Minggu, 29 November 2020

Penjelasan Tentang Kerjasama Politik


Adalah fitrah manusia yang selalu hidup dalam kelompok, baik besar atau kecil. Kehidupan manusia yang kompleks dan majemuk menuntut adanya aturan dan norma yang menata pola hubungan manusia. Islam sebagai agama samawi yang universal tidak membiarkan kehidupan manusia kosong dari bimbingan.

Jika masalah-masalah pribadi yang relatif sederhana Islam memandang penting untuk membuat aturan di dalamnya, maka kehidupan sosial politik lebih urgen untuk mendapatkan sentuhan dan bimbingan agama agar terbentuk pola kehidupan komunal yang sehat dan harmonis.

Mean Goals (Maqashid Ammah) Syariah dalam Kehidupan Politik

Dalam Syariah Islam terdapat tiga kerangka besar yang mesti terealisasi melalui jabatan-jabatan politik.

Yang pertama adalah menegakkan agama (iqomatud din).

Al-Qur’an merekomendasikan dan menginformasikan bahwa orang-orang yang layak mendapatkan pertolongan Allah adalah orang-orang yang jika mendapatkan posisi politik penting, mereka mendirikan shalat, menunaikan zakat, memerintahkan kepada yang baik dan melarang dari hal yang buruk. Allah berfirman dalam surat al-Hajj ayat 41:

{الَّذِينَ إِنْ مَكَّنَّاهُمْ فِي الْأَرْضِ أَقَامُوا الصَّلَاةَ وَآتَوُا الزَّكَاةَ وَأَمَرُوا بِالْمَعْرُوفِ وَنَهَوْا عَنِ الْمُنْكَرِ وَلِلَّهِ عَاقِبَةُ الْأُمُورِ} الحج: ٤١

Artinya: “….(yaitu) orang-orang yang jika Kami tempatkan (diberi posisi kuat) di muka bumi, mereka mendirikan shalat, menunaikan zakat, memerintahkan kepada kebaikan dan melarang dari keburukan.” (QS al-Hajj: 41)

Allah juga meringkas tugas-tugas para Nabi dalam kewajiban inti, yaitu menegakkan agama dan menghindari perpecahan dalam agama. Allah berfirman:

{شَرَعَ لَكُمْ مِنَ الدِّينِ مَا وَصَّى بِهِ نُوحًا وَالَّذِي أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ وَمَا وَصَّيْنَا بِهِ إِبْرَاهِيمَ وَمُوسَى وَعِيسَى أَنْ أَقِيمُوا الدِّينَ وَلَا تَتَفَرَّقُوا فِيهِ} الشورى: ١٣

Artinya: “Allah telah mensyariatkan agama sebagaimana yang telah diwasiatkan kepada Nuh, dan yang juga yang Kami wahyukan kepadamu (wahai Muhammad), juga Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa, yaitu agar: tegakkanlah agama dan jangan bercerai berai di dalamnya.” (QS asy-Syura: 13)

Penegakan ajaran-ajaran agama adalah tujuan tertinggi dalam perjuangan politik Islam. Perjuangan politik yang menggunakan bendera Islam tetapi tidak berimplikasi terhadap penegakan ajaran dan nilai agama Islam adalah manipulasi dan pengkhianatan terhadap Islam dan umat Islam. Tapi itu bukan berarti bahwa penegakan agama harus menonjolkan simbol-simbol formal tertentu. Islam bukanlah agama yang sekadar mengedepankan simbol dan melupakan substansi. Bahkan al-Qur’an mengatakan secara tegas bahwa inti kebajikan bukanlah formalitas agama yang kaku, tetapi esensi dan substansi beragam kebaikan yang telah banyak dikenal orang. Allah berfirman:

{لَيْسَ الْبِرَّ أَنْ تُوَلُّوا وُجُوهَكُمْ قِبَلَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ وَلَكِنَّ الْبِرَّ مَنْ آمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَالْمَلَائِكَةِ وَالْكِتَابِ وَالنَّبِيِّينَ وَآتَى الْمَالَ عَلَى حُبِّهِ ذَوِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينَ وَابْنَ السَّبِيلِ وَالسَّائِلِينَ وَفِي الرِّقَابِ وَأَقَامَ الصَّلَاةَ وَآتَى الزَّكَاةَ وَالْمُوفُونَ بِعَهْدِهِمْ إِذَا عَاهَدُوا وَالصَّابِرِينَ فِي الْبَأْسَاءِ وَالضَّرَّاءِ وَحِينَ الْبَأْسِ أُولَئِكَ الَّذِينَ صَدَقُوا وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُتَّقُونَ } البقرة: ١٧٧

“Kebajikan itu bukanlah dengan menghadapkan wajahmu ke timur atau ke barat. Akan tetapi kebajikan itu adalah orang yang beriman kepada Allah, Hari Akhir, malaikat, al-kitab, para Nabi, dan memberikan harta yang dicintai kepada kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, orang yang dalam perjalanan, peminta-minta, dan mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan orang-orang yang memenuhi janji mereka, orang-orang yang sabar dalam kesulitan, penderitaan dan ketika perang. Merekalah orang-orang yang benar, dan merekalah orang-orang yang bertaqwa.” (QS al-Baqarah: 177)

Menarik untuk diperhatikan dalam ayat di atas Allah bukan hanya memberi penjelasan tentang bentuk-bentuk kebajikan dengan gaya bahasa yang biasa. Allah tidak sekadar mengatakan bahwa kebajikan adalah perbuatan ini dan itu, tetapi Allah justru mengatakan bahwa kebajikan adalah orang yang beriman dan seterusnya. Dalam ilmu balaghah (retorika bahasa Arab) ini dikenal dengan istilah majaz isnadi. Allah menggunakan gaya bahasa seperti itu di antaranya adalah untuk menjelaskan bahwa kebajikan bukanlah sekadar konsep atau ungkapan verbal belaka, tetapi kebajikan hanyalah menjadi real kebajikan jika sudah terjelma dalam perilaku seseorang.

Dalam dunia politik masalah ini menjadi sangat penting, karena dunia politik adalah dunia yang gaduh dengan retorika kebaikan tetapi sering sepi dari realita kebaikan itu sendiri. Seolah-olah al-Qur’an ingin mengatakan bahwa inti masalahnya bukan saja apa itu substansi kebaikan, tetapi sejauh mana hal itu muncul dalam realita.

Al-Imam al-Mawardi merumuskan bahwa kepemimpinan politik dalam Islam diposisikan dalam syariah Islam untuk memenuhi dua tugas besar meliputi urusan agama dan urusan dunia. Beliau berkata dalam kitabnya al-Ahkam as-Sulthaniyah:

الْإِمَامَةُ مَوْضُوعَةٌ لِخِلَافَةِ النُّبُوَّةِ فِي حِرَاسَةِ الدِّينِ وَسِيَاسَةِ الدُّنْيَا

“Kepemimpinan diletakkan demi menggantikan tugas kenabian dalam menjaga agama dan mengatur dunia.” 

Tujuan besar kedua yang dituntut dalam dunia politik Islam adalah penegakan keadilan. Penegakan keadilan menduduki ranking pertama dalam deklarasi singkat surat an-Nahl yang merumuskan pokok-pokok perintah Allah yang utama. Allah berfirman:

{إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ وَإِيتَاءِ ذِي الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ } النحل: ٩٠

“Sungguh Allah memerintahkan untuk berbuat adil, ihsan, menyantuni kerabat, dan melarang dari perbuatan keji, mungkar dan agresif.” (QS an-Nahl: 90)

Dalam ayat yang lain yang merupakan landasan dasar politik Islam, sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu Taimiyah, Allah juga menjadikan isu penegakan keadilan menjadi isu utama. Allah berfirman:

{إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ} النساء: ٥٨

“Sungguh Allah memerintahkan kalian agar menunaikan amanat kepada yang berhak, dan jika kalian memerintah hendaklah kalian memerintah dengan adil.” (QS an-Nisa: 58)

Begitu vital dan strategisnya masalah penegakan keadilan sampai-sampai keberlangsungan sebuah negara begitu tergantung pada kemampuannya menegakkan keadilan. Ibnu Taimiyah -rahimahullah- menegaskan kenyataan ini, dalam beberapa kesempatan. Beliau berkata, “Semua orang tidak ada yang berbeda pandangan bahwa akibat dari kezhaliman adalah hina, dan akibat dari keadilan adalah mulia. Karena itu dikatakan bahwa ‘Allah membela negara yang adil meski kafir, dan tidak membela negara yang zhalim meski beriman."‎

Isu utama yang juga menjadi tuntutan Syariah Islamiyyah adalah isu pengentasan kemiskinan atau perbaikan ekonomi. Islam menjadikan santunan kepada faqir miskin sebagai prioritas pertama dalam masharif zakat yang merupakan pondasi utama ekonomi Islam.

{إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ وَابْنِ السَّبِيلِ فَرِيضَةً مِنَ اللَّهِ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ } التوبة: ٦٠

Artinya: “Shadaqah (zakat) itu hanyalah diperuntukkan bagi para fakir, miskin, orang-orang yang bekerja mengelolanya, orang-orang yang diikat hatinya, budak (yang ingin dimerdekakan), orang-orang yang berutang, (untuk kepentingan) di jalan Allah, dan orang yang dalam perjalanan. Dan Allah Maha Mengetahui dan Bijaksana.” (QS at-Taubah: 60)

Kewajiban negara membantu menyelesaikan kesulitan warganya secara langsung adalah kebijakan yang dicontohkan Nabi Besar Muhammad SAW. Hal ini ditunjukkan secara jelas dalam hadits berikut:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، كَانَ يُؤْتَى بِالرَّجُلِ الْمُتَوَفَّى عَلَيْهِ الدَّيْنُ، فَيَسْأَلُ: هَلْ تَرَكَ لِدَيْنِهِ فَضْلًا؟ فَإِنْ حُدِّثَ أَنَّهُ تَرَكَ وَفَاءً صَلَّى وَإِلَّا قَالَ: لِلْمُسْلِمِينَ: “صَلُّوا عَلَى صَاحِبِكُمْ.” فَلَمَّا فَتَحَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْفُتُوحَ قَالَ: “أَنَا أَوْلَى بِالْمُؤْمِنِينَ مِنْ أَنْفُسِهِمْ، فَمَنْ تُوُفِّيَ مِنْ الْمُؤْمِنِينَ فَتَرَكَ دَيْنًا فَعَلَيَّ قَضَاؤُهُ وَمَنْ تَرَكَ مَالًا فَلِوَرَثَتِهِ.” متفق عليه

Dari Abi Hurairah RA bahwa Rasulullah SAW dahulu jika didatangkan dengan orang meninggal yang masih menanggung utang, beliau bertanya, “Apakah dia masih menyisakan utang?” Jika dikabarkan bahwa dia sudah melunasi utangnya beliau menshalatkannya. Jika tidak beliau berkata kepada umat Islam, “Shalatkanlah sahabat kalian!” Ketika Allah memberikan banyak kemenangan dalam banyak peperangan, beliau berkata, “Saya lebih berhak atas orang-orang mukmin dari diri mereka sendiri. Siapapun orang beriman yang meninggal dan meninggalkan utang maka saya yang menanggung pelunasannya. Dan barang siapa yang meninggalkan harta maka itu untuk ahli warisnya.” [HR al-Bukhari 16/461 no. 4952, dan Muslim 4/359 no. 1435]‎

Nabi Muhammad SAW memprioritaskan solusi-solusi nyata bagi persoalan masyarakat begitu mendapatkan surplus pendapatan negara. Beliau tidak berpikir misalnya untuk membangun rumahnya yang masih berstandar RSS, atau menghiasi masjid yang masih jauh dari standar infrastruktur negara besar di saat itu, atau hal-hal lain yang masih tergolong tahsiniyyat (tersier) atau hajiyyat (sekunder), karena masih banyak umat Islam ketika itu yang belum mampu memenuhi kebutuhan dharuriyyat (primer).

Dari sini kita pahami betapa seriusnya Islam memberikan perhatian terhadap pemenuhan kebutuhan rakyat secara real. Kelebihan pendapatan yang Rasulullah SAW dapatkan dari banyak kemenangan-kemenangan beliau tidak diputar di kalangan tertentu, sehingga umat Islam hanya menonton hasil perjuangan yang dinikmati oleh golongan elit saja. Dan bahkan Rasulullah SAW yang membuat kebijakan seperti itu, justru malah menyisakan utang pribadinya, sehingga baju besinya masih tergadai di tangan seorang Yahudi di kala beliau menghadap Allah SWT. Semoga kita semua dapat menyerap pelajaran besar ini.

Itulah trilogi penting dalam perjuangan politik Islam: agama, keadilan dan kesejahteraan. Dan trilogi inilah juga yang diungkapkan oleh Rib’iy bin Amir ketika menjelaskan inti agama Islam di hadapan Rustum. Beliau berkata, “Allah mengutus kami untuk mengeluarkan manusia dari penyembahan terhadap hamba menuju penyembahan kepada Allah, dari kezhaliman agama-agama menuju keadilan Islam, dan dari kesempitan dunia menuju kelapangan dunia dan akhirat.”

Dasar Legalitas Jihad Siyasi

Perjuangan politik tidaklah tabu dalam agama Islam, bukan hanya dalam syariat Nabi Muhammad SAW bahkan juga dalam nabi-nabi sebelumnya. Nabi Yusuf AS misalnya mencontohkan bagaimana beliau memerankan posisi politik penting dalam kerajaan Mesir, sebagai da’i di satu sisi dan sebagai pejabat Negara yang sukses menyejahterakan rakyat di sisi lain.

Demikian juga Nabi Daud AS dan dilanjutkan oleh Nabi Sulaiman AS. Mereka menjadi pucuk pimpinan negara yang dibangun oleh Bani Israil dan berhasil menegakkan dan menyebarkan ajaran Tauhid di muka bumi.

Al-Qur’an juga memberikan contoh penguasa super power seperti Dzul Qarnain yang mampu menyelesaikan persoalan umat manusia dari ujung barat bumi sampai ujung timur.

Contoh yang paling lengkap dan detail dalam perjuangan politik Islam adalah Nabi Pamungkas Nabi Muhammad SAW. Sudah sama-sama dimaklumi bagaimana beliau membangun masyarakat dan mengelola negara melalui perjuangan politik.

Begitu pentingnya politik dan institusi politik, sehingga sahabat Umar bin Khatthab RA berkata:

لا إسلام إلا بجماعة، ولا جماعة إلا بإمارة، ولا إمارة  إلا  بطاعة، فمن سوّده قومه على الفقه كان حياة له ولهم، ومن سوده قومه على غير فقه كان هلاكا له ولهم.

“Tidak ada Islam tanpa jamaah, dan tidak ada jamaah tanpa kepemimpinan, dan tidak ada kepemimpinan tanpa ketaatan. Barang siapa yang dijadikan pemimpin oleh kaumnya atas dasar pemahaman, maka itu adalah kehidupan baginya dan bagi kaumnya. Dan barang siapa yang dijadikan pemimpin oleh kaumnya tidak atas dasar pemahaman, maka itu adalah kehancuran baginya dan bagi kaumnya.” [Diriwayatkan oleh ad-Darimy dalam “Sunan”-nya (1/91 no. 251)]‎

Urgensi entitas politik juga ditekankan oleh para ulama. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata: “Wajib diketahui bahwa memegang jabatan publik termasuk dalam kewajiban-kewajiban agama yang agung. Bahkan agama tidak akan tegak tanpa hal itu. Karena anak-anak Adam tidak akan sempurna maslahat mereka kecuali dengan berkelompok, dikarenakan kebutuhan mereka terhadap sesama. Dan ketika berkelompok mereka memerlukan pemimpin sehingga Nabi SAW bersabda, “Jika tiga orang dalam perjalanan, hendaklah mereka memilih salah seorang mereka menjadi pemimpin.” Diriwayatkan oleh Abu Daud dari hadits Abu Said dan Abu Hurairah. Imam Ahmad meriwayatkan dalam al-Musnad dari Amr bin al-Ash bahwa Nabi SAW bersabda, “Tidak halal bagi tiga orang yang berada di sebuah padang kecuali jika mereka memilih salah seorang mereka menjadi pemimpin.” Dengan demikian Nabi Muhammad SAW mewajibkan memilih pemimpin dalam kelompok kecil yang insidentil dalam sebuah perjalanan sebagai isyarat untuk semua jenis perkumpulan. Dan juga karena Allah mewajibkan untuk memerintahkan kepada yang ma’ruf dan melarang dari yang munkar, dan hal itu tidak mungkin dilakukan tanpa kekuatan dan pemerintahan. Juga kewajiban-kewajiban yang lain seperti jihad, penegakan keadilan, hajji, shalat Jum’at, hari-hari raya, menolong orang yang dizhalimi, menegakkan hudud, semua tidak mungkin tanpa kekuatan dan pemerintahan.” [As-Siyasah as-Syar’iyyah hal. 136-137]‎

Moralitas Islam dalam Kehidupan Politik

Jabatan politik adalah wilayah yang penuh dengan resiko penyelewengan dan kezhaliman. Karena itu sangat banyak arahan-arahan moral dalam al-Qur’an dan as-Sunnah untuk menjaga agar kehidupan politik umat menjadi kehidupan yang sehat dan produktif antara lain:

A. Larangan Memperebutkan Jabatan Politik

Diriwayatkan dalam muttafaq ‘alaih:

عن عَبْد الرَّحْمَنِ بْنُ سَمُرَةَ قَالَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: يَا عَبْدَ الرَّحْمَنِ بْنَ سَمُرَةَ لَا تَسْأَلْ الْإِمَارَةَ، فَإِنَّكَ إِنْ أُوتِيتَهَا عَنْ مَسْأَلَةٍ وُكِلْتَ إِلَيْهَا، وَإِنْ أُوتِيتَهَا مِنْ غَيْرِ مَسْأَلَةٍ أُعِنْتَ عَلَيْهَا

Dari Abdurrahman bin Samurah RA bahwa Nabi SAW bersabda, “Wahai Abdurrahman bin Samurah! Janganlah kau meminta (jabatan) kepemimpinan, karena jika engkau mendapatkannya dengan meminta, engkau akan diserahkan kepadanya (tidak mendapat pertolongan), tapi jika engkau mendapatkannya tanpa meminta, engkau akan dibantu memikulnya.”[HR al-Bukhari (22/55 no. 6613) dan Muslim (8/453 no. 3120)]‎

Dalam hadits lain dari Abu Hurairah RA Nabi Muhammad SAW bersabda:

إِنَّكُمْ سَتَحْرِصُونَ عَلَى الْإِمَارَةِ، وَسَتَكُونُ نَدَامَةً يَوْمَ الْقِيَامَةِ، فَنِعْمَ الْمُرْضِعَةُ وَبِئْسَتْ الْفَاطِمَةُ.

“Kalian akan mengejar (jabatan) kepemimpinan, dan itu akan menjadi penyesalan di hari Kiamat, karena (jabatan) itu adalah penyusu yang nikmat dan penyapih yang buruk.”[HR al-Bukhari (22/59 no. 6615)]‎

Pada suatu saat Abu Musa al-Asy’ary mendatangi Nabi SAW bersama dua orang lain dari kabilahnya. Tiba-tiba salah seorang dari mereka berkata, “Wahai Rasulullah! Jadikanlah aku pemimpin!” Dan yang satu lagi juga mengatakan hal yang sama. Lalu Nabi SAW berkata:

إِنَّا وَاللَّهِ لَا نُوَلِّي عَلَى هَذَا الْعَمَلِ أَحَدًا سَأَلَهُ وَلَا أَحَدًا حَرَصَ عَلَيْهِ

“Kami tidak memberikan jabatan ini kepada orang yang memintanya atau sangat menginginkannya.”[HR al-Bukhari (22/60 no. 6616) dan Muslim (9/344 no. 3402)]‎

Pada suatu hari Abu Dzar berkata kepada Nabi Muhammad SAW, “Wahai Rasulullah, mengapa engkau tidak memberikan jabatan kepadaku?” Lalu beliau memukul pundak Abu Dzar dan bersabda,

يَا أَبَا ذَرٍّ إِنَّكَ ضَعِيف، وَإِنَّهَا أَمَانَةُ، وَإِنَّهَا يَوْمَ الْقِيَامَةِ خِزْيٌ وَنَدَامَةٌ، إِلَّا مَنْ أَخَذَهَا بِحَقِّهَا، وَأَدَّى الَّذِي عَلَيْهِ فِيهَا.

“Wahai Abu Dzarr, engkau lemah, dan kepemimpinan itu adalah amanah, dan hari Kiamat akan menjadi kehinaan dan penyesalan, kecuali yang mendapatkannya sesuai kelayakannya, dan menunaikan hak-haknya.” [HR Muslim (9/347 no. 3404)]‎

Pada dasarnya jabatan itu memang sangat berbahaya jika dijadikan ajang perebutan dan pertarungan. Islam sangat menjaga agar kehidupan politik tidak dikacaukan dengan perebutan jabatan, agar tidak muncul orang-orang yang berambisi besar tapi tidak mengerti beratnya tanggung jawab dan tidak mampu menunaikan kewajibannya sebagai pemimpin. Karena pada umumnya orang-orang yang berambisi menjadi pemimpin adalah orang-orang yang egois dan tidak takut akan beratnya tanggung jawab. Islam lebih mengarahkan agar pemimpin muncul karena kepercayaan yang diberikan oleh orang lain, bukan muncul dari ambisi pribadi.

Itu adalah kaidah umum yang mesti menjadi pijakan. Akan tetapi pada kasus-kasus tertentu mungkin terjadi pengecualian, di mana terjadi kekosongan yang tidak dapat diisi kecuali oleh orang yang meminta jabatan. Tapi jika pengecualian ini menjadi kaidah umum, maka kondisi umat akan berubah drastis, di mana mayoritas pemimpin bukan lagi orang-orang bertaqwa yang takut pada hisab di hari Akhir, tetapi sebagian besar pemimpin adalah orang-orang ambisius dan lemah integritas.

Sebagian orang menjadikan kisah Nabi Yusuf AS menjadi dalil bolehnya meminta jabatan bagi orang yang merasa mampu dan kapabel. Akan tetapi hal itu tidak cukup tepat, karena Nabi Yusuf tidak meminta jabatan sejak awal, lebih tepatnya beliau diminta oleh Raja Mesir, lalu beliau memilih posisi yang beliau anggap mampu untuk memikulnya.

Untuk lebih lengkapnya mari kita baca ayat-ayat berikut:

{وَقَالَ الْمَلِكُ ائْتُونِي بِهِ أَسْتَخْلِصْهُ لِنَفْسِي فَلَمَّا كَلَّمَهُ قَالَ إِنَّكَ الْيَوْمَ لَدَيْنَا مَكِينٌ أَمِينٌ . قَالَ اجْعَلْنِي عَلَى خَزَائِنِ الْأَرْضِ إِنِّي حَفِيظٌ عَلِيمٌ } يوسف: ٥٤ – ٥٥

54- Dan berkatalah Sang Raja, “Datangkanlah dia (Yusuf) kepadaku, sehingga aku jadikan dia khusus untuk (membantu) diriku.” Maka ketika dia berbicara dengannya, Sang Raja berkata, “Sungguh engkau hari ini (telah mendapat posisi) kuat dan terpercaya.”

55- Yusuf berkata, “Jadikanlah aku (penanggung jawab) atas kekayaan negeri, karena aku pandai memelihara dan memiliki pengetahuan.” (QS Yusuf: 54-55)

Jelas dari kisah di atas bahwa Nabi Yusuf tidak dari awal meminta jabatan, tetapi beliau diberikan kepercayaan dahulu secara umum, kemudian beliau meminta posisi penanggung jawab kekayaan negara karena beliau melihat kemampuannya di bidang itu.

Dalil yang lebih tepat atas bolehnya meminta jabatan adalah hadits Utsman bin Abil Ash ats-Tsaqafi:

عَنْ عُثْمَانَ بْنِ أَبِي الْعَاصِ رضي الله عنه قَالَ قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ اجْعَلْنِي إِمَامَ قَوْمِي، قَالَ: أَنْتَ إِمَامُهُمْ، وَاقْتَدِ بِأَضْعَفِهِمْ، وَاتَّخِذْ مُؤَذِّنًا لَا يَأْخُذُ عَلَى أَذَانِهِ أَجْرًا.

Dari Utsman bin Abil Ash RA beliau berkata, “Saya berkata kepada Nabi SAW, “Wahai Rasulullah, jadikanlah aku imam bagi kaumku!” Nabi SAW berkata, “Engkau menjadi imam mereka. Ikuti yang terlemah di antara mereka, dan pilihlah seorang muadzin yang tidak mengambil upah dari adzannya.” [HR Abu Daud, An-Nasa’i, al-Hakim dalam al-Mustadrak, beliau berkata, “Hadits ini shahih berdasarkan syarat Imam Muslim.” Dishahihkan juga oleh al-‘Ijluni, Ibnu Abdul Hadi al-Hanbali, at-Tibrizi, dan al-Albani.]‎

Dalam hadits tersebut sangat jelas bahwa Utsman bin Abil Ash meminta untuk dijadikan pemimpin dan permintaan tersebut langsung dikabulkan oleh Nabi SAW. Mengapa Nabi memberikan perlakuan khusus kepada Utsman bin Abil Ash dengan memberikan langsung jabatan yang dimintanya? Hal ini dijelaskan dalam riwayat Abi Daud dan Imam Ahmad dalam Musnadnya‎, bahwa Utsman bin Abil Ash datang bersama kaumnya, kabilah Tsaqif. Mereka menyatakan keislaman mereka dan afiliasi mereka terhadap umat Islam, tetapi mereka mempunyai beberapa syarat yang mereka ajukan, di antaranya adalah agar tidak diangkat pemimpin untuk mereka selain dari golongan mereka.

Di sisi lain juga Rasulullah SAW melihat kapasitas Utsman bin Abil Ash begitu menonjol, hal itu ditunjukkan dengan keantusiasan beliau dalam mempelajari al-Qur’an lebih dari yang lain. Dan pilihan Rasulullah SAW lebih terbukti ketepatannya ketika banyak kabilah-kabilah Arab banyak yang murtad setelah Rasulullah SAW wafat, Utsman bin Abil Ash-lah yang mampu meyakinkan kaumnya untuk tetap pada Islam.

Intinya adalah larangan meminta jabatan bisa dikecualikan pada kondisi-kondisi khusus seperti di atas. Akan tetapi kaidah umumnya adalah bahwa jabatan dalam Islam bukanlah untuk diperebutkan dan diberikan kepada orang yang berambisi, karena itu adalah pintu yang sangat rawan terhadap penyelewengan dan perpecahan.

B. Tidak Mengambil dan Menggunakan Harta Yang Bukan Haknya

Jabatan publik atau kekuasaan politik baik skala besar atau kecil adalah posisi yang sangat mudah untuk meraih sumber-sumber kekayaan materi. Orang-orang yang diberi kekuasaan mengelola kepentingan umum secara langsung akan sangat mudah mengambil hak orang lain jika mereka tidak memiliki komitmen moral, iman dan ketakwaan yang kokoh.

Islam bukan saja mengharamkan uang haram, tetapi lebih jauh lagi, Allah melarang segala macam upaya melegalisasi harta haram. Formalitas, prosedur resmi, kekuatan jabatan atau relasi tidak boleh dijadikan sarana memanipulasi substansi keadilan. Allah berfirman:

{وَلَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُوا بِهَا إِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوا فَرِيقًا مِنْ أَمْوَالِ النَّاسِ بِالْإِثْمِ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ} البقرة: ١٨٨

“Dan janganlah kalian memakan harta sesama kalian dengan cara yang batil, dan membawanya kepada para hakim agar kalian dapat memakan sebagian dari harta orang lain dengan cara dosa, padahal kalian mengetahui.” (QS al-Baqarah: 188)

Perilaku berhati-hati (wara’) dalam mengelola harta publik adalah rahasia sukses para khulafa’ur rasyidin dalam membangun negara.

Diriwayatkan oleh Imam Malik dan al-Baihaqi dari Zaid bin Aslam bahwa pada suatu saat Umar bin Khatthab meminum susu. Dan beliau menyukainya, lalu beliau bertanya kepada petugas yang memberinya minum, “Dari mana engkau dapatkan susu ini?”

Lalu diberitahu bahwa itu adalah susu dari hewan zakat. Begitu mengetahui bahwa susu itu adalah susu dari ternak zakat, beliau langsung memasukkan jarinya ke mulutnya hingga memuntahkan susu tersebut. [As-Sunan al-Kubra karya al-Baihaqi (6 no.1054)]

Umar bin Khatthab dapat saja meminum susu bahkan menggunakan semua harta zakat tersebut, sebagai pimpinan tertinggi negara Islam. Dan tidak aka nada yang menggugatnya, karena beliau bias saja mengklaim itu adalah hak dari pengelola zakat (amilin alaiha). Tetapi beliau tegas berpendapat bahwa itu bukan haknya yang halal sehingga beliau tidak rela untuk meminumnya.

Dari riwayat di atas Imam asy-Syafi’i mengatakan bahwa khalifah dan penguasa wilayah yang besar tidak berhak mengambil uang zakat meskipun pengelola zakat merupakan orang bawahannya. Dan Amil Zakat pun hanya boleh mengambil uang zakat sekadar keperluannya.‎

C. Memberi Contoh Zuhud

Sangat penting bagi para politisi muslim untuk memberi contoh dan keteladanan dalam berinteraksi dengan materi. Rakyat pada umumnya cenderung untuk mengikuti pemimpinnya. Jika sang pemimpin tidak memberikan contoh yang baik, maka perilaku rakyatnya akan jauh lebih buruk.

Imam Ali bin Abi Thalib menerangkan hukum sosial ini. Ketika harta rampasan perang dari Persia sampai di hadapan Umar bin Khattab dengan lengkap tak kurang sedikitpun, Umar terharu dan berkata, “Orang-orang yang menunaikan harta seperti ini sungguh orang-orang yang memiliki amanah.” Sontak Ali bin Abi Thalib mengomentari:

إِنَّكَ عَفَفْتَ فَعَفَّتِ الرَّعِيَّة

“Engkau telah menjaga diri (berbuat iffah) maka rakyatpun menjaga diri.” [Jami’ul Ahadits 28/279 no. 31304, Fadha’il Shahabah karya ad-Daruquthni 1/21, Tarikh Dimasyq 44/343, Kanzul Ummal 35822.]‎

Para pejabat publik hendaknya menyadari bahwa perilaku mereka akan dilihat dan dicontoh oleh khalayak umum sehingga mereka perlu waspada untuk tidak melakukan kesalahan sekecil apapun agar menjadi teladan yang buruk bagi orang lain.

D. Bersikap Adil Kepada Semua Orang

Keadilan yang dituntut dari perjuangan politik Islam bukanlah keadilan tebang pilih, tetapi keadilan bagi semua orang, termasuk yang bukan golongan atau partai sang pemimpin. Pemimpin muslim harus berani menegakkan keadilan meskipun terhadap dirinya atau kerabatnya. Allah berfirman:

{يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ بِالْقِسْطِ شُهَدَاءَ لِلَّهِ وَلَوْ عَلَى أَنْفُسِكُمْ أَوِ الْوَالِدَيْنِ وَالْأَقْرَبِينَ} النساء: ١٣٥

“Wahai orang-orang beriman jadilah kalian para penegak keadilan dan saksi-saksi bagi Allah meskipun terhadap diri kalian sendiri atau orang tua dan kerabat kalian.” (QS an-Nisa: 135)

Perintah berbuat adil adalah ajakan moral universal yang diakui oleh semua manusia. Tetapi berbuat adil menjadi tidak sederhana ketika terkait dengan diri sendiri, teman sendiri atau keluarga sendiri. Banyak orang bisa berteriak keras memperjuangkan keadilan ketika berkaitan dengan orang lain, tetapi jika terkait dengan diri sendiri, keluarga sendiri atau kelompok sendiri, hawa nafsu seringkali lebih dominan dibanding keinginan tulus memberikan hak-hak secara proporsional.

Baginda Nabi SAW menegaskan dengan sangat jelas, bagaimana seharusnya hukum dan keadilan diterapkan. Dalam hadits riwayat al-Bukhari dan Muslim, beliau bersabda:

وَايْمُ اللَّهِ لَوْ أَنَّ فَاطِمَةَ بِنْتَ مُحَمَّدٍ سَرَقَتْ لَقَطَعْتُ يَدَهَا

“Demi Allah, jika Fatimah binti Muhammad mencuri niscaya kupotong tangannya.” [HR al-Bukhary 11/294 no. 3216, dan Muslim 9/54 no. 3196]‎

Demikianlah sikap tegas yang diperlukan dalam menegakkan keadilan dan memperjuangkan politik Islam. Dan hanya dengan itu sebuah negara tegak dan kuat.

Dalam sebuah riwayat Imam Ali RA kehilangan baju besinya, tapi suatu hari dia menemukan seorang Yahudi sedang menjual baju besi itu di pasar. Berkatalah Imam Ali kepadanya, “Wahai Yahudi! Baju besi ini milik aku. Saya tidak pernah menjualnya dan tidak juga memberikannya.”

Orang Yahudi itu berkata, “Ayo kita pergi menghadap hakim.”

Di hadapan hakim (yang bernama Syuraih) Imam Ali berkata, “Sungguh baju besi ini adalah milikku, tidak pernah saya jual dan tidak juga saya hibahkan.”

Syuraih berkata, “Apa perkataanmu wahai Yahudi?”

Yahudi itu berkata, “Ini baju besiku dan ada di tanganku.”

Syuraih berkata kepada Imam Ali, “Apa engkau memiliki bukti atau saksi?”

Imam Ali berkata, “Ya, Qunbur (pembantunya-pen) dan Hasan dapat bersaksi bahwa baju besi ini adalah milikku.”

Syuraih berkata, “Persaksian anak untuk bapaknya tidak dapat diterima.”

Imam Ali berkata, “Bagaimana persaksian penduduk surga tidak diterima. Saya mendengar dari Rasulullah SAW bersabda, ‘Hasan dan Husein adalah tuannya penduduk surga.”

Berkatalah Yahudi tersebut, “Dia telah pergi kepada hakimnya, dan sang hakim sudah memutuskan keputusan yang merugikannya. Maka saya bersaksi bahwa agama ini adalah benar. Saya bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad SAW adalah utusan Allah. Sesungguhnya baju besi ini adalah milikmu. Ketika itu saya menunggangi unta milikmu ketika engkau pergi ke Shiffin. Dan jatuhlah baju besi itu pada malam hari. Lalu aku ambil baju besi itu.” [Hilyatul Auliya, karya Abu Nu’aim al-Ashfahani 4/140]‎

Dari kisah tersebut, dan juga kisah-kisah lain yang sangat banyak dari kehidupan sahabat-sahabat Nabi SAW kita lihat bahwa pemimpin dalam Islam adalah orang yang sangat disiplin menegakkan keadilan, meskipun terkadang justru merugikan mereka. Tetapi demi menghindari kezhaliman mereka rela untuk tidak mendapat sebagian dari hak yang mereka inginkan.

E. Jauh dari Egoisme dan Ambisi Pribadi

Agar perjuangan politik Islam berjalan lurus sesuai rel yang benar, para politisi Islam haruslah jauh dari sikap-sikap egois dan ambisius, karena hal itu akan merusak perjalanan penegakan Islam itu sendiri. Perjuangan politik jika dikendalikan oleh jiwa-jiwa yang egois otomatis akan bergeser kepada pemenuhan syahwat pribadi-pribadi tertentu.

Jabatan publik sejatinya adalah posisi untuk banyak memberi dan berkorban. Jika semangat awal para politikus adalah pemenuhan ambisi pribadinya tentu yang akan terjadi adalah eksploitasi sumber-sumber daya untuk kepentingan pribadi atau kelompok tertentu.

Dalam sebuah hadits:

ثَلَاثٌ مُهْلِكَاتٌ: شُحٌّ مُطَاعٌ وَهَوًى مُتَّبَعٌ وَإِعْجَابُ الْمَرْءِ بِنَفْسِهِ

“Tiga hal yang menyebabkan kehancuran: kekikiran yang diikuti, hawa nafsu yang dituruti, dan kekaguman seseorang terhadap dirinya sendiri.” [HR al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman: 2/308 no. 764]‎

Tiga hal yang disebutkan Nabi SAW di atas adalah hal-hal yang mendorong kepada egoisme yang akut yang menyebabkan kehancuran pribadi dan kelompok.

F. Melaksanakan Tugas dengan Baik (Itqan)

Kapabilitas adalah hal yang mutlak dipenuhi dalam memikul tugas kepemimpinan. Jika tugas dipikul oleh orang yang tidak kapabel maka kehancuranlah akibat yang menimpanya semua. Dalam hadits Jibril yang terkenal:

إِذَا وُسِّدَ الْأَمْرُ إِلَى غَيْرِ أَهْلِهِ فَانْتَظِرْ السَّاعَةَ

“Jika urusan diserahkan kepada yang bukan ahlinya maka tunggulah kiamat.” [HR al-Bukhari 1/103 no. 57]‎

Ukuran kesuksesan sebuah perjuangan politik tentulah pada kinerja pejabat politik dan efek positif yang dirasakan oleh masyarakat.

Profesionalitas kinerja politisi Islam bukanlah sekadar prestasi pribadi, tetapi adalah pertaruhan nama Islam yang dibawanya. Kegagalan atau kekurangan dalam kinerja pejabat publik dari partai Islam akan berimbas pada kepercayaan masyarakat terhadap perjuangan politik Islam itu sendiri. Dari situ penting untuk diusahakan dalam partai Islam untuk memiliki mekanisme pengawasan dan evaluasi ketat, agar para pejabat publik mereka terjaga kualitas kinerjanya.

G. Siap Menerima Kritik dan Nasihat

Tak satu manusia pun diciptakan sempurna. Sebaik-baik manusia tetap memiliki kekurangan, dan sebaik-baik usaha manusia tetap menyimpan kelemahan. Kebijaksanaan seorang pemimpin ditunjukkan lewat keterbukaannya menerima masukan, nasihat dan kritikan rakyatnya.

Bukan hal yang asing bagi yang mempelajari sirah Nabi Muhammad SAW bagaimana beliau yang didukung dengan wahyu masih membuka kesempatan para sahabatnya untuk memberikan masukan-masukan mereka. Nabi Muhammad tidak menjadi sahabat-sahabatnya sekadar pengikut setia, tetapi Nabi Muhammad SAW menjadikan mereka sebagai partner perjuangan dan kontributor aktif dalam membangun peradaban Islam.

Dalam pidato kenegaraan Abu Bakar yang terkenal begitu beliau dilantik, beliau berkata: “Jika aku (bertindak) lurus maka bantulah aku, tapi jika aku melenceng maka luruskanlah aku.” [Mushannaf Abdirrazzaq 11/336 no. 20701.]‎

H. Hidup Merakyat

Perilaku yang sangat penting dilakukan oleh pejabat publik adalah hidup merakyat. Karena seorang pemimpin tidak mungkin akan dapat mengetahui dan merasakan kondisi rakyatnya jika dia hidup jauh dari kondisi rakyat sehari-hari.

Hal ini dicontohkan oleh Nabi Besar Muhammad SAW, di mana beliau tinggal di tengah-tengah para sahabat, dengan kondisi dan standar kehidupan yang tidak jauh berbeda dengan para sahabat. Bahkan beliau seringkali tidak mau dibedakan dengan para sahabat dalam pembagian tugas.

Diriwayatkan ketika beliau bersama para sahabat dalam sebuah perjalanan, beliau memerintahkan para sahabatnya untuk memasak kambing. Salah seorang dari mereka berkata, “Saya yang akan menyembelihnya.” Yang lain berkata, “Saya yang akan mengulitinya.” Yang lain lagi berkata, “Saya yang memasaknya.” Lalu Rasulullah SAW berkata,“Saya yang mengumpulkan kayu bakarnya.”

Serentak para sahabat berkata, “Wahai Rasulullah, cukuplah kami yang mengerjakan semuanya.” Rasulullah SAW menjawab, “Saya tahu bahwa kalian dapat mencukupi semuanya, tetapi saya tidak suka dibedakan dari kalian. Dan Allah tidak suka dari hamba-Nya yang ingin dilihat berbeda di antara sahabat-sahabatnya.” [Ar-Rahiq al-Makhtum 33/149, al-Mawahib al-Laudunniyyah bil Minah al-Muhammadiyyah 2/114-115]‎

Sejarah para al-Khulafa ar-Rasyidin sangat sarat dengan contoh-contoh bagaimana seorang pemimpin betul-betul hidup bersama rakyat dan peduli dengan problema rakyat sehari-hari. Kita tahu bagaimana Abu Bakar RA setiap hari memberikan seorang ibu buta dan tua, tanpa ada seorang pun mengetahuinya. Kita juga tahu bagaimana Umar RA berjaga malam dan berkeliling untuk mengetahui langsung kondisi rakyatnya. Kisah-kisah tentang hal itu amat sangat banyak dan terlalu panjang untuk diperinci satu persatu.

Yang penting untuk digaris bawahi dari sejarah para khulafa rasyidin tersebut adalah bahwa kebersamaan mereka dengan rakyat bukan hanya dengan keberadaan fisik mereka dengan rakyat, tetapi mereka hadir memberi solusi, melayani dan memperhatikan persoalan-persoalan yang dihadapi rakyat.

Bahkan dalam Islam, rakyat kecil tidak dipandang sebagai orang-orang lemah yang perlu dikasihani, akan tetapi Nabi Muhammad SAW menegaskan bahwa orang-orang yang dianggap lemah sebenarnya memiliki peran besar dan tidak dapat dikesampingkan, dan bahkan tidak dapat digantikan oleh orang-orang yang secara lahir terlihat lebih berdaya.

عَنْ مُصْعَبِ بْنِ سَعْدٍ قَالَ رَأَى سَعْدٌ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ لَهُ فَضْلًا عَلَى مَنْ دُونَهُ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ هَلْ تُنْصَرُونَ وَتُرْزَقُونَ إِلَّا بِضُعَفَائِكُمْ. رواه البخاري

“Dari Mush’ab bin Sa’d beliau berkata bahwa Sa’d RA merasa dirinya berjasa atas orang-orang di bawahnya. Maka Nabi berkata kepadanya, “Bukankah kalian tidak mendapatkan rezki dan pertolongan melainkan karena orang-orang lemah dari kalian?” [HR al-Bukhari 10/25 no. 2681]

عَنْ أَبَي الدَّرْدَاءِ يَقُولُ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ ابْغُونِي الضُّعَفَاءَ فَإِنَّمَا تُرْزَقُونَ وَتُنْصَرُونَ بِضُعَفَائِكُمْ. رواه النسائي وأحمد والحاكم وصححه

Dari Abu Darda RA beliau berkata, “Saya mendengar Rasulullah SAW bersabda, “Berikan kepadaku orang-orang lemah, karena sesungguhnya kalian mendapat rezeki dan pertolongan dikarenakan orang-orang lemah kalian.”  [HR an-Nasa’i (10/262 no. 3128), Ahmad (44/207 no. 20738), al-Hakim (6/116 no. 2464)]‎

Dalam riwayat lain hadits Nabi secara lebih tegas menjelaskan peranan orang-orang lemah dalam kejayaan umat.

إنما تنصر هذه الامة بضعفائها بدعواتهم وصلاتهم وإخلاصهم.

“Hanyalah umat ini dimenangkan dengan orang-orang dhuafa’nya, dengan doa-doa mereka, shalat mereka dan keikhlasan mereka.” [Kanzul Ummal no. 6017]‎

Pasang Surut Politik Islam dalam Sejarah Umat-umat Terdahulu

Dalam sejarah dakwah para nabi sepanjang masa, selalu terjadi pertarungan antara pembela kebenaran dan pengikut kebatilan, antara keimanan dan kekufuran, putih bersih berhadapan dengan hitam kelam. Pola seperti itu akan selalu ada sepanjang zaman. Tetapi penjelmaan realistis seringkali tidak sesederhana itu. Terutama jika perjalanan dakwah sudah begitu panjang dan mengalami pergulatan yang lebih kompleks, diferensiasi antara benar dan salah semakin rumit.

Sejarah para nabi-nabi sebelum Nabi Musa pada umumnya menampilkan pola yang kontras dan tegas antara Haq dan Bathil. Tetapi setelah Nabi Musa berhasil membebaskan Bani Israil dari tirani Firaun, persoalan bukan lagi terjadi antara pengikut Nabi dan penentangnya, tetapi justru di dalam barisan pengikut Nabi Musa sendiri muncul persoalan-persoalan rumit.

Pengikut Nabi Musa pada awalnya adalah orang-orang yang Allah siapkan untuk menjadi pemimpin-pemimpin masa depan, yang mengajak umat manusia kepada ajaran Tauhid. Allah berfirman dalam pembukaan kisah hidup Nabi Musa dan perjuangannya bersama Bani Israil:

{وَنُرِيدُ أَنْ نَمُنَّ عَلَى الَّذِينَ اسْتُضْعِفُوا فِي الْأَرْضِ وَنَجْعَلَهُمْ أَئِمَّةً وَنَجْعَلَهُمُ الْوَارِثِينَ} القصص: ٥

“Dan Kami ingin memberi karunia bagi orang-orang yang tertindas di muka bumi, dan Kami jadikan mereka para pemimpin, dan Kami jadikan mereka para pewaris (kekuasaan).” (QS al-Qashash: 5)

Allah SWT menjadikan penindasan Firaun terhadap Bani Israil sebagai ujian kesabaran yang mengantarkan mereka kepada laverage kepemimpinan. Dan memang dari Bani Israil akhirnya muncul para nabi dan pengikut-pengikut nabi yang menjadi pemimpin-pemimpin yang istiqamah. Allah berfirman:

{وَجَعَلْنَا مِنْهُمْ أَئِمَّةً يَهْدُونَ بِأَمْرِنَا لَمَّا صَبَرُوا وَكَانُوا بِآيَاتِنَا يُوقِنُونَ} السجدة: ٢٤

“Dan Kami jadikan dari mereka (Bani Israil) pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka bersabar dan mereka meyakini ayat-ayat Kami.” (QS as-Sajdah: 24)

Allah juga berfirman:

{وَمِنْ قَوْمِ مُوسَى أُمَّةٌ يَهْدُونَ بِالْحَقِّ وَبِهِ يَعْدِلُونَ} الأعراف: ١٥٩

“Dan di antara kaum Musa ada golongan yang memberi petunjuk dengan kebenaran, dan dengan (kebenaran) itu mereka berbuat adil.” (QS al-A’raf: 159)

Meskipun Bani Israil memiliki beberapa prestasi, akan tetapi volume pelanggaran mereka juga cukup besar. Dan akhirnya mereka menjadi umat yang terpecah belah. Allah berfirman:

{وَقَطَّعْنَاهُمْ فِي الْأَرْضِ أُمَمًا مِنْهُمُ الصَّالِحُونَ وَمِنْهُمْ دُونَ ذَلِكَ وَبَلَوْنَاهُمْ بِالْحَسَنَاتِ وَالسَّيِّئَاتِ لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ . فَخَلَفَ مِنْ بَعْدِهِمْ خَلْفٌ وَرِثُوا الْكِتَابَ يَأْخُذُونَ عَرَضَ هَذَا الْأَدْنَى وَيَقُولُونَ سَيُغْفَرُ لَنَا وَإِنْ يَأْتِهِمْ عَرَضٌ مِثْلُهُ يَأْخُذُوهُ أَلَمْ يُؤْخَذْ عَلَيْهِمْ مِيثَاقُ الْكِتَابِ أَنْ لَا يَقُولُوا عَلَى اللَّهِ إِلَّا الْحَقَّ وَدَرَسُوا مَا فِيهِ وَالدَّارُ الْآخِرَةُ خَيْرٌ لِلَّذِينَ يَتَّقُونَ أَفَلَا تَعْقِلُونَ} الأعراف: ١٦٨ – ١٦٩

167- Dan Kami pecah mereka di muka bumi menjadi beberapa golongan, di antara mereka ada orang-orang shalih dan ada yang di bawah itu (derajatnya). Dan Kami uji mereka dengan kebaikan dan keburukan agar mereka kembali (ke jalan yang benar).

168- Lalu mereka dilanjutkan oleh generasi yang mewarisi al-Kitab dan mengambil keuntungan (dunia) yang terdekat. Dan mereka berkata, “Kita akan diampuni.” Jika mereka mendapatkan keuntungan serupa lagi mereka akan mengambilnya. Bukankah mereka telah diambil sumpah al-Kitab agar mereka tidak mengatakan atas nama Allah selain kebenaran? Dan mereka telah mempelajari isinya? Padahal negeri akhirat lebih baik bagi orang yang bertaqwa. Apakah kalian tidak berpikir?” (QS al-A’raf: 168-169)

Begitulah episode perjalanan politik Bani Israil. Success story perjuangan politik dalam sejarah para Nabi sebenarnya cukup banyak, seperti yang diperankan Nabi Yusuf, Nabi Daud dan Nabi  Sulaiman, juga Dzulqarnain, meski ada perselisihan pendapat apakah Dzulqarnain nabi atau bukan. Meskipun cukup banyak kisah-kisah sukses tersebut, akan tetapi al-Qur’an memberikan porsi yang sangat banyak untuk menceritakan kisah-kisah Bani Israil yang tidak sukses memikul amanah, karena potensi kegagalan dan penyimpangan dalam dunia politik sangat besar. Di sinilah al-Qur’an memberikan pendidikan yang seimbang, yang tidak hanya menampilkan warna-warna indah dan cemerlang dalam perjuangan, tetapi perlu juga menyingkap jebakan-jebakan, kesalahan-kesalahan dan penyelewengan-penyelewengan yang banyak terjadi pada umat-umat sebelum kita.

Karena itulah Baginda Nabi Muhammad SAW memberikan warning jauh-jauh hari tentang potensi penyimpangan yang akan menimpa umat Islam setelah beliau wafat.

عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: لَتَتْبَعُنَّ سَنَنَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ شِبْرًا شِبْرًا وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ حَتَّى لَوْ دَخَلُوا جُحْرَ ضَبٍّ تَبِعْتُمُوهُمْ . قُلْنَا: يَا رَسُولَ اللَّهِ الْيَهُودُ وَالنَّصَارَى؟ قَالَ: فَمَنْ؟

“Dari Abu Said al-Khudri RA bahwa Nabi SAW bersabda, “Kalian pasti akan mengikuti pola orang-orang sebelum kalian, sejengkal demi sejengkal, sedepa demi sedepa, bahkan jika mereka masuk lubang biawak, kalian juga akan memasukinya.” Kami (para sahabat) berkata, “(Mereka itu) Yahudi dan Nasrani?” Nabi SAW menjawab, “Siapa lagi?” [HR al-Bukhari 22/298 no. 6775]‎

Perjuangan politik Islam bukanlah pengecualian dari sunnatullah. Kewaspadaan terhadap potensi penyimpangan amat perlu dimiliki oleh semua orang yang sedang berjihad politik. Tidak ada jaminan bahwa setiap orang yang mengangkat bendera Islam akan terbebas dari fitnah dunia. Karena itu penting selalu disadari bahwa hal-hal seperti cinta dunia, ambisi jabatan, mementingkan kepentingan pribadi, mengejar popularitas, mengikuti hawa nafsu, mendekati yang syubhat dan seterusnya adalah hal-hal yang harus dijauhi agar perjuangan politik tetap pada relnya yang lurus.

Bahkan Nabi SAW juga mengabarkan bahwa kehancuran akan menimpa umat ini meskipun orang-orang shalih masih banyak. Diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim bahwa istri Rasulullah SAW Zainab binti Jahsy bertanya kepada Nabi SAW, “Apakah kita akan binasa padahal di tengah-tengah kita ada orang-orang shalih?” Rasulullah SAW menjawab, “Ya, jika kebusukan sudah terlalu banyak.” [HR al-Bukhari (11/133 no. 3097) dan Muslim (14/48 no. 5128)]‎

Relativitas dalam Dunia Politik

Pertarungan antara hak dan batil, kebenaran dan keburukan, keislaman dan kekufuran, keimanan dan kemunafikan adalah sunnatullah yang akan terus ada. Akan tetapi realita sosial politik tidak selalu menampilkan pola dikotomis hitam putih seperti itu.

Al-Qur’an juga menggambarkan hal-hal seperti itu, misalnya dalam surat Ali Imran Allah bersabda:

{لَيْسُوا سَوَاءً مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ أُمَّةٌ قَائِمَةٌ يَتْلُونَ آيَاتِ اللَّهِ آنَاءَ اللَّيْلِ وَهُمْ يَسْجُدُونَ . يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَيُسَارِعُونَ فِي الْخَيْرَاتِ وَأُولَئِكَ مِنَ الصَّالِحِينَ} آل عمران:  113-114

“Mereka (Ahlul Kitab) itu tidaklah sama. Di antara Ahlul Kitab ada segolongan orang-orang yang bangun membaca ayat-ayat Allah di tengah malam dalam keadaan bersujud. Mereka beriman kepada Allah dan Hari Akhir, memerintahkan kepada kebaikan dan melarang dari yang buruk, dan bersegera dalam kebaikan. Dan mereka termasuk orang-orang shalih.” (QS Ali Imran: 113-114)

Meskipun al-Qur’an banyak menceritakan kesesatan dan pelanggaran yang dilakukan oleh Ahlil Kitab baik Yahudi maupun Nasrani, akan tetapi al-Qur’an juga tidak menafikan adanya orang-orang shalih di antara mereka.

Kepada para sahabat Nabi Muhammad SAW, Allah juga mengabarkan bahwa tidak semua orang yang tidak atau belum bergabung dengan barisan mereka harus dimusuhi dan diperangi. Allah berfirman di surat an-Nisa:

{إِلَّا الَّذِينَ يَصِلُونَ إِلَى قَوْمٍ بَيْنَكُمْ وَبَيْنَهُمْ مِيثَاقٌ أَوْ جَاءُوكُمْ حَصِرَتْ صُدُورُهُمْ أَنْ يُقَاتِلُوكُمْ أَوْ يُقَاتِلُوا قَوْمَهُمْ وَلَوْ شَاءَ اللَّهُ لَسَلَّطَهُمْ عَلَيْكُمْ فَلَقَاتَلُوكُمْ فَإِنِ اعْتَزَلُوكُمْ فَلَمْ يُقَاتِلُوكُمْ وَأَلْقَوْا إِلَيْكُمُ السَّلَمَ فَمَا جَعَلَ اللَّهُ لَكُمْ عَلَيْهِمْ سَبِيلًا} النساء: ٩٠

“…kecuali orang-orang yang menjalin hubungan dengan kaum memiliki perjanjian dengan kalian, atau mereka datang dalam keadaan enggan untuk memerangi kalian atau memerangi kaum mereka. Jika Allah berkehendak, Allah bisa menjadikan mereka menguasai kalian, dan memerangi kalian. Maka jika mereka menjauhi kalian dan tidak memerangi kalian, dan memberikan perdamaian terhadap kalian, maka Allah tidak memberikan jalan bagi kalian untuk (memerangi) mereka.” (QS an-Nisa: 90)

Dengan demikian dapat ditangkap dengan jelas bahwa al-Qur’an mengajarkan kepada kita untuk selalu proporsional dalam bersikap terhadap orang lain. Dikotomi hitam putih tidak selalu dapat dipakai untuk menilai realitas manusia, meskipun seluruh isi al-Qur’an adalah penjelasan dan perincian tentang kebaikan dan keburukan, iman dan kufur, surga dan neraka.

Bahkan seorang yang sangat baik dan bertakwapun bukan berarti selalu jauh dari perbuatan buruk. Seorang sahabat Nabi seperti Abu Dzar al-Ghifari yang sangat tinggi kualitas keimanannya, sehingga Rasulullah SAW memujinya dengan sabdanya: “Langit tidak menaungi dan bumi tidak memikul orang yang lebih jujur dari pada Abu Dzar.” [HR at-Turmudzi (12/279 no. 3737), Ibnu Majah (1/181 no. 152) dan Ahmad (13/270 no. 6232)]

Tetapi pada kesempatan lain ketika beliau bertengkar dengan Bilal bin Rabah sampai menghina beliau dengan kata-kata yang tidak pantas, Rasulullah SAW langsung menegur dan berkata kepadanya, “Engkau memiliki sifat jahilyah.” [HR al-Bukhari (1/52 no. 29) dan Muslim (8/479 no. 3139)]‎
Kebaikan seseorang tidak menafikan bahwa dia mungkin berbuat salah. Dan kesalahan seseorang juga tidak dapat menafikan kebaikannya yang lain yang mungkin lebih banyak.

Jika dalam kehidupan sehari-hari banyak hal-hal yang harus dipahami dan disikapi secara relatif, maka dalam kehidupan politik hal seperti itu lebih diperlukan lagi, karena politik selalu berkaitan dengan kondisi majemuk, kompleks, dinamis dan cepat berubah. Keterampilan untuk memahami dan menyikapi berbagai hal secara relatif adalah syarat untuk dapat bijak dan tepat dalam menangani persoalan-persoalan di dunia politik.

Akan tetapi hal itu tidak menyebabkan segala sesuatu dalam politik Islam menjadi serba tidak pasti dan serba bisa ditawar-tawar. Prinsip-prinsip dasar keimanan, menjunjung tinggi akhlak, keadilan dan hukum-hukum agama yang muhkamat, semuanya adalah wilayah yang tidak boleh ditawar (Tsawabit). Relativitas dalam Islam tidaklah mutlak, karena banyak nilai kebenaran absolut yang tidak boleh dipertentangkan, bahkan wajib dibela dan diperjuangkan.

Antara Formalitas dan Substansi

Di antara point penting dalam perjuangan politik Islam adalah kesungguhan dalam memperjuangkan esensi kebaikan dan tidak terjebak dalam formalitas yang semu. Seringkali para politisi terpaku pada panggung prestasi formal tetapi kurang atau bahkan tidak intens sama sekali mengusahakan esensi kebijakan-kebijakan dan aksi-aksi politik.

Ada dua hal yang penting dicermati dalam masalah ketidaksinkronan antara formalitas dan substansi:

Yang pertama keseimbangan antara formalitas prosedural dengan substansi keadilan. Sering terjadi dunia politik hanya memperhatikan formalitas hukum dan prosedur, dan tidak memperjuangkan substansi keadilan yang sebenarnya menjadi maksud dan tujuan dari hukum, peraturan dan prosedur yang dibuat. Betapa seringnya hukum, peraturan dan prosedur disiasati untuk kepentingan tertentu. Sejatinya semua ketentuan hukum dan prosedur resmi dibuat untuk kepentingan umum, dan itulah yang mesti selalu diperjuangkan dan dipertahankan melalui jihad siyasi.

Yang kedua adalah kesinkronan antara formalitas kelembagaan dengan substansi perjuangan Islam. Pada hakikatnya lembaga keislaman manapun adalah sarana (wasilah) untuk memperjuangkan Islam. Tetapi sering terjadi lembaga-lembaga Islam terjebak formalitas perjuangan, dan dengan sadar atau tidak, justru malah mengorbankan substansi yang diperjuangkan. Tidak selalu formalitas berhadapan secara kontradiktif. Yang perlu dijaga adalah jangan sampai substansi perjuangan menjadi hilang karena formalitas biasanya lebih mudah dilihat dan sering juga lebih menguntungkan sebagian pihak. Seringkali karena substansi perjuangan adalah sesuatu yang abstrak dan sulit, maka formalitas kelembagaan menjadi dominan dan menutupi substansi yang diperjuangkan. Dalam kondisi seperti itu diperlukan ketajaman mata hati, ketulusan dan komitmen yang kuat untuk tetap memperjuangkan substansi kebenaran yang sejati.

Penjelasan Tentang Pentingnya Musyawarah Dan Demokrasi


ولا تكونوا كالذين تفرقوا واختلفوا من بعد ما جاءهم البينات وأولئك لهم عذاب عظيم

“Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka. Mereka itulah orang-orang yang mendapat siksa yang berat.” (QS. Ali-Imran ayat 105)

Agama Islam yang dibawa Nabi Muhammad SAW. datang tidak hanya membawa aqidah keagamaan atau ketentuan moral dan etika yang menjadi dasar masyarakat semata-mata. Akan tetapi Islam juga membawa syariat yang jelas mengatur manusia, perilakunya dan hubungan  antara satu dengan yang lainnya dalam segala aspek; baik bersifat individu, keluarga, hubungan individu dengan masyarakat dan hubungan-hubungan yang lebih luas lagi.

Sejarah memperlihatkan bahwa Muhammad SAW sebagai Nabi dan Rasul terakhir berhasil mendirikan suatu sistem pemerintahan, kemudian pengaruhnya berkembang ke seluruh penjuru dunia tanpa bantuan kekuasaan dan kekuatan banyak umat. Beliau berhasil menguasai pikiran, keyakinan dan jiwa umatnya, bahkan mengadakan revolusi berpikir dalam jiwa bangsa-bangsa, hanya berdasarkan Al-Qur’an yang setiap hurufnya telah menjadi hukum.

Jadi, Islam memang bukan hanya merupakan sekadar sistem keagamaan. Islam juga mengatur masalah sistem politik, termasuk demokrasi.

Kelakuan sistem pemerintahan yang meniadakan demokrasi, memang membuat terjaminnya persatuan dan kesatuan bangsa, tetapi keadaan ini dinilai sebagai absolut dan tirani yang buruk bagi peradaban. Elit pemerintahan sulit diterobos kecuali hukum alam (sunatullah) yang memusnahkan. Sebagaimana disampaikan oleh Ibn Khaldun dalam buku beliau yang terkenalMuqaddimah, bahwa umur kekuasaan seperti umur manusia juga, ada yang panjang dan ada pula yang pendek, tetapi sudah tentu pasti akan berakhir, baik secara perlahan maupun secara tragis. Komunisme kita lihat hanya bertahan 70 tahun setelah itu hampir di seluruh negeri mengalami kemunduran.
Pendemokrasian bila ditujukan untuk kebebasan individu, juga berakibat tidak baik; karena segala orang yang berjiwa propinsialisme kedaerahan dan membanggakan firqah-firqahnya cenderung sulit diatur, kurang etis dengan sentralnya.
Adapun petunjuk-petunjuk yang diberikan oleh ayat-ayat Al-Qur’an terhadap baik desentralisasi maupun sentralisasi sangat jelas, yaitu Allah memfirmankan bahwa sebenarnya pemisahan-pemisahan kedaerahan yang berlebihan tidak disenangi Allah SWT Al-Malikul Mulk.
Begitu juga pemusatan kekuasaan yang berlebihan juga tidak disukai Allah SWT, karena akan menimbulkan keangkuhan, kesombongan dan semena-mena, kendati sebenarnya pertanggunngjawaban itulah yang dituntut.
Al-Qur’an datang sebagai petunjuk Allah SWT dan sudah dibuktikan bahwa Al-Qur’an adalah benar-benar wahyu dari Allah, tidak dapat dipungkiri lagi bahwa Allah itu Esa, Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu, Dia tiada beranak dan tiada pula diperanakkan dan tiada seorang pun yang setara dengan Dia (QS. Al-Ikhlas) dan Firman-Nya adalah petunjuk.
Petunjuk dan peringatan dalam Firman Allah itu terkumpul dalam Al-Qur’an, dan untuk seluruh umat manusia (bangsa-bangsa) sebagaimana ayat-ayat berikut ini:
وما هو إلا ذكر للعالمين
 
Artinya : “Al-Qur’an itu tiada lain hanyalah peringatan bagi seluruh umat (bangsa-bangsa).” (QS. Al-Qalam ayat 52)

إن هو إلا ذكر للعالمين
 
Artinya : “Sesungguhnya Al-Qur’an itu adalah peringatan bagi seluruh umat (bangsa-bangsa).” (QS. Shaad ayat 87)

Apa kata Al-Qur’an tentang desentralisasi yang berlebih-lebihan, yang akibatnya mempunyai resiko daerah-daerah menjadi terbagi-bagi?
 
يا أيها الذين آمنوا أطيعوا الله وأطيعوا الرسول وأولي الأمر منكم فإن تنازعتم في شيء فردوه إلى الله والرسول إن كنتم تؤمنون بالله واليوم الآخر ذلك خير وأحسن تأويلا
 
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS. An-Nisaa’ ayat 59)

Dalam menafsiri berbagai syari’at Islam, kebanyakan kaum muslim sendiri lebih menekankan syari’at tersebut hanya terbatas pada sesuatu yang bersifat spritual saja tanpa memperhatikan adanya bentuk syariat yang mengedepankan bentuk hubungan sosial yang baik dalam masyarakat. Bahwa kewajiban terwujudnya hubungan sosial yang baik tersebut tidak boleh ditinggalkan dalam tatanan kehidupan bermasyarakat baik sesama muslim maupun nonmuslim, salah satunya yaitu adanya konsep musyawarah.

Konsep musyawarah merupakan salah satu pesan syari’at yang sangat ditekankan di dalam al-Qur’an keberadaannya dalam berbagai bentuk pola kehidupan manusia, baik dalam suatu rumah kecil yakni rumah tangga yang terdiri anggota kecil keluarga, dan dalam bentuk rumah besar yakni sebuah negara yang terdiri dari pemimpin dan rakyat , konsep Musyawarah merupakan suatu landasan tegaknya kesamaan hak dan kewajiban dalam kehidupan manusia, di mana antara pemimpin dan rakyat  memilki hak yang sama membuat aturan yang mengikat dalam lingkup kehidupan bermasyarakat.

Kaidah-Kaidah Demokrasi
Kaidah-kaidah demokrasi ini berkaitan dengan kepemimpinan suatu negara. Pemimpin suatu negara haruslah orang yang mampu mengayomi rakyatnya dengan benar, serta memiliki sikap yang menjadi panutan rakyatnya. Terdapat bebarapa hal yang menjadi kaidah-kaidah demokrasi, diantaranya adalah persamaan atau kesetaraan dan musyawarah.
         
Kaidah ini mengacu pada hakikat persamaan manusia di depan Allah SWT, yang mana semua manusia kedudukannya sama. Setiap manusia berhak menyuarakan pendapatnya, aspirasinya, tanpa ada dominasi dari seseorang maupun kelompok lain. Yang membedakan manusia yang satu dengan yang lainnya adalah tingkat keimanannya.
Allah SWT berfirman dalam surat Al-Hujurat ayat 13:

يا أيها الناس إنا خلقناكم من ذكر وأنثى وجعلناكم شعوبا وقبائل لتعارفوا إن أكرمكم عند الله أتقاكم إن الله عليم خبير
 
Artinya : “Wahai manusia! Sungguh, Kami elah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sungguh, yang paling mulia di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Maha Teliti.” (QS. Al-Hujurat:13)
Ayat ini turun sebagai penegasan bahwa dalam Islam tidak ada diskriminasi, yang paling mulia adalah yang paling bertakwa.‎

Ada kalanya dalam suatu kepentingan, orang-orang banyak menemukan perbedaan pendapat. Allah menjelaskan dalan surat Ali-Imran ayat 159 mengenai masalah perbedaan pendapat ini, yaitu dengan cara bermusyawarah.
Musyawarah dilakukan sebagai cara untuk mengambil keputusan dengan cara yang baik dan benar, dengan tidak memaksa pendapat masing-masing. Musyawarah ini telah diterapkan oleh Rasulullah  SAW pada masa kepemimpinannya.Firman Allah dalam surat Asy-Syura ayat 38:

والذين استجابوا لربهم وأقاموا الصلاة وأمرهم شورى بينهم ومما رزقناهم ينفقون
 
Artinya: “dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhan dan melaksanakan Shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan msyawarah antara mereka; dan mereka menginfakkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka.” (QS. Asy-Syura:38)

Syura atau pengambilan pendapat hukumnya sunnah dan khusus bagi kaum Muslim. Allah SWT berfirman:

فَبِمَا رَحْمَةٍ مِنَ اللَّهِ لِنْتَ لَهُمْ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ لَانْفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِي الْأَمْرِ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِينَ

Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakal kepada-Nya (QS. Ali Imran [3]: 159)

Ayat ini memiliki hubungan yang erat terhadap peristiwa Perang Uhud. Pada peristiwa tersebut kaum muslim mengalami kekalahan telak akibat hilangnya disiplin sebagian tentara Islam terhadap perintah yang telah di tetapkan nabi. bahkan dalam satu riwayat pada waktu itu Nabi terluka sangat parah dan giginya rontok. Ayat ini serta beberapa ayat berikunya merupakan penjelasan tentang sikap dan sifat nabi sebagai leader yang mesti diambil ketika menghadapi fakta yang tidak sesuai dengan instruksinya sekaligus sebagai sugesti dari Allah agar selalu optimis dalam perjuangan.

jadi ayat ini merupakan ayat leadership dan musyawarah di tengah-tengah keadaan yang sangat darurat dalam peperangan, nabi tetap mengedepankan hasil keputusan musyawarah bersama para sahabat tentang bagaimana mensiasati taktik perang di gunung Uhud. Dari hasil musyawarah tersebut nabi mengikuti pendapat mayoritas sahabat, meskipun hasilnya sangat mengecewakan karena berakhir dengan kekalahan kaum muslim, saat itulah Rasulullah memutuskan untuk menghapuskan adanya konsep musyawarah. Namun dengan turunnya ayat ini, Allah berpesan kepada nabi bahwa tradisi musyawarah tetap harus dipertahankan dan dilanjutkan meskipun terbukti terkadang hasil keputusan tersebut keliru.

Dalam ayat ini disebutkan sebagai fa’fu anhum(maafkan mereka). Maaf secara harfiah, bearti “menghapus”. Memaafkan adalah menghapuskan bekas luka dihati akibat perilaku pihak lain yang tidak wajar. Ini perlu, karena tiada musyawarah tanpa pihak lain, sedangkan kecerahan pikiran hanya hadir bersamaan dengan sinarnya kekeruhan hati.

Disisi lain, orang yang bermusyawarah harus menyiapkan mental untuk selalu memberi maaf. Karena mungkin saja ketika bermusyawarah terjadi perbedaan pendapat, atau keluar kalimat-kalimat yang menyinggung perasaan orang lain. Dan bila hal-hal itu masuk kedalam hati, akan mengeruh pikiran, bahkan boleh jadi akan mengubah musyawarah menjadi pertengkaran. Itulah kandungan pesan fa’fu anhum.

Asbabun-Nuzul dari ayat ini adalah pada waktu kaum muslimin mendapatkan kemenangan dalam perang Badar, banyak orang-orang musyrikin yang menjadi tawanan perang. Untuk menyelesaikan masalah itu Rasulullah SAW mengadakan musyawarah dengan Abu Bakar Shiddik dan Umar Bin Khattab. Rasulullah meminta pendapat Abu Bakar tentang tawanan perang tersebut. Abu Bakar memberikan pendapatnya, bahwa tawanan perang itu sebaiknya dikembalikan keluarganya dengan membayar tebusan. Hal mana sebagai bukti bahwa Islam itu lunak, apalagi kehadirannya baru saja. Kepada Umar Bin Khattab juga dimintai pendapatnya. Dia mengemukakan, bahwa tawanan perang itu dibunuh saja. Yang diperintahkan membunuh adalah keluarganya. Hal ini dimaksudkan agar dibelakang hari mereka tidak berani lagi menghina dan mencaci Islam. Sebab bagaimanapun Islam perlu memperlihatkan kekuatannya di mata mereka. Dari dua pendapat yang bertolak belakang ini Rasulullah SAW sangat kesulitan untuk mengambil kesimpulan. Akhirnya Allah SWT menurunkan ayat ini yang menegaskan agar Rasulullah SAW berbuat lemah lembut. Kalau berkeras hati mereka tidak akan menarik simpati sehingga mereka akan lari dari ajaran Islam.Ayat ini diturunkan sebagai dukungan atas pendapat Abu Bakar Shiddik. Di sisi lain memberi peringatan kepada Umar Bin Khattab. Apabila dalam permusyawahan pendapatnya tidak diterima hendaklah bertawakkallah kepada Allah SWT. Sebab Allah sangat mencintai orang-orang yang bertawakkal. Dengan turunnya ayat ini maka tawanan perang itupun dilepaskan sebagaimana saran Abu Bakar.

Rasulullah juga bermusyawarah dengan para sahabatnya pada waktu menghadapi perang Badar dengan menawarkan idenya untuk menghadang kafilah Musyrikin Quraisy yang kembali dari Syam ide tersebut disepakati oleh para sahabat dengan kata-kata yang meyakinkan. Mereka berkata “Ya Rasulullah, sekiranya engkau mengajak kami berjalan menyebrangi lautan ini, tentu kami akan kami lakukan dan sekali-kali tidaklah kami akan bersikap seperti Kaum Musa yang berkata kepada Nabinya, pergilah engkau bersama Tuhanmu berperang, sedang kami akan tetap tinggal disini. Dalam masalah peperangan dan sebagainya yang tidak ada diturunkan nash tentang hal itu untuk mengeluarkan pendapat, memperbaiki diri dan mengangkat kekuasaan mereka.

عن الحسن رضي الله عنه: قد علم الله أنه ما به إليهم حاجة, ولكنه أرد أن يستن به من      بعده. وعن النبى صلى الله عليه وسلم (( ما تشا ور قوم قط إلا هدوا لأرشد أمرهم ))

Hadtis yang diriwayatkan dari hasan semoga ridha Allah darinya: Allah sungguh mengetahui apa yang mereka butuhkan dan tetapi yang ia inginkan enam puluh orang. Dan dari Nabi saw: (suatu kaum memadai dalam bernusyawarah tetang sesuatu kecuali mereka ditunjuki jalan yang lurus untuk urusan mereka).

Kami akan berkata Ya Rasulullah, “Pergilah dan kami akan menyertaimu, berada didepanmu, disisi kanan kirimu berjuang dan bertempur bersamamu.”
Hal itu mengingat, bahwa didalam musyawarah, silang pendapat selalu terbuka, apalagi jika orang-orang yang terlibat terdiri dari banyak orang. Oleh sebab itulah, Allah memerintah Nabi agar menetapkan peraturan itu, dan mempraktekkannya dengan cara yang baik. Nabi saw. , manakala bermusyawarah dengan para sahabatnya senantiasa bersikap tenang dan hati-hati. Beliau memperhatikan setiap pendapat, kemudian mentarjihkan suatu pendapat dengan pendapat lain yang lebih banyak maslahatnya dan faedahnya bagi kepentingan kamu Muslimin, dengan segala kemampuan yang ada.

Sebab, jamaah itu jauh kemungkinan dari kesalahan dibandingkan pendapat perseorangan dalam berbagai banyak kondisi. Bahaya yang timbul sebagai akibat dari penyerahan masalah umat terhadap pendapat perorangan, bagaimanapun kebenaran pendapat itu, akibatnya akan lebih berbahaya dibandingkan menyerahkan urusan mereka kepada pendapat umum.

Memang Nabi saw. selalu berpegang pada musyawarah selama hidupnya dalam menghadapi semua persoalan. Beliau selalu bermusyawarah dengan mayoritas kaum Muslimin, yang dalam hal ini beliau khususkan dengan kalangan ahlu ‘r-ru’yi dan kedudukan dalam menghadapi perkara-perkara yang apabila tersiar akan membahayakan umatnya.

Beliau juga melakukan musyawarah pada waktu pecah perang Badar, setelah diketahui bahwa orang-orang Quraisy telah keluar dari Mekkah untuk berperang. Nabi, pada waktu itu tidak menetapkan suatu keputusan sebelum kaum Muhajirin dan Anshar menjelaskan isi persetujuan mereka. Juga musyawarah yang pernah beliau lakukan sewaktu menghadapi perang Uhud.

Demikianlah, Nabi saw. selalu bermusyawarah dengan para sahabatnya dalam menghadapi masalah-masalah penting, selagi tidak ada wahyu mengenai hal itu. Sebab, jika ternyata jika Allah menurunkan wahyu, wajiblah Rasulullah melaksanakan perintah Allah yang terkandung dalam wahyu itu. Nabi saw. tidak mencanangkan kaidah-kaidah dalam bermusyawarah. Karena bentuk musyawah itu berbeda-beda sesuai denga sikon masyarakat, serta sesuai dengan perkembangan zaman dan tempat. Sebab, seandainya Nabi mencanangkan kaidah-kaidah musyawarah, maka pasti hal itu akan diambil sebagai Dien oleh kaum Muslimin, dan mereka berupaya untuk mengamalkannya pada segala zaman dan tempat.

Oleh karena itulah, ketika Abu Bakar diangkat menjadi khalifah, para sahabat mengatakan bahwa Rasulullah saw. sendiri rela sahabat Abu Bakar menjadi pemimpin agama kami, yaitu tatkala beliau sakit beliau sakit dan memerintahkan Abu Bakar mengimani shalat. Lalu mengapa kita tidak rela padanya dalam urusan duniawi kita.

Alloh Subhanahu Wata'ala Berfirman;‎

وَالْوَالِدَاتُ يُرْضِعْنَ أَوْلاَدَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ لِمَنْ أَرَادَ أَن يُتِمَّ الرَّضَاعَةَ وَعلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ لاَ تُكَلَّفُ نَفْسٌ إِلاَّ وُسْعَهَا لاَ تُضَآرَّ وَالِدَةٌ بِوَلَدِهَا وَلاَ مَوْلُودٌ لَّهُ بِوَلَدِهِ وَعَلَى الْوَارِثِ مِثْلُ ذَلِكَ فَإِنْ أَرَادَا فِصَالاً عَن تَرَاضٍ مِّنْهُمَا وَتَشَاوُرٍ فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْهِمَا وَإِنْ أَرَدتُّمْ أَن تَسْتَرْضِعُواْ أَوْلاَدَكُمْ فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِذَا سَلَّمْتُم مَّا آتَيْتُم بِالْمَعْرُوفِ وَاتَّقُواْ اللّهَ وَاعْلَمُواْ أَنَّ اللّهَ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ ﴿٢٣٣﴾‎

Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma’ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawarahan, maka tidak ada dosa atas keduanya. Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan. QS.Al-Baqoroh Ayat 233.

Ayat ini mengandung dalil boleh berijtihad dalam hukum. Hal ini berdasarkan kebolehan dari Allah SWT bagi orang tua untuk bermusyawarah dalam hal-hal yang membawa kebaikan bagi anak, sekalipun berdasarkan perkiraan mereka saja dan bukan berdasarkan hakikat atau keyakinan.At-Tasyaawur (musyawarah) adalah mengeluarkan (mencari) pendapat yang terbaik.

Lafadz ini sama dengan al-musyaawarah danal-masyuurah, seperti al-ma’uunah. Contoh dalam bentuk: Syartu al ‘asl dan istakhrajtuhuartinya mengeluarkan madu. Syurtu ad-daabbah dan syawwartuhaa: ajraituhaa, artinya aku memacu binatang tunggangan itu. Digunakan kata ini karena maksudnya adalah membuat lari binatang tunggangan itu. Asy-syiwaar  artinya perabot rumah.

Digunakan kata ini  karena perabot rumah itu nampak bagi siapa saja yang melihat. Asy-Syaarah artinya penampilan seseorang. Al-isyaarah  artinya mengeluarkan apa yang ada dalam diri anda dan menampakkannya. Di dalam ayat ini bertemu dua kalimat yang mengandung suasana rela dan damai; pertama kalimat Taradhin, artinya berkerelaan kedua pihak, kedua kalimat tasyawurin, artinya bermusyawarah kedua pihak, bertukar fikiran. Dalam kedua kalimat ini terdapatlah bahwa di dalam dasar hati rela sama rela, harga menghargai, di antara suami isteri, demi kemaslahatan anak mereka,  memulai musyawarah bagaimana yang terbaik untuk anak mereka. Ayat ini mempertegas lagi pelaksanaan ujung ayat 228, Yaitu bahwa si isteri mempunyai hak yang sama dengan suami dan perlakuan yang sama. Di dalam ayat ini ditunjukkan cara pelaksanaan hak dan kewajiban, yaitu dalam suasana cinta dan musyawarah. Kalau hati sama-sama terbuka, tidak ada kusut yang tidak dapat diselesaikan dan tidak ada keruh yang tidak dapat dijernihkan. Hasil keputusan mereka berdua, hasil dari ridha-meridhai dan musyawarah, diakui dan diridhai pula oleh Allah.

Allah berfirman dalam surat An-Nisa ayat 58 
:
إن الله يأمركم أن تؤدوا الأمانات إلى أهلها وإذا حكمتم بين الناس أن تحكموا بالعدل إن الله نعما يعظكم به إن الله كان سميعا بصيرا
 
Artinya: “Sungguh, Allah menyuruhmu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan apabila kamu menetapkan hukum di antara manusia hendaknya kamu menetapkannya dengan adil. Sungguh, Allah adalah sebaik-baik yang memberi pengajaran kepadamu. Sungguh, Allah Maha Mendengar dan Maha Melihat.” (QS. An-Nisa:58)

Al-Hurriyah atau Kebebasan
Maksud kebebasan di sini sama dengan kesetaraan. Baik Rakyat maupum pemimpin, masing-masing mempunyai hak dan kewajibannya. Tentunya dengan porsi yang berbeda-beda.
Kebebasan ini  tentulah harus ada batasan-batasannya. Pemimpin tidak boleh semena-mena terhadap rakyatanya, begitu juga sebaliknya. Keduanya harus berkerja sama untuk membangun sebuah demokrasi yang kuat, dimana tidak ada ‘kesemena-semenaan’ suatu kelompok tertentu.

Hadits yang Berkaitan dengan Demokrasi

عَنْ اَبِيْ هُرَيْرَ ةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَا لَ : قَا لّ رَسُوْ لُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : اَلْمُسْتَشَا رُ مُؤْ تَمَنٌ.  (روا ه التر مذ ي و ابو داوود)‎
 
Artinya: “Dari Abu Hurairah RA berkata : Rasulullah SAW pernah bersabda : “Musyawarah adalah dapat dipercaya.”” (HR. Tirmidzi dan Abu Daud)

إإذا استشا أحدكم أخاه فليسر عليه (ابن ماجه)‎
 
Artinya: “Apabila salah seorang dari kamu meminta bermusyawarah dengan saudaranya maka penuhilah.” (HR. Ibnu Majah)

ما راءيت أحدا أكثر مشورة لِاصحابه من رسول الله صلّ الله عليه و سلم
 
Artinya: “Saya tidak pernah melihat seseorang yang paling banyak bermusyawarah dengan sahabatnya kecuali Rasulullah SAW.” (HR. Tirmidzi)

Dalam Hadist dari Shahih Bukhari :

حَدَ ثَنَا الْاُوْسِيِ حَدَثَنَا إِبْرَا هِيْمَ بِنْ سَعِدْ عَنْ صَالِحِ عَنْ اِبْنِ شِهَابُ حَدَّثَنِيْ عُرْوَةَ وَاِبْنِ الْمُسَيَّبِ وَعَلْقَمَةَ اْبنِ وَقَاصُ وَعُبَيْدِاللِه عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ ا اللهُ عَنْهَا حِيْنَ حَوْلَهَا أَهْلُ الْإِفْكِ قَالَتْ : وَدَعَا رَسُوْلُ اللهِ ص.م. عَلِيُ ابْنُ اَبِي طَالِبِ وَاُسَامَة اْبنِ زَيْدِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا حِيْنَ اسْتَلْبَثَ الْوَ حْيَ يَسْأَلَهُمَا وَهُوَ يَسْتَشِيْرَهَا فِي فِرَاقِ أَهْلِهِ فَاَمَّا أُسَامَةَ فَأَشَارَ بِا اَّلذِيْ يَعْلَمُ مِنْ بَرَاءَةِ اَهْلِهِ وَاَمَّا عَلِي فَقَاَل :لَمْ يِضَيِّقِ اللهَ عَلَيْكَ وَالّنِسَاءَ سِوَاهَا كَثِيْرٌ وَسَلِ الْجَارِيَةَ تَصْدُقْكَ فَقَالَ :هَلْ رَاَيْتِ مِنْ شَيْءٍ يَرِيْبُكِ قَالَتْ : مَا ّرأَيْتُ أَمْرًا أَكْثَرُ مِنْ اَنَّهَا جَاِريَةُ حَدِيْثَةُ السِّنِّ تَنَاُم عَنْ عَجِيْنُ أَهٌلِهَا فَتَأْتِيْ الدَاجِنُ فَتَأْكُلُهُ فَقَامَ عَلَى الْمِنْبَرِ فَقَالَ : يَا مَعْشَرَ الْمُسْلِمْينَ مَنْ يُعْذِرَنِي مِنْ رَجُلٍ بَلَغَنِيْ أَذَاهُ فِي أَهْلِي وَاللهُ مَا عَلِمْتُ اِلَى أَهْلِي إِلَّا خَيْرًا فَذَكَرَ بَرَاءَةُ عَائِشَة َوَقَالَ أَبُوْ أُسَامَةَ عَنْ هِشَامِ.

 “Telah menceritakan kepada kami Al Uwaisi, telah bercerita Ibrahim bin Su’aid, dari sholeh, dari Ibnu Shihab telah bercerita kepadaku ‘Urwah dan ibnu Musayyab dan Alqomah ibn Waqas, dan Ubaidillah dari Aisyah r.a. ketika berkata kepadanya orang yang suka berbohong dan ia berkata :  dan Rasulullah mengajak Ali bin Abi Thalib dan Usamah bin Zaid r.a. ketika memakai wahyu dan menannyakan kepada mereka, dan dia bermusyawarah dengan mereka atas perbedaan di dalam keluarganya, maka Usamah bermusyawarah dengan yang di pelajari dari kebebasan keluarganya. Maka Ali berkata : Allah tidak mempersempit bagimu dan perempuan melainkan wanita yang banyak, dan beramal jariyah maka Dia akan mempercayaimu. Usamah berkata : Apakah kamu tidak melihat sesuatu yang membuat kamu ragu? Aisyah menjawab : aku tidak pernah melihat suatu perkara yang lebih dari pembantu yang berusia muda tidur di samping adonan roti keluarganya maka datang seorang yang bersikap jinak dan memakannya. Maka Rasul berdiri di atas mimbar seraya bersabda : Wahai golongan orang muslim barang siapa yang memberi alasan yang berlebih-lebihan kepadaku dari laki-laki maka datang celaan dalam keluargaku dan Allah tidak mengetahui dari keluargaku melainkan hanya kebaikannya. Maka Aisyah mengingat kebebasan itu, dan Abu Usamah berkata dari Hisyam. [HR. Bukhori]‎

Dalam tuntunan Islam seperti Al-Qur’an dan Hadits, bab demokrasi sesungguhnya memang tidak banyak dibahas dan yang menjelaskan secara rinci. Belum ditemukan pula hukum islam yang berhubungan secara langsung mengatakan tentang demokrasi sendiri itu bagaimana mestinya. Tapi, bukan berarti Islam melupakan masalah ketata-negaraan ini. Banyak ayat-ayat atau dalil-dalil yang isinya menuju masalah ini, terutama perihal musyawarah.

Suatu demokrasi selalu berkaitan dengan musyawarah. Hal ini merujuk pada keikut- sertaan rakyat dalam sistem pemerintahan. Musyawarah ini juga merupakan kaidah demokrasi yang utama.

Musyawarah ini didasarkan pada surat Ali-Imran ayat 159 dan surat Asy-Syura ayat 38. Kedua ayat ini membahas tentang sebuah tindakan yang dilakukan oleh suatu kaum mengenai hal apa yang harus mereka lakukan saat diantara mereka ada sebuah perbedaan pendapat. Saat tidak ditemukan keputusan, mereka pun juga harus berpedoman pada Al-Qur’an dan Hadits.

Islam tidak menganut demokrasi karena demokrasi sangat berbeda dengan islam, tidak ada hukum atau ketetapan islam yang berasal dari Al-Qur’an, Hadist maupun hukum lain yang berpedoman atau diputuskan berdasarkan Al-Qur’an dan Hadits tersebut yang menyatakan tentang demokrasi secara langsung. Karena demokrasi itu dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat, jika rakyat sepakat maka selesailah sudah. Sedangkan islam menjalankan dan memutuskan sesuatu berdasarkan hukum dan ketetapan Al-Qur’an, Hadist, serta hukum dan ketetapan lainnya yang diputuskan manusia yang juga berdasarkan Al-Qur’an dan Hadist.

Dalam demokrasi barat, umat memegang kekuasaan tertinggi.  Tetapi dalam Islam, kekuasaan rakyat tidak bersifat mutlak, melainkan terikat dengan ketentuan-ketentuan syari’at agama yang dipeluk oleh setiap individu dari rakyat tersebut. Rakyat tidak dapat bertindak melebihi batas-batas hukum tersebut.

Tujuan dan Manfaat Musyawarah

1)      Tujuan Musyawarah

1.      Menghasilkan pendapat-pendapat dan jalan keluar untuk dapat sampai kepada penyelesaian dalam bentuk yang paling utama.
2.      Jaminan penjagaan atas kebaikan-kebaikan umum, dan tidak tersia-sianya hak-hak manusia jika direalisasikan dengan bentuk yang sempurna.
3.      Merealisasikan keadilan di antara manusia.
4.      Kemampuan musyawarah untuk menyerap perselisihan-perselisihan, menjaga dari kegoncangan yang terkadang dihasilkan karena perbedaan pendapat.

2)      Manfaat Musyawarah

(۱) إنها تبين مقادير العقول والأفهام ، ومقدار الحب والإخلاص للمصالح العامة.
(۲) إن عقول الناس متفاوتة وأفكارهم مختلفة ، فربما ظهر لبعضهم من صالح الآراء ما لا يظهر لغيره وإن كان عظيما.
(۳) إن الآراء فيها تقلّب على وجوهها ، ويختار الرأى الصائب من بينها.
(٤) إنه يظهر فيها اجتماع القلوب على إنجاح المسعى الواحد ، واتفاق القلوب على ذلك مما يعين على حصول المطلوب
(تفسير المراغي : ٤ : ١١٤)

Musyawarah, mengandung banyak sekali manfaatnya. Diantaranya adalah sebagai berikut:
1) Melalui musyawarah, dapat diketahui kadar akal, pemahaman, kadar kecintaan, dan keikhlasan terhadap kemaslahatan umum.
2) Sesungguhnya akal manusia itu bertingkat-tingkat, dan jalan nalarnyapun berbeda-beda. Oleh karena itu, di antara mereka pasti mempunyai suatu kelebihan pandangan disbanding yang lain (dan sebaliknya), sekalipun di kalangan para pembesar.
3) Sesungguhnya pendapat-pendapat dalam musyawarah diuji keakuratannya, . Setelah itu, dipilihlah pendapat yang sesuai (baik dan benar).
4) Di dalam musyawarah, akan tampak bersatunya hati untuk mensukseskan suatu upaya dan kesepakatan hati. Dalam hal itu, memang, sangat diperlukan untuk suksesnya masalahnya masalah yang sedang dihadapi.

Takhtimah
Musyawarah merupakan sesuatu yang dianjurkan dalam agama. Banyak manfaat dari musyawarah.

Alquran dan Alhadist merupakan dua landasan pokok yang harus dijadikan pedoman hidup. Dengan berpegang teguh pada Alquran dan Alhadist tidak akan tersesat dalam menjalani kehidupan. Sebagaimana jaminan Rasulullah:

تركت فيكم امرين لن تضلّوا ما ان تمسكتم بهما كتاب الله و سنة نبيه (ر. ملك)

Telah aku tinggalkan bagimu dua perkara, yang tidak akan tersesat kamu selama berpegang teguh kepadanya, kitabullah dan Sunnah Nabinya. (HR.Malik)
Demokrasi merupakan suatu bentuk kedaulatan atau kekuasaan yang subjek dan objeknya pada rakyat. Maksudnya, demokrasi berarti kedaulatan (pemerintahan) dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.
Dalam mencapai suatu kesepakatan perlu dilakukan sebuah musyawarah. Al-Qur’an membahas tentang musyawarah dalam surat Ali Imran ayat 159 dan Asy-Syura ayat 38.
Kaidah-kaidah dalam demokrasi sejatinya berhubungan dengan masalah kepemimpinan suatu kaum atau negara. Kaidah-kaidah ini merupakan sifat dan sikap atau apa yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin tersebut. Di antara kaidah-kaidah itu antara lain; kesetaraan, musyawarah, mampu menjaga amanah dan adil, dll.
Kaidah dalam demokrasi yang utama adalah musyawarah. Musyawarah berkaitan dengan pengambilan keputusan yang dilakukan secara berkelompok, guna mencapai suatu mufakat bagi kemaslahatan umat. Dalam musyawarah, setiap orang yang terlibat harus bersikap lembut serta mau mendengarkan anggota lainnya, sperti yang dilakukan Rasulullah SAW.
Dalam hadits, sebenarnya tidak banyak yang membahas demokrasi. Tapi banyak hadits yang menyebut tentang musyawarah, yang mana merupakan bagian dari sebuah sistem demokrasi.‎

Sebagai contoh kita lihat bagaimana Nabi Sulaiman as. yang begitu besar kekuasaanya bersyukur.
 
قال الذي عنده علم من الكتاب أنا آتيك به قبل أن يرتد إليك طرفك فلما رآه مستقرا عنده قال هذا من فضل ربي ليبلوني أأشكر أم أكفر ومن شكر فإنما يشكر لنفسه ومن كفر فإن ربي غني كريم‎

 “Berkatalah seorang yang mempunyai ilmu dari Al Kitab: "Aku akan membawa singgasana itu kepadamu sebelum matamu berkedip". Maka tatkala Sulaiman melihat singgasana itu terletak di hadapannya, iapun berkata: "Ini termasuk kurnia Tuhanku untuk mencoba aku apakah aku bersyukur atau mengingkari (akan nikmat-Nya). Dan barang siapa yang bersyukur maka sesungguhnya dia bersyukur untuk (kebaikan) dirinya sendiri dan barang siapa yang ingkar, maka sesungguhnya Tuhanku Maha Kaya lagi Maha Mulia".” (QS. An-Naml ayat 40)

Dengan cara mensyukuri nikmat memperoleh kekuasaan ini menjadi pelajaran bagi kita bahwa kalau tidak demikian pembentukan-pembentukan elit politik yang tidak tergoyahkan tersebut akan menimbulkan kesombongan dan semena-mena.
من فرعون إنه كان عاليا من المسرفين
 
Artinya : “Sesungguhnya dia adalah orang sombong, salah seorang dari orang-orang yang melampaui batas.” (QS. Ad-Dukhaan ayat 31)

Karena segala apa yang kita perbuat akan dituntut pertanggungjawabannya.
كل نفس بما كسبت رهينة
 
Artinya : “Tiap-tiap diri bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuatnya.” (QS. Al-Muddatsir ayat 38)

Kita sebagai umat Islam seharusnya berpegang teguh terhadap Alquran dan As-Sunnah. Termasuk didalamnya mengambil keputusan dengan cara musyawarah. Sesuatu yang datangnya dari agama tidak perlu diragukan lagi, didalamnya pasti akan membawa banyak manfaat.

Penjelasan Tentang Tahnik/تحنيك


Islam Adalah Agama Yang Syamil Mutakamil. Yang Berarti Menyeluruh Dan Sempurna. Hal Ini Menunjukkan Bahwa Islam Adalah Agama Yang Mengajarkan Dan Mendidik Seluruh Aspek-Aspek Kehidupan Manusia.
Masih Banyak Orang, Baik Yang Non Islam Maupun Muslim Sekalipun, Masih Menilai Bahwa Islam Itu Hanyalah Ajaran Yang Bergerak Di Balik Tembok-Tembok Masjid Dan Majelis Taklim Serta Bukan Ajaran Yang Mengatur Permasalahan Pendidikan, Kesehatan, Ekonomi Ummat, Perpolitikan, Dan Undang-Undang Negara Dan Sebagainya, Padahal Paradigma Ini Sungguh Sangat Tidak Tepat.

Islam Mengikat Sehari-Hari Dan Tidak Terbatas Oleh Ruang Dimanapun Serta Tidak Pula Terbatas Dengan Waktu Kapanpun. Tuntunan/Aturan Itu Bukanlah Penjara Yang Mengekang Hingga Mematikan Fitrah Manusia. Namun, Justru Ia Adalah Lampu Penerang Yang Menyinari Perjalanan Sang Makhluk Menuju Kebahagiaan.

Kesempurnaan Agama Islam Karena Jauh Dari Noda-Noda Hitam Yang Kotor Dan Terhindar Dari Analogi-Analogi Manusia Yang Faqir Dan Berlimpah Dengan Kejahilan.

Begitupun Perihal Dalam Pendidikan Anak. Dalam Islam, Anak Tidak Hanya Dipelihara Sejak Setelah Lahir Semata, Bahkan Bahkan Sejak Seseorang Berazzam Untuk Menikah, Diantara Hal Yang Diperhatikan Adalah Agar Memilih Pasangan Atau Isteri Yang Shalihah (Baik). Dengan Calon Pendamping (Suami/Istri) Yang Baik (Bibit) Makan Niscaya Akan Melahirkan Generasi Yang Sholeh Sholehah Pula, In-Syaa Allah.

Islam Telah Memberikan Perhatian Yang Besar Untuk Keselamatan Keluarga, Khususnya Keturunan Agar Menjadi Kuat, Tidak Hanya Secara Akhlaq, Bahkan Dalam Hal Genetika Tubuh Dan Kejiwaan. Pemeliharaan Ini Terus Berjalan Sampai Mencapai Masa Kehamilan Dan Ketika Hendak Melahirkan, Melahirkan, Menyusui, Dan Tahapan Pendidikan, Serta Perkembangan Berikutnya.

Diantara Bukti Perhatian Islam Terhadap Anak Pada Masa Kelahiran Adalah Masalah Tahnik. Meskipun Tahnik Ini Merupakan Sunah Saja, Namun Banyak Keutamaan Dalam Hal Tersebut.

Memiliki anak adalah impian setiap orang tua. Saat bayi Anda lahir kebahagiaan yang tiada tara tentu Anda rasakan sebagai Orang Tua. Pada umunya, orang tua memberikan vaksin dan imunisasi untuk bayinya. Agara si bayi terhindar dari berbagai penyakit. Padahal sebenarnya, ada cara lain dalam islam yang dianjurkan dilakukan orang tua kepada bayinya ketika baru lahir yaitu me’tahnik’. Sebagai orang tua baru, jangan lupa untuk melakukan ‘tahnik’ untuk bayi Anda. Apa itu tahnik ? Tulisan berikut ini akan mengulas tentang cara mentahnik bayi ketika baru lahir, yang ternyata merupakan salah satu ajaran dari Nabi kita, Rasulullah SAW.

Bagi Anda, umat muslim, sepertinya masih banyak yang belum mengerti tentang cara mentahnik bayi ketika baru lahir. Cara ini merupakan metode imunisasi dalam islam atau sesuai ajaran islam, seperti yang diajarkan Rasulullah SAW.

Apa itu Tahnik ?

Tahnik adalah melumurkan buah kurma ke dalam mulut bayi yaitu di bagian langit-langit mulut bayi, dimana sebelumnya kurma yang dilumurkan terlebih dahulu di lumat. Para ahli bahasa mengatakan bahwa tahnik ialah mengunyah kurma lalu menggosokan kurma tersebut ke langit-langit mulut bayi. Tujuannya adalah agar bayi bisa terlatih untuk mengunyah dan membantu menguatkan bayi untuk makan.

Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullah menjelaskan pengertian tahnik,

والتحنيك مضغ الشيء ووضعه في فم الصبي ودلك حنكه به يصنع ذلك بالصبي ليتمرن على الأكل ويقوى عليه وينبغي عند التحنيك أن يفتح فاه حتى ينزل جوفه وأولاه التمر فإن لم يتيسر تمر فرطب وإلا فشيء حلو وعسل النحل أولى من غيره

“Tahnik ialah mengunyah sesuatu kemudian meletakkan/ memasukkannya ke mulut bayi lalu menggosok-gosokkan ke langit-langitmulut. Hal ini dilakukan dengan tujuan agar bayi terlatih dengan makanan, juga untuk menguatkannya. Yang patut dilakukan ketika mentahnik hendaklah mulut (bayi tersebut) dibuka sehingga (sesuatu yang telah dikunyah) masuk ke dalam perutnya. Yang lebih utama, mentahnik dilakukan dengan kurma kering (tamr). Jika tidak mudah mendapatkan kurma kering (tamr), maka dengan kurma basah (ruthab).Kalau tidak ada kurma, bisa diganti dengan sesuatu yang manis. Tentunya madu lebih utama dari yang lainnya”. [Fathul Baari]

Hadits-Hadits Mengenai Tahnik

Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim dari hadits Abu Burdah dari Abu Musa, dia berkata,

وُلِدَ لِى غُلاَمٌ فَأَتَيْتُ بِهِ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- فَسَمَّاهُ إِبْرَاهِيمَ وَحَنَّكَهُ بِتَمْرَةٍ

“Aku pernah dikaruniai anak laki-laki, lalu aku membawanya ke hadapan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka beliau memberinya nama Ibrahim dan mentahniknya dengan sebuah kurma (tamr)." 

Dikeluarkan oleh Al-Bukhari (5467 Fathul Bari) Muslim (2145 Nawawi), Ahmad (4/399), Al-Baihaqi dalam Al-Kubra (9/305) dan Asy-Syu’ab karya beliau (8621, 8622)

Dari Anas Radhiallahu ‘anhu, dia berkata:

كَانَ ابْنٌ ِلأَبِي طَلْحَةَ يَشْتَكِي، فَخَرَجَ أَبُو طَلْحَةَ فَقُبِضَ الصَّبِيُّ فَلَمَّا رَجَعَ أَبُو طَلْحَةَ قَالَ: مَا فَعَلَ الصَّبِيُّ؟ قَالَتْ أُمُّ سُلَيْمٍ: هُوَ أَسْكَنُ مِمَّا كَانَ. فَقَرَّبَتْ إِلَيْهِ الْعَشَاءَ، فَتَعَشَّى ثُمَّ أَصَابَ مِنْهَا، فَلَمَّا فَرَغَ قَالَتْ: وَارِ الصَّبِيَّ. فَلَمَّا أَصْبَحَ أَبُو طَلْحَةَ أَتَى رَسُولَ اللهِ فَأَخْبَرَهُ فَقَالَ: أَعْرَسْتُمُ اللَّيْلَةَ؟ قَالَ: نَعَمْ، قَالَ: اَللّهُمَّ بَارِكْ لَهُمَا. فَوَلَدَتْ غُلاَمًا قَالَ لِي أَبُو طَلْحَةَ: اِحْمَلْهُ حَتَّى تَأْتِيَ بِهِ النَّبِيَّ فَقَالَ: أَمَعَهُ شَيْءٌ؟ قَالُوا: نَعَمْ تَمَرَاتٌ. فَأَخَذَهَا النَّبِيُّ فَمَضَغَهَا ثُمَّ أَخَذَ مِنْ فِيهِ فَجَعَلَهَا فِي الصَّبِيِّ وَحَنَّكَهُ بِهِ وَسَمَّاهُ عَبْدَ اللهِ.

“Dahulu anak Abu Thalhah dalam keadaan sakit. Abu Thalhah keluar rumah, saat itu lalu anaknya meninggal dunia. Setelah pulang, Abu Thalhah berkata, ‘Apa yang dilakukan oleh anak itu?’ Ummu Sulaim menjawab, ‘Dia lebih tenang dari sebelumnya.’ Kemudian Ummu Sulaim menghidangkan makan malam kepadanya. Selanjutnya Abu Thalhah mencampurinya. Setelah selesai, Ummu Sulaim berkata, ‘Tutupilah anak ini.’ Dan pada pagi harinya, Abu Thalhah mendatangi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam seraya memberitahu beliau, maka beliau bertanya, “Apakah kalian bercampur tadi malam?’ ‘

Ya,’ jawabnya. Beliau pun bersabda, ‘Ya Allah, berikanlah keberkahan kepada keduanya.’
Maka Ummu Sulaim pun melahirkan seorang anak laki-laki. Lalu Abu Thalhah berkata kepadaku (Anas bin Malik),   ‘Bawalah anak ini sehingga engkau mendatangi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.’

Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, ‘Apakah bersamanya ada sesuatu (ketika di bawa kesini?’ Mereka menjawab, ‘Ya. Terdapat beberapa buah kurma.’ Kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengambil kurma itu lantas mengunyahnya, lalu mengambilnya kembali dari mulut beliau dan meletakkannya di mulut anak tersebut kemudian mentahniknya dan memberinya nama ‘Abdullah." [Muttafaq ‘alaih, HR. Bukhari no. 5470 dan Muslim no. 2144.]‎

عَنْ عَائِشَةَ – رضى الله عنها – قَالَتْ أُتِىَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – بِصَبِىٍّ يُحَنِّكُهُ ، فَبَالَ عَلَيْهِ ، فَأَتْبَعَهُ الْمَاءَ

Dari Aisyah –radhiyallahu ‘anha-, ia berkata, “Ada bayi laki-laki yang didatangkan kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu beliau mentahniknya. Kemudian bayi itu malah mengincingi Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam-. Lalu beliau memercikkankencing tersebut dengan air" [HR. Bukhari no. 5468 dan Muslim no. 286. Lafazh hadits ini adalah lafazh Bukhari.]

Terdapat lafazh dalam Shahih Muslim sebagai berikut,

عَنْ عَائِشَةَ زَوْجِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- كَانَ يُؤْتَى بِالصِّبْيَانِ فَيُبَرِّكُ عَلَيْهِمْ وَيُحَنِّكُهُمْ فَأُتِىَ بِصَبِىٍّ فَبَالَ عَلَيْهِ فَدَعَا بِمَاءٍ فَأَتْبَعَهُ بَوْلَهُ وَلَمْ يَغْسِلْهُ

Dari Aisyah, istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di datangkan kepada beliau beberapa bayi kemudian beliau mendo’akan keberkahan atas mereka dan mentahnik mereka. Lalu ada bayi yang dihadirkan kepada beliau, kemudian bayi itu kencing di pangkuan beliau. Lantasbeliau meminta air dan memercikkannya ke kencing bayi tersebut dan beliau tidak sampai mencucinya.”

Mengenai hukum tahnik sendiri adalah sunnah dan tidak menjadi amalan khusus untuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena asalnya amalan yang beliau lakukan adalah untuk umatnya kecuali jika ada dalil yang mengkhususkannya pada beliau (-ed).

Hikmah Tahnik dan Penjelasan Ulama

Di antara hikmah dilakukannya tahnik supaya yang paling pertama masuk di perut bayi adalah sesuatu yang manis, ditambahkan saat itu ada do’a untuk mengharapkan keberkahan.

Imam Al Mawardi rahimahullah berkata,

فعند من يجيز التحنيك فالأفضلُ عنده أن يكون بالتمر، فإن لم يجد فيحنِّكه بشيءٍ يكون حُلْوًا على ما ذهب إليه الشافعية والحنابل

“Menurut ulama yang membolehkan tahnik (bukan perbuatan khusus bagi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallamsaja, -pen), maka yang paling utama menurut mereka adalah menggunakan kurma. Jika tidak ada maka dengan sesuatu yang manis. Inilah pendapat ulama Syafi’iyyah dan Hanabilah.”

Imam An-Nawawi rahimahullah berkata,

كون التحنيك بتمر وهو مستحب ولو حنك بغيره حصل التحنيك ولكن التمر أفضل

“Tahnik dilakukan dengan kurma dan hukumnya adalah sunnah (anjuran). Namun andai ada yang mentahnik dengan selain kurma, maka sudah dianggap pula sebagai tahnik. Akan tetapi, tahnik dengan kurma lebih utama.”

Al-Hafidz bnu Hajar Al Asqalani rahimahullah juga menjelaskan,

وأولاه التمر فإن لم يتيسر تمر فرطب وإلا فشيء حلو وعسل النحل أولى من غير

Yang lebih utama (ketika) mentahnik ialah dengan kurma kering (tamr). Jika tidak mudah mendapatkan kurma kering (tamr) maka dengan kurma basah (ruthab) . Dan kalau tidak ada kurma dengan sesuatu yang manis dan tentunya madu lebih utama dari yang lainnya (kecuali kurma)”.

Syaikh Muhammad Shalih Al Munajjid hafizhohullah menjelaskan,

وأما الحكمة من التحنيك بالتمر، فقد كان العلماء قديما يرون أن هذه السنة فعلها النبي صلى الله عليه وسلم ليكون أول شيء يدخل جوف الطفل شيء حلو ، ولذا استحبوا أن يحنك بحلو إن لم يوجد التمر

“Adapun hikmah dari tahnik menggunakan kurma maka para ulama terdahulu berpendapat bahwa ini adalah sunnah yang dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam agar yang paling pertama masuk ke perut bayi adalah sesuatu yang manis. Oleh karena itu, dianjurkan mentahnik dengan sesuatu yang manis jika tidak mendapatkan kurma.”

Hikmah mengapa tahnik harus dengan yang manis sebenarnya telah terungkap dalam ilmu kedokteran. Berikut penelitian penelitian dokter spesialis, dr. Muhammad Ali Al Baar. Ringkasan perkataan beliau sebagai berikut:

” إن مستوى السكر ” الجلوكوز” في الدم بالنسبة للمولودين حديثاً يكون منخفضاً ، وكلما كان وزن المولود أقل ، كان مستوى السكر منخفضاً .
وبالتالي فإن المواليد الخداج [وزنهم أقل من 2.5كجم] يكون منخفضاً جداً بحيث يكون في كثير من الأحيان أقل من 20 ملليجرام لكل 100 ملليلتر من الدم . وأما المواليد أكثر من 2.5 كجم فإن مستوى السكر لديهم يكون عادة فوق 30 ملليجرام .
ويعتبر هذا المستوى ( 20 أو 30 ملليجرام ) هبوطاً شديداً في مستوى سكر الدم ، ويؤدي ذلك إلى الأعراض الآتية :
1-أن يرفض المولود الرضاعة .
2-ارتخاء العضلات .
3-توقف متكرر في عملية التنفس وحصول ازرقاق الجسم .
4-اختلاجات ونوبات من التشنج

Sesungguhnya kandungan zat gula “glukosa” dalam darah bayi yang baru lahir adalah sangat kecil. Jika bayi yang lahir beratnya lebih kecil maka semakin kecil pula kandungan zat gula dalam darahnya. Oleh karena itu, bayi prematur (lahir sebelum dewasa), beratnya kurang dari 2,5 kg, maka kandungan zat gulanya sangat kecil sekali, di mana pada sebagian kasus malah kurang dari 20 mg/ 100 mL darah. Adapun anak yang lahir dengan berat badan di atas 2,5 kg, maka kadar gula dalam darahnya biasanya di atas 30 mg/100 mL.

Kadar semacam ini berarti (20 atau 30 mg/100 mL darah) merupakan keadaan bahaya dalam ukuran kadar gula dalam darah. Hal ini bisa menyebabkan terjadinya berbagai penyakit:

Bayi menolak untuk menyusui,
Otot-otot melemas,
Berhenti secara terus-menerus aktivitas pernafasan dan kulit bayi menjadi kebiruan;
Kontraksi atau kejang-kejang
Dan terkadang bisa juga menyebabkan sejumlah penyakit yang berbahaya dan lama, seperti:

Insomnia;
Lemah otak;
Gangguan syaraf;
Gangguan pendengaran, penglihatan, atau keduanya;
Kejang-kejang secara berkepanjangan dan kronis.

Apabila hal-hal di atas tidak segera ditanggulangi atau diobati maka bisa menyebabkan kematian. Padahal obat untuk itu adalah sangat mudah, yaitu memberikan zat gula yang berbentuk glukosa melalui infus, baik lewat mulut, maupun pembuluh darah.


Tujuan Tahnik Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam adalah Imunisasi?

Setelah mengetahui hikmah tahnik melalui penjelasan para ulama, maka kita dapati tidak ada yang menyatakan bahwa hikmah tahnik adalah sebagai imunisasi alami, atau semisal meningkatkan kemampuan tubuh untuk untuk melawan penyakit. Apalagi menyatakan bahwa tujuan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah imunisasi, maka ini perlu dalil  dan kita tidak mendapati dalil tersebut. Kita seharusnya berhati-hati karena berkata dusta atas nama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam terdapat ancaman keras. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ كَذَبَ عَلَىَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ

“Barang siapa berdusta atas namaku,maka bersiap-siaplah menempati tempat duduknya di neraka’” [Hadits mutawatir, HR. Bukhari no. 1291 dan Muslim no. 3.]


Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ‎juga bersabda,

إِنَّ كَذِبًا عَلَيَّ لَيْسَ كَكَذِبٍ عَلَى أَحَدٍ فَمَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنْ النَّارِ

“Sesungguhnya berdusta atas namaku tidaklah sama dengan berdusta atas nama orang lain. Karena barangsiapa yang berdusta atas namaku dengan sengaja, maka hendaklah dia mempersiapkan tempat duduknya dari neraka." [HR.Al-Bukhari no. 1291 dan Muslim no. 4.]


Bukan Hanya Tahnik, Tetapi Juga Ditambah Mendo’akan

Ada ulama juga yang berpendapat bahwa tahnik sebenarnya adalah mendoakan dan mengharap berkah. Jadi tidak hanya tahnik saja tetapi harus disertai dengan mendoakan bayi tersebut.

Syaikh Ihsan bin Muhammad Al ‘Utaibi berkata,

قلت: الصحيح الثابت أن المحنِّك “يدْعُو للْمَوْلودِ بِالبَرَكَةِ”، كما جاء في “صحيح البخاري” (10/707) من حديث أبي موسى الأشعري. وفي صحيح مسلم (3/193) من حديث عائشة رضي الله عنها ” يُبَرِّكُ عَلَيْهِمْ” – أي: يدعو لهم بالبركة صلى الله عليه وسلم

“Yang tepat, orang yang melakukan tahnik juga mendoakan keberkahan bagi bayi tersebut, sebagaimana dalam hadits di shahih Bukhari (10: 707) pada hadits Abu Musa Al Asy’ari dan di Shahih Muslim (3: 193) dari hadits Aisyah radhiyallahu ‘anha, ‘Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam mendoakan keberkahan bagi mereka’.”

Ibnu Hajar Al Asqalani rahimahullah menjelaskan doa yang dibaca,

قوله ثم حنكه أي وضع في فيه التمرة ودلك حنكه بها قوله وبرك عليه أي قال بارك الله فيه أو اللهم بارك فيه

“Maksud mentahnik adalah meletakkan dalam mulut bayi kurma, kemudian menggosoknya, kemudian mendoakannya yaitu berdoa, “Baarakallahu fiihi (semoga berkah Allah diberikan untuknya)”, atau “Allahumma baarik fiihi (Ya Allah, berkahilah dia).”

Bacaan dan doa dalam tahnik mengikut turutannya:

Sebelum menyuap tamar & air zam-zam maka digalakan untuk membaca:

بسم الله الرحمن الرحيم
الرحمن # علم القرءان # خلق الانسان علمه البيان # الشمس والقمر بحسبان # والنجم والشجر يسجدان # (الرحمن: 1-6 )
لاتحرك به لسانك لتعجل به # إن علينا جمعه وقرانه # فإذا قراناه فاتبع قرأنه # ثم إن علينا بينة(القيامة 16-19)
بل هو القران مجيد # في لوح محفوظ #( البروج 21-22)

semua ayat diatas dibaca sebanyak 3X –

Semasa disuapkan ke dalam mulut bayi hendaklah digosokkan ke lelangit mulut bayi sambil dibacakan ayat seperti berikut:

بسم الله الرحمن الرحيم
فالله خير حافظا وهو أرحم الراحميم
(3 X)

والله من ورائهم محيط بل هو قرأن المجيد فى لوح محفوظ
(3 X)

وحفظناها من كل شيطان الرجيم
(3 X)

ولقد خلقنا الإنسان من سلالة من طين ثم جعلناه نطفة من قرار مكين ثم خلقنا النطفة علقة فخلقنا العلقة مضغة فخلقنا المضغة عظاما فكسونا العظام لحما ثم أنشأناه خلقا ءاخر فتبارك الله أحسن الخالقين.

وان يكاد الذين كفروا ليزلقونك بأبصارهم لما سمعوا الذكر ويقولون انه لمجنون وما هو الا ذكر للعالمين

بسم الله الرحمن الرحيم
أعوذ بكلمات الله التامات ومن كل عين لامة ومن كل شيطان هامة
حصنته بالحى القيوم ودفعت عنك السوء بالف الف لا حول ولا قوة الا بالله العلى العظيم 
سماك الله .................................................................(اسم للطفل)

Kemudian hendaklah dibaca:

الناس- الفلق- الاخلاص- الفاتحة

Doa tahnik :

بسم الله الرحمن الرحيم
الحمد الله رب العالمين حمدا يوافى نعمه ويكافىء مزيدة يا ربنا لك الحمد كما ينبغى لجلال وجهك وعظيم سلطانك . سبحانك لا نحصى ثناء عليك كما أثنيت على نفسك .‏فلك الحمد على قبل الرضى ولك الحمد بعد الرضى اللهم صلى وسلم وبارك على سيدنا محمد في الأولين. وصل وسلم على سيدنا محمد فى الأخرين. وعلى اله وصحبه أجمعين. اللهم أنشاه نشاة صالحة, واحيه حياة طيبة, واسعده سعادة الحسنى, واجعله بارا بوالديه غير عاق لهما. واجعله من الصالحين العارفين الكاملين. واكفه شر النظرة والعين والحاسدين, وأعذه من الخلقك أجمعين, ولا تحوجه الا لوجهك الكريم. واغفر لوالديه والحاضرين أجمعين . وصلى الله على سيدنا محمد صلى الله عليه وسلم

Apakah Bakteri dalam Mulut Merangsang Imunitas Alami?

Salah satu teori yang diusung oleh mereka yang menyatakan bahwa tahnik adalah imunisasi alami yaitu bakteri dari mulut orang yang mentahnik akan berpindah ke perut bayi kemudian merangsang imunitas alami. Sebagaimana teori imunisasi yaitu memaparkan antigen seperti bakteri yang dilemahkan atau yang dimatikan.  Ini perlu penelitian dan pembuktian ilmiah. Dan jika benar maka bayi tersebut hanya kebal terhadap bakteri di mulut bukan dengan bakteri penyakit yang lain. Wallahu ‘alam.

Kandungan & Khasiat Ludah (Air Liur)

Subhanallah! Ternyata air ludah jg mengandung banyak khasiat, bahkan termasuk salah satu media dlm thibbun nabawi (pengobatan ala nabi) yaitu dengan cara mengambil ludahnya sendiri dgn jari lalu meletakkan ke debu kemudian meletakkannya di bagian tubuh yg sakit sambil membaca doa:

بِسْمِ اللَّهِ تُرْبَةُ أَرْضِنَا بِرِيقَةِ بَعْضِنَا يُشْفَى سَقِيمُنَا بِإِذْنِ رَبِّنَا
-رواه البخاري ومسلم-

“Dengan nama Allah, dengan debu bumi kami, dengan ludah sebagian dari kami, dengan ini semoga orang sakit ini disembuhkan atas izin Allah”.[HR. Bukhari & Muslim]

Semua Manusia pasti mengenal yg namanya Air liur atau ludah, namun tidak banyak diantara kita yang mengetahui apa sih manfaat utama dari air liur atau ludah itu?

Air liur atau air ludah dalam bahasa ilmiah dikenal dgn Saliva adalah cairan bening yg dihasilkan oleh Manusia dan bbrpa jenis hewan. Pada air liur atau ludah ini terkandung bbrpa unsur, antara lain: Elektrolit yg mengandung Natrium, Kalium, Kalsium, Magnesium. Mukosa yg mengandung Mukopolisakarida dan Glikoprotein, senyawa antibakteri dan bbrapa macam enzim.

Di dalam air liur atau air ludah terkandung zat yg dpt membantu proses penyembuhan luka pd manusia yg disebut dgn Histatin, Histatin ialah protein yg dihasilkan oleh air liur yg dipercaya dapat membunuh bakteri-bakteri jahat pd luka. Fakta ini jg menjawab mengapa luka pd mulut, seperti luka setelah pencabutan gigi dapat sembuh lebih cepat dibandingkan dgn luka pd kulit atau tulang.

Selain itu, meski terkesan menjijikan, ternyata air liur atau ludah mengandung nitric oxide yg bermanfaat bagi manusia. Nitrit Oxide adalah suatu enzim yg dapat membunuh bakteri dan membantu luka kecil agar terbebas dari infeksi. Manfaat air liur yg mengandung nitrit oxide ini merupakan hasil penelitian Dr. Nigel Benyamin, ilmuan asal Inggris.

Hikmah Tahnik

Sesungguhnya perbuatan Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam men-tahnik bayi-bayi yang baru lahir dengan kurma setelah dilumatkan dan kemudian memasukkannya ke mulut bayi, kemudian men-tahnik-nya (mengolehkan lumatan kurma di langit-langit mulut) adalah memiliki hikmah yang agung. Sebab, kurma memiliki kandungan gula “glukosa” dalam jumlah yang banyak, khususnya setelah dilumatkan dimulut sehingga bercampur dengan air liur, diman air liur mengandung sejumlah enzim khusus yangbisa mengubah glukosa menjadi gula asal. Air liur juga bisa melumatkan zat-zat gula. Sehingga bayi yang baru lahir bias mencerna kurma lembut itu dengan baik.

Dan karena mayoritas atau bahkan semua bayi membutuhkan zat gula dalam bentuk “glukosa” seketika setelah lahir, maka memberikan kurma yang sudah dilumat bias menjauhkan sang bayi -dengan izin Allah Subhannahu wa Ta’ala – dari kekurangan kadar gula yang berlipat-lipat.

Sesungguhnya disunnahkannya tahnik kepada bayi adalah obat sekaligus tindakan preventif yang memiliki fungsi penting yang sangat, dan ini adalah mukjizat kenabian Muhammad Shalallaahu alaihi wasalam secara medis dimana sejarah kemanusiaan tidak pernah mengetahui hal itu sebelumnya, bahkan kini manusia tahu bahayanya kekurangan kadar glukosa dalam darah bayi.

Dan sesungguhnya bayi yang baru lahir, apalagi jika lahir premature, tanpa diragukan lagi sangat membutuhkan solusi cepat, yaitu memberikan zat gula. Dan rumah sakit-rumah sakit pun kini memberikan kepada bayi dan anak-anak glukosa agar dihisap oleh sang bayi atau anak kecil langsung setelah lahir, kemudian baru setelah itu, mulailah sang ibu menyusuinya.

Sesungguhnya hadits-hadits Nabi Shalallaahu alaihi wasalam yang mulia yang berkenaan dengan tahnik menjadi pintu pembuka cakrawala pengetahuan dunia dalam hal menjaga dan merawat anak atau bayi, khususnya bayi lahir premature.

Prematur adalah diantara penyakit yang sangat berbahaya, karena sang bayi memiliki kandungan kadar gula glukosa yang sangat kecil dalam darahnya. Jika diberikan kepadanya zat gula yang siap diserap olehnya, maka itu adalah solusi yang terbaik dan selamat dalam keadaan darurat semacam ini. Tahnik kurma juga sekaligus menjadi mukjizat kenabian Muhammad Shalallaahu alaihi wasalam secara medis, padahal hal itu tidak pernah diketahui sebelumnya, baik pada zaman beliau hidup ataupun pada zaman-zaman sekarang, kecuali setelah dilakukannya sejumlah penelitian pada abad 20-an ini.

Pelajaran Penting Tentang Tahnik

Pertama: Para ulama sepakat tentang disunnahkannya (dianjurkannya) mentahnik bayi yang baru lahir dengan kurma. Jadi tahnik dilakukan di hari pertama.

Kedua: Jika tidak mendapati kurma untuk mentahnik, maka bisa digantikan dengan yang lainnya yang manis-manis.

Ketiga: Cara mentahnik adalah orang yang mentahnik mengunyah kurma hingga agak cair dan mudah ditelan, lalu ia membuka mulut si bayi, lalu ia menggosokkan kunyahan kurma tadi di langit-langit mulutnya sehingga si bayi akan mencernanya ke dalam kerongkongannya.

Keempat: Hendaknya yang melakukan tahnik adalah orang sholih sehingga bisa diminta do’a keberkahannya, terserah yang mentahnik tersebut laki-laki atau perempuan. Jika orang sholih tersebut tidak hadir, maka hendaklah bayi tersebut yang didatangkan ke orang sholih tersebut.

Mengenai yang mentahnik boleh seorang wanita sebagaimana dijelaskan oleh Ibnul Qayyim Al-Jauziyah bahwa Imam Ahmad bin Hambal ketika lahir salah satu bayinya, beliau menyuruh seorang wanita untuk mentahnik bayinya tersebut

Ada ulama yang memberi penjelasan urutan makanan yang dijadikan bahan untuk mentahnik: tamr (kurma kering); kalau tidak ada, barulah rothb (kurma basah); kalau tidak ada, barulah makanan manis yaitu yang jadi pilihan adalah madu; dan setelah itu adalah makanan yang tidak disentuh api.

Doa Nabi Sulaiman Menundukkan Hewan dan Jin

  Nabiyullah Sulaiman  'alaihissalam  (AS) merupakan Nabi dan Rasul pilihan Allah Ta'ala yang dikaruniai kerajaan yang tidak dimilik...