Selasa, 24 November 2020

Sejarah Kesultanan Trengganu


Sejarah awal berdirinya Kesultanan Terengganu belum dapat dipastikan. Sejarah keberadaan kesultanan ini dapat dirunut dari beberapa fakta sejarah berikut ini. Saudagar asal China,Chao Ju Kua menyebutkan bahwa pada tahun 1225 M, Negeri Terengganu pernah menjadi bagian dari wilayah jajahan Palembang. Kitab Negarakertagama yang ditulis oleh Prapanca pada tahun 1365 juga menyebutkan bahwa Terengganu, Paka, dan Dungun pernah di bawah taklukan Majapahit. Hal itu membuktikan bahwa Terengganu memang pernah ada dalam sejarah.

Diperkirakan Kesultanan Terengganu berdiri sebelum abad ke-18. Terengganu pernah berada di bawah kekuasaan Kerajaan Johor. Ketika itu yang bertugas memerintah Terengganu adalah tiga orang pembesar Kerajaan Johor, yaitu Paduka Megat Seri Rama beserta Laksamana dan Bendahara Hasan. Tun Zain Indera kemudian meneruskan tugas mereka. Tiga anak Tun Zain Indera, yaitu Tun Yuan, Tun Sulaiman (Tok Raja Kilat), dan Tun Ismail kemudian memerintah Terengganu. Tepatnya, Tun Ismail memerintah di Pantai Layang (Balik Bukit Kuala Terengganu), sedangkan Tun Yuan sebagai Bendahara dan Tun Ismail sebagai Menteri Tersat.

Dalam perkembangan selanjutnya, Tun Zainal Abidin bin Bendahara Tun Habib Abdul Majid (Bendahara Padang Saujana) mendirikan Kesultanan Terengganu, sebuah kesultanan Melayu yang berdiri sendiri. Diperkirakan Tun Zainal Abidin menjadi Sultan Terengganu I pada tahun 1708 M. Hal ini didasarkan pada bukti arkeologis, yaitu berupa uang logam emas Terengganu yang mencantumkan nama Sultan Zainal Abidin I dan keterangan tahunnya pada 1120 H (yang bersamaan dengan tahun 1708 M).

Ada dua versi sumber yang menyebutkan tentang pengangkatan Tun Zainal Abidin sebagai Sultan Terengganu dengan gelar Sultan Zainal Abidin I. Dalam kitab Tuhfat an-Nafis karya Raja Ali Haji, disebutkan bahwa pengangkatan tersebut dilakukan oleh Daeng Menampuk atau Raja Tua, yang mendapat perintah dari Sultan Sulaiman Badrul Alam Syah Johor. Dalam sumber lain, Hikayat Johor Serta Pahang, disebutkan bahwa pengangkatan tersebut dilakukan oleh Phra Nang Chau Yang, Raja Patani. Dalam hikayat ini juga disebutkan bahwa Tun Zainal Abidin datang ke Patani terkait dengan rencananya untuk membunuh Laksamana Johor, Paduka Raja Wan Abdul Rahman, pada tahun 1688 M. Ketika berada di Patani, Tun Zainal Abidin dijadikan anak angkat oleh Raja Phra Nang Chau Yang.

Sultan Zainal Abidin I yang lebih dikenal dengan sebutan “Bendahara Padang Saujana” meninggal pada tahun 1733 M. Ia dimakamkan di Bukit Keledang, Kuala Terengganu. Tahta kekuasaan kemudian dipegang oleh puteranya, Sultan Mansur I (1733-1793 M).

Ketika pertama kali diangkat sebagai penguasa (tahun 1733 M), usia Sultan Mansur I masih kanak-kanak, tepatnya berumur 7 tahun. Oleh karenanya, ia dikenal sebagai Raja Kecik (Raja Kecil). Pada tahun 1739 M, ia menikah dengan Raja Bulang, puteri Daeng Chelak (Yamtuan Muda Johor II). Ia kemudian juga menikah dengan Raja Bakul, putera Sultan Sulaiman Badrul Alam Shah. Dalam kurun waktu antara tahun 1746 hingga 1760 M, ia menghabiskan waktunya di Riau dalam urusan persaingan kepentingan antara orang-orang Melayu dengan Bugis. Pada tahun 1760 M, ketika kembali ke Terengganu, ia membantu Long Yunus, putera Long Sulaiman Ibni Long Bahar (Yang Dipertuan Kelantan) dalam usaha meraih tahta kekuasaan Kesultanan Kelantan. Pada tahun 1776 M, Long Yunus diangkat sebagai Sultan Kelantan. Pada masa pemerintahan  Sultan Mansur I, Kesultanan Terengganu pernah berhubungan dengan Syarikat Hindia Timur Inggris, Kerajaan Patani, Kerajaan Siam, dan Belanda. Ketika mangkat pada tahun 1793 M, ia diberi gelar Marhum Janggut. Tahta kekuasaan kemudian dipegang oleh putranya, Sultan Zainal Abidin II (1793-1808 M).

Ketika memimpin, Sultan Zainal Abidin II pernah terlibat dalam perselisihan antara salah seorang anggota keluarganya (kakaknya) dengan Kesultanan Kelantan. Kakaknya, Tengku Muhammad merupakan Yang Dipertuan Besar Kelantan dan sekaligus menantu dari Long Yunus, Raja Kelantan. Pelantikan Tengku Muhammad sebagai Yang Dipertuan Besar Kelantan pada tahun 1795 M ternyata tidak disenangi oleh putera-putera Long Yunus, yaitu Long Muhammad, Long Zainal, dan Long Tan. Hal ini berdampak pada perselisihan yang semakin akut hingga menyebabkan terjadinya perang antara Tengku Muhammad dengan putera-putera Long Yunus yang dipimpin oleh Long Muhammad. Sultan Zainal Abidin II ikut membantu perjuangan Tengku Muhammad. Ketika itu, Tengku Muhammad juga mendapat bantuan dari Kerajaan Patani. Namun demikian, pasukan Terengganu-Patani dapat dikalahkan. Sebagai akibat dari kekalahan tersebut, Long Muhammad diangkat sebagai Sultan Kelantan dengan gelar Sultan Muhammad. Pada perkembangan selanjutnya, Kesultanan Kelantan makin berjaya, bahkan mampu menguasai Kesultanan Terengganu yang sebelumnya justru lebih kuat dan dominan.

Pada tahun 1808 M, Sultan Zainal Abidin II wafat. Ia diberi gelar Marhum Mata Merah. Tahta kekuasaan kemudian dipegang oleh Tengku Ahmad, putera Sultan Muhammad (dari Kesultanan Kelantan). Tengku Ahmad berkuasa antara tahun 1808-1830 M dengan gelar Sultan Ahmad Shah. Ketika ia memerintah terjadi jalinan hubungan kekeluargaan antara Terengganu dengan Lingga. Pada tahun 1821 M, Sultan Abdul Rahman Lingga datang ke Terengganu dengan maksud ingin menikahi adik Sultan Ahmad Shah. Selanjutnya, terjadi juga perkawinan antara Tengku Besar Muhammad, putera Sultan Abdul Rahman dengan Tengku Teh (atau Tengku Kalthum), puteri Sultan Ahmad Shah. Sultan Abdul Rahman menetap di Terengganu selama dua tahun. Pada November 1822 M, ia telah berada di Lingga. Pada tanggal 4 Juli 1830, Sultan Ahmad Shah meninggal dunia. Ia kemudian diberi gelar Marhum Parit karena ketika masih hidup ia pernah membangun parit yang mengelilingi kota istana.   

Meski Sultan Ahmad Shah memiliki dua orang putera, Tengku Daud dan Tengku Omar, namun pembesar Kesultanan Terengganu lebih memilih adiknya, Tengku Abdul Rahman sebagai Sultan Terengganu pada tahun 1830 M. Sultan Abdul Rahman tidak lama memerintah (hanya sekitar enam bulan) karena ia meninggal pada tahun 1831 M, dengan gelar Marhum Surau. Pembesar kesultanan kemudian memilih Tengku Daud bin Sultan Ahmad Shah sebagai Sultan Terengganu dengan gelar Sultan Daud. 

Sultan Daud ternyata hanya memerintah selama satu bulan saja karena ia mangkat pada Februari 1831 M (16 Syaban 1246 H). Ia mendapat gelar Marhum Kampung Daik. Sepeninggalannya, suksesi kepemimpinan di Kesultanan Terengganu sempat bermasalah. Ada dua kubu yang berseteru: di satu sisi, ada pembesar kesultanan yang mendukung Tengku Mansur bin Sultan Zainal Abidin II; sementara di sisi lain, ada yang mendukung Tengku Omar bin Sultan Ahmad. Akhirnya, para pembesar kesultanan saling bermusyawarah dan memutuskan Tengku Mansur sebagai Yang Dipertuan Tua dan Tengku Omar sebagai Yang Dipertuan Besar. Namun, ternyata perselisihan di antara kedua kubu tersebut masih berlanjut. Tengku Mansur melantik pembesarnya sendiri, Che Ku Omar dan Che Ku Ahmad sebagai menteri, sedangkan Tengku Omar juga melantik mertuanya, Tengku Ismail sebagai menteri. Pusat kekuasaan kedua kubu juga berbeda. Tengku Omar memusatkan kubunya di Bukit Puteri, sedangkan Tengku Mansur memusatkan kubunya di Balik Bukit.

Perselisihan dua kubu tersebut akhirnya berujung pada peperangan. Dalam peperangan ini, Tengku Omar dapat dikalahkan. Konsekuensinya, Tengku Mansur diangkat sebagai Sultan Terengganu dengan gelar Sultan Mansur II pada tahun 1831 M. Tengku Omar kemudian menghadap ke Sultan Muhammad Lingga untuk meminta bantuan. Sultan Muhammad Lingga kemudian mengirimkan utusannya ke Terengganu untuk mendamaikan Sultan Mansur II dengan Tengku Omar. Ternyata keinginan Sultan Muhammad Lingga tidak dapat diterima oleh Sultan Mansur II. Tengku Omar akhirnya memutuskan untuk mengikuti rombongan Sultan Muhammad kembali ke Lingga.

Pada tahun 1836 M, Sultan Mansur II meninggal dunia. Ia diberi gelar Marhum Mansur. Tahta kekuasaan kemudian dipegang oleh putranya, Tengku Muhammad. Ketika diangkat sebagai Sultan Terengganu, usia Sultan Muhammad masih sangat muda (15 tahun). Untuk membantu jalannya pemerintahan, Tengku Abdullah bin Sultan Abdul Rahman diangkat sebagai Raja Muda Terengganu. Pada masa pemerintahan Sultan Muhammad ini, terjadi lagi perebutan kepemimpinan. Hal itu ditandai dengan kembalinya Tengku Omar dari Lingga ke Terengganu.

Sesampainya di Terengganu, Tengku Omar singgah terlebih dahulu di Kemaman untuk mengumpulkan kekuatannya. Ia beserta rombongannya mulai bergerak masuk ke Kuala Terengganu. Hingga pada akhirnya terjadi suatu peperangan hebat antara kubu Tengku Omar dengan kubu pasukan Sultan Muhammad. Pasukan Sultan Muhammad dapat dikalahkan oleh pasukan Tengku Omar. Hal itu menyebabkan Sultan Muhammad harus mundur ke Seberang Takir, Dungun, dan Besut. Pasukan Tengku Omar terus melakukan penyerangan di Besut hingga mampu membunuh Che Ku Omar, seorang pembesar Sultan Muhammad. Pasukan Sultan Muhammad kemudian mundur lagi ke Kelantan. Hal itu berarti bahwa Sultan Muhammad telah menyerahkan kekuasaannya. Tengku Omar kemudian memegang tampuk kekuasaan dengan gelar Baginda Omar atau Sultan Omar (1839-1876 M). Pada masa pemerintahannya, Kesultanan Terengganu pernah berkembangan sangat maju.

Pada tahun 1876 M, Sultan Omar mangkat. Ia diberi gelar Marhum Baginda. Karena tidak mempunyai putra, tahta kekuasaan kemudian dipegang oleh anak saudaranya, Tengku Ahmad bin Raja Muda Mahmud dengan gelar Sultan Ahmad Shah II. Ketika mangkat pada tahun 1881 M, Sultan Ahmad Shah II mendapat gelar Marhum Baharu. Tahka kekuasaan kemudian dipegang putranya, Sultan Zainal Abidin III (1881-1918 M).

Pada masa pemerintahan Sultan Zainal Abidin III, beberapa kali Inggris pernah ikut campur urusan dalam negeri Terengganu. Pada tahun 1910 M, ditandatangani perjanjian antara Inggris dan Terengganu (belum ditemukan data tentang bagaimana isi perjanjian tersebut). Pada masa pemerintahan Sultan Zainal Abidin III, tepatnya pada tahun 1911 M, telah lahir Undang-undang bagi Kesultanan Negeri Terengganu (al-Itqan al-Muluk bi Ta‘dil al-Suluk), yang isinya antara lain menyebutkan bahwa Yang Dipertuan Besar Sultan Terengganu memiliki kekuasaan penuh terhadap kesultanan dan negeri-negeri jajahan, dan ia adalah penguasa tertinggi di Kesultanan Terengganu. Sultan Zainal Abidin III mangkat pada tahun 1918 M, dengan gelar Marhum Masjid. Tahta kekuasaan kemudian digantikan oleh putranya, Tengku Muhammad dengan gelar Sultan Muhammad Shah (1918-1920 M).

Pada masa pemerintahan Sultan Muhammad Shah, pengaruh Inggris mulai bercokol di Terengganu. Hal itu dimulai sejak tahun 1919 M ketika Sultan menandatangani perjanjian Terengganu dengan Inggris. Salah satu isinya menyebutkan bahwa seorang wakil Inggris, J. L. Humphreys dilantik sebagai Penasehat Inggris yang pertama di Terengganu. J. L. Humphreys bertugas menasehati semua perkara di Terengganu, kecuali urusan adat dan agama (Islam). Pada perkembangan selanjutnya, terjadi perselisihan antara Sultan Muhammad Shah dengan Inggris yang menyebabkan Sultan harus meletakkan jabatannya pada tahun 1920 M.

Putra Sultan Zainal Abidin III yang lain, Tengku Muda Tengku Sulaiman, pernah menolak penunjukan dirinya sebagai Sultan Terengganu untuk menggantikan saudaranya, Sultan Muhammad Shah. Namun, setelah menolak berkali-kali akhirnya ia menerima tawaran sebagai Sultan Terengganu dengan gelar Sultan Sulaiman Badrul Alam Shah (1920-1942 M). Pada masa pemerintahannya, banyak terjadi perubahan kebijakan di dalam kesultanan. Hal itu dilakukan atas saran dan nasehat dari J. L. Humphreys. Di antara kebijakan yang dimaksud adalah tentang peraturan bea-cukai dan kepemilikan tanah. Kebijakan ini ternyata menimbulkan rasa tidak senang di mata masyarakat Terengganu, khususnya di daerah-daerah pedalaman. Dengan dipimpin oleh sejumlah tokoh Terengganu, seperti Haji Abdul Rahman bin Abdul Hamid (dikenal dengan nama Haji Abdul Rahman Limbong), Haji Musa Abdul Ghani (Haji Musa Minangkabau), dan Sayyid Sagap bin Sayyid Abdul Rahman al-Idrus, masyarakat di pedalaman Terengganu melancarkan gerakan menentang Inggris pada tahun 1922, 1925, dan 1928 M. Namun, usaha mereka selalu dapat digagalkan Inggris. Hal itu menyebabkan Haji Abdul Rahman Limbong dihukum dan dibuang ke Mekkah, sedangkan dua pemimpin lainnya tidak dihukum.

Pada masa pemerintahan Sultan Sulaiman Badrul Alam Shah, pengaruh asing juga datang dari Jepang. Tentara Jepang pernah menyerang Tanah Melayu, termasuk Terengganu (sayangnya belum ditemukan data kapan tahun penyerangan tersebut). Sejak penyerangan tersebut, pemerintahan Terengganu banyak dikendalikan oleh Jepang. Pada tanggal 26 September 1942 M, Sultan Sulaiman Badrul Alam Shah mangkat. Menurut “Warta Chahaya Timor No. 38” yang bertanggal 29 September 1942 M, putra Sultan Sulaiman Badrul Alam Shah, Tengku Ali dipilih oleh pihak Jepang sebagai Sultan Terengganu dengan gelar Sultan Ali (1942-1949 M).

Pada tahun 1943 M, Jepang menyerahkan Terengganu kepada Kerajaan Thai. Penyerahan tersebut dikarenakan Jepang sedang menghadapi peperangan dengan Inggris. Pemerintahan Thai di Terengganu berakhir ketika Jepang kalah dalam peperangan melawan Inggris. Inggris akhirnya dapat berkuasa lagi di Terengganu. Setelah Inggris berkuasa, para pembesar Terengganu yang dipimpin oleh Menteri Besar Terengganu Dato‘ Jaya Perkasa Che Da Omar bin Mahmud melakukan pertemuan Majlis Mesyuarat Kerajaan pada September 1945 M. Salah satu hasil rapat adalah memutuskan bahwa Sultan Ali tidak layak untuk meneruskan kepemimpinannya. Mereka kemudian memilih Tengku Paduka Ismail bin Sultan Zainal Abidin III sebagai Sultan Terengganu dengan gelar Sultan Ismail Nasiruddin Shah (1949-1979 M). Ketika memerintah, Sultan Ismail Nasiruddin Shah pernah terpilih sebagai Duli Yang Maha Mulia Yang Dipertuan Agong Malaysia ke-VI untuk masa waktu sejak tanggal 21 September 1965 hingga 20 September 1970 M. Ia mangkat pada tanggal 20 September 1979 M. Putranya, Yang Dipertuan Muda Mahmud diangkat sebagai Sultan Terengganu dengan gelar Sultan Mahmud al-Muktafi Billah Shah. Sultan Mahmud mangkat pada tanggal 15 Mei 1998 M di Singapura.

Putra Sultan Mahmud, Yang Dipertuan Tengku Mizan diangkat sebagai Sultan Terengganu dengan gelar Sultan Mizan Zainal Abidin. Hingga kini, Sultan Mizan Zainal Abidin masih memerintah Kesultanan Terengganu.            

Silsilah

Batu Bersurat Terengganu bertarikh 1303 (702 Hijrah) mencatatkan terdapat nama Raja Mandalika yang memerintah Terengganu serta menjalankan pemerintahan Islam. Sejarah negeri Terengganu pula ada menyebut terdapat dua nama dalam kerabat Kesultanan Terengganu purba bernama Megat Panji Alam (dibunuh Hang Tuah sekitar tahun 1480 – 1500) dan Tun Telanai (dibunuh Seri Akar DiRaja Pahang 1475). Tidak dapat dipastikan sama ada Megat Panji Alam dan Tun Telanai adalah berketurunan Raja Mandalika atau masih mempunyai pertalian darah kerana di dalam catatan salasilah di atas, didapati bahawa berlaku perkahwinan puteri Raja Terengganu dengan Raja Kelantan. Jika salasilah ini tepat, ini bermakna Raja Terengganu purba juga mempunyai darah berketurunan Maharaja Sri Wijaya melalui Kesultanan Kelantan. Siapakah Raja Mandalika?.. Wallahu a’lam. Walaupun Keturunan  Tokku Pulau Manis dikaitan dengan Raja Mandalika, tetapi jarak masa lebih kurang 200 tahun antara Raja Mandalika (1303) dan Syeikh/Sharif Muhammad (lingkungan 1590) sukar untuk membuktikan dakwaan tersebut.

Misterinya Raja-Raja yang memerintah Terengganu sebelum pemerintahan keturunan Tun Zainal Abidin I adalah sukar terjawab. Insya Allah segala misteri tersebut akan terjawab apabila tiba masanya kebangkitan Islam berjaya menghapuskan kebathilan.

Berikut ini adalah daftar sultan yang pernah berkuasa di Kesultanan Terengganu:

1- Sultan Zainal Abidin I (1708-1733 M)
2- Sultan Mansur I (1733-1793 M)
3- Sultan Zainal Abidin II (1793-1808 M)
4- Sultan Ahmad Shah (1808-1830 M)
5- Sultan Abdul Rahman (1830-1831 M-hanya enam bulan)
6- Sultan Daud (1831 M-hanya satu bulan)
7- Sultan Mansur II (1831-1836 M)
8- Sultan Muhammad (1836-1839 M)
9- Sultan Omar (1839-1876 M)
10- Sultan Ahmad Shah II (1876-1881 M)
11- Sultan Zainal Abidin III (1881-1918 M)
12- Sultan Muhammad Shah (1918-1920 M)
13- Sultan Sulaiman Badrul Alam Shah (1920-1942 M)
14- Sultan Ali (1942-1949 M)
15- Sultan Ismail Nasiruddin Shah (1949-1979 M)
16- Sultan Mahmud al-Muktafi Billah Shah (1979-1998 M)
17- Sultan Mizan Zainal Abidin (1998 M- hingga sekarang)

Periode Pemerintahan

Kesultanan Terengganu telah berdiri selama hampir tiga abad, yaitu sejak tahun 1708 M. Selama rentang waktu yang sangat lama, Kesultanan terengganu pernah mengalami kejayaannya terutama pada masa Sultan Omar (1839-1876 M).

Kesultanan Terengganu pernah menghadapi serangan dari Kerajaan Siam. Hal itu dipicu dari keinginan Raja Siam di Ayuthia yang meminta Sultan Mansur I agar bersedia menghadapnya. Karena Sultan Mansur I menolak permintaan tersebut, maka Kerajaan Siam berusaha akan menyerang Terengganu. Karena kebingungan, Sultan Mansur I akhirnya menjalin hubungan diplomatik dengan Syarikat Hindia Timur di Pulau Pinang. Tujuannya tiada lain untuk mengimbangi kekuatan Siam yang akan melakukan penyerangan.

Terengganu pernah menghadapi penjajahan Inggris. Selain Sultan Mansur I, Sultan Omar (1839-1876 M) juga menghadapi hegemoni Inggris. Ceritanya, Inggris mendesak Sultan Omar untuk menyerahkan mantan Sultan Lingga, Sultan Muhammad. Namun, Sultan Omar tidak mengindahkan permintaan tersebut. Pada tahun 1862 M, Inggris mengirim angkatan perangnya untuk menyerang Kuala Terengganu.

Pihak Kesultanan Terengganu pernah berselisih dengan Inggris dalam sejumlah hal. Misalnya, Sultan Muhammad Shah (1918-1920 M) pernah berselisih dengan Gubernur Sir Arthur Young. Sultan Muhammad Shah tidak setuju dengan tawaran gaji sebesar $3,500.00, padahal sebelumnya Sultan Zainal Abidin III (1881-1918 M) mendapatkan gaji $6,00.00. Sultan Muhammad pernah berselisih dengan Gubernur Sir Arthur Young soal kebijakan dalam negeri Kesultanan Terengganu. Gubernur Young memberikan masukan agar pembicaraan dalam Mahkamah Besar dilakukan oleh dua orang hakim, yaitu Penasehat Inggris dan Hakim Melayu. Gubernur Young juga pernah mengeluarkan perintah kepada Penasehat Inggris agar membuat Kanun Pidana dan bentuk-bentuk hukumannya yang didasarkan pada Undang-undang Johor dan Kedah. Karena perselisihan dengan Gubernur Young, Sultan Muhammad Shah meletakkan jabatannya sebagai Yang Dipertuan Sultan Terengganu.

Pada tahun 1931 M, juga pernah terjadi perselisihan antara Penasehat Inggris G. L. Ham dengan Dato‘ Seri Andika Diraja, Ketua Kastam atau Syahbandar Terengganu. Perselisihan tersebut berpuncak pada didigantikannya G. L. Ham oleh C. C. Brown pada tanggal 3 November 1932 M.

Pada masa pemerintahan Sultan Sulaiman Badrul Alam Shah (1920-1942 M), Terengganu mulai menghadapi penjajahan Jepang. Semenjak dikalahkan Jepang, kebijakan dan pemerintahan Terengganu banyak dikendalikan oleh kepentingan Jepang itu sendiri. Pemerintahan Jepang berakhir di Terengganu setelah kalah perang dengan Inggris.

Wilayah Kekuasaan

Kesultanan Terengganu atau kadang disebut Negeri Terengganu Darul Iman terletak di Pantai Timur Semenanjung Malaysia. Kesultanan ini terletak di antara garis bujur 102.25 dengan 103.50 dan garis lintang 4 hingga 5.50. Luas wilayahnya bisa mencapai sekitar 1,295,638.3 hektar. Sebelum tahun 1947 M, terdapat sembilan (9) daerah di Terengganu, yaitu: Kuala Terengganu, Kemaman, Kemasik, Paka, Dungun, Marang, Hulu Terengganu, Besut, dan Setiu. Setelah tahun 1947 M, daerah-derah tersebut dikurangi menjadi enam (6) daerah, yaitu: Kuala Terengganu, Kemaman, Dungun, Marang, Hulu Terengganu, dan Besut. Pada tanggal 1 Januari 1985, sebuah daerah baru dibentuk, yaitu Setiu, dan menjadi daerah yang ketujuh. Tiap-tiap tujuh (7) daerah dalam wilayah kekuasaan Kesultanan Terengganu tersebut dipimpin oleh seorang Pegawai Daerah atau Pembesar Daerah. Masing-masing daerah luasnya adalah sebagai berikut: Kuala Terengganu 60,654.3 hektar; Kemaman, 253,559.9 hektar; Dungun, 273,503.1 hektar; Marang, 66,654.3 hektar; Hulu Terengganu, 387,463.6 hektar, Setiu, 130,436.3 hektar, dan Besut, 123,367.8 hektar. Ibukota Kesultanan Terengganu adalah Kuala Terengganu.

Struktur Pemerintahan

Dalam struktur pemerintahan Kesultanan Terengganu, sultan merupakan penguasa tertinggi. Menurut Undang-undang Diri Kesultanan Negeri Terengganu (al-Itqan al-Muluk bi Ta‘dil al-Suluk) yang ditulis pada tanggal 2 November 1911 M, disebutkan bahwa Sultan Terengganu adalah Raja yang bertahta atau juga disebut Duli Yang Maha Mulia Yang Dipertuan Besar Sultan Negeri Terengganu.

Secara keseluruhan, Undang-undang Diri Kesultanan Negeri Terengganu berperan sebagai panduan untuk sultan, pengganti sultan, menteri, dan pembesar kesultanan, baik dalam hal bertingkah-laku maupun dalam hal memerintah Kesultanan Terengganu.  

Menurut Undang-undang di atas, sultan merupakan penguasa tertinggi dalam pemerintahan Terengganu dan pemilik Kesultanan Terengganu itu sendiri. Gelar sultan adalah Yang Dipertuan Besar Sultan Terengganu. Dalam Undang-undang tersebut disebutkan bahwa syarat-syarat seseorang menjadi sultan adalah sebagai berikut: “Maka hendaklah sultan yang memerintah Kesultanan Terengganu adalah beragama Islam, bangsa Melayu, berasal dari keturunan sultan-sultan yang memerintah Kesultanan Terengganu, dan laki-laki, sebagaimana tertera dalam pasal tiga, empat, dan lima”.

Jika mengikuti ketentuan Undang-undang tersebut, maka sultan-sultan Terengganu adalah keturunan Sultan Zainal Abidin III (1881-1918 M). Namun, setelah Undang-undang tersebut direvisi pada tahun 1950 M, yaitu ketika Sultan Ismail Nasiruddin Shah (1949-1979 M) berkuasa, ada perubahan ketentuan yang menyebutkan bahwa sultan harus berasal dari keturunan Sultan Ismail Nasiruddin Shah bin al-Marhum Sultan Zainal Abidin III.

Di samping empat syarat tersebut di atas, ada tujuh syarat lain yang harus ada pada diri seorang sultan, yaitu: mempunyai sifat adil (al-‘adalah), mempunyai ilmu (al-‘ilm), sempurna pancainderanya (salamah al-hawas), tidak memiliki cacat pada seluruh anggota tubuhnya (salamah al‘a‘da), mempunyai pemikiran yang dapat mengarahkan dirinya dalam soal memimpin rakyat dan mengurus segala kepentingan kesultanan, serta memiliki garis keturunan yang mulia (al-nasab).

Sultan memiliki tugas, tanggung jawab, dan kekuasaan dalam memimpin Kesultanan Terengganu, yaitu sebagai berikut:

Sultan berkuasa dalam mengangkat dan melantik Menteri Besar, menteri-menteri, dan pegawai-pegawai. Sultan juga berhak menentukan apa pekerjaan dan kekuasaan mereka, termasuk dalam menentukan berapa gajinya.
Hanya sultan yang berhak memberikan pangkat (derajat) dan penghargaan kepada para menteri dan pegawainya.

Hanya sultan yang berhak memecat para menteri dan pegawainya.
Sultan bertanggung jawab dalam menjatuhkan hukuman terhadap siapa saja yang berbuat salah dan melanggar Undang-undang kesultanan atau yang melanggar hukum syariat agama.

Sultan diharuskan mengadakan musyawarah dengan seluruh menteri terhadap apa saja yang berkenaan dengan masalah kesultanan dan peraturan perundang-undangannya.

Jika sesuatu hal dianggap dapat mendatangkan kebaikan bagi kesultanan dan rakyatnya, maka sultan dapat melakukan ijtihadnya sendiri.
Hanya sultan yang boleh memutuskan bahwa undang-undang yang telah diubah itu baru bisa dilaksanakan.

Sultan bertanggung jawab menentukan cara untuk menjalin hubungan dengan kerajaan lain, termasuk dengan negeri-negeri Eropa.
Sultan bersama-sama dengan Mensyuarat Kerajaan bertanggung jawab untuk memperbaiki, menambahkan, dan menentukan syarah (tafsir penjelasan) terhadap pasal-pasal dalam Undang-undang Diri Kesultanan Negeri Terengganu.

Sultan bersama-sama dengan Mensyuarat Kerajaan bertanggung jawab membuat tanda-tanda atau simbol-simbol kesultanan.

Ada satu jabatan penting dalam struktur pemerintahan Kesultanan Terengganu, yaitu Yang Amat Mulia Yang Dipertuan Muda Terengganu. Jabatan ini diisi oleh keturunan sultan yang akan menjadi pewaris tahta kesultanan. Ketika sultan mangkat, Yang Dipertuan Muda secara otomatis menggantikan posisinya. Pewaris tahta yang pertama adalah putra sultan. Pewaris kedua adalah kerabat yang terdekat dengan sultan. Jika sultan tidak memiliki putra, maka saudara kandungnya dapat menggantikannya. Berdasarkan nasehat dari pembesar kesultanan, sultan dapat menggantikan seseorang yang sudah menjadi Yang Dipertuan Muda jika ternyata terdapat cacat pada dirinya, baik karena cacat badan maupun cacat kelakuan.

Lembaga terpenting kedua dalam struktur pemerintahan Kesultanan Terengganu adalah Mensyuarat Kerajaan. Sultan diwajibkan mengikuti setiap acara Majelis Mensyuarat Kerajaan. Sultan diperbolehkan meminta majelis untuk mengkaji ulang keputusan yang telah ditetapkannya. Mensyuarat Kerajaan biasanya diadakan sekurang-kurangnya setiap dua bulan sekali. Jika sultan memerintahkan para Jamaah Menteri atau para anggota Mensyuarat Kerajaan untuk melakukan rapat darurat, maka sekurang-kurangnya separuh dari mereka harus ada yang mengikuti rapat tersebut.

Lembaga Mensyuarat Kerajaan dipimpin oleh Menteri Besar yang diangkat oleh sultan sendiri. Anggota Mensyuarat Kerajaan adalah rakyat Terengganu sendiri meski tidak harus berasal dari bangsa Melayu dan beragama Islam. Setiap anggota Mensyuarat Kerajaan diminta sumpah setianya kepada sultan dan kesultanan. Mereka juga diminta agar memberikan segala pikirannya untuk membangun kesultanan. Anggota Mensyuarat Kerajaan terdiri dari tiga bagian, yaitu:

Menteri-menteri, yang dikenal dengan sebutan Jamaah Menteri. Anggota jamaah ini terdiri dari dua belas (12) menteri, yang disyaratkan harus merupakan rakyat Terengganu dan beragama Islam. Jamaah Menteri ini dipimpin oleh Menteri Besar. Pemilihan Menteri Besar langsung ditunjuk oleh sultan.

Ketua-ketua, yang terdiri dari ulama, orang kaya, dan penghulu.
Pegawai-pegawai, baik yang berpangkat maupun hanya pegawai biasa saja.     
Dalam menjalankan roda pemerintahan, sultan dibantu oleh para pembesar kesultanan. Para pembesar yang dimaksud adalah sebagai berikut:

a. Menteri Besar.

Jabatan ini merupakan jabatan pembesar kesultanan yang tertinggi. Hanya sultan yang berhak melantiknya. Menteri Besar adalah pemimpin dari seluruh menteri. Syarat-syarat untuk menjadi Menteri Besar adalah: berasal dari kalangan pegawai kesultanan, pernah menjadi anggota Mensyuarat Kerajaan, beragama Islam, dan asli orang Terengganu. Tugas Menteri Besar adalah:
Menjadi Ketua Mensyuarat Kerajaan.

Bersama sultan menentukan dan menimbang seseorang yang akan dilantik sebagai anggota Jamaah Menteri.

Meminta Jamaah Menteri untuk berkumpul sekurang-kurangnya sebulan sekali untuk membicarakan urusan-urusan kesultanan.

Menteri Besar, seperti halnya Naib Menteri Besar dan menteri-menteri, boleh melepaskan jabatannya asalkan tidak mengundurkan diri dari keanggotaan Mensyuarat Kerajaan.

b. Naib Menteri Besar.

Orang yang memegang jabatan ini harus berasal dari kalangan pegawai kesultanan dan pernah menjadi anggota Mensyuarat Kerajaan. Naib Menteri Besar dipilih langsung oleh Jamaah Menteri dengan mendapat persetujuan dari sultan terlebih dahulu.

c. Menteri-menteri.

Jabatan ini merupakan pembantu sultan di tingkatan yang lebih praktis dan operasional. Menteri yang diangkat harus beragama Islam dan merupakan rakyat Terengganu. Syarat dan tugas menteri adalah sebagai berikut:
Menteri yang hendak dilantik harus mengucapkan sumpah di depan dua orang saksi dari pegawai kesultanan dan disertai dengan memberikan tanda tangannya di atas buku pengangkatan.

Isi sumpah sekurang-kurangnya menyatakan bahwa mereka benar-benar beragama Islam, rakyat Terengganu, serta bersedia untuk taat dan setia kepada sultan dan kesultanan.

Setiap menteri dilarang melakukan perjanjian atau hubungan pemerintahan dengan sembarang negeri, kerajaan, atau bangsa, yang dimaksudkan untuk mengorbankan kedaulatan kesultanan itu sendiri.  

Sebagai anggota Mensyuarat Kerajaan, setiap menteri diperbolehkan menyampaikan pendapatnya sendiri, baik itu mendukung atau menolak segala perkara atau urusan yang dimusyawarahkan.

d. Pegawai-pegawai.

Jabatan ini berada di tingkat paling bawah yang langsung menjalankan tugas-tugas kesultanan di tingkatan masing-masing menteri.
Kehidupan Sosial-Budaya

Kehidupan sosial-budaya yang tercatat di bawah ini merupakan kehidupan masyarakat Terengganu pada masa modern karena kehidupan sosial-budaya masa lampau tidak ditemukan datanya.

Berdasarkan sensus penduduk pada tahun 1912 M, jumlah penduduk Terengganu mencapai 153,765 orang. Setiap tahun jumlah penduduknya kian bertambah: 236,300 orang (1951 M); 236,300 orang (1951 M); 278,147 orang (1959 M); 306,942 orang (1960 M); 339,816 orang (1963 M); 405,751 orang (1970 M); 756,300 orang (1990 M); dan sekitar 1,000,000 orang (1998 M). Sebagian besar penduduk Terengganu adalah bangsa Melayu, sebagian yang lain merupakan keturunan China dan India. Mayoritas mata pencaharian penduduknya adalah dalam bidang perikanan. Namun demikian, ternyata hasil minyak juga mendorong perekonomian dalam negeri Terengganu. 

Prasasti (Batu Bersurat) Trengganu

Batu Bersurat Terengganu yang dianggarkan telah berusia lebih kurang 700 tahun ini merupakan batu bersuratyang mempunyai ukiran yang paling tua dan tulisan Jawi pertama ditemui diMalaysia. Ia membuktikan Islam telah sampai ke Terengganu sebelum 1326atau 1386. Batu ini ditemui separuh tenggelam selepas banjir surut di tebing Sungai Tersat (Sungai Tara), Kampung Buluh di Kuala Berang, Hulu Terengganu pada tahun 1887, ‎(ada berpendapat 1899)

Menurut sidang mesyuarat Lembaga Penasihat Antarabangsa UNESCO yang berlangsung di Barbados pada tanggal 13 Julai 2009, batu bersurat yang berusia lebih 700 tahun ini telah disenaraikan sebagai barang purba bernilai tinggi dan sesuai untuk mendapat pengiktirafan Warisan Dunia UNESCO.

Fakta penemuan Batu Bersurat Terengganu bermula apabila saudagar Arab bernama Sayid Husin bin Ghulam al-Bokhari secara tidak sengaja menjumpai sebutir batu bersurat di tebing Sungai Tersat (Sungai Tara), Kampung Buluh di Kuala Berang, Hulu Terengganu selepas berlakunya banjir. Ia dijumpai di bahagian tangga surau Kampung Buluh yang dijadikan alas membasuh kaki untuk naik ke tangga surau tersebut. Batu Bersurat Terengganu ini menjadi bukti dan teks pada batu mengesahkan agama Islam sudah bertapak dan menjadi anutan masyarakat dan pemerintah di Terengganu sejak sekian lama. Selain itu, Islam merupakan agama rasmi di Terengganu.

‎Semua bukti penggunaan bahasa Melayu praklasik[1] tercatat pada batu, khususnya batu nisan. Hampir semua batu bersurat awal yang menunjukkan pengaruh ini tidak menggunakan bahasa Melayu tetapi menggunakan bahasa Arab sebagai medium utama. Batu Bersurat Trengganuadalah salah satu prasasti tertua yang telah menggunakan bahasa Melayu dan sistem penulisan aksara yang berbeda, yaitu aksara Jawi.

Prasasti ini mula-mula ditemukan di tebing sungai Teresat, Terengganu pada tahun 1887, kemudian dipindahkan ke sebuah surau bernama Surau Tok Rashid, lalu diletakkan sebagai pijakan untuk membasuh kaki di surau lain yang bernama Surau Kampung Buluh. Setelah itu, batu ini dipersembahkan kepada Sultan Zainal Abidin III pada tahun 1902 oleh seorang kenamaan Terengganu yang bernama Pengiran Anum Engku Abdul Kadir bin Engku Besar yang kebetulan melihat batu ini di Surau Kampung Buluh.

Tarikh yang tercatat pada batu Bersurat Terengganu adalah Jumat 4 Rajab 702 H atau bertepatan dengan tanggal 22 Februari 1303 M. Teks batu bersurat ini ditulis pada empat penampang. Penggunaan bahasa pada keempat penampang tersebut tidak memperlihatkan penggunaan dua jenis aksara, tetapi lebih menonjolkan percampuran kata asli Melayu dan kata pinjaman bahasa Sanskrit, bahasa Jawa, dan bahasa Arab.

Inskripsi yang lebih tua pernah ditemukan pada batu nisan Raja Aceh, Sultan Malik as-Saleh (bertiti mangsa 1297), tetapi aksara dan bahasa yang digunakan pada batu nisan itu adalah adalah aksara dan bahasa Arab. Artefak-artefak berinskripsi lain seperti batu-batu nisan Champa (431 H/1039 M dan 1025/1035 M), batu nisan Makhdarah di Brunei (440H/1048 M), dan batu nisan Fatimah (Asimah) di Leran, Gresik (495 H/1082 M) juga menggunakan bahasa dan aksara Arab.

Prasasti lain yang mirip dengan Batu Bersurat Terengganu adalah Batu Bersurat Sungai Udang, yang bertarikh Tahun Saka 1385 atau 1463/1464 M. Prasasti ini diukir dalam bahasa Melayu Kuno dan menggunakan aksara kawi dan aksara Jawi tua. Karena prasasti-prasasti yang lebih tua menggunakan sistem penulisan dan bahasa Arab, maka Batu Bersurat Terengganu dan Sungai Udang yang telah menggunakan aksara Jawi dianggap sebagai penanda bagi tahap akhir bahasa Melayu praklasik sebelum berkembang menjadi bahasa Melayu klasik.

Penafsiran
Batu Bersurat Terengganu adalah bukti paling awal untuk menelusuri tahap terakhir dalam evolusi bahasa Melayu praklasik karena prasasti ini telah menggunakan aksara Jawi untuk menuliskan ekspresi dalam bahasa Melayu. Selain itu, Batu Bersurat Terengganu juga membuktikan bahwa hukum agama Islam (fikih) dalam bidang pemerintahan telah dikenal dan dipraktekkan di Kepulauan Melayu pada abad ke-14 itu, karena prasasti di dalam tersebut diungkapkan seruan kepada penguasa untuk meyakini keimanan dalam Islam dan mengamalkan ajaran-ajaran nabi Muhammad SAW.
Sistem penulisan aksara Jawi diambil dari aksara Arab yang telah disesuaikan dan memperoleh tambahan sedemikian rupa sehingga properti-properti fonetiknya dapat mengungkapkan fonem-fonem dalam bahasa Melayu yang tidak terdapat dalam bahasa Arab. Sistem ini merangkum semua abjad dalam bahasa Arab yang berjumlah 29, ditambah dengan enam abjad tambahan (mulanya hanya lima abjad tambahan seperti yang terdapat dalam Batu Bersurat Terengganu, lalu ditambah oleh Dewan Bahasa dan Pustaka Malaysia melalui Pedoman Ejaan Jawi yang Disempurnakan terbitan tahun 1986).
Tidak diketahui siapa yang memberikan nama “Jawi” untuk sistem penulisan aksara yang baru itu. Kamus R.J. Wilkinson (Musa, 2006: 8) menerangkan bahwa istilah “Jawi” dalam bahasa Melayu merujuk pada pokok jawi-jawi atau jejawi dan juga beras jawi yang berbeda dari beras pulut, dan berbeda juga dari makna lembu atau kerbau dalam bahasa Minangkabau. Jelas sekali makna seperti itu tidak ada kaitannya dengan tulisan.
Osmar Awang (Loc.cit: 9) menegaskan bahwa istilah “Jawi” kemungkinan berasal dari istilah al-Jawah yang pernah digunakan dalam catatan Arab yang tertulis sebelum pertengahan abad ke-14 M. Untuk menamakan pulau Sumatra, misalnya Yaqut, dalam Mu‘jan al-Buldan, Abu Al-Fida‘ dalamTaqwim al-Buldan dan Ibn Batutah dalam Rihlat Ibn Batutah. Fakta ini menunjukkan kemungkinan yang kuat bahwa tulisan Jawi itu dinamakan oleh orang Arab untuk merujuk tulisan yang digunakan oleh Orang Sumatra, yaitu penduduk al-Jawah, yang beragama Islam dan menggunakan bahasa Melayu.
Raffles (Ibid.) juga pernah menerangkan tentang istilah ini. Menurutnya, “Jawi” merujuk pada istilah dalam bahasa Melayu yang berati “kacukan” (campuran atau persilangan), seperti dalam ungkapan “anak Jawi” yang artinya campuran dari ayah Keling dan ibu Melayu (yang menimbulkan istilah Jawi Peranakan). Maka yang dimaksud dengan bahasa Jawi adalah bahasa Melayu yang ditulis dengan menggunakan huruf Arab.
Selanjutnya, istilah ini sering digunakan dengan merujuk pada Melayu, misalnya dalam ungkapan “jawikannya” yang berarti “terjemahkan ke dalam bahasa Melayu (tentunya dalam tulisan Jawi). Agaknya penggunaan istilah “Jawi” dengan makna “Melayu” adalah sebagai lawan bagi istilah Arab/Parsi, sehingga tulisan Jawi adalah lawan tulisan Arab/Parsi, bahasa Jawi lawan bahasa Arab/Parsi, dan bangsa Jawi lawan bangsa Arab/Parsi/Turki.
Sebelum abad ke-17, sistem penulisan Jawi digunakan secara seragam di seluruh Kepulauan Melayu, mulai dari Aceh hingga Sulawesi. Hal ini disebabkan oleh dua hal.
Pertama, kemahiran menulis pada masa itu hanya dikuasai oleh beberapa orang tukang tulis yang tentu sangat terlatih dengan sebaik-baiknya dalam kaidah penulisan sehingga dapat menjaga keseragaman. Lagipula teks-teks pada masa itu kebanyakan terdiri dari prasasti dan dokumen-dokumen resmi keagamaan dan kerajaan, yang tentu saja hanya bisa ditulis oleh orang yang terpelajar. 

Kedua, ada beberapa standar yang tetap dalam hal ejaan sehingga penulis harus menyesuaikan diri dengan standar tersebut. Standar itu adalah sistem ortografi dalam bahasa Arab, yang kemudian dimodifikasi menjadi ortografi Jawi.
Dengan sistematisasi penulisan menggunakan aksara Jawi, yang diawali oleh Batu Bersurat Terengganu ini, pola dakwah Islam di Kepulauan Melayu pada abad-abad berikutnya berubah, yang terutama dimulai pada abad ke-17. Semula, dakwah Islam dilakukan secara lisan, di mana juru dakwah berkhotbah kepada murid dan umat, yang akan berusaha menghapalkan ajaran-ajaran sang juru dakwah. Dengan tulisan Jawi, ajaran keagamaan dapat tersebar luas dan terjamin isinya karena dikemas sebagai kitab, hikayat, atau risalah yang lebih mudah dibawa ke tempat-tempat yang berjauhan. Selain itu, aksara Jawi juga telah melahirkan tradisi kaligrafi Islam yang artistik dan khas Melayu.‎

 

Sejarah Kesultanan Pahang Darul Makmur


Pahang Darul Makmur merupakan salah satu negara bagian di Malaysia. Sebagian besar negeri Pahang diselimuti hutan dan sebagian besar Taman Negara terletak dalam negeri Pahang. Pahang merupakan sebuah negeri beraja.Wujudnya negeri Pahang adalah sebelum wujudnya kerajaan melayu Melaka. Pahang mempunyai susur galur tamadun yang panjang, sejak dari zaman pra-sejarah lagi. Dahulunya kerajaan Pahang digelar Inderapura.Bahasa yang digunakan adalahBahasa Melayu Pahang.

Sebelum didirikan kerajaan Melayu Melaka, wilayah bagian selatan Semenanjung Tanah Melayu semuanya termasuk dalam kawasan kerajaan Pahang. Orang JawaMajapahit zaman dahulu menyebut Semenanjung Tanah Melayu sebagai Pahang saja. Pada awal abad Masehi ke 16, permulaan berdirinya kerajaan Melayu Johor, batas Negeri Pahang Darul Makmur; di sebelahnya sampai ke Sedili Besar dan di utara sampai ke Terengganu; batas baratnya pula sampai ke Rembau,Selangor dan Perak. Negeri Pahang Darul Makmur sekarang ini di sebelah utara dan baratnya dikelilingi oleh jajaran gunung dan di sebelah timurnya terbentang Laut China Selatan.

Negeri Pahang Darul Makmur ialah sebuah negeri yang terbesar di Semenanjung Tanah Melayu dengan luas 35.515 kilometer persegi. Kemasyhuran dan kehebatan namanya pada masa lalu menjadi rebutan kerajaan yang ada di sekelilingnya. Pada masa ini Pahang adalah negeri di Semenanjung yang terbagi atas sebelas daerah yaitu Kuantan, Pekan, Rompin, Maran, Temerloh, Jerantut, Bentong, Raub, Lipis, Cameron Highlands dan Bera. Sedangkan penduduknya pula terdiri dari berbagai kaum dan bangsa.

Asal usul nama Pahang

Pada zaman dahulu Negeri Pahang Darul Makmur mempunyai berbagai nama. Penulis Tionghoa menyebutnya sebagai Pang-Hang, Peng-Heng, Pang-Heng, Pong -Fong, Phe-Hang,Pang-Kang dan lain-lain. Pada tahun 1225 Chao Ju-Kua telah mengarang sebuah buku bernama Chu-Fan-Chi, ia menyatakan di antara beberapa buah negeri yang ditaklukkan di bawah kekuasaan San-fo-chi ialah negeri yang bernama Peng-keng. Peng-keng itu ialah Negeri Pahang Darul Makmur.

Orang Arab dan orang Eropa zaman dulu menyebutnya Pam, Pan, Phang, Paam, Pao, Paon, Phaan, Paham, Fanhan, Phang dan Pahagh. G.R. Tibbetts, seorang ahli sejarah yang mengulas kisah yang ditulis dengan huruf Arab dalam buku karangan Mas'udi itu pada pendapat Tibbetts ialah Pahang. Ia lebih setuju menyebut perkataan Fanjab itu sebagai Fanhan, Panghang atau Panhang. Semuanya itu berarti Pahang. Ada setengah pendapat menyatakan Pahang berasal dari bahasa Siam asli yang artinya timah. Orang Siam asli yang dulunya mendiami negeri ini dengan membuka tambang bijih timah terutama di Sungai Tembeling.

Menurut cerita orang tua Melayu, pada zaman dahulu di Sungai Pahang yang berhadapan dengan Kampung Kembahang, ada sebatang pohon kayu mahang yang besar rebah melintangi sungai itu. Dari pohon mahang itu konon berasal nama Negeri Pahang Darul Makmur itu. Julukan kuno bagi Negeri Pahang Darul Makmur itu ialah Inderapura, disebut Pahang Inderapura. Bandar Dirajanya terkenal hingga sekarang dan ibu kota pada zaman dahulu yaitu Pekan. Sebelum ditaklukkan oleh kerajaan Melayu Melaka, dikenal sebagai Pura.

Pahang pada zaman pra-sejarah

Penyelidikan telah dibuat oleh purbakalawan secara ilmiah di beberapa tempat di Negeri Pahang Darul Makmur yaitu di gua-gua batu, di gunung-gunung, di tempat yang berdekatan dengan sungai, di tanah pertambangan lama dan juga di tanah lapang. Penemuan benda kuno terdiri dari batu, tembikar, perunggu dan besi kuno buatan orang zaman purbakala.

Tempat tersebut ialah di gua Batu Kapur seperti Kota Tongkat, Kota Gelanggi dekat Jerantut; Gua Kecil, Raub; Gunung Senyum; Bukit Chintamanis, Karak; Sungai Lembing, Tersang, Kuala Lipis Sungai Selinsing Sungai Tui, Nyong, Teluk Lubuk Puai, Batu Pasir Garam, Bukit Jong dan Kg. Padi di persimpangan Sungai Tembeling dan beberapa tempat lagi di sepanjang Sungai Pahang. Antara lain benda kuno yang dijumpai tertanam dalam tanah di negeri ini ialah barang dan perkakas yang dibuat dari batu oleh orang zaman batu pertengahan (mesolitikum). Barang-barang tersebut ialah kapakgenggam, beliung dan pahat.

Purbakalawan menyatakan manusia zaman batu pertengahan yang mendiami Negeri Pahang Darul Makmur tinggal di gua batu dan gua-gua di gunung-gunung negeri ini dan mereka adalah kelompok yang mula-mula datang ke Semenanjung Tanah Melayu dan Tanah Besar Benua Asia. Rombongan Proto Melayu mendiami Semenanjung termasuk Pahang dan pulau-pulau Nusantara ialah dalam masa 3.000 atau 2.000 SM.

Dari aspek pertanian, barang dan perkakas buatan orang zaman batu akhir yang telah dijumpai dalam tanah ialah benda yang berupa mata lembing, pisau, sabit, cangkul,bajak dan lain-lain perkakas ganjil yang dibuat dari besi zaman dahulu. Tempat yang dijumpai terutama di tepi Sungai Lembing, Teluk Lubuk Puai Jong tepi Sungai Lipis. Di Kampung Batu Pasir Garam di tepi Sungai Tembeling, dijumpai pecahan muka gendang zaman dahulu yang dibuat dari perunggu. Gendang perunggu ini digunakan oleh orang yang memakai kebudayaan perunggu. Dr. Linehan berpendapat gendang perunggu ini berasal dari Indo-China dan dibawa dari negeri Funan ke Ulu Tembeling antara abad ke-3 M yang dibawa bersama-sama dengan perkakas dari besi kuno (tulang orang utan).

Menurut ahli kaji manusia dan ahli sejarah, orang Melayu pesisir (Melayu Deutero) ialah nenek moyang orang Melayu yang tinggal di daerah pantai Semenanjung Tanah Melayu. Pendek kata pada zaman dahulu kala selain dari penduduk asli yaitu orang Semang dan puaknya di Negeri Pahang Darul Makmur telah didiami oleh manusia yang disebut dalam ilmu sejarah sebagai manusia zaman batu pertengahan, zaman batu akhir atau permulaan zaman perunggu lagi.

Cikal bakal berdirinya Kesultanan Pahang berasal dari Negeri Pahang. Diperkirakan negeri ini sudah berdiri sejak zaman neolitik (zaman peralihan dari batu ke tembikar atau zaman batu baru). Berdasarkan bukti-bukti arkeologis prasejarah yang diteliti oleh sejumlah arkeolog di gua-gua batu, gunung-gunung, tempat-tempat yang berdekatan dengan sungai, tanah pertambangan lama, dan juga di tanah lapang, maka dapat ditelusuri eksistensi negeri ini. Benda-benda kuno yang ditemukan di tempat-tempat itu adalah berupa batu, tembikar, perunggu, dan besi kuno buatan manusia zaman purbakala. Di tempat-tempat tersebut juga terdapat komplek Gunung Senyum, Gua Tongkat, Gua Kecil, Gua Cintamani, Gua Bama, Gua Kota Gelanggi, dan Sungai Tembeling.

Ada bukti-bukti lain yang dapat dijadikan sumber, yaitu catatan-catatan para pengembara asing yang berkelana di Negeri Pahang ini, misalnya catatan Chau Jou-kua (1225 M), catatan Fei Shien (1436 M), dan catatan Prapanca dalam kitabNagarakertagama (1365 M), yang masing-masing menyebutkan nama Pahang sebagai sebuah negeri.

Sejarah berdirinya Kesultanan Pahang dapat diperkirakan sekitar tahun 1470. Kesultanan ini bermula dari kehadiran dan pengaruh bangsa Khmer di Kamboja. Nama ini juga dikaitkan dengan kehadiran bangsa Sukhotai di Thailand yang pernah menguasai Kerajaan Ligor di Thailand Selatan yang dilanjutkan dengan menguasai negeri-negeri di separuh bagian Semenanjung  Malaysia, yaitu Pahang, Perak, Terengganu, Kelantan, Kedah, dan Perlis. Bangsa ini mengutus wazir-nya (pembantu raja) di Kerajaan Siam, Pahang, yang bernama Maharaja Dewa Sura untuk memerintah Negeri Pahang pada saat itu. Namun, pemerintahan Maharaja Dewa Sura dapat dikalahkan oleh Sultan Mansor Shah (Sultan Melaka).

Setelah Wazir Maharaja Dewa Sura di Kerajaan Siam meninggal, dalam waktu beberapa lama Negeri Pahang tidak mempunyai sistem pemerintahan yang ada rajanya. Akhirnya, Sultan Mansor Shah memerintahkan Seri Bija Diraja sebagai wakilnya untuk memerintah Negeri Pahang. Setelah Seri Bija Diraja tidak lagi memimpin, Sultan Mansor Shah mulai berpikir keras tentang siapa yang pantas memerintah Negeri Pahang agar kepemimpinan di negeri ini tidak kosong lagi. Ia pernah berpikir bahwa kedua anaknya yang bernama Raja Ahmad dan Raja Muhammad sebaiknya memimpin Negeri Pahang. Kedua anaknya tersebut pernah membunuh anak Bendahara Tun Besar dalam sebuah permainan rakyat. Sultan Mansor Shah menyayangkan perbuatan mereka. Padahal, keduanya direncanakan akan memimpin Negeri Pahang.

Sultan Mansor Shah tidak memiliki alternatif lain. Ia memerintahkan Raja Muhammad untuk menggantikan posisinya sebagai sultan. Raja Muhamamad sebenarnya adalah anak angkat dari Sultan Mansor Shah karena ia merupakan putra dari Maharaja Dewa Sura. Raja Muhammad tetap dipercaya memegang tapuk kekuasaan kesultanan karena memang penunjukan terhadap dirinya sudah tepat, meskipun ia bersama saudara angkatnya telah terlibat dalam kasus pembunuhan terhadap anak Bedahara Tun Besar. Sultan Muhammad Shah akhirnya ditetapkan sebagai Sultan I di Kesultanan Pahang. Sejak saat itu nama Kesultanan Pahang resmi digunakan, tidak lagi kerajaan.

Kesultanan Pahang sering disebut dengan sebutan Kesultanan Pahang Darul Makmur. Asal usul nama Pahang dapat ditelusuri melalui berbagai sumber. Orang-orang Tionghoa biasanya menuliskan kata Pahang dengan berbagai tulisan, yaituPang-Hang, Peng-Heng, Pang-Heng, Pong-Fong, Phe-Hang, Pang-Kang, dan lain-lain. Pada tahun 1225, Chao Ju-Kua mengarang sebuah buku bernama Chu-Fan-Chi. Ia menyatakan bahwa di antara beberapa negeri yang pernah ditaklukkan San-Fo-Chi adalah negeri yang bernama Peng-keng. Negeri ini kemudian dikenal sebagai Negeri Pahang. Orang-orang Arab dan Eropa menyebut kata Pahang dengan sebutan Pam, Pan, Phang, Paam, Pao, Paon, Phaan, Paham, Fanhan, Phang, dan Pahagh.

Ada sumber yang menyebutkan bahwa kata Pahang berasal dari bahasa Siam yang asli terjemahannya adalah timah. Sebab, menurut cerita, masyarakat Siam pernah mendiami suatu negeri yang terkandung di dalamnya biji timah, terutama di wilayah Sungai Tembeling. Nama Kesultanan Pahang Darul Makmur berasal dari cerita orang-orang Melayu zaman dahulu bahwa ada di Sungai Pahang yang berhadapan dengan Kampung Kembahang terdapat sebuah pohon kayu mahang yang konon berasal dari  Negeri Pahang Darul Makmur. Jadi, nama Pahang kemudian dikenal dengan nama Negeri Pahang Darul Makmur. Nama kuno untuk negeri ini adalah Pahang Inderapura.

Silsilah Kesultanan Pahang adalah sebagai berikut:

1- Maharaja Dewa Sura (sebelum 1470)
2- Sultan Muhammad Shah atau Sultan Pahang I (1470-1475)
3- Sultan Ahmad atau Sultan Pahang II (1475-1497)
4- Sultan Abdul Jamil atau Sultan Pahang III (1511-1512)
5- Sultan Mansor Shah I atau Sultan Pahang IV (1497-1515)
6- Sultan Mahmud atau Sultan Pahang V (1515-1530)
7- Sultan Muzaffar atau Sultan Pahang VI (1530-1540)
8- Sultan Zainal Abidin atau Sultan Pahang VII (1540-1555)
9- Sultan Mansor II atau Sultan Pahang VIII (1555-1560)
10- Sultan Abdul Jamal atau Sultan Pahang IX (tidak diketahui datanya)
11- Sultan Abdul Kadir Alauddin Shah atau Sultan Pahang X (...-1590)
12- Raja Ahmad atau Sultan Pahang XI (1590-1592)
13- Sultan Abdul Ghafur Mohaidin Shah atau Sultan Pahang XII (1592-1614)

Periode Pemerintahan

Sultan Muhammad Shah atau Sultan Pahang I memerintah Kesultanan Pahang sejak tahun 1470 hingga tahun 1475. Setelah dirinya mangkat, ia diberi gelar dengan Marhum Langgar. Pada masa pemerintahan ini, terjadi suatu polemik di mana Raja Ahmad, saudara Sultan Muhammad Shah, tidak puas dengan penunjukkan Raja Hussain, yang merupakan adik tiri mereka berdua, sebagai Sultan Melaka. Kekecewaan ini menyebabkan Raja Ahmad mengungsi ke hulu Pahang.

Pada tahun 1475, Raja Ahmad akhirnya dapat meraih tampuk kepemimpinan Kesultanan Pahang sebagai Sultan Pahang II. Setelah mangkat pada tahun 1497, ia diberi gelar Marhum Sheikh. Setelah masa Sultan Ahmad, kursi kepemimpinan Sultan Pahang pernah dipimpin dalam dua bentuk kepemimpinan. Pada tahun 1947,  adik Sultan Abdul Jamil, Sultan Mansor Shah I terlebih dahulu memimpin kesultanan ini. Nama Sultan Mansor Shah I belum tercatat sebagai Sultan Pahang III karena mungkin pada saat itu ia hanya menjadi “sultan demisioner”. Pada tahun 1511, kekuasaan kesultanan secara resmi kemudian dipegang oleh Sultan Abdul Jamil. Ia diangkat sebagai Sultang Pahang III. Sultan ini disebut-sebut pernah bertunangan dengan Tun Teja. Pada tahun 1512, ia turun dari tahta kekuasaan karena kecewa dan pergi ke Lubuk Pelang. Setelah mangkat, ia diberi gelar Marhum Ziarat.

Sultan Mansor Shah I melanjutkan kembali kepemimpinan kakaknya pada tahun 1512. Menurut catatan sejarah, ia adalah Sultan Pahang IV. Kepemimpinannya berlangsung hingga tahun 1515. Sebagaimana disebutkan di atas bahwa sejak tahun 1497, ia pernah memimpin Kesultanan Pahang sebelum dipimpin oleh kakaknya, Sultan Abdul Jamil. Namun, tidak ada data yang jelas mengungkap hal ini. Sultan Mansor Shah I meninggal pada tahun 1515 karena dibunuh oleh orang yang tidak dikenal. Ia dibunuh karena dianggap memiliki skandal dengan janda ayahnya sendiri, Sultan Ahmad.

Sultan Mahmud menggantikan Sultan Mansor Shah I menjadi Sultan V (1515-1530). Menurut catatan sejarah, pada tahun 1522, ia pernah membunuh dua orang kapten dan 80 prajurit Portugis utusan Alfonso de Albuquerque yang datang ke Kesultanan Pahang. Pada masa pemerintahan Sultan Mahmud, Kesultanan Pahang bekerjasama dengan Kesultanan Bentan menyerang bala tentara Portugis di Sungai Muar. Pada tahun 1526, Sultan Mahmud memerintahkan untuk mengirimkan 2000 prajurit untuk membantu Kesultanan Bentan yang diserang oleh bala tentara Mascarenhas. Ketika mangkat pada tahun 1530, Sultan Mahmud diberi gelar Marhum Di Hilir.

Sultan Muzaffar menggantikan posisi Sultan Mahmud sebagai Sultan Pahang VI pada tahun 1530. Ia meninggal pada tahun 1940 karena dibunuh oleh Khoja Zainal, duta Brunei di Kesultanan Pahang. Menurut cerita, Sultan Muzaffar dibunuh karena telah berselingkuh dengan istri Khoja Zainal. Setelah mangkat, Sultan Muzaffar diberi gelar Marhum Tengah.

Sultan Zainal Abidin menggantikan posisi Sultan Muzaffar sebagai Sultan Pahang VII pada tahun 1540.  Sikap penuh perjuangannya terlihat ketika pada tahun 1550 ia memerintahkan bawahannya untuk mengirimkan bantuan berupa sejumlah pasukan kepada Kesultanan Johor dan Kesultanan Perak yang pada saat itu mengepung Kesultanan Melaka. Ketika mangkat pada tahun 1555, ia diberi gelar Marhum Di Bukit.

Sultan Mansor II kemudian menggantikan posisi Sultan Zanal Abidin sebagai Sultan Pahang VIII (1555-1560). Setelah mangkat, ia diberi gelar Marhum Syahid. Pengganti dirinya adalah adiknya sendiri, yaitu Sultan Abdul Jamal sebagai Sultan Pahang IX. Namun, catatan sejarah tentang sultan yang satu ini tidak jelas menyebutkan kapan ia mulai berkuasa dan kapan ia mangkat. Ada perkiraan bahwa ia mangkat karena dibunuh, namun tidak diketahui data siapa yang membunuhnya dan dalam kasus apa.

Sultan Abdul Kadir Alauddin Shah kemudian menjadi Sultan Pahang X. Tidak ada data yang menyebutkan kapan ia mulai berkuasa. Ketika mangkat pada tahun 1590, ia digantikan oleh Raja Ahmad sebagai Sultan Pahang XI yang memerintah hingga tahun 1592.

Pada tahun 1592, Sultan Abdul Ghafur Mohaidin Shah menjadi Sultan XII. Ia dikenal sebagai sultan yang memberlakukan Hukum Kanun Pahang (HKP). Pada tahun 1612, ia pergi ke Brunei, dan pada akhirnya menikah dengan Puteri Patani, puteri dari Raja Brunei. Namun ternyata ia tidak tinggal lama di Brunei karena pada tahun 1613 ia kembali ke Kesultanan Pahang dengan alasan bahwa negerinya sedang dilanda kemiskinan, kekeringan, kebakaran, dan persengkataan antar masyarakat. Ia mangkat pada tahun 1614 karena dibunuh oleh seseorang (yang tidak diketahui datanya).

Sultan Abdul Ghafur merupakan sultan terakhir di Kesultanan Pahang. Sepeninggalan dirinya, boleh dikatakan bahwa kesultanan ini mengalami krisis eksistensi. Sejak tahun 1614, kesultanan ini dipenuhi dengan konflik terbuka, seperti perebutan kekuasaan antara Raja Abdullah (anak Sultan Abdul Ghafur) dengan Raja Bujang. Kesultanan ini juga pernah diserang oleh Kesultanan Aceh. Pada tahun 1617, Sultan Iskandar Muda Mahkota Alam berhasil menaklukkan Kesultanan Pahang. Ia membawa Raja Ahmad (Sultan Pahang XI) dan anaknya Raja Mughal ke Aceh.

Berdasarkan rentetan peristiwa sejarah tersebut, maka dapat diperkirakan bahwa Kesultanan Pahang eksis selama 144 tahun atau selama hampir satu setengah abad, yaitu antara tahun 1470 hingga tahun 1614. Setelah tahun 1614, belum ditemukan catatan sejarah yang menuliskan bagaimana perkembangannya. Namun, hingga kini Kesultanan Pahang tetap eksis. Hanya saja, sistem administrasinya telah disesuaikan dengan perkembangan tata politik modern, meski masih bernuansa monarkhi.

Wilayah Kekuasaan

Kesultanan Pahang merupakan sebuah negeri terbesar di semenanjung Malaysia. Letak kesultanan ini berada di sepanjang tepi Sungai Pahang, Kuantan, Pahang, Malaysia. Wilayah kesultanan dibatasi dengan: Kelantan di bagian utara; Perak, Selangor, dan Negeri Sembilan di bagian barat; Johor di bagian selatan; Terengganu dan Laut China Selatan di bagian timur. Secara geografis dan tata letak fisik wilayah, kesultanan ini terbagi ke dalam tiga bagian, yaitu tanah tinggi, hutan hujan, dan kawasan pinggir laut. Kesultanan ini meliputi daerah-daerah: Bentong, Bera, Cameron Highlands, Jerantut, Kuantan, Lipis, Maran, Pekan, Raub, Rompin, Temerloh.  

Struktur Pemerintahan

Untuk menelisik struktur pemerintahan Kesultanan Pahang, Dato‘ Haji Yaakub Isa (2005) mendasari kajiannya pada Hukum Kanun Pahang (HKP). Pada permulaan hukum ini disebutkan bahwa fungsi hukum ini adalah untuk “menjaga manfaat terhadap negeri agar sultan-sultan boleh memelihara segala rakyat dan pada saat yang bersamaan sultan-sultan mengadakan pembesar untuk menggantikan baginda dan tidak menyulitkan baginda”.

Struktur pemerintahan Kesultanan Pahang  adalah sebagai berikut: Sultan sebagai penguasa puncak yang dibantu oleh bendahara, tumenggung, penghulu bendahari, dan shahbandar. Dalam HKP ditentukan adat dan larangan di majelis sultan yang isinya tiada lain menjamin bahwa posisi institusi sultan senantiasa dihormati, berwibawa, dan dianggap “suci”. Rakyat diarahkan agar mau mengetahui adat-adat sultan. Bahkan, ada hukum yang menentukan: “(Menurut hukum Allah) menurut kata sultan itu fardhu sama ada raja itu adil atau zalim”. Berdasarkan HKP ini, ada larangan penggunaan hulu keris merumbai dan benda-benda berwarna kuning. Di samping itu, ada larangan lain yang berkenaan dengan penggunaan bahasa. Rakyat dilarang menggunakan lima buah kata yang orang lain tidak boleh menggunakannya kecuali sultan, yaitu titah, patik, murka, kurnia, dan anugerah.

Kehidupan Sosial-Budaya

Kehidupan sosial-budaya yang tercatat di bawah ini merupakan kehidupan masyarakat masa modern karena kehidupan sosial-budaya masa lampau tidak ditemukan datanya.

Komposisi penduduk Kesultanan Pahang terdiri dari beragam etnik, yaitu: etnik Melayu sebesar 989.473 (76.82%), etnik Cina sebesar 228.043 (17.7%), etnik India sebesar 64.419 (4.98%), dan etnik lainnya berjumlah 6.442 (0.5%). Berdasarkan data tersebut, masyarakat Pahang bersifat plural karena berasal dari beragam suku dan etnik.

Mata pencaharian penduduk di Kesultanan Pahang kebanyakan adalah dari industri kayu-kayuan tropika karena di wilayah kekuasaan kesultanan ini banyak hutannya. Di samping itu penduduk di sana juga mengandalkan perikanan sebagai mata pencaharian mereka. Produk perikanan yang banyak diproduksi adalah ikan asin dan ikan kering. 

 

Sejarah Kesultanan Kedah dan Perkembangan Islam


Kerajaan Kedah pernah menjadi salah satu kerajaan purba yang terbesar di Nusantara. Kerajaan ini membentang daripada Divisi Tanintharyi di selatan Myanmar sehingga ke bahagian utara Semenanjung Tanah Melayu. Empayar Kedah juga pernah meliputi seluruh bahagian selatan Thailand. Ini menyebabkan sehingga ke hari ini majoritas Melayu Myanmar dan sebahagian Melayu Thailand berketurunan daripada Melayu Kedah.

Menurut sumber sejarah, Kerajaan Kedah merupakan salah satu kerajaan yang terkenal oleh pedagang dari Jazirah Arab. Ini menyebabkan perkahwinan campur antara suku Melayu dengan pedagang Arab. Disebabkan kuatnya pengaruh arab terhadap Bahasa Melayu Kedah, kita boleh menyimpulkan bahawa sebahagian besar daripada Melayu Kedah mempunyai darah campuran Arab. Namun, ini tidak bermakud bahasa setiap Melayu Kedah merupakan keturunan arab. Misalnya, sebagian mereka yang di Pulau Pinang berkemungkinan mempunyai darah India, manakala mereka yang berada di Thailand mempunyai darah campuran Suku Thai.

Sejarah pendirian Kesultanan Kedah belum diketahui secara pasti. Deskripsi sejarah tentang kesultanan ini yang baru dapat dilakukan adalah sebatas pada spekulasi tentang asal usulnya. Namun, yang pasti bahwa sejarah kesultanan ini bermula dari eksistensi Negeri Kedah yang telah lama berdiri sebelumnya. Berikut ini akan dibahas sejarah pembentukan Negeri Kedah terlebih dahulu sebelum masuk pada masa pendirian Kesultanan Kedah.

1. Masa Pembentukan Negeri Kedah

Diperkirakan, Negeri Kedah yang merupakan cikal bakal terbentuknya Kesultanan Kedah bermula dari pembentukan pelabuhan pada abad ke-5. Ketika pelabuhan maritim ini berkembang pesat, kawasan ini menjadi ramai karena letaknya yang strategis berada di tengah-tengah antara India dan negara-negara Arab di sebelah barat dan China di sebelah timur. Negeri Kedah kemudian menjadi kota pelabuhan yang berkembang pesat, yang dikunjungi oleh para pedagang dari Arab, Parsi, China, Eropa, dan India.

Di wilayah ini terdapat sejumlah peninggalan prasejarah yang dapat dijadikan bukti adanya Negeri Kedah, yaitu berupa gua-gua batu kapur yang merupakan tempat tinggal nenek moyang prasejarah, seperti di Kubang Pasu, Kota Star, dan Baling. Di wilayah ini terdapat sebuah gunung yang sangat indah di pesisir pantai, yang dapat dilihat oleh para pelaut yang kebetulan menyusuri Laut Hindia.

Pada masa awal pembentukannya, Negeri Kedah banyak dipengaruhi oleh negeri serantau, seperti Negeri Funan dan juga kerajaan lainnya, seperti Kerajaan Sriwijaya. Institusi politik dan pemerintahan negeri ini pernah dipengaruhi oleh warisan agama Hindu dan Buddha dari India. Pengaruh dua agama tersebut sangat penting dalam awal mula pembentukan Negeri Kedah. Banyak masyarakat di negeri ini yang memeluk agama Hindu dan Buddha.

Masuknya Islam ke Negeri Kedah kemudian mempengaruhi institusi politik dan pemerintahan yang sudah mapan itu. Banyak penduduk di negeri ini yang telah memeluk Islam sejak abad pertama Hijriah. Bukti sejarahnya adalah banyaknya pedagang dari negeri Arab yang datang ke negeri ini. Pada abad ke-9 dan 10, banyak orang Islam di China yang melarikan diri ke Negeri Kedah untuk mencari perlindungan. Hal itu disebabkan karena adanya pemberontakan di Canton pada tahun 878 yang melibatkan para pedagang dari Arab. Bukti sejarah lain adalah ditemukannya batu nisan di Tanjung Inggris, Langgar, pada tahun 1962. Di nisan ini tercatat nama Sheikh Abdul Kadir Ibn Husin Shah Alam (Aliran), tanggal 29 Hijriah (651 Masehi) atau 290 H (920 M).

Sejak masuknya Islam ke Negeri Kedah terjadi pula proses Islamisasi terhadap sejumlah raja. Penulis-penulis istana pada saat itu banyak yang mencatat bagaimana proses pengislaman raja pertama di Negeri Kedah sebagai peristiwa yang sangat penting karena sebagai zaman baru Negeri Kedah. Dalam hal ini, ada dua versi yang berbeda tentang siapakah yang mengislaman Raja Kedah I. Menurut catatan al-Tarikh Salasilah Negeri Kedah, raja pertama di Negeri Kedah, Seri Paduka Maharaja Durbar Raja, telah diislamkan oleh Syeikh Abdullah bin Syeikh Ahmad al-Qaumiri pada tahun 531 H (1136 M). Setelah memeluk Islam ia diberi nama baru, Sultan Muzaffar shah, dan Negeri Kedah dikenal sebagai Darul Aman. Sedangkan menurut Hikayat Merong Mahawangsa, Syeikh Abdullah al-Yamani pernah ditugaskan oleh gurunya Syeikh Abdullah Baghdad untuk mengislamkan Raja Kedah pada saat itu, Raja Phra Ong Mahwangsa. Menurut cerita dalam hikayat ini, Syeikh Abdullah al-Yamani pernah tergoda oleh iblis selama dalam pengembaraannya. Iblis juga menggoda Raja Phra Ong Mahwangsa agar meminum arak. Syeikh Abdullah al-Yamani kemudian dapat mengatasi godaan iblis tersebut dan secara tiba-tiba ia berada di hadapan Raja Phra Ong Mahwangsa dan memintanya agar mau memeluk Islam. Setelah memeluk Islam, Raja Phra Ong Mahwangsa bertukar nama menjadi Sultan Muzaffar Shah.

2. Masa Pembentukan Kesultanan Kedah

Tidak ada bukti jelas yang mengungkap fakta awal mula terbentuknya Kesultanan Kedah. Berdasarkan sumber-sumber sejarah tradisional Negeri Kedah yang ditulis pada masa Islam, kesultanan ini berdiri sebagai bentuk akulturasi budaya dalam negeri dengan pengaruh luar. Bentuk akulturasi yang sangat kentara adalah pertemuan budaya Arab-Islam dengan budaya masyarakat Melayu. Penulis-penulis istana cenderung memutus hubungan kebudayaan Hindu-Buddha yang datang dari India dengan langsung menarik garis akulturasi Arab-Islam dan Negeri Kedah. Namun demikian, pengaruh Hindu-Buddha tetap dianggap penting, terutama pada masa awal pembentukan Negeri Kedah.

Dalam sumber-sumber sejarah tradisional, disebutkan bahwa pembentukan Kesultanan Kedah tidak terlepas dari fenomena “manusia agung”, yang dianggap sebagai penggagas awal kesultanan ini. Hanya keturunan dari penggagas ini saja yang berhak menjadi sultan. Meski demikian, dalam proses suksesi kepemimpinan sering terjadi konflik dan perebutan kekuasaan karena berbagai faktor.

Ada dua versi perihal keturunan sultan Kedah, yaitu versi al-Tarikh Salasilah Negeri Kedah (ASNK) yang disusun pada tahun 1928 dan versi Hikayat Merong Mahawangsa (HMM). Dato‘ Hj. Wan Shamsudin Mohd. Yusuf  mengatakan bahwa ASNK merupakan satu-satunya sumber buku yang memuat fakta sejarah Kesultanan Kedah dan dapat dipertanggungjawabkan. Apalagi, ASNK ditulis oleh anak negeri sendiri, yaitu Muhammad Hassan bin Dato‘ Kerani Muhammad Arshad. Menurut Dato‘ Hj. Wan Shamsudin Mohd. Yusof, HMM tidak bisa dijadikan sebagai sumber silsilah Kesultanan Kedah yang lengkap karena beberapa sebab. Sebab yang paling utama adalah bahwa HMM merupakan karya “historiografi” (sastra sejarah) yang sifatnya sama seperti karya-karya yang sejenis, seperti Hikayat Raja-raja Pasai, Sulalatus-Salatin atau Sejarah Melayu. Karya-karya semacam itu tidak mementingkan pentarikhan atau tahun berlakunya suatu peristiwa. Meski adanya perbedaan dua sumber tersebut, di bawah ini akan dibahas bagaimana sejarah silsilah Kesultanan Kedah.

Pertama, menurut Hikayat Merong Mahawangsa, keturunan sultan Kedah dihubungkan dengan bangsa Rom. Penggagas kesultanan ini adalah Merong Mahawangsa yang pernah menaklukkan Maharaja Rom dan kemudian melangsungkan perkawinan dengan Puteri Maharaja dari China. Rombongan Merong Mahawangsa suatu ketika pernah diserang oleh sekelompok penjahat di perairan Kedah, sehingga menyebabkan dirinya terdampar di pantai. Dalam perkembangan selanjutnya, ia diangkat oleh masyarakat Negeri Kedah sebagai raja mereka.

Kedua, menurut al-Tarikh Salasilah Negeri Kedah, Kesultanan Kedah memiliki hubungan dengan sebuah kerajaan di Parsi yang dikenal sebagai Kerajaan Gumarun. Penggagas pendirian Kesultanan Kedah adalah Maharaja Durbar Raja. Ceritanya, ia beserta sejumlah pengikutnya pernah melarikan diri dari Kerajaan Gumarun. Mereka melakukan pengembaraan melalui laut hingga tiba di Kedah. Rakyat Kedah kemudian mengangkat Maharaja Durbar sebagai raja mereka.

Di samping dua versi utama di atas, ternyata ada versi lain yang menghubungkan fenomena “manusia agung” ini dengan berdirinya Kesultanan Kedah. Mustafa Tam (1962), misalnya, menghubungkan Kesultanan Kedah dengan dinasti Maurya di India. Namun, tidak dapat dipastikan bagaimana asal-usul silsilah Kesultanan Kedah dengan dinasti Maurya tersebut.  

Silsilah

Sebelum membahas tentang silsilah sultan-sultan pada masa Kesultanan Kedah, perlu dikemukakan terlebih dahulu silsilah para penguasa di Negeri Kedah, yang menjadi cikal bakal kesultanan nantinya.

1. Raja-raja pada Masa Negeri Kedah

Berikut ini akan dikemukakan daftar raja-raja yang pernah berkuasa di Negeri Kedah, meski belum ditemukan data tahun kekuasannya. Ada dua sumber yang berbeda tentang silsilah raja-raja di Negeri Kedah, yaitu, al-Tarikh Salasilah Negeri Kedah dan Hikayat Merong Mahawangsa.

A. Berdasarkan al-Tarikh Salasilah Negeri Kedah, daftar silsilah raja Negeri Kedah adalah sebagai berikut:

1- Maharaja Durbar Raja
2- Maharaja Druja Raja
3- Maharaja Maha Dewa
4- Maharaja Kerna Durja
5- Seri Paduka Maharaja Kerna
6- Seri Paduka Maharaja Dewa
7- Seri Paduka Maharaja Derma Raja
8- Seri Paduka Maharaja Maha Jiwa
9- Seri Paduka Maharaja Durbar Raja

B. Berdasarkan Hikayat Merong Mahawangsa, daftar silsilah raja Negeri Kedah adalah sebagai berikut:

1- Raja Merong Mahawangsa
2- Raja Merong Mahapudisat
3- Raja Seri Mahawangsa
4- Raja Seri Maha Inderawangsa
5- Raja Ong Maha Perita Deria
6- Raja Phra Ong Mahaputisat
7- Raja Phra Ong Mahawangsa

2. Sultan-sultan pada Masa Kesultanan Kedah

Berdasarkan silsilah sultan-sultan Kedah yang disusun oleh Tunku Fariddin Haji bin Tungku Mansor (1957), terdapat 27 sultan yang pernah berkuasa di Kesultanan Kedah. Namun menurut Dato‘ Wan Shamsudin Mohd. Yusuf, justru terdapat 28 sultan karena ia memasukkan nama Tunku Dhiauddin Raja Muda Kayang sebagai sultan (yang dalam catatan Tunku Fariddin hanya dimasukkan sebagai pemangku raja). 
Berikut ini adalah 28 sultan Kedah yang dimaksud, yaitu sebagai berikut:

1- Sultan al-Mudzaffar Shah I (1136-1179)
2- Sultan Mu‘adzam Shah (1179-1201)
3- Sultan Muhammad Shah (1204-1236)
4- Sultan Mazzil Shah (1236-1280)
5- Sultan Mahmud Shah I (1280-1321)
6- Sultan Ibrahim Shah (1321-1373)
7- Sultan Sulaiman Shah I (1373-1422)
8- Sultan Ataullah Muhammad Shah I (1422-1472)
9- Sultan Muhammad Jiwa Zainal Azilin I (1472-1506)
10- Sultan Mahmud Shah II (1506-1546)
11- Sultan Mudzaffar Shah II (1546-1602)
12- Sultan Sulaiman Shah II (1602-1625)
13- Sultan Rijaluddin Muhammad Shah (1625-1651)
14- Sultan Muhyiddin Mansor Shah (1651-1661)
15- Sultan Dziauddin Mukarram Shah (1661-1687)
16- Sultan Ataullah Muhammad Shah II (1687-1687)
17- Sultan Abdullah al-Mu‘adzam Shah I (1698-1706)
18- Sultan Ahmad Tajuddin Halim Shah I. Raja Bendahara sebagai Pemangku Sultan (1706-1709)
19- Sultan Muhammad Jiwa Zainal Azilin Mu‘adzam Shah II (1710-1778)
20- Sultan Abdullah Mukarran Shah II (1778-1797)
21- Sultan Dziauddin (1797-1803)
22- Sultan Ahmad Tajuddin Halim Shah II (1803-1843)
23- Sultan Zainal Rashid al-Mu‘adzam Shah (1843-1854)
24- Sultan Ahmad Tajuddin Mukarram Shah (1854-1879)
25- Sultan Zainal Rashid al-Mu‘adzam Shah (1879-1881)
26- Sultan Abdul Hamid Halim Shah (1881-1943)
27- Sultan Badlishah (1943-1958)
28- Sultan Abdul Halim Mu‘adzam Shah (1958-Kini)

Periode Pemerintahan

Kesultanan Kedah berdiri sejak tahun 1136 dan masih eksis hingga kini. Kesultanan ini mampu bertahan hampir sembilan abad. Pada masa pemerintahan Sultan Ahmad Tajuddin Mukarram Shah (1854-1879), Kesultanan Kedah tercatat memasuki era pembangunan modern. Era ini masih berlanjut hingga kini. Salah satu sultan di Kesultanan Kedah ini yang pernah melakukan manuver unik adalah Sultan Abdul Hamid Halim Shah (1881-1943). Di awal pemerintahannya, ia melakukan lawatan ke sejumlah negeri, seperti Thailand, India, Burma, dan Eropa. Tujuannya, tiada lain untuk memperluas cakrawala pengetahuannya tentang bagaimana membangun pemerintahan yang kuat dan maju.

Wilayah Kekuasaan

Belum ditemukan data yang menyebutkan bagaimana wilayah Kesultanan Kedah pada masa lampau. Data yang baru dapat diperoleh adalah data Kesultanan Kedah pada masa modern. Total luas wilayah Kesultanan Kedah pada masa modern adalah 9,425 km2 . Luas ini terbagi ke dalam 11 daerah, yaitu: Baling (1529 km2), Bandar Bahru (269 km2), Kota Setar (665 km2), Kuala Muda (923 km2), Kubang Pasu (948 km2), Kulim (765 km2), Langkawi (467 km2), Padang Terap (1357 km2), Pendang (626 km2), Sik (1635 km2), dan Yan (242 km2).

Struktur Pemerintahan

Dalam struktur pemerintahan Kesultanan Kedah, sultan mempunyai kekuasaan yang mutlak. Sultan memerintah berdasarkan Adat Temenggung dan hukum Islam. Kesultanan Kedah mempunyai empat kanun yang dijadikan sumber rujukan penting dalam pemerintahan kesultanan. Oleh R. O. Winstedt manuskrip empat kanun itu dikumpulkan dan dinamakan sebagai: Undang-Undang Pelabuhan 1650, Kanun Tambera Dato‘ Paduka Tuan, Hukum Kanun Dato Kota Star, dan satu lagi qanun(hukum) tentang adat kerajaan dalam hal pelantikan para pembesar dan adat meminang.

Ketika memerintah, sultan dibantu oleh para pembesar tradisional. Wakil sultan dalam pemerintahan adalah Raja Muda. Ia tidak harus berasal dari putra sultan. Meski Raja Muda tidak bakal jadi sultan, namun dalam tata kelola pemerintahan ia mempunyai kekuasaan yang agak luas. Para pembesar (elit) tradisional yang membantu pekerjaan sultan adalah pembesar di tingkat pusat dan tingkat daerah.

Di tingkat pusat, pembesar yang dimaksud memegang jabatan-jabatan sebagai bendahara, pembesar empat, pembesar lapan, pembesar enam belas, dan pahlawan hulubalang. Pembesar empat adalah Tumenggung (yang mengurusi urusan-urusan dalam negeri), laksamana (urusan keselamatan di laut), penghulu bendahari (urusan keuangan), dan syahbandar (urusan pelabuhan). Pada masa pemerintahan Sultan Ahmad Tajuddin III (1853-1879), banyak jabatan yang kemudian dihapuskan karena sultan itu hendak memusatkan kekuasaannya hanya di kalangan kerabat sultan saja. Pada masa pemerintahan Sultan Abdul Hamis, jabatan bendahara, menteri, temenggung, dan lain-lain ditiadakan.

Sedangkan di tingkat daerah, sultan melantik pembesar yang bertanggung jawab dalam mengurus kawasan lembah sungai. Pembesar daerah diberikan otonomi sendiri, yaitu membentuk pemerintahannya sendiri dengan dibantu oleh sejumlah aparat daerah, termasuk pihak masyarakat. Pada tahun 1905, pemerintahan daerah telah dimodernkan. Pemerintah daerah kemudian lebih dikenal dengan sebutan pembesar jajahan, sebelum kemudian dikenal dengan istilah pegawai negeri.

Kehidupan Sosial-Budaya

Kehidupan sosial-budaya yang tercatat di bawah ini merupakan kehidupan masyarakat masa modern karena kehidupan sosial-budaya masa lampau tidak ditemukan datanya.

Mayoritas penduduk Kedah adalah etnik Melayu, dan sebagian di antaranya merupakan etnik Cina dan India. Berdasarkan data statistik terkini populasi Negeri Kedah pada tahun 2003 adalah: Melayu (1,336,352), Cina (252,987), India (122,911), bukan warganegara (35,293), dan lain-lain (27,532). Mata pencaharian mayoritas penduduk Kedah berasal dari pertanian, perindustrian, dan perkhidmatan.


Sejarah Perkembangan Islam Di Kedah

Zaman Pasca Islam

 Merong Mahawangsa

Angkatan Wakil kerajaan Rom yang diketuai Merong Mahawangsa belayar dari Rom ke China dalam misi meminang puteri Maharaja China dan mereka singgah di Goa untuk beberapa ketika sebelum meneruskan pelayaran . Dalam pelayaran itu mereka diserang oleh pasukan Garuda (orang laut dari Koh Adang, Thailand) dan  melarikan diri ke sebuah pulau dan mendirikan penempatan sementara di sini .Pulau ini diberi nama Langkapuri ( Langkawi). Mereka seterusnya belayar menyeberang ke daratan Semenanjung Emas (Malaya) menyusuri Kuala Sungai Baboor (Sekarang dikenali sebagai Sungai Merbok) dan mendirikan penempatan tetap di Lembah Bujang melalui panduan dari Gunung Jerai dan bertapaklah kerajaan Kedah Tua dengan nama Langkasuka.
 
Merong Mahawangsa adalah dari susur galur keturunan Iskandar Zulqarnain bercantum dengan cucunda Rasullullah SAW iaitu Imam Hassan bin Ali bin Abi Thalib. Ini dipercayai perkahwinan Iskandar Zulqarnain dengan anak Raja Kida Hindi iaitu Puteri Shahrul-Bariah ketika baginda sampai ke Utara India dalam misi meluaskan pengaruh Empayar Rom. hasil perkahwinan itu mereka beroleh anak lelaki diberi nama Aristun Shah dan kemudiannya berkahwin dengan anak raja Turkistan dan memperoleh anak lelaki (cucu Zulqarnain) bernama Raja Aftus dan seterusnya galur itu sampailah kepada Merong Mahawangsa.
.
Siapa Raja Iskandar Zulqarnain???

Iskandar Zulkarnain seorang pemerintah agung dari Kerajaan Mecodenia( Romani) adalah datang dari galur keturunan Nabi Sulaiman A.S ( juga dipanggil Solomon dlm kitab Bible)  mengamalkan agama dari ajaran Nabi Ibrahim AS dan Nabi Khidir AS (Nabi Khidir masih hidup hingga kini sama seperti Nabi Allah Illiyas, wallahualam)  adalah gurunya yang mashyur. Baginda pernah "dimikrajkan" oleh Allah SWT melalui malaikat ketika berada di kota Iskandariah ketika baginda  buntu tentang haluan arah barat dan timur dalam misi memperluaskan empayar Rom ketika itu. Baginda juga bertanggungjawab dalam pembinaan tembok penghalang bagi memenjarakan makhluk ganas Yakjut & Makjut sebagaimana yang diceritakan dalam Al-Quran dalam surah ke 18 iaitu surah Al-Kahfi.
 
Merong Mahawangsa pulang kembali ke Rom setelah menabalkan putera sulungnya Raja Merong Mahapudisat yang menjadi Raja Siam yang pertama dan Negeri Langkasuka ditukar kepada Kedah Zamin Turan (Negeri Kalaha).
Putera kedua iaitu Raja Ganjil Sarjuna ditabal sebagai Raja Perak (Gangga Negara yang berpusat di Bruas) dan puteri bungsu ditabal sebagai Raja Patani yang pertama.

Putera bongsu iaitu Raja Seri Mahawangsamenggantikan tempatnya sebagai Raja Kedah Yang Kedua dan bermulalah tradisi menghantar bunga emas dan perak setiap kali Raja Siam mendapat putera sebagai tanda hormat kepada kekanda sulung baginda.
 
2-Sejarah Islam Di Kedah Darulaman & Keturunan Raja Bersiong
Sejarah kemasukan dan penyebaran agama Islam di Kedah bermula pada tahun 1136M ( pendapat sahih menyatakan tahun 1236M) apabila seorang pendakwah Arab iaitu Sheikh Abdullah bin Sheikh Ahmad bin Sheikh Jaafar Kumiri sampai di Kedah melalui Sungai Merbuk. Beliau berasal dari negeri Shahir di bawah pemerintahan Yaman.
 
>Raja Kedah ketiga iaitu Sri Paduka Maharaja Durbar Raja yang memerintah pada 1130M ( pendapat sahih mengesahkan baginda ditabal pada 3 Rabiulawal 627H hari Isnin bersamaan 1 Januari 1230M) adalah Raja Kedah yang pertama memeluk Islam pada tahun 1136M (pendapat sahih menyataka pada tahun 1236M @ 633H) melalui Sheikh Abdullah dan negeri Kalaha digantikan kepada Kedah Darulaman. nama baginda ditukar kepada Sultan Sulaiman Saidin iaitu nenda kepada Raja Bersiong.

Sultan Sulaiman Saidin memerintahkan Sheikh Abdullah membina masjid dan menara azan di puncak Gunung Jerai iaitu puncak tertinggi di negeri Kedah bagaimanapun beliau meninggal dunia sebelum menara itu disiapkan dan jasadnya disemadikan di sana dikenali sebagai Padang Tok Sheikh.
 
>Raja/Sultan Kedah keempat adalah putera sulung Sultan Sulaiman Saidin iaitu Raja Syahibul Khalid Abdullah (ayahanda kepada Raja Bersiong) mempunyai dua isteri yang salah seorang darinya adalah sepupunya dan beroleh 5 cahayamata iaitu 2 putera dan 3 puteri dari isteri pertama.Raja Bersiong adalah putera sulung dan adinda lelakinya bernama Raja Zulkarnain.
 
>Adik lelaki kepada Raja Syahibul Khalid Abdullah ( bapa saudara Raja Bersiong) iaitu Sultan Muhammad ibni Sultan Sulaiman Saidin membuka penempatan baru diLukut dan dilantik menjadi Raja Lukut yang pertama - dalam Negeri Sembilan sekarang.
 
>Raja Bersiong iaitu Raja/Sultan Kedah yang Kelima(Gelaran Raja Ong Maha Perita Deria @ Raja seri Maha Inderawangsa @ RJS ibni Almarhum Raja Syahibul Khalid Abdullah ) dilahirkan oleh bondanya Raja Alawiyah pada petang Jumaat tahun 642H/1244Mdengan penuh adat istiadat keislaman dan mula memerintah pada tahun 660H/1262M ketika berusia 18 tahun dan berkahwin dengan Tuan Puteri Kesuma Bidasari dan dikurniakan cahayamata seramai 13 orang tetapi 2 puteranya yang sulung dan kedua meninggal ketika berusia 10 tahun (Raja Kamarul Bahrin Hisyam Hudin - lemas dalam kolam mandi dalam istana) dan 4 tahun (Raja Kamaruzaman Hafidz - meninggal akibat penyakit ketumbuhan dalam badan-barah). Puteri bungsunya bernama iaitu Puteri Bongsu Haidatul Hidayah adalah puteri kesayangan baginda yang mempunyai rupa paras yang sangat rupawan tetapi ada sedikit kecacatan pada fizikalnya (berjalan agak tempang sedikit).
 
Raja Bersiong adalah seorang pemerintah yang warak dan ia ghaib sebaik sahaja melepaskan tahta kepada putera sulungnya pada tahun 1321M dipercayai sebagai Wali Allah berdasarkan kesungguhannya dan jasanya dalam mengembangkan agama Islam kepada rakyat jelata yang pada masa itu masih berpegang pada ajaran Hindu/Buddha.
 
Istana rasmi baginda terletak di Kota Mengkuangdalam Daerah Kubang Pasu.
Baginda juga mempunyai istana hinggap di Pulau Ukup atau Pulau Jemur (sekarang dipanggil Tukun Perak atau Pulau Kedah) terletak di antara Pulau Langkawi dan Pulau Pinang berhampiran perairan Indonesia.
 
>Raja/Sultan Kedah keenam adalah Putera ketiga Raja Bersiong iaitu Raja Phra Ong Mahapudisat (yang kelima dalam keluarga selepas dua orang kakaknya) dengan Nama Rasmi Islam sebagai Tengku Raja Hisyam Badrol Halim (TRHBH). Adinda saudara lelakinya bernama Raja Shuib Halim Shah (anak keenam dalam keluarga)
Baginda berkahwin dengan puteri kerabat Sultan Kelantan iaitu Wan Kesumatul Bariah Hidayah (ibunya bernama Hala Ayu Ana Malina atau terkenal dengan namaWan Empok adalah berasal dari kesultanan Kelantan yang lama)
 
Kelansungan galur pemerintahan Raja Bersiong tamat pada tahta yang keenam iaitu anaknya (Phra Ong Maha Mahapudisat - Gelaran  nama Siam @ TRHBH) apabilaPatih Gajah Mada dari Kerajaan Majapahit mengusirnya dari tahta kerana khuatir dengan pengaruh kerajaan Siam dan digantikan oleh putera sulung Raja Bharubhasa iaitu Raja Ibrahim (dengan gelaran Phra Ong Mahawangsa- gelaran dalam bahasa Siam) ditabalkan sebagai Raja/Sultan Kedah yang ketujuh bergelar Sultan Ibrahim Shah pada tahun1321M dan kelansungan sistem beraja Islam berjalan sehingga ke abad 20 Masehi.
 
Selepas berlakunya rampasan kuasa tersebut keluarga Tengku Raja Hisyam Badrol Halim dan adinda lelakinya Raja Shuib Halim Shah serta kaum keluarganya merantau ke Lukut dan Pulau Jawa di Bukit Ambun berhampiran Tasik Pawajanggi (sekarang dipanggil Purbakarta terletak di timur bandaraya Jakarta). Anak bungsu Raja Bersiong iaitu Puteri Bongsu Haidatul Hidayah mengikut bapa saudara Raja bersiong iaituSultan Muhammad ibni Sulaiman Saidin (Pemerintah kerajaan Lukut yang pertama) tinggal di Lukut .  Raja Long Alwi ibni Almarhum Raja Zulkarnain iaitu anak saudara Raja Bersiong yang masih bujang ketika itu juga mengikut sepupunya iaitu putera Raja Bersiong berhijrah ke Tanah Jawa.
 
Semasa tinggal di Tanah Jawa, Tengku Raja Hisyam Badrol Halim (putera ketiga Raja Bersiong) dan isterinya Wan Kesumatul Bariah Hidayah beroleh 3 orang cahayamata iaitu
1- Tunku Pengiran Shukri Shah - putera sulung
2- Tunku Pegiran Adnan Shah - keturunannya memerintah kerajaan berdaulat Brunei Darussalam sehingga sekarang
3- Tunku Melewar Malini - berkait rapat dengan kerajaan Lukut lama
 
Raja Long Alwi berkahwin dengan puteri raja dari Pulau Jambi iaitu Raja Halimah Saadiah binti Raja Baharuddin Iskandar dan dikurniakan 3 cahayamata iaitu Long Jamian, Long Hamidi dan Puteri Halifah Aizah. Raja Baharuddin Iskandar sebenarnya berasal dari Kedah sebelum berhijrah ke Pulau Jambi. Sepupu kepada Raja Halimah Saadiah iaiti Raja Maznun Mazni yang menjadi isteri pertama Hang Tuah masih tinggal di Kedah hingga ke akhir hayatnya.
 
Jasa Hang Tuah kepada Raja Bersiong
Dengan pertolongan Hang Tuah (nama sebenarnya A. S ) dan Panglima Hitam ( nama sebenarnya A J berasal dari Perak dan merupakan orang terawal membuka penempatan di Langkawi ) maka tiga batang siong yang tumbuh dari rahang Raja bersiong berjaya dibuang di suatu tempat bernama Singgora (sekarang dikenali sebagai Songkla, Thailand) dan hingga kini nama Gerbang Hang Tuah tercatat di pintu masuk Masjid Kresek di selatan Thailand sebagai tanda bukti kehadirannya di sana. Siong yang yang tumbuh itu adalah kerana baginda melanggar pantang larang atau sumpah janji yang terpatri dengan seorang Wali Songo yang memperturunkan ilmu kebatinan namun hasrat itu dibantah oleh ayahandanya kerana ilmu yang diperturunkan sangat tinggi dan tidak mampu dibawa oleh Raja bersiong lalu ditinggalkan amalan kebatinan itu pada peringkat separuh jalan sahaja dan disebabkan itu 3 batang siong tumbuh pada rahangnya ( 2 batang di atas dan satu batang di bahagian bawah).‎

 

Sejarah Kesultanan Johor


Sejarah Johor dimulai pada masa pemerintahan Kesultanan Malaka. Sebelumnya daerah Johor merupakan bagian dari Kesultanan Malaka, kemudian ‎Malaka jatuh akibat penaklukan Portugal p‎ada tahun 1511. ‎Berdasarkan Sulalatus Salatin, setelah wafatnya Sultan Malaka,Mahmud Syah tahun 1528 di Kampar,Sultan Alauddin Syah, salah seorang putra raja Malaka, menjadikan Johor sebagai pusat pemerintahannya dan kemudian dikenal sebagai Kesultanan Johor.

Sebagai pewaris Malaka, Sultan Johor menganggap wilayah Johor, Pahang,Selangor, Singapura, Kepulauan Riau, dan daerah-daerah di Sumatera seperti Deli,Siak, Rokan, Inderagiri, Batu Bara, danJambi sebagai wilayah kedaulatan nya. Pengaruh perjanjian London tahun 1824 bekas wilayah Kesultanan Johor dibagi atas wilayah jajahan Inggris dan Belanda. Setelah kemerdekaan Malaysia, Johor kemudian menjadi salah satu negara bagian Malaysia pada tahun 1963.

Sejarah Johor sebagai negeri telah dimulai sekitar abad ke-9 M. Saat itu, Johor telah berkembang menjadi bandar perdagangan yang cukup ramai. Karena posisi inilah, maka Johor kemudian menjadi incaran kekuatan besar yang ada di Nusantara. Pada abad ke-14, Johor ditaklukkan oleh Majapahit. Ketika Majapahit mulai melemah, kemudian muncul Malaka sebagai kekuatan baru pada abad ke-15. Saat itu, Johor segera beralih penguasa, menjadi daerah kekuasaan Malaka. Selama lebih dari satu abad, Johor terus berada dalam kekuasaan Malaka, hingga datangnya pasukan kolonial Portugis menyerang dan menghancurkan Malaka. Malaka runtuh, penguasanya, Sultan Mahmud melarikan diri ke Pahang, kemudian ke Bentan Johor.  

Di Bentan Johor, Sultan Mahmud Shah mencoba menghimpun kekuatan dengan mengumpulkan kembali sisa-sisa pasukannya. Dengan sisa pasukannya ini, ia kemudian beberapa kali menyerang Malaka. Sultan Mahmud juga melakukan blokade perdagangan yang menggangu jalur perniagaan Portugis. Untuk mengatasi perlawanan Sultan Mahmud, pada tahun 1526, Portugis kemudian mengirim sepasukan tentara dengan kapal besar di bawah pimpinan Pedro Mascarenhaas untuk menyerang Bandar Bentan. Bentan ambruk, Sultan Mahmud kembali menyingkir, kali ini ke menyeberang Selat Malaka menuju Kampar, Riau. Di sinilah ia meninggal dunia.  

Sultan Mahmud meninggalkan dua orang putera: Tengku Muzaffar Shah dan Tengku Alauddin Riayat Shah. Muzaffar Shah kemudian menjadi Sultan Perak, sementara  Alauddin Riayat Shah kembali ke Johor dan menjadi Sultan Johor yang pertama. Selanjutnya, Kerajaan Johor ini lebih dikenal dengan nama Kesultanan Johor-Riau-Lingga." Kerajaan Johor telah resmi berdiri.

Perang Melawan Portugis
 
Sebagai keturunan Sultan Mahmud, Sultan Alauddin Riayat Shah berkewajiban untuk melanjutkan perjuangan ayahnya melawan penjajah Portugis. Sebagai tindak lanjut dari itu, ia kemudian membangun sebuah kota di Johor Lama yang terletak di tebing Sungai Johor. Dari tempat inilah, ia kemudian terus melancarkan serangan terhadap Portugis di Malaka. Dalam perlawanan ini, ia terus menerus bekerjasama dengan saudaranya Sultan Perak, dan juga Sultan Pahang. 

Perang antara Portugis dan Johor terus berlangsung. Pada saat bersamaan, muncul sebuah kekuatan baru diujung barat Sumatera, yaitu Aceh. Karena Portugis beragama Kristen, maka pedagang muslim kemudian banyak yang berpindah ke Aceh, sehingga pelabuhan Aceh menjadi ramai. Seiring kebangkitan Aceh, timbul pula semangat ekspansi untuk menguasai Semenanjung Malaya. Maka, kemudian Aceh menyerang Portugis di Malaka dan Johor di Bentan. Merasa menghadapi musuh yang sama, Johor yang semula bertikai dengan Portugis, kemudian bersatu melawan Aceh. Ketika Aceh sudah mulai lemah, Johor dan Portugis kembali bertikai.

Ketika Belanda tiba di Asia Tenggara, Johor mengajaknya bersekutu melawan Portugis. Belanda setuju dan kemudian membantu Johor mengusir Portugis. Akhirnya, pada tahun 1641, Belanda dan Johor berhasil mengalahkan Portugis di Malaka. Konsekuensinya, Malaka kemudian harus diserahkan pada Belanda. Menurut pepatah, nasib Malaka ibarat keluar dari mulut buaya, kemudian masuk ke mulut harimau. Kekuasan Belanda atas Malaka  berakhir ketika perjanjian antara Inggris dan Belanda ditandatangani pada tahun 1824. Sejak saat itu, Malaka masuk ke dalam mulut  harimau lain: Inggris.

Pada tahun 1666, Kerajaan Jambi di Sumatera yang banyak membantu Johor dalam melawan Portugis berusaha unutk melepaskan diri dari kekuasaan  Johor. Akibatnya, terjadilah peperangan antara Jambi yang ingin merdeka melawan Johor yang ingin mempertahankan daerah kekuasaannya. Peperangan berlangsung dari 1666 hingga 1673, hingga akhirnya Johor berhasil dikalahkan Jambi, dan ibukota Johor, Batu Sawar dihancurkan oleh pasukan Jambi. Untuk mengalahkan Jambi, pada tahun 1679, Laksana Tun Abdul Jalil dari Johor meminta bantuan Bugis untuk menyerang Jambi. Atas bantuan Bugis, Johor kemudian berhasil mengalahkan Jambi.

Perang Saudara

Kekalahan Jambi di tangan Johor dengan bantuan orang-orang Bugis ternyata tidak menyelesaikan masalah. Masalah tersebut mulai timbul ketika Sultan Mahmud II mangkat pada tahun 1699 tanpa meninggalkan Putra Mahkota. Perselisihan mulai muncul karena perebutan kekuasaan. Bendahara Tun Abdul Jali kemudian melantik dirinya sebagai Sultan Johor dengan gelar Sultan Abdul Jalil Riayat Shah IV. Pelantikan ini telah menimbulkan ketidaksenangan di hati para Pembesar Istana, sebab Abdul Jalil bukanlah orang yang berhak untuk menduduki jabatan tersebut.

Pada sisi lain, pengaruh Bugis yang banyak membantu Johor ketika melawan Jambi mulai bertambah kuat. Orang-orang Minangkabau yang berjumlah cukup banyak juga terus memperkuat pengaruhnya. Di kalangan orang Minangkabau, ada seorang putra dari Siak, bernama Raja Kecil, mengaku sebaga pewaris sah Sultan Mahmud II. Semua kelompok ini berambisi untuk memegang tampuk kekuasaan. Hingga suatu ketika, Raja Kecil meminta bantuan orang-orang Bugis untuk menggulingkan Bendahara Abdul Jalil dari kekuasaannya. Saat itu, orang Bugis bersedia membantu, namun mereka harus ke Selangor terlebih dulu untuk mempersiapkan pasukan. Ketika orang-orang Bugis pergi ke Selangor, Raja Kecil berinisiatif menyerang Johor tanpa bantuan Bugis, dan berhasil menggulingkan Bendahara Abdul Jalil.

Ketika orang-orang Bugis sudah kembali dari Selangor, mereka mendapatkan Raja Kecil sudah menjadi Sultan Johor. Orang-orang Bugis kemudian menuntut jabatan untuk mereka, tapi ditolak oleh Raja Kecil, karena memang Bugis tidak membantunya dalam mengalahkan Abdul Jalil. Penolakan Raja kecil telah membuat orang-orang Bugis kecewa. Keadaan ini kemudian dimanfaatkan oleh Bendahara Abdul Jalil untuk meminta bantuan pada Daeng Parani, pemimpin orang Bugis, menurunkan Raja Kecil dari tahta, dengan imbalan orang Bugis akan dilantik menjadi Yang Dipertuan Muda. Abdul Jalil dan orang Bugis kemudian berhasil menurunkan Raja Kecil pada tahun 1722 M. Selanjutnya, anak Bendahara Abdul Jalil dilantik menjadi sultan dengan gelar, Sultan Sulaiman Badrul Alam Shah. Semetara Daeng Marewah, pemimpin orang Bugis menjadi Yang Dipertuan Muda. Dalam praktiknya, ternyata Sultan sangat lemah dan tidak punya kuasa, sebab kekuasaan dipegang oleh Daeng Marewa. 

Johor, Singapura dan Inggris

Kawasan Selat Malaka merupakan pusat lalu lintas perdagangan, karena itu, selalu menjadi incaran para kolonial Eropa. Pada 29 Januari 1819, Raffles, Gubernur Jenderal Inggris di Bengkulu tiba di Singapura. Saat itu, Singapura merupakan wilayah kekuasaan Johor, dikepalai oleh seorang Tumenggung. Ketika itu, kondisi politik di Johor tidak stabil karena adanya campur tangan Belanda dan Bugis. Tahta Johor saat itu dipegang oleh Tengku Abdul Rahman. Ia menjadi sultan hanya karena abangnya, Tengku Husin tidak berada di istana saat ayah mereka, Sultan Mahmud  III meninggal dunia.

Akal licik Raffles segera berjalan, ia kemudian mencoba memanfaatkan situasi dengan membantu Tengku Husin menjadi Sultan Johor. Sebagai imbalan, Tengku Husin harus mengizinkan Inggris membuka pelabuhan di Singapura. Tengku Husin menyetujui permintaan Inggris, dengan syarat Inggris membayar uang tahunan pada Sultan. Kesepakatan ini diperkuat dalam suatu perjanjian pada 6 Februari 1819. Kemudian, atas bantuan Tumenggung Johor di Singapura, Inggris berhasil membawa Tengku Husin yang saat itu bersembunyi di Riau kembali ke Johor, dan berhasil menjadi sultan.
Dengan diserahkannnya Singapura pada Inggris, maka wilayah Johor secara geografis jadi terpisah dari Riau. Akhirnya, yang berkuasa di Riau adalah orang-orang Bugis, sementara Sultan tetap di Johor, namun, secara de facto, yang berkuasa adalah Tumenggung.

Pada tahun 1855, di bawah perjanjian antara Inggris di Singapura dan Sultan Ali dari Johor, daerah Johor diserahkan kepada Raja Temenggung Tun Daeng Ibrahim, sementara  Muar masih tetap berada di bawah kekuasaan Sultan. Tapi, pada tahun 1877, Muar akhirnya ikut diserahkan kepada  Temenggung Ibrahim. Temenggung Ibrahim kemudian membuka sebuah bandar di selatan Johor, yang ia sebut Bandar Tanjung Putri dan menjadikannya sebagai bandar utama. Dalam perkembangannya, bandar ini kemudian dikenal dengan nama Johor Baru.

Ketika Temenggung Ibrahim meninggal, ia digantikan oleh anaknya, Temenggung Abu Bakar yang bergelar Seri Maharaja Johor. Pada tahun 1866, ia dilantik menjadi Sultan Johor secara resmi. Di masa kekuasaannya, Sultan Abu Bakar Daeng Ibrahim memperbaiki sistem kenegaraan agar lebih baik. Selain itu, ia juga membangun sebuah istana sebagai temapt tinggal resmi sultan. Karena itu, ia kemudian disebut sebagai Bapak Johor Modern. Di masa ini, Johor juga menikmati pertumbuhan ekonomi yang baik. Di antara komoditas penting adalah lada hitan dan gambir. Karena tingginya permintaan, kemudian banyak dibuka ladang perkebunan baru, buruh-buruhnya didatangkan dari Cina.
Pada tahun 1914, Residen Inggris datang ke Johor. Kedatangan residen ini terpaksa diterima oleh Sultan Ibrahim bin Sultan Abu Bakar, karena kekuasaannya memang sudah sangat lemah. Ketika Perang Dunia II meletus pada tahun 1939, Inggris yang bertanggungjawab terhadap keamanan Johor dikalahkan dengan mudah oleh tentera Jepang. selanjutnya, Johor berada di bawah kekuasaan Jepang dari tahun 1941 hingga 1945. Ketika perang usai, Johor menjadi bagian dari wilayah Uni Malaya. Ketika Tanah Melayu merdeka pada 31 agustus 1957, Johor merupakan salah satu dari 14 negara bagian yang bergabung dalam negara Malaysia.
 
Berikut ini silsilah para penguasa Kerajaan Johor:

1- Sultan Mahmud Shah I (1511-1528)
2- Sultan Alauddin Riayat Shah II (Raja Ali/Raja Alauddin) (1528-1564)
3- Sultan Muzaffar Shah II (Raja Muzafar/Radin Bahar) (1564-1570)
4- Sultan Abd. Jalil Shah I (Raja Abdul Jalil) (1570-1571)
5- Sultan Ali Jalla Abdul Jalil Shah II (Raja Umar) (1570/71-1597)
6- Sultan Alauddin Riayat Shah III (Raja Mansur) (1597-1615)
7- Sultan Abdullah Ma‘ayat Shah (Raja Mansur) (1615-1623)
8- Sultan Abdul Jalil Shah III (Raja Bujang) (1623-1677)
9- Sultan Ibrahim Shah (Raja Ibrahim/Putera Raja Bajau) (1677-1685)
10- Sultan Mahmud Shah II (Raja Mahmud) (1685-1699)
11- Sultan Abdul Jalil IV (Bendahara Paduka Raja Tun Abdul Jalil) (1699-1720)
12- Sultan Abdul Jalil Rahmat Shah (Raja Kecil/Yang DiPertuan Johor) (1718-1722)
13- Sultan Sulaiman Badrul Alam Shah (Raja Sulaiman/Yang Dipertuan Besar Johor-Riau) (1722-1760)
14- Sultan Abdul Jalil Muazzam Shah (1760-1761)
15- Sultan Ahmad Riayat Shah (1761)
16- Sultan Mahmud Shah III (Raja Mahmud) (1761-1812)
17- Sultan Abdul Rahman Muazzam Shah (Tengku Abdul Rahman) (1812-1819)
18- Sultan Hussain Shah (Tengku Husin/Tengku Long) (1819-1835)
19- Sultan Ali (Tengku Ali, tapi tak diakui oleh Inggeris) (1835-1877)
20- Raja Temenggung Tun Daeng Ibrahim (Seri Maharaja Johor) (1855-1862)
21- Sultan Abu Bakar Daeng Ibrahim (Temenggung Che Wan Abu Bakar/Ungku Abu Bakar) (1862-1895)
22- Sultan Ibrahim bin Sultan Abu Bakar (1895-1959)
23- Sultan Ismail bin Sultan Ibrahim (1959-1981)
24- Sultan Mahmood Iskandar Al-Haj (1981-kini)

Periode Pemerintahan

Jika periode eksistensi Kerajaan Johor dimulai dari sejak runtuhnya Malaka pada tahun 1511, maka usia kerajaan ini telah mencapai 5 abad. Selama itu, telah berkuasa 24 orang sultan dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Ketika sultan yang berkuasa cakap dan cerdas, maka Johor menjadi maju dan berkembang. Sebaliknya, ketika sultan yang berkuasa hanya gila pada kekuasaan, banyak dirasuki iri dan dengki, kurang memperhatikan nasib rakyat, maka Johor menjad lemah.

Wilayah Kekuasaan

Wilayah kekuasan Johor mencakup kawasan Johor, Singapura, Riau dan Jambi. Saat ini, Johor hanyalah salah satu negara bagian di Malaysia. Daerah-daerah yang dulu pernah di bawah kekuasaannya telah menjadi daerah merdeka.
Struktur Pemerintahan

Struktur tertinggi kekuasaan di Johor berada di tangan sultan. Walaupun di beberapa periode, yang berkuasa adalah pihak asing ataupun bawahan yang lebih rendah, seperti Tumenggung. Hal ini semata-mata disebabkan oleh kelemahan sultan. Untuk membantu sultan dalam menjalankan pemerintahan, ia dibantu oleh bendahara dan tumenggung.‎

 

Doa Nabi Sulaiman Menundukkan Hewan dan Jin

  Nabiyullah Sulaiman  'alaihissalam  (AS) merupakan Nabi dan Rasul pilihan Allah Ta'ala yang dikaruniai kerajaan yang tidak dimilik...