Kamis, 19 November 2020

Cara Menayuh Keris dan menyatukan Hirarki Keris dengan Manusia


Sering kita mendengar ada salah seorang pemilik keris yang mengatakan keris saya kosong karena sudah tidak terawat atau sebab - sebab yang lainnya, cerita dimasyarakat tentang isi atau tidaknya suatu (keris) memang masih membingungkan, walaupun keris itu dari warisan, pemberian orang, mas kawin atau yang mendapatkan dengan cara-cara lainnya. 

Para pakar Perkerisan menyebutkan bahwa ada banyak sekali jenis keris yang beredar dimasyarakat, untuk meneliti isi atau tidaknya suatu keris tersebut masih sulit untuk dibuktikan. “Bahwa ada 4 macam kategori keris yang ada di masyarakat diantaranya :

1. Keris Souvenir : Keris yang sengaja dibuat untuk hadiah pada seseorang atau untuk diperdagangkan dalam dunia luas, keris ini biasanya dibuat sederhana atau juga ada yang dibuat indah dan sangat menarik, namun isi atau tuahnya tidak ada. Keris-keris model ini biasa dibuat oleh pengrajin dan bukannya seorang Empu Keris. Dalam sehari seorang pengrajin keris ini dapat membuat 15 sampai 20 buah dan biasa diperjualbelikan sebagai barang Souvenir.

2. Keris Ageman : suatu keris yang hanya menonjolkan keindahan bentuk atau model keris tersebut. Keris yang demikian ini tidak ada isinya karena Sang Empu pada saat membuat keris tanpa melakukan tapa brata dan upacara-upacara tertentu. . Dalam sehari seorang Empu keris ini dapat membuat 3 sampai 5 buah.

3. Keris Tayuhan : Sebuah keris yang dibuat oleh seorang Empu melalui upacara-upacara khusus, biasanya pada jaman dahulu ada seseorang yang memesan Keris pada seorang Empu untuk suatu keperluan, untuk kewibawaan, memudahkan dapat rejeki atau juga untuk penolak bala. Kemudian sang Empu membuat keris sesuai keinginan dari pemesannya dan tentu saja keris tersebut memiliki tuah atau isi sesuai keinginan dari sang empu. 

Biasanya Keris model ini sederhana tapi ada juga yang dibuat indah dan menarik. Dalam setahun seorang Empu keris dapat membuat 1 atau 5 buah.

4. Keris Pusaka : Sebuah keris yang dibuat oleh seorang Empu keris yang memiliki ciri – ciri indah dan memiliki tayuhan. Tentu saja pada saat pembuatan melakukan upacara-upacara khusus agar keris tersebut bertuah. Dalam setahun seorang Empu keris dapat membuat 1 atau 2 buah saja.
Di masa lalu belum tentu seorang Empu bisa membuat sebilah Keris dalam 3tahun.


“ Keris yang berisi tayuhan itu pasti memiliki daya tersendiri bagi yang melihat atau memilikinya, daya isi bisa berupa perwujudan keris itu tampak wingit, galak, demes atau memiliki prabawa tersendiri sedang keris yang tidak berisi pasti tampak biasa tidak ada rasa atau sesuatu dalam perasaan kita”. Bahwa keris yang dulunya dibuat sebagai keris Tayuhan atau keris Pusaka kekuatannya tidak dapat hilang, dikarenakan bahan-bahan yang dipakainya saja sudah mengandung tuah. Besinya dicari besi pilihan yang bertuah, pamornya juga demikian sehingga isi dari keris tersebut tidak akan hilang selama perwujudannya masih ada. 

Secara Logika dapat disamakan dengan besi Magnet, jenis besi ini memang memiliki kekuatan untuk dapat menarik besi, kekuatannya tidak bakal hilang selama unsur-unsur magnetnya masih ada demikian juga Keris, selama unsur besi, Baja dan Pamor masih melekat kekuatan alaminya tidak bakal hilang. 

Hanya para empu yang mengetahui kekuatan atau daya apa yang terkandung dalam bahan-bahan keris tersebut. Jika ada orang yang dapat mengambil isi keris sebenarnya hanya daya postipnotis (daya saran) yang dilekatkan empu saja yang diambilnya, sedang daya alami dari bahan keris akan tetap ada secara alami.


Cara Menayuh Keris

Banyak pemilik keris yang tidak mengetahui akan hakekat benda pusaka yang dimiliki. Apa kegunaan keris, bagaimana pengaruhnya terhadap kehidupannya, bertuah atau tidak ? Jika kemudian pertanyaan-pertanyaan tersebut apabila disodorkan pada para pemilik keris tersebut, khususnya yang memiliki keris karena warisan dari orang tuanya, pasti akan dijawab dengan gelengan kepala alias tidak tahu. Kenyataan semacam ini wajar terjadi, karena para pemilik tersebut tidak terlibat langsung dengan proses kepemilikan benda pusakanya. 

Mereka punya karena warisan, karena amanah dan bukti bhaktinya pada orang tuanya. Tidak jarang dari para pemilik keris yang terpaksa memiliki benda pusaka terkena dampak atas keris yang dimilikinya. Sebagaimana kepercayaan para leluhur keris adalah salah satu bendak pusaka yang dapat mempengaruhi kehidupan seseorang. Jalan hidup seseorang bisa berubah setelah memiliki keris. Seseorang yang penakut, pendiam dan suka mengalah bisa berubah seratus delapan puluh derajat menjadi pemberani, pemarah dan mau menang sendiri setelah memiliki keris tertentu. Begitu juga si miskin bisa berubah menjadi kaya raya karena mendapat keris. Begitu sebaliknya, orang yang semula kaya, selalu beruntung bisa berubah menjadi miskin dan selalu buntung.. 

Merujuk pada catatan sejarah raja-raja di tanah Jawa, rata-rata memiliki keris pusaka yang memiliki daya kesaktian luar biasa. Sebut Ken Arok, pendiri kerajaan Singasari ini memiliki keris Empu Gandring yang dibuat oleh empu Gandring. Keris ini memiliki kesaktian luar biasa, ibarat ditikamkan ke gunung, gunung meletus, ditikamkan ke samudra, samudranya mengering pun ditikamkan ke baja, bajanya pasti akan tembus.  Kedahsyatan ( kesaktian ) benda pusaka seperti itu terjadi memang sengaja diciptakan oleh empu atas permintaan si pemilik keris. Tentu untuk mencapai tataran seperti itu diperlukan proses. Namun yang perlu digaris bawahi adalah, dibalik kedahsyatan keris pusaka, ternyata membawa sifat bawa yang dapat berpengaruh negatif pada pemiliknya. 

Untuk menghindari terjadi hal-hal negatif yang dapat menimpa diri kita seharusnya kita mengetahui dengan persis benda-benda pusaka yang kita miliki. Cara termudah mengetahui kegunaan, jenis keris maupun dampak yang ditimbulkan, kita dapat berkonsulatsi atau meminta bantuan paranormal, empu atau tokoh-tokoh yang teruji mampu menguasai ilmu perkerisan untuk menayuh ( menguji ) hakekat keris yang kita miliki. Tentu saja cara ini kurang memberikan nilai lebih(tidak seru ). Persoalan menjadi lain kalau anda bisa melakukan sendiri. 

Tulisan ini tidak sekedar memberikan imformasi atau tips untuk menguji kesaktian keris dari gagrak ( perwujutan ) yang dapat dilihat oleh mata telanjang. Seperti diketahui, keris diyakini semua orang memiliki daya linuwih, berkekuatan gaib dan dapat membantu si empunya untuk menyelesaikan berbagai masalah. Tetapi sekali lagi tidak semua orang dapat mengetahui apakah benar kekuatan itu ada. 

Satu-satunya media yang dapat kita rasakan akan adanya kekuatan gaib tersebut adalah, adanya hawa gaib yang mempengaruhi kehidupan kita. 

Tips Menayuh Keris 

Keris dikatakan sakti apabila keris tersebut tidak suwung ( kosong), alias ada suatu kekuatan gaib yang ada di dalam keris tersebut. Para empu seperti empu Gandring, Empu Supo Mandragi maupun empu-empu lainnya senantiasa memasukan kekuatan gaib pada bilah keris hasil kreasinya. 

Ada tiga cara yang dapat anda lakukan untuk mengetahui apakah keris tersebut memiliki kekuatan gaib alias ada isinya atau suwung. 

1. Menayuh keris dengan cara laku ( tirakat, puasa ).  Puasa bisa dilakukan dengan kaifiat layaknya orang puasa wajib, senin kamis, atau puasa khusus seperti mutih, ngalong ( hanya makan buah), atau puasa ngebleng ( berada di tempat gelap ). Puasa tersebut setidaknya dilakukan selama tiga hari. Di hari ketiga puasa dilanjutkan hingga menjelang fajar alias subuh, tanpa tidur. 

Mulai magrib hendaknya anda melakukan wirid sesuai dengan kemampuan dan menjauhi perbuatan yang bersifat duniawiyah. Insya-Allah menjelang fajar. Wangsit alias ilham biasanya muncul antara pukul 02.00 hingga 04.00 menjelang waktu subuh. Adapun niat puasanya adalah beribadah pada yang maha kuasa dan niat untuk mengetahui atas hakekat benada pusaka yang kita miliki. 

2. Menayuh keris dengan cara Meditasi.  Siapkan ruang khusus ( kamar ) beralaskan tikar. Sucikan diri anda dan kuatkan niat untuk metsubudi ( mengeluarkan kekuatan batin kita ) untuk melakukan komunikasi gaib dengan si penungu keris. Tempatkan keris di depan anda dan nyalakan lilin di sampingnya. 

Setelah itu duduklah anda dalam posisi bersila, kaki kanan di atas kaki kiri. Padukan kedua telapak tangan anda tepat ditengah dada anda. Tataplah nyala lilin yang menyala dihadapannnya sesuai dengan kemampuan anda tidak berkedip. Kemudian pejamkan mata, maka akan tampak dalam pandangan mata yang terpejam perwujutan makhluk gaib yang ada dalam keris tersebut. 

3. Menayuh keris dengan memanfaatkan kekuatan hewan.  Seperti banyak diberikan kitab suci, satu-satu makhluk kasat mata yang dapat melihat makhluk gaib adalah hewan. Oleh karena itu untuk menguji apakah keris yang ada memiliki punya kekuatan gaib atau tidak kita dapat mengujinya melalui hewan ini. Hewan yang paling peka terhadap mahkluk gaib adalah ayam. Terutama ayam yang sedang beranak. Induk ayam beranak ini sangat peka terhadap ancaman.  Sekecil apapun ancaman yang datang, ayam itu langsung bereaksi ( ngabruk). 

Caranya sederhana, carilah ayam yang sedang mencari makan bersama anak-anaknya. Kemudian lemparkanlah keris anda ke sekitar induk ayam tadi. Jika ayam tersebut bereaksi berupaka kemarahan ( ngabruk ) atau diam, maka dapat dipastikan keris anda kosong alias suwung. Tetapi apabila reaksi si induk ayam lari tungang langgang, atau terdiam kemudian berbunyi kruuk-kruuk,kruuk, maka dapat diayakini bahwa keris anda ada isinya. Reaksi ayam yang diwujutkan dalam suara kruuk-kruuk merupakan gambaran akan hadirnya sosok mahkluk lain yang tidak sama dengan manusia. 

Menyatunya Keris Dengan Pemiliknya
Perilaku dari keris-keris yang sudah menunjukkan penyatuannya dengan manusia pemiliknya dan memberikan pemahaman mengenai apa yang harus dilakukan seorang pemilik keris supaya keris-kerisnya dapat menyatu dengan dirinya, sehingga keris-kerisnya benar-benar dapat menjadi pusaka dansipat kandel dan tidak menjadi keris koleksi / pajangan saja.

Pada jaman sekarang banyak keris yang hawa aura mistisnya sudah redup, sudah dingin / adem / anyeb, mirip seperti keris kosong tak berpenghuni gaib.  Hawa aura gaibnya sudah menurun atau kerisnya pasif tidak memberikan tuahnya, terpengaruh perkembangan jaman dimana keberadaan keris sudah mulai diabaikan, tetapi kekuatan aura keris-keris tersebut akan terasa kembali ketika sudah menyatu dengan seorang pemilik yang sesuai.

Selama masih ada jarak antara kebatinan si manusia dengan kerisnya, maka keberadaan keris itu tidak akan banyak berarti. Tuah-nya pun mungkin tidak akan dirasakan. Bagi anda yang memiliki atau menyimpan keris, sebaiknya juga memiliki pengetahuan tentang tatacara pemakaian keris, pemeliharaan keris, dsb, jangan hanya sekedar asal memiliki, menyimpan atau memakainya, supaya tidak terbawa-bawa cerita tentang mistis keris atau pun mengkultuskan kegaiban keris, supaya keris tidak dimusuhi orang karena cerita mistisnya, atau justru keris dijadikan sebagai suatu bentuk pemujaan.

Secara umum keris-keris dibuat dengan tujuan untuk menyatu dan mendampingi manusia pemiliknya, tuahnya dan kekuatan gaibnya sudah disesuaikan dengan si manusia calon pemiliknya (si manusia pertama pemilik keris).

Secara umum tujuan keris dibuat dimaksudkan dengan cara penyatuan / pendampingannya masing-masing keris-keris itu akan memberikan tuahnya kepada si manusia, dan untuk hasil kegaiban yang maksimal dalam penyatuan itu dibutuhkan adanya penyatuan kebatinan si manusia dengan kerisnya (ada interaksi batin).

Sifat kejiwaan keris sama seperti orang tua yang memomong dan menjaga anaknya. Bila si manusia sebagai pihak yang diemong mampu peka rasa, bisa mendengarkan bisikan gaib kerisnya yang berupa ide dan ilham dan firasat (dan mimpi), maka orang itu akan dituntun kepada jalan / perbuatan yang mengantarkannya sukses sesuai jenis tuah kerisnya masing-masing dan menjauhkannya dari kesulitan. Sifat kejiwaan yang seperti itu tidak kita dapatkan dari benda-benda gaib lain. Umumnya orang-orang jawa jaman dulu peka rasa dan batin, sehingga akan mudah penyatuan kebatinannya dengan keris-kerisnya. Itulah juga sebabnya orang-orang jawa jaman dulu, yang peka rasa, dan memahami kejawen, lebih memilih keris daripada benda-benda gaib lain.

Karena itu sebaiknya dipahami, jika kita mempunyai sebuah keris, apapun jenis keris dan tuahnya, untuk mendapatkan kegaibannya yang maksimal dibutuhkan adanya penyatuan kebatinan kita dengan si keris (ada interaksi batin), bukan sekedar memiliki sebuah keris. Karena itu jika kita merasa tidak bisa bersikap seperti orang-orang yang bisa peka rasa dan firasat dan bisa menyatukan dirinya dengan keris-kerisnya, sebaiknya janganlah kita memiliki keris. Lebih baik kalau kita memiliki benda-benda gaib lain sebagai jimat ampuh untuk kesuksesan dan keberuntungan.

Penghalang Penyatuan Keris Dengan Pemiliknya

Ada beberapa kejadian keris-keris tertentu sama sekali tidak mau menyatukan dirinya dan tidak mau memberikan tuahnya kepada si manusia pemiliknya. Kondisi ini bisa terjadi karena beberapa sebab. Sebaiknya kita mengetahui kondisi ini, jangan sampai kita membeli keris dan pusaka yang kondisinya tidak mau menyatu dengan kita, sehingga juga tidak akan bertuah, atau kita sudah terlanjur mengharapkan tuah dari benda-benda pusaka kita, padahal mereka sama sekali tidak bertuah, atau kita melakukan suatu perbuatan yang akhirnya malah menjadikan benda pusaka kita tidak bertuah.

Misalnya, mungkin kerisnya merasa tidak cocok mengikut kepada seorang manusia, seperti keris-keris ber-luk 5 yang merasa tidak cocok untuk mengikut kepada manusia pemiliknya yang bukan keturunan ningrat / bangsawan.

Keris-keris ber-luk 5 atau keris-keris keningratan lainnya, biasanya hanya akan diam saja, pasif, tidak memberikan tuahnya dan tidak menunjukkan penyatuannya dengan pemiliknya jika si manusia pemilik keris bukan keturunan ningrat dan tidak menghargai keningratan. Kondisi tersebut menjadikan keris-keris ber-luk 5 dan keris-keris keningratan lainnya sebagai keris-keris khusus yang tidak semua orang cocok memilikinya dan tidak semua orang bisa mendapatkan manfaat dari keris-keris itu.

Atau karena ada masalah dalam etika pemindah-tanganan keris. Misalnya keris tersebut didapat dengan cara mencuri, memaksa, memeras, merampas, dsb, atau ada rekayasa pembodohan / penipuan / tipu-muslihat dalam proses pemindah-tanganan atau dalam proses tawar-menawar mahar keris. Atau pemilikan keris keluarga yang di dalamnya terjadi perebutan warisan antar ahli waris, atau salah satu ahli waris mencuri / menggelapkan pusaka diluar sepengetahuan ahli waris lain.

Jika anda berkenan kepada sebuah keris dan berminat untuk memilikinya, dalam proses tawar-menawar mahar keris sebaiknya anda tidak melakukan tawar-menawar harga sampai semurah-murahnya sampai menimbulkan kesan keris itu barang murahan dan tidak cukup berharga untuk dimiliki. Tingkat penghargaan anda kepada sebuah keris, dan perlakuan sehari-hari dalam pemeliharaan keris dapat berpengaruh pada tinggi atau rendahnya tingkat penyatuan keris dan kadar tuah yang diberikan si keris kepada anda pemiliknya. Jika si keris merasa “disepelekan”, “direndahkan” atau merasa “terhina” dengan perlakuan anda, bisa jadi keris itu kemudian akan pasif, tidak menunjukkan penyatuannya dengan anda, karena kerisnya tidak bersimpati kepada anda.

Kondisi keris yang tidak mau memberikan tuahnya kepada si manusia pemiliknya karena penyebab-penyebab di atas biasanya tidak dapat diperbaiki / diakali dengan pemberian sesaji, atau pun dengan cara lain, selain dibiarkan saja kondisinya seperti itu atau dipindah-tangankan kepada orang lain dan mengganti dengan keris lain yang mau memberikan tuahnya kepada si manusia tersebut.

Jika sebuah keris tidak mau memberikan tuahnya kepada manusia si pemilik keris karena ada kesalahan atau perbuatan si manusia yang si keris tidak berkenan, misalnya pemberian sesaji yang si keris merasa tidak cocokbisa diperbaiki dengan memberi sesaji minyak cendana merah yang dioleskan pada badan kerisnya atau bentuk sesaji lain yang si keris berkenan. Atau penjamasan yang si keris merasa tidak cocok dengan cara kerja si penjamas keris, bisa diperbaiki dengan melakukan penjamasan berikutnya kepada penjamas keris yang lain. Atau misalnya si manusia mengganti bagian komponen kelengkapan keris, seperti mengganti kayu gagang keris, sarung keris, mendak, dsb, dan si keris tidak berkenan, bisa diupayakan memperbaikinya dengan memasang kembali komponen-komponen aslinya atau mengganti dengan komponen lain yang kira-kira si keris berkenan.

Tetapi bila kesalahan itu terjadi karena si manusia dengan sengaja mengganti komponen utama keris, sepertiganja keris atau pesi-nya, biasanya kesalahan ini tidak dapat diperbaiki, karena sudah menyebabkan sakit hati si gaib keris, walaupun sudah diupayakan memasang kembali komponen aslinya atau mengganti dengan komponen lain yang kira-kira si keris berkenan. Karena itulah kita harus berhati-hati, terutama ketika berminat membeli sebuah keris yang ada hiasan emasnya pada bagian ganja, dapur atau bilah keris, harus dicermati dahulu apakah hiasan emas itu adalah aslinya ataukah sebenarnya tambahan / gantian. Kesalahan lain yang tidak dapat diperbaiki adalah bila si manusia meng-ampelas / mengikis / menghaluskan badan kerisnya, atau mengukir ulang bagian badan / luk atau dapur keris.

Bila bagian pesi keris (besi gagang keris) sudah sangat keropos atau tipis karena termakan karat, kondisinya bisa diperbaiki dengan memasangkan pipa bekas antena televisi yang ukurannya pas dengan ukuran pesi keris, dipasang menyelubungi pesi keris (ditambah lilitan benang wol hitam pada pesi keris supaya tidak longgar dengan pipanya) dan pipa antena itu diusahakan pas dengan lubang pada kayu gagang keris (ditambah lilitan benang wol hitam). Tetapi bila pesi keris tersebut sudah patah pada bagian pangkalnya, sehingga tidak dapat diperbaiki dengan bantuan pipa antena itu, dan terpaksa harus diganti, bisa diupayakan menggantinya dengan gagang besi lain dengan terlebih dulu menyampaikan niat anda itu sebagai pemberitahuan awal kepada si keris.

Sebagai catatan tambahan :

Seandainya kita merubah bentuk keris atau mengganti komponen utamanya karena kita menganggap keris itu bentuknya jelek atau tidak bagus sehingga harus dirubah bentuknya atau diganti komponennya supaya tampak lebih bagus, bisa dipastikan bahwa si gaib keris akan sakit hati dan tidak akan memberikan tuahnya kepada si manusia, sehingga kemudian keris itu akan berfungsi sebagai keris ageman, bukan lagi keris tayuhan.

Seandainya kita merubah bentuk keris atau mengganti komponen utamanya bukan karena kita menganggap keris itu jelek sehingga harus dirubah bentuknya atau diganti komponennya supaya tampak lebih bagus, tetapi kita melakukannya karena merasa sayang ada bagian yang rusak, mungkin itu tidak apa-apa, karena sosok gaibnya mengerti bahwa maksud kita tidak merusak dan tidak menganggap keris itu jelek sehingga harus dirubah bentuknya atau diganti komponennya, hanya diperbaiki saja.

Atau bila kita ingin mengganti komponen kelengkapan keris, seperti gagang, sarung, mendak dan salut keris, sebaiknya ditanyakan dulu apakah keris itu berkenan, misalnya dengan cara menayuh keris (Ilmu Tayuh / Menayuh Keris)  dan tunjukkan juga kepada kerisnya (dengan pikiran kita) gambaran benda yang akan menjadi gantinya.

Apapun yang akan kita lakukan terhadap fisik keris kita sebaiknya dilakukan dengan menyampaikan terlebih dahulu niat kita itu sebagai pemberitahuan awal kepada si keris.
Dari semua uraian di atas dapatlah dipahami bahwa sebuah keris tidaklah sama dengan benda gaib lain. Keris mempunyai “jiwa” yang akan aktif berinteraksi dengan pemiliknya, karena sejak awal tujuan sebuah keris dibuat adalah untuk menjadi “pendamping” manusia. Karena itu bila kita memiliki sebuah keris, perlakukanlah benda itu seolah-olah dia adalah juga manusia yang memiliki perasaan dan pikiran dan bisa diajak bertukar pikiran / curhat (seolah-olah mempunyai teman dari alam gaib), tergantung kemampuan anda untuk berkomunikasi / berinteraksi dengan sosok gaibnya, dan dia juga dapat mengikuti jalan hidup manusia pemiliknya. Tetapi jika kita hanya menginginkan tuah dari sebuah benda gaib, sebaiknya janganlah kita memiliki keris, lebih baik memilih jenis benda gaib lain sebagai jimat keberuntungan, kesuksesan dan keselamatan.

Sebagai tambahan dari faktor penghalang menyatunya keris dengan manusia pemiliknya di atas, bisa dipastikan bahwa semua keris yang seharusnya menyatukan diri dan mendampingi pemiliknya, tidak akan mau lagi menyatukan diri dan mendampinginya, jika si pemilik keris mempunyai khodam pendamping yang berasal dari golongan hitam.

Mahluk halus golongan putih tidak bergaul / berkomunitas dengan yang dari golongan hitam, sehingga jika seseorang mempunyai khodam pendamping yang berasal dari golongan hitam, maka bisa dipastikan bahwa semua jenis khodam golongan putih yang seharusnya menyatukan diri dan mendampinginya, tidak akan mau lagi menyatukan diri dan mendampinginya, bukan hanya khodam keris jawa, tapi juga khodam batu akik dan mustika dan khodam ilmu / khodam pendamping. Bahkan bisa jadi semua benda gaib yang dipakainya atau yang dibawanya, seperti cincin batu akik dan mustika, juga akan menjadi kosong isi gaibnya (khodamnya pergi).

Penyebabnya adalah selain mahluk halus dari golongan putih akan menyingkir tidak mau bergaul dengan yang golongan hitam, juga karena mahluk gaib yang dari golongan hitam itu mengambil alih semua peranan dari khodam yang lain, sehingga si manusia akan menjadi bergantung hanya kepadanya.

Selain mahluk halus golongan hitam yang keberadaannya adalah khodam keilmuan gaib kita, mahluk tersebut bisa juga terpanggil datang karena adanya wiridan amalan / doa kita. Karena tujuan kedatangannya tidak untuk mengganggu, tetapi datang untuk menjadi pendamping kita, maka sekalipun sebelumnya kita mempunyai khodam-khodam penjaga, maka khodam-khodam penjaga itu tidak akan melarangnya. 

Tapi kemudian khodam-khodam penjaga itu akan mundur semua tidak mau lagi mendampingi kita karena mereka tidak mau bergaul / campur dengan yang golongan hitam. Karena itu jika kita sudah mempunyai benda gaib atau khodam-khodam penjaga, sebaiknya mereka juga disugestikan untuk mengusir semua mahluk halus golongan hitam, apapun tujuannya mereka datang.
Status Keris dan Kelas Keris di Dunia Gaib Perkerisan
Bukan hanya di dunia manusia, di dunia gaib khodam keris juga ada aturan hirarki status dan kelas gaib keris, yang aturannya sama dengan status dan kelas wahyu dewa yang diturunkan kepada manusia, karena filosofi dasar diturunkannya wahyu gaib keris adalah untuk dipasangkan dengan wahyu dewa yang diturunkan kepada manusia, sehingga hirarki status dan kelas gaib keris dan wahyu dewa itu sejalan.

Sehubungan dengan tulisan di atas, mengenai bentuk penyatuan / pendampingan isi gaib keris dengan manusia pemiliknya, maka jika seseorang mempunyai beberapa buah atau banyak keris, mungkin tidak semua sosok gaib khodam keris itu akan tampak mendampingi si manusia, mungkin hanya satu saja yang tampak mendampingi si manusia mewakili khodam keris yang lain, dan tidak semuanya menonjol dalam memberikan tuahnya kepada manusia, karena ada aturan hierarki status dan kelas gaib keris.

Sesuai hierarki status dan kelas gaib keris di dunia gaib perkerisan, bila anda memiliki beberapa buah keris, maka urutan gaib keris yang menonjol dalam menunjukkan bentuk penyatuannya adalah sbb :

Keris ber-luk 5, keris pulanggeni, singa barong dan keris-keris keningratan lain, yang dalam pembuatannya ditujukan untuk dimiliki oleh seorang raja atau orang-orang yang memiliki status keningratan karena status keluarga / keturunan seorang raja / bangsawan.
Keris bertuah kekuasaan dan wibawa.
Keris bertuah kewibawaan.
Keris bertuah kesaktian.
Keris bertuah kesepuhan.
Keris bertuah kerejekian.‎
Keris bertuah pengasihan.
Jika beberapa keris anda ada yang mempunyai fungsi tuah yang sama, misalnya ada beberapa keris yang sama-sama mempunyai tuah untuk kekuasaan dan wibawa, atau sama-sama mempunyai tuah untuk kerejekian, maka keris-keris yang sama tuahnya itu yang lebih tua akan mewakili keris-keris yang lebih muda umurnya.

Hierarki status dan kelas gaib keris adalah hierarki dan tata krama di dunia mahluk halus gaib keris dan wahyu dewa. Hierarki itu tidak ditentukan oleh tingkat kesaktian masing-masing gaib keris atau tua usianya, tetapi lebih ditentukan oleh hierarki status dan kelas gaib keris. Sama dengan di dunia manusia yang mana seorang rakyat, punggawa, ksatria, atau orang kaya sekalipun, harus menghormati dan menjunjung tinggi seorang raja atau bangsawan, di dunia mereka juga begitu. Sekalipun seorang rakyat / prajurit / senopati / panglima perang dan seorang pesilat / ksatria / panembahan umurnya lebih tua atau kondisinya jauh lebih sakti daripada raja mereka, tetap saja mereka akan menundukkan diri di hadapan raja mereka. Begitu juga mereka di hadapan para bangsawan dan kaum ningrat.

Secara umum yang lebih menonjol menunjukkan penyatuannya dengan manusia adalah keris-keris yang berfungsi untuk penjagaan gaib, terutama didapatkan dari keris-keris keningratan dan yang bertuah untuk kekuasaan dan/ atau wibawa.

Jika si pemilik keris bukan seorang keturunan raja atau ningrat, maka keris-keris yang bersifat keningratan tidak akan menunjukkan penyatuannya dengan si manusia dan posisinya akan digantikan oleh keris-keris yang lain sesuai hirarki status dan kelas gaib keris.

Keris-keris yang bertuah kekuasaan dan wibawa hanya akan memberikan tuahnya untuk seorang pemilik yang dalam kehidupan kesehariannya mempunyai posisi jabatan tertentu dan mempunyai bawahan, jika tidak, maka keris-keris itu hanya akan memberikan tuah kewibawaan saja.

Keris-keris yang bertuah kesaktian, bila berada di tangan seseorang yang aktif dalam ksatriaan dan memilikikekuatan / kesaktian kebatinan yang tinggi, penyatuan gaib keris dengan orang tersebut akan menambah ketajaman dan kekuatan kebatinan / kanuragan orang tersebut menjadi bertambah berlipat-lipat. Tetapi bila berada di tangan seseorang yang tidak aktif dalam ksatriaan dan tidak memiliki kekuatan / kesaktian kebatinan yang tinggi biasanya akan pasif, hanya akan diam saja, menunggu untuk diperintah secara khusus. Tetapi ada juga sebagian dari jenis keris ini yang beradaptasi dan keluar dari kerisnya mendampingi si manusia untuk memberikan penjagaan gaib.

Dengan adanya hierarki status dan kelas gaib keris di atas, maka jika seseorang memiliki beberapa atau banyak keris, mungkin hanya ada satu atau dua keris saja yang akan tampil mendampinginya mewakili keris-kerisnya yang lain. Karena itu jika seseorang memiliki beberapa buah keris yang fungsinya berbeda-beda dan ingin semua kerisnya memberikan tuahnya secara bersama-sama dan terkoordinasi, maka harus ada upaya dari si manusia untuk menyatu dengan keris-kerisnya dan mengsugesti keris-kerisnya supaya bisa berkoordinasi dan tidak saling menggantikan. Jika seseorang mempunyai beberapa buah keris, sebenarnya masing-masing keris itu dapat memberikan tuahnya secara terkoordinasi sesuai jenis tuahnya masing-masing, namun dalam pelaksanaannya tergantung juga pada tingkat penyatuan masing-masing keris dengan si manusia pemiliknya.

Secara alami tingkat penyatuan masing-masing keris dengan manusia pemiliknya itu selain tergantung pada tingkat penyatuan masing-masing pihak secara hati dan batin, juga tergantung pada kecocokan sifat fungsi keris dengan aktivitas keseharian pemiliknya, sehingga seorang pemilik keris yang kesehariannya bekerja sebagai seorang karyawan atau pedagang, mungkin hanya kerisnya yang berfungsi kerejekian-pengasihan saja yang menonjol dalam memberikan tuahnya, bukan yang bertuah kekuasaan dan wibawa.

Tetapi yang secara umum terjadi, jika seseorang memiliki beberapa keris yang berbeda-beda fungsinya, yang lebih menonjol menunjukkan penyatuannya dengan si manusia adalah keris-keris yang memberikan fungsi untuk keselamatan / penjagaan gaib, terutama didapatkan dari keris-keris keningratan dan yang bertuah untuk kekuasaan dan/ atau wibawa. Biasanya salah satu dari mereka, mewakili keris-keris yang lain, akan tampak mendampingi manusia pemiliknya, dan seringkali juga pendampingan mereka itu menyebabkan keris-keris lain yang bertuah kerejekian atau tuah lainnya menjadi tidak menonjol penyatuannya, atau bahkan menjadi tidak memberikan tuahnya (menjadi tergantikan posisinya). Itulah perlunya kita mengsugestikan keinginan kita supaya keris-keris kita tersebut secara bersama-sama dan terkoordinasi memberikan tuahnya kepada kita dan tidak saling menggantikan.

Kalau kita ingin semua keris-keris itu memberikan tuahnya kepada kita secara bersama-sama dan terkoordinasi, maka kita harus mengsugestikannya kepada mereka semua bahwa kita menginginkan supaya mereka semua memberikan tuahnya kepada kita secara bersama-sama dan terkoordinasi dan supaya tuah-tuah mereka tidak saling berlawanan dan tidak saling menggantikan. Caranya, keris-keris itu semua dikumpulkan di hadapan anda. Kemudian sampaikan kepada mereka keinginan di atas, misalnya disugestikan supaya mereka semua secara bersama-sama memberikan tuahnya secara terkoordinasi, tidak berlawanan dan tidak saling menggantikan, supaya tuah kewibawaan dan penjagaan gaib tidak berlawanan dengan tuah kerejekian dan pengasihan, supaya ketika anda sedang bersama teman-teman anda agar yang bertuah kewibawaan seimbang tuahnya dengan yang bertuah kerejekian-pengasihan supaya hubungan sosial baik dan tetap dihormati, dan ketika berada di sekitar manusia jahat / berandalan supaya yang bertuah kewibawaan dan penjagaan gaib lebih aktif bekerja menjauhkan anda dari gangguan.

 Posisi Keris Sebagai Pendamping Manusia

Bila seseorang memiliki beberapa buah keris dan juga memiliki benda-benda gaib lain selain keris atau juga memiliki beberapa khodam pendamping, upaya penyatuannya oleh kedua belah pihak adalah sbb:

1.  Upaya penyatuan dari si manusia terhadap gaib-gaib yang bersamanya.
2.  Upaya penyatuan dari gaib-gaib yang bersamanya terhadap si manusia.

Upaya penyatuan dari si manusia haruslah dilakukan satu per satu terhadap sosok-sosok gaib atau benda-benda gaib yang bersamanya dengan cara-cara yang serupa seperti yang sudah dituliskan mengenai upaya penyatuan manusia dengan kerisnya atau seperti dalam tulisan tentang ilmu tayuh / menayuh keris.

Mengenai upaya penyatuan dari gaib-gaib yang bersamanya terhadap si manusia, di dalam dunia mahluk halus berlaku hierarki status dan kelas sosok halus pendamping manusia sbb:

1.  Roh Leluhur.(Qorin)

Yang pertama dan terutama diakui sebagai sosok halus pendamping dan pelindung manusia adalah sukma leluhur si manusia sendiri yang dalam pelaksanaannya bisa dilakukan dalam bentuk pengawasan jarak jauh, bisa juga tampil langsung mendampingi si manusia.
Urutan pertama adalah leluhur si manusia yang berperan sebagai pelindung yang menjaga si manusia.
Urutan kedua adalah leluhur si manusia berdasarkan peranannya (fungsi / tuahnya) yang sama dengan hierarki status dan kelas gaib keris.
2.  Sosok sukma lain yang dianggap sebagai leluhur oleh si manusia.

Jenis ini adalah sukma lain yang bukan leluhur si manusia, tetapi oleh si manusia dianggap (dihormati) sebagai leluhurnya. Sukma itu juga berperan seolah-olah dia adalah seorang leluhur yang menjaga dan mendampingi si manusia seolah-olah adalah keturunannya. Biasanya sukma itu berfungsi sebagai khodam pendamping.
Urutan pertama adalah yang berperan sebagai pelindung yang menjaga si manusia.
Urutan kedua adalah berdasarkan peranannya yang sama dengan hierarki status dan kelas gaib keris.
3.  Sukma lain atau jenis mahluk halus lain.

Jenis ini adalah sukma lain atau jenis mahluk halus lain yang bukan (dan tidak dianggap) sebagai leluhur si manusia, biasanya berfungsi sebagai khodam pendamping / khodam ilmu.
Urutan pertama adalah yang berperan sebagai pelindung yang menjaga si manusia (penjagaan gaib).
Urutan kedua adalah berdasarkan peranannya / fungsinya yang sama dengan hierarki status dan kelas gaib keris.
4.  Gaib Keris.

Hierarki status dan kelas gaib keris sebagai pendamping manusia adalah seperti sudah tertulis di atas.
5.  Gaib dari Benda-benda Gaib Lain Selain Keris.

Dalam memberikan tuahnya kepada manusia sosok gaib dari benda-benda gaib selain keris ada yang tampak mendampingi manusia, ada yang tetap berdiam di dalam benda gaibnya masing-masing.
Hierarki status dan kelas gaib-gaib tersebut yang mendampingi manusia adalah sesuai sifat tuah benda gaibnya, yang pertama adalah yang bertuah untuk penjagaan gaib, selebihnya sama dengan hierarki status dan kelas gaib keris.

Dengan demikian urutan status dan kelas sosok halus yang mendampingi manusia adalah sbb:
1. Sukma leluhur si manusia (Qorin Leluhur).‎
2. Sukma lain yang dianggap leluhur si manusia.
3. Sukma lain atau jenis mahluk halus lain sebagai khodam pendamping / khodam ilmu.
4. Gaib Keris.
5. Gaib dari benda-benda gaib lain selain keris.

Di antara jenis yang sama dari sosok-sosok halus tersebut di atas urutannya yang pertama sebagai pendamping manusia adalah yang berperan sebagai sosok pelindung atau yang untuk penjagaan gaib. Urutan berikutnya sama dengan hierarki status dan kelas gaib keris.

Bentuk Penyatuan Keris

Biasanya bila sebuah keris atau sejumlah keris merasa sudah cocok dengan manusia pemiliknya, maka khodam-khodam gaibnya, atau salah satu atau dua khodam gaib keris mewakili khodam-khodam keris yang lain, akan mendampingi dan menyertai si manusia di manapun dia berada, walaupun kerisnya ditinggal di rumah. Dengan demikian, bila diterawang, maka fisik keris itu akan tampak kosong tidak berpenghuni gaib, karena sosok gaibnya tidak berada di dalam kerisnya, tetapi menyatu mendampingi si pemilik keris. Hanya sisa-sisa energi gaibnya saja yang ada pada keris tersebut.

Seringkali kondisi di atas salah ditafsirkan oleh para praktisi kebatinan atau praktisi perkerisan atau oleh orang-orang yang bisa melihat gaib, yang menganggap keris itu tidak berguna, karena tidak menunjukkan kesan angker / wingit dan kosong tidak ada “isi”nya.  Walaupun keris itu kosong tidak berpenghuni gaib, tetapi orang-orang yang tinggi spiritualitasnya dan tajam kebatinannya akan tahu bahwa keris itu berkhodam, karena ada tanda-tanda energi bahwa keris itu berpenghuni gaib, hanya saja mungkin khodamnya sedang tidak berada di dalam kerisnya.

Secara umum ada suatu aturan di alam mahluk halus mengenai tatacara dan perlambang keberadaan suatu sosok mahluk halus dalam mendampingi manusia. Walaupun mungkin tidak selalu persis sama, tetapi dalambanyak hal ada kesamaan cara suatu sosok mahluk halus mendampingi manusia.

Secara umum perlambang posisi keberadaan sosok-sosok gaib sebagai khodam pendamping manusia (selain yang disebut ketempatan mahluk halus) adalah sbb :

Di dalam tubuh manusia, menyamakan posisinya dengan tubuh si manusia, artinya keberadaannya berfungsi sebagai khodam kesaktian, kekuasaan, dan wibawa, atau fungsi lain sesuai pembawaan sifat asli si mahluk gaib, dan akan memberikan tuah apa saja yang diinginkan si manusia. Dalam sehari-harinya sosok itu juga menyatukan kekuatannya dengan si manusia, sama dengan manusia yang ketempatan mahluk halus, kadarnya saja yang lebih rendah, tingkat penyatuannya tidak sebaik yang ketempatan mahluk halus, karena tujuan keberadaan mahluk halus tersebut adalah untuk mendampingi, bukan untuk menyatukan dirinya dengan si manusia.
Di sebelah kanan si manusia, artinya keberadaannya berfungsi sebagai sosok halus yang menjaga si manusia, atau sebagai tangan kanan si manusia (sebagai sosok halus yang diandalkan untuk berbagai keperluan), atau sebagai khodam ilmu yang bersifat penjagaan gaib, kesaktian, kekuatan / wibawa, penaklukkan / penundukkan.
Di sebelah kiri si manusia, artinya keberadaannya berfungsi sebagai sosok halus yang menjaga si manusia, tetapi tidak secara khusus menjaga, lebih banyak bersifat hanya membantu penjagaan, atau berfungsi sebagai khodam ilmu selain yang bersifat penjagaan gaib, kesaktian, kekuatan, kewibawaan, penaklukkan atau penundukkan, seperti untuk pengasihan, membantu kerejekian, keilmuan, spiritualitas, kebijaksanaan, membantu pemecahan masalah, dsb.
Di sebelah depan si manusia, artinya keberadaannya berfungsi mutlak sebagai sosok halus yang menjaga si manusia, artinya setiap ada gangguan / serangan gaib akan lebih dulu berhadapan dengannya.
Di sebelah belakang si manusia, artinya keberadaannya berfungsi sebagai sosok halus yang bersifat menjaga seperti seorang pemomong dan kadangkala membantunya juga jika diperlukan.
Di sebelah atas si manusia (posisinya tepat di atas kepala si manusia), artinya keberadaannya berfungsi sebagai sosok halus yang bersifat menjaga, melindungi, mengayomi (berlaku seperti seorang leluhur yang menaungi dan menjaga anak-cucu keturunannya) dan bisa juga memberikan fungsi-fungsi lain kombinasi dari fungsi no.2 sampai 5 di atas.
Di sebelah depan atas si manusia, artinya keberadaannya berfungsi mutlak sebagai sosok halus yang bersifat menjaga dan melindungi (berlaku seperti seorang leluhur yang menaungi dan menjaga anak-cucu keturunannya).
Di sebelah belakang atas si manusia, artinya keberadaannya berfungsi sebagai sosok halus yang bersifat membantu si manusia, tetapi sifat keberadaannya tidak langsung berfungsi seperti fungsi-fungsi tertentu di atas, lebih banyak bersifat mengawasi dan hanya membantu jika diperlukan sekali bantuannya.
 ‎
Posisi sosok gaib yang berada di atas manusia, yang posisinya tepat di atas kepalanya atau di depannya, memberikan kadar perlindungan yang lebih tinggi daripada sosok gaib yang posisinya berada di bawah. Biasanya yang melakukan itu adalah dari jenis sukma manusia yang berperan sebagai seorang leluhur yang melindungi dan menaungi anak-cucu keturunannya dan memiliki kesaktian gaib yang tinggi, minimal kekuatan gaibnya 100 kali lipatnya kesaktian Ibu Ratu Kidul  (jika kurang dari itu biasanya posisinya di bawah, sama dengan gaib-gaib yang lain).  Dari posisinya di atas, selain bisa memandang dan bisa memberi pengaruh gaib mencakup jarak yang lebih jauh, juga menunjukkan posisi yang bisa dengan jelas dilihat oleh mahluk halus lain sebagai sosok pelindung si manusia.

Posisi sosok gaib keris yang mendampingi manusia posisinya berada di bawah, yaitu antara no.1 sampai 5.

Dengan demikian jika kita, atau orang lain, mempunyai satu atau banyak khodam pendamping, baik asalnya dari keris, benda-benda jimat, khodam ilmu, atau adanya sukma leluhur yang mendampingi, maka dari posisi masing-masing khodam tersebut kita bisa memperkirakan fungsinya.
Atau jika kita sendiri memiliki satu atau banyak khodam pendamping, tidak perlu kita mengatur-atur posisi keberadaan mereka, karena secara alami mereka akan mengatur sendiri posisinya sesuai fungsi dan statusnya masing-masing.

Bila seseorang memiliki beberapa buah keris dan juga memiliki benda-benda gaib lain selain keris atau juga memiliki beberapa khodam pendamping, sebaiknya dilakukan upaya penyatuan dari si manusia supaya masing-masing gaib tersebut dapat berfungsi optimal seperti seharusnya.

Upaya penyatuan dari si manusia haruslah dilakukan satu per satu terhadap sosok-sosok gaib atau benda-benda gaib yang bersamanya dengan cara seperti yang sudah dituliskan mengenai upaya penyatuan manusia dengan kerisnya atau dalam tulisan tentang ilmu tayuh / menayuh keris.

Tetapi bisa juga dicoba untuk melakukannya sekaligus. Kalau kita ingin semua keris-keris dan benda-benda gaib itu memberikan tuahnya kepada kita secara terkoordinasi, maka kita harus mengsugestikannya kepada mereka semua bahwa kita menginginkan supaya mereka semua memberikan tuahnya kepada kita dan supaya tuahnya tidak saling berlawanan, misalnya tuah kewibawaan dan penjagaan gaib supaya tidak berlawanan dengan tuah kerejekian dan pengasihan. Caranya, keris-keris dan benda-benda gaib itu semua dikumpulkan di hadapan anda. Kemudian sampaikan kepada mereka keinginan di atas.

Bentuk penyatuan keris dengan si manusia pemilik keris yang diuraikan di atas adalah bentuk penyatuan keris yang khodam kerisnya keluar dari kerisnya dan mendampingi si manusia pemilik keris (berfungsi sama dengan khodam pendamping). Dengan cara ini si khodam keris akan selalu mendampingi dan menyertai si manusia pemilik keris dimanapun dia berada dan memancarkan hawa aura wibawa, pengasihan, dsb, sesuai sifat tuah keris dan sifat karakter khodamnya. Dengan kondisi pendampingan ini orang yang bisa melihat gaib akan bisa melihat bahwa ada sosok gaib (si khodam keris) yang mendampingi si manusia.

Selain dalam bentuk pendampingan di atas, bentuk menyatunya gaib keris dengan manusia pemiliknya ada juga yang diwujudkan dalam bentuk lain, biasanya dari jenis keris kesaktian, yaitu si gaib keris tetap berada di dalam kerisnya, tidak keluar mendampingi si manusia, tetapi si gaib keris memberikan suatu energi / aura yang melingkupi diri si pemilik keris. Energi / aura yang melingkupi diri si manusia pemilik keris adalah sebagai tanda bahwa manusia itu ada di bawah naungannya, dan sebagai perlindungan gaib supaya tidak ada mahluk halus lain yang mengganggu manusia itu.

Ada jenis-jenis sosok gaib keris (termasuk khodam benda gaib lain) yang tidak menjadi khodam pendamping, yang akan tetap berdiam di dalam kerisnya, tidak keluar mendampingi pemiliknya, tetapi tetap mengawasi si manusia pemilik keris. Walaupun jaraknya berjauhan (misalnya kerisnya ditinggal di rumah sedangkan orangnya sedang pergi ke tempat lain), tetapi dari tempat keberadaannya gaib keris itu memperhatikan si pemilik keris dimanapun dia berada (pengawasan gaib), akan bisa selalu kontak rasa dan batin, bisa memberikan pengaruh gaib terhadap orang-orang di sekitar si manusia pemilik keris (sesuai jenis tuah kerisnya) dan khodam kerisnya bisa datang setiap saat bila diperlukan.

Sebagai tanda bentuk penyatuan keris tersebut dengan manusia pemiliknya adalah adanya energi gaib yang diberikan si gaib keris kepada si manusia pemilik keris. Energi itu bisa dirasakan sebagai kekuatan badan, atau berbentuk aura kewibawaan atau pengasihan, sesuai jenis tuah dan sifat karakter khodam kerisnya.

Energi itu juga menjadi tanda bagi mahluk halus lain bahwa si manusia pemilik keris ada di bawah naungannya. Energi itu juga berfungsi sebagai tanda jejak, sehingga sekalipun si manusia dan kerisnya berjauhan jaraknya, tetapi khodam kerisnya bisa selalu mendeteksi posisi keberadaannya, bisa kontak rasa dan batin, dan bisadatang setiap saat bila diperlukan.

Dari masing-masing bentuk dan tanda penyatuan gaib keris dengan manusia pemiliknya di atas menunjukkan bahwa sebuah keris sudah menyatukan kegaibannya dengan si manusia pemilik keris, hanya saja kadar kekuatan tuah yang diberikan oleh keris seseorang belum tentu selalu sama dengan keris milik orang lain, tergantung pada tingkat penyatuan si manusianya sendiri dengan kerisnya dan kemampuan si manusia dalam mengsugesti kerisnya.

Karena itu jika kita sudah memiliki sebuah keris, sebaiknya kita bisa mengsugestikan penyatuan kita dengan keris kita. Untuk menyatukan keris kita dengan kita bukanlah dengan cara memasukkan khodamnya ke badan kita. Untuk sehari-harinya cukup kita bersugesti “nyambung” dengan kerisnya, ada kontak rasa dan batin, kita bisa mendengarkan suara dan bisikan gaib dari kerisnya, dan bisa merasakan adanya energi gaib kerisnya yang diberikan ke badan kita. Untuk maksud itu tidak diperlukan amalan apapun, hanya perlu sugesti kebersamaan saja antara kita dengan kerisnya dan menyampaikan segala apa yang kita inginkan untuk diberikan oleh keris kita.

Keberadaan pendampingan sosok gaib khodam keris bersama si manusia akan dapat dilihat oleh orang lain yang mampu melihat gaib (yang penglihatan gaibnya cukup tajam) bahwa ada sesosok gaib yang menjaga si manusia tersebut atau mendampinginya, atau ada suatu energi gaib yang menyelimuti diri si manusia. Pendampingan sosok gaib keris tersebut atau aura energinya akan memberikan tuah / manfaat gaib kepada si manusia sesuai sifat tuah kerisnya masing-masing.

Berbeda dengan keris-keris yang umum seperti di atas, keris-keris yang dalam laku pembuatannya ditujukan untuk menjadi lambang kebesaran sebuah kerajaan / kadipaten / kabupaten, tidak menunjukkan keberadaannya mendampingi manusia, tetapi tetap berdiam di dalam kerisnya. Dari tempat keberadaannya, atau sesekali sosok gaibnya keluar dari kerisnya, ia memancarkan suatu aura energi wibawa kekuasaan yang melingkupi suatu area yang luas yang melingkupi wilayah yang harus dinaunginya, sekaligus memusatkan aura energinya pada sosok manusia yang menjadi penguasa wilayah itu.

Tetapi sama halnya dengan keris-keris yang lain, kinerja keris-keris pusaka keraton itu juga tergantung pada kecocokkannya dengan sosok manusianya (sesuai kualitas wahyu kepemimpinannya.

 

Mandau Pusaka Suku Dayak yang Melegenda


Kalimantan adalah salah satu dari 5 pulau besar yang ada di Indonesia. Kalimantan merupakan “daerah asal” suku Dayak. Di kalangan orang Dayak sendiri satu dengan lainnya menumbuh-kembangkan kebudayaan tersendiri. Dengan perkataan lain, kebudayaan yang ditumbuh-kembangkan oleh Dayak-Iban tidak sama persis dengan kebudayaan yang ditumbuh-kembangkan Dayak-Punan dan seterusnya. Namun demikian, satu dengan lainnya mengenal atau memiliki senjata khas Dayak yang disebut sebagai mandau. Dalam kehidupan sehari-hari senjata ini tidak lepas dari pemiliknya. Artinya, kemanapun ia pergi mandau selalu dibawanya karena mandau juga berfungsi sebagai simbol kehormatan dan jatidiri.

Mandau adalah salah satu senjata suku Dayak yang merupakan pusaka turun temurun dan dianggap sebagai barang keramat atau memiliki kesaiktian. Selain itu mandau juga merupakan alat untuk memotong dan menebas tumbuh-tumbuhan dan benda-benda lainnya, karena nyaris sebagian besar kehidupan seharian orang Dayak berada di hutan, maka mandau selalu berada dan diikatkan pada pinggang mereka. Suku Dayak adalah suku yang gemar sekali berpetualang, sehingga untuk memberi kenyamanan dalam perjalanannya seorang putra dayak akan melengkapi dirinya dengan senjata. Salah satu senjata yang pasti dibawa dalam sebuah perantauan adalah mandau.

Senjata Sakti Pusaka Suku Dayak ini ‎dipercayai memiliki tingkat-tingkat kampuhan atau kesaktian. Kesaktian Mandau ini tidak hanya diperoleh dari proses pembuatannya yang melalui ritual-ritual tertentu, tetapi juga diperoleh dari pengayauan (pemenggalan kepala lawan). Semakin banyak orang yang berhasil di-kayau, mandau itu semakin sakti. Sebagian rambut kepala yang berhasil dikayau biasanya digunakan untuk menghias gagang mandaunya. Mereka percaya bahwa roh orang yang mati karena dikayau akan mendiami mandau sehingga mandau tersebut menjadi sakti.

Bilah mandau terbuat dari lempengan besi yang ditempa hingga berbentuk pipih-panjang dan berujung runcing. Salah satu sisi mata bilahnya diasah tajam, sedangkan sisi lainnya dibiarkan sedikit tebal dan tumpul. Beberapa jenis bahan yang dapat digunakan untuk membuat mandau, yaitu: besi montallat, besi matikei, dan besi baja yang diambil dari per mobil, bilah gergaji mesin, cakram kendaraan, dan lain sebagainya. Menurut cerita masyarakat dayak, mandau yang paling baik mutunya adalah yang dibuat dari batu gunung yang dilebur khusus sehingga besinya sangat kuat dan tajam serta hiasannya diberi sentuhan emas, perak, atau tembaga. Mandau jenis ini hanya dibuat oleh orang-orang tertentu.

Sedangkan Gagang atau hulu mandau terbuat dari tanduk rusa yang diukir menyerupai kepala burung. Seluruh permukaan gagangnya diukir dengan berbagai motif seperti: kepala naga, paruh burung, pilin, dan kait. Pada ujung gagang ada pula yang diberi hiasan berupa bulu binatang atau rambut manusia. Bentuk dan ukiran pada gagang mandau ini dapat membedakan tempat asal mandau dibuat, suku, serta status sosial pemiliknya.

Sementara Sarung mandau atau yang biasa disebut kumpang biasanya terbuat dari lempengan kayu tipis. Bagian atas dilapisi tulang berbentuk gelang. Bagian tengah dan bawah dililit dengan anyaman rotan sebagai penguat apitan. Sebagai hiasan, biasanya ditempatkan bulu burung baliang, burung tanyaku, manik-manik dan terkadang juga diselipkan jimat. Selain itu, mandau juga dilengkapi dengan sebilah pisau kecil bersarung kulit yang diikat menempel pada sisi sarung dan tali pinggang dari anyaman rotan.

Jika dicermati secara seksama, di dalam pembuatan mandau, mengandung nilai-nilai yang pada gilirannya dapat dijadikan sebagai acuan dalam kehidupan sehari-hari bagi kehidupan masyarakat. Nilai-nilai itu antara lain: keindahan (seni), ketekunan, ketelitian, dan kesabaran. Nilai keindahan tercermin dari bentuk-bentuk mandau yang dibuat sedemikian rupa, sehingga memancarkan keindahan. Sedangkan, nilai ketekunan, ketelitian, dan kesabaran tercermin dari proses pembuatannya yang memerlukan ketekunan, ketelitian, dan kesabaran. Tanpa nilai-nilai tersebut tidak mungkin akan terwujud sebuah mandau yang indah dan sarat makna.

Tidak banyak yang tahu tentang mandau, selain sebagai senjata tradisional Suku Dayak di Kalimantan, Indonesia. Di dalam kehidupan Orang Dayak, mandau bukan saja sebagai sebuah senjata dari besi semata, namun ia diyakini memiliki aura sebagai pendamping yang disebut panekang hambaruan (pemberi motivasi dan semangat; spirit.

Mandau merupakan senjata utama dari sekitar puluhan jenis senjata tradisional Suku Dayak yang mematikan. Nama asli mandau dalam Bahasa Sangen (Dayak Kuno) adalah Mandau Apang Birang Bitang Ayun Kayau yang artinya kurang lebih secara etimologis adalah “senjata yang dipakai kaum lelaki yang dipunyai oleh kaum kayau/para pemenggal kepala” di zaman dulu. Sebuah mandau tidak digunakan secara sembarangan mengingat fungsionalitasnya dalam setiap upacara adat merupakan salah satu prasyarat. Ia tidak digunakan dalam kehidupan sehari-hari seperti alat untuk memotong kayu, menebas semak dan lain-lain.

Sebagai gantinya, biasanya Suku Dayak mengunakan parang biasa yang bentuknya mirip dengan mandau yang disebut Pisau Ambang. Karena kedudukannya yang tinggi dibandingkan dengan senjata-senjata tradisional suku Dayak lainnya, ia juga tidak dipakai untuk meneror orang, atau mengancam orang lain. Konon, apabila sebilah mandau telah ditarik dari kumpang/sarung-nya, ia akan menuntut darah, dan itu mutlak dipenuhi. Dalam proses pembuatannya, mata mandau diambil dari batu besi dari gunung yang berusia puluhan abad yang dikenal dengan sanaman mantikei. 

Konon menurut cerita turun-temurun, ada dua tempat di Kalimantan Tengah di mana besi tersebut dapat ditemukan, yang pertama di Wilayah Kecamatan Sanaman Mantikei, Kabupaten Katingan; dan kedua, di daerah Montallat, Kabupaten Barito Utara. Besi dari kedua tempat tersebut dikenal pula sebagai besi yang beracun sehingga apabila melukai kulit akan berujung kepada kematian. Melalui proses panjang, sebuah mandau ditempa dan dilengkapi dengan gagang yang terbuat dari tanduk rusa dan diberi ornamen bulu burung atau rambut manusia serta aneka ukiran yang mengandung unsur pelemahan semangat atau penunduk musuh yang dalam Bahasa Dayak Ngaju disebut parunduk.

Begitu pula pada bagian sarungnya, selain dilengkapi tali pengikat dari anyaman rotan pilihan, biasanya diikatkan juga dengan aneka benda fetis yang disebut penyang sangkalemo. Perlengkapan lain yang kecil namun tak kalah penting adalah langgei kuai atau sejenis pisau kecil yang bertangkai sepanjang kurang lebih 20—30cm mengikuti panjang mata mandau. Langgei ini memegang fungsi sebagai senjata cadangan dalam keadaan darurat. Ia memerankan fungsi lebih ‘akrab’, di mana secara fungsionalitas boleh digunakan untuk keperluan yang berkaitan dengan hal-hal biasa (bukan dalam konteks sakral). Pada masa lalu, peran sebuah mandau menjadi sangat vital. Mandau merupakan simbol dari sebuah kekuasaan. Kekuasaan tersebut terkait erat dengan mitologi Dayak bahwa semakin banyak kepala musuh yang dipenggal, maka akan semakin tinggi status sosial seseorang yang disebut sebangai mamut menteng. 

Seseorang yang mamut menteng dapat secara aklamasi menjadi seorang pemimpin. Hal ini bukan tanpa dasar mengingat kegigihannya dalam membela komunitas sukunya agar selamat dari berbagai serangan yang memusnahkan. Namanya juga masih zaman primitif, kegiatan hasang-maasang (saling teror) dan kayau-mangayau (saling bunuh dengan penggal kepala) adalah sebuah pertarungan mempertahankan entitas dan eksistensi. Kesemuanya tidak dilakukan tanpa dasar, melainkan karena persoalan politik kekuasaan dan pertahanan eksistensi dan jatidiri yang terancam.

Seseorang yang sudah cukup ilmu barulah turun ke kancah pertarungan ini dan persoalannya pun bukan persoalan yang ringan, sehingga jalan damai mungkin sudah tidak mendapat kata sepakat lagi. Ada banyak aturan dalam hal peperangan, diantaranya tidak melibatkan anak-anak menjadi korban begitu juga dengan para ibu. Kesemuanya dilakukan secara jantan; satu lawan satu, atau perang terbuka secara massal. 

Dalam kamus peperangan Suku Dayak kuno, tidak ditemui istilah keroyokan atau membunuh dalam keadaan terjepit. Apabila korban sudah menyerah, maka ia akan ditawan sebagai budak/jipen yang akan mengabdi pada pihak yang menang selama hayatnya, kecuali ditebus atau dibeli/ditukar dengan barang berharga berupa guci yang disebut balanga atau benda berharga lainnya. 

Berkaitan dengan fungsi utama sebagai senjata perang di masa lalu, mandau warisan leluhur diyakini suku Dayak sebagai penjelmaan diri sang empunya. Artinya, ia dapat menjelma secara fisik di tengah-tengah peperangan atau sebaliknya, tidak kasat mata (nonvisual) sehingga dikenal dengan “mandau terbang”. Ia bisa dikontrol oleh yang empunya untuk melakukan serangan balasan, jadi hanya bersifat reaktif atas sesuatu yang terjadi. Ia tidak bersifat aktif dan agresif. 

Bagi masyarakat suku Dayak, mandau menyisakan sejuta misteri yang tak terpecahkan hingga kini. Konon di masa lalu sebuah mandau seolah memiliki aura, seolah sesuatu yang dapat dipelihara, disuruh atau tunduk atas kekuasaan pemiliknya. Ia seolah dapat menjadi ‘kawan’ yang sangat patuh dan sangat jarang mencelakai ‘tuannya’.

Hal ini mungkin secara asumtif berkait erat dengan patei-ongoh atau kiprahnya di masa lalu, sehingga semuanya diyakini sebagai “budak yang harus tunduk atas perintah tuannya” atau “kawan setia yang tahu membalas budi”. Mandau juga dapat menjadi sarana pengobatan, misalnya air cucian asahannya dapat mengobati semacam alergi gatal-gatal yang disebut “kalalah” atau “kicas-kihal” (sejenis tulah/kutukan). Dalam konteks kekinian, mandau telah menjadi sebuah pusaka tradisional yang cukup langka. 

Kelangkaan tersebut sangat disayangkan dikarenakan oleh ketiadaan pandai besi yang menurunkan ilmunya kepada generasi setelahnya. Para pemilik mandau warisan leluhur juga dianggap kian berkurang. Sebagian sudah tidak dirawat lagi dan sebagian lain telah berpindah kepemilikannya kepada orang asing dengan berbagai alasan. Salah satunya adalah alasan ekonomi. Biasanya yang memiliki dan merawat benda-benda tradisional adalah para tetua adat atau para basir berkaitan dengan kepemimpinannya pada setiap upacara-upacara adat. Di samping itu, komponen material sebagai bahan utamanya juga sangat sulit ditemukan. 

Alhasil, kalaupun dibuat tiruan/replikanya, mandau masa kini sudah menggunakan besi-besi (atau baja) yang kurang ampuh dan aura kedigdayaannya pun dianggap tidak terlalu istimewa. ‘Mandau-mandau’ tersebut hampir setara dengan pisau ambang (parang laki) dan dijual dengan bebas di toko-toko cinderamata di pinggir-pinggir jalan.


Mandau adalah alat atau senjata ciri khas penduduk asli Kalimantan. Mandau ini dimiliki oleh suku dayak yang ada dipulau Kalimantan. Seorang panglima dari suku dayak, memiliki mandau yang amat sakti bahkan turun-temurun dari nenek moyang mereka. Mandau ini jika sudah lama dan dipelihara, hendaknya harus dibersihkan. Cara membersihkan mandau ini yang memiliki kekuatan magis atau supranatural berbeda dengan mandau yang biasa.

Cara membersihkan mandau:
Mandau biasa.

Cara membersihkan mandau biasa ini hanya dengan menyiramkan air putih, dan dibasuh dengan air sabun serta sabut kelapa atau penggosok lainnya, serta bahan pencuci lainnya, misalnya rinso, backline, dan lain-lainnya.

Mandau keramat atau mandau panglima.

Cara membersihkan mandau panglima yang mempunyai kekuatan magis atau supranatural ini, biasanya dengan menggunakan 7 macam kembang dengan warna; merah, putih, kuning, ungu, dan pink. Setelah itu pada malam Jum’at, sambil bakar kemenyan, sediakan limau nipis, pakaian harus rapi, suasana hening (sepi), atau sunyi, ada mantra-mantra tersendiri, waktunya bulan purnama  tengah malam, air bersih tujuh kali (sungai), sesuai dengan apa yang cocok pada mandau tersebut, apakah 7 kali, atau 3, atau 5 sungai. Setelah semuanya siap, maka bersihkanlah mandau tersebut dengan hati-hati tanpa bicara sedikitpun.

Itulah beberapa cara yang dilakukan oleh masyarakat Kalimantan dalam membersihkan Pusaka mereka dan senjata khas Suku Dayak.‎

 

Rencong Sebagai Simbol Jihad Rakyat Aceh



Rencong (bahasa Aceh: reuncong) adalah senjata tajam tradisional Nanggroe Aceh Darussalam (NAD). Masyarakat Aceh menggunakan senjata ini untuk keperluan sehari-hari, aksesori busana, dan peralatan perang serta alat untuk membela diri.  

Asal-usul

Hampir semua orang Aceh, terutama kaum laki-laki, memiliki rencong. Bahkan, orang Aceh yang berada di perantauan pun banyak yang menyimpan senjata ini, meskipun mungkin jarang atau bahkan tidak pernah digunakan. Bagi mereka, rencong bukan sekadar senjata tapi juga menjadi teman hidup.

Kemunculan rencong dibagi ke dalam dua periode. Pertama, kemunculan berbagai jenis perkakas yang digunakan sehari-hari. Peralatan tersebut juga merupakan peralatan senjata tajam yang meliputi alat perang, kapak, pisau, dan lain-lain. Pembuat peralatan ini disebut pandee beusou. Orang ini umumnya juga membuat senjata tajam berbentuk pendek sejenis pisau yang berfungsi sebagai alat potong.

Kedua, rencong sebagai senjata dalam peperangan. Senjata ini merupakan perkembangan dari pisau yang semula digunakan sebagai alat potong. Pisau dianggap tidak berfungsi efektif dalam peperangan, maka bentuknya diubah sedikit dan berubah menjadi senjata tikam. Keunggulan rencong dibanding peralatan perang lain, semisal pedang, adalah bentuknya yang kecil. Bentuk seperti ini membuat rencong dapat diselipkan di pinggang sehingga tidak diketahui musuh. Rencong digunakan dalam pertarungan jarak dekat.

Sama dengan peralatan dari besi lainnya, rencong pada awal kemunculannya dibuat oleh pandee beusou. Hanya saja orang yang membuat senjata ini adalah pendee beusou yang sudah terampil. Ia harus mampu menciptakan senjata yang ampuh sebagai alat perang serta bentuk yang indah sebagai benda pusaka.

Rencong pertama kali digunakan sebagai senjata perang ketika perang melawan Portugis, yaitu pada masa pemerintahan Sultan Ali Muqhayat Syah pada kurun 1514-1528. Bentuk rencong pada masa itulah yang kemudian menjadi bentuk rencong seperti yang dikenal sekarang ini.

Bentuk rencong menunjukkan hubungan erat senjata ini dengan nuansa Islam. Rangkaian huruf Arab Ba, Sin, dan Lam kemudian menyerupai bentuk kalimat ‎bismillah. Namun, bentuk ini seperti kalimat itu hanya abstrak saja, tidak benar-benar membentuk kalimat itu. Bentuk yang diserupakan dengan kalimat suci itu lalu menjadi dasar bahwa rencong tidak boleh digunakan sembarangan. Senjata ini hanya boleh digunakan untuk kebaikan, atau membela diri, dan berperang di jalan Tuhan (Jihad Fi Sabilillah).

Di zaman dulu rencong menjadi simbol Islam di mana senjata ini berhubungan dengan jihad sebagai perang suci. Oleh karenanya, ketika berperang dengan senjata ini, pengguna akan mendapat kekuatan dari Allah. Selain itu, rencong dikatakan juga mempunyai “ilmu”, yang dapat diartikan sebagai kekuatan yang ada pada rencong tersebut.

Bahan pembuat rencong berbeda tingkatan tergantung siapa pemilik senjata itu. Sarung rencong milik raja atau sultan terbuat dari gading, dan mata pisaunya terbuat dari emas. Pada badan rencong terukir ayat suci Alquran. Sedangkan untuk sarung rencong kebanyakan terbuat dari tanduk kerbau atau kayu, sedangkan badan rencong terbuat dari kuningan atau besi putih.

Bentuk rencong dipengaruhi oleh senjata-senjata di Turki dan anak benua India. Hal ini mengingat hubungan internasional Aceh dengan daerah-daerah di luar negeri sudah lama berlangsung dengan baik. Bentuk rencong mempunyai kemiripan dengan sejenis pedang dari Turki, kilij. Bentuk rencong juga mirip dengan pedang dari Kesultanan Mughal walaupun jauh lebih pendek.

Rencong terdiri dari beberapa jenis, antara lain:

Rencong Meupucok

Ciri rencong meupucok adalah ukiran emas pada gagang bagian atas. Gagang rencong jenis ini terlihat kecil di bagian bawah, kemudian membesar di bagian atasnya. Ukiran pada bagian gagang senjata ini ada bermacam-macam. Ada yang berbentuk kembang daun, mawar, dan berbagai bentuk huruf Arab. Bentuk-bentuk ukiran tersebut tidak menunjukkan maksud atau makna tertentu. Namun, ukiran-ukiran pada gagang senjata ini merupakan ukiran yang disenangi pemiliknya. Bahan ukiran ini juga berbeda antara satu dengan yang lain, ada yang terbuat dari emas murni dan ada pula yang terbuat dari suasa, yaitu bahan campuran emas dan tembaga di mana jumlah tembaga lebih banyak.  

Rencong Meucugek

Rencong meucugek adalah rencong yang menggunakan gagang melengkung 90 derajat (cugek) sehingga membentuk siku-siku. Gagang itu melengkung ke belakang mata rencong sepanjang 8-10 cm. Rencong jenis ini digunakan dalam medan laga pada waktu pertarungan satu lawan satu.

Masyarakat Aceh sudah menggunakan senjata jenis ini sejak peperangan melawan penjajah. Cugek pada senjata ini dimaksudkan untuk lebih memudahkan seseorang untuk menyergap dan menikam lawan dan mencabutnya kembali dengan mudah. Oleh karena itu, fungsi cugek adalah untuk menahan genggaman tangan pada rencong agar tidak terlepas.

Dalam bahasa Indonesia, cugek sering diartikan sebagai “lengkungan”. Jadi, rencong meucugek adalah rencong yang melengkung pada bagian sumbunya. Rencong jenis ini terkenal paling ampuh bagi masyarakat Aceh. Gagang dan sarung rencong meucugek ada yang terbuat dari gading ada pula yang terbuat dari tanduk kerbau.    

Rencong Meukuree

Ciri yang menonjol dari rencong meukuree adalah tanda yang terdapat pada mata rencong. Tanda bisa berbentuk bunga, ular, lipan, akar kayu, atau daun. Gambar-gambar tersebut muncul secara tidak sengaja ketika rencong ditempa, yang oleh pembuatnya disebut kuree, maka dari itu rencong tersebut dikenal dengan nama ‎rencong meukuree.

Pandai besi pembuat rencong menafsirkan kemunculan gambar itu dengan kekuatan dan keistimewaannya. Semakin lama rencong itu disimpan, kuree-nya akan semakin bertambah sehingga nilai rencong semakin tinggi. Tingginya kekuatan pada sebuah rencong dipercaya menambah kekuatan magis pemilik rencong itu.

Rencong Pudoi

Pudoi berarti tidak sempurna atau setengah. Ketidaksempurnaan ini terdapat pada tidak adanya gagang pada rencong tersebut dan karena itulah rencong ini dinamakan ‎rencong pudoi. adapun riwayat rencong pudoi sebagai berikut:

Setelah Perang Aceh sekitar tahun 1904, orang-orang Aceh masih sering menyelipkan rencong di pinggang di balik baju mereka, biasanya jenis meuceugek atau meucangee. Padahal pemerintah kolonial Belanda menetapkan peraturan orang Aceh tidak boleh memakai rencong pada saat bepergian. Larangan itu bertentangan dengan tradisi Aceh yang menganggap rencong sebagai perhiasan dan alat membela diri sewaktu-waktu.

Dengan adanya peraturan itu, masyarakat Aceh kemudian mencari cara untuk mengelabuhi Belanda. Caranya adalah dengan mengubah bentuk gagang yang biasanya menyembul dari balik pakaian menjadi bentuk rencong pudoi. Orang Aceh membawa rencong dengan menyembunyikannya di bawah kain sarung atau celana panjang sehingga tidak terlihat.

Bagian-bagian Rencong

Hulu Rencong

Hulu rencong disebut juga gagang rencong, yaitu tempat untuk menggenggam senjata tersebut. Dalam bahasa Aceh, hulu rencong disebut goo. Bagian ini sangat diperhatikan oleh pengguna, terutama pada keindahan dan kekuatannya, sehingga bahan yang kuat pun diperlukan untuk membuat hulu rencong, misalnya tanduk atau gading. Hulu rencong terbuat dari gading dan tanduk kerbau atau sapi yang sudah cukup tua.

Meskipun kuat, kayu tidak pernah dipakai untuk membuat hulu rencong karena justru akan menurunkan kredibilitas pemiliknya. Kalau rencong menggunakan hulu dari kayu, maka senjata ini tidak berbeda dengan senjata tajam biasa.

Tingkatan masyarakat atas (kaum bangsawan) umumnya memakai rencong meupucok, yakni rencong yang dibungkus dengan perhiasan emas pada gagangnya. Pada zaman dahulu, kaum bangsawan Aceh sering menggunakan rencong meucugeek. Rencong ini gagangnya terbuat dari gading gajah dan kadang-kadang dihiasi dengan perhiasan pada sumbunya. Sedangkan masyarakat umum menggunakan rencong yang gagangnya dibuat dari tanduk yang sudah diulas licin, sehingga mutunya tidak kalah dengan rencong yang sumbunya terbuat dari gading atau bergagang pucok.

Ukiran Rencong

Hulu dan batang rencong umumnya diukir dengan bentuk-bentuk hiasan tertentu, namun tidak ada syarat tertentu pada macam jenis ukiran. Pemilik rencong bebas memilih bentuk ukiran yang mereka sukai karena ukiran-ukiran ini tidak mempunyai makna tertentu. Beberapa bentuk ukiran pada rencong di antaranya adalah kalimat syahadat, bentuk daun, bunga, bintang, bulan, atau matahari. Bentuk-bentuk ini hanya menonjolkan estetika semata dan tidak mengandung unsur magis.

Perut Rencong

Perut rencong adalah bagian rencong yang terdapat di bagian tengah mata rencong. Perut rencong merupakan bagian mata rencong yang lebih lebar dibanding ujung dan pangkal rencong. Fungsi perut rencong adalah untuk membelah. Lengkung rencong ini memberi batas tertentu yang berfungsi sebagai pengendali gagang atau sebagai alat untuk menekan.

Bagian perut rencong yang digunakan dalam perang akan digosok dengan racun. Selain bagian perut, bagian lain yang digosok dengan racun adalah bagian mata atau ujung rencong.

Ujung Rencong

Ujung rencong merupakan bagian rencong yang tajam. Bagian ini menentukan keampuhan sebuah rencong: rencong akan semakin ampuh kalau ujungnya semakin tajam. Bagian ujung rencong bukan hanya bagian ujung rencong saja, namun termasuk juga bagian pangkal perut rencong.  

Batang Rencong

Batang rencong (bak rincong) adalah mata rencong yang pertama setelah tenggorokan atau leher rencong. Batang rencong merupakan tumpuan kekuatan sebuah rencong. Bagian ini lebih tebal dan kuat dibandingkan dengan perut dan ujung rencong karena rencong adalah senjata tikam. Jika dibandingkan rencong dengan jenis senjata tikam lain, misalnya keris Jawa, maka akan terdapat beberapa perbedaan. Misalnya, bentuk keris Jawa berkelok-kelok dan membentuk lekukan-lekukan dengan jumlah tertentu, sedangkan rencong mempunyai bentuk tertentu yang kombinasi bentuk tersebut dapat dibayangkan membentuk kalimat basmalah. Hal tersebut tampaknya sesuai dengan budaya masyarakat Aceh yang kental dengan nuansa Islam.

Fungsi Rencong

Rencong mempunyai beberapa fungsi dalam masyarakat Aceh seiring dengan perkembangan waktu. Pada awalnya, rencong hanya digunakan sebagai senjata untuk membela diri, namun kemudian, rencong mempunyai fungsi yang luas. Beberapa fungsi rencong adalah:

Sebagai Senjata

Fungsi utama rencong adalah sebagai senjata yang digunakan dalam berbagai peperangan dalam menghadapi musuh. Rencong menjadi senjata andalan ketika Belanda menyerang Aceh. Namun, sebenarnya masyarakat Aceh telah mengenal rencong sejak masa Kerajaan Samudra Pasai abad 13M.

Sebagai Aksesoris

Seiring dengan perkembangan menuju zaman modern, rencong pun mulai meluas fungsinya. Senjata ini juga menjadi alat perhiasan sehari-hari kaum pria Aceh. Rencong disisipkan di pinggang sebagai pelengkap pakaian adat Aceh untuk kaum laki-laki. Dalam kehidupan sehari-hari, kaum laki-laki di Aceh membawa rencong ketika bepergian. Selain itu, rencong dipakai sebagai peralatan tambahan dalam kesenian, terutama Tari Seudati dan Tari Ratoh. Para penari menyelipkan rencong di pinggang mereka, yang kemudian diikat dengan selendang berwarna merah atau hijau.

Sebagai Peralatan Sehari-hari

Dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Aceh kadang menggunakan rencong sebagai perkakas pengganti alat-alat pembuat lubang. Fungsi ini terutama pada zaman dahulu masyarakat Aceh menggunakan pelepah rumbia sebagai dinding rumah. Untuk menyatukan pelepah-pelepah rumbia, orang Aceh menggunakan rencong sebagai alat membuat lubang. Ini berlangsung sampai pada awal-awal masa kemerdekaan terutama di daerah pedesaan.  

Nilai-nilai dalam Rencong

Sebagai senjata tradisional rencong mengandung nilai-nilai yang dapat dikembangkan, baik masyarakat Aceh maupun bagi masyarakat yang lain. Beberapa nilai yang terkandung dalam senjata rencong adalah.

Nilai Tradisi

Rencong merupakan senjata tradisional yang menjadi kebanggaan masyarakat Aceh. Senjata ini bukan hanya peralatan dalam peperangan, namun juga aksesoris dalam pakaian adat. Senjata ini bahkan menjadi “harta” keluarga yang diwariskan secara turun-temurun. Semakin tua umur senjata ini, semakin tinggi pula nilainya di mata masyarakat Aceh.

Nilai Seni

Rencong merupakan salah satu karya seni masyarakat Aceh. Melalui senjata ini para ahli pembuat senjata menuangkan ide kreatifnya dalam berbagai bentuk ukiran, hiasan, dan tempaan. Rencong juga mempunyai berbagai bentuk yang bermacam-macam sehingga para pembuat rencong dapat memaksimalkan kemampuan mereka untuk membuat senjata ini.

Nilai Sejarah

Orang Aceh telah menggunakan rencong sebagai senjata sejak masa kerajaan. Senjata ini digunakan untuk menghadapi serangan-serangan dari luar Aceh. Kemudian senjata ini digunakan untuk menghadapi penjajah. Dari fakta ini terlihat bahwa rencong erat kaitannya dengan perkembangan masyarakat dan sejarah perjuangan masyarakat Aceh. 

Rencong merupakan warisan pusaka tradisional yang menjadi kekayaan tradisi Aceh. Bagi masyarakat Aceh, rencong merupakan kekayaan yang tak ternilai harganya. Sebagai cara untuk melestarikan senjata ini, masyarakat Aceh saat ini menggunakan rencong sebagai souvenir. Sebagian masyarakat Aceh lainnya mewariskan rencong sebagai pusaka keluarga.  

Dan tidak benar jika ada yang menulis bahwa Rencong pertama kalinya berawal dari Keris hadiah dari Sultan Agung Mataram pada Sultan Aceh yang dengan kalimah (pusoko puniko mugi dados Rencang) kata Rencang yang akhirnya menjadi Rencong. 

Rencong adalah senjata Khas Aceh yang sangat tinggi nilainya dan begitu melekat pada masyarakat Aceh sebagai simbol Keimanan dan Perjuangan dalam kehidupan.

 

Doa Nabi Sulaiman Menundukkan Hewan dan Jin

  Nabiyullah Sulaiman  'alaihissalam  (AS) merupakan Nabi dan Rasul pilihan Allah Ta'ala yang dikaruniai kerajaan yang tidak dimilik...