Kamis, 19 November 2020

Hukum Haid dan Nifas


Pembahasan soal darah pada wanita yaitu haid, nifas, dan istihadhah adalah pembahasan yang paling sering dipertanyakan oleh kaum wanita. Dan pembahasan ini juga merupakan salah satu bahasan yang tersulit dalam masalah fiqih, sehingga banyak yang keliru  dalam memahaminya. Bahkan meski pembahasannya telah berulang-ulang kali disampaikan, masih banyak wanita Muslimah yang belum memahami kaidah dan perbedaan dari ketiga darah ini. Mungkin ini dikarenakan darah tersebut keluar dari jalur yang sama namun pada setiap wanita tentulah keadaannya tidak selalu sama, dan berbeda pula hukum dan penanganannya.

HAID

Haidh atau haid (dalam ejaan bahasa Indonesia) adalah darah yang keluar dari rahim seorang wanita pada waktu-waktu tertentu yang bukan karena disebabkan oleh suatu penyakit atau karena adanya proses persalinan, dimana keluarnya darah itu merupakan sunnatullah yang telah ditetapkan oleh Allah kepada seorang wanita. Sifat darah ini berwarna merah kehitaman yang kental, keluar dalam jangka waktu tertentu, bersifat panas, dan memiliki bau yang khas atau tidak sedap.

Haid adalah sesuatu yang normal terjadi pada seorang wanita, dan pada setiap wanita kebiasaannya pun berbeda-beda. Ada yang ketika keluar haid ini disertai dengan rasa sakit pada bagian pinggul, namun ada yang tidak merasakan sakit. Ada yang lama haidnya 3 hari, ada pula yang lebih dari 10 hari. Ada yang ketika keluar didahului dengan lendir kuning kecoklatan, ada pula yang langsung berupa darah merah yang kental. Dan pada setiap kondisi inilah yang harus dikenali oleh setiap wanita, karena dengan mengenali masa dan karakteristik darah haid inilah akar dimana seorang wanita dapat membedakannya dengan darah-darah lain yang keluar kemudian.

Wanita yang haid tidak dibolehkan untuk shalat, puasa, thawaf, menyentuh mushaf, dan berhubungan intim dengan suami pada kemaluannya. Namun ia diperbolehkan membaca Al-Qur’an dengan tanpa menyentuh mushaf langsung (boleh dengan pembatas atau dengan menggunakan media elektronik seperti komputer, ponsel, ipad, dll), berdzikir, dan boleh melayani atau bermesraan dengan suaminya kecuali pada kemaluannya.

Allah Ta’ala berfirman:

وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الْمَحِيضِ قُلْ هُوَ أَذًى فَاعْتَزِلُواْ النِّسَاء فِي الْمَحِيضِ وَلاَ تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّىَ يَطْهُرْنَ فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللّهُ

“Mereka bertanya kepadamu tentang (darah) haid. Katakanlah, “Dia itu adalah suatu kotoran (najis)”. Oleh sebab itu hendaklah kalian menjauhkan diri dari wanita di tempat haidnya (kemaluan). Dan janganlah kalian mendekati mereka, sebelum mereka suci (dari haid). Apabila mereka telah bersuci (mandi bersih), maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepada kalian.” (QS. Al-Baqarah: 222)

Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata:

كَانَ يُصِيبُنَا ذَلِكَ فَنُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّوْمِ وَلَا نُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّلَاةِ

“Kami dahulu juga mengalami haid, maka kami diperintahkan untuk mengqadha puasa dan tidak diperintahkan untuk mengqadha shalat.” (HR. Al-Bukhari No. 321 dan Muslim No. 335)

 Batasan Haid :

Menurut Ulama Syafi’iyyah batas minimal masa haid adalah sehari semalam, dan batas maksimalnya adalah 15 hari. Jika lebih dari 15 hari maka darah itu darah Istihadhah dan wajib bagi wanita tersebut untuk mandi dan shalat. 
Imam Ibnu Taimiyah rahimahullah dalam ‎Majmu’ Fatawa mengatakan bahwa tidak ada batasan yang pasti mengenai minimal dan maksimal masa haid itu. Dan pendapat inilah yang paling kuat dan paling masuk akal, dan disepakati oleh sebagian besar ulama, termasuk juga Syaikh Ibnu Utsaimin ‎rahimahullah juga mengambil pendapat ini. Dalil tidak adanya batasan minimal dan maksimal masa haid :
Firman Allah Ta’ala.

وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الْمَحِيضِ ۖ قُلْ هُوَ أَذًى فَاعْتَزِلُوا النِّسَاءَ فِي الْمَحِيضِ ۖ وَلَا تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّىٰ يَطْهُرْنَ

“Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah : “Haid itu adalah suatu kotoran”. Oleh sebab itu, hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haid, dan janganlah kamu mendekatkan mereka, sebelum mereka suci…” [QS. Al-Baqarah : 222]

Ayat ini menunjukkan bahwa Allah memberikan petunjuk tentang masa haid itu berakhir setelah suci, yakni setelah kering dan terhentinya darah tersebut. Bukan tergantung pada jumlah hari tertentu. Sehingga yang dijadikan dasar hukum atau patokannya adalah keberadaan darah haid itu sendiri. Jika ada darah dan sifatnya dalah darah haid, maka berlaku hukum haid. Namun jika tidak dijumpai darah, atau sifatnya bukanlah darah haid, maka tidak berlaku hukum haid padanya. Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah menambahkan bahwa sekiranya memang ada batasan hari tertentu dalam masa haid, tentulah ada nash syar’i dari Al-Qur’an dan Sunnah yang menjelaskan tentang hal ini.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan : “Pada prinsipnya, setiap darah yang keluar dari rahim adalah haid. Kecuali jika ada bukti yang menunjukkan bahwa darah itu istihadhah.”

Berhentinya haid :

Indikator selesainya masa haid adalah dengan adanya gumpalan atau lendir putih (seperti keputihan) yang keluar dari jalan rahim. Namun, bila tidak menjumpai adanya lendir putih ini, maka bisa dengan mengeceknya menggunakan kapas putih yang dimasukkan ke dalam vagina. Jika kapas itu tidak terdapat bercak sedikit pun, dan benar-benar bersih, maka wajib mandi dan shalat.

Sebagaimana disebutkan bahwa dahulu para wanita mendatangi Aisyah radhiyallahu ‘anhadengan menunjukkan kapas yang terdapat cairan kuning, dan kemudian Aisyah mengatakan :

لاَ تَعْجَلْنَ حَتَّى تَرَيْنَ القَصَّةَ البَيْضَاءَ

“Janganlah kalian terburu-buru sampai kalian melihat gumpalan putih.” (Atsar ini terdapat dalam Shahih Bukhari).

NIFAS

Nifas adalah darah yang keluar dari rahim wanita setelah seorang wanita melahirkan. Darah ini tentu saja paling mudah untuk dikenali, karena penyebabnya sudah pasti, yaitu karena adanya proses persalinan. Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah mengatakan bahwa darah nifas itu adalah darah yang keluar karena persalinan, baik itu bersamaan dengan proses persalinan ataupun sebelum dan sesudah persalinan tersebut yang umumnya disertai rasa sakit. Pendapat ini senada dengan pendapat Imam Ibnu Taimiyah yang mengemukakan bahwa darah yang keluar dengan rasa sakit dan disertai oleh proses persalinan adalah darah nifas, sedangkan bila tidak ada proses persalinan, maka itu bukan nifas.

Batasan nifas : 

Tidak ada batas minimal masa nifas, jika kurang dari 40 hari darah tersebut berhenti maka seorang wanita wajib mandi dan bersuci, kemudian shalat dan dihalalkan atasnya apa-apa yang dihalalkan bagi wanita yang suci. Adapun batasan maksimalnya, para ulama berbeda pendapat tentangnya.

Ulama Syafi’iyyah mayoritas berpendapat bahwa umumnya masa nifas adalah 40 hari sesuai dengan kebiasaan wanita pada umumnya, namun batas maksimalnya adalah 60 hari. 

Mayoritas Sahabat seperti Umar bin Khattab, Ali bin Abi Thalib, Ibnu Abbas, Aisyah, Ummu Salamah radhiyallahu ‘anhum dan para Ulama seperti Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Ahmad, At-Tirmizi, Ibnu Taimiyah ‎rahimahumullah bersepakat bahwa batas maksimal keluarnya darah nifas adalah 40 hari, 

Berdasarkan hadits Ummu Salamah dia berkata, “Para wanita yang nifas di zaman Rasulullah -shallallahu alaihi wasallam-, mereka duduk (tidak shalat) setelah nifas mereka selama 40 hari atau 40 malam.” (HR. Abu Daud no. 307, At-Tirmizi no. 139 dan Ibnu Majah no. 648). Hadits ini diperselisihkan derajat kehasanannya. Namun, Syaikh Albani rahimahullah menilai hadits ini Hasan Shahih. Wallahu a’lam.

Ada beberapa ulama yang berpendapat bahwa tidak ada batasan maksimal masa nifas, bahkan jika lebih dari 50 atau 60 hari pun masih dihukumi nifas. Namun, pendapat ini tidak masyhur dan tidak didasari oleh dalil yang shahih dan jelas.

Wanita yang nifas juga tidak boleh melakukan hal-hal yang dilakukan oleh wanita haid, yaitu tidak boleh shalat, puasa, thawaf, menyentuh mushaf, dan berhubungan intim dengan suaminya pada kemaluannya. Namun ia juga diperbolehkan membaca Al-Qur’an dengan tanpa menyentuh mushaf langsung (boleh dengan pembatas atau dengan menggunakan media elektronik seperti komputer, ponsel, ipad, dll), berdzikir, dan boleh melayani atau bermesraan dengan suaminya kecuali pada kemaluannya.

Tidak banyak catatan yang membahas perbedaan sifat darah nifas dengan darah haid. Namun, berdasarkan pengalaman dan pengakuan beberapa responden, umumnya darah nifas ini lebih banyak dan lebih deras keluarnya daripada darah haid, warnanya tidak terlalu hitam, kekentalan hampir sama dengan darah haid, namun baunya lebih kuat daripada darah haid.

Wanita yang sedang nifas sama dengan hal-hal yang diharamkan oleh wanita yang sedang haidh, yaitu :

1. Sholat

Seorang wanita yang sedang mendapatkan Nifas diharamkan untuk melakukan salat. Begitu juga mengqada` salat. Sebab seorang wanita yang sedang mendapat nifas telah gugur kewajibannya untuk melakukan salat. Dalilnya adalah hadis berikut ini :

`Dari Aisyah r.a berkata : `Dizaman Rasulullah SAW dahulu kami mendapat nifas, lalu kami diperintahkan untuk mengqada` puasa dan tidak diperintah untuk mengqada` salat (HR. Jama`ah).

Selain itu juga ada hadis lainnya:

إذا أقبلت الحيضة فدعي الصلاة

`Dari Fatimah binti Abi Khubaisy bahwa Rasulullah SAW bersabda: `Bila kamu mendapatkan nifas maka tinggalkan salat`

2.  Berwudu` atau mandi janabah

As Syafi`iyah dan al Hanabilah mengatakan bahwa: `wanita yang sedang mendapatkan haid diharamkan berwudu`dan mandi janabah. Adapun sekedar mandi biasa yang tujuannya membersihkan badan, tentu saja tidak terlarang. Yang terlarang disini adalah mandi janabah dengan niat mensucikan diri dan mengangkat hadats besar, padahal dia tahu dirinya masih mengalami nifas atau haidh.

3. Puasa

Wanita yang sedang mendapatkan nifas dilarang menjalankan puasa dan untuk itu ia diwajibkannya untuk menggantikannya dihari yang lain.

4.Tawaf

Seorang wanita yang sedang mendapatkan nifas dilarang melakukan tawaf. Sedangkan semua praktek ibadah haji tetap boleh dilakukan. Sebab tawaf itu mensyaratkan seseorang suci dari hadas besar.

افعلوا ما تفعل الحاج غير أن لا تطوفي حتى تطهري

Dari Aisyah r.a berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda: `Bila kamu mendapat haid, lakukan semua praktek ibadah haji kecuali bertawaf disekeliling ka`bah hingga kamu suci (HR. Mutafaqq `Alaih)

5. Menyentuh Mushaf dan Membawanya

Allah SWT berfirman di dalam Al-Quran Al-Kariem tentang menyentuh Al-Quran :

لا يمسه إلا المطهرون

Dan tidak menyentuhnya kecuali orang yang suci.` . (Al-Qariah ayat 79)

Jumhur Ulama sepakat bahwa orang yang berhadats besar termasuk juga orang yang nifas dilarang menyentuh mushaf Al-Quran

6. Melafazkan Ayat-ayat Al-Quran

Kecuali dalam hati atau doa / zikir yang lafaznya diambil dari ayat Al-Quran secara tidak langsung.

لا تقرأ الجنب ولا الحائض شيئا من القرآن

Janganlah orang yang sedang junub atau haidh membaca sesuatu dari Al-Quran. (HR. Abu Daud dan Tirmizy)

 Namun ada pula pendapat yang membolehkan wanita nifas membaca Al-Quran dengan catatan tidak menyentuh mushaf dan takut lupa akan hafalannya bila masa nifasnya terlalu lama. Juga dalam membacanya tidak terlalu banyak. Pendapat ini adalah pendapat Malik. Demikian disebutkan dalam Bidayatul Mujtahid jilid 1 hal 133. Hujjah mereka adalah karena hadits di atas dianggap dhaif oleh mereka.

7. Masuk ke Masjid

Dari Aisyah RA. berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda, `Tidak ku halalkan masjid bagi orang yang junub dan haidh`. (HR. Bukhori, Abu Daud dan Ibnu Khuzaemah.)

8.Bersetubuh

Wanita yang sedang mendapat nifas haram bersetubuh dengan suaminya. Keharamannya ditetapkan oleh Al-Quran Al-Kariem berikut ini:

وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الْمَحِيضِ قُلْ هُوَ أَذًى فَاعْتَزِلُواْ النِّسَاء فِي الْمَحِيضِ وَلاَ تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّىَ يَطْهُرْنَ فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللّهُ إِنَّ اللّهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ

`Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: `Haidh itu adalah suatu kotoran`. Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci . Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.(QS. Al-baqarah :222)

Yang dimaksud dengan menjauhi mereka adalah tidak menyetubuhinya.

Sedangkan al Hanabilah membolehkan mencumbu wanita yang sedang nifas pada bagian tubuh selain antara pusar dan lutut atau selama tidak terjadi persetubuhan. Hal itu didasari oleh sabda Rasulullah SAW ketika beliau ditanya tentang hukum mencumbui wanita yang sedang haid maka beliau menjawab:

اصنعوا كل شيء إلا النكاح

`Lakukan segala yang kau mau kecuali hubungan badan (HR. Jama`ah)`.

Keharaman menyetubuhi wanita yang sedang nifas ini tetap belangsung sampai wanita tersebut selesai dari nifas dan selesai mandinya. Tidak cukup hanya selesai nifas saja tetapi juga mandinya. Sebab didalam al Baqarah ayat 222 itu Allah menyebutkan bahwa wanita haid itu haram disetubuhi sampai mereka menjadi suci dan menjadi suci itu bukan sekedar berhentinya darah namun harus dengan mandi janabah, itu adalah pendapat al Malikiyah dan as Syafi`iyah serta al Hanafiyah.

Bila seorang wanita mendapat darah tiga hari sebelum kelahiran, sebagaimana yang telah disepakati oleh para ulama bahwa darah nifas itu adalah darah yang keluar pada saat melahirkan. maka darah yang kelauar sebelumnya bukanlah darah nifas, tetapi darah fasad.

Bila seorang wanita telah selesai nifas dan mandi tiba-tiba darah keluar lagi setelah empat puluh hari.

Ada ulama yang berpendapat bahwa tidak ada batas maksimal untuk nifas, sehingga bila keluar lagi setelah berhenti sebelumnya maka itu termasuk nifas juga bukan darah istihadhah karen aitu dia tetap tidak boleh salat dan berpuasa. namun para fuqaha yang lain mengatakan bahwa: masa nifas itu hanyalah empat puluh hari atau enam puluh hari (Syafi`i). sehingga bila keluar lagi darah setelah itu tidak bisa disebut darah nifas. dan itu adalah darah istihadhah.

ISTIHADHAH

Istihadhah adalah darah yang keluar di luar kebiasaan, yaitu tidak pada masa haid dan bukan pula karena melahirkan, dan umumnya darah ini keluar ketika sakit, sehingga sering disebut sebagai darah penyakit. Imam Nawawi rahimahullah dalam Syarah Muslim mengatakan bahwa istihadhah adalah darah yang mengalir dari kemaluan wanita yang bukan pada waktunya dan keluarnya dari urat.

Sifat darah istihadhah ini umumnya berwarna merah segar seperti darah pada umumnya, encer, dan tidak berbau. Darah ini tidak diketahui batasannya, dan ia hanya akan berhenti setelah keadaan normal atau darahnya mengering.

Wanita yang mengalami istihadhah ini dihukumi sama seperti wanita suci, sehingga ia tetap harus shalat, puasa, dan boleh berhubungan intim dengan suami.

Imam Bukhari dan Imam Muslim telah meriwayatkan dari Aisyah radhiyallahu ‘anha :

 جَاءَتَ فاَطِمَةُ بِنْتُ اَبِى حُبَيْشٍ اِلَى النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقَلَتْ ياَرَسُوْلُ اللهِ اِنِّى امْرَاَةٌ اُسْتَحَاضُ فَلاَ اَطْهُرُ، اَفَاَدَعُ الصَّلاَةَ؟ فَقَالَ ياَرَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لاَ، اِنَّمَا ذَلِكَ عِرْقٌ وَلَيْسَ بِالْحَيْضَةِ فَاِذَااَقْبَلَتِ الْحَيْضَةُ فَاتْرُكِى الصَّلاَةَ، فَاِذَا ذَهَبَ قَدْرُهَا فاَغْسِلِى عَنْكِ الدَّمَ وَصَلِّى

Fatimah binti Abi Hubaisy telah datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu berkata: “Ya Rasulullah, sesungguhnya aku adalah seorang wania yang mengalami istihadhah, sehingga aku tidak bisa suci. Haruskah aku meninggalkan shalat?” Maka jawab Rasulullah SAW: “Tidak, sesungguhnya itu (berasal dari) sebuah otot, dan bukan haid. Jadi, apabila haid itu datang, maka tinggalkanlah shalat. Lalu apabila ukuran waktunya telah habis, maka cucilah darah dari tubuhmu lalu Sholat lah. 

 

Wahyu Kraton dalam Keris


Keris-keris yang paling tinggi bersifat khusus adalah Keris Keraton.
Di bawah tingkatan keris keraton yang mengandung wahyu keraton, ada keris-keris lain yang mengandung di dalamnya apa yang disebut sebagai wahyu kepangkatan dan derajat dan wahyu keningratan.

Keris Keraton adalah keris-keris dan pusaka bentuk lain yang maksud dan tujuan dalam pembuatannya adalah dikhususkan untuk nantinya dipasangkan dengan orang si penerima wahyu keraton, menjadi lambang kebesaran sebuah keraton, menjadi lambang kebesaran sebuah kerajaan / kadipaten / kabupaten sesuai tingkatan kerisnya (sesuai tingkatan wahyu kerisnya).

Keris Keraton, pusaka yang menjadi lambang kebesaran sebuah keraton, terkandung di dalamnya apa yang disebut sebagai Wahyu Keraton, yaitu wahyu kepemimpinan pemerintahan / kenegaraan, yang akan dapat mengantarkan orang pemiliknya kepada posisi dan derajat yang tinggi menjadi seorang kepala pemerintahan, menjadi raja / kepala negara atau kepala daerah, sesuai kelas dan peruntukkan kerisnya (sesuai tingkatan wahyu kerisnya). 

Pengertian keraton bukanlah semata-mata sebuah bangunan keraton yang menjadi istana raja / adipati / bupati. Sebuah keraton melambangkan kebesaran sebuah pemerintahan. Bangunannya sendiri hanyalah simbol saja dari adanya sebuah pemerintahan.

Pengertian keraton terbagi dalam 3 tingkatan, yaitu keraton kerajaan, kadipaten dan kabupaten, sehinggapengertian keraton ini meliputi, sesuai tingkatannya masing-masing, kekuasaan dan kebesaran sebuahpemerintahan kerajaan, kadipaten dan kabupaten.

Dan yang disebut Keris Keraton bukanlah semua keris yang dimiliki oleh sebuah keraton atau semua keris yang dijadikan pusaka kerajaan atau semua keris yang menjadi perbendaharaan sebuah keraton dan disimpan di dalam ruang pusaka kerajaan. 

Keris Keraton adalah keris-keris yang mengandung wahyu keraton yang dalam pembuatannya khusus ditujukan untuk dipasangkan dengan wahyu kepemimpinan keraton yang sudah ada pada orang yang menjadi pemimpin di sebuah keraton untuk menjadi pusaka lambang kebesaran keraton tersebut.
Dalam kategori pusaka keraton ini termasuk juga, sesuai tingkatannya masing-masing, pusaka-pusaka yangmenjadi lambang kekuasaan dan kebesaran sebuah keraton kadipaten atau kabupaten.

Sebuah keris keraton baru akan menyatu dan memberikan tuahnya kepada seorang manusia pemiliknya yang memiliki wahyu keraton di dalam dirinya, atau kepada seorang pemiliknya yang cocok untuk menjadi wadah wahyunya.

Keris keraton adalah keris keningratan yang paling tinggi tingkatannya dan bersifat khusus, hanya untuk orang yang memiliki wahyu keraton saja di dalam dirinya.

Keris Keraton tidak boleh dipakai oleh sembarang orang, termasuk walaupun ia adalah anak seorang raja. Hanya orang-orang yang sudah menerima wahyu keraton saja yang boleh memakainya, karena keris itu pembuatannya ditujukan untuk dipasangkan dengan orang si penerima wahyu keraton, sehingga wahyu di dalam orang itu dan wahyu dari kerisnya akan mewujudkan sebuah sinergi kegaiban yang kegaibannya tidak akan bisa disamai oleh jenis pusaka apapun.

Keris Keraton dan Keris Pusaka Kerajaan sulit membedakannya. Orang harus memiliki spiritualitas yang tinggi untuk bisa membedakan kandungan wahyu di dalam masing-masing keris untuk bisa membedakan mana yang adalah Keris Keraton dan mana yang bukan Keris Keraton tetapi dijadikan Pusaka Kerajaan dan diperlakukan sama seperti sebuah Keris Keraton.


Secara umum keris-keris tersebut di atas adalah keris-keris yang bertuah wibawa kekuasaan dan hanya cocok untuk orang-orang yang status dan posisinya juga berkaitan dengan wibawa dan kekuasaan. Secara umum pada jaman sekarang ini keris-keris tersebut akan memberikan tuah yang bersifat menunjang wibawa kekuasaan, kepangkatan dan derajat (dan kerejekian). 

Jika keris-keris wahyu itu sudah dimiliki oleh seseorang yang sesuai dengan peruntukkan kerisnya, keris-keris itu akan memancarkan aura wibawanya dan akan dapat mengantarkan orang tersebut kepada posisi dan derajat yang tinggi sesuai peruntukkan kerisnya dan akan membantunya mengamankan posisi dan derajatnya dari gangguan atau perbuatan orang lain yang merongrong martabat dan wibawanya

Keris-keris yang dalam pembuatannya khusus ditujukan untuk menjadi pusaka lambang kebesaran dan yang untuk menjadi keris-keris pusaka keraton (kerajaan, kadipaten / kabupaten), yang maksud pembuatannya ditujukan untuk dipasangkan dengan wahyu keraton atau wahyu kepemimpinan pemerintahan kenegaraan yang sudah ada pada diri seseorang, memiliki tuah yang luar biasa, yang tidak bisa disejajarkan dengan keris-keris yang umum ataupun jimat dan mustika. Selain biasanya kerisnya berkesaktian tinggi, tuah dan wibawanya pun tidak sebatas hanya melingkupi diri manusia pemakainya, tetapi melingkupi suatu area yang luas yang menjadi wilayah kekuasaan yang harus dinaunginya. Biasanya sosok gaibnya juga adalah raja dan penguasa di alamnya. Karakter isi gaibnya menyerupai perwatakan wahyu keprabon yang menjadikan para mahluk halus dan manusia di dalam lingkup kekuasaannya menghormati si keris dan si manusia sebagai pemimpin dan penguasa di wilayah itu.

Karena itulah pada masanya, mungkin juga sampai sekarang, banyak orang memiliki pengertian yang salah seolah-olah siapa saja yang memiliki pusaka-pusaka keraton itu akan menjadikannya lebih mudah menduduki tahta kekuasaan dan akan jaya berkuasa, sehingga banyak orang yang memiliki pamrih atas pusaka-pusaka tersebut. 

Padahal segala sesuatunya tergantung pada orangnya itu sendiri, dan tergantung kepadanya juga apakah jiwa pusaka-pusaka keraton itu dapat luluh atau tidak ke dalam dirinya. Itulah yang disebut wahyu. Dan wahyu itu tidak dapat diperoleh hanya melalui pemilikan keris saja. Untuk dapat menerima wahyu, seseorang harus menjadikan dirinya sebagai wadah yang sesuai dengan watak dan sifat-sifat wahyunya. Karena itulah untuk dapat menerima sebuah wahyu seseorang harus bekerja keras, mesu raga penuh keprihatinan dan membentuk sifat-sifat kepribadian diri dan perbuatan yang sesuai dengan sifat-sifat wahyunya.

Seseorang yang memiliki sebuah keris / pusaka keraton, bukanlah jaminan bahwa orang itu akan dapat mencapai tampuk pemerintahan selama jiwa keris-kerisnya itu masih belum luluh dengan orang pemiliknya. Apabila seseorang telah benar-benar menguasai keris-keris tersebut, serta jiwa keris-keris itu telah luluh ke dalam dirinya, barulah orang tersebut mendapatkan sipat kandel  yang sebenarnya. Selama masih ada selisih kebatinan antara orangnya dengan keris-keris itu, maka selama itu pula keris-keris keramat tersebut tidak akan berguna. Keris-keris itu hanya cocok untuk orang-orang tertentu saja. Bisa saja kerisnya dimiliki oleh seseorang, tapi tidak semua orang pemiliknya bisa mendapatkan wahyunya.

Karena itulah, meskipun seseorang berhasil menyimpan keris-keris itu untuk dirinya sendiri, dan seandainya ia ingin meraih tampuk pemerintahan, tidak akan dapat dicapainya dengan bantuan keris-keris itu, karena jiwa keris-keris itu tidak luluh ke dalam dirinya. Itulah yang terjadi pada orang-orang yang berambisi menjadi penguasa, walaupun mereka membekali dirinya dengan bermacam-macam pusaka, tetapi tuah pusaka-pusaka itu tidak menyatu dengan dirinya. Yang kemudian terjadi adalah keberadaan dan perbuatan orang-orang itu hanya membuat kacau keadaan, pemerintahan yang tengah berjalan menjadi goyah karena digerilya oleh orang-orang tersebut. Rakyat yang menjadi korban.

Demikianlah keris-keris tersebut baru akan bermanfaat bagi pemiliknya apabila jiwa keris-keris itu telah luluh ke dalam dirinya.

Contoh Keris Kraton 

Kyai Nagasasra mempunyai karakter berwibawa, disujuti oleh kawula, dicintai dan dihormati rakyat, berperikemanusiaan, melindungi dan memberi kesejahteraan kepada rakyat.

Kyai Sabuk Inten mempunyai watak seperti lautan, luas tak bertepi, menampung arus sungai dan banjir yang bagaimanapun besarnya. Dan airnya selalu bergerak ke tempat yang membutuhkannya, tetapi gelombangnya dapat menunjukkan kedahsyatannya bila diperlukan.

Keris-keris Nagasasra dan Sabuk Inten melambangkan perwatakan Dewa Wisnu.
Keris-keris Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten masih harus dilengkapi dengan Kyai Sengkelat, keris yang juga tidak kalah pentingnya. Keris yang memiliki watak lengkap seorang prajurit sejati, mewakili perwatakan Dewa Hanoman, yang setia dan patuh pada kewajibannya, yang bekerja dan berjuang bukan untuk kepentingan dirinya sendiri, tetapi untuk tanah tumpah darah dan rakyatnya dengan penuh kejujuran tanpa pamrih, dan setia menjalankan perintah-perintah Yang Maha Kuasa.

Watak-watak manusia yang demikian jugalah yang dicari oleh mereka, yang diharapkan layak dan mampu menjadi pemimpin dan berbudi luhur, sejalan dengan watak dari keris-keris tersebut. Karenanya kesejahteraan rakyat dapat dijamin dan memberi kesempatan mengalirkan bantuannya kepada yang membutuhkannya

Itulah sebabnya keris-keris tersebut di atas dan keris-keris lain yang dulu terkenal kegaiban dan kesaktiannya sekarang sudah tidak ada lagi dalam kehidupan manusia, sudah moksa, masuk ke alam gaib bersama dengan fisik kerisnya, karena tidak mau jatuh ke tangan orang-orang yang mereka tidak berkenan. Tetapi pada waktunya nanti sesudah ditemukan sesosok manusia yang sesuai dengan perkenan mereka, mereka akan datang dengan sendirinya menyatukan diri kepada orang tersebut tanpa perlu diminta.

Keris-keris tertentu dulu yang terkenal kesaktian dan tuahnya, karena banyak orang yang ingin memilikinya dan memesan untuk dibuatkan, kemudian banyak dibuatkan tiruan / turunan-nya, sehingga kemudian banyak keris yang bentuknya seragam. Contoh keris yang banyak ditiru adalah keris Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten dan keris Kyai Sengkelat, dan keris-keris tiruannya sering disebut keris berdapur nagasasra (atau berdapur naga), berdapur sabuk inten atau berdapur sengkelat.

Bila yang membuat keris-keris berdapur naga atau sengkelat itu adalah empu yang sama dengan yang membuat keris aslinya, maka keris-keris itu disebut keris turunannya, tetapi bila yang membuatnya adalah empu lain, maka keris-keris itu disebut keris tiruannya (tetiron).

 

Pusaka Kraton Mataram


Keberadaan sutau kerajaan tidak terlepas dari beberapa benda yang dipakai sebagai sebagai symbol  atau pun sebagai benda yang mempunyai kekuatan supranatural yang dipergunakan sebagai pendukung upacara upacara tradisi kerajaan. Demikian pula halnya dengan keraton Yogyakarta yang mempunyai beberapa pusaka yang berupa Tombak, keris, regalia, ampilan, panji panji, gamelan dan juga kereta.

Dari masing masing pusaka tersebut biasanya mempunyai  nama nama tersendiri serta gelar kehormatan yakni Knjeng Kyai atau Kanjeng Nyai ada juga dengan gelar kehormatan Kanjeng Kyai Ageng untuk pusaka yang mempunyai daya magis paling besar. Keberadaan pusaka kraton dianggap mempunyai kekuatan supranatural dan juga bersifat sakral dan sebagian merupakan warisan turun menurun . Berbagai pusaka tersebut ditempatkan di Bangsal Proboyekso dan di jaga oleh prajurit Keraton.

Benda benda pusaka tersebut selalu di bersihkan setiap tahunnya, atau yang lebih dikenal dengan nama jamasan. Jamasan itu sendiri biasanya dilakukan pada bulan Sura pada penanggalan jawa atau bulan Muharram. 

Jamasan tersebut ada yang bersifat khusus artinya jamasan hanya boleh dilakukan oleh Sultan sendiri, pusaka yang masuk kategori ini adalah Kanjeng Kyai Ageng Plered dengan mengambil tempat di keraton bagian dalam. Kemudian ada jamasan yang dilakukan oleh saudara saudara Sultan dan juga oleh para abdi dalem. 

Untuk tempat juga berbeda beda diantara pusaka pusaka tersebut ada yang menggunakan tempat didalam keraton dan tidak di saksikan secara umum  namun juga ada yang bisa disaksikan secara terbuka yakni jamasan kereta ‎yang dilakukan di Museum kereta.

‎Beberapa Nama Dan Dhapur Keris Keraton Surakarta

Keris Kanjeng Kyahi Anggrek Kurak ( Keris Luk 3 )
Keris Kanjeng Kyahi singkir Dhana ( singkir Geni )
Kanjeng Kyahi Ageng Pamor
Keris Kanjeng Kyahi Naga Kencana ( Keris Luk 9 )
Keris Kanjeng Kyahi Jaka Mulya ( Keris Luk 9 )
Keris Kanjeng Kyahi Naga Sapta ( Keris Luk 7) 
Keris Kanjeng Kyahi Pakumpulan
Keris Kanjeng Kyahi Nagasasra Dan Kanjeng Kyahi Sabuk Inten

Berikut beberapa pusaka keraton Yogyakarta antara lain : 

Kanjeng Kyahi Ageng Plered ( Dhapur Tombak ) 
Keris Kanjeng Kyahi Ageng Kopek ( Dhapur Jalak sangu Tumpeng )
Keris Kanjeng Kyahi Ageng Jaka Piturun ( Dhapur Jalak Dhinding )
Keris Kanjeng Kyahi Ageng Sengkelat ( Dhapur Luk 13 Sengkelat )
Kanjeng Kyahi Godo Tapan & Kanjeng Kyahi Ageng Godowedono (Tombak)
Keris Kanjeng Kyahi Ageng Mahesa Nular ( Dhapur Mahesa Lajer )
Keris Kanjeng Kyahi Ageng Simbar Inten ( Dhapur Luk 5 Pandhawa Panimbal )
Keris Kanjeng Kyahi Ageng Purbaniyat ( Dhapur Mahesa Teki )
Kanjeng Kyahi Ageng PancerNegara ( Dhapur Tombak ) 
Kanjeng Kyahi Ageng Baru ( Dhapur Tombak )
Kanjeng Kyahi Pangarabarab ( Dhapur Pisau )
Keris Kanjeng Kyahi Panji Harjamanik ( Dhapur Luk 5 Pandhawa )
Keris Kanjeng Kyahi Urub Jingga ( Dhapur Luk 13 sengkelat )
Keris Kanjeng Kyahi Toya Tinaban ( Dhapur Luk 3 Jangkung Mayat )
Keris Kanjeng Kyahi Gajah Manglar ( Dhapur Gajah Manglar )
Keris Kanjeng Kyahi Suralasem ( Dhapur Jalak )
Keris Kanjeng Kyahi Wisa Bintulu ( Dhapur Luk 3 Urubing dilah )
Keris Kanjeng Kyahi Jaka Tuwa ( Dhapur Luk 5 Pandhawa Paniwen Panji Sekar )
Keris Kanjeng Kyahi Bale Wisa ( Dhapur Luk 13 Parung sari )
Keris Kanjeng Kyahi Harja Mulya ( Dhapur Cengkrong )
Keris Kanjeng Kyahi Mulya kusuma ( Dhapur Luk 5 Pandhawa Cinarita )
Keris Kanjeng Kyahi Naga Rangsang ( Dhapur Jalak )
Keris Kanjeng Kyahi Naga ( Dhapur Pasopati sekar Pala )
Keris Kanjeng Kyahi Blabar ( Dhapur Pasopati )
Keris Kanjeng Kyahi Wirun ( Dhapur Jalak )
Keris Kanjeng Kyahi Gutukapi ( Dhapur Jalak )
Keris Kanjeng Kyahi Punta ( Dhapur Sinom )
Keris Kanjeng Kyahi Brama Dhedhali ( Dhapur Tilam Upih )
Keris Kanjeng Kyahi Birawa ( Dhapur Luk 11 Carita )
Keris Kanjeng Kyahi Wewe Putih ( Dhapur Luk 11 Carita )
Keris Kanjeng Kyahi Paningset ( Dhapur Luk 13 Parung sari )
Keris Kanjeng Kyahi Laken Manik ( Dhapur Luk 13 Sengkelat )
Keris Kanjeng Kyahi Bale Wisa ( Dhapur Luk 13 Sengkelat )
Keris Kanjeng Kyahi Naga Puspita ( Dhapur Luk 13 Sengkelat Bergambar Naga )
Keris Kanjeng Kyahi TejaKusuma ( Dhapur Luk 13 Sengkelat )
Keris Kanjeng Kyahi Jaka Pratama ( Dhapur Luk 13 Sengkelat )
Keris Kanjeng Kyahi Wisa Mandaraji ( Dhapur Luk 13 sengkelat )
Keris  Kanjeng Kyahi Tambah Kusuma ( Dhapur Luk 13 Sengkelat )
Keris Kanjeng Kyahi Wisa Pramana ( Dhapur Luk 11 Sabuk Inten )
Keris Kanjeng Kyahi Bontit ( Dhapur Luk 11 Sabuk Inten )
Keris Kanjeng Kyahi Majuhun ( Dhapur Tilam Upih )
Keris Kanjeng Kyahi Sri Sadana ( Dhapur Tilam Upih )
Keris Kanjeng Kyahi Blabar ( Dhapur Pasopati sekar Pala )
Keris Kanjeng Kyahi Bathang Gajah ( Luk 11 Dhapur Carita )
Keris Kanjeng Kyahi Girireja ( Luk 11 Dhapur Carita )
Keris Kanjeng Kyahi Gunawisesa ( Luk 11 Dhapur Carita )
Keris Kanjeng Kyahi Pulang Geni ( Dhapur Lurus Pulang Geni )
Keris Kanjeng Kyahi Mahesa Gendari ( Dhapur Mahesa Lajer )
Keris Kanjeng Kyahi Danu warsa ( Dhapur Jalak sangu Tumpeng )
Keris Kanjeng Kyahi Wisa Pratandha ( Dhapur Jalak Sangu Tumpeng )
Keris Kanjeng Kyahi Jaka Kusuma ( Dhapur Jalak dinding )
Keris Kanjeng Kyahi Mandrabahning ( Dhapur Luk 3 Jangkung Mayat )
Keris Gandawisa ( Dhapur Luk 5 Pandhawa bernaga )
Keris Kanjeng Kyahi MahesaLengi ( Dhapur Luk 13 Sengkelat )
Kanjeng Kyahi Gadakusuma ( Dhapur Gada )
Keris Kanjeng Kyahi Regol ( Dhapur Regol )

KANJENG KYAI Balewiso
pusaka Kraton Yogyakarta, berdapur Parungsari, wrangka dari kayu Timoho dengan pendok bunton terbuat dari suasa. Semula milik Tumenggung Sasranegara kemudian diberikan ke anaknya Tumenggung Sasradiningrat yang menjadi menantu Sri Sultan HAMENGKU BUWONO I, keris ini kembali ke Kraton dijaman Sri Sultan HAMENGKU BUWONO V.

KANGJENG KYAI Baru
tombak pusaka Kraton Yogyakarta, berdapur baru, semula milik Ki Sawunggaling dari Bagelen kemudian diberikan ke Pangeran Mangkubumi melawan penjajahan Belanda.

KANGJENG KIAI Bathang Gajah
Keris pusaka Kraton Yogyakarta berdapur Carita Luk 11, wrangkanya kayu Trembalo, pendoknya emas blimbingan rinaja warna. 

KANGJENG KYAI Birowo 
Keris pusaka Kraton Yogyakarta, berdapur Carita, luk 11. Wrangkanya terbuat dari kayu Timoho dengan pendok dari emas bertahta berlian. Semula ini punya Sultan HAMENGKU BUWONO I yang dianugrahkan ke Pangeran Hadikusuma, putranya, akhirnya setelah berganti ganti pemilik kembali lagi ke Kraton dengan harga 300 ripis.

KANGJENG KYAI Danuwarso
Keris pusaka Kraton Yogyakarta berdapur Jalak Sangu Tumpeng, warangkanya dari kayu trembalo, pendoknya dari suasa, merupakan putran dari ‎KKA KOPEK, buatan Empu Supo dan dibuat jaman HAMENGKU BUWONO V. 

KANGKENG KYAI Godo Tapan
tombak pusaka Kraton Yogyakarta, berdapur Gada. Kini KK Gada Tapan dan KK Gada Wahana menjadi dua tombak pendamping pusaka KK Ageng Pleret.

KANGJENG KYAI Godo Wahono
Tombak Pusaka  Kraton Jogya, berdapur Gada dengan hiasan sinarasah emas, berasal dari pemberian pendeta dari Pratiwagung pada Sri Sultan HAMENGKU BUWONO III.

KANGJENG KYAI Gajah Manglar
Keris pusaka Kraton Yogyakarta, berdapur Gajah Manglar, warangka dari kayu Timoho, pendoknya dari emas bertahtakan intan berlian. Semula milik Sri Sultan HAMENGKU BUWONO I, diserahkan kepada putranya Pangeran Demang dan pada zaman Sultan  HAMENGKU BUWONO V kembali ke Kraton.

KANGJENG KYAI Gondowiseso
Keris pusaka Kraton Yogyakarta, berdapur Naga Siluman, warangka dari kayu Trembalo dan pendok bertahta rajawarna. Keris ini buatan Penembahan Mangkurat dizaman pemerintahan Sri Sultan HAMENGKU BUWONO V.

KANGJENG KYAI Girirejo
Keris pusaka Kraton Yogyakarta, berdapur Carita luk 11, warangka dari kayu Timoho, pendok dari pendok slorokterbuat dari suasa, sedang seloroknya dari emas murni. Keris ini dibeli Sri Sultan HAMENGKU BUWONO V dari abdi dalem bernama Bekel Wasadikara.

KANGJENG KYAI Gunowiseso
Keris Pusaka Keraton Yogyakarta, berdapur Carita dengan bagian ganja bertahtakan intan. Warangkanya dari kayu Timoho dengan pendok emas rajawarna. Keris ini buatan empu keraton pada jaman pemerintahan Sri Sultan HAMENGKU BUWONO V.

KANGJENG KYAI Gutuk api
Keris pusaka keraton Yogyakarta, berdapur Jalak, warangkanya dari kayu Timaha, pendoknya jenis blewahan terbuat dari emas bertahtakan intan permata raja warna. semula milik Sri Sultan HAMENGKU BUWONO I diberikan ke Pangeran Adinegara, putranya, selanjutnya jatuh ketangan Temenggung Mertadiningrat dan dikembalikan ke keraton pada mas Sri Sultan HAMENGKU BUWONO V.

KANGJENG KYAI Harjomulyo
salah satu keris pusaka Kraton Yogyakarta berdapur Cengkrong, warangka dari kayu Timoho, pendok blewahan terbuat dari emas, dengan ukiran bahan gading. Keris ini didapat Sri Sultan Hamengku Buwono II dari “Kangjeng Gubermen” sewaktu Sultan ditawan di Penang.

KANGJENG KYAI Joko Pratomo
nama salah satu pusaka Kraton Yogyakarta, berdapur Sengkelat Luk 13, warangkanya dari kayu Timoho dengan pendok emas bertahtakan Raja Werdi. Keris ini merupakan duplikat (putran) dari KK Sengkelat yang dibuat dihalaman Kraton, tadinya milik Penembahan Mangkurat, kemudian ditarik ke Kraton dimasa Sri Sultan HAMENGKU BUWONO V.

KANGJENG KYAI Joko Tuwo
keris pusaka kraton Yogyakarta, berdapur Pandawa Paniwen Panji Sekar, warangka dari kayu Timoho Bosokan Kendit Putih, pendoknya blewahan terbuat dari suasa. Semula milik Adipati Purwadiningrat dari Magetan diberikan ke putrinya Kangjeng Ratu Kedaton, kemudian menjadi permaisuri Sri Sultan HAMENGKU BUWONO II sehingga kerisnya juga menjadi pusaka kraton.

KANGJENG KYAI Jimat 
salah satu Tombak Pusaka Kraton Yogyakarta, berdapur KUDUP GAMBIR, dimiliki Sri Sultan HAMENGKU BUWONO I sejak masih menjadi Pangeran Mangkubumi.

KERIS PUSAKA KANGJENG KYAI AGENG JAKA PITURUN, 
dianggap keris jabatan Raja Yogyakarta, berdapur Jalak Dinding, wrangka kayu Timoho denganpendok Suasa dihias batu permata. KKA JAKA PITURUN selalu dipakai Pangeran Mangkubumi semasa berperang melawan Belanda.

KERIS PUSAKA KANGJENG KYAI AGENG KOPEK, 
Keris Pusaka Kraton Yogyakarta yang dianggap PUSAKA UTAMA. Berdapur Jalak Sangu Tumpeng dengan warangka kayu Cendana wangi, pamor tidak diketahui tetapi pendoknya suasa bentuknya blewahan. KKA KOPEK dulu tanda mata Susuhunan PAKU BUWONO III kepada Pangeran Mangkubumi melalui Gubernur dan Direktur Pesisir Utara Pulau Jawa, Nicolaas Hartingh, sewaktu beliau dinobatkan sebagai Sultan Yogyakarta pada tanggal 13 februari 1755.

Kisahnya saat Pangeran Mangkubumi menjadi Sri Sultan HAMENGKU BUWONO I, saat itu banyak bupati kraton Surakarta ingin bergabung antara lain Mangun Oneng dari Pati, karena dicurigai akan berkhianat maka Mangkubumi memerintahkan orang menghukum mati ‎Mangun Oneng dengan Pedang dan kemudian menjadikan pedang tersebut pusaka kraton.

KANGJENG KYAI Klerek 
Nama tombak pusaka Kraton Yogyakarta, berdapur Bandotan Luk 9, semula milik Prawirarana, prajurit Pangeran Mangkubumi. Prajurit ini berhasil membunuh Mayor Clereq sehingga tombaknya dinamakan Klerek dan diminta Pangeran Mangkubumi sebagai pusaka Kraton.

KANGJENG KYAI Laken Manik
keris pusaka Kraton Yogyakarta, berdapur Sangkelat luk 13, warangkanya dari kayu cendana, pendoknya suasa blewahan. Milik Pangeran Hadiwinata yang diberikan ke Sri Sultan HAMENGKU BUWONO V. 

Kanjeng Kyai Lindri
salah satu keris pusaka Kraton Yogyakarta, dapur Pasopati, Warangka dari kayu Timoho dan pendoknya emas murni bertahtakan rajawarna. Dibuat pada Pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono II dan diberikan ke putrinya Kangjeng Ratu Maduretno dan kembali ke Kraton di jaman Sri Sultan Hamengku Buwono V.

KANGJENG KYAI Mahesolengi 
Pusaka kraton Yogyakarta, dapur tidak diketahui pasti, ada yang mengatakan dapur Paniwen ada yang mengatakan Sengkelat, dihias kinarasah emas permata hingga pucuk. Warangka dari kayu Trembalo dengan pendok dari emas Rajawarna, buatan Penembahan Mangkurat dimasa Sri Sultan HAMENGKU BUWONO V dan merupakan putran dari keris milik Tumenggung Sastranegara, bupati Mancanegara.

KANGJENG KYAI Mahesa Gendari
Pusaka Kraton Yogyakarta, berdapur kebo Lajer, warangka dari kayu Timoho. Pendoknya dari suasa. Semula milik Adipati Danurejo yang bergelar KPH Kusumoyudo. Kemudian diserahkan ke Kraton pada masa pemerintahan Sri Sultan HAMENGKU BUWONO V.

KANGJENG KYAI Mandrabahning
Keris pusaka kraton Yogyakarta, berdapur jangkung mayat, warangka Timoho dengan pendok emas, merupakan putran dari keris KK TOYATINABAN,dibuat oleh Empu Lurah Mangkudahana dijaman Sri Sultan HAMENGKU BUWONO V.

KANGJENG KYAI Mangun Oneng
Pedang pusaka milik Kraton Yogyakarta, berdapur lameng, dibawa selalu oleh abdi dalem wanita yang senantiasa berada dibelakang raja dalam setiap upacara besar di kraton.

KANGJENG KYAI Mulyo Kusumo
Salah satu keris pusaka Kraton Yogyakarta, dapur Pendawa Cinarita, luk 5 dengan warangka dari Cendana. Pendoknya jenis blewahan serta dari suasa. Keris ini didapat sebagai hadiah untuk Sri Sultan Hamengku Buwono II ketika ditawan di Pulau Penang.

KANGJENG KYAI Nogo Puspito
Pusaka kraton Yogyakarta, dapurnya tidak jelas, ada yang mengatakan berdapur Sengkelat tetapi ada yang mengatakan berdapur Naga Sastra. Warangkanya kayu Trembalo, pendok dari emas bertahta intan permata, dibuat di jaman Sri Sultan HAMENGKU BUWONO II, tempat pembuatannya di Pulo Gedong, Taman Sari. Setelah selasai diberikan pada Gusti Raden Mas Surojo yang kemudian menjadi  Sri Sultan HAMENGKU BUWONO III.

KANGJENG KYAI Nogo Rangsang 
Pusaka kraton Yogyakarta, berdapur Jalak dengan Gandik Naga, keterangannya tidak jelas, mungkin dapurnya Naga Tapa, Warangkanya kayu Cendana, pendok dari emas bertahtakan permata, semula milik Sri Sunan HAMENGKU BUWONO I.

KANGJENG KYAI Nogo 
Salah satu Pusaka Kraton Yogyakarta, berdapur Pasopati, pamor Kembang Pala, warangka kayu Timoho jenis bosokan, dengan pendok Emas Rajawarna. Dibuat di Tamanan Kraton, dimasa pemerintahan Sri Sunan HAMENGKU BUWONO I.

KANGJENG KYAI Paningset 
Keris pusaka kraton Yogya, luk 13 dan berdapur Parungsari,warangka dari kayu Trembalo dengan pendok dari emas murni bertahta emas permata dikelilingi manik manik. Semula keris ini milik ‎Pangeran Mangkukusuma yang kemudian dipersembahkan ke Sri Sultan HAMENGKU BUWONO V.

KANGJENG KYAI Harjomanik 
Salah satu pusaka kraton Yogya, berdapur Pendawa Paniwen walau nama ini tidak ada dalam Pakem Dapur Keris. Warangka dari kayu Timoho dengan pendok dari emas. Merupakan putran KK. JAKATUWA, dibuat oleh empu Lurah ‎Mangkudahana dijaman Sri Sultan HAMENGKU BUWONO V.

KANGJENG KYAI Panungkup 
Keris pusaka kraton Yogya, berdapur Sempana dengan luk sinarasah, warangka dari kayu Timaha, pendok emas Rajawarna, keris ini buatan Empu Lurah Supa dijaman Sri Sultan HAMENGKU BUWONO V dan merupakan putran KKA Panungkup.

KANGJENG KYAI Pengarab-arab
Nama salah satu pedang pusaka kraton Yogyakarta. Berdapur Lameng, digunakan khusus untuk menghukum mati yang dilakukan oleh petugas disebut Abdidalem Singoranu.

KANGJENG KYAI Pleret  
Pusaka kraton Yogya berupa tombak serta dianggap paling tinggi kedudukannya, berdapur Pleret. Hanya Raja atau Pangeran Sepuh yang diijinkan mencuci atau menjamah tombak ini.

PAMOR Prambanan
Batu meteor yang jatuh didaerah Prambanan pertengahan abad 18, terdiri atas dua bagian, meteor pertama diambil atas perintah Sri Paku Buwono III tanggal 13 februari 1784 dan kedua lebih besar lagi diambil atas perintah PAKU BUWONO IV pada tanggal 12 februari 1797. setelah sampai di keraton Surakarta dinamakan Kangjeng Kyai Pamor dan dipakai sebagai cadangan pembuat pamor keris/tombak.

KANGJENG KYAI Pulanggeni
Keris pusaka kraton Yogya berdapur Tilam Upih, warangkanya Kayu Trembalo, pendok dari emas dihias rinaja werdi. Dibeli Sri Sultan HAMENGKU BUWONO V dari mranggi bernama Mas Darmapanembung.

*Dan Masih Banyak Nama keris Pusaka Keraton Yang belum sempat Terupdate karena keterbatasan 

Tidak semua koleksi pusaka keraton dapat dilihat secara umum, hanya beberapa yang dapat dilihat di area Kraton.

 

Sejarah Sragen dan Tumenggung Alap-alap


Hari Jadi Kabupaten Sragen ditetapkan dengan Perda Nomor 4 Tahun 1987, yaitu pada hari Selasa Pon, tanggal 27 Mei 1746 Tangal dan waktu tersebut adalah dari hasil penelitian serta kajian pada fakta sejarah, ketika Pangeran Mangkubumi yang kemudian hari menjadi Sri Sultan Hamengku Buwono ke I , menancapkan tonggak pertama melakukan perlawanan terhadap Belanda menuju bangsa yang berdaulat dengan membentuk suatu pemerintahan lokal di  Desa Pandak Karangnongko masuk tlatah Sukowati.

Proses & Kronologi

Kerajaan Mataram di Kartasura terjadi kekacauan. Suasana pada saat itu sangat ricuh. Raden Mas Garendi, putra Pangeran Tepasana menentang kebijaksanaan para narapraja Mataram, terutama kepada Patih Pringgalaya yang lengket sekali dengan Kompeni Belanda. Raden Mas Garendi ingin membalas dendam karena ayahnya Pangeran Tepasana dihukum mati tanpa jelas kesalahannya. Suatu hari Kanjeng Susuhunan Paku Buwana II berbincang-bincang dengan Tumenggung Alap-alap di Dalem Ageng.

“Hai, Tumenggung Alap-alap !”, sabda Kanjeng Sunan mengawali pembicaraan.
“Daulat Gusti”, jawab Tumenggung Alap-alap sambil menyembah.
“Coba, katakanlah yang sebenarnya, apa yang telah terjadi pada para narapraja di Kartasura ?”

“Ampun Gusti, hamba mendengar kabar, bahwa ananda Raden Mas Garendi melakukan pemberontakan menentang kompeni.”

“Bila demikian keadaannya, yang repot kan saya. Hai Alap-alap, menghadapi keadaan ini aku jadi bingung. Mana yang harus saya dukung ?”
“Ampun Gusti, ananda Garendi menentang kompeni, itu merupakan usaha untuk mengembalikan kemuliaan nama dan kewibawaan Paduka Kanjeng Sinuhun”, sembah Tumenggung Alap-alap.

“Lho, kalau begitu, kamu menyetujui tindakan si Garendi. Benarkah itu ?”
“Ampun, beribu ampun Gusti, Begitulah nyatanya.”
“Oooo…..Alap-alap, sadarlah keadaanmu, keadaan kita sekarang ini. Mampukah kita melawan kekuatan kompeni ? Kompeni memiliki senapan dan meriam, sedangkan kita…. Orang jawa, hanya memiliki senjata tombak. Saya tidak berani menentang kompeni. Kasihan para prajurit yang menjadi korban sia-sia.” 

Mendengar sabda Kanjeng Sunan, Tumenggung Alap-alap hanya terpaku diam. Dari kata-kata Kanjeng Sunan tersebut, menunjukkan sikap Kanjeng Sunan tidak teguh dan sangat lemah. Sikap demikian itu justru dapat membahayakan kedudukan Tumenggung Alap-alap sebagai narapraja Mataram. Maka dari itu, untuk menghindari segala kemungkinan yang dapat merugikan dirinya, diputuskanlah dia beserta keluarganya harus pergi dari Kartasura. 

Kemudian pergilah Tumenggung Alap-alap beserta seluruh keluarga dan kaum kerabatnya dari Surakarta menuju ke arah timur, ke daerah Sukawati. Dia pergi dengan membawa perasaan benci, kecewa, baik terhadap Sunan Pakubuwono maupun terhadap Patih Pringgalaya. Dalam perjalanannya itu sampailah mereka di desa Kranggan, daerah Sukawati. Di situ Alap-alap menyamar sebagai pendeta dengan nama Kyai Srenggi. 

Sementara itu pasukan pemberontak di bawah pimpinan Raden Mas Garendi dalam hati megharapkan datangnya bantuan dari Kanjeng Sunan Pakubuwono, sesuai dengan janji Sunan sendiri. Namun bantuan itu tak kunjung datang. Bahkan akhirnya diketahui, bahwa Kanjeng Sunan membantu kompeni. 

Menyaksikan sikap Sunan tersebut, Raden Mas Garendi sangat marah. Dia bertekad untuk mengusir kompeni dari bumi Jawa dan menghancurkan Kraton Kartasura yang dijadikan sarang Kompeni Belanda. Maka pecahlah pertempuran yang hebat antara pasukan pemberontak melawan pasukan Sunan yang dibantu oleh Kompeni Belanda.

Dalam suasana yang sangat kacau itu, Sunan lolos meninggalkan kraton. Rombongan mereka itu pergi ke arah timur. Sesampainya di desa Lawean berhenti sejenak untuk melepaskan lelah. Namun di situ dirasa tidak aman, maka perjalanan diteruskan ke Ponorogo. Akhirnya pada tahun 1742, Kraton Kartasura jebol dan diduduki oleh pasukan pemberontak. Kemudian diangkatlah Raden Mas Garendi menjadi Sunan di Kartasura oleh para pendukungnya dengan gelar Sunan Kuning. 

Pada suatu hari Patih Pringgalaya bercakap-cakap dengan Kapten Wilhem, pimpinan Kompeni di benteng Kartasura. Dari hasil pembicaraan yang singkat tersebut, kemudian Kapten Wilhem minta bantuan ke Batavia. Tidak lama kemudian bantuan itu pun datang. Terjadilah pertempuran yang lebih hebat dari sebelumnya. Akhirnya karena perlengkapan dan jumlah serdadu Sunan dan Kompeni lebih lengkap dan lebih banyak, pasukan Sunan Kuning kalah dan diusir dari Kartasura. Setelah Sunan Kuning disingkirkan, Sunan Paku Buwana II yang masih berada di Ponorogo diberi tahu dan dimohon kembali ke Kartasura untuk menduduki tahtanya kembali. 

Kembalilah Kanjeng Sunan Paku Buwana II bersama rombongannya ke Kartasura. Namun Kanjeng Sunan tidak kerasan karena keadaan Kartasura yang porak poranda tidak mungkin dapat diperbaiki lagi. Maka Kanjeng Sunan memutuskan pindah dari Kartasura untuk membangun kraton baru. Kemudian dipilihlah desa Sala, sebagai calon kraton yang baru. Desa Sala dibangun dan diganti namanya menjadi “Surakarta Hadiningrat”. Pada waktu itu keadaan masih sangat kacau, masih banyak pemberontakan menentang Kompeni Belanda. Para pemberontak tersebut sebagian besar masih termasuk anggota keluarga raja ‎sendiri, dan yang paling ditakuti adalah Pangeran Mangkubumi di Sukawati.‎

Pangeran Mangkubumi adik dari Sunan Paku Buwono II di Mataram sangat membenci Kolonialis Belanda. Apalagi setelah Belanda banyak mengintervensi Mataram sebagai Pemerintah yang berdaulat. Oleh karena itu dengan tekad yang menyala Bangsawan tersebut lolos dari istana dan menyatakan perang dengan Belanda.

Atas sikap adiknya tersebut Sunan PB II tidak tega kepada adiknya, tapi karena sudah berhutang budi kepada Kompeni, beliau memberi bekal berupa Tombak Pusaka Keraton “Kanjeng Kyai Pleret” dan uang secukupnya.

Dalam sejarah peperangan tersebut disebut perang Mangkubumen (1746-1757).Dalam perjalanan perangnya Pangeran Mangubumi dengan pasukannya sampailah ke desa Pandak Karangnongko masuk tlatah Sukowati. Di desa ini Pangeran Mangkubumi membentuk Pemerintahan Pemberontak Desa Pandak Karangnongko dijadikan pusat pemerintahan Projo Sukowati dan beliau meresmikan namanya menjadi Pangeran Sukowati serta mengangkat pula beberapa pejabat pemerintahan.
Karena secara geografis desa Pandak Karangnongko terletak di tepi Jalan Lintas tentara Kompeni Surakarta – Madiun,  pusat pemerintahan tersebut dianggap kurang aman, maka kemudian dipindah ke Desa Gebang yang terletak disebelah tenggara Desa Pandak Karangnongko. Sejak itu Pangeran Sukowati memperluas daerah kekuasaannya serta memperkuat pasukannya dengan bahu membahu bersama keponakan nya  (Raden Mas Said) dan Adipati dari Grobogan yaitu KRT Martopuro dan beberapa kerabat yang bersimpati dengan perjuangan Pangeran Mangkubumi.‎

Pusat Pemerintahan Projo Sukowati yang ada di Desa Gcbang ini pun akhirnya tercium oleh Kompeni Belanda yang bekerja sama dengan Kasunanan dan akan mengadakan penyerangan ke desa Gebang. Pasukan Gabungan antara Kompeni dan Pasukan dari Keraton Surakarta tersebut dipimpin oleh Patih Pringgalaya (Patih dari PB II). 
Untung rencana tersebut diketahui oleh Petugas Sandi (Intetegent ) dan Pangeran Sukowati.Dengan berbagai pertimbangan maka Pusat Pemerintahan akan dipindahkan ke Desa Jekawal.
Dalam proses boyongan dari Gebang ke Jekawal tersebut ‎Sampailah mereka di desa Kranggan. Sesampainya di desa Kranggan dia menerima kabar bila di desa tersebut ada padepokan yang di pimpin oleh seorang yang sakti mandraguna bernama “Kyai Srenggi”. Pangeran Mangkubumi singgah di desa Kranggan untuk berkenalan dengan Kyai Srenggi serta mohon petunjuk.

“Eee, mari…mari silakan masuk Pangeran. Hamba tidak mengira akan kedatangan tamu agung. Mari silakan masuk!”, kata Kyai Srenggi ketika kedatangan Pangeran Mangkubumi.

“Ketahuilah Kyai, hamba sekarang bukan lagi seorang Priyagung. Sebab selama pengembaraan ini hamba tanpa pangkat dan derajat. Hamba adalah seorang buruan yang menentang raja dan….Kompeni Belanda..” Jawab Pangeran Mangkubumi dengan hormat.

Kyai Srenggi tersenyum dan berkata , “Apakah Pangeran lupa kepada hamba ? Hamba ini tidak lain adalah Tumenggung Alap-alap, seorang hamba kerajaan yang tidak kerasan tinggal di Kartasura dan menyepi di Kranggan ini.”

Bagaikan disambar petir di siang hari, Pangeran Mangkubumi mendengar pengakuan Kyai Srenggi tersebut. Pageran Mangkubumi sangat terkejut dan kemudian memeluk Tumenggung Alap-alap. 

Begitu awal pertemuan itu kemudian dilanjutkan dengan percakapan yang panjang. Dan akhirnya Alap-alap atau Kyai Srenggi diangkat menjadi senapati perang memimpin para prajurit untuk memusnahkah tindak angkara murka. 

Konon Kyai Srenggi ini adalah salah seorang Panglima Perang dari Sunan Amangkurat di Kartosuro, yang sebetulnya bernama asli Tumenggung Alap-Alap.Untuk menghilangkan jejak beliau berganti nama Kyai Srenggi.

Pada saat Pangeran Sukowati singgah di padepokan tersebut oleh Kyai Srenggi disuguhi Legen dan Polowijo.Pangeran Sukowati merasa sangat puas dan beliau bersabda bahwa tempat tersebut diberi nama“SRAGEN” dari kata “Pasarah Legen” dan Kyai Srenggi diberi sebutan Ki Ageng Srenggi. Setelah pusat Pemerintahan berada di Jekawal maka Raden Mas Said diambil menantu oleh Pangeran Mangkubumi/Pangeran Sukowati dikawinkan dengan putrinya bernama BRA Suminten.‎

Perlawanan Pasukan Pangeran Sukowati semakin kuat dan karena Kompeni merasa terdesak kemudian membuat siasat memecah belah dengan mangadakan Perjanjian Palihan Negeri atau terkenal dengan Perjanjian Giyanti Tahun 1755 dimana Kerajaan Mataram dipecah menjadi Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Jogjakarta dengan mengangkat Pangeran Mangkubumi/Pangeran Sukowati menjadi Sultan Hamengku Buwono I.
Kemudian pada tahun I757 diadakan  Perjanjian  Salatiga dengan memecah Kasultanan Jogjakarta menjadi Kasultanan dan Paku Alaman serta Kasunanan Surakarta menjadi Kasunanan dan Mangkunegaran, dimana Raden Mas Said (Pangeran Sambernyawa) ditetapkan menjadi Adipati Mangkunegoro I dengan mendapat sebagian wilayah Kasunan (Wonogiri dan Karanganyar.)‎

Sejak Pangeran Mangkubumi diangkat sebagai Sultan Hamengku Buwono daerah sukowati menjadi kurang terurus karena jauh dari pusat Pemerintahan Kasultanan Jogjakarta. Pada saat itu timbullah perlawanan pemberontakan dari Madiun dan Ponorogo yang ingin menguasai wilayah Sukowati dipimpin oleh Pangeran Ronggo Madiun. Untuk menanggulangi pemberontakan itu Raden Tumengung Kartowiryo, salah seorang punggowo pasukan Pangeran Mangkubumi di tugasi untuk menghadapi kraman/pemberontakan tersebut. 

RT Kartowiryo berhasil menumpas pemberontakan Pangeran Ronggo Madiun, dan RT Kartowiryo diangkat sebagai Bupati Penamping (wilayah perbatasan) di wilayah.‎

Pada tangga 17 September 1830, terjadilah perjanjian antara Paku Buwono dengan Hamengku Buwono V, daerah Sukowati masuk wilayah Kasunanan Surakarta dan Gunug Kidul masuk wilayah Kasultanan Jogjakarta.
Dalam Suatu Pisowanan Agung di Keraton Kasunanan Surakarta KRT Kartowiryo dapat menyerahkan pusaka-pusaka keraton yang hilang saat perang pecinan di Kartosuro yang berupa :
~   Satu tombak   “Kanjeng Kyai Lindu Pawon”
~   Satu Keris “Kanjeng Kyai Nogososro” dan satu keris pusaka milik KRT Kartowiryo sendiri.
Karena sangat bergembira mendapatkan kembali pusaka-pusaka yang sudah lama hilang dan sebagai penghargaan atas jasa KRT Kartowiryo, maka sejak saat itu daerah Sukowati diserahkan kepada KRT Kartowiryo sebagai daerah “Perdikan”(daerah bebas pajak).‎

Selanjutnya pada tanggal 12 Oktobcr 1840 dengan Surat Keputusan Sunan PB VII yaitu Serat Angger-angger Gunung, daerah yang lokasinya strategis ditunjuk menjadi Pos Tundan, yaitu tempat untuk menjaga ketertiban dan keamanan lalu lintas barang dan surat serta perbaikan jalan dan jembatan, termasuk salah satunya adalah Pos Tundan Sragen‎

Setelah KRT Kartowiryo wafat, kedudukannya sebagai Bupati Penamping digantikan oleh putra ke V yang nama kecilnya RM Sulomo. Perkembangan selanjutnya sejak tanggal 5 juni 1847 oleh Sunan Paku Buwono VIII dengan persetujuan Resident Surakarta Baron de geer ditambah kekuasaannya yaitu melakukan tugas kepolisian dan karenanya disebut Kabupaten Gunung Pulisi Sragen dan RM Sulomo yang diangkat menjadi Bupati Gunung Pulisi Sragen dengan nama KRT Sastrodipuro.

Sejarah Pemerintahan di Kabupaten Sragen Tahun 1871 – 1861
KRT Sastropuro menjabat sebagai Bupati Sragen Pertama

 Tahun 186I-1903

KRT Wiryoprodjo (cucu KRT Kartowiryo) menjabat sebagat Bupati Sragen kedua

Tahun l903-1933
KMRT Panji Sumonegoro (cucu KRT Wiryodiprodjo) Menjabat Bupati Sragen sejak 1903 s/d 1933  Sunan Paku Buwono ke X dengan Rejkblaad No 23 tahun 1918 Kabupaten Gunung Polisi diubah menjadi Kabupaten Pangreh Projo sebagai daerah otonom yang melaksanakan Hukum dan Pemerintahan.

Tahun 1933-1939
Bupati Sragen dijabat oleh KRMAA Yudonegoro

Tahun 1939-1944
Bupati Sragen dijabat oleh KRMT MR. Wongsinagoro.

Tahun 1939-1944
Bupati Sragen dijabat oleh KRMT Darmonagoro. 

Setelah Proklamasi tahun 1945 di Sragen ada gerakan Masyarakat yang ingin melepaskan diri dari kekuasaan Kasunanan Surakarta dan bergabung dengan Pemerintah Republik Indonesia.keinginan masyarakat itu disalurkan lewat Komite Nasional Indonesia Daerah (KNID) Sragen yang terbentuk pada bulan September 1945 dengan susunan sebagai berikut :
Ketua        : KMRTP Mangunagoro
Wakil Ketua    : Suharni Kusumodirjo (cucu KRT Wiryodiprodjo)
Anggota 25 orang amtara lain :
–    S. Mloyo Pranoto
–    Indardjo
–    Tjipto Pranoto

I.    Keputusan KNI Daerah Sragen
1.    Menyampaikan keinginan Rakyat sragen untuk melepaskan diri dari ikatan Swapraja Kepada Bupati Darmonagoro
2.    Bila Darmonagoro bersedia, tetap diminta menjadi Bupati Sragen.
Bupati Darmonagoro tidak bersedia memenuhi permintaan KNI Daerah Sragen dengan alasan :
–    Sebagai Abdi Dalem beliau harus tetap setia kepada raja.
–    Sikap melepaskan diri itu bertentangan dengan Keputusan Pemerintah Kerajaan
–    Maka sebagai jalan  tengah Bupati Darmonagoro lebih baik menyingkir ke Solo
–    Untuk mengisi kekosongan tersebut dibentuklah Dewan Pemerintah Daerah Kabupaten Sragen dan mengusulkan KMRT P Mangunnagoro sebagai Bupati Sragen.
Untuk menyatakan lepas dari ikatan Swapradja diadakan Rapat Umum di Halaman Gedung Kontrolir (  Kantor Pemda sekarang) yang dihadiri oleh masa rakyat,organisasi perjuangan dan Lurah Desa se Kabupeten Sragen pada tanggal 26 April 1946.  dan mulai saat ini Kabupaten Sragen menjadi bagian dari Negara Kesatuan Negara Republik Indonesia. ‎

 

Datuk Laksamana Raja di Laut


Desa Sukajadi, Kecamatan Bukit Batu, Kabupaten Bengkalis, Riau. Kondisi desa yang akrab disebut Desa Bukit Batu Darat ini sama seperti desa lainnya. Desa ini memiliki sejarah yang gaungnya patut diperhitungkan menjadi cacatan sejarah budaya Melayu di Indonesia.


Bila kita mengingat lagu yang dilantunkan penyanyi dangdut Melayu terkenal, Iyeth Bustami, dengan judul ‘Laksamana Raja Di Laut’, sedikitnya menandakan kisah Laksamana Raja Di Laut sudah tenar di nasional.

Desa Sukajadi merupakan daerah agricultur pertanian dan perikanan. Berbeda dengan Desa Bukit Batu Laut–bersebelahan dengan Desa Bukit Batu darat. Desa Bukit Batu Laut jumlah kepala keluarganya lebih kurang 80 kepala keluarga. Sebahagian besar ibu-ibu dan anak-anak perempuannya menenun dan laki-lakinya nelayan.

Berbicara lebih dekat mengenai Datuk Laksamana, ini merupakan gelar sekaligus titah dari Kerajaan Siak untuk menjaga di pesisir pantai Selat Malaka. Datuk Encik Ibrahim disebut-sebut sebagai Datuk Laksamana Raja di Laut I yang berkuasa pada tahun 1767 M-1807 M.

Ada empat datuk yang memerintah di Bukit Batu, tiga penerusnya adalah Datuk Khamis, Datuk Abdullah Shaleh dan Datuk Ali Akbar. Mereka digelari Datuk Laksamana II sampai IV.

Konon ceritanya, Datuk Laksamana Raja Di Laut menjadi lagenda seorang penguasa laut yang terkenal. Kabarnya ditanganyalah segala bentuk kejahatan laut takluk padanya. Seperti banyaknya lanun, yang merompak hasil bumi dan perdagangan di laut. Begitu juga dengan penyerangan-penyerangan dari negeri luar.

Rumah Datuk Laksamana Di Laut IV, Laksamana Ali Akbar terletak di Desa Sukajadi, sekitar 35 kilometer dari Kota Sungai Pakning, Bengkalis-Riau. Sekilas terlihat seperti rumah adat/rumah tradisi di Riau. Berbentuk panggung dengan motif-motif Melayu di beberapa ornamen bangunannya.
Persis di depan Istana Datuk Laksamana terpancang dua buah meriam yang menghulu ke jalan. Meriam ini merupakan peninggalan Datuk Laksamana. Datuk Laksamana memang terkenal sebagai penakluk dalam peperangaan laut. Meriam yang menjadi alat perang ini kini memang tinggal sedikit. Tetapi masyarakat setempat pernah menemukan senjata berhulu ledak ini juga di muara sungai di Bukit Batu.

Kabarnya disepanjang bibir laut di Bukit Batu, dulunya berderet meriam ke arah laut. Sebuah benteng menunjukkan kegagahan penguasa laut. Tak ubahnya, pinggiran laut di Bukit Batu sebagai benteng pertahanan pada masa itu agar para penjajah tak dapat masuk ke wiayah kekuasaan Datuk Laksamana.

Tidak jauh dari rumah Laksamana Raja di Laut, akan terlihat dua makam Datuk penguasa laut. Yakni Laksamana III dan Laksamana IV. Kedua Makam ini terletak di belakang Masjid Jami’ Al Haq. Mesjid tua peningggalan para Laksamana dulunya.

Melihat peninggalan sejarah Datuk Laksamana Raja Di Laut, Pemerintah Kabupaten Bengkalis berencana membangun museum sejarah di Kecamatan Bukit Batu, Kabupaten Bengkalis. Mengingat masih ada sejumlah situs peninggalan sejarah Datuk Laksamana, seperti rumah, meriam, keris, dan lainnya.
 
Dirinya berjanji, kawasan sejarah Datuk Laksamana Raja Di Laut akan terus diperhatikan, harus dijaga dan terus dilestarikan, dan akan dinobatkan sebagai daerah wisata sejarah di Bengkalis.

Katanya, selain mengangkat potensi wisata sejarah di Bukit Batu, dengan rencana pendirian museum ini akan memberi kesempatan kepada masyarakat untuk membantu perekonomian masyarakat tempatan.

 

Sejarah Lamongan


Dulu Lamongan merupakan Pintu Gerbang ke Kerajaan Kahuripan, Kerajaan Panjalu, Kerajaan Jenggala, Kerajaan Singosari atau Kerajaan Mojopahit, berada di Ujung Galuh, Canggu dan kambang Putih ( Tuban). Setelah itu tumbuh pelabuhan Sedayu Lawas dan Gujaratan (Gresik), merupakan daerah amat ramai , sebagai penyambung hubungan dengan Kerajaan luar Jawa bahkan luar Negeri.

Zaman Kerajaan Medang Kamulan di Jawa Timur, Di Lamongan berkembang Kerajaan kecil Malawapati ( kini dusun Melawan desa Kedung Wangi kecamatan Sambeng ) dipimpin Raja Agung Angling darma dibantu Patih Sakti Batik Maadrim termasuk kawasan Bojonegoro kuno. Saat ini masih tersimpan dengan baik, Sumping dan Baju Anglingdarma didusun tersebut. Di sebelah barat berdiri Kerajaan Rajekwesi di dekat kota Bojonegoro sekarang.

Pada waktu Kerajaan Majapahit dipimpin Raja Hayam Wuruk (1350 -1389) kawasan kanan kiri Bengawan Solo menjadi daerah Pardikan. Merupakan daerah penyangga ekonomi Mojopahit dan jalan menuju pelabuhan Kambang Putih. Wilayah ini disebut Daerah Swatantra Pamotan dibawah kendali Bhre Pamotan atau Sri Baduga Bhrameswara paman Raja Hayam Wuruk ( Petilasan desa Pamotan kecamatan Sambeng ), sebelumnya. Di bawah kendali Bhre Wengker ( Ponorogo ). Daerah swatantra Pamotan meliputi 3 kawasan pemerintahan Akuwu , meliputi Daerah Biluluk (Bluluk) Daerah Tenggulunan (Tenggulun Solokuro) , dan daerah Pepadhangan (Padangan Bojonegoro).

Menurut buku Negara Kertagama telah berdiri pusat pengkaderan para cantrik yang mondok di Wonosrama Budha Syiwa bertempat di Balwa (desa Blawi Karangbinangun) , di Pacira ( Sendang Duwur Paciran), di Klupang (Lopang Kembangbahu) dan di Luwansa ( desa Lawak Ngimbang). Desa Babat kecamatan Babat ditengarahi terjadi perang Bubat, sebab saat itu babat salah satu tempat penyeberangan diantar 42 temapt sepanjang aliran bengawan Solo. Berita ini terdapat dalam Prasasti Biluluk yang tersimpan di Musium Gajah Jakarta, berupa lempengan tembaga serta 39 gurit di Lamongan yang tersebar di Pegunungan Kendeng bagian Timur dan beberapa temapt lainnya.

Menjelang keruntuhan Mojopahit tahun 1478M, Lamongan saat itu dibawah kekuasaaan Keerajaan Sengguruh (Singosari) bergantian dengan Kerajaan Kertosono (Nganjuk) dikenal dengan kawasan Gunung Kendeng Wetan diperintah oleh Demung, bertempat disekitar Candi Budha Syiwa di Mantup. Setelah itu diperintah Rakrian Rangga samapi 1542M ( petilasan di Mushalla KH.M.Mastoer Asnawi kranggan kota Lamongan ). Kekuasaan Mojopahit di bawah kendali Ario Jimbun (Ariajaya) anak Prabu Brawijaya V di Galgahwangi yang berganti Demak Bintoro bergelar Sultan Alam Akbar Al Fatah ( Raden Patah ) 1500 sampai 1518, lalu diganti anaknya, Adipati Unus 1518 sampai 1521 M , Sultan Trenggono 1521 sampai 1546 M.

Dalam mengembangkan ambisinya, sultan Trenggono mengutus Sunan Gunung Jati ( Fatahilah ) ke wilayah barat untuk menaklukkan Banten, Ke timur langsung dpimpin Sultan sendiri menyerbu Lasem, Tuban dan Surabaya sebelum menyerang Kerajaan Blambangan ( Panarukan). Pada saat menaklukkan Surabaya dan sekitarnya, pemerintahan Rakryan Rangga Kali Segunting ( Lamong ), ditaklukkan sendiri oleh Sultan Trenggono 1541 . Namun tahun 1542 terjadi pertempuran hebat antara pasukan Rakkryan Kali Segunting dibantu Kerajaan sengguruh (Singosari) dan Kerajaan Kertosono Nganjuk dibawah pimpinan Ki Ageng Angsa dan Ki Ageng Panuluh, mampu ditaklukkan pasukan Kesultanan Demak dipimpin Raden Abu Amin, Panji Laras, Panji Liris. Pertempuran sengit terjadi didaerah Bandung, Kalibumbung, Tambakboyo dan sekitarnya.

Asal usul nama Lamongan

Nama Lamongan berasal dari nama seorang tokoh pada masa silam. Pada zaman dulu, ada seorang pemuda bernama Hadi, karena mendapatkan pangkat rangga, maka ia disebut Ranggahadi. Ranggahadi kemudian bernama Mbah Lamong, yaitu sebutan yang diberikan oleh rakyat daerah ini. Karena Ranggahadi pandai Ngemong Rakyat, pandai membina daerah dan mahir menyebarkan ajaran agama Islam serta dicintai oleh seluruh rakyatnya, dari asal kata Mbah Lamong inilah kawasan ini lalu disebut Lamongan.

Adapun yang menobatkan Tumenggung Surajaya menjadi Adipati Lamongan yang pertama, tidak lain adalah Kanjeng Sunan Giri IV yang bergelar Sunan Prapen. Wisuda tersebut bertepatan dengan hari pasamuan agung yang diselenggarakan di Puri Kasunanan Giri di Gresik, yang dihadiri oleh para pembesar yang sudah masuk agama Islam dan para Sentana Agung Kasunanan Giri. Pelaksanaan Pasamuan Agung tersebut bertepatan dengan peringatan Hari Besar Islam yaitu Idhul Adha tanggal 10 Dzulhijjah.

Berbeda dengan daerah-daerah Kabupaten lain khususnya di Jawa Timur yang kebanyakan mengambil sumber dari sesuatu prasasti, atau dari suatu Candi dan dari peninggalan sejarah yang lain, tetapi hari lahir lamongan mengambil sumber dari buku wasiat. Silsilah Kanjeng Sunan Giri yang ditulis tangan dalam huruf Jawa Kuno/Lama yang disimpan oleh Juru Kunci Makam Giri di Gresik. Almarhum Bapak Muhammad Baddawi di dalam buku tersebut ditulis, bahwa diwisudanya Tumenggung Surajaya menjadi Adipati Lamongan dilakukan dalam pasamuan agung di Tahun 976 H. Yang ditulis dalam buku wasiat tersebut memang hanya tahunnya saja, sedangkan tanggal, hari dan bulannya tidak dituliskan.

Oleh karena itu, maka Panitia Khusus Penggali Hari Jadi Lamongan mencari pembuktian sebagai dasar yang kuat guna mencari dan menetapkan tanggal, hari dan bulannya. Setelah Panitia menelusuri buku sejarah, terutama yang bersangkutan dengan Kasunanan Giri, serta Sejarah para wali dan adat istiadat di waktu itu, akhirnya Panitia menemukan bukti, bahwa adat atau tradisi kuno yang berlaku pada zaman Kasunanan Giri dan Kerajaan Islam di Jawa waktu itu, selalu melaksanakan pasamuan agung yang utama dengan memanggil menghadap para Adipati, Tumenggung serta para pembesar lainnya yang sudah memeluk agama Islam. Pasamuan Agung tersebut dilaksanakan bersamaan dengan Hari Peringatan Islam tanggal 10 Dzulhijjah yang disebut Garebeg Besar atau Idhul Adha.

Berdasarkan adat yang berlaku pada saat itu, maka Panitia menetapkan wisuda Tumenggung Surajaya menjadi Adipati Lamongan yang pertama dilakukan dalam pasamuan agung Garebeg Besar pada tanggal 10 Dzulhijjah Tahun 976 Hijriyah. Selanjutnya Panitia menelusuri jalannya tarikh hijriyah dipadukan dengan jalannya tarikh masehi, dengan berpedoman tanggal 1 Muharam Tahun 1 Hijriyah jatuh pada tanggal 16 Juni 622 Masehi, akhirnya Panitia Menemukan bahwa tanggal 10 Dzulhijjah 976 H., itu jatuh pada Hari Kamis Pahing tanggal 26 Mei 1569 M.

Dengan demikian jelas bahwa perkembangan daerah Lamongan sampai akhirnya menjadi wilayah Kabupaten Lamongan, sepenuhnya berlangsung pada zaman keislaman dengan Kasultanan Pajang sebagai pusat pemerintahan. Tetapi yang bertindak meningkatkan Kranggan Lamongan menjadi Kabupaten Lamongan serta yang mengangkat/mewisuda Surajaya menjadi Adipati Lamongan yang pertama bukanlah Sultan Pajang, melainkan Kanjeng Sunan Giri IV. Hal itu disebabkan Kanjeng Sunan Giri prihatin terhadap Kasultanan Pajang yang selalu resah dan situasi pemerintahan yang kurang mantap. Disamping itu Kanjeng Sunan Giri juga merasa prihatin dengan adanya ancaman dan ulah para pedagang asing dari Eropa yaitu orang Portugis yang ingin menguasai Nusantara khususnya Pulau Jawa.

Tumenggung Surajaya adalah Hadi yang berasal dari dusun Cancing yang sekarang termasuk wilayah Desa Sendangrejo Kecamatan Ngimbang Kabupaten Lamongan. Sejak masih muda Hadi sudah nyuwito di Kasunanan Giri dan menjadi seorang santri yang dikasihi oleh Kanjeng Sunan Giri karena sifatnya yang baik, pemuda yang trampil, cakap dan cepat menguasai ajaran agama Islam serta seluk beluk pemerintahan. Disebabkan pertimbangan itu akhirnya Sunan Giri menunjuk Hadi untuk melaksanakan perintah menyebarkan Agama Islam dan sekaligus mengatur pemerintahan dan kehidupan Rakyat di Kawasan yang terletak di sebelah barat Kasunanan Giri yang bernama Kenduruan. Untuk melaksanakan tugas berat tersebut Sunan Giri memberikan Pangkat Rangga kepada Hadi.

Ringkasnya sejarah, Rangga Hadi dengan segenap pengikutnya dengan naik perahu melalui Kali Lamong, akhirnya dapat menemukan tempat yang bernama Kenduruan itu. Adapu kawasan yang disebut Kenduruan tersebut sampai sekarang masih ada dan tetap bernama Kenduruan, berstatus Kampung di Kelurahan Sidokumpul wilayah Kecamatan Lamongan.

Di daerah baru tersebut ternyata semua usaha dan rencana Rangga Hadi dapat berjalan dengan mudah dan lancar, terutama di dalam usaha menyebarkan agama Islam, mengatur pemerintahan dan kehidupan masyarakat. Pesantren untuk menyebar Agama Islam peninggalan Rangga Hadi sampai sekarang masih ada.

Setelah Indonesia Merdeka 17 Agustus 1945, daerah Lamongan menjadi daerah garis depan melawan tentara pendudukan Belanda, perencanaan serangan 10 Nopember Surabaya juga dilakukan Bung Tomo dengan mengunjungi dulu Kyai Lamongan dengan pekikan khas pembakar semangat Allahu Akbar. Lamongan yang dulunya daerah miskin dan langganan banjir, berangsur-angsur bangkit menjadi daerah makmur dan menjadi rujukan daerah lain dalam pengentasan banjir. Dulu ada pameo “Wong Lamongan nek rendeng gak iso ndodok, nek ketigo gak iso cewok” tapi kini diatasi dengan semboyan dari Sunan Drajat, Derajate para Sunan dan Kyai “Memayu Raharjaning Praja” yang benar benar dilakukan dengan perubahan mendasar, dalam memsejahterahkan rakyatnya masih memegang budaya kebersamaan saling membantu sesuai pesan kanjeng Sunan Drajat “Menehono mangan marang wong kangluwe, menehono paying marang wong kang kudanan , menehono teken marang wong kang wutho, menehono busono marang wong kang wudho"

 

Doa Nabi Sulaiman Menundukkan Hewan dan Jin

  Nabiyullah Sulaiman  'alaihissalam  (AS) merupakan Nabi dan Rasul pilihan Allah Ta'ala yang dikaruniai kerajaan yang tidak dimilik...