya yang sudah sejak lama melekat dalam kehidupan mereka. Pengelolaan hutan yang senantiasa memperhatikan budaya masyarakat setempat merupakan cara pengelolaan hutan yang secara tidak langsung ikut menjaga budaya masyarakat yang pada akhirnya bermuara pada budaya bangsa yang beraneka ragam.

Dengan tetap mempertahankan lokasi tersebut sebagai cagar budaya maka  apa yang dikatakan sebagai manajemen hutan lestari dapat menjadi sesuatu  yang sangat bermanfaat bagi kepentingan masyarakat terutama untuk mempertahankan lokasi-lokasi atau kawasan hutan yang mempunyai nilai budaya bagi masyarakat setempat.

Tapan Sumengko adalah salah satu lokasi keramat di KPH Randublatung dan tidak menutup kemungkinan terdapat keramat-keramat lain yang sampai saat ini masih menjadi misteri yang belum terungkap.

2.    SENDANG WEDOK

Sendang wedok merupakan sumber mata air yang lokasinya berada di sekitar Tapan Sumengko, Tepatnya sebelah Utara. Sendang ini biasa digunakan oleh masyarakat sekitar untuk keperluan sehari hari terutama untuk minum, mencuci dan keperluan lainnya.

Pada saat upacara sedekah bumi yang dilakukan oleh masyarakat Sumengko, setelah dari Tapan, kemudian upacara dilanjutkan di Sendang Wedok. Tujuannya tidak lain adalah untuk memohon berkah supaya sumber mata air ini terus mengalir dan tidak kering.

Lokasinya di petak 68 RPH Sumengko BKPH Boto. Selain sebagai sumber mata air, disekitar lokasi ini juga sering ditemukan berbagai macam satwa. Hal ini tidak dapat dipungkiri bahwa di daerah ini banyak ditumbuhi pohon-pohon

yang menjadi sumber pakan bagi satwa. Kondisi yang demikian sangat cocok sebagai habitat satwa. Kebedaraannya sebagai penyedia air, ditinjau dari aspek ekologi mempunyai nilai yang tinggi sehingga kawasan ini tetap dipertahankan tanpa merubah struktur tegakan yang ada, bahkan bila perlu dilakukan reboisasi atau regenerasi tanaman dengan rimba campuran.

Sendang Wedok mempunyai Fungsi ganda yaitu disatu sisiu sebagai situs ekologi , disisi lainnya juga berfungsi sebagai situs budaya yang terkait dengan upacara sedekah bumi yang dilakukan oleh masyarakat dusun Sumengko.

 3.    SENDANG LANANG

Seperti halnya Sendang Wedok, Sendang Lanang juga merupakan situs ekologi yang sampai saat ini keberadaannya masih tetap dipertahankan oleh masyarakat dusun Sumengko dan Perhutani. Lokasinya tidak jauh dari Tapan Sumengko dan Sendang Wedok, kira-kira 350 m., masuk dalam wilayah RPH Boto BKPH Boto. Lokasinya di Petak 67 dengan luas sekitar 0,25 ha.

Aktivitas masyarakat di Sendang Lanang selain mengambil air dari sumber ini juga merupakan tempat upacara sedekah bumi yang dilakukan setelah di Sendang Wedok dan Tapan Sumengko.

4.    PERTAPAN MUNDU

Tak Jauh dari Kantor KPH Randubaltung yaitu sekitar 9 Km ke arah Selatan terdapat sebuah situs yang dipercaya sebagai tempat Pertapaan seseorang yang pertama kali membuka/membangun sebuah desa yang sekarang dikenal dengan dusun Mundu. Air yang diambil dari Sendang Lanang lebih banyak digunakan untuk keperluan mandi, mencuci dan menyiram tanaman. Sementara untuk minum masyarakat mengambil dari Sendang Wedo yang dialirkan ke Penampungan air . Tetapi apabila terjadi kemarau panjang, masyarakat akan menggunakan air dari Sendang Lanang untuk air minum.

Dusun mundu dapat di capai melalui jalan alternatif Randubaltung – Solo yang kondisi jalannya cukup baik, Kurang lebih 9 km dari kantor KPH Randublatung tepatnya di pertigaan pos jaga Perhutani yaitu di Petak 66 ada jalan masuk menuju lokasi dusun Mundu. Kurang lebih 15 menit dengan menyusuri jalan  macadam kita bisa sampai di lokasi pertapaan mundu. Dusn Mundu termasuk dalam wilayah Desa Bodeh dengan jumlah penduduk + 45 KK. Rata-rata mata pencaharian masyarakatnya adalah sebagai petani (Pesanggem) dan pencari kayu bakar.

Pertapaan Mundu begitu terkenal di masyarakat dusun mundu. Sampai saat ini lokasi pertapaan ini masih dianggap keramat. Adapun luasnya kurang lebih mencapai 0,25 ha.

Lokasi ini disebut juga dengan tempat tinggal kaki soreng dan nini Soreng yang menurut cerita dari masyarakat adalah orang pertama yang membangun Dusun Mundu. Pertapan ini digunakan masyarakat setempat untuk upacara sedekah bumi, yang dilakukan setiap tahun sekali yaitu hari jumat pon. Selain digunakan sedekahan bumi tempat ini digunakan juga sebagai tempat pemujaan untuk minta keselamatan tetapi tidak diperkenankan untuk keperluan yang sifatnya minta kekayaan atau pesugihan. Tempat ini dulu sangat dikeramatkan, tidak sembarangan orang boleh bertindak semena-mena didalam kawasan ini karena bila dilakukan akan menimbulkan kejadian yang negative.

Ditempat ini masih sering terjadi kejadian aneh terutama pada malam hari . Masyarakat setempat pernah melihat Ular besar,  ayam dan anjing berada ditempat itu tapi setelah didekati langsung menghilang.

Konon tidak boleh sembarang orang memasuki  wilayah ini apalagi sampai mengganggu lingkungan disekitarnya, bila hal ini dilakukan maka akan terjadi sesuatu yang negatif.

Menurut nara sumber pernah terjadi kejadian yang aneh, ada hewan peliharan yang masuk ke dalam kawasan tersebut. Pada saat hewan tersebut keluar terjadi sesuatu yang aneh yaitu hewan tersebut langsung mati. Selain itu, pernah juga terjadi ada orang yang mengambil lebah madu di tempat pertapaan tersebut tapi setelah sampai rumah, madu tersebut berubah menjadi darah bahkan kedua anak dari orang tersebut meninggal.

Berkaitan dengan hal tersebut, masyarakat setempat menghimbau agar  hati-hati kalau memasuki wilayah tersebut apalagi kalau ingin punya acara hajatan, diharuskan memberikan sesaji terlebih dahulu kepertapaan tersebut. Sesajinya berupa Ayam panggang. Tujuannya adalah supaya nantingya tidak terjadi hal-hal yang negatif pada saat acara hajatan.             

Di tempat pertapaan ini ada pohon kesambi  yang di beri pagar. Tepatnya ditengah-tengah lokasi pohon ini, konon dipercaya sebagai tempat tinggal Kaki Soreng dan Nini Soreng, Pohon ini tidak boleh diganggu oleh siapapun karena kalau diganggu akan berakibat buruk bagi sipelaku.

  5.    KEDUNG PUTRI

Kedung Putri adalah suatu yang pada masa lalu sampai sekarang banyak menyimpan sejarah bahkan berbau mistik yang konon menurut cerita tempat ini ini sering dipakai mandi oleh Citro Wati Putri Raja Purwocarito yang cantik. Kedung Putri terletak di sebelah utara KPH Randublatung, kurang lebih 10 Km dari pusat kota Randublatung, tepatnya di petak 52 RPH Gumeng BKPH Temanjang. Secara administrative turut wilayah Desa Tanggel Kecamatan Randubaltung Kab. Blora.  Begitu kentalnya muatan sejarah dilokasi ini menjadikannya cukup terkenal di Randublatung.

Sejarah Kedung Putri dimulai pada jaman dulu dimana terdapat suatu daerah yang bernama Negara Purwocarito (sekarang Desa Gumeng) yang di pimpin oleh seorang Raja bernama Dian Gondo Kusumo dengan permaisuri Loro Girah, Pasangan raja dan permaesuri dikarunia 3 orang  anak yaitu  Citro Menggolo, Citro Kusumo dan Citro Wati. Masing-masing keturunan raja Dian Gondo Kusumo di berikan kekuasaan untuk memimpin tiga kerajaan. 

Masing-masing adalah Citro Menggolo kerajaanya di Mlumpang (sekarang Desa Trembes), Citro Kusumo kerajaannya di Bale Kambang (sekarang Desa Temetes) dan Citro Wati kerajaanya di Purwocarito (sekarang Desa Gumeng). Salah seorang dari ke tiga anaknya yaitu Citro Wati mempunyai paras yang  cantik jelita. Karena kecantikannya itu maka banyak putra raja yang lain atau dari golongan bangsawan tertarik dan ingin meminang Citro Wati. Sampai pada akhirnya Putri Citro Wati  dilamar oleh 2 (dua) raja Yaitu Begede Katong dari kerajaan Pandan (Sekarang Desa Njetak Wanger,Ngawen) dan Jonggrang prayungan dari kerajaan Atas Angin. Kedua raja tersebut akhirnya perang untuk merebutkan Cito Wati , namun keduanya belum ada yang kalah dan menang dalam peperangan tersebut. Akhirnya Citro Wati datang dan menolak keduanya (Begede Katong dan Jonggrang Prayungan). 

Karena merasa ditolak, Begede Katong marah dan mendatangkan angin ribut untuk menghancurkan negara Purwo Carito dan akibatnya negara Purwo carito Luluh Lantah rata dengan tanah. Begede Katong tidak putus asa dia tetap melamar Citro wati walapun cintanya di tolak, sesampainya di Gunung Serangkang Begede Katong bertemu dengan Jonggrang Prayungan musuh bebuyutannya, dan keduanya saling berperang lagi, Keduanya berperang saling membunuh sehingga menyebabkan semua perangkat untuk melamar yang dibawa oleh Begede Katong berserakan ketempat lain.  tempat Upeti (Bokor Kencono) terlempar di (Desa Pengkol Kec. Banjarejo) yang dinamakan Kedung Bokor, Sirih (bahasa jawanya Suruh) terlempar di (Desa Banyuurip) yang dinamakan Suruhan, Gemblongnya yang teriris – iris terlempar di Desa Temetes dinamakan Tiris, air tapenya menetes di desa Temetes dinamakan Banyu Tes. Cito Wati tetap tidak mau menerima lamaran Begede Katong. Walaupun ditolak cintanya, Begede Katong tidak mau kembali ke negaranya.

Jonggrang Prayungan yang merasa penasaran akan kecantikan  Citro Wati akhirnya memanjat pohon jati. Karena kesaktiannya pohon jati tersebut  tidak kuat menahan beban Jonggrang Prayungan sehingga menyebabkan pohon jati tersebut tertekan kebawah. Bagian bawah pohon membesar yang sekarang di kenal dengan nama “JATI DENOK”.

Citro Wati mempunyai kebiasaan yang setiap hari tidak pernah ditinggalkannya yaitu mandi di sungai (Kedung) yang sekarang  dinamakan Kedung Putri.

Begede katong memanfaatkan situasi tersebut yaitu dengan merubah dirinya menjadi ikan gabus (Kutuk) dan masuk ke dalam sungai. Pada saat Citro Wati mandi di sungai, ia melihat ikan gabus (kutuk) yang sebenarnya adalah  jelmaan Begede Katong. Citro Wati sangat  senang melihat ikan tersebut dan ia pun bermain di sungai (kedung) itu tanpa curiga sedikitpun akan keberadaan ikan tersebut. 

Karena seringnya bermain dengan  ikan gabus (kutuk) tersebut, tanpa disadari ia bercinta dengan ikan gabus jelmaan Begede katong yang pada akhirnya menyebabkan Citro Wati hamil. Citro Kusumo kakak Citro Wati marah melihat adiknya hamil tanpa di ketahui siapa yang menghamili adiknya, Citro Wati tidak boleh melahirkan melalui alat vitalnya akan tetapi harus melalui perut sebelah kiri. Perut Citro Wati di tusuk dengan keris oleh Citro Kusumo dan keluarlah dari perut Citro Wati anak ikan gabus (Kutuk). 

Keanehan yang terjadi pada anak Citro Wati  menjadikannya sebuah larangan bagi masyarakat dusun Gumeng bahwa mereka tidak boleh makan ikan gabus (kutuk) karena itu merupakan darah dagingnya Citro Wati, Karena ditusuk perutnya tadi Citro Wati pingsan dan tidak sadarkan diri, Citro Wati diseret oleh Cito Kusumo dan di siram air yang akhirnya sadarkan diri dan air yang dipakai untuk menyiram Citro Wati dinamakan Banyuurip. Sampai sekarang banyuurip masih tetap ada dan selalu di jaga keberadaanya karena dipercaya dapat menyembuhkan orang sakit. Setelah kejadian itu, Citro Wati berjanji tidak akan kawin sebelum ketemu Joko Sayuto dengan pengapit Joko Santoso. Citro Wati semedi di sungai (kedung Putri) sambil menunggu Joko Sayuto dan Joko Santoso.

Cerita sejarah yang masih melekat pada Kedung Putri, bagi masyarakat dusun Gumeng merupakan salah satu peninggalan sejarah yang harus di jaga, baik lokasi, peninggalan-peninggalannya maupun nilai-nilai spiritualnya. Saat ini, tradisi yang dilakukan masyarakat dusun Gumeng di Kedung Putri adalah upacara sedekah bumi. Tujuannya adalah untuk meminta berkah dan keselamatan bagi dusun Gumeng dan daerah sekitarnya. Terkadang ada juga yang melakukan ritual khusus di tempat ini yaitu memberikan sesaji yang tujuannya untuk meminta kekayaan (pesugihan).

6.    MANGANAN

Manganan adalah sebuah situs budaya yang biasa di gunakan oleh masyarakat dusun Kaliwader desa Ngliron untuk upacara sedekah bumi. Lokasinya terletak sebelah Utara KPH Randublatung, kurang lebih 12 km dari kota Randublatung. Secara administrative turut wilayah Desa Ngliron Kec. Randublatung Kab. Blora.

Dalam pengelolaan kawasan hutan KPH Randublatung, Manganan terletak di petak 84 F RPH Jambean BKPH Temanjang. Luasnya mencapai 0,1 ha dan dikeluarkan masuk Ldti. Berkaitan dengan kegiatan ritual yang dilakukan di Manganan, tidak ada sejarah yang khusus, hanya di percaya sebagai “Punden” (tempat keramat) bagi masyarakat dusun Kaliwader. Upacara sedekah bumi yang di lakukan di Manganan biasanya dilaksanakan pada bulan Selo (bulan Jawa) hari Kamis Wage. Setiap upacara sedekah bumi digelar hiburan berupa “tayuban” dan mamberikan sesaji berupa penyembelihan kambing di lokasi manganan. Apabila tidak di lakukan penyembelihan kambing dan Tayuban maka di yakini masyarakat akan terjadi bencana di dusun Kaliwader. Upacara ini dihadiri oleh semua warga dusun Kaliwader dan mengundang dusun tetangganya. Upacara dipimpin oleh sesepuh desa dengan melakukan acara ritual  pada siang hari.

Perlengkapan upacara yang dibawa oleh setiap warga biasanya tidak terlalu khusus, mereka hanya membawa makanan atau jajan yang kemudian setelah selesai acara ritual dimakan bersama-sama. Upacara sedekah bumi ini seakan membudaya di setiap dusun yang ditemukan di daerah-daerah tertentu sekitar kawasan hutan. Intinya upacara semacam ini adalah untuk meminta berkah dan keselamatan bagi warga dusunnya. Ragam budaya dan tempat-tempat khusus yang masih di yakini oleh masyarakat saat ini membuktikan bahwa sejarah tidak akan pernah mati selama manusia masih menghargai budayanya.

7.    BALE KAMBANG

Bale Kambang merupakan salah satu situs yang terletak di petak 62, luasnya mencapai 0,1 ha. Di  tempat ini sering digunakan untuk upacara sedekah bumi. Sejarah Bale Kambang sendiri terkait dengan sejarah di Kedung Putri. Bale kambang adalah Istana Citro Kusumo Putra kedua dari raja Purwocarito yaitu Dian Gondokusumo dengan Permaesuri Loro Girah.

Lokasi Bale Kambang cukup jauh dari Kantor KPH Randublatung, kurang lebih 30 km ke arah Utara dan berbatasan langsung dengan KPH Blora. Upacara sedekah bumi di Bale Kambang dilakukan oleh warga dusun Temetes kec. Banjar Rejo Kab. Blora. Upacara biasanya dilakukan setiap tahun yaitu pada hari Jum’at pon bulan Selo. Yang menarik pada saat upacara sedekah bumi di Manganan adalah bahwa setiap warga yang menghadiri upacara harus membawa arak sebagai sesaji untuk disiramkan di lokasi upacara.   Seperti di tempat lainnya, pada saat mengikuti upacara sedekah bumi warga juga makanan atau jajan yang akan dimakan bersama-sama dilokasi tersebut setelah acara ritual dilakukan.            Situs budaya seperti Bale Kambang ini harus dilestarikan dan di pelihara keberadaanya,

Karena diyakini oleh masyarakat dusun Temetes sebagai tempat bersemayam roh leluhurnya. Selain mengirimkan do’a , warga juga meminta berkah dan keselamatan agar terhindar dari bencana.

8.    SUMBER LUMPUR KESONGO

sumber Lumpur kesongo merupakan sebuah keajaiban alam yang ada di KPH Randublatung , terletak di Petak 141 RPH Padas BKPH Trembes, Luasnya + 100 Ha berupa hamparan tanah kosong yang sebagian ditumbuhi rumput serta beberapa kubangan air / rawa – rawa. Jarak dari KPH Randublatung sekitar 30 Km kearah Barat (Kecamatan Gabus ,Kab Grobogan ). Keistimewaan kawasan tersebut adalah mengeluarkan sumber Lumpur berupa letupan Lumpur dingin yang setiap saat bisa meletus, dan bersifat sporadic, 

Lokasi sekitar Lumpur Kesongo dimanfaatkan oleh masyarakat dukuh Pekuwon lor dan Sucen sebagai lahan penggembalaan serta mencari rumput wlingi , Selain itu pada titik ledakan yang juga dinamakan keraton  sering dipergunakan untuk sesaji ( Ngalab Berkah ) yang dipandu oleh seorang juru kunci. Selain digunakan sebagai tempat upacara, kawasan Lumpur kesongo merupakan habitat satwa yang digunakan untuk mencari makan. Terutama jenis burung seperti Bangau Tong-tong. Terkadang juga ditemuikan ular.

Sumber Lumpur Kesongo menyediakan pakan bagi satwa diantaranya rumput-rumputan, ikan-ikan kecil dan serangga. Lumpur Kesongo dianggap keramat oleh kebanyakan masyarakat karena ada kaitannya dengan legenda Joko Linglung , dimana pada tempat tersebut konon ada 9 anak yang hilang ditelan oleh ular jelmaan joko linglung , dan sampai sekarang cerita tersebut masih dipercaya oleh sebagian besar masyarakat  jawa.

Selain sebagai situs budaya, Lumpur kesongo merupakan salah satu situs ekologi yang terkadang masyarakat tidak menyadari hal tersebut. Sudah bisa dipastikan kalau kita ingin melihat Bangau Tong-tong, kita bisa mendatangi lokasi ini pada jam-jam tertentu. Hal ini menjadi salah satu objek yang cukup menarik, selain objek utamanya yaitu Lumpur yang keluar dari perut bumi.

9.    SENDANG KUWUNG DAN PERTAPAAN NGRECO

Dusun Kuwung adalah salah satu dusun yang letaknya cukup jauh dari Kantor KPH Randublatung. Diam –diam didaerah ini menyimpan tradisi yang mungkin sudah tidak asing lagi bagi masyarakat sekitar hutan, dimana nilai-nilai budaya yang berbau spiritual masih melekat dalam kehidupan sehari-hari. Dusun Kuwung terletak kurang lebih 6 km dari pusat kota Randublatung, tepatnya di petak 123 RPH Menden, BKPH Beran.  Untuk menjangkau daerah ini tidak terlalu sulit karena sudah tersedia jalan yang biasa digunakan masyarakat untuk menuju daerah disekitarnya. Jumlah penduduk dusun Kuwung kurang lebih sekitar 60 kk yang rata-rata penduduknya bermata pencaharian sebagai petani.

Keberadaan Sendang kuwung yang kini masih dipelihara memberikan warna tersendiri bagi budaya masyarakat dusun Kuwung  yang kini menjalani kehidupan dengan damai. Sendang Kuwung merupakan sumber mata air yang pada saat –saat tertentu digunakan oleh penduduk setempat untuk memenuhi kebutuhan air dusun Kuwung, dusun Bapangan dan daerah sekitarnya.

Berbeda dengan Sendang Kuwung, Pertapaan Ngreco yang letaknya tidak jauh dari sumber mata air Kuwung juga menyimpan misteri yang hingga kini tempat itu masih dianggap keramat. Misteri dan sejarah Pertapaan Ngreco belum banyak terungkap, tetapi masyarakat setempat percaya bahwa tempat ini menyimpan sejarah khusus tentang asal muasal dusun kuwung.

Pertapaan Ngreco kadang-kadang masih dipakai oleh orang yang percaya dengan hal-hal gaib untuk meminta berkah dan kepentingan lainnya, tidak menutup kemungkinan digunakan juga sebagai tempat pesugihan. Sendang Kuwung dan Pertapaan ngreco merupakan salah satu tempat yang dikeramatkan oleh penduduk Dusun Kuwung Desa Menden rejo, letak petak 123 RPH Menden, BKPH Beran. Sendang Kuwung dan Pertapaan Ngreco terletak dalam petak yang sama yaitu petak 123

Kawasan ini dipergunakan oleh penduduk sebagai tempat sedekah bumi yang dilakukan pada setiap tahun . Menurut seorangnarasumber Pak Pardi (68 Th) dan Kamidi ( 66 Th ) bahwa upacara Sedekah bumi yang dilakukan setiap tahun bagi masyarakat kuwung ditujukan sebagai ungkapan rasa terimakasih kepada Tuhan karena pada tahun tersebut mereka diberi kehidupan yang tentram , panen hasil pertanian yang berlebihan serta ungkapan rasa terima kasih lain karena telah hidup dengan tenang bersama keluarga / keturunannya. Sedekah bumi dilakukan pada hari Jum’at Pahing yang dipusatkan di dua llokasi , yaitu pada mata air ( sendang ) dan Pertapaan ngreco.

10.JATI DENOK

jati Denok, begitu orang menyebutnya, Kata-kata “Denok” identi dengan gadis cantik yang mempunyai tubuh sintal dengan tubuh padat berisi. Ungkapan tersebut memang benar adanya , begitu juga dengan pohon jati yang terletak di petak 62 RPH Temetes BKPH Temanjang yang mempunyai keliling pohon 650 cm, tinggi 30 m dengan bagian pangkal pohon yang membesar. Jati Denok berumur kurang lebih 3 abad atau sektar 300 tahun lebih

Sejarah Jati Denok terkait dengan sejarah di Kedung Putri dimana pohon jati tersebut konon diinjak oleh Jonggrang Prayungan ketika ia  ingin melihat kecantikan Putri Citro Wati dari negoro Purwo Carito (sekarang dusun Gumeng).  Karena kesaktian yang dimiliki Jonggrang Prayungan, pohon jati yang diinjaknya tidak kuat menahan beban dan akhirnya bagian bawah pohon tersebut tertekan dan membesar sehingga disebut Jati Denok. Seiring dengan berjalannya waktu, Jati denok kini menjadi monumen jati yang tetap berdiri kokoh . Kini disekitar jati denok sering digunakaan oleh  masyarakat setempat untuk mencari berkah dan mendapatkan wangsit dari leluhur.

 11.SENDANG SALAK

Sendang terletak di lahan perhutani pada petak 123 RPH Trembes BKPH Temuireng dengan luas petak 0,1 Ha. Sendang Salak merupakan sebuah situs yang merupakan sumber air sehingga banyak masyarakat yang berinteraksi kelokasi tersebut untuk mengambil air, sehingga situs sendang salak memiliki arti yang sangat penting bagi masyarakat di sekitarnya selain itu sebagian besar masyarakat menganggap situs merupakan tempat yang dianggap masyarakat mempunyai nilai budaya tinggi dan dipercaya sebagai tempat keramat, bahkan digunakan sebagai tempat mencari berkah, pesugihan, nazdar dan sedekah bumi atau nyadran. Ritual keagamaan atau ambengan ditempat situs juga sering dilakukan.

 12. PABLENGAN ( LUMPUR )

Situs Pablengan terletak di petak 11a  RPH Serut BKPH Banyuurip dengan luas 0,1ha. Situs pablengan terletak di wilayah desa Pelem, bentuk situs pablengan merupakan bledug yang selalu mengeluarkan air dan lumpur yang mengandung garam, dan di kelilingi oleh pepohonan yang lebat sehingga walaupun musim kemarau panjang tetap  muncul sumber mata airnya. Sampai saat ini situs pablengan masih sangat dikeramatkan oleh masyarakat sekitarnya antara lain untuk tempat mencari berkah, sedekah bumi dan masyarakat percaya bahwa kehilangan ternaknya mengadakan selamatan dipablengan maka ternak yang hilang tersebut akan kembali.

13. SUMUR URIPAN

Sumur Uripan berada di petak 22 RPH Banyuasin BKPH Ngliron dengan luas 0,1 ha Sumur uripan merupakan sumber mata air berupa sumur peninggalan jaman Belanda.  Sumur ini berfungsi untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari masyarakat desa Banyuasin. Yaitu berupa sumur berjajar / berdampngan, 1 sumur untuk memenuhi kebutuhan minum dan 1 sumur untuk mencuci. Pada saat musim kemarau air tetap mengalir dan saat sedekah bumi masyarakat masih memanfaatkannya yaitu pada hari Rabu Pahing setiap musim panen.

Awalnya sumur dalam bentuk serumbung yaitu dikelilingi dengan kayu, pada tahun 2003 oleh masyarakat setempat secara swadaya direhab menggunakan gorong-gorong.

Disekeliling sumur  terdapat pohon besar dan rindang, satwa pun masih ada terutama burung

14. SENDANG APIT

Sendang Apit berada di petak 14 d RPH Sugih BKPH Boto berada di desa Kepoh, Sendang Apit merupakan sendang yang sumber airnya  ada sepanjang tahun oleh masyarakat sekitar  sendang dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Sendang Apit ini berbentuk sumur sederhana yang dikelilingi kayu begitu juga atapnya. Disekitar sendang banyak ditumbuhi pohon – pohon yang rindang. Kemudian pada tahun 2003 dilakukan perbaikan yaitu berupa pemberian gorong-gorong disekeliling sumur  dan diberi atap berbentuk rumah-rumahan, hal ini dengan harapan daun dan ranting dari dahan pohon yang ada disekeliling sendang tidak masuk sumur.

15. BANYU TES

Situs Banyu Tes berbentuk sumber mata air berbentuk  sumur kecil di bukit, sumber airnya disaat musim kemarau tetap ada. Situs tersebu berada dipetak 62 RPH Temetes BKP Temanjang dengan luas 0,1 ha Oleh masyarakat desa Temetes tiap hari Jum’at Pon sehabis panen dilakukan sedekah bumi “Nyadran” dilokasi situs tersebut .

16. JATI GONG

Situs Jati Gong berada di petak 63 RPH Temetes BKPH Temanjang dengan luas 0,1 ha. Situs ini berbentuk pohon mahoni ± umur 53 tahun. Menurut cerita masyarakat desa Temetes konon pada zaman dahulu ada perayaan atau hajatan, dalam acara tersebut ada hiburan berupa gamelan yang diadakan selama 7 hari 7 malam, namun pada saat selesai masih ada salah satu alat gamelan yang tertinggal dipohon jati yaitu Gong besar dan tidak diambil-ambil seingga pada saat itu oleh masyarakat disebut sebagai jati gong.

 

Sejarah Blora


Kabupaten Blora, adalah sebuah kabupaten di Provinsi Jawa Tengah. Ibukotanya adalah Blora, sekitar 127 km sebelah timur Semarang. Berada di bagian timur Jawa Tengah, Kabupaten Blora berbatasan langsung dengan Provinsi Jawa Timur.
Kabupaten ini berbatasan dengan Kabupaten Rembang dan Kabupaten Pati di utara, Kabupaten Tuban dan Kabupaten Bojonegoro (Jawa Timur) di sebelah timur, Kabupaten Ngawi (Jawa Timur) di selatan, serta Kabupaten Grobogan di barat.
Blok Cepu, daerah penghasil minyak bumi paling utama di Pulau Jawa, terdapat di bagian timur Kabupaten Blora.

Asal Usul Nama Blora

Menurut cerita rakyat Blora berasal dari kata BELOR yang berarti lumpur, kemudian berkembang menjadi mbeloran yang akhirnya sampai sekarang lebih dikenal dengan nama BLORA.
Secara etimologi Blora berasal dari kata WAI + LORAH. Wai berarti air, dan Lorah berarti jurang atau tanah rendah.

Dalam bahasa Jawa sering terjadi pergantian atau pertukaran huruf W dengan huruf B, tanpa menyebabkan perubahan arti kata. Sehingga seiring dengan perkembangan zaman kata WAILORAH menjadi BAILORAH, dari BAILORAH menjadi BALORA dan kata BALORA akhirnya menjadi BLORA.
Jadi nama BLORA berarti tanah rendah berair, ini dekat sekali dengan pengertian tanah berlumpur.

Blora Era Kerajaan di bawah Kadipaten Jipang

Blora di bawah Pemerintahan Kadipaten Jipang pada abad XVI, yang pada saat itu masih di bawah pemerintahan Demak. Adipati Jipang pada saat itu bernama Aryo Penangsang, yang lebih dikenal dengan nama Aria Jipang. Daerah kekuasaan meliputi:
Pati, Lasem, Blora, dan Jipang sendiri. Akan tetapi setelah Jaka Tingkir (Hadiwijaya) mewarisi takhta Demak, pusat pemerintahan dipindah ke Pajang. Dengan demikian Blora masuk Kerajaan Pajang.

Blora di bawah Kerajaan Mataram

Kerajaan Pajang tidak lama memerintah, karena direbut oleh Kerajaan Mataram yang berpusat di Kotagede Yogyakarta. Blora termasuk wilayah Mataram bagian Timur atau daerah Bang Wetan.
Pada masa pemerintahan Paku Buwana I (1704-1719) daerah Blora diberikan kepada putranya yang bernama Pangeran Blitar dan diberi gelar Adipati. Luas Blora pada saat itu 3.000 karya (1 karya = ¾ hektar). Pada tahun 1719-1727 Kerajaan Mataram dipimpin oleh Amangkurat IV, sehingga sejak saat itu Blora berada di bawah pemerintahan Amangkurat IV.

Blora di Zaman Perang Mangkubumi (tahun 1727–1755)

Pada saat Mataram di bawah Paku Buwana II (1727-1749), terjadi pemberontakan yang dipimpin oleh Mangku Bumi dan Mas Sahid, Mangku Bumi berhasil menguasai Sukawati, Grobogan, Demak, Blora, dan Yogyakarta. Akhirnya Mangku Bumi diangkat oleh rakyatnya menjadi raja di Yogyakarta.
Berita dari Babad Giyanti dan Serat Kuntharatama menyatakan bahwa Mangku Bumi menjadi raja pada tanggal 1 Sura tahun Alib 1675, atau 11 Desember 1749. 

Bersamaan dengan diangkatnya Mangku Bumi menjadi raja, maka diangkat pula para pejabat yang lain, di antaranya adalah pemimpin prajurit Mangkubumen, Wilatikta, menjadi Bupati Blora.

Blora di bawah Kasultanan Perang Mangku Bumi diakhiri dengan perjanjian Giyanti, tahun 1755, yang terkenal dengan nama 'palihan negari', karena dengan perjanjian tersebut Mataram terbagi menjadi dua kerajaan, yaitu Kerajaan Surakarta di bawah Paku Buwana III, sedangkan Yogyakarta di bawah Sultan Hamengku Buwana I. 

Di dalam Palihan Negari itu, Blora menjadi wilayah Kasunanan sebagai bagian dari daerah Mancanegara Timur, Kasunanan Surakarta. Akan tetapi Bupati Wilatikta tidak setuju masuk menjadi daerah Kasunanan, sehingga beliau pilih mundur dari jabatannya

Blora sebagai Kabupaten

Sejak zaman Pajang sampai dengan zaman Mataram, Kabupaten Blora
merupakan daerah penting bagi Pemerintahan Pusat Kerajaan, hal ini karena
Blora terkenal dengan hutan jatinya.
Blora mulai berubah statusnya dari apanage menjadi daerah kabupaten pada hari Kamis Kliwon, tanggal 2 Sura tahun Alib 1675, atau tanggal 11 Desember 1749 Masehi, yang sampai sekarang dikenal dengan HARI JADI KABUPATEN BLORA. Adapun Bupati pertamanya adalah WILATIKTA.

Para Adipati / Bupati Blora

Melalui perjalanan sejarah yang panjang, Blora mulai berubah statusnya yaitu dari daerah apanage menjadi daerah kabupaten. Perubahan itu terjadi pada hari Kamis Kliwon, tanggal 1 Sura tahun Alib 1675 menurut perhitungan tahun jawa, atau tanggal 11 Desember 1749 M. Sejak saat itudapat dikatakan, bahwa Blora lahir sebagai kabupaten. Adapun Bupati pertamanya adalah Wilatikta. Akan tetapi setelah kerajaan Mataram dibagi menjadi dua, Tumenggung Wilatikta melepaskan jabatannya sebagai bupati karena ia tidak mau menjadi bawahan Kasunanan Surakarta. Setelah itu di Kabupaten Blora terjadi kekosongan Jabatan Bupati. Pada tahun 1762, kekosongan jabatan bupati itu diisi kembali. Pengisian jabatan itu bermula dari adanya perselisihan keluarga di Kasunanan Surakarta ( Istana )yang akhirnya berkembang ke daerah Blora.
Latar belakang yang dilakukan Tumenggung Wilatikta melepaskan diri dari jabatan Bupati Blora, di duga karena ia tak mau bekerja sama dengan pemerintah penjajah Belanda. Konon pemerintahan Mataram di bawah Mangkubumi dikenal tidak menyukai kerjasama dengan Belanda. Lain dengan Kasunanan yang mau bekerjasama dengan Belanda. Menilik tindakan Wilatikta dapat dikatakan ia adalah seorang figur Bupati Blora pertama, yang tidak sudi bekerjasama dengan penjajah Belanda.

Silsilah dan Bupati Blora dari berdiri sampai sebelum kemerdekaan adalah :
Tumenggung Wilatikta ( 1749-1755 )
RT. Djayeng Tirtonoto ( 1762-1782 )
RT. Tirtokusumo ( 1782-1812 )
RT. Prawiro Yudho (1812-1823 )
RT. Tirto Nagoro ( 1823-1842 )
RT. Aryo Cokronagoro I ( 1842 )
RT. Tirto Nagoro ( 1843-1847 )
RT. Panji Noto Nagoro ( 1847-1857 )
RT. Tjokro Nagoro II ( 1873-1886 )
RMT. Tjokro Nagoro III ( 1986-1912 )
RM. Said Abdulkadir Jaelani ( 1912-1926 )
RM. Tjakraningrat ( 1926-1938 )
R. Muryono Joyodigdo ( 1938-1942 )
RM. Sudjono ( 1942-1945 )
Secara resmi Pembentukan Kabupaten Blora didasarkan pada Undang - undang No. 13/1950 tanggal 8 Agustus 1950 tentang Pembentukan Daerah Kabupaten di Wilayah Propinsi Jawa Tengah. Bupati Blora dari 1945-2010 adalah :
Mr. Iskandar ( 1945-1948 )
R. Wibisono ( 1948-1949 )
R. Siswadi Joyosurono ( 1949-1952 )
R. Sudjono ( 1952-1957 )
R. Sunartyo ( 1957-1960 )
R. Sukirno Sastro Dimejo ( 1960-1967 )
Srinardi ( 1967-1973 )
Supadhi Yudhodarmo ( 1973-1979 )
H. Soemarno ( 1979-1989 )
H. Soekardi Hardjoprawiro, MBA.MM ( 1989 -1999 )
Ir. Basuki Widodo ( 2000-2007 )
Drs. RM. Yudi Sancoyo, MM ( 2007-2010 )
Joko Nugroho ( 2010 -..........)


Perjuangan Rakyat Blora menentang Penjajahan

Perlawanan Rakyat Blora yang dipelopori petani muncul pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20. Perlawanan petani ini tak lepas dari makin memburuknya kondisi sosial dan ekonomi penduduk pedesaan pada waktu itu.

Pada tahun 1882 pajak kepala yang diterapkan oleh Pemerintah Penjajah sangat memberatkan bagi pemilik tanah (petani). Di daerah-daerah lain di Jawa, kenaikan pajak telah menimbulkan pemberontakan petani, seperti peristiwa Cilegon pada tahun 1888. Selang dua tahun kemudian seorang petani dari Blora mengawali perlawanan terhadap pemerintahan penjajah yang dipelopori oleh Samin Surosentiko.

Gerakan Samin sebagai gerakan petani antikolonial lebih cenderung mempergunakan metode protes pasif, yaitu suatu gerakan yang tidak merupakan pemberontakan radikal bersenjata.
Beberapa indikator penyebab adanya pemberontakan untuk menentang kolonial penjajah Belanda antara lain:
Berbagai macam pajak diimplementasikan di daerah Blora
Perubahan pola pemakaian tanah komunal
Pembatasan dan pengawasan oleh Belanda mengenai penggunaan hasil hutan oleh penduduk.

Indikator-indikator ini mempunyai hubungan langsung dengan gerakan protes petani di daerah Blora. Gerakan ini mempunyai corak MILLINARISME, yaitu gerakan yang menentang ketidakadilan dan mengharapkan zaman emas yang makmur.

Situs-Situs Kuno

Situs Fosil Fauna Purba

Lo‎kasi situs fosil hewan purba terletak di Dukuh Kawung dan Singget, Desa Menden dan Dukuh Sunggun, Desa Medalem, Kecamatan Kradenan, Kabupaten Blora. 

Lokasinya berada di tepian daerah aliran sungai Bengawan Solo dan berjarak kurang lebih 65 km arah selatan dari Kota Blora. Di Lokasi ini telah ditemukan fosil Kepala kerbau purba, kura-kura purba, dan Gajah Purba. Diperkirakan umur fosil antara 200.000-300.000 tahun. Fosil ini awalnya ditemukan oleh penduduk kemudian diamankan oleh Yayasan Mahameru. Sekarang sedang diteliti oleh ahli antropologi dari Bandung, Fahrul Azis dan tim dari Wolongong University, Australia, yang dipimpin Gertz Vandenburg.

Situs Wura-Wari

Lokasi Situs Wura-wari ini terletak di Desa Ngloram, Kecamatan Cepu, Kabupaten Blora. Haji Wura-Wari adalah penguasa bawahan (vasal) yang pada tahun 1017 Masehi menyerang Kerajaan Mataram Hindu (semasa Raja Darmawangsa Teguh). 

Saat itu Kerajaan Mataram Hindu berpusat di daerah yang sekarang dikenal dengan Maospati, Magetan, Jawa Timur. Serangan dilakukan ketika pesta pernikahan putri Raja Darmawangsa Teguh dengan Airlangga, yang juga keponakan raja, sedang dilangsungkan. Membalas dendam atas kematian istri, mertua, dan kerabatnya, Airlangga yang lolos dari penyerangan dan tinggal di Wanagiri (di daerah perbatasan Jombang-Lamongan), akhirnya balik menghancurkan Haji Wura-Wari. Namun, sebelumnya Haji Wura-Wari terlebih dahulu menyerang Airlangga sehingga dia terpaksa mengungsi dan keluar dari keratonnya di Wattan Mas (sekarang Kecamatan Ngoro, Pasuruan, Jawa Timur). 

Serangan balik Airlangga, yang ketika itu sudah dinobatkan menggantikan Darmawangsa Teguh, ditulis dalam Prasasti Pucangan (abad XI) yang terjadi pada tahun 1032 M. Serangan itu pula yang memperkuat dugaan batu bata kuno berserakan di sekitar situs tersebut. Situs yang ditemukan tim ekspedisi berada di tengah tegalan, di tepi persawahan, berupa tumpukan batu bata kuno berlumut yang kini dijadikan areal pemakaman. 

Sejak tahun 2000, telah dikumpulkan serpihan batu bata kuno berukuran 20 x 30 sentimeter dengan tebal sekitar 4 cm, serpihan keramik, serta serpihan perunggu yang kini disimpan di Museum Mahameru. Temuan di situs itu memperkuat isi Prasasti Pucangan bertarikh Saka 963 (1041/1042 Masehi) yang pernah diuraikan ahli huruf kuno (epigraf) "Haji Wura-Wari mijil sangke Lwaram". Mijil mempunyai arti keluar (muncul dari). Hasil analisis toponimi (nama tempat), kemungkinan nama Lwaram berubah menjadi Desa Ngloram sekarang. “Pelesapan konsonan ’w’, penyengauan di awal kata, dan perubahan vokal ’a’ menjadi ’o’ menjadikan nama lama Lwaram menjadi Ngloram sekarang. 

Penjelasan seperti itu pula yang membantah berbagai pendapat terdahulu yang menyebutkan Haji Wura-Wari berasal dari daerah Indocina atau Sumatera sebagai koalisi Sriwijaya. Cepu memiliki data arkeologis, toponimi, dan geografis kuat untuk melokasikannya di tepian Bengawan Solo di Desa Ngloram.

Petilasan Kadipaten Jipang Panolan

Petilasan Kadipaten Jipang Panolan berada di Desa Jipang, sekitar 8 kilometer dari Kota Cepu. Petilasannya berwujud makam Gedong Ageng yang dahulu merupakan pusat pemerintahan dan bandar perdagangan Kadipaten Jipang. Di tempat tersebut juga terlihat Petilasan Siti Hinggil, Petilasan Semayam Kaputren, Petilasan Bengawan Sore, dan Petilasan Masjid. Ada juga makam kerabat kerajaan, antara lain makam R. Bagus Sumantri, R. Bagus Sosrokusumo, R. A. Sekar Winangkrong, dan Tumenggung Ronggo Atmojo. Di sebelah utara Makam Gedong Ageng, terdapat Makam Santri Songo. 

Disebut demikian karena di situ ada sembilan makam santri dari Kerajaan Pajang yang dibunuh oleh prajurit Jipang karena dicurigai sebagai telik sandi atau mata-mata Sultan Hadiwijaya.

Makam Purwo Suci Ngraho Kedungtuban

Makam Purwo Suci terletak di Dukuh Kedinding, Desa Ngraho, Kecamatan Kedungtuban lebih kurang 43 km kearah tenggara dari Kota Blora, mudah dijangkau dengan kendaraan roda dua maupun roda empat sampai ke jalan desa kemudian untuk mencapai makam dolanjutkan dengan berjalan kaki lebih kurang 500 m sambil menikmati pemandangan alam, karena letaknya berada di puncak perbukitan dengan luas areal bangunan makam lebih kurang 49 persegi. Menurut informasi atau cerita dari masyarakat setempat Makam Purwo Suci adalah makam seorang Adipati Penolan sesudah Haryo Penangsang bernama Pangeran Adipati Notowijoyo. 

Di dalam halaman makam tersebut juga terdapat Makam Nyai Tumenggung Noto Wijoyo, karena jasa-jasanya, sampai saat ini makam tersebut masih banyak dikunjungi oleh masyarakat untuk tujuan tertentu, bahkan pernah dipugar oleh Bupati Blora pada tahun 1864 dengan memakai sandi sengkolo, Karenya Guna Saliro Aji ( tahun 1864 ). Menurut ceritera yang panjang, makam ini cocok dikunjungi oleh wisatawan yang senang akan olah roso dan olah kebatinan untuk mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Makam Maling Gentiri

Makam Maling Gentiri terletak di Desa Kawengan, Kecamatan Jepon, lebih kurang 12 km kearah Timur dari Kota Blora, mudah dijangkau dengan kendaraan roda dua maupun roda empat. Gentiri adalah putra dari Kyai Ageng Pancuran yang saat hidupnya mempunyai kesaktian tinggi ( sakti mondroguna ), suka menolong kepada orang yang sedang kesusahan, orang yang tidak mampu dan sebagainya, suka mencuri ( maling ) namun bukan untuk dirinya sendiri melainkan untuk orang lain yang sedang kesusahan. 

Maling Gentiri dijuluki Ratu Adil yang dianggap sebagai tokoh yang suka mengentaskan rakyat dari kemiskinan. Dengan perjalanan sejarah yang panjang akhirnya Maling Gentiri sadar dan semua perbuatan yang melanggar hukum dia tinggalkan, hingga akhirnya dia meninggal dan dimakamkan di Ds. Kawengan, Kecamatan Jepon. Karena jasa-jasanya banyak, masyarakat setempat atau dari daerah lain yang datang ke makam tersebut karena masih dianggap keramat (Karomah), baik untuk berziarah maupun untuk tujuan tertentu.

Makam Jati Kusumo dan Jati Swara

Makam Jati Kusumo dan Jati Swara terletak di Desa Janjang, Kecamatan Jiken lebih kurang 31 km kearah Tenggara dari Kota Blora atau lebih kurang 10 km dari Kecamatan Jiken, mudah dijangkau dengan kendaraan roda dua maupun roda empat. Dengan luas areal lebih kurang 1 Ha yang didalamnya terdapat Makam Jati Kusumo dan Jati Swara, makam Rondo Kuning ( putri yang tergila-gila ingin diperistri oleh kedua bangsawan tersebut ), empat makam sahabat , Bangsal sesaji, Guci berisi air ( dianggap punya karomah ), Batu Pasujudan, dan juga bangsal untuk pertunjukan Wayang Krucil. 

Menurut ceritera rakyat setempat Pangeran Jati Kusumo dan Jati Swara adalah dua bersaudara kakak beradik putra dari Sultan Pajang, Mempunyai kesaktian yang tinggi, suka menolong orang lain, suka mengembara kemana-mana dengan tujuan untuk menyebarkan Agama Islam. Terbukti dengan adanya bangunan masjid disana karena jasa-jasanya.

 

Babad Rembang dan Perjuangan Raden Panji


Kabupaten Rembang, adalah sebuah kabupaten di Provinsi Jawa Tengah. Ibukotanya adalah Rembang. Kabupaten ini berbatasan dengan Teluk Rembang (Laut Jawa) di utara, Kabupaten Tuban (Jawa Timur) di timur, Kabupaten Blora di selatan, serta Kabupaten Pati di barat.
Makam pahlawan pergerakan emansipasi wanita Indonesia, R. A. Kartini, terdapat di Kabupaten Rembang, yakni di jalur Rembang-Blora (Mantingan).

Asal usul Nama Rembang

Dahulu kala ada seorang saudagar kaya yang bernama Dampo Awang. Dia berasal dari Negara Cina. Dia ingin pergi kesuatu tempat untuk mengajarkan ajaran Kong Hu Cu dengan cara mengarungi samudera bersama para pengawal setianya. Suatu hari dia sampai di tanah jawa bagian timur. 

Dampo Awang sangat senang akan daerah itu sehingga dia bermaksud untuk berlabuh disana dan menetap sambil mengembangkan ajaran yang dibawanya. Suatu saat Dampo Awang bertemu dengan Sunan Bonang, Sunan Bonang adalah salah satu dari 9 wali yang menyebarkan agama islam di tanah jawa. 

Pada saat pertemuan pertama kali itu, Dampo Awang sudah memperlihatkan sikap kurang baik pada Sunan Bonang. Dampo Awang takut jika ajaran yang selama ini dia ajarkan akan hilang dan digantikan dengan ajaran agama islam. Perlu diketahui bahwa Dampo Awang sudah terbiasa dengan orang awam di jawa sehingga dia dapat berbahasa dengan baik.Saat Sunan Bonang mau mendirikan Salat Ashar. Dampo Awang berfikir untuk mecelekai Sunan Bonang. Dia menyuruh pengawalnya untuk menaruh racun ke air putih dalam kendi yang berada diatas meja. Setelah selesai shalat Sunan Bonang menuju ke meja makan. Dampo Awang mengira bahwa Sunan Bonang akan meminum air dalam kendi tersebut. 

Tetapi dugaan Dampo Awang keliru, sebenarnya Sunan Bonang mau mengaji. Hari demi hari telah berlalu, setiap waktu shalat Sunan Bonang mengumandangkan adzan dan shalat, setelah shalat Sunan Bonang mengaji diteras rumahnya. Setiap orang – orang yang lewat di depan rumahnya dan mendengar suara Sunan Bonang saat mengaji dan adzan menjadi kagum akan ayat – ayat alllah. Kemudian banyak penduduk menjadi pemeluk agama islam. Lama – kelamaan pengikut sunan semakin banyak. 

Tidak lama kemudian Dampo Awang mendengar peristiwa tersebut dia sangat marah karena pengikutnya semakin berkurang lalu Dampo Awang mengirim pengawalnya untuk menjemput Sunan Bonang . Mula – mula Sunan Bonang menolak tetapi karena dia merasa kasihan akan pengawal – pengawal Dampo Awang, jika Sunan Bonang tidak ikut mereka akan dihukum pancung. Akhirnya Sunan Bonang bersedia untuk datang ke kediaman Dampo Awang. 

Saat Sunan Bonang tiba di kediaman Dampo Awang, Dampo Awang menyambutnya dengan ramah. Namun dibelakang dari keramahan tersebut Dampo Awang telah merencanakan sesuatu. Dampo Awang menyuguhi Sunan Bonang dengan buah – buahan segar, makanan enak, minuman lezat, dll. Sunan Bonang tidak menaruh curiga sedikitpun kepada Dampo Awang, padahal Dampo Awang berniat mencelakainya. Saat ditengah perjamuan, tiba – tiba Dampo Awang meminta agar Sunan Bonang meninggalkan daerah itu. Tetapi Sunan Bonang menolak karena dia sudah berniat untuk mengajarkan agama islam di daerah itu. 

Dampo Awang sangat marah mendengar ucapan Sunan Bonang yang baru saja diucapkannya tadi. Lalu Dampo Awang menyuruh pengawalnya untuk menyerang Sunan Bonang tetapi dengan waktu yang sangat singkat Sunan Bonang dapat mengalahkan pengawal – pengawal Dampo Awang. Dampo Awang tidak terima akan kekalahannya. Dia kembali ke negaranya untuk menyusun stategi dan kekuataan baru.

Setelah beberapa tahun Dampo Awang kembali lagi ke tanah jawa sambil membawa pasukan yang lebih banyak dari sebelumnya. Pada saat sampai di tanah jawa dia sangat kaget sekali karena semua penduduk didaerah itu sudah menganut agama islam. Dampo Awang marah lalu mencari Sunan Bonang. Dampo Awang tidak bisa menahan amarahnya ketika dia sudah bertemu dengan Sunan Bonang sehingga dia langsung menyerang Sunan Bonang lebih dulu tetapi dengan singkat Sunan bisa mengalahkan Dampo Awang dan pengawalnya. 

Kemudian Dampo Awang diikat didalam kapalnya setelah itu Sunan Bonang menendang kapalnya sehingga seluruh bagian kapal tersebar kemana – mana. Setelah itu sebagian kapal terapung di laut. Dampo Awang menyebutnya “ Kerem ( Tenggelam ) “ sedangkan Sunan Bonang menyebutnya “ Kemambang ( Terapung ) “. Kemudian lama – kelamaan masyarakat mengucapkan Rembang yang berasal dari kata Kerem dan Kemambang. 

Akhirnya di daerah itu dinamakan Rembang yang sekarang menjadi salah satu Kabupaten yang ada di Jawa Tengah.Jangkarnya sekarang ada di Taman Kartini sedangkan Layar kapal berada dibatu atau biasanya sering disebut “ Watu Layar “ dan kapalnya dikabarkan menjadi Gunung Bugel yang ada di kecamatan Pancur karena bentuknya menyerupai sebuah kapal besar dan diatas Gunung ada sebuah makam konon disana merupakan makam Dampo Awang.

Perlu diingat asal – usul kota rembang banyak versinya sehingga tidak setiap orang mengetahui asal – usul kota Rembang yang sama versinya.

Perjuangan Raden Panji
(Asal-usul Desa Gedug, Karangasem, Ngatoko, Telogo, Tapaan, Kasingan)

Pada tahun 1440-1490 Kadipaten Lasem diperintahkan oleh Prabu Santi Puspo. Prabu Santi Puspo anak Prabu Santi Bodro. Prabu Santi Bodro anak Prabu Bodro Nolo dengan Puteri Cempo. Prabu Bodro Nolo anak Prabu Wijoyo Bodro. Prabu Wijoyo Bodro anak Prabu Bodro Wardono. Prabu Bodro Wardono anak Dewi Indu/ Dewi Purnomo Wulan/ Prabu Puteri Maharani dengan Rajasa Wardana. Dewi Indu adalah saudara sepupu Prabu Hayam Wuruk Wilotikto. Dewi Indu pernah menjadi ratu di Kadipaten Lasem. Jadi Prabu Santi Puspo masih keturunan raja-raja Majapahit.

Pada masa pemerintahan Prabu Santi Puspo, Kadipaten Lasem mencapai keadilan dan kemakmuran. Rakyat hidup serba kecukupan tidak kurang suatu apapun. Prabu Santi Puspo seorang dermawan, suka memberi pertolongan kepada yang membutuhkan. Pada suatu saat Prabu Santi Puspo berangan-angan ingin memperluas wilayah kadipatennya. Keinginan beliau sangat kuat, maka dipanggillah Raden Panji Singopatoko untuk melaksanakan tugas membuka hutan atau babat alas di sebelah selatan Desa Kabongan terus ke selatan.

Pada hari yang ditentukan, berangkatlah Raden Panji Singopatoko melaksanakan tugas. Raden Panji Singopatoko dibantu beberapa orang pilihan yang loyal kepada pemerintah Kadipaten Lasem dan didampingi oleh dua orang prajurit yaitu Ki Suro Gino dan Ki Suro Gendogo. Rombongan dibagi menjadi dua kelompok. Sebelah barat dipimpin oleh Ki Suro Gino, sedang sebelah timur oleh Ki Suro Gendogo.

Ketika mereka mulai membuka hutan, banyak sekali rintangan diantaranya adalah gangguan yang dibuat oleh orang-orang yang tidak senang kepada pemerintah Prabu Santi Puspo. Banyak prajurit yang terserang penyakit. Gangguan itu juga datang dari binatang buas dan hewan berbisa. Gangguan dan rintangan itu dihadapi oleh Raden Panji Singipatoko dan prajurit-prajuritnya yang dipimpin Ki Suro Gino dan Ki Suro Gendogo dengan tabah serta tekad dan semangat yang menyala-nyala, meski banyak yang menjadi korban. Akhirnya semua rintangan dapat diatasi dan pekerjaan terselesaikan dengan memuaskan. Hutan yang dibuka itu menjadi desa yang sekarang disebut Desa Kunir dan Desa Sulang.

Raden Panji Singopatoko beserta rombongan meneruskan tugasnya membuka hutan lagi, dari Sulang menuju ke barat daya. Dalam perjalanannya itu Raden Panji pun telah siap siaga untuk menyerang dan membunuh harimau itu. Keduanya terlibat dalam pergumulan yang seru. Raden Panji Singopatoko tidak mau surut walau selangkah, terus maju pantang menyerah. Raden Panji Singopatoko adalah seorang yang sakti mandraguna. Akhirnya harimau itu lari dan tidak berhasil dibunuh oleh Raden Panji beserta teman-temannya. 

Raden panji Singopatoko beserta rombongannya merasa sangat lelah setelah bertempur melawan harimau. Kemudian mereka beristirahat dan membuat rumah untuk tempat peristirahatan. Di sela-sela istirahatnya, Raden Panji berfikir memikirkan pelaksanaan tugasnya itu. Sebenarnya beliau merasa belum dapat melaksanakan tugasnya dengan baik, beliau kecewa. Karena sebagai orang yang dipercaya oleh Prabu Santi Puspo untuk menjadi pemimpin atau' "gegedug" (istilah zaman kerajaan) mestinya harus dapat menyelesaikan setiap masalah yang dihadapi. 

Sudah menjadi kebiasaan orang-orang zaman dahulu apabila menghadapi atau mengalami suatu masalah atau kejadian yang mengesankan dan penting, maka diabadikan dengan suatu simbul atau ditengarai dengan tanda-tanda yang dapat dikenang sepanjang masa. Oleh karena itu, untuk mengenang apa yang sedang dipikirkan oleh Raden Panji Singopatoko itu, beliau berkata, "Besuk kalau ada ramainya zaman dan tempat ini menjadi desa, aku beri nama Desa "Gedug". Maka jadilah desa itu disebut Desa Gedug,sekarang disebut Desa Sumbermulyo. 

Setelah beberapa saat mereka beristirahat, lalu mereka melanjutkan perjalanan ke selatan untuk membuka hutan. Pengalaman membuka hutan yang kemarin ternyata terulang disini. Banyak rintangan dan gangguan yang dihadapi. Diantara mereka ada yang meninggal karena terserang penyakit. Ada yang digigit binatang buas atau binatang berbisa.

Raden Panji Singopatoko beserta rombongan bekerja dengan giat membuka hutan. Setelah lama bekerja, mereka merasa lelah, lalu beristirahat di bawah pohon asam yang besar. Ketika badan mereka sudah terasa segar, dan hilang kelelahannya serta tenaga mereka telah pulih kembali. Raden Panji bangkit sambil menoleh ke kanan dan ke kiri, lalu beliau berkata, " Karena setelah kita beristirahat di tempat ini badan kita terasa segar sekali dan disini tumbuh banyak pohon asam, maka kalau besuk ada ramainya zaman, dan tempat ini menjadi desa aku beri nama Desa Karangasem."

Dari Karangasem, Raden Panji Singopatoko melanjutkan tugasnya membuka hutan ke arah tenggara di sebuah hutan yang masih banyak harimaunya. Pada suatu hari, Ki Suro Gendogo menemukan goa yang cukup dalam. Di atas goa ada seekor harimau betina. Ketika Ki Suro Gendogo mendekati goa, harimau itu diam saja, tidak menyerang dan juga tidak pergi. Ki Suro Gendogo lalu berfikir dan berkata dalam hati, 
"Ada apa dengan harimau ini?".

Lalu Ki Suro Gendogo melihat ke dalam goa. Ternyata di dalam goa ada seekor anak harimau yang jatuh ke dalam goa dan tidak dapat naik. Ki Suro Gendogo berkata kepada harimau betina yang ada diatas goa itu, "Aku mau menolong anakmu, tetapi anakmu aku minta dan akan aku pelihara dengan baik." Akhirnya anak harimau itu diambil oleh Ki Suro Gendogo. Oleh karena itu Ki Suro Gendogo menjadi terkenal kemana-mana karena memelihara anak harimau itu. Setiap hari Jum'at, induk harimau itu datang ke rumah Ki Suro Gendogo untuk memberi makan anaknya. Pagi harinya pasti di luar rumah ada hewan yang mati, misalnya kijang, kera dan sebagainya, karena dimangsa induk harimau itu. Desa tempat Ki Suro Gendogo itu menjadi daerah yang ramai tumbuh menjadi pedukuhan, dan oleh Raden Panji Singopatoko diberi nama Dukuh Ngatoko.

Setiap ada orang yang berniat jahat di Dukuh Ngatoko, tiba-tiba didatangi seekor harimau. Sehingga niat jahatnya gagal. Setiap Raden Panji Singopatoko memberi bimbingan dan nasehat serta tuntunan kepada Panji Singopatoko, sehingga penduduk Ngatoko taat dan setia kepada Raden Panji Singopatoko. Di bawah pimpinan Raden Panji, penduduk Ngatoko hidup dengan aman, damai, tentram, dan sejahtera atas berkah Allah SWT. 

Raden Panji Singopatoko juga tidak lupa mengajak rakyatnya untuk menjalankan ajaran Agama Islam. Ki Suro Gendogo dan Ki Suro Gino tinggal di Dukuh Ngatoko. Ki Suro Gendogo di Ngatoko Timur, sedang Ki Suro Gino tinggal di Ngatoko Barat. Demikianlah kehidupan masyarakat Ngatoko terus berjalan dengan tentram dan damai. Dan Raden Panji Singopatoko akhirnya menjadi Kyai Ageng Ngatoko dan terkenal dengan sebutan KYAI ABDUL RAHMAN

Pada suatu saat Raden Panji Singopatoko menginginkan suatu kehidupan yang lebih tentram. Sejalan dengan usianya yang sudah mulai udzur, beliau ingin mengurangi keterlibatannya dalam hiruk pikuknya kehidupan duniawi ini. Beliau ingin bertapa di atas gunung atau punthuk di dekat mata air atau telaga, guna merenungi dan tafakur tentang hakekat hidup dan kehidupan serta lebih bertaqqarub kepada Allah SWT. 

Di sekitar tempat Kyai Abdul Rahman bertapa, sekarang menjadi perkampungan yang ramai, banyak orang yang bermukim di sini. Oleh Raden Panji Singopatoko atau Kyai Abdul Rahman, kawasan itu diberi nama Dukuh Telogo yang sekarang masuk di wilayah Desa Karangasem, Kecamatan Bulu. 

Di dekat tempat pertapaan itu dibangun sebuah masjid lengkap dengan kolahnya. Sampai sekarang bekas kolah tersebut masih dapat dilihat berupa batu merah yang masih tersusun dengan baik. Daerah ini tidak pernah kekurangan air karena ada telaga yang bagus sumbernya, bahkan sumber air telaga ini disalurkan dengan pipa besar untuk memenuhi kebutuhan penduduk Desa Telogo dan Karangasem.

Prabu Santi Puspo (Adipati Lasem), merasa berhutang budi kepada Raden Panji Singopatoko, karena berkat perjuangan Raden Panji Singopatoko wilayah Kadipaten Lasem bertambah luas, dan keadaannya aman dan tentram. Sebagai balas budi Prabu Santi Puspo atas jasa-jasa raden Panji Singopatoko beliau ingin mengambil Raden Panji Singopatoko sebagai adik iparnya. Raden Panji dinikahkan dengan adik Prabu Santi Puspo yang bernama Dewi Sulanjari. Maka dipanggillah Raden Singopatoko menghadap Sang Prabu. 

Setelah Raden Panji menghadap Sang Prabu, maka Sang Prabu menyampaikan maksudnya. Raden Panji tidak dapat berbuat apa-apa dihadapan Sang Prabu. Kecuali hanya menerima saja tawaran Sang Prabu. Akhirnya Raden Panji Singopatoko menikah dengan adik Prabu Santi Puspo yaitu Dewi Sulanjari. Pernikahannya dilaksanakan di rumah Raden Panji Singopatoko di Desa Gedug (Sumbermulyo). Pada tahun 1472 Raden Panji Singopatoko dipanggil lagi oleh Prabu Santi Puspo untuk menerima tugas baru yaitu membuka hutan di sebelah barat daya Dukuh Kabongan. Raden Panji Singopatoko segera melaksanakan tugasnya tersebut dan dibantu para prajurit yang lain.

Berbulan-bulan lamanya Raden Panji Singopatoko membuka hutan ini. Akhirnya berhasil dibuka dan tumbuh menjadi sebuah desa. Oleh Raden Panji Singopatoko diberi nama Desa Kasingan. Raden Panji Singopatoko memang seorang pemimpin yang arif bijaksana. 

Beliau mencintai masyarakatnya, demikian juga masyarakatnya mencintai dan mentaati pemimpinnya. Rakyat hidup rukun, damai, tentram dan sejahtera. Atas pembinaan dan kepemimpinan Raden Panji Singopatoko, rakyat yang tinggal di daerah-daerah yang telah dibuka oleh Raden Panji Singopatoko dapat disatukan yang jumlahnya mencapai seribu orang. Oleh karena Raden Panji Singopatoko dapat mempersatukan orang-orang lebih dari seribu maka beliau dianugerahi oleh Prabu Santi Puspo, Adipati Lasem jabatan sebagai penewu pada tahun 1485. 

Pada tahun 1492 Raden Panji Singopatoko alias Kyai Ageng Ngatoko alias Kyai Abdul Rahman, wafat. Sebelum wafat, beliau telah berpesan kepada keluarganya, kalau beliau meninggal supaya dimakamkan didekat masjid atau Tapakan Telogo Desa Karangasem yaitu Punthuk dekat Desa Watu Lintang, sebelah barat daya Goa Watu Gilang.

Setelah Raden Panji Singopatoko wafat, jabatan Penewu digantikan oleh putera beliau yang bernama Raden Panji Singonagoro. Sebagai penghargaan dan penghormatan masyarakat Dukuh Telogo dan masyarakat Desa Karangasem kepada Raden Panji Singopatoko alias Kyai Abdul Rahman, setiap tanggal 12 Bakda Maulud masyarakat menyelenggarakan peringatan wafat beliau atau haul bertempat di makam Kyai abdul Rahman di Tapaan Dukuh Telogo Desa Karangasem.

Kesimpulan

Dari cerita di atas sampailah kita kepada kesimpulan dari beberapa alternatif tentang sejarah asal-usul Desa Gedug, Karangasem, Ngatoko, Telogo, Tapaan, Kasingan. Adanya fakta-fakta sejarah seperti pembentukan pemukiman awal yang kemudian tumbuh menjadi kota, adanya tokoh penguasa daerah dan adanya wilayah kekuasaan.

Sedangkan dulu ternyata pusat kabupaten Rembang atau malah mungkin sebelum terbentuk kabupaten Rembang pusatnya berada di Lasem atau lebih tepatnya kadipaten Lasem, tapi seiring berjalannya waktu akhirnya sekarang berpindah ke kota Rembang sendiri dan jarak antara Lasem dengan kota Rembang kurang lebih 20 KM.

Berdasarkan sumber di atas penguasa pada saat itu yang tinggal di Kadipaten Lasem masih keturunan kerajaan Majapahit mulai dari Prabu Santi Puspo anak Prabu Santi Bodro. Prabu Santi Bodro anak Prabu Bodro Nolo dengan Puteri Cempo. Prabu Bodro Nolo anak Prabu Wijoyo Bodro. Prabu Wijoyo Bodro anak Prabu Bodro Wardono. Prabu Bodro Wardono anak Dewi Indu/ Dewi Purnomo Wulan/ Prabu Puteri Maharani dengan Rajasa Wardana. Dewi Indu adalah saudara sepupu Prabu Hayam Wuruk Wilotikto. Dewi Indu pernah menjadi ratu di Kadipaten Lasem. Jadi Prabu Santi Puspo masih keturunan raja-raja Majapahit. Menurut sumber lain juga mengatakan bahwa kabupaten Rembang keseluruhannya dulu juga daerah kekuasaan Majapahit yang terkenal sangat luas.

Pariwisata

Wana Wisata Kartini Mantingan

Tempat Rekreasi wanawisata yang dikelola oleh Perum Perhutani ini terletak di desa Mantingan Kecamatan Bulu Rembang, berdekatan dengan Makam R.A. Kartini. Fasilitasnya:
Konservasi tanaman
Kolam renang
Bumi Perkemahan
Koleksi satwa
Arena olahraga

Bumi Perkemahan Karangsari Park

Terletak di Desa Karangsari. Bumi Perkemahan ini pernah digunakan untuk menggelar Jambore Daerah Gerakan Pramuka Kwarda Jawa Tengah pada tahun 2007.

Sumber Semen

Merupakan hutan wisata yang dikelola oleh Perum Perhutani yang terletak di Kecamatan Sale Rembang. Tempat wisata yang terletak di tengah-tengah hutan lindung ini mempunyai fasilitas antara lain:
Pemandian/Kolam renang
Taman bermain anak
Bumi Perkemahan

Puncak Argopuro

Merupakan puncak tertinggi di Gunung Lasem dengan ketinggian 806 meter diatas permukaan laut. Tempat ini banyak dikunjungi oleh para pecinta alam dan penyuka kegiatan outdoor dari Rembang, Pati, Tuban dan lainnya. Jalur pendakian yang sering dilalui adalah melalui Nyode Pancur.

Pasujudan Sunan Bonang

Konon merupakan tempat berdakwah Sunan Bonang. Dan di tempat ini pulalah Sunan Bonang dimakamkan sebelum akhirnya mayatnya dicuri dan dipindah ke Tuban oleh murid beliau. Lokasinya terletak di Desa Bonang Kecamatan Lasem, tepat di atas bukit di sisi jalan Pantura. Setiap bulan Dzulqaidah diadakan acara haul. 

Obyek-obyek lainnya di sini adalah:
Batu bekas tempat bersujud Sunan Bonang
Bekas kediaman Sunan Bonang
Joran Pancing milik Sunan Bonang
Makam-makam kuno lainnya

Bukit Kajar dan sejarah nya

Konong merupakan sebuah Kadipaten yang dipimpin oleh Rasemi pada masa kerajaan Majapahit. 

Desa Kajar terletak di lereng Gunung Kajar, salah satu bagian dari Pegunungan Lasem. Dari kota tua Lasem atau jalan pantai utara Lasem, desa dengan sumber air yang melimpah itu berjarak sekitar 7 kilometer ke arah selatan.

Desa Kajar mempunyai empat peninggalan Kerajaan Majapahit. Peninggalan itu berupa batu tapak kaki Raja Majapahit yang dikenal dengan watu tapak, goa tinatah, kursi kajar, dan lingga kajar. Peninggalan itu tidak mengumpul di satu tempat, tetapi tersebar di sejumlah titik Gunung Kajar.

Kisah di balik peninggalan itu tidak terlepas dari sejarah Kadipaten Lasem pada masa Kerajaan Majapahit. Berdasarkan laporan ”Rekonstruksi Sejarah Kadipaten Lasem” garapan MSI Kabupaten Rembang, Kadipaten Lasem muncul setelah Tribuwana Wijayatunggadewi membentuk Dewan Pertimbangan Agung atau Bathara Sapta Prabu pada 1351.

Salah satu anggota Dewan Pertimbangan Agung adalah Dyah Duhitendu Dewi, adik kandung Hayam Wuruk. Setelah menikah dengan anggota Dewan Pertimbangan Agung yang lain, Rajasawardana, Dewi Indu tinggal dan menjadi penguasa di Lasem dengan gelar Putri Indu Dewi Purnamawulan, yang kemudian dikenal sebagai Bhre Lasem.

Dalam Nagarakertagama kisah Dewi Indu dan Rajasawardana tercatat di terjemahan Negarakertagama Pupuh V dan VI. Dalam Pupuh V Ayat 1 disebutkan, ”Adinda Baginda raja di Wilwatikta: Puteri jelita, bersemayam di Lasem Puteri jelita Daha, cantik ternama Indudewi Puteri Wijayarajasa”.

Begitu pula dalam Pupuh VI Ayat 1, ”Telah dinobatkan sebagai raja tepat menurut rencana Laki tangkas rani Lasem bagai raja daerah Matahun Bergelar Rajasawardana sangat bagus lagi putus dalam naya Raja dan rani terpuji laksana Asmara dengan Pinggala”.

Dalam pupuh yang sama pada Ayat 3 disebutkan, ”Bhre Lasem Menurunkan puteri jelita Nagarawardani Bersemayam sebagai permaisuri pangeran di Wirabumi Rani Pajang menurunkan Bhre Mataram Sri Wikramawardana Bagaikan titisan Hyang Kumara, wakil utama Sri Narendra”.

‎Desa Kajar, merupakan salah satu daerah terpenting Kerajaan Majapahit. Desa Kajar merupakan tempat memberikan pengetahuan serta ajaran agama dan moral kepada para pejabat, panglima, dan prajurit Kerajaan Majapahit.

”Kajar merupakan kependekan dari ’ka’ yang berarti kaweruh (pengetahuan) dan ’jar’ yang berarti ajaran,”

Bukan hal yang mengherankan jika pada 1354 Hayam Wuruk berkunjung ke Lasem dan Desa Kajar. Untuk mengenang kunjungan itu sekaligus sebagai prasasti tanda daerah kekuasaan Majapahit, Bhre Lasem membuat ukiran telapak kaki Hayam Wuruk di sebuah batu andesit di lereng Gunung Kajar.

Hingga kini, ukiran telapak kaki itu masih ada dan warga Desa Kajar meyakini ukiran itu sebagai bekas telapak kaki Hayam Wuruk. Warga kerap menyebut batu telapak kaki itu sebagai watu tapak.

Peninggalan-peninggalan lain Majapahit, seperti goa tinatah, kursi kajar, dan lingga kajar, juga menunjukkan peran penting Desa Kajar selama Majapahit berkuasa. Goa tinatah merupakan dua goa yang terletak di Gunung Kajar.

Goa pertama merupakan tempat menyepi pejabat atau panglima Majapahit. Goa itu hanya muat untuk satu orang. Goa kedua merupakan tempat para prajurit yang dibawa pejabat atau panglima Majapahit itu berjaga-jaga. Goa kedua itu dapat memuat sekitar 15 orang.

Setelah menyepi selama beberapa waktu di goa tinatah, pejabat atau panglima Majapahit itu disucikan dengan air Kajar. Dia duduk di sebongkah batu yang mirip kursi. Warga kerap menyebut kursi itu sebagai kursi kajar.

Selain itu, untuk menghargai Desa Kajar sebagai tempat yang membawa kesuburan bagi daerah lain karena banyak sumber mata air, Bhre Lasem membuat lingga berhuruf palawa di dekat lingga pada zaman batu dan salah satu mata air Kajar.

”Lantaran tidak terawat, huruf palawa di lingga itu sulit dibaca lagi. Begitu pula peninggalan-peninggalan Majapahit lain, misalnya kajar kursi, juga tidak terperhatikan. Batu itu tidak lagi menyerupai kursi karena telah hancur sebagian. ‎

 

Kyai Ageng Penjawi


Napak tilas di makam Ki Ageng Penjawimenjadi satu momen wisata sejarah untuk mengenang tokoh besar yang memimpin Kabupaten Pati pasca-wafatnya Adipati Tondonegoro karena kekosongan pemimpin. Ki Panjawi atau Ki Ageng Penjawi adalah keturunan ke 5 dari Bhre Kertabhumimelalui garis ayahnya Ki Ageng Ngerang III, ibunya adalah Raden Ayu Panengah putri Sunan Kalijaga dari isteri putri Aria Dikara. 

Semasa anak-anak sampai dewasa Ki Panjawi menerima gemblengan ilmu keagamaan dan ilmu pemerintahan (ilmu tentang tata pemerintahan yang dikuasai oleh Walisongo adalah mengadopsi gayakhilafah atau kesultanan islam jajirah Arab), disamping mendapatkan bekal ilmu dari Sunan Kalijaga, Ki Panjawi juga mendapatkan bimbingan ilmu spiritual dari Nenek dan Kakek-buyutnya yang masih keturunan Sunan Gresik.

Seperti halnya Sunan Kalijaga adalah anggota Walisongo yang dalam kegiatan lainnya menjadi Penasehat Raja/Kesultanan yang hidup di 3 generasi, Ki Penjawi juga selalu menjadi penasehat sahabat-sahabatnya yang juga kerabat dekatnya, seperti Ki Ageng Pamanahan,Panembahan Senopati, maupun murid-muridnya.

Ki Panjawi memilki putri yang bernamaPutri Waskita Jawi yang menjadi permaisuri Panembahan Senopati dengan gelar Kanjeng Ratu Mas, jadi Ki Penjawi juga disamping sebagai penasehat Panembahan Senopati besama-sama Ki Juru Martani dan Ki Ageng Pemanahan, Ia juga mertua yang dihormati Panembahan Senopati.

 Ki Ageng Penjawi adalah salah seorang yang mendapatkan hadiah berupa tanah di Kabupaten Pati dari Joko Tingkir atau Sultan Hadiwijaya karena jasanya menumpas Pangeran Arya Penangsang bersama dengan Ki Ageng Pemanahan, Ki Juru Mertani, dan Danang Sutawijaya.

Menurut penelusuran sejarah dari Direktori Pati, Kabupaten Pati pertama didirikan oleh Adipati Kembangjoyo yang saat itu menyatukan Kadipaten Carangsoka dengan Paranggaruda menjadi Kadipaten Pesantenan. Setelah Adipati Kembangjoyo wafat, kepemimpinan Kadipaten Pesantenan Pati dilanjutkan oleh putranya yang bernama Raden Tombronegoro. Setelah itu, Tombronegoro dilanjutkan oleh anaknya bernama Raden Tondonegoro.

Namun, Adipati Tondonegoro tidak memiliki anak sehingga kepemimpinan Kabupaten Pati dilanjutkan oleh para pembesar Kabupaten Pati, di antaranya Ki Ageng Plangitan, Ki Ageng Ronggowongso, dan Ki Ageng Jiwonolo. Bersamaan dengan itu, Ki Ageng Penjawi dihadiahi kekuasaan di tanah Pati oleh Joko Tingkir sebagai Raja Pajang dan Ki Ageng Penjawi disambut hangat oleh para pejabat dan masyarakat Pati.

Ki Ageng Penjawi lantas memiliki anak bernama Jayakusuma yang kemudian oleh Panembahan Senopati (pendiri dan raja Mataram Islam) mendapat julukan Raden Pragola. Adipati Pragola dikaruniai anak kemudian dijuluki Adipati Pragola 2.

Ki Ageng Penjawi sendiri merupakan keturunan Ki Ageng Ngerang, tokoh penyebar agama Islam di wilayah timur Pati atau Juwana yang merupakan guru Sunan Muria. Harus diakui, dari Ki Ageng Penjawi inilah kemudian lahir Raden Mas Jolang (Raja kedua Kesultanan Mataram) setelah kepemimpinan Panembahan Senopati.

Ki Ageng Penjawi memiliki putri bernama Waskita Jawi atau Roro Sari bergelar Ratu Mas yang diperistri oleh Penembahan Senopati pendiri Kesultanan Mataram dan dari perkawinan tersebut lahir Raden Mas Jolang yang meneruskan tahta ayahnya sebagai raja Kesultanan Mataram. Raden Mas Joyang bergelar Penembahan Hanyakrawati.

Melihat sejarah tersebut, Ki Ageng Penjawi termasuk salah seorang tokoh yang berpengaruh di jagat Nusantara. Di Kabupaten Pati sendiri, kabarnya Ki Ageng Penjawi memimpin dengan baik dan bijaksana sehingga dihormati oleh banyak kalangan. Terlebih, putranya bernama Wasis Joyokusumo bergelar Adipati Pragola Pati merupakan sosok tokoh sakti yang berani menentang pemerintahan Panembahan Senopati (kakak iparnya sendiri) karena Panembahan Senopati memiliki permaisuri lagi dari Madiun.

Dari sini, pecah perang antara Kabupaten Pati melawan Kesultanan Mataram. Mataram sendiri dibantu oleh negeri-negeri bawahan Mataram seperti Jepara, Kudus, Blora, dan Rembang. Meskipun begitu, Adipati Pragola sempat memukul mundur dan membuat pasukan Mataram kalang kabut kembali ke wilayahnya sebelum akhirnya Adipati Pragola kalah karena jumlah pasukan bala tentara dan wilayahnya kecil.

Sayangnya, makam Ki Ageng Penjawi tidak terawat. Pihak Pemerintah Kabupaten Pati sendiri tidak memperhatikan tokoh yang memiliki peran penting dalam sejarah perkembangan Kabupaten Pati ini. Kalau makam-makam lainnya diberikan papan dari Dinas Kebudayaan, Pariwisata, Pemuda dan Olahraga (Disbudparpora) Kabupaten Pati, makam Ki Ageng Penjawi malah tidak.

Untuk itu, napak tilas di makam Ki Ageng Penjawi menjadi penting untuk "melawan lupa" terhadap sejarah perkembangan Kabupaten Pati dari zaman ke zaman. Bahwa setelah kekosongan pemerintahan Kabupaten Pati lantaran Adipati Tondonegoro yang memiliki keturunan untuk melanjutkan tahta kepemimpinan di Pati, Ki Ageng Penjawi tampil mengisi kekosongan kepemimpinan Kabupaten Pati tersebut dan memiliki keturunan yang kemudian menjadi raja kedua di Mataram.

Makam Ki Ageng Penjawi terletak di sekitar Desa Randukuning (sebelah barat Desa Parenggan), Kecamatan Pati, Kabupaten Pati, tepatnya berlokasi di dalam pemukiman warga masuk gang Jalan Penjawi. Jalan Penjawi diambil dari nama besar Ki Ageng Penjawi.

Makam Adipati Pragola terletak di Dukuh Sani, Desa Tamansari, Kecamatan Tlogowungu, Kabupaten Pati, Jawa Tengah. Wisata sejarah di sini mengingatkan kita pada nilai perjuangan seorang tokoh pembesar Pati yang dalam perjalanan panjang sejarahnya membela bumi mina tani ini dengan hingga titik darah penghabisan.

Kenapa harus wisata sejarah atau wisata religi? Apa manfaatnya? Tentu saja untuk mengenang jasa-jasanya pada masa lampau sekitar tahun 1600 an saat memimpin Kadipaten Pati, terutama perjuangannya melawan Mataram di mana Adipati Pragola yang bernama lengkap Wasis Joyokusumo bersama seluruh elemen masyarakat Pati ingin mempertahankan kedaulatan Pati tanpa berada di bawah kekuasaan Mataram (sekarang Yogyakarta).

makam Adipati Pragola yang berada di puncak tertinggi perbukitan kawasan Sendang Sani terdiri dari sejumlah tokoh penting, misalnya Nawang Wulan, Nawangsih, termasuk istri Pragola.

Sementara itu, menurut sumber catatan yang kami temukan di buku sejarah Pati, kompleks makam Pragola tak lain adalah Adipati Pragola kedua, yaitu putra Wasis Jayakusuma. Sayangnya, Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Pati sama sekali tidak membedakan dan menjelaskan apakah makam yang terletak di puncak bukit Sendang Sani itu Pragolo yang kesatu atau kedua.

Suasana makam

Diakui atau tidak, suasana makam Adipati Pragola menyimpan sejuta misteri, mitos, kisah, cerita dan legenda yang bercampur padu. Kesan menyeramkan seketika menyelimuti pengunjung, meski sebetulnya bukan menjadi persoalan. Di sekeliling terdapat tempat pemakaman umum.

Jalan menuju makam dibuat semacam jalan setapak berundak yang terbuat dari batu semen berwarna hitam. Benar-benar eksotis. Sampai pada kompleks makam para pembesar Pati, di sana dikelilingi tembok yang terbuat dari batu bata merah yang sudah diselimuti lumut hijau.

Pada bagian pintu, terdapat besi berjeruji yang dikunci. Di dalam tembok kotak besar inilah terdapat tokoh-tokoh dan salah satu di antaranya Adipati Pragola. Kembali kami sayangkan, penjelasan teks dari Pemkab Pati samasekali belum memadahi untuk menjelaskan siapa saja yang ada di dalam kompleks makam.

"Makam Pragola Pati". Hanya teks itu yang dipampang dalam papan besi berwarna putih bertuliskan biru. Padahal, di sana terdapat sekitar 10 tokoh yang boleh jadi penting untuk diketahui publik. ‎

 

Doa Nabi Sulaiman Menundukkan Hewan dan Jin

  Nabiyullah Sulaiman  'alaihissalam  (AS) merupakan Nabi dan Rasul pilihan Allah Ta'ala yang dikaruniai kerajaan yang tidak dimilik...