Jumat, 27 November 2020

Penjelasan Tentang Mengsyukuri Nikmat


Mampukah kita menghitung nikmat-nikmat Allah Ta’ala yang telah kita dapat hingga saat ini? Tentulah, TIDAK! Menghitung jumlah nikmat dalam sedetik saja kita tidak mampu, terlebih sehari bahkan selama hidup kita di dunia ini. Tidur, bernafas, makan, minum, bisa berjalan, melihat, mendengar, dan berbicara, semua itu adalah nikmat dari Allah Ta’ala, bahkan bersin pun adalah sebuah nikmat. Jika dirupiahkan sudah berapa rupiah nikmat Allah itu? Mampukah kalkulator menghitungnya? Tentulah, TIDAK! Sudah berapa oksigen yang kita hirup? Berapa kali mata kita bisa melihat atau sekedar berkedip? Sampai kapan pun kita tidak akan bisa menghitungnya. Sebagaiman Allah Ta’ala berfirman,

وَإِنْ تَعُدُّوا نِعْمَةَ اللَّهِ لَا تُحْصُوهَا إِنَّ اللَّهَ لَغَفُورٌ رَحِيمٌ

“Dan jika kamu menghitung-hitung nikmat Allah, niscaya kamu tak dapat menentukan jumlahnya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Qs. An Nahl: 18)

Dua Nikmat Yang Sering Terlupakan; Nikmat Sehat Dan Waktu Luang

Hendaklah kita selalu mengingat-ingat kenikmatan Allah yang berupa kesehatan, kemudian bersyukur kepada-Nya, dengan memanfaatkannya untuk ketaatan kepada-Nya. Jangan sampai menjadi orang yang rugi, sebagaimana hadits berikut,

عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نِعْمَتَانِ مَغْبُونٌ فِيهِمَا كَثِيرٌ مِنْ النَّاسِ الصِّحَّةُ وَالْفَرَاغُ

Dari Ibnu Abbas, dia berkata: Nabi shallallahu’alaihi wasallam bersabda: “Dua kenikmatan, kebanyakan manusia tertipu pada keduanya, (yaitu) kesehatan dan waktu luang”. (HR Bukhari, no. 5933)

Al Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah menjelaskan: “Kenikmatan adalah keadaan yang baik. Ada yang mengatakan, kenikmatan adalah manfaat yang dilakukan dengan bentuk melakukan kebaikan untuk orang lain”. (Fathul Bari Syarh Shahih Bukhari, penjelasan hadits no. 5933)

Ibnu Baththaal rahimahullah mengatakan: “Makna hadits ini, bahwa seseorang tidaklah menjadi orang yang longgar (punya waktu luang) sehingga dia tercukupi (kebutuhannya) dan sehat badannya. Barangsiapa dua perkara itu ada padanya, maka hendaklah dia berusaha agar tidak tertipu, yaitu meninggalkan syukur kepada Allah terhadap nikmat yang telah Allah berikan kepadanya. Dan termasuk syukur kepada Allah adalah melaksanakan perintah-perintah-Nya dan menjauhi larangan-larangan-Nya. Barangsiapa melalaikan hal itu, maka dia adalah orang yang tertipu”. (Fathul Bari)

Kemudian sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas “kebanyakan manusia tertipu pada keduanya” ini mengisyaratkan, bahwa orang yang mendapatkan taufiq (bimbingan) untuk itu, hanyalah sedikit.

Ibnul Jauzi rahimahullah menjelaskan: “Kadang-kadang manusia itu sehat, tetapi dia tidak longgar, karena kesibukannya dengan mencari penghidupan. Dan kadang-kadang manusia itu cukup (kebutuhannya), tetapi dia tidak sehat. Maka jika keduanya terkumpul, lalu dia dikalahkan oleh kemalasan melakukan kataatan, maka dia adalah orang yang tertipu. Kesempurnaan itu adalah bahwa dunia merupakan ladang akhirat, di dunia ini terdapat perdagangan yang keuntungannya akan nampak di akhirat. Barangsiapa menggunakan waktu luangnya dan kesehatannya untuk ketaatan kepada Allah, maka dia adalah orang yang pantas diirikan. Dan barangsiapa menggunakan keduanya di dalam maksiat kepada Allah, maka dia adalah orang yang tertipu. Karena waktu luang akan diikuti oleh kesibukan, dan kesehatan akan diikuti oleh sakit, jika tidak terjadi, maka itu (berarti) masa tua (pikun).

Maka sepantasnya hamba yang berakal bersegera beramal shalih sebelum kedatangan perkara-perkara yang menghalanginya. Imam Al Hakim meriwayatkan dari Abdullah bin Abbas, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda menasihati seorang laki-laki:

اِغْتَنِمْ خَمْسًا قَبْلَ خَمْسٍ , شَبَابَكَ قَبْلَ هَرَمِكَ , وَصِحَّتِكَ قَبْلَ سَقْمِكَ , وَغِنَاكَ قَبْلَ فَقْرِكَ , وَفَرَاغَكَ قَبْلَ شُغْلِكَ , وَحَيَاتَكَ قَبْلَ مَوْتِكَ

”Ambillah kesempatan lima (keadaan) sebelum lima (keadaan). (Yaitu) mudamu sebelum pikunmu, kesehatanmu sebelum sakitmu, cukupmu sebelum fakirmu, longgarmu sebelum sibukmu, kehidupanmu sebelum matimu.” (HR. Al Hakim)

Mengapa Kita Harus Bersyukur?

Karena semua nikmat itu berasal dari Allah Ta’ala

Allah Ta’ala berfirman,

وَمَا بِكُمْ مِنْ نِعْمَةٍ فَمِنَ اللَّهِ

“Dan apa saja nikmat yang ada pada kamu, maka dari Allah-lah (datangnya)”.(Qs. An Nahl: 53)

فَكُلُوا مِمَّا رَزَقَكُمُ اللَّهُ حَلَالًا طَيِّبًا وَاشْكُرُوا نِعْمَتَ اللَّهِ إِنْ كُنْتُمْ إِيَّاهُ تَعْبُدُونَ

“Maka makanlah yang halal lagi baik dari rizki yang telah diberikan Allah kepadamu; dan syukurilah nikmat Allah, jika kamu hanya kepada-Nya saja menyembah.”  (Qs. An Nahl: 114).

Dari ‘Aisyah Radhiallahu 'Anha ia berkata:‎

أَنَّ نَبِيَّ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَقُومُ مِنَ اللَّيْلِ حَتَّى تَتَفَطَّرَ قَدَمَاهُ، فَقَالَتْ عَائِشَةُ: لِمَ تَصْنَعُ هَذَا يَا رَسُولَ اللهِ، وَقَدْ غَفَرَ اللهُ لَكَ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِكَ وَمَا تَأَخَّرَ؟ قَالَ: أَفَلاَ أُحِبُّ أَنْ أَكُونَ عَبْدًا شَكُورًا؟
 
“Nabi SAW bangun di malam hari sampai pecah-pecah kedua kaki beliau lalu ‘Aisyah berkata: ‘Ya Rasulullah, kenapa engkau melakukan yang demikian, padahal Allah telah mengampuni dosamu yang telah lewat dan akan datang?’ Beliau menjawab: ‘Apakah aku tidak suka menjadi hamba yang bersyukur?’.” (HR. Al-Bukhari no. 4660 dari Aisyah Radhiallahu 'Anha)
Bersyukur merupakan perintah Allah Ta’ala

فَاذْكُرُونِي أَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوا لِي وَلَا تَكْفُرُونِ

“Ingatlah kepada-Ku, Aku juga akan ingat kepada kalian. Dan bersyukurlah kepada-Ku, janganlah kalian kufur.” (Qs. Al Baqarah: 152)

Pada ayat tersebut Allah memerintahkannya secara khusus, kemudian sesudahnya Allah memerintahkan untuk bersyukur secara umum. Allah berfirman yang artinya, “Maka bersyukurlah kepada-Ku.”

Yaitu bersyukurlah kalian atas nikmat-nikmat ini yang telah Aku karuniakan kepada kalian dan atas berbagai macam bencana yang telah Aku singkirkan sehingga tidak menimpa kalian.

Selain sebagai ungkapan terima kasih, mengingat Allah juga merupakan salah satu bentuk syukur kepada-Nya. Hal ini sesuai dengan salah satu hadits qudsi yang berbunyi:

قَا اللهُ تَعَالىَ : يَاابْنَ اَدَمَ, اِنَّكَ مَاذَكَرْتَنِى شَكَرْتَنِى, وَاِذَامَانَسِيْتَنِى كَفَرْتَنِى (رواه الطبرانى عن ابى هريرة)
 
“Allah berfirman dalam hadits qudsi-Nya: “wahai anak Adam, bahwa selama engkau mengingat Aku, berarti engkau mensyukuri Aku, dan apabila engkau melupakan Aku, berarti engkau telah mendurhakai Aku!”. (H.R Thabrani)

Disebutkannya perintah untuk bersyukur setelah penyebutan berbagai macam nikmat diniyah yang berupa ilmu, penyucian akhlak, dan taufik untuk beramal, maka itu menjelaskan bahwa sesungguhnya nikmat diniyah adalah nikmat yang paling agung. Bahkan, itulah nikmat yang sesungguhnya. Apabila nikmat yang lain lenyap, nikmat tersebut masih tetap ada.

Hendaknya setiap orang yang telah mendapatkan taufik (dari Allah) untuk berilmu atau beramal senantiasa bersyukur kepada Allah atas nikmat tersebut. Hal itu supaya Allah menambahkan karunia-Nya kepada mereka. Dan juga, supaya lenyap perasaan ujub (kagum diri) dari diri mereka. Dengan demikian, mereka akan terus disibukkan dengan bersyukur.

Jika tidak bersyukur, berarti ia telah kufur

“Karena lawan dari syukur adalah ingkar/kufur, Allah pun melarang melakukannya. Allah berfirman (yang artinya), “Dan janganlah kalian kufur”. Yang dimaksud dengan kata ‘kufur’ di sini adalah yang menjadi lawan dari kata syukur. Maka, itu berarti kufur di sini bermakna tindakan mengingkari nikmat dan menentangnya, tidak menggunakannya dengan baik. Dan bisa jadi maknanya lebih luas daripada itu, sehingga ia mencakup banyak bentuk pengingkaran. Pengingkaran yang paling besar adalah kekafiran kepada Allah, kemudian diikuti oleh berbagai macam perbuatan kemaksiatan yang beraneka ragam jenisnya dari yang berupa kemusyrikan sampai yang ada di bawah-bawahnya.” (Taisir Karimir Rahman, hal. 74)

Penopang Tegaknya Agama

Al ‘Allamah Ibnul Qayyim Al-Jauziyah rahimahullah mengatakan di dalam sebuah kitabnya yaitu Al Fawa’id,  “Bangunan agama ini ditopang oleh dua kaidah: Dzikir dan syukur. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Ingatlah kepada-Ku, Aku juga akan ingat kepada kalian. Dan bersyukurlah kepada-Ku, janganlah kalian kufur.” (Qs. Al Baqarah: 152).”

Ketika bersyukur kepada Allah, maka Allah akan tambahkan nikmat itu menjadi semakin banyak

وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِنْ شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ وَلَئِنْ كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ

“Dan (ingatlah juga), tatkala Rabbmu memaklumkan; “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih” (Qs. Ibrahim: 7).

Semua nikmat yang diperoleh, kelak akan dimintai pertanggungjawaban

AllahTa’ala berfirman,

ثُمَّ لَتُسْأَلُنَّ يَوْمَئِذٍ عَنِ النَّعِيمِ

“Kemudian kamu pasti akan ditanyai pada hari itu tentang kenikmatan (yang kamu megah-megahkan di dunia itu)” (Qs. At Takatsur: 8).

Syaikh As Sa’di rahimahullah menerangkan, nikmat yang telah kalian peroleh di dunia, apakah benar telah kalian syukuri, disalurkan untuk melakukan hak Allah dan tidak disalurkan untuk perbuatan maksiat? Jika kalian benar-benar bersyukur, maka kalian kelak akan mendapatkan nikmat yang lebih mulia dan lebih utama.

Allah Ta’ala berfirman,

وَيَوْمَ يُعْرَضُ الَّذِينَ كَفَرُوا عَلَى النَّارِ أَذْهَبْتُمْ طَيِّبَاتِكُمْ فِي حَيَاتِكُمُ الدُّنْيَا وَاسْتَمْتَعْتُمْ بِهَا فَالْيَوْمَ تُجْزَوْنَ عَذَابَ الْهُونِ

“Dan (ingatlah) hari (ketika) orang-orang kafir dihadapkan ke neraka (kepada mereka dikatakan): “Kamu telah menghabiskan rezkimu yang baik dalam kehidupan duniawimu (saja) dan kamu telah bersenang-senang dengannya; maka pada hari ini kamu dibalasi dengan azab yang menghinakan” (Qs. Al Ahqaf: 20).‎

Bersyukur atas segala kenikmatan yang Allah berikan kepada kita adalah suatu hal yang diperintahkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala di banyak ayat. Di antaranya adalah firman Allah ta’ala:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُلُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ وَاشْكُرُوا لِلَّهِ إِنْ كُنْتُمْ إِيَّاهُ تَعْبُدُونَ

“Wahai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezeki yang baik-baik yang Kami berikan kepada kalian dan bersyukurlah kepada Allah jika benar-benar kepada-Nya kalian menyembah.” [QS Al Baqarah: 172]

Di dalam ayat yang lain, Allah ta’ala berfirman:

إِنَّ الَّذِينَ تَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ لَا يَمْلِكُونَ لَكُمْ رِزْقًا فَابْتَغُوا عِنْدَ اللَّهِ الرِّزْقَ وَاعْبُدُوهُ وَاشْكُرُوا لَهُ إِلَيْهِ تُرْجَعُونَ

“Sesungguhnya yang kalian sembah selain Allah itu tidak mampu memberikan rezki kepada kalian. Maka mintalah rezki itu di sisi Allah, sembahlah Dia, dan bersyukurlah kepada-Nya. Hanya kepada-Nyalah kalian akan dikembalikan.” [QS Al ‘Ankabut: 17]

Bersyukur kepada Allah ta’ala artinya adalah menjalankan ketaatan kepada Allah dengan cara menjalankan segala perintah-Nya dan meninggalkan segala larangan-Nya.

Bersyukur kepada Allah ta’ala atas nikmat-nikmat-Nya bukanlah sekedar dengan mengucapkan hamdalah atau bersujud syukur. Akan tetapi ada cara lain yang lebih umum untuk bersyukur kepada Allah ‘azza wa jalla. Ada tiga cara bersyukur yang disebutkan oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah di dalam kitab Al Qaulul Mufid (1/268), yaitu:

1. Bersyukur dengan hati.

Yaitu dengan meyakini dan mengakui bahwa segala nikmat yang dia dapatkan pada hakikatnya adalah berasal dari Allah subhanahu wa ta’ala semata. Adapun peran manusia yang memberikan suatu kemanfaatan kepada kita, semua itu hanyalah suatu sebab dan perantara yang mana semuanya itu sangat bergantung kepada izin dari Allah ta’ala.

Allah ta’ala berfirman:

وَمَا بِكُمْ مِنْ نِعْمَةٍ فَمِنَ اللَّهِ

“Apa saja nikmat yang ada pada kalian, Maka dari Allah-lah (datangnya).” [QS An Nahl: 53]

2. Bersyukur dengan lisan.

Yaitu dengan membicarakan kepada orang lain tentang nikmat yang Allah berikan kepadanya sebagai bentuk rasa syukur dan pengakuan kepada Allah, bukan dengan tujuan untuk membanggakan diri dan menimbulkan rasa iri kepada orang lain.

Memuji yang memberi nikmat. Dalam hal ini ada dua bentuk, yaitu umum dan khusus. Pujian yang bersifat umum adalah menyifati pemberi nikmat dengan sifat dermawan, kebaikan, luas pemberiannya, dan sebagainya. Pujian yang bersifat khusus adalah menceritakan nikmat tersebut dan memberitahukan bahwa nikmat tersebut sampai kepada dia karena sebab Sang Pemberi tersebut. 
Sebagaimana firman Allah:

وَأَمَّا بِنِعْمَةِ رَبِّكَ فَحَدِّثْ

“Dan adapun tentang nikmat Rabbmu maka ceritakanlah.” (Adh-Dhuha: 11) [Madarijus Salikin, 2/247-248]‎

Menceritakan Sebuah Nikmat Termasuk Syukur
Menceritakan sebuah nikmat yang dia dapatkan kepada orang lain termasuk dalam kategori syukur. Hal ini berdasarkan hadits Rasulullah SAW:‎

مَنْ صَنَعَ إِلَيْهِ مَعْرُوفًا فَلْيَجْزِ بِهِ فَإِنْ لَمْ يَجِدْ مَا يَجْزِي بِهِ فَلْيُثْنِ فَإِنَّهُ إِذَا أَثْنَى عَلَيْهِ فَقَدْ شَكَرَهُ وَإِنْ كَتَمَهُ فَقَدْ كَفَرَهُ وَمَنْ تَحَلَّى بِمَا لَمْ يُعْطَ كَانَ كَلاَبِسِ ثَوْبَيْ زُوْرٍ
 
“Barangsiapa yang diberikan kebaikan kepadanya hendaklah dia membalasnya dan jika dia tidak mendapatkan sesuatu untuk membalasnya hendaklah dia memujinya. Karena jika dia memujinya sungguh dia telah berterima kasih dan jika dia menyembunyikannya sungguh dia telah kufur. Dan barangsiapa yang berhias dengan sesuatu yang dia tidak diberi sama halnya dengan orang yang memakai dua ­baju kedustaan.” (HR. Abu Dawud no. 4179, At-Tirmidzi no. 1957 dari Jabir bin Abdullah)‎

Allah  berfirman:‎

وَأَمَّا بِنِعْمَةِ رَبَِكَ فَحَدِّثْ

“Dan adapun tentang nikmat Rabbmu maka ceritakanlah.” (Adh-Dhuha: 11)
Menceritakan nikmat yang diperintahkan di dalam ayat ini ada dua pendapat di kalangan para ulama.
Pertama: Menceritakan nikmat tersebut dan memberitahukannya kepada orang lain seperti dengan ucapan: “Allah telah memberiku nikmat demikian dan demikian.”‎

Kedua: Menceritakan nikmat yang dimaksud di dalam ayat ini adalah berdakwah di jalan Allah menyampaikan risalah-Nya dan mengajarkan umat.‎

Dari kedua pendapat tersebut, Ibnul Qayyim Al-Jauziyah dalam Madarijus Salikin (2/249) mentarjih dengan perkataan beliau: “Yang benar, ayat ini mencakup kedua makna tersebut. Karena masing-masingnya adalah nikmat yang kita diperintahkan untuk mensyukurinya, menceritakannya, dan menampakkannya sebagai wujud kesyukuran.”‎

Beliau berkata: “Dalam sebuah atsar yang lain dan marfu’ disebutkan:

مَنْ لَمْ يَشْكُرِ الْقَلِيْلَ لَمْ يَشْكُرِ الْكَثِيْرَ وَمَنْ لَمْ يَشْكُرِ النَّاسَ لَمْ يَشْكُرِ اللهَ، وَالتَّحَدُّثُ بِنِعْمَةِ اللهِ شُكْرٌ وَتَرْكُهُ كُفْرٌ وَالْجَمَاعَةُ رَحْمَةٌ وَالْفُرْقَةُ عَذَابٌ

“Barangsiapa tidak mensyukuri yang sedikit maka dia tidak akan mensyukuri atas yang banyak dan barangsiapa yang tidak berterima kasih kepada manusia maka dia tidak bersyukur kepada Allah. Menceritakan sebuah nikmat (yang didapati) kepada orang lain termasuk dari syukur dan meninggalkannya adalah kufur, bersatu adalah rahmat dan bercerai berai adalah azab.” (HR. Ahmad dari An-Nu’man bin Basyir) [Madarijus Salikin, 2/248]
Contohnya adalah kisah seorang yang buta lalu disembuhkan oleh Allah dan dianugerahi kambing yang banyak. Ketika datang seorang malaikat utusan Allah untuk mengujinya dengan meminta seekor kambingnya, lelaki itu menjawab: “Dahulu aku adalah seorang yang buta, lalu Allah mengembalikan penglihatanku kepadaku. Dahulu aku adalah seorang yang miskin, lalu Allah memberikan kekayaan kepadaku. Maka silakan ambil apa yang engkau inginkan."‎

3. Bersyukur dengan anggota tubuh.

Yaitu dengan cara menggunakannya untuk melaksanakan berbagai ketaatan kepada Allah ta’ala.

Demikianlah cara-cara bersyukur kepada Allah ‘azza wa jalla atas nikmat-Nya. Dengan bersyukur, maka nikmat Allah akan semakin bertambah. Sebaliknya, jika tidak bersyukur, maka azab dari Allah akan datang mengancam. Allah berfirman:

لَئِنْ شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ وَلَئِنْ كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ

“Sesungguhnya jika kalian bersyukur, pasti Aku akan menambah (nikmat) kepada kalian; dan jika kalian mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.” [QS Ibrahim: 7]

Mengamalkan ilmu dan mengajarkannya kepada orang lain adalah bentuk mensyukuri nikmat ilmu. Menafkahkan harta di jalan Allah adalah bentuk mensyukuri nikmat harta. Mengonsumsi makanan untuk menyehatkan tubuh dan tidak membuangnya adalah bentuk mensyukuri nikmat makanan. Demikianlah seterusnya.

Kita memohon taufiq kepada Allah ta’ala untuk dapat senantiasa bersyukur atas segala nikmat-Nya dan mengampuni segala kekurangan kita.
Semoga kita termasuk dalam orang-orang yang mengingat nikmat AllahTa’ala dengan bersyukur.

اَللَّهُمَّ أَعِنِّيْ عَلَى ذِكْرِكَ، وَشُكْرِكَ، وَحُسْنِ عِبَادَتِكَ .

“Ya Allah! Berilah pertolongan kepadaku untuk menyebut namaMu, syukur kepadaMu dan ibadah yang baik untukMu.”

Wallahu waliyyut taufiq‎

Penjelasan Tentang Keutamaan Membaca Al-Qur'an


Allah berfirman,
 
إِنَّ الَّذِينَ يَتْلُونَ كِتَابَ اللَّهِ وَأَقَامُوا الصَّلَاةَ وَأَنفَقُوا مِمَّا رَزَقْنَاهُمْ سِرّاً وَعَلَانِيَةً يَرْجُونَ تِجَارَةً لَّن تَبُورَ. لِيُوَفِّيَهُمْ أُجُورَهُمْ وَيَزِيدَهُم مِّن فَضْلِهِ إِنَّهُ غَفُورٌ شَكُورٌ
 
Sesungguhnya orang-orang yang selalu membaca kitab Allah dan mendirikan shalat dan menafkahkan sebahagian dari rezki yang Kami anugerahkan kepada mereka dengan diam-diam dan terang-terangan, mereka itu mengharapkan perniagaan yang tidak akan merugi, agar Allah menyempurnakan kepada mereka pahala mereka dan menambah kepada mereka dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Mensyukuri. (QS Al Fathir: 29-30)

عَن اَبيِ هُرَيَرةَ رَضَيِ اللٌهُ عَنهُ أنَ رَسُولَ اللٌهِ صَلَيِ اللٌهٌ عَلَيهِ وَسَلَم قَالَ مَا اجٌتَمَعَ قَومُ فيِ بَيتٍ مِن بُيُوتِ اللٌهِ يَتلُونَ كتَابَ اللٌهِ وَيَتَدَا رَسُونَه فِيمَا بَيْنَهُم إلا نَزَلتْ عليْهمُ السَكِينَةُ وَغَشِيتهُمُ الرَّحمةُ وَحَفَتهمُ الملآئكةُ وَذَكَرَهُمُ اللٌهُ فِيمَن عِندَهُ. (رواه مسلم وابو داوود)

Dari Abu Hurairah r.a. berkata bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Tidaklah suatu kaum berkumpul di salah satu rumah dari rumah-rumah Allah, mereka membaca kitab Allah dan saling mengajarkannya di antara mereka, melainkan diturunkan ke atas mereka sakinah, rahmat menyirami mereka, para malaikat mengerumuni mereka, dan Allah Swt. menyebut-nyebut mereka di kalangan (malaikat) yang ada disisinya.” (Hr. Muslim dan Abu Dawud)
Hadits ini menerangkan keutamaan khusus madrasah-madrasah dan pondok pesantren yang memiliki berbagai kemuliaan. Setiap kemuliaan itu memiliki derajat sangat tinggi, sehingga jika seseorang menghabiskan umurnya untuk mendapatkan suatu kemuliaan saja, itu pun masih murah dan sangat banyak nikmat yang diperolehnya. Khususnya keutamaan yang terakhir, yaitu akan disebut-sebut di majelis Allah. Dan disebutnya nama kita dimajelis Kekasih kita merupakan nikmat yang tidak bisa dibandingkan dengan apapun.‎

Mengenai turunnya sakinah telah banyak disebutkan dalam berbagai riwayat. Ulama hadits telah banyak menjelaskan penafsirannya, tetapi tidak ada pertentangan diantara perbedaan mereka, bahkan jika disatukan akan memiliki maksud yang sama.‎

Ali r.a. menafsirkan sakinah adalah sejenis udara khusus yang mempunyai wajah manusia. Sujirah.a. berpendapat bahwa sakinah adalah nama sejenis mangkuk di surge yang terbuat dari emas yang digunakan untuk mencuci hati para Nabi. Sebagian ulama mengatakan bahwa sakinahadalah suatu rahmat khusus. Thabrani rah.a.mendukung pendapat yang mengatakan bahwasakinah adalah ketenangan hati. Sebagian lagi menafsirkan sakinah sebagai kedamaian. Pendapat lain menyebutkan sakinah sebagai kewibawaan. Dan lainnya lagi menafsirkan sakinahadalah malaikat. Selain itu masih banyak penafsiran lainnya.‎

Hafizh Ibnu Hajar rah.a. menulis dalam Fathul-Baribahwa arti sakinah mencakup semua yang telah disebutkan di atas. Imam Nawawi rah.a menafsirkan bahwa sakinah adalah gabungan antara ketenangan, rahmat, dan lain-lainnya, yang diturunkan bersama malaikat.
Allah Swt. Berfirman,
“Maka Allah menurunkan sakinah-Nya ke atasnya.”(Qs. At Taubah [9] : 40).
Dalam ayat yang lain disebutkan:
“Dialah yang menurunkan sakinah ke dalam hati orang-orang yang beriman.” (Qs. Al Fath [48]:4)
“…Di dalamnya terdapat ketenangan dari Rabbmu…” (Qs. Al Baqarah [2]:248)

Ternyata banyak sekali ayat al Qur’an dan hadits yang menyebutkan kabar gembira itu. Diriwayatkan dalam kitab Ihya bahwa Ibnu Tsauban r.a. pernah berjanji kepada saudaranya bahwa ia akan berbuka shaum bersama, tetapi ternyata ia baru tiba keesokan paginya. Ketika saudaranya menanyakan penyebab keterlambatannya, Ibnu Tsauban menjawab, “Seandainya bukan karena janjiku kepadamu, tentu aku tidak akan membuka rahasia keterlambatanku ini. Kejadiannya adalah sebagai berikut: tanpa disengaja aku telah terlambat hingga waktu Isya. Setelah shalat Isya aku merasa bahwa aku harus shalat Witir, karena aku tidak tenang jika kematian datang pada malam itu, dan hal itu akan menjadi sisa tanggung jawabku. Ketika aku sedang membaca do’a Qunut, terlihat olehku sebuah taman Surga hijau yang dipenuhi berbagai jenis bunga. 

Demikian asyiknya aku memandang taman itu, sehingga tanpa terasa tibalah waktu Shubuh.”
Kisah seperti di atas juga telah banyak terjadi pada alim ulama kita dahulu, namun hal itu akan diperoleh jika telah terputus hubungan dengan segala sesuatu kecuali dengan Allah semata, serta dengan bertawajuh secara sempurna kepada-Nya.
Mengenai ‘malaikat yang datang mengelilingi’, banyak riwayat yang menjelaskan hal itu.

Demikian juga mengenai kisah Usaid bin Hudhair r.a., telah banyak dijelaskan dalam kitab-kitab hadits. Yaitu ketika ia sedang membaca al Qur’an, ia merasa ada segumpal awan mendekatinya. Ketika hal itu ditanyakan kepada Nabi saw. maka beliau bersabda, “Itu adalah para malaikat yang datang untuk mendengarkan bacaan al Qur’an. Begitu banyak malaikat yang datang, sehingga terlihat seperti kumpulan awan.” Suatu ketika, seorang sahabat merasakan ada awan yang mengiringinya, maka Rasulullah saw. bersabda, “Itu adalahsakinah,” yaitu rahmat yang diturunkan karena bacaan al Qur’an. Dalam Shahih Muslim, hadits ini diriwayatkan dengan lebih jelas lagi, dan kiamat terakhir dari hadits tersebut adalah:
“Siapa yang karena kemaksiatannya menjauhkan ia dari rahmat Allah, maka kemuliaan keturunannya tidak dapat mendekatkan dirinya kepada rahmat Allah.”

Orang yang mulia nasabnya tetapi sering berbuat dosa dan maksiat tidak dapat disamakan di hadapan Allah dengan orang yang hina nasabnya tetapi bertakwa kepada Allah. Al Qur’an menyebutkan: 

‘….Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa…” (al Hujarat [49]:13)

Sebagian orang malas membaca Al Quran padahal di dalam terdapat petunjuk untuk hidup di dunia.

Sebagian orang merasa tidak punya waktu untuk membaca Al Quran padahal di dalamnya terdapat pahala yang besar.

Sebagian orang merasa tidak sanggup belajar Al Quran karena sulit katanya, padahal membacanya sangat mudah dan sangat mendatangkan kebaikan. Mari perhatikan hal-hal berikut:

Membaca Al Quran adalah perdagangan yang tidak pernah merugi

{الَّذِينَ يَتْلُونَ كِتَابَ اللَّهِ وَأَقَامُوا الصَّلَاةَ وَأَنْفَقُوا مِمَّا رَزَقْنَاهُمْ سِرًّا وَعَلَانِيَةً يَرْجُونَ تِجَارَةً لَنْ تَبُورَ (29) لِيُوَفِّيَهُمْ أُجُورَهُمْ وَيَزِيدَهُمْ مِنْ فَضْلِهِ إِنَّهُ غَفُورٌ شَكُورٌ (30)}

“Sesungguhnya orang-orang yang selalu membaca kitab Allah dan mendirikan salat dan menafkahkan sebahagian dari rezeki yang Kami anugerahkan kepada mereka dengan diam-diam dan terang-terangan, mereka itu mengharapkan perniagaan yang tidak akan merugi”. “Agar Allah menyempurnakan kepada mereka pahala mereka dan menambah kepada mereka dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Mensyukuri.” (QS. Fathir: 29-30).

Ibnu Katsir rahimahullah berkata,

قال قتادة  رحمه الله: كان مُطَرف، رحمه الله، إذا قرأ هذه الآية يقول: هذه آية القراء.

“Qatadah (wafat: 118 H) rahimahullah berkata, “Mutharrif bin Abdullah (Tabi’in, wafat 95H) jika membaca ayat ini beliau berkata: “Ini adalah ayat orang-orang yang suka membaca Al Quran” (Lihat kitab Tafsir Al Quran Al Azhim).

Asy Syaukani (w: 1281H) rahimahullah berkata,

أي: يستمرّون على تلاوته ، ويداومونها .

“Maksudnya adalah terus menerus membacanya dan menjadi kebiasaannya” (Lihat kitab Tafsir Fath Al Qadir).

Dari manakah sisi tidak meruginya perdagangan dengan membaca Al Quran?

Satu hurufnya diganjar dengan 1 kebaikan dan dilipatkan menjadi 10 kebaikan.
 
عَنْ عَبْد اللَّهِ بْنَ مَسْعُودٍ رضى الله عنه يَقُولُ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « مَنْ قَرَأَ حَرْفًا مِنْ كِتَابِ اللَّهِ فَلَهُ بِهِ حَسَنَةٌ وَالْحَسَنَةُ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا لاَ أَقُولُ الم حرْفٌ وَلَكِنْ أَلِفٌ حَرْفٌ وَلاَمٌ حَرْفٌ وَمِيمٌ حَرْفٌ ».

“Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata: “Rasulullah ‎shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Siapa yang membaca satu huruf dari Al Quran maka baginya satu kebaikan dengan bacaan tersebut, satu kebaikan dilipatkan menjadi 10 kebaikan semisalnya dan aku tidak mengatakan الم satu huruf akan tetapi Alif satu huruf, Laam satu huruf dan Miim satu huruf.” (HR. Tirmidzi dan dishahihkan di dalam kitab Shahih Al Jami’, no. 6469)

 عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بن مسعود رضى الله عنه قَالَ : تَعَلَّمُوا هَذَا الْقُرْآنَ ، فَإِنَّكُمْ تُؤْجَرُونَ بِتِلاَوَتِهِ بِكُلِّ حَرْفٍ عَشْرَ حَسَنَاتٍ ، أَمَا إِنِّى لاَ أَقُولُ بِ الم وَلَكِنْ بِأَلِفٍ وَلاَمٍ وَمِيمٍ بِكُلِّ حَرْفٍ عَشْرُ حَسَنَاتٍ.

“Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata: “Pelajarilah Al Quran ini, karena sesungguhnya kalian diganjar dengan membacanya setiap hurufnya 10 kebaikan, aku tidak mengatakan itu untuk الم  , akan tetapi untuk untuk Alif, Laam, Miim, setiap hurufnya sepuluh kebaikan.” (Atsar riwayat Ad Darimy dan disebutkan di dalam kitab Silsilat Al Ahadits Ash Shahihah, no. 660).
Dan hadits ini sangat menunjukan dengan jelas, bahwa muslim siapapun yang membaca Al Quran baik paham atau tidak paham, maka dia akan mendapatkan ganjaran pahala sebagaimana yang dijanjikan. Dan sesungguhnya kemuliaan Allah Ta’ala itu Maha Luas, meliputi seluruh makhluk, baik orang Arab atau ‘Ajam (yang bukan Arab), baik yang bisa bahasa Arab atau tidak.
Kebaikan akan menghapuskan kesalahan.
{إِنَّ الْحَسَنَاتِ يُذْهِبْنَ السَّيِّئَاتِ} [هود: 114]

“Sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapuskan (dosa) perbuatan-perbuatan yang buruk.” (QS. Hud: 114)

Setiap kali bertambah kuantitas bacaan, bertambah pula ganjaran pahala dari Allah.
 
عنْ تَمِيمٍ الدَّارِىِّ رضى الله عنه قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « مَنْ قَرَأَ بِمِائَةِ آيَةٍ فِى لَيْلَةٍ كُتِبَ لَهُ قُنُوتُ لَيْلَةٍ»

“Tamim Ad Dary radhiyalahu ‘anhu berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Siapa yang membaca 100 ayat pada suatu malam dituliskan baginya pahala shalat sepanjang malam.” (HR. Ahmad dan dishahihkan di dalam kitab Shahih Al Jami’, no. 6468).

Bacaan Al Quran akan bertambah agung dan mulia jika terjadi di dalam shalat
.
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ رضى الله عنه قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ إِذَا رَجَعَ إِلَى أَهْلِهِ أَنْ يَجِدَ فِيهِ ثَلاَثَ خَلِفَاتٍ عِظَامٍ سِمَانٍ قُلْنَا نَعَمْ. قَالَ « فَثَلاَثُ آيَاتٍ يَقْرَأُ بِهِنَّ أَحَدُكُمْ فِى صَلاَتِهِ خَيْرٌ لَهُ مِنْ ثَلاَثِ خَلِفَاتٍ عِظَامٍ سِمَانٍ

“Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan bahwa Rasulullah ‎shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Maukah salah seorang dari kalian jika dia kembali ke rumahnya mendapati di dalamnya 3 onta yang hamil, gemuk serta besar?” Kami (para shahabat) menjawab: “Iya”, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Salah seorang dari kalian membaca tiga ayat di dalam shalat lebih baik baginya daripada mendapatkan tiga onta yang hamil, gemuk dan besar.” (HR. Muslim).

Membaca Al Quran bagaimanapun akan mendatangkan kebaikan

 عَنْ عَائِشَةَ رضى الله عنها قَالَتْ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « الْمَاهِرُ بِالْقُرْآنِ مَعَ السَّفَرَةِ الْكِرَامِ الْبَرَرَةِ وَالَّذِى يَقْرَأُ الْقُرْآنَ وَيَتَتَعْتَعُ فِيهِ وَهُوَ عَلَيْهِ شَاقٌّ لَهُ أَجْرَانِ ».

“Aisyah radhiyallahu ‘anha meriwayatkan bahwa Rasulullah ‎shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Seorang yang lancar membaca Al Quran akan bersama para malaikat yang mulia dan senantiasa selalu taat kepada Allah, adapun yang membaca Al Quran dan terbata-bata di dalamnya dan sulit atasnya bacaan tersebut maka baginya dua pahala” (HR. Muslim).

Orang yang mahir membaca Al-Qur`an adalah orang yang bagus dan tepat bacaannya.

Adapun orang yang tidak tepat dalam membacanya dan mengalami kesulitan, maka baginya dua pahala : pertama, pahala tilawah, dan kedua, pahala atas kecapaian dan kesulitan yang ia alami.

Maksud orang yang ahli dalam al Qur’an adalah orang yang hafal al Qur’an dan senantiasa membacanya, apalagi jika memahami arti dan maksudnya.‎

Dan yang dimaksud ‘bersama-sama malaikat’ adalah, ia termasuk golongan yang memindahkan al Qur’an al-Karim dan Lauh Mahfuzh, karena ia menyampaikannya kepada orang lain melalui bacaannya. Dengan demikian, keduanya memiliki pekerjaan yang sama. Atau bisa juga berarti, ia akan bersama para malaikat pada hari Mahsyar kelak.‎

Orang yang terbata-bata membaca al Qur’an akan memperoleh pahala dua kali; satu pahala karena bacaannya, satu lagi karena kesungguhannya mempelajari al Qur’an berkali-kali. Tetapi bukan berarti pahalanya melebihi pahala orang yang ahli al Qur’an. Orang yang ahli al Qur’an tentu saja memperoleh derajat yang istimewa, yaitu bersama malaikat khusus. Maksud yang sebenarnya adalah, bahwa dengan bersusah payah mempelajari al Qur’an akan menghasikan pahala ganda. Oleh karena itu, kita jangan meninggalkan baca al Qur’an, walaupun mengalami kesulitan dalam membacanya.
Mulla Ali Qari rah.a. meriwayatkan dari Thabrani dan Baihaqi, “Barang siapa membaca al Qur’an sedangkan ia tidak hafal, maka ia akan memperoleh pahala dua kali lipat. Dan barang siapa benar-benar ingin menghafal al Qur’an, sedangkan ia tidak mampu, tetapi ia terus membacanya, maka Allah akan membangkitkannya pada hari Mashyar bersama para hafizh al Qur’an.
Membaca Al Quran akan mendatangkan syafa’at

عَنْ أَبي أُمَامَةَ الْبَاهِلِىُّ رضى الله عنه قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَقُولُ « اقْرَءُوا الْقُرْآنَ فَإِنَّهُ يَأْتِى يَوْمَ الْقِيَامَةِ شَفِيعًا لأَصْحَابِهِ…

“Abu Umamah Al Bahily radhiyallahu ‘anhu berkata: “Aku telah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallambersabda: “Bacalah Al Quran karena sesungguhnya dia akan datang pada hari kiamat sebagai pemberi syafa’at kepada orang yang membacanya” (HR. Muslim).

عَن عَلِيٍ رَضَي اللٌهُ عَنهُ وَ كَرٌمَ اللٌهُ وَجهَة قَالَ رَسُولُ اللٌهِ صَلٌيُ اللٌهُ عَلَيهَ وَسَلَمَ مَن قَرأ القُرانَ فَاستَظهَرَه فَحَلٌ حَلآلَه وَحَرٌمَ حَرَامَهُ اَدخَلَهُ اللٌهُ الجَنٌةَ وَشَفٌعَه فيِ عَشَرةَ مِن اَهلِ بَيِته كُلٌهٌم قَد وَجبت لَهُ النٌارُ.(رواه أحمد والترمذي وقال هذا حديث غريب وحفص بن سليمان الراوي ليس هو بالتقوى يضعف في الحديث ورواه أبن ماجه والدارمي).

Dari Ali karramallaahu wajhah, ia berkata bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Barangsiapa membaca al Qur’an dan menghafalnya, lalu menghalalkan apa yang dihalalkannya dan mengharamkan apa yang diharamkannya, maka Allah Swt. akan memasukannya ke dalam Surga dan allah menjaminnya untuk member syafaat kepada sepuluh orang keluarganya yang kesemuanya telah diwajibkan masuk neraka.” (Hr. Ahmad dan Tirmidzi)

Setiap mu’min insya Allah akan masuk surge, meskipun ada yang harus dibersihkan dulu denga azab disebabkan dosa-dosanya. Namun bagi hafizh al Qur’an, ia memiliki keutamaan masuk Surga pertama kali. Bahkan seorang hafizh al Qur’an dapat member syafaat kepada sepuluh orang yang fasik dan banyak berbuat dosa besar, tetapi orang kafir tidak akan memperoleh syafaat itu. Allah berfirman:

{إنهُ مَنْ يُشْرِكْ بِاللهِ فَقَدْ حَرَّمَ اللهُ عليهِ الجنَّةَ وَمَآواهُ النَّارُ وَمَا للظَّالِميْنَ مَنْ أنْصَارٍ}

“Sesungguhnya orang yang menyekutukan Allah (dengan sesuatu), maka telah Allah haramkan baginya Surga dan tempatnya adalah neraka, dan tidak ada bagi orang-orang zhalim itu seorang penolong pun.” (al Maidah [5] : 72)
Firman-Nya yang lain:

{مَا كانَ لِلنَّبِيِ وَالذِيْنَ أمنُوآ أنْ يَّسْتَغْفِرُوا للِمُشْركِيْنَ}

“Tidak sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memintakan ampun (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik.” (Qs. At Taubah [9] :113)

Dalil-dalil diatas dengan jelas menyatakan bahwa tidak ada ampunan bagi kaum musyrikin, sehingga syafaat seorang hafizh hanya terbatas bagi kaum muslimin yang harus masuk neraka karena dosa-dosa mereka. Oleh sebab itu, barangsiapa ingin selamat dari api neraka, sedangkan ia bukan seorang hafizh dan tidak mampu menjadi seorang hafizh, maka sekurang-kurangnya hendaklah ia berusaha menjadikan salah seorang diantara keluarganya atau kerabatnya hafizh al Qur’an. Disamping itu, ia sendiri harus selalu berusaha menjauhi segala dosa sehingga terhindar dari azab.
Syukur kepada Allah atas nikmat-Nya kepada orang ini (Syaikh Zakariya, penyusun kitab ini –pent.)yang telah menjadikan ayahnya, pamannya, nenek dan kakeknya, ibunya, dan seluruh ahli keluarganya sebagai hafizh-hafizh alQuran. Semoga Allah menambah rahmah-Nya lebih banyak lagi

Masih banyak lagi keutamaan-keutamaan yang memotivasi seseorang untuk memperbanyak bacaan Al Quran terutama di bulan membaca Al Quran.

Dan pada tulisan kali ini hanya menyebutkan sebagian kecil keutamaan dari membaca Al Quran bukan untuk menyebutkan seluruh keutamaannya.

Dan ternyata generasi yang diridhai Allah itu, adalah mereka orang-orang yang giat dan semangat membaca Al Quran bahkan mereka mempunyai jadwal tersendiri untuk baca Al Quran.

عَنْ أَبِى مُوسَى رضى الله عنه قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « إِنِّى لأَعْرِفُ أَصْوَاتَ رُفْقَةِ الأَشْعَرِيِّينَ بِالْقُرْآنِ حِينَ يَدْخُلُونَ بِاللَّيْلِ وَأَعْرِفُ مَنَازِلَهُمْ مِنْ أَصْوَاتِهِمْ بِالْقُرْآنِ بِاللَّيْلِ وَإِنْ كُنْتُ لَمْ أَرَ مَنَازِلَهُمْ حِينَ نَزَلُوا بِالنَّهَارِ…».

“Abu Musa Al Asy’ary radhiyallahu ‘anhu berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Sesungguhnya aku benar-benar mengetahui suara kelompok orang-orang keturunan Asy’ary dengan bacaan Al Quran, jika mereka memasuki waktu malam dan aku mengenal rumah-rumah mereka dari suara-suara mereka membaca Al Quran pada waktu malam, meskipun sebenarnya aku belum melihat rumah-rumah mereka ketika mereka berdiam (disana) pada siang hari…” (HR. Muslim).

Dari shahabat Abu Musa Al-Asy’ari radhiallahu ‘anhu berkata, bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda :

(( مَثَلُ الْمُؤْمِنِ الَّذِي يَقْرَأُ القُرْآنَ مَثَلُ الأُتْرُجَّةِ : رِيحُهَا طَيِّبٌ وَطَعْمُهَا طَيِّبٌ ، وَمَثَلُ الْمُؤْمِنِ الَّذِي لاَ يَقْرَأُ القُرْآنَ كَمَثَلِ التَّمْرَةِ : لاَ رِيحَ لَهَا وَطَعْمُهَا حُلْوٌ ، وَمَثلُ المُنَافِقِ الَّذِي يقرأ القرآنَ كَمَثلِ الرَّيحانَةِ : ريحُهَا طَيِّبٌ وَطَعْمُهَا مُرٌّ ، وَمَثَلُ المُنَافِقِ الَّذِي لاَ يَقْرَأُ القُرْآنَ كَمَثلِ الحَنْظَلَةِ : لَيْسَ لَهَا رِيحٌ وَطَعْمُهَا مُرٌّ )) متفقٌ عَلَيْهِ .

“Perumpaan seorang mu`min yang rajin membaca Al-Qur`an adalah seperti buah Al-Atrujah : aromanya wangi dan rasanya enak. Perumpamaan seorang mu`min yang tidak membaca Al-Qur`an adalah seperti buah tamr (kurma) : tidak ada aromanya namun rasanya manis.

Perumpamaan seorang munafiq namun ia rajin membaca Al-Qur`an adalah seperti buah Raihanah : aromanya wangi namun rasanya pahit. Sedangkan perumpaan seorang munafiq yang tidak rajin membaca Al-Qur`an adalah seperti buah Hanzhalah : tidak memiliki aroma dan rasanya pun pahit.” [Al-Bukhari 5427, Muslim 797]

Seorang mu`min yang rajin membaca Al-Qur`an adalah seperti buah Al-Atrujah, yaitu buah yang aromanya wangi dan rasanya enak. Karena seorang mu`min itu jiwanya bagus, qalbunya juga baik, dan ia bisa memberikan kebaikan kepada orang lain. Duduk bersamanya terdapat kebaikan. Maka seorang mu`min yang rajin membaca Al-Qur`an adalah baik seluruhnya, baik pada dzatnya dan baik untuk orang lain. Dia seperti buah Al-Atrujah, aromanya wangi dan harum, rasanya pun enak dan lezat.

Adapun seorang mu’min yang tidak membaca Al-Qur`an adalah seperti buah kurma. Rasanya enak namun tidak memiliki aroma yang wangi dan harum. Jadi seorang mu’min yang rajin membaca Al-Qur`an jauh lebih utama dibanding yang tidak membaca Al-Qur`an. Tidak membaca Al-Qur`an artinya tidak mengerti bagaimana membaca Al-Qur`an, dan tidak pula berupaya untuk mempelajarinya.

Perumpamaan seorang munafiq, namun ia rajin membaca Al-Qur`an adalah seperti buah Raihanah : aromanya wangi namun rasanya pahit. Karena orang munafiq itu pada dzatnya jelek, tidak ada kebaikan padanya. Munafiq adalah : orang yang menampakkan dirinya sebagai muslim namun hatinya kafir –wal’iyya dzubillah-. 

MasyaAllah, coba kita bandingkan dengan diri kita apakah yang kita pegang ketika malam hari, sebagian ada yang memegang remote televisi menonton program-program yang terkadang bukan hanya tidak bermanfaat tetapi mengandung dosa dan maksiat, apalagi di dalam bulan Ramadhan.

Dan jikalau riwayat di bawah ini shahih tentunya juga akan menjadi dalil penguat, bahwa kebiasan generasi yang diridhai Allah yaitu para shahabat radhiyallahu ‘anhum ketika malam hari senantiasa mereka membaca Al Quran. Tetapi riwayat di bawah ini sebagian ulama hadits ada yang melemahkannya.

عَنْ أَبِى صَالِحٍ رحمه الله قَالَ قَالَ كَعْبٌ رضى الله عنه: نَجِدُ مَكْتُوباً : مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- لاَ فَظٌّ وَلاَ غَلِيظٌ ، وَلاَ صَخَّابٌ بِالأَسْوَاقِ ، وَلاَ يَجْزِى بِالسَّيِّئَةِ السَّيِّئَةَ ، وَلَكِنْ يَعْفُو وَيَغْفِرُ ، وَأُمَّتُهُ الْحَمَّادُونَ ، يُكَبِّرُونَ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ عَلَى كُلِّ نَجْدٍ ، وَيَحْمَدُونَهُ فِى كُلِّ مَنْزِلَةٍ ، يَتَأَزَّرُونَ عَلَى أَنْصَافِهِمْ ، وَيَتَوَضَّئُونَ عَلَى أَطْرَافِهِمْ ، مُنَادِيهِمْ يُنَادِى فِى جَوِّ السَّمَاءِ ، صَفُّهُمْ فِى الْقِتَالِ وَصَفُّهُمْ فِى الصَّلاَةِ سَوَاءٌ ، لَهُمْ بِاللَّيْلِ دَوِىٌّ كَدَوِىِّ النَّحْلِ ، مَوْلِدُهُ بِمَكَّةَ ، وَمُهَاجِرُهُ بِطَيْبَةَ ، وَمُلْكُهُ بِالشَّامِ.

“Abu Shalih berkata: “Ka’ab radhiyallahu ‘anhu berkata: “Kami dapati tertulis (di dalam kitab suci lain): “Muhammad adalah Rasulullah shallallahu ‘alahi wasallam, tidak kasar, tidak pemarah, tidak berteriak di pasar, tidak membalas keburukan dengan keburukan akan tetapi memaafkan dan mengampuni, dan umat (para shahabat)nya adalah orang-orang yang selalu memuji Allah, membesarkan Allah ‘Azza wa Jalla atas setiap perkara, memuji-Nya pada setiap kedudukan, batas pakaian mereka pada setengah betis mereka, berwudhu sampai ujung-ujung anggota tubuh mereka, yang mengumandangkan adzan mengumandangkan di tempat atas, shaf mereka di dalam pertempuran dan di dalam shalat sama (ratanya), mereka memiliki suara dengungan seperti dengungannya lebah pada waktu malam, tempat kelahiran beliau adalah Mekkah, tempat hijranya adalah Thayyibah (Madinah) dan kerajaannya di Syam.”

Maksud dari “mereka memiliki suara dengungan seperti dengungannya lebah pada waktu malam” adalah:

أي صوت خفي بالتسبيح والتهليل وقراءة القرآن كدوي النحل

“Suara yang lirih berupa ucapan tasbih (Subhanallah), tahlil (Laa Ilaaha Illallah), dan bacaan Al Quran seperti dengungannya lebah”. (Lihat kitab ‎Mirqat Al Mafatih Syarh Misykat Al Mashabih).

Salah satu ibadah paling agung adalah membaca Al Quran

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رضى الله عنهما : ضَمِنَ اللَّهُ لِمَنَ اتَّبَعَ الْقُرْآنَ أَنْ لاَ يَضِلَّ فِي الدُّنْيَا ، وَلاَ يَشْقَى فِي الآخِرَةِ ، ثُمَّ تَلاَ {فَمَنَ اتَّبَعَ هُدَايَ فَلاَ يَضِلُّ وَلاَ يَشْقَى}.

“Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhu berkata: “Allah telah menjamin bagi siapa yang mengikuti Al Quran, tidak akan sesat di dunia dan tidak akan merugi di akhirat”, kemudian beliau membaca ayat:

{فَمَنَ اتَّبَعَ هُدَايَ فَلاَ يَضِلُّ وَلاَ يَشْقَى}

“Lalu barang siapa yang mengikut petunjuk-Ku, ia tidak akan sesat dan tidak akan celaka”. (QS. Thaha: 123) (Atsar shahih diriwayatkan di dalam kitab Mushannaf Ibnu Abi Syaibah).

عَنْ خَبَّابِ بْنِ الْأَرَتِّ رضى الله عنه أَنَّهُ قَالَ: ” تَقَرَّبْ مَا اسْتَطَعْتَ، وَاعْلَمْ أَنَّكَ لَنْ تَتَقَرَّبَ إِلَى اللهِ بِشَيْءٍ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ كَلَامِهِ “.

“Khabbab bin Al Arat radhiyallahu ‘anhuberkata: “Beribadah kepada Allah semampumu dan ketahuilah bahwa sesungguhnya kamu tidak akan pernah beribadah kepada Allah dengan sesuatu yang lebih dicintai-Nya dibandingkan (membaca) firman-Nya.” (Atsar shahih diriwayatkan di dalam kitab Syu’ab Al Iman, karya Al Baihaqi).

عَنْ عَبْدِ اللهِ بن مسعود رضى الله عنه ، أنه قَالَ: ” مَنْ أَحَبَّ أَنْ يَعْلَمَ أَنَّهُ يُحِبُّ اللهَ وَرَسُولَهُ فَلْيَنْظُرْ، فَإِنْ كَانَ يُحِبُّ الْقُرْآنَ فَإِنَّهُ يُحِبُّ اللهَ وَرَسُولَهُ “.

“Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata: “Siapa yang ingin mengetahui bahwa dia mencintai Allah dan Rasul-Nya, maka perhatikanlah jika dia mencintai Al Quran maka sesungguhnya dia mencintai Allah dan rasul-Nya.” (Atsar shahih diriwayatkan di dalam kitab Syu’ab Al Iman, karya Al Baihaqi).‎
Jelaslah, bahwa membaca al Qur’an itu lebih baik daripada dzikir, sebab al Qur’an adalahkallamullah. Telah disebutkan sebelumnya bahwa keutamaan kalamullah dibandingkan kalam yang lain adalah seumpama keutamaan Allah diatas seluruh makhluk-Nya. Mengenai keutamaan dzikir daripada sedekah juga telah disebutkan dalam hadits lain. Tetapi keutamaan sedekah daripada shaum dalam hadits diatas seolah-olah bertentangan dengan hadits-hadits mengenai keutamaan shaum. Perbedaan ini adalah bergantung pada keadaan tertentu. Pada sebagian keadaan, shaum dapat lebih utama daripada sedekah atau sebaliknya. Juga bergantung pada perbedaan kondisi seseorang, karena boleh jadi bagi sebagian orang, shaum itu lebih utama.‎

Dalam hadits di atas shaum disebutkan pada urutan terakhir dibanding amal-amal lainnya. Apabila shaum saja dapat menjadi penghalang api neraka, maka bagaimanakah dengan tilawat al Qur’an yang ditempatkan pada urutan pertama?‎

Pengarang kitab Ihya meriwayatkan dari Ali r.a. bahwa jika seseorang membaca al Qur’an dalam shalat sambil berdiri, maka setiap hurufnya berpahala seratus kebaikan; jika pembacanya dalam shalat sambil duduk, maka dari setiap hurufnya mendapat lima puluh kebaikan; jika membacanya diluar shalat dalam keadaan berwudhu, maka dari setiap hurufnya berpahala dua puluh lima kebaikan; jika membacanya tanpa wudhu, maka dari setiap hurufnya sepuluh kebaikan; dan jika seseorang tidak membaca al Qur’an orang lain dengan tawajuh, maka dari setiap huruf yang didengarkanya berpala satu kebaikan.

وقال وهيب رحمه الله: “نظرنا في هذه الأحاديث والمواعظ فلم نجد شيئًا أرق للقلوب ولا أشد استجلابًا للحزن من قراءة القرآن وتفهمه وتدبره”.
 
"Berkata Wuhaib rahimahullah: “Kami telah memperhatikan di dalam hadits-hadits dan nasehat ini, maka kami tidak mendapati ada sesuatu yang paling melembutkan hati dan mendatangkan kesedihan dibandingkan bacaan Al Quran, memahami dan mentadabburinya”.

Wallohu A'lam Bisshowab‎

 

Penjelasan Mengenai Hadits Mutawatir Dan Hadits Ahad


Hadits dilihat dari segi kuantitas perawinya dibagi menjadi dua, yakni hadis mutawatir dan hadis ahad. 

Mutawatir menurut bahasa adalah isim fa’il musytaq dari at-tawatur artinya At-tatabu’ (berturut-turut).

Adapun hadis mutawatir menurut istilah ulama hadis adalah

حُوَ خَبْرٌ عَنْ مَحْسُوْسٍ رَوَاهُ عَدَدٌ جَمٌّ يُجِبُ فيِ العَادَةِ اِحَالَةُ اِجْتِمَاعِهِمْ و تَوَاطُئِحِمْ عَلى الْكَذِبِ

Khabar yang di dasarkan pada pancaindra yang di kabarkan oleh sejumlah orang yang mustahil menurut adat mereka bersepekat untuk mengkabarkan berita itu dengan dusta

Ada juga yang mengartikan hadis mutawatir sebagai berikut:
Secara bahasa, mutawatir adalah isim fa’il dari at-tawatur yang artinya berurutan. Sedangkan mutawatir menurut istilah adalah “apa yang diriwayatkan oleh sejumlah banyak orang yang menurut kebiasaan mereka terhindar dari melakukan dusta mulai dari awal hingga akhir sanad”. Atau : “hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang banyak pada setiap tingkatan sanadnya menurut akal tidak mungkin para perawi tersebut sepakat untuk berdusta dan memalsukan hadits, dan mereka bersandarkan dalam meriwayatkan pada sesuatu yang dapat diketahui dengan indera seperti pendengarannya dan semacamnya”

ﻤﺎﺭﻭﺍﻩ ﺠﻤﻊ ﺘﺤﻴﻝ ﺍﻟﻌﺎﺩﺓ ﺘﻭﺍﻁؤﻫﻡ ﻋﻟﻰ ﺍﻟﻜﺫﺏ 

Hadis Mutawatir adalah berita hadis yang bersifat indriawi (didengar atau dilihat) yang diriwayatkan oleh banyak orang yang mencapai maksimal di seluruh tingkatan sanad dan akal menghukumi mustahil menurut tradisi (adat) jumlah yang maksimal itu berpijak untuk kebohongan. 

Keberadaan hadis mutawatir memiliki syarat-syarat begitu ketat untuk dipenuhi, yakni: Diriwayatkan Oleh Banyak Perawi, Adanya Keseimbangan Antar Perawi Pada Thabaqat Pertama Dengan Thabaqat Berikutnya, Mustahil Bersepakat Bohong, Berdasarkan Tanggapan Pancaindera.

Hadis Ahad adalah hadis yang tidak memenuhi beberapa persyaratan hadis mutawatir.

Dalam makalah ini penulis memaparkan penjelasan tentang pegertian hadis mutawatir dan hadis ahad, pembagian hadis mutawatir dan ahad, faedah hadis mutawatir dan hadis ahad, korelasi hadis mutawatir dan hadis ahad. Di dalam makalah ini juga kami sertakan kitab-kitab yang membahas tentang hadis mutawatir dan hadis ahad, dan pendapat para ulama tentang hadis mutawatir.

Setting Historis Munculnya Hadis Mutawatir dan Hadis Ahad

Dikotomi hadits mutawatir dan ahad hanyalah ditinjau dari segi kuantitas atau jumlah rawinya saja, tidak dilihat dari segi kualitas rawinya. Keduanya mempunyai perbedaan dalam jumlah periwayatan hadis nabi, perbedaan ini muncul karena ketika nabi bersabda kepada para sahabat ataupun generasi selanjutnya sampai pada sanad yang terakhir tidak sama jumlah pendengarnya.

Sebelum pertengahan abad ke-3 H / 9 M, para ahli kalam mempunyai pemahaman bahwa sebuah hadis tidak pada teori isnad, melaikan rasionalitas mereka yang lebih ditekankan dan melihat hadis sebagai sunnah yang hidup yakni lebih melihat pada perilaku Rasulullah. Akan tetapi metode yang diungkapkan para ahli kalam tersebut sudah mulai hilang ketika sunnah beralih menjadi hadis yang lebih lengkap lagi dengan sanad dan matan. Para ahli ushul dari ahli kalam tidak mempermasalahkan tentang kualitas para perawi hadis, yang terpenting adalah permasalahan tentang jumlah orang yang meriwayatkan hadis tersebut.

Pengertian dari Hadits Mutawatir dan Hadits Ahad

1.Hadis mutawatir

a.Pengertian Hadis Mutawatir

Mutawatir menurut bahasa berarti المتتابع(al-mutatabi) yakni yang datang berikutnya atau beriring-iringan yang antara satu dengan yang lain tidak ada jaraknya.  Menurut beberapa ulama’ salah satunya adalah Mahmud at-Tahhan dalam bukunya Tafsir fii Mustalah al-Hadits, menyatakan:

مارواه عدد كثر تحيل العادة توا طؤهم على الكذب

“Hadits yang diriwayatkan oleh sejumlah perawi secara tradisi”

 Sedangkan menurut Abuu Ya’laa al-Muusilli at-Tamimi, hadits mutawatir adalah:

فالخير المتوا تر هو خبر عن محسوس أخبر به جماعة بلغوا في الكثيرة مبلغا تحيل العا دة تواطؤهم على لكذب فيه

“Suatu hadits hasil tanggapan dari panca indera, yang diriwayatkan oleh sejumlah rawi, yang menurut adat kebiasaan mustahil mereka berkumpul dan bersepakat dusta”

Jadi menurut istilah hadis mutawatir adalah hadis yang diriwayatkan oleh sejumlah perowi yang banyak pada tiap tingkatan (thabaqat) sehingga mustahil mereka sepakat untuk berbohong, dan proses tersebut dapat di indera oleh panca indera.  Dari pemaparan definisi tersebut, dapat dikatakan bahwa terdapat kriteria atau syarat-syarat hadis ditetapkan sebagai hadis mutawatir, yakni apabila:

Diriwayatkan Oleh Banyak Perawi

Para perawi hadis mutawatir syaratnya harus berjumlah banyak. Para ulama hadis mempunyai perbedaan pendapat tentang menentukan seberapa banyak perawi yang harus meriwayatkan sebuah hadis sehingga dikatakan sebagai hadis mutawatir. Ada yang berpendapat 3 orang, 4 orang, 5 orang, 10 orang, bahkan ada yang berpendapat 300 orang lebih. Dengan adanya jumlah perawi yang banyak inilah yang akan memungkinkan bahwa hadis yang disampaikan tidak memiliki keraguan terhadap kebenaran hadis tersebut.

Adanya Keseimbangan Antar Perawi Pada Thabaqat Pertama Dengan Thabaqat Berikutnya

Terdapat berbagai pendapat mengenai keseimbangan perawi pada thabaqat pertama dengan thabaqat berikutnya. Ada yang berpendapat bahwa, apabila jumlah perawi pada tingkatan awalnya tidak sama dengan tingkatan selanjutnya maka hadis tersebut tidak dapat digolongkan sebagai hadis mutawatir. Namun, pendapat lain menyatakan bahwa adanya perbedaan perawi pada setiap Thabaqat bukanlah menjadi masalah karena pada dasarnya hadis yang disampaikan sama banyaknya. Dan hal tersebut bisa dikategorikan sebagai hadis mutawatir.

Mustahil Bersepakat Bohong

Berdasarkan jumlah perawi yang banyak, maka periwayatan suatu hadis ini secara logika sangat sulit untuk bersepakat berbohong dalam periwayatannya, karena mengingat bahwa hadis yang diriwayatkan tersebut dalam jumlah yang banyak. Namun tidak dapat dipungkiri bahwa kuantitas bukan merupakan suatu hal yang mutlak ketika hadis dikatakan mutawatir atau bukan, karena realitas yang ada sekarang ini para periwayat hadispun masih ada kemungkinan untuk berbohong dalam periwayatannya.

Berdasarkan Tanggapan Pancaindera

Maksudnya adalah berita yang disampaikan itu merupakan hasil dari sesuatu yang didengar dengan telinga, dilihat dengan mata, dan bukan merupakan hasil yang disandarkan pada logika atau akal belaka. Sehingga, apabila berita tersebut merupakan hasil dari pemikiran atau logika suatu peristiwa dan bukan merupakan hasil istinbath, maka hadis tersebut tidak dapat dikatakatan sebagai hadis mutawatir. Hadis itu berdasarkan tanggapan pancaindera, misalnya ungkapan periwayatan  :

سمعنا= Kami mendengar (dari Rasulullah bersabda begini)
راينا او لمسنا= Kami sentuh atau Kami melihat (Rasulullah melakukan begini dan seterusnya)

Pembagian Hadis Mutawatir

Dalam pembagiannya, sebagian ulama membagi hadis mutawatir menjadi dua, yakni mutawatir lafdzi dan mutawatir ma’nawi. Namun ada pula yang membaginya menjadi tiga, yakni dengan menambahkan hadis mutawatir ‘amali.
Mutawatir Lafdzhi

Yang dimaksud dengan hadis mutawatir lafdzhi menurut Mahmud at-Tahhan ialah  :

المتواتراللفظي هوماتواترلفظه ومعنه

“Hadis yang mutawatir lafaz dan maknanya”.

Maksudnya adalah bahwa hadis mutawatir Lafdzhi ini merupakan hadis yang periwayatannya masih dalam satu lafaz. 

Beberapa ulama ada yang berpendapat dan menetapkan bahwa hadis mutawatir lafdzhi itu tidak ada atau sedikit sekali, karena kurang mengetahui tentang perawinya, apakah dalam meriwayatkan tersebut telah bersepakat untuk tidak berdusta atau hanya kebetulan saja. Sedangkan menurut pendapat ulama yang menetapkan adanya hadis mutawatir lafdzhi ialah menilai dari segi sedikit atau banyak jumlahnya, atau melihat dari segi makna beberapa lafaz yang sama.  

Perbedaan pendapat tersebut dapat dimaklumi karena mengingat bahwa terdapat perbedaan pula dalam hal jumlah perawi hadis mutawatir. 

Berikut adalah contoh dari hadis mutawatir lafdzhi :

مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ

“Barangsiapa berbuat dusta terhadap diriku, hendaklah ia menempati neraka”.

Dalam periwayatan hadis tersebut, muncul berbagai pendapat tentang jumlah periwayat yang meriwayatkannya, diantaranya adalah :

a.Abu Bakar al-Sairiy menyatakan bahwa hadis ini diriwayatkan secara marfu’ oleh 40 (empat puluh) sahabat.
b.Ibnu al-Shalkah berpendapat bahwa hadis ini diriwayatkan oleh 62 (enam puluh dua) sahabat, dimana 10 (sepuluh) diantaranya dijamin masuk surga.
c.Ibrahim al-Harabi dan Abu Bakar al-Bazariy mengatakan, hadis ini diriwayatkan oleh 40 (empat puluh) sahabat.
d.Abu Qasim ibn Manduh berpendapat bahwa hadis ini diriwayatkan oleh lebih dari 80 (delapan puluh) sahabat.
e.Sebagian lagi mengatakan bahwa hadis ini diriwayatkan oleh lebih dari 100 (seratus) bahkan 200 (duaratus) sahabat.

Mutawatir Ma’nawi

Yang dimaksud dengan hadis mutawatir ma’nawi adalah :

مَاتَوَاتَرَمَعْنَهُ دُوْنَ لَفْظِهِ

“Hadis yang mutawatir maknanya, bukan lafalnya”.

Ada pula yang mengatakan hadis mutawatir ma’nawi ialah  :

هُوَأَنْ يَنْقِلَ جَمَاعَةٌ يَسْتَحِيْلُ تَوَاطُؤُهُمْ عَلَى الْكَذِبِ وَوُقُوْعُهُ مِنْهُمْ مُصَادَفَةً فَيَنْتَقِلُوْا وَقَائِعَ مُخْتَلِفَةً تَشْتَرِكُ كُلَّهُنَّ فِى أَمْرٍ مُعَيَّنٍ

“Hadis yang dinukilkan oleh sejumlah orang yang mustahil mereka sepakat berdusta atau karena kebetulan. Mereka menukilkan dalam berbagai bentuk, tetapi dalam satu masalah atau mempunyai titik persamaan”

Contoh dari hadis mutawatir ma’nawi :

كَانَ النَبِيُّ صَلَىّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يَرْفَعُ يَدَيْهِ فِي شَيْءٍمِنْ دُعَائِهِ إِلَاّ فِى الْإِسْتِسْقَاءِ وَإِنَّهُ يَرْفَعُ حَتَّى يُرَى بَيَاضُ إِبْطَيْهِ

“Nabi SAW tidak mengangkat kedua tangannya dalam doa-doa beliau, kecuali dalam shalat istisqa, dan beliau mengangkat tangannya hingga tampak putih-putih kedua ketiaknya” (H.R. Bukhari)

Hadis-hadis yang semakna dengan hadis tersebut banyak sekali, lebih dari 100 (seratus) hadis.

Hadis Mutawatir ‘Amali

Perbuatan dan pengamalan syari’ah islamiyah yang dilakukan Nabi SAW secara terbuka atau terang-terangan yang kemudian disaksikan dan diikuti oleh para sahabat adalah pengertian dari mutawatir ‘amali, sebagaimana pendapat para ulama yang mengatakan bahwa:

مَا عُلِمَ مِنَ الدِّيْنِ بِاالضَرُوْرَةِوَتَوَاتِرَبَيْنَ الْمُسْلِمِيْنَ أَنْ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَعَلَهُ أَوْ أَمَرَبِهِ أَوْ غَيْرَ ذَلِكَ

“Sesuatu yang diketahui dengan mudah bahwa ia dari agama dan telah mutawatir dikalangan umat muslim (orang islam) bahwa Nabi SAW mengajarkannya atau menyuruhnya atau selain itu”. 

Contoh hadis mutawatir ‘amali adalah hadits yang menjelaskan tentang shalat baik waktu maupun rakaatnya, tentang haji, tentang zakat dan lain-lain. Semua itu bersifat terbuka dan disaksikan oleh banyak sahabat dan kemudian diriwayatkan oleh sejumlah besar kaum muslim dari masa ke masa.

Faedah Hadis Mutawatir

Hadits Mutawatir memberikan faedah ilmu yakin, karena kepastian khobarnya. Sebagaimana Al Qur’an yang diriwayatkan kepada kita secara Mutawatir dengan Mutawatir Lafdhi. Semua ini menunjukkan penjagaan Allah kepada Al Qur’an dan Sunah Nabi-Nya, Firman-Nya :

إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ

“Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Quran, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya” (QS. Al Hijr : 9).

Hadis mutawatir itu memberi faedah ilmu dharuriy atau yakin, artinya yakni suatu keharusan untuk meyakini kebenaran suatu berita dari Nabi SAW yang diriwayatkan secara mutawatir tanpa ada keraguan sedikitpun. 

Para perawi hadis mutawatir tidak perlu lagi diselidiki tentang keadilan dan kedhabitannya (kuatnya hafalan/ingatan), karena kuantitas para perawi hadis sudah menjamin tidak mungkin terjadi kesepakatan bohong.

Ibnu Thaimiyah mengatakan bahwa suatu hadis dianggap mutawatir oleh sebagian golongan lain dan kadang-kadang telah membawa keyakinan bagi suatu golongan tetapi tidak bagi golongan lain. Barang siapa yang telah meyakini akan kemutawatiran suatu hadis, wajib baginya mempercayai kebenarannya dan mengamalkan sesuai tuntutannya. Sedang bagi orang yang belum mengetahui dan meyakini akan kemutawatirannya, wajib baginya mempercayai dan mengamalkan suatu hadis mutawatir yang disepakati oleh para ulama sebagaimana kewajiban mereka mengikuti ketentuan-ketentuan hukum yang disepakati oleh imam. 

Pendapat ulama’ tentang Hadits Mutawatir

Di kalangan para ulama’ terdapat berbagai macam pendapat mengenai hadits mutawatir ini. Mereka berbeda-beda dalam memberikan tanggapan, sesuai dengan disiplin ilmu yang mereka miliki, diantaranya adalah :

1.Ahli hadits mutaqaddimin, tidak terlalu mendalam dalam memberikan bahasan, sebab hadits mutawatir itu pada hakikatnya tidak dimasukkan ke dalam pembahasan masalah-masalah, seperti:

a.Ilmu Isnad yaitu ilmu matarantai sanad, artinya sebuah disiplin ilmu yang hanya membahas masalah shahih dan tidaknya, diamalkan dan tidaknya suatu hadits.

b.Ilmu Rijal Al-Hadits, artinya semua pihak yang terkait dengan persoalan periwayatan hadits dan metode penyampaiannya.

Oleh sebab itu, jika status hadits itu mutawatir, maka kebenaran didalamnya wajib diyakini dan semua isi yang terkandung didalamnya wajib diamalkan, sekalipun diantara para perawinya orang kafir.

2.Ahli hadits mutaakhirin dan ahli Ushul berpendapat bahwa hadits dapat disebut dengan mutawatir jika memiliki kriteria-kriteria atau syarat-syarat sebagaimana yang telah dijelaskan diatas.

Korelasi hadits mutawatir dengan kualitas hadits

Sebagian ulama mengatakan bahwa hadits mutawatir hanya dikaji dari segi jumlah perawinya saja dan tidak tertuju pada kajian kualitas dari perawi tersebut. Sehingga hadits mutawatir tidak termasuk ke dalam pembahasan ilmu hadits, ini disebabkan bahwa ilmu hadits menilai shahih atau tidaknya suatu hadits dilihat dari para perawi dan cara penyampaian periwayatannya. Sedangkan dalam hadits mutawatir, kualitas pribadi para perawinya tidak dijadikan acuan atau sasaran pembahasan. Dengan demikian, maka hadits mutawatir tidak membutuhkan kajian tentang isnad dikarenakan yang dibutuhkan hadits mutawatir hanya jumlah atau kuantitas bukan kualitas perawinya. Oleh karena itu, bukan berarti karena hadits mutawatir memiliki banyak perawi hadits sehingga bisa disebut sebagai hadits shahih. Hadits mutawatir bisa saja berstatus shahih, hasan, maupun dha’if dikarenakan kualitas dari hadits tersebut itu sendiri.Sehingga “bisa saja” dikatakan, bahwa hadits mutawatir itu tidak melihat dari segi jumlah atau kuantitas melainkan kualitas pribadi dari perawi hadits tersebut. 

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dalam “Majmu Fatawa” (4/48) berkata :
وَالصَّحِيحُ الَّذِي عَلَيْهِ الْجُمْهُورُ : أَنَّ التَّوَاتُرَ لَيْسَ لَهُ عَدَدٌ مَحْصُورٌ وَالْعِلْمُ الْحَاصِلُ بِخَبَرِ مِنْ الْأَخْبَارِ يَحْصُلُ فِي الْقَلْبِ ضَرُورَةً كَمَا يَحْصُلُ الشِّبَعُ عَقِيبَ الْأَكْلِ وَالرِّيِّ عِنْدَ الشُّرْبِ وَلَيْسَ لَمَّا يَشْبَعُ كُلُّ وَاحِدٍ وَيَرْوِيه قَدْرٌ مُعَيَّنٌ ؛ بَلْ قَدْ يَكُونُ الشِّبَعُ لِكَثْرَةِ الطَّعَامِ وَقَدْ يَكُونُ لِجَوْدَتِهِ كَاللَّحْمِ وَقَدْ يَكُونُ لِاسْتِغْنَاءِ الْآكِلِ بِقَلِيلِهِ ؛ وَقَدْ يَكُونُ لِاشْتِغَالِ نَفْسِهِ بِفَرَحِ أَوْ غَضَبٍ ؛ أَوْ حُزْنٍ وَنَحْوِ ذَلِكَ

“Yang benar, sebagaimana yang dipilih mayoritas ulama bahwa, Mutawatir tidak memiliki batasan tertentu. Ilmu didapatkan dengan khobar dari pengabaran yang didapatkan oleh hati secara dharurat, sebagaimana didapakatkan rasa kenyang setelah makan dan minum. Tidaklah sama takaran kenyang untuk masing-masing individu dengan ukuran-ukuran tertentu. Terkadang rasa kenyang didapatkan karena banyak makannya, namun bisa juga karena kualitas makanannya, seperti daging, atau sudah merasa cukup dengan makanan yang sedikit dan bisa juga karena faktor dirinya yang tidak berselera, karena sedang gembira atau marah atau lagi sedih dan yang semisalnya”.

Ada beberapa riwayat yang ditunjukkan untuk membuktikan bahwa hadits mutawatir tidak berdasarkan pada kualitas perawi, yaitu riwayat tentang hadits berdusta atas nama Nabi :

وحدثنا محمدبن عبيد الغبري حدثنا أبو عوانة عن أبي حصين عن ابي صالح عن أبي هريرة قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلممَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ

“Imam Muslim menyatakan, telah menyampaikan kepada kami (dengan menggunakan metode sama) dari Muhammad bin Ubaid al-Ghobiri, telah menyampaikan kepada kami dari Abu ‘Awanah dari Husain dari Abi Salih dari Abu Hurairah, dia berkata: Rasulullah SAW bersabda: Barang siapa berdusta atas namaku secara sengaja, maka bersiap-siaplah menduduki kedudukannya di dalam neraka” (HR. Muslim)

Hadits tersebut merupakan hadits mutawatir dan berstatus shahih. 

Kitab-kitab yang membahas tentang hadits mutawatir

Sebagian ulama telah mengumpulkan hadits-hadits mutawatir dalam sebuah kitab tersendiri. Diantara kitab-kitab tersebut adalah :

1.Al-Azhar Al-Mutanatsirah fi Al-Akbar Al-Mutawatirah, karya As-Suyuthi. Dalam kitab tersebut, As Suyuthi menyusun bab demi bab dan setiap hadits diterangkan sanad-sanadnya yang dipakai oleh pentakhrijnya. 
2.Qathf Al-Azhar, karya As-Suyuthi, ringkasan dari kitab diatas.
3.Al-La’ali’ Al-Mutanasirah fi Al-Hadits Al-Mutawatirah, karya Abu Abdillah Muhammad bin Thulun Ad-Dimasyqi.
4.Nazm Al-Mutanasirah min Al-Hadits Al-Mutawatirah, karya Muhammad bin Ja’far Al-Kattani.
5.Ithaf Dzawil Fadha’il al-Musythahirah bi Maa Waqaa’ min Ziyadah ‘Alaa al-AzharAl-Mutanasirah min Al-Hadits Al-Mutawatirah, karya ustadz Syeikh Abdul ‘Aziz al-Ghammari.
6.Luqt al-Liaalii Al-Mutanasirah fi Al-Hadits Al-Mutawatirah, karya Abii al-Faidh Muhammad Murtadhaa al-Husainii az-Zubaidii al-Misri.

2.Hadis Ahad

Pengertian hadits Ahad

Hadits ahad yaitu hadits yang para rawinya tidak melebihi jumlah rawi hadits mutawatir, tidak memenuhi persyaratan mutawatir serta tidak mencapai derajat mutawatir sebagaimana dinyatakan dalam kaidah ilmu hadits  : 

مَالَمْ تَبْلُغُ نَقْلَتُهُ فِى الْكَثِرَةِ مَبْلَغَ الْخَبَرِ الْمُتَوَاتِرْ سَوَاءٌ كَانَ الْمُخْبِرُ وَاحِدًا أَوْ اِثْنَيْنِ أَوْ ثَلَاثًا اَوْ اَرْبَعَةً اَوْ خَمْسَةَ اَوْ إِلَى غَيْرِ ذَلِكَ مِنَ الْأَعْدَادِ الَّتِى لَا تَشْعُرُ بِأَنَّ الْخَبَرَ دَخَلَّ بِهَا فِى خَبَرِالْمُتَوَاتِرِ

“Khabar yang jumlah perawinya tidak mencapai batasan jumlah perawi hadis mutawatir, baik perawi itu satu, dua, tiga, empat, lima dan seterusnya yang tidak memberikan pengertian bahwa jumlah perawi tersebut tidak sampai kepada jumlah perawi hadits mutawatir”


Adapula yang meriwayatkan hadits ahad sebagai  :
هُوَمَا لَايَنْتَهِى إِلَى التَّوَاتُرِ

“Hadits yang tidak mencapai derajat mutawatir”

Pembagian hadits ahad

Berdasarkan jumlah rawi dari tiap-tiap thabaqah, Hadits ahad dibagi menjadi 3 macam, yaitu: masyhur, ‘aziz, dan gharib.

Hadits Masyhur 

Hadits Masyhur menurut bahasa, yaitu (al-intisyar wa al-dzuyu’) sesuatu yang sudah tersebar dan populer. Hadits ini dinamakan Masyhur karena telah tersebar luas dikalangan masyarakat. Kemudian maksud dari hadits Masyhur, ialah  :

مَارَوَاهُ الثَّلَاثَةُ فَأَكْثَرَوَلَمْ يَصِلْ دَرَجَةَ التَّوَاتُرِ

“Hadits yang diriwayatkan oleh tiga orang atau lebih, serta belum mencapai derajat mutawatir.”

Hadits masyhur ini ada yang berstatus shahih, hasan, dan dhaif . Yang dimaksud dengan hadits  masyhur shahih adalah hadits masyhur yang telah memenuhi ketentuan-ketentuan hadits shahih, baik pada sanad maupun matannya, seperti hadits Ibnu ‘Umar:

إِذَاجَاءَأَحَدُكُمُ الْجُمُعَةَ فَلْيَغْتَسِلْ(رواه البخارى)

“Bagi siapa yang hendak pergi melaksanakan shalat jum’at, hendaknya ia mandi”. (HR. Bukhari)

Sedangkan yang dimaksud dengan hadits masyhur hasan adalah hadits masyhur yang telah memenuhi ketentuan-ketentuan hadis hasan, baik mengenai sanad maupun matannya, seperti sabda Rasulullah SAW :

لَاضَرَرَوَلَاضِرَارَ

“Jangan melakukan perbuatan yang berbahaya (bagi diri sendiri dan orang lain)”

Kemudian yang dimaksud dengna hadits masyhur dha’if ialah hadits masyhur yang tidak mempunyai syarat-syarat hadits shahih dan hasan, baik sanand maupun matannya, seperti halnya hadis berikut:

طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيْضَةٌعَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ وَمُسْلِمَةٍ

“Menuntut ilmu merupakan kewajiban bagi muslim laki-laki dan perempuan”

Dalam istilah, hadits masyhur terbagi menjadi dua macam. Macam-macam hadits masyhur tersebut antara lain  :

1)Masyhur Ishthilahi

Yang dimaksud dengan Masyhur Ishthilahi yakni :

مَا رَوَاهُ ثَلَاثَةٌ فَأَكْثَرَ فِى كُلِّ طَبَقَةٍ مِنْ طَبَقَاتِ السَّنَدِمَالَمْ يَبْلُغْ حَدَّالتَّوَاتُرِ

“Hadits yang diriwayatkan oleh tiga orang atau lebih pada setiap tingkatan (thabaqah) pada beberapa tingkatan sanad tetapi tidak mencapai kriteria mutawatir”

Contoh hadits Masyhur Ishthilahi :

إِنَّ اللهَ لاَ يَقْبِضُ الْعِلْمَ انْتِزَاعًا يَنْتَزِعُه مِنَ الْعِبَادِ...

Hadits diatas diriwayatkan 3 orang sahabat, yaitu Ibnu Amru, Aisyah, dan Abu Hurairah. Dengan demikian, hadits ini masyhur di kalangan sahabat karena terdapat 3 sahabat yang meriwayatkan hadits tersebut.

2)Masyhur Ghayr Ishthilahi

Istilah Masyhur Ghayr Ishthilahi, berarti:

مَااشْتُهِرَعَلَى الأَلْسِنَةِمِنْ غَيْرِ شُرُوْطٍ تُعْتَبَر

“Hadits yang populer pada ungkapan lisan (para ulama) tanpa ada persyaratan yang definitif”

Hadits Masyhur Ghayr Ishthilahi adalah hadits yang populer atau terkenal dikalangan kelompok tertentu, sekalipun jumlah periwayatnya tidak mencapai 3 orang atau lebih. Popularitas hadits ini tidak dilihat dari jumlah banyaknya perawi yang meriwayatkan, melainkan popularitas hadits itu sendiri dikalangan ulama dalam bidang ilmu tertentu.

Misalkan hadis yang populer dikalangan ulama fiqih saja :

أَبْغَضُ الْحَلَالِ إِلَى اللهِ الطَّلَاقُ

“Sesuatu yang halal yang paling dimurkai oleh Allah adalah talak” (HR. Al-Hakim)

Hadits tersebut populer dikalangan ulama fiqih dan juga diriwayatkan oleh satu perawi saja, sehingga hadits tersebut bisa dikatakan sebagai hadits masyhur ghayr ishthilahi.

Hadits ‘Aziz

‘Aziz berasal dari kata ‘Azza-Ya’izzu yang berarti sedikit atau jarang adanya, dan juga bisa berasal dari kata ‘Azza-Ya’azzu yang berarti kuat.

Sedangkan menurut istilah, Hadits ‘Aziz adalah :

مَارَوَاهُ اِثْنَانِ وَلَوْكَانَ فِى طَبَقَةٍوَاحِدَةٍثُمَّ رَوَاهُ بَعْدَذَلِكَ جَمَاعَةٌ

“Hadits yang diriwayatkan oleh dua orang, sekalipun dua orang ini ditemukan masih dalam satu generasi, kemudian setelah itu ada banyak orang yang sama meriwayatkan”

Dinamakan Aziz karena kelangkaan hadits ini. Sedangkan pengertiannya adalah hadits yang jumlah perowinya tidak kurang dari dua.

Contoh:

حَدَّثَنَا يَعْقُوبُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ قَالَ حَدَّثَنَا ابْنُ عُلَيَّةَ عَنْ عَبْدِ الْعَزِيزِ بْنِ صُهَيْبٍ عَنْ أَنَسٍ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ح و حَدَّثَنَا آدَمُ قَالَ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَنْ قَتَادَةَ عَنْ أَنَسٍ قَالَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَالِدِهِ وَوَلَدِهِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ


“Rasulullah SAW, bersabda: Tidak sempurna iman salah satu diantara kamu sekalian sampai aku lebih dicintainya daripada ia mencintai dirinya sendiri, orang tuanya, anak-anaknya, dan semua manusia”

Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Bukhori dan Muslim dari dua sahabat yakni Anas dan Abi Hurairoh. Hadis aziz juga ada yang sahih, hasan dan dhaif tergantung pada terpenuhi atau tidaknya ketentuan –ketentuan yang berkaitan dengan sahih, hasan dan dhoif.

Hadits Gharib

Dari segi bahasa kata Gharib berarti sendirian, terisolir jauh dari kerabat, asing, sulit dipahami. Sedangkan dari segi istilah adalah :

مَا تَفَرَّدَبِرِوَايَتِهِ شَخْصٌ وَاحِدٌ فِى أَيَّ مَوْضِعٍ وَقَعَ التَفَرُّدُ بِهِ السَّنَدُ

“Hadits yang dalam sanadnya terdapat seorang yang menyendiri dalam meriwayatkannya, dimana saja penyendirian dalam sanad itu terjadi”

Bisa juga dikatakan bahwa hadits Gharib adalah hadis yang periwayatannya dilakukan oleh seorang perawi yang menyendiri tanpa ada orang lain lagi yang meriwayatkannya.
Ada dua macam Hadits Gharib, antara lain  :

1)Gharib Mutlak, yaitu:

هُوَمَا كَانَتِ الْغَرَبَةُ فِي أَصْلِ سَنَدِهِ وَأَصْلِ السَّنَدِ هُوَطَرَفَهُ الَّذِي فِيْهِ الصَّحَا بِي

“Hadits yang Gharabah-nya (perawinya satu orang) terletak pada pokok sanad. Pokok sanad adalah ujung sanad yaitu seorang sahabat.”

Gorib mutlaq terjadi apabila penyendirian perawi hanya terdapat pada satu thabaqat. Contoh :

أَخْبَرَنَا عَلِىُّ بْنُ أَحْمَدَ أَخْبَرَنَا عَلِىُّ بْنُ أَحْمَدَ بْنِ عَبْدَانَ أَنْبَأَنَا سُلَيْمَانُ بْنُ أَحْمَدَ اللَّخْمِىُّ حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ عَبْدِ الْبَاقِى الأَذَنِىُّ حَدَّثَنَا أَبُو عُمَيْرِ بْنُ النَّحَّاسِ حَدَّثَنَا ضَمْرَةُ عَنْ سُفْيَانَ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ دِينَارٍ عَنِ ابْنِ عُمَرَ عَنِ النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – قَالَ : الْوَلاَءُ لُحْمَةٌ كَلُحْمَةِ النَّسَبِ لاَ يُبَاعُ وَلاَ يُوهَب‎

“kekerabatan dengan jalan memerdekakan, sama dengan kekerabatan dengan nasab, tidak boleh dijual dan tidak boleh dihibahkan”.

Hadis ini diterima dari Nabi oleh Ibnu Umar dan dari Ibnu Umar hanya Abdullah bin Dinar saja yang meriwayatkanya. Sedangkan Abdulallah bin Dinar adalah seorang tabiin hafid, kuat ingatannya dan dapat dipercaya.

إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِاالنِّيَاتِ وَإِنَّمَا لِكُلٍّ امْرِئٍ مَا نَوَى

Hadits diatas diriwayatkan oleh sahabat Umar bin Khattab langsung dari Nabi saw., dan dari Umar diriwayatkan oleh Alqamah bin Waqqash Al-Laitsi, kemudian Muhammad bin Ibrahim, kemudian Yahya bin Sa’id Al-Khudri. Dengan demikian hadits diatas dikatakan Hadits Gharib Mutlak dikarenakan hanya sahabat Umar bin Khattab yang meriwayatkannya.

2)Gharib Nisby (Relatif), yaitu :

مَا كَانَتِ الْغَرَبَةُ فِي أَثْنَاءِ سَنَدِهِ

“Hadits yang terjadi gharabah (perawinya satu orang) ditengah sanad.”

Misalkan hadits yang diriwayatkan Anas r.a :

عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ النَّبِّيَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَخَلَ مَكَّةَ وَعَلَى رَأْسِهِ الْمِغْفَرِ

“Dari Anas r.a bahwa Nabi Saw masuk ke kota Makkah diatas kepalanya mengenakan igal.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Hadits tersebut dikalangan tabi’in hanya Malik yang meriwayatkannya dari Az-Zuhri. Boleh jadi pada awal sanad dan akhir sanad lebih dari satu orang, namun ditengah-tengahnya terjadi gharabah, artinya hanya seorang saja yang meriwayatkannya. Gharabah Nisbi ini terbagi menjadi 3 macam, yakni sebagai berikut :

a)Muqayyad bi ats-tsiqah

Ke-gharib-an perawi hadits dibatasi pada sifat ke-tsiqah-an (kepercayaan) seorang atau beberapa orang perawi saja, misalnya:

عَنْ اَبِي وَاقِدٍ اَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَقْرَأُ فِي الْأَضْحَى وَالْفِطْرى

“Dari Abu Waqid bahwa Nabi Saw membaca surah Qaf dan Iqtarabat As-Sa’ah pada shalat Idul adha dan Idul Fitri.”
Hadits diatas hanya diriwayatkan oleh Dhamrah bin Sa’id secara gharabah (sendirian) dari Ubaidillah bin Abdullah dari Abu Waqid. Dikalangan para perawi yang tsiqah tidak ada yang meriwayatkannya selain dia.

b)Muqayyad bil al-balad

Disebut sedemikian rupa karena suatu hadits diriwayatkan oleh penduduk tertentu ysedang penduduk lain tidak meriwayatkannya. Misalkan hadis yang diriwayatkan oleh rawi-rawi yang berasal dari Basrah saja :

أُمِرْنَا أَنْ نَقْرَأُ بِفَا تِحَةِ الْكِتَابِ وَمَا تَيَسَّرَ

“Kami diperintahkan agar membaca Al-Fatihah dan surah yang mudah dari Al-Qur’an.”

Hadits tersebut diriwayatkan oleh Abu Dawud dari Ath-Thayalisi dari Hamman dari Abu Qatadah dari Abu Nadhrah dari Abu Sa’id yang mana mereka adalah penduduk yang berasal dari Basrah.

c)Muqayyad al-rawi

Maksudnya adalah bahwa periwayatan suatu hadits dibatasi dengan perawi hadits tertentu, misalnya hadits dari Sufyan bin Uyaynah dari Wa’il bin Dawud dari putranya Bakar bin Wa’il dari Az-Zuhri dari Anas, bahwa:

اَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَوْ لَمْ عَلَى صَفِيَّةَ بِسَوِيْقٍ وَتَمْرٍ

Hadits diatas diriwayatkan oleh Abu Dawud, At Tirmidzi, An Nasa’i dan Ibnu Majah. Tidak ada yang meriwayatkannya dari Bakar selain Wa’il dan tidak ada yang meriwayatkannya dari Wa’il kecuali Ibnu Uyaynah.

Faedah Hadits Ahad 

Hadits-hadits ahad memiliki faedah-faedah sebagai berikut:

Pertama, menunjukkan dugaan kuat (zhann), yaitu dugaan terkuat akan keabsahan penisbatan hadits tersebut kepada orang yang menjadi sumber penukilan. Hal itu berbeda-beda sesuai dengan derajatnya. Hadits ahad bisa juga memberikan faedah ilmu (yaqiin) jika memiliki berbagai indikasi (qaraa’in) yang menguatkan hal itu dan dikuatkan oleh dalil pokok (yaitu Al-Qur’an atau hadits shahih).

Kedua, mengamalkan kandungannya, yaitu dengan membenarkannya jika berupa berita dan menerapkannya (melaksanakannya) jika berupa tuntutan.

Kriteria Hadits Ahad 

Adapun yang berkaitan dengan perawi hadits (sanad) adalah bahwa mereka harus adil, dhabit, paham dengan hadits yang disampaikan, melakukan apa yang telah diriwayatkannya, menyampaikan hadits dengan huruf-hurufnya, serta mengetahui perubahan makna hadits dari lafal hadits yang sebenarnya.

Sedangkan persyaratan yang berkaitan dengan substansi hadits, yakni:
1.Sanadnya bersambung dengan Rasulullah.
2.Terhindar dari Syuzuz (kejanggalan-kejanggalan) dan ‘Illat (cacat).
3.Tidak bertentangan dengan as-Sunnah al-Masyhurah serta tidak bertentangan dengan prilaku sahabat dan tabi’in.
4.Sebagian ulama’ salaf tidak mencela hadits tersebut.
5.Tidak terdapat penambahan dalam sanad dan matannya.

Korelasi hadits ahad dengan kualitas hadits

Pembagian hadits ahad yang dibedakan menjadi masyhur, ‘aziz dan gharib tidak bertentangan dengan pembagian hadits ahad pada shahih, hasan dan dha’if. Sebab pembagian hadits ahad pada 3 macam tersebut, bukan bertujuan untuk menentukan makbul dan mardudnya suatu hadits, tetapi bertujuan untuk mengetahui banyak sedikitnya sanad. Sedangkan pembagian hadits ahad pada shahih, hasan dan dha’if adalah bertujuan untuk menentukan dapat diterima atau ditolaknya suatu hadits.

Dengan demikian hadits ahad ini ada yang berkualitas shahih, hasan dan dha’if. Maka dari itu, tidak setiap hadits ahad berkualitas dha’if. Adakalanya berkualitas shahih, apabila memenuhi syarat-syarat yang dapat diterima dan tidak bertentangan dengan hadits-hadits terdahulu. Hanya saja, pada umumnya, apabila ada hadits ahad berkedudukan shahih itu sangat jarang bahkan sangat sedikit jumlahnya.
Ali bin al-Husain berpendapat bahwa yang dikatakan hadits yang baik itu, ialah yang telah dikenal dan dipopulerkan dalam pembicaraan oleh masyarakat. 

Kitab-kitab yang membahas tentang hadits ahad

Berikut ini kitab-kitab yang didalamnya berisi tentang hadits mayhur:

1.Al-Maqasid al-Hasanah fi ma Isytahara ‘ala al-Alsinah, karya As-Sakhawi.
2.Kasyf Al-Khafa’ wa Muzill al-Ibbas fi ma Isytahara min al-Hadits ‘ala Alsinah an-Nas, karya Al-Ajaluni.
3.Tamyiz Ath-Thayyib min Al-Khabits fi ma Yadur ‘ala Alsinah An-Nas min Al Hadits, karya Ibnu ad-Daiba Asy-Syaibani.
Kitab-kitab yang didalamnya terdapat banyak hadits Gharib, yakni :
1.Athraf al-Gharaib wa Al-Afrad, karya Muhammad bin Thahir Al-Maqsidi.
2.Al-Afrad, karya Ad-Daruquthni
3.Al-Hadits ash-Shihah wa al-Gharaib, karya Yusuf bin Abdurrahman Al-Mizzi Asy-Syafi’i.
4.Musnad al-Bazzar.
5.Al-Mu’jam Al-Awsath, karya Ath-Thabarani.

Takhtimah

Dari penjelasan di atas kita dapat menyimpulkan bahwa jika hadist ditinjau dari segi jumlah perawi atau sumber berita, hadist dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu hadist mutawatir dan hadist ahad.

Hadist mutawatir adalah hadist yang diriwayatkan oleh banyak rawi baik dari thabaqat pertama (sahabat) sampai kepada thabaqat yang terakhir (thabi’it thabi’in). Dilihat dari cara periwayatannya, hadist mutawatir dapat dibagi menjadi dua bagian yakni:
1)Hadist mutawatir lafdzi yaitu Hadis yang mutawatir lafaz dan maknanya.
2)Hadist mutawatir ma’nawi adalah Hadis yang mutawatir maknanya, bukan lafalnya.
3)Hadits mutawatir ‘amali adalah Sesuatu yang diketahui dengan mudah bahwa ia dari agama dan telah mutawatir dikalangan umat muslim (orang islam) bahwa Nabi SAW mengajarkannya atau menyuruhnya atau selain itu.

Lawan dari hadits mutawatir adalah hadist ahad  yakni hadist yang dilihat dari perawinya tidak mencapai tingkat mutawatir  atau terkadang mendekati jumlah hadist mutawatir. Berbeda dengan hadist mutawatir, hadist ahad mengalami pencabangan. Pencabangan ini dilatar belakangi oleh jumlah perawi dalam masing-masing thabaqat. Dalam hadist ahad dikenal dengan istilah hadist masyhur, hadist aziz, dan hadist gharib.

1.Hadist masyhur adalah hadist yang diriwayatkan oleh tiga orang atau lebih perawi hadist tetapi belum mencapai tingkat mutawatir.
2.Hadist aziz adalah hadist yang diriwayatkan oleh dua orang walaupun jumlah dimaksud hanya terdapat dalam satu thabaqat.,kemudian setelah itu orang-orang meriwayatkannya.
3.Hadist gharib adalah hadist yang dalam sanadnya hanya terdapat seorang perawi hadist.

Semo Bermanfaat ‎

 

Doa Nabi Sulaiman Menundukkan Hewan dan Jin

  Nabiyullah Sulaiman  'alaihissalam  (AS) merupakan Nabi dan Rasul pilihan Allah Ta'ala yang dikaruniai kerajaan yang tidak dimilik...