Sejarah Berdirinya Kabupaten Banyumas
Kabupaten Banyumas berdiri pada tahun 1582, tepatnya pada hari Jum’at
Kliwon tanggal 6 April 1582 Masehi, atau bertepatan tanggal 12 Robiul
Awwal 990 Hijriyah. Kemudian ditetapkan dengan Peraturan Daerah (PERDA)
Kabupaten Daerah Tingkat II Banyumas Nomor 2 tahun 1990.
Keberadaan sejarah Kabupaten Banyumas tidak terlepas dari pendirinya
yaitu Raden Joko Kahiman yang kemudian menjadi Bupati yang pertama
dikenal dengan julukan atau gelar ADIPATI MARAPAT (ADIPATI MRAPAT).
Riwayat singkatnya diawali dari jaman Pemerintahan Kesultanan PAJANG, di bawah Raja Sultan Hadiwijaya.
Kisah pada saat itu telah terjadi suatu peristiwa yang menimpa diri
(kematian) Adipati Wirasaba ke VI (Warga Utama ke I) dikarenakan
kesalahan paham dari Kanjeng Sultan pada waktu itu, sehingga terjadi
musibah pembunuhan di Desa Bener, Kecamatan Lowano, Kabupaten Purworejo
(sekarang) sewaktu Adipati Wirasaba dalam perjalanan pulang dari
pisowanan ke Paiang. Dari peristiwa tersebut untuk menebus kesalahannya
maka Sultan Pajang, memanggil putra Adipati Wirasaba namun tiada yang
berani menghadap.
Kemudian salah satu diantaranya putra menantu yang memberanikan diri
menghadap dengan catatan apabila nanti mendapatkan murka akan dihadapi
sendiri, dan apabila mendapatkan anugerah/kemurahan putra-putra yang
lain tidak boleh iri hati. Dan ternyata diberi anugerah diwisuda menjadi
Adipati Wirasaba ke VII.
Semenjak itulah putra menantu yaitu R. Joko Kahiman menjadi Adipati dengan gelar ADIPATI WARGA UTAMA II.
Kemudian sekembalinya dari Kasultanan Pajang atas kebesaran hatinya
dengan seijin Kanjeng Sultan, bumi Kadipaten Wirasaba dibagi menjadi
empat bagian diberikan kepada iparnya.
1. Wilayah Banjar Petambakan diberikan kepada Kyai Ngabei Wirayuda.
2. Wilayah Merden diberikan kepada Kyai Ngabei Wirakusuma.
3. Wilayah Wirasaba diberikan kepada Kyai Ngabei Wargawijaya.
4. Wilayah Kejawar dikuasai sendiri dan kemudian dibangun dengan membuka
hutan Mangli dibangun pusat pemerintahan dan diberi nama Kabupaten
Banyumas.
Karena kebijaksanaannya membagi wilayah Kadipaten menjadi empat untuk para iparnya maka dijuluki Adipati Marapat.
Siapakah Raden Joko Kahiman itu ?
R. Joko Kahiman adalah putra R. Banyaksasro dengan ibu dari Pasir Luhur.
R. Banyaksosro adalah putra R. Baribin seorang pangeran Majapahit yang
karena suatu fitnah maka menghindar ke Pajajaran yang akhirnya
dijodohkan dengan Dyah Ayu Ratu Pamekas putri Raja Pajajaran. Sedangkan
Nyi Banyaksosro ibu R. Joko Kahiman adalah putri Adipati Banyak Galeh
(Mangkubumi II) dari Pasir Luhur semenjak kecil R. Joko Kahiman diasuh
oleh Kyai Sambarta (Kyai Ageng Mranggi) dengan Nyai Ngaisah yaitu putrid
R. Baribin yang bungsu.
Dari sejarah terungkap bahwa R. Joko Kahiman adalah merupakan SATRIA
yang sangat luhur untuk bisa diteladani oleh segenap warga Kabupaten
Banyumas khususnya karena mencerminkan :
a. Sifat altruistis yaitu tidak mementingkan dirinya sendiri.
b. Merupakan pejuang pembangunan yang tangguh, tanggap dan tanggon.
c. Pembangkit jiwa persatuan kesatuan (Majapahit, Galuh Pakuan,
Pajajaran) menjadi satu darah dan memberikan kesejahteraan ke kepada
semua saudaranya.
Dengan demikian tidak salah apabila MOTO DAN ETOS KERJA UNTUK Kabupaten Banyumas SATRIA.
Candra atau surya sengkala untuk hari jadi Kabupaten Banyumas adalah “BEKTINING MANGGALA TUMATANING PRAJA” artinya tahun 1582.
Bila diartikan dengan kalimat adalah “KEBAKTIAN DALAM UJUD KERJA
SESEORANG PIMPINAN / MANGGALA MENGHASILKAN AKAN TERTATANYA ATAU
TERBANGUNNYA SUATU PEMERINTAHAN”.
KISAH SAKA GURU DAN PEMINDAHAN PENDOPO SI PANJI
Masyarakat Banyumas sangat mengenalPendopo Si Panji, Pendopo Kabupaten
Banyumas yang sampai saat ini masih kokoh berdiri megah di kota
Purwokerto dan menjadi ‘’Pujer” (pusat) Pemerintahan Kabupaten Banyumas.
Hingga saat ini Pendopo Si Panjimasih dikeramatkan, khususnya pada
salah satu tiang sebelah barat yaitu soko guru (tengah) selalu diberi
sesaji agar semua kegiatan yang belangung di Pendopo Si Panji dapat
berjalan lancar tanpa ada gangguan.
Kisah-kisah misteri sering terdengar dariPendopo Si Panji yang diboyong
dari kota Banyumas ke Purwokerto dengan memutar ke Pantura, tidak
melewati (nglangkahi) Sungai Serayu. Kabupataen Banyumas didirikan pada
tahun 1852 ole Kyai Adipati Wargautama IIyang juga disebut sebagai
Bupati Banyumas Idan dikenal sebagai Kyai Adipati Mrapat. Dalam
perjalanan sejarah, Adipati Yudongoro (Bupati Banyumas VII / 1708 –
1743) memindahkan pusat Kabupaten Banyumas agak ke sebelah timur dengan
sekaligus membangun rumah Kabupaten berikut Pendopo yang dikenal dengan
Pendopo Si Panji.
Dalam sejarahnya, Pendopo Si Panji sering memunculkan keanehan dan
cerita mistis, misalnya pada tanggal 21-23 Februari 1861, kotaBanyumas
dilanda banjir bandang / Blabur Banyumas, karena meluapnya Sungai
Serayu. Puluhan pengunsi berusaha menyelamatkan diri dengan naik ke atas
(atap) Pendopo Si Panji. Setelah air bah surut, ternyata Pendopo Si
Panji tidak mengalami kerusakan atau perubahan sedikitpun pada keempat
tiangnya (saka guru). Posisi Pendopo juga tidak bergeser sedikitpun
padahal bangunan disekitarnya roboh karena diterjang banjir setinggi
lebih dari 3,5 meter.
Misteri lain, ketika Pendopo akan dibangun, semua sesepuh dan tokoh
masyarakatBanyumas supaya menyumbangkan calon saka guru Pendopo maupun
bahan bangunan yang lain. Semua tokoh masyarakat telah memenuhi
permintaan sang Adipati, kecuali Ki Ageng Somawangi, sehinga ia dipangil
untuk menghadap Adipati Yudonegoro II untuk dimintai keterangannya. Ki
Ageng Somawangi menghadap memenuhi panggilan sang Adipati. Untuk menebus
kesalahannya, pada saat itu pula ia langsung menyerahkan saka guru
Pendopo yang ia ciptakan dari “tatal” dan pontongan-potongan kayun yang
berserakan disekitar komplek pembangunan itu. Hal itu tidak disambut
baik oleh sang Adipati, bahkan diangap suatu perbuatan yang “pamer
kadigdayan”. Akibatnya ia malah dituduh akan “menjongkeng kawibawan”
(mengambil alih kekuasaan) Sang Adipati.
Atas tuduhan yang kurang adil itu, Ki Ageng Somawangi marah, segera
meningalkan Kadipaten tanpa pamit. Sang Adipati sangat tersingung dan
menyuruh prajuritnya untuk menangkap Ki Ageng Somawangi yang dianggap
“ngungkak krama” (membangkang) itu. Namun karena kesaktiannya, ia dapat
lolos dari upaya penangkapan. Konon tongkat saktinya ditancapkan di
suatu tempat dan berubah wujud menyerupai Ki Ageng Somawangi. Sontak
para prajurit menganiaya Ki Ageng Tiruan.
Ki Ageng Somawangi melanjutakan pelarian menyimpang dari jalan raya,
menerobos melalui jalan setapak menuju padepokannya yang sekarang
dikenal dengan Desa Somawangi Kecamatan Mandiraja Kabupaten
Banjarnegara. Desa dimana Ki geng Somawangi menerobos untuk menghindari
kejaran Prajurit Banyumas, kemudian diberi nama “Panerusan”. Dengan
demikian diketahui bahwa ada saaat awal pembangunan Pendopo Si Panji
sempat menimbulkan ontran-ontran tokoh Banyumas itu.
Masyarakat Banyumas mempercayai bahwasanya salah satu tiang utama (saka
guru)Pendopo Si Panji yang dikeramatkan, berasal dari hutan belantara di
hulu Sungai Serayu. Dari cerita yang berkembang, kayu yang telah
digunakan sebagai tiang itu ingin kembali lagi ke hutan yang sangat
angker itu. Sampai saat ini saka guru yang masih kokoh itu katanya ada
penunggunya berupa sosok ular dan seorang kakek berjenggot panjang.
Setelah ada penggabungan KabupatenBanyumas dengan Kabupaten Purwokerto
tahun 1936 atau prakarsa Adipati Arya Sudjiman Gandasubrata (Bupati
Banyumas XX), pada Bulan Janauari 1937 Pendopo Si Panjidipindahkan dari
Banyumas ke Purwokerto. Berdasarkan suara gaib dan petunjuk dari para
sesepuh Banyumas dan untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan,
maka pemindahanPendopo Si Panji yang keramat itu tidak melewatiSungai
Serayu, tetapi melewati pantai utara Jawa (Pantura), Semarang ke barat,
Bumiayu, Ajibarang, kemudian sampai ke Purwokerto.
Ada beberapa hal yang menjadikan Pendopo Si Panji dipindah ke
Purwokerto. Ada sasmita bahwa kelak kota Purwokerto akan maju pesat dan
menjadi kota perdagangan dan pusat pemerintahan. Pemindahan pendopo
sebagai simbol pengakuan betapa kota Banyumas sulit bekembang, karena
tidak ada jalur kereta api, lahan kota sempit, dan akses ke laur tidak
berkembang. Maka saat itu pun kota Banyumassepi dan sulit berkembang.
Hal ini membuktikan apa yang diperkirakan oleh Bupati Sudjiman
Gandasubrata itu benar.
Untuk mengenang kebesaran Pendopo Si Panji, Pemda Kabupaten Banyumas
telah membangun “dulpilkat” pendopo di bekas berdirinya Pendopo Si
Panji. Namun tidak sesuai dengan aslinya bahkan terkesan lebih mewah
dari Pendopo Si Panji yang ada diPurwokerto.
Dari rangkaian sejarah, ternyata sejak pembangunannya sudah ada aura
mistis dan pertentangan tokoh, pernah menjadi pengungsian puluhan
penduduk yang naik ke atas pendopo dan tidak ada kerusakan saat banjir
bandang. Perjalanan sejarah selanjutnya pendopo yang keramat ini tidak
mau melewatiSungai Serayu dan di arak lewat Semarang (Pantura) hingga ke
kota Purwokerto. Suatu hal aneh yang sampai saat ini belum terkuak
adalah alasan mengapa pemindahanyya tidak boleh melewati Sungai Serayu,
tetapi harus melewati ratusan kilometer memutar Jawa Tengah.
Dalem Kadipaten
Di dalam kompleks Kadipaten terdapat Museum Wayang. Musium ini
mengoleksi berbagai jenis wayang yang ada di Indonesia, khususnya Jawa.
Musium ini merupakan salah satu tujuan wisata budaya.
Sekitar 300 meter di belakang Pendopo terdapat Kelenteng Boen Tek Bio
yang merupakan kelenteng tertua di Kabupaten Banyumas. Keberadaan
kelenteng ini turut melengkapi pesona wisata religi di wilayah ini
Adapun Sumur Mas yang menjadi objek jelajah kali ini terletak di bagian
belakang Dalem Kadipaten, Desa Sudagaran, Kecamatan Banyumas atau sekira
20 kilometer dari Purwokerto, pusat pemerintahan Kabupaten Banyumas.
Dari nama Sumur Mas inilah asal-usul nama daerah Banyumas (air emas,
bhs.Jawa).
Sumur Mas
Sejauh ini tidak diketahui secara pasti kapan dan bagaimana Sumur Mas
itu dibuat. Tidak ada bukti otentik yang menyebutkannya. Berdasarkan
tutur masyarakat, sumur itu dipercaya sudah ada sebelum berdirinya
Kabupaten Banyumas. Uniknya, sumur ini hanya berdiameter beberapa
sentimeter saja. Diameternya tak sebanding dengan diameter sumur pada
umumnya.
“Sumur itu dibuat oleh orang-orang yang pertama kali menempati Banyumas.
Mereka membabat hutan untuk dijadikan hunian. Mereka juga membuat sumur
untuk keperluan sehari-hari,”
“Sejak itulah tempat ini ramai dihuni orang. Mungkin pada masa itu air
Sumur Mas hanya untuk keperluan biasa. Tidak ada yang mengeramatkan,”
“Dulu memang ada cerita warna air sumur itu terlihat memancar seperti cahaya emas. Warnanya bersinar kekuningan, “
Bisa juga dulunya sumur itu merupakan sumur satu-satunya yang
dimanfaatkan penduduk yang paling awal menempati Banyumas. Atau mungkin
mereka yang memanfaatkan air sumur itu memperoleh kegemilangan hidup,
karir dan jabatan tinggi dan lain-lain, yang kemudian disimbolkan dengan
istilah emas (keemasan).
Lebih jauh dikatakan, diameter sumur yang hanya beberapa sentimeter ini
menimbulkan pertanyaan bagaimana orang-orang di zaman dulu memanfaatkan
air sumur ini.
“Orang ini ingin menjadi wakil rakyat dan dia sudah terpilih 2 kali,”
katanya sambil menunjuk salah satu nama diantara ribuan nama yang ada.
Lebih jauh dikatakan, orang-orang terkenal (publik figur) yang datang,
baik itu politisi, artis, dan lain-lain, biasanya tidak mau menulis buku
tamu. Tetapi juru kunci cukup mengenali beberapa sosok tokoh publik
tersebut karena sering melihatnya di televisi.
Dikisahkan sumur mas adalah sumur keramat meski begitu, dia tidak
mengetahui secara persis apa yang menyebabkan sumur itu menjadi pilihan
bagi orang-orang yang mengingkan karir dan jabatan.
Panembahan Kalibening dan Sumur Pesucen
Makam Panembahan Kalibening yANG SERING DISEBUT MAKAM MBAH KALIBENING
ATAU MAKAM KALIBENING, MERUPAKAN MAKAM TUA YANG BERADA DI PERBUKITAN
DESA DAWUHAN, DI KECAMATAN DAN KABUPATEN BANYUMAS. JIKA DITARIK GARIS
LURUS, MAKAM PANEMBAHAN KALIBENING INI BERJARAK SEKITAR 600 METER DARI
TEPIAN KALI SERAYU.
Sedikit ke atas dari Makam Panembahan Kalibening terdapat Sumur Pasucen
yang airnya luar biasa bening tanpa cela. Sumur Pasucen sepertinya lebih
tepat disebut sebagai Umbul Pasucen, karena merupakan mata air aktif
yang airnya terus menerus keluar dan meluap melewati batas atas
dindingnya.
Ada pula Pendopo dan Museum Kalibening, yang pelatarannya menjadi tempat
parkir ketika saya berkunjung. Namun Museum Kalibening hanya dibuka
sekali setahun pada saat bulan Maulud, bertepatan dengan ritual jamasan
pusaka peninggalan Panembahan Kalibening berupa keris, tombak, dan kayu
berbentuk dan berukir naga, serta pusaka lainnya.
Parkir Makam Panembahan Kalibening berada sekitar 5 km dari Alun-alun
Banyumas, arah ke Barat, melewati Makam R. Joko Kaiman sekitar 300
meter, belok ke kanan di pertigaan, lalu ke kiri mengikuti jalan. Jalan
menanjak tajam sekitar 200 meter sebelum parkir, ketemu pertigaan, 30
meter ke kiri adalah halaman parkir pendopo. Lurus ke atas adalah
trap-trapan undakan ke Makam Panembahan Kalibening.
Tepat sebelum tanjakan terakhir itu terdapat papan tengara rumah Kuncen
Makam Panembahan Kalibening. Setelah memberitahu kuncen bernama Ardja
Semita yang ternyata umurnya sudah sepuh,
Pendopo tradisional cantik yang berada tepat di depan Museum Kalibening,
dengan empat soko guru dan pilar-pilar penunjang. Pada blandar terdapat
torehan aksara berbunyi “Keblat papat gapuraning praja”, kiblat empat
gapuranya negri.
Jika saja lantai pendopo yang kotor itu rajin dibersihkan, akan sangat
nyaman untuk duduk-duduk atau rebahan di lantai pendopo untuk meluruskan
punggung. Bangku satu-satunya yang ada di pendopo lebih sebagai meja
karena bisa patah jika diduduki. Lama menunggu, dan tidak bisa duduk
nyaman di pendopo, saya pun melangkah lebih dulu ke pertigaan di bawah
undakan.
Cungkup Makam Panembahan Kalibening juga terlihat sudah renta dan
terkesan agak kumuh. Jika saja tembok tempat menempel tulisan “Mbah
Kalibening” itu dibongkar dan dibuat pendopo terbuka, sengnya diganti
sirap, dan tiang-tiangnya ditegakkan dengan baik, cungkup ini akan
terlihat jauh lebih cantik karena bangunan utamanya sudah cukup bagus,
hanya perlu dicat ulang.
Pohon besar tinggi di belakang cungkup Makam Panembahan Kalibening
selain memberi keteduhan dan menambah nuansa tua tempat ini, juga
menguatkan aura magis makam, tentu bagi yang mempercayainya atau yang
bisa bisa merasakannya.
Masih ada makam lain di kompleks tersebut yang sudah kuno diantaranya makam Panembahan padhang..
Serta sumur pesucen yang Di keramat kan dan yang disebut sebagai cikal bakal Banyumas.
HARI SABTU PAHING "NAAS"
Tragedi Sabtu Pahing ternyata menjadi awal berdirinya Kabupaten
Banyumas, bahkan dalam perjalanan Sejarah Banyumas sampai saat ini
diyakini oleh sebagian warga Banyumas dan sekitarnya bahwa hari itu
menjadi hari naas dan menghindari untuk bepergian jauh, mendirikan
bangunan rumah, mbarang gawe (sunatan, mantu dan mbesan) juga keperluan
besar lainnya seperti penyelenggaraan Pilkades dan sebagainya.
Tragedi yang sangat memilukan ini menimpaAdipati Warga Utama I,
sepulangnya dari Kasultanan Pajang. Tragedi ini menjadi cerminan betapa
seorang pemimpin harus berhati-hati dalam bertindak dan tidak hanya
mendengar laporan sepihak.
Adipati Warga utama I beserta para pengiringnya dalam perjalanan pulang
dari Kasultanan Pajang menempuh jalan pintas yang tidak bisa dilewati
umum. Itulah makanya sulit sebenarnya para Tumenggung melacak
perjalanannya. Lagi pula pada kesempatan yang baik ini, sang Adipati
memerlukan singgah ke beberapa Demang dan Lurah dari Kadipaten yang
dilewatinya.
Disini Adipati banyak memperoleh pengalaman baru tentang pemerintahan
pedesaan yang adapat diterapkan di Kabupatennya. Para Demang dan Lurah
yang disinggahinya merasa sangat senang dan bangga. Banyak diantaranya
yang menyampaikan tanda penghormatan berupa cindera mata hasil kerajinan
setempat.
Sementara itu, perjalanan pulang KI Adipati telah menginjak hari ke
tujuh, hari Sabtu Pahing, sampai di desa Bener Distrik Ambal Kabupaten
Kebumen. Menjelang shalat dhuhur Ki Adipati beserta para Pengiringnya
singgah dan beristirahat di rumah salah seorang sahabatnya yang rumahnya
terdiri atas rumah induk dan balai yang tidak searah dengan rumah induk
yang biasa disebut dengan “Balai Malang” (Balebapang).
Kedatangan Ki Adipati diterima seisi rumah dengan sangat senang hati.
Jamuan makan siang segera dihidangkan, salah satu lauknya yaitu “Pindang
Banyak” (Daging angsa yang dimasak dengan buah pucung atau kluwak).
Selagi Ki Adipati beserta para pengiringnya menikmati jamuan makan
siang, tiba-tiba datanglah Tumengung utusan Kanjeng Sultan (Tumenggung
pertama) yang mengemban tugas untuk membunuh Ki Adipati.
Melihat Ki Adipati sedang menikmati hidangan, Tumenggung pertama tidak
sampai hati untuk membunuhnya. Kuda Dawukbang (merah campur putih)
kesayangan Ki Adipati yang ditambatkan dibawah pohon sawo di sisi rumah
meronta-ronta, seolah-olah mengetahui ada firasat buruk yang akan
menimpa Ki Adipati.
Firasat buruk juga telah dirasakan juga oleh Ki Adipati, karena ada
hal-hal aneh yang menyelimuti sekelilingnya, lebih-lebih ada seorang
Tumenggung yang menuju tempat ia beristirahat. Tumenggung pertama sabar
menunggu sampai Ki Adipati selesai makan. Sementara itu dari kejauhan
tampak olehnya seorang kawan Tumengung (Tumenggung kedua) memacu kudanya
dengan cepat menuju ke arahnya sambil melambai-lambaikan tangannya
seraya berseru :”Jangan bunuh……”
Maka demi tugas Kanjeng Sultan, Ki Adipati Warga Utama I yang sedang
menikmati hidangan pindang banyak itu ditikam dengan keris Pusaka
Keraton Pajang. Semua yang ada di pendopo itu geger dan gugup. Ki
Adipati yang naas itu terjatuh dengan darah segar mengalir dari dadanya.
Para pengiring dan pengawal tidak bisa berbuat banyak. Jeritan dan isak
tangis menggema di Balemalang itu. Mereka sadar bahwa Tumenggung
pembunuh itu membawa amanat Kanjeng Sultan. Melawan Tumenggung berarti
melawan Sang Prabu junjungannya.
Sementara Ki Adipati Menahan sakit, para pengiring dan seisi rumah
berusaha menyelamatkannya, tibalah Tumenggung kedua. Menyaksikan
peristiwa berdarah yang memilukan itu hampir saja Tumenggung kedua jatuh
pingsan. Ia sangat berdosa karena gagal melaksanakan tugas, walaupun ia
tidak bersalah.
Bukankah Tumengung kedua telah memberi isyarat dan berteriak supaya Ki
Adipati Warga Utama I dibunuh ? Mengapa ia tidak memperhatikan isyarat
itu ? Atau mengapa ia menyalah artikan isyarat itu ?
Kedua Tumenggung saling berpelukan menangis, terharu dana sedih. Kepada
para pengiring dan segenap keluarga tuan rumah Kedua Tumenggung iru
menjelaskan duduk persoalan peristiwa yang menyedihkan itu. Ki Adipati
sebenarnya tidak bersalah. Pembunuhan itu menjadi tanggung jawab Kanjeng
sultan Hadiwijaya sendiri.
Sebelum menghembuskan nafas terakhir, dengan serak dan tersendat-sendat
sempat meninggalkan pesan terakhir kepada keluarga (keturunan) yang
ditinggalkan. “Aku…aku…tidak tahu apa dosaku kepada Kanjeng Sultan….anak
cucuku jangan sampai mengalami naas seperti aku…ingat-ingat..,jangan
sampai ada diantara anak cucuku yang bepergian pada hari Sabtu Pahing,
apalagi naik kuda Dawuk Bang. Juga jangan makan pindang banyak (angsa)
serta jangan membangun atau bertempat tinggal di rumah “Bale Malang".
Sama sekarang, pesan ini oleh orang-orag yang bersasal dari Banyumas
sekalipun bukan trah Ki Adipati Warga Utama I, terutama oleh angkatan
tua, pesan ini masih sangat dipatuhi. Kalau tidak merasa terpaksa
sekali, mereka tidak akan bepergian pada hari Sabtu Pahing.
Menjelang dini hari tibalah rombongan usungan jenazah di suatu
pegunungan yang sebagian besar masih berupa hutan. Mereka beristirahat
sambil menyalakan api unggun sekedar untuk mengurangi rasa dingin dan
untuk menerangi lingkungan sekitarnya. Menjelang subuh mereka
bersiap-siap melanjutkan perjalanan yang penuh duka itu. Sebagai
kenang-kenangan , tempat dimana mereka beristirahat ini diberi nama
“Lawang Awu” (perbatasan antara Kabupaten Banjarnegara dengan Kebumen).
Lepas Dhuhur rombongan sudah sampai diWirasaba yang disambut dengan isak
tangis para putra, para sentana, dan para kerabat dekat almarhum.
Rakyat Wirasaba menyambut dengan duka nestapa. Untuk beberapa jam
jenazah disemayamkan di Pendopo Agung Kabupaten untuk memberi kesempatan
para kerabat dan rakyatnya menyampaikan menyampaikan ucapan bela
sungkawa kepada keluarga dan penghormatan terakhir kepada almarhum.
Berdasarkan keputusan musyawarah keluarga serta para pejabat Kabupaten,
almarhumah dimakamkan di Dukuh Pekiringan, Desa Klampok Kabupaten
Banjarnegara, disebelah selatan sungai Serayu. Di tembok (sebelah timur)
makam Ki Adipati, tertulis riwayat singkat wafatnya Ki Adipati dalam
bahasa jawa sebagai berikut
:”Ki Adipati Wargohutomo I Ing Wirasabane kaleres dinten Setu Pahing
dipun sedani utusanipun Sultan Pajang (1548 – 1586), pinuju lenggah
wonten Bale Malang ing Dusun Bener, Distrik Ambal (Kebumen) jalaran
kadakwa kalepatan. Pandakwa wau saking seling
serap.Ki Adpati kagantos putra mantu Joko Kaiman ngagem asma Wargohutomo II ketelah Ki Adipati Mrapat (Sumareh ng Dawuhan)”.
Maknanya dalam bahasa Indonesia :”KI Aipati Wargohutomo I, pada hari
Sabtu Pahing dibunuh oleh utusan Stan Pajang (Sulatan Hadiwijaya) yang
memerintah antara tahun 1548 -1586, ketika seang berada di Balemalang di
desa Bener Kawedanan Ambal Kabupaten Kebumen, karena dituduh telah
berbuat salah. Tuduhan itu karena salah paham. Ki Adupati diganti oleh
putra menantunya Djoko Kaiman yang juga bernama Wargohutomo II, yang
terkenal dengan sebutan Ki Adipati Mrapat (dimakamkan di Dawuhan)".
Makam Adipati Warga Utama I kini telah dipugar oleh Pemda Kabupaten
Banjarnegara dan para pencintanya, disekitarnya telah dajadikan
pekuburan umum yang dikeramatkan banyak orang. Pada setiap malam Selasa
dan Jumat Kliwon banyak pengunjung yang bersemedi (nyepi) di dalam makam
dengan berbagai ragam permohonan kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Makam Adipati Warga Utama I di tatah Wirsaba, tetapi secara
administratif Klampok, KabupatenBanjarnegara, tapatnya di desa
Pekiringan. Makam yang dikeramatkan ini juga banyak dikunjungi oleh
pezairah yang ingin mendapakan berkan dan tujuan lain pada hari
tertentu. Keramaian makam ini dapat dilihat dari mengunungnya kemenyan
yang tekah dibakar.
Seandainya Sultan Pajang, Sultan Hadiwijaya mau melakukan konfirmasi
lebih dulu atas penuturan Demang Banyureka perihal status Rara
Sukartiyah, putri Adipati Wirasaba yang dikatakan sudah bersuami dan
tidak “suci” lagi, tentunya tidak akan terjadi peristiwa tragis seperti
itu. Penuturan sepihak itulah yang akhirnya membawa petaka bagi Adipati
Wirasaba. Sampai saat ini kejadian tersebut dikenal dengan “Tragedi
Sabtu Pahing”. Bagi Orang Banyumas, peristiwa tragis tersebut sangat di
perhatikan agar jangan sampai menimpa anak cucu dan generasi mendatang.
Sebagian masyarakat juga bertindak arif untuk tidak terlalu terpaku
dengan hari Sabtu Pahing sebagai hari naas, sejalan dengan penghayatan
agama dan pandangan bahwa “semua hari itu baik”.
POHON TEMBAGA DAN BANYUMAS
Pohon Tembaga - Pohon tersebut di Kabupaten Banyumas tinggal satu
batang, yakni berada di kompleks Makam Tembaga Desa Pekunden, Kecamatan
Banyumas. Pohon itu umurnya sudah ratusan tahun dan berkaitan erat
dengan lahirnya Kabupaten Banyumas. Sebab dari babat Banyumas yang
dipakai sebagai salah satu pendukung untuk menetapkan hari jadi
Kabupaten Banyumas, pohon tembaga yang ditanam di dekat Kali Banyumas
merupakan pohon yang ditanam oleh Adipati Mrapat ketika hijrah dari
Wirasaba.
Sesampai di sebuah kawasan yang disebut sebagai hutan Mangli, sang
adipati menanam pohon yang disebut pohon tembaga. Pohon ini tampak
seperti pohon biasa, namun demikian bila anda cermati lebih dekat secara
langsung pohon ini mempunyai warna yang khas coklat kekuningan layaknya
logam tembaga.
Pohon ini merupakan “prasasti” hidup sejarah Banyumas, karena menurut
babad dan cerita sejarah Banyumas dari sini titik tonggak sejarah
dimulainya / dibangunnya Kabupaten Banyumas .
Pohon ini terletak di daerah yang pertama kali dibangun sebagai pusat
pemerintahan Kabupaten Banyumas di hutan Mangli daerah Kejawar dan
sekarang terletak di Desa Kalisube Grumbul Mangli, Kecamatan Banyumas.
Menurut penelitian, maka hutan Mangli daerah Kejawar sebagai tempat
pertama dibangunnya pusat pemerintahan Adipati Wargo Oetomo II (Djoko
Kahiman / Adipati Mrapat) setelah meninggalkan Wirasaba.
Menurut riwayat yang juga dipercayai masyarakat, beliau menerima wisik
supaya pergi ke suatu tempat tumbuhnya pohon Tembaga. Di hutan Mangli
inilah diketemukan pohon Tembaga yang dimaksud ; yaitu di sebelah Timur
pertemuan sungai Pasinggangan dan sungai Banyumas. Kemudian mulailah
dibangun tempat tersebut sebagai pusat pemerintahan dengan dibiayai oleh
Kyai Mranggi Semu di Kejawar.
Ketika sedang sibuk-sibuknya membangun pusat pemerintahan itu, kebetulan
pada waktu itu ada sebatang kayu besar hanyut di sungai Serayu. Pohon
tersebut namanya pohon Kayu Mas yang setelah diteliti berasal dari Desa
Karangjambu (Kabupaten Purbalinga), sekarang sebelah timur Wirasaba.
Anehnya kayu tersebut terhenti di sungai Serayu dekat lokasi pembangunan
pusat pemerintahan. Adipati Marapat tersentuh hatinya melihat kejadian
tersebut, kemudian berkenan untuk mengambil Kayu Mas tersebut untuk
dijadikan Saka Guru. Karena kayu itu namanya Kayu Mas dan hanyut terbawa
air (banyu), maka pusat pemerintahan yang dibangun ini kemudian diberi
nama Banyumas (perpaduan antara air (banyu) dan Kayu Mas).
PENAMAAN CURUG CIPENDOK
Nama Curug Cipendok bermula dari legenda yang masih berkaitan dengan
sejarah Perang Diponegoro. Perang ini merupakan perang lima tahun
(1825-1830) antara Pangeran Diponegoro melawan Pemerintah Kolonial
Hindia Belanda. Perang yang dimenangkan Belanda itu membuat seluruh
wilayah kerajaan Surakarta termasuk wilayah Dulangmas, meliputi Kedu,
Magelang, Banyumas berada dibawah kekuasaan pemerintahan kolonial.
Perjanjian tersebut tertuang dalam perjanjian Dulangmas.
Salah satu wilayah Banyumas yaitu Ajibarang, saat itu dipimpin oleh
seorang Wedana bernama Raden Ranusentika. Pada saat itu diberi tugas
untuk melakukan kerja rodi, berupa pembukaan hutan belantara di sekitar
lereng Gunung Slamet untuk dijadikan area perkebunan. Sudah delapan
bulan lamanya beliau memimpin pembukaan hutan di lereng Gunung Slamet,
namun belum juga mendapatkan hasil. Senantiasa terjadi keanehan, pada
saat pohon-pohon selesai ditebang, esoknya tubuh lagi seperti semula.
Seolah-olah seperti belum pernah ditebang sama sekali. Kejadian ini
terjadi berulang-ulang, sehingga membuat bingung dan pusing Raden
Ranusentika.
Karena baru kali ini menemukan permasalahan yang aneh, maka kemudian
Raden Ranusentika berdoa dan bermohon kepada Tuhan dengan cara bertapa
beberapa saat. Karena merasa belum mendapat petunjuk juga, beliau
kemudian menyudahi bertapanya. Sembari mengusir kegundahan dan mencari
jalan keluar, Raden Ranusentika pergi memancing ikan di dekat air
terjun. Di tengah-tengahnya memancing, tiba-tiba beliau merasa kailnya
seperti ditarik-tarik oleh ikan yang besar, sampai-sampai gagang
pancingnya melengkung.
Namun alangkah terkejutnya, saat pancingnya ditarik bukannya ikan yang
didapat, melainkan sebuah barang mirip cincin yang merupakan pendok atau
cincin warangka keris yang bersinar kuning keemasan. Ketika didekatkan,
tiba-tiba Raden Ranusentika bisa melihat banyak sekali makhluk halus
yang berada di hutan yang telah ditebang habis. Mereka semua yang selama
ini menggagalkan pekerjaan Raden Ranusentika.
Atas usulan Raden Santa, seorang kepala pekerja, air terjun dimana Raden
Ranusentika menemukan pendok keris, dinamakan Curug Cipendok. Berasal
dari kata curug yang berarti air terjun dan pendok atau warangka keris.
KESENIAN TRADISIONAL BEGALAN
Begalan atau rampok yang terdengar menyeramkan, dalam kebudayaan
tradisional Banyumasan hanyalah merupakan nama kesenian yang bukan
hanya menyajikan hiburan semata, tetapi sudah menjadi “sesaji” ritual
bagi masyarakat banuumas yang mempercayainya. Kesenian ini tumbuh di
wilayah eks Karesidenan Banyumas (Banyumas, Purbalingga, Banjarnrgara,
dan Cilacap). Masyarakat Banyumas yang kini nbermukim di
Jakarta,Semarang, Surabaya, dan kota0kota besar lainnya masih
mempercayai begalan sebagai pelengkap upacara pernikahan.
Begalan umumnya dilaksanakan oleh pihak orang tua Pengantin putri yang
baru pertama kali melaksanakan “mbarang gawe” (hajatan). Maka tidak
heran jika group-grpu kesenian Begalan lebih sering pentas diluar
Banyumas dari pada di wilayah Banyumas sendiri.
Seni begalan sudah ada sejak ratusan tahun silam. Sejarah seni begalan
yang berakar dari budaya Banyumasan telah mengalami pasang surut, bahkan
generasi muda sekarang sudah banyak yang tidak mengerti atau buta sama
sekali dwengan kesenian begalan.
Ada beberapa versi seni begalan namun yang banyak ditulis dalam sejarah
dan riwayat Banyumas menyatakan bahwa saeni begalan ada sejak jaman
Adipati Wirasaba yang ketika itu mengawinkan anak (putri) yang bernama
Dewi Sukesi dengan putri sulung dari dari adipati Banyumas yang berbama
Pangeran Tirtakencana, ada yang menyebut terjadi pada abad ke 19.
Dari perkembangan dan pasang surutnya seni begalan, diketahui bahwa
begalan adalah suatu jenis kesenian yang merupakan rangkaian upacara
perkawinan di daerah Banyumas dan sekitarnya. Biasanya dilakukan apabila
pasangan pengantin terdiri dari anak bungsu dan anak sulung, terutama
kalau yang bungsu atau sulung dari piohak perempuan. Menurut kepercayaan
masyarakat banyumas, seni begalan merupakan syarat “krenah” yangh harus
dilakukan apabila menjodohkan anaknya, merupkan syarat yang penting.
Sebagian masyarakat Banyumas juga ada yang berpendirian, tidak setiap
mengawinkan anaknya harus menggelar seni begalan. Ada keyakinan begalan
juga mirip ruwatan. Seni begalan bukan semata-mata merupakan suatu
hiburan atau pertunjukan belaka sebab dalam aksi dan dialognya berisi
ajaran atau tuntunan dan ular-ular yang ditujukan kepada mempelai
berdua. Sarana begalan seperti ilir, ukusan, kendil, padi, serta
berbagai peralatan dapur lainnya mengandung makna tertentu. Biasanya
para pelaku begalan menjelaskan makna peralayan begalan satu-persatu,
yang semuanya mengandung permohonan/doa kepada sang maha kuasa agar
mempelai berdua dapat mengarungi bahtera rumah tangga dengan sakinah
warohmah dan mawahdah yang dalam bahasa begalan disebut keluarga
langgeng “Kaya Mimi lan Mintuna, nganti Kaken-kaken Ninen-ninen”.
Pada mulanya pelaku seni begalan tidak dibayar, bahkan lebih cenderung
menolong, semata-mata merupakan tradisi ruwatan agar upacara pernikahan
dapat berjalan lancar. Keturunan warga Banyumas yang ada diluar daerah
bahkan harus bersusah payah mencari group begalan yang berlualitas..
Dari kbiasaan ditanggap inilah yang kemudian seni begalan masuk ke rahan
entertainment dan memasang tarif yang cukup besar dalam setiap
pementasan.
Begalan bewrasala dari kata begal dan akhiran an, artinya perampasan atau tindak perampokan di tengah jalan.
Maka kesenian begalan adalah suatu atraksi yang menggambarkan seseorang
yang sedang membawa barang bawaan kebutuhan hidup, kemudian dirampok di
tengah jalan. Dengan diiringi genhing-gendhing khas Banyumasan mereaka
melakukan diaek serta pesan moral yang diselingi banyolan, sindiran,
sekaligus petuah kepada para penontonnya. Gendhing yang dipilih biasanya
bernada dinamis dana suasana riang untuk menghidupkan suasana.
Ketika suara genghing berhenti, mulailah para pembegal memperkenalkan
diri dan terjadi dialog. Seperti layaknya tukang begal, maka ada adegan
pertengkaran dan adu mulut, sambil menjelaskan arti dan makna barang
bawaan yang semuanya dikemas dalam “brenong kepang”(semacam pikulan).
Masyarakat yang mernonton biasanya mengharapkan momentum berebut benda
yang ada di brenong kepang. Mereka percaya jika dapat
merebut/mendapatkan benda-benda-begalan akan mendapat berekah.
Dalam perkembangannya seni begalan dianggap bertentangan dengan agama
(Islam), karena jika tujuannya hanya untuk mengusir roh jahat makalebih
afdol jika cukup dengan membaca doa bersama agar mempelai berdua dapat
selamat dan bahagia.
Perkembangan lebih lanjut, begalansemakin surut peminatnya seiring
dengan perubahan jaman. Untuk melestarikan seni tradisional ini Dinas
Kebudayaan dan Pariwisata belum lama ini telahg menyelenggarakan seminar
tentang begalan. Dinbudpar juga terus menggali, melestarikan,
mengembangkan dan memberdayakan potensi pariwisata dan kebudayaan dalam
rangka mewujudkan Banyumas sebagai kawasan cagar budaya, agar generasi
muda dapat lebih tertarik memahami seni begalan, tidak hanya sebatas
“krenah” dalam upacara pernikahan.
Demikian lah sedikit sejarah yang ada di Banyumas