Kamis, 19 November 2020

KH Hasyim Asy'ary dan KH Achmad Dahlan


Pernahkah selama ini kita mendapatkan nasehat dan cerita tentang 2 tokoh besar berdirinya NU dan Muhammadiyah? Dengan kisah ini semoga membuka hati kita komunitas NU dan Muhammadiyah. Subhanallah....ternyata mereka adalah 2 teman yang sangat baik, 2 sahabat sejati, 2 sisi mata uang, ibarat air dan tanah, tidak saja kenal, bukan saja sering bertemu, tetapi mereka "ngliwet" bersama selam bertahun-tahun. Mereka tidur bersama dalam satu bilik kecil di pesantren tempat mereka menggali dan mendalami lautan ilmu Allah swt.......

Hadratus Syaikh KH M. Hasyim Asy'ari Jun 23 

 Jombang l933. Terjadi dialog yang mengesankan antara dua ulama besar, KH Muhammad Hasyim Asy'ari dengan KH Mohammad Cholil, gurunya. "Dulu saya memang mengajar Tuan. Tapi hari ini, saya nyatakan bahwa saya adalah murid Tuan," kata Mbah Cholil, begitu kiai dari Madura ini populer dipanggil. Kiai Hasyim menjawab, "Sungguh saya tidak menduga kalau Tuan Guru akan mengucapkan kata-kata yang demikian. Tidakkah Tuan Guru salah raba berguru pada saya, seorang murid Tuan sendiri, murid Tuan Guru dulu, dan juga sekarang. Bahkan, akan tetap menjadi murid Tuan Guru selama-lamanya." Tanpa merasa tersanjung, Mbah Cholil tetap bersikeras dengan niatnya. "Keputusan dan kepastian hati kami sudah tetap, tiada dapat ditawar dan diubah lagi, bahwa kami akan turut belajar di sini, menampung ilmu-ilmu Tuan, dan berguru kepada Tuan," katanya. Karena sudah hafal dengan watak gurunya, Kiai Hasyim tidak bisa berbuat lain selain menerimanya sebagai santri. 


Lucunya, ketika turun dari masjid usai shalat berjamaah, keduanya cepat-cepat menuju tempat sandal, bahkan kadang saling mendahului, karena hendak memasangkan ke kaki gurunya. 
Sesungguhnya bisa saja terjadi seorang murid akhirnya lebih pintar ketimbang gurunya. Dan itu banyak terjadi. Namun yang ditunjukkan Kiai Hasyim juga Kiai Cholil; adalah kemuliaan akhlak. Keduanya menunjukkan kerendahan hati dan saling menghormati, dua hal yang sekarang semakin sulit ditemukan pada para murid dan guru-guru kita.

Mbah Cholil adalah kiai yang sangat termasyhur pada jamannya. Hampir semua pendiri NU dan tokoh-tokoh penting NU generasi awal pernah berguru kepada pengasuh sekaligus pemimpin Pesantren Kademangan, Bangkalan Madura ini. Sedangkan Kiai Hasyim sendiri tak kalah cemerlangnya. Bukan saja ia pendiri sekaligus pemimpin tertinggi NU, yang punya pengaruh sangat kuat kepada kalangan ulama, tapi juga lantaran ketinggian ilmunya. Terutama, kakek Abdurrahman Wachid (Gus Dur) ini terkenal mumpuni dalam ilmu Hadits. Setiap Ramadhan Kiai Hasyim punya 'tradisi' menggelar kajian hadits Bukhari dan Muslim selama sebulan suntuk. Kajian itu mampu menyedot perhatian ummat Islam. 

Maka tak heran bila pesertanya datang dari berbagai daerah di Indonesia, termasuk mantan gurunya sendiri, Kiai Cholil. Ribuan santri menimba ilmu kepada Kiai Hasyim. Setelah lulus dari Tebuireng, tak sedikit di antara santri Kiai Hasyim kemudian tampil sebagai tokoh dan ulama kondang dan berpengaruh luas. KH Abdul Wahab Chasbullah, KH. Bisri Syansuri, KH. R. As'ad Syamsul Arifin, Wahid Hasyim (anaknya) dan KH Achmad Siddiq adalah beberapa ulama terkenal yang pernah menjadi santri Kiai Hasyim. 

Tak pelak lagi pada abad 20 Tebuireng merupakan pesantren paling besar dan paling penting di Jawa. Zamakhsyari Dhofier, penulis buku 'Tradisi Pesantren', mencatat bahwa pesantren Tebuireng adalah sumber ulama dan pemimpin lembaga-lembaga pesantren di seluruh Jawa dan Madura. Tak heran bila para pengikutnya kemudian memberi gelar Hadratus-Syekh (tuan guru besar) kepada Kiai Hasyim. 

Karena pengaruhnya yang demikian kuat itu, keberadaan Kiai Hasyim menjadi perhatian serius penjajah. Baik Belanda maupun Jepang berusaha untuk merangkulnya. Di antaranya ia pernah dianugerahi bintang jasa pada tahun 1937, tapi ditolaknya. Justru Kiai Hasyim sempat membuat Belanda kelimpungan. 
Pertama, ia memfatwakan bahwa perang melawan Belanda adalah jihad (perang suci). Belanda kemudian sangat kerepotan, karena perlawanan gigih melawan penjajah muncul di mana-mana. 
Kedua, Kiai Hasyim juga pernah mengharamkan naik haji memakai kapal Belanda. 
Fatwa tersebut ditulis dalam bahasa Arab dan disiarkan oleh Kementerian Agama secara luas. Keruan saja, Van der Plas (penguasa Belanda) menjadi bingung. Karena banyak ummat Islam yang telah mendaftarkan diri kemudian mengurungkan niatnya. 

Namun sempat juga Kiai Hasyim mencicipi penjara 3 bulan pada l942. Tidak jelas alasan Jepang menangkap Kiai Hasyim. Mungkin, karena sikapnya tidak kooperatif dengan penjajah. Uniknya, saking khidmatnya kepada gurunya, ada beberapa santri minta ikut dipenjarakan bersama kiainya itu. 

Mendirikan NU 

Kemampuannya dalam ilmu hadits, diwarisi darigurunya, Syekh Mahfudh at-Tarmisi di Mekkah. Selama 7 tahun Hasyim berguru kepada Syekh ternama asal Pacitan, Jawa Timur itu. Disamping Syekh Mahfudh, Hasyim juga menimba ilmu kepada Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabau. Kepada dua guru besar itu pulalah Kiai Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah, berguru. Jadi, antara KH Hasyim Asy'ari dan KH Ahmad Dahlan sebenarnya tunggal guru. 

Yang perlu ditekankan, saat Hasyim belajar di Mekkah, Muhammad Abduh sedang giat-giatnya melancarkan gerakan pembaharuan pemikiran Islam. Dan sebagaimana diketahui, buah pikiran Abduh itu sangat mempengaruhi proses perjalanan ummat Islam selanjutnya. Sebagaimana telah dikupas Deliar Noer, ide-ide reformasi Islam yang dianjurkan oleh Abduh yang dilancarkan dari Mesir, telah menarik perhatian santri-santri Indonesia yang sedang belajar di Mekkah. Termasuk Hasyim tentu saja. Ide reformasi Abduh itu ialah 
pertama mengajak ummat Islam untuk memurnikan kembali Islam dari pengaruh dan praktek keagamaan yang sebenarnya bukan berasal dari Islam. 
Kedua, reformasi pendidikan Islam di tingkat universitas; dan 
ketiga, mengkaji dan merumuskan kembali doktrin Islam untuk disesuaikan dengan kebutuhan-kebutuhan kehidupan modern; dan 
keempat, mempertahankan Islam. Usaha Abduh merumuskan doktrin-doktrin Islam untuk memenuhi kebutuhan kehidupan modern pertama dimaksudkan agar supaya Islam dapat memainkan kembali tanggung jawab yang lebih besar dalam lapangan sosial, politik dan pendidikan. 

Dengan alasan inilah Abduh melancarkan ide agar ummat Islam melepaskan diri dari keterikatan mereka kepada pola pikiran para mazhab dan agar ummat Islam meninggalkan segala bentuk praktek tarekat. Syekh Ahmad Khatib mendukung beberapa pemikiran Abduh, walaupun ia berbeda dalam beberapa hal. Beberapa santri Syekh Khatib ketika kembali ke Indonesia ada yang mengembangkan ide-ide Abduh itu. 
Di antaranya adalah KH Ahmad Dahlan yang kemudian mendirikan Muhammadiyah. 
Tidak demikian dengan Hasyim. Ia sebenarnya juga menerima ide-ide Abduh untuk menyemangatkan kembali Islam, tetapi ia menolak pikiran Abduh agar ummat Islam melepaskan diri dari keterikatan mazhab. Ia berkeyakinan bahwa adalah tidak mungkin untuk memahami maksud yang sebenarnya dari ajaran-ajaran Al-Qur'an dan Hadist tanpa mempelajari pendapat-pendapat para ulama besar yang tergabung dalam sistem mazhab. Untuk menafsirkan al-Qur'an dan Hadist tanpa mempelajari dan meneliti buku-buku para ulama mazhab hanya akan menghasilkan pemutarbalikan saja dari ajaran-ajaran Islam yang sebenarnya, demikian tulis Dhofier. 

Dalam hal tarekat, Hasyim tidak menganggap bahwa semua bentuk praktek keagamaan waktu itu salah dan bertentangan dengan ajaran Islam. Hanya, ia berpesan agar ummat Islam berhati-hati bila memasuki kehidupan tarekat. Dalam perkembangannya, benturan pendapat antara golongan bermazhab yang diwakili kalangan pesantren (sering disebut kelompok tradisional), dengan yang tidak bermazhab (diwakili Muhammadiyah dan Persis, sering disebut kelompok modernis) itu memang kerap tidak terelakkan. Puncaknya adalah saat Konggres Al Islam IV yang diselenggarakan di Bandung. Konggres itu diadakan dalam rangka mencari masukan dari berbagai kelompok ummat Islam, untuk dibawa ke Konggres Ummat Islam di Mekkah. 

Karena aspirasi golongan tradisional tidak tertampung (di antaranya: tradisi bermazhab agar tetap diberi kebebasan, terpeliharanya tempat-tempat penting, mulai makam Rasulullah sampai para sahabat) kelompok ini kemudian membentuk Komite Hijaz. Komite yang dipelopori KH Abdullah Wahab Chasbullah ini bertugas menyampaikan aspirasi kelompok tradisional kepada penguasa Arab Saudi. Atas restu Kiai Hasyim, Komite inilah yang pada 31 Februari l926 menjelma jadi Nahdlatul Ulama (NU) yang artinya kebangkitan ulama. 

Setelah NU berdiri posisi kelompok tradisional kian kuat. Terbukti, pada l937 ketika beberapa ormas Islam membentuk badan federasi partai dan perhimpunan Islam Indonesia yang terkenal dengan sebuta MIAI (Majelis Islam A'la Indonesia) Kiai Hasyim diminta jadi ketuanya. Ia juga pernah memimpin Masyumi, partai politik Islam terbesar yang pernah ada di Indonesia. Keturunan Raja Pajang 

Lahir 24 Dzul Qaidah 1287 Hijriah atau 14 Februari l871 Masehi, Hasyim adalah putra ketiga dari 11 bersaudara. Dari garis ibu, Halimah, Hasyim masih terhitung keturunan ke delapan dari Jaka Tingkir alias Sultan Pajang, raja Pajang. Namun keluarga Hasyim adalah keluarga kiai. Kakeknya, Kiai Utsman memimpin Pesantren Nggedang, sebelah utara Jombang. Sedangkan ayahnya sendiri, Kiai Asy'ari, memimpin Pesantren Keras yang berada di sebelah selatan Jombang. Dua orang inilah yang menanamkan nilai dan dasar-dasar Islam secara kokoh kepada Hasyim. 

Sejak anak-anak, bakat kepemimpinan dan kecerdasan Hasyim memang sudah nampak. Di antara teman sepermainannya, ia kerap tampil sebagai pemimpin. Dalam usia 13 tahun, ia sudah membantu ayahnya mengajar santri-santri yang lebih besar ketimbang dirinya. Usia 15 tahun Hasyim meninggalkan kedua orang tuanya, berkelana memperdalam ilmu dari satu pesantren ke pesantren lain. Mula-mula ia menjadi santri di Pesantren Wonokoyo, Probolinggo. Kemudian pindah ke Pesantren Langitan, Tuban. Pindah lagi Pesantren Trenggilis, Semarang. Belum puas dengan berbagai ilmu yang dikecapnya, ia melanjutkan di Pesantren Kademangan, Bangkalan di bawah asuhan Kiai Cholil. 

Tak lama di sini, Hasyim pindah lagi di Pesantren Siwalan, Sidoarjo. Di pesantren yang diasuh Kiai Ya'qub inilah, agaknya, Hasyim merasa benar-benar menemukan sumber Islam yang diinginkan. Kiai Ya'qub dikenal sebagai ulama yang berpandangan luas dan alim dalam ilmu agama. Cukup lama --lima tahun-- Hasyim menyerap ilmu di Pesantren Siwalan. Dan rupanya Kiai Ya'qub sendiri kesengsem berat kepada pemuda yang cerdas dan alim itu. Maka, Hasyim bukan saja mendapat ilmu, melainkan juga istri. Ia, yang baru berumur 21 tahun, dinikahkan dengan Chadidjah, salah satu puteri Kiai Ya'qub. Tidak lama setelah menikah, Hasyim bersama istrinya berangkat ke Mekkah guna menunaikan ibadah haji. Tujuh bulan di sana, Hasyim kembali ke tanah air, sesudah istri dan anaknya meninggal. 

Tahun 1893, ia berangkat lagi ke Tanah Suci. Sejak itulah ia menetap di Mekkah selama 7 tahun. Tahun 1899 pulang ke Tanah Air, Hasyim mengajar di pesanten milik kakeknya, Kiai Usman. Tak lama kemudian ia mendirikan Pesantren Tebuireng. Kiai Hasyim bukan saja kiai ternama, melainkan juga seorang petani dan pedagang yang sukses. Tanahnya puluhan hektar. Dua hari dalam seminggu, biasanya Kiai Hasyim istirahat tidak mengajar. 

Saat itulah ia memeriksa sawah-sawahnya. Kadang juga pergi Surabaya berdagang kuda, besi dan menjual hasil pertaniannya. Dari bertani dan berdagang itulah, Kiai Hasyim menghidupi keluarga dan pesantrennya. Dari perkawinannya dengan Mafiqah, putri Kiai Ilyas, Kiai Hasyim dikarunia 10 putra: Hannah, Khoriyah, Aisyah, Ummu Abdul Hak (istri Kiai Idris), Abdul Wahid, Abdul Kholik, Abdul Karim, Ubaidillah, Masrurah dan Muhammad Yusuf. Wafat 25 Juli 1947. Atas jasa-jasanya pemerintah mengangkatnya sebagai Pahlawan Nasional. 

Semoga Allah SWT mensucikan ruhnya dan menempatkannya di tempat mulia di sisi-Nya. Amin.

DAHLAN ASY'ARY

Wahai saudaraku Muhammadiyah-NU.... Ketahuilah. KH. Ahmad Dahlan dan KH. Hasyim Asy’ari adalah sama-sama keturunan Sunan Giri (Syekh Maulana ‘Ainul Yaqin), yang apabila ditarik garis ke atas, nasabnya sampai kepada Rasulullah Saw. Ketika keduanya lahir, oleh orang tua mereka masing-masing diberi nama depan yang sama, yaitu Muhammad. Nama kecil KH. Ahmad Dahlan adalah Muhammad Darwis, sedangkan nama kecil KH. Hasyim Asy’ari adalah Muhammad Hasyim. Keduanya pernah berguru kepada ulama besar yang sama, yaitu kepada KH. Saleh Darat al-Samarangi, Syekh Mahfud al-Tarmasy, dan Syekh Ahmad Khatib Minangkabau. Selama puluhan tahun mereka selalu bersama, hidup dalam pusaran lautan ilmu yang luas, dibimbing bersama, mengenyam ilmu bersama, hidup dalam jalinan kasih sayang yang tulus karena Gusti Allah semata. Tak pernah ada dalam kisah atau sejarah mereka berdua bertengkar, sama sekali tidak pernah. Subhanallah... 

KH. Ahmad Dahlan mendirikan Muhammadiyah yang berlambang matahari,  KH. Hasyim Asy’ari mendirikan Nahdhatul Ulama (NU) yang berlambang bumi dan bintang. Muhammadiyah banyak dijiwai oleh semangat QS. Ali Imran ayat 104, sedangkan NU, QS. Ali Imran ayat 103. Dan, K.H. Hasyim Asy’ari mendirikan NU tidak lama setelah K.H. Ahmad Dahlan wafat. Apakah ini juga sekadar kebetulan?

UBUDIYAH KH.AHMAD DAHLAN=KH.HASYIM ASY'ARY

KH Ahmad Dahlan sebelum menunaikan ibadah haji ke tanah suci bernama ‘’Muhammad Darwis’’.  Seusai menunaikan ibadah haji, beliau diganti namanya oleh Sayyid Abu Bakar Syata, ulama besar yang bermadhab Syafii. Jauh sebelum menunaikan ibadah haji, dan belajar mendalami ilmu agama. KH Ahmad Dahlan telah belajar agama kepada Syeh Sholeh Darat. KH Sholih Darat adalah ulama’ besar yang telah bertahun-tahun ngaji dan mengajar di Masjidilharam. Di Pondok pesantren milik KH Murtadho (sang mertua), KH Sholih darat mengajar santri-santri beragama ilmu agama, seperti; Alhilam (tasawof), Kitab Al-Munjiyah (Karya Syeh Sholih Darat), Fikih (Kitab Lataif Al-Taharah), serta beragam ilmu agama lainnya. Di pesantren ini, Mohammad Darwis ditemukan dengan Hasyim As’ary. Kedunaya sama-sama mendalami ilmu agama dari ulama besar Syekh Sholih Darat. 

Waktu itu, Mohmmad Darwis berusia 16 tahun sementara, Hasyim As’ary berusia 14 tahun. Dalam keseharian, Mohamamd Darwis memanggil Hasyim dengan sebutan ‘’Adi Hasyim’’. Sementara, Hasyim As’ary memanggil Mohamamd Darwis dengan panggilan ‘’Mas Darwis’’. Konon, semasa di Pesantren, keduanya sekamar. Keduannya menjadi santri Syekh Sholih darat sekitar 2 tahun penuh. Selepas nyantri di Pesantren Syekh Sholih Darat. Keduanya mendalami ilmu agamanya di Makkah, dimana Sang Guru Syekh Sholih Darat pernah menimba ilmu bertahun-tahun lamanya. Tentu saja, sang Guru sudah membekali akidah dan ilmu fikih yang cukup. Sekaligus telah memberikan referensi ulama-ulama mana yang harus didatangi dan diserap ilmunya selama di Makkah. Puluhan ulama-ulama Makkah waktu itu berdarah nusantara. Praktek ibadah waktu, seperti; tasawuf, wirid, tahlil, membaca barzanzi (diba’) menjadi bagian dari kehidupan ulama-ulama nusantara. Hampir semua karya-karya Syekh Muhmmad Yasin Al-Fadani, Syekh Muhammad Mahfud Al-Turmusi menceritakan tentang madhab al-Syafii dan As’aryiyah sebagai akidahnya. Tentu saja, itu pula yang di ajarkan kepada murid-muridnya, seperti; KH Ahmad Dahlan, Hasyim As’ary, Wahab Hasbullah, Syekh Abdul Kadir Mandailing dll (lihat: Profil Pendidikan dan Ulama’ Indonesia di Makkah: Abd. Adzim Irsad). 

Seusai pulang dari Makkah, masing-masing mengamalkan ilmu yang telah diperoleh dari guru-gurunya di Makkah. Mohammad Darwis yang telah di ubah namanya menjadi Ahmad Dahlan mendirikan persarikatan Muhamamdiyah. Sedangkan Hasyim As’ary mendirikan NU (Nahdhotul Ulama’). Begitulah persaudaraan sejati yang dibangun sejak menjadi santri Syekh Sholih Darat hingga menjadi santri di Tanah Suci Makkah. Keduanya juga membuktikan, kalau dirinya tidak ada perbedaan di dalam urusan  akidah, dan madhabnya. Saat itu di Makkah memang mayoritas bermadhab Syafii dan berakidah Asary. Wajar, jika praktek ibadah sehari-hari KH Ahmad Dahlan persis dengan guru-gurunya di tanah suci. Semisal sholat subuh, KH Ahmad Dahan tetap menggunakan Qunut, dan tidah pernah berpendapat bahwa Qunut sholat subuh Nabi Muhammad Saw adalah Qunut Nazilah. Karena beliau sangat memahami ilmu hadis dan juga memahami ilmu fikih. Begitu Tarawihnya, KH Ahmad Dahlan praktek Tarawihnya 20 rakaat. Penduduk Makkah sejak ber-abad-abad, sejak masa Umar Ibn Al-Khttab, telah menjalankan Tarawih 20 rakaat dengan tiga witir, hingga sekarang. Jumlah ini telah disepakati oleh sahabat-sahabat Nabi Saw. 

Bagi penduduk Makkah, tarawih 20 rakaat merupakan Ijmak Sahabat. Sedangkan penduduk Madinah melaksanakan 36 rakaat. Penduduk Madinah ber-anggapan, setiap pelaksanaan 2 X salaman, semua beristirahat. Pada waktu istirahat, mereka mengisi dengan thowaf sunnah. Nyaris, pelaksanaan sholat tarawih hingga malam, bahkan menjelang shubuh.  Di sela-sela tarawih itulah keuntungan penduduk Makkah, karena bisa menambah pahala ibadah. Bagi penduduk Madinah, untuk mengimbangi pahala, mereka melaksanakan tarawih dengan jumlah lebih banyak. Jika di lihat dari pengertiannya, sebagaimana di dijelaskan oleh al-HafizIbn Hajar al-A’sqallâniy dalam kitab Fath al-Bâriy Syarh al-Bukhâriy sebagai berikut: سُمِّيَتْ الصَّلَاة فِي الْجَمَاعَة فِي لَيَالِي رَمَضَان التَّرَاوِيحَ لِأَنَّهُمْ أَوَّلَ مَا  ِجْتَمَعُوا عَلَيْهَا كَانُوا يَسْتَرِيحُونَ بَيْنَ كُلّ تَسْلِيمَتَيْنِ (فتح البارى في كتاب صلاة التراويح) “Shalat jamaah yang dilaksanakan pada setiap malam bulan Ramadhan dinamai Tarawih karena para sahabat pertama kali melaksanakannya, beristirahat pada setiap dua kali salam. Istilah Shalat Tarawih disebut juga shalat Qiyam Ramadhan, yang populer pada masa Umar Ibn Al-Khattab ra. Dengan tujuan utamanya ialah, menghidupkan malam-malam bulan Ramadhan dengan ibadah sholat. Shalat Tarawih termasuk salah satu ibadah yang utama dan efektif guna mendekatkan diri kepada Allah. Sebenarnya, menghidupkan malam Ramadhan, bukan saja tarawih. Namun, sholat merupakan ibadah paling utama, dan ini telah dilakukan oleh jumhur (sebagian sahabat Nabi Muhammmad Saw). Sesuai dengan penuturan Nabi Saw yang artinya:’’ barang siapa menghidupkan Ramadhan dengan Qiyam atas dasar Iman dan semata-mata karena mengharap pahala Allah Swt, maka dosa-dosa akan mendapat ampunan (HR Bukhori).            

 Jadi, baik KH Ahmad Dahlan dan KH Hasyim Asary tidak pernah ada perbedaan di dalam pelaksanaan ubudiyah. Ketua PP. Muhammdiyah, Yanuar Ilyas ini menuturkan, KH. Ahmad Dahlan pada masa hidupnya banyak menganut fiqh mahzab Syafi’i, termasuk mengamalkan qunut dalam shalat subuh dan shalat tarawih 23 rakaat. Namun, setelah berdirinya Majelis Tarjih pada masa kepemimpinan Kyai Haji Mas Mansyur, terjadilah revisi – revisi, termasuk keluarnya Putusan Tarjih yang menuntunkan tidak dipraktikkannya doa qunut didalam shalat subuh dan jumlah rakaat shalat tarawih yang sebelas rakaat (Taqiyuddin Al-Baghdady: Mutiara Sejarah Islam di Indonesia KH Ahmad Dahlan). Sedangkan alasan yang dikemukan oleh dewan tarjih, karena Muhamamdiyah bukan Dahlaniyah.             

Jadi, hakekat sholat Tarawih yang diajarkan oleh ulama sekaliber KH Ahmad Dahlan sudah sesuai dengan ajaran Nabi Saw dan sahabatnya (Ijma’ Sahabat). Praktek di Makkah dan Madinah hingga sekarang juga tetap 20 rakaat dan 3 witir. Jadi, melaksanakan Tarawih 20 rakaat ditambah dengan 3 wirit berarti melaksanakan kesepakatan ratusan sahabat Nabi Muhamamd Saw, sekaligus bentuk kesetiaan terhadap Nabi Saw. Bagi pengikut Muhammadiyah, menjadi bukti kesetiaan terhadap perintis dan penggagas Muhamamdiyah sejati.

Sejarah Kyai Ageng Makukuhan


Disalah satu tempat di Kabupaten Temanggung terdapat sebuah tempat yang sering kali menjadi tempat wisata relegi oleh banyak masyarakat dari berbagai daerah di Pulau Jawa dan di luar Pulau Jawa yang tedapat di Indonesia.

Tempat itu berada tepatnya di Desa Kedu, Kecamatan Kedu, Temanggung. Sebut saja salah satunya adalah kawasan pemakaman yang dianggap keramat dan bisa membawa keberkahan menurut sebagian masyarakat yang berjiarah.

Kawasan itu adalah area pemakaman Ki Ageng Makukuhan. Di tempat inilah ada salah satu makam yang banyak dikunjungi masyarakat untuk berjiarah dan mengirim doa, selain itu terkadang tidak sedikit pula penjiarah memintah keberkahan di makam keramat tersebut. Lalu siapakan Ki Ageng Makukuhan tersebut?. Dan mengapa menjadi legenda serta menjadikan sebuah nama yang begitu di agungkan banyak masyarakat Temanggung pada khususnya, Ki Ageng Makukuhan?.

Alkisahnya sebagai berikut, istilah Wali dalam masyarakat Jawa merupakan sebuah nama yang sangat terkenal dan mempunyai arti khusus, yakni digunakan untuk menyebut nama nama tokoh yang dipandang sebagai awal mula penyiar agama Islam di Tanah Jawa. Mengenai asal-usul para Wali tersebut sampai sekarang masih belum terdapat keseragaman pendapat. Namun, dapat ditarik kesimpulan bahwa para Wali yang ada di negara kita mempunyai darah campuran dari bangsa Arab, Cina, dan Jawa.

Akan tetapi ketidakjelasan asal-usul para Wali nampak pada Ki Ageng Makukuhan yang disebut juga dengan nama Syeikh Maulana Taqwim, Jaka Teguh dan Maha Punggung. Di samping itu, ia juga dinamakan Sunan Kedu karena telah menyebarkan agama Islam di daerah Kedu yang sekarang bertempat di Desa Kedu, Kecamatan Kedu, Kabupaten Temanggung.

Sementara itu Ki Ageng Makukuhan adalah seorang wali yang ikut tergabung dalam anggota Dewan Santri konon dari generasi penerus Walisanga. Ia adalah seorang wali yang hidup sejaman dengan Walisanga yang memegang peranan penting dalam menyebarkan agama Islam di Daerah Kedu (Temanggung).

Salah satu bukti ia pernah berguru kepada Sunan Kudus dan Sunan Kalijaga. Ia telah merubah masyarakat Kedu yang semula masih menganut kepercayaan  hingga menjadi masyarakat yang beragama Islam. Berkat Ki Ageng Makukuhan seluruh masyarakat Temanggung dan sekitarnya sekarang menjadi makmur khususnya dalam bidang pertanian.

Alkisah berawal dari  masa berdirinya Kerajaan Demak. Ada seorang pemuda ber-etnis Tionghoa, yang sedang menuntut ilmu di Pondok Pesantren Glagahwangi pimpinan Sunan Kudus. Nama pemuda tersebut MA KUW KWAN, namun oleh Sunan Kudus, dia diberi nama baru yakni Syarif Hidayat. Meski demikian, Sunan Kudus masih sering memanggil dengan nama aslinya, karena dia memang merupakan salah satu santri kesayangan Sunan Kudus.

Karena selain memang mereka berasal dari etnis yang sama, Ma Kuw Kwan merupakan salah satu dari sembilan santri Sunan Kudus yang paling tinggi ilmunya. Dalam perjalanan hidupnya, Ma Kuw Kwan juga pernah menimba ilmu dari Sunan Kalijaga.

Disaat Ma Kuw Kwan harus melarikan diri dari Prajurit Kerajaan Capiturang pimpinan Gagaklodra yang hendak membunuhnya. Untuk menghilangkan jejak, saat itu Ma kuw Kwan menggunakan nama samaran Jaka Teguh. Selain mendapat tambahan ilmu agama, Ma Kuw Kwan juga diajari cara bercocok tanam oleh Sunan Kalijaga, juga beberapa ilmu kanuragan, termasuk ilmu untuk terbang.

Selain itu Sunan Kalijaga sengaja mengajarkan cara bercocok tanam, agar Ma Kuw Kwan menyebarkan agama Islam melalui media pertanian. Sedangkan ilmu kanuragan, memang diperlukan untuk menjaga diri selama melakukan perjalanan. Setelah dirasa cukup ilmu yang diberikan, Sunan Kalijaga menugaskan Ma Kuw Kwan untuk menyebarkan agama di daerah Kedu, hingga akhirnya Ma Kuw Kwan bermukim di Desa Pendang. Disini Ma Kuw Kwan mulai aktif menyebarkan agama Islam.

Ma Kuw Kwan menjalankan penyebaran agama Islam dirinya selalu menyesuaikan segala petunjuk Sunan Kalijaga, Ma Kuw Kwan lebih banyak mengajarkan cara bercocok tanam yang baik. Sedangkan dalam mengajarkan agama Islam, dia lebih banyak memberikan contoh. Misalnya, saat tiba waktu dhuhur di sawah, Ma Kuw Kwan tak segan-segan untuk meminta air wudhu dari warga dan sengaja melaksanakan sholat di tempat terbuka.

Dan saat ada orang yang penasaran dan bertanya tentang yang dilakukannya. Ma Kuw Kwan menjelaskan bahwa yang dilakukannya adalah berdoa, memohon berkah dari Tuhan yang Maha Kuasa agar diberikan hasil panen yang melimpah. Warga memang tak langsung mengikutinya, tetapi saat hasil panen Ma Kuw Kwan benar-benar melimpah, tak sedikit warga yang minta diajari sholat dan memeluk agama Islam. Dengan cara yang santun dan membawa manfaat langsung seperti tersebut diatas, banyak warga yang bersimpati dan mengikuti ajaran Ma Kuw Kwan.

Sehingga dalam waktu singkat dia mendapatkan banyak pengikut, nama Ma Kuw Kwan makin disegani sebagai pemimpin agama yang juga mengajarkan pertanian. Oleh para pengikutnya, dia mendapat julukan Ki Ageng Kedu, atau juga sering disebut dengan nama aslinya, Ki Ageng Ma Kuw Kwan, namun lebih mudah dengan menyebut KI AGENG MAKUKUHAN.

Dan akhirnya nama harum Ki Ageng Makukuhan akhirnya terdengar oleh telinga Sunan Kudus. Mengetahui tanah di Kedu sangat subur, Sunan Kudus mengutus salah satu santrinya yang bernama Bramanti untuk mengirimkan bibit padi jenis Rajalele dan Cempa, serta bibit tanaman tembakau.

Akan tetapi  setelah sampai di Kedu dan menyerahkan bibit tanaman yang diberikan Sunan Kudus, Bramanti tak mau pulang ke Pondok Pesantren Glagahwangi, tetapi memilih mengabdi pada Ki Ageng Makukuhan. Setelah beberapa waktu, Ki Ageng Makukuhan mempercayakan Bramanti untuk menggarap tanah di Desa Balongan atau Mbalong, serta menyebarkan agama disana.

Bramanti menyebarkan agama Islam di daerah Parakan. Seperti halnya Ki Ageng Makukuhan, Bramanti dengan cepat mendapatkan banyak pengikut hingga oleh para pengikutnya Bramanti diberi gelar Ki Ageng Parak. Seiring berjalannya waktu, lahan pertanian Ki Ageng Makukuhan makin luas. Padi jenis Rajalele dan Cempa yang ditanamnya telah banyak digemari oleh warga masyarakat karena selain pulen, rasanya juga enak.

Sedangkan tembakau digunakan untuk menyelingi tanaman padi saat musim kemarau. Pada saat Ki Ageng Makukuhan sedang menanam tembakau, sekali lagi datang utusan Sunan Kudus yang menyampaikan pesan agar Ki Ageng Makukuhan datang menghadap Sunan Kudus, untuk melaporkan perkembangan penyebaran agama di Kedu, serta hasil panen dari bibit yang diberikannya. Namun karena bibit tembakau yang belum ditanam masih cukup banyak, dan khawatir akan layu jika ditinggalkan dalam waktu yang lama, maka Ki Ageng Makukuhan terlebih dahulu menyelesaikan pekerjaannya, baru kemudian memenuhi undangan Sunan Kudus. Karena merasa telah terlambat, Ki Ageng Makukuhan tidak menempuh jalan darat, melainkan terbang menggunakan ilmu yang diajarkan Sunan Kalijaga.

Sesampai di Pondok Pesantren Glagahwangi, Ki Ageng Makukuhan tak langsung turun, melainkan terbang mengelilingi masjid untuk mencari tempat pendaratan yang aman. Namun aksinya keburu dilihat oleh Sunan Kudus. Mengira Ki Ageng Makukuhan sedang pamer ilmu, Sunan Kudus menyuruh salah satu santrinya untuk melemparkan nyiru/tampah yang berada didekatnya. Namun bukannya menghindar, Ki Ageng Makukuhan justru menaiki nyiru tersebut untuk terbang.

Marahlah Sunan Kudus melihat kelakuan muridnya itu. Beliau mengambil kerikil dan dilemparkan kearah Ki Ageng Makukuhan hingga jatuh. Ki Ageng Makukuhan merasa malu dan memohon maaf pada Sunan Kudus, sembari menjelaskan duduk persoalannya. Untunglah, Sunan Kudus memaklumi dan memaafkannya. Malamnya, setelah Ki Ageng Makukuhan melaporkan perkembangan penyebaran agama yang dilakukannya, beliau juga sempat menjelaskan bahwa bibit padi yang diberikan oleh Sunan Kudus telah menjadi tanaman yang sangat diminati para petani. Namun tembakau yang beliau tanam di daerah Kedu, kurang menghasilkan rasa yang mantab sehingga harga jualnyapun kurang bagus.

Ki Ageng Makukuhan meminta petunjuk Sunan Kudus untuk masalah ini. Sunan Kudus membantu Ki Ageng Makukuhan mencarikan lokasi yang baik untuk bercocok tanam tembakau. Beliau mengambil sebuah RIGEN, yaitu anyaman bambu yang tidak terlalu rapat, berbentuk empat persegi panjang dengan ukuran.

Kemudian Rigen tersebut dilamparkan oleh Sunan Kudus ke arah Kedu dengan ilmu panuragannya, lalu menjelaskan bahwa lokasi sekitar jatuhnya Rigen tersebut merupakan tempat yang sangat baik untuk menanam tembakau. Sunan Kudus juga menjelaskan, jika setelah tembakau ditanam, malam harinya dari tanah tersebut seperti memancarkan sinar, maka hasil panen dari sawah yang memancarkan sinar ini akan memiliki kualitas yang sangat istimewa. Belakangan, Rigen digunakan oleh masyarakat untuk menjemur tembakau yang sudah di rajang tipis-tipis. Dan warga menyebut sawah yang memancarkan sinar sebagai Ndaru Rigen.

Karena mereka beranggapan bahwa tanah mendapatkan berkah dari rigen yang dilemparkan Sunan Kudus. Setelah kembali ke Kedu, Ki Ageng Makukuhan mencari lokasi jatuhnya rigen yang dilemparkan Sunan Kudus. Ternyata, rigen tersebut jatuh di lereng Gunung Sumbing. Saking tingginya ilmu kesaktian Sunan Kudus, tanah tempat jatuhnya rigen yang dilemparkannya sampai melesak ke dalam bahasa. Jawa adalah LEGOK, kini makin banyak warga yang bermukim di lokasi tersebut dan telah menjadi sebuah kampung yang diberi nama LEGOKSARI.

Sekarang Legoksari masuk kedalam wilayah desa Lamuk Kecamatan Tlogomulya Temanggung. Di sinilah Ki Ageng Makukuhan pertama kali membuka lahan pertanian tembakau di Lereng Gunung Sumbing - Sindoro. Saat pertama kali akan memulai/wiwit penanaman tembakau, Ki Ageng Makukuhan mengajak warga sekitar untuk bersama-sama berkumpul di sawah, karena hendak diajari cara bercocok tanam tembakau, maklumlah, warga memang belum mengenal tanaman ini sebelumnya.

Ki Ageng Makukuhan sebelum mengajarkan cara bercocok tanam, terlebih dahulu Ki Ageng Makukuhan mengajak warga untuk mengadakan selamatan, yaitu berdoa bersama memohon berkah dari Tuhan Yang Maha Kuasa, agar tembakau yang mereka tanam bisa memberikan hasil panen yang memuaskan. Acara dilanjutkan dengan makan bersama sambil menikmati jajanan pasar, buah-buahan dan kopi kental, minuman kegemaran Ki Ageng Makukuhan.

Hal ini sengaja dilakukan sekaligus untuk menyebarkan agama Islam, tujuan utama Ki Ageng Makukuhan. Sampai kini, warga masih selalu melakukan acara WIWIT, selain untuk melestarikan apa yang telah dicontohkan oleh Ki Ageng Makukuhan, juga untuk mengharapkah berkah dari Tuhan. Sekarang, pada acara tersebut warga masyarakat membuat TUMPENG ROBYONG. Yaitu tumpeng dari beras hitam yang dibentuk kerucut menyerupai Gunung, dilengkapi lauk pauk yang lengkap, yaitu ingkung ayam utuh, pepes teri teri, telur dadar dan lauk pauk lain seperti tempe tahu goreng, serta jajanan pasar dan buah-buahan, tentu tak ketinggalan kopi kental tanpa gula, yang kesemuanya itu merupakan menu kegemaran Ki Ageng Makukuhan.

Warga masyarakat akan tumpek blek disawah, tak peduli lelaki perumpuan, tua ataupun muda, semua melakukan acara memulai musim tembakau, warga menyebutnya Among Tebal, selain untuk mengharap berkah tentu juga untuk kerukunan antar warga. Saat tembakau telah dipanen dan dirajang, disinilah letak perbedaan tembakau dari sawah yang mendapat ndaru rigen dan dari lokasi yang lain. Tembakau dari tanah biasa jika dirajang akan jatuh dan menyebar/ambyar, sedangkan tembakau yang berasal dari sawah yang mendapat ndaru rigen, setelah dirajang justru menggumpal atau nyrintil, maka warga menamakan tembakau jenis ini sebagai Tembakau Srintil.

Dan kononnya, tembakau Srintil ini memiliki kualitas dan rasa yang sangat istimewa bagi para penikmatnya. Tak heran, harganyapun juga istimewa, bisa ratusan kali lebih mahal dari harga tembakau biasa. Namun sayangnya, ndaru rigen tidak selalu terjadi pada setiap musim dan di semua lokasi. Sehingga tak setiap tahun warga bisa menikmati hasil melimpah dari tembakau srintil. Tapi bukan tidak mungkin, justru itulah alasan warga tetap melestarikan tradisi acara wiwit, dengan harapan sawahnya bisa mendapatkan ndaru rigen dan menghasilkan tembakau srintil.

Akan tetapi biar bagaimanapun Tuhan selalu memiliki cara-Nya sendiri, agar kita selalu mengingatnya, yang jelas Tuhan menetapkan segala sesuatu kepada kita, sesungguhnya Dia telah melibatkan kita dalam sebuah rencana-Nya. Sekarang tinggal kita yang harus melibatkan Tuhan dalam setiap rencana kita, agar hasil dari rencana kita tersebut bisa mendapatkan berkah dari Tuhan dan sesuai dengan apa yang kita harapkan.

 

Kyai Kebo Kanigoro dan Mahesa Jenar


Kyai Ageng Purwoto Sidik (Ki Kebo Kanigoro) yang merupakan suami Nyai Gadhung Melati dan ayah Roro Tenggok (Roro Sekar Rinonce) adalah paman sekaligus guru Raden Mas Karebet (Jaka Tingkir/Sultan Hadiwijaya) yang menjadi pendiri Kerajaan Pajang.

 Ayah Kyai Ageng Purwoto Sidik bernama Pangeran Handayaningrat (Jaka Sengara/Kyai Muhammad Kabungsuan/Ki Ageng Pengging Sepuh) putra Syaikh Jumadil Kubro, Troloyo, Mojokerto. Ibu Kyai Ageng Purwoto Sidik bernama Raden Ayu Retno Pambayun putri Prabu Brawijaya V (Raja Majapahit terakhir). 
Adapun saudara kandung Kyai Ageng Purwoto Sidik (Ki Kebo Kanigoro) diantaranya:
1.      Ki Ageng Kebo Kenongo (Kyai Ageng Sihabbuddin), ayah Jaka Jaka Tingkir.
2.      Ki Ageng Kebo Amiluhur
3.      R. Ayu Retno Pandang Kuning
4.      R. Ayu Retno Pandang Sari
5.      Raden Kebo Sulastri
Adapun silsilah Kyai Ageng Purwoto Sidik (Ki Kebo Kanigoro) adalah sebagai berikut:
1.      Rasulullah Muhammad saw, berputra:
2.      Sayyidah Fathimah az-Zahra, berputra:
3.      Sayyidina Husain, berputra:
4.      Sayyid Ali Zainal Abidin, berputra:
5.      Sayyid Muhammad al-Baqir, berputra:
6.      Sayyid Ja’far Shadiq, berputra:
7.      Sayyid Ali al-Uraidhi, berputra:
8.      Sayyid Muhammad, berputra:
9.      Sayyid Isa bin Muhammad, berputra:
10.  Sayyid Ahmad al-Muhajir, berputra:
11.  Sayyid Ubaidillah, berputra:
12.  Sayyid Alwi, berputra:
13.  Sayyid Muhammad, berptra:
14.  Sayyid Alwi, berputra:
15.  Sayyid Ali Khali’ Qasam, berputra:
16.  Sayyid Muhammad Shahib Mirbath, berputra:
17.  Sayyid Alwi Ammil Faqih, berputra:
18.  Sayyid Abdul Malik Azmatkhan, berputra:
19.  Sayyid Ahmad Jalaluddin, berputra:
20.  Sayyid Husain Jamaluddin, berputra:
21.  Sayyid Maulana Ahmad Jumadil Kubra, berputra
22.  Sayyid Muhammad Kabungsuan/ Pangeran Handayaningrat/Jaka Sengara, berputra:
23.  Kyai Ageng Purwoto Sidik (Ki Kebo Kenongo/Kyai Ageng Banyubiru), suami Nyai Gadhung Melati dan ayah Roro Tenggok (Roro Sekar Rinonce)

Adapun silsilah Kyai Ageng Purwoto Sidik (Ki Kebo Kanigoro) dari pihak ibu adalah:
1.      Prabu Brawijaya V (Raja Majapahit terakhir), berputra:
2.      Raden Ayu Retno Pambayun (suami Pangeran Handayaningrat), berputra:
3.      Kyai Ageng Purwoto Sidik (Ki Kebo Kenongo/Kyai Ageng Banyubiru), suami Nyai Gadhung Melati dan ayah Roro Tenggok (Roro Sekar Rinonce)

Perlu diketahui bahwa Nyai Gadhung Melati (istri Kyai Ageng Purwoto Sidik/Ki Kebo Kanigoro) dan putrinya Roro Tenggok (Roro Sekar Rinonce) merupakan pertapa yang menjadi cikal bakal dusun Sekardangan, kecamatan Kanigoro, Kabupaten Blitar. 

Dalam berbagai pengembaraannya, Nyai Gadhung Melati dan putrinya Roro Tenggok (Roro Sekar Rinonce) mempunyai beberapa petilasan diantaranya berada di:
1.      Sekardangan, Kanigoro, Blitar
2.      Maliran, Ponggok, Blitar
3.      Kanigoro, Blitar
4.      Bendelonje, Talun, Blitar
5.      Dayu, Nglegok, Blitar
6.      Kademangan, Blitar
7.      Selokajang, Srengat, Blitar
8.      Genjong, Wlingi, Blitar
9.      Batu, Malang
10.  Dan lain-lain

Tempat-tempat tersebut merupakan tempat singgah Nyai Gadhung Melati dan putrinya Roro Tenggok (Roro Sekar Rinonce) dalam berbagai pengembaraannya. Setelah mengembara kesana kemari dan yang terakhir di dusun Sekardangan, kecamatan kanigoro, kabupaten Blitar, Nyai Gadhung Melati dan putrinya Roro Tenggok (Roro Sekar Rinonce) lalu kembali ke tempat asalnya, yaitu daerah Banyubiru, kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah dan dimakamkan disana disamping Kyai Ageng Purwoto Sidik (Ki Kebo Kanigoro) suaminya. Berikut adalah petilasan Nyai Gadhung Melati dan Roro Tenggok di dusun Sekardangan, kecamatan Kanigoro, kabupaten Blitar:

 
Mahesa Jenar


Mahesa Jenar dikenal pula sebagai Senapati Rangga Tohjaya. Gelar itu didapatnya saat masih menjabat sebagai salah satu prajurit pilihan di Kerajaan Demak. Mahesa Jenar adalah trah Majapahit Dia adalah murid dari Ki Ageng Pengging Sepuh alias Pangeran Handayaningrat, Menantu dari Prabu Brawijaya kelima. Serta berguru pada Wong Agung Menak Di Kadilangu. Saudara seperguruannya adalah Ki Ageng Pengging alias Ki Kebo Kenanga adalah putra dari Ki Ageng Pengging Sepuh. 

Di dalam perantauannya, Mahesa Jenar juga dikenal sebagai Manahan. Nama itu dipakainya saat melarikan diri dari kejaran laskar banyubiru demi menyelamatkan Arya Salaka, putra sahabatnya, Ki Ageng Gajah Sora.

Masa kecilnya dilalui sebagai teman bermain "Nis" yang dikenal juga sebagai Ki Ageng Sela Enom. Nis Sela atau yang dikenal juga dengan sebutan Ki Ageng Ngenis adalah putra dari Ki Ageng Sela Sepuh.

Legenda mengatakan bahwa Ki Ageng Sela Sepuh (yang tinggal di daerah Sela,Boyolali, Jawa Tengah) memunyai kelincahan yang luar biasa sehingga mampu menangkap petir. Dan kemampuan ini menurun pada anaknya (Nis Sela)

Hubungan dengan beberapa tokoh nyata ini karena jalan ceritanya mengambil latar ketika masih berkuasanya Kasultanan Demak. Mahesa Jenar merupakan salah satu prajurit yang sangat dihormati di lingkungan kerajaan, termasuk oleh Sultan sendiri. Sayang saat terjadi peristiwa terbunuhnya Ki Kebo Kenanga ditambah pencurian pusaka kerajaan, Kyai Nagasasra dan Kyai Sabukinten, Mahesa Jenar dianggap sebagai seteru kerajaan, hingga akhirnya dia memutuskan untuk mengundurkan diri dari jabatannya dan mulai merantau untuk melacak keberadaan kedua keris pusaka itu.

Mahesa Jenar dikenal dengan sikapnya yang jantan dan ksatria. Dia adalah tipikal prajurit yang berjuang tanpa berharap imbalan. Begitu gigihnya dalam perjuangan, Mahesa Jenar sampai kadang melupakan kepentingan pribadinya. Mahesa Jenar juga tipe pria yang keras hati dan kadangkala dianggap kaku oleh kaum perempuan. Kekakuannya itu sebenarnya adalah cerminan dari ketulusan jiwanya dan kerelaannya berkorban untuk sesuatu yang dianggapnya benar. Termasuk jika dia harus mengorbankan perasaannya sendiri demi kebahagiaan orang yang dicintainya. 

Sikapnya yang demikian juga karena kecanggungannya jika berhadapan dengan wanita sehingga membuatnya bisa bersikap tidak wajar. Peristiwa yang melibatkan dirinya dengan Nyai Wirasaba menunjukkan betapa Mahesa jenar kurang peka dalam menyelami perasaan seorang wanita.

Dalam perjalanannya, suatu hari di Hutan Tambak Baya, dirinya menolong seorang gadis cantik bernama Dewi Rara Wilis dari cengkeraman penjahat yang menamakan dirinya Jaka Soka dan Lawa Ijo setelah melalui pertempuran sengit dan nyaris tewas oleh kekuatan pusaka Lawa Ijo. 

Dari situlah Mahesa Jenar kemudian menaruh bibit cinta pada Rara Wilis. Rara Wilispun ternyata membalas cintanya, meskipun kemudian Mahesa Jenar berusaha meninggalkannya karena tahu dirinya tidak bisa memberikan apa-apa pada gadis yang sangat dicintainya itu. Hal itu dilakukannya setelah mengetahui saudara perguruan Rara Wilis, Demang Sarayuda yang kaya raya juga mencintai Rara Wilis. Tidak diketahui apakah sikap Mahesa Jenar yang demikian itu benar-benar keluar dari dasar hatinya ataukah sekedar akibat kecemburuan sesaat. Beruntung kemudian Mahesa Jenar mendapat nasihat dari Ki Ageng Pandan Alas, kakek sekaligus guru dari Rara Wilis.

Dalam perantauannya, Mahesa Jenar bersahabat dengan Ki Ageng Gajah Sora dari Banyubiru. Ki Ageng Gajah Sora adalah putra sekaligus murid dari Ki Ageng Sora Dipayana yang juga adalah sahabat gurunya. Uniknya, sebelum saling menyadari, keduanya terlibat pertarungan dahsyat yang nyaris merenggut nyawa mereka berdua. Persahabatan mereka berdua pula yang membawa Mahesa Jenar terlibat perang saudara di Banyubiru dan akhirnya harus melarikan diri setelah Ki Ageng Gajah Sora difitnah telah mencuri keris Nagasasra dan Sabukinten. 

Dalam pelariannya itu, dia membawa putra Ki Ageng Gajah Sora, Arya Salaka yang belakangan diangkatnya sebagai anak dan murid. Secara tidak diduga, dalam pelariannya selama hampir lima tahun itu, dia bertemu dengan paman gurunya Ki Kebo Kanigara saudara seperguruan sekaligus anak tertua Ki Ageng Pengging Sepuh , yang memiliki kesaktian jauh lebih dahsyat dari gurunya sendiri. Dan lewat bimbingan dari Kebo Kanigara pulalah Mahesa Jenar akhirnya bisa melewati batas kemampuan ilmunya sendiri yang membuat ilmunya meningkat berlipat-lipat hingga diapun juga berhasil melampaui kesaktian gurunya.

Mahesa Jenar menguasai Ilmu Sasra Birawa dari perguruan Pengging dengan baik. Sebelum mendapat bimbingan dari Ki Kebo Kanigara, ilmunya masih belum seberapa, hanya setingkat lebih tinggi dari kesaktian para pendekar level menengah seperti Mantingan, Wirasaba, Jaka Soka atau Lawa Ijo. tapi setelah menggembleng diri di bawah bimbingan Ki Kebo Kanigara, ilmunya meningkat tajam, bahkan jika harus melawan para sesepuh dunia persilatan sekalipun Mahesa Jenar tidak akan kalah Sehingga Mahesa Jenar kemudian disebut sebagai titisan dari Almarhum Pangeran Handayaningrat sendiri. Bahkan oleh sebagian kalangan tua, Mahesa Jenar dipandang lebih hebat dari gurunya tersebut.

Tata Gerak yang diperagakan oleh Mahesa Jenar selain murni dari tata gerak perguruan Pengging, juga dikembangkan dengan kemampuannya menirukan gerak binatang di alam liar, sehingga perkembangan gerakan Perguruan Pengging menjadi semakin bervariasi. Mahesa Jenar kerap disebut memiliki kelincahan seekor kijang dengan tenaga seekor banteng. Dia juga bisa menggunakan berbagai macam senjata dengan baik berkat latihannya sebagai prajurit, segala benda yang ada di tangannya bisa digunakan sebagai senjata yang mematikan.

Mahesa Jenar juga gemar mengamati setiap tata gerak dari setiap lawannya membuatnya mampu membaca setiap gerakan lawannya. Ki Kebo Kanigara menyebutnya bertarung dengan kecerdasan. Tidak salah jika disebut demikian karena Mahesa Jenar selain jeli juga memiliki otak yang cemerlang. Kecerdasannya dibuktikan saat mengungkap teka-teki keberadaan tokoh misterius bernama Pasingsingan, bahkan dia berhasil pula menghubungkan keberadan Pasingsingan dengan Panembahan Ismaya, sesepuh Padepokan Karang Tumaritis, yang sejatinya adalah guru dari seluruh Pasingsingan yang ada. Berkat kecerdasannya pula dia berhasil menyempurnakan ilmu Sasrabirawa tidak hanya sebagai ilmu untuk menyerang, tapi juga bisa berfungsi sebagai pertahanan. Pasingsingan yang bernama Umbaran pernah merasakan bagaimana ilmunya berhasil dipatahkan dengan perlindungan Sasrabirawa yang disempurnakan oleh Mahesa jenar.

Mahesa Jenar juga kebal racun karena di dalam darahnya mengalir bisa ularGundala Seta yang terkenal mampu menetralisir segala macam racun. Bisa ular Gundala Seta tersebut diperolehnya dari Ki Ageng Sela. Kemampuannya dibuktikan saat mengobati kaki Wirasaba, salah satu sahabatnya yang disebut juga sebagai Seruling Gading. Dan sekali lagi saat memunahkan racun dari pusaka Lawa Ijo yang dikenal dengan sebutan Akik Kelabang Sayuta.

 

Para Wali Bumi Pekalongan


Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِى شَيْبَةَ وَزُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ قَالاَ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عُبَيْدٍ عَنْ يَزِيدَ بْنِ كَيْسَانَ عَنْ أَبِى حَازِمٍ عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ زَارَ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- قَبْرَ أُمِّهِ فَبَكَى وَأَبْكَى مَنْ حَوْلَهُ فَقَالَ « اسْتَأْذَنْتُ رَبِّى فِى أَنْ أَسْتَغْفِرَ لَهَا فَلَمْ يُؤْذَنْ لِى وَاسْتَأْذَنْتُهُ فِى أَنْ أَزُورَ قَبْرَهَا فَأُذِنَ لِى فَزُورُوا الْقُبُورَ فَإِنَّهَا تُذَكِّرُ الْمَوْتَ »

Dari Abu Bakr bin Abi Syaibah dan Zuhair bin Harb, mereka berdua berkata: Muhammad Bin ‘Ubaid menuturkan kepada kami: Dari Yaziid bin Kasyaan, ia berkata: Dari Abu Haazim, ia berkata: Dari Abu Hurairah, ia berkata: Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam berziarah kepada makam ibunya, lalu beliau menangis, kemudian menangis pula lah orang-orang di sekitar beliau. Beliau lalu bersabda: “Aku meminta izin kepada Rabb-ku untuk memintakan ampunan bagi ibuku, namun aku tidak diizinkan melakukannya. Maka aku pun meminta izin untuk menziarahi kuburnya, aku pun diizinkan. Berziarah-kuburlah, karena ia dapat mengingatkan engkau akan kematian”
(HR. Muslim no.108, 2/671)

Keutamaan Ziarah kubur :

Haram hukumnya memintakan ampunan bagi orang yang mati dalam keadaan kafir (Nailul Authar [219], Syarh Shahih Muslim Lin Nawawi [3/402]). Sebagaimana juga firman Allah Ta’ala:

 مَا كَانَ لِلنَّبِيِّ وَالَّذِينَ آمَنُوا أَنْ يَسْتَغْفِرُوا لِلْمُشْرِكِينَ وَلَوْ كَانُوا أُولِي قُرْبَى

“Tiadalah sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memintakan ampun (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik, walaupun orang-orang musyrik itu adalah kaum kerabat (nya)” (QS. At Taubah: 113)

Berziarah kubur ke makam orang kafir hukumnya boleh (Syarh Shahih Muslim Lin Nawawi, 3/402). Berziarah kubur ke makam orang kafir ini sekedar untuk perenungan diri, mengingat mati dan mengingat akhirat. Bukan untuk mendoakan atau memintakan ampunan bagi shahibul qubur. (Ahkam Al Janaaiz Lil Albani, 187)

Jika berziarah kepada orang kafir yang sudah mati hukumnya boleh, maka berkunjung menemui orang kafir (yang masih hidup) hukumnya juga boleh (Syarh Shahih Muslim Lin Nawawi, 3/402).

Hadits ini adalah dalil tegas bahwa ibunda Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam mati dalam keadaan kafir dan kekal di neraka (Syarh Musnad Abi Hanifah, 334)
Tujuan berziarah kubur adalah untuk menasehati diri dan mengingatkan diri sendiri akan kematian (Syarh Shahih Muslim Lin Nawawi, 3/402)

An Nawawi, Al ‘Abdari, Al Haazimi berkata: “Para ulama bersepakat bahwa ziarah kubur itu boleh bagi laki-laki” (Fathul Baari, 4/325). Bahkan Ibnu Hazm berpendapat wajib hukumnya minimal sekali seumur hidup. Sedangkan bagi wanita diperselisihkan hukumnya. Jumhur ulama berpendapat hukumnya boleh selama terhindar dari fitnah, sebagian ulama menyatakan hukumnya haram mengingat hadits ,
لَعَنَ اللَّه زَوَّارَات الْقُبُور

“Allah melaknat wanita yang sering berziarah kubur” (HR. At Tirmidzi no.1056, komentar At Tirmidzi: “Hadits ini hasan shahih”)

Dan sebagian ulama berpendapat hukumnya makruh (Fathul Baari, 4/325). Yang rajih insya Allah, hukumnya boleh bagi laki-laki maupun wanita karena tujuan berziarah kubur adalah untuk mengingat kematian dan mengingat akhirat, sedangkan ini dibutuhkan oleh laki-laki maupun perempuan (Ahkam Al Janaaiz Lil Albani, 180).

Ziarah kubur mengingatkan kita akan akhirat. Sebagaimana riwayat lain dari hadits ini:
زوروا القبور ؛ فإنها تذكركم الآخرة

“Berziarah-kuburlah, karena ia dapat mengingatkanmu akan akhirat” (HR. Ibnu Maajah no.1569)

Ziarah kubur dapat melembutkan hati. Sebagaimana disebutkan dalam hadits yang lain:

كنت نهيتكم عن زيارة القبور ألا فزوروها فإنها ترق القلب ، وتدمع العين ، وتذكر الآخرة ، ولا تقولوا هجرا

“Dulu aku pernah melarang kalian untuk berziarah-kubur. Namun sekarang ketahuilah, hendaknya kalian berziarah kubur. Karena ia dapat melembutkan hati, membuat air mata berlinang, dan mengingatkan kalian akan akhirat namun jangan kalian mengatakan perkataan yang tidak layak (qaulul hujr), ketika berziarah” (HR. Al Haakim no.1393, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Al Jaami’, 7584)

Ziarah kubur dapat membuat hati tidak terpaut kepada dunia dan zuhud terhadap gemerlap dunia. Dalam riwayat lain hadits ini disebutkan:

كنت نهيتكم عن زيارة القبور فزوروا القبور فإنها تزهد في الدنيا وتذكر الآخرة

“Dulu aku pernah melarang kalian untuk berziarah-kubur. Namun sekarang ketahuilah, hendaknya kalian berziarah kubur. Karena ia dapat membuat kalian zuhud terhadap dunia dan mengingatkan kalian akan akhirat” (HR. Al Haakim no.1387, didhaifkan Al Albani dalam Dha’if Al Jaami’, 4279)
Al Munawi berkata: “Tidak ada obat yang paling bermanfaat bagi hati yang kelam selain berziarah kubur. Dengan berziarah kubur, lalu mengingat kematian, akan menghalangi seseorang dari maksiat, melembutkan hatinya yang kelam, mengusir kesenangan terhadap dunia, membuat musibah yang kita alami terasa ringan. Ziarah kubur itu sangat dahsyat pengaruhnya untuk mencegah hitamnya hati dan mengubur sebab-sebab datangnya dosa. Tidak ada amalan yang sedahsyat ini pengaruhnya” (Faidhul Qaadir, 88/4)
Disyariatkannya ziarah kubur ini dapat mendatangkan manfaat bagi yang berziarah maupun bagi shahibul quburyang diziarahi (Ahkam Al Janaiz Lil Albani, 188). Bagi yang berziarah sudah kami sebutkan di atas. Adapun bagi shahibul qubur yang diziarahi (jika muslim), manfaatnya berupa disebutkan salam untuknya, serta doa dan permohonan ampunan baginya dari peziarah. Sebagaimana hadits:
كيف أقول لهم يا رسول الله؟ قال: قولي: السلام على أهل الديار من المؤمنين والمسلمين، ويرحم الله المستقدمين منا والمستأخرين وإنا إن شاء الله بكم للاحقون
“Aisyah bertanya: Apa yang harus aku ucapkan bagi mereka (shahibul qubur) wahai Rasulullah? Beliau bersabda: Ucapkanlah: Assalamu ‘alaa ahlid diyaar, minal mu’miniina wal muslimiin, wa yarhamullahul mustaqdimiina wal musta’khiriina, wa inna insyaa Allaahu bikum lalaahiquun (Salam untuk kalian wahai kaum muslimin dan mu’minin penghuni kubur. Semoga Allah merahmati orang-orang yang telah mendahului (mati), dan juga orang-orang yang diakhirkan (belum mati). Sungguh, Insya Allah kami pun akan menyusul kalian” (HR. Muslim no.974)
Ziarah kubur yang syar’i dan sesuai sunnah adalah ziarah kubur yang diniatkan sebagaimana hadits di atas, yaitu menasehati diri dan mengingatkan diri sendiri akan kematian. Adapun yang banyak dilakukan orang, berziarah-kubur dalam rangka mencari barokah, berdoa kepada shahibul qubur adalah ziarah kubur yang tidak dituntunkan oleh Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam. Selain itu Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam juga melarang qaulul hujr ketika berziarah kubur sebagaimana hadits yang sudah disebutkan. Dalam riwayat lain disebutkan:
ولا تقولوا ما يسخط الرب
“Dan janganlah mengatakan perkataan yang membuat Allah murka” (HR. Ahmad 3/38,63,66, Al Haakim, 374-375)
Termasuk dalam perbuatan ini yaitu berdoa dan memohon kepada shahibul qubur, ber-istighatsah kepadanya, memujinya sebagai orang yang pasti suci, memastikan bahwa ia mendapat rahmat, memastikan bahwa ia masuk surga, (Ahkam Al Janaiz Lil Albani, 178-179)
Tidak benar persangkaan sebagian orang bahwa ahlussunnah atau salafiyyin melarang ummat untuk berziarah kubur. Bahkan ahlussunnah mengakui disyariatkannya ziarah kubur berdasarkan banyak dalil-dalil shahih dan menetapkan keutamaannya. Yang terlarang adalah ziarah kubur yang tidak sesuai tuntunan Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam y‎ang menjerumuskan kepada perkara bid’ah dan terkadang mencapai tingkat syirik.                                                                                                                                                                                       ‎
Nama Para Waliyyulloh Pekalongan 

Mohon koreksi bila ada kesalahan dalam penulisan gelar, nama, alamat dsb :

1. Maulana Maghrobi Sayid Abdullah Syarifuddin bin Hasan Alwi Ba’alawi Wonobodro Bandar Batang
2. Maulana Sayid Ja’far Shodiq bin Tholib bin Shodiq bin Yahya Ba’alawi Sunan Kudus Tsani
3. Maulana Sayid Muhammad Ma’shum bin Tholib bin Shodiq bin Yahya Ba’alawi Kyai Ageng Pekalongan
4. Maulana Sayid Abdussalam Kyai Gede Penatas Angin Pekalongan Pukangan
5. Maulana Syarif Abdullah Maghrobi Syahid Kyai Ageng Rogoselo Pekalongan
6. Maulana Sayid Muhammad bin Hasan bin Yahya Ba’alawi Kyai Gede
7. Pangeran Haryo Tanduran Paninggaran
8. Joko Ketandur Wali Gondrongan Wonopringgo
9. Syarifah Ambariyah Bukur
10. Maulana Maghrobi Sayid Ibrohim Bismo Bandar Batang
11. Maulana Maghrobi Sayid Ahmad Bismo Bandar Batang
12. Maulana Sayid Abdul Aziz Setono
13. Maulana Sayid Abdurrohman Setono
14. Maulana Sayid Husein Makam Dowo Medono
15. Kanjeng Sepuh Sayid Husein Among Negoro Bupati Pekalongan Pertama
16. Kanjeng Sepuh Tanjaningrat I bin Pangeran Marmogati Pekalongan
17. Kyai Gede Syekh Hasan Kesesi / Kyai Gede Cempaluk
18. Kyai Ageng Sayid Abdurrohman Gringging – Bandar – Kajoran
19. Kyai Agung Syeh Tholabuddin bin Sayid Husein bin Yahya
20. Sayid Syarif Imam Audh bin Hasan bin Yahya Kyai Agung Lasem
21. Sayid Syarif Mufti Al-Kabir Habib Husein bin Audh bin Hasan bin Yahya
22. Kyai Agung Pekalongan (Wiroto / Wiradesa)
23. Sayid Syarif Habib Muhsin bin Alwi bin Umar Ba’alawi
24. Sayid Ba’alawi Wiroto Pekalongan
25. Sayid Syarif Abdullah Bafaqih Kyai Wage Wiroto
26. Sayid Imam Hasyim bin Salim bin Aqil bin Hasyim bin Yahya Wiroto
27. Sayid Imam Abdullah bin Muhammad bin Syekh bafaqih Ba’alawi Sapuro Pekalongan
28. Sayid Imam Al-Muhaddits Habib Salim bin Aqil bin Yahya Pekalongan
29. Sayid Imam Al-Faqih Al-Muhaddits Habib Aqil bin Hasyim bin Yahya Sapuro
30. Sayid Imam Al-Mujahid Al-Alamah Al-Habib Syaikhon bin Umar bin Yahya Pekalongan
31. Sayid Imam Syarif Idrus bin Syaikhon bin Umar
32. Sayid Imam Al-Khafidz Habib Khamid bin Idrus bin Yahya Ba’alawi
33. Sayid Imam Syaikhon bin Abdullah bin Alwi bin Yahya Pekalongan
34. Sayid Imam Al- Mujahid Habib Umar bin Hamid bin Yahya Kali Salak
35. Sayid Imam Wali Al-Kabir Habib Husein bin Thoha bin Yahya Lampung
36. Sayid Imam Wali Al-Kabir Habib Husein bin Abdullah Banyu Bening
37. Sayid Al-Alamah Habib Idrus bin Muhsin ba’bud Pekalongan
38. Sayid Al-Alamah Habib Abu Bakar bin Idrus Ba’bud Pekalongan
39. Sayid Al-Alamah Hasan bin Yahya Kyai Lungsu
40. Sayid Muhammad bin Abdurrohman bin Yahya Ba’alawi Kyai Gede Noyontaan
41. Sayid Abdullah bin Abdurrohman bin Yahya Ba’alawi Kanzus Sholawat
42. Kyai Agung Surotaman Pekalongan
43. Sayid Syekh Abdullah bin Ja’far Al-Khadlromi
44. Syekh Gambiran / Wali Agung Gambiran
45. Sayidah Al-Alimah Al-Alamah Al-Mujahidah Syarifah Fatimah binti Thoha bin Yahya
46. Sayid Syarif Imam Al-Kabir Habib Abu Bakar bin Thoha bin Yahya Ba’alawi Geritan
47. Sayid Habib Yahya bin Hasan bin Thoha bin Yahya Pekalongan
48. Sayid Muhammad bin Hasan bin Thoha As-Syahid Mbah Surgi Jatikusumo Kedungdowo Batang
49. Sayid Abdullah bin Muhammad bin Hasan bin Yahya Ba’alawi Kedungdowo Batang
50. Kanjeng Kyai Agung Hasan Rohmatillah Raden Aryohadiningrat I Batang
51. Kanjeng Kyai Tejoningrat II Pekalongan
52. Kanjeng Kyai Suryodinegoro I Batang
53. Kanjeng Kyai Suryodinegoro II Pekalongan
54. Habib Al-Alamah Ibrohim Hasan bin Abdul Qadir Hasan Pekalongan
55. Habib Al-Alamah Abdullah bin Muhammad bin Abdullah bin Muhammad bin Ja’far Al-Athas
56. Habib Al-Alamah Abdul Wahab Basyaiban Pekalongan
57. Habib Al-Alamah Muhammad Basyaiban
58. Habib Al-Alamah Abdullah bin Ibrohim bin Zain bin Yahya Pekalongan
59. Habib Al-Alamah Muhammad bin Ibrohim bin Zain bin Yahya
60. Habib Al-Alamah Abdullah bin Yahya bin Ibrohim bin Yahya
61. Habib Al-Alamah Ibrohim bin Yahya bin Ibrohim bin Yahya
62. Habib Imam Ahmad bin Abdullah bin Tholib Al-Athas Ba’alawi Sapuro Pekalongan
63. Habib Husein bin Salim Al-Athas Pekalongan
64. Habib Ahmad bin Abu Bakar bin Syihab Ba’alawi Pekalongan
65. Habib Ahmad Al-Idrus Ba’alawi Pekalongan
66. Habib Ahmad bin Ali bin Yahya Ba’alawi Pekalongan
67. Syekh Muhammad Al-Hindi Pekalongan
68. Habib Sholih bin Muhammad bin Thohir Al-Hadad Ba’alawi Pekalongan
69. Habib Abdurrohman bin Muhammad bin Ibrohim bin Yahya Ba’alawi Pekalongan
70. Habib Ahmad Al-Maghrobi
71. Habib Alwi bin Abdullah Al-Athas Pekalongan
72. Habib Aqil Al-Athas Pekalongan
73. Habib Syekh As-Saqof Ba’alawi
74. Habib Abu Bakar Ba’alawi
75. Habib Abu Bakar
76. Mbah Kyai Nurul Anam Kranji
77. Mbah Kyai Khomsan Landungsari
78. Mbah Kyai Ilyas Sayudan
79. Mbah Kyai Husein Jenggot
80. Mbah Kyai Abdul Aziz Banyuurip
81. Mbah Kyai Masyhudi Banyuurip
82. Mbah Kyai Abdul Lathif Kradenan
83. Mbah Kyai Thohir bin Abdul Lathif Kradenan
84. Mbah Kyai Abdul Manan Kradenan
85. Mbah Kyai Muhammad Amir Simbang Kulon
86. Mbah Kyai Manshur Wonopringgo
87. Mbah Kyai Fadholi Batang
88. Mbah Kyai Maliki Landungsari
89. Mbah Kyai Sailan Landungsari
90. Mbah Kyai Shodiq Poncol
91. Mbah Kyai Idris Krapyak
92. Mbah Kyai Umar Krapyak
93. Mbah Kyai Muhammad Alim Pekalongan (Kyai Mondo)
94. Mbah Kyai Shodiq Keputran
95. Mbah Kyai Abdurrohman Keputran
96. Mbah Kyai Abdul Karim Poncol
97. Mbah Kyai Sholih Poncol
98. Mbah Kyai Siban Poncol
99. Mbah Kyai Murtadho Sampangan
100. Mbah Kyai Abbas Sampangan
101. Mbah Kyai Umar Khottob Sampangan
102. Mbah Kyai Muhammad Idris Keputran
103. Mbah Kyai Agus Kenayagan
104. Mbah Kyai Adam Sepait Sragi
105. Mbah Kyai Utsman Karanganyar Kajen
106. Kyai Jundi Kranji
107. Kyai Thohir bin Abdul Lathif Kradenan
108. Kyai Masyhudi Jenggot
109. Kyai Abdul Malik Banyuurip
110. Kyai Ahmad Khusnan Banyuurip
111. Kyai Kaukab Banyuurip
112. Kyai Mudzakir banyuurip
113. Kyai Zaini Banyuurip
114. Kyai Irfan Kertijayan
115. Kyai Utsman Karanganyar
116. Kyai Anwar Wonopringgo
117. Kyai Dimyathi Wonopringgo
118. Kyai Yahya Surabayan
119. Kyai Thoha Surabayan
120. Kyai Bulqin Surabayan
121. Kyai Hasan Surabayan
122. Kyai Shomad Simbang Jenggot
123. Kyai Munawar Jenggot
124. Kyai Abdul ‘Adhim Jenggot
125. Kyai Nawawi Kemisan
126. Kyai Syafi'i Kemisan
127. Dimyathi Kemisan
128. Kyai Idris bin Muhammad Amir Simbang Kulon
129. Kyai Sholeh bin Muhammad Amir Simbang Kulon
130. Kyai Abdul Fattah bin Thohir Kradenan
131. Kyai Mudzakir Sampangan
132. Kyai Zain Sampangan
133. Kyai Abdul Qadir Kauman
134. Kyai Khobir Kauman
135. Kyai Siroj Njagalan
136. Kyai Masyhadi Sampangan
137. Kyai Muhammad Nur Sampangan
138. Kyai Muzajat Sampangan
139. Kyai Syu’bi Alwi
140. Kyai Akrom Khasani Jenggot
141. Kyai Asy’ari Setono
142. Kyai Sanusi Setono
143. Kyai Utsman Krapyak
144. Kyai Sumairi Krapyak
145. Kyai Sholeh Poncol
146. Kyai Syiban Poncol
147. Kyai Abdul Lathif Medono
148. Kyai Anshor Medono
149. Kyai Masyhadi Njagalan
150. Kyai Hasyim Tirto
151. Kyai Ghufron Akhid Sampangan
152. Kyai Raden Muhammad Amin Sampangan
153. Kyai Muhammad Amin Sampangan
154. Kyai Amin Maizun
155. Kyai Ambari Kauman
156. Kyai Dimyathi Ambari Kauman
157. Habib Abdullah bin Muhammad bin ……… Bafaqih
158. Habib Ali bin Ahmad bin Abdullah bin Tholib Al-Athas
159. Habib Abdullah Faqih bin Muhammad Al-Athas
160. Habib Abdurrahman bin Abdullah Al-Athas
161. Habib Mualim Muhsin bin Muhammad Al-Athas
162. Habib Yusuf Al-Anqowi Al-Hasani
163. Habib Muhammad bin Yusuf Al-Anqowi Al-Hasani
164. Habib Syeh bin Abdullah Bafaqih
165. Habib Mualim Hasan bin Syekh bin Ali bin Yahya
166. Habib Muhammad Al-Habsyi
167. Habib Muhammad bin Alwi Al-Athas
168. Habib Syekh bin Muhammad As-Saqof
169. Habib Muhammad bin Ahmad As-Saqof
170. Habib Alwi bin Husein bin Syihab
171. Habib Muhsin bin Ali Al-Athas
172. Habib Ahmad bin Umar As-Saqof
173. Syekh Ahmad ………..
174. Syekh Said bin Ahmad ……….
175. Syekh Abdullah …………..
176. Habib Ali bin Hasan Al-Habsyi
177. Habib Hamid Al-Habsyi
178. Habib Ahmad bin Ali bin Ahmad bin Abdullah Al-Athas
179. Habib Muhammad bin Husein bin Ahmad Al-Athas
180. Habib Zein bin Abdullah bin Yahya
181. Habib Muhsin bin Abdullah bin Yahya
182. Habib Ali bin Abdurrahman bin Yahya
183. Habib Yahya bin Hasyim bin Yahya
184. Syarifah Khadijah binti Hasyim bin Umar bin Yahya
185. Syarifah Ri’anah binti Abdurrahman Al-Athas
186. Syarifah Thalhah binti Hasyim
187. Syarifah Raqwan binti Hasyim
188. Syarifah Syifa’ binti Hasyim
189. Syarif Fadhlun bin Hasyim
190. Syarif Zein bin Abdurrahman bin Yahya
191. Syarifah Ni’mah binti Husein bin Yahya
192. Syarifah Alawiyah Al-Athas
193. Syarifah Aminah Al-Muhdhor
194. Syarif Muhsin bin Ahmad Syihab
195. Habib Abdullah bin Ali Al-Hinduwan
196. Habib Abdurrahman bin Muhammad bin Ibrohim bin Yahya
197. Habib Husein bin Ahmad bin Abu Bakar bin Syihab
198. Habib Abdullah bin Ibrohim Al-Athas
199. Habib Muhammad bin Ali bin Syekh bin Yahya
200. Habib Umar bin Abdul Qadir Haddad
201. Habib Ahmad bin Syekh bin Ali bin Yahya
202. Syekh Sholih Nahdi
203. Mbah Wali Krancah Kencono Sidorejo 

Itu sebagian Ulama Dzuriyah Rosululloh SAW yang di wilayah Pekalongan dan sekitarnya

 

Sesepuh Bandung (Karuhun kota Kembang)



MANUSIA memecahkan masalah-masalah hidupnya dengan akal dan sistem pengetahuan. Tetapi akal dan sistem pengetahuan itu ada batasnya. Makin sederhana kebudayaan manusia, makin sempit lingkaran batas akalnya. Persoalan hidup yang tidak dapat dipecahkan dengan akal, dipecahkannya dengan magis, ilmu gaib, yaitu tindakan manusia untuk mencapai suatu maksud melalui kekuatan-kekuatan yang ada di alam, serta seluruh kompleks anggapan yang ada di belakangnya. Magis dapat dikatakan suatu ritus dalam bentuk do’a dan mantera yang diucapkan manusia untuk menegaskan hasrat seseorang terhadap alam dan kekuatan-kekuatan gaib atas dasar kepercayaan pada daya yang menguasai manusia untuk suatu maksud yang nyata.

Mula-mula manusia hanya mempergunakan ilmu gaib atau magis untuk memecahkan masalah-masalah hidup yang ada di luar batas kemampuan dan pengetahuan akalnya. Pada waktu itu religi belum ada dalam kebudayaan manusia. Lambat laun terbukti bahwa dengan magis tidak ada hasilnya, maka mulailah ia yakin bahwa alam didiami oleh makhluk-makhluk halus yang lebih berkuasa daripadanya dan mencoba berhubungan dengan makhluk-makhluk halus itu. Dengan demikian timbullah religi.

Religi timbul dari sikap sentimen rasa kesatuan terhadap alam misteri supranatural yang menguasai dunia. Rasa kesatuan inilah yang menjamin ketenangan (kepuasan) yang biasanya dilakukan manusia dengan berusaha mengadakan hubungan melalui berbagai cara seperti sembahyang dan upacara-upacara suci lainnya. Dengan demikian, religi merupakan alam kepercayaan (believe), yaitu opinion atau idea, sedangkan upacara-upacara (ritus) merupakan modes of action.

Upacara-upacara semacam itu pada dasarnya merupakan usaha untuk memelihara dan memperkuat kesakralan, agar kontak dengan alam supranatural tetap berlangsung yang kemudian akan menimbulkan keteagan hidup manusi. Salah satu perilaku spiritual dalam upaya memelihara hubungan tersebut terwujud dalam sikap “sumerah” atau dalam istilah tradisi dikenal dengan istilah “ngaawi-bitung”, mengosongkan diri untuk mendapatkan kekuatan Illahi, Yang Maha Kuasa.

Sikap “kesumerahan” pada kekuatan Illahi itu, menurut Koentjaraningrat, merupakan wujud dari emosi keagamaan (religions emotion), yaitu getaran jiwa yang pada suatu ketika pernah menghinggapi seorang manusia dalam waktu hidupnya, walaupun getaran itu hanya berlangsung beberapa waktu saja. Emosi keagamaan ada di belakang setiap kelakkan serba religi, sehingga menyebabkan timbulnya sikap keramat, baik pada kelakuan manusia itu sendiri maupun pada tempat kelakuan itu diungkapkan.

Berbicara mengenai sikap keramat, terdapat suatu anggapan di kalangan masyarakat bahwa tempat-tempat keramat adalah tempat bersemayamnya arwah leluhur dan kekuatan-kekuatan gaib. Tempat keramat yang didukung oleh keberadaan tokoh mitos yang kharismatik, umumnya dijadikan tempat ziarah bagi masyarakat dengan maksud dan tujuan tertentu. 

Ziarah pada hakekatnya menyadarkan manusia bahwa hidup di dunia hanya sementara dan manusia merupakan pengembara yang hanya singgah. Ziarah dengan mengunjungi tempat-tempat keramat, makam leluhur, maksudnya bervariasi dan salah satunya adalah memperoleh “restu” dari leluhur yang dianggap “telah lulus dalam ujian hidup”.

Kunjungan atau ziarah ke makam, terutama makam leluhur atau nenek moyang, merupakan tindakan yang dianggap penting bagi sebagian masyarakat. Di Kabupaten Bandung, penyebaran makam keramat hampir merata di setiap wilayah kecamatan. Tapi, hanya beberapa saja yang sangat ramai dikunjungi, misalnya Makam Keramat Pamudar di Kecamatan Cikancung, Makam Keramat Pasirmiri-miri di Kecamatan Paseh, makam Keramat Mahmud di Kecamatan Soreang, Makam Keramat Cijambe di Kecamatan Pacet. Makam keramat Ranggawulungsari Gunung Wayang di Kecamatan Kertasari, Makam Keramat Eyang Sepuh dan Eyang Anom, Makam Keramat Mundingkawati, dan lain-lain.

Makam-makam yang diziarahi oleh masyarakat umum karena dianggap keramat, terdiri dari makam tokoh agama, makam para leluhur suatu wilayah, makam tokoh-tokoh penting dalam sejarah, serta makam tokoh mitos.

Berikut beberapa tempat makam Keramat yang di wilayah Bandung 

1. Situs Gua Hawu Pasirjambu

Gua Hawu terletak di kompleks makam Sangadipati Kertamanah. Kawasan ini kerap pula disebut pasarean Cikabuyutan Pasir Jambu. Letaknya di Ciwidey, Kabupaten Bandung. Di tempat ini lima karuhun (leluhur) tatar Sunda disemayamkan. Pada salah satu bagian di lokasi ini, terdapat Gua Hawu yang sering dijadikan barometer sukses tidaknya masa depan seseorang.

2. Huluwotan Citarum

Wilayah Huluwotan Citarum sejak dulu memang dipercaya sebagai salah satu lokasi yang dianggap memiliki kekuatan spiritual yang sangat lekat. Maka tidak mengherankan, bagi sebagian masyarakat lokasi ini menjadi salah satu tujuan yang paling diminati oleh para peziarah, karena selain terdapat makam yang dianggap keramat, yaitu makam keramat Rangga Wulung Sari dan makam petilasan Eyang Dipati Ukur, juga terdapat sumber mata air yang dianggap sebagai cikahuripan.

Kedua makam ini letaknya cukup berjauhan, akan tetapi tidak memakan waktu lama. Kedatangan mereka ke makam-makam tersebut, dimotivasi karena berbagai kebutuhan.

3. Situs Bukit Cula

Peradaban batu yang berlangsung sejak 40.000 tahun lalu masih menyiratkan perjalanan panjang sejarah manusia. Batu merupakan sumber kekayaan alam yang tak pernah habis, meskipun secara terus-menerus dieksploitasi untuk berbagai kepentingan. Bahkan dari batu inilah timbul suatu peradaban di masyarakat purba yang dikenal dengan budaya batu.

Sisa-sisa peradaban batu inilah yang kemudian menyisakan berbagai tanggapan dan persepsi oleh sebagian masyarakat yang dikait-kaitan dengan kehidupan masa lampau. Sebagai contoh, ketika orang menemukan seonggok batu yang menyerupai benda-benda tertentu, maka secara serta merta muncul gambaran yang dikaitkan dengan apa yang pernah didengar tentang masa lalu, baik yang bersumber dari cerita turun-temurun, atau bahkan timbul idea untuk merentang kembali kisah-kisah lama.

Di Kecamatan Ciparay, tepatnya di Desa Gunungleutik terdapat sebuah situs yang dikenal dengan nama Situs Bukit Cula. Situs ini terletak tidak jauh dari Kadaleman yang nantinya akan dijadikan areal waduk untuk penampungan air irigasi.

4. Situs Batu Candi Tanggulun

Situs Batu Candi Tanggulun terdapat di Kampung Talun, Desa Tanggulun, Kecamatan Ibun. Batuan berbentuk bujur sangkar dengan ketinggian 50 cm dan lebar sekitar 40 cm. Pada bagian pinggir-pinggirnya terdapat sogatan yang teratur. Sekarang berada di kompleks pemakaman umum. Ada yang beranggapan batu ini merupakan bagian dari kaki sebuah candi. Ada juga yang mengatakan sebuah batu lumpang atau sebuah yoni. Lainnya lagi menyebutkan bagian dari sebuah bangunan sanggah, dan berasal dari abad ke-12. Tapi, sebagian orang lagi merasa beryakinan sebagai tanda batas suatu wilayah pada masau lampau. Secara pasti, méang sampai saat ini belum terungkap.

5. Mahkota Kerajaan Kelang

Mahkota Kerajaan Kendan atau Kerajaan Kelang ditemukan di sekitar situs Kerajaan Kendan, di Kampung Kendan, Desa Citaman, Kecamatan Nagreg. ‘Mahkota’ ini terbuat dari bahan logam kasar, dan ditemukan dalam sebuah kotak bersama benda-benda lainnya yang telah terkubur dalam tanah sekitar ratusan tahun yang lampau. Kini tersimpan di rumah salah seorang penduduk sebagai benda pusaka

6. Situs Bumi Alit Lebak Wangi

Situs Rumah Adat Sunda atau Bumi Alit Kabuyutan Lebakwangi-Batukarut, terletak di Kampung Kabuyutan, Desa Lebakwangi, Kecamatan Arjasari. Areal situs terletak di sebuah lahan dengan luas 112 tumbak. Material bangunan yang tersedia terdiri dari pintu gerbang, bale panglawungan, dan sebuah bangunan utama berupa rumah panggung dengan tiga buah ruangan, terdiri dari pajuaran, pangcalikan dan dapur. Di dalam pajuaran tersimpan berbagai benda pusaka, berupa keris, gobang, kujang, badi, sekin, tumbak, sumbul dan perangkat gamelan kabuyutan yang disebut Gamelan Embah Bandong.

7. Batu Tapak Candi Bojongemas

Batu Tapak Candi Bojongemas berasal dari Situs Candi Bohjongemas, Kecamatan Solokanjeruk. Kini, tersimpan di salah saeorang warga kampung Sapan, Desa Sumbersai, Kecamatan Ciparay. sebagi koleksi pribadi. Disebut batu tapak, karena batu ini memiliki gambar tapak kaki orang dewasa pada salah satu bagian muka batu. Gambar tapak kaki tersebut menggunakan téknik garis berpola bintik-bintik

8. Situs Batu Nanceb

Situs Batu Nanceb berada di kawasan Bukit Joglo, Kecamatan Kertasari. Memiliki tinggi kurang lebih sekitar 2,5 m dan lebar 1 m. Batu ini dipercaya sebagai pasak bumi yang telah berumur ribuan taun. Bahkan, dipercaya pula sebagai batas wilayah pantai Danau Bandung Purba di bagian Selatan. Pada masa kerajaan kuno, batu ini merupakan batas wilayah antara kerajaan Galuh dan Kerajaan Sunda.

9. Situs Candi Bojongmenje

itus Candi Bojongmenje terletak di Kampung Bojongmenje, Desa Cangkuang, Kecamatan Rancaekek. Lokasi berada pada ketinggian 675 m dpl, berhadapan perbukitan di sebelah timur dan utara, yaitu G. Bukit Jarian, G. Iwir-iwir, Pasir Sumbul, G. Kareumbi, G. Kerenceng, G. Pangukusan, Pasir Sodok, Pasir Panglimanan, Pasir Dungus Melati, Pasir Serewen, G. Buyung dan beberapa puncak lainnya. Denah candi berbentuk bujur sangkar berukuran sekitar 6 X 6 m bila diukur dari sisi genta dan sekitar 7,5 X 7,5 m bila diukur dari batu paling bawah. Bahan utama yang dipergunakan adalah batuan vulkanik berukuran antara tebal 9 cm, lebar 20 cm dan panjang 40 cm. Disusun secara melintang. Pada situs ditemukan yoni, lingga, fragmen tembikar serta wadah berbentuk kotak dari bahan batuan tufa

10. Situs Batu Keramat Sukaraja

Situs Batu Keramat terdapat di Kampung Sukaraja, Desa Solokanjeruk, Kecamatan Solokanjeruk. Konon, batu ini berkaitan dengan asal-muasal berdirinya Kampung Sukaraja. Diperkirakan dilatarbelakangi oleh peristiwa Perang Ganeas, yaitu perang antara 3 (tiga kekuatan) pasukan domestik, terdiri dari pasukan Sumedanglarang, Banten dan Cirebon. yang terjadi sekitar tahun 1618-1620 M?

Dinamakan Sukaraja karena pada saat itu salah seorang pemimpin pasukan merasa senang atas keberhasilan memenangkan pertempuran. Dan untuk meluapkan kegembiaraaanya Sang Pemimpin (sorang Raja) bersama seluruh pasukanmya berpesta pora, bersuka-suka dengan menikmati hidangan. Konon, batu lulumpang itulah yang digunakan untuk membuat bumbu hidangan yang akan mereka makan.


11.  Situs Makam Keramat Pasirmiri-miri

Pada sebuah bukit, tidak jauh dari jalan desa Cipedes, kecamatan Paseh, terdapat kompleks makam keramat. Namanya Keramat Pasirmiri-miri. Setiap hari, kompleks pemakaman ini selalu dikunjungi masyarakat, baik dari wilayah masyarakat sekitar maupun dari luar daerah. Adakalanya, warga yang datang dari jauh kerapkali menginap sampai beberapa hari lamanya. 

Kompleks makam ini, bagi kalangan peziarah merupakan salah satu lokasi yang “wajib diziarahi” dalam sebuah rute ziarah spiritual di Tatar Sunda. Seorang peziarah asal Garut dan Cianjur yang kebetulan sempat berbicara  dengan penulis menyebutkan, makam keramat Pasirmiri-miri dipandang sebagai lokasi tempat ‘pertemuan’ para wali di awal-awal penyebaran Islam di tatar Sunda, sekitar akhir abad ke-16 dan awal abad ke-17. Pendapat ini dikuatkan oleh kuncen Makam Keramat Pasirmiri-miri.

Di kompleks makam keramat ini terdapat beberapa makam yang diduga berasal dari awal abad ke-17 berbarengan dengan munculnya kekuasaan Mataram atas beberapa wilayah di Tatar Sunda. Makam-makam itu dibatasi sekelilingnya dengan benteng setinggi 2 meter. Dan makam-makam itu, ada yang berada di dalam benteng, ada pula yang berada di luar benteng.

Makam yang berada di dalam benteng, yaitu makam Eyang Wali Pameget, Eyang Wali istri. Patih Balung Tunggal, Eyang jampbrong, Eyang Janggot dan Mama Raden. Sedang di bagian luar benteng terdapat makam Eyang Raksasa, Eyang Sangkal Bolong, Sembah Dalem Waru Suta, Eyang Odas, Eyang Aling-aling, Eyang Jaga Dora, Eyang Jaga Paksa dan Eyang Jiwa Guna.

Sekarang, lokasi makam itu telah dibangun dengan menggunakan alas keramik, sehingga nilai kekunoannya menjadi hilang. Padahal, sebelum dibangun, makam yang terletak di lahan seluas 700 tumbak, itu bercirikan batu-batu di bawah pohon yang usianya ratusan tahun. Sayang, sampai sekarang pun, tidak ada yang mau menjelaskan siapa sebenarnya Eyang Wali Pameget dan Eyang Wali Istri, sebab hanya dua makam inilah yang betul-betul dikeramatkan. Kuncen Pasirmiri-miri mengaku, ‘pamali’ untuk menyebutkan namanya. Kepada para peziarah, Kuncen hanya menyebutkan Eyang Wali Pameget dan Eyang Wali Istri.

Informasi yang didapat pun memang sangat minim. Kuncen lain menyebutkan, Eyang Wali Pameget berasal dari Mataram, dan memiliki tunggangan khusus, yaitu seekor macan putih yang menandakan bahwa ia seorang yang sakti. Biasanya makam ini akan terasa ramai diknjungi pada hari-hari tertentu, seperti Hari Jum’at Kliwon, dan hari-hari besar agama Islam. Tetapi, ada juga beberapa pantangan, diantaranya tidak boleh berkunjung pada hari Rabu dan dilarang merokok di dalam kompleks makam Eyang Pameget dan Eyang Istri.

Kalau mendengar keterangan dari kuncen, dan nama-nama orang dalam kompleks pemakaman Pasirmiri-miri, terdapat beberapa jabatan yang disandang oleh tokoh-tokoh tersebut. Seperti Patih Balung Tunggal, Sembah Dalem Waru Suta, serta Jaga Dora dan Jaga Paksa. Pasirmiri-miri pun akhirnya mirip sebuah wilayah kekuasaan yang selalu dilalui orang secara wara-wiri.

Bangunan-bangunan yang terdapat di lokasi Makam Keramat Pasirmiri-miri, terdiri dari 2 buah bale, mushola, benteng dan sumur. Jalan menuju makam selebar 1 meter dengan panjang sekitar 50 meter terbuat dari teras semen. Seluruh pembangunan infrastruktur ini diperoleh dari sumbangan pengunjung.

12.     Situs Makam Keramat Pangudar

Sekitar abad ke-18, semasa kedudukan Belanda atas Indonesia, wilayah Kabupaten Bandung rupanya menjadi sebuah kawasan rebutan adu pengaruh untuk berbagai kepentingan dan tujuan. Jika Belanda hanya berniat mengeksploitasi lahan-lahan produktif untuk kepentingan ekonomi melalui pengembangan produkdi-produksi unggulan seperti kina, teh dan kopi untuk mengusai perdagangan dunia di Eropa, maka berbeda dengan Cirebon, Banten dan Mataram. Politik ekspansi kolonisasi di wilayah Priangan dalam upaya perlawanan terhadap imperialisme Belanda diwarnai pula dengan penyebaran Agama Islam yang dimulai sejak abad ke-16 hingga abad ke-18.

Dalam kurun waktu selama kurang lebih dua abad itu, pengaruh Agama Islam begitu cepat merebak hingga ke pedalaman, termasuk di wilayah pedalaman Kabupaten Bandung. Kompleks makam keramat Pasirmiri-miri di Kecamatan Paseh merupakan bukti penyebaran agama Islam yang dilakukan oleh Eyang Wali Pameget beserta istrinya, Eyang Wali Istri yang berasal dari Mataram berbarengan dengan masa kolonisasi Mataram di Tatar Ukur. Sementara itu, di Kampung Cinangka, Desa Mandalasari, Kecamatan Cikancung, juga dapat ditemukan makam keramat Pangudar, seorang tokoh penyebar agama Islam yang berasal dari Cirebon.

Dikisahkan, sekitar abad ke-18, atas perintah Penguasa Kanoman telah diutus salah seorang keturunannya yang bernama R. H. Pangeran  Panji Argaloka atau Saca Wadana untuk menyebarkan agama Islam di wilayah Cicalengka.

Beliau datang sendirian ke wilayah Cicalengka dengan meninggalkan keluarga di Cirebon. Oleh sebab itu, beliau pun seringkali bolak-balik antara Cirebon dan tempat yang baru ditempatinya. Kehadiran R.H. Pangeran Panji Argaloka di tempat baru itu, rupanya dapat diterima oleh masyarakat sekitar karena memperlihatkan sikap dan perilakunya yang baik. Ditambah dengan pengetahuan agama Islam yang cukup luas, serta keahlian lainnya, terutama dalam bidang pengobatan lahir maupun bathin, hal ini semakin membuat warga merasa simpati. Bahkan, dalam waktu yang relatif singkat, telah banyak yang menjadi pengikut setia untuk mendalami ajaran Agama Islam.

Pengaruhnya makin lama semakin luas dan besar sehingga tidak memungkinkan lagi untuk bolak-balik ke Cirebon, karena harus melayani warga yang begitu antusias terhadap ajaran agama Islam. Akhirnya, atas idzin keluarga di Cirebon, beliau pun menetap di Cinangka dengan menikahi seorang perempuan warga setempat.

Setelah menjadi warga Cinangka, R.H. Pangeran Panji Argaloka semakin memberikan pengaruh yang sangat kuat dengan pendukung dan pengikut yang dari tahun ke tahun terus meningkat. Keadaan ini membuat gentar Pemerintah Hindia Belanda karena ada kecurigaan munculnya sebuah gerakan perlawanan yang kerapkali dilakukan oleh kalangan pesantren terhadap ketidakadilan yang dilakukan pihak Belanda sebagai kaum imperialis terhadap kaum pribumi.

Karena rasa ketakutan itulah, pada akhirnya pihak Belanda berencana menyergap R.H. Pangeran Panji Argaloka. Rencana itu, sebenarnya sudah tercium, akan tetapi beliau tidak bergeming maupun berusaha untuk menghindarinya. Sehingga pada akhirnya, beliau pun benar-benar ditangkap dengan cara diborgol untuk dibawa ke markas kompeni. Anehnya pada saat mau diberangkatkan, mendadak R.H. Pangeran Panji Argaloka hilang (tilem) tanpa berbekas.

Tapi, sebelum tilem beliau sempat memberi amanat dengan terlebih dahulu membuka (ngudar) borgolnya melalui kesaktian yang dimilikinya. Itulah sebabnya kemudian orang menjulukinya Eyang Pamudar.

Situs Budaya Makam keramat Eyang Pamudar atau R.H. Pangeran Panji Argaloka terletak di Kampung Cinangka, Desa Mandalasari, Kecamatan Cikancung memiliki luas 1,5 ha. Sarana/prasarana berupa mesjid, pos, bangunan makam berukuran 12 X 14 m. Setiap hari rata-rata dikunjungi sebanyak 15 peziarah domestik yang berasal  Pulau Jawa maupun dari luar Pulau Jawa.

13.      Situs Makam Keramat Sembah Dalem Kalijaga

Makam keramat Sembah Dalem Kalijaga atau Eyang Paku Jaya terletak di Kampung Ciwangi, Desa Cipaku, Kecamatan Paseh. Jaraknya hanya sekitar 500 m dari jalan raya Cipaku-Sayang. Sekarang berada di kawasan pemakaman umum warga setempat.

Meskipun berada di kawasan pemakaman umum, kondisi makam Keramat Sembah Dalem Kalijaga atau Makam Eyang Paku Jaya, tampak berbeda dengan makam-makam umumnya. Makam ini berada di bawah pohon yang berumur ratusan tahun. Di sekitar makam terdapat sebuah saung yang diperuntukan bagi peziarah yang bermaksud menginap. Seputar makam, memang sudah tidak terlihat lagi nilai kekunoannya karena pada sekitar tahun 1990-an, kawasan ini dibangun secara permanen dengan menggunakan keramik.

Nilai kekunoan hanya masih terlihat dari batu-batu nisan yang berasal dari batu alami yang terserak menutupi permukaan pekuburan. Dan yang membedakan pula dengan dengan makam-makam lain, bahwa hampir setiap minggu makam ini selalu saja ada yang berkunjung dengan berbagai kepentingan. Ada yang berasal dari kalangan yang mengaku sebagai keluarga, para peziarah dengan maksud-maksud tertentu dengan tujuan ingin mendapatkan sugesti agar sukses dalam segala urusan.

Apalagi di kalangan peziarah ada yang menyakini, bahwa semasa hidupnya Eyang Paku Jaya adalah sosok yang dianggap telah memberikan kenyamanan dan perlindungan terhadap masyarakat sekitar. Sehingga banyak orang yang berkunjung ke sana hanya unutuk mendapat karomah, menjadi orang yang benar-benar jaya dalam mengarungi kehidupan ini.

Julukan Sembah Dalem Kalijaga sendiri uncul, karena semasa hidupnya Eyang Paku Jaya adalah sosok yang senantiasa member perlindungan kepada warga dengan banyak memberikan bantuan, baik bantuan berupa harta benda, maupun bantuan berupa kesaktiaan di saat-saat warga mendapat ancaman bahaya dari pihak luar.

Siapa sebenarnya sosok Eyang Paku Jaya sesungguhnya?

Berdasarkan hasil penelusuran dari berbagai sumber, ada yang berpendapat bahwa Eyang Paku Jaya semasa hidupnya adalah seorang pemimpin besar pewaris tahta kerajaan Timbanganten. Bahkan menurut sumber tersebut, yang disebut dengan Eyang Paku Jaya adalah tidak lain dan tidak bukan ternyata Ratu Cakrawati Wiranatakusumah.

Di Kampung Ciwangi, Désa Cipaku, Kecamatan Paséh kapanggih makam kuno ti abad ka-17. Eta makam teh, katelahna makam Eyang Ratu. Tapi, ari ku masarakat urang Ciwangi mah disebutna Makam Sembah Dalem Kali Jaga atawa Paku Jaya.

Saenyana mah, ngaran Sembah Dalem Kali Jaga téh euweuh hubungan anu natrat jeung Sunan Kali Jaga anu nyebarkeun agama Islam di Pulau Jawa. Da ari maksud Sembah Dalem Kali Jaga di éta tempat téh ngan saukur sesebutan urang dinya pédah baheulana salila dina alam penjajahan, ka éta lembur tara kasorang ku kaum Penjajah. Aya ogé nu lunta-lanto ka dinya, malah sok dilinglungkeun. Puguh jaman harita mah kaasup kénéh leuweung geledegan.

Beuki dieu beuki dieu, aya diantarana anu panasaran, saha saenyana Éyang Ratu téh?. Sok sanajan, masarakatna sorangan masih kénéh cangcaya, saha atuh sabenerna makam anu kiwari disebut Sembah Dalem Kali Jaga anu aya di lembur Ciwangi téh?

Mémang, cenah, éta makam téh nepi ka ayeuna sok pada ngadegdeg. Pangpangna ku nu hayang ngalap berkah. Da kungsi kajadian, aya urang Jakarta anu sok mindeng ka dinya bet diparengkeun maju usahana. Nepi ka
 

Doa Nabi Sulaiman Menundukkan Hewan dan Jin

  Nabiyullah Sulaiman  'alaihissalam  (AS) merupakan Nabi dan Rasul pilihan Allah Ta'ala yang dikaruniai kerajaan yang tidak dimilik...