Kamis, 19 November 2020

Kerajaan Sriwijaya


Kerajaan Sriwijaya merupakan salah satu kerajaan besar yang ada di nusantara. Kerajaan yang dikeal dengan kekuatan maritimnya tersebut berhasil menguasi pulau Sumatra, Jawa, Pesisir Kalimantan, Kamboja, Thailand Selatan, dan Semenanjung Malaya yang kemudian menjadikan Kerajaan Sriwijaya sebagai kerajaan yang berhasil menguasai perdagangan di Asia-tenggara pada masa itu.

Kata 'Sriwijaya' berasal dari dua suku kata yaitu 'Sri' yang berarti bercahaya atau gemilang dan 'Wijaya' yang berarti kemenangan. Jadi Sriwijaya berarti kemenangan yang gemilang. Sriwijaya juga disebut dengan berbagai macam nama. Orang Tionghoa menyebut Shih-li-fo-shih atau San-fo-ts’i atau San Fo Qi. Dalam bahasa Sansekerta dan Pali kerajaan Sriwijaya disebut Yavadesh dan Javadeh. Bangsa Arab menyebut Zabaj atau Sribuza dan Khmer menyebut Malayu. Sementara dari peta Ptolemaeus ditemukan keterangan tentang ada 3 pulau Sabadeibei yang berkaitan dengan Sriwijaya.

Berdirinya Kerajaan Sriwijaya

Tidak banyak bukti sejarah yang menerangkan kapan berdirinya Kerajaan Sriwijaya. Bukti tertua datangnya dari berita Cina yaitu pada tahun 682 M terdapat seorang pendeta Tiongkok bernama I-Tsing yang ingin belajar agama Budha di India, singgah terlebih dahulu di Sriwijaya untuk mendalami bahasa Sanskerta selama 6 Bulan. Tercatat juga Kerajaan Sriwijaya pada saat itu dipimpin oleh Dapunta Hyang.

Selain berita dari luar, terdapat juga beberapa prasasti peninggalan Kerajaan Sriwijaya, diantaranya adalah prasasti Kedukan Bukit (605S/683M) di Palembang. Isi dari prasasti terseubt adalah Dapunta Hyang mengadakan ekspansi 8 hari dengan membawa 20.000 tentara, kemudian berhasil menaklukkan dan menguasai beberapa daerah. Dengan kemenangan itu Sriwijaya menjadi makmur. Dari kedua bukti tertua di atas bisa disimpulkan Kerajaan Sriwijaya berdiri pada abad ke-7 dengan raja pertamanya adalah Dapunta Hyang.

Kejayaan Kerajaan Sriwijaya

Masa kejayaan Kerajaan Sriwijaya berada pada abad 9-10 Masehi dimana Kerajaan Sriwijaya menguasai jalur perdagangan maritim di Asia Tenggara. Sriwijaya telah melakukan kolonisasi di hampir seluruh kerajaan-kerajaan Asia Tenggara, antara lain: Sumatera, Jawa, Semenanjung Malaya, Thailand, Kamboja, Vietnam, dan Filipina. Dominasi atas Selat Malaka dan Selat Sunda, menjadikan Sriwijaya sebagai pengendali rute perdagangan rempah dan perdagangan lokal yang mengenakan bea dan cukai atas setiap kapal yang lewat. Sriwijaya mengumpulkan kekayaannya dari jasa pelabuhan dan gudang perdagangan yang melayani pasar Tiongkok, dan India.

Keruntuhan Sriwijaya

Kemunduran yang berakhirnya Kerajaan Sriwijaya dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya:
Pada tahun 1017 dan 1025, Rajendra Chola I, soerang dari dinasti Cholda di Koromande, India Selatan. Dari dua serangan tersebut membuat luluh lantah armada perang Sriwijaya dan membuat perdagangan di wilayah Asia-tenggara jatuh pada Raja Chola. Namun Kerajaan Sriwijaya masih berdiri.
Melemahnya kekuatan militer Sriwijaya, membuat beberapa daerah taklukannya melepaskan diri sampai muncul Dharmasraya dan Pagaruyung sebagai kekuatan baru yang kemudian menguasai kembali wilayah jajahan Sriwijaya mulai dari kawasan Semenanjung Malaya, Sumatera, sampai Jawa bagian barat.
Melemahnya Sriwijaya juga diakibatkan oleh faktor ekonomi. Para pedagang yang melakukan aktivitas perdagangan di Kerajaan Sriwijaya semakin berkurang karena daerha-daerah strategis yang dulu merupakan daerah taklukan Sriwijaya jatuh ke tangan raja-raja sekitarnya.
Munculnya kerajaan-kerajaan yang kuat seperti Dharmasraya yang sampai menguasai Sriwijaya seutuhnya serta Kerajaan Singhasari yang tercatat melakukan sebuah ekspedisi yang bernama ekspedisi Pamalayu.
Kerajaan Sriwijaya pun akhirnya runtuh di tangan Kerajaan Majapahit pada abad ke-13.

Sumber-sumber Sejarah Kerajaan Sriwijaya

Ada dua jenis sumber sejarah yang menggambarkan keberadaan Kerajaan Sriwijaya, yaitu Sumber berita asing dan prasasti.

Sumber Berita Asing
Berita dari Cina 
Dalam perjalanannya untuk menimba ilmu agama Buddha di India, I-Tsing pendeta dari Cina, singgah di Shi-li-fo-shih (Sriwijaya) selama enam bulan dan mempelajari paramasastra atau tata bahasa Sanskerta. Kemudian, bersama guru Buddhis, Sakyakirti, ia menyalin kitab Hastadandasastra ke dalam bahasa Cina. Kesimpulan I-Tsing mengenai Sriwijaya adalah negara ini telah maju dalam bidang agama Buddha.
Berita Arab ‎
menyebutkan adanya negara Zabag (Sriwijaya). Ibu Hordadheh mengatakan bahwa Raja Zabag banyak menghasilkan emas. Setiap tahunnya emas yang dihasilkan seberat 206 kg. Berita lain disebutkan oleh Alberuni. Ia mengatakan bahwa Zabag lebih dekat dengan Cina daripada India. Negara ini terletak di daerah yang disebut Swarnadwipa (Pulau Emas) karena banyak menghasilkan emas.

Sumber Prasasti
Selain dari sumber berita asing, keberadaan Kerajaan Sriwijaya juga tercatat pada prasasti-prasasti yang pernah ditinggalkan, diantaranya:
Prasasti Kedukan Bukit (605S/683M) di Palembang. Isinya: Dapunta Hyang mengadakan ekspansi 8 hari dengan membawa 20.000 tentara, kemudian berhasil menaklukkan dan menguasai beberapa daerah. Dengan kemenangan itu Sriwijaya menjadi makmur.
Prasasti Talang Tuo (606 S/684M) di sebelah barat Palembang. Isinya tentang pembuatan sebuah Taman Sriksetra oleh Dapunta Hyang Sri Jayanaga untuk kemakmuran semua makhluk.
Prasasti Kota Kapur (608 S/686 M) di Bangka.
Prasasti Karang Birahi (608 S/686 M) di Jambi. Keduanya berisi permohonan kepada Dewa untuk keselamatan rakyat dan kerajaan Sriwijaya.
Prasasti Talang Batu (tidak berangka tahun) di Palembang. Isinya kutukan-kutukan terhadap mereka yang melakukan kejahatan dan melanggar perintah raja.
Prasasti Palas di Pasemah, Lampung Selatan. Isinya Lampung Selatan telah diduduki oleh Sriwijaya.
Prasasti Ligor (679 S/775 M) di tanah genting Kra. Isinya Sriwijaya diperintah oleh Darmaseta.

Raja-raja Sriwijaya

Dari abad ke-7 sampai ke-13 Masehi, Kerajaan Sriwijaya pernah di pimpin oleh raja-raja di bawah ini, yaitu:
Dapunta Hyang Sri Jayanasa
Sri IndravarmanChe-li-to-le-pa-mo
Rudra VikramanLieou-t’eng-wei-kong
Maharaja WisnuDharmmatunggadewa     
Dharanindra Sanggramadhananjaya
Samaragrawira
Samaratungga
Balaputradewa
Sri UdayadityavarmanSe-li-hou-ta-hia-li-tan
Hie-tche (Haji)
Sri CudamanivarmadevaSe-li-chu-la-wu-ni-fu-ma-tian-hwa
Sri MaravijayottunggaSe-li-ma-la-pi
Sumatrabhumi
Sangramavijayottungga
Rajendra Dewa KulottunggaTi-hua-ka-lo
Rajendra II
Rajendra III
Srimat Trailokyaraja Maulibhusana Warmadewa
Srimat Tribhuwanaraja Mauli Warmadewa
Srimat Sri Udayadityawarma Pratapaparakrama Rajendra Maulimali Warmadewa

Kehidupan Sosial-Ekonomi dan Kebudayaan

Letak Sriwijaya sangat strategis di jalur perdagangan antara India-Cina. Di samping itu juga berhasil menguasai Selat Malaka yang merupakan urat nadi perdagangan di Asia Tenggara, menjadikan Sriwijaya berhasil menguasai perdagangan nasional dan internasional. Penguasaan Sriwijaya atas Selat Malaka mempunyai arti penting terhadap perkembangan Sriwijaya sebagai negara maritim, sebab banyak kapal-kapal asing yang singgah untuk menambah air minum, perbekalan makanan dan melakukan aktivitas perdagangan.

Dalam bidang kebudayaan khususnya keagamaan, Kerajaan Sriwijaya menjadi pusat agama Buddha yang penting di Asia Tenggara dan Asia Timur. Agama Buddha yang berkembang di Sriwijaya ialah Agama Buddha Mahayana, salah satu tokohnya ialah Dharmakirti. Para peziarah agama Buddha dalam pelayaran ke India ada yang singgah dan tinggal di Sriwijaya. Di antaranya ialah I'tsing.

Semoga artikel tersebut di atas tentang Sejarah Kerajaan Sriwijaya bisa bermanfaat bagi sobat sobat sekalian. Apa bila ada dari sobat yang menemukan kesalahan baik berupa penulisan maupun pembahasan, mohon kiranya kritik dan saran yang membangun untuk kemajuan bersama. Terima kasih.‎

 

Kerajaan Taruma Negara


Tarumanagara atau Kerajaan Taruma adalah sebuah kerajaan yang pernah berkuasa di wilayah barat pulau Jawa pada abad ke-4 hingga abad ke-7 M. Taruma merupakan salah satu kerajaan tertua di Nusantara yang meninggalkan catatan sejarah. Dalam catatan sejarah dan peninggalan artefak di sekitar lokasi kerajaan, terlihat bahwa pada saat itu Kerajaan Taruma adalah kerajaan Hindu beraliran Wisnu. 

Berdirinya kerajaan Tarumanegara di Jawa Barat hampir bersamaan dengan Kerajaan Kutai. Kata Taruma berhubungan dengan katak tarum berarti nilai atau biru. Sampai sekarang nama taruma masih digunakan sebagai nama ganti sungai, yaitu sungai Citarum (ci=sungai).

Kerajaan Tarumanegara atau Taruma adalah sebuah kerajaan yang pernah berkuasa di wilayah pulau Jawa bagian barat pada abad ke-4 hingga abad ke-7 m, yang merupakan salah satu kerajaan tertua di nusantara yang diketahui. Dalam catatan, kerajaan Tarumanegara adalah kerajaan hindu beraliran wisnu. Tarumanegara didirikan oleh Rajadirajaguru Jayasingawarman pada tahun 358 yang kemudian digantikan oleh putranya, Dharmayawarman (352-395).

Jayasingawarman dipusarakan di tepi kali gomati, sedangkan putranya di tepi kali Candrabaga. Maharaja Purnawarman adalah raja Kerajaan Tarumanegara yang ketiga (395-434 m). Ia membangun ibukota kerajaan baru pada tahun 397 yang terletak lebih dekat ke pantai. Kota itu diberi nama Sundapura pertama kalinya nama Sunda digunakan. Pada tahun 417 ia memerintahkan penggalian Sungai Gomati dan Candrabaga sepanjang 6112 tombak (sekitar 11 km). Selesai penggalian, sang prabu mengadakan selamatan dengan menyedekahkan 1.000 ekor sapi kepada kaum Brahmana.

Bukti keberadaan Kerajaan Taruma diketahui dengan tujuh buah prasasti batu yang ditemukan. Lima di Bogor, satu di Jakarta dan satu di Lebak Banten.

Prasasti Pasir Muara menyebutkan peristiwa pengembalian pemerintahan kepada raja Sunda itu dibuat tahun 536 M. Dalam tahun tersebut yang menjadi penguasa Kerajaan Tarumanegara adalah Suryawarman (535 - 561 M) raja Kerajaan Tarumanegara ke-7. Dalam masa pemerintahan Candrawarman (515-535 M), ayah Suryawarman, banyak penguasa daerah yang menerima kembali kekuasaan pemerintahan atas daerahnya sebagai hadiah atas kesetiaannya terhadap Kerajaan Tarumanegara. Ditinjau dari segi ini, maka Suryawarman melakukan hal yang sama sebagai lanjutan politik ayahnya.
Prasasti ditemukan di Pasir Muara, Bogor, di tepi sawah, tidak jauh dari prasasti Telapak Gajah peninggalan Purnawarman. Prasasti itu kini tak berada ditempat asalnya. Dalam prasasti itu dituliskan :

ini sabdakalanda rakryan juru panga-mbat i kawihaji panyca pasagi marsa-n desa barpulihkan haji su-nda 

Terjemahannya 

Ini tanda ucapan Rakryan Juru Pengambat dalam tahun (Saka) kawihaji (8) panca (5) pasagi (4), pemerintahan begara dikembalikan kepada raja Sunda. 

Karena angka tahunnya bercorak "sangkala" yang mengikuti ketentuan "angkanam vamato gatih" (angka dibaca dari kanan), maka prasasti tersebut dibuat dalam tahun 458 Saka atau 536 Masehi.

Kehadiran prasasti Purnawarman di pasir muara, yang memberitakan raja Sunda dalam tahun 536 M, merupakan gejala bahwa ibukota Sundapura telah berubah status menjadi sebuah kerajaan daerah. Hal ini berarti, pusat pemerintahan Kerajaan Tarumanegara telah bergeser ke tempat lain. Contoh serupa dapat dilihat dari kedudukaan Rajatapura atau Salakanagara (Kota Perak), yang disebut Argyre oleh Ptolemeus dalam tahun 150 M. 

Kota ini sampai tahun 362 menjadi pusat pemerintahan raja-raja Dewawarman (dari Dewawarman I - VIII). Ketika pusat pemerintahan beralih dari Rajatapura ke Tarumanegara, maka Salakanagara berubah status menjadi kerajaan daerah. Jayasingawarman pendiri Kerajaan Tarumanegara adalah menantu raja Dewawarman VIII. Ia sendiri seorang maharesi dari salankayana di India yang mengungsi ke nusantara karena daerahnya diserang dan ditaklukkan maharaja Samudragupta dari Kerajaan Magada.

Suryawarman tidak hanya melanjutkan kebijakan politik ayahnya yang memberikan kepercayaan lebih banyak kepada raja daerah untuk mengurus pemerintahan sendiri, melainkan juga mengalihkan perhatiannya ke daerah bagian timur. Dalam tahun 526 M Manikmaya, menantu Suryawarman, mendirikan kerajaan baru di Kendan, daerah Nagreg antara Bandung dan Limbangan, Garut. Putera tokoh manikmaya ini tinggal bersama kakeknya di ibukota Tarumangara dan kemudian menjadi panglima angkatan perang Kerajaan Tarumanegara. 

Perkembangan daerah timur menjadi lebih berkembang ketika cicit Manikmaya mendirikan Kerajaan Galuh dalam Tahun 612 M.

 Tarumanagara sendiri hanya mengalami masa pemerintahan 12 orang raja. Pada tahun 669 M, Linggawarman, raja Tarumanagara terakhir, digantikan menantunya, Tarusbawa. Linggawarman sendiri mempunyai dua orang puteri, yang sulung bernama Manasih menjadi istri Tarusbawa dari Sunda dan yang kedua bernama Sobakancana menjadi isteri Dapuntahyang Sri Jayanasa pendiri Kerajaan Sriwijaya. Secara otomatis, tahta kekuasaan Tarumanagara jatuh kepada menantunya dari putri sulungnya, yaitu Tarusbawa. 

Kekuasaan Tarumanagara berakhir dengan beralihnya tahta kepada Tarusbawa, karena Tarusbawa pribadi lebih menginginkan untuk kembali ke kerajaannya sendiri, yaitu Sunda yang sebelumnya berada dalam kekuasaan Tarumanagara. Atas pengalihan kekuasaan ke Sunda ini, hanya Galuh yang tidak sepakat dan memutuskan untuk berpisah dari Sunda yang mewarisi wilayah Tarumanagara.

RAJA-RAJA DI KERAJAAN TARUMANEGARA 
Tarumanagara sendiri hanya mengalami masa pemerintahan 12 orang raja. Pada tahun 669, Linggawarman, raja Tarumanagara terakhir, digantikan menantunya, Tarusbawa. Linggawarman sendiri mempunyai dua orang puteri, yang sulung bernama Manasih menjadi istri Tarusbawa dari Sunda dan yang kedua bernama Sobakancana menjadi isteri Dapuntahyang Sri Jayanasa pendiri Kerajaan Sriwijaya. Secara otomatis, tahta kekuasaan Tarumanagara jatuh kepada menantunya dari putri sulungnya, yaitu Tarusbawa. 

Kekuasaan Tarumanagara berakhir dengan beralihnya tahta kepada Tarusbawa, karena Tarusbawa pribadi lebih menginginkan untuk kembali ke kerajaannya sendiri, yaitu Sunda yang sebelumnya berada dalam kekuasaan Tarumanagara. Atas pengalihan kekuasaan ke Sunda ini, hanya Galuh yang tidak sepakat dan memutuskan untuk berpisah dari Sunda yang mewarisi wilayah Tarumanagara. 

Raja-raja Tarumanegara 
1. Jayasingawarman 358-382
2. Dharmayawarman 382-395
3. Purnawarman 395-434
4. Wisnuwarman 434-455
5. Indrawarman 455-515
6. Candrawarman 515-535
7. Suryawarman 535-561
8. Kertawarman 561-628
9. Sudhawarman 628-639
10. Hariwangsawarman 639-640
11. Nagajayawarman 640-666
12. Linggawarman 666-669

SUMBER-SUMBER SEJARAH 
Bukti keberadaan Kerajaan Taruma diketahui melalui sumber-sumber yang berasal dari dalam maupun luar negeri. Sumber dari dalam negeri berupa tujuh buah prasasti batu yang ditemukan empat di Bogor, satu di Jakarta dan satu di Lebak Banten. Dari prasasti-prasasti ini diketahui bahwa kerajaan dipimpin oleh Rajadirajaguru Jayasingawarman pada tahun 358 M dan beliau memerintah sampai tahun 382 M. Makam Rajadirajaguru Jayasingawarman ada di sekitar sungai Gomati (wilayah Bekasi). Kerajaan Tarumanegara ialah kelanjutan dari Kerajaan Salakanagara. 

Sedangkan sumber-sumber dari luar negeri yang berasal dari berita Tiongkok antara lain: 
Berita Fa-Hsien, tahun 414 M dalam bukunya yang berjudul Fa-Kao-Chi menceritakan bahwa di Ye-po-ti hanya sedikit dijumpai orang-orang yang beragama Buddha, yang banyak adalah orang-orang yang beragama Hindu dan sebagian masih animisme. Berita Dinasti Sui, menceritakan bahwa tahun 528 dan 535 telah datang utusan dari To- lo-mo yang terletak di sebelah selatan. Berita Dinasti Tang, juga menceritakan bahwa tahun 666 dan 669 telah datang utusaan dari To-lo-mo. 

Dari tiga berita di atas para ahli menyimpulkan bahwa istilah To-lo-mo secara fonetis penyesuaian kata-katanya sama dengan Tarumanegara. 

Maka berdasarkan sumber-sumber yang telah dijelaskan sebelumnya maka dapat diketahui beberapa aspek kehidupan tentang kerajaan Tarumanegara. 

Kerajaan Tarumanegara diperkirakan berkembang antara tahun 400-600 M. Berdasarkan prasast-prasati tersebut diketahui raja yang memerintah pada waktu itu adalah Purnawarman. Wilayah kekuasaan Purnawarman menurut prasasti Tugu, meliputi hampir seluruh Jawa Barat yang membentang dari Banten, Jakarta, Bogor dan Cirebon. 

PRASASTI-PRASASTI KERAJAAN TARUMANEGARA 
1. Prasasti Ciaruteun
Prasasti Ciaruteun atau prasasti Ciampea ditemukan ditepi sungai Ciarunteun, dekat muara sungai Cisadane Bogor prasasti tersebut menggunakan huruf Pallawa dan bahasa Sansekerta yang terdiri dari 4 baris disusun ke dalam bentuk Sloka dengan metrum Anustubh. 
Isinya adalah puisi empat baris, yang berbunyi: 

vikkrantasyavanipateh shrimatah purnavarmmanah tarumanagararendrasya vishnoriva padadvayam 

Terjemahannya ‎

Kedua (jejak) telapak kaki yang seperti (telapak kaki) Wisnu ini kepunyaan raja dunia yang gagah berani yang termashur Purnawarman penguasa Tarumanagara. 

Di samping itu terdapat lukisan semacam laba-laba serta sepasang telapak kaki Raja Purnawarman. Gambar telapak kaki pada prasasti Ciarunteun mempunyai 2 arti yaitu:
Cap telapak kaki melambangkan kekuasaan raja atas daerah tersebut (tempat ditemukannya prasasti tersebut).
Cap telapak kaki melambangkan kekuasaan dan eksistensi seseorang (biasanya penguasa) sekaligus penghormatan sebagai dewa. Hal ini berarti menegaskan kedudukan Purnawarman yang diibaratkan dewa Wisnu maka dianggap sebagai penguasa sekaligus pelindung rakyat.

Kehadiran prasasti Purnawarman di kampung itu menunjukkan bahwa daerah itu termasuk kawasan kekuasaannya. Menurut Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara parwa II, sarga 3, halaman 161, di antara bawahan Tarumanagara pada masa pemerintahan Purnawarman terdapat nama "Rajamandala" (raja daerah) Pasir Muhara.
2. Prasasti Jambu 
Prasasti Jambu atau prasasti Pasir Koleangkak, ditemukan di bukit Koleangkak di perkebunan jambu, sekitar 30 km sebelah barat Bogor, prasasti ini juga menggunakan bahwa Sansekerta dan huruf Pallawa serta terdapat gambar telapak kaki yang isinya memuji pemerintahan raja Mulawarman.
Pada bukit ini mengalir (sungai) Cikasungka. 
Prasasti inipun berukiran sepasang telapak kaki dan diberi keterangan berbentuk puisi dua baris: 

shriman data kertajnyo narapatir - asamo yah pura tarumayam nama shri purnnavarmma pracurarupucara fedyavikyatavammo tasyedam - padavimbadavyam arnagarotsadane nitya-dksham bhaktanam yangdripanam - bhavati sukhahakaram shalyabhutam ripunam. 

Terjemahannya ‎

Yang termashur serta setia kepada tugasnya ialah raja yang tiada taranya bernama Sri Purnawarman yang memerintah Taruma serta baju perisainya tidak dapat ditembus oleh panah musuh-musuhnya; kepunyaannyalah kedua jejak telapak kaki ini, yang selalu berhasil menghancurkan benteng musuh, yang selalu menghadiahkan jamuan kehormatan (kepada mereka yang setia kepadanya), tetapi merupakan duri bagi musuh-musuhnya.
3. Prasasti Kebon Kopi
Prasasti Kebon Kopi ditemukan di kampung Muara Hilir kecamatan Cibungbulang Bogor . Yang menarik dari prasasti ini adalah adanya lukisan tapak kaki gajah, yang disamakan dengan tapak kaki gajah Airawata, yaitu gajah tunggangan dewa Wisnu.
Prasasti ini ditulis dengan aksara Pallawa dan bahasa Sanskerta  yang disusun ke dalam bentuk seloka metrum Anustubh yang diapit sepasang pahatan gambar telapak kaki gajah.
Isinya :

~ ~ jayavisalasya Tarumendrasya hastinah ~ ~
Airwavatabhasya vibhatidam ~ padadvayam 

Terjemahan :

“Di sini nampak tergambar sepasang telapak kaki…yang seperti Airawata, gajah penguasa Taruma yang agung dalam….dan (?) kejayaan”‎
4. Prasasti Tugu
Prasasti Tugu di temukan di daerah Tugu, kecamatan Cilincing Jakarta Utara. Prasasti ini dipahatkan pada sebuah batu bulat panjang melingkar dan isinya paling panjang dibanding dengan prasasti Tarumanegara yang lain, sehingga ada beberapa hal yang dapat diketahui dari prasasti tersebut. 
Prasasti Tugu bertuliskan aksara Pallawa yang disusun dalam bentuk seloka bahasa Sanskerta dengan metrum Anustubh yang teridiri dari lima baris melingkari mengikuti bentuk permukaan batu. Sebagaimana semua prasasti-prasasti dari masa Tarumanagara umumnya, Prasasti Tugu juga tidak mencantumkan pertanggalan. Kronologinya didasarkan kepada analisis gaya dan bentuk aksara (analisis palaeografis). Berdasarkan analisis tersebut diketahui bahwa prasasti ini berasal dari pertengahan abad ke-5 Masehi. Khusus prasasti Tugu dan prasasti Cidanghiyang memiliki kemiripan aksara, sangat mungkin sang pemahat tulisan (citralaikha > citralekha) kedua prasasti ini adalah orang yang sama.
Dibandingkan prasasti-prasasti dari masa Tarumanagara lainnya, Prasasti Tugu merupakan prasasti yang terpanjang yang dikeluarkan Sri Maharaja Purnawarman. Prasasti ini dikeluarkan pada masa pemerintahan Purnnawarmman pada tahun ke-22 sehubungan dengan peristiwa peresmian (selesai dibangunnya) saluran sungai Gomati dan Candrabhaga.
Prasasti Tugu memiliki keunikan yakni terdapat pahatan hiasan tongkat yag pada ujungnya dilengkapi semacam trisula. Gambar tongkat tersebut dipahatkan tegak memanjang ke bawah seakan berfungsi sebagai batas pemisah antara awal dan akhir kalimat-kalimat pada prasastinya.
Teks: 

pura rajadhirajena guruna pinabahuna khata khyatam purim prapya candrabhagarnnavam yayau//
pravarddhamane dvavingsad vatsare sri gunau jasa narendradhvajabhutena srimata purnavarmmana //
prarabhya phalguna mase khata krsnastami tithau caitra sukla trayodasyam dinais siddhaikavingsakaih 
ayata satsahasrena dhanusamsasatena ca dvavingsena nadi ramya gomati nirmalodaka //
pitamahasya rajarser vvidaryya sibiravanim brahmanair ggo sahasrena prayati krtadaksina //

Terjemahan: 

“Dahulu sungai yang bernama Candrabhaga telah digali oleh maharaja yang mulia dan yang memilki lengan kencang serta kuat yakni Purnnawarmman, untuk mengalirkannya ke laut, setelah kali (saluran sungai) ini sampai di istana kerajaan yang termashur. Pada tahun ke-22 dari tahta Yang Mulia Raja Purnnawarmman yang berkilau-kilauan karena kepandaian dan kebijaksanaannya serta menjadi panji-panji segala raja-raja, (maka sekarang) beliau pun menitahkan pula menggali kali (saluran sungai) yang permai dan berair jernih Gomati namanya, setelah kali (saluran sungai) tersebut mengalir melintas di tengah-tegah tanah kediaman Yang Mulia Sang Pendeta Nenekda (Raja Purnnawarmman). Pekerjaan ini dimulai pada hari baik, tanggal 8 paro-gelap bulan Caitra, jadi hanya berlangsung 21 hari lamanya, sedangkan saluran galian tersebut panjangnya 6122 busur. Selamatan baginya dilakukan oleh para Brahmana disertai 1000 ekor sapi yang dihadiahkan”

Hal-hal yang dapat diketahui dari prasasti Tugu adalah:
Prasasti Tugu menyebutkan nama dua buah sungai yang terkenal di Punjab yaitu sungai Chandrabaga dan Gomati. Dengan adanya keterangan dua buah sungai tersebut menimbulkan tafsiran dari para sarjana salah satunya menurut Poerbatjaraka. Sehingga secara Etimologi (ilmu yang mempelajari tentang istilah) sungai Chandrabaga diartikan sebagai kali Bekasi.
Prasasti Tugu juga menyebutkan anasir penanggalan walaupun tidak lengkap dengan angka tahunnya yang disebutkan adalah bulan phalguna dan caitra yang diduga sama dengan bulan Februari dan April.
Prasasti Tugu yang menyebutkan dilaksanakannya upacara selamatan oleh Brahmana disertai dengan seribu ekor sapi yang dihadiahkan raja.

 

Taman Kera (Petilasan Sang Pangeran)


Taman Banjar 

Taman Banjar, merupakan salah satu peninggalan Kesultanan  Cirebon.
Konon, taman ini merupakan tempat bertapa Pangeran Surya Negara, sekitar tahun 1500an Masehi. Selain petilasan Pangeran Surya Negara yang menjadi bukti peninggalan bersejarah, di taman ini juga terdapat monyet yang berjumlah 41 ekor.

Taman Wisata Banjar , terletak di Desa Bulak Kidul Kecamatan Jati barang Kabupaten Indramayu, tepatnya dipinggir Jalan raya Jatibarang-Karangampel.  Di tempat ini terdapat kelompok kera yang sangat dikeramatkan. Bahkan jumlah monyet ini tidak pernah kurang atau lebih dari 41 ekor. Tempat ini dijadikan sebagai tempat wisata yang selalu ramai dikunjungi orang saat Hari Raya Idul Fitri ataupun Idul Adha.
Konon, 41 ekor monyet penghuni Banjar tersebut adalah prajurit yang terkena kutukan. 

Pada masa pemerintahan Sunan Gunung Jati, hiduplah seorang patih bernama Pangeran Surya Negara. Suatu saat ia mendapat perintah dari Pangeran Cakra Buana (pendiri Cirebon) untuk melihat dan sekaligus mengatasi musibah banjir di kawasan Kali Longga Trisna. Ditemani oleh prajurit dari Kerajaan Cirebon , Pangeran Surya Negara pun berangkat.

Setibanya di Kali Longga Trisna, Surya Negara melihat betapa parahnya wilayah tersebut akibat dari banjir yang melanda kawasan tersebut. Melihat hal tersebut Pangeran Surya Negara memutuskan untuk membuat sebuah bendungan.

Namun ternyata jumlah pasukan yang ia bawa tidak sebanding bila dibandingkan dengan pekerjaan pembuatan bendungan besar tersebut. Pangeran Surya Negara pun berinisiatif meminta bantuan pada Pangeran Karang Kendal (Syeh Magelung Sakti)  yang masih termasuk dalam wilayah kekuasaan Sunan Gunung Jati. Pihak Karang Kendal pun sepakat mengirimkan bala bantuan ke lokasi pembangunan bendungan di tepi kali Logangga Trisna. Sambil menantikan datangnya bala bantuan, Pangeran Surya Negara bersama pasukannya memulai pekerjaan besarnya terlebih dahulu.

Sementara bala bantuan yang ditunggu tidak kunjung datang juga, barulah ketika pekerjaan telah selesai bantuan yang ditunggu-tunggu itu pun datang. Tentu saja Pangeran Surya Negara menjadi sangat kesal. Namun ia masih menahan emosi untuk menghormati pihak Kadipaten Karang Kendal. 

Pasukan bala bantuan yang datang itu tetap diterimanya dengan baik, tetapi saat itu kebetulan waktu Shalat Ashar sudah tiba maka sang Pangeran menitipkan sebuah bungkusan kepada kepala rombongan prajurit dan berpesan agar tidak seorangpun diijinkan membuka bungkusan tersebut.

Namun kepala prajurit Karang  Kendal dan anak buahnya tidak mengikuti pesan Pangeran Surya Negara. Pimpinan rombongan akhirnya tergoda untuk membuka bungkusan yang dititipkan kepadanya. Ternyata isi bungkusan itu adalah buah kurma yang segar. Maka tanpa pikir panjang buah kurma tersebut di makan beramai-ramai. 

Disaat para prajurit tersebut tengah makan Pangeran Surya Negara datang dengan marah karena mengetahui perintahnya telah dilanggar, sang Pangeran pun mengutuk para prajurit seperti menjadi kera, karena tingkah laku mereka mirip seekor kera yang suka mencuri dan tidak perduli pada sesama. 

Pada saat itu juga seluruh prajurit dari kerajaan Karang Kendal itu langsung berubah wujud menjadi monyet yang berjumlah 41 ekor dan kemudian oleh
Pangeran Surya Negara diberi nama Ki Buyut Banjar. 

Itulah asal muasal kisah 41 ekor monyet yang kini dikeramatkan dan menghuni komplek pekuburan Banjar di Desa Bulak Kecamatan Jati barang Kabupaten Indramayu, Jawa Barat atau yang sekarang dikenal dengan Taman Wisata Banjar.

Meskipun terdapat kera yang mati, masyarakat sekitar percaya jumlah anggota monyet Banjar tidak berkurang tetap 41 ekor. Keunikan lainnya dalam
mencari makan. Kera-kera ini tidak pernah keluar dari pagar Taman Banjar seakan- akan telah dibatasi geraknya. 

Dengan sedikit pembenahan, sebetulnya Taman Banjar bisa menjadi salah satu alternatif tempat wisata yang menyenangkan. Tempatnya yang rimbun, rindang pepohonan menjadi kenyamanan tersendiri di tengah-tengah terik panas matahari. Menjadikannya semacam tempat melepas lelah untuk sesaat.


Taman Kera Kalijaga 


Di Jalan Pramuka berjarak sekitar 1 km kearah barat daya Terminal Bus Harjamukti pada sisi barat Kali Sipadu terdapat Petilasan Sunan Kalijaga. Lokasi ini sangat mudah dicapai dengan berbagai kendaraan, ± 5 km dari pusat kota Cirebon dengan waktu tempuh ± 20 menit. Lokasi yang berada di tengah pemukiman penduduk Kampung Kalijaga, Kelurahan Kalijaga, Kecamatan Harjamukti ini tepatnya berada pada koordinat 06º 44' 891" Lintang Selatan dan 108º 33' 083" Bujur Timur. 

Kawasan komplek Petilasan Sunan Kaligaga luasnya ± 20.000 m2. Kawasan ini dilalui dua aliran sungai, yang masing-masing mempunyai dua sampai tiga nama yang berbeda. Sungai dimaksud adalah Kali Simandung dan Kali Mesjid, yang alirannya kemudian bertemu di Kali Cawang. Kali ini oleh masyarakat setempat digunakan untuk mandi dam cuci pakaian, dahulu kali ini juga dapat digunakan untu wudlu. Pada kawasan itu terdapat bangunan patilasan, sumur kuno, mesjid keramat, makam dan selebihnya berupa semacam hutan lindung yang dihuni kera.

Bangunan Petilasan Kalijaga oleh penduduk setempat disebut Pesarean (dari kata Jawa yang berarti tempat beristirahat). Bangunan ini berdenah bentuk huruf L terdiri tiga ruangan. Ruangan pertama merupakan tempat bagi para penziarah untuk memanjatkan doa, yang dapat dimasuki melalui pintu pertama yang disebut  Pintu Bacem. Ruang kedua merupakan tempat beberapa makam kuno, dan ruangan ketiga merupakan bekas tempat tidur Sunan Kalijaga yang ditutup dengan kelambu. 

Pada sebelah barat bangunan terdapat makam pengikut dan kerabat Sunan Kalijaga. Bagian ini dibatasi dengan dengan kuta kosod (susunan bata merah) setinggi ± 120 cm dan tebal ± 90 cm. Menurut cerita rakyat, ketika Cirebon “dikuasai” VOC, lokasi ini pernah dijadikan tempat pertemuan para panglima perang Kesultanan Kanoman, Kasepuhan, dan Mataram untuk menyusun strategi melawan mereka.

Bangunan Mesjid Keramat di kompleks petilasan Sunan Kalijaga dahulu dindingnya terbuat dari kayu dan aber atap daun kelapa (welit, blarak). Sekarang sudah diganti dengan dinding bata diplester dan beratap genting. Di pinggir kali dekat mesjid terdapat Sumur Kuno. Konon sumur kuno ini umurnya sudah mencapai ratusan tahun. Sumur ini juga disebut Sumur Wasiat. Di dekat Kali Simandung terdapat makam keramat dengan tokoh yang dimakamkan adalah Syech Khotim. Beliau adalah kepercayaan Sunan Kalijaga.

Hutan lindung di kawasan petilasan Sunan Kalijaga, ditumbuhi beberapa jenis pohon besar, seperti bebang, repilang, rengas, dan albasia. Kerimbunan pepohonan ini mendominasi pemandangan. Pada rindangnya pepohonan tersebut akan tampak kera-kera yang saling bergelantungan dan berkejaran. Pada pagi hari mereka turun, dan duduk berbaris di tepi kali, ada juga diantaranya yang tampak mencari kutu. Mereka juga akan turun, jika ada pengunjung, terutama yang terlihat membawa makanan. Pada saat ini populasi mereka sekitar 72 ekor. Hutan lindung ini disebut Taman Kera Kalijaga.

Kondisi sekarang ini, keberadaan pohon besar cenderung semakin berkurang, tergusur permukiman dan tempat usaha. Akibatnya, kera-kera penghuni kekurangan pangan, sehingga kerapkali memasuki rumah penduduk, bahkan ada di antarannya dengan cara merusak atap. Kerusakan “habitat” ini pula yang menyebabkan sebagian diantara mereka bermigrasi ke kampung lain.

Salah satu keistimewaan kawasan ini juga memiliki beberapa legenda, di antaranya legenda Si Lorong yang berhubungan dengan pembuatan kain tenun, legenda satu orang raja dengan 11 punggawa, legenda si Mandung (Syekh Khotim), legenda kera dan Legenda Jimat Layang Kalimursadat.

Menurut cerita tutur, Sunan Kalijaga pernah menetap beberapa kali di Cirebon cukup lama dalam kurun waktu yang berbeda. Kedatangannya yang pertama bertujuan untuk menimba ilmu. Kedatangan yang kedua dalam rangka melaksanakan tugas sebagai wali. Kali terakhir Sunan Kalijaga menetap di Cirebon dalam rangka merintis pembangunan Kerajaan Cirebon. Konon, dahulu Sunan Kalijaga sempat mengajar membuat kain tenun pada masyarakat setempat, sehingga hampir semua penduduk dapat melakukannya. Lambat laun daerah itupun berkembang menjadi “sentra” jual beli kain tenun. 

Akan tetapi, sejak kedatangan Belanda dan dilanjutkan oleh pendudukan Jepang, aktifitas pembuatan kain tenun semakin menyurut, hingga tidak nampak lagi. Masih menurut cerita tutur, Sunan Kalijaga terkenal sebagai ahli membatik dan sempat mengajarkannya kepada masyarakat setempat. Nyi Rupi’ah adalah orang terakhir yang mempertahankan pembuatan batik tulis khas Kalijaga. Sangat disayangkan sekali mulai tahun 1972 masyarakat setempat berhenti melakukan kegiatan membuat batik.

 

Prabu Angling Darmo


Kelahiran Prabu Angling Dharma

Sebelum Angling Dharma lahir, terdapat sebuah kerajaan yang dikenal dengan Kerajaan Hastina. Kerajaan Hastina saat itu dipimpin oleh Raja yang dikenal dengan Raja Parikesit. Semenjak Parikesit mempunyai beberapa orang putra, kehidupan disekitar kerajaan mulai memburuk karena terjadi persaingan perebutan tahta kerajaan. Raja Parikesit mewariskan tahtanya kepada putranya Yudayana. Ketika masa kepemimpinan Yudayana dimulai, kerajaan hampir mengalami kehancuran sehingga Raja Yudayana  sampai berani mengubah nama kerajaannya menjadi Kerajaan Yawasita. Perubahan nama kerajaan dilakukan bermaksud agar masa depan kerajaan yang dipimpin raja Yudayana semakin membaik. Namun kenyataannya masa depan kerajaan Yawasita tetap tidak jaya. Sehingga tahta Raja Yudayana dia berikan kepada saudaranya Gendrayana yang dulu pernah bersaing dengan Yudayana.
 
Pada masa pemerintahan Raja baru Gendrayana, lingkungan kerajaan semakin membaik dan mulai ada perubahan yang lebih sejahtera. Hal itu dibuktikan dengan tidak adanya rakyat yang mengalami kelaparan dan kemiskinan. Namun, masa kepemimpinan Gendrayana tidak terlalu lama karena dia menghukum adiknya sendiri yang bernama Sudarsana dengan dasar kesalahpahaman antara kedua belah pihak. Mendengar berita itu, Batara Narada atau seorang pendeta dari kahyangan yang bijaksana datang ke kerajaan Yawastita untuk mengadili Gendrayana. Sebagai hukumannya, gendrayana dibuang ke hutan oleh Batara Narada. Sedangkan adiknya Sudarsana dijadikan sebagai pengganti Gendrayana. Gendrayana mengajak beberapa pengikut setianya untuk hidup bersamanya dan membuat kerajaan baru suatu hari nanti.
 
Di dalam hutan, Gendrayana berjuang keras bersama pengikut-pengikutnya membuat sebuah kerajaan yang akan berdiri kokoh. Setelah beberapa tahun, akhirnya sebuah kerajaan berhasil berdiri atas perjuangan keras yang dilakukan Gendrayana. Kerajaan tersebut diberi nama Kerajaan Mamenang oleh Gendrayana. Dan raja pertama yang menduduki pada masa itu adalah Gendrayana sendiri. Bahkan sampai Ratusan tahun kerajaan Mamenang berhasil memakmurkan rakyatnya dan selalu unggul dalam persaingan dengan kerajaan Yawasita. Setelah mengalami masa kejayaan, Gendrayana dikaruniai seorang putra yang diberi nama Jayabaya. Gendrayana mewariskan tahtanya kepada Jayabaya. Sedangkan Raja Sudarsana juga menyerahkan tahtanya kepada putranya yaitu Sariwahana. Kamudian Sariwahana mewariskan tahtanya kepada putranya Astradama karena Sariwahana tidak terlalu suka menjadi seorang raja. Pada masa pergantian tahta, kedua kerajaan ini sering terlibat dalam perang saudara. Perang saudara ini sampai bertahan hingga puluhan tahun dan tetap saja tidak selesai-selesai.
 
Akhirnya kedua kerajaan ini damai atas bantuan dari Hanoman yang telah bertapa lebih dari ratusan tahun. Hanoman melakukan tindakan yang berhasil mewujudkan perdamaian antara kerajaan Yawastina dengan kerajaan Mamenang dengan cara perkawinan salah satu anggota kerajaan. Yaitu Astradarma dinikahkan dengan Pramesti, Putra Jayabaya.
 
Setelah menikah, Pramesti bermimpi bertemu dengan Batara Wisnu. Batara Wisnu berkata bahwa dia akan dilahirkan di dunia melalui rahimnya sendiri. Dengan adanya kejadian mimpi tersebut, tiba-tiba perut Pramesti membuncit dan didalam rahimnya ada jabang bayi. Sontak Astradarma menuduh Pramesti selingkuh dengan orang lain. Sehingga Astradarma mengsusir istrinya untuk pulang kembali ke negerinya. Saat Jayabaya menemui putrinya berjalan menuju ke istananya dengan keadaan hamil dan lemas, Jayabaya sangat murka kepada Raja Astradarma. Kemudian Jayabaya mengutuk kerajaan Yawastina tenggelam oleh banjir bandang yang besar. Tak lama kutukan itu pun terjadi dan menimpa kerajaan Yawastina. Akhirnya Raja Astradarma dengan seluruh rakyatnya terhempas dan menghilang bersama istananya karena banjir yang melanda kerajaannya. Begitulah berakhirnya kerajaan Yawastina.
 
Setelah runtuhnya kerajaan Yawastina, Pramesti melahirkan seorang putra yang diberi Angling Dharma. Angling Dharma merupakan bayi titisan Dewa Wisnu yang memiliki kekuatan-kekuatan yang luar biasa. Angling Dharma dilahirkan bersamaan dengan kematian kakeknya Jayabaya. Setelah meninggalnya Jayabaya, tahta kerajaan Mamenang kemudian diserahkan kepada Jaya Amijaya (Saudara Pramesti).
 
Perjalanan Hidup Prabu Angling Dharma

Pada masa kecil sampai remaja Angling Dharma sering sekali membantu sesama temannya. Dia selalu meberantas kejahatan meskipun usia Angling Dharma masih sangat muda. Banyak sekali perampok-perampok yang berhasil dia kalahkan. Sehingga dia sangat disegani oleh banyak masyarakat yang telah dibantunya. Pada saat masuk usia remaja, Angling Dharma mulai melatih dan mengasah kemampuannya dalam dunia persilatan dan kekuatan dalam. Dengan dibekali keahlian sejak kecil, Angling Dharma sangat mudah mempelajari berbagai macam jurus yang diajarkan oleh gurunya, yaitu Begawan Maniksutra. Dia juga diajarkan gurunya untuk berburu yang baik dan tidak merusak alam. Hanya berburu dalam waktu 30 menit, Angling Dharma berhasil melumpuhkan seekor singa yang besar.
 
Angling Dharma sering sekali membunuh hewan setelah dia bisa berburu. Dalam sehari, Angling Dharma selalu membantai 3 ekor singa. Mengetahui hal tersebut, guru memarahi Angling Dharma sampai-sampai Angling Dharma tidak mau berlatih dengan gurunya sendiri. Selama lebih dari 2 tahun, Begawan Maniksutra berhasil menguasai berbagai macam ilmu tenaga dalam dan jurus-jurus yang sangat hebat. Suatu hari Begawan memergoki Angling Dharma sedang berburu dan membawa 2 ekor singa yang diikat tali oleh Angling Dharma. Begawan Maniksutra langsung menghalangi langkah kaki Angling Dharma yang penuh dengan keringat.
 
"Dharma! berhenti di situ!" teriak Begawan Maniksutra.
"Sedang apa kamu di sini? Menyingkirlah kamu dari jalanku," kata Angling Dharma.
"Dasar anak kurang ajar! lepaskan kedua singa itu. Atau kamu ..."
"Aku apa? Saya tidak takut denganmu walau aku pernah berguru kepadamu," Angling Dharma memotong pembicaraan Begawan.
"Memang semakin besar kamu semakin kurang ajar. Rasakan i..." tiba-tiba dipotong Angling Dharma.
"Rasakan apa? Saya tidak takut walaupun engkau hebat." Angling Dharma tertawa sambil melihat jurus yang dilakukan oleh Begawan Maniksutra.
"Mana ilmumu wahai guru?" Angling Dharma bertanya.
"Lihat sekelilingmu," kata Begawan. Angling Dharma terkejut melihat tali yang diikatkan ke leher singa tiba-tiba menghilang. Sontak Angling Dharma langsung berlari menghindar dari kejaran dua ekor singa yang telah diburunya. Setelah jauh berlari, akhirnya Angling Dharma berhasil lolos dari kejaran singa. 

Tiba-tiba Begawan Maniksutra berada di depan Angling Dharma. Angling Dharma langsung meminta kepada Begawan Maniksutra untuk menerima dirinya kembali sebagai muridnya. Selama Angling Dharma menjadi murid Begawan Maniksutra, dia diajarkan ilmu-ilmu yang dimiliki Begawan Maniksutra agar bisa meneruskan ilmu untuk para pemuda-pemuda yang berjuang mempertahankan negeri.
 
Akhirnya Angling Dharma berhasil menguasai seluruh ilmu dan jurus-jurus yang diajarkan oleh Begawan Maniksutra. Kemudian dengan tekat dan keberanian Angling Dharma, dia ingin membangun sebuah negeri baru karena mengetahui sejarah negeri kakeknya yang dulu sering berselisih dengan kerajaan lain. Angling Dharma ingin menciptrakan sebuah negeri yang damai dan makmur bagi rakyatnya.
 
Setelah Angling Dharma memasuki masa dewasa, Angling Dharma berniat membawa ibunya pindah ke negeri yang telah dibangunnya sendiri. Negeri tersebut diberi nama Malawapati. Di sana, Angling Dharma memimpin negerinya sendiri dan mengatur negerinya sendiri dengan memberi gelar Prabu Angling Dharma atau Prabu Ajidharma oleh dirinya sendiri. Setelah kerajaan Yawastina mengetahui kemakmuran yang terjadi pada kerajaan Malawapati, Jaya Amijaya sebagai raja Yawastina memberikan seperempat kekuasaannya kepada Angling Dharma untuk bermaksud memakmurkan rakyat barunya.
 
Walaupun dia sebagai raja, dia tetap tidak mau meninggalkan kebiasaannya untuk berburu. Angling Dharma senang sekali berburu pada malam hari karena pada malam hari hewan-hewan sangat mudah untuk diburu. Pada saat dia berburu, ia menemukan seorang gadis yang bersembunyi dari kejaran harimau. Lalu kemudian dia membawa gadis itu menuju ke tempat  yang aman dari jangkauan harimau. Selama perjalanan mereka saling berkenalan dan saling bercerita kesukaan mereka. Gadis itu ternyata bernama Setyawati yang ayahnya merupakan seorang pertapa sakti bernama Resi Maniksutra. Angling Dharma kemudian mengantarkannya pulang ke rumah. karena Angling Dharma merasa jatuh cinta kepada Setyawati dalam pandangan pertaa, Angling Dharma berniat untuk menjadikan Setyawati sebagai pendamping hidupnya.
 
Dan akhirnya Angling Dharma juga melamar Setyawati sebagai istrinya. Namun ada sedikit kendala saat akan mendapatkan Setyawati. Kakak Setyawati yang bernama Batikmadrim telah bersumpah bahwa barangsiapa yang ingin menikahi adiknya harus dapat mengalahkannya. Mengetahui sumpah tersebut, Angling Dharma memberanikan diri untuk melawan Batikmadrim demi mendapatkan Setyawati. Maka terjadilah pertandingan antara kakak Setyawati dengan Angling Dharma yang dimenangkan oleh Angling Dharma. Setelah itu, Setyawati menjadi permaisuri Angling Dharma dan sedangkan Batikmadrim diangkat sebagai patih di Kerajaan Malawapati.
 
Di lain hari, Angling Dharma memergoki istri Nagaraja yang bernama Nagagini sedang berselingkuh dengan seekor ular tampar (Nagaraja merupakan seorang guru yang tinggal di kerajaan Yawastina). Hal itu diketahui Angling Dharma saat Angling Dharma sedang berburu pada malam hari. Angling Dharma pun membunuh ular jantan tersebut demi kebaikan. Sedangkan Nagagini pulang dalam keadaan terluka. Nagagini kemudian menyusun sebuah laporan palsu kepada suaminya supaya membalas dendam kepada Angling Dharma yang telah membunuh temannya. Nagaraja pun menyusup ke dalam istana Malawapati. Namun saat menyusup ke dalam istana, Nagaraja menyaksikan Angling Dharma sedang membicarakan perselingkuhan Nagagini kepada Setyawati. Nagaraja pun sadar bahwa istrinya yang salah. Nagaraja pun muncul dan meminta maaf kepada Angling Dharma karena dia hampir saja membunuh Angling Dharma.
 
Pada saat itu juga Nagaraja mengakui bahwa dirinya akan meninggal karena dia telah memasuki masa moksa (Moksa adalah masa dimana arwah seseorang akan pergi dari raganya dan bereinkarnasi menuju ke manusia yang akan dilahirkan). Kemudian Nagaraja mewariskan ilmu kesaktiannya berupa Aji Gineng kepada Angling Dharma. Ilmu tersebut harus dijaga dengan baik dan penuh rahasia. Setelah mewariskan ilmu tersebut, Nagaraja pun meninggal. Jenazah Nagaraja kemudian dibawa ke rumah istrinya oleh Angling Dharma dan Angling Dharma menjelaskan kepada Nagagini apa yang sebenarnya terjadi sebelum suaminya meninggal.
 
Semenjak Angling Dharma mewarisi ilmu baru dari Nagaraja, dia dapat mengerti bahasa binatang. Pernah ia tertawa menyaksikan percakapan sepasang cicak. Hal itu membuat Setyawati tersinggung karena dirinya tidak pernah diperhatikan oleh suaminya semenjak dia memlihara banyak hewan dari hasil perburuannya. Angling Dharma menolak berterus terang karena terlanjur berjanji akan merahasiakan Aji Gineng. Hal itu membuat Setyawati bertambah marah. Setyawati pun memilih bunuh diri dalam api karena merasa dirinya tidak dihargai lagi oleh Angling Dharma. Angling Dharma berjanji lebih baik menemani Setyawati mati, daripada harus membocorkan rahasia ilmunya. Ketika upacara pembakaran diri digelar, Angling Dharma sempat mendengar percakapan sepasang kambing. Dari percakapan itu Angling Dharma sadar kalau keputusannya menemani Setyawati mati adalah keputusan yang tidak tepat dan bisa merugikan rakyat banyak.
 
Setelah kematian istrinya yang tragis, Angling Dharma menjalani hukuman buang untuk beberapa waktu sebagai penebus dosa. Hukuman itu meruupakan permintaan dari rakyatnya sendiri. Karena Angling Dharma telah mengingkari janji setia sehidup semati dengan istrinya sendiri. Walaupun Angling Dharma dihukum, dia tetap tidak lengser dari kursi rajanya. Kemudian Angling Dharma menitipkan istananya kepada Batikmadrim selama dia menjalani hukuman.
 
Dalam perjalanan, Angling Dharma bertemu tiga orang putri yang bernama Widata, Widati, dan Widaningsih. Ketiganya jatuh cinta kepada Angling Dharma dan menahannya untuk tidak pergi meninggalkan mereka.  Selama mereka saling mengenal, Angling Dharma meminta tolong kepada tiga putri tersebut untuk memberikan sebuah tempat tinggal untuknya. Akhirnya ketiga orang putri tersebut memberikan tempat tinggal untuk Angling Dharma. Namun semenjak tinggal bersama dengan tiga orang putri, Angling Dharma merasa ada yang ganjil saat putri-putri sering keluar pada malam hari. Kemudian Angling Dharma menyamar sebagai sosok burung gagak untuk menyelidiki kegiatan rahasia ketiga putri tersebut. Ternyata setiap malam mereka selalu berpesta makan daging manusia. Akhirnya kecurigaan Angling Dharma sudah terbukti. Tiga orang putri tadi merupakan penyihir yang suka memangsa manusia sebagai makanannya.
 
Saat Angling Dharma ketahuan sedang mengintip kegiatan mereka yang sedang makan daging manusia, Angling Dharma pun berselisih dengan mereka. Namun kekuatan Angling Dharma masih dapat dikalahkan oleh 3 orang penyihir. Akhirnya ketiga putri tadi mengutuk Angling Dharma menjadi seekor belibis putih. Belibis putih tersebut terbang sampai ke wilayah Kerajaan Bojanagara. Di sana, ia dipelihara seorang pemuda desa bernama Jaka Geduk. Jaka Gduk terkejut saat dia mengetahui belibis putih mampu berbucara kepadanya.
 
Pada saat itu, Darmawangsa yang sebagai raja Bojanagara sedang bingung menghadapi pengadilan yang di mana kasusnya merupakan seorang wanita bernama Bermani mempunyai dua orang suami yang berwujud sama dan bernama sama, yaitu Bermana. Kemudian pemuda desa tadi datang sambil membawa belibis putih untuk membantu raja dalam mengadili Bermani. Atas petunjuk belibis putih, Jaka Geduk berhasil membongkar Bermana palsu kembali ke wujud aslinya, yaitu Jin Wiratsangka. Atas keberhasilannya itu, Jaka Geduk diangkat sebagai hakim negara, sedangkan belibis putih diminta sebagai peliharaan putri raja Bojanagara yang bernama Ambarwati.
 
Keberhasilan Prabu Angling Dharma

Walaupun Angling Dharma telah berwujud belibis putih, dia sebenarnya bisa berubah ke wujud manusia pada malam hari saja. Namun Angling Dharma merahasiakan kelebihannya itu kepada siapapun kecuali Ambarawati. Setiap malam ia menemui Ambarawati dalam wujud manusia sehingga mereka berdua saling jatuh cinta. Mereka akhirnya menikah tanpa sepengetahuan orang tua Ambarawati. Dari perkawinan itu Ambarawati pun mengandung.
 
Darmawangsa heran dan bingung mendapati putrinya mengandung tanpa suami. Kebetulan saat dalam setiap kebingungan raja selalu ada jalan keluar dengan adanya orang ketiga. munculah seorang pertapa sakti yang bernama Resi Yogiswara mengaku siap menemukan ayah dari janin yang dikandung Ambarawati. Yogiswara kemudian mencari pelakunya. Resi mencurigai dengan adanya seekor belibis putih yang memiliki sebuah kalung yang sama seperti kalung Angling Dharma. Kemudian Resi Yogiswara menyerang belibis putih peliharaan Ambarawati. Setelah melalui pertarungan yang sengit, belibis putih kembali ke wujud semula yaitu Angling Dharma, sedangkan Yogiswara berubah menjadi Batikmadrim. Kedatangan Batikmadrim yang sebenarnya adalah untuk menjemput Angling Dharma yang sudah habis masa hukumannya.
 
Raja Darmawangsa justru menerima perlakuan Angling Dharma terhadap putrinya dan merestui hubungan mereka. Sehingga raja Darmawangsa melakukan acara pernikahan besar untuk menyambut Angling Dharma. Angling Dharma kemudian membawa Ambarawati pindah ke Malawapati. Dari perkawinan mereka, akhirnya lahir seorang putra yang bernama Anglingkusuma. Angling Kusuma akan menjadi penerus raja di kerajaan Bojanagara dan menggantikan kakeknya tersebut. Namun, selama Angling Kusuma menjadi raja, dia mempunyai musuh bernama Durgandini dan Sudawirat yang ingin menjatuhkan kerajaan Bojanagara.
 
Setelah kembalinya Angling Dharma ke Malawapati, kerajaan Angling Dharma berjaya dan mampu membantu putranya dalam memerangi musuh-musuhnya dan akhirnya mereka berhasil menaklukan musuh-musuhnya. Dan saat itulah sudawirat terbuka hatinya untuk mengabdi kepada Kerajaan yang dipimpin oleh Prabu Angling Dharma. Dan sedangkan Durgandini bersedia mengabdi pada kerajaan Bojanagara.

 

Sejarah Bagelen


Di Jawa Tengah abad VIII – X, ada kerajaan besar, bernama Medang yang terletak di Poh pitu. Kerajaan ini luas, dikenal subur dan makmur. Pusat kekuasaan dibagi menjadi dua; Pertama, negara yang bersifat internasional dengan beragama Budha, diperintah oleh Dinasti Syailendra. Kedua, negara yang diperintah oleh sepupunya yang beragama Syiwa. Kedua kerajaan ini berada dalam satu istana, dan disebut Kerajaan Medang i Bhumi Mataram. 

Berdasarkan prasasti berbahasa Melayu Kuno (Desa Sojomerto, Batang) memperkuat pendapat sejarawan Purbacaraka, bahwa hanya ada satu dinasti saja di Jawa Tengah, yakni Syailendra. Raja Sanjaya yang menganut Syiwa di kemudian hari menganjurkan putranya, Rakai Panangkaran untuk memeluk Budha. Menurut catatan Boechori, epigraf dan arkeolog, Syailendra merupakan penduduk asli Indonesia. Hal ini juga diperkuat oleh prasasti Wanua Tengah III (Temanggung) yang memuat silsilah raja-raja Mataram lengkap dengan tahunnya.


ASAL-MULA RAJA SANJAYA DAN TANAH BAGELEN 

Berdasarkan prasasti Canggal (Sleman) menjelaskan: -ada sebuah pulau bernama Yawadwipa -negeri yang kaya raya akan padi, jewawut, dan tambang emas. -raja pertamanya : Raja Sanna. -setelah dia mangkat, diganti oleh ponakannya: Raja Sri Sanjaya Menurut catatan seorang sejarawan, Raja Sanjaya mendirikan kerajaan di Bagelen, satu abad kemudian dipindah ke Wonosobo. Sanjaya adalah keturunan raka-raka yang bergelar Syailendra, yang bermakna “Raja Gunung“, “Tuan yang Datang dari Gunung“. Atau, “Tuan yang Datang dari Kahyangan“, karena gunung menurut kepercayaan merupakan tempatnya para dewata.

Raja Sanjaya dikenal sebagai ahli kitab-kitab suci dan keprajuritan. Armada darat dan lautnya sangat kuat dan besar, sehingga dihormati oleh India, Irian, Tiongkok, hingga Afrika. Dia berhasil menaklukkan Jawa Barat, Jawa Timur, Bali, Kerajaan Melayu, Kemis (Kamboja), Keling, Barus, dan Sriwijaya, dan Tiongkok pun diperanginya (from “Cerita Parahiyangan“).

Area Kerajaan Mataram Kuno (Bagelen) berbentuk segitiga. Ledok di bagian utara, dikelilingi Pegunungan Menoreh di sisi Barat dan Pegunungan Kendeng di utara dan basisnya di pantai selatan dengan puncaknya Gunung Perahu (Dieng), di lembah Sungai Bagawanta (Sungai Watukura, kitab sejarah Dinasti Tang Kuno 618-906). Catatan dinasti Tiongkok tersebut diperkuat juga oleh Van der Meulen yang menggunakan kitab “Cerita Parahiyangan” dan “Babad Tanah Jawi“.
Bagelen merupakan hasil proses nama yang final. Bermula Galuh/Galih, menjadi Pegaluhan/Pegalihan, menjadi Medanggele, Pagelen, lalu jadilah Bagelen. Dalam prasasti Tuk Mas (Desa Dakawu, Grabag-Magelang) yang menyebut adanya sungai yang seperti sungai Gangga, maka Medang i bhumi Mataram bermakna “Medang yang terletak di suatu negeri yang menyerupai Ibu”(lembah Sungai Gangga). Dieng diasumsikan sebagai Himalaya, Perpaduan Sungai Elo dan Progo disamakan sebagai Sungai Gangga, dan pegunungan Menoreh disamakan sebagai Pegunungan Widiya.

SILSILAH RAJA-RAJA MATARAM KUNO

Pada jaman Mataram Hiindhu, tersebutlah seorang raja yang bijaksana yang bernama Prabu Sowelocolo. Ia memiliki enam orang putra, masing-masing bernama Sri Moho Punggung, Sendang Garbo, Sarungkolo, Tunggul Ametung, Sri Getayu, dan Sri Panuhun.

Sri Panuhun memiliki seorang cucu, anak dari Joko Panuhun atau Joko Pramono yang bernama Roro Dilah atau Roro Wetan yang kemudian dikenal dengan sebutan Nyai Bagelen. Roro Dilah juga dapat disebut dengan Roro Wetan karena kedudukannya di daerah timur. Sri Getayu memiliki cucu dari putra Kayu Mutu bernama Awu-Awu Langit. Ia berkedudukan di Awu-Awu (Ngombol). 
Setelah dewasa, Roro Dilah menikah dengan Raden Awu-Awu Langit dan menetap di Hargopuro atau Hargorojo.

Dari pernikahan tersebut, Roro Dilah atau Roro Wetan dan Pangeran Awu-Awu Langit dianugrahi tiga orang putra, Bagus Gentha, Roro Pitrang dan Roro Taker.

Kesibukan Roro Wetan dan Awu-Awu Langit adalah bertani padi, ketan, dan kedelai, beternak sapi, ayam dan juga menenun. Konon karena tanahnya cocok untuk ditanami kedelai dan hasilnya melimpah maka wilayah tersebut dikenal dengan nama Medang Gelih atau Padelen dan sekarang disebut dengan Bagelen.

Roro Wetan atau Nyai Ageng Bagelen sosoknya tinggi besar dengan rambut terurai dan senang memakai kemben lurik. Beliau memiliki keistimewaan berupa kemampuan spiritualnya dan juga payudaranya yang sangat panjang sehingga ketika putra-putrinya ingin ngempeng, ia tinggal menyampirkan ke belakang.

Pada suatu ketika, Nyai Ageng Bagelen sedang asik menenun. Sebagaimana biasanya, ia menyampirkan payudaranya ke belakang supaya tidak mengganggu. Tidak disangka-sangka datang anak sapi menghampirinya, Nyai Ageng Bagelen mengira itu salah satu putra-putrinya yang ingin ngempeng. Tanpa menghiraukan kedatangan anak sapi tersebut ia terus asik menenun. Terkejutlah ia ketika menoleh, ternyata yang menyusu bukanlah anaknya tetapi anak sapi.

Kejadian tersebut membuat Nyai Ageng Bagelen merasa malu dan marah, sehingga menyebabkan pertengkaran dengan Raden Awu-Awu Langit. Dan akhirnya ia menyampaikan pesan untuk semua anak cucu beserta keturunannya, agar atau jangan tidak memelihara sapi.

Peristiwa yang memilukan atau menyedihkan juga terjadi kembali pada hari Selasa Wage. Pada waktu itu masih musim panen kedelai dan padi ketan hitam. Kedua putrinya Roro Pitrang dan Roro Taker masih senang bermain-main. Namun tidak sebagaimana biasanya, hingga sore hari kedua putri itu tidak kunjung pulang.
Selesai menenun Nyai Ageng Bagelen berusaha mencari. Karena tidak menemukannya, ia menanyakan kepada suaminya. Namun jawaban Raden Awu-Awu Langit sepertinya kurang mengenakan. 

Dengan perasaan marah dan jengkel dibongkar padi ketan hitam dan kedelai di dalam lumbung sehingga isinya berhamburan terlempar jauh hingga jatuh di desa Katesan dan Wingko Tinumpuk.
Betapa terkejutnya Nyai Ageng Bagelen ketika melihat kedua putri kesayangannya terbaring lemas pada lumbung padi tersebut. Setelah didekati ternyata mereka telah meninggal.

Semenjak peristiwa tersebut kehidupan Nyai Ageng Bagelen dengan Raden Awu-Awu Langit selalu diwarnai dengan pertengkaran. Akibatnya Raden Awu-Awu Langit memutuskan untuk pulang ke daerahnya, Awu-Awu, sedangkan Nyai Ageng Bagelen tetap tinggal di Bagelen untuk memerintah negeri.

Suatu ketika terdengar kabar bahwa Raden Awu-Awu Langit meninggal di desa Awu-Awu. Mendengar berita tersebut Nyai Ageng Bagelen merasa sedih dan berpesan kepada Raden Bagus Gentha bahwa anak cucu keturunannya dilarang atau berpantangan untuk bepergian atau jual beli, mengadakan hajad pada hari pasaran Wage, karena pada hari itu saat jatuhnya bencana dan merupakan hari yang naas. Selain itu orang-orang asli Bagelen juga berpantangan untuk menanam kedelai, memelihara lembu, memakai pakaian kain lurik, kebaya gadung melati dan kemben bagau tulis.

Setelah Nyai Ageng Bagelen menyampaikan pesan tersebut kepada Raden Bagus Gentha putranya, ia kemudian masuk ke kamarnya dan lemudian menghilang tanpa meninggalkan bekas atau moksa.

Selain itu Nyai Ageng Bagelen juga mengajarkan kepada anak cucu keturunannya agar melakukan tiga hal, yaitu: bersikap jujur, berpenampilan sederhana dan lebih baik memberi dari pada meminta.
Sepeninggalan Nyai Ageng Bagelen, kedudukan dan pemerintahan Bagelen digantikan oleh Raden Bagus Gentha.



Cerita tentang Nyai Ageng Bagelen

Cerita Legenda tentang Nyai Ageng Bagelen adalah cikal bakal orang-orang / masyarakat Bagelen yang terletak di kabupaten Purworejo Jawa Tengah, Nyai Ageng Bagelen mempunyai nama asli Rara Wetan, dia adalah putri yang cantik jelita, pintar di bidan kerajinan tenun, suka bertani, dan suka bersemedi atau tapa brata, dia merupakan putri dari salah satu toko yang sangat terkenal di kukuban Bagelen yaitu Jaka Panuntun.

Diceritakan Jaka Panuntun adalah Putra dari Raden Panularan salah satu jagal dan ahli deres / mengambil sari dari buah nira, Raden Panularan putra Prabu Kandhidawa dari Negara Karipan, sedang Prabu Kandhidawa adalah Putra Prabu Daniswara dari Negara Medhangkamulan, jadi Rara Wetan adalah memang masih keturunan dari trah Kerajaan yang dihormati.

Banyak para pemuda yang kasmaran kepada kecantikan Nyai Ageng Bagelen atau Rara Wetan, dan ingin mempersuntingya, Tumenggung Wingko adalah salah satu penguasa di daerah Wingko juga tertarik untuk mempersuntingnya, maka beliau mengutus utusan untuk melamarnya, akan tetapi lamaran Tumenggun Wingko ditolak oleh Ayahnya Rara Wetan yaitu Jaka Panuntun dengan alasan Rara wetan belum siap untuk berumah tangga, Tumenggung Wingko tidak terima dengan penolakan tersebut, sehingga dengan diam-diam menculik Rara Wetan untuk dibawa ke Wingko.

Begitu tau Rara Wetan diculik, Jaka Panuntun lalu menuduh Tumenggung Wingko sehingga terjadi peprangan, dalam perang tanding Jaka Panuntun melawan Tumenggung Wingko, Jaka Panuntun mengalami kekalahan, tubuhnya terlempar dan tak sadarkan diri, dikira Jaka Panuntun sudah tewas, lalu dibuang ke sungai yang dahulu menuju ke sebuah telaga, tubuh Jaka Panuntun  terbawa arus sungai ikut aliran air.

Jaka Awu-awu Langit dan Adipat Kayumunthu saat itu dengan menggunakan sampan dari arah selatan, melihat ada sesosok tubuh hanyut lalu dengan segera memberikan pertolongan, dan selanjutnya tubuh Jaka Panuntun di angkat ke sampan dan di beri pengobatan sehingga bisa tertolong.

Jaka Panuntun lalu menceritakan semua kejadian tersebut kepada Jaka Awu-awu Langit dan Adipati Kayumunthu, mendengar cerita dari Jaka Panuntun, Jaka Awu-awu Langit lalu mempunyai sebuah siasat untuk membunuh Tumenggung Wingko yang sudah menerjang aturan, diceritakan Tumenggung Wingko memang sakti mandraguna, sehingga Jaka Awu-awu Langit perlu siasat untuk menghabisinya yaitu dengan berpura-pura mengajak sabung ayam.

Di babak pertama belum terlihat siapa yang menang dan siapa yang kalah, ayam Jaka Awu-awu Langit mempunyai jalu yang cukup tajam, diceritakan tajamnya jalu ayam Jaka Awu -awu Langit mampu membelah batu yang di hantamnya, batu tersebut sekarang tersimpan di dalam masjid di Desa Awu-awu, sesudah istirahat pertama selesai, sabung ayam kembali di lanjutkan, di babak kedua suasana sabung ayam tersebut bertambah ramai oleh sorak sorai para warga dan punggawa yang memenuhi arena sabung ayam tersebut, dan saat – saat puncak keramaian tersebut, Jaka Awu-awu Langit menyerang Tumenggung Wingko dengan tiba-tiba, sehingga tanpa perlawanan yang berarti tumenggung Wingko tewas di arena sabung ayam tersebut, dan punggawa yang lain begitu melihat Tumenggung wingko tewas meraka tidak mampu untuk memberikan perlawanan karena memang tiada persiapan.

Rara Wetan lalu dikembalikan ke Bagelen ke pangkuan Jaka Panuntun, Jaka Panuntun merasa berhutang budi kepada Jaka Awu-awu Langit, lalu Rara Wetan di nikahkan dengan Jaka Awu-aw Langit, keduanya hidup berdampingan dalam kebahagiaan rumah tangga, dan diberikan tiga orang putra, yang pertama putra di beri nama Bagus Gentho, yang kedua putri di beri nama Rara Pitrah, dan yang terakhir juga putri di beri nama Rara Taker.

Dalam ceritanya Nyai Ageng Bagelen mempunyai payudara panjang, waktu Nyai Ageng sedang bekerja ( menenun ) payudaranya di hisap oleh anak sapi ( pedhet ) piaraan Bagus Gentho dari belakang, perasaan Nyai Ageng yang menghisap adalah salah satu dari puteranya maka dibiarkan saja, akan tetapi lama kelamaan di rasa oleh Nyai Ageng tidak seperti biasanya, maka Nyai Ageng menoleh kebelakang, dan terkejut bukan kepalang Nyai Ageng ternyata yang menete ternyata adalah pedhet ( anak sapi ), akhirnya karena saking marahnya, pedhet tersebut di pukulinya sampai mati.

 

Perkembangan Keris


Surutnya pembuatan keris tak sebatas oleh pola pewarisan yang tertutup. Ini tak luput dari datangnya kapitalisme.

Menurut perspektif Barat, pembuatan senjata khususnya pada orang-orang Timur—dengan porsi utama segi estetika—adalah salah satu pemenuhan kebutuhan manusia, yaitu pamer. Sungguh sebuah pandangan yang ganjil.

Pembuatan senjata (keris) memakan proses panjang dan teknik-teknik khusus. Selain itu, keris juga mengandung makna-makna filosofis nan simbolis dari setiap lekuknya. Dalam banyak kebudayaan di Nusantara, ia dianggap bagian integral dari pemiliknya, misalnya bagi orang-orang Bugis, Makassar, Bima, keris dianggap sebagai pengganti dari rusuk sebelah kiri yang hilang 

Pamor Keris

Bahkan senjata yang berpamor, tidak pernah ada dalam sejarah India. Bentuk senjata yang menyerupai keris pun tidak pernah dijumpai di negeri itu. Dalam kitab Mahabarata dan Ramayana yang ditulis pujangga India, tidak ditemukan satu pun senjata yang bernama keris. Jenis senjata yang ada dalam buku epos agama Hindu itu adalah gendewa dan panahnya, gada, pedang, dan cakra. Tetapi tidak keris! Keris baru dijumpai setelah kedua cerita itu diadaptasi oleh orang Jawa dan menjadi cerita wayang! Beberapa buku yang ditulis orang Barat menyebutkan bahwa di Persia (kini Iran) dulu juga pernah ada pembuatan senjata berpamor yang serupa dengan keris yang ada di Indonesia. Ini pun keliru!

Beberapa jenis senjata kuno buatan Persia memang dihiasi dengan semacam lukisan atau kaligrafi pada permukaan bilahnya. Namun penerapan teknik hiasan itu beda benar dengan pamor. Teknik menghias gambar pada permukaan yang dilakukan bilah senjata yang dilakukan di Iran adalah dengan menggores permukaan bilah itu sehingga timbul alur, kemudian ke dalam alur goresan itu dibenamkan (dijejalkan) kepingan tipis logam emas atau kuningan.

Jadi, teknik hias yang digunakan orang Iran adalah teknik inlay, yang oleh orang Jawa disebut sinarasah. Tetapi hiasan sinarasah itu sama sekali bukan pamor, melainkan hanya merupakan hiasan tambahan atau susulan. Sedangkan pamor adalah hiasan yang terjadi karena adanya lapisan-lapisan dari dua (atau lebih) jenis logam yang berbeda nuansa warna dan penampilannya, yaitu besi, baja, serta bahan pamor. Besinya berwarna kehitaman, bajanya agak abu-abu, sedangkan pamornya cemerlang keperakan. Padahal semua senjata buatan Iran, praktis hanya terbuat dari satu macam logam, yakni baja melulu.

Memang teknik pembuatan pamor pada bilah keris agak serupa dengan teknik pembuatan baja Damaskus. Pedang Damaskus atau baja Damaskus juga terbuat dari paduan dua logam yang mempunyai nuansa beda. Pedang itu pun menampilkan gambaran semacam pamor pada permukaan bilahnya.

Tetapi meskipun teknik pembuatannya hampir sama, niat dan tujuan pembuatan kedua benda itu jauh berbeda. Pedang Damaskus dibuat dengan tujuan utama membunuh lawan, senantiasa diasah tajam. Sedangkan keris dibuat untuk benda pusaka, untuk mendapat kepercayaan diri (sipat kandel - Bhs. Jawa), diharapkan manfaat gaibnya, serta tidak pernah diasah setelah keris itu jadi.

Keris berdapur Tilamsari dengan hiasan kinatah emas Di Indonesia, keris yang baik pada umumnya selain berpamor juga diberi hiasan tambahan  dari emas, perak, dan juga permata. Hiasan ini dibuat untuk memuliakan keris itu, atau sebagai penghargaan Si Pemilik terhadap kerisnya. Pemberian emas dapat juga sebagai anugrah dari raja atas penghargaan terhadap jasa Si Pemilik keris itu.

Hiasan yang dinilai paling tinggi derajatnya adalah bilamana sebilah keris diberi kinatah atau tinatah. Permukaan bilah keris dipahat dan diukir denga motif tertentu sehingga membentuk gambar timbul (relief) dan kemudian dilapisi dengan emas. Terkadang, di sela-sela motif hiasan berlapis emas itu masih ditambah lagi dengan intan atau berlian.

Jika hiasan kinatah itu menutup sepertiga bagian panjang bilah atau lebih, disebut kinatah kamarogan.
Jenis motif kinatah juga banyak ragamnya. Yang paling terkenal adalah, pada bilah keris adalah kinatah lung-lungan, dan pada ganja kinatah gajah singa.

Hiasan sinarasah emas seperti yang dilakukan orang Persia kuno, tergolong lebih sederhana dibandingkan dengan kinatah. Teknik sinarasah, selain digunakan untuk menghias permukaan bilah, juga sering digunakan untuk membuat motif rajah. Yaitu gambaran yang dianggap memiliki pengaruh gaib. Misalnya rajah Kalacakra, rajah Bintang Soleman, dll.

Ditinjau dari cara dan niat pembuatannya keris dapat dibagi atas dua golongan besar. Yaitu yang disebut keris ageman, yang hanya mementingkan keindahan lahiriah (eksoteri) keris itu. Golongan dua adalah keris tayuhan, yang lebih mementingkan tuah atau kekuatan gaibnya (isoteri atau esoteri).

Ditinjau dari bentuk dan kelengkapan bagian-bagiannya, keris terbagi atas 240 dapur keris. Dari jumlah yang ratusan itu, secara umum dapat dibagi atas dua golongan besar, yaitu keris yang lurus dan yang berkelok-kelok bilahnya. Yang berkelok-kelok bilahnya itu disebut keris luk. Jumlah kelokan atau luknya, mulai dari tiga sampai dengan 13. Keris yang luknya lebih dari 13, dianggap sebagai keris yang tidak normal (tetapi bukan berarti tidak baik), dan disebut keris Kalawija. Sedangkan motif hiasan pamor pada bilahnya, lebih dari 150 ragam pamor.

Keris yang dibuat dalam lingkungan keraton oleh para empu keraton, umumnya diberi gelar Kyai, Kanjeng Kyai, dan Kanjeng Kyai Ageng, Selain gelar, keris juga diberi nama. Gelar dan nama keris itu tercatat dan disimpan dalam arsip keraton. Sedangkan keris milik keraton biasanya disimpan dalam ruangan khususyang disebut Gedong Pusaka.

Keris-keris yang terkenal dan disebut-sebut dalam legenda atau cerita rakyat, yang paling terkenal adalah keris Empu Gandring pada zaman Kerajaan Singasari. Keris itu konon dibuat oleh Empu Gandring atas pesanan Ken Arok untuk membunuh Tunggul Ametung, penguasa Tumapel. Keris terkenal lainnya adalah Kanjeng Kyai Ageng Sengkelat, pusaka Keraton Majapahit yang konon pernah dicuri oleh Adipati Blambangan. Ada lagi keris Kyai Setan Kober yang dipakai oleh Arya Penangsang, sewaktu berperang melawan Danang Sutawijaya, pada awal berdirinya kerajaan Pajang.
Sedangkan di pantai timur Sumatra dan Semenanjung Malaya, yang terkenal adalah keris Si Ginje.

Cara Memakai

Cara mengenakan keris sewaktu seseorang memakai pakaian adat, berbeda antara daerah yang satu dengan daerah yang lainnya. Selain itu dalam satu daerah, kadang-kadang cara  pemakaian itu juga berbeda antara lapisan masyarakat yang satu dengan lainnya, tergantung pada tingkat sosialnya. Dan itu pun harus disesuaikan, pada situasi apa keris itu akan dikenakan. Mengenai tata cara mengenakan keris ini pada setiap daerah, setiap suku bangsa, memang ada aturannya, ada etikanya.

Di Pulau Jawa, misalnya, cara mengenakan keris pada suatu pesta, tidak sama dengan kalau keris itu dikenakan untuk menghadiri suatu acara kematian dan penguburan.

Di Pulau Jawa pada umumnya keris dikenakan orang dengan cara menyelipkannya di antara stagen sejenis ikat pinggang, di pinggang bagian belakang. Yang paling umum, keris itu diselipkan  miring ke arah tangan kanan, namun pada situasi yang lain, lain pula posisi keris itu. Umpamanya, pada situasi perang, kalau yang mengenakan keris itu seorang ulama - keris akan diselipkan di bagian dada, miring ke arah tangan kanan. Misalnya seperti yang dikenakan oleh Pangeran Diponegoro pada gambar-gambar yang dapat kita lihat di buku sejarah.

Di Pulau Bali keris dikenakan dengan cara menyelipkannya pada lipatan kain, di punggung dengan posisi tegak atau miring ke kanan. Tetapi pada situasi yang khusus, cara pemakaiannya juga lain lagi.

Di daerah Minangkabau, Bangkinang, bengkulu, Palembang, Riau, Malaysia, Brunai Darussalam, Pontianak, Sambas, Kutai, Tenggarong, Banjar, Bugis, Goa, Makassar, Luwu, dll, keris  biasanya dikenakan dengan cara menyelipkannya pada lipatan kain sarung, di bagian dada atau perut Si Pemakai, dengan kedudukan serong ke arah tangan kanan. Pada sebagian suku bangsa di Indonesia, mengenakan pakaian adat tanpa keris adalah sesuatu yang aneh, janggal, tidak masuk akal. Barangkali seperti melihat orang Eropa mengenakan jas dan dasi tetapi tanpa sepatu.

Perjodohan

Sebagai benda antik yang banyak penggemarnya, nilai sebilah keris selain ditentukan oleh keindahannya, mutu, dan jenis bahan bakunya, juga oleh umurnya. Pada umumnya, makin tua keris itu, senjata pusaka itu akan makin dihargai. Namun penilaian terhadap mutu sebilah keris bukan hanya berdasar umur, juga keutuhan, serta beberapa faktor lainnya.

Para penggemar keris pada umumnya mempunyai pedoman umum dalam menilai sebuah keris. Pedoman itu adalah tangguh, sepuh, dan wutuh. Yang dimaksudkan adalah, perkiraan asal pembuatan keris itu (tangguh), relatif sudah tua (sepuh), dan belum ada cacat, gripis, aus, atau lepas salah satu bagiannya (wutuh). Selain itu ada pula penggemar keris yang menambah tiga kriteria di atas dengan memperhatikan bahan besinya, bahan pamornya, keindahan bentuknya, serta kebenaran pakem pembuatannya dan wibawa atau pengaruh yang terpancar dari bilah keris itu.

Di beberapa kota di Pulau Jawa ada perhimpunan penggemar dan pecinta tosan aji, terutama keris. Di Surakarta, namanya Boworoso Tosan Aji, setelah itu ada Boworoso Panitikadga. Di Yogyakarta dan Jakarta ada Pametri Wiji, singkatan dari Paheman Memetri Wesi Aji. Kemudian pada tahun 1990, di Jakarta, ada lagi Damartaji, singkatan Persaudaraan Penggemar Tosan Aji. Secara berkala, para pecinta tosan aji dan keris itu mengadakan sarasehan dan diskusi untuk membahas budaya keris dari berbagai segi.

Jual beli dalam dunia perkerisan biasanya diistilahkan dengan perjodohan. Sedangkan harganya, pada umumnya disebut mas kawin. Bilamana sebilah keris diberikan kepada seseorang tanpa mas kawin, Si Penerima keris itu harus memberikan petukan atau jemputan kepada Si Pemberi. Di Malaysia dan Brunai Darussalam, tradisi yang demikian disebut mahar atau imbal, sedangkan di Riau dan Kalimantan Barat juga menggunakan istilah jemputan.

Istilah perjodohan dalam dunia perkerisan timbul karena anggapan sebagian besar pecinta keris bahwa tidak sembarang keris dapat cocok dengan seseorang. Keris yang dianggap sesuai dan cocok bagi Si A, mungkin tidak cocok dipakai oleh si B. Keris yang cocok dan sesuai tuah atau isoterinya, disebut jodoh. Sedangkan istilah mas kawin, timbul karena anggapan bahwa istilah jual beli terlalu rendah dan kasar bila digunakan untuk menyebut adanya transaksi pada sebilah keris. Jadi, jika seseorang akan menanyakan berapa harga sebilah keris, maka ia harus berkata: "Boleh saya tahu berapa mas kawinnya?".

Bahkan, dulu bilamana seseorang menginginkan keris milik orang lain, ia bukan menyatakan hasratnya ingin membeli, melainkan mengatakan ingin melamar keris itu. "Jika diperkenankan, saya ingin melamar keris bapak yang ber-dapur Jalak Sangu Tumpeng dan berpamor Wos Wutah itu..."

Itu semua dilakukan oleh orang yang hidup pada masa dulu, yakni nenek moyang kita, sebagai suatu etika, pengakuan dan penghargaan masyarakat atas tingginya kedudukan di mata masyarakat itu sendiri.

Persinggungan Religi

 Dalam kepercayaan masyarakat Jawa terdapat 5 hal yang menjadi pegangan yaitu:Turangga (kuda), Wanita (perempuan),Curiga (senjata), Wisma (rumah) dan Kukila(burung perkutut). Kesemua hal tersebut mewakili prinsip hidup yang menjadi pegangan dalam budaya Jawa.

Keris—dalam konsep curiga—dipandang mempunyai suatu daya mistis yang lebih besar dari pada jenis senjata yang lain, sehingga memerlukan perlakuan yang berbeda pula. Keris dan senjata lain keramat lainnya atau sebagai pusaka harus dibersihkan (jamasan) setiap periode tertentu dengan upacara-upacara yang khusus pula. Senjata keramat tersebut dianggap mempunyai suatu daya magis, mempunyai roh yang dapat mempengaruhi kehidupan sang pemilik dan bahkan lingkungan sosial di lingkup kekuatan benda keramat tersebut.

Hampir tiap keris sebagai senjata keramat mempunyai kesejarahannya masing-masing. Legenda Si Ginje, dua buah keris yang dijadikan sebagai pengikat perjanjian hubungan antara Mataram dan Kesultanan Jambi. Di masa itu, Kesultanan Jambi harus memberi upeti kepada Mataram. Keris Si Ginje harus terbuat dari besi yang bersumber dari sembilan benda dan tempat yang berbeda yang namanya harus diawali huruf P. Besi, bahan untuk keris harus didapatkan dari hasil curian dan pada saat pembuatannya hanya boleh ditempa setiap Jum’at pertama

G.A.J. Hazeu dalam tulisannya tentang legenda keris mencatat tentang Kyai Tjondong, salah satu pusaka kerajaan Majapahit yang setiap malam keluar sendiri dari sarungnya untuk meminum darah manusia. Sampai pada akhirnya perbuatan keris tersebut diketahui oleh tiga keris pusaka lainnya. Atas titah Raja, para Mpu kemudian dikembalikan ke asalnya. Setelah itu, keris tersebut menyatu dengan lintang kemukus (bintang berekor). Dalam kepercayaan Jawa munculnya lintang kemukus adalah tanda akan terjadinyapageblug (bencana).

Lalu tentang keris Mpu Gandring, ditulis oleh J. Brandes, yang merupakan cikal-bakal hegemoni keris sebagai suatu legitimasi atas sebuah kekuasaan. Keris yang digunakan Ken Arok (pendiri Singosari) untuk membunuh Akuwu Tunggul Ametung dari Tumapel dan merebut istrinya (Ken Dedes). Diawali kejadian Ken arok saat melihat pancaran sinar dari yoni Ken Dedes sebagai pertanda bahwa Ken Dedes bakal menurunkan raja-raja di Jawa. Dari sini terlihat bahwa keris berperanan penting dalam pembentukan falsafah dan kepercayaan Jawa yang pada era Majapahit menguasai hampir seluruh wilayah di Nusantara sehingga falsafah ini kemudian menyebar pula di berbagai wilayah Nusantara lainnya.

Sepeninggal Mpu 

Pada perkembangannya, seni membuat keris kian berkurang sebab para Mpu kebanyakan tidak mewariskan ilmunya. Di Yogyakarta dan Solo, sebenarnya masih terdapat beberapa Mpu yang ahli dalam membuat keris, tapi mereka hanya membuat keris hanya ketika raja atau bangsawan yang memesannya. Di Madura, empo (mpu) juga telah punah. Mpu terakhir di sana adalah Mpu Bratama dari Sumenep yang meninggal sekitar 50 tahun yang lalu (dihitung dari tahun 1930an).

Para bupati sebelum masa itu banyak yang mempunyai pandai besi maupun Mpu yang dikhususkan untuk membuat keris yang akan dipersembahkan pada raja. Tapi akhirnya, mereka beralih profesi menjadi pembuat perkakas di bidang pertanian sebab dibutuhkan banyak orang dan pembuatannya pun cenderung lebih praktis.

Di Magetan Jawa Timur, terdapat Mpu terakhir yang terkenal yakni Mpu Kyai Guna dengan ciri khas mempunyai banyak garis dalam pamornya. Di Madiun, masih terdapat Mpu yang dapat memperbaiki pamor, tepatnya dari Desa Batoe di wilayah Tjaruban, tapi sebagaimana di Yogyakarta dan Solo, ia bergantung pesanan. Demikian juga yang terjadi di Jawa Tengah, kantong-kantong pembuat keris seperti Tegal, Pemalang, dan Banyumas, perlahan memunah.

Begitupun di luar Jawa. Berbagai kemunduran merupakan hal yang menggejala, antara lain di daerah Tulangbawang (kala itu berada di residen Lampung). Di Jambi gejala ini melanda di Dusun Merlung (bagian wilayah Tungkal) yang terkenal dengan seni tempanya. Sementara di Palembang di mana pada masa itu paling tidak masih terdapat dua orang yang ahli dalam tempa pamor, yakni Akim dari kampnng 21 Ilir dan Anang dari kampung 18 Ilir yang pada akhirnya juga mengalami kemunduran. Juga di daerah Malaka, Aceh, maupun Celebes (Sulawesi).

Setidaknya pada era awal abad ke-19 sampai masa tahun 30an inilah kemungkinan terjadi transisi dan tranformasi keris yang cukup mendasar. Revolusi industri di Eropa dan Amerika yang memunculkan era kapitalis membawa pengaruh yang cukup signifikan dalam mengubah paradigma kehidupan masyarakat Hindia Timur yang kala itu berada di bawah pemerintahan Belanda. Perubahan iklim dari tradisional ke modern otomatis mempengaruhi paradigma masyarakat tak terkecuali para pandai besi maupan para mpu yang kemudian lebih berorientasi ekonomi.

 

Doa Nabi Sulaiman Menundukkan Hewan dan Jin

  Nabiyullah Sulaiman  'alaihissalam  (AS) merupakan Nabi dan Rasul pilihan Allah Ta'ala yang dikaruniai kerajaan yang tidak dimilik...