Kamis, 19 November 2020

Pangeran Samber Nyowo


Astana Mangadeg terletak di Desa Karang Bangun Kecamatan Matesih merupakan komplek makam raja – raja dari istana Mangkunegaran, Surakarta. Raja – raja Mangkunegaran yang dimakamkan di astana Mangadeg adalah Raja Mangkunegara I atau Pangeran Samber Nyawa dan lebih dikenal dengan nama Raden Mas Said yang memiliki kesaktian luar biasa dan sangat gigih melawan penjajah Belanda,selain itu terdapat makam Raja Mangkunegara II, III, serta kerabat – kerabatnya.

 Sekilas Sejarah tentang Kanjeng Pangeran Sambernyawa

 Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Mangkunegara I alias Pangeran Sambernyawa alias Raden Mas Said (lahir di Kraton Kartasura, 7 April 1725 – meninggal di Surakarta, 28 Desember 1795 pada umur 70 tahun) adalah pendiri Praja Mangkunegaran, sebuah kadipaten agung di wilayah Jawa Tengah bagian timur, dan Pahlawan Nasional Indonesia. 

Ayahnya bernama Pangeran Arya Mangkunegara Kartasura dan ibunya bernama R.A. Wulan.
Julukan Pangeran Sambernyawa diberikan oleh Nicolaas Hartingh, gubernur VOC, karena di dalam peperangan RM. Said selalu membawa kematian bagi musuh-musuhnya.

Ia menikah dengan seorang wanita petani bernama Rubiyah, yang terkenal dengan julukannya "Matah Ati"

Beliau ini yang memimpin Sebanyak 144 di antara prajuritnya adalah wanita, terdiri dari satu peleton prajurit bersenjata karabijn (senapan ringan), satu peleton bersenjata penuh, dan satu peleton kavaleri (pasukan berkuda).
 Mangkunegoro tercatat sebagai raja Jawa yang pertama melibatkan wanita di dalam angkatan perang. Prajurit wanita itu bahkan sudah diikutkan dalam pertempuran, ketika ia memberontak melawan Sunan, Sultan dan VOC. Selama 16 tahun berperang, Mangkunegara mengajari wanita desa mengangkat senjata dan menunggang kuda di medan perang. Ia menugaskan sekretaris wanita mencatat kejadian di peperangan.

 RM Said berperang sepanjang 16 tahun melawan kekuasaan Mataram dan Belanda. Selama tahun 1741-1742, ia memimpin laskar Tionghoa melawan Belanda. Kemudian bergabung dengan Pangeran Mangkubumi selama sembilan tahun melawan Mataram dan Belanda, 1743-1752.

 Perjanjian Giyanti pada 13 Februari 1755, sebagai hasil rekayasa Belanda berhasil membelah bumi Mataram menjadi dua, Surakarta dan Yogyakarta, merupakan perjanjian yang sangat ditentang oleh RM Said karena bersifat memecah belah rakyat Mataram.

Selanjutnya, ia berjuang sendirian memimpin pasukan melawan dua kerajaan Pakubuwono III & Hamengkubuwono I (yaitu P. Mangkubumi,Pamannya sekaligus mertua Beliau yang dianggapnya berkhianat dan dirajakan oleh VOC), serta pasukan Kumpeni (VOC), pada tahun 1752-1757. Selama kurun waktu 16 tahun, pasukan Mangkoenagoro melakukan pertempuran sebanyak 250 kali.

Dalam membina kesatuan bala tentaranya, Said memiliki motto tiji tibèh, yang merupakan kependekan dari mati siji, mati kabèh; mukti siji, mukti kabèh (gugur satu, gugur semua; sejahtera satu, sejahtera semua). Dengan motto ini, rasa kebersamaan pasukannya terjaga.

Tiga pertempuran dahsyat terjadi pada periode 1752-1757.Ia dikenal sebagai panglima perang yang berhasil membina pasukan yang militan. Dari sinilah ia dijuluki “Pangeran Sambernyawa”, karena dianggap oleh musuh-musuhnya sebagai penyebar maut.

Kehebatan Mangkunegoro dalam strategi perang bukan hanya dipuji pengikutnya melainkan juga disegani lawannya. Tak kurang dari Gubernur Direktur Jawa, Baron van Hohendorff, yang berkuasa ketika itu, memuji kehebatan Mangkunegoro.

 “Pangeran yang satu ini sudah sejak mudanya terbiasa dengan perang dan menghadapi kesulitan. Sehingga tidak mau bergabung dengan Belanda dan keterampilan perangnya diperoleh selama pengembaraan di daerah pedalaman.

Yang pertama, pasukan Said bertempur melawan pasukan Mangkubumi (Sultan Hamengkubuwono I) di desa Kasatriyan, barat daya kota Ponorogo, Jawa Timur. Perang itu terjadi pada hari Jumat Kliwon, tanggal 16 Syawal “tahun Je” 1678 (Jawa) atau 1752 Masehi. Desa Kasatriyan merupakan benteng pertahanan Said setelah berhasil menguasai daerah Madiun, Magetan, dan Ponorogo.

Yang kedua, Mangkoenagoro bertempur melawan dua detasemen VOC dengan komandan Kapten Van der Pol dan Kapten Beiman di sebelah selatan negeri Rembang, tepatnya di hutan Sitakepyak Sultan mengirim pasukan dalam jumlah besar untuk menghancurkan pertahanan Mangkunegoro.

Besarnya pasukan Sultan itu dilukiskan Mangkunegoro “bagaikan semut yang berjalan beriringan tiada putus”. Kendati jumlah pasukan Mangkunegoro itu kecil, ia dapat memukul mundur musuhnya. Ia mengklaim cuma kehilangan 3 prajurit tewas dan 29 menderita luka. Di pihak lawan sekitar 600 prajurit tewas.
 Perang besar yang kedua pecah di hutan Sitakepyak, sebelah selatan Rembang, yang berbatasan dengan Blora, Jawa Tengah (Senin Pahing, 17 Sura, tahun Wawu 1681 J / 1756 M).Pada pertempuran ini, Mangkunegoro berhasil menebas kepala kapten Van der Pol dengan tangan kirinya dan diserahkan kepada salah satu istrinya sebagai hadiah perkawinan.

Yang ketiga, penyerbuan benteng Vredeburg Belanda dan keraton Yogya-Mataram (Kamis 3 Sapar, tahun Jumakir 1682 J / 1757 M).
Peristiwa itu dipicu oleh kekalutan tentara VOC yang mengejar Mangkunegara sambil membakar dan menjarah harta benda penduduk desa. Mangkunegoro murka. Ia balik menyerang pasukan VOC dan Mataram.

Setelah memancung kepala Patih Mataram, Joyosudirgo, secara diam-diam Mangkunegara membawa pasukan mendekat ke Keraton Yogyakarta. Benteng VOC, yang letaknya cuma beberapa puluh meter dari Keraton Yogyakarta, diserang. Lima tentara VOC tewas, ratusan lainnya melarikan diri ke Keraton Yogyakarta.

Selanjutnya pasukan Mangkunegoro menyerang Keraton Yogyakarta. Pertempuran ini berlangsung sehari penuh Mangkunegoro baru menarik mundur pasukannya menjelang malam.

 Pendudukan 6 jam Kasultanan Jogya inilah yang mengilhami Soeharto dengan Serangan Umum 1 Maretnya.

 Mengutip Jendral Wiranto dalam bukunya ”Memahami Jejak Langkah Pangeran Sambernyawa” (2005), strategi tempur RM Said yang menggunakan tiga konsep “Dedemitan”, “Weweludan” dan “Jejemblungan” mengacu pada tindakan taktis yang dilandasi pertimbangan kerahasiaan, pendadakan, kecepatan gerak dan kepandaian mengecohkan lawan. ”Keputusan menyerang benteng Belanda di Yogyakarta merupakan strategi tak lazim, misterius, dan tak pernah diperhitungkan lawan. Hal ini karena telah sekian lama RM Said menarik lawannya ke daerah hutan dan gunung”. 

Serbuan Mangkunegoro ke Keraton Yogyakarta mengundang amarah Sultan Hamengku Buwono I. Ia menawarkan hadiah 500 real, serta kedudukan sebagai bupati kepada siapa saja yang dapat menangkap Mangkunegara.

Sultan gagal menangkap Mangkunegoro yang masih keponakan dan juga menantunya itu. VOC, yang tidak berhasil membujuk Mangkunegoro ke meja perundingan, menjanjikan hadiah 1.000 real bagi semua yang dapat membunuh Mangkunegoro.

 Tak seorang pun yang berhasil menjamah Mangkunegara. Melihat kenyataan tersebut,Nicholas Hartingh, pemimpin VOC di Semarang, mendesak Sunan Paku Buwono III meminta Mangkunegara ke meja perdamaian. Sunan mengirim utusan menemui Mangkunegoro, yang juga saudara sepupunya.
Mangkunegara menyatakan bersedia berunding dengan Sunan, dengan syarat tanpa melibatkan VOC. Singkatnya, Mangkunegara menemui Sunan di Keraton Surakarta dengan dikawal 120 prajuritnya. Sunan memberikan dana bantuan logistik sebesar 500 real untuk prajurit Mangkunegara.

Perjanjian Salatiga

Akhirnya, terjadilah perdamaian dengan Sunan Pakubuwana III yang diformalkan dalam Perjanjian Salatiga, 17 Maret 1757. Pertemuan berlangsung di Desa Jemblung, Wonogiri. Sunan memohon kepadanya agar mau membimbingnya. Sunan menjemput Mangkunegara di Desa Tunggon, sebelah timur Bengawan Solo. Untuk menetapkan wilayah kekuasaan Said, dalam perjanjian yang hanya melibatkan Sunan Paku Buwono III, dan saksi utusan Sultan Hamengku Buwono I dan VOC ini,

disepakati bahwa Said diangkat sebagaiAdipati Miji alias mandiri. Walaupun hanya sebagai adipati, kedudukan hukum mengenai Mangkunegara I (nama kebesarannya), tidaklah sama dengan Sunan yang disebut sebagai Leenman sebagai penggaduh, peminjam kekuasaan dari Kumpeni, melainkan secara sadar sejak dini ia menyadari sebagai "raja kecil", bahkan tingkah lakunyapun menyiratkan bahwa "dia adalah raja di Jawa Tengah yang ke-3".
 demikian kenyataannya Kumpeni pun memperlakukannya sebagai raja ke III di Jawa Tengah, selain Raja I Sunan dan Raja II Sultan.

Ia memerintah di wilayah Kedaung, Matesih,Honggobayan, Sembuyan, Gunung Kidul,Pajang sebelah utara dan Kedu. Akhirnya, Mangkunegara mendirikan istana di pinggir Kali Pepe pada tanggal 4 Jimakir 1683 (Jawa), atau 1756 Masehi. Tempat itulah yang hingga sekarang dikenal sebagai Istana Mangkunegaran.

 Astana Mangadeg

Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Mangkunegara I alias Pangeran Sambernyawa alias Raden Mas Said  meninggal di Surakarta, 28 Desember 1795pada umur 70 tahun beliau disemayamkan di di desa Karang Bangun Kecamatan Matesih, Di puncak bukit yang terletak pada ketinggian 750 meter dari permukaan laut.

Dari kota Solo berjarak sekitar 37 km ke arah timur jurusan Solo-Matesih, di sebelah barat tempat peristirahatan Tawangmangu dapat ditempuh kendaraan beroda dua dan empat sekitar 3 km. 

Bertetangga bukit dengan Mangadeg adalahAstana Giribangun, tempat Bapak Soeharto dan Ibu Tien disemayamkan. dan juga Astana Girilayu yang merupakan kompleks persemayaman untuk penguasa ("Mangkunagara") dan kerabat dekat (dhalem) Praja Mangkunegaran.

Di kompleks ini dimakamkan Mangkunagara IV, Mangkunagara V, Mangkunagara VII, danMangkunagara VIII (penguasa terakhir yang mangkat)


Pendakian menuju puncak bukit di lereng Gunung Lawu itu terasa menyegarkan. Panas matahari siang pun tidak terasa teredam lebatnya hutan dengan pepohonan besar. Berjalan menapaki anak tangga demi anak tangga di antaranya pohon beringin tua dengan akar-akar menjalar dan menancap, mencengkeram kukuh di tanah sungguh suatu kemewahan tersendiri bagiku.

Sepanjang perjalanan terdengar kicau burung bersahutan. Nun jauh di dasar jurang terlihat sungai mengalir di bebatuan. Suara gemericik air sungai terdengar sampai di puncak bukit begitu menyegarkan. Nun jauh di bawah bukit masih ada bukit-bukit yang lebih rendah yang tampak seperti gundukan hijau dikitari oleh persawahan milik warga yang ijo royo-royo.

Sesampainya di Gapura masuk terlebih dahulu pengunjung diwajibkan melapor dan meminta ijin kepada petugas juru pelihara pesareyan, diwajibkan berbusana yang rapi dan jika wanita diwajibkan memakai jarik. Ada larangan khusus yakni mengambil gambar/foto di areal Kedaton I terletak di tengah (Persemayaman KGPAA Mangkunagoro I) Kedaton II terletak di wetan ( Persemayaman KGPA Mangkunagoro II) dan di areal Kedaton III terletak di kulon ( Persemayaman KGPAA mangkunagoro III)

 Terasa sekali hawa mistis dan semangat kepahlawanan Kanjeng Gusti Pangeran Sambernyawa yang masih melingkupi Astana Mangadeg ini walaupun tubuhnya telah kembali dalam pelukan Ibu Pertiwi ratusan tahun yang lalu.
Namun jiwa dan semangatnya adalah abadi. Energy dan pamornya tetap mengayomi anak cucunya, berdiri tegak tak lekang oleh jaman seperti bukit Mangadeg yang tetap tegak berdiri menjadi payung bagi keseimbangan ekosistem alam sekitarnya, baik yang nampak maupun yang tidak nampak. 


Mangadeg sungguh menjadi tempat menapak-tilas yang sakral, penuh sejarah sekaligus indah. Di bukit ini pula, Kanjeng Eyang Pangeran Sambernyawa bersemadi di antara hari-hari pemberontakannya yang berlangsung selama 16 tahun.Bisa dibayangkan ratusan tahun lalu ketika beliau bergerilya dan bermenung diri dalam semadi di kesunyian bukit dan hutan. Di tempat inilah ia merumuskan semacam doktrin perjuangan yang disebut Tri Darma, 

Peranan dan Politik VOC

Agar supaya kita dapat mengerti dan memberi nilai yang sewajarnya kepada perjuangan Pangeran Sambernyawa, sebaiknya kita mengerti terlebih dahulu sistem politik VOC ( Verenigde Oost Indische Compagnie ) ialah Perserikatan Dagang Bangsa Belanda yang beroperasi di Indonesia dalam abad ke 17 Masehi, sampai akhir abad ke 18.Bangsa Indonesia menyebut VOC itu dengan nama Kompeni Belanda atau “ Kompeni “ saja.

Adapun sistem politik Kompeni di Indonesia ( Jawa ) dapat dibagi menjadi 5 tingkatan, yaitu : Memperkenalkan diri, menghormat dan menghaturkan benda-benda berharga sebagai tanda hormat dan terima kasih kepada yang memegang kekuasaan : Jaman Sunan Amangkurat I di Mataram th. 1645 – 1677 Masehi.

Mencampuri urusan dalam negeri : jaman pemberontakan Trunojoyo th. 1676 – 1681 Masehi.

Mempraktekkan politik “ Memecah belah “ dan memperoleh monopoli perdagangan : Jaman Sunan Amangkurat II th. 1681 – 1703 Masehi.

Menguasi tanah Jawa sedikit demi sedikit : mulai wafatnya Sunan Amangkurat I sampai rebutan Keraton yang pertama ( th. 1704 – 1708 M ) dan perang rebutan Keraton yang kedua ( th. 1719 – 1723 M )

Menguasi tanah Jawa hampir penuh : Jaman Sunan Pakubuwono II samapi masa pembagian Kerajaan Mataram menjadi dua, th. 1755 dan berdirinya Kadipaten Mangkunegaran th. 1757 M.

Dalam tingkatan yang kelima tsb, maka semua kerajaan Nasional di Jawa sudah runtuh, daerah-daerahnya menjadi milik kompeni Belanda, dan raja-rajanya menjadi raja-raja peminjam atau Vazal-vazal kompeni Belanda belaka.

Dalam tingkatan kelima itu pula bertahtalah seorang raja setengah Vazal di kerajaan Mataram yang beribu kota Kartasura. Raja ini adalah pilihan kompeni Belanda atas dasar sifat-sifat lemahnya sang raja, yaitu Susuhunan Pakubuwono II bertahta pada th. 1727 – 1749 masehi.

Dalam pemerintahan Susuhunan Pakubuwono II ini muncullah 2 tokoh nasional yang gagah berani, kuat dan ulet lahir batinnya, mampu menggerakkan seluruh tanah Jawa dan Banten sampai Madura dan membuat pusing kepala kompeni Belanda selma 10 tahun, terus menerus , dua orang tokoh itu ialah :

Pangeran Mangkubumi, Putera Sinuwun Amangkurat IV di Kartasura, yang akhirnya menjadi Sultan Hamengkubuwono I di Yogyakarta.

Pengeran Mangkunegara, Sambernyawa, cucu Sinuwun Amangkurat IV di Kartasura.

Nasib buruk dimasa kecil Pangeran Sambernyawa

Pangeran Sambernyawa itu nama kecilnya R.M Sahid, putera Pangeran Mangkunegara Kendang. Ibunya bernama R. Ay. Wulan, puteri Pangeran Blitar.

Pangeran Mangkunegara Kendang itu putera Sinuwun Amangkurat IV di Kartasura yang sulung. Belio ini saudara sepupu R.Ay. wulan, Belio dilahirkan dari seorang garwa-selir Amangkurat IV bernama R. Ay. Sumanarsa atau R. Ay Kulo yang disebut R. Ay, Sepuh, berasal dari desa Keblokan, tanah lor ( Wanagiri ). Di dalam lingkungan Keraton Kartasura belio disebut Pangeran Mangkunagara Kendang, oleh karena belio dikendangkan yaitu diasingkan atau dibuang ke Kaapstad, Afrika Selatan, sampai wafatnya, kemudian jenazahnya dimakamkan di Astana Imagiri, Yogyakarta.

R.M Sahid lahir pada tanggal, 7 April 1726 di Kartasura. Nama Sahid itu pemberian dari neneknda Amangkurat IV, beberapa waktu sebelum wafat. Maksud pemberian nama Sahid itu ialah bahwa Sri Sunan masih menyaksikan lahirnyacucunda yang terakhir dalam masa hidupnya.

Dimasa kecilnya R. Sahid mengalami penderitaan hidup yang sangat berat. Ketika berusia 3 tahun, belio kehilangnya ibunya, karena pulang kerahmatullah. Tahun berikutnya belio ditinggalkan oleh ayahnya, karena sang ayah atas perintah Pakubuwuno II di Kartasura disingkirkan dari ibu kota kerajaan Mataram ke Betawi, dan 3 tahun kemudian “ Dikendangkan “ ke Kaaspstad seumur hidup. R.M Sahid dan beberapa adinya dibawa ke Keraton sebagai anak piatu, dan mendapat pendidikan, perlakuan dan pengalaman yang akibatnya menyudutkan belio kepada : prihatin dan sakit hati.

Setelah beliau mencapai usia remaja, diangkat sebagai pegawai keraton dengan pangkat Mantri Gandek Anom dengan sebutan dan nama R.M Suryakusuma dan diberi “ Gaduhan “ ( hak pakai ) sawah di Ngawen seluasa 50 jung ( =200 bahu ). Dua orang adiknya bernama R.M Ambiya dan R.M Sabar juga diangkat menjadi Mantri Gandek Anom berturut-turut dengan gelar dan nama : R.M Martakusuma dan R.M Wiryakusuma, masing-masing diberi gaduhan tanah seluas 100 bahu.

Mulai berjuang

Dengan meningkatnya usia dan kesadarannya, maka R.M suryakusuma ( Sahid ) merasakan nasibnya yang buruk menjadi berat. Perlakuan tidak adil dan sewenang-wenang yang dikenakan kepada ayahnya ( almarhum Pangeran Mangkunagara Kendang ) menggigit jantung pemuda R.M Suryakusuma. Akhirnya belio mengambil keputusan : mau berontak, menentang pemerintahan Pakubuwono II, untuk merebut bagian dari kerajaan Mataram bagi diri pribadi. Beliau mengambil dua orang pembantu utama yang merupakan bahu kiri dan kanannya, ialah :Wiradiwangsa, pamannya sendiri berassal dari Laroh. Sutawijaya, anak almarhum Tumenggung Wirasuta yang tidak dapat mengganti kedudukan ayahnya, tetapi menerima banyak uang dan harta benda peninggalan ayahnya.

Pemuda-pemuda Kartasura yang menggabungkan diri pada gerakan R.M Sahid, mula-mula ada 18 orang. Atas nasehat ki Wiradiwangsa, maka R.M Sahid beserta pembantu-pembantunya dan pemudapemuda pengikutnya berpindah ke Tanah Laroh, yaitu asal leluhur R.M sahid dari pihak neneknya bernama R. Ayu Sumanarsa. Disini belio mendapat simpati dari pihak rakyat sehingga dalam waktu yang tidak lama belio mempunyai pengikut banyak sekali. Segera diadakan peraturan secara organisasi perjuangan yang bai dan praktis, demikian : R.M Sahid menjadi pemimpin utama, Ki Wiradiwangsa diangkat menjadi pepatihnya, diberi gelar dan nama Kyai Ngabehi Kudanawarsa dan R.M Sutawijaya menjadi pemimpin pasukan tempur, diberi gelar dan nama Kyai Ngabehi Rangga Panambangan.

Pemuda-pemuda berasal dari Kartasura yang semula 18 orang banyaknya, kemudian bertambah menjadi 24 orang, merupakan barisan inti, disebut “ Punggawa “. Namanya digantisemua menjadi nama dengan permulaan : “ Jaya “ misalnya Jaya Panantang, Jaya Pamenang, Jaya Prawira dsb. “ Jaya “ artiny = sakti atau menang.

Tiap hari diadakan latihan perang, cara menyerang, menangkis dan membela diri. Tiap malam diadakan bermacam-macam latihan rohani misalnya : Menyepi ditempat-tempat yang gawat dan keramat, bertirakat, bertarak brata, mohon kepada Tuhan agar tercapai cita-citanya : ada pula yang merendam diri di sendang atau di dalam lubuk yang angker. Para pengikut R.M Sahid itu semua juga digembleng jiwa dan semangatnya dengan diberi wejangan-wejangan oleh para kyai antara lain oleh kyai Nuriman, modin di Laroh. Dengan demikian para pengikut R.M Sahid dalam waktu beberapa bulan saja sudah merupakan pasukan tempur yang digembleng jiwa raganya, sedang jumlahnya tidak sedikit. Mereka semua bersemangat tinggi, ingin selekas mungkin diajukan ke medan pertempuran. Dan kesempatan yang dinanti-natikan mereka itu segera datang juga, ialah dengan adanya : Geger Pacina.

Geger Pacina

Pada bulan juli 1742 M terjadilah peristiwa “ geger Pacina “ dikaraton Kartasura. Dalam waktu satu malam saja istana Kartasura sudah dapat direbut oleh pasukan Cina-Jawa dibawh pimpinan R.M Garendi, cucu Sunan Amangkurat Mas III yang telah diasingkan oleh kompeni Belanda ke pulai Sailan pada tahun 1708 M. R.M Garendi tersebut oleh para pengikutnya diangkat sebagai raja Mataram yang syah, dengan gelar dan nama Sunan Amangkurat IV.

Sunan Pakubuwono melarikan diri, mengungsi ke Ponorogo. Dari sini beliau minta bantuan kompeni di Jakarta. Bala bantuan segera datang dari Madura dibawah pimpinan P. Cakraningrat IV. Dalam bulan Desember 1742 Sunan Kuning, demikian nama julukan Sunan Amangkurat V, beserta semua pengikutnya diusir dari keraton Kartasura, lalu berpindah ke desa Randulawang, daerah Mataram.

Bergabung dengan Sunan Kuning.

RM. Said dengan seluruh pasukannya bergabung dengan Sunan Kuning untuk mempraktekkan kecakapannya berperang bahkan diangkat menjadi panglima tentara Sunan Kuning bahkan diberi gelar Panglima Prang Wadana (April 1743). mso-ansi-language:PT-BR">Kala itu usia beliau 17 tahun.>

Pada sat Sunan Kuning dikecar tentara Kompeni dan terpaksa bergeser kedaerah Keduang – Ponorogo – Madiun – Caruban. R.Said mengikuti perjalanan Sunan Kuning lalu berpisah di Caruban kemudian Sunan Kuning bergerak ke Jawa Timur bergabung dengan keturunan Untung Suropati namun tak lama kemudian menyerah pada Kompeni dan berakhirlah geger pacinan tersebut.

Adapun P. Prang Wardana ternyata mempunyai cita-cita lain dari Caruban beliau menuju ke barat menuju daerah Sukowati dimana oleh masyarakat setempat dia diangkat sebagai pimpinan dengan gelar Pangeran Adipati Anom Amangkunegoro Senopati Ing Ngalogo Sudibianing Prang. Lalu bergerak terus ke Panambangan melalui Jati Rata, Mateseh dan Segawe. Namun disini beliau tidak kuat menghadapi serangan pasukan P. Mangkubumi atas perintah Paku Buwono II yang telah bertahta di Kartasura.

Dalam babat giyanti (Pujangga Yasadipura I), ketika RM. Sahid menobatkan diri sebagai raja Jawa dengan gelar Sunan Adiprakosa Senopati Ngayuda Lelana Jayamisesa Prawira Adiningrat, serta duduk disinggasana dan dihadapan bala tentaranya tersambar petir dan terkena dampar tahtanya hingga remuk beliau jatuh pingsan diatas lantai namun tidak wafat hal ini tidak masuk akal jikalau ada seorang duduk diatas kursi lalu disambar petir seharusnya beliau pun ikut hancur. Dalam peristiwa tersebut Kyai Tumenggung Kuda Nawarsa segera menolongnya dan menunjukkan mengapa ini bisa terjadi, yaitu : kesombongan beliau atas pemberian gelar raja Jawa yang sebetulnya belum selayaknya disandang dengan kenyataan inilah dia berganti gelar Pangeran Arya Mangkunegoro (1746).

Kejadian tersebut disusul dengan peristiwa dimana markas besarnya di Panembangan diserbu dan diduduki Kompeni yang dipimpin Mayor Van Hohendorff serta patih Pringgolaya dari Paku Buwono II bahkan begeser ke Ngepringan – Pideksa – Tirtamaya – Keduang - Girimarta – Nggabayan – Druju – Matesih – hingga sampai didesa padepokan Samakaton bahkan waktu di daerah Ngepringan sang pangeran hampir terbunuh bahkan sempat berpisah dari keluarga dan pasukannya mendaki bukit dan turun gunung bersama Kyai Kuda Nawarsa dan Kyai Surawijaya. Di Pedepokan Samakaton tinggal 2 pertapa kakak beradik namanya Ki Ajar Adisana dan Ki Ajar Adirasa. Beliau berguru pada keduanya dan diberi wejangan yang intinya  :

Kyai guru tersebut menunjuk kesalahan Pangeran Mangkubumi atas kesombongannya

Kedua beliau mendapat hukuman dai Ilahi

Beliau harus bertobat secara mendalam

Beliau hendaknya mencontoh Panembahan Senopati Ing Ngelogo Mataram dan pada Pamannya Pangeran Mangkubumi

Beliau diuji menjalankan laku – dan bertapa selam 7 hari-malam tanpa makan dan minum seorang diri di Gunung Mangadeg.

Menurut Babat Giyanti dalam pertapaannya terjadi sesuatu keajaiban yaitu mendapat pusaka secara gaib berupa satu tombak vaandel yang bernama Kyai Buda dan satu kerangka tambur bernama Kyai Slamet yang menunjukkan simbol kejayaan.

Dibagian lain Pujangga Yasadipura I memaknakan fenomena di Samakaton ini dengan mengkiaskan maksud pendidikan moral – mental yaitu :

1. satu Samakaton 2. Adisana 3. Adirasa 4. Mangadeg 5. Vaandel(tombak) 6. Kerangka tambur, artinya adalah :

Samakaton artinya kesemua hal dapat terlihat apabila manusia mau datang menyepi ditempat yang indah, yaitu

Adisana artinya tempat yang indah, apabila manusia berani laku menyepi di tempat yang indah itu akan mendapatkan rasa ynag indah pula yang akhirnya menimbulkan kemurnian dihati nuraninya

3.      Adirasa artinya rasa yang indah.

Dalam hal 1, 2, 3 tersebut diatas kenyataannya apabila manusia sanggup berdiri (mangadeg – mendirikan Imannya) kepada Yang Maha Kuasa seperti tegaknya vaandel tersebut.

Tombak atau Vaandel simbol kejayaan apabila ditambahkan dengan rasa suci, sunyi, kosong, kang Hamengku Hana (ada) yang dinisbatkan dengan :

Kerangka tambur diguning Mangadeg tersebut.

Setelah mendapatkan ilafat baik tersebut beliau menuju ke markas besar pamannya  (Pangeran Mangkubumi dai Jekawal – Sragen Utara ) untuk menggabungkan diri dan memohon perlindungan pamannya walaupun dalam perjalannya menemui banyak kesukaran karena ada pengumuman dari kompeni yang apabila dapat menangkapnya hidup atau mati akan mendapat hadiah pangkat dan uang. Dikisahkan dalam pertemuan dengan pamannya tersebut beliau diterima baik oleh pamannya bahkan diberikan bantuan seperangkat senjata dan prajurit untuk kembali kemarkasnya di daerah Gumantar.

Pangeran mangkubumi adalah adik Paku Buwana II yang berlainan ibu yang pada saat itu memenuhi seruan Paku Buwono II untuk membasmi peberontakan RM. Sahid dan Martapura. Untuk sementara Pangeran Mangkubumi berhasil meredam pemberontakan walaupun harus meloloskan RM. Sahid. Hal ini menimbullkan konflik dari dalam dimana  PB II yang tadinya menjanjikan tanah Sukowati bagi yang dapat menangkap RM. Sahid akhirnya mengingkari janjinya karena kelicikan Patihnya sendiri yaitu Pringgolaya. Dikarenakan sebab ini Mangkubumi pada 19 Mei 1746 meninggalkan karaton Surakarta dan memberontak yang pada akhirnya mendirikan kerajaan diYogykarta dan menjadi Sultan Hamengku Buwono I.

Demikian riwayat singkat Rm. Sahid yang kemudian dikenal dengan nama Adipati mangkunegoro I atau Pangeran Samber Nyawa beliau memegang tampuk pimpinan Kadipaten Mangkunegaran mulai tahun 1757 sampai wafatnya 1795 jenasahnya dimakamkan di Mangadeg dan berdirinya Kadipaten Mangkunegaran ini diperingati dengan sangkalan : MULAT SARIRA NGRASA WANI = berarti tahun Jawa 1682, bersamaan dengan tahun Masehi 1757. Nama julukan Pangeran Adipati Mangkunegara I ialah Sambernyawa. Nama yang terakhir ini adalah nama Pedang pusaka Mangkunagaran, yang sangat ampuh dan tajam, tepat sekali untuk menyambar nyawa musuh.

 

Sejarah Malang


Kota Malang, adalah sebuah kota di Provinsi Jawa Timur, Indonesia. Kota ini berada di dataran tinggi yang cukup sejuk, terletak 90 km sebelah selatan Kota Surabaya, dan wilayahnya dikelilingi oleh Kabupaten Malang. Malang merupakan kota terbesar kedua di Jawa Timur, dan dikenal dengan julukan kota pelajar.

Wilayah cekungan Malang telah ada sejak masa purbakala menjadi kawasan pemukiman. Banyaknya sungai yang mengalir di sekitar tempat ini membuatnya cocok sebagai kawasan pemukiman. Wilayah Dinoyo dan Tlogomas diketahui merupakan kawasan pemukiman prasejarah.Selanjutnya, berbagai prasasti (misalnya Prasasti Dinoyo), bangunan percandian dan arca-arca, bekas-bekas pondasi batu bata, bekas saluran drainase, serta berbagai gerabah ditemukan dari periode akhir Kerajaan Kanjuruhan (abad ke-8 dan ke-9) juga ditemukan di tempat yang berdekatan.

Nama "Malang" sampai saat ini masih diteliti asal-usulnya oleh para ahli sejarah. Para ahli sejarah masih terus menggali sumber-sumber untuk memperoleh jawaban yang tepat atas asal-usul nama "Malang". Sampai saat ini telah diperoleh beberapa hipotesa mengenai asal-usul nama Malang tersebut. Malangkucecwara yang tertulis di dalam lambang kota itu, menurut salah satu hipotesa merupakan nama sebuah bangunan suci. Nama bangunan suci itu sendiri diketemukan dalam dua prasasti Raja Balitung dari Jawa Tengah yakni prasasti Mantyasih tahun 907, dan prasasti 908 yakni diketemukan di satu tempat antara Surabaya-Malang. Namun demikian dimana letak sesungguhnya bangunan suci Malangkucecwara itu, para ahli sejarah masih belum memperoleh kesepakatan. Satu pihak menduga letak bangunan suci itu adalah di daerah gunung Buring, satu pegunungan yang membujur di sebelah timur kota Malang dimana terdapat salah satu puncak gunung yang bernama Malang. 

Pembuktian atas kebenaran dugaan ini masih terus dilakukan karena ternyata, disebelah barat kota Malang juga terdapat sebuah gunung yang bernama Malang. Pihak yang lain menduga bahwa letak sesungguhnya dari bangunan suci itu terdapat di daerah Tumpang, satu tempat di sebelah utara kota Malang. Sampai saat ini di daerah tersebut masih terdapat sebuah desa yang bernama Malangsuka, yang oleh sebagian ahli sejarah, diduga berasal dari kata Malankuca yang diucapkan terbalik. Pendapat di atas juga dikuatkan oleh banyaknya bangunan-bangunan purbakala yang berserakan di daerah tersebut, seperti Candi Jago dan Candi Kidal, yang keduanya merupakan peninggalan zaman Kerajaan Singasari. 

Dari kedua hipotesa tersebut di atas masih juga belum dapat dipastikan manakah kiranya yang terdahulu dikenal dengan nama Malang yang berasal dari nama bangunan suci Malangkucecwara itu. Apakah daerah di sekitar Malang sekarang, ataukah kedua gunung yang bernama Malang di sekitar daerah itu. Sebuah prasasti tembaga yang ditemukan akhir tahun 1974 di perkebunan Bantaran, Wlingi, sebelah barat daya Malang, dalam satu bagiannya tertulis sebagai berikut : “………… taning sakrid Malang-akalihan wacid lawan macu pasabhanira dyah Limpa Makanagran I ………”. Arti dari kalimat tersebut di atas adalah : “ …….. di sebelah timur tempat berburu sekitar Malang bersama wacid dan mancu, persawahan Dyah Limpa yaitu ………” Dari bunyi prasasti itu ternyata Malang merupakan satu tempat di sebelah timur dari tempat-tempat yang tersebut dalam prasasti itu. 

Dari prasasti inilah diperoleh satu bukti bahwa pemakaian nama Malang telah ada paling tidak sejak abad 12 Masehi. Hipotesa-hipotesa terdahulu, barangkali berbeda dengan satu pendapat yang menduga bahwa nama Malang berasal dari kata “Membantah” atau “Menghalang-halangi” (dalam bahasa Jawa berarti Malang). 

Alkisah Sunan Mataram yang ingin meluaskan pengaruhnya ke Jawa Timur telah mencoba untuk menduduki daerah Malang. Penduduk daerah itu melakukan perlawanan perang yang hebat. Karena itu Sunan Mataram menganggap bahwa rakyat daerah itu menghalang-halangi, membantah atau malang atas maksud Sunan Mataram. Sejak itu pula daerah tersebut bernama Malang. Timbulnya Kerajaan Kanjuruhan tersebut, oleh para ahli sejarah dipandang sebagai tonggak awal pertumbuhan pusat pemerintahan yang sampai saat ini, setelah 12 abad berselang, telah berkembang menjadi Kota Malang. Setelah kerajaan Kanjuruhan, di masa emas kerajaan Singasari (1000 tahun setelah Masehi) di daerah Malang masih ditemukan satu kerajaan yang makmur, banyak penduduknya serta tanah-tanah pertanian yang amat subur. 

Ketika Islam menaklukkan Kerajaan Majapahit sekitar tahun 1400, Patih Majapahit melarikan diri ke daerah Malang. Ia kemudian mendirikan sebuah kerajaan Hindu yang merdeka, yang oleh putranya diperjuangkan menjadi satu kerajaan yang maju. Pusat kerajaan yang terletak di kota Malang sampai saat ini masih terlihat sisa-sisa bangunan bentengnya yang kokoh bernama Kutobedah di desa Kutobedah. Adalah Sultan Mataram dari Jawa Tengah yang akhirnya datang menaklukkan daerah ini pada tahun 1614 setelah mendapat perlawanan yang tangguh dari penduduk daerah ini.

Seperti halnya kebanyakan kota-kota lain di Indonesia pada umumnya, Kota Malang modern tumbuh dan berkembang setelah hadirnya administrasi kolonial Hindia Belanda. Fasilitas umum direncanakan sedemikian rupa agar memenuhi kebutuhan keluarga Belanda. Kesan diskriminatif masih berbekas hingga sekarang, misalnya ''Ijen Boullevard'' dan kawasan sekitarnya. Pada mulanya hanya dinikmati oleh keluarga-keluarga Belanda dan Bangsa Eropa lainnya, sementara penduduk pribumi harus puas bertempat tinggal di pinggiran kota dengan fasilitas yang kurang memadai. Kawasan perumahan itu sekarang menjadi monumen hidup dan seringkali dikunjungi oleh keturunan keluarga-keluarga Belanda yang pernah bermukim di sana.

Babad Malang

Dalam legenda lokal “Babad Malang” dikisahkan bahwa kala itu Adipati Malang dijabat oleh Ranggo Tohjiwo, saudara Panji Pulang Jiwo – panglima perang Malang yang gugur di dalam pertempuran melawan Mataram. Pusat pemerintahan berada di Pakisharjo, (diperkirkan di Pakisaji timur Pasar) yang kemungkinan berlokasi di lereng barat Gunung Buring (dahulu termasuk Distrik Pakis). Basis pertahanan mempergunakan bekas benteng dari masa awal kerajaan Singosari di Kutho Bedhah, yang berada di tanah membukit dan terlindung oleh tiga aliran sungai (Brantas, Bango dan Amprong). Toponomi “Kutho Bedhah” berarti kota atau benteng kota yang terkoyak oleh serangan musuh. Bentuk topografinya mengingatkan kita pada supit udang (supit urang).

Kawasan Malang oleh Mataram ditempatkan ke dalam “Mancanegara atau Brang Wetan”, dan dipimpin oleh adipati. Walaupun secara de yure kawasan Malang ditempatkan dalam kekuasaan Mataram, namun sebagaimana halnya penguasa-penguasa lokal lain di mancanegara, Adipati Malang juga memerintah secara semi-otonom. Bahkan, sepeninggal Sultan Agung, penguasa di Malang bermaksud untuk turut memisahkan diri dari kekuasaan Mataram. Oleh karenanya, para penguasa Mataram pengganti Sultan Agung berusaha untuk mereintegrasikan Malang kedalam kekuasaan Mataram.

Pada awal pemerintahan Kasultanan Mataram, yang diperintah oleh Panembahan Senapati, penguasa di Malang menolak tunduk kepada Mataram. Dalam kitab “Babad Tanah Jawi Pesisiran” diberitakan bahwa Adipati Malang dan seluruh adipati di Jawa Timur menolak tunduk pada Mataram. Pasukan Mataram yang dikerahkan oleh Senapati tidak berhasil menundukkan Adipati Malang, dan baru berhasil oleh ekspansi militer pada masa pemerintahan Sultan Agung (1614).

Menurut sesepuh-sesepuh Kepanjen, Babad Kota Kepanjen dibawah keperintahan Kadipaten. Daerah Malang masih menjadi satu belum terbagi menjadi Kota Malang dan Kabupaten, didalam kekuasaan Kerajaan Mataram Islam. Pusat Pemerintahannya Kadipaten Malang yang di perkirakan di Pakishardjo (kemungkinan ditimur pasar Desa Pakisaji).
“Daerah ini diketahui oleh penulis adanya peninggalan berupa :
1. Batu sebagai alas soko guru pendopo kadipaten
2. Batu gajah adalah gambaran hewan kendaraan sang bupati 
3. Batu Hewan ternak yang menggambarkan daerah pertanian

Sedangkan nama dari Kepanjen dahulunya adalah "Kepanjian", yang mempunyai kata dasar Panji. Menurut artinya adalah sebagai berikut. :
- Panji bisa berarti suatu bendera perang
- Panji adalah suatu tempat berlatihnya suatu prajurit-prajurit
- Panji adalah suatu orang yang gagah berani dan telah berjasa pada Negara,
atau panji ini atas namakan sebagai Nama orang yang berjasa yaitu Raden Panji Pulang Jiwo

Untuk itu cerita tentang asal-usul sejarah Kepanjian akan kami ceritakan sebagai berikut :

Kadipaten Malang berada dipimpin seorang adipati, yang mempunyai anak perempuan bernama Roro Proboretno (masih gadis, sakti dan peparas ayu rupawan), dengan kelebihan ini banyak pemuda mengagumi dan mempersuntingnya, tetapi Roro Proboretno mengiginkan suami yang sakti mondro guna tanpa tanding. Tempat pertapaan Roro Ayu Proboretno berada Gua sungai Amprong.

Akhirnya Adipati membuka sayembara yaitu yang berbunyi, “Barang siapa yang bisa mengalahkan kesaktian anaknya maka akan menjadi suaminya”. Sayembara ini akhirnya cepat tersebar sampai diluar daerah Kadipaten Malang.

Salah satu punggawa Kadipaten Malang yang bernama Sumolewo, ingin memperistri Raden Proboretno. Sumolewo adalah seorang punggawa kadipaten yang terkenal sakti, mempunyai guru bernama Ki Japar Sodik, gurunya Sumolewo pernah berpesan, “Supaya Sumolewo tidak menikahi Proboretno karena nanti akan dikalahkan oleh seorang yang berasal dari madura, berambut panjang dan seorang kasatria yang masih muda, sakti mandraguna dan tak terkalahkan”.

Karena besar keinginannya untuk memiliki Roro Proboretno maka Sumolewo mencoba untuk menghadang orang yang dimaksud oleh guru Ki Japar Sodik dengan mencegat setiap orang yang akan masuk Kadipaten tepatnya di Malang sebelah utara (Desa Lawang). Setiap orang madura yang mempunyai ciri-ciri yang dipesan gurunya maka dibunuh di tepi sunga (maka sekarang disebut Kali Getih, Kali Sorak).

Raden Panji Pulang Jiwo adalah adipati Sumenep dari Madura, datang ke Kadipaten Malang karena ingin mengikuti sayembara Adipati Proboretno. Karena tahu kalau lewat Desa Lawang maka akan ketemu Sumolewo, maka Raden Panji mencoba lewat Malang sebelah timur adalah tempat pemeliharaan hewan-hewan piaraan kadipaten tempat itu sekarang disebut Kedung Kandang. Pada akhirnya Raden Panji tidak bisa dihadang Sumolewo.

Pada hari yang ditentukan sudah berkumpulah pendekar-pendekar dari segala penjuru daerah, maka pertandingan dimulai dengan aturan siapa yang terakhir memenangkan pertandingan maka akan melawan Roro Proboretno. Setelah pertandingan berlangsung cukup lama maka tinggalah Sumolewo dengan Raden Panji, Pertandingan antara pendekar tangguh ini cukup terjadi cukup sengit dan akhirnya Raden Panji Bulang Jiwo sebagai pemenangnya. diakhirnya pertandingan maka berhadapanlah dengan Pendekar Roro Proboretno. 

Pertandingan ini seimbang dan pada akhirnya Proboretno terdesak dan akhirnya berlari dengan menunggang kuda untuk bersembunyi di benteng patilasan kerajaan singosari yang tertutup oleh Gerbang yang kuat bagi pertahanan Proboretno. Raden Panji segera mengejar dengan Kudanya yang bernama Sosro Bahu akhirnya diketahuilah persembunyian Proboretno. Maka dengan Turun dari Kuda maka mendekatilah pada gerbang penutup. Karena Kesungguhan dan kesaktian Raden Panji maka Pintu Gerbang bisa dibuka, yang akhirnya Roro Proboretno bisa dikalahkan. (bisa membuka gerbang Benteng makanya disebut kuto bedah).

Maka Proses Pernikahan antara Raden Panji Pulang Jiwo dan Proboretno berlangsung dengan Meriah yang dihadiran oleh petinggi kadipaten dan pesta rakyat . Pada masa perkawinan mereka hidup rukun, bahagia dan dianugrahi satu anak laki-laki yang diberi nama Raden Panji Wulung / Raden Panji Saputra. Sikap pasangan ini selalu santun pada siapa saja baik petinggi dan rakyatnya.

Pada pemerintahan kerajaan Mataram, Dalam kitab “Babad Tanah Jawi Pesisiran” diberitakan bahwa Adipati Malang dan seluruh adipati di Jawa Timur menolak tunduk pada Mataram, dengan cara tidak mau mengirim upeti. Karena adipati Malang dianggap makar, maka Raja memerintahkan untuk menghadap ke Mataram, tetapi panggilan ini tidak dihiraukan. Akhirnya Raja Mataram mengirim Pasukannya yang dipimpin oleh Joko Bodho (ini julukan karena peristiwa masuk hutan dihuni harimau putih, karena keberaniannya ini dianggab pemuda Bodho).

Pasukan Malang dipimpin Raden Panji dan Proboretno, Pada akhirnya terjadilah perang besar, dan perang tanding antar Proboretno dengan Joko Bodho, Joko Bodho bisa menancapkan keris ke tubuh Proboretno (pesan pada joko bodo oleh gurunya bahwa, “keris saktinya tidak boleh untuk membunuh perempuan, karena menyebabkan kesaktian keris itu hilang”) pada waktu Proboretno coba diselamatkan, tetapi akhirnya meninggal dalam perjalanan menuju Kadipati, lalu dimakamkan dengan cara Islam yang tempatnya di belakang kantor Diknas Kabupaten Malang di Wilayah Desa Penarukan.

Raden Panji Betapa Marahnya ketika istri tersayang diketahui telah meninggal, maka dikejarlah pasukan musuh, dengan menunggang kuda Sosro Bahu, saat itu banyak pasukan Mataram yang terbunuh. Sisa-sisa pasukan Mataram mencoba bersembunyi di daerah hutan rimba yang bernama Desa Ngebruk, (ada dusun Mataraman).

Akhirnya sisa pasukan Mataram yang bersembunyi bisa diketahui, maka perang tanding antara Raden Panji dan Joko Bodo berlangsung, karena kesaktian keris Joko Bodo sudah hilang ioninya, maka dengan mudah Joko Bodo dibunuh, jenasahnya dimakamkan di dusun Desa Ngebruk dusun Mbodo.

Raja Mataram mengetahui kekalahan pasukannya dan kesaktian Raden Panji, maka dikirim pasukan lebih besar, tetapi menuju tempat istirahat dan mengatur strategi di suatu pasanggrahan (sekarang bernama desa Sangrahan, Kepanjen selatan).

Raden Panji mendapat tekanan Jiwa yang berat atas kehilangan Proboretna, karena merasa berdosa tidak mampu melindungi istrinya yang sebenarnya harus tinggal di Kadipaten, bukan ikut dalam perang.

Akhirnya perwira-perwira Mataram menemukan strategi jitu, maka dijalankan nya strategi dengan membuat panggung yang disitu di beri seorang putri Mataram yang wajahnya memang mirip dengan Putri Proboretno, yang didepan jalan naik pangung diberi jebakan sumur. (tempat itu sekarang bernama desa Panggung Rejo)

Pada saat itu diundanglah Raden Panji Pulang Jiwo untuk bertemu Putri Proboretno palsu, dengan diiringan lantunan tembang asmarodono, maka datanglah Raden Panji lewat jalan (sekarang Jalan Raya Panji disitu banyak berdiri perkantoran), begitu melihat sosok Putri Proboretno duduk diatas panggung maka langsung mendekat menuju “jalan naik ke atas panggung”, dan masuklah ke jebakan lubang sumur maut, dan langsung puluhan prajurit datang kesumur itu untuk membunuh Raden Pulang Jiwo.

Dalam Pemakaman Raden Panji di tempat Kepanjian / Kepanjen, banyak pejabat kadipaten Malang dan sebagai rakyat berkumpul disuatu tempat untuk menghormati pejuang Malang menuju ke pemakaman terakhir (sekarang disebut Kelayatan di kota Malang)

Untuk Pemakaman Raden Panji Pulang Jiwo berada :
Bersebelahan dengan makam Putri Proboretno, putranya, kudanya (Jasad Raden Panji) di jalan penarukan Kepanjen-Malang. Sebagai orang yang mengenalkan Nama Daerah Kepanjian yang sekarang menjadi Ibu Kota Kabupaten Malang

1. Raden Panji Pulang Jiwo mempunya cincin yang bernama Akik Sholeman Perang, Kelebihannya adalah Apa bila dipakai adalah menjadi Kekuatan “Samber Nyowo” dan mempunya daya tahan perang yang tinggi, sehingga lawan berhadapan pasti gentar.
2. Kuda Sosro Bahu milik Raden Panji mempunyai Badanya Tinggi Besar dan Besar, mampu bertahan dan menerjang sekelompok pasukan musuh, berlari dengan cepat, mampu melompat tinggi dan sangat penurut sama tuannya. 

 

Sejarah Madiun


Sejarah Kota Madiun Dipelajari dari sisa-sisa peninggalan sejarah, baik berupa barang-barang dan lembaga ataupun adat istiadat, maka terdapatnya desa-desa bekas perdikan (yang kini sudah dijadikan Desa biasa/Kelurahan), ternyata erat hubungannya dengan peristiwa-peristiwa kepahlawanan pada abad-abad ke XVII dan XVIII.

Pada Abad ke XVII Daerah Sawo (Ponorogo) bagian dari kekuasaan kerajaan Yogyakarta ( oleh Yogya dikenal sebagai kukuban ing sak wetane Gunung Lawu ) ada usaha untuk memisahkan diri (mbalelo) dari induknya ialah kerajaan Yogyakarta, kemudian oleh Sultan Yogyakarta pada waktu itu dikirmkan penumpas pemberontakan yang dipimpim oleh Ronggo. Setelah berhasil menumpas pemberontakan tersebut, maka untuk pusat pemerintahan pada saat itu dipilihlah "KUTO MIRING" terletak di Desa Demangan Kecamatan Taman Kotamadya Madiun, untuk didirikan Kabupaten setelah dirintis pembangunannya kemudian digeser ke utara lagi yaitu ditengah Kotamadya Madiun sekarang di Komplek Perumahan Dinas Bupati Madiun. Disinilah seterusnya Ronggo ke I s/d ke III menjalankan pemerintahan, sedangkan makamnya ada di Desa Taman (dulu Desa Perdikan). Jadi status Desa Perdikan Taman maupun Kuncen, sebagai wilayah Kerajaan Yogyakarta karena disitu disemayamkan pahlawan-pahlawan pada zaman lampau, sehingga kepada orang yang dipercaya menjaga/merawat makam tersebut diberikan hadiah sebagai sumber pencahariannya, satu wilayah Pedesaan serta hak untuk memungut hasilnya, bersifat Orfelijik (turun tumurun).

Pada Abad ke XVII di zaman peperangan Diponegoro, munculah salah seorang putera Ronggo (Rongggo ke II) yang dikenal dengan nama "Ali Basah Sentot Prawirodirdjo". Sebelum meletus perang Diponegoro, Madiun belum pernah dijamah oleh orang-orang Belanda atau Eropa yang lain sehingga, Pemerintah Hindia Belanda tidak mengenal apa arti politik dan sosial ekonomi yang terdapat di Madiun, tetapi setelah perang Diponegoro berakhir Madiun menjadi pertahanan terakhir pasukan Diponegoro mulai dikenal oleh orang-orang Belanda arti politik dan sosial ekonomi, banyak daerah pertanian diubah menjadi perkebunan.

Pada tanggal 1 Januari 1832 Madiun secara resmi dikuasai oleh Pemerintah Hindia belanda dan dibentuklah suatu Tata Pemerintahan yang berstatus "KARISIDENAN" Ibu Kota Karisidenan berlokasi di Desa Kartoharjo (tempat Patih Kartohardjo) yang berdekatan dengan Istana Kabupaten Madiun di Pangongangan. Sejak saat itu mulailah berdatangan bangsa Belanda atau Eropa yang lain berprofesi dalam bidang perkebunan tebu dengan Pabrik Gulanya seperti PG. Sentul (Kanigoro), PG. Pagotan (Uteran), PG. Rejoagung (Patihan) milik orang cina.

Kecuali itu muncul pula perkebunan teh di Jamus dan Dungus, Kopi di Kandangan, Tembakau di Pilangkenceng, semua warga negara eropha bermukim di tengah kota sekitar istana Residen Madiun, supaya tidak kena pengaruh orang Madiun yang pemeberani karena bekas kotanya merupakan tempat pusat pertahanan wilayah timur Mataram (Monconegoro Timur) yang anti belanda. Maka segresi sosial (pemisahan sosial) harus dilakukan. Dikandung maksud untuk membendung jangkuan pengaruh kaum pergerakan rakyat indonesia, maka perlu mengubah ketatanegaraan di Madiun yakni Kota yang berdiri sendiri dimana pemimpimnya tetap bangsa belanda, masyarakat sebagian besar orang asing. Dan lagi pula kerajaan belanda telah mengeluarkan Undang-undang yang mengatur daerah perkotaan yang disebut : Inlandsche Gemeente Ordonantie yang dikeluarkan pada tahun 1906 oleh Departemen Binnenlandsch Bestuur yang dalam hal itu oleh Menteri S. De Graaf.

Maka wilayah perkotaan Madiun dipisahkan dari Pemerintah Kabupaten Madiun menjadi Stadsgemeente Madiun atau Kota Praja Madiun atau Haminte Madiun. Kotapraja madiun berdiri berdasarkan Peraturan Pemerintah Hindia Belanda pada tanggal 20 Juni 1918 dengan landasan Staatsblad Tahun 1918 Nomor 326, sehingga wilayah itu dikepalai oleh seorang Burgemeester yang pertama dijabat oleh Ir.M.K. Ingenlijf semula menjabat asisten residen Madiun (modalnya terdiri dari 12 pedesaan yakni Madiun Lor, Sukosari, Patihan, Oro Oro Ombo, Kartoharjo, Pangongangan, Kejuron, Klegen, Nambangan Lor, Nambangan Kidul, Pandean, Taman) yang administratif berstatus Desa Perdikan dibawah naungan keraton Yogyakarta yang kemudian diganti oleh De Maand hingga tahun 1927. Sedangkan lembaga dan jabatan Walikota Madiun baru diadakan 10 tahun kemudian dengan dikeluarkan staatsblad nomor 14 tahun 1928.

Pada Zaman Jepang daerah ini menjadi Madiun Shi yang diperintah oleh seorang Shi Tjo dan mempunyai wilayah 12 Desa, setelah Proklamasi Kemerdekaan, dengan berlakunya Undang-undang Nomor 22 tahun 1948, maka Madiun Shi diubah menjadi Kota Besar Madiun dengan wilayah 12 Desa dibawah perintah Walikota. Kemudian demi pemerataan wilayah berdasar UU Nomor 22 tahun 1948 maka menurut Surat Keputusan Nomor 16 Tahun 1950 Kotapraja Madiun diperjuangkan diperluas dengan mendapat tambahan dari Kabupaten Madiun yaitu 8 (delapan) Desa yakni Demangan, Josenan, Kuncen yang semula berstatus speerti Desa Perdikan Taman, Banjarejo, Mojorejo, Rejomulyo, Winongo dan Manguharjo. Kemudian dengan berlakunya Undang-undang Nomor 1 tahun 1957 sebagai pengganti Undang-undang Nomor 22 Tahun 1948, Kota Besar Madiun berubah menjadi Kotapraja Madiun dengan wilayah 12 desa dan diperintah oleh seorang Walikota, selanjutnya berdasar Undang-undang Nomor 24 Tahun 1958 diadakan perubahan batas-batas wilayah Kotapraja Madiun, kerena mendapat tambahan wilayah sebanyak 8 (delapan) buah desa dari Kabupaten Madiun, sehingga wilayah Kotapraja Madiun menjadi 20 desa. Pelaksanaan perubahan batas-batas ini diadakan pada hari Sabtu tanggal 21 Mei 1960 bertempat di Kabupaten Madiun oleh Walikota dan Bupati. Kemudian dengan Undang-undang Nomor 18 Tahun 1965 sebagai pengganti Undang-undang Nomor 1 tahun 1957, Kotapraja Madiun diubah dengan Kotamadya Madiun dengan wilayah 20 desa dan diperintah oleh Walikota Kepala Daerah.

Selanjutnya dengan berlakunya Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah, sebagai pengganti UU Nomor 18 tahun 1965, maka Kotamadya Madiun berubah menjadi Kotamadya Daerah Tingkat II Madiun, dengan wilayah 20 desa dan istilah Walikota Kepala Daerah Kotamadya Madiun diubah menjadi Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II Madiun. Dalam Tahun 1979 atas persetujuan DPRD Kotamadya dan Kabupaten Daerah Tingkat II Madiun, diusulkan pemekaran daerah Kotamadya menjadi 27 Desa/Kelurahan. Dimana terhitung mulai tanggal 18 April 1983 wilayah Kotamadya Daerah Tingkat II Madiunyang semula terdiri dari 1 Kecamatan meliputi 20 Kelurahan dengan luas 22,95 KM2 berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 49 Tahun 1982 dan Surat Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Jawa Timur Nomor 135.1/1169/011/1983 tanggal 19 Januari 1983 bertambah menjadi 7 desa yang berasal dari Kabupaten Daerah Tingkat II Madiun yakni Desa Ngegong, Sogaten, Tawangrejo,Kelun, Pilangbango,Kanigoro dan Manisrejo), sehingga luas wilayah Kotamadya Daerah Tingkat II Madiun menjadi 33,92 KM2 terdiri dari 3 Kecamatan dengan 20 Kelurahan dan 7 Desa dimana masing-masing kecamatan terdiri dari 9 Kelurahan/Desa.

Kabupaten Madiun, berdiri pada tanggal paro terang, bulan Muharam, tahun 1568 Masehi tepatnya jatuh hari Karnis Kilwon tanggal 18 Juli 1568 / Jumat Legi tanggal 15 Suro 1487 . Sejarah berawal pada masa kesultanan Demak, yang ditandai dengan perkawinan putra mahkota Demak Pangeran Surya Patiunus dengan Raden Ayu Retno Lembah putri dari Pangeran Adipati Gugur yang berkuasa di Ngurawan Dolopo. Pusat pemerintahan dipindahkan dari Ngurawan ke desa Sogaten dengan nama baru Purabaya (sekarang Madiun). Pangeran Surya Patiunus menduduki kesultanan hingga tahun 1521 dan diteruskan oleh Kyai Rekso Gati.

Pangeran Timoer dilantik menjadi Supati di Purabaya tanggal 18 Jull 1568 berpusat di desa Sogaten. Sejak saat itu secara yuridis formal Kabupaten Purabaya menjadi suatu wilayah pemerintahan di bawah seorang Bupati dan berakhirlah pemerintahan pengawasan di Purabaya yang dipegang oleh Kyai Rekso Gati atas nama Demak dari tahun 1518 - 1568.


Pada tahun 1575 pusat pemerintahan dipindahkan dari desa Sogaten ke desa Wonorejo atau Kuncen, Kota Madiun sampai tahun 1590.

Pada tahun 1686, kekuasaan pemerintahan Kabupaten Purabaya diserahkan oleh Bupati Pangeran Timoer (Panembahan Rama) kepada putrinya Raden Ayu Retno Djumilah.. Bupati inilah selaku senopati manggalaning perang yang memimpin prajurit-prajurit Mancanegara Timur.

Pada tahun 1586 dan 1587 Mataram melakukan penyerangan ke Purbaya dengan Mataram menderita kekalahan berat. Pada tahun 1590, dengan berpura-pura menyatakan takluk, Mataram menyerang pusat istana Kabupaten Purbaya yang hanya dipertahankan oleh Raden Ayu Retno Djumilah dengan sejumlah kesil pengawalnya. Perang tanding terjadi antara Sutawidjaja dengan Raden Ayu Retno Djumilah dilakukan disekitar sendang di dekat istana Kabupaten Wonorejo (Madiun)

Pusaka Tundung Madiun berhasil direbut oleh Sutawidjaja dan melalui bujuk rayunya, Raden Ayu Retno Djumilah dipersunting oleh Sutawidjaja dan diboyong ke istana Mataram di Pleret (Jogyakarta) sebagai peringatan penguasaan Mataram atas Purbaya tersebut maka pada hari jum'at Legi tanggal 16 Nopember 1590 Masehi nama Purbayan diganti menjadi Madiun.

Mbah Suro

Ki Ngabehi Soerodwirdjo/ Masdan lahir pada hari Sabtu Pahing 1869, beliau adalah keturunan dari bupati Gresik. Ayahnya bernama Ki Ngabehi Soeromiharjo adalah manteri cacar Ngimbang-Lamongan yang memiliki 5 putera, yaitu: Ki Ngabehi Soerodwirjo (Masdan), Noto/Gunari (di Surabaya), Adi/ Soeradi (di Aceh), Wongsoharjo (di Madiun), Kartodiwirjo (di Jombang). Saudara laki2 dari ayahnya R.A.A Koesomodinoto menjabat sebagai bupati Kediri. Seluruh keluarga ini adalah keturunan dari Batoro Katong dari Ponorogo (Putra Prabu Brawijaya Majapahit).

Pada tahun 1883 beliau lulus sekolah rakyat 5 tahun, selanjutnya ikut saudara ayahnya Ki Ngabehi Soeromiprojo yang menjabat sebagai Wedono Wonokromo kemudian pindah sebagai Wedono Sedayu-Lawas Surabaya. Saat berumur 15 tahun beliau magang menjadi juru tulis Op Het Kantoor Van De Controleur Van Jombang, disana sambil belajar mengaji beliau juga belajar pencak silat yang merupakan dasar dari kegemaranya untuk memperdalam pencak silat di kemudian hari.

Pada tahun 1885 beliau magang di kantor Kontroleur Bandung, dari sini beliau belajar pencak silat kepada pendekar2 periangan/pasundan sehingga didapatlah jurus2 seperti: Cimande, Cikalong, Cipetir, Cibaduyut, Cilamaya, Ciampas, Sumedangan.

Pada usia 17 tahun (1886) beliau pindah ke Batavia/ Jakarta, dan memanfaatkan untuk memperdalam pencak silat hingga menguasai jurus2: Betawen, Kwitang, Monyetan, Permainan toya (stok spel).

Pada 1887 beliau ikut kontrolir belanda ke Bengkulu, disana beliau belajar gerakan2 mirip jurus2 dari Jawa barat. Pertengahan tahunnya ikut kontroler belanda ke Padang, dan bekerja tetap pada bidang yang sama. Didaerah Padang hulu dan hilir beliau mempelajari gerakan2 yang berbeda dari pencak Jawa. Selanjutnya beliau berguru kepada Datuk Raja Betuah seorang pendekar dan guru kebatinan dari kampung Alai, Pauh, kota Padang. Pendekar ini adalah guru yang pertama kali di Sumatera Barat. Datuk Raja Betuah mempunyai kakak bernama Datuk Panghulu dan adiknya bernama Datuk Batua yang ketiganya merupakan pendekar termasyur dan dihormati masyarakat.

Pada usia 28 tahun beliau jatuh cinta kepada seorang gadis padang, puteri seorang guru ilmu kebatinan yang berdasar islam (tasawuf). Untuk mempersunting gadis ini beliau harus memenuhi bebana, dengan menjawab pertanyaan dari sang gadis pujaan yang berbunyi “SIAPAKAH MASDAN INI” dan “SIAPAKAH SAYA INI”. Karena tidak bisa menjawab pertanyaan itu dengan pikiranya sendiri maka beliau berguru kepada seorang ahli kebatinan bernama Nyoman Ida Gempol yaitu seorang punggawa besar kerajaan bali yang dibuang belanda ke padang. Ia dikenal dengan nama Raja Kenanga Mangga Tengah (bandingkan dengan nama desa Winongo-Madiun-Tengah-Madya). Dari sini Ki Ngabehi mendapat falsafah TAT TWAM ASI(ia adalah aku).

Kemudian pada tahun yang sama beliau belajar pencak silat selama 10 tahun kepada pendekar Datuk Raja Batuah dan mendapat tambahan jurus2 dr daerah padang, antara lain: Bungus (uit de haven van teluk bayur), Fort de Kock, Alang-lawas, Lintau, Alang, Simpai, Sterlak. Sebagai tanda lulus beliau mempersembahkan pisungsun berupa pakaian hitam komplit.

Selanjutnya ilmu yang diperoleh dari Nyoman Ida Gempol disatukan dengan pencak silat serta ilmu kebatinan yang diperoleh dari Datuk Raja Batuah sehingga menjadi aliran pencak silat baru yang nantinya oleh Ki Ngabehi Soerodiwirjo dinamakan SETIA HATI.

Akhirnya bebana yang diminta gadis pujaan beliau dapat dijawab dengan ilmu dr setia hati diatas dan gadis itu menjadi istri beliau, tetapi dari perkawinan ini belum mempunyai keturunan.

Pada usia 29 tahun beliau bersama istrinya pergi ke Aceh dan bertemu adiknya yang bernama Soeradi yang menjabat sebagai kontrolir DKA di LhoukSeumawe, didaerah ini beliau mendapat jurus kucingan dan permainan binja. Pada tahun tersebut guru besar beliau Raja Kenanga Mangga Tengah diizinkan pulang ke bali. Ilmu beliau dapat dinikmati saudara2 SH dengan motto “GERAK LAHIR LULUH DENGAN GERAK BATIN” “GERAK BATIN TERCERMIN OLEH GERAK LAHIR”.

Tahun 1900 Ki Ngabehi kembali ke betawi bersama istrinya dan beliau bekerja sebagai masinis stoom wals. Kemudian beliau bercerai, dimana ibu Soerodoworjo pulang ke padang dan beliau ke bandung.

Tahun 1903 KiNgabehi kembali ke Surabaya dan menjabat sebagai polisi dienar hingga mencapai pangkat sersan mayor. Di Surabaya beliau terkenal dengan keberanianya menumpas kejahatan, kemudian beliau pindah ke ujung dimana sering terjadi keributan antara beliau dengan pelaut2 asing.

Pada tahun ini beliau mendirikan persaudaraan SEDULUR TUNGGAL KECER (STK) -LANGEN MARDI HARDJO (Djojo Gendilo) pd Jum’at legi 10 Suro 1323 H / 1903M. Tahun yang diklaim sebagai hari lahirnya SH Winongo, dan mengklaim mewarisi ilmu langsung dari eyang suro, sering mengklaim diri sebagai STK -Sedulur Tunggal Kecer.

Pada tahun 1905 untuk kedua kalinya beliau melangsungkan pernikahan yaitu dengan ibu Sarijati yang saat itu berusia 17 tahun, dari pernikahan ini mendapatkan 3 orang putra dan 2 orang putri dimana semuanya meninggal sewaktu masih kecil.

Beliau berhenti dari polisi Dienar (1912) bersamaan dengan meluapnya rasa kebangsaan Indonesia yang dimulai sejak tahun 1908. Beliau kemudian pergi ke Tegal ikut seorang paman dari almarhum saudara Apu Suryawinata yang menjabat sebagai Opzichter Irrigatie.

Tahun 1914 beliau kembali ke Surabaya dan bekerja pd DKA Surabaya, selanjutnya pindah ke Madiun di Magazijn DKA dan menetap di desa Winongo, Madiun.

Persaudaraan DJOJOGENDILO CIPTO MULJO diganti nama menjadi Persaudaraan “Setia Hati” Madiun pada tahun 1917. Tahun 1933 beliau pensiun dari jabatanya dan menetap di desa Winongo, Madiun.

Tahun 1944 beliau jatuh sakit dan akhirnya wafat pada hari jum’at legi 10 Nov 1944 jam 14.00 (bulan Selo tanggal 24 tahun 1364 H) di rumah kediaman beliau di Winongo, dan di makamkan di pasarean Winongo degnan Kijing batu nisan granik dan dikelilingi bunga melati.

Pesan beliau sebelum wafat :

Jika saya sudah berpulang keRahmatullah supaya saudara2 SH tetap bersatu hati, tetap rukun lahir batin;
Jika saya meninggal dunia harap saudara2 SH memberi maaf kepada saya dengan tulus ikhlas;
Saya titip ibunda Nyi Soerodiwirjo selama masih hidup di dunia fana ini;

 

Sejarah Blitar


Penentuan titi mangsa lahirnya Blitar sebagai pusat pemerintahan merupakan jawaban atas masalah hari pendirian Pemerintah Daerah yang kemudian menjadi Kabupaten Blitar. Dari berbagi prasasti yang dipandang sebagai bukti autentik seperti terurai atas, tidak terdapat sebuahpun yang memuat nama Blitar sebagai nama tempat Pusat Pemerintahan. 

Suatu hal yang pasti bahwa beberapa nama desa atau tempat yang disebutkan dalam prasasti-prasasti itu berada atau termasuk wilayah Kabupaten Blitar sekarang. Kenyataan itu membuktikan bahwa (sebagian) daerah Blitar sejak sepuluh abad yang lalu telah menjadi pusat kehidupan masyarakat yang penting. Berita agak pasti mengenai pertumbuhan Blitar sebagai Pusat Pemerintahan mulai ada sejak awal pemerintahan Raja-raja Majapahit. Sebagimana dapat dibuktikan dalam sejarah Kerajaan Majapahit lahir setelah Raden Wijaya berhasil mengusir tentara Tartar Ku Bilai Khan pada Tahun 1293 M. 

Majapahit sebagai negara baru berpusat di dekat Mojokerta. Di bawah pimpinan raden Wijaya sebagai Raja pertama, negara Majapahit tumbuh dengan pesat. Suatu hal yang menarik dalam hubungan sejarah daerah Blitar dari masa itu ialah adanya peningalan bangunan suci yang terletak di Desa Kotes Kecamatan Gandusari.

Pada bangunan itu terdapat angka Tahun 1222 Saka dan 1223 Saka. Dengan demikian bangunan tersebut berasal dari tahun 1300 dan 1301 Masehi. Dengan perkataan lain, bangunan itu adalah sejaman dengan Pemerintah Raja Pertama Majapahit. Kenyataan di atas membuktikan bahwa sejarah Blitar pada awal abab ke – XIV masih menunjukkan wilayah yang penting. Apakah hubungan pendirian bagunan suci itu dengan sejarah daerah ini ? Suatu petunjuk yang dapat memberikan keterangan tentang hal itu antara lain terdapat sejumlah Prasatti dari masa abad ke – XII Masehi di daerah sepanjang lembah Gunung Kawi sebelah Barat. 

Ini menunjukkan bahwa daerah ini masih dapat dibuktikan hingga sekarang dengan adannya beberapa perkebunan. Faktor alamiah yang menguntungkan ini menyebabkan adannya kehidupan masyarakat yang makmur. Kemakmuran itu mendorong pertumbuhan penduduk yang besar dalam waktu singkat. Walaupun tidak terdapat catatan tentang jumlah penduduk di daerah bagian Timur ini, namun dapat diperkirakan bahwa dengan adanya men-power maka daerah ini menjadi penting. Tersedianya tenaga manusia yang cukup besar, merupakan salah satu jaminan pergerakan pasukan secara mudah untuk suatu tujuan pertahanan maupun serangan.

Seperti halnya dalam prasati Tuhanyaru yang menyebutkan adanya anugrah tanah kepada sejumlah pejabat kerajaan berhubung yang bersangkutan telah berjasa kepada raja, maka prasasti Blitar pun memuat peryataan yang sama. Dapat diketahui bahwa hubungan antara raja Jayanegara dengan daerah Blitar mempunyai sifat yang istimewa. Hubungan yang istimewa itu diperlihatkan pada penempatan sejumlah ha yang diberikan kepada para pejabat, berhubungan dengan kesetiyaan desa Blitar kepada raja.

Dalam hubungan ini peristiwa apakah yang terjadi sehingga raja berkenan untuk memberikan anugrah kepada penduduk desa Blitar.

Seperti diketahui Raja Jayanegara menjadi raja majapahit yang kedua, mengantikan ayahnya Kerjarajasa Jayawardhana yang meninggal pada tahun 1309 M. Tentang Pemerintahannya ini ada dua sumber yang memberikan keterangan agak berbeda. Kedua sumber tadi adalah Negarakertagama, yang ditulis oleh Prapanca dan Pararaton yang tidak dicantumkan nama penulisnya. Secara singkat sekali Negarakertagama menceritakan tentang masa Pemerintahannya yang berlangsung antara tahun 1309-1328 Masehi.

Didalam Pupuh XLVII Prapanca melukiskan yang terjemahan dalam Bahasa Indonesia sebagai berikut:

Beliau meninggalkan Jayanegara sebagai raja Wilatikta dan keturunan adiknya rajapadhi utama yang tiada bandingya, Dua puteri amat cantik, bagai Ratih kembar mengalahkan Bidadari yang sulung rani di Jiwana, sedangkan yang bungsu jadirani di Daha.
Tersebut pada Tahun Saka : Muti-guna-memaksa rupa bulan-madu, Baginda Jayanegara berangkat menyirnakan musuh ke Lumajang, Katanya Pajarakan dirusak, Nambi sekeluarga dibinasakan, Giris miris segenap jagad melihat kepiawaian Sri Baginda.
Tahun Saka : bulatan memanah suryah beliau pulang, Segera dimakamkan didalam pura, berlambang arca Wisnuparama. Di sela Petak dan Bubat tertegak area Wisnuparama. Di sela Petak dan Bubat tertegak area Wisnu-lambang-tara-inda. Di Sukalila arca Buda permai sebagai Amoga sidi-menjilma.
Dari puppuh tersebut diatas, maka dapat diketahui bahwa sesama Pemerintahan Jayanegara menghancurkan pemberontakan Nambi. Semua pemberontakan itu dapat di padamkan.

Suatu pemberontakan pecah lagi pada Tahun 1316 dan 1317 dibawah pimpinan Kuti dan Seni. Pemberontakan itu mengakibatkan raja jayanegara menghindarkan diri ke Desa Bedander dengan pengawasan pasukan Bhayangkara dibawah pimpinan Gajah mada. Berkat siasat Gajah Mada, Jayanegara berhasil naik tahta. Kuti dan Seni berhasil dibinasakan. 

Kedua pemberitaan ini memberi petunjuk bahwa sesama bawahan semasa Pemerintahan Jayanegara telah terjadi pemberontakan, tetapi berhasil dipadamkan. Kenyataan diatas membuktikan bahwa Jayanegara menghadapi masa yang sulit pada tahun pertama Pemerintahannya. Kenyataan ini yang dapat memberikan keterangan , apa sebabnya jayanegara mengeluarkan prasastinya tersebut diatas. Tidak dapat diragukan lagi, bahwa penetapan prasasti di Blitar ini merupakan perestiwa penting setelah Jayanegara ini merupakan titik peresmian berdirinya swastanca Blitar dalam naungan kekuasaan Majapahit dibawah Pemerintahan Jayanegara. 

Dan peristiwa yang penting itu, sesuai dengan unsur penanggalan dalam prasasti, terjadi pada hari Minggu Pahing bulan Srawana tahun Saka 1246, yang bertepatan dengan tanggal 5 Agustus 1324 M. Untuk masa-masa selanjutnya Blitar disebutkan dalam kitab Negarakertagama dalam hubungannya dengan perlawanan Raja Hayam Wuruk ke daerah-daerah Jawa Timur. Beberapa puluh tahun yang membuat hal pemerintah hal itu sepanjang menyangkut Blitar serta tempat-tempat lain di daerah sekitarnya tertulis pupuh-pupuh.

Dari uraian tersebut dapat disimpulkan, bahwa:

Tampilan Wilayah yang kini menjadi daerah Kabupaten Blitar, yang paling tua tercatat dalam prasasti Kinewu dipahatkan pada belakang arca Ganesa dari abab X. Prasasti itu memberikan petunjuk bahwa wilayah Kabupaten Blitar, merupakan bagian dari kerajaan Balitung yang berpusat di Jawa Tengah.
Ketika pusat Pemerintah pindah dari Jawa Tengah ke Jawa Timur sekitar abad ke-X, sejarah daerah Kabupaten Blitar dapat diketahui berdasarkan prasasti-prasasti yang dikeluarkan oleh raja-raja dinasti Isana. Selama Pemerintahan raja-raja ini berlangsung diantarannya awal abad ke-X sampai dengan akhir abad ke-XII, beberapa tempat yang sekarang termasuk Wilyah Kabupaten Blitar disebut dalam prasasti-prasasti Pandelegan I 1117, Panumbangan I 1120, Geneng I 1128, Talang 1136, Japun 1144, Pandelegan II 1159, Mleri 1169, Jaring 1181, Semanding 1182, Palah 1197, Subhasita 1198, Mleri I 1198 dan Tuliskriyo 1202.

Ketika kerajaan Singasari berkembang ada beberapa prasasti yang berhubungan dengan daerah Kabupaten Blitar sekarang. Prasasti tersebut dikeluarkan pada masa Pemerintahan Raja Kartanegara (1268-1292) yang dikenal dengan prasasti Petung Ombo 1260 M. beberapa peningalan purbakala yang berasal dari zaman Singasari seperti: patung Ganesa dari Boro dan Candi Sawentar membuktikan bahwa semasa Pemerintahan raja-raja Singasari, daerah Kabupaten Blitar telah memegang peranan yang penting.

Pada zaman majapahit kedudukan daerah Kabupaten Blitar menjadi sangat penting. Hal itu terbukti dengan adanya candi Kotes yang didirikan pada masa Pemerintahan Pendiri Kerajaan Majapahit yaitu Nararya Wijaya atau Kerta Rajasa Jayawardana (1294-1309). Candi makam raja itu terletak di desa Sumberjati dukuh Simping Kecamatan Suruhwadang.

Saat yang sangat penting bagi pertumbuhan sejarah Kabupaten Blitar dewasa ini terdapat pada masa Pemerintahan Raja Jayanegara (1309-1328). Salah satu prasastinya ditemukan di desa Blitar sekarang. Prasasti tersebut dikenal dengan prasasti Blitar I yang bertarikah “Swasti sakawarsatita 1246 Srawanamasa tithi pancadasi Suklapaksa wu para wara ….” atau 5 Agustus 1324 Masehi. Prasasti ini memuat saat berdirinya Blitar sebagai daerah Swatantra.

Masa-masa pemerintahan Raja-raja Majapahut kemudian, nama Blitar berkali0kali disebutkan dalam kitab nagarakertagama yang ditulis moleh Pujangga : Prapanca. Naskah ini selesai ditulis bertepatan dengan 1 Oktober 1363 M. blitar dan tempat-tempat lain telah dikunjungi oleh raja Hayam Wuruk dan Mahapatih Gajahmada dalam rangka perjalanan Raja Hayam Wuruk ke Wilayah Jawa Timur yang dimulai pada Tahun 1357 M.

Beberapa peningalan yang berupa candi membuktikan bahwa sepanjang abad XIV hingga akhir abad XV kedudukan Blitar semakin penting. Hal ini terbukti dari adanya candi Penataran yang merupakan candi negara sebagian besar berasal dari masa Pemerintahan Jayanegara hingga Wikramawardhana (1389-1429). 

Peninggalan dari raja terakhir ini sekarang terdapat di lereng Gunung Kelud yang sekarang dikenal dengan nama Candi Gambar Wetan (1429M).
Maka berdasarkan uraian diatas diambil keputusan bahwa HARI LAHIR KABUPATEN BLITAR ialah 5 AGUSTUS 1324

Lodoyo 

Nama Lodoyo sudah cukup popular di kalangan wong Blitar. Nama ini masih biasa digunakan untuk menyebut daerah di selatan Sungai Brantas Blitar, walau secara administratif tidak ada lagi daerah di Blitar selatan yang bernama Lodoyo. Dahulu memang pernah ada Kawedanan Lodoyo, namun saat ini kawedanan hanya mengambil peran sebagai pemangku budaya saja.

Nama Lodoyo merupakan nama kuno yang sudah dikenal sebelum adanya kawedanan. Bahkan lebih kuno dari pada era Surakarta dan mitos-mitos bentukannya yang menggambarkan Lodoyo sebagai daerah bromocorah. 

Yang jelas, nama Lodoyo sudah ada dan disebut dalam Kakawin Desa Warnnana/ Negara Krtagama (kakawin karangan Mpu Prapanca yang menyingkap kejayaan Kerajaan Majapahit). Dalam kakawin tersebut terungkap bahwa Maharaja Rajasa Nagara (Hayam Wuruk) pernah melakukan perjalanan dan bermalam beberapa hari di Lodoyo. 
Berikut Kutipan dari Kakawin Negara Krtagama tersebut:

Janjan sangke balitar angidul tut margga, sangkan poryyang gatarasa tahenyadoh wwe, ndah prapteng lodhaya sira pirang ratryangher, sakterumning jaladhi jinalah tut pinggir.

Terjemahan:

Tidak peduli dari Blitar menuju ke selatan sepanjang jalan, mendaki kayu-kayu mengering kekurangan air tak sedap dipandang, maka Baginda Raja tiba di Lodaya beberapa malam tinggal disana, tertegun pada keindahan laut dijelajahi menyisir pantai.

Perjalanan yang dilakukan Maharaja tentunya bukan lah perjalanan yang main-main. Karena perjalanan tersebut merupakan agenda orang nomor satu di Majapahit, tentunya lokasi yang dikunjungi bukan lah lokasi yang sembarangan. Lalu apakah ada peradaban yang kondusif sehingga sang Maharaja berkenan tinggal beberapa malam di Lodoyo? Lalu apakah Lodoyo itu? Apakah sebuah kota?

Petanyaan-pertanyaan tersebut telah menggantung dibenak kami, hingga akhirnya menghantarkan kami pada sebuah perjalanan besar. Satu persatu tempat-tempat bersejarah di tlatah Lodoyo kami kunjungi untuk menjawab rasa penasaran yang kian memuncak. Candi Simping, Candi Bacem, dan Kekunaan Jimbe yang kami kunjungi diawal perjalanan menunjukkan kesan bahwa Lodoyo merupakakan daerah Padewan (diperuntukkan untuk dewa). Daerah padewan biasanya tidak diperuntukkan sebagai pemukiman karena tergolong tempat yang disucikan. Keyataan tersebut hampir menepis anggapan awal kami terhadap Lodoyo. Namun ternyata hal yang mencengangkan justru muncul pada perjalanan selanjutnya.

Situs Besole merupakan reruntuhan sebuah pintu gerbang yang tersusun dari bata kuno. Situs ini pernah digali, dan ditemukan selasar yang cukup panjang di kanan kirinya. Situs ini berada sangat dekat dengan Sungai Brantas, sehingga kuat dugaan bahwa situs ini merupakan sisa-sisa bandar kuno di Lodoyo. Meski masih terlalu awal, namun perjumpaan dengan situs ini membuat kami semakin tertarik dan ingin menjelajahi sudut-sudut Lodoyo dengan lebih seksama.Tak perlu jauh-jauh menuju pelosok selatan Lodoyo, karena hal tersebut ada di sisi utara Lodoyo yang berbatasan dengan Sungai Brantas. 

Mungkin kini tepian Brantas merupakan daerah puritan, tapi dulu tepian brantas merupakan pintu gerbang dari tlatah Lodoyo. Seperti yang kita ketahui bahwa Brantas merupakan jalur transportasi kuno dan di tepiannya tersebar bandar-bandar perdagangan yang penting. Dan jejak bandar tersebut dapat dijumpai di Situs Besole.

Dan di perjalanan-perjalanan selanjutnya, kami berhasil menjumpai jejak-jejak peninggalan lain di Lodoyo. Jejak-jejak tersebut semakin memantapkan posisi Lodoyo sebagai kota kuno di Blitar selatan, meski itu hanya ada di dalam benak dan pemikiran saja.

Sejarah Mengenai Upacara Tradisional Siraman Gong Kyai Pradah / Pusaka Gong Kyai Pradah Di Kel. Kalipang Kec. Sutojayan Lodoyo Blitar

Tersebutlah dalam kisah, antara tahun 1704 – 1719 Masehi di Surakarta bertahtalah seorang Raja bemama SRI SUSUHUN AM PAKU BUWONO I. Raja ini mempunyai saudara tua yang lahir dari istri ampeyan (bukan Permaisuri) bernama PANGERAN PRABU.

Pada saat penobatan SRI SUSUHUNAN PAKU BUWONO I sebagai Raja, hati PANGERAN PRABU sangat kecewa karena sebagai saudara tua PANGERAN PRABU tidak dinobatkan sebagai Raja di Surakarta sehingga timbullah keinginannya untuk membunuh SRI SUSUHUNAN PAKU BUWOONO I

Namun akhirnya keinginun PANGERAN PRABU tersebut tercium oleh SRI SUSUHUNAN PAKU BUWONO I dan sebagai hukumannya PANGERAN PRABU diperintahkan untuk membuka hutan di daerah Lodoyo yang pada saat itu merupakan hutan yang sangat lebat yang dihuni oleh binatang – binatang buas serta hutan tersebut dianggap sebagai tempat yang sangat angker dimana banyak rokh – rokh jahat berkeliaran disana.

Hukuman yang diberikan oleh Raja SRI SUSUHUNAN PAKU BUWONO I kepada PANGERAN PRABU itu sebenarnya ialah agar PANGERAN PRABU menemui ajalnya di tempat hukuman karena dimakan oleh binatang – binatang buas atau sebab – sebab lain yang bisa terjadi di hutan yang masih liar tersebut PANGERAN PRABU mengakui akan kesalahannya serta bersedia melaksanakan hukuman yang diberikan oleh Raja yaitu membuka hutan di daerah Lodoyo.

Keberangkatannya diikuti oleh istrinya yaitu Putri WANDANSARI serta abdi kesayangannya bemama KI AMAT TARIMAN dengan membawa Pusaka berupa bende yang disebut Kyai Becak. Pusaka tersebut akan digunakan untuk tumbal hutan Lodoyo yang dianggap angker serta banyak dihuni oleh roh – roh jahat.

Menurut beberapa cerita bahwa bende Kyai Becak pernah digunakan oleh Demang Bocor untuk memadam- kan pemberontakan KI AGENG MANGIR seorang sakti yang tidak setia kepada Raja.

PANGERAN PRABU beserta pengikutnya berangkat dari Surakarta menuju kearah timur. Selang beberapa bulan mereka sampai di daerah Lodoyo.

Pertama – tama mereka datang di rumah seorang janda bemama NYI PARTASUTA di hutan Ngekul.

PANGERAN PRABU yang masih merasakan penderitaan dan kesedihan itu tidak lama tinggal di rumah janda NYI PARTASUTA dan ingin bertapa di hutan Pakel ( Wilayah Lodoyo bagian barat) dan untuk itu Pusaka Kyai Becak dititipkan kepada NYI PARTASUTA dengan pesan agar:

Setiap tanggal 1 Syawal (bertepatan dengan Hari Raya Idul Fitri ) dan setiap tanggal 12 Rabiulawal ( ber­tepatan dengan Hari Kelahiran Nabi Muhammad SAW) Pusaka tersebut harus dimandikan dengan air bunga setaman.
Air bekas memandikan Pusaka ter­sebut dapat digunakan menyembuhkan penyakit serta dapat menentram kan hati bagi siapa yang mau meminumnya.

Pada suatu waktu KI AMAT TARIMAN sangat kebingungan karena terpisah dengan PANGERAN PRABU, sehingga akhirnya KI AMAT TARIMAN ingin mencoba membunyikan Gong Kyai Becak sebanyak tujuh kali dengan maksud agar apabila PANGERAN PRABU Mendengar bunyi bende / Gong tersebut tentu akan mencari kearah sumber suara itu.

Tetapi yang datang ternyata bukan PANGERAN PRABU seperti yang diharapkan namun beberapa ekor harimau besar. Anehnya harimau – harimau itu tidak mengganggu kepada KI AMAT TARIMAN bahkan memberikan petunjuk dimana PANGERAN PRABU berada sehingga Kyai Becak juga disebut Kyai Macan atau Kyai Pradah.

Di pesanggrahan hutan Pakel hati PANGERAN PRABU tetap tidak dapat tenang sehingga PANGERAN PRABU akan meninggalkan tempat itu namun pakaiannya tetap ditinggalkan di Padepokan hutan Pakel dan sampai sekarang tempat itu masih dikeramatkan oleh penduduk setempat dan sekitarnya.

Dari Pesanggrahan Pakel PANGERAN PRABU menuju kearah barat namun tidak lama berselang mereka bertemu dengan para prajurit – prajurit utusan dari Kerajaan Surakarta yang akhimya timbul perselisihan dan terjadilah peperangan yang di menangkan oleh PANGERAN PRABU. Setelah keadaan dianggap aman PANGERAN PRABU masih menunggu di bukit Gelung kemungkinan masih ada perajurit Surakarta yang datang kembali.

Setelah dirasa sudah betul – betul aman PANGERAN PRABU melanjutkan perjalanannya menuju kearah barat yaitu kehutan Keluk yang sekarang di sebut Desa Ngrejo. Di tempat ini PANGERAN PRABU memangkas rambutnya  dan ditanam bersama – sama dengan mahkota kebangsawanannya. Tem­pat penanaman itu sampai sekarang masih dikeramatkan oleh penduduk setempat dan sekitarnya.

PANGERAN PRABU melanjutkan perjalannya menuju hutan Dawuhan. Di tempat itu PANGERAN PRABU membuka ladang pertanian dengan menanami padi Gaga. Namun karena tanahnya pusa sehingga tanaman padi Gaga tersebut tidak dapat dipanen dan akhirnya tempat itu diberi nama Gagawurung.

Dari Gagawurung PANGERAN PRABU melanjutkan perjalanan menuju kearah timur dan sampailah mereka di hutan Darungan. Di tempat ini istrinya melahirkan seorang putra namun putra tersebut tidak berumur panjang karena meninggal dunia dan dimakamkan di gunung Pandan disebelah utara gunung bebek.

Perjalanan PANGERAN PRABU dilanjutkan lagi menuju kearah timur melewati Jegu dan sampailah di hutan Kedungwungu. Beberapa bulan di tem­pat ini NY I WANDANSARI akhimya mengalami hamil tua. Oleh PANGERAN PRABU, NYI WAN­DANSARI diajak naik ke gunung di Kaulon dan disinilah NYI WANDAN­SARI melahirkan putra kembar namun putra kembar tersebut juga tidak ber umur panjang dan meninggal dunia.

Semua itu karena tidak adanya piranti atau alat yang dapat digunakan untuk membantu dalam melahirkan anaknya. Sampai sekarang gunung tersebut di kenal dengan nama gunung Peranti.Sampai disini putuslah kisah PANGERAN PRABU dan tidak diketahui bagaimana kelanjutannya.

Kembali kepada janda NYI PAR­TASUTA dimana sepeninggal PANGERAN PRABU selalu melak- sanakan segala yang pernah dipesankan oleh PANGERAN PRABU kepadanya tentang Pusaka Kyai Becak. Setelah NYI PARTASUTA meninggal dunia, Pusaka Kyai Becak diserahkan kepada KI REDIBOYO di Ngekul.

Dari KI REDIBOYO, pusaka Kyai Becak diturunkan kepada KI DALANG REDIGUNO di Kepek. Dari KI DALANG REDIGUNO Pusaka Kyai Becak diturunkan kepada KYAI IMAM SAMPURNA.

Pada suatu ketika, karena KYAI IMAM SAMPURNA dipanggil ke istana Surakarta, maka Pusaka Kyai Becak atau Kyai Pradah diserahkan kepada adiknya bemama KYAI IMAM SECO yang berdiam di Sukoanyar (sekarang disebut Desa Sukorejo), yang pada waktu itu menjabat sebagai wakil Pengulu di Blitar.

Pada tahun 1793 KYAI IMAM SECO meninggal dunia dan Kyai Pradah dirawat dan dipelihara oleh RadenRONGGOKERTAREJO dan ditempatkan di Desa Kalipang Lodoyo sampai sekarang. (pada waktu itu Sukoanyar masih berawa – rawa).

Bentuk Kyai Pradah berupa Gong (kempul) laras lima yang dahulu dibalut/ ditutup dengan sutera Pelangi / Cinde dan disamping itu masih ada juga beberapa wayang krucil, kecer dan beberapa benda lainnya.

Sampai sekarang pesan PANGE RAN PRABU untuk memelihara Pusaka Kyai Pradah tetap dilaksanakan dengan baik serta menjadi suatu Upacara Adat / Tradisional Siraman Pusaka Kyai Pradah setiap tanggal 1 Syawal dan setiap tgl. 12 Rabiulawal dan Upacara yang terakhir ini biasanya dikunjungi oleh puluhan ribu manusia baik dari dalam maupun luar daerah. Demikian sejarah ringkas Pusaka Kyai Pradah di Lodoyo yang dikutip dari ceritera Babat Pusaka Kyai Pradah di Lodoyo menurut Serat Babat Tanah Jawi. 

 

Sejarah Jombang


Tahun 929, Raja Mpu Sindokmemindahkan pusat Kerajaan Mataramdari Jawa Tengah ke Jawa Timur, diduga karena letusan Gunung Merapi atau serangan Kerajaan Sriwijaya. Beberapa literatur menyebutkan pusat kerajaan yang baru ini terletak di Watugaluh. Suksesor Mpu Sindok adalah Sri Isyana Tunggawijaya (947-985) dan Dharmawangsa (985-1006). Tahun 1006, sekutu Sriwijaya menghancurkan ibukota kerajaan Mataram dan menewaskan Raja Dharmawangsa. Airlangga, putera mahkota yang ketika itu masih muda, berhasil meloloskan diri dari serbuan Sriwijaya, dan ia menghimpun kekuatan untuk mendirikan kembali kerajaan yang telah runtuh. 

Bukti petilasan sejarah Airlangga sewaktu menghimpun kekuatan kini dapat dijumpai di Sendang Made, Kecamatan Kudu. Tahun 1019, Airlangga mendirikan Kerajaan Kahuripan, yang kelak wilayahnya meliputi Jawa Timur, Jawa Tengah, Bali; serta mengadakan perdamaian dengan Sriwijaya.

Pada masa Kerajaan Majapahit, wilayah yang kini Kabupaten Jombang merupakan gerbang Majapahit. Gapura barat adalah Desa Tunggorono, Kecamatan Jombang, sedang gapura selatan adalah DesaNgrimbi, Kecamatan Bareng. Hingga ini banyak dijumpai nama-nama desa/kecamatan yang diawali dengan prefiks mojo-, di antaranya Mojoagung,Mojowarno, Mojojejer, Mojotengah,Mojotrisno, Mojongapit, dan sebagainya. Salah satu peninggalan Majapahit di Jombang adalah Candi Arimbi di Kecamatan Bareng.

Menyusul runtuhnya Majapahit, agamaIslam mulai berkembang di kawasan, yang penyebarannya dari pesisir pantai utara Jawa Timur. Jombang kemudian menjadi bagian dari Kerajaan Mataram Islam. Seiring dengan melemahnya pengaruh Mataram, Kolonialisasi Belandamenjadikan Jombang sebagai bagian dari wilayah VOC pada akhir abad ke-17, yang kemudian sebagai bagian dari Hindia Belanda pada awal abad ke 18, dan juga seperti di daerah lain juga pernah diduduki oleh Bala Tentara Dai Nippon (Jepang) pada tahun 1942 sampai Indonesia merdeka di tahun 1945.

Jombang juga menjadi bagian dari wilayah gerakan revolusi kemerdekaan Indonesia. Etnis Tionghoa juga berkembang dengan adanya tiga kelenteng di wilayah Jombang dan sampai sekarang masih berfungsi. Etnis Arab juga cukup signifikan berkembang. Hingga kini pun masih ditemukan sejumlah kawasan yang mayoritasnya adalah etnis Tionghoa dan Arab, terutama di kawasan perkotaan.

Tahun 1811, didirikan Kabupaten Mojokerto, di mana meliputi pula wilayah yang kini adalah Kabupaten Jombang. Jombang merupakan salah satu residen di dalam Kabupaten Mojokerto. BahkanTrowulan (di mana merupakan pusat Kerajaan Majapahit), adalah masuk dalamkawedanan (onderdistrict afdeeling) Jombang.

Alfred Russel Wallace (1823-1913), naturalis asal Inggris yang memformulasikan Teori Evolusi dan terkenal akan Garis Wallace, pernah mengunjungi dan bermalam di Jombang ketika mengeksplorasi keanekaragaman hayati Indonesia.

Tahun 1910, Jombang memperoleh status Kabupaten, yang memisahkan diri dari Kabupaten Mojokerto, dengan Raden Adipati Arya Soeroadiningrat sebagai Bupati Jombang pertama. Masa pergerakan nasional, wilayah Kabupaten Jombang memiliki peran penting dalam menentang kolonialisme. Beberapa putera Jombang merupakan tokoh perintis kemerdekaan Indonesia, seperti KH Hasyim Asy'ari (salah satu pendiri NU dan pernah menjabat ketua Masyumi) dan KH Wachid Hasyim (salah satu anggotaBPUPKI termuda, serta Menteri Agama RI pertama).

Undang-undang Nomor 12 Tahun 1950tentang Pembentukan Daerah Kabupaten dalam Lingkungan Provinsi Jawa Timur mengukuhkan Jombang sebagai salah satu kabupaten di Provinsi Jawa Timur.

Asal usul terjadinya Kabupaten Jombang tidak terlepas dari legenda pertarungan Kebo Kicak dan Surontanu. Wilayah pertarungan dua manusia sakti tersebut dipercaya sebagai daerah yang sekarang kita kenal sebagai Kabupaten Jombang.

SEJARAH KEBO KICAK
Siapakah Kebo Kicak? Mengapa namanya menjadi demikian aneh?

Terdapat banyak versi legenda yang beredar di masyarakat yang menceritakan kisah Kebo Kicak. Salah satu legenda yang beredar di kalangan cerita dari mulut ke mulut menyatakan bahwa karena sifatnya yang durhaka kepada orang tua, maka Kebo Kicak dikutuk oleh orang tuanya sehingga memiliki kepala kebo (kerbau). Dengan demikian muncul sebutan Kebo Kicak.

Setelah dikutuk memiliki kepala kerbau dengan tetap berbadan manusia, Kebo Kicak berguru kepada seorang kyai yang sakti mandraguna. Setelah bertahun-tahun belajar pada kyai tersebut, akhirnya Kebo Kicak pun menjadi orang yang sholeh dan sadar akan kesalahannya di masa lalu. Kebo Kicak memiliki kemampuan yang luar biasa, baik dari segi agama maupun kesaktian.

SEJARAH SURONTANU
Siapa pula Surontanu? Apakah hubungannya dengan Kebo Kicak?

Pada masa itu, di sebuah kadipaten Kerajaan Majapahit yang kelak disebut Kabupaten Jombang, terdapat seorang perampok yang sakti bernama Surontanu. Surontanu adalah penjahat nomor satu dan paling ditakuti oleh masyarakat yang tinggal di sekitar Jombang. Tidak ada satu pun orang yang mampu menangkap Surontanu.

Alkisah, Kebo Kicak mendengar terjadinya huru-hara di masyarakat kemudian diperintahkan oleh gurunya untuk membasmi angkara murka. Kebo Kicak turun gunung untuk menghentikan kejahatan Kebo Kicak. Setelah petualangan beberapa hari, Kebo Kicak berhasil menemukan Surontanu dan keduanya beradu ilmu kesaktian.

Pertarungan tersebut berlangsung lama sekali sehingga Surontanu terdesak dan akhirnya melarikan diri. Dan sampailah pelarian Surontanu ke sebuah rawa yang terdapat banyak sekali tanaman tebu. Akhirnya Surontanu dengan kesaktiannya berhasil masuk ke dalam rawa tebu. Kebo Kicak pun menyusul dan masuk ke dalam rawa yang terletak di wilayah Jombang sekarang.

Baik Surontanu maupun Kebo Kicak yang masuk ke dalam rawa tebu tidak pernah kembali lagi hingga sekarang. Entah apa yang terjadi dengan mereka berdua, hingga sekarang jasad maupun makam mereka berdua tidak pernah ditemukan oleh masyarakat.

VERSI LAIN ASAL USUL TERJADINYA KABUPATEN JOMBANG

Dari beberapa cerita tentang Kebo Kicak memang masih banyak versi lain yang mengungkapkannya. Salah satu versi mengisahkan bahwa Kebo Kicak adalah sosok ksatria dan berani mengobrak-abrik Kerajaan Majapahit untuk mencari ayah kandungnya yang bernama Patih Pangulang Jagad.

Setelah Kebo Kicak bertemu Patih Pangulang Jagad, sang ayah mengajukan syarat agar Kebo Kicak menunjukkan bukti bahwa dia benar-benar anaknya. Pembuktian dilakukan dengan mengangkat batu hitam di sungai Brantas sehingga Kebo Kicak harus berkelahi dengan Bajul Ijo. Sesudah berhasil membuktikan bahwa dirinya anak kandung Patih Pangulang Jagad, maka Kebo Kicak diberi wewenang menjadi penguasa wilayah Barat.

Namun sepak terjang Kebo Kicak tidak sampai disitu. Ambisi kekuasaannya yang tinggi membuat dia rela bertarung dengan saudara seperguruannya, Surantanu. Kebo Kicak berkelahi dengan Surantanu karena memperebutkan pusaka banteng yang sudah diakui sebagai milik Surantanu.

Lokasi pertarungan Kebo Kicak dan Surantanu berpindah-pindah. Sebagian besar wilayah pertarungan mereka kemudian diabadikan menjadi nama daerah. Konon ceritanya, pertempuran dua saudara tersebut berlangsung dengan dahsyat. Keduanya saling beradu kesaktian hingga memunculkan cahaya ijo (hijau) dan abang (merah). Dari penggabungan kata ijo dan abang inilah muncul sebutan wilayah Jombang.

Dari dua versi asal usul terjadinya Kabupaten Jombang di atas, masyarakat lebih banyak yang percaya kepada versi kedua, yaitu pertarungan Kebo Kicak dan Surantanu yang menghasilkan cahaya ijo dan abang. Akronim kata ijo dan abang melahirkan sebutan jombang. Demikian cerita asal usul kabupaten Jombang. Semoga bisa memperkaya wawasan Anda dalam mempelajari kebudayaan Indonesia.

Situs Gua Made atau disebut juga Situs Kedung Watu terletak di Dukuh Kedung Watu, Desa Made, Kecamatan Ngusikan. Dulunya Desa Made termasuk dalam wilayah Kecamatan Kudu, namun semenjak ada pengembangan kecamatan di Kabupaten Jombang pada tahun 2008, Desa Made kini masuk dalam wilayah Kecamatan Ngusikan. Situs Kedung Watu berada di kawasan Petak 16 D, BKPH Tapen, Bagian Hutan Mantup, KPH Mojokerto, Perum Perhutani Unit II Jawa Timur. Lokasinya terletak pada 07°24’07,3” LS dan 112°19’05,7” BT.

Penemuan Situs Gua Made berawal dari kegiatan penambangan emas liar yang dilakukan oleh penduduk pada tahun 1982. Mereka tidak sengaja menemukan ruangan bawah tanah yang kemudian disebut dengan gua bawah tanah. Pada tahun 1992/1993, lokasi ini ditinjau oleh Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala Jawa Timur (menjadi BP3 dan kini menjadi BPCB). Pada tahun 2001, peneliti asal Italia melakukan pendataan (dokumentasi foto) yang didampingi oleh petugas dari Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala Jawa Timur. Kegiatan ini mencatat adanya temuan struktur bata di 3 lubang dan beberapa temuan lepas seperti fragmen gerabah, keramik asing, kerang, dan kerak perunggu. Tim Puslitarkenas dan BP3 Jatim pada tahun 2006 melakukan survei permukaan dan menemukan fragmen gerabah, keramik, celupak, gandik, bandul jala, dan fosil kerang.

Berdasarkan Mitos yang berkembang, Situs Gua Made dipercaya sebagai tempat persembunyian Maling Cluring. Maling Cluring adalah pencuri yang mencuri harta orang kaya untuk dibagikan kepada orang-orang miskin.

Prasasti Tengaran disebut juga Prasasti Geweg secara administratif terletak di Desa Tengaran, Kecamatan Peterongan, Jombang. Letak prasasti ini masih insitu (berada pada posisinya semula). Saat ini wilayah di sekitar prasasti ini berada merupakan areal persawahan. Rute untuk menuju Prasati Tengaran sebagai berikut: Jombang – Jl. Gus Dur – Jl. Soekarno Hatta – belok ke arah Terminal Jombang – perempatan terminal lurus ke utara mentok belok kiri – pertigaan belok kanan lurus ikuti jalan – Desa Tengaran.

Prasasti Tengaran terbuat dari batu andesit dengan tinggi 124 cm dan lebar 78 cm. Ditulis dengan aksara Jawa kuno dalam bahasa Jawa kuno. Tersusun menjadi 7 baris pada sisi A dan 16 baris pada sisi B.

Prasasti Tengaran disebut juga Prasasti Geweg karena prasasti ini memuat tentang penetapan Desa Geweg sebagai sima. Desa Geweg merupakan desa kuno, sekarang masuk dalam wilayah Desa Tengaran. Penetapan sima dilakukan pada tanggal 6 Paropeteng bulan Srawana tahun 857 Saka (14 Agustus 935M) oleh Mahamantri pu Sindok san srisanotunggadewa bersamarakyan sri parameswari sri wardhani Kbi umisori. Pu Sindok merupakan raja Medang (Mataram Kuno) periode Jawa Timur, sedangakan Kbi diduga merupakan permaisurinya.

 

Sejarah Situbondo


Asal Usul Nama Kabupaten Situbondo

Berdasarkan Legenda Pangeran Situbondo, nama Kabupaten Situbondo berasal dan narna Pangeran Situborido atau Pangeran Aryo Gajah Situbondo, dimana sepengetahuan masyarakat Situbondo bahwa Pangeran Situbondo tidak pernah menampakkan diri, hal tersebut dikarenakan keberadaannya di Kabupaten Situbondo kemungkinan sudah dalam keadaan meninggal-dunia akibat kekalahan pertarungannya dengan Joko Jumput, sehingga hanya ditandai dengan ditemukannya sebuah 'odheng' (ikat kepala) Pangeran Situbondo yang ditemukan di wilayah Kelurahan Patokan dan sekarang dijadikan Ibukota Kabupaten Situbondo.Sedangkan menurut pemeo yang berkembang di masyarakat, arti kata SITUBONDO berasal dan kata : SITI = tanah dan BONDO ikat, hal tersebut dikaitkan dengan suatu keyakinan bahwa orang pendatang akan diikat untuk menetap di tanah Situbondo, Kenyataan mendekati kebenaran karna banyak orang pendatang yang akhirnya menetap di Kabupaten Situbondo.

LEGENDA PANGERAN SITUBONDO

Pengeran Situbondo atau Pengeran Aryo Gajah Situbondo besaral dan Madura, pada suatu ketika dia ingin meminang Putri Adipati Suroboyo yang terkenal cantik, maka datanglah Pangeran Situbondo ke Surabaya untuk melamar Putri Adipati Suroboyo, namun sayang keinginan Pangeran Situbondo sebenarnya ditolak oleh Adipati Suroboyo, akan tetapi penolakannya tidak secara terus-terang hanya diberi persyaratan untuk membabat hutan di sebelah Timur Surabaya, padahal persyaratan tersebut hanyalah suatu alasan yang maksudnya untuk mengulur-ulur waktu saja, sambil merencanakan siasat bagaimana caranya dapat menyingkirkan Pangeran Situbondo;

Kesempatan Adipati Suroboyo menjalankan rencananya terbuka ketikakeponakannya yang bernama Joko Taruno dan Kediri, karena rupanya Joko Taruno juga bermaksud menyunting putrinya, dan Adipati Suroboyo tidak keberatan namun dengan syarat Joko Taruno harus mengalahkan Pangeran Situbondo terlebih dahulu. Terdorong keinginannya untuk menyunting sang putri, maka berangkatlah Joko Taruno ke hutan untuk menantang Pangeran Situbondo, namun sayang Joko Taruno kalah dalam pertarungan tetapi kekalahannya tidak sampai terbunuh, sehingga Joko Taruno masih sempat mengadakan sayembara bahwa "barang siapa bisa mengalahkan Pangeran Situbondo akan mendapatkan hadiah separuh kekayaannya".

Mendengar sayembara tersebut datanglah Joko Jumput putra Mbok Rondo Prabankenco untuk mencoba, maka ditantanglah Pangeran Situbondo oleh Joko Jumput, dan ternyata dalam pertarungan tersebut dimenangkan Joko Jumput, sedangkan Pangeran Situbondo tertendang jauh ke arah Timur hingga sampai di daerah Kabupaten Situbondo ditandai dengan ditemukannya sebuah 'odheng' (ikat kepala) Pangeran Situbondo, yang tepatnya ditemukan di wilayah Kelurahan Patokan yang sekanang menjadi Ibukota Kabupaten Situbondo.
Selanjutnya kembali ke Surabaya dimana di hadapan Adipati Suroboyo kemenangan Joko Jumput atas Pangeran Situbondo diakui oleh Joko Taruno sebagai kemenangannya, namun Adipati Suroboyo tidak begitu saja mempercayainya, maka untuk membuktikannya' disuruhlah keduanya bertarung untuk menentukan siapa yang menjadi pemenang sesungguhnya. Akhirnya pada saat pertarungan terjadi Joko Taruno tertimpa kutukan menjadi patung "Joko Dolog" akibat kebohongannya.

Sejarah Kota Situbondo

Sejarah Kabupaten Situbondo tidak terlepas dari sejarah Karesidenan Besuki, sehingga kita perlu mengkaji terlebih dahulu sejarah Karesidenan Besuki. Yang membabat Karesidenan Besuki pertama kali adalah Ki Pateh Abs (± th 1700) selanjutnya dipasrahkan kepada Tumenggung Joyo Lelono. Karena pada saat itu juga Belanda sudah menguasai Pulau Jawa (± th 1743) terutama di dáerah pesisir termasuk pula Karesidenan Besuki dan dengan segala tipu-dayanya, maka pada akhirnya Tumenggung Joyo Lebono tidak berdaya hingga Karesidenan Besuki dikuasai sepenuhnya oleh Belanda.

Pada masanya (± th 1798) Pemerintahan Belanda pernah kekurangan keuangan untuk membiayai Pemerintahannya, sehingga Pulau Jawa pernah dikontrakkan kepada orang China, kemudian datanglah Raffles (± th 1811 - 1816) dan Inggris yang mengganti kekuasaan Belanda dan menebus Pulau Jawa, namun kekuasaan Inggris hanya bertahan beberapa tahun saja, selanjutnya Pulau Jawa di kuasai kembali oleh Belanda, dan diangkatlah Raden Noto Kusumo putra dan Pangeran Sumenep Madura yang bergelar Raden Tumenggung Prawirodiningrat I (± th 1820) sebagai Residen Pertama Karesidenan Besuki.

Dalam masa Pemerintahan Kacten II banyak membantu I-'emenntaii Belanda dalam membangun Kabupaten Situbondo, antara-lain Pembangunan Dam Air Pintu Lima di Desa Kotakan Situbondo.
setelah Raden Prawirodiningrat I meninggal-dunia sebagai penggantinya adalah kaden Prawirodiningrat II (± th 1830). Dalam masa Pemerintahan Raden Prawirodiningrat II banyak menghasilkan karya yang cukup menonjol antara-lain berdirinya Pabrik Gula di Kabupaten Situbondo, dimulai dan PG. Demas, PG. Wringinanom, PG. Panji, dan PG. Olean, maka atas jasanya tersebut Pemerintah Belanda memberikan hadiah berupa "Kalung Emas Bandul Singa".
Perlu diketahui pula pada masa Pemerintahan Raden Prawirodiningrat II wilayahnya hingga Kabupaten Probolinggo, terbukti salah seorang putranya yang bernama Raden Suringrono menjadi Bupati Probolinggo.

Setelah Raden Prawirodiningrat II meninggal-dunia sebagai penggantinya adalah Raden Prawirodiningrat III (± th 1840). Tetapi dalam masa Pemerintahan Raden Prawirodiningrat III perkembangan Karesidenan Besuki kalah maju dibanding Kabupaten Situbondo, mungkin karena di Kabupaten Situbondo mempunyai beberapa pelabuhan yang cukup menunjang perkembangannya, yaitu antara-lain : Pelabuhan Panarukan, Kalbut dan Jangkar, sehingga pada akhimya pusat pemerintahan berpindah ke Kabupaten Situbondo dengan Raden Tumenggung Aryo Soeryo Dipoetro diangkat sebagai Bupati Pertama Kabupaten Situbondo, dan wilayah Karesidenan Besuki dibagi menjadi 2 yaitu: Besuki termasuk Suboh ke arah Barat hingga Banyuglugur ikut wilayah Kábupaten Bondowoso dan Mlandingan ke arah Timur hingga Tapen ikut wilayah Kabupaten Situbondo, hal ini terbukti dan logat bicara orang Besuki yang mirip dengan logat Bondowoso dan logat bicara orang Prajekan mirip dengan logat Situbondo.

PERUBAHAN NAMA KABUPATEN

Pada mulanya nama Kabupaten Situbondo adalah "Kabupaten Panarukan" dengan Ibukota Situbondo, sehingga dahulu pada masa Pemerintahan Belanda oleh Gubernur Jendral Daendels (± th 1808 - 1811) yang membangun jalan dengan kerja paksa sepanjang pantai utara Pulau Jawa dikenal dengan sehutan "Jalan Anyer - Panarukan" atau lebih dikenal lagi "Jalan Daendels", kemudian seiring waktu berjalan barulah pada masa Pemerintahan Bupati Achmad Tahir (± th 1972) diubah menjadi Kabupaten Situbondo dengan Ibukota Situbondo, berdasankan Peratunan Pemerintah RI Nomor. 28 / 1972 tentang Perubahan Nama dan Pemindahan Tempat Kedudukan Pemerintah Daerah.

Perlu diketahui pula bahwa Kediaman Bupati Situbondo pada masa lalu belumlah berada di lingkungan Pendopo Kabupaten namun masih menempati rumah pribadinya, baru pada masa Pemerintahan Bupati Raden Aryo Poestoko Pranowo (± th 1900 - 1924), dia memperbaiki Pendopo Kabupaten sekaligus membangun Kediaman Bupati dan Paviliun Ajudan Bupati hingga sekarang ini, kemudian pada masa Pemerintahan Bupati Drs. H. Moh. Diaaman, Pemerintah Kabupaten Situbondo memperbaiki kembali Pendopo Kabupaten (± th 2002).

 

Raden Ronggo Bondowoso


R. BAGUS ASSRAH PENDIRI BONDOWOSO

Berawal dari seorang anak yang bernama Raden Bagus Assra, ia adalah anak Demang Walikromo pada masa pemerintahan Panembahan di bawah Adikoro IV, menantu Tjakraningkat Bangkalan, sedangkan Demang Walikoromo tak lain adalah putra Adikoro IV. 

Tahun 1743 terjadilah pemberontakan Ke Lesap terhadap Pangeran Tjakraningrat karena dia diakui sebagai anak selir. pertempuran yang terjadi di desa Bulangan itu menewaskan Adikoro IV, Tahun 1750 pemberontakan dapat dipadamkan dengan tewasnya Ke Lesap. 

Terjadi pemulihan kekuasaan dengan diangkatnya anak Adikoro IV, yaitu RTA Tjokroningrat. Tak berapa lama terjadi perebutan kekuasaan dan pemerintahan dialihkan pada Tjokroningrat I anak Adikoro III yang bergelar Tumenggung Sepuh dengan R. Bilat sebagi patihnya.

Khawatir dengan keselamatan Raden Bagus Assra, Nyi Sedabulangan membawa lari cucunya mengikuti eksodus besar-besaran eks pengikut Adikoro IV ke Besuki. Assra kecil ditemukan oleh Ki Patih Alus, Patih Wiropuro untuk kemudian di tampung serta dididik ilmu bela diri dan ilmu agama.

Semasa Pemerintahan Bupati Ronggo Kiai Suroadikusumo di Besuki mengalami kemajuan dengan berfungsinya Pelabuhan Besuki yang mampu menarik minat kaum pedagang luar. Dengan semakin padatnya penduduk perlu dilakukan pengembangan wilayah dengan membuka hutan yaitu ke arah tenggara. 

Kiai Patih Alus mengusulkan agar Mas Astrotruno, putra angkat Bupati Ronggo Suroadikusumo, menjadi orang yang menerima tugas untuk membuka hutan tersebut. usul itu diterima oleh Kiai Ronggo-Besuki, dan Mas Astrotruno juga sanggup memikul tugas tersebut. 

Kemudian Kiai Ronggo Suroadikusumo terlebih dahulu menikahkan Mas Astotruno dengan Roro Sadiyah yaitu putri Bupati Probolinggo Joyolelono. Mertua Mas Astrotruno menghadiahkan kerbau putih "Melati" yang dongkol (tanduknya melengkung ke bawah) untuk dijadikan teman perjalanan dan penuntun mencari daerah-daerah yang subur.

Pengembangan wilayah ini dimulai pada 1789, selain untuk tujuan politis juga sebagai upaya menyebarkan agama Islam mengingat di sekitas wilayah yang dituju penduduknya masih menyembah berhala. Mas Astrotruno dibantu oleh Puspo Driyo, Jatirto, Wirotruno, dan Jati Truno berangkat melaksanakan tugasnya menuju arah selatan, menerobos wilayah pegunungan sekitar Arak-arak "Jalan Nyi Melas". Rombongan menerobos ke timur sampai ke Dusun Wringin melewati gerbang yang disebut "Lawang Sekateng". Nama-nama desa yang dilalui rombongan Mas Astrotruno, yaiitu Wringin, Kupang, Poler dan Madiro, lalu menuju selatan yaitu desa Kademangan dengan membangun pondol peristirahatan di sebelah barat daya Kademangan (diperkirakan di Desa Nangkaan sekarang).

Desa-desa yang lainnya adalah disebelah utara adalah Glingseran, tamben dan Ledok Bidara. disebelah Barat terdapat Selokambang, Selolembu. sebelah timur adalah Tenggarang, Pekalangan, Wonosari, Jurangjero, Tapen, Praje,kan dan Wonoboyo. Sebelah selatan terdapat Sentong, Bunder, Biting, Patrang, Baratan, Jember, Rambi, Puger, Sabrang, Menampu, Kencong, Keting. Jumlah Penduduk pada waktu itu adalah lima ratus orang, sedangkan setiap desa dihuni, dua, tiga, empat orang. kemudian dibangunlah kediaman penguasa di sebelah selatan sungai Blindungan, di sebelah barat Sungai Kijing dan disebelah utara Sungai Growongan (Nangkaan) yang dikenal sebagai "Kabupaten Lama" Blindungan, terletak ±400 meter disebelah utara alun-alun.

Pekerjaan membuka jalan berlangsung dari tahun 1789-1794. Untuk memantapkan wilayah kekuasaan, Mas Astrotruno pada tahun 1808 diangkat menjadi demang denga gelar Abhiseka Mas Ngabehi Astrotruno, dan sebutannya adalah "Demang Blindungan". Pembangunan kotapun dirancang, rumah kediaman penguasa menghadap selatan di utara alun-alun. Dimana alun-alun tersebut semula adalah lapangan untuk memelihara kerbau putih kesayangan Mas Astrotruno, karena disitu tumbuh rerumputan makanan ternak. Lama kelamaan lapangan itu mendapatkan fungsi baru sebagai alun-alun kota. 

Sedangkan di sebelah barat dibangun masjid yang menghadap ke timur. Mas Astrotruno mengadakan berbagai tontonan, antara lain aduan burung puyuh (gemak), Sabung ayam, kerapan sapi, dan aduan sapi guna menghibur para pkerja. tontonan aduan sapi diselenggarakan secara berkala dan mejdi tontonan di Jawa Timur sampai 1998. Tas jasa-jasanya kemudian Astrotruno diangkat sebagai Nayaka merangkap Jaksa Negeri.

Dari ikatan Keluarga Besar "Ki Ronggo Bondowoso" didapat keterangan bahwa pada tahun 1809 Raden bagus Asrrah atau mas Ngbehi Astrotruno dianggkat sebagi patih beriri sendiri (zelfstanding) dengan nama Abhiseka Mas Ngabehi kertonegoro. Beliau dipandang sebagai penemu (founder) sekaligus penguasa pemerintahan pertama (first ruler) di Bondowoso. Adapau tempat kediaman Ki Kertonegoro yang semula bernama Blindungan, dengan adanya pembangunan kota diubah namanya menjadi Bondowoso, sebagi ubahan perkataan wana wasa. Maknanya kemudiandikaitkan dengan perkataan bondo, yang berarti modal, bekal, dan woso yang berarti kekuasaan. makna seluruhnya demikian: terjadinya negeri (kota) adalah semata-mata karena modal kemauan kleras mengemban tugas (penguasa) yang diberikan kepada Astrotruno untuk membabat hutan dan membangun kota.

Meskipun Belanda telah becokol di Puger dan secara administrtatif yuridis formal memasukan Bondowoso kedalam wilayah kerkuasaannya, namun dalam kenyataannya pengangkatan personil praja masih wewenang Ronggo Besuki, maka tidak seorang pun yang berhak mengkliam lahirnya kota baru Bondowoso selain Mas Ngabehi Kertonegoro. Hal ini dikuatkan dengan pemberian izin kepada Beliau untuk terus bekerja membabat hutan sampai akhir hayat Sri Bupati di Besuki.

Pada tahun 1819 Bupati Adipati Besuki Raden Ario Prawiroadiningrat meningkatkan statusnya dari Kademangan menjadi wilayah lepas dari Besuki dengan status Keranggan Bondowoso dan mengangkat Mas Ngabehi Astrotruno menjadi penguasa wilayah dengan gelar Mas Ngabehi Kertonegoro, serta dengan perdikat Ronngo I. Hal ini berlangsung pada hari Selasa Kliwon, 25 Syawal 1234 H atau 17 agustus 1819. Peristiwa itu kemudian dijadikan eksistensi formal Bondowoso sebgai wilayah kekuasaan mandiri di bawah otoritas kekuasaan Kiai Ronggo Bondowoso. Kekuasaan Kiai Ronggo Bondowoso meliputi wilayah Bondowoso dan Jember, dan berlangsung antara 1829-1830.

Pada 1830 Kiai Ronggo I mengundurkan diri dan kekausaannya diserahkan kepada putra keduanya yang bernama Djoko Sridin yang pada waktu itu menjabat Patih di Probolinggo. Jabatan baru itu dipangku antar 1830-1858 dengan gelar M Ng Kertokusumo dengan predikat Ronggo II, berkedudukan di Blindungan sekarang atau jalan S Yododiharjo (jalan Ki Ronggo) yang dikenal masyarakat sebagi "Kabupaten lama".Setelah mengundurkan diri, Ronggo I menekuni bidang dakwah agama Islam dengan bermukim di Kebundalem Tanggulkuripan (Tanggul, Jember), Ronggo I wafat pada 19 Rabi'ulawal 1271 H atau 11 Desember 1854 dalam usia 110 tahun. 
Jenazahnya dikebumikan disebuah bukit (Asta Tinggi) di Desa Sekarputih. Masyarakat Bondowoso menyebutnya sebagai "Makam Ki Ronggo".

 

Doa Nabi Sulaiman Menundukkan Hewan dan Jin

  Nabiyullah Sulaiman  'alaihissalam  (AS) merupakan Nabi dan Rasul pilihan Allah Ta'ala yang dikaruniai kerajaan yang tidak dimilik...