Selasa, 24 November 2020

Budaya Suku Serawai Bengkulu


Suku Serawai adalah suku bangsa dengan populasi terbesar kedua yang hidup di daerah Bengkulu. Sebagian besar masyarakat suku Serawai berdiam di kabupaten Bengkulu Selatan, yakni di kecamatan Sukaraja, Seluma, Talo, Pino, Kelutum, Manna, dan Seginim. Suku Serawai mempunyai mobilitas yang cukup tinggi, saat ini banyak dari mereka yang ‎merantau ke daerah-daerah lain untuk mencari penghidupan baru, seperti kekabupaten Kepahiang, kabupaten Rejang Lebong, kabupaten Bengkulu Utara, dan sebagainya.

Secara tradisional, suku Serawai hidup dari kegiatan di sektor pertanian, khususnya perkebunan. Banyak di antara mereka mengusahakan tanaman perkebunan atau jenis tanaman keras, misalnya cengkeh,kopi, kelapa, dan karet. Meskipun demikian, mereka juga mengusahakan tanaman pangan, palawija, hortikultura, dan peternakan untuk kebutuhan hidup.

Kata Serawai sendiri masih belum jelas artinya, sebagian orang mengatakan bahwa Serawai berarti "satu keluarga", hal ini tidak mengherankan apabila dilihat rasa persaudaraan atau kekerabatan antar sesama suku Serawai sangat kuat (khususnya mereka yang menumpang hidup di komunitas suku bangsa lainnya/merantau). Selain itu ada pula tiga pendapat lain mengenai asal kata Serawai, yaitu :

Serawai berasal dari kata Sawai yang berarti cabang. Cabang di sini maksudnya adalah cabang dua buah sungai yaknisungai Musi dan sungai Seluma yang dibatasi oleh bukit Campang;
Serawai berasal dari kata Seran. Kata Seran sendiri bermakna celaka, hal ini dihubungkan dengan legenda anak raja dari hulu yang dibuang karena terkenapenyakit menular. Anak raja ini dibuang kesungai dan terdampar di muara, kemudian di situlah anak raja tersebut membangunnegeri.
Serawai berasal dari kata selawai yang berarti gadis atau perawan. Pendapat ini berdasarkan pada cerita yang mengatakan bahwa suku Serawai adalah keturunan sepasang suami-istri. Sang suami berasal dari Rejang Sabah (penduduk asli pesisir pantai Bengkulu) dan istrinya adalah seorang putri atau gadis yang berasal dariLebong. 

Dalam bahasa Rejang dialek Lebong, putri atau gadis disebut selawai. Kedua suami-isteri ini kemudian beranak-pinak dan mendirikan kerajaan kecil yang oleh orang Lebong dinamakan Selawai.
Aksara Serawai
Suku bangsa Serawai juga telah memiliki tulisan sendiri. Tulisan itu, seperti halnyaaksara Kaganga, disebut oleh para ahli dengan nama huruf Rencong. Suku Serawai sendiri menamakan tulisan itu sebagai Surat Ulu. Susunan bunyi huruf pada Surat Ulu sangat mirip dengan aksara Kaganga. Pada masa lalu para pemimpin-pemimpin suku Rejang dan Serawai dapat saling berkomunikasi dengan menggunakan aksara tersebut.

Sejarah Suku Serawai

Asal usul suku Serawai masih belum bisa dirumuskan secara ilmiah, baik dalam bentuk tulisan maupun dalam bentuk-bentuk publikasi lainnya. Sejarah suku Serawai hanya diperoleh dari uraian atau cerita dari orang-orang tua. Sudah tentu sejarah tutur seperti ini sangat sukar menghindar dari masuknya unsur-unsurlegenda atau dongeng sehingga sulit untuk membedakan dengan yang bernilaisejarah. Ada satu tulisan yang ditemukan dimakam Leluhur Semidang Empat Dusun yang terletak di Maras, Talo. Tulisan tersebut ditulis di atas kulit kayu dengan menggunakan huruf yang menyerupaihuruf Arab kuno. Namun sayang sekali sampai saat ini belum ada di antara para ahli yang dapat membacanya.

Berdasarkan cerita para orang tua, suku bangsa Serawai berasal dari leluhur yang bernama Serunting Sakti bergelar Si Pahit Lidah. Asal usul Serunting Sakti sendiri masih gelap, sebagian orang mengatakan bahwa Serunting Sakti berasal dari suatu daerah di Jazirah Arab, yang datang ke Bengkulu melalui kerajaan Majapahit. Di Majapahit, Serunting Sakti meminta sebuah daerah untuk didiaminya, dan oleh Raja Majapahit dia diperintahkan untuk memimpin di daerah Bengkulu Selatan. Ada pula yang berpendapat bahwa Serunting Sakti berasal dari langit, ia turun ke bumi tanpa melalui rahim seorang ibu. Selain itu, ada pula yang berpendapat bahwa Serunting Sakti adalah anak hasil hubungan gelap antara Puyang Kepala Jurai dengan Puteri Tenggang.

Di dalam Tembo Lebong terdapat cerita singkat mengenai seorang puteri yang bernama Puteri Senggang. Puteri Senggang adalah anak dari Rajo Megat, yang memiliki dua orang anak yakni Rajo Mawang dan Puteri Senggang. Dalam tembo tersebut kisah mengenai Rajo Mawang terus berlanjut, sedangkan kisah Puteri Senggang terputus begitu saja. Hanya saja ada disebutkan bahwa Puteri Senggang terbuang dari keluarga Rajo Mawang.

Apabila kita simak cerita tentang kelahiran Serunting Sakti, diduga ada hubungannya dengan kisah Puteri Senggang ini dan ada kemungkinan bahwa Puteri Senggang inilah yang disebut oleh orang Serawai dengan nama Puteri Tenggang. Dikisahkan bahwa Puyang Kepala Jurai yang sangat sakti jatuh cinta kepada Puteri Tenggang, tapi cintanya ditolak. Namun berkat kesaktiannya, Puyang Kepala Jurai dapat melakukan hubungan seksual dengan puteri Tenggang, tanpa disadari oleh puteri itu sendiri. Akibat dari perbuatan ini Puteri Tenggang menjadi hamil. Setelah Puteri Tenggang melahirkan seorang anak perempuan yang diberi nama Puteri Tolak Merindu barulah terjadi pernikahan antara Putri Tenggang dengan Puyang Kepala Jurai, itupun dilakukan setelah Puteri Tolak Merindu dapat berjalan dan bertutur kata.

Setelah pernikahan tersebut, keluarga Puyang Kepala Jurai belum lagi memperoleh anak untuk jangka waktu yang lama. Kemudian Puyang Kepala Jurai mengangkat tujuh orang anak, yaitu: Semidang Tungau, Semidang Merigo, Semidang Resam, Semidang Pangi, Semidang Babat, Semidang Gumay, dan Semidang Semitul. Setelah itu barulah Puyang Kepala Jurai memperoleh seorang putera yang diberi nama Serunting. Serunting inilah yang kemudian menjadi Serunting Sakti bergelar Si Pahit Lidah. Serunting Sakti berputera tujuh orang, yaitu :

Serampu Sakti, yang menetap di Rantau Panjang (sekarang termasuk marga Semidang Alas), Bengkulu Selatan dan Pagaralam;
Gumatan, yang menetap di Besemah Padang Langgar, Pelang Kenidai, Pagaralam;
Serampu Rayo, yang menetap di Tanjung Karang Enim, Lematang Ilir Ogan Tengah (LIOT);
Sati Betimpang, yang menetap di Ulak Mengkudu, Ogan;
Si Betulah, yang menetap di Saleman Lintang, Lahat;
Si Betulai, yang menetap di Niur Lintang, Lahat;
Bujang Gunung, yang menetap di Ulak Mengkudu Lintang, Lahat.
Putera Serunting Sakti yang bernama Serampu Sakti mempunyai 13 orang putera yang tersebar di seluruh tanah Serawai. Serampu Sakti dengan anak-anaknya ini dianggap sebagai cikal-bakal suku Serawai. Putera ke 13 Serampu Sakti yang bernama Rio Icin bergelar Puyang Kelura mempunyai keturunan sampai ke Lematang Ulu dan Lintang.

PERKENALAN BUJANG GADIS

Perkenalan bujang gadis terjadi dirumah si gadis, apabila bujang ingin berkenalan dengan si gadis, bujang harus kerumah si gadis dan terlebih dahulu diterima oleh orang tua sang gadis, untuk mengenali lebih dekat gadis pujaanya, bujang harus merayu orangtuanya dengan bahsa yang halus ”perambak” selain dengan kata-kata yang halus harus pula merendahkan diri.

Apabila bujang sudah mendapatkan hati sang orang tua maka orang tua tersebut akan segera “membangunkan” anak gadisnya, yang biasanya sudah terlebihdahulu mengintip dari balik kain pintu. Gadis akan segerakeluar apabila dia ada hati dengan tamunya, tetapi apabila si gadis tidak tertarik pada si bujang maka si gadis tidak akan keluar dari kamarnya.‎

Maka berkenalanlah mereka pada malam itu dan apabila mereka setuju akan meneruskan hubungan mereka hingga ke pelaminan.

PERTUNANGAN

Pertunangan ini berawal dari kesepakatan antara bujang gadis, yang kemudian akan mengatakan kepada orang tua masing-masing. Kemudian pada hari pertunangan tersebut datanglah keluarga si bujang kerumah si gadis dengan membawa 30 batang lemang.

Dalam pertunangan ini terjadi beberapa syarat :

a. apabila terjadi pembatalan pernikahan dari pihak perempuan, maka uang yang diantarkan pada pertunangan ini akan dikembalikan kepada pihak laki-laki dengan jumlah dua kali lipat.

b. apabila terjadi pembatalan pernikahan dari pihak laki-laki maka uang yang akan dikembalikan dari pihak perempuan jumlahnya tetap.

Dalam pertunangan ini akan ditetapkan kapan harinya akan dilangsungkan hari pernikahannya apakah akan dilangsungkan selama 3 bulan lagi, 4 bulan lagi, atau 5 bulan lagi tergantung dari kesepakatan.‎

Selama dalam jangka waktu tersebut bujang akan datang kerumah gadis yang kemudian akan diajak si calon mertua bekerja seperti : membuat dangau, membuat anjung, membantu calon mertua mengurus sawah, lading yang milik ayah dari si gadis tadi, dan bukan milik orang lain.

PERGANTIAN NAMA

Pergantian nama disini maksudnya pergantian nama panggilan atau “tuturan”. Yang dimaksudkan supaya tata cara bicara panggilan lebih halus dan lebih baik dan lebih enak didengar dilingkungan setempat.

Pergantian nama panggilan ini terjadi setelah selesai acara pertunangan bisa ditentukan apakah dan siapakah panggilan yang cocok. Dan ketika si bujang bermalam di rumah si gadis, dalam arti si bujang pun akan bertemu dengan sanak saudara family si gadis dan si bujang pun harus mengetahui apa yang akan dipanggilkannya kepada sanaknya tersebut.

Si bujang bisa menanyakan perihal panggilan nama kepada bapak calon mertuanya bagaimana dia bisa menyapa sanak saudaranya si gadis tadi.

PERNIKAHAN

Pernikahan ini terjadi setelah ada persetujuan dari keduabelah pihak sanak saudara dari kedua calon mempelai. Calon suami datang bersama rombongannya kerumah mempelai wanita dengan membawa 30 batang lemang, mas kawin dan segala keperluan pernikahan dirumah calon istri. Sebelum masuk kerumah mempelai, terlebih dahulu di sambut tuan rumah dengan sejenis pantun yang kemudia disusul dengan tarian. Dimana sebelumnya dari kedua belah pihak sudah menyipkan penari masing-masing yang akan menari seperti pencak silat dengan memakai pedang.

Setelah itu, sesudah mereka berpencak silat, mulailah para tetuah dari kedua belah pihak mempelai menari dengan iringan kelintang calon suami istri pun ikut menari.

Setelah itu barulah mereka masuk kedalam rumah untuk melaksanakan akad nikah .

Akad nikah

Sebelum akad nikah terlebih dahulu diadakan suatu pengajian yang dilakukan bersama-sama dengan iringan rebana. Barulah akad nikah mengucapkan ijab Kabul dengan disaksikan oleh sanak saudara

Peresmian pernikahan

· Balai : bagi yang mampu mendirikan bangunan ini dengan dinding yang terbuat dari daun nyiur (daun kelapa), atap rembia, dengan beberapa kamar-kamar untuk tempat bujang gadis penggilan dari tiap Desa.

PERGI KERUMAH SANAK SAUDARA

Kegiatan ini terjadi setelah selesai njamu dirumah mempelai, setelah kegiatan dirumah sang penganten baru sudah agak reda, maksudnya setelah sanak saudara yang bermalam disana sudah pulang semua, berarti kegiatan ini terjadi setelah satu atau dua minggu peresmian pernikahan.‎

Mempelai yang melakukan kegiatan ini sudah menjadi pengantin baru disebut bebaruan. Kedua pengantin baru ini pergi kerumah sanak-sanak baik terdekat maupun yag jauh. Sanak yang didatangi biasanya masih ada hubungan darah ataupun ada ikatan-ikatan yang lain misalnya teman seperjuangan bapak mereka yang dianggap sudah dekat didalam keluarga, ayah angkat, ibu angkat yang tidak tinggal satu rumah dengan kedua mempelai.

Tujuan pergi kerumah sanak family ini adalah untuk meminta doa restu dalam mereka akan memulai menempuh hidup baru yang akan mereka jalani dan juga untuk mengetahui lebih dekat sanak family yang diantara kedua mempelai mengenal mereka.

HUKUM WARIS

Pengaturan hukum waris, tergantung kepada perjanjian sebulum akad nikah. Memang kulo yang ditentukan sebelum akad nikah sangat penting fungsinya, karena kulo tersebut yang akan mengatur yang menyangkut persoalan keluarga. Dalam hal hukum waris juga ditentukan oleh kulo, yaitu sebagai berikut :‎

Kulo bejujugh atau kulo reto . pelaksanaan kulo ini adalahistri seolah-olah sudah dibeli oleh suami, sehingga si istri sudah kehilangan hak waris dari orang tuanya. Jadi istri tidak berhak untuk menuntut pembagian harta dari pejadi muanai atau orang tuanya. Suami pun tidak berhak untuk menuntut pembagian harta dari mertuanya, malah sampai hubungan pada orang tua istri sudah putus. Andaikata suami meninggal dunia, maka hak tersebut diwariskan kepada istrinya, selama istri tersebut belum kawin. Kalau istri sudah kawin lagi, maka seluruh hak diwariskan kepada anaknya.

Andaikata terjadi perceraian antara suami istri, maka istri boleh pergi, dengan membawa pakaian dibadan, dan istri tidak bisa menuntut harta yang didapat bersama.

Kulo semendo masuak kampung dalam hal ini suami seolah-olah sudah dibeli oleh istri, karenanya suami sudah kehilangan hak untuk mewarisi harta orang tuanya, walaupun dia selaku anak laki-laki. Yang mewarisi harta suami istri tersebut adalah anak-anaknya.

Kulo semendo merdiko dalam hal ini suami atau pihak istri, masih tetap mempunyai hak waris terhadap harta orang tuanya. Anadaikata terjadi perceraian, maka harta yang didapat bersama dibagi dua. Juga yang bisa mewarisi hartanya adalah anaknya yang tidak kehilangan hak waris. Andaikata suami istri tidak mempunyai keturunan, maka hartanya diwariskan kepada orang tua kedua belah pihak.

HUBUNGAN KEKERABATAN

Hubungan kekerabatan juga dipengaruhi oleh kulo sebelum terjadi akad nikah. Kalau yang dipakai kulo reto, maka hubungan istri dengan kedua orang tuanya seolah-olah sudah terputus. Andaikata istri mau pergi bertandang kerumah orang tuanya, istri harus minta izin, setelah mendapat izin baru boleh masuk kedalam rumah orang tuanya. Dalam hal ini,istri sudah dianggap orang lain. Begitu juga hubungannya dengan saudar-saudaranya dan dengan paman, bibi, serta kaum kerabat lainnya. Suami tetap menghormati mertuanya, tetapi hubungan suami tidak akrab dengan pihak mertuanya. Begitu juga hubungan kekerabatan pada jenis kulo semendo masuak kampung. Hubungan suami dengan orang tua atau saudara-saudaranya serta dengan kaum kerabat lainnya, serta antara istri dan mertua tidak akrab.

Lain halnya dengan jenis kulo semendo merdiko . dalam pengaturan kulo ini, suami atau istri bebas mencari dimana mau tinggal. Justru itu pergaulan antara anak dan orang tua atau pergaulan antara menantu dan mertua akrab sekali. Begitu juga pergaulan antara saudara-saudaranya serta kepada kaum kerabat lainnya. Antara menantu dan mertua terjalin hubungan akrab sebagaimana antara anak dan orang tuanya sendiri. Demikian juga antara ipar, paman dan bibi akan saling membantu dalam menghadapi kesulitan, musibah, dan lainnya.

Masyarakat Suku Serawai

Bentuk kekerabatan lama orang Serawai adalah keluarga luas (klan) bilateral, terdiri dari satu keluarga batih senior ditambah dengan beberapa keluarga batih yunior keturunan mereka. Adat menetap sesudah kawin mereka sebut kulo, yaitu perjanjian sebelum kawin untuk menentukan tempat tinggal. Sifat bilateral hanya kentara dalam soal menganut perkawinan, tetapi garis keturunannya cenderung patrilineal. Keluarga luas tersebut terbentuk karena adanya hubungan genealogis dari seorang kakek (payang) yang sama. 

Bentuk kekerabatan ini mereka sebut junghai atau sepuyang. Beberapa junghai bisa bergabung karena punya asal usul dari puyang yang sama, gabungan ini disebut jungku atau kepuyangan. Setiap jughai dipimpin oleh seorang jughai tuo. Setiap jungku dipimpin oleh seorang jungku tuo yang dipilih dan diangkat oleh para jughai tuo. Sebuah kampung biasanya didiami oleh beberapa jungku, pemimpinnya disebut jughangau dusun, pemimpinnya disebut jughangau dusun, kekuasaannya dulu meliputi masalah adat dan religi.

Dusun-dusun orang Serawai dikelompokkan ke dalam beberapa marga. Kepala marga disebut pasirah dan diberi gelar Khalifah. Untuk mengatur dusun-dusun yang ada dalam kekuasaannya, maka pasirah dibantu oleh beberapa depati. Satu diantaranya diangkat sebagai mangku atau depati utama.

Stratifikasi sosial yang orang Serawai zaman lampau cukup tajam. Mereka mengenal adanya golongan tinggi yang terdiri dari pasirah, mangku, depati, penghulu dan anak-anak mereka. Golongan kedua adalah kaum ulama, cerdik pandai dan pedagang besar. Kemudian baru disebut golongan rakyat biasa.

Alat musik tradisional orang Serawai adalah kelintang, rebana, rebab atau redab, suling, gendang dan sebagainya. Alat-alat ini dimainkan untuk mengiringi tari-tarian seperti tari, Lelawan, Kebanyakkan, Dang Kumbang, Ari Mabuk, Lagu Duo, Tari Pedang dan sebagainya. Selain itu mereka juga mengenal seni bertutur yang disebut berejung, yaitu acara berbalas pantun antara orang muda.

Agama Dan Kepercayaan Suku Serawai

Pada masa sekarang orang Serawai telah memeluk agama Islam. Namun sisa keyakinan animisme masih ada, ini terlihat dari beberapa macam upacara animisme yang masih dilaksanakan, seperti upacara membasua dusun (bersih desa) yang dipimpin oleh Jeghangau Dusun.

 

Sejarah Kerajaan Lamuri Yang Terlupakan


Kesultanan Lamuri adalah nama sebuah kerajaan yang terletak di daerah kabupaten Aceh Besar dengan pusatnya di Lam Reh, kecamatan Mesjid Raya. Kerajaan ini adalah kerajaan yang lebih dahulu muncul sebelum berdirinya Kesultanan Aceh Darussalam, dan merupakan cikal bakal kesultanan tersebut.

Sumber asing menyebut nama kerajaan yang mendahului Aceh yaitu "Lamuri", "Ramni", "Lambri", "Lan-li", "Lan-wu-li". Penulis Tionghoa Zhao Rugua (1225) misalnya mengatakan bahwa "Lan-wu-li" setiap tahun mengirim upeti ke "San-fo-chi" (Sriwijaya). Nagarakertagama (1365) menyebut "Lamuri" di antara daerah yang oleh Majapahit diaku sebagai bawahannya. Dalam Suma Oriental-nya, penulis PortugisTomé Pires mencatat bahwa Lamuri tunduk kepada raja Aceh.

Data tentang sejarah berdirinya Kesultanan Lamuri masih simpang siur. Data yang pernah dikemukakan sejumlah orang tentang kesultanan ini masih bersifat spekulatif dan tentatif. Tulisan ini masih sangat sederhana dan bersifat sementara karena keterbatasan data yang diperoleh.

Secara umum, data tentang kesultanan ini didasarkan pada berita-berita dari luar, seperti yang dikemukakan oleh pedagang-pedagang dan pelaut-pelaut asing (Arab, India, dan Cina) sebelum tahun 1500 M. Di samping itu, ada beberapa sumber lokal, seperti Hikayat Melayu dan Hikayat Atjeh, yang dapat dijadikan rujukan tentang keberadaan kesultanan ini.

Data tentang lokasi kesultanan ini juga masih menjadi perdebatan. W. P. Groeneveldt, seorang ahli sejarah Belanda, menyebut bahwa kesultanan ini terletak di sudut sebelah barat laut Pulau Sumatera, kini tepatnya berada di Kabupaten Aceh Besar. Ahli sejarah lainnya, H. Ylue menyebut bahwa Lambri atau Lamuri merupakan suatu tempat yang pernah disinggahi pertama kali oleh para pedagang dan pelaut dari Arab dan India. Menurut pandangan seorang pengembara dan penulis asing, Tome Pires, letak Kesultanan Lamuri adalah di antara Kesultanan Aceh Darusalam dan wilayah Biheue. Artinya, wilayah Kesultanan Lamuri meluas dari pantai hingga ke daerah pedalaman.

Menurut T. Iskandar dalam disertasinya De Hikayat Atjeh (1958), diperkirakan bahwa kesultanan ini berada di tepi laut (pantai), tepatnya berada di dekat Krueng Raya, Kabupaten Aceh Besar, Provinsi Nangroe Aceh Darussalam. H. M. Zainuddin, salah seorang peminat sejarah Aceh, menyebutkan bahwa kesultanan ini terletak di Aceh Besar dekat dengan Indrapatra, yang kini berada di Kampung Lamnga. Peminat sejarah Aceh lainnya, M. Junus Jamil, menyebutkan bahwa kesultanan ini terletak di dekat Kampung Lam Krak di Kecamatan Suka Makmur, Kabupaten Aceh Besar, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.

Berdasarkan sejumlah data di atas, sejarah berdirinya dan letak kesultanan ini masih menjadi perdebatan di kalangan pakar dan pemerhati sejarah Aceh. Namun demikian, dapat diprediksikan bahwa letak Kesultanan Lamuri berdekatan dengan laut atau pantai dan kemudian meluas ke daerah pedalaman. Persisnya, letak kesultanan ini berada di sebuah teluk di sekitar daerah Krueng Raya. Teluk itu bernama Bandar Lamuri. Kata “Lamuri” sebenarnya merujuk pada “Lamreh” di Pelabuhan Malahayati (Krueng Raya). Istana Lamuri sendiri berada di tepi Kuala Naga (kemudian menjadi Krueng Aceh) di Kampung Pande sekarang ini dengan nama Kandang Aceh.

Berdasarkan sumber-sumber berita dari pedagang Arab, Kesultanan Lamuri telah ada sejak pertengahan abad ke-IX M. Artinya, kesultanan ini telah berdiri sejak sekitar tahun 900-an Masehi. Pada awal abad ini, Kerajaan Sriwijaya telah menjadi sebuah kerajaan yang menguasai dan memiliki banyak daerah taklukan. Pada tahun 943 M, Kesultanan Lamuri tunduk di bawah kekuasaan Sriwijaya. Meski di bawah kekuasaan Sriwijaya, Kesultanan Lamuri tetap mendapatkan haknya sebagai kerajaan Islam yang berdaulat. Hanya saja, kesultanan ini memiliki kewajiban untuk mempersembahkan upeti, memberikan bantuan jika diperlukan, dan juga datang melapor ke Sriwijaya jika memang diperlukan.

Menurut Prasasti Tanjore di India, pada tahun 1030 M, Kesultanan Lamuri pernah diserang oleh Kerajaan Chola di bawah kepemimpinan Raja Rayendracoladewa I. Pada akhirnya, Kesultanan Lamuri dapat dikalahkan oleh Kerajaan Chola, meskipun telah memberikan perlawanan yang sangat hebat. Bukti perlawanan tersebut mengindikasikan bahwa Kesultanan Lamuri bukan kerajaan kecil karena terbukti sanggup memberikan perlawanan yang tangguh terhadap kerajaan besar, seperti Kerajaan Chola.

Berdasarkan sumber-sumber berita dari pedagang Arab, Kesultanan Lamuri merupakan tempat pertama kali yang disinggahi oleh oleh pedagang-pedagang dan pelaut-pelaut yang datang dari India dan Arab. Ajaran Islam telah dibawa sekaligus oleh para pendatang tersebut. Berdasarkan analisis W. P. Groeneveldt, pada tahun 1416 M semua rakyat di Kesultanan Lamuri telah memeluk Islam. Menurut sebuah historiografi Hikayat Melayu, Kesultanan Lamiri (maksudnya adalah Lamuri) merupakan daerah kedua di Pulau Sumatera yang diislamkan oleh Syaikh Ismail sebelum ia mengislamkan Kesultanan Samudera Pasai. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa Kesultanan Lamiri jelas merupakan salah satu kerajaan Islam di Aceh.

Menurut Hikayat Atjeh, salah seorang sultan yang cukup terkenal di Kesultanan Lamuri adalah Sultan Munawwar Syah. Konon, ia adalah moyang dari salah seorang sultan di Aceh yang sangat terkenal, yaitu Sultan Iskandar Muda. Pada akhir abad ke-15, pusat pemerintahan Kesultanan Lamuri dipindahkan ke Makota Alam (kini dinamakan Kuta Alam, Banda Aceh) yang terletak di sisi utara Krueng Aceh. Pemindahan tersebut dikarenakan adanya serangan dari Kerajaan Pidie dan adanya pendangkalan muara sungai. Sejak saat itu, nama Kesultanan Lamuri dikenal dengan nama Kesultanan Makota Alam.

Dalam perkembangan selanjutnya, tepatnya pada tahun 1513 M, Kesultanan Lamuri beserta dengan Kerajaan Pase, Daya, Lingga, Pedir (Pidie), Perlak, Benua Tamian, dan Samudera Pasai bersatu menjadi Kesultanan Aceh Darussalam di bawah kekuasaan Sultan Ali Mughayat Syah (1496-1528 M). Jadi, bisa dikatakan bahwa Kesultanan Lamuri merupakan bagian dari cikal bakal berdirinya Kesultanan Aceh Darussalam. Nama kesultanan ini berasal dari salah satu desa di Kabupaten Aceh Besar, yang pusat pemerintahannya berada di Kampung Lamreh.

Berita tentang kerajaan Lamuri diperoleh dari suatu prasasti, yang di tulis pada masa raja Rajendra Cola I pada tahun 1030 di Tanjore ( India Selatan ) serangan Rajendra Cola I, mengakibatkan beberapa kerajaan di Sumatera dan semenanjung Melayu menjadi lemah (1023/1024) dan disebutkan bahwa Rajendra Cola I mengalahkan Ilmauridacam ( Lamuri ) yang telah memberikan perlawanan yang hebat dan dapat dikalahkan dalam suatu pertempuran habis-habisan. Penyerangan terhadap Lamuri di ujung pulau Sumatera dilakukan karena kerajaan Lamuri merupakan bagian dari kerajaan Sriwijaya yang sebelumnya juga mendapatkan serangan dari kerajaan Cola pada tahun 1017 M dan tahun 1023/1024M. maka dapat disimpulkan bahwa kerajaan ini diperkirakan sudah mulai berdiri pada abad ke IX dan sudah mempunyai angkatan perang yang kuat dan hebat, dibuktikan ketika dengan susah payah diserang oleh kerajaan Cola barulah dapat dikalah kan oleh prajurit kerajaan Cola. Ini membuktikan bahwa kerajaan Lamuri adalah suatu kerajaan yang mempunyai pemerintahan yang teratur dan kuat pada zamannya. Tentu saja untuk mengatur pemerintahan yang teratur dan kuat angkatan perangnya Lamuri memerlukan sumber-sumber kekayaan yang dihasilkan dari kegiatan perekonomian,pertanian dan lain-lain.Tentang nama Lamuri diperoleh banyak versi, ada Lamuri seperti yang disebutkan oleh Marcopolo, ada Ramini atau Ramni sebagaimana yang disebutkan oleh orang-orang Arab, sejarah Melayu pun menyebut Lamuri dan orang-orang Tionghoa menyebut Lan-li,Lan-wuli dan Nanpoli. Seorang saudagar Arab yang bernama Ibnu Khurdadbah (885) menyebutkan bahwa Ramni mempunyai hasil alam berupa kemenyan, bambu, kelapa,gula,beras,kayu cendana. 

Sedangkan saudagar Sulaiman (851) ketika setelah melewati lautan India bahwa daerah yang dikunjungi nya adalah Ramni. Abu Zayd Hasan (916) menyebut Rami,juga menceritakan tentang hasil alam dari Rami/Lamuri yaitu kapur barus dan kemenyan, demikian juga dengan Mas’udi (945) dia menyebut Al-Ramin, dimana didapati tambang emas dan letaknya dekat dengan daerah Fansur/Barus yang termasyur dengan kapurnya. Seorang muslim Parsi yang bernama Buzurg ( 955). Tatkala menunjuk Sriwijaya menyebutkan letaknya di Selatan Lamuri. Dan menurut Buzurg, dari pantai Barus dapat dilakukan perjalanan darat ke Lamuri.Dr. Solomon Muller menulis berita tertentu tentang suatu kerajaan di ujung pulau Sumatera, bersumber dari abad ke-9. dia mengutip Renaudot dalam “ Anciannes relations des Indes et de la Chine” Paris 1718. Dalam buku ini diperkenalkan nama dua pulau yaitu Ramni dan Fantsoer, dan diceritakan letaknya antara laut Harkand (India) dengan laut Sjalahath ( selat Malaka) di daerah Ramni juga terdapat binatang gajah, dan di perintah oleh berbagai kekuasaan. Sedangkan Fansur disebut kaya dengan kapurnya dan tambang emas. Telah diceritakan tentang Lamuri atau Lamri atau nama lain yang mirip,terletak di ujung Sumatera utara yaitu di Aceh Besar sekarang. Dan telah diceritakan bahwa Lamuri pun ikut terpukul oleh serangan dari Rajendra Cola I, walaupun tidak sampai runtuh pada tahun 1023 dan 1024.
Dan kira-kira 75 tahun kemudian kerajaan Majapahit melakukan serangan ke Sumatera, diantara yang diserang termasuk kerajaan Samudera Pasai dan Lamuri. Sesudah serangan Majapahit, Lamuri juga pernah didatangi oleh Laksamana Cheng Ho (1414 )Dari akibat peristiwa yang berlangsung dalam lebih kurang tiga abad ( serangan Cola,serangan Majapahit dan akhirnya Cheng Ho ) tentunya Lamuri pada akhirnya menjadi lemah. Timbullah di bekasnya beberapa kampong yang akhirnya bersatu atau disatukan kembali dibawah kekuasaan seorang raja, dan kemudian terdengarlah berbagai nama disamping akan lenyapnya Lamuri, diantaranya Darul Kamal, Meukuta Alam, Aceh Darussalam dan juga disebut nama Darud Dunia.Dan disekitar masa itu juga terdengar adanya kerajaan Pedir ( di Pidie ). Menurut Veltman sumber Portugis mengatakan bahwa sultan Ma’ruf Syah Raja Pedir Syir Duli. Itu pernah menaklukkan Aceh Besar pada tahun 1497, dan diangkatnya dua orang wakil satu di Aceh Besar dan satu lagi di Daya.Seorang Sejarahwan yang bernama Husein Djajadiningrat mengeluarkan pendapat yang berasal dari dua naskah hikayat tentang asal mula raja Lamuri dan raja kerajaan Aceh Darussalam. Pertama (122) Hikayat yang dimulai asal raja Aceh ( Lamuri ) yang bernama Indra Syah ( mungkin yang dimaksud adalah Maharaja Indra Sakti ). 

Dan dikatakan bahwa raja Indra Syah pernah berkunjung ke Cina. Kemudian hikayatnya berhenti sampai disitu, dan tiba-tiba hikayat itu menceritakan Syah Muhammad dan Syah Mahmud, dua bersaudara putera dari raja, Syah Sulaiman kemudian mempunyai dua orang anak yaitu raja Ibrahim dan puteri Safiah. Sedangkan Syah Mahmud setelah menikah dengan bidadari Madinai Cendara juga mempunyai dua orang anak yaitu, raja Sulaiman dan puteri Arkiah, dan kemudian dikisahkan juga kalau Sulaiman di nikah kan dengan sepupunya Safiah dan Ibrahim dinikahkan dengan sepupunya yang bernama Arkiah, pernikahan ini merupakan usulan dari kakek mereka yang bernama raja Munawar Syah.Dikatakan pula raja Munawar Syah yang dimaksudkan memerintah di kerajaan Lamuri. Hikayat ini juga melanjutkan cerita tentang lahirnya dua orang putera yang bernama Musaffar Syah yang memerintah di Mekuta Alam dan Inayat Syah yang memerintah di Darul Kamal. Kedua raja ini tidak henti-hentinya salaing berperang, peperangan tersebut kemudian dimenangkan oleh raja Musaffar Syah yang kemudian menyatukan dinasti Meukuta Alam dengan dinasti Darul Kamal. 

Dan dikatakan juga bahwa Inayat Syah berputera Firman Syah Paduka Almarhum, kemudian Firman Syah berputera Said Al-Mukammil yang kemudian beberapa orang anak diantara nya Paduka Syah Alam Puteri Indra Bangsa bunda Sri Sultan perkasa Alam Johan Berdaulat ( Sultan Iskandar Muda Meukuta Alam ). Jadi Said Al-Mukammil merupakan kakek sultan Iskandar Muda dari sebelah ibu. Selain itu Sultan Alaidin Al-Mukammil mempunyai beberapa orang putera, salah satunya adalah sultan Muda Ali Ri’ayat Syah (1604-1607 ), yang merupakan paman dari Sultan Iskandar Muda.Naskah kedua (124) yang dimaksud dalam pembicaraan Husein Djajadiningrat mengenai hikayat raja-raja Lamuri ( Aceh ), dimana hikayat ini yang dibuat silsilah berpangkal pada Sultan Johan Syah ( mungkin maksudnya Meurah Johan atau Sultan Alauddin Johan Syah yang merupakan putera raja Lingge, Adi Genali. Dan kemudian menikah dengan Puteri Blieng Indra Kusuma). Berbeda dengan hikayat yang pertama,hikayat ini menentukan hari,tanggal dan bulan tahunnya. Pada permulaan disebutkan bahwa Johan Syah memerintah dimulai pada tahun Hijrah 601 ( atau tahun 1205 M ), lamanya 30 tahun. 

Dia digantikan oleh anaknya yang tidak disebutkan namanya, sultan kedua meninggal dan digantikan oleh anakanya yang bernama Ahmad Syah yang memerintah selama 34 tahun 2 bulan 10 hari, hingga mangkat nya pada ( 885 Hijrah ). Kemudian kekuasaan diserahkan kepada anaknya yang bernama sultan Muhammad Syah yang memerintah selama 43 tahun. Pada masa itu sultan Muhammad Syah menceritakan pemindahan kota dan pembangunan kota baru yang diberi nama Darud Dunia, sultan ini meninggal pada tahun 708 Hijrah. Berpegang pada tahun ini maka pembangunan Darud Dunia adalah sekitar tahun 700 Hijrah atau kira-kira tahun 1260 Masehi.Sesudah sultan Muhammad Syah meninggal, maka yang naik tahta menjadi raja adalah Mansur Syah yang memerintah selama 56 tahun 1 bulan 23 hari. Ia kemudian digantikan oleh anakanya yang bernama raja Muhammad pada tahun 811 Hijrah yang memerintah selama 59 tahun 4 bulan 12 hari dan meninggal pada tahun 870 Hijrah. Raja Muhammad kemudian digantikan oleh Husein Syah selama 31 tahun 4 bulan 2 hari untuk kemudian digantikan oleh anaknya yang bernama sultan Ali Ri’ayat Syah yang memerintah selama 15 tahun 2 bulan 3 hari, meninggal pada tanggal 12 Ra’jab 917 Hijrah ( atau tahun 1511 Masehi ).

Atas dasar hikayat-hikayat yang di telitinya itu, Husein Djajadiningrat telah membuat rentetan nama raja-raja Aceh ( Lamuri ). Yang memerintah semenjak Johan Syah (1205 Masehi ) sebagai berikut;
1.      Sultan Johan Syah Hijrah -601-631
2.      Sultan Ahmad -631-662
3.      Sri Sultan Muhammad Syah, anak Sultan ke-2, berumur setahun ketikaMulai naik tahta pergi dari Kandang Dan membangun kota Darud Dunia Hijrah -665-708
4.      Firman Syah, anak Sultan ke-3 -708-755
5.      Mansur Syah -755-811
6.      Alauddin Johan Syah, anak sultan ke-5,Mulanya bernama Mahmud -811-870
7.      Sultan Husin Syah -870-901
8.      Ri’ayat Syah ( Mughayat Syah?-MS) -901-907
9.      Salahuddin, digantikan oleh no.10 (adiknya) -917-946
10.  Alau’ddin ( Alkahar?-MS) adik no.9. -946-975.
            
Sebagai yang dapat diperhatikan dari ke 10 nama raja-raja diatas, tidak ada didapati nama sultan yang bernama Musaffar Syah, tidak pula ada nama Inayat Syah dan Syamsu Syah. Padahal nama-nama itu dapat dibuktikan adanya dari nukilan pada makam mereka yang dijumpai kemudian.
            
Nama Musaffar Syah terdapat dalam naskah yang tersebut lebih dulu, sementara nama Mahmud Syah sebagai pembangun kota Darud Dunia terdapat pada naskah yang tersebut ke-2. Suatu penemuan penting adalah makam sultan Musaffar Syah, didapati tidak di Meukuta Alam, ditempat dimana dia pernah bertahta,akan tetapi disuatu kampung bernama Biluy,IX mukim,termasuk wilayah Aceh Besar juga. Pada batu nisannya ternukil tahun meninggalnya yaitu 902 Hijrah atau 1497 Masehi.
            
Lamuri Hingga ke Aceh Darussalam Sekitar tahun 1059-1069 Masehi, kerajaan Tiongkok yang berada di Cina menyerang kerajaan Lamuri ( Indra Purba ), yang pada masa itu diperintah oleh maharaja Indra Sakti yang waktu itu masih memeluk agama Hindu. Tetapi tentara Tiongkok dapat dikalahkan oleh sebanyak 300 orang dibawah pimpinan Syaikh Abdullah Kan’an ( bergelar Syiah Hudan,turunan Arab dari Kan’an ) dari kerajaan Peurlak. Maharaja Indra Sakti dan seluruh rakyatnya akhirnya masuk agama Islam. Maharaja Indra Sakti mengawinkan puterinya, Puteri Blieng Indra Kusuma dengan Meurah Johan yang ikut menyerang tentara Tiongkok, yang merupakan putera Adi Genali atau Teungku Kawee Teupat yang menjadi raja Lingge. Dua puluh lima tahun kemudian,maharaja Indra Sakti meninggal dunia, dan diangkatlah menantunya Meurah Johan menjadi raja dengan gelar Sultan Alaiddin Johan Syah, dimana kerajaan Indra Purba atau Lamuri menjadi kerajaan Islam, dan ibu kota kerajaan dibuat yang baru yaitu di tepi sungai krueng Aceh sekarang dan dinamai dengan Bandar Darussalam.
            
Pada masa sultan Alaiddin Ahmad Syah yang memerintah dari tahun 1234-1267 Masehi, baginda berhasil merebut kembali kerajaan Indra Jaya dari kekuasaan tentara Tiongkok. Pada masa Sultan Alauddin Johan Mahmud Syah yang memerintah dari tahun 1267-1309 Masehi. Beliau berhasil mengislamkan daerah Indrapuri dan Indrapatra. Dan sultan Alauddin Johan Mahmud Syah juga membangun dalem atau keraton ( Istana) yang di namai dengan Darud Dunia ( Rumah dunia ). Dan mesjid raya Baiturrahman di Kutaraja ( Banda Aceh ) pada tahun 1292 Masehi. Istana adalah lambang rumah dunia,sementara mesjid adalah lambang rumah akhirat. Keseimbangan atau harmoni inilah yang menandai system nilai sosial budaya masyarakat Aceh yang terkenal sangat religius. Pada masa sultan Alaiddin Husain Syah yang memerintah dari tahun 1465-1480 Masehi, beberapa kerajaan kecil dan Pidie bersatu dengan kerajaan Lamuri yang sudah berganti nama menjadi kerajaan Darussalam, dan dalam sebuah federasi yang kemudian diberi nama kerajaan Aceh, sedangkan ibu kota kerajaan dirubah menjadi Bandar Aceh Darussalam. Pada masa sultan Alaiddin Syamsu Syah yang memerintah dari tahun 1497-1511,ia membangun istana baru yang dilengkapi dengan sebuah mesjid yang diberi nama mesjid Baiturrahman.‎‎

Para Raja

Dari lebih kurang 84 batu nisan yang tersebar di 17 komplek pemakaman, terdapat 28 batu nisan yang memiliki inskripsi. Dari ke-28 batu nisan tersebut diperoleh sebanyak 10 raja yang memerintah Lamuri, 8 orang bergelar malik ‎dan 2 orang bergelar sultan.‎

Malik Syamsuddin (wafat 822 H/1419 M)
Malik 'Alawuddin (wafat 822 H/1419 M)
Muzhhiruddin. Diperkirakan seorang raja, tanggal wafat tidak diketahui.
Sultan Muhammad bin 'Alawuddin (wafat 834 H/1431 M)
Malik Nizar bin Zaid (wafat 837 H/1434 M)
Malik Zaid (bin Nizar?) (wafat 844 H/1441 M)
Malik Jawwaduddin (wafat 842 H/1439 M)
Malik Zainal 'Abidin (wafat 845 H/1442 M)
Malik Muhammad Syah (wafat 848 H/1444 M)‎
Sultan Muhammad Syah (wafat 908 H/1503 M)
Di Lam Reh terdapat makam Sultan Sulaiman bin Abdullah (wafat 1211), penguasa pertama di Indonesia yang diketahui menyandang gelar "sultan". Penemuan arkeologis pada tahun 2007 mengungkapkan adanya nisan Islam tertua di Asia Tenggara yaitu pada tahun 398 H/1007 M. Pada inskripsinya terbaca:Hazal qobri [...] tarikh yaumul Juma`ah atsani wa isryina mia Shofar tis`a wa tsalatsun wa tsamah […] minal Hijri. ‎

Periode Pemerintahan

Kesultanan Lamuri berumur sekitar lebih dari 6 abad karena terhitung sejak tahun 900-an hingga tahun 1513. Kesultanan ini berakhir setelah menyatu bersama dengan beberapa kerajaan lain di Aceh ke dalam Kesultanan Aceh Darussalam.

Wilayah Kekuasaan

Wilayah kekuasaan Kesultanan Lamuri mencakup daerah yang kini dikenal sebagai wilayah administratif Kabupaten Aceh Besar, Provinsi Nangroe Aceh Darussalam, Indonesia.

Struktur Pemerintahan

Struktur pemerintahan Kesultanan Lamuri tidak jauh berbeda dengan struktur pemerintahan yang berlaku di Kesultanan Samudera Pasai karena kedua kesultanan ini memiliki pola pemerintahan yang berdasarkan pada konsep Islam dan konsep maritim (kelautan). Dalam struktur pemerintahan Kesultanan Lamuri, sultan merupakan penguasa yang tertinggi. Ia dibantu oleh sejumlah pejabat lainnya, yaitu seorang perdana menteri, seorang bendahara, seorang komandan militer Angkatan Laut (dengan gelar laksamana), seorang sekretaris, seorang kepala Mahkamah Agama (atau disebut sebagai qadhi), dan beberapa orang syahbandar yang bertanggung jawab pada urusan pelabuhan (biasanya juga berperan sebagai penghubung komunikasi antara sultan dan pedagang-pedagang dari luar).

Kehidupan Sosial-Budaya

Kesultanan Lamuri merupakan kerajaan laut agraris. Artinya, dasar kehidupan masyarakat di kesultanan ini di samping mengandalkan hasil pertanian juga mengandalkan hasil perdagangan yang dilakukan masyarakat sekitar dengan pedagang-pedagang dari luar, seperti dari Arab, India, dan Cina. Hasil perdagangan yang dimaksud berupa lada dan jenis rempah-rempah lain, emas, beras, dan hewan ternak. Hasil-hasil perdagangan tersebut memang telah mengundang perhatian banyak perdagangan dari luar untuk datang ke Lamuri dan wilayah Aceh secara keseluruhan.

Pembahasan

Kebesaran Lamuri (kini disebut Lamreh) ditandai dengan keberadaan bangunan-bangunan benteng diperkirakan merupakan perkembangan selanjutnya atau bahkan bersamaan dengan keberadaan makam-makam tersebut. Beberapa pendapat menyebutkan bahwa bangunan-bangunan pertahanan yang ada merupakan peralihan fungsi dari bentuk yang ada sebelumnya, sehingga dapat disimpulkan bahwa jauh sebelumnya, setidaknya telah ada suatu pemukiman yang cukup maju. Pembangunan bangunan-bangunan pertahanan tidak berhenti sampai disitu. Pada masa belakangan, disaat kekuasaan dipegang oleh Sultan Ali Riayat Syah pada sekitar tahun 1604 M terdapat pembangunan benteng yang dilakukan oleh Portugis di Kuta Lubuk, hal ini sangat kontradiktif dengan kenyataan bahwa di dalam benteng tersebut di temukan makam dengan nisan bertipe plakpling yang dibaca oleh Suwedi Montana, yang menunjukkan angka tahun yang jauh lebih tua daripada pembangunan pembangunan benteng tersebut. Pembacaan yang dilakukan oleh Suwedi Montana terhadap salah satu nisan adalah sebagai berikut:
assulthan Sulaiman bin Abdullah bin al Basyir Tsamaniata wa sita mi’ah 680 H
( 1211 M) ‎ apabila kematian Sultan Sulaiman bin Abdullah bin Al Basyir adalah pada tahun 680 H (1211 M), berarti jauh sebelum itu di Lamreh, lokasi benteng Kutha Lubuk, sudah berkembang Agama Islam. Hal ini diketahui dari nama ayah dan kakek Sultan Sulaiman (Abdullah bin Basyir) yang berbau Islam. 

Pertanggalan tersebut menunjukkan umur yang lebih tua dibandingkan dengan nisan Sultan Malik as-Shaleh di Samudera Pasai -yang berangka tahun 696 H (1297 M)- yang dikenal sebagai daerah asal mula penyebaran Islam. Yang menjadi pertanyaan adalah, apabila bangunan benteng tersebut dibangun pada masa belakangan oleh Portugis, untuk apa keberadaan makam tersebut terawetkan di dalam lokasi benteng ?, yang notabene merupakan makam-makam Sultan yang merupakan lawan politiknya. Namun seperti kita ketahui bahwa bangunan benteng tersebut sangat kental dengan unsur barat yaitu dengan adanya bastion di sudutnya. Saat kekuasaan dipegang oleh Sultan Iskandar Muda, pembangunan benteng-benteng pertahanan digalakkan kembali untuk menjaga stabilitas dalam negeri dari ancaman bangsa lain. Hal itu ditandai dengan pembangunan Benteng Iskandar Muda dan Benteng Inong Bale.

Nisan bertipe plakpling, di Lamreh menunjukkan bahwa di daerah tersebut terdapat komunitas yang telah memeluk Islam sebelum Samudera Pasai, yang ditandai dengan keberadaan nisan atasnama Sultan Sulaiman, yaitu di dalam Benteng Kuta Lubuk. Tipe-tipe nisan sejenis terdapat di atas bukit berdekatan dengan Benteng Inong Bale. Pembacaan sekilas menunjukkan nisan tersebut juga cukup tua. Beberapa bangunan pertahanan kemungkinan melanjutkan tradisi yang telah ada sebelumnya, yaitu melengkapi pemukimannya dengan bangunan-bangunan pertahanan. Sayang sekali tidak ada penelitian yang secara khusus mengungkap keberadaan bangunan-bangunan benteng di daerah tersebut.

Nisan tipe plakpling merupakan nisan-nisan tipe peralihan, pra-Islam ke Islam. Batu nisan tipe ini berbentuk sederhana, sebelum dipakainya batu nisan yang disebut “Batu Aceh”, (nisan tipe Aceh). Batu-batu ini umumnya memiliki gaya sederhana namun diberi hiasan berupa relief dan/atau inskripsi (kaligrafi). Nisan tipe ini merupakan awal perkembangan, melanjutkan tradisi yang telah ada sebelumnya. Bentuk nisan ini mengadopsi bentuk-bentuk phallus/lingga, meru dan ‎menhir dengan hiasan-hiasan yang disesuaikan. Tipe nisan seperti ini memiliki persamaan dengan tinggalan arkeologis lain yang berasal dari masa yang lebih tua, megalithik, yang dikenal sebagai menhir. Tipe-tipe nisan tersebut di atas, menunjukkan pengaruh yang sangat kental dari tradisi-tradisi megalithis dan Hinduistis. Adapun bentuk-bentuk motif hiasan yang dipakai kemungkinan merupakan perpaduan dari budaya tersebut.

Salah satu penyebab munculnya nisan tipe-tipe lokal (plakpling) adalah karena latar belakang sejarah budaya nusantara yang permisive terhadap anasir yang datang dari luar. Kreativitas mengubah dan menggubah anasir asing menjadi anasir nusantara merupakan strategi adaptasi. Corak lokal merupakan wujud dari kebebasan seniman ataupun model yang berkembang dalam mengekspresikan cita rasa keseniannya. Perkembangan bentuk dari yang sederhana sampai pada yang rumit adalah sebagai respon dari pengetahuan, teknologi yang mereka peroleh‎.

Nisan plakpling terdapat hampir diseluruh wilayah Aceh, dengan populasi terbanyak di Banda Aceh dan Kabupaten Aceh Besar. Menilik bentuk dari nisan-nisan tipe ini, kemungkinan nisan ini merupakan tipe nisan yang dipakai berkelanjutan, mulai dari masa-masa awal kedatangan Islam sampai pada beberapa abad sesudahnya. Nisan tipe ini masih digunakan berdampingan dengan periode sesudahnya, walaupun pada masa itu telah terjadi perubahan trend tipe nisan, yaitu nisan tipe Gujarat atau tipe-tipe “Batu Aceh” lainnya.‎

Penutup

Dengan demikian kita sampai pada kesimpulan bahwa Lamuri pada masa sebelum Pasai merupakan sebuah kerajaan Islam yang cukup besar. Kebesaran Lamuri tidak hanya berlangsung sebentar, keberadaan bangunan benteng pertahanan menunjukkan bahwa Lamuri yang kemudian berubah nama menjadi kerajaan Aceh masa selanjutnya dapat dipertahankan bahkan diperbesar. Puncak kejayaan Lamuri adalah pada masa tampuk kekuasaan dipegang oleh Sultan Iskandar Muda. Hal ini menepis anggapan bahwa Samudera Pasai dengan rajanya Malik as Shaleh merupakan kerajaan Islam tertua di Nusantara.

Inilah untaian kisah/sejarah tentang kerajaan lamuri yang mulai terlupakan, kerajaan atjeh yang di rencanakan akan di bangun lapangan golf di domisilinya terdahulu, dan rencana ini akan memusnahkan tempat bersejarah di Aceh.‎

 

Sejarah Kerajaan Tamiang


Ciri utama masyarakat majemuk adalah terdiri atas ragam budaya dan suku serta dibatasi oleh adat-istiadat setempat/lokal. Indonesia merupakan negara kepulauan yang terdiri atas berbagai suku, bahasa, agama, dan budaya. Oleh karena itu, masyarakat Indonesia tergolong ke dalam plural societies atau masyarakat majemuk. Sebagai masyarakat majemuk, masyarakat Indonesia relatif sangat sensitif dalam menyikapi suatu persoalan, sebab mereka diharuskan untuk saling menjaga dan membina stabilitas sosial dalam kehidupan bermasyarakat.‎

Aceh merupakan salah satu propinsi dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang juga memiliki pluralitas budaya dan multi etnik. Kendati suku bangsa Aceh tergolong ke dalam etnik atau ras Melayu, tidak berarti bahwa masyarakat Aceh memiliki budaya yang homogen. Bahkan, bentuk fisik orang Aceh pun berbeda-beda sesuai dengan asal daerahnya. Kebanyakan orang Aceh memiliki bentuk muka yang mirip dengan orang Arab dan India. Ada juga yang mirip dengan orang Cina dan Eropa. Semua itu tidak terlepas dari adanya interaksi sosial dan kontak budaya masyarakat Aceh dengan masyarakat internasional___terutama dengan India, Timur Tengah, dan Cina___sejak berabad-abad yang silam. Barangkali faktor inilah yang mendorong sebagian orang menyatakan bahwa nama Aceh adalah sebuah akronim yang merupakan singkatan dari Arab, Cina/Campa, Eropa, dan Hindia.

Pluralitas budaya dan kemultietnikan masyarakat Aceh nyata terlihat dari keberagaman adat-istiadat dan bahasa yang digunakan oleh masyarakat yang mendiami propinsi ini. Mungkin disebabkan oleh keberagaman tersebut dan juga dipengaruhi oleh sejarah kedaulatan Aceh di bawah Kerajaan Aceh Darussalam, sebagian orang Aceh menyatakan bahwa Aceh merupakan sebuah bangsa, bukan sebuah suku. Realitanya, di Aceh memang terdapat beberapa etnik, diantaranya: etnik Aceh, Aneuk Jame, Gayo, Tamiang, Alas, Kluet, Devayan, Sigulai, dan Singkil.

Disebabkan oleh keterbatasan ruang, artikel ini mencoba mendeskripsikan secara singkat salah satu etnik yang ada di Aceh, yaitu etnik Tamiang.

Asal Mula Etnik Tamiang

Alkisah, di Persimpangan Sungai Simpang Kanan dan Simpang Kiri, berdiri sebuah kerajaan yang merupakan taklukan dari Kerajaan Pasai. Salah seorang raja yang memerintah kerajaan tersebut bernama Raja Muda Sedia (1330-1352). Raja ini memiliki tanda hitam (Aceh: itam) di bagian pipinya (Aceh: mieng), sehingga orang-orang Pasai menjulukinya “si Itam Mieng”. Lama-kelamaan sebutan itu berubah menjadi tamieng atau tamiang.‎

Cerita yang lain menyebutkan bahwa nama Tamiang berasal dari dongeng Pucuk Suluh dan Rumpun Bambu. Berdasarkan dongeng tersebut dapat diketahui bahwa raja pertama masyarakat Tamiang bernama ‎Raja Pucuk Suluh. Raja ini memerintah Kerajaan Batu Karang yang terletak di kawasan Simpang Kanan. Sebelum menjadi kerajaan besar dan bernama Batu Karang, kerajaan ini bernama Kerajaan Aru atau Sarang Djaja dan merupakan sebuah kerajaan kecil.‎

Menurut catatan sejarah, etnik Tamiang merupakan etnik melayu pendatang (imigran) di Aceh. Sebelumnya, Aceh telah dihuni oleh imigran melayu yang lain yang tinggal di daerah pesisir. Mereka adalah etnik Gayo dan etnik Mante di Aceh Besar. Kedua etnik ini enggan menerima pembaruan yang dibawa oleh imigran baru (etnik Tamiang) sehingga mereka lebih memilih bertempat tinggal di daerah pedalaman. Adapun etnik Tamiang pada mula kedatangan mereka ke Aceh bermukim di Kuala Simpang, sebuah kota yang berbatasan dengan Selat Malaka. Etnik melayu ini berasal dari Kerajaan Sriwijaya, sehingga mereka sangat identik dengan Melayu Riau dan Melayu Malaysia. Seiring dengan memudarnya kejayaan Sriwijaya, mereka meninggalkan negeri asalnya dan berlayar ke Sumatera bagian barat sampai akhirnya berlabuh dan bermukim di Kuala Simpang. Kendati sebagai pendatang baru di Aceh, orang-orang Tamiang dapat berinteraksi dan berbaur dengan etnik Aceh secara mudah dan cepat. Ini disebabkan oleh kelembutan budi dan keramahan sikap mereka terhadap penduduk setempat.

Integrasi Tamiang dengan Aceh

Secara gradual, etnik Tamiang kian bertambah banyak dan mulai menyebar ke daerah lain di luar Kuala Simpang. Mereka kemudian mendirikan sebuah kerajaan yang diberi nama Kerajaan Tamiang. Tata pemerintahannya didasarkan atas adat empat suku atau empat kaum. Masing-masing kaum dipimpin oleh seorang datuk. Dalam perkembangannya kemudian, Kerajaan Tamiang membangun hubungan diplomatik dengan berbagai kerajaan lain, diantaranya dengan Kaisar Tiongkok pada masa Dinasti Ming abad XIV masehi.

Sejarah

Kesultanan Benua Tamiang merupakan kerajaan Islam tertua di Aceh, Indonesia, setelah Kesultanan Perlak. Belum ditemukan data dan sumber yang pasti tentang kapan masuknya Islam, proses perkembangannya, hingga mulai terbentuk Kesultanan Benua Tamiang yang telah dipengaruhi oleh sistem politik yang berasaskan Islam. Berikut ini akan dijelaskan terlebih dahulu masa awal pembentukan Negeri Tamiang sebagai cikal bakal berdirinya Kesultanan Benua Tamiang.  

Masa Awal Pembentukan Tamiang

Bukti adanya Negeri Tamiang adalah bersumber dari data-data sejarah, seperti dalam Prasasti Sriwijaya, buku Wee Pei Shih yang mencatat Negeri Kan Pei Chiang (Tamiang), dan buku Nagarakretagama yang menyebut "Tumihang", serta benda-benda peninggalan budaya yang terdapat pada situs Tamiang.

Pada tahun 960, di wilayah Aceh Timur telah berkuasa seorang raja di Negeri Tamiang bernama Tan Ganda. Negeri ini berpusat di Bandar Serangjaya. Bandar ini pernah diserang oleh Raja Indra Cola I yang menyebabkan Raja Tan Ganda meninggal. Anak Raja Tan Ganda, Tan Penuh berhasil melarikan diri dari serangan itu. Ketika kondisi Negeri Tamiang telah aman, ia memindahkan pusat pemerintahan ke daerah pedalaman, yaitu Bandar Bukit Karang, di dekat Sungai Simpang Kanan. Sejak saat pemindahan itu, maka mulai berdirilah Kerajaan Bukit Karang dengan raja-rajanya sebagai berikut: Tan Penuh (1023-1044); Tan Kelat (1044-1088); Tan Indah (1088-1122); Tan Banda (1122-1150); dan Tan Penok (1150-1190).

Sepeninggalan Tan Penok, karena tidak mempunyai anak kandung, maka anak angkatnya bernama Pucook Sulooh diangkat sebagai raja yang menggantikan dirinya. Sejak saat itu, Kerajaan Bukit Karang dikuasai oleh Dinasti Sulooh, dengan rara-rajanya sebagai berikut: Raja Pucook Sulooh (1190-1256); Raja Po Pala (1256-1278); Raja Po Dewangsa (1278-1300); dan Raja Po Dinok (1300-1330).

Pada akhir pemerintahan Raja Po Dinok (1330), sebuah rombongan para da‘i yang dikirim oleh Sultan Ahmad Bahian Syah bin Muhammad Malikul Thahir (1326-1349) dari Samudera Pasai tiba di Tamiang. Kedatangan para da‘i itu tidak mendapat respon positif oleh Raja Po Dinok. Ia menyerang rombongan tersebut yang menyebabkan dirinya tewas di medan perang. Sejak saat itulah, Islam mulai berkembang di Tamiang.

Masa Kesultanan Benua Tamiang

Proses islamisasi di Tamiang berlangsung relatif singkat. Setelah masuknya rombongan da‘i ke Tamiang dan melakukan dakwah keagamaan, banyak rakyat Tamiang yang kemudian memeluk Islam. Berdasarkan kesepakatan antara Sultan Ahmad Bahian Syah dengan para bangsawan dan rakyat Tamiang yang telah memeluk Islam, maka ditunjuklah Sultan Muda Setia sebagai Sultan I di Kesultanan Benua Tamiang (1330-1352). Dengan demikian, kesultanan ini mulai berdiri pada tahun 1330. Pusat pemerintahan kesultanan ini letaknya kini di Kota Kualasimpang. 

Di akhir pemerintahan Sultan Muda Setia (1352), Kesultanan Benua Tamiang diserang oleh Kerajaan Majapahit. Mangkubumi Muda Sedinu ternyata mampu mengatasi serangan tersebut, meski kondisi Kesultanan Benua Tamiang sempat porak-poranda. Atas kemampuannya tersebut, Mangkubumi Muda Sedinu dipercaya menggantikan kedudukan Sultan Muda Sedia pada tahun 1352, namun bukan dalam kedudukannya sebagai sultan, hanya sebagai pemangku sultan saja. Pada masa pemerintahan Muda Sedinu ini, pusat pemerintahan kesultanan dipindahkan ke Pagar Alam (kini letaknya sekitar daerah Simpang Jenih) karena alasan keamanan dan pertahanan. Pemerintahan Muda Sedinu berakhir pada tahun 1369.

Tahta kekuasaan kesultanan kemudian beralih ke Sultan Po Malat sebagai Sultan II (1369-1412). Pada masanya, serangan Majapahit masih berlanjut hingga menyebabkan kegiatan penyebaran Islam di kesultanan ini tidak berjalan sebagaimana mestinya. Penggantinya, Sultan Po Tunggal atau Sultan III (1412-1454) juga tidak dapat berbuat banyak. Kegiatan yang dapat dilakukan oleh Sultan Po Tunggal hanya mengkoordinir kekuatan baru dan menyusun pemerintahan kembali.

Keadaan baru dapat kembali stabil pada masa pemerintahan Sultan Po Kandis atau Sultan IV (1454-1490). Pada masanya, pusat pemerintahan kesultanan dipindahkan dari Pagar Alam ke Kota Menanggini (kini bernama Karang Baru). Kegiatan penyiaran Islam kembali dapat dilakukan pada masa ini. Sultan Po Kandis memprioritaskan kegiatan pendidikan Islam dan pembinaan seni budaya yang bernafaskan Islam sebagai program utama pemerintahannya.

Sultan Po Kandis digantikan oleh anaknya sendiri, Sultan Po Garang sebagai Sultan V (1490-1528). Oleh karena tidak mempunyai anak, ia kemudian digantikan oleh menantunya Po Kandis, ipar Po garang, yang bernama Pendekar Sri Mengkuta (1528-1558). Peristiwa penting yang terjadi pada masa Sultan VI ini adalah penggabungan Tamiang menjadi bagian dari Kesultanan Aceh Darussalam pada masa Sultan Ali Mughayat Syah (1514-1530). Ketika itu Sultan Ali Mughayat Syah gencar mempersatukan kerajaan-kerajaan kecil di Aceh dalam satu federasi yang kokoh, yang tujuannya adalah sebagai strategi penting untuk menghadapi serangan Portugis. Masa pemerintahan Sultan VI ini dapat dikatakan sebagai masa berakhirnya Kesultanan Benua Tamiang.

Silsilah

Urutan sultan-sultan yang berkuasa di Kesultanan Benua Tamiang adalah sebagai berikut:

Sultan Muda Setia (1330-1352)
Mangkubumi Muda Sedinu (1352-1369)
Sultan Po Malat (1369-1412)
Sultan Po Kandis (1454-1490)
Sultan Po Garang (1490-1528)
Pendekar Sri Mengkuta (1528-1558)
Periode Pemerintahan

Kesultanan Benua Tamiang dapat eksis selama dua abad lebih (1320-1558). Selama rentang waktu yang panjang itu, kesultanan ini pernah mengalami masa pasang surut. Kesultanan ini kini telah masuk ke dalam sistem pemerintahan masa modern, yaitu Kabupaten Aceh Tamiang. Terbentuknya kabupaten ini didasarkan pada Undang-Undang No. 4 Tahun 2002, tertanggal 10 April 2002. Pada tanggal 2 Juli 2002, kabupaten ini resmi menjadi kabupaten otonom yang terpisah dari Kabupaten Aceh Timur.

Wilayah Kekuasaan

Wilayah kekuasaan Kesultanan Benua Tamiang mencakup daerah-daerah yang kini masuk dalam wilayah Kabupaten Aceh Tamiang, yaitu: Bendahara, Karangbaru, Kejuruan Muda, Kuala Simpang, Manyak Payed, Rantau, Seruway, dan Tamiang Hulu.

Struktur Pemerintahan

Kesultanan Benua Tamiang diperintah oleh seorang sultan. Dalam kegiatan pemerintahan sehari-harinya, ia dibantu oleh seorang mangkubumi yang bertugas mengawasi jalannya pemerintahan dan bertanggung jawab sepenuhnya kepada sultan. Dalam bidang hukum, diangkat seorang Qadhi Besar yang bertugas mengawasi pelaksanaan hukum, baik oleh pemerintah sendiri maupun oleh lembaga-lembaga penegak hukum.

Di tingkat pemerintahan daerah, sultan dibantu oleh tiga sistem kepemimpinan, yaitu: ‎
(1) Datuk-datuk Besar yang memimpin daerah-daerah kedatuan; ‎
(2) Datuk-datuk Delapan Suku yang memimpin daerah-daerah suku perkauman;‎
(3) Raja-raja Imam yang memimpin para imam di daerah-derah dan sekaligus bertindak sebagai penegak hukum di daerah. 

Dalam bidang keamanan dan pertahanan kesultanan, juga dibentuk laskar-laskar rakyat yang sepenuhnya menjadi tanggung jawab seorang panglima. Panglima ini juga membawahi tujuh panglima daerah, yaitu Panglima Birin, Panglima Gempal Alam, Panglima Nayan, Panglima Kuntum Menda, Panglima Ranggas, Penglima Megah Burai, dan Panglima Nakuta Banding (khusus untuk di laut). Tingkat kepemimpinan yang paling bawah di kelaskaran ini adalah Pang yang ada di setiap kampung di daerah-daerah kekuasaan Kesultanan Benua Tamiang.

Kehidupan Sosial-Budaya

Data kehidupan sosio-budaya berikut ini merupakan data pada masa modern, yaitu pada masa Kabupaten Aceh Tamiang. Kabupaten ini merupakan satu-satunya kawasan di Aceh yang dikuasai oleh etnis Melayu. Di samping etnis Melayu, di kabupaten ini juga terdiri dari etnis Aceh, Gayo, Jawa, Karo, dan lain sebagainya.

Sektor pertanian masih memegang peranan penting dalam perekonomian masyarakat Tamiang sebab penduduk di kabupaten ini mayoritas berprofesi sebagai petani. Sekitar 29.201 rumah tangga petani menggeluti dunia bercocok tanam, yang terbanyak berada di Kecamatan Kejuruan Muda (7.093 rumah tangga). Tanaman pangan yang biasa ditanam penduduk adalah padi, palawija, sayur-sayuran, dan buah-buahan. Sedangkan tanaman perkebunan yang dibudidayakan di antaranya adalah karet, kelapa sawit, kopi, kelapa, kakao, dan jeruk. Dalam beberapa tahun terakhir ini, sumbangan sektor pertanian terhadap produk domestik regional bruto (PDRB) sebesar 40 persen lebih, dan kontribusi terbesarnya adalah dari tanaman bahan pangan, yaitu sekitar 20 persen.

Wilayah Aceh Tamiang dialiri dua cabang sungai besar, yaitu Sungai Tamiang (yang terbagi menjadi Sungai Simpang Kiri dan Sungai Simpang Kanan) dan Sungai/Krueng Kaloy. Keberadaan sungai-sungai ini bagi masyarakat Tamiang sangat penting karena di samping dapat digunakan sebagai pengairan tanaman pangan juga dapat digunakan sebagai alat transportasi, seperti untuk mengangkut produksi pertanian, perkebunan, maupun untuk mengangkut bahan-bahan kebutuhan konsumsi, dagang, dan konstruksi.‎

 

Menelusuri Jejak Kerajaan Tulang Bawang


Kerajaan Tulang Bawang merupakan salah satu kerajaan Hindu tertua di Nusantara. Tidak banyak catatan sejarah yang mengungkap fakta tentang kerajaan ini. Sebab, ketika Che-Li-P‘o Chie (Kerajaan Sriwijaya) berkembang, nama dan kebesaran Kerajaan Tulang Bawang justru pudar. Menurut catatan Tiongkok kuno, sekitar pertengahan abad ke-4 pernah ada seorang Bhiksu dan peziarah bernama Fa-Hien (337-422), ketika melakukan pelayaran ke India dan Srilangka, terdampar dan pernah singgah di sebuah kerajaan bernama To-Lang P‘o-Hwang (Tulang Bawang), tepatnya di pedalaman Chrqse (Sumatera).

Sumber lain menyebutkan bahwa ada seorang pujangga Tiongkok bernama I-Tsing yang pernah singgah di Swarna Dwipa (Sumatera). Tempat yang disinggahinya ternyata merupakan bagian dari Kerajaan Sriwijaya. Ketika itu, ia sempat melihat daerah bernama Selapon. Ia kemudian memberi nama daerah itu dengan istilahTola P‘ohwang. Sebutan Tola P‘ohwang diambil dari ejaan Sela-pun. Untuk mengejanya, kata ini di lidah sang pujangga menjadi berbunyi so-la-po-un. Orang China umumnya berasal dari daerah Ke‘. I-Tsing, yang merupakan pendatang dari China Tartar dan lidahnya tidak bisa menyebutkan So, maka ejaan yang familiar baginya adalah To. Sehingga, kata solapun atau selapon disebutkan dengan sebutan Tola P‘ohwang. Lama kelamaan, sebutan itu menjadi Tolang Powang atau kemudian menjadi Tulang Bawang.

Kerajaan Sriwijaya merupakan federasi atau gabungan antara Kerajaan Melayu dan Kerajaan Tulang Bawang (Lampung). Pada masa kekuasaan Sriwijaya, pengaruh ajaran agama Hindu sangat kuat. Orang Melayu yang tidak dapat menerima ajaran tersebut, sehingga mereka kemudian menyingkir ke Skala Brak. Namun, ada sebagian orang Melayu yang menetap di Megalo dengan menjaga dan mempraktekkan budayanya sendiri yang masih eksis. Pada abad ke-7, nama Tola P‘ohwang diberi nama lain, yaitu Selampung, yang kemudian dikenal dengan nama Lampung.

Hingga kini, belum ada orang atau pihak yang dapat memastikan di mana pusat Kerajaan Tulang Bawang berada. Seorang ahli sejarah, Dr. J. W. Naarding memperkirakan pusat kerajaan ini terletak di Way Tulang Bawang, yaitu antara Menggala dan Pagar Dewa, yang jaraknya sekitar radius 20 km dari pusat Kota Menggala. Jika ditilik secara geografis masa kini, kerajaan ini terletak di Kabupaten Tulang Bawang, Provinsi Lampung, Indonesia.

Sekitar abad ke-15, Kota Manggala dan alur Sungai Tulang Bawang dikenal sebagai pusat perdagangan yang berkembang pesat, terutama dengan komoditi pertanian lada hitam. Konon, harga lada hitam yang ditawarkan kepada serikat dagang kolonial Belanda atau VOC (Oost–indische Compagnie) lebih murah dibandingkan dengan harga yang ditawarkan kepada pedagang-pedagang Banten. Oleh karenanya, komoditi ini amat terkenal di Eropa. Seiring dengan perkembangan zaman, Sungai Tulang Bawang menjadi dermaga “Boom” atau tempat bersandarnya kapal-kapal dagang dari berbagai penjuru Nusantara. Namun, cerita tentang kemajuan komoditi yang satu ini hanya tinggal rekaman sejarah saja. 

Kerajaan Tulang Bawang tidak terwariskan menjadi sistem pemerintahan yang masih berkembang hingga kini. Nama kerajaan ini kemudian menjadi nama Kabupaten Tulang Bawang, namun sistem dan struktur pemerintahannya disesuaikan dengan perkembangan politik modern.

Silsilah

(dalam proses pengumpulan data)

Periode Pemerintahan

Menurut tuturan rakyat, Kerajaan Tulang Bawang berdiri sekitar abad ke 4 masehi atau tahun 623 masehi, dengan rajanya yang pertama bernama Mulonou Jadi. Diperkirakan, raja ini asal-usulnya berasal dari daratan Cina. Dari namanya, Mulonou Jadi berarti Asal Jadi. Mulonou= Asal/Mulanya dan Jadi= Jadi. Raja Mulonou Jadi pada masa kemudiannya oleh masyarakat juga di kenal dengan nama Mulonou Aji dan Mulonou Haji.

Walaupun sudah sejak 651 masehi utusan dari Khalifah Usmar bin Affan, yaitu Sayid Ibnu Abi Waqqas sudah bertransmigrasi ke Kyang Chou di negeri Cina dan meskipun dikatakan utusan Tulang Bawang pernah datang ke negeri Cina dalam abad ke 7 masehi, namun rupanya orang-orang Lampung kala itu belum beragama Islam.

Setelah memerintah kerajaan, berturut-turut Raja Mulonou Jadi digantikan oleh putra mahkota bernama Rakehan Sakti, Ratu Pesagi, Poyang Naga Berisang, Cacat Guci, Cacat Bucit, Minak Sebala Kuwang dan pada abad ke 9 masehi kerajaan ini di pimpin Runjung atau yang lebih di kenal dengan Minak Tabu Gayaw.

Runjung (Minak Tabu Gayaw) memiliki 3 putra mahkota, masing-masing bernama Tuan Rio Mangku Bumi, Tuan Rio Tengah dan Tuan Rio Sanak. Tuan Rio Mangku Bumi pewaris tahta kerajaan di Pedukuhan Pagardewa, dengan hulubalang Cekay di Langek dan Tebesu Rawang. Sedangkan Tuan Rio Tengah mempertahankan wilayah Rantaou Tijang (Menggala) dan Tuan Rio Sanak mempertahankan wilayah daerah Panaragan dengan panglimanya Gemol (Minak Indah).

Dalam tuturan itu dikatakan juga, untuk mengawasi daerah perbatasan, seperti Mesuji, Teladas, Gedung Meneng, Gunung Tapa, Kota Karang Mersou, Gedung Aji, Bakung dan Menggala, masing-masing tempat tersebut di jaga oleh para panglimanya guna mengamankan wilayah dari serangan musuh, baik dari luar maupun dalam negeri sendiri.

Pada masa Minak Patih Pejurit (Minak Kemala Bumi) terlihat benar susunan struktur pertahanan ini. Tiap-tiap kampung dijaga oleh panglima-panglimanya. Seperti di Kampung Dente Teladas, dijaga Panglima Batu Tembus dan Minak Rajawali, dengan tugas pos pertahanan pertama dari laut.

Arah ke hulu, Kampung Gedung Meneng, Gunung Tapa dan Kota Karang, dengan panglimanya bernama Minak Muli dan Minak Pedokou. Untuk pertahanan, tempat ini dijadikan pusat pertahanan kedua. Sementara, Kampung Meresou atau Sukaraja, dijaga Panglima Minak Patih Ngecang Bumi dan Minak Patih Baitullah, yang bertugas memeriksa (meresou) setiap musuh yang masuk.

Minak Kemala Bumi atau di kenal Haji Pejurit merupakan keturunan raja Kerajaan Tulang Bawang yang telah beragama Islam. Ia lahir dan wafat pada abad ke 16 masehi. Minak Kemala Bumi salah satu penyebar agama Islam di Lampung dan keturunan ke sepuluh dari Tuan Rio Mangku Bumi, raja terakhir yang masih beragama Hindu.

Haji Pejurit atau Minak Patih Pejurit atau Minak Kemala Bumi mendalami ajaran agama Islam berguru dengan Prabu Siliwangi (Jawa Timur). Lalu ia memperistri putri Prabu Siliwangi bernama Ratu Ayu Kencana Wungu. Anak cucu dari keturunan mereka selanjutnya menurunkan Suku Bujung dan Berirung.

Selain catatan dan riwayat, bukti adanya Kerajaan Tulang Bawang, diantaranya terdapat makam raja-raja seperti Tuan Rio Mangku Bumi yang dimakamkan di Pagardewa, Tuan Rio Tengah dimakamkan di Meresou dan Tuan Rio Sanak dimakamkan di Gunung Jejawi Panaragan. Selain itu, ada pula makam para panglima yang berada di sejumlah tempat.
Tuturan rakyat lain mengatakan, raja Kerajaan Tulang Bawang bernama Kumala Tungga. Tak dapat dipastikan dari mana asal raja dan tahun memerintahnya. Namun diperkirakan Kumala Tungga memerintah kerajaan sekitar abad ke 4 dan 5 Masehi.

Sampai sekarang belum ada yang bisa memastikan pusat Kerajaan Tulang Bawang. Tapi ahli sejarah Dr. J. W. Naarding memperkirakan, pusat kerajaan ini terletak di hulu Way Tulang Bawang, yaitu antara Menggala dan Pagardewa, kurang lebih dalam radius 20 kilometer dari pusat ibukota kabupaten, Kota Menggala.

Meski belum di dapat kepastian letak pusat pemerintahan kerajaan ini, namun berdasarkan riwayat sejarah dari warga setempat, pemerintahannya diperkirakan berpusat di Pedukuhan, di seberang Kampung Pagardewa. Kampung ini letaknya berada di Kecamatan Tulang Bawang Tengah, yang sekarang tempat itu merupakan sebuah kampung di Kabupaten Tulang Bawang Barat, pemekaran dari Kabupaten Tulang Bawang.

Mengenai pusat pemerintahan kerajaan ini, pada sekitar tahun 1960 terjadi peristiwa mistis yang dialami salah seorang warga Kampung Pagardewa bernama Murod. Kejadian yang dialaminya itu seakan menjadi sebuah ‘petunjuk’ akan keberadaan kerajaan yang sampai kini letak pusat pemerintahannya belum juga ditemukan secara pasti.

Waktu itu, Murod tengah mencari rotan di Pedukuhan. Kemudian ia ‘tersesat’ ke sebuah tempat yang masih asing baginya. Di tempat tersebut, Murod melihat rumah yang atapnya terbuat dari ijuk dan dipekarangannya terdapat taman. Di dalam rumah itu, dilihatnya ada kursi kerajaan terbuat dari emas, gong serta perlengkapan lainnya. 

Meningkatnya kekuasaan Kerajaan Sriwijaya pada akhir abad ke 7 masehi, di sebut dalam sebuah inskripsi batu tumpul Kedukan Bukit dari kaki Bukit Seguntang, di sebelah barat daya Kota Palembang mengatakan bahwa pada tahun 683, Kerajaan Sriwijaya telah berkuasa, baik di laut maupun di darat. Dalam tahun tersebut berarti kerajaan ini sudah mulai meningkatkan kekuasaannya.

Pada tahun 686, negara tersebut telah mengirimkan para ekspedisinya untuk menaklukkan daerah-daerah lain di Pulau Sumatera dan Jawa. Oleh karenanya, diperkirakan sejak masa itu Kerajaan Tulang Bawang sudah dikuasai oleh Kerajaan Sriwijaya, atau daerah ini tidak berperan lagi di pantai timur Lampung.

Seiring dengan makin berkembangnya Kerajaan Che-Li P'o Chie (Sriwijaya), nama dan kebesaran Kerajaan Tulang Bawang sedikit demi sedikit semakin pudar. Akhirnya, dengan bertambah pesatnya kejayaan Sriwijaya yang di sebut-sebut pula sebagai kerajaan maritim dengan wilayahnya yang luas, sulit sekali untuk mendapatkan secara terperinci prihal mengenai catatan sejarah perkembangan Kerajaan Tulang Bawang.

Sumber lain menyebutkan, Kerajaan Sriwijaya merupakan federasi atau gabungan antara Kerajaan Melayu dan Kerajaan Tulang Bawang (Lampung). Pada masa kekuasaan Sriwijaya, pengaruh ajaran agama Hindu sangat kuat. Orang Melayu yang tidak dapat menerima ajaran tersebut menyingkir ke Skala Brak. Namun, ada sebagian orang Melayu yang menetap di Megalo dengan menjaga dan mempraktekkan budayanya sendiri yang masih eksis. Pada abad ke 7 masehi, nama Tola P'ohwang diberi nama lain, yaitu Selampung, yang kemudian di kenal dengan nama Lampung.

Wilayah Kekuasaan

Kekuasaan Kerajaan Tulang Bawang mencakup wilayah yang kini lebih dikenal dengan Provinsi Lampung. 

Struktur Pemerintahan

Struktur pemerintahan Kerajaan Tulang Bawang belum didapat datanya. Berikut ini akan dibahas tentang bagaimana sistem pemerintahan daerah Tulang Bawang pada masa pra-kemerdekaan, yaitu ketika daerah ini menjadi bagian dari pemerintahan Hindia Belanda. Pada tanggal 22 November 1808, pemerintahan Kesiden Lampung ditetapkan oleh Pemerintah Hindia Belanda berada di bawah pengawasan langsung Gubernur Jenderal Herman Wiliam. Hal ini berakibat pada penataan ulang pemerintahan adat yang kemudian dijadikan alat untuk menarik simpati masyarakat. Pemerintah Hindia Belanda di bawah kekuasaan Gubernur Jenderal Herman Wiliam kemudian membentuk Pemerintahan Marga yang dipimpin oleh Kepala Marga (Kebuayan). Wilayah Tulang Bawang dibagi ke dalam tiga kebuayan, yaitu Buay Bulan, Buay Tegamoan, dan Buay Umpu. Pada tahun 1914, dibentuk kebuayan baru, yaitu Buay Aji.

Namun, sistem ini tidak berjalan lama karena pada tahun 1864 mulai dibentuk sistem Pemerintahan Pesirah berdasarkan Keputusan Kesiden Lampung No. 362/12 tanggal 31 Mei 1864. Sejak saat itu, pembangunan berbagai fasilitas yang menguntungkan kepentingan Hindia Belanda mulai dibangun, termasuk di Tulang Bawang. Ketika Kesiden Lampung dijajah oleh Jepang, tidak banyak hal yang berubah. Setelah Indonesia merdeka, Lampung ditetapkan sebagai keresidenan dalam wilayah Provinsi Sumatera Selatan. Setelah Indonesia merdeka, banyak terjadi perubahan sistem pemerintahan Lampung. Bahkan, sejak pemekaran wilayah provinsi marak terjadi di era otonomi daerah, Lampung ditetapkan sebagai wilayah provinsi yang terpisah dari Provinsi Sumatera Selatan. Sejak saat itu, status Menggala ditetapkan sebagai Kecamatan Menggala di bawah naungan Provinsi Lampung Utara.

Sejarah Kabupaten Tulang Bawang tidak berdiri begitu saja, melainkan melalui proses pertemuan penting antara sesepuh dan tokoh masyarakat bersama dengan pemerintah yang diadakan sejak tahun 1972. Pertemuan tersebut merencanakan pembentukan Provinsi Lampung menjadi sepuluh kabupaten/kota. Pada tahun 1981, Pemerintah Provinsi Lampung kemudian membentuk delapan Lembaga Pembantu Bupati, yang salah satunya adalah Bupati Lampung Utara Wilayah Menggala. Berdasarkan Keputusan Menteri Dalam Negeri No.821.26/502 tanggal 8 Juni 1981, dibentuk wilayah kerja Pembantu Bupati Lampung Selatan, Lampung Tengah, dan Lampung Utara Wilayah Provinsi Lampung.

Melalui proses yang begitu panjang, akhirnya keberadaan Kabupaten Tulang Bawang diputuskan melalui Keputusan Menteri Dalam Negeri pada tanggal 20 Maret 1997. Sebagai tindak lanjutnya, keputusan tersebut dikembangkan dalam UU No. 2 Tahun 1997 tentang Pembentukan Daerah Tingkat II Tulang Bawang dan Kabupaten Tingkat II Tagamus.

Kehidupan Sosial-Budaya

Ketika ditemukan oleh I-Tsing pada abad ke-4, kehidupan masyarakat Tulang Bawang masih tradisional. Meski demikian, mereka sudah pandai membuat kerajinan tangan dari logam besi dan membuat gula aren. Dalam perkembangan selanjutnya, kehidupan masyarakat Tulang Bawang juga masih ditandai dengan kegiatan ekonomi yang terus bergeliat. Pada abad ke-15, daerah Tulang Bawang dikenal sebagai salah satu pusat perdagangan di Nusantara. Pada saat itu, komoditi lada hitam merupakan produk pertanian yang sangat diunggulkan. Deskripsi tentang kehidupan sosial-budaya masyarakat Tulang Bawang lainnya masih dalam proses pengumpulan data.

 

Kisah Wahsyi Bin Harb Sang Budak Yang Jujur


بسم الله الرحمن الرحيم  ‎

Diriwayatkan oleh Thabrani, dari Ibnu Abbasr.a., katanya: Rasulullah saw. mengirim seorang utusan kepada Wahsyi bin Harb – Pembunuh Hamzah r.a. – agar ia memeluk Islam. Maka Wahsyi balik mengutus seseorang dengan kata-kata, “Wahai Muhammad! Bagaiman Engkau menyeru aku (untuk memeluk Islam) sedangkan engkau mengatakan bahwa barangsiapa membunuh atau mempersekutukan Allah dengan sesuatu atau meakukan zina, maka ia berdosa dan siksa untuknya akan digandakan pada hari Kiamat nanti dan kekal di dalam neraka dalam kehinaan, sedangkan aku telah melakukan perbuatan-perbuatan itu? Apakah engkau menjumpai satu keringanan bagiku?

Inilah tang menyebabkan Allah swt.Menurunkan wahyu:

اِلَّامَنْ تَابَ وَاٰمَنَ وَعَمِلَ عَمَلً صَالِحًا فَاُولٰٓئِكَ يُبَدِّلُ اللهُسَيِّاٰتِهِمْ حَسَنَاتٍۗ وَكَانَ اللهُغَفُوْرًا رَّحِيْمًا

“Kecuali orang-orang yang bertaubat dan beriman dan mengerjakan kebajikan; maka kejahatan mereka diganti Allah dengan kebaikan. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.(Qs. Al Furqan: 70)

Kisah Kehidupan Wahsyi

Sebuah tombak melesat dengan tepat mengenai tubuh sang nabi palsu, Musailamah Al-Kadzab. Terbunuhnya sang nabi palsu ini, menandakan kemenangan bagi kaum Muslimin atas kekalahan kaum Murtad.  Hal ini sekaligus menumpas gerakan murtad di Perang Yamamah di tahun 12 H.

Wahsyi bin Harb sang pemilik tombak in, membuktikan keseriusannya untuk membela agama Allah dengan membunuh manusia terburuk di zamannya. Ini dilakukannya untuk menebus kesalahannya di masa lampau, yakni sebuah kesalahan yang selalu mengusik kehidupannya karena ia telah membunuh sosok yang amat dicintai oleh Rasulullah.

Wahsyi bin Harb, sebuah nama yang menunjukkan kebuasan dirinya. Dalam bahasa Arab, Wahsyi berarti buas dan Harb memiliki arti perang. Sejarah mulai mencatat kehidupan Wahsyi, seorang berkulit hitam  asal Habasyah saat ia berada di Mekkah menjadi budak seprang pembeasr Quraisy, Jubair bin Muth’im.

Seperti kebanyakan orang di zaman itu, orang-orang Quraisy memperlakukan budak dengan tidak semestinya. Seperti halnya Jubair bin Muth’im, ia memperlakukan Wahsyi dengan tidak manusiawi. Saat itu bdak dianggap tidak memiliki nilai. Mereka seolah terlahir hanya untuk mengabdikan seluruh hidupnya kepada sang majikan. Maka begitu wajar jika para budak termasuk Wahsyi begitu merindukan kebebasan.
Namun bagi Wahsyi, impian menjadi manusia yang mereka hanya bisa menjadi angan-angannya saja. Sebab ia merasa tak memiliki kesempatan untuk bebas dari perbudakan yang selama ini mengikatnya. Hingga tiba saatnya Allah mengutus Rasulullah menebarkan hidayah di muka bumi.

Saat itulah Islam mulai mengajarkan persamaan derajat manusia. Saat itu juga penduduk Mekkah terutama dari kaum lemah satu persatu mulai mengikuti ajaran Rasulullah. Termasuk di antaranya adalah Bilal bin Rabah. Namun tidak dengan Wahsyi bin Harb, ia tak percaya Islam mampu memberinya persamaan derajat manusia. Ia juga tidak mau menerima resiko kemarahan sang majikan apabila ia memeluk Islam.

Nampaknya ada hal yang perlu kita amati mengapa ada perbedaan di antara Bilal dan Wahsyi. Padahal secara status sosial, keberadaan mereka, asal mereka, dan warna kulit mereka sama. Tetapi ketika Islam mulai menerangi Mekkah, tentu saja Bilal kedudukannya lebih tinggi daripada Wahsyi. Dan tidak mengherankan ketika kita membaca sejarah awal keduanya, sejak mereka berdua berada di Mekkah, dan sejak Rasulullah memulai dakwahnya, Bilal bin Rabah itu sudah bersemangat sekali untuk menerima hidayah itu. Sementara Wahsyi belum semangat untuk menerima hidayah dari Rasulullah, maka dari itu berbeda sekali kedudukan di antara keduanya. Bilal dengan semua keberaniannya mempertahankan ketauhidannya walaupun disiksa oleh majikannya. Sementara Wahsyi ia ingin mempertahankan hidupnya dengan pertukaran apapun walaupun dengan membunuh sebaik-baik orang, Hamzah bin Abdul Muthalib.

Datangnya Islam benar-benar memancing kemarahan masyarakat Quraisy. Apalagi setelah mereka dikalahkan oleh kaum Muslimin di Perang Perdana, Perang badar di tahun 2 H. Tidak sedikit tokoh Quraisy yang tewas dikalahkan oleh kaum Muslimin. Kekalahan tersebut menyisakan duka dan dendam yang mendalam. Tidak ada jalan lain selain menuntut balas di peperangan selanjutnya.

Akhirnya, waktu Perang Uhud pun tiba. Orang-orang Quraish keluar, disertai oleh sekutu mereka dari berbagai kabilah Arab lainnya. Mereka dipimpin oleh Abu Sufyan. Target utama para pemuka Quraish kali ini adalah dua orang saja, yaitu Rasulullah dan Hamzah. Memang benar, dari buah pembicaraan dan provokasi yang mereka gembor-gemborkan sebelum perang, dapat diketahui bahwa Hamzah berada pada urutan kedua sesudah Rasulullah sebagai sasaran dan target peperangan ini.

Momen balas dendam inilah yang membuka jalan Wahsyi menuju gerbang kebebasannya. Karena sang majikan, Jubair bin Muth’im akan memberinya imbalan yang sangat berharga, yakni membebaskannya jika ia berhasil membunuh Hamzah bin Abdul Muthalib, paman Rasulullah. Kala perang meletus, paman Jubair ini tewas di tengah medan perang dan ia ingin menuntut balas, sehingga ia berkata kepada Wahsyi, “Berangkatlah bersama orang-orang itu! Jika kamu berhasil membunuh Hamzah, kamu bebas.”

Kemudian mereka bawa budak itu kepada Hindun binti Utbah, yakni istri Abu Sufyan, agar dihasut dan didesak untuk melaksanakan rencana yang mereka inginkan. Pada Perang Badar, Hindun telah kehilangan ayahnya, pamannya, saudaranya, dan putranya. Ia mendengar berita bahwa Hamzah-lah yang telah membunuh sebagian keluarganya itu, dan yang menyebabkan terbunuhnya yang lain. Karena itu, tidak aneh bila di antara orang-orang Quraish, baik laki-laki maupun perempuan, dialah yang paling getol menghasut orang untuk berperang. Tujuannya tidak lain hanyalah untuk mendapatkan kepala Hamzah, meski harus dibayar dengan harga berapa pun.

Berhari-hari lamanya sebelum peperangan dimulai, tidak ada sesuatu pun yang dilakukan oleh Hindun selain menghasut Wahsyi, serta menumpahkan segala dendam dan kebenciannya Hamzah dan merencanakan peran yang akan dimainkan oleh budak itu. Ia telah menjanjikan kepada budak itu, andainya ia berhasil membunuh Hamzah, ia akan memberikannya kekayaan dan perhiasan yang paling berharga yang dimiliki oleh wanita tersebut. Sambil memegang anting-anting, permata yang mahal, serta kalung emas yang melilit lehernya dengan jari-jari yang penuh dengan kebencian, dan dengan pandangan yang tajam, ia berbisik kepada Wahsyi, “Jika kamu dapat membunuh Hamzah, semua ini menjadi milikmu.”
Air liur Wahsyi pun mengalir mendengar itu. Angan-angannya terbang melayang dipenuhi rasa rindu dan ingin cepat bertemu dengan peperangan yang akan menyebabkan tombaknya mendapatkan mangsanya, hingga ia tidak lagi menjadi budak, selain keinginan untuk segera memiliki barang-barang perhiasan yang selama ini menghiasi leher istri pemimpin dan putri tokoh suku Quraisy.‎

Maka sembari membawa tombaknya, Wahsyi dengan semangat berangkat ke medan Uhud bersama pasukan Quraisy lainnya. Tujuannya bukan untuk membunuh musuh sebanyak-banyaknya, melainkan hanya satu yang menjadi incarannya, yaitu dengan membunuh Hamzah bin Abdul Muthalib yang tak lain adalah paman Rasulullah. Hal ini dilakukannya adalah hanya untuk menemui kebebasannya sebagai manusia seutuhnya.

Di saat sedang berlangsung, Wahsyi terus menyelinap di tengah-tengah medan perang sambil mengintai paman Rasulullah. Di tengah-tengah semangat jihad Hamzah bin Abdul Muthalib melawan para musyrikin, ia terus membidik Hamzah menunggu waktu yang tepat untuk melemparkan tombaknya. Hingga tibalah saat yang tepat, dengan sigap ia melamparkan tombaknya dengan penuh harapan.

Sekarang, mari kita persilahkan Wahsyi sendiri yang menuturkan tentang peristiwa tersebut:

“Saya seorang Habasyah yang mahir melemparkan tombak dengan teknik khas Habasyah, hinnga jarang sekali lemparanku meleset. Tatkala orang-orang telah mulai berperang, saya pun keluar dan mencari-cari Hamzah, hingga tampak di antara manusia tidak ubahnya bagai unta kelabu yang mengancam orang-orang dengan pedangnya hingga tidak seorang pun yang dapat bertahan di depannya.

Demi Allah, ketika saya bersiap-siap untuk membunuhnya, saya bersembunyi di balik pohon agar dapat menerkamnya atau menunggunya supaya dekat. Tiba-tiba saya didahului oleh Siba’ bin Abdul ‘Uzza yang tampil di hadapannya. Tatkala Hamzah melihat mukanya, ia pun berkata, ‘Mendekatlah ke sini, wahai anak tukang potong kelintit <tukang sunat>!’ sejurus kemudianHamzah menebasnya dan tepat mengenai kepalanya.
Ketika itu saya pun menggerakkan tombak dan mengambil ancang-ancang, hingga setelah terasa tepat, saya melemparkannya hingga mengenai pinggang bagian bawah dan tembus ke bagian muka di antara dua pahanya. ia mencoba bangkit ke arahku, tetapi ia tidak berdaya lalu roboh dan meninggal.

Saya datang mendekatinya dan mencabut tombakku, lalu kembali ke perkemahan dan duduk-duduk di sana, karena tidak ada lagi tugas dan keperluanku. Saya telah membunuhnya semata-mata demi kebebasan dari perbudakan yang menguasai.”

Tombaknya tepat mengenai tubuh Hamzah bin Abdul Muthalib. Wahsyi bin Harb berhasil membunuh paman tercinta Rasulullah. Di saat itu juga Hindun binti Utbah melampiaskan dendamnya dengan memakan jantung Hamzah bin Abdul Muthalib.

Tragedi Uhud mengubah nasib Wahsyi bin Harb dan Kerinduannya menjadi manusia yang merdeka puntelah ia capai. Ia pun segera mengubah penampilannya menjadi layaknya manusia yang merdeka dari perbudakan.

Namun, bukan sambutan baik yang ia terima. Ia justru mendapatkan cemoohan dari masyarakat Quraisy. Wahsyi masih saja direndahkan oleh masyarakat Quraisy. Perlakuan buruk yang ia terima tidak juga membuka hatinya untuk memeluk Islam. Padahal ia telah melihat kemerdekaan sejati pada diri Bilal bin Rabah yang dulunya bernasib sama seperti dirinya.‎

Hidayah Islam justru baru hinggap di hatinya saat peristiwa pembebasan kota Mekkah. Di tahun 8 H, saat Rasulullah dan 10.000 umat Muslim lainnya berbindong-bondong datang ke Mekkah untuk mengembalikan kesucian kota Mekkah. Di saat kota Mekkah mulai dibebaskan oleh kaum Muslimin, Wahsyi justru melarikan diri menuju ke Tha’if.

Kisah Wahsyi bin Harb Ra

Siapakah orang yang melukai hati Rasulullah Saw. ketika membunuh paman beliau, Hamzah bin Abdul Muthalib pada perang Uhud? Siapakah yang menyenangkan hati beliau dengan membunuh Musailamah al-Kadzdzab pada perang Yamamah.

Dia adalah Wahsyi bin Harb, atau yang mempunyai julukan Abi Dasamah. Wahsyi mempunyai kisah yang sangat menarik, menyedihkan dan menegangkan. Siapkanlah pendengaran anda untuk mendengarkan kisah yang akan diceritakan sendiri oleh Wahsyi bin Harb. Wahsyi bercerita,

Dulu aku adalah seorang budak muda milik Muth’im bin ‘Adi, salah seorang pemimpin suku Quraisy. Pamannya bernama Thu’aimah. Thuaimah terbunuh di tangan Hamzah bin Abdul Muthalib pada perang badar. Muth’im bin Adi sangat sedih sekali dengan kematiannya. Dia bersumpah demi Latta dan ‘Uzza untuk membalas dendam kematian pamannya, dia juga berjanji akan membunuh pembunuh pamannya.

Muth’im bin Adi menunggu-nunggu waktu yang tepat untuk membunuh Hamzah.

Tidak berselang lama setelah perang Badar kaum Qurasiy mengadakan kesepakatan untuk keluar ke Uhud, melampiaskan pembalasan  mereka kepada Muhammad bin Abdillah, dan membalas kematian saudara-saudara mereka yang terbunuh di perang Badar. Kaum Quraisy menyiapkan pasukan perang mereka. Mereka menyatukan persekutuan mereka, lalu menyerahkan kepemimpinan mereka kepada Abu Sufyan bin Harb.

Abu Sufyan mempunyai gagasan untuk mengikutsertakan para pemimpin Quraisy yang mempunyai anak, ayah, saudara atau kerabat mereka yang  terbunuh di Badar. Hal itu agar menambah semangat pasukan mereka dalam berperang dan meminimalisir pasukan yang melarikan diri. Di antara perempuan yang ikut serta dalam peperangan tersebut adalah istri Abu Sufyan, Hindun binti ‘Utbah. Semua saudaranya, pamannya dan ayahnya terbunuh dalam perang Badar.

Ketika pasukan Quraisy hampir berangkat, Jubair bin Muth’im menoleh ke arahku dan berkata, “Wahai Abu Dasamah (Wahsyi), apakah engkau ingin membebaskan dirimu dari perbudakan?”

Aku bertanya, “Siapakah yang akan membebaskanku?”

Jubair berkata, “Aku yang akan membebaskanmu.”

Aku bertanya, “Apa syaratnya?”

Jubair menjawab, “Jika engkau berhasil membunuh Hamzah bin Abdil Muthalib, paman nabi Muhammad, demi pamanku Thu’aimah bin ‘Adi, aku akan membebaskanmu.”

Aku bertanya, “Siapakah yang akan memberikan jaminan padaku dengan janjimu?”

Jubair berkata, “Terserah kamu. Aku akan mempersaksikan janjiku ini kepada semua manusia.”

Aku menjawab, “Aku akan melakukannya. Dan aku akan merdeka.”

Wahsyi melanjutkan ceritanya,

Aku adalah orang Habasyi, aku adalah pelempar panah Habasyi yang tidak pernah meleset sama sekali.

Akhirnya aku mengambil tombakku dan aku berangkat dengan pasukan kaum musyrikin. Aku berjalan di barisan belakang di dekat perempuan. Aku tidak mempunyai tujuan yang jelas dalam peperangan tersebut.

Setiap kali aku melewati Hindun, istri Abu Sufyan atau ketika dia melewatiku dan melihat tombak yang berkilauan di tanganku di bawah terik matahari, dia berkata, “Wahai Abu Dasamah! Sembuhkanlah luka hati kami (dengan membunuh muslimin), niscaya engkau akan merdeka.”

Ketika kami sampai di Uhud dan dua pasukan bertemu, aku mencari-cari keberadaan Hamzah bin Abdul Muthalib. Sebelumnya aku sudah mengenalnya. Hamzah tidak asing bagi siapapun, karena dia memakai bulu burung onta di kepalanya untuk menunjukkan kepahlawanannya. Sebagaimana yang biasa dilakukan orang-orang perkasa dari orang-orang Arab yang pemberani.

Tidak berselang lama, aku melihat Hamzah bin Abdil Muthalib. Hamzah berperang dengan dahsyat di arena peperangan, laksana unta yang sangat ganas. Dia menebas leher musuh dengan sangat mengerikan. Tidak ada orang yang bertahan dengan kuat di depannya dan tidak ada orang yang bisa menghadapinya.

Ketika aku bersiap-siap untuk membunuhnya, aku bersembunyi di balik pohon atau di balik batu besar sambil menunggu agar dia mendekat padaku. Tiba-tiba ada salah seorang penunggang kuda yang mendahuluiku. Orang itu bernama Siba’ bin Abdul ‘Uzza. Dia berkata, “Wahai Hamzah, hadapilah aku, hadapilah aku..”

Lalu Hamzahpun menghadapinya seraya berkata, “Marilah berhadap-hadapan denganku wahai anak musyrik! Majulah!”

Seketika itu juga Hamzah bin Abdil Muthalib menyabetkan pedangnya dan mengenai Siba’. Siba’ bin Abdul ‘Uzzah tersungkur mati dengan bersimbah darah di hadapan Hamzah.

Pada waktu itulah aku mencari posisi untuk membunuh Hamzah. Aku mengarahkan tombakku. Dan ketika aku sudah tenang, aku melemparkan tombakku hingga mengenai bawah perutnya dan tombak itu tembus di bagian antara dua kakinya.

Hamzah melangkah dua langkah dengan berat ke arahku. Kemudian Hamzah terjatuh dan tombak masih tertancap di tubuhnya. Aku membiarkan tombakku dalam tubuhnya sampai aku sangat yakin bahwa dia benar-benar sudah meninggal. Kemudian aku menghampiri jasadnya dan mencabut tombakku dari tubuhnya, setelah itu aku kembali ke tenda. Setelah itu aku duduk di dalam tenda, karena aku tidak mempunyai tujuan selain membunuh Hamzah. Aku membunuhnya agar aku bisa merdeka.

Peperangan berlangsung sangat sengit. Banyak di antara mereka yang tetap bertahan dalam peperangan namun ada juga yang melarikan diri. Hanya saja kekalahan nampak pada pasukan Rasulullah Saw. dan para sahabatnya. Banyak sekali di antara mereka yang meninggal dunia.

Pada waktu itulah pergilah Hindun binti ‘Utbah menuju korba-korban tewas dari kalangan kaum muslimin. Di belakang Hindun terdapat para wanita dari kalangan musyrikin yang mengikuti Hindun. Mereka berdiri di depan mayat kaum muslimin, mereka membelah perut mayat-mayat kaum muslimin, mencukil mata mereka, memotong hidung mereka, bahkan memotong telinga mereka.

Mereka membuat potongan telinga dan hidung kaum muslimin menjadi kalung dan anting-anting lalu memakainya. Di antara mereka ada yang menyerahkan kalung dan anting kuping serta hidung itu kepadaku. Mereka berkata, “Kalung dan anting itu untukmu wahai Abu Dasamah! Simpanlah, karena harganya mahal!”

Ketika perang sudah mereda dan usai. Aku bersama dengan para pasukan kembali ke Makkah. Jubair bin Muth’im berbuat baik padaku dengan menepati janjinya, memerdekakan diriku. Akhirnya aku merdeka.

****

Namun tenyata agama yang dibawa oleh Muhammad semakin hari semakin berkembang. Pengikutnya semakin hari semakin bertambah. Dan setiap kali agama Muhammad bertambah kuat, aku semakin dilanda kesusahan. Aku selalu merasakan ketakutan dan kecemasan dalam diriku.

Aku terus merasakan hal tersebut, hingga akhirnya Rasulullah Saw. beserta pasukannya yang sangat banyak berhasil menaklukkan kota Makkah. Pada waktu itu aku pergi melarikan diri untuk mencari aman di Thaif.

Namun ternyata lambat laun kebanyakan penduduk Thaif juga memeluk Islam. Mereka menyiapkan utusan mereka untuk bertemu dengan nabi Muhammad serta mengikrarkan keislaman mereka.

Aku semakin bertambah menyesal dan bertambah bingung. Dunia yang luas terasa sempit olehku. Semua jalan terasa buntu. Aku berkata dalam diriku, “Aku akan pergi ke Syam, ke Yaman, atau ke negeri-negeri lain. Demi Allah, ketika aku dalam kondisi yang sangat kesusahan seperti ini, tiba-tiba datang seorang yang mau berbelas kasihan dan memberikan nasehat padaku. Orang tersebut berkata, “Celakalah kamu wahai Wahsyi! Sungguh Muhammad tidak akan membunuh seorangpun yang masuk ke dalam agamanya dan mau bersyahadat dengan benar.”

Setelah mendengar nasihatnya, seketika aku langsung keluar dan pergi menuju Madinah untuk mencari nabi Muhammad. Ketika aku sampai di Madinah, aku mencari tahu keberadaan beliau, dan ternyata beliau berada di masjid. Akupun memberanikan diri masuk ke dalam masjid dengan sangat takut dan khawatir. Aku pergi menghadapnya hingga aku berada di atas kepalanya. Aku mengatakan, “Aku bersaksi bahwa Tidak ada Tuhan Yang berhak disembah selain Allah, dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba Allah dan RasulNya.”

Ketika beliau mendengar ucapan dua kalimat syahadat, beliau mengangkat pandangannya ke arahku. Ketika beliau mengetahui bahwa yang mengucapkan dua kalimat syahadat adalah diriku, belaiau kembali menundukkan pandangan beliau. Rasulullah bertanya, “Apakah engkau Wahsyi?”

Aku menjawab, “Betul wahai Rasulullah.”

Rasulullah berkata, “Duduklah dan ceritakanlah kepadaku bagaimana engkau membunuh Hamzah?”

Lalu aku duduk dan menceritakan peristiwa pembunuhan Hamzah kepada beliau. Ketika aku selesai menceritakannya, Rasulullah memalingkan wajahnya dariku seraya berkata, “Celakalah kamu wahai Wahsyi! Sembunyikanlah wajahku dariku. Aku tidak akan melihat wajahmu lagi setelah hari ini.”

Sejak hari itulah aku selalu menghindarkan wajahku agar tidak sampai terlihat oleh Rasulullah Saw.. Apabila para sahabat duduk di depan beliau, aku justru duduk di belakang beliau. Aku terus melakukan hal tersebut hingga Rasulullah wafat.

****

Wahsyi melanjutkan ceritanya, meskipun aku tahu bahwa agama Islam menghapus semua perbuatan di waktu kafir, namun aku masih selalu terbayang-bayang dengan perbuatan keji yang aku lakukan maupun musibah besar yang aku timpakan kepada Islam dan kaum muslimin. Aku selalu mencari kesempatan untuk melakukan perbuatan yang dapat menghapuskan kesalahan masa laluku.

****

Ketika Rasulullah Saw. wafat dan kepemimpinan kaum muslimin berada di tangan sahabatnya, Abu Bakar, penduduk Bani Hanifah, para pengikut Musailamah al-Kadzdzab murtad dari Islam. Akhirnya khalifah Rasulullah Saw. Abu Bakar mengerahkan pasukannya untuk memerangi Musailamah dan mengembalikan Bani Hanifah kepada Islam.

Aku berkata dalam diriku, “Wahai Wahsyi, Demi Allah, sungguh ini merupakan kesempatan yang harus kau gunakan. Jangan sampai kesempatan ini lepas darimu.”

Lalu aku keluar bersama tentara kaum muslimin. Aku membawa tombak yang aku gunakan untuk membunuh pemuka para syuhada’ Hamzah bin Abdul Muthalib. Aku bertekad kuat dalam diriku untuk melemparkan tombak tersebut ke tubuh Musailamah hingga dia tewas, atau aku yang akan menemui syahid.

Ketika kaum muslimin bertempur dengan para pengikut Musailamah dan menyerang musuh-musuh Allah di kebun kematian, ‎aku mengawasi gerak-gerik Musailamah. Aku melihat Musailamah berdiri dengan pedang di tangannya. Aku juga melihat ada salah seorang sahabat dari kalangan anshar yang juga mengintainya seperti diriku. Kami berdua-dua bertekad untuk membunuhnya.

Ketika aku sudah berada pada posisi yang sangat strategis, aku menyiapkan tombakku. Ketika sudah siap, aku langsung  melemparkannya ke arah Musailamah. Dan ternyata tombakku berhasil menembus tubuhnya.

Pada saat yang sama ketika aku melemparkan tombakku, orang anshar itu berada di atas tubuh Musailamah lalu menyabetkan pedangnya ke tubuhnya dengan sekali sabetan.

Allah lebih tahu, siapa sebenarnya yang membunuhnya. Jika ternyata aku yang berhasil membunuhnya, maka sungguh aku sudah membunuh sebaik-baik orang sesudah nabi Muhammad dan juga membunuh sejelek-jelek manusia.” 

Salman bin Yasar dari Abdullah bin Umar, ia berkata: “Saya mendengar teriakan saat perang Yamamah; ‘Budak hitam itu telah membunuhnya!’.” Sementara menurut penuturan A’idz bin Yahya dari Muhammad bin Umar, Wahsyi dan Abdullah bin Zaid al-Anshari yang telah membunuhnya bersama-sama.

Saat kaum muslimin mengadakan ekspansi ke Syam, Wahsyi juga turut serta hingga ia memutuskan untuk menetap di Homs, Suriah sampai wafat. Ia dimakamkan di sana berdampingan dengan makam Tsauban pembantu Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Masjid yang didirikan dekat makamnya terkenal dengan nama Masjid Jami’ Wahsyi Tsauban. Namun saat ini, kondisi masjid ini hancur akibat ulah pemberontak.‎

Kisah masuk Islam nya Sayidina Wahsyi Bin Harb
Diriwayatkan oleh Thabrani, dari Ibnu Abbasr.a., katanya: Rasulullah saw. mengirim seorang utusan kepada Wahsyi bin Harb – Pembunuh Hamzah r.a. – agar ia memeluk Islam. Maka Wahsyi balik mengutus seseorang dengan kata-kata, “Wahai Muhammad! Bagaiman Engkau menyeru aku (untuk memeluk Islam) sedangkan engkau mengatakan bahwa barangsiapa membunuh atau mempersekutukan Allah dengan sesuatu atau meakukan zina, maka ia berdosa dan siksa untuknya akan digandakan pada hari Kiamat nanti dan kekal di dalam neraka dalam kehinaan, sedangkan aku telah melakukan perbuatan-perbuatan itu? Apakah engkau menjumpai satu keringanan bagiku?

Inilah tang menyebabkan Allah swt.Menurunkan wahyu:

اِلَّامَنْ تَابَ وَاٰمَنَ وَعَمِلَ عَمَلً صَالِحًا فَاُولٰٓئِكَ يُبَدِّلُ اللهُسَيِّاٰتِهِمْ حَسَنَاتٍۗ وَكَانَ اللهُغَفُوْرًا رَّحِيْمًا

“Kecuali orang-orang yang bertaubat dan beriman dan mengerjakan kebajikan; maka kejahatan mereka diganti Allah dengan kebaikan. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.(Qs. Al Furqan: 70)

Wahsyi berkata, “Wahai Muhammad, syarat ini sangat berat bagiku, yaitu aku harus bertaubat dan beriman serta melakukan amal shalih. Aku tidak sanggup melakukan hal-hal seperti itu.”

Peristiwa ini menyebabkan Allah swt.Menurunkan wahyu:

اِنَّ اللهَ لَايَغْفِرُاَنْ يُشْرِكَ بِهٰوَيَغْفِرُمَادُوْنَ ذٰلِكَ لِمَنْ يَّشَاءُۚ

“SesungguhnyaAllah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengetahui segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya” (Qs. An Nisaa: 48)

Wahsyi berkata lagi, “Wahai Rasulullah, aku melihat ampunan itu tergantung kepada kehendak Allah. Aku tidak mengetahui apakah Allah mengampuni atau tidak. Adakah yang lain?”

Maka Allah mewahyukan ayat di bawah inikepada Rasulullah saw.:

قُلْ يٰعِبَادِيَ الَّذِنَ اَسْرَفُوْاعَلٰٓ اَنْفُسِهِمْ لَاتَقْنَطُوْامِنْ رَّحْمَتِاللهِۗ اِنَّ اللهَ يَغْفِرُالذُّنُوْبَ جَمِيْعًاۗ اِنَّهُ هُوَالْغَفُوْرُالرَّحِيْمُ

“Katakanlah, “Wahai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sungguh, Dia-lah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Qs. Az Zumar: 53)

Wahsyi berkata lagi, “Wahai Muhammad, syarat ini mudah bagiku.”

Maka ia pun memeluk Islam. Para sahabat yang berada di sekitar itu berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya kami telah melakukan perbuatan yang dilakukan oleh Wahsyi.”

Rasulullah saw. bersabda, “Ayat itu ditujukan kepada seluruh orang Islam.”

Al Haitsami (juz 7, hal.100) berkata bahwa dalam sanadnya ada Abyan bin Sufyan. Adz Dzahabi menganggapnya lemah.

Diriwayatkan oleh Bukhari (2/710) dari Ibnu Abbas r.a., katanya: Sesungguhnya orang-orang yang berasal dari kaum musyrik, dulu mereka telah membunuh dan banyak melakukannya, begitu juga mereka telah berzinadan banyak melakukannya, kemudian mereka menemui Rasulullah saw. dan berkata, “Sesungguhnya segala yang telah engkau katakan dan engkau dakwahkan adalah ajaran yang sangat bagus, kalau saja engkau memberi tahu kami bahwa ada penebus untuk segala (dosa) yang kami lakukan selama ini.”
Maka Allah swt. Telah menurunkan ayat sebagai berikut:

وَالَّذِيْنَ لَايَدْعُوْنَ مَعَ اللهِ اِلٰهًا اٰخَرَوَلَايَقْتُلُوْنَ النَّفْسَ الَّتِىْ حَرَّمَ اللهُ اِلَّابِالْحَقِّ وَلَايَزْنُوْنَۚ

“Dan orang-orang yang tidak mempersekutukan Allah dengan sembahan lain dan tidak membunuh orang yang diharamkan Allah kecuali dengan (alasan) yang benar dan tidak berzina.” (Qs. Al Furqan: 68)

Kemudian ayat yang lain turun:

قُلْ يٰعِبَادِيَ الَّذِنَ اَسْرَفُوْاعَلٰٓ اَنْفُسِهِمْ لَاتَقْنَطُوْامِنْ رَّحْمَتِاللهِۗ

“Katakanlah, “Wahai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah….” (Qs. Az Zumar: 53)

Muslim juga meriwayatkannya (juz 1 hal. 76), juga Abu Dawud (juz 2 hal. 238), dan an Nasa’I, seperti yang ada dalam al Aini (juz 9 hal. 121). Al Baihaqi meriwayatkannya (juz 9 hal.98) semisal itu.Dari Kitab Hayatusshohabah

Di dalam naungan Islam, Wahsyi menghabiskan sisa hidupnya dalamkebaikan. Dalam cahaya Islam, Wahsyi merasakan benar-benar menjadi manusia merdeka yang hanya mengabdikan hidupnya kepada Allah. Begitulah Islam mengajarkan persamaan derajat manusia.

Islam adalah agama yang sangat bersemangat untuk menghilangkan sistem perbudakan. Namun, Islam tidak bisa memaksa seseorang untuk membebaskan budak dari tuannya. Yang ada adalah Islam hanya memberikan motivasi. Umpamanya adalah orang yang melanggar sumpah atas nama Allah, maka salah satu tebusan dari kesalah itu adalah membebaskan budak. Kemudian umpamanya kesalahan sepasang suami istri yang berhubungan di siang hari di saat bulan Ramadhan, maka tebusannya juga membebaskan budak, dan begitulah seterusnya. Secara tak langsung, Islam memberikan motivasi kepada masyarakatnya untuk membebaskan budak.

Begitulah kisah kehidupan dari manusia yang mulia ini, Wahsyi bin Harb. Semoga Allah meridhaimu, wahai Wahsyi.‎

 

Doa Nabi Sulaiman Menundukkan Hewan dan Jin

  Nabiyullah Sulaiman  'alaihissalam  (AS) merupakan Nabi dan Rasul pilihan Allah Ta'ala yang dikaruniai kerajaan yang tidak dimilik...