Nabi Muhammad SAW telah bersabda:
من كان يؤمن بالله واليوم الآخر فليقل خيرا أو ليصمت
“Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka hendaknya dia berkata yang baik atau diam.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Gosip (bahasa Arab, ghibah الغيبة; Jawa, ngerasani; Inggris, rumour)
adalah membicarakan perilaku orang lain yang umumnya terkait hal-hal
yang negatif. Saat ini ghibah menjadi sangat merajalela seiring dengan
banyaknya acara gosip di TV yang dikenal dengan jurnalisme
infotaintment. Infotainment umumnya memuat dan membahas gosip seputar
berita miring selebriti atau tokoh-tokoh nasional biasanya terkait
dengan pacaran, perselingkuhan, perceraian, operasi kecantikan, dan
hal-hal pribadi lainnya. Dalam kehidupan non-selebriti, yakni kehidupan
masyarakat, menggosip juga menjadi hal yang disukai terutama di kalangan
perempuan walaupun terjadi juga di kalangan kaum lelaki. Muslim ada
baiknya mengetahui hukum dari menggosip atau ghibah agar kita tidak
mudah terjatuh pada kebiasaan yang sudah dianggap lumrah.
DEFINISI GHIBAH (GOSIP)
Nabi menjelaskan definisi ghibah dalam sebuah hadits riwayat Muslim sebagai berikut:
أَتَدْرُونَ مَا الْغِيبَةُ قَالُوْا: اَللهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ، قَالَ:
ذِكْرُكَ أَخَاكَ بِمَا يَكْرَهُ، قِيلَ: أَفَرَأَيْتَ إِنْ كَانَ فِيْ
أَخِيْ مَا أَقُوْلُ؟ قَالَ: إِنْ كَانَ فِيهِ مَا تَقُولُ فَقَدْ
اغْتَبْتَهُ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِيهِ فَقَدْ بَهَتَّهُ
Tahukah kalian apa itu ghibah (menggunjing)?. Para sahabat menjawab :
Allah dan Rasul-Nya yang lebih tahu. Kemudian beliau bersabda : Ghibah
adalah engkau membicarakan tentang saudaramu sesuatu yang dia benci. Ada
yang bertanya. Wahai Rasulullah bagaimana kalau yang kami katakana itu
betul-betul ada pada dirinya?. Beliau menjawab : Jika yang kalian
katakan itu betul, berarti kalian telah berbuat ghibah. Dan jika apa
yang kalian katakan tidak betul, berarti kalian telah memfitnah
(mengucapkan suatu kedustaan).
Imam Nawawi mendefinisikan makna ghibah sebagaimana dikutip oleh Ibnu
Hajar Al-Asqalani dalam Fatbul Bari Syarah Bukhari hlm. 10/391 demikian:
وقال النووي في الاذكار تبعا للغزالي ذكر المرء بما يكرهه سواء كان ذلك في
بدن الشخص أو دينه أو دنياه أو نفسه أو خلقه أو خلقه أو ماله أو والده أو
ولده أو زوجه أو خادمه أو ثوبه أو حركته أو طلاقته أو عبوسته أو غير ذلك
مما يتعلق به سواء ذكرته باللفظ أو بالإشارة والرمز
Imam Nawawi berkata dalam kitab Al-Adzkar mengikuti pandangan Al-Ghazali
bahwa ghibah adalah menceritakan tentang seseorang dengan sesuatu yang
dibencinya baik badannya, agamanya, dirinya (fisik), perilakunya,
hartanya, orang tuanya, anaknya, istrinya, pembantunya, raut mukanya
yang berseri atau masam, atau hal lain yang berkaitan dengan penyebutan
seseorang baik dengan lafad (verbal), tanda, ataupun isyarat.
DALIL QURAN DAN HADITS TENTANG GHIBAH
Salah satu bentuk kemaksiatan yang banyak dilakukan oleh manusia adalah
gemar membicarakan kejelekan orang lain atau yang diistilahkan dengan
ghibah. Bahkan yang parahnya, terkadang apa yang mereka ghibahkan itu
tidak ada pada orang yang dighibahi. Padahal dalil-dalil yang
menerangkan tentang haramnya ghibah sangatlah tegas dan jelas, baik di
dalam Al Qur`anul Karim ataupun di dalam hadits-hadits nabawi.
Firman Allah ta’ala:
وَلَا يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْكُلَ
لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ
تَوَّابٌ رَحِيمٌ
“Janganlah kalian menggunjingkan satu sama lain. Apakah salah seorang
dari kalian suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka
tentulah kalian merasa jijik kepadanya. Bertaqwalah kalian kepada Allah.
Sesungguhnya Allah itu Tawwab (Maha Penerima taubat) lagi Rahim (Maha
Menyampaikan rahmat).” [QS Al Hujurat: 12]
Ibnu Abbas dalam menafsiri ayat di atas menyatakan:
(إنما ضرب الله هذا المثل للغيبه لأن أكل لحم الميت حرام مستقذر و كذا الغيبه حرام فى الدين و قبيح فى النفوس)
Allah membuat perumpamaan ini untuk ghibah karena memakan daging bangkai
itu haram dan menjijikkan. Begitu juga ghibah itu haram dalam agama dan
buruk dalam jiwa. (Lihat Tafsir Al-Qurtubi hlm 16/346).
Ibnu Katsir rahimahullah berkata di dalam tafsirnya: “Di dalamnya terdapat larangan dari perbuatan ghibah.”
As Sa’di rahimahullah berkata di dalam tafsirnya: “(Allah) menyerupakan
memakan daging (saudara)nya yang telah mati yang sangat dibenci oleh
diri dengan perbuatan ghibah terhadapnya. Maka sebagaimana kalian
membenci untuk memakan dagingnya, khususnya ketika dia telah mati tidak
bernyawa, maka begitupula hendaknya kalian membenci untuk menggibahnya
dan memakan dagingnya ketika dia hidup.”
Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda:
أتدرون ما الغيبة؟ قالوا: الله ورسوله أعلم. قال: ذكرك أخاك بما يكره. قيل:
أفرأيت إن كان في أخي ما أقول؟ قال: إن كان فيه ما تقول فقد اغتبته، وإن
لم يكن فيه فقد بهته
“Tahukah kalian apa itu ghibah?” Para sahabat menjawab: “Allah dan
rasul-Nya lebih mengetahuinya.” Nabi berkata: “Engkau membicarakan
saudaramu dengan sesuatu yang dia benci.” Ada yang bertanya: “Bagaimana
pendapat anda jika padanya ada apa saya bicarakan?” Beliau menjawab:
“Jika ada padanya apa yang engkau bicarakan maka engkau telah
mengghibahnya, dan jika tidak ada padanya apa yang engkau bicarakan maka
engkau berbuat buhtan terhadapnya.” [HR Muslim (2589)]
Hadits di atas menerangkan tentang definisi ghibah. Ghibah adalah
membicarakan kejelekan atau aib seorang muslim dengan tidak secara
langsung di hadapannya. Sedangkan buhtan adalah berkata dusta terhadap
seseorang di hadapannya mengenai sesuatu yang tidak pernah dia lakukan.
Hadits riwayat Ahmad dari Jabir bin Abdullah
كُنَّا مَعَ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- فَارْتَفَعَتْ رِيحُ جِيفَةٍ
مُنْتِنَةٍ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَتَدْرُونَ مَا
هَذِهِ الرِّيحُ هَذِهِ رِيحُ الَّذِينَ يَغْتَابُونَ الْمُؤْمِنِينَ
Artinya: Kami pernah bersama Nabi tiba-tiba tercium bau busuk yang tidak
mengenakan. Kemudian Rosulullohbersabda, ‘Tahukah kamu, bau apakah ini?
Ini adalah bau orang-orang yang mengghibah (menggosip) kaum mu’minin.
Dari Aisyah radhiallahu ‘anha,
حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ حَدَّثَنَا يَحْيَى عَنْ سُفْيَانَ قَالَ حَدَّثَنِي
عَلِيُّ بْنُ الْأَقْمَرِ عَنْ أَبِي حُذَيْفَةَ عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ
قُلْتُ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَسْبُكَ مِنْ
صَفِيَّةَ كَذَا وَكَذَا قَالَ غَيْرُ مُسَدَّدٍ تَعْنِي قَصِيرَةً فَقَالَ
لَقَدْ قُلْتِ كَلِمَةً لَوْ مُزِجَتْ بِمَاءِ الْبَحْرِ لَمَزَجَتْهُ
قَالَتْ وَحَكَيْتُ لَهُ إِنْسَانًا فَقَالَ مَا أُحِبُّ أَنِّي حَكَيْتُ
إِنْسَانًا وَأَنَّ لِي كَذَا وَكَذَا
Telah menceritakan kepada kami Musaddad berkata, telah menceritakan
kepada kami Yahya dari Sufyan ia berkata; telah menceritakan kepadaku
Ali Ibnul Aqmar dari Abu Hudzaifah dari 'Aisyah ia berkata; aku berkata
kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam
, "cukuplah Shafiah bagimu seperti ini dan seperti ini- maksudnya
pendek-." Beliau lalu bersabda: "Sungguh engkau telah mengatakan suatu
kalimat, sekiranya itu dicampur dengan air laut maka ia akan dapat
menjadikannya berubah tawar." 'Aisyah berkata, "Aku juga pernah
mencerikan orang lain kepada beliau, tetapi beliau balik berkata, "Aku
tidak menceritakan perihal orang lain meskipun aku beri begini dan
begini." HR Abu Dawud
Imam An Nawawi rahimahullah berkata: “Hadits ini merupakan larangan yang paling tegas dari perbuatan ghibah.”
Mengingat sudah sangat jelasnya ditegaskan tentang larangan ghibah atau
menggunjing atau menggosipkan orang lain, maka seorang mukmin seharusnya
menghindarkan diri dari membicarakan keburukan orang lain. Karena
sesungguhnya siksa yang dipersiapkan oleh Allah Subhanahu Wata’ala
terhadap siapa saja yang suka membicarakan keburukan orang lain
sangatlah keras dan pedih.
Mengenai siksa yang sangat keras dan pedih bagi para pengghibah atau
penggunjing atau penggosip disebutkan oleh Rasullulah shalalahu ‘alaih
wasallam dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud (no.4235 ) :
حَدَّثَنَا ابْنُ الْمُصَفَّى حَدَّثَنَا بَقِيَّةُ وَأَبُو الْمُغِيرَةِ
قَالَا حَدَّثَنَا صَفْوَانُ قَالَ حَدَّثَنِي رَاشِدُ بْنُ سَعْدٍ
وَعَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ جُبَيْرٍ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمَّا عُرِجَ
بِي مَرَرْتُ بِقَوْمٍ لَهُمْ أَظْفَارٌ مِنْ نُحَاسٍ يَخْمُشُونَ
وُجُوهَهُمْ وَصُدُورَهُمْ فَقُلْتُ مَنْ هَؤُلَاءِ يَا جِبْرِيلُ قَالَ
هَؤُلَاءِ الَّذِينَ يَأْكُلُونَ لُحُومَ النَّاسِ وَيَقَعُونَ فِي
أَعْرَاضِهِمْ
قَالَ أَبُو دَاوُد حَدَّثَنَاه يَحْيَى بْنُ عُثْمَانَ عَنْ بَقِيَّةَ
لَيْسَ فِيهِ أَنَسٌ حَدَّثَنَا عِيسَى بْنُ أَبِي عِيسَى
السَّيْلَحِينِيُّ عَنْ أَبِي الْمُغِيرَةِ كَمَا قَالَ ابْنُ الْمُصَ
Telah menceritakan kepada kami Ibnul Mushaffa berkata, telah
menceritakan kepada kami Baqiyyah dan Abul Mughirah keduanya berkata;
telah menceritakan kepada kami Shafwan ia berkata; telah menceritakan
kepadaku Rasyid bin Sa'd dan 'Abdurrahman bin Jubair dari Anas bin Malik
ia berkata, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
"Ketika aku dinaikkan ke langit (dimi'rajkan), aku melewati suatu kaum
yang kuku mereka terbuat dari tembaga, kuku itu mereka gunakan untuk
mencakar muka dan dada mereka. Aku lalu bertanya, "Wahai Jibril, siapa
mereka itu?" Jibril menjawab, "Mereka itu adalah orang-orang yang
memakan daging manusia (ghibah) dan merusak kehormatan mereka." Abu
Dawud berkata, " Yahya bin Utsman menceritakannya kepada kami dari
Baqiyyah, tetapi tidak disebutkan di dalamnya nama Anas. Telah
menceritakan kepada kami Isa bin Abu Isa As Sailahini dari Al Mughirah
sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnul Mushaffa. [HR Abu Daud (4878).
Hadits shahih.]
Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda:
بحسب امرئ من الشر أن يحقر أخاه المسلم. كل المسلم على المسلم حرام دمه وماله وعرضه
“Cukuplah kejelekan bagi seseorang dengan meremehkan saudara muslimnya.
Setiap muslim haram darahnya, hartanya, dan kehormatannya atas muslim
yang lain.” [HR Muslim (2564)]
Hadits di atas menerangkan larangan untuk menumpahkan darah, mengambil
harta, dan menodai kehormatan sesama muslim. Dan perbuatan ghibah adalah
salah satu bentuk pelecehan terhadap kehormatan seorang muslim yang
tidak dibenarkan di dalam Islam.
Dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu, Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda:
لما عرج بي، مررت بقوم لهم أظفار من نحاس يخمشون وجوههم وصدورهم. فقلت: من
هؤلاء يا جبريل؟ قال: هؤلاء الذين يأكلون لحوم الناس ويقعون في أعراضهم
“Ketika saya dimi’rajkan, saya melewati suatu kaum yang memiliki kuku
dari tembaga sedang mencakar wajah dan dada mereka. Saya bertanya:
“Siapakah mereka ini wahai Jibril?” Jibril menjawab: “Mereka adalah
orang-orang yang memakan daging manusia (ghibah) dan melecehkan
kehormatan mereka.” [HR Abu Daud (4878). Hadits shahih.]
Hadits ini menerangkan bentuk hukuman yang dialami oleh orang-orang yang
gemar membicarakan kejelekan dan menjatuhkan kehormatan orang lain.
عَنْ جَابِرٍ وَاَبِى سَعِيْدٍ قَالاَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّ اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : اِيَاكُمْ وَالْغِيْبَةَ فَاِنَّ الْغِيْبَةَ اَشَدُّ
مِنَ الزِّنَا قِيْلَ لَهُ كَيْفَ قَالَ اِنَّ الرَّجُلَ يَزْنِى
وَيَتُوبُ اللهُ عَلَيْهِ وَاِنَّ صَاحِبَ الغِيْبَةِ لاَيَغْفِرُ لَهُ
حَتَّى يَغْفِرَ لَهُ صَاحِبَهُ (اخرجه البيهقى والطبرنى وابوالشيخ وابن
ابى الدنيا)
“Dari Jabir dan Abu Sa'id mereka berkata, Rasulullah SAW pernah
bersabda: Jauhilah olehmu sifat ghibah karena ghibah itu lebih besar
dosanya dari pada zina. Ditanyakan kepada Rasul "bagaimana bisa?"
Rasulullah menjawab: seorang laki-laki berzina kemudian bertaubat Allah
akan mengampuni kepadanya dan orang yang mempunyai sifat ghibah Allah
tidak akan mengampuninya sehingga temannya mau mengampuninya. (HR
Baihaqi, Thabrani, Abu Syaikh, Abiddunya)
Jadi dosa ghibah tidak akan diampuni oleh Allah sebelum orang lain (kena
ghibah) mau mengampuninya. Dosa kepada Allah mudah untuk minta ampun.
Sedangkan dosa terhadap orang lain Allah belum mau mengampuni jika belum
meminta maaf kepada orang yang bersangkutan.
Dari shahabat Ibnu Umar radhiyallahu’anhu, bahwa beliau Shallallahu’
alaihi wasallam bersabda:
يَا مَعْشَرَ مَنْ آمَنَ بِلِسَانَهِ وَلَمْ يَفْضِ الإِيْمَانُ إِلَى
قَلْبِهِ لاَ تُؤْذُوا المُسْلِمِيْنَ وَلاَ تُعَيِّرُوا وَلاَ تَتَّبِعُوا
عَوْرَاتِهِمْ فَإِنَّهُ مَنْ يَتَّبِعْ عَوْرَةَ أَخِيْهِ الْمُسْلِمِ
تَتَّبَعَ اللهُ عَوْرَتَهُ وَمَنْ يَتَّبَعِ اللهُ يَفْضَحْهُ لَهُ وَلَو
في جَوْفِ رَحْلِهِ
“Wahai sekalian orang yang beriman dengan lisannya yang belum sampai ke
dalam hatinya, janganlah kalian mengganggu kaum muslimin, janganlah
kalian menjelek-jelekkannya, janganlah kalian mencari-cari aibnya.
Barang siapa yang mencari-cari aib saudaranya sesama muslim niscaya
Allah akan mencari aibnya. Barang siapa yang Allah mencari aibnya
niscaya Allah akan menyingkapnya walaupun di dalam rumahnya.” (H.R. At
Tirmidzi dan lainnya)
DALIL BOLEHNYA GHIBAH
- QS An Nisa 4:148
لا يُحِبُّ اللَّهُ الْجَهْرَ بِالسُّوءِ مِنَ الْقَوْلِ إِلا مَنْ ظُلِمَ وَكَانَ اللَّهُ سَمِيعًا عَلِيمًا
Allah tidak menyukai ucapan buruk, (yang diucapkan) dengan terus terang
kecuali oleh orang yang dianiaya. Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha
Mengetahui.
Dalam hadits dijelaskan oleh Rasulullah SAW mengenai beberapa keadaan di
mana seseorang dihalalkan untuk berdusta, berdasarkan hadits berikut:
عَنْ أَسْمَاءَ بِنْتِ يَزِيدَ قَالَتْ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، لاَ يَحِلُّ الْكَذِبُ إِلاَّ فِي ثَلاَثٍ
يُحَدِّثُ الرَّجُلُ امْرَأَتَهُ لِيُرْضِيَهَا وَالْكَذِبُ فِي الْحَرْبِ
وَالْكَذِبُ لِيُصْلِحَ بَيْنَ النَّاسِ (رواه الترمذى)
“Dari Asma’ binti Yazid RA, bahwa Rasulullah SAW bersabda: Dusta tidak
diperkenankan melainkan dalam tiga hal; seorang suami berbicara kepada
istrinya agar istrinya (lebih mencintainya), dusta dalam peperangan dan
dusta untuk mendamaikan di antara manusia (yang sedang bertikai)” (HR.
Turmudzi)
Hadits riwayat Muslim
حَقُّ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ سِتٌّ قِيلَ مَا هُنَّ يَا رَسُولَ
اللَّهِ قَالَ إِذَا لَقِيتَهُ فَسَلِّمْ عَلَيْهِ وَإِذَا دَعَاكَ
فَأَجِبْهُ وَإِذَا اسْتَنْصَحَكَ فَانْصَحْ لَهُ وَإِذَا عَطَسَ فَحَمِدَ
اللَّهَ فَسَمِّتْهُ وَإِذَا مَرِضَ فَعُدْهُ وَإِذَا مَاتَ فَاتَّبِعْهُ.
Hadits riwayat Ibnu Hibban dan Baihaqi
اذكروا الفاسق بما فيه، يحذره الناس
Ceritakan tentang pendosa apa adanya supaya orang lain menjadi takut.
Hadits riwayat Muslim
كل أمتي معافى إلا المجاهرون
Setiap umatku akan dimaafkan kecuali para mujahir.
Mujahir adalah orang-orang yang menampakkan perilaku dosanya untuk diketahui umum
Hadits riwayat Baihaqi
من ألقى جلباب الحياء فلا غيبة له
Barangsiapa yang tidak punya rasa malu (untuk berbuat dosa), maka tidak ada ghibah (yang dilarang) baginya.
Dari Fathimah binti Qais radhiyallahu ‘anha, beliau berkata: Aku
mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian aku katakan:
إَنَّ أَبَا جَهْمٍ و مُعَاوِيَةَ خَطَبَانِي فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَّا وَأَمَّا مُعَاوِيَةُ
فَصُعْلُوكٌ لَا مَالَ لَهُ أَبُو جَهْمٍ فَلَا يَضَعُ عَصَاهُ عَنْ
عَاتِقِهِ (متفق عليه). وفى رواية لمسلم: “وَأَمَّا أَبُو جَهْمٍ فَرَجُلٌ
ضَرَّابٌ لِلنِّسَاءِ” وهو تفسير لرواية: ” فَلَا يَضَعُ عَصَاهُ عَنْ
عَاتِقِهِ”. وقيل معناه كثير الأسفار
“Sesungguhnya Abul Jahm dan Mu’awiyah telah melamarku maka bagaimana?”
Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Adapun
Mu’awiyah, dia itu miskin tidak berharta. Sedangkan Abul Jahm adalah
orang yang tidak pernah meletakkan tongkat dari pundaknya.” (Muttafaq
‘alaih). Dalam riwayat Muslim diriwayatkan, “Adapun Abul Jahm adalah
lelaki yang sering memukuli isteri.” Ini merupakan penafsiran dari
ungkapan, “tidak pernah meletakkan tongkat dari pundaknya.” Dan ada pula
yang mengatakan bahwa maksud ungkapan itu adalah: orang yang banyak
bepergian.
Dari Zaid bin Arqam radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata:
خرجنا مع رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم في سفر أصاب
الناس فيه شدة فقال عبد اللَّه بن أبي: لا تنفقوا على من عند رَسُول
اللَّهِ حتى ينفضوا، وقال: لئن رجعنا إلى المدينة ليخرجن الأعز منها الأذل،
فأتيت رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم فأخبرته بذلك،
فأرسل إلى عبد اللَّه بن أبي فاجتهد يمينه ما فعل، فقالوا: كذب زيد رَسُول
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم، فوقع في نفسي مما قالوه شدة حتى
أنزل اللَّه تعالى تصديقي (إذا جاءك المنافقون) المنافقين 1 (ثم دعاهم
النبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم ليستغفر لهم فلووا رؤوسهم
(مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ)
Kami pernah berangkat bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
menempuh suatu perjalanan. Pada saat itu orang-orang mengalami kondisi
yang menyulitkan, maka Abdullah bin Ubay berkata: “Janganlah kalian
berinfak membantu orang-orang yang ada di sisi Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam sampai mereka mau bubar.” Dia juga mengatakan,
“Seandainya kita pulang ke Madinah, maka orang-orang yang kuat akan
mengusir yang lemah.” Maka aku pun menemui Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam dan kukabarkan hal itu kepada beliau. Kemudian beliau
pun mengutus orang untuk menanyakan hal itu kepada Abdullah bin Ubay.
Maka dia justru berani bersumpah dengan serius kalau dia tidak pernah
mengatakannya, maka mereka pun mengatakan, “Zaid telah berdusta kepada
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.” Maka ucapan mereka itu
membuatku diriku susah dan tersakiti sampai akhirnya Allah menurunkan
firman-Nya untuk membuktikan kejujuranku, “Apabila orang-orang munafiq
datang kepadamu.” (QS. Al-Munafiquun: 1) Kemudian Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam memanggil mereka supaya meminta beliau berdoa
memintakan ampun bagi mereka akan tetapi mereka justru memalingkan
kepala-kepala mereka. (Muttaafaq ‘alaih)
HUKUM GOSIP (GHIBAH) ADA TIGA: HARAM, WAJIB, BOLEH
Dari sejumlah dalil Quran dan hadits di atas, maka ulama mengambil
kesimpulan bahwa hukum ghibah atau gosip itu terbagi tiga yaitu haram,
wajib dan halal (boleh).
HARAM
Hukum asal gosip adalah haram. Gosip yang haram adalah ketika anda
membicarakan aib sesama muslim yang dirahasiakan. Baik aib itu terkait
dengan bentuk fisik atau perilaku; terkait dengan agama atau duniawi.
Hukum haram ini tersurat secara tegas dalam Al-Quran, hadits seperti
disebut di atas dan ijmak ulama sebagaimana disebutkan oleh Al-Qurtubi
dalam Tafsir Al-Qurtubi 16/436. Yang menjadi perselisihan ulama hanyalah
apakah gosip termasuk dosa besar atau kecil. Mayoritas ulama
menganggapnya sebagai dosa besar. Menurut Ibnu Hajar Al-Haitami ghibah
dan namimah (adu domba) termasuk dosa besar.
Imam Nawawi dalam kitab Al-Adzkar berkata: Ghibah itu haram tidak hanya
bagi pembawa gosip tapi juga bagi pendengar yang mendengar dan mengakui.
Maka wajib bagi siapa saja yang mendengar orang memulai berghibah untuk
berusaha menghentikannya apabila ia tidak kuatir pada potensi ancaman.
Apabila takut maka ia wajib mengingkari dengan hatinya dan keluar dari
majelis pertemuan kalau memungkinkan. Apabila mampu mengingkari dengan
lisan atau dengan mengalihkan pembicaraan maka hal itu wajib dilakukan.
Apabila tidak dilakukan, maka ia berdosa.
WAJIB
Ghibah atau membicarakan / menyebut aib orang lain adakalanya wajib. Hal
itu terjadi dalam situasi di mana ia dapat menyelamatkan seseorang dari
bencana atau potensi terjadinya sesuatu yang kurang baik. Misalnya, ada
seorang pria atau wanita yang ingin menikah. Dia meminta nasihat
tentang calon pasangannya. Maka, si pemberi nasihat wajib memberi tahu
keburukan atau aib calon pasangannya sesuai dengan fakta yang diketahui
pemberi nasihat. Atau seperti si A memberitahu pada si B bahwa si C
berencana untuk mencuri hartanya atau membunuhnya atau mencelakakan
istrinya, dlsb. Ini termasuk dalam kategori memberi nasihat. Dan
hukumnya wajib seperti disebut dalam hadits di atas tentang 6 hak muslim
atas muslim yang lain.
BOLEH
Imam Nawawi dalam Riyadus Shalihin 2/182 membagi gosip atau ghibah yang dibolehkan menjadi enam sebagai berikut:
الأول: التظلم، فيجوز للمظلوم أن يتظلم إلى السلطان والقاضي وغيرهما مما له
ولاية أو قدرة على إنصافه من ظالمه، فيقول: ظلمني فلان كذا.
الثاني: الاستعانة على تغيير المنكر ورد المعاصي إلى الصواب، فيقول لمن يرجو قدرته على إزالة المنكر: فلان يعمل كذا، فازجره عنه.
الثالث: الاستفتاء، فيقول: للمفتي: ظلمني أبي، أو أخي، أو زوجي، أو فلان بكذا.
الرابع: تحذير المسلمين من الشر ونصيحتهم.
الخامس: أن يكون مجاهرًا بفسقه أو بدعته، كالمجاهر بشرب الخمر ومصادرة الناس وأخذ المكس وغيرها.
لسادس: التعريف، فإذا كان الإنسان معروفًا بلقب الأعمش، والأعرج والأصم، والأعمى والأحول، وغيرهم جاز تعريفهم بذلك.
Pertama, At-Tazhallum. Orang yang terzalimi boleh menyebutkan kezaliman
seseorang terhadap dirinya. Tentunya hanya bersifat pengaduan kepada
orang yang memiliki qudrah (kapasitas) untuk melenyapkan kezaliman.
Kedua, isti’ānah (meminta pertolongan) untuk merubah atau menghilangkan
kemunkaran. Seperti mengatakan kepada orang yang diharapkan mampu
menghilangkan kemungkaran: "Fulan telah berbuat begini (perbuatan
buruk). Cegahlah dia."
Ketiga, Al-Istifta' atau meminta fatwa dan nasihat seperti perkataan
peminta nasihat kepada mufti (pemberi fatwa): "Saya dizalimi oleh ayah
atau saudara, atau suami."
Keempat, at-tahdzīr lil muslimīn (memperingatkan orang-orang Islam) dari perbuatan buruk dan memberi nasihat pada mereka.
Kelima, orang yang menampakkan kefasikan dan perilaku maksiatnya.
Seperti menampakkan diri saat minum miras (narkoba), berpacaran di depan
umum, dll.
Keenam, memberi julukan tertentu pada seseorang. Apabila seseorang dikenal dengan julukan.
Kategori dan bolehnya ghibah untuk enam kasus di atas disetujui oleh
Imam Qurtubi dan dianggap pendapat yang ijmak. Dalam Tafsir Al-Qurtubi
16/339 iya menyatakan
وكذلك قولك للقاضي تستعين به على أخذ حقك ممن ظلمك فتقول فلان ظلمني أو
غصبني أو خانني أو ضربني أو قذفني أو أساء إلي، ليس بغيبة. وعلماء الأمة
على ذلك مجمعة
Artinya: Begitu juga ucapan anda pada hakim meminta tolong untuk
mengambil hak anda yang diambil orang yang menzalimi lalu anda berkata
pada hakim: Saya dizalimi atau dikhianati atau dighasab olehnya maka hal
itu bukan ghibah. Ulama sepakat atas hal ini.
As-Shan'ani dalam Subulus Salam 4/188 menyatakan
والأكثر يقولون بأنه يجوز أن يقال للفاسق : يا فاسق , ويا مفسد , وكذا في
غيبته بشرط قصد النصيحة له أو لغيره لبيان حاله أو للزجر عن صنيعه لا لقصد
الوقيعة فيه فلا بد من قصد صحيح
Kebanyakan ulama berpendapat bahwa boleh memanggil orang fasik (pendosa)
dengan sebutan Wahai Orang Fasiq!, Hai Orang Rusak! Begitu juga boleh
meggosipi mereka dengan syarat untuk bermaksud menasihatinya atau
menasihati lainnya untuk menjelaskan perilaku si fasiq atau untuk
mencegah agar tidak melakukannya. Bukan dengan tujuan terjatuh ke
dalamnya. Maka (semua itu) harus timbul dari maksud yang baik.
Takhtimah
Kita yakin bahwa setiap insan pasti pernah terjerumus dalam perbuatan
maksiat. Dan kemaksiatan yang paling mudah menjerumuskan setiap insan
adalah maksiat mata dan maksiat lisan. Dan di antara kemaksiatan lisan
adalah dusta dan ghibah. Padahal kedua kemaksiatan ini (ghibah dan
dusta) adalah termasuk dalam kategori dosa-dosa besar. Dusta, adalah
dosa besar yang paling besar, yang disejajarkan dengan syirik dan
durhaka pada orang tua. Sementara ghibah Allah umpamakan seperti memakan
bangkai saudara kita sendiri yang telah mati. Atau seperti orang yang
melakukan riba yang paling berat dan berbahaya. Jadi betapa besarnya
dosa kita jika setiap hari kita ‘mengkonsumsi’ dusta dan ghibah?
Oleh karena itulah, hendaknya kita memperbaharui taubat kita kepada
Allah SWT serta berjanji untuk tidak terjerumus kembali pada ghibah
& dusta, semampu kita. Apalagi jika kita merenungi bahwa salah satu
sifat mukmin adalah sebagaimana yang digambarkan dalam hadits berikut:
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا عَنْ
النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الْمُسْلِمُ مَنْ
سَلِمَ الْمُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ وَالْمُهَاجِرُ مَنْ هَجَرَ
مَا نَهَى اللَّهُ عَنْهُ (رواه البخاري)
Dari Abdullah bin Amru RA, Rasulullah SAW bersabda, ‘Seorang muslim
adalah seseorang yang menjadikan muslim lainnya selamat (terjaga) dari
lisan dan tangannya. Sedangkan muhajir adalah orang yang meninggalkan
sesuatu yang dilarang Allah SWT. (HR. Bukhari).
Diantara wujud kesempurnaan agama Islam sebagai rahmatal lil’alamin,
adalah Islam benar-benar agama yang dapat menjaga, memelihara dan
menjunjung tinggi kehormatan, harga diri, harkat dan martabat manusia
secara adil dan sempurna. Kehormatan dan harga diri merupakan perkara
yang prinsipil bagi setiap manusia.
Setiap orang pasti berusaha untuk menjaga dan mengangkat harkat dan
martabatnya. Ia tidak rela untuk disingkap aib-aibnya atau pun
dibeberkan kejelekannya. Karena hal ini dapat menjatuhkan dan merusak
harkat dan martabatnya di hadapan orang lain.
Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda:
كُلُّ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِم حَرَامٌ دَمُهُ وَ عِرْضُهُ وَ مَالُهُ
“Setiap muslim terhadap muslim lainnya diharamakan darahnya, kehormatannya, dan juga hartanya.” (H.R Muslim no. 2564)
Hadits di atas menjelaskan tentang eratnya hubungan persaudaraan dan
kasih sayang sesama muslim. Bahwa setiap muslim diharamkan menumpahkan
darah (membunuh) dan merampas harta saudaranya seiman. Demikian pula
setiap muslim diharamkan melakukan perbuatan yang dapat menjatuhkan,
meremehkan, atau pun merusak kehormatan saudaranya seiman. Karena tidak
ada seorang pun yang sempurna dan ma’shum (terjaga dari kesalahan)
kecuali para Nabi dan Rasul. Sebaliknya selain para Nabi dan Rasul
termasuk kita tidak lepas dari kekurangan dan kelemahan.
Suatu fenomena yang lumrah terjadi di masyarakat kita dan cenderung
disepelekan, padahal akibatnya cukup besar dan membahayakan, yaitu
ghibah (menggunjing). Karena dengan perbuatan ini akan tersingkap dan
tersebar aib seseorang, yang akan menjatuhkan dan merusak harkat dan
martabatnya.
Ghibah adalah menyebutkan, membuka, dan membongkar aib saudaranya
dengan maksud jelek. Karena perbuatan ghibah ini berkaitan erat dengan
lisan yang mudah bergerak dan berbicara, maka hendaknya kita selalu
memperhatikan apa yang kita ucapkan. Karena ghibah erat kaitannya
dengan perbuatan lisan, sehingga sering terjadi dalam masyarakat dan
terkadang di luar kesadaran. Apakah ini mengandung ghibah atau bukan,
jangan sampai tak terasa telah terjatuh dalam perbuatan ghibah. Bila
kita bisa menjaga tangan dan lisan dari mengganggu atau menyakiti orang
lain, insyaallah kita akan menjadi muslim sejati dalam kehidupan
bermasyarakat.
Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda:
المُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُوْنَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ
“Seorang muslim sejati adalah bila kaum muslimin merasa selamat dari gangguan lisan dan tangannya.” (H.R. Muslim).