Kamis, 19 November 2020

Kyai Ageng Pandanaran


Ki Ageng Pandanaran (Ki Ageng Pandan Arang) adalah Adipati pertama Semarang dan tanggal diangkatnya beliau sebagai adipati dijadikan hari jadi Kota Semarang. Ki Ageng Pandanaran lantas dianggap sebagai pelopor berdirinya kota Semarang. Kota Semarang waktu itu merupakan salah satu pusat penyiaran agama Islam dan menjadi bagian dari Kerajaan Demak. Dengan adanya penyiaran agama Islam menarik orang untuk juga berdatangan baik untuk bermukim maupun berdagang di Semarang sehingga wilayah ini menjadi ramai.

Meskipun Ki ageng Pandanaran hidup dalam masa yang sama dengan para Wali Sanga, namun beliau tidak termasuk ke dalamnya. Beliau mendirikan Pesantren dan menyiarkan agama Islam di wilayan yang semakin subur itu. Disela-sela kesuburan itu terdapat pohon asam yang jarang ( bahasa Jawa : asem arang ) yang lantas wilayah itu diberi nama Semarang. Ki Ageng Pandanaran meninggal pada tahun 1496. 

Kyai Ageng Pandanaran 1 adalah putra Pangeran Suryo (Gusti Made Pandan) Putra Sultan Fatah Demak. 

Tempat ini banyak dikunjungi oleh peziarah terutama pada acara khol meninggalnya beliau. Makam Ki Ageng Pandanaran berada di Jl. Mugas Dalam II / 4 kelurahan Randusari Kecamatan Semarang Selatan, Kota Semarang.

Ki  Ageng Pandanaran atau bernama asli Pangeran Mangkubumi dengan gelar Sunan Bayat atau Sunan Tembayat adalah Bupati Kedua Semarang (kini Kota Semarang), Jawa, Tengah Indonesia. Selain sebagai kepala pemerintahan, ia juga dikenal sebagai tokoh penyebar agama Islam yang sakti. Bagaimana sepak terjang Ki Ageng Pandanaran menjalankan tugas-tugas pemerintahan sekaligus menyebarkan agama Islam ke masyarakat Jawa Tengah? Ikuti kisahnya dalam cerita Ki Ageng Pandanaran berikut!

Alkisah, hiduplah seorang bupati yang bernama Pangeran Mangkubumi yang memerintah di daerah Semarang. Ia adalah putra dari Bupati Pertama Semarang Harya Madya Pandan (Pandan Aran 1) Sepeninggal ayahandanya, Pangeran Mangkubumi menggantikan kedudukan sang ayah sebagai Bupati Kedua Semarang dengan gelar Ki Ageng Pandanaran. Ia diangkat menjadi kepala pemerintahan Semarang 2 Mei 1498 M  atas hasil perundingan antara  Sutan Demak dengan Sunan Kalijaga.

Sebagai kepala pemerintahan, Ki Ageng Pandanaran melanjutkan usaha yang telah dirintis oleh sang ayah. Di sela-sela kesibukannya mengurus tugas-tugas pemerintahan, ia juga giat mengembangkan kegiatan-kegiatan keagamaan untuk membina rakyatnya. Kegiatan tersebut di antaranya mengadakan pengajian secara rutin, menyampaikan ceramah-ceramah melalui khotbah Jumat, serta mengembangkan pondok-pondok pesantren dan tempat-tempat ibadah. Dengan demikian, ia dianggap telah berhasil menjalankan tugas-tugas pemerintahan dengan baik dan patuh kepada ajaran-ajaran Islam seperti mendiang ayahnya, sehingga rakyatnya pun hidup makmur dan damai.

Namun, sifat manusia dapat saja berubah setiap saat. Demikian pula Ki Ageng Pandanaran sebagai seorang manusia. Keberhasilan yang telah dicapai membuatnya lupa diri. Sifatnya yang dulu baik tiba-tiba berubah menjadi congkak, sombong, dan kikir. Ia senang mengumpulkan harta untuk kemewahan. Kehidupan mewah itu pun membuatnya lalai terhadap tugas-tugasnya, baik sebagai kepala pemerintahan maupun pengembang agama Islam. Ia tidak pernah lagi memberikan pengajian dan ceramah kepada rakyatnya. Demikian pula, ia tidak pernah merawat pondok pesantren dan tempat-tempat ibadah.

Mengetahui sikap dan perilaku Ki Ageng Pandanaran tersebut, Sunan Kalijaga segera memperingatkannya dengan cara menyamar sebagai penjual rumput. Dengan kecerdikannya, sang sunan menyisipkan nasehat-nasehat kepada sang bupati pada saat menawarkan rumputnya.

Suatu hari, datanglah Sunan Kalijaga ke kediaman Ki Ageng Pandanaran dengan mengenakan pakaian compang-camping layaknya seorang tukang rumput. Di sela-sela menawarkan rumputnya, sang sunan menasehati Ki Ageng Pandanaran agar tidak terbius oleh kemewahan dunia.

“Maaf, Tuan! Sebaiknya Tuan segera kembali ke jalan yang benar dan diridhoi Allah SWT!” ujar Sunan Kalijaga yang menyamar sebagai penjual rumput.

“Hai, tukang rumput! Apa maksudmu menyuruhku kembali ke jalan yang benar? Memang kamu siapa, sudah berani menceramahiku?” tanya Ki Ageng Pandanaran dengan nada menggertak.

“Maaf, Tuan! Saya hanyalah penjual rumput yang miskin. Hamba melihat Tuan sudah terlalu jauh terlena dalam kebahagiaan dunia. Saya hanya ingin memperingatkan Tuan agar tidak melupakan kebahagiaan akhirat. Sebab, kebahagiaan yang abadi adalah kebahagiaan akhirat,” ujar si penjual rumput.

Mendengar nasehat itu, Ki Ageng Pandanaran bukannya sadar, melainkan marah dan mengusir si penjual rumput itu. Meski demikian, si penjual rumput tidak bosan-bosannya selalu datang menasehatinya. Namun, setiap kali dinasehati, Ki Ageng Pandanaran tetap saja tidak menghiraukan nasehat itu. Khawatir perilaku penguasa daerah Semarang itu semakin menjadi-jadi, Sunan Kalijaga menunjukkan kesaktiannya.

“Wahai Bupati yang angkuh dan sombong! Ketahuilah, harta yang kamu miliki tidak ada artinya dibandingkan dengan harta yang aku miliki,” kata penjual rumput itu.

“Hai, tukang rumput! Kamu jangan mengada-ada! Buktikan kepadaku jika kamu memang orang kaya!” seru Ki Ageng Pandanaran.

Akhirnya, Sunan Kalijaga menunjukkan kesaktiannya dengan mencangkul sebidang tanah. Setiap bongkahan tanah yang dicangkulnya berubah menjadi emas. Ki Ageng Pandanaran sungguh heran menyaksikan kesaktian penjual rumput itu. Dalam hatinya berkata bahwa penjual rumput itu bukanlah orang sembarangan.

”Hai, penjual rumput! Siapa kamu sebenarnya?” tanya Ki Ageng Pandanaran penasaran bercampur rasa cemas.

Akhirnya, penjual rumput itu menghapus penyamarannya. Betapa terkejutnya Ki Ageng Ki Ageng Pandanaran ketika mengetahui bahwa orang yang di hadapannya adalah Sunan Kalijaga. Ia pun segera bersujud seraya bertaubat.

“Maafkan, saya Sunan! Saya sangat menyesal atas semua kekhilafan saya selama ini. Jika Sunan tidak keberatan, izinkanlah saya berguru kepada Sunan!” pinta Ki Ageng Pandanaran.

“Baiklah, Ki Ageng! Jika kamu benar-benar mau bertaubat, saya bersedia menerimamu menjadi murdiku. Besok pagi-pagi, datanglah ke Gunung Jabalkat! Saya akan menunggumu di sana. Tapi ingat, jangan sekali-kali membawa harta benda sedikit pun!” ujar Sunan Kalijaga mengingatkan.

Dengan tekad kuat ingin belajar agama, Ki Ageng Pandanaran akhirnya menyerahkan jabatannya sebagai Bupati Semarang kepada adiknya. Setelah itu, ia bersama istrinya meninggalkan Semarang menuju Gunung Jabalkat. Namun, ia lupa mengingatkan istrinya untuk tidak membawa harta benda sedikit pun. Naluri sebagai seorang wanita, sang istri memasukkan seluruh perhiasan dan uang dinarnya ke dalam tongkat yang akan di bawanya.

Dalam perjalanan, sang istri selalu tertinggal jauh di belakang suaminya karena keberatan membawa tongkatnya yang berisi harta benda. Ki Ageng Pandanaran pun baru menyadari hal tersebut setelah mendengar istrinya berteriak meminta pertolongan.

“Kangmas, tulung! Wonten Tyang salah tiga!” artinya “Kangmas, tolong! Ada tiga orang penyamun!”

Mendengar teriakan itu, Ki Ageng Pandanaran segera berlari menolong istrinya. Begitu tiba di dekat istrinya, ia mendapati tiga orang penyamun sedang berusaha merebut tongkat istrinya. Dengan perasaan marah, ia menegur ketiga penyamun itu.

“Hai, manusia! Mengapa kamu nekad seperti kambing domba!” seru Ki Ageng Pandanaran melihat sikap kasar penyamun itu.

Sseketika itu pula, wajah pemimpin penyamun yang bernama Sambangdalan berubah menjadi wajah domba. Rupanya, sejak direstui menjadi murid Sunan Kalijaga, Ki Ageng Pandanaran memiliki kesaktian yang tinggi. Ucapan yang keluar dari mulutnya menjadi sakti mandraguna. Melihat kesaktian itu, para penyamun tersebut menjadi ketakutan. Sambangdalan pun bertaubat dan meminta agar wajahnya dikembalikan seperti semula. Akhirnya, Ki Ageng Pandanaran pun memaafkan mereka. Meski demikian, wajah pemimpin penyamun itu tetap seperti domba dan kemudian menjadi pengikut Ki Ageng Pandanaran yang dikenal dengan nama Syekh Domba.

Setelah itu, Ki Ageng Pandanaran bersama sang istri melanjutkan perjalanan. Tak beberapa lama kemudian, tibalah mereka di Gunung Jabalkat. Kedatangan mereka disambut baik oleh Sunan Kalijaga. Sejak itulah, Ki Ageng Pandanaran berguru kepada Sunan Kalijaga.

Ki Ageng Pandanaran seorang murid yang cerdas dan rajin. Berkat kecerdesannya, ia ditugaskan untuk menyiarkan agama Islam di sekitar daerah tersebut. Ia pun mendirikan sebuah perguruan di Gunung Jabalkat. Ajaran Ki Ageng Pandanaran yang paling menonjol dikenal dengan istilah Patembayatan, yaitu kerukunan dan kegotongroyongan. Setiap orang yang datang untuk memeluk agama Islam harus mengucapkan Sahadat Tembayat. Berkat ajaran Patembayatan, ia juga berhasil mendirikan sebuah masjid di Bukit Gala.

Selain pengetahuan agama, Ki Ageng Pandanaran juga mengajarkan cara bercocok tanam dan cara bergaul dengan baik kepada penduduk sekitarnya. Setelah itu, ia pun menetap di Jabalkat hingga akhir hayatnya. Daerah Jabalkat dan sekitarnya sekarang dikenal dengan nama Tembayat atau Bayat. Itulah sebabnya ia diberi gelar Sunan Tembayat atau Sunan Bayat. Hingga kini, makam Ki Ageng Pandanaran dapat ditemukan di atas Bukit Cakrakembang di sebelah selatan bukit Jabalkat, Desa Paseban, Kecamatan Bayat, Kabupaten Klaten.

Demikian cerita Ki Ageng Pandanaran Cerita di atas termasuk kategori cerita sejarah yang mengandung pesan-pesan moral. Salah satunya adalah bahwa jangan sampai kemewahan duniawi membuat kita lupa diri seperti Ki Ageng Penandaran. Oleh karena sibuk mengejar kemewahan duniawi, akhirnya ia lupa pada kehidupan akhirat yang kekal. Namun, sejelek-jelek perbuatan seeorang, jika ia segera bertaubat, maka Tuhan akan mengampuni dan manusia pun akan memaafkannya. Berkat kesadarannya ingin cepat bertaubat, Ki Ageng Pandanaran direstui menjadi murid Sunan Kalijaga hingga akhirnya menjadi seorang sunan penyebar agama Islam di Jawa Tengah pada masa lalu dan terus dikenang hingga saat ini.

Legenda Gunung Tugel (Kyai Ageng Singoprono)


Gunung Tugel adalah tempat bersemayamnya kyai singoprono yang terletak di daerah nglembu kecamatan sambi kabupaten Boyolali. Kyai singoprono adalah putra dari kyai Ageng Wongsoprono II yang berdiam di daerah desa Manglen, sekarang desa Manglen adalah Kelurahan Walen kecamatan Simo Boyolali. Beliau  adalah Putra Raden Djoko Dandun (Syaikh Bela Belu) Putra Raja Majapahit ( Brawijaya V)  

Kyai Singoprono adalah anak tunggal, kyai Singoprono mempunyai istri bernama Tasik wulan, mereka tetap tinggal di daerah tersebut, kyai Singoprono adalah sosok yang berbudi luhur, suka menolong dan sakti mandraguna, pekerjaan nya  adalah bercocok tanam, berjualan nasi dan dawet dipinggir jalan ± 4 km dari rumahnya. Sifat baik hatinya terlihat apabila ada orang yang membutuhkan pertolongan, pasti beliau akan menolong , makanan yang dijualpun tidak sekedar di jual, tetapi juga diberikan kepada orang yang membutuhkan , walaupun demikian tak membuat beliau gulung tikar, begitu pula dengan hasil bercocok tanam nya pun melimpah ruah. Sehingga banyak orang yang datang untuk meminta kepada Kyai Singoprono. Kyai Singoprono pun memberi tanpa mengharapkan kembali atas apa yang sudah diberikan

Demikianlah kebaikan Kyai Singoprono tersebar sampai di seluruh daerah sekitar, tetapi ada yang tidak suka atas kebaikan dan kemurahan hati Kyai Singoprono karena disanjung – sanjung dan terkenal ke dermawannanya sampai keseluruh daerah sekitar. Yang tidak suka Kyai Singoprono adalah Kyai Rogo runting, Kyai Rogo runting iri dengan keberhasilan Kyai Singoprono, sebenarnya mereka berdua adalah sahabat baik.

Pada suatu saat kyai Rogo runting ingin menunjukkan kekuatannya kepada Kyai singoprono, dengan cara mengaitkan benang dari pegunungan Rogo Runting ke selatan ( sekarang kelurahan Nglembu, kecamatan Sambi Boyolali ) diatas benang dililitkan sebutir telur, kemudian itu digulirkan di atas benang tersebut dan ajaibnya telur tersebut tidak jatuh, telur tersebut terus menggelinding diatas benang, lalu telur tersebut akhirnya membentur gunung sebelah selatan. Sehingga terdengar suara keras dan menggelegar dan mengakibatkan gunung tersebut tugel / putus puncaknya.

Sehingga gunung tersebut dinamakan Gunung Tugel, nama itu masih terkenal sampai sekarang . Secara tidak langsung kejadian tersebut sebagai alat untuk menunjukkan kesaktian Kyai Rogo runting kepada Kyai Singoprono, namun Kyai Singoprono tidak tergerak hatinya untuk membalas perbuatan Kyai Rogo runting tersebut.

Namun setelah di diamkan Kyai Rogo runting semakin menjadi – jadi, kemudian secara halus Kyai Singoprono mengiyakan hal tersebut. Maksudnya menanggapi  Kyai rogo runting, tetapi Kyai Rogo runting mengaggap hal tersebut sebagai balasan dari Kyai singoprono. Kyai singoprono pun akhirnya marah, beliau menggunakan cara yang sama untuk membalas Kyai Rogo runting, dengan cara mengaitkan benang dari pegunungan tugel ke utara, di atas benang juga diletakkan sebuah telur, kemudian telur tersebut menggelinding tanpa terjatuh dan akhirnya membentur pegunungan Rogo runting, sehingga mengeluarkan suara keras dan menggelegar, tetapi kejadian tersebut tidak mengakibatkan gunung tersebut rusak. Namun Kyai Rogo runting tubuhnya tercerai berai atau tubuhnya terontang – anting. Jasad Kyai Rogo runting kemudian dimakam kan di daerah perbatasan kecamatan Klego dan kecamatan Simo yang dikenal sebagai Pegunungan Rogo runting.

Hati Kyai Singoprono yang begitu baik memberikan kesan bagi penduduk setempat bahwa mungkin Kyai itu sebenarnya salah seorang Wali. Pembicaraan demikian makin meluas sehingga wilayah tempat tinggal Kyai Singoprono  sampai sekarang disebut Walen. 

Kesaktian dan kebaikan hati Kyai Singoprono  tersebar luas ke mana-mana sehingga Sultan Bintara di Demak pun tertarik mendengar cerita punggawa tentang Kyai itu. Tidak mengherankan jika Bintara ingin mengunjungi Kyai Singoprono  untuk membukti­kan seberapa jauh kesaktian Kyai  itu.


Agar kedatangannya tidak mencurigakan, Sultan Bintara menyamar sebagai pengemis. ketika tiba di depan rumah Kyai Singoprono , pada saat Sultan datang Kyai Singoprono sedang menjalankan Sholat di pelepah daun pisang. Dan tdk lama dari itu Kyai Singoprono pun masuk ke rumah. Segera pengemis bertemu dan pengemis itu disambut dengan penuh hormat, bahkan disilakan duduk di balai-balai. Kyai Singoprono sendiri duduk di lantai tanah, bagaikan menghadap Raja. Setiap kali pe­ngemis itu bertanya, dijawabnya dengan bahasa tinggi penuh hormat, serta dimulai dan diakhiri de­ngan sembah. 

Setelah tiga kali berturut-turut Kyai Singoprono  menyembah, pengemis itu tidak tahan lagi. Dia turun dari balai-balai dan Kyai Singoprono  dipeluk serta dipuji sebagai Kyai yang Waskitha (tajam pengamatannya)


Bersamaan dengan itu, Demak  mengemukakan bahwa ia akan menghajar Kebo Kenanga, Adipati Pengging yang congkak. Kyai Singoprono tidak menyetujui gagasan itu karena Kebo Kenanga adalah orang yang sakti. Kenyal kulitnya, tidak bisa dilukai oleh senjata; keras tulangnya bagaikan besi; dan kuat ototnya bagaikan kawat baja serta Adipati Pengging tersebut adalah pejabat yang jujur serta Kyai yang mempunyai Karomah dan berjuang di Kadipaten. Kyai Ageng Pengging hanya difitnah oleh orang yg mempunyai dendam. Untuk mengalah­kannya harus diusahakan suatu cara tertentu. Pen­deknya, Sultan Bintara harus bersabar. 


Saran ini ditafsirkan Sultan Bintara sebagai usaha Kyai Singoprono untuk menghalangi maksudnya, bahkan Sultan menuduhnya bersekutu dengan Kebo Kenanga. Kyai pun menunduk, sedih, lalu menggeiengkan kepala tiga kali.


Untuk menghindari perdebatan yang berkepanjang­an, Kyai Singoprono  segera berkata agar Sultan  membuktikan ucapannya. Caranya sebagai berikut. Jika menjelang penyerangan nanti pasukan Demak memukul bendhe (gong kecil) sebagai tanda pe­nyerbuan dan bunyinya pelan, itu tanda serangan mereka akan gagal total. Jika berbunyi keras, akan lancar gempuran pasukan Demak, dan kemenangan jelas pada pihak Bintara.


Dengan agak jengkel, Sultan  keluar dari rumah. la berjalan lebih tegap, tidak lagi sebagai pengemis. Akan tetapi, alangkah terkejut hatinya ketika tiba di suatu desa. Di sana ia menjumpai pasukan Demak bersiaga. Karena tidak tega, Pasukan Demak meng­ikuti perjalanan Sultan  dari belakang sambil berlatih perang-perangan. Kesetiaan pasukan itu dipuji Sultan. Sebagai tanda terima kasih, desa itu dinama­kannya dusun Manggal. Kata ini berasal dari kata manggala, yang artinya pimpinan pasukan.


Tibalah saatnya bagi Sultan  untuk membuktikan kata-kata Kyai Singoprono. Bendhe yang tergantung di pohon duwet diperintahkan untuk dipukul. Sultan  heran, yang terdengar hanya suara goyangan bendhe bergesekan dengan ranting pohon duwet. Pukulan kedua menghasilkan bunyi aum, suara harimau. 

Pen­duduk yang tinggal di desa lain, tidak jauh dari peristirahatan pasukan Demak, berteriak bahwa mereka mendengar suara simo (harimau). Oleh karena itu, desa itu hingga kini disebut desa Simo.


Suara aum dari gong akhirnya meyakinkan Sultan Bintara bahwa Kyai Singoprono memang benar-benar sakti dan membenarkan jika masalah Kyai Kebo Kenongo hanya difitnah oleh orang yang punya dendam. Dan Beliau pun bertitah kepada pasukannya agar kembali ke Demak bersamanya.


Tidak lama kemudian, Kyai Singoprono, yang se­benarnya sudah tua, merasa bahwa ajalnya hampir tiba. la berpesan kepada istrinya, Nyai Singoprono  jika ia meninggal agar dikuburkan di gunung yang putus karena ledakan benturan panah Kyai Nogorunting. 


Demikianlah, Kyai Singoprono  akhirnya dimakam­kan di Gunung Tugel. Oleh penduduk setempat, Kyai Singoprono juga disebut Kyai Singoprono  Simowalen. Perlu diketahui, desa Simo yang terletak di sebelah timur dan desa Walen yang terletak di sebelah barat berjarak empat kilometer.


Gunung Tugel dijadikan tempat bersemedi atau bertapa orang – orang, barang siapa bersemedi di Gunung Tugel tapi orang tersebut tidak boleh mempunyai nafsu olo. Pasti akan mendapat berkah dari Kyai Singoprono. Tetapi istri Kyai singoprono meninggal dan dimakamkan disebelah timur makam / Gunung Kyai Singoprono, kemudian makam tersebut di tendang  oleh Kyai Sinoprono dan jatuh di Desa Krisik. Karena kyai Singoprono tidak mau disejajarkan denga istrinya , karena istri kyai Singoprono mempunyai watak yang tidak baik.


Cerita tentang Gunung Tugel memang lebih tepat disebut legenda karena kisahnya menjelaskan adanya peninggalan. Dari legenda ini kita dapat mengambil hikmah bahwa dengki, dendam, dan iri hati dapat menghancurkan diri sendiri, bahkan lebih dari itu. Sementara itu, kesabaran, keikhlasan, dan kebaikan hati kepada sesama, mendatangkan pahala dan ke­tenteraman serta kebahagiaan untuk diri sendiri mau­pun orang lain.

Sunan Cipancar (Prabu Wijaya Kusumah)


Membicarakan sejarah Kab. Garut tidak akan lepas dari Kab. Limbangan yang merupakan cikal bakal pembentukannya. Peran serta kaum ulama yang menyebarkan Islam hingga mewarnai corak kehidupan masyarakat Garut pun tak kalah pentingnya. Tak heran, sebagian kalangan menilai Garut laik dijuluki sebagai Kota Ulama, karena banyaknya sumbangsih para ulama dalam membina masyarakat Garut.

Salah satu tokoh ulama sekaligus umara yang perannya tak bisa diabaikan pada masa awal penyebaran Islam di pedalaman Jawa Barat, khususnya Garut, adalah Sunan Cipancar. Selain eksis dalam penyebaran Islam, ia pun merupakan tokoh yang menurunkan keluarga bupati-bupati Limbangan. Hal itu sebelum kemudian dengan alasan politis, Limbangan dipindahkan dan berubah menjadi Kab. Garut.

Karena itulah, tak salah jika masyarakat Garut menziarahi makam Sunan Cipancar di Kp. Pasir Astana, Desa Pasirwaru, Kec. Balubur Limbangan. Hal itu penting selain sekadar berdoa dan memberikan penghormatan atas jasa-jasanya dalam menyebarkan Islam, juga untuk menelisik kembali alur sejarah Kab. Garut, termasuk pesan-pesan moral yang diamanatkan para leluhur masyarakat Garut sendiri, dalam menata bangunan kehidupan masyarakatnya.

Sumber resmi Pemkab Garut dan Pemprov Jabar melalui website-nya menyebutkan, awalnya pemegang kekuasaan Limbangan adalah Dalem Prabu Liman Senjaya, cucu dari Prabu Siliwangi dan anak dari Prabu Layakusumah. Prabu Liman Senjaya diganti oleh anaknya yang bernama Raden Widjajakusumah I alias Sunan Cipancar.

Akan tetapi literatur lain menjelaskan, yang disebut sebagai Wijayakusumah (I) adalah kakeknya Sunan Cipancar, yaitu Sunan Rumenggong.

Kab. Limbangan semula merupakan sebuah kerajaan daerah bawahan Kerajaan Besar Pakuan Pajajaran bernama Kerajaan Kertarahayu, yang didirikan Sunan Rumenggong di kawasan Gunung Poronggol Limbangan sekitar 1415 M. Sunan Rumenggong bernama asli Jayakusumah/Wijayakusumah (I)/Ratu Rara Inten Rakean Layaran Wangi/Jaya Permana/Gagak Rancang.

Sumber lain menyebutkan, Layakusumah mempunyai tiga anak dari Ambot Kasih, yaitu Hande Limansenjaya Kusumah; saudara kembarnya, Hande Limansenjaya; dan adiknya, Wastudewa. Hande Limansenjaya Kusumah berputra Jayakusumah/Panggung Pakuan Wijaya Kusumah/Wijayakusumah (II)/Limansenjaya Kusumah, yang belakangan disebut Sunan Cipancar.

Namun nama Limbangan saat ini tinggal berupa sebuah wilayah kecamatan, yang ditambahi kata Balubur di depannya menjadi Kec. Balubur Limbangan. Berbeda dengan makam tokoh penyebar Islam lainnya di Garut yang mendapatkan cukup perhatian pemerintah, makam Sunan Cipancar terkesan terabaikan. Padahal makam tersebut termasuk situs cagar budaya yang memiliki arti penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan.

Dari aspek arkeologi, jirat dan nisan makam masih memiliki keaslian sebagai tradisi peninggalan megalit. Baru beberapa tahun belakangan saja makam keramat tersebut mendapat perhatian dengan mendapatkan bantuan penataan lingkungan makam.

Seperti halnya makam keramat lainnya di Garut, makam Sunan Cipancar juga kerap dikunjungi para peziarah dari berbagai daerah. Sebagai tata krama, para santri yang ada di kawasan Balubur Limbangan dan sekitarnya, bahkan sering memulai perjalanan ziarah dari makam Sunan Cipancar. Sebelum kemudian berziarah ke makam Mbah Wali Syekh Ja’far Shiddiq Cibiuk dan sejumlah makam keramat lainnya. Puncak kunjungan ziarah biasanya terjadi pada bulan Mulud. ***



Sedikit kisah tentang Balubur Limbangan



Balubur Limbangan saat ini adalah nama sebuah kecamatan di Kabupaten Garut. Kecamatan ini dalam perjalanan sejarah. Kabupaten Garut memiliki tempat yang istimewa. Pasalnya, Balubur Limbangan sekian lama dijadikan ibukota kabupaten sebelum beralih ke Garut, di jaman lampau Balubur Limbangan mengalami zaman keemasan yang gilang gemilang, subur makmur,aman dan tentram: maka Balubur Limbangan menjadi catatan para sejarahwan dan tidak mudah dilupakan orang, karena kecakapan pemerintahnya, dapat menjalankan,memperhatikan keseimbangan disegala bidang dan dapat mengikuti perkembangan syiar Islam yang dilakukan Pemerintahan Cirebon pada saat itu , Balubur Limbangan dikenal dengan wilayah yang mempunyai daya kekuatan batin tinggi karena banyaknya ulama yang berkualitas.

Istilah Balubur, seperti diterangkan dalam Ensiklopedi Kebudayaan Sunda, merujuk pada daerah pemukiman para penguasa kabupaten pada jaman dulu. Semacam daerah istimewa yang penghuninya terdiri dari para menak dan pejabat pemerintah lainnya. Balubur Limbangan berarti daerah istimewa tempat para penguasa Kabupaten Limbangan bertempat tinggal,

Nama Limbangan berasal dari kata ” imbangan ”  yang berarti memiliki imbangan/ mengimbangi dengan Cirebon yang sama sama memiliki kekuatan batin, pada  abad dimana islam  sedang pesatnya mengalir kesetiap pelosok tanah air Indonesia, Limbangan dipimpin oleh seorang Bupati sebagai wakil dari Syarif Hidayatullah/ Sunan Gunungjati ( 1552-1570 ).

Awalnya pemegang kekuasaan Limbangan adalah Dalem Prabu Liman Sendjaya cucu dari Prabu Siliwangi dan anak dari Prabu Lajakusumah. Prabu Liman Sendjaya digantikan oleh anaknya yang bernama Raden Widjajakusumah I yang lebih terkenal dengan julukan Sunan Dalem Cipancar. Adapun sejarahnya sebagai berikut :

( Raden Widjajakusumah ke-1 ini adalah Bupati Limbangan yang dikenal dengan Bupati Galih Pakuan sangat termasyhur akan kebijaksanaannya dalam memimpin, tentang kecakapan mengatur pemerintahan, peribahasa Sunda mengatakan Sepi Paling Suwung Rampog, Hurip Gusti Waras Abdi (aman, tentram dan damai).

Bupati Widjajakusumah sebagai pemuka tabir bahwa Balubur Limbangan mempunyai kekuatan batin. Syahdan Kepala daerah Cirebon, Syarif Hidayat. Pada suatu saat beliau memerintahkan kepada semua bupati untuk menghadiri rapat bupati di Cirebon, seluruh bupati diwajibkan hadir tepat waktu, bila ada yang melalaikan perintah Syarif Hidayat, maka akan dikenakan hukuman mati.

Upaya tersebut merupakan penanaman disiplin bagi aparatur negara pada waktu itu. Maksud dari yang terpenting dari kumpulan itu, guna menjelaskan tentang keunggulan ajaran agama Islam. Pada saat itu ditegaskan bahwa sebagai penganut Islam, harus berjanji untuk menjalankan segala perintah agama dan tidak akan bertentangan dengan hukum-hukum serta menurut perintah Tuhan.

Perjalanan dari Limbangan menuju Cirebon saat itu sangat sulit, oleh karena itu Bupati Galihpakuan, Raden Widjajakusumah datang terlambat pada acara rapat tersebut. Sesampainya di Pendopo, Bupati Galihpakuan ditangkap oleh para algojo yang bertugas, dan akan dibunuh dengan mempergunakan senjata miliknya, namun ketika keris ditusukkan pada tubuh Bupati Raden Widjajakusumah, tiba-tiba semua algojo itu terjatuh lemas ke tanah.

Seluruh isi Pendopo menjadi panik, hingga rapat terganggu dan dihentikan untuk sementara waktu, Syarif Hidayat keluar dan menjumpai para algojo, beliau menanyakan sebab-sebab kejadian ini, maka para algojo menjelaskan, bahwa saat menjalankan tugas dari beliau untuk menghukum Bupati Galihpakuan yang datang terlambat, mereka tidak berdaya. Syarif Hidayat menoleh kepada Bupati Galihpakuan, maka mengertilah bahwa bupati yang bersalah itu seharusnya dihukum dengan tidak mengenal pangkat, teman atau saudara.

Bupati Galih pakuan dengan iklas mempersembahkan kerisnya kepada Syarif Hidayat, guna menjalani hukuman. Setelah keris berada ditangan Syarif Hidayat, maka terlihatlah lapadz Quran ÒLaa Ikrooha FiddiinÓ, yang terukir pada keris tersebut, maka Syarif Hidayat memahami, bahwa orang yang diizinkan memakai keris tersebut adalah orang yang sangat berjasa, karena keris tersebut adalah senjata pusaka dari Prabu Kiansantang Pendekar Agama Islam. Keris itu dapat dipandang sebagai bintang perjuangan dalam menyebarkan agama Islam.

Akhirnya Syarif Hidayat tidak jadi membunuh Bupati Galihpakuan dan mengumumkan kepada semua bupati dalam rapat, bahwa Bupati Galihpakuan tidak jadi dibunuhnya karena beliau merupakan orang yang sangat berjasa dalam penyebaran agama Islam, terbukti dengan memilikinya Senjata Pusaka. Dijelaskan pula oleh beliau bahwa keterlambatannya bukan berarti melalaikan undangannya, tetapi karena disebabkan sulitnya perjalanan. Diumumkan pula, bahwa sejak hari ini nama Bupati Galihpakuan diganti dengan nama Bupati Limbangan yang berarti bahwa Galihpakuan telah mengimbangi Cirebon dalam syiar Islam ).

Seperti tercatat dalam sejarah, Limbangan yang berada di daerah kawasan Gunung Poronggol Limbangan sekitar tahun 1415 M awalnya bagian daerah bawahan dari wilayah kerajaan Sunda atau Kerajaan Besar Pakuan Pajajaran.

Namun versi lain mengatakan bahwa Limbangan sudah menjadi daerah otonom merupakan sebuah kerajaan kecil bernama Kertarahayu ketika kerajaan Sunda terbagi dua, yakni menjadi Galuh dan Sunda dan kadang disebut Rumenggong, rumenggong (konon berasal dari kata “rumenggang” atau “renggang”, karena berada di antara Galuh dan Sunda) dan penguasanya dikenal sebagai Sunan Rumenggong yang bernama asli Jayakusukah/Wijayakusumah (I)/Ratu Rara Inten Rekean Layaran Wangi/Jaya Permana/Gagak Rancang.

Setelah kerajaan Sunda runtuh, wilayah ini sempat berada di bawah kekuasaan daerah lain, di antaranya sempat menjadi wilayah bawahan Sumedang Larang.
Pada tanggal 24 Maret 1706, Limbangan yang awalnya hanya sebuah distrik di bawah Kabupaten Sumedang, oleh VOC ( Verenigde Oost Indiche Compagne – Kongsi Dagang Belanda ) statusnya dikembalikan menjadi kabupaten yang mandiri dengan Rangga Mertasinga sebagai bupatinya. Hampir seabad lamanya Limbangan menjadi kabupaten, sampai pada pada tanggal 2 Maret 1811, Gubernur Jendral Daendeles, penguasa tertinggi pemerintah kolonial Belanda, membubarkan Kabupaten Limbangan karena alasan produksi kopi menurun hingga titik paling rendah dan juga bupatinya menolak perintah menanam nila (indigo).  Wilayah Kabupaten Limbangan kemudian dipecah-pecah dan menjadi bagian wilayah kabupaten lain.

Namun ketika Inggris menguasai Jawa, Gubernur Jendral Raffles yang mewakili kekuasaan Inggris, pada 16 Februari 1813 mengembalikan status Limbangan menjadi kabupaten di Keresidenan Priangan, dengan mengangkat Tumenggung/Adipati Adiwidjaja ( 1813-1831 ) sebagai Bupati Limbangan, pada saat itu karena dirasa kurang memenuhi persyaratan sebagai ibu kota kabupaten maka Bupati Adiwidjaja membentuk panitia untuk mencari tempat yang cocok bagi ibu kota kabupaten ,Pada awalnya panitia menemukan Cumuruh,sekitar 3 Km sebelah timur Suci ( saat ini kampung tersebut dikenal dengan nama Kampung Pidayeuheun ) tapi tempat tersebut air bersih sulit diperoleh sehingga tidak tepat untuk menjadi ibu kota.

Selanjutnya panitia mencari lokasi kearah barat Suci,sekitar 5 km dan mendapatkan tempat yang cocok selain tanahnya subur tempat tersebut memiliki mata air yang mengalir ke sungai Cimanuk serta pemandangannya pun indah dikelilingi gunung seperti Gunung Cikuray.

Namun ibukota kabupaten yang awalnya di Balubur Limbangan dipindahkan ke distrik Suci, karena dinilai tidak memenuhi persyaratan sebagai ibu kota kabupaten karena kawasan tersebut cukup sempit kemudian ibu kota dipindahkan lagi ke kota Garut sekarang. Sejak itulah, Balubur Limbangan menjadi narikolot (mengalami penyusutan). Hingga sekarang Balubur Limbangan hanya menjadi wilayah kecamatan sebagai bagian dari wilayah Kabupaten Garut.

 

Sejarah Guci Tegal


Pada zaman dulu sekitar tahun 1597 sebutlah seorang bangsawan Demak bernama Raden Aryo Hadiningrat yang merasa jenuh dengan keadaan, kehidupan keraton yang seringkali terjadi konflik perang saudara dan persaingan perebutan tahta di antara sesama saudara dalam lingkup keraton. Keadaan itu membuat Raden Aryo Hadiningrat merasa jenuh dan berniat meninggalkan keraton.

Akhirnya dia berangkat meninggalkan keraton dengan mengajak istrinya yang kemudian dikenal dengan Nyai Tumbu, selang beberapa tahun kemudian dia sempat mengabdi di Keraton Mataram pada zaman kejayaan Sultan Agung Hanyorokusumo kemudian dia sempat pula ditugaskan oleh Sultan Agung untuk berangkat ke Cirebon pada masa itu.

Kemudian dia kembali mengembara hingga sampai di lereng Gunung Slamet sebelah utara dan dia menetap di daerah tersebut . Dia orang pertama yang membuka lahan perkampungan di tempat itu sampai banyak orang berdatangan ke daerah itu untuk berguru kepada Raden Aryo Hadiningrat  dan akhirnya menetap di daerah tersebut. Oleh karenanya Raden Aryo Hadiningrat memberi nama tempat itu “ Kampung Keputihan “, (daerah yang masih asli tak terjamah peradaban agama selain Islam).

Suatu saat datanglah pengembara dari Pesantren Gunungjati yang merupakan santri Syech Syarif Hidayatulloh (Sunan Gunungjati) bernama Kyai Elang Sutajaya bermaksud menyebarkan agama Islam dan kemudian Raden Aryo Hadiningrat  dan pengikutnya berkenan mendalami ajaran agama islam untuk lebih memantapkan keimanan para pengikutnya.

Pada saat itu kampung keputihan sedang dilanda wabah pageblug seperti banyak tanah longsor dan penyakit gatal – gatal (gudigen, bahasa setempat)sehingga Kyai Elang Sutajaya mengajak Raden Aryo Hadiningrat dan warganya untuk berdoa kepadaAlllah SWT dengan ritual yang sekarang dikenal sebagai ruwat bumi dengan menyembelih kambing Kendit dan menyajikan hasil bumi seperti Pala Pendem dan sayur mayur yang akan disedekahkan kepada fakir miskin. Acara ritual tersebut terjadi pada bulan Asyuro atau bulan Muharom dan turun temurun sampai sekarang.

Pada saat berdoa dengan tasyakuran Tahlilan dan Manaqib kala itu,Kanjeng Sunan memakai media air yang di tempatkan di sebuah guci dan dalam kesempatan itu pula Sunan Gunungjati berkenan mendo’akan sumber air panas di kampung Kaputihan agar bisa di pergunakan untuk menyembuhkan segala penyakit. 


Semenjak itu karena Guci yang berisi air yang sudah di do’akan Sunan Gunungjati di tinggal di kampong Kaputihan dan selalu di jadikan sarana pengobatan,maka sejak saat itu masyarakat menyebut-nyebut Guci-Guci.Sehingga Kyai Klitik selaku Kepala Dukuh Kaputihan merubahnya menjadi Desa Guci. Dan Beliau sebagai Lurah pertamanya. 

Sehingga pada saat Raden Aryo Hadiningrat berkeliling bersama Kyai Elang Sutajaya dia menemukan sumber mata air panas dibawah sebuah Gua yang sekarang terkenal dengan namaPancuran 13.

Adapun guci sakti tersebut ditempatkan di sebuah dukuh tempat Raden Aryo Hadiningrat biasa semedi, daerah tersebut sekarang dikenal dengan nama Telaga Ada di Dukuh Engang Desa Guci, sehingga karena kekeramatan guci tersebut maka Kampung Keputihan dapat pulih kembali, bebas dari pageblug. 

Untuk mengenang peristiwa tersebut maka Kampung Keputihan diubah namanya menajadi Desa Guci. Adapun guci sakti tersebut sekarang ada di Museum Nasional karena pada zaman Adipati Cokroningrat dari Brebes memindahkannya dari Desa Guci ke pendopo Kadipaten Brebes yang kala itu Desa Guci adalah bagian dari Kabupaten Brebes.

Untuk lebih membaur dengan warga, Raden Aryo Hadiningrat menggunakan nama samaran yaitu Kyai Ageng Klitik atau untuk lebih akrab dengan sebutan Kyai Klitik. Selain itu penyamaran tersebut juga mengandung maksud lain, sebab keturunan darah biru atau bangsawan dari keraton banyak yang diburu penjajah Belanda . 

Sampai sekarang tidak diketahui maksud dan asal muasal makna yang sesungguhnya, dia juga menemukan tuk atau mata air panas lain yang sekarang terkenal dengan Pemandian Kasepuhan dan Pemandian Pengasihan yang berkasiat untuk sababiyah berbagai penyakit kulit dan tulang dan sarana mengabulkan khajat tertentu bagi yang meyakininya. 

Konon kabarnya Pemandian tersebut adalah tempat untuk penjamasan atau memandikan keris Kyai Klitik agar pamornya menjadi sepuh sehingga tempat itu dinamakan Kasepuhan dan tempat untuk memandikan pusaka – pusaka lain yang berpamor welas asih, sehingga tempat tersebut dinamakan Pengasihan. Tempat tersebut sekarang dipergunakan untuk pemandian umum yang didatangi pengunjung dari berbagai tempat.

Setelah Desa Guci semakin ramai maka datanglah seorang pengembara bernama Mbah Segeong dan bertapa di dalam Gua, yang sekarang terkenal dengan Gua Segeong terletak di sebelah selatan Pos I Retribusi sekitar 350 m jaraknya. Pada saat Kyai Elang Sutajaya mensyiarkan agama islam dia sering melakukan semedi di atas sebuah bukit. Di sekitar tempat itu banyak terdapat hewan badak ( warak, dalam bahasa jawa ), maka Kyai Elang Sutajaya menyebutnya dengan Kandang Warak yang sekarang nama tersebut digunakan sebagai nama sebuah dukuh di sebelah timur Desa Guci yaitu Dukuh Pekandangan.

 

Sejarah dan Legenda Di Banyumas

 

Sejarah Berdirinya Kabupaten Banyumas

Kabupaten Banyumas berdiri pada tahun 1582, tepatnya pada hari Jum’at Kliwon tanggal 6 April 1582 Masehi, atau bertepatan tanggal 12 Robiul Awwal 990 Hijriyah. Kemudian ditetapkan dengan Peraturan Daerah (PERDA) Kabupaten Daerah Tingkat II Banyumas Nomor 2 tahun 1990.

Keberadaan sejarah Kabupaten Banyumas tidak terlepas dari pendirinya yaitu Raden Joko Kahiman yang kemudian menjadi Bupati yang pertama dikenal dengan julukan atau gelar ADIPATI MARAPAT (ADIPATI MRAPAT).

Riwayat singkatnya diawali dari jaman Pemerintahan Kesultanan PAJANG, di bawah Raja Sultan Hadiwijaya.
Kisah pada saat itu telah terjadi suatu peristiwa yang menimpa diri (kematian) Adipati Wirasaba ke VI (Warga Utama ke I) dikarenakan kesalahan paham dari Kanjeng Sultan pada waktu itu, sehingga terjadi musibah pembunuhan di Desa Bener, Kecamatan Lowano, Kabupaten Purworejo (sekarang) sewaktu Adipati Wirasaba dalam perjalanan pulang dari pisowanan ke Paiang. Dari peristiwa tersebut untuk menebus kesalahannya maka Sultan Pajang, memanggil putra Adipati Wirasaba namun tiada yang berani menghadap.

Kemudian salah satu diantaranya putra menantu yang memberanikan diri menghadap dengan catatan apabila nanti mendapatkan murka akan dihadapi sendiri, dan apabila mendapatkan anugerah/kemurahan putra-putra yang lain tidak boleh iri hati. Dan ternyata diberi anugerah diwisuda menjadi Adipati Wirasaba ke VII.
Semenjak itulah putra menantu yaitu R. Joko Kahiman menjadi Adipati dengan gelar ADIPATI WARGA UTAMA II.

Kemudian sekembalinya dari Kasultanan Pajang atas kebesaran hatinya dengan seijin Kanjeng Sultan, bumi Kadipaten Wirasaba dibagi menjadi empat bagian diberikan kepada iparnya.
1. Wilayah Banjar Petambakan diberikan kepada Kyai Ngabei Wirayuda.
2. Wilayah Merden diberikan kepada Kyai Ngabei Wirakusuma.
3. Wilayah Wirasaba diberikan kepada Kyai Ngabei Wargawijaya.
4. Wilayah Kejawar dikuasai sendiri dan kemudian dibangun dengan membuka hutan Mangli dibangun pusat pemerintahan dan diberi nama Kabupaten Banyumas.

Karena kebijaksanaannya membagi wilayah Kadipaten menjadi empat untuk para iparnya maka dijuluki Adipati Marapat.

Siapakah Raden Joko Kahiman itu ?
R. Joko Kahiman adalah putra R. Banyaksasro dengan ibu dari Pasir Luhur. R. Banyaksosro adalah putra R. Baribin seorang pangeran Majapahit yang karena suatu fitnah maka menghindar ke Pajajaran yang akhirnya dijodohkan dengan Dyah Ayu Ratu Pamekas putri Raja Pajajaran. Sedangkan Nyi Banyaksosro ibu R. Joko Kahiman adalah putri Adipati Banyak Galeh (Mangkubumi II) dari Pasir Luhur semenjak kecil R. Joko Kahiman diasuh oleh Kyai Sambarta (Kyai Ageng Mranggi) dengan Nyai Ngaisah yaitu putrid R. Baribin yang bungsu.

Dari sejarah terungkap bahwa R. Joko Kahiman adalah merupakan SATRIA yang sangat luhur untuk bisa diteladani oleh segenap warga Kabupaten Banyumas khususnya karena mencerminkan :
a. Sifat altruistis yaitu tidak mementingkan dirinya sendiri.
b. Merupakan pejuang pembangunan yang tangguh, tanggap dan tanggon.
c. Pembangkit jiwa persatuan kesatuan (Majapahit, Galuh Pakuan, Pajajaran) menjadi satu darah dan memberikan kesejahteraan ke kepada semua saudaranya.

Dengan demikian tidak salah apabila MOTO DAN ETOS KERJA UNTUK Kabupaten Banyumas SATRIA.

Candra atau surya sengkala untuk hari jadi Kabupaten Banyumas adalah “BEKTINING MANGGALA TUMATANING PRAJA” artinya tahun 1582.
Bila diartikan dengan kalimat adalah “KEBAKTIAN DALAM UJUD KERJA SESEORANG PIMPINAN / MANGGALA MENGHASILKAN AKAN TERTATANYA ATAU TERBANGUNNYA SUATU PEMERINTAHAN”.


KISAH SAKA GURU DAN PEMINDAHAN PENDOPO SI PANJI

Masyarakat Banyumas sangat mengenalPendopo Si Panji, Pendopo Kabupaten Banyumas yang sampai saat ini masih kokoh berdiri megah di kota Purwokerto dan menjadi ‘’Pujer” (pusat) Pemerintahan Kabupaten Banyumas. Hingga saat ini Pendopo Si Panjimasih dikeramatkan, khususnya pada salah satu tiang sebelah barat yaitu soko guru (tengah) selalu diberi sesaji agar semua kegiatan yang belangung di Pendopo Si Panji dapat berjalan lancar tanpa ada gangguan. 

Kisah-kisah misteri sering terdengar dariPendopo Si Panji yang diboyong dari kota Banyumas ke Purwokerto dengan memutar ke Pantura, tidak melewati (nglangkahi) Sungai Serayu. Kabupataen Banyumas didirikan pada tahun 1852 ole Kyai Adipati Wargautama IIyang juga disebut sebagai Bupati Banyumas Idan dikenal sebagai Kyai Adipati Mrapat. Dalam perjalanan sejarah, Adipati Yudongoro (Bupati Banyumas VII / 1708 – 1743) memindahkan pusat Kabupaten Banyumas agak ke sebelah timur dengan sekaligus membangun rumah Kabupaten berikut Pendopo yang dikenal dengan Pendopo Si Panji.

Dalam sejarahnya, Pendopo Si Panji sering memunculkan keanehan dan cerita mistis, misalnya pada tanggal 21-23 Februari 1861, kotaBanyumas dilanda banjir bandang / Blabur Banyumas,  karena meluapnya Sungai Serayu. Puluhan pengunsi berusaha menyelamatkan diri dengan naik ke atas (atap) Pendopo Si Panji. Setelah air bah surut, ternyata Pendopo Si Panji tidak mengalami kerusakan atau perubahan sedikitpun pada keempat tiangnya (saka guru). Posisi Pendopo juga tidak bergeser sedikitpun padahal bangunan disekitarnya roboh karena diterjang banjir setinggi lebih dari 3,5 meter.

Misteri lain, ketika Pendopo akan dibangun, semua sesepuh dan tokoh masyarakatBanyumas supaya menyumbangkan calon saka guru Pendopo maupun bahan bangunan yang lain. Semua tokoh masyarakat telah memenuhi permintaan sang Adipati, kecuali Ki Ageng Somawangi, sehinga ia dipangil untuk menghadap Adipati Yudonegoro II untuk dimintai keterangannya. Ki Ageng Somawangi menghadap memenuhi panggilan sang Adipati. Untuk menebus kesalahannya, pada saat itu pula ia langsung menyerahkan saka guru Pendopo yang ia ciptakan dari “tatal” dan pontongan-potongan kayun yang berserakan disekitar komplek pembangunan itu. Hal itu tidak disambut baik oleh sang Adipati, bahkan diangap suatu perbuatan yang “pamer kadigdayan”. Akibatnya ia malah dituduh akan “menjongkeng kawibawan” (mengambil alih kekuasaan) Sang Adipati.

Atas tuduhan yang kurang adil itu, Ki Ageng Somawangi marah, segera meningalkan Kadipaten tanpa pamit. Sang Adipati sangat tersingung dan menyuruh prajuritnya untuk menangkap Ki Ageng Somawangi yang dianggap “ngungkak krama” (membangkang) itu. Namun karena kesaktiannya, ia dapat lolos dari upaya penangkapan. Konon tongkat saktinya ditancapkan di suatu tempat dan berubah wujud menyerupai Ki Ageng Somawangi. Sontak para prajurit menganiaya Ki Ageng Tiruan.

Ki Ageng Somawangi melanjutakan pelarian menyimpang dari jalan raya, menerobos melalui jalan setapak menuju padepokannya yang sekarang dikenal dengan Desa Somawangi Kecamatan Mandiraja Kabupaten Banjarnegara. Desa dimana Ki geng Somawangi menerobos untuk menghindari kejaran Prajurit Banyumas, kemudian diberi nama “Panerusan”. Dengan demikian diketahui bahwa ada saaat awal pembangunan Pendopo Si Panji sempat menimbulkan ontran-ontran tokoh Banyumas itu.

Masyarakat Banyumas mempercayai bahwasanya salah satu tiang utama (saka guru)Pendopo Si Panji yang dikeramatkan, berasal dari hutan belantara di hulu Sungai Serayu. Dari cerita yang berkembang, kayu yang telah digunakan sebagai tiang itu ingin kembali lagi ke hutan yang sangat angker itu. Sampai saat ini saka guru yang masih kokoh itu katanya ada penunggunya berupa sosok ular dan seorang kakek berjenggot panjang.

Setelah ada penggabungan KabupatenBanyumas dengan Kabupaten Purwokerto tahun 1936 atau prakarsa Adipati Arya Sudjiman Gandasubrata (Bupati Banyumas XX), pada Bulan Janauari 1937 Pendopo Si Panjidipindahkan dari Banyumas ke Purwokerto. Berdasarkan suara gaib dan petunjuk dari para sesepuh Banyumas dan untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan, maka pemindahanPendopo Si Panji yang keramat itu tidak melewatiSungai Serayu, tetapi melewati pantai utara Jawa (Pantura), Semarang ke barat, Bumiayu, Ajibarang, kemudian sampai ke Purwokerto.

Ada beberapa hal yang menjadikan Pendopo Si Panji dipindah ke Purwokerto. Ada sasmita bahwa kelak kota Purwokerto akan maju pesat dan menjadi kota perdagangan dan pusat pemerintahan. Pemindahan pendopo sebagai simbol pengakuan betapa kota Banyumas sulit bekembang, karena tidak ada jalur kereta api, lahan kota sempit, dan akses ke laur tidak berkembang. Maka saat itu pun kota Banyumassepi dan sulit berkembang. Hal ini membuktikan apa yang diperkirakan oleh Bupati Sudjiman Gandasubrata itu benar.

Untuk mengenang kebesaran Pendopo Si Panji, Pemda Kabupaten Banyumas telah membangun “dulpilkat” pendopo di bekas berdirinya Pendopo Si Panji. Namun tidak sesuai dengan aslinya bahkan terkesan lebih mewah dari Pendopo Si Panji yang ada diPurwokerto.

Dari rangkaian sejarah, ternyata sejak pembangunannya sudah ada aura mistis dan pertentangan tokoh, pernah menjadi pengungsian puluhan penduduk yang naik ke atas pendopo dan tidak ada kerusakan saat banjir bandang. Perjalanan sejarah selanjutnya pendopo yang keramat ini tidak mau melewatiSungai Serayu dan di arak lewat Semarang (Pantura) hingga ke kota Purwokerto. Suatu hal aneh yang sampai saat ini belum terkuak adalah alasan mengapa pemindahanyya tidak boleh melewati Sungai Serayu, tetapi harus melewati ratusan kilometer memutar Jawa Tengah. 

Dalem Kadipaten


Di dalam kompleks Kadipaten terdapat Museum Wayang. Musium ini mengoleksi berbagai jenis wayang yang ada di Indonesia, khususnya Jawa. Musium ini merupakan salah satu tujuan wisata budaya.

Sekitar 300 meter di belakang Pendopo terdapat Kelenteng Boen Tek Bio yang merupakan kelenteng tertua di Kabupaten Banyumas. Keberadaan kelenteng ini turut melengkapi pesona wisata religi di wilayah ini

Adapun Sumur Mas yang menjadi objek jelajah kali ini terletak di bagian belakang Dalem Kadipaten, Desa Sudagaran, Kecamatan Banyumas atau sekira 20 kilometer dari Purwokerto, pusat pemerintahan Kabupaten Banyumas. Dari nama Sumur Mas inilah asal-usul nama daerah Banyumas (air emas, bhs.Jawa). 

Sumur Mas

Sejauh ini tidak diketahui secara pasti kapan dan bagaimana Sumur Mas itu dibuat. Tidak ada bukti otentik yang menyebutkannya. Berdasarkan tutur masyarakat, sumur itu dipercaya sudah ada sebelum berdirinya Kabupaten Banyumas. Uniknya, sumur ini hanya berdiameter beberapa sentimeter saja. Diameternya tak sebanding dengan diameter sumur pada umumnya.

“Sumur itu dibuat oleh orang-orang yang pertama kali menempati Banyumas. Mereka membabat hutan untuk dijadikan hunian. Mereka juga membuat sumur untuk keperluan sehari-hari,” 

“Sejak itulah tempat ini ramai dihuni orang. Mungkin pada masa itu air Sumur Mas hanya untuk keperluan biasa. Tidak ada yang mengeramatkan,” 

“Dulu memang ada cerita warna air sumur itu terlihat memancar seperti cahaya emas. Warnanya bersinar kekuningan, “ 
Bisa juga dulunya sumur itu merupakan sumur satu-satunya yang dimanfaatkan penduduk yang paling awal menempati Banyumas. Atau mungkin mereka yang memanfaatkan air sumur itu memperoleh kegemilangan hidup, karir dan jabatan tinggi dan lain-lain, yang kemudian disimbolkan dengan istilah emas (keemasan).
Lebih jauh dikatakan, diameter sumur yang hanya beberapa sentimeter ini menimbulkan pertanyaan bagaimana orang-orang di zaman dulu memanfaatkan air sumur ini.

“Orang ini ingin menjadi wakil rakyat dan dia sudah terpilih 2 kali,” katanya sambil menunjuk salah satu nama diantara ribuan nama yang ada.
Lebih jauh dikatakan, orang-orang terkenal (publik figur) yang datang, baik itu politisi, artis, dan lain-lain, biasanya tidak mau menulis buku tamu. Tetapi juru kunci cukup mengenali beberapa sosok tokoh publik tersebut karena sering melihatnya di televisi.

Dikisahkan sumur mas adalah sumur keramat meski begitu, dia tidak mengetahui secara persis apa yang menyebabkan sumur itu menjadi pilihan bagi orang-orang yang mengingkan karir dan jabatan.

Panembahan Kalibening dan Sumur Pesucen 

Makam Panembahan Kalibening yANG SERING DISEBUT MAKAM MBAH KALIBENING ATAU MAKAM KALIBENING, MERUPAKAN MAKAM TUA YANG BERADA DI PERBUKITAN DESA DAWUHAN, DI KECAMATAN DAN KABUPATEN BANYUMAS. JIKA DITARIK GARIS LURUS, MAKAM PANEMBAHAN KALIBENING INI BERJARAK SEKITAR 600 METER DARI TEPIAN KALI SERAYU.

Sedikit ke atas dari Makam Panembahan Kalibening terdapat Sumur Pasucen yang airnya luar biasa bening tanpa cela. Sumur Pasucen sepertinya lebih tepat disebut sebagai Umbul Pasucen, karena merupakan mata air aktif yang airnya terus menerus keluar dan meluap melewati batas atas dindingnya.

Ada pula Pendopo dan Museum Kalibening, yang pelatarannya menjadi tempat parkir ketika saya berkunjung. Namun Museum Kalibening hanya dibuka sekali setahun pada saat bulan Maulud, bertepatan dengan ritual jamasan pusaka peninggalan Panembahan Kalibening berupa keris, tombak, dan kayu berbentuk dan berukir naga, serta pusaka lainnya.

Parkir Makam Panembahan Kalibening berada sekitar 5 km dari Alun-alun Banyumas, arah ke Barat, melewati Makam R. Joko Kaiman sekitar 300 meter, belok ke kanan di pertigaan, lalu ke kiri mengikuti jalan. Jalan menanjak tajam sekitar 200 meter sebelum parkir, ketemu pertigaan, 30 meter ke kiri adalah halaman parkir pendopo. Lurus ke atas adalah trap-trapan undakan ke Makam Panembahan Kalibening.

Tepat sebelum tanjakan terakhir itu terdapat papan tengara rumah Kuncen Makam Panembahan Kalibening. Setelah memberitahu kuncen bernama Ardja Semita yang ternyata umurnya sudah sepuh, 

Pendopo tradisional cantik yang berada tepat di depan Museum Kalibening, dengan empat soko guru dan pilar-pilar penunjang. Pada blandar terdapat torehan aksara berbunyi “Keblat papat gapuraning praja”, kiblat empat gapuranya negri.

Jika saja lantai pendopo yang kotor itu rajin dibersihkan, akan sangat nyaman untuk duduk-duduk atau rebahan di lantai pendopo untuk meluruskan punggung. Bangku satu-satunya yang ada di pendopo lebih sebagai meja karena bisa patah jika diduduki. Lama menunggu, dan tidak bisa duduk nyaman di pendopo, saya pun melangkah lebih dulu ke pertigaan di bawah undakan.

Cungkup Makam Panembahan Kalibening juga terlihat sudah renta dan terkesan agak kumuh. Jika saja tembok tempat menempel tulisan “Mbah Kalibening” itu dibongkar dan dibuat pendopo terbuka, sengnya diganti sirap, dan tiang-tiangnya ditegakkan dengan baik, cungkup ini akan terlihat jauh lebih cantik karena bangunan utamanya sudah cukup bagus, hanya perlu dicat ulang.

Pohon besar tinggi di belakang cungkup Makam Panembahan Kalibening selain memberi keteduhan dan menambah nuansa tua tempat ini, juga menguatkan aura magis makam, tentu bagi yang mempercayainya atau yang bisa bisa merasakannya.

Masih ada makam lain di kompleks tersebut yang sudah kuno diantaranya makam Panembahan padhang..

Serta sumur pesucen yang Di keramat kan dan yang disebut sebagai cikal bakal Banyumas. 

HARI SABTU PAHING "NAAS"

Tragedi Sabtu Pahing ternyata menjadi awal berdirinya Kabupaten Banyumas, bahkan dalam perjalanan Sejarah Banyumas sampai saat ini diyakini oleh sebagian warga Banyumas dan sekitarnya bahwa hari itu menjadi hari naas dan menghindari untuk bepergian jauh, mendirikan bangunan rumah, mbarang gawe (sunatan, mantu dan mbesan) juga keperluan besar lainnya seperti penyelenggaraan Pilkades dan sebagainya.

Tragedi yang sangat memilukan ini menimpaAdipati Warga Utama I, sepulangnya dari Kasultanan Pajang. Tragedi ini menjadi cerminan betapa seorang pemimpin harus berhati-hati dalam bertindak dan tidak hanya mendengar laporan sepihak.

Adipati Warga utama I beserta para pengiringnya dalam perjalanan pulang dari Kasultanan Pajang menempuh jalan pintas yang tidak bisa dilewati umum. Itulah makanya sulit sebenarnya para Tumenggung melacak perjalanannya. Lagi pula pada kesempatan yang baik ini, sang Adipati memerlukan singgah ke beberapa Demang dan Lurah dari Kadipaten yang dilewatinya.

Disini Adipati banyak memperoleh pengalaman baru tentang pemerintahan pedesaan yang adapat diterapkan di Kabupatennya. Para Demang dan Lurah yang disinggahinya merasa sangat senang dan bangga. Banyak diantaranya yang menyampaikan tanda penghormatan berupa cindera mata hasil kerajinan setempat.

Sementara itu, perjalanan pulang KI Adipati telah menginjak hari ke tujuh, hari Sabtu Pahing, sampai di desa Bener Distrik Ambal Kabupaten Kebumen. Menjelang shalat dhuhur Ki Adipati beserta para Pengiringnya singgah dan beristirahat di rumah salah seorang sahabatnya yang rumahnya terdiri atas rumah induk dan balai yang tidak searah dengan rumah induk yang biasa disebut dengan “Balai Malang” (Balebapang).

Kedatangan Ki Adipati diterima seisi rumah dengan sangat senang hati. Jamuan makan siang segera dihidangkan, salah satu lauknya yaitu “Pindang Banyak” (Daging angsa yang dimasak dengan buah pucung atau kluwak). Selagi Ki Adipati beserta para pengiringnya menikmati jamuan makan siang, tiba-tiba datanglah Tumengung utusan Kanjeng Sultan (Tumenggung pertama) yang mengemban tugas untuk membunuh Ki Adipati.

Melihat Ki Adipati sedang menikmati hidangan, Tumenggung pertama tidak sampai hati untuk membunuhnya. Kuda Dawukbang (merah campur putih) kesayangan Ki Adipati yang ditambatkan dibawah pohon sawo di sisi rumah meronta-ronta, seolah-olah mengetahui ada firasat buruk yang akan menimpa Ki Adipati.

Firasat buruk juga telah dirasakan juga oleh Ki Adipati, karena ada hal-hal aneh yang menyelimuti sekelilingnya, lebih-lebih ada seorang Tumenggung yang menuju tempat ia beristirahat. Tumenggung pertama sabar menunggu sampai Ki Adipati selesai makan. Sementara itu dari kejauhan tampak olehnya seorang kawan Tumengung (Tumenggung kedua) memacu kudanya dengan cepat menuju ke arahnya sambil melambai-lambaikan tangannya seraya berseru :”Jangan bunuh……”

Maka demi tugas Kanjeng Sultan, Ki Adipati Warga Utama I yang sedang menikmati hidangan pindang banyak itu ditikam dengan keris Pusaka Keraton Pajang. Semua yang ada di pendopo itu geger dan gugup. Ki Adipati yang naas itu terjatuh dengan darah segar mengalir dari dadanya. Para pengiring dan pengawal tidak bisa berbuat banyak. Jeritan dan isak tangis menggema di Balemalang itu. Mereka sadar bahwa Tumenggung pembunuh itu membawa amanat Kanjeng Sultan. Melawan Tumenggung berarti melawan Sang Prabu junjungannya.

Sementara Ki Adipati Menahan sakit, para pengiring dan seisi rumah berusaha menyelamatkannya, tibalah Tumenggung kedua. Menyaksikan peristiwa berdarah yang memilukan itu hampir saja Tumenggung kedua jatuh pingsan. Ia sangat berdosa karena gagal melaksanakan tugas, walaupun ia tidak bersalah. 

Bukankah Tumengung kedua telah memberi isyarat dan berteriak supaya Ki Adipati Warga Utama I dibunuh ? Mengapa ia tidak memperhatikan isyarat itu ? Atau mengapa ia menyalah artikan isyarat itu ?
Kedua Tumenggung saling berpelukan menangis, terharu dana sedih. Kepada para pengiring dan segenap keluarga tuan rumah Kedua Tumenggung iru menjelaskan duduk persoalan peristiwa yang menyedihkan itu. Ki Adipati sebenarnya tidak bersalah. Pembunuhan itu menjadi tanggung jawab Kanjeng sultan Hadiwijaya sendiri.

Sebelum menghembuskan nafas terakhir, dengan serak dan tersendat-sendat sempat meninggalkan pesan terakhir kepada keluarga (keturunan) yang ditinggalkan. “Aku…aku…tidak tahu apa dosaku kepada Kanjeng Sultan….anak cucuku jangan sampai mengalami naas seperti aku…ingat-ingat..,jangan sampai ada diantara anak cucuku yang bepergian pada hari Sabtu Pahing, apalagi naik kuda Dawuk Bang. Juga jangan makan pindang banyak (angsa) serta jangan membangun atau bertempat tinggal di rumah “Bale Malang".
Sama sekarang, pesan ini oleh orang-orag yang bersasal dari Banyumas sekalipun bukan trah Ki Adipati Warga Utama I, terutama oleh angkatan tua, pesan ini masih sangat dipatuhi. Kalau tidak merasa terpaksa sekali, mereka tidak akan bepergian pada hari Sabtu Pahing.

Menjelang dini hari tibalah rombongan usungan jenazah di suatu pegunungan yang sebagian besar masih berupa hutan. Mereka beristirahat sambil menyalakan api unggun sekedar untuk mengurangi rasa dingin dan untuk menerangi lingkungan sekitarnya. Menjelang subuh mereka bersiap-siap melanjutkan perjalanan yang penuh duka itu. Sebagai kenang-kenangan , tempat dimana mereka beristirahat ini diberi nama “Lawang Awu” (perbatasan antara Kabupaten Banjarnegara dengan Kebumen).

Lepas Dhuhur rombongan sudah sampai diWirasaba yang disambut dengan isak tangis para putra, para sentana, dan para kerabat dekat almarhum. Rakyat Wirasaba menyambut dengan duka nestapa. Untuk beberapa jam jenazah disemayamkan di Pendopo Agung Kabupaten untuk memberi kesempatan para kerabat dan rakyatnya menyampaikan menyampaikan ucapan bela sungkawa kepada keluarga dan penghormatan terakhir kepada almarhum.

Berdasarkan keputusan musyawarah keluarga serta para pejabat Kabupaten, almarhumah dimakamkan di Dukuh Pekiringan, Desa Klampok Kabupaten Banjarnegara, disebelah selatan sungai Serayu. Di tembok (sebelah timur) makam Ki Adipati, tertulis riwayat singkat wafatnya Ki Adipati dalam bahasa jawa sebagai berikut

 :”Ki Adipati Wargohutomo I Ing Wirasabane kaleres dinten Setu Pahing dipun sedani utusanipun Sultan Pajang (1548 – 1586), pinuju lenggah wonten Bale Malang ing Dusun Bener, Distrik Ambal (Kebumen) jalaran kadakwa kalepatan. Pandakwa wau saking seling serap.Ki Adpati kagantos putra mantu Joko Kaiman ngagem asma Wargohutomo II ketelah Ki Adipati Mrapat (Sumareh ng Dawuhan)”.

Maknanya dalam bahasa Indonesia :”KI Aipati Wargohutomo I, pada hari Sabtu Pahing dibunuh oleh utusan Stan Pajang (Sulatan Hadiwijaya) yang memerintah antara tahun 1548 -1586, ketika seang berada di Balemalang di desa Bener Kawedanan Ambal Kabupaten Kebumen, karena dituduh telah berbuat salah. Tuduhan itu karena salah paham. Ki Adupati diganti oleh putra menantunya Djoko Kaiman yang juga bernama Wargohutomo II, yang terkenal dengan sebutan Ki Adipati Mrapat (dimakamkan di Dawuhan)".

Makam Adipati Warga Utama I kini telah dipugar oleh Pemda Kabupaten Banjarnegara dan para pencintanya, disekitarnya telah dajadikan pekuburan umum yang dikeramatkan banyak orang. Pada setiap malam Selasa dan Jumat Kliwon banyak pengunjung yang bersemedi (nyepi) di dalam makam dengan berbagai ragam permohonan kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Makam Adipati Warga Utama I di tatah Wirsaba, tetapi secara administratif Klampok, KabupatenBanjarnegara, tapatnya di desa Pekiringan. Makam yang dikeramatkan ini juga banyak dikunjungi oleh pezairah yang ingin mendapakan berkan dan tujuan lain pada hari tertentu. Keramaian makam ini dapat dilihat dari mengunungnya kemenyan yang tekah dibakar.

Seandainya Sultan Pajang, Sultan Hadiwijaya mau melakukan konfirmasi lebih dulu atas penuturan Demang Banyureka perihal status Rara Sukartiyah, putri Adipati Wirasaba yang dikatakan sudah bersuami dan tidak “suci” lagi, tentunya tidak akan terjadi peristiwa tragis seperti itu. Penuturan sepihak itulah yang akhirnya membawa petaka bagi Adipati Wirasaba. Sampai saat ini kejadian tersebut dikenal dengan “Tragedi Sabtu Pahing”. Bagi Orang Banyumas, peristiwa tragis tersebut sangat di perhatikan agar jangan sampai menimpa anak cucu dan generasi mendatang. Sebagian masyarakat juga bertindak arif untuk tidak terlalu terpaku dengan hari Sabtu Pahing sebagai hari naas, sejalan dengan penghayatan agama dan pandangan bahwa “semua hari itu baik”.

POHON TEMBAGA DAN BANYUMAS

Pohon Tembaga - Pohon tersebut di Kabupaten Banyumas tinggal satu batang, yakni berada di kompleks Makam Tembaga Desa Pekunden, Kecamatan Banyumas. Pohon itu umurnya sudah ratusan tahun dan berkaitan erat dengan lahirnya Kabupaten Banyumas. Sebab dari babat Banyumas yang dipakai sebagai salah satu pendukung untuk menetapkan hari jadi Kabupaten Banyumas, pohon tembaga yang ditanam di dekat Kali Banyumas merupakan pohon yang ditanam oleh Adipati Mrapat ketika hijrah dari Wirasaba.

Sesampai di sebuah kawasan yang disebut sebagai hutan Mangli, sang adipati menanam pohon yang disebut pohon tembaga. Pohon ini tampak seperti pohon biasa, namun demikian bila anda cermati lebih dekat secara langsung pohon ini mempunyai warna yang khas coklat kekuningan layaknya logam tembaga.
Pohon ini merupakan “prasasti” hidup sejarah Banyumas, karena menurut babad dan cerita sejarah Banyumas dari sini titik tonggak sejarah dimulainya / dibangunnya Kabupaten Banyumas . 

Pohon ini terletak di daerah yang pertama kali dibangun sebagai pusat pemerintahan Kabupaten Banyumas di hutan Mangli daerah Kejawar dan sekarang terletak di Desa Kalisube Grumbul Mangli, Kecamatan Banyumas. Menurut penelitian, maka hutan Mangli daerah Kejawar sebagai tempat pertama dibangunnya pusat pemerintahan Adipati Wargo Oetomo II (Djoko Kahiman / Adipati Mrapat) setelah meninggalkan Wirasaba.

Menurut riwayat yang juga dipercayai masyarakat, beliau menerima wisik supaya pergi ke suatu tempat tumbuhnya pohon Tembaga. Di hutan Mangli inilah diketemukan pohon Tembaga yang dimaksud ; yaitu di sebelah Timur pertemuan sungai Pasinggangan dan sungai Banyumas. Kemudian mulailah dibangun tempat tersebut sebagai pusat pemerintahan dengan dibiayai oleh Kyai Mranggi Semu di Kejawar.

Ketika sedang sibuk-sibuknya membangun pusat pemerintahan itu, kebetulan pada waktu itu ada sebatang kayu besar hanyut di sungai Serayu. Pohon tersebut namanya pohon Kayu Mas yang setelah diteliti berasal dari Desa Karangjambu  (Kabupaten Purbalinga), sekarang sebelah timur  Wirasaba. 

Anehnya kayu tersebut terhenti di sungai Serayu dekat lokasi pembangunan pusat pemerintahan. Adipati Marapat tersentuh hatinya melihat kejadian tersebut, kemudian berkenan untuk mengambil Kayu Mas tersebut untuk dijadikan Saka Guru. Karena kayu itu namanya Kayu Mas dan hanyut terbawa air (banyu), maka pusat pemerintahan yang dibangun ini kemudian diberi nama Banyumas (perpaduan antara air (banyu) dan Kayu Mas).

PENAMAAN CURUG CIPENDOK

Nama Curug Cipendok bermula dari legenda yang masih berkaitan dengan sejarah Perang Diponegoro. Perang ini merupakan perang lima tahun (1825-1830) antara Pangeran Diponegoro melawan Pemerintah Kolonial Hindia Belanda. Perang yang dimenangkan Belanda itu membuat seluruh wilayah kerajaan Surakarta termasuk wilayah Dulangmas, meliputi Kedu, Magelang, Banyumas berada dibawah kekuasaan pemerintahan kolonial. Perjanjian tersebut tertuang dalam perjanjian Dulangmas.

Salah satu wilayah Banyumas yaitu Ajibarang, saat itu dipimpin oleh seorang Wedana bernama Raden Ranusentika. Pada saat itu diberi tugas untuk melakukan kerja rodi, berupa pembukaan hutan belantara di sekitar lereng Gunung Slamet untuk dijadikan area perkebunan. Sudah delapan bulan lamanya beliau memimpin pembukaan hutan di lereng Gunung Slamet, namun belum juga mendapatkan hasil. Senantiasa terjadi keanehan, pada saat pohon-pohon selesai ditebang, esoknya tubuh lagi seperti semula. Seolah-olah seperti belum pernah ditebang sama sekali. Kejadian ini terjadi berulang-ulang, sehingga membuat bingung dan pusing Raden Ranusentika.

Karena baru kali ini menemukan permasalahan yang aneh, maka kemudian Raden Ranusentika berdoa dan bermohon kepada Tuhan dengan cara bertapa beberapa saat. Karena merasa belum mendapat petunjuk juga, beliau kemudian menyudahi bertapanya. Sembari mengusir kegundahan dan mencari jalan keluar, Raden Ranusentika pergi memancing ikan di dekat air terjun. Di tengah-tengahnya memancing, tiba-tiba beliau merasa kailnya seperti ditarik-tarik oleh ikan yang besar, sampai-sampai gagang pancingnya melengkung.

Namun alangkah terkejutnya, saat pancingnya ditarik bukannya ikan yang didapat, melainkan sebuah barang mirip cincin yang merupakan pendok atau cincin warangka keris yang bersinar kuning keemasan. Ketika didekatkan, tiba-tiba Raden Ranusentika bisa melihat banyak sekali makhluk halus yang berada di hutan yang telah ditebang habis. Mereka semua yang selama ini menggagalkan pekerjaan Raden Ranusentika.

Atas usulan Raden Santa, seorang kepala pekerja, air terjun dimana Raden Ranusentika menemukan pendok keris, dinamakan Curug Cipendok. Berasal dari kata curug yang berarti air terjun dan pendok atau warangka keris.

KESENIAN TRADISIONAL BEGALAN

Begalan atau rampok yang terdengar menyeramkan,  dalam kebudayaan tradisional Banyumasan hanyalah merupakan nama kesenian  yang bukan hanya menyajikan  hiburan semata, tetapi sudah menjadi “sesaji” ritual bagi masyarakat banuumas yang mempercayainya. Kesenian ini tumbuh di wilayah eks Karesidenan Banyumas (Banyumas, Purbalingga, Banjarnrgara, dan Cilacap). Masyarakat Banyumas yang kini nbermukim di Jakarta,Semarang, Surabaya, dan kota0kota besar lainnya masih mempercayai begalan sebagai pelengkap upacara pernikahan.

Begalan umumnya dilaksanakan oleh pihak orang tua Pengantin putri  yang baru pertama kali melaksanakan “mbarang gawe” (hajatan). Maka tidak heran jika group-grpu kesenian Begalan lebih sering pentas diluar Banyumas dari pada di wilayah Banyumas sendiri.

Seni begalan sudah ada sejak ratusan tahun silam. Sejarah seni begalan yang berakar dari budaya Banyumasan telah mengalami pasang surut, bahkan generasi muda sekarang sudah banyak yang tidak mengerti atau buta sama sekali dwengan kesenian begalan.

Ada beberapa versi seni begalan namun yang banyak ditulis dalam sejarah dan riwayat Banyumas menyatakan bahwa saeni begalan ada sejak jaman Adipati Wirasaba yang ketika itu mengawinkan anak (putri) yang bernama Dewi Sukesi dengan putri sulung dari dari adipati Banyumas yang berbama Pangeran Tirtakencana, ada yang menyebut terjadi pada abad ke 19.

Dari perkembangan dan pasang surutnya seni begalan, diketahui bahwa begalan adalah suatu jenis kesenian yang merupakan rangkaian upacara perkawinan di daerah Banyumas dan sekitarnya. Biasanya dilakukan apabila pasangan pengantin terdiri dari anak bungsu dan anak sulung, terutama kalau yang bungsu atau sulung dari piohak perempuan. Menurut kepercayaan masyarakat banyumas, seni begalan merupakan syarat “krenah” yangh harus dilakukan apabila menjodohkan anaknya, merupkan syarat yang penting.

Sebagian masyarakat Banyumas juga ada yang berpendirian, tidak setiap mengawinkan anaknya harus menggelar seni begalan. Ada keyakinan begalan juga mirip ruwatan. Seni begalan bukan semata-mata merupakan suatu hiburan atau pertunjukan belaka sebab dalam aksi dan dialognya berisi ajaran atau tuntunan dan ular-ular yang ditujukan kepada mempelai berdua. Sarana begalan seperti ilir, ukusan, kendil, padi, serta berbagai peralatan dapur lainnya mengandung makna tertentu. Biasanya para pelaku begalan menjelaskan makna peralayan begalan satu-persatu, yang semuanya mengandung permohonan/doa kepada sang maha kuasa agar mempelai berdua dapat mengarungi bahtera rumah tangga dengan sakinah warohmah dan mawahdah yang dalam bahasa begalan disebut keluarga langgeng “Kaya Mimi lan Mintuna, nganti Kaken-kaken Ninen-ninen”.

Pada mulanya pelaku seni begalan tidak dibayar, bahkan lebih cenderung menolong, semata-mata merupakan tradisi ruwatan agar upacara pernikahan dapat berjalan lancar. Keturunan warga Banyumas yang ada diluar daerah bahkan harus bersusah payah mencari group begalan  yang berlualitas.. Dari kbiasaan ditanggap inilah yang kemudian seni begalan masuk ke rahan entertainment dan memasang tarif yang cukup besar dalam setiap pementasan.
Begalan bewrasala dari kata begal dan akhiran an, artinya perampasan atau tindak perampokan di tengah jalan. 

Maka kesenian begalan adalah suatu atraksi yang menggambarkan seseorang yang sedang membawa barang bawaan kebutuhan hidup, kemudian dirampok di tengah jalan. Dengan diiringi genhing-gendhing khas Banyumasan mereaka melakukan diaek serta pesan moral yang diselingi banyolan, sindiran, sekaligus petuah kepada para penontonnya. Gendhing yang dipilih biasanya bernada dinamis dana suasana riang untuk menghidupkan suasana.

Ketika suara genghing berhenti, mulailah para pembegal memperkenalkan diri dan terjadi dialog. Seperti layaknya tukang begal, maka ada adegan pertengkaran dan adu mulut, sambil menjelaskan arti dan makna barang bawaan yang semuanya dikemas dalam “brenong kepang”(semacam pikulan). Masyarakat yang mernonton biasanya mengharapkan momentum berebut benda yang ada di brenong kepang. Mereka percaya jika dapat merebut/mendapatkan benda-benda-begalan akan mendapat berekah.

Dalam perkembangannya seni begalan dianggap bertentangan dengan agama (Islam), karena jika tujuannya hanya untuk mengusir roh jahat makalebih afdol jika cukup dengan membaca doa bersama agar mempelai berdua dapat selamat dan bahagia.

Perkembangan lebih lanjut, begalansemakin surut peminatnya seiring dengan perubahan jaman. Untuk melestarikan seni tradisional ini Dinas Kebudayaan dan Pariwisata belum lama ini telahg menyelenggarakan seminar tentang begalan. Dinbudpar juga terus menggali, melestarikan, mengembangkan dan memberdayakan potensi pariwisata dan kebudayaan dalam rangka mewujudkan Banyumas sebagai kawasan cagar budaya, agar generasi muda dapat lebih tertarik memahami seni begalan, tidak hanya sebatas “krenah” dalam upacara pernikahan. 


Demikian lah sedikit sejarah yang ada di Banyumas 

Padjang


Kerajaan Pajang adalah satu kerajaan yang berpusat di Jawa Tengah sebagai kelanjutan Kerajaan Demak. Komplekskeratonnya pada zaman ini tinggal tersisa berupa batas-batas fondasinya saja yang berada di perbatasan Kelurahan Pajang -Kota Surakarta dan Desa Makamhaji, Kartasura, Sukoharjo.

Nama negeri Pajang telah dikenal sejak zaman Kerajaan Majapahit. Menurut kitab Nagarakretagama yang ditulis tahun 1365, bahwasanya pada zaman tersebut adik perempuan Hayam Wuruk (raja Majapahit saat itu) bernama asli Dyah Nertaja menjabat sebagai penguasa Pajang, bergelar Bhatara i Pajang, atau disingkat Bhre Pajang. Dyah Nertaja merupakan ibu dari Wikramawardhana /Damarwulan (raja Majapahit selanjutnya).

Berdasar naskah-naskah babad, bahwa negeri Pengging disebut sebagai cikal bakal Pajang. Cerita Rakyat yang melegenda menyebut bahwa Pengging sebagai kerajaan kuno yang pernah dipimpin Prabu Anglingdriya, musuh bebuyutan Prabu Baka raja Prambanan. Kisah ini dilanjutkan dengan dongeng berdirinya Candi Prambanan.

Ketika Majapahit dipimpin oleh Brawijaya (raja terakhir versi naskah babad), bahwa nama Pengging muncul kembali. Dikisahkan bahwa putri Brawijaya yang bernama Retno Ayu Pembayun diculik Menak Dadaliputih raja Blambangan putra Menak Jingga. Muncul seorang pahlawan bernama Jaka Sengara dari Pengging yang berhasil merebut sang putri dan membunuh penculiknya.

Atas jasanya itu, kemudian Jaka Sengara diangkat oleh Brawijaya sebagai bupati Pengging dan dinikahkan dengan Retno Ayu Pembayun. Jaka Sengara kemudian bergelar Prabu Andayaningrat.(Handoyoningrat) 

Berdasarkan silsilah Prabu Handoyoningrat masih keturunan dr Prabu Citrosomo Pengging.

Kerajaan Pajang
Pajang terlihat sebagai kerajaan pertama yang muncul di pedalaman Jawa setelah runtuhnya kerajaan Muslim Demak  di daerah Pasisir.

Menurut naskah babad, Andayaningrat gugur di tangan Sunan Ngudung (Ayah Sunan Kudus) saat terjadinya perang antara Majapahit dan Demak . Ia kemudian digantikan oleh putranya, yang bernama Raden Kebo Kenanga, bergelar Ki Ageng Pengging. Sejak saat itu Pengging menjadi daerah bawahan Kerajaan Demak.

Beberapa tahun kemudian Ki Ageng Pengging dihukum mati karena dituduh hendak memberontak terhadap Demak oleh Sunan Kudus. Peristiwa tersebut penuh dengan teka teki karena Kyai Ageng Pengging sebagai pejabat yang gigih dan ulama yang taat.

Putranya yang Maskarebet yang dikenal dengan julukan Jaka Tingkir setelah dewasa justru mengabdi ke Demak.

Prestasi Jaka Tingkir yang cemerlang dalam ketentaraan membuat ia diangkat sebagai menantu Trenggana dengan berbagai riwayat percintaan yang penuh kontroversi dan menjadi bupati Pajang bergelar Hadiwijaya. 

Wilayah Pajang saat itu meliputi daerah Pengging (sekarang kira-kira mencakup Boyolali danKlaten), Tingkir (daerah Salatiga), Butuh, dan sekitarnya.

Sepeninggal Sultan  Trenggana tahun 1546, selanjutnya Sunan Prawoto (Raden Bagus Mukmin) naik takhta. 

Namun Sultan Prawoto kemudian tewas dibunuh utusan sepupunya, yaitu Arya Penangsang bupati Jipang tahun 1549. Setelah itu, Arya Penangsang juga berusaha membunuh Hadiwijaya namun gagal.

Dengan dukungan Ratu Kalinyamat (bupati Jepara dan puteri Sultan Trenggana) sekaligus pewaris Demak. Adipati Hadiwijaya dan para pengikutnya berhasil mengalahkan Arya Penangsang. Dengan taktik peperangan yang di skenario oleh Ki Juru Martani.

Adipati Hadiwijaya selanjutnya menjadi pewaris takhta Demak. Pada masa kepemimpinan Hadiwijaya ini, ibu kota Demak dipindahkan ke Pajang.

Perkembangan
Pada awal berdirinya atau pada tahun 1549, bahwa wilayah Pajang yang terkait eksistensi Demak pada masa sebelumnya, hanya meliputi sebagian Jawa Tengah. Hal ini disebabkan karena negeri-negeri Jawa Timur banyak yang melepaskan diri sejak kematian Sultan Trenggana.

Pada tahun 1568 Hadiwijaya dan para adipati Jawa Timur dipertemukan di Giri Kedaton oleh Sunan Prapen (Sunan Giri ke 2) Dalam kesempatan itu, para adipati sepakat mengakui kedaulatan Pajang di atas negeri-negeri Jawa Timur. Sebagai tanda ikatan politik, Panji Wiryakrama dari Surabaya (pemimpin persekutuan adipati Jawa Timur) dinikahkan dengan puteri Hadiwijaya.

Negeri kuat lainnya, yaitu Madura juga berhasil ditundukkan Pajang. Pemimpinnya yang bernama Raden Pratanu alias Panembahan Lemah Dhuwur juga diambil sebagai menantu Hadiwijaya.

Peran Wali Songo

Pada zaman Kerajaan Demak, majelis ulama Wali Songo memiliki peran penting, bahkan ikut mendirikan kerajaan tersebut. Majelis ini bersidang secara rutin selama periode tertentu dan ikut menentukan kebijakan politik Demak.

Sepeninggal Sultan  Trenggana, peran Wali Songo ikut memudar. Sunan Kudus bahkan terlibat pembunuhan terhadap Sunan Prawoto, Raja baru pengganti Trenggana. Karena Sunan Kudus yang menyarankan Haryo Penangsang untuk membunuh Sunan Prawoto.

Meskipun tidak lagi bersidang secara aktif, sedikit banyak para wali masih berperan dalam pengambilan kebijakan politik Pajang. Misalnya, Sunan Prapen bertindak sebagai pelantik Hadiwijaya sebagai raja. Ia juga menjadi mediator pertemuan Hadiwijaya dengan para adipati Jawa Timur tahun 1568. 

Sementara itu, Sunan Kalijaga juga pernah membantu Ki Ageng Pemanahan meminta haknya pada Hadiwijaya atas tanah Mataram (Alas Mentaok) sebagai hadiah sayembara menumpas Arya Penangsang.

Wali lain yang masih berperan menurut naskah babad adalah Sunan Kudus. Sepeninggal Hadiwijaya tahun 1582, ia berhasil menyingkirkan Pangeran Benawa dari jabatan putra mahkota, dan menggantinya dengan Arya Pangiri. Peristiwa ini sebagai langkah politik atas kekalahan Murid kesayangan Sunan Kudus (Haryo Penangsang).

Dimungkinkan bahwa yang dimaksud dengan Sunan Kudus dalam naskah babad adalah Panembahan Kudus (putra Sunan Kudus) yang mana Sunan Kudus sejatinya telah meninggal tahun 1550.

Tanah Mataram dan Pati adalah dua hadiah Hadiwijaya untuk siapa saja yang mampu menumpas Arya Penangsangtahun 1549. Menurut laporan resmi peperangan, Arya Penangsang tewas dikeroyok Ki Ageng Pemanahan dan Ki Penjawi.

Ki Penjawi diangkat sebagai penguasa Pati sejak tahun 1549. Sedangkan Ki Ageng Pemanahan baru mendapatkan hadiahnya tahun 1556 berkat bantuan Sunan Kalijaga. 

Hal ini disebabkan karena Hadiwijaya mendengar ramalan Sunan Prapen bahwa di Mataram akan lahir kerajaan yang lebih besar dari pada Pajang.(yang terkenal dengan istilah kuno Wiratuya Sunan Giri).

Ramalan tersebut menjadi kenyataan ketika Mataram dipimpin Sutawijaya putra Ki Ageng Pemanahan sejak tahun 1575. 

Tokoh Sutawijaya inilah yang sebenarnya membunuh Arya Penangsang. DaerahMataram di bawah pimpinan Sutawijaya semakin hari semakin maju dan berkembang.

Pada tahun 1582 meletus perang Pajang dan Mataram disebabkan Sutawijaya membela adik iparnya, yaitu Tumenggung Mayang terkait hukum buang ke Semarang oleh Sultan Hadiwijaya kepada sang tumenggung. Atas kesalahan Raden Pabelan yang berani mendatangi (apel) Putri Sekar Kedhaton (Putri Sultan)  

Perang tersebut dimenangkan pihak Mataram, meskipun pasukan Pajang berjumlah lebih besar. 


BERBAGAI ASPEK PADA KERAJAAN PAJANG

Aspek Sosial Budaya

Pada zaman Pakubuwono I dan Jayanegara bekerja sama untuk menjadikan Pajang semakin maju dibidang pertanian sehingga Pajang menjadi  lumbung beras pada abad ke-16 sampai abad 17, kerja sama tersebut saling menguntungkan bagi kedua belah pihak. Kehidupan rakyat Pajang mendapat pengaruh Islamisasi yang cukup kental sehingga masyarakat Pajang sangat mengamalkan syariat Islam dengan sungguh-sungguh.

Aspek Ekonomi

Pada zaman Paku Buwono 1 (1708) ketika Ibukota Mataram masih ada di Kartasura, ada kerjasama yang baik antara Surakarta pusat dengan Jayengrana bupati Surabaya. Pada masa itu seluruh Jawa Timur kompak dalam mendukung kerjasama antara PakuBuwono 1 dan Jayengrana.

Pajang mengalami kemajuan di bidang pertanian sehingga menjadi lumbung beras dalam abad ke-16 dan 17. Lokasi pusat kerajaaan Pajang ada di dataran rendan tempat bertemunya sungai Pepe dan Dengkeng (ke dua-duanya bermata air di lereng gunung Merapi) dengan bengawan sala. Irigasi berjalan lancar karena air tanah di sepanjan tahun cukup untuk mengairi sehingga pertanian di Pajang maju.

Di zaman Kerajaan Demak baru muncul, Pajang telah mengekspor beras dengan mengangkutnya melalui perniagaan yang berupa Bengawan Sala. Sejak itu Demak sebagai negara maritim menginginkan dikuasainya lumbung-lumbung beras di pedalaman yaitu Pajang dan kemudian juga mataram, supaya dengan cara demikian dapat berbentuk negara ideal agraris maritim.

Aspek Politik

Arya Penangsang membuat saluran air melingkari Jipang Panolan dan dihubungkan dengan Bengawan Solo.  Karena pada sore hari air Bengawan Solo pasang maka air di saluran juga mengalami pasang. Oleh karena itu saluran tersebut dikenal dengan nama Bengawan Sore. Sebetulnya Arya Penangsang sudah tidak berhak mengklaim tahta Demak kepada Sultan Hadiwijaya, karena Pajang adalah sebuah kerajaan tersendiri. Akan tetapi dendamnya kepada putera dan mantu Sultan Trenggono belum pupus. Dia kembali mengirim pembunuh gelap untuk membunuh Sultan Hadiwijaya, mengulangi keberhasilan pembunuhan terhadap Sunan Prawata. Akan tetapi pembunuhan tersebut tidak berhasil.

Dikisahkan Sunan Kalijaga memohon kepada Sunan Kudus agar para sepuh, Wali sebagai ulama dapat menempatkan diri sebagai orang tua. Tidak ikut campur dalam urusan “rumah tangga” anak-anak. Biarkanlah Arya Penangsang dan Hadiwijaya menyelesaikan persoalanya sendiri. Dan yang sepuh sebagai pengamat. Sunattulah akan berlaku bagi mereka berdua, ‘Sing becik ketitik sing ala ketara’. Wali lebih baik mensyi’arkan agama tanpa menggunakan kekuasaan. Biarkanlah urusan tata negara dilakukan oleh ahlinya masing-masing. Wali adalah ahli da’wah bukan ahli tata negara. Jangan sampai  para Wali terpecah belah karena berpihak kepada salah satu diantara mereka. Apa kata rakyat jelata, jika melihat para Wali ‘udreg-udregan’, sibuk berkelahi  sendiri.

Hampir semua Guru menyampaikan: “Setelah tidak ada aku nanti, mungkin pentolan-pentolan kelompokku sudah tidak punya ‘clash of vision’, tetapi mereka tetap punya ‘clash of minds’, ‘clash of egoes’, mereka merasa bahwa tindakan yang dipilihnya benar menurut pemahamannya, dan kalian akan melihat banyaknya aliran muncul”. seandainya Guru masih hidup maka kebenaran dapat ditanyakan dan tidak akan ada permasalahan. Mereka yang gila kekuasaan menggunakan pemahaman terhadap wasiat Guru sebagai alat untuk membangun kekuasaan. Yang terjadi bukan perang berdasarkan perbedaan keyakinan,  tetapi perebutan kekuasaan menggunakan perbedaan pemahaman atau keyakinan sebagai alat yang ampuh.

Dikisahkan Sunan Kudus sebagai Guru Sultan Hadiwijaya, mengundang Sultan untuk datang ke Kudus untuk mendinginkan suasana. Pada saat itu terjadi perang mulut antara Arya Penangsang dan Sultan Hadiwijaya dan mereka saling menghunus keris. Konon Sunan Kudus berteriak: “Apa-apaan kalian! Penangsang cepat sarungkan senjatamu, dan masalahmu akan selesai!” Arya Penangsang patuh dan menyarungkan keris ‘Setan Kober’nya. Setelah pertemuan usai, konon Sunan Kudus menyayangkan Arya Penangsang, maksud Sunan Kudus adalah menyarungkan keris ke tubuh Sultan Hadiwijaya dan masalah akan selesai.

Akhirnya Arya Penangsang dengan kuda ‘Gagak Rimang’nya dipancing dengan kuda betina Sutawijaya yang berada di luar Bengawan Sore atas saran penasehat Ki Gede Pemanahan dan ki Penjawi. Dan, Arya Penangsang  menaiki ‘Gagak Rimang’ yang bersemangat menyeberangi Bengawan Sore. Begitu berada di luar Bengawan Sore kesaktian Arya Penangsang  berkurang yang akhirnya dia dapat terbunuh. Atas jasanya Ki Penjawi diberi tanah di Pati dan Ki Gede Pemanahan diberi tanah di Mentaok, Mataram. Sutawijaya adalah putra Ki Gede Pemanahan dan merupakan putra angkat Sultan Hadiwijaya sebelum putra kandungnya,  Pangeran Benawa lahir. Sutawijaya konon dikawinkan dengan putri Sultan sehingga Sutawijaya yang akhirnya menjadi  Sultan Pertama Mataram yang bergelar Panembahan Senopati, anak keturunannya masih berdarah Raja Majapahit.


Keruntuhan

Sepeninggal Sultan Hadiwijaya, terjadilah persaingan antara putra dan menantunya, yaitu Pangeran Benawa dan Arya Pangiri sebagai raja selanjutnya. Arya Pangiri didukung Panembahan Kudus berhasil naik takhta tahun 1583.

Pemerintahan Arya Pangiri hanya disibukkan dengan usaha balas dendam terhadap Mataram. Kehidupan rakyat Pajang terabaikan akibat kemelut tersebut. Hal itu membuat Pangeran Benawa yang sudah tersingkir ke Jipang, merasa prihatin dengan keadaan Pajang Pangeran Benowo berniat minta bantuan Mataram. 

Pada tahun 1586 Pangeran Benawa bersekutu dengan Sutawijaya menyerbu Pajang. Meskipun pada tahun 1582 Sutawijaya memerangi Hadiwijaya, namun Pangeran Benawa tetap menganggapnya sebagai saudara tua. Karena kedekatan tersebut diantara keduanya tidak pernah ada rasa benci dan dendam.

Perang antara Pajang melawan Mataram dan Jipang berakhir dengan kekalahan Arya Pangiri. Ia dikembalikan ke negeri asalnya yaitu Demak. Pangeran Benawa kemudian menjadi raja Pajang yang ketiga.

Pemerintahan Pangeran Benawa berakhir tahun 1587. Tidak ada putra mahkota yang menggantikannya sehingga Pajang pun dijadikan sebagai negeri bawahan Mataram. Sang Pangeran Benowo lebih memilih untuk berjuang di agama dan dakwah. Hingga akhirnya menetap di Pegandon Kendal dengan bergelar Sunan Abinawa 

Yang menjadi bupati di sana ialah Pangeran Gagak Baning atau adik Sutawijaya.

Sutawijaya sendiri mendirikan Kerajaan Mataram, di mana ia sebagai raja pertama bergelar Panembahan Senopati. Julukan Panembahan Senopati itu sejak peperangan Pajang Jipang yang oleh para prajurit Pajang di elu2kan dengan sebutan Panembahan Senopati. Hal itu lantas di kokohkan oleh Sultan Hadiwijaya dengan selalu memanggil dengan kalimah kasih sayang (Ananda Senopati) 

Daftar Raja Pajang

Jaka Tingkir atau Hadiwijaya
Arya Pangiri atau Ngawantipura
Pangeran Benawa atau Prabuwijaya.
Pangeran Gagak Bening. 

Dimasa Gagak Bening Pajang bersekutu dengan Pati memberontak pada Mataram. Dan akhirnya di Bumi hangus kan sampai hanya tersisa reruntuhan yang bisa kita lihat sekarang ini.

 

Doa Nabi Sulaiman Menundukkan Hewan dan Jin

  Nabiyullah Sulaiman  'alaihissalam  (AS) merupakan Nabi dan Rasul pilihan Allah Ta'ala yang dikaruniai kerajaan yang tidak dimilik...