Kamis, 19 November 2020

Sejarah Jombang


Tahun 929, Raja Mpu Sindokmemindahkan pusat Kerajaan Mataramdari Jawa Tengah ke Jawa Timur, diduga karena letusan Gunung Merapi atau serangan Kerajaan Sriwijaya. Beberapa literatur menyebutkan pusat kerajaan yang baru ini terletak di Watugaluh. Suksesor Mpu Sindok adalah Sri Isyana Tunggawijaya (947-985) dan Dharmawangsa (985-1006). Tahun 1006, sekutu Sriwijaya menghancurkan ibukota kerajaan Mataram dan menewaskan Raja Dharmawangsa. Airlangga, putera mahkota yang ketika itu masih muda, berhasil meloloskan diri dari serbuan Sriwijaya, dan ia menghimpun kekuatan untuk mendirikan kembali kerajaan yang telah runtuh. 

Bukti petilasan sejarah Airlangga sewaktu menghimpun kekuatan kini dapat dijumpai di Sendang Made, Kecamatan Kudu. Tahun 1019, Airlangga mendirikan Kerajaan Kahuripan, yang kelak wilayahnya meliputi Jawa Timur, Jawa Tengah, Bali; serta mengadakan perdamaian dengan Sriwijaya.

Pada masa Kerajaan Majapahit, wilayah yang kini Kabupaten Jombang merupakan gerbang Majapahit. Gapura barat adalah Desa Tunggorono, Kecamatan Jombang, sedang gapura selatan adalah DesaNgrimbi, Kecamatan Bareng. Hingga ini banyak dijumpai nama-nama desa/kecamatan yang diawali dengan prefiks mojo-, di antaranya Mojoagung,Mojowarno, Mojojejer, Mojotengah,Mojotrisno, Mojongapit, dan sebagainya. Salah satu peninggalan Majapahit di Jombang adalah Candi Arimbi di Kecamatan Bareng.

Menyusul runtuhnya Majapahit, agamaIslam mulai berkembang di kawasan, yang penyebarannya dari pesisir pantai utara Jawa Timur. Jombang kemudian menjadi bagian dari Kerajaan Mataram Islam. Seiring dengan melemahnya pengaruh Mataram, Kolonialisasi Belandamenjadikan Jombang sebagai bagian dari wilayah VOC pada akhir abad ke-17, yang kemudian sebagai bagian dari Hindia Belanda pada awal abad ke 18, dan juga seperti di daerah lain juga pernah diduduki oleh Bala Tentara Dai Nippon (Jepang) pada tahun 1942 sampai Indonesia merdeka di tahun 1945.

Jombang juga menjadi bagian dari wilayah gerakan revolusi kemerdekaan Indonesia. Etnis Tionghoa juga berkembang dengan adanya tiga kelenteng di wilayah Jombang dan sampai sekarang masih berfungsi. Etnis Arab juga cukup signifikan berkembang. Hingga kini pun masih ditemukan sejumlah kawasan yang mayoritasnya adalah etnis Tionghoa dan Arab, terutama di kawasan perkotaan.

Tahun 1811, didirikan Kabupaten Mojokerto, di mana meliputi pula wilayah yang kini adalah Kabupaten Jombang. Jombang merupakan salah satu residen di dalam Kabupaten Mojokerto. BahkanTrowulan (di mana merupakan pusat Kerajaan Majapahit), adalah masuk dalamkawedanan (onderdistrict afdeeling) Jombang.

Alfred Russel Wallace (1823-1913), naturalis asal Inggris yang memformulasikan Teori Evolusi dan terkenal akan Garis Wallace, pernah mengunjungi dan bermalam di Jombang ketika mengeksplorasi keanekaragaman hayati Indonesia.

Tahun 1910, Jombang memperoleh status Kabupaten, yang memisahkan diri dari Kabupaten Mojokerto, dengan Raden Adipati Arya Soeroadiningrat sebagai Bupati Jombang pertama. Masa pergerakan nasional, wilayah Kabupaten Jombang memiliki peran penting dalam menentang kolonialisme. Beberapa putera Jombang merupakan tokoh perintis kemerdekaan Indonesia, seperti KH Hasyim Asy'ari (salah satu pendiri NU dan pernah menjabat ketua Masyumi) dan KH Wachid Hasyim (salah satu anggotaBPUPKI termuda, serta Menteri Agama RI pertama).

Undang-undang Nomor 12 Tahun 1950tentang Pembentukan Daerah Kabupaten dalam Lingkungan Provinsi Jawa Timur mengukuhkan Jombang sebagai salah satu kabupaten di Provinsi Jawa Timur.

Asal usul terjadinya Kabupaten Jombang tidak terlepas dari legenda pertarungan Kebo Kicak dan Surontanu. Wilayah pertarungan dua manusia sakti tersebut dipercaya sebagai daerah yang sekarang kita kenal sebagai Kabupaten Jombang.

SEJARAH KEBO KICAK
Siapakah Kebo Kicak? Mengapa namanya menjadi demikian aneh?

Terdapat banyak versi legenda yang beredar di masyarakat yang menceritakan kisah Kebo Kicak. Salah satu legenda yang beredar di kalangan cerita dari mulut ke mulut menyatakan bahwa karena sifatnya yang durhaka kepada orang tua, maka Kebo Kicak dikutuk oleh orang tuanya sehingga memiliki kepala kebo (kerbau). Dengan demikian muncul sebutan Kebo Kicak.

Setelah dikutuk memiliki kepala kerbau dengan tetap berbadan manusia, Kebo Kicak berguru kepada seorang kyai yang sakti mandraguna. Setelah bertahun-tahun belajar pada kyai tersebut, akhirnya Kebo Kicak pun menjadi orang yang sholeh dan sadar akan kesalahannya di masa lalu. Kebo Kicak memiliki kemampuan yang luar biasa, baik dari segi agama maupun kesaktian.

SEJARAH SURONTANU
Siapa pula Surontanu? Apakah hubungannya dengan Kebo Kicak?

Pada masa itu, di sebuah kadipaten Kerajaan Majapahit yang kelak disebut Kabupaten Jombang, terdapat seorang perampok yang sakti bernama Surontanu. Surontanu adalah penjahat nomor satu dan paling ditakuti oleh masyarakat yang tinggal di sekitar Jombang. Tidak ada satu pun orang yang mampu menangkap Surontanu.

Alkisah, Kebo Kicak mendengar terjadinya huru-hara di masyarakat kemudian diperintahkan oleh gurunya untuk membasmi angkara murka. Kebo Kicak turun gunung untuk menghentikan kejahatan Kebo Kicak. Setelah petualangan beberapa hari, Kebo Kicak berhasil menemukan Surontanu dan keduanya beradu ilmu kesaktian.

Pertarungan tersebut berlangsung lama sekali sehingga Surontanu terdesak dan akhirnya melarikan diri. Dan sampailah pelarian Surontanu ke sebuah rawa yang terdapat banyak sekali tanaman tebu. Akhirnya Surontanu dengan kesaktiannya berhasil masuk ke dalam rawa tebu. Kebo Kicak pun menyusul dan masuk ke dalam rawa yang terletak di wilayah Jombang sekarang.

Baik Surontanu maupun Kebo Kicak yang masuk ke dalam rawa tebu tidak pernah kembali lagi hingga sekarang. Entah apa yang terjadi dengan mereka berdua, hingga sekarang jasad maupun makam mereka berdua tidak pernah ditemukan oleh masyarakat.

VERSI LAIN ASAL USUL TERJADINYA KABUPATEN JOMBANG

Dari beberapa cerita tentang Kebo Kicak memang masih banyak versi lain yang mengungkapkannya. Salah satu versi mengisahkan bahwa Kebo Kicak adalah sosok ksatria dan berani mengobrak-abrik Kerajaan Majapahit untuk mencari ayah kandungnya yang bernama Patih Pangulang Jagad.

Setelah Kebo Kicak bertemu Patih Pangulang Jagad, sang ayah mengajukan syarat agar Kebo Kicak menunjukkan bukti bahwa dia benar-benar anaknya. Pembuktian dilakukan dengan mengangkat batu hitam di sungai Brantas sehingga Kebo Kicak harus berkelahi dengan Bajul Ijo. Sesudah berhasil membuktikan bahwa dirinya anak kandung Patih Pangulang Jagad, maka Kebo Kicak diberi wewenang menjadi penguasa wilayah Barat.

Namun sepak terjang Kebo Kicak tidak sampai disitu. Ambisi kekuasaannya yang tinggi membuat dia rela bertarung dengan saudara seperguruannya, Surantanu. Kebo Kicak berkelahi dengan Surantanu karena memperebutkan pusaka banteng yang sudah diakui sebagai milik Surantanu.

Lokasi pertarungan Kebo Kicak dan Surantanu berpindah-pindah. Sebagian besar wilayah pertarungan mereka kemudian diabadikan menjadi nama daerah. Konon ceritanya, pertempuran dua saudara tersebut berlangsung dengan dahsyat. Keduanya saling beradu kesaktian hingga memunculkan cahaya ijo (hijau) dan abang (merah). Dari penggabungan kata ijo dan abang inilah muncul sebutan wilayah Jombang.

Dari dua versi asal usul terjadinya Kabupaten Jombang di atas, masyarakat lebih banyak yang percaya kepada versi kedua, yaitu pertarungan Kebo Kicak dan Surantanu yang menghasilkan cahaya ijo dan abang. Akronim kata ijo dan abang melahirkan sebutan jombang. Demikian cerita asal usul kabupaten Jombang. Semoga bisa memperkaya wawasan Anda dalam mempelajari kebudayaan Indonesia.

Situs Gua Made atau disebut juga Situs Kedung Watu terletak di Dukuh Kedung Watu, Desa Made, Kecamatan Ngusikan. Dulunya Desa Made termasuk dalam wilayah Kecamatan Kudu, namun semenjak ada pengembangan kecamatan di Kabupaten Jombang pada tahun 2008, Desa Made kini masuk dalam wilayah Kecamatan Ngusikan. Situs Kedung Watu berada di kawasan Petak 16 D, BKPH Tapen, Bagian Hutan Mantup, KPH Mojokerto, Perum Perhutani Unit II Jawa Timur. Lokasinya terletak pada 07°24’07,3” LS dan 112°19’05,7” BT.

Penemuan Situs Gua Made berawal dari kegiatan penambangan emas liar yang dilakukan oleh penduduk pada tahun 1982. Mereka tidak sengaja menemukan ruangan bawah tanah yang kemudian disebut dengan gua bawah tanah. Pada tahun 1992/1993, lokasi ini ditinjau oleh Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala Jawa Timur (menjadi BP3 dan kini menjadi BPCB). Pada tahun 2001, peneliti asal Italia melakukan pendataan (dokumentasi foto) yang didampingi oleh petugas dari Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala Jawa Timur. Kegiatan ini mencatat adanya temuan struktur bata di 3 lubang dan beberapa temuan lepas seperti fragmen gerabah, keramik asing, kerang, dan kerak perunggu. Tim Puslitarkenas dan BP3 Jatim pada tahun 2006 melakukan survei permukaan dan menemukan fragmen gerabah, keramik, celupak, gandik, bandul jala, dan fosil kerang.

Berdasarkan Mitos yang berkembang, Situs Gua Made dipercaya sebagai tempat persembunyian Maling Cluring. Maling Cluring adalah pencuri yang mencuri harta orang kaya untuk dibagikan kepada orang-orang miskin.

Prasasti Tengaran disebut juga Prasasti Geweg secara administratif terletak di Desa Tengaran, Kecamatan Peterongan, Jombang. Letak prasasti ini masih insitu (berada pada posisinya semula). Saat ini wilayah di sekitar prasasti ini berada merupakan areal persawahan. Rute untuk menuju Prasati Tengaran sebagai berikut: Jombang – Jl. Gus Dur – Jl. Soekarno Hatta – belok ke arah Terminal Jombang – perempatan terminal lurus ke utara mentok belok kiri – pertigaan belok kanan lurus ikuti jalan – Desa Tengaran.

Prasasti Tengaran terbuat dari batu andesit dengan tinggi 124 cm dan lebar 78 cm. Ditulis dengan aksara Jawa kuno dalam bahasa Jawa kuno. Tersusun menjadi 7 baris pada sisi A dan 16 baris pada sisi B.

Prasasti Tengaran disebut juga Prasasti Geweg karena prasasti ini memuat tentang penetapan Desa Geweg sebagai sima. Desa Geweg merupakan desa kuno, sekarang masuk dalam wilayah Desa Tengaran. Penetapan sima dilakukan pada tanggal 6 Paropeteng bulan Srawana tahun 857 Saka (14 Agustus 935M) oleh Mahamantri pu Sindok san srisanotunggadewa bersamarakyan sri parameswari sri wardhani Kbi umisori. Pu Sindok merupakan raja Medang (Mataram Kuno) periode Jawa Timur, sedangakan Kbi diduga merupakan permaisurinya.

 

Sejarah Situbondo


Asal Usul Nama Kabupaten Situbondo

Berdasarkan Legenda Pangeran Situbondo, nama Kabupaten Situbondo berasal dan narna Pangeran Situborido atau Pangeran Aryo Gajah Situbondo, dimana sepengetahuan masyarakat Situbondo bahwa Pangeran Situbondo tidak pernah menampakkan diri, hal tersebut dikarenakan keberadaannya di Kabupaten Situbondo kemungkinan sudah dalam keadaan meninggal-dunia akibat kekalahan pertarungannya dengan Joko Jumput, sehingga hanya ditandai dengan ditemukannya sebuah 'odheng' (ikat kepala) Pangeran Situbondo yang ditemukan di wilayah Kelurahan Patokan dan sekarang dijadikan Ibukota Kabupaten Situbondo.Sedangkan menurut pemeo yang berkembang di masyarakat, arti kata SITUBONDO berasal dan kata : SITI = tanah dan BONDO ikat, hal tersebut dikaitkan dengan suatu keyakinan bahwa orang pendatang akan diikat untuk menetap di tanah Situbondo, Kenyataan mendekati kebenaran karna banyak orang pendatang yang akhirnya menetap di Kabupaten Situbondo.

LEGENDA PANGERAN SITUBONDO

Pengeran Situbondo atau Pengeran Aryo Gajah Situbondo besaral dan Madura, pada suatu ketika dia ingin meminang Putri Adipati Suroboyo yang terkenal cantik, maka datanglah Pangeran Situbondo ke Surabaya untuk melamar Putri Adipati Suroboyo, namun sayang keinginan Pangeran Situbondo sebenarnya ditolak oleh Adipati Suroboyo, akan tetapi penolakannya tidak secara terus-terang hanya diberi persyaratan untuk membabat hutan di sebelah Timur Surabaya, padahal persyaratan tersebut hanyalah suatu alasan yang maksudnya untuk mengulur-ulur waktu saja, sambil merencanakan siasat bagaimana caranya dapat menyingkirkan Pangeran Situbondo;

Kesempatan Adipati Suroboyo menjalankan rencananya terbuka ketikakeponakannya yang bernama Joko Taruno dan Kediri, karena rupanya Joko Taruno juga bermaksud menyunting putrinya, dan Adipati Suroboyo tidak keberatan namun dengan syarat Joko Taruno harus mengalahkan Pangeran Situbondo terlebih dahulu. Terdorong keinginannya untuk menyunting sang putri, maka berangkatlah Joko Taruno ke hutan untuk menantang Pangeran Situbondo, namun sayang Joko Taruno kalah dalam pertarungan tetapi kekalahannya tidak sampai terbunuh, sehingga Joko Taruno masih sempat mengadakan sayembara bahwa "barang siapa bisa mengalahkan Pangeran Situbondo akan mendapatkan hadiah separuh kekayaannya".

Mendengar sayembara tersebut datanglah Joko Jumput putra Mbok Rondo Prabankenco untuk mencoba, maka ditantanglah Pangeran Situbondo oleh Joko Jumput, dan ternyata dalam pertarungan tersebut dimenangkan Joko Jumput, sedangkan Pangeran Situbondo tertendang jauh ke arah Timur hingga sampai di daerah Kabupaten Situbondo ditandai dengan ditemukannya sebuah 'odheng' (ikat kepala) Pangeran Situbondo, yang tepatnya ditemukan di wilayah Kelurahan Patokan yang sekanang menjadi Ibukota Kabupaten Situbondo.
Selanjutnya kembali ke Surabaya dimana di hadapan Adipati Suroboyo kemenangan Joko Jumput atas Pangeran Situbondo diakui oleh Joko Taruno sebagai kemenangannya, namun Adipati Suroboyo tidak begitu saja mempercayainya, maka untuk membuktikannya' disuruhlah keduanya bertarung untuk menentukan siapa yang menjadi pemenang sesungguhnya. Akhirnya pada saat pertarungan terjadi Joko Taruno tertimpa kutukan menjadi patung "Joko Dolog" akibat kebohongannya.

Sejarah Kota Situbondo

Sejarah Kabupaten Situbondo tidak terlepas dari sejarah Karesidenan Besuki, sehingga kita perlu mengkaji terlebih dahulu sejarah Karesidenan Besuki. Yang membabat Karesidenan Besuki pertama kali adalah Ki Pateh Abs (± th 1700) selanjutnya dipasrahkan kepada Tumenggung Joyo Lelono. Karena pada saat itu juga Belanda sudah menguasai Pulau Jawa (± th 1743) terutama di dáerah pesisir termasuk pula Karesidenan Besuki dan dengan segala tipu-dayanya, maka pada akhirnya Tumenggung Joyo Lebono tidak berdaya hingga Karesidenan Besuki dikuasai sepenuhnya oleh Belanda.

Pada masanya (± th 1798) Pemerintahan Belanda pernah kekurangan keuangan untuk membiayai Pemerintahannya, sehingga Pulau Jawa pernah dikontrakkan kepada orang China, kemudian datanglah Raffles (± th 1811 - 1816) dan Inggris yang mengganti kekuasaan Belanda dan menebus Pulau Jawa, namun kekuasaan Inggris hanya bertahan beberapa tahun saja, selanjutnya Pulau Jawa di kuasai kembali oleh Belanda, dan diangkatlah Raden Noto Kusumo putra dan Pangeran Sumenep Madura yang bergelar Raden Tumenggung Prawirodiningrat I (± th 1820) sebagai Residen Pertama Karesidenan Besuki.

Dalam masa Pemerintahan Kacten II banyak membantu I-'emenntaii Belanda dalam membangun Kabupaten Situbondo, antara-lain Pembangunan Dam Air Pintu Lima di Desa Kotakan Situbondo.
setelah Raden Prawirodiningrat I meninggal-dunia sebagai penggantinya adalah kaden Prawirodiningrat II (± th 1830). Dalam masa Pemerintahan Raden Prawirodiningrat II banyak menghasilkan karya yang cukup menonjol antara-lain berdirinya Pabrik Gula di Kabupaten Situbondo, dimulai dan PG. Demas, PG. Wringinanom, PG. Panji, dan PG. Olean, maka atas jasanya tersebut Pemerintah Belanda memberikan hadiah berupa "Kalung Emas Bandul Singa".
Perlu diketahui pula pada masa Pemerintahan Raden Prawirodiningrat II wilayahnya hingga Kabupaten Probolinggo, terbukti salah seorang putranya yang bernama Raden Suringrono menjadi Bupati Probolinggo.

Setelah Raden Prawirodiningrat II meninggal-dunia sebagai penggantinya adalah Raden Prawirodiningrat III (± th 1840). Tetapi dalam masa Pemerintahan Raden Prawirodiningrat III perkembangan Karesidenan Besuki kalah maju dibanding Kabupaten Situbondo, mungkin karena di Kabupaten Situbondo mempunyai beberapa pelabuhan yang cukup menunjang perkembangannya, yaitu antara-lain : Pelabuhan Panarukan, Kalbut dan Jangkar, sehingga pada akhimya pusat pemerintahan berpindah ke Kabupaten Situbondo dengan Raden Tumenggung Aryo Soeryo Dipoetro diangkat sebagai Bupati Pertama Kabupaten Situbondo, dan wilayah Karesidenan Besuki dibagi menjadi 2 yaitu: Besuki termasuk Suboh ke arah Barat hingga Banyuglugur ikut wilayah Kábupaten Bondowoso dan Mlandingan ke arah Timur hingga Tapen ikut wilayah Kabupaten Situbondo, hal ini terbukti dan logat bicara orang Besuki yang mirip dengan logat Bondowoso dan logat bicara orang Prajekan mirip dengan logat Situbondo.

PERUBAHAN NAMA KABUPATEN

Pada mulanya nama Kabupaten Situbondo adalah "Kabupaten Panarukan" dengan Ibukota Situbondo, sehingga dahulu pada masa Pemerintahan Belanda oleh Gubernur Jendral Daendels (± th 1808 - 1811) yang membangun jalan dengan kerja paksa sepanjang pantai utara Pulau Jawa dikenal dengan sehutan "Jalan Anyer - Panarukan" atau lebih dikenal lagi "Jalan Daendels", kemudian seiring waktu berjalan barulah pada masa Pemerintahan Bupati Achmad Tahir (± th 1972) diubah menjadi Kabupaten Situbondo dengan Ibukota Situbondo, berdasankan Peratunan Pemerintah RI Nomor. 28 / 1972 tentang Perubahan Nama dan Pemindahan Tempat Kedudukan Pemerintah Daerah.

Perlu diketahui pula bahwa Kediaman Bupati Situbondo pada masa lalu belumlah berada di lingkungan Pendopo Kabupaten namun masih menempati rumah pribadinya, baru pada masa Pemerintahan Bupati Raden Aryo Poestoko Pranowo (± th 1900 - 1924), dia memperbaiki Pendopo Kabupaten sekaligus membangun Kediaman Bupati dan Paviliun Ajudan Bupati hingga sekarang ini, kemudian pada masa Pemerintahan Bupati Drs. H. Moh. Diaaman, Pemerintah Kabupaten Situbondo memperbaiki kembali Pendopo Kabupaten (± th 2002).

 

Raden Ronggo Bondowoso


R. BAGUS ASSRAH PENDIRI BONDOWOSO

Berawal dari seorang anak yang bernama Raden Bagus Assra, ia adalah anak Demang Walikromo pada masa pemerintahan Panembahan di bawah Adikoro IV, menantu Tjakraningkat Bangkalan, sedangkan Demang Walikoromo tak lain adalah putra Adikoro IV. 

Tahun 1743 terjadilah pemberontakan Ke Lesap terhadap Pangeran Tjakraningrat karena dia diakui sebagai anak selir. pertempuran yang terjadi di desa Bulangan itu menewaskan Adikoro IV, Tahun 1750 pemberontakan dapat dipadamkan dengan tewasnya Ke Lesap. 

Terjadi pemulihan kekuasaan dengan diangkatnya anak Adikoro IV, yaitu RTA Tjokroningrat. Tak berapa lama terjadi perebutan kekuasaan dan pemerintahan dialihkan pada Tjokroningrat I anak Adikoro III yang bergelar Tumenggung Sepuh dengan R. Bilat sebagi patihnya.

Khawatir dengan keselamatan Raden Bagus Assra, Nyi Sedabulangan membawa lari cucunya mengikuti eksodus besar-besaran eks pengikut Adikoro IV ke Besuki. Assra kecil ditemukan oleh Ki Patih Alus, Patih Wiropuro untuk kemudian di tampung serta dididik ilmu bela diri dan ilmu agama.

Semasa Pemerintahan Bupati Ronggo Kiai Suroadikusumo di Besuki mengalami kemajuan dengan berfungsinya Pelabuhan Besuki yang mampu menarik minat kaum pedagang luar. Dengan semakin padatnya penduduk perlu dilakukan pengembangan wilayah dengan membuka hutan yaitu ke arah tenggara. 

Kiai Patih Alus mengusulkan agar Mas Astrotruno, putra angkat Bupati Ronggo Suroadikusumo, menjadi orang yang menerima tugas untuk membuka hutan tersebut. usul itu diterima oleh Kiai Ronggo-Besuki, dan Mas Astrotruno juga sanggup memikul tugas tersebut. 

Kemudian Kiai Ronggo Suroadikusumo terlebih dahulu menikahkan Mas Astotruno dengan Roro Sadiyah yaitu putri Bupati Probolinggo Joyolelono. Mertua Mas Astrotruno menghadiahkan kerbau putih "Melati" yang dongkol (tanduknya melengkung ke bawah) untuk dijadikan teman perjalanan dan penuntun mencari daerah-daerah yang subur.

Pengembangan wilayah ini dimulai pada 1789, selain untuk tujuan politis juga sebagai upaya menyebarkan agama Islam mengingat di sekitas wilayah yang dituju penduduknya masih menyembah berhala. Mas Astrotruno dibantu oleh Puspo Driyo, Jatirto, Wirotruno, dan Jati Truno berangkat melaksanakan tugasnya menuju arah selatan, menerobos wilayah pegunungan sekitar Arak-arak "Jalan Nyi Melas". Rombongan menerobos ke timur sampai ke Dusun Wringin melewati gerbang yang disebut "Lawang Sekateng". Nama-nama desa yang dilalui rombongan Mas Astrotruno, yaiitu Wringin, Kupang, Poler dan Madiro, lalu menuju selatan yaitu desa Kademangan dengan membangun pondol peristirahatan di sebelah barat daya Kademangan (diperkirakan di Desa Nangkaan sekarang).

Desa-desa yang lainnya adalah disebelah utara adalah Glingseran, tamben dan Ledok Bidara. disebelah Barat terdapat Selokambang, Selolembu. sebelah timur adalah Tenggarang, Pekalangan, Wonosari, Jurangjero, Tapen, Praje,kan dan Wonoboyo. Sebelah selatan terdapat Sentong, Bunder, Biting, Patrang, Baratan, Jember, Rambi, Puger, Sabrang, Menampu, Kencong, Keting. Jumlah Penduduk pada waktu itu adalah lima ratus orang, sedangkan setiap desa dihuni, dua, tiga, empat orang. kemudian dibangunlah kediaman penguasa di sebelah selatan sungai Blindungan, di sebelah barat Sungai Kijing dan disebelah utara Sungai Growongan (Nangkaan) yang dikenal sebagai "Kabupaten Lama" Blindungan, terletak ±400 meter disebelah utara alun-alun.

Pekerjaan membuka jalan berlangsung dari tahun 1789-1794. Untuk memantapkan wilayah kekuasaan, Mas Astrotruno pada tahun 1808 diangkat menjadi demang denga gelar Abhiseka Mas Ngabehi Astrotruno, dan sebutannya adalah "Demang Blindungan". Pembangunan kotapun dirancang, rumah kediaman penguasa menghadap selatan di utara alun-alun. Dimana alun-alun tersebut semula adalah lapangan untuk memelihara kerbau putih kesayangan Mas Astrotruno, karena disitu tumbuh rerumputan makanan ternak. Lama kelamaan lapangan itu mendapatkan fungsi baru sebagai alun-alun kota. 

Sedangkan di sebelah barat dibangun masjid yang menghadap ke timur. Mas Astrotruno mengadakan berbagai tontonan, antara lain aduan burung puyuh (gemak), Sabung ayam, kerapan sapi, dan aduan sapi guna menghibur para pkerja. tontonan aduan sapi diselenggarakan secara berkala dan mejdi tontonan di Jawa Timur sampai 1998. Tas jasa-jasanya kemudian Astrotruno diangkat sebagai Nayaka merangkap Jaksa Negeri.

Dari ikatan Keluarga Besar "Ki Ronggo Bondowoso" didapat keterangan bahwa pada tahun 1809 Raden bagus Asrrah atau mas Ngbehi Astrotruno dianggkat sebagi patih beriri sendiri (zelfstanding) dengan nama Abhiseka Mas Ngabehi kertonegoro. Beliau dipandang sebagai penemu (founder) sekaligus penguasa pemerintahan pertama (first ruler) di Bondowoso. Adapau tempat kediaman Ki Kertonegoro yang semula bernama Blindungan, dengan adanya pembangunan kota diubah namanya menjadi Bondowoso, sebagi ubahan perkataan wana wasa. Maknanya kemudiandikaitkan dengan perkataan bondo, yang berarti modal, bekal, dan woso yang berarti kekuasaan. makna seluruhnya demikian: terjadinya negeri (kota) adalah semata-mata karena modal kemauan kleras mengemban tugas (penguasa) yang diberikan kepada Astrotruno untuk membabat hutan dan membangun kota.

Meskipun Belanda telah becokol di Puger dan secara administrtatif yuridis formal memasukan Bondowoso kedalam wilayah kerkuasaannya, namun dalam kenyataannya pengangkatan personil praja masih wewenang Ronggo Besuki, maka tidak seorang pun yang berhak mengkliam lahirnya kota baru Bondowoso selain Mas Ngabehi Kertonegoro. Hal ini dikuatkan dengan pemberian izin kepada Beliau untuk terus bekerja membabat hutan sampai akhir hayat Sri Bupati di Besuki.

Pada tahun 1819 Bupati Adipati Besuki Raden Ario Prawiroadiningrat meningkatkan statusnya dari Kademangan menjadi wilayah lepas dari Besuki dengan status Keranggan Bondowoso dan mengangkat Mas Ngabehi Astrotruno menjadi penguasa wilayah dengan gelar Mas Ngabehi Kertonegoro, serta dengan perdikat Ronngo I. Hal ini berlangsung pada hari Selasa Kliwon, 25 Syawal 1234 H atau 17 agustus 1819. Peristiwa itu kemudian dijadikan eksistensi formal Bondowoso sebgai wilayah kekuasaan mandiri di bawah otoritas kekuasaan Kiai Ronggo Bondowoso. Kekuasaan Kiai Ronggo Bondowoso meliputi wilayah Bondowoso dan Jember, dan berlangsung antara 1829-1830.

Pada 1830 Kiai Ronggo I mengundurkan diri dan kekausaannya diserahkan kepada putra keduanya yang bernama Djoko Sridin yang pada waktu itu menjabat Patih di Probolinggo. Jabatan baru itu dipangku antar 1830-1858 dengan gelar M Ng Kertokusumo dengan predikat Ronggo II, berkedudukan di Blindungan sekarang atau jalan S Yododiharjo (jalan Ki Ronggo) yang dikenal masyarakat sebagi "Kabupaten lama".Setelah mengundurkan diri, Ronggo I menekuni bidang dakwah agama Islam dengan bermukim di Kebundalem Tanggulkuripan (Tanggul, Jember), Ronggo I wafat pada 19 Rabi'ulawal 1271 H atau 11 Desember 1854 dalam usia 110 tahun. 
Jenazahnya dikebumikan disebuah bukit (Asta Tinggi) di Desa Sekarputih. Masyarakat Bondowoso menyebutnya sebagai "Makam Ki Ronggo".

 

Sejarah Kalibanger


Kabupaten Probolinggo adalah salah satu kabupaten di Provinsi Jawa Timur, Indonesia. Kabupaten ini dikelilingi oleh Gunung Semeru, Gunung Argopuro, dan Pegunungan Tengger. Kabupaten Probolinggo mempunyai semboyan "Prasadja Ngesti Wibawa". Makna semboyan tersebut adalah “Dengan rasa tulus ikhlas (bersahaja, jujur, bares) menuju kemuliaan”.

Ketika seluruh Wilayah Nusantara dapat dipersatukan di bawah kekuasaan Majapahit tahun 1357 M (1279 Saka), Patih Gajah Mada telah dapat mewujudkan ikrarnya dalam Sumpah Palapa, menyambut keberhasilan ini, Raja Hayam Wuruk berkenan untuk berkeliling negaranya. Perjalanan muhibah ini terlaksana pada tahun 1359 M (1281 Saka).

Menyertai perjalanan bersejarah ini, Empu Prapanca seorang pujangga ahli sastra melukiskan dengan kata-kata, Sang Baginda Prabu Hayam Wuruk merasa suka cita dan kagum, menyaksikan panorama alam yang sangat mempesona di kawasan yang disinggahi ini. Masyarakatnya ramah,tempat peribadatannya anggun dan tenang, memberikan ketenteraman dan kedamaian serta mengesankan. Penyambutannya meriah aneka suguhan disajikan, membuat Baginda bersantap dengan lahap. Taman dan darma pasogatan yang elok permai menyebabkan Sang Prabu terlena dalam kesenangan dan menjadi kerasan.

Ketika rombongan tamu agung ini hendak melanjutkan perjalanan, Sang Prabu diliputi rasa sedih karena enggan untuk berpisah. Saat perpisahan diliputi rasa duka cita, bercampur bangga. Karena Sang Prabu Maha Raja junjungannya berkenan mengunjungi dan singgah berlama-lama di tempat ini. Sejak itu warga di sini menandai tempat ini dengan sebutan Prabu Linggih. Artinya tempat persinggahan Sang Prabu sebagai tamu Agung. Sebutan Prabu Linggih selanjutnya mengalami proses perubahan ucap hingga kemudian berubah menjadi Probo Linggo. Maka sebutan itu kini menjadi Probolinggo.

PERKEMBANGAN WILAYAH PROBOLINGGO

Kerajaan Singasari (1222-1292)

Berdasarkan Prasasti Mula-Malurung, wilayah Probolinggo menjadi bagian dari Kerajaan Singosari dibawah Raja Saminingrat (Wisnuwardana) tahun 1248-1254. Wilayah itu menjadi bagian dari Lumajang yang diperintah oleh Nararya Kirana, raja bawahan Singasari hingga masa raja Kertanegara. (1254-1293). Pada periode itu, nama-nama daerah baik pada tingkatan dusun, wanua, kuwu, hingga watekmasih belum muncul di wilayah Probolinggo.
Status wilayah Probolinggo masih dibawah kendali raja bawahan Singosari di Lamajang.

2. Masa Majapahit

Pada masa Majapahit posisi Probolinggo terletak di wilayah Wirabhumi (Balambangan), yang menurut Negara Kertagama di bawahNatha (Gubernur) Nagarawardhani, dan dalam Prasasti Suradakan : Rajasawardhana Indudewi Dyah Pureswari.

Di wilayah Wirabhumi atau Blambangan ini kita coba telusuri munculnya nama-nama wilayah atau komunitas berdasarkan informasi Negara Krtagama. Negara Krtagama, Pupuh 3: mengkisahkan tentang perjalanan Hayam Wuruk ke wilayah Timur pada tahun 1359 M.

Yang menarik dari Kakawin itu adalah adanya upaya inventarisasi nama-nama wilayah oleh Prapanca. Dari Negara Krtagama diketahui bahwa ketika Hayam Wuruk sampai di wilayah Probolinggo, Prapanca mencatat nama-nama desa dan kuwu. Nama Banger, Sagara, Pajarakan, Gendhing, Buluh, Gedhe, Arya, Bermi (Baremi), Keboncandi, Sajabung, dan Pabayeman. Ketika Raja Hayam Wuruk sampai di Desa Jabungsisir, sang raja menghadiahkan sebidang tanah perdikan, dan sebuah candi Budha kepada Tumenggung Nala yang berkuasa di Jabungsisir. Dalam Pararaton, juga disebutkan jika di daerah Sajabung (kini Jabungsisir) bangunan suci itu (candi) adalah Abiseka Bajranaparamitapura.

Ketika rombongan raja meninjau sebuah komunitas keagamaan mandhala di daerah Tongas (Probolinggo), di sana melakukan upacara keagamaan di kuil setempat, serta menerima upeti dari sebelas komunitas Budhis, dan tiga desa pegunungan Lumbang, Pancur, dan Trenggilis. “Pada zaman pemerintahan Prabu Radjasanagara (Sri Nata Hayam Wuruk) Raja Majapahit yang ke IV (1350-1389 M) Probolinggo dikenal dengan nama “Banger” nama sungai yang mengalir di tengah banger ini. Banger merupakan pedukuhan kecil dibawah pemerintahan Akuwu di Sukodono. Nama Banger dikenal di buku Negarakertagama yang ditulis oleh Pujangga kerajaan Majapahit yang dikenal yaitu Prapanca

Dalam upaya mendekatkan diri dengan rakyatnya, maka Prabu Hayam Wuruk dengan didampingi Patih Amangku Bumi Gadjah Mada melakukan perjalanan keliling ke daerah-daerah antara lain Lumajang dan Bondowoso. Perjalanan tersebut dimaksudkan agar Sang Prabu dapat melihat sendiri bagaimana kehidupan masyarakat di pedesaan dan sekaligus melihat sejauhmana perintahnya dapat dilaksanakan oleh para pembantunya. Dalam perjalanan inspeksi tersebut Prabu Hayam Wuruk singgah di desa Banger, desa Baremi, dan desa Borang. Desa tersebut sekarang ini menjadi bagian wilayah administrasi Kecamatan Mayangan Kota Probolinggo (Kelurahan Sukabumi, Mangunharjo, Wiroborang).

Singgahnya Prabu Hayam Wuruk di desa Baremi, Banger dan Borang, disambut masyarakat sekitar dengan penuh sukacita. Pada hari Kamis Pahing (Respati Jenar) tanggal 4 september 1359 Masehi, Prabu Hayam Wuruk memerintahkan kepada rakyat Banger agar memperluas Banger dengan membuka hutan yang ada di sekitarnya yang selanjutnya akan dijadikan sebagai pusat pemerintahan. Perintah itulah yang akhirnya menjadi landasan sejarah hari lahirnya Kota Probolinggo.

Sejalan dengan perkembangan politik kenegaraan/kekuasaan di zaman Kerajaan Majapahit, pemerintahan di Banger juga mengalami perubahan-perubahan/perkembangan seirama dengan perkembangan zaman. Semula merupakan pedukuhan kecil di muara kali Banger, kemudian berkembang manjadi Pakuwon yang dipimpin oleh seorang Akuwu, di bawah kekuasaan kerajaan Majapahit.

Pada saat Bre Wirabumi (Minakjinggo), Raja Blambangan berkuasa, Banger yang merupakan perbatasan antara Majapahit dan Blambangan, dikuasai pula oleh Bre Wirabumi. Bahkan Banger menjadi kancah perang saudara antara Bre Wirabumi (Blambangan) dengan Prabu Wikramawardhana (Majapahit) yang dikenal dengan “Perang Paregreg”. Adapun Nama Banger ini diberikan karena airnya berbau amis/Banger karena darah Menak Jinggo yang dipenggal kepalanya oleh Raden Damarwulan.

3. Masa Kerajaan Supit Urang (Sengguruh) Abad XVI-XVII)

Kerajaan Supit Urang sering disebut Sengguruh. Sesudah runtuhnya kerajaan Majapahit pada 1527, di Sengguruh untuk beberapa lama masih berlaku kekuasaan keturunan patih Majapahit, yang pada hari-hari terakhir kerajaan itu masih berkuasa. Kerajaan-kerajaan di Jawa Timur, menurut penulis Portugis itu pada sekitar tahun 1515 diperintah oleh anak laki-laki Gusti Pate dari Sengguruh.

Sengguruh tunduk pada kekuasaan maharaja Hindu. Pusat pemerintahannya terletak di bagian hulu sungai Brantas, di Malang Selatan. Menurut cerita tutur Jawa, di Sengguruh inilah terjadi pertempuran terakhir melawan tentara Islam oleh para pengikut atau keluarga patih Majapahit terakhir yang belum masuk Islam. Mengenai soal ini terdapat kesesuaian antara Serat Kandha, babad Sangkala, dan cerita tutur Jawa. Menurut Rouffaer, kerajaan itu merupakan kelanjutan dari kerajaan Singasari. Wilayahnya meliputi: Pasuruan, Malang dan Probolinggo.

Beberapa ahli ada yang menduga bahwa pusat kerajaan ini di daerah pegunungan Tengger. Sebuah kenyataan adalah bahwa hari-hari masa lalu di Probolinggo dalam keterangan sering muncul istilah kerajaan Supit Urang, di mana Probolinggo termasuk wilayahnya pada jaman dahulu. Kebanyakan orang yakin bahwa pusat kerajaan ini terletak di Tengger.

Supit Urang pada tahun 1639 dihancurkan dalam penyerangan Sultan Agung ke Blambangan dan penduduknya diangkut ke Mataram sebagian sebagai tawanan. Sebelumnya pada tahun 1587 Pasuruan ditaklukan oleh Senopati dari Mataram. Di sini sebuah kerajaan didirikan di bawah kekuasaan Mataram, yang menggunakan sebagai pintu gerbang bagi para Sultan Islam dalam penyerangan dan penaklukan mereka atas Blambangan. Berulang kali pasukan Mataram dalam gerakan militernya melewati Probolinggo. Ini dimulai pada tahun 1597 ketika perang meledak antara raja-raja Pasuruan dan Blambangan. Pada tahun 1599 Panarukan direbut oleh Pasuruan dan dihancurkan, pada kesempatan ini di sana sebuah rumah paderi Portugis Capucijner dihacurkan.

4. Masa Kerajaan Blambangan- Hindia Belanda (XVI-XX)

Wilayah Blambangan raya semula hanya dikenal pusat pemerintahannya saja yaitu di Lamajang pada zaman Kameswara. Luasnya meliputi garis pegunungan Tengger ke Timur batas Selat Bali. Kemudian Blambangan Raya ini lebih dikenal dengan nama Wirabhumi pada zaman Majapahit, karena pada masa Raja Hayam Wuruk, wilayah itu dibawah raja bawahan Bre Wirabhumi. Sejak Majapahit diperintah oleh Dyah Ranawijaya (1486-1527), nama Wirabhumi sudah tenggelam, sebagai gantinya muncul nama Blambangan dengan luas wilayah sebelah barat berbatasan garis Gunung Semeru-Tengger ke Selat Bali. Blambangan saat itu diperintah oleh Dinasti Mas Sembar yang masih di bawah kekuasaan Majapahit dengan ibukota Panarukan (1600 M).

Pada masa kejayaan Pangeran Tawangalun (Dinasti Mas Sembar) luas Blambangan mencakup batas barat Blitar-Malang ke Utara hingga Banger ke Timur Selat Bali. Namun sejak akhir pemerintahan Tawangalun, sekitar tahun 1690 M. Luas wilayah Blambangan telah menciut. Beberapa wilayahnya melepaskan diri, termasuk di dalamnya Banger. Banger telah dikuasai oleh Dinasti Jayalelana dari Buleleng sampai tahun 1767, yang kemudian menjadi Probolinggo di bawah Pemerintahan VOC.

Menurut Surat GG. Reineir de Klerk kepada Raja Belanda tertanggal Batavia/Jayakarta, 31 Desember 1781, Banger (Probolinggo) di bawah pemerintahan Tumenggung Jayanegara yang merangkap pula sebagai Bupati Lumajang. Bupati ini menggantikan Bupati Jayalelana Brayung pada tahun 1767.

Pada tahun 1850, wilayah Blambangan wilayahnya dibagi tiga bagian. Bagian Barat adalah Kabupaten Probolinggo, bagian Tengah Kabupaten Besuki, dan bagian Timur Kabupaten Banyuwangi. Kabupaten Probolinggo terdiri dari tiga bagian, yaitu Probolinggo, Lamajang, dan Kraksan. Bagian Probolinggo terdiri dari 5 distrik yaitu : Kota Probolinggo, Sumber Kareng, Tongas, Tengger, dan Dringu. Bagian Lamajang terdiri 3 distrik : Kota Lamajang, Kandangan, dan Ranu Lamongan. Bagian Kraksan terdiri dari 5 distrik : Gendhing, Pajarakan, Kota Kraksan, Jabung dan Paiton. Pada tahun 1905, pada masa Hindia Belanda, wilayah Blambangan telah dipecah menjadi 6 Kabupaten yaitu : Banyuwangi, Panarukan, Bondowoso, Jember, Probolinggo, dan Lumajang.

5. Masa Kerajaan Surapati Abad XVII-XVIII

Surapati, keturunan Bali, putra budak, bekas perwira dalam militer VOC, pada tahun 1686 mendirikan kerajaannya di Pasuruan. Wilayah ini membentang atas daerah Blambangan seperti Panarukan, Lumajang dan Malang. Jadi kerajaan ini juga mencakup Probolinggo.

Kemudian (1717) Pasuruan kembali melepaskan diri, namun Probolinggo, Panarukan, Lumajang dan Malang tetap berada di tangannya.
Surapati dan para putra dan cucunya, yang menggantikannya tetap menjadi orang Bali, memeluk Hindu, bersumpah untuk selalu menentang Kompeni dengan segala cara. Dengan Blambangan mereka berhubungan baik; saling mengikat perkawinan dan persahabatan. Raja-raja Blambangan bersama dengan Surapati menjadi ancaman bagi Kompeni. Orang-orang Blambangan hanya ingin melepaskan diri dari pengaruh Bali.

6. Masa Kerajaan Mataram Abad XVI-XVIII

Pada Abad XVI-XVII, Kabupaten Probolinggo dikuasai Kerajaan Mataram setelah Sultan Agung melancarkan ekspansi terhadap wilayah Blambangan (1635). Walaupun Blambangan kemudian melancarkan aksi-aksi untuk melepaskan diri dari kekuasaan Mataram bantuan dari Bali. Aksi-aksi tersebut baru dapat dipadamkan pada tahun 1640. Pada masa Kerajaan Mataram struktur pemerintahan pada dasarnya tidak berbeda dengan masa Majapahit. Raja sebagai penguasa tertinggi berada di pusat kerajaan, dibawahnya terdapat bupati wedana yang merupakan pengawas dan koordinator para bupati, bupati/adipati pengusa kabupaten, demang pemimpin kademangan, petinggi sebagai kepala desa dan pedukuhan yang dipimpin kepala dukuh. Wilayah Mataram dibagi dalam susunan: kraton, kuthagara (ibukota), negaragung, mancanegara (dan pasisiran). Mancanegara dan pesisiran dibedakan wetan dan kilen, dengan demikian terdapat mancangara wetan, mancanegara kilen, pesisiran wetan, pesisiran kilen. Posisi Probolinggo terletak di pesisiran wetan berdasarkan struktur yang ada.


Pada masa Pemerintahan VOC, setelah kompeni dapat meredakan Mataram, dalam perjanjian yang dipaksakan kepada Sunan Pakubuwono II di Mataram, seluruh daerah di sebelah Timur Pasuruan (termasuk Banger) diserahkan kepada VOC pada tahun 1743. Untuk memimpin pemerintahan di Banger, pada tahun 1746 VOC mengengkat Kyai Djojolelono sebagai Bupati Pertama di Banger, dengan gelar Tumenggung. Kabupatennya terletak di Desa Kebonsari Kulon. Kyai Djojolelono adalah putera Kyai Boen Djolodrijo (Kiem Boen), Patih Pasuruan. Patihnya Bupati Pasuruan Tumenggung Wironagoro (Untung Suropati). Kompeni (VOC) terkenal dengan politik adu dombanya. Kyai Djojolelono dipengaruhi , diadu untuk menangkap/membunuh Panembahan Semeru, Patih Tengger, keturunan Untung Suropati yang turut memusuhi kompeni. Panembahan Semeru akhirnya terbunuh oleh Kyai Djojolelono. Setelah menyadari akan kekhilafannya, terpengaruh oleh politik adu domba kompeni, Kyai Djojolelono menyesali tindakannya. Kyai Djojolelono mewarisi darah ayahnya dalam menentang/melawan kompeni. Sebagai tanda sikap permusuhannya tersebut, Kyai Djojolelono kemudian menyingkir, meninggalkan istana dan jabatannya sebagai Bupati Banger pada tahun 1768, terus mengembara/lelono.

Sebagai pengganti Kyai Djojolelono, kompeni mengangkat Raden Tumenggung Djojonegoro, putra Raden Tumenggung Tjondronegoro, Bupati Surabaya ke 10 sebagai Bupati Banger kedua. Rumah kabupatennya dipindahkan ke Benteng Lama. Kompeni tetap kompeni, bukan kompeni kalau tidak adu domba. Karena politik adu domba kompeni, Kyai Djojolelono yang tetap memusuhi kompeni ditangkap oleh Tumenggung Djojonegoro. Setelah wafat, Kyai Djojolelono dimakamkan di pasarean “Sentono”, yang oleh masyarakat dianggap sebagai makam keramat.

Di bawah pimpinan Tumenggung Djojonegoro, daerah Banger tampak makin makmur, penduduk tambah banyak. Beliau juga mendirikan Masjid Jami’ (± Tahun 1770). Karena sangat disenangi masyarakat, beliau mendapat sebutan “Kanjeng Djimat”. Pada tahun 1770 nama Banger oleh Tumenggung Djojonegoro (Kanjeng Djimat) diubah menjadi “Probolinggo” (Probo : sinar, linggo : tugu, badan, tanda peringatan, tongkat). Probolinggo : sinar yang berbentuk tugu, gada, tongkat (mungkin yang dimaksud adalah meteor/bintang jatuh). Setelah wafat Kanjeng Djimat dimakamkan di pasarean belakang Masjid Jami.
 
Masa Emas Kali Banger

Kali Banger merupakan sungai utama di Probolinggo. Kali Banger pernah menjadi alur pusat perekonomian dan mencapai puncaknya pada tahun ±1900 M. Banyak perahu-perahu bersandar dan berniaga menggunakan jalur Kali Banger tersebut. Kebanyakan perahu-perahu tersebut datang dari sekitar wilayah Probolinggo.Di sungai ini, kapal-kapal pedagang China bahkan dari pulau Madura bisa masuk hingga ke tengah Kota Probolinggo.

Ini menunjukkan Kali Banger bisa menjadi jalur strategis, Karena aliran Kali Banger dahulu masih besar maka perahu-perahu tersebut bisa masuk hingga ke pusat kota. Jalur perekonnomian yang menggunakan Kali Banger berpusat di daerah bernama “Tambak Pasir”. Kira-kira wilayah itu sekarang berada di pasar Baru kota Probolinggo.

Nama “Banger” sebagai nama wilayah Kabupaten Probolinggo dipakai sebagai kebanggaan nama daerah, sejak jaman Majapahit tahun 1365 hingga 1770 masa pemerintahan Bupati Jayanegara. Sehingga setidak-tidaknya selama ± 405 tahun, nama “Banger” selalu terpatri dan mengisi dokumen-dokumen perjalanan sejarah Kabupaten Probolinggo masa lalu, hingga melegenda sampai sekarang. Selama masa Kerajaan Majapahit, hingga jaman penjajahan kumpeni VOC, sebelum Masa Bupati Jayanegara, semua catatan sejarah tentunya mencatatnya sebagai nama “Banger”. Sehingga dapat disimpulkan semasa pemerintahan Wangsa Djajalelana selama kurun waktu empat, s/d lima keturunan (1679 – 1770), nama “Banger” sebagai kebanggaan daerah yang mempunyai sungai kecil, dengan letaknya yang sangat strategis mengalir di tengah kota sebagai sentral perniagaan perekonomian ketika itu menjadi daerah yang cukup diperhitungkan.

Terbukti dalam catatan sejarah dari laporan-laporan VOC penguasa daerah timur selama itu selalu menyebutnya laporan dari “Bupati Banger“. Pada jaman Bupati Djajalelana I yang terprediksi memerintah tahun 1679 s/d 1697, nama “Banger “ diabadikan untuk nama putera pertamanya yaitu “Mas Bagus Banger”. Selain itu pada saat itu pula sering terdengar nama “Kanjeng Banger”, yang konon berselisih dengan Panembahan Meru dari Tengger. masa pemerintahan bupati Jayanegara keturunan dari kasepuhan Surabaya, nama “Banger” dirubah menjadi “Probolinggo”, asal kata dari “Probo” artinya “Sinar”, sedangkan “Linggo” artinya “Badan” atau “Tugu” sebagai tanda peringatan.

Dalam pada itu masih sejaman dengan perubahan nama Banger menjadi Probolinggo, kita ketemukan adanya nama desa Wirolinggo, (dalam peta) di selatan desa Pangger (Randupangger), dan Maniklinggo nama Blambangan lama.
Mungkinkah perubahan nama Banger menjadi Probolinggo, terilhami oleh nama-nama itu, masih perlu penelitian lebih lanjut.

Berdasarkan hasil penelitian lapangan yang telah dilakukan tgl. 12 Nopember 2005, situs sungai/kali “Banger” saat ini panjangnya ± 6,4 km. Hulu sungai terdapat di DAM Air Desa Pakistaji, sedangkan muara sungai terdapat di Desa Mangunharja, dukuh Tajungan sebelah timur DOK pelabuhan menuju ke laut lepas.

Situs Sungai Banger tidak berfungsi untuk mengairi sawah, karena tidak ada cakupan baku sawah, sehingga berfungsi sebagai Drainase (saluran pematusan / pembuagan air non irigasi). Bila diurutkan dari arah selatan Sungai Banger / Kali Banger bersumber dari dua tempat, sebelah barat dari sumber air Andi, sedangkan di sebelah timur dari sumber air bedungan Kedunggaleng, melewati bendugan Kedungmiri, bendungan Sukun, bendungan Randu, bendungan Gladakserang. Di kelurahan Jrebeng, dan Kanigaran sungai pecah menjadi dua (2), di sebelah barat namanya tetap sungai Banger, sedangkan di sebelah timur bernama sungai Pancor.

Probolinggo Menjadi Tanah Partikelir

Pada masa pemerintahan/kekuasaan Gubernur Jenderal Meester Herman William Daendels, yang terkenal dengan pemerintahan tangan besinya, mengada-kan perubahan-perubahan dalam pemerintahan. “Sejak masa Kerajaan Mataram hingga kini merupakan kawasan subur dan kaya hasil bumi. Kawasan ini menjadi aset bernilai tinggi bagi para penguasa pulau Jawa dan digunakan sebagai modal untuk mempertahankan kekuasaannya.

Pada masa pemerintahan Gubernur Jendral Herman Willem Daendels, Probolinggo adalah salah satu kawasan yang dijual sebagai tanah partikelir demi melancarkan pembuatan jalan raya pos (De Grote Postweg) Anyer – Panarukan”

 Gubernur Jenderal Meester Herman William Daendels juga banyak menjual tanah negara kepada bangsa asing. “Transaksi terbesarnya adalah penjualan seluruh kabupaten Probolinggo di Jawa Timur kepada orang Cina, Han Ti Ko, dengan harga satu juta dolar. Ini, dan beberapa transaksi lain, murni usaha spekulatif  di pihak pembeli. Untunglah Daendels memerintah cukup lama sehingga sehingga bisa sepenuhnya menjalankan rencana-rencananya, yang akan berakibat separuh penduduk Jawa terpuruk menjadi hamba sahaya, taillable et corveable a merci (yang bisa diapakan saja oleh tuannya)”

Pusat Pemerintahan (Kabupaten) dipindahkan di sebelah Selatan Alun-alun, seperti keadaan sekarang ini.

Gemeente (Kota) Probolinggo

Pada masa Pemerintahan Raden Adipati Ario Nitinegoro, Bupati Probolinggo ke 17, Pemerintah Hindia Belanda membentuk “Gemeente Probolinggo” (Kota Probolinggo) pada tanggal 1 Juli 1918. Tanggal 1 Juli 1918 kemudian dijadikan sebagai hari jadinya Pemerintah Kota Probolinggo. Bersamaan dengan HUT Bhayangkara, tanggal 1 Juli oleh Pemerintah Kota madya Probolinggo telah beberapa kali diperingati sebagai hari jadi / HUT Pemerintah Kota Probolinggo. Tahun 1926 Gemeente diubah menjadi Stads Gemeente berdasarkan Stbl 365 Tahun 1926. Gemeente Probolinggo selanjutnya menjadi Kota Probolinggo berdasarkan Ordonansi pembentukan kota  (Stbl. 1928 No.500).

Sejak tahun 1918 Gemeente Probolinggo dipegang/dijabat oleh seorang Asisten Residen (di bawah Karesidenan Pasuruan). Baru tahun 1928 diangkat seorang Burgemeester (Walikota) sebagai kepala daerah yang berkuasa penuh. Pada tahun 1929 Probolinggo pernah menjadi Ibukota Karesidenan Probolinggo. Burgemeester (Walikota) Probolinggo pertama ialah Tn. Meyer. Tahun 1935 pangkat Burgemeester untuk Stadsgemeente Probolinggo dihapus dan sebagai pejabat diangkat Asisten Residen yang berkedudukan di Probolinggo (1935-1942) yaitu LA. de Graaf dan diganti L. Noe.

Pemerintah Kota Probolinggo Di Awal Indonesia Merdeka

Pemerintah penjajah/Hindia Belanda setelah kekuasaanya di Indonesia diganti oleh pemerintah/ penjajah Jepang dan kemudian Indonesia menjadi negara merdeka, berambisi kembali untuk tetap menguasai/menjajah Indonesia. Tanggal 21 Juli 1947 Kota Probolinggo diduduki oleh tentara kolonial Belanda. Diangkatlah seorang Asisten Residen Bayangan dan sebagai Bergemeester diangkat Saudara Saroso Harsono menjadi Walikota RI. Pada masa Pemerintahan Raden Soejoed Alip, Bupati Probolinggo ke 21, Kabupaten Probolinggo pada pertengahan bulan Pebruari 1948 dibagi menjadi 2 (dua), yaitu Kabupaten Kraksaan dan Kabupaten Probolinggo (berdasarkan Staatsblad 1948 No. 201). Gemeente Probolinggo dihapus dan disatukan dengan Kabupaten Probolinggo (berdasarkan Staatsblad 1948 )

Sejarah Kalibanger


Kabupaten Probolinggo adalah salah satu kabupaten di Provinsi Jawa Timur, Indonesia. Kabupaten ini dikelilingi oleh Gunung Semeru, Gunung Argopuro, dan Pegunungan Tengger. Kabupaten Probolinggo mempunyai semboyan "Prasadja Ngesti Wibawa". Makna semboyan tersebut adalah “Dengan rasa tulus ikhlas (bersahaja, jujur, bares) menuju kemuliaan”.

Ketika seluruh Wilayah Nusantara dapat dipersatukan di bawah kekuasaan Majapahit tahun 1357 M (1279 Saka), Patih Gajah Mada telah dapat mewujudkan ikrarnya dalam Sumpah Palapa, menyambut keberhasilan ini, Raja Hayam Wuruk berkenan untuk berkeliling negaranya. Perjalanan muhibah ini terlaksana pada tahun 1359 M (1281 Saka).

Menyertai perjalanan bersejarah ini, Empu Prapanca seorang pujangga ahli sastra melukiskan dengan kata-kata, Sang Baginda Prabu Hayam Wuruk merasa suka cita dan kagum, menyaksikan panorama alam yang sangat mempesona di kawasan yang disinggahi ini. Masyarakatnya ramah,tempat peribadatannya anggun dan tenang, memberikan ketenteraman dan kedamaian serta mengesankan. Penyambutannya meriah aneka suguhan disajikan, membuat Baginda bersantap dengan lahap. Taman dan darma pasogatan yang elok permai menyebabkan Sang Prabu terlena dalam kesenangan dan menjadi kerasan.

Ketika rombongan tamu agung ini hendak melanjutkan perjalanan, Sang Prabu diliputi rasa sedih karena enggan untuk berpisah. Saat perpisahan diliputi rasa duka cita, bercampur bangga. Karena Sang Prabu Maha Raja junjungannya berkenan mengunjungi dan singgah berlama-lama di tempat ini. Sejak itu warga di sini menandai tempat ini dengan sebutan Prabu Linggih. Artinya tempat persinggahan Sang Prabu sebagai tamu Agung. Sebutan Prabu Linggih selanjutnya mengalami proses perubahan ucap hingga kemudian berubah menjadi Probo Linggo. Maka sebutan itu kini menjadi Probolinggo.

PERKEMBANGAN WILAYAH PROBOLINGGO

Kerajaan Singasari (1222-1292)

Berdasarkan Prasasti Mula-Malurung, wilayah Probolinggo menjadi bagian dari Kerajaan Singosari dibawah Raja Saminingrat (Wisnuwardana) tahun 1248-1254. Wilayah itu menjadi bagian dari Lumajang yang diperintah oleh Nararya Kirana, raja bawahan Singasari hingga masa raja Kertanegara. (1254-1293). Pada periode itu, nama-nama daerah baik pada tingkatan dusun, wanua, kuwu, hingga watekmasih belum muncul di wilayah Probolinggo.
Status wilayah Probolinggo masih dibawah kendali raja bawahan Singosari di Lamajang.

2. Masa Majapahit

Pada masa Majapahit posisi Probolinggo terletak di wilayah Wirabhumi (Balambangan), yang menurut Negara Kertagama di bawahNatha (Gubernur) Nagarawardhani, dan dalam Prasasti Suradakan : Rajasawardhana Indudewi Dyah Pureswari.

Di wilayah Wirabhumi atau Blambangan ini kita coba telusuri munculnya nama-nama wilayah atau komunitas berdasarkan informasi Negara Krtagama. Negara Krtagama, Pupuh 3: mengkisahkan tentang perjalanan Hayam Wuruk ke wilayah Timur pada tahun 1359 M.

Yang menarik dari Kakawin itu adalah adanya upaya inventarisasi nama-nama wilayah oleh Prapanca. Dari Negara Krtagama diketahui bahwa ketika Hayam Wuruk sampai di wilayah Probolinggo, Prapanca mencatat nama-nama desa dan kuwu. Nama Banger, Sagara, Pajarakan, Gendhing, Buluh, Gedhe, Arya, Bermi (Baremi), Keboncandi, Sajabung, dan Pabayeman. Ketika Raja Hayam Wuruk sampai di Desa Jabungsisir, sang raja menghadiahkan sebidang tanah perdikan, dan sebuah candi Budha kepada Tumenggung Nala yang berkuasa di Jabungsisir. Dalam Pararaton, juga disebutkan jika di daerah Sajabung (kini Jabungsisir) bangunan suci itu (candi) adalah Abiseka Bajranaparamitapura.

Ketika rombongan raja meninjau sebuah komunitas keagamaan mandhala di daerah Tongas (Probolinggo), di sana melakukan upacara keagamaan di kuil setempat, serta menerima upeti dari sebelas komunitas Budhis, dan tiga desa pegunungan Lumbang, Pancur, dan Trenggilis. “Pada zaman pemerintahan Prabu Radjasanagara (Sri Nata Hayam Wuruk) Raja Majapahit yang ke IV (1350-1389 M) Probolinggo dikenal dengan nama “Banger” nama sungai yang mengalir di tengah banger ini. Banger merupakan pedukuhan kecil dibawah pemerintahan Akuwu di Sukodono. Nama Banger dikenal di buku Negarakertagama yang ditulis oleh Pujangga kerajaan Majapahit yang dikenal yaitu Prapanca

Dalam upaya mendekatkan diri dengan rakyatnya, maka Prabu Hayam Wuruk dengan didampingi Patih Amangku Bumi Gadjah Mada melakukan perjalanan keliling ke daerah-daerah antara lain Lumajang dan Bondowoso. Perjalanan tersebut dimaksudkan agar Sang Prabu dapat melihat sendiri bagaimana kehidupan masyarakat di pedesaan dan sekaligus melihat sejauhmana perintahnya dapat dilaksanakan oleh para pembantunya. Dalam perjalanan inspeksi tersebut Prabu Hayam Wuruk singgah di desa Banger, desa Baremi, dan desa Borang. Desa tersebut sekarang ini menjadi bagian wilayah administrasi Kecamatan Mayangan Kota Probolinggo (Kelurahan Sukabumi, Mangunharjo, Wiroborang).

Singgahnya Prabu Hayam Wuruk di desa Baremi, Banger dan Borang, disambut masyarakat sekitar dengan penuh sukacita. Pada hari Kamis Pahing (Respati Jenar) tanggal 4 september 1359 Masehi, Prabu Hayam Wuruk memerintahkan kepada rakyat Banger agar memperluas Banger dengan membuka hutan yang ada di sekitarnya yang selanjutnya akan dijadikan sebagai pusat pemerintahan. Perintah itulah yang akhirnya menjadi landasan sejarah hari lahirnya Kota Probolinggo.

Sejalan dengan perkembangan politik kenegaraan/kekuasaan di zaman Kerajaan Majapahit, pemerintahan di Banger juga mengalami perubahan-perubahan/perkembangan seirama dengan perkembangan zaman. Semula merupakan pedukuhan kecil di muara kali Banger, kemudian berkembang manjadi Pakuwon yang dipimpin oleh seorang Akuwu, di bawah kekuasaan kerajaan Majapahit.

Pada saat Bre Wirabumi (Minakjinggo), Raja Blambangan berkuasa, Banger yang merupakan perbatasan antara Majapahit dan Blambangan, dikuasai pula oleh Bre Wirabumi. Bahkan Banger menjadi kancah perang saudara antara Bre Wirabumi (Blambangan) dengan Prabu Wikramawardhana (Majapahit) yang dikenal dengan “Perang Paregreg”. Adapun Nama Banger ini diberikan karena airnya berbau amis/Banger karena darah Menak Jinggo yang dipenggal kepalanya oleh Raden Damarwulan.

3. Masa Kerajaan Supit Urang (Sengguruh) Abad XVI-XVII)

Kerajaan Supit Urang sering disebut Sengguruh. Sesudah runtuhnya kerajaan Majapahit pada 1527, di Sengguruh untuk beberapa lama masih berlaku kekuasaan keturunan patih Majapahit, yang pada hari-hari terakhir kerajaan itu masih berkuasa. Kerajaan-kerajaan di Jawa Timur, menurut penulis Portugis itu pada sekitar tahun 1515 diperintah oleh anak laki-laki Gusti Pate dari Sengguruh.

Sengguruh tunduk pada kekuasaan maharaja Hindu. Pusat pemerintahannya terletak di bagian hulu sungai Brantas, di Malang Selatan. Menurut cerita tutur Jawa, di Sengguruh inilah terjadi pertempuran terakhir melawan tentara Islam oleh para pengikut atau keluarga patih Majapahit terakhir yang belum masuk Islam. Mengenai soal ini terdapat kesesuaian antara Serat Kandha, babad Sangkala, dan cerita tutur Jawa. Menurut Rouffaer, kerajaan itu merupakan kelanjutan dari kerajaan Singasari. Wilayahnya meliputi: Pasuruan, Malang dan Probolinggo.

Beberapa ahli ada yang menduga bahwa pusat kerajaan ini di daerah pegunungan Tengger. Sebuah kenyataan adalah bahwa hari-hari masa lalu di Probolinggo dalam keterangan sering muncul istilah kerajaan Supit Urang, di mana Probolinggo termasuk wilayahnya pada jaman dahulu. Kebanyakan orang yakin bahwa pusat kerajaan ini terletak di Tengger.

Supit Urang pada tahun 1639 dihancurkan dalam penyerangan Sultan Agung ke Blambangan dan penduduknya diangkut ke Mataram sebagian sebagai tawanan. Sebelumnya pada tahun 1587 Pasuruan ditaklukan oleh Senopati dari Mataram. Di sini sebuah kerajaan didirikan di bawah kekuasaan Mataram, yang menggunakan sebagai pintu gerbang bagi para Sultan Islam dalam penyerangan dan penaklukan mereka atas Blambangan. Berulang kali pasukan Mataram dalam gerakan militernya melewati Probolinggo. Ini dimulai pada tahun 1597 ketika perang meledak antara raja-raja Pasuruan dan Blambangan. Pada tahun 1599 Panarukan direbut oleh Pasuruan dan dihancurkan, pada kesempatan ini di sana sebuah rumah paderi Portugis Capucijner dihacurkan.

4. Masa Kerajaan Blambangan- Hindia Belanda (XVI-XX)

Wilayah Blambangan raya semula hanya dikenal pusat pemerintahannya saja yaitu di Lamajang pada zaman Kameswara. Luasnya meliputi garis pegunungan Tengger ke Timur batas Selat Bali. Kemudian Blambangan Raya ini lebih dikenal dengan nama Wirabhumi pada zaman Majapahit, karena pada masa Raja Hayam Wuruk, wilayah itu dibawah raja bawahan Bre Wirabhumi. Sejak Majapahit diperintah oleh Dyah Ranawijaya (1486-1527), nama Wirabhumi sudah tenggelam, sebagai gantinya muncul nama Blambangan dengan luas wilayah sebelah barat berbatasan garis Gunung Semeru-Tengger ke Selat Bali. Blambangan saat itu diperintah oleh Dinasti Mas Sembar yang masih di bawah kekuasaan Majapahit dengan ibukota Panarukan (1600 M).

Pada masa kejayaan Pangeran Tawangalun (Dinasti Mas Sembar) luas Blambangan mencakup batas barat Blitar-Malang ke Utara hingga Banger ke Timur Selat Bali. Namun sejak akhir pemerintahan Tawangalun, sekitar tahun 1690 M. Luas wilayah Blambangan telah menciut. Beberapa wilayahnya melepaskan diri, termasuk di dalamnya Banger. Banger telah dikuasai oleh Dinasti Jayalelana dari Buleleng sampai tahun 1767, yang kemudian menjadi Probolinggo di bawah Pemerintahan VOC.

Menurut Surat GG. Reineir de Klerk kepada Raja Belanda tertanggal Batavia/Jayakarta, 31 Desember 1781, Banger (Probolinggo) di bawah pemerintahan Tumenggung Jayanegara yang merangkap pula sebagai Bupati Lumajang. Bupati ini menggantikan Bupati Jayalelana Brayung pada tahun 1767.

Pada tahun 1850, wilayah Blambangan wilayahnya dibagi tiga bagian. Bagian Barat adalah Kabupaten Probolinggo, bagian Tengah Kabupaten Besuki, dan bagian Timur Kabupaten Banyuwangi. Kabupaten Probolinggo terdiri dari tiga bagian, yaitu Probolinggo, Lamajang, dan Kraksan. Bagian Probolinggo terdiri dari 5 distrik yaitu : Kota Probolinggo, Sumber Kareng, Tongas, Tengger, dan Dringu. Bagian Lamajang terdiri 3 distrik : Kota Lamajang, Kandangan, dan Ranu Lamongan. Bagian Kraksan terdiri dari 5 distrik : Gendhing, Pajarakan, Kota Kraksan, Jabung dan Paiton. Pada tahun 1905, pada masa Hindia Belanda, wilayah Blambangan telah dipecah menjadi 6 Kabupaten yaitu : Banyuwangi, Panarukan, Bondowoso, Jember, Probolinggo, dan Lumajang.

5. Masa Kerajaan Surapati Abad XVII-XVIII

Surapati, keturunan Bali, putra budak, bekas perwira dalam militer VOC, pada tahun 1686 mendirikan kerajaannya di Pasuruan. Wilayah ini membentang atas daerah Blambangan seperti Panarukan, Lumajang dan Malang. Jadi kerajaan ini juga mencakup Probolinggo.

Kemudian (1717) Pasuruan kembali melepaskan diri, namun Probolinggo, Panarukan, Lumajang dan Malang tetap berada di tangannya.
Surapati dan para putra dan cucunya, yang menggantikannya tetap menjadi orang Bali, memeluk Hindu, bersumpah untuk selalu menentang Kompeni dengan segala cara. Dengan Blambangan mereka berhubungan baik; saling mengikat perkawinan dan persahabatan. Raja-raja Blambangan bersama dengan Surapati menjadi ancaman bagi Kompeni. Orang-orang Blambangan hanya ingin melepaskan diri dari pengaruh Bali.

6. Masa Kerajaan Mataram Abad XVI-XVIII

Pada Abad XVI-XVII, Kabupaten Probolinggo dikuasai Kerajaan Mataram setelah Sultan Agung melancarkan ekspansi terhadap wilayah Blambangan (1635). Walaupun Blambangan kemudian melancarkan aksi-aksi untuk melepaskan diri dari kekuasaan Mataram bantuan dari Bali. Aksi-aksi tersebut baru dapat dipadamkan pada tahun 1640. Pada masa Kerajaan Mataram struktur pemerintahan pada dasarnya tidak berbeda dengan masa Majapahit. Raja sebagai penguasa tertinggi berada di pusat kerajaan, dibawahnya terdapat bupati wedana yang merupakan pengawas dan koordinator para bupati, bupati/adipati pengusa kabupaten, demang pemimpin kademangan, petinggi sebagai kepala desa dan pedukuhan yang dipimpin kepala dukuh. Wilayah Mataram dibagi dalam susunan: kraton, kuthagara (ibukota), negaragung, mancanegara (dan pasisiran). Mancanegara dan pesisiran dibedakan wetan dan kilen, dengan demikian terdapat mancangara wetan, mancanegara kilen, pesisiran wetan, pesisiran kilen. Posisi Probolinggo terletak di pesisiran wetan berdasarkan struktur yang ada.

Pada masa Pemerintahan VOC, setelah kompeni dapat meredakan Mataram, dalam perjanjian yang dipaksakan kepada Sunan Pakubuwono II di Mataram, seluruh daerah di sebelah Timur Pasuruan (termasuk Banger) diserahkan kepada VOC pada tahun 1743. Untuk memimpin pemerintahan di Banger, pada tahun 1746 VOC mengengkat Kyai Djojolelono sebagai Bupati Pertama di Banger, dengan gelar Tumenggung. Kabupatennya terletak di Desa Kebonsari Kulon. Kyai Djojolelono adalah putera Kyai Boen Djolodrijo (Kiem Boen), Patih Pasuruan. Patihnya Bupati Pasuruan Tumenggung Wironagoro (Untung Suropati). Kompeni (VOC) terkenal dengan politik adu dombanya. Kyai Djojolelono dipengaruhi , diadu untuk menangkap/membunuh Panembahan Semeru, Patih Tengger, keturunan Untung Suropati yang turut memusuhi kompeni. Panembahan Semeru akhirnya terbunuh oleh Kyai Djojolelono. Setelah menyadari akan kekhilafannya, terpengaruh oleh politik adu domba kompeni, Kyai Djojolelono menyesali tindakannya. Kyai Djojolelono mewarisi darah ayahnya dalam menentang/melawan kompeni. Sebagai tanda sikap permusuhannya tersebut, Kyai Djojolelono kemudian menyingkir, meninggalkan istana dan jabatannya sebagai Bupati Banger pada tahun 1768, terus mengembara/lelono.

Sebagai pengganti Kyai Djojolelono, kompeni mengangkat Raden Tumenggung Djojonegoro, putra Raden Tumenggung Tjondronegoro, Bupati Surabaya ke 10 sebagai Bupati Banger kedua. Rumah kabupatennya dipindahkan ke Benteng Lama. Kompeni tetap kompeni, bukan kompeni kalau tidak adu domba. Karena politik adu domba kompeni, Kyai Djojolelono yang tetap memusuhi kompeni ditangkap oleh Tumenggung Djojonegoro. Setelah wafat, Kyai Djojolelono dimakamkan di pasarean “Sentono”, yang oleh masyarakat dianggap sebagai makam keramat.

Di bawah pimpinan Tumenggung Djojonegoro, daerah Banger tampak makin makmur, penduduk tambah banyak. Beliau juga mendirikan Masjid Jami’ (± Tahun 1770). Karena sangat disenangi masyarakat, beliau mendapat sebutan “Kanjeng Djimat”. Pada tahun 1770 nama Banger oleh Tumenggung Djojonegoro (Kanjeng Djimat) diubah menjadi “Probolinggo” (Probo : sinar, linggo : tugu, badan, tanda peringatan, tongkat). Probolinggo : sinar yang berbentuk tugu, gada, tongkat (mungkin yang dimaksud adalah meteor/bintang jatuh). Setelah wafat Kanjeng Djimat dimakamkan di pasarean belakang Masjid Jami.
 
Masa Emas Kali Banger

Kali Banger merupakan sungai utama di Probolinggo. Kali Banger pernah menjadi alur pusat perekonomian dan mencapai puncaknya pada tahun ±1900 M. Banyak perahu-perahu bersandar dan berniaga menggunakan jalur Kali Banger tersebut. Kebanyakan perahu-perahu tersebut datang dari sekitar wilayah Probolinggo.Di sungai ini, kapal-kapal pedagang China bahkan dari pulau Madura bisa masuk hingga ke tengah Kota Probolinggo.

Ini menunjukkan Kali Banger bisa menjadi jalur strategis, Karena aliran Kali Banger dahulu masih besar maka perahu-perahu tersebut bisa masuk hingga ke pusat kota. Jalur perekonnomian yang menggunakan Kali Banger berpusat di daerah bernama “Tambak Pasir”. Kira-kira wilayah itu sekarang berada di pasar Baru kota Probolinggo.

Nama “Banger” sebagai nama wilayah Kabupaten Probolinggo dipakai sebagai kebanggaan nama daerah, sejak jaman Majapahit tahun 1365 hingga 1770 masa pemerintahan Bupati Jayanegara. Sehingga setidak-tidaknya selama ± 405 tahun, nama “Banger” selalu terpatri dan mengisi dokumen-dokumen perjalanan sejarah Kabupaten Probolinggo masa lalu, hingga melegenda sampai sekarang. Selama masa Kerajaan Majapahit, hingga jaman penjajahan kumpeni VOC, sebelum Masa Bupati Jayanegara, semua catatan sejarah tentunya mencatatnya sebagai nama “Banger”. Sehingga dapat disimpulkan semasa pemerintahan Wangsa Djajalelana selama kurun waktu empat, s/d lima keturunan (1679 – 1770), nama “Banger” sebagai kebanggaan daerah yang mempunyai sungai kecil, dengan letaknya yang sangat strategis mengalir di tengah kota sebagai sentral perniagaan perekonomian ketika itu menjadi daerah yang cukup diperhitungkan.

Terbukti dalam catatan sejarah dari laporan-laporan VOC penguasa daerah timur selama itu selalu menyebutnya laporan dari “Bupati Banger“. Pada jaman Bupati Djajalelana I yang terprediksi memerintah tahun 1679 s/d 1697, nama “Banger “ diabadikan untuk nama putera pertamanya yaitu “Mas Bagus Banger”. Selain itu pada saat itu pula sering terdengar nama “Kanjeng Banger”, yang konon berselisih dengan Panembahan Meru dari Tengger. masa pemerintahan bupati Jayanegara keturunan dari kasepuhan Surabaya, nama “Banger” dirubah menjadi “Probolinggo”, asal kata dari “Probo” artinya “Sinar”, sedangkan “Linggo” artinya “Badan” atau “Tugu” sebagai tanda peringatan.

Dalam pada itu masih sejaman dengan perubahan nama Banger menjadi Probolinggo, kita ketemukan adanya nama desa Wirolinggo, (dalam peta) di selatan desa Pangger (Randupangger), dan Maniklinggo nama Blambangan lama.
Mungkinkah perubahan nama Banger menjadi Probolinggo, terilhami oleh nama-nama itu, masih perlu penelitian lebih lanjut.

Berdasarkan hasil penelitian lapangan yang telah dilakukan tgl. 12 Nopember 2005, situs sungai/kali “Banger” saat ini panjangnya ± 6,4 km. Hulu sungai terdapat di DAM Air Desa Pakistaji, sedangkan muara sungai terdapat di Desa Mangunharja, dukuh Tajungan sebelah timur DOK pelabuhan menuju ke laut lepas.

Situs Sungai Banger tidak berfungsi untuk mengairi sawah, karena tidak ada cakupan baku sawah, sehingga berfungsi sebagai Drainase (saluran pematusan / pembuagan air non irigasi). Bila diurutkan dari arah selatan Sungai Banger / Kali Banger bersumber dari dua tempat, sebelah barat dari sumber air Andi, sedangkan di sebelah timur dari sumber air bedungan Kedunggaleng, melewati bendugan Kedungmiri, bendungan Sukun, bendungan Randu, bendungan Gladakserang. Di kelurahan Jrebeng, dan Kanigaran sungai pecah menjadi dua (2), di sebelah barat namanya tetap sungai Banger, sedangkan di sebelah timur bernama sungai Pancor.

Probolinggo Menjadi Tanah Partikelir

Pada masa pemerintahan/kekuasaan Gubernur Jenderal Meester Herman William Daendels, yang terkenal dengan pemerintahan tangan besinya, mengada-kan perubahan-perubahan dalam pemerintahan. “Sejak masa Kerajaan Mataram hingga kini merupakan kawasan subur dan kaya hasil bumi. Kawasan ini menjadi aset bernilai tinggi bagi para penguasa pulau Jawa dan digunakan sebagai modal untuk mempertahankan kekuasaannya.

Pada masa pemerintahan Gubernur Jendral Herman Willem Daendels, Probolinggo adalah salah satu kawasan yang dijual sebagai tanah partikelir demi melancarkan pembuatan jalan raya pos (De Grote Postweg) Anyer – Panarukan”

 Gubernur Jenderal Meester Herman William Daendels juga banyak menjual tanah negara kepada bangsa asing. “Transaksi terbesarnya adalah penjualan seluruh kabupaten Probolinggo di Jawa Timur kepada orang Cina, Han Ti Ko, dengan harga satu juta dolar. Ini, dan beberapa transaksi lain, murni usaha spekulatif  di pihak pembeli. Untunglah Daendels memerintah cukup lama sehingga sehingga bisa sepenuhnya menjalankan rencana-rencananya, yang akan berakibat separuh penduduk Jawa terpuruk menjadi hamba sahaya, taillable et corveable a merci (yang bisa diapakan saja oleh tuannya)”

Pusat Pemerintahan (Kabupaten) dipindahkan di sebelah Selatan Alun-alun, seperti keadaan sekarang ini.

Gemeente (Kota) Probolinggo

Pada masa Pemerintahan Raden Adipati Ario Nitinegoro, Bupati Probolinggo ke 17, Pemerintah Hindia Belanda membentuk “Gemeente Probolinggo” (Kota Probolinggo) pada tanggal 1 Juli 1918. Tanggal 1 Juli 1918 kemudian dijadikan sebagai hari jadinya Pemerintah Kota Probolinggo. Bersamaan dengan HUT Bhayangkara, tanggal 1 Juli oleh Pemerintah Kota madya Probolinggo telah beberapa kali diperingati sebagai hari jadi / HUT Pemerintah Kota Probolinggo. Tahun 1926 Gemeente diubah menjadi Stads Gemeente berdasarkan Stbl 365 Tahun 1926. Gemeente Probolinggo selanjutnya menjadi Kota Probolinggo berdasarkan Ordonansi pembentukan kota  (Stbl. 1928 No.500).

Sejak tahun 1918 Gemeente Probolinggo dipegang/dijabat oleh seorang Asisten Residen (di bawah Karesidenan Pasuruan). Baru tahun 1928 diangkat seorang Burgemeester (Walikota) sebagai kepala daerah yang berkuasa penuh. Pada tahun 1929 Probolinggo pernah menjadi Ibukota Karesidenan Probolinggo. Burgemeester (Walikota) Probolinggo pertama ialah Tn. Meyer. Tahun 1935 pangkat Burgemeester untuk Stadsgemeente Probolinggo dihapus dan sebagai pejabat diangkat Asisten Residen yang berkedudukan di Probolinggo (1935-1942) yaitu LA. de Graaf dan diganti L. Noe.

Pemerintah Kota Probolinggo Di Awal Indonesia Merdeka

Pemerintah penjajah/Hindia Belanda setelah kekuasaanya di Indonesia diganti oleh pemerintah/ penjajah Jepang dan kemudian Indonesia menjadi negara merdeka, berambisi kembali untuk tetap menguasai/menjajah Indonesia. Tanggal 21 Juli 1947 Kota Probolinggo diduduki oleh tentara kolonial Belanda. Diangkatlah seorang Asisten Residen Bayangan dan sebagai Bergemeester diangkat Saudara Saroso Harsono menjadi Walikota RI. Pada masa Pemerintahan Raden Soejoed Alip, Bupati Probolinggo ke 21, Kabupaten Probolinggo pada pertengahan bulan Pebruari 1948 dibagi menjadi 2 (dua), yaitu Kabupaten Kraksaan dan Kabupaten Probolinggo (berdasarkan Staatsblad 1948 No. 201). Gemeente Probolinggo dihapus dan disatukan dengan Kabupaten Probolinggo (berdasarkan Staatsblad 1948 )

 

Sejarah Berdirinya Pasuruhan


Sejarah Kabupaten Pasuruan bermula dari Peradaban Kerajaan Kalingga atau Ho Ling yang diperintah oleh  seorang Raja bernama Sima. Pada Tahun 742 - 755 Masehi,  Ibu Kota Kerajaan Kalingga  dipindahkan ke wilayah timur oleh Raja Kiyen yaitu daerah  Po-Lu-Kia-Sien yang ditafsirkan Pulokerto. Pulokerto adalah salah satu nama desa di wilayah Kecamatan Kraton Kabupaten Pasoeroean.

Setelah masa kejayaan Kalingga berakhir muncullah KerajaanMataram Kuno dibawah kekuasaan Dinasti Sanjaya Tahun 856 Masehi dipimpin oleh Raja Rakai Pikatan, diantara keturunan raja Dinasti Sanjaya yang telah banyak meninggalkan beberapa prasasti baik di Jawa Timur maupun Jawa Tengah adalah Raja Balitung. Kemudian pada Tahun 929 seorang Raja dari keluarga lain memerintah yaitu Mpu Sindok yang telah menggeser pusat pemerintahan dari Jawa Tengah ke Jawa Timur dengan ibu kota kerajaan  Tawlang identik dengan nama Desa Tembelang di daerah Jombang. Selama memerintah Mpu Sindok telah mengeluarkan lebih dari dua puluh prasasti diantaranya Prasasti yang terletak di Dusun Sukci, Desa Bulusari, Kecamatan Gempol yang menyebutkan Mpu Sindok memerintahkan agar rakyat Cungrang yang termasuk wilayah bawang, dibawah langsung Wahuta  Tungkal untuk menjadi sima (tanah perdikan). Substansi dalam prasasti ini dikonfersikan oleh Balai Arkeologi Yogyakarta dengan Hari Jum’at Pahing, tanggal 18 September 929 Masehi.

Dalam era jaman Majapahit dari Abad XII sampai Abad XIV  Masehi nama Pasuruan sebagai nama tempat hunian masyarakat dikenal pertama kali dan  tertulis dalam Kitab Negara Kertagama karangan Empu Prapanca. Pasoeroean dari segi kebahasaan dapat diurai menjadi pa-soeroe-an artinya tempat tumbuh tanaman suruh atau kumpulan daun suruh. 

Sesudah Kerajaan Majapahit berangsur surut berdirilah kerajaan Islam diantaranya Kerajaan Demak Bintoro, Kerajaan Giri Kedaton, Kerajaan pajang dan Kerajaan Mataram.

Pada era  Pasoeroean dalam kekuasaan Kerajaan Giri sekitar Abad  XIV sampai XVI  salah satu peninggalan utama adalah daerah Sidogiri. Berdasarkan sejarah lisan bahwa daerah inilah awal Sunan Giri meletakkan dasar-dasar dakwah dengan membuka langgar sekaligus tempat ngaji yang kemudian dinamakan Sidogiri.

Pada masa Kerajaan Demak Abad Ke XV,   Pasoeroean memiliki peranan penting dalam menyebarkan agama Islam. Bahkan Adipati Pasoeroean berhasil memperluas  kekuasaannya sampai Kediri. Pasoeroean dibawah Kerajaan Pajang  tidak lama karena pada Tahun 1616ketika Sultan Agung bertahta Kerajaan Mataram berhasil merebut wilayah Pasoeroean. 

Perkembangan selanjutnya Pada saat  Amangkurat I memegang kekuasaan   diangkatlah  Kyai Darmoyuda menjadi wedana Bupati Pasuruan. Wilayah Pasoeroean dibawah kekuasaan Amangkurat I banyak pergolakan untuk memisahkan diri dari Kerajaan Mataram bahkan pada saat Untung Suropati berkuasa di Pasoeroean upaya itu sangat kuat sehingga mataram dibantu Kompeni  Belanda berupaya mengembalikan wilayah Pasuruan masuk kekuasaan Kerajaan Mataram.

Perkembangan selanjutnya  pada masa Kolonial Belanda berdasarkan Staatblad 1900 No 334 tanggal 1 Januari 1901dibentuklan KabupatenPasoeroean yang wilayahnya berbatasan dengan madura, laut hindia, sebelah barat dengan residen Kediri dan Surabaya.

Setelah melakukan kajian yang utuh dan menyeluruh terhadap fakta Sejarah Kabupaten Pasuruan, maka diperoleh lima kriteria pokok dalam penetapan hari jadi yang disepakati oleh masyarakat KabupatenPasoeroean yaitu :

1.   Adanya periode sejarah tertua,

2.   Bukti tertulis dan peninggalan yang tertua,

3.   Pemukiman yang tertua,

4.   Struktur pemerintahan tertua dan bersifat indonesia-sentris.

5.   Menunjukkan kebanggaan pada peradapan lokal,

Maka diperoleh  hari kelahiran Kabupaten Pasoeroean berdasarkan PRASASTI CUNGRANG / SUKCI  yang terletak di Dusun Sukci, Desa Bulusari, Kecamatan Gempol maka Kabupaten Pasoeroean Lahir pada Hari Jum’at Pahing tanggal 18 September 929 M.

Dan atas dasar pertimbangan perjalanan sejarah inilah, maka diundangkan Peraturan Daerah Kabupaten Pasuruan Nomor 8 Tahun 2007 tentang Hari Jadi Kabupaten Pasuruan yang menetapkan  tanggal 18 September sebagai Hari Jadi Kabupaten Pasuruan dan diperingati setiap tahun di wilayah Kabupaten Pasuruan.
 
Letak Kota Pasuruan beradadi tepi pantai Utara Jawa Timur dan merupakan Kota Kuno setingkat kota bersejarah lainnya. Pada jaman kerajaan Airlangga disebut Paravan, selain itu disebut Kota Gembong, karena di tengah kota Pasuruandilaluisungai Gembongdengan pelabuhannva antar pulau.

Sejarah Kota Pasuruan dapat dirinci sebagai berikut:

Tahun 1671 – 1686, Pasuruan dibawah Pemerintahan Bupati Onggo Djojo yang berasal dari keturunan Kyai Brondong, yang kemudian mendapatkan perlawanan dari Untung Suropati. melarikandiri ke Kota Surabaya.

Tahun 1686 – 1706, Pasuruan dibawah Pemerintahan Djoko Untung Suropati dengan gelar Adipati Wironegoro.

Tahun 1706, sebagai akhir kekuasaannya menghadapi perang dengan VOC di Bangil dan beliau mengalami lukaberathinggameninggal yang sampai kini makamnya tidak diketahui tempatnya, namun yang bisa diketahui adanya petilasan berupa gua sebagai tempat persembunyian sewaktu dikejar tentara VOC di Pedukuhan Mancilan Desa Pohjentrek Kecamatan Purworejo Kotamadya Pasuruan.

Tahun 1707- 1743, Putera Djoko Untung Suropati yang bernama Rahmat menggantikan kedudukan ayahnya dan meneruskan perjuangannya sampai gugur dalam pertempuran melawan VOC Kerajaan Belanda.

Tahun 1743, Darmoyudo IV bernama Wongso Negoro Niti Negoro sebagai pengganti Rahmat, sejak saat itulah VOC dapat menguasai pantai Utara pulau Jawa termasuk Pasuruan.

VOC menganggap kota Pasuruan sebagai Kota Bandar karena keberadaan pelabuhannya untuk sarana transportasi perdagangan, akhirnya Belanda mengadakan kegiatan perekonomian dengan mendirikan PabrikGuladisekitar Pasuruan yang sampai sekarang masih nampak kegiatannya Pabrik Gula Kedawung.

Pada saat itu pula wilayah Pasuruan meliputi: Kabupaten/KotamadyaMalang, Kabupaten/Kotamadya Probolinggo dan Kabupaten Lumajang.

Juli 1916, dibentuknya Staatgementee Van Pasuruan. Bukti lain bahwa sejarah Kota Pasuruan yang dianggap kota penting oleh ahli Belanda.

Tahun 1926, ditetapkannya sebagai Pelabuhan Pasuruan Stbl. 1926 Nomor 521 dengan perubahan Stbl. 1926 Nomor 426.

14 Agustus 1950, sejak tanggal ini dinyatakan Kota Pasuruan sebagai Daerah Otonom yang terdiri 19 Desa dalam 1 Kecamatan.

21 Desember 1982, Kotamadya Pasuruan diperluas menjadi 3 Kecamatan dengan 19 Kelurahan dan 15 Desa. Dalam kurun waktu 1990 sampai 1994/1995 Kotamadya Pasuruan dikatagorikan sebagai Kota Sedang.

Tahun 1686, Kerajaan Belanda dengan kekuasaan VOC nya ingin menguasai wilayah Pasuruan yaitu wilayah yang disebutkan di atas.

Tahun 1743, Belanda menguasai Pasuruan bersama kepentingannya.

Tahun 1835, telah mendirikan bengkel-bengkel dan pabrik-pabrikgula termasuk pusat penelitian yang pada saat itu disebut PROOF STATION VAN JAVA dan sekarang berubah nama menjadi PUSAT PENELITIAN PERKEBUNANGULA INDONE­SIA (P3GI).

Tahun 1865, Selain itu Belanda (VOC) mendirikan pula bengkel-bengkel untuk menunjang kelancaran operasional pabrik, bernama DE BROMO.

Tahun 1971, DE BROMO berubah nama PN BOM A yang tergabung didalamnya PT BOMABISMAINDRA. Peninggalan lainnya setelah adanya penjajahan Belanda(VOC) adalah:

Pelabuhan Pasuruan sebagai pelayaran interinsuler/pelabuhan rakyat antar pulau.

Bangunan kuno yang mempunyai sifat arsitektur barat campur Jawa kuno, sebagai tempat tinggal pekerja Belanda.

 

Sejarah Lumajang


Bumi LUMAJANG sejak jaman Nirleka dikenal sebagai daerah yang "PANJANG-PUNJUNG PASIR WUKIR GEMAH RIPAH LOH JINAWI TATA TENTREM KERTA RAHARJA".

PANJANG-PUNJUNG berarti memiliki sejarah yang lama. Dari peninggalan-peninggalan Nirleka maupun prasasti yang banyak ditemukan di daerah Lumajang cukup membuktikan hal itu.

Beberapa prasasti yang pernah ditemukan, antara lain Prasasti Ranu Gumbolo. Dalam prasasti tersebut terbaca "LING DEVA MPU KAMESWARA TIRTAYATRA". Pokok-pokok isinya adalah bahwa Raja Kameswara dari Kediri pernah melakukan TIRTAYATRA ke dusun Tesirejo kecamatan Pasrujambe, juga pernah ditemukan prasasti yang merujuk pada masa pemerintahan Raja Kediri KERTAJAYA.

Beberapa bukti peninggalan yang ada antara lain :
Prasasti Mula Malurung
Naskah Negara Kertagama
Kitab Pararaton
Kidung Harsa Wijaya
Kitab Pujangga Manik
Serat Babat Tanah Jawi
Serat Kanda

Dari Prasasti Mula Manurung yang ditemukan di Kediri pada tahun 1975 dan ber-angka tahun 1177 Saka (1255 Masehi) diperoleh informasi bahwa NARARYYA KIRANA, salah satu dari anak Raja Sminingrat (Wisnu Wardhana) dari Kerajaan Singosari, dikukuhkan sebagai Adipati (raja kecil) di LAMAJANG(Lumajang). Pada tahun 1255 Masehi, tahun yang merujuk pada pengangkatan NARARYYA KIRANA sebagai Adipati di Lumajang inilah yang kemudian dijadikan sebagai sebagai dasar penetapan Hari Jadi Lumajang (HARJALU).

Dalam Buku Pararaton dan KIDUNG HARSYA WIJAYA disebutkan bahwa para pengikut Raden Wijaya atau Kertarajasa dalam mendirikan Majapahit, semuanya diangkat sebagai Pejabat Tinggi Kerajaan. Di antaranya Arya Wiraraja diangkat Maha Wiradikara dan ditempatkan di Lumajang, dan putranya yaitu Pu Tambi atau Nambi diangkat sebagai Rakyan Mapatih.

 Pengangkatan Nambi sebagai Mapatih inilah yang kemudian memicu terjadinya pemberontakan di Majapahit. Apalagi dengan munculnya Mahapati(Ramapati) seorang yang cerdas, ambisius dan amat licik. Dengan kepandaiannya berbicara, Mahapati berhasil mempengaruhi Raja. Setelah berhasil menyingkirkan Ranggalawe, Kebo Anabrang, Lembu Suro, dan Gajah Biru, target berikutnya adalah Nambi.

Nambi yang mengetahui akan maksud jahat itu merasa lebih baik menyingkir dari Majapahit. Kebetulan memang ada alasan, yaitu ayahnya(Arya Wiraraja) sedang sakit, maka Nambi minta izin kepada Raja untuk pulang ke Lumajang. Setelah Wiraraja meninggal pada tahun 1317 Masehi, Nambi tidak mau kembali ke Majapahit, bahkan membangun Beteng di Pajarakan. Pada 1316, Pajarakan diserbu pasukan Majapahit. Lumajang diduduki dan Nambi serta keluarganya dibunuh.

Pupuh 22 lontar NAGARA KERTAGAMA yang ditulis oleh Prapanca menguraikan tentang perjalanan Raja Hayam Wuruk ke Lumajang. Selain NAGARA KERTAGAMA, informasi tentang Lumajang diperoleh dari Buku Babad. Dalam beberapa buku babad terdapat nama-nama penguasa Lumajang, yaitu WANGSENGRANA, PUTUT LAWA, MENAK KUNCARA(MENAK KONCAR) dan TUMENGGUNG KERTANEGARA. Oleh karena kemunculan tokoh-tokoh itu tidak disukung adanya bukti-bukti yang berupa bangunan kuno, keramik kuno, ataupun prasasti, maka nama-nama seperti MENAK KONCAR hanyalah tokoh dongeng belaka.

Di tepi Alun-alun Lumajang sebelah utara terdapat bangunan mirip candi, berlubang tembus, terdapat CANDRA SENGKALA yang berbunyi "TRUSING NGASTA MUKA PRAJA" (TRUS=9, NGASTA=2, MUKA=9, PRAJA=1). Bangunan ini merupakan tetenger atau penanda, ditujukan untuk mengenang peristiwa bersejarah, yaitu pada tahun 1929. Lumajang dinaikkan statusnya menjadi REGENTSCAH otonom per 1 Januari 1929 sesuai Statblat Nomor 319, 9 Agustus 1928. Regentnya RT KERTO ADIREJO, eks Patih Afdelling Lumajang (sebelumnya Lumajang masuk wilayah administratif Kepatihan dari Afdelling Regentstaschap atau Pemerintah Kabupaten Probolinggo).

Pada masa perjuangan merebut dan mempertahankan kemerdekaan tahun 1942-1949, Lumajang dijadikan sebagai basis perjuangan TNI dengan dukungan rakyat.

Nama-nama seperti KAPTEN KYAI ILYAS, SUWANDAK, SUKERTIYO, dan lain-lainnya, baik yang gugur maupun tidak, yang dikenal atau tak dikenal, adalah para kusuma bangsa yang dengan meneruskan perjuangan para pahlawan kusuma bangsa itu dengan bekerja secara tulus, menjauhkan kepentingan pribadi, jujur, amanah, dan bersedia berkorban demi kemajuan Lumajang Tercinta.

Mengingat keberadaan Negara Lamajang sudah cukup meyakinkan bahwa 1255M itu Lamajang sudah merupakan sebuah negara berpenduduk, mempunyai wilayah, mempunyai raja (pemimpin) dan pemerintahan yang teratur, maka ditetapkanlah tanggal 15 Desember 1255 M sebagai hari jadi Lumajang yang dituangkan dalam Keputusan Bupati Kepala Derah Tingkat II Lumajang Nomor 414 Tahun 1990 tanggal 20 Oktober 1990

 Sejak tahun 1928 Pemerintahan Belanda menyerahkan segala urusan segala pemerintahan kepada Bupati Lumajang pertama KRT Kertodirejo. Yang ditandai dengan monumen / tugu yang terletak di depan pintu gerbang Alun-alun sebelah utara.

1. KRT KERTODIREJO ( 1928 - 1941 )
2. R. ABU BAKAR  ( 1941 - 1948 )
3. R. SASTRODIKORO  ( 1948 - 1959 )
4. R. SUKARDJONO ( 1959 - 1966 )
5. N.G. SUBOWO ( 1966 - 1973 )
6. SUWANDI ( 1973 - 1983 )
7. KARSID ( 1983 - 1988 )
8. H.M. SAMSI RIDWAN ( 1988 - 1993 )
9. TARMIN HARIYADI ( 1993 - 1998 )
10. Drs.H. ACHMAD FAUZI ( 1998 - 2003 )
11. Drs.H. ACHMAD FAUZI - H. HARTONO, SH, S.Sos ( 2003 - 2008 )
12. DR.H. SJAHRAZAD MASDAR,MA - Drs. AS'AT, MAg ( 2008 - 2013 )
13. DR.H. SJAHRAZAD MASDAR,MA - Drs. AS'AT, MAg ( 2013 - 2018 )


Wisata Kabupaten Lumajang komplet, mulai dari pantai, air terjun, sampai gunung. Ada juga pura alias tempat ibadah. Juga danau atau ranu. Juga ada situs peninggalan jaman Arya Wiraraja. Kabupaten Lumajanglumayan padat, dihuni oleh satu jiwa jiwa, mendiami wilayah seluas 1.790 km persegi. Saat ini dipimpin oleh Bupati Sjahrazad Masdar.

Lumajang punya batas selatan Samudera Hindia; dan salah satu zona yang disebut dengan Daerah Tapal Kuda di Jawa Timur. Disebut tapal kuda karena emang mirip ladam alias tapal kuda. Batas utara adalahKabupaten Probolinggo. Batas timurKabupaten Jember. Batas barat adalahKabupaten Malang. Di batas barat laut ada Pegunungan Bromo-Tengger-Semeru, dengan puncaknya Gunung Bromo (2.392 m) dan Gunung Semeru (3.676 m). Batas timur laut adalah ujung barat Pegunungan Iyang.

Warga Lumajang umumnya adalah etnis Jawa dan Madura, dan mayoritas muslim. DiPegunungan Tengger KecamatanSenduro (terutama di daerah Ranupane, Argosari, dan sekitarnya), terdapat masyarakat Tengger beragama Hindu dan punya bahasa khas. Di Senduro ada  bangunan mirip pura, yang kadang-kadang di buat tempat persembahan apabila ada hari besar umat Hindu. Apabila hari biasa biasanya pura tersebut dijadikan sebagai tempat pariwisata.

Bagian timur yang rendah menjadi daerah favorit wisata pantai, seperti Pantai Watu Pecak, Pantai Bambang, Watu Godeg dan Watu Gedeg. Di lingkaran pegunungan Semeru terdapat daerah piket nol yang menjadi puncak tertinggi di lintas perbukitan selatan berdekatan dengan Goa Tetes yang eksotis. Di Daerah Sumber Mujur juga terdapat Kawasan Hutan Bambu di sekitar mata air Sumber Deling yang merupakan kawasan pemuliaan dan pelestarian aneka jenis tanaman bambu yang menjadi habibat bagi kawanan kera dan ribuan kelelawar(keloang). Terdapat juga sebuah tempat wisata mata air suci dan pura watu klosot di Pasrujambe yang menjadi kawasan tujuan wisata bagi peziarah Hindu dari Bali. Ketinggian daerah Kabupaten Lumajangbervariasi dari 0-3.676 m dengan daerah yang terluas adalah pada ketinggian 100-500 m dari permukaan laut 63.405,50 Ha (35,40 %) dan yang tersempit adalah pada ketinggian 0-25 m dpl yaitu 19.722,45 Ha atau 11,01 % dari luas keseluruhan Kabupaten.

Situs Biting adalah bekas ibu kota Arya Wiraraja. Selain itu Lumajang juga punya situs prasejarah di Kandangan (Kecamatan Senduro), Situs Watu Lumpang di Dusun Watu Lumpang, Kecamatan Gucialit, Candi Agung di Kecamatan Randu Agung, Situs Tegal Randu di Kecamatan Klakah, Situs Candi Gedong Putri di desa Klopo Sawit Kecamatan Candi Puro. Situs-situs ini sampai sekarang masih berserakan dan meminta perhartian lebih intens karena ancaman alaman dan ulah tangan manusia.

Wisata Situs Biting
 

Situs Biting merupakan situs arkeologis yang terletak di desa Kutorenon, Sukodono. Situs ini peninggalan dari kerajaan Lamajang dan tersebar di atas kawasan seluas sekitar 135 hektar. Bangunan yang paling mengesankan adalah bekas tembok benteng dengan dengan panjang 10 kilometer, lebar 6 meter dan tinggi 10 meter. Kawasan Situs Biting adalah sebuah kawasan ibu kota kerajaan Lamajang Tigang Juru yang dipimpin Prabu Arya Wiraraja yang dikelilingi oleh benteng pertahanan dengan tebal 6 meter, tinggi 10 meter dan panjang 10 km.

Hasil penelitian Balai Arkeologi Yogyakarta tahun 1982-1991, Kawasan Situs Biting memiliki luas 135 hektar yang mencakup 6 blok/area merupakan blok keraton seluas 76,5 ha, blok Jeding 5 ha, blok Biting 10,5 ha, blok Randu 14,2 ha, blok Salak 16 ha, dan blok Duren 12,8 ha. Dalam Babad Negara Kertagama, kawasan ini disebut Arnon dan dalam perkembangan pada abad ke-17 disebut Renong dan dewasa ini masuk dalam desa Kutorenon yang dalam cerita rakyat identik dengan “Ketonon” atau terbakar.

Nama Biting sendiri merujuk pada kosa kata Madura bernama “Benteng” karena daerah ini memang dikelilingi oleh benteng yang kokoh Pada tahun 1995 di Kawasan Situs Biting mulai dibangun Perumnas Biting yang tentu saja banyak merusak peninggalan Sejarah (Situs) yang ada. Namun anehnya pihak-pihak terkait yaitu Balai Pelstarian Peninggalan Purbakala (BP3) Jawa Timur yang merupakan lembaga penyelamat seolah diam melihat perusakan ini sehingga lebih kurang 15 Hektar kawasan ini rusak oleh pembangunan ini.

Advokasi Pelestarian oleh Masyarakat Peduli Peninggalan Majapahit Timur (MPPM Timur) Pada tahun 2010 berdasarkan lahir sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat bernama Masyarakat Peduli Peninggalan Majapahit Timur (MPPM Timur) melakukan advokasi pelestarian Situs Biting. Setelah itu juga Komunitas Mahasiswa Peduli Lumajang (KMPL) bergerak dalam advokasi ini dan kemudian juga elemen masyarakat lokal Biting juga mulai sadar akan peninggalan sejarah yang ada di wilayahnya. Advokasi yang dilakukan oleh para pelestari Situs Biting telah melahirkan berbagai event seperti Napak Tilas yang telah digelar selama 2 kali berturut-turut, lomba lukis benteng maupun seminar Nasional. Untuk acara Napak Tilas kemudian menjadi agenda resmi Pariwisata Jawa Timur dari Kabupaten Lumajang yang akan diadakan setiap bulan juni. Pelestarian Situs Biting di Lumajang Jawa Timur merupakan contoh bagi para pecinta dan pelestari sejarah dimana LSM, mahasiswa maupun masyarakat telah bahu-membahu melakukan sosialisasi maupun advokasi terhadap peninggalan sejarah

Doa Nabi Sulaiman Menundukkan Hewan dan Jin

  Nabiyullah Sulaiman  'alaihissalam  (AS) merupakan Nabi dan Rasul pilihan Allah Ta'ala yang dikaruniai kerajaan yang tidak dimilik...