Sabtu, 28 November 2020

Penjelasan Tentang Mencintai Rosululloh SAW



حَمْدًا لِرَبٍّ خَصَّنَا بِمُحَمَّدٍ وَأَنْقَذَنَا مِنْ ظُلْمَةِ اْلجَهْلِ وَالدَّيَاجِرِ اَلْحَمْدُلِلَّهِ الَّذِيْ هَدَانَا بِعَبْدِهِ اْلمُخْتَارِ مَنْ دَعَانَا إِلَيْهِ بِاْلإِذْنِ وَقَدْ نَادَانَا لَبَّيْكَ يَا مَنْ دَلَّنَا وَحَدَانَا صَلَّى اللهُ وَسَلَّمَ وَبـَارَكَ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ اَلْحَمْدُلِلّهِ الَّذِي جَمَعَنَا فِي هَذَا الْمَجْمَعِ اْلكَرِيْمِ وَفِي هَذَا الشَّهْرِ اْلعَظِيْمِ وَفِي الْجَلْسَةِ الْعَظِيْمَةِ نَوَّرَ اللهُ قُلُوْبَنَا وَإِيَّاكُمْ بِنُوْرِ مَحَبَّةِ اللهِ وَرَسُوْلِهِ وَخِدْمَةِ اللهِ وَرَسُوْلِهِ وَاْلعَمَلِ بِشَرِيْعَةِ وَسُنَّةِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وآلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمَ.

Limpahan puji kehadirat Allah Maha Raja Tunggal dan Abadi, Pencipta alam semesta dari tiada dan menjadikan kerajaan langit dan bumi sebagai lambang keluhuran Ilahi, mengenalkan kita kepada keluhuran Allah. Semua yang dicipta Allah dari langit dan bumi, matahari dan bulan, siang dan malam, daratan dan lautan, hewan dan tumbuhan,tiadalah kesemua itu kecuali sebagai tanda keluhuran Allah, tanda keagungan Allah, yang mengenalkan kita kepada Dzat-Nya Yang Maha Luhur. Ketahuilah bahwa seluruh alam semesta ini berdzikir mengagungkan nama-Nya, mensucikan nama-Nya, sebagaimana firman Allah subhanahu wata’ala :

يُسَبِّحُ لَهُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَهُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ

( الحشر : 24 )

“ Apa yang ada di langit dan bumi bertasbih kepada-Nya, dan Dialah Yang Mahaperkasa Maha bijaksana”. ( QS. Al Hasyr : 24 )

Sungguh Allah tidak membutuhkan pujian dan tidak pula butuh disucikan namun bagiku dan kalian yang banyak mensucikan nama Allah dan memuji Allah maka ia akan dibuat terpuji oleh Allah, disucikan dari dosa, disucikan dari hal-hal yang hina, dan dimuliakan hingga sampai kepada puncak-puncak keluhuran, itulah balasan bagi mereka yang memuji dan mensucikan Allah subhanahu wata’ala. Allah subhanahu wata’ala berfirman dalam hadits Qudsi riwAyat Shahih Muslim :

يَا عِبَادِي إِنِّي حَرَّمْتُ الظُّلْمَ عَلَى نَفْسِي وَجَعَلْتُهُ مُحْرِمًا بَيْنَكُمْ فَلا تَظَّالَمُوا

“ Wahai hamba-hamba-Ku telah Kuharamkan perbuatan zhalim (jahat) kepada diri-Ku, dan telah Kuharamkan pula perbuatan zhalim diantara kalian, maka janganlah kalian saling menzhalimi”.

Semua manusia yang setiap butir selnya diciptakan oleh Allah dari tiada, yang siang dan malamnya selalu dalam bimbingan dan naungan anugerah Allah, didalam rahmat Allah diseru oleh Allah bahwa semua hamba dalam kegelapan dan kesalahan kecuali orang yang telah diberi hidayah (petunjuk) oleh Allah, maka mohonlah petunjuk kepada Allah.
Seseorang yang telah mendapatkan bimbingan keluhura namun ia terus meminta kepada Allah untuk ditunjukkan kepada jalan keluhuran, maka Allah akan memberinya petunjuk lagi ke jalan yang indah, sehingga ia terus terbimbing kepada hal yang semakin indah tiada berakhir. Oleh sebab itu kita diperintah oleh Allah dalam setiap rakaat untuk membaca surat Al Fatihah, yang mana dalam surat itu terdapat ayat :

اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ

( الفاتحة : 6 )

“ Tunjukkan kami ke jalan yang lurus”. ( QS. Al Fatihah : 6 )

Meskipun kita telah diberi petunjuk ke jalan yang benar berupa Islam, namun kita terus meminta agar ditunjukkan ke jalan yang lurus, mengapa? karena kita selalu dalam godaan syaitan, selalu terjebak dalam kehinaan dan maksiat, maka terus meneruslah meminta kepada Allah agar Allah memberikan ampunan kepada kita, kekuatan dan kemampuan kepada kita untuk menjauhi segala larangan-Nya dan mengerjakan hal-hal yang diperintah-Nya. Jika Allah tidak memberikan hal itu kepada kita, maka lemahlah kita dari taat kepada-Nya, sebagaimana firman-Nya dalam hadits qudsi :

يَا عِبَادِي إِنَّكُمْ تُخْطِئُونَ بِاللَّيْلِ وَالنَّهَارِ وَأَنَا الَّذِي أَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيْعًا فَاسْتَغْفِرُونِي أَغْفِرْ لَكُمْ

“ Wahai hamba-hamba-Ku, sesungguhnya kalian dalam kesalahan di siang dan malam, dan Aku lah Yang Maha Mengampuni semua dosa-dosa, maka mohonlah pengampunan kepada-Ku akan Kuampuni dosa-dosa kalian”

Sungguh indahnya Rabbul ‘alamin Yang menawarkan pengampunan kepada hamba-Nya yang berbuat salah. Allah Maha Mengetahui bahwa manusia adalah tempat kesalahan di siang dan malam, kecuali para nabi dan rasul yang ma’sum, jauh dari kesalahan dan Allah adalah Yang mengampuni dosa-dosa dan menerima taubat hamba-hamba-Nya. Jadi jika ada yang protes kalau ceramah saya, atau Ustadz Khairullah atau yang lainnya jika menyampaikan ceramah ada yang salah atau yang lainnya maka hal itu hal itu wajar, karena kami adalah manusia biasa bukan nabi atau rasul yang terbebas dari kesalahan. Maka jika bukan nabi atau rasul pastilah terdapat kesalahan. Kemudian Allah berfirman dalam hadits qudsi :

يَا عِبَادِي كُلُّكُمْ جَائِعٌ إِلاَّ مَنْ أَطْعَمْتُ فَاسْتَطْعِمُونِي أُطْعِمْكُمْ ، يَا عِبَادِي كُلُّكُمْ عَارٍ إِلاَّ مَنْ كَسَوْتُ ، فَاسْتَكْسُونِي أَكْسُكُمْ

“ Wahai hamba-hamba-Ku kalian semua dalam kelaparan kecuali yang telah Kuberi makan, maka mintalah makan kepada-Ku Aku akan member kalian makan, wahai para hamba-Ku, kalian semua tanpa pakaian ( telanjang ) kecuali orang yang telah Aku berikan pakaian kepadanya, maka mintalah pakaian kepada-Ku Aku akan member kalian pakaian”.

Tentunya makanan disini mempunyai makna yang dalam, bahwa makanan yang kita makan jika Allah tidak memberikan manafaatnya kepada kita maka makanan itu bisa menjadi racun atau penyakit bagi tubuh kita. Dan jika ketika akan memakan makanan tanpa mengucapkan basmalah, dan setelah selesai makan tidak mengucapkan hamdalah maka makanan itu akan menjadi racun bagi dirinya. Maka mintalah makanan kepada Allah, banyak orang-orang yang tidak beriman kepada Allah namun mereka tetap mendapatkan makanan dan bisa makan namun bisa jadi makanan yang mereka makan membawa bahaya atau penyakit baginya. Begitu pula mohonlah kepda Allah makanan rohani, banyak diantara kita yang siang dan malam lewat dalam kegembiraan, jika ia tidak diberi santapan rohani maka ia akan mersa dalam kesedihan walaupun sebenarnya dia dalam kegembiraan, dia akan melewati siang dan malamnya dalam keadaan sedih,susah, kesal dan gundah. Sebaliknya banyak orang yang dalam kesempitan, kesedihan dan musibah namun jika Allah memberikan kelapangan dalam hatinya maka ia akan lewati hari-harinya dengan sabar dan doa maka musibahnya akan segera disingkirkan oleh Allah dan digantikan dengan kenikmatan dan jika ia lewati kenikmatannya dengan bersyukur dan banyak berbuat baik maka Allah akan tumpahkan kenikmatan-Nya , merekalah orang-orang yang Allah berikan kepadanya santapan rohani. Dan Allah berfirman supaya hamba meminta pakaian kepada-Nya. Semua orang merasa bisa membeli pakaian, namun pakaian disini mempunyai makna yang sangat dalam yaitu pakaian yang menutupi aib-aib manusia, banyak orang yang memakai pakaian setebal-tebalnya namun aib-aibnya tetap terlihat. Allah subhanahu wata’ala Maha Mampu menutupi aib hamba-hamba-Nya, dan sebaik-baik pakaian adalah ketakwaan sebagaimana firman Allah subhanahu wata’ala :

وَلِبَاسُ التَّقْوَى ذَلِكَ خَيْرٌ

( الأعراف : 26 )
“ Dan pakaian takwa itulah yang lebih baik”.( QS. Al A’raf : 26 )

Begitu pula dengan Pakaian ketakwaan itulah pakaian yang paling mulia dari pakaia n yang lainnya, tentunya pakaian yang lain juga kita pakai, namun jika kita menggunakan pakaian ketakwaan tentunya siang dan malam kita penuh dengan dosa dan kesalahan yang terus menumpuk dari hari ke hari, maka pakain ketakwaan itu adalah bekal kita untuk menghadap Allah subhanahu wata’ala. Maka mintalah kepada-Nya pakaian dan pakaian khusus adalah pakaian ketakwaan. Kemudian Allah berfirman dalam hadits qudsi :

إِنَّكُمْ لَنْ تَبْلُغُوْا ضَرِّيْ فَتَضُرُّوْنِيْ، وَلَنْ تَبْلُغُوْا نَفْعِيْ فَتَنْفَعُوْنِيْ

Sungguh sebaik-baik semua tidak akan bisa memberi manfaat atau berguna untuk Allah. Semua manusia berbuat baik maka hal itu tidak akan membawa manfaat bagi Allah subhanahu wata’ala. Allah Maha melimpahkan manfaat, Allah tidak butuh sesuatu apapun dari kita. Begitu pula jika semua manusia berbuat kemungkaran maka hal itu tidak akan bisa membuat Allah rugi. Kita bisa merugikan orang lain namun tidak bisa membuat Allah rugi atau beruntung. Dan firman Allah dalam hadits qudsi :

يَا عِبَادِي ، لَوْ أَنَّ أَوَّلَكُمْ وَآخِرَكُمْ وَإِنْسَكُمْ وَجِنَّكُمْ كَانُوا عَلَى أَتْقَى قَلْبِ رَجُلٍ مِنْكُمْ لَمْ يَزِدْ ذَلِكَ فِي مُلْكِي شَيْئًا . يَا عِبَادِي ، لَوْ أَنَّ أَوَّلَكُمْ وَآخِرَكُمْ ، وَإِنْسَكُمْ وَجِنَّكُمْ ، كَانُوا عَلَى أَفْجَرِ قَلْبِ رَجُلٍ مِنْكُمْ لَمْ يَنْقُصْ ذَلِكَ مِنْ مُلْكِي شَيْئًا

“ Wahai hamba-Ku, jika semua golongan manusia dan jin dari golongan pertama hingga terakhir berbuat baik dengan hati yang paling bertakwa sekalipun hal itu tidak akan menambah sedikit pun kerajaan-Ku. Whai hamba-hamba-Ku jika seluruh jin dan manusia dari golongan pertama dan terkahir berbuat jahat maka hal itu tidak pula mengurangi kerajaan-Ku sedikitpun”

Maksudnya, bahwa Allah tidak butuh sesuatu kepada kita namun kita yang selalu butuh kepada Allah dalam setiap waktu dan saat, kita selalu membutuhkan bantuan Allah karena jika Allah tidak membantu kita, saat ini kita tenang-tenang saja mungkin saja ada seribu makhluk yang sedang berniat jahat kepada kita, mungkin ada sihir yang sedang dikirim kepada kita, atau ada fitnah yang sedang dilontarkan kepada kita, atau mungkin ada rencana jahat untuk mencelakakan kita tanpa kita ketahui, namun hal itu tersingkirkan karena kekuatan Allah yang melindunginya. Allah Maha Tau setiap getaran hati hamba-Nya, niat-niat hamba-Nya. Misalnya ada yang hadir di majelis ini barangkali dengan niat mencopet, sehingga pencopet pun membawa jadwal maulid yang akhirnya setiap majelis ada yang kehilangan handphone atau yang lainnya, yang hadir maulid semakin ramai dan copetnya pun semakin ramai. Allah Maha Tau tentang hal itu, mengetahui niat dalam hati kita. Ada yang hadir dengan niat copet dan ikut desak-desakan dengan orang yang mau bersalaman namun bukan untuk bersalaman tapi untuk mengambil dompet atau handphone, maka waspadalah dalam hal ini jangan sampai kebobolan. Namun ingat Allah subhanahu wata’ala Maha Luhur dan Maha Melihat perbuatan hamba-hamba-Nya. 

Firman Allah dalam hadits qudsi :

يَا عِبَادِي ، لَوْ أَنَّ أَوَّلَكُمْ وَآخِرَكُمْ ، وَإِنْسَكُمْ وَجِنَّكُمُ اجْتَمَعُوا فِي صَعِيدٍ وَاحِدٍ ، فَسَأَلُونِي ، فَأَعْطَيْتُ كُلَّ إِنْسَانٍ مِنْكُمْ مَا سَأَلَ لَمْ يَنْقُصْ ذَلِكَ مِنْ مُلْكِي إِلاَّ كَمَا يَنْقُصُ الْبَحْرُ أَنْ يَغْمِسَ فِيهِ الْمِخْيَطُ غَمْسَةً وَاحِدَةً

“ Wahai hamba-hamba-Ku, jika manusia dan jin dari yang pertama hingga yang terakhir berkumpul dalam satu tempat yang luas, kemudian meminta kepada-Ku kemudian aku berikan kepada semua yang meminta apa yang mereka minta, maka hal itu tidak mengurangi kerajaan-Ku sedikitpun kecuali seperti sehelai benang yang dicelupkan ke dalam lautan sekali celupan”

Seluruh hajat hamba tiada artinya di hadapan Allah, jika Allah berikan semua hajat itu maka hal itu tidak akan mengurangi kerajaan Allah sedikitpun. Berbeda halnya jika kita memberikan sesuatu yang kita miliki maka sesuatu itu akan berkurang dari kita. Namun Allah pencipta segala sesuatu, jika Allah berkehendak untuk menciptakan sesuatu maka akan tercipta. Sebagaimana firman-Nya :

إِنَّمَا أَمْرُهُ إِذَا أَرَادَ شَيْئًا أَنْ يَقُولَ لَهُ كُنْ فَيَكُونُ

( يس : 82 )

“Sesungguhnya urusan-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu Dia hanya berkata kepadanya, “jadilah!”, maka jadilah sesuatu itu”. (QS. Yasiin : 82 )

Kemudian Allah berfirman dalam hadits qudsi :

يَا عِبَادِي إِنَّمَا هِيَ أَعْمَالُكُمْ أَحْفَظُهَا عَلَيْكُمْ ، فَمَنْ وَجَدَ خَيْرًا ، فَلْيَحْمَدِ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ ، وَمَنْ وَجَدَ غَيْرَ ذَلِكَ فَلَا يَلُوْمَنَّ إِلَّا نَفْسَهُ

“ Wahai hamba-hamba-Ku, sesungguhnya hal itu adalah amal-amal kalian, maka barangsiapa yang mendapatkan kebaikan (surga), maka hendaknya ia memuji Allah, dan jika ia mendapatkan selain itu ( neraka) maka jangan salahkan yang lain kecuali dirinya sendiri”

Maksudnya jika kita mendapatkan surga maka kita hendaknya memuji Allah, karena setiap pahala kita dikalikan 10 hingga 100 kali lipat dan banyak dosa-dosa yang dihapus Allah. Namun jika dengan hal itu masih tetap mendapat neraka, padahal dalam setiap shalat ada penghapusan dosa, dalam istighfar ada penghapusan dosa, membaca dzikir ada penghapusan dosa, hadir di majelis dzikir ada penghapusan dosa dan semua perbuatan baik diberi pahala dan penghapusan dosa, tetapi masih masuk neraka juga, maka jangan salahkan selain dirinya sendiri.

Saudara saudariku yang kumuliakan
Bersabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam riwayat Shahih Al Bukhari :

لَايُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُوْنَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَالِدِهِ وَوَلَدِهِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِيْنَ

“ Tidak sempurna iman salah seorang diantara kalian sampai aku lebih dicintainya dari orang tuanya, anaknya dan semua manusia”

Maka belum sempurna iman seseorang sehingga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dicintainya lebih dari semua orang. Nabiyullah Ibrahim AS ketika diberi ujian oleh Allah subhanahu wata’ala untuk menyembelih anaknya, mana yang lebih ia cintai, Allah subhanahu wata’ala atau anaknya?!, maka nabi Ibrahim pun menjalankan perintah Allah, namun sebelum ia menyembelih nabi Ismail, Allah subhanahu wata’ala memerintah malaikat Jibril untuk menahan tangan nabi Ibrahim kemudian menggantikan sembelihannya dengan seekor domba. Allah ingin menguji sampai dimana keimanan dan kecintaan nabi Ibrahim kepada Allah, maka dikatakan oleh Rasulullah bahwa ummat ini harus lebih mencintai nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam dari semua manusia. Al Imam Ibn Hajar Al Asqalani berkata dalam kitab Fathul Bari bisyarh Shahih Al Bukhari bahwa iman mempunyai tingkatan, dan semakin seseorang cinta kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam maka semakin sempurna imannya dan di saat itulah ia mencapai tangga kesempurnaan iman, dan terus mencintai Rasulullah. 

قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : لَايُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُوْنَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَالِدِهِ وَوَلَدِهِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِيْنَ
( صحيح البخاري )

Sabda Rasulullah saw : “Belum sempurna iman kalian, hingga aku lebih dicintainya, dari ayah ibunya, dan anaknya, dan seluruh manusia” (Shahih Bukhari)

Ancaman Bagi Orang Yang Mencintai Sesuatu Melebihi cintanya kepada Rasulullah
Allah mengancam siapa saja yang mencintai seseorang, baik itu orang tua, anak, istri, kerabat, atau harta benda dan tempat tinggal melebihi kecintaannya kepada Allah dan Rasul-Nya serta jihad di jalan-Nya. Hal ini sebagaimana firman Allah ta’ala:

قُلْ إِنْ كَانَ آبَاؤُكُمْ وَأَبْنَاؤُكُمْ وَإِخْوَانُكُمْ وَأَزْوَاجُكُمْ وَعَشِيرَتُكُمْ وَأَمْوَالٌ اقْتَرَفْتُمُوهَا وَتِجَارَةٌ تَخْشَوْنَ كَسَادَهَا وَمَسَاكِنُ تَرْضَوْنَهَا أَحَبَّ إِلَيْكُمْ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَجِهَادٍ فِي سَبِيلِهِ فَتَرَبَّصُوا حَتَّى يَأْتِيَ اللَّهُ بِأَمْرِهِ وَاللَّهُ لا يَهْدِي الْقَوْمَ الْفَاسِقِينَ

“Katakanlah: “Jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah dan RasulNya dan dari berjihad di jalan nya, Maka tunggulah sampai Allah mendatangkan Keputusan-NYA”. dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik.” (QS. At-Taubah: 24).

Ahlus Sunnah wal Jama’ah sepakat tentang wajibnya mencintai dan mengagungkan Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam melebihi kecintaan dan pengagungan terhadap seluruh makhluk Allah Subhanahu wa Ta'ala. Akan tetapi dalam mencintai dan mengagungkan beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak boleh melebihi apa yang telah ditentukan syari’at, karena bersikap ghuluw (berlebih-lebihan) dalam seluruh perkara agama akan menyebabkan kebinasaan.

Wajibnya Mencintai Dan Mengagungkan Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam.
Pertama-tama, wajib bagi setiap hamba mencintai Allah dan ini merupakan bentuk ibadah yang paling agung. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

وَالَّذِينَ آمَنُوا أَشَدُّ حُبًّا لِلَّهِ

“Dan orang-orang yang beriman sangat besar cintanya kepada Allah.” [Al-Baqarah:165]

Ahlus Sunnah mencintai Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan mengagungkannya sebagaimana para Sahabat Radhiyallahu anhum mencintai beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam lebih dari kecintaan mereka kepada diri dan anak-anak mereka, sebagaimana yang terdapat dalam kisah ‘Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu anhu, yaitu sebuah hadits dari Sahabat ‘Abdullah bin Hisyam Radhiyallahu anhu, ia berkata:

كُنَّا مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ آخِدٌ بِيَدِ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ، فَقَالَ لَهُ عُمَرُ: يَا رَسُوْلَ اللهِ، َلأَنْتَ أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ كُلِّ شَيْءٍ إِلاَّ مِنْ نَفْسِي. فَقَالَ لَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لاَ وَالَّذِي نَفْسِيْ بِيَدِهِ، حَتَّى أَكُوْنَ أَحَبَّ إِلَيْكَ مِنْ نَفْسِكَ. فَقَالَ لَهُ عَمَرُ: فَإِنَّهُ اْلآنَ، وَاللهِ، َلأَنْتَ أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ نَفْسِي. فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اْلآنَ يَا عُمَرُ.

“Kami mengiringi Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, dan beliau menggandeng tangan ‘Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu anhu. Kemudian ‘Umar berkata kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam: ‘Wahai Rasulullah, sungguh engkau sangat aku cintai melebihi apa pun selain diriku.’ Maka Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab: ‘Tidak, demi yang jiwaku berada di tangan-Nya, hingga aku sangat engkau cintai melebihi dirimu.’ Lalu ‘Umar berkata kepada beliau: ‘Sungguh sekaranglah saatnya, demi Allah, engkau sangat aku cintai melebihi diriku.’ Maka Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: ‘Sekarang (engkau benar), wahai ‘Umar.’” 

Berdasarkan hadits di atas, maka mencintai Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah wajib dan harus didahulukan daripada kecintaan kepada segala sesuatu selain kecintaan kepada Allah, sebab mencintai Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah mengikuti sekaligus keharusan dalam mencintai Allah. Mencintai Rasulullah adalah cinta karena Allah. Ia bertambah dengan bertambahnya kecintaan kepada Allah dalam hati seorang mukmin, dan berkurang dengan berkurangnya kecintaan kepada Allah.

Orang yang beriman akan merasakan manisnya iman apabila hanya Allah dan Rasul-Nya yang paling ia cintai.

Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

ثَلاَثٌ مَنْ كُنَّ فِيْهِ وَجَدَ بِهِنَّ حَلاَوَةَ اْلإِيْمَانِ، مَنْ كَانَ اللهُ وَرَسُوْلُهُ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا سِوَاهُمَا، وَأَنْ يُحِبَّ الْمَرْءَ لاَ يُحِبُّهُ إِلاَّ ِللهِ، وَأَنْ يَكْرَهَ أَنْ يَعُوْدَ فِي الْكُفْرِ بَعْدَ أَنْ أَنْقَذَهُ اللهُ مِنْهُ، كَمَا يَكْرَهُ أَنْ يُقْذَفَ فِي النَّارِ.

“Ada tiga perkara yang apabila perkara tersebut ada pada seseorang, maka ia akan mendapatkan manisnya iman, yaitu (1) hendaknya Allah dan Rasul-Nya lebih ia cintai dari selain keduanya. (2) Apabila ia mencintai seseorang, ia hanya mencintainya karena Allah. (3) Ia tidak suka untuk kembali kepada kekufuran setelah Allah menyelamatkannya, sebagai-mana ia tidak mau untuk dilemparkan ke dalam api.” 

Mencintai Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mengharuskan adanya penghormatan, ketundukan dan keteladanan kepada beliau serta mendahulukan sabda beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam atas segala ucapan makhluk, serta mengagungkan Sunnah-sunnahnya.
Al-‘Allamah Ibnul Qayyim Al-Jauziyah rahimahullah berkata: “Setiap kecintaan dan pengagungan kepada manusia hanya dibolehkan dalam rangka mengikuti kecintaan dan pengagungan kepada Allah. Seperti mencintai dan mengagungkan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, sesungguhnya ia adalah penyempurna kecintaan dan pengagungan kepada Rabb yang mengutusnya. Ummatnya mencintai beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam karena Allah telah memuliakannya. Maka kecintaan ini adalah karena Allah sebagai konsekuensi dalam mencintai Allah.” 

Maksudnya, bahwa Allah Subhanahu wa Ta'ala meletakkan kewibawaan dan kecintaan kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, karena itu tidak ada seorang manusia pun yang lebih dicintai dan disegani dalam hati para Sahabat kecuali Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam."

‘Amr bin al-‘Ash -sebelum ia masuk Islam- berkata: “Sesungguhnya tidak ada seorang manusia pun yang lebih aku benci dari-pada Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam.” Namun setelah ia masuk Islam, tidak ada seorang manusia pun yang lebih ia cintai dan lebih ia agungkan daripada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Ia mengatakan: “Seandainya aku diminta untuk menggambarkan pribadi beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam kepada kalian tentu aku tidak mampu melakukannya sebab aku tidak pernah menajamkan pandanganku kepada beliau sebagai pengagunganku kepada beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam.”

‘Urwah bin Mas’ud berkata kepada kaum Quraisy: “Wahai kaumku, demi Allah, aku telah diutus ke Kisra, kaisar dan raja-raja, namun aku tidak pernah melihat seorang raja pun yang diagungkan oleh segenap rakyatnya melebihi pengagungan para Sahabat Radhiyallahu anhum kepada Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam. Demi Allah, mereka tidak memandang dengan tajam kepada beliau sebagai bentuk pengagungan mereka kepadanya Shallallahu 'alaihi wa sallam, serta tidaklah beliau berdahak kecuali ditadah dengan telapak tangan salah seorang dari mereka, kemudian dilumurkan pada wajah dan dadanya. Lalu tatkala beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam berwudhu’, maka hampir saja mereka saling membunuh karena berebut sisa air bekas wudhu’ beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam.”‎

Konsekuensi Dan Tanda-Tanda Cinta Kepada Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam.
1. Mencintai Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mengharuskan adanya pengagungan, memuliakan, meneladani beliau dan mendahulukan sabda beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam atas segala ucapan makhluk serta mengagungkan Sunnah-sunnahnya.

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُقَدِّمُوا بَيْنَ يَدَيِ اللَّهِ وَرَسُولِهِ ۖ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۚ إِنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya dan bertaqwalah kepada Allah. Sesung-guhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” [Al-Hujuraat: 1]

2. Mentaati apa yang Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam perintahkan.
Allah memerintahkan setiap Muslim dan Muslimah untuk taat kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, karena dengan taat kepada beliau menjadi sebab seseorang masuk Surga. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ ۚ وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ يُدْخِلْهُ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا ۚ وَذَٰلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ

“(Hukum-hukum tersebut) itu adalah ketentuan-ketentuan dari Allah dan Rasul-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam Surga yang mengalir di dalamnya sungai sungai, sedang mereka kekal di dalamnya; dan itulah kemenangan yang besar.” [An-Nisaa': 13]

3. Membenarkan apa yang beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam sampaikan.
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak berkata menurut hawa nafsunya. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَىٰإِنْ هُوَ إِلَّا وَحْيٌ يُوحَىٰ 

“Dan tiadalah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).” [An-Najm: 3-4]

4. Menahan diri dari apa yang dilarang dan dicegah oleh beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۖ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ

“...Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah; dan bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya.” [Al-Hasyr: 7]

5. Beribadah sesuai dengan apa yang beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam syari’atkan, atau dengan kata lain ittiba’ kepada beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam.
Agama Islam sudah sempurna, tidak boleh ditambah dan tidak boleh dikurangi. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam diutus oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala untuk mengajarkan ummat Islam tentang bagaimana cara yang benar dalam beribadah kepada Allah, dan beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam telah menyampaikan semuanya. Oleh karena itu, ummat Islam wajib ittiba’ kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam agar mereka mendapatkan kecintaan Allah Subhanahu wa Ta'ala, kejayaan dan dimasukkan ke dalam Surga-Nya.

Ittiba’ kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam hukumnya adalah wajib, dan ittiba’ menunjukkan kecintaan seorang hamba kepada Allah Azza wa Jalla.

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ ۗ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ

“Katakanlah: ‘Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mencintai kamu dan mengampuni dosa-dosamu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.’” [Ali ‘Imran: 31]

Berkata Imam Ibnu Katsir rahimahullah (wafat th. 774 H): “Ayat ini adalah pemutus hukum bagi setiap orang yang mengaku mencintai Allah namun tidak mau menempuh jalan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, maka orang itu dusta dalam pengakuannya tersebut hingga ia mengikuti syari’at dan agama yang dibawa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam semua ucapan dan perbuatannya.”

Tanda-tanda Cinta Kepada Rasulullah      
Cinta Rasul  tidaklah berupa peringatan-peringatan tertentu pada saat-saat tertentu. Cinta itu haruslah benar-benar murni dari lubuk hati seorang mukmin dan senantiasa terpatri di hati. Sebab dengan cinta itulah hatinya menjadi hidup, melahirkan amal shalih dan menahan dirinya dari kejahatan dan dosa.

Adapun diantara tanda-tanda cinta sejati kepada Rasulullah ‎adalah sebagai berikut:

a. Berkeinginan Keras untuk Dapat Melihat dan Bertemu dengn Rasulullah , dan Merasa berat Bila Kehilangan Kesempatan itu

tanda dan bukti cinta Rasul ini sdh diwujudkan oleh para sahabat dengan sempurna.

b. Mentaati beliau dengan menjalankan perintahnya dan menjauhi larangannya.

Pecinta sejati Rasul manakala mendengar Nabi rmemerintahkan sesuatu akan segera menunaikannya. Ia tak akan meninggalkannya meskipun itu bertentangan dengan keinginan dan hawa nafsunya. Ia juga tidak akan mendahulukan ketaatannya kepada isteri, anak, orang tua atau adat kaumnya. Sebab kecintaannya kepada Nabi ‎ lebih dari segala-galanya. Dan memang, pecinta sejati akan patuh kepada yang dicintainya.

Adapun orang yang dengan mudahnya menyalahi dan meninggalkan perintah-perintah Nabi serta menerjang berbagai kemungkaran maka pada dasarnya dia jauh lebih mencintai dirinya sendiri. Sehingga kita saksikan dengan mudahnya ia meninggalkan shalat lima waktu, padahal Nabi rsangat mengagungkan perkara shalat, hingga ia diwasiatkan pada detik-detik akhir sakaratul mautnya. Dan orang jenis ini, akan dengan ringan pula melakukan berbagai larangan agama lainnya. ‎Na’udzubillah min dzalik.

b. Menolong dan mengagungkan beliau dan sunnahnya.

Dan ini telah dilakukan oleh para sahabat sesudah beliau wafat. Yakni dengan mensosialisasikan, menyebarkan dan mengagungkan sunnah-sunnahnya di tengah-tengah kehidupan umat manusia, betapapun tantangan dan resiko yang dihadapinya.

c. Tidak menerima sesuatupun perintah dan larangan kecuali melalui beliau Rosululloh  rela dengan apa yang beliau tetapkan, serta tidak merasa sempit dada dengan sesuatu pun dari sunnahnya.

Hal ini sebagaimana Allah berfirman:

فَلا وَرَبِّكَ لا يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لا يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمَا

“Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (QS. An-Nisaa: 65).‎

Adapun selain beliau, hingga para ulama dan shalihin maka mereka adalah pengikut Nabi. Tidak seorang pun dari mereka boleh diterima perintah atau larangannya kecuali berdasarkan apa yang datang dari Nabi‎.

d. Mengikuti beliau Rosululloh dalam segala halnya.

Dalam hal shalat, wudhu, makan, tidur , bergaul, dsb. Juga berakhlak dengan akhlak beliau dalam kasih sayangnya, rendah hatinya, kedermawanannya, kesabaran dan zuhudnya, dsb. Allah berfirman:

لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا 

“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (QS. Al-Ahzaab: 21)

e. Memperbanyak mengingat dan shalawat atas Nabi ‎

Allah SWT berfirman:

إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَا أَيُّهَا الَّذِينَآمَنُوا صَلُّوا عَلَي هِ  وَسَلِّمُوا تَسْلِيما

Sesungguhnya Allah dan Malaikat-Nya bershalawat kepada Nabi. Wahai orang-orang yang beriman bershalawat salamlah kepadanya. (QS Al-Ahzab 33: 56)

Tidak ada keraguan bahwa membaca shalawat dan salam adalah bagian dari pernghormatan (tahiyyah), maka ketika kita diperintah oleh Allah untuk membaca shalawat -yang artinya mendoakan Nabi Muhammad- maka wajib atas Nabi Muhammad melakukan hal yang sama yaitu mendoakan kepada orang yang membaca shalawat kepadanya. Karena hal ini merupakan ketetapan dari ayat:

فَحَيُّواْ بِأَحْسَنَ مِنْهَا أَوْ رُدُّوهَا

Maka lakukanlah penghormatan dengan penghormatan yang lebih baik atau kembalikanlah penghormatan itu. (QS. An Nisa’: 86)

Doa dari Nabi inilah yang dinamakan dengan syafaat. Semua ulama telah sepakat bahwa doa nabi itu tidak akan ditolak oleh Allah. Maka tentunya Allah akan menerima Syafaat beliau kepada setiap orang yang membaca shalawat kepadanya.

Banyak sekali hadits yang menjelaskan keutamaan membaca shalawat kepada Nabi. Diantaranya:

مَنْ صَلَّى عَلَيَّ فِي كِتَابٍ لَمْ تَزَلِ الْمَلَائِكَةُ تَسْنَغْفِرُ لَهُ مَا دَامَ اسْمِي فِي ذَلِكَ الْكِتَابِ

Barangsiapa berdoa (menulis) shalawat kepadaku dalam sebuah buku maka para malaikat selalu memohonkan ampun kepada Allah pada orang itu selama namaku masih tertulis dalam buku itu.

مَنْ سَرَّهُ أنْ يُلْقِى اللهَ وَهُوَ عَلَيْهِ رَاضٍ فَلْيُكْثِرْ مِنَ الصَّلَاةِ عَلَيَّ
 
Barangsiapa yang ingin merasa bahagia ketika berjumpa dengan Allah dan Allah ridlo kepadanya, maka hendaknya ia banyak membaca shalawat kepadaku (Nabi).
 
مَا أكْثَرَ مِنَ الصَّلَاةِ عَلَيَّ فِيْ حَيَاتِهِ أَمَرَ اللهُ جَمِيْعَمَخْلُوْقَاتِهِ أنْ يَسْتَغْقِرُوا لَهُ بَعْدَ مَوْتِهِ
 
Barangsipa membaca shalawat kepadaku di waktu hidupnya maka Allah memerintahkan semua makhluk-Nya memohonkan maaf kepadanya setelah wafatnya.

مَا اجْتَمَعَ قَوْمٌ ثُمَّ تَقًرَّقُوْا مِنْ غَيْرِ ذِكْرِ اللهِ وَصَلَاةٍعَلَى النَّبِيِّ إلَّا قَامُوْا عَنْ أنْتَنَ مِنْ حِيْفَةٍ

Mereka yang berkumpul (di suatu majlis) lalu berpisah dengan tanpa dzikir kepada Allah dan membaca shalawat kepada nabi, maka mereka seperti membawa sesuatu yang lebih buruk dari bangkai.

Para ulama sepakat (ittifaq) diperbolehkannya menambahkan lafadz 'sayyidina' yang artinya tuan kita, sebelum lafadz Muhammad. Namun mengenai yang lebih afdhol antara menambahkan lafadz sayyidina dan tidak menambahkannya para ulama berbeda pendapat.

Syeikh Ibrahim Al-Bajuri dan Syeik Ibnu Abdis Salam lebih memilih bahwa menambahkan lafadz sayyidina itu hukumnya lebih utama, dan beliau menyebutkan bagian ini melakukan adab atau etika kepada Nabi. Beliau berpijak bahwa melakukan adab itu hukumnya lebih utama dari pada melakukan perintah (muruatul adab afdholu minal imtitsal) dan ada dua hadits yang menguatkan ini.
Dalam hal shalawat Nabi  bersabda:

مَنْ صَلَّى عَلَىَّ وَاحِدَةً صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ عَشْرًا

“Barangsiapa bershalawat atasku sekali, niscaya Allah bershalawat atasnya sepuluh kali.” (HR. Muslim I/306 no.408).

Adapun bentuk shalawat atas Nabi adalah sebagaimana yang beliau ajarkan. Salah seorang sahabat bertanya tentang bentuk shalawat tersebut, beliau menjawab: “Ucapkanlah:

اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَّمَدٍ وَ عَلَى آلِ مُحَمَّدٍ

( Ya Allah, bershalawatlah atas Muhammad dan keluarga Muhammad)” (HR. Al-Bukhari No. 6118, Muslim No. 858).

f. Mencintai orang-orang yang dicintai Nabi .

Seperti Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali, Aisyah, Fathimah radhiallahu anhum dan segenap orang-orang yang disebutkan hadits bahwa beliau shallallahu alaihi wasalam  mencintai mereka. Kita harus mencintai orang yang dicintai beliau dan membenci orang yang dibenci beliau. Lebih dari itu, hendaknya kita mencintai segala sesuatu yang dicintai Nabi, termasuk ucapan, perbuatan dan sesuatu lainnya.‎

Di antara tanda cinta kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah dengan mengamalkan Sunnahnya, menghidupkan, dan mengajak kaum Muslimin untuk mengamalkannya, serta berjuang membela As-Sunnah dari orang-orang yang mengingkari As-Sunnah dan melecehkannya. 

Wajibnya Mentaati Dan Meneladani Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam.
Kita wajib mentaati Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dengan menjalankan apa yang diperintahkannya dan meninggalkan apa yang dilarangnya. Hal ini merupakan konsekuensi dari syahadat (kesaksian) bahwa beliau adalah Rasul (utusan) Allah. Dalam banyak ayat Al-Qur-an, Allah Subhanahu wa Ta'ala memerintahkan kita untuk mentaati Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam. Di antaranya ada yang diiringi dengan perintah taat kepada Allah, sebagaimana firmanNya:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ

“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya...” [An-Nisaa': 59]

Dan masih banyak lagi contoh yang lain. Di samping itu terkadang perintah tersebut disampaikan dalam bentuk tunggal, tidak dibarengi kepada perintah yang lain, sebagaimana dalam firman-Nya:

مَنْ يُطِعِ الرَّسُولَ فَقَدْ أَطَاعَ اللَّهَ

“Barangsiapa mentaati Rasul, maka sesungguhnya ia telah mentaati Allah.” [An-Nisaa': 80]

وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ

“Dan taatlah kepada Rasul supaya kamu diberi rahmat.” [An-Nuur: 56]

Tekadang pula Allah mengancam orang yang mendurhakai Rasul-Nya, sebagaimana dalam firman-Nya:

فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَنْ تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ

“Maka hendaklah orang-orang yang melanggar perintah Rasul takut akan ditimpa fitnah (cobaan) atau ditimpa adzab yang pedih.” [An-Nuur: 63]

Artinya hendaknya mereka takut jika hatinya ditimpa fitnah kekufuran, nifaq, bid’ah atau siksa pedih di dunia, baik berupa pembunuhan, had, pemenjaraan atau siksa-siksa lain yang dise-gerakan. Allah telah menjadikan ketaatan dan mengikuti Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam sebagai sebab hamba mendapatkan kecintaan Allah dan ampunan atas dosa-dosanya. 

Allah Subhanahu wa Ta'ala menjadikan ketaatan kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam sebagai petunjuk dan mendurhakainya sebagai suatu kesesatan. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

وَإِنْ تُطِيعُوهُ تَهْتَدُوا 

“Dan jika kamu taat kepadanya, niscaya kamu mendapat petunjuk.” [An-Nuur: 54]

Allah mengabarkan bahwa pada diri Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam terdapat teladan yang baik bagi segenap ummatnya. Allah berfirman:

لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا

“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan kedatangan hari Kiamat dan dia banyak menyebut Nama Allah.” [Al-Ahzaab: 21]

Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah berkata: “Ayat yang mulia ini adalah pokok yang agung tentang meneladani Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam berbagai perkataan, perbuatan dan perilakunya. Untuk itu, Allah تَبَارَكَ وَتَعَالَى memerintahkan manusia untuk meneladani sifat sabar, keteguhan, kepahlawanan, perjuangan dan kesabaran Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam menanti pertolongan dari Rabb-nya k ketika perang Ahzaab. Semoga Allah senantiasa mencurahkan shalawat kepada beliau hingga hari Kiamat.”

Dalam Al-Qur-an, Allah telah menyebutkan ketaatan kepada Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam dan meneladaninya sebanyak 40 kali. Demikianlah, karena jiwa manusia lebih membutuhkan untuk mengetahui apa yang Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bawa dan mengikutinya daripada kebutuhan kepada makanan dan minuman, sebab jika seorang tidak mendapatkan makanan dan minuman, ia hanya berakibat mati di dunia sementara jika tidak mentaati dan mengikuti Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, maka akan mendapat siksa dan kesengsaraan yang abadi.

Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan agar kita mengikutinya dalam melakukan berbagai ibadah dan hendaknya ibadah itu dilakukan sesuai dengan cara yang beliau contohkan. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

صَلُّوْا كَمَا رَأَيْتُمُوْنِي أُصَلِّي.

“Shalatlah sebagaimana kalian melihat aku shalat.” 

Juga sabdanya Shallallahu 'alaihi wa sallam:

خُذُوْا عَنِّي مَنَاسِكَكُم.

“Ambillah dariku manasik (haji)mu.” 

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

مَن عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيهِ أَمرُنَا فَهُوَ رَدٌّ.

“Barangsiapa melakukan suatu amalan yang tidak berdasarkan perintah kami, maka amalan itu tertolak.” 

Dan sabdanya Shallallahu 'alaihi wa sallam:

مَن رَغِبَ عَنْ سُنَّتِي فَلَيْسَ مِنِّي.

“Barangsiapa yang membenci Sunnahku, maka ia bukan termasuk golonganku.”

Buah Kecintaan kepada Rasulullah
Kecintaan sejati kepada Rasulullah menyebabkan seseorang merasakan manisnya iman. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam hadits shahih yang diriwayatkan oleh imam Al-Bukhari dan Muslim dari Anas , dari Nabi beliau bersabda:

ثَلاَثٌ مَنْ كُنَّ فِيْهِ وَجَدَ حَلاَوَةَ اِلإِيْمَانِ : أَنْ يَكُوْنَ اللهُ وَ رَسُوْلُهُ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا سِوَاهُمَا 

“Ada tiga perkara yang bila seseorang memilikinya, niscaya akan merasakan manisnya iman, ‘Yaitu, kecintaannya pada Allah dan RasulNya lebih dari cintanya kepada selain keduanya……”. (HR. Bukhari I/14 no.16, 21 dan 6542, dan Muslim I/66 no.43).

Orang yang mencintai Rasulullah dengan benar akan dikumpulkan oleh Allah bersama-sama dengan beliau di akhirat kelak. Hal ini berdasarkan hadits shohih berikut ini:

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ جَاءَ رَجُلٌ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَتَى السَّاعَةُ قَالَ « وَمَا أَعْدَدْتَ لِلسَّاعَةِ ». قَالَ حُبَّ اللَّهِ وَرَسُولِهِ قَالَ « فَإِنَّكَ مَعَ مَنْ أَحْبَبْتَ ».

 قَالَ أَنَسٌ فَمَا فَرِحْنَا بَعْدَ الإِسْلاَمِ فَرَحًا أَشَدَّ مِنْ قَوْلِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- « فَإِنَّكَ مَعَ مَنْ أَحْبَبْتَ ». قَالَ أَنَسٌ فَأَنَا أُحِبُّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَأَبَا بَكْرٍ وَعُمَرَ فَأَرْجُو أَنْ أَكُونَ مَعَهُمْ وَإِنْ لَمْ أَعْمَلْ بِأَعْمَالِهِمْ.

Dari Anas bin Malik Radhiallahu 'Anhu, ia berkata: “seseorang datang menemui Rasulullah dan berkata: “Wahai Rasulullah, kapan akan terjadi hari kiamat?” beliau bersabda: “Apa yang telah engkau persiapkan untuk menghadapinya?” ia menjawab: “kecintaan kepada Allah dan Rasul-Nya.” Lali beliau bersabda: “sesungguhnya engkau akan bersama-sama dengan orang yang engkau cintai.” (HR. Muslim IV/2032no.2639, dan Ahmad III/192 no.13016).

Bagaimana Agar kita Mencintai Rasulullah?
Terdapat beberapa kiat dan amalan yang dapat dilakukan agar kita mampu mewujudkan kecintaan sejati kepada Rasulullah. Di antaranya:

a. Hendaknya kita ingat bahwa Nabi adalah orang yang paling baik dan paling berjasa kepada kita, bahkan hingga dari orang tua kita sendiri. Beliaulah yang mengeluarkan kita dari kegelapan kepada cahaya, yang menyampaikan agama dan kebaikan kepada kita, yang memperingatkan kita dari kemungkaran. Dan kalau bukan karena rahmat Allah yang mengutus beliau, tentu kita telah tenggelam dalam kesesatan.

b. Renungkanlah perjalanan hidup Nabi, jihad dan kesabarannya serta apa yang beliau korbankan demi tegaknya agama ini, dalam menyebarkan tauhid serta memadamkan syirik, sungguh suatu upaya yang tidak bisa dijangkau oleh siapapun.

c. Renungkanlah keagungan akhlak Nabi, sifat dan sikapnya yang sempurna, rendah hati kepada kaum mukminin dan keras terhadap orang-orang munafik dan musyrikin, pemberani, dermawan dan penyayang. Cukuplah sanjungan Allah atas beliau:

وَ إِنَّكَ لَعَلَى خُلُقٍ عَظِيْمٍ

“Dan sungguh engkau memiliki akhlak yang agung”

(QS. Al Qolam : 4)

d. Mengetahui kedudukan beliau  di sisi Allah.Beliau Rosululloh adalah orang yang paling mulia di antara segenap umat manusia, penutup para Nabi, yang diistimewakan pada hari Kiamat atas segenap Nabi untuk memberikan syafa’at uzhma (agung), yang memiliki maqam mahmud (kedudukan terpuji), orang yang pertama kali membuka pintu Surga serta berbagai keutamaan beliau lainnya.

Demikianlah penjelasan singkat tentang cinta sejati kepada Rasulullah. Mudah-mudahan kita bisa mengambil pelajaran dan mengamalkannya dalam kehidupan kita sehari-hari hingga akhir hayat sehingga kita digolongkan oleh Allah ke dalam orang-orang yang jujur dan setia dalam mencintai, mengikuti dan membela Nabi, dan dikumpulkan dalam satu majlis bersama Nabi di dalam surga-Nya. Amin.

يَا الله…يَا الله… ياَ الله.. ياَرَحْمَن يَارَحِيْم …لاَإلهَ إلَّاالله…لاَ إلهَ إلاَّ اللهُ اْلعَظِيْمُ الْحَلِيْمُ…لاَ إِلهَ إِلَّا الله رَبُّ اْلعَرْشِ اْلعَظِيْمِ…لاَ إِلهَ إلَّا اللهُ رَبُّ السَّموَاتِ وَرَبُّ الْأَرْضِ وَرَبُّ اْلعَرْشِ اْلكَرِيْمِ…مُحَمَّدٌ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ،كَلِمَةٌ حَقٌّ عَلَيْهَا نَحْيَا وَعَلَيْهَا نَمُوتُ وَعَلَيْهَا نُبْعَثُ إِنْ شَاءَ اللهُ تَعَالَى مِنَ اْلأمِنِيْنَ.

Wallohul Muwaffiq Ila Aqwamith Thoriq

Penjelasan Tentang Masalah Pendidikan


حدثنا إسماعيل قال: حدثني مالك، عن إسحاق بن عبد الله بن أبي طلحة: أن أبا مرة مولى عقيل بن أبي طالب أخبره: عن أبي واقد الليثي:

أن رسول الله صلى الله عليه وسلم بينما هو جالس في المسجد والناس معه، إذ أقبل ثلاثة نفر، فأقبل إثنان إلى رسول الله صلى الله عليه وسلم وذهب واحد، قال: فوقفا على رسول الله صلى الله عليه وسلم، فأما أحدهما: فرأى فرجة في الحلقة فجلس فيها، وأما الآخر: فجلس خلفهم، وأما الثالث فأدبر ذاهبا، فلما فرغ رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: (ألا أخبركم عن النفر الثلاثة؟ أما أحدهم فأوى إلى الله فآواه الله، وأما الآخر فاستحيا فاستحيا الله منه، وأما الآخر فأعرض فأعرض الله عنه). [462].‎

Ismail menceritakan kepadaku, beliau berkata, Malik menceritakan kepadaku, dari Ishak bin Abdullah bin Abi Tholhah sesungguhnya Abu Marrah budak dari Aqil bin Abi Thalib memberikan informasi kepadaku Dari Abi Waqid Al Laitsi r.a., dia berkata : “ Pada suatu waktu Rasulullah saw sedang duduk di masjid kemudianh datanglah tiga rombongan manusia, yang dua kelompok menghadap rasulullah saw, sedang yang satunya melihat tempat senggang dalam majelis itu, maka duduklah mereka. Sedangkan yang lain duduk di belakang mereka, sedangkan kelompok ketiga pergi dan berpaling. Setelah itu Rasulullah saw bersabda: “ Adakah belum aku beritahukan kepadamu tentang tiga kelompok manusia tersebut ?. adapun kelompok pertama adalah mencari keridhoan Allah swt, maka Allah ridho pula kepada mereka, adapun yang lainnya mereka malu kepada Allah, maka Allahpun malu kepada mereka. Sedangkan yang satunya lagi mereka berpaling dari keridhoan Allah, maka Allahpun berpaling dari mereka.

 (HR. Bukhori, Bab Orang yang duduk ketika sampai kesuatu majelis, dan Orang yang melihat celah dalam halaqoh lalu ia duduk di dalamnya).

Hadis di atas menceritakan tentang keutamaan bermajelis ilmu, bahkan dalam hadis lain Rasulullah mensifati majelis ilmu dengan sebutan Riyadhul Jannah ( taman surga ). Dimanapun kita berada apabila kita lewat atau melihat halaqatul ilmi ( majelis ta’lim ) maka seyogyanya kita berhenti sejenak dan bergabung didalamnya dengan tujuan mencari ridho Allah swt, jika itu kita lakukan maka Allahpun akan Ridho terhadap kita. Subtansi hadis tersebut adalah merangsang para pencari ilmu agar mencintai majelis ta’lim, sekolah, kampus ataupun tempat-tempat ilmu lainnya.

Sekaligus larangan bagi kita untuk berpaling dari majelis ilmu, dengan kata lain bahwa pulang dari kampus ketika ada dosen adalah termasuk dalam kategori orang yang berpaling dari keridhoan Allah. Ketika kita berpaling dari keridhoan Allah maka Allahpun akan berpaling dari kita. Ketika Allah berpaling dari kita, siapa lagi yang kita harapkan akan memberikan pertolongan kepada kita ?.‎

روي عن النبي صلى الله عليه وسلم: من اهان خمسة خسر خمسة : من استخف با العلماء خرالدين، ومن استخف با الامراء خسرالدنيا ومن ستخف با الجيران خسرالمنا فع ومن استخف با الاقرباء خسرا المودة، ومنن استخف بأ صله خسر طيب المعيثة (رواه البخاري)‎

“Diriwayatkan dari Nabi SAW. Barang siapa yang merendahkan lima hal, maka akan rugi pada lima hal: satu siapa yang meremehkan ulama, maka akan rugi dalam hal agama, dan barang siapa yang merendahkan pemimpin, akan rugi hal dunia, dan siapa yang meremehkan tetangga, akan rugi kebaikannya”. (H.R. Bukhari‎

Berhasil menjadi pengusaha sukses...‎

Tapi gagal menjadi ayah-ibu, wah… dampaknya bisa puluhan tahun, bahkan sampai akhirat. Indikator keberhasilan mendidik anak itu bukan anak sudah bisa jadi apa, anak sudah sehebat apa, anak sekaya apa, atau lainnya yang hanya bisa diukur dengan materi. Hati-hati karena hal itu melenakan. Sebab semua itu tidak ada artinya bila meninggalkan luka atau tidak meninggalkan kedamaian di hati orang tua kala usia senja atau justru menggerus amalan orang tua di akhirat kelak akibat kelakuan anaknya.‎

Islam mempunyai dasar dan tata cara tersendiri dalam mendidik anak. Karena dalam Islam, anak memiliki peran yang sangat penting.

Dalam Islam, sesungguhnya anak-anak adalah titipan dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala kepada kita. Sebagai titipan-Nya, anak adalah harapan di masa depan. Merekalah kelak yang akan menjadi pengaman dan pelopor masa depan agama dan bangsa.

Oleh karena itu sudah menjadi kewajiban bagi kita mendidik mereka menjadi generasi unggul dan tangguh di masa depan. Lebih dari itu, AllahSubhanahu Wa Ta’ala juga memerintahkan kita sebagai orang tua untuk menjauhkan mereka dari api neraka kelak.

Bagaimana cara memenuhi kewajiban itu?
Yaitu dengan mendidik anak-anak sesuai dengan perintah-Nya dan teladan dari Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallam.

Al-Quran dan Hadits telah memberikan panduan yang jelas dalam mendidik anak. ‎

Hadits-hadits pendidikan di bawah ini adalah sebagian dari nasehat bapak pendidikan umat Islam Nabi Muhammad SAW, di antaranya:

Hadits tentang berbakti kepada ibu-bapak

عَنْ اَبِى هُرَيْرَةَ رَضِيَ اَللهُ عَنْهُ قَالَ: اَقْبَلَ رَجُلٌ اِلَى رَسُوْلَ اللهِ صَلَّ اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ فَقَالَ: اُبَايِعُكَ عَلَى الهِجْرَةِ وَالْجِهَادِ اَبْتَغِى الآجْرَ مِنَ اللهِ قَالَ: هَلْ مِنْ وَالِدَيْكَ اَحَدٌ حَيٌّ؟ قَالَ: نَعَمْ. قَالَ: فَارْجِعْ اِلَى وَالِدَيْكَ فاَحْسِنْ صُحْبَتَهُماَ (رواه مسلم)‎

“Dari Abu Hurairota r.a. berkata: Ada seorang laki-laki menghadap kepada Rasulullah SAW lalu ia berkata : Saya berjanji kepada engkau, wahai Rasulullah untuk berhijrah dan berjuang agar mendapatkan pahala dari Allah. Beliau bersabda: Apakah salah seorang dari kedua orang tuamu masih hidup? Laki-laki itu menjawab: Ya, masih. Beliau bersabda pula: Pulanglah kamu kepada kedua orang tuamu dan dampingilah keduanya dengan baik." (H.R. Muslim)‎

Surat Al-Baqoroh ayat 223‎

نِسَاؤُكُمْ حَرْثٌ لَّكُمْ فَأْتُوا حَرْثَكُمْ أَنَّىٰ شِئْتُمْۖوَقَدِّمُوا لِأَنفُسِكُمْ ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ وَاعْلَمُوا أَنَّكُم مُّلَاقُوهُ ۗوَبَشِّرِ الْمُؤْمِنِينَ﴿٢٢٣﴾

“Isteri-isterimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok-tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki . Dan kerjakanlah (amal yang baik) untuk dirimu, dan bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa kamu kelak akan menemui-Nya. Dan berilah kabar gembira orang-orang yang beriman.”

Hadits tentang tanggung jawab kepala rumah tangga

عَنِ عَائِشَةٍ رَضِيَ الله ُعَنْهَا قَالَتْ: دَخَلَتْ هِنْدٌ بِنْتُ عُتْبَةِ اِمْرَأَةُ أَبِى سُفْيَانَ عَلَى رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَمَ فَقَالَتْ : يَا رَسُوْلَ اللهِ  اَنْ أَبَا سُفْيَانَ رَجُلٌ شَحِيْحٌ لَا يُعْطِيْنِيْ مِنَ النَفَقَةِ مَا يَكْفِيْنِى وَيَكْفِى اِبْنِى اِلَّا مَاأَخَذَتْ مِنْ مَالِهِ بِغَيْرِ عَلَّمَهُ, فَهَلْ عَلىَّ فِى ذَلِكَ مِنْ جُنَاحِ؟ فَقَالَ: خُذِى مِنْ مَالِهِ بِالمْعَرْوُفْيِ مَا يَكْفِيْكَ وَمَا يَكْفِي بَنِيْكَ. (متفق عليه)

“Aisyah RA menceritakan, bahwa pada suatu kali datanglah Hindun binti ‘Utbah, yaitu isteri Abu Sufyan menemui Rasulullah SAW seraya berkata, “Hai Rasulullah! Abu Sufyan itu ialah laki-laki yang kikir, sehingga tidak diberinya saya nafkah yang memadai untukku, kecuali hanya dengan mengambil hartanya tanpa sepengetahuannya. Apakah saya berdosa dengan begitu?” Jawab Beliau, “Ambillah sebagian hartanya itu dengan niat baik secukupnya yaitu untukmu dan anak-anakmu.” (Mutafaq ‘Alaih)

 Hadits tentang tugas-tugas istri atau ibu

وَاْلاِمْرَأَةُ فِى اْليَيْتِ زَوْجِهَا رَاعِيَةٌ, وَهِىَ مَسْؤُوْلَةٌ عَنْ رَاعِيَتِهَا (رواه البخاري ومسلم)
“Dan seorang istri adalah penanggung jawab (pemimpin) di dalam rumah suaminya dan dia akan dimintai pertanggungjawabannya atas tugas dan kewajiban itu.” (HR. Bukhori dan Muslim)

حَدَّثَنَا الْقَعْنَبِيُّ عَنْ مَالِكٍ عَنْ أَبِي الزِّنَادِ عَنْ الْأَعْرَجِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كُلُّ مَوْلُودٍ يُولَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ وَيُنَصِّرَانِهِ كَمَا تَنَاتَجُ الْإِبِلُ مِنْ بَهِيمَةٍ جَمْعَاءَ هَلْ تُحِسُّ مِنْ جَدْعَاءَ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ أَفَرَأَيْتَ مَنْ يَمُوتُ وَهُوَ صَغِيرٌ قَالَ اللَّهُ أَعْلَمُ بِمَا كَانُوا عَامِلِينَ (رواه أبو داود)‎

Menceritakan kepada kami Al-Qa’nabi dari Malik dari Abi Zinad dari Al–A’raj dari Abu Hurairah berkata Rasulullah saw bersabda : “Setiap bayi itu dilahirkan atas fitroh maka kedua orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasroni sebagaimana unta yang melahirkan dari unta yang sempurna, apakah kamu melihat dari yang cacat?”. Para Sahabat bertanya: “Wahai Rasulullah bagaimana pendapat tuan mengenai orang yang mati masih kecil?” Nabi menjawab: “Allah lah yang lebih tahu tentang apa yang ia kerjakan”. (H.R. Abu Dawud)
 
KANDUNGAN HADITS

Setiap anak dilahirkan atas fitrohnya yaitu suci tanpa dosa, dan apabila anak tersebut menjadi yahudi atau nasrani, dapat dipastikan itu adalah dari orang tuanya. Orang tua harus mengenalkan anaknya tentang sesuatu hal yang baik yang harus dikerjakan dan mana yang buruk yang harus ditinggalkan. Sehingga anak itu bisa tumbuh berkembang dalam pedndidikan yang baik dan benar.

Dalam proses pendidikkan anak ini, adakalanya orang tua bersikap keras dalam mendidik anak. Contohnya, pada umur tujuh tahun orang tua mengingatkan anaknya untuk melakukan sholat dan pada saat umur sepuluh tahun, orang tua boleh memukulnya ketika sianak tersebut tidak mengerjakan sholat.

Ketika anak tersebut oleh orang tuanya dijadikan seorang muslim maka anak tersebut harus menjalankan kewajiban-kewajibannya sebagai seorang muslim. Salah satunya adalah berbakti kepada kedua orang tuanya seperti firman Allah SWT.

“dan Kami wajibkan manusia (berbuat) kebaikan kepada dua orang ibu- bapaknya”. (Q.S Al-ankabuut).

Alangkah tepat andai firman Allah tersebut kita baca berulang-ulang dan kita renungkan dalam-dalam. Sehingga Allah berkenan mengaruniakan cahaya hidayahnya kepada kita, mengaruniakan kesanggupan untuk mengoreksi diri dan mengaruniakan kesadaran untuk bertanya: “Telah seberapa besarkah kita memuliakan ibu bapak?”. Boleh jadi kita sekarang mulai mengabaikan orang tua kita. Bisa saja saat ini mereka tengah memeras keringat banting tulang mencari uang agar studi kita sukses. Sementara kita sendiri mulai malas belajar dan tidak pernah menyesal ketika mendapatkan nilai yang pas-pasan. Bahkan, dalam shalat lima waktunya atau tahajudnya mereka tak pernah lupa menyisipkan doa bagi kebaikan kita anak-anaknya.

Tetapi, berapa kalikah dalam sehari semalam kita mendoakannya? Shalat saja kita sering telat dan tidak khusyuk Rasulullah SAW menempatkan ibu “tiga tingkat” di atas bapak dalam hal bakti kita pada keduanya. Betapa tidak, sekiranya saja kita menghitung penderitaan dan pengorbanan mereka untuk kita, sungguh tidak akan terhitung dan tertanggungkan. Orang bijak mengatakan, “Walau kulit kita dikupas hingga telepas dari tubuh tidak akan pernah bisa menandingi pengorbanan mereka kepada kita.”

Jadi orang tua itu berperan penuh dalam proses mendidik anaknya, apabila anak itu sampai tidak mengenal agama (mengenal Allah) maka itu merupakan kelalaian orang tua.‎
Surat    At- Tahrim ( 66: 6 )

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَائِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَّا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ﴿٦﴾

”Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.”‎

Tentang ayat :

قُواْأَنفُسَكُمْوَأَهْلِيكُمْنَاراً

“Jagalah diri dan keluarga kamu dari api (neraka)’

Diriwayatkan dari Ali bin Abi Talhah, dari Ibn `Abbas radhiallahu 'anhu: Dia berkata, "Bekerja dalam ketaatan kepada Allah, menghindari ketidaktaatan kepada Allah, dan jagalah keluarga kalian untuk selalu taat dan mengingat Allah, maka Allah akan menyelamatkan kalian dari neraka".

Mujahid berkata :
"Bertaqwalah kepada Allah dan jagalah keluarga kalian agar bertaqwa kepada Allah".
Qatadah berkata:
"Dia diperintah untuk taat kepada Allah, untuk tidak mendurhakai Allah, dan dia diperintah agar keluarganya mematuhi perintah Allah, dan dia membantu keluarganya untuk bertindak diatas perintah Allah. Ketika melihat ketidaktaatan, dia cegah keluarganya dan melarang keluarganya dari melakukan hal tersebut".

Ad-Dahhak dan Muqatil berkata:

"Ini adalah kewajiban bagi setiap muslim untuk mengajari keluarga dekatnya, budak-budak laki-laki dan perempuan, terhadap apa-apa yang telah Allah wajibkan bagi mereka, dan apa-apa yang telah Allah larang bagi mereka".
وَقُودُهَاالنَّاسُوَالْحِجَارَةُ

'berbahan bakar manusia dan batu'.
Hal ini menggambarkan bahwa manusia, anak cucu Adam, akan menjadi bahan bakar api neraka.

Sedangkan:

وَالْحِجَارَةُ
“batu’
Hal ini menggambarkan berhala-berhala yang disembah oleh manusia. Firman Allah Ta'ala:

إِنَّكُمْوَمَاتَعْبُدُونَمِندُونِاللَّهِحَصَبُجَهَنَّمَأَنتُمْلَهَاوَارِدُونَ

"Sesungguhnya kamu dan apa yang kamu sembah selain Allah, adalah umpan Jahannam, kamu pasti masuk ke dalamnya"[Al Anbiyaa:98].

Abdullah bin Mas`ud, Mujahid, Abu Ja`far Al-Baqir and As-Suddi berkata:
"Ini adalah batu belerang yang lebih busuk dari mayat busuk".

عَلَيْهَامَلَـئِكَةٌغِلاَظٌشِدَادٌ
“penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, (dan) keras”

Maknanya: para malaikat berperilaku tegas, karena rahmat (rasa belas kasihan) telah dibawa keluar dari hati mereka untuk orang-orang yang kafir kepada Allah.
شِدَادٌ

“keras”
Maknanya: sangat kuat, sangat perkasa.

لاَّيَعْصُونَاللَّهَمَآأَمَرَهُمْوَيَفْعَلُونَمَايُؤْمَرُونَ

“dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa-apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan”.

Maknanya : Apapun perintah Allah, mereka bergegas mematuhi-Nya, tanpa penundaan bahkan hanya sekejap mata. Mereka selalu memenuhi perintah Allah, mereka disebut Az-Zabaniyah, yang berarti, para penjaga dan penjaga neraka.

Abdullah Nasis Ulwan dalam bukunya pendidikan anak dalam islam mengatakan bahwa surah ini adalah sebagai perintah untuk melakukan pendidikan anak dengan perhatian/pengawasan . Makna perhatian adalah mencurahkan segenap perhatian penuh dan mengikuti perkembangan aspek akidah dan moral anak, mengawasi dan memperhatikan kesiapan mental dan sosial.

Surat Lukman ( 31: 13 )

وَإِذْ قَالَ لُقْمَانُ لِابْنِهِ وَهُوَ يَعِظُهُ يَا بُنَيَّ لَا تُشْرِكْ بِاللَّهِۖإِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ ﴿١٣﴾

“Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: "Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan (Allah) sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar".

Kata ya’izhuhu terambil dari kata wa’zb yaitu nasehat menyangkut berbagai kebajikan dengan cara yang menyentuh hati. Ada juga yang mengartikannya sebagai ucapan yang mengandung peringatan dan ancaman. Penyebutan kata ini sesudah kata“dia berkata” untuk memberi gambaran tentang bagaimana perkataan itu beliau sampaikan, yakni tidak membentak, tetapi penuh kasih sayang sebagaimana dipahami dari panggilan mesranya kepada anak. Kata ini juga mengisyaratkan bahwa nasihat itu dilakukan dari saat ke saat.

Kata “bunnayya” adalah patron yang menggambarkan kemungilan. Asalnya adalah “ibny” dari kata “ibn” yakni anak lelaki. Pemungilan tersebut mengisyaratkan kasih sayang. Dari sini kita dapat berkata bahwa ayat diatas memberi isyarat bahwa mendidik hendaknya didasari oleh rasa kasih sayang terhadap peserta didik.

Luqman memulai nasihatnya dengan menekankan perlunya menghindari syirik/ mempersekutukan Allah. Larangan ini sekaligus mengandung pengajaran tentang wudhu’ dan keesaan Tuhan. Bahwa redaksi pesannya berbentuk larangan, jangan mempersekutukan Allah untuk menekan perlunya meninggalkan sesuatu yang buruk sebelum melaksanakan yang baik.

Surat  An- Nisa’ ( 4: 9 )

وَلْيَخْشَ الَّذِينَ لَوْ تَرَكُوا مِنْ خَلْفِهِمْ ذُرِّيَّةً ضِعَافًا خَافُوا عَلَيْهِمْ فَلْيَتَّقُوا اللَّهَ وَلْيَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا ﴿٩﴾

Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar.

Surat  At- Thur ( 52: 21 )

وَالَّذِينَ آمَنُوا وَاتَّبَعَتْهُمْ ذُرِّيَّتُهُم بِإِيمَانٍ أَلْحَقْنَا بِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَمَا أَلَتْنَاهُم مِّنْ عَمَلِهِم مِّن شَيْءٍ ۚ كُلُّ امْرِئٍ بِمَا كَسَبَ رَهِينٌ ﴿٢١﴾

Dan orang-orang yang beriman, dan yang anak cucu mereka mengikuti mereka dalam keimanan, Kami hubungkan anak cucu mereka dengan mereka , dan Kami tiada mengurangi sedikitpun dari pahala amal mereka. Tiap-tiap manusia terikat dengan apa yang dikerjakannya.‎

Hadits tentang pendidikan terhadap anak

حَدَّثَنَا مُؤَمَّلُ بْنُ هِشَامٍ يَعْنِي الْيَشْكُرِيَّ حَدَّثَنَا إِسْمَعِيلُ عَنْ سَوَّارٍ أَبِي حَمْزَةَ قَالَ أَبُو دَاوُد وَهُوَ سَوَّارُ بْنُ دَاوُدَ أَبُو حَمْزَةَ الْمُزَنِيُّ الصَّيْرَفِيُّ عَنْ عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ قَالَ ,قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُرُوا أَوْلَادَكُمْ بِالصَّلَاةِ وَهُمْ أَبْنَاءُ سَبْعِ سِنِينَ وَاضْرِبُوهُمْ عَلَيْهَا وَهُمْ أَبْنَاءُ عَشْرٍ وَفَرِّقُوا بَيْنَهُمْ فِي الْمَضَاجِعِ
 
 “Berkata Mu’ammal ibn Hisyam Ya’ni al Asykuri, berkata Ismail dari Abi Hamzah, berkata Abu Dawud dan dia adalah sawwaru ibn Dawud Abu Hamzah Al Muzanni Al Shoirofi dari Amru ibn Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya berkata, berkata Rasulullah SAW: Suruhlah anakmu melakukan sholat ketika berumur tujuh tahun. Dan pukullah mereka karena mereka meninggalkan sholat ketika berumur sepuluh tahun. Dan pisahlah mereka (anak laki-laki dan perempuan) dari tempat tidur.” (H.R. Abu Dawud)[

Seorang ayah mempunyai tugas dan kewajiban terhadap anaknya yaitu, mengurus segala hajat dan keperluan mereka manakala membutuhkan. Seperti dalam hadits Nabi SAW:

عَنْ أَبِى مَسْعُوْدٍ البَدْرِيِّ رَضِىَ اللهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِي صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: اِذَا اَنْفَقَ الرَّجُلُ عَلَى اَهْلِهِ يَحْتَسِبُهَا فَهُوَ لَهُ صَدَقَةٌ (رواه متفق عليه)
 
 “Dari Abu Mas’ud Badri r.a. dari Nabi SAW bersabda: apabila seorang lelaki memberikan nafkah kepada keluarganya dengan rela maka yang demikian itu suatu sedekah baginya.” (HR. Mutafaq ‘Alaih)

Lebih dari itu, seorang ayah harus mendidik anak-anaknya, mengurus segala keperluan hidupnya, membimbingnya kepada akhlak yang terpuji, kelakuan yang baik dan perangai yang mulia, di samping memelihara dan menjauhkan mereka dari perkara-perkara yang sebaliknya. Juga , memuliakan semua perintah dan larangan agama, menyampingkan urusan keduniaan, melebihkan dan mengutamakan urusan akhirat.
Tugasnya yang lain ialah, memberi nama yang baik kepada anaknya, memilihkan istri dari keturunan orang-orang yang berbudi pekerti yang baik dan sholih, agar menjadi ibu yang diberkati oleh anaknya kelak. Hendaklah seorang ayah berlaku adil dalam pemberiannya kepada anak-anaknya. Tidak boleh melebihkan seorang atas lainnya, karena membedakan kasih sayang dan mengikuti kehendak hawa nafsunya sendiri.
Orang yang mengabaikan pendidikan anak-anaknya sebagaimana tersebut di atas, tidak memperhatikan pengajaran atas mereka, malah membuka pintu hatinya agar senantiasa cinta dunia dan tunduk di bawah kekuasaannya, sehingga anak-anak itu mendurhakai mereka dan tidak mengikuti petunjuk ajarannya, maka janganlah ia menyalahkan orang lain selain diri sendiri. Kerugian itu selalu menimpa orang yang alpa dan lalai. Di zaman ini, terlalu banyak anak-anak yang durhaka dan tidak mau mendengar perkataan ibu-bapaknya tersebar dimana-mana. Apabila kita teliti, penyebabnya tidak lain karena kelalaian ibu-bapaknya yang telah menyia-nyiakan pemeliharaan anak-anak itu sejak kecil.

Ungkapan-ungkapan Luqman patut dijadikan teladan oleh siapapun pada zaman ini, sistematika nasehatnya yang dikemas dengan indah, tersusun dengan teratur dan didukung oleh contoh dan budi pekerti yang amat mulia, sehingga terhujam kedalam hati. Ia mulai menaburkan nasihatnya dengan tauhid/ mengesakan Allah, mengajak untuk mendekatkan diri kepada Allah (beribadah) dan menanankan budi pekerti yang mulia (akhlak al- karimah) sebagaimana firman Allah dalam surat Luqman [31]:13 di atas.

Luqman meneruskan wasiat kepada putra- putranya untuk senantiasa memelihara dan memupuk rasa keimanan kepada Allah dengan senantiasa mengadakan komunikasi dengan Allah melalui ibadah shalat, mengerjakan yang baik dan mencegah yang mungkar dan bersabar atas segala sesuatu yang menimpanya.

Lebih lanjut, luqman mengingatkan putra- putranya untuk menjaga, memelihara dan menampilkan akhlak yang mulia. Saling mengasihi diantara mereka, tidak sombong dan angkuh, apalagi sampai membuang muka. Hal ini digambarkan dalam firman-Nya:

وَلَا تُصَعِّرْ خَدَّكَ لِلنَّاسِ وَلَا تَمْشِ فِي الْأَرْضِ مَرَحًا ۖ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُورٍ ﴿١٨﴾ وَاقْصِدْ فِي مَشْيِكَ وَاغْضُضْ مِن صَوْتِكَ ۚ إِنَّ أَنكَرَ الْأَصْوَاتِ لَصَوْتُ الْحَمِيرِ ﴿١٩﴾

“Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri. Dan sederhanalah kamu dalam berjalan dan lunakkanlah suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara keledai.”

Luqman berkata pada putra- putranya “pilihlah delapan macam perkataan para Nabi a.s” :

1.      Apabila engkau sedang melakukan shalat, maka peliharalah hatimu
2.      Apabila engkau sedang berada dalam rumah orang lain, maka peliharalah matamu.
3.      Apabila engkau berada ditengah- tengah manusia, maka jagalah mulutmu.
4.      Apabila engkau sedang berada dalam hidangan, maka peliharalah orang di sekelilingmu.
5.      Ingatlah dua hal dan lupakanlah dua hal, dua hal yang harus diingat adalah Allah swt dan mati. Sedangkan dua hal yang harus dilupakan ialah kebaikanmu terhadap orang lain dankejelekan orang lain terhadap kamu.

Disamping itu pula, ternyata luqmanul hakim sangai piawai dalam menanamkan rasa kepercayaan diri dan sikap istiqamah kepada putra- putranya dalam beramal shaleh ditengah- tengah terjangan badai godaan yang sangat besar. Hal ini patut ditiru oleh para orang tua, guru pada saat ini ditengah derasnya arus informasi yang susah dibendung, pergeseran budaya yang telah merusak tatanan kehidupan dan merebaknya peredaran obat- obat terlarang.

Tugas-tugas istri ialah fardhu’ain. Para ulama dalam hal ini sepakat, Syaikh Al Ghazali ulama Mesir kontemporer yang sering membela hak-hak perempuan menyatakan: ”Betapapun juga, prinsip dasar yang harus kita ikuti atau kita upayakan agar selalu dekat padanya ialah “rumah”. Saya benar-benar merasa gelisah pada kebiasaan para ibu rumah tangga yang meninggalkan (membiarkan) anak-anaknya tinggal dan diasuh oleh para pembantu atau diserahkan pada tempat penitipan anak. Nafas seorang ibu memiliki pengaruh yang luar biasa dalam menumbuhkan dan memelihara perilaku kebajikan dalam diri anak-anaknya.

Tugas seorang ibu yang paling utama adalah melahirkan, menyusui hingga membesarkan anak. Setelah melahirkan peran ibu sangat dibutuhkan oleh bayi yaitu pemberian ASI yang cukup. Mulai dari mengandung hingga proses menyusui, pendidikan sudah mulai diajarkan. Berdasarkan pandangan yang diteliti, bahwa bayi yang baru lahir khususnya pada hari-hari dan bulan-bulan pertama, akan ditemukan sosok tubuh yang tulangnya masih lemah dan urat-uratnya masih lemas. Dia ibarat adonan roti yang terhidang di hadapan kita, siap dipolakan sesuai dengan keinginan kita. Setiap aspek kesehatan yang berkaitan dengan pertumbuhannya secara wajar, wajib diikuti dan harus diperhatikan, khususnya mengenai kebersihan dan kesucian, waktu musim, pergantian udara dan lain sebagainya.

Bayi bukanlah hanya sekedar badan, akan tetapi bayi itu tersusun atas badan wadak (tubuh) serta badan halus (ruh). Pengembangan potensi yang dimiliki keduanya sangat dipengaruhi oleh bentuk perlakuan dan kebiasaan keseharian. Yakni sebagaimana dilukiskan dalam sebuah syair:

فاَلْنَفْسُ كَالطِّفْلِ اِنْ تُهْمِلْهُ شَبَّ عَلَي# حُبِّ الرَّضَاعِ وَاِنْ تَفْطِمْهُ يَنْفَطِمُ #

“Jiwa, bagaikan bayi mungil. Jika engkau biarkan menyusu, cenderung untuk menyusu hingga dewasa. Dan andaikan engkau sapih, niscaya dia akan tersapih.”

Demikianlah, kehidupan kejiwaan akan merekam berbagai isyarat, nada, gerak, profil, gambaran serta wajah. Dari sini akan tampak peranan seorang ibu dalam mewarnai perilaku sang anak. Dia adalah lembaga pendidikan yang pertama, yang mengajar muridnya secara individual. Sedangkan gerak dan kebiasaan keseharian, merupakan mata pelajaran. Pelajaran yang disapaikan oleh sang ibu terhadap anaknya merupakan peletakan batu pertama bagi pondasi kehidupan sang bayi untuk masa sekarang maupun masa yang akan datang.
Secara rasional, ibadah berupa shalat, puasa maupun yang lain, berperan mendidik pribadi manusia hingga kesadaran dan pikirannya terus-menerus berfungsi dalam semua pekerjaan. Pada hakikatnya semua pekerjaan yang dilakukan oleh manusia, apabila tidak ditimbang dengan neraca keridhaan Allah, maka perbuatan tersebut akan berubah menjadi malapetaka bagi yang melakukannya.

Sejak dini, seorang anak sudah harus dilatih ibadah, diperintah melakukannya dan diajarkan hal-hal yang haram serta yang halal.

وَأْمُرْ أَهْلَكَ بِالصَّلَاةِ وَاصْطَبِرْ عَلَيْهَا لَا نَسْأَلُكَ رِزْقًا نَحْنُ نَرْزُقُكَ وَالْعَاقِبَةُ لِلتَّقْوَى‎

 “Dan perintahkanlah kepada keluargamu mendirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya. Kami tidak meminta rezeki kepadamu, Kamilah yang memberi rezeki kepadamu. Dan akhirat (yang baik) itu adalah bagi orang yang bertaqwa.”(Q.S. Thaha: 132)

Kalau shalat belum diwajibkan atas anak-anak yang masih kecil mengingat mereka belum berstatus mukallaf. Islam mewajibkan kepada orang tua atau walinya untuk melatih mereka dan memerintahkannya kepada mereka. Islam menekankan kepada kaum muslimin, untuk memerintahkan anak-anak mereka menjalankan shalat kepada mereka telah berusia tujuh tahun. Hal ini dimaksudkan agar mereka senang melakukannya dan sudah terbiasa semenjak kecil. Sehingga apabila semangat beribadah sudah bercokol pada jiwa mereka, niscaya akan muncul kepribadian mereka atas hal tersebut.

Dengan demikian, diharapkan ia punya kepribadian dan semangat keagamaan yang tinggi. Tujuan mengajarkan wudhu dan menunaikan shalat fardhu pada waktunya, pada dasarnya adalah mengajarkan ketaatan, disiplin, kesucian dan kebersihan. Demikian pula dengan membiasakan anak-anak kecil menunaikan puasa, adalah dalam rangka supaya mereka sabar dalam beribadah dan dalam menghadapi beban-beban kehidupan.

كل مولود يولد على الفطرة فأبوه يهودا نه او ينصرانه واويمجسانه (رواه مسلم)

“Setiap bayi itu lahir atas kesucian, maka kedua orangtuanya lah yang akan menjadikannya yahudi, nasrani, atau majusi”. (H.R. Muslim)

وعن عمروبن شعيب عن ابيه عن جدهرضي الله عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: مروااولادكم با الصلاة وهم ابناء سنين واضربوهم عليها وهم ابناء عشر، وفرقوا بينهم فى المضاجع (حديث رواه ابودود با سناد حسن)‎

“Dari Amru bin Syu’aib dari bapaknya dari kakeknya RA berkata: Rasulullah SAW bersabda: perintahkan anak-anakmu untuk melaksanakan shalat, ketika mereka sampai di usia 7 tahun, kemudian pukul mereka karena meninggalkan shalat jika telah sampai usia 10 tahun dan pisahkan diantara mereka di tempat tidurnya”. (H.R. Abu Daud)
Orang Tua Sebagai Pendidik Utama Dan Pertama
1. Orang tua yang menentukan anaknya nanti

عن أبى هُرَيْرَةَ رَضِيَّ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ النَّبِىُّ صلى الله عليه وسلم: كُلُّ مَوْلُودٍ يُولَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ، فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ، أَوْ يُنَصِّرَانِهِ، أَوْ يُمَجِّسَانِهِ (الْبُخَارِيّ وَمُسْلِم)

Dari Abu Hurairah berkata: Nabi saw bersabda: “Setiap yang lahir, dilahirkan dalam keadaan fitrah (suci). Maka orang tuanyalah yang menentukan apakan dia menjadi seorang Yahudi, Nasrani, atau Najusi” (H.R Bukhari dan Muslim)

2. Orang tua memberikan contoh untuk memenuhi hak dan kewajiban

عن أبى هُرَيْرَةَ رَضِيَّ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رسول اللهِ صلى الله عليه وسلم:مِنْ حَقِّ الْوَلَدِ عَلَى الْوَالِدِ ثَلاَثَةٌ أَن يُحَسَّنَ اِسْمَهُ إِذَا وَلَدَ وَأَنْ يُعَلِّمَهُ الْكِتَابَةَ إِذَا عَقَلَ وَأَنْ يُزَوَّجَهُ إِذَا أَدْرَكَ (الحاكم)

Dari Abu Hurairah berkata: Rasulullah saw bersabda:”Diantara kewajiban orang tua terhadap anaknya ada tiga, yaitu: memberinya namay yang baik jika lahir, mengajarkan kitab (al-Qur’ân) kepadanya jika telah mampu (mempelajarinya), dan menikahkannya jika telah dewasa”. (H.R. Hakim)

3. Orang tua mendidik anaknya untuk beribadah

عنْ ابْنِ عُمَروَابْنِ العْاَصِ قال: قال رَسولُ الله ص.م: مُرُوْا أََوْلاَدَكُمْ باِلصَّلاةِ وَهُمْ أَبْنَاء سَبْعَ سِنِيْنِ وَاضْرِبُوْهُمْ عَلَيْهَا وَهُمْ أَبْنَاء عَشْر وَفَرقوُاْ بَيْنَهُمْ فىِ المَضَاجِعِ )أبو داود(

Dari Ibnu ‘Amr bin Ash, ia berkata: Rasulullah bersabda “Perintahkanlah anak-anak kalian shalat ketika berumur 7 tahun, dan pukullah mereka ketika berumur 10 tahun. Pisahkanlah mereka dalam tempat tidurnya” (H. R Abu Daud)

4. Orang tua mendidik anak untuk mencintai Nabi dan keluarganya

قال رسول الله ص.م: أَدّبُوْ أَوْلاَدَكُمْ عَلىَ ثَلاَثِ خِصَالٍ حُبّ نبَِيِّكُمْ وحبّ اَلِ بَيْتِهِ وَتِلاَوَةِ القُرْأَنِ (الطبراني)

“Rasulullah bersabda, didiklah anak-anak kalian atas 3 perkara; mencintai nabi, mencintai keluarga nabi, dan mencintai membaca Al-Qur’an”. (H.R. al- Tabrani)

5. Orang tua harus mengajarkan keberanian kepada anaknya

قال عمر ابن الخطاب: عَلِّمُوْا أَوْلاَدَكُمْ السِّبَاحَةَ وَالرّمَايَةَ ومُرُوْهُمْ فَليثيبُوْا عَلىَ ظُهُوْرِالخَيلِ وَثبًا )البيهقي(

“Umar bin Khatab berkata “Ajarkanlah anak-anak kalian berenang, memanah, dan perintahlah mereka agar pandai menunggang kuda” (H.R Baihaqi)

Anak adalah amanat dari Allah swt. Konsekuensinya bahwa amanat itu mesti di jaga. Salahsatu bentuk menjaga dan memelihara anak sebagai amanat Allah adalah mendidiknya. Ironisnya, sekarang para orang tua menilai bahwa pendidikan anaknya adalah tanggungjawab guru di sekolah. Padahal pertemuan anak didik dengan pendidiknya di sekolah terbatas oleh waktu. Oleh karena itu dalam islam, orang tua tidak bisa berlepas tangan dari tanggungjawab mendidik anaknya. Orang tua adalah pendidik pertama. Hal ini dicontohkan ketika anak dalam kandungan islam mengajarkan agar banyak membacakan surat Yusuf misalnya, atau ketika lahir diadzani dan diqomati. Bagaimana masa depan seorang anak akan terkait dengan pendidikan yang diberikan orang tuanya. Anak bisa menjadi orang yang saleh atau salah tergantung perhatian orang tua terhadap pendidikan yang diberikan kepada anaknya. Hal ini senada dengan hadis nomor satu.
Realisasi orang tua sebagai pendidik utama dan pertama bagi anaknya adalah melalui cara mendidik anaknya dengan ilmu-ilmu yang bermanfaat, yaitu:
1. Pendidikan tentang ibadah, yang diwakili oleh hadis nomor tiga
2. Sejarah dan kecintaan terhadap Rasulullah, yang diwakili oleh hadis nomor empat
3. Pendidikan tentang akidah yang benar, diwakili oleh hadis nomor satu
4. Pendidikan tentang tanggungjawab untuk melaksanakan kewajiban dan menghargai hak orang lain, dua
5. Pendidikan yang menumbuhkan keberanian dan kesehatan, diwakili oleh hadis nomor lima.

Tentu bukan hanya sekedar itu, karena cakupan ilmu itu luas. Namun jika kita perhatikan, kelima hadis tersebut bersentuhan langsung dengan kewajiban orang tua untuk mendidik anaknya. Indikasinya, dalam hadis tesebut menyinggung-nyinggung kataأَوْلاَدَ atau َأَبَوَاه . dan kelima hadis tersebut nampaknya sudah mewakili tiga komponen jenis pendidikan yang dikembangkan pakar pendidikan barat bernama Bloom, yaitu kognitif, afektif, dan psikomotorik.

Hadits lain tentang hal pendidikan anak

وعن ابن عبا س رضي الله تعلا عنها انه قال : للعلماء درجات فوق درجاة المؤمنين بسبعما ئة درجا ت. ما بين الد رجتين خمسا ما ئة سنة. يقا ل: الئلم افضل من الئمل بخمسة او جة : الاول الئلم بغير عمل يكون والئمل بغير علم لا يكون. و الثا ني الئلم بغير عمل ينفع والئمل بغير علم لا ينفع. والثا لث الئملل لازم والئمل صفة الئباد. والصفة الله افضل من صفة الئباد. (اخرجه درة الناصحين) (رواه احمد)
“Dari Ibnu Abbas RA berkata: bagi orang-orang yang berilmu (ulama) beberapa derajat diatas derajat orang mukmin dengan berbanding 700 derajat. Antara derajat yang satu dengan yang lain mencapai 500 tahun dikatakan: “ilmu lebih utama dari amal melalui 5 sistem: 1) Ilmu tanpa amal pun tetap ada, dan amal tanpa ilmu tak akan bisa, 2) Ilmu tanpa amal bisa manfaat, dan amal tanpa ilmu tak ada manfaatnya, 3) Amal adalah permistian, dan ilmu yang menerangi seperti lampu, 4) Ilmu adalah ucapan para nabi, 5) Ilmu adalah sifat Allah, dan amal adalah sifatan hamba, sementara sifat Allah lebih utama dari sifatan Hamba”. (Durrotun Nasihin) (H.R. Ahmad)‎

وقال ابن مسعود رضي الله عنه : عليكم بالئلم قبل ان يرفع ور فعه موت رءاته فوالذي نفس بيده ليعدن رجا ل قتلوا في سبيل الله شهداء انتبشهم الله علماء لما يرون من كرا مثهم فان احدا لم يعلد عا لما وانما الئلم باالتعلم. (رواه الترمذ)‎

“Ibnu Mas’ud RA berkata: kalian mesti berilmu (menguasai ilmu) sebelum mati menjemput. Maka demi “dzat” yang menguasai diri yang menyayangi seseorang yang meninggal di jalan Allah dengan mati syahid. Sesungguhnya Allah akan membangkitkannya (ulama) karena kemuliaannya. Sesungguhnya seorang dilahirkan tanpa ilmu dan ilmu bisa di dapat melalui dipelajari”. (H.R. Tirmidzi)

حدثنا سعيد بن عفير قال: حدثنا ابن وهب، عن يونس، عن ابن شهاب قال: قال حميد بن عبد الرحمن: سمعت معاوية خطيبا يقول:

سمعت النبي صلى الله عليه وسلم يقول: (من يرد الله به خيرا يفقهه في الدين، وإنما أنا قاسم والله يعطي، ولن تزال هذه الأمة قائمة على أمر الله، لا يضرهم من خالفهم، حتى يأتي أمر الله).

Hamid bin Abdirrahman berkata, aku mendengar Muawwiyah berkata, aku mendengar Rasulullah saw Bersabda:” Barangsiapa yang dikehendaki oleh Allah menjadi orang yang baik, maka Allah akan memberikan kepadanya pengetahuan dalam Agama, sesungguhnya aku adalah orang yang membagi sementara Allah adalah sang pemberi, umat ini tidak akan pernah berhenti menegakkan perintah Allah, dan tidak akan medhoroti mereka, orang-orang yang menentangnya sampai datang hari kiamat.

 (HR. Bukhori, Bab Siapapun yang dikehendaki Allah menjadi baik, maka Allah pahamkan ia dalam masalah agama).

Hadis di atas menerangkan kepada kita bahwa kehendak Allah untuk menjadikan kita baik,itu digantungkan dengan kepahaman kita menyangkut agama. Ilmu agama adalah ilmu yang berkaitan dengan akhlak, maka dengan semakin tinggi pemahaman seseorang terhadap masalah agama maka akan semakin baik pula akhlak dan perilakunya yang puncaknya bisa mengantarkannya menjadi orang yang takut kepada Allah semata. Kalau dewasa ini kita sering melihat seseorang yang dalam pengetahuan agamanya namun dia justeru makin tenggelam dalam kesesatan, itu dikarenakan ia salah dalam mengaplikasikan ilmunya. Dia hanya pandai beretorika namun hampa dari pengamalan. Imam Ali Karramallahu Wajhah pernah berkata,” Bahwa yang dikatakan orang Alim bukanlah orang yang banyak ilmunya, namun yang dinamakan orang alim adalah orang yang bias mengamalkan ilmunya.” Rasulullah memberikan peringatan kepada kita dengan sabdanya “ barangsiapa makin tambah ilmunya namun tidak bertambah hidayahnya, maka ia semakin bertambah jauh dari Allah swt.” Bahkan Allah dengan tegas mengatakan bahwa yang disebut ulama hanyalah orang yang takut kepadaNya semata.” Innama Yakhsyallaha min ibaadihil ulamaa’.”

Jadi hadis di atas harus dipahami bahwa orang yang dapat mengamalkan ilmu agamanya itulah orang yang dikehendaki Allah menjadi baik.

عن ابي درداء قال: سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول: فضل العا لم على العابد كفضل القمر على الكو كب، وانما االعلماء ورثة الآ نبياء, وان الآ نبياء لم يورثوا دينارا ولادرهما، انما ورثوالعلم، فمن اخده اخد بحظ وكفر (رواه ابو داود والتر مذى)‎

“Dari Abi Darda ia berkata: Saya mendengar Rasulullah SAW beliau bersabda: keutamaan orang alim dibanding ahli ibadah adalah seperti keutamaan bulan dibanding bintang-bintang, sesungguhnya para ulama itu pewaris para Nabi, dan sesungguhnya para Nabi tidak mewariskan dinar dan tidak pula dirham, sesungguhnya mereka mewariskan ilmu, maka barang siapa mengambil warisan itu berarti ia mengambil bagian yang sempurna”. (H.R. Abu Daud dan Tirmidzi).

عن ابى هريرة رضى الله عنه ان رسول الله قال: ومن سلك طريقا يلتمس فيه علما سهل الله له طريقا الى الجنة (رواه مسلم)‎

“Dari Abu Hurairah RA Rasulullah SAW bersabda: Dan barang siapa menjalani akan suatu jalan, untuk mencari ilmu pengetahuan, maka Allah akan memudahkan baginya jalan menuju syurga”. (H.R. Muslim)‎

عن ابن مسعود رضي الله عنه قال سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول: من تعلم با با من العلم ليعلم الناس اعطي ثواب سبعين صديقا (رواه ابو داود)‎

“Ibnu Mas’ud RA berkata: Saya mendengar Rasulullah SAW bersabda, Barang siapa yang mempelajari satu bab dari ilmu dengan tujuan untuk menyampaikan kepada umat manusia, maka ia diberi pahala seperti tujuh puluh sodikin”. (H.R. Abu Daud)

عن انس بن مالك رضي الله عنه ان النبي صلى الله عليه وسلم قال: اطلب العلم ولو باالصين، فان طلب العلم فريضة على كل مسلم، ان الملا ئكة تضع اجنتها الطا لب العلم رضا بما يطلب (رواه ابن عبد البر)‎

“Dari Anas bin Malik RA sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda: carilah ilmu meskipun di negeri Cina, karena sesungguhnya menuntut ilmu adalah fardu / wajib bagi setiap muslim, sesungguhnya malaikat meletakkan sayap-sayapnya bagi orang yang menuntut ilmu karena rela terhadap apa yang ia tuntut”. (H.R. Ibnu Abdil Bar)

وعن امامة رضي الله عنها قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: اقرب الناس من درجة النبوة اهل العلم والجهاد، اما اهل العلم فد لعا الناس على ما جاءت به الرسول واما اهل الجهاد فجاهدوا باسيا فهم على ما جاءت به الرسل (رواه درقطن)‎

“Dari Umamah RA ia berkata: Rasulullah SAW bersabda: orang paling dekat derajatnya dari para Nabi ialah ahkul ilmi (yang berilmu) dan pejuang, jika orang yang berilmu memberi petunjuk pada manusia melalui apa yang datang dari Rasul (ilmu), dan kalau pejuang berjuanglah dengan pedangnya, seperti yang ditunjukkan Rasul”. (H.R. Daruqutni)

وعن معاوية رضي الله عنها قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : من ارادا الدنيا فعليه با العلم ومن اردالا خرة فعليه با العلم ومن ارد هما فعليه با العل (رواه الدار قطنى)‎

“Dari Mu’awiyah RA ia berkata: Rasulullah SAW bersabda: Barang siapa menginginkan (kebahagiaan) duniawi maka dia harus (mempunyai ilmu) dan barang siapa yang (menginginkan) kebahagiaan akhirat, maka dia harus mempunyai ilmu, dan barang siapa yang menginginkan keduanya maka harus mempunyai ilmu”. (H.R. Daruqutni)

Pentingnya Niat Dalam Mencari Ilmu‎

عن امير المؤمنين ابى حفص عمربن الخطاب رضي الله تعالى عنه قال سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول: انما الاعمال با النيات وانما لكل امرء ما نوى فمن كا نت هجرته الى الله ورسوله فحجرته الى الله ورسوله ومن كا نت هجرته لدنيا يصيبها اومرأة ينكحها فهجرته الى ما ها جر اليه  (رواه شيخين)‎

“Dari Amirul mu’minin Abi Hapsin, Umar bin Khatab RA ia berkata: Saya mendengar Rasulullah SAW beliau bersabda: Sesungguhnya syah atau tidaknya suatu amal (perbuatan taat) tergantung pada niat, dan bagi tiap orang punya niat, maka barang siapa yang niatnya hijrah menuju Allah dan Rasulnya maka ia akan hijrah pada Allah dan Rasulnya, dan bagi yang niatnya hijrah menuju dunia, akan sampai pada dunia, atau pada wanita maka ia akan menikahinya, alhasil hijrahnya seseorang tergantung apa yang di tujunya”. (H.R. Bukhari Muslim)

وعن رسول الله صلى الله عليه وسلم : كم من عمل يتصد ر بصورة اعمال الدنيا ويسير بحسن النية من اعمال الأخرة، وكم من عمل يتصدر بصورة اعمال الأخرة ثم يصير من اعمال الدنيا بسؤ النية  (حديث حسن صحيح)‎

 “Dari Rasulullah SAW: beberapa amal yang berupa amal dunia, tetapi dengan baik niatnya akhirnya menjadi amal akhirat, dan banyak pula yang berupa amal akhirat kemudian jadi amal dunia karena jelek niatnya”. (Hadits Hasan)

Peserta Didik Harus Dihormati
1. Memberikan kemudahan kepada peserta didik
 
عَنْ أَنَسٍ عَنِ النَّبِيِ ص.م قال: يَسَّرُوْا وَلاَ تُعًسِّرُوْا وَبَشِّرُوْا وَلاَ تُنَفِّرُوْا )البخارى(
 
Dari Anas, dari Nabi saw beliau bersabda:”mudahkanlah dan jangan dipersulit, gembirakanlah dan jangan membuat mereka takut”. (H.R Bukhari)
2. Memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk bisa mengulang pelajaran
 
عَنْ أَنَسٍ عَنِ النّبي ص.م: أَنّهُ كان إِذا سَلّمَ سَلّمَ ثلاثاً وِإذَا تَكَلّمَ بِكَلِمَةٍ أعادها ثَلاَثًا )البخارى(
 
Dari Anas, dari Nabi saw: ” apabila beliau mengucapkan salam, beliau mengucapkan salam tiga kali, dan apabila beliau mengucapkan satu kalimat, maka beliau mengulangnya tiga kali”.( HR Bukhari)
3. Memperlakukan peserta didik dengan penuh kasih sayang
 
عَنْ عَائِشَةَ رضي الله عنها: قال رسول الله ص.م:……….ياَعَائِشَةُ عَلَيْكِ باِلرِّفْقِ وَإيّاك وَالْعَنْفَ وَالْفَحْشَ (البخاري)
 
Dari ‘Aisyah r.a: Rasulullah saw bersabda: …..Ya ‘Aisyah hendaklah kamu bersikap kasih sayang dan hati-hatilah terhadap sikap kejam dan keji”.(H.R Bukhari)
4. Peserta didik harus diarahkan kepada kebenaran jika melakukan kesalahan
 
قال رسول الله ص.م:ياَغُلاَمُ سَمِّ اللهَ وَكُلْ بِيَمِيْنِيْكَ وَكُلْ مِمَّا يَلِيْكَ (البخاري والمسلم)
 
Rasulullah saw bersabda: “Hai anak, sebutlah nama Allah (sebelum makan) dan makanlah dengan tangan kanan serta makanlah dulu apa yang ada di dekatmu”. (H.R Bukhari dan Muslim)
5. Peserta didik harus didik sesuai usia dan kemampuan mereka
 
قال رسول الله ص.م: اَدِّبُوْا اَوْلاَدَكُمْ بِقَدْرِ عُقُوْلِهِمْ (الحديث)

Rasulullah saw bersabda: “Didiklah anak-anakmu sesuai dengan kemampuan akal mereka”. (al-Hadis)

Faktor keberhasilan pendidikan atau pembelajaran, salahsatunya ditentukan oleh kesiapan anak didik dalam menerima materi. Peserta didik mampu menerima materi pembelajaran apabila suasana dan kondisi anak siap menerima materi. Untuk menyiapkan peserta didik agar bisa menerima materi ini, perlu dibangun suasana yang membuat peserta didik nyaman dan merasa dihargai. Dan hal itu akan terkait dengan metode dan prinsip penyampaikan bahan ajar yang diunakan oleh pendidik. Ada empat hal yang perlu diperhatikan dalam rangka menciptakan kondisi nyaman bagi peserta didik, sehinga pembelajaran bisa efektif.

Pertama, hendaknya guru memberikan kemudahan kepada murid agar mereka dapat memahami materi yang disampaikan. Hal ini termaktub dalam hadis kesatu.

Kedua, memberikan kesempatan kepada peserta didik agar bisa mengulangi pelajaran. Seperti ynag dijelaskan dalam hadis ketiga.

Keempat, jika ada kesalahan atau kekurangan pada peserta didik, hendaklah guru tersebut mengarahkannya kepada hal yang benar. Hal ini seperti yang dikisahkan dalam hadis nomor empat. Pada saat itu ada seorang anak yang hendak makan tangannya kesana-kemari dan tidak sopan, Rasul yang saat itu hadir disana menegurnya, kemudian memerintahkan kepada anak tersebut untuk makan dengan tangan kanan dan dimulai dari makanan yang paling dekat dengannya.

Kelima, materi yang diberikan sesuai dengan tingkatan usia atau daya nalar peserta didik. Hal ini diterangkan dalam hadis kelima.
Pendidikan Merupakan Tanggungjawab Bersama
1. Semua orang wajib menuntut ilmu
 
عن أبي هريرة ، رضي الله عنه قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيْضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ (ابن ماجه)

Dari Abu Hurairah r.a berkata: Rasulullah saw bersabda: “Menuntut ilmu merupakan kewajiban setiap Muslim”. (H.R Ibnu Majah)

2. Semua pihak harus saling membantu dalam pelaksanaan pendidikan

عَنِ النُّعمانِ بن بشيرٍ ، عنِ النَّبيِّ - صلى الله عليه وسلم - ، قال : مَثَلُ المُؤْمِنِيْنَ فيِ تَوَادِّهِمْ وَتَرَاحُمِهِمْ وَتَعَاطُفِهِمْ كَمَثَلِ الجَسَدِ ، إذا اشْتَكَى مِنْهُ عُضْوٌ ، تَدَاعَى لَهُ سَاَئرُ الجَسَدِ باِلحُمَّى وَالسَّهْرِ . ( لمسلم)
 
Dari Nu’man bin Basyir, dari Nabi saw bersabda: “perumpamaan orang-orang mu’min dalam saling menyayangi, saling mengasihi, dan berlemah lembut, seperti satu tubuh. Jika satu bagian sakit, maka bagian yang lainnya merasakan sakit dengan panas dan demam”.(H.R Muslim)

3. Semua pihak bisa terlibat dalam penyelenggaraan pendidikan sesuai kapasitasnya

عن ابن مسعود, عن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال:اغد عالما أو متعلما أو محبا أو مستمعا ولا تكن الخامس فتهلك (الحديث)

Dari Ibnu Masud, dari Rasulullah saw bersabda: “Jadilah pengajar, ataupun pelajar, pendengar, dan pencinta (ilmu) tetapi janganlah menjadi yang kelima, maka nanti kamu bisa celaka”. (al-Hadis)

4. Masyarakat bisa berperan dalam pendidikan sebagai seorang pengajar walaupun hanya dengan meluruskan sebuah kesalahan

عَنْ أَبِي سَعِيد الْخُدْرِيِّ قَالَ : سَمِعْت رَسُول اللَّه صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُول " مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ ، وَذَلِكَ أَضْعَف الْإِيمَان " (مُسْلِم)

Dari Abu Sa’id Khudriyi berkata: Saya mendengar Rasulullah saw bersabda: “Barang siapa yang melihat sebuah kemungkaran, maka rubahlah dengan tangan (kekuasaan)nya, jika tidak mampu, rubahlah dengan lisannya, jika tidak mampu, rubahlah dengan hatinya, itulah selemah-lemahnya iman”. (H.R Muslim)

5. Masyarakat bisa berperan dalam pendidikan dengan berperan sebagai donatur

قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: جاَهِدُواالمُشْرِكِيْنَ بِأَمْوَالِكُمْ وَأَنْفُسِكُمْ وَأَلْسِنَتِكُمْ (النسائ)

Rasulullah saw bersabda: “Berjihadlah kamu melawan kemusyrikan (termasuk kebodohan) dengan harta, jiwa, dan lidahmu”. (H.R an-Nasai)

Pendidikan adalah ujung tombak pemberdayaan sumber daya manusia. Baik tidaknya penyelenggaraan pendidikan akan berpengaruh terhadap kemajuan sebuah negara. Konsekuensi dari hal tersebut bahwa semua pihak bertanggungjawab atas pendidikan. Hadis pertama di atas tentang kewajiban menuntut ilmu bagi setiap pribadi muslim merupakan indikasi akan hal ini. Begitu sentralnya peran masyarakat dalam pendidikan sehingga Rasul memberikan opsi pilihan sejauhmana potensi kita terlibatdalam penyelenggaraan pendidikan. Nabi saw menyataan kita bisa terlibat sebagai pengajar, peserta didik, pendengar atau mungkin pencinta ilmu yang disesuaikan dengan kemampuan masing-masing.

Masyarakat bisa terlibat dalam dunia pendidikan sebagai pendidik walaupun hanya membenarkan kesalahan yang dilakukan seseorang atau kelompok, dan itupun sesuai potensi dan kemampuan kita baik dengan cara diplomasi, aksi atau bahkan dengan nurani.

Keterlibatan masyarkat sebagai peserta didik juga merupakan bagian dari dukungan terhadap dunia pendidikan. Dan peran ini yang mutlak bisa dilakukan oleh setiap muslim yang diindikasikan dengan perintah kewajiban untuk mencari ilmu bagi setiap orang.

Jika tidak bisa berperan lansung dalam proses pembelajaran, maka masyarakat bisa berperan sebagai pendudukang kegiatan pendidikan. Perannya bisa sebagai pendegar, dalam hal ini penulis istilahkan pendengar dalam hadis tesebut sebagai pengawas dalam proses pendidikan. Hal ini sesuai dengan hadis Rasul nomor dua yang menyatakan gambaran keindahan kehidupan mastarakat muslin adalah saling tolong (banu) dalam setiap kegiatan mereka, terutama dalam hal pendidikan. Atau mungkin bisa berperan sebagai donatur. Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa permasalahan dana juga sangat berpengaruh dalam pendidikan. Oleh karena itu Rasul menyatakan sumbangan dana bagi pendidikan juga bisa dinilai sebagai jihad melawan kemusyrikan, sebab kemusyrikan muncul dikarenakan kebodohan tentang ajaran islam.

Kelima hadis sejalan dengan Undang-undang nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU SNP) Bab XV yang menyebutkan:

1) Peran serta masyarakat dalam pendidikan meliputi perseorangan, kelompok, keluarga, oranisasi profesi, pengusaha, dan organisasi kemasyarakatan dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu pelayanan pendidikan.
2) Masyarakat dapat berperan serta sebagai sumber, pelaksana, dan pengguna hasil pendidikan.

Pendidikan Agama Harus Diperhatikan

1. Pentingnya pendidikan shalat (ibadah)

عنْ ابْنِ عُمَروَابْنِ العْاَصِ قال: قال رَسولُ الله ص.م: مُرُوْا أََوْلاَدَكُمْ باِلصَّلاةِ وَهُمْ أَبْنَاء سَبْعَ سِنِيْنِ وَاضْرِبُوْهُمْ عَلَيْهَا وَهُمْ أَبْنَاء عَشْر وَفَرقوُاْ بَيْنَهُمْ فىِ المَضَاجِعِ )أبو داود(

Dari Ibnu ‘Amr bin Ash, ia berkata: Rasulullah bersabda “Perintahkanlah anak-anak kalian shalat ketika berumur 7 tahun, dan pukullah mereka ketika berumur 10 tahun. Pisahkanlah mereka dalam tempat tidurnya” (H. R Abu Daud)
2. Pentingnya pendidikan al-Qurân
 
عن عثمان أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: خَيْركُمْ مَنْ تَعَلَّمَ الْقُرْآن وَعَلَّمَهُ )الْبُخَارِيُّ وَالتِّرْمِذِيُّ وَالنَّسَائِيُّ وَابْنُ مَاجَهْ (

Dari Usman, bahwasannya Rasulullah saw bersabda: “Sebaik-baik kamu adalah orang yang belajar al- Qurân dan mengajarkannya”. (H.R Bukhari, Turmudzi, al-Nasai, dan Ibnu Majah)
3. Pentingnya pengetahuan agama islam untuk menjaga fitrah manusia
 
عن أبى هُرَيْرَةَ رَضِيَّ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ النَّبِىُّ صلى الله عليه وسلم: كُلُّ مَوْلُودٍ يُولَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ، فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ، أَوْ يُنَصِّرَانِهِ، أَوْ يُمَجِّسَانِهِ (الْبُخَارِيّ وَمُسْلِم)

Dari Abu Hurairah berkata: Nabi saw bersabda: “Setiap yang lahir, dilahirkan dalam keadaan fitrah (suci). Maka orang tuanyalah yang menentukan apakan dia menjadi seorang Yahudi, Nasrani, atau Najusi” (H.R Bukhari dan Muslim)
4. Pentingnya pendidikan tentang etika pergaulan
 
عن أَنَسِ بنِ مالك قال : جَاءَ شَيْخٌ يُرِيْدُ النَِّبيَّ صلى الله عليه و سلم فَأَبْطَأَ القَوْمُ عَنْهُ أَنْ يُوَسِّعُوْا لَهُ لَيْسَ ِمنّا مَنْ لمَ ْيَرْحَمْ صَغِيْرَنا وَيُوَقِّرْ كَبِيْرَنَا (التِّرْمِذِيُّ)

Dari Anas bin Malik berkata: Seorang laki-laki tua ingin bertemu dengan Rasul, tetapi orang-orang tidak mau melapangkan jalan baginya. Maka Rasulpun bersabda: “Bukan termasuk umat kami, orang yang tidak mencintai yang lebih muda dan tidak menghormati yang lebih tua”. (H.R Turmudzi)

5. Pentingnya ilmu agama tentang keindahan dan kebersihan

عن عبد الله بن مسعود قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : إِنّ اللهَ جَمِيْلٌ يُحِبُّ الجَمَالَ

(رواه مسلم)

Dari abdullah bin mas’ud berkata: Rasulullah s.a.w. bersabda:“sesungguhnya Allah itu maha indah dan menyukai keindahan”. (H.R. muslim)

6. Ilmu agama merupakan kunci kesuksesan dunia dan akhirat
 
من اراد الدّنيا فعليه بالعلم و من اراد الاْخرة فعليه بالعلم ومن اراد هما فعليه بالعلم (الحديث)

“Barang siapa yang mengiginkan dunia (kebagiaan hidup di dunia), maka hendakalah ia menguasai ilmunya, dan barang siapa yang menghendaki akhirat (kebahagiaan hidup di akhirat), hendakalah ia menguasai ilmunya, dan barang siapa yang menghendaki keduanya (dunia dan akhirat), hendakalah ia menguasai ilmunya”. (hadits Nabi)

Sebenarnya tidak ada istilah ilmu agama dan ilmu umum dalam islam, sebab semua ilmu sumbernya dari Allah yang ditulis dalam al-Qurân, digambarkan di alam, dan dijelaskan oleh Sunah Nabi saw. Tetapi pesatnya ilmu pengetahuan dan teknologi yang dikembangkan barat membuat manusia terlena dan cenderung melupakan ilmu yang sifatnya petunjuk ibadah, baik ibadah secara vertikal maupun horizontal. Padahal tujuan penciptaan manusia adalah untuk beribadah kepada penciptanya.

Pentingnya pendidikan agama ini, terkait dengan apa yang harus diajarkan dan apa hikmahnya harus diajarkan. Terakit dengan apa yang harus diajarkan tentu tidak lepas dari sifat ibadah yang dilakukan manusia itu sendiri. Pertama, yang diajarkan tentu ilmu agama yang sifatnya ‘ubudiyah (ibadah vertikal). Hadis tentang perintah mengajarkan salat dan belajar al- Qurân di atas merupakan bagian dari ilmu yang harus diajarkan dalam rangka mendukung tugas manusia di dunia ini. Sehingga begitu pentingya mengajarkan salat, usia 10 tahun harus diberi sanksi jikaxsi anak masih main-main dengan salatnya. Pentingnya belajar tentang al- Qurân ditandai dengan keharusan untuk mengajarkannya, bahkan orang yang mempelajari kitab suci kita ini disebut sebagai sebaik-baiknya orang muslim. Kedua, tentu terkait dengan ilmu agama masalah mu’amalah secara umum atau ibadah secara horizontal. Hal ini diisyaratkan dengan hadis nomor empat dan lima, yang terkait dengan etika pergaulan dan perlunya menjaga kebersihan dan keindahan.

Pemberian pendidikan agama sebenarnya untuk kebaikan umat muslim sendiri, karena ilmu agama dalam rangka menjaga fitrah manusia dalam seperti yang disebutkan hadis nomor tiga, dan dalam rangka mengantarkan mausia untuk mencapai cita-citanya seperti digambarkan hadis keenam di atas.‎
Wallohul Muwaffiq Ila Aqwamith Thoriq‎

Doa Nabi Sulaiman Menundukkan Hewan dan Jin

  Nabiyullah Sulaiman  'alaihissalam  (AS) merupakan Nabi dan Rasul pilihan Allah Ta'ala yang dikaruniai kerajaan yang tidak dimilik...