Selasa, 24 November 2020

Riwayat Syaikh Muhammad Jamil Jambek


Sosoknya tinggi besar. Kumis, jambang dan jenggot dipelihara rapi. Belakangan, brewok yang dalam bahasa Minang disebut jambek, lekat dengan nama ulama besar dari Bukittinggi ini.
Syekh Muhammad Jamil Jambek lebih dikenal dengan sebutan Syekh Muhammad Jambek, dilahirkan dari keluarga bangsawan. Ayahnya, Saleh Datuak Maleka, merupakan seorang penghulu dan kepala nagari Kurai, sedangkan ibunya berasal dari Sunda.

Masa kecilnya tidak banyak diketahui. Namun, yang jelas Syekh Muhammad Jambek mendapatkan pendidikan dasarnya di Sekolah Rendah yang khusus mempersiapkan pelajar untuk masuk ke sekolah guru.

Riwayat Kehidupan Sang Syaikh

KETIKA usia belasan tahun, Muhammad Jamil Jambek dikenal sebagai parewa (preman) di kampunghalamannya, Nagari Kurai, Bukittinggi, Sumatera Barat. Ia keluar masuk kampung sebagai jagoan dengan keahlian pencak silat. Banyak pemuda yang takut berkelahi dengannya.

Menyabung ayam, bagian dari tradisi masyarakat Minangkabau kala itu, adalah kebiasaannya. Ia juga pernah mengisap candu. Saking gemarnya mengisap barang haram ini, ia dapat membedakan mana bau rokok dengan bau candu dari kejauhan. Keahlian ini juga yang membuat anak muridnya sering katahuan saat usai mengisap candu.

Sejarah kemudian mencatat Muhammad Jamil Jambek, yang juga dikenal dengan sebutan Inyiak Jambek, menjadi ulama terkemuka Minangkabau. Ia paling kritis terhadap adat istiadat dan ajaran tarikat. Dia juga ahli ilmu falak dan pembuat imsyakiah pertama. Dialah yang pertama kali memperkenalkan metode dakwah dengan bertabligh di depan massa.

Insyaf dan ke Makkah

Jamil Jambek lahir di kota Bukittinggi, Sumatera Barat, pada tahun 1863. Nama kecilnya Muhammad Jamil. Ia anak sulung dari Muhammad Saleh Datuk Maleka, seorang Kepala Nagari di Kurai, Bukittinggi.

Meski putra seorang pemimpin adat, perangai Jamil saat remaja sering dicibir masyarakat. Ia anak pemimpin adat yang sungguh tak beradat.

Pada usia 22 tahun, tepatnya tahun 1885, atas nasehat seorang ulama, Tuanku Kayo Mandiangin, Jamil mulai sadar dan meninggalkan dunia parewa. Ia kemudian belajar agama dan bahasa Arab.

Setahun berlalu, Jamil dikirim ayahnya belajar pada Syeikh Ahmad Khatib di Makkah. Ahmad Khatib adalah ulama asal Nagari Balai Gurah, Bukittinggi, yang termasyur sebagai guru besar di Mekkah dan menjadi Imam Besar di Masjidil Haram, sebuah posisi yang sebelumnya tak pernah diisi oleh mereka yang berasal dari luar tanah Hijaz.

Ada beberapa murid Syeikh Ahmad Khatib di Makkah yang kemudian terkenal sebagai motor pembaharu sekembalinya ke tanah air. Di antara mereka adalah KH Ahmad Dahlan, H Abdul Karim Amrullah, H Abdullah Ahmad, Syeikh Taher Jalaluddin, H Agoes Salim, H Muhamad Basyuni Imran, H Abdul Halim, KH Hasyim Asy’ari, dan Syeikh Daud Rasyidi.

Ketika di Mekkah ia berguru kepada Syekh Ahmad Khatib Minangkabau. Semula Syekh Muhammad Jambek tertarik untuk mempelajari ilmu sihir, tapi dia disadarkan dan diinsyafkan oleh gurunya. Selama belajar di tanah suci, banyak ilmu agama yang ia dapatkan. Antara lain yang dipelajari secara intensif adalah tentang ilmu tarekat serta memasuki suluk di Jabal Abu Qubais. Dengan pendalaman tersebut Syekh Muhammad Jambek menjadi seorang ahli tarekat dan bahkan memperoleh ijazah dari Tarekat Naqsyabandiyah - Khalidiyah. Namun, dari semua ilmu yang pernah didalami yang pada akhirnya membuatnya terkenal adalah tentang ilmu falak.

Keahliannya di bidang ilmu falak mendapat pengakuan luas di Mekkah. Oleh sebab itu, ketika masih berada di tanah suci, Syekh Muhammad Jambek pun mengajarkan ilmunya itu kepada para penuntut ilmu dariMinangkabau yang belajar di Mekkah. Seperti, Ibrahim Musa Parabek (pendiri perguruan Tawalib Parabek) serta Syekh Abbas Abdullah (pendiri perguruan Tawalib Padang Japang Lima Puluh Kota|) yang kemudian berganti nama menjadi Darul Funun El Abbasyiah.‎

Aktifitas Sang Syaikh

Cukup lama Jamil Jambek berguru di Makkah, sejak tahun 1886 hingga pulang ke Ranah Minang pada tahun 1903.

Pada tahun 1903, dia kembali ke tanah air. Ia pun memilih mengamalkan ilmunya secara langsung kepada masyarakat; mengajarkan ilmu tentang ketauhidan dan mengaji. Di antara murid-muridnya terdapat beberapa guru tarekat. Lantaran itulah Syekh Muhammad Jambek dihormati sebagai Syekh Tarekat.

Setelah beberapa lama, Syekh Muhammad Jambek berpikir melakukan kegiatan alternatif. Hatinya memang lebih condong untuk memberikan pengetahuannya, walaupun tidak melalui lembaga atau organisasi. Dia begitu tertarik pada usaha meningkatkan keimanan seseorang. Hingga kemudian dia mendirikan dua buahsurau, yakni Surau Tengah Sawah dan Surau Kamang. Keduanya dikenal sebagai Surau Inyik Jambek.

Kiprahnya mampu memberikan warna baru di bidang kegiatan keagamaan di Minangkabau. Mengutip Ensiklopedia Islam, Syekh Muhammad Jambek juga dikenal sebagai ulama yang pertama kali memperkenalkan cara bertablig di muka umum. Barzanji (rawi) atau marhaban (puji-pujian) yang biasanya dibacakan di surau-surau saat peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW, digantinya dengan tablig yang menceritakan riwayat lahir Nabi Muhammad dalam bahasa Melayu.

Demikian halnya dengan kebiasaan membaca riwayat Isra Mi'raj Nabi Muhammad dari kitab berbahasa Arab. Dia menggantinya dengan tablig yang menceritakan peristiwa tersebut dalam bahasa Melayu, sehingga dimengerti oleh seluruh lapisan masyarakat. Termasuk juga tradisi membaca kitab, digantinya dengan membahas masalah kehidupan sehari-hari. Menurutnya, semua itu dilakukan karena agama diperuntukkan bagi siapa saja yang dapat memahaminya. Ia pun dikenal sebagai ulama yang lebih bergiat di aktivitas tablig dan ceramah.

Seiring perjalanan waktu, sikap dan pandangannya terhadap tarekat mulai berubah. Syekh Muhammad Jambek kemudian tidak lagi tertarik pada tarekat. Pada awal tahun 1905, ketika diadakan pertemuan ulama guna membahas keabsahan tarekat yang berlangsung di Bukit Surungan, Padang Panjang, Syekh Muhammad Jambek berada di pihak yang menentang tarekat. Dia "berhadapan" dengan Syekh Bayang dan Haji Abbas yang membela tarekat.

Kemudian dia menulis buku mengenai kritik terhadap tarekat berjudul Penerangan Tentang Asal Usul Thariqatu al-Naksyabandiyyah dan Segala yang Berhubungan dengan Dia, terdiri atas dua jilid. Salah satu penjelasan dalam buku itu, yakni tarekat Naksyabandiyyah diciptakan oleh orang dari Persia dan India. Syekh Muhammad Jambek menyebut orang-orang dari kedua negeri itu penuh takhayul dan khurafat yang makin lama makin jauh dari ajaran Islam.

Buku lain yang ditulisnya berjudul Memahami Tasawuf dan Tarekat dimaksudkan sebagai upaya mewujudkan pembaruan pemikiran Islam. Akan tetapi secara umum dia bersikap tidak ingin bermusuhan dengan adat istiadat Minangkabau. Tahun 1929, Syekh Muhammad Jambek mendirikan organisasi bernama Persatuan Kebangsaan Minangkabau dengan tujuan untuk memelihara, menghargai, dan mencintai adat istiadat setempat.

Di samping juga untuk memelihara dan mengusahakan agar Islam terhindar dari bahaya yang dapat merusaknya. Selain itu, dia juga turut menghadiri kongres pertama Majelis Tinggi Kerapatan Adat Alam Minangkabau tahun 1939. Yang tak kalah pentingnya dalam perjalanan dakwahnya, pada masa pendudukan Jepang, Syekh Muhammad Jambek mendirikan Majelis Islam Tinggi (MIT) berpusat di Bukittinggi.

Tantangan dalam perjuangan Beliau

Benturan pertama dan terberat yang dihadapai Jamil Jambek sekembali dari Makkah adalah masalah adat Minangkabau, khususnya hukum waris. Menurut ajaran Islam yang diterimanya dari Syeikh Ahmad Khatib, harta pusaka diwariskan kepada anak sendiri dengan ketentuan anak laki-laki memperloleh bagian yang lebih besar dari anak perempuan. Sedangkan adat Minangkabau menggariskan bahwa harta pusaka diwariskan kepada kemenakan perempuan, bukan kepada anak laki-laki.

Jamil Jambek tak bergeming dengan beratnya tantangan adat Minangkabau tersebut. Apa lagi ia tahu bahwa gurunya, Syeikh Ahmad Khatib, telah menulis dua buku berbahasa Arab tentang hukum waris.

Beberapa karyanya tertulis dalam bahasa Arab dan Melayu, salah satunya adalah al-Jauhar al-Naqiyah fi al-A’mali al-Jaibiyah. Kitab tentang ilmu Miqat ini diselesaikan pada hari Senin 28 Dzulhijjah 1303 H.

Karya lainnya adalah Hasyiyatun Nafahat ala Syarh al-Waraqat. Syeikh Ahmad Khatib menyelesaikan penulisan kitab ini pada hari Kamis, 20 Ramadhan 1306 H, isinya tentang usul fiqih. Karyanya yang membahas ilmu matematika dan al-Jabar adalah Raudhatul Hussab fi A’mali Ilmil Hisab yang selesai dirulis pada hari Ahad 19 Dzulqaedah 1307 H di Makkah. Kitab-kitab lainnya adalah al-Da’il Masmu’fi al-Raddi ala man Yurist al-Ikhwah wa Aulad al-Akhawat ma’a Wujud al-Ushl wa al-Manhaj al-Masyru’, Dhau al-Siraj dan Shulh al-Jama’atain bi Jawazi Ta’addud al-Jum’atain.

Ahmad Khatib membuat pernyataan keras terhadap mereka yang menolak hukum Islam. Mereka harus diputuskan hubungannya dan tidak punya hak untuk mendapat pemakaman secara Islami.

Sedangkan tentang praktik tarekat Naqsyabandi di Minangkabau, Syeikh Ahmad Khatib menulis buku berjudul Izhhar Zughal al-Kadzibin (Menjelaskan Kekeliruan Para Pendusta).

Cukup berat tantangan yang dihadapi Syeikh Jamil Jambek dalam meluruskan masalah hukum waris dan ajaran tarikat yang sudah lebih dulu mentradisi di pelosok Ranah Minang. Namun metode dakwah dangan bertabligh, atau berpidato di hadapan massa, membuat masyarakat di kampung halamannya cepat mahami apa yang disampaikannya.

Jamil Jambek adalah ulama pertama yang memperkenalkan metode dakwah ini. Sebelumnya, masyarakat hanya mengenal metode berhalaqoh, pengajian dengan duduk melingkar menghadap guru di rumah dan surau-surau.

Ulama Kritis

Syeikh Jamil Jambek juga meninggalkan kebiasaan lama dimana ulama sangat terikat kepada kitab Jawi. Semuapelajaran diberikan dengan cara berdiri di muka umum, diberi keterangan selengkap-lengkapnya dengan metode yang mudah dimengerti.

Dengan metode baru tersebut, Syeikh Jamil Jambek cepat sekali menebar pengaruhnya. Bahkan begitu cepat merangkul banyak pengikut. Dalam waktu singkat ia sudah bisa mendirikan sebuah surau yang digunakan sebagai pusat pergerakan di kawasan Tengah Sawah, Bukittinggi.

Di surau ini Syeikh Jamil secara rutin memberikan pelajaran agama dengan berdiri di hadapan murid-muridnya, dilengkapi papan tulis. Umumnya murid Syeikh M Jamil Jambek adalah orang-orang berpangkat, tuanku, lebai, fakih/orang yang mengerti agama, dan guru.

Selain berdakwah di Surau Tengah Sawah, Jamil Jambek secara rutin turun ke kampung-kampung hingga ke Gadut, Pakan Kamis, dan Tilatangkamang yang pernah menjadi pusat pergerakan kaum Paderi.

Perubahan yang dibawa Syeikh Jamil Jambek tak hanya dalam cara mengajar namun juga dalam hal pemanfaatan ilmu pengetahuan umum untuk kepentingan Islam dan kaum Muslim. Ia sendiri telah membuktikannya dengan menguasai ilmu falak. Bahkan, Syeikh Jamil Jambek telah menyusun jadwal waktu shalat. Tak sekadar itu, ia juga telah menerbitkan Imsyakiah Ramadhan pada tahun 1911. Inilah imsyakiah pertama yang beredar di Indonesia.

Dalam setiap tabilqh akbar, Syeikh Jamil Jambek sering mengkritisi amalan suluk dalam tarekat Naqsyabandi dan segala macam bid’ahnya. Menurut Jamil Jambek, suluk jika tidak hati-hati bisa membuat orang malas.

Awalnya, Syeikh Jamil Jambek lebih suka berdakwah langsung ketimbang berdakwah lewat tulisan. Hanya sekali dia menulis di Majalah Al-Munir yang diterbitkan H Abdullah Ahmad di Padang.

Barulah pada awal tahun 1905, Syeikh Jamil Jambek mulai menulis buku. Di antaranya, buku berjudul “Penerangan Tentang Asal Usul Thariqatu al-Naksyabandiyyah dan Segala yang Berhubungan dengan Dia. Buku ini diilhami dari pertemuan ulama guna membahas keabsahan tarekat di Bukit Surungan, Padangpanjang. Saat itu Syeikh Jamil secara terbuka menyampailkan kritiknya soal tarekat.

Buku ini terdiri atas dua jilid. Salah satu penjelasan dalam buku ini kenyatakan bahwa tarekat Naksyabandiyyah diciptakan oleh orang dari Persia dan India. Syeikh Jamil Jambek menyebut orang-orang dari kedua negeri itu penuh takhayul dan khurafat yang makin lama makin jauh dari ajaran Islam.

Sikap kritis Syeikh Jamil Jambek juga tertuang dalam buku berjudul “Memahami Tasawuf dan Tarekat yang ditujukan sebagai upaya mewujudkan pembaruan pemikiran Islam.

Pada tahun 1913 Syeikh Jamil Jambek merangkul sahabatnya sesasama murid Syeikh Ahmad Khatib, yakni Syeikh Daud Rasyidi, mendirikan Majelis Islam Tinggi (MIT). Ia juga mendirikan Barisan Sabilillah untuk melatih kaum muda mengusir penjajahan kafir Belanda.

Namun, belum genap dua tahun Syeikh Jamil Jambek mengecap era kemerdekaan yang ikut diperjuangkannya, pada 16 Safar 1367 H, bertepatan 30 Desember 1947, Syeikh Muhammad Jamil Jambek dipanggil oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Makamnya masih menjadi saksi sejarah di pekarangan masjid yang pernah menjadi basis perjuangnya.

Masjid yang terletak di jantung kota Bukittinggi itu hingga kini masih bernama Surau Inyiak Jambek.

 

Manaqib Syaikh Machfudz At-Tarmasi


Beliau adalah Al Allamah Al Muhaddits Al Musnid Al Faqih Al Ushuli As Syeikh Muhammad Mahfudz bin Syaikh Abdulloh At-Tarmasi. Lahir di Tarmas (Termas) Jawa Tengah pada tanggal 12 Jumadi Al Ula 1285 H, dikala ayah beliau bermukim di Makkah. Beliau diasuh oleh ibu dan para pamanya.

Memperoleh ilmu dasar fiqih di usia muda dari beberapa ulama Jawa, dan beliau juga menghafal Al Qur’an. Kemudian ayah beliau, Al Allamah Al Faqih Syeikh Abdullah At Tarmusi memanggilnya untuk belajar di Makkah. Pada tahun 1291 beliau berangkat menemui sang ayah dan bermukim di Makkah untuk membaca beberapa kitab di hadapan beliau. Kemudian Syeikh Mahfudz kembali ke Jawa dan berguru kepada Al Allamah Syeikh Shalih bin Umar As Samarani (Semarang), juga untuk membaca beberapa kitab.

Kemudian,Syeikh Mahfudz melakukan rihlah thalab al ilmi untuk kedua kalinya ke Makkah dan mengambil berbagai disiplin ilmu dari para ulama besarnya. Diantara para guru Syeikh Mahfudz adalah Al Allamah As Sayyid Abi Bakr bin Muhammad Syatha Al Makki, yang merupakan pijakan Syeikh Mahfudz dalam periwayatan hadits. Syeikh Mahfudz juga menyimak banyak kitab hadits dan musthalah-nya dari Al Allamah Al Muhaddits As Sayyid Husain bin Muhammad Al Habsyi Al Makki yang dikenal sebagai “Ibnu Mufti” (Anak Mufti). Beliau juga banyak membaca kitab hadits dan ilmunya di hadapan Al Allamah Syeikh As Syafi’iyah Makkah Syeikh Muhammad Sa’id Ba Bashil. Beliau juga memperoleh ilmu qira’at 14 dari Al Allamah Syeikh Muhammad As Syarbini Ad Dimyathi.

Dalam menuntut ilmu, beliau benar-benar bermujahadah dengan terjaga di malam hari, hingga terlihat kelebihan beliau dalam hadits dan ilmu-ilmunya, juga menguasai fiqih dan ushulnya, serta ilmu qira’at. Sehingga para guru beliau memberikan izin untuk mengajar. Syeikh Mahfudz mengajar di Bab As Shafa Masjid Al Haram dan di rumah tempat beliau tinggal.‎

Banyak kalangan Azhariyun menilai bahwa Syeikh Dr. Rif’at Fauzi Abdul Muthallib merupakan salah satu ulama musnid Mesir. Ulama yang perpustakaanya selalu terbuka untuk para pencari ilmu ini, juga telah menyebutkan silsilah sanad beliau untuk kitab Al Umm dan Ar Risalah, hingga Imam As Syafi’i. Demikian pula yang berlaku pada kitab Musnad As Syafi, yang semuanya beliau tahqiq dan takhrij hadits-haditsnya.

Mengenai Syeikh Rif’at ini, salah satu kawan pernah berkisah bahwa saat ia berkunjung ke perpustakaan beliau yang terletak di Hay Sabi’, Madinah An Nashr, Kairo. Kala itu Syeikh Rif’at sempat menunjukkan kitab karya Syeikh At Tarmusi, dengan mengatakan,” Ini karya orang Indonesia…”. Seakan-akan beliau ikut kagum dan ingin menunjukkan bahwa ulama Indonesia juga hebat, serta mendorong agar para Azhariyun Indonesia bisa meniru jejak Syeikh Mahfudz At Tarmusi, selaku ahlu al isnad.

Syeikh Mahfudz At Tarmusi memang pantas untuk dikagumi, apalagi bagi kalangan ahlu al isnad, yang mengatahui dari siapa saja beliau memperoleh ilmu dan dari kitab apa saja. Tidak hanya dalam bidang hadits saja, untuk kitab-kitab tafsir, fikih, qira’at, nahwu-sharaf, akhlak-tashawuf, bahkan sampai amalan dzikir, semuanya berasal dari para ulama yang memilki sanad bersambung hingga penulis kitab-kitab tersebut.

Berikut ini nama-nama kitab yang beliau pelajari dari berbagai disiplin ilmu yang seluruhnya bersanad hingga penulisnya, yang ditulis oleh Syeikh Al Muahfudz dalam karya beliau yang berjudul, Kifayah Al Mustafid li Ma ‘Ala min Al Asanid.

Tafsir

Syaikh Mahfudz At Tarmusi telah mengkaji beberapa kitab tafsir seperti 
Tafsir Al Jalalain, yang merupakan karya Imam Jalaluddin Al Mahalli (864 H) dan Imama Jalaluddin As Suyuthi (911 H), 
Tafsir Al Baidhawi (691 H), Tafsir Imam Al Fakhr Ar Razi (626 H), 
Tafsir Al Baghawi (516 H), Tafsir Al Khatabi As Syarbini (977 H), juga 
Ad Dur Al Mantsur karya Imam As Suyuthi. 
Semua kajian Syeikh Mahfudz At Tarmusi terhadap kitab-kitab tersebut bersanad yang sampai kepada para penulisnya.

Hadits

Kitab-kitab hadits yang pernah dipelajari oleh Syeikh Mahfudz melingkupi Al Jami’ As Shahih yang ditulis oleh Imam Al Bukhari (256), yang beliau simak 4 kali khatam dari Syeikh As Sayyid Abu Bakr Syatha. Beliau juga memiliki jalan periwayatan lain yang lebih pendek tentang kitab ini dari As Sayyid Husain bin Muhammad Al Habsyi. Selain Shahih Al Bukhari, beliau juga telah mempelajari Shahih Muslim (261 H), Sunan Abu Dawud (275 H), Sunan At Tirmidzi (279 H), Sunan An Nasa`i (303 H), Sunan Ibnu Majah (273 H), dengan bersanad.

Sanad hadits Syeikh Mahfudz juga sampai kepada para ulama mujtahid madzhab yang membukakan hadits. Diantaranya adalah; 
Al Muwaththa’ Imam Malik (179 H) riwayat Yahya bin Yahya, 
Musnad Imam As Syafi’I (204 H), 
Musnad Abu Hanifah (200 H), 
Musnad Ahmad (241 H), 
Mukhtashar Ibnu Abi Jamrah (695 H), 
As Syifa` Qadhi Iyadh (544 H), 
As Syamail At Tirmidzi, Al Arba’in An Nawawiyah (676 H), 
Al Jami’ As Saghir karya Imam As Suyuthi, 
Al Mawahib karya Al Qasthalani (923 H). 
Dalam kitab sejarah, kitab As Sirah Al Halabiyah karya Ali Al Halabi (1044 H) serta As Sirah karya As Sayyid Ahmad Dahlan (1304 H), Syeikh Mahfudz pun memiliki sanadnya.

Fiqih

Beberapa kitab fikih yang dikaji oleh Syeikh At Tarmusi juga sanadnya menyambung kepada penulis. Di antaranya adalah;
Tuhfah Al Muhtaj dan karya Ibnu Hajar Al Haitami (964 H) lainnya. Selain itu ada juga Nihayah Al Muhtaj dan lainnya dari karya Imam Ar Ramli, Al Iqna dan Mughni Al Muhtaj karya Khatib As Syarbini. Periwayatan kitab-kitab karya Imam An Nawawi (676 H) dan Imam Ar Rafi’i (623 H) juga beliau miliki.

Ilmu Alat

Kitab-kitab ilmu alat yang dipilajari Syeikh Mahfudz juga diambil dari para ulama yang sanadnya sampai kepada penulis. 
Dari kitab-kitab tersebut adalah; 
Matn Al Ajurrumiyah, karya Muhammad As Shanhaji (723 H), 
Al Alfiyah Ibnu Malik (672 H), 
Mughni Al Labib karya Ibnu Hisyam (761 H), 
Kitab Sibawaih (180 H), 
As Shihah karya Imam Al Jauhari (393 H),
 Al Qamus karya Fairuz Abadi (816 H),
 Talhis Al Miftah karya Khatib Jalal Ad Din Al Qazwini (739 H), 
Arus Al Afrah karya Bahauddin As Subki (763 H), ‎
Uqud Al Juman karya Imama As Suyuthi, As Syathibiyah (590 H), 
Syarh Al Baiquniyah, karya Az Zurqani (1122 H), serta 
Syarh An Nukhbah karya Ibnu Hajar serta Alfiyah Al Iraqi (806 H) yang disyarah oleh Ibnu Hajar.

Ilmu Ushul dan Aqidah

Kitab-kitab ilmu ushul fiqih yang sanadnya dimiliki oleh Syeikh At Tarmusi juga bersambung kepada para penulisnya antara lain, 
Al Waraqat karya Imam Al Haramain (478 H), 
Syrah Mukhtashar Ibnu Hajib karya Adhad Ad Din Al Iji (756 H), 
Minhaj Al Wushul karya Imam Al Baidhawi, serta Jam’u Al Jawami’ karya Taj Ad Din As Subki (771 H). 
Sedangkan dalam kitab aqidah seperti Al Jauharah karya Imam Al Laqani dan Al Umm Al Barahin karya Imam As Sanusi (895 H), Syeikh At Tarmusi juga memiliki sanadnya.

Akhlak dan Tashawuf

Untuk Kitab-kitab yang berkenaan dengan tashawuf dan akhlak seperti 
Al Hikam karya Ibnu Athaillah As Sakandari (709 H),
 Ar Risalah Al Qusyairiyah (475 H), 
Minhaj Al Abdidin dan Al Ihya’ karya Imam Al Ghazali (505 H), 
Awarif wa Al Ma’arif karya Imam As Suhrawardi (632 H), 
Syeikh Mahfudz At Tarmusi juga memiliki sanadnya hingga para penulisnya.

Tidak hanya kitab, namun amalan-amalan juga sampai kepada para ulama, salah satunya adalah hizb An Nawawi yang diamalkan oleh Imam An Nawawi.

Masih banyak kitab lainnya dimiliki periwayatannya oleh Syeikh Mahfudz At Tarmusi, karena banyak kitab yang tidak beliau sebutkan judulnya, namun beliau cukupkan dengan penulisnya, dengan menyebutkan semisal, “seluruh karya Imam Al Ghazali”.

Membukukan Guru dan Periwayatan, Tradisi para Ulama

Dengan demikian, di samping menjaga tradisi para salaf dalam mencari ilmu, memperoleh ilmu dengan cara mengambil dari guru yang memiliki sanad sampai ke penulis kitab, meminimalkan kesalahan pemahaman menganai isi kitab tersebut.

Sedangkan Syeikh Mahfudz At Tarmusi mencatat sanad yang beliau miliki, juga dalam rangka meneladani para ulama sebelumnya. Sebagaimana juga Imam An Nawawi menjelaskan bahwa hendaknya pengajar ilmu dan para pencarinya memahami sanad, dinilai buruk bagi mereka yang jahil terhadapnya, karena para guru manusia dalam ilmu merupakan bapak-bapak mereka dalam dien, yang menyambungkan antara dia dan Rabb Al Alamin. Sebagaimana juga diriwayatkan oleh Ibnu Umar secara marfu,” Ilmu adalah dien dan shalat adalah dien. Maka lihatlah dari siapa kalian mengambil ilmu dan bagaimana kalian melaksanakan shalat tersebut. Sesungguhnya kalian ditanya pada hari kiamat.” (Riawayat Ad Dailami)

Dalam tradisi para ulama, buku yang ditulis seorang ulama untuk menjelaskan para guru dan periwayatan dari mereka, disebut sebagai tsabat, dengan bentuk plural atsbat. Yang kemungkinan berasal dari kata at tsabt, yang bermakna hujjah. Dengan demikian kitab tersebut merupakan hujjah bagi penulisnya, karena disebutkan di dalamnya para guru dan sanadnya. Hal ini berlaku bagi ahlu al masyriq, yakni mereka yang hidup di belahan bumi bagian timur. Sedangkan kalangan ahlu al maghrib (penduduk dunia bagian barat) menyebutnya sebagai fahras.
Dari beliau, keluar para ulama baik, yang berasal dari tanah Jawa maupun Arab. Mereka adalah Kyiai Raden Dahlan As Samarani (Semarang), Kyiai Muhammad Dimyathi At Tarmusi (Termas), Kyiai Khalil Al Lasimi (Lasem), Kyiai Muhammad Hasyim bin Asy’ari Al Jumbani (Jombang), Kyiai Muhammad Faqih bin Abdi Al Jabbar Al Maskumbani (Maskumambang), Kyai Baidhawi, Kyai Abdu Al Muhaimin putra Abdul Aziz Al Lasimi, Kyai Nawawi Al Fasuruwani (Pasuruan), Kyai Abbas Buntet As Syirbuni (Cirebon), Kyiai Abdul Muhith bin Ya’kub As Sidarjawi As Surabawi (Sidoarjo-Surabaya).

Yang juga meriayatkan dari Syeikh Mahfudz adalah As Syeikh Muhammad Al Baqir bin Nur Al Jukjawi (Jogja), Kyiai Ma’shum bin Ahmad Al Lasimi (Lasem), Kyiai Shiddiq bin Abdillah Al Lasimi (Lasem), Kyiai Abdul Wahhab bin Hasbullah Al Jumbani (Jombang).

Sedangkan para ulama Arab dan lainnya yang mengambil periwayatan dari Syeikh Mahfudz adalah Al Muhaddits Syeikh Habibullah As Syanqithi, Muhaddits Al Harmain As Syeikh Hamdan, Syeikh Ahmad Al Mukhalilati, Syeikh Umar bin Abi Bakr Ba Junaid Al Makki, Syeikh Muhammad Abdul Baqi Al Ayubi Al Laknawi.

Beliau mengajar dengan menggunakan bahasa Arab fuskha (fasih) sebagai pengantar, walau terkadang beliau campur dengan bahasa Jawa. Karya-karya beliau antara lain, Al Manhaj Dzawi An Nadhr fi Syarh Alfiyah Al Atsar, Al Mauhibah Dzi Al Fadhl fi Hasyiyah Muqaddimah Ba Fadhal (4 jilid), Nail Al Ma’mul Hasyiyah Ghayah Al Wushul ala Lubb Al Ushul (3 jilid), Is’af Al Mathali’ bi Syarh Al Badr Al Lami’ Nadzmi Jam'i Al Jawami’ (2 jilid) Hasiyah Takammulah Al Minhaj Al Qawim (1 jilid), Ghunyah At Thalabah bi Syarh At Thayyibah fi Al Qaira’at Al Asyrah (1 jilid), Kifayah Al Mustafid li Ma Ala Asanid, yang berisi periwayatan Syeikh Mahfudz dalam semua disiplin ilmu dan lainnya.

Kelebihan beliau dikenal di berbagai kalangan, dari ketawadhu’an hingga kebaikan akhlak. Beliau juga tidak terlibat hal-hal yang tidak berguna. Datang dari Jawa ke Tanah Suci dengan perbekalan seadanya. Beliau juga dikenal sebagai alim yang wara’. Rumah beliau banyak didatangi para pencari ilmu, baik untuk sekedar mengucap salam maupun untuk mencari ilmu.

Beliau wafat di Makkah di tanggal 1 Rajab, sesaat sebelum adzan Maghrib hari Ahad, malam Senin tahun 1336 H. Jenazah beliau diantar banyak orang, dan dimakamkan di pemakaman Al Ma’la. Beliau meninggalkan satu anak, yakni Kyiai Muhammad bin Mahfudz. Semoga Allah merahmati beliau.

Sanad Syaikh Mahfudz ‎

Seorang ulama besar Al-Jawi (Melayu, Jawa) yang sebagai muslimin di tanah suci Mekkah hingga akhir hayatnya. Ulama ini memeiliki reputasi internasional didunia Islam. Termashur sebagai Muhaddist (Ahli Hadist), Musaid (Mata rantai sanad hadist), faqih (Ahli Fiqih), Ahli Ushul Fiqih, dan Muqri (Ahli Qira’ati) serta Mursyid Thariqat Syadizliyah, sebagai Imam dan Guru di Masjid haram Mekkah hingga akhir hayatnya, juga ulama mullaif ( pengarang kitab), kitab yang produktif untuk disiplin ilmu keislamaan dan beberapa harganya tergolong monumental dan bermutu tinggi.
Syeikh mahfudz Al-Tarmasi (Al- Turmusi, Al-Tarmasi) nama aslinya Muhammad Mahfudz. Riwayat hidupnya semasa kecil hingga dewasa ditulisnya sebagai informasi penting tertera pada kitabnya Muhibbah Dzil Fadhal jilid 4, disebutkan Ia dilahirkan di Desa Tremas, kecamatan Arjosari, Kabupaten Pacitan, Kresidenan Madiunm(Provinsi Jawa Timur), pada Tanggal 12 Jumadil Awal 1285 H bertepatan 31 Agustus 1868. Syeikh Mahfudz dilahirkan tahun 1285 H/1842 M, namun bila dihitung dengan cermat tahun 1285 H semasa dengan tahun 1868 H. Ayahnya KH. Abdullah adalah pengasuh pondok pesantren Tremas yang didirikan oleh kakeknya, KH. Abdul Manan (nama kecilnya R. Bagus Darso/ R. Bagus Sudarot ) tahun 1830, setelah menyelesaikan pendidikannya di pondok pesantren Gebang Tinatar Tegalsari Ponorogo asuhan KH. Khasan Besari, KH. Abdul Manan putra R. Demang Dipomenggolo yang di ambil menantu pamannya Demang Tremas R. Ngabei Honggowijoyo dan mereka keturunan kethok Jenggot punggawa kesultanan Surakarta yang ditugaskan membuka lahan (babat alas) Pacitan sehingga menjadi perkampungan yang semakin ramai.‎

Muhammad Mahfudz pertama kali mengaji kepada ayahhandanya dipesantren Tremas, sampai khatam beberapa kitab (fathul Muin, fathul Wahab, yarah Syarqowi, Minhajul Qowim, Syarah Ibnu Qosim al Ghazali) dan sebagian tafsir jalalain. Lantas Ia berguru kepada Syeikh Soleh As-Samarami (Kiyai Sholeh darat Semarang) untuk kitab-kitab tafsir Jalalain (2 kali Khatam), Syarah Al-Hikam (2 kali Kahatam), dan kitab-kitab ilmu falaq yakni syrah al al-Mardim dan wasilah ath-Thalab.‎

Setelah menganjak ramaja Muhammad Mahfudz yang cerdas ini bersama adiknya Dimyathi bin Abdullah dikirmkan oleh ayahandanya ke tanah suci Mekkah. Ia memperdalam ilmu-ilmu keislaman dengan mengaji kepada ulama-ulama disan baik ulama Timut Tengah maupun dari kalangan Al-Jawi (berasal dari dunia Melayu) diantara guru-gurunya adalah:
1)    Syeikh Ahmad al-Munsyawi (ahli Qira’at asal Ikrit), mengaji kitab Al-Qur’an Qiratul ’ashin fi riwayati khalaf bima tayasaraa min at-tajwid dan Syarah Al-Allamah ibnu Al-Qasih ala As-satibiyah.
2)    Syaeikh Amr bin baslat Asy-Syami (ahli Fiqih asal Syiria) mengaji kitab Syarah Syadzuru’.
3)    Syeikh Mushtofa bin Muhammad bin Sulaiman al-Afifi (ahli ilmu alat dan Usul Fiqih) Ia mengaji kitab Mahlli ’ala jam’ul jawami dan Mughni labib.
4)    Imam Al-Hasab Al-Wara’ Al- Nasib Sayid Husain Muhammad Al-Habsyi (ahli Hadist) untuk kitab Shoheh Bukhori dab Shoheh Muslim.
5)    Syeikh As’ad bin Muhammad Babsil Al-Hadrami (ahli Fiqih, Mufti Makkah) untuk Syarah Uqud Al Imam Asy-Syifa’an li al-Qodiyah
6)    Syeikh Muhammad As-Sarbini Ad-Dimyathi (ahli Fiqih dan Qira’at asal Mesir) untuk kitab Syarah Ibnu Al – Qosih’ala As Sahidiyah, Syarah Ad-Durar al – Mudhi’ah Tibyan Al-Nasyri fi Qira’ah al-asyri, Raudhoh Nadhir al-Muthawalli, Ithkaf Al-Basyari fi Qira’ah Al-Qur’an, Al-Iddah li Syatibiyah dan Tafsir Al- Baidhowi
7)    Syeikh Abu bakar bin Muhammad syatho’ Ad-Dimyathi (Syeikh Bakar Syatho’) sebagai guru Utamanya di Masjid Al-Haram. 

Ia mengaji kitab I’anah at-Thalibin karya gurunya tersebut dan kitab-kitab lain. 
Lebih dari itu ia mendapatkan Ijazah (legitimasi) dari Syeikh Bakar As-Syatho’ sebagai Musnid atau penyampai mata rantai atau sanad Hadist Bukhori matan ke 23 stelah gurunya sebagai matan ke 22.
Selain belajar kepda ulama tersebut, Syeikh Mahfudz Teremasi juga berguru kepada ulama lain di Makkah diantaranya Syeikh Ahmad bin Zaini Dahlan (Mufti Mekkah) dan Sayid Ahmad Az-Zawawi, sedangkan dari kalangan ulama Al- Jawi ia berguru kepada Syeikh Nawawi Al-Bantani dan Syeikh Wan Ahmad Al-Fathani, sahabat-sahabatnya di Mekkah yang terkenal antara lain tak terkecuali (Syeikh Muhammad Yusuf Al-kamali), Syeikh wan daud bin Musthofa Al-Fathani (asal fatani) dan Syeikh Abdullah fahim (Mufti  pulau pinang, Malaysia).‎

Syeikh Musthofa juga pernah belajar di madinah yakni kepada Syeikh Sayid Muhammad Amir bin Ahmad Ridwan al- Madani, dan dari ulama ini ia mendapat Ijazah Dalailul khoirot. Al-Burdah, Al Ahzab, Al- Auliyat Al-Aljami, al-Mutawalli dan kitab Al- Muwatho’ karangan Imam Malik bin Anas.
Ketika sedang asyiknya mendalami ilmu-ilmu keislamaan, Ayahandanya yang sudah Uzur, memanggil pulang Syeikh Mahfudz dan Syeikh Dimyathi. Ia menyuruh adiknya pulang kampung untuk meneruskan kepemimpinan di pesantren Tremas dan ia minta izin ayahandanya untuk melanjutkan tugas belajarnya di Mekkah.‎

Syeikh mahfudz At-termasi tambah dan berkembangnya sebagai ulama besar dan merupakan kebanggan mukmin al-Jawi sebagai Imam dan Guru di Masjidil al-haram mekkah yang muridnya dari beberapa Negara tidak terbatas dari Nusantara. Ulama ini terkenal alim alamah dalam berbagai disiplin ilmu, shingga Syeikh Yasin bin Isa Al Fadani Al-makki (1917-1991) memberinya gelar kehormatan Syeikh Mahfudz sabagai Al-Alamah, Al-Muahdist, Al-Musnid, Al-Faqih, Al-Ushuli, dan Al-Muqri (sangat alim, ahli ilmu hadist, ahli ilmu fiqih, ahli ilmu mata rantai sanad hadist, ahli ushul fiqih, dan ahli qira’ati). Gelar ini pantas di sandang oleh ulama Jawi asal Tremas Pacitan ini, terbukti pada karya-karya tulisannya beberapa jilid, kesemuanya berbahasa arab dan mata bahasanya yang sedemikian tinggi terutama untuk kitabnya Muhibbah Dzil Fadhal makky Dzawin Nadhar.‎

Syeikh Mahfudz sebagai mursid hadist Bukhori matan ke 23 dan secara berturut-turut mata rantai tersebut mulai Imam Al-Bukhori sampai kepadanya adalah sebagai berikut:
1.    Imam al Bukhori (Abu Abdullah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin Mughirah (194-256 H/810-870 M).
2.    Imam Al-Hafidz Al-Hujja’
3.    Imam Muhammad bin Yusuf bin Matar al-Farbasi.
4.    Imam Abdullah bin Ahmad.
5.    Syeikh Abdul Hasan Abdurahman bin Mudhofar Ad-Daud
6.    Imam Al-Hambali.
7.    Imam Al-Hasan bin Al Mubaraq Az-Zubaidi.
8.    Syeikh Ahmad bin Thalib Al-Hajar.
9.    Syeikh Ibrahim bin Muhammad
10.    Syeikh Ahmad bin Hajar Al-Asqolani
11.    Syeikh Islam Zakaria Al-Ashari Al-Hafidz
12.    Syeikh Muhammad bin Ahmad al Ghaisi
13.    Syeikh Salim bin Muhammad As-Sauhari
14.    Syeikh Muhammad bin Alauddin Al-Babili
15.    Syeikh Abdullah  bin Salam Al-Bashri
16.    Syeikh Salim bin Abdullah bin Salim al Bashri
17.    Syeikh Muhammad Ad-Dafri
18.    Syeikh isa bin Muhammad Al-Barawi
19.    Syeikh Muhammad bin Ali Asy-Sarwani
20.    Syeikh Usman bin Hasan Ad-Dimyathi
21.    Syeikh Ahmad bin Zaini
22.    Syeikh Abu Bakar bin Muhammad Syatho’ ad-Dimyathi
23.    Syeikh Mahfudz bin Abdullah At-Termasi. 

Syeikh Mahfudz memberikan ijazahnya kepada Syeikh Hasyim Asy’ari asal Jombang sebagai mata rantai ke 24  yang berhak menyampaikan hadis Bukhori yang memenuhi kelayakan.
Syeikh Mahfudz at-Termasi termasuk ulama penulis yang Produktif dan Kharismatik dan berkulitas tinggi dalam bidang Fiqih, Hadist, Nahwu/alat, dan disiplin ilmu keislamaan lainnya.
Karya-karya ilmiyahnya inilah yang membuat nama Syeikh Mahfudz dikenal dibeberapa belahan dunia Islam, terutama ulama yang pernah belajar di Saudi Arabia maupun Mesir, diantara karya Ilmiyah ulama berasal Tremas ini berjudul:
    Muhibbah Dzil fadlah Hasyiah Syarah Mukhtasar Bafadhal terdiri 4 Jilid besar (2339 halaman. Yang merupakan syarah (komentar) dari kitab terkenal Tahfah Al-Muhtaj karangan Syeikh ibnu Hajar al-Haitami (908-947 H/1503-1566 M), terkenal dengan kitab Muhibbah (tulis 1315-1319 H).
    Al-Sigoyah al-Mudhiyyah asani kutub al-ashhab al-syafi’iyah(1313 H) merupakan kitab fiqih dalam lingkup ulama-ulama Syafi’iyah.
    Nail al-Ma’mul bi hasyiat ghayat al-wushul fi ilmi al-ushul, merupakan kitab ushul fiqih terdiri 3 jilid .
    Hasyiah Tahmilah al-Minhaj al-Qawim ila al-faraidh; merupakan karya penyempurnaan ilmu faraid/hukum waris
    Minhaj Dzawi al-Nadhar bi Syarhi maudzamat al-Atsar (1329) setelah 300 halaman lebih berisi syarah terhadap kitab maudzumat al-atsar karyanya  syeikh abdurahman as-Suyyuthi.
    Al –Mishah al-Khairiyyah fi Arbain Hadisan min Ahadist khair al-Bariyyah kumpulan 40 hadist pilihan seperti arbain Nawawi
    Al-Khali’ah al-Fikriyah fi Syarhi al Mukah al-Kahiriyyah, berisi syarah terhadap karya tulisnya sendiri al-mauidah al-kahiriyyah yang berisi syarah hadist arbain berdasarkan syair dari syeikh al-Basthomi dari al-hafidz abu bakar al-Bunyamin.
    Tsulatsyiat al-Bukhori tentang hadist Imam Bukhori.
    Unyathu al-Tholabah bi Syarhi Nadhomi at-thoyyibah fi qira’at as-syariyah tentang Qira’at menurut 10 Imam.
    Al-fawaidh at-tamsyyiah fi asanid al-qira’at as-syariyyah.
    Al-Badr al-Munir fi qira’at al-Imam ibnu katsir
    Tanwir As-Shadr fi Qira’at al-Imam Abi Amir.
    Insyirah al-Fuad fi qira’at al-Imam Hamzah.
    Ta’mim al-manafi fi qira’at al-Imam Nafi’
    Is’af al-Mathali bi Syarhi badr al-Lami’ Nadhami.
     Jam’u al jawami’.
    Inayah al-Muftaqar fima yata’allaq bi Sayyidina al-Khidir
    Bughah al-adzbiya’ fi al bahtsin Karamat al-‘auliya.
    Al-Kahbir bi syarhi Miftah (Abi Dzar).
    Tahyiah al-Fikr alfiyyah (al sayir).
Dari beberapa karya karanya tersebut merupakan bahwa Syeikh mahfudz merupakan ulama besar dan sebagai salah seorang bintang dari ulama-ulama Al-Jawi (Melayu) di tanah suci Makkah. Karya-karyanya masih tetap dibaca kaum muslimin di Nusantara, karna mutunya dan menggunakan bahasa Arab sebagai bahasa utama umat islam.
Syeilh Mahfudz bin Abdullah at-Tarmasi wafat pada hari Sabtu menjelang maghrib tanggal 1 Rajab 1338 H/ bertepatan tanggal 20 Maret 1920 M dalam usia 52 tahun menurut tahun masehi, 53 tahun lebih menurut tahun Hijriyah. Jenazah di makamkan dipekuburan ma’la dekat dengan makam Siti Khadijah. 

Sepeninggalan Syeikh Mahfudz…. putranya yang belum dewas, Muhammad pulang kembali ke bentangan Demak (Indonesia) dan kelak Muhammad mendirikan pesantren Tahfidz Al-Qur’an di desa asal ibunya tersebut. Peninggalan Syeikh mahfudz untuk kaum muslimin, disamping kitab-kitab yang ditulisnya, juga murid-muridnya yang telah menjadi ulama pelita umat, diantaranya : KH. Hasyim Asy’ari, KH. Abdul wahab hasbullah, KH. Bisri Syamsuri, KH. Mas Mansyur, KH. Dimyathi dan KH. Ahmad Dahlan, Semarang (keduanya adik sendiri), KH.R. Asnawi, Syeikh Umar Hamdani (Makkah), Syeikh Sa’dullah Al-maimani (Mufti Bombay India), Syeikh Ahmad bin Abdullah (ahli Qira’at syiria), Syeikh Ismail al Kalantani (kalantan Malaysia), dan masih banyak lagi yang lainnya.‎

 

Sejarah Syaikh Hamzah Al-Fansuri


Kita tidak asing lagi denganSyekh Hamzal al-Fansuri. Beliau dikenal sebagai salah satu perlopor sastra melayu. Puisi-puisinya banyak diperbincangkan dan menjadi rujukan sastrawan-sastrawan setelahnya.

Syeikh Hamzah Fansuridiakui salah seorang pujangga Islam yang sangat populer di zamannya (Abad 16 dan 17), sehingga kini namanya menghiasi lembaran-lembaran sejarah kesusasteraan Melayu dan Indonesia. Namanya tercatat sebagai tokoh kaliber besar dalam perkembangan Islam di Nusantara dari abadnya hingga ke abad kini.

Syeikh Hamzah al-Fansuri, kiranya namanya di Nusantara di kalangan Ulama dan Sarjana penyelidik keislaman tak asing lagi. Hampir semua penulis sejarah Islam mencatat bahwa Syeikh Hamzah Fansuri dan muridnya syeikh Syamsuddin Sumatrani adalah termasuk tokoh sufi yang sefaham dengan al-Hallaj. Faham hulul, ittihad, mahabbah dan lain-lain.

Syeikh Hamzah Fansuri adalah seorang cendekiawan, ulama tasawuf, dan budayawan terkemuka yang diperkirakan hidup antara pertengahan abad ke-16 sampai awal abad ke-17. Nama gelar atau takhallus yang tercantum di belakang nama kecilnya memperlihatkan bahwa pendekar puisi dan ilmu suluk ini berasal dari Fansur, sebutan orang-orang Arab terhadap Barus, sekarang sebuah kota kecil di pantai barat Sumatra yang terletak antara kota Sibolga dan Singkel. Sampai abad ke-16 kota ini merupakan pelabuhan dagang penting yang dikunjungi para saudagar dan musafir dari negeri-negeri jauh.

Tempat lahir Hamzah Fansuri juga menimbulkan perselisihan faham. Pada umumnya para sarjana berpendapat bahwa Hamzah Fansuri dilahirkan di Barus, sebuah bandar yang terletak di pandat Barat Sumatera Utara diantara Singkel dan Sibolga. Ia berasal dari keluarga Fansuri, yang telah turun temurun berdiam di Fansur. Fansuri adalah nama yang diberikan pelaut zaman dahulu kala. Tetapi menurut Syed Muhammad Naguib al-Attas, Hamzah Fansuri dilahirkan di Syahri Nawi, yaitu Ayuthia, Ibukota Siam yang didirikan pada tahun 1350. Syed Muhammad al-Attas sampai kepada kesimpulan berdasarkan dua lirik syair Hamzah Fansuri yang berbunyi:
“Hamzah nin asalnya Fansuri
Mendapat wujud di tanah Syahr Nawi”
Terdapat beberapa kata kunci yang dapat memberikan petunjuk tempat kelahirannya, yaitu “wujud” dan “Syahr Nawi”. Al-Attas merujuk kepada “wujud” sebagai keberadaan (laghir) Hamzah Fansuri. Ide ini membawanya kepada keyakinan bahwa meskipun orang tuanya berasal dari Barus, Hamzah lahir di Syahr Nawi, sebuah nama tua dari kota Ayuthia.
Professor Dreweas tidak setuju dengan tafsiran pada dua lirik di atas. Menurut Drewes, mendapat wujud berarti mendapat ajaran tentang wujudiyah. Kota Syahri Nawi pada paruh kedua abad ke-16 adalah kota dagang yang banyak dikunjungi oleh pedagang Islam dari India, Paris, Turki dan Arab. Sedah tentu banyak ulama juga tinggal di bandar ini, dan di bandar inilah Hamzah berkenalan dengan ajaran wujudiyah yang kemudian dikembangkannya di Aceh.

Ia banyak melakukan perjalanan, antara lain ke Kudus, Banten, Johor, Siam, India, Persia, Irak, Mekkeh dan Madinah. Seperti sufi lainnya, pengembaraannya bertujuan untuk mencari ma’rifat Allah SWT. Setelah Hamzah fansuri mendapat pendidikan di Singkel dan beberapa tempat lainnya di Aceh, beliau meneruskan perjalanannya ke India, Persia dan Arab. Karena itu beliau fasih berbahasa Melayu, Urdu, Parsi dan Arab. Dipelajari ilmu fiqh, tasawuf, tauhid, akhlaq, mantik, sejarah, bahasa Arab dan sastranya. Ilmu-ilmu itu pula beliau ajarkan dengan tekun kepada murid-muridnya di Banda Aceh, Geugang, Barus dan Singkel. Beliau membangun dan memimpin pesantren di Oboh Simpangkanan Singkel sebagaimana abangnya Syekh Ali Fansuri membangun dan memimpin pesantren di Simpangkiri Singkel, pesantren Simpangkanan merupakan lanjutan dari Simpangkiri.
Bersama-sama dengan Syekh Syamsuddin as-Sumatrani, Hamzah Fansuri adalah tokoh Wujudiyah (penganut paham Wahdatul Wujud). Ia dianggap sebagai guru Syamsuddin as-Sumatrani. Bersama dengan muridnya ini, Hamzah Fansuri dituduh menyebarkan ajaran-ajaran sesat oleh Nuruddin ar-Raniry, ulama yang paling berpengaruh di istana Sultan Iskandar Muda. Ar-Raniry menyatakan didalam khutbah-khutbahnya bahwa ajaran tasawuf Hamzah Fansuri dan Syamsuddin as-Sumatrani termasuk ajaran kaum zindiq dan panteis. Ribuan buku karangan penulis Wujudiyah ditumpuk dihadapan Masjid Raya Kutaraja untuk dibakar sampai musnah.

Hamzah Fansuri adalah seorang ahli tasawuf, zahid dan mistik yang mencari penyatuan dnegan al-khaliq dan menemunya dijalan kasih Allah atau Isyk. Bertujuan mengenal inti sari ajaran tasawuf, ia lama mengembara; misalnya ke Baghdad, kota yang menjadi pusat tarekat Qadariyah, kemudian juga ke kota suci Mekkah dan Madinah, serta Kudus di Jawa. Pernyataan ini tersirat dalam syair berikut:
“asalnya manikan tiada kan layu
Dengan ilmu dunia dimanakan payu"

Syekh Hamzah Fansuri menggunakan kata payu (bahasa Jawa) tampak sekali bahwa Syekh menguasai bahasa Jawa. Syair ini menepis keragu-raguan bahwa kunjungan Syekh ke Kudus bukan sekedar bermakna simbolis. Drewes membantah pendapat diatas yang menyatakan bahwa Hamzah Fansuri pernah mengembara dari Barus ke Kudus. Menurutnya, Hamzah Fansuri tidak pernah mengatakan bahwa dia pernah menempuh perjalanan dari Barus ke Kudus.

Agaknya Hamzah Fansuri mencapai penyatuannya dengan al-khaliq yangsudah lama dicita-citakannya sepulang dari Kudus, yaitu selama ia tinggal di Syahri Nawi, sebuah kampung kecil dan terpenting, kampung ini terletak ditengah hutan. Menurut Hamzah Fansuri disinilah ia mengalami keadaan fana, menemui wujud dirinya yang sejati dan seakan-akan dilahirkan kembali. Karena itu, didalam puisi-puisinya terkadang menyebut dirinya sebagai anak Fansur-Barus dan terkadang anak Syahr-Nawi.

Pada zaman Sultan Alauddin Riayat Syah dan Sultan Iskandar Muda, yaitu ketika Hamzah Fansuri menulis karya-karyanya, tasawuf sedang menjadi semacam kegemaran atau bahkan gaya hidup masyarakat. Hamzah Fanzuri yang berpendidikan tinggi dan telah mendapat pencerahan jiwa, disana-sini melihat akibat-akibat tersebarnya gaya hidup yang agak dangkal itu. Dalam salah satu syairnya, dia mengatakan bahwa Tuhan lebih dekat pada hamba-Nya dari pada Hablil Warid atau urat nadi leher, menyindir anak-anak muda dan orang-orang tua yang tiba-tiba menjadi sufi dan seia sekata maju kehutan belantara mencari Tuhan. Hamzah Fansuri merasa gusar bukan saja karena setiap orang mengaku dirinya berhak memasuki rahasia tasawuf yang sejati. Ia terlebih-lebih mengecam orang-orang yang masih menempuh ajaran yoga dalam usaha mereka untuk mengenal al-Haq dan orang-orang kolot yang menduduki jabatan berpengaruh di istana Sultan dan memandang sufi sebagai murtad.

Hamzah Fansuri telah berhasil mngukir sejarah pribadinya dalam khazanah pembaharuan keislaman di dunia Islam. Karya-karyanya telah berhasil membuka dan memperluas wawasan berpikir umat Islam terhadap berbagai disiplin ilmu yang dikuasainya. Hamzah Fansuri telah berusaha mengungkapkan semua ajaran melalui karya sastra dan mistis Islami dengan kedalaman isi dan pesan yang gagal sangat mengagumkan. Kepeloporan Hamzah Fansuri dibidang sastra ini diakui oleh pakar Belandan Valentjin yang pernah datang ke Aceh, dimana ia menyatakan bahwa Hamzah Fansuri telah berhasil dengan sukses menggambarkan kebesaran Aceh masa lampau melalui syair-syairnya.

Hamzah Fansuri dipengaruhi oleh pemikiran mistiko falsafi yang demikian tinggi, maka ajarannya tidak hanya berarti pada maqam ma’rifah sebagaimana kaum mistiko-sunni, akan tetapi melampauinya ke tingkat paling puncak yaitu merasakan kebersatuan diri dengan Tuhan yang disebut itthad.
Aspek lain dari Hamzah Fansuri ialah kepedulian sosialnya, khususnya yang berkaitan dengan perbedaan strata sosial antara para budak dan tuan mereka. 

Sayang sekali bukti-bukti tertulis yang dinyatakan kapan sebenarnya Syeikh Hamzah Fansuri lahir dan wafat, ada pendapat yang menemukan makam beliau di Ujong Pancu Aceh, ada juga di subulussalam aceh, dan ada juga pendapat, makam Hamzah ada di Babul Ma'la, yakni komplek mpemakaman "elit" di Makkah. ia dibaringkan dalam satu komplek besama dengan Khatijah, Aishay, Fatimah dan keluarga nabi dan sahabatnya yang lain. ini disebabkan kebesaran dan pengaruhnya di Arab pada masa itu (abat XV).

Dari syair dan dari namanya sendiri sudah sekian lama berdominasi di Fansur, dekat Singkel, sehingga mereka dan turunan mereka pantas digelari Fansur. Konon saudara Hamzah Fansuri bernama Ali Fansuri, ayah dari Abdur Rauf Singkel Fansuri. Pada ahli cenderung memahami dari syair bahwa Hamzah Fansuri lahir di tanah Syahrmawi, tapi tidak ada kesepakatan mereka dalam mengidentifikasikan tanah Syahrmawi itu. Ada petunjuk tanah Aceh sendiri ada yang menunjuk tanah Siam, dan bahkan ada sarjana yang menunjuk negeri Persia sebagai tanah yang di Aceh oleh nama Syamawi.

Kiranya namanya di Nusantara di kalangan ulama dan sarjana penyelidik keislaman tak asing lagi. Hampir semua penulis sejarah Islam mencatat bahwa Syeikh Hamzah Fansuri dan muridnya Syeikh Syamsuddin Sumatrani adalah dengan al-Hallaj, faham hulul, ittihad, mahabbah dan lain-lain adalah seirama. Syeikh Hamzah Fansuri diakui seorang pujangga Islam yang sangat populer di zamannya, sehingga kini namanya menghiasi lembaran-lembaran sejarah kesusasteraan Melayu dan Indonesia. Namanya tercatat sebagai tokoh kaliber besar dalam perkembangan Islam di nusantara dari abadnya hingga ke abad kini. Dalam buku-buku sejarah mengenai Aceh namanya selalu diuraikan dengan panjang.

Kehadiran Syekh Hamzah Fansuri tidak hanya sebagai seorang ulama tasawuf, cendekiawan dan sastrawan terkemuka tetapi juga telah berpartisipasi sebagai pembaharu didalam bidang kerohanian, keilmuan, filsafat dan bahasa. Kritik-kritik Syekh Hamzah Fansuri terhadap perilaku politik para penguasa dan perilaku moral orang kaya yang sangat tajam, menunjukkan bahwa Syekh Hamzah Fansuri adalah seorang intelektual yang berani dimasanya. Kritik-kritik Syekh juga ditujukan kepada ahli-ahli tarekat yang mengamalkan praktekl yoga yang sesat dan jauh dari amalan syari’at.

Karya-karyanya

Hamzah Fansuri menghasilkan karya tulis yang banyak, akan tetapi karya-karya tulisnya itu bersama karya-karya tulis Syamsuddin Sumatrani, dibinasakan (dibakar) berdasarkan perintah Sultan Iskandar Sani atau anjuran Huruddin al-Riniri, mufti dan penasehat agama di Istana Sultan tersebut
Di antara syair-syair Syeikh Hamzah Fansuri terkumpul dalam buku-buku yang terkenal, dalam kesusasteraan Melayu / Indonesia tercatat buku-buku syairnya antara lain :

Syair Burung Pingai
Syair Dagang
Syair Pungguk
Syair Sidang Faqir
Syair Ikan Tongkol
Syair Perahu

Karangan-karangan Syeikh Hamzah Fansuri yang berbentuk kitab ilmiah antara lain : 

Asfarul ‘arifin fi bayaani ‘ilmis suluki wa tauhid
Syarbul ‘asyiqiin
Al-Muhtadi
Ruba’i Hamzah al-Fansuri

Karya-karya Syeikh Hamzah Fansuri baik yang berbentuk syair maupun berbentuk prosa banyak menarik perhatian para sarjana baik sarjana barat atau orientalis barat maupun sarjana setempat, yang banyak membicarakan tentang Syeikh Hamzah Fansuri antara lain Prof. Syed Muhammad Naquib dengan beberapa judul bukunya mengenai tokoh R.O Winstedt yang diakuinya bahwa Syeikh Hamzah Fansuri mempunyai semangat yang luar biasa yang tidak terdapat pada orang lainnya. Dua orang yaitu J. Doorenbos dan Syed Muhammad Naquib al-Attas mempelajari biografi Syeikh Hamzah Fansuri secara mendalam untuk mendapatkan Ph.D masing-masing di Universitas Leiden dan Universitas London. Karya Prof. Muhammad Naquib tentang Syeikh Hamzah Fansuri antaranya :

The Misticum of Hamzah Fansuri (disertat 1966), Universitas of Malaya Press 1970
Raniri and The Wujudiyah, IMBRAS, 1966
New Light on Life of Hamzah Fansuri, IMBRAS, 1967
The Origin of Malay Shair, Dewan Bahasa dan Pustaka, 1968

Puisi-puisi penyair sufi biasanya tidak lengkap tanpa disertai tanda-tanda kesufian seperti, faqir, asyiq dan lain sebagainya. Tanda serupa ini kita jumpai di dalam sajak-sajak Hamzah Fansuri. Di antara tanda kesufian yang banyak ditemukan di dalam syair-syair Hamzah Fansuri ialah anak dagang, anak jamu, anak datu, anak ratu, orang uryani, ungkas quddusi, dan kadang-kadang digunakan dengan nama pribadinya seperti Hamzah Miskin, Hamzah Gharib dan lain-lain.

Paradoks

Salah satu ciri penting yang melekat pada karya-karya penyair mistik atau sufistik sejak dahulu ialah ungkapan-ungkapan yang mengandung paradoks, dalam tradisi sufi bentuk-bentuk ungkapan paradoks muncul pertama kali dalam ucapan-ucapan teofani (yathiyat) bayazid, al-Hallaj, al-Miffaru, Ibn ‘Arabi dan lain-lain. Di dalam syair-syairnya Hamzah Fansuri sering menampilkan ucapan-ucapan syathyat bayazid dan al-Hallaj, dua wira sufi yang diteladaninya. Ucapan-ucapan terkenal kedua sufi itu ialah “subhani!” (terpujilah daku) dan “Ana al-Haqq” (aku ialah kebenaran kreatif). Selain berfungsi memadatkan pengucapan puitik, kutipan ucapan syathiyat ini memberikan suasana ekstase atau kegairahan mistik dan juga untuk mengukuhkan tafsir sufistik penyair terhadap ayat-ayat al-Qur’an dan hadits qudsi yang terdapat di dalam bait-bait sebelumnya, misalnya di dalam ikatan-ikatan yang menggambarkan pengalaman fana penyair.

Sabda rusul Allah Nabi kamu
Lama’a Allah sekali waqtu
Hamba dan Tuhan menjadi satu
Inilah ‘arif bernama tahu
Kata Bayazid terlalu ali
Subhani maa’zamasha’ni
Inilah ilmu sempurna fani
Jadi senama dengan hayy al Baqi
Kata mansur penghulu asyiq
aitu juga empunyai nathiq
Kata ini siapa la’iq
Mengatakan diri akulah khaliq
Dengarkan dirimu hai orang yang kamil
Jangan menuntut ilmu yang bathil
Tiada bermanfaat kata yang jahil
Ana’al haqq mansur itulah washil
Hamzah Fansuri terlalu karam
Ke dalam laut yang maha dalam
Berhenti angin ombaknya padam
Menjadi sultan pada kedua laman

Syeikh Hamzah Fansuri Sebagai Pembaharu

Syeikh Hamzah Fansuri bukan hanya seorang ulama tasawuf dan sastrawan terkemuka, tetapi juga seorang perintis dan pelopor bagi perkembangan kebudayaan Islam, sumbangannya sangat besar. Di bidang keilmuan Syeikh telah mempelajari penulisan risalah tasawuf atau keagamaan yang demikian sistematis dan bersifat ilmiah. Sebelum karya-karya Syeikh muncul, masyarakat muslim Melayu mempelajari masalah-masalah agama, tasawuf dan sastra melalui kitab-kitab yang ditulis di dalam bahasa Arab atau Persia. Di bidang sastra Syeikh mempelopori pula penulisan puisi-puisi filosofis dan mistis bercorak Islam, kedalaman kandungan puisi-puisinya sukar ditandingi oleh penyair lain yang sezaman ataupun sesudahnya. Penulis-penulis Melayu abad ke-17 dan 18 kebanyakan berada di bawah bayang-bayang kegeniusan dan kepiawaian Syeikh Hamzah Fansuri.

Di samping itu Syeikh Hamzah Fansuri telah berhasil meletakkan dasar-dasar puitika dan estetika melayu yang mantap dan kukuh. Pengaruh estetika dan puitika yang diasaskan oleh Syeikh Hamzah Fansuri di dalam kesusasteraan Indonesia dan Melayu masih kelihatan sampai abad ke-20. Khususnya di dalam karya penyair pujangga baru seperti Sanusi Pane, dan Amir Hamzah, sastrawan-sastrawan Indonesia angkatan 70-an danarto dan Sutardi Calzoum Buchiri berada di dalam satu jalur estetik dengan Syeikh Hamzah Fansuri.

Di bidang kebahasaan pula sumbangan Syeikh Hamzah Fansuri sukar untuk dapat diingkari apabila kita mau berjujur. Pertama, sebagai penulis pertama kitab keilmuan di dalam bahasa Melayu, Syeikh Hamzah Fansuri telah berhasil mengangkat naik martabat bahasa Melayu dari sekedar lingua Franca menjadi suatu bahasa intelektual dan ekspresi keilmuan yang canggih dan modern. Dengan demikian kedudukan bahasa Melayu di bidang penyebaran ilmu dan persuratan menjadi sangat penting dan mengungguli bahasa-bahasa Nusantara yang lain, termasuk bahasa Jawa yang sebelumnya telah jauh lebih berkembang. Kedua, jika kita membaca syair-syair dan risalah-risalah tasawuf Syeikh Hamzah Fansuri, akan tampak betapa besarnya jasa Syeikh Hamzah Fansuri dalam proses Islamisasi bahasa Melayu dan Islamisasi bahasa adalah sama dengan Islamisasi pemikiran dan kebudayaan, di dalam 32 ikat-ikatan syairnya saja terdapat kurang lebih 700 kata ambilan dari bahasa Arab yang bukan saja memperkaya perbendaharaan kita bahasa Melayu, tetapi dengan demikian juga mengintegrasikan konsep-konsep Islam di dalam berbagai bidang kehidupan ke dalam sistem bahasa dan budaya melayu.

Di bidang filsafat, ilmu tafsir dan telaah sastra Syeikh Hamzah Fansuri telah pula mempelopori penerapan metode takwil atau hermeneutika keruhanian, kepiawaian Syeikh Hamzah Fansuri di bidang hermeneutika terlihat di dalam Asrar al-‘arifin (rahasia ahli makrifat), sebuah risalah tasawuf klasik paling berbobot yang pernah dihasilkan oleh ahli tasawuf nusantara, disitu Syeikh Hamzah Fansuri memberi tafsir dan takwil atas puisinya sendiri, dengan analisis yang tajam dan dengan landasan pengetahuan yang luas mencakup metafisika, teologi, logika, epistemologi dan estetika. Asrar bukan saja merupakan salah satu risalah tasawuf paling orisinal yang pernah ditulis di dalam bahasa Melayu, tetapi juga merupakan kitab keagamaan klasik yang paling jernih dan cemerlang bahasanya dengan memberi takwil terhadap syair-syairnya sendiri Syeikh Hamzah Fansuri berhasil menyusun sebuah risalah tasawuf yang dalam isinya dan luas cakrawala permasalahannya

Ajaran Wujudiyah

Peranan penting Syeikh Hamzah Fansuri dalam sejarah pemikiran dunia Melayu Nusantara bukan saja karena gagasan tasawufnya, tetapi puisinya yang mencerminkan pergulatan penyair menghadapi realitas zaman dan pengembaraan spiritualnya. Salah satu karya penting dari Syeikh Hamzah Fansuri adalah Zinat al-Wahidin yang ditulis pada akhir abad ke-16 ketika perdebatan sengit antara faham wahdatul wujud sedang berlangsung dengan tegang di Sumatera. Teks ini diyakini oleh para peneliti sebagai kitab keilmuan pertama yang ditulis dalam bahasa Melayu. Syeikh Hamzah Fansuri juga dikenal sebagai seorang pelopor dan pembaharu melalui karya-karya Rubba al-Muhakkikina, Syair Perahu dan Syair Dagang. Kritiknya yang tajam terhadap perilaku politik dan moral raja-raja, para bangsawan dan orang-orang kaya menempatkannya sebagai seorang intelektual yang berani pada zamannya

Sebagai seorang tasawuf Syeikh Hamzah Fansuri pernah memperlihatkan dalam karya-karyanya bahwa Syeikh mempunyai hubungan dengan tasawuf yang berkembang di India pada abad ke-16 dan 17. Syeikh Hamzah Fansuri langsung mengaitkan dirinya dengan ajaran para sufi Arab dan Persia sebelum abad ke-16. Bayazid dan al-Hallaj merupakan tokoh idola Syeikh Hamzah Fansuri di dalam cinta (‘isyq) dan ma’rifat, dipihak lain Syeikh sering mengutip pernyataan dan syair-syair Ibnu ‘Arabi serta Iraqi untuk menopang pemikiran kesufiannya. Hubungan Syekh Hamzah Fansuri dengan para penulis jarang sekali memperoleh perhatian para sarjana tasawuf di Indonesia. Padahal selain Ibnu ‘Arabi pemikir sufi yang banyak memberi warna pada pemikiran wujudiyah. Syeikh ialah Fakhruddin Iraqi. Seringnya Syeikh menyebut dan mengutip lama’at lama’at karya Iraqi, memperlihatkan adanya perhatian istimewa antara pandangannya dengan pandangan Iraqi

Yang selalu disangga oleh orang tentang ajaran Hamzah Fansuri ialah karena faham “wahdatul wujud”, “hulul”, “ittihad” karenanya terlalu mudah orang-orang mengecapnya sebagai seorang zindiq, sesat, kafir, dan sebagainya. Ada orang yang menyangka bahwa beliau adalah pengikut faham syi’ah, ada juga yang mempercayai bahwa ia adalah bermadzab syafi’i di bidang fiqih, dalam pegangan tasawuf, beliau pengikut thariqat Qadiriyah yang dibangsakan kepada Syeikh Abdul Qodir Jailani

Walaupun pemikiran wujudiyah telah berakar lama di dalam pemikiran para sufi sebelum abad ke13 seperti Hallaj, Imam al-Ghazali dan Ibn ‘Arabi, namun pemakaian istilah wahdatul wujud sebagaimana kita kenal sekarang ini bukan berasal dari Ibn ‘Arabi, istilah tersebut mula-mula dikemukakan oleh Qunawi setelah melakukan tafsir yang mendalam atas karya-karya Ibn ‘Arabi. Istilah Wahdatul Wujud (dari mana istilah wahdatul wujud berasal) dikemukakan untuk menyatakan bahwa keesaan Tuhan (tauhid) tidak bertentangan dengan gagasan tentang penampakan pengetahuannya yang berbagai di alam fenomena (alam al-khalq). Tuhan sebagai dzat mutlak satu-satunya di dalam keesaannya memang tanpa sekutu dan bandingan, dan karenanya Tuhan adalah transenden (tanzih). Tetapi karena dia menampakkan wajah-Nya serta ayat-ayat-Nya di seluruh alam semesta dan di dalam diri manusia, maka Dia memiliki kehadiran spiritual di alam kejadian. Kalau tidak demikian maka dia bukan yang zakir dan yang batin, sebagaimana al-Qur’an mengatakan, dan kehampirannya kepada manusia tidak akan lebih dekat dari urat leher manusia sendiri. Karena manifestasi pengetahuannya berbagai-bagai dan memiliki penampakan zakir dan batin, maka di samping transenden dia juga immanen (tashbih). Dasar-dasar gagasan wujudiyah semacam inilah yang dikembangkan Iraqi.

Dikatakan bahwa Rahman merupakan perhimpunan sekalian ibarat, artinya hakikat dari sekalian ma’lumat (yang diketahui) yakni segala ciptaan-Nya. Tanpa rahman-Nya tak mungkin segala sesuatu itu memperoleh kewujudan, dan itulah sebabnya dikatakan bahwa wujud rahman-Nya merupakan hakikat segala barang ciptaan. Menurut Ibn ‘Arabi, sebelum bermulanya penciptaan, di dalam kesendiriannya Tuhan merenung dan melihat (syuhud) ke dalam dirinya dan tampaklah pengetahuannya yang tak terhingga dan masih merupakan perbendaharaan tersembunyi (kanz makhfi), di dorong oleh cintanya terbitlah kehendaknya untuk dikenal, maka dia menciptakan dan dengan demikian dia dikenal. Ciptaan-Nya adalah pemakluman (ma’lumat) dari pengetahuannya yang melalui mereka Dia dikenal.

Zinat al-Wahidin

Kitab ini agaknya merupakan ringkasan ajaran wahdatul wujud yang telah diasakan oleh Ibn ‘Arabi, Sadruddin Qunawi, Fakhrudin Iraqi dan Abdul Karim al-Jilli. Di dalamnya diuraikan pula cara-cara mencapai makrifat menurut disiplin keruhanian tarekat Qadariyah. Ini tidak sukar dibuktikan karena di dalam syairnya Syeikh Hamzah Fansuri menyatakan bahwa telah dibaitkan di dalam tarekat tersebut di Shahr Nawi dan sekembalinya dari Makkah, Yerussalem, Baghdad, dan Gujarat, Syeikh bertambah masyhur sebagai ahli tasawuf dan guru keruhanian. Kitab ini disusun di dalam tujuh bab.

Bab V ini merupakan bab penting, sebab di dalamnya Hamzah Fansuri menguraikan prinsip-prinsip antologi wujudiyah, yaitu mengenai tajalli zat Tuhan. Hamzah Fansuri menerjemahkan tajalli sebagai ‘kenyataan’ dan penunjukkan, maksudnya penampakan pengetahuan Tuhan melalui penciptaan alam semesta dan isinya. Penciptaan secara menurun tersusun dari lima martabat, yaitu dari atas ke bawah, dari yang tertinggi ke yang terendah sesuai peringkat keruhanian dan luas sempit sifatnya, dari yang umum kepada yang khusus. Zat Tuhan disebut lata’ayyun, yakni tiada nyata. Di sebut lata’ayyun karena akal pikiran, perkataan, pengetahuan dan makrifat manusia tidak akan sampai kepadanya. Pandangan ini didasarkan pada hadits Nabi “tafakkaru fi khalq-i’l-laah-i wa laa tafakkaruu fii dzaat-i’l-laah” (pikirkan apa saja yang diciptakan Tuhan tetapi jangan pikirkan tentang zatnya.

Walaupun zat tuhan itu lata’ayyun namun dia ingin dikenal, maka dia mencipta alam semesta dengan maksud agar dirinya dikenal “kehendak supaya dikenal” inilah yang merupakan permulaan tajalli Ilahi. Sesudah tajalli dilakukan maka dia dinamakan ta’ayyun yang berarti “nyata”. Keadaan ta’ayyun inilah yang dapat dicapai oleh pikiran, pengetahuan dan makrifat.

Ta’ayyun zat Tuhan terbagi ke dalam empat martabat :

Ta’ayyun awwal, kenyataan Tuhan dalam peringkat pertama yang terdiri dari ilm (pengetahuan), wujud (ada), syuhud (melihat / menyaksikan) dan nur (cahaya). Dengan adanya pengetahuan maka dengan sendirinya Tuhan itu Alim (mengetahui atau maha tahu) dan ma’lum (yang diketahui). Karena dia itu wujud maka dengan sendirinya dia ialah yang mengada, yang mengadakan atau yang ada, karena cahaya maka dengan sendirinya dia adalah yang menerangkan (dengan cahayanya) dan yang diterangkan (oleh cahayanya).

Ta’ayyun tsani (dikenal juga dengan ta’ayyun ma’lum), kenyataan Tuhan dalam peringkat kedua, yakni kenyataan menjadi yang dikenal atau diketahui. Pengetahuan atau ilmu Tuhan menyatakan diri dalam bentuk yang dikenal atau yang diketahui, pengetahuan yang dikenal disebut al-ayan al-tsabitah, yakni kenyataan segala sesuatu. Al-A’yan al-tsabitah juga disebut Suwar al-Ilmiyah, yakni bentuk yang dikenal, atau al-haqiqah al-asyya, yakni hakikat segala sesuatu di alam semesta dan ruh idlafi, yakni ruh yang terpaut.

Ta’ayyun tsalits, kenyataan Tuhan dalam peringkat ketiga ialah ruh manusia dan makhluk-makhluk.

Ta’ayyun rabi’ dan khamis, kenyataan Tuhan dalam peringkat keempat dan kelima adalah penciptaan alam semesta, makhluk-makhluk, termasuk manusia, penciptaan ini tiada berkesudahan dan tiada berhingga, ila mala nihayat-a lah-u.

Hamzah Fansuri menerjemahkan perkataan wajh sebagai zat, yaitu at yang telah ber-ta’ayyun. Adapun Tuhan itu mutlak, karena itu Ibn Arabi menyebut dia sebagai wajib al-wujud, yaitu wujud yang Qa’im sendirinya, sedangkan alam semesta disebut sebagai mumkin al-wujud, wujud yang mungkin atau nisbi karena adanya tergantung kepada wujud mutlak yaitu wajib al-wujud. Hamzah Fansuri memang mengikuti Ibn ‘Arabi, yang mengatakan bahwa wujud mutlak sebagai sebab hakiki dari segala kejadian merupakan wujud yang keberadaannya mutlak diperlukan, wajib al-wujud li dzatih.

Menurut Hamzah Fansuri alam semesta dan isinya berasal dari Allah, bukan dari ‘tiada’ pulang kepada ‘tiada’, tapi dari ada pulang kepada ada. Dengan ‘ada’ yang dimaksudkan ialah ‘pengetahuan’ atau ilmu Tuhan. Dia mengutip ayat al-Qur’an untuk menopang pendapatnya “innamaa amruhuu idzaa araada syai’an an yaquululahnu kunfa-yakuun” (sesungguhnya tatkala Dia berkehendak kepada sesuatu maka dia pun berkata, “jadilah kau!” maka segala sesuatu itu pun menjadi [tercipta].‎

Dengan menganalisis secara cermat istilah dan konsep kunci semacam itu, serta istilah dan konsep dalam bahasa Melayu dan melakukan perbandingan dengan istilah-istilah yang sama dengan bahasa Arab, Yunani, Persia, dan Sansekerta dalam karya-karya Syeikh Hamzah Fansuri dan tokoh-tokoh lain yang serupa, dan periodesasi proses Islamisasi dan intensifikasi pandangan dunia Islam di kalangan masyarakat Melayu Indonesia melalui metafisika tasawuf, guna membumikan solusinya tersebut. Al-Attas menyediakan landasan teoritis dan langkah praktis. Pada daratan teoritis, ia dengan brilliant merekontruksi konsep metafisika, epistemologi, dan filsafat pendidikan Islam dengan merujuk pada tradisi pemikiran Islam dalam bidang kalam, filsafat, dan tasawuf.

Karya-karya Syeikh Hamzah Fansuri merupakan awal kelahiran literatur Islam dalam bahasa Melayu, selain itu ia tercatat sebagai orang pertama kali memperkenalkan puisi dalam bentuk syair ke dalam sastra Melayu.

Beliau juga ulama pertama yang membawa Aceh atau Asia Tenggara ke faham Wahdatul Wujud (kesatuan wujud) yang berasal dari Ibn Arabi. Hamzah Fansuri memang sering menunjukkan tasybih (kemiripan) antara Tuhan dengan alam ciptaan-Nya, tetapi ia tidak lupa menunjukkan Tanzih perbedaan esensial, antara keduanya. Oleh karena itu tidaklah tepat pagam wahdatul wujud Syeikh Hamzah Fansuri ini divonis sesat atau divonis sebagai paham pantheisme, seperti yang dipahami sebagian ahli atau ulama.

Syeikh Hamzah Fansuri adalah seorang ahli bahasa. Bahasa yang dikuasainya adalah bahasa Arab, bahasa Farsi, dan bahasa Melayu. Dan bahwa beliau menulis kitab-kitab tasawufnya memakai kitab-kitab bahasa Arab dan Farsi sebagai buku telaahnya. Keahliannya di bidang bahasa adalah hasil dari pengembaraannya yang jauh, dia pernah sampai ke berbagai negeri di Timur tengah utamanya Makkah dan Madinah. Negeri-negeri Nusantara yang pernah di jalaninya seperti Pahang, Kedah, Banten dan Jawa. Pengembaraannya adalah pengembaraan jasad dan rohani.

Hazmah Fansuri Sebagai Pembaru
Syekh Hamzah Fansuri bukan hanya sebagai seorang ulama tasawuf dan sastrawan terkemuka, tapi juga perintis dan pelopor. Sumbangannya sangat besar bagi perkembangan kebudayaan Islam, khususnya dibidang kerohanian, keilmuan, filsafat, bahasa dan sastra. Di dalam hampir semua bidang ini, Syekh juga seorang pelopor dan pembaru. Kritik-kritiknya yang tajam terhadap perilaku politik dan moral raja-raja, para bangsawan dan orang-orang kaya yang menemparkannya sebagai seorang intelektual yang berani pada zamannya. Karena itu, tidak mengherankan apabila kalangan istana Aceh tidak begitu menyukai kegiatan Syekh dan para pengikutnya. Salah satu akibatnya ialah, baik Hikayat Aceh maupun Bustan as-Salatin dua sumber penting sejarah Aceh yang ditulis atas perintah Sultan Aceh, tidak sepatah katapun menyebutnya namanya, baik sebagai tokoh spiritual maupuan sastra.
Dibidang keilmuan Syekh telah mempelopori penulisan risalah tasawuf atau keagamaan yang demikian sistematis dan bersifat ilmiah. Sebelum karya Syekh muncul, masyarakat muslim Melayu mempelajari masalah-masalah agama, tasawuf dan sastra melalui kitab-kitab yang ditulis didalam bahasa Arab atau Persia. Dibidang sastra, Syekh mempelopori pula penulisan puisi-puisi filosofi dan mistik bercorak Islam. Kedalaman kandungan puisi-puisinya sukar ditandingi oleh penyair lain yang sezaman ataupun sesudahnya. Penulis-penulis Melayu abad ke-17 dan ke-18 kebanyakan berada dibawah bayang-bayang kegeniusan dan kepiawaian Syekh Hamzah Fansuri.

‎Dibidang filsafat, ilmu tafsir dan telaah sastra, Hamzah Fansuri telah pula mempelopori penerapan metode takwil atau hermeneutika kerohanian. Kepiawaian Syekh dibidang hermeneutika terlihat didalam Asrar al’Arifin, sebuah risalah tasawuf penting berbobot yang pernah dihasilkan oleh ahli tasawuf nusantara. Disitu Syekh memberi tafsir dan takwil atau puisinya sendiri, dengan nalisis yang tajam dengan landasan pengetahuan yang luas mencakup metafisika, teologi, logika, epistimilogi dan estetika.‎

 

Doa Nabi Sulaiman Menundukkan Hewan dan Jin

  Nabiyullah Sulaiman  'alaihissalam  (AS) merupakan Nabi dan Rasul pilihan Allah Ta'ala yang dikaruniai kerajaan yang tidak dimilik...