Minggu, 29 November 2020

Penjelasan Tentang Ilham Dan Ladduni


Apakah itu ilmu ILHAM / Laduni? Ilmu Ilham/laduni adalah ilmu yang membawa pengertian atau makna yang baru kepada syariat, bukan membawa syariat baru. Ilmu laduni atau ilmu ilham ialah ilmu yang Allah jatuhkan ke dalam hati para wali-wali-Nya, TANPA melalui proses usaha ikhtiar atau hasil mendengar kuliah dari guru atau hasil berfikir.

Ilmu ini terjatuh langsung ke dalam hati. Yang mana bila dikaji atau diuraikan, akan jadi satu ilmu atau satu uraian yang sangat ilmiah. Artinya ilmu ini menjadi suatu ilmu yang sangat bermanfaat. Ilmu yang didapati itu tepat, meyakinkan, masuk akal, memberi kepuasan serta tidak meletihkan otak.

Berbeda dengan ilmu hasil belajar, membaca, berfikir atau mengkaji yang cepat menjemukan. Kadang-kadang ilmu kajian ini tidak tepat, tidak meyakinkan atau tidak masuk akal dan meletihkan. Untuk mendapatkannya perlu proses waktu yang lama. Artinya hasil membaca, berfikir setelah faham baru dapat ilmu.

Kalau begitu, ilmu laduni atau ilmu ilham bukan membawa syariat yang baru. Ilmu laduni membawa makna atau tafsiran yang baru, yang sesuai dijadikan tindakan dan penyelesai masalah untuk zamannya atau makna yang tertentu, khusus untuk orang itu.

Mengapa ilmu ilham atau ilmu laduni ini dikatakan sebagai penyelesai masalah sesuai dengan zamannya dan bukan untuk seluruh zaman? Kalau saya hendak misalkan ilmu Allah itu yakni ilmu Al Quran atau Sunnah Rasul, yang maha luas dan tidak berkesudahan itu diibaratkan sebagai khazanah lautan, setiap orang yang mencari khazanah lautan itu insya-Allah dapat sesuatu yang bermanfaat untuk dirinya dan juga untuk orang lain.

Jadi, orang yang dikurniakan ilmu laduni atau ilmu ilham ini adalah orang yang mendapat khazanah dari lautan ilmu Allah. Ada macam-macam ilmu dan setiap sesuatu ilmu itu mempunyai banyak pengertian dan tafsirannya. Jadi Allah memberi pengertian dan tafsiran masing-masing ayat sesuai pada seseorang itu untuk menyelesaikan masalah di zamannya.

Ilham, disebut juga intuisi atau inspirasi. Adalah bisikan hati, berupa pengetahuan yang diberikan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala kepada hambaNya, baik kepada Rasulullah n maupun selainnya. Ilham sering dianggap oleh orang awam sebagai sebuah wangsit untuk melakukan sesuatu atau meninggalkannya. Sedemikian berharganya ilham atau wangsit tersebut, sehingga tidak jarang orang mengeluarkan biaya yang tidak terhingga, atau melakukan aktivitas dan ritual yang bermacam-macam untuk bisa mendapatkannya. 

Bagaimana kedudukan ilham dalam Islam? Bisakah dijadikan hujjah atau dalil dalam beramal? Bagaimana membedakannya dengan yang lainnya? Berikut akan dibahas dalam tulisan ini. 

ILHAM BAGI PARA NABI DAN RASUL ‎

Ilham bagi para nabi dan rasul adalah wahyu, sebagaimana firman Allah.

وَمَاكَانَ لِبَشَرٍ أَن يُكَلِّمَهُ اللهُ إِلاَّ وَحْيًا أَوْ مِن وَرَآئِ حِجَابٍ أَوْ يُرْسِلَ رَسُولاً فَيُوحِيَ بِإِذْنِهِ مَايَشَآءُ إِنَّهُ عَلِىٌّ حَكِيمٌ

Dan tidak ada bagi seorang manusiapun bahwa Allah berkata-kata dengan dia kecuali dengan perantaraan wahyu atau di belakang tabir atau dengan mengutus seorang utusan (malaikat) lalu diwahyukan kepadanya dengan seizinNya apa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha Tinggi lagi Maha Bijaksana. [Asy Syura:51].

Mujahid dalam menafsirkan ayat di atas berkata,”Membisikkan di hatinya berupa ilham dariNya, sebagaimana diilhamkan kepada ibu Musa dan Nabi Ibrahim untuk menyembelih puteranya. Imam Nawawi berkata, yang dimaksud dengan wahyu pada ayat tersebut menurut jumhur ulama adalah ilham dan mimpi ketika tidur, dan keduanya disebut wahyu. [Syarah Shahih Muslim, III/6]. 

Sebagaimana wahyu, ilham diterima oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dengan perantaraan Malaikat. Beliau mendapatkan sesuatu di hatinya, tanpa mendengar suara Malaikat, sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Jabir bin Abdullah, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

إِنَّ رُوْحَ الْقُدْسِ نَفَثَ فِي رَوْعِي إِنَّ نَفْساً لَنْ تَمُوْتَ حَتَّى تَسْتَوْفِيَ رِزْقَهَا فَاتَّقُوْا اللهَ وَأَجْمِلُوْا فِي الطَّلَبِ 

Sesungguhnya Ruhulqudus (Jibril) membisikkan di hatiku, bahwasanya sebuah jiwa tidak akan mati kecuali setelah disempurnakan rizkinya dan ajalnya. Dan bertakwalah kepada Allah dan baiklah dalam berdo’a. [HR Ibnu Hibban dan Hakim, dan di-shahihkan oleh Syaikh Albani dalam Fiqh Sirah Al Ghazali, hal. 91-92]. 

Bisa juga ilham diterima langsung oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dari Allah Subhanahu wa Ta'ala, ketika Beliau dalam keadaan tidur, sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Abbas, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,”Saya bangun pada suatu malam dan shalat semampu saya, kemudian saya mengantuk dan merasa berat. Tiba-tiba Rabb-ku dalam bentuk yang sebaik-baiknya dan berfirman: Wahai Muhammad, tahukah kamu tentang apa para malaikat itu berdebat? [HR Tirmidzi, dan di-shahihkan oleh Al Bani, Irwa’ 683].

Hadits ini menegaskan, bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menerima ilham dalam tidurnya tanpa perantaraan Malaikat. Karena itu bukan termasuk wahyu dari balik tabir yang hanya terjadi ketika terjaga, seperti ketika Allah Subhanahu wa Ta'ala berbicara dengan Nabi Musa atau dengan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pada malam mi’raj. Dan yang dilihat oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam tidur tersebut, bukanlah Malaikat. Karena beliau sendiri mengatakan melihat Tuhannya, sehingga tidak mungkin dianggap wahyu dalam mimpi lewat Malaikat. Dengan demikian, maka jelaslah yang diterima oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah ilham secara langsung.

Ada perbedaan antara wahyu yang berupa kalam (pembicaraan) dengan wahyu yang berupa ilham. 

Wahyu berupa kalam harus dengan suara yang bisa didengar baik secara langsung dari Allah Subhanahu wa Ta'ala atau lewat Malaikat, atau seperti gemercingan lonceng yang terkadang bisa didengar oleh para sahabat. Wahyu berupa kalam, juga hanya bisa terjadi ketika terjaga. Karena seorang yang tidur tidak bisa mendengar dan memahami suara.

Adapun wahyu berupa ilham hanya berupa perasaan dalam hati Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam yang tidak disyaratkan harus ada suara yang didengar. Ini bisa terjadi pada saat terjaga atau ketika tertidur. Karena seseorang bisa saja memahami apa yang pernah terjadi dalam mimpinya ketika tidur. Itulah sebabnya, mimpi seorang nabi juga termasuk wahyu yang harus diterima dan diamalkan sebagaimana yang dilakukan oleh Ibrahim, ketika bermimpi menyembelih puteranya. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman: Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata,"Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi, bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!" Ia menjawab,"Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar." Tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipis(nya), (nyatalah kesabaran keduanya) Dan Kami panggillah dia: Hai Ibrahim, sesungguhnya kamu telah membenarkan mimpi itu; sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata. [Ash Shaffat:102-106]

Ibnu Abi Ashim dalam kitabnya, As Sunnah I/ 202 menyebutkan perkataan Ibnu Abbas bahwa,”Mimpi para nabi termasuk wahyu.” Ubaid bin Umar juga berkata demikian, kemudian membaca firman Allah Subhanahu wa Ta'ala, “Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi, bahwa aku menyembelihmu.” [HR Bukhari]. 

Ibnu Hajar berkata,”Fokus pengambilan dalil dari ayat tersebut, bahwa mimpi para nabi termasuk wahyu. Karena, kalau itu bukan wahyu, maka tidak boleh dan tidak mungkin Nabi Ibrahim menyembelih puteranya.” [Fathul Bari, 1/239]. 

Abdullah bin Mas’ud menambahkan, bahwa yang pertama diterima oleh Rasulullah n sebelum wahyu adalah mimpi ketika tertidur, sebagai persiapan bagi hatinya untuk menerima wahyu yang akan diturunkan kepadanya ketika terjaga, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Aisyah, Beliau berkata,”Yang pertama kali menjadi permulaan wahyu kepada Rasulullah adalah mimpi yang baik ketika tidur. Beliau tidak bermimpi kecuali datang seperti cahaya shubuh.” [HR Bukhari]. 

Dengan demikian maka disepakati, bahwa mimpi para nabi adalah wahyu. Dan ilham yang bisa terjadi ketika tidur, juga termasuk wahyu dari Allah Subhanahu wa Ta'ala . 

ILHAM UNTUK SELAIN NABI 
 
Selain Nabi bisa juga mendapatkan ilham, baik ketika sadar ataupun lewat mimpi. Dalil yang menunjukkan kemungkinan selain Nabi mendapatkan ilham, diantaranya sebagai berikut: 

1. Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.”Hai orang-orang beriman, jika kamu bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan memberikan kepadamu furqaan dan menghapuskan segala kesalahan-kesalahan dan mengampuni (dosa-dosa)mu. Dan Allah mempunyai karunia yang besar. [Al Anfal:29].

Syaikh Muhammad Amin Al Syinqithi dalam menafsirkan ayat ini berkata,”Ini menunjukkan, bahwa yang dimaksud dengan al furqan dalam ayat ini adalah ilmu (pengetahuan) yang bisa membedakan antara yang hak dan batil, sebagaimana firman Allah,“Hai orang-orang yang beriman (kepada para rasul), bertaqwalah kepada Allah dan berimanlah kepada RasulNya, niscaya Allah memberikan rahmatNya kepadamu dua bagian, dan menjadikan untukmu cahaya yang dengan cahaya itu kamu dapat berjalan dan Dia mengampuni kamu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS Al Hadid:28). 
Firman Allah: dan menjadikan untukmu cahaya yang dengan cahaya itu kamu dapat berjalan. Dan dengan itulah bisa membedakan antara yang hak dan batil. [Adhwa’ Al Bayan, 4/349]. 

Dalam ayat ini Allah Subhanahu wa Ta'ala menjanjikan kepada siapa saja yang bertakwa kepadaNya akan diberikan al furqan. Orang yang telah mendapatkan al furqan dari Allah, pasti memiliki ilmu dan petunjuk yang tidak dimiliki oleh orang lain. Karena al furqan tersebut hanya dikhususkan kepada siapa saja yang takut kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala. Merupakan pemberian Allah Subhanahu wa Ta'ala yang tidak bisa dicari dan dipelajari.

Banyak hadits-hadits yang menjelaskan dan menjabarkan makna al furqan tersebut. Diantaranya hadits yang diriwayatkan oleh Abi Malik Al Anshari, Rasulullah n bersabda,”Shalat sebagai nur, shadaqah sebagai bukti, kesabaran sebagai cahaya, Al Qur’an sebagai hujjah bagimu atau atasmu. [HR.Muslim]. 

Maksudnya barangsiapa yang diberi Allah berupa: nur, cahaya, dan burhan, maka ia telah menerima al furqan. Yang dengannya, ia bisa membedakan antara yang hak dan yang batil. Kemampuan seperti ini juga termasuk ilham dari Allah Subhanahu wa Ta'ala.

Juga hadits tentang waliyullah yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah Rasulullah  bersabda.

إِنَّ اللَّهَ قَالَ مَنْ عَادَى لِي وَلِيًّا فَقَدْ آذَنْتُهُ بِالْحَرْبِ وَمَا تَقَرَّبَ إِلَيَّ عَبْدِي بِشَيْءٍ أَحَبَّ إِلَيَّ مِمَّا افْتَرَضْتُ عَلَيْهِ وَمَا يَزَالُ عَبْدِي يَتَقَرَّبُ إِلَيَّ بِالنَّوَافِلِ حَتَّى أُحِبَّهُ فَإِذَا أَحْبَبْتُهُ كُنْتُ سَمْعَهُ الَّذِي يَسْمَعُ بِهِ وَبَصَرَهُ الَّذِي يُبْصِرُ بِهِ وَيَدَهُ الَّتِي يَبْطِشُ بِهَا وَرِجْلَهُ الَّتِي يَمْشِي بِهَا وَإِنْ سَأَلَنِي لَأُعْطِيَنَّهُ وَلَئِنِ اسْتَعَاذَنِي لَأُعِيذَنَّهُ ) صحيح البخاري, كتاب الرقاق باب التواضع رقم الحديث :6137 الجزء :5 الصفحة :2384

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman,”Barangsiapa yang memusuhi waliKu, maka Kuizinkan ia diperangi. Tidaklah hambaKu mendekatkan diri kepadaKu dengan suatu amal lebih Aku sukai daripada jika ia mengerjakan amal yang Aku wajibkan kepadanya. HambaKu senantiasa mendekatkan diri kepadaKu dengan amalan-amalan sunnah hingga Aku mencintainya. Apabila Aku telah mencintainya, Aku menjadi pendengaran yang ia mendengar dengannya, menjadi penglihatan yang ia melihat dengannya, menjadi tangan yang ia memegang dengannya, sebagai kaki yang ia berjalan dengannya. Jika ia meminta kepadaKu pasti Aku beri, dan jika ia minta perlindungan kepadaKu pasti Aku lindungi. [HR.Bukhari]. 

Ibnu Hajar Al Asqalani menjelaskan, bahwa yang dimaksud dengan “Allah Subhanahu wa Ta'ala sebagai telinga, mata dan kaki” pada hadits ini ialah; Pertama, Aku (Allah) yang menjadikan pendengaran dan pandangannya menjadi mencintai ketaatanKu dan lebih mendahulukan beribadah kepadaKu. Kedua, semua anggotanya akan sibuk denganKu, dia tidak mendengarkan sesuatu kecuai apa yang Aku ridhai, dan tidak memalingkan pandangannya kecuali untuk apa yang Aku perintahkan. Ketiga, Aku akan memenuhi semua keinginannya yang dicapai lewat pendengaran dan penglihatannya. Keempat, Aku yang akan menolongnya pada pendengaran, penglihatan dan kakinya dalam menghadapi musuhnya. Kelima, Aku akan menjaga pendengaranya sehingga tidak akan mendengar sesuatu, kecuali apa yang Aku perbolehkan untuk mendengarnya. Keenam, mereka tidak mendengar kecuali namaKu, tidak melihat kecuali ayat-ayatKu. Kedua makna ini yang menjadi pendapat Al Fakihani dan Ibnu Hubairah. Ketujuh, menunjukkan cepatnya terkabul do’anya dan berhasil usahanya. Ini disebutkan oleh Al Khaththabi. Semua makna ini tidaklah bertentangan. [Fathul Bari, Juz 14/128-129]. 
Karena pada intinya -dengan ketaatannya- seorang hamba akan mendapatkan ilham berupa “Allah akan menjadi telinga, mata dan kaki” dengan makna yang tersebut di atas. 

2. Hadits yang menjelaskan tentang fadhilah Umar bin Khattab, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

قَدْ كَانَ يَكُونُ فِي الْأُمَمِ قَبْلَكُمْ مُحَدَّثُونَ فَإِنْ يَكُنْ فِي أُمَّتِي مِنْهُمْ أَحَدٌ فَإِنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ مِنْهُمْ قَالَ ابْنُ وَهْبٍ تَفْسِيرُ مُحَدَّثُونَ مُلْهَمُونَ 

Sesungguhnya telah ada pada umat-umat sebelummu muhaddatsun, dan kalau ada pada umatku seorang darinya, maka Umar bin Al Khattab adalah orangnya. 
Ibnu Wahb berkata: makna muhaddatsun adalah mulhamun (orang yang mendapatkan ilham). [HR.Muslim]

Ibnu Hajar dalam menafsirkan kata al muhaddats, berkata: al muhaddats dengan fathah dal-nya, yaitu seorang yang benar persangkaannya. Yaitu orang yang dicampakkan pada hatinya sesuatu dari Malaikat. Maka seakan-akan ada orang lain yang memberitahukannya. Sebagaian menafsirkan al muhaddats dengan mukallam, yaitu orang yang dilawan bicara oleh Malaikat yang bukan nabi. Atau pembicaraan dalam hatinya sekalipun dia tidak melihat Malaikat yang berbicara dengannya. Dalam Musnad Al Humaidi disebutkan, bahwa al muhaddats adalah orang yang diilhami kebaikan di dalam hatinya. Dalam riwayat Tirmidzi dari Ibnu Uyainah, mengatakan: yang dimaksud dengan al muhaddats adalah al mufahhamun (orang-orang yang diberi kepahaman). [Fathul Bari, 7/50].

3. Dari Nawwas bin Sam’an, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, 

إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ ضَرَبَ مَثَلًا صِرَاطًا مُسْتَقِيمًا عَلَى كَنَفَيِ الصِّرَاطِ سُوْرَانِ لَهُمَا أَبْوَابٌ مُفَتَّحَةٌ وَعَلَى الْأَبْوَابِ سُتُورٌ وَدَاعٍ يَدْعُو عَلَى رَأْسِ الصِّرَاطِ وَدَاعٍ يَدْعُو مِنْ فَوْقِهِ ( وَاللَّهُ يَدْعُو إِلَى دَارِ السَّلَامِ وَيَهْدِي مَنْ يَشَاءُ إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ ) فَالْأَبْوَابُ الَّتِي عَلَى كَنَفَيِ الصِّرَاطِ حُدُودُ اللَّهِ لَا يَقَعُ أَحَدٌ فِي حُدُودِ اللَّهِ حَتَّى يُكْشَفَ سِتْرُ اللَّهِ وَالَّذِي يَدْعُو مِنْ فَوْقِهِ وَاعِظُ رَبِّهِ عَزَّ وَجَلَّ *

Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta'ala membuat perumpamaan dengan shirath yang lurus. Di sampingnya ada dua tembok yang mempunyai pintu terbuka. Dan di setiap pintu ada tirai dan penyeru yang mengajak kepada ujung shirat dan penyeru di atasnya. Dan Allah Subhanahu wa Ta'ala mengajak ke Daar Al Salam dan memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki. Pintu-pintu yang ada di samping shirath adalah hududullah (larangan-larangan) Allah Subhanahu wa Ta'ala. Dan tidak ada seorangpun yang jatuh kepada larangan Allah Subhanahu wa Ta'ala sehingga membuka tirai. Dan penyeru yang ada di atasnya adalah peringatan Rabbnya Azza wa Jalla. [HR Ahmad, Tirmidzi dan Hakim, ia berkata shahih ‘ala syarti Muslim; Imam Al Albani dalam kitab As Sunnah; Ibnu Abi Ashim hal.14-15]. 

Ibnu al-Qayyim berkata; yang dimaksud dengan al waiz (peringatan) Allah Subhanahu wa Ta'ala ialah ilham yang ada dalam hati seorang muslim, diberikan Allah Subhanahu wa Ta'ala lewat perantaraan Malaikat. [Madarij Al Salikin, 1/46]. 

4. Sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam kepada para sahabat yang membenarkan mimpi mereka tentang lailatul qadar. Sebagaimana diriwayatkan oleh Abdullah bin Umar, bahwa ada seorang sahabat yang melihat lailatul qadar ketika tidur pada malam duapuluh tujuh terakhir. Maka Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

أَرَى رُؤْيَاكُمْ قَدْ تَوَاطَأَتْ فِي السَّبْعِ الْأَوَاخِرِ فَمَنْ كَانَ مُتَحَرِّيهَا فَلْيَتَحَرَّهَا فِي السَّبْعِ الْأَوَاخِرِ 

Saya melihat seperti mimpimu telah ada pada tujuh terakhir. Barangsiapa yang ingin mencarinya, maka hendaknya dicari pada malam ketujuh terakhir. [HR Bukhari]

Seperti ini juga yang terjadi pada kisah permulaan azdan. Yaitu Abdullah bin Dzaid diajari tata cara adzan lewat mimpinya. Ketika memberitahukannya kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, Beliau bersabda.

إِنَّهَا لَرُؤْيَا حَقٌّ إِنْ شَاءَ اللَّهُ فَقُمْ مَعَ بِلَالٍ فَأَلْقِ عَلَيْهِ مَا رَأَيْتَ فَلْيُؤَذِّنْ بِهِ فَإِنَّهُ أَنْدَى صَوْتًا مِنْكَ فَقُمْتُ مَعَ بِلَالٍ فَجَعَلْتُ أُلْقِيهِ عَلَيْهِ وَيُؤَذِّنُ بِهِ قَالَ فَسَمِعَ ذَلِكَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ وَهُوَ فِي بَيْتِهِ فَخَرَجَ يَجُرُّ رِدَاءَهُ وَيَقُولُ وَالَّذِي بَعَثَكَ بِالْحَقِّ يَا رَسُولَ اللَّهِ لَقَدْ رَأَيْتُ مِثْلَ مَا رَأَى فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلِلَّهِ الْحَمْدُ 

Sesungguhnya itu benar-benar mimpi yang baik Insya Allah Subhanahu wa Ta'ala. Pergilah kepada Bilal dan ajarkanlah apa yang anda lihat, dan adzanlah dengannya, karena dia lebih keras suaranya darimu. Umar mendengar yang demikian itu di rumahnya, kemudian keluar dengan mengulur selendangnya dan berkata,”Demi Yang mengutusmu dengan kebenaran, wahai Rasulullah. Saya pernah bermimpi seperti mimpinya.” Rasulullah n bersabda,”Segala puji bagi Allah.“ [HR Abu Daud, Ibnu Khuzaimah dan dia menshahihkannya].

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam membenarkan mimpi para sahabat tersebut, sehingga ia bisa dijadikan hujjah, Seandainya Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak membenarkannya maka mimpi selain Nabi tidak bisa dijadikan dalil. 

5. Hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

رُؤْيَا الْمُؤْمِنِ جُزْءٌ مِنْ سِتَّةٍ وَأَرْبَعِينَ جُزْءًا مِنَ النُّبُوَّةِ 

Mimpi seorang mukmin adalah empat puluh enam bagian dari kenabian. [HR Bukhari]. 

Sebagian ulama mengatakan penisbatan mimpi kepada kenabian bukan dengan hakikatnya. Karena yang demikian akan mengurangi kredibilitas kenabian. Mimpi bukanlah bagian dari kenabian, kecuali kepada Nabi. [Fath, 10/60]

Namun yang dimaksud dengan al nubuwah di sini adalah al wahyu secara umum. Rasulullah menyebutkan mimpi semua mukmin dan tidak menghususkannya hanya kepada seorang Nabi. Mimpi merupakan bagian dari wahyu secara umum. Namun seseorang tidak akan menjadi nabi hanya sekedar bermimpi baik tersebut. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam sendiri, sebelum diturunkan Al Qur’an banyak bermimpi yang baik, namun Beliau belum diangkat sebagai nabi kecuali setelah diturunkannya Al Qur’an sebagai wahyu yang pertama. 

Imam Al Aini berkata,”Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mulai mendapatkan mimpi yang baik agar tidak dikejutkan oleh datangnya Malaikat yang membawa kenabian yang sangat berat, yang tidak mampu dipikul oleh manusia biasa. Pendahuluan berupa mimpi, mendengar suara, ucapan salam dari batu dan pohon, kemudian disempurnakan dengan kenabian berupa datangnya Malaikat Jibril dalam keadaan terjaga.” [Umdah Al Qari’, 1/60].

Namun, apakah mimpi semua orang bisa dianggap bagian dari kenabian? Ketika Imam Malik ditanya demikian, Beliau membantah dan mengatakan, ”Apakah mereka akan mempermainkan kenabian? Mimpi memang bisa menjadi bagian dari kenabian, tetapi jangan sekali-sekali bermain-main dengan masalah kenabian!” [Tamhid, Ibni Abdi Al Baar,1/288] 

Kesimpulannya, mimpi yang baik itu merupakan bagian dari kenabian dari segi wahyu yang umum. Yaitu berupa ilham yang diberikan Allah ketika tidur. Ubadah bin Shamith berkata, ”Mimpi seorang mukmin sebuah kalam (pembicaraan) yang Allah berbicara dengan hambaNya ketika tidur.” [Madarij Al Salikin, 1/51].

Dengan demikian wahyu secara umum bukan saja diberikan kepada para nabi, tetapi juga kepada selain nabi yang berupa ilham. Wahyu kepada para nabi sifatnya terjaga dari kekeliruan (ma’shum), berbeda dengan selainnya. Banyak ayat yang menjelaskan tentang penggunaan kata wahyu kepada selain nabi di antaranya: 

Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.

وَأَوْحَيْنَآ إِلَى أُمِّ مُوسَى أَنْ أَرْضِعِيهِ فَإِذَا خِفْتِ عَلَيْهِ فَأَلْقِيهِ فِي الْيَمِّ وَلاَتَخَافِي وَلاَتَحْزَنِي إِنَّا رَآدُّوهُ إِلَيْكِ وَجَاعِلُوهُ مِنَ الْمُرْسَلِينَ

Dan Kami (wahyukan) ilhamkan kepada ibu Musa,"Susuilah dia, dan apabila kamu khawatir terhadapnya, maka jatuhkanlah dia ke sungai (Nil). Dan janganlah kamu khawatir dan jangan (pula) bersedih hati, karena sesungguhnya Kami akan mengembalikannya kepadamu, dan menjadikannya (salah seorang) dari para rasul. [Al Qashash:7]. 

Juga firman Allah Subhanahu wa Ta'ala

وَإِذْأَوْحَيْتُ إِلَى الْحَوَارِيِّينَ أَنْ ءَامِنُوا بِي وَبِرَسُولِي قَالُوا ءَامَنَّا وَاشْهَدْ بِأَنَّنَا مُسْلِمُونَ

Dan (ingatlah), ketika Aku (wahyukan) ilhamkan kepada pengikut Isa yang setia, "Berimanlah kamu kepadaKu dan kepada RasulKu." Mereka menjawab,"Kami telah beriman dan saksikanlah (wahai Rasul), bahwa sesungguhnya kami adalah orang-orang yang patuh (kepada seruanmu)." [Al Maidah:111]. 

Juga Alla Subhanahu wa Ta'ala berfirman,

وَأَوْحَى رَبُّكِ إِلَى النَّحْلِ أَنِ اتَّخِذِي مِنَ الْجِبَالِ بُيُوتًا وَمِنَ الشَّجَرِ وَمِمَّا يَعْرِشُونَ

Dan Rabbmu mewahyukan kepada lebah,"Buatlah sarang-sarang di bukit-bukit, di pohon-pohon kayu, dan di tempat-tempat yang dibikin manusia." [An Nahl:68].

Tidak mesti ibunya Musa, Hawariyun apalagi lebah dengan mendapatkan wahyu dari Allah akan menjadi seorang nabi. Dalam hal ini, Syaikul Islam Ibnu Taimiyah berkata,”Dengan demikian wahyu adalah pemberitahuan yang cepat dan tersembunyi, baik ketika terjaga maupun mimpi. Mimpi para nabi ialah wahyu, dan mimpi orang mukmin ialah empat puluh enam bagian dari kenabian, sebagaimana yang tsabit (pasti) dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam hadits yang shahih.”

Ubadah bin Shamith berkata, ”Mimpi orang mukmin termasuk kalam (percakapan) yang dilakukan oleh Allah dengan hambaNya ketika tidur, begitu juga ketika terjaga, sebagaimana dijelaskan oleh Rasulullah pada hadits tentang fadhilah Umar di atas. Wahyu yang dimaksud di sini adalah ilham. Diberikan Allah kepada selain nabi, yang bisa terjadi ketika tidur atau terjaga.” (Majmu’ Fatawa, 12/398). 

Nasihat imam syafei :
Dar al-Jil Diwan (Beirut 1974) p.34
Dar al-Kutub al-`Ilmiyya (Beirut 1986)

فقيها و صوفيا فكن ليس واحدا * فإني و حـــق الله إيـــاك أنــــصح
فذالك قاس لم يـــذق قـلــبه تقى * وهذا جهول كيف ذوالجهل يصلح

Artinya :
Berusahalah engkau menjadi seorang yang mempelajari ilmu fiqih dan juga menjalani tasawuf, dan janganlah kau hanya mengambil salah satunya.
Sesungguhnya demi Allah saya benar-benar ingin memberikan nasehat padamu. Orang yang hanya mempelajari ilmu fiqih tapi tidak mahu menjalani tasawuf, maka hatinya tidak dapat merasakan kelazatan takwa. Sedangkan orang yang hanya menjalani tasawuf tapi tidak mahu mempelajari ilmu fiqih, maka bagaimana bisa dia menjadi baik?

[Diwan Al-Imam Asy-Syafi'i, hal. 47]

Nashihat IMAM MALIK RA:

و من تصوف و لم يتفقه فقد تزندق
من تفقه و لم يتصوف فقد تفسق

و من جمع بينهما فقد تخقق

Artinya :
“ dia yang sedang Tasawwuf tanpa mempelajari fikih rusak keimanannya , sementara dia yang belajar fikih tanpa mengamalkan Tasawwuf rusaklah dia . hanya dia siapa memadukan keduannya terjamin benar .‎

Alloh Subhanahu Wata'ala Berfirman :

قَالُواْ سُبْحَانَكَ لاَ عِلْمَ لَنَا إِلاَّ مَا عَلَّمْتَنَا إِنَّكَ أَنتَ الْعَلِيمُ الْحَكِيمُ

Mereka menjawab: “Maha Suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami; sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” ( QS Al Baqarah : 32 )

Diantara pelajaran yang bisa diambil dari ayat di atas adalah :‎

Bahwa semua ilmu yang dimiliki makhluq hidup di bumi dan di langit adalah ajaran dari Allah swt, termasuk ilmu yang dimiliki oleh manusia. Dengan demikian, kita katakan bahwa semua ilmu yang dimiliki oleh manusia adalah Ilmu Laduni, yaitu ilmu yang berasal dari Allah swt . Timbul suatu pertanyaan, apa sebenarnya hakikat ilmu laduni menurut pandangan Islam ? apakah seperti yang sering di pahami orang-orang sufi selama ini atau ada arti lain yang lebih benar.

Pengertian Ilmu Laduni

Menurut Abu Hamzah As-Sanuwi, Ilmu laduni dalam pengertian umum terbagi menjadi dua bagian. Pertama, ilmu yang didapat tanpa belajar (wahbiy). Kedua, ilmu yang didapat karena belajar (kasbiy).

Bagian pertama :

Bagian pertama ini, terbagi menjadi dua macam:

1. Ilmu Syar’iat, yaitu ilmu tentang perintah dan larangan Allah yang harus disampaikan kepada para Nabi dan Rasul melalui jalan wahyu (wahyu tasyri’), baik yang langsung dari Allah maupun yang menggunakan perantaraan malaikat Jibril. Jadi semua wahyu yang diterima oleh para nabi semenjak Nabi Adam alaihissalam hingga nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam adalah ilmu laduni termasuk yang diterima oleh Nabi Musa dari Nabi Khidlir . Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman tentang Khidhir:

فَوَجَدَا عَبْدًا مِّنْ عِبَادِنَا آتَيْنَاهُ رَحْمَةً مِنْ عِندِنَا وَعَلَّمْنَاهُ مِن لَّدُنَّا عِلْمًا“

Yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami.” (Al-Kahfi: 65)

Di dalam hadits Imam Al Bukhari, Nabi Khidlir alaihissalam berkata kepada Nabi Musa alaihissalam:

“Sesungguhnya aku berada di atas sebuah ilmu dari ilmu Allah yang telah Dia ajarkan kepadaku yang engkau tidak mengetahuinya. Dan engkau (juga) berada di atas ilmu dari ilmu Allah yang Dia ajarkan kepadamu yang aku tidak mengetahuinya juga.”

Ilmu syari’at ini sifatnya mutlak kebenarannya, wajib dipelajari dan diamalkan oleh setiap mukallaf sampai datang ajal kematiannya.

2. Ilmu Ma’rifat (hakikat), yaitu ilmu tentang sesuatu yang ghaib melalui jalan kasyf (wahyu ilham/terbukanya tabir ghaib) atau ru’ya (mimpi) yang diberikan oleh Allah kepada hamba-hambaNya yang mukmin dan shalih.

Ilmu kasyf inilah yang dimaksud dan dikenal dengan julukan “ilmu laduni” di kalangan ahli tasawwuf. Sifat ilmu ini tidak boleh diyakini atau diamalkan manakala menyalahi ilmu syari’at yang sudah termaktub di dalam mushaf Al-Qur’an maupun kitab-kitab hadits. Menyalahi di sini bisa berbentuk menentang, menambah atau mengurangi.

Bagian Kedua :

Adapun bagian kedua yaitu ilmu Allah yang diberikan kepada semua makhluk-Nya melalui jalan kasb (usaha) seperti dari hasil membaca, menulis, mendengar, meneliti, berfikir dan lain sebagainya.

Dari ketiga ilmu ini (syari’at, ma’rifat dan kasb) yang paling utama adalah ilmu yang bersumber dari wahyu yaitu ilmu syari’at, karena ia adalah guru. Ilmu kasyf dan ilmu kasb tidak dianggap apabila menyalahi syari’at. Inilah hakikat pengertian ilmu laduni di dalam Islam. ‎

Bagaimana Ilmu Laduni menurut orang-orang sufi ?

Ilmu Laduni menurut Sufi adalah sebagai berikut :

1/ “Ilmu laduni” atau kasyf adalah ilmu yang khusus diberikan oleh Allah kepada para wali shufi. Kelompok selain mereka, lebih-lebih ahli hadits, tidak bisa mendapatkannya.

2/ “Ilmu laduni” atau ilmu hakikat lebih utama daripada ilmu wahyu (syari’at). Mereka mendasarkan hal itu kepada kisah Nabi Khidlir alaihissalam dengan anggapan bahwa ilmu Nabi Musa alaihissalam adalah ilmu wahyu sedangkan ilmu Nabi Khidhir alaihissalam adalah ilmu kasyf (hakikat). Sampai-sampai Abu Yazid Al-Busthami (261 H.) mengatakan: “Seorang yang alim itu bukanlah orang yang menghapal dari kitab, maka jika ia lupa apa yang ia hapal ia menjadi bodoh, akan tetapi seorang alim adalah orang yang mengambil ilmunya dari Tuhannya di waktu kapan saja ia suka tanpa hapalan dan tanpa belajar. Inilah ilmu Rabbany.”

3/ Ilmu syari’at (Al-Qur’an dan As-Sunnah) itu merupakan hijab (penghalang) bagi seorang hamba untuk bisa sampai kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dengan ilmu laduni saja sudah cukup, tidak perlu lagi kepada ilmu wahyu, sehingga mereka menulis banyak kitab dengan metode kasyf, langsung didikte dan diajari langsung oleh Allah, yang wajib diyakini kebenarannya. Seperti Abd. Karim Al-Jiliy mengarang kitab Al-Insanul Kamil fi Ma’rifatil Awakhir wal Awail. Dan Ibnu Arabi (638 H) menulis kitab Al-Futuhatul Makkiyyah.

Untuk menafsirkan sebuah ayat atau untuk mengatakan derajat suatu hadits tidak perlu melalui metode isnad (riwayat), namun cukup dengan kasyf sehingga terkenal ungkapan di kalangan mereka”Hatiku memberitahu aku dari Tuhanku.” Atau”Aku diberitahu oleh Tuhanku dari diri-Nya sendiri, langsung tanpa perantara apapun.”

Sehingga, akibatnya banyak hadits palsu menurut ahli hadits, dishahihkan oleh ahli kasyf (tasawwuf) atau sebaliknya. Dari sini kita bisa mengetahui mengapa ahli hadits (sunnah) tidak pernah bertemu dengan ahli kasyf (tasawwuf).
Nilai-nilai ajaran tauhid, fiqih dan akhlaq sering dilihat kecenderungannya pada bentuk formalnya saja, khususnya bidang ilmu yang mengambil bentuk prilaku lahiriyah sebagaimana yang tampak dalam ilmu syari'at. Formalisme dalam ritual Islam dipandang amat merugikan, maka Allah mengingatkan kita terhadap adanya bahaya formalisme, sebagaimana firman Allah:

وَإِنَّ رَبَّكَ لَيَعْلَمُ مَا تُكِنُّ صُدُورُهُمْ وَمَا يُعْلِنُونَ
 
Artinya: "Dan sesungguhnya Tuhanmu, benar-benar mengetahui apa yang disembunyikan hati mereka dan apa yang mereka nyatakan." (Q. S. 27. An-Naml, A. 74).

Ayat yang saya tulis di atas menunjukkan pada kita bahwa formalitas belum tentu sesuai dengan kegaiban dalam fikiran (jalan fikiran) dan kegaiban dalam hati (niat dan hajat dalam hati). Tidak sedikit orang sholat secara jasadi, namun hati dan fikirannya sesungguhnya bukan sedang sholat. Banyak orang jasadnya berwudhu' (bersuci, thoharoh jasadi), tetapi hati dan fikirannya masih dipenuhi virus-virus goibis sayithon, seperti iri, dengki, hasad, hasud, hasumat, dendam, riya dan lain sebagainya, dan masih banyak sederetan contoh lainnya yang dapat kita tuliskan dari hasil pengamatan kita terhadap laku orang perorangan di sekitar kita yang dapat kit ambil pelajaran darinya bahwa formalisme pada hakikatnya lebih cendrung merugikan nilai-nilai spiritual kita, itu sebabnya Allah menyatakan bahwa Dia (Allah) benar-benar mengetahui apa yang disembunyikan hati dan apa yang mereka nyatakan.

Penekanan pada formalisme seperti dalam ilmu syari'at ibadah yang lebih cenderung menekankan syarat, rukun, tata tertib, sah dan batal dalam ritual ajaran Islam dengan tanpa diiringi penghayatan di dalamnya, tidak dapat memenuhi kebutuhan spiritual dan akhlaqul karimah untuk menjadi insanul kamil, insanul muttaqin dan insanul muhsinin. Hal ini disebabkan karena pengutamaan terhadap formalitas saja dapat berakibat ruh ritual ibadah tidak dapat dirasakan, yang dirasakan hanyalah kesibukan ritual jasad yang kering, kurang bermakna pada penjiwaan ritual pelakunya. Padahal pengamalan ritual ajaran Islam senantiasa menuntut laku ritual secara sadar dengan menghadirkan hati dan fikiran serta segenap jiwa dan penjiwaan terhadap nilai-nilai ajaran Islam yang sedang diamalkan. Karena itulah sangat diperlukan pengajaran ilmu penghayatan nilai-nilai spiritual ajaran Islam. Tentu saja hal ini bukanlah merupakan pekerjaan semudah membalikkan telapak tangan, tetapi diperlukan riyadhoh istiqomah yang dilakukan dengan terus menerus secara bertahap dan berkesinambungan. Karena pada hakikatnya Islam menginginkan keterkaitan nilai-nilai aspek ritual jasadi dengan ritual batini.

Karena ritual dualistis (jasadi dan batini) itulah maka tidak heran jika diri kita senantiasa menginginkan adanya kekuatan kontak antara ritual akhlaq jasadiyah yang lebih cenderung medium formal dengan ritual akhlaq batini yang lebih cenderung non medium formal, sehingga menjadi suatu kesatuan yang utuh. Dengan demikian berbagai ritual syari'at ibadah jasadi (wudhu, puasa, infaq, shodaqoh, zakat, haji dan akhlaq fositif lainnya) kontak dengan ritual ibadah batini terfokus dan terkonsentrasi pada satu arah tujuan yang pasti hanya kepada Allah dan ikhlas karena Allah yang realita ZatNya berwujud goibi, imani, hayati, maknawi, ruhani dan nurani, bukan jasadi. Namun ritual akhlaq Islami tidaklah dilakukan secara batini semata, tetapi juga harus diiringi dengan ritual ibadah jasadi, kecuali dalam keadaan darurat jasadi seperti sakit dan sebagainya yang tidak memungkinkan ritual ibadah jasadi dilakukan, maka ritual ibadah batini sah dilaksanakan. Ritual ibadah jasadi dalam bentuk ucapan dan ritual perbuatan nyata, di dalamnya mengandung maksud tujuan untuk mempengaruhi batini dan menuntun aqal fikiran dan qolbi dalam rangka upaya penghayatan terhadap ibadah yang akan, sedang dan telah dilakukan. Dengan demikian ritual ibadah yang dilakukan itu, selain mengandung hikmah untuk penghayatan pengabdian diri kepada Allah Zat Yang Maha Goib, juga ritual tersebut mengandung efek kesucian jasadi wal batini dan menjadikan pelakunya jauh dari virus-virus kemungkaran. Dengan penghayatan spiritual seperti ini, sistem nilai yang berkaitan dengan keimanan dan keakhlaqan berpadu utuh dengan sistem norma dalam syari'at Islam.

Sejalan dengan itu, Al-Qur'an dan Al-Hadits sebagai pedoman dan tuntunan abadi kita sepanjang masa, pastilah di dalamnya terkandung nilai-nilai spiritual di samping nilai-nilai lainnya. Berbagai ayat dalam Al-Qur'an dan sabda Rasul dalam kitab Al-Hadits menunjukkan secara jelas kepada kita bahwa nilai-nilai spiritual itu memang ada, diantaranya sebagai berikut:

وَلِلّهِ الْمَشْرِقُ وَالْمَغْرِبُ فَأَيْنَمَا تُوَلُّواْ فَثَمَّ وَجْهُ اللّهِ إِنَّ اللّهَ وَاسِعٌ عَلِيمٌ

Artinya: "Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka kemanapun kamu menghadap di situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas (rahmat-Nya) lagi Maha Mengetahui." (Q. S. 2. Al-Baqoroh, A. 115).

وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ فَلْيَسْتَجِيبُواْ لِي وَلْيُؤْمِنُواْ بِي لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُونَ
 
Artinya: "Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdo'a apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran." (Q. S. 2. Al-Baqarah, A. 186).

وَلَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنسَانَ وَنَعْلَمُ مَا تُوَسْوِسُ بِهِ نَفْسُهُ وَنَحْنُ أَقْرَبُ إِلَيْهِ مِنْ حَبْلِ الْوَرِيدِ
 
Artinya: "Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya." (Q. S. 50. Qof, A. 16).

فَوَجَدَا عَبْداً مِّنْ عِبَادِنَا آتَيْنَاهُ رَحْمَةً مِنْ عِندِنَا وَعَلَّمْنَاهُ مِن لَّدُنَّا عِلْماً

Artinya: "Lalu mereka bertemu dengan seorang hamba di antara hamba-hamba Kami, yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami." (Q. S. 18. Al-Kahfi, A. 65).


Ilmu laduni dalam literatur kitab-kitab salaf tidak hanya di peroleh Nabi Khidhir saja, bahkan selain para Nabi, baik seorang wali atau shufi juga bisa memperolehnya.

Dalam keterangan kitab-kitab tafsir di lingkungan Ahlussunnah wal Jama’ah, ilmu laduni tersebut bisa diperoleh oleh seorang hamba yang taat dan hatinya bersih. Dan ketetapan ini sudah sangat masyhur serta banyak para wali atau shufi yang mendapatkannya.

Ibnu Hajar al-Haitami menyampaikan bahwa dalam Risalah al-Qusyairiyyah dan Awarif al-Awarif (as-Suhrowardi) tentang wali yang mendapatkan khabar ghaib sangat banyak .

Ibnu Hajar al-Haitami juga menuturkan bahwa mengetahui ilmu ghaib adalah bagian dari karamah. Mereka dapat memperoleh dengan cara di khithobi (sabda) secara langsung, di bukakannya hijab (kasyaf) dan di bukakan kepadanya lauh mahfudz sehingga dapat mengetahuinya . (Fatawi Haditsiyyah hal. 222 )

Adapaun dalil dan bukti bahwa ilmu tersebut bisa diperoleh oleh hamba yang taat dan bersih adalah :

Ayat al-Qur’an surat an-Nisa’ :113 tentang Nabi Muhammad yang menerima ilmu yang berkaitan dengan hukum-hukum dan hal ghaib.

وَعَلَّمَكَ مَالَمْ تَكُنْ تَعْلَمُ

“Dan (Allah) telah mengajari dirimu ilmu yang engkau tidak menegtahuinya”

Ayat al-Qur’an surat Yusuf : 68 tentang Nabi Ya’qub yang menerima ilham dari Allah:

وَإِنَّهُ لَذُوْعِلْمٍ لِمَاعَلَّمْناَهُ

“Sungguh Dia (Ya’qub) adalah orang yang mempunyai ilmu, karena Kami telah mengajarinya”.

Hadits riwayat Muslim dalam Shahih-nya:

عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ كَانَ يَقُولُ قَدْ كَانَ يَكُونُ فِي الْأُمَمِ قَبْلَكُمْ مُحَدَّثُونَ فَإِنْ يَكُنْ فِي أُمَّتِي مِنْهُمْ أَحَدٌ فَإِنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ مِنْهُمْ قَالَ ابْنُ وَهْبٍ تَفْسِيرُ مُحَدَّثُونَ مُلْهَمُونَ

“Dari Nabi Muhammad Saw, bahwa beliau bersabda: ‘Di dalam umat-umat sebelum kalian ada para muhaddatsun, maka jika ada satu dari umatku yang termasuk di dalamnya, maka sesungguhnya ‘Umar bin Khaththab adalah salah satu dari mereka”.

Ibnu Wahbi mengatakan :

‘Tafsir Muhaddatsun adalah orang-orang yang diberi ilham.”

Hadits ini mengantarkan kepada satu pemahaman bahwa ilmu ilham bisa didapatkan oleh selain Nabi Khidhir, seperti Sayyidina ‘Umar dan lain-lain. Hadits Rosulalloh riwayat at-Tirmidzi dari Muadz bin Jabal bahwa Rosulalloh bersabda :

“Aku melihat Allah, azza wa jalla menempelkan telapak-Nya di antara bahuku, kemudian aku merasakan dinginnya jari-jari-Nya di antara putingku dan kemudian tajalli-lah setiap sesuatu kepadaku dan aku mengetahuinya sehingga aku dapat mengetahui apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi dan apa yang terjadi antara tanah timur (masyriq) dan tanah barat (maghrib).” hadits ini di shahih-kan oleh al-Bukhari, at-Tirmidzi, Ibnu Khuzaimah dan lain-lain.

Hadits Riwayat Ibnul Jauzi dalam Manaqib Umar tentang Sayyidina Umar yang mengatahui tentaranya yang sedang berperang padahal beliau sedang berkhuthbah. Hadits ini hasan sebagaimana di katakan oleh al-Hafizh Ibnu Hajar.

Riwayat tentang Sayyidana Abu Bakar yang pernah menebak kandungan istrinya bahwa bayinya laki-laki. Dan itu ternyata benar adanya. Hadits riwayat Abu Nu’iam al-Ashfahani dalam Hilyah al-Auliya’ dari Anas :

مَنْ عَمِلَ بِمَا عَلِمَ وَرَثَهُ اللهُ تَعَالَى عِلْمَ مَا لَمْ يَعْلَمْ

“Siapa yang mengamalkan apa yang dia ketahui, maka Allah akan memberinya ilmu yang dia tidak ketahui.” ( Ash-Shawi dalam Hasyiyah Tafsir al-Jalalain 1/182 menisbatkan ucapan tersebut kepada Imam Malik )

Ibnu Hajar al-Haitami pernah ditanya tentang hadits ini dan beliau menjawab :

“Sesuai apa yang dikatakan oleh Izzuddin bin Abdissalam bahwa sesungguhnya orang yang mau mengamalkan apa yang dia ketahui baik wajib syar’i, atau sunah atau menjauhi makruh dan haram, maka Allah akan memberinya ilmu ilahi yang sebelumnya dia tidak mengetahuinya” ( Fatawi Haditsiyyah hlm. 203-204. )

Ucapan Syaikh Ali al-Kisa’i :

قَالَ الدَّمِيرِيُّ : وَهَذِهِ الْمَسْأَلَةُ الَّتِي سَأَلَ عَنْهَا أَبُو يُوسُفَ الْكِسَائِيُّ لَمَّا ادَّعَى أَنَّ مَنْ تَبَحَّرَ فِي عِلْمٍ اهْتَدَى بِهِ إلَى سَائِرِ الْعُلُومِ ، فَقَالَ لَهُ : أَنْتَ إمَامٌ فِي النَّحْوِ وَالْأَدَبِ فَهَلْ تَهْتَدِي إلَى الْفِقْهِ ؟ فَقَالَ : سَلْ مَا شِئْتَ ، فَقَالَ : لَوْ سَجَدَ سُجُودَ السَّهْوِ ثَلاَثًا هَلْ يَلْزَمُهُ أَنْ يَسْجُدَ ؟ قَالَ : لاَ ؛ لِأَنَّ الْمُصَغَّرَ لاَ يُصَغَّرُ

“Ad-Damiri berkata :

‘Masalah ini adalah masalah yang pernah ditanyakan oleh Abu Yusuf (Hanafiyyah) kepada Ali al-Kisa’i ketika al-Kisa’i pernah mendakwahkan bahwa siapa yang dalam satu ilmu luas layaknya samudera maka dia akan bisa pada ilmu-ilmu yang lain.

Abu Yusuf bertanya:

‘Anda adalah imam dalam bidang nahwu dan sastra, apakah Anda bisa fiqh juga?

Al-Kisa’i menjawab :

‘Tanyalah yang Anda suka!’ Kemudian Abu Yusuf bertanya:

‘Andai ada orang yang sudah melakukan sujud sahwi tiga kali, apakah dia wajib bersujud untuk kedua kali?’ Al-Kisa’i menjawab :

‘Tidak, karena sesuatu yang sudah diperkecil (tashghir) tidak boleh diperkecil lagi.” ( Disebutkan dalam kitab-kitab Fiqh Syafi’iyyah dalam bab sujud sahwi. )

Ucapan al-Kisa’i tersebut menunjukkan bahwa siapa yang dalam satu disiplin ilmu agama luas bak samudera, maka dia akan mendapat ilmu laduni dengan bisa menguasai ilmu-ilmu yang lain.

Kisah yang diceritakan oleh al-Habib Abdullah Alawi al-Haddad tentang seseorang yang semula bodoh kemudian menjadi alim lewat ilmu wahbi dan ilmu ilahi (ilmu laduni) di bidang ushuluddin dan cabang-cabangnya. Mereka adalah Sa‘id bin ‘Isa al-Amudi, Ahmad ash-Shayyad, Ali al-Ahdal dan Abul Ghaits.

Dengan keterangan-keterangan ini pernyataan dan syubhat-syubhat mereka yang tidak pernah di dukung dalil sudah terbantahkan.‎

Penjelasan Tentang Pentingnya Jiwa Menuju Ma'rifat


Pembahasan ini merupakan pembahasan yang wajib diketahui oleh setiap muslim, sebagaimana wajibnya seorang muslim untuk mengenal Tuhannya, Allah swt. Pembahasan ini merupakan pengantar dari kajian Ilmu Tauhid (Keesaan Allah swt.). Diharapkan dengan menguasai kajian ini seorang hamba dapat lebih mengenal dirinya sebagai hamba dan bagaimana seharusnya bersikap sebagai hamba, dan juga lebih mengenal Tuhannya, Allah swt., sehingga mengetahui bagaimana ia bersikap di hadapan Tuhannya serta beribadah sesuai dengan apa yang dikehendaki-Nya menurut apa yang disukai-Nya.

Sebagai contoh dari harapan pembahasan ini adalah mengenal (salah satu) Sifat Allah swt. bahwa Dia adalah Maha Besar; dan sebaliknya bahwa manusia penuh dengan kelemahan. Setelah mengetahuinya diharapkan seorang hamba akan dapat merasakan kebesaran Allah swt dan merasakan kelemahan dirinya sehingga tidak ada lagi padanya sifat sombong, merasa hebat, merasa besar, merasa paling benar dan sebagainya.‎

Karena Allah adalah zat yang wajib al-wujud yaitu zat yang wajib adanya, tentulah Allah dapat dikenal, dan kewajiban pertama bagi setiap muslim adalah terlebih dahulu mengenal kepada yang disembahnya, barulah ia berbuat ibadah sebagimana sabda Nabi :

أَوَلُ الدِّيْنِ مَعْرِفَةُ اللهِ

“Pertama sekali di dalam agama ialah mengenal Allah"

Kenallah dirimu, sebagaimana sabda Nabi SAW;

مَنْ عَرَفَ نَفْسَهُ فَقَدْ عَرَفَ رَبَّهُ وَمَنْ عَرَفَ رَبَّهُ فَسَدَ جَسَدَهُ

“Barangsiapa yang mengenal dirinya, maka ia akan mengenal Tuhannya, dan barangsiapa yang mengenal Tuhannya maka binasalah (fana) dirinya".
            
Pengertian Ma’ri’fat

Istilah ma’rifat berasal dari kata “al-Ma’rifat”, yang berarti mengetahui  atau mengenal sesuatu. Apabila di hubungkan dengan pengalaman tasawuf , maka istilah ma’rifat berarti mengenal Allah ketika seorang sufi mencapai maqam dalam tasawuf.

Kemudian istilah seperti ini di rumuskan defenisinya oleh beberapa ulama tasuwuf antara lain:

1.      Musthofa Zahri mengatakan ma’rifat adalah:

المَعْرِفَةُ جَزْمُ القَلْبِ بِوُجُوْدِ الوَجِبِ المَوْجُوْدِ مُتَّصِفًا بِسَائِرِالْكَلِمَاتِ

Artinya: “Ma’rifat adalah ketetapan hati (dalam mempercayai hadirnya  atau wujud adanya Allah yang menggambarkan kesempurnaannya.”

2.      al-Syaikh Ihsan Muhammad Dahlan Al-khadiry mengatakan tentang ma’rifat sendiri adalah:

اَلْمَعْرِفَةُ طُلُوْعُ الحَقِّ, وَهُوَ القَلْبُ بِمُوَاصَلَةِ الاَنْوَارِ

Artinya: “Ma’rifat adalah hadirnya kebenaran Allah (pada sufi), yang mana hatinya selalu berhubungan dengan cahaya”.

3.      Imam al-Qushairy mengemukakan pendapat Abd al-Rahman ibn Muhammad bin Abdullah yang mengatakan:

اَلمَعْرِفَةُ يوْجِبُ السَّاكِينَةَ فِى القَلْبِ كَمَا أَنَّ العِلْمَ يوْجِبُ السُّكُوْنَ, فَمَنِ ازْدَدَتْ مَعْرِفتُهُ إِزْدَدَتْ مَعْرِفَتُهُ.

Artinya: Ma’rifat membuat ketenangan dalam hati, sebagaimana ilmu pengetahuan membuat ketenangan (dalam akal pikiran). Barang siapa yang meningkat Ma’rifatnya, maka meningkat pula ketenangan (hatinya).

4.    Imam al-Ghazaly menjelaskan Ma’rifat adalah‎:‎

اَلمَعْرِفَةُ الإِطْلاَعُ عَلَى أَسْرَارِ الرُّبوْبِيَّةِ وَالعِلْمُ بِترَتُّبِ الأُمُوْرِ الإِلَهِيَّةِ المُحِيْطَةِ بِكُلِّ المَوْجُوْدَاتِ

Artinya: Ma’rifat adalah mengetahui rahasia-rahasia Allah dan mengetahui peraturan-peraturan Tuhan tentang segala yang ada.

5.      Menurut Ahmad bin Muhammad bin Abdul karim bin Abdurrahman bin Abdullah bin Ahmad bin Isa bin Husain bin Atha’illah al-Iskandary, Ma’rifat ialah: “Pengenalan terhadap sesuatu baik dzat maupun sifatnya dengan kenyataan dan sebenarnya”. 

Dari uraian diatas dapat disimpulkan, bahwa pengertian Ma’rifat yang didefinisikan para Ulama hanya sebatas mengenal, mengetahui dan melihat kepada Sang Pencipta melalui sanubari hati. Hal ini merupakan karunia yang telah diberikan oleh Allah SWT kepada hambanya.

Tujuan makrifat

Makrifat dekat sekali dengan iman dan keyakinan. Oleh karena itu tingkat keimanan juga ditentukan oleh tingkat makrifat seseorang. Dengan demikian tujuan dari makrifat (pengetahuan yang sebenarnya) adalah memperoleh keyakinan atau keimanan. Semakin bertambah keyakinan maka akan semakin bertambah ketaatan kepada Allah.

سمعت الأستاذ أباعلي الدقاق رحمه الله يقول : من أمارات المعرفة بالله حصول الهيبة من الله, فمن ازداد معرفته ازدادت هيبته

“Saya mendengar dari Ali Daqaq berkata, diantara ciri orang yang makrifat kepada Allah adalah adanya rasa takut pada Allah, barang siapa bertambah makrifat maka bertambah pada rasa takutnya.”

وسمعته يقول : المعرفة توجب السكينة فى القلب كما العلم يوجب السكون فمن ازدادت معرفته ازدادت سكينته

“Aku juga mendengar dari Ali Daqaq berkata, makrifat kepada Allah melahirkan ketenangan di dalam hati sebagaimana ilmu melahirkan ketenangan, barang siapa bertambah makrifatnya maka bertambah pula ketenangannya”.

Al-Syatiby berkata,

فعلامة العارف أن يكون قلبه مرآة يري فيه ماغاب من غيره وجلاء القلب لا يكون إلا بنور الإيمان والإيقان. فعلى قدر قوة الإيمان يكون نور القلب. وعلى قدر نور القلب تكون مشاهدة الحق وبقدرمشاهدة الحق تكون المعرفة بأسمائه وصفاته وبقدرها يكون التعظيم لذاته وبقدر التعظيم لذاته يكون كمال العبد وبقدر كماله يكون استغراقه فيي أوصاف العبودية بقدر استغراقه يكون قيامه بحقوق الربوبية

“Ciri orang makrifat itu adalah hatinya sebagai cermin untuk melihat hal ghaib di luar dirinya. Keterang benderangan hati tidak lain dikarenakan cahaya iman dan keyakinan. Cahaya hati tergantung kadar kekuatan iman, musyahadah terhadap al-Haq (Allah Yang Maha Benar) tergantung kadar cahaya hati, makrifat terhadap asma dan sifat-Nya tergantung kadar musyahadah (penyaksiannya) terhadap al-Haq, sikap ta’dzim terhadap dzat-Nya tergantung kadar makrifat, kesempurnaan sebagai hamba tergantung kadar keta’dzimannya, ketenggelamannya kedalam sifat-sifat penghambaan tergantung kesempurnaan menjadi hamba dan pelaksaan hak-hak Tuhan tergantung kadar ketenggelaman kedalam sifat-sifat penghambaan”

Dari perkataan al-Syatiby ini dapat disimpulkan:
1. Hati akan menjadi terang benderang kalau diterangi iman dan keyakinan
2. Semakin kuat iman dan keyakinan maka hati akan semakin terang benderang dan sebaliknya kalau iman dan keyakinannya lemah maka cahaya hati akan redup.
3. Kalau hati terang benderang maka kebenaran dapat disaksikan bahkan Allah yang Maha Benar dapat disaksikan.
4.Kalau seseorang dapat menyaksikan Allah maka akan mengenal asma dan sifat Allah.
5.Kalau seseorang mengenal asma dan sifat Allah maka semakin ta’dzim pada dzat Allah.
6.Kalau seseorang semakin ta’dzim pada Allah maka akan muncul kesempurnaan sebagai hamba.
7.Kalau seseorang muncul kesempurnaan sebagai hamba maka akan semakin tenggelam kedalam sikap menghambakan diri.
8.Kalau seseorang semakin tenggelam kedalam sikap menghambakan diri maka akan semakin semangat untuk melaksanakan hak-hak Tuhan.

Dengan makrifat seseorang akan menyadari yang sesadar-sadarnya bahwa ia adalah seorang hamba yang siap untuk diperintah dan melaksanakan keinginan tuannya. Semakin tahu bahwa dirinya adalah hamba (abd) maka semakin ta’dzim dan taat kepada Allah yang memiliki dirinya.

Lalu diri mana yang wajib kita kenal? Sungguhnya diri kita terbagi dua sebagaimana firman Allah dalam surat Luqman ayat 20 :

وَأَسْبَغَ عَليْكُمْ نِعَمَهُ ظَهِرَةً وَبَاطِنَةً

"Dan Allah telah menyempurnakan bagimu nikmat zahir dan nikmat batin".

Jadi berdasarkan ayat di atas, diri kita sesungguhnya terbagi dua:

1.      Diri Zahir yaitu diri yang dapat dilihat oleh mata dan dapat diraba oleh tangan.
2.      Diri batin yaitu yang tidak dapat dipandang oleh mata dan tidak dapat diraba oleh tangan, tetapi dapat dirasakan oleh mata hati. Adapun dalil mengenai terbaginya diri manusia

Karena sedemikian pentingnya peran diri yang batin ini di dalam upaya untuk memperoleh pengenalan kepada Allah, itulah sebabnya kenapa kita disuruh melihat ke dalam diri (introspeksi diri)  sebagimana firman Allah dalam surat az-Zariat ayat 21:

وَفِى اَنْفُسِكُمْ اَفَلاَ تُبْصِرُوْنَ
"Dan di dalam diri kamu apakah kamu tidak memperhatikannya".

Allah memerintahkan kepada manusia untuk memperhatikan ke dalam dirinya disebabkan karena di dalam diri manusia itu Allah telah menciptakan sebuah mahligai yang mana di dalamnya Allah telah menanamkan rahasia-Nya sebagaimana sabda Nabi di dalam Hadis Qudsi :

بَنَيْتُ فِى جَوْفِ اِبْنِ آدَمَ قَصْرًا وَفِى الْقَصْرِ صَدْرً وَفِى الصَّدْرِ قَلْبًا وَفِى الْقَلْبِ فُؤَادً وَفِى الْفُؤَادِ شَغْافًا وَفِى الشَّغَافِ لَبًّا وَفِى لَبِّ سِرًّا وَفِى السِّرِّ أَنَا (الحديث القدسى)

“Aku jadikan dalam rongga anak Adam itu mahligai dan dalam mahligai itu ada dada dan dalam dada itu ada hati (qalbu) namanya dan dalam hati (qalbu) ada mata hati (fuad) dan dalam mata hati (fuad) itu ada penutup mata hati (saghaf) dan dibalik penutup mata hati (saghaf) itu ada nur/cahaya (labban), dan di dalam nur/cahaya (labban) ada rahasia (sirr) dan di dalam rahasia (sirr) itulah Aku kata Allah”. (Hadis Qudsi)

Bagaimanakah maksud hadis ini? Tanyalah kepada ahlinya, yaitu ahli zikir, sebagaimana firman Allah dalam surat an-Nahal ayat 43 :

فَاسَئَلُوْا أَهْلَ الذِّكْرِ اِنْ كُنْتُمْ لاَتَعْلَمُوْنَ

“Tanyalah kepada ahli zikrullah (Ahlus Shufi) kalau kamu benar-benar tidak tahu.”
            
Karena Allah itu ghaib, maka perkara ini termasuk perkara yang dilarang untuk menyampaikannya dan haram pula dipaparkan kepada yang bukan ahlinya (orang awam), seabagimana dikatakan para sufi:
وَلِلَّهِ مَحَارِمٌ فَلاَ تَهْتَكُوْهَا
Artinya: “Bagi Allah itu ada beberapa rahasia yang diharamkan membukakannya kepada yang bukan ahlinyah”.

Nabi juga ada bersabda :

وَعَائِيْنِ مِنَ الْعِلْمِ اَمَّا اَحَدُ هُمَا فَبَشَتْتُهُ لَكُمْ وَاَمَّااْلأَخِرُ فَلَوْبَثَتْتُ شَيْئًا مِنْهُ قَطَعَ هَذَالْعُلُوْمَ يَشِيْرُ اِلَى حَلْقِهِ  

Artinya: “Telah memberikan kepadaku oleh Rasulullah SAW dua cangkir yang berisikan ilmu pengetahuan, satu daripadanya akan saya tebarkan kepada kamu. Akan tetapi yang lainnya bila saya tebarkan akan terputuslah sekalian ilmu pengetahuan dengan memberikan isyarat kepada lehernya.

اَفَاتُ الْعِلْمِ النِّسْيَانُ وَاِضَاعَتُهُ اَنْ تَحَدَّثْ بِهِ غَيْرِ اَهْلِهِ

Artinya : “Kerusakan dari ilmu pengetahuan ialah dengan lupa, dan menyebabkan hilangnya ialah bila anda ajarkan kepada yang bukan ahlinya.”
            
Adapun tentang Ilmu Fiqih atau Syariat Nabi bersabda:

بَلِّغُوْا عَنِّى وَلَوْ اَيَةً

Artinya: “Sampaikanlah oleh kamu walau satu ayat saja”.
            
Adapun Ilmu Fiqih tidak boleh disembunyikan, sebagaimana sabda Nabi SAW:

مَنْ كَتَمَ عِلْمًا لِجَمِّهِ اللهِ بِلِجَامٍ مِنَ النَّارِ

Artinya: “Barangsiapa yang telah menyembunyikan suatu ilmu pengetahuan (ilmu syariat) akan dikekang oleh Allah ia kelak dengan api neraka”.
Setiap muslim harus meyakini bahwa Allah memiliki semua sifat yang mulia. Seorang muslim juga harus meyakini bahwa Allah mustahil bersifat yang menunjukan kekurangan dan kelemahan. Allah mustahil memiliki sifat yang tidak sempurna, yang menunjukan kelemahan dan kekurangan. Baik Secara Tersirat maupun Tersurat sifat sifat Allah SWT tersebut adalah seperti diterangkan dalam alquran. 

Sifat Wajib bagi Allah SWT yang pertama Adalah WUJUD :

Wujud artinya “ada” , maka mustahil Allah bersifat “tiada”. Firman Allah dalam Al-Qur’an ( Qs As-Sajadah : 4 )

اللَّهُ الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضَ وَمَا بَيْنَهُمَا فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ مَا لَكُمْ مِنْ دُونِهِ مِنْ وَلِيٍّ وَلا شَفِيعٍ أَفَلا تَتَذَكَّرُونَ

“Allah lah yang menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya dalam enam masa, kemudian Dia bersemayam di atas 'Arsy. tidak ada bagi kamu selain dari padanya seorang penolongpun dan tidak (pula) seorang pemberi syafa'at. Maka Apakah kamu tidak memperhatikan?”

Pertanyaan yang muncul dalam benak kita setelah membaca ayat diatas adalah bagaimana kita dapat meyakini wujud Allah swt...? Bila Anda melihat atau menyaksikan pesawat terbang melintas di udara, maka dengan yakin Anda mengatakan bahwa pasti ada pilot yang mengendalikan pesawat meskipun Anda tidak melihat nya. Karena jika yang mengendalikan pesawat itu tidak ada, mustahil pesawat itu dapat terbang dan melalui rutenya dengan selamat. lalu apa kaitannya dengan wujud Allah? 

Jawabnya adalah ketika kita melihat matahari, bulan, bintang dan planet bergerak teratur, malam dan siang berganti dengan keteraturan yang amat detil. Mungkinkah mereka ada dan bergerak sendiri? Tidak diragukan lagi bahwa semuanya telah diciptakan dan diatur oleh Allah swt. mustahil matahari, bulan, bintang-bintang, planet, siang, dan malam menjadi ada dan bertahan dengan pergerakannya yang amat teratur. Dengan demikian pula tidak akan ada makhluk yang sangat tergantung dengan mereka semua.

Firman Allah Swt QS Al A'raaf :54

إِنَّ رَبَّكُمُ اللَّهُ الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضَ فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ يُغْشِي اللَّيْلَ النَّهَارَ يَطْلُبُهُ حَثِيثًا وَالشَّمْسَ وَالْقَمَرَ وَالنُّجُومَ مُسَخَّرَاتٍ بِأَمْرِهِ أَلا لَهُ الْخَلْقُ وَالأمْرُ تَبَارَكَ اللَّهُ رَبُّ الْعَالَمِينَ (٥٤

“Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, lalu Dia bersemayam di atas 'Arsy. Dia menutupkan malam kepada siang yang mengikutinya dengan cepat, dan (diciptakan-Nya pula) matahari, bulan dan bintang-bintang (masing-masing) tunduk kepada perintah-Nya. Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah. Maha suci Allah, Tuhan semesta alam”

Firman Allah Swt QS Lukman : 25

وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ مَنْ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضَ لَيَقُولُنَّ اللَّهُ قُلِ الْحَمْدُ لِلَّهِ بَلْ أَكْثَرُهُمْ لا يَعْلَمُونَ (٢٥

“dan Sesungguhnya jika kamu tanyakan kepada mereka: "Siapakah yang menciptakan langit dan bumi?" tentu mereka akan menjawab: "Allah". Katakanlah : "Segala puji bagi Allah"; tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui.”

Firman Allah Swt QS Al Hajj : 18

أَلَمْ تَرَ أَنَّ اللَّهَ يَسْجُدُ لَهُ مَنْ فِي السَّمَاوَاتِ وَمَنْ فِي الأرْضِ وَالشَّمْسُ وَالْقَمَرُ وَالنُّجُومُ وَالْجِبَالُ وَالشَّجَرُ وَالدَّوَابُّ وَكَثِيرٌ مِنَ النَّاسِ وَكَثِيرٌ حَقَّ عَلَيْهِ الْعَذَابُ وَمَنْ يُهِنِ اللَّهُ فَمَا لَهُ مِنْ مُكْرِمٍ إِنَّ اللَّهَ يَفْعَلُ مَا يَشَاءُ (١٨

“Apakah kamu tiada mengetahui, bahwa kepada Allah bersujud apa yang ada di langit, di bumi, matahari, bulan, bintang, gunung, pohon-pohonan, binatang-binatang yang melata dan sebagian besar daripada manusia? dan banyak di antara manusia yang telah ditetapkan azab atasnya. dan Barangsiapa yang dihinakan Allah Maka tidak seorangpun yang memuliakannya. Sesungguhnya Allah berbuat apa yang Dia kehendaki”

Wujud adanya Allah Swt dapat dapat dibuktikan melalui 4 macam :

Dalil Fitrah.

Bukti fitrah tentang wujud Allah adalah bahwa iman kepada sang Pencipta merupakan fitrah setiap makhluk, tanpa terlebih dahulu berpikir atau belajar. Tidak akan berpaling dari tuntutan fitrah ini, kecuali orang yang di dalam hatinya terdapat sesuatu yang dapat memalingkannya.

Firman Allah Subhanahu Wata'ala

“Dan ingatlah ketika Tuhanmu menurunkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): ‘Bukankah Aku ini Tuhanmu’ Mereka menjawab: ‘ (Betul Engkau Tuhan kami) kami mempersaksikannya (Kami lakukan yang demikian itu) agar kalian pada hari kiamat tidak mengatakan: ‘Sesungguhnya kami bani Adam adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan-Mu) atau agar kamu tidak mengatakan: ‘Sesungguhnya orang-orang tua kami telah mempersekutukan Tuhan sejak dahulu sedangkan kami ini adalah anak-anak keturunan yang datang setelah mereka.’” (QS. Al A’raf: 172-173).

Dalil Indrawi

Bukti indera tentang wujud Allah sebenarnya sudah sering kita rasakan dan kita alami. Kita dapat mendengar dan menyaksikan terkabulnya doa orang-orang yang berdoa serta pertolongan-Nya yang diberikan kepada orang-orang yang mendapatkan musibah. Tanda-tanda para Nabi yang disebut mu’jizat, yang dapat disaksikan atau didengar banyak orang merupakan bukti yang jelas tentang keberadaan Allah Swt, karena hal-hal itu berada di luar kemampuan manusia. Allah melakukannya sebagai pemerkuat dan penolong bagi para Rasul. Adanya langit, bumi dan isinya adalah bukti nyata yang dapat kita rasakan dengan indera kita.

Dalil ‘Aqli (dalil akal pikiran)

Bukti akal tentang adanya Allah swt adalah proses terjadinya semua makhluk, bahwa semua makhluk, yang terdahulu maupun yang akan datang, pasti ada yang menciptakan. Tidak mungkin makhluk menciptakan dirinya sendiri, dan tidak mungkin pula tercipta secara kebetulan. Tidak mungkin wujud itu ada dengan sendirinya, karena segala sesuatu tidak akan dapat menciptakan dirinya sendiri.

Firman Allah Swt :( Qs Ath Thuur 35-37)

أَمْ خُلِقُوا مِنْ غَيْرِ شَيْءٍ أَمْ هُمُ الْخَالِقُونَ (٣٥


" Apakah mereka diciptakan tanpa sesuatupun ataukah mereka yang menciptakan (diri mereka sendiri)?"

أَمْ خَلَقُوا السَّمَاوَاتِ وَالأرْضَ بَل لا يُوقِنُونَ (٣٦)


"ataukah mereka telah menciptakan langit dan bumi itu?; sebenarnya mereka tidak meyakini (apa yang mereka katakan)."

أَمْ عِنْدَهُمْ خَزَائِنُ رَبِّكَ أَمْ هُمُ الْمُسَيْطِرُونَ (٣٧)


" ataukah di sisi mereka ada perbendaharaan Tuhanmu atau merekakah yang berkuasa?"

Dalil Naqli (Dalil Syara’)

Bukti syara’ tentang wujud Allah bahwa seluruh kitab langit berbicara tentang itu. Seluruh hukum yang mengandung kemaslahatan manusia yang dibawa kitab-kitab tersebut merupakan dalil bahwa kitab-kitab itu datang dari Rabb yang Maha Bijaksana dan Mengetahui segala kemaslahatan makhluknya. Berita-berita alam semesta yang dapat disaksikan oleh realitas akan kebenarannya yang didatangkan kitab-kitab itu juga merupakan dalil atau bukti bahwa kitab-kitab itu datang dari Rabb yang Maha Kuasa untuk mewujudkan apa yang diberitakan itu.

Firman Allah Subhanahu Wata'ala

أَفَلا يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآنَ وَلَوْ كَانَ مِنْ عِنْدِ غَيْرِ اللَّهِ لَوَجَدُوا فِيهِ اخْتِلافًا كَثِيرًا (٨٢)

"Maka Apakah mereka tidak memperhatikan Al Quran? kalau kiranya Al Quran itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya."

Setelah kita mengenal dan mengimani keberadaan Allah sebagaimana telah dijelaskan diatas, maka perlu kita kenali Allah swt sebagai Rabb yang telah menciptakan, memiliki dan mengatur semua makhluknya, Dialah satu-satunya pencipta yang mengadakan sesuatu dari ketiadaan,

Allah pencipta langit dan bumi, dan bila Dia berkehendak (untuk menciptakan) sesuatu, maka (cukuplah) Dia hanya mengatakan kepadanya:”Jadilah”. Lalu jadilah ia. (QS. Al Baqarah:117) Dialah Allah Swt satu-satunya pemilik sebagaimana Dia Allah Swt adalah satu-satunya pencipta, demikian juga Dia Allah Swt yang mengatur segala sesuatu.

Ilmu hati/jiwa‎ dalam Mengenal Alloh

Hati memegang peranan penting bagi manusia. Baik dan buruknya seseorang ditentukan oleh hati sebagaimana Hadis Nabi:

...اَلاَوَاِنَّ فِى الْجَسَدِ مُدْغَةً اِذَاصَلُحَتْ صَلَحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ وَاِذَافَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ آلآوَهِيَ الْقَلْبُ

“Ingatlah bahwa di dalam tubuh itu ada segumpal darah, bila ia telah baik maka baiklah sekalian badan.Dan bila ia rusak, maka rusaklah sekalian badan. Dan bila ia rusak maka binasalah sekalian badan, itulah yang dikatakan hati”.

Demikianlah pentingnya peranan hati bagi manusia, oleh sebab itu manusia wajib menjaga kesucian hatinya. Adapun yang menjadi penyebab kotornya hati manusia itu adalah disebabkan berbagai penyakit yang terdapat padanya sebagaimana dijelaskan oleh firman Allah:
فِى قُلُوْبِهِمْ مَرَضٌ

“Di dalam hati mereka ada penyakit”. (Q.S. 2 Al-Baqarah: 10)

Terdapat 6666 ayat Al-Qur’an dan 6666 urat di dalam tubuh manusia, demikian halnya dengan hati manusia, ada 6666 penyakit di dalam hati manusia. Dari sekian banyak penyakit yang ada di dalam hati manusia, ada beberapa penyakit hati yang paling berbahaya, di antaranya: hawa nafsu, cinta dunia, loba, tamak, rakus, pemarah, pengiri, dendam, hasad, munafiq, ria, ujub, takabbur. Jadi bila tidak diobati, maka sambungan ayat mengatakan:

فَزَادَهُمُ اللهُ مَرَضًا

“Lalu ditambah Allah penyakitnya”. (Q.S. 2 Al-Baqarah: 10)
            
Demikianlah bahayanya apabila manusia itu tidak segera membersihkan hatinya, maka Allah akan terus menambah penyakitnya. Oleh sebab itu kewajiban pertama bagi manusia adalah terlebih dahulu ia harus mensucikan hatinya sebagaimana firman Allah:

قَدْ أَفْلَحَ مَنْ تَزَكَّى وَذَكَرَ اسْمَ رَبِّهِ فَصَلَّ

“Beruntunglah orang yang mensucikan hatinya dan mengingat Tuhan-Nya, maka didirikannya sembanhyang”. (Q.S. 87 Al-A’la: 14-15)
            
Dari penjelasan surah Al-A’la di ayat 14 dan 15 di atas dapat diambil kesimpulan bahwa ada tiga kewajiban yang dibebankan oleh Allah kepada manusia:

1. Kewajiban Mensucikan Hati‎

Di dalam surah Al-A’la ayat 14 Allah menyatakan bahwa orang-orang yang telah mensucikan hatinya sesungguhnya telah memperoleh keberuntungan. Lalu dibenak kita timbul beberapa pertanyaan:

-          Apa yang dimaksud dengan hati yang bersih?
-          Bagaimana cara membersihkan hati?
-          Mengapa orang yang mensucikan hatinya disebut orang yang beruntung?
-          Apa keuntungan yang diperoleh oleh orang yang telah mensucikan hatinya?


Pertama, apa yang dimaksud dengan hati yang bersih? Yang dimaksud dengan hati yang bersih yaitu tidak ada di dalam hati itu selain Allah. Artinya seseorang yang disebut hatinya bersih adalah orang yang senantiasa selalu mengingat Allah. Itulah sebabnya para sufi berkata:

قَلْبُ الْمُؤْمِنِيْنَ بَيْتُ اللهُ

“Hati orang mukmin itu adalah rumah Allah”.
            
Kedua, bagaimana cara membersihkan hati? Satu-satunya cara membersihkan hati yaitu dengan mempelajari ilmu hati. Ilmu hati ini lazim disebut dengan beberapa nama di antaranya: ilmu batin, ilmu hakikat, ilmu tarekat. tujuan mempelajari ilmu hati adalah untuk mengenal Allah, sebab hati merupakan sarana yang telah ditetapkan oleh Allah untuk dapat menyaksikan-Nya sebagaimana firman Allah:

مَاكَذَبَ الْفُؤَادُ مَارَآى

“Tidak dusta apa yang telah dilihat oleh mata hati”.(Q.S. An-Najm: 11)
            
Jadi hanya dengan mempelajari ilmu hatilah kita baru dapat mengenal Allah. Apabila kita telah dapat mengenal Allah, barulah kita dapat mengingat-Nya. Dan mengingat Allah merupakan satu-satunya cara untuk membersihkan hati sebagaimana Hadis Nabi:

لِكُلِّ شَيْءٍ صَقَلَةٌ وَصَقَلَةُ الْقَلْبُ ذِكْرُاللهُ

“Segala sesuatu ada alat pembersihnya dan alat pembersih hati yaitu mengingat Allah”.

Ketiga, mengapa orang yang mensucikan hatinya disebut orang yang beruntung? Penyebab Allah menyebut orang-orang yang telah mensucikan hatinya sebagai orang-orang yang beruntung adalah disebabkan karena sesungguhnya hanya orang-orang yang telah mensucikan hatinyalah yang dapat mengenal Allah. Menurut al-Ghazali hati manusia berfungsi sebagai cermin yang hanya bisa menangkap cahaya ghaib (Allah) apabila tida tertutup oleh kotoran-kotoran keduniaan. Sesungguhnya hanya orang-orang yang telah mensucikan hatinyalah yang dapat mengenal Allah dan merekalah yang disebut sebagai orang-orang yang beruntung.
            
Keempat, apa keuntungan yang diperoleh oleh orang yang telah mensucikan hatinya? keuntungan yang diperoleh oleh orang yang telah mensucikan hatinya adalah dapat mengenal Tuhannya. Itulah sebabnya Allah berfirman:

قَدْ أَفْلَحَ مَنْ زَكَّهَا وَقَدْ خَابَ مَنْ دَسَّهَا

“Beruntunglah orang yang telah mensucikan hatinya dan merugilah orang yang telah mengotorinya”. (Q.S. 91 As-Syamsi: 9-10)
            
Itulah sebabnya pada ayat di atas Allah memuji orang-orang yang telah mensucikan hatinya, sebab hanya orang-orang yang telah mensucikan hatinya yang dapat mengenal Allah. Adapun orang-orang yang mengotorinya adalah orang-orang yang merugi, karena sesungguhnya orang-orang yang hatinya kotor tidak akan pernah dapat mengenal Tuhannya.

2. Kewajiban Mengingat Allah
            
Kewajiban yang kedua adalah mengingat Allah, sebab mustahil kita dapat mengingat Allah kalau kita belum mengenal-Nya dan mustahil kita dapat mengenal-Nya kalau kita belum pernah berjumpa. Dan mustahil kita dapat berjumpa dengan Allah tanpa terlebih dahulu menyertakan diri dan belajar kepada orang yang telah dapat beserta Allah. Itulah sebabnya Nabi memerinthakan kepada kita agar menyertakan diri kepada orang yang telah serta Allah sebagaimana sabda Nabi:

كُنْ مَعَ اللهُ وَاِنْ لَمْ تَكُنْ مَعَ اللهِ فَكُنْ مَعَ مَنْ كَانَ مَعَ اللهِ فَإِنَّهُ يُوْصِلُكَ اِلَى اللهِ

“Sertakanlah kepada Allah, apabila kamu tidak dapat beserta Allah maka sertakanlah dirimu kepada orang yang telah serta Allah, maka ia akan mengenalkan kamu kepada Allah”.
            
Berdasarkan Hadis di atas, maka kewajiban pertama bagi manusia adalah mencari guru (wasilah) agar ia dapat memperoleh pengenalan kepada Tuhannya. Setelah manusia itu dapat mengenal Allah maka kewajiban kedua baginya adalah mengingat Tuhan-Nya.

3. Kewajiban Mengerjakan Shalat
            
Shalat merupakan tiang agama yang dilaksanakan apabila kita telah melaksanakan kewajiban pertama dan kedua, sebab tujuan shalat adalah untuk mengingat-Nya sebagaimana firman Allah:

اِنَّنِى أَنَااللهُ لاَإِلَهَ اِلاَّ أَنَا فَاعْبُدْنِى وَأَقِمِ الصَّلَوةَ لَذِكْرِى

“Sesungguhnya Aku inilah Allah, tidak ada Tuhan selain Aku, maka sembahlah Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku”. (Q.S. 20 Thaha: 14)
            
Firman Allah di atas senada dengan firman Allah pada surat Al-A’la ayat 14 dan 15 yang telah diuraikan sebelumnya. Untuk mengetahui secara jelas persamaan makna yang terdapat pada kedua ayat tersebut penulis akan menguraikan kalimat perkalimat pada surat Thaha ayat 14 serta membandingkannya dengan surat Al-A’la ayat 14.
            
Pertama, pada bagian awal surat Thaha ayat 14 Allah berfirman: “Sesungguhnya Aku ini Allah”. Bila kita menganalisis firman Allah tersebut maka dapatlah kita ketahui bahwa sesungguhnya Allah itu ingin dikenal. Firman Allah pada surat Thaha tersebut senada dengan firman Allah pada surat Al-A’la ayat 14: “Beruntunglah orang-orang yang mensucikan hatinya”. Makna beruntung pada ayat ini adalah bahwa keuntungan yang diperoleh oleh orang-orang yang mensucikan hatinya adalah dapat mengenal Allah. Bahkan bila kita analisis lebih jauh selain memiliki persamaan makna, kedua ayat tersebut juga memiliki kaitan di mana ayat yang satu berfungsi sebagai penjelas bagi yang lain. Pada surah Thaha Allah berfirman:“Sesungguhnya Aku ini Allah”. Ayat tersebut mengintruksikan kepada manusia kewajiban untuk mengenal Allah. Pada surah al-A’la ayat 14 Allah berfirman: “Beruntunglah orang-orang yang mensucikan hatinya”. Pada ayat ini Allah memuji orang-orang yang mensucikan hatinya, sebab hanya orang-orang yang mensucikan hatinyalah yang dapat mengenal Allah dan merekalah yang dinyatakan Allah sebagai orang-orang yang beruntung. Dari uraian singkat di atas dapat disimpulkan bahwa firman Allah pada surat Thaha ayat 14 keduanya mengindikasikan bahwa kewajiban pertama bagi manusia adalah terlebih dahulu mensucikan hatinya agar ia dapat mengenal Tuhannya.
            
Kedua, pada bagian tengah surat Thaha Allah berfirman: “Tiada Tuhan selain Aku”. Bila kita analisis firman Allah di atas, maka dapat kita ketahui bahwa maksud yang terkandung di dalamnya adalah perintah untuk mengingat-Nya, sebab kalimat  “Tiada Tuhan selain Allah”,bermakna tidak ada yang boleh diingat selain Allah. Firman Allah pada surat al-A’la ayat 15:“Dan mengingat Tuhannya”. Dari uraian singkat di atas dapat disimpulkan bahwa kewajiban yang kedua bagi manusia adalah mengingat Tuhannya.
            
Ketiga, pada bagian akhir surat Thaha Allah berfirman: “Sembahlah Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku”. Bila kita analisis pada ayat di atas bahwa printah sembah datang setelah terlebih dahulu Allah memerintahkan untuk mengenal dan mengingatnya. Perintah sembah tersebut diwujudkan dengan mendirikan shalat yang tujuannya adalah untuk mengingat-Nya. Firman Allah tersebut senada dengan firman Allah pada surat al-A’la ayat 15: “Maka dirikanlah shlalat”. Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa kedua ayat tersebut sama-sama mengindikasikan bahwa shalat merupakan kewajiban ketiga.
            
Dari penjelasan di atas dapatlah kita ketahui mengapa para sufi menaruh perhatian besar terhadap hati (qalb) dan menempatkan shalat sebagai kewajiban ketiga. Karena sesungguhnya perintah shalat itu diterima setelah terlebih dahulu Jibril mensucikan hati Nabi Muhammad sebelum ia menghadap Allah. Sebab Allah itu tidak dapat dilihat oleh mata kepala Nabi Muhammad tetapi hanya dapat dilihat oleh mata hati Nabi Muhammad. Oleh sebab itu sebelum Nabi Muhammad berjumpa dengan Allah, terlebih dahulu Jibril mensucikan hatinya, agar nur yang ada di dalam mata hatinya itu dapat memancar, sebab dengan nur itulah Nabi Muhammad dapat menyaksikan Allah. Itulah sebabnya di dalam surah al-Isra’ ayat 1 Allah menggunakan kalimat Maha Suci, sebab Allah itu Maha Suci dan hanya dapat dilihat oleh hamba-hamba-Nya apabila mereka telah mensucikan hati mereka.

Adapun makna Jibril mensucikan hati Nabi Muhammad pada hakikatnya adalah sesungguhnya Malaikat Jibril menyampaikan pengenalan kepada Allah dalam istilah ilmu tarekat lazim disebut dengan bai’at. Praktik bai’at yang diterima oleh Nabi dari gurunya Malaikat Jibril diteruskan kepada Ali ibn Abi Thalib dan praktik seperti ini terus berlanjut dari guru ke murid dalam rangkaian silsilah hingga saat ini. Praktik bai’at yang diterapkan di kalangan ahli tarekat sesungguhnya mengacu pada pola yang dilaksanakan oleh Nabi. Jadi berdasarkan tradisi bai’at inilah muncul istilah bahwa“Barangsiapa yang tidak mempunyai syekh maka gurunya adalah setan” sebab Nabi sendiri tidak dapat mengenal Allah tanpa berguru kepada Malaikat Jibril, apalagi kita sebagai manusia biasa yang hina dan dhaif yang tidak mempunyai kedudukan apa-apa di sisi Allah maka mustahil dapat mengenal Allah tanpa guru. Oleh sebab itu Nabi bersabda:

اَلْعِلْمُ عِلْمَانِ فَعِلْمُ بَطِنِ فِى قَلْبِى فَذَالِكَ هُوَ نَفِعِى

“ilmu itu ada dua macam, adapun ilmu batin yang di dalam hati itu jauh lebih bermanfaat”.
            
Dari penjelasan Hadis di atas dapatlah kita ketahui bahwa tidak hanya para sufi yang menaruh perhatian besar terhadap hati, bahkan Nabi sendiri lewat Hadisnya secara tegas menyatakan keutamaan ilmu hatilah manusia dapat mengenal Allah.
            
Banyak kekeliruan umat Islam saat ini adalah tidak mau mempelajari ilmu hati dan lebih mengutamakan ilmu syari’at. Oleh sebab itu menurutnya mayoritas umat Islam saat ini tidak mengenal yang mereka sembah dan sesungguhnya mereka berada dalam kesesatan yang nyata sebagaimana firman Allah:

فَوَيْلٌ لِلْقَسِيَةِ قُلُوْبُهُمْ مِنْ ذِكْرِاللهِ أُلَئِكَ فِى ضَلَلٍ مُّبِيْنٍ

“Maka celakalah bagi orang yang hatinya tidak dapat mengingat Allah, mereka itu dalam kesesatan yang nyata”. (Q.S. 39 az-Zumar: 22)
            
Demikianlah celaan Allah terhadap orang-orang yang tidak dapat mengingat-Nya, yang kesemuanya itu disebabkan karena mereka tidak mempelajari soal hati. Namun kebanyakan umat Islam saat ini tidak tahu kalau mereka itu tidak tahu. Mereka menganggap bahwa amal ibadah mereka dapat diterima oleh Allah SWT, karena merasa bahwa tauhid mereka telah sempurna, padahal sesungguhnya mereka berada dalam kesesatan yang nyata. Sesungguhnya orang-orang yang bertauhid si sisi Allah adalah orang-orang yang telah mempelajari ilmu hati. Sebab hanya dengan mempelajari ilmu hatilah kita baru dapat mengenal Allah. Jadi sesungguhnya orang-orang yang tidak mempelajari ilmu hati adalah orang-orang yang bertauhid di sisi manusia tetapi sesungguhnya kafir di sisi Allah, sebab tauhid mereka hanya di lidah, namun hatinya tidak pernah menyaksikan Allah. Mereka menganggap bahwa dengan mengucap dua kalimah syahadat dan percaya dalam hati berarti telah Islam dan beriman di sisi Allah. Padahal keislaman dan keimanan mereka itu barulah sebatas percaya kepada Allah. Oleh sebab itu orang-orang yang mengabaikan atau tidak mempelajari ilmu hati (ilmu tarekat) sesungguhnya adalah orang-orang yang mengabaikan tauhid.
            
Dari uraian di atas dapatlah kita ketahui betapa pentingnya mempelajari ilmu hati (ilmu tarekat). Jadi dapat disimpulkan bahwa ilmu tauhid yang sesungguhnya adalah dengan mempelajari ilmu hati.

Dalam ilmu Tasawwuf ada istilah ‘al-Maqamat’ atau tahapan / tingkatan yang akan dilalui oleh seseorang untuk mencapai ‘makrifat’ atau mengenal Allah. Perjalanan panjang menuju tujuan tersebut disebut dengan ‘suluk’.

Suluk tersebut didasarkan pada sabda Rasulullah Saw:

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم إِنَّ اللَّهَ قَالَ مَنْ عَادَى لِى وَلِيًّا فَقَدْ آذَنْتُهُ بِالْحَرْبِ ، وَمَا تَقَرَّبَ إِلَىَّ عَبْدِى بِشَىْءٍ أَحَبَّ إِلَىَّ مِمَّا افْتَرَضْتُ عَلَيْهِ ، وَمَا يَزَالُ عَبْدِى يَتَقَرَّبُ إِلَىَّ بِالنَّوَافِلِ حَتَّى أُحِبَّهُ ، فَإِذَا أَحْبَبْتُهُ كُنْتُ سَمْعَهُ الَّذِى يَسْمَعُ بِهِ ، وَبَصَرَهُ الَّذِى يُبْصِرُ بِهِ ، وَيَدَهُ الَّتِى يَبْطُشُ بِهَا وَرِجْلَهُ الَّتِى يَمْشِى بِهَا ، وَإِنْ سَأَلَنِى لأُعْطِيَنَّهُ ، وَلَئِنِ اسْتَعَاذَنِى لأُعِيذَنَّهُ (البخارى 6502)

“Sesungguhnya Allah berfirman (Hadis Qudsi) : Barangsiapa yang memusuhi seorang wali maka Aku mengizinkan berperang. Tidak ada yang seorang hamba yang mendekatkan diri kepadaKu yang lebih Aku cintai daripada hal-hal yang telah Aku wajibkan kepadanya. Dan hambaku tiada berhenti mendekatkan diri kepadaKu dengan ibadah sunah hingga Aku mencintainya. Jika Aku mencintainya maka Aku menjadi pendengarannya, penglihatannya, tangan yang dipukulnya, langkah kakinya. dan jika ia meminta maka sunggu Aku kabulkan, dan jika ia berlindung kepadaKu, niscaya Aku lindungi” (HR al-Bukhari)
al-Hafidz Ibnu Hajar berkata:

قَالَ الطُّوفِيُّ : هَذَا الْحَدِيثُ أَصْلٌ فِي السُّلُوكِ إِلَى اللَّه وَالْوُصُول إِلَى مَعْرِفَتِهِ وَمَحَبَّتِهِ وَطَرِيقِهِ ، إِذْ الْمُفْتَرَضَاتُ الْبَاطِنَةُ وَهِيَ الْإِيمَان وَالظَّاهِرَة وَهِيَ الْإِسْلَام وَالْمُرَكَّبُ مِنْهُمَا وَهُوَ الْإِحْسَانُ فِيهِمَا كَمَا تَضَمَّنَهُ حَدِيثُ جِبْرِيل ، وَالْإِحْسَان يَتَضَمَّنُ مَقَامَاتِ السَّالِكِينَ مِنْ الزُّهْد وَالْإِخْلَاص وَالْمُرَاقَبَة وَغَيْرهَا ، وَفِي الْحَدِيث أَيْضًا أَنَّ مَنْ أَتَى بِمَا وَجَبَ عَلَيْهِ وَتَقَرَّبَ بِالنَّوَافِلِ لَمْ يُرَدَّ دُعَاؤُهُ لِوُجُودِ هَذَا الْوَعْد الصَّادِق الْمُؤَكَّد بِالْقَسَمِ (فتح الباري لابن حجر - ج 18 / ص 342)

“ath-Thufi berkata: Hadis ini adalah dalil dasar dalam melakukan suluk (tahapan / jenjang) menuju Allah dan sampai pada makrifat (mengenal) Allah dan mencintainya. Sebab kewajiban-kewajiban batin seperti iman, dan kewajiban-kewajiban fisik yaitu Islam, dan yang tersusun dari keduanya, yaitu Ihsan sebagaimana dalam hadis yang disampaikan dalam kisah Malaikat Jibril. Sementara Ihsan mengandung tahapan-tahapan yang dilalui oleh pelaksana, seperti zuhud, ikhlas, diawasi oleh Allah dan lainnya. Dalam hadis ini juga dijelaskan bahwa orang yang melakukan ibadah wajib dan mendekatkan diri dengan ibadah sunah donya tidak akan ditolak, sebab telah ada janji yang dikuatkan dengan sumpah” (Fathul Bari 18/342)‎

Suluk yang berarti menempuh jalan menuju kepada Tuhan Allah SWT. Suluk juga disebut khalwat, yaitu berada ditempat yang sunyi sepi, agar dapat beribadat dengan khusuk dan sempurna. Suluk ini juga disebut iktikaf. Seseorang yang melaksanakan suluk dinamakan salik. Orang suluk beriktikaf di masjid atau surau, sebagaimana yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW atau Salafus Shaleh. Masa suluk itu dilaksanakan 10 hari, 20 hari atau 40 hari. Orang yang melaksanakan suluk itu wajib di bawah pimpinan seorang yang telah ma’rifat, dalam hal ini adalah Syekh Mursyid.
Pengertian suluk adalah ikhtiar menempuh jalan menuju kepada Tuhan Allah, semata-mata untuk mencari keridlaan-Nya. Hakikat suluk adalah usaha, ikhtiar dengan sungguh-sungguh untuk membersihkan diri rohani maupun jasmani, dengan bertobat dan mengosongkan diri pribadi dari sifat-sifat buruk (maksiat lahir maupun batin), dan mengisinya dengan sifat-sifat terpuji, taat lahir maupun batin. Setiap orang yang suluk meyakini, bahwa dirinya akan menjadi bersih dan tobatnya akan diterima oleh Allah SWT, sehingga dia menjadi taqarrub, dekat diri kepada-Nya.

Orang dalam suluk seluruh hidup dan kehidupannya harus bernilai ibadat dan tidak boleh ada padanya yang bernilai sia-sia. Karena itu ibadat-ibadat yang dilakukan baik yang wajib maupun yang sunat, sama saja dengan ibadat yang dilakukan oleh orang-orang yang tidak suluk, sesuai dengan ketentuan syariat. Orang dalam suluk berusaha bermujahadah, bersungguh-sungguh melaksanakan itu semua dengan lebih intensif, dengan konsentrasi penuh, dengan khusuk lillahi ta’ala. Tidak ada sedikit pun peramalan itu yang menyimpang, apalagi keluar dari ketentuan syariat. Tidak ada peramalan bid’ah, apalagi menjurus kepada khurafat dan syirik, bahkan orang suluk berusaha untuk mendapatkan tauhid yang semurni-murninya, tidak hanya dalam bentuk ilmul yakin atau ‘ainul yakin tapi dalam bentuk hakkul yakin.

Doa Nabi Sulaiman Menundukkan Hewan dan Jin

  Nabiyullah Sulaiman  'alaihissalam  (AS) merupakan Nabi dan Rasul pilihan Allah Ta'ala yang dikaruniai kerajaan yang tidak dimilik...