Sabtu, 30 Oktober 2021

Mensyukuri Nikmat Kemerdekaan


Banyak sekali nikmat yang Allah berikan, salah satu diantaranya Adalah nikmat kemerdekaan. Betapa dengan kemerdekaan kita bisa lebih maju, kita bisa melakukan apapun untuk peningkatan kualitas, sarana dan prasarana ibadah kita. Dengan modal kemerdekaan ini kita bisa menjunjung tinggi harkat kemanusiaan, dengan hakikat kemerdekaan juga kita bisa menjunjung tinggi pendidikan. Maka tanggal 17 agustus merupakan hari yang sangat bersejarah bagi bangsa Indonesia, pada hari tersebut segenap komponen bangsa merayakan kemenangan dan kemerdekaan setelah sekian ratus lamanya hidup dibawah bayang-bayang intimidasi dan kedzaliman para penjajah. Sangat wajar, jika kemenangan ini disambut dengan luapan kegembiraan yang gegap gempita, seraya mengumandangkan kalimat tahmid, memuji dan mensyukuri karunia Allah yang terbesar bagi bangsa ini.

Bagi umat Islam, anugerah kemerdekaan ini selayaknya dijadikan momentum untuk mengasah rasa syukur kita kepada Allah swt, momentum untuk membangun dan menghidupkan rasa syukur kita kepada Allah swt dengan tentunya mengkonsumsi dan mendayagunakan semua nikmat tersebtut kearah tujuan penciptaan manusia, sesuai dengan definisi syukur yang didefinisikan oleh para Ulama “ As Syukru huwa sorful abdijamii’a ma amanallaahu ilaa maa khuliqo liajrihi “ syukur merupakan segala bentuk aktivitas seorang hamba dalam rangka mendayagunakan semua nikmat yang Allah berikan kepadanya menuju tujuan manusia itu diciptakan yaitu beribadah kepada Allah swt “

Umat Islam, juga seluruh umat manusia lainnya, masing-masing memiliki hak untuk hidup yang wajar. Sebagai implementasi dari nilai-nilai utama tadi, mereka seyogianya mendapat keleluasaan dalam mencari ilmu, beribadah, mengekspresikan pikiran, berkarya, dan sejenisnya. Jaminan tersebut wajib ada selama dilaksanakan dalam kerangka kemasyarakatan yang bertanggung jawab. Apabila kebebasan tersebut dirampas secara zalim maka sangatlah wajar sebuah perlawanan dan pembelaan kemudian mengemuka.

أُذِنَ لِلَّذِينَ يُقَاتَلُونَ بِأَنَّهُمْ ظُلِمُوا وَإِنَّ اللَّهَ عَلَىٰ نَصْرِهِمْ لَقَدِيرٌ. الَّذِينَ أُخْرِجُوا مِنْ دِيَارِهِمْ بِغَيْرِ حَقٍّ إِلَّا أَنْ يَقُولُوا رَبُّنَا اللَّهُ

Artinya: “Telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, karena sesungguhnya mereka telah dianiaya. Dan sesungguhnya Allah, benar-benar Maha Kuasa menolong mereka itu. (Yang teraniaya itu adalah) orang-orang yang telah diusir dari kampung halaman mereka tanpa alasan yang benar, kecuali karena mereka berkata "Tuhan kami hanyalah Allah".

Jika kita perhatikan secara seksama, Surat Al-Hajj ayat 39-40 ini menegaskan bahwa tiap orang memiliki hak atas kampung halaman, rumah, tempat tinggal, tanah air yang dalam bahasa Al-Qur’an disebut diyârihim(berasal dari kata dâr, rumah). Sebab itu, tatkala mereka diusir atau dirampas hak-haknya, Allah memberi kewenangan mereka untuk membela diri. Mengapa demikian? Karena kampung halaman atau tanah air adalah tempat berpijak untuk melaksanakan kehidupan secara wajar dan aman sebagai manusia yang dimuliakan di buka bumi. Tanah air adalah tempat untuk mencari nafkah, makan, berkeluarga, menunaikan kewajiban agama, bermasyarakat, mengembangkan pendidikan, dan seterusnya.

Begitu pula yang diteladankan Rasulullah. Nabi Muhammad shallallâhu ‘alaihi wasallam bersama para sahabat berjuang keras melindungi hak-hak mereka. Mereka berperang bukan semata hanya untuk menyerang. Mereka berperang karena sedang diserang dan melawan kezaliman kaum Musyrik Quraisy yang merenggut kebebasan kaum Muslim dalam bertauhid dan hidup tanpa gangguan siapa pun. Artinya, umat Islam berperang justru karena tak menginginkan perang itu terjadi sama sekali di muka bumi.

Semangat serupa juga dikobarkan para ulama-ulama kita era pra-kemerdekaan Indonesia. Selama proses penjajahan Jepang dan Belanda, penduduk pribumi tak aman dan tak nyaman di tanah air sendiri. Mereka tersingkir dari kehidupan yang layak: susah belajar, susah makan, susah bekerja, dan susah beribadah. Berbagai kekejaman dan kezaliman inilah mendorong para ulama bersama umat Muslim, dan para pahlawan lain untuk mengusir kaum kolonial. Kalau kita pernah mendengar “Resolusi Jihad” maka itu adalah salah satu cerminan nyata dari semangat tersebut. Resolusi Jihad adalah deklarasi perang kemerdekaan sebagai “jihad suci” yang digelorakan para kiai di Indonesia pada 22 Oktober 1945 guna menghadang pasukan Inggris (NICA) yang hendak menjajah Indonesia. Berkat perjuangan yang gigih, gelora keislaman yang tinggi, serta riyadlah dan doa para ulama, serangan NICA dapat digagalkan dan bangsa Indonesia tetap merdeka hingga kini sejak Proklamasi Kemerdekaan pada 17 Agustus 1945.

Sebagian ulama tersebut bahkan tak hanya memimpin perlawanan, tapi juga aktif bergerilya, menyusun strategi, bahkan perang fisik secara langsung dengan pasukan musuh. Umat Islam sadar bahwa membela tanah air dari penindasan adalah bagian dari perjuangan Islam, yang nilai maslahatnya akan dirasakan oleh jutaan orang. Terlebih saat Resolusi Jihad dikumandangkan, Indonesia adalah negara yang baru dua bulan berdiri.

Para ulama dan cendekia Muslim sadar betul, bahwa sebagai makhluk sosial kehadiran negara merupakan sebuah keniscayaan, baik secara syar’i maupun ‘aqli, karena banyak ajaran syariat yang tak mungkin dilaksanakan tanpa kehadiran negara. Oleh karena itu, al-Imam Hujjatul Islam Abu Hamid al-Ghazali dalam Ihyâ’ ‘Ulûmid Dîn mengatakan:

المُلْكُ وَالدِّيْنُ تَوْأَمَانِ فَالدِّيْنُ أَصْلٌ وَالسُّلْطَانُ حَارِسٌ وَمَا لَا أَصْلَ لَهُ فَمَهْدُوْمٌ وَمَا لَا حَارِسَ لَهُ فَضَائِعٌ

“Kekuasaan (negara) dan agama merupakan dua saudara kembar. Agama adalah landasan, sedangkan kekuasaan adalah pemelihara. Sesuatu tanpa landasan akan roboh. Sedangkan sesuatu tanpa pemelihara akan lenyap.”

Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang kini kita diami adalah hasil kesepakatan bangsa (mu’ahadah wathaniyyah), dengan Pancasila sebagai dasar negara. Ia dibangun atas janji bersama, termasuk di dalamnya mayoritas umat Islam. Bahkan, sebagian perumus Pancasila adalah para tokoh dan ulama Muslim. Karena itu, sebagai penganut agama yang sangat menghormati janji, seluruh umat Islam wajib mentaati dasar tersebut, apalagi tak nilai-nilai di dalamnya selaras dengan substansi ajaran Islam. Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wasallam bersabda:

المُسْلِمُوْنَ عَلىَ شُرُوْطِهِمْ

Artinya: “Kaum Muslimin itu berdasar pada syarat-syarat (kesepakatan) mereka.” (HR Al-Baihaqi dari Abi Hurairah)

Indonesia memang bukan Negara Islam (dawlah Islamiyyah), akan tetapi sah menurut pandangan Islam. Demikian pula Pancasila sebagai dasar negara, walaupun bukan selevel syari’at/agama, namun ia tidak bertentangan, bahkan selaras dengan prinsip-prinsip Islam. Sebagai konsekuensi sahnya NKRI, maka segenap elemen bangsa wajib mempertahankan dan membela kedaulatannya. Pemerintah dan rakyat memiliki hak dan kewajibannya masing-masing. Kewajiban utama pemerintah ialah mewujudkan kemakmuran dan kesejahteraan rakyatnya secara berkeadilan dan berketuhanan. Sedangkan kewajiban rakyat ialah taat kepada pemimpin sepanjang tidak bertentangan dengan ajaran Islam.

Kita patut bersyukur bahwa negara kita, Indonesia, cukup aman dibanding sebagian negara di belahan lain dunia. Umat Islam di sini dapat menjalankan ibadah dan menuntut ilmu agama dengan tenang kendatipun berbeda-beda madzhab dan kelompok. Kita juga relatif bebas dari kekangan di Tanah Air dalam menjalankan hidup sehari-hari. Udara kemerdekaan ini adalah karunia besar dari Allahsubhanahu wata’ala. Jangan sampai kita baru merasakan kenikmatan luar biasa ini setelah rudal-rudal berjatuhan di sekeliling kita, tank-tank perang berseliweran, tempat ibadah hancur karena bom, atau konflik berdarah antara-saudara sesama bangsa.Na’ûdzubillâhi min dzâlik.

Mari kita syukuri kemerdekaan ini dengan hamdalah, sujud syukur, dan mengisinya dengan kegiatan-kegiatan positif. Kita mungkin tak lagi sedang berperang secara fisik sebagaimana ulama-ulama dan pahlawan kita terdahulu, tapi kita masih punya cukup banyak masalah kemiskinan, kebodohan, korupsi, kekerasan, narkoba, dan lain-lain yang juga wajib kita perangi.

Al-Hafiz Ibnu Asakir di dalam auto biografi Abur Rabi' Ad-Dimasyqi telah meriwayatkan dari Mak-hul, bahwaNabi Saw. pernah bersabda:

«يَقُولُ اللَّهُ تَعَالَى يَا ابْنَ آدَمَ قَدْ أَنْعَمْتُ عَلَيْكَ نِعَمًا عِظَامًا لَا تُحْصِي عَدَدَهَا وَلَا تُطِيقُ شُكْرَهَا، وَإِنَّ مِمَّا أَنْعَمْتُ عَلَيْكَ أَنْ جَعَلْتُ لَكَ عَيْنَيْنِ تَنْظُرُ بِهِمَا وَجَعَلْتُ لَهُمَا غِطَاءً، فَانْظُرْ بِعَيْنَيْكَ إِلَى مَا أَحْلَلْتُ لَكَ، وَإِنْ رَأَيْتَ مَا حَرَّمْتُ عَلَيْكَ فَأَطْبِقْ عَلَيْهِمَا غِطَاءَهُمَا، وَجَعَلْتُ لَكَ لِسَانًا وَجَعَلْتُ لَهُ غُلَافًا فَانْطِقْ بِمَا أَمَرْتُكَ وَأَحْلَلْتُ لك، فإن عرض عليك مَا حَرَّمْتُ عَلَيْكَ فَأَغْلِقْ عَلَيْكَ لِسَانَكَ. وَجَعَلْتُ لَكَ فَرْجًا وَجَعَلْتُ لَكَ سِتْرًا، فَأَصِبْ بِفَرْجِكَ ما أحللت لك، فإن عرض عليك ما حرمت عليك فأرخ عليك سترك، ابْنَ آدَمَ إِنَّكَ لَا تَحْمِلُ سُخْطِي وَلَا تطيق انتقامي»

Allah SWT. berfirman, "Hai anak Adam, Aku telah memberikan nikmat-nikmat yang besar kepadamu, yang tidak dapat kamu hitung bilangannya, dan kamu tidak akan mampu mensyukurinya. Dan sesungguhnya di antara nikmat yang Aku berikan kepadamu ialah Aku jadikan bagimu dua buah mata yang dengan keduanya kamu dapat melihat, dan Aku jadikan bagi keduanya kelopak. Maka gunakanlah keduanya untuk memandang apa yang telah Kuhalalkan bagimu, dan jika kamu melihat apa yang telah Kuharamkan bagimu, maka katupkanlah kedua kelopaknya. Dan Aku telah menjadikan bagimu lisan dan Kujadikan pula baginya penutupnya. Maka berbicaralah dengan apa yang telah Kuperintahkan kepadamu dan apa yang telah Kuhalalkan bagimu. Dan jika ditawarkan kepadamu apa yang telah Kuharamkan bagimu, maka tutuplah lisanmu (diamlah). Dan Aku telah menjadikan kemaluan bagimu, dan Aku telah menjadikan pula baginya penutup, maka gunakanlah kemaluanmu terhadap apa yang telah Kuhalalkan bagimu. Dan jika ditawarkan kepadamu apa yang telah Kuharamkan bagimu, maka turunkanlah penutupnya. Hai anak Adam, sesungguhnya Engkau tidak akan mampu menanggung murka-Ku dan tidak akan mampu menahan pembalasan (azab)-Ku.”

Firman Allah Swt:

{وَهَدَيْنَاهُ النَّجْدَيْنِ}

Dan Kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan. (Al-Balad: 10)

Yakni dua jalan. Sufyan As-Sauri telah meriwayatkan dari Asim, dari Zur, dari Abdullah ibnu Mas'ud sehubungan dengan makna firman-Nya: Dan Kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan. (Al-Balad: 10) Artinya kebaikan dan keburukan. Hal yang sama telah diriwayatkan dari Ali, Ibnu Abbas, Mujahid, Ikrimah, Abu Wa-il, Abu Saleh, Muhammad ibnu Ka'b, Ad-Dahhak, Ala Al-Khurrasani, dan lain-lainnya.

Abdullah ibnu Wahb mengatakan, telah menceritakan kepadaku Ibnu Lahi'ah, dari Yazid ibnu Abu Habib, dari Sinan ibnu Sa'd, dari Anas ibnu Malik yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:

«هُمَا نَجْدَانِ فَمَا جَعَلَ نَجْدَ الشَّرِّ أَحَبَّ إِلَيْكُمْ مِنْ نَجْدِ الْخَيْرِ»

Keduanya adalah dua jalan, lalu apakah yang menyebabkan jalan keburukan lebih disukai olehmu daripada jalan kebaikan?

Sinan Ibnu Sa'd meriwayatkan hadis ini secara tunggal, dan dikatakan pula bahwa dia adalah Sa'd ibnu Sinan, dinilai siqah oleh Ibnu Mu'in. Imam Ahmad, Imam Nasai, dan Al-Juzjani mengatakan bahwa hadisnya tidak dapat diterima. Imam Ahmad mengatakan bahwa ia meninggalkan hadisnya karena hadisnya idtirab. Dan dia telah meriwayatkan lima belas hadis yang semuanya berpredikat munkar. Imam Ahmad mengatakan bahwa ia tidak mengenal suatu hadis pun dari hadisnya yang menyerupai dengan hadis Al-Hasan Al-Basri dan tidak pula menyerupai hadis Anas ibnu Malik

Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadaku Ya'qub, telah menceritakan kepada kami Ibnu Aliyyah, dari Abu Raja yang mengatakan bahwa ia pernah mendengar Al-Hasan mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: Dan Kami telah menujukkan kepadanya dua jalan. (Al-Balad: 10) Telah diceritakan kepada kami bahwa Nabi Saw. pernah bersabda:

«يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّهُمَا النَّجْدَانِ نَجْدُ الْخَيْرِ وَنَجْدُ الشَّرِّ، فَمَا جَعَلَ نَجْدَ الشَّرِّ أَحَبَّ إِلَيْكُمْ مِنْ نَجْدِ الْخَيْرِ»

Hai manusia, sesungguhnya keduanya adalah dua jalan, yaitu jalan kebaikan dan jalan keburukan, maka apakah yang membuat jalan keburukan lebih disukai olehmu daripada jalan kebaikan?

Hal yang sama telah diriwayatkan oleh Habib ibnusy Syahid, Ma'mar, Yunus ibnu Ubaid dan Abu Wahb, dari Al-Hasan secara mursal. Hal yang sama telah diriwayatkan dari Qatadah secara mursal.

Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu lsam Al-Ansari, telah menceritakan kepada kami Abu Ahmad Az-Zubairi, telah menceritakan kepada kami Isa ibnu Affan, dari ayahnya, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan firman Allah Swt: Dan Kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan. (Al-Balad: 10) Yakni kedua Puting susu.

Telah diriwayatkan pula dari Ar-Rabi' ibnu Khaisam, Qatadah, dan Abu Hazim hal yang semisal. Ibnu Jarir meriwayatkannya dari Abu Kuraib, dari Waki, dari Isa ibnu Aqqal dengan sanad yang sama. Kemudian Ibnu Jarir mengatakan bahwa yang benar adalah pendapat yang pertama. Hal ini semakna dengan apa yang disebutkan oleh firman-Nya dalam ayat yang lain, yaitu:

إِنَّا خَلَقْنَا الْإِنْسانَ مِنْ نُطْفَةٍ أَمْشاجٍ نَبْتَلِيهِ فَجَعَلْناهُ سَمِيعاً بَصِيراً إِنَّا هَدَيْناهُ السَّبِيلَ إِمَّا شاكِراً وَإِمَّا كَفُوراً

Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari setetes air mani yang bercampur yang Kami hendak mengujinya (dengan perintah dan larangan), karena itu Kami jadikan dia mendengar dan melihat. Sesungguhnya Kami telah menunjukinya jalan yang lurus; ada yang bersyukur dan ada pula yang kafir. (Al-Insan: 2-3)

Firman-Nya

إِنَّا خَلَقْنَا الإنْسَانَ مِنْ نُطْفَةٍ أَمْشَاجٍ}

Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari setetes mani yang bercampur. (Al-Insan: 2)

Yakni yang bercampur baur. Al-masyju dan al-masyijartinya sesuatu yang sebagian darinya bercampur baur dengan sebagian yang lain.

Ibnu Abbas r.a. telah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: dari setetes mani yang bercampur. (Al-Insan: 2) Yaitu air mani laki-laki dan air mani perempuan apabila bertemu dan bercampur, kemudian tahap demi tahap berubah dari suatu keadaan kepada keadaan yang lain dan dari suatu bentuk ke bentuk yang lain.

Hal yang sama telah dikatakan oleh Ikrimah, Mujahid, Al-Hasan, dan Ar-Rabi' ibnu Anas, bahwa al-amsyajartinya bercampurnya air mani laki-laki dan air mani perempuan.

Firman Allah Swt:

{نَبْتَلِيهِ}

yang Kami hendak mengujinya. (Al-Insan: 2)

Maksudnya, Kami hendak mencobanya. Semakna dengan apa yang disebutkan dalam ayat lain melalui firman-Nya:

لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا

supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. (Al-Mulk: 2)

Adapun firman Allah Swt.:

{فَجَعَلْنَاهُ سَمِيعًا بَصِيرًا}

karena itu Kami jadikan dia mendengar dan melihat.(Al-Insan: 2)

Yakni Kami menjadikan untuknya pendengaran dan penglihatan sebagai sarana baginya untuk melakukan ketaatan atau kedurhakaan.

Firman Allah Swt.:

{إِنَّا هَدَيْنَاهُ السَّبِيلَ}

Sesungguhnya Kami telah menunjukinya jalan yang lurus. (Al-Insan: 3)

Yaitu Kami terangkan kepadanya, dan Kami jelaskan kepadanya dan Kami jadikan dia dapat melihatnya. Semakna dengan yang disebutkan dalam ayat lain melalui firman-Nya:

وَأَمَّا ثَمُودُ فَهَدَيْناهُمْ فَاسْتَحَبُّوا الْعَمى عَلَى الْهُدى

Dan adapun kaum Samud, maka mereka telah Kami beri petunjuk, tetapi mereka lebih menyukai buta (kesesatan) daripada petunjuk itu. (Fushshilat: 17)

Dan firman-Nya:

وَهَدَيْناهُ النَّجْدَيْنِ

Dan Kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan. (Al-Balad: 10)

Yakni Kami terangkan kepadanya jalan kebaikan dan jalan keburukan. Ini menurut pendapat Ikrimah, Atiyyah, Ibnu Zaid, dan Mujahid menurut riwayat yang terkenal darinya dan Jumhur ulama.

Dan menurut riwayat yang bersumber dari Mujahid, AbuSaleh, Ad-Dahhak,.dan As-Saddi, mereka mengatakan sehubungan dengan firman-Nya:Sesungguhnya Kami telah menunjukinya jalan yang lurus. (Al-Insan: 3) Yaitu keluarnya manusia dari rahim. Tetapi pendapat ini garib (aneh), dan menurut pendapat yang terkenal adalah yang pertama tadi.

Firman Allah Swt:

{إِمَّا شَاكِرًا وَإِمَّا كَفُورًا}

ada yang bersyukur dan adapula yang kafir. (Al-Insan: 3)

Kedua lafaz ini di-nasab-kan sebagai keterangan keadaan dari damir hu yang terdapat di dalam firman-Nya:

{إِنَّا هَدَيْنَاهُ السَّبِيلَ}

Sesungguhnya Kami telah menunjukinya jalan yang lurus. (Al-Insan: 3)

Bentuk lengkapnya ialah 'maka dia dalam hal ini ada yang celaka dan ada yang berbahagia', yakni celaka karena dia kafir dan bahagia karena dia bersyukur.

Hal yang semisal disebutkan dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, dari Abu Malik Al-Asy'ari yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:

«كل النَّاسِ يَغْدُو فَبَائِعٌ نَفْسَهُ فَمَوْبِقُهَا أَوْ مُعْتِقُهَا»

Semua orang akan pergi, maka apakah dia menjual dirinya yang berarti membinasakannya ataukah memerdekakannya?

قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ، حَدَّثَنَا مَعْمَر، عَنِ ابْنِ خُثَيم، عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ سَابِطٍ، عَنْ جَابِرُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ: أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لِكَعْبِ بْنِ عُجرَة: "أَعَاذَكَ اللَّهُ مِنْ إِمَارَةِ السُّفَهَاءِ". قَالَ: وَمَا إِمَارَةُ السُّفَهَاءِ؟ قَالَ: "أُمَرَاءٌ يَكُونُونَ مِنْ بَعْدِي، لَا يَهْتَدُونَ بِهُدَايَ، وَلَا يستَنّونَ بِسُنَّتِي، فَمَنْ صَدّقهم بِكَذِبِهِمْ وَأَعَانَهُمْ عَلَى ظُلْمِهِمْ، فَأُولَئِكَ لَيْسُوا مِنِّي وَلَسْتُ مِنْهُمْ، وَلَا يَردُون عَلَى حَوْضِي. وَمَنْ لَمْ يُصَدِّقْهُمْ بِكَذِبِهِمْ وَلَمْ يُعِنهم عَلَى ظُلْمِهِمْ، فَأُولَئِكَ مِنِّي وَأَنَا مِنْهُمْ، وَسَيَرِدُونَ عَلَى حَوْضِي. يَا كَعْبَ بْنَ عُجرَة، الصَّوْمُ جَنَّةٌ، وَالصَّدَقَةُ تُطْفِئُ الْخَطِيئَةَ، وَالصَّلَاةُ قُرْبَانٌ -أَوْ قَالَ: بُرْهَانٌ-يَا كعبَ بنَ عجرَة، إِنَّهُ لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ لَحْمٌ نَبَتَ مِنْ سُحْت، النَّارُ أَوْلَى بِهِ. يَا كَعْبُ، النَّاسُ غَاديان، فمبتاعُ نفسَه فَمُعْتِقُهَا، وَبَائِعٌ نَفْسَهُ فَمَوْبِقُهَا".

Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdur Razzaq, telah menceritakan kepada kami Ma'mar, dan Ibnu Khaisam, dari Abdur Rahman ibnu Sabit, dari Jabir ibnu Abdullah, bahwa Nabi Saw. bersabda kepada Ka'b ibnu Ujrah: Semoga Allah melindungimu dari kekuasaan orang-orang yang kurang akalnya. Ka'b ibnu Ujrah bertanya, "Apakah yang dimaksud dengan kekuasaan orang-orang yang kurang akalnya?" Rasulullah Saw. menjawab: (Yaitu) para penguasa yang berada sesudahku, mereka tidak memakai petunjuk dengan petunjukku, dan tidak memakai tuntunan dengan tuntunanku. Maka barang siapa yang membenarkan kedustaan mereka dan membantu perbuatan aniaya mereka, orang tersebut bukan termasuk golonganku, dan aku bukan termasuk golongan mereka, dan mereka tidak akan dapat mendatangi telagaku. Dan barang siapa yang tidak membenarkan kedustaan mereka dan tidak membantu perbuatan aniaya mereka, maka dia termasuk golonganku dan aku termasuk golongannya, dan mereka akan mendatangi telagaku. Hai Ka'b ibnu Ujrah, puasa adalah benteng, sedangkan sedekah dapat menghapuskan kesalahan (dosa), dan salat adalah amal pendekatan diri —atau bukti—. Hai Ka'b ibnu Ujrah, sesungguhnya tidak dapat masuk surga daging yang ditumbuhkan dari makanan yang haram, dan nerakalah yang lebih layak baginya. Hai Ka'b, manusia itu ada dua macam; maka ada yang membeli dirinya yang berarti memerdekakannya, dan ada yang menjual dirinya yang berarti membinasakannya.

Affan telah meriwayatkan hadis ini dari Wahib, dari Abdullah ibnu Usman ibnu Khaisam dengan sanad yang sama.

Dalam surat Ar-Rum telah disebutkan pada tafsir firman-Nya:

{فِطْرَةَ اللَّهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا}

(tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. (Ar-Rum: 30)

melalui riwayat Jabir ibnu Abdullah r.a. yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:

«كُلُّ مَوْلُودٍ يُولَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ حَتَّى يُعْرِبَ عَنْهُ لِسَانُهُ فَإِذَا أَعْرَبَ عَنْهُ لِسَانُهُ فَإِمَّا شَاكِرًا وَإِمَّا كَفُورًا»

Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah hingga lisannya dapat berbicara; adakalanya dia bersyukur dan adakalanya dia pengingkar.

قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا أَبُو عَامِرٍ، حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ جَعْفَرٍ، عَنْ عُثْمَانَ بْنِ مُحَمَّدٍ، عَنِ الْمَقْبُرِيِّ، عَنْ أَبِي هُرَيرة، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "مَا مِنْ خَارِجٍ يَخْرُجُ إِلَّا بِبَابِهِ رَايَتَانِ: رايةٌ بِيَدِ مَلَك، وَرَايَةٌ بِيَدِ شَيطان، فَإِنْ خَرَجَ لِمَا يُحِبّ اللهُ اتبعَه المَلَك بِرَايَتِهِ، فَلَمْ يَزَلْ تَحْتَ رَايَةِ الْمَلَكِ حَتَّى يَرْجِعَ إِلَى بَيْتِهِ. وَإِنْ خَرَجَ لِمَا يُسخط اللَّهَ اتَّبَعَهُ الشَّيْطَانُ بِرَايَتِهِ، فَلَمْ يَزَلْ تَحْتَ رَايَةِ الشَّيْطَانِ، حَتَّى يَرْجِعَ إِلَى بَيْتِهِ"

Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Amir, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Ja'far, dari Usman ibnu Muhammad, dari Al-Maqbari, dari Abu Hurairah r.a.,' dari Nabi Saw. yang telah bersabda: Tiada seorang pun yang keluar melainkan pada pintu rumahnya ada dua bendera; satu bendera di tangan malaikat dan satu bendera lainnya di tangan setan. Maka jika dia keluar untuk mengerjakan hal yang disukai oleh Allah, ia diikuti oleh malaikat dengan benderanya, dan ia terus-menerus berada di bawah bendera malaikat sampai pulang ke rumahnya. Dan jika ia keluar untuk melakukan hal yang dimurkai oleh Allah, setanlah yang mengikutinya dengan benderanya, dan ia terus-menerus berada di bawah bendera setan sampai pulang ke rumahnya.

Doa Nabi Sulaiman Menundukkan Hewan dan Jin

  Nabiyullah Sulaiman  'alaihissalam  (AS) merupakan Nabi dan Rasul pilihan Allah Ta'ala yang dikaruniai kerajaan yang tidak dimilik...