Jumat, 20 November 2020

Sepenggal Kisah Wali Banyumas (Syaikh Abdus Somad)


Tulisan ini barangkali akan menjadi rintisan penggalian sejarah penyebar Islam di Banyumas, yang selama ini sangat dibutuhkan dalam mengelola berbagai informasi kekayaan sejarah lokal khususnya di wilayah Banyumas dan keterterkaitan dengan wilayah luar banyumas.

Dengan dikelolanya cagar budaya yang berkaitan dengan peristiwa masa lalu sejarah tempat dan para pelaku sejarah yang menghiasi peradaban, tentu akan sangat berguna bagi generasi yang akan datang dalam menerima berbagai warisan informasi. Perjalanan para pembawa agama khususnya di Banyumas, juga akan menjadi catatan sejarah yang berharga, bahwa agama-agama yang ada di wilayah Banyumas diperkenalkan dan di dakwahkan melalui waktu yang panjang dan kesabaran yang luar biasa dari para pelaku sejarah.

Jombor merupakan nama Grumbul di Desa Cipete Kecamatan Cilongok di Kabupaten Banyumas. Nama Desa ini selalu dikaitkan dengan keberadaan Syaikh Abdus Shomad yang merupakan ulama abad ke-16 dalam melakukan penyebaran Islam di Banyumas pada umumnya dan peranannya dalam meng-Islamkan masyarakat wilayah Cipete dan sekitarnya pada khususnya.

Terdapat beberapa versi tentang asal usul nama “JOMBOR” sebagai grumbul di mana Syaik Abdus Shomad berdakwah dan mengajarkan agama Islam khususnya di wilayah Cipete dan di Kabupaten Banyumas pada umumnya. Adapun versi-versi ini berdasar dari informasi baik keturunan / trah maupun masyarakat setempat antara lain :

1.
Lokasi yang sekarang didirikan Masjid  Baitus Shomad di RT. 02 RW. 03 Desa Cipete, adalah merupakan tilas yang konon pernah tumbuh sebuah pohon yang sangat lebat, rimbun dan besar. Tidak jauh dari pohon tersebut terdapat sungai yang mengalir dengan kejernihan air yang masih bersifat alami.

Kehadirannya di wilayah ini disambut warga dengan sikap positif. Sebelum mendirikan Padepokan ia harus  menginap dan istirahat di rumah warga. Meski penduduk setempat juga menyediakan tempat tinggal untuk beliau, namun ada hal yang dianggap masih kurang dimana dalam setiap rumah dan tidak ada tempat yang tersedia untuk beribadah menjalankan ibadah shalat, karena pada saat itu warga masih memiliki beragam kepercayaan.

Usaha lahir terus dilakukan oleh beliau melalui sillaturrahim (ngendong bahasa Jawa) dari rumah ke rumah ibarat sebagai orang pendatang, berbaur dengan warga dalam kerukunan bermasyarakat. Sedangkan usaha batin beliau melakukan mujahadah, berkhalwat atau menyepi mendekatkan diri terhadap Allah SWT, memohon pertolongan dan diberi kemudahan dalam melakukan dakwah dan penyebaran agama Islam terhadap warga setempat.

Mujahadah ini tentu membutuhkan ketenangan bathin, sehingga beliau memanfaatkan pohon besar yang rimbun sebagai tempat untuk menyepi, tanpa ada yang mengganggu ketenangannya. Konon di atas pohon sebagaimana yang disebutkan di atas, terdapat cabang yang datar yang memudahkan beliau duduk bersila melakukan dzikir. Cabang – cabang pohon yang masih rendah memudahkan beliau naik turun tanpa harus menggunakan tangga untuk naik ke atas.

Jalan antara pohon terdapat lokasi mata air berupa sumur yang dibuat beliau, yang setiap saat digunakan untuk berwudlu. Kegiatan naik turun pohon menuju ke lokasi air ini menyebabkan jalan setapak ini menjadi becek atau dalam bahasa Banyumas disebut Jember. Orang kemudian menyebutnya Jombor, sehingga terjadilah Jombor sebagai nama grumbul.

2.
Hampir di setiap wilayah, sebelum Islam diperkenalkan kepada masyarakat khususnya di Banyumas dan umumnya di luar wilayah, kebudayaan, adat istiadat serta kepercayaan masyarakat beragam dan bermacam-macam. Budaya membuat sesaji, (nyajeni bahasa Jawa) di tempat-tempat keramat, mengkultuskan batu besar, pohon, berjudi, main, minum serta perbuatan tercela lainnya masih sangat subur. Sebagai seorang musafir Syaikh Abdus Shomad tentu tidak serta merta melarang, membenci, atau pun mencemooh bagi pelakunya mengingat Sebagai seorang pendakwah Syaikh Abdus Shomad harus tetap istiqomah menunjukkan akhlak yang mulia terhadap mereka, mengingat mereka belum mengerti.

Jombor pada versi terbentuknya asal mula tempat adalah merupakan sebagian isi dari dakwah beliau, yang berupa ajakan yang di dalamnya terkandung keselamatan bagi manusia bagi yang menuruti nasehat-nasehatnya.

Beberapa orang menafsirkan bahwa asal-usul nama Jomboryang selalu dikaitkan dengan Nama Syaikh Abdus Shomad adalah merupakan isi misi dakwah beliau yang mengandung larangan. Misalnya kata Jo dalam kalimat Jawa “Ojo” (Jangan atau tidak boleh dalam bahasa Indonesia), diartikan sebagai larangan dan dikaitkan dengan sebuah ajakan.

JO
Ojo / Jo
M
Musyrik / munafik/ .............................dst
BOR
jo Boros

Jo musyrik, Jo Munafik, Jo Mungkar, Jo Maca Qur’an Lan nyenggol nek ra suci, Jo main, Jo medok Jo mabuk-mabukan, madat, Jo metani alane wong liyo, Jo mateni / mepet dalan pangane wong liyo, Jo meneih sesaji kanggo syetan, Jo merek-merek barang haram, Jo muwur , Jo mangan riba, Jo maling dunyo wong liyo, Jo mikir kumed sodaqoh, Jo mbelani perkoro salah, Jo Mbalelo, Jo mriksani barang kang haram, Jo mburu maksiyat, Jo mekso kekarepan ala, Jo mikir ninggal shalat wajib, Jo mikir ninggal puoso wajib, Jo mulang barang kang ala, Jo mituruti bisikan syetan, Jo moni padudon karo tetonggo, Jo mentelantarkan cah yatim, Jo masang sesrangkah dalan tetonggo, Jo mungkir, Jo mutus tali paseduluran, Jo mati ra nggowo iman, Jo melak-melik dunyo wong liyo, Jo mempeng golet dunyo nanging lali gusti Allah, Jo mbetitil, merem ngamal kanggo akherat, Jo mbanggel karo nasehate kyai, Jo mblenjani janji, Jo moni nyupatani karo sepada-pada, Jo minteri sepada-pada, Jo mbebani tanggungjawab marang wong kang ora mampu, Jo mbeler nggolet pangupa jiwo (kasab/pahal), Jo mangas ketipu nikmate dunyo, Jo mbeber alaning manungsa, Jo mlanggar toto aturaning masyarakat, Jo milih urip sesrawung, Jo Mubadzir. Dan dakwah-dakwah yang lain, karena hal tersebut hanya sekedar pendapat.

BOR dalam kalimat jomBORdiartikan sebagai ajakan oJo Boros. Pemborosan waktu yang berkaitan dengan umur manusia, jika dikonsentrasikan hanya untuk kepentingan dunia tanpa dibarengi dengan ibadah adalah kerugian yang besar. Bila manusia telah diperbudak harta maka hubungan dengan Tuhan menjadi jauh. Kehidupan manusia di dunia hanyalah sebentar karena umur manusia juga telah ditentukan Tuhan. Penghaburan harta untuk kesenangan duniawi menyebabkan seorang terjebak dalam israf. Apabila manusia telah jatuh pada kebangkrutan atau pailit maka ia lebih dekat kepada kefakiran dan kefakiran mendekatkan pada kekufuran.

Batas wilayah Jombor dari arah barat ditandai dengan sungai Kuyuk dan bagian timur dibatasi dengan sungai lembarang, bagian selatan berbatasan dengan grumbul Pejaten dan di bagian utara berbatasan dengan Desa Cirangkok.

Lokasi yang dulu digunakan untuk mujahadah sekarang didirikan Masjid dan Pondok Pesantren. Bangunan Masjid dan Pesantren yang dibangun oleh Syaikh Abdus Shomad, berupa panggung dengan bahan dasar kayu dan bambu, tepat di sebelah utara


NAMA CIPETE

Cipete merupakan nama Desa dimana Syaikh Abdus Shomad tinggal memiliki sejarah nama yang menarik. Ada dua versi untuk mengetahui asal-usul nama desa ini, antara lain :

1.
Wilayah Cipete pernah menjadi perebutan antara Kawedanan Karanglewas dengan (Pasir Luhur) dengan Kawedanan Ajibarang. Tarik menarik antara siapa yang berhak menguasai. Dengan berbagai kesepakatan dan perundingan diantara dua Kawedanan tersebut diambil kesepakatan bahwa wilayah yang sempit “Cupet” menjadi wilayah tersendiri, bukan bagian dari wilayah Kawedanan Ajibarang maupun Karanglewas (Pasir Luhur). Tokoh pendiri Desa saat itu hanya memberikan jawaban tentang tidak adanya keterpihakan dan ketidakkesiapannya untuk tunduk kepada kedua Kawedanan, dengan mengatakan, “ Panggonan KayaKiye Cupete Kok Degawe Rageg” ( Wilayah yang segini sempitnya kenapa menjadi keributan). Berawal dari kata Cupete berubahlah ungkapan menjadi Cipete.

2.
Bahwa kata Cipete berasal dari kata dalam bahasa Sunda. Hal ini beralasan mengingat Syaikh Abdus Shomad berasal dari Cirebon dan Sunda Kelapa, menantu-menantu beliau juga berasal dari Cirebon Sunda, sehingga terpengaruh budaya dan tradisi Sunda. Berdasarkan penelitian bahwa terdapatnya Kali Mengaji dan Kali Logawa, (di wilayah Ketapang Karanglewas) menjadi batas wilayah barat banyak dipengaruhi budaya Sunda atau Kerajaan Galuh Pakuwan atau Padjajaran. Bukti-bukti itu dapat di lihat dari nama-nama desa yang berawalan ci, seperti Cilongok, Cikawung, Cipete, Citamo, Ciberung dan lainnya.

Tercatat di dalam catatan silsilah Jombor sebagai berikut :

Dari Ayahnya :

1.      Prabu Munding Sari
2.      Ratu Galuh
3.      Siung Winara
4.      Prabu Lingga Wastu
5.      Prabu Lingga Hayang
6.      Prabu Lingga Wastu
7.      Prabu Lingga Larang
8.      Prabu Munding Kawati
9.      Prabu Silihwangi
10.  Banyak Cathra
11.  Banyak Roma
12.  Banyak Wiratha
13.  Banyak Kesumba
14.  Pangeran Senopati Mangkubumi
15.  Panembahan kertalangu
16.  Nyai Ageng Kembangan
17.  Kyai Singawedhana
18.  Asy-Syaikh Abdush Shomad Jombor

Dari Ibunya :

1.     Rasulullah Muhammad Saw
2.     Fatimah Az-Zahrah
3.     Sayidina Husain
4.     ‘Ali Zainal Abidin
5.     Muhammad Al-Baqir
6.     Ja’far As-Shadiq
7.     ‘Ali Al’ridhi
8.     Muhammad
9.     Isya Albasyari
10.  Ahmad Al Muhazir
11.  ‘Ubaidilah
12. ‘Uluwi
13.  ‘Abdul Malik
14.  ‘Abdullah
15.  Imam Ahmad Syah
16.  Jamaludin Akbar
17.  Najmudin
18.  ‘Abdullah
19.  Syarif Hidayatullah  (Sunan Gunung Jati Cirebon)
20.  Maulana Hasanudin
21.  Pangeran Sakethi
22.  Panembahan Kertalangu
23.  Nyai Ageng Kembangan
24.  Kyai Singawedhana
25.  Asy-Syaikh Abdush Shomad Jombor

Ada nama yang sama dikarenakan Kanjeng Senopati Mangkubumi berbesanan dengan Pangeran Saketi.

Syaikh Abdus Shomad lahir di Jawa Barat. Tanggal dan tahun kelahiran belum ditemukan. Beliau diperkirakan lahir pada abad ke-16 M. Data yang mendukung terdapat pada bekas prasasti kayu dengan huruf Jawa yang tertulis “Gebyog Iki Dibangun Ing Tahun 1817 Masehi. Gebyog adalah Cungkup makam Syaikh Abdus Shomad. Sedangkan bangunan makam tersebut dibangun oleh Mbah Kyai Muhammad Noer Zaman, yang dalam catatan silsilah keluarga Jombor merupakan keturunan ketujuh dari Syaikh Abdus Shomad.

Petunjuk lain yaitu antara Syaikh Abdus Shomad dengan Adipati Joko Kaiman terdapat hubungan besan. Hasanudin putra Syaikh Abdus Shomad dinikahkan dengan putri dari Adipati Joko Kaiman. Hubungan ini mengindikasikan adanya rentang masa kehidupan mereka dalam kurun waktu yang sama.

Beberapa tahun kenudian bangunan makam yang semula terbuat dari ijuk diganti dengan seng atas prakarsa Syaikh Abdul Malik (Kedung Paruk Purwokerto), seorang ulama Kharismatik dan Guru Besar Thariqah An-Naqsabandiyah Al-Khalidiyah dan Asy-Syadziliyah Indonesia, putra dari Syaikh Muhammad Ilyas Sokaraja, keturunan ke-empat Pangeran Diponegoro, bangswan dari Kesultanan Yogyakarta. Syaikh Abdul Malik Dari pihak ayah   yaitu Syaikh Muhammad Ilyas keturunan Kasultanan Yogyakarta, sedang dari pihak ibu keturunan Syaikh Abdus Shomad keturunan Padjajaran.

Setelah dari Makkah Syaikh Muhammad Ilyas dinikahkan dengan adik dari Syaikh Abdullah Kepatihan Tegal akan tetapi tidak dikaruniai keturunan, kemudian dinikahkan kembali dengan cucu Syaikh Andus Shomad yaitu Nyai Zainab, dan dikaruniai empat orang anak. Anak pertama laki-laki yang diberi nama Muhammad Asy’ad yang kemudian dikenal

MASA PENDIDIKAN

Masa muda Syaikh Abdus Shomad dihabiskan di Pondok Pesantren di Gunung Jati Cirebon Jawa Barat. Peluang karir untuk menjadi pejabat di lingkungan keraton seperti halnya suadara-saudaranya, tidak menarik perhatian bagi Syaikh Abdus Shomad muda.

Orangtuanya menyebutnya dengan filsafat tabuh beduk. Syaikh Abdus Shomad tidak tertarik menerima tongkat estafet pemimpin namun lebih tertuju kepada cita-citanmya menjadi seorang santri yang kelak mampu memberi manfaat kepada ummat dalam penyebar agama Islam dengan memilih tongkat tabuh / pemukul beduk yang adanya di longkungan pesantren / masjid.

Kehidupan keraton yang penuh dengan berbagai kesenangan dan berada di dalamnya adalah tingkat strata kehidupan yang tinggi, tentu tidak sama dengan kehidupan komunitas di Pondok Pesantren. Kehidupan serta kebutuhan diri memperpanjang kehidupan di Pondok dengan seluruh suka dan duka tidak merubah pendirian untuk terus “ngalap berkah ilmu sang kyai” hingga pada akhirnya sang kyai menganggap sebagai santri terbaik dengan menguasai ilmu-ilmu agama sebagai bekal pengembaraan melakukan dakwah Islam.

PERJALANAN DAN PERJUANGAN DAKWAH ISLAM

Setelah Syaikh Abdus Shomad dinyatakan lulus dengan prestasi terbaik, beliau pamit pulang dan oleh gurunya diberi petunjuk untuk berjalan ke timur ke arah selatan, setelah sebelumnya ia menetap beberapa tahun di Sunda Kelapa dan Cirebon, untuk melakukan dakwah di sana.

Kebiasaan Syaikh Abdus Shomad untuk bermujahadah seperti yang dilakukan di pesantren terus dilakukan, hingga satu waktu ketika beliau sedang menyepi bermujahadah di bawah pohon kelapa dalam suasana malam yang gelap serta rimbunnya tumbuhan disekitar hutan, telah merubah konsentrasi beliau ketika seekor ular besar mendekat. Dalam menghadapi ancaman tentu Syaikh Abdus Shomad tidak menyandarkan pada takdirnya sendiri. Bagaimana pun ia harus berusaha menghindar dari berbagai kemungkinan ancaman yang dihadapi dengan naik ke atas pohon kelapa agar konsentrasi mujahadah terus dapat dilakukan. Hingga menjelang pagi ular bukan malah pergi tetapi malah melilit pohon kelapa dimana beliau berada di atas.

Perjalanan selanjutnya menuju Pantai Selatan, yaitu Cilacap, menuju Kampung laut Kelapa Kerep. Kelapa Kerep konon adalah kelapa yang dirapatkan yang digunakan sebagai rakit.

SINGGAH DI JINGKANG-SAWANGAN

Sebelum Syaikh Abdus Shomad sampai di Jingkang Sawangan yang saat ini masuk wilayah Ajibarang, telah terjadi penyebaran Islam yang dilakukan oleh Mbah Munhasir, yang diyakini merupakan pendatang dari Sriwijaya-Palembang dan menetap di wilayah ini.

Mbah Munhasir dengan demikian adalah tokoh yang berperan dalam membuka hutan menjadi wilayah desa dibantu beberapa orang lokal, hingga kemudian Mbah Munhasir mendapat jodoh putri Redja Wikrama tokoh lokal yang telah memberikan fasilitas selama melakukan dakwah.

Pembukaan hutan menjadi areal desa telah menarik perhatian penduduk di luar wilayah Jingkang-sawangan sekitar berdatangan menuju kepada kehidupan baru di tempat ini.

Keadaan tersebut berlangsung dalam waktu yang lama, sehingga Mbah Munhasir merasa perlu untuk mendirikan Padepokan di wilayah Jingkang-Kalisari sebagai tempat berbagi ilmu-ilmu agama Islam dan ilmu-ilmu kanuragan. Setelah Mbah Munhasir wafat kepemimpinan padepokan diserahkan kepada putranya Mbah Sahidin. Setelah dua tokoh tersebut wafat tidak ada generasi berikutnya yang menyiarkan Islam di Ajibarang, sampai hadirnya Syaikh Abdus Shomad.

Syaikh Abdus Shomad sendiri sebenarnya hanya berniat singgah karena statusnya adalah sebagai musafir. Namun ketika keberadaan di tempat ini banyak diminta penduduk lokal akhirnya beliau bertahan beberapa tahun melanjutkan dakwah dari para pendahulu tokoh agama di wilayah ini.

Bersama dua pengikutnya yang merupakan santri Syaikh Abdus Shomad, yakni Mbah Bagus santri dan Mbah Bujang Santri, terus menerus melakukan dakwah sambil terus membuka lokasi hutan menjadi areal perkampungan. Ketika perjalanan masih terus berlanjut kedua santrinya wafat dan dimakamkan di Sawangan-Jingkang.

SINGGAH DI PEJATEN

Pejaten sekarang adalah grumbul di wilayah Desa Cipete Kecamatan Cilongok Banyumas. Grumbul Pejaten merupakan alas hutan jati, sebelum dibuka menjadi areal tempat tinggal.

Setibanya di Pejaten beliau melakukan laku ritual mujahadah di atas batu cadas Sungai Tenggulun. Bersamaan dengan itu, Nyai Sakheti putri tunggal Mbah Kroya atau Mbah Sukma Sejati, seorang tokoh yang tinggal di Bantuanten (2 km dari wilayah Pejaten) tengah mengalami sakit keras dan belum mendapatkan obat yang mampu menyembuhkan penyakit yang diderita putrinya.

Satu hari Mbah Kroya mendengar suara seperti gemuruh ombak, mirip suara kawanan lebah. Untuk memastikan bahwa sumber suara bukan ombak atau suara lebah namun berasal dari suara manusia, maka Mbah Kroya mengutus para pembantunya untuk mencari. Para pembantunya merasa tertegun setelah menemukan sumber suara itu adalah lafadz dzikir yang dilakukan oleh Syaikh Abdus Shomad yang duduk melakukan mujahadah di atas batu cadas sungai Tenggulun.

Percakapan para pembantunya di hadapan Syaikh Abdus Shomad telah mengundang naluri kemanusiaan Syaikh Abdus Shomad untuk bersilaturrahmi bertemu dengan Mbah Kroya dengan membawa air menggunakan daun talas dari sungai Tenggulun.

Pertemuan antara Mbah Kroya dengan Syaikh Abdus Shomad menumbuhkan rasa bangga diantara keduanya, karena mereka sama-sama bersasal dari wilayah Jawa Barat. Sampai beberapa hari kemudian Nyai Sakheti binti binti Mbah Kroya / Mbah Sukma Sejati dinikahkan dengan beliau Mbah Abdus Shomad.

Bantuanten berasal dari kata Bantuan atau Pertolongan dan Banten. Menilik dari sejarah terbentuknya desa Bantuanten tidak terlepas dari sosok Mbah Kroya sendiri. Mbah Kroya beserta beberapa pengikutnya pernah turut memberikan bantuan dalam sebuah peperangan yang melibatkan Kesultanan Banten. “Mbantu Banten”. Julukan  Mbah Kroya atau Mbah Sukma Sejati tidak lain karena Kroya merupakan grumbul tempat dimana beliau dimakamkan di pinggiran Sungai Tenggulun. Sedangkan adik laki-lakinya yang bernama Mbah Jati Kusuma dimakamkan di Kedung Makam Desa Bantuanten.

BERMUKIM DI JOMBOR

Setelah tinggal beberapa lama di Tempat Mbah Kroya bersama istri, maka Syaikh Abdus Shomad melanjutkan perjalanan ke wilayah Desa Cipete tepatnya di grumbul Jombor.

Perjalanan dari Bantuanten ke wilayah Cipete, harus melalui jalan setapak penghubung antara grumbul Pejaten, Jombor Selatan dan Jombor Kauman. Dengan menyusuri jalan yang jarang dilalui, Syaikh Abdus Shomad sesekali harus memastikan bahwa jalan yang sedang dilalui bukan jalan yang dilalui hewan-hewan buas.

Dalam perjalanan tersebut secara tidak sengaja beliau melihat anak harimau yang jatuh ke jurang sempit dan tidak mampu melompat ke atas karena tubuhnya terbelit akar. Terlihat sudah berhari-hari anak harimau itu tidak mampu melompat dan induknya tidak mampu menolongnya. Melihat ketidakberdayaan anak harimau tersebut Syaikh Abdus Shomad segera menurunkan barang bawaan sementara sang istri menunggu sambil berharap penuh kecemasan, karena berada di tengah hutan yang gelap oleh rimbunnya pohon-pohon besar.

Anak harimau yang terus bergerak agaknya cukup menyulitkan beliau untuk mengangkat ke atas. Pada saat tubuhnya hampir sampai di ujung jurang, anak harimau terus meronta hingga menimbulkan suara yang mengundang perhatian induk semangnya. Istrinya yang melihat kehadiran induknya yang bertubuh besar datang dan langsung hendak menerkam Syaikh Abdus Shomad. Namun beberapa saat harimau yang besar itu dapat ditaklukkan.

Di Jombor inilah menjadi tempat mukim Syaikh Abdus Shomad hingga akhir hayatnya. Konon Syaikh Abdus Shomad sempat menikah lagi dengan Nyai Saketi binti Mbah Abdul Salam, kakak seperguruan yang pernah bersama nyantri di Pesantren Cirebon.

Syaikh Abdus Shomad pada saat masih bersama di Pesantren pernah membuat perjanjian pada saat akan meninggalkan Pesantren, bahwa bila pada saat nanti Mbah Abdul Salam memiliki anak perempuan, maka akan dinikahkan dengan  Syaikh Abdus Shomad. Barangkali perjanjian itu hanya obrolan biasa sebagai seorang santri. Waktu telah berlalu dan Syaikh Abdus Shomad hampir sudah melupakan perjanjian yang tidak resmi tersebut. Namun perjanjian tersebut barangkali terdengar oleh Allah, sehinga merupakan do’a bagi Syaikh Abdus Salam. Rupanya perjanjian tersebut terus dipegang oleh Mbah Abdul salam, sehingga beliau mencari Syaikh Abdus Shomad untuk menepati perjanjiannya menuju Jombor bersama puterinya Nyai Sakheti ( nama sakheti adalah gelar bagi wanita bangsawan yang memiliki strata sosial tinggi). Setelah Mbah Abdul salam berada di Jombor, oleh Syaikh Abdus Shomad diminta untuk tetap tinggal di Jombor.

Penggalian informasi tentang istri dan keturunan yang di tinggal di Cirebon, sebelum mukim di Jombor juga belum tergali, dan lacak informasi keterangan tentang pernikahan Syaikh Abdus Shomad dengan Nyai Sakethi binti Mbah Abdus Salam, terutama pada anak keturunan dan sejarah Mbah Abdus Salam. Apakah silsilah keturunan syaikh Abdus Shomad hingga sekarang adalah pernikahan dengan Nyai Saketi binti Mbah Kroya /  Mbah Sukma Sejati ataukah keturunan pernikahannya dengan Nyai Saketi binti Abdus Salam, namun besar kemungkinan adalah pernikahan dengan Nyai Sakheti binti Mbah Kroya / Mbah Sukma Sejati, yang telah menerunkan ulama-ulama besar di Banyumas dan sekitarnya.

Mbah Abdus Salam sendiri disamping sebagai seorang ulama beliau juga seorang yang ahli dalam urusan tata pemerintahan . Dan seorang yang pandai berpidato atau ketib. Gagasan tentang tata aturan pemerintahan saat itu menjadi Inspirasi para pengelola wilayah baik Kesultanan maupun tingkat pemerintahan kawedanan.

Peran agama dan pemerintahan dijalani oleh Mbah Abdus Salam di wilayah Gununglurah saat itu. Kehebatannya dalam mendidik calon-calon pemipin, telah menerbitkan nama harum Gununglurah-Cilongok sebagai basis kampung para pemimpin, sehingga dinamakan Gunung Lurah.

Selama tinggal di Gununglurah ini, Mbah Abdus Abdul Salam banyak menerima tamu yang sengaja tukar kawruh tentang ilmu-ilmu pemerintahan. Beliau wafat dimakamkan di pekuburan umum Desa Gununglurah. Makamnya tidak pernah sepi dari para peziarah, terutama mereka yang memiliki hajat ingin mencalonkan diri mengabdi kepada negara atau pun Kepala Desa

Setelah Abdus Shomad merasa bahwa Jombor adalah pilihan terakhir untuk mengemban amanat sang guru dalam menyebarkan Islam di wilayah Kabupaten Banyumas, maka dengan bantuan warga sekitar diberi tanah sesuai dengan kebutuhan untuk mendirikan bangunan berupa Padepokan sebagai rumah berbagi ilmu agama Islam dan ilmu-ilmu yang lain yang diperlukan masyarakat saat itu.

Sebelum Syaikh Abdus Shomad menetap di Jombor dan mendirikan Padepokan telah ada seseorang yang dianggap tokoh / Kamitua / Sesepuh yang cukup disegani, meski dia sendiri bukan seorang kyai dan hanya seorang kamitua yang ahli dalam ilmu-ilmu kejawen. Agaknya sang kamitua ini merasa tersaingi dengan kehadiran beliau Syaikh Abdus Shomad. Dengan berbagai keilmuan “Kejawen” kamitua ini terus menanam permusuhan meski sebenarnya Syaikh Abdus Shomad tidak pernah berfikir untuk mengalahkan, namun karena kesombongan sang kamitua ini akhirnya kalah pamor.

Latar belakang keilmuan Kejawen yang diperoleh Kamitua / Sesepuh tersebut juga tidak jelas, bahkan berseberangan dengan ilmu-ilmu yang diajarkan Syaikh Abdus Shomad. Apakah keilmuan yang diajarkan diperoleh melalui guru atau pun dipelajari dari nenek moyangnya. Dalam bidang ilmu agama Islam yang dimiliki agaknya masih dangkal, karena tidak mampu mengangkat dirinya dalam status julukan kyai saat itu. Namun dari segi pamor agaknya luar biasa. Rumahnya tidak pernah sepi dari kehadiran warga sekitar untuk memohon petunjuk atau pepadang.

Kehebatan dalam menguasai ilmu klenik / Kejawen ini cukup untuk menarik perhatian sampai di luar Jombor. Pamor yang dimiliki kamitua ini juga menyebabkan kedudukan keluarga dan dirinya semakin kuat bertahan puluhan tahun di grumbul Jombor.

Dengan mukimnya Syaikh Abdus Shomad, Sang Kamitua menganggap bahwa kehadiran Syaikh Abdus Shomad di Jombor dianggap sebagai tandingan pamor bagi dirinya. Melalui propaganda yang dihembuskan kepada warga dan orang-orang yang datang di kediamannya, Kamitua ini terus memperkuat keadaan dirinya.  Dengan berbagai alasan Syaikh Abdus Shomad dianggap telah merubah adat tradisi dan tatanan yang telah berlaku dari generasi ke generasi, dan itu merupakan sebuah ancaman yang bersifat pribadi di mata masyarakat. Namun demikian dakwah tetap dilakukan dengan kesabaran hingga masyarakat setempat benar-benar meninggalkan tradisi-tradisi musyrik serta mengembangkan tradisi yang disentuh dengan ruh Islami, sebagai upaya media dakwah saat itu.

SYAIKH ABDUS SHOMAD DAN PENGELOLAAN PADEPOKAN

Ketika Syaikh Abdus Shomad menetap di Jombor usianya memang mendekati usia-usia 60 tahun. Usia tersebut tergolong usia senja menuju usia masa tua.

Kegiatan dakwah dilakukan di lingkungan Padepokan, karena secara fisik Syaikh Abdus Shomad tidak lagi sekuat dan memiliki energi yang penuh untuk melakukan keliling di wilayah Jombor dan sekitarnya.

Namun demikian Syaikh Abdus Shomad mendapat perhatian masyarakat di lingkungan di luar Desa Cipete sangat luar biasa, karena berita dari mulut ke mulut tentang kehadiran seorang ulama pembawa agama Islam semakin banyak yang singgah dan menetap di Kabupaten Banyumas saat itu. Para penuntut ilmu pun datang silih berganti hingga Syaikh Abdus Shomad wafat.

PENERUS PERJUANGAN

Dari sumber silsilah keluarga Jombor, disebutkan bahwa Syaikh Abdus Shomad memiliki tiga orang keturunan, dua laki-laki dan satu perempuan, masing-masing bernama, Nyai ‘Ali, Nadzmudidin dan Hasanudin (Mbah Lambak).

Nyai ‘Ali nikah dengan Kyai Zainal Ali dari Cirebon. Keturunan dari Nyai ‘Ali dengan Kyai Zaenal inilah yang kemudian meneruskan perjuangan Islam di Jombor dan turun temurun menjadi perawat (kuncen) makam Syaikh Abdus Shomad, sampai sekarang.

Anak keturunan Nyai ‘Ali dengan Kyai Zaenal Ali tersebar di beberapa wilayah, seperti di Ajibarang, Pasiraman, Cikawung, Kali Benda, Citomo, Kroya, Sumpiuh, Sokaraja, Sawangan-Purwokerto, Wangon, Purbalingga, Bajarnegara, Blitar (Jawa Timur) sampai ke Lampung (Sumatera). Sedangkan Hasanudin atau yang dikenal dengan Julukan Mbah Lambak tinggal menetap di Banyumas dan dimakamkan di Dawuhan Banyumas.

Mbah Ketib Arum (Ketib Arum adalah putera dari Kyai Ali Muhammad dan Kyai Ali Muhammad adalah putera dari Kyai Muhammad dan Kyai Muhammad adalah putera tunggal dari Nyai ‘Ali sedang Nyai ‘Ali adalah puteri dari Syaikh Abdus Shomad). Dikenal sebagai tokoh ulama sekaligus orang yang pandai dalam berpidato (ketib). Pernah menjadi penghulu, sebuah lembaga pemerintahan bentukan Kolonial Belanda serta giat menekuni olah kanoragan.

Setelah semua keturunan Mbah Ketib Arum ini wafat, Padepokan dipindahkan ke Jombor Tengah atau kauman, karena pertimbangan keluarga / kerabat sebagian menetap di tempat ini, dan awal Syaikh Abdus Shomad pertama kali sering melakukan mujahadah juga di tempat ini. Selanjutnya Padepokan di asuh oleh Mbah Kyai Muhammad Sulaiman, yang merupakan menantu sebelumnya. Mbah Kyai Sulaiman ini adalah keturunan dari Adipati Mruyung Ajibarang.

Berikut adalah generasi penerus yang mengembangkan Pondok Pesantren di Jombor :

1.
Mbah Kyai Zainal ‘Ali
2.
Mbah Kyai Achmad Muhammad
3.
Mbah Kyai ‘Usman ‘Ali
4.
Mbah Kyai ‘Ali Muhammad
5.
Mbah Kyai Ketib Arum
6.
Mbah Kyai Zainal ‘Ali
7.
Mbah Kyai Munadha
8.
Mbah Kyai Marhani
9.
Mbah Kyai Muhammad Ikhsan
10.
Mbah Kyai Muhammad Sulaiman
11.
Mbah Kyai Muhammad Noer Zaman
12.
Kyai Abdurrahman

Sekitar tahun 1960 an keberadaan Pondok Pesantren, mengalami masa-masa fakum. Pengelolaan peninggalan Syaikh Abdus Shomad berkisar pada perawatan makam Syaikh Abdus Shomad, pengelolaan masjid, pengembangan lembaga pendidikan seperti Madin, Majlis Taklim, dan Madrasah Ibtidaiyah. Dari kepemimpinan Kyai Abdurrahman menurun pada  generasi berikutnya seperti :

1.
Kyai Muhiddin - Menantu
2.
Kyai Mas’ud (puetra pertama Kyai Abdurrahman)
3.
Kyai Humam Mas’udi (putera Kyai Mas’ud)
4.
Kyai Abdullah Sajad (keturunan kesembilan  Syaikh Abdus Shomad) Koordinator pengurus makam, yang merupakan putera dari Kyai Muhammad Hasan Tayyib (kuncen terdahulu) dengan puteri ketiga dari Kyai Muhammad Noer Zaman yaitu Nyai Kusrinah.

Setelah waktu berlalu lama akhirnya Pondok Pesantren kembali dibangun di wilayah Jombor oleh Kyai Muhdi bin Kyai Muhidin. Kyai Muhdi adalah keturunan kesepuluh dari Syaikh Abdus Shomad Jombor. Sementara di Jombor Kauman menjadi pusat pengelolaan lembaga pendidikan seperti, Madin, Madrasah, Majlis taklim.

KAROMAH SYAIKH ABDUS SHOMAD

1.
Menimba Emas

Dikisahkan setiap kali beliau berhadast, beliau turun untuk mengambil air wudlu. Ketika Syaikh Abdus Shomad menggunakan periuk atau kendi sebagai timba untuk mengambil air, kemudian secara perlahan diangkat ke atas terdapat keanehan, sebab periuk atau kendi yang sedang diangkat ke atas terasa berat dan harus mengeluarkan tenaga yang lebih. Alangkah terkejutnya ketika periuk yang telah menyentuh bibir sumur, terlihat bukan hanya berisi air tetapi sebagian dari badan periuk berisi bongkahan emas yang lebih besar dari periuk yang digunakan untuk timba.

Sadar bahwa beliau sedang diuji oleh Allah, SWT segera ia beristighfar dan berdo’a, mengadu bahwa bukan harta duniawi yang beliau pinta, namun pertolongan, kekuatan, kesabaran serta ridlo Allah SWT dalam memperjuangkan Agama Islam, di tempat yang baru, budaya masyarakat yang bermacam-macam serta kepercayaan yang beragam, hingga kemudian beliau melemparkan kembali emas tersebut ke dalam sumur.

2.
Membungkam Gong

Konon tradisi kesenian seperti wayang, kuda lumping dan kesenian yang mempergunakan gong, kenong atau benda lain sebagai alat musiknya, tidak akan berfungsi atau berbunyi apabila di bunyikan di wilayah Jombor. Dalam sejarahnya sampai hari ini, belum pernah di jombor ada pagelaran wayang, ronggeng, tayub ataupun kuda lumping.

Keadaan ini mengisyaratkan sejarah tersendiri bagi warga setempat. Bagi kebanyakan orang hal tersebut mungkin sudah mafhum, bahwa itu merupakan Karomah yang dimiliki Syaikh Abdus Shomad, mengingat jasad beliau dimakamkan di tanah ini. Karomah tersebut pada dasarnya tidak bisa dinalar sebab itu kekuasaan Allah. Namun bagi kebanyakan orang tentu hal ini menjadi sesuatu yang menarik untuk dikaji akar peristiwa yang melatar belakangi.

3.
MEMBUAT “KEDER” SERDADU BELANDA

Karomah ini tidak saja terjadi ketika Syaikh Abdus Shomad masih hidup, bahkan setelah beliu wafat pun masih dapat dirasakan di lingkungan sekitar Jombor. Diantara karomah yang terjadi setelah beliau meninggal antara lain membuat bingung atau Keder. Keder yang sering terjadi pada kita terkadang seputar arah dan tempat serta menjadi linglung meskipun kita sebenarnya sadar


Pada masa penjajahan Belanda, para serdadu Belanda bukan hanya berusaha merebut dan menguasai pusat-pusat kota di sekitar Banyumas, namun seluruh pelosok di wilayah Banyumas ini tidak lepas dari kegiatan operasi, untuk memburu para tentara Indonesia yang bersembunyi di wilayah pedesaan.

Para serdadu Belanda ini konon mengalami hal aneh dan tidak mampu membuat keputusan operasi penyergapan atau pun penyerangan terhadap markas tentara Republik, ketika akan masuk ke Desa Cipete.

Semua jalan yang menuju Desa Cipete, dianggap sebagai jalan buntu, yang tidak memungkinkan untuk dilalui mobil-mobil perang serta terhamparnya jurang dan bukit yang tidak memungkinkan serdadu yang berjalan kaki untuk turun dan mendaki. Dengan keaneha-keanehan tersebut para serdadu Belanda kemudian mengalihkan dan berbalik mencari jalan yang lain.

Meski telah menemukan jalan lain menuju Desa Cipete, namun para Serdadu Belanda ini mengalami keanehan lain yang sama pada peristiwa kejadian pertama. Akhirnya para tentara Belanda ini hanya bisa berhenti di perbatasan desa, bingung karena jalan yang dilalui terlihat seperti jalan yang pertama kali dilalui.

Hal itu berlaku bagi seluruh Serdadu Belanda, meskipun kompi / pasukan yang berbeda-beda pasti akan mengalami hal yang sama, baik mereka yang datang dari arah barat (Ajibarang) maupun mereka yang datang dari arah timur (Purwokerto).

PENINGGALAN-PENINGGALAN SYAIKH ABDUS SHOMAD

1.
Masjid Baitus Shomad Jombor, yang merupakan petilasan beliau melakukan kegiatan mujahadah.

2.
Pohon Kayu Nagasari yang berada di lokasi makam Syaikh Abdus Shomad, yang telah berusia ratusan tahun yang di tanam di kompleks makam dan digunakan sebagai tanda di tempat tersebut dimakamkan pula keturunan Syaikh Abdus Shomad. Hal yang sama juga ditemukan pada komplek makam Mbah Lambak (Mbah Hasanudin) di sebelah selatan makam Joko Kaiman.

3.
Sebuah Bedug yang terbuat dari kayu sidagurih. Terdapat tiga bedug yang dibuat, satu bedug di bawa ke ke Demak, satu di bawa ke Purwokerto dan satu ada di Jombor.

-------------+++----------------+----------------------------------------------------------------------

Demikian sejarah singkat perjalanan Syaikh Abdus Shomad Jombor, ulama yang memiliki karomah yang tinggi yang telah berperan dalam menyebarkan Agama Islam di Banyumas.

Penampilannya yang bersahaja, akhlaknya tinggi, kedalaman ilmu dalam bidang Tasawuf / Tarekat, Aqidah, Fiqih / mu’amalah, telah menempatkan beliau sebagai ulama yang disegani pada zamannya. Sedangkan karya-karya beliau yang bersifat tertulis dan sebagainya juga belum tergali.

Karomah dan do’a-do’anya telah memberi pencerahan bagi penduduk setempat baik ketika masih hidup maupun setelah beliau wafat. Maqamnya yang berada di Jombor tidak pernah sepi dari para pengunjung yang sengaja datang untuk berziarah, mendo’akan dan berdo’a di dekat maqam seorang wali yang memiliki karomah. 

Mudah-mudahan tulisan rintisan ini akan menjadi berkembang menuju pada penggalian Koreksi dan informasi yang lebih lengkap dan sangat berguna bagi Masyarakat Banyumas dan sekitarnya.‎

 

Sejarah Situs Rogoselo


Doro adalah sebuah kota kecamatan kecil yang berada di arah timur kota Kabupaten Pekalongan yang berpusat di Kajen. Sebagai kota kecil yang berada di bawah kaki gunung Rogojembangan, Doro memiliki suhu relatif sejuk.

Selain tanaman industri seperti karet, pinus dan teh, Doro juga dikenal sebagai penghasil buah durian dan rambutan, bersanding dengan kecamatan Karanganyar di sebelah barat, serta kecamatan Talun di sebelah timur. Secara umum wilayah Doro lebih didominasi area perkebunan daripada area pertanian.

Di tengah area perkebunan karet, di desa Rogoselo, terdapat sebuah situs (areal temuan benda purbakala), yang dikenal oleh masyarakat sebagai patung Baron Sceber.

Keberadaan patung Baron Sceber, telah melahirkan cerita rakyat yang kental dengan hal-hal irrasional. Misalnya cerita tentang pertarungan antara Baron Sceber dengan Ki Ageng Atas Angin atau Ki Ageng Penatas Angin, biasa juga disebut Ki Penatas Angin.

Sekilas Legenda  “Baron  Sceber” 

Baron van Sceber, begitu nama lengkapnya, adalah seorang prajurit dari Spanyol.  Baron Sceber merasa iri kepada kakaknya yang menjadi raja, sementara dari tahun ke tahun ia hanya menjadi prajurit biasa. Karena ambisinya menjadi raja, iamemutuskan mengembara mencari daerah baru, menaklukkan rajanya, kemudianmenjadi penguasa di daerah baru tersebut.

Dalam pengembaraannya, untuk memenuhi ambisinya, Baron Scebermengabdi pada Belanda yang memiliki daerah jajahan sangat luas di nusantara.

Pengabdiannya pada Belanda membawanya ke tanah Jawa. Ambisinya menjadi raja yang meledak-ledak, membawanya ke depan Pendopo Agung kerajaan Mataram

Di depan Pendopo Agung, Baron Sceber menantang Panembahan Senapati dengan taruhan yang menang akan menjadi penguasa di Jawa. Dalam pertarungan sengit, Baron Sceber kalah dan melarikan diri ke Pati.

Di Pati, Baron berulah kembali dan menantang Adipati Jaya Kusuma. Pertarungan tidak dapat dielakkan. Kembali Baron kalah, lantas melarikan diri ke Pekalongan disusul oleh istrinya yang datang sambil menggendong bayi.

Sampai di tepi sungai Nggoromanik, di Pekalongan, Baron bertemu dengan Ki Ageng Atas Angin. Ambisi Baron menjadi penguasa tak pernah padam, karena itu terhadap Ki Ageng Atas Angin pun dia melayangkan tantangan.

Tantangan pertama berupa pertarungan udara. Dalam pertarungan udara ini Baron menggunakan pesawat yang cukup canggih di masa itu. Baron merasa unggul berada di udara, karena dia pikir Ki Ageng Atas Angin tak mungkin bisa mengimbanginya.

Tetapi yang terjadi sungguh di luar dugaan, karena tiba-tiba saja tubuh Ki Ageng Atas Angin melesat ke udara, dan pertarungan di atas udara pun tak terelakkan.

Dalam pertarungan udara yang berlangsung seru, Ki Penatas Angin berhasil memaksa Baron Sceber turun ke darat. Belum puas atas kekalahannya dalam pertarungan udara, Baron melanjutkan dengan pertarungan darat. Dalam pertarungan darat pun Baron menelan kekalahan. Akhirnya sebagai pertarungan pungkasan atau terakhir, diputuskan untuk diadakan adu kesaktian dengan cara menyelam di dasar sungai. Pertarungan jenis ini pun dimenangi oleh Ki Ageng Penatas Angin.

Baron Sceber benar-benar orang yang keras kepala, ia tetap tidak mau menyerah dan merencanakan jenis pertarungan baru. Tapi sebelum ia melaksanakan niatnya, Ki Ageng Penatas Angin sudah hilang kesabaran dan mengutuknya menjadi batu.

Istrinya yang terkejut melihat perubahan tubuh suaminya menjadi batu, ia menjerit histeris seraya berlari memeluk tubuh suaminya. Karena perbuatannya itu, akhirnya ia juga ikut menjadi batu.

Sampai sekarang ada dua patung (arca) batu di situ. Satu patung diyakini sebagai patung Baron Van Sceber, patung satunya lagi diyakini sebagai patung Nyi Baron Sceber.

Penamaan Tempat

Keberadaan patung berupa tubuh (Bhs. Jawa: raga/rogo) yang terbuat dari batu (Bhs. Jawa: selo), telah melahirkan nama tempat tersebut menjadi Rogoselo, yang berarti tubuh dari batu.

Secara fisik patung Baron Sceber ini hanya berupa patung setengah badan, dibuat kasar dengan bentuk kepala besar dan sepasang mata yang dipahat melototlebar (menyerupai raksasa dalam dongeng-dongeng).

Gambaran patung yang demikian juga mirip dengan deskripsi wajah tokoh butodalam dunia pewayangan. Karena itu orangjuga menyebut nama situs tersebut dengan nama situs Watu Buto.‎

Kearifan Lokal

Kajian dari versi cerita rakyat (juga dalam Babad Baron Scender di Cirebon) akan menisbikan fakta: Bagaimana halnya dengan keberadaan batu lumpang, menhir, dan lingga-yoni serta umpak-umpak yang terdapat dalam area situs?

Temuan barang-barang lain di area situs menunjukkan bahwa ada korelasi tak terpisahkan antara patung dengan barang-barang lain tersebut.

Korelasi antara cerita rakyat dengan keberadaan situs merupakan kearifan lokal yang berfungsi menjaga keselarasan budaya lokal dalam persinggungannya dengan budaya dari luar.

Kajian secara ilmiah dengan mendasarkan pada fisik patung dan benda-benda lain dalam area situs akan memberikan pencerahan bagi peran serta wilayah Pekalongan dalam catatan sejarah awal hubungan Indonesia–India dan masuknya pengaruh Hindu/Budha di Indonesia.‎

Akulturasi Budaya

Interaksi yang kemudian menjelma menjadi akulturasi budaya antara Indonesia–India (salah satunya) dapat dilihat dari situs Rogoselo. Fakta ini dapat dipahami mengingat pantai utara Jawa merupakan jalur perdagangan kuno antara India–Cina–Indonesia. Meskipun jarang diungkap dalam pembahasan sejarah, tetapi bukti-bukti tertua anasir-anasir Hindu/Budha telah berkembang seiring dengan perkembangan budaya lokal.

Mustahil, jika pengaruh Hindu/Budha dari India mengarah pada daerah dataran Tinggi Dieng dan Kedu tanpa melalui perantara daerah-daerah pesisir. Dengan beranalogi pada cerita rakyat Aji Saka sesungguhnya dapat ditelisik bahwa Aji Saka meninggalkan Sembada di sebuah daerah (pesisir?) untuk selanjutnya berjalan ke arah selatan bersama Dora. Makna yang tersirat dari cerita rakyat ini memberikan gambaran awal-mula persentuhan budaya/agama Hindu/Budha di daerah-daerah pesisir yang menjadi jalur perdagangan.

Jika prasasti Sojomerto di kecamatan Reban dianggap sebagai “sabda Aji Saka” (yang kemudian dikenal sebagaihuruf Jawa), dikaitkan dengan situs Ganesha di Wonotunggal, prasasti di Blado, Yoni di Talun, situs Gedong dan Nagapertala, dan situs Rogoselo, maka pengkajian sejarah lokal masuknya pengaruh Hindu/Budha di daerah Pekalongan akan dapat memberikan kontribusi bagi penulisan sejarah ulang sejarah Indonesia Masa Hindu/Budha. 
Legalitas Situs
Situs ”Baron Sceber” atau situs Watu Buto terletak di dukuh Kaum desa Rogoselo, terletak kurang lebih 14 km ke arah Barat Daya kecamatan Doro. Berada di hutan karet milik PTP IX Blimbing.

Situs ”Baron Sceber” berupa: batu lumpang, dua buah patung dwarapala,  lingga-yoni, umpak-umpak dan menhir. Nama situs ”Baron Sceber” diambil dari  legenda yang berkembang di masyarakat yang menyebutkan patung ini  merupakan penjelmaan dari seorang prajurit Belanda yang bernama Baron Van Sceber dan istrinya yang dikutuk Ki Ageng Atas Angin akibat kalah perang. 

Pelestarian dan Pemanfaatan Situs

Mengingat begitu penting artinya keberadaan situs sebagai cagar budaya, maka perlu adanya upaya penyelamatan terhadap benda-benda peninggalan budaya agar dapat menjadi kebanggan bangsa dan sekaligus menjadi sumber pembelajaran dan penelitian bagi perkembangan ilmu pengetahuan.

Upaya penyelamatan yang dimaksud berupa: 
Pertama, perawatan. Perawatan intensif diperlukan mengingat bahwa benda-benda peninggalan budaya dapat hancur di alam terbuka. Kerusakan benda-benda peninggalan budaya yang disebabkan oleh faktor alam, kondisi iklim yang selalu berubah-ubah selama berabad-abad, perlu mendapat perhatian serius.

Perawatan yang minim, menyebabkan situs “Baron Sceber” ditumbuhi lumut yang akan mempercepat proses kerusakan. Lebih memprihatinkan lagi adalah batu lumpang dan lingga-yoni yang berada di luar pagar. Keduanya tertutup semak sehingga tidak semua orang dapat mengenalinya sebagai situs sejarah.

Kedua, keamanan. Keamanan diperlukan sebagai upaya penyelamatan benda-benda budaya dari tangan-tangan jahil manusia yang tidak bertanggungjawab.Akibat kurangnya keamanan, banyak peninggalan budaya yang raib dicuri orang.Pencurian terjadi karena benda-benda tersebut memiliki nilai sejarah yang tidak tergantikan dengan benda serupa yang dibuat pada masa sekarang. Akibatnya banyak orang yang tergiur karena nilai ekonomisnya yang kadang tidak masuk akal.

Mengenalkan kepada masyarakat tentang benda peninggalan sejarah bukan berarti memberi peluang bagi orang-orang yang tidak bertanggung jawab untuk sekehendak hati mencuri benda-bendatersebut. Mengenalkan yang dimaksud adalah menyosialisasikan pemanfaatan benda-benda bersejarah kepada siswa dan guru serta masyarakat sebagai sumber pembelajaran dan penelitian, yang akhirnya dengan belajar dari sejarah, akar kebudayaan bangsa Indonesia akan tetap terjaga sebagai jati diri bangsa.

Situs  “Baron  Sceber” 

Situs “Baron  Sceber” terletak 14  kilometer  dari kecamatan Doro atau  sekitar 35 kilometer dari pusat Kota Pekalongan ke arah Selatan, tepatnya  berada di kawasan perkebunan PTP IX Blimbing di dukuh Kaum, desa  Rogoselo.

Secara geografis daerah ini diapit oleh dua sungai besar yaitu sungai  Sengkarang di bagian Barat dan sungai Welo di bagian Selatan. Kedua sungai  ini  berhulu di pegunungan Kendeng.

Memasuki areal situs, terbentang sungai Nggoromanik (anak cabang sungai Welo), yang dalam legenda diceritakan sebagai tempat  berlangsungnya  pertarungan antara Baron Sceber dengan Ki Ageng Atas Angin. Benda-benda  peninggalan budaya yang terdapat pada situs ”Baron Sceber”, antara  lain:
1.             Batu Lumpang
Bentuknya bulat, dengan diameter 84 cm, tinggi 49 cm, pada bagian  tengah terdapat lubang dengan kedalaman 20 cm. Oleh masyarakat  disebut sebagai Batu Lumpang karena bentuknya yang menyerupai  lumpang atau alat penumbuk padi. Fungsi sesungguhnya dari benda ini  belum diketahui secara pasti.
2.             Patung ”Baron  Sceber” dan istrinya
Terdapat dua buah patung batu, yang satu menghadap ke arah sungai,  tinggi 146 cm, lingkar kepala 189 cm, lingkar badan 305 cm.
Sementara  yang sebuah lagi terletak 3 meter dari patung pertama, arah kiri,  tinggi 87 cm, lingkar kepala 175 cm, lingkar badan 237 cm. Kedua patung ini (seperti) dalam keadaan setengah jongkok. Hiasan atau ornamen pada kedua patung tampak kasar dan sudah aus  termakan usia. Bagian kepala bergelung, kedua mata melotot, tangan kanan membawa gada (oleh masyarakat dikatakan sedang menggendong bayi) dan tangan kiri agak ditekuk ke belakang. Hal yang  agak aneh, di antara kedua patung terdapat batu mirip menhir (jaman  Megalithikum), bergaris melingkar sejajar pada ujungnya.
3.         Umpak–umpak atau batu pondasi.
Dari situs patung, ke arah Timur pada tanah yang  agak  tinggi,  berjarak  20 sampai 30 meter. Di tempat ini terdapat tiga buah umpak–umpak,  satu dalam keadaan utuh dengan sisi 61 cm, tinggi 27 cm, pada bagian  tengah terdapat lubang. Dimungkinkan lubang ini untuk menyangga  kayu sebagai bagian daritubuh candi. Satu umpak–umpak dalam  keadaan rusak dan satu lagi hanya sebagian yang terlihat di bawah akar  pohon.
4.         Lingga-yoni
Pada  tepi  tanah  agak  tinggi  ke arah Timur, terdapat lingga yoni yang  tersembunyi di bawah rumpun bambu dengan kondisi semakin aus.  Secara fisik tinggi yoni 71 cm, sisi bagian bawah 24 cm, dan sisi bagian  atas 30 cm. Sedang lingga bergaris tengah 68 cm, dan tinggi 72 cm  dipahat secara kasar.
Dalam mitologi Hindu, lingga yoni diumpamakan sebagai alat kelamin  laki-laki dan perempuan menggantikan keberadaan Dewa Syiwa dalam  sebuah candi utama untuk melambangkan kesuburan. 
5.         Menhir
Kurang lebih 1 km dari  lingga yoni ke arah timur, terdapat tugu–tugu  monolith seperti tugu batu peringatan pada jaman Megalitikum.  Sayangnya,  sekarang sudah dibangun cungkup besar yang tidak boleh  dibuka untuk umum. 

Pertanyaannya, mengapa keberadaan lingga yoni  (kebudayaan masa Hindu) dapat bersebelahan dengan hasil  kebudayaan Megalithikum, yang merupakan hasil budaya zaman prasejarah?    Dimungkinkan telah terjadi akulturasi kebudayaan antara Hindu dan kebudayaan zaman Megalithikum. Untuk memastikan adanya korelasi antara keduanya, tentunya diperlukan penelitian lanjutan yang lebih intensif oleh ahli terkait.
Kesimpulan

Dari uraian di muka dapatlah disimpulkan, bahwa: 
1) Situs ”Baron Sceber” terletak di Dukuh Kaum Desa Rogoselo Kecamatan Doro Kabupaten Pekalongan, di perkebunan karet milik PTP IX Blimbing, 
2)Dalam Situs ”Baron Sceber” terdapat benda-benda bersejarah seperti  batu  lumpang, lingga yoni, dua patung dwarapala, dan umpak-umpak membuktikan persinggungan budaya asli dengan anasir-anasir Hindu secara damai, 
3) Untuk menjaga kelestarian situs dibutuhkan perawatan intensif sehingga benda purbakala yang ada di dalamnya terhindar dari kerusakan karena faktor alam dan juga terhindar dari jarahan tangan-tangan jahil, 
4) Pemanfaatan benda purbakala di area situs sebagai sumber belajar sejarah dan sumber penanaman nilai-nilai kebangsaan bagi siswa, guru dan masyarakat, 

5) Memelihara kearifan lokal yang ada untuk menjaga keselarasan antara alam, manusia, Tuhan beserta nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. ‎

 

Sekilas Perjalanan dan Awal Nama Sukoharjo


Ijinkan saya kembali bercerita tentang perjalanan pribadi dalam menggapai visi ideal menyangkut kualitas diri dan peran dalam kehidupan: Satrio Pinandhito. Sesungguhnya, Nusantara saat ini membutuhkan kehadiran ribuan bahkan jutaan satrio pinandhita untuk mengisi ruang-ruang kepemimpinan di berbagai sektor, sektor pemerintahan, militer, maupun masyarakat sipil. Di tengah gonjang-ganjing politik yang terus meningkat, ketimpangan sosial yang demikian akut, kualitas lingkungan yang memburuk, kekacauan budaya, plus ancaman bencana alam, jelas dibutuhkan kehadiran manusia-manusia yang mampu memberikan terobosan, ide-ide segar, dan kepemimpinan yang bisa membawa negeri ini ke arah yang baru.

Lalu mengapa harus satrio pinandhito? Satrio pinandhito menggambarkan sosok ksatria, pemimpin komunitas, politik atau militer, yang juga memiliki jiwa kepanditaan. Jiwa kepanditaan ini tercerminkan dalam kesadaran spiritual yang tinggi dan budi pekerti luhur. Kontras dengan yang terjadi saat ini: tengah meruyak fenomena “Petruk dadi ratu”. Petruk, sejatinya adalah profil punakawan atau pengemong para satria yang baik. 

Namun, ketika ia memaksakan diri menjadi ratu atau satria tingkat puncak, ia justru melahirkan berbagai kekacauan dan ketidakselarasan. Sebabnya adalah, tanpa kapasitas menjadi pemimpin, ia memaksakan diri menjadi pemimpin. Lebih jelas, “Petruk dadi ratu” menggambarkan sosok “pemimpin yang gagal dalam kepemimpinannya, karena tidak memiliki kecakapan, kharisma, kualitas moral, keteladanan dalam budi pekerti, dan justru terjebak oleh egoisme dan nafsu tercela”. Berlawanan dengan itu, satrio pinandhito mengandaikan keberadaan sosok pemimpin yang benar-benar bisa menjadi pemimpin dan sanggup menghadirkan kebaikan karena memang memiliki semua kualitas yang dibutuhkan: kualitas spiritual, manajerial, emosional. Dalam konsepsi modern, satrio pinandhito sebanding dengan pemimpin profetik – pemimpin yang memiliki kualitas “kenabian”, yang sanggup melakukan hal-hal yang tak bisa dilakukan manusia pada umumnya, melampaui tantangan yang teramat sulit, bahkan menciptakan keajaiban.

Di kisahkan setelah tahta Kerajaan Majapahit runtuh karena serbuan bala tentara Kerajaan Demak, Sebagian besar para pembesar kraton melarikan diri ke berbagai daerah untuk menyelamatkan diri. Dengan  menyamar seperti rakyat jelata, mereka berlari menyelamatkan diri agar identitas mereka tidak diketahui dan membantu Kerajaan Demak dari luar. Dan  untuk menghindari kejaran musuh, mereka sering keluar masuk hutan, menyeberangi sungai yang besar sampai mendaki gunung untuk menyelamatkan diri melakukan pengembaraan tak tentu arah.

Di antara para pembesar Kerajaan Majapahit  yang melakukan pengembaraan itu, ada yang telah sampai di Pegunungan Seribu ( daerah diperbatasan Jawa Tengah dan DIY). Namanya Pangeran Banjaran (nama Samaran)

Pangeran Banjaran adalah Bangsawan yang sangat mencintai rakyat dan beliau adalah seorang pemuda yang gagah dan sakti dengan menguasai beberapa ajian dan ilmu kesaktian Majapahit.

Dalam pengelanaannya, suatu ketika, dia dicegat oleh segerombolan begal yang akan merampoknya. Namun, karena kemampuan kanuragan yang dia miliki, Pangeran Banjaran tak sedikitpun gentar dengan begal yang hendak merampoknya itu. Bahkan malah menantang begal-begal tersebut. Namun, sebelum adu kanuragan terjadi antara Pangeran Banjaran dan begal-begal terjadi, maka, muncullah sosok manusia yang melerai perkelahian itu. 

Dengan bijaknya, sosok laki-laki yang melerai tersebut menasehati para begal agar tidak melawan laki-laki yang dicegatnya, yang adalah Pangeran Banjaran. Para begal tetap akan kalah ketika melawan Pangeran Banjaran. Tetapi, apa yang dinasehatkan pada para begal seolah menguap begitu saja. Bahkan laki-laki yang meleraipun akan dibininasakan juga.

Namun, sebelum hal itu terjadi, sosok laki-laki dengan pakaian wali tersebut mengaku di sebagai Sunan Kalijaga. Maka, terkejutlah para begal dan Pangeran Banjaran dengan kemunculan Sunan Kalijaga. Selanjutnya, Pangeran Banjaran dan begal yang hendak merampoknya berlutut di hadapan Sunan Kalijaga agar diterima menjadi muridnya. Dengan ketakutan sekaligus kagum, para begal mengatakan bahwa mareka sebenarnya ingin bertobat sejak lama. Maka diterimalah para begal dan Pangeran Banjaran menjadi murid Sunan Kalijaga. Dan berangkatlah mereka menuju padepokan sang Sunan.

Setelah sekian lama belajar pada Sunan Kalijaga, maka Pangeran Banjaran mendapat tugas membabat alas Taruwongso dan membantu penduduk sekitarnya untuk keluar dari paceklik yang tengah melanda mereka. Maka dengan segala ilmu yang dimilikinya, didatangilah alas Taruwongso yang terkenal sebagai istana para jin. 

Dan dalam pengembaraannya sampailah Sang Pangeran di kaki Gunung.
Dalam pandangan Sang Pangeran Gunung didepannya mempunyai kekuatan aneh yang membuat perasaan ingin tahu dan tertantang untuk mengetahuinya. Maka dengan sikap hati-hati Pangeran melangkah mendaki gunung tersebut. 

Belum sejengkal melangkah Pangeran  dikejutkan dengan serangan hebat dari sekelompok bangsa jin penunggu gunung Taruwangsa. dengan segera Pangeran  mengerahkan kesaktiannya untuk menangkis serangan bangsa jin dengan membungkus diri dengan himpunan tenaga sakti, hingga tak satupun serangan bangsa jin itu berhasil menyentuh tubuhnya. 

Dengan kesaktian Pangeran Banjaran tersebut, bangsa jin  yang jumlahnya ratusan tersebut sangatlah tidak sepadan dengan kesaktian Sang Pangeran Namun bangsa jin tersebut bukannya berhenti untuk menyerang, hingga  dengan segenap kemampuannya ingin segera menghentikan pertempuran ini. 

Mendadak, dari tubuh Pangeran keluar pusaran angin yang sangat dahsyat. Pusaran angin yang keluar dari tubuh Pangeran yang  seperti angin puyuh tersebuat membuat  pohon-pohon bertumbangan dan batu-batu tebing berhamburan hingga membuat ratusan bangsa jin terhempas kemana-mana. 


Setelah terjadi pertempuran denan para jin penghuni alas Taruwongso, keluarlah Pangeran Banjaran ebagai pemenangnya. Pemimpin bangsa jin akhirnya mengakui kesaktian Pangeran  dan pergi dari gunung itu dan diperintahkan untuk ke gunung Lawu. 
Maka sejak itu, Pangeran berkeinginan menetap di puncak Gunung Taruwangsa itu. 


Melihat keadaan masyarakat sekitar alas Taruwongso yang sedang dilanda paceklik dan mengidam-idamkan keadaan Raharjo, maka Pangeran Banjaran menamakan daerah tersebut dengan nama Sukoharjo.


Ki Ageng Sutawijaya atau Ki Ageng Majastan yang tinggal di puncak gunung Majasto mendengar bahwa di Gunung Taruwangsa sekarang tidak angker lagi berkeinginan untuk mengetahui kebenaran cerita itu dengan datang sendiri ke Gunung Taruwangsa. Sesampai sampai di lereng Gunung Taruwangsa, Ki Ageng merasa kehausan dan ingin meminum buah kelapa yang banyak tumbuh dilereng itu. Ki Ageng Majastan yang sakti itu melemparkan sabitnya ke atas dan ada beberapa buah kelapa jatuh di dekat Ki Ageng Majastan. 

Tiba-tiba terdengar suara dari belakang Ki Ageng Majastan ," Apabila  Ki Ageng masih haus, Ki Ageng bisa  memilih buah kelapa muda yang masih segar di sini ", terdengar suara itu dan di lihatnya seorang pemuda.
Tiba-tiba saja pohon kelapa itu menunduk didepan Ki Ageng Majastan. Ki Ageng Majastan itu pun tak kuasa menolak dan memilih beberapa buah kelapa muda segar. 

Ki Ageng Majastan sangat kagum terhadap kesaktian pemuda didepannya itu maka dengan serta merta Ki Ageng Majastan mengajak berkenalan. Dari perkenalan itu diketahui bahwa ternyata mereka adalah sama-sama keturunan Majapahit. Ki Ageng Majastan sangat senang, begitu pula Pangeran Banjaran. Untuk mempererat persaudaraan keduanya, Ki Ageng Majastan berkehendak untuk menikahkan Sang Pangeran dengan salah satu putrinya.

Hari pun berganti, tibalah musim penghujan kini tiba saatnya untuk bertanam padi. Bertani adalah pekerjaan utama  bagi masyarakat di sekitar Gunung Majasto tempat Ki Ageng Majastan tinggal. Ki Ageng Majastan yang  telah tua itu bersedih. Ki Ageng tak mampu lagi untuk mengerjakan sawah yang sangat luas itu. Di tengah kesedihannya ia berguman menyesalkan pada Sang Pangeran yang tak datang membantunya. " Orang tua kesulitan mengerjakan sawah kok anakku bersenang-senang di puncak gunung ", begitu guman Ki Ageng. Anehnya, guman Ki Ageng yang tak terdengar oleh oarang disekitarnya itu terdengar jelas oleh Sang Pangeran  di puncak gunung taruwangsa. Maka dengan mengerahkan kesaktiannya Sang Pangeran diam-diam datang ke Majasta untuk menegerjakan sawah seorang diri, menjadi tanah banjaran yang siap di tanamai.

Alangkah terkejutnya Ki Ageng Majastan melihat sawahnya telah siap ditanami ketika bersama warga desa datang ke sawah. Kemudian ia berkata," Hanya satu orang di sekitar sini yang bisa melakukan pekerjaan menakjubkan ini, dialah menantuku Wahai warga desaku, jadilah saksi bahwa menantuku sekarang bernama BanjaranSari. 

Maka sejak saat itu Pangeran Banjaran  di kenal dengan sebutan Ki Ageng Banjarasari sampai akhir hayatnya dan konon di makamkan di puncak Gunung Taruwangsa.
Dan sebagai Salah satu tempat dalam perjuangan nya. 

Tertarik dengan wisata sejarah, plus mencari suasana alam dengan panorama menarik? Perjalanan ke makam Ki Ageng Banjaran Sari di Dukuh Tengklik, Desa Watubonang, Kecamatan Tawangsari, Sukoharjo, boleh dicoba. Makam yang terletak di kaki Bukti Taruwangsa ini cukup ramai dikunjungi warga dan memiliki daya tarik tersendiri dari sisi sejarah.

Selain terdapat makam Ki Ageng Banjaran Sari, Bukit Taruwangsa terdapat tujuh mata air atau sendang. Tujuh sendang itu adalah Sendang Jaya Kusuma, Sendang Sikapa, Sendang Clarat, sendang Cahyawati, Sendang Gendong, dan dua mata air yang namanya Sendang Kembar. Deretan bebatuan unik ikut menambah daya tarik sekitar makam Ki Ageng Banjaran Sari. Batu-batu itu diberi nama sesuai dengan bentuknya, yakni Batu Gajah, Batu Kandang, Batu Pecak, Batu Manten, Batu Gua, Batu Gebyok dan Batu Amben. 

 

Kyai belum tentu simbol Keimanan


SALAH satu kosa kata yang cukup populer di kalangan masyarakat Indonesia adalah kyaiatau kiai. Biasanya, sebutan kyai dilekatkan kepada sosok yang dianggap paham ilmu agama (ulama), dan diharapkan bisa menjadi tokoh panutan. Bagi masyarakat Jawa, sebutan kyai selain dilekatkan kepada tokoh ulama, juga untuk dilekatkan pada benda pusaka, hewan yang dianggap keramat, makhluk halus, dan sebagainya.

Berbeda dengan masyarakat Jawa, bagi masyarakat Banjar (Kalimantan Selatan), sebutan kyai sama sekali tak ada hubungannya dengan ulama, tetapi merupakan gelar bagi kepala distrik (jabatan setingkat wedana di Jawa). Sedangkan di Sumatera Barat, sebutan kyai dilekatkan kepada sosok etnis cina yang sudah tua (cino tuo), sama sekali tidak ada hubunganya dengan ulama dan sebagainya.

Saat ini, sebutan kyai yang banyak dijumpai adalah Kyai Maja, Kyai Langgeng, Kyai Kanjeng, Kyai Slamet, Kyai Sengkelat, Kyai Semar, Kyai Sapu Jagad, Kyai Petruk, Kyai Sadrach, dan sebagainya. Bahkan ada juga sebutan Kyai Cabul, Kyai Pajero, dan Kyai Liberal yang berkonotasi olok-olok terhadap sosok manusia penjual agama.

Kyai Maja

Mungkin bagi sebagian anak muda masa kini, nama Kyai Maja (Kyai Mojo) hanya dikenal sebagai nama jalan di kawasan tertentu. Nama asli Kyai Maja adalah Muslim Mochammad Khalifah. Karena keaktifannya mengelola pesantren di kawasan Maja (Mojo), meneruskan kiprah ayahnya, maka ia lebih dikenal dengan panggilan Kyai Maja.

Kyai Maja lahir tahun 1782 dan wafat pada tanggal 20 Desember 1849 dalam usia 57 tahun. Ayahnya bernama Iman Abdul Arif, seorang ulama terkenal pada masa itu di dusun Baderan dan Modjo, juga memiliki alur keturunan dari kerajaan Pajang. Sedangkan ibunya bernama R. A. Mursilah, adik perempuan HB III dan masih bersaudara sepupu dengan Pangeran Diponegoro.

Pangeran Diponegoro mengangkat Kyai Maja sebagai penasehat agama sekaligus Panglima Perang. Ketika berlangsung Perang Diponegoro (1825-1830), Kyai Maja ikut andil melawan Belanda. Sampai akhirnya pada tanggal 17 Nopember 1828 Kyai Maja ditangkap di dusun Kembang Arum, Jawa Tengah. Setelah dibawa ke Batavia, Kyai Maja dibuang ke Tondano, Minahasa, Sulawesi Utara.

Kehadiran Kyai Maja dan pengikutnya di Tondano mendorong terbentuknya Kampung Jawa, dan melahirkan entitas Jaton (Jawa Tondano), karena hampir seluruh pengikut Kyai Maja yang dibuang ke Tondano menikah dengan wanita setempat. Keberadaan mereka bisa dilihat dari nama keluarga (fam) yang disandang di belakang nama diri, seperti Pulukadang, Modjo, Baderan, Zess, Kyai Demak, Suratinoyo, Nurhamidin, Djoyosuroto, Sutaruno, Kyai Marjo, dan lain-lain.

Kyai Petruk

Selain Kyai Sapu Jagad, masih ada delapan sosok lain yang dipercaya sebagai penunggu Merapi. Salah satunya, Kyai Petruk. Sebagian masyarakat Jawa percaya, Kyai Sapu Jagad adalah penunggu kawah Merapi yang menjadi penentu meledak-tidaknya gunung tersebut. Sedangkan Kyai Petruk mengemban tugas sebagai pemberi wangsit mengenai saat meletusnya Merapi, termasuk memberi kiat-kiat tertentu kepada penduduk agar terhindar dari ancaman bahaya lahar panas Merapi.

Konon, Kyai Petruk merupakan anak dari seorang petinggi di Kecamatan Cepogo (Boyolali, Jawa Tengah), dengan nama asli Handoko Kusumo. Karena postur Handoko mirip tokoh pewayangan Petruk, maka ia dipanggil dengan sebutan Kyai Petruk.

Sejak kecil, Handoko dikenal sebagai sosok yang gemar menolong. Handoko juga dipercaya punya kesaktian, berkat ketekunannya bertapa. Dengan kesaktiannya itu, masyarakat sekitar Merapi percaya bahwa Kyai Petruk dapat memberikan perlindungan kepada masyarakat di sekitar Merapi dari bahaya erupsi.

Masyarakat sekitar Merapi juga percaya bahwa Kyai Petruk meninggal melalui prosesmukswo atau moksa (hilang tanpa meninggalkan raga) di gunung Merapi saat serius bertapa. Untuk mengenang Kyai Petruk, masyarakat sekitar Merapi setiap malam 1 Suro mengadakan acara Sedekah Gunung yang salah satu rangkaian acaranya adalah larung sesaji, berupa tumpeng sesaji, nasi gunung yang dibuat dari jagung, dan sebagainya, termasuk dupa kemenyan, dan tak lupa kepala kerbau.

Itu semua adalah upacara sesajen atau sesaji alias penyembahan kepada selain Allah Ta’ala. Itulah kemusyrikan nyata

Kyai Slamet

Bagi yang belum paham, sebutan Kyai Slamet boleh jadi akan membangkitkan imajinasi tentang sesosok manusia yang berilmu (agama) tinggi, arif, sepuh dan bergiat di pondok pesantren. Sayangnya, imajinasi itu salah kaprah. Karena, Kyai Slamet yang dimaksud di sini adalah salah satu benda pusaka Keraton Kasunanan Surakarta berupa hewan kerbau dengan sebutan Kyai Slamet.

Pada umumnya, kerbau atau kebo berwarna hitam legam. Namun kerbau yang satu ini berwarna agak putih kemerahan seperti kulit orang bule, sehingga disebut Kebo Bule. Bersama sejumlah pusaka keraton lainnya, Kyai Slamet biasanya diarak berkeliling (kirab) dalam rangka menyambut datangnya Tahun Baru Jawa 1 Suro (1 Muharram). Tradisi ini, sudah ada sejak masa pemerintahan Pakubuwono (PB) IX, sebagai salah satu upaya raja untuk melegitimasi kekuasaannya.

Karena Kyai Slamet merupakan pusaka Keraton Kasunanan Surakarta, maka ia mendapatkan hak istimewa dari warga Surakarta (Solo). Misalnya, tidak ada yang berani mengusir Kyai Slamet saat ia memakan tanaman padi milik petani atau sayuran milik pedagang. Bahkan ada sebagian dari mereka yang justru merasa senang ketika tanaman atau dagangannya dimakan Kyai Slamet. Juga, bila Kyai Slamet buang kotoran, misalnya saat kirab berlangsung, maka kotorannya menjadi rebutan warga.

Tradisi kirab benda pusaka keraton ini, termasuk Kyai Slamet, menelan biaya tidak sedikit. Pada tahun 2010 lalu, biaya kirab Kyai Slamet dan pusaka keraton lainnya mencapai Rp 200 juta. Sebesar Rp 40 juta diantaranya, diperoleh dari sumbangan Pemerintah Provinsi (Pemprov). Uang sebanyak itu, digunakan untuk membawa kerbau jalan-jalan?

Ternyata mereka kalah pinter dibanding Gayus Tambunan. Dengan uang ratusan juta, gayus bisa menyogok sipir penjara untuk mendapatkan kebebasan ilegal. Atau, membawa anak-istrinya jalan-jalan ke Bali dan ke luar negeri dengan identitas palsu.

Sama-sama pelanggarannya, namun manusia di Indonesia berbeda dalam menyikapinya. Bukan lantaran mau membela Gayus, tetapi kenapa Gayus yang menyogok sipir penjara dipersoalkan secara nasional, dan semua orang tahu bahwa itu adalah pelanggaran; sementara itu ketika uang untuk kemubadziran bahkan upacara yang rawan kemusyrikan seperti melepas kerbau bule (Kyai Slamet) untuk jalan-jalan di malam 1 Suro (Muahhram) dengan dibiayai ratusan juta rupiah itu tidak dipersoalkan dan tidak disalahkan? Juga aneka upacara kemusyrikan yang dibiayai Pemerintah Daerah di mana-mana, padahal itu jelas-jelas merusak keimanan Ummat Islam, masih pula menguras duit (dari Ummat Islam pula), tetapi tidak dipersoalkan? Padahal secara perhitungan bahaya dan dosa, sama sekali jauh lebih berbahaya dan berdosa yang upacara-upacara kemusyrikan di mana-mana itu. Sekali lagi ini sama sekali bukan mendukung Gayus, tetapi ayo sama sama disalahkan. Gayus dan lain-lain yang melanggar ya mesti dihukum, sedang penyelewengan (istilahnya penggunaan) dana untuk upacara-upacara kemusyrikan entah itu larung laut, sedekah bumi, labuh sesaji ke Gunung Merapi dan sebagainya yang pada hakekatnya merusak keyakinan Ummat Islam itu wajib pula dihukum dan dihentikan. Karena itu lebih dari sekadar penyelewengan tetapi bahkan penyelewengan sekaligus penyesatan dan penghancuran keimanan.

Kyai Sadrach

Bagi sebagian masyarakat yang terlanjur mempersepsikan sebutan kyai dengan ulama agama Islam, boleh jadi akan kecele. Sebab, kyai yang satu ini adalah murtadin (orang murtad, keluar dari Islam) yang aktif menyebarkan agama Kristen sembari membiarkan tradisi Jawa larut dalam ajaran Kristen. Diperkirakan, ia lahir di Jepara pada tahun 1835, dan meninggal dunia pada 14 November 1924 dalam usia 89 tahun.

Anak petani miskin yang pernah menjadi pengemis ini, bernama asli Radin. Ketika ia belajar di salah satu pesantren di Jombang (Jawa Timur), namanya menjadi Radin Abas. Dari Jombang, Radin Abas berkelana ke Semarang. Di sinilah awal kekristenan Radin Abas bermula. Ada dua versi mengenai hal ini.

Versi pertama, di Semarang Radin bertemu dengan seorang penginjil bernama Hoezoo, kemudian Radin Abas pun ikut kelas Katekisasi yang diajar oleh Hoezoo. Di tempat inilah Radin berkenalan dengan Kyai Ibrahim Tunggul Wulung yang sudah sepuh, dan sudah lebih dulu murtad. Kebetulan, ia berasal dari daerah yang sama dengan Radin, yaitu daerah Bondo Karesidenan Jepara. Semenjak perkenalan tersebut, Radin menjadi murid Tunggul Wulung.

Versi kedua, di Semarang Radin bertemu dengan Kurmen alias Sis Kanoman, bekas gurunya. Ternyata, saat itu Kurmen sudah masuk Kristen melalui Kyai Ibrahim Tunggul Wulung. Radin Abas pun diperkenalkan Kurmen kepada Kyai Ibrahim Tunggul Wulung, dan Radin berguru kepadanya. Akhirnya, Radin dibawa ke Batavia oleh Kyai Ibrahim Tunggul Wulung, dibaptis dengan nama Sadrach pada tanggal 14 April 1867, ketika usianya menginjak angka 32 tahun. Sejak saat itu, Radin alias Sadrach menjadi anggota gereja Zion Batavia yang beraliran Hervormd. Tugas pertamanya, menyebarkan brosur dan buku-buku tentang agama Kristen dari rumah ke rumah di seputar Batavia.

Sadrach yang pernah belajar di pesantren, meski sudah murtad tetap menempelkan atribut kyai di depan namanya, tentu bukan tanpa maksud. Dua tahun kemudian (1869) Sadrach diangkat anak oleh Pendeta Stevens-Philips yang saat itu berdomisili di Purworejo. Setahun di Purworejo, Sadrach kemudian pindah ke Karangjasa yang berjarak sekitar 25 kilometer dari Purworejo. Di Karangjasa, Sadrach semakin giat menyebarkan agama Kristen. Antara lain ia berhasil mengkristenkan Kyai Ibrahim yang tinggal di Sruwoh, tak jauh dari Karangjasa, dan Kyai Kasanmetaram.

Geliat Sadrach mengkristenkan kaum pribumi, memberi hasil yang jauh lebih banyak dibanding misionaris Belanda. Bahkan di Purworejo, jumlah orang Kristen Jawa pernah melampaui jumlah orang Kristen Belanda, berkat keuletan Sadrach. Keberhasilan Sadrach terutama karena ia menerapkan strategi yang jitu. Yaitu, hanya melakukan kristenisasi di wilayah-wilayah yang kadar keislamannya masih relatif rendah, yang masih bercampur dengan budaya animisme dan Hindu. Juga, ia menggabungkan ajaran Kristen dengan budaya Jawa seperti Yesus Kristus yang diasosiasikan dengan Ratu Adil. Yang lebih menarik, Sadrach tetap mempertahankan tradisi kejawen dalam masyarakat dengan memasukkan berbagai doa Kristen ke dalamnya.

Meski dinilai berprestasi mengkristenkan kaum pribumi, namun Sadrach tetap saja orang Jawa yang mendapat perlakuan diskriminatif dari kaum kristen Belanda. Bagi sebagian kristen Jawa, sosok Sadrach tidak saja diposisikan sebagai guru, bahkan ada yang menganggapnya Ratu Adil di tanah Jawa. Sementara itu, bagi para misionaris (kristen Belanda), Sadrach hanyalah kyai Jawa yang ambisius dan gila hormat. Selain itu, Sadrach dituduh sebagai sumber sinkretisme antara nilai Kristen dan kejawen.

Kalangan kristen Belanda memandang Sadrach hanya sebagai asisten Pendeta Stevens-Philips. Sehingga, seluruh keberhasilan Sadrach mengkristenkan kaum pribumi dianggap sebagai kerja keras Pendeta Stevens-Philips dan keluarganya. Oleh karena itu mereka menganggap jemaat-jemaat Sadrach berada di bawah hegemoni Pendeta Stevens-Philips. Puncaknya, pada tahun 1891 dikeluarkan pernyataan bersama para misionaris (kristen Belanda) untuk memisahkan diri dari jemaat Sadrach. Bahkan, Sadrach sempat ditangkap dan dipenjara oleh Pemerintah Belanda. Alasannya, Sadrach dianggap sebagai ancaman yang potensial melakukan perlawanan terhadap pemerintahan Belanda, karena memiliki pengaruh kuat di kalangan pribumi. Beberapa bulan kemudian Sadrach dibebaskan.

Begitulah nasib sang Kyai murtad yang kemudian bernama lengkap Radin Abas Sadrach Supranata. Meski sudah murtad dan aktif mengkristenkan kalangan pribumi, ia tetap dipandang sebagai orang Jawa yang kedudukannya lebih rendah dari orang Belanda. Ibarat kata pepatah, sepandai-pandai tupai melompat, tetap saja tak bisa jadi atlit. Apalagi ikut Olimpiade.

Di dunia nasibnya celaka, dan di akherat karena murtadnya dari Islam itu maka kekal di neraka. Itu sudah tegas dinyatakan Allah Ta’ala:

وَمَنْ يَرْتَدِدْ مِنْكُمْ عَنْ دِينِهِ فَيَمُتْ وَهُوَ كَافِرٌ فَأُولَئِكَ حَبِطَتْ أَعْمَالُهُمْ فِي الدُّنْيَا وَالْآَخِرَةِ وَأُولَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ [البقرة/217]

Barangsiapa yang murtad di antara kamu dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, maka mereka itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.(QS. Al-Baqarah [2] : 217).

Nasib celaka di dunia dan akherat walau julukannya masih tetap kyai itu hendaknya menjadi pelajaran yang sangat berharga bagi setiap Muslim. Lebih-lebih orang-orang yang mengaku Muslim namun liberal (walau Kyai), hendaknya becermin pada bencana hidup yang dialami Kyai Sadrach yang sudah mengorbankan agamanya (Islam) namun tetap di dunia saja tidak diakui oleh Belanda “jasa-jasanya”, sedang adzab Allah di akherat kelak telah jelas akan menimpanya selama-lamanya, kekal di dalam neraka. Na’udzubillahi min dzalik, kami berlindung kepada Allah dari hal yang demikian.

‎Dari bahan bacaan maupun kenyataan di masyarakat, sebutan kyai terbukti belum tentu sebagai julukan untuk orang yang alim agama dan akhlaqnya bagus. Bahkan ada yang berupa binatang atau benda. Sedang muatannya pun bermacam-macam. Ada yang baik, ada yang buruk, ada yang menuntun manusia kepada keimanan yang benar, ada yang menyebarkan kemaksiatan tapi seolah agamis, ada yang menyesatkan, dan bahkan ada yang murtad. Sehingga tidak mengherankan bila kelak di akherat isi neraka itu di antaranya adalah Kyai-kyai, bahkan ada yang kekal di neraka karena telah murtad dari Islam. Sedang julukan kyai-nya walaupun masih melekat namun sama sekali tidak ada nilainya apa-apa. Kecuali bagi kyai yang memang benar-benar beriman dan beramal shalih, maka tentu saja Allah tidak akan menyia-nyiakan kebaikannya yang dilandasi iman. Dan itu tercakup dalam ayat:

إِنَّ الَّذِينَ آَمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ كَانَتْ لَهُمْ جَنَّاتُ الْفِرْدَوْسِ نُزُلًا (107) خَالِدِينَ فِيهَا لَا يَبْغُونَ عَنْهَا حِوَلًا [الكهف/107، 108]

Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal saleh, bagi mereka adalah surga Firdaus menjadi tempat tinggal, mereka kekal di dalamnya, mereka tidak ingin berpindah dari padanya. (QS. Al-Kahfi [18]: 107-108)

Beriman di situ disyaratkan dengan tidak bercampur dengan kemusyrikan. Dalam pembahasan ini di antara kemusyrikan itu adalah menyembah kuburan dengan kedok ziarah ke kubur-kubur wali dan orang shaleh, dengan cara meminta kepada isi kubur sebagaimana difatwakan kemusyrikannya dalam fatwa di atas. Syarat iman tidak bercampur dengan kemusyrikan itu ditegaskan dalam Al-Qur’an:

الَّذِينَ آَمَنُوا وَلَمْ يَلْبِسُوا إِيمَانَهُمْ بِظُلْمٍ أُولَئِكَ لَهُمُ الْأَمْنُ وَهُمْ مُهْتَدُونَ [الأنعام/82]

Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman (syirik), mereka itulah yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk. (QS. Al-An’am [6] : 82).

Berwasilah itu diperbolehkan... akan tetapi tauhid dan keimanan harus tetep dijaga dan di pertahankan... dan jgn asal ikut2an tanpa mengetahui dasar2 ajaran nya.

Maka dari itu penulis sendiri tidak mau disebut dengan kata Kyai... karena Kyai belum tentu simbol iman dan keimanan.

 

Mengenal Sosok Mursyid Yang Sederhana dari Purwokerto


Purwokerto adalah ibukota kabupaten Banyumas, Jawa Tengah yang terletak di selatan Gunung Slamet, salah satu gunung berapi yang masih aktif di pulau Jawa. Purwokerto merupakan salah satu pusat perdagangan dan pendidikan di kawasan selatan Jawa Tengah. 

Sementara kabupaten Banyumas sendiri merupakan sebuah kawasan kebudayaan yang memiliki ciri khas tertentu di antara keanekaragaman budaya Jawa yang disebut sebagai budaya Banyumasan. Ciri khas ini ditandai dengan kekhasan dialek bahasa, citra seni dan tipologi masyarakatnya. 

Bentang alam wilayah banyumasan berupa dataran tinggi dan pegunungan serta lembah-lembah dengan bentangan sungai-sungai yang menjamin kelangsungan pertanian dengan irigasi tradisional. kondisi yang demikian membenarkan kenyataan kesuburan wilayah ini (gemah ripah loh jinawi). 

Dulunya, kawasan ini adalah tempat penyingkiran para pengikut Pangeran Diponegoro setelah perlawanan mereka dipatahkan oleh Kompeni Belanda. Maka tidak aneh, bila hingga masa kini masih terdapat banyak sekali keluarga-keluarga yang memiliki silsilah hingga Pangeran Diponegoro dan para tokoh pengikutnya. 

Keluarga-keluarga keturunan Pangeran Diponegoro dan tokoh-tokohnya yang telah menyingkir dari pusat kerajaan Matararam waktu itu, kemudian menurunkan para pemimpin bangsa dan tokoh-tokoh ulama hingga saat ini. 

Salah satu dari sekian banyak tokoh ulama keturunan Pangeran Diponegoro di kawasan Banyumas ini adalah Syekh Abdul Malik bin Muhammad Ilyas, Mursyid Thariqoh Naqsyabandiyah Kholidiyah dan Thariqoh Syadzaliyah di Jawa Tengah. 

Silsilah dan Pendidikan Syaikh Abdul Malik

Sudah menjadi tradisi di kawasan Banyumasan kala itu, apabila ada seorang ibu hendak melahirkan, maka dihamparkanlah tikar di atas lantai sebagai tempat bersalin. Suatu saat ada seorang ibu yang telah mempersiapkan persalinannya sesuai tradisi tersebut, namun rupanya sang bayi tidak juga kunjung terlahir.

Melihat hal ini, maka sang suami segera memerintahkan istrinya untuk pindah ke tempat tidur dan menjalani persalinan di atas ranjang saja. Tak berapa lama terlahirlah seorang bayi mungil yang kemudian dinamakan Muhammad Ash'ad, artinya Muhammad yang naik (dari tikar ke tempat tidur). Peristiwa ini terjadi di Kedung Paruk Purwokerto, pada hari Jum'at, tanggal 3 Rajab tahun 1294 H. (1881 M.) Nama lengkapnya adalah Muhammad Ash'ad bin Muhammad Ilyas. Kelak bayi mungil ini lebih dikenal sebagai Syeikh Muhammad Abdul Malik Kedung Paruk Purwokerto. 

Beliau merupakan keturunan Pangeran Diponegoro berdasarkan "Surat Kekancingan" (semacam surat pernyataan kelahiran) dari pustaka Kraton Yogyakarta dengan rincian Muhammad Ash'ad, Abdul Malik bin Muhammad Ilyas bin Raden Mas Haji Ali Dipowongso bin HPA. Diponegoro II bin HPA. Diponegoro I (Abdul Hamid) bin Kanjeng Sultan Hamengku Buwono III Yogyakarta yang sampai atas pada Kyai Ageng Pemanahan. Nama Abdul Malik diperoleh dari sang ayah ketika mengajaknya menunaikan ibadah haji bersama.

Sejak kecil, Abdul Malik memperoleh pengasuhan dan pendidikan secara langsung dari kedua orang tuanya. Setelah belajar al-Qur'an kepada ayahnya, Abdul Malik diperintahkan untuk melanjutkan pendidikannya kepada Kyai Abu bakar bin Haji Yahya Ngasinan, Kebasen, Banyumas. 

Selain itu, ia juga memperoleh pendidikan dan pengasuhan dari saudara-saudaranya yang berada di Sokaraja,sebuah kecamatan di sebelah timur Purwokerto. Di Sokaraja ini terdapat saudara Abdul Malik yang bernama Kyai Muhammad Affandi, seorang ulama sekaligus saudagar kaya raya. Memiliki beberapa kapal haji yang dipergunakan untuk perjalanan menuju Tanah Suci. 

Ketika menginjak usia 18 tahun, Abdul Malik dikirim ke Tanah Suci untuk menimba ilmu agama. Di sana ia mempelajari berbagai didiplin ilmu agama, seperti Tafsir, Ulumul Qur'an, Hadits, Fiqih, Tasawuf dan lain-lain. Pada tahun 1327 H. Abdul Malik pulang ke kampung halaman setelah kurang lebih 15 tahun belajar di Tanah Haram. Selanjutnya  ia berkhidmat kepada kedua orang tuanya yang sudah sepuh (lanjut usia). Lima tahun kemudian (1333 H.) ayahandanya (Muhammad Ilyas) meninggal dalam usia 170 tahun dan dimakamkan di Sokaraja. 

Sepeninggal ayahnya, Abdul Malik muda berkeinginan melakukan perjalanan ke daerah-daerah sekitar Banyumas, seperti Semarang, Pekalongan, Yogyakarta dengan berjalan kaki. Perjalanan ini diakhiri tepat pada seratus hari wafatnya sang ayah. Abdul Malik kemudian tinggal dan menetap di Kedung Paruk bersama ibundanya, Nyai Zainab. Sejak saat ini, ia kemudian lebih dikenal sebagai Syeikh Abdul Malik Kedung Paruk. 

Dalam hidupnya, Syaikh Abdul Malik memiliki dua amalan wirid utama dan sangat besar, yaitu membaca al-Qur’an dan Shalawat. Beliau tak kurang membaca shalawat sebanyak 16.000 kali dalam setiap harinya dan sekali menghatamkan al-Qur’an.

Adapun shalawat yang diamalkan adalah shalawat Nabi Khidir As atau lebih sering disebut shalawat rahmat, yakni “Shallallah ‘ala Muhammad.” Dan itu adalah shalawat yang sering beliau ijazahkan kepada para tamu dan murid beliau. Adapun shalawat-shalawat yang lain, seperti shalawat al-Fatih, al-Anwar dan lain-lain. Beliau juga dikenal sebagai ulama yang mempunyai kepribadian yang sabar, zuhud, tawadhu dan sifat-sifat kemuliaan yang menunjukan ketinggian dari akhlaq yang melekat pada diri beliau.

Sehingga amat wajarlah bila masyarakat Banyumas dan sekitarnya sangat mencintai dan menghormatinya.Beliau disamping dikenal memiliki hubungan yang baik dengan para ulama besar umumnya, Syaikh Abdul Malik mempunyai hubungan yang sangat erat dengan ulama dan habaib yang dianggap oleh banyak orang telah mencapai derajat waliyullah, seperti Habib Sholeh bin Muhsin al-Hamid (Tanggul, Jember), Habib Ahmad Bilfaqih (Yogyakarta), Habib Husein bin Hadi al-Hamid (Brani, Probolinggo), KH Hasan Mangli (Magelang), Habib Hamid bin Yahya (Sokaraja, Banyumas) dan lain-lain.

Diceritakan, saat Habib Soleh Tanggul pergi ke Pekalongan untuk menghadiri sebuah haul. Selesai acara haul, Habib Sholeh berkata kepada para jamaah,”Apakah kalian tahu, siapakah gerangan orang yang akan datang kemari? Dia adalah salah seorang pembesar kaum ‘arifin di tanah Jawa.”

Tidak lama kemudian datanglah Syaikh Abdul Malik dan jamaah pun terkejut melihatnya.  Hal yang sama juga dikatakan oleh Habib Husein bin Hadi al-Hamid (Brani, Kraksaan, Probolinggo) bahwa ketika Syaikh Abdul Malik berkunjung ke rumahnya bersama rombongan, Habib Husein berkata,”Aku harus di pintu karena aku mau menyambut salah satu pembesar Wali Allah.”

Pengembaraan Mempelajari ilmu Agama  dan Guru-Guru 

Setelah belajar al-Qur’an dengan ayahnya, asy-Syaikh kemudian mendalami kembali al-Qur’an kepada KH Abu Bakar bin H Yahya Ngasinan (Kebasen, Banyumas). Pada tahun 1312 H, ketika Syaikh Abdul Malik sudah menginjak usia dewasa, oleh sang ayah, ia dikirim ke Mekkah untuk menimba ilmu agama.

Syeikh Abdul Malik mempunyai banyak guru, baik selama belajar di Tanah Air maupun di Tanah Suci. Diantara guru-gurunya adalah Syekh Muhammad Mahfudz bin Abdullah at-Tirmisi al-Jawi, Sayyid Umar as-Syatha' dan Sayyid Muhammad Syatha', keduanya merupakan ulama besar Makkah dan Imam Masjidil Haram dan Sayyid Alwi Syihab bin Shalih bin Aqil bin Yahya. 

Sebelum berangkat ke tanah Suci, Syeikh Abdul Malik sempat berguru kepada Kyai Muhammad Sholeh bin Umar Darat Semarang, Sayyid Habib Ahmad Fad'aq (seorang ulama besar yang berusia cukup panjang, wafat dalam usia 141 tahun), Habib 'Aththas Abu Bakar al-Atthas; Habib Muhammad bin Idrus al-Habsyi, Surabaya; Sayyid Habib Abdullah bin Muhsin al-Atthas Bogor. 

Sanad Thoriqah Naqsabandiyah Kholidiyah diperolehnya secara langsung dari sang ayah, Syaikh Muhammad Ilyas; sedangkan sanad Thoriqah Sadzaliyah didapatkannya dari Sayyid Ahmad Nahrawi al-Makki (Mekkah). 

Selama bermukim di Makkah, Syeikh Abdul Malik diangkat oleh pemerintah Arab Saudi sebagai Wakil Mufti Madzhab Syafi'i, diberi kesempatan untuk mengajar berbagai ilmu agama termasuk, tafsir dan qira'ah sab'ah. Sempat menerima kehormatan berupa rumah tinggal yang terletak di sekitar Masjidil Haram atau tepatnya di dekat Jabal Qubes. 

Menurut beberapa santrinya, Syekh Abdul Malik sebenarnya tinggal di Makkah selama kurang lebih 35 tahun, tetapi tidak dalam satu waktu. Disamping belajar di tanah Suci selama 15 tahun, ia juga seringkali membimbing jamaah haji Indonesia asal Banyumas, bekerjasama dengan Syeikh Mathar Makkah. Aktivitas ini dilakukan dalam waktu yang relatif lama, jadi sebenarnya, masa 35 tahun itu tidaklah mutlak. 

Dalam ilmu al-Qur’an, khususnya ilmu Tafsir dan Ulumul Qur’an, ia berguru kepada Sayid Umar Syatha’ dan Sayid Muhammad Syatha’ (putra penulis kitab I’anatuth Thalibin hasyiyah Fathul Mu’in). 

Dalam ilmu hadits, ia berguru Sayid Thoha bin Yahya al-Magribi (ulama Hadhramaut yang tinggal di Mekkah), Sayid Alwi bin Shalih bin Aqil bin Yahya, Sayid Muhsin al-Musawwa, asy-Syaikh Muhammad Mahfudz bin Abdullah at-Tirmisi.

Dalam bidang ilmu syariah dan thariqah alawiyah ia berguru pada Habib Ahmad Fad’aq, Habib Aththas Abu Bakar al-Attas, Habib Muhammad bin Idrus al-Habsyi (Surabaya), Habib Abdullah bin Muhsin al-Attas (Bogor), Kyai Soleh Darat (Semarang).

Sementara itu, guru-gurunya di Madinah adalah Sayid Ahmad bin Muhammad Amin Ridhwan, Sayid Abbas bin Muhammad Amin Raidwan, Sayid Abbas al-Maliki al-Hasani (kakek Sayid Muhammad bin Alwi al-Maliki al-Hasani), Sayid Ahmadan-Nahrawi al-Makki, Sayid Ali Ridha. Setelah sekian tahun menimba ilmu di Tanah Suci, sekitar tahun 1327 H, asy-Syaikh Abdul Malik pulang ke kampung halaman untuk berkhidmat kepada keduaorang tuanya yang saat itu sudah sepuh (berusia lanjut).

Kemudian pada tahun 1333 H, sang ayah, asy-Syaikh Muhammad Ilyas berpulang ke Rahmatullah.

Sesudah sang ayah wafat, asy-Syaikh Abdul Malik kemudian mengembara ke berbagai daerah di Pulau Jawa guna menambah wawasan dan pengetahuan dengan berjalan kaki. Ia pulang ke rumah tepat pada hari ke-100 dari hari wafat sang ayah, dan saat itu umur asy-Syaikh berusia tiga puluh tahun.

Sepulang dari Pengembaraan Mempelajari ilmu Agama

Sepulang dari pengembaraan, asy-Syaikh tidak tinggal lagi di Sokaraja, tetapi menetap di Kedung Paruk bersama ibundanya, Nyai Zainab.

Perlu diketahui, asy-Syaikh Abdul Malik sering sekali membawa jemaah haji Indonesia asal Banyumas dengan menjadi pembimbing dan syaikh. Mereka bekerjasama dengan asy-Syaikh Mathar Mekkah, dan aktivitas itu dilakukan dalam rentang waktu yang cukup lama. Sehingga wajarlah kalau selama menetap di Mekkah, ia memperdalam lagi ilmu-ilmu agama dengan para ulama dan syaikh yang ada di sana.

Berkat keluasan dan kedalaman ilmunya, Syaikh Abdul Malik pernah memperoleh dua anugrah yakni pernah diangkat menjadi Wakil Mufti Madzab Syafi’i di Mekkah dan juga diberi kesempatan untuk mengajar. Pemerintah Saudi sendiri sempat memberikan hadiah berupa sebuah rumah tinggal yang terletak di sekitar Masjidil Haram atau tepatnya di dekat Jabal Qubes. Anugrah yang sangat agung ini diberikan oleh Pemerintah Saudi hanya kepada para ulama yang telah memperoleh gelaral-‘Allamah.

Syaikh Ma’shum (Lasem, Rembang) setiap berkunjung ke Purwokerto, seringkali menyempatkan diri singgah di rumah asy-Syaikh Abdul Malik dan mengaji kitab Ibnu Aqil Syarah Alfiyah Ibnu Malik secara tabarrukan (meminta barakah) kepada asy-Syaikh Abdul Malik.

Demikian pula dengan Mbah Dimyathi (Comal, Pemalang), KH Khalil (Sirampog, Brebes), KH Anshori (Linggapura, Brebes), KH Nuh (Pageraji, Banyumas) yang merupakan kiai-kiai yang hafal al-Qur’an, mereka kerap sekali belajar ilmu al-Qur’an kepada Syaikh Abdul Malik.

Perjuangan Fisik

Adalah tidak benar, jika para ulama ahli tasawuf disebut sebagai para pemalas, bodoh, kumal dan mengabaikan urusan-urusan duniawi. Meski tidak berpakaian Necis, namun mereka senantiasa tanggap terhadap berbagai kejadian yang ada di sekitarnya. Ketika zaman bergolak dalam revolusi fisik untuk melepaskan diri dari belenggu penjajahan bangsa asing, para ulama ahli Thoriqoh senyatanya juga turut berjuang dalam satu tarikan nafas demi memerdekakan bangsanya. 

Pada masa-masa sulit zaman penjajahan Belanda dan Jepang, Syeikh Abdul Malik senantiasa gigih berdakwah. Karena aktivitasnya ini, maka ia pun menjadi salah satu target penangkapan tentara-tentara kolonial. Mereka sangat khawatir pada pengaruh dakwahnya yang mempengaruhi rakyat Indonesia untuk memberontak terhadap penjajah. Menghadapi situasi seperti ini, ia justru meleburkan diri dalam laskar-laskar rakyat. Sebagaimana Pangeran Diponegoro, leluhurnya yang berbaur bersama rakyat untuk menentang penjajahan Belanda, maka ia pun senantiasa menyuntikkan semangat perjuangan terhadap para gerilyawan di perbukitan Gunung Slamet. 

Pada masa Gestapu, Syeikh Abdul Malik juga sempat ditahan oleh PKI. Bersamanya, ditangkap pula Habib Hasyim al-Quthban Yogyakarta, ketika sedang bepergian menuju daerah Bumiayu Brebes untuk memberikan ilmu kekebalan atau kesaktian kepada para laskar pemuda Islam. Dalam tahanan ini, Habib Hasyim al-Quthban mengalami shock dan akhirnya meninggal, sedangkan Syekh Abdul Malik masih hidup dan akhirnya dibebaskan.


Kepribadian Syaikh Abdul Malik

Dalam hidupnya, Syeikh Abdul Malik memiliki dua amalan wirid utama dan sangat besar, yaitu membaca al-Qur'an dan Shalawat. Dikenal sebagai ulama yang mempunyai berkepribadian sabar, zuhud, tawadhu dan sifat-sifat kemuliaan yang menunjukan ketinggian akhlakul karimah. Maka amat wajarlah bila masyarakat Banyumas dan sekitarnya sangat mencintai dan menghormatinya. 

Syeikh Abdul Malik adalah pribadi yang sangat sederhana, santun dan ramah kepada siapa saja. Beliau juga gemar sekali melakukan silaturrahim kepada murid-muridnya, terutama kepada mereka yang miskin atau sedang mengalami kesulitan hidup. Santri-santri yang biasa dikunjunginya ini, selain mereka yang tinggal di Kedung Paruk maupun di desa-desa sekitarnya seperti Ledug, Pliken, Sokaraja, dukuh waluh, Bojong, juga sanri-santri lain yang tinggal di tempat jauh. 

Kehidupan Syaikh Abdul Malik sangat sederhana, disamping itu ia juga sangat santun dan ramah kepada siapa saja. Beliau juga gemar sekali melakukan silaturrahim kepada murid-muridnya yang miskin. Baik mereka yang tinggal di Kedung Paruk maupun di desa-desa sekitarnya seperti Ledug, Pliken, Sokaraja, dukuhwaluh, Bojong dan lain-lain.

Hampir setiap hari Selasa pagi, dengan kendaraan sepeda, naik becak atau dokar, Syaikh Abdul Malik mengunjungi murid-muridnya untuk membagi-bagikan beras, uang dan terkadang pakaian sambil mengingatkan kepada mereka untuk datang pada acara pengajian Selasanan (Forum silaturrahimpara pengikut Thariqah an-Naqsyabandiyahal-Khalidiyah Kedung paruk yang diadakan setiap hari Selasa dan diisi dengan pengajian dan tawajjuhan).

Keluarga Syaikh Abdul Malik

Syeikh Muhammad Abdul Malik bin Muhammad Ilyas menikahi tiga orang istri, dua di antaranya dikaruniai keturunan. Istri pertamanya adalah Nyai Hajjah Warsiti binti Abu Bakar yang lebih dikenal dengan nama Mbah Johar. Seorang wanita terpandang, puteri gurunya, K Abu Bakar bin H Yahya Kelewedi Ngasinan, Kebasen. Istri pertama ini kemudian dicerai setelah dikaruniai seorang anak lelaki bernama Ahmad Busyairi (wafat tahun 1953, pada usia sekitar 30 tahun). 

Ada sebuah cerita unik tentang putera pertamanya ini. Ahmad Busyairi adalah seorang pemuda yang meninggal dunia sebelum sempat menikah. Suatu hari Syeikh Abdul Malik berkata padanya, "Nak, besok kamu menikah di surga saja ya?"

Mendengar ayahnya bertutur demikian, muka Busyairi terlihat ceria dan hatinya merasa sangat gembira. Beberapa waktu kemudian, ia meninggal sebelum berkesempatan menikah. 

Istri kedua Syeikh Abdul Malik adalah Mbah Mrenek, seorang janda kaya raya dari desa Mrenek, Maos Cilacap. Pernikahan ini tidak dikaruniai anak. Istimewanya, suatu hari Syeikh Abdul Malik hendak menceraikannya, namun Mbah Mrenek berkata, "Pak Kyai, meskipun Panjenengan (Anda) tidak lagi menyukai saya, tapi tolong jangan ceraikan saya. Yang penting saya diakui menjadi istri Anda, dunia dan akhirat."

Mendengar permintaan ini, Syeikh Abdul Malik pun tidak jadi menceraikannya. 

Sedangkan istri ketiganya adalah Nyai Hj. Siti Khasanah, seorang wanita cantik dan shalihah, tetangganya sendiri. Pernikahan ini, dikaruniai seorang anak perempuan bernama Hj. Siti Khairiyyah yang wafat empat tahun sepeninggal Syekh Abdul Malik. Dari puterinya inilah nasab Syeikh Abdul Malik diteruskan.

Murid-murid Syaikh Abdul Malik

Murid-murid dari Syaikh Abdul Malik diantaranya KH Abdul Qadir, Kiai Sa’id, KH Muhammad Ilyas Noor (mursyid Thariqahan-Naqsabandiyah al-Khalidiyah), KH Sahlan (Pekalongan), Drs Ali Abu Bakar Bashalah (Yogyakarta), KH Hisyam Zaini (Jakarta), Habib Muhammad Luthfi bin Ali bin Yahya (Pekalongan), KH Ma’shum (Purwokerto) dan lain-lain.

Sebagaimana diungkapkan oleh murid beliau, yakni Habib Luthfi bin Yahya, Syaikh Abdul Malik tidak pernah menulis satu karya pun. “Karya-karya al-Alamah Syaikh Abdul Malik adalah karya-karya yang dapat berjalan, yakni murid-murid beliau, baik dari kalangan kyai, ulama maupun shalihin.Diantara warisan beliau yang sampai sekarang masih menjadi amalan yang dibaca bagi para pengikut thariqah adalah buku kumpulan shalawat yang beliau himpun sendiri, yaitu al-Miftah al-Maqashid li-ahli at-Tauhid fi ash-Shalah ‘ala babillah al-Hamid al-majid Sayyidina Muhammad al-Fatih li-jami’i asy-Syada’id.”

Shalawat ini diperolehnya di Madinah dari Sayyid Ahmad bin Muhammad Ridhwanial-Madani. Konon, shalawat ini memiliki manfaat yang sangat banyak, diantaranya bila dibaca, maka pahalanya sama seperti membaca kitab Dala’ilu al-Khairat sebanyak seratus sepuluh kali, dapat digunakan untuk menolak bencana dan dijauhkan dari siksa neraka.

Selain, menularkan ilmunya kepada santri-santi yang kemudian menjadi ulama dan pemimpin umat, Syeikh Abdul Malik juga memiliki santri-santri dari berbagai kalangan, seperti Haji Hambali Kudus, seorang pedagang yang dermawan dan tidak pernah rugi dalam aktivitas dagangnya dan Kyai Abdul Hadi Klaten, seorang penjudi yang kemudian bertaubat dan menjadi hamba Allah yang shaleh dan gemar beribadah. 


Pesan Syaikh Abdul Malik

Salah seorang cucu Syeikh Abdul Malik mengatakan, ada tiga pesan dan wasiat yang disampaikan Beliau kepada cucu-cucunya.

Pertama, jangan meninggalkan shalat. Tegakkan shalat sebagaimana telah  dicontohkan Rasululah Saw. Lakukan shalat fardhu pada waktunya secara berjama'ah. Perbanyak shalat sunnah serta ajarkan kepada para generasi penerus sedini mungkin. 

Kedua, jangan tinggalkan membaca al-Qur'an. Baca dan pelajari  setiap hari serta ajarkan sendiri sedini mungkin kepada anak-anak. Sebarkan al-Qur'an di manapun berada. Jadikan sebagai pedoman hidup dan lantunkan dengan suara merdu. Hormati orang-orang yang hafal al-Qur'an dan qari'-qari'ah serta muliakan tempat-tempat pelestariannya. 

Ketiga, jangan tinggalkan membaca shalawat, baca dan amalkan setiap hari. Contoh dan teladani kehidupan Rasulullah Saw serta tegakkanlah sunnah-sunnahnya. Sebarkan bacaan shalawat Rasulullah, selamatkan dan sebarluaskan ajarannya.

Syaikh Abdul Malik wafat

Pada hari Kamis, 21 Jumadil Akhir 1400 H. yang bertepatan dengan 17 April 1980 M. sekitar pukul 18.30 WIB (malam Jum'at), Syekh Abdul Malik meminta izin kepada istrinya untuk melakukan shalat Isya' dan masuk ke dalam kamar khalwatnya. Tiga puluh menit kemudian, salah seorang cucunya mengetuk kamar tersebut, namun tidak ada jawaban. Setelah pintu dibuka, rupanya sang mursyid telah berbaring dengan posisi kepala di utara dan kaki di selatan, tanpa sehela nafas pun berhembus.  Syeikh Abdul Malik kemudian dimakamkan pada hari Jum'at, selepas shalat Ashar di belakang Masjid Bahaul Haq wa Dhiyauddin Kedung Paruk, Purwokerto. 

 

Doa Nabi Sulaiman Menundukkan Hewan dan Jin

  Nabiyullah Sulaiman  'alaihissalam  (AS) merupakan Nabi dan Rasul pilihan Allah Ta'ala yang dikaruniai kerajaan yang tidak dimilik...