Senin, 23 November 2020

Sejarah Kerajaan Champa


Para ahli sejarah berbeda pendapat tentang penentuan tahun masuknya Islam ke Vietnam, namun mereka sepakat bahwa Islam telah sampai ke tempat ini pada adab ke 10 dan 11 Masehi melalui jamaah dari India, Persia dan pedagang Arab, dan menyebar antara jamaah cham sejak adanya perkembangan kerajaan mereka di daerah tengah Vietnam dan dikenal dengan nama kerajaan Champa.

Kerajaan Champa didirikan di Vietnam oleh orang-orang Cham yang secara etnis tidak mempunyai hubungan dengan orang-orang Vietnam. Ketika kerajaan Funan yang berada sebelah selatan Champa dipengaruhi oleh Cina, kerajaan Champa selama 1600 tahun juga mendapatkan pengaruh dari Cina.
Akibat dari hal itu, Champa harus mengimbangi kekuatan di antara dua negara tetangganya dalam hal jumlah penduduknya dan pola militer : Vietnam di utara dan Khmer (Kamboja) di selatan. Seperti Funan, kerajaan Champa menerapkan kekuatan perdagangan pelayaran laut yang berlaku hanya di wilayah yang kecil.
Pertengahan abad VIII merupakan waktu yang kritis bagi Champa, seperti Kamboja, Champa harus bertahan atas sejumlah serangan dari Jawa. Tetapi bahaya Jawa segera berlalu pada awal abad IX karena Champa sendiri juga melakukan serangan-serangan. Dibawah Hariwarman I, Champa menyerang propinsi-propinsi Cina sebelah utara dengan mendapat kemenangan. 
Champa juga melakukan penyerangan ke Kamboja dibawah pimpinan Jayawarman II, yaitu pendiri dinasti Angkor. Serangan tersebut dibalas oleh Indrawarman II.
Di bawah Indrawarman II (854-893), didirikan ibu kota Indrapura di propinsi Quang Nam. Ia memperbaiki hubungan baik dengan Cina. Pemerintahannya merupakan pemerintahan yang damai, terutama dengan dengan dirikannya bangunan-bangunan besar Budha, sebuah tempat suci, yang reruntuhannya terdapat di Dong-duong, di sebelah tenggara Mison. Ini adalah bukti pertama adanya Budha Mahayana di Champa.
Indrawarman II mendirikan enam dinasti dalam sejarah Champa. Raja-rajanya lebih aktif daripada yang sebelumnya dalam perhatiannya pada kehidupan di negeri itu. Mereka bukan saja mendirikan tempat-tempat suci baru, tetapi juga melindungi bangunan-bangunan keagamaan itu dari para perampok dan memperbaikinya kembali jika rusak.
Selama pemerintahan pengganti Indrawarman, Jayasimhawarman I, hubungan dengan Jawa menjadi erat dan bersahabat. Seorang keluarga permaisurinya berziarah ke Jawa dan kembali dengan memegang jabatan tertinggi dengan sejumlah raja dibawahnya. Hubungan ini menjelaskan pengaruh Jawa pada kesenian Champa.
Selama abad X terjadi banyak peristiwa penting di Champa. Tahun 907 dinasti T’ang jatuh di Cina dan orang Annam mengambil kesempatan itu untuk maju dan mendirikan kerajaan Dai-co-viet (Annam dan Tong-King) tahun 939. Awalnya perubahan ini hanya berpengaruh sedikit pada Champa akan tetapi kemudian timbul keributan antara Champa dengan kerajaan-kerajaan baru itu. Kemudian Champa dikuasai dan mulai mencari pengakuan dari Cina. Tahun 988 terjadi pembalasan oleh Champa dibawah raja Vijaya (Binh-dinh). Setelah masa damai yang singkat, ia mendapat jaminan pengakuan dari Cina dan memperbaiki ibukota Indrapura.
Abad XI merupakan masa kehancuran Champa. Champa kehilangan propisinya karena direbut oleh Annam. Mereka mengirim misi ke Cina berturut-turut dan tahun 1030 bersekutu dengan Suryawarman I dari Angkor. Tahun 1044 Annam melakukan penyerangan besar-besaran terhadap Champa dan Champa mengalami kehancuran. Ibukota Vijaya direbut dan Raja Jayasimhawarman II dinaikan pangkatnya.
Dinasti VIII, didirikan oleh seorang pemimpin perang yang bergelar Parameswaraman I dan mulai menghidupkan kembali kerajaannya. Ia menekan pemberontakan di propinsi bagian selatan dan berusaha mengembangkan hubungan baik dengan kedua Annam dan Cina dengan sering-sering mengirim misi.
Seorang pangeran bernama Thang mendirikan dinasti IX. Beliau mengambil gelar Hariwarman IV dan segera memperlihatkan kekuasaannya dengan memperbaiki kerusakan yang disebabkan oleh penyerangan dan membangkitkan kesejahteraan negerinya. Kebangkitan Champa sangat cepat, setelah berhasil mengusir Annam dari Champa, selanjutnya menghancurkan serangan Khmer dan membalasnya dengan mengirim pasukan penyerang memasuki Kamboja.
Politik Hariwarman IV memelihara hubungan yang lebih baik dengan Annam. Sejak itu dengan sedikit keraguan kemudian ia bersekutu dengan Cina dan merencanakan penyerangan terhadap Annam. Ketika gagal, ia bertanggungjawab melindungi dari kemarahan orang Annam dengan mengirimkan tawaran perdamaian yaitu dengan memberi upeti kepada Annam secara teratur.
Khmer juga mulai menyerang Champa, bagian utara Champa telah berada dibawah kekuasaan Khmer. Tetapi di bagian selatan Panduranga, seorang raja baru, Jaya Hariwarman I, bangkit tahun 1147. Kemudian setelah mendesak keluar pasukan Khmer, ia terus menyerang dan mengembalikan Wijaya dan menyatukan kembali kerajaan.
Kesulitan Jaya Hariwarman I belum teratasi, tahun 1155 Panduranga mulai memberontak. Tetapi ia dapat memperbaiki kembali kerusakan-kerusakan karena perang dengan menggunakan sebagian barang jarahannya untuk memperbaiki candi-candi dan membangun yang baru. Beliau juga mengirim utusan ke Cina dan menenangkan Annam dengan membayar upeti secara teratur.
Ketika Jaya Hariwarman I mangkat, ia digantikan oleh seorang avontutir yang cerdik bernama Jaya Indrawarman IV yang telah merebut tahta dari putera Jaya Hariwarman I. Kemauannya yang besar ialah membalas dendam dengan menyerang Kamboja yang telah menyerang Champa oleh Suryawarman. Akan tetapi penyerangan tersebut gagal. Setelah melakukan persiapan lama, Jayawarman VII, pendiri Angkor Thom, melancarkan serangan besar-besaran terhadap Champa. Sekali lagi Champa jatuh ke tangan Kamboja. Suryawarman memutuskan untuk bersekutu dengan Kamboja.
Kemudian Khmer menyerang Champa lagi, dan Champa dikuasai oleh Khmer selama 17 tahun. Karena beberapa alasan yang tidak disebut dalam catatan, pasukan Khmer meninggalkan negeri itu dan memberikan kendali pemerintahannya secara sukarela. Banyak yang berpendapat mengenai sebab pengunduran Khmer secara tiba-tiba tersebut. Kesimpulan Maspero oleh Coedes, adalah bahwa tekanan T’ai atas kerajaan besar Khmer telah sedemikian keras hingga Angkor dipaksa meninggalkan cita-citanya menjadikan Champa sebagai daerah taklukannya.
Kemengan-kemenangan Mongol di Cina juga dianggap sebagai penyebab berhentinya perang antara Annam dan Champa. Dalam hal Champa, masalahnya sampai pada puncaknya ketika tahun 1281, yaitu saat kesabaran Kublai Khan telah habis dan beliau mengirim marsekal “Sogatu” untuk mendesak pemerintahan Mongol di negeri itu.
Seorang raja baru, Jaya Simhawarman III didesak untuk bersekutu dengan Annam. Tahun 1301 ia menerima kunjungan dari Tran Naon-Ton, yang telah menyerahkan dengan senang hati tahtanya kepada puteranya Tran Anh Ton, dan pura-pura mencari kebajikan dengan berziarah keliling tempat suci di negeri-negeri tetangganya. Ia menjanjikan pada raja Champ salah seorang putrinya untuk dijadikan istri raja Cham.
Dalam pertalian perkawinan itu, ia terbujuk untuk menyerahkan dua buah propinsi Cham di utara Col des Nuages sebagai nilai tukar penyerahan seorang saudara perempuan Tra Anh-Ton. Kemudian ketika pemerintahannya digantikan oleh putranya Che-Chi, putranya harus menanggung perbuatan bodohnya itu. Tahun 1312, Annam menyerbu Champa, menurunkan Jaya Simbhawarman IV dari tahtanya dan menggantinya dengan adiknya. Cue Nang.
Champa sekarang menjadi propinsi Annam yang rajanya diangkat sebagai “pangeran pembayar pajak kelas dua”. Tetapi Che Nang tetap setia kepada Champa dan tidak mau menyerahkan pada kekuasaan Annam. Ia memberontak dan berusaha mengembalikan dua propinsi yang telah diserahkan oleh ayahnya.
Che Anan ialah pendiri dinasti XII dalam sejarah Cham yang berkuasa sampai tahun 1390. Ini merupakan pembuka bagi kebangkitan Cham dengan mengambil manfaat atas berdirinya dinasti Ming di Cina. Dengan mulai serangkaian serangan-serangan yang sukses di Annam. Negeri itu tetap dalam keadaan teror terus menerus sampai tahun 1390, raja Cham terbunuh dalam perang di laut. Kemudian Champa kehilangan propinsi Indrapura (Quang Nam). Tahun 1441, pemerintahan Jaya Simhawarman V berakhir.
Di tahun 1471, tentara Vietnam Dinasti Le menaklukan kerajaan Champa. Sekitar 60.000 orang tentara Champa terbunuh, termasuk Raja Champa dan keluarganya dan sekitar 60.000 orang lainnya diculik untuk dijadikan budak. ‎
Kerajaan Champa diperkecil wilayahnya, yang sekarang dikenal dengan nama Nha Trang. Pada tahun 1720 terjadi serangan baru dari tentara Vietnam yang mengancam kerajaan Champa. Seluruh bangsa Cham beremigrasi ke arah barat daya, ke wilayah utara danau Tonle Sap yang sekarang merupakan Kamboja.
Dengan kejatuhan Vijaya pada 1471 maka keluasan Negara Champa semakin mengecil dan ibu negara Champa berpindah untuk kesekian kalinya. Kali ini jauh ke selatan ke Panduranga. Mengikut sejarah, semenjak perlantikan Po Tri Tri sebagai raja untuk keseluruh Champa dan dengan perpindahan beliau ke Panduranga untuk menubuhkan kerajaan yang baru, maka bermulalah perkembangan Islam secara besar-besaran di Champa. Bahasa Sanskrit yang selama ini menjadi bahasa rasmi Champa juga tidak digunakan lagi.
Semenjak era inilah Champa bertukar corak. Tidak pasti sama ada Champa terus menerus diperintah oleh raja Islam sehingga kejatuhannya ke Vietnam, akan tetapi berdasarkan kepada keunikan sistem pentadbiran yang diamalkan di Champa di mana terdapat berbagai kerajaan dalam satu wilayah pada masa yang sama, maka berkemungkinan bahwa ada raja-raja Islam yang memerintah Champa pada zaman tiga abad setelah kejatuhan Vijaya.
Keunikan sistem pemerintahan Champa adalah karena Champa terdiri dari persekutuan berbagai kaum yang dikenal majemuk sebagai ‘Urang Champa’. Selain kaum Cham sendiri, penduduknya juga terdiri dari berbagai kaum etnik daripada rumpun lain yang juga merupakan rumpun bahasa Austronesia yaitu puak bukit (hill tribes) yang terdiri daripada kaum-kaum Chru, Edê, Hroy, Jörai, Rhade (Koho),dan Raglai dan termasuk juga dari rumpun bahasa Austroasiatic seperti kaum Dera atau montanagards yang terdiri dari kaum-kaum Ma, Sré dan Stieng.
Meskipun terdapat raja, yang memerintah Champa secara keseluruhannya, terdapat juga raja-raja kecil misalnya Raja Bao Dai, yang menjadi raja untuk kaum etnik yang tertentu. Ini mempunyai persamaan dengan kaum Batak dan Mandiling di Indonesia, misalnya, yang mempunyai raja-raja mereka sendiri, tetapi semata-mata sebagai raja adat. Dalam mengkaji sejarah Champa mungkin pengkaji sejarah tidak memahami kedudukan raja pada kaum masing-masing dan hal ini telah menimbulkan kekeliruan di sebabkan dalam satu zaman yang sama akan terdapat rujukan kepada dua atau tiga raja yang berlainan nama. 

Dalam tradisi pemerintahan Champa, hanya raja yang mempunyai kekuatan tentara dan kekuasaan politik negara sebagai ‘Raja kepada Raja-raja (‘Rajatiraja’) Champa’ (“King of Kings of Champa”). Berdasarkan kepada manuskrip-manuskrip yang terdapat berkemungkinan besar setelah kejatuhan Vijaya, kekuasaan ini pernah dipegang oleh raja yang beragama Islam.
Kerajaan Champa merupakan kerajaan maritim sehingga pandai dalam pelayaran. Pelabuhan utama Champa ialah Phan Rang dan Nha Trang. Pelabuhan tersebut merupakan pemasok utama pendapatan kerajaan ini. Karena Quang Nam menawarkan pelabuhan yang lebih baik daripada pelabuhan yang lain, dimana kapal pedagang dari India, Sumatra, Jawa, dan Cina bisa mendapatkan persediaan air bersih di pelabuhan ini.
Sejarah Kerajaan Campa

Campa terletak di seberang laut sebelah selatan propinsi Goangdong (Tiongkok Selatan) demikian menurut catatan Ma Huan dalam bukunya Ying Yang Sheng Lan (pemandangan indah di sebrang samudra) orang berlayar menuju ke sebelah barat daya dari kabupaten Chang Le, propinsi Fujian (Tiongkok Selatan) bila ada angin buritan kapal akan sampai di Campa pada hari ke-10. Di sebelah selatan Campa terdapat kerajaan tetangga bernama Kamboja. Di sebelah barat berbatasan dengan dengan Laos. Di sebelah laut timur adalah laut besar.

Di bagian timur laut Campa terdapat sebuah pelabuhan, Xinzhaou (Qoui-Nho) di pantai terdapat sebuah menara batu. Di sana tempat berlabuh kapal-kapal yang berdatangan. Kampungnya bernama Sri Vijaya dan dipimpin oleh dua kepala kampong yang mengurus 50-60 kepala keluarga. Kota Campapura sebagai ibu kota Kerajaan Campa terletak kira-kira 100 li (puluhan kilometer) di sebelah barat daya kampong itu. Di kota Campapura terdapat istana sang raja. Tembok kotanya terbuat dari batu dan berpintu empat. Pintu gerbangnya dijaga ketat.

Kerajaan Champa (bahasa Vietnam: Chiêm Thành) adalah kerajaan yang pernah menguasai daerah yang sekarang termasuk Vietnam tengah dan selatan, diperkirakan antara abad ke-7 sampai dengan 1832. Sebelum Champa, terdapat kerajaan yang dinamakan Lin-Yi (Lam Ap), yang didirikan sejak 192, namun hubungan antara Lin-Yi dan Campa masih belum jelas. Komunitas masyarakat Champa, saat ini masih terdapat di Vietnam, Kamboja, Thailand, Malaysia dan Pulau Hainan (Tiongkok). Bahasa Champa termasuk dalam rumpun bahasa Austronesia.

Kerajaan Lin-Yi merupakan inti pertama negri Campa yang masuk sejarah pada akhir abad ke-2. Sumber-sumber Cina memberitakan pendiriannya sekitar tahun 192. Pembentukan kerajaan Lin-Yi pada tahun 192 didahului setengah abad sebelumnya, yakni pada tahun 137, dengan usaha penyerbuaan pertama terhadap Siang-Lin oleh segerombolan orang Bar-Bar yang kira-kira 1000 jumlahnya yang datang dari luar perbatasan Jen-Nan.

Sebelum terbentuknya Kerajaan Champa, di daerah tersebut terdapat Kerajaan Lin-Yi (Lam Ap), akan tetapi saat ini belum diketahui dengan jelas hubungan antara Lin-Yi dan Champa. Lin-Yi diperkirakan didirikan oleh Seorang pegawai peribumi yang bernama K’iu-Lien mengambil keuntungan dari merosotnya kekuasaan Dinasti Han akhirnya untuk membentuk wilayahnya dari sebagian wilayah militer Cina, kemudian menyatakan diri raja di Sianglin, wilayah yang paling selatan secara kasar dapat disamakan dengan bagian selatan yaitu di daerah kota Huế yang sekarang menjadi provinsi Vietnam: Thuathien. Mula-mula Lin-Yi, “ibu kota Lin disangka kependekan dari Siam-lin Yi, ibu kota-Siang-Lien. Tetapi akhir-akhir ini dikemukakan Menurut Stein kemungkinannya sebagai nama suku bangsa.

Wilayah Kekuasaan

Sebelum tahun 1471, Champa merupakan konfederasi dari 4 atau 5 kepangeranan, yang dinamakan menyerupai nama wilayah-wilayah kuno di India:

Indrapura – Kota Indrapura saat ini disebut Dong Duong, tidak jauh dari Da Nang dan Huế sekarang. Da Nang dahulu dikenal sebagai kota Singhapura, dan terletak dekat lembah My Son dimana terdapat banyak reruntuhan candi dan menara. Wilayah yang dikuasai oleh kepangeranan ini termasuk propinsi-propinsi Quảng Bình, Quảng Trị, dan Thừa Thiên–Huế sekarang ini di Vietnam. 

Amaravati – Kota Amaravati menguasai daerah yang merupakan propinsi Quảng Nam sekarang ini di Vietnam. 

Vijaya – Kota Vijaya saat ini disebut Cha Ban, yang terdapat beberapa mil di sebelah utara kota Qui Nhon di propinsi Bình Định di Vietnam. Selama beberapa waktu, kepangeranan Vijaya pernah menguasai sebagian besar wilayah propinsi-propinsi Quang-Nam, Quang-Ngai, Binh Dinh, dan Phu Yen. 

Kauthara – Kota Kauthara saat ini disebut Nha Trang, yang terdapat di propinsi Khánh Hòasekarang ini di Vietnam. Panduranga – Kota Panduranga saat ini disebut Phan Rang, yang terdapat di propinsi Ninh Thuận sekarang ini di Vietnam. Panduranga adalah daerah Champa terakhir yang ditaklukkan oleh bangsa Vietnam.

Diantara kepangeranan-kepangeranan tersebut terdapat dua kelompok atau suku: yaitu Dua dan Cau. Suku Dua terdapat di Amaravati dan Vijaya, sementara suku Cau terdapat di Kauthara dan Panduranga. Kedua suku tersebut memiliki perbedaan tata-cara, kebiasaan, dan kepentingan, yang sering menyebabkan perselisihan dan perang. Akan tetapi biasanya mereka berhasil menyelesaikan perselisihan yang ada melalui perkawinan antar suku.

Kedatangan Islam Di Campa

Pada awalnya Champa memiliki hubungan budaya dan agama yang erat dengan Tiongkok, namun peperangan dan penaklukan terhadap wilayah tetangganya yaitu Kerajaan Funan pada abad ke-4, telah menyebabkan masuknya budaya India. Setelah abad ke-10 dan seterusnya, perdagangan laut dari Arab ke wilayah ini akhirnya membawa pula pengaruh budaya dan agama Islam ke dalam masyarakat Champa.

Sebelum penaklukan Champa oleh by Lê Thánh Tông, agama dominan di Champa adalah Syiwaisme dan budaya Champa sangat dipengaruhi India. Islam mulai memasuki Champa setelah abad ke-10, namun hanya setelah invasi 1471 pengaruh agama ini menjadi semakin cepat. Pada abad ke-17 keluarga bangsawan para tuanku Champa juga mulai memeluk agama Islam, dan ini pada akhirnya memicu orientasi keagamaan orang-orang Cham. Pada saat aneksasi mereka oleh Vietnam mayoritas orang Cham telah memeluk agama Islam.

Kebanyakan orang Cham saat ini beragama Islam, namun seperti orang Jawa di Indonesia, mereka mendapat pengaruh besar Hindu. Catatan-catatan di Indonesia menunjukkan pengaruh Putri Darawati, seorang putri Champa yang beragama Islam, terhadap suaminya, Kertawijaya, Raja Majapahit ketujuh sehingga keluarga Kerajaan Majapahit akhirnya memeluk agama Islam. Makam Putri Campa dapat ditemukan di Trowulan, situs ibukota Kerajaan Majapahit.

Kedatangan Islam di Campa dibuktikan dengan adanya dua buah prasasti kufi yang di temukan di Phanrang/ pahanri (Panduranga). Dalam prasasti tersebut bertarikh 1039 M, dan yang saytu bertarikh 1035- 1039 M, ini menunjukkan bahwa orang Islam telah datang dan menetap di Campa semenjak pertengahan abad ke-10. Dalam cerita lain disebutkan bahwa telah ada hubungan antara Campa dengan Islam sekitar tahun 1000 hingga tahun 1036 M. Jadi, Raja Campa pergi ke Makkah selama kurang lebih 37 tahun kemudian kembali lagi ke Campa. Adapun mengenai siapa orang Islam pertama yang datang dan menetap di Campa, Fatimi dan Ravaise berpendapat bahwa kebanyakan orang Islam yang datang ke Campa adalah orang-orang dari Parsi. Sebagai buktinya ialah pengembaran orang-orang Cina yang bernama I-Ching yang menaiki sebuah kapal Po-see (Parsi) pada tahun 671.

Dari kedua ukiran tulisan prasasti kufi di atas dikatakan bahwa keduanya ini berasal dari Syi’ah yang di tulis oleh orang Parsi/ orang Islam Parsi, salah satu diantara keduanya yaitu bertuliskan Abu Kamil. Yang mempunyai tujuan sama seperti orang Persia dan Iraq datang ke Campa diduga untuk mencari kekayaan. Mengenai prasasti yang kedua Fatimi dan Ravaise juga berpendapat bahwa prasasti tersebut telah ditulis oleh orang Parsi juga yang bertuliskan Mahmud Ghaznawi yang pada waktu itu memerintah hampir seluruh Persia. Selain itu petunjuk lain mengenai Islam di Campa ini adalah adanya upacara-upacara Cam Bani misalnya upacara menamai bayi yang hampir semuanya rata-rata bernama Ali, Ibrahim atau Muhammad untuk bayi laki-laki dan Fatimah untuk bayi perempuan, ini menandakan pengaruh dari unsur Syiah atau Parsi. Pada masa ini juga dunia Melayu sedang mengalami Islamisasi. Jadi, Islam mulai sepenuhnya berkembang di Cam setelah mereka berhubungan dengan dunia Melayu.

Seperti yang telah dijelaskan diatas orang Islam dikawasan Panduranga memanggil diri mereka Cam Bani yang diambil dari bahasa Arab “Bani” artinya anak atau keturunan. Dan Kebanyakan para pegawai Bani ini memahami bahasa Arab dan memiliki beberapa salinan Al- Qur’an. Masjid menghadap ke Makkah dan ditutup hampir sepanjang tahun kecuali pada bulan Ramadhan. Ramadhan yang di kenal sebagai Ramadon atau bulan ok (bulan berpuasa) adalah yang diperuntukan kepada ahli-ahli agama Bani yang akan berpuasa mewakili semua komuniti. Namun mereka hanya berpuasa hanya tiga hari pertama bulan tersebut. Khutbah sembahyang Jum;at terdiri dari Syarahan (kajian) yang dipetik dari beberapa ayat Al-Qur’an, diikuti dengan jamuan makan. Meskipun Campa ini merupakan Islam dan Allah disertakan dalam imannya tetapi dalam pelaksanaannya berbeda dengan Islam. Yang didalamnya terdapat beberapa kesan tentang kepercayaan primitife Melayu-Polinesia yang bercampur aduk dengan unsur- unsur Brahmanisme. Menurut mereka meskipun beragama Islam namun tidak salah apabila melibatkan “Po Yang” (kesucian) yang dipandang tinggi oleh orang kafir. Mereka menyambut satu upacara pemujaan khas yang dipandang sebagai semangat bayi yang meninggal ketika masih bayi atau keguguran. Mereka percaya bahwa semangat ini menunggu untuk dihidupkan kembali.

Islam Dan Kerajaan Campa

Islam masuk dan berkembangnya di Vietnam, khususnya Islam pada tahap awal tidak bisa dilepaskan dari kehadiran kerajaan dan etnis Campa, uraian tentang Islam di Vietnam diawali dengan uraian sejarah keberadaan Campa Kuno dan Etnis Campa.

Campa, menurut literatur Cina dari negeri bernama Lin-Yi (yang muncul pada 192 M), terletak dibagian tengah negeri Vietnam sekarang, antara Gate Of Annam (Hoanh Son) di uatara dan sungai Donnai selatan. Penduduk Lin-Yi bertutur dalam bahasa Cham dari rumpun Austronesia. Sejak awal Lin-Yi negeri yang takluk pada china dan membayar upeti kepada China. Nama “Campa” disebut dan dipakai pertama kali dalam dua buah inskkripsi bahasa sansekerta, satunya bertarikh 658 M yang ditemukan bagian tengah Vietnam. Dan satu lagi ditemukan pada 668 M di kamboja. Abad VIII merupakan puncak kerajaan Campa, yang ditandai dengan kekuasaan wilayahnya daan kemajuan peradabannya. Pada masa ini, Campa merupakan sebuah kerajaan persekutuan yang terdiri dari kerajaan negeri : Indrapura, Amarawati, Vijaya, Kauthara dan Pandurangan yang masing-masing mempunyai pemerintah yang otonom dengan ibu negara Indrapura (Quang Nam sekarang). Kerajaan Campa mempunyai hubungan dengan kerajaan-kerajaan tetangganya, dengan China dan Vietnam diuatara,Kamboja dibarat, dan Nusantara di selatan. Contoh secara teratur mengirim utusan-utusan dan mengadakan hubungan ekonomi dan keagamaan dengan China. 

Ajaran agama yang dianut masyarakat Campa pada abad VIII dan IX adalah buddha mahayana, yang merambah Campa melalui sami (Pendeta Buddha) yang datang dari Cina. Adapun relasinya dengan nusantara bermula ketika terjadi perompakan besar-besaran oleh orang Jawa penghujung abad VIII. Hubungan itu kemudian menjadi lebih baik dalm bentuk hubungan perdagangan dan persahabatan.

Pada abad IX, terjadi peralihan orientasi Campa dari China. Mulai jaman ini kebudayaan Campa termasuk sistem sosial keagamaan dan lain sebagainya, dipengaruhi oleh budaya India dan agama Hindu dan Budha. Pada 939 M, muncul kekuatan baru di wilayah ini, yakni Dai Viet (kemudian menjadi Vietnam). Mulai sejak itu terjadi peperangan yang berkepanjangan antara Vietnam dan Campa. Pada 982 M, Vietnam berhasil menghancurkan ibu kota Indrapuraraja Campa memindahkannya jauh ke selatan, yakni ke Vijaya (Binh Dinh sekarang). 

Namun pada 1044, Dai Viet (Vietnam) bahkan berhasil menduduki kota Vijaya dan membunuh rajanya..berbagai usaha pernah dilakukan raja-raja Campa untuk membalas dendam dan menyerang Vietnam yang semakin dapat memperbesar wilayahnya dan mencaplok Campa. Suatu kali kerajaan Campa pernah kembali pada masa kejayaannya, meski hanya dalam durasi singkat, yaitu ketika diperintah oleh Che Bong Nga (1360-1390), dialah yang berhasil dalam usaha mengembalikan wilayah yang dirampas Vietnam dan dalam memerintah dengan cukup adil serta berjaya memerangi para perampok.

Pada 1471, Raja Vietnam Le Thanh Tong menyerang Campa secara besar-besaran, dan menghancurkan Vijaya, membunuh lebih 40.000 penduduk, mengusir lebih dari 30.000 lainnya dari bumi Campa, bahkan lebih jauh lagi dia telah menghancurkan sisa-sisa kebudayaan Campa yang dipengaruhi Hindu/Buddha dan kemudian menggantikannya dengan kebudayaan China/Vietnam. Dengan kemenangan Le Thanh Tong 1471 itu, tamatlah riwayat kerajaan Campa belahan utara, khususnya Indrapura, Amarawati, Vijaya.

Selanjutnya yang bertahan adalah sisa-sisa kerajaan Campa belahan selatan, yaitu Kauthara dan Panduranga, yang diperintahi oleh Bo Tri Tri dan pengganti-penggantinya. Kerajaan Campa mulai menerima kebudayaan melayu serta Islam yang masuk melalui pelabuhan Panduranga dan Kauthara, dan juga meningkatkan hubungan dengan negeri-negeri di Melayu dan Nusantara. Bahkan dikabarkan bahwa raja Campa yang bernama Po Klau Halu (1579-1603) sudah memeluk Islam dan pernah mengirim tentaranya untuk membantu Sultan Johor di Semenanjung Malaka untuk berperang menentang Portugis pada 1511.

Bagaimanapun Raja Ngunyen dari Vietnam menaklukan Khautara (1659) dan Panduranga (1697). Akibatnya, Raja Pandurangan terakhir, Po Chei Brei terpaksa mengungsi meninggalkan negereinya bersama ribuan pengikutnya menuju Rong Damrei di Kamboja. Pada 1832 penguasa Vietnam Minh Menh melakukan pembunuhan besar-besaran terhadap sisa-sisa terakhir penduduk Campa Panduranga, dan merampas seluruh sawah ladang mereka serta memasukkan wilayah Pandurangan menjadi bagian Vietnam. Hal ini menandai lenyapnya sisa-sisa kerajaan Campa terakhir dari peta bumi untuk selamanya, walaupun kebudayaan dan etnis Campa tetap berlanjut dipengungsian yakni Kamboja.

Seperti telah diuraikan sebelumnya banyak orang Campa yang meninggalkan tanah airnya karena desakan Nan Tien atau pergerakan orang-orang Vietnam ke selatan. Untuk menyelamatkan diri mereka Hijrah ke Kamboja. Di Kamboja mereka bertemu dengan kelompok Melayu yang datang dari Nusantara. Akulturasi budaya yang terjadi karena persamaan agama dan rumpun bahasa Austronesia tersebut membentuk sebuah komunitas masyarakat baru yang di sebut Melayu-Campa atau Java-Campa.

Mazhab Yang Diikuti

Terdapat dua mazhab besar umat Islam di Vietnam: mazhab Sunni dan mazhab Bani. Adapun mazhab Sunni tersebar diseluruh penjuru negara kecuali dua tempat antara Tuan Han dan Ninh Thuan, dan mayoritas mereka menganut mazhab Syafi’i. Adapun mazhab Bani tersebut di daerah Ninh Thuan dan Binh Thuan, dan mazhab ini tidak banyak dikenal oleh umat Islam di dunia; karena memiliki ciri khusus domistik dan memiliki pengaruh kuat warisan dari India yang banyak bertentangan dengan ajaran Islam yang benar, seperti menjadikan pemimpin untuk shalat mewakili jamaah, tidak ada perhatian dari para pemimpin dengan jamaah mereka sehingga menyebar di tengah mereka ajaran-ajaran syirik, dan tersebar di tengah mereka aktivitas yang tidak sesuai dengan aqidah yang benar oleh karena kebodohan, sedikitnya ulama dan para dai. Dan ketika datang bulan Ramadhan mereka memisahkan diri dari istri-istri mereka sejak awal bulan hingga akhir, karena mereka tinggal di masjid selama bulan Ramadhan, dan banyak lagi permasalahan lainnya yang ada di sana. Boleh jadi phenomena terjadi oleh karena kebodohan mereka terhadap Islam dan ajaran-ajaran yang sebenarnya, dan terputusnya hubungan mereka dengan dunia Islam dalam waktu lama sehingga mereka memiliki keyakinan apa yang dalam Islam dan bahkan hingga mencapai pada tuduhan bahwa mazhab sunni adalah bid’ah. Sebagaimana yang terjadi di sana adanya perselisihan dan perdebatan tentang tema antara mereka dan mazhab Sunni.

Pada tahun 1959 sebagai mereka umat Islam bagian selatan, khususnya umat Islam di kota Shai Ghon, dan terjadi perkenalan dan dialog di tengah mereka tentang Islam sehingga mereka memahami bahwa jamaah mereka jauh dari hakikat Islam, dan mereka mulai belajar dari mereka ajaran yang benar, dan juga memperbaharui keislaman mereka dan memperbaikinya. Kemudian kelompok ini pulang ke negeri mereka dan mengajak masyarakat pada ajaran Islam yang bersih dan benar, maka dakwah itupun berhadapan dengan berbagai bentuk penolakan, pendustaan dan tuduhan dari warga dan menganggapnya sebagai bid’ah dan khurafat. Namun berkat karunia Allah SWT, mampu memenangkan agama dari keyakinan yang menyimpang dan agama yang batil yang diacuhkan kecuali Allah mampu menyempurnakan cahaya-Nya sehingga sebagian mereka menerima dakwah ini dengan penuh kepuasan dan kerelaan, dan akhirnya mereka memperbaharui dan memperbaiki keislaman mereka.

Dan melalui ini terjadi titik tolak penting dalam sejarah berupa bersinar kembali cahaya Islam di tengah mereka setelah sebelumnya mengalami kejahilan di negeri mereka dalam waktu yang lama, dan akhirnya setiap hari terus bertambah orang-orang yang memperbaharui keislaman mereka. Dan bertambah pula 4 pembangunan masjid di daerah tersebut, karena keberadaan mereka dalam masjid-masjid yang ada dapat mengarah pada perbedaan dan perdebatan. Adapun masjid yang dimaksud adalah masjid Phuic Nhon, masjid An Xuan, masjid Van Lam, dan masjid Nho Lam, dan semuanya terdapat di propinsi Ninh Thuan.
Sementara itu gerakan pembaharuan tidak mencakup propinsi Ninh Thuan, sehingga penduduknya tetap berada pada keyakinan tersebut hingga datang pembaharuan yang dibawa oleh sebagian pemuda Islam mereka pada tahun 2006, sebagaimana sisa dari mereka menerima gerakan ini dan bertambah jumlah mereka, karena mereka betul-betul membutuhkan orang yang bisa mengajarkan Islam kepada mereka.

Kelompok-kelompok klasik umat Islam

Umat Islam Vietnam banyak yang loyal pada suku-suku beragam, dan melalui tulisan dapat kita bagi pada 3 kelompok:

Kelompok pertama: Muslim Tcham, yang merupakan kelompok mayoritas.

Kelompok kedua: umat yang berasal dari suku-suku yang beragam, mereka adalah pedagang muslim yang datang dari negeri-negeri yang beragam kemudian menikah dari anak-anak negeri tersebut, seperti Arab, India, Indonesia, Malaysia dan Pakistan, dan jumlah mereka merupakan kelompok terbesar dari jumlah umat Islam secara keseluruhan.

Kelompok ketiga: muslim dari warga Vietnam asli, dan mereka adalah warga Vietnam yang masuk setelah berinteraksi dengan para pedagang muslim dan komunikasi secara baik, seperti kampng Tan Buu pada bagian kota Tan An, baik dengan masuknya warga kepada Islam atau mereka masuk Islam melalui pernikahan.

Kondisi umat Islam

Umat Islam adalah bagian dari penduduk negeri, maka dari itu kondisi mereka sangat berhubungan dengan pertumbuhan negara dan kemajuannya. Dan kondisi negara Vietnam sepanjang tahun terakhir ini mengalami kemajuan yang pesat dan prestasi yang banyak yang belum pernah dialami pada pemerintahan sebelumnya. Pada tahun 2007, Vietnam resmi menjadi anggota organisasi negara perdagangan internasional, setelah mampu berpartisipasi melakukan perbaikan ekonomi dan meluas jaringannya pada beberapa tahun terakhir. Karena itulah Vietnam menjadi salah satu dari negara yang mampu membangun beberapa komponen perbaikan ekonomi dan membuka negara di hadapan investor asing dan perusahaan-perusahaan swasta dengan jumlah milyaran dollar untuk menanamkan investasinya di berbagai lini dan sektor yang beragam.

Dan jika dibandingkan dengan kondisi umat pada kurun sebelumnya umat Islam saat ini mengalami perbaikan, sehingga sebagian umat Islam mampu keluar dari sangkar kemiskinan dan ketiadaan, bahkan berubah kondisi hidup mereka. Namun jumlahnya masih terbatas, karena masih banyak dari umat Islam bahkan dalam jumlah yang begitu besar umat Islam menghadapi berbagai problema kemiskinan dan permasalahan materi khususnya yang tinggal di luar dari Ho Chi Minh City.‎

 

Laksamana Malahayati... Admiral Wanita Pertama Di Dunia


Sejarah menunjukkan, bahwa di ujung barat kepulauan Nusantara terdapatlah sebuah Kerajaan Islam Aceh Darussalam, yang tercatat sebagai satu dari lima kerajaan Islam terbesar di jamannya. Sebagai sebuah kerajaan yang terletak di ujung barat, maka Kerajaan Aceh Darussalam menjadi pintu gerbang pelayaran di Selat Malaka. Oleh karenanya tidak mengherankan bahwa Kerajaan Aceh Darussalam memiliki Armada Laut yang luar biasa kuatnya. Dalam perjalanan sejarah, pada masa pemerintahan salah seorang Sultan yaitu Baginda Sultan Alaiddin Riayat Syah Al Mukammil pada abad ke 16 – 17 tepatnya pada tahun 1589 hingga 1604, sejarah mencatat nama besar seorang pahlawan perempuan yaitu LAKSAMANA MALAHAYATI. Ia adalah seorang Laksamana perang perempuan yang memimpin lebih kurang 1000 orang pasukan Inong Balee (satu-satunya pasukan yang terdiri dari kaum perempuan) dengan gagah berani. Menjadi menarik, karena Laksamana Malahayati bukan saja hanya Laksamana pertama di Indonesia, melainkan ia adalah seorang Laksamana perempuan pertama di dunia. Petarung garis depan. Pemimpin laskar Inong Balee yang disegani musuh dan kawan.

Riwayat Masa Remaja Laksamana Keumalahayati:

Pada masa kejayaan Aceh, akhir abad XV, Aceh pernah melahirkan seorang tokoh wanita bernama Keumalahayati. Adapun nama Keumala dalam bahasa Aceh itu sama dengan kemala yang berarti sebuah batu yang indah dan bercahaya, banyak kasiatnya dan mengandung kesaktian. (Poerwadarminto, 1989 : 414). Berdasarkan sebuah manuskrip (M.S.) yang tersimpan di University Kebangsaan Malaysia din berangka tahun 1254 H atau sekitar tahun 1875 M, Keumalahayati berasal dari kalangan bangsawan Aceh, dari kalangan sultan-sultan Aceh terdahulu.

Ayah Keumalahayati bernama Laksamana Mahmud Syah. Kakeknya dari garis ayahnya adalah Laksamana Muhammad Said Syah putra dari Sultan Salahuddin Syah yang memerintah sekitar tahun 1530-1539 M. Adapun Sultan Salahuddin Syah adalah putra dari Sultan Ibrahim Ali Mughayat Syah (1513-1530 M), yang merupakan pendiri Kerajaan Aceh Darussalam. (Rusdi Sufi, 1994 : 30-33). Jika dilihat dari silsilah Keumalahayati dapat dipastikan bahwa dirinya berasal dari darah biru, yang merupakan keluarga bangsawan keraton.

Ayah dan kakeknya Keumalahayati pernah menjadi Laksamana Angkatan Laut, sehingga jiwa bahari yang dimiliki oleh ayah dan kakeknya sangat berpengaruh pada perkembangan pribadinya, seperti kata pepatah, "buah jatuh tidak jauh dari pohonnya". Oleh karena sang ayah dan kakeknya seorang Panglima Angkatan Laut, maka jiwa bahari tersebut dapat diwarisi oleh Keumalahayati. Kendatipun dirinya hanya seorang wanita, ia juga ingin menjadi seorang pelaut yang gagah berani seperti ayah dan kakeknya. Sepanjang catatan sejarah, tahun kelahiran dan tahun kematian Keumalahayati belum diketahui dengan pasti.

Hanya dapat ditafsirkan bahwa masa hidup Keumalahayati sekitar akhir abad XV dan awal abad XVI. Pada masa Keumalahayati masih remaja, Kerajaan Aceh Darussalam telah memiliki Akademi Militer yang bernama Mahad Baitul Makdis, yang terdiri dari jurusan Angkatan Darat dan Laut, dengan para instrukturnya sebagian berasal dari Turki. Sebagai anak seorang Panglima Angkatan Laut, Keumalahayati mendapat kebebasan untuk memilih pendidikan yang ia inginkan. Setelah melalui pendidikan agama di Meunasah, RanAkang dan Dayah, Keumalahayati berniat mengikuti karir ayahnya yang pada waktu itu telah menjadi Laksamana. Sebagai seorang anak yang mewarisi darah bahari, Keumalahayati bercita-cita ingin menjadi pelaut yang tangguh.

Untuk mewujudkan cita-citanya menjadi seorang pelaut, ia kemudian ikut mendaftarkan diri dalam penerimaan calon taruna di Akademi Militer Mahad Baitul Makdis. Berkat kecerdasan dan ketangkasannya, ia diterima sebagai siswa taruna akademi militer tersebut. Pendidikan militer pada tahun pertama dan kedua ia lalui dengan sangat baik, karena ternyata ia adalah seorang taruna wanita yang berprestasi sangat memuaskan. Sebagai taruna yang cakap dan mempunyai prestasi yang sangat menonjol telah membuat la sangat dikenal di kalangan para taruna lainnya, termasuk juga para taruna yang setingkat lebih tinggi dari dirinya. Maka tidak mengherankan kalau banyak mahasiswa di Akademi Militer tersebut yang sayang padanya. Bahkan banyak pula yang telah tertambat hatinya pada wanita tersebut.

Namun di antara sekian banyak taruna laki-laki yang jatuh cinta padanya, tidak ada yang berkenan di hatinya. la lebih mementingkan pendidikannya dari pada memikirkan hal-hal yang menurutnya belum saatnya untuk dilakukan. Sebagai siswa yang berprestasi di Akademi Militer Mahad Baitul Makdis, Keumalahayati berhak memilih jurusan yang ia inginkan. Sebagai seorang anak yang mewarisi darah bahari, ia memilih jurusan Angkatan Laut. Maklum karena sejak kecil jiwa pelaut telah ditanam oleh ayah dan kakeknya. Dalam masa-masa pendidikan militernya, ia berhasil dengan mudah melahap semua ilmu-ilmu yang diberikan oleh para instrukturnya. Pada suatu saat di Kampus Akademi Militer Mahad Baihil makdis tersebut, Keumalahayati berkenalan dengan seorang calon perwira laut yang lebih senior dari dirinya.

Perkenalan berlanjut hingga membuahkan benih-benih kasih sayang antara pria dan wanita. Keduanya akhirnya sepakat menjalin cinta asmara, dua tubuh satu jiwa, menyatu dalam cinta, mengarungi bahtera kehidupan yang bergelombang ini bersama-sama untuk menuju pantai bahagia, menikmati indahnya cinta. Setelah tamat pendidikan di Akademi Militer Mahad Baitul Makdis, keduanya akhimya menikah sebagai suami-istri yang bahagia. Sejarah akhinnya mencatat, bahwa pasangan suami-istri alumni dari Akademi Militer ini menjadi Perwira Tinggi Angkatan Laut Aceh yang gagah berani dalam setiap pertempuran laut melawan armada Portugis.

Panglima Armada Inong Balee

Sejarah hidup Keumalahayati mengingatkan kita pada perjalanan hidup Cut Nyak Dhien. Ketika suaminya yang bemama Teuku Umar gugur di medan perang melawan Belanda, Cut Nyak Dhien bertekad untuk meneruskan perjuangan suaminya. Demikian pula halnya dengan Keumalahayati. Ketika suaminya gugur dalam pertempuran laut melawan Portugis di perairan Selat Malaka, Keumalahayati bersumpah akan menuntut balas kematian suaminya. Semangat juang dan kepahlawanannya dapat disejajarkan dengan Srikandi, seorang tokoh pahlawan wanita dalam kisah Mahabharata. Oleh kalena itulah maka Laksamana Keumalahayati Juga terkenal dengan sebutan "Srikandi dari Aceh". Mengenai tokoh Srikandi ini dapat kita lihat pada kitab Mahabharata. Srikandi adalah istri Harjuna, seorang ksatria pandawa yang terkenal sakti dalam Perang Baratayudha. 

Srikandilah yang berhasil membunuh Maharsi Bisma, Panglima Perang Korawa. Berkat kemenangan Srikandi itulah, maka Pandawa berhasil menghancurkan tentara Korawa. Kisah kepahlawanan Keumalahayati dimulai ketika terjadi pertempuran laut antara armada Portugis versus armada Kerajaan semasa Pemerintahan Sultan Alaiddin Riayat Syah Al Mukammil. Armada Aceh dipimpin sendiri oleh Sultan dan dibantu dua orang Laksamana. Pertempuran dahsyat yang terjadi di Teluk Haru tersebut berakhir dengan hancurnya armada Portugis, sedangkan di pihak Aceh, kehilangan dua orang Laksamana dan 1000 (seribu) prajuritnya gugur.

Salah seorang Laksamana yang gugur dalam pertempuran di Teluk Haru itu, adalah suaminya Keumalahayati yang menjabat sebagai Komandan Protokol Istana Darud-Dunia. Adapun nama suami Keumalahayati yang ikut terbunuh dalam pertempuran tersebut belum dapat diketahui dengan pasti. Kemenangan armada Selat Malaka Aceh atas armada Portugis disambut dengan gembira oleh seluruh rakyat Aceh Darussalam. Begitu pula Keumalahayati merasa gembira dan bangga atas kepahlawanan suaminya yang gugur di medan perang. Walaupun dirinya bangga, ia juga geram dan marah pada Portugis. 

Maka tidak mengherankan jika ia ingin menuntut balas atas kematian suaminya dan bersumpah akan terus memerangi Portugis. Untuk melaksanakan niatnya, ia mengajukan perrnohonan kepada Sultan Al Mukammil untuk membentuk armada Aceh yang prajurit-prajuritnya semua wanita-wanita janda, yang suami mereka gugur dalam pertempuran Teluk Haru. Mengingat Keurnalahayati adalah seorang prajurit yang cakap dan alumni dari Akademi Militer, maka dengan senang hati Sultan mengabulkan permohonannya. Untuk itu Keumalahayati diserahi tugas sebagai panglima armada dan diangkat menjadi Laksamana. 

Armada yang baru dibentuk tersebut diberi nama Armada Inong Bale (Armada Wanita janda) dengan mengambil Teluk Krueng Raya sebagai pangkalannya, atau nama lengkapnya Teluk Lamreh Krueng Raya. Di sekitar Teluk Krueng Raya itulah Laksamana Keumalahayati membangun benteng Inong Balee yang letaknya di perbukitan yang tingginya sekitar 100 meter dari permukaan laut. Tembok yang menghadap laut lebarnya 3 meter dengan lubang-lubang meriam yang moncongnya mengarah ke pintu Teluk. Benteng yang dalam istilah Aceh disebut Kuta Inong Balee (Benteng Wanita Janda) tersebut, hingga sekarang masih dapat kita saksikan di Teluk Krueng Raya, dekat Pelabuhan Ma)ahayati. 

‎Armada Inong Balee ketika dibentuk hanya berkekuatan 1000 orang janda muda yang suaminya gugur di medan perang laut Haru. Dan jumlah pasukan tersebut, oleh Laksamana Keumalahayati diperbesar lagi menjadi 2000 orang. Tambahan personil ini bukan lagi janda-janda, tetapi para gadis remaja yang ingin bergabung dengan pasukan Inong Balee yang dipimpin Laksamana Keumalahayati. Keumalahayati adalah seorang wanita Aceh pertama yang berpangkat Laksamana (Admiral) Kerajaan Aceh dan rnerupakan salah seorang pemimpin armada laut pada masa Pemerintahan Sultan Alaiddin Riayatsyah Al Mukammil (1589-1604) yang populer disebut dengan Sultan Al Mukammil saja.

Sebelum diangkat sebagai Panglima Perang Laut (Laksamana), Keumalahayati pernah menjabat sebagai pemimpin pasukan ketentaraan wanita di Kerajaan Aceh (Van Zeggelen, 1935 : 89). Setelah Keumala Hayati sukses mengemban tugas sebagai Kepala Pasukan Wanita Kerajaan Aceh, ia diangkat oleh Sultan menjadi Admiral (Laksamana), sebuah pangkat tertinggi dalam militer. (Davis dalam Yacobs, 1894). Pada saat berkuasa, usia Sultan sudah sangat tua (95 tahun). Maka tidak mengherankan jika di istana sering terjadi intrik-intrik yang berhubungan dengan suksesi dan berbagai usaha untuk menyingkirkan Sultan dari kursi kerajaan. (Wap, 1862 : 12). Hal itu menyebabkan Sultan menjadi tidak percaya pada setiap laki-laki yang dianggapnya akan mendongkel dirinya dari singgasana. Sultan sudah trauma dengan para laki-laki yang dianggapnya telah menyalah gunakan kekuasaannya untuk menjatuhkan dirinya. Mungkin karena kecurigaannya terhadap kaum laki-laki (Davis dalam Jacobs, 1894), Sultan akhirnya pada keputusan untuk mengangkat seorang wanita sebagai Laksamana.

Kemungkinan tersebut semakin jelas ketika Sultan mengangkat Malahayati sebagai Laksamana. Sultan juga mengangkat seorang Cut Limpah sebagai "dewan rahasia" (BIN)istana yang oleh Van Zeggelen disebut sebagai "geheimraad ". (Van Zeggelen, 1935). Setelah memangku jabatan sebagai Laksamana, Keumala Hayati mengkoordinir sejumlah Pasukan Laut, mengawasi pelabuhan-pelabuhan yang berada di bawah Syahbandar (Van Zeggelen, 1894 : 88-89) dan juga kapal-kapal jenis galay milik Kerajaan Aceh (Van Zeggelen, 1935 : 149). John Davis, seorang berkebangsaan Inggris yang menjadi nahkoda pada sebuah kapal Belanda yang mengunjungi Kerajaan Aceh pada masa Keumala Hayati menjadi Laksarnana, menyebutkan bahwa Kerajaan Aceh pada masa itu memiliki perlengkapan armada laut yang terdiri dari 100 buah kapal (galey), di antaranya ada, yang berkapasitas muatan sampai 400-500 penumpang. Yang menjadi pemimpin pasukan tersebut adalah seorang wanita berpangkat Laksamana. (Davis dalam Yacobs, 1894). Pada awal abad XVII, Kerajaan Aceh telah memiliki angkatan perang yang tangguh.

Kekuatannya yang terpenting adalah kapal-kapal galey yang dimiliki Angkatan Lautnya. Di samping itu, Angkatan Darat Kerajaan Aceh juga memiliki pasukan gajah. Untuk mengawasi daerah kekuasaan dan daerah taklukan, Kerajaan Aceh menempatkan kapal-kapal perangnya di pelabuhan-pelabuhan yarg berada di bawah kekuasaan atau di bawah pengaruhnya, misalnya Daya dan Pedir. Di antara kapal-kapal itu ada yang besarnya melebihi ukuran kapalkapal yang dimiliki bangsa Eropa.

Dari Cornelis de Houtman sampai penjaga pintu gerbang kerajaan
Kisah Laksamana Malahayati walaupun tidak banyak, semua bercerita tentang kepahlawanannya. Adalah Cornelis de Houtman, orang Belanda pertama yang tiba di Indonesia, pada kunjungannya yang ke dua mencoba untuk menggoyang kekuasaan Aceh pada tahun 1599. Cornelis de Houtman yang terkenal berangasan (bahasa keren, keji gan..), kali ini ketemu batunya. Alih-alih bisa meruntuhkan Aceh, armadanya malah porak poranda digebuk armada Laksamana Malahayati. Banyak orang-orangnya yang ditawan dan Cornelis de Houtman sendiri mati dibunuh oleh Laksamana Malahayati pada tanggal 11 September 1599. Selain armada Belanda, Laksamana Malahayati juga berhasil menggebuk armada Portugis. Reputasi Malahayati sebagai penjaga pintu gerbang kerajaan membuat Inggris yang belakangan masuk ke wilayah ini, memilih untuk menempuh jalan damai (serem, negeri Elizabeth aja keder..). Surat baik-baik dari Ratu Elizabeth I yang dibawa oleh James Lancaster untuk Sultan Aceh, membuka jalan bagi Inggris untuk menuju Jawa dan membuka pos dagang di Banten. Keberhasilan ini membuat James Lancaster dianugrahi gelar bangsawan sepulangnya ia ke Inggris.

‎Malahayati hidup di masa Kerajaan (Kesultanan) Atjeh dipimpin oleh Sultan Alaiddin Ali Riayat Syah IV yang memerintah antara tahun 1589-1604 M. Malahayati pada awalnya dipercaya sebagai kepala pengawal dan protokol di dalam dan luar istana, berpasangan dengan Cut Limpah yang bertugas sebagai petugas Dinas Rahasia dan Intelijen Negara. Setelah menyelesaikan pendidikannya di Meunasah/ Pesantren, beliau meneruskan pendidikannya ke Akademi Militer Kerajaan, “Ma’had Baitul Maqdis”, akademi militer yang dibangun dengan dukungan Sultan Selim II dari Turki Utsmaniyah. Akademi ini didukung oleh 100 dosen angkatan laut yang sengaja didatangkan dari kerajaan Turki tersebut. Disini pula dirinya bertemu jodohnya sesama kadet yang akhirnya menjadi Laksamana, namun sampai kini nama suaminya belum dapat diketahui dengan pasti. Lulus dari akademi, Malahayati diangkat menjadi Komandan Protokol Istana Darud-Dunia Kerajaan Aceh Darussalam, begitu juga dengan suami yang diangkat menjadi Laksamana. 

Tidak banyak catatan mengenai sejarah hidup Malahayati, namun terdapat sumber catatan dari seorang nahkoda kapal Belanda yang berkebangsaan Inggris, John Davis pernah mengungkapkan fakta bahwa pada masa kepemimpinan militer Laksamana Malahayati, Kesultanan Aceh memiliki perlengkapan armada laut. Malahayati digambarkan pula sebagai sosok yang tegas dan sigap mengkoodinir pasukannya di laut serta mengawasi berbagai pelabuhan yang berada di bawah penguasaan syahbandar, serta secara seksama mengawasi kapal-kapal jenis milik Kesultanan Aceh Darussalam. Namun sayang, suaminya gugur di palagan Selat Malaka ketika melawan Portugis. Setelah suaminya gugur, Malahayati memohon kepada Sultan al-Mukammil, raja Aceh yang berkuasa dari 1596-1604, untuk membentuk armada perang. Prajuritnya adalah para janda pejuang Aceh yang gugur dalam pertempuran di Selat Malaka itu, yang dinamai Laskar Inong Balee dengan anggota berjumlah 2000 orang prajurit. Bertahap demi tahap, karir Malahayati mulai melesat, saat itu Kerajaan Aceh memang tengah meningkatkan keamanan karena gangguan Portugis. Usul membentuk armada dikabulkan, Malahayati diangkat jadi Panglima Armada Inong Balee atau Armada Perempuan Janda. Pasukan itu bermarkas di Teluk Lamreh Kraung Raya. Benteng Kuto Inong Balee dengan tinggi sekitar tiga meter dibangun. Lengkap dengan meriam. Sisa-sisa benteng itu kini masih bisa dilihat di Aceh. Tak hanya menyusun pertahanan di darat. 

Pasukan Inong Balee dilengkapi seratus lebih kapal perang. Pasukan yang semula hanya seribu, lama-lama bertambah hingga mencapai dua ribu orang. Armada asing yang melintas di Selat Malaka pun menjadi gentar. Pada 21 Juni 1599, pasukan ekspedisi dari Belanda yang baru selesai berperang dengan Kesultanan Banten tiba di Aceh. Rombongan yang dipimpin Cornelis dan Frederick de Houtman disambut baik. Namun armada asing itu malah menyerbu pelabuhan Aceh. Karir militernya menanjak setelah kesuksesannya “menghajar” kapal perang Belanda yang dipimpin oleh Jenderal Cornelis de Houtman yang terkenal kejam. Bahkan Cornelis de Houtman tewas ditangan Malahayati pada pertempuran satu lawan satu di geladak kapal pada 11 September 1599, sedang adiknya Frederich de Houtman tertawan dan dipenjarakan selama kurang lebih dua tahun. Frederich inilah orang Eropa pertama yang menterjemahkan Bijbel kedalam bahasa Melayu. 

Akhirnya beliau diberi anugerah gelar Laksamana (Admiral). Kerajaan Aceh melawan Laskar Inong Balee pimpinan Malahayati jadi tembok terdepan dan Belanda berhasil dilibas. Belanda kembali menyerang, pada 21 November 1600 dibawah Komando Paulus van Caerden, mereka menjarah dan menenggelamkan kapal-kapal yang penuh rempah di pantai Aceh. Di tahun berikutnya, bulan Juni, Malahayati berhasil menangkap Laksamana Belanda, Jacob van Neck, yang tengah berlayar di pantai Aceh. Setelah berbagai insiden, Belanda mengirim surat diplomatik dan memohon maaf kepada Kesultanan Aceh melalui utusan Maurits van Oranjesent. Malahayati ternyata juga merupakan sosok negosiator ulung. 

Pada Agustus 1601, Malahayati memimpin Aceh untuk berunding dengan dua utusan Maurits van Oranjesent, Laksamana Laurens Bicker dan Gerard de Roy. Mereka sepakat melakukan gencatan senjata. Belanda juga harus membayar 50 ribu gulden sebagai kompensasi penyerbuan yang dilakukan van Caerden. Sepak terjang Malahayati sampai juga ke telinga Ratu Elizabeth, penguasa Inggris. Sehingga negeri raksasa itu memilih cara damai saat hendak melintas Selat Malaka. Pada Juni 1602, Ratu Elizabeth memilih mengutus James Lancaster untuk mengirim surat kepada Sultan Aceh untuk membuka jalur pelayaran menuju Jawa. Malahayati disebut masih memimpin pasukan Aceh menghadapi armada Portugis di bawah Alfonso de Castro yang menyerbu Kreung Raya Aceh pada Juni 1606. 

Sejumlah sumber sejarah menyebut Malahayati gugur dalam pertempuran melawan Portugis itu. Setelah wafat dalam pertempuran laut Teluk Krueng Raya Malahayati dimakamkan di lereng Bukit Kota Dalam, sebuah desa nelayan yang berjarak 34 kilometer dari Banda Aceh, tidak jauh dari Benteng Inong Balee,. Lokasi makam pada puncak bukit, merupakan salah satu bentuk penghormatan terhadap tokoh yang dimakamkan. 

Penempatan makam di puncak bukit kemungkinan dikaitkan dengan anggapan bahwa tempat yang tinggi itu suci. Beberapa kompleks makam di daerah lain yang terdapat di puncak bukit antara lain: Kompleks Makam Raja-raja Mataram di Imogiri Yogyakarta, makam Sunan Giri di Giri Gresik, Sunan Muria di Kudus, dan Gunung Jati di Cirebon. 

Nama Malahayati sangat melegenda karena semangat dan perjuangannya melawan dan mengusir penjajah. Untuk mengenang jasanya sebagai pejuang tanpa pamrih tersebut nama Malahayati diabadikan untuk nama jalan, rumah sakit, universitas di Pulau Sumatera, hingga kapal perang TNI Angkatan Laut. Sejarah sudah mencatat beberapa pelaut wanita yang hebat di dunia ini. Laksamana Malahayati harus dikenang sebagai salah satu pahlawan diantaranya karena perjuangannya yang tanpa peduli harus menderita, bahkan sampai kehilangan suami tercinta.

 

Sejarah Kesultanan Aceh Darussalam


Kesultanan Aceh Darussalam memulai pemerintahannya ketika Kerajaan Samudera Pasai sedang berada di ambang keruntuhan. Samudera Pasai diserang oleh Kerajaan Majapahit hingga mengalami kemunduran pada sekitar abad ke-14, tepatnya pada 1360. Pada masa akhir riwayat kerajaan Islam pertama di nusantara itulah benih-benih Kesultanan Aceh Darussalam mulai lahir. Kesultanan Aceh Darussalam dibangun di atas puing-puing kerajaan-kerajaan Hindu dan Budha yang pernah ada sebelumnya, seperti Kerajaan Indra Purba, Kerajaan Indra Purwa, Kerajaan Indra Patra, dan Kerajaan Indrapura. Dari penemuan yang dilacak berdasarkan penelitian batu-batu nisan yang berhasil ditemukan, yaitu dari batu nisan Sultan Firman Syah, salah seorang sultan yang pernah memerintah Kesultanan Aceh, didapat keterangan bahwa Kesultanan Aceh beribukota di Kutaraja (Banda Aceh). Pendiri sekaligus penguasa pertama Kesultanan Aceh adalah Sultan Ali Mughayat Syah yang dinobatkan pada Ahad, 1 Jumadil Awal 913 Hijriah atau tanggal 8 September 1507 Masehi.

Keterangan mengenai keberadaaan Kesultanan Aceh Darussalam semakin terkuak dengan ditemukannya batu nisan yang ternyata adalah makam Sultan Ali Mughayat Syah. Di batu nisan pendiri Kesultanan Aceh Darussalam yang berada di Kandang XII Banda Aceh ini, disebutkan bahwa Sultan Ali Mughayat Syah meninggal dunia pada 12 Dzulhijah tahun 936 Hijriah atau pada 7 Agustus 1530. Selain itu, ditemukan juga batu nisan lain di Kota Alam, yang merupakan makam ayah Sultan Ali Mughayat Syah, yaitu Syamsu Syah, yang menyebutkan bahwa Syamsu Syah wafat pada 14 Muharram 737 Hijriah. Sebuah batu nisan lagi yang ditemukan di Kuta Alam adalah makam Raja Ibrahim yang kemudian diketahui bahwa ia adalah adik dari Sultan Ali Mughayat Syah.

Menurut catatan yang tergurat dalam prasasti itu, Raja Ibrahim meninggal dunia pada 21 Muharram tahun 930 Hijriah atau bertepatan dengan tanggal 30 November 1523. Raja Ibrahim merupakan tangan kanan Sultan Ali Mughayat Syah yang paling berani dan setia. Ibrahimlah yang memimpin serangan-serangan Aceh Darussalam terhadap Portugis, Padir, Daya, dan Samudera Pasai, hingga akhirnya Ibrahim gugur sebagai pahlawan dalam pertempuran besar itu. Tanggal-tanggal yang ditemukan di prasasti-prasasti di atas dengan sendirinya mengandung arti untuk dijadikan pegangan dalam menentukan jalannya catatan sejarah di Aceh dalam masa-masa yang dimaksud.

‎Aceh adalah wilayah yang besar dan dihuni oleh beberapa pemerintahan besar pula. Selain Kesultanan Aceh Darussalam dan Samudera Pasai, di tanah ini telah berdiri pula Kerajaan Islam Lamuri selain Kesultanan Malaka yang memiliki peradaban besar di Selat Malaka. Kemunculan Kesultanan Aceh Darussalam tidak lepas dari eksistensi Kerajaan Islam Lamuri. Salah seorang sultan yang terkenal dari Kerajaan Islam Lamuri adalah Sultan Munawwar Syah. Sultan inilah yang kemudian dianggap sebagai moyangnya Sultan Aceh Darussalam yang terhebat, yakni Sultan Iskandar Muda. Pada akhir abad ke-15, dengan terjalinnya suatu hubungan baik dengan kerajaan tetangganya, maka pusat singgasana Kerajaan Lamuri dipindahkan ke Mahkota Alam, yang dalam perkembangannya menjadi Kesultanan Aceh Darussalam.

Sejarah Kesultanan Aceh Darussalam ternyata tidak termasuk dalam sejarah Islam pada umumnya dalam keseluruhan sejarah universal. Dalam Hikayat Aceh, seperti yang dianalis Denys Lombard dalam bukunya yang berjudul “Kerajaan Aceh Zaman Sultan Iskandar Muda (1607-1636)”, bab mengenai Kesultanan Aceh Darussalam hanyalah satu keping dari pekerjaan tatahan, satu batu dari gedung yang lebih besar, tetapi tertumpu pada tokoh satu orang, yaitu Sultan Iskandar Muda. Sultan terbesar dari Aceh ini justru bukan merupakan pemimpin dari generasi awal Kesultanan Aceh Darussalam. Meski siapa penulis Hikayat Aceh tidak diketahui dan tidak tersimpan pula tanggal mengenai penyusunan karyanya, namun bisa dikatakan bahwa Hikayat Aceh tersebut disusun selama masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1607-1636) dan bahwa raja itu menyuruh salah seorang pujangga istananya untuk menyusun riwayat hidupnya.

Mengenai asal-usul Aceh sendiri masih belum dapat dikuak dengan jelas karena, selain banyaknya versi, sedikit banyak sumber yang menjelaskan tentang riwayat Aceh masih sebatas mitos atau cerita rakyat. Masih menurut Lombard, sumber sejarah mengenai asal-usul Aceh yang berupa cerita-cerita turun-temurun tersebut sukar diperiksa kebenarannya. Mitos tentang orang Aceh, tulis Lombard, misalnya seperti yang dikisahkan oleh seorang pengelana Barat yang sempat singgah di Aceh. John Davis, nama musafir itu, mencatat bahwa orang Aceh mengganggap diri mereka keturunan dari Imael dan Hagar (Nabi Ismail dan Siti Hajar). Tiga abad kemudian, Snouck Hugronje mengungkapkan bahwa dia telah mendengar cerita tentang seorang ulama sekaligus hulubalang bernama Teungku Kutakarang (wafat pada November 1895), yang menganggap orang Aceh lahir dari percampuran dari orang Arab, Persi, dan Turki. Menurut analisis Lombard, hegemoni semacam ini sengaja diciptakan sebagai bentuk perlawanan terhadap penjajah Eropa

Dalam buku karya Rusdi Sufi dan Agus Budi Wibowo yang berjudul “Kerajaan-kerajaan Islam di Aceh” (2006), dikemukakan bahwa yang disebut Aceh ialah daerah yang sekarang dinamakan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (sebelumnya bernama Provinsi Daerah Istimewa Aceh). Tetapi pada masa Aceh masih sebagai sebuah kerajaan/kesultanan, yang dimaksud dengan Aceh ialah yang sekarang dikenal dengan Kabupaten Aceh Besar atau dalam bahasa Aceh disebut Aceh Rayeuk. Untuk nama ini, ada juga yang menyebutkan nama Aceh Lhee Sago (Aceh Tiga Sagi). Selain itu, terdapat pula yang menggunakan Aceh Inti (Aceh Proper),atau “Aceh yang sebenarnya” karena daerah itulah yang pada mulanya menjadi inti Kesultanan Aceh Darussalam dan juga letak ibukotanya, untuk menamakan Aceh.

Nama Aceh sering juga digunakan oleh orang-orang Aceh untuk menyebut ibukota kerajaannya, yakni yang bernama Bandar Aceh atau secara lengkapnya bernama Bandar Aceh Darussalam. Tentang nama Aceh belum ada suatu kepastian dari mana asal dan kapan nama Aceh itu mulai digunakan. Orang-orang asing yang pernah datang ke Aceh menyebutnya dengan nama yang berbeda-beda. Orang-orang Portugis dan Italia menyebutnya dengan nama “Achem”, “Achen”, dan “Aceh”, orang Arab menyebut “Asyi”. “Dachem”, “Dagin”, dan Dacin”, sedangkan orang Cina menyebutnya dengan nama “Atje” dan “Tashi”

Dalam karya Rusdi Sufi dan Agus Budi Wibowo yang lain, yaitu yang terangkum dalam buku dengan judul “Ragam Sejarah Aceh” (2004), disebutkan bahwa selain sebagai penyebutan nama tempat, Aceh juga merupakan nama salah satu suku bangsa atau etnis sebagai penduduk asli yang mendiami Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Terdapat cukup banyak etnis yang bermukim di wilayah Aceh, yakni etnis Aceh, Gayo, Alas, Tamiang, Aneuk, Jamee, Kluet, Simeulue, dan Singkil. Suku-suku bangsa yang mendiami wilayah Aceh, termasuk suku bangsa Aceh, itu telah eksis semenjak Aceh masih berupa sebuah kerajaan/kesultanan.

Sementara itu, menurut penelitian K.F.H. van Langen yang termaktub dalam karya ilmiah berjudul “Susunan Pemerintahan Aceh Masa Kesultanan” (1986), dituliskan bahwa menurut cerita-cerita rakyat, penduduk asli Aceh disebut Ureueng Mante. Sejauh mana riwayat itu dapat dianggap benar dan apakah Mante itu termasuk juga dalam suku Mantra yang mendiami daerah antara Selangor dan Gunung Ophir di Semenanjung Tanah Melayu, menurut van Langen, ini adalah pertanyaan-pertanyaan yang harus dipecahkan lagi dalam studi perbandingan bahasa Melayu-Polinesia. Tetapi sejauh masalah itu belum dapat dipecahkan, maka tetaplah bisa dianggap bahwa Mante adalah penduduk asal daerah Aceh, terutama karena nama itu tidak merujuk pada penduduk asal suku-suku bangsa lain.

Masuknya Kolonialisme Barat

Kedatangan bangsa Eropa, dalam hal ini Portugis selaku bangsa Eropa yang pertama kali tiba di Aceh, menjadi salah satu faktor utama runtuhnya Kerajaan Samudera Pasai, selain juga disebabkan serangan Majapahit. Pada 1508, atau kurang dari setahun setelah Sultan Ali Mughayat Syah memproklamirkan berdirinya Kesultanan Aceh Darussalam, armada Portugis pertama yang dipimpin Diogo Lopez de Sequeira tiba di perairan Selat Malaka. Armada de Sequeira ini terdiri dari empat buah kapal dengan perlengkapan perang. Namun, kedatangan rombongan calon penjajah asal Portugis yang pertama ini tidak membuahkan hasil yang gemilang dan terpaksa mundur akibat perlawanan dari laskar tentara Kesultanan Malaka.

Kedatangan armada Portugis yang selanjutnya pun belum menunjukkan peningkatan yang menggembirakan. Pada Mei 1521, penguasa Kesultanan Aceh Darussalam yang pertama, Sultan Ali Mughayat Syah, memimpin perlawanan dan berhasil mengalahkan armada Portugis yang dipimpin Jorge de Britto yang tewas dalam pertempuran di perairan Aceh itu. Dalam menghadapi Kesultanan Aceh Darussalam dan keberanian Sultan Ali Mughayat Syah, Portugis membujuk Kerajaan Pedir dan Samudera Pasai untuk mendukungnya. Setelah mengalami kekalahan dari Kesultanan Aceh Darussalam, armada Portugis kemudian melarikan diri ke Kerajaan Pedir, namun pasukan Aceh Darussalam tetap mengejar dan sukses menguasai wilayah Kerajaan Pedir. Pihak Portugis bersama Sultan Ahmad, Raja Kerajaan Pedir, melarikan diri lagi dan mencari perlindungan ke Samudera Pasai. Pasukan Sultan Ali Mughayat Syah meneruskan pengejarannya dan berhasil mematahkan perlawanan Pasai pada 1524. Sejumlah besar rampasan yang berupa alat-alat perang, termasuk meriam, digunakan tentara Aceh Darussalam untuk mengusir Portugis dari bumi Aceh.

Kekalahan Portugis tersebut sangat memalukan karena pasukan Aceh Darussalam mendapat barang-barang rampasan dari alat-alat perang milik Portugis yang lebih memperkuat Aceh Darussalam karenanya . Sultan Ali Mughayat Syah memang dikenal sebagai sosok pemimpin yang pemberani dan penakluk yang handal. Selain berhasil mengusir Portugis serta menundukkan Kerajaan Pedir dan Samudera Pasai, Kesultanan Aceh Darussalam di bawah pimpinan Sultan Ali Mughayat Syah, juga meraih kegemilangan dalam menaklukkan beberapa kerajaan lainnya di Sumatra, seperti Kerajaan Haru, Kerajaan Deli, dan Kerajaan Daya.  

Beberapa catatan dari Barat, salah satunya yang ditulis oleh C.R. Boxer, mengatakan bahwa menjelang tahun 1530 armada perang Kesultanan Aceh Darussalam sudah mendapat kelengkapan perang yang cukup lengkap dan mutakhir. Bahkan, sejarawan Portugis sendiri, Fernao Loper de Costanheda, menyebut bahwa Sultan Aceh (Ali Mughayat Syah) lebih banyak memperoleh pasokan meriam dibandingkan dengan benteng Portugis di Malaka sendiri. Selain itu, menurut pejalan dari Barat lainnya, Veltman, salah satu rampasan paling berharga dari Samudera Pasai yang berhasil dibawa pulang oleh Sultan Ali Mughayat Syah adalah lonceng besar yang kemudian diberi nama “Cakra Dunia”. Lonceng bersejarah merupakan hadiah dari Laksamana Cheng Ho kepada Raja Samudera Pasai ketika panglima besar dari Kekaisaran Tiongkok itu berkunjung ke Pasai pada awal abad ke-15.

Sultan Ali Mughayat Syah memerintah Kesultanan Aceh Darussalam hanya selama 10 tahun. Menurut prasasti yang ditemukan dari batu nisan Sultan Ali Mughayat Syah, pemimpin pertama Aceh Darussalam ini meninggal dunia pada 12 Dzulhijah tahun 936 Hijriah atau bertepatan dengan tanggal 7 Agustus 1530 Masehi. Kendati masa pemerintahan Sultan Mughayat Syah relatif singkat, namun ia berhasil membangun kerajaan Aceh yang besar dan kokoh. 

Sultan Ali Mughayat Syah juga meletakkan dasar-dasar politik luar negeri Kesultanan Aceh Darussalam, antara lain:
Mencukupi kebutuhan sendiri sehingga tidak tergantung pada pihak lain.
Menjalin persahabatan yang lebih erat dengan kerajaan-kerajaan Islam lain di nusantara
Bersikap waspada terhadap kolonialisme Barat.
Menerima bantuan tenaga ahli dari pihak luar.
Menjalankan dakwah Islam ke seluruh kawasan nusantara.

Sepeninggal Sultan Mughayat Syah, dasar-dasar kebijakan politik ini tetap dijalankan oleh sultan-sultan penggantinya. Sebagai penerus tahta Kesultanan Aceh Darussalam, diangkatlah putra sulung almarhum Sultan Mughayat Syah yang bernama Salah ad-Din sebagai penguasa Aceh Darussalam yang baru. Di bawah pemerintahan Sultan Salah ad-Din, Kesultanan Aceh Darussalam menyerang Malaka pada 1537 tetapi tidak berhasil. Tahun 1539, kepemimpinan Kesultanan Aceh Darussalam dialihkan kepada anak bungsu Mughayat Syah, yaitu Ala ad-Din Ri`ayat Syah al-Kahar atau yang sering dikenal juga dengan nama Sultan Mansur Syah. Adik dari Salah ad-Din ini perlahan-perlahan mengukuhkan kekuasaan Kesultanan Aceh Darussalam dengan melakukan beberapa gebrakan. Tidak lama setelah dinobatkan, pada tahun yang sama Sultan Ala ad-Din Ri`ayat Syah al-Kahar menyerbu orang-orang Batak yang tinggal di pedalaman. Menurut Mendez Pinto, pengelana yang singgah di Aceh pada 1539, balatentara Kesultanan Aceh di bawah pimpinan Sultan Ala ad-Din Ri`ayat Syah al-Kahar, terdiri atas laksar-laskar yang antara lain berasal dari Turki, Kambay, dan Malabar.

Hubungan Kesultanan Aceh Darussalam pada era Sultan Ala ad-Din Ri`ayat Syah al-Kahar dengan kerajaan-kerajaan mancanegara tersebut memang cukup solid. Pada 1569, misalnya, Sultan Ala ad-Din Ri`ayat Syah al-Kahar mengirimkan utusannya ke Istanbul untuk meminta bantuan meriam. Tidak hanya memberikan meriam beserta ahli-ahli senjata untuk dikirim ke Kesultanan Aceh Darussalam, penguasa Turki juga mengirimkan pasukan perang untuk mendukung Aceh melawan Portugis. Bahkan, Sultan Turki juga memerintahkan Gubernur-Gubernur Yaman, Aden, serta Mekkah untuk membantu laskar Turki yang sedang bertolak menuju Aceh. Laksamana Turki, Kurt Oglu Hizir, diserahi memimpin ekspedisi tersebut dengan tugas khusus mengganyang musuh Aceh, mempertahankan agama Islam, dan merampas benteng-benteng kafir.

Selain terus berteguh melawan kaum penjajah dari Barat, Sultan Ala ad-Din Ri`ayat Syah al-Kahar juga melakukan penyerangan terhadap kerajaan-kerajaan lokal yang membantu Portugis. Pasukan Aceh Darussalam menyerbu Kerajaan Malaka sebanyak dua kali (tahun 1547 dan 1568), menawan Sultan Johor karena membantu Portugis, serta berhasil mengalahkan Kerajaan Haru (Sumatra Timur) pada 1564. Untuk melegalkan kekuasaan Kesultanan Aceh Darussalam atas Kerajaan Haru, maka diangkatlah Abdullah, putra pertama Sultan Ala ad-Din Ri`ayat Syah al-Kahar, untuk memegang kendali pemerintahan Kerajaan Haru yang sudah takluk dan menjadi bagian dari kekuasaan Kesultanan Aceh Darussalam. Namun, berbagai peperangan besar antara Kesultanan Aceh Darussalam melawan Portugis memakan banyak korban dari kedua belah pihak yang berseteru. Dalam suatu pertempuran yang terjadi pada 16 Februari 1568, Sultan Ala ad-Din Ri`ayat Syah al-Kahar kehilangan putra tercintanya, Sultan Abdullah yang memimpin bekas wilayah Kerajaan Haru.

Sultan Ala ad-Din Ri`ayat Syah al-Kahar tutup usia pada 8 Jumadil Awal tahun 979 Hijriah atau 28 September 1571 Masehi. Karena putra mahkota, Abdullah, gugur dalam sebuah pertempuran melawan Portugis, maka yang diangkat untuk meneruskan tampuk tertinggi tahta Kesultanan Aceh Darussalam adalah anak kedua almarhum yang bergelar Sultan Husin Ibnu Sultan Ala`uddin Ri`ayat Syah atau yang juga sering dikenal dengan nama Ali Ri`ayat Syah. Sultan Husin Ibnu Sultan Ala`uddin Ri`ayat Syah merupakan sosok pemimpin yang pengasih dan penyayang rakyatnya. Di bidang politik serta pertahanan dan keamanan, Sultan Husin Ibnu Sultan Ala`uddin Ri`ayat Syah berusaha meneruskan perjuangan ayahandanya dalam upaya mengusir kolonialis Portugis dari bumi Aceh. Akan tetapi, pergerakan Sultan ini tidak segemilang sang ayah kendati dia sudah melalukan penyerangan ke Malaka hingga dua kali selama kurun 1573-1575. Ketahanan Sultan Husin Ibnu Sultan Ala`uddin Ri`ayat Syah semakin limbung ketika Aceh Darussalam menyerang Johor pada 1564, di mana Sultan ditangkap dan menjadi tawanan perang. Akhir pemerintahan Sultan Husin Ibnu Sultan `Ala`uddin Ri`ayat Syah, yang memimpin Kesultanan Aceh Darussalam selama 7 tahun, berakhir ketika sang Sultan wafat pada 12 Rabi`ul Awal tahun 987 Hijriyah atau bertepatan dengan tanggal 8 Juni 1578 dalam tahun Masehi.

Sepeninggal Sultan Husin Ibnu Sultan Ala`uddin Ri`ayat Syah, Kesultanan Aceh Darussalam memasuki masa-masa suram. Pengganti Sultan Ala`uddin Ri`ayat Syah dipercayakan kepada anaknya, Sultan Muda, namun pemerintahannya hanya bertahan selama 7 bulan. Karena ketika wafat Sultan Muda masih berusia belia dan belum memiliki keturunan, maka yang diangkat sebagai penggantinya adalah Sultan Sri Alam yang merupakan anak dari Sultan Ala ad-Din Ri`ayat Syah al-Kahar, penguasa ke-4 Kesultanan Aceh Darussalam. Akan tetapi, Sultan Sri Alam, yang sebelumnya menjadi raja kecil di Pariaman (Sumatra Barat), ternyata tidak becus dalam mengelola Kesultanan Aceh Darussalam. Dalam waktu singkat, hanya 2 bulan memerintah, Sultan Sri Alam pun mati terbunuh.

Roda pemerintahan Kesultanan Aceh Darussalam selanjutnya dijalankan oleh Sultan Zainal Abidin. Pemimpin Kesultanan Aceh Darussalam kali ini adalah cucu dari Sultan `Ala ad-Din Ri`ayat Syah al-Kahar atau anak dari Sultan Abdullah, pemimpin wilayah Haru yang tewas ketika pertempuran melawan Portugis. Sama seperti penguasa sebelumnya, Sultan Zainal Abidin juga tidak mampu memimpin Kesultanan Aceh Darussalam dengan baik. Bahkan, Sultan ini merupakan sosok yang bengis, kejam, dan haus darah. Sultan Zainal Abidin tidak segan-segan membunuh demi memuaskan nafsu dan ambisinya. Sultan yang memerintah dengan tangan besi ini memimpin Kesultanan Aceh Darussalam selama 10 bulan sebelum tewas pada 5 Oktober 1579.

Setelah era tirani Sultan Zainal Abidin berakhir, penerus kepemimpinan Kesultanan Aceh Darussalam sempat bergeser dari garis darah yang mula-mula. Dikisahkan, pada sekitar tahun 1577 Kesultanan Aceh Darussalam menyerang Kesultanan Perak dan berhasil menewaskan pemimpin Kesultanan Perak, yakni Sultan Ahmad. Permaisuri Sultan Ahmad beserta 17 orang putra-putrinya dibawa ke Aceh sebagai bagian dari rampasan perang. Putra tertua Sultan Ahmad, bernama Mansur, dikawinkan dengan seorang putri Sultan Aceh Darussalam yang bernama Ghana. Tidak lama kemudian, Mansur ditabalkan menjadi pemimpin Kesultanan Aceh Darussalam menggantikan Sultan Zainal Abidin, dengan gelar Sultan Ala al-Din Mansur Syah, dinobatkan pada 1579. Sultan yang bukan berasal dari keturunan langsung sultan-sultan pendiri Kesultanan Aceh Darussalam ini, berasal dari etnis Melayu Perak, adalah sosok yang alim, shaleh, adil, tapi juga keras dan tegas. Pada masa kepemimpinan Sultan Mansur Syah, Kesultanan Aceh Darussalam nuansa agama Islam sangat kental dalam kehidupan masyarakatnya. Untuk mendukung kebijakan itu, Sultan Mansur Syah mendatangkan guru-guru agama dan ulama ternama dari luar negeri. Namun, kepemimpinan agamis yang diterapkan Sultan Mansur Syah ternyata tidak membuat Aceh Darussalam berhenti bergolak. Pada 12 Januari 1585, ketika rombongan Kesultanan Aceh Darussalam dalam perjalanan pulang dari lawatannya ke Perak, Sultan Mansur Syah terbunuh.

Gugurnya Sultan Mansur Syah membuat garis tahta Kesultanan Aceh Darussalam kembali rumit untuk menentukan siapa yang berhak menjadi pemimpin Aceh Darussalam yang selanjutnya. Atas mufakat para orang besar (tokoh-tokoh adat dan kesultanan yang berpengaruh dan dihormati), maka diputuskan bahwa yang berhak menduduki tahta Kesultanan Aceh Darussalam untuk menggantikan Sultan Mansur Syah adalah Sultan Buyong dengan gelar Sultan Ali Ri`ayat Syah Putra yang merupakan anak dari penguasa Inderapura, Sultan Munawar Syah. Namun, lagi-lagi kekuasaan pucuk pimpinan Kesultanan Aceh Darussalam tidak langgeng. Sultan Ali Ri`ayat Syah Putra meninggal dunia pada 1589 dalam suatu peristiwa pembunuhan. Sebenarnya, yang akan dijadikan pemimpin Aceh Darussalam sebelumnya adalah Raja Ayim, cucu Sultan Mansur Syah, akan tetapi calon sultan muda ini juga tewas terbunuh.

Pemimpin Kesultanan Aceh Darussalam yang berikutnya adalah Sultan Ala`udin Ri`ayat Syah Said Al-Mukammal Ibnu Sultan Firmansyah (1589-1604). Pada era Sultan Ala`udin Ri`ayat Syah Said Al-Mukammal berkuasa, kolonialisme Eropa kian merasuki bumi nusantara dengan mulai masuknya Inggris dan Belanda. Tanggal 21 Juni 1595, armada dagang Belanda yang dipimpin de Houtman bersaudara, Cornelis dan Frederick, tiba di Aceh. Cornelis memimpin kapal “De Leeuw” sementara Frederick bertindak sebagai kapten kapal “De Leeuwin”. Pada awalnya kedatangan orang-orang Belanda disambut hangat oleh penduduk Aceh. Akan tetapi, kemunculan kaum pedagang Belanda di Aceh ternyata dianggap menimbulkan ancaman tersendiri bagi orang-orang Portugis yang sudah berada di sana sebelumnya. Portugis sendiri pada akhirnya dapat dilenyapkan dari bumi Aceh Darussalam pada 1606 berkat kegemilangan serangan yang dipimpin oleh Perkasa Alam yang kelak menjadi Sultan Aceh Darussalam dan mashyur dengan nama Sultan Iskandar Muda.

Masa Keemasan di Era Sultan Iskandar Muda

Ketika Houtman bersaudara beserta rombongan armada Belanda tiba di Aceh, hubungan yang terjalin antara Aceh dan Belanda berlangsung dengan kedudukan yang setara, terutama dalam hal urusan perniagaan dan diplomatik. Mengenai hubungan perdagangan, de Houtman bersaudara atas nama kongsi dagang Belanda, meminta kepada Sultan Ala`udin Ri`ayat Syah Said Al-Mukammal sebagai pemimpin Kesultanan Aceh Darussalam, agar diperbolehkan membawa lada dan rempah-rempah dari Aceh. Sebagai gantinya, de Houtman berjanji akan membantu Sultan Ala`udin Ri`ayat Syah Said Al-Mukammal untuk memukul Johor yang saat itu sedang berseteru dengan Kesultanan Aceh Darussalam. Selama Sultan Ala`udin Ri`ayat Syah Said Al-Mukammal memerintah selama 20 tahun, Kesultanan Aceh Darussalam terus-menerus terlibat pertikaian besar dengan Kesultanan Johor. Perselisihan antara Sultan Ala`udin Ri`ayat Syah Said Al-Mukammal dan de Houtman mulai timbul ketika orang-orang Belanda yang berada di Aceh mulai bersikap tidak sopan. Frederick de Houtman beberapa kali mengatakan kebohongan ketika berbicara dengan Sultan Aceh Darussalam.

Salah satu tindakan dusta yang dilakukan Frederick de Houtman adalah ketika Sultan Ala`udin Ri`ayat Syah Said Al-Mukammal menanyakan di mana letak negeri Belanda dan berapa luasnya. Frederick de Houtman lalu membuka peta bumi dan ditunjukkanlah pada Sultan bahwa negeri Belanda itu besar, meliputi hampir seluruh benua Eropa, yakni antara Moskow (Rusia) sampai dengan Venezia (Italia). Akan tetapi Sultan Ala`udin Ri`ayat Syah Said Al-Mukammal tidak begitu saja percaya terhadap bualan Frederick de Houtman itu. Secara diam-diam, Sultan bertanya kepada orang Portugis bagaimana sebetulnya negeri Belanda itu. Orang Portugis tersebut tentu saja menjawab yang sebenarnya bahwa negeri Belanda hanya satu bangsa kecil, bahwa negeri Belanda adalah negeri yang tidak punya raja (karena pada waktu itu Belanda merupakan negara republik yang baru saja dicetuskan, yakni Bataafsche Republik.

Sultan Ala`udin Ri`ayat Syah Said Al-Mukammal tentu saja murka karena telah diperdayai oleh orang asing yang menetap di wilayahnya. Maka kemudian Sultan Ala`udin Ri`ayat Syah Said Al-Mukammal memerintahkan tentaranya untuk mencari, menangkap, dan kemudian memenjarakan Frederick de Houtman. Konon, lima orang anak buah kapal Frederick de Houtman dibebaskan karena bersedia masuk Islam. Rakyat Kesultanan Aceh Darussalam bertambah geram terhadap awak-awak kapal Belanda karena kelakuan mereka yang dinilai melewati batas. Ketika salah satu kapal Belanda merapat ke Pulau Malavidam yang terletak di Lautan Hindia antara Sumatra dan Srilangka, Cornelis de Houtman, saudara laki-laki Frederick, berkelakuan tidak sopan. Diceritakan, Cornelis telah memaksa istri dari seorang tokoh masyarakat di pulau itu supaya berjalan di hadapan orang-orang Belanda dalam keadaan telanjang bulat. Setelah itu, Cornelis dengan paksa merampas barang-barang perhiasan yang menempel di tubuh perempuan malang tersebut.

Kekejaman orang-orang Belanda belum berhenti. Tidak lama setelah peristiwa memalukan di Pulau Malavidam, terjadi perampasan yang dilakukan oleh para awak kapal Belanda terhadap kapal-kapal dan perahu-perahu milik nelayan Aceh. Laksamana van Caerden, pemimpin kapal Belanda itu, tidak segan-segan menyerang dan menenggelamkan kapal-kapal Aceh yang ditemuinya. Kelakuan orang-orang Belanda tersebut jelas menimbulkan ketegangan dengan pihak Kesultanan Aceh Darussalam dan kondisi ini ternyata menyulitkan pihak Belanda. Jika bermusuhan terus dengan Aceh, kerugiannya teramat besar, selain keamanan pelayaran laut, juga sumber perdagangan di bagian itu tidak dapat direbut Belanda dari Portugis.

Ketika Portugis dan Belanda berebut pengaruh di tanah Aceh, Kesultanan Aceh Darussalam justru mengalami konflik internal. Pada April 1604, anak kedua Sultan Ala`udin Ri`ayat Syah Said Al-Mukammal, yaitu Sultan Muda, melakukan kudeta terhadap ayahnya sendiri, lalu memproklamirkan dirinya menjadi sultan dengan gelar Sultan Ali Ri`ayat Syah. Sebelumnya, Sultan Muda pernah diangkat sebagai wakil Sultan Ala`udin Ri`ayat Syah Said Al-Mukammal, untuk memimpin Pedir yang telah berhasil ditaklukkan. Namun, karena kinerja Sultan Muda dinilai tidak memuaskan, maka kemudian ia ditarik kembali ke Aceh Darussalam untuk membantu ayahnya sekaligus mendalami pengalaman dalam mengelola pemerintahan. Kedudukan Sultan Muda di Pedir digantikan oleh saudaranya, Sultan Husin, yang sebelumnya diserahi tugas untuk mengkoordinir wilayah Pasai. Dari sinilah mulai timbul keinginan dari Sultan Muda untuk merebut tahta ayahnya, terlebih lagi sang putra mahkota, anak pertama Sultan Ala`udin Ri`ayat Syah Said Al-Mukammal yang bernama Mahadiradja, telah gugur dalam suatu pertempuran. Tidak lama kemudian, masih di tahun 1604 itu, Sultan Ala`udin Ri`ayat Syah Said Al-Mukammal akhirnya menutup mata.

Pemerintahan baru di bawah komando Sultan Muda alias Sultan Ali Ri`ayat Syah ternyata menimbulkan ketidakpuasan dari beberapa pihak, termasuk dari saudaranya sendiri, yakni Sultan Husin yang berkuasa di Pedir. Rasa tidak puas atas kepemimpinan Sultan Ali Ri`ayat Syah di Kesultanan Aceh Darussalam juga ditunjukkan oleh seorang anak muda yang pemberani, bernama Darma Wangsa atau yang dikenal juga dengan panggilan kehormatan: Perkasa Alam. Karena Sultan Ali Ri`ayat Syah memandang bahwa pergerakan Perkasa Alam cukup membahayakan, maka kemudian Sultan Ali Ri`ayat Syah mengeluarkan perintah penangkapan terhadap Perkasa Alam. Namun, Perkasa Alam terlebih dulu mengetahui rencana itu dan lantas meminta perlindungan kepada Sultan Husin di Pedir.

Sultan Ali Ri`ayat Syah semakin murka dan kemudian dilakukanlah serangan yang cukup besar terhadap Pedir. Alhasil, Perkasa Alam dapat ditangkap dan dipenjarakan. Daro balik kurungan, Perkasa Alam mendengar bahaya-bahaya yang terjadi akibat agitasi Portugis dan tidak stabilnya kondisi rakyat Kesultanan Aceh Darussalam karena ketidakbecusan Sultan Ali Ri`ayat Syah. Maka dari itulah, Perkasa Alam kemudian mengirimkan pesan kepada Sultan Ali Ri`ayat Syah bahwa sekiranya dia dibebaskan dari penjara dan diberi perlengkapan senjata, dia berjanji akan dapat mengusir Portugis dari bumi Serambi Mekkah. Boleh jadi karena Sultan Ali Ri`ayat Syah sudah frustasi dengan kekisruhan yang ditimbulkan oleh Portugis, maka permintaan Perkasa Alam tersebut dikabulkan. Perkasa Alam kemudian memimpin perang melawan Portugis secara habis-habisan dan hasilnya memang tidak mengecewakan. Sekitar 300 orang serdadu Portugis tewas akibat serangan jitu yang dikomandani Perkasa Alam. Benteng yang diduduki Portugis dapat direbut kembali oleh pasukan Perkasa Alam. Karena mengalami kekalahan terbesar, Portugis memutuskan untuk lari dari Aceh dan mundur ke Malaka. Namun, di tengah jalan mereka berpapasan dengan armada Belanda yang kemudian menyerang mereka sehingga Portugis benar-benar terpukul mundur dan hancur.

Tanggal 4 April 1607, Sultan Ali Ri`ayat Syah mangkat. Terjadilah sedikit ketegangan sepeninggal Sultan Ali Ri`ayat Syah ihwal siapa yang berhak menyandang gelar sebagai Sultan Aceh Darussalam berikutnya. Perkasa Alam muncul sebagai kandidat terkuat karena didukung oleh segenap tokoh adat yang berpengaruh. Tidak seberapa lama, tersiarlah kabar bahwa Perkasa Alam didaulat menjadi penguasa Kesultanan Aceh Darussalam. Sultan baru inilah yang kemudian terkenal dengan nama Sultan Iskandar Muda Johan Pahlawan Meukuta Alam. Kendati suasana berlangsung sedikit tegang, namun dalam waktu yang relatif tidak lama, Perkasa Alam atau yang bergelar sebagai Sultan Iskandar Muda, mampu menguasai keadaan dengan mengkoordinir alat-alat pemerintah, sipil, dan militer, sehingga kedudukannya sebagai Sultan Aceh Darussalam semakin teguh.

Perkasa Alam lahir pada 1590. Anak muda gagah perkasa ini adalah keturunan dari pemimpin Aceh Darussalam terdahulu, Sultan Ala ad-Din Ri`ayat Syah al-Kahar. Perkasa Alam juga dikenal dengan beberapa nama lain, di antaranya Darmawangsa dan Tun Pangkat. Setelah memegang tampuk kepemimpinan Kesultanan Aceh Darussalam dan menyandang nama Sultan Iskandar Muda, gelarnya pun bertambah sebagai Mahkota Alam. Selain itu, Sultan Aceh Darussalam yang terbesar ini juga dikenal dengan nama kehormatan Sri Perkasa Alam Johan Berdaulat. Kadang-kadang orang menyebutnya dengan menyatukan nama-nama itu, yakni menjadi Perkasa Alam Maharaja Darmawangsa Tun Pangkat. Berbagai nama dan gelar ini menunjukkan betapa mashurnya Sultan Iskandar Muda, baik di dalam maupun di luar Aceh, di dalam dan di luar kepulauan nusantara, sejak masa itu dan untuk beberapa waktu lamanya, bahkan hingga kini. Di dalam negeri Aceh sendiri tidak ada seorang putra Aceh yang tidak mengenal nama ini dari masa itu. Tiap-tiap orang sampai ke pelosok, tahu siapa Iskandar Muda, demikian sejak beratus-ratus tahun hingga sekarang.

Setelah berjaya menduduki tahta tertinggi Kesultanan Aceh Darussalam, Perkasa Alam yang bergelar Sultan Iskandar Muda segera merancang program untuk meluaskan wilayah Kesultanan Aceh Darussalam. Beberapa misi yang diusung dalam rangka program tersebut adalah antara lain:

Menguasai seluruh negeri dan pelabuhan di sebelah-menyebelah Selat Malaka, dan menetapkan terjaminnya wibawa atas negeri-negeri itu sehingga tidak mungkin kemasukan taktik licik pemecah-belah “devide et impera” yang diterapkan kaum penjajah dari Barat.
Memukul Johor supaya tidak lagi dapat ditunggangi oleh Portugis ataupun Belanda.
Memukul negeri-negeri di sebelah timur Malaya, sejauh yang merugikan pedagang-pedagang Aceh dan usahanya untuk mencapai kemenangan dari musuh, seperti Pahang, Patani, dan lain-lain.
Memukul Portugis dan merampas Malaka.
Menaikkan harga pasaran hasil bumi untuk ekspor, dengan jalan memusatkan pelabuhan samudera ke satu pelabuhan di Aceh, atau sedikit-dikitnya mengadakan pengawasan yang sempurna sedemikian rupa sehingga kepentingan kerajaan tidak dirugikan.

Semenjak Sultan Iskandar Muda memegang kendali pemerintahan Kesultanan Aceh Darussalam, wilayah Aceh sendiri di sebelah timur sampai ke Tamiang disusun kembali, dan di sebelah barat, terutama daerah-daerah di luar Aceh yang sudah dikuasai, seperti Natal, Paseman, Tiku, Pariaman, Salida, dan Inderapura, kembali dipercayakan kepada pembesar-pembesar yang cukup berwibawa dan ahli menjalankan tugas untuk mengatur cukai-cukai dan pendapatan lain bagi pemasukan Kesultanan Aceh Darussalam.

Sementara itu, setelah kekalahan Portugis, Belanda pun harus berpikir ulang dalam meneruskan usahanya untuk menduduki Aceh karena memperhitungkan posisi Sultan Iskandar Muda. Maka dari itu, sejak tahun 1606, Belanda lebih memusatkan perhatiannya ke tempat-tempat lain di luar Aceh. Mau tidak mau, Belanda harus memasang siasat dengan mendahulukan kepentingan untuk menguasai tempat-tempat lain, terutama Jawa dan Maluku. Belanda, di bawah kendali Gubernur Jenderal Jan Pieterszoon Coen, memimpin Hindia Belanda sebanyak dua periode yakni pada 1619–1623 dan 1627–1629, sangat sadar bahwa Aceh saat itu tidak akan bisa dihadapi dengan cara militer. Coen menganggap lebih baik menjalankan politik adu domba atau pemecah belah saja. Tidak hanya Belanda saja yang gentar melihat kebesaran Kesultanan Aceh Darussalam di bawah komando Sultan Iskandar Muda, Inggris pun merasakan kecemasan yang sama. Untuk itulah kemudian Inggris lebih berkonsetrasi untuk beroperasi di daerah-daerah yang bukan menjadi wilayah kekuasaan Kesultanan Aceh Darussalam.

Kesultanan Aceh Darussalam memiliki angkatan perang yang kuat sehingga mendukung upaya Sultan Iskandar Muda untuk meluaskan daerah kekuasaannya. Dalam masa Sultan Iskandar Muda, seluruh Pantai Barat Sumatra hingga Bengkulu telah berada dalam kuasa Aceh Darussalam. Di tempat-tempat tersebut, terutama di pelabuhannya seperti Pariaman, Tiku, Salida, Indrapura, dan lain-lainnya, ditempatkanlah seorang panglima untuk memimpin masing-masing daerah taklukan. Kekuasaan Kesultanan Aceh Darussalam di bawah Sultan Iskandar Muda juga sudah meluas di seluruh Sumatra Timur. Dengan jatuhnya Pahang, Kedah, Patani, dan Perak, boleh dikatakan masa itu Semenanjung Melayu dengan Sumatra Timur, termasuk Siak, Indragiri, Lingga, serta wilayah-wilayah di selatannya, di mana di dalamnya terdapat Palembang dan Jambi, sudah menjadi bagian dari imperium Kesultanan Aceh Darussalam.

Di bawah kepemimpinan Sultan Iskandar Muda, Kesultanan Aceh Darussalam mengalami puncak masa keemasan. Permintaan akan lada, yang kala itu menjadi komoditas yang cukup laku di pasaran Eropa, terus meningkat sehingga harganya pun melambung tinggi. Dalam keadaan demikian, bisa dikatakan hampir seluruh bandar dagang dan pelabuhan yang menghasilkan lada di seantero Sumatra dan Malaya, demikian juga dengan hasil-hasil lainnya, termasuk timah, telah berada di dalam koordinasi kekuasaan Sultan Iskandar Muda. Tidaklah mengherankan jika perekonomian Kesultanan Aceh Darussalam semakin mantap. Kas kesultanan bertambah penuh, pembangunan angkatan perang dapat diselenggarakan dengan lancar, demikian juga dengan pembangunan di sektor-sektor lain.

Di sisi lain, Sultan Iskandar Muda ternyata masih penasaran dengan Portugis yang berlindung di Malaka. Aceh melihat kedudukan Portugis di Malaka merupakan suatu ancaman besar. Kendati sudah dalam kondisi terdesak, Portugis masih saja melakukan kegiatannya dengan menghubungi negeri-negeri kecil yang sudah berada dalam kekuasaan Kesultanan Aceh Darussalam. Jadi, mau tidak mau Malaka dan Portugis harus dikalahkan dan untuk itu rencana menyerang Malaka tetap merupakan program yang selalu harus dijalankan dengan segera. Realisasi dari rencana itu terjadi pada 1629 di mana angkatan perang Kesultanan Aceh Darussalam menyiapkan pasukan berkekuatan 236 buah kapal dengan 20.000 prajuritnya.

Ketika armada perang Kesultanan Aceh Darussalam tiba di perairan Malaka, terlibatlah pertempuran di laut melawan armada Portugis. Aceh menang telak dalam perang ini sehingga pecahlah kekuatan angkatan laut Portugis. Hal yang sama juga terjadi dalam pertempuran darat. Angkatan perang Aceh Darussalam yang perkasa mengurung laskar tentara Portugis selama berbulan-bulan hingga tidak berkutik. Meski di atas angin, namun Sultan Iskandar Muda ternyata bisa lalai juga. Karena terlalu berkonsentrasi dalam upaya pengepungan, angkatan perang Aceh Darussalam tidak memperhitungkan, dengan tidak mengadakan penjagaan yang ketat di laut, adanya bantuan-bantuan dari luar kepada Portugis. Portugis sendiri telah mengantisipasi strategi pengepungan oleh Aceh Darussalam dengan menyediakan bahan makanan di dalam benteng untuk berbulan-bulan lamanya.

Tidak lama semenjak pengepungan yang ketat itu, tibalah kapal-kapal yang membawa bala bantuan untuk Portugis yang sangat banyak dari Pahang. Pada saat angkatan perang Aceh Darussalam menghadapi bantuan dari Pahang itu, datang lagi bala bantuan untuk Portugis dari Goa, Sulawesi, yang dipimpin langsung oleh Nuno Alvares Bethelho, Gubernur Jenderal Portugis untuk Goa. Nuno Alvares sampai datang sendiri memimpin armadanya untuk membebaskan Portugis di Malaka yang sudah terkepung itu. Dengan demikian dapat dikatakan, di antara beberapa pendaratan Aceh dan pertempurannya di Malaka, mulai dari awal Portugis menduduki kota itu, sampai pada pertempuran di tahun-tahun 1547, 1568, 1579, dan lain-lainnya, yang terjadi di tahun 1629 itulah yang menjadi pertempuran paling hebat. Dalam peperangan besar itu, karena dikeroyok oleh beberapa kekuatan musuh yang besar, akhirnya angkatan perang Kesultanan Aceh Darussalam mengalami kekalahan. Sejak kekalahan di Malaka itu, Kesultanan Aceh Darussalam tidak lagi mengalami kemajuan dalam kancah politik luar negeri. Selain itu, dikabarkan pula beberapa tahun kemudian pihak Kerajaan Pahang/Johor sendiri menjalin hubungan persahabatan kembali dengan Aceh Darussalam. Hal tersebut disebabkan karena telah terjadi pernikahan antara putri Sultan Iskandar Muda dengan putra Raja Ahmad, pemimpin Pahang, bernama Iskandar Tsani yang kelak menjadi Sultan Aceh Darussalam menggantikan Sultan Iskandar Muda.

Pemimpin terbesar Kesultanan Aceh Darussalam, Sultan Iskandar Muda, akhirnya meninggal dunia pada 28 Rajab 1046 Hijiriah atau 27 Desember 1636 Masehi, dalam usia yang relatif masih muda, 46 tahun. Menurut T.H. Zainuddin seperti yang dikutip oleh H. Mohammad Said dalam bukunya bertajuk “Aceh Sepanjang Abad", Sultan Iskandar Muda mempunyai 3 orang anak. Pertama adalah seorang anak perempuan bernama Puteri Sri Alam, yang merupakan buah hati Sultan dengan Permaisuri dari Reubee. Kedua, dari selir yang berasal dari Habsyi, Sultan Iskandar Muda memperoleh anak lelaki bernama Imam Hitam, yang kelak menurunkan Panglima Polim. Anak terakhir Sultan Iskandar Muda adalah Meurah Peupo, diperoleh dari istri selir yang berasal dari Gayo. Menurut adat serta hukum yang berlaku di Aceh saat itu, anak dari gundik/selir tidak bisa diangkat menjadi Raja. Sepeninggal Sultan Iskandar Muda, eksistensi Kesultanan Aceh Darussalam masih terus berlanjut kendati belum bisa mencapai kejayaan seperti yang diperoleh semasa kepemimpinan Sultan Iskandar Muda.

Keruntuhan Kesultanan Aceh Darussalam

Kesultanan Aceh Darussalam pernah pula dipimpin oleh seorang raja perempuan. Ketika Sultan Iskandar Tsani mangkat, sebagai penggantinya adalah Taj`al-`Alam Tsafiatu`ddin alias Puteri Sri Alam, istri dari Sultan Iskandar Tsani yang juga anak perempuan Sultan Iskandar Muda. Ratu yang dikenal juga dengan nama Sri Ratu Safi al-Din Taj al-Alam ini memerintah Kesultanan Aceh Darussalam selama 34 tahun (1641-1675). Masa pemerintahan Sang Ratu diwarnai dengan cukup banyak upaya tipu daya dari pihak asing serta bahaya pengkhianatan dari orang dalam istana. Masa pemerintahan Ratu Taj`al-`Alam Tsafiatu`ddin selama 34 tahun itu tidak akan bisa dilalui dengan selamat tanpa kebiksanan dan keluarbiasaan yang dimiliki oleh Sang Ratu. Dalam segi ini, Aceh Darussalam bisa membanggakan sejarahnya karena telah mempunyai tokoh wanita yang luar biasa di tengah rongrongan kolonialis Belanda yang semakin kuat.

Pemerintahan Kesultanan Aceh Darussalam sepeninggal Ratu Taj`al-`Alam Tsafiatu`ddin yang wafat pada 23 Oktober 1675 masih diteruskan oleh pemimpin perempuan hingga  beberapa era berikutnya. Adalah Sri Paduka Putroe dengan gelar Sultanah Nurul Alam Naklatuddin Syah yang menjadi pilihan para tokoh adat dan istana untuk memegang tampuk pemerintahan Kesultanan Aceh Darussalam yang selanjutnya. Konon, dipilihnya Ratu yang juga sering disebut dengan nama Sri Ratu Naqi al-Din Nur al-Alam ini dilakukan untuk mengatasi usaha-usaha perebutan kekuasaan oleh beberapa pihak yang merasa berhak. Namun pemerintahan Sri Ratu Naqi al-Din Nur al-Alam hanya bertahan selama 2 tahun sebelum akhirnya Sang Ratu menghembuskan nafas penghabisan pada 23 Januari 1678. Dua pemimpin Kesultanan Aceh Darussalam setelah Sri Ratu Naqi al-Din Nur al-Alam masih dilakoni kaum perempuan, yaitu Sri Ratu Zaqi al-Din Inayat Syah (1678-1688),dan kemudian Sri Ratu Kamalat Syah Zinat al-Din (1688-1699).

Setelah era kebesaran Sultan Iskandar Muda berakhir, Belanda mencium peluang untuk kembali mengusik tanah Aceh. Memasuki paruh kedua abad ke-18, Aceh mulai terlibat konflik dengan Belanda dan Inggris. Pada akhir abad ke-18, wilayah kekuasaan Aceh di Semenanjung Malaya, yaitu Kedah dan Pulau Pinang dirampas oleh Inggris. Tahun 1871, Belanda mulai mengancam Aceh, dan pada 26 Maret 1873, Belanda secara resmi menyatakan perang terhadap Aceh. Dalam perang tersebut, Belanda gagal menaklukkan Aceh. Pada 1883, 1892 dan 1893, perang kembali meletus, namun, lagi-lagi Belanda gagal merebut Aceh.

Memasuki abad ke-20, dilakukanlah berbagai cara untuk dapat menembus kokohnya dinding ideologi yang dianut bangsa Aceh, termasuk dengan menyusupkan seorang pakar budaya dan tokoh pendidikan Belanda, Dr. Snouck Hugronje, ke dalam masyarakat adat Aceh. Snouck Hugronje sangat serius menjalankan tugas ini, bahkan sarjana dari Universitas Leiden ini sempat memeluk Islam untuk memperlancar misinya. Di dalaminya pengetahuan tentang agama Islam, demikian pula tentang bangsa-bangsa, bahasa, adat-istiadat di Indonesia dan perihal yang khusus mengenai pengaruh-pengaruhnya bagi jiwa dan raga penduduk. 

Snouck Hugronje menyarankan kepada pemerintah kolonial Hindia Belanda agar mengubah fokus serangan yang selama ini selalu berkonsentrasi ke Sultan dan kaum bangsawan, beralih kepada kaum ulama. Menurut Snouck Hugronje, tulang punggung perlawanan rakyat Aceh adalah kaum ulama. Oleh sebab itu, untuk melumpuhkan perlawanan rakyat Aceh, maka serangan harus diarahkan kepada kaum ulama Aceh tersebut. 

Secara lebih detail, Snouck Hugronje menyimpulkan hal-hal yang harus dilakukan untuk dapat menguasai Aceh, antara lain:

Hentikan usaha mendekat Sultan dan orang besarnya.
Jangan mencoba-coba mengadakan perundingan dengan musuh yang aktif, terutama jika mereka terdiri dari para ulama.
Rebut lagi Aceh Besar.
Untuk mencapai simpati rakyat Aceh, giatkan pertanian, kerajinan, dan perdagangan.
Membentuk biro informasi untuk staf-staf sipil, yang keperluannya memberi mereka penerangan dan mengumpulkan pengenalan mengenai hal ihwal rakyat dan negeri Aceh.
Membentuk kader-kader pegawai negeri yang terdiri dari anak bangsawan Aceh dan membikin korps pangrehpraja senantiasa merasa diri kelas memerintah.

Saran ini kemudian diikuti oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda dengan menyerang basis-basis para ulama, sehingga banyak masjid dan madrasah yang dibakar Belanda. Saran Snouck Hugronje membuahkan hasil: Belanda akhirnya sukses menaklukkan  Aceh. Pada 1903, kekuatan Kesultanan Aceh Darussalam semakin melemah seiring dengan menyerahnya Sultan  M. Dawud kepada Belanda. Setahun kemudian, tahun 1904, hampir seluruh wilayah Aceh berhasil dikuasai Belanda. Walaupun demikian, sebenarnya Aceh tidak pernah tunduk sepenuhnya terhadap penjajah. Perlawanan yang dipimpin oleh tokoh-tokoh adat dan masyarakat tetap berlangsung. Aceh sendiri cukup banyak memiliki sosok pejuang yang bukan berasal dari kalangan kerajaan, sebut saja: Cik Dik Tiro, Panglima Polim, Cut Nya` Dhien, Teuku Umar, Cut Meutia, dan lain-lainnya. Akhir kalam, sepanjang riwayatnya, Kesultanan Aceh Darussalam telah dipimpin lebih dari tigapuluh sultan/ratu. Jejak yang panjang ini merupakan pembuktian bahwa Kesultanan Aceh Darussalam pernah menjadi peradaban besar yang sangat berpengaruh terhadap riwayat kemajuan di bumi Melayu.

Silsilah Raja Aceh

Sepanjang riwayat dari awal berdiri hingga keruntuhannya, Kesultanan Aceh Darussalam tercatat telah berganti sultan hingga tigapuluh kali lebih. Berikut ini silsilah para sultan/sultanah yang pernah berkuasa di Kesultanan Aceh Darussalam:

Sultan Ali Mughayat Syah (1496-1528)
Sultan Salah ad-Din (1528-1537)
Sultan Ala ad-Din Ri`ayat Syah al-Kahar (1537-1568)
Sultan Husin Ibnu Sultan Alauddin Ri`ayat Syah (1568-1575)
Sultan Muda (1575)
Sultan Sri Alam (1575-1576)
Sultan Zain al-Abidin (1576-1577)
Sultan Ala al-Din Mansur Syah (1577-1589)
Sultan Buyong atau Sultan Ali Ri`ayat Syah Putra (1589-1596)
Sultan Ala`udin Ri`ayat Syah Said Al-Mukammal Ibnu Sultan Firmansyah(1596-1604).
Sultan Ali Ri`ayat Syah (1604-1607)
Sultan Iskandar Muda Johan Pahlawan Meukuta Alam (1607-1636).
Sultan Iskandar Tsani (1636-1641).
Sri Ratu Safi al-Din Taj al-Alam atau Taj`al-`Alam Tsafiatu`ddin atau Puteri Sri Alam (1641-1675).
Sri Ratu Naqi al-Din Nur al-Alam (1675-1678)
Sri Ratu Zaqi al-Din Inayat Syah (1678-1688)
Sri Ratu Kamalat Syah Zinat al-Din (1688-1699)
Sultan Badr al-Alam Syarif Hashim Jamal al-Din (1699-1702)
Sultan Perkasa Alam Syarif Lamtui (1702-1703)
Sultan Jamal al-Alam Badr al-Munir (1703-1726)
Sultan Jauhar al-Alam Amin al-Din (1726)
Sultan Syams al-Alam (1726-1727)
Sultan Ala al-Din Ahmad Syah (1727-1735)
Sultan Ala al-Din Johan Syah (1735-1760)
Sultan Mahmud Syah (1760-1781)
Sultan Badr al-Din (1781-1785)
Sultan Sulaiman Syah (1785-?)
Sultan Alauddin Muhammad Daud Syah
Sultan Ala al-Din Jauhar al-Alam (1795-1815) dan (1818-1824)
Sultan Syarif Saif al-Alam (1815-1818)
Sultan Muhammad Syah (1824-1838)
Sultan Sulaiman Syah (1838-1857)
Sultan Mansur Syah (1857-1870)
Sultan Mahmud Syah (1870-1874)
Sultan Muhammad Daud Syah (1874-1903)

Catatan: Sultan Ala al-Din Jauhar al-Alam (sultan ke-29) berkuasa pada dua periode yang berbeda, diselingi oleh periode Sultan Syarif Saif al-Alam (1815-1818).‎

Wilayah Kekuasaan

Daerah-daerah yang menjadi bagian dari wilayah kekuasaan Kesultanan Aceh Darussalam, dari masa awalnya hingga terutama berkat andil Sultan Iskandar Muda, mencakup antara lain hampir seluruh wilayah Aceh, termasuk Tamiang, Pedir, Meureudu, Samalanga, Peusangan, Lhokseumawe, Kuala Pase, serta Jambu Aye. Selain itu, Kesultanan Aceh Darussalam juga berhasil menaklukkan seluruh negeri di sekitar Selat Malaka termasuk Johor dan Malaka, kendati kemudian kejayaan pemerintahan Kesultanan Aceh Darussalam di bawah pemerintahan Sultan Iskandar Muda mulai mengalami kemunduran pasca penyerangan ke Malaka pada 1629.

Selain itu, negeri-negeri yang berada di sebelah timur Malaya, seperti Haru (Deli), Batu Bara, Natal, Paseman, Asahan, Tiku, Pariaman, Salida, Indrapura, Siak, Indragiri, Riau, Lingga, hingga Palembang dan Jambi. Wilayah Kesultanan Aceh Darussalam masih meluas dan menguasai seluruh Pantai Barat Sumatra hingga Bengkulen (Bengkulu). Tidak hanya itu, Kesultanan Aceh Darussalam bahkan mampu menaklukkan Pahang, Kedah, serta Patani. Pembagian wilayah kekuasaan Kesultanan Aceh Darussalam pada masa Sultan Iskandar Muda diuraikan sebagai berikut:

1. Daerah Aceh Raja, dibagi dalam tiga Sagoi (ukuran wilayah administratif yang kira-kira setara dengan kecamatan) yang masing-masing dipimpin oleh seorang kepala dengan gelar Panglima Sagoi, yaitu:
Sagoi XXII Mukim.
Sagoi XXV Mukim.
Sagoi XXVI Mukim.

Di bawah tiap-tiap Panglima Sagoi terdapat beberapa Uleebalang dengan daerahnya yang terdiri dari beberapa Mukim (ukuran wilayah administratif yang kira-kira setara dengan kelurahan/desa). Di bawah Uleebalang terdapat beberapa Mukim yang dipimpin oleh seorang kepala yang bergelar Imeum. Mukim terdiri dari beberapa kampung yang masing-masing dipimpin oleh seorang kepala dengan gelar Keutjhi.

2. Daerah Luar Aceh Raja, terbagi dalam daerah-daerah Uleebalang yang dipimpin oleh seorang kepala yang bergelar Uleebalang Keutjhi. Wilayah-wilayah di bawahnya diatur sama dengan aturan wilayah yang berlaku di Daerah Aceh Raja.

3. Daerah yang Berdiri Sendiri, di dalam wilayah kekuasaan Kesultanan Aceh Darussalam terdapat juga daerah-daerah yang tidak termasuk ke dalam lingkup Daerah Aceh Raja ataupun Daerah Luar Aceh Raja. Daerah-daerah yang berdiri sendiri ini diperintahkan oleh Uleebalang untuk tunduk kepada Sultan Aceh Darussalam.

Sistem Pemerintahan

Ketika dipimpin oleh Sultan Ala ad-Din Ri`ayat Syah al-Kahar (1577-1589), Kesultanan Aceh Darussalam sudah memiliki undang-undang yang terangkum dalam kitab Kanun Syarak Kesultanan Aceh Darussalam. Undang-undang ini berbasis pada AlQuran dan Hadits yang mengikat seluruh rakyat dan bangsa Aceh. Di dalamnya, terkandung berbagai aturan mengenai kehidupan bangsa Aceh, termasuk syarat-syarat pemilihan pegawai kerajaan. Namun, fakta sejarah menunjukkan, walaupun Aceh Darussalam telah memiliki undang-undang, ternyata belum cukup untuk menjadikannya sebagai sebuah kerajaan konstitusional.

Pada era kepemimpinan Sultan Ala`udin Ri`ayat Syah Said Al-Mukammal Ibnu Sultan Firmansyah (1589-1604), Kesultanan Aceh Darussalam memiliki susunan pemerintahan yang sudah cukup mapan. Kesultanan diperintah oleh Sultan dengan bantuan lima orang besar (tokoh-tokoh yang dihormarti), bendahara, empat syahbandar. Pada saat itu, angkatan perang yang dimiliki Kesultanan Aceh Darussalam cukup kuat, yaitu mempunyai 100 kapal perang di mana setiap kapal bisa ditempatkan sekitar 400 orang prajurit. Selain itu, Kesultanan Aceh Darussalam juga mempunyai banyak sekali meriam-meriam besar yang terbuat dari baja. Kekuatan pertahanan darat diperkuat juga dengan adanya barisan gajah yang dipergunakan oleh para hulubalang.

Selanjutnya, pemerintahan Kesultanan Aceh Darussalam pada masa Sultan Iskandar Muda (1607-1636) merupakan masa kebanggaan dan kemegahan, tidak hanya dalam hal pengaruh dan kekuasaan, tetapi juga di bidang penertiban susunan pemerintahan, terutama dalam hal mengadakan penertiban perdagangan, kedudukan rakyat sesama rakyat (sipil), kedudukan rakyat terhadap pemerintah, kedudukan sesama anggota pemerintahan, dan sebagainya. Sultan Iskandar Muda telah merumuskan perundang-undangan yang terkenal dengan sebutan Adat Makuta Alam yang disadur dan dijadikan landasan dasar oleh sultan-sultan setelahnya.

Penertiban hukum yang dibangun Sultan Iskandar Muda memperluas kebesarannya sampai ke luar negeri, antara lain India, Arab, Turki, Mesir, Belanda, Inggris, Portugis, Spanyol, dan Tiongkok. Banyak negeri tetangga yang mengambil aturan-aturan hukum di Aceh untuk ditiru dan diteladani, terutama karena peraturan itu berunsur kepribadian yang dijiwai sepenuhnya oleh hukum-hukum agama. Dengan demikian, Adat Makuta Alam yang dicetuskan pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda adalah adat yang bersendi syara`. Hukum yang berlaku di Kesultanan Aceh Darussalam ada dua yakni hukum Islam dan hukum adat.

Dalam makalah bertajuk “Ichtisar Susunan dan Sistem Keradjaan Atjeh di Zaman Sultan Iskandar Muda” (1961) yang ditulis oleh A. Hasjmy disebutkan, susunan pemerintahan Kesultanan Aceh Darussalam pada masa Sultan Iskandar Muda menempatkan Sultan sebagai penguasa tertinggi pemerintahan, baik dalam bidang eksekutif, legislatif, maupun yudikatif. Sebagai penguasa tertinggi, Sultan memiliki hak-hak istimewa, antara lain:

Pembebasan orang dari segala macam hukuman.
Membuat mata uang.
Memperoleh hak panggilan kehormatan “Deelat” atau “Yag Berdaulat”.
Mempunyai kewenangan untuk mengumumkan dan memberhentikan perang.

Dalam menjalankan roda pemerintahan, Sultan Aceh Darussalam dibantu oleh beberapa lembaga pendukung kesultanan, yaitu antara lain:

1. Majelis Musyawarah

Ketua dari majelis ini adalah Sultan Aceh Darussalam sendiri, sedangkan wakilnya adalah Wazir A`am (Menteri Pertama), dan anggota-anggotanya diangkat dari kalangan beberapa menteri serta dari kaum cerdik-pandai.

2. Pengadilan Sultan (Mahkamah Agung)

Sultan Aceh Darussalam juga menjadi ketua dari lembaga pengadilan tertinggi ini, sedangkan sebagai wakil adalah Ketua Kadhi Malikul Adil, dan anggota-anggotanya diangkat dari kalangan ulama dan cerdik-pandai.

3. Majelis Wazir (Dewan Menteri)

Sultan Aceh Darussalam duduk sebagai ketua majelis ini, sedangkan Wazir A`am (Menteri Pertama) bertindak sebagai wakilnya, dan anggota-anggotanya adalah dari kalangan para menteri kesultanan.

Selain itu, Sultan Aceh Darussalam bertindak sebagai Panglima Tertinggi Angkatan Perang dan dibantu oleh Kepala Staf Angkatan Perang yang bergelar Laksamana sebagai wakilnya. Sultan juga berposisi sebagai Pemimpin Tertinggi Kepolisian yang dibantu oleh Kepala Polisi Negara selaku wakilnya. Ibukota Kesultanan Bandar Aceh Darussalam (termasuk istananya) berada langsung di bawah pimpinan Sultan yang dibantu oleh pejabat dengan gelar Teuku Panglima Kawaj sebagai wakilnya. Di samping itu, Sultan dibantu pula oleh dua orang Sekretaris Kesultanan yang terdiri dari dua gelar, yaitu 

(1) Teuku Keureukon Katibumuluk Sri Indrasura (jabatan ini kira-kira seperti Menteri Sekretaris Negara), dan 

(2) Teuku Keureukon Katibulmuluk Sri Indramuda (semacam Ajun Sekretaris Negara) ‎

Kondisi Sosial-Ekonomi‎

Penduduk Aceh sangat gemar berniaga. Mereka berbakat dagang karena memiliki cukup banyak pengalaman dalam bidang tersebut. Selain itu, kebanyakan masyarakat Aceh juga ahli dalam sektor pertukangan. Banyak di antara penduduk Aceh yang bermatapencaharian sebagai tukang emas, tukang meriam, tukang kapal, tukang besi, tukang jahit, tukang periuk, tukang pot, dan juga suka membuat berbagai macam minuman. Mengenai alat transaksi yang digunakan, pada sekitar abad ke-16, masyarakat Aceh yang bernaung di bawah pemerintahan Kesultanan Aceh Darussalam sudah mengenal beberapa jenis mata uang. Uang yang digunakan di Aceh kala itu terbuat dari emas, kupang, pardu dan tahil.‎

 

Doa Nabi Sulaiman Menundukkan Hewan dan Jin

  Nabiyullah Sulaiman  'alaihissalam  (AS) merupakan Nabi dan Rasul pilihan Allah Ta'ala yang dikaruniai kerajaan yang tidak dimilik...