Kamis, 19 November 2020

Sejarah Wali Pitu Pulau Dewata


Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِى شَيْبَةَ وَزُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ قَالاَ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عُبَيْدٍ عَنْ يَزِيدَ بْنِ كَيْسَانَ عَنْ أَبِى حَازِمٍ عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ زَارَ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- قَبْرَ أُمِّهِ فَبَكَى وَأَبْكَى مَنْ حَوْلَهُ فَقَالَ « اسْتَأْذَنْتُ رَبِّى فِى أَنْ أَسْتَغْفِرَ لَهَا فَلَمْ يُؤْذَنْ لِى وَاسْتَأْذَنْتُهُ فِى أَنْ أَزُورَ قَبْرَهَا فَأُذِنَ لِى فَزُورُوا الْقُبُورَ فَإِنَّهَا تُذَكِّرُ الْمَوْتَ »

Dari Abu Bakr bin Abi Syaibah dan Zuhair bin Harb, mereka berdua berkata: Muhammad Bin ‘Ubaid menuturkan kepada kami: Dari Yaziid bin Kasyaan, ia berkata: Dari Abu Haazim, ia berkata: Dari Abu Hurairah, ia berkata: Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam berziarah kepada makam ibunya, lalu beliau menangis, kemudian menangis pula lah orang-orang di sekitar beliau. Beliau lalu bersabda: “Aku meminta izin kepada Rabb-ku untuk memintakan ampunan bagi ibuku, namun aku tidak diizinkan melakukannya. Maka aku pun meminta izin untuk menziarahi kuburnya, aku pun diizinkan. Berziarah-kuburlah, karena ia dapat mengingatkan engkau akan kematian”
(HR. Muslim no.108, 2/671)

Keutamaan Ziarah kubur :

Haram hukumnya memintakan ampunan bagi orang yang mati dalam keadaan kafir (Nailul Authar [219], Syarh Shahih Muslim Lin Nawawi [3/402]). Sebagaimana juga firman Allah Ta’ala:

 مَا كَانَ لِلنَّبِيِّ وَالَّذِينَ آمَنُوا أَنْ يَسْتَغْفِرُوا لِلْمُشْرِكِينَ وَلَوْ كَانُوا أُولِي قُرْبَى

“Tiadalah sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memintakan ampun (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik, walaupun orang-orang musyrik itu adalah kaum kerabat (nya)” (QS. At Taubah: 113)

Berziarah kubur ke makam orang kafir hukumnya boleh (Syarh Shahih Muslim Lin Nawawi, 3/402). Berziarah kubur ke makam orang kafir ini sekedar untuk perenungan diri, mengingat mati dan mengingat akhirat. Bukan untuk mendoakan atau memintakan ampunan bagi shahibul qubur. (Ahkam Al Janaaiz Lil Albani, 187)

Jika berziarah kepada orang kafir yang sudah mati hukumnya boleh, maka berkunjung menemui orang kafir (yang masih hidup) hukumnya juga boleh (Syarh Shahih Muslim Lin Nawawi, 3/402).

Hadits ini adalah dalil tegas bahwa ibunda Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam mati dalam keadaan kafir dan kekal di neraka (Syarh Musnad Abi Hanifah, 334)
Tujuan berziarah kubur adalah untuk menasehati diri dan mengingatkan diri sendiri akan kematian (Syarh Shahih Muslim Lin Nawawi, 3/402)

An Nawawi, Al ‘Abdari, Al Haazimi berkata: “Para ulama bersepakat bahwa ziarah kubur itu boleh bagi laki-laki” (Fathul Baari, 4/325). Bahkan Ibnu Hazm berpendapat wajib hukumnya minimal sekali seumur hidup. Sedangkan bagi wanita diperselisihkan hukumnya. Jumhur ulama berpendapat hukumnya boleh selama terhindar dari fitnah, sebagian ulama menyatakan hukumnya haram mengingat hadits ,
لَعَنَ اللَّه زَوَّارَات الْقُبُور

“Allah melaknat wanita yang sering berziarah kubur” (HR. At Tirmidzi no.1056, komentar At Tirmidzi: “Hadits ini hasan shahih”)

Dan sebagian ulama berpendapat hukumnya makruh (Fathul Baari, 4/325). Yang rajih insya Allah, hukumnya boleh bagi laki-laki maupun wanita karena tujuan berziarah kubur adalah untuk mengingat kematian dan mengingat akhirat, sedangkan ini dibutuhkan oleh laki-laki maupun perempuan (Ahkam Al Janaaiz Lil Albani, 180).

Ziarah kubur mengingatkan kita akan akhirat. Sebagaimana riwayat lain dari hadits ini:
زوروا القبور ؛ فإنها تذكركم الآخرة

“Berziarah-kuburlah, karena ia dapat mengingatkanmu akan akhirat” (HR. Ibnu Maajah no.1569)

Ziarah kubur dapat melembutkan hati. Sebagaimana disebutkan dalam hadits yang lain:

كنت نهيتكم عن زيارة القبور ألا فزوروها فإنها ترق القلب ، وتدمع العين ، وتذكر الآخرة ، ولا تقولوا هجرا

“Dulu aku pernah melarang kalian untuk berziarah-kubur. Namun sekarang ketahuilah, hendaknya kalian berziarah kubur. Karena ia dapat melembutkan hati, membuat air mata berlinang, dan mengingatkan kalian akan akhirat namun jangan kalian mengatakan perkataan yang tidak layak (qaulul hujr), ketika berziarah” (HR. Al Haakim no.1393, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Al Jaami’, 7584)

Ziarah kubur dapat membuat hati tidak terpaut kepada dunia dan zuhud terhadap gemerlap dunia. Dalam riwayat lain hadits ini disebutkan:

كنت نهيتكم عن زيارة القبور فزوروا القبور فإنها تزهد في الدنيا وتذكر الآخرة

“Dulu aku pernah melarang kalian untuk berziarah-kubur. Namun sekarang ketahuilah, hendaknya kalian berziarah kubur. Karena ia dapat membuat kalian zuhud terhadap dunia dan mengingatkan kalian akan akhirat” (HR. Al Haakim no.1387, didhaifkan Al Albani dalam Dha’if Al Jaami’, 4279)
Al Munawi berkata: “Tidak ada obat yang paling bermanfaat bagi hati yang kelam selain berziarah kubur. Dengan berziarah kubur, lalu mengingat kematian, akan menghalangi seseorang dari maksiat, melembutkan hatinya yang kelam, mengusir kesenangan terhadap dunia, membuat musibah yang kita alami terasa ringan. Ziarah kubur itu sangat dahsyat pengaruhnya untuk mencegah hitamnya hati dan mengubur sebab-sebab datangnya dosa. Tidak ada amalan yang sedahsyat ini pengaruhnya” (Faidhul Qaadir, 88/4)
Disyariatkannya ziarah kubur ini dapat mendatangkan manfaat bagi yang berziarah maupun bagi shahibul quburyang diziarahi (Ahkam Al Janaiz Lil Albani, 188). Bagi yang berziarah sudah kami sebutkan di atas. Adapun bagi shahibul qubur yang diziarahi (jika muslim), manfaatnya berupa disebutkan salam untuknya, serta doa dan permohonan ampunan baginya dari peziarah. Sebagaimana hadits:
كيف أقول لهم يا رسول الله؟ قال: قولي: السلام على أهل الديار من المؤمنين والمسلمين، ويرحم الله المستقدمين منا والمستأخرين وإنا إن شاء الله بكم للاحقون
“Aisyah bertanya: Apa yang harus aku ucapkan bagi mereka (shahibul qubur) wahai Rasulullah? Beliau bersabda: Ucapkanlah: Assalamu ‘alaa ahlid diyaar, minal mu’miniina wal muslimiin, wa yarhamullahul mustaqdimiina wal musta’khiriina, wa inna insyaa Allaahu bikum lalaahiquun (Salam untuk kalian wahai kaum muslimin dan mu’minin penghuni kubur. Semoga Allah merahmati orang-orang yang telah mendahului (mati), dan juga orang-orang yang diakhirkan (belum mati). Sungguh, Insya Allah kami pun akan menyusul kalian” (HR. Muslim no.974)
Ziarah kubur yang syar’i dan sesuai sunnah adalah ziarah kubur yang diniatkan sebagaimana hadits di atas, yaitu menasehati diri dan mengingatkan diri sendiri akan kematian. Adapun yang banyak dilakukan orang, berziarah-kubur dalam rangka mencari barokah, berdoa kepada shahibul qubur adalah ziarah kubur yang tidak dituntunkan oleh Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam. Selain itu Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam juga melarang qaulul hujr ketika berziarah kubur sebagaimana hadits yang sudah disebutkan. Dalam riwayat lain disebutkan:
ولا تقولوا ما يسخط الرب
“Dan janganlah mengatakan perkataan yang membuat Allah murka” (HR. Ahmad 3/38,63,66, Al Haakim, 374-375)
Termasuk dalam perbuatan ini yaitu berdoa dan memohon kepada shahibul qubur, ber-istighatsah kepadanya, memujinya sebagai orang yang pasti suci, memastikan bahwa ia mendapat rahmat, memastikan bahwa ia masuk surga, (Ahkam Al Janaiz Lil Albani, 178-179)
Tidak benar persangkaan sebagian orang bahwa ahlussunnah atau salafiyyin melarang ummat untuk berziarah kubur. Bahkan ahlussunnah mengakui disyariatkannya ziarah kubur berdasarkan banyak dalil-dalil shahih dan menetapkan keutamaannya. Yang terlarang adalah ziarah kubur yang tidak sesuai tuntunan Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam y‎ang menjerumuskan kepada perkara bid’ah dan terkadang mencapai tingkat syirik.                                                                                                                                                                                       ‎
Sejarah Wali Pitu

Jika di Jawa diketahui ada istilah Walisongo (Tis’atul Awliya’, sembilan wali), maka di Bali ada istilah Walipitu (Sab’atul Awliya’, tujuh wali). Hanya saja, istilah Walisongo Jawa sudah dikenal ratusan tahun yang lalu, sedangkan Walipitu Bali dikenal dan dipopulerkan beberapa tahun yang lalu, era tahun 1990-an. Selain itu, ada sedikit perbedaan pemahaman tentang kata “wali” dalam istilah Walisongo dan kata “wali” dalam istilah Walipitu.

Kata “wali” sesungguhnya merupakan kependekan dari kata “waliyulloh” (Walinya Gusti Alloh), yang secara umum dapat diartikan sebagai orang sholeh kekasih Alloh yang memiliki kedekatan hubungan dengan-Nya dan memiliki karomah tertentu. 

Pemahaman dan pengertian Walipitu nampaknya mengacu pada pengertian di atas. Dengan demikian, yang dimaksud dengan istilah Walipitu Bali adalah tujuh orang sholeh kekasih Alloh di Bali yang memiliki kedekatan dengan-Nya dan memiliki karomah tertentu, baik semasa hidupnya maupun setelah wafatnya. 

Tentu saja konotasinya berbeda dengan pengertian “Walisongo” di Jawa , dimana kesembilan Waliyulloh ini tidak dipahami sekedar sebagai orang sholeh yang sangat dekat dan dicintai Alloh serta memiliki karomah tertentu, akan tetapi  juga dikaitkan dengan peranan mereka sebagai penyebar Islam terpenting pada awal-awal pertumbuhan Islam di Jawa, dengan dibuktikan oleh sejarah perjalanan hidup dan perjuangan mereka yang sudah jelas dan diakui kebenarannya oleh para ahli sejarah dan masyarakat umum.  

Jika istilah “Walisongo” dipahami sekedar sebagai orang sholeh yang sangat dekat dengan Allah dan memiliki karomah, tentu saja jumlah Waliyulloh di pulau Jawa tidak terbatas sembilan orang, tetapi bisa jadi ratusan, bahkan ribuan orang.

Sedangkan pengertian “Walipitu” nampaknya tidak dikaitkan dengan peranan mereka sebagai muballigh atau penyebar Islam terpenting di Pulau Bali. Kalaupun “dipaksakan” untuk dicarikan keterkaitannya, beberapa orang diantara mereka masih belum ditemukan sejarah hidup dan perjuangannya secara jelas lagi diakui oleh ahli sejarah. Oleh karena itu tidak mengherankan jika sebagian kalangan melontarkan “gugatan” atau protes terutama terhadap keanggotaan Walipitu ini, karena beberapa anggotanya dipandang tidak ada keterkaitannya dengan proses penyebaran Islam di pulau Bali, sementara beberapa “tokoh” yang dipandang cukup berjasa dalam penyebaran Islam justru tidak diakomodasi, sebut saja : Kiyai Abdul Jalil, Raden Modin, Syarif Tua Abdullah bin Yahya bin Yusuf bin Abu Bakar bin Habib Husain Al-Gadri, 

Lepas dari pro dan kontra seperti di atas, penemuan “Walipitu di Bali” yang saat ini sudah kadung (terlanjur) populer ini merupakan langkah positif yang perlu mendapatkan apresiasi dan dukungan dari berbagai pihak, mengingat dampak positifnya yang begitu besar terutama bagi kemajuan dan perkembangan industri pariwisata di pulau Bali, atau minimal membangun suatu citra bahwa di tengah kehidupan masyarakat Bali yang mayoritas Hindu ternyata ada Waliyulloh-dan komunitas muslim yang dapat hidup berdampingan dengan umat Hindu secara damai dan penuh toleransi.

Berbeda dengan Walisongo yang sudah dikenal sejak beberapa abad yang lalu, maka istilah Walipitu di Bali baru dikenal dan populer sejak beberapa tahun yang lalu. Tepatnya sejak tahun 1992 M/ Muharram 1412 H oleh KH Toyib Zaen Arifin  bersama timnya dari Jama’ah Akhlaqul Hasanah - Jam’iyyah Manaqiban Al-Jamali Kota Denpasar yang dibinanya, telah mengadakan penelitian dan penelusuran untuk mewujudkan adanya tujuh orang auliya’ (Sab’atul Auliya’) di pulau Bali.

Gagasan, penelusuran dan penemuannya berawal dari isyarat sirri (berupa ilham atau hatif) sebagai hasil dari Riyadhoh yang dilakukan oleh KH Toyib Zaen Arifin pada bebarapa malam (sehabisshalatul lail) bulan Muharram 1412 H/1992 di rumahnya (Sidoarjo). Diantara hatif yang didengarnya berbunyi : “Wus kaporo nyoto ing telata Bali iku kawengku dining pitu piro-piro wali. Cubo wujudno” (Di daerah Bali nyata dihuni oleh tujuh orang Wali. Coba wujudkan). Dan begitu seterusnya hatif di malam-malam selanjutnya.

Persoalannya, siapa yang termasuk hitungan Walipitu Bali? Dari berbagai sumber yang penulis dapatkan, ada beberapa versi tentang siapa yang termasuk hitungan Walipitu tersebut. Sebagai berikut :

Versi 1 :
1. Habib Ali Bafaqih  
2. Pangeran Mas Sepuh alias Raden Amangkuningrat  
3. Habib Umar bin Maulana Yusuf Al-Maghrobi 
4. Habib Ali Bin Abu Bakar bin Al-Hamid 
5. Syech Abdul Qodir Muhammad / Wali Cina 
6. G.A. Dewi Siti Khotijah
7. Habib Ali bin Zainal Abidin Al-Idrus,

Versi 2,  
1.  Pangeran Mas Sepuh alias Raden Amangkuningrat  
2. G.A. Dewi Siti Khotijah 
3. Habib Umar bin Maulana Yusuf Al-Maghrobi 
4. Habib Ali bin Zainal Abidin Al-Idrus
5. Syekh Maulana Yusuf Al-Baghdi Al-Maghrabi
6. Habib Ali Bin Abu Bakar bin Al-Hamid
7. Syech Abdul Qodir Muhammad / The Kwan Lie

Versi 3,
1.  Pangeran Mas Sepuh alias Raden Amangkuningrat  
2. G.A. Dewi Siti Khotijah /
3. Pangeran Sosrodiningrat
4. Habib Umar bin Maulana Yusuf Al-Maghrobi 
5. Habib Ali Bin Abu Bakar bin Al-Hamid
6. Syekh Maulana Yusuf Al-Baghdi Al-Maghrabi dan Habib Ali bin Zainal Abidin Al-Idrus
7. Syech Abdul Qodir Muhammad / The Kwan Lie

Versi 4, 
1.  Pangeran Mas Sepuh alias Raden Amangkuningrat  
2. G.A. Dewi Siti Khotijah 
3. Pangeran Sosrodiningrat
4. Habib Umar bin Maulana Yusuf Al-Maghrobi 
5. Habib Ali Bin Abu Bakar bin Al-Hamid
6. Syekh Maulana Yusuf Al-Baghdi Al-Maghrabi
7. Habib Ali bin Zainal Abidin Al-Idrus

Versi 5. 
1. Pangeran Mas Sepuh alias Raden Amangkuningrat
2. Habib Ali bin Abu Bakar bin Umar bin Abu Bakar Al-Hamid,.
3. Habib Ali bin Zainal Abidin Al-Idrus
4. Syekh Maulana Yusuf Al-Baghdi Al-Maghribi.
5.Habib Umar bin Maulana Yusuf Al-Maghribi
6. The Kwan Lie, Syekh Abdul Qodir Muhammad,.
7. Habib Ali bin Umar bin Abu Bakar Bafaqih,.

Dari beberapa versi tersebut, urutan penyebutan nama para wali yang termasuk hitungan Walipitu beserta nama makam keramatnya yang akan penulis uraikan berikut ini adalah menurut penuturan dan pendapat KH Toyib Zaen Arifin, dengan alasan bahwa beliau merupakan orang yang pertama kali menggagas dan menciptakan istilah “Walipitu” di pulau Bali, didalam bukunya yang berjudul  “Sejarah Wujudnya Makam Sab’atul Auliya’, Wali Pitu di Bali”. Adapun nama-nama ketujuh nama auliya’ ini sebagaimana yang tercantum pada versi 5 di atas. 

Yang pasti adalah Kyai Thoyib telah mendapatkan isyarat hawatif dari seseorang atas ijin ALLOH dan berikut diantaranya riwayat wali pitu Pulau Dewata 
Diantara wali pitu tersebut adalah : 

1. Keramat Pantai Seseh (Pangeran Mas Sepuh)

Pangeran Mas Sepuh merupakan gelar. Nama sebenarnya adalah Raden Amangkuningrat, yang terkenal dengan nama Keramat Pantai Seseh. Ia merupakan Putra Raja Mengwi I yang beragama Hindu dan ibunya berasal dari Blambangan (Jatim) yang beragama Islam. Sewaktu kecil, beliau sudah berpisah dengan ayahandanya dan diasuh oleh ibundanya di Blambangan. Setelah dewasa, Pangeran Mas Sepuh menanyakan kepada ibunya tentang ayahandanya itu. Setelah Pangeran Mas Sepuh mengetahui jati dirinya, ia memohon izin pada ibunya untuk mencari ayah kandungnya, dengan niat akan mengabdikan diri. Semula, sang ibu keberatan, namun akhirnya diizinkan juga Pangeran Mas Sepuh untuk berangkat ke Bali dengan diiringi oleh beberapa punggawa kerajaan sebagai pengawal dan dibekali sebilah keris pusaka yang berasal dari Kerajaan Mengwi.

Setelah bertemu dengan ayahnya, terjadilah kesalahpahaman karena baru sekali ini mereka berdua bertemu. Akhirnya, Pangeran Mas Sepuh beranjak pulang ke Blambangan untuk memberi tahu ibunya tentang peristiwa yang telah terjadi. Dalam perjalanan pulang, sesampainya di Pantai Seseh, Pangeran Mas Sepuh diserang oleh sekelompok orang bersenjata tak dikenal sehingga pertempuran tak dapat dihindari. Melihat korban berjatuhan yang tidak sedikit dari kedua belah pihak, keris pusaka milik Pangeran Mas Sepuh dicabut dan diacungkan ke atas dan seketika itu ujung keris mengeluarkan sinar dan terjadilah keajaiban, kelompok bersenjata yang menyerang tersebut mendadak lumpuh, bersimpuh diam seribu bahasa. 

Setelah mengetahui hal tersebut, Pangeran Mas Sepuh berkata, “Hai, Ki Sanak! mengapa kalian menyerang kami dan apa kesalahan kami?” Mereka diam tak menjawab. Akhirnya diketahui bahwa penyerang itu masih memiliki hubungan kekeluargaan, dilihat dari pakaian dan juga dari pandangan batiniah Pangeran Mas Sepuh. Akhirnya, keris pusaka dimasukkan kembali ke dalam karangkanya dan kelompok penyerang tersebut dapat bergerak kemudian memberi hormat kepada Pangeran Mas Sepuh. Tidak lama setelah kejadian tersebut, Pangeran Mas Sepuh meninggal dunia dan dimakamkan di tempat itu juga. Sampai sekarang, makamnya terpelihara dengan baik dan selalu diziarahi oleh umat Islam dari berbagai wilayah di Nusantara.

Proses ditemukannya Makam Keramat Pantai Seseh dimulai sejak Jamaah Manaqib yang ada di Bali mendapat petunjuk, yaitu pada bulan Muharam 1413 H atau 1992 M yang kemudian ditemukan juga makam keramat yang lain.

Makam ini terletak di Pantai Seseh, Desa Munggu Mengwi, Kabupaten Badung (berdampingan dengan Candi Pura Agung di Tanah Lot). Jarak antara Pantai Seseh dan Jalan Raya Tabanan—Denpasar ± 15 km. Selain dikeramatkan oleh kaum muslimin, makamnya juga dihormati oleh umat Hindu. Juru kuncinya bahkan seorang pendeta Hindu. 

2. Keramat Pamecutan

Makam Dewi Khodijah terkenal dengan Keramat Pemecutan. Makam ini terletak di Jalan Batukaru arah ke Perumnas Monang Maning Denpasar.

Dewi Khodijah ini adalah nama setelah beliau berikrar masuk agama Islam. Nama aslinya adalah Ratu Ayu Anak Agung Rai. Beliau adalah adik Raja Pemecutan Cokorda III yang bergelar Bathara Sakti yang memerintah sekitar tahun 1653 M.

Pada waktu Raja Pamecutan tengah berperang, salah seorang prajurit dapat menahan seorang pengelana di Desa Tuban, Kecamatan Kuta, Kabupaten Badung, Bali. Orang yang ditahan tersebut diduga menjadi telik sandi atau mata-mata musuh. Ia lalu dihadapkan kepada Raja Pamecutan untuk diusut. Akhirnya diketahui bahwa dia adalah seorang senopati dari Mataram yang sedang berlayar menuju Ampenan, Lombok, namun perahu yang ditumpanginya diserang badai dahsyat yang membuat senopati Mataram tersebut terdampar di pantai selatan Desa Tuban. Beliau bernama Pangeran Mas Raden Ngabei Sosrodiningrat, sedangkan para pengiring atau punggawanya sebanyak 11 orang tiada kabar beritanya.

Setelah diketahui bahwa tawanan tersebut adalah seorang senopati dari Mataram, Raja Pamecutan meminta kesediaannya untuk memimpin prajurit yang sedang berperang. Raja Pamecutan menjanjikan, apabila perang telah usai dan kemenangan diraihnya, Pangeran Sosrodiningrat akan dinikahkan dengan adik Raja Pamecutan. 

Akhirnya Pangeran Sosrodiningrat bersedia membantu untuk memperkuat pasukan yang ada di medan perang tanpa memikirkan janji raja. Dia malah berpikir apakah mungkin dapat menikah dengan seorang putri yang beragama Hindu, sedangkan dirinya beragama Islam. Setelah perang tersebut dimenangkan oleh pasukan Kerajaan Pamecutan, Pangeran Sosrodiningrat menikah dengan Ratu Ayu Anak Agung Rai (Dewi Khodijah). Setelah dipersunting oleh Mas Raden Ngabei Sosrodiningrat, Ratu Ayu Anak Agung Rai memeluk Islam dan bersungguh-sungguh menekuni dan melaksanakan ajarannya.

Setelah beberapa tahun, musibah datang menimpanya. Pada suatu malam yang gelap, sewaktu Dewi Khodijah mengerjakan shalat malam di kamar yang pintunya terbuka, secara tidak sengaja ia terlihat oleh punggawa raja yang sedang berjaga dan terdengar suara takbir “Allahu Akbar”. Yang didengar oleh punggawa bukanlah kalimat “Allahu Akbar”, melainkan “makeber” yang dalam bahasa Bali berarti “terbang”. Sang punggawa memperhatikan semua gerakan shalat yang dilakukan oleh Dewi Khodijah yang dinilai olehnya sebagai pekerjaan leak (orang jadi-jadian yang berbuat jahat). Sang punggawa langsung melaporkan kepada raja tentang keberadaan leak di kamar keputren. 

Raja akhirnya memerintahkan beberapa punggawa untuk mendatanginya. Saat melihat Dewi Khodijah sedang sujud, tanpa memikirkan risiko, para punggawa menyerbu dengan senjata terhunus dan menghujamkannya ke punggung Dewi Khodijah. Darah segar tersembur ke atas dari punggung Dewi Khodijah yang terkena ujung tombak. Bersamaan dengan itu, terjadilah keanehan yang luar biasa, darah segar Dewi Khodijah yang keluar dari punggungnya mengeluarkan cahaya terang kebiru-biruan dan dapat menembus dinding atap atas hingga keluar memenuhi udara dan memancarkan sinar yang menerangi istana Pamecutan. Seluruh kota Denpasar bahkan menjadi terang-benderang seperti siang hari. Semua penduduk terutama keluarga istana sangat terkejut, termasuk Raja Pamecutan. Bersamaan dengan itu, para punggawa melaporkan bahwa yang dibunuh bukan leak, melainkan orang biasa dan mengeluarkan darah. Saat itu, terdengar jeritan dengan ucapan “Allahu Akbar” hingga tiga kali.

Jenazah Dewi Khodijah yang tertelungkup dengan tombak terhujam di punggungnya sulit diangkat dan dibujurkan. Tubuhnya bermandikan darah yang sudah membeku. Keluarga kerajaan yang ingin menolong mengangkatnya tidak dapat berbuat apa-apa. Jenazahnya tetap sujud tidak berubah. Baginda mencari bantuan kepada umat Islam yang ada di sana agar mau merawat jenazah adiknya menurut cara Islam. Umat Islam lalu segera membantu merawat jenazah, mulai dari memandikan, mengafani, menshalati, sampai memakamkannya dan semuanya berjalan lancar. Meski demikian, satu hal yang tak dapat diatasi yaitu batang tombak yang menghujam di punggungnya tidak dapat dicabut. Akhirnya, atas keputusan semua pihak, jenazah dimakamkan bersama tombak yang masih berada di punggungnya. Anehnya, batang tombak yang terbuat dari kayu itu bersemi dan hidup sampai sekarang. Hal tersebut dapat dibuktikan apabila Anda berkunjung ke makam Dewi Khodijah.

3. Habib Ali bin Umar bin Abu Bakar Bafaqih.

Makam Habib Ali bin Umar bin Abu Bakar Bafaqih ini terletak di Jl. Semangka Loloan Barat Kec. Negara, Kab. Jembrana, Bali.

Meninggal pada tanggal 27 Februari 1998 M di Loloan Barat Jembrana dalam usia 100 tahun lebih. Chabib Ali Bafaqih pendiri pondok Syamsul Huda semasa hidupnya dalam menjalankan syiar Islam telah menunjukkan menjadi hamba Allah pilihan, banyak yang menyaksikan waktu beliau mengisi di suatu majelis, tetapi ada orang yang melihat beliau mengisi di majelis di tempat lain di hari yang sama.

4. Keramat di Bukit Bedugul (Habib Umar bin Yusuf al-Maghribi)


Makam ini terletak di bukit Bedugul, Kabupaten Tabanan, Bali. Makam ini hanya berwujud empat batu nisan untuk dua makam, yaitu makam Habib Umar dan pengikutnya yang luasnya 4×4 M.

Makam ini sebenarnya sudah lama ada, namun menurut keterangan dari beberapa tokoh masyarakat setempat baru saja ditemukan sekitar 40—50 tahun berselang oleh seorang yang mencari kayu bakar di bukit Bedugul tersebut.

5. Keramat Kusumba, Klungkung (Habib Ali bin Abu Bakar al-Hamid)

Makam ini terletak di tepi pantai Desa Kusamba, Kecamatan Dawah, Kabupaten Klungkung, Bali. Makam ini sangat dikeramatkan oleh penduduk setempat, baik umat Islam maupun Hindu.

Makam keramat ini terletak tidak jauh dari selat yang menghubungkan Klungkung dengan Pulau Nusa Penida. Desa Kusamba berada di jalan raya antara Klungkung dan Karangasem (Amlapura), dekat dengan Goalawah. Sebuah Patung dengan memakai Surban dan menaiki Kuda terlihat Gagah di depan Makam seorang Ulama yang turut berjasa mensyiarkan Cahaya Islam di Pulau Dewata.sebuah Makam dari seorang Ulama Besar yang terletak di desa Kusamba,kecamatan Dawah,Kabupaten Klungkung,Bali.

Makam ini adalah makam dari seseorang Ulama yang Bernama Alhabib Ali bin Abubakar Alhamid. Konon,dahulu Beliau adalah Guru sekaligus penerjemah Bahsa Melayu bagi Raja Klungkung.Beliau dahulu adalah orang yang begitu dipercaya oleh Baginda Raja Klungkung.terbukti,Baginda Raja menghadiahkan Tanah perdikan bagi Beliau/tanah bebas pajak,di daerah Kusamba,yang hingga saat ini,menjadi tempat komunitas Muslim terbesar di klungkung.

Rupanya,kedekatan Beliau dan Baginda Raja Klungkung ini,memantik Api kecemburuan yg begitu besar dari Patih Klungkung. Rupanya,Patih ini tidak ingin,kedekatan Baginda Raja dengan Habib ini menggoyahkan posisinya.untuk itu,Sang patih berencana akan melenyapkan Nyawa Sang Habib ini,Patih segera Mengumpulkan orang dan mengupah pembunuh bayaran untuk membunuh penasihat Raja ini.satu saat,Sang Habib sedang keluar dari kompleks istana menuju kediaman Beliau. Ini saat yang tepat....fikir sang patih.

Segera patih menyuruh Anak Buahnya untuk membuntuti Sang Habib ini dan menjalankan Rencana yg telah disusunnya untuk menghabisi nyawa Beliau di tengah jalan.Benar saja,saat di tengah jalan,Habib yg sedang pulang sambil menaiki Kuda pemberian Baginda Raja segera dicegat oleh Begundal suruhan sang patih itu.terjadi pertarungan yg tidak seimbang antara Beliau dengan para Begundal itu.

Beliau meninggal setelah dikeroyok oleh para Begundal suruhan Patih tersebut!! Jasad Beliau ditemukan oleh penduduk sekitar dan akhirnya dimakamkan di Kusamba ini.

Pada malam hari setelah pembunuhan tersebut, terjadilah peristiwa yang sangat menggemparkan. Bagian atas makam Habib Ali al-Hamid mengeluarkan api yang berkobar-kobar membumbung ke angkasa. Semburan api tersebut bergulung-gulung bagaikan bola api dan terbang untuk mengejar sang pembunuh. Di mana mereka bersembunyi, kobaran api terus mengejarnya sampai dapat membakar mereka satu persatu. Tak seorang pun dari pembunuh itu yang tersisa.

Silsilah dari Habib Ali adalah: Habib Ali bin Abu Bakar bin Umar bin Abu Bakar bin Salim bin Hamid bin Aqil bin Muthohar bin Umar bin Abdullah bin Abdurrahman bin Abdullah bin Abdurrahman as-Saqaf bin Ali bin Alwi bin Khalaq Qasam bin Muhammad Shahibil Mirbath bin Ali bin Muhammad Faqih al-Muqadam bin Abdullah bin Ahmad bin Isa al-Bashari bin Muhammad al-Muhajir bin Muhammad Naqib bin Ali al-Aridlhi bin Ja’far Shadiq bin M. Bakir bin Ali Zaenal Abidin bin Husain bin Ali r.a. suami Fatimah az-Zahra’ binti Rasulullah SAW. 

Hingga sekarang,makam Beliau tidak pernah sepi dari para peziarah yang ingin mengunjungi makam dari seorang Penyebar Agama Islam yg begitu berjasa mensyiarkan Islam di Bali ini.para peziarah dari berbagai latar belakang dan Agama ini tampak begitu Rukun dan Harmonis.hemmm......Menarik....di makam ini,saya serasa belajar Arti toleransi dan menghargai Sesama dengan sebenar-benarnya! Beliau seakan mengajarkan....Islam bukanlah identitas tersendiri yg terpisah dari yang lain,Berislam artinya Haruslah mau Berbagi dan mampu menjadikan yang lain sebagai saudara!! Wallahu A'lam bisshowab....

6. Keramat Kembar Karangasem (Maulana Yusuf al-Baghdi al-Maghribi dan Ali bin Zaenal Abidin al-Idrus)

Makam Keramat Kembar Karangasem terletak di Desa Bungaya Kangin, Kecamatan Bebandem, Kabupaten. Karangasem(Amlapura), Bali. Makam keramat tersebut berada tidak jauh dari Jalan Raya Subangan arah ke utara, jalan tembus menuju ke Singaraja dari Desa Temukus. Dari Singaraja berjarak ± 6—7 km.

Di dalam satu cungkup makam kembar tersebut terdapat makam tua/kuno berjajar dengan makam Ali bin Zainal Abidin al-Idrus. Menurut masyarakat, makam kuno inilah yang dikeramatkan sejak zaman dahulu. Makam ini diperkirakan berusia 350—400 tahun. Adapun mengenai nama, sejarah, dan dari mana asalnya, tidak satu pun yang tahu, bahkan juru kuncinya pun tidak tahu. Sebagian kalangan menyebutkna bahwa makam ini adalah makam dari Syekh Maulana Yusuf al-Baghdi al-Maghribi.

Pada tahun 1963 M, Gunung Agung meletus dan mengeluarkan lahar panas, menyemburkan batu besar dan kecil serta abu yang menjulang tinggi di angkasa, menyebar ke seluruh Pulau Bali, bahkan sampai ke wilayah Jawa Timur. Cuaca menjadi gelap gulita, siang hari berubah menjadi gelap pekat, lampu mobil yang terang yang biasa digunakan untuk jarak jauh tidak dapat menembus kepekatan hujan abu tersebut. Ini menunjukkan betapa hebat dan dahsyatnya letusan dan semburan yang dimuntahkan oleh Gunung Agung. 

Sebagian desa porak poranda, banyak rumah roboh, pohon-pohon besar banyak yang tumbang, hujan pasir dan batu kerikil telah menggenangi pulau Bali. Uniknya, Makam Syekh Maulana Yusuf al-Baghdi yang di atasnya tertumpuk susunan batu merah yang ditata begitu saja tidak diperkuat dengan semen pasir dan kapur, tidak berubah sedikit pun, bahkan tidak sebutir pasir pun yang mampu menyentuhnya.

Adapun Habib Ali Zainal Abidin al-Idrus (wafat pada 9 Ramadhan 1493 H/19 Juni 1982) dikenal sebagai ulama besar yang arif bijaksana. Semasa hidupnya, banyak santri yang mengaji kepadanya. Mereka tidak hanya berasal dari beberapa daerah di Bali, tetapi juga dari Lombok dan sekitarnya. Semasa hidupnya, ia menjadi juru kunci makam kuno itu dan setelah wafat, beliau dimakamkan di samping makan kuno tersebut. 

7. Keramat Karang Rupit (Syekh Abdul Qadir Muhammad)

Makam Keramat Karang Rupit terletak di Desa Temukus (Labuan Aji), Kecamatan Banjar, Kabupaten Buleleng, Singaraja, Bali. Makam tersebut berada di tepi Jalan Raya Seririt. Jarak dari Singaraja ± 15 km.

Makam keramat ini adalah makam dari Syekh Abdul Qadir Muhammad yang memiliki nama asli The Kwan Lie atau The Kwan Pao-Lie. Penduduk setempat menyebutnya sebagai Keramat Karang Rupit.

Semasa remaja, beliau  adalah murid Sunan Gunung Jati, Cirebon, Jawa Barat. Para peziarah, baik muslim maupun Hindu, biasanya banyak berkunjung pada hari Rabu terakhir (Rabu Wekasan) bulan Shafar. Uniknya, masing-masing menggelar upacara menurut keyakinan masing-masing.

Gunung Pancar dalam Legenda


Gunung pancar yg terletak di Desa Karang Tengah, kecamatan Babakan Madang, kabupaten Bogor, Jawa Barat ini memang penuh dengan legenda mitos..

biarpun tak seberapa tinggi (hanya 800meter dari permukaan laut), tetapi keberadaan gunung ini seing menjadi buah bibir bagi orang-orang yg gemar mencari pusaka dan mempelajar hal gaib.

selain itu, menurut mitos masyarakat setempat, gunung ini disebutkan sebagai awal dan akhir dari kehidupan di muka bumi ini. menurut kisah yg dituturkan secara turun temurun, dahulu kala ketika bumi belum berpenghuni, belum ada yg namanya gunung, pada saat itu bumi kereap berguncag-guncang sehingga sering memporak-porandakan isinya.

bersamaan dengan guncangan tersebut, pada akhirnya dari perut bumi muncullah sesuatu yg besar, yg tak lain adalah Gunung Pancar, yg artinya muncul kepermukaan bumi.

karena itulah akhirnya gunung pancar diyakini sebagai pondasi bumi yg paling utama. kata pancer sendiri dapat berarti tonggak atau pasak. konon, jika gunung ini hancur akibat letusannya, maka itulah pertanda akan hancurnya alam semesta karena tak ada lagi pondasi penyangganya..

Gunung ini juga dipercaya sebagai pusat kerajaan gaib para mahluk halus. bahkan, ada sebagian masyarakat yg percaya bahwa sebelum hari kiamat tiba seluruh mahluk halus sebangsa jin dan siluman penghuni gunung di seluruh pelosok bumi akan terjebak ke dalam suatu peperangan yg sangat hebat.
namun dikatakan, peperangan gaib tersebut nantinya akan dimenangkan oleh kerajaan pata mahluk halus yg bertahta di puncak Gunung Pancar.

di puncak gunung pancar ternyata terdapat makam-makam keramat yg usianya diperkirakan sudah sangat tua.
beberapa tokoh legendaris yg bersemayan di makam-makam itu antara lain makam Mbah H Dalem Putih, Ki Mas Bungsu, Mbah raden Lawulung, Mbah Raden Surya Kencana, mbah Kalijaga, dan para tokoh karuhun yg dikenal sebagai Ki Mas Manggala dan Mbah Raden Balungtunggal.

banyak orang yg berkunjung ke makam para tokoh tersebut untuk mencari wangsit, selain itu menurut mitos masyarakat setempat, digunung ini tersimpan puluhan hingga ratusan benda pusaka dari kerajaan atau para tokoh zaman dahulu, pusaka-pusaka tersebut bentuknya mulai dari cincin, keris, tombak, dan benda-benda lainnya.

selain benda-benda pusaka tersebut, sesungguhnya ada satu jenis benda pusaka yang terus menjadi buruan..
pada hari-hari tertentu, tepatnya malam hari, dari atas puncak pancar sering terlihat cahaya terang benderang yg menyilaukan mata.
cahaya tersebut diyakini berasal dari pusaka yang disebut sebagai Besi Koneng (besi kuning). besi berdaya gaib tinggi tersebut diperkirakan merupakan peninggalan tokoh sakti yg ada di dalam salah satu makam keramat tersebut.

dan menurut para tokoh setempat, gunung juga adalah tempat pelarian Prabu Kiansantang dari kejaran orang.

 

Panembahan Singaperbangsa


Raden Adipati Singaperbangsa, dikenal pula dengan sebutan Panembahan Singaperbangsa, Dalem Kalidaon atau Eyang Manggung, adalah bupati Karawang pertama dan berjabat dari tahun 1633 sampai 1677 dengan gelar Adipati Kertabumi IV.

Menurut sejarah resmi Kabupaten Karawang, Singaperbangsa adalah putera Wiraperbangsa dari Kerajaan Galuh.

Panembahan  Singaperbangsa mempunyai garis keturunan dari Prabu Geusan Ulun, penguasa kerajaan Sumedang Larang. Beliau adalah putera dari Adipati Kertabumi III yang telah berhasil mengusir Pangeran Nagaragan dari Banten. Nagaragan sebelumnya berusaha menguasai daerah Karawang. 

Keberhasilan Adipati Kertabumi III ini membuatnya dianugerahi keris yang diberi nama “Karosinjang” dan perintah untuk tetap memegang kekuasaan di Karawang sebagai wakil dari Sultan Agung dari Mataram. Namun tugas itu tidak dapat ditunaikan karena Adipati Kertabumi III meninggal dunia pada saat berada di Galuh. Selanjutnya, melalui Piagam Pelat Kuningan Kandang Sapi Gede, Sultan Agung mengangkat Singaperbangsa sebagai penguasa di Karawang dengan gelar Adipati Kertabumi IV.

Pengangkatan Singaperbangsa ini dipandang sebagai titik awal lahirnya Kabupaten Karawang, dengan Singaperbangsa sebagai bupati pertama. Dalam melaksanakan tugasnya, Singaperbangsa didampingi oleh Aria Wirasaba, yang pada waktu itu oleh VOC disebut Tweede regent (“bupati kedua”), sedangkan Singaperbangsa sendiri disebut Hoofd regent (“bupati utama”).

Pada masa pemerintahan Singaperbangsa, pusat pemerintahan Karawang berada di Bunut Kertayasa (sekarang termasuk wilayah kelurahan Karawang Kulon, kecamatan Karawang Barat, Karawang).

Singaperbangsa wafat pada tahun 1677.

Makam Bupati Karawang

Mungkin diantara pembaca sudah pernah mendengar nama daerah yang bernama kampung Cigobang, desa Manggung Jaya, di Kecamatan Cilamaya Kabupaten Karawang. Bagi orang yang tahu daerah tersebut pasti sudah tidak asing lagi dan secara tidak langsung sebagian dari mereka akan tertuju kesuatu tempat yaitu makam Bupati pertama Karawang Dalem Adipati Singaperbangsa dan makam para bupati penerusnya yang pernah memerintah Kabupaten Karawang. Dan bagi orang yang tidak tahu, mungkin akan bertanya-tanya tentang apa yang menariknya tempat tersebut, sehingga orang lain banyak mengenalnya, tidak hanya orang Karawang, masyarakat diluar Karawang pun sudah mengenal bahkan tidak sedikit dari mereka yang pernah berkunjung.

Makam tersebut terletak disebelah barat laut kecamatan Cilamaya, dan dibagian utara kabupaten karawang. Disekeliling tempat tersebut, terdapat sawah-sawah yang terbentang luas dengan disertai kebun-kebun, dan disana juga terdapat tambak-tambak ikan yang dikelola oleh penduduk sekitar. Dibagian utara dari makam tersebut terdapat pesisir pantai dan muara yang bernama Muara Ciparage, yang sebelumnya terbentang sungai besar yang melintasi daerah Tempuran dan sekitarnya. Sungai besar tersebut berasal dari aliran-aliran sungai dibagian utara Jawa Barat. Sungai tersebut dapat mengairi pesawahan dan tambak Ikan milik penduduk sekitarnya.

Antara kota Karawang dan desa Manggung Jaya ± berjarak 40 km. Tempat yang sering dijadikan sarana bagi orang yang berjiarah tersebut, dihubungkan oleh empat arah, diantaranya arah dari Barat adalah dari Turi dan menuju kecamatan Telagasari lalu mengarah ke kota Karawang. Ke timur adalah arah dari Cilamaya, kearah utara adalah muara Ciparage dan pesisir pantai, sedangkan dari arah selatan menuju ke kecamatan Lemah Abang Wadas dan Cikampek.

Disekitar daerah pemakaman banyak tumbuh pohon kelapa, karena berdekatan dengan pesisir pantai dan laut, rasa air disana pun terasa asin. Dan hal itu dimanfaatkan penduduk untuk memelihara ikan yang ditempatkan di tambak-tambak yang tidak jauh dari rumah mereka.

Pengelolaan dan Pelestarian Makam Singaperbangsa

Mengingat tempat tersebut adalah makam dari bupati Karawang, jadi sistem kepengurusan dan pengelolaannya, dipimpin langsung oleh bupati Karawang yang sekarang memerintah dan dibawah pengawasan Pemda Kabupaten Karawang.Bahkan sejak dari pendiriannya sampai sekarang pengelolaan dan pelestarian makam keramat tersebut sudah dimasukan dalam anggaran dari Pemda Karawang.

Para pegawai maupun Bupati Karawang sering berkunjung ke tempat tersebut bahkan tidak jauh dari pemakaman sudah didirikan rumah persingggahan untuk Bupati dan rombongannya. Terutama pada tanggal 10 Mulud (Penanggalan tahun hijriah/Islam), bersamaan dengan peringatan Maulid Nabi Muhammad Saw, dipastikan para pejabat tinggi pemerintah Karawang tersebut hadir disana, untuk melakukan jiarah.

Khusus pada saat hari ulang tahun Kabupaten Karawang selain berkunjungnya Bupati dan rombongan, juga sering dilakukan penulisan ulang buku sejarah kabupaten Karawang dan makam Singaperbangsa termasuk didalamnya. Menurut keterangan penjaga makam/kuncen, bahwa perenovasian makam agung tersebut, dengan membangun benteng disekitarnya.

Bentuk dari makam yang hanya dikhususkan bagi para bupati tersebut, terdiri dari sebuah bangunan yang cukup besar, yang bentuknya menyerupai Keraton yang didalamnya terdapat tujuh buah makam yang satu sama lain terpisah dalam masing-masing ruangan. Dibelakangnya terdapat sebuah mushola dan sebuah bangunan tempat peristirahatan yang disekelilingnya ditumbuhi pohon-pohon besar dan rindang yang diperkirakan sudah berumur puluhan tahun. Bangunan-bangunan tersebut dibangun diatas lahan seluas 2 hektar, dan sudah menjadi lahan milik pemerintah Karawang.

Didalam bangunan pemakaman terdapat 7 buah makam, yang diantaranya 5 makam almarhum Bupati, 1 makam sesepuh daerah tersebut, dan 1 makam lagi belum diisi. Menurut informasi, makam kosong tadinya diperuntukan bagi Bupati Ke-6, tetapi karena tidak diperbolehkan oleh keluarga yang bersangkutan, proses pemindahannya tidak berlangsung.

Adapun nama Makam Bupati dan sesepu tersebut, adalah sebagai berikut :
Dalem Adipati Singaperbangsa, dengan gelar Adipati Kertabumi IV, yaitu Bupati Ke- 1, periode 1633-1677
R. Anom Wirasuta, dengan gelar R.A. Patatayuda I, yaitu Bupati ke-2, periode 1677-1721
R. Jayanegara, dengan gelar R.A Panatayuda II, yaitu Bupati Ke-3, periode 1721-1731
R. Martanegara / R. Singanagara, dengan gelar R. A Panatayuda III, yaitu Bupati Ke-4, periode 1731-1752
R. Mohamad Soleh, dengan gelar R. A Panatayuda IV, yaitu Bupati Ke-5, periode 1752-1786
Ibu Siti Ansiah (Keramat Manggung), Kampung Kali Daon Cigobang, Desa Ciparage

Sebelumnya di Manggung Jaya hanya terdapat makam panembahan Singaperbangsa. Yang menurut cerita ditemukan menurut pemberitahuan dari seorang Guru Besar Agama Islam di Purwakarta yang menyatakan kepada muridnya yang tinggal di Manggung, bahwa di daerah tersebut terdapat makam seorang Wali Allah yang hapal Al-Quran dan merupakan seorang pemimpin.

Setelah berdiri, baru apada sekitar tahun 1993 diadakan penyatuan jenazah para almarhum Bupati setelah pemerintahan Adipati Singaperbangsa untuk dimakamkan, satu pemakaman yaitu di Manggung Jaya akan tetapi yang berhasil hanya empat Bupati, untuk yang lainnya dipertahankan oleh pihak keluarganya.

Keadaannya Sekarang

Sejarah ternyata hanyalah sebuah tumpukan cerita, terkadang menumpuk begitu saja sampai tidak terurus dan tercancam musnah, sampai selesainya tulisan ini, penulis masih prihatin terutama mengenai kelestarian situs sejarah dipemakaman bupati ini, tahun demi tahun semakin sepi, hanya orang-orang tertentulah yang berkunjung, dan yang lebih memperihatinkan, bangunan tampak sudah tidak terurus dan terlantar. Secara objek memang situs ini kalah jauh dibandingkan objek pantai disekitarnya yang dari waktu ke waktu semakin ramai dikunjungi wisatawan baik dari Karawang maupun dari luar, tapi secara nilai historis, budaya ataupun keilmuan, situs ini seharusnya bisa dikembangkan lagi menjadi objek yang lebih menarik. Jangan sampai punah termakan jaman, dan dilupakan terutama oleh generasi mendatang.

Legenda Kobak Sumur

Pantangan warga Desa Ciranggon agar tidak memelihara atau menyembelih kambing memang dibenarkan oleh para sesepuh Karawang. Pantangan tersebut tidak lepas dari keberadaan telaga atau sendang yang berbentuk sumur di desa tersebut, yang oleh warga seputar disebut sebagai Kobak Sumur.  

Konon menurut cerita warga setempat, sumur tua inilah yang menjadi sumber dari segala ihwal cerita yang berkaitan dengan pantangan warga memelihara dan menyembelih kambing.
Larangan memelihara atau menyembelih kambing itu sejatinya juga berpangkal dari satu peristiwa berdarah yang berlangsung di bumi Karawang di masa silam.

“Kejadian itu ada kaitannya dengan cerita berdirinya Karawang ratusan tahun silam, ” ujar pria berkacamata yang kerap mementaskan wayang Golek dengan cerita Babad Tanah Karawang itu ketika ditemui Misteri di kediamannya.

Peristiwa yang dimaksud dalang kondang ini yakni kisah “terpenggalnya” kepala Singa Perbangsa, Bupati Karawang di masa silam. Dalam sejarah disebutkan bahwa pemberontakan Trunajaya berpengaruh besar bagi Karawang. Hal itu dijadikan kesempatan oleh orang-orang Makasar yang membantu pemberontakan Trunajaya untuk melakukan aksi kriminal seperti merampok, merampas harta benda dan bahkan pembunuhan warga yang tidak berdosa. Aksi ini pada akhirnya menimbulkan kesengsaraan rakyat Karawang yang hidup di sekitar Pantai Utara Jawa.

Di saat yang sama, penduduk Karawang yang tinggal di sepanjang sungai Citarum, juga tak luput dari gangguan orang-orang Banten yang dendam karena pangeran Puger Agung dipenggal kepalanya oleh Adipati Kertabumi IV, atau Singa Perbangsa III, Bupati Karawang pada masa itu.
Sebagaimana yang ditetapkan dalam pelat berupa kuningan yang disebut sebagai Kandang Sapi Gede, yang merupakan bukti surat pengangkatan wadana (bupati) Karawang, bahwa antara Singa Perbangsa dan Aria Wirasaba adalah setingkat tetapi dalam pelaksanaan roda pemerintahan, Aria Wirasaba dianggap bawahan Adipati Kertabumi IV alias Singa Perbangsa III, sebagai Bupati Karawang. Sementara Aria Wirasaba hanya mempertahankan dan memerintah Waringin Pitu, Parakan Sapi dan Adiarsa.

Kekurang kompakan mereka sebagai tampuk pimpinan dimanfaatkan oleh 2 orang pimpinan pasukan tentara Trunajaya yaitu  Nata Manggala dan Wangsananga yang diberi tugas memblokir jalan menuju ke Batavia untuk menghalangi Amangkurat meminta bantuan kompeni Belanda. Kekusutan hubungan dua tokoh ini juga dijadikan kesempatan untuk menyerang kediaman Singa Perbangsa, yang memang dianggap membantu terjadinya perundingan di Jepara antara Mataram dan Kompeni, hingga mengakibatkan Trunajaya di hukum mati.

Maka pendopo Karawang diserang oleh Nata Manggala dan Wangsanga bersama pasukannya.  Singa Perbangsa terdesak dan lari ke arah utara.  Akan tetapi di daerah Tunggak Jati Tengah, Singa Perbangsa berhasil ditangkap dan dipenggal kepalanya.  Sedangkan dalem istri dan keluarga serta Raden Anom Wirasuta, Putra Singa Perbangsa, menyelamatkan diri dengan menyebrangi sungai Citarum. Rombongan eksodus ini dipimpin oleh Dalem Singa Derpa Kerta Kumambang. Rombongan ini terus melarikan diri menuju ke selataan.

Hampir bersamaan dengan peristiwa pralayanya Singa Perbangsa ini, R. Suriadipati Putra Rangga Gede dari Sumedanglarang, diangkat menjadi Rangga di Kelapa Dua.  Sementara Indra Manggala Putra Dalem Jaya Manggala dari Sukakerta, Tasikmalaya,  juga mendengar Karwang diserang pemberontak. Dia dan pasukannya segera melarikan kudanya menuju Karawang.  Sampai di suatu tempat Indra Manggala bertemu dengan rombongan keluarga bupati Karawang yang dipimpin Singa Derpa Kerta Kumambang. Kedua belah pihak kemudian melakukan perjanjian damai. Tempat atau bekas perundingan damai ini kini disebut Kampung Badami (berdamai?), yang kini termasuk wilayah Wadas, Teluk Jambe.

Setelah pejanjian damai disepakati, Suriadipati dan Indra Manggala segera berupaya menyelamatkan bupati Singa Perbangsa dengan cara menyusup ke wilayah kotaraja.
Meski akhirnya mereka tahu kalau Singa Perbangsa telah gugur, namun Suriadipati dan Indra Manggala telah sepakat bahwa apapun yang terjadi, kepala bupati Karawang yang terpisah dari badannya itu harus bisa diselamatkan.

Dikisahkan, selang beberapa waktu kemudian, keduanya dapat memasuki kotaraja Karawang. Bahkan, mereka dapat menyusup ke areal pendopo Karawang yang telah diduduki kaum pemberontak. Ketika itulah mereka melihat potongan kapala Singa Perbangsa dipertontonkan dengan cara ditancapkan dekat pendopo. Maksudnya tak lain agar rakyat Karawang menyerah dan tunduk kepada para pemberontak.

Dengan taktik dan strategi yang jitu,    Suriadipati dan Indra Manggala dengan cepat menyelamatkan kepala bupati Karawang tersebut.  Mereka kemudian membawanya untuk dipersatukan kembali dengan tubuhnya yang telah dibawa terlebih dahulu oleh para abdi dalem dan rakyat Karawang yang telah mengungsi. Maksudnya tak lain untuk dimakamkan secara layak.

Menurut tutur, daerah yang dilalui para abdi dalem dan rakyat Karawang dalam pelariannya disebut Klari.  Konon, setelah pemakaman selesai para abdi dalem kembali menemui Singaderpa Kerta Kumambang di Citaman.

Menurut riwayat yang disebarkan secara getok tular (dari mulut ke mulut), sebelum keduanya tiba di daerah Manggung Jaya, lokasi  yang direncanakan untuk memakamakan Singa Perbangsa, Rangga Suriadipati dan Indra Manggala beristirahat di daerah Ciranggon, tepatnya di kawasan irigasi, dekat sebuah sendang,. Nah, sendang inilah yang sekarang disebut Kobak Sumur oleh masyarakat setempat.

Disebutkan, karena merasa prihatin melihat potongan kepala Singa Perbangsa yang kotor,. meski masih dihantui kejaran pasukan Trunajaya, namun keduanya menyempatkan diri untuk membersihkan potongan kepala Singa Perbangsa yang berlumur darah kering itu. Tempat mencucinya d Kobak Sumur tersebut.

Konon, akibat perbuatan mereka yang sembrono ini, air sendang yang tadinya jernih, seketika memerah dan berbau anyir.  Apa yang terjadi kemudian? Akhirnya, secara tiba-tiba Rangga Suriadipati dan Indra Manggala merasakan suasana di sekitarnya jadi hening laksana di kuburan.  Seiring dengan itu, indera keenam mereka juga menangkap adanya sesosok makhluk halus beraura jahat yang hadir di tempat itu.  Dengan kesaktian yang mereka miliki, lantas keduanya melakukan kontak gaib dengan makhluk tak diundang tersebut.
Hasilnya? Mereka bisa ketahui jika makhluk halus tersebut adalah siluman penunggu kawasan tersebut.  Dari hasil dialog gaib bisa disimpulkan bahwa siluman tersebut sangat tertarik dengan kepala dan bau anyir potongan kepala Singa Perbangsa.

Dengan rasa tanggung jawab besar, mereka akhirnya coba mengusir makluh gaiob tersebut. Akan tetapi siluman itu ternyata memiliki kesaktian tinggi, sehingga tak mudah menaklukkannya. Bahkan, sang siluman terus mengganggu pekerjaan Rangga Suriadipati dan Indra Manggala yang akan membawa potongan kepala Sing Perbangsa dan menyatukan dengan tubuhnya.

Ketika mereka terdesak dan hampir hilang akal, maka ketika itulah mereka melihat beberapa orang sedang menggiring kambing.  Rangga Suriadipati segera tanggap. Dipanggilnya para penggiring kambing itu.  Dia pun menceritakan kesulitan yang tengah dihadapannya, dan meminta agar para penggiring kambing itu sudi menyerahkan salah seekor kambingnya untuk dijadikan tumbal pengganti potongan kepala Singa Perbangsa.

Terdorong oleh kecintaan mereka, dan demi menyelamatkan potongan kepala Singa Perbangsa, salah seorang penggiring kambing itu segera menyerahkan seekor kambing jantan miliknya. Kambing inilah yang kemudian disembelih dan kepalanya dipisah dari badannya.  Kepala kambing ini kemudian menjadi pengganti potongan kepala Singa Perbangsa. Potongan kepala kambing itu lantas ditancapkan di sekitar sendang Kobak Sumur, menggunakan batang bambu kuning, dengan maksud untuk mengelabui si makhluk halus yang menginginkan potongan kepala Singa Perbangsa.

Dengan melakukan ritual sederhana ini akhirnya mereka terlepas dari gangguan siluman.  Dengan mata kepala sendiri, mereka menyaksikan wujud sosok siluman itu pergi membawa bangkai kambing tanpa kepala tersebut, sementara kepalanya ditinggalkan menancap dilokasi sendang.
Menurut peneropongan batin keduanya siluman itu tertarik dengan kepala kambing yang masih basah dengan darah.  Dan mereka yakin siluman itu akan kembali mengambilnya.

Disamping untuk mengelabui siluman, penancapan kepala kambing itu dimaksudkan juga sebagai tanda isyarat bagi pengikut Dalem Singa Perbangsa III, bahwa kepala junjungannya telah berhasil diselamatkan.
Urusan dengan siluman penunggu sendang telah selesai. Karena itulah Rangga Suriadipati dan Indra Manggala kemudian segera meneruskan perjalanannya ke manggung.  “Konon dari peristiwa itulah, tercipta kenapa di daerah Ciranggon orang tabu untuk memelihara apalagi menyembelih kambing, termasuk untuk berkurban.  Bahkan, bagi para pelaku spiritual, apa yang disebut Kobak Sumur itu sampai detik ini masih diziarahi,” 

 “Rata-rata yang datang ke Sumur Kobak dengan maksud memperoleh berkah kebaikan, entah dari segi perdagangan maupun pertanian.”.Namun diingatkan, kepercayaan ini hendaknya disikapi dengan bijak. “Jangan sampai menyesatkan, apalagi berakibat syirik!”

Pangeran Sake (Pahlawan Citeureup)


Sebagian besar Masyarakat di Citeureup mencintai serta memuliakan Pangeran Sake, mungkin dikarenakan jasa-jasa beliau didalam membuka wilayah Citeureup, ini bisa dilihat dari Makamnya yang selalu ramai diziarahi, terutama pada malam Selasa dan malam Jum’at. Bahkan bukan hanya warga Citeureup saja yang datang berziarah, dari kota-kota lainpun banyak yang datang, seperti Jabotabek, Bandung, Tasikmalaya, Madura, Karawang hingga Kalimantan.

Setiap malam Selasa dan malam Jum’at para penziarah semenjak sore hari sudah mulai berdatangan. Mereka ada yang datang berjalan kaki hingga berkendaraan, biasanya berkelompok. Tak ada yang mengatur, tetapi para penziarah terlihat tertib memasuki lahan pemakaman. Mereka bergantian masuk, sebagian lainnya bergerombol di luar area makam atau menunggu di majlis yang berada tak jauh dari area pemakaman. Lokasinya yang terletak di Gang Nangka Karang Asem Timur, itu mudah untuk dikunjungi. Bagi para penziarah yang datang dari luar kota melalui tol Jagorawi masuk menuju arah prapatan Citeureup, kemudian kearah selatan melewati BTN Griya Persada kemudian memutar balik kearah Citeureup.

Mbah Sake, begitu masyarakat Citeureup menyebutnya banyak berjasa dalam penyebaran agama Islam di daerah Citeureup dan sekitarnya, beliau semasa hidupnya lebih memilih jalan kesufian dibanding menjadi pamong di istana banten.Masjid Ash-Shoheh diyakini sebagian sesepuh Citeureup sebagai tempat Eyang Sake menghabiskan waktunya dalam beribadah.setiapShubuh kerapkali beliau bersama jamaah lainnya berdzikir hingga waktu Isyraq (terbit fajar). Ada yang menyebut beliau penganut Thariqat Naqsabandiyah.

Banyak cerita / mitos yang dikaitkan dengan Pangeran Sake, baik cerita tentang kehidupannya maupun tentang peninggalannya, cerita-cerita mengalir begitu saja tanpa ada yang tahu darimana sumbernya. Meski demikian nampaknya tak ada yang mempertentangkannya. Cerita-cerita tersebut sudah mengalun sejak lama,dari mulut ke mulut dan sebagian malah tidak memperdulikan kebenarannya. Diantara cerita-cerita tersebut ada yang sebagian saya paparkan disini, sebagian lagi tidak, karena dianggap mustahil dan dikhawatirkan menimbulkan fitnah. Diantara cerita tersebut adalah :

1. Pangeran Sake memiliki beberapa makam, diantaranya ada di Bogor, Cibinong, Cileungsi,Citeureup dan mungkin di daerah lainnya.Terdengar agak aneh memang, seseorang bisa wafat berkali-kali. Namun ada salah satu sumber yang sangat masuk akal, yakni dari salah seorang sesepuh citeureup yang berasal dari leuwiliang, beliau mengatakan bahwa pada zaman dulu, sebagai penyebar agama, Pangeran Sake seringkali menjadi incaran Belanda, gerak-geriknya seringkali dimata-matai, sehingga ketika beliau tinggal disatu tempat, belanda pun dapat mengendusnya, maka demi menghilangkan jejak dibuatlah gundukan tanah yang diklaim sebagai makamnya, sehingga Belanda pun menghentikan pengejarannya, begitu seterusnya, pindah dari satu tempat ke tempat lainnya. masuk akal kan...?


2. Mbah Sake ada dimakamnya pada malam-malam tertentu saja seperti misalnya para penziarah yang datang biasanya ramai pada malam selasa dan malam jum’at. Sebagian meyakini bahwa beliau ada di makam pada malam selasa, dan sebaliknya sebagian mengatakan bahwa mbah sake ada pada malam Jum’at.


3. Ada yang mengaku memiliki Photo / lukisan Pangeran Sake, uniknya yang dapat melihat dengan jelas hanyalah keturunannya saja, selain daripada keturunannya tidak dapat melihat wajahnya dengan jelas, bahkan yang terlihat hanyalah benda-benda biasa seperti batu,kayu,bahkan harimau.


4. Seseorang mengaku memiliki Jubah peninggalan Pangeran Sake semasa beliau hidup, mirip seperti cerita diatas, yang dapat memakai pakaian tersebut dalam artian pakaian tersebut akan cukup dikenakan apabila yang bersangkutan masih keturunannya.

Masih banyak mitos-mitos lainnya, wallahu a’lam mengenai kebenaran cerita – cerita tersebut, mitos-mitos ini mengalir begitu saja tanpa tahu dari mana sumbernya, yang jelas kita berkhusnudzon saja kepada Pangeran Sake yang sudah berjasa membuka hutan rimba bernama Citeureup hingga para anak cucunya dapat menikmatinya sekarang.

Berbicara Pangeran Sake, tidak dapat dilepaskan asal muasal dari Pangeran Sake yakni daerah Banten, kemudian berbicara Banten tentu tak mudah juga dilupakan Pembuka wilayah banten yang tak lain adalah Karuhun (Nenek Moyang) dari Pangeran Sake Yaitu Maulana Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati, seorang Hamba Allah yang berjasa besar dalam rangka tersebarnya agama Islam di Indonesia umumnya serta di Jawa barat khususnya. Beliau juga merupakan bagian dari Wali Songo. Karena jasa-jasanya Rakyat Jawa Barat memberinya gelar Syekh Maulana Syarif Hidayatullah Sunan Gunung Jati Rahimahullah.

Sunan Gunung Jati bernama Syarif Hidayatullah, lahir sekitar tahun 1450. Ayah beliau adalah Syarif Abdullah bin Nur Alam bin Jamaluddin Akbar, seorang Mubaligh dan Musafir besar dari Gujarat, India yang sangat dikenal sebagai Syekh Maulana Akbar bagi kaum Sufi di tanah air. Syekh Maulana Akbar adalah putra Ahmad Jalal Syah putra Abdullah Khan putra Abdul Malik putra Alwi putra Syekh Muhammad Shahib Mirbath, ulama besar di Hadramaut, Yaman yang silsilahnya sampai kepada Rasulullah SAW melalui cucu beliau Imam Husain.

Bunda Sunan Gunung Jati adalah Nyai Rara Santang (Syarifah Muda’im) yaitu putri dari Sri Baduga Maharaja Prabu Siliwangi dan Nyai Subang Larang, dan merupakan adik dari Kian Santang dan kakak Pangeran Walangsungsang yang bergelar Cakrabuwana / Cakrabumi atau Mbah Kuwu Cirebon Girang yang berguru kepada Syekh Datuk Kahfi, seorang Muballigh asal Baghdad bernama asli Idhafi Mahdi bin Ahmad.Makam Nyai Rara Santang bisa kita temui di dalam komplek KLENTENG di Pasar Bogor, di sebelah Kebun Raya Bogor.

Bagi para sejarawan beliau adalah peletak konsep Negara Islam modern ketika itu dengan bukti berkembangnya Kesultanan Banten sebagi negara maju dan makmur mencapai puncaknya 1650 hingga 1680

Beliau menikahi adik dari Bupati Banten ketika itu bernama Nyai Kawunganten. Dari pernikahan ini beliau mendapatkan seorang putri yaitu Ratu Wulung Ayu dan Pangeran Sebakingking atau Maulana Hasanuddin yang kelak menjadi Sultan Banten yang selanjutnya nanti akan sampai kepada lahirnya pangeran Sake.

Dalam menyebarkan agama Islam di Tanah Jawa, Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati tidak bekerja sendirian, beliau sering ikut bermusyawarah dengan anggota wali lainnya di Masjid Demak. Bahkan disebutkan beliau juga membantu berdirinya Masjid Demak. Dari pergaulannya dengan Sultan Demak dan para Wali lainnya ini akhirnya Syarif Hidayatullah mendirikan Kesultanan Pakungwati dan ia memproklamirkan diri sebagai Raja yang pertama dengan gelar Sultan.

Pada usia 89 tahun, Sunan Gunung Jati mundur dari jabatannya untuk hanya menekuni dakwah. Kekuasaan itu diserahkannya kepada Pangeran Pasarean. Pada tahun 1568 M, Sunan Gunung Jati wafat dalam usia 120 tahun, di Cirebon (dulu Carbon). Ia dimakamkan di daerah Gunung Sembung, Gunung Jati, sekitar 15 kilometer sebelum kota Cirebon dari arah barat.

Pangeran Sake yang banyak dikenal di daerah citeureup karena perjuangan beliau di daerah ini berasal dari Banten. Beliau adalah Putra dari Sultan Ageng Tirtayasa.tentu tidak ada salahnya apabila kita paparkan sedikit riwayat dari ayahanda Pangeran Sake tersebut.

Sultan Ageng Tirtayasa (Banten, 1631 – 1683) adalah putra Sultan Abdul Ma’ali Ahmad dan Ratu Martakusuma yang menjadi Sultan Banten periode 1640-1650. Ketika kecil, ia bergelar Pangeran Surya. Ketika ayahnya wafat, ia diangkat menjadi Sultan Muda yang bergelar Pangeran Ratu atau Pangeran Dipati. Setelah kakeknya meninggal dunia, ia diangkat sebagai sultan dengan gelar Sultan Abdul Fathi Abdul Fattah.Nama Sultan Ageng Tirtayasa berasal ketika ia mendirikan keraton baru di dusun Tirtayasa (terletak di Kabupaten Serang).

Sultan Ageng Tirtayasa mempunyai beberapa istri diantaranya Ratu Adi Kasum sebagai permaisuri yang melahirkan Abdul Kahar (Sultan Abdul Nasr Abdul Kahar), 
Dari Ratu Ayu Gede, Sultan Ageng dikaruniai 3 orang anak, yaitu ;
Pangeran Arya Abdul Alim, 
Pangeran Ingayujapura (Ingayudipura) dan 
Pangeran Arya Purbaya. 
Sedangkan dari istri-istri lainnya mempunyai beberapa anak yaitu;
Pangeran. Sugiri, 
Pangeran Sake, 
TB. Raja Suta, 
TB. Husen, 
TB. Kulon, dan lain-lain. 
Diantara anak-anaknya hanya dua saja yang menjadi penguasa yakni Sultan haji dan Pangeran Purbaya, selebihnya memilih meninggalkan banten diantaranya Pangeran Sogiri dan Pangeran Sake yang memilih wilayah timur yang terbentang antara Citeureup, Cibinong sampai ke Cibarusah.

Adapun Silsilah dari Pangeran Sake adalah sebagai berikut :
1. Syeh Syarif Hidayatullah Gunung Jati (1450-1569) Berputra :
2. Sultan Maulana Hasanudin / Panembahan Surosowan (1552-1570), Berputra :
3. Sultan Maulana Yusuf (1570-1580), Berputra :
4. Sultan Maulana Muhamad (1580-1596), Berputra :
5. Sultan Abdul Mafahir Mahmud Abdul Kadir Kenari (1596-1651), Berputra :
6. Sultan Abul Maali Ahmad, Berputra :
7. Sultan Abdul Fathi Abdul Fatta / Sultan Ageng Tirtayasa (1631-1683), Berputra :
8. Syeh Syarifudin Shoheh / Pangeran Sake (1682-1740).


Adapun Putra dari Pangeran Sake :
1.   Pangeran Suryadinata
2.   Pangeran Kertayudha
3.   Pangeran Wiranata
4.   Raden Suryapringga
5.   Raden Komarudin
6.   Raden Syarifudin
7.   Raden Sahabudin
8.   Raden Muhidin
9.   Ratu Jiddah
10. Tubagus Badrudin
11. Tubagus Kamil
12. Ratu Mantria

Mbah Dalem Machsan adalah Menantu dari Pangeran Sake, Makamnya terletak tidak jauh dari Makam Pangeran Sake. Pangeran Sake Wafat Pada Malam Jum’at Tanggal 10 Muharram.

 

Babad Dlepih Kahyangan


Tjariosipun tiyang sepuh ing padukuhan Dlepih. Kangge ancer2 pinongko babadipun wono Kahyangan ingkang dumugi sakmeniko lestantun pepunden Dalem ing Keraton Ngayogjokarto soho ing Keraton Surokarto. Kados ing ngandap puniko.

Wono Kahyangan Dlepih puniko kapernah sakidul wetanipun Kapanewon pangkreh Tirtomoyo. Tebihipun saking Krajan Kapanewon kirang langkung 3km. Wujudipun wono puniko wono kadjeng Djatos. Manggen saurutipun lepen Dlepih. Sakweneh wonten ingkang mastani bilih lepen puniko sirahipun lepen Benawi Solo (bengawan solo) bagian telatahing sisih Kidul. 
Ing sak lebeting wono wau wonten patilasan patilasan kados ingkang kapratilaaken ing ngandap puniko.

1- Selo Gilang; Wujudipun inggih selo Manggen ing tengah wono sisih Kidul. 
2- Pasiraman; Wujudipun Kedung inggih kedungipun lepen Dlepih. Kapernah sak ngandap ipun Selo Gilang. 
3- Panelengan Selo Payung ; Wujudipun Selo nanging montong ngandap ipun kenging Kangge ngiyup menawi mongso jawah mboten kejawahan.
4- Selo Gapit Utawi Selo Panagkep; Manggen ing sak leripun Selo Payung. Wujudipun selo kalih jejer, ingkang ngandap nggodag ing nginggil gathuk. Godhaganipun ing ngandap kenging Kangge lumampah.
5- Selo Bethek Utawi Karang Pasaosan; Manggen ing bagian ler piyambak taksih sak lebeting wono.

Keterangan ingkang kasebat ing nginggil kados ing ngandap puniko. 

Menggah grengipun wono Kahyangan wau sejatosipun Patilasan Pratapanipun Suwargi Kanjeng Panembahan Senopati. Lajeng ka tapak tilas dening Suwargi Ingkang Sinuwun Kanjeng Sultan Agung. Lajeng ka tapak tilas malih dening Ingkang Sinuwun Kanjeng Sultan ingkang sepisan ing Negari Ngayogjokarto Hadiningrat. 

Babadipun mekaten.

Naliko Panjenengan ipun Kanjeng Panembahan Senopati sampun katanem ing Mataram anggentosaken ingkang Romo Kyai Ageng Pamanahan saking panguwasanipun Ingkang Sinuwun Kanjeng Sultan ing Padjang 
Ing ngriku Kanjeng Panembahan Senopati ing dalem kagungan pangangkah sagedo Djumeneng Noto ngratoni ing Tanah Djowo.
Karso ingkang kados mekaten wau linampahan kanti wantering penggalih sarono morotopo.

Saking wantering topo brotonipun saget pinanggih kaliyan Kanjeng Ratu Kidul ingkang Angedhaton ing telenging Samudro Kidul ngantos kalampahan Dados Garwo.
Inggih puniko ingkang saget ambombong dateng cipto karsanipun Kanjeng Panembahan Senopati. 

Sak sampunipun Kanjeng Panembahan Senopati daup kaliyan Kanjeng Ratu Kidul. Kanjeng Panembahan Senopati taksih alul teteki morotopo ing wono wono. Jalaran ancasing penggalih dereng saget kasembadan Pangabektinipun dumateng ALLOH. Tetep Dzikir sarto Sholat sarto Tawajjuh anglampahi Agaminipun Islam.

Anuju saktunggaling dinten Kanjeng Panembahan Senopati nedyo mbangun teki wonten ing wono puncaking Bengawan Solo. Inggih puniko ing lepen Wiroko bagian Kidul ingkang nomo wono Kahyangan Dlepih. 
Ing ngriku Kanjeng Panembahan Senopati topo wonten ing sak ngandap ipun Selo Payung ngantos lami. Jalaran saking kapranan penggalih saget jumbuh papanipun kenging kangge meleng nancepaken cipto ingkang wening. Amargi ing mriku sepen amung wonten suwanten gumrajaging toyo.

Sak lebetipun topo wonten ing sak ngandap ipun selo payung asring ngenggar enggar penggalih siram ing kedung sak ngandap ipun grojogan. Sholat lan dzikir wonten ing selo gilang.

Ing mriku anggenipun Kanjeng Panembahan Senopati kasumerepan saktunggaling tiyang estri ing Padukuhan Dlepih aran Nyai Pudju.
Wonten ipun Nyai Pudju saget andatengi Jalaran pandamelanipun pados ron Pudju dateng wono Kahyangan perlu kasade pecelan.

Sareng Nyai Pudju sumerep Kanjeng Panembahan Senopati ing semu kepincut. Katondo anggenipun pados ron Pudju tansah anggibet ing sak kiwo tengenipun Pratapan. Ngantos saget pepanggihan lan pangendikan kaliyan Kanjeng Panembahan Senopati. 

Lajeng prasasat Nyai Pudju kesupen Griyo. Pangkat saking Griyo injeng mantuk sonten. Mekaten ngantos dangu.

Nuju saktunggaling dinten Kanjeng Panembahan Senopati kadjujuk ingkang Garwo Kanjeng Ratu Kidul. Lajeng sami karso ngenggar enggar penggalih dateng selo pasholatan soho siram dateng kedung pasiraman. Mentas saking siram Lajeng lelenggahan wonten selo pasholatan.  
Mboten katalumpen anggenipun Sholat sarto Dzikir. Tesbeh terus kaasto kagem wiridan. Tasbih wau awujud selo akik. 
Nunggil wekdal wau Nyai Pudju bade marak sowan Kanjeng Panembahan Senopati... sumerep bilih kasusul ingkang Garwo. Nyai Pudju cengkelak wangsul nasak wono. Lan mantuk ipun dipun lestantun aken ajek wanci sonten. 

Ing saktunggaling wekdal Kyai Pudju tuwuh kasujananipun. Gadah panginten Yen bilih ingkang estri wau lampah sedheng kanti bidhal injeng wangsul sonten. 
Lan ing sak pengkeripun Nyai Pudju kesah dateng wono. Kyai Pudju Lajeng nelik sarono dedemitan dateng wono.

Dereng ngantos penanggih ingkang estri. Kyai Pudju sumerep Satriyo Bagus lelenggahan kalian Putri wonten Selo Gilang. Ingkang Kakung ngasto Tasbih. 

Kyai Pudju ndomblong anggenipun ningali panjenengan ipun Kanjeng Panembahan Senopati awit nuju katingal reno katungkul anggenipun pirembagan kalian ingkang Garwo ingkang sami majeng mangilen.
Sareng Kanjeng Ratu noleh mirsani pengkeran... njumbul kaget mirsani dene wonten tiyang jaler jalmo manungso ing saktengahing wono. Lajeng jumeneng sarwi ngendiko."o kamanungsan" 
Saknaliko Lajeng ngajak kundur ndedel. Tasbih ipun ingkang Roko ingkang anuju kaasto wosono Tasbih wau pedot mawut dawah ing kedung pasiraman. 

Kanjeng Panembahan Senopati mitiruti kundur. Sak lebetipun tindak Kanjeng Ratu Kidul paring dawuh dateng pendereipun ingkang nomo Nyai Widononggo. Mekaten " he Widononggo kowe kerio ing kene ojo nderek kundur. Tunggunen pesanggrahan ku lan patilasan Garwaku ing Kahyangan kene. Lan kowe dak ideni banjur madeg Ratu ing kene. Ngratonono sakabehaning lelembut ing kiwo tengening kene.
Tasbehe Kakangmas Panembahan Senopati kang Mawut tibo ing kedung pasiraman reksanen kareben bebranahan sarto tambahono watu watu manik soko segoro Kidul minongko kanggo pepenget ing mburi dino. Kareben podo ditemu marang wong kang ngleluri Panjenengane Kakangmas Panembahan. Watu iki sak pranakane dak dokoki berkah soko Ngarso Dalem ALLOH. Teguh rahayu slamet. Sopo ing tembe kang nemu lan ngrawat watu iku bakal kasawaban berkah "

Sedoyo dawuh sampun katampi lan Nyai Widononggo matur sendiko ngestoaken.

Kanjeng Panembahan Senopati sekalian Kanjeng Ratu Kidul nglajengaken kundur mesat dateng Negari Mataram. 

Inggaling carios Ingkang Sinuwun Kanjeng Sultan ing Padjang sedo.
Kanjeng Panembahan Senopati Lajeng Djumeneng Noto ing Mataram. Sak sampunipun Djumeneng Noto tansah enget lelampahanipun Nyai Pudju sarto Kyai Pudju ing Dlepih. Pramilo Lajeng utusan gandek nimbali Kyai Pudju lan Nyai Pudju ing Dlepih. Kadawuhan ngirit dateng Mataram. 
Sak sampunipun mekaten Kanjeng Panembahan Senopati nglampahaken utusan malih Patih Mondoroko (Ki Juru Martani) Kadawuhan nusul Utawi methuaken gandek ingkang ngirit Kyai Pudju lan Nyai Pudju. Ing pundi anggenipun kapethuk Kyai Pudju Kadawuhan amejahi.. amargi doso nyujanani Panjenengane Kanjeng Panembahan lan mboten pitados dateng garwanipun ingkang saestu prasetyo dateng Kakung.
Dene Nyai Pudju Kadawuhan ngirit terus dateng Mataram. 

Kalampahan sareng utusan dumugi ing Djati Bedug kapethuk utusan ingkang ngirit Kyai Pudju lan Nyai Pudju 
Utusan ngandaraken Lajeng dawuh aken timbalan Dalem. Kyai Pudju inggih mboten suwolo amargi rumaos doso ing Ratu lan Garwo. Kalampahan Kyai Pudju Dipun pejahi lan djisimipun dipun pendem ing selo tinumpuk.
Dene Nyai Pudju Lajeng dipun irit dateng Mataram. Wonten ing Mataram Nyai Pudju ngantos sak wetawis dangu. Lajeng Kadawuhan mantuk dateng Dlepih. Kaparingan ganjaran awarni pengangge sarto lenggah siti. Kadawuhan rumekso wonten ing Pasanggrahan Kahyangan Dlepih. 

Mekaten sak wetawis babad ing Dlepih Utawi wono Kahyangan lan kawulo pendet wosipun kemawon.

Dumugi Sak puniko wono Kahyangan taksih dinamel teteki dening tetiyang ingkang pados pepadang lan ngleluri Panembahan Senopati soho saking Keraton Surokarto lan Keraton Ngayogjokarto ngawontenaken Labuhan saben sewindu (8th) sepindah.

Sejarah Solotigo (Kota Salatiga)


Kota Salatiga, adalah sebuah kota di Provinsi Jawa Tengah. Kota ini berbatasan sepenuhnya dengan Kabupaten Semarang. Salatiga terletak 49 km sebelah selatan Kota Semarang atau 52 km sebelah utara Kota Surakarta, dan berada di jalan negara yang menghubungan Semarang-Surakarta. Salatiga terdiri atas 4 kecamatan, yakni Argomulyo, Tingkir, Sidomukti, dan Sidorejo. Kota ini berada di lereng timur Gunung Merbabu, sehingga membuat kota ini berudara cukup sejuk.

Salatiga, kota yang terletak persis di sebelah selatan Semarang, bukan hanya menjadi kota yang menghubungkan pelabuhan Semarang dan Kasunanan Surakarta. Sejak dulu, kawasan ini memang punya pengalaman historis yang panjang dan menarik.

Ada beberapa sumber yang dijadikan dasar untuk mengungkap asal-usul Salatiga, yaitu yang berasal dari cerita rakyat, prasasti maupun penelitian dan kajian yang cukup detail. Dari beberapa sumber tersebut Prasasti Plumpungan-lah yang dijadikan dasar asal-usul Kota Salatiga. Berdasarkan prasasti ini Hari Jadi Kota Salatiga dibakukan, yakni tanggal 24 Juli 750yang ditetapkan dengan Peraturan Daerah Tingkat II Kota Salatiga Nomor 15 Tahun 1995 tentang Hari Jadi Kota Salatiga. 

Prasasti Plumpungan

Prasasti Plumpungan Cikal bakal lahirnya Salatiga tertulis dalam batu besar berjenis andesit berukuran panjang 170cm, lebar 160cm dengan garis lingkar 5 meter yang selanjutnya disebut prasasti Plumpungan.

Berdasarkan Prasasti yang berada di Dukuh Plumpungan, Kelurahan Kauman Kidul, Kecamatan Sidorejo itu, maka Salatiga sudah ada sejak tahun 750 Masehi, yang ada pada saat itu merupakan wilayah Perdikan. Sejarahwan yang sekaligus ahli Epigraf Dr. J. G. de Casparis mengalihkan tulisan tersebut secara lengkap yang selanjutnya disempurnakan oleh Prof. Dr. R. Ng Poerbatjaraka.

Prasasti Plumpungan berisi ketetapan hukum tentang status tanah perdikan atau swatantra bagi suatu daerah yang ketika itu bernama Hampra, yanng kini bernama Salatiga. Pemberian perdikan tersebut merupakan hal yang istimewa pada masa itu oleh seorang raja dan tidak setiap daerah kekuasaan bisa dijadikan daerah Perdikan.

Perdikan berarti suatu daerah dalam kerajaan tertentu yang dibebaskan dari segala kewajiban pembayaran pajak atau upeti karena memiliki kekhususan tertentu. Dasar pemberian daerah perdikan itu diberikan kepada desa atau daerah yang benar-benar berjasa kepada seorang raja.
Prasasti yang diperkirakan dibuat pada Jumat, 24 Juli tahun 750 Masehi itu, ditulis oleh seorang Citraleka, yang sekarang dikenal dengan sebutan penulis atau pujangga, dibantu oleh sejumlah pendeta atau resi dan ditulis dalam bahasa jawa kuno: "Srir Astu Swasti Prajabyah" yang berarti "Semoga Bahagia, Selamatlah Rakyat Sekalian".


Sejarahwan memperkirakan, bahwa masyarakat Hampra telah berjasa kepada Raja Bhanu yang merupakan seorang raja besar dan sangat memperhatikan rakyatnya, yang memiliki daerah kekuasaan meliputi sekitar Salatiga, Kabupaten Semarang, Ambarawa, dan Kabupaten Boyolali. Penetapan di dalam prasasti itu merupakan titik tolak berdirinya daerah Hampra secara resmi sebagai daerah Perdikan dan dicatat dalam prasasti Plumpungan. Atas dasar catatan prasasti itulah dan dikuatkan dengan Perda No. 15 tahun 1995 maka ditetapkan Hari Jadi Kota Salatiga jatuh pada tanggal 24 Juli.


Zaman Islam

Walisongo atau Walisanga dikenal sebagai penyebar agama Islam di tanah Jawa pada abad ke 14. Mereka tinggal di tiga wilayah penting pantai utara Pulau Jawa, yaitu Surabaya-Gresik-Lamongan di Jawa Timur, Demak-Kudus-Muria di Jawa Tengah, dan Cirebon di Jawa Barat. Era Walisongo adalah era berakhirnya dominasi Hindu Budha dalam budaya Nusantara untuk digantikan dengan kebudayaan Islam. Mereka adalah simbol penyebaran Islam di Indonesia, khususnya di Jawa. Tentu banyak tokoh lain yang juga berperan. Namun peranan mereka yang sangat besar dalam mendirikan Kerajaan Islam di Jawa, juga pengaruhnya terhadap kebudayaan masyarakat secara luas serta dakwah secara langsung, membuat para Walisongo ini lebih banyak disebut dibanding yang lain.

Penamaan Salatiga tidak lepas dari peran KI Ageng Pandanaran II ( Bupati Semarang) pada masa pemerintahan Pandan Arang II menunjukkan kemakmuran dan kesejahteraan yang dapat dinikmati penduduknya. Namun sesuai dengan nasihat Sunan Kalijaga, Bupati Pandan Arang II mengundurkan diri dari hidup keduniawian yang melimpah ruah. la meninggalkan jabatannya, meniggalkan Kota Semarang bersama keluarga menuju arah Selatan, pada saat Ki Pandan Arang II tiba disuatu daerah perdikan ditengah perjalanan dihadang oleh rampok/begal yang berjumlah tiga orang untuk merampok bawaan istri Ki Pandanaran, atas kuasa Allah SWT ketiga perampok tersebut dapat dikalahkan. Setelah kejadian tersebut KI Pandan Arang II menamai daerah tersebut SALATIGA (dari kata salah dan tiga) yang kelak dikemudian hari dikenal menjadi SALATIGA, adapun perampok yang dikalahkan tersebut masuk Islam dan menjadi murid Ki Pandan Arang kemudian mengikuti perjalanan melewati Boyolali akhirnya sampai ke sebuah bukit bernama jabalkat di daerah Klaten. 


ceritanya ketika Bupati semarang disuruh oleh Sunan Kalijaga untuk memperdalam ngelmu agama sang bupati tersebut dilarang membawa perhiasan yang ada untuk menyepi dan merenungi akan kehidupanya. Sang bupati disilahkan untuk berjalan ke timur untuk mencari tempat menyepi oleh njeng Suan Kalijaga (sebelumnya sang bupati di ceritakan adalah bupati yang sombong karena kekayaanya…nama sang bupati tersebut adalah Kyai Pandan Arang nah sang Kyai Pandan Arang dihukum karena kesombonganya untuk menyepi di suatu tempat. Syaratnya yaitu tadi… ngak boleh membawa perhiasan. Nah sang Kyai Pandan Arang pergi dengan Istrinya yang tentu saja namanya adalah Nyai Pandan Arang ditemani seorang Abdi dalemnya. Karena yang telah mendapat pencerahan waktu itu hanya sang Kyai Pandang Arang sang Nyai Pandan Arang belom maka sang Nyai pandan Arang takut kalo jatuh miskin. 

Maka sang Nyai Pandan Arang memerintahkan Pembantunya untuk membawa perhiasan yang disembunyikan ke dalam tongkat yang dikasih lobang. Sampe dijalan Sang kyai dicegat leh sekelompok begal eh begall itu bahasa Indonesianya apa Ya? Anu Garong eh whmmm Rampok ya Rampok… karena sang Kyai merasa ngak bawa apa-apa maka sang kyai tenang saja.
….. terus perampoknya ngak percaya karena meelihat ketakutan ada pada wajah Nyai Pandan Arang dan Pembantunya yang dengan erat memegangi tongkanya. Kalo ketakutan berarti bawa apa apa nih… dan betul ketika tongkatnya dibanting munculah perhiasan……..

Waktu itu kemudian munculah Sunan Kalijaga ….. yang menyelamatkan Rombongan Kyai Pandan Alas… eh Arang ding…. kemudian gerombolan Rampokpun dikalahkan dan sadar akhirnya… sadarnya ketika itu Sang Sunan Kalijaga berkata begini…. Weh kelakuan manusia kok kayak kelakuan wedus alias kambing… dan kemudian wajah ketua perampokpun berubah menjadi kambing. Wajahnya akan berubah ketika sudah mengamalkan kebaikan… akhirnya pimpinan gerombolan mengabdi pada Sang Kyai Pandan Arang. 

Untuk menandai itu maka sang Kyai Pandan Arang berkata… besok kalo tempat ini jadi maju… akan kuamai daerah ini dengan nama SALA TIGA . Yaitu kesalahan bertiga…. Dirimu Nyai masih ngotot membawa perhiasan, kamu (sambil nunjuk sang rewang) karena membatu istriku untuk mebawa perhiasan. Dan diriku sendiri yang ngang ngecek pas kita berangkat. Dan Kyai Pandan Arangpun melanjutkan perjalanan setelah pamit pada Sunan Kalijaga…. Diikuti dengan Istri, pembantu atau rewang dan gerombolan perampok, dan ketua gerombolan perampok karena berkepala domba akhirnya namanya berubah menjadi syech domba , begitulah legendanya

Zaman kolonial 

Pada zaman penjajahan Belanda telah cukup jelas batas dan status Kota Salatiga, berdasarkan Staatsblad 1917 No. 266 Mulai 1 Juli 1917 didirikan Stadsgemeente Salatiga yang daerahnya terdiri dari 8 desa.

Karena dukungan faktor geografis, udara sejuk dan letak yang sangat strategis, maka Salatiga cukup dikenal keindahannya di masa penjajahan Belanda, bahkan sempat memperoleh julukan "Kota Salatiga yang Terindah di Jawa Tengah".

Nama Salatiga kembali mencuat ke permukaan sewaktu digelar perundingan segitiga antara Kasunanan Surakarta, VOC dan Raden Mas Said atau Pangeran Sambernyawa. Perjanjian itu digelar di Kalicacing, satu desa yang berada di wilayah Salatiga. Inilah sebabnya perjanjian ini masyhur dikenal sebagai Perjanjian Salatiga.

Perundingan itu dipicu oleh perlawanan bersenjata Pangeran Sambernyawa terhadap VOC maupun Kasunanan. Akhirnya, pada 17 Maret 1757, ditandatangani sebuah naskah perjanjian yang menyebutkan bahwa Pangeran Sambernyawa berhak atas sebagian wilayah Kasunanan Surakarta. Dari perjanjian inilah muncul Dinasti Mangkunegara dan Pangeran Sambernyawa berhak memakai gelar Kanjeng Gusti Adipati Mangkunegara I. Gelar yang sama berhak dipakai keturunan Pangeran Sambernyawa.

Pada masa kolonial, sejak pertengahan abad 19 hingga memasuki abad 20, Salatiga dikenal sebagai daerah peristirahatan bagi para pejabat pemerintah kolonial maupun orang-orang Eropa. Tempatnya yang berada di perbukitan dengan hawa yang sejuk memungkinkan Salatiga menjadi kawasan favorit untuk berlibur dan beristirahat.

Status sebagai kotamadya yang kini disandang Salatiga juga sudah muncul sejak era kolonial. Pada 1 Juli 1917, berdasar Staatsblad No. 266, Salatiga ditetapkan sebagai Stadsgemeente (Kotamadya) Salatiga dengan daerah yang meliputi 8 desa.

Zaman kemerdekaan 

Pada tahun-tahun pertama kemerdekaan, Salatiga pernah dijadikan salah satu basis tentara NICA-Belanda yang berniat kembali menduduki Indonesia. Bersama Ambarawa dan Semarang, Salatiga menjadi salah satu kawasan paling bergejolak.

Salatiga juga menjadi salah satu titik serangan udara yang dilakukan oleh kadet-kadet AURI pada 29 Juli 1947. Dengan menggunakan pesawat Churen yang diterbangkan dari Maguwo, Yogyakarta, kadet AURI itu berhasil menggelar serangan udara selama satu jam. Serangan ini memberi efek psikologis yang strategis karena menunjukkan pada dunia internasional bahwa kekuatan militer Indonesia masih eksis kendati baru saja diserang oleh Belanda lewat Agresi Militer I.

Kotamadya Daerah Tingkat II Salatiga adalah bekas stadsgemeente yang dibentuk berdasarkan Staatsblad 1929 No. 393 yang kemudian dicabut dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah-daerah Kecil Dalam Lingkungan Provinsi Jawa Timur,Jawa Tengah dan Jawa Barat. Berdasarkan amanat UU No.22 tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah Kotamadya Daerah Tingkat II Salatiga berubah penyebutannya menjadi Kota Salatiga.

 

Doa Nabi Sulaiman Menundukkan Hewan dan Jin

  Nabiyullah Sulaiman  'alaihissalam  (AS) merupakan Nabi dan Rasul pilihan Allah Ta'ala yang dikaruniai kerajaan yang tidak dimilik...