Minggu, 29 November 2020

Penjelasan Tentang Pentingnya Ilmu Kedokteran


عن جابر بن عبد الله لِكُلِّ دَاءٍ دَوَاءٌ، فَإِذَا أَصَابَ الدَّوَاءُ الدَّاءَ، بَرَأَ بِإِذْنِ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ
 
“Setiap penyakit pasti memiliki obat. Bila sebuah obat sesuai dengan penyakitnya maka dia akan sembuh dengan seizin Allah Subhanahu wa Ta’ala.” (HR. Muslim)
 
عن اسامة: كُنْتُ عِنْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَجَاءَتِ اْلأَعْرَابُ، فَقَالَ: يَا رَسُوْلَ اللهِ، أَنَتَدَاوَى؟ فَقَالَ: نَعَمْ يَا عِبَادَ اللهِ، تَدَاوَوْا، فَإِنَّ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ لَمْ يَضَعْ دَاءً إِلاَّ وَضَعَ لَهُ شِفَاءً غَيْرَ دَاءٍ وَاحِدٍ. قَالُوا: مَا هُوَ؟ قَالَ: الْهَرَمُ
 
Aku pernah berada di samping Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu datanglah serombongan Arab dusun. Mereka bertanya,“Wahai Rasulullah, bolehkah kami berobat?” Beliau menjawab: “Iya, wahai para hamba Allah, berobatlah. Sebab Allah Subhanahu wa Ta’ala tidaklah meletakkan sebuah penyakit melainkan meletakkan pula obatnya, kecuali satu penyakit.” Mereka bertanya: “Penyakit apa itu?” Beliau menjawab: “Penyakit tua.” (HR. Ahmad, Al-Bukhari dalam Al-Adabul Mufrad, Abu Dawud, Ibnu Majah, dan At-Tirmidzi, beliau berkata bahwa hadits ini hasan shahih.
Ilmu kedokteran mendapatkan kedudukan yang tinggi di dalam agama Islam, terlepas dari keadaan mahalnya biaya masuk fakultas kedokteran di Indonesia. Ini juga terlepas dari banyaknya sikap materialisme yang mengotori dunia kedokteran kita. Secara asal, ilmu ini mendapat tempat yang tinggi di dalam Islam.

Jika seseorang tidak berhasil menguasainya –yaitu menjadi dokter. setidaknya ia menjadi perawat atau bidan atau ahli-ahli lain yang merupakan bagian dari ilmu kedokteran. Syukur-syukur ia berhasil mendapatkan brevet dokter spesialis penyakit tertentu.

Motivasi Menjadi Dokter

Di antara tujuan menjadi dokter dan mempelajari ilmu kedokteran adalah untuk menyingkap rahasia obat dari suatu penyakit. Perkembangan ilmu kedokteran juga akan meningkatkan optimisme kaum muslimin di dalam menghadapi penyakit setelah berharap rahmat dan kesembuhan dari Allah Azza wa Jalla.

Ini karena Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:

مَا أَنْزَلَ اللَّهُ دَاءً إِلَّا أَنْزَلَ لَهُ شِفَاءً

“Tidaklah Allah menurunkan suatu penyakit, kecuali Ia telah menurunkan obatnya.” (HR. al-Bukhari: 5246, Ibnu Majah: 3430 dari Abu Hurairah radliyallahu anhu).

Dalam riwayat lain terdapat tambahan:

فَإِذَا أُصِيبَ دَوَاءُ الدَّاءِ بَرَأَ بِإِذْنِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ

“Jika obat tepat mengenai penyakitnya maka sembuhlah dengan seijin Allah Azza wa Jalla.”(HR. Muslim: 4084, Ahmad: 14070 dari Jabir radliyallahu anhu).

Dalam riwayat lain juga terdapat tambahan:

عَلِمَهُ مَنْ عَلِمَهُ وَجَهِلَهُ مَنْ جَهِلَهُ

“Orang berilmu mengetahuinya, sedangkan orang bodoh tidak mengetahuinya.” (HR. Ahmad: 4015, al-Hakim dalam al-Mustadrak: 8205 (4/441) dan di-shahih-kan olehnya serta disepakati oleh adz-Dzahabi dari Abdullah bin Mas’ud radliyallahu anhu. Al-Albani men-shahih-kannya dalam Silsilah ash-Shahihah: 451).

عن جابر بن عبد الله لِكُلِّ دَاءٍ دَوَاءٌ، فَإِذَا أَصَابَ الدَّوَاءُ الدَّاءَ، بَرَأَ بِإِذْنِ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ
 
“Setiap penyakit pasti memiliki obat. Bila sebuah obat sesuai dengan penyakitnya maka dia akan sembuh dengan seizin Allah Subhanahu wa Ta’ala.” (HR. Muslim)
 
عن اسامة: كُنْتُ عِنْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَجَاءَتِ اْلأَعْرَابُ، فَقَالَ: يَا رَسُوْلَ اللهِ، أَنَتَدَاوَى؟ فَقَالَ: نَعَمْ يَا عِبَادَ اللهِ، تَدَاوَوْا، فَإِنَّ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ لَمْ يَضَعْ دَاءً إِلاَّ وَضَعَ لَهُ شِفَاءً غَيْرَ دَاءٍ وَاحِدٍ. قَالُوا: مَا هُوَ؟ قَالَ: الْهَرَمُ
 
Aku pernah berada di samping Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu datanglah serombongan Arab dusun. Mereka bertanya,“Wahai Rasulullah, bolehkah kami berobat?” Beliau menjawab: “Iya, wahai para hamba Allah, berobatlah. Sebab Allah Subhanahu wa Ta’ala tidaklah meletakkan sebuah penyakit melainkan meletakkan pula obatnya, kecuali satu penyakit.” Mereka bertanya: “Penyakit apa itu?” Beliau menjawab: “Penyakit tua.” (HR. Ahmad, Al-Bukhari dalam Al-Adabul Mufrad, Abu Dawud, Ibnu Majah, dan At-Tirmidzi, beliau berkata bahwa hadits ini hasan shahih.
 
إِنَّ اللهَ أَنْزَلَ الدَّاءَ وَالدَّوَاءَ وَجَعَلَ لِكُلِّ دَاءٍ دَوَاءً فَتَدَاوَوْا وَلاَ تَدَاوَوْا بِحَرَامٍ
 
“Sesungguhnya Allah telah menurunkan penyakit dan obatnya, demikian pula Allah menjadikan bagi setiap penyakit ada obatnya. Maka berobatlah kalian dan janganlah berobat dengan yang haram.” (HR. Abu Dawud dari Abud Darda` radhiallahu ‘anhu)

Hadits di atas menunjukkan betapa pentingnya belajar ilmu kedokteran untuk mengetahui obat dari suatu penyakit.

Al-Imam an-Nawawi rahimahullah berkata:

قال القاضي فى هذه الأحاديث جمل من علوم الدين والدنيا وصحة علم الطب وجواز التطبب فى الجملة

“Al-Qadli berkata: “Di dalam hadits-hadits ini terdapat beberapa jumlah ilmu agama dan ilmu duniawi, sertasah atau legalnya ilmu kedokteran dan bolehnya membuka praktek kedokteran secara global.” (Syarh an-Nawawi ala Muslim: 14/191).

Al-Allamah Abdurrahman as-Sa’di rahimahullah berkata:

وفي هذا: الترغيب في تعلم طب الأبدان، كما يتعلم طب القلوب، وأن ذلك من جملة الأسباب النافعة. وجميع أصول الطب وتفاصيله، شرح لهذا الحديث. لأن الشارع أخبرنا أن جميع الأدواء لها أدوية. فينبغي لنا أن نسعى إلى تعلمها، وبعد ذلك إلى العمل بها وتنفيذها.

“Di dalam hadits ini terdapat anjuran mempelajari kedokteran badan sebagaimana mempelajari kedokteran hati. Dan bahwa ilmu kedokteran itu termasuk sebab-sebab yang bermanfaat (untuk sembuhnya penyakit, pen). Semua dasar serta cabang dan perincian ilmu kedokteran menjadi syarah (penjabaran) bagi hadits ini, karena Syari’ (Allah dan Rasul) telah memberitahu kita bahwa setiap penyakit terdapat obatnya. Maka hendaknya kita berusaha mempelajarinya. Dan setelah itu mengamalkan dan melaksanakan ilmu tersebut.” (Bahjatu Qulubil Abrar wa Qurratu Uyunil Akhyar: 177).

Yang dimaksud oleh as-Sa’di tentang ‘dasar dan perincian ilmu kedokteran’ –menurut Penulis- adalah ilmu kedokteran dasar seperti anatomi, histologi, fisiologi dan biokimia. Kemudian ilmu kedokteran preklinik seperti: farmakologi, patofisiologi, patologi anatomi, mikrobiologi dan parasitologi. Kemudian kedokteran klinik seperti ilmu penyakit dalam, ilmu bedah, ilmu kebidanan dan kandungan, ilmu penyakit anak, dan sebagainya. Wallahu a’lam.

Dokter dalam Al-Quran

Peran dokter juga sedikit disinggung di dalam Al-Quran. Allah Azza wa Jalla berfirman:

كَلَّا إِذَا بَلَغَتِ التَّرَاقِيَ () وَقِيلَ مَنْ رَاقٍ

“Sekali-kali jangan. Apabila nafas (seseorang) telah (mendesak) sampai ke kerongkongan, dan dikatakan (kepadanya): “Siapakah yang dapat mengobati?”(QS. Al-Qiyamah: 26-27).

Al-Imam Abu Qilabah rahimahullah menafsirkan:

( وَقِيلَ مَنْ رَاقٍ ) قال: هل من طبيب شاف.

 “Ayat “Siapakah yang dapat mengobati?”, beliau berkata: “Adakah seorang dokter yang bisa menyembuhkan?” (Atsar riwayat Ath-Thabari dalam tafsirnya: 24/75). Demikian pula menurut penafsiran Al-Imam adl-Dlahhak bin Muzahim, Al-Imam Qatadah dan Al-Imam Ibnu Zaid rahimahumullah. (Lihat Tafsir ath-Thabari: 24/75).

Dari ayat di atas terdapat pelajaran bahwa seseorang yang sakit boleh dipanggilkan dokter, hanya saja dokter tidak dapat mengobati seseorang dari penyakit kematian.

Memilih Dokter yang Paling Mahir

Zaid bin Aslam rahimahullah berkata:

أَنَّ رَجُلًا فِي زَمَانِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَصَابَهُ جُرْحٌ فَاحْتَقَنَ الْجُرْحُ الدَّمَ وَأَنَّ الرَّجُلَ دَعَا رَجُلَيْنِ مِنْ بَنِي أَنْمَارٍ فَنَظَرَا إِلَيْهِ فَزَعَمَا أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَهُمَا أَيُّكُمَا أَطَبُّ فَقَالَا أَوَ فِي الطِّبِّ خَيْرٌ يَا رَسُولَ اللَّهِ فَزَعَمَ زَيْدٌ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَنْزَلَ الدَّوَاءَ الَّذِي أَنْزَلَ الْأَدْوَاءَ

“Bahwa seseorang di jaman Rasulullah shallallahu alaihi wasallam terkena luka. Kemudian luka tersebut mengeluarkan darah. Orang tersebut memanggil 2 orang dari Bani Anmar, kemudian keduanya memeriksa orang tersebut. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam berkata kepada keduanya:“Siapakah yang paling mengerti ilmu kedokteran di antara kalian berdua?”  Keduanya bertanya:“Memangnya di dalam ilmu kedokteran terdapat kebaikan, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab:“Dzat yang menurunkan penyakit telah menurunkan obatnya.” (HR. Malik dalam al-Muwaththa: 1689 (2/943) dan Ibnu Abi Syaibah dalam Mushannafnya: 23886 (7/361). Riwayat ini mursal karena Zaid bin Aslam tidak pernah bertemu Rasulullah shallallahu alaihi wasallam).

Al-Allamah Abul Walid al-Baji rahimahullah berkata:

(أَيُّكُمَا أَطَبُّ) يَحْتَمِلُ أَنْ يُرِيدَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم الْبَحْثَ عَنْ حَالِهِمَا وَمَعْرِفَتَهُمَا بِالطِّبِّ ؛ لِأَنَّهُ لَا يَصْلُحُ أَنْ يُعَالَجَ إِلَّا بِعِلَاجِ مَنْ لَهُ عِلْمٌ بِالطِّبِّ

“Ucapan “Siapakah yang paling mengerti ilmu kedokteran di antara kalian berdua?” memberikan kemungkinan makna bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam ingin membahas keadaan dan keilmuan kedua orang tersebut tentang ilmu kedokteran, karena tidaklah pantas mengobati kecuali dengan pengobatan orang yang mengerti ilmu kedokteran.” (Al-Muntaqa Syarhul Muwaththa: 4/362).

Beliau juga berkomentar:

وَفِي هَذَا دَلِيلٌ عَلَى أَنَّ الطِّبَّ مَعْنًى صَحِيحٌ وَلِذَلِكَ سَأَلَهُمَا النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم عَنْ أَفْضَلِهِمَا فِيهِ

“Di dalam hadits ini terdapat dalil bahwa kedokteran merupakan makna (baca: definisi) yang benar. Oleh karena itu Nabi shallallahui alaihi wasallam bertanya kepada keduanya tentang yang paling utama dalam ilmu kedokteran di antara keduanya.” (Al-Muntaqa Syarhul Muwaththa: 4/362).

Maksud al-Baji adalah bahwa dokter yang dikenal di masa dahulu adalah sama juga dengan dokter yang kita kenal sekarang ini. Hanya saja keilmuan dokter terus berkembang sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Dokter di Jaman Rasulullah shallallahu alaihi wasallam

Disebutkan dalam kitab-kitab tarikh bahwa seorang dokter Arab yang terkenal pada masa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam adalah Harits bin Kaldah ats-Tsaqafi. (Usudul Ghabah: 1/218).

Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata: “Ibnu Mandah meriwayatkan dari jalan Ismail bin Muhammad bin Sa’ad dari bapaknya. Ia berkata:

مرض سعد فعاده النبي صلى الله عليه و سلم فقال إني لأرجو أن يشفيك الله ثم قال للحارث بن كلدة عالج سعدا مما به

“Sa’ad bin Abi Waqqash mengalami sakit  (di Makkah). Kemudian Rasulullah shallallahu alaihi wasallam menjenguknya dan berkata: “Sesungguhnya aku berharap agar Allah menyembuhkanmu. Kemudian beliau berkata kepadaHarits bin Kaldah: “Obatilah Sa’ad dari penyakitnya!” (Al-Ishabah fi Tamyiizish Shahabah: 1/595).

Al-Hafizh juga berkata: “Al-Imam Ibnu Abi Hatim berkata:

لا يصح إسلامه وهذا الحديث يدل على جواز الاستعانة بأهل الذمة في الطب

“Tidak sah keislaman Harits bin Kaldah. Hadits ini menunjukkan bolehnya meminta bantuan kepada kafir dzimmi dalam bidang kedokteran.” (Al-Ishabah fi Tamyiizish Shahabah: 1/595).

Interaksi antara Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dengan Para Dokter

Selain riwayat di atas, terdapat beberapa hadits yang menunjukkan bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam juga menghargai profesi kedokteran.

Hilal bin Yasaf rahimahullah meriwayatkan dari Dzakwan dari seseorang kaum Anshar radliayallahu anhu, ia berkata:

عَادَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَجُلًا بِهِ جُرْحٌ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ادْعُوا لَهُ طَبِيبَ بَنِي فُلَانٍ قَالَ فَدَعَوْهُ فَجَاءَ فَقَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَيُغْنِي الدَّوَاءُ شَيْئًا فَقَالَ سُبْحَانَ اللَّهِ وَهَلْ أَنْزَلَ اللَّهُ مِنْ دَاءٍ فِي الْأَرْضِ إِلَّا جَعَلَ لَهُ شِفَاءً

 “Rasulullah shallallahu alaihi wasallam menjenguk seseorang yang terkena luka. Maka beliau berkata:“Panggilkan untuknya dokter Bani Fulan!”  Mereka berkata: “Wahai Rasulullah! Apakah obat bisa menolongnya?” Beliau menjawab: “Maha suci Allah, bukankah Allah tabaraka wata’ala tidak menurunkan penyakit di bumi kecuali Ia telah menjadikan obat untuk penyakit tersebut?” (HR. Ahmad dalam Musnadnya: 22074. Isnadnya di-shahih-kan oleh al-Albani dalam Ghayatul Maram: 292 dan Silsilah ash-Shahihah: 517).

Dari Jabir radliyallahu anhu, ia berkata:

بَعَثَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَى أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ طَبِيبًا فَقَطَعَ مِنْهُ عِرْقًا ثُمَّ كَوَاهُ عَلَيْهِ

“Rasulullah shallallahu alaihi wasallam mengirimkan seorang dokter kepada Ubay bin Ka’ab. Maka dokter tersebut memotong satu otot Ka’ab kemudian meng-kay (baca: meng-couter, pen) otot tersebut.” (HR. Muslim: 4088, Abu Dawud: 3366, Ibnu Majah: 3484).

Al-Imam asy-Syafii dan Dunia Kedokteran

Beliau termasuk ulama yang sangat memperhatikan kemajuan dunia kedokteran. Al-Imam Rabi’ rahimahullah berkata:

سمعت الشافعي يقول: لا أعلم علما بعد الحلال والحرام أنبل من الطب، إلا أن أهل الكتاب قد غلبونا عليه.

“Aku telah mendengar al-Imam asy-Syafii berkata:“Aku tidak mengetahui ada ilmu setelah halal dan haram (ilmu fiqh, pen) yang lebih mencerdaskan daripada ilmu kedokteran.” (Siyar A’lamin Nubala’: 10/57).

Al-Imam Harmalah berkata:

كان الشافعي يتلهف على ما ضيع المسلمون من الطب، ويقول: ضيعوا ثلث العلم، ووكلوه إلى اليهود والنصارى

“Adalah al-Imam asy-Syafii menyayangkan ilmu kedokteran yang telah disia-siakan oleh kaum muslimin. Beliau berkata: “Mereka (kaum muslimin) telah menyia-siakan sepertiga ilmu (yaitu kedokteran, pen) dan menyerahkannya kepada kaum yahudi dan nashara.” (Siyar A’lamin Nubala’: 10/57).‎

Asal Usul Ilmu Kedokteran dan Perkembangannya

Al-Allamah Abuth Thayyib al-Azhim Abadi rahimahullah berkata:

وأما طب الجسد فمنه ما جاء في المنقول عنه صلى الله عليه و سلم ومنه ما جاء عن غيره وغالبه راجع إلى التجربة

“Adapun kedokteran badan, maka di antaranya ada yang datang dinukil dari Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Di antaranya juga ada yang berasal dari selain beliau dan kebanyakannya berasal dari hasil eksperimen.” (Aunul Ma’bud: 10/239).

Al-Allamah Ali al-Qari rahimahullah berkata:

واختلف في مبدأ هذا العلم على أقوال كثيرة والمختار أن بعضه علم بالوحي إلى بعض أنبيائه وسائره بالتجارب

“Dan diperselisihkan tentang asal usul ilmu ini (kedokteran, pen) menurut banyak pendapat. Pendapat terpilih adalah bahwa sebagian ilmu ini berasal dari wahyu yang diwahyukan kepada para nabi-Nya. Dan sebagian yang lainnya berasal dari hasil eksperimen.” (Mirqatul Mafatih Syarh Misykatil Mashabih: 13/254).

Ilmu kedokteran yang berasal dari eksperimen berkembang dengan sangat cepat. Banyak rahasia dalam tubuh manusia dan berbagai penyakit yang menimpanya serta terapinya diketahui dengan jelas melalui perkembangan ilmu kedokteran seiring perkembangan teknologi. Allah Azza wa Jalla berfirman:

سَنُرِيهِمْ آيَاتِنَا فِي الْآفَاقِ وَفِي أَنْفُسِهِمْ حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُ الْحَقُّ

“Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segala wilayah bumi danpada diri mereka sendiri, hingga jelas bagi mereka bahwa Al Quran itu adalah benar.” (QS. Fushshilat: 53).

Maksud tanda-tanda kekuasaan Allah pada diri mereka sendiri adalah tersingkapnya ilmu dan teknologi kedokteran modern. Al-Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata:

ويحتمل أن يكون المراد من ذلك ما الإنسان مركب منه وفيه وعليه من المواد والأخلاط والهيئات العجيبة، كما هو مبسوط في علم التشريح الدال على حكمة الصانع تبارك وتعالى.

“Di antara kemungkinan makna ‘tanda-tanda kekuasaan Allah pada diri mereka sendiri’ adalah materi yang menyusun tubuh manusia, bahan-bahan dan campurannya, serta keadaan tubuh yang menakjubkan sebagaimana dijabarkan dalam ilmu urai tubuh (anatomi, pen) yang menunjukkan atas hikmah Pencipta tabaraka wa ta’ala.” (Tafsir Ibnu Katsir: 7/187).

Asy-Syaikh Athiyyah Muhammad Salim rahimahullah berkata:

العلوم التجريبية: هي الطب، ولهذا كل أسبوع بل كل يوم يأتينا في الطب جديد، نتيجة للتجارب، وتسمعون وتقرءون: اكتشف كذا بسبب إجراء العلماء تجربة كذا، ولهذا يكون الطبيب الذي يقتصر على حمل شهادته مجمداً، والطبيب الحقيقي هو الذي يتابع الدورات، ونتائج المؤتمرات، ونتائج الأبحاث؛ لأنها تتجدد بتجدد التجارب.

“(Yang tergolong) ilmu-ilmu ekeperimental adalah ilmu kedokteran. Oleh karena itu setiap minggu bahkan setiap hari muncul hal-hal baru dalam kedokteran sebagai hasil berbagai penelitian. Kalian mendengar dan membaca (dalam jurnal atau artikel kedokteran, pen): “Telah tersingkap terapi demikian melalui hasil penelitian ilmuwan demikian..” Oleh karena itu, dokter yang hanya mengandalkan ijazah saja akan menjadi jumud (kaku). Dan dokter yang sesungguhnya adalah yang mengikuti berbagai seminar, mengikuti hasil kongres, hasil pembahasan pertemuan ilmiah, karena ilmu kedokteran selalu baru dengan penelitian-penelitian baru.”  (Syarh Bulughul Maram: 30/6).

Bertanya kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam

Sebelum melakukan tindakan medis dan memberikan pengobatan, seorang dokter hendaknya bertanya kepada syariat ini. Bolehkah ia melakukan tindakan tersebut? Bolehkah ia memberikan obat tersebut? Sehingga tindakan dan terapinya tidak melanggar syariat.

Dari Abi Ramtsah radliyallahu anhu, ia berkata:

انْطَلَقْتُ مَعَ أَبِي وَأَنَا غُلَامٌ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ فَقَالَ لَهُ أَبِي إِنِّي رَجُلٌ طَبِيبٌ فَأَرِنِي هَذِهِ السِّلْعَةَ الَّتِي بِظَهْرِكَ قَالَ وَمَا تَصْنَعُ بِهَا قَالَ أَقْطَعُهَا قَالَ لَسْتَ بِطَبِيبٍ وَلَكِنَّكَ رَفِيقٌ طَبِيبُهَا الَّذِي وَضَعَهَا

“Aku dan ayahku berangkat menuju tempat Nabi shallallahu alaihi wasallam. Ayahku berkata kepada beliau: “Sesungguhnya aku adalah seorang dokter. Maka tunjukkanlah benjolan di punggungmu kepadaku!” Beliau bertanya kepada ayahku: “Apa yang akan kamu lakukan atasnya?”Ayahku menjawab: “Aku akan memotongnya.”Beliau berkata: “Kamu bukanlah dokter tetapi kamu adalah penyayang. Dokter benjolan tersebut adalah Allah yang telah menciptakannya.” (HR. Ahmad: 6813, Abu Dawud: 3674. Al-Albani men-shahih-kannya dalam Shahih wa Dlaif Sunan Abi Dawud: 4207).

Al-Allamah Abuth Thayyib al-Azhim Abadi rahimahullah berkata:

(هذا الذي بظهرك) المشار إليه هو خاتم النبوة الذي كان بين كتفي النبي صلى الله عليه و سلم مثل زر الحجلة ولم يعرف أبو أبي رمثة أنه خاتم النبوة ولذا قال ما قال

“Tunjukkanlah benjolan di punggungmu”. Benjolan yang ditunjuk itu adalah khatam nubuwwah (tanda kenabian) yang berada di antara kedua pundak Nabi shallallahu alaihi wasallam. Bentuknya seperti rumah berbentuk kubah. Ayah Abu Ramtsah belum mengetahui bahwa benjolan (baca: tumor) tersebut adalah tanda kenabian. Sehingga ia berkata seperti itu.” (Aunul Ma’bud: 4/392).

Maka memotong benjolan yang ada di punggung Rasulullah shallallahu alaihi wasallam berarti menghapus tanda kenabian dari beliau. Dan ini adalah terlarang.

Dari Abdurrahman bin Utsman radliyallahu anhu:

أَنَّ طَبِيبًا سَأَلَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ ضِفْدَعٍ يَجْعَلُهَا فِي دَوَاءٍ فَنَهَاهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ قَتْلِهَا

“Bahwa seorang dokter bertanya kepada Nabi shallallahu alaihi wasallam tentang katak yang ia jadikan dalam obat. Maka Nabi shallallahu alaihi wasallam melarang dokter itu membunuhnya.” (HR. Abu Dawud: 3373, An-Nasai: 4280 dan di-shahih-kan oleh al-Albani dalam Shahih wa Dlaif Sunan Abi Dawud: 3871).

Asy-Syaikh Abdul Muhsin Al-Abbad berkata:

والنهي عن قتلها يدل على تحريمها وعلى أنه لا يجوز استعمالها في الأدوية

“Larangan membunuh katak menunjukkan atas keharamannya dan bahwa tidak boleh menggunakannya dalam pengobatan.” (Syarh Sunan Abi Dawud: 22/192).

Kedokteran dan Malapraktik

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam juga mengingatkan bahwa yang berhak mengobati adalah ahli profesi kedokteran dengan standar kedokteran. Beliau bersabda:

مَنْ تَطَبَّبَ وَلَا يُعْلَمُ مِنْهُ طِبٌّ فَهُوَ ضَامِنٌ

“Barangsiapa berpraktik kedokteran padahal ia belum dikenal menguasai ilmu kedokteran, maka ia harus bertanggung jawab (atas perbuatannya, pen).” (HR. Abu Dawud: 3971, Ibnu Majah: 3457 dan an-Nasai: 4748 dari Amr bin Syuaib dari ayahnya dari kakeknya dan di-shahih-kan oleh al-Hakim dalam al-Mustadrak: 7484 (4/236) serta disepakati oleh adz-Dzahabi. Al-Albani meng-hasan-kannya dalam Silsilah ash-Shahihah: 635).

Al-Allamah ash-Shan’ani rahimahullah berkata:

الحديث دليل على تضمين المتطبب ما أتلفه من نفس فما دونها سواء أصاب بالسراية أو المباشرة وسواء كان عمدا أو خطأ وقد ادعي على هذا الإجماع

“Hadits ini menunjukkan bahwa seorang dokter harus bertanggung jawab atas perbuatannya yang merusakkan nyawa atau  yang di bawahnya (seperti anggota tubuh, pen). Baik ia bertindak langsung terhadap pasiennya atau ia hanya memerintahkan dan menasehatkan saja (melalui perawat atau lainnya, pen). Baik secara sengaja atau tidak sengaja. Dan ini diakui oleh ijma’ (kesepakatan ulama, pen).” (Subulus Salam: 3/250).

Al-Imam Ibnu Qudamah rahimahullah berkata:

وجملة ذلك أن هؤلاء إذا فعلوا ما أمروا به لم يضمنوا بشرطين (أحدهما) أن يكونوا ذوي حذق في صناعتهم لانه إذا لم يكن كذلك لم تحل له مباشرة القطع فإذا قطع مع هذا كان فعلا محرما فضمن سرايته كالقطع ابتداء، وقد قال النبي صلى الله عليه وسلم ” من تطبب بغير علم فهو ضامن ” رواه أبو داود (والثاني) أن لا تجني أيديهم فيتجاوزوا ما ينبغي أن يقطع.

“Secara global mereka (para dokter) jika bertindak sesuai yang diperintahkan tidak bertanggung jawab atas kerusakan yang ditimbulkan dengan 2 syarat:

Pertama: mereka memiliki kompetensi di dalam profesinya, karena jika tidak demikian, maka tidak halal baginya melakukan tindakan pemotongan organ. Maka jika melakukannya tanpa kompetensi maka itu termasuk perbuatan haram. Maka tanggung jawab atas perintah atau nasehat yang salah adalah seperti melakukan tindakan secara langsung. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:“Barangsiapa berpraktik kedokteran padahal ia belum dikenal menguasai ilmu kedokteran, maka ia harus bertanggung jawab (atas perbuatannya, pen).” (HR. Abu Dawud).

Kedua: perbuatan mereka tidak melampaui batas yang diperkenankan (baik menurut standar profesi atau atas seijin pasien atau walinya, pen).” (Asy-Syarhul Kabir: 6/124).

Al-Allamah al-Munawi rahimahullah berkata:

وشمل الخبر من طب بوصفه أو قوله

“Hadits ini meliputi orang yang berpraktik kedokteran dengan sifatnya atau ucapannya.”(Faidlul Qadir: 6/137-8). Sehingga hadits ini meliputi dokter umum yang berpraktik pengobatan primer, dokter spesialis yang menyelenggarakan pengobatan sekunder, dokter gigi yang menyelenggarakan praktik pengobatan gigi, bidan yang melakukan praktik kebidanan serta perawat yang berpraktik keperawatan.

Al-Allamah Abdurrahman as-Sa’di rahimahullah berkata:

ويستدل بهذا على: أن صناعة الطب من العلوم النافعة المطلوبة شرعاً وعقلاً. والله أعلم.

“Dan diambil dalil dari hadits ini bahwa profesi kedokteran termasuk ilmu yang bermanfaat secara syar’i dan akal. Wallahu a’lam.” (Bahjatu Qulubil Abrar wa Qurratu Uyunil Akhyar: 159).

Pengobatan Nabi (thibb an-nabawi)

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ : عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ قَالَ ( الشِّفَاءُ فِي ثَلاَثَةٍ فِي شَرْطَةِ مِحْجَمٍ أَوْ شَرْبَةِ عَسَلٍِ أَوْ كَيَّةِ بِنَارٍ وَأَنَا أَنْهَى أُمَّتِيْ عَنِ الْكَيِّ )

Dari Ibnu ‘Abbas, dari Nabi Muhammad SAW bersabda: “Obat terdapat dalam tiga hal, yaitu pada ketentuannya tukang bekam, minuman madu, atau besi yang dipanaskan, akan tetapi aku melarang umatku berobat menggunakan besi yang dipanaskan” (HR. Al-Bukhari)
 
خَرَجْنَا وَمَعَنَا غَالِبُ بْنُ أَبْجَرَ فَمَرِضَ فِي الطَّرِيقِ فَقَدِمْنَا الْمَدِينَةَ وَهُوَ مَرِيضٌ فَعَادَهُ ابْنُ أَبِي عَتِيقٍ فَقَالَ لَنَا عَلَيْكُمْ بِهَذِهِ الْحُبَيْبَةِ السَّوْدَاءِ فَخُذُوا مِنْهَا خَمْسًا أَوْ سَبْعًا فَاسْحَقُوهَا ثُمَّ اقْطُرُوهَا فِي أَنْفِهِ بِقَطَرَاتِ زَيْتٍ فِي هَذَا الْجَانِبِ وَفِي هَذَا الْجَانِبِ فَإِنَّ عَائِشَةَ حَدَّثَتْنِي أَنَّهَا سَمِعَتْ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِنَّ هَذِهِ الْحَبَّةَ السَّوْدَاءَ شِفَاءٌ مِنْ كُلِّ دَاءٍ إِلَّا مِنْ السَّامِ قُلْتُ وَمَا السَّامُ قَالَ الْمَوْتُ

Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Abu Syaibah telah menceritakan kepada kami 'Ubaidullah telah menceritakan kepada kami Isra`il dari Manshur dari Khalid bin Sa'd dia berkata; Kami pernah bepergian yang di antaranya terdapat Ghalib bin Abjar, di tengah jalan ia jatuh sakit, ketika sampai di Madinah ia masih menderita sakit, lalu Ibnu Abu 'Atiq menjenguknya dan berkata kepada kami; Hendaknya kalian memberinya habbatus sauda' (jintan hitam), ambillah lima atau tujuh biji, lalu tumbuklah hingga halus, setelah itu teteskanlah di hidungnya di sertai dengan tetesan minyak sebelah sini dan sebelah sini, karena sesungguhnya Aisyah pernah menceritakan kepadaku bahwa dia mendengar Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: Sesungguhnya habbatus sauda' ini adalah obat dari segala macam penyakit kecuali saam. Aku bertanya; Apakah saam itu? beliau menjawab: Kematian..(HR. al-Bukhari dan Muslim)
 
عَنْ عُمَرَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم : ائْتَدِمُوا بِالزَّيْتِ وَادَّهِنُوا بِهِ فَإِنَّهُ يَخْرُجُ مِنْ شَجَرَةٍ مُبَارَكَةٍ

Dari ‘Umar, beliau berkata bahwa Nabi Muhammad SAW pernah bersabda: “Berobatlah dengan minyak zaitun dan minyakilah dengannya, karena ia berasal dari pohon yang penuh barakah”
 
عن أبي سعيد : أَنَّ رَجُلًا أَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ أَخِي يَشْتَكِي بَطْنَهُ فَقَالَ اسْقِهِ عَسَلًا ثُمَّ أَتَى الثَّانِيَةَ فَقَالَ اسْقِهِ عَسَلًا ثُمَّ أَتَاهُ الثَّالِثَةَ فَقَالَ اسْقِهِ عَسَلًا ثُمَّ أَتَاهُ فَقَالَ قَدْ فَعَلْتُ فَقَالَ صَدَقَ اللَّهُ وَكَذَبَ بَطْنُ أَخِيكَ اسْقِهِ عَسَلًا فَسَقَاهُ فَبَرَأَ

Dari Abi Sa’id: “Ada seseorang menghadap Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, ia berkata: ‎‘Saudaraku mengeluhkan sakit pada perutnya.’ Nabi berkata: ‘Minumkan ia madu.’ Kemudian orang itu datang untuk kedua kalinya, Nabi berkata: ‘Minumkan ia madu.’ Orang itu datang lagi pada kali yang ketiga, Nabi tetap berkata: ‘Minumkan ia madu.’Setelah itu, orang itu datang lagi dan menyatakan: ‘Aku telah melakukannya (namun belum sembuh juga malah bertambah mencret).’ Nabi bersabda: ‘Allah Mahabenar dan perut saudaramu itu dusta. Minumkan lagi madu.’ Orang itu meminumkannya lagi, maka saudaranya pun sembuh.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim –redaksi dari al-Bukhari-)
 
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا : عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ قَالَ ( الحُمَّى مِنْ فَيْحِ جَهَنَّمَ فَاَبْرِدُوْهَا بِالْمَاءِ
 
Diceritakan dari ‘Aisyah r.a. bahwa Nabi Muhammad SAW pernah bersabda: Panas demam itu berasal dari didihan api neraka jahanam, karena itu dinginkanlah panasnya dengan air. (HR. al-Bukhari dan Muslim)

عَنِ بْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ :احْتَجَمَ النَّبِىُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَعْطَى الْحَجَّامَ أَجْرَهُ وَلَوْ عَلِمَ كَرَاهِيَةً لَمْ يُعْطِه
 
Dari Ibnu Abbas, beliau berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berbekam dan memberikan upah kepada tukang bekam. Seandainya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengetahui bahwa hal tersebut terlarang, tentu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak akan memberi upah kepadanya.” (Hr. Bukhari, no. 2159)

عن نافع، عن ابن عمر، أن النبي صلى الله عليه وسلم قال:

«إنما الحمى أو شدة من فيح جهنم، فأبردوها بالماء»

Dari nafi’, dari ‘Umar radhiallahu ‘anhu bahwa Nabi Shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‎”‎Sesungguhnya demam atau demam yang sangat adalah sebagian dari aroma neraka jahannam; maka dinginkanlah ia dengan air”. [mutafaqun alaihi]
Dijelaskan oleh Ibnul Qayyim Al-Jauziyah rahimahullah,

وقد أشكل هذا الحديث على كثير من جهلة الأطباء، ورأوه منافيا لدواء الحمى وعلاجها، ونحن نبين بحول الله وقوته وجهه وفقهه، فنقول: «خطاب النبي صلى الله عليه وسلم نوعان: عام لأهل الأرض، وخاص ببعضهم، فالأول «كعامة خطابه، والثاني: كقوله: «لا تستقبلوا القبلة بغائط» . ولا بول، ولا تسدبروها، ولكن شرقوا، أو غربوا» «2» ، فهذا ليس بخطاب لأهل المشرق والمغرب ولا العراق، ولكن لأهل المدينة وما على سمتها، كالشام وغيرها. وكذلك قوله: «ما بين المشرق والمغرب قبلة» » .وإذا عرف هذا، فخطابه في هذا الحديث خاص بأهل الحجاز، وما والاهم، إذ كان أكثر الحميات التي تعرض لهم من نوع الحمى اليومية العرضية الحادثة عن شدة حرارة الشمس وهذه ينفعها الماء البارد شربا واغتسالا

“Hadits ini menimbulkan banyak masalah bagi dokter yang bodoh, yang memandangnya sabagai peniadaan pengobatan bagi penyakit demam dan pencegahannya. Kami akan menjelaskan -dengan daya dan kekuatan Allah- segi dan maknanya.

Maka kami katakan: Seruan Nabi Shalallahu ‘alaihi wasallam ada dua macam:

yang umum bagi penduduk bumi

dan yang khusus bagi sebagian mereka.

yang pertama misalnya seruan baliau pada umumnya.

Dan yang kedua seperti ucapan beliau:”Janganlah kamu menghadap kiblat dengan tahi dan air kencing. Dan jangan pula kamu membelakanginya; akan tetapi menghadaplahh ke timur atau ke barat”.Ini bukanlah seruan kepada penduduk timur atau penduduk barat, juga bukan penduduk Irak. Tetapi ia adalah seruan kepada pendudukk Madinah dan kawasan yang serupa dengannya seperti syiria dan yang  lain. Juga ucapan baliau: “Apa yang ada diantara  timur dan barat adalah kiblat”.Apabila yang demikian diketahui, maka seruan beliau didalam hadits ini adalah khusus bagi penduduk Hijaz dan siapa yang ada di sekitar mereka, sebab kebanyakan demam yang menyerang mereka dari jenis demam matahari dan aksidental yang terjadi karena terik sinar matahari. Dan ini dapat diatasi dengan air yang dingin, baik minum atau pun mandi.” [Tibbun Nabawi hal 20, maktabah Ats-Tsaqafiy]‎

Ringkasnya penjelasan Ibnul Qayyim Al-Jauziyah rahimahullah bahwa perintah tersebut khusus untuk penduduk Hijaz dan disekitar mereka karena umumnya penyebab demam di sana akibat sengatan matahari yang sangat panas.

catatan

dalam ilmu kedokteran mungkin kasus yang digambarkan dalam hadits adalah kasus sunburn atau luka bakar matahari yang sudah kita ketahui semua, gejala-gejalanya mengalami demam,panas-dingin, dan kelemahan dan bahkan pada saat yang langka bisa menjadi syok (ditandai dengan tekanan darah yang sangat rendah, pusing, dan sangat lemah).

Sedangkan untuk terapinya:

-Kompres air dingin bisa menyejukkan kulit yang terbakar

-pelembab kulit

-Salep atau lotion mengandung anestesi local (misalnya, benzocaine)

-Tablet kortikosteroid juga bisa membantu meringankan peradangan tetapi digunakan hanya untuk luka bakar yang sangat serius.

– Krim antibiotik untuk luka bakar khusus diperlukan hanya untuk lepuhan berat.‎

Oleh karenanya terapinya sejalan dengan kedokteran modern[Barat]. Kemudian jika demam adalah demam dengan suhu tinggi mungkin akibat penyakit kemudian diberikan air, bahkan ada yang bilang bila perlu dimandikan, maka ini bisa  berbahaya bagi pasien.

Jadi, kita jangan terlalu kaku menerapkan pengobatan thibbun nabawi sebagaimana yang dilakukan sebagian kecil saudara kita, bahkan sampai mempertentangkannya dengan kedokteran modern, jika tidak menggunakan thibbun nabawi berati dipertanyakan keimanannya.‎

Perintah untuk menjauhi penyakit
 
أن أبا هريرة قال : إن رسول الله صلى الله عليه و سلم قال ( لا عدوى ) قال أبو سلمة بن عبد الرحمن سمعت أبا هريرة : عن النبي صلى الله عليه و سلم قال (لَا تُورِدُوا الْمُمْرِض عَلَى الْمُصِحّ )
 
Dari Abu Hurairah r.a dia berkata bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda: “ la ‘adwa (tidak ada penyakit menular). Abu Salah bin ‘Abdurrahman berkata: ‘Saya mendengar Abu Hurairah berkata’: ‘Dari Nabi SAW bersabda: ”Janganlah kalian campur hewan sakit dengan yang masih sehat.” (HR. Al-Bukhari)

إِذَا سَمِعْتُمْ بِالطَّاعُونِ فِي أَرْضٍ فَلا تَدْخُلُوهَا ، وَإِذَا وَقَعَ بِأَرْضٍ وَأَنْتُمْ بِهَا فَلا تَخْرُجُوا مِنْهَا
 
“Jika kalian mendengar ada wabah penyakit di suatu daerah maka kalian jangan memasuki daerah tersebut, dan jika wabah tersebut mengenai suatu daerah dan kalian berada di dalamnya maka janganlah kalian keluar dari daerah tersebut.” (HR. Al-Bukhari)

عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا أَتَى مَرِيضًا أَوْ أُتِيَ بِهِ قَالَ أَذْهِبْ الْبَاسَ رَبَّ النَّاسِ اشْفِ وَأَنْتَ الشَّافِي لَا شِفَاءَ إِلَّا شِفَاؤُكَ شِفَاءً لَا يُغَادِرُ سَقَمًا‎

Dari ‘Aisyah r.a. bahwa Rasulullah SAW ketika menjenguk orang sakit atau ada orang sakit yang mendatangi beliau maka Nabi berdoa “Pergilah penyakit yang parah, Wahai Tuhan semua manusia, Sembuhkanlah sungguh Engkaulah Dzat Yang Menyembuhkan, tidak ada kesembuhan kecuali kesembuhan yang berasal dari-Mu yaitu kesembuhan yang tidak meninggalkan sakit sedikitpun” (HR. Al-Bukhari)‎

Takhtimah

Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa hadist yang merupakan sumber hukum kedua setelah al-Qur’an dalam islam, sangat memperhatikan tentang masalah kesehatan. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya hadist-hadist yang menjelaskan tentang pentingnya arti sebuah kesehtan bagi manusia. Hadist-hadist tersebut meliputi tata cara memelihara kesehatan, dan mengobati penyakit yang dialami.
Oleh karena itu, kita sebagai seorang muslim yang menjadikan hadist sebagai pedoman hidup kedua, harus selalu mempelajari, memahami, dan menggali ilmu-ilmu yang ada di dalamnya, baik tentang ilmu agama ataupun ilmu dunia. Karena segala ilmu pengetahuan bersumber dari al-Qur’an dan hadist Rasulullah SAW.

Keterangan di atas menunjukkan bahwa ilmu kedokteran mempunyai kelebihan dari ilmu duniawi yang lainnya seperti arsitektur, permesinan dan bangunan meskipun mereka sama-sama ilmu duniawi. 

Penjelasan Tentang Umur Umat Islam


Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu menceritakan bahwa ada orang arab badui yang bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang kapan kiamat. Di situ, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam justru balik bertanya,

وَيْلَكَ، وَمَا أَعْدَدْتَ لَهَا

Celaka kamu, apa yang kamu persiapkan untuk kiamat? (HR. Bukhari, Muslim, At-Turmudzi dan yang lainnya).

Perihal umur umat Nabi SAW. Tiga pendapat dari ulama-ulama yang terkenal dalam ajaran Ahlussunnah wal Jamaah yaitu dari:

1. Al Hafidz Ibnu Hajar al-Asqalani dari Mazhab Syafi’i
2. Jalaluddin As Suyuthi (Imam Suyuthi)
3. Imam Ibnu Rajab al Hanbali

Kita menganggap pendapat mereka bertiga sangat rasional, sehingga sebagaimana tujuan para Imam itu  menyeru kepada manusia agar senantiasa bersiap diri dan mengerjakan amal ibadah yang banyak, maka  demikian pula halnya dengan kita yang berharap agar manusia yang tertidur kembali terjaga, agar manusia  yang lalai dalam agamanya menjadi kembali kepada sunnah Rasulnya, dan agar kita mati dan menghadap  ALLAH subhanahu wa ta’ala dalam keadaan ridha dan diridhai.

Menjadi sebuah topik yang cukup menarik apabila kita mencermati perkembangan zaman dimana saat ini kita berpijak. Sudah menjadi kesepakatan bersama bahwa zaman ini segala sesuatunya sudah rusak, manusia-manusia menjadi kurang adab, pergaulan bebas merajalela, pemimpin-pemimpin negeri seakan hanya bekerja untuk egoisme diri dan menelantarkan hak rakyat. Meskipun tak sedikit yang berdalih bahwa zaman ini adalah lebih modern dari zaman dulu. Mereka berkata ini zaman teknologi digital yang serba canggih, dan bersikukuh menganggap ini adalah zaman yang lebih baik dari sebelumnya meski cacat moral telah melanda hampir sebagian besar generasi penerusnya.
Dan berbagai pendapat bermunculan mengenai Kiamat.

Prinsip penting yang perlu kita kedepankan terkait kiamat, bahwa kiamat pasti terjadi, meskipun tidak ada satupun yang tahu kapan itu terjadi, selain Allah Ta’ala.

Prinsip ini berulang kali Allah tegaskan dalam al-Quran dalam bentuk jawaban kepada orang yang suka bertanya tentang kapan kiamat,

Diantaranya, firman Allah,

يَسْأَلُونَكَ عَنِ السَّاعَةِ أَيَّانَ مُرْسَاهَا قُلْ إِنَّمَا عِلْمُهَا عِنْدَ رَبِّي لَا يُجَلِّيهَا لِوَقْتِهَا إِلَّا هُوَ ثَقُلَتْ فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ لَا تَأْتِيكُمْ إِلَّا بَغْتَةً يَسْأَلُونَكَ كَأَنَّكَ حَفِيٌّ عَنْهَا قُلْ إِنَّمَا عِلْمُهَا عِنْدَ اللَّهِ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ

Mereka menanyakan kepadamu tentang kiamat: “Kapankah itu terjadi?” Katakanlah: “Sesungguhnya pengetahuan tentang kiamat itu hanya di sisi Tuhanku; tidak seorangpun yang dapat menjelaskan waktu kedatangannya selain Dia. Kiamat itu amat berat (huru haranya bagi makhluk) yang di langit dan di bumi. Kiamat itu tidak akan datang kepadamu melainkan dengan tiba-tiba”. Mereka bertanya kepadamu seakan-akan kamu benar-benar mengetahuinya. Katakanlah: “Sesungguhnya pengetahuan tentang bari kiamat itu adalah di sisi Allah, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.”(QS. al-A’raf: 187).

Di ayat lain, Allah juga berfirman,

يَسْأَلُكَ النَّاسُ عَنِ السَّاعَةِ ۖ قُلْ إِنَّمَا عِلْمُهَا عِندَ اللَّـهِ ۚ وَمَا يُدْرِيكَ لَعَلَّ السَّاعَةَ تَكُونُ قَرِيبًا

“Manusia bertanya kepadamu tentang hari berbangkit. Katakanlah: “Sesungguhnya pengetahuan tentang hari berbangkit itu hanya di sisi Allah”. Dan tahukah kamu (hai Muhammad), boleh jadi hari berbangkit itu sudah dekat waktunya.” (QS. al-Ahzab: 63).

Kemudian, Allah juga berfirman,

يَسْأَلُونَكَ عَنِ السَّاعَةِ أَيَّانَ مُرْسَاهَا . فِيمَ أَنْتَ مِنْ ذِكْرَاهَا . إِلَى رَبِّكَ مُنْتَهَاهَا

(Orang-orang kafir) bertanya kepadamu (Muhammad) tentang hari kebangkitan, kapankah terjadinya? Siapakah kamu sehingga dapat menyebutkan (waktunya)? Kepada Tuhanmulah dikembalikan ketentuan waktunya. (Qs. an-Nazi’at: 42 – 44)

Dan kita bisa perhatikan, semua jawaban yang Allah berikan di atas, lebih dekat pada konteks celaan. Karena orang yang bertanya tentang itu, terkesan tidak percaya akan adanya kiamat. Andai berusaha mencari tahu waktu kiamat adalah tindakan yang mulia dan bermanfaat, tentu Allah Ta’ala akan memuji perbuatan mereka. Namun yang ada justru sebaliknya, Allah sebutkan ayat di atas, dalam konteks menjelaskan sifat orang kafir yang mencoba untuk membantah kebenaran kiamat. Sehingga, tentu saja sikap semacam ini bukan sikap terpuji, karena termasuk ciri khas orang kafir.

Imam As-Sa’di dalam tafsirnya menjelaskan ayat di atas,

“Semata menggali kapan kimat, sudah dekat atau masih jauh, tidak memiliki manfaat sama sekali. Yang lebih penting adalah kondisi manusia di hari kiamat, rugi, untung, celaka, ataukah bahagia. Bagaimana seorang hamba mendapatkan adzab ataukah sebaliknya, mendapatkan pahala..” (Taisir Al-Karim Ar-Rahman, 672).

Kemudian dalam hadis dari Umar tentang kedatangan Jibril, dinyatakan bahwa Jibril bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang kapan kiamat. Jawaban Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

مَا المَسْئُولُ عَنْهَا بِأَعْلَمَ مِنَ السَّائِلِ

“Yang ditanya tidak lebih tahu dari pada yang bertanya..” (HR. Bukhari 4777 dan Muslim 106).

Kita bisa perhatikan, dua makhluk terbaik, malaikat terbaik (Jibril) dan manusia terbaik (Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam), tidak diberi tahu oleh Allah kapan terjadinya kiamat, mungkinkah ada manusia yang jauh lebih rendah kedudukannya mengetahui kapan kiamat?.

Perihal Umur Umat Islam 

Dalam sebuah hadist Rasulullah saw menjelaskan perumpamaan umur umat Yahudi, dan Nasrani dan Islam itu ibarat satu hari. setengah hari sampai dhuhur itu milik yahudi, kemudian dari Dhuhur sampai ashar itu milik Nasrani dan dari ashar sampai magrib itu milik umat Islam sebagaimana hadist rasulullah,

عَنْ أَبِي مُوسَى - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ- عَن النَّبِيِّ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- قَالَ: ( مَثَلُ الْمُسْلِمِينَ، وَالْيَهُودِ، وَالنَّصَارَى، كَمَثَلِ رَجُلٍ اسْتَأْجَرَ قَوْمًا يَعْمَلُونَ لَهُ عَمَلًا يَوْمًا إِلَى اللَّيْلِ عَلَى أَجْرٍ مَعْلُومٍ, فَعَمِلُوا لَهُ إِلَى نِصْفِ النَّهَارِ فَقَالُوا: لَا حَاجَةَ لَنَا إِلَى أَجْرِكَ الَّذِي شَرَطْتَ لَنَا، وَمَا عَمِلْنَا بَاطِلٌ, فَقَالَ لَهُمْ: لَا تَفْعَلُوا أَكْمِلُوا بَقِيَّةَ عَمَلِكُمْ وَخُذُوا أَجْرَكُمْ كَامِلًا فَأَبَوْا وَتَرَكُوا, وَاسْتَأْجَرَ أَجِيرَيْنِ بَعْدَهُمْ فَقَالَ لَهُمَا: أَكْمِلَا بَقِيَّةَ يَوْمِكُمَا هَذَا، وَلَكُمَا الَّذِي شَرَطْتُ لَهُمْ مِن الْأَجْرِ, فَعَمِلُوا حَتَّى إِذَا كَانَ حِينُ صَلَاةِ الْعَصْرِ قَالَا: لَكَ مَا عَمِلْنَا بَاطِلٌ, وَلَكَ الْأَجْرُ الَّذِي جَعَلْتَ لَنَا فِيهِ, فَقَالَ لَهُمَا: أَكْمِلَا بَقِيَّةَ عَمَلِكُمَا، مَا بَقِيَ مِن النَّهَارِ شَيْءٌ يَسِيرٌ، فَأَبَيَا, وَاسْتَأْجَرَ قَوْمًا أَنْ يَعْمَلُوا لَهُ بَقِيَّةَ يَوْمِهِمْ, فَعَمِلُوا بَقِيَّةَ يَوْمِهِمْ
  حَتَّى غَابَت الشَّمْسُ، وَاسْتَكْمَلُوا أَجْرَ الْفَرِيقَيْنِ كِلَيْهِمَا؛ فَذَلِكَ مَثَلُهُمْ وَمَثَلُ مَا قَبِلُوا مِنْ هَذَا النُّورِ

“Perumpamaan kaum Muslimin dan Yahudi serta Nasrani, seperti perumpamaan seorang yang mengupah satu kaum (Yahudi) untuk melakukan sebuah pekerjaan sampai malam hari, namun mereka melakukannya hanya sampai tengah hari. Lalu mereka pun berkata, “Kami tidak membutuhkan upah yang engkau janjikan pada kami, dan apa yang telah kami kerjakan, semuanya bagi-mu” Ia pun berkata, “Jangan kalian lakukan hal itu, sempurnakanlah sisa waktu pekerjaan kalian dan ambillah upah kalian dengan sempurna”. Mereka (Yahudi) pun menolak dan meninggalkan orang itu. Maka orang itu mengupah beberapa orang (Nasrani) selain mereka (Yahudi), ia berkata: “Kerjakanlah sisa hari kalian dan bagi kalian upah yang telah aku janjikan untuk mereka (Yahudi)”. Sehingga ketika tiba waktu sholat Ashar, mereka (Nasrani) berkata, “Ambillah apa yang telah kami kerjakan untukmu dan juga upah yang engkau sediakan untuk kami.” Orang itu berkata, “Sesungguhnya sisa waktu siang tinggal sedikit.” Mereka (Nasrani) tetap menolak, sehingga orang itu mengupah satu kaum yang lain (Muslimin) untuk melanjutkan pekerjaan sehingga selesai sisa hari mereka (Nasrani). Maka kaum itu (Muslimin) pun bekerja pada sisa hari mereka (Nasrani), yaitu sehingga terbenamnya matahari dan mereka pun mendapat upah yang sempurna yang dijanjikan kepada dua kelompok sebelumnya. Seperti itulah perumpamaan mereka (Yahudi dan Nasrani) dan perumpamaan apa yang kalian (Muslimin) terima pada cahaya (hidayah) ini. (HR Al Bukhari)

قال ابن حجر : وقد اتفق أهل النقل على أن مدة اليهود إلى بعثة النبي صلى الله عليه وسلم كانت أكثر من ألفي سنة ومدة النصارى من ذلك ستمائة ." فتح الباري " ( 4 / 449 )

Berkata Ibnu Hajar sungguh telah sepakat ahlu nakli bahwa bahwa masa antara yahudi hingga di utusnya nabi Muhammad adalah 2000 tahun lebih. dan umur umat Nasrani hingga di utusnya nabi Muhammad adalah 600 tahun. maka kesimpulannya adalah umur umat Yahudi hingga diutus nabi Isa adalah 1400 tahun lebih maka bisa kita genapkan adalah 1500 tahun.

Maka berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa umur umat Yahudi dari pagi sampai dhuhur itu yaitu 1500 tahun, kemudian umur umat Nasrani dari Dhuhur sampai ashar yaitu 600 tahun maka sisanya adalah umur umat islam dari ashar sampai magrib. jika setengah hari umur Yahudi 1500 tahun maka maka umur umat Islam adalah 1500-600 tahun = 900 tahun. akan tetapi untuk umat Islam menambahkan lagi sebanyak 500 tahun sebagaimana hadist,

عن سعد بن أبي وقاص أن النبي صلى الله عليه وسلم قال إني لأرجو أن لا تعجز أمتي عند ربها أن يؤخرهم نصف يوم قيل لسعد وكم
نصف ذلك اليوم قال خمس مائة سنة

Dari Sa’ad bin Abu Waqqash, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah bersabda: “Sesungguhnya saya berharap agar umatku tidak akan lemah di depan Tuhan mereka dengan mengundurkan (mengulurkan) umur mereka selama setengah hari”. Kemudian Sa’ad ditanyai orang: Berapakah lamanya setengah hari itu? Ia (Sa’ad) menjawab: “Lima ratus tahun”.(HR Ahmad, Abu Dawud, Al Hakim)

Maka kesimpulannya umur umat islam adalah 900+500 = 1400 tahun dengan perkiraan angka besarnya. akan tetapi dalam hadist lain Rasulullah menjelaskan ada tambahan sedikit lagi umur umat islam.

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ تَدُورُ رَحَى الْإِسْلَامِ لِخَمْسٍ وَثَلَاثِينَ أَوْ سِتٍّ وَثَلَاثِينَ أَوْ سَبْعٍ وَثَلَاثِينَ فَإِنْ
يَهْلَكُوا فَسَبِيلُ مَنْ هَلَكَ وَإِنْ يَقُمْ لَهُمْ دِينُهُمْ يَقُمْ لَهُمْ سَبْعِينَ عَامًا قَالَ قُلْتُ أَمِمَّا بَقِيَ أَوْ مِمَّا مَضَى قَالَ مِمَّا مَضَى

Dari Abdullah bin Mas'ud ra, dari Nabi saw, beliau bersabda, "Raha (peperangan) islam akan berkobar pada tahun tiga puluh lima, tiga puluh enam, atau tiga puluh tujuh. Apabila mereka binasa, maka itulah jalan orang-orang yang binasa, namun apabila mereka menegakkan agamanya, maka akan bertahan hingga tahun ke tujuh puluh."Lalu aku bertanya, "Akankah kurang dari itu atau lebih?" Beliau menjawab, "Lebih dari itu."( Shahih: Ash-Shahihah )

Didalam hadist di atas di jelaskan bahwa peperangan islam akhir zaman itu akan dimulai pada tahun 35 atau 36 atau 37, Rasulullah tidak menyebutkan bilangan akan ribuan dan ratusaanya hanya angka terakhir karena ini menyangkut dengan perang akhir zaman jadi yang disebutkan hanya bilangan terakhirnya. jika umur umat islam 1400 tahun maka maksud dari 35, 36, 37 adalah 1435, 1436, 1437.

Rasulullah menjelaskan bahwa peperangan Islam. akan terjadi antara 1435 dan 1437 H. Dan tidak dikatakan peperangan Islam jika tanpa ada pemerintahan Islam. Maka dengan lahirnya khilafah maka terjadi peperangan Islam akhir zaman dengan orang-orang kafir. Nubuat Rasulullah tepat sekali karena pada tahun 1435 H(2014 M) Amerika dan sekutunya resmi melancarkan perang terhadap khalifah di Syam yang merupakan pusat peperangan akhir zaman. Jika dalam peperangan tersebut Allah menghendaki umat islam binasa maka binasalah ia, Namun apabila khilafah tersebut menjalankan agamanya dengan menegakkan hukum Allah. Allah akan memanjangkan umur umat Islam sampai ke tujuh puluh yaitu 1470 H. kemudian Abdullah bin mas'ud bertanya akan kurang atau lebih maka rasulullah menjawab lebih dari itu. artinya sekitar 1470 lebih umur umat islam. Jika telah sampai masa tersebut maka Allah akan mewafatkan seluruh orang-orang mukmin, sebagaimana sabda Rasulullah Saw :

“Sesungguhnya Allah swt mengirim angin dari arah Yaman yang lebih lembut dari pada sutera, angin itu tidak akan pernah meninggalkan seorangpun yang didalam hatinya terdapat keimanan seberat biji sawi melainkan dia mencabut nyawanya”. (HR Muslim)
Hadits Palsu Tentang Umur Dunia:

الدُنْيَا كُلُّها سَبْعَةُ أَيَّامٍ مِنْ أَيَّام الآخرَة, وَذَلِكَ قَوْلُ اللهِ تَعَالَى:

(وَإِنَّ يَوْمًا عِندَ رَبِّكَ كَأَلْفِ سَنَةٍۢ مِّمَّا تَعُدُّونَ)

“Dunia itu semuanya tujuh hari dari hari-hari akhirat, itulah firman Allah, “Sesungguhnya sehari di sisi Tuhanmu adalah seperti seribu tahun menurut perhitunganmu.”(Q.S. Al-Hajj: 47)

MAUDHU’ (PALSU). Diriwayatkan oleh Ibnu Syahin dalam Ar-Ruba’iyyat (I/172), As-Suhamy dalam Taarikh Jurjan (no.99), dan Ad-Dailamy (II/149): dari Umar bin Yahya bin Nafi’, dari Ala’ bin Zaidal, dari Anas secara marfu’.

Hadits ini maudhu’, sebab Ala bin Zaidal adalah pemalsu hadits sebagaimana yang dikatakan oleh Ali Ibn Al-Madiny. Adapun Umar bin Yahya bin Nafi’, saya tidak mengetahui perihalnya.

Hadits ini dicantumkan oleh Ibnul Jauzy dalam kitab Al-Maudhuu’aat, lalu berkomentar, “Hadits ini maudhu’ (palsu), yang tertuduh adalah Ala bin Zaidal.”

As-Sakhawy mengatakan, “Ibnu Katsir menegaskan bahwa hadits ini tidak shahih.” Katanya juga, “Demikian pula hadits-hadits tentang pembatasan hari Kiamat secara pasti, semuanya tidak shahih sanadnya.”

Dari segi matan, hadits ini juga bathil. Karena kenyataan telah membuktikan kebathilan hadits-hadits yang berkaitan tentang penentuan umur umat yang dihitung dengan hitungan tahun. Bagaimana mungkin bagi manusia untuk menentukan dengan waktu seperti ini yang berkonekuensi penentuan waktu tibanya hari Kiamat??!!

Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah berkata, “Termasuk tanda-tanda hadits palsu adalah menyelisihi ketegasan Al-Qur’an seperti hadits tentang umur dunia. Ini jelas termasuk kedustaaan yang amat nyata! Sebab, seandainya shahih, berarti setiap orang bisa tahu tentang kapan terjadinya Kiamat, padahal Allah telah berfirman,

يَسْـَٔلُونَكَ عَنِ ٱلسَّاعَةِ أَيَّانَ مُرْسَىٰهَا ۖ قُلْ إِنَّمَا عِلْمُهَا عِندَ رَبِّى ۖ لَا يُجَلِّيهَا لِوَقْتِهَآ إِلَّا هُوَ ۚ ثَقُلَتْ فِى ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلْأَرْضِ ۚ لَا تَأْتِيكُمْ إِلَّا بَغْتَةًۭ ۗ يَسْـَٔلُونَكَ كَأَنَّكَ حَفِىٌّ عَنْهَا ۖ قُلْ إِنَّمَا عِلْمُهَا عِندَ ٱللَّهِ وَلَٰكِنَّ أَكْثَرَ ٱلنَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ

“Mereka menanyakan kepadamu tentang kiamat: "Bilakah terjadinya?" Katakanlah: "Sesungguhnya pengetahuan tentang kiamat itu adalah pada sisi Tuhanku; tidak seorang pun yang dapat menjelaskan waktu kedatangannya selain Dia. Kiamat itu amat berat (huru-haranya bagi makhluk) yang di langit dan di bumi. Kiamat itu tidak akan datang kepadamu melainkan dengan tiba-tiba". Mereka bertanya kepadamu seakan-akan kamu benar-benar mengetahuinya. Katakanlah: "Sesungguhnya pengetahuan tentang hari kiamat itu adalah di sisi Allah, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui".” (Q.S. Al-A’raaf: 187)

Ibnu Katsir berkata, “Apa yang terdapat dalam kitab-kitab Israiliyyiin dan Ahli Kitab tentang ketentuan umur dunia dengan ribuan dan ratusan tahun telah ditegaskan oleh sejumlah ulama tentang kesalahan mereka."

An-Nawawy juga berkata,“Barangsiapa menganggap bahwa umur dunia adalah 70.000 tahun dan tersisa 63 tahun, maka itu adalah anggapan yang bathil. Ath-Thukhy menceritakannya dalam Asbaab At-Tanziil dari sebagian ahli astronomi dan ahli perhitungan. Dan barangsiapa menganggap bahwa umur dunia adalah 70.000 tahun, maka ini menerobos ilmu ghaib. Tidak halal meyakininya.”

Oleh karenanya juga, tatkala Al-Hafidz As-Suyuthy (w. 917 H) tergelincir dalam masalah ini sehingga beliau menulis karya anehnya, Al-Kasyf An Mujaawazah Hadzihi Ummah Al-Alf maka para ulama pun bangkit mengkritiknya, di antaranya Al-Allaamah Shiddiq Hasan Khaan, beliau berkata, “Sekarang sudah lebih dari 1300 tahun, namun Imam Mahdi belum juga keluar! Nabi Isa belum turun! Dajjal juga belum datang! Semua ini menunjukkan bahwa prediksi ini tidaklah benar!”

Beliau juga menukil ucapan Syaikh Mar’I Al-Karmy tatkala membantah prediksi As-Suyuthy di atas, “Pendapat ini tertolak, karena setiap orang yang berbicara tentang hal itu hanyalah prasangka dan dugaan belaka, tidak ada bukti kongkritnya.”

Syaikh Muhammad Rasyid Ridha juga membantah pendapat As-Suyuthy ini secara luas dalam Tafsiir Al-Manaar (IX/470-482), katanya, “Sepertinya, buku beliau dibangun di atas dua hadits palsu dan dusta.”

Masalah ini penting untuk dibahas karena beberapa tahun lalu ramai diperbincangkan tentang Kiamat tahun 2012. Semuanya berangkat dari ramalan suku Maya, bagian dari bangsa Indian yang mengatakan akan adanya siklus akhir kehidupan. Akhir kehidupan itu kalau dikonversikan jatuh pada tanggal 21 Desember 2012. Tidak sedikit yang termakan berita kontroversi tersebut. Seakan-akan dengan peradabannya yang tinggi mereka bisa meramal akhir dunia. Tidak kurang selusin buku ditulis untuk mengupas ramalan tersebut, apalagi masalah ini menyangkut aqidah.

Ketahuilah, wahai saudaraku, bahwa waktu Kiamat adalah rahasia Allah. Tidak ada seorang pun yang mengetahuinya kecuali hanya Allah semata, meskipun seorang Nabi ‎atau Malaikat yang paling dekat dengan Allah.

Oleh karenanya, sekali pun Nabi shallallahu alaihi wa sallam sering menyebut tentang Kiamat, kedahsyatannya dan tanda-tanda kedatangannya. ‎Namun ketika manusia bertanya kepada beliau tentang kapan datangnya hari Kiamat, maka beliau mengabarkan pada mereka bahwa hal itu adalah rahasia yang hanya diketahui oleh Allah saja. Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam banyak ayat dan hadits Nabi. Allah ‎Ta’ala berfirman,

يَسْـَٔلُكَ ٱلنَّاسُ عَنِ ٱلسَّاعَةِ ۖ قُلْ إِنَّمَا عِلْمُهَا عِندَ ٱللَّهِ ۚ وَمَا يُدْرِيكَ لَعَلَّ ٱلسَّاعَةَ تَكُونُ قَرِيبًا

“Manusia bertanya kepadamu tentang hari berbangkit. Katakanlah: "Sesungguhnya pengetahuan tentang hari berbangkit itu hanya di sisi Allah". Dan tahukah kamu (hai Muhammad), boleh jadi hari berbangkit itu sudah dekat waktunya.” (Q.S. Al-Ahzaab: 63)

يَسْـَٔلُونَكَ عَنِ ٱلسَّاعَةِ أَيَّانَ مُرْسَىٰهَا  فِيمَ أَنتَ مِن ذِكْرَىٰهَآ

“(Orang-orang kafir) bertanya kepadamu (Muhammad) tentang hari berbangkit, kapankah terjadinya?. ‎Siapakah kamu (sehingga) dapat menyebutkan (waktunya)?” (Q.S. An-Naaziaat: 42-44)

Dalam ayat-ayat di atas, Allah Ta’ala memerintahkan kepada Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam untuk mengabarkan kepada manusia bahwa ilmu tentang waktu kiamat hanya di sisi Allah semata. Tidak ada satu pun penduduk langit dan bumi yang mengetahuinya.

Dalam hadits Jibril yang masyhur, ia pernah bertanya kepada Nabi shallallahu alaihi wa sallam tentang waktu Kiamat, maka Nabi bersabda:

مَا المَسْئُولُ عَنْهَا بِأَعْلَمَ مِنَ السَّائِلِ

“Yang ditanya tidak lebih tahu dari pada yang bertanya..” (HR. Bukhari 4777 dan Muslim 106).

AL-Hafidz Ibnu Rajab Al-Hanbaly berkata, “Maksudnya adalah bahwa ilmu semua makhluk adalah sama. Ini adalah isyarat bahwa Allah merahasiakan ilmunya. Oleh karena itu, dalam hadits Abu Hurairah bahwa Nabi bersabda, “Ada 5 perkara yang hanya diketahui oleh Allah saja.” Kemudian beliau membaca firman Allah.

إِنَّ ٱللَّهَ عِندَهُۥ عِلْمُ ٱلسَّاعَةِ وَيُنَزِّلُ ٱلْغَيْثَ وَيَعْلَمُ مَا فِى ٱلْأَرْحَامِ ۖ وَمَا تَدْرِى نَفْسٌۭ مَّاذَا تَكْسِبُ غَدًۭا ۖ وَمَا تَدْرِى نَفْسٌۢ بِأَىِّ أَرْضٍۢ تَمُوتُ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌۢ

“Sesungguhnya Allah, hanya pada sisi-Nya sajalah pengetahuan tentang Hari Kiamat; dan Dia-lah Yang menurunkan hujan, dan mengetahui apa yang ada dalam rahim. Dan tiada seorang pun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan diusahakannya besok. Dan tiada seorang pun yang dapat mengetahui di bumi mana dia akan mati. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (Q.S. Luqman: 34)

Dengan dalil-dalil di atas, dapat kita tegaskan bahwa siapa saja yang mengaku dapat mengetahui kapan terjadinya Kiamat atau membenarkan orang yang mengaku tersebut, maka ia adalah bodoh, sesat dan pendusta!, sebab ia telah mengaku mengetahui ilmu ghaib yang hanya diketahui oleh Allah Ta’ala semata, bahkan Malaikat Jibril alaihissalam dan Nabi Muhammad ‎shallallahu alaihi wa sallam saja sebagai kedua utusan yang paling dekat tidak mengatahuinya, lantas bagaimana dengan selain keduanya?! Tentu lebih utama untuk tidak tahu!!!

Saat ini telah melewati 1400 pasca-kenabian, dan tidak benar apa yang di prediksikan Imam Ibnu Hajar, Imam Suyuthi Dan Imam Ibnu Rojab. Mengingat ini hanya prediksi tanpa dasar yang jelas, dan murni ijtihad, terlebih itu bertentangan dengan prinsip yang diajarkan dalam syariat, maka tidak selayaknya kita jadikan sebagai acuan.
Maka hendaknya bagi kita semua untuk tidak mempedulikan ramalan-ramalan tersebut, karena semua itu adalah kebohongan nyata, takalluf (bertele-tele) yang dilarang agama, dan sia-sia belaka. Karena seseorang tetap dituntut untuk beramal sampai maut menjemputnya. Kewajiban bagi kita semua adalah mempersiapkan bekal amal shalih untuk kehidupan setelah Kiamat, bukan menyibukkan diri dengan prediksi Kiamat. 

Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu menceritakan bahwa ada orang arab badui yang bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang kapan kiamat. Di situ, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam justru balik bertanya,

وَيْلَكَ، وَمَا أَعْدَدْتَ لَهَا

Celaka kamu, apa yang kamu persiapkan untuk kiamat? (HR. Bukhari, Muslim, At-Turmudzi dan yang lainnya).
“Inilah hikmah utama di balik dirahasiakannya waktu Kiamat dan kematian yaitu agar mendorong seorang hamba untuk tetap aktif beramal ketaatan, menjauhi kemaksiatan dan selalu khawatir jangan-jangan kematian menjemputnya secara tiba-tiba.”‎

Persiapkan Bekal untuk akhirat, itu yang penting!

Mencoba menggali waktu kiamat, sama sekali tidak memiliki urgensi bagi kehidupan manusia. Yang lebih penting adalah bagaimana seseorang berusaha menyiapkan amal baik, yang bisa menjadi bekal di hari kiamat.

 

Penjelasan Tentang Riba


Dari Abu Hurairah, Rasulullah bersabda,

ليأتين على الناس زمان لا يبالي المرء بما أخذ المال أمِن الحلال أم مِنَ الحرام

“Akan datang suatu zaman di mana manusia tidak lagi peduli darimana mereka mendapatkan harta, apakah dari usaha yang halal atau haram.” (HR. Bukhari -Al Fath 4/296 nomor 2059; 4/313 nomor 2083)

Dari Abi Hurairah Rosululloh Bersabda 

يَأْتِي عَلَى النَّاسِ زَمَانٌ يَأْكُلُونَ الرِّبَا فَمَنْ لَمْ يَأْكُلْهُ أَصَابَهُ مِنْ غُبَارِهِ

“Suatu saat nanti manusia akan mengalami suatu masa yang ketika itu semua orang memakan riba. Yang tidak makan secara langsung itu akan terkena debunya” (HR Nasai no 4455, namun dinilai dhaif oleh al Albani).

Meski secara sanad hadits di atas adalah hadits yang lemah namun makna yang terkandung di dalamnya adalah benar dan zaman tersebut pun telah tiba. Betapa riba dengan berbagai kedoknya saat ini telah menjadi komsumsi publik bahkan suatu yang mendarah daging di tengah banyak kalangan. Padahal ancaman dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang riba sungguh mengerikan bagi orang yang masih memiliki iman kepada Allah dan hari akhir.

عَنْ عَوْفِ بن مَالِكٍ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:”إِيَّاكَ وَالذُّنُوبَ الَّتِي لا تُغْفَرُ: الْغُلُولُ، فَمَنْ غَلَّ شَيْئًا أَتَى بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، وَآكِلُ الرِّبَا فَمَنْ أَكَلَ الرِّبَا بُعِثَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مَجْنُونًا يَتَخَبَّطُ”
 
Dari Auf bin Malik, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Hati-hatilah dengan dengan dosa-dosa yang tidak akan diampuni. Ghulul (baca:korupsi), barang siapa yang mengambil harta melalui jalan khianat maka harta tersebut akan didatangkan pada hari Kiamat nanti. Demikian pula pemakan harta riba. Barang siapa yang memakan harta riba maka dia akan dibangkitkan pada hari Kiamat nanti dalam keadaan gila dan berjalan sempoyongan” (HR Thabrani dalam al Mu’jam al Kabir no 110)

Muamalah Maliyah adalah medan hidup yang sudah tersentuh oleh tangan-tangan manusia sejak jaman klasik, bahkan jaman purbakala. Setiap orang membutuhkan harta yang ada di tangan orang lain. Hal ini membuat manusia berusaha membuat beragam cara pertukaran, bermula dengan kebiasaan melakukan tukar menukar barang yang disebut barter, berkembang menjadi sebuah sistem jual beli yang kompleks dan multidimensional.

Bagaimana tidak, karena semua pihak yang terlibat berasal dari latar belakang yang berbeda-beda, dengan karakter dan pola pemikiran yang bermacam-macam, dengan tingkat pendidikan dan pemahaman yang tidak sama. Baik itu pihak pembeli atau penyewa, penjual atau pemberi sewaan, yang berhutang dan berpiutang, pemberi hadiah atau yang diberi, saksi, sekretaris atau juru tulis, hingga calo atau broker, kesemuanya adalah majemuk dari berbagai kalangan dengan berbagai latar belakang sosial dan pendidikannya yang variatif. Selain itu, transaksi muamalah maliyah juga semakin berkembang sesuai dengan tuntutan jaman. Sarana atau media dan fasilitator dalam melakukan transaksi juga kian hari kian canggih. Sementara komoditi yang diikat dalam satu transaksi juga semakin bercorak-ragam, mengikuti kebutuhan umat manusia yang semakin konsumtif dan semakin terikat tuntutan jaman yang juga kian berkembang.

Oleh sebab itu, muamalah maliyah yang sangat erat dengan perekonomian islam ini akan tampak urgensinya bila kita melihat salah satu bagiannya yaitu dunia bisnis perniagaan dan khususnya level menengah ke atas. Seorang yang memasuki dunia perbisnisan ini membutuhkan kepekaan yang tinggi,feeling yang kuat dan keterampilan yang matang serta pengetahuan yang komplit terhadap berbagai epistimologi terkait, seperti ilmu manajemen, akuntansi, perdagangan, bahkan perbankan dan sejenisnya. Atau berbagai ilmu yang secara tidak langsung juga dibutuhkan dalam dunia perniagaan modern, seperti komunikasi, informatika, operasi komputer, dan lain-lain. Itu dalam standar kebutuhan ‎businessman (orang yang berwirausaha) secara umum.

Bagi seorang muslim, dibutuhkan syarat dan prasyaratan lebih untuk menjadi bisnisman dan pengelola modal yang berhasil. Karena seorang muslim selalu terikat –selain dengan kode etik ilmu perdagangan secara umum– dengan aturan dan syariat Islam dengan hukum-hukumnya yang komprehensif. Oleh sebab itu, tidak selayaknya seorang muslim memasuki dunia bisnis dengan pengetahuan kosong terhadap ajaran syariat, dalam soal jual beli misalnya. Karena yang demikian itu merupakan sasaran empuk ambisi syetan pada diri manusia untuk menjerumuskan seorang muslim dalam kehinaan.

Diantara permasalahan yang sering terjadi dan menimpa kaum muslimin dalam muamalah maliyah adalah permasalahan Riba. Sehingga sudah menjadi kewajiban orang yang masuk dalam muamalah ini untuk mengetahui permasalahan ini dengan baik dan jelas.

Pengharaman Riba

Diharamkannya riba berdasarkan Kitabullah dan Sunnah Rasul serta ijma’ para ulama. Bahkan bisa dikatakan keharamannya sudah menjadi aksioma dalam ajaran Islam ini.

Dalil-dalil yang Mengharamkan Riba dari Al-Qur’an

Al-Qur’an telah membicarakan riba dalam empat tempat terpisah; salah satunya adalah Ayat Makkiyyah, sementara tiga lainnya adalah Ayat-ayat Madaniyyah.

Dalam surat Ar-Ruum Allah ta’ala berfirman:

وَمَا آتَيْتُمْ مِنْ رِبًا لِيَرْبُوَ فِي أَمْوَالِ النَّاسِ فَلا يَرْبُو عِنْدَ اللَّهِ وَمَا آتَيْتُمْ مِنْ زَكَاةٍ تُرِيدُونَ وَجْهَ اللَّهِ فَأُولَئِكَ هُمُ الْمُضْعِفُون

“Dan sesuatu Riba (tambahan) yang kamu berikan agar Dia bertambah pada harta manusia, Maka Riba itu tidak menambah pada sisi Allah. dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, Maka (yang berbuat demikian) Itulah orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya).” (QS. Ar-Ruum: 39)

Ayat tersebut tidak mengandung ketetapan hukum pasti tentang haramnya riba. Karena kala riba memang belum diharamkan. Riba baru diharamkan di masa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam di kota Al-Madinah. Hanya saja ini mempersiapkan jiwa kaum muslimin agar mampu menerima hukum haramnya riba yang terlanjur membudaya kala itu.

Dalam surat An-Nisaa, Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:

فَبِظُلْمٍ مِنَ الَّذِينَ هَادُوا حَرَّمْنَا عَلَيْهِمْ طَيِّبَاتٍ أُحِلَّتْ لَهُمْ وَبِصَدِّهِمْ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ كَثِيرًا – وَأَخْذِهِمُ الرِّبَا وَقَدْ نُهُوا عَنْهُ وَأَكْلِهِمْ أَمْوَالَ النَّاسِ بِالْبَاطِلِ وَأَعْتَدْنَا لِلْكَافِرِينَ مِنْهُمْ عَذَابًا أَلِيمًا

“Maka disebabkan kezaliman orang-orang Yahudi, Kami haramkan atas (memakan makanan) yang baik-baik (yang dahulunya) Dihalalkan bagi mereka, dan karena mereka banyak menghalangi (manusia) dari jalan Allah. Dan disebabkan mereka memakan riba, Padahal Sesungguhnya mereka telah dilarang daripadanya, dan karena mereka memakan harta benda orang dengan jalan yang batil. Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir di antara mereka itu siksa yang pedih.” (QS. An-Nisaa’: 160-161)

Ayat di atas menjelaskan diharamkannya riba terhadap orang-orang Yahudi. Ini merupakan pendahuluan yang amat gamblang, untuk kemudian baru diharamkan terhadap kalangan kaum muslimin. Ayat tersebut turun di kota Al-Madinah sebelum orang-orang Yahudi menjelaskannya.

Dalam surat Ali Imran Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَأْكُلُوا الرِّبَا أَضْعَافًا مُضَاعَفَةً وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan Riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.” (QS. Ali Imraan: 130)

Baru kemudian turun beberapa ayat pada akhir surat Al-Baqarah, yaitu:

الَّذِينَ يَأْكُلُونَ الرِّبَا لا يَقُومُونَ إِلا كَمَا يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُوا إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَا وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا فَمَنْ جَاءَهُ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّهِ فَانْتَهَى فَلَهُ مَا سَلَفَ وَأَمْرُهُ إِلَى اللَّهِ وَمَنْ عَادَ فَأُولَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ (٢٧٥)يَمْحَقُ اللَّهُ الرِّبَا وَيُرْبِي الصَّدَقَاتِ وَاللَّهُ لا يُحِبُّ كُلَّ كَفَّارٍ أَثِيمٍ (٢٧٦)إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَأَقَامُوا الصَّلاةَ وَآتَوُا الزَّكَاةَ لَهُمْ أَجْرُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْ وَلا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلا هُمْ يَحْزَنُونَ (٢٧٧)يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَذَرُوا مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبَا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ (٢٧٨)فَإِنْ لَمْ تَفْعَلُوا فَأْذَنُوا بِحَرْبٍ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَإِنْ تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُءُوسُ أَمْوَالِكُمْ لا تَظْلِمُونَ وَلا تُظْلَمُونَ (٢٧٩)

“Orang-orang yang Makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), Maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. orang yang kembali (mengambil riba), Maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya. Allah memusnahkan Riba dan menyuburkan sedekah. dan Allah tidak menyukai Setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa. 
Sesungguhnya orang-orang yang beriman, mengerjakan amal saleh, mendirikan shalat dan menunaikan zakat, mereka mendapat pahala di sisi Tuhannya. tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa Riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), Maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), Maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak Menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.” (QS. Al-Baqarah: 275-279)

Ayat-ayat ini adalah ayat-ayat tentang riba yang terakhir diturunkan dalam Al-Qur’an Al-Karim.

Dalil Dari Hadits Rosululloh

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ اجْتَنِبُوا السَّبْعَ الْمُوبِقَاتِ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَا هُنَّ قَالَ الشِّرْكُ بِاللَّهِ وَالسِّحْرُ وَقَتْلُ النَّفْسِ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلَّا بِالْحَقِّ وَأَكْلُ الرِّبَا وَأَكْلُ مَالِ الْيَتِيمِ وَالتَّوَلِّي يَوْمَ الزَّحْفِ وَقَذْفُ الْمُحْصَنَاتِ الْمُؤْمِنَاتِ الْغَافِلَاتِ (متفق عليه)

Dari Abu Hurairah ra, dari Rasulullah SAW berkata, ‘Jauhilah tujuh perkara yang membinasakan !’ Para sahabat bertanya, ‘Apa saja tujuh perkara tersebut wahai Rasulullah?’ Beliau menjawab, ‘Menyekutukan Allah, sihir, membunuh jiwa yang diharamkan Allah SWT kecuali dengan jalan yang benar, memakan riba, mamakan harta anak yatim, lari dari medan peperangan dan menuduh berzina pada wanita-wanita mu’min yang sopan yang lalai dari perbuatan jahat. (Muttafaqun Alaih).

عَنْ عُمَرِ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ رِبًا اِلاَّ هَاءَ وهَاءَ وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِرِبًا اِلاَّهَاءَ وَهَاءَ وَالْبُرٌ بِالْبُرِ رِبًا اِلاَّ هَاءَ وهَاءَ وَالشّعِيْرُ بِالشَّعِيْرِ رِبًا اِلاَّ هَاءَ وهَاءَ.

“ Dari Umar bin Al-Khatthab Radiallahu ‘Anhu, dia berkata, Rasululloh Sallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,’ Jual beli emas dengan emas adalah riba kecuali secara kontan, perak dengan perak adalah riba kecuali dengan kontan, biji gandum dengan gandum adalah riba kecuali secara kontan, tepung gandum dengan tepung gandum adalah riba kecuali secara kontan’.’(HR Bukhori-Muslim).

Dari hadis diatas dapat disimpulkan bahwa jual beli emas dengan perak atau sebaliknya serta kerusakannya jika tidak dilakukan pembayaran secara kontan diantara penjual dan pembeli sebelum berpisah dari tempat akad. Inilah yang disebut musharofah.Pengharaman jual beli gandum dengan biji gandum atau tepung gandum dengan tepung gandum serta kerusakannya, jika tidak dilakukan secara kontan sebelum penjual dan pembeli berpisah dari tempat akad. Tempat akad yang dimaksud disini adalah tempat berjual beli dan bertransaksi, baik keduanya sama-sama duduk atau sambil berjalan atau sambil berkendara. Sedangkan yang dimaksud berpisah ialah apapun yang menurut kebiasaan dianggap sebagai perpisahan diantara manusia.

عَنْ أَبِيْ سَعِيْدٍ الْخُدْرِيِّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُوْلَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لاَ تَبِيْعَوْا الذَّهَبَ بِالذَّهَبِ  اِلاَّ مِثْلاَ وَلاَ تُشِفُّوْا بَعْضَهَا عَلَى بَعْضِ وَلاَ تَبِيْعُوْا الْوَرِقَ بِالْوَرِقِ اِلاَّ مِثْلاً بِمِتْلٍ وَلاَ تُشِفُّوْا بَعْضَهَا عَلَى بَعْضٍ وَلاَ تَبِيْعَوْا مِنْهَا غَا ئِبًا بِنَاجِزٍ.

“ Dari Abu Sa’id Al-Khudry Radhiyallahu ‘Anhu, bahwa Rasululloh Shollallohu ‘alaihi Wasallam bersabda, ‘Jangan kalian menjual emas dengan emas kecuali yang sama beratnya, janganlah kalian melebihkan sebagian diatas sebagian yang lain, janganlah kalian menjual perak dengan perak kecuali yang sama beratnya dan janganlah kalian melebihkan sebagian diatas sebagian yang lain, dan janganlah kalian yang tidak ada diantara barang-barang itu dengan yang ada’.”( HR Bukhori-Muslim).

Hadis ini menunjukkan larangan menjual emas dengan emas, perak dengan perak, baik yang sudah dibentuk (batangan) atau yang berbeda, selagi tidak mengikuti ukuran yang syar’i, yaitu beratnya, jika tidak dilakukan pembayaran secara kontan dari kedua belah pihak ditempat akad. Larangan terhadap hal itu mengharuskan pengharamannya dan tidak sahnya akad. Syaikhul-Islam ibnu Taimiyah berkata tentang seorang yang memberikan pinjaman kepada orang-orang setiap seratus harus dikembalikan seratus empat puluh, “Inilah yang disebut riba seperti yang diharamkan di dalam Al-Qur’an.” Dia menyebutkan bahwa orang itu tidak mempunyai hak kecuali apa yang dia berikan kepada mereka atau yang senilai dengannya. Adapun tambahannya, dia sama sekali tidak berhak sedikitpun terhadapnya. Sedangkan riba yang sudah terlanjur terjadi, maka dimaafkan. Adapun sisanya yang belum terbayarkan, maka menjadi gugur, karena didasarkan kepada frman-Nya, “Dan tinggalkanlah sisa riba(yang belum dipungut).”(QS Al-Baqaroh :287).

عَنْ أَبِيْ سَعِيْدٍ الْخُدْرِيِّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ جَاءَ بِلاَلٌ اِلىَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِتَمْرِ بَرْنِيٍّ فَقَالَ لَهُ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ أَيْنَ هَذَا قَالَ بِلاَلٌ كَانَ عِنْدَنَا تَمْرٌ رَدِيٌّ فَبِعْتُ مِنْهُ صَاعَيْنِ بِصَاعٍ لِنُطْعِمَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عِنْدَ ذَلِكَ أَوَّهْ عَيْنُ الرَّبَا لاَ تَفْعَلُ وَلَكِنْ اذَا أَرَدْتَ أَنْتَشْتَرِيَ فَبِعَ التَّمْرَ بِبَيْعٍ اَخَرَ ثُمَّ اشْتَرِبِهِ.

“Dari Abu Sa’id Al-Khudry Radiallahu ‘anhu, dia berkata,’Bilal datang kepada Rasulullloh Shallallohu ‘alaihi wasallam sambil menyerahkan kurma Barny’. Lalu Nabi Shallallohu ‘alaihi wasallam bertanya kepadanya,’ Dari mana engkau mendapatkan kurma ini?’ Bilal menjawab, ‘Tadinya kami mempunyai kurma yang rendah mulutnya, lalu aku menjual sebagian darinya dua sha’ (yang bagus), agar Nabi Shallallohu ‘alaihi wasallam memakannya’. Pada saat itu nabi Shallallohu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Awwah awwah. Ini adalah riba yang sebenarnya, ini adalah riba yang sebenarnya, janganlah engkau melakukannya, tapi jika engkau ingin membeli, juallah kurma (yang rendah mulutnya) dengan penjualan lain, kemudian belilah dengannya (kurma yang bagus mulutnya)’.” (HR Bukhori-Muslim).

Hadis ini menjelaskan pengharaman riba fadl dengan kurma. Gambarannya, sebagian kurma dijual (ditukar) dengan sebagian yang lain, yang satu lebih banyak daripada yang lain. Hadis ini dijadikan dalil pembolehan masalah inah, yaitu menjual barang dengan secara kredit, kemudian membelinya dari pembeli  itu secara kontan dengan harga yang lebih sedikit dari harga pertama. Dan hadis ini juga dijadikan sebagai dalil pembolehan tawarruq, yaitu membeli barang yang nilainya seratus real dengan seratus dua puluh secara kredit, agar barang itu dapat diambil manfaatnya, bahkan untuk dijual dan harganya dimanfaatkan.
           
عَنْ أَبِيْ الْمِنْهَا قَالَ سَأَلْتُ الْبَرَاءَ ابْنَ عَازِبٍ وَزَيْدَ بْنَ أَرْقَمَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ عَنِ الصَّرْفِ فَكُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا يَقُوْلُ هَذَا خَيْرٌ مِنِّيْ فَكِلاَ هُمَا يَقُوْلُ نَهَى رَسُوْلَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ بَيْعِ الذَّهَبِ بالْوَرِقِ دَيْنَ.

“Dari Abul-Minhal, dia berkata,’ Aku bertanya kepada Al-Bara’ bin Azib dan Zaid bin Arqam tentang sharf. Maka setiap orang diantara keduanya menjawab, ‘Rasululloh Shallallahu Alaihi Wasallam melarang menjual emas dengan perak secara utang’.”(HR Bukhori-Muslim).
 
Hadis ini menjelaskan mengenai larangan menjual emas dengan perak, perak dengan emas, yang salah diantara keduanya tidak ada barangnya. Jadi harus dilakukan pembayaran secara kontan. Sahnya jual beli ini dengan pembayaran secara kontan ditempat akad, karena itu merupakan sharf. Akad akan rusak jika tidak dilakukan pembayaran secara kontan ditempat akad ialah karena tidak bertemunya dua barang, yang termasuk alasan riba.

عَنْ أَبِيْ بَكْرَةَ ٌقَالَ نَهَى رَسُوْلَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ الفِضَّةِ بِالْفِضَّةِ وَالذّهَبَ بِالذَّهَبِ اِلاَّ سَوَاءً بِسَوَاءٍ وَأَمَرَنَا أَنْ نَشْتَرِيَ الْفِضَّةَ بِالذَّهَبِ كَيْفَ شِئْنَا وَنَشْتَرِيَ الذَّهَبَ بِالْفِضَّةِ كَيْفَ شِئْنَا قَالَ فَسَأَلَهُ رَجُلٌ فَقَالَ يَدًا بِيَدٍ فَقَالَ هَكَذَا سَمِعْتُ.

“Dari Abu Bakrah, dia berkata,’Rasululloh Sallallohu Alaihi Wasallam melarang menjual perak dengan perak, emas dengan emas kecuali dengan berat yang sama, dan memerintahkan agar kami membeli emas dengan perak menurut kehendak kami’,” Dia (rawi) berkata,”Seseorang bertanya kepadanya,’Apakah maksudnya secara kontan? ‘Dia menjawab,’Begitulah yang kudengar '." (HR Bukhaori-Muslim).
 
Dijelaskan oleh hadis ini mengenai pengharaman menjual emas dengan emas, perak dengan perak yang ada selisih beratnya, karena berhimpunnya harga dan yang dihargai dalam satu jenis ribawi. Boleh menjual emas dengan emas, perak dengan perak, namun ada dua syarat:pertama, sama beratnya, yang satu tidak boleh melebihi yang lain. Kedua, pembayaran secara kontan ditempat akad. Apa yang dikatakan mengenai emas dan perak juga berlaku untuk satu jenis ribawi, ketika sebagian dijual dengan sebagian yang lain, separti biji gandum dengan biji gandum.

Diperbolehkannya menjual emas dengan perak atau perak dengan emas yang berbeda beratnya, karena yang satu bukan jenis yang lain. Begitu pula yang dikatakan untuk setiap jenis, yang dijual dengan jenis lainnya yang bersifat ribawi, yang boleh dilakuakan dengan adanya selisih berat diantara keduanya. Ketika menjual emas dengan perak atau perak dengan emas, harus dilakukan pembayaran secara kontan ditempat akad. Jika keduanya berpisah sebelum pembayaran, maka akad itu menjadi batal, karena keduanya berhimpun pada alasan ribawi. Begitu pula yang berlaku untuk dua jenis, yang bertemu pada alasan ribawi, yaitu takaran atau timbangan, yang harus dilakukan pembayaran secara kontan diantara keduanya ditempat akad.

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الصَّبَّاحِ وَزُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ وَعُثْمَانُ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ قَالُوا حَدَّثَنَا هُشَيْمٌ أَخْبَرَنَا أَبُو الزُّبَيْرِ عَنْ جَابِرٍ قَالَ لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ آكِلَ الرِّبَا وَمُؤْكِلَهُ وَكَاتِبَهُ وَشَاهِدَيْهِ وَقَالَ هُمْ سَوَاءٌ (مسلم)

Dikatakan Muhammad ibn ash-shobbah dan zuhairu ibn harb dan utsmann ibn abi syaibah mereka berkata diceritakan husyaim dikabarkan abu zubair dari jabir r.a beliau berkata : Rasulullah SAW mengutuk makan riba, wakilnya dan penulisnya, serta dua orang saksinya dan beliau mengatakan mereka itu sama-sama dikutuk. Diriwayatkan oleh muslim.

قوله : لعن رسول الله صلى الله عليه وسلم آكل الربا وموكله وكاتبه وشاهديه وقال : هم سواء ) , هذا تصريح بتحريم كتابة المبايعة بين المترابين والشهادة عليهما . وفيه : تحريم الإعانة على الباطل . والله أعلم

Maksudnya, Rasulullah SAW memohon do’a kepada Allah agar orang tersebut dijauhkan dari Rahmat Allah. Hadits tersebut menjadi dalil yang menunjukan dosa orang-orang tersebut dan pengharaman sesuatu yang mereka lakukan. Dikhususkan makan dalam Hadits tersebut, karena itulah yang paling umum pemanfaatan penggunaannya. Selain untuk makan, dosanya sama saja. Yang dimaksud موكله itu adalah orang yang memberikan riba, karena sesungguhnya tidak akan terjadi riba itu kecuali dari dia. Oleh karena itu, dia termasuk dalam dosa. Sedangkan dosa penulis dan saksi itu adalah karena bantuan mereka atas perbuatan terlarang itu. Dan jika keduanya sengaja serta menngetahui riba itu maka dosa bagi mereka.

Hadis menjelaskan bahwa nabi Muhammad SAW sangat tidak menyukai para pemakan riba, yaitu orang-orang yang melakukan perbuatan riba kemudian dari hasilnya itu ia dapat untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Pemberi makan dengan riba maksudnya dengan harta hasil riba untuk memberi makan orang lain atau menyumbang dengan harta hasil riba. Dan juga orang-orang yang terlibat dalam riba tersebut, yaitu yang menulis dan yang menjadi saksi terhadap riba. Jadi, semua yang telah disebutkan tadi adalah sama halnya dengan orang yang berbuat riba dan akan mendapatkan siksa di akhirat kelak.

Imam adz-Dzahaby rahimahullah berkata:

من ارتكب شيئا من هذه العظائم مما فيه حد في الدنيا كالقتل و الزنا و السرقة أو جاء فيه وعيد في الآخرة من عذاب أو غضب أو تهديد أو لعن فاعله على لسان نبينا محمد صلى الله عليه و سلم فإنه كبيرة

“Barangsiapa yang melakukan salah satu dari perbuatan besar ini, yang padanya ditetapkan hukum had (pidana) di dunia, misalnya pembunuhan, perzinaan, dan pencurian atau datang suatu ancaman di akhirat berupa adzab atau kemurkaan (Allah) atau ancaman atau kutukan terhadap pelakunya melalui lisan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka berarti perbuatan tersebut adalah dosa besar.” 

Jenis-jenis riba

riba terbagi menjadi empat macam; (1) riba ‎nasiiah (riba jahiliyyah); (2) riba fadlal; (3)riba qaradl; (4) riba yadd.

riba Nasii`ah. riba Nasii`ah adalah tambahan yang diambil karena penundaan pembayaran utang untuk dibayarkan pada tempo yang baru, sama saja apakah tambahan itu merupakan sanksi atas keterlambatan pembayaran ‎hutang, atau sebagai tambahan hutang ‎baru. Misalnya, si A meminjamkan uang ‎sebanyak 200 juta kepada si B; dengan perjanjian si B harus mengembalikan ‎hutang tersebut pada tanggal 1 Januari 2016; dan jika si B menunda pembayaran hutangnya dari waktu yang telah ditentukan (1 Januari 2016), maka si B wajib membayar tambahan atas keterlambatannya; misalnya 10% dari total ‎hutang. Tambahan pembayaran di sini bisa saja sebagai bentuk sanksi atas keterlambatan si B dalam melunasi hutangnya, atau sebagai tambahan ‎hutang baru karena pemberian tenggat waktu baru oleh si A kepada si B.Tambahan inilah yang disebut dengan riba ‎nasii’ah.

Adapun dalil pelarangannya adalah hadits yang diriwayatkan Imam muslim;

الرِّبَا فِيْ النَّسِيْئَةِ

” riba itu dalam nasi’ah”.[HR Muslim dari Ibnu Abbas]

Ibnu Abbas berkata: Usamah bin Zaid telah menyampaikan kepadaku bahwa Rasulullah saw bersabda:

آلاَ إِنَّمَا الرِّبَا فِيْ النَّسِيْئَةِ

“Ingatlah, sesungguhnya riba itu dalam nasi’ah”. (HR muslim).
riba Fadlal. riba fadlal adalah riba yang diambil dari kelebihan pertukaran barang yang sejenis. Dalil pelarangannya adalah hadits yang dituturkan oleh Imam muslim.

الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ وَالشَّعِيرُ بِالشَّعِيرِ وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ وَالْمِلْحُ بِالْمِلْحِ مِثْلًا بِمِثْلٍ سَوَاءً بِسَوَاءٍ يَدًا بِيَدٍ فَإِذَا اخْتَلَفَتْ هَذِهِ الْأَصْنَافُ فَبِيعُوا كَيْفَ شِئْتُمْ إِذَا كَانَ يَدًا بِيَدٍ

“Emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, sya’ir dengan sya’ir, kurma dengan kurma, garam dengan garam, semisal, setara, dan kontan. Apabila jenisnya berbeda, juallah sesuka hatimu jika dilakukan dengan kontan”.HR muslim dari Ubadah bin Shamit ra).

الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ وَزْنًا بِوَزْنٍ مِثْلًا بِمِثْلٍ وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ وَزْنًا بِوَزْنٍ مِثْلًا بِمِثْلٍ فَمَنْ زَادَ أَوْ اسْتَزَادَ فَهُوَ رِبًا

“Emas dengan emas, setimbang dan semisal; perak dengan perak, setimbang dan semisal; barang siapa yang menambah atau meminta tambahan, maka (tambahannya) itu adalah riba”. (HR muslim dari Abu Hurairah).

عن فضالة قال: اشتريت يوم خيبر قلادة باثني عشر دينارًا فيها ذهب وخرز، ففصّلتها فوجدت فيها أكثر من اثني عشر ديناراً، فذكرت ذلك للنبي صلّى الله عليه وسلّم فقال: ”لا تباع حتى تفصل“

“Dari Fudhalah berkata: Saya membeli kalung pada perang Khaibar seharga dua belas dinar. Di dalamnya ada emas dan merjan. Setelah aku pisahkan (antara emas dan merjan), aku mendapatinya lebih dari dua belas dinar. Hal itu saya sampaikan kepada Nabi saw. Beliau pun bersabda, “Jangan dijual hingga dipisahkan (antara emas dengan lainnya)”. (HR muslim dari Fudhalah)

Dari Said bin Musayyab bahwa Abu Hurairah dan Abu Said:

أن رسول الله صلّى الله عليه وسلّم بعث أخا بني عدي الأنصاري فاستعمله على خيبر، فقدم بتمر جنيب [نوع من التمر من أعلاه وأجوده] فقال رسول الله صلّى الله عليه وسلّم: ”أكلّ تمر خيبر هكذا“؟ قال: لا والله يا رسول الله، إنا لنشتري الصاع بالصاعين من الجمع [نوع من التمر الرديء وقد فسر بأنه الخليط من التمر]، فقال رسول الله صلّى الله عليه وسلّم: ”لا تفعلوا ولكن مثلاً بمثل أو بيعوا هذا واشتروا بثمنه من هذا، وكذلك الميزان“

“Sesungguhnya Rasulullah saw mengutus saudara Bani Adi al-Anshari untuk dipekerjakan di Khaibar. Kamudia dia datang dengan membawa kurma Janib (salah satu jenis kurma yang berkualitas tinggi dan bagus). Rasulullah saw bersabda, “Apakah semua kurma Khaibar seperti itu?” Dia menjawab, “Tidak, wahai Rasulullah . Sesunguhnya kami membeli satu sha’ dengan dua sha’ dari al-jam’ (salah satu jenis kurma yang jelek, ditafsirkan juga campuran kurma). Rasulullah saw bersabda, “Jangan kamu lakukan itu, tapi (tukarlah) yang setara atau juallah kurma (yang jelek itu) dan belilah (kurma yang bagus) dengan uang hasil penjualan itu. Demikianlah timbangan itu”. (HR muslim).

riba al-Yadd. riba yang disebabkan karena penundaan pembayaran dalam pertukaran barang-barang. Dengan kata lain, kedua belah pihak yang melakukan pertukaran uang atau barang telah berpisah dari tempat aqad sebelum diadakan serah terima. Larangan riba yadd ‎ditetapkan berdasarkan hadits-hadits berikut ini;

الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ رِبًا إِلَّا هَاءَ وَهَاءَ وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ رِبًا إِلَّا هَاءَ وَهَاءَ وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ رِبًا إِلَّا هَاءَ وَهَاءَ وَالشَّعِيرُ بِالشَّعِيرِ رِبًا إِلَّا هَاءَ وَهَاءَ

“Emas dengan emas riba kecuali dengan dibayarkan kontan, gandum dengan gandum riba kecuali dengan dibayarkan kontan; kurma dengan kurma riba kecuali dengan dibayarkan kontan; kismis dengan kismis riba, kecuali dengan dibayarkan kontan (HR al-Bukhari dari Umar bin al-Khaththab)

الْوَرِقُ بِالذَّهَبِ رِبًا إِلَّا هَاءَ وَهَاءَ وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ رِبًا إِلَّا هَاءَ وَهَاءَ وَالشَّعِيرُ بِالشَّعِيرِ رِبًا إِلَّا هَاءَ وَهَاءَ وَالتَّمْرُِالتَّمْرِ رِبًا إِلَّا هَاءَ وَهَاءَ

“Perak dengan emas riba kecuali dengan dibayarkan kontan; gandum dengan gandum riba kecuali dengan dibayarkan kontan kismis dengan kismis riba, kecuali dengan dibayarkan kontan; kurma dengan kurma riba kecuali dengan dibayarkan kontan“. [Ibnu Qudamah, Al-Mughniy, juz IV, hal. 13]

riba Qardl. riba qaradl adalah meminjam ‎uang kepada seseorang dengan syarat ada kelebihan atau keuntungan yang harus diberikan oleh peminjam kepada pemberi pinjaman. riba semacam ini dilarang di dalam Islam berdasarkan hadits-hadits berikut ini;

Imam Bukhari meriwayatkan sebuah hadits dari Abu Burdah bin Musa; ia berkata, ““Suatu ketika, aku mengunjungi Madinah. Lalu aku berjumpa dengan Abdullah bin Salam. Lantas orang ini berkata kepadaku: ‘Sesungguhnya engkau berada di suatu tempat yang di sana praktekriba telah merajalela. Apabila engkau memberikan pinjaman kepada seseorang lalu ia memberikan hadiah kepadamu berupa rumput ker­ing, gandum atau makanan ternak, maka janganlah diterima. Sebab, pemberian tersebut adalah riba”.[HR. Imam Bukhari]

Juga, Imam Bukhari dalam “Kitab Tarikh”nya, meriwayatkan sebuah Hadits dari Anas ra bahwa Rasulullah SAW telah bersabda, “Bila ada yang memberikan pinjaman (uang maupun barang), maka janganlah ia menerima hadiah (dari yang meminjamkannya)”.[HR. Imam Bukhari]

Hadits di atas menunjukkan bahwa peminjam tidak boleh memberikan hadiah kepada pemberi pinjaman dalam bentuk apapun, lebih-lebih lagi jika si peminjam menetapkan adanya tambahan atas pinjamannya. Tentunya ini lebih dilarang lagi.

Pelarangan riba qardl juga sejalan dengan kaedah ushul fiqh, “Kullu qardl jarra manfa’atan fahuwa riba”. (Setiap pinjaman yang menarik keuntungan (membuahkan bunga) adalah riba”.

Praktek-praktek riba yang sering dilakukan oleh bank adalah riba nasii’ah, dan riba ‎qardl; dan kadang-kadang dalam transaksi-transaksi lainnya, terjadi riba ‎yadd maupun riba fadlal. Seorang muslim ‎wajib menjauhi sejauh-jauhnya praktek riba, apapun jenis riba itu, dan berapapun kuantitas riba yang diambilnya.Seluruhnya adalah haram dilakukan oleh seorang muslim.

Balasan Pemakan Riba

Imam Al Sarkhosi menyampaikan 5 balasan dan hukuman bagi pemakan riba yang ada dalam ayat-ayat ini (Al Baqarah: 275-279) yaitu:

1. Kesurupan, seperti dalam firman Allah ta’ala:

الَّذِينَ يَأْكُلُونَ الرِّبَا لا يَقُومُونَ إِلا كَمَا يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُوا إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَا وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا فَمَنْ جَاءَهُ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّهِ فَانْتَهَى فَلَهُ مَا سَلَفَ وَأَمْرُهُ إِلَى اللَّهِ وَمَنْ عَادَ فَأُولَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ

“Orang-orang yang Makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), Maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. orang yang kembali (mengambil riba), Maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.” (QS. Al Baqarah: 275)

2. Dihapus (Barokahnya), seperti dalam firman-Nya ‘Azza wa Jalla:

يَمْحَقُ اللَّهُ الرِّبَا

“Allah memusnahkan Riba…”(QS. Al Baqarah: 276)

3. Kufur, bagi yang menghalalkannya. dijelaskan dalam firman-Nya Subhanahu wa ta’ala:

يَمْحَقُ اللَّهُ الرِّبَا وَيُرْبِي الصَّدَقَاتِ وَاللَّهُ لا يُحِبُّ كُلَّ كَفَّارٍ أَثِيم

“Allah memusnahkan Riba dan menyuburkan sedekah, dan Allah tidak menyukai Setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa.”(QS. Al Baqarah: 276)

4. Kekal di Neraka. Ini ada dalam firman-Nya Subhanahu wa Ta’ala:

وَمَنْ عَادَ فَأُولَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ

“…orang yang kembali (mengambil riba), Maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.”(QS. Al Baqarah: 275)

5. Allah Ta’ala memerangi pemakan riba. Seperti dalam firman-Nya ‘Azza wa Jalla:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَذَرُوا مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبَا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ (٢٧٨)فَإِنْ لَمْ تَفْعَلُوا فَأْذَنُوا بِحَرْبٍ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَإِنْ تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُءُوسُ أَمْوَالِكُمْ لا تَظْلِمُونَ وَلا تُظْلَمُونَ

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa Riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), Maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), Maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak Menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.” (QS. Al Baqarah: 278-279)


Umat Islam bersepakat berdasarkan berbagai dalil dari al Qur’an dan sunnah bahwa orang yang bertaubat dari dosa maka Allah akan menerima taubatnya baik dosa tersebut adalah dosa kecil maupun dosa besar.

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « وَالَّذِى نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لَيَبِيتَنَّ نَاسٌ مِنْ أُمَّتِى عَلَى أَشَرٍ وَبَطَرٍ وَلَعِبٍ وَلَهْوٍ فَيُصْبِحُوا قِرَدَةً وَخَنَازِيرَ بِاسْتِحْلاَلِهِمُ الْمَحَارِمَ وَاتِّخَاذِهِمُ الْقَيْنَاتِ وَشُرْبِهِمُ الْخَمْرَ وَأَكْلِهِمُ الرِّبَا وَلُبْسِهِمُ الْحَرِيرَ ».

Dari Ibnu Abbas, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Demi Allah yang jiwa Muhammad ada di tanganNya, sungguh ada sejumlah orang dari umatku yang menghabiskan waktu malamnya dengan pesta pora dengan penuh kesombongan, permainan yang melalaikan lalu pagi harinya mereka telah berubah menjadi kera dan babi. Hal ini disebabkan mereka menghalalkan berbagai yang haram, mendengarkan para penyanyi, meminum khamr, memakan riba dan memakai sutra” (HR Abdullah bin Imam Ahmad dalam Zawaid al Musnad [Musnad Imam Ahmad no 23483]

Pada saat haji wada’, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَلاَ كُلُّ شَىْءٍ مِنْ أَمْرِ الْجَاهِلِيَّةِ تَحْتَ قَدَمَىَّ مَوْضُوعٌ وَدِمَاءُ الْجَاهِلِيَّةِ مَوْضُوعَةٌ وَإِنَّ أَوَّلَ دَمٍ أَضَعُ مِنْ دِمَائِنَا دَمُ ابْنِ رَبِيعَةَ بْنِ الْحَارِثِ كَانَ مُسْتَرْضِعًا فِى بَنِى سَعْدٍ فَقَتَلَتْهُ هُذَيْلٌ وَرِبَا الْجَاهِلِيَّةِ مَوْضُوعٌ وَأَوَّلُ رِبًا أَضَعُ رِبَانَا رِبَا عَبَّاسِ بْنِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ فَإِنَّهُ مَوْضُوعٌ كُلُّهُ

“Ingatlah, segala perkara jahiliah itu terletak di bawah kedua telapak kakiku. Semua kasus pembunuhan di masa jahiliah itu sudah dihapuskan. Kasus pembunuhan yang pertama kali kuhapus adalah pembunuhan terhadap Ibnu Rabi’ah bin al Harits. Dulu dia disusui oleh salah seorang Bani Saad lalu dibunuh oleh Hudzail. Riba jahilaih juga telah dihapus. Riba yang pertama kali kuhapus adalah riba yang dilakukan oleh Abbas bin Abdil Muthallib. Sungguh semuanya telah dihapus” (HR Muslim 3009 dari Jabir bin Abdillah).

Dalam hadits di atas Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan bahwa riba itu berada di bawah telapak kaki beliau untuk menunjukkan betapa rendah dan hinanya pelaku riba dan riba juga dinilai oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai perkara jahiliah.

عَنْ سَمُرَةَ بْنِ جُنْدُبٍ – رضى الله عنه – قَالَ قَالَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – « رَأَيْتُ اللَّيْلَةَ رَجُلَيْنِ أَتَيَانِى ، فَأَخْرَجَانِى إِلَى أَرْضٍ مُقَدَّسَةٍ ، فَانْطَلَقْنَا حَتَّى أَتَيْنَا عَلَى نَهَرٍ مِنْ دَمٍ فِيهِ رَجُلٌ قَائِمٌ ، وَعَلَى وَسَطِ النَّهْرِ رَجُلٌ بَيْنَ يَدَيْهِ حِجَارَةٌ ، فَأَقْبَلَ الرَّجُلُ الَّذِى فِى النَّهَرِ فَإِذَا أَرَادَ الرَّجُلُ أَنْ يَخْرُجَ رَمَى الرَّجُلُ بِحَجَرٍ فِى فِيهِ فَرَدَّهُ حَيْثُ كَانَ ، فَجَعَلَ كُلَّمَا جَاءَ لِيَخْرُجَ رَمَى فِى فِيهِ بِحَجَرٍ ، فَيَرْجِعُ كَمَا كَانَ ، فَقُلْتُ مَا هَذَا فَقَالَ الَّذِى رَأَيْتَهُ فِى النَّهَرِ آكِلُ الرِّبَا »

Dari Samurah bin Jundab, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Semalam aku bermimpi ada dua orang yang datang lalu keduanya mengajakku pergi ke sebuah tanah yang suci. Kami berangkat sehingga kami sampai di sebuah sungai berisi darah. Di tepi sungai tersebut terdapat seorang yang berdiri. Di hadapannya terdapat batu. Di tengah sungai ada seorang yang sedang berenang. Orang yang berada di tepi sungai memandangi orang yang berenang di sungai. Jika orang yang berenang tersebut ingin keluar maka orang yang berada di tepi sungai melemparkan batu ke arah mulutnya. Akhirnya orang tersebut kembali ke posisinya semula. Setiap kali orang tersebut ingin keluar dari sungai maka orang yang di tepi sungai melemparkan batu ke arah mulutnya sehingga dia kembali ke posisinya semula di tengah sungai. Kukatakan, “Siapakah orang tersebut?”. Salah satu malaikat menjawab, “Yang kau lihat berada di tengah sungai adalah pemakan riba” (HR Bukhari no 1979).

Dalam hadits di atas jelas sekali betapa kerasnya hukuman bagi pemakan riba sementara ketika di dunia dia mengira bahwa dirinya bergelimang kenikmatan.
Akhirnya seluruh umat Islam beserta segenap ulamanya baik yang terdahulu ataupun yang datang kemudian telah sepakat bahwa riba adalah haram. Mereka juga menegaskan bahwa bunga bank dan yang semisal dengannya adalah haram. Mereka juga sepakat bahwa siapa saja yang menghalalkan riba maka dia kafir. Sedangkan siapa saja yang melakukan transaksi riba namun masih memiliki keyakinan bahwa riba itu haram maka dia telah melakukan dosa besar, orang yang fasik dan berani memerangi Allah dan rasulNya.

Para ulama telah menetapkan haramnya bunga yang telah dipatok di awal transaksi misal 3%, 5% dan seterusnya. Para ulama telah membantah orang-orang yang menghalalkan bunga bank dan merontokkan argument-argumen mereka secara total. Tidak ada beda antara bunga dalam jumlah kecil ataupun dalam jumlah besar. Semuanya adalah riba yang diharamkan.

Doa Nabi Sulaiman Menundukkan Hewan dan Jin

  Nabiyullah Sulaiman  'alaihissalam  (AS) merupakan Nabi dan Rasul pilihan Allah Ta'ala yang dikaruniai kerajaan yang tidak dimilik...