Pernahkah selama ini kita mendapatkan nasehat dan cerita tentang 2 tokoh
besar berdirinya NU dan Muhammadiyah? Dengan kisah ini semoga membuka
hati kita komunitas NU dan Muhammadiyah. Subhanallah....ternyata mereka
adalah 2 teman yang sangat baik, 2 sahabat sejati, 2 sisi mata uang,
ibarat air dan tanah, tidak saja kenal, bukan saja sering bertemu,
tetapi mereka "ngliwet" bersama selam bertahun-tahun. Mereka tidur
bersama dalam satu bilik kecil di pesantren tempat mereka menggali dan
mendalami lautan ilmu Allah swt.......
Hadratus Syaikh KH M. Hasyim Asy'ari Jun 23
Jombang l933. Terjadi dialog yang mengesankan antara dua ulama besar,
KH Muhammad Hasyim Asy'ari dengan KH Mohammad Cholil, gurunya. "Dulu
saya memang mengajar Tuan. Tapi hari ini, saya nyatakan bahwa saya
adalah murid Tuan," kata Mbah Cholil, begitu kiai dari Madura ini
populer dipanggil. Kiai Hasyim menjawab, "Sungguh saya tidak menduga
kalau Tuan Guru akan mengucapkan kata-kata yang demikian. Tidakkah Tuan
Guru salah raba berguru pada saya, seorang murid Tuan sendiri, murid
Tuan Guru dulu, dan juga sekarang. Bahkan, akan tetap menjadi murid Tuan
Guru selama-lamanya." Tanpa merasa tersanjung, Mbah Cholil tetap
bersikeras dengan niatnya. "Keputusan dan kepastian hati kami sudah
tetap, tiada dapat ditawar dan diubah lagi, bahwa kami akan turut
belajar di sini, menampung ilmu-ilmu Tuan, dan berguru kepada Tuan,"
katanya. Karena sudah hafal dengan watak gurunya, Kiai Hasyim tidak bisa
berbuat lain selain menerimanya sebagai santri.
Lucunya, ketika turun dari masjid usai shalat berjamaah, keduanya
cepat-cepat menuju tempat sandal, bahkan kadang saling mendahului,
karena hendak memasangkan ke kaki gurunya.
Sesungguhnya bisa saja terjadi seorang murid akhirnya lebih pintar
ketimbang gurunya. Dan itu banyak terjadi. Namun yang ditunjukkan Kiai
Hasyim juga Kiai Cholil; adalah kemuliaan akhlak. Keduanya menunjukkan
kerendahan hati dan saling menghormati, dua hal yang sekarang semakin
sulit ditemukan pada para murid dan guru-guru kita.
Mbah Cholil adalah kiai yang sangat termasyhur pada jamannya. Hampir
semua pendiri NU dan tokoh-tokoh penting NU generasi awal pernah berguru
kepada pengasuh sekaligus pemimpin Pesantren Kademangan, Bangkalan
Madura ini. Sedangkan Kiai Hasyim sendiri tak kalah cemerlangnya. Bukan
saja ia pendiri sekaligus pemimpin tertinggi NU, yang punya pengaruh
sangat kuat kepada kalangan ulama, tapi juga lantaran ketinggian
ilmunya. Terutama, kakek Abdurrahman Wachid (Gus Dur) ini terkenal
mumpuni dalam ilmu Hadits. Setiap Ramadhan Kiai Hasyim punya 'tradisi'
menggelar kajian hadits Bukhari dan Muslim selama sebulan suntuk. Kajian
itu mampu menyedot perhatian ummat Islam.
Maka tak heran bila pesertanya datang dari berbagai daerah di Indonesia,
termasuk mantan gurunya sendiri, Kiai Cholil. Ribuan santri menimba
ilmu kepada Kiai Hasyim. Setelah lulus dari Tebuireng, tak sedikit di
antara santri Kiai Hasyim kemudian tampil sebagai tokoh dan ulama
kondang dan berpengaruh luas. KH Abdul Wahab Chasbullah, KH. Bisri
Syansuri, KH. R. As'ad Syamsul Arifin, Wahid Hasyim (anaknya) dan KH
Achmad Siddiq adalah beberapa ulama terkenal yang pernah menjadi santri
Kiai Hasyim.
Tak pelak lagi pada abad 20 Tebuireng merupakan pesantren paling besar
dan paling penting di Jawa. Zamakhsyari Dhofier, penulis buku 'Tradisi
Pesantren', mencatat bahwa pesantren Tebuireng adalah sumber ulama dan
pemimpin lembaga-lembaga pesantren di seluruh Jawa dan Madura. Tak heran
bila para pengikutnya kemudian memberi gelar Hadratus-Syekh (tuan guru
besar) kepada Kiai Hasyim.
Karena pengaruhnya yang demikian kuat itu, keberadaan Kiai Hasyim
menjadi perhatian serius penjajah. Baik Belanda maupun Jepang berusaha
untuk merangkulnya. Di antaranya ia pernah dianugerahi bintang jasa pada
tahun 1937, tapi ditolaknya. Justru Kiai Hasyim sempat membuat Belanda
kelimpungan.
Pertama, ia memfatwakan bahwa perang melawan Belanda adalah jihad
(perang suci). Belanda kemudian sangat kerepotan, karena perlawanan
gigih melawan penjajah muncul di mana-mana.
Kedua, Kiai Hasyim juga pernah mengharamkan naik haji memakai kapal Belanda.
Fatwa tersebut ditulis dalam bahasa Arab dan disiarkan oleh Kementerian
Agama secara luas. Keruan saja, Van der Plas (penguasa Belanda) menjadi
bingung. Karena banyak ummat Islam yang telah mendaftarkan diri kemudian
mengurungkan niatnya.
Namun sempat juga Kiai Hasyim mencicipi penjara 3 bulan pada l942. Tidak
jelas alasan Jepang menangkap Kiai Hasyim. Mungkin, karena sikapnya
tidak kooperatif dengan penjajah. Uniknya, saking khidmatnya kepada
gurunya, ada beberapa santri minta ikut dipenjarakan bersama kiainya
itu.
Mendirikan NU
Kemampuannya dalam ilmu hadits, diwarisi darigurunya, Syekh Mahfudh
at-Tarmisi di Mekkah. Selama 7 tahun Hasyim berguru kepada Syekh ternama
asal Pacitan, Jawa Timur itu. Disamping Syekh Mahfudh, Hasyim juga
menimba ilmu kepada Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabau. Kepada dua guru
besar itu pulalah Kiai Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah, berguru.
Jadi, antara KH Hasyim Asy'ari dan KH Ahmad Dahlan sebenarnya tunggal
guru.
Yang perlu ditekankan, saat Hasyim belajar di Mekkah, Muhammad Abduh
sedang giat-giatnya melancarkan gerakan pembaharuan pemikiran Islam. Dan
sebagaimana diketahui, buah pikiran Abduh itu sangat mempengaruhi
proses perjalanan ummat Islam selanjutnya. Sebagaimana telah dikupas
Deliar Noer, ide-ide reformasi Islam yang dianjurkan oleh Abduh yang
dilancarkan dari Mesir, telah menarik perhatian santri-santri Indonesia
yang sedang belajar di Mekkah. Termasuk Hasyim tentu saja. Ide reformasi
Abduh itu ialah
pertama mengajak ummat Islam untuk memurnikan kembali Islam dari
pengaruh dan praktek keagamaan yang sebenarnya bukan berasal dari
Islam.
Kedua, reformasi pendidikan Islam di tingkat universitas; dan
ketiga, mengkaji dan merumuskan kembali doktrin Islam untuk disesuaikan dengan kebutuhan-kebutuhan kehidupan modern; dan
keempat, mempertahankan Islam. Usaha Abduh merumuskan doktrin-doktrin
Islam untuk memenuhi kebutuhan kehidupan modern pertama dimaksudkan agar
supaya Islam dapat memainkan kembali tanggung jawab yang lebih besar
dalam lapangan sosial, politik dan pendidikan.
Dengan alasan inilah Abduh melancarkan ide agar ummat Islam melepaskan
diri dari keterikatan mereka kepada pola pikiran para mazhab dan agar
ummat Islam meninggalkan segala bentuk praktek tarekat. Syekh Ahmad
Khatib mendukung beberapa pemikiran Abduh, walaupun ia berbeda dalam
beberapa hal. Beberapa santri Syekh Khatib ketika kembali ke Indonesia
ada yang mengembangkan ide-ide Abduh itu.
Di antaranya adalah KH Ahmad Dahlan yang kemudian mendirikan Muhammadiyah.
Tidak demikian dengan Hasyim. Ia sebenarnya juga menerima ide-ide Abduh
untuk menyemangatkan kembali Islam, tetapi ia menolak pikiran Abduh agar
ummat Islam melepaskan diri dari keterikatan mazhab. Ia berkeyakinan
bahwa adalah tidak mungkin untuk memahami maksud yang sebenarnya dari
ajaran-ajaran Al-Qur'an dan Hadist tanpa mempelajari pendapat-pendapat
para ulama besar yang tergabung dalam sistem mazhab. Untuk menafsirkan
al-Qur'an dan Hadist tanpa mempelajari dan meneliti buku-buku para ulama
mazhab hanya akan menghasilkan pemutarbalikan saja dari ajaran-ajaran
Islam yang sebenarnya, demikian tulis Dhofier.
Dalam hal tarekat, Hasyim tidak menganggap bahwa semua bentuk praktek
keagamaan waktu itu salah dan bertentangan dengan ajaran Islam. Hanya,
ia berpesan agar ummat Islam berhati-hati bila memasuki kehidupan
tarekat. Dalam perkembangannya, benturan pendapat antara golongan
bermazhab yang diwakili kalangan pesantren (sering disebut kelompok
tradisional), dengan yang tidak bermazhab (diwakili Muhammadiyah dan
Persis, sering disebut kelompok modernis) itu memang kerap tidak
terelakkan. Puncaknya adalah saat Konggres Al Islam IV yang
diselenggarakan di Bandung. Konggres itu diadakan dalam rangka mencari
masukan dari berbagai kelompok ummat Islam, untuk dibawa ke Konggres
Ummat Islam di Mekkah.
Karena aspirasi golongan tradisional tidak tertampung (di antaranya:
tradisi bermazhab agar tetap diberi kebebasan, terpeliharanya
tempat-tempat penting, mulai makam Rasulullah sampai para sahabat)
kelompok ini kemudian membentuk Komite Hijaz. Komite yang dipelopori KH
Abdullah Wahab Chasbullah ini bertugas menyampaikan aspirasi kelompok
tradisional kepada penguasa Arab Saudi. Atas restu Kiai Hasyim, Komite
inilah yang pada 31 Februari l926 menjelma jadi Nahdlatul Ulama (NU)
yang artinya kebangkitan ulama.
Setelah NU berdiri posisi kelompok tradisional kian kuat. Terbukti, pada
l937 ketika beberapa ormas Islam membentuk badan federasi partai dan
perhimpunan Islam Indonesia yang terkenal dengan sebuta MIAI (Majelis
Islam A'la Indonesia) Kiai Hasyim diminta jadi ketuanya. Ia juga pernah
memimpin Masyumi, partai politik Islam terbesar yang pernah ada di
Indonesia. Keturunan Raja Pajang
Lahir 24 Dzul Qaidah 1287 Hijriah atau 14 Februari l871 Masehi, Hasyim
adalah putra ketiga dari 11 bersaudara. Dari garis ibu, Halimah, Hasyim
masih terhitung keturunan ke delapan dari Jaka Tingkir alias Sultan
Pajang, raja Pajang. Namun keluarga Hasyim adalah keluarga kiai.
Kakeknya, Kiai Utsman memimpin Pesantren Nggedang, sebelah utara
Jombang. Sedangkan ayahnya sendiri, Kiai Asy'ari, memimpin Pesantren
Keras yang berada di sebelah selatan Jombang. Dua orang inilah yang
menanamkan nilai dan dasar-dasar Islam secara kokoh kepada Hasyim.
Sejak anak-anak, bakat kepemimpinan dan kecerdasan Hasyim memang sudah
nampak. Di antara teman sepermainannya, ia kerap tampil sebagai
pemimpin. Dalam usia 13 tahun, ia sudah membantu ayahnya mengajar
santri-santri yang lebih besar ketimbang dirinya. Usia 15 tahun Hasyim
meninggalkan kedua orang tuanya, berkelana memperdalam ilmu dari satu
pesantren ke pesantren lain. Mula-mula ia menjadi santri di Pesantren
Wonokoyo, Probolinggo. Kemudian pindah ke Pesantren Langitan, Tuban.
Pindah lagi Pesantren Trenggilis, Semarang. Belum puas dengan berbagai
ilmu yang dikecapnya, ia melanjutkan di Pesantren Kademangan, Bangkalan
di bawah asuhan Kiai Cholil.
Tak lama di sini, Hasyim pindah lagi di Pesantren Siwalan, Sidoarjo. Di
pesantren yang diasuh Kiai Ya'qub inilah, agaknya, Hasyim merasa
benar-benar menemukan sumber Islam yang diinginkan. Kiai Ya'qub dikenal
sebagai ulama yang berpandangan luas dan alim dalam ilmu agama. Cukup
lama --lima tahun-- Hasyim menyerap ilmu di Pesantren Siwalan. Dan
rupanya Kiai Ya'qub sendiri kesengsem berat kepada pemuda yang cerdas
dan alim itu. Maka, Hasyim bukan saja mendapat ilmu, melainkan juga
istri. Ia, yang baru berumur 21 tahun, dinikahkan dengan Chadidjah,
salah satu puteri Kiai Ya'qub. Tidak lama setelah menikah, Hasyim
bersama istrinya berangkat ke Mekkah guna menunaikan ibadah haji. Tujuh
bulan di sana, Hasyim kembali ke tanah air, sesudah istri dan anaknya
meninggal.
Tahun 1893, ia berangkat lagi ke Tanah Suci. Sejak itulah ia menetap di
Mekkah selama 7 tahun. Tahun 1899 pulang ke Tanah Air, Hasyim mengajar
di pesanten milik kakeknya, Kiai Usman. Tak lama kemudian ia mendirikan
Pesantren Tebuireng. Kiai Hasyim bukan saja kiai ternama, melainkan juga
seorang petani dan pedagang yang sukses. Tanahnya puluhan hektar. Dua
hari dalam seminggu, biasanya Kiai Hasyim istirahat tidak mengajar.
Saat itulah ia memeriksa sawah-sawahnya. Kadang juga pergi Surabaya
berdagang kuda, besi dan menjual hasil pertaniannya. Dari bertani dan
berdagang itulah, Kiai Hasyim menghidupi keluarga dan pesantrennya. Dari
perkawinannya dengan Mafiqah, putri Kiai Ilyas, Kiai Hasyim dikarunia
10 putra: Hannah, Khoriyah, Aisyah, Ummu Abdul Hak (istri Kiai Idris),
Abdul Wahid, Abdul Kholik, Abdul Karim, Ubaidillah, Masrurah dan
Muhammad Yusuf. Wafat 25 Juli 1947. Atas jasa-jasanya pemerintah
mengangkatnya sebagai Pahlawan Nasional.
Semoga Allah SWT mensucikan ruhnya dan menempatkannya di tempat mulia di sisi-Nya. Amin.
DAHLAN ASY'ARY
Wahai saudaraku Muhammadiyah-NU.... Ketahuilah. KH. Ahmad Dahlan dan KH.
Hasyim Asy’ari adalah sama-sama keturunan Sunan Giri (Syekh Maulana
‘Ainul Yaqin), yang apabila ditarik garis ke atas, nasabnya sampai
kepada Rasulullah Saw. Ketika keduanya lahir, oleh orang tua mereka
masing-masing diberi nama depan yang sama, yaitu Muhammad. Nama kecil
KH. Ahmad Dahlan adalah Muhammad Darwis, sedangkan nama kecil KH. Hasyim
Asy’ari adalah Muhammad Hasyim. Keduanya pernah berguru kepada ulama
besar yang sama, yaitu kepada KH. Saleh Darat al-Samarangi, Syekh Mahfud
al-Tarmasy, dan Syekh Ahmad Khatib Minangkabau. Selama puluhan tahun
mereka selalu bersama, hidup dalam pusaran lautan ilmu yang luas,
dibimbing bersama, mengenyam ilmu bersama, hidup dalam jalinan kasih
sayang yang tulus karena Gusti Allah semata. Tak pernah ada dalam kisah
atau sejarah mereka berdua bertengkar, sama sekali tidak pernah.
Subhanallah...
KH. Ahmad Dahlan mendirikan Muhammadiyah yang berlambang matahari, KH.
Hasyim Asy’ari mendirikan Nahdhatul Ulama (NU) yang berlambang bumi dan
bintang. Muhammadiyah banyak dijiwai oleh semangat QS. Ali Imran ayat
104, sedangkan NU, QS. Ali Imran ayat 103. Dan, K.H. Hasyim Asy’ari
mendirikan NU tidak lama setelah K.H. Ahmad Dahlan wafat. Apakah ini
juga sekadar kebetulan?
UBUDIYAH KH.AHMAD DAHLAN=KH.HASYIM ASY'ARY
KH Ahmad Dahlan sebelum menunaikan ibadah haji ke tanah suci bernama
‘’Muhammad Darwis’’. Seusai menunaikan ibadah haji, beliau diganti
namanya oleh Sayyid Abu Bakar Syata, ulama besar yang bermadhab Syafii.
Jauh sebelum menunaikan ibadah haji, dan belajar mendalami ilmu agama.
KH Ahmad Dahlan telah belajar agama kepada Syeh Sholeh Darat. KH Sholih
Darat adalah ulama’ besar yang telah bertahun-tahun ngaji dan mengajar
di Masjidilharam. Di Pondok pesantren milik KH Murtadho (sang mertua),
KH Sholih darat mengajar santri-santri beragama ilmu agama, seperti;
Alhilam (tasawof), Kitab Al-Munjiyah (Karya Syeh Sholih Darat), Fikih
(Kitab Lataif Al-Taharah), serta beragam ilmu agama lainnya. Di
pesantren ini, Mohammad Darwis ditemukan dengan Hasyim As’ary. Kedunaya
sama-sama mendalami ilmu agama dari ulama besar Syekh Sholih Darat.
Waktu itu, Mohmmad Darwis berusia 16 tahun sementara, Hasyim As’ary
berusia 14 tahun. Dalam keseharian, Mohamamd Darwis memanggil Hasyim
dengan sebutan ‘’Adi Hasyim’’. Sementara, Hasyim As’ary memanggil
Mohamamd Darwis dengan panggilan ‘’Mas Darwis’’. Konon, semasa di
Pesantren, keduanya sekamar. Keduannya menjadi santri Syekh Sholih darat
sekitar 2 tahun penuh. Selepas nyantri di Pesantren Syekh Sholih Darat.
Keduanya mendalami ilmu agamanya di Makkah, dimana Sang Guru Syekh
Sholih Darat pernah menimba ilmu bertahun-tahun lamanya. Tentu saja,
sang Guru sudah membekali akidah dan ilmu fikih yang cukup. Sekaligus
telah memberikan referensi ulama-ulama mana yang harus didatangi dan
diserap ilmunya selama di Makkah. Puluhan ulama-ulama Makkah waktu itu
berdarah nusantara. Praktek ibadah waktu, seperti; tasawuf, wirid,
tahlil, membaca barzanzi (diba’) menjadi bagian dari kehidupan
ulama-ulama nusantara. Hampir semua karya-karya Syekh Muhmmad Yasin
Al-Fadani, Syekh Muhammad Mahfud Al-Turmusi menceritakan tentang madhab
al-Syafii dan As’aryiyah sebagai akidahnya. Tentu saja, itu pula yang di
ajarkan kepada murid-muridnya, seperti; KH Ahmad Dahlan, Hasyim As’ary,
Wahab Hasbullah, Syekh Abdul Kadir Mandailing dll (lihat: Profil
Pendidikan dan Ulama’ Indonesia di Makkah: Abd. Adzim Irsad).
Seusai pulang dari Makkah, masing-masing mengamalkan ilmu yang telah
diperoleh dari guru-gurunya di Makkah. Mohammad Darwis yang telah di
ubah namanya menjadi Ahmad Dahlan mendirikan persarikatan Muhamamdiyah.
Sedangkan Hasyim As’ary mendirikan NU (Nahdhotul Ulama’). Begitulah
persaudaraan sejati yang dibangun sejak menjadi santri Syekh Sholih
Darat hingga menjadi santri di Tanah Suci Makkah. Keduanya juga
membuktikan, kalau dirinya tidak ada perbedaan di dalam urusan akidah,
dan madhabnya. Saat itu di Makkah memang mayoritas bermadhab Syafii dan
berakidah Asary. Wajar, jika praktek ibadah sehari-hari KH Ahmad Dahlan
persis dengan guru-gurunya di tanah suci. Semisal sholat subuh, KH Ahmad
Dahan tetap menggunakan Qunut, dan tidah pernah berpendapat bahwa Qunut
sholat subuh Nabi Muhammad Saw adalah Qunut Nazilah. Karena beliau
sangat memahami ilmu hadis dan juga memahami ilmu fikih. Begitu
Tarawihnya, KH Ahmad Dahlan praktek Tarawihnya 20 rakaat. Penduduk
Makkah sejak ber-abad-abad, sejak masa Umar Ibn Al-Khttab, telah
menjalankan Tarawih 20 rakaat dengan tiga witir, hingga sekarang. Jumlah
ini telah disepakati oleh sahabat-sahabat Nabi Saw.
Bagi penduduk Makkah, tarawih 20 rakaat merupakan Ijmak Sahabat.
Sedangkan penduduk Madinah melaksanakan 36 rakaat. Penduduk Madinah
ber-anggapan, setiap pelaksanaan 2 X salaman, semua beristirahat. Pada
waktu istirahat, mereka mengisi dengan thowaf sunnah. Nyaris,
pelaksanaan sholat tarawih hingga malam, bahkan menjelang shubuh. Di
sela-sela tarawih itulah keuntungan penduduk Makkah, karena bisa
menambah pahala ibadah. Bagi penduduk Madinah, untuk mengimbangi pahala,
mereka melaksanakan tarawih dengan jumlah lebih banyak. Jika di lihat
dari pengertiannya, sebagaimana di dijelaskan oleh al-HafizIbn Hajar
al-A’sqallâniy dalam kitab Fath al-Bâriy Syarh al-Bukhâriy sebagai
berikut: سُمِّيَتْ الصَّلَاة فِي الْجَمَاعَة فِي لَيَالِي رَمَضَان
التَّرَاوِيحَ لِأَنَّهُمْ أَوَّلَ مَا ِجْتَمَعُوا عَلَيْهَا كَانُوا
يَسْتَرِيحُونَ بَيْنَ كُلّ تَسْلِيمَتَيْنِ (فتح البارى في كتاب صلاة
التراويح) “Shalat jamaah yang dilaksanakan pada setiap malam bulan
Ramadhan dinamai Tarawih karena para sahabat pertama kali
melaksanakannya, beristirahat pada setiap dua kali salam. Istilah Shalat
Tarawih disebut juga shalat Qiyam Ramadhan, yang populer pada masa Umar
Ibn Al-Khattab ra. Dengan tujuan utamanya ialah, menghidupkan
malam-malam bulan Ramadhan dengan ibadah sholat. Shalat Tarawih termasuk
salah satu ibadah yang utama dan efektif guna mendekatkan diri kepada
Allah. Sebenarnya, menghidupkan malam Ramadhan, bukan saja tarawih.
Namun, sholat merupakan ibadah paling utama, dan ini telah dilakukan
oleh jumhur (sebagian sahabat Nabi Muhammmad Saw). Sesuai dengan
penuturan Nabi Saw yang artinya:’’ barang siapa menghidupkan Ramadhan
dengan Qiyam atas dasar Iman dan semata-mata karena mengharap pahala
Allah Swt, maka dosa-dosa akan mendapat ampunan (HR Bukhori).
Jadi, baik KH Ahmad Dahlan dan KH Hasyim Asary tidak pernah ada
perbedaan di dalam pelaksanaan ubudiyah. Ketua PP. Muhammdiyah, Yanuar
Ilyas ini menuturkan, KH. Ahmad Dahlan pada masa hidupnya banyak
menganut fiqh mahzab Syafi’i, termasuk mengamalkan qunut dalam shalat
subuh dan shalat tarawih 23 rakaat. Namun, setelah berdirinya Majelis
Tarjih pada masa kepemimpinan Kyai Haji Mas Mansyur, terjadilah revisi –
revisi, termasuk keluarnya Putusan Tarjih yang menuntunkan tidak
dipraktikkannya doa qunut didalam shalat subuh dan jumlah rakaat shalat
tarawih yang sebelas rakaat (Taqiyuddin Al-Baghdady: Mutiara Sejarah
Islam di Indonesia KH Ahmad Dahlan). Sedangkan alasan yang dikemukan
oleh dewan tarjih, karena Muhamamdiyah bukan Dahlaniyah.
Jadi, hakekat sholat Tarawih yang diajarkan oleh ulama sekaliber KH
Ahmad Dahlan sudah sesuai dengan ajaran Nabi Saw dan sahabatnya (Ijma’
Sahabat). Praktek di Makkah dan Madinah hingga sekarang juga tetap 20
rakaat dan 3 witir. Jadi, melaksanakan Tarawih 20 rakaat ditambah dengan
3 wirit berarti melaksanakan kesepakatan ratusan sahabat Nabi Muhamamd
Saw, sekaligus bentuk kesetiaan terhadap Nabi Saw. Bagi pengikut
Muhammadiyah, menjadi bukti kesetiaan terhadap perintis dan penggagas
Muhamamdiyah sejati.