Sejarah awal berdirinya Kesultanan Terengganu belum dapat dipastikan.
Sejarah keberadaan kesultanan ini dapat dirunut dari beberapa fakta
sejarah berikut ini. Saudagar asal China,Chao Ju Kua menyebutkan bahwa
pada tahun 1225 M, Negeri Terengganu pernah menjadi bagian dari wilayah
jajahan Palembang. Kitab Negarakertagama yang ditulis oleh Prapanca pada
tahun 1365 juga menyebutkan bahwa Terengganu, Paka, dan Dungun pernah
di bawah taklukan Majapahit. Hal itu membuktikan bahwa Terengganu memang
pernah ada dalam sejarah.
Diperkirakan Kesultanan Terengganu berdiri sebelum abad ke-18.
Terengganu pernah berada di bawah kekuasaan Kerajaan Johor. Ketika itu
yang bertugas memerintah Terengganu adalah tiga orang pembesar Kerajaan
Johor, yaitu Paduka Megat Seri Rama beserta Laksamana dan Bendahara
Hasan. Tun Zain Indera kemudian meneruskan tugas mereka. Tiga anak Tun
Zain Indera, yaitu Tun Yuan, Tun Sulaiman (Tok Raja Kilat), dan Tun
Ismail kemudian memerintah Terengganu. Tepatnya, Tun Ismail memerintah
di Pantai Layang (Balik Bukit Kuala Terengganu), sedangkan Tun Yuan
sebagai Bendahara dan Tun Ismail sebagai Menteri Tersat.
Dalam perkembangan selanjutnya, Tun Zainal Abidin bin Bendahara Tun
Habib Abdul Majid (Bendahara Padang Saujana) mendirikan Kesultanan
Terengganu, sebuah kesultanan Melayu yang berdiri sendiri. Diperkirakan
Tun Zainal Abidin menjadi Sultan Terengganu I pada tahun 1708 M. Hal ini
didasarkan pada bukti arkeologis, yaitu berupa uang logam emas
Terengganu yang mencantumkan nama Sultan Zainal Abidin I dan keterangan
tahunnya pada 1120 H (yang bersamaan dengan tahun 1708 M).
Ada dua versi sumber yang menyebutkan tentang pengangkatan Tun Zainal
Abidin sebagai Sultan Terengganu dengan gelar Sultan Zainal Abidin I.
Dalam kitab Tuhfat an-Nafis karya Raja Ali Haji, disebutkan bahwa
pengangkatan tersebut dilakukan oleh Daeng Menampuk atau Raja Tua, yang
mendapat perintah dari Sultan Sulaiman Badrul Alam Syah Johor. Dalam
sumber lain, Hikayat Johor Serta Pahang, disebutkan bahwa pengangkatan
tersebut dilakukan oleh Phra Nang Chau Yang, Raja Patani. Dalam hikayat
ini juga disebutkan bahwa Tun Zainal Abidin datang ke Patani terkait
dengan rencananya untuk membunuh Laksamana Johor, Paduka Raja Wan Abdul
Rahman, pada tahun 1688 M. Ketika berada di Patani, Tun Zainal Abidin
dijadikan anak angkat oleh Raja Phra Nang Chau Yang.
Sultan Zainal Abidin I yang lebih dikenal dengan sebutan “Bendahara
Padang Saujana” meninggal pada tahun 1733 M. Ia dimakamkan di Bukit
Keledang, Kuala Terengganu. Tahta kekuasaan kemudian dipegang oleh
puteranya, Sultan Mansur I (1733-1793 M).
Ketika pertama kali diangkat sebagai penguasa (tahun 1733 M), usia
Sultan Mansur I masih kanak-kanak, tepatnya berumur 7 tahun. Oleh
karenanya, ia dikenal sebagai Raja Kecik (Raja Kecil). Pada tahun 1739
M, ia menikah dengan Raja Bulang, puteri Daeng Chelak (Yamtuan Muda
Johor II). Ia kemudian juga menikah dengan Raja Bakul, putera Sultan
Sulaiman Badrul Alam Shah. Dalam kurun waktu antara tahun 1746 hingga
1760 M, ia menghabiskan waktunya di Riau dalam urusan persaingan
kepentingan antara orang-orang Melayu dengan Bugis. Pada tahun 1760 M,
ketika kembali ke Terengganu, ia membantu Long Yunus, putera Long
Sulaiman Ibni Long Bahar (Yang Dipertuan Kelantan) dalam usaha meraih
tahta kekuasaan Kesultanan Kelantan. Pada tahun 1776 M, Long Yunus
diangkat sebagai Sultan Kelantan. Pada masa pemerintahan Sultan Mansur
I, Kesultanan Terengganu pernah berhubungan dengan Syarikat Hindia Timur
Inggris, Kerajaan Patani, Kerajaan Siam, dan Belanda. Ketika mangkat
pada tahun 1793 M, ia diberi gelar Marhum Janggut. Tahta kekuasaan
kemudian dipegang oleh putranya, Sultan Zainal Abidin II (1793-1808 M).
Ketika memimpin, Sultan Zainal Abidin II pernah terlibat dalam
perselisihan antara salah seorang anggota keluarganya (kakaknya) dengan
Kesultanan Kelantan. Kakaknya, Tengku Muhammad merupakan Yang Dipertuan
Besar Kelantan dan sekaligus menantu dari Long Yunus, Raja Kelantan.
Pelantikan Tengku Muhammad sebagai Yang Dipertuan Besar Kelantan pada
tahun 1795 M ternyata tidak disenangi oleh putera-putera Long Yunus,
yaitu Long Muhammad, Long Zainal, dan Long Tan. Hal ini berdampak pada
perselisihan yang semakin akut hingga menyebabkan terjadinya perang
antara Tengku Muhammad dengan putera-putera Long Yunus yang dipimpin
oleh Long Muhammad. Sultan Zainal Abidin II ikut membantu perjuangan
Tengku Muhammad. Ketika itu, Tengku Muhammad juga mendapat bantuan dari
Kerajaan Patani. Namun demikian, pasukan Terengganu-Patani dapat
dikalahkan. Sebagai akibat dari kekalahan tersebut, Long Muhammad
diangkat sebagai Sultan Kelantan dengan gelar Sultan Muhammad. Pada
perkembangan selanjutnya, Kesultanan Kelantan makin berjaya, bahkan
mampu menguasai Kesultanan Terengganu yang sebelumnya justru lebih kuat
dan dominan.
Pada tahun 1808 M, Sultan Zainal Abidin II wafat. Ia diberi gelar Marhum
Mata Merah. Tahta kekuasaan kemudian dipegang oleh Tengku Ahmad, putera
Sultan Muhammad (dari Kesultanan Kelantan). Tengku Ahmad berkuasa
antara tahun 1808-1830 M dengan gelar Sultan Ahmad Shah. Ketika ia
memerintah terjadi jalinan hubungan kekeluargaan antara Terengganu
dengan Lingga. Pada tahun 1821 M, Sultan Abdul Rahman Lingga datang ke
Terengganu dengan maksud ingin menikahi adik Sultan Ahmad Shah.
Selanjutnya, terjadi juga perkawinan antara Tengku Besar Muhammad,
putera Sultan Abdul Rahman dengan Tengku Teh (atau Tengku Kalthum),
puteri Sultan Ahmad Shah. Sultan Abdul Rahman menetap di Terengganu
selama dua tahun. Pada November 1822 M, ia telah berada di Lingga. Pada
tanggal 4 Juli 1830, Sultan Ahmad Shah meninggal dunia. Ia kemudian
diberi gelar Marhum Parit karena ketika masih hidup ia pernah membangun
parit yang mengelilingi kota istana.
Meski Sultan Ahmad Shah memiliki dua orang putera, Tengku Daud dan
Tengku Omar, namun pembesar Kesultanan Terengganu lebih memilih adiknya,
Tengku Abdul Rahman sebagai Sultan Terengganu pada tahun 1830 M. Sultan
Abdul Rahman tidak lama memerintah (hanya sekitar enam bulan) karena ia
meninggal pada tahun 1831 M, dengan gelar Marhum Surau. Pembesar
kesultanan kemudian memilih Tengku Daud bin Sultan Ahmad Shah sebagai
Sultan Terengganu dengan gelar Sultan Daud.
Sultan Daud ternyata hanya memerintah selama satu bulan saja karena ia
mangkat pada Februari 1831 M (16 Syaban 1246 H). Ia mendapat gelar
Marhum Kampung Daik. Sepeninggalannya, suksesi kepemimpinan di
Kesultanan Terengganu sempat bermasalah. Ada dua kubu yang berseteru: di
satu sisi, ada pembesar kesultanan yang mendukung Tengku Mansur bin
Sultan Zainal Abidin II; sementara di sisi lain, ada yang mendukung
Tengku Omar bin Sultan Ahmad. Akhirnya, para pembesar kesultanan saling
bermusyawarah dan memutuskan Tengku Mansur sebagai Yang Dipertuan Tua
dan Tengku Omar sebagai Yang Dipertuan Besar. Namun, ternyata
perselisihan di antara kedua kubu tersebut masih berlanjut. Tengku
Mansur melantik pembesarnya sendiri, Che Ku Omar dan Che Ku Ahmad
sebagai menteri, sedangkan Tengku Omar juga melantik mertuanya, Tengku
Ismail sebagai menteri. Pusat kekuasaan kedua kubu juga berbeda. Tengku
Omar memusatkan kubunya di Bukit Puteri, sedangkan Tengku Mansur
memusatkan kubunya di Balik Bukit.
Perselisihan dua kubu tersebut akhirnya berujung pada peperangan. Dalam
peperangan ini, Tengku Omar dapat dikalahkan. Konsekuensinya, Tengku
Mansur diangkat sebagai Sultan Terengganu dengan gelar Sultan Mansur II
pada tahun 1831 M. Tengku Omar kemudian menghadap ke Sultan Muhammad
Lingga untuk meminta bantuan. Sultan Muhammad Lingga kemudian
mengirimkan utusannya ke Terengganu untuk mendamaikan Sultan Mansur II
dengan Tengku Omar. Ternyata keinginan Sultan Muhammad Lingga tidak
dapat diterima oleh Sultan Mansur II. Tengku Omar akhirnya memutuskan
untuk mengikuti rombongan Sultan Muhammad kembali ke Lingga.
Pada tahun 1836 M, Sultan Mansur II meninggal dunia. Ia diberi gelar
Marhum Mansur. Tahta kekuasaan kemudian dipegang oleh putranya, Tengku
Muhammad. Ketika diangkat sebagai Sultan Terengganu, usia Sultan
Muhammad masih sangat muda (15 tahun). Untuk membantu jalannya
pemerintahan, Tengku Abdullah bin Sultan Abdul Rahman diangkat sebagai
Raja Muda Terengganu. Pada masa pemerintahan Sultan Muhammad ini,
terjadi lagi perebutan kepemimpinan. Hal itu ditandai dengan kembalinya
Tengku Omar dari Lingga ke Terengganu.
Sesampainya di Terengganu, Tengku Omar singgah terlebih dahulu di
Kemaman untuk mengumpulkan kekuatannya. Ia beserta rombongannya mulai
bergerak masuk ke Kuala Terengganu. Hingga pada akhirnya terjadi suatu
peperangan hebat antara kubu Tengku Omar dengan kubu pasukan Sultan
Muhammad. Pasukan Sultan Muhammad dapat dikalahkan oleh pasukan Tengku
Omar. Hal itu menyebabkan Sultan Muhammad harus mundur ke Seberang
Takir, Dungun, dan Besut. Pasukan Tengku Omar terus melakukan
penyerangan di Besut hingga mampu membunuh Che Ku Omar, seorang pembesar
Sultan Muhammad. Pasukan Sultan Muhammad kemudian mundur lagi ke
Kelantan. Hal itu berarti bahwa Sultan Muhammad telah menyerahkan
kekuasaannya. Tengku Omar kemudian memegang tampuk kekuasaan dengan
gelar Baginda Omar atau Sultan Omar (1839-1876 M). Pada masa
pemerintahannya, Kesultanan Terengganu pernah berkembangan sangat maju.
Pada tahun 1876 M, Sultan Omar mangkat. Ia diberi gelar Marhum Baginda.
Karena tidak mempunyai putra, tahta kekuasaan kemudian dipegang oleh
anak saudaranya, Tengku Ahmad bin Raja Muda Mahmud dengan gelar Sultan
Ahmad Shah II. Ketika mangkat pada tahun 1881 M, Sultan Ahmad Shah II
mendapat gelar Marhum Baharu. Tahka kekuasaan kemudian dipegang
putranya, Sultan Zainal Abidin III (1881-1918 M).
Pada masa pemerintahan Sultan Zainal Abidin III, beberapa kali Inggris
pernah ikut campur urusan dalam negeri Terengganu. Pada tahun 1910 M,
ditandatangani perjanjian antara Inggris dan Terengganu (belum ditemukan
data tentang bagaimana isi perjanjian tersebut). Pada masa pemerintahan
Sultan Zainal Abidin III, tepatnya pada tahun 1911 M, telah lahir
Undang-undang bagi Kesultanan Negeri Terengganu (al-Itqan al-Muluk bi
Ta‘dil al-Suluk), yang isinya antara lain menyebutkan bahwa Yang
Dipertuan Besar Sultan Terengganu memiliki kekuasaan penuh terhadap
kesultanan dan negeri-negeri jajahan, dan ia adalah penguasa tertinggi
di Kesultanan Terengganu. Sultan Zainal Abidin III mangkat pada tahun
1918 M, dengan gelar Marhum Masjid. Tahta kekuasaan kemudian digantikan
oleh putranya, Tengku Muhammad dengan gelar Sultan Muhammad Shah
(1918-1920 M).
Pada masa pemerintahan Sultan Muhammad Shah, pengaruh Inggris mulai
bercokol di Terengganu. Hal itu dimulai sejak tahun 1919 M ketika Sultan
menandatangani perjanjian Terengganu dengan Inggris. Salah satu isinya
menyebutkan bahwa seorang wakil Inggris, J. L. Humphreys dilantik
sebagai Penasehat Inggris yang pertama di Terengganu. J. L. Humphreys
bertugas menasehati semua perkara di Terengganu, kecuali urusan adat dan
agama (Islam). Pada perkembangan selanjutnya, terjadi perselisihan
antara Sultan Muhammad Shah dengan Inggris yang menyebabkan Sultan harus
meletakkan jabatannya pada tahun 1920 M.
Putra Sultan Zainal Abidin III yang lain, Tengku Muda Tengku Sulaiman,
pernah menolak penunjukan dirinya sebagai Sultan Terengganu untuk
menggantikan saudaranya, Sultan Muhammad Shah. Namun, setelah menolak
berkali-kali akhirnya ia menerima tawaran sebagai Sultan Terengganu
dengan gelar Sultan Sulaiman Badrul Alam Shah (1920-1942 M). Pada masa
pemerintahannya, banyak terjadi perubahan kebijakan di dalam kesultanan.
Hal itu dilakukan atas saran dan nasehat dari J. L. Humphreys. Di
antara kebijakan yang dimaksud adalah tentang peraturan bea-cukai dan
kepemilikan tanah. Kebijakan ini ternyata menimbulkan rasa tidak senang
di mata masyarakat Terengganu, khususnya di daerah-daerah pedalaman.
Dengan dipimpin oleh sejumlah tokoh Terengganu, seperti Haji Abdul
Rahman bin Abdul Hamid (dikenal dengan nama Haji Abdul Rahman Limbong),
Haji Musa Abdul Ghani (Haji Musa Minangkabau), dan Sayyid Sagap bin
Sayyid Abdul Rahman al-Idrus, masyarakat di pedalaman Terengganu
melancarkan gerakan menentang Inggris pada tahun 1922, 1925, dan 1928 M.
Namun, usaha mereka selalu dapat digagalkan Inggris. Hal itu
menyebabkan Haji Abdul Rahman Limbong dihukum dan dibuang ke Mekkah,
sedangkan dua pemimpin lainnya tidak dihukum.
Pada masa pemerintahan Sultan Sulaiman Badrul Alam Shah, pengaruh asing
juga datang dari Jepang. Tentara Jepang pernah menyerang Tanah Melayu,
termasuk Terengganu (sayangnya belum ditemukan data kapan tahun
penyerangan tersebut). Sejak penyerangan tersebut, pemerintahan
Terengganu banyak dikendalikan oleh Jepang. Pada tanggal 26 September
1942 M, Sultan Sulaiman Badrul Alam Shah mangkat. Menurut “Warta Chahaya
Timor No. 38” yang bertanggal 29 September 1942 M, putra Sultan
Sulaiman Badrul Alam Shah, Tengku Ali dipilih oleh pihak Jepang sebagai
Sultan Terengganu dengan gelar Sultan Ali (1942-1949 M).
Pada tahun 1943 M, Jepang menyerahkan Terengganu kepada Kerajaan Thai.
Penyerahan tersebut dikarenakan Jepang sedang menghadapi peperangan
dengan Inggris. Pemerintahan Thai di Terengganu berakhir ketika Jepang
kalah dalam peperangan melawan Inggris. Inggris akhirnya dapat berkuasa
lagi di Terengganu. Setelah Inggris berkuasa, para pembesar Terengganu
yang dipimpin oleh Menteri Besar Terengganu Dato‘ Jaya Perkasa Che Da
Omar bin Mahmud melakukan pertemuan Majlis Mesyuarat Kerajaan pada
September 1945 M. Salah satu hasil rapat adalah memutuskan bahwa Sultan
Ali tidak layak untuk meneruskan kepemimpinannya. Mereka kemudian
memilih Tengku Paduka Ismail bin Sultan Zainal Abidin III sebagai Sultan
Terengganu dengan gelar Sultan Ismail Nasiruddin Shah (1949-1979 M).
Ketika memerintah, Sultan Ismail Nasiruddin Shah pernah terpilih sebagai
Duli Yang Maha Mulia Yang Dipertuan Agong Malaysia ke-VI untuk masa
waktu sejak tanggal 21 September 1965 hingga 20 September 1970 M. Ia
mangkat pada tanggal 20 September 1979 M. Putranya, Yang Dipertuan Muda
Mahmud diangkat sebagai Sultan Terengganu dengan gelar Sultan Mahmud
al-Muktafi Billah Shah. Sultan Mahmud mangkat pada tanggal 15 Mei 1998 M
di Singapura.
Putra Sultan Mahmud, Yang Dipertuan Tengku Mizan diangkat sebagai Sultan
Terengganu dengan gelar Sultan Mizan Zainal Abidin. Hingga kini, Sultan
Mizan Zainal Abidin masih memerintah Kesultanan Terengganu.
Silsilah
Batu Bersurat Terengganu bertarikh 1303 (702 Hijrah) mencatatkan
terdapat nama Raja Mandalika yang memerintah Terengganu serta
menjalankan pemerintahan Islam. Sejarah negeri Terengganu pula ada
menyebut terdapat dua nama dalam kerabat Kesultanan Terengganu purba
bernama Megat Panji Alam (dibunuh Hang Tuah sekitar tahun 1480 – 1500)
dan Tun Telanai (dibunuh Seri Akar DiRaja Pahang 1475). Tidak dapat
dipastikan sama ada Megat Panji Alam dan Tun Telanai adalah berketurunan
Raja Mandalika atau masih mempunyai pertalian darah kerana di dalam
catatan salasilah di atas, didapati bahawa berlaku perkahwinan puteri
Raja Terengganu dengan Raja Kelantan. Jika salasilah ini tepat, ini
bermakna Raja Terengganu purba juga mempunyai darah berketurunan
Maharaja Sri Wijaya melalui Kesultanan Kelantan. Siapakah Raja
Mandalika?.. Wallahu a’lam. Walaupun Keturunan Tokku Pulau Manis
dikaitan dengan Raja Mandalika, tetapi jarak masa lebih kurang 200 tahun
antara Raja Mandalika (1303) dan Syeikh/Sharif Muhammad (lingkungan
1590) sukar untuk membuktikan dakwaan tersebut.
Misterinya Raja-Raja yang memerintah Terengganu sebelum pemerintahan
keturunan Tun Zainal Abidin I adalah sukar terjawab. Insya Allah segala
misteri tersebut akan terjawab apabila tiba masanya kebangkitan Islam
berjaya menghapuskan kebathilan.
Berikut ini adalah daftar sultan yang pernah berkuasa di Kesultanan Terengganu:
1- Sultan Zainal Abidin I (1708-1733 M)
2- Sultan Mansur I (1733-1793 M)
3- Sultan Zainal Abidin II (1793-1808 M)
4- Sultan Ahmad Shah (1808-1830 M)
5- Sultan Abdul Rahman (1830-1831 M-hanya enam bulan)
6- Sultan Daud (1831 M-hanya satu bulan)
7- Sultan Mansur II (1831-1836 M)
8- Sultan Muhammad (1836-1839 M)
9- Sultan Omar (1839-1876 M)
10- Sultan Ahmad Shah II (1876-1881 M)
11- Sultan Zainal Abidin III (1881-1918 M)
12- Sultan Muhammad Shah (1918-1920 M)
13- Sultan Sulaiman Badrul Alam Shah (1920-1942 M)
14- Sultan Ali (1942-1949 M)
15- Sultan Ismail Nasiruddin Shah (1949-1979 M)
16- Sultan Mahmud al-Muktafi Billah Shah (1979-1998 M)
17- Sultan Mizan Zainal Abidin (1998 M- hingga sekarang)
Periode Pemerintahan
Kesultanan Terengganu telah berdiri selama hampir tiga abad, yaitu sejak
tahun 1708 M. Selama rentang waktu yang sangat lama, Kesultanan
terengganu pernah mengalami kejayaannya terutama pada masa Sultan Omar
(1839-1876 M).
Kesultanan Terengganu pernah menghadapi serangan dari Kerajaan Siam. Hal
itu dipicu dari keinginan Raja Siam di Ayuthia yang meminta Sultan
Mansur I agar bersedia menghadapnya. Karena Sultan Mansur I menolak
permintaan tersebut, maka Kerajaan Siam berusaha akan menyerang
Terengganu. Karena kebingungan, Sultan Mansur I akhirnya menjalin
hubungan diplomatik dengan Syarikat Hindia Timur di Pulau Pinang.
Tujuannya tiada lain untuk mengimbangi kekuatan Siam yang akan melakukan
penyerangan.
Terengganu pernah menghadapi penjajahan Inggris. Selain Sultan Mansur I,
Sultan Omar (1839-1876 M) juga menghadapi hegemoni Inggris. Ceritanya,
Inggris mendesak Sultan Omar untuk menyerahkan mantan Sultan Lingga,
Sultan Muhammad. Namun, Sultan Omar tidak mengindahkan permintaan
tersebut. Pada tahun 1862 M, Inggris mengirim angkatan perangnya untuk
menyerang Kuala Terengganu.
Pihak Kesultanan Terengganu pernah berselisih dengan Inggris dalam
sejumlah hal. Misalnya, Sultan Muhammad Shah (1918-1920 M) pernah
berselisih dengan Gubernur Sir Arthur Young. Sultan Muhammad Shah tidak
setuju dengan tawaran gaji sebesar $3,500.00, padahal sebelumnya Sultan
Zainal Abidin III (1881-1918 M) mendapatkan gaji $6,00.00. Sultan
Muhammad pernah berselisih dengan Gubernur Sir Arthur Young soal
kebijakan dalam negeri Kesultanan Terengganu. Gubernur Young memberikan
masukan agar pembicaraan dalam Mahkamah Besar dilakukan oleh dua orang
hakim, yaitu Penasehat Inggris dan Hakim Melayu. Gubernur Young juga
pernah mengeluarkan perintah kepada Penasehat Inggris agar membuat Kanun
Pidana dan bentuk-bentuk hukumannya yang didasarkan pada Undang-undang
Johor dan Kedah. Karena perselisihan dengan Gubernur Young, Sultan
Muhammad Shah meletakkan jabatannya sebagai Yang Dipertuan Sultan
Terengganu.
Pada tahun 1931 M, juga pernah terjadi perselisihan antara Penasehat
Inggris G. L. Ham dengan Dato‘ Seri Andika Diraja, Ketua Kastam atau
Syahbandar Terengganu. Perselisihan tersebut berpuncak pada
didigantikannya G. L. Ham oleh C. C. Brown pada tanggal 3 November 1932
M.
Pada masa pemerintahan Sultan Sulaiman Badrul Alam Shah (1920-1942 M),
Terengganu mulai menghadapi penjajahan Jepang. Semenjak dikalahkan
Jepang, kebijakan dan pemerintahan Terengganu banyak dikendalikan oleh
kepentingan Jepang itu sendiri. Pemerintahan Jepang berakhir di
Terengganu setelah kalah perang dengan Inggris.
Wilayah Kekuasaan
Kesultanan Terengganu atau kadang disebut Negeri Terengganu Darul Iman
terletak di Pantai Timur Semenanjung Malaysia. Kesultanan ini terletak
di antara garis bujur 102.25 dengan 103.50 dan garis lintang 4 hingga
5.50. Luas wilayahnya bisa mencapai sekitar 1,295,638.3 hektar. Sebelum
tahun 1947 M, terdapat sembilan (9) daerah di Terengganu, yaitu: Kuala
Terengganu, Kemaman, Kemasik, Paka, Dungun, Marang, Hulu Terengganu,
Besut, dan Setiu. Setelah tahun 1947 M, daerah-derah tersebut dikurangi
menjadi enam (6) daerah, yaitu: Kuala Terengganu, Kemaman, Dungun,
Marang, Hulu Terengganu, dan Besut. Pada tanggal 1 Januari 1985, sebuah
daerah baru dibentuk, yaitu Setiu, dan menjadi daerah yang ketujuh.
Tiap-tiap tujuh (7) daerah dalam wilayah kekuasaan Kesultanan Terengganu
tersebut dipimpin oleh seorang Pegawai Daerah atau Pembesar Daerah.
Masing-masing daerah luasnya adalah sebagai berikut: Kuala Terengganu
60,654.3 hektar; Kemaman, 253,559.9 hektar; Dungun, 273,503.1 hektar;
Marang, 66,654.3 hektar; Hulu Terengganu, 387,463.6 hektar, Setiu,
130,436.3 hektar, dan Besut, 123,367.8 hektar. Ibukota Kesultanan
Terengganu adalah Kuala Terengganu.
Struktur Pemerintahan
Dalam struktur pemerintahan Kesultanan Terengganu, sultan merupakan
penguasa tertinggi. Menurut Undang-undang Diri Kesultanan Negeri
Terengganu (al-Itqan al-Muluk bi Ta‘dil al-Suluk) yang ditulis pada
tanggal 2 November 1911 M, disebutkan bahwa Sultan Terengganu adalah
Raja yang bertahta atau juga disebut Duli Yang Maha Mulia Yang Dipertuan
Besar Sultan Negeri Terengganu.
Secara keseluruhan, Undang-undang Diri Kesultanan Negeri Terengganu
berperan sebagai panduan untuk sultan, pengganti sultan, menteri, dan
pembesar kesultanan, baik dalam hal bertingkah-laku maupun dalam hal
memerintah Kesultanan Terengganu.
Menurut Undang-undang di atas, sultan merupakan penguasa tertinggi dalam
pemerintahan Terengganu dan pemilik Kesultanan Terengganu itu sendiri.
Gelar sultan adalah Yang Dipertuan Besar Sultan Terengganu. Dalam
Undang-undang tersebut disebutkan bahwa syarat-syarat seseorang menjadi
sultan adalah sebagai berikut: “Maka hendaklah sultan yang memerintah
Kesultanan Terengganu adalah beragama Islam, bangsa Melayu, berasal dari
keturunan sultan-sultan yang memerintah Kesultanan Terengganu, dan
laki-laki, sebagaimana tertera dalam pasal tiga, empat, dan lima”.
Jika mengikuti ketentuan Undang-undang tersebut, maka sultan-sultan
Terengganu adalah keturunan Sultan Zainal Abidin III (1881-1918 M).
Namun, setelah Undang-undang tersebut direvisi pada tahun 1950 M, yaitu
ketika Sultan Ismail Nasiruddin Shah (1949-1979 M) berkuasa, ada
perubahan ketentuan yang menyebutkan bahwa sultan harus berasal dari
keturunan Sultan Ismail Nasiruddin Shah bin al-Marhum Sultan Zainal
Abidin III.
Di samping empat syarat tersebut di atas, ada tujuh syarat lain yang
harus ada pada diri seorang sultan, yaitu: mempunyai sifat adil
(al-‘adalah), mempunyai ilmu (al-‘ilm), sempurna pancainderanya (salamah
al-hawas), tidak memiliki cacat pada seluruh anggota tubuhnya (salamah
al‘a‘da), mempunyai pemikiran yang dapat mengarahkan dirinya dalam soal
memimpin rakyat dan mengurus segala kepentingan kesultanan, serta
memiliki garis keturunan yang mulia (al-nasab).
Sultan memiliki tugas, tanggung jawab, dan kekuasaan dalam memimpin Kesultanan Terengganu, yaitu sebagai berikut:
Sultan berkuasa dalam mengangkat dan melantik Menteri Besar,
menteri-menteri, dan pegawai-pegawai. Sultan juga berhak menentukan apa
pekerjaan dan kekuasaan mereka, termasuk dalam menentukan berapa
gajinya.
Hanya sultan yang berhak memberikan pangkat (derajat) dan penghargaan kepada para menteri dan pegawainya.
Hanya sultan yang berhak memecat para menteri dan pegawainya.
Sultan bertanggung jawab dalam menjatuhkan hukuman terhadap siapa saja
yang berbuat salah dan melanggar Undang-undang kesultanan atau yang
melanggar hukum syariat agama.
Sultan diharuskan mengadakan musyawarah dengan seluruh menteri terhadap
apa saja yang berkenaan dengan masalah kesultanan dan peraturan
perundang-undangannya.
Jika sesuatu hal dianggap dapat mendatangkan kebaikan bagi kesultanan
dan rakyatnya, maka sultan dapat melakukan ijtihadnya sendiri.
Hanya sultan yang boleh memutuskan bahwa undang-undang yang telah diubah itu baru bisa dilaksanakan.
Sultan bertanggung jawab menentukan cara untuk menjalin hubungan dengan kerajaan lain, termasuk dengan negeri-negeri Eropa.
Sultan bersama-sama dengan Mensyuarat Kerajaan bertanggung jawab untuk
memperbaiki, menambahkan, dan menentukan syarah (tafsir penjelasan)
terhadap pasal-pasal dalam Undang-undang Diri Kesultanan Negeri
Terengganu.
Sultan bersama-sama dengan Mensyuarat Kerajaan bertanggung jawab membuat tanda-tanda atau simbol-simbol kesultanan.
Ada satu jabatan penting dalam struktur pemerintahan Kesultanan
Terengganu, yaitu Yang Amat Mulia Yang Dipertuan Muda Terengganu.
Jabatan ini diisi oleh keturunan sultan yang akan menjadi pewaris tahta
kesultanan. Ketika sultan mangkat, Yang Dipertuan Muda secara otomatis
menggantikan posisinya. Pewaris tahta yang pertama adalah putra sultan.
Pewaris kedua adalah kerabat yang terdekat dengan sultan. Jika sultan
tidak memiliki putra, maka saudara kandungnya dapat menggantikannya.
Berdasarkan nasehat dari pembesar kesultanan, sultan dapat menggantikan
seseorang yang sudah menjadi Yang Dipertuan Muda jika ternyata terdapat
cacat pada dirinya, baik karena cacat badan maupun cacat kelakuan.
Lembaga terpenting kedua dalam struktur pemerintahan Kesultanan
Terengganu adalah Mensyuarat Kerajaan. Sultan diwajibkan mengikuti
setiap acara Majelis Mensyuarat Kerajaan. Sultan diperbolehkan meminta
majelis untuk mengkaji ulang keputusan yang telah ditetapkannya.
Mensyuarat Kerajaan biasanya diadakan sekurang-kurangnya setiap dua
bulan sekali. Jika sultan memerintahkan para Jamaah Menteri atau para
anggota Mensyuarat Kerajaan untuk melakukan rapat darurat, maka
sekurang-kurangnya separuh dari mereka harus ada yang mengikuti rapat
tersebut.
Lembaga Mensyuarat Kerajaan dipimpin oleh Menteri Besar yang diangkat
oleh sultan sendiri. Anggota Mensyuarat Kerajaan adalah rakyat
Terengganu sendiri meski tidak harus berasal dari bangsa Melayu dan
beragama Islam. Setiap anggota Mensyuarat Kerajaan diminta sumpah
setianya kepada sultan dan kesultanan. Mereka juga diminta agar
memberikan segala pikirannya untuk membangun kesultanan. Anggota
Mensyuarat Kerajaan terdiri dari tiga bagian, yaitu:
Menteri-menteri, yang dikenal dengan sebutan Jamaah Menteri. Anggota
jamaah ini terdiri dari dua belas (12) menteri, yang disyaratkan harus
merupakan rakyat Terengganu dan beragama Islam. Jamaah Menteri ini
dipimpin oleh Menteri Besar. Pemilihan Menteri Besar langsung ditunjuk
oleh sultan.
Ketua-ketua, yang terdiri dari ulama, orang kaya, dan penghulu.
Pegawai-pegawai, baik yang berpangkat maupun hanya pegawai biasa saja.
Dalam menjalankan roda pemerintahan, sultan dibantu oleh para pembesar
kesultanan. Para pembesar yang dimaksud adalah sebagai berikut:
a. Menteri Besar.
Jabatan ini merupakan jabatan pembesar kesultanan yang tertinggi. Hanya
sultan yang berhak melantiknya. Menteri Besar adalah pemimpin dari
seluruh menteri. Syarat-syarat untuk menjadi Menteri Besar adalah:
berasal dari kalangan pegawai kesultanan, pernah menjadi anggota
Mensyuarat Kerajaan, beragama Islam, dan asli orang Terengganu. Tugas
Menteri Besar adalah:
Menjadi Ketua Mensyuarat Kerajaan.
Bersama sultan menentukan dan menimbang seseorang yang akan dilantik sebagai anggota Jamaah Menteri.
Meminta Jamaah Menteri untuk berkumpul sekurang-kurangnya sebulan sekali untuk membicarakan urusan-urusan kesultanan.
Menteri Besar, seperti halnya Naib Menteri Besar dan menteri-menteri,
boleh melepaskan jabatannya asalkan tidak mengundurkan diri dari
keanggotaan Mensyuarat Kerajaan.
b. Naib Menteri Besar.
Orang yang memegang jabatan ini harus berasal dari kalangan pegawai
kesultanan dan pernah menjadi anggota Mensyuarat Kerajaan. Naib Menteri
Besar dipilih langsung oleh Jamaah Menteri dengan mendapat persetujuan
dari sultan terlebih dahulu.
c. Menteri-menteri.
Jabatan ini merupakan pembantu sultan di tingkatan yang lebih praktis
dan operasional. Menteri yang diangkat harus beragama Islam dan
merupakan rakyat Terengganu. Syarat dan tugas menteri adalah sebagai
berikut:
Menteri yang hendak dilantik harus mengucapkan sumpah di depan dua orang
saksi dari pegawai kesultanan dan disertai dengan memberikan tanda
tangannya di atas buku pengangkatan.
Isi sumpah sekurang-kurangnya menyatakan bahwa mereka benar-benar
beragama Islam, rakyat Terengganu, serta bersedia untuk taat dan setia
kepada sultan dan kesultanan.
Setiap menteri dilarang melakukan perjanjian atau hubungan pemerintahan
dengan sembarang negeri, kerajaan, atau bangsa, yang dimaksudkan untuk
mengorbankan kedaulatan kesultanan itu sendiri.
Sebagai anggota Mensyuarat Kerajaan, setiap menteri diperbolehkan
menyampaikan pendapatnya sendiri, baik itu mendukung atau menolak segala
perkara atau urusan yang dimusyawarahkan.
d. Pegawai-pegawai.
Jabatan ini berada di tingkat paling bawah yang langsung menjalankan tugas-tugas kesultanan di tingkatan masing-masing menteri.
Kehidupan Sosial-Budaya
Kehidupan sosial-budaya yang tercatat di bawah ini merupakan kehidupan
masyarakat Terengganu pada masa modern karena kehidupan sosial-budaya
masa lampau tidak ditemukan datanya.
Berdasarkan sensus penduduk pada tahun 1912 M, jumlah penduduk
Terengganu mencapai 153,765 orang. Setiap tahun jumlah penduduknya kian
bertambah: 236,300 orang (1951 M); 236,300 orang (1951 M); 278,147 orang
(1959 M); 306,942 orang (1960 M); 339,816 orang (1963 M); 405,751 orang
(1970 M); 756,300 orang (1990 M); dan sekitar 1,000,000 orang (1998 M).
Sebagian besar penduduk Terengganu adalah bangsa Melayu, sebagian yang
lain merupakan keturunan China dan India. Mayoritas mata pencaharian
penduduknya adalah dalam bidang perikanan. Namun demikian, ternyata
hasil minyak juga mendorong perekonomian dalam negeri Terengganu.
Prasasti (Batu Bersurat) Trengganu
Batu Bersurat Terengganu yang dianggarkan telah berusia lebih kurang 700
tahun ini merupakan batu bersuratyang mempunyai ukiran yang paling tua
dan tulisan Jawi pertama ditemui diMalaysia. Ia membuktikan Islam telah
sampai ke Terengganu sebelum 1326atau 1386. Batu ini ditemui separuh
tenggelam selepas banjir surut di tebing Sungai Tersat (Sungai Tara),
Kampung Buluh di Kuala Berang, Hulu Terengganu pada tahun 1887, (ada
berpendapat 1899)
Menurut sidang mesyuarat Lembaga Penasihat Antarabangsa UNESCO yang
berlangsung di Barbados pada tanggal 13 Julai 2009, batu bersurat yang
berusia lebih 700 tahun ini telah disenaraikan sebagai barang purba
bernilai tinggi dan sesuai untuk mendapat pengiktirafan Warisan Dunia
UNESCO.
Fakta penemuan Batu Bersurat Terengganu bermula apabila saudagar Arab
bernama Sayid Husin bin Ghulam al-Bokhari secara tidak sengaja menjumpai
sebutir batu bersurat di tebing Sungai Tersat (Sungai Tara), Kampung
Buluh di Kuala Berang, Hulu Terengganu selepas berlakunya banjir. Ia
dijumpai di bahagian tangga surau Kampung Buluh yang dijadikan alas
membasuh kaki untuk naik ke tangga surau tersebut. Batu Bersurat
Terengganu ini menjadi bukti dan teks pada batu mengesahkan agama Islam
sudah bertapak dan menjadi anutan masyarakat dan pemerintah di
Terengganu sejak sekian lama. Selain itu, Islam merupakan agama rasmi di
Terengganu.
Semua bukti penggunaan bahasa Melayu praklasik[1] tercatat pada batu,
khususnya batu nisan. Hampir semua batu bersurat awal yang menunjukkan
pengaruh ini tidak menggunakan bahasa Melayu tetapi menggunakan bahasa
Arab sebagai medium utama. Batu Bersurat Trengganuadalah salah satu
prasasti tertua yang telah menggunakan bahasa Melayu dan sistem
penulisan aksara yang berbeda, yaitu aksara Jawi.
Prasasti ini mula-mula ditemukan di tebing sungai Teresat, Terengganu
pada tahun 1887, kemudian dipindahkan ke sebuah surau bernama Surau Tok
Rashid, lalu diletakkan sebagai pijakan untuk membasuh kaki di surau
lain yang bernama Surau Kampung Buluh. Setelah itu, batu ini
dipersembahkan kepada Sultan Zainal Abidin III pada tahun 1902 oleh
seorang kenamaan Terengganu yang bernama Pengiran Anum Engku Abdul Kadir
bin Engku Besar yang kebetulan melihat batu ini di Surau Kampung Buluh.
Tarikh yang tercatat pada batu Bersurat Terengganu adalah Jumat 4 Rajab
702 H atau bertepatan dengan tanggal 22 Februari 1303 M. Teks batu
bersurat ini ditulis pada empat penampang. Penggunaan bahasa pada
keempat penampang tersebut tidak memperlihatkan penggunaan dua jenis
aksara, tetapi lebih menonjolkan percampuran kata asli Melayu dan kata
pinjaman bahasa Sanskrit, bahasa Jawa, dan bahasa Arab.
Inskripsi yang lebih tua pernah ditemukan pada batu nisan Raja Aceh,
Sultan Malik as-Saleh (bertiti mangsa 1297), tetapi aksara dan bahasa
yang digunakan pada batu nisan itu adalah adalah aksara dan bahasa Arab.
Artefak-artefak berinskripsi lain seperti batu-batu nisan Champa (431
H/1039 M dan 1025/1035 M), batu nisan Makhdarah di Brunei (440H/1048 M),
dan batu nisan Fatimah (Asimah) di Leran, Gresik (495 H/1082 M) juga
menggunakan bahasa dan aksara Arab.
Prasasti lain yang mirip dengan Batu Bersurat Terengganu adalah Batu
Bersurat Sungai Udang, yang bertarikh Tahun Saka 1385 atau 1463/1464 M.
Prasasti ini diukir dalam bahasa Melayu Kuno dan menggunakan aksara kawi
dan aksara Jawi tua. Karena prasasti-prasasti yang lebih tua
menggunakan sistem penulisan dan bahasa Arab, maka Batu Bersurat
Terengganu dan Sungai Udang yang telah menggunakan aksara Jawi dianggap
sebagai penanda bagi tahap akhir bahasa Melayu praklasik sebelum
berkembang menjadi bahasa Melayu klasik.
Penafsiran
Batu Bersurat Terengganu adalah bukti paling awal untuk menelusuri tahap
terakhir dalam evolusi bahasa Melayu praklasik karena prasasti ini
telah menggunakan aksara Jawi untuk menuliskan ekspresi dalam bahasa
Melayu. Selain itu, Batu Bersurat Terengganu juga membuktikan bahwa
hukum agama Islam (fikih) dalam bidang pemerintahan telah dikenal dan
dipraktekkan di Kepulauan Melayu pada abad ke-14 itu, karena prasasti di
dalam tersebut diungkapkan seruan kepada penguasa untuk meyakini
keimanan dalam Islam dan mengamalkan ajaran-ajaran nabi Muhammad SAW.
Sistem penulisan aksara Jawi diambil dari aksara Arab yang telah
disesuaikan dan memperoleh tambahan sedemikian rupa sehingga
properti-properti fonetiknya dapat mengungkapkan fonem-fonem dalam
bahasa Melayu yang tidak terdapat dalam bahasa Arab. Sistem ini
merangkum semua abjad dalam bahasa Arab yang berjumlah 29, ditambah
dengan enam abjad tambahan (mulanya hanya lima abjad tambahan seperti
yang terdapat dalam Batu Bersurat Terengganu, lalu ditambah oleh Dewan
Bahasa dan Pustaka Malaysia melalui Pedoman Ejaan Jawi yang
Disempurnakan terbitan tahun 1986).
Tidak diketahui siapa yang memberikan nama “Jawi” untuk sistem penulisan
aksara yang baru itu. Kamus R.J. Wilkinson (Musa, 2006: 8) menerangkan
bahwa istilah “Jawi” dalam bahasa Melayu merujuk pada pokok jawi-jawi
atau jejawi dan juga beras jawi yang berbeda dari beras pulut, dan
berbeda juga dari makna lembu atau kerbau dalam bahasa Minangkabau.
Jelas sekali makna seperti itu tidak ada kaitannya dengan tulisan.
Osmar Awang (Loc.cit: 9) menegaskan bahwa istilah “Jawi” kemungkinan
berasal dari istilah al-Jawah yang pernah digunakan dalam catatan Arab
yang tertulis sebelum pertengahan abad ke-14 M. Untuk menamakan pulau
Sumatra, misalnya Yaqut, dalam Mu‘jan al-Buldan, Abu Al-Fida‘
dalamTaqwim al-Buldan dan Ibn Batutah dalam Rihlat Ibn Batutah. Fakta
ini menunjukkan kemungkinan yang kuat bahwa tulisan Jawi itu dinamakan
oleh orang Arab untuk merujuk tulisan yang digunakan oleh Orang Sumatra,
yaitu penduduk al-Jawah, yang beragama Islam dan menggunakan bahasa
Melayu.
Raffles (Ibid.) juga pernah menerangkan tentang istilah ini. Menurutnya,
“Jawi” merujuk pada istilah dalam bahasa Melayu yang berati “kacukan”
(campuran atau persilangan), seperti dalam ungkapan “anak Jawi” yang
artinya campuran dari ayah Keling dan ibu Melayu (yang menimbulkan
istilah Jawi Peranakan). Maka yang dimaksud dengan bahasa Jawi adalah
bahasa Melayu yang ditulis dengan menggunakan huruf Arab.
Selanjutnya, istilah ini sering digunakan dengan merujuk pada Melayu,
misalnya dalam ungkapan “jawikannya” yang berarti “terjemahkan ke dalam
bahasa Melayu (tentunya dalam tulisan Jawi). Agaknya penggunaan istilah
“Jawi” dengan makna “Melayu” adalah sebagai lawan bagi istilah
Arab/Parsi, sehingga tulisan Jawi adalah lawan tulisan Arab/Parsi,
bahasa Jawi lawan bahasa Arab/Parsi, dan bangsa Jawi lawan bangsa
Arab/Parsi/Turki.
Sebelum abad ke-17, sistem penulisan Jawi digunakan secara seragam di
seluruh Kepulauan Melayu, mulai dari Aceh hingga Sulawesi. Hal ini
disebabkan oleh dua hal.
Pertama, kemahiran menulis pada masa itu hanya dikuasai oleh beberapa
orang tukang tulis yang tentu sangat terlatih dengan sebaik-baiknya
dalam kaidah penulisan sehingga dapat menjaga keseragaman. Lagipula
teks-teks pada masa itu kebanyakan terdiri dari prasasti dan
dokumen-dokumen resmi keagamaan dan kerajaan, yang tentu saja hanya bisa
ditulis oleh orang yang terpelajar.
Kedua, ada beberapa standar yang tetap dalam hal ejaan sehingga penulis
harus menyesuaikan diri dengan standar tersebut. Standar itu adalah
sistem ortografi dalam bahasa Arab, yang kemudian dimodifikasi menjadi
ortografi Jawi.
Dengan sistematisasi penulisan menggunakan aksara Jawi, yang diawali
oleh Batu Bersurat Terengganu ini, pola dakwah Islam di Kepulauan Melayu
pada abad-abad berikutnya berubah, yang terutama dimulai pada abad
ke-17. Semula, dakwah Islam dilakukan secara lisan, di mana juru dakwah
berkhotbah kepada murid dan umat, yang akan berusaha menghapalkan
ajaran-ajaran sang juru dakwah. Dengan tulisan Jawi, ajaran keagamaan
dapat tersebar luas dan terjamin isinya karena dikemas sebagai kitab,
hikayat, atau risalah yang lebih mudah dibawa ke tempat-tempat yang
berjauhan. Selain itu, aksara Jawi juga telah melahirkan tradisi
kaligrafi Islam yang artistik dan khas Melayu.