Senin, 23 November 2020

Sejarah Masuknya Islam di Pasirluhur


PANGERAN SENOPATI MANGKUBUMI 1

Sejarah gelar Pangeran Senopati Mangkubumi di Kadipaten Pasirluhur sangat erat hubungannya dengan sejarah kesultanan Demak. Asal mula gelar Pangeran Senopati Mangkubumi ialah pemberian Kanjeng Sultan Demak kepada Raden Banyak Belanak di Kadipaten Pasirluhur pada waktu setelah bersedia memeluk agama Islam, kemudian ditugaskan oleh Sultan Demak agar membantu menyebarkan ajaran agama suci dan mendapatkan hasil yang baik.

Para Adipati di sebelah barat dan timur Kadipaten Pasir Luhur semua tunduk beserta balatentaranya kepada Sang Adipati Raden Banyak Belanak. Semua bersedia memeluk agama Islam, menjalankan syariat Kanjeng Nabi.

Supaya mudah dikenal bahwa gelar Senopati Mangkubumi adalah senopatinya agama Islam, maka tidak aneh kalau penulis memaparkan riwayat Pasirluhur bercampur dengan sejarah Kesultanan Demak, untuk membedah kejadian cerita gelar Senopati Mangkubumi di Kadipaten Pasir Luhur. Gelar tersebut disandang oleh:

Adipati Raden Banyak Belanak
Raden Banyak Geleh/ Patih Wirakencana yang selanjutnya menjadi Adipati Pasirluhur.
Dikisahkan pada waktu itu, Demak merupakan daerah termasuk kerajaan Majapahit dan yang menjadi bupati adalah Pangeran Jimbun . Kira-kira tahun 1470-an di Keraton Majapahit ada keributan perebutan kekuasaan. Kemudian Demak memisahkan diri dari kekuasaan Majapahit.

Dengan mendapatkan dukungan para wali, Raden Patah mendirikan kerajaan Islam yang pertama di tanah jawa dengan nama Kesultanan Demak.

Raden Patah menjabat kesultanan Demak kira-kira tahun 1470-1518 dengan gelar: Sultan Syah Alam Akbar Alfatah

Demak menjadi pusat kegiatan para wali dalam menyebarkan agama Islam.

Sultan Syah Alam Akbar dibantu oleh para wali menyebarkan ajaran agama Islam, tidak hanya di tanah jawa tapi sampai ke luar jawa. Seperti di Maluku yang diserahkan kepada sunan Giri, di Kalimantan diserahkan kepada Penghulu Kesultanan Demak yang bernama Tunggan Parangan.

Kurang lebih tahun 1472 Kanjeng Sultan Demak memanggil Patih Hedin dan Patih Husen dan salah satu yang bernama Pangeran Makdum.

Bahwa yang dibahas, karena terdengar bahwa di Negara Pasirluhur masih mengantu agama Budha, Kanjeng Sultan Alam Akbar ingin mengutus kedua patih tersebut bersama Pangeran Makdum Wali agar mengIslamkan Negara Pasirluhur.

Titah Kanjeng Sultan selanjutnya kepada Pangeran Makdum Wali, apabila Seumpama Adipati Pasirluhur tidak mau tunduk memeluk agama Islam, utusan tersebut diberi wewenang untuk mengambil jalan perang menghancurkan Kadipaten Pasirluhur.

Patih Hedin dan Patih Husen diizinkan untuk membawa balatentara secukupnya.

Para utusan bersedia dan patuh kemudian berangkat menujur Pasirluhur.

PANGERAN MAKDUM WALI (Syaikh Makhdum 'Ali)

Sudah dikatakan didepan bawha Pangeran Makdum Wali adalah salah satu wali yang diutus Sultan Demak mengIslamkan Negara Pasirluhur. Yang ditemani oleh Patih Hedin dan Patih Husen. Tidak disangka perjalanannya sudah sampai ke negara Pasirluhur. Pangeran Makdum Wali dan bala tentara dari Demak yang ikut menetap di luar kota Pasirluhur.

Di Padepokan Pangeran Makdum Wali berbincang-bincang dengan Patih Hedin dan Patih Husen membahas bagaimana rencana selanjutnya. Pangeran Makdum Wali mengutus kedua patih tersebut untuk memasuki Kadipaten Pasirluhur mengantarkan surat kepada Sang Adipati Raden Banyak Belanak.

Isi surat tersebut ialah agar Adipati Pasirluhur bersedia Pindah keyakinan dari agama Budha dan masuk agama Islam. Apakah akan nurut apa menentang? Jikalau bersedia nurut memeluk agama Islam agar secepatnya datang ke Padepokan menemui Pangeran Makdum Wali. Jikalau menentang tidak mau masuk agama Islam, terpaksa akan dilayani peperangan antara balatentara kesultanan Demak dan Balatentara Kadipaten Pasirluhur.

Pada waktu itu, yang menjawab Adipati di Kadipaten Pasirluhur bernama Raden Banyak Belanak putranya Adipati Raden Banyak Kesumba.

Raden Banyak Kesumba memiliki dua orang anak:

Raden Banyak Belanak
Raden Banyak Geleh
Sesudah wafatnya Adipati Raden Banyak Kesumba, yang menggantikan jabatan tersebut di Kadipaten Pasirluhur ialah Raden Banyak Belanak. Sedangkan adiknya, Raden Banyak Geleh menjabat sebagai patih Wirakencana.

Adipati Raden Banyak Belanak menjabat di Kadipaten Pasirluhur kira-kira 1469-1522 yang ditemani oleh adiknya, Patih Wirakencana.

Sang Adipati mengadakan pembahasan dengan adiknya dan punggawa kadipaten, bahwa seiring berjalannya waktu, sudah saatnya agama budha hancur dan berganti agama mulia yaitu agama Islam.

Hilanglah orang menyebut “dewa batara” dan yang disebut ialah “Allah, Adam dan Rasulullah’. Ki Patih dan Punggawa hanya bisa patuh.

Sedang, sementara pada waktu ngobrol terganggu oleh kedatangan Makdum Wali mengantarkan surat kepada Sang Adipati Raden Banyak Belanak. Isi surat tersebut sama halnya yang baru saja di utarakan oleh Sang Adipati kepada Patih Wirakencana dan para punggawa Kadipaten.

Utusan tersebut dieprsilahkan untuk segera kembali ke padepokan dan berkata kepada Pangeran Makdum Wali bahwa Adipati Banyak Belanak tidak akan menentang, tapi akan patuh memeluk agama Islam.

Sepulangnya utusan tersebut, Adipati Raden Banyak Belanak bersama Patih Wirakencana dan para pembesar bersama-sama berangkat menuju ke padepokan menemui Pangeran Makdum Wali.

PERTEMUAN PANGERAN MAKDUM WALI DENGAN ADIPATI BANYAK BELANAK

Kedua Patih utusan Sang Wali Makdum sudah sampai di padepokan lagi seraya melaporkan kepada Pangeran Makdum Wali bahwa Adipati Pasirluhur akan datang bertamu di Padepokan.

Raden Adipati Pasirluhur yang ditemani oleh Patih Wirakencana beserta para pembesar Kadipaten Pasirluhur sudah sampai di Padepokan.

Sesudah bertemu, kemudian Pangeran Makdum Wali berkata kepada Adipati Pasirluhur seperti berikut:

“Saya diutus oleh Kanjeng Sultan Demak supaya mengIslamkan Adipati Pasirluhur dan pasukannya semua, apakah anda tidak keberatan meninggalkan keyakinan lama?”

Kemudian Adipati menjawab:

“Hal itu belum lama kami bahas di Kadipaten bahwa sudah saatnya agama budha hancur, kemudian ganti agama mulia yaitu agama Islam. Silahkan kami pasrah kepada Sang Wali.”

Adipati Raden Banyak Belanak memegang tangannya kemudian memeluk Pangeran Makdum Wali. Selanjutnya dibimbing membaca dua kalimat syahadat serta diajari mengjalankan syari’at agama Islam.

Adipati Pasirluhur, Raden Banyak Belanak sudah teguh masuk agama Islam, menjalankan ajaran Kanjeng Rasulullah.

Giliran adiknya, Patih Wirakencana dan para punggawa (pembesar) yang ikut diajarkan tuntunan agama Islam oleh pangeran Makdum Wali. Semua sudah paham terhadap apa yang diajarkan oleh sang wali dan akan tetap menjalankan tuntunan agama Islam.

Selanjutnya pangeran Makdum Wali dan semua utusan dari Demak yang menempati di luar kota Pasirluhur dipersilahkan masuk ke kota atas rekomendasi Sang Adipati Pasirluhur.

Berhubung Sang Adipati dan pengikutnya telah teguh masuk agama Islam, Patih Hedin dan Patih Husen kembali ke Demak memberikan lapork kepada Kanjeng Sultan Syah Alam Akbar.

Sedangkan Pangeran Makdum Wali tetap menetap untuk meneruskan pengajaran tuntunan agama Islam di tanah Kadipaten Pasirluhur.

PATIH HEDIN DAN PATIH HUSEN MEMBERIKAN LAPORAN KEPADA KANJENG SULTAN ALAM AKBAR.

Tidak terasa perjalannya di jalan kembalinya kedua patih tersebut dari Pasirluhur tiba sudah di Kasultanan Demak.

Dipaparkan semua perjalanan dari awal sampai akhir. Yang pada akhirnya, utusan sultan demak mendapatkan hasil yang baik. Adipati Pasirluhur dan pengikutnya sudah nurut masuk agama Islam tanpa disertai peperangan. Semua sudah mau menjalankan syariat kanjeng Rasulullah.

Kanjeng Sultan Demak merasa senang karena perintahnya dapat dijalankan oleh Adipati Pasirluhur dan para pengikutnya.

Kemudian kanjeng sultan memerintahkan kepada rekan patih agar mengutus kedua patih ke Pasirluhur membawa surat yang isinya Pangeran Makdum Wali dan Adipati Pasirluhur diperintahkan mengIslamkan para Adipati di sebelah barat Kadipaten Pasirluhur.

Berhubung sudah siap, kemudian segera berangkat dari Demak menuju ke Pasirluhur.

PADEPOKAN DEKAH AMBAWANG GULA GUMANTUNG

Pangeran Makdum Wali yang sudah lumayan lama berada di tanah Pasirluhur menyebarkan ajaran agama Islam mendapatkan ijin untuk membangun padepokan yang diberi nama padepokan Dekah Ambawang Gula Gumantung yng berfungsi sebagai masjid mengajarkan agama Islam.

Pangeran Makdum Wali sudah berhasil dalam mengajarkan agama Islam di Kadipaten pasirluhur, luar kota, pedesaan dan pegunungan.

Semua rakyat Pasirluhur mengemban tuntunan agama Islam menjalani syari’at kanjeng Rasulullah. Semua itu, tidak lain adalah hasil kerjasama yang baik dengan para pembesar Kadipaten Pasirluhur.

Oleh karena itu, disana Pangeran Makdum Wali pernah mempunyai nadzar/janji kepada Patih Wirakencana bahwa besok kalau sudah wafat akan seliang lahat antara Pangeran Makdum Wali bersama Raden Banyak Geleh/Patih Wirakencana.

Hal itu juga dijelaskan dalam naskah tembang pucung yang dikutip dari buku induk babad Pasirluhur, yang berupa sekar macapat yang ditulis dengan huruf jawa, tembang pucung tersebut adalah:

“Ya pangeran, Makdum Wali dukwau, darbe perjanjian mring sira rahada patih, Banyak Geleh anenggih wirakencana.”

“Lamun temen-temen angguru maring sun, mbesuk yen palastra, apan uwis pninanti, apan bareng saluwang ingsung lan sira.”

Kemudian dijawab oleh Raden Banyak Geleh, berikut bunyi tembangnya:

“Raden Banyak Geleh wau aturipun, inggih mboten lepat, mboten kilap ing tiyas mami, pan sinigeg ing pasir nagara.”

Makanya tidak aneh perkataan wali tersebut pada akhirnya menjadi kenyataan makamnya Pangeran Makdum Wali dengan Raden Banyak Geleh/Patih Wirakencana (Pangeran Senopati Mangkubumi II) menjadi satu atap di Istana Pasir.

Ki Adipati Pasirluhur Raden Banyak Belanak sedang ngobrol bersama Pangeran Makdum Wali dan Patih Wirakencana terhenti oleh kedatangan utusan dari Kesultanan Demak yang membawa amanat berupa surat kepada Pangeran Makdum Wali dan Raden Banyak Belanak agar mengislamkan para Adipati di sebelah barat Kadipaten Pasirluhur.

Keduanya bersedia terhadap perintah tersebut.

Surat balasan dan kedua utusan supaya segera kembali ke Demak.

Sepulangnya kedua utusan tersebut, Pangeran Makdum Wali dan Adipati Pasirluhur siap segera menuju ke Tanah Pariyangan.

Dan yang diperintkan untuk menempati Padepokan Pangeran Makdum Wali di Dekah Ambawang Gula Gumantung adalah Pangeran Prabuhara.

Sesudah besarnya para prajurit Pasirluhur telah siap, Adipati Raden Banyak Belanak dan Pangeran Makdum Wali terus bersegera berangkat ke daerah Pariyangan. Kadya sela blekiti lapmahing bala. Sela watu, blekiti semut. Seperti semut yang berbaris di atas batu, tidak diceritakan lamanya perjalanan.

PANGERAN MAKDUM WALI DAN RADEN BANYAK BELANAK MENGISLAMKAN PARA ADIPATI DI DAERAH PARIYANGAN

Adapun para Adipati yang didatangi dan ditaklukkan supaya bersedia memeluk agama Islam di daerah Pariyangan diantaranya:

Dipati Kaluntungbentar
Dipati Endralaya
Dipati Batulaya
Dipati Timbangaten
Dipati Ukur
Dipati Cibalunggung
Semua Adipati dan pengikutnya bersedia patuh untuk diislamkan: Takut dan cinta kepada Adipati Pasirluhur.

Di Kadipaten Cibalunggung, Sang Adipati Banyak Belanak dan Pangeran Makdum Wali diceritakan agak lama mereka menetap. Pada waktu itu ada utusan dari Banten yang mengantarkan suat kepada Sang Adipati Banyak Belanak. Isi surat tersebut agar perjalanan Raden Banyak Belanak dalam mengislamkan daerah Pariyangan sampai di sebelah timur sungai Citarum saja. Adapun di sebelah barat Citarum menjadi tanggung jawabnya Sultan Banten. Semua sudah memeluk agama Islam.

Berhahagia rasanya hati Raden Banyak Belanak, kemudian utusan dari Banten langsung kembali untuk melaporkan kepada Sultan Banten.

Adipati Pasirluhur berembug denga Pangeran Makdum Wali akan melaporkan kepada Kanjeng Sultan Demak.

Utusan Sang Adipati Pasirluhur berangkat  ke Demak membawa dua surat. Satu dari Adipati Pasirluhur pribadi dan yang satunya lagi surat dari Sultan Banten. Perjalanan utusan tidak diceritakan di perjalanannya sudah sampai di Kesultanan Demak. Surat tersebut disampaikan Kepada Sultan Demak. Kanjeng Sultan Demak sangat berbahagia hati sesudah memahami isi surat tersebut.

Surat Sang Adipati Pasirluhur dibalas; supaya membuat batas tiang (udug-udug) dan sesudah itu Sang Adipati diundang agar hadir di Kesultanan Demak.

ADIPATI PASIRLUHUR HADIR DI KESULTANAN DEMAK

Diceritakan Adipati Pasirluhur yang masih berada di Cibalunggung sedang ngobrol (wawan gunem) dengan Pangeran Makdum Wali dan Para Adipati daerah Pariyangan, sangat mengharapkan yang akan diutus ke Demak. Sudah agak lamu utusan baru melapor sambil membawa surat balasan dari Kanjeng Sultan Demak. Isi surat supaya Adipati Pasirluhur membuat tanda/batas tiang timur dan barat di Sungai Citarum (udug-udug Krawang).

Kurang lebih 3 tahun di daerah Pariyangan. Adipati Pasirluhur, Raden Banyak Belanak dan pangeran Makdum Wali berniat kembali ke Pasirluhur. Sesudah sampai di kota Pasirluhur, Adipati Raden Banyak Belanak langsung berangkat ke Demak memenuhi panggilan Sultan Demak dengan membawa para pengikut (prajurit).

Diceritakan sudah sampai di Kesultanan Demak Sang Adipati berkata bahwa ditugaskannya kepada supaya menaklukkan daerah Pariyangan sudah selesai dengan baik. Semua Adipati di daerah Pariyangan sudah tunduk patuh kepada Adipati Pasirluhur untuk memeluk agama Islam.

Sultan Demak sangat senang hati dan lebih salut kepada Sang Adipati Pasirluhur. Kemudian Adipati Pasirluhur ditugaskan lagi menaklukkan di sebelah timur, kira-kira tahun 1474.

Adapun para Adipati di sebelah timur yang ditaklukkan diantaranya:

Adipati Gegelang
Adipati Ponorogo
Adipati Kajongan
Adipati Pasuruan
Adipati Embatembat
Adipati Sulambitan
Adipati Santenan
Semua Adipati tersebut bersedia tunduk kepada Adipati Raden Banyak Belanak, bersedia masuk agama Islam. Sesudah sampai di Santenan (Pati) Sang Adipati Pasirluhur kemudian kembali ke Kesultanan Demak menghadap ke kanjeng Sultan Alam Akbar. Jerih payah Adipati Pasirluhur diterima.

Adipati Raden Banyak Belanak di Demak ikut serta membangun Masjid Demak kurang lebih tahun 1477 yang dikenal sampai sekarang.

Raden Banyak Belanak dipanggil Kanjeng Sultan Demak meminta agar mengerahkan bumi delapan ribu putri (bumi wolu ewu domas) dengan batas barat adalah tiang Krawang (udug Krawang), dan adapun batas timur adalah Tugu Mengangkang, yaitu gunung Sindoro Sumbing.

Harum dan hinanya nama yang dialunkan diserahkan sepenuhnya kepada Adipati Pasirluhur, Raden Banyak Belanak. Dengan dianugerahi gelar oleh Sultan Demak.

“PANGERAN SENOMPATI MANGKUBUMI”

Pangeran berarti sejenis waliyullah
Senopati Mangkubumi pernyataan Adipati Pasirluhur sejatinya adalah Bupati Agung yang merengkuh sekian banyak Adipati yang bersedia tunduk kepada Adipati Pasirluhur, Raden Banyak Belanak.
Disaksikan oleh para wali gelar “Pangeran Senopati Mangkubumi” disandang Raden Banyak Belanak. Selanjutnya Pangeran Senopati Mangkubumi pulang ke Kadipaten Pasirluhur diserahi putri 8000 domas.‎

PANGERAN SENOPATI MANGKU BUMI II
Pangeran Senopati Mangkubumi I atau Adipati Raden Banyak Belanak di Pasirluhur yang menjabat Adipati.  wanita 8000 (delapan ribu) domas, dari sebelah timur berbatas tidang Mengangkang/gunung Sindoro Sumbing, dan batas sebelah bara adalah udug-udug (tiang) Krawang.

Tanah timur Krawang sampai Sindoro Sumbing semua tunduk belas kasih kepada Sang Adipati Pangeran Sinopati Mangkubumi yang menjabat Adipati Pasirluhur kira-kira tahun 1469-1522.

Beliau mempunyai satu putra yaitu Raden Tole. Di Kesultanan Demak Raden Patah atau Sultan Alam Akbar wafat pada tahun 1518 dan digantikan oleh Dipati Unus tahun1518-1521 (wafat muda).

Kesultanan Demak di jabat oleh pangeran Trenggono pada tahun 1512-1546.

Di Kadipaten Pasirluhur Adipati Pangeran Senopati mengalami pergantian jabatan pada tahun 1522. Sang Putra Raden Tole menggantikan kedudukan Adipati di Pasirluhur mendapat 8000 domas kira-kira tahun 1522-1527.

Adapun yang menjadi Patih yang diinginkan tetap dipati lama yaitu sang paman Patih Wirakencana.

Sesudah Raden Tole menduduki Adipati di Pasirluhur murtad dari agama Islam, kembali menganut agama Budha. Ayahanda dan Pamannya sangat marah.

Pangeran Senopati sampai terkena sakit melihat sang putra, dari pendidikan dan bimbingan ayahandanya tidak ada yang dipakai. Sakitnya Adipati semakin lama semakin menjadi-jadi namun belum sampai wafat.

Dipati Raden Tole segera memerintahkan untuk dimandikan dan di makamkan di pemakaman (tanah pasir yaitu gedung I).

Kanjeng Sultan Trenggono mendengar bahwa Adipati Pasirluhur Pangeran Senopati Mangkubumi sedang sakit, segera mengutus empat sahabat supaya melayad ke Pasirluhur. Apabila masih hidup tungguilah, apabila sudah wafat tegakkanlah (ajekna). Karena Sang Senopati adalah kekasih Kanjeng sultan dulu. Empat utusan bersedia terhadap perintah.

Setelah empat utusan sampai di Pasirluhur bertemu dengan Adipati Tole, utusan Demak diijinkan berziarah ke makam sang Senopati.

Ketika di makam sedang membaca al-Qur’an (anderes). Ketika baru mendapat satu jus, mendengar suara:

“hai anda empat orang Demak, ketahuilah bahwa kematianku belumlah sempurna, maka galilah kuburanku”

Empat utusan langsung menghadap Dipati Tole melaporkan apa adanya. Kemudian Adipati Tole mengutus pembantu untuk menggali makam sang Senopati.

Sesudah digali yang terlihat hanya kain mori. Dipati Raden Tole menuduh kepada empat utusn telah menghina kepada Adipati Pasirluhur.

Dari keempat utusan, yang dua dibunuh dan yang dua dipotong kupingnya, kemudian terbirit-birit kembali ke Demak agar melaporkan kepda Kanjeng Sultan bahwa Adipati Raden Tole tidak akan patuh dan tidak akan masuk Islam. Akan kembali lagi kepada agama Budha.

Sampai di Kesultanan Demak, kedua utusan langsung melapor kepada Sultan Trenggono. Sultan Trenggono menyuruh yayah sinipi, kemudian utusan rekyana patih agar menggempur ke Pasirluhur membawa pasukan secukupnya. Orang-orang pasiriridana semuanya. Ki Patih lewat pantai utara kemudian ke Brebes.

Adipati Brebes mengutus duta untuk mengantarkan surat tantangan kepada Adipati Tole di Kadipaten Pasirluhur.

Utusan dari Brebes sampai di Kadipaten Pasirluhur kebetulan kosong. Adipati Tole sedang acangkrami kasukan bedayan  di Negera Daha. Sedang menepati nadzarnya. Kalau Sang Ayah telah wafat, akasukan sawadyabala mantri bedayan laran-laran agung. Karena Kadipaten sepi, utusan dari Brebes memberikan surat tantangan kepada Patih Worakencana.

Keinginan Ki Patih, suratnya langsung disampaikan saja kepada Raden Tole di Negara Daha.

Utusan sampai di Daha, Adipati Tole sedang senang-senang makan dan minum.

Surat sudah diterima dan sudah dipahami isinya, Adipati Tole segera berangkat bersama pasukannya ke Kota, dan sudah dibentengi semua pasukan.

Secepatnya semua pasukan dari Demak berbaris mengepung kota Pasirluhur. Sampai satu bulan lamanya. Bendungan Situ Sekar di bongkar oleh pasukan Demak, air banjir masuk ke kota dan sampai jambannya asat.

Ki Tambak yang menjaga situ sekar melihat bahwa airnya asat, kemudian diselidiki penyebabnya. Kaget melihat salah satu pasukan demak membongkar bendungan situsekar kemudian diperangi dengan berani sampai terjadi perkelahian ajogol udreg-udregan.

Ki Tambak kawon okolipun kemudian langsung melapor kepada tuannya bahwa bendungan situsekar telah di bongkar oleh pasukan Demak supaya semua rakyat di dalam kota tidak bisa minum.

Raden Patih Wirakencana merasa prihatin berdoa kepada Allah SWT yang memberi kehidupan dengan shalat satu raka’at kemudian menancapkan kerisnya, keluar air jernih sepancuran.

Senang rasa hati, permintaannya diterima bisa untuk minum orang-orang senegara, Raden Tole sangat bahagia karena Sang Paman mempunyai kesaktian bisa mengeluarkan air.

Lama-lama air dipakai untuk mencuci ikan babi dan asat seketika itu. Sang Patih heran, kemudian menemui Adipati Tole dan menyarankan keponakannya agar mau tunduk mengabdi kepada Demak dan memeluk agama Islam. Pasirluhur tidak akan kuat melawan Kesultanan Demak. Adipati Tole berkata kepada paman patih dengan marah-marah.

Karena malu, Paman Wirakencana kemudian mengundurkan diri keluar dari dalam istana.

Patih wirakencana memberitahukan kepada orang demak, bahwa ia tidak akan ikut campur dengan tingkahlaku Adipati Tole karena telah dimarahi oleh Raden Tole sampai merasa malu sekali dan sakit hati.

Adipati Brebes dan Patih Demak menemui Patih Wirakencana karena diutus Sultan Demak agar melumpuhkan Kadipaten Pasirluhur dan dipegang oleh Raden Tole.

Patih Wirakencana hanya mempersilahkan karena sudah merasa marah dihatinya karena semua sarannya tidak dihiraukan oleh Raden Tole.

Pasirluhur dikepung kemudian rame-rame pasukan Pasirluhur melawan pasukan dari Demak. Pasukan Pasurluhur dapat dilumpuhkan.

Ki Sombro berkata melaporkan bahwa pasukan Pasirluhur telah dilumpuhkan. Adipati Tole bersama anak istrinya melarikan diri ke arah selatan kemudian ke timur.

Patih Wirakencana diutus oleh Patih Demak agar memburu sang keponakan, Raden Tole. Raden Tole meneruskan perjalananya ke arah timur selatan sampai di Petanahan Kebumen kemudian ke Desa Bocor.

Patih wirakencana kembali ke Pasirluhur bersama pasukannya masuk ke kota Pasirluhur. Semua pasukan Pasirluhur pasrah sepenuhnya kepada Patih Wirakencana bagaimanapun kondisi Kadipaten Pasirluhur selanjutnya.

Patih Wirakencana menjabat sebagai Adipati di Kadipaten Pasirluhur dengan nama Pangeran Senopati Mangkubumi II melanjutkan Adipati Banyak Belanak sebagai Pangeran Senopati Mangkubumi I. Kurang lebih tahun 1527.

Patih demak kemudian melaporkan kepada sultan Trenggono, dan sangat bergembira mendengar kabar tersebut.

Kira-kira tahun 1528-an Pangeran Senopati Mangkubumi memindahkan pusat pemerintahan Pasirluhur ke timur utara arahnya dan membuka kota baru yang dinamakan Pasirbatang.

Pangeran Senopati Mangkubumi II menjabat Adipati kurang lebih tahun 1527-1568. Seluruh orang Pasirbatang tan ana kang suwala,semua mengasihi Sang Pangeran Senopati Mangkubumi II. Tenang tentram pawongan di Pasirbatang.

Dimasa berikutnya Para Adipati Pasirluhur hanyalah para Penguasa bawahan dan secara politik tidak punya pengaruh di Kerajaan Pajang Maupun Mataram.

Pasir luhur yang semula sebuah kerajaan yang cukup besar hanya menjadi sebuah kademangan di bawah tekanan penjajah kolonial Belanda. Hingga akhirnya para keturunan Adipati Pasirluhur menyebar dan berjuang di wilayah lain hingga sampai sekarang. Dan sejarah Pasir setelah masa Adipati Wirakencana tidak bisa diketahui perkembangan nya. Dikarenakan para penerusnya hanyalah penguasa dan penjaga Makam Ambawang Gula Gumantung.
Demikian lah kisah masuknya Islam di Pasirluhur . Semoga bermanfaat. ‎

 

Sayyid Abdulloh Alqodri Alhasany (Kyai Ageng Selomanik)


Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِى شَيْبَةَ وَزُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ قَالاَ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عُبَيْدٍ عَنْ يَزِيدَ بْنِ كَيْسَانَ عَنْ أَبِى حَازِمٍ عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ زَارَ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- قَبْرَ أُمِّهِ فَبَكَى وَأَبْكَى مَنْ حَوْلَهُ فَقَالَ « اسْتَأْذَنْتُ رَبِّى فِى أَنْ أَسْتَغْفِرَ لَهَا فَلَمْ يُؤْذَنْ لِى وَاسْتَأْذَنْتُهُ فِى أَنْ أَزُورَ قَبْرَهَا فَأُذِنَ لِى فَزُورُوا الْقُبُورَ فَإِنَّهَا تُذَكِّرُ الْمَوْتَ »

Dari Abu Bakr bin Abi Syaibah dan Zuhair bin Harb, mereka berdua berkata: Muhammad Bin ‘Ubaid menuturkan kepada kami: Dari Yaziid bin Kasyaan, ia berkata: Dari Abu Haazim, ia berkata: Dari Abu Hurairah, ia berkata: Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam berziarah kepada makam ibunya, lalu beliau menangis, kemudian menangis pula lah orang-orang di sekitar beliau. Beliau lalu bersabda: “Aku meminta izin kepada Rabb-ku untuk memintakan ampunan bagi ibuku, namun aku tidak diizinkan melakukannya. Maka aku pun meminta izin untuk menziarahi kuburnya, aku pun diizinkan. Berziarah-kuburlah, karena ia dapat mengingatkan engkau akan kematian”
(HR. Muslim no.108, 2/671)

Keutamaan Ziarah kubur :

Haram hukumnya memintakan ampunan bagi orang yang mati dalam keadaan kafir (Nailul Authar [219], Syarh Shahih Muslim Lin Nawawi [3/402]). Sebagaimana juga firman Allah Ta’ala:

 مَا كَانَ لِلنَّبِيِّ وَالَّذِينَ آمَنُوا أَنْ يَسْتَغْفِرُوا لِلْمُشْرِكِينَ وَلَوْ كَانُوا أُولِي قُرْبَى

“Tiadalah sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memintakan ampun (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik, walaupun orang-orang musyrik itu adalah kaum kerabat (nya)” (QS. At Taubah: 113)

Berziarah kubur ke makam orang kafir hukumnya boleh (Syarh Shahih Muslim Lin Nawawi, 3/402). Berziarah kubur ke makam orang kafir ini sekedar untuk perenungan diri, mengingat mati dan mengingat akhirat. Bukan untuk mendoakan atau memintakan ampunan bagi shahibul qubur. (Ahkam Al Janaaiz Lil Albani, 187)

Jika berziarah kepada orang kafir yang sudah mati hukumnya boleh, maka berkunjung menemui orang kafir (yang masih hidup) hukumnya juga boleh (Syarh Shahih Muslim Lin Nawawi, 3/402).

Hadits ini adalah dalil tegas bahwa ibunda Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam mati dalam keadaan kafir dan kekal di neraka (Syarh Musnad Abi Hanifah, 334)
Tujuan berziarah kubur adalah untuk menasehati diri dan mengingatkan diri sendiri akan kematian (Syarh Shahih Muslim Lin Nawawi, 3/402)

An Nawawi, Al ‘Abdari, Al Haazimi berkata: “Para ulama bersepakat bahwa ziarah kubur itu boleh bagi laki-laki” (Fathul Baari, 4/325). Bahkan Ibnu Hazm berpendapat wajib hukumnya minimal sekali seumur hidup. Sedangkan bagi wanita diperselisihkan hukumnya. Jumhur ulama berpendapat hukumnya boleh selama terhindar dari fitnah, sebagian ulama menyatakan hukumnya haram mengingat hadits ,
 
لَعَنَ اللَّه زَوَّارَات الْقُبُور

“Allah melaknat wanita yang sering berziarah kubur” (HR. At Tirmidzi no.1056, komentar At Tirmidzi: “Hadits ini hasan shahih”)

Dan sebagian ulama berpendapat hukumnya makruh (Fathul Baari, 4/325). Yang rajih insya Allah, hukumnya boleh bagi laki-laki maupun wanita karena tujuan berziarah kubur adalah untuk mengingat kematian dan mengingat akhirat, sedangkan ini dibutuhkan oleh laki-laki maupun perempuan (Ahkam Al Janaaiz Lil Albani, 180).

Ziarah kubur mengingatkan kita akan akhirat. Sebagaimana riwayat lain dari hadits ini:
 
زوروا القبور ؛ فإنها تذكركم الآخرة

“Berziarah-kuburlah, karena ia dapat mengingatkanmu akan akhirat” (HR. Ibnu Maajah no.1569)

Ziarah kubur dapat melembutkan hati. Sebagaimana disebutkan dalam hadits yang lain:

كنت نهيتكم عن زيارة القبور ألا فزوروها فإنها ترق القلب ، وتدمع العين ، وتذكر الآخرة ، ولا تقولوا هجرا

“Dulu aku pernah melarang kalian untuk berziarah-kubur. Namun sekarang ketahuilah, hendaknya kalian berziarah kubur. Karena ia dapat melembutkan hati, membuat air mata berlinang, dan mengingatkan kalian akan akhirat namun jangan kalian mengatakan perkataan yang tidak layak (qaulul hujr), ketika berziarah” (HR. Al Haakim no.1393, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Al Jaami’, 7584)

Ziarah kubur dapat membuat hati tidak terpaut kepada dunia dan zuhud terhadap gemerlap dunia. Dalam riwayat lain hadits ini disebutkan:

كنت نهيتكم عن زيارة القبور فزوروا القبور فإنها تزهد في الدنيا وتذكر الآخرة

“Dulu aku pernah melarang kalian untuk berziarah-kubur. Namun sekarang ketahuilah, hendaknya kalian berziarah kubur. Karena ia dapat membuat kalian zuhud terhadap dunia dan mengingatkan kalian akan akhirat” (HR. Al Haakim no.1387, didhaifkan Al Albani dalam Dha’if Al Jaami’, 4279)
Al Munawi berkata: “Tidak ada obat yang paling bermanfaat bagi hati yang kelam selain berziarah kubur. Dengan berziarah kubur, lalu mengingat kematian, akan menghalangi seseorang dari maksiat, melembutkan hatinya yang kelam, mengusir kesenangan terhadap dunia, membuat musibah yang kita alami terasa ringan. Ziarah kubur itu sangat dahsyat pengaruhnya untuk mencegah hitamnya hati dan mengubur sebab-sebab datangnya dosa. Tidak ada amalan yang sedahsyat ini pengaruhnya” (Faidhul Qaadir, 88/4)
Disyariatkannya ziarah kubur ini dapat mendatangkan manfaat bagi yang berziarah maupun bagi shahibul quburyang diziarahi (Ahkam Al Janaiz Lil Albani, 188). Bagi yang berziarah sudah kami sebutkan di atas. Adapun bagi shahibul qubur yang diziarahi (jika muslim), manfaatnya berupa disebutkan salam untuknya, serta doa dan permohonan ampunan baginya dari peziarah. Sebagaimana hadits:
كيف أقول لهم يا رسول الله؟ قال: قولي: السلام على أهل الديار من المؤمنين والمسلمين، ويرحم الله المستقدمين منا والمستأخرين وإنا إن شاء الله بكم للاحقون
“Aisyah bertanya: Apa yang harus aku ucapkan bagi mereka (shahibul qubur) wahai Rasulullah? Beliau bersabda: Ucapkanlah: Assalamu ‘alaa ahlid diyaar, minal mu’miniina wal muslimiin, wa yarhamullahul mustaqdimiina wal musta’khiriina, wa inna insyaa Allaahu bikum lalaahiquun (Salam untuk kalian wahai kaum muslimin dan mu’minin penghuni kubur. Semoga Allah merahmati orang-orang yang telah mendahului (mati), dan juga orang-orang yang diakhirkan (belum mati). Sungguh, Insya Allah kami pun akan menyusul kalian” (HR. Muslim no.974)
Ziarah kubur yang syar’i dan sesuai sunnah adalah ziarah kubur yang diniatkan sebagaimana hadits di atas, yaitu menasehati diri dan mengingatkan diri sendiri akan kematian. Adapun yang banyak dilakukan orang, berziarah-kubur dalam rangka mencari barokah, berdoa kepada shahibul qubur adalah ziarah kubur yang tidak dituntunkan oleh Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam. Selain itu Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam juga melarang qaulul hujr ketika berziarah kubur sebagaimana hadits yang sudah disebutkan. Dalam riwayat lain disebutkan:
ولا تقولوا ما يسخط الرب
“Dan janganlah mengatakan perkataan yang membuat Allah murka” (HR. Ahmad 3/38,63,66, Al Haakim, 374-375)
Termasuk dalam perbuatan ini yaitu berdoa dan memohon kepada shahibul qubur, ber-istighatsah kepadanya, memujinya sebagai orang yang pasti suci, memastikan bahwa ia mendapat rahmat, memastikan bahwa ia masuk surga, (Ahkam Al Janaiz Lil Albani, 178-179)
Tidak benar persangkaan sebagian orang bahwa ahlussunnah atau salafiyyin melarang ummat untuk berziarah kubur. Bahkan ahlussunnah mengakui disyariatkannya ziarah kubur berdasarkan banyak dalil-dalil shahih dan menetapkan keutamaannya. Yang terlarang adalah ziarah kubur yang tidak sesuai tuntunan Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam y‎ang menjerumuskan kepada perkara bid’ah dan terkadang mencapai tingkat syirik.                                                                                                                                                                             
Dalam tradisi Jawa, ketinggian lokasi makam seseorang menggambarkan ketinggian kedudukannya. Semakin tinggi lokasi makam, semakin tinggi pula derajat, keilmuan, keturunan, bahkan kedudukannya di hadapan Tuhan. Karena itu, para ulama, raja dan bangsawan Jawa biasanya dimakamkan di kawasan pegunungan, yang letaknya lebih tinggi ketimbang tempat lain di sekitarnya.
Demikian pula dengan makam Syeikh Abdullah Selomanik. Lokasinya menjulang tinggi di atas pegunungan Dieng. Tidak mudah mencapainya. Harus melalui anak tangga yang cukup banyak jumlahnya. Tingginya lokasi makam itu menunjukkan ketinggian kedudukan sang ulama di mata masyarat Islam di daerah ini. 
Secara administratif, Makam Syeikh Abdullah Selomanik masuk dalam Desa Kalilembu, Kejajar, Wonosobo.

Desa Kalilembu, terletak di kawasan dataran tinggi Dieng. Dieng adalah kawasan vulkanik aktif dan dapat dikatakan merupakan gunung apiraksasa dengan beberapa kepundan kawah. Ketinggian rata-rata adalah sekitar 2.000m di atas permukaan laut. Suhu daerah ini berkisar 15—20 °C di siang hari dan 10 °C di malam hari. Pada musim kemarau (Juli dan Agustus) suhu udara dapat mencapai 0 °C di pagi hari dan memunculkan embun beku yang oleh penduduk setempat disebut bun upas(“embun racun”) karena menyebabkan kerusakan pada tanaman pertanian.

Menurut Gus Huda, Syeikh Abdullah Selomanik berasal dari Irak. Beliau datang ke Kejajar atas permintaan sejumlah orang Islam untuk menjaga keseimbangan alam dan mendidik masyarakatnya.

Nasab dan silsilah Sayid Abdullah 

Sayyidina Rosululloh SAW 
Sayidatina Fatimah *Sayyidina Ali bin Abi Thalib
Sayyidina  Hasan Al Mujtaba
Sayyid Hasan al Mutsanna
Sayyid Abdullah al Mahdi
Sayyid Musa al Jun
Sayyid Dawud
Sayyid Muhammad
Sayyid Yahya Azzahid
Sayyid Abdullah
Sayyid Musa
Sayyid Syekh Abdul Qadir al Jailani r.a
Sayyid Abdullah 
Sayyid Muhammad 
Sayyid Ali 
Sayyid Ja'far
Sayyid Achmad 
Sayyid Umar
Sayyid Abdul Karim
Sayyid Muhammad 
Sayyid Abdul Majid
Sayyid Abdullah Umar
Sayyid Yusuf 
Sayyid Thoyib 
Sayyid Muhammad 
Sayyid Faqih * Roro Sujilah binti Djoko Dholoq bin Browijoyo 
Sayyid Abdillah Selomanik 

Perjuangan Sayyid di tanah Jawa

Syeikh Abdullah adalah Ulama yang mengabdi di Demak Bintoro pada Masa Sultan Syah Alam Akbar Alfatah yang sebelum di Demak Beliau menjadi Pejabat Di Majapahit dengan Gelar Rakyan Selomanik dan di bawah Senopati Jimbun. Setelah Senopati Jimbun Berpindah ke Glagah Wangi dan mendirikan kadipaten Bintoro Kyai Selomanik pun mengikuti dan menjabat sebagai Abdi Dalem Tumenggung. Dan setelah Demak Resmi menjadi Kesultanan Kyai Ageng Selomanik diutus oleh Sultan Fattah untuk berdakwah di daerah pegunungan bekas kerajaan Mataram Kuno serta untuk membentengi kawasan tersebut.

Pada masa Kesultanan Demak Bintoro Beliau Aktif Sebagai Guru Agama Islam membantu Sultan Fattah dalam berdakwah serta menjadi Salah satu Senopati di Kesultanan Demak Bintoro.

Syeikh Abdullah Selomanik menikah dengan Dewi Salimah putri Kyai Ageng Pilang dan dari pernikahan tersebut beliau punya beberapa Putra Putri dan di antara nya 
Sayyid Abdul Iman (Tumenggung Selomanik ke 2)
Sayyid Burhanuddin (Kyai Ageng Pandak)
Sayyid Abdurrahman Alqodri (Kyai Agung)
Syarifah Maimunah (Istri Pangeran Pecangakan)

Di antara murid murid Beliau adalah 

Pangeran Kadjoran
Pangeran Kanduruhan
Kyai Ageng Pandan Alas
Kyai Ageng Pandan Wangi
Pangeran Made Pandan 
Serta para Senopati Demak pada Zaman itu

Masa perjuangan Sayyid Abdullah Selomanik terbesar adalah sewaktu masih di Demak Bintoro sebagai seorang Ulama dan pejabat.

Dan pada masa akhir Perjuangan Beliau mengajarkan ilmu kesufian dan kebatinan. Serta beliau pun menjauh dari keramaian duniawi dan menetap di pegunungan tuk mengisi hari tua. Berdakwah dan mengajarkan berbagai disiplin ilmu Sufi dan Ilmu Hikmah.
Banyak para tokoh pada masa itu yang datang ke Padepokan Kyai Ageng Selomanik untuk belajar dan mendalami ilmu hikmah serta sufi dan kanuragan sebagai bekal dalam kehidupan dan perjuangan Islam.

Sayyid Abdullah Al Qodri Alhasany yang bergelar Kyai Ageng Selomanik 1 adalah seorang Waliyulloh yang mempunyai Drajat keilmuan dan perjuangan yang tinggi. Karomah Beliau Tersembunyi. Perjuangan Beliau pun tidak banyak di ketahui. Dan yang pasti sebagai generasi penerus di wilayah Dieng dan sekitarnya hendaknya mengambil hikmah dari riwayat Singkat perjalanan Salah satu sesepuh Wonosobo yang sangat tersembunyi.

Hanya ini yang bisa saya tuliskan dan semoga memberikan sedikit gambaran perjuangan Sayyid Abdullah Selomanik yang dimakamkan di Desa Kalilembu kawasan Dieng Wonosobo. ‎

 

Kisah Sang Wiralodra dengan Penguasa Kerajaan Jin


Seandainya sebagian dinding istana Pulomas itu runtuh lalu masuk ke muara Cimanuk, niscaya bakal muncul areal pendulangan emas terbesar di seluruh jagat. Dengan runtuhnya dinding istana itu maka seisi muara bakal mengandung emas melebihi kandungan lumpur emas di sungai  Kalimantan. Bahkan konon akan lebih besar dari hasil penambangan di Irianjaya.
Sayangnya, dinding istana yang terbuat dari emas itu sangat kokoh, dan istana itupun adanya hanya di alam gaib Pulomas. 

Di alam manusia, Pulomas hanya berupa rawa-rawa yang saling bersebelahan dengan muara Laut Jawa, persisnya berada di Kampung Pulomas, Desa Centigi Sawah, Kecamatan Centigi, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat. 

Di atas rawa seluas puluhan hektar itu, menurut terawangan ghaib, berdiri kompleks istana dengan bahan terbuat dari emas murni. Kerajaan dengan keraton sangat megah itu sampai saat ini dipimpin oleh sesosok raja jin sangat sakti bergelar Raden Werdinata, dengan mahapatihnya yang juga cukup tersohor yakni Mahapatih Jongkara. Sang raja juga dibantu Panglima Perang bergelar Panglima Kalasrenggi. 

Diceritakan oleh juru kunci Kampung Pulomas yang akrab disapa Wak Cartim, dibandingkan raja-raja lain yang menguasai alam ghaib, Raja Pulomas tergolong paling tinggi ilmu kadigdayaannya. Alam ghaib terbahagi dua wilayah, yakni kawasan atas bumi dan di bawah laut.  

Alam ghaib bawah laut dikuasai Nyi Ratu Roro Kidul untuk kawasan Pantai Selatan, sedangkan Pantai Utara dikuasai Nyi Ratu Nawangwulan. 

"Kesaktian Raden Werdinata sempat tercatat dalam sejarah berdirinya daerah Kabupaten Indramayu," ungkap Wak Cartim. 

Raden Arya Wiralodra, Kesatria Berdarah Biru 

Dikisahkan, semasa Indramayu masih belum punya nama serta masih berupa hutan belantara, singgah seorang kesatria yang sedang memikul tugas besar. Kesatria itu berasal dari  Kabupaten Bagelen, Jawa Tengah, bergelar Raden Arya Wiralodra. Kesatria berdarah biru dari Kerajaan Majapahit itu mengemban tugas membuka hutan belantara di lembah Sungai Cimanuk.  

Untuk menjalankan tugas dari nenek moyangnya, dia ditemani seorang punakawan atau pembantu yang sangat setia serta sakti bernama Ki Tinggil. Selama tiga tahun lebih keduanya berjalan kaki dari Bagelen, Jawa Tengah dengan tujuan (membuka) hutan belantara lembah Sungai Cimanuk. Tetapi, kerana kejahilan, mereka kebablasan sampai ke hutan lembah Sungai Citarum, Kabupaten Karawang.  

Berdasarkan keterangan Ki Sidum seorang manusia kuno sangat sakti dari Kerajaan Pajajaran, Raden Wiralodra dan punakawannya menyedari kalau perjalanannya itu kebablasan.Melalui perjuangan keras serta mengikuti binatang peliharaan pemberian Ki Sidum yang berupa seekor Kijang Kencana, akhirnya sampai juga mereka ke hutan di lembah Sungai Cimanuk.  

Tiga bulan membabat hutan di lembah sungai, halangan pun datang. Ternyata di hulu Sungai Cimanuk ada kerajaan jin yang membawahi raja-raja kecil di alam ghaib sepanjang aliran sungai sejak Kabupaten Sumedang hingga ke muara Laut Jawa pantai utara Indramayu.Maharaja jin di hulu sungai itu bernama Budipaksa, yang didampingi seorang mahapatih bernama Bujarawis.  

Maharaja Budipaksa ini membawahi raja-raja kecil, di antaranya Kerajaan Tunjungbong yang dipimpin Kalacungkring, Kerajaan Pulomas yang dipimpin Raden Werdinata, dan kerajaan-kerajaan jin lainnya sampai tercatat sebanyak 12 kerajaan.

Kehadiran Raden Wirlodra di hutan lembah Sungai Cimanuk membuat gerah bahkan mencipta keganasan menakutkan di kalangan bangsa jin dan makhluk halus lain yang menetap di lembah sungai. Atas laporan teliksandi, Mahapatih Bujarawis mengadukannya kepada Maharaja Budipaksa. Mendengar pengaduan dari mahapatihnya, Maharaja Budipaksa marah besar. 

Pertarungan Jin (Maharaja Budipaksa) Dengan Manusia (Raden Arya Wiralodra)

Tanpa buang masa, Maharaja Budipaksa didampingi Mahapatih Bujarawis menyatroni Raden Wiralodra yang sedang membabat hutan didampingi Ki Tinggil. Bermula perdebatan, terjadilah pertarungan secara kesatria di lembah Sungai Cimanuk. Maharaja Budipaksa berhadapan dengan Raden Wiralodra, sementara Mahapatih Bujarawis berhadapan dengan Ki Tinggil. 

Konon, pertarungan dua makhluk berbeza alam itu berlangsung selama dua bulan. Karuan hal ini membuat penduduk ghaib di tempat itu bubar ketakutan. Berkat kesaktian Raden Wiralodra, Maharaja Budipaksa berjaya dilumpuhkan dan dikurung di dasar muara Sungai Cimanuk. Dikisahkan, sebelum dilumpuhkan, Maharaja Budipaksa memerintahkan Mahapatih Bujarawis supaya meminta bantuan para raja kecil taklukannya.  

Namun, sepuluh raja taklukan Maharaja Budipaksa beserta mahapatihnya dengan gampangnya dilumpuhkan oleh Raden Wiralodra dan Ki Tinggil. Hanya Raden Werdinata yang masih bertahan. Dia bertarung melawan Raden Wiralodra, sementara Mahapatih Jongkara maupun Panglima Kalasrenggi kabur dihajar ilmu pamungkas Ki Tinggil. 

Kerana punya kesaktian seimbang, pertarungan antara Raden Werdinata dengan Raden Wiralodra memakan masa 11 bulan. Senjata andalan Raden Wiralodra berupa Cakrabaswara yang telah melumpuhkan Maharaja Budipaksa ternyata mampu diatasi Raden Werdinata dengan menggunakan pusaka berupa tameng bernama Kopyahwaring, pusaka turun temurun Kerajaan Pulomas. 

Sebelum ada yang jatuh korban, muncul Kalacungkring, penguasa ghaib Kerajaan Tunjungbong. Kalacungkring menyarankan pada Raden Werdinata supaya menghentikan pertarungan dan sebaiknya menjalin persaudaraan dengan Raden Wiralodra.  

Selain dengan dalih Maharaja Budipaksa sudah dikurung di dasar muara Cimanuk, alasan yang paling utama adalah kerana ketakutan bilamana leluhur Raden Wiralodra tersinggung. Jika manusia-manusia kuno Majapahit setingkat Ki Sidum murka, nescaya kerajaan alam ghaib di sepanjang lembah Sungai Cimanuk dibuat musnah untuk selama-lamanya.  

Ikatan Tali Persaudaraan Jin dan Manusia

Atas cadangan Kalacungkring, Raden Werdinata meminta lawannya agar menyudahi pertarungan dan mengajak mengikat tali persaudaraan hingga ke anak cucu.  Sebagai pengikat persaudaraan, Raden Werdinata menyerahkan putri kesayangannya bergelar Putri Inten untuk diperistri Raden Wiralodra. 

Setelah perdamaian itu, dengan dibantu para prajurit dan penduduk Pulomas, tugas mendirikan kerajaan di lembah Sungai Cimanuk lebih cepat selesai, dan Raden Wiralodra tercatat menjadi pemimpin pertama kerajaan di lembah sungai tersebut, yang hingga kini bernama Kabupaten Indramayu. 

Sebagai bangsa jin yang diberi umur panjang, (meski manusia Raden Wiralodra telah meninggal dunia dan digantikan keturunannya bahkan sampai sekarang ini), Raden Werdinata masih kukuh memimpin kerajaan Pulomas didampingi Mahapatih Jongkara. Sedangkan Panglima Kalasrenggi, setelah kabur dari hadapan Ki Tinggil kini menjadi pemimpin raja kecil di Rawabolang, masuk Desa Jatisura, Kecamatan Terisi, Kabupaten Indramayu. 

Seiring perubahan zaman, ikatan persaudaraan antara penduduk gaib Kerajaan Pulomas dengan penduduk Kabupaten Indramayu mulai menyimpang dari makna persaudaraan yang sejati. Penduduk Kerajaan Pulomas siap membantu berbagai problem terkait soal ekonomi yang dialami manusia penduduk Kabupaten Indramayu dengan pampasan, manusia bersangkutan, sesuai dengan perjanjian menjadi budak (hamba) di alam ghaib Pulomas hingga hari kiamat. 

Seiring banyaknya penduduk bangsa manusia yang terjerumus ke dalam perjanjian jiwa, lambat laun Pulomas dikenali sebagai tempat pesugihan. Kewujudan Pulomas sebagai tempat pesugihan, belakangan gaungnya sudah meluas, sehingga orang yang mengadakan laku ritual pesugihan di Pulomas bukan setakat warga Indramayu, melainkan datang dari berbagai daerah di Pulau Jawa bahkan hingga ke Sumatera.  

Wak Cartim selaku juru kunci memang bukan orang yang dibekali wawasan kehumasan, sehingga dia tidak sekalipun menyediakan buku tamu di kediamannya. Tapi, dari pengakuan para tetamu yang minta dibantu melakukan ritual pesugihan, mereka banyak yang datang dari luar Kabupaten Indramayu, bahkan dari luar Pulau Jawa. Rumah juru kunci pesugihan Pulomas yang sangat tersohor itu, sukar diterima akal sihat. 

Kisah masuk Islam nya Raden Werdinata 

Di tanah datar dan luas itu Aria Wiralodra dan Ki Tinggil membuat pondok untuk tempat tinggal, kemudian mulailah pekerjaan besar membuka hutan. Suasana menjadi berubah dari kesunyian menjadi hingar bingar dengan runtuhnya pohon-pohon dan suara-suara binatang penghuni hutan yang ketakutan.
Keadaan menjadi lebih hiruk-pikuk dengan suara teriakan-teriakan marah bangsa makhluk halus yang ketenteramannya merasa diusik.‎ Mereka langsung menyerang 

Serat Babad Dermayu melukiskannya dalam bentuk Macapat Pupuh Sinom:

Sampun andamel kang wisma Ki Tinggil damelan neki
Anulya amesuh raga Raden Wiralodra mangkin
Anggene babad wanadri Sima banteng warak wau
Mapan bibar katawuran Paribasa panas atis
Setan iblis prayangan bibar sedaya Senapatt Budipaksa
Miwah Patih Bubarawis Angumpul sabalanira
Miwah para kang prqjurit Kaliyan saking Tuk Giri
Gede muara Cimanuk Kalangkung sanget dukanya
Saking bala bubar mangkin Kenging Raden Wiralodra babad wana
Siluman lan jurubiksa Sakehe para dedemit
Saking gedeng Girimuka Sadaya pan sami dugi
Sangking Wangkang Bqjulrawis Cemara pan Giribqjid
Tempalang Bedawangkara Pan rame Pqjuning Jurit
Sami tempuh ing yuda lan Wiralodra
 
Keributan antara Aria Wiralodra dengan makhluk halus itu diketahui oleh penguasa Lautan Selatan Nyi Mas Dewi Ratu Kidul, yang segera mengutus Kalacungkring, hulubalang dari Tunjung Bang, untuk menyelesaikan perselisihan.Sang Hulubalang segera menemui Raja Pulo Mas Werdinata.
Di bawah ini, lagi satu bait lainnya dari Serat Babad Dermayu (Macapat Pupuh Sinom):

Dugi anang Werdinata
Aja pada den ganggoni
Iku Raden Wiralodra
Krana turun Majapahit
Becik den raksaha iki
Pada akunen sedulur
Krana masih pernah canggah
Ratu Kidul Gusti mami
Nulya enggal Werdinata caos ngarsa
 
Bergegas Raja Werdinata menghadap Aria Wiralodra.Sementara itu . melihat rajanya datang, seluruh bala siluman duduk di tanah.Sambil berlutut. berkata Raja Werdinata:
“Raden! Maafkan kelancangan wadyabalaku.Aku.…Werdinata. Raja Pulo Mas Muara Sungai
Cimanuk menghaturkan salam bhakti.”
Masih dalam keheranan, Aria Wiralodra menjawab: “Werdinata! Bangunlah ! Akusungguh sangat gembira berjumpa denganmu dan aku maafkan para prajurit yang memerangiku”.
Sambil bangun Raja Werdinata berkata:“Terima kasih, kulihat Raden begitu tulus,maka aku mohon sukalah Raden bermurah hati untuk mengangkat saudara denganku seketurunan masing-masing.

”Aria Wiralodra terdiam, kemudian katanya lembut, “Werdinata, pahami kesulitanku, karena menurut ketentuan agama yang aku anut yaitu Islam tidak bisa mengangkat saudara dengan yang bukan Agama Islam.”Di luar dugaan, cepat Raja Werdinata menjawab: “Raden, Islamkan aku sekarang juga!” Aria Wiralodra terperanggah kemudian katanya gembira: “Subhanallah! Baiklah, Paman Tinggil jadi saksi. Kemarilah Werdinata!”

Sambil melangkah maju, Raja Werdinata berseru kepada Wadyabalanya: “Kepada rakyatku yang akan masuk Agama Islam,duduk di belakangku!” Maka seluruh Wadyabala Siluman bergeser dan duduk bersimpuh di belakang Sang Raja. 
Setelah upacara peng-Islaman dan pengangkatan saudara selesai, Aria Wiralodra berkata nyaring:

“Raja Werdinata sejak saat ini menjadi Sultan Werdinata, daerah kekuasaannya dinamakan Kasultanan dan rakyatnya disebut Bangsa Jin.”Kemudian sambungnya lembut pada Sang Sultan: “Pengangkatan Sultan ini harus disyahkan oleh kekha-lifahan bangsa Jin di Turki, mintalah ke sana, kapan saja engkau ada waktu.”

Setelah minta ijin kepada Aria Wiralodra, Sang Sultan menyuruh rakyatnya bubar, sehingga tinggallah mereka bertiga.Kemudian kepada Sang Sultan, Aria Wiralodra menceritakan asal-usul dirinya. 
Setelah itu dia berkata:
“Saudaraku Sultan, sekarang ceritakan asal-usulmu!”

Maka Sultan Werdinata membuka kisahnya:

“Raden, aku adalah Qarin-pendamping dari seorang kesatria berbudi luhur-yang bernama Jaran Sari pada tiga abad yang lalu, yaitu pada masa awal kerajaan Majapahit. Jaran Sari ikut perlombaan ilmu Kanuragan Kerajaan untuk memperebutkan putri raja dan Pangkat Senopati Agung.
“Dia memenangkannya, tetapi karena kelicikan saudara kembarnya yang bernama Jaran Purnama, dia tewas. Aku bersumpah untuk tidak meninggalkan jasadnya sebelum menjadi rusak. Kemudian ‘aku’ dilarung di atas rakit ke sungai, lalu ke laut, yang akhirnya terdampar di dekat muara sungai Cimanuk.Aku melihat banyak sebangsaku di sana yang beramai-ramai menyeretku ke tepi pantai,mereka tidak melihatku, kemudian mereka melapor kepada Sang Penguasa Ki Buyut Keci di Dalem Agung Pulo Mas.
“Tidak berapa lama datanglah dia dan langsung melihatku seraya berkata, ‘Menyatulah dan ‎bangunlah anakku!’

“Setelah aku bangun dia berkata: ‘Namamu sekarang Werdinata. Engkau akan kukawinkan dengan anakku Si Andayasari, yang telah mimpi jadi jodohmu. Tak usah khawatir, engkau pasti ‎suka, anakku sangat cantik.’ Dan kata-kata Ki Buyut Keci benar; putrinya sangat cantik , lalu a‎ku kawin. Kemudian aku dijadikan Raja Pulo Mas*), menggantikan mertuaku Ki Buyut Keci. L‎etak Bangunan Istana Agung Pulo Mas di Kramat Krapyak-Pulo Mas, Sentigi Kulon.

Tepatnya dari jalan utama antara Sentigi Kulon-Cangkring. Pada blok Karang Balong, ada jalan masuk ke arah tenggara di tepi Kali Kepiting ;ditandai dengan sebuah gumuk pepohonan ‎betah satu rumpun dengan pohon beringin.Keraton Kaputren Nawang Wulan terletak di Pulo Karas, 1 Km ke arah timur Pulo Mas sebelum Pulo Kuntul. Jalan menuju Pulo Karas bisa langsung dari Sentigi Wetan atau Sentigi Sawah. (Ki Jongkara tinggal juga di sini).

Keraton Kaputren Wiragora terleak di muara sungai Cimanuk (Ki Budi Paksa juga tinggal di‎sini).“Dalem Agung Pulo Mas aku bangun menjadi bentuk istana yang besar, seperti Istana Majapahit. Peme-rintahanku meniru Kerajaan Majapahit, Wilayahku diperluas sehingga meliputi pantai dan hutan rawa, serta sungai-sungai yang mengalir ke pantai Laut Jawa bagian barat.
“Aku punya anak perempuan dan laki-laki yang kuberi nama Nawang Wulan dan Wiragora. “Itu saja Raden perihal diriku.”
 
Konon, Raden Werdinata kemudian menjadi Jin Islam pertama di Pulomas. Sebagian rakyatnya kemudian memeluk agama Islam juga. Namun sebagian lainnya masih tanpa agama atau menganut ajaran lama (animisme dan dinamisme). Bahkan beberapa di antaranya melakukan praktek persekutuan untuk orang yang mencari "pesugihan" di daerah itu.

Sebagai Jin Islam, Raden Werdinata lebih banyak khalwat di ruang pribadinya, ketimbang mengurusi pemerintahan. Raden Werdinata juga konsisten dengan ikatan persaudaraan dengan Arya Wiralodra meski saudaranya itu sudah wafat sejak ratusan tahun silam. 

Konon, dalam dzikirnya, suatu malam Raden Werdinata mendapat petunjuk bahwa daerah Indramayu bakal diterjang ombak pemusnah (Tsunami). Tanpa banyak pertimbangan, dia menyudahi dzikirnya lalu mendatangi penguasa Pantai Utara.

Di hadapan Nyi Ratu Nawangwulan (namanya mengingatkan pada nama bidadari yang dinikahi Jaka Tarub), penguasa Pantai Utara, Raden Werdinata meminta supaya ombak pemusnah itu jangan sampai menerjang penduduk Indramayu. Jika ombak pemusnah itu sampai menerjang, dia mengancam untuk mengajak bertarung.

Meskipun sadar ilmu Nyi Ratu Nawangwulan jauh lebih tinggi, demi ikatan persaudaraan dengan Arya Wiralodra, dia rela mempertaruhkan nyawanya mati di tangan Nyi Ratu Nawangwulan. 

Untungnya Nyi Ratu Nawangwulan bersedia memenuhi permintaannya, sehingga ombak pemusnah itu urung menerjang Indramayu dan berputar menerjang daerah Pangandaran

 

Sang Pangeran Yang Kecewa


Pada tahun 1892, tepatnya pada tanggal 20 Mei tahun tersebut, seorang jabang bayi terlahir sebagai anak ke-55 dari Sri Sultan Hamengku Buwono VII, sultan yang bertahta di kraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Jabang bayi tersebut diberi nama BRM (Bendara Raden Mas) Kudiarmadji. Ibundanya bernama BRA (Bendara Raden Ayu) Retnomandoyo, putri Patih Danurejo VI yang kemudian bernama Pangeran Cakraningrat. Demikianlah, BRM Kudiarmadji mengawali lelakon hidupnya di dalam kraton sebagai salah seorang anak Sri Sultan yang jumlah akhirnya mencapai 79 putera-puteri.

Seperti saudara-saudaranya yang lain, Bendara Raden Mas Kudiarmadji bersama-sama belajar di Sekolah Srimanganti di dalam lingkungan kraton. Tingkat pendidikan sekolah ini kurang lebih sama dengan sekolah dasar sekarang. Selepas dari Srimanganti, dilanjutkan dengan kursus Klein Ambtenaar, belajar bahasa Belanda, Inggris, dan Arab. Setelah selesai kursus, bekerja di gubernuran selama 2 tahun lebih.

BRM Kudiarmadji mempunyai kegemaran membaca dan belajar, terutama tentang sejarah, filsafat, ilmu jiwa, dan agama. Pendidikan agama Islam dan mengaji didapat dari K.H. Achmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah.

Ketika menginjak usia 18 tahun, Bendara Raden Mas Kudiarmadji diangkat menjadi pangeran dengan gelar Bendara Pangeran Harya Suryomentaram.

Tahun demi tahun berlalu, pena kehidupan mulai menuliskan kisahnya. Sedikit demi sedikit Pangeran Suryomentaram mulai merasakan sesuatu yang kurang dalam hatiya. Setiap waktu ia hanya bertemu dengan yang disembah, yang diperintah, yang dimarahi, yang dimintai. Dia tidak puas karena merasa belum pernah bertemu orang. Yang ditemuinya hanya sembah, perintah, marah, minta, tetapi tidak pernah bertemu orang. Ia merasa masygul dan kecewa sekalipun ia adalah seorang pangeran yang kaya dan berkuasa.

KABUR DARI KRATON ‎

Dalam kegelisahannya, pada suatu ketika Pangeran Suryomentaram merasa menemukan jawaban bahwa yang menyebabkan ia tidak pernah bertemu orang, adalah karena hidupnya terkurung dalam lingkungan kraton, tidak mengetahui keadaan di luar. Hidupnya menjadi sangat tertekan, ia merasa tidak betah lagi tinggal dalam lingkungan kraton. Penderitaannya semakin mendalam dengan kejadian-kejadian berturutan yang menderanya, yaitu:

Patih Danurejo VI, kakek yang memanjakannya, diberhentikan dari jabatan patih dan tidak lama kemudian meninggal dunia.
Ibunya dicerai oleh Sri Sultan Hamengku Buwono VII dan dikeluarkan dari kraton, kemudian diserahkan kepada dirinya.
Istri yang dicintainya meninggal dunia dan meninggalkan putra yang baru berusia 40 hari.
Rasa tidak puas dan tidak betah makin menjadi-jadi sampai pada puncaknya, ia mengajukan permohonan kepada ayahanda, Sri Sultan Hamengku Buwono VII, untuk berhenti sebagai pangeran, tetapi permohonan tersebut tidak dikabulkan. Pada kesempatan lain ia mengajukan permohonan untuk naik haji ke Mekah, namun ini pun tidak dikabulkan. Karena sudah tidak tahan lagi, diam-diam ia meninggalkan kraton dan pergi ke Cilacap menjadi pedagang kain batik dan setagen (ikat pinggang). Di sana ia mengganti namanya menjadi Notodongso.

Ketika berita perginya Pangeran Suryomentaram ini didengar oleh Sri Sultan Hamengku Buwono VII, maka Sultan memerintahkan KRT Wiryodirjo (Bupati Kota) dan R.L. Mangkudigdoyo, untuk mencari Pangeran Suryomentaram dan memanggil kembali ke Yogyakarta. Setelah mencari-cari sekian lama, akhirnya ia ditemukan di Kroya (Banyumas) sedang memborong mengerjakan sumur.

PULANG

Pangeran Suryomentaram kembali ke Yogyakarta meskipun sudah terlanjur membeli tanah. Mulai lagi kehidupan yang membosankan, setiap saat ia selalu mencari-cari penyebab kekecewaan batinnya. Ketika ia mengira bahwa selain kedudukan sebagai pangeran, penyebab rasa kecewa dan tidak puas itu adalah harta benda, maka seluruh isi rumah dilelang. Mobil dijual dan hasil penjualannya diberikan kepada sopirnya, kuda dijual dan hasil penjualannya diberikan kepada gamelnya (perawat kuda), pakaian-pakaiannya dibagi-bagikan kepada para pembantunya.

Upayanya itu ternyata tidak juga menghasilkan jawaban atas kegelisahannya, ia tetap merasa tidak puas, ia merindukan dapat bertemu orang. Hari-hari selanjutnya diisi dengan keluyuran, bertirakat ke tempat-tempat yang dianggap keramat seperti Luar Batang, Lawet, Guwa Langse, Guwa Cermin, Kadilangu dan lain-lain. Namun rasa tidak puas itu tidak hilang juga. Ia makin rajin mengerjakan shalat dan mengaji, tiap ada guru atau kiai yang terkenal pandai, didatangi untuk belajar ilmunya. Tetap saja rasa tidak puas itu menggerogoti batinnya. Kemudian dipelajarinya agama Kristen dan theosofi, ini pun tidak dapat menghilangkan rasa tidak puasnya.

BEBAS

Pada tahun 1921 ketika Pangeran Suryomentaram berusia 29 tahun, Sri Sultan Hamengku Buwono VII mangkat. Dia ikut mengantarkan jenazah ayahandanya ke makam Imogiri dengan mengenakan pakaian yang lain daripada yang lain. Para Pangeran mengenakan pakaian kebesaran kepangeranan, para abdi dalem mengenakan pakaian kebesarannya sesuai dengan pangkatnya, Pangeran Suryomentaram memikul jenazah sampai ke makam Imogiri sambil mengenakan pakaian kebesarannya sendiri yaitu ikat kepala corak Begelen, kain juga corak Begelen, jas tutup berwarna putih yang punggungnya ditambal dengan kain bekas berwarna biru sambil mengempit payung Cina.

Dalam perjalanan pulang ia berhenti di Pos Barongan membeli nasi pecel yang dipincuk dengan daun pisang, dimakannya sambil duduk di lantai disertai minum segelas cao. Para pangeran, pembesar, maupun abdi dalem yang lewat tidak berani mendekat karena takut atau malu, mereka mengira Pangeran Suryomentaram telah menderita sakit jiwa, namun ada pula yang menganggapnya seorang wali.

Setelah Sri Sultan Hamengku Buwono VIII dinobatkan sebagai raja, Pangeran Suryomentaram sekali lagi mengajukan permohonan berhenti dari kedudukannya sebagai pangeran, dan kali ini dikabulkan.

Pemerintah Hindia Belanda memberikan uang pensiun sebesar f 333,50 per bulan, tetapi ditolaknya dengan alasan ia tidak merasa berjasa kepada pemerintah Hindia Belanda dan tidak mau terikat pada pemerintah Hindia Belanda. Kemudian Sri Sultan Hamengku Buwono VIII memberikan uang f 75 per bulan hanya sebagai tanda masih keluarga kraton. Pemberian ini diterimanya dengan senang hati.

Setelah berhenti dari kedudukannya sebagai pangeran ia merasa lebih bebas, tidak terikat lagi. Namun segera ia menyadari bahwa ia masih tetap merasa tidak puas, ia masih belum juga bertemu orang.

Suryomentaram yang bukan pangeran lagi itu kemudian membeli sebidang tanah di desa Bringin, sebuah desa kecil di sebelah utara Salatiga. Di sana ia tinggal dan hidup sebagai petani. Sejak itu ia lebih dikenal dengan nama Ki Gede Suryomentaram atau Ki Gede Bringin. Banyak orang yang menganggap ia seorang dukun, dan banyak pula yang datang berdukun.

PERJUANGAN MORAL

Meskipun Ki Gede Suryomentaram sudah tinggal di Bringin, tetapi ia masih sering ke Yogya. Di Yogya ia masih mempunyai rumah.

Waktu itu Perang Dunia I baru selesai. Ki Gede Suryomentaram dan Ki Hadjar Dewantara beserta beberapa orang mengadakan sarasehan setiap malam Selasa Kliwon dan dikenal dengan nama Sarasehan Selasa Kliwon. Yang hadir dalam Sarasehan Selasa Kliwon itu ada 9 orang, yaitu:

Ki Gede Suryomentaram,
Ki Hadjar Dewantara,
Ki Sutopo Wonoboyo,
Ki Pronowidigdo,
Ki Prawirowiworo,
BRM Subono (adik Ki Gede Suryomentaram),
Ki Suryodirjo,
Ki Sutatmo, dan‎
Ki Suryoputro.
Masalah yang dibicarakan dalam sarasehan itu adalah keadaan sosial-politik di Indonesia. Kala itu sebagai akibat dari Perang Dunia I yang baru saja selesai, negara-negara Eropa, baik yang kalah perang maupun yang menang perang, termasuk Negeri Belanda, mengalami krisis ekonomi dan militer. Saat-saat seperti itu dirasa merupakan saat yang sangat baik bagi Indonesia untuk melepaskan diri dari penjajahan Belanda.

Pada awalnya muncul gagasan untuk mengadakan gerakan fisik melawan Belanda, tetapi setelah dibahas dengan seksama dalam sarasehan, disimpulkan bahwa hal itu belum mungkin dilaksanakan karena ternyata Belanda masih cukup kuat, sedangkan kita sendiri tidak mempunyai kekuatan. Kalau kita bergerak tentu akan segera dapat ditumpas.

Sekalipun gagasan perlawanan fisik tersebut tidak dapat terwujud, namun semangat perlawanan dan keinginan merdeka tetap menggelora. Dalam sarasehan bersama setiap Selasa Kliwon itu akhirnya disepakati untuk membuat suatu gerakan moral dengan tujuan memberikan landasan dan menanamkan semangat kebangsaan pada para pemuda melalui suatu pendidikan kebangsaan. Pada tahun 1922 didirikanlah pendidikan kebangsaan dengan nama Taman Siswa. Ki Hadjar Dewantara dipilih menjadi pimpinannya, Ki Gede Suryomentaram diberi tugas mendidik orang-orang tua.

Dalam Sarasehan Selasa Kliwon inilah, sebutan Ki Gede Suryomentaram dirubah oleh Ki Hadjar Dewantara menjadi Ki Ageng Suryomentaram.

PENCERAHAN

Setelah menduda lebih kurang 10 tahun, pada tahun 1925 Ki Ageng kawin lagi, kemudian beserta keluarga pindah ke Bringin. Rumahnya yang di Yogya digunakan untuk asrama dan sekolah Taman Siswa.

Pada suatu malam di tahun 1927, Ki Ageng membangunkan isterinya, Nyi Ageng Suryomentaram, yang sedang lelap tidur, dan dengan serta merta ia berkata, “Bu, sudah ketemu yang kucari. Aku tidak bisa mati!” Sebelum Nyi Ageng sempat bertanya, Ki Ageng melanjutkan, “Ternyata yang merasa belum pernah bertemu orang, yang merasa kecewa dan tidak puas selama ini, adalah orang juga, wujudnya adalah si Suryomentaram. Diperintah kecewa, dimarahi kecewa, disembah kecewa, dimintai berkah kecewa, dianggap dukun kecewa, dianggap sakit ingatan kecewa, jadi pangeran kecewa, menjadi pedagang kecewa, menjadi petani kecewa, itulah orang yang namanya Suryomentaram, tukang kecewa, tukang tidak puas, tukang tidak kerasan, tukang bingung. Sekarang sudah ketahuan. Aku sudah dapat dan selalu bertemu orang, namanya adalah si Suryomentaram, lalu mau apa lagi? Sekarang tinggal diawasi dan dijajagi.”

Sejak itu Ki Ageng kerjanya keluyuran, tetapi bukan untuk bertirakat seperti dulu, melainkan untuk menjajagi rasanya sendiri. Ia mendatangi teman-temannya untuk mengutarakan hasilnya bertemu orang – bertemu diri sendiri. Mereka pun kemudian juga merasa bertemu orang – bertemu diri sendiri masing-masing.

Setiap kali bertemu orang (diri sendiri) timbul rasa senang. Rasa senang tersebut dinamakan “rasa bahagia”, bahagia yang bebas tidak tergantung pada tempat, waktu, dan keadaan.

Pada tahun 1928 semua hasil “mengawasi dan menjajagi rasa diri sendiri” itu ditulis dalam bentuk tembang (puisi), kemudian dijadikan buku dengan judul “Uran-uran Beja”.

Kisah-kisah tentang laku Ki Ageng yang menjajagi rasa diri sendiri tersebut ada banyak sekali, di antaranya sebagai berikut.

Suatu hari Ki Ageng akan pergi ke Parang Tritis yang terletak di pantai selatan Yogyakarta. Sesampainya di Kali Opak perjalanannya terhalang banjir besar. Para tukang perahu sudah memperingatkan Ki Ageng agar tidak menyeberang, tetapi karena merasa pandai berenang, Ki Ageng nekad menceburkan diri ke dalam sungai. Akhirnya ia megap-megap hampir tenggelam dan kemudian ditolong oleh para tukang perahu.

Setelah pulang ia berkata kepada Ki Prawirowiworo sebagai berikut, “Aku mendapat pengalaman. Pada waktu aku akan terjun ke dalam sungai, tidak ada rasa takut sama sekali. Sampai gelagapan pun rasa takut itu tetap tidak ada. Bahkan aku dapat melihat si Suryomentaram yang megap-megap hampir tenggelam.” Ki Prawirowiworo menjawab, “Tidak takut apa-apa itu memang benar, sebab Ki Ageng adalah orang yang putus asa. Orang yang putus asa itu biasanya nekad ingin mati saja.” Ki Ageng menjawab, “Kau benar. Rupanya si Suryomentaram yang putus asa karena ditinggal mati kakek yang menyayanginya, dan istri yang dicintainya, nekad ingin bunuh diri. Tetapi pada pengalaman ini ada yang baik sekali, pada waktu kejadian tenggelam megap-megap, ada rasa yang tidak ikut megap-megap, tetapi malah dapat melihat si Suryomentaram yang megap-megap gelagapan itu.”

PEMBENTUKAN P-E-T-A

Belanda mencurigai gerak-gerik Ki Ageng. Maka setiap ia mengadakan ceramah ataupun pertemuan-pertemuan selalu ada PID (Politzeke Inlichtingen Dienst) atau reserse yang ikut hadir. Sekitar tahun 1926, ketika aksi bangsa kita menentang bangsa Belanda semakin marak, banyak perintis kemerdekaan yang ditangkap dan dibuang ke Digul dengan tuduhan sebagai agen atau anggota komunis. Suatu ketika Ki Ageng bepergian dari Bringin ke Yogya, sesampainya di desa Gondangwinangun ia ditahan oleh polisi kemudian dibawa ke Yogya dan dimasukkan ke dalam sel tahanan. Setelah ditanggung oleh Sri Sultan Hamengku Buwono VIII, Ki Ageng kemudian dibebaskan.

Pada pertemuan-pertemuan “Manggala Tiga Belas” persoalan-persoalan yang dibicarakan berkisar pada bagaimana cara menolak peperangan bila Indonesia menjadi gelanggang perang antara Belanda dan Jepang. Ki Ageng mengemukakan bahwa bangsa Indonesia dalam peperangan itu mempunyai tiga pilihan, ialah:

Membela majikan lama yaitu Belanda.
Ganti majikan baru yaitu Jepang.
Menjadi majikan sendiri yaitu merdeka.
Perang itu sendiri bukanlah persoalan kita melainkan persoalan pihak Belanda dan Jepang. Permasalahan kita ialah, kita ini tinggal di negeri sendiri, tetapi negeri kita ini dipakai untuk gelanggang perang. Kalau kita mau pergi, mau pergi ke mana?. Kalau kita tinggalkan tentu akan diambil oleh orang lain.

Pertemuan “Manggala Tiga Belas” yang pertama diadakan di pendapa Taman Siswa, dan yang kedua diadakan di rumah Pangeran Suryodiningrat. Pertemuan tersebut baru sempat diadakan dua kali ketika Jepang sudah keburu mendarat di Jawa.

Pada waktu pendudukan Jepang, Ki Ageng berusaha keras untuk membentuk tentara, karena ia berkeyakinan bahwa tentara adalah tulang punggung negara. Hal ini dikemukakan Ki Ageng dalam pertemuannya dengan Empat Serangkai (Bung Karno, Bung Hatta, Kiai Haji Mas Mansoer, Ki Hadjar Dewantara).

Ki Ageng juga menyusun suatu tulisan tentang dasar-dasar ketentaraan yang diberinya nama “Jimat Perang”, yaitu pandai perang dan berani mati dalam perang. Jimat Perang ini diceramahkan oleh Ki Ageng ke mana-mana. Pada suatu kesempatan bertemu Bung Karno, Ki Ageng memberikan Jimat Perang ini, yang kemudian dipopulerkan oleh Bung Karno dalam pidato-pidatonya di radio. Maka Jimat Perang ini segera tersebar luas di kalangan masyarakat sehingga membangkitkan semangat berani mati dan berani perang.

Dalam usaha mewujudkan gagasannya, Ki Ageng mengajukan permohonan kepada gubernur Yogya yang pada waktu itu dijabat oleh Kolonel Yamauchi, untuk membentuk tentara sukarela, akan tetapi permohonan tersebut ditolak. Kemudian seorang anggota dinas rahasia Jepang yang bernama Asano menyanggupi akan membawa permohonan itu langsung ke Tokyo.

Untuk membuat surat permohonan tersebut Ki Ageng membentuk panitia 9 yang disebut “Manggala Sembilan”, masing-masing adalah:

Ki Suwarjono
Ki Sakirdanarli
Ki Atmosutidjo
Ki Pronowidigdo
Ki Prawirowiworo
Ki Darmosugito
Ki Asrar
Ki Atmokusumo
Ki Ageng Suryomentaram
Setelah ditandatangani dengan darah masing-masing oleh kesembilan orang di atas, surat tersebut diserahkan kepada Asano yang membawanya sendiri langsung ke Tokyo. Permohonan ini tidak diketahui oleh pemerintah Jepang di Indonesia. Tidak lama kemudian diterima berita bahwa permohonan tersebut dikabulkan. Maka pemerintah Jepang yang ada di Indonesia terkejut, tetapi karena itu adalah izin langsung dari Tokyo maka Tentara Sukarela tetap harus dibentuk.

Kemudian Ki Ageng mengadakan pendaftaran. Maka berduyun-duyunlah yang mendaftarkan diri. Akhirnya pendaftaran diambil alih oleh pemerintah dan nama Tentara Sukarela diubah menjadi Tentara Pembela Tanah Air, disingkat PETA. Setelah Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945, tentara PETA inilah yang merupakan modal kekuatan untuk mempertahankan kemerdekaan dan selanjutnya menjadi inti Tentara Nasional Indonesia (TNI).

Pada waktu perang kemerdekaan, Ki Ageng memimpin pasukan gerilya yang disebut Pasukan Jelata, daerah operasinya di sekitar Wonosegoro. Setelah ibu kota RI Yogyakarta diduduki Belanda, Ki Ageng bersama keluarga meninggalkan kota, mengungsi ke daerah Gunung Kidul. Di tempat pengungsian ini Ki Ageng masih selalu berhubungan dengan tentara gerilya.

PENUTUP

Setelah penyerahan kedaulatan, Ki Ageng mulai lagi mengadakan ceramah-ceramah Kawruh Beja (Kawruh Jiwa) ke mana-mana, ikut aktif mengisi kemerdekaan dengan pembangunan jiwa berupa ceramah-ceramah pembangunan jiwa warga negara. Pada tahun 1957 pernah diundang oleh Bung Karno ke Istana Merdeka untuk dimintai wawasan tentang berbagai macam masalah negara. Ki Ageng tetap mengenakan pakaian yang biasa dipakainya sehari-hari.

Kurang lebih 40 tahun Ki Ageng menyelidiki alam kejiwaan dengan menggunakan dirinya sebagai kelinci percobaan.

Pada suatu hari ketika sedang mengadakan ceramah di desa Sajen, di daerah Salatiga, Ki Ageng jatuh sakit dan dibawa pulang ke Yogya, dirawat di rumah sakit. Sewaktu di rumah sakit itu, Ki Ageng masih sempat menemukan kawruh yaitu bahwa “puncak belajar kawruh jiwa ialah mengetahui rencana sendiri. ‎

 

Doa Nabi Sulaiman Menundukkan Hewan dan Jin

  Nabiyullah Sulaiman  'alaihissalam  (AS) merupakan Nabi dan Rasul pilihan Allah Ta'ala yang dikaruniai kerajaan yang tidak dimilik...