Jumat, 20 November 2020

Sejarah Tuanku Imam Bonjol dan Perang Padri


Tuanku Imam Bonjol (lahir di Bonjol, Pasaman, Sumatra Barat 1772 – wafat dalam pengasingan dan dimakamkan di Lotak, Pineleng, Minahasa, 6 November 1864), adalah salah seorang ulama, pemimpin dan pejuang yang berperang melawan Belanda, peperangan itu dikenal dengan nama Perang Padri di tahun 1803-1837. 

Tuanku Imam Bonjol diangkat sebagai Pahlawan Nasional Indonesia berdasarkan SK Presiden RI Nomor 087/TK/Tahun 1973, tanggal 6 November 1973.

Nama dan gelar

Nama asli dari Tuanku Imam Bonjol adalah Muhammad Shahab, yang lahir di Bonjol, Pasaman, Sumatra Barat pada tahun 1772. Sebagai ulama dan pemimpin masyarakat setempat, ia memperoleh beberapa gelar, yaitu Peto Syarif, Malin Basa, dan Tuanku Imam. Tuanku nan Renceh dari Kamang sebagai salah seorang pemimpin dari Harimau nan Salapan adalah yang menunjuknya sebagai Imam (pemimpin) bagi kaum Padri di Bonjol. Ia akhirnya lebih dikenal dengan sebutan Tuanku Imam Bonjol.

Perang Padri

Setelah berakhirnya perang Diponegoro & pulihnya kekuatan Belanda di Jawa, Pemerintah Hindia-Belanda kembali mencoba untuk menundukan Kaum Padri. Hal ini sangat didasari oleh keinginan kuat untuk penguasaan penanaman kopi yg sedang meluas di kawasan pedalaman Minangkabau [darek]. 

Sampai abad ke-19, komoditas perdagangan kopi merupaken salah satu produk andalan Belanda di Eropa. Christine Dobbin menyebutnya lebih kepada perang dagang, hal ini seiring dengan dinamika perubahan sosial masyarakat Minangkabau dlm liku-liku perdagangan di pedalaman & pesisir pantai barat atau pantai timur. Sementara Belanda pada satu sisi ingin mengambil alih atau monopoli. 

Selanjutnya untuk melemahkan kekuatan lawan, Belanda melanggar perjanjian yg telah dibuat sebelumnya dengan menyerang nagari Pandai Sikek yg merupaken salah satu kawasan yg mampu memproduksi mesiu & senjata api. Kemudian untuk memperkuat kedudukannya, Belanda membangun benteng di Bukittinggi yg dikenal dengan nama Fort de Kock.

Pada awal bulan Agustus 1831 Lintau berhasil ditaklukkan, menjadikan Luhak Tanah Datar berada dlm kendali Belanda. Namun Tuanku Lintau masih tetap melakukan perlawanan dari kawasan Luhak Limo Puluah. Sementara ketika Letnan Kolonel Elout melakukan berbagai serangan terhadap Kaum Padri antara tahun 1831-1832, ia memperoleh tambahan kekuatan dari pasukan Sentot Prawirodirdjo salah seorang panglima pasukan Pangeran Diponegoro yg telah membelot & berdinas pada Pemerintah Hindia-Belanda sesudah usai perang di Jawa. 

Namun kemudian Letnan Kolonel Elout berpendapat, kehadiran Sentot yg ditempatkan di Lintau justru menimbulkan masalah baru. Beberapa dokumen-dokumen resmi Belanda membuktikan kesalahan Sentot yg telah melakukan persekongkolan dengan Kaum Padri sehingga kemudian Sentot & legiunnya dikembalikan ke Pulau Jawa. Di Jawa, Sentot juga tak berhasil menghilangkan kecurigaan Belanda terhadap dirinya, & Belanda pun juga tak ingin ia tetap berada di Jawa & mengirimnya kembali ke Sumatera. Namun di tengah perjalanan, Sentot diturunkan & ditahan di Bengkulu, lalu ditinggal sampai mati sebagai orang buangan. Sedangkan pasukannya dibubarkan kemudian direkrut kembali menjadi tentara Belanda.

Sentot Prawirodirdjo, yg diilustrasikan oleh G. Kepper.

Pada bulan Juli 1832, dari Jakarta dikirim pasukan infantri dlm jumlah besar di bawah pimpinan Letnan Kolonel Ferdinand P. Vermeulen Krieger, untuk mempercepat penyelesaian peperangan. Dengan tambahan pasukan tersebut pada bulan Oktober 1832, Luhak Limo Puluah telah berada dlm kekuasaan Belanda bersamaan dengan meninggalnya Tuanku Lintau. Kemudian Kaum Padri terus melakukan konsolidasi & berkubu di Kamang, namun seluruh kekuatan Kaum Padri di Luhak Agam juga dapat ditaklukkan Belanda sesudah jatuhnya Kamang pada akhir tahun 1832, sehingga kembali Kaum Padri terpaksa mundur dari kawasan luhak & bertahan di Bonjol. 

Selanjutnya pasukan Belanda mulai melakukan penyisiran pada beberapa kawasan yg masih menjadi basis Kaum Padri. Pada awal Januari 1833, pasukan Belanda membangun kubu pertahanan di Padang Mantinggi, namun sebelum mereka dapat memperkuat posisi, kubu pertahanan tersebut diserang oleh Kaum Padri dibawah pimpinan Tuanku Rao yg mengakibatkan banyak korban di pihak Belanda. Namun dlm pertempuran di Air Bangis, pada tanggal 29 Januari 1833, Tuanku Rao menderita luka berat akibat dihujani peluru. Kemudian ia dinaikkan ke atas kapal untuk diasingkan. Belum lama berada di atas kapal, Tuanku Rao menemui ajalnya. Diduga jenazahnya kemudian dibuang ke laut oleh tentara Belanda.

Lamanya penyelesaian peperangan ini, memaksa Gubernur Jenderal Hindia-Belanda Johannes van den Bosch pada tanggal 23 Agustus 1833 pergi ke Padang untuk melihat dari dekat proses operasi militer yg dilakukan oleh pasukan Belanda. Sesampainya di Padang, ia melakukan perundingan dengan Komisaris Pesisir Barat Sumatera, Mayor Jenderal Riesz & Letnan Kolonel Elout untuk segera menaklukkan Benteng Bonjol, pusat komando pasukan Padri. Riesz & Elout menerangkan bahwa belum datang saatnya yg baik untuk mengadakan serangan umum terhadap Benteng Bonjol, karena kesetiaan penduduk Luhak Agam masih disangsikan & mereka sangat mungkin akan menyerang pasukan Belanda dari belakang. Tetapi Van den Bosch bersikeras untuk segera menaklukkan Benteng Bonjol paling lambat tanggal 10 September 1833, kedua opsir tersebut meminta tangguh enam hari sehingga jatuhnya Bonjol diharapkan pada tanggal 16 September 1833.

Taktik serangan gerilya yg diterapkan Kaum Padri kemudian berhasil memperlambat gerak laju serangan Belanda ke Benteng Bonjol, bahkan dlm beberapa perlawanan hampir semua perlengkapan perang pasukan Belanda seperti meriam beserta perbekalannya dapat dirampas. Pasukan Belanda hanya dapat membawa senjata & pakaian yg melekat di tangan & badannya. Sehingga pada tanggal 21 September 1833, sebelum Gubernur Jenderal Hindia-Belanda digantikan oleh Jean Chrétien Baud, Van den Bosch membuat laporan bahwa penyerangan ke Bonjol gagal & sedang diusahakan untuk konsolidasi guna penyerangan selanjutnya.

Kemudian selama tahun 1834 Belanda hanya fokus pada pembuatan jalan & jembatan yg mengarah ke Bonjol dengan mengerahkan ribuan tenaga kerja paksa. Hal ini dilakukan untuk memudahkan mobilitas pasukannya dlm menaklukkan Bonjol. Selain itu pihak Belanda juga terus berusaha menanamkan pengaruhnya pada beberapa kawasan yg dekat dengan kubu pertahanannya. Pada tanggal 16 April 1835, Belanda memutuskan untuk kembali mengadakan serangan besar-besaran untuk menaklukkan Bonjol & sekitarnya. Operasi militer dimulai pada tanggal 21 April 1835, pasukan Belanda dipimpin oleh Letnan Kolonel Bauer, memecah pasukannya menuju Masang menjadi dua bagian yg bergerak masing-masing dari Matur & Bamban. Pasukan ini mesti menyeberangi sungai yg saat itu tengah dilanda banjir, & terus masuk menyelusup ke dlm hutan rimba; mendaki gunung & menuruni lembah; guna membuka jalur baru menuju Bonjol.

Pada tanggal 23 April 1835 gerakan pasukan Belanda ini telah berhasil mencapai tepi Batang Gantiang, kemudian menyeberanginya & berkumpul di Batusari. Dari sini hanya ada satu jalan sempit menuju Sipisang, daerah yg masih dikuasai oleh Kaum Padri. Sesampainya di Sipisang, pecah pertempuran sengit antara pasukan Belanda dengan Kaum Padri. Pertempuran berlangsung selama tiga hari tiga malam tanpa henti, sampai banyak korban di kedua belah pihak. Akhirnya dengan kekuatan yg jauh tak sebanding, pasukan Kaum Padri terpaksa mengundurkan diri ke hutan-hutan rimba sekitarnya. Jatuhnya daerah Sipisang ini meningkatkan moralitas pasukan Belanda, kemudian daerah ini dijadikan sebagai kubu pertahanan sambil menunggu pembuatan jembatan menuju Bonjol.

Walau pergerakan laju pasukan Belanda menuju Bonjol masih sangat lamban, hampir sebulan waktu yg diperlukan untuk dapat mendekati daerah Alahan Panjang. Sebagai front terdepan dari Alahan Panjang ialah daerah Padang Lawas yg secara penuh masih dikuasai oleh Kaum Padri. Namun pada tanggal 8 Juni 1835 pasukan Belanda berhasil menguasai daerah ini. Selanjutnya pada tanggal 11 Juni 1835 pasukan Belanda kembali bergerak menuju sebelah timur Batang Alahan Panjang & membuat kubu pertahanan disana, sementara pasukan Kaum Padri tetap bersiaga di seberangnya.

Pasukan Belanda berhasil mendekati Bonjol dlm jarak kira-kira hanya 250 langkah pada tengah malam tanggal 16 Juni 1835, kemudian mereka mencoba membuat kubu pertahanan. Selanjutnya dengan menggunakan houwitser, mortir & meriam, pasukan Belanda menembaki Benteng Bonjol. Namun Kaum Padri tak tinggal diam dengan menembakkan meriam pula dari Bukit Tajadi. Sehingga dengan posisi yg kurang menguntungkan, pasukan Belanda banyak menjadi korban. Pada tanggal 17 Juni 1835 kembali datang bantuan tambahan pasukan sebanyak 2000 orang yg dikirim oleh Residen Francis di Padang & pada tanggal 21 Juni 1835, dengan kekuatan yg besar pasukan Belanda memulai gerakan maju menuju sasaran akhir yaitu Benteng Bonjol di Bukit Tajadi.

Melihat kokohnya Benteng Bonjol, pasukan Belanda mencoba melakukan blokade terhadap Bonjol dengan maksud untuk melumpuhkan suplai bahan makanan & senjata pasukan Padri. Blokade yg dilakukan ini ternyata tak efektif, karena justru kubu-kubu pertahanan pasukan Belanda & bahan perbekalannya yg banyak diserang oleh pasukan Kaum Padri secara gerilya. Disaat bersamaan seluruh pasukan Kaum Padri mulai berdatangan dari daerah-daerah yg telah ditaklukkan pasukan Belanda, yaitu dari berbagai negeri di Minangkabau & sekitarnya. Semua bertekad bulat untuk mempertahankan markas besar Bonjol sampai titik darah penghabisan, hidup mulia atau mati syahid.

Usaha untuk melakukan serangan ofensif terhadap Bonjol baru dilakukan kembali sesudah bala bantuan tentara yg terdiri dari pasukan Bugis datang, maka pada pertengahan Agustus 1835 penyerangan mulai dilakukan terhadap kubu-kubu pertahanan Kaum Padri yg berada di Bukit Tajadi, & pasukan Bugis ini berada pada bagian depan pasukan Belanda dlm merebut satu persatu kubu-kubu pertahanan strategis Kaum Padri yg berada disekitar Bukit Tajadi. Namun sampai awal September 1835, pasukan Belanda belum berhasil menguasai Bukit Tajadi, malah pada tanggal 5 September 1835, Kaum Padri keluar dari kubu pertahanannya menyerbu ke luar benteng menghancurkan kubu-kubu pertahahan Belanda yg dibuat sekitar Bukit Tajadi. Setelah serangan tersebut, pasukan Kaum Padri segera kembali masuk ke dlm Benteng Bonjol.

Pada tanggal 9 September 1835, pasukan Belanda mencoba menyerang dari arah Luhak Limo Puluah & Padang Bubus, namun hasilnya gagal, bahkan banyak menyebabkan kerugian pada pasukan Belanda. Letnan Kolonel Bauer, salah seorang komandan pasukan Belanda menderita sakit & terpaksa dikirim ke Bukittinggi kemudian posisinya digantikan oleh Mayor Prager. Blokade yg berlarut-larut & keberanian Kaum Padri, membangkitkan semangat keberanian rakyat sekitarnya untuk memberontak & menyerang pasukan Belanda, sehingga pada tanggal 11 Desember 1835 rakyat Simpang & Alahan Mati mengangkat senjata & menyerang kubu-kubu pertahanan Belanda. Pasukan Belanda kewalahan mengatasi perlawanan ini. Namun sesudah datang bantuan dari serdadu-serdadu Madura yg berdinas pada pasukan Belanda, perlawanan ini dapat diatasi.

Hampir setahun mengepung Bonjol, pada tanggal 3 Desember 1836, pasukan Belanda kembali melakukan serangan besar-besaran terhadap Benteng Bonjol, sebagai usaha terakhir untuk penaklukan Bonjol. Serangan dahsyat ini mampu menjebol sebagian Benteng Bonjol, sehingga pasukan Belanda dapat masuk menyerbu & berhasil membunuh beberapa keluarga Tuanku Imam Bonjol. Tetapi dengan kegigihan & semangat juang yg tinggi Kaum Padri kembali berhasil memporak-porandakan musuh sehingga Belanda terusir & terpaksa kembali keluar dari benteng dengan meninggalkan banyak sekali korban jiwa di masing-masing pihak.

Kegagalan penaklukan ini benar-benar memukul kebijaksanaan Gubernur Jenderal Hindia-Belanda di Jakarta yg waktu itu telah dipegang oleh Dominique Jacques de Eerens, kemudian pada awal tahun 1837 mengirimkan seorang panglima perangnya yg bernama Mayor Jenderal Cochius untuk memimpin langsung serangan besar-besaran ke Benteng Bonjol untuk kesekian kalinya. Cochius merupaken seorang perwira tinggi Belanda yg memiliki keahlian dlm strategi perang Benteng Stelsel.

Selanjutnya Belanda dengan intensif mengepung Bonjol dari segala jurusan selama sekitar enam bulan [16 Maret-17 Agustus 1837] dipimpin oleh jenderal & beberapa perwira. Pasukan gabungan ini sebagian besar terdiri dari berbagai suku, seperti Jawa, Madura, Bugis & Ambon. Terdapat 148 perwira Eropa, 36 perwira pribumi, 1. 103 tentara Eropa, 4. 130 tentara pribumi, termasuk didalamnya Sumenapsche hulptroepen hieronder begrepen [pasukan pembantu Sumenap alias Madura]. Dalam daftar nama para perwira pasukan Belanda tersebut di antaranya ialah Mayor Jendral Cochius, Letnan Kolonel Bauer, Mayor Sous, Mayor Prager, Kapten MacLean, Letnan Satu van der Tak, Pembantu Letnan Satu Steinmetz, & seterusnya. Kemudian ada juga nama Inlandsche [pribumi] seperti Kapitein Noto Prawiro, Indlandsche Luitenant Prawiro di Logo, Karto Wongso Wiro Redjo, Prawiro Sentiko, Prawiro Brotto, Merto Poero & lainnya.

Dari Jakarta didatangkan terus tambahan kekuatan tentara Belanda, dimana pada tanggal 20 Juli 1837 tiba dengan Kapal Perle di Padang, sejumlah orang Eropa & Sepoys, serdadu dari Afrika yg berdinas dlm tentara Belanda, direkrut dari Ghana & Mali, terdiri dari 1 sergeant, 4 korporaals & 112 flankeurs, serta dipimpin oleh Kapitein Sinninghe. Serangan yg bergelombang serta bertubi-tubi & hujan peluru dari pasukan artileri yg bersenjatakan meriam-meriam besar, selama kurang lebih 6 bulan lamanya, serta pasukan infantri & kavaleri yg terus berdatangan. Pada tanggal 3 Agustus 1837 dipimpin oleh Letnan Kolonel Michiels sebagai komandan lapangan terdepan mulai sedikit demi sedikit menguasai keadaan, & akhirnya pada tanggal tanggal 15 Agustus 1837, Bukit Tajadi jatuh, & pada tanggal 16 Agustus 1837 Benteng Bonjol secara keseluruhan dapat ditaklukkan. Namun Tuanku Imam Bonjol dapat mengundurkan diri keluar dari benteng dengan didampingi oleh beberapa pengikutnya terus menuju daerah Marapak.

Perundingan Tuanku Imam Bonjol
Dalam pelarian & persembunyiannya, Tuanku Imam Bonjol terus mencoba mengadakan konsolidasi terhadap seluruh pasukannya yg telah bercerai-berai & lemah, namun karena telah lebih 3 tahun bertempur melawan Belanda secara terus menerus, ternyata hanya sedikit saja yg tinggal & masih siap untuk bertempur kembali. Dalam kondisi seperti ini, tiba-tiba datang surat tawaran dari Residen Francisdi Padang untuk mengajak berunding. Kemudian Tuanku Imam Bonjol menyatakan kesediaannya melakukan perundingan. Perundingan itu dikatakan tak boleh lebih dari 14 hari lamanya. Selama 14 hari berkibar bendera putih & gencatan senjata berlaku.

Tuanku Imam Bonjol diminta untuk datang ke Palupuh, tempat perundingan, tanpa membawa senjata. Tapi hal itu cuma jebakan Belanda untuk menangkap Tuanku Imam Bonjol, peristiwa itu terjadi di bulan Oktober 1837 & kemudian Tuanku Imam Bonjol dlm kondisi sakit langsung dibawa ke Bukittinggi kemudian terus dibawa ke Padang, untuk selanjutnya diasingkan. Namun pada tanggal 23 Januari 1838, ia dipindahkan ke Cianjur, & pada akhir tahun 1838, ia kembali dipindahkan ke Ambon. Kemudian pada tanggal 19 Januari 1839, Tuanku Imam Bonjol kembali dipindahkan ke Menado, & di daerah inilah sesudah menjalani masa pembuangan selama 27 tahun lamanya, pada tanggal 8 November 1864, Tuanku Imam Bonjol menghembuskan nafas terakhirnya.

Penangkapan Tuanku Imam Bonjol
Meskipun pada tahun 1837 Benteng Bonjol dapat dikuasai Belanda, & Tuanku Imam Bonjol berhasil ditipu & ditangkap, tetapi peperangan ini masih berlanjut sampai akhirnya benteng terakhir Kaum Padri, di Dalu-Dalu [Rokan Hulu], yg waktu itu telah dipimpin oleh Tuanku Tambusai jatuh pada 28 Desember 1838. Jatuhnya benteng tersebut memaksa Tuanku Tambusai mundur, bersama sisa-sisa pengikutnya pindah ke Negeri Sembilan di Semenanjung Malaya, & akhirnya peperangan ini dianggap selesai kemudian Kerajaan Pagaruyung ditetapkan menjadi bagian dari Pax Neerlandica & wilayah Padangse Bovenlanden telah berada di bawah pengawasan Pemerintah Hindia-Belanda.

Sikap Patriotisme Kepahlawanan
Pengaruh dari peperangan ini menumbuhkan sikap patriotisme kepahlawanan bagi masing-masing pihak yg terlibat. Selepas jatuhnya Benteng Bonjol, pemerintah Hindia-Belanda membangun sebuah monumen untuk mengenang kisah peperangan ini. Kemudian sejak tahun 1913, beberapa lokasi tempat terjadi peperangan ini ditandai dengan tugu & dimasukan sebagai kawasan wisata di Minangkabau. Begitu juga selepas kemerdekaan Indonesia, pemerintah setempat juga membangun museum & monumen di Bonjol & dinamai dengan Museum & Monumen Tuanku Imam Bonjol. Perjuangan beberapa tokoh dlm Perang Padri ini, mendorong pemerintah Indonesia kemudian menetapkan Tuanku Imam Bonjol & Tuanku Tambusai sebagai Pahlawan Nasional.

 

Sejarah Perjuangan Teuku Umar dan Tjut Njak Dhien


Teuku Umar. Ia dilahirkan pada tahun 1854 (tanggal dan bulannya tidak tercatat) di Meulaboh, Aceh Barat, Indonesia. Ia merupakan salah seorang pahlawan nasional yang pernah memimpin perang gerilya di Aceh sejak tahun 1873 hingga tahun 1899. Kakek Teuku Umar adalah keturunan Minangkabau, yaitu Datuk Makdum Sati yang pernah berjasa terhadap Sultan Aceh. Datuk Makdum Sati mempunyai dua orang putra, yaitu Nantan Setia dan Achmad Mahmud. Teuku Achmad Mahmud merupakan bapak Teuku Umar. ‎

Ketika perang aceh meletus pada 1873 Teuku Umar ikut serta berjuang bersama pejuang-pejuang Aceh lainnya, padahal umurnya baru menginjak19 tahun. Mulanya ia berjuang di kampungnya sendiri yang kemudian dilanjukan ke Aceh Barat. Pada umur ini, Teuku Umar juga sudah diangkat sebagai keuchik (kepala desa) di daerah Daya Meulaboh.

Kepribadiaan Teuku Umar sejak kecil dikenal sebagai anak yang cerdas, pemberani, dan kadang suka berkelahi dengan teman-teman sebayanya. Ia juga memiliki sifat yang keras dan pantang menyerah dalam menghadapi segala persoalan. Teuku Umar tidak pernah mendapakan pendidikan formal. Meski demikian, ia mampu menjadi seorang pemimpin yang kuat, cerdas, dan pemberani. 

Pernikahan Teuku Umar tidak sekali dilakukan. Ketika umurnya sudah menginjak usia 20 tahun, Teuku Umar menikah dengan Nyak Sofiah, anak Uleebalang Glumpang. Untuk meningkatkan derajat dirinya, Teuku Umar kemudian menikah lagi dengan Nyak Malighai, puteri dari Panglima Sagi XXV Mukim. Sejak saat itu, ia mulai menggunakan gelar Teuku. Pada tahun 1880, Teuku Umar menikahi janda Cut Nyak Dien, puteri pamannya. Sebenarnya Cut Nyak Dien sudah mempunyai suami (Teuku Ibrahim Lamnga) tapi telah meninggal dunia pada Juni 1978 dalam peperangan melawan Belanda di Gle Tarun. Setelah itu, Cut Nyak Dien bertemu dan jatuh cinta dengan Teuku Umar. Keduanya kemudian berjuang bersama melancarkan serangan terhadap pos-pos Belanda di Krueng. Hasil perkawinan keduanya adalah anak perempuan bernama Cut Gambang yang lahir di tempat pengungsian karena orang tuanya tengah berjuang dalam medan tempur.

Belanda sempat berdamai dengan pasukan Teuku Umar pada tahun 1883. Satu tahun kemudian (tahun 1884) pecah kembali perang di antara keduanya. Pada tahun 1893, Teuku Umar kemudian mencari strategi bagaimana dirinya dapat memperoleh senjata dari pihak musuh (Belanda). Akhirnya, Teuku Umar berpura-pura menjadi antek (kaki tangan) Belanda. Istrinya, Cut Nyak Dien pernah sempat bingung, malu, dan marah atas keputusan suaminya itu. Gubernur Van Teijn pada saat itu juga bermaksud memanfaatkan Teuku Umar sebagai cara untuk merebut hati rakyat Aceh. Teuku Umar kemudian masuk dinas militer. Atas keterlibatan tersebut, pada 1 Januari 1894, Teuku Umar sempat dianugerahi gelar Johan Pahlawan dan diizinkan untuk membentuk legium pasukan sendiri yang berjumlah 250 tentara dengan senjata lengkap.

Saat bergabung dengan Belanda, Teuku Umar sebenarnya pernah menundukkan pos-pos pertahanan Aceh. Peperangan tersebut dilakukan Teuku Umar secara pura-pura. Sebab, sebelumnya Teuku Umar telah memberitahukan terlebih dahulu kepada para pejuang Aceh. Sebagai kompensasi atas keberhasilannya itu, pemintaan Teuku Umar untuk menambah 17 orang panglima dan 120 orang prajurit, termasuk ‎seorang Pangleot sebagai tangan kanannya akhirnya dikabulkan oleh Gubernur Deykerhorf yang menggantikan Gubernur Ban Teijn.

Pada tanggal 30 Maret 1896, Teuku Umar kemudian keluar dari dinas militer Belanda dengan membawa pasukannya beserta 800 pucuk senjata, 25.000 butir peluru, 500 kg amunisi, dan uang 18.000 dollar. Dengan kekuatan yang semakin bertambah, Teuku Umar bersama 15 orang berbalik kembali membela rakyat Aceh. Siasat dan strategi perang yang amat lihai tersebut dimaksudkan untuk mengelabuhi kekuatan Belanda pada saat itu yang amat kuat dan sangat sukar ditaklukkan. 

Pada saat itu, perjuangan Teuku Umar mendapat dukungan dari Teuku Panglima Polem Muhammad Daud yang bersama 400 orang ikut menghadapi serangan Belanda. Dalam pertempuran tersebut, sebanyak 25 orang tewas dan 190 orang luka-luka di pihak Belanda.

Gubernur Deykerhorf merasa tersakiti dengan siasat yang dilakukan Teuku Umar. Van Heutsz diperintahkan agar mengerahkan pasukan secara besar-besaran untuk menangkap Teuku Umar. Serangan secara mendadak ke daerah Melaboh menyebabkan Teuku Umar tertembak dan gugur dalam medan perang, yaitu di Kampung Mugo, pedalaman Meulaboh pada tanggal10 Februari 1899.

Pemikiran Teuku Umar

Sejak kecil, Teuku Umar sebenarnya memiliki pemikiran yang kerap sulit dipahami oleh teman-temannya. Ketika beranjak dewasa pun pemikirannya juga masih sulit dipahami. Sebagaimana telah diulas di atas bahwa taktik Teuku Umar yang berpura-pura menjadi antek Belanda adalah sebagai bentuk “kerumitan” pemikiran dalam dirinya. Beragam tafsir muncul dalam memahami pemikiran Teuku Umar tentang taktik kepura-puraan tersebut. Meski demikian, yang pasti bahwa taktik dan strategi tersebut dinilai sangat jitu dalam menghadapi gempuran kolonial Belanda yang memiliki pasukan serta senjata sangat lengkap. Teuku Umar memandang bahwa “cara yang negatif” boleh-boleh saja dilakukan asalkan untuk mencapai “tujuan yang positif”. Jika dirunut pada konteks pemikiran kontemporer, pemikiran seperti itu kedengarannya lebih dekat dengan komunisme yang juga menghalalkan segala cara. Semangat perjuangan Teuku Umar dalam menghadapi kolonialisme Belanda yang pada akhirnya mendorong pemikiran semacam itu. ‎

Karya Teuku Umar dapat berupa keberhasilan dirinya dalam menghadapi musuh. Sebagai contoh, pada tanggal 14 Juni 1886, Teuku Umar pernah menyerang kapal Hok Centon, milik Belanda. Kapal tersebut berhasil dikuasai pasukan Teuku Umar. Nahkoda kapalnya, Hans (asal Denmark) tewas dan kapal diserahkan kepada Belanda dengan meminta tebusan sebesar 25.000 ringgit. Keberanian tersebut sangat dikagumi oleh rakyat Aceh. Karya yang lain adalah berupa keberhasilan Teuku Umar ketika mendapatkan banyak senjata sebagai hasil dari pengkhianatan dirinya terhadap Belanda‎

Berdasarkan SK Presiden No. 087/TK/1973 tanggal 6 November 1973, Teuku Umar dianugerahi gelar Pahlawan Nasional. Nama Teuku Umar juga diabadikan sebagai nama jalan di sejumlah daerah di tanah air, salah satunya yang terkenal adalah terletak di Menteng, Jakarta Pusat. Selain itu, namanya juga diabadikan sebagai nama sebuah lapangan di Meulaboh, Aceh Barat.


Cut Nyak Dhien


Cut Nyak Dhien lahir di Lampadang, Kerajaan Aceh, 1848, seorang Pahlawan Nasional Indonesia dari Aceh yang berjuang melawan Belanda pada masa Perang Aceh, Cut Nyak Dhien dilahirkan dari keluarga bangsawan yang taat beragama di Aceh Besar, wilayah VI Mukim pada tahun 1848. Ayahnya bernama Teuku Nanta Setia, seorang uleebalang VI Mukim, yang juga merupakan keturunan Machmoed Sati, perantau dari Sumatera Barat. Machmoed Sati mungkin datang ke Aceh pada abad ke 18 ketika kesultanan Aceh diperintah oleh Sultan Jamalul Badrul Munir. Oleh sebab itu, Ayah dari Cut Nyak Dhien merupakan keturunan Minangkabau. Ibu Cut Nyak Dhien adalah putri uleebalang Lampagar.

Pada masa kecilnya, Cut Nyak Dhien adalah anak yang cantik. Ia memperoleh pendidikan pada bidang agama (yang dididik oleh orang tua ataupun guru agama) dan rumah tangga (memasak, melayani suami, dan yang menyangkut kehidupan sehari-hari yang dididik baik oleh orang tuanya). Banyak laki-laki yang suka pada Cut Nyak Dhien dan berusaha melamarnya. Pada usia 12 tahun, ia sudah dinikahkan oleh orang tuanya pada tahun 1862 dengan Teuku Cek Ibrahim Lamnga, putra dari uleebalang Lamnga XIII. Mereka memiliki satu anak laki-laki.

Pada tanggal 26 Maret 1873, Belanda menyatakan perang kepada Aceh, dan mulai melepaskan tembakan meriam ke daratan Aceh dari kapal perang Citadel van Antwerpen. Perang Aceh pun meletus. Pada perang pertama (1873-1874), Aceh yang dipimpin oleh Panglima Polim dan Sultan Machmud Syah bertempur melawan Belanda yang dipimpin Johan Harmen Rudolf Köhler. Saat itu, Belanda mengirim 3.198 prajurit. Lalu, pada tanggal 8 April 1873, Belanda mendarat di Pantai Ceureumen di bawah pimpinan Köhler, dan langsung bisa menguasai Masjid Raya Baiturrahman dan membakarnya. Cut Nyak Dhien yang melihat hal ini berteriak:

"Lihatlah wahai orang-orang Aceh!! Tempat ibadat kita dirusak!! Mereka telah mencorengkan nama Allah! Sampai kapan kita begini? Sampai kapan kita akan menjadi budak Belanda?"

Kesultanan Aceh dapat memenangkan perang pertama. Ibrahim Lamnga yang bertarung di garis depan kembali dengan sorak kemenangan, sementara Köhler tewas tertembak pada April 1873.

J.B. van Heutsz sedang memperhatikan pasukannya dalam penyerangan di Perang Aceh
Pada tahun 1874-1880, di bawah pimpinan Jenderal Jan van Swieten, daerah VI Mukim dapat diduduki Belanda pada tahun 1873, sedangkan Keraton Sultan jatuh pada tahun 1874. Cut Nyak Dhien dan bayinya akhirnya mengungsi bersama ibu-ibu dan rombongan lainnya pada tanggal 24 Desember 1875. Suaminya selanjutnya bertempur untuk merebut kembali daerah VI Mukim.

Ketika Ibrahim Lamnga bertempur di Gle Tarum, ia tewas pada tanggal 29 Juni 1878. Hal ini membuat Cut Nyak Dhien sangat marah dan bersumpah akan menghancurkan Belanda.
Teuku Umar, tokoh pejuang Aceh, melamar Cut Nyak Dhien. Pada awalnya Cut Nyak Dhien menolak. Namun, karena Teuku Umar mempersilakannya untuk ikut bertempur dalam medan perang, Cut Nyak Dien akhirnya menerimanya dan menikah lagi dengan Teuku Umar pada tahun 1880. Hal ini membuat meningkatnya moral semangat perjuangan Aceh melawan Kaphe Ulanda (Belanda Kafir). Nantinya, Cut Nyak Dhien dan Teuku Umar memiliki anak yang diberi nama Cut Gambang.‎

Perang dilanjutkan secara gerilya dan dikobarkan perang fi'sabilillah. Sekitar tahun 1875, Teuku Umar melakukan gerakan dengan mendekati Belanda dan hubungannya dengan orang Belanda semakin kuat. Pada tanggal 30 September 1893, Teuku Umar dan pasukannya yang berjumlah 250 orang pergi ke Kutaraja dan "menyerahkan diri" kepada Belanda. Belanda sangat senang karena musuh yang berbahaya mau membantu mereka, sehingga mereka memberikan Teuku Umar gelar Teuku Umar Johan Pahlawan dan menjadikannya komandan unit pasukan Belanda dengan kekuasaan penuh. Teuku Umar merahasiakan rencana untuk menipu Belanda, meskipun ia dituduh sebagai penghianat oleh orang Aceh. Bahkan, Cut Nyak Meutia datang menemui Cut Nyak Dhien dan memakinya. Cut Nyak Dien berusaha menasehatinya untuk kembali melawan Belanda. Namun, Teuku Umar masih terus berhubungan dengan Belanda. Umar lalu mencoba untuk mempelajari taktik Belanda, sementara pelan-pelan mengganti sebanyak mungkin orang Belanda di unit yang ia kuasai. Ketika jumlah orang Aceh pada pasukan tersebut cukup, Teuku Umar melakukan rencana palsu pada orang Belanda dan mengklaim bahwa ia ingin menyerang basis Aceh.

Teuku Umar dan Cut Nyak Dhien pergi dengan semua pasukan dan perlengkapan berat, senjata, dan amunisi Belanda, lalu tidak pernah kembali. Penghianatan ini disebut Het verraad van Teukoe Oemar (pengkhianatan Teuku Umar). Teuku Umar yang mengkhianati Belanda menyebabkan Belanda marah dan melancarkan operasi besar-besaran untuk menangkap baik Cut Nyak Dhien dan Teuku Umar. Namun, gerilyawan kini dilengkapi perlengkapan dari Belanda. Mereka mulai menyerang Belanda sementara Jend. Van Swieten diganti. Penggantinya, Jend. Jakobus Ludovicius Hubertus Pel, dengan cepat terbunuh dan pasukan Belanda berada pada kekacauan. Belanda lalu mencabut gelar Teuku Umar dan membakar rumahnya, dan juga mengejar keberadaannya. Dien dan Umar terus menekan Belanda, lalu menyerang Banda Aceh (Kutaraja) dan Meulaboh (bekas basis Teuku Umar), sehingga Belanda terus-terusan mengganti jendral yang bertugas.

Unit "Maréchaussée" lalu dikirim ke Aceh. Mereka dianggap biadab dan sangat sulit ditaklukan oleh orang Aceh. Selain itu, kebanyakan pasukan "De Marsose" merupakan orang Tionghoa-Ambon yang menghancurkan semua yang ada di jalannya. Akibat dari hal ini, pasukan Belanda merasa simpati kepada orang Aceh dan Van der Heyden membubarkan unit "De Marsose". Peristiwa ini juga menyebabkan kesuksesan jendral selanjutnya karena banyak orang yang tidak ikut melakukan jihad kehilangan nyawa mereka, dan ketakutan masih tetap ada pada penduduk Aceh.

Jendral Joannes Benedictus van Heutsz memanfaatkan ketakutan ini dan mulai menyewa orang Aceh untuk memata-matai pasukan pemberontak sebagai informan sehingga Belanda menemukan rencana Teuku Umar untuk menyerang Meulaboh pada tanggal 11 Februari 1899. Akhirnya, Teuku Umar gugur tertembak peluru. Ketika Cut Gambang, anak Cut Nyak Dhien, menangis karena kematian ayahnya, ia ditampar oleh ibunya yang lalu memeluknya dan berkata:

“ Sebagai perempuan Aceh, kita tidak boleh menumpahkan air mata pada orang yang sudah syahid”

Cut Nyak Dien lalu memimpin perlawanan melawan Belanda di daerah pedalaman Meulaboh bersama pasukan kecilnya dan mencoba melupakan suaminya. Pasukan ini terus bertempur sampai kehancurannya pada tahun 1901 karena tentara Belanda sudah terbiasa berperang di medan daerah Aceh. Selain itu, Cut Nyak Dien sudah semakin tua. Matanya sudah mulai rabun, dan ia terkena penyakit encok dan juga jumlah pasukannya terus berkurang, serta sulitnya memperoleh makanan. Hal ini membuat iba para pasukan-pasukannya.

Anak buah Cut Nyak Dhien yang bernama Pang Laot melaporkan lokasi markasnya kepada Belanda karena iba. Akibatnya, Belanda menyerang markas Cut Nyak Dien di Beutong Le Sageu. Mereka terkejut dan bertempur mati-matian. Cut Nyak Dhien ditangkap dan dibawa ke Banda Aceh. Dhien dipindah ke Sumedang berdasari orang terakhir yang melindungi Dien sampai kematiannya. Namun, Cut Nyak Dhien memiliki penyakit rabun, sehingga ia tertangkap. Dhien berusaha mengambil rencong dan mencoba untuk melawan musuh. Sayangnya, aksi Dhien berhasil dihentikan oleh Belanda. Cut Gambang berhasil melarikan diri ke hutan dan meneruskan perlawanan yang sudah dilakukan oleh ayah dan ibunya.‎

Setelah ditangkap, Cut Nyak Dhien dibawa ke Banda Aceh dan dirawat di situ. Penyakitnya seperti rabun dan encok berangsur-angsur sembuh. Namun, Cut Nyak Dien akhirnya dibuang ke Sumedang, Jawa Barat, karena ketakutan Belanda bahwa kehadirannya akan menciptakan semangat perlawanan dan juga karena ia terus berhubungan dengan pejuang yang belum tunduk.

Ia dibawa ke Sumedang bersama dengan tahanan politik Aceh lain dan menarik perhatian bupati Suriaatmaja. Selain itu, tahanan laki-laki juga menyatakan perhatian mereka pada Cut Nyak Dhien, tetapi tentara Belanda dilarang mengungkapan identitas tahanan. Ia ditahan bersama ulama bernama Ilyas yang segera menyadari bahwa Cut Nyak Dhien merupakan ahli dalam agama Islam, sehingga ia dijuluki sebagai "Ibu Perbu". 

Pada tanggal 6 November 1908, Cut Nyak Dhien meninggal karena usianya yang sudah tua. Makam "Ibu Perbu" baru ditemukan pada tahun 1959 berdasarkan permintaan Gubernur Aceh saat itu, Ali Hasan. "Ibu Perbu" diakui oleh Presiden Soekarno sebagai Pahlawan Nasional Indonesia melalui SK Presiden RI No.106 Tahun 1964 pada tanggal 2 Mei 1964
Beliau dimakamkan secara hormat di Gunung Puyuh, sebuah komplek pemakaman para bangsawan Sumedang, tak jauh dan pusat kota. Sampai wafatnya, masyarakat Sumedang belum tahu siapa beliau, bahkan hingga Indonesia merdeka. Makam beliau dapat dikenali setelah dilakukan penelitian berdasarkan data dari pemerintah Belanda‎

Rakyat Sumedang memanggil Cut Nyak Dien dengan nama Ibu Perbu karena kesalehannya dan sebagai tanda penghormatan. Hingga akhir hayatnya, beliau mengisi waktu dengan mengajarkan ilmu agama bagi masyarakat sekitar pengasinganya. ‎

 

Sejarah singkat Kesultanan Banten


Kesultanan Banten merupakan sebuah kerajaan Islam yang pernah berdiri di Provinsi Banten, Indonesia. Berawal sekitar tahun 1526, ketika Kerajaan Demak memperluas pengaruhnya ke kawasan pesisir barat Pulau Jawa, dengan menaklukan beberapa kawasan pelabuhan kemudian menjadikannya sebagai pangkalan militer serta kawasan perdagangan.
Pada awalnya kawasan Banten juga dikenal dengan Banten Girang merupakan bagian dari Kerajaan Sunda. Kedatangan pasukan Kerajaan Demak di bawah pimpinan Maulana Hasanuddin ke kawasan tersebut selain untuk perluasan wilayah juga sekaligus penyebaran dakwah Islam. Kemudian dipicu oleh adanya kerjasama Sunda-Portugal dalam bidang ekonomi dan politik, hal ini dianggap dapat membahayakan kedudukan Kerajaan Demak selepas kekalahan mereka mengusir Portugal dari Melaka tahun 1513. Atas perintah Trenggana, bersama dengan Fatahillah melakukan penyerangan dan penaklukkan Pelabuhan Kelapa sekitar tahun 1527, yang waktu itu masih merupakan pelabuhan utama dari Kerajaan Sunda.

Selain mulai membangun benteng pertahanan di Banten, Maulana Hasanuddin juga melanjutkan perluasan kekuasaan ke daerah penghasil lada di Lampung. Ia berperan dalam penyebaran Islam di kawasan tersebut, selain itu ia juga telah melakukan kontak dagang dengan raja Malangkabu (Minangkabau, Kerajaan Inderapura), Sultan Munawar Syah dan dianugerahi keris oleh raja tersebut.

 Seiring dengan kemunduran Demak terutama setelah meninggalnya Trenggono, Banten yang sebelumnya bagian dari Kerajaan Demak, mulai melepaskan diri dan menjadi kerajaan yang mandiri. Maulana Yusuf anak dari Maulana Hasanuddin, naik tahta pada tahun 1570 melanjutkan ekspansi Banten ke kawasan pedalaman Sunda dengan menaklukkan Pakuan Pajajaran tahun 1579. Kemudian ia digantikan anaknya Maulana Muhammad, yang mencoba menguasai Palembang tahun 1596 sebagai bagian dari usaha Banten dalam mempersempit gerakan Portugal di nusantara, namun gagal karena ia meninggal dalam penaklukkan tersebut.

Pada masa Sultan Ageng Tirtayasa bertahta pada tahun 1651-1682 dipandang sebagai masa kejayaan Banten. Di bawah dia, Banten memiliki armada yang mengesankan, dibangun atas contoh Eropa, serta juga telah mengupah orang Eropa bekerja pada Kesultanan Banten. Dalam mengamankan jalur pelayarannya Banten juga mengirimkan armada lautnya ke Sukadana atau Kerajaan Tanjungpura (Kalimantan Barat sekarang) dan menaklukkannya tahun 1661. Pada masa ini Banten juga berusaha keluar dari tekanan yang dilakukan VOC, yang sebelumnya telah melakukan blokade atas kapal-kapal dagang menuju Banten.

Sekitar tahun 1680 muncul perselisihan dalam Kesultanan Banten, akibat perebutan kekuasaan dan pertentangan antara Sultan Ageng dengan putranya Sultan Haji. Perpecahan ini dimanfaatkan oleh VOC yang memberikan dukungan kepada Sultan Haji, sehingga perang saudara tidak dapat dielakkan. Sementara dalam memperkuat posisinya, Sultan Haji atau Sultan Abu Nashar Abdul Qahar juga sempat mengirimkan 2 orang utusannya, menemui Raja Inggris di London tahun 1682 untuk mendapatkan dukungan serta bantuan persenjataan. Dalam perang ini Sultan Ageng terpaksa mundur dari istananya dan pindah ke kawasan yang disebut dengan Tirtayasa, namun pada 28 Desember 1682 kawasan ini juga dikuasai oleh Sultan Haji bersama VOC. Sultan Ageng bersama putranya yang lain Pangeran Purbaya dan Syekh Yusuf dari Makasar mundur ke arah selatan pedalaman Sunda. Namun pada 14 Maret 1683 Sultan Ageng tertangkap kemudian ditahan di Batavia.

Sementara VOC terus mengejar dan mematahkan perlawanan pengikut Sultan Ageng yang masih berada dalam pimpinan Pangeran Purbaya dan Syekh Yusuf. Pada 5 Mei 1683, VOC mengirim Untung Surapati yang berpangkat letnan beserta pasukan Balinya, bergabung dengan pasukan pimpinan Letnan Johannes Maurits van Happel menundukkan kawasan Pamotan dan Dayeuh Luhur, di mana pada 14 Desember 1683 mereka berhasil menawan Syekh Yusuf. Sementara setelah terdesak akhirnya Pangeran Purbaya menyatakan menyerahkan diri. Kemudian Untung Surapati disuruh oleh Kapten Johan Ruisj untuk menjemput Pangeran Purbaya, dan dalam perjalanan membawa Pangeran Purbaya ke Batavia, mereka berjumpa dengan pasukan VOC yang dipimpin oleh Willem Kuffeler, namun terjadi pertikaian di antara mereka, puncaknya pada 28 Januari 1684, pos pasukan Willem Kuffeler dihancurkan, dan berikutnya Untung Surapati beserta pengikutnya menjadi buronan VOC. Sedangkan Pangeran Purbaya sendiri baru pada 7 Februari 1684 sampai di Batavia.
Setelah meninggalnya Sultan Haji tahun 1687, VOC mulai mencengkramkan pengaruhnya di Kesultanan Banten, sehingga pengangkatan para Sultan Banten mesti mendapat persetujuan dari Gubernur Jendral Hindia-Belanda di Batavia. Sultan Abu Fadhl Muhammad Yahya diangkat mengantikan Sultan Haji namun hanya berkuasa sekitar tiga tahun, selanjutnya digantikan oleh saudaranya Pangeran Adipati dengan gelar Sultan Abul Mahasin Muhammad Zainul Abidin dan kemudian dikenal juga dengan gelar Kang Sinuhun ing Nagari Banten.

Pada tahun 1808 Herman Willem Daendels, Gubernur Jenderal Hindia Belanda 1808-1810, memerintahkan pembangunan Jalan Raya Pos untuk mempertahankan pulau Jawa dari serangan Inggris. Daendels memerintahkan Sultan Banten untuk memindahkan ibu kotanya ke Anyer dan menyediakan tenaga kerja untuk membangun pelabuhan yang direncanakan akan dibangun di Ujung Kulon. Sultan menolak perintah Daendels, sebagai jawabannya Daendels memerintahkan penyerangan atas Banten dan penghancuran Istana Surosowan. Sultan beserta keluarganya disekap di Puri Intan (Istana Surosowan) dan kemudian dipenjarakan di Benteng Speelwijk. Sultan Abul Nashar Muhammad Ishaq Zainulmutaqin kemudian diasingkan dan dibuang ke Batavia. Pada 22 November 1808, Daendels mengumumkan dari markasnya di Serang bahwa wilayah Kesultanan Banten telah diserap ke dalam wilayah Hindia Belanda.

Kesultanan Banten resmi dihapuskan tahun 1813 oleh pemerintah kolonial Inggris. Pada tahun itu, Sultan Muhammad bin Muhammad Muhyiddin Zainussalihin dilucuti dan dipaksa turun tahta oleh Thomas Stamford Raffles. Peristiwa ini merupakan pukulan pamungkas yang mengakhiri riwayat Kesultanan Banten. ‎

 

Sejarah Kanjeng Sepuh Sang Rojo Pandito


Kecamatan Sidayu hanyalah satu di antara 18 kecamatan di Kabupaten Gresik saat ini. Namun, kecamatan tersebut meninggalkan bukti-bukti sejarah kebesaran sebagai bekas sebuah Kadipaten.

Sidayu merupakan Kota tua, jejak sejarah Kabupaten Gresik tertapak jelas di bekasKadipaten Sedayu yang kini menjadi Kecamatan Sidayu. Berbagai peninggalan masih membekas sebagai ikon sebuah kadipaten di zaman penjajahan Belanda. Ada pintu gerbang dan pendapa keraton. Ada pula masjid dan alun-alun, telaga rambit dan sumur dahar  sebagai sumber air Sedayu. 

Bangunan tersebut termasuk sebuah situs yang kini seperti onggokan bangunan tidak bermakna.

Diperkirakan, situs itu berusia satu abad. Situs tersebut dibangun menjelang perpindahan Kadipaten Sedayu ke wilayah Kadipaten Jombang oleh penjajah Belanda pada sekitar 1910. 

Sejak berdiri pada 1675, Kadipaten Sedayu dipimpin oleh sedikitnya sepuluh adipati. Adipati yang paling dikenal adalah Kanjeng Sepuh Sedayu.

Meski hanya sebuah kecamatan, Sidayu memiliki alun-alun yang cukup luas dan bangunan-bangunan tua yang cukup megah. Itu merupakan pertanda bahwa Sedayu, atau yang sekarang lebih dikenal dengan sebutan Kecamatan Sidayu, dulu merupakan kota tua yang pernah jaya.

Sebelum akhirnya menjadi bagian yang terintegrasi dengan Kabupaten Gresik, Sedayu merupakan wilayah kadipaten tersendiri pada masa pemerintahan Mataram. 

Istimewanya, Kadipaten Sedayu saat itu mempunyai koneksitas kewilayahan secara langsung di bawah kekuasaan Raja Mataram Prabu Amangkurat I dengan adipati pertama bernama Raden Kromo Widjodjo.

Nama-nama bupati yang pernah memerintah di kabupaten Sidayu adalah sebagai berikut:
  1. Raden Kromo Widjojo
  2. Adipati Probolinggo
  3. Raden Kanjeng Soewargo
  4. Raden Kanjeng Sido Ngawen
  5. Raden Kanjeng Sido Banten
  6. Kanjeng Kudus
  7. Kanjeng Djoko
  8. Kanjeng Sepuh
  9. Kanjeng Pangeran
 10. Ragen Badru

Namun, sejarah Kadipaten Sedayu mencatat nama harum adipati ke-8, yaitu Kanjeng Sepuh Sedayu. Kanjeng Sepuh dianggap sebagai aulia dan pemimpin besar Kadipaten Sedayu yang layak mendapatkan penghormatan.

Kanjeng Sepuh tersohor lantaran beliau adalah seorang bupati yang ulama atau ulama yang menjadi seorang bupati (Rojo Pandito). Beliau sangat dicintai masyarakatnya karena beliau sangat memperhatikan nasib rakyat yang dipimpinnya terutama kawula alit. Kecintaan itu hingga kini tidak luntur. 
Riwayat Kanjeng Sepuh
Kanjeng Sepuh Sidayu dilahirkan di Kudus tahun 1784 M. 
Ayahnya bernama K.G.B.R.M. Suryadi bergelar Sampeyan dalem hingkang sinuhun kanjeng susuhunan Paku Buwana senopati ing ngalaga Abdurrahman sayidin panata gama khalifatullah ing kang kaping III ing negari Surakarta Hadiningrat 1749-1788 M. bin 
K.G.B.R.M. Probosuyoso Paku Buwono II bin 
K.G.B.R.M.Suryoputro Prabu Hamangkurat Jawi bin 
K.G.B.R.M. Darajat Paku Bwono I bin 
K.G.B.R.M. Sayidin Hamangkurat Agung bin 
K.G.B.R.M. Jatmiko (Kanjeng Sultan Agung Hanyokrokusumo bin 
K.G. Ratu Mas Hadi (Permaisuri Kanjeng Panembahan Hanyokrowati) binti 
K. Sultan Prabuwijaya Benowo (Syaikh Abi Nawa) bin 
Ratu Mas Cempaka (Permaisuri Sultan Hadiwojoyo/Joko Tingkir) binti 
Sultan Trenggono, bin 
Sultan Syah Alam Akbar Al Fatah Demak Bintoro ‎
Sedangkan Ibunya bernama R. Ayu Paku Wati binti 
K. Ratu Maduretno binti ‎
K.G.B.R.M Suryoputro Prabu Hamngkurat Jawi. 

Nama asli Kanjeng Sepuh Sidayu sampai penulisan sejarah ini belum diketahui karena kebiasan orang jawa bila memberi nama anaknya itu dipengaruhi dari tingkatan kejadian misal nama kelahiran/asli, nama setelah nikah, nama setelah menerima jabatan, nama sesuai dengan keahliannya 
[R. Muhammad Qosim/R. Ma’sum/R. Abdur Rahman/R. Ahmad Asykur/R. Museng/R. Ranggo/ K.G.P.R. Adipati Ariyo Sosrodiningrat/R. Adipati Aryo Soro Adiningrat/R. Soro Diningrat/R. Adipati Soerjo Adiningrat/ Kyai Panembahan Haryo Suryo Diningrat] 
Ketika beliau di Kudus mendapat bimbingan oleh Kiyai Wajah dzuriyah s. Kudus mulai dari ilmu alat, al-Qur’an, al-Hadits, ibadah syariat, dan Tauhid 
Ketika usia 14 tahun berangkat haji dan belajar pada ulama’ Hijaz, tahun 1808 M. kembali ke Kudus serta dinikahkan oleh K.G.Ratu Timur dengan R.A. Pojowati  putri  R.M. Sulomo [Mangku Negaran II] dikarunia 5 putra 
K.P.R. Ariyo Soro Hadiningrat/Bupati Sidayu, 
R.T.A. Tejo Kusumo/Bupati Kediri,
R.T.A. Jayo Kusumo I/bupati kediri 
R.Soro Winoto/Bupati Gresik, ‎
R. Qimat/berdakwah di Solo sampai Yojakarta dengan media Gamelan
Pernikahan dengan istri kedua R.A. Dewi Wardah dzuriyah s. Derajat setelah menuntut ilmu dengan Sayyid Kuning Lamongan dikarunia anak, 
R.A. Muji istri R.P. Tjakra Noto Hadi Negoro/Bupati Pamekasan, 
R. Jamilun/Berdakwah diwilayah Jombang sampai pesisir  Utara  pulau Jawa.‎

Pernikahan  dengan istri ketiga R.A. Bawon dari Bali setelah diangkat menjadi Bupati Sidayu dikarunia anak 
R. Badrun/Bupati Sidayu-Jombang
 Istri ketiga di angkat Gelar dan bernama R.A. Surti Kanti, beliau hijrah ke Sidayu tanggal 12 Muharam 1214 H./1814 M. mengikuti ayah tirinya menjadi Bupati Sidayu, oleh ayah tirinya didatangkan guru agama murid s. Ampel Surabaya [Sayyid Kuning] untuk membimbing kakak, adik dan beliau berbagai ilmu, ilmu syariat, ilmu filsafat, ilmu thariqat, ilmu haqiqat 
Kanjeng Sepuh  berkholwat dimakam selama 41 hari, dan 100 hari tidak tidur di pantai kacak Banyuurib Ujung Pangkah. ilmu ma’rifat, ilmu rasoh mulyo, dan beliau otodidak mempelajari kitab karya imam Ghazaili, karya  Muthafa al-Ghalayain, karya ibnu Sina, karya Hajjaj bin Arthah, karya Wali Songo serta meneladani khalifah Umar bin Khattab dan Sunan Kali Jaga, 

Dimalam hari berkeliling wilayah Sidayu untuk memperhatikan dan memberi santunan masyarakatnya yang dibawa garis fakir-miskin serta setiap malam mengisi air tempat wudlu orang-orang yang selalu melaksanakan ibadah sholat tahajud, masyarakat baru tahu setelah beliau wafat, karena sifat kebiyasaan beliau itu mendapat nama R, Museng [bahasa Madura luwak=suka keluar malam hari] sebagi bukti di desa Tempuran Lamongan diperbatasan Tuban ada Kalibela yang dibuat pada malam hari oleh Kanjeng  Sepuh untuk memisakan dua daerah yang selalu bertikai, setelah itu masyarakatnya hidup damai‎

Kecintaan masyarakat pada Kanjeng Sepuh Sangatlah tinggi.‎
Hal ini dibuktikan diantaranya dengan diabadikannya nama beliau sebagai nama Majid Besar Sidayu dan nama Lembaga Pendikan terbesar di kecamatan Sidayu yaitu Taman Pendidikan Kanjeng Sepuh atau lebih dikenal dengan singkatan TPKS. 

Pada masa hidupnya beliau mempunyai kegemaran memelihara kuda baik sebagai kuda tunggangan maupun kuda penarik kereta. 
Suatu saat beliau mendengar bahwa di Ujungpangkah ada seorang yang mempunyai kuda yang bagus. Orang itu bernama Kyai  Jayeng Katon. 

Beliau ingin sekali mendatanginya untuk berguru cara merawat kuda. Beliau terkagum-kagum melihat kuda punya Kyai Jayeng Katon. Kuda itu badannya tinggi, tubuhnya ramping, kulitnya hitam, bulunya mengkilat. Kuda itu diberi nama kuda Sembrani. Kuda iyu sangat penurut kepada majikannya. 

Meskipun tanpa ada seutas tali yang mengikatnya, kuda tidak mau pergi meninggalkan tempatnya. Kuda pintar sekali terhadap bahasa isyarat yang diberikan oleh majikannya. Kuda itu menuruti segala perintah tuannya. 

Kanjeng Sepuh sangat takjub dan tertarik terhadap kuda itu. Beliau ingin sekali mempunyai kuda-kuda seperti kuda yang dimiliki Kyai Jayeng Katon. Beliau lebih takjub lagi kepada pemilik kuda itu. 
Kyai Jayeng Katon ternyata seorang ulama yang alim, bersahaja, dan memiliki ilmu kanoragan yang tinggi. 
Kyai Jayeng Katon juga sebagai pemangku pondok Ujungpangkah 
Beliau bisa mengukur kedalam ilmu seseorang karena beliau sendiri seorang ulama. 

Kanjeng Sepuh mengirimkan kuda-kuda beliau ke Ujungpangkah untuk dirawatkan kepada Jayeng Katon. Kuda-kuda itu ditempatkan di sebuah tanah lapang sekitar enam ratus meter ke timur dari pondok Ujungpangkah atau rumah Kyai Jayeng Katon. 

Kuda-kuda itu dibiarkan bebas di tanah lapang itu. Kyai Jayeng Katon menyediakan tempat berteduh kuda-kuda itu secara terbuka. Tidak ada pagar atau batas. 
Namun, kuda-kuda itu tidak meninggalkan area tanah lapang tempat merumput. 
Tempat itu dikenal dengan nama Monok karena di tempat itu banyak penekan atau tumpukan kotoran kuda. 
Di bagian selatan tanah lapang itu disediakan jambangan atau bejana yang selalu penuh diisi air untuk tempat minum kuda-kuda Kanjeng Sepuh. 
Tempat itu dikenal dengan sebutan Jambangan. 

Suatu ketika, Kanjeng Sepuh bersilaturrahim ke Pondok Ujungpangkah yang diasuh oleh Kyai Jayeng Katon sambil ingin melihat-melihat kuda-kuda yang telah dititipkan. 
Beliau sangat senang melihat kuda-kuda beliau. Beliau tidak menyangka kuda-kuda itu berubah jadi lebih gagah.

Kiprahnya yang kritis terhadap kekuasaan dan kooptasi Belanda atau kerajaan lain waktu itu dikenang cukup positif. Di mata warga Sedayu maupun sekitar nya, hingga kini nama Kanjeng Sepuh tetap harum sebagai pemimpin yang berpihak kepada rakyat selama memerintah Sedayu pada 1816-1855.

Catatan (alm) K. Ridwad Ahmad dari Djawatan Penerangan RI Kecamatan Sidayu tanggal 25 Februari 1957 menyebut, Kanjeng Sepuh Sedayu seorang ahli strategi perang dan politik serta pemerintahan. 
Banyak jasa Kanjeng Sepuh untuk menenteramkan rakyatnya sekaligus melindungi mereka dari berbagai teror selama masa penjajahan

Keberanian Kanjeng Sepuh menantang kebijakan Belanda tentang pajak juga menjadi catatan. Adipati dengan berani mengusulkan memberi nama sebuah pasar di Surabaya den‎gan nama Kabean, yang berarti untuk semua, dalam sebuah rapat dengan pemerintah Belanda waktu itu. 
Maksudnya, beliau menolak diskriminasi dan kenaikan pajak yang dikehendaki Belanda. 
Sebab, waktu itu Belanda punya iktikad untuk membeda-bedakan pedagang dengan maksud menaikkan pajak. Pasar tersebut saat ini dikenal dengan nama Pasar Pabean.

Beliau juga dekat dengan rakyat. Diam-diam, di malam hari, beliau berkeliling ke seluruh wilayah Kadipaten, yang meliputi Sedayu,Lamongan, Babat, hingga Jombang, untuk melihat keseharian dan problem masyarakatnya. 
Itu seperti yang dilakukan Amirul Mukminin Khalifah Umar bin Khattab.

Berbagai peninggalan sejarah Sidayu telah mendapatkan perhatian Dinas Purbakala Trowulan. Namun, yang terawat baru kompleks Masjid dan Makam. Sisa bangunan lain berupa situs. Status pertanahan sisa-sisa sejarah itu kini belum tersentuh. Salah satunya, reruntuhan asli bekas bangunanmasjid di Desa Mriyunan, Sumur Dhahar di Desa Golokan, dan Telaga Rambit di DesaPurwodadi yang nampak tidak terawat.

Puing reruntuhan bangunan Masjid tersebut kini terletak di dalam kompleks SMPN Negeri I dan III Sidayu. Kondisinya memprihatinkan. Sama sekali tidak ampak ada upaya pemeliharaan dari Pemkab Gresik. Sekadar identitas bangunan bersejarah pun tidak ada. Bahkan, sebagian bekas puing bisa ditemukan di kandang ayam.

Belum lagi kondisi Sumur Dhahar yang kini menjadi tempat pembuangan sampah. Tidak terdapat museum atau bau harum ketika kita berkunjung ke sana, namun bukitan sampah yang kotor dan berbau menyengat.

Tetapi terlepas dari semua itu, Sidayu yang kini menghadapi perkembangan modernitas masyarakat, ia bisa tetap eksis sebagai salah satu kecamatan yang begitu berkembang di wilayah Gresik utara. Bukanlah sesuatu yang istimewa, jika Sedayu saat ini bisa menjadi pusat peradaban masyarakat pesisir utara yang begitu berkembang, baik di wilayahGresik Utara (Sidayu ; Bungah, Dukun, Ujung Pangkah, dan Panceng), maupun wilayahLamongan (Paciran, Brondong, Solokuro,Babat). Karena Sedayu sudah pernah mengalami masa kejayaan di masa lalu.

Dengan bukti adanya ratusan Pondokan Cilik (pesantren anak-anak) yang tersebar di seantero Kota Sedayu, kota ini juga mampu mempertahankan sebutan kota santri yang telah melekat dan menjadi ikon Kabupaten Gresik. Karena secara kultural, kehidupan masyarakat Sedayu adalah kehidupan yang sangat islami, baik dalam bidang sosial-masyarakat, politik, hukum, dan ekonomi.
Makam Kanjeng Sepuh‎

Makam Kanjeng Sepuh adalah salah satu dari sejumlah makam tokoh besar yang ramai diziarahi oleh wisatawan dari berbagai daerah. Menurut cerita, Kanjeng Sepuh Sedayu adalah gelar yang diberikan kepada Raden Adipati Suryodiningrat,  putra Sayid Abdur Rohman Sinuwun Mataram Kartosuro. 
Gelar tersebut diperoleh saat dinobatkan menjadi bupati atau adipati ke-8 di Sidayu.
Selain sebagai bupati, Kanjeng Sepuh Sedayu juga dikenal sebagai ulama yang sakti dan ahli strategi. Semasa pemerintahannya, Kanjeng Sepuh Sedayu juga dikenal sangat dekat dengan rakyat. Pada malam hari, ia kerap berkeliling ke seluruh wilayah kadipaten untuk mengetahui keseharian dan problem yang dihadapi rakyatnya. Ia juga berani menentang kebijakan Belanda tentang pajak dan melindungi rakyatnya dari berbagai penindasan Belanda.
Atas kiprahnya sebagai bupati sekaligus ulama yang berpihak kepada rakyat, Kanjeng Sepuh  Sedayu pantas mendapat penghormatan. Hingga kini masyarakat Sedayu dan sekitarnya selalu berbondong-bondong menziarahi makamnya untuk memberi penghormatan. Hampir setiap hari, makam Kanjeng Sepuh dipenuhi peziarah. Kunjungan peziarah akan mencapai puncaknya setiap hari Jum’at Pahing. Untuk mengenang kebesaran Kanjeng Sepuh Sedayu, masyarakat setiap tahun mengadakan haul dan istighotsah akbar di Masjid Kanjeng Sepuh Sedayu. Acara ini sudah menjadi tradisi bagi masyarakat Sedayu.

Keistimewaan Kompleks Makam

Di Kompleks Makam Kanjeng Sepuh Sedayu, ada sejumlah makam tokoh-tokoh masyarakat Sedayu yaitu makam para Bupati Sedayu dan keturunannya. Uniknya, bentuk jirat atau nisan makam tersebut ada yang berbentuk segi empat dan ada pula yang berbentuk segi delapan. Khusus untuk makam para bupati diberi cungkup dan inskripsi yang berbahasa Melayu, Jawa, dan Belanda dengan menggunakan huruf Arab, Jawa, dan Latin. Selain sebagai acuan periodesasi awal hingga masa kolonial, penggunaan ketiga bahasa tersebut juga sebagai wujud dari akulturasi beberapa unsur kebudayaan.
Unsur kebudayaan pra Islam terlihat pada atap dan nisan makam yang menggunakan motif medolion, makutha, dan aksara Jawa Kuno. Adapun unsur kebudayaan Islam tampak jelas pada atap makam yang bermotif sayap, teratai, kekayon, dan huruf Arab-Jawa. Sementara pada kolom tulis dari setiap inskripsi dihiasi dengan rangkaian suluran, yaitu ranting atau dahan, daun, dan bunga. Keberadaan unsur-unsur tersebut adalah upaya untuk menjembatani agar kebudayaan Islam sebagai unsur yang baru dapat diterima oleh masyarakat Sedayu yang sebelumnya beragama Hindu-Buddha.
Di Kawasan Komplekss Makam Kanjeng Sepuh Sedayu juga terdapat masjid bersejarah, Masjid Agung Kanjeng Sepuh, yang merupakan peninggalan Kanjeng Sepuh Sedayu. Seperti halnya bentuk hiasan pada makam, bentuk atap dan mimbar masjid ini juga dihiasi dengan motif dari unsur kebudayaan pra Islam maupun kebudayaan Islam. 

Selain masjid, Kanjeng Sepuh Sedayu juga meninggalkan beberapa situs penting lainnya seperti Telaga Rambit dan Sumur Dhahar. Kedua situs ini masing-masing berada di Desa Purwodadi dan Golokan, Sidayu. Menurut cerita masyarakat setempat, meskipun setiap hari digunakan untuk air minum dan kebutuhan sehari-hari (seperti mandi dan mencuci), air telaga dan sumur tersebut tidak pernah habis, bahkan pada saat musim kemarau sekalipun.
Kompleks Makam Kanjeng Sedayu terletak di pusat Kota Sidayu, tepatnya di Desa Kauman, Kecamatan Sidayu, Kabupaten Gresik, Provinsi Jawa Timur, Indonesia. 
Akses menuju Makam

Desa Kauman di mana Kompleks Makam Kanjeng Sedayu berada berjarak sekitar 28 km dari Kota Gresik. Desa ini dapat dijangkau dengan menggunakan transportasi umum maupun pribadi. Untuk mencapai tempat ini Anda dapat mengambil jalur pantura Gresik - Tuban. ‎

 

Pakis Haji bermanfaat bagi Manusia


Jauh sejak zaman Walisongo, Sunan Muria telah mengajarkan pengikutnya untuk bersama meruwat bumi. Hampir tak pernah disebut dan memang jarang yang tahu ihwal kontribusi dakwah Walisongo terhadap pelestarian bumi. Walisongo selama ini lebih banyak dipahami sebagai penyebar agama Islam di tanah Jawa yang hanya menyampaikan risalah ketauhidan semata.

Jauh di salah satu puncak gunung Muria yang terpencil, Raden Umar Said (nama asli Sunan Muria) memilih menetap. Di sana, ia tak hanya menghambakan diri dengan mengajak para penduduk gunung beriman. Lebih dari itu, juga mengajarkan konsep teologi yang bersifat holistik-integratif. Mafhum dengan kondisi geografis dan keberlanjutan bumi tempat mereka tinggal, Sunan Muria mengarahkan energi keimanan pada konsentrasi hajat pelestarian alam.

Tauhid yang diajarkan Sunan Muria menyentuh tiga ranah, mulai dari dimensi ketuhanan yang eskatologis-transendental, dimensi sosial-ijtima’iyyah (antroposentrisme), sampai dimensi lingkungan (ekosentrisme). Ketiganya meniscayakan diferensiasi terhadap cara dakwah Sunan yang lain. Baik ranah ketuhanan, sosial hingga lingkungan, dapat menyatu dalam satu konsep keimanan. Segenap khazanah lokal berupa kearifan lingkungan yang bersumber dari agama pun segera diejawantahkan.

Hal ini terlacak dari jejak-jejak peninggalan berupa beberapa situs yang dikeramatkan. Antara lain; buah Pari Joto, kayu Pakis Haji, Air Gentong yang terdapat di lokasi pemakaman, Ngebul Bulusan, pohon Kayu Adem Ati, serta hutan Jati Keramat. Segenap mitologi situs keramat alami tersebut, hingga kini dipercaya masyarakat mengandung tuah buah karomah Sunan Muria.

Memaknai Mitos

Pari Joto yakni sejenis buah yang menjadi oleh-oleh khas Muria terutama bagi perempuan hamil. Masyarakat percaya jika memakannya akan menyebabkan tambahnya kebaikan pada si jabang bayi. Buah ini menyimpan kiasan makna atas apa yang disebutkan oleh Rasulullah berupa jintan hitam (HR. Al Bukhori) dan madu lebah (QS. An-Nahl: 68-69). 

Bagi Sunan Muria, Pari Joto memiliki kemiripan dengan keduanya dalam hal kandungan gizi untuk menjaga kesehatan. Kendati demikian, pemaknaan ini tak lantas cenderung parsial dan antroposentris. Seruan hadits tentang manfaat jintan hitam, informasi Al-Qur’an tentang manfaat madu lebah, maupun mitos Pari Joto, tak sekedar memberi perintah konsumtif (intifa’), melainkan juga memuat seruan untuk melestarikannya. Artinya, menjaga keberlangsungan eksistensi tumbuhan dan hewan bertuah ini sama halnya menjaga manfaat kebaikannya, sehingga dapat diwarisi umat di hari mendatang.

Mitos Pakis Haji dari Muria yang dipercaya dapat mengusir tikus pemakan padi memakna spiritual-mistik yang bernuansa teologis-kosmologik, sebagai bukti karomah yang diberikan Allah kepada Sunan Muria. Strategi mengusir tikus dengan media alami berupa kayu ini sama sekali tak menghendaki pemusnahan hama. Sunan Muria paham betul, bahwa bagaimanapun tikus tetap memiliki posisi penting dalam putar rantai makanan, fitrah interdependensi alam. 

Tak hanya mempertimbangkan efektifitas menjaga tanaman belaka, namun selayak mitos Pari Joto, konsepsi  pemanfaatan Pakis Haji ini pun mempertimbangkan aspek kelestarian alam.

Kesalehan lingkungan dalam ajaran Sunan Muria berikutnya dapat ditemukan pada situs Air Gentong Keramat di lokasi makam yang juga diyakini menyimpan tuah. Di balik keramatnya, Air Gentong ini mendedahkan simbol spiritual. Keberkahannya menyembuhkan dan mencegah penyakit, membersihkan dari kotoran jiwa dan memberikan manfaat kecerdasan, merupakan inspirasi spiritual Islam atas benda suci ini. Ini sekaligus merupakan multifungsi air tersebut sebagai simbol spiritual, medis dan ilmiah. 

Meminjam hasil penelitian Masaru Emoto Jepang, bahwa air dapat mentransformasi segala pesan yang masuk ke dalam dirinya, sehingga dapat membentuk kualitas fisik dan manfaatnya. 

Demikian halnya kasus Air Gentong Sunan Muria, ketika ia mendapat stimulus yang baik berupa doa, harapan dan itikad baik dari pemercaya mitos keramatnya, maka air itu akan mentransformasi diri menjadi kebaikan-kebaikan seperti diharapkan.

Jejak Sunan Muria yang keempat yakni Bulusan dan Kayu Adem Ati. Bulus (penyu) dan pohon keramat yang kembali nampak pada 17 Agustus 1945 setelah ratusan tahun sebelumnya menghilang ini menyimpulkan kesetaraan relasi antara manusia dan alam. Segenap ritual yang sampai hari ini masih dilestarikan mengajarkan masyarakat akan pentingnya menghormati keduanya sebagai sesama makhluk. Mitos yang berkembang, Bulus tersebut adalah jelmaan manusia pada masa Sunan Muria. 

Sehingga masyarakat segan melukai atau mengganggu kehidupan makhluk yang dipandang sebagai nenek moyang mereka itu. Hal ini menjadi sarana pembelajaran agar memperlakukan makhluk lain dengan baik, sama halnya berperilaku terhadap sesama manusia. Segenap tuntunan ini pun terdapat dalam berbagai riwayat hadits Rosulullah dan firman Allah dalam Al-Qur’an.

Terakhir, pohon Jati Keramat Masin yang konon mengisahkan cinta berdarah putri Sunan Muria bersama seorang muridnya. Hutan jati ini berusia ratusan tahun terhitung sejak zaman Sunan Muria dan tetap dilestarikan. Tak pernah sekalipun orang berani menebangnya, jika tak ingin kena sial. Sebab diyakini bahwa, pohon-pohon itu punya ruh, dan merupakan hal yang tak patut orang merusak dan melukainya. Akhirnya, hingga kini mereka dibiarkan terus tumbuh dan dijaga kelangsungannya. Ini sesungguhnya mengandung teladan akan pentingnya konservasi hutan, agar bumi yang kian renta ini tetap terjaga kesehatannya.

Wali Lingkungan

Menafsirkan segenap situs tersebut, berarti membaca pikiran Sunan Muria yang sarat dengan kesalehan lingkungan. 

Setidaknya terdapat lima bangunan religius, yakni konsep Tauhid Lingkungan, Fikih Lingkungan, Tasawuf Lingkungan, Filanekoreligi, dan Akidah Muttahidah, yang semuanya merujuk pada hajat pelestarian alam semesta.

Tauhid Lingkungan dalam segenap kajian mitos di atas bermakna akan hakikat alam ini adalah bentuk teofani Tuhan.  Alam menjelaskan segala sifat ketuhanan, sejak ke-Esa-an, Maha Pengasih, Maha Penyayang, Maha Pemberi Rizki, dan yang lain. Karenanya, alam ini hal yang sakral dan wajib dijaga. Fikih Lingkungan menerjemahkan prinsip Maqashid Al Syari’ah (tujuan ditetapkannya syariat) yang menghendaki terwujudnya kemanusiaan berbasis ekoreligi. Sementara, Tasawuf Lingkungan merupakan bangunan etika terhadap lingkungan yang berkembang dari paradigma sufisme; dari ‎religius-teosentris dan antroposentris menjadi ‎religius-ekosentris.

Istilah filanekoreligi yang tersematkan dalam ajaran Sunan Muria bermakna membangun keadilan dan kesejahteraan lingkungan. Ini merupa kedermawanan lingkungan yang pada akhirnya memunculkan konsekuensi logis; kontribusi positif terhadap eksistensi nilai-nilai kemanusiaan. Puncak ajaran Sunan Muria adalah Akidah Muttahidah. Yakni memaknai ibadah tak sebatas dimensi mahdhah, melainkan sampai menyentuh persoalan lingkungan.

Maksudnya, akidah Islam diejawantahkan ke dalam tiga ranah hubungan sekaligus, yakni antara manusia, Tuhan, dan alam. Terbentuk semacam segi tiga yang menunjukkan relasi antar ketiganya. Dalam hal ini, Tuhan menjadi titik paling atas sebagai pusat hubungan. Sementara itu, alam merupakan mitra manusia dalam melaksanakan ibadah, sekaligus alam sebagai wujud teofani Tuhan yang dengannya memancar segenap sifat ketuhanan. Demikian, tugas manusia sebagai seorang khalifah di muka bumi (khalifah fil Ardl), yang di antaranya adalah mengelola alam, maka termasuk dimaknai juga sebagai ibadah. Perlu dipahami, khalifah di sini berarti pemimpin, dan bukan penguasa. Artinya, tugas manusia adalah mengelola alam dengan arif, bukan mengeksploitasinya secara serampangan. Begitu.‎

Pakis haji‎

Pakis haji (aji) atau populer juga dengan nama sikas adalah sekelompok tumbuhan berbiji terbuka yang tergabung dalam ‎marga pakishaji atau Cycas dan juga merupakan satu-satunya genus dalam suku pakishaji-pakishajian (Cycadaceae). Masyarakat awam di Indonesia mengenal pakis haji dari beberapa spesies yang biasa ditanam di taman-taman menyerupaipalem, yaitu C. rumphii, C. javana, serta C. revoluta (sikas jepang).

Pakis haji berhabitus mirip palem, namun sebenarnya sangat jauh kekerabatannya. Kemiripan ini berasal dari susunan anak daunnya yang tersusun berpasangan. Semua pakis haji berumah dua (dioecious) sehingga terdapat tumbuhan jantan dan betina. Serbuk sari dihasilkan oleh tumbuhan jantan dari runjung besar yang tumbuh dari ujung batang. Alat betina mirip ‎daun dengan biji-biji tumbuh dari samping. Alat betina tumbuh dari sela-sela ketiak daun. Walaupun ia disebut "pakis", dan daun mudanya juga mlungker sebagaimana pakis sejati, pakis haji sama sekali bukan anggota tumbuhan berspora ‎tersebut.

Akar beberapa jenis pakis haji dapat diinfeksi oleh sejenis Cyanobacteria,Anabaena cycadeae, yang pada gilirannya menguntungkan kedua pihak (simbiosismutualistis). Akar yang terinfeksi akan membentuk semacam bintil-bintil yang berisi jasad renik tersebut.

Beberapa pakis haji yang besar dapat dimakan bagian teras batangnya, karena mengandung pati dalam jumlah yang lumayan.

Simak manfaat tanaman pakis berikut ini :  Pakis untuk kesehatan :  
Tanaman pakis dapat mengobati diabetes mellitus dan pendarahan menstruasi.
Buah pakis dapat mengobati diabetes mellitus dan perdarahan menstruasi
Batang pakis dapat mengobati Hepatitis
‎Daun pakis dapat mengobati bisul, radang kulit bernanah, atau luka bakar.Karena daun pakis mempunyai vitamin C yang sangat tinggi, yaitu sekitar 30 mg per 100 g. 
hal ini bertujuan untuk pembentukan kolagen pada kulit dan penyembuhan luka.
Daun pakis juga dapat mengobati penyakit rematik, karena dalam komposisinya, pakis juga memiliki kalsium dan fosfor yang sangat tinggi. 
Pada daun pakis rambat berguna untuk penyakit amandel dan darah tinggi.
Khasiat Tumbuhan Pakis :

Salah satu khasiat pakis adalah untuk obat yang mengobati dari dalam tubuh. Selain itu pakir juga mempunyai kandungan gizi yang cukup baik, yang berkhasiat untuk meningkatkan kekebalan tubuh, mempercepat penyembuhan luka, dan dapat mencegah penyakit degneratif. Sepuluh tangkai bunga pakis cukup direbus dengan air, atau dicampur sebagai sayur pada masakan. 

Sedangkan untuk mengobati penyakit kulit, daun pakis cukup dilumatkan dan ditempelkan pada bagian yang sakit dan didiamkan beberapa menit. Mengkonsumsi pakis juga jangan terlalu berlebihan, selain pakis ini rasanya pahit juga agak sedikit beracun. 
Oleh sebab itu, tidak semua pakis dapat Anda makan, karena pakis yang dapat dimakan adalah pakis yang mempunyai daun dan batang yang masih sangat muda, batangnya gemuk, dan mudah dipatahkan.  
Batang pakis pun tidak hny sekedar untuk hiasan ataupun sarana menanam Anggrek. 
Namun secara ilmiah pun bisa untuk menolak tikus dikarenakan adanya senyawa yang membuat rasa ketidak nyamanan tikus jika berada di sekitar pohon pakis. Di dalam habitat tumbuhan pakis pun tikus tidak akan berani untuk bersarang disekitar pohon pakis.
Tidak hanya sekedar karomah dan mitos perjuangan Dakwah Kanjeng Sunan Muria. Akan tetapi memang hal itu nyata pada keadaan alam secara alami. ‎

 

Panembahan Bodho


GELAR PANEMBAHAN BODHO ORA ATEGES BODHO TANPA NGELMU, ANANGING PINTER 
RUMONGSO KANTHI ANDAP ASOR, TANPA PAMRIH BONDHO  LAN PANGUWOSO

Panembahan Bodo oleh masyarakat dianggap sebagai cikal bakal mereka sehingga sangat dihormati. Panembahan Bodo menurut cerita yang beredar di masyarakat merupakan tokoh keturunan bangsawan Majapahit , beliau merupakan cicit Prabu Brawijaya V .Raden Trenggono merupakan putra Raden Kusen , seorang adipati Terung . Raden Kusen putra Raden Aryo Damar dengan Dorowati seorang putri cina yang cantik jelita , sedang Raden Aryo Damar merupakan putra Prabu Brawijaya V , Raja Majapahit.

Diceritakan pada suatu hari Raden Trenggono mendapat sindiran dari kerabatnya agar ia segera mempersiapkan diri untuk menggayuh kemuliaan dan keluhuran untuk mencapai kaswargan . Ada pula yang memberikan nasehat seperti diatas secara terang - terangan .

Pada suatu hari Raden Trenggono berjalan menelusuri sungai hingga sampailah pada sebuah hutan wijen dan bertemu dengan seorang yang gagah dan tampan. Melihat sosok orang tersebut Raden Trenggono timbullah keinginannya agar dapat menatap dan berbicara dengannya , namun karena begitu saktinya orang tersebut menyelinap dan menghilang dari pandangan Raden Trenggono ,orang tersebut tidak lain adalah Sunan Qadle atau Sunan Kalijaga. 

Karena Raden Trenggono berkeinginan mempunyai kesaktian dan ilmu seperti Sunan Kalijaga , maka ia mengabdi kepada Ki Ageng Gribig di Temanggung . Di Temanggung Raden Trenggono semakin tinggi tekadnya untuk mempelajari dan mendalami ilmu agama Islam. Akhirnya ia diambil menantu oleh Ki Ageng Gribig dan mendapat tugas untuk menyiarkan agama Islam .

Asal mula sebutan KI Bodho, pada awal perjuangan syiar agama, pada waktu itu di pulau jawa baru mengalami ancaman penjajahan portugis, sehingga beredar kabar akan ada penyerangan lewat pantai selatan. Bagi Raden Trenggono penyerangan diawali dengan suara  gemuruh (jlegur-jlegur) dari sura meriam, dimana sebenarnya suara utu adalah suara ombak laut di pantai selatan. 

Keadaan  tersebut memaksa Raden trenggono untuk bersiap-siap menghadapi serangan portugis sehingga kemudian membangun pos penjagaan di wilayah pantai selatan.
Pada saat itu, Sunan kalijaga datang di nanggulan, sehingga mengetahui apa yang dikerjakan Raden Trenggono. Sunan Kalijaga memahami bahwa ternyata Raden Trenggono masih Bodho dan kurang berpengalaman. Oleh karena kebodohannya itu  Raden Trenggono mempunyai sebutan KI BODHO

Pada awal kekuasaan panembahan senopati, Kerajaan mataram masih bersengketa dengan sultan pajang. Sultan Pajang berkeinginan untuk menarik kembali apa yang telah di tetapkan sebelumnya dengan ki ageng pamanahan tentang tanah untuk mataram. 
Dari keinginannya itu  Sultan pajang berupaya untuk senantiasa meningkatkan kemampuan dan kesaktiannya untuk merebut kembali tanah Pajang yang telah dikuasai mataram.

Sultan Pajang mengetahui sejarah eyang Raden Trenggono (Adipati Terung I) dimana mempunyai kesaktian yang luar biasa dan Sultan pajang berpikir kesaktian itu telah diwarisi oleh cucunya yaitu raden Trenggono. 
Berangkat dari pemikiran itu maka sultan pajang ingin berguru  dan mewarisi kesaktian Raden Trenggono tersebut dengan menjajikan hadiah yang menarik , namun Raden trenggono ingat dan menjunjung tinggi wasiat “ Tobat Turun pitu” dari eyangnya yaitu menghindari dan tidak ikut campur dalam perebutan kekuasaan atau urusan politik dengan sikap “tumbak waru ora melu-melu”, maka permohonan sultan pajang tidak dapat dipenuhi. 

Dengan sangat kecewa Sultan pajang pulang tanpa membawa hasil dari keinginannya. Kepulangann sultan pajang yang kecewa tersebut senantiasa sambil bergumam bahwa raden trenggono itu  KYAI Bodho.

 Di masa akhir hayat KI BODHO terjadi peralihan kekuasaan dari Terung dan Pajang ke mataram. Panembahan senopati yang mulai berkuasa pada saat itu baru saja menyelesaikan permasalahan dengan ki ageng mangir dimana wilayahnya dekat dengan pijenan. 
Panembahan Senopati tidak menginginkan adanya pengaruh ki Ageng mangir terhadap Ki Bodho. Dalam usaha panembahan senopati menjaga agar tidak ada pengaruh dari bekas hulubalang ki ageng mangir, serta rasa hormat dan segan beliau terhadap pewaris dan keturunan adipati Terung tersebut,maka Ki Bodho diberi rumah pemukiman di sebelah barat keraton Mataram dan diberi nama kampung BODHON. 

Disamping itu, akhirnya panembahan senopati memberi penghargaan lain yang lebih tinggi pada KI  Bodho yakni diberi ganti wilayah Terung yang telah di kuasai Mataram, sebuah tanah perdikan  dengan wilayah bekas kekuasan mangir yang letaknya disebelah timur sungai PROGO ke utara sampai kaki gunung merapi. KI BODHO diberi kedudukan sebagai penguasa Tanah perdikan tersebut dan diberi gelar PANEMBAHAN, sehingga lebih dikenal dengan sebutan PANEMBAHAN BODHO

 Akhirnya beliau meninggal dunia dan dimakamkan di Pasarean Sewu atau Makam Sewu  yang letaknya di desa WIJIREJO,PANDAK BANTUL YOGYAKARTA. 

Di pesarean Makam Sewu, setiap tahun diadakan acara yang telah turun temurun sebagai warisan budaya adiluhung para pendahulu yakni acara “ nyadran Makam sewu” acara ini diadakan para ahli waris dan anak keturunan, sebagai wujud rasa hormat dan baktinya pada Panembahan Bodho.

Maksud dan tujuan nyadran

Kegiatan upacara ini dimaksudkan untuk mendapat menghormati para leluhur yang sudah meninggal dan mendoakan agar dosa – dosanya diampuni Tuhan sehingga tempat disisinya , disamping itu agar yang ditinggalkan selalu mendapat keselamatan , murah rejeki dan sandang pangan.

Pelaksanaan Nyadran

Waktu pelaksanaan kegiatan ini dilaksanakan di makam Sewu setelah tanggal 20 ruwah . Bertepatan dengan tanggal Wafatnya Panembahan Bodo. Upacara Sadranan dilaksanakan sebanyak tiga kali , upacara pertama dilaksanakan pada hari minggu dimulai pukul 20.30 WIB di Los makam Sewu , upacara kedua pada hari senin pukul 08.00 Wib di dalam cungkup Panembahan Bodo , upacara ketiga pada hari senin siang pukul 14.00 WIB yang merupakan puncak acara Sadranan . Kegiatan ini dilaksanakan di Pendopo / Bangsal Panembahan Bodo.

Perlengkapan Upacara ‎ 

Pada upacara pertama dan kedua hidangan yang disediakan hanya konsumsi biasa sedangkan pada upacara ketiga berupa tumpeng , nasi wuduk dan nasi ambeng yang masing – masing beserta rangkaiannya . 

Adapun rangkaian perlengkapan sebagai berikut          
                                                          :
a.            Tumpeng : Nasi putih berbentuk kerucut ( gunung ) tanpa lauk pauk , 
melambangkan sebuah pengharapan kepada Tuhan supaya permohonannya terkabul.

b.            Nasi Gurih / Wuduk : Nasi putih diberi santan , garam dan daun salam sehingga rasanya gurih , nasi ini juga disebut nasi rasul karena nasi ini merupakan simbol permohonan keselamatan dan kesejahteraan  Nabi Muhammad SAW , para sahabat dan bagi penyelenggara dan peserta upacara

c.            Nasi Ambeng : Nasi ambeng ini disertai lauk pauk , dan dibungkus dengan daun pisang . Nasi ini disediakan oleh warga masyarakat.

d.            Ingkung : Ayam yang dimasak secara utuh diberi mumbu tidak pedas dan 
santan . Ingkung melambangkan manusia ketika masih bayi belum mempunyai kesalahan atau masih suci . Ingkung juga melambangkan kepasrahan kepada Tuhan.

e.            Bunga : Bunga terdiri dari bunga mawar , melati dan kenanga . Bunga ini 
melambangkan keharuman doa yang keluar dari hati yang tulus , kecuali itu bau harum mempunyai makna kemuliaan.

f.             Pisang Raja : Melambangkan suatu harapan agar kelak kemudian hari warga masyarakat desa Wijirejo hidupnya selalu bahagia seperti raja.

g.            Jajan Pasar : Sesaji yang terdiri dari bermacam – macam makanan yang dibeli  dari pasar , bermakna suatu harapan agar warga masyarakat desa  Wijirejo selalu memperoleh berkah dari Tuhan sehingga hidupnya selalu mendapatkan kelimpahan dalam mengerjakan sawahnya

h.            Ketan : Berasal dari kata Khotan yang artinya kesalahan

i.             Kolak : Berasal dari Qala yang artinya mengucapkan

j.             Apem : Berasal dari kata Aquwam yang berarti ampun . Ketan , kolak 
dan apem ini merupakan satu rangkaian yang bila diartikan secara keseluruhan berarti jika merasa salah cepat – cepatlah ‎mengucapkan mohon ampun

Makam Istri Panembahan Bodho 

Makam Nyai Brintik secara administratif terletak di Dusun Karang, Kalurahan Wijirejo, Kecamatan Pandak, Kabupaten Bantul, Propinsi DIY. Letak makam Nyai Brintik ini tepatnya berada di sisi barat Pasar Pijenan pada jarak sekitar 1,5 kilometer.

Kondisi Fisik pemakaman 

Makam Nyai Brintik berada di sisi utara dari kompleks makam Dusun Karang. Makam ini telah dilengkapi cungkup. Cungkup terbuat dari bangunan tembok. Ukuran cungkup sekitar 4 m x 6 m. 

Cungkup memiliki satu pintu menghadap ke selatan. Nisan makam Nyai Brintik terbuat dari batu putih (tufa) dengan ukuran panjang sekitar 125 Cm, lebar 40 Cm, dan tinggi hingga kepala jirat 50 Cm.Cungkup makam Nyai Brintik juga dilengkapi dengan teras. Di teras ini diletakkan beberapa nisan dari sesepuh dusun setempat. Sementara di sisi nisan dari Nyai Brintik juga terdapat nisan lain yakni nisan dari Nyai Brintik yang bernama Joko Lelono. Nisan dari Joko Lelono berukuran panjang sekitar 100 Cm, lebar 40 Cm, dan tinggi 40 Cm. Nisan Joko Lelono juga terbuat dari batu putih.

Pada bagian tengah agak ke selatan dari kompleks makam di Dusun Karang ini juga terdapat nisan lain, yakni nisan dari putra Nyai Brintik, yakni nisan dari Kyai Gading Condrokusumo. Di sebelah nisan Gading Condrokusumo juga terdapat nisan lain yakni nisan dari Nyai Gading Condrokusumo yang tidak lain merupakan istri dari Kyai Gading Condro Kusumo. Nisan keduanya diletakkan dalam sebuah cungkup dengan dinding terbuka. Artinya, nisan tersebut hanya diberi atap yang terbuat dari seng yang disangga tiang dari cor beton di keempat sudutnya. Nisan dari Kyai dan Nyai Gading Condro Kusumo terbuat dari keramik warna merah. Panjang Nisan keduanya adalah 125 Cm dan lebarnya 50 Cm. Sedangkan tingginya 40 Cm.

Latar Belakang

Nyai Brintik merupakan istri dari Panembahan Bodo atau sering dikenal juga dengan nama Raden Trenggono atau Syeh Sewu. Makam dari Panembahan Bodo ini berada di Dusun Pijenan, Wijirejo, Pandak, Bantul, yakni di sisi utara dari kompleks makam Dusun Karang pada jarak sekitar 2 kilometer.

Sumber setempat menyebutkan bahwa Nyai Brintik adalah salah satu putri dari Sunan Kalijaga. Namun versi lain menyatakan bahwa Nyai Brintik adalah putra dari Kyai Santri dari Muntilan. Versi ketiga menyatakan bahwa Nyai Brintik adalah salah satu anak didik (santriwati) dari Sunan Kalijaga.

Nyai Brintik dulunya tinggal di Dusun Kauman bersama suaminya yang bernama Panembahan Bodo. Dusun Kauman ini terletak di timur Dusun Karang. 

Disebutkan bahwa Nyai Brintik ini pernah membuat bedug yang kemudian digunakan di sebuah masjid peninggalan Sunan Kalijogo di Kalibawang, Kulon Progo yang terkenal dengan nama Masjid Kedondong. Cara membawa bedug teresebut menurut cerita tutur setempat dilakukan dengan cara digendong oleh Nyai Brintik. Cerita tutur setempat juga menyebutkan bahwa Nyai Brintik juga memiliki ilmu kanuragan berlebih dibandingkan orang awam.

Ketika meninggal Nyai Brintik hendak dimakamkan di Makam Sewu di Pijenan. Rencananya akan dimakamkan di sisi makam suaminya, Panembahan Bodo. Akan tetapi ketika rombongan pembawa jenazah akan menyeberang Sungai Bedog sungai tersebut sedang banjir besar. Sungai Bedog ini menjadi pemisah antara Dusun Pijenan dengan Dusun Kauman dan Dusun Karang. 

Rombongan pembawa jenazah ini tidak bisa melanjutkan perjalanan menuju Makam Sewu karena waktu itu belum ada jembatan yang menghubungkan kedua wilayah tersebut. Pemakaman jenazah pun ditunda. Penundaan berlangsung beberapa hari karena banjir Sungai Bedog tidak segera surut. Oleh karena banjir tidak segera surut, maka jenazah Nyai Brintik pun akhirnya dimakamkan di Dusun Karang. ‎

 

Doa Nabi Sulaiman Menundukkan Hewan dan Jin

  Nabiyullah Sulaiman  'alaihissalam  (AS) merupakan Nabi dan Rasul pilihan Allah Ta'ala yang dikaruniai kerajaan yang tidak dimilik...