Jumat, 27 November 2020

Penjelasan Tentang Malaikat Maut 'Alaihissalam


Bagian dari prinsip yang penting untuk selalu kita perhatikan, tidak boleh berbicara masalah ghaib, kecuali ada bukti dari wahyu. Tanpa bukti wahyu, kita termasuk berbicara atas nama Allah tanpa dalil.

Dulu musyrikin meyakini bahwa Malaikat itu berjenis kelamin wanita. Allah mengingkari keyakinan ini, karena mereka tidak punya bukti dalil.

Allah berfirman,

وَجَعَلُوا الْمَلَائِكَةَ الَّذِينَ هُمْ عِبَادُ الرَّحْمَنِ إِنَاثًا أَشَهِدُوا خَلْقَهُمْ سَتُكْتَبُ شَهَادَتُهُمْ وَيُسْأَلُونَ

“Mereka menjadikan malaikat-malaikat yang mereka itu adalah hamba-hamba ar–Rahman sebagai orang-orang perempuan. Apakah mereka menyaksikan penciptaan malaika-malaikat itu? Kelak akan dituliskan persaksian mereka dan mereka akan dimintai pertanggung-jawaban.” (QS. az-Zukhruf: 19).

Ketika kita berbicara tentang Malaikat tanpa dalil, Allah akan catat keyakinan itu dan kelak di hari kiamat kita akan ditanya dan dimintai pertanggung jawaban.‎

Kita meyakini adanya malaikat pencabut nyawa. Malaikat maut. Dan ini bagian dari aqidah kaum muslimin yang Allah ajarkan dalam al-Quran maupun sunah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Allah berfirman,

قُلْ يَتَوَفَّاكُمْ مَلَكُ الْمَوْتِ الَّذِي وُكِّلَ بِكُمْ ثُمَّ إِلَى رَبِّكُمْ تُرْجَعُونَ

Katakanlah: “Malaikat maut yang diserahi untuk mencabut nyawa kalian, kemudian hanya kepada Tuhanmulah kamu akan dikembalikan.” (QS. as-Sajdah: 11).

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menceritakan proses kematian hhamba yang beriman. Beliau mengatakan,

ثُمَّ يَجِىءُ مَلَكُ الْمَوْتِ عَلَيْهِ السَّلاَمُ حَتَّى يَجْلِسَ عِنْدَ رَأْسِهِ فَيَقُولُ أَيَّتُهَا النَّفْسُ الطَّيِّبَةُ اخْرُجِى إِلَى مَغْفِرَةٍ مِنَ اللَّهِ وَرِضْوَانٍ

Kemudian datanglah Malaikat maut ‘alaihis salam. Dia duduk di samping kepalanya, dan mengatakan, “Wahai jiwa yang baik, keluarlah menuju ampunan Allah dan ridha-Nya.” (HR. Ahmad 18543, Abu Daud 4753, dishahihkan Syuaib Al-Arnauth).

Yang menjadi pertanyaan, apakah Malaikat maut yang bertugas mencabut nyawa itu bernama Izrail?

Kematian adalah sesuatu yang pasti menimpa siapapun manusia di dunia, yang mukminnya ataupun yang munafik atau yang kafirnya, ulamanya ataupun kaum awamnya, lelaki ataupun perempuannya, yang mudanya ataupun yang tuanya, kaum kayaknya ataupun miskinnya, golongan pejabat ataupun rakyat jelatanya dan selainnya, niscaya mereka semuanya akan mengalami kematian. Hal tersebut sebagaimana yang telah banyak di alami oleh umat-umat terdahulu dan sekang ini, dan juga pernah dialami oleh seorang shahabat dari golongan Anshor yang diselenggarakan penguburannya oleh Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam dan para shahabat radliyallahu anhum, sebagaimana persaksian al-Barra’ bin ‘Azib radliyallahu anhu di dalam pembahasan dari hadits terdahulu.

Hal inipun didukung oleh beberapa dalil berikut ini,

تَبَارَكَ الَّذِى بِيَدِهِ اْلمـُلْكُ وَ هُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ الَّذِى خَلَقَ اْلـمَوْتَ وَ اْلحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا وَ هُوَ اْلعَزِيزُ اْلغَفُورُ

 Maha berkah Allah, yang di tangan-Nyalah segala kerajaan, dan Dia Maha kuasa atas segala sesuatu. Yang menciptakan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha perkasa lagi Maha pengampun. [QS. Al-Mulk/ 67: 1-2].

Ayat di atas dengan jelas menerangkan bahwasanya Allah Subhanahu wa ta’ala telah menciptakan mati dan hidup. Jika Allah Azza wa Jalla telah menciptakan kehidupan bagi seorang manusia, maka Ia juga akan menciptakan kematian baginya. Maka kematian adalah sesuatu yang dipastikan akan dimiliki oleh setiap makhluk hidup sebagaimana Allah Jalla wa Ala pernah memberikan kehidupan kepadanya. Sebab setiap yang memiliki jiwa niscaya akan merasakan kematian, meskipun ia berusaha dengan maksimal dan optimal untuk selalu menjauhi dan menghindarinya. Kendatipun ia berada di dalam benteng kuat yang tak mudah dihancurkan senjata canggih apapun yang dijumpai di muka bumi, bungker kokoh yang keberadaannya sangat tersembunyi, istana megah yang diawasi oleh ribuan penjaga perkasa tak tertandingi namun tetap kematian itu akan datang menemui dan menghampirinya tiada peduli. Hal ini berdasarkan beberapa dalil berikut ini,

وَ مَا جَعَلْنَا لِبَشَرٍ مِّن قَبْلِكَ اْلخُلْدَ أَفَإِين مِّتَّ فَهُمُ اْلخَالِدُونَ

Kami tidak menjadikan hidup abadi bagi seorang manusiapun sebelum kamu (Muhammad). Maka jikalau kamu mati, apakah mereka akan kekal?. [QS al-Anbiya’/21: 34].

 كُلُّ نَفْسٍ ذَآئِقَةُ اْلمـَوْتِ

 Setiap yang berjiwa akan merasakan mati. [QS. Ali Imran/3: 185, al-Anbiya’/21: 35 dan al-Ankabut/29: 57].

مَا تَسْبِقُ مِنْ أُمَّةٍ أَجَلَهَا وَ مَا يَسْتَئْخِرُونَ

 Tidak ada suatu umatpun yang dapat mendahului ajalnya, dan tidak (pula) dapat mengundurkan(nya). [QS al-Hijr/ 15: 5].

 قُلْ إِنَّ اْلمـَوْتَ الَّذِي تَفِرُّونَ مِنْهُ فَإِنَّهُ مُلَاقِيكُمْ ثُمَّ تُرَدُّونَ إِلَى عَالِمِ اْلغَيْبِ وَ الشَّهَادَةِ فَيُنَبِّئُكَمْ بِمَا كُنتُمْ تَعْلَمُونَ

Katakanlah, Sesungguhnya kematian yang kalian lari darinya, sesungguhnya kematian itu akan menemui kalian, kemudian kalian akan dikembalikan kepada Allah, Yang mengetahui keghaiban dan yang nyata. Lalu Ia akan beritakan kepada kalian apa yang kalian telah kerjakan. [QS. Al-Jumu’ah/62: 8].

أَيْنَمَا تَكُونُوا يُدْرِككُّمُ اْلمـَوْتُ وَ لَوْ كُنتُمْ فِى بُرُوجٍ مُّشَيَّدَةٍ

 Di mana saja kamu berada, kematian akan mendapatkan kamu, kendatipun kamu berada di dalam benteng yang tinggi lagi kokoh. [QS. An-Nisa’/ 4: 78].

Dan masih banyak lagi ayat-ayat yang semakna di dalam alqur’an bahwasanya setiap yang berjiwa akan merasakan kematian dan ketidak-abadian. Karena keabadian itu hanya ada di hari kiamat kelak, di dalam surga dengan segala kenikmatannya atau di dalam neraka dengan segala kesengsaraanya. Apakah kematian yang merenggut nyawanya itu karena penyakit yang menimpanya, kecelakaan kendaraan atau pesawat yang ditumpanginya, terbenam dalam kubangan air yang menenggelamkannya, teruruk dalam bongkahan-bongkahan tanah yang menguburnya, terbakar oleh api yang mengepungnya, terbunuh oleh lawan yang berseteru dengannya ataupun dengan sebab-sebab lainnya.

Setiap manusia meskipun ia takut mati sehingga ia hanya berdiam diri di rumahnya dalam rangka menghindar dari kematian maka jikalau telah ditentukan kematian kepadanya niscaya ia akan mendatangi tempat dimana ia akan mati di tempat tersebut dan akan tertimpa sesuatu peristiwa yang menyebabkan kematian yang telah ditentukan baginya. Hal ini sebagaimana telah diungkapkan oleh Allah Azza wa Jalla di dalam ayat berikut,

قُلْ لَّوْ كُنتُمْ فِى بُيُوتِكُمْ لَبَرَزَ الَّذِينَ كُتِبَ عَلَيْهِمُ اْلقَتْلُ إِلَى مَضَاجَعِهِمْ

Katakanlah, “Sekiranya kamu berada di rumahmu, niscaya orang-orang yang telah ditakdirkan akan mati terbunuh itu keluar (juga) ke tempat mereka terbunuh”. [QS Alu Imran/ 3: 154].

Berkata asy-Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jaza’iriy hafizhohullah, “Terdapat penetapan akan dasar qodlo dan qodar Allah. Bahwa orang yang telah ditetapkan kematian baginya di suatu tempat maka ia pasti akan mati di tempat tersebut”. ‎

Maka kematian itu niscaya akan menghampiri setiap jiwa dalam berbagai keadaan, apakah matinya itu lantaran memperjuangkan agama Allah dengan bentuk berjihad dengan harta, lisan dan jiwa, kelelahan tatkala mengerjakan beberapa ibadah dari ibadah-ibadah yang disyariatkan oleh agama, membantu dan mengajak orang lain untuk ikut berpartisipasi di dalam menegakkan Islam sebagai agama yang paling bersahaja dan lain sebagainya. Ini adalah kematian yang mengandung kemuliaan. Ataukah matinya itu ketika sedang membela kebatilan yang selama ini ia yakini, melakukan berbagai kemaksiatan yang selama ini ia sukai, membantu dan mengajak orang lain untuk menentang dan melawan kebenaran yang selama ini ia benci dan jauhi dan lain sebagainya. Ini adalah kematian yang mengundang kenistaan. Mati berbalutkan kemuliaan ataukah mati berselimutkan kenistaan, itulah dua pilihan yang mesti diambil oleh setiap manusia yang niscaya akan melampaui dan memilih salah satu di antara keduanya.

إِنَّا هَدَيْنَاهُ السَّبِيلَ إِمَّا شَاكِرًا وَ إِمَّا كَفُورًا

Sesungguhnya Kami telah menunjukinya jalan yang lurus, ada yang bersyukur dan ada pula yang kufur. [QS. Al-Insan/ 76: 3].

Bahkan di dalam setiap kematian itu terdapat sekarat, yang mesti di alami oleh setiap manusia baik yang mukmin, munafik ataupun kafirnya.

وَ جَآءَتْ سَكْرَةُ اْلـمَوْتِ بِاْلحَقِّ ذَلِكَ مَا كُنتَ مِنْهُ تَحِيدُ

Dan datanglah sekaratul maut dengan sebenar-benarnya. Itulah yang kamu selalu lari daripadanya. [QS. Qof/ 50: 19].

Berkata asy-Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jaza’iriy hafizhohullah, “Terdapat penjelasan bahwasanya kematian itu mempunyai sekarat secara pasti. Ya Allah mudahkanlah sekaratul maut atas kami”.

وَ لَوْ تَرَى إِذِ اْلظَّالِمـُونَ فِى غَمَرَاتِ اْلمـَوْتِ وَ اْلمـَلَائِكَةُ بَاسِطُوا أَيْدِيهِمْ أَخْرِجُوا أَنفُسَكُمْ

 Alangkah dahsyatnya sekiranya kamu melihat di waktu orang-orang yang zhalim berada dalam tekanan sekaratul maut, sedangkan para malaikat memukul dengan tangannya, (sambil berkata), “Keluarkanlah nyawamu”. [QS. Al-An’am/ 6: 93].

Berkata asy-Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jaza’iriy hafizhohullah, “Terdapat penetapan adanya adzab kubur dan sekaratul maut”. Di dalam hadits, “Bahwasanya kematian itu mempunyai sekarat”.

 عن عائشة كَانَتْ تَقُوْلُ: إِنَّ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه و سلم كَانَ بَيْنَ يَدَيْهِ رَكْوَةٌ –  عُلْبَةٌ فِيْهَا مَاءٌ – يَشُكُّ عُمَرُ – فَجَعَلَ يُدْخِلُ يَدَهُ فىِ اْلمـَاءِ فَيَمْسَحُ بِهَا وَجْهَهُ وَ يَقُوْلُ: لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ إِنَّ لِلْمَوْتِ سَكَرَاتٍ ثُمَّ نَصَبَ يَدَهُ فَجَعَلَ يَقُوْلُ: فىِ الرَّفِيْقِ اْلأَعْلىَ حَتىَّ قُبِضَ وَ مَالَتْ يَدُهُ

Dari Aisyah radliyallahu anha berkata, “Sesungguhnya di hadapan Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam ada sebuah bejana (yang terbuat dari kulit atau mangkuk) –Umar ragu-ragu- yang berisi air. Lalu beliau memasukkan tangannya ke dalam air itu dan membasuh wajahnya dengannya. Beliau bersabda, “Laa ilaaha illallah (tiada ilah yang berhak disembah kecuali Allah), sesungguhnya kematian itu memiliki sekarat”. Kemudian beliau mengangkat tangannya seraya bersabda, “Berada di tempat yang tinggi”. Sehingga beliau wafat sedangkan tangannya mengendur/ terkulai. [HR al-Bukhoriy: 6510.]‎

Berkata asy-Syaikh Salim bin Ied al-Hilaliy hafizhohullah, “Terdapat penjelasan bahwasanya kematian itu mempunyai sekarat dan kesulitan sehingga para Nabi Alaihim as-Salam pun meminta diringankan dari sekarat ini”.

Berdasarkan ayat dan hadits di atas dapat dipahami bahwasanya setiap kematian yang menimpa seseorang itu niscaya terdapat sekarat, yaitu suatu tekanan yang amat berat lagi menyulitkan ketika menjelang kematiannya sehingga orang tersebut seperti orang yang kehilangan akal dan kesadarannya sebagaimana keadaan orang yang sedang mabuk. Mudah-mudahan Allah Subhanahu wa ta’ala meringankan kita dari sekaratul maut ini seringan-ringannya.

Hadits dari Aisyah radliyallahu anha di atas menjadi dalil akan bolehnya bagi orang yang sakit untuk mempergunakan air pada bagian kepalanya (ngompres) untuk meringankan sakit panas yang menimpanya dan juga disunnahkan baginya untuk selalu memohon ampunan dan rahmat dari-Nya. Hal ini juga didukung oleh dalil berikut ini,

 عن عائشة قَالَتْ: سَمِعْتُ النَّبِيِّ وَ هُوَ مُسْتَنِدٌ إِلَيَّ يَقُوْلُ: اللَّهُمَّ اغْفِرْ لىِ وَ ارْحَمْنىِ وَ أَلْحِقْنىِ بِالرَّفِيْقِ اْلأَعْلَى

Dari Aisyah radliyallahu anha berkata, “Aku pernah mendengar Nabi Shallallahu alaihi wa sallam berkata sedangkan beliau sedang bersandar kepadaku, “Ya Allah, ampunilah aku, rahmatilah aku dan himpunkan aku di tempat yang tinggi”. [HR al-Bukhoriy: 5674 dan Muslim: 2444.]

Berkata asy-Syaikh Salim bin Ied al-Hilaliy hafizhohullah, “Sepatutnya bagi orang yang sakit itu untuk meminta ampunan dan rahmat. Ia tidak boleh berputus asa dari pertolongan Allah Subhanahu wa ta’ala dan tidak boleh berputus harapan dari rahmat-Nya”. ‎

Maka dianjurkan bagi setiap muslim, ketika tertimpa sakit apalagi sakitnya itu mendekati tanda-tanda kematian untuk memperbanyak meminta ampun dan rahmat kepada Allah Jalla dzikruhu, selalu memuji-Nya, menghiasi diri dengan berbaik sangka kepada-Nya dan senantiasa berharap berjumpa dengan-Nya dan takut terhadap akibat dari dosa-dosa yang telah dikerjakannya. Hal ini sebagaimana telah disinyalir di dalam dalil-dalil hadits berikut ini,

Dari Ibnu Abbas radliyallahu anha berkata, “Nabi Shallallahu alaihi wa sallam pernah mengambil seorang anak perempuan asuh yang hampir meninggal dunia. Beliau meletakkannya di atas dadanya (memeluknya), lalu ia meninggal dunia di dalam pelukannya. Maka Ummu Ayman radliyallahu anha pun berteriak menangis. Dikatakan kepadanya, “Mengapa kamu menangis di sisi Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam?”. Iapun berkata, “Bukankah aku juga  melihatmu  menangis wahai Rosulullah?”. Beliau Shallallahu alaihi wa sallampun bersabda, “Aku tidaklah menangis, ini hanyalah rahmat (rasa kasih sayang)”.

إِنَّ اْلمـُؤْمِنَ بِكُلِّ خَيْرٍ عَلَى كُلِّ حَالٍ إِنَّ نَفْسَهُ تَخْرُجُ مِنْ بَيْنِ جَنْبَيْهِ وَ هُوَ يَحْمَدُ اللهَ عز و جل

 “Sesungguhnya orang mukmin itu selalu di dalam kebaikan di atas setiap keadaan, sesungguhnya jiwanya keluar dari jasadnya sedangkan ia dalam keadaan memuji Allah Azza wa Jalla”. [HR Ahmad: I/ 273-274.]

 عن جابر رضي الله عنه قَالَ: َسمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه و سلم يَقُوْلُ قَبْلَ وَفَاتِهِ بِثَلاَثٍ قَالَ: لاَ يَمُوْتُ أَحَدُكُمْ إِلاَّ وَ هُوَ يُحْسِنُ الظَّنَّ بِاللهِ

Dari Jabir bin Abdullah radliyallahu anhu berkata, “Aku pernah mendengar Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam mengucapkan tiga hal sebelum wafatnya. Beliau bersabda, “Janganlah seseorang di antara kalian mati melainkan dalam keadaan berbaik sangka kepada Allah”. [HR Abu Dawud: 3113, Muslim, Ibnu Majah: 4167 dan Ahmad: III/ 293, 325, 330, 334, 390.]

Dari Anas radliyallahu anhu bahwasanya Nabi Shallallahu alaihi wa sallam pernah masuk menemui seorang pemuda yang sedang mendekati kematian. Beliau bersabda, “Apa yang kamu rasakan?”. Ia menjawab, “Demi Allah, wahai Rosulullah, sesungguhnya aku mengharapkan Allah dan aku takut terhadap dosa-dosaku”. Maka Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

 لاَ يَجْتَمِعَانِ فىِ قَلْبِ عَبْدٍ فىِ مِثْلِ هَذَا اْلمـَوْطِنِ إِلاَّ أَعْطَاهُ اللهُ مَا يَرْجُوْ وَ آمَنَهُ مِمَّا يَخَافُ

“Tidaklah keduanya terhimpun di dalam hati seorang hamba di semisal tempat ini melainkan Allah akan memberikan kepadanya apa yang ia harapkan dan mengamankannya dari apa yang ia takuti”. [HR at-Turmudziy: 983, Ibnu Majah: 4261 dan Ibnu Abi ad-Dunya.)

Begitu pula disyariatkan bagi setiap muslim yang sedang menemani atau menjaga keluarganya yang sedang sakit untuk selalu mentalkinkan kalimat syahadat baginya itu dengan ucapan “laa ilaaha illallah”. ‎Yakni muslim tersebut membimbing orang yang sakit itu untuk dapat melafazhkan atau mengucapkan kalimat syahadat itu dengan fasih dan benar, sebab jika akhir hidup saudaranya itu ditutup dengan ucapan tersebut maka ia akan masuk ke dalam surga, meskipun ia diadzab terlebih dahulu  di dalam neraka sesuai dengan perbuatan-dosa-dosa yang telah ia kerjakan.  Hal  ini pernah dilakukan oleh Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam ketika membesuk pamannya yaitu Abu Thalib dan seorang anak Yahudi yang sedang sakit. Beliau menawarkan Islam kepada keduanya dengan cara mengucapkan kalimat syahadat, tetapi Abu Thalib menolak ajakan beliau dan anak Yahudi itu menerima ajakannya.‎

عن أبي سعيد الخدري رضي الله عنه قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم : لَقِّنُوْا مَوْتَاكُمْ قَوْلَ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ

Dari Abu Sa’id al-Khudriy radliyallahu anhu berkata, telah bersabda Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam, “Talkinkan orang yang hendak mati di antara kalian dengan mengucapkan “laa ilaaha illallah”. [HR Abu Dawud: 3117, Muslim: 916, 917, at-Turmudziy: 976, an-Nasa’iy: IV/ 5, Ibnu Majah: 1444, 1445 dan Ahmad: III/ 3.)

عن معاذ بن جبل قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم: مَنْ كَانَ آخِرُ كَلاَمِهِ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ دَخَلَ اْلجَنَّةَ

 Dari Mu’adz bin Jabal radliyallahu anhu  berkata, telah bersabda Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam, “Barangsiapa yang akhir ucapannya “laa ilaaha illallah” maka dia akan masuk surga”. [HR Abu Dawud: 3116 dan Ahmad: V/ 233 dari Mu’adz bin Jabal radliyallahu anhu.)

Hal ini mesti dijaga oleh setiap muslim sebab setan tidak pernah lalai di dalam menyesatkan dan menggelincirkan manusia di setiap keadaannya, sehingga ia berusaha menutupi akhir kehidupannya dengan kesudahan yang buruk (su’ul khatimah).‎

 عن جابر رضي الله عنه قَالَ: سَمِعْتُ النَّبِيَّ صلى الله عليه و سلم يَقُوْلُ: إِنَّ الشَّيْطَانَ يَحْضُرُ أَحَدَكُمْ عِنْدَ كُلِّ شَيْءٍ مِنْ شَأْنِهِ حَتىَّ  يَحْضُرَهُ عِنْدَ طَعَامِهِ فَإِذَا سَقَطَتْ مِنْ أَحَدِكُمْ اللُّقْمَةُ فَلْيُمْطِ مَا كَانَ بِهَا مِنْ أَذًى ثُمَّ لِيَأْكُلْهَا وَ لاَ يَدَعْهَا لِلشَّيْطَانِ فَإِذَا فَرَغَ فَلْيَلْعَقْ أَصَابِعَهُ فَإِنَّهُ لاَ يَدْرِى فىِ أَيِّ طَعَامِهِ تَكُوْنُ اْلبَرَكَةُ

Dari Jabir bin Abdullah radliyallahu anhu berkata, aku pernah mendengar  Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya setan mendatangi salah seorang dari kalian pada setiap keadaannya, hingga akan mendatanginya disaat makan. Sebab itu apabila jatuh sepotong makanan, maka hendaklah ia membuang (membersihkan) kotorannya lalu memakannya. Dan hendaklah ia tidak membiarkannya dimakan oleh setan Dan jika telah selesai makan, hendaklah ia menjilati jari jemarinya, karena ia tidak tahu pada bahagian makanan yang manakah adanya berkah”. [HR Muslim: 2033.)

Berkata asy-Syaikh Salim bin Ied al-Hilaliy hafizhohullah, “Setan selalu mengamati hamba di segala gerak geriknya. Apabila seseorang lalai dari manhaj Allah maka setan akan dapat menguasainya”.

Jika setan senantiasa berusaha menggelincirkan setiap hamba di segala keadaannya, bahkan tatkala sedang makan yang ia berusaha menghilangkan atau melenyapkan berkah dari orang tersebut. Maka kesungguhannya untuk memalingkan mereka dari Allah Subhanahu wa ta’ala, tentu akan lebih tatkala ada di antara mereka yang sedang meregang nyawa hendak meninggalkan dunia yang fana ini.

Dari sebab itu, hendaknya setiap hamba selalu ingat kepada Allah Azza wa Jalla  dengan selalu memuji-Nya, memohon rahmat dan ampunan-Nya, berbaik sangka kepada-Nya, meminta kepada-Nya agar diwafatkan dalam keadaan Islam dan Iman, dimudahkan dari sekaratul maut dan melazimkan lisan untuk berdzikir kepada-Nya. Begitupun keluarga yang mendampinginya ketika sakitnya, hendaknya membimbingnya dengan mentalkinkan kalimat “laa ilaaha illallah” kepadanya, menashihati dan menyuruhnya agar selalu sabar dan ridlo terhadap ketetapan-Nya. Janganlah mereka membiarkan celah sedikitpun bagi setan untuk dapat memalingkannya dari Allah Subhanahu wa ta’ala.

Malaikat maut alaihi as-Salam adalah malaikat yang diserahi tugas untuk mencabut nyawa.

Hadits dari al-Barra’ bin Azib radliyallahu anhu di atas juga menerangkan tentang nama Malaikat yang bertugas untuk mencabut nyawa setiap orang yang telah ditentukan kematian atasnya dengan nama Malaikat maut Alaihim as-Salam. Hal inipun sebagaimana telah disebutkan di dalam ayat berikut ini,

قُلْ يَتَوَفَّاكُم مَّلَكُ اْلمـَوْتِ الَّذِى وُكِّلَ بِكُمْ ثُمَّ إِلَى رَبِّكُمْ تُرْجَعُونَ

Katakanlah: “Malaikat maut yang diserahi tugas untuk (mencabut nyawa)mu akan mematikanmu. Kemudian hanya kepada Rabbmulah, kamu akan dikembalikan.” [QS. As-Sajadah/ 32: 11].
Kedatangan Malaikat maut ini diawali dengan datangnya beberapa malaikat yang menyertainya, apakah para malaikat yang berwajah putih bersinar laksana mentari, yang pada tangan mereka ada kain kafan dari kain kafan surga dan balsem dari balsem surga. Ataukah para malaikat yang berwajah hitam kelam, yang keras lagi bengis yang pada tangan mereka ada semacam karung goni dari neraka. Manakah di antara dua golongan malaikat itu yang datang?, maka itu menunjukkan keadaan orang yang hendak mati. Jika yang datang itu adalah golongan malaikat yang pertama maka yang hendak meninggal dunia itu adalah termasuk orang mukmin yang gemar beribadah kepada Allah Azza wa Jalla, yang kelak akan menempati surga dan meraih keridloan-Nya. Namun jika yang datang itu golongan malaikat yang kedua maka niscaya yang akan meninggal dunia itu adalah orang kafir atau munafik yang kerap berbuat dosa, yang kelak akan menempati neraka dan mendapatkan kemurkaan-Nya.

حَتَّى إِذَا جَآءَ أَحَدَكُمُ اْلمـَوْتُ تَوَفَّتْهُ رُسُلُنَا وَ هُمْ لَا يُفَرِّطُونَ

Sehingga apabila datang kematian kepada salah seorang di antara kamu, ia diwafatkan oleh para utusan Kami (yaitu para Malaikat), dan utusan-utusan Kami itu tidak pernah melalaikan kewajibannya. [QS. Al-An’am/ 6: 61].

Berkata asy-Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jaza’iriy hafizhohullah,  “((ia diwafatkan oleh utusan-utusan Kami))  yaitu Malaikat maut dan kawan-kawannya”.


KABAR GEMBIRA UNTUK ORANG-ORANG YANG BERIMAN. 
Orang yang beriman, ruhnya akan lepas dengan mudah dan ringan. Malaikat yang mendatangi orang yang beriman untuk mengambil nyawanya dengan kesan yang baik lagi menggembirakan. Dalilnya, hadits Al Bara` bin 'Azib Radhiyallahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata tentang proses kematian seorang mukmin: 

إِنَّ الْعَبْدَ الْمُؤْمِنَ إِذَا كَانَ فِي انْقِطَاعٍ مِنْ الدُّنْيَا وَإِقْبَالٍ مِنْ الْآخِرَةِ نَزَلَ إِلَيْهِ مَلَائِكَةٌ مِنْ السَّمَاءِ بِيضُ الْوُجُوهِ كَأَنَّ وُجُوهَهُمْ الشَّمْسُ مَعَهُمْ كَفَنٌ مِنْ أَكْفَانِ الْجَنَّةِ وَحَنُوطٌ مِنْ حَنُوطِ الْجَنَّةِ حَتَّى يَجْلِسُوا مِنْهُ مَدَّ الْبَصَرِ ثُمَّ يَجِيءُ مَلَكُ الْمَوْتِ عَلَيْهِ السَّلَام حَتَّى يَجْلِسَ عِنْدَ رَأْسِهِ فَيَقُولُ أَيَّتُهَا النَّفْسُ الطَّيِّبَةُ اخْرُجِي إِلَى مَغْفِرَةٍ مِنْ اللَّهِ وَرِضْوَانٍ قَالَ فَتَخْرُجُ تَسِيلُ كَمَا تَسِيلُ الْقَطْرَةُ مِنْ فِي السِّقَاءِ فَيَأْخُذُهَا فَإِذَا أَخَذَهَا لَمْ يَدَعُوهَا فِي يَدِهِ طَرْفَةَ عَيْنٍ حَتَّى يَأْخُذُوهَا فَيَجْعَلُوهَا فِي ذَلِكَ الْكَفَنِ وَفِي ذَلِكَ الْحَنُوطِ وَيَخْرُجُ مِنْهَا كَأَطْيَبِ نَفْحَةِ مِسْكٍ وُجِدَتْ عَلَى وَجْهِ الْأَرْضِ

"Seorang hamba mukmin, jika telah berpisah dengan dunia, menyongsong akhirat, maka malaikat akan mendatanginya dari langit, dengan wajah yang putih. Rona muka mereka layaknya sinar matahari. Mereka membawa kafan dari syurga, serta hanuth (wewangian) dari syurga. Mereka duduk di sampingnya sejauh mata memandang. Berikutnya, malaikat maut hadir dan duduk di dekat kepalanya sembari berkata: "Wahai jiwa yang baik –dalam riwayat- jiwa yang tenang keluarlah menuju ampunan Allah dan keridhaannya". Ruhnya keluar bagaikan aliran cucuran air dari mulut kantong kulit. Setelah keluar ruhnya, maka setiap malaikat maut mengambilnya. Jika telah diambil, para malaikat lainnya tidak membiarkannya di tangannya (malaikat maut) sejenak saja, untuk mereka ambil dan diletakkan di kafan dan hanuth tadi. Dari jenazah, semerbak aroma misk terwangi yang ada di bumi.."[al hadits].

Malaikat memberi kabar gembira kepada insan mukmin dengan ampunan dengan ridla Allah untuknya. Secara tegas dalam kitab-Nya, Allah menyatakan bahwa para malaikat menghampiri orang-orang yang beriman, dengan mengatakan janganlah takut dan sedih serta membawa berita gembira tentang syurga. Allah berfirman:

إِنَّ الَّذِينَ قَالُوا رَبُّنَا اللهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوا تَتَنَزَّلُ عَلَيْهِمُ الْمَلاَئِكَةُ أَلآتَخَافُوا وَلاَتَحْزَنُوا وَأَبْشِرُوا بِالْجَنَّةِ الَّتِي كُنتُمْ تُوعَدُونَ {30} نَحْنُ أَوْلِيَاؤُكُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَفِي اْلأَخِرَةِ وَلَكُمْ فِيهَا مَاتَشْتَهِي أَنفُسُكُمْ وَلَكُمْ فِيهَا مَاتَدَّعُونَ 

"Sesungguhnya orang-orang yang berkata: "Rabb kami adalah Allah kemudian mereka beristiqomah, maka para malaikat turun kepada mereka (sembari berkata):" Janganlah kamu bersedih dan bergembiralah kamu dengan (memperoleh) syurga yang telah dijanjikan Allah kepadamu. Kamilah pelindung-pelindungmu di dunia dan akhirat di dalamnya kamu memperoleh apa yang kamu inginkan dan memperoleh (pula) di dalamnya apa yang kamu minta. Sebagai hidangan (bagimu) dari Rabb Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang". [Fushshilat: 30]

Ibnu Katsir mengatakan: "Sesungguhnya orang-orang yang ikhlas dalam amalannya untuk Allah semata dan mengamalkan ketaatan-Nya berdasarkan syariat Allah niscaya para malaikat akan menghampiri mereka tatkala kematian menyongsong mereka dengan berkata "janganlah kalian takut atas amalan yang kalian persembahkan untuk akhirat dan jangan bersedih atas perkara dunia yang akan kalian tinggalkan, baik itu anak, istri, harta atau agama sebab kami akan mewakili kalian dalam perkara itu. Mereka (para malaikat) memberi kabar gembira berupa sirnanya kejelekan dan turunnya kebaikan". 

Kemudian Ibnu Katsir menukil perkataan Zaid bin Aslam: "Kabar gembira akan terjadi pada saat kematian, di alam kubur, dan pada hari Kebangkitan". Dan mengomentarinya dengan: "Tafsiran ini menghimpun seluruh tafsiran, sebuah tafsiran yang bagus sekali dan memang demikian kenyataannya".

Firman-Nya: "Kamilah pelindung-pelindungmu di dunia dan akhirat maksudnya para malaikat berkata kepada orang-orang beriman ketika akan tercabut nyawanya, kami adalah kawan-kawan kalian di dunia, dengan meluruskan, memberi kemudahan dan menjaga kalian atas perintah Allah, demikian juga kami bersama kalian di akhirat, dengan menenangkan keterasinganmu di alam kubur, di tiupan sangkakala dan kami akan mengamankan kalian pada hari Kebangkitan, Penghimpunan, kami akan membalasi kalian dengan shirathal mustaqim dan mengantarkan kalian menuju kenikmatan syurga".

Dalam ayat lain, Allah mengabarkan kondisi kematian orang mukmin dalam keadaan baik dengan firman-Nya:

الَّذِينَ تَتَوَفَّاهُمُ الْمَلاَئِكَةُ طَيِّبِينَ يَقُولُونَ سَلاَمٌ عَلَيْكُمُ ادْخُلُوا الْجَنَّةَ بِمَا كُنتُمْ تَعْمَلُونَ

"(Yaitu) orang-orang yang diwafatkan dalam keadaan baik oleh para malaikat dengan mengatakan (kepada mereka): "Salamun 'alaikum (keselamatan sejahtera bagimu)", masuklah ke dalam syurga itu disebabkan apa yang telah kamu kerjakan". [An Nahl: 32]
Syaikh Asy Syinqithi mengatakan: "Dalam ayat ini, Allah menyebutkan bahwa orang yang bertakwa, yang melaksanakan perintah Rabb mereka dan menjauhi larangan-Nya akan diwafatkan para malaikat yaitu dengan mencabut nyawa-nyawa mereka dalam keadaan thayyibin (baik), yakni bersih dari syirik dan maksiat, (ini) menurut tafsiran yang paling shahih, (juga) memberi kabar gembira berupa syurga dan menyambangi mereka mereka dengan salam…

MENGAPA RASULULLAH SHALLALLAHU 'ALAIHI WA SALLAM MENDERITA SAAT SAKARATUL MAUT? ‎

Kondisi umum proses pencabutan nyawa seorang mukmin mudah lagi ringan. Namun kadang-kadang derita sakarul maut juga mendera sebagian orang sholeh. Tujuannya untuk menghapus dosa-dosa dan juga mengangkat kedudukannya. Sebagaimana yang dialami Rasulullah. Beliau Shallallallahu 'alaihi wa sallam merasakan pedihnya sakaratul maut seperti diungkapkan Bukhari dalam hadits 'Aisyah di atas.

Ibnu Hajar mengatakan: "Dalam hadits tersebut, kesengsaran (dalam) sakaratul maut bukan petunjuk atas kehinaan martabat (seseorang). Dalam konteks orang yang beriman bisa untuk menambah kebaikannya atau menghapus kesalahan-kesalahannya"

Menurut Al Qurthubi dahsyatnya kematian dan sakaratul maut yang menimpa para nabi, maka mengandung manfaat :

Pertama : Supaya orang-orang mengetahui kadar sakitnya kematian dan ia (sakaratul maut) tidak kasat mata. Kadang ada seseorang melihat orang lain yang akan meninggal. Tidak ada gerakan atau keguncangan. Terlihat ruh keluar dengan mudah. Sehingga ia berfikir, perkara ini (sakaratul maut) ringan. Ia tidak mengetahui apa yang terjadi pada mayat (sebenarnya). Tatkala para nabi, mengabarkan tentang dahsyatnya penderitaan dalam kematian, kendati mereka mulia di sisi Allah, dan kemudahannya untuk sebagian mereka, maka orang akan yakin dengan kepedihan kematian yang akan ia rasakan dan dihadapi mayit secara mutlak, berdasarkan kabar dari para nabi yang jujur kecuali orang yang mati syahid. 

Kedua : Mungkin akan terbetik di benak sebagian orang, mereka adalah para kekasih Allah dan para nabi dan rasul-Nya, mengapa mengalami kesengsaraan yang berat ini?. Padahal Allah mampu meringankannya bagi mereka?. Jawabnya, bahwa orang yang paling berat ujiannya di dunia adalah para nabi kemudian orang yang menyerupai mereka dan orang yang semakin mirip dengan mereka seperti dikatakan Nabi kita. Hadits ini dikeluarkan Bukhari dan lainnya. Allah ingin menguji mereka untuk melengkapi keutamaan dan peningkatan derajat mereka di sisi-Nya. Ini bukan sebuah aib bagi mereka juga bukan bentuk siksaan. Allah menginginkan menutup hidup mereka dengan penderitaan ini meski mampu meringankan dan mengurangi (kadar penderitaan) mereka dengan tujuan mengangkat kedudukan mereka dan memperbesar pahala-pahala mereka sebelum meninggal. Tapi bukan berarti Allah mempersulit proses kematian mereka melebihi kepedihan orang-orang yang bermaksiat. Sebab (kepedihan) ini adalah hukuman bagi mereka dan sanksi untuk kejahatan mereka. Maka tidak bisa disamakan".

KABAR BURUK DARI PARA MALAIKAT KEPADA ORANG-ORANG KAFIR.‎

Sedangkan orang kafir, maka ruhnya akan keluar dengan susah payah, ia tersiksa dengannya. Nabi menceritakan kondisi sakaratul maut orang kafir atau orang yang jahat dengan sabdanya:

"Sesungguhnya hamba yang kafir -dalam riwayat lain- yang jahat jika akan telah berpisah dengan dunia, menyongsong akhirat, maka malaikat-malaikat yang kasar akan dari langit dengan wajah yang buruk dengan membawa dari neraka. Mereka duduk sepanjang mata memandang. Kemudian malaikat maut hadir dan duduk di atas kepalanya dan berkata: “Wahai jiwa yang keji keluarlah engkau menuju kemurkaan Allah dan kemarahan-Nya". Maka ia mencabut (ruhnya) layaknya mencabut saffud (penggerek yang) banyak mata besinya dari bulu wol yang basah.

Secara ekspilisit, Al Quran telah menjelaskan bahwa para malaikat akan memberi kabar buruk kepada orang kafir dengan siksa. Allah berfirman: "

وَلَوْ تَرَىٰ إِذِ الظَّالِمُونَ فِي غَمَرَاتِ الْمَوْتِ وَالْمَلَائِكَةُ بَاسِطُو أَيْدِيهِمْ أَخْرِجُوا أَنْفُسَكُمُ ۖ الْيَوْمَ تُجْزَوْنَ عَذَابَ الْهُونِ بِمَا كُنْتُمْ تَقُولُونَ عَلَى اللَّهِ غَيْرَ الْحَقِّ وَكُنْتُمْ عَنْ آيَاتِهِ تَسْتَكْبِرُونَ 

"Alangkah dahsyatnya sekiranya kamu melihat di waktu orang-orang yang zhalim (berada) dalam tekanan-tekanan sakaratul maut, sedang para malaikat mumukul dengan tangannya, (Sambil berkata): "Keluarkan nyawamu". Di hari ini kamu dibalas dengan siksaan yang sangat menghinakan, karena kamu selalu mengatakan terhadap Allah (perkataan) yang tidak benar dan (karena) kamu selalu menyombongkan diri terhadap ayat-ayatnya". [Al An'am: 93]

Maksudnya, para malaikat membentangkan tangan-tangannya untuk memukuli dan menyiksa sampai nyawa mereka keluar dari badan. Karena itu, para malaikat mengatakan: "Keluarkan nyawamu". Pasalnya, orang kafir yang sudah datang ajalnya, malaikat akan memberi kabar buruk kepadanya yang berbentuk azab, siksa, belenggu, dan rantai, neraka jahim, air mendidih dan kemurkaan Ar Rahman (Allah). Maka nyawanya bercerai-berai dalam jasadnya, tidak mau taat dan enggan untuk keluar. 

Para malaikat memukulimya supaya nyawanya keluar dari tubuhnya. Seketika itu, malaikat mengatakan: "Di hari ini kamu dibalas dengan siksaan yang sangat menghinakan, karena kamu selalu mengatakan terhadap Allah (perkataan) yang tidak benar dan (karena) kamu selalu menyombongkan diri terhadap ayat-ayatnya".. artinya pada hari ini, kalian akan dihinakan dengan penghinaan yang tidak terukur karena mendustakan Allah dan (lantaran) kecongkakan kalian dalam mengikuti ayat-ayat-Nya dan tunduk kepaada para rasul-Nya.

Saat detik-detik kematian datang, orang kafir mintai dikembalikan agar bisa masuk Islam. Sedangkan orang yang jahat mohon dikembalikan ke dunia untuk bertaubat, dan beramal sholeh. Namun sudah tentu, permintaan mereka tidak akan terkabulkan. Allah berfirman:

حَتَّى إِذَا جَآءَ أَحَدَهُمُ الْمَوْتَ قَالَ رَبِّ ارْجِعُونِ {99} لَعَلِّي أَعْمَلُ صَالِحًا فِيمَا تَرَكْتُ كَلآ إِنَّهَا كَلِمَةٌ هُوَ قَآئِلُهَا وَمِن وَرَآئِهِم بَرْزَخٌ إِلَى يَوْمِ يُبْعَثُونَ 

"(Demikianlah keadaan orang-orang kafir), hingga apabila datang kematian kepada seseorang dari mereka, dia berkata: "Ya Rabbi kembalikan aku ke dunia. Agar aku berbuat amal sholeh terhadap yang telah aku tinggalkan. Sekali-kali tidak. Sesungguhnya itu adalah perkataan yang diucapkannya saja. Dan di hadapan mereka ada dinding sampai hari mereka dibangkitkan". [Al Mukminun: 99-100]

Setiap orang yang teledor di dunia ini, baik dengan kekufuran maupun perbuatan maksiat lainnya akan dilanda gulungan penyesalan, dan akan meminta dikembalikan ke dunia meski sejenak saja, untuk menjadi orang yang insan muslim yang sholeh. Namun kesempatan untuk itu sudah hilang, tidak mungkin disusul lagi. Jadi, persiapan harus dilakukan sejak dini dengan tetap memohon agar kita semua diwafatkan dalam keadaan memegang agama Allah.‎

Demikian sekilas penjelasan tentang kematian yang pasti akan datang menghampiri setiap makhluk hidup, khususnya umat manusia. Kaum pria ataupun para wanita, para penguasa ataupun rakyat jelata, kaum berpendidikan ataupun kaum yang terhimpit kebodohan, para ulama ataupun kaum awamnya, golongan mukminin ataupun kaum munafikin dan kafirin, dan selainnya. Semuanya mereka pasti akan didatangi oleh maut tanpa terkecuali dan tanpa pemberitahuan terlebih dahulu.

Semoga Allah Subhanahu wa ta’ala menjadikan kita sebagai umat Nabi-Nya Shallallahu alaihi wa sallam sebagai orang-orang yang siap menghadapi kematian dengan keimanan dan amal-amal shalih dan meninggalkan dunia yang fana ini dengan husnul khatimah. Amiin 

Kisah Malaikat Maut Mendatangi Nabi Musa

Ada sebuah hadits masyhur yang sering menjadi sasaran kritik oleh sebagian kalangan. Hadits tersebut adalah hadits yang menceritakan tentang Nabi Musa ’alaihis-salaam yang menampar malaikat maut ketika hendak mencabut nyawanya. Pada kesempatan ini saya akan menuliskan beberapa penjelasan ringkas (yang insyaAllah padat) dari kalangan imam Ahlus-Sunnah tentang pemahaman hadits dimaksud. Harapannya, tulisan ini dapat menjadi sumbangan amal kebajikan dalam rangka saling memberikan nasihat kepada kaum muslimin.
Adapun hadits yang dimaksud adalah sebagai berikut :

عن أَبي هُرَيْرَةَ قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ :جَاءَ مَلَكُ الْمَوْتِ إِلَى مُوسَى عَلَيْهِ السَّلَام فَقَالَ لَهُ أَجِبْ رَبَّكَ قَالَ فَلَطَمَ مُوسَى عَلَيْهِ السَّلَام عَيْنَ مَلَكِ الْمَوْتِ فَفَقَأَهَا. قَالَ : فَرَجَعَ الْمَلَكُ إِلَى اللَّهِ تَعَالَى فَقَالَ : إِنَّكَ أَرْسَلْتَنِي إِلَى عَبْدٍ لَكَ لَا يُرِيدُ الْمَوْتَ وَقَدْ فَقَأَ عَيْنِي. قَالَ فَرَدَّ اللَّهُ إِلَيْهِ عَيْنَهُ وَقَالَ ارْجِعْ إِلَى عَبْدِي فَقُلْ الْحَيَاةَ تُرِيدُ فَإِنْ كُنْتَ تُرِيدُ الْحَيَاةَ فَضَعْ يَدَكَ عَلَى مَتْنِ ثَوْرٍ فَمَا تَوَارَتْ يَدُكَ مِنْ شَعْرَةٍ فَإِنَّكَ تَعِيشُ بِهَا سَنَةً قَالَ ثُمَّ مَهْ قَالَ ثُمَّ تَمُوتُ قَالَ فَالْآنَ مِنْ قَرِيبٍ رَبِّ أَمِتْنِي مِنْ الْأَرْضِ الْمُقَدَّسَةِ رَمْيَةً بِحَجَرٍ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَاللَّهِ لَوْ أَنِّي عِنْدَهُ لَأَرَيْتُكُمْ قَبْرَهُ إِلَى جَانِبِ الطَّرِيقِ عِنْدَ الْكَثِيبِ الْأَحْمَرِ

Dari Abi Hurairah radliyallaahu ta’ala ’anhu ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam : ”Malaikat Maut mendatangi Nabi Musa ’alaihis-salaam. Maka ia (Malaikat Maut) berkata berkata kepadanya : ’Penuhilan panggilan Tuhanmu !’. Maka Nabi Musa ’alaihis-alaam pun menampar muka Malaikat Maut sehingga matanya keluar. Kemudian Malaikat Maut kembali kepada Allah ta’ala dan berkata : ’Sesungguhnya Engkau telah mengutusku kepada seorang hamba yang tidak menginginkan kematian. Ia telah membuat mataku keluar’. Maka Allah ta’ala mengembalikan mata Malaikat Maut dan berfirman : ’Kembalilah kepada hamba-Ku (yaitu Musa) kemudian katakan kepadanya : Apakah engkau masih ingin hidup ?. Jika engkau masih ingin hidup, maka letakkan tanganmu di atas punggung sapi jantan. Setiap bulu yang dapat engkau tutupi dengan tanganmu, maka kamu hidup (bertambah umur) setahun’. Musa bertanya : ’Kemudian apa ?’. Allah berfirman : ’Kemudian engkau mati’. Maka Musa pun berkata : ’Jika demikian, sekarang (waktunya)! Wahai Rabb-ku, rupa-rupanya ajalku telah dekat. Maka dekatkanlah aku ke tanah suci sejauh jarak lemparan dengan menggunakan batu”. Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam bersabda : ”Demi Allah, seandainya aku beradadi dekatnya, tentu aku tunjukkan kepadamu kuburnya yang terletak di sebelah jalan di sisi bukit pasir merah”  [HR. Al-Bukhari no. 1274, 3226; Muslim no. 2372; An-Nasa’i no. 2089; Ahmad no. 7634, 8157, 8601, 10917; Ibnu Hibban no. 6223, 6224; dan yang lainnya. Ini adalah lafadh Muslim].‎

Kemusykilan hadits tersebut dijelaskan sebagai berikut :
1.    Al-Imam Ibnu Khuzaimah rahimahullah berkata :

أنكر بعض أهل البدع والجهمية هذا الحديث وقالوا لا يخلو أن يكون موسى عليه الصلاة والسلام عرف ملك الموت أو لم يعرفه فإن كان عرفه فقد استخف به وأن كان لم يعرفه فرواية من روى أنه كان يأتي موسى عيانا لا معنى لها ثم إن الله تعالى لم يقتص لملك الموت من اللطمة وفقء العين والله تعالى لا يظلم أحدا.
قال ابن خزيمة وهذا اعتراض من أعمى الله بصيرته ومعنى الحديث صحيح وذلك أن موسى لم يبعث الله إليه ملك الموت وهو يريد قبض روحه حينئذ وإنما بعثه اختبارا وبلاءً كما أمر الله تعالى خليله بذبح ولده ولم يرد إمضاء ذلك ولو أراد أن يقبض روح موسى عليه الصلاة والسلام حين لطم الملك لكان ما أراد وكانت اللطمة مباحة عند موسى إذ رأى آدميا دخل عليه ولا يعلم أنه ملك الموت وقد أباح الرسول عليه الصلاة والسلام فقأ عين الناظر في دار المسلم بغير إذن ومحال أن يعلم موسى أنه ملك الموت ويفقأ عينه وقد جاءت الملائكة إلى إبراهيم عليه الصلاة والسلام فلم يعرفهم ابتداء ولو علمهم لكان من المحال أن يقدم إليهم عجلاً لأنهم لا يطعمون وقد جاء الملك إلى مريم فلم تعرفه ولو عرفته لما استعاذت منه وقد دخل الملكان على داود عليه الصلاة والسلام في شبه آدميين يختصمان عنده فلم يعرفهما وقد جاء جبريل عليه الصلاة والسلام إلى سيدنا رسول الله صلى الله عليه وسلم وسأله عن الإيمان فلم يعرفه وقال ما أتاني في صورة قط إلا عرفته فيها غير هذه المرة فكيف يستنكر أن لا يعرف موسى الملك حين دخل عليه
وأما قول الجهمي إن الله تعالى لم يقتص للملك فهو دليل على جهله من الذي أخبره أن بين الملائكة والآدميين قصاصا و من أخبره أن الملك طلب القصاص فلم يقتص له وما الدليل على أن ذلك كان عمدا وقد أخبرنا نبينا صلى الله عليه وسلم أن الله تعالى لم يقبض نبيا قط حتى يريه مقعده في الجنة ويخبره فلم ير أن يقبض روحه قبل أن يريه مقعده من الجنة ويخبره

”Sebagian ahli bid’ah dan golongan Jahmiyah telah mengingkari hadits ini seraya berkata : ’Tidak peduli entah Musa mengenal Malaikat Maut tersebut atau tidak. Apabila mengenalnya, berarti Musa telah melecehkan kedatangannya. Dan bila tidak mengenalnya, maka riwayat yang menyebutkan bahwa malaikat tersebut datang kepada Musa dalam bentuk yang dapat dilihat mata, tidaklah berarti apa-apa  sedikitpun. Tambah lagi, Allah tidak menegakkan hukum qishash bagi Malaikat tersebut, karena perilaku Musa. Padahal Allah tidak pernah mendhalimi siapapun’.
(Menanggapai perkataan ini), Ibnu Khuzaimah menjelaskan : ”Ini adalah hujatan orang yang telah dibutakan pandangannya oleh Allah. Makna hadits ini sudah benar. Allah tidak mengutus Malaikat Maut untuk mencabut nyawa Musa ’alaihis-salaam saat itu juga, tetapi Allah mengutusnya sebagai ujian dan cobaan sebagaimana Allah memerintahkan kekasih-Nya (Nabi Ibrahim ’alaihis-salaam) untuk menyembelih putranya, namun tidak mewujudkannya. Seandainya Malaikat itu bertujuan mencabut nyawa saat itu, tentu dia akan melaksanakannya ketika Musa menamparnya. Tamparan tersebut diperbolehkan bagi diri Nabi Musa ’alaihis-salaam, karena beliau melihat orang asing yang memasuki rumahnya. Sementara waktu itu beliau tidak mengetahui kalau yang datang tersebut adalah Malaikat Maut. Rasul shallallaahu ’alaihi wasallam telah memperbolehkan untuk mencongkel mata orang yang mengintip rumah orang tanpa ijin. Sungguh mustahil bila Musa mengetahui bahwa dia adalah Malaikat Maut lalu menamparnya hingga matanya keluar. Sungguh telah datang beberapa malaikat kepada Nabi Ibrahim ’alaihis-salaam sedang beliau awal kalinya tidak mengenal mereka. Seandainya tahu, tidak mungkin beliau menyuguhkan daging panggang kepada mereka, karena malaikat tidaklah makan. Demikian pula seorang malaikat yang pernah datang kepada Maryam dan ia tidak mengenalnya. Seandainya tahu, tidak mungkin Maryam berlindung darinya. Demikian pula dua malaikat pernah datang kepada Nabi Dawud ’alaihis-salaam dalam bentuk manusia yang sedang bersengketa di sisinya, sedang beliau tidak mengenalnya. Demikian pula datang Jibril kepada Nabi Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam dan bertanya kepada beliau tentang iman, sedang beliau shallallaahu ’alaihi wasallam tidak mengenalnya. Beliau bersabda : ”Jibril tidak pernah datang dalam bentuk rupa apapun melainkan aku mengetahuinya, kecuali kali ini”. Dengan demikian, lantas mengapa dianggap mustahil bila Musa tidak mengenal Malaikat Maut yang masuk ke rumahnya ?.
Adapun ucapan orang Jahmiyyah bahwa Allah tidak menegakkan hukum qishash bagi malaikat, maka ini menunjukkan kebodohannya, karena siapa yang mengkhabarkan (baca : mana dalilnya) dalam hal ini bahwasannya antara Malaikat dengan manusia itu ditegakkan hukum qishash ? Siapa yang mengkhabarkan kepadanya bahwa malaikat meminta qishash lalu Allah tidak memenuhinya ? Apa buktinya bahwa perilaku Nabi Musa tersebut didasari oleh unsur kesengajaan ? Nabi kita shallallaahu ’alaihi wasallam telah mengkhabarkan pada kita bahwa Allah tidaklah mencabut nyawa seorang nabi pun sebelum Dia memperlihatkan tempat duduknya di surga lalu memberitahukannya. Sehingga Allah juga tidak ingin mencabut nyawa Nabi Musa’alaihis-salaam sebelum memperlihatkan tempat duduknya di surga dan mengkhabarkannya” [selesai – ’Umdatul-Qaari’ Syarh Shahih Al-Bukhari oleh Al-’Allamah Badruddin Al-’Aini rahimahullah juz 8 hal. 147–148;]

2.    Al-Imam Ibnu Hibban rahimahullah (murid Al-Imam Ibnu Khuzaimah rahimahullah) berkata :

إن الله جل وعلا بعث رسول الله صلى الله عليه وسلم معلما لخلقه فأنزله موضع الإبانة عن مراده فبلغ صلى الله عليه وسلم رسالته وبين عن آياته بألفاظ مجملة ومفسرة عقلها عنه أصحابه أو بعضهم وهذا الخبر من الأخبار التي يدرك معناه من لم يحرم التوفيق لإصابة الحق وذاك أن الله جل وعلا أرسل ملك الموت إلى موسى رسالة ابتلاء واختبار وأمره أن يقول له أجب ربك أمر اختبار وابتلاء لا أمرا يريد الله جل وعلا إمضاءه كما أمر خليله صلى الله على نبينا وعليه بذبح ابنه أمر اختبار وابتلاء دون الأمر الذي أراد الله جل وعلا إمضاءه فلما عزم على ذبح ابنه وتله للجبين فداه بالذبح العظيم وقد بعث الله جل وعلا الملائكة إلى رسله في صور لا يعرفونها كدخول الملائكة على رسوله إبراهيم ولم يعرفهم حتى أوجس منهم خيفة وكمجيء جبريل إلى رسول الله صلى الله عليه وسلم وسؤاله إياه عن الإيمان والإسلام فلم يعرفه المصطفى صلى الله عليه وسلم حتى ولى فكان مجيء ملك الموت إلى موسى على غير الصورة التي كان يعرفه موسى عليه السلام عليها وكان موسى غيورا فرأى في داره رجلا لم يعرفه فشال يده فلطمه فأتت لطمته على فقء عينه التي في الصورة التي يتصور بها لا الصورة التي خلقه الله عليها ولما كان المصرح عن نبينا صلى الله عليه وسلم في خبر بن عباس حيث قال أمنى جبريل عند البيت مرتين فذكر الخبر وقال في آخره هذا وقتك ووقت الأنبياء قبلك كان في هذا الخبر البيان الواضح أن بعض شرائعنا قد تتفق ببعض شرائع من قبلنا من الأمم ولما كان من شريعتنا أن من فقأ عين الداخل داره بغير إذنه أو الناظر إلى بيته بغير أمره من غير جناح على فاعله ولا حرج على مرتكبه للأخبار الجمة الواردة فيه التي أمليناها في غير موضع من كتبنا كان جائزا اتفاق هذه الشريعة بشريعة موسى بإسقاط الحرج عمن فقأ عين الداخل داره بغير إذنه فكان استعمال موسى هذا الفعل مباحا له ولا حرج عليه في فعله فلما رجع ملك الموت إلى ربه وأخبره بما كان من موسى فيه أمره ثانيا بأمر آخر أمر اختبار وابتلاء كما ذكرنا قبل إذ قال الله له قل له إن شئت فضع يدك على متن ثور فلك بكل ما غطت يدك بكل شعرة سنة فلما علم موسى كليم الله صلى الله على نبينا وعليه أنه ملك الموت وأنه جاءه بالرسالة من عند الله طابت نفسه بالموت ولم يستمهل وقال فالآن فلو كانت المرة الأولى عرفه موسى أنه ملك الموت لاستعمل ما استعمل في المرة الأخرى عند تيقنه وعلمه به ضد قول من زعم أن أصحاب الحديث حمالة الحطب ورعاة الليل يجمعون ما لا ينتفعون به ويروون ما لا يؤجرون عليه ويقولون بما يبطله الإسلام جهلا منه لمعاني الأخبار وترك التفقه في الآثار معتمدا منه على رأيه المنكوس وقياسه المعكوس

”Sesungguhnya Allah Yang Maha Agung lagi Maha Tinggi telah mengutus Rasul-Nya shallallaahu ’alaihi wasallam untuk mengajari makhluk-Nya, lalu Allah menurunkannya sebagai posisi penjelas terhadap kehendak-Nya. Selanjutnya, Nabi ‎shallallaahu ‘alaihi wasallam menyampaikan risalah-Nya dan meneranhkan ayat-ayat-Nya dengan lafadh-lafadh yang global maupun terperinci, yang dapat dipahami oleh para shahabatnya atau sebagian dari mereka. Dan hadits ini termasuk dari berita-berita Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam yang bisa ditangkap maknanya oleh orang yang tidak diharamkan mendapat taufik untuk mencapai yang hak. Demikianlah, bahwasannya Allah Yang Maha Agung lagi Maha Tinggi telah mengutus Malaikat Maut kepada Nabi Musa‘alaihis-salaam dengan sebuah risalah sebagai ujian dan cobaan. Adapun perintah Allah untuk Malaikat Maut agar mengtaakan kepada Nabi Musa : ” Penuhilan panggilan Tuhanmu” ; ini merupakan perintah sebagai ujian dan cobaan, dan bukanlah perintah yang Allah inginkan (secara terang-terangan) untuk melaksanakannya. Sebagaimana perintah Allah kepada kekasih-Nya (yaitu Nabi Ibrahim) – semoga shalawat atas Nabi kita dan Nabi Ibrahim – untuk menyembelih putranya merupakan perintah sebagai ujian dan cobaan. Bukan perintah yang Allah inginkan (secara terang-terangan) untuk melaksanakannya. Maka ketika Ibrahim berkeinginan keras untuk menyembelih putranya dan beliau telah membaringkan putranya di atas pelipisnya, Allah pun menggantinya dengan seekor sembelihan yang besar. Dan sungguh Allah telah mengutus para malaikat kepada Rasul-Rasul-Nya, dalam wujud yang mereka (para Rasul itu) tidak mengenalnya. Seperti malaikat-malaikat yang menemui Ibrahim, sedangkan ia tidak mengenali para malaikat itu sehingga timbullah rasa takut kepada mereka. Dan juga seperti datangnya Jibril kepada Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam dan ia bertanya kepada Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam tentang iman dan Islam, sementara Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam belum mengenalnya hingga Jibril pergi (barulah beliau mengetahuinya). Begitu pula datangnya Malaikat Maut kepada Musa ’alaihis-salaam bukan dengan wujud yang biasa dikenal oleh Musa, sedangkan Musa adalah seorang Nabi yang sangat kokoh (dalam memegang agamnya). Maka ketika melihat di dalam rumahnya ada seorang laki-laki yang tidak dikenalinya (dan menginginkan nyawanya), ia pun mengangkat tangannya lalu menampar malaikat tersebut. Tamparan Musa itu menjadikan mata malaikat itu buta dalam wujud jelmaannya. Bukan dalam wujud asli yang Allah ciptakan.
Adapun keterangan para malaikat datang terang-terangan kepada Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam terdapat dalam riwayat Ibnu ’Abbas radliyallaahu ’anhuma, dimana Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam bersabda :”Jibril mengimamiku di dekat Ka’bah sebanyak dua kali” ; lalu disebutkan riwayatnya. Dan di akhirnya Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam bersabda : ”Ini adalah waktuku dan waktu para nabi sebelumku”. Pada hadits ini terdapat keterangan yang jelas bahwa sebagian syari’at kita memiliki kesamaan dengan sebagian syari’at umat-umat sebelum kita. Dimana termasuk dari syari’at kita adalah : Barangsiapa yang mencungkil mata seseorang yang masuk rumahnya tanpa ijin atau seseorang yang melihat ke dalam rumahnya tanpa perintahnya, maka tidak ada dosa bagi pelakunya dan tidak apa-apa terhadap yang melakukannya. Hal ini berdasarkan hadits-hadits yang menerangkan dalam permasalahan tersebut yang telah kami sampaikan di banyak tempat di dalam kitab-kitab kami. Jadi perbuatan tersebut diperbolehkan. Maka syari’at ini sesuai dengan syari’at Nabi Musa dalam hal tidak berdosanya orang yang mencungkil mata seseorang yang masuk rumahnya tanpa ijin. Dan Nabi Musa melakukan perbuatan tersebut karena diperbolehkan dan tidak ada dosa baginya untuk melakukannya. Ketika Malaikat Maut kembali kepada Rabbnya dan menceritakan apa yang terjadi pada dirinya dengan Nabi Musa, maka Allah memerintahkannya untuk yang kedua kalinya dengan perintah yang lain, yaitu perintah sebagai ujian dan cobaan, sebagaimana telah kami sebutkan sebelumnya. Allah mengatakan kepadanya : ”Katakan kepada Musa, jika engkau mau, letakkan tanganmu ke punggung sapi jantan. Maka engkau akan mendapatkan penangguhan (kematian) sejumlah bulu (sapi jantan) yang tertutupi tanganmu, dengan setiap bulunya terhitung satu tahun (penangguhan)”.

Ketika Musa Kalimullah – semoga keselamatan atas Nabi kita dan atas Nabi Musa – mengetahui bahwa orang itu adalah Malaikat Maut, dan ia datang membawa risalah dari Allah, maka dirinya merasa lebih baik untuk memilih kematian dan tidak menangguhnya. Nabi Musa berkata : ” ’Jika demikian, sekarang (waktunya)!”. Seandanya pada saat kedatangan yang pertama Nabi Musa telah mengetahui bahwa orang itu adalah Malaikat Maut, maka malaikat tersebut tidak perlu datang lagi kepada Nabi Musa untuk kedua kalinya dalam rangka untuk meyakinkannya.
Keterangan ini bertentangan dengan perkataan orang-orang yang menyangka bahwa Ashhaabul-Hadiits adalah para pembawa kayu bakar dan penjaga malam yang mengumpulkan hal-hal yang tidak bermanfaat, dan meriwayatkan hal-hal yang tidak bernilai pahala. Orang-orang tersebut mengatakan sesuatu yang dapat membatalkan keislaman mereka, karena mereka tidak mengetahui makna-makna dari hadits tersebut, serta meninggalkan tafaqquh (memahami agama) dan riwayat-riwayat. Kemudian mereka bersandar kepada akal dan qiyas yang berubah-rubah” [selesai – Shahih Ibni Hibban no. 6223]

3.    Al-Imam An-Nawawi rahimahullah berkata :

قَالَ الْمَازِرِيّ : وَقَدْ أَنْكَرَ بَعْض الْمَلَاحِدَة هَذَا الْحَدِيث , وَأَنْكَرَ تَصَوُّره , قَالُوا كَيْف يَجُوزُ عَلَى مُوسَى فَقْء عَيْن مَلَك الْمَوْت ؟ قَالَ : وَأَجَابَ الْعُلَمَاء عَنْ هَذَا بِأَجْوِبَةٍ : أَحَدهَا أَنَّهُ لَا يَمْتَنِع أَنْ يَكُونَ مُوسَى صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَدْ أَذِنَ اللَّه تَعَالَى لَهُ فِي هَذِهِ اللَّطْمَة , وَيَكُون ذَلِكَ اِمْتِحَانًا لِلْمَلْطُومِ , وَاَللَّه سُبْحَانه وَتَعَالَى يَفْعَلُ فِي خَلْقه مَا شَاءَ , وَيَمْتَحِنُهُمْ بِمَا أَرَادَ . وَالثَّانِي أَنَّ هَذَا عَلَى الْمَجَاز , وَالْمُرَاد أَنَّ مُوسَى نَاظَرَهُ وَحَاجَّهُ فَغَلَبَهُ بِالْحُجَّةِ , وَيُقَالُ : فَقَأَ فُلَان عَيْن فُلَان إِذَا غَالَبَهُ بِالْحُجَّةِ , وَيُقَالُ : عَوَرْت الشَّيْء إِذَا أَدْخَلْت فِيهِ نَقْصًا قَالَ : وَفِي هَذَا ضَعْفٌ لِقَوْلِهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : " فَرَدَّ اللَّه عَيْنه " فَإِنْ قِيلَ : أَرَادَ رَدّ حُجَّته كَانَ بَعِيدًا . وَالثَّالِث أَنَّ مُوسَى صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمْ يَعْلَمْ أَنَّهُ مَلَك مِنْ عِنْد اللَّه , وَظَنَّ أَنَّهُ رَجُلٌ قَصَدَهُ يُرِيدُ نَفْسَهُ , فَدَافَعَهُ عَنْهَا , فَأَدَّتْ الْمُدَافَعَةُ إِلَى فَقْءِ عَيْنِهِ , لَا أَنَّهُ قَصَدَهَا بِالْفَقْءِ , وَتُؤَيِّدُهُ رِوَايَة ( صَكَّهُ ) , وَهَذَا جَوَاب الْإِمَام أَبِي بَكْر بْن خُزَيْمَةَ وَغَيْره مِنْ الْمُتَقَدِّمِينَ , وَاخْتَارَهُ الْمَازِرِيّ وَالْقَاضِي عِيَاض

”Telah berkata Al-Maziri : Sebagian atheis mengingkari hadits ini beserta gambarannya dengan argumen : ”Bagaimana mungkin Nabi Musa mencongkel mata Malaikat Maut ?”. Maka para ulama menjawab syubhat ini dengan beberapa jawaban : Pertama ; Tidak mustahil bila Allah mengijinkan Musa’alaihis-salaam untuk melakukan tamparan ini sebagai ujian dan cobaan bagi yang ditampar (yaitu Malaikat Maut), karena Allah melakukan pada makhluk-Nya sekehendak-Nya. Juga, menguji makhluk-Nya dengan sekehendak-Nya pula. Kedua ; Hal ini adalah majaz. Maksudnya, Musa hendak mendebat Malaikat dan adu argumentasi dengannya sehingga mengalahkannya. Dikatakan faqa-a fulaanun ’aina fulaanin apabila ia mengalahkan argumen lawannya. Tetapi pendapat ini lemah, karena sabda Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam : ”Lalu Allah mengambalikan matanya”. Bila dikatakan bahwa maksudnya adalah ”mengambalikan membantah hujjahnya” ; maka ini adalah jauh sekali. Ketiga ; Musa tidak tahu bahwa yang datang padanya adalah Malaikat utusan Allah. Musa mengira bahwa dia adalah orang asing yang menginginkan nyawanya, sehingga Musa harus membela dirinya dan menamparnya. Pembelaan ini membuat dirinya tanpa sengaja mencungkil matanya. Ini adalah jawaban Al-Imam Abu Bakr bin Khuzaimah dan yang lainnya dari kalangan ulama terdahulu. Pendapat ini juga dipilih  oleh Al-Maziri dan Al-Qadli ’Iyadl” [Syarh Shahih Muslim oleh An-Nawawi hal. 1621–1622;]‎

Wallohul Muwaffiq Ila Aqwamith Thoriq‎

Tugas Malaikat Isrofil 'Alaihissalam


Termasuk bagian dari rukun iman adalah iman kepada malaikat-malaikat Allah ta’ala, sebagaimana firman-Nya :
 
آمَنَ الرَّسُولُ بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْهِ مِنْ رَبِّهِ وَالْمُؤْمِنُونَ كُلٌّ آمَنَ بِاللَّهِ وَمَلائِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ لا نُفَرِّقُ بَيْنَ أَحَدٍ مِنْ رُسُلِهِ وَقَالُوا سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا غُفْرَانَكَ رَبَّنَا وَإِلَيْكَ الْمَصِيرُ
 
“Rasul telah beriman kepada Al Qur'an yang diturunkan kepadanya dari Tuhannya, demikian pula orang-orang yang beriman. Semuanya beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya dan rasul-rasul-Nya. (Mereka mengatakan): "Kami tidak membeda-bedakan antara seseorang pun (dengan yang lain) dari rasul rasul-Nya", dan mereka mengatakan: "Kami dengar dan kami taat". (Mereka berdoa): "Ampunilah kami ya Tuhan kami dan kepada Engkaulah tempat kembali"[QS. Al-Baqarah : 285].

Malaikat Israfil (malaikat peniup sangkakala)

Malaikat israfil bertugas sebagai peniup sangkakala di hari akhir. Israfil meniupnya dua kali, yaitu : akan kiamat dan akan berbangkit. Mengenai tiupan pertama, antara lain ialah :

فإذا نفخ في الصور نفخة واحدة

وحملت الأرض والجبال فدكتا دكة واحدة

“Maka apabila sangkakala ditiup sekali tiup, dan diangkatlah bumi dan gunung-gunung, lalu dibenturkan keduanya sekali bentur”(QS. Al-Haqqah : 13-14).

Tiupan kedua :

ونفخ في الصور فإذا هم من الأجداث إلى ربهم ينسلون

“Dan ditiuplah sangkakala, maka tiba-tiba mereka ke luar dengan segera dari kuburnya (menuju) kepada Tuhan mereka”(QS. Yaasiin : 51).

Ia lah malaikat yang diberikan tugas oleh Allahta’ala untuk meniup sangkakala kelak di hari kiamat. Allah ta’ala berfirman :
 
وَيَوْمَ يُنْفَخُ فِي الصُّورِ فَفَزِعَ مَنْ فِي السَّمَاوَاتِ وَمَنْ فِي الأرْضِ إِلا مَنْ شَاءَ اللَّهُ وَكُلٌّ أَتَوْهُ دَاخِرِينَ
 
“Dan (ingatlah) hari (ketika) ditiup sangkakala, maka terkejutlah segala yang di langit dan segala yang di bumi, kecuali siapa yang dikehendaki Allah. Dan semua mereka datang menghadap-Nya dengan merendahkan diri”[QS. An-Naml : 87].
Ibnu Katsiir rahimahullah berkata :
 
يخبر تعالى عن هول يوم نفخة الفَزَع في الصُّور، وهو كما جاء في الحديث: "قرن ينفخ فيه". وفي حديث(الصُّور) أن إسرافيل هو الذي ينفخ فيه بأمر الله تعالى، فينفخ فيه أولا نفخة الفزع ويطولها، وذلك في آخر عمر الدنيا، حين تقوم الساعة على شرار الناس من الأحياء، فيفزع مَنْ في السموات ومَنْ في الأرض { إِلا مَنْ شَاءَ اللَّهُ }......
 
“Allah ta’ala mengkhabarkan tentang keterkejutan manusia pada hari ditiupnya sangkakala. Hal itu sebagaimana terdapat dalam sebuah hadits : ‘sangkakala ditiup pada waktu itu’. Dan dalam hadits sangkakala tersebut dinyatakan bahwa Israafiil-lah yang meniupnya dengan perintah Allah ta’ala. Tiupan pertama adalah tiupan yang mengejutkan, hingga cukup lama waktunya dan hal itu terjadi di akhir umur dunia ketika kiamat terjadi, menimpa manusia-manusia terburuk. Maka saat itu terkejutah penghuni langit dan bumi. ‘Kecuali siapa yang dikehendaki Allah’…..” [Tafsir Ibni Katsiir, 10/436; Muassasah Qurthubah, Cet. 1/1421].

Terdapat sebuah hadits yang tegas menunjukkan bahwa malaikat yang bertugas meniup sangkakala adalah Israfil, namun hadist ini dinilai dha’if oleh para ulama ahli hadits. Hadits tersebut diriwayatkan dari Abu Hurairah ‎radhiyallahu ‘anhu, dalam sebuah hadits yang sangat panjang, beliau ‎radhiyallahu ‘anhu menceritakan,

إِنَّ اللَّهَ لَمَّا فَرَغَ مِنْ خَلْقِ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ، خَلَقَ الصُّورَ فَأَعْطَاهُ إِسْرَافِيلَ فَهُوَ وَاضِعُهُ عَلَى فِيهِ، شَاخِصًا بَصَرَهُ إِلَى الْعَرْشِ يَنْتَظِرُ مَتَى يُؤْمَرُ» قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَا الصُّورُ؟ قَالَ: «الْقَرْنُ» قُلْتُ: كَيْفَ هُوَ؟ قَالَ: «عَظِيمٌ وَالَّذِي بَعَثَنِي بِالْحَقِّ إِنَّ عَظْمَ دَارَةَ فِيهِ كَعَرْضِ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ، يُنْفَخُ فِيهِ ثَلَاثُ نَفَخَاتٍ: النَّفْخَةُ الْأُولَى نَفْخَةُ الْفَزَعِ، وَالثَّانِيَةُ نَفْخَةُ الصَّعْقِ، وَالثَّالِثَةُ نفخة القيام لرب العالمين،

“Telah menceritakan kepada kami Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Sesungguhnya Allah Ta’ala ketika selesai menciptakan langit dan bumi, maka Allah menciptakan “ash-shuur”,kemudian diberikan kepada Israfil dan diletakkan di mulutnya. Israfil pun melihat dengan tajam ke arah ‘Arsy, menunggu kapan diperintahkan (untuk meniupnya, pen.).’

Aku (Abu Hurairah) berkata,’Wahai Rasulullah, apakah “ash-shuur” itu?’

Rasulullah menjawab,’(Yaitu) al-qornu (semacam tanduk, terompet atau sangkakala, pen.)’

Aku (Abu Hurairah) berkata,’Seperti apa itu?’

Rasulullah menjawab,’Sesuatu yang sangat besar. Demi Dzat yang mengutusku dengan kebenaran, sesungguhnya besarnya bagaikan lebar langit dan bumi, yang ditiup tiga kali (pada hari kiamat, pen.), yaitu tiupan (pertama) yang menyebabkan kaget (nafkhotul faza’); tiupan ke dua yang menyebabkan kematian seluruh makhluk (nafkhotu ash-sha’qi); dan tiupan ke tiga yang menyebabkan dibangkitkannya manusia menghadap Allah (nafkhotul ba’tsi wan nusyur) … ‘”

Hadits di atas adalah hadits yang dha’if, sehingga tidak bisa dijadikan sebagai dalil, apalagi dalam masalah aqidah. 

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بن عَبْدِ اللَّهِ الْحَضْرَمِيُّ، حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بن عُمَرَ بن أَبِي لَيْلَى، حَدَّثَنِي أَبِي، عَنِ ابْنِ أَبِي لَيْلَى، عَنِ الْحَكَمِ، عَنْ مِقْسَمٍ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ،
قَالَ: هَذَا إِسْرَافِيلُ خَلَقَهُ اللَّهُ يَوْمَ خَلَقَهُ بَيْنَ يَدَيْهِ صافًّا قَدَمَيْهِ لا يَرْفَعُ طَرْفَهُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ الرَّبِّ سَبْعُونَ نُورًا مَا مِنْهَا مِنْ نُورٍ يَكَادُ يَدْنُو مِنْهُ إِلا احْتَرَقَ، بَيْنَ يَدَيْهِ لَوْحٌ فَإِذَا أَذِنَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ فِي شَيْءٍ فِي السَّمَاءِ أَوْ فِي الأَرْضِ ارْتَفَعَ ذَلِكَ الْوَحْيُ فَضَرَبَ جَبْهَتَهُ فَيَنْظُرُ فَإِنْ كَانَ مِنْ عَمَلِي أَمَرَنِي بِهِ، وَإِنْ كَانَ مِنْ عَمِلِ مِيكَائِيلَ أَمَرَهُ بِهِ، وَإِنْ كَانَ مِنْ عَمِلِ مَلَكِ الْمَوْتِ أَمَرَهُ بِهِ، فَقُلْتُ: يَا جِبْرِيلُ، وَعَلَى أَيِّ

Ibnu Abbas berkata : Ini Israfil yang di ciptakan oleh Allah  pada hari Allah menciptakannya  di mukaNya  dengan membariskan kedua tapak kakinya  . Dia  tidak mengangkat pandangannya . Antara dia dan Tuhan terdapat tujuh puluh cahaya . Setiap  cahaya yang  akan mendekat kepadaNya akan terbakar dimukaNya . Di mukaNYa terdapat papan ( lauh ) . Bila Allah azza wajal memberikan restu untuk sesuatu di langit dan bumi , maka hilanglah wahyu itu  dan memukul dahi Israil . Lalu dilihat . Bila  untuk pekerjaanku , maka aku di perintah  . Bila untuk tugas Mikail , maka  di perintahkan kepadanya .Bila untuk  tugas malakul maut , maka  diperintahkan untuknya . ……………‎

Ali bin Abu Bakar Al Haitami  berkata :

رَوَاهُ الطَّبْرَانِي وَفِيْهِ مُحَمَّدٌ بْنُ أَبِي لَيْلَى وَقَدْ وَثَّقَهُ جَمَاعَةٌ وَلَكِنَّهُ سَيِّئُ الْحِفْظِ، وَبَقِيَّةُ رِجَالِهِ ثِقَاتٌ.

Hr Thabrani  , sanadnya terdapat Muhammad bin Abu Laila . Sungguh segolongan jama`ah ahlul hadis menyatakan terpercaya padanya  . Tapi dia sendiri adalah jelek hapalannya . Dan  perawi selain dia terpercaya. 

Ber arti hadis tsb lemah . Dalam tempat lain dinyatakan  sbb :

هَذَا حَدِيْثٌ غَرِيْبٌ مِنْ هَذَا اْلوَجْهِ
Ini hadis nyeleneh dari jalur ini .
Dalam kitab Takhrij ahaditsil ihya` 1/240  terdapat keterangan bahwa sanadnya lemah .
Tentang lapis cahaya antara Israfil dan Allah sampai tujuh puluh itu tiada keterangan nya dalam al quran dan bertentangan dengan ayat 


اللَّهُ نُورُ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ مَثَلُ نُورِهِ كَمِشْكَاةٍ فِيهَا مِصْبَاحٌ الْمِصْبَاحُ فِي زُجَاجَةٍ الزُّجَاجَةُ كَأَنَّهَا كَوْكَبٌ دُرِّيٌّ يُوقَدُ مِنْ شَجَرَةٍ مُبَارَكَةٍ زَيْتُونَةٍ لَا شَرْقِيَّةٍ وَلَا غَرْبِيَّةٍ يَكَادُ زَيْتُهَا يُضِيءُ وَلَوْ لَمْ تَمْسَسْهُ نَارٌ نُورٌ عَلَى نُورٍ يَهْدِي اللَّهُ لِنُورِهِ مَنْ يَشَاءُ وَيَضْرِبُ اللَّهُ الْأَمْثَالَ لِلنَّاسِ وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ(35)

Allah (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. Perumpamaan cahaya Allah, adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus, yang di dalamnya ada pelita besar. Pelita itu di dalam kaca (dan) kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya) seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang banyak berkahnya, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu) dan tidak pula di sebelah barat (nya), yang minyaknya (saja) hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api. Cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis), Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang Dia kehendaki, dan Allah memperbuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.‎

Bila Nabi Musa as tahu bahwa lapisan cahaya yang menghadang Allah begitu panas , dan barang yang mendekatnya akan membakarnya , maka nabi Musa  tidak akan berani minta melihatNya  sebagaimana ayat :

وَلَمَّا جَاءَ مُوسَى لِمِيقَاتِنَا وَكَلَّمَهُ رَبُّهُ قَالَ رَبِّ أَرِنِي أَنْظُرْ إِلَيْكَ قَالَ لَنْ تَرَانِي وَلَكِنِ انْظُرْ إِلَى الْجَبَلِ فَإِنِ اسْتَقَرَّ مَكَانَهُ فَسَوْفَ تَرَانِي فَلَمَّا تَجَلَّى رَبُّهُ لِلْجَبَلِ جَعَلَهُ دَكًّا وَخَرَّ مُوسَى صَعِقًا فَلَمَّا أَفَاقَ قَالَ سُبْحَانَكَ تُبْتُ إِلَيْكَ وَأَنَا أَوَّلُ الْمُؤْمِنِينَ(143)

Dan tatkala Musa datang untuk (munajat dengan Kami) pada waktu yang telah Kami tentukan dan Tuhan telah berfirman (langsung) kepadanya, berkatalah Musa: "Ya Tuhanku, nampakkanlah (diri Engkau) kepadaku agar aku dapat melihat kepada Engkau". Tuhan berfirman: "Kamu sekali-kali tidak sanggup melihat-Ku, tapi lihatlah ke bukit itu, maka jika ia tetap di tempatnya (sebagai sediakala) niscaya kamu dapat melihat-Ku". Tatkala Tuhannya menampakkan diri kepada gunung itu, dijadikannya gunung itu hancur luluh dan Musapun jatuh pingsan. Maka setelah Musa sadar kembali, dia berkata: "Maha Suci Engkau, aku bertaubat kepada Engkau dan aku orang yang pertama-tama beriman".‎

عَنْ أَبِي مُوسَى قَالَ قَامَ فِينَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِخَمْسِ كَلِمَاتٍ فَقَالَ إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ لَا يَنَامُ وَلَا يَنْبَغِي لَهُ أَنْ يَنَامَ يَخْفِضُ الْقِسْطَ وَيَرْفَعُهُ يُرْفَعُ إِلَيْهِ عَمَلُ اللَّيْلِ قَبْلَ عَمَلِ النَّهَارِ وَعَمَلُ النَّهَارِ قَبْلَ عَمَلِ اللَّيْلِ حِجَابُهُ النُّورُ لَوْ كَشَفَهُ لَأَحْرَقَتْ سُبُحَاتُ وَجْهِهِ مَا انْتَهَى إِلَيْهِ بَصَرُهُ مِنْ خَلْقِهِ

………………..Abu Musa berkata : Rasulullah SAW berdiri di kalangan kita dengan mengatakan lima kalimat . beliau bersabda : Sesungguhnya Allah azza wajal  tidak tidur , dan tak layak bagiNya  untuk tidur . Beliau menurunkan timbangan amal dan mengangkatnya . KepadaNya , diangkat perbuatan malam sebelum perbuatan siang  dan amalan malam  sebelum amalan siang . HijabNya adalah cahaya . Seandainya di buka , maka keagungan wajah Allah akan membakar apa yang dilihatnya dari mahlukNya. ‎

Selain itu, terdapat hadits shahih yang diriwayatkan oleh Muslim, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berdoa dalam doa iftitah ketika shalat,

اللهُمَّ رَبَّ جَبْرَائِيلَ، وَمِيكَائِيلَ، وَإِسْرَافِيلَ، فَاطِرَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ، عَالِمَ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ، أَنْتَ تَحْكُمُ بَيْنَ عِبَادِكَ فِيمَا كَانُوا فِيهِ يَخْتَلِفُونَ، اهْدِنِي لِمَا اخْتُلِفَ فِيهِ مِنَ الْحَقِّ بِإِذْنِكَ، إِنَّكَ تَهْدِي مَنْ تَشَاءُ إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ

“Ya Allah, Rabb Jibril, Mikail, dan Israfil. Wahai Pencipta langit dan bumi, Yang mengetahui hal ghaib dan nyata. Engkau menetapkan hukum (untuk memutuskan) apa yang diperselisihkan oleh hamba-Mu (yaitu Yahudi dan Nashrani, pen.). Tunjukkanlah aku pada kebenaran atas apa yang mereka perselisihkan dengan izin-Mu. Sesungguhnya Engkau memberi petunjuk pada jalan yang lurus bagi orang yang Engkau kehendaki.” 

Namun kalau kita cermati hadits di atas, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam hanya menyebutkan nama (malaikat) Israfil, tanpa menyebutkan bahwa (malaikat) Israfil bertugas meniup sangkakala pada hari kiamat. Sehingga hadits ini pun tidak tepat jika digunakan sebagai dalil dalam masalah ini. Hadits ini hanyalah menunjukkan bahwa di antara malaikat Allah, ada malaikat yang bernama Israfil, tanpa menyebutkan tugasnya.

Syaikh Ali Hasan Al-Halabi Al-Atsary hafidzahullahu Ta’ala mengatakan,

لم يَرِد لفظُ أن (إسرافيل) هو الموكَّل بالصُّور؛ إلا في هذا الحديث الضَّعيف -على كثرةِ، وشُهرة، وتردُّد ما يقع على ألسنةِ أهلِ العلم وفي كتُبهم: أنَّ الملَك الموكَّل بالصُّور هو: إسرافيل-؛ وهذا لم يصحَّ -قطُّ- عن النبي -عَليهِ الصَّلاةُ والسَّلامُ-، ولم يَرِد إلا في حديث الصُّور -الذي هو حديث ضعيف-؛ بل وَرد في حديثٍ آخر -وهو حديثٌ صحيح-: أن إسرافيل هو الملَك الموكَّل في الجيشِ، والنُّصرةِ للجيشِ، والقيامِ بمُعاداة الأعداء للمسلمين -أو كما ورد عن النبي -صلَّى اللهُ عَليهِ وآلِه وسَلَّم-.

“Tidak terdapat lafadz (nama) Israfil sebagai nama malaikat yang bertugas meniup terompet (pada hari kiamat), kecuali dalam hadits yang dha’if ini. Meskipun sedemikian banyak, sangat masyhur (terkenal), dan seringkali diucapkan oleh para ulama serta tercantum dalam kitab-kitab mereka, bahwa malaikat yang bertugas meniup sangkakala bernama Israfil. Padahal tidak terdapat sama sekali hadits yang shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tidak ada dalil yang menunjukkan (bahwa Israfil bertugas meniup sangkakala) kecuali hadits “ash-shuur” ‎yang merupakan hadits yang dho'if. Bahkan terdapat hadits yang lain –dan hadits tersebut shahih- bahwa Israfil adalah malaikat yang bertugas untuk mengurus dan membantu pasukan kaum muslimin (di medan jihad, pen.) serta ikut menyerang musuh-musuh kaum muslimin, atau sebagaimana (lafadz) yang berasal dari (hadits) Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.” ‎

Ulama lain yang menyatakan bahwa tidak terdapat hadits shahih yang menunjukkan bahwa malaikat Israfil bertugas meniup sangkakala pada hari kiamat adalah Syaikh ‘Abdul Muhsin Al-‘Abbad hafidzahullah. ‎

Hadits shahih yang dimaksud oleh Syaikh Ali Hasan tersebut diriwayatkan dari ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu,

قِيلَ لِعَلِيٍّ، وَلِأَبِي بَكْرٍ يَوْمَ بَدْرٍ: مَعَ أَحَدِكُمَا جِبْرِيلُ، وَمَعَ الْآخَرِ مِيكَائِيلُ وَإِسْرَافِيلُ مَلَكٌ عَظِيمٌ يَشْهَدُ الْقِتَالَ – أَوْ قَالَ: يَشْهَدُ الصَّفَّ

“Dikatakan kepada ‘Ali dan Abu Bakar pada saat perang Badar,’Bersama kalian berdua ada malaikat Jibril, dan bersama yang lain ada malaikat Mikail. Dan Israfil adalah malaikat yang agung, yang menyaksikan (membantu) pertempuran.’ Atau (Rasulullah) mengatakan, ’Ada di barisan (pasukan kaum muslimin).’” ‎

Kesimpulannya, tidak terdapat hadits shahih yang menunjukkan bahwa malaikat Israfil bertugas meniup sangkakala pada hari kiamat.

Ada hadis yang menyatakan Israfil pemikul arasy sbb :

 - حَدَّثَنَا اْلوَلِيْدُ بْنُ أَبَانَ ، أَنَا مُحَمَّدٌ بْنُ عَمَّارٍ الرَّازِي ، نَا مُؤَمَّلٌ بْنُ إِسْمَاعِيْلَ ، أَنَا حَمَّادٌ بْنُ زَيْدٍ ، عَنْ عَلِيٍّ بْنِ زَيْدٍ ، عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ الْحَارِثِ ، قَالَ : كُنْتُ عِنْدَ عَائِشَةَ ، وَعِنْدَهَا كَعْبُ الْحَبْرُ فَذَكَرَ إِسْرَافِيْلُ ، فَقَالَتْ عَائِشَةُ : يَا كَعْبُ ، أَخْبِرْنِي عَنْ إِسْرَافِيْلَ ، فَقَالَ كَعْبٌ : ِعنْدَكُمْ اْلعِلْمُ ، فَقَالَتْ : أَجَلْ ، فَأَخْبِرْنِي ، قَالَ : « َلهُ أَرْبَعَةُ أَجْنِحَةٍ ، جَنَاحَانِ فِي الْهَوَاءِ ، وَجَنَاحٌ قَدْ تَسَرْبَلَ بِهِ ، وَجَنَاحٌ عَلَى كَاهِلِهِ ، وَاْلعَرْشُ عَلَى كَاهِلِهِ وَالْقَلَمُ عَلَى أُذُنِهِ ، فَإِذَا نَزَلَ اْلوَحْيُ كَتَبَ اْلقَلَمُ ، ثُمَّ دَرَسَتْ الْمَلاَئِكَةُ وَمَلَكُ الصُّوْرِ جَاثٍ عَلىَ إِحْدَى رَكْبَتَيْهِ ، وَقَدْ نُصِبَتْ اْلأُخْرَى ، فَالْتَقَمَ الصُّوْرَ مَحْنِيٌّ ظَهْرُهُ ، شَاخِصٌ بَصَرَهُ إِلَى إِسْرَافِيْلَ ، وَقَدْ أَمَرَ إِذَا رَأَى إِسْرَافِيْلَ قَدْ ضَمَّ جَنَاحَهُ أَنْ يَنْفُخَ فِي الصُّوْرِ » ، فَقَالَتْ عَائِشَةُ : « هَكَذَا سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهِ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ »

Dari Abdullah bin Al Harits berkata : Aku di sisi Aisyah dan disisinya Ka`ab al habr , lalu menyebut  Israfil .
Aisyah berkata : Wahai Ka`ab , beritahu aku tentang Israfil .
Ka`ab berkata : Kamu punya  Ilmu .
Aisyah  berkata : Ya , maka beritahu aku .
Kaab berkata :  Dia punya  empat sayap . Dua sayap di udara  dan satu sayap lagi di buat pakaiannya . Satu sayap di pundaknya  dan  Arasy juga di pundaknya . Dan pena di telinganya . 
Bila wahyu telah di turunkan , maka pena menulis , lalu malaikat malaikat mempelajarinya  , lalu malaikat pencabut nyawa datang dengan duduk di atas satu lututnya dan lutut yang lain dijulurkan .
Lalu dia menelan sangkakala  dengan menundukkan punggung , lalu pandangannya melihat kepada Israfil . Sungguh dia telah memerintah bila melihat Israfil telah mengumpulkan sayapnya  maka  hendaklah meniup sangkakala 
Aisyah berkata : Demikianlah aku mendengar Rasulullah SAW  bersabda .
Imam Thabrani menyatakan :

لَِمْ يِرْوِ هَذَا الْحَدِيْثَ عَنْ حَمَّادٍ بْنِ زَيْدٍ إِلاَّ مُؤَمَّلٌ

Hadis tsb hanya Muammal yang meriwayatkan dari Hammad bin zaid .

أَلاَ أُخْبِرُكُمْ بِبَعْضِ عَظَمَةِ اللهِ إِنَّ ِللهِ مَلَكًا مِنْ حَمَلَةِ اْلعَرْشِ يُقَالُ لَهُ إِسْرَافِيْلُ زَاوِيَةٌ مِنْ زَوَايَا الْعَرْشِ عَلَى كَاهِلِهِ قَدْ مَرِقَتْ قَدَمَاهُ فِى اْلأَرْضِ السُّفْلَى وَمَرَقَ رَأْسُهُ مِنَ السَّمَاءِ السَّابِعَةِ اْلعُلْيَا فَمَنْ مِثْلُهُ مِنْ خَلِيْقَةِ رَبِّكُمْ (أَبُو نُعَيْمٍ فِى الْحِلْيَةِ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ) (6/65) .

Maukah kamu aku beritahu kamu sebagian keagungan Allah . Sesungguhnya Allah punya malaikat yang memikul arasy , bernama  Israfil – sudut  dari sudut Arasy berada di pundaknya . Kedua tumitnya berada di bumi yang terbawah dan kepalanya di langit tujuh  . Siapakah yang seperti dia  dari mahluk Tuhanmu .  HR Abu Nuaim dari Ibnu Abbas dalam kitab al Hilyah  6/65 .

Israfil mahluk terbesar
Muhammad As syarbini al khathib berkata :

وَهُوَ اْلقَرْنُ الَّذِي يَنْفُخُ فِيْهِ إِسْرَافِيْلُ عَلَيْهِ السَّلاَمُ ِللْمَوْتِ الْعَامِّ وَالْبَعْثِ اْلعَامّ عِنْدَ التَّكَامُلِ وَاْنقِطَاعِ أَوَانِ التَّعَامُلِ وَهُوَ بِحَيْثُ لاَ يَعْلَمُ قَدْرَ عَظْمِهِ وَاتِّسَاعِهِ إِلاَّ اللهُ تَعَالَى وَهُوَ عَلَيْهِ السَّلاَمُ قَدْ الْتَقَمَ الصُّوْرَ مِنْ حِيْنَ بُعِثَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَحَنَى جَبْهَتَهُ وَأَصْغَى سَمْعَهُ يَنْتَظِرُ مَتَى يُؤْمَرُ فَيَالَهَا مِنْ عَظَمَةٍ مَا أَغْفَلْنَا

Yaitu sangkakal yang di tiup oleh Israfil as untuk kematian umum  dan kebangkitan umum ketika penyempurnaan atau masa pergaulan telah putus . Israfil itu amat besar dan tiada yang tahu besar dan luasnya kecuali Allah taala . Dia telah menelan sangkakala ketika Nabi SAW diutus dan dia telah menundukkan kepalanya  dan mendengarkan sambil menanti kapan mendapat perintah . Sungguh hebat kebesarannya  kami tidak melupakannya .

Peniupan sangkakala dalam al quran

Dalam al quran tentang siapakah peniup sangkakala masih kabur dan belum di beri keterangan yang jelas . Dan  di dalamnya  tiada penyebutan bahwa malaikat Israfil yang meniupnya  . Inilah yang bikin kita tidak bisa memastikan bahwa  peniup sangkakala adalah malaikat Israfil .Lihat ayat – ayatnya  sbb :

وَهُوَ الَّذِي خَلَقَ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضَ بِالْحَقِّ وَيَوْمَ يَقُولُ كُنْ فَيَكُونُ قَوْلُهُ الْحَقُّ وَلَهُ الْمُلْكُ يَوْمَ يُنْفَخُ فِي الصُّورِ عَالِمُ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ وَهُوَ الْحَكِيمُ الْخَبِيرُ(73)

Dan Dialah yang menciptakan langit dan bumi dengan benar. Dan benarlah perkataan-Nya di waktu Dia mengatakan: "Jadilah, lalu terjadilah", dan di tangan-Nyalah segala kekuasaan di waktu sangkakala ditiup. Dia mengetahui yang ghaib dan yang nampak. Dan Dialah Yang Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui. Al an`am 73

وَتَرَكْنَا بَعْضَهُمْ يَوْمَئِذٍ يَمُوجُ فِي بَعْضٍ وَنُفِخَ فِي الصُّورِ فَجَمَعْنَاهُمْ جَمْعًا(99)

Kami biarkan mereka di hari itu bercampur aduk antara satu dengan yang lain, kemudian ditiup lagi sangkakala, lalu Kami kumpulkan mereka itu semuanya. Al Kahfi 99

يَوْمَ يُنْفَخُ فِي الصُّورِ وَنَحْشُرُ الْمُجْرِمِينَ يَوْمَئِذٍ زُرْقًا(102)

(yaitu) di hari (yang di waktu itu) ditiup sangkakala dan Kami akan mengumpulkan pada hari itu orang-orang yang berdosa dengan muka yang biru muram;Thaha 102

فَإِذَا نُفِخَ فِي الصُّورِ فَلَا أَنْسَابَ بَيْنَهُمْ يَوْمَئِذٍ وَلَا يَتَسَاءَلُونَ(101)

Apabila sangkakala ditiup maka tidaklah ada lagi pertalian nasab di antara mereka pada hari itu, dan tidak ada pula mereka saling bertanya.Al mukminun 101

وَيَوْمَ يُنْفَخُ فِي الصُّورِ فَفَزِعَ مَنْ فِي السَّمَوَاتِ وَمَنْ فِي الْأَرْضِ إِلَّا مَنْ شَاءَ اللَّهُ وَكُلٌّ أَتَوْهُ دَاخِرِينَ(87)

Dan (ingatlah) hari (ketika) ditiup sangkakala, maka terkejutlah segala yang di langit dan segala yang di bumi, kecuali siapa yang dikehendaki Allah. Dan semua mereka datang menghadap-Nya dengan merendahkan diri. Al naml 87


Dalil Ijma’ tentang Tugas Malaikat Israfil untuk Meniup Sangkakala

Terdapat nukilan ijma’ yang menyebutkan kesepatan ulama kaum muslimin bahwa malaikat Israfil adalah malaikat yang bertugas meniup sangkakala pada hari kiamat. Al-Qurthubi rahimahullah berkata,
والأمم مجمعة على أن الذي ينفخ في الصور إسرافيل عليه السلام

“Dan umat (Islam) telah bersepakat bahwa (malaikat) yang meniup sangkakala (pada hari kiamat) adalah Israfil ‘alaihis salaam.” 

Di kitab beliau yang lain, Al-Qurthubi rahimahullah berkata,

قال علماؤنا: والأمم مجمعون على أن الذي ينفخ في الصور إسرافيل عليه السلام.

”Para ulama kami berkata (bahwa) umat (Islam) bersepakat bahwa (malaikat) yang meniup sangkakala (pada hari kiamat) adalah Israfil ‘alaihis salaam.”

Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah berkata,

تنبيه اشتهر أن صاحب الصور إسرافيل عليه السلام ونقل فيه الحليمي الإجماع

“Peringatan: telah masyhur (terkenal) bahwa pemilik (peniup) sangkakala adalah Israfil ‘alaihis salaam. Al-Halimi telah menyebutkan adanya ijma’ dalam masalah ini.” ‎

Jika terdapat ijma’, maka ijma’ tersebut adalah hujjah (dalil) yang digunakan sebagai dasar dalam masalah aqidah. Jika tidak terdapat ijma’ dalam masalah ini, maka kewajiban kita adalah diam, tidak mengatakan apa yang tidak dikatakan oleh Allah Ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alahi wa sallam. Jika menyebutkannya terdapat faidah, maka tentu akan sampai kepada kita dalil tegas dan jelas dalam masalah ini di dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. ‎

Ijma’ inilah yang diamalkan oleh para ulama sejak zaman dahulu hingga sekarang ini. Setelah menyebutkan dha’if-nya hadits yang tegas menunjukkan bahwa malaikat yang bertugas meniup sangkakala adalah Israfil  Syaikh Ali Hasan Al-Halabi Al-Atsary hafidzahullahu Ta’ala mengatakan,

أمَّا أنَّ صاحبَ الصُّور هو إسرافيل؛ فنقلَ على ذلكَ الإجماعَ غيرُ واحدٍ مِن العُلماء، حتَّى قال الحَريمي: (أجمعَ العُلماءُ على ذلك)، ورأيتُ لبعضِ العُلماء؛ قال: (أجمعتْ جميعُ الأُمم على ذلك). لكن -في الحقيقة-: إذا صحَّ هذا الإجماعُ؛ فنحنُ قائِلون به؛ لا نخرجُ عن إجماعِ الأُمَّة، وبخاصَّة: أنَّنا رأينا كثيرًا مِن علماءِ أهلِ السُّنَّة الماضِين والمتأخِّرين والمُعاصِرين يَقولون بِذلك، ويأخذونَه مأخَذ المُسلَّمات، لا يُناقِشون فيه، ولا يَتردَّدون في ذِكره. بينما -في الحقيقةِ- لم يصحَّ حديثٌ صريحٌ في هذا الموضوع، ليس هنالك حديثٌ صريحٌ -أو صحيحٌ- واحد.

”Adapun bahwa ‘shahibush shuur’ adalah Israfil, maka para ulama telah menukil adanya ijma’ dalam masalah ini. Sampai-sampai Al-Harimi berkata,’Para ulama telah bersepakat dalam masalah ini.’ Dan aku melihat sebagian ulama berkata,’Seluruh umat telah bersepakat dalam masalah ini.’ Akan tetapi pada hakikatnya, jika benar (klaim) ijma’ ini, maka kami pun mengikutinya. Kami tidak keluar (menyelisihi) ijma’ umat ini, khusunya ketika kami melihat banyak ulama ahlus sunnah pada zaman dahulu dan zaman sekarang, mengatakan hal ini (bahwa Israfil adalah malaikat yang bertugas meniup sangkakala, pen.). Mereka mengambil sikap menerima kesepakatan ini, tidak menentangnya, dan juga tidak ragu menyebutkannya.Meskipun pada hakikatnya, tidak terdapat hadits tegas dalam masalah ini, tidak terdapat satu pun hadits tegas dan shahih dalam masalah ini.”

Sebagaimana penjelasan Syaikh Ali Hasan di atas, maka kita jumpai ulama dahulu dan sekarang yang tanpa ragu menyebutkan bahwa Israfil adalah malaikat yang bertugas meniup sangkakala pada hari kiamat. Contoh ulama ahlus sunnah saat ini adalah Syaikh Dr. Shalih Al-Fauzanhafidzahullahu Ta’ala dalam penjelasan ringkas beliau terhadap matan kitabAl-‘Aqidah Ath-Thahawiyyah, beliau berkata,” … Kemudian Allah memerintakan Israfil, maka Israfil meniup sangkakala untuk ke dua kalinya, maka kembalilah ruh kepada jasadnya masing-masing.“

Demikian pula Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah ketika menjelaskan tentang tugas para malaikat, beliau rahimahullah menyebutkan,

ثانياً: إسرافيل: موكل بنفخ الصور, وهو أيضاً أحد حملة العرش.

“Yang ke dua (adalah malaikat) Israfil, yang diberi tugas meniup sangkakala, dan dia juga salah satu malaikat yang memikul ‘arsy.”

Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah menyatakan bahwa malaikat Israfil juga bertugas memikul ‘arsy. Dalil mengenai masalah ini adalah sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Jalaluddin As-Suyuthi, dari sahabat Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إن ملكا من حملة العرش يقال له: إسرافيل، زاوية من زوايا العرش على كاهله، قد مرقت قدماه في الأرض السابعة السفلى، ومرق رأسه من السماء السابعة العليا

“Sesungguhnya seorang malaikat dari malaikat yang memikul ‘arsy disebut dengan Israfil, yang memikul ‘arsy di atas tengkuknya. Kedua telapak kakinya menghujam ke dasar bumi yang tujuh, sedangkan kepalanya menjulang tinggi di atas langit yang tujuh.”

Kesimpulan

Berdasarkan uraian kami  maka dapat kita simpulkan beberapa poin penting berikut ini:

Hadits yang menunjukkan bahwa malaikat yang bertugas meniup sangkakala adalah malaikat Israfil, maka hadits tersebut dha’if, tidak bisa digunakan sebagai dalil.

Hadits yang shahih menunjukkan bahwa malaikat peniup sangkakala disebut dengan “shahibush shuur”atau “shahibul qarn” (dalam bentuk mufrod atau tunggal, yang menunjukkan satu orang malaikat).

Hadits yang shahih menunjukkan bahwa malaikat Israfil bertugas untuk mengurus dan membantu pasukan kaum muslimin di medan jihad melawan musuh-musuh Allah.

Namun, terdapat nukilan ijma’ yang menunjukkan bahwa malaikat yang bertugas meniup sangkakala pada hari kiamat adalah malaikat Israfil. Ijma’ inilah yang masyhur dan diamalkan oleh para ulama ahlus sunnah, baik ulama zaman dahulu maupun zaman sekarang, sebagaimana penjelasan Syaikh Ali Hasan Al-Halabi Al-Atsary hafidzahullah.

Semoga penjelasan ini bermanfaat untuk kaum muslimin. 
Wallohul Muwaffiq Ila Aqwamith Thoriq.‎

 

Arti Sebuah Kejujuran


وَإِمَّا تَخَافَنَّ مِنْ قَوْمٍ خِيَانَةً فَانْبِذْ إِلَيْهِمْ عَلَىٰ سَوَاءٍ ۚ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْخَائِنِينَ
 
Artinya: “Dan jika kamu khawatir akan (terjadinya) pengkhianatan dari suatu golongan, Maka kembalikanlah perjanjian itu kepada mereka dengan cara yang jujur. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berkhianat.” (QS. Al-Anfal: 58)

إِنَّمَا يَفْتَرِي الْكَذِبَ الَّذِينَ لَا يُؤْمِنُونَ بِآيَاتِ اللَّهِ ۖ وَأُولَٰئِكَ هُمُ الْكَاذِبُونَ
 
Artinya: “Sesungguhnya yang mengada-adakan kebohongan, hanyalah orang-orang yang tidak beriman kepada ayat-ayat Allah, dan mereka Itulah orang-orang pendusta.”(QS. An-Nahl: 105)

Manusia pada dasarnya ingin memperoleh hasil yang memuaskan dari setiap usaha yang mereka lakukan, mereka tidak ingin mengalami kegagalan dalam segala hal, usaha dhahir perlu dilakukan, usaha bathin juga perlu dilaksanakan, karena kita tau bahwa manusia hanya bisa berusaha, Allah SWT yang akan menentukan hasilnya.
            
Pentingnya moral atau akhlaq dalam kehidupan diberbagai aspek sangat diperhitungkan. Dalam dunia bisnis, dalam akhlaq merupakan faktor utama bagi kesuksesan seseorang dalam mempertahankan usahanya. Begitu juga dalam hal kepemmpinan sesorang,menjaga kredibilitas dan kepercayaan akhlaq pribadi akan menjadi sorotan bagi banyak orang.
            ‎
Namun tidak jarang kita humpai di liku kehidupan ini kemrosotan moral dan akhlaq. Mulai dari pelajar hingga para pejabat negara,salah satunya adalah perilaku tidak jujur. Mereka tidak jujur dalam berbuat ataupun berucap sehingga melanggar nilai-nilai agama yang seharusnya dijunjung tinggi dimanapun dan kapanpun. Al Qur’an dan Assunah sendiri banyak yang menyinggung masaah demikian.

Allah SWT telah menciptakan manusia dalam bentuk yang paling baik dibandingkan makhluk lainnya yang ada di muka bumi ini. Manusia lebih sempurna dibandingkan dengan binatang. Berbeda dengan binatang, manusia diberi oleh Allah berupa fitriyah, khawasiyah, dan akliyah. Dengan menggunakan akliyah manusia dapat membedakan baik dan buruk sehingga dapat memilikib ahlak yang terpuji dan ahlak yang tercela.
Sebagai manusia yang sempurna dan sebagai khalifah di muka bumi ini maka manusia di tuntut untuk beraklak terpuji karena dengan aklak terpuji maka manusia akan selamat di dunia dan akhirat dan hendaklah berakhlak terpuji dimanapun berada dimulai dengan berbuat baik terhadap diri sendiri ,lingkungan keluarga dan masyarakat, dan salah satu akhlak terpuji yang harus dimiliki setiap manusia adalah besikap jujur karena kejujuran itu membawa kebaikan.

Jujur adalah sebuah kata yang telah dikenal oleh hampir semua orang. Bagi yang telah mengenal kata jujur mungkin sudah tahu apa itu arti atau makna dari kata jujur tersebut. Dengan memahami makna kata jujur ini  maka mereka akan dapat menyikapinya. Namun masih banyak yang tidak tahu sama sekali dan ada juga hanya tahu maknanya secara samar-samar. Indikator kearah itu sangat mudah ditemukan yakni   masih saja banyak orang belum jujur  jikadibandingkan dengan orang  yang telah jujur.  Berikut ini saya akan mencoba memberikan penjelasan  sebatas kemampuan  saya tetang makna dari kata jujur ini.

Kata jujur adalah kata yang digunakan untuk menyatakan sikap seseorang. Jika ada seseorang berhadapan dengan sesuatu atau fenomena maka orang itu akan memperoleh  gambaran tentang  sesuatu  atau fenomena tersebut. Jika  orang  itu  menceritakan informasi tentang  gambaran  tersebut kepada orang lain tanpa ada “perobahan” (sesuai dengan realitasnya ) maka sikap yang seperti itulah yang disebut dengan jujur.

Kejujuran merupakan suatu pondasi yang mendasari iman seseorang, karena sesungguhnya iman itu adalah membenarkan dalam hati akan adanya Allah. Jika dari hal yang kecil saja ia sudah terlatih untuk jujur maka untuk urusan yang lebih besar ia pun terbiasa untuk jujur.

Menjadi orang jujur atau pendusta merupakan pilihan bagi setiap orang, dan masing-masing pilihan memiliki konsekuensinya sendiri. Bagi orang yang memilih menjalani hidupnya dengan penuh kejujuran dalam segala aspek kehidupannya, maka ia akan memiliki citra yang baik di mata orang-orang yang mengenalnya. Ketika  seseorang selalu berkata jujur dan berbuat benar, maka akan diterima ucapannya di hadapan orang-orang dan diterima kesaksiannya di hadapan para hakim serta disenangi pembicaraanya. Sebaliknya, bagi mereka yang selalu berlaku dusta dalam hidupnya, maka ia tidak akan memliki pandangan yang baik oleh orang-orang di sekitarnya.‎

Perilaku jujur adalah perilaku yang teramat mulia. Namun di zaman sekarang ini, perilaku ini amat sulit kita temukan. Lihat saja bagaimana kita jumpai di kantoran, di pasaran, di berbagai lingkungan kerja, perilaku jujur ini hampir saja usang. Lihatlah di negeri ini pengurusan birokrasi yang seringkali dipersulit dengan kedustaan sana-sini, yang ujung-ujungnya bisa mudah jika ada uang pelicin. Lihat pula bagaimana di pasaran, para pedagang banyak bersumpah untuk melariskan barang dagangannya dengan promosi yang penuh kebohongan. Pentingnya berlaku jujur, itulah yang akan penulis utarakan dalam tulisan sederhana ini.

Jujur berarti berkata yang benar yang bersesuaian antara lisan dan apa yang ada dalam hati. Jujur juga secara bahasa dapat berarti perkataan yang sesuai dengan realita dan hakikat sebenarnya. Kebalikan jujur itulah yang disebut dusta.
Perintah untuk Berlaku Jujur
Dalam beberapa ayat, Allah Ta’ala telah memerintahkan untuk berlaku jujur. Di antaranya pada firman Allah Ta’ala,
 
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَكُونُوا مَعَ الصَّادِقِينَ
 
“Hai orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar.” (QS. At Taubah: 119).
Dalam ayat lainnya, Allah Ta’ala berfirman,
فَلَوْ صَدَقُوا اللَّهَ لَكَانَ خَيْرًا لَهُمْ
“Tetapi jikalau mereka berlaku jujur pada Allah, niscaya yang demikian itu lebih baik bagi mereka.” (QS. Muhammad: 21)‎

يـاَيـُّهَا الَّذِيـْنَ امَنُوا اتَّـقُوا اللهَ وَ قُوْلُوْا قَوْلاً سَدِيـْدًا. يُصْلِحْ لَكُمْ اَعْمَالَكُمْ وَ يَغْفِرْلَكُمْ ذُنـُوْبَكُمْ، وَ مَنْ يُّـطِعِ اللهَ وَ رَسُوْلَه فَـقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيْمًا. الاحزاب:70-71

Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kamu kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar, niscaya Allah memperbaiki bagimu amal-amalmu dan mengampuni bagimu dosa-dosamu. Dan barangsiapa mentaati Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya ia telah mendapat kemenangan yang besar. [Al-Ahzab : 70 – 71]‎
 
يـاَيـُّهَا الَّذَيـْنَ امَنُوْا لِمَ تَـقُوْلُـوْنَ مَا لاَ تَـفْعَلُـوْنَ. كَـبُرَ مَقْتـًا عِنْدَ اللهِ اَنْ تَـقُوْلُـوْا مَا لاَ تَـفْعَلُـوْنَ. الصف:2-3

Hai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan apa yang tidak kamu perbuat ? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tiada kamu kerjakan.[Ash-Shaff : 2 – 3]

وَ قُلْ لِّـعِبَادِيْ يَـقُوْلُـوا الَّـتِيْ هِيَ اَحْسَنُ، اِنَّ الشَّيْطنَ يَنْزَغُ بَـيْنَـهُمْ، اِنَّ الشَّيْطنَ كَانَ لِلإِنــْسَانِ عَدُوًّا مُّبِـيْنًا. الاسراء:53

Dan katakanlah kepada hamba-hamba-Ku : “Hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang lebih baik (benar). Sesungguhnya syaitan (suka) menimbulkan perselisihan diantara mereka. Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagi manusia”. [Al-Israa’ : 53]‎

Hadits-hadits Nabi SAW :

عَنْ اَبــِى بَكْرٍ الصِّدِّيـْقِ رض قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ ص: عَلَـيْكُمْ بِـالصِّدْقِ، فَاِنــَّهُ مَعَ اْلبِرِّ وَ هُمَا فِى اْلجَنَّةِ. وَ اِيـَّاكُمْ وَ اْلكَذِبَ، فَاِنــَّهُ مَعَ اْلفُجُوْرِ وَ هُمَا فِى النـَّارِ. ابن حبان فى صحيحه

Dari Abu Bakar Ash-Shiddiq RA ia berkata, “Rasulullah SAW bersabda : “Wajib atasmu berlaku jujur, karena jujur itu bersama kebaikan, dan keduanya di surga. Dan jauhkanlah dirimu dari dusta, karena dusta itu bersama kedurhakaan, dan keduanya di neraka”. [HR. Ibnu Hibban di dalam Shahihnya]

عَنِ ابـْنِ مَسْعُوْدٍ رض قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ ص: عَلَـيْكُمْ بِـالصِّدْقِ فَاِنَّ الصِّدْقَ يَـهْدِى اِلىَ اْلبِرِّ وَ اْلبِرُّ يَـهْدِى اِلىَ اْلجَنَّةِ. وَ مَا يَزَالُ الـرَّجُلُ يَصْدُقُ وَ يَـتَحَرَّى الصِّدْقَ حَتَّى يُكْـتَبَ عِنْدَ اللهِ صِدِّيـْقًا. وَ اِيـَّاكُمْ وَ اْلكَذِبَ فَاِنَّ اْلكَذِبَ يَـهْدِى اِلىَ اْلفُجُوْرِ وَ اْلفُجُوْرُ يَـهْدِى اِلىَ النَّارِ. وَ مَا يَزَالُ اْلعَبْدُ يَكْذِبُ وَ يَـتَحَرَّى اْلكَذِبَ حَتَّى يُكْـتَبَ عِنْدَ اللهِ كَـذَّابـًا. البخارى و مسلم و ابو داود و الترمذى و صححه و اللفظ له

Dari Ibnu Mas’ud RA ia berkata : Rasulullah SAW bersabda : “Wajib atasmu berlaku jujur, karena sesungguhnya jujur itu membawa kepada kebaikan dan kebaikan itu membawa ke surga. Dan terus-menerus seseorang berlaku jujur dan memilih kejujuran sehingga dicatat di sisi Allah sebagai orang yang jujur. Dan jauhkanlah dirimu dari dusta, karena sesungguhnya dusta itu membawa kepada kedurhakaan, dan durhaka itu membawa ke neraka. Dan terus menerus seorang hamba itu berdusta dan memilih yang dusta sehingga dicatat di sisi Allah sebagai pendusta”. [HR. Bukhari, Muslim, Abu Dawud dan Tirmidzi. Tirmidzi menshahihkannya dan lafadh baginya]

عَنْ عُبَادَةَ بـْنِ الصَّامِتِ رض اَنَّ النَّبِيَّ ص قَالَ: اِضْمَنُوْا لىِ سِتًّا مِنْ اَنـْفُسِكُمْ، اَضْمَنْ لَكُمُ اْلجَنَّةَ. اُصْدُقُوْا اِذَا حَدَّثْـتُمْ، وَ اَوْفُوْا اِذَا وَعَدْتُمْ، وَ اَدُّوْا اِذَا ائْـتُمِنْـتُمْ، وَ احْفَظُوْا فُرُوْجَكُمْ، وَ غُضُّوْا اَبـْصَارَكُمْ، وَ كُـفُّـوْا اَيـْدِيـَكُمْ. احمد و ابن ابى الدنيا و ابن حبان فى صحيحه و الحاكم و البيهقى

Dari Ubadah bin Shamit RA sesungguhnya Nabi SAW bersabda : “Hendaklah kalian menjamin padaku enam perkara dari dirimu, niscaya aku menjamin surga bagimu : 1. Jujurlah apabila kamu berbicara, 2. Sempurnakanlah (janjimu) apabila kamu berjanji, 3. Tunaikanlah apabila kamu diberi amanat, 4. Jagalah kemaluanmu, 5. Tundukkanlah pandanganmu (dari ma’shiyat) dan 6. Tahanlah tanganmu (dari hal yang tidak baik)”. [HR. Ahmad, Ibnu Abid-Dunya, Ibnu Hibban di dalam shahihnya, Hakim dan Baihaqi]

عَنْ عَبْدِ اللهِ بـْنِ عَمْرٍو رض اَنَّ رَجُلاً جَاءَ اِلىَ النَّبِيِّ ص فَقَالَ: يـَا رَسُوْلَ اللهِ، مَا عَمَلُ اْلجَنَّةِ؟ قَالَ: اَلصِّدْقُ. اِذَا صَدَقَ الْعَبْدُ بَرَّ، وَ اِذَا بَرَّ آمَنَ، وَ اِذَا آمَنَ دَخَلَ اْلجَنَّةَ. قَالَ: يـَا رَسُوْلَ اللهِ، وَ مَا عَمَلُ النَّارِ؟ قَالَ: َالْكَذِبُ، اِذَا كَـذَبَ اْلعَبْدُ فَجَرَ، وَ اِذَا فَجَرَ كَـفَرَ، وَ اِذَا كَـفَرَ يَعْنِى دَخَلَ النـَّارَ. احمد

Dari Abdullah bin ‘Amr RA ia berkata : Sesungguhnya ada seorang laki-laki datang kepada Nabi SAW, lalu bertanya : “Ya Rasulullah, apakah amalan surga itu ?” Rasulullah SAW bersabda : “(Amalan surga itu ialah) jujur. Apabila seorang hamba itu jujur berarti dia itu baik, apabila baik dia beriman dan apabila dia beriman maka dia masuk surga”. Orang itu bertanya lagi : “Ya Rasulullah, apakah amalan neraka itu ?” Rasulullah SAW bersabda : “(Amalan neraka itu ialah) dusta. Apabila seorang hamba itu berdusta berarti dia durhaka, apabila durhaka dia kafir dan apabila kafir maka dia masuk neraka”. [HR. Ahmad]

عَنْ اَبــِى بُـرَيـْدَةَ اْلاَسْلاَمِيِّ رض قَالَ: سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ ص يَـقُوْلُ: اَلاَ اِنَّ اْلكَـذِبَ يُـسَوِّدُ اْلوَجْهَ. وَ النَّـمِيْمَةَ عَذَابُ اْلـقَـبْرِ. ابو يعلى و الطبرانى و ابن حبان فى صحيحه و البيهقى

Dari Abu Buraidah Al-Aslamiy RA ia berkata : Saya mendengar Rasulullah SAW bersabda : “Ketahuilah, sesungguhnya dusta itu menghitamkan wajah dan namimah itu (menyebabkan) siksa qubur”. [HR. Abu Ya’la, Thabrani, Ibnu Hibban di dalam Shahihnya dan Baihaqi]
عَنْ اَنــَسِ بـْنِ مَالـِكٍ رض قَالَ: سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ ص يَـقُوْلُ: ثَلاَثٌ مَنْ كُنَّ فِـيْهِ فَـهُـوَ مُنَافِقٌ وَ اِنْ صَامَ وَ صَلَّى وَ حَجَّ وَ اعْتَـمَرَ، وَ قَالَ اِنــِّى مُسْلِمٌ. اِذَا حَدَّثَ كَـذَبَ وَ اِذَا وَعَدَ اَخـْلَـفَ وَ اِذَا ائْــتُمِنَ خَانَ. ابو يعلى

Dari Anas bin Malik RA ia berkata : Saya mendengar Rasulullah SAW bersabda : “Ada tiga perkara yang apabila tiga perkara itu ada padanya maka ia adalah orang munafiq, meskipun ia puasa, shalat, hajji, umrah dan mengatakan : “Sesungguhnya saya orang Islam”, yaitu : 1. Apabila berbicara ia berdusta, 2. Apabila berjanji menyelisihi dan 3. Apabila diberi amanat ia khianat”. [HR. Abu Ya’la]

عَنْ عَبْدِ اللهِ بـْنِ عَمْرِو بـْنِ اْلعَاصِ رض اَنَّ النَّبِيَّ ص قَالَ: اَرْبَعٌ مَنْ كُـنَّ فِـيْهِ كَانَ مُنَـافِقًا خَالـِصًا، وَ مَنْ كَانَ فِـيْهِ خَصْلَةٌ مِنْـهُنَّ كَانَتْ فِـيْهِ خَصْلَةُ النِّفَاقِ حَتَّى يَدَعَهَا. اِذَا ائْـتُـمِنَ خَانَ، وَ اِذَا حَدَّثَ كَذَبَ، وَ اِذَا عَاهَدَ غَدَرَ، وَ اِذَا خَاصَمَ فَجَرَ. البخارى و مسلم و ابو داود و الترمذى و النسائى

Dari Abdullah bin ‘Amr bin Al-‘Ash RA, ia berkata : Sesungguhnya Nabi SAW bersabda : “Ada empat perkara barangsiapa yang empat perkara itu ada padanya maka ia adalah orang munafiq yang sebenarnya. Dan barangsiapa ada padanya satu bagian dari yang empat perkata itu berarti ada padanya satu bagian dari kemunafiqan sehingga ia meninggalkannya, yaitu : 1. Apabila diberi amanat ia khianat, 2. Apabila berbicara ia berdusta, 3. Apabila berjanji menyelisihi dan 4. Apabila bertengkar ia curang”. [HR. Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi dan Nasai]‎

عَنِ اْلحَسَنِ بـْنِ عَلِيٍّ رض قَالَ: حَفِظْـتُ مِنْ رَسُوْلِ اللهِ ص: دَعْ مَا يُـرِيـْبُكَ اِلىَ مَا لاَ يُـرِيـْبُكَ. فَاِنَّ الصِّدْقَ طُمَأْنـِيْنَةٌ، وَ اْلكَـذِبَ رَيـْبَةٌ. الترمذى و قال حديث حسن صحيح

Dari Hasan bin Ali RA ia berkata : Saya hafal dari Rasulullah SAW (beliau bersabda) : “Tinggalkan apa-apa yang meragukanmu (berpindahlah) kepada apa-apa yang tidak meragukanmu, karena jujur itu adalah ketenangan dan dusta itu adalah keraguan”. [HR. Tirmidzi dan ia berkata : Hadits Hasan Shahih]

عَنْ اَبــِى هُرَيــْرَةَ رض قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ: لاَ يُـؤْمـِنُ اْلعَبْدُ اْلاِيـْمَانَ كُـلَّهُ حَتَّى يـَتْرُكَ اْلكَـذِبَ فِى اْلمَزَاحَةِ وَ اْلمِرَاءَ وَ اِنْ كَانَ صَادِقًا. احمد و الطبرانى

Dari Abu Hurairah RA, ia berkata : Rasulullah SAW bersabda : “Tidaklah beriman seorang hamba dengan iman sepenuhnya sehingga ia meninggalkan berdusta dalam bergurau dan (meninggalkan) berbantah meskipun ia benar”. [HR. Ahmad dan Thabrani]‎

عَنْ اَبــِى اُمَامَةَ رض اَنَّ النَّبِيَّ ص قَالَ: اَنــَا زَعِيْمٌ بِـبَـيْتٍ فِى وَسَطِ اْلجَنَّةِ لِمَنْ تَـرَكَ اْلكَذِبَ وَ اِنْ كَانَ مَازِحًا. البيهقى بـإسناد حسن

Dari Abu Umamah RA sesungguhnya Nabi SAW bersabda : “Saya menjamin dengan rumah di tengah surga bagi orang yang meninggalkan dusta meskipun dalam bergurau”. [HR. Baihaqi dengan sanad Hasan]

عَنْ اَبــِى هُرَيــْرَةَ رض عَنْ رَسُوْلِ اللهِ ص اَنـــَّهُ قَالَ: مَنْ قَالَ لِصَبِيٍّ تَـعَالَ هَاكَ، ثُمَّ لَمْ يُـعْطِهِ، فَهِيَ كَـذْبَةٌ. احمد و ابن ابى الدنيا

Dari Abu Hurairah RA dari Rasulullah SAW sesungguhnya beliau bersabda : “Barangsiapa berkata kepada anak kecil : “Kesinilah ! saya beri”. Kemudian ia tidak memberinya, maka yang demikian itu adalah perbuatan dusta”. [HR. Ahmad dan Ibnu Abid Dunya]

عَنْ عَبْدِ اللهِ بـْنِ عَامِرٍ رض قَالَ: دَعَتْنِى اُمِّى يَـوْمًا. وَ رَسُوْلُ اللهِ ص قَاعِدٌ فِى بَيْتِنَا. فَقَالَتْ: هَا تَعاَلَ اُعْطِكَ، فَقَالَ لهَاَ رَسُوْلُ اللهِ ص: مَا اَرَدْتِ اَنْ تُعْطِيْهِ، قَالَتْ: اَرَدْتُ اَنْ اُعْطِيَهُ تَمْرًا، فَقَالَ لَـهَا رَسُوْلُ اللهِ ص اَمَا اِنــَّكِ لَـوْ لَمْ تُعْطِـيْهِ شَيْئًا كُـتِبَتْ عَلَـيْكِ كَـذْبــَةٌ. ابو داود و البيهقى

Dari Abdullah bin ‘Amir RA ia berkata, “Pada suatu hari ibu saya memanggil saya, pada waktu itu Rasulullah SAW sedang duduk di rumah kami. Ibu saya berkata : “Kesinilah ! kamu saya beri”. Maka Rasulullah SAW bersabda : “Apakah betul engkau akan memberinya ?” Ibu saya berkata : “Saya akan memberinya korma”. Lalu Rasulullah SAW bersabda kepada ibu saya : “Ketahuilah, sesungguhnya kamu jika tidak memberi sesuatu kepadanya niscaya kamu dicatat dusta”. [HR. Abu Dawud dan Baihaqi]

عَنْ اَبــِى هُرَيـْرَةَ رض اَنَّ رَسُوْلَ اللهِ ص قَالَ: لاَ يَجْتَمِعُ اْلكُـفْرُ وَ اْلاِيـْمَانُ فِى قَـلْبِ امْرِئٍ، وَ لاَ يَجْتَمِعُ الصِّدْقُ وَ اْلكَـذِبُ جَمِيْعًا وَ لاَ تَجْتَمِعُ اْلخِيَانَةُ وَ اْلاَمَانَةُ جَمِيْعًا. احمد

Dari Abu Hurairah RA sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda : “Tidak akan berkumpul kekafiran dengan keimanan di hati seseorang, begitu pula tidak akan berkumpul bersama-sama kejujuran dengan kedustaan dan tidak akan berkumpul bersama-sama khianat dengan amanat”. [HR. Ahmad]

عَنْ اَنــَسٍ رض قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ ص: لاَ يَـسْتَـقِيْمُ اِيـْمَانُ عَبْدٍ حَتَّى يَـسْتَـقِيْمُ قَـلْـبُهُ، وَ لاَ يَـسْتَـقِيْمُ قَـلْـبُهُ حَتَّى يَـسْتَـقِيْمُ لـِسَانُهُ، وَ لاَ يَدْخُلُ اْلجَنَّةَ رَجُلٌ لاَ يَـأْمَنُ جَارُهُ بِـوَائـِقَــهُ. احمد و ابن ابى الدنيا

Dari Anas RA, ia berkata : Rasulullah SAW bersabda : “Tidak akan lurus iman seorang hamba sehingga lurus hatinya, dan tidak akan lurus hatinya sehingga lurus pula lisannya. Dan tidak akan masuk surga orang yang (membuat) tetangganya itu tidak aman dari kejahatannya”.[HR. Ahmad dan Ibnu Abid-Dunya].
Ibnul Qayyim Al-Jauziyah Rahimahullah berkata, “Kejujuran adalah jalan yang lurus dimana orang yang tidak menempuh jalan tersebut, dia akan celaka dan binasa. Dengan kejujuran inilah, akan terbedakan siapakah yang munafik dan siapakah orang yang beriman, dan siapakah yang termasuk penduduk surga dan siapakah yang termasuk penduduk neraka”. (Madaarijus Salikin)

Ibnu Qayyim Al-Jauziyah Rahimahullahu juga menyatakan, ”Tidak ada sifat yang paling berharga bagi seseorang dari kejujurannya kepada Tuhan dalam semua hal, disamping kejujurannya dalam niat dan perbuatan, karena kebahagiaan tergantung pada niat dan perbuatan. Niat yang benar terletak pada ketegasan dalam berniat. Jika niat telah benar, maka hanya tinggal memperbaiki perilaku, yaitu jujur dalam tindakan. Kebulatan tekad dapat menghindarkan diri dari keinginan dan obsesi yang melemah, sementara tindakan yang jujur (benar) dapat menghindarkan diri dari rasa malas dan semangat yang melemah”.

Lanjut menurut beliau, orang sepatutnya jujur dalam ucapan, perbuatan dan keadaannya. Berlaku jujur dapat mengaktifkan sistem imunitas tubuh dan jiwa, sedang berbohong justru akan memperlambat dan melemahkan sistem imunitas tersebut. Oleh karena itu, dokter, psikiater, dan konsultan pendidikan menyerukan untuk berlaku jujur dalam ucapan dan perbuatan. Mereka mengklasifikasikan sikap jujur sebagai ciri jiwa yang sehat, sedangkan sikap bohong sebagai salah satu faktor yang dapat melemahkan kesehatan jiwa dan fisik.

Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa hakekat kejujuran menurut Ibnu Qayyim setidaknya terbagi menjadi 3 bagian;

Pertama, jujur dalam ucapan. Wajib bagi seorang hamba menjaga lisannya, tidak berkata kecuali dengan benar dan jujur. Benar/jujur dalam ucapan merupakan jenis kejujuran yang paling tampak dan terang di antara macam-macam kejujuran.

Seseorang tidak dikatakan jujur kecuali perkataannya telah memenuhi dua syarat sebagaimana disebutkan oleh Imam Ibnu Hajar dalam kitabnya Fathul Bari, yaitu;

Adanya kesesuaian antara lesan dengan hatinya (keyakinannya) serta kesesuaian antara lesannya dengan kabar yang disampaikan oleh lesannya. Ketika salah satu syarat tersebut hilang, maka perkataannya tidak dikatakan jujur.

Ketika orang kafir atau munafiq mengatakan “محمد رسول الله” (Muhammad adalah utusan Allah), dilihat dari kabar yang disampaikan adalah benar. Namun ketika dilihat kesesuaian antara lesan dan keyakinannya, tidak benar. Maka tidak terpenuhi syarat jujur.

Karena itu dalam surah Al Munafiqun ayat pertama disebutkan,

“Apabila orang-orang munafik datang kepadamu, mereka berkata: “Kami mengakui, bahwa Sesungguhnya kamu benar-benar Rasul Allah”. dan Allah mengetahui bahwa Sesungguhnya kamu benar-benar Rasul-Nya; dan Allah mengetahui bahwa Sesungguhnya orang-orang munafik itu benar-benar orang pendusta”. (Al Munafiqun: 1)
Maka dari itu, Rasulullah mewanti-wanti umatnya agar berhati-hati dalam menukil atau menyampaikan suatu kabar. Suatu kabar yang belum jelas baginya, hanya katanya dan katanya. Sebab disebutkan dalam sebuah hadits shahih,

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ ، قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : ” كَفَى بِالْمَرْءِ كذبا أَنْ يُحَدِّثَ بِكُلِّ مَا سَمِعَ

Dari Abu Hurairah Radhiallahu Anhu beliau berkata, Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda, “Cukup seseorang [dikatakan sebagai] pendusta [jika] ia menceritakan segala [berita] yang ia dengar.” (HR. Muslim)

Maknanya, kita harus berhati-hati terhadap lesan ini. Lesan yang tak bertulang ini sebenarnya adalah nikmat dari Allah yang sangat besar. Tapi jika seseorang tidak mampu menjaganya maka lesan inilah yang akan membawa ke neraka. Sehingga dalam sebuah hadits disebutkan,

عن عبادة بن الصامت رضي الله عنه عن النبي صلى الله عليه وسلم قال: اضمنوا لي ستا من أنفسكم أضمن لكم الجنة: اصدقوا إذا حدثتم، وأوفوا إذا وعدتم، وأدوا إذا ائتمنتم، واحفظوا فروجكم، وغضوا أبصاركم، وكفوا أيدكم. أخرجه أحمد وابن حبان والحاكم وصححه الألباني في صحيح الترغيب.

Dari ‘Ubadah bin Shamit radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Berikan jaminan padaku dengan enam perkara dari diri kalian, akan aku jamin surga untuk kalian : (1) Jujurlah jika berbicara (2) penuhilah jika kalian berjanji (3) tunaikanlah jika kalian diberi amanah (4) jagalah kemaluan kalian (5) tundukkan pandangan kalian (6) tahanlah tangan kalian”. (Dikeluarkan oleh  Ahmad, Ibnu Hibban, Hakim, dan lain-lain. Dan dishahihkan oleh Al Albani dalam Shahih At Targhib)
Dalam hadits di atas, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan enam sifat mukmin yang dijamin masuk surga, salah satunya adalah berkata jujur jika berbicara.

Kedua, jujur dalam perbuatan. Yaitu ketika amal perbuatannya sesuai dengan perintah atau petunjuk Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam.

Maknanya, jika seorang mengikuti sunnah dalam beramal berarti ia telah jujur dalam perbuatannya. Dan sebaliknya, ketika seorang semangat beribadah, namun tidak peduli apakah ibadahnya sesuai dengan sunnah atau tidak, maka  berarti ia tidak berusaha jujur dalam beramal.

Sehingga para ulama’ mengatakan salah satu syarat diterimanya amal ibadah seseorang oleh Allah adalah dengan mengikuti petunjuk Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam, bukan hanya sekedar ikhlas.

Ketiga, jujur yang berhubungan dengan situasi dan kondisi ianya. Maknanya adalah ketulusan/keikhlasan amalan hati serta amalan anggota badan di atas keikhlasan. Oleh para ulama’ kejujuran ini disebut dengan jujur kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala.

Kalau suatu amal tercampuri dengan kepentingan dunia, maka akan merusakkan kejujuran niat, dan pelakunya bisa dikatakan sebagai pendusta, sebagaimana kisah tiga orang yang dihadapkan kepada Allah, yaitu seorang mujahid, seorang qari’, dan seorang dermawan. Allah menilai ketiganya telah berdusta, bukan pada perbuatan mereka tetapi pada niat dan maksud mereka.

Jujur yang ketiga ini adalah kesamaan hati dengan lesan dan anggota badan. Betul-betul mengamalkan suatu amalan tanpa pamrih, kecuali hanya pamrih dari Allah Ta’ala. Jujur niatnya, tekad dan keyakinannya. Sehingga disebutkan dalam sebuah hadits,

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ سَهْلِ بْنِ عَسْكَرٍ الْبَغْدَادِيُّ حَدَّثَنَا الْقَاسِمُ بْنُ كَثِيرٍ الْمِصْرِيُّ حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ شُرَيْحٍ أَنَّهُ سَمِعَ سَهْلَ بْنَ أَبِي أُمَامَةَ بْنِ سَهْلِ بْنِ حُنَيْفٍ يُحَدِّثُ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ سَأَلَ اللَّهَ الشَّهَادَةَ مِنْ قَلْبِهِ صَادِقًا بَلَّغَهُ اللَّهُ مَنَازِلَ الشُّهَدَاءِ وَإِنْ مَاتَ عَلَى فِرَاشِهِ

Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Sahl bin Askar Al Baghdadi berkata, telah menceritakan kepada kami Al Qasim bin Katsir Al Mishri berkata, telah menceritakan kepada kami ‘Abdurrahman bin Syuraih Bahwasanya ia mendengar Sahl bin Abu Umamah bin Sahl bin Hunaif ia menceritakan dari Bapaknya dari Kakeknya dari Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam, beliau bersabda, “Barangsiapa yang memohon mati syahid kepada Allah dengan jujur dari dalam hatinya, maka Allah akan memberinya pahala syuhada meskipun ia meninggal di atas kasur”. (HR. Muslim)

Terkadang, kenapa permintaan kita tidak dikabulkan oleh Allah? Barangkali kita kurang jujur atau sungguh-sungguh meminta kepada Allah. Hal ini sekaligus menunjukkan pentingnya sebuah niat dalam hati. Sehingga disebutkan dalam hadits lainnya,‎

Dari Abu Kabsyah Al-Anmari Radhiallahu Anhu, ia berkata, Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda,

ثَلاَثَةٌ أُقْسِمُ عَلَيْهِنَّ ، وَأُحَدِّثُكُمْ حَدِيثًا فَاحْفَظُوهُ ، قَالَ : مَا نَقَصَ مَالُ عَبْدٍ مِنْ صَدَقَةٍ ، وَلاَ ظُلِمَ عَبْدٌ مَظْلِمَةً ، فَصَبَرَ عَلَيْهَا ، إِلاَّ زَادَهُ اللهُ عِزًّا ، وَلاَ فَتَحَ عَبْدٌ بَابَ مَسْأَلَةٍ ، إِلاَّ فَتَحَ اللهُ عَلَيْهِ بَابَ فَقْرٍ ، أَوْ كَلِمَةً نَحْوَهَا ،  وَأُحَدِّثُكُمْ حَدِيثًا فَاحْفَظُوهُ ، قَالَ : إِنَّمَا الدُّنْيَا لأَرْبَعَةِ نَفَرٍ : عَبْدٍ رَزَقَهُ اللهُ مَالاً وَعِلْمًا ، فَهُوَ يَتَّقِي فِيهِ رَبَّهُ ، وَيَصِلُ فِيهِ رَحِمَهُ ، وَيَعْلَمُ للهِ فِيهِ حَقًّا ، فَهَذَا بِأَفْضَلِ الْمَنَازِلِ ، وَعَبْدٍ رَزَقَهُ اللهُ عِلْمًا وَلَمْ يَرْزُقْهُ مَالاً ، فَهُوَ صَادِقُ النِّيَّةِ ، يَقُولُ : لَوْ أَنَّ لِي مَالاً لَعَمِلْتُ بِعَمَلِ فُلاَنٍ ، فَهُوَ بِنِيَّتِهِ ، فَأَجْرُهُمَا سَوَاءٌ ، وَعَبْدٍ رَزَقَهُ اللهُ مَالاً وَلَمْ يَرْزُقْهُ عِلْمًا ، فَهُوَ يَخْبِطُ فِي مَالِهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ ، لاَ يَتَّقِي فِيهِ رَبَّهُ ، وَلاَ يَصِلُ فِيهِ رَحِمَهُ ، وَلاَ يَعْلَمُ للهِ فِيهِ حَقًّا ، فَهَذَا بِأَخْبَثِ الْمَنَازِلِ ، وَعَبْدٍ لَمْ يَرْزُقْهُ اللهُ مَالاً وَلاَ عِلْمًا ، فَهُوَ يَقُولُ : لَوْ أَنَّ لِي مَالاً لَعَمِلْتُ فِيهِ بِعَمَلِ فُلاَنٍ ، فَهُوَ بِنِيَّتِهِ ، فَوِزْرُهُمَا سَوَاءٌ.

“Ada tiga perkara yang aku bersumpah atasnya, dan aku akan menceritakan kepada kalian suatu perkataan, maka hafalkanlah. Beliau bersabda, “Harta seorang hamba tidaklah berkurang disebabkan shadaqah, dan tidaklah seorang hamba terzhalimi dengan suatu kezhaliman lalu ia bersabar dalam menghadapinya melainkan Allah menambahkan kemuliaan kepadanya, dan tidaklah seorang hamba membuka pintu untuk meminta-minta (kepada orang lain, pent) melainkan Allah akan bukakan baginya pintu kefakiran, -atau suatu kalimat semisalnya-.‎

Dan aku akan sampaikan kepada kalian satu perkataan kemudian hafalkanlah. Beliau bersabda, “Sesungguhnya dunia ini hanya milik empat golongan saja:

1)      Seorang hamba yang dikaruniai harta dan ilmu kemudian ia bertakwa kepada Rabb-nya, menyambung silaturrahim dan mengetahui hak-hak Allah, inilah kedudukan yang paling mulia.

2)      Seorang hamba yang dikaruniai ilmu tapi tidak dikaruniai harta, kemudian dengan niat yang tulus ia berkata: ‘Jika seandainya aku mempunyai harta, maka aku akan beramal seperti amalannya si fulan itu.’  Dengan niat seperti ini, maka pahala keduanya sama.

3)      Seorang hamba yang dikaruniai harta namun tidak diberi ilmu, lalu ia membelanjakan hartanya secara serampangan tanpa dasar ilmu, ia tidak bertakwa kepada Rabbnya, tidak menyambung silaturrahim, dan tidak mengetahui hak-hak Allah, maka ia berada pada kedudukan paling rendah.

4)      Dan seorang hamba yang tidak dikaruniai harta dan juga ilmu oleh Allah Ta’ala, lantas ia berkata: “Kalau seandainya aku memiliki harta, niscaya aku akan berbuat seperti yang dilakukan si Fulan”. Maka ia dengan niatnya itu, menjadikan dosa keduanya sama.” (Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi dan Ahmad)

Perhatikanlah hadits diatas, sudah berapa banyak pahala kita? Jika engkau tidak memiliki harta, tapi engkau hanya bermodalkan kejujuran, lalu dengan ikhlas engkau berkata: “Kalau seandainya aku memiliki harta seperti saudagar Fulan, sungguh aku akan berbuat kebaikan seperti yang ia kerjakan”.  Maka pahala kalian berdua sama. Sungguh ini merupakan kenikmatan yang agung, dan segala puji hanya bagi Allah, Pemilik segala pujian dan kemuliaan.

Orang yang selalu berbuat kebenaran dan kejujuran, niscaya ucapan, perbuatan, dan keadaannya selalu menunjukkan hal tersebut. Allah telah memerintahkan Nabi untuk memohon kepada-Nya agar menjadikan setiap langkahnya berada di atas kebenaran sebagaimana firman Allah,

“Dan katakanlah (wahai Muhammad), ‘Ya Tuhan-ku, masukkanlah aku secara masuk yang benar dan keluarkanlah (pula) aku secara keluar yang benar dan berikanlah kepadaku dari sisi-Mu kekuasaan yang menolong.” (Al-Isra’: 80)

Allah juga mengabarkan tentang Nabi Ibrahim yang memohon kepada-Nya untuk dijadikan buah tutur yang baik.

“Dan jadikanlah aku buah tutur yang baik bagi orang-orang (yang datang) kemudian”. (Asy-Syu’ara’: 84)

Hakikat kejujuran dalam hal ini adalah hak yang telah tertetapkan, dan terhubung kepada Allah. Ia akan sampai kepada-Nya, sehingga balasannya akan didapatkan di dunia dan akhirat. Allah telah menjelaskan tentang orang-orang yang berbuat kebajikan, dan memuji mereka atas apa yang telah diperbuat, baik berupa keimanan, sedekah ataupun kesabaran. Bahwa mereka itu adalah orang-orang jujur dan benar. Allah berfirman,

“Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintai kepada karib kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila dia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa”. (Al-Baqarah: 177)

Di sini dijelaskan dengan terang bahwa kebenaran itu tampak dalam amal lahiriah dan ini merupakan kedudukan dalam Islam dan Iman. Kejujuran serta keikhlasan keduanya merupakan realisasi dari keislaman dan keamanan.

Orang yang menampakkan keislaman pada dhahir (penampilannya) terbagi menjadi dua: mukmin (orang yang beriman) dan munafik (orang munafik). Yang membedakan diantara keduanya adalah kejujuran dan kebenaran atas keyakinannya. Oleh sebab itu, Allah menyebut hakekat keimanan dan mensifatinya dengan kebenaran dan kejujuran, sebagaimana firman Allah,

“(Juga) bagi para fuqara yang berhijrah yang diusir dari kampung halaman dan dari harta benda mereka (karena) mencari karunia dari Allah dan keridhaan (Nya) dan mereka menolong Allah dan Rasul-Nya. Mereka itulah orang-orang yang benar”. (Al-Hasyr: 8)

Dusta merupakan tanda dari kemunafikan sebagaimana yang disebutkan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah Radhiallahu Anhu bahwa Rasulullah bersabda,

“Tanda-tanda orang munafik ada tiga perkara, yaitu apabila berbicara dia dusta, apabila berjanji dia mungkiri dan apabila diberi amanah dia mengkhianati”. (HR. Bukhari, Kitab Iman)

Kedustaan akan mengantarkan kepada kemaksiatan, dan kemaksiatan akan menjerumuskan ke dalam neraka. Bahaya kedustaan sangatlah besar, dan siksa yang diakibatkannya amatlah dahsyat, maka wajib bagi kita untuk selalu jujur dalam ucapan, perbuatan, dan muamalah kita. Dengan demikian jika kita senantiasa menjauhi kedustaan, niscaya kita akan mendapatkan pahala sebagai orang-orang yang jujur dan selamat dari siksa para pendusta.

“Maka siapakah yang lebih zalim daripada orang yang membuat-buat dusta terhadap Allah dan mendustakan kebenaran ketika datang kepadanya? Bukankah di neraka Jahannam tersedia tempat tinggal bagi orang-orang yang kafir? Dan orang yang membawa kebenaran (Muhammad) dan membenarkannya, mereka itulah orang-orang yang bertakwa. Mereka memperoleh apa yang mereka kehendaki pada sisi Tuhan mereka. Demikianlah balasan orang-orang yang berbuat baik, agar Allah akan menutupi (mengampuni) bagi mereka perbuatan yang paling buruk yang mereka kerjakan dan membalas mereka dengan upah yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan”. (Az-Zumar: 32-35)

Kisah kejujuran Syekh Abdul Qadir Jaelani, singkatnya Abdul Qadir al Jaelani pun meminta ijin kepada ibunya untuk menuntut ilmu agama ke bagdad. Mendengar niat anaknya begitu ibunya pun merasa senang dan mengijinkannya untuk menimba ilmu agama kepada ulama-ulama besar di bagdad. Dan ibunya pun berpesan pada anaknya, "wahai abdul qadir ibu meminta kepada kamu untuk berlaku jujur dalam tindakan dan ucapan selama kamu menimba ilmu disana, dan ibu memberikan bekal kepada kamu warisan dari ayahmu uang sebanyak 200 dinar untuk bekal kamu selama kamu disana.

Apabila nanti ada rombongan pengusaha yang akan pergi kesana alangkah baiknya kamu ikut rombongan itu. Dan abdul qadir pun pergi dengan ridha ibunya. Ditengah perjalan ada sekelompok gerombolan perampok yang menghadang rombongan syekh Abdul Qadir dan para pengusaha.Kelompok gerombolan ini terkenal bengis dan sadis.dan satu persatu harta yang dibawa para rombongan pun di rampas.

Dan pada saat salah satu anggota perampok mendekati abdul qadir ,ia pun bertanya kepada abdul qadir, "hai anak muda harta apa yang kamu miliki dan abdul qadir pun menjawab aku punya uang 200 dinar,yang di simpan di bawah ketiaknya, dilalah anehnya orang yang bertanya tadi malah tertawa dan tidak percaya bahwa tampang seperti ini memiliki harta 200 dinar dan berkata jujur.

Dan beliau pun di suruh pergi, dan bertemu lagi dengan anggota rampok yang lain dan ditanya lagi seperti pertanyaan tadi. dan orang ini pun tidak mempercayainya. Dan pada akhirnya kepala rampoknya mendengar bahwa ada anak muda yang mengaku memiliki harta 200 dinar tapi tidak ada yang percaya.Disuruhlah abdul qadir untuk menghadap kepada kepala rampok.dan kepala rampok tadi menanyakan pertanyaan sama dengan anak buahnya. Abdul Qadir pun menjawab dengan jawaban yang sama dan membuktikan bahwa dia memang memiliki uang 200 dinar.

Ketika melihat kebenaran dan kejujuran dengan anak muda ini sedikit kaget dan tercengang lalu dia pun bertanya kepada beliau mengapa engkau mau berkata jujur padahal dalam situasi serba susah begini. dan abdul qadir pun menjawab "saya tidak ingin melanggar janji saya pada ibu saya dan saya tidak ingin membuat ibu saya merasa kecewa" dan kepala rampok tersebut menanyakan kembali memang kamu telah berjanji apa pada ibu kamu padahal ibumu tidak akan mengetahuinya. lalu abdul qadir pun menjawab "ibu saya mewasiatkan kepada saya untuk berlaku jujur dalam bertingkah laku dan berbicara walau dalam keadaan apapun"

Mendengar penjelasan Abdul Qadir si kepala perampok pun merasa terharu dan menangis di hadapan beliau karena merasa malu pada sikap Abdul Qadir (yang pada waktu itu masih muda) yang  tidak berani melanggar janji pada ibunya, sedangkan dia dan anak buahnya sudah sering dan banyak melanggar aturan Allah, dan bagaimana Allah sangat membencinya .

Karena ketauladan beliau dan kejujurannya maka kepala rampok pun bertaubat di hadapan Syekh Abdul Qadir dan berjanji tidak akan melakukan perbuatan yang di larang Allah dan merugikan banyak orang.Dan hasil rampokannya pun dikembalikan kepada pemiliknya.‎‎
Jujur adalah mengatakan sesuatu apa adanya. Jujur lawannya dusta. Ada pula yang berpendapat bahwa jujur itu tengah-tengah antara menyembunyikan dan terus terang. Dengan demikian, jujur berarti keselarasan antara berita dengan kenyataan yang ada. Jadi, kalau suatu berita sesuai dengan keadaan yang ada, maka dikatakan benar atau jujur, tetapi kalau tidak, maka dikatakan dusta. Nabi menganjurkan umatnya untuk selalu jujur karena kejujuran merupakan mukadimah akhlak mulia yang akan mengarahkan pemiliknya kepada akhlak tersebut.
Wallohu A'lam Bishshowab‎

 

Doa Nabi Sulaiman Menundukkan Hewan dan Jin

  Nabiyullah Sulaiman  'alaihissalam  (AS) merupakan Nabi dan Rasul pilihan Allah Ta'ala yang dikaruniai kerajaan yang tidak dimilik...