Jumat, 20 November 2020

Babad Kadipaten Pati


Kabupaten Pati, merupakan sebuah kabupaten yang berada di Provinsi Jawa Tengah. Ibukotanya adalah kota Pati. Kabupaten ini berbatasan dengan Laut Jawa di utara, Kabupaten Rembang di timur, Kabupaten Blora dan Kabupaten Grobogan di selatan, serta Kabupaten Kudus dan Kabupaten Jepara di barat.

Sejarah Kabupaten Pati berpangkal tolak dari beberapa gambar yang terdapat pada Lambang Daerah Kabupaten Pati yang sudah disahkan dalam Peraturan Daerah No. 1 Tahun 1971 yaitu Gambar yang berupa: "keris rambut pinutung dan kuluk kanigara".

Menurut cerita rakyat dari mulut ke mulut yang terdapat juga pada kitab Babat Pati dan kitab Babat lainnya dua pusaka yaitu "keris rambut pinutung dan kuluk kanigara" merupakan lambang kekuasan dan kekuatan yang juga merupakan simbul kesatuan dan persatuan.

Barangsiapa yang memiliki dua pusaka tersebut, akan mampu menguasai dan berkuasa memerintah di Pulau Jawa. Adapun yang memiliki dua pusaka tersebut adalah Raden Sukmayana penggede Majasemi andalan Kadipaten Carangsoka.

Kota Pati terletak di daerah Pantura (Pantai Utara) dekat dengan laut utara pulau jawa. kota ini terdiri lebih dari 20 kecamatan, diantaranya adalah kecamatan Gabus, Tambakromo, Winong, dan lainnya.

Kota Pati termasuk dalam eks karisidenan yang meliputi wilayah kudus, jepara, blora. kota ini masih berada di wilayah propinsi Jawa Tengah. kegiatan yang di lakukan masyarakat kota pati beragam, ada yang berprofesi sebagai petani, nelayan, pns, buruh, ada juga masyarakat yang berprofesi sebagai paranormal, bahhkan untuk profesi tersebut sudah di akui oleh masyarakat indonesia, ataupun masyarakat dunia khususnya di asia.

Situs-situs peninggalan masyarakat terdahulu masih menyimpan misteri untuk dapat di ungkapkan. hal ini terjadi karena dulunya wilayah pati merupakan daerah kerajan majapahit dan mataram.

Sejarah kota Pati

Kota Pati pada zaman dahulu merupakan sebuah kerajaan sendiri, yang pada waktu ini menjadi daerah kekuasaan majapahit, dan kemudian di ambil alih oleh mataram.

Di kota Pati terdapat situs-situs peninggalan zaman kerajaan, diantaranya :

Pintu Gerbang Majapahit
konon gerbang ini terjatuh ketika akan di bawa ke wilayah jawa timur yang pada waktu itu menjadi pusat wilayah kerajaan majapahit.

Genuk Kemiri

Lokasi yang ditengarai bekas pusat pemerintahan Kadipaten Pati, sebelum dipindahkan ke Kampung Kaborongan, Kelurahan Pati Lor hingga sekarang, semula berupa tanah kosong yang banyak ditumbuhi pohon besar dan rumpun bambu. Bagian depan masuk lokasi tersebut terdapat pohon beringin tua.

Punden Kemiri merupakan tempat keramat peninggalan nenek moyang. Kemampuannya tidak hanya sebatas mampu memberi petunjuk gaib. Di lokasi yang sama terdapat gentong kemiri berisi air. Konon air tersebut dapat berubah-ubah menurut penglihatan masing-masing peziarah. Air tersebut tentu saja menyimpan banyak khasiat. Kadangkala air di dalam gentong di punden Kemiri terlihat penuh, sementara pada saat yang sama pengunjung lainnya melihat air yang mulai menyusut. 

Pemandangan yang berubah-ubah itu semakin menyakinkan para peziarah. Ketika mereka mulai memasuki kawasan punden yang berada di Desa Kemiri, Kecamatan Pati Kota, Kabupaten Pati ini merasakan adanya hawa mistis yang meresap dalam sukma.“Tinggi rendahnya air itu menjelaskan takaran rezeki seseorang,” terang juru kunci Punden Kemiri, Mbah Ahmad. Air dari dalam gentong juga diyakini dapat menyembuhkan berbagai penyakit. Asal usul Kabupaten Pati Keberadaan punden Kemiri sebagai tempat wingit memang sudah lama diyakini warga. 

Konon menurut cerita sejarah sebelum berdirinya kota Pati yang dipimpin oleh Bupati Tombronegoro, pusat kekuasaan Pati masih berada di Desa Kemiri. Pada saat itu kerajaan berbentuk perdikan masih bernama Pesantenan dengan raja bernama Raden Kembangjoyo. Kata Pati dan Pesantenan sendiri diambil dari nama bahan baku dawet Ki Onggo, penjual dawet kepada Raden Kembangjoyo. Setelah peralihan kekuasaan dari Kembangjoyo ke tangan Tombronegoro, lokasi pemerintahan dipindah dari Desa Kemiri ke Desa Kauman dengan nama daerah menjadi Pati. 

Meski telah berpindah sebagai pusat kekuasaan namun Desa Kemiri yang juga menjadi tempat makam Eyang Kembangjoyo masih diyakini sebagai tempat bersejarah yang menyimpan wingit.Selain makam eyang Kembangjoyo di lokasi yang sama terdapat gentong Kemiri milik Ki Onggo yang juga menjadi tempat menyimpan keris Rambut Pinutung dan Kuluk Kanigoro. Menjadi tempat laku paranormal keberadaan punden Kemiri sebagai tempat wingit memang diakui oleh kalangan paranormal/spiritualis

Kawasan itu mulai ditata dan diperindah, ketika masa Pemkab Pati dijabat Bupati Sunardji. Selain dipasang tembok pembatas keliling, bekas bangunan pendapa kabupaten juga dipindahkan ke lokasi tersebut, sehingga pada setiap peringatan HUT Pati yang tiap tahun jatuh pada 7 Agustus, pendapa
berfungsi sebagai tempat malam tirakatan.

Di belakang sisi utara pendapa terdapat cungkup mirip sebuah makam. Di dalam bangunan itulah terdapat sebuah genuk (tempayan) yang dikenal sebagai Genuk Kemiri yang kondisinya sudah tidak utuh lagi karena pecah.

Di lokasi genuk itu, biasanya dijadikan tempat orang untuk ngalap berkah. Pada sisi belakang pendapa terdapat makam tua yang diyakini warga sebagai makam sesepuh Kemiri. Sejak dipindahkan bekas bangunan pendapa kabupaten, tempat tersebut bila malam tidak gulita karena diberi penerangan listrik. Selain itu, Balai Desa Serirejo juga sudah dipindahkan ke lokasi tersebut.

Pariwisata

Pariwisata di kota pati kebanyakan berupa keindahan yang di buat oleh alam (dalam hal ini berupa goa) dan makam-makam yang di anggap keramat oleh masyarakat sekitar. kekeramatan yang di padukan dengan unsur keindahan terktur dapat menarik minat wisatawan dari daerah pati sendiri atau bahkan dari luar kabupaten pati.

Obyek wisata yang sering di kunjungi oleh wisatawan ada tiga tempat,
diantaranya : Goa pancur yang berada di wilayah kecamatan Kayen, Goa Cerawang yang berada di desa Todanan wilayah kecamatan Puncak Wangi, dan Goa Lowo yang berada di wilayah kecamatan TambakRomo.

Dahulu Goa-goa tersebut masih rapi dan di kunjungi banyak wisatawan sekarang jumlah wisatawan yang datang kesana hanya beberapa, dan kebanyakan yang datang ke tempat tersebut mempunyai maksud dan tujuan yang lain dari pada hanya menikmati pemandangan alam dan bentuk-bentuk staklakmit saja. Goa-goa tersebut sekarang menjadi ajang untuk mendapatkan pencerahan (masyarakat sekitar menyebutnya “wangsit”). Tempat wisata yang sekarang masih menarik minat wisatawan yaitu di pulau kecil di daerah kecamatan juwana, nama pulau tersebut adalah “Pulau Seperempat”. Pulau itu dinamakan tersebut karena bentuknya yang unik hanya berbentuk seperempat saja. Di pulau seperempat setiap tahunnya di adakan upacara ucapan syukur kepada Yang Berkuasa atas alam, upacara itu oleh masyarakat sekitar dinamakan “Sedekah Bumi”. 

Wisata sejarah
Pati memiliki tempat wisata sejarah, yaitu:

Masjid Agung Pati, di Desa Puri
Pintu Gerbang Majapahit, di Desa Muktiharjo/Rondole
Petilasan Syech Jangkung, di Desa Jatimulyo
Wisata keluarga
Pati memiliki tempat wisata untuk keluarga, yaitu:

Juwana Water Fantasy, di DesaBumimulyo (Mujil)
Byar-Byur Water Park, di Desa Winong
Sendang Tirta Marta Sani, di DesaTamansari
Wisata religi‎
Pati memiliki tempat wisata ziarah, yaitu:

Makam Nyai Ageng Ngerang, di DesaTambakromo
Makam Syeh Jangkung (Saridin), DesaLandoh
Makam Mbah Tabek Merto, di DesaKajen
Makam Mbah Ahmad Mutamakkin, di Desa Kajen
Makam KH. Abdullah Salam (Mbah Dullah), di Desa Kajen
Makam KH. Sahal Mahfudh, di Desa Kajen
Makam KH. Suyuthi Abdul Qadir, di Desa Guyangan, Trangkil
Makam Mbah Ronggo Kusumo, di Desa Ngemplak Kidul, Margoyoso


Sejarah Atau Legenda Berdirinya Kabupaten Pati

Kevakuman Pemerintahan di Pulau Jawa

Menjelang akhir abad ke XIII sekitar tahun 1292 Masehi di Pulau Jawa vakum penguasa pemerintahan yang berwibawa. Kerajaan Pajajaran mulai runtuh, Kerajaan Singasari surut, sedang Kerajaan Majapahit belum berdiri.

Di Pantai utara Pulau Jawa Tengah sekitar Gunung Muria bagian Timur muncul penguasa lokal yang mengangkat dirinya sebagai adipati, wilayah kekuasaannya disebut kadipaten.

Ada dua penguasa lokal di wilayah itu yaitu.

 1. Penguasa Kadipaten Paranggaruda, Adipatinya bernama Yudhapati, wilayah kekuasaannya meliputi sungai Juwana ke selatan, sampai pegunungan Gamping Utara berbatasan dengan wilayah Kabupaten Grobogan. Mempunyai putra bernama Raden Jasari. 
2. Penguasa Kadipaten Carangsoka, Adipatinya bernama: Puspa Andungjaya, wilayah kekuasaannya meliputi utara sungai Juwana sampai pantai Utara Jawa Tengah bagian timur. Adipati Carangsoka mempunyai seorang putri bernama Rara Rayungwulan

Kadipaten Carangsoka dan Paranggaruda Berbesanan awal sebuah tragedi 

Pada suatu wilayah terdapatlah Kadipaten Paranggaruda punya hajat mengawinkan putera satu-satunya yang bernama R. Jaseri atau lebih terkenal dengan sebutan Menak Jasari dengan putri Adipati Carangsoko bernama Dewi Ruyung Wulan. Menak Jasari adalah pemuda yang fisiknya cacat, dan berwajah jelek. Hingga membuat Dewi Ruyung Wulan menolak untuk didekatinya. Namun karena paksaan orang tua maka mau tidak mau Dewi Ruyung Wulan harus menerima R. Jaseri sebagai suaminya.

Pesta perkawinan telah berlangsung, Dewi Ruyung Wulan yang sedang bersedih, ia meminta pestanya harus diadakan pagelaran wayang yang dimeriahkan wayang purwo (wayang kulit) dengan dalang Ki Soponyono yang sangat terkenal sebagai dalang yang mampu membawakan beberapa karakter tokoh yang ada dalam cerita Mahabarata dan Ramayana sehingga banyak penonton yang terbius seolah cerita itu hidup.

Dalang Sapanyono kebingungan atas permintaan yang diajukan oleh Dewi Ruyung Wulan, namun Hal ini hanyalah merupakan taktik dari Dewi untuk mengulur-ulur pernikahan. Dan agar pernikahan ini dapat diggagalkan sebab sebetulnya ia tidak mencintai R. Jasari calon suaminnya. Pernikhan yang tidak dilandasi cinta akan menyakitkan dan dapat melemahkan semangat untuk hidup berumah tangga.

Ia berpesan kepada Dalang Saponyono untuk mencari cerita pewayangan yang mirip dengan cerita kisah sedihnya. Biar semua orang tahu rintihan hati Dewi Ruyung Wulan.

Dalang Saponyono menjalankan tugas sebisanya. Karena merasa tertantang untuk membawakan cerita wayang yang tidak sewajarnya, sebab lakon wayang yang biasa dibawakan dalam acara pernikahan adalah wayang yang alur ceritanya berakhir dengan kebahagiaan, namun kali ini dalang Sapanyono harus membawakan wayang dengan cerita yang berakhir sedih. Hal ini pasti mendapat protes sama penonton. Namun Bagaimanapun juga Dalang Soponyono harus memantaskan sebab Dewi Ruyung Wulan tidak mau duduk di singgasana pengantin kalau permintaannya tidak dituruti. Akhirnya dalang Soponyono menuruti permintaan Dewi Ruyung Wulan, Ia ditemani oleh dua orang adiknya yang cantik-cantik bernama Ambarsari dan Ambarwati yang bertindak sebagai waranggano Swarawati

R. Jaseri hatinya berbunga-bunga dapat bersanding dengan Dewi Ruyung Wulan di pelaminan. Air liur R. Jaseri selalu menentes bila melihat kecantikannya. Tangannya mulai nakal mencolak-colek pipi Dewi Ruyung Wulan. Sehingga membuatnya tidak nyaman. Tengah asyik-asyiknya pagelaran berlangsung, terjadilah keributan yang ditimbulkan Dewi Rayung Wulan. Ia lari dari pelaminan dan menjatuhkan diri di atas pangkauan Dalang Saponyono, Dewi Ruyung Wulan telah hanyut dalam cerita Pewayangan, ia terpesonan dan jatuh cinta kepada dalang Soponyono yang wajahnya lebih tampan dan pandai memainkan cerita wayang daripada Raden Jaseri yang selalu mengumbar nafsu birahinya.

“bawa aku lari kakang Soponyono, kalau tidak lebih baik aku mati saja!”
Hal ini tentu saja mengejutkan semua tamu yang hadir terutama orang tua kedua mempelai. Ki Dalang sendiri juga terkejut dan takut, maka Ki Dalang mengeluarkan kesaktiannya, untuk memadamkan semua lampu yang berada di Kadipaten Carangsoko.

Keadaan yang gelap gulita itu, membuat panik yang hadir dalam perjamuan tersebut, kesempatan ini dimanfaatkan Ki Saponyono melarikan diri diikuti oleh kedua adiknya dan Dewi Ruyung Wulan.

Sang Adipati Carangsoko Puspo Handung Joyo sangat marah sekali. Ia memanggil Patihnya Singopadu untuk segera mengatasi keadaan ini.
“Cepat perintahkan prajurit untuk menyalakan lampunya” para prajurit bergegas menyalakan lampunya.
Setelah lampu menyala, Raden Jaseri bergulung-gulung dilantai karena calon istrinya raib bersama Dalang Soponyono.
Adipati Paranggarudo memerintahkan patihnya Singopadu untuk segera mepersiapkan prajurit, mengejar Dalang Soponyono dan Dewi Ruyung Wulan.

Prajurit menyebar ke seluruh desa, memasuki rumah-rumah dengan tidak sopan santun dan kasar, Rakyat Carangsoko menjadi ketakutan, mereka berlari berhamburan menyelamatkan diri. Prajurit menggeledah semua rumah penduduk barangkali mereka bersembunyi di dalam rumah penduduk dan barang siapa berani melindungnya akan dihukum. Hal ini membuat Adipati Puspo Handung Joyo kurang senang, yang dicari burunan Dalang Soponyono bukan rumah rakyat yang dirusak. Adipati Paranggarudo tidak mau peduli, yang penting adalah Soponyono harus ketangkap mati atau hidup. Karena telah menghina kewibawaan Adipati Paranggarudo.

Ki Soponyono dan Dewi Ruyung Wulan yang disertai adik-adiknya berlari terus menuju hutan, mereka berjalan mengikuti alur sungai. Ki Soponyono juga mengadakan perlawanan kepada para pengejar walaupun sia-sia, karena tidak seimbang jumlah pengejar dan yang dikejar. Keluar hutan masuk hutan, Dewi Ruyung Wulan menanggalkan pakaian kebesaran, kemudian dia menukarkan dengan baju penduduk setempat, mereka menyamar menjadi penduduk desa, agar tidak menjadi perhatian penduduk.

Sampailah mereka di Dukuh Bantengan (Trangkil) wilayah Panewon Majasemi. Panasnya Terik Matahari di siang hari membuat keempat orang tersebut kehausan. Musim kemarau yang panjang membuat mata air kering sehingga amat berharganya air. Mereka terus berjalan untuk mendapatkan seteguk air. Mereka duduk di bawah pohon besar yang kering, setelah berlari tanpa berhenti merupakan siksaan terlebih bagi ketiga orang putri terutama dewi Rayungwulan yang tidak pernah bekerja berat dan berjalan jauh. Rasa haus bagi ketiga putri tersebut sudah tak terhankan lagi, untuk meneruskan perjalanannya sudah tidak mungkinkan lagi.

Karena hausnya mereka berlari mengejar daratan yang penuh dengan sumber air setelah didekati ternyata hanya sebuah fatamorgana. Mereka berjalan tertatih-tatih, sampailah mereka disebuah sawah yang sunyi tidak ada sumurnya, dan sungai disekitarnya sudah kering karena kemarau panjang itu. Melihat hal itu Ki Sapanyono sangat bingung hatinya karena akan meminta air pada penduduk tidak berani, takut bertemu pengejarnya. Maka jalan satu-satunya adalah mencuri semangka atau mentimun yang ada di sawah tersebut.

Mereka tidak menyadari bahwa semua bergerak-geraknya diawasi dari jauh oleh pemilik sawah yaitu adik dari Panewu Sukmoyono yang bernama Raden Kembangjoyo. Berdasarkan laporan penduduk bahwa sawahnya sering dirusak oleh binatang2 seperti kerbau, kancil. Namun kali ini Kembangjoyo kaget ternyata yang selama ini yang merusak tanamannya bukan binatang tapi manusia. Kembangjoyo memerintahkan anak buahnya untuk mengepung sawah tersebut.

“Ternyata selama ini yang merusak tanaman-tanaman kami adalah kamu! Ya maling! Tangkap” terjadilah perang antara Ki Soponyono dengan anak buahnya Kembang Joyo, mereka semua dapat dilumpuhkan oleh Soponyono. Akhirnya Kembang Joyo turun tangan mereka berdua bertarung ditengah sawah. Dari kejauhan tiga putri itu bersembunyi menyaksikan pertarungan tersebut, karena dianggap pasukan Paranggarudo. Namun tanpa daya Ki Sopanyono melawan R. Kembangjoyo, karena Kembang Joyo lebih sakti dari Ki Soponyono.

Ki Soponyono ditlikung kakinya, kemudian tangannya diikat dengan tali dadung.
“Saya mencuri karena terpaksa Ndoro”
“Yang namanya maling juga terpaksa semua”
Sejurus dengan itu keluarlah Dewi Ruyung Wulan beserta kedua adik Dalang Soponyono.
“lepaskan kakang Soponyono, yang kamu buru aku kan, aku boleh kamu bawa asalkan Kakang Soponyono dilepaskan dahulu” Dewi Ruyung Wulan mengira bahwa yang menangkap Dalang Soponyono adalah Pasukan Paranggarudo. Kembang Joyo menjadi heran ternyata maling yang ditangkapnya membawa tiga orang gadis yang cantik-cantik. Namun karena Kembang Joyo hanya ditugaskan untuk menjaga sawah milik kakaknya, makanya ia tetap merangket keempat orang tersebut.

Mereka berempat menjadi tawanan R. Kembang Joyo, kemudian mereka dihadapkan kepada Penewu Sukmoyono untuk diminta penjelasannnya. Ki Soponyono memerkenalkan satu persatu kawan-kawannya. Selanjutnya ia menceritakan semua kejadian-kejadian yang telah dialami, mengapa mereka sampai di dikejar-kejar pasukan Parang Garudo, mereka terpaksa mencuri semangka dan mentimun milik Raden KembangJoyo, karena kehausan dan lapar. Mendengar penuturan Ki Soponyono tersebut Penewu Sukmayono merasa kasihan dan tidak sampai hati untuk menjatuhi hukuman. Penewu Sukmayono bersedia menampung dan melindungi mereka.

“Tinggal disini semaumu, masalah Paranggarudo biar kami yang akan menghadapinya.” Sukmoyono mempersilahkan Dalang Soponyono, dan ketiga putri untuk beristirahat dahulu.

Sebagai rasa terima kasih yang tak terhingga atas segala kebaikan Sukmoyono, Ki Saponyono mempersembahkan kedua adiknya kepada Sang Penewu untuk dijadikan hambanya. Persembahan tersebut diterima dengan senang hati. Akhirnya Ambarsari diperistri oleh Penewu sebagai selir, sedangkan Ambarwati diberikan kepada R. kembang Joyo untuk dijadikan istrinya. Sedangkan Dewi Ruyung Wulan akan dikembalikan kepada bapaknya Adipati Carang Soko, Puspo Handung Joyo.

Yuyu Rumpung pembesar dari Kemaguhan yang juga merupakan anak buah Paranggarudo tahu kalau keris Rambut Pinutung dengan Kuluk Kanigoro adalah pusaka hebat yang dimiliki Sukmoyono. Yuyu Rumpung memerintahkan anak buahnya. Yang bernama Sondong Majeruk untuk mengambil kedua pusaka tersebut. Akan tetapi sebelum dapat diserahkan kepada Yuyu Rumpung sudah dapat diketahu Sondong Makerti sehingga terjadi pertempuran, Sondong Majeruk kelehan kehabisan tenaga hingga mau mati, keris Rambut Pinutung yang dibawa Sondong Makerti berhasil menusuk perut Sondong Majeruk hingga tewas. Selamatlah keris Rambut Pinutung tidak bisa dibawa oleh Sondong Majeruk. Yuyu Rumpung murka kemudian memerintahkan segera menyerbu Majasemi bergabung dengan Pasukan Yudhopati dengan patih Singopati.

Sementera itu para prajurit Parang Garudo masih saja melakukan pengejaran dan penggeledahan di rumah-rumah penduduk. Sampailah mereka di Majasemi. Betapa marahnya Adipati Yudhopati ketika mendapat laporan bahwa buronan Dalang Soponyono, Dewi Ruyung Wulan bersama kedua adik Soponyono berada Di Majasemi mereka dilindungi oleh Penewu Sukmayono.

Maka terjadilah pertempuran yang sangat seru banyak korban yang berjatuhan, juga Ki Penewu Sukmoyono gugur dalam pertempuran itu. Mendengar Penewu Sukmayono gugur, Raden Kembangjoyo mengamuk dengan memegang keris Rambut Pinutung dengan kuluk Kanigoro menghancurkan Pasukan Paranggarudo. Mereka dibantu oleh pasukan Carangsoko, pertempuran dahsyat antara Patih Singopati dengan Patih Singopadu, memporsir energi sehingga keduanya gugur di medan laga. Pertempuran di Majasemi berakhir dengan membawa banyak korban.

Ki Saponyono mengantarkan Dewi Ruyung Wulan bersama-sama dengan Raden Kembangjoyo. Sebagai ucapan terima kasih, Dewi Ruyung Wulan diberikan kepada Raden Kembang Joyo untuk dijadikan istrinya, karena Kembang Joyo berhasil mengalahkan Yudho Pati adipati Paranggarudo kemudian ia menetap di Carangsoko menggantikan Puspo Handung Joyo sebagai pemimpin Kadipaten. 

Ia juga diangkat menjadi Adipati setelah menggabungkan tiga kadipaten yaitu Paranggarudo, Carangsoko dan Majasemi menjadi satu kadipaten Pati
Peleburan itu telah menciptakan kerukunan dari tiga kadipaten yang bertikai, untuk lebih memantapkan dalam memimpin kadipaten, ia mengajak Dalang Soponyono untuk memperluas wilayah kekuasaannya, dan mencari lokasi yang baik sebagai pusat pemerintahan, raden Kembangjaya dan Raden Sopanyono menuju hutan Kemiri, dan segeralah hutan tersebut dibabat untuk Kadipaten/pusat pemerintahan.

Alas (Hutan) Kemiri dihuni oleh beberapa binatang Singa, Gajah dan binatang buas lainnya, selain itu juga dihuni oleh kerajaan siluman, Kembang Joyo dan Dalang Soponyono bahu membahu melawan kerajaan Siluman tersebut. Akhirnya dengan kesaktian Kembang Joyo pemimpin Siluman menyerah. Untuk menangkal makhluk-makluk halus Dalang Sopoyono selamatan dengan memainkan wayang di hutan Kemiri. Sirnalah pemimpin Siluman beserta anak buahnya lari dari hutan kemiri.

Esok harinya Kembang Joyo dan Dalang Soponyono beserta parajurit Carangsoko melanjutkan pekerjaannya membuka Hutan Kemiri menjadi perkampungan, ditengah mereka sedang membuka hutan datanglah seorang laki-laki memikul gentong yang berisi air.
“Berhenti kisanak!, siapa namamu dan apa yang sedang kau pikul itu?”
“Saya Ki Sagola, yang gentong yang kupikul ini berisi Dawet, aku terbiasa berjualan lewat sini.”
“Dawet itu minuman apa?, coba saya minta dibuatkan, prajurit-prajurit saya ini juga dibuatkan!
“ Kenapa hutan ini kok ditebangi?, kasihan para binatang pada lari ke gunung?”
“Kami sedang membuka hutan ini untuk perkampungan baru, agar kelak dapat menjadi kota raja yang makmur, gemah ripah loh jinawi, sebab derah kami dulu sudah tidak memungkinkan kita tempati akibat perang Saudara”

Raden Kembang Joyo merasa terkesan akan minuman Dawet yang manis dan segar, maka ia bertanya pada Ki Sagola tentang minuman yang baru diminumnya. Ki Sagola menceritakan bahwa minuman ini terbuat dari Pati Aren yang diberi Santan kelapa, gula aren/kelapa.

Mendengar jawaban itu Raden Kembang Joyo terispirasi, kelak kalau pembukaan hutan ini selesai akan diberi nama Kadipaten Pati-Pesantenan. Dalam perkembangannya Kadipaten Pati-Pesantenan menjadi makmur gemah ripah loh jinawi dibawah kepemimpinan Kembang Joyo.
Kadipaten Pesantenan

Untuk mengatur pemerintahan yang semakin luas wilayahnya ke bagian selatan, Adipati Raden Kembang Joyo memindahkan pusat pemerintahannya dari Carangsoka ke Desa Kemiri dengan mengganti nama " Kadipaten Pesantenan dengan gelar " Adipati Jayakusuma di Pesantenan.

Adipati Jayakusuma hanya mempunyai seorang putra tunggal yaitu " Raden Tambra ". Setelah ayahnya wafat, Raden Tambra diangkat menjadi Adipati Pesantenan, dengan gelar " Adipati Tambranegara ". Dalam menjalankan tugas pemerintahan Adipati Tambranegara bertindak arif dan bijaksana. Menjadi songsong agung yang sangat memperhatikan nasib rakyatnya, serta menjadi pengayom bagi hamba sahayanya. Kehidupan rakyatnya penuh dengan kerukunan, kedamaian, ketenangan dan kesejahteraannya semakin meningkat.

Kabupaten Pati

Untuk dapat mengembangkan pembangunan dan memajukan pemerintahan di wilayahnya Adipati Raden Tambranegara memindahkan pusat pemerintahan Kadipaten Pesantenan yang semula berada di desa Kemiri menuju ke arah barat yaitu, di desa Kaborongan, dan mengganti nama Kadipaten Pesantenan menjadi Kadipaten Pati.

Dalam prasasti Tuhannaru, yang diketemukan di desa Sidateka, wilayah Kabupaten Majakerta yang tersimpan di musium Trowulan. Prasasti itu terdapat pada delapan Lempengan Baja, dan bertuliskan huruf Jawa kuna. Pada lempengan yang keempat antara lain berbunyi bahwa : ..... Raja Majapahit, Raden Jayanegara menambah gelarnya dengan Abhiseka Wiralanda Gopala pada tanggal 13 Desember 1323 M. Dengan patihnya yang setia dan berani bernama Dyah Malayuda dengan gelar "Rakai", Pada saat pengumuman itu bersamaan dengan pisuwanan agung yang dihadiri dari Kadipaten pantai utara Jawa Tengah bagian Timur termasuk Raden Tambranegara berada di dalamnya.

Pati Bagian dari Majapahit
Raja Jayanegara dari Majapahit mengakui wilayah kekuasaan para Adipati itu dengan memberi status sebagai tanah predikan, dengan syarat bahwa para Adipati itu setiap tahun harus menyerahkan Upeti berupa bunga.

Bahwa Adipati Raden Tambranegara juga hadir dalam pisuwanan agung di Majapahit itu terdapat juga dalam Kitab Babad Pati, yang disusun oleh K.M. Sosrosumarto dan S.Dibyasudira, diterbitkan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, 1980. Halaman 34, Pupuh Dandanggula pada : 12 yang lengkapnya berbunyi : ..... Tan alami pajajaran kendhih, keratonnya ing tanah Jawa angalih Majapahite, ingkang jumeneng ratu, Brawijaya ingkang kapih kalih, ya Jaka Pekik wasta, putra Jaka Suruh, Kyai Ageng Pathi nama, Raden Tambranegara sumewa maring Keraton Majalengka.

Artinya Tidak lama kemudian Kerajaan Pajajaran kalah, Kerajaan Tanah Jawa lalu pindah ke Majapahit, adapun yang menjadi rajanya adalah Brawijaya II, yaitu Jaka Pekik namanya, putranya Jaka Suruh. Pada waktu itu Kyai Ageng Pati, yang bernama Tambranegara menghadap ke Majalengka, yaitu Majapahit.

Berdasarkan hal tersebut, jelaslah bahwa Raden Tambranegara Adipati Pati turut serta hadir dalam pisowanan agung di Majapahit. Pisowanan agung yang dihadiri oleh Raden Tambranegara ke Majapahit pada tanggal 13 Desember 1323, maka diperkirakan bahwa pindahnya Kadipaten Pesantenan dari Desa Kemiri ke Desa Kaborongan dan menjadi Kabupaten Pati itu pada bulan Juli dan Agustus 1323 M (Masehi). Ada tiga tanggal yang baik pada bulan Juli dan Agustus 1323 yaitu : 3 Juli, 7 Agustus dan 14 Agustus 1323.
Hari Jadi Pati

Kemudian diadakan seminar pada tanggal 28 September 1993 di Pendopo Kabupaten Pati yang dihadiri oleh para perwakilan lapisan masyarakat Kabupaten Pati, para guru sejarah SMA se Kabupaten Pati, Konsultan, Dosen Fakultas Sastra dan Sejarah UNDIP Semarang, secara musyawarah dan sepakat memutuskan bahwa pada tanggal 7 Agustus 1323 sebagai hari kepindahan Kadipaten Pesantenan di Desa Kemiri ke Desa Kaborongan menjadi Kabupaten Pati.

Tanggai 7 Agustus 1323 sebagai HARI JADI KABUPATEN PATI telah ditetapkan dalam Peraturan Daerah Kabupaten Pati Nomor : 2/1994 tanggal 31 Mei 1994, sehingga menjadi momentum Hari Jadi Kabupaten Pati dengan surya sengkala " KRIDANE PANEMBAH GEBYARING BUMI " yang bermakna " Dengan bekerja keras dan penuh do'a kita gali Bumi Pati untuk meningkatkan kesejahteraan lahiriah dan batiniah ". Untuk itu maka setiap tanggal 7 Agustus 1323 yang ditetapkan dan diperingati sebagai "Hari Jadi Kabupaten Pati"‎

 

Sejarah Terbentuknya Kadipaten Posono


Desa Pekuncen, sekarang terletak di Kecamatan Patianrowo (Sekitar 6 Km arah utara Kota Kertosono saat ini), hanya berpenduduk 43 KK atau 201 Jiwa, dan mempunyai keluasan wilayah 11,170 Ha, berupa sawah bonorowo 2,5 Ha, sedangkan selebihnya berupa tanah tegalan dan pekarangan, seperti lazimnya kawasan tanah desa pada umumnya.
  
Dilihat dari jumlah penduduk, desa ini tidak memenuhi syarat sebagai desa, sesuai Peraturan Mendagri No.4 Tahun 1981 (bahwa pembentukan desa setidak-tidaknya memiliki 500 KK atau sedikitnya memiliki penduduk sejumlah 2.500 jiwa, red). Namun dengan berbagai pertimbangan, Pakuncen tetap dianggap sebagai desa yang sejajar dengan desa lainnya. 

Asal Mula Desa Pakuncen dan Kadipaten Posono.

Tahun 1651M, Nur Jalipah bersama 2 orang saudaranya (yang diyakini murid dari pesantren Sunan Drajat) membuka lahan dengan babat alas untuk sebagai pemukiman seluas kurang lebih 10 Ha. Nur Jalipah ini seorang santri sekaligus petani yang ulet, yang mempunyai ilmu agama Islam dan ilmu kesaktian yang tinggi. Dengan niat untuk makin menyebarkan agama Islam yang telah dipelajarinya, maka didirikanlah masjid di tempat yang baru dibuka itu. Masjid yang didirikan tersebut kala itu atap dan dindingnya terbuat dari kayu. 

Bangunan masjid ini kemudian dipergunakan untuk sentral kegiatan-kegiatan siar agama Islam di daerah itu. Murid-muridnya banyak dari daerah lain, sehingga desa baru ini semakin ramai, dan berkembang menjadi pondok pesantren yang besar, dan semenjak itu daerah baru ini mendapat julukan desa Kauman. 

Pada tahun 1700 M, datanglah orang utusan dari Mataram dipimpin oleh Raden Tumenggung Purwodiningrat, yang ditugasi oleh Kanjeng Sunan Pakubuwono I untuk menyebarkan agama Islam juga dan mendirikan kota kepatihan yang letaknya di tepi sungai Brantas, di antara Madiun dengan Surabaya. Sehubungan daerah tersebut juga telah menganut agaa Islam, maka R.T. Purwodiningrat kemudian mengadakan pendekatan serta berunding dengan Nur Jalipah untuk melaksanakan tugas yang diembannya untuk membangun sebuah Kadipaten di daerah itu. 

Menimbang pentingnya amanah tersebut untuk tonggak pengembangan daerah itu di masa selanjutnya, disertai dukungan dari para santri-santrinya serta masyarakat sekitar, maka tercapailah kata sepakat antara Nur Jalipah dengan RT Purwodiningrat. Dengan dukungan dari berbagai pihak, maka berdirilah Kota kepatihan baru yang diberi nama Kadipaten Posono (arti sansekerta dari tempat/istana), dengan Adipati  pertamanya adalah RT. Purwodiningrat. Letak Kadipaten tersebut masih di desa Kauman atau desa Pakuncen saat ini.

Atas jasa-jasa Nur Jalipah dalam keberhasilan berdirinya Kadipaten Posono, serta melihat kebijaksanaan dan kepandaiannya, maka Nur Jalipah selanjutnya diangkat menjadi Talang Pati (Senopati) di Kadipaten Posono tersebut, dan merangkap menjadi Demang. Saat permaisuri RAT Purwodiningrat wafat, timbul masalah di mana nantinya  jenasah permaisuri itu harus dimakamkan. Sebab yang meninggal masih kerabat dekat keraton Mataram. Akhirnya atas saran dan ijin Raja Mataram saat itu Kanjeng Sunan Pakubuwono  I, jenasah RAT Purwodiningrat tersebut dikebumikan di desa Kauman, yang letaknya di belakang masjid Kauman.

Karena tanah milik keluarga Nur Jalipah digunakan untuk tempat makam keluarga dari Kanjeng Sunan Pakubuwono  I, maka kemudian atas petunjuk Raja diadakan perjanjian antara Keraton Mataram dengan Nur Jalipah yang isinya :
Tanah Nur Jalipah seluas ± 10 Ha dibebaskan dari pembayaran pajak (menjadi tanah perdikan).

Nur Jalipah diangkat menjadi Juru Kunci yang pertama untuk menjaga dan mengawasi makam keluarga RT Purwodiningrat beserta melanjutkan programnya yang harus dilaksanakan secara rutin dan turun temurun.
Dusun Kauman diganti dengan Pakuncen (tempatnya Juru Kunci), penyerahan kunci cungkup/makam pesareyan keluarga RT Purwodiningrat menjadi tanggung jawab Nur Jalipah.

Untuk melaksanakan tanggung jawab tersebut, Nur Jalipah mengambil kebijaksanaan sebagai berikut :
Pakuncen hanya boleh dihuni keluarga Nur Jalipah, bahkan keluargapun bila tidak mematuhi peraturan, diusir dari bumi Pakuncen. Peraturan ini dibudayakan dan menjadi adat sampai saat ini.  

Pesareyan dibagi menjadi dua pintu gerbang :
Gerbang 1 : Makam keluarga Nur Jalipah,
Gerbang 2 : Makam keluarga RT Purwodiningrat. 

Adapun orang-orang dari desa lain seperti masyarakat Rowomarto dibenarkan dikebumikan di Pakuncen, sebab sudah ada perjanjian antara Nur Jalipah dengan rakyat Rowomarto dengan ditukar bumi, sama dengan cara yang dibuat dari keluarga Yogjakarta untuk menjadikan desa Perdikan. 

Bergesernya Pusat Pemerintahan Kadipaten Posono

RT Purwodiningrat sepeninggal isterinya, kemudian dipanggil ke Mataram, dan selanjutnya kemudian menjadi Tumenggung di Magetan. Kedudukan Tumenggung Posono kemudian digantikan oleh RM Sosrodiningrat yang juga masih keturunan darah Mataram. Isteri RM Sosrodiningrat juga wafat dan dimakamkan di pemakaman Pakuncen, seperti halnya RAT Purwodiningrat.

RM Sosrodiningrat sepeninggal istrinya juga dipanggil ke Mataram . Hanya saja belum diketahui pasti selanjutnya menjadi pejabat di daerah mana. Kedudukan Tumenggung selanjutnya dijabat oleh Raden Tumenggung Wiryonegoro. Sejak itu ibukota Kadipaten Posono dipindah ke selatan (Kertosono sekarang). RT. Wiryonegoro, merupakan pejabat Tumenggung yang terakhir di Kertosono, dan ketika beliau wafat dimakamkan di Besuk, Patianrowo, dekat Pabrik Gula Lestari.

Seiring dengan perluasan kekuasaan penjajah Belanda di kisaran abad 18, bersamaan dengan berkembangnya Revolusi Industri di Eropa pada 1750-1850, pemerintahan Hindia Belanda mengembangkan sarana transportasi kereta api antar kota-kota besar untuk memperlancar transportasi orang maupun barang. Termasuk di antaranya yang di Jawa Timur adalah untuk jalur Madiun-Kediri-Surabaya. Dengan Kertosono dijadikan sebagai stasiun besar persilangan antara Madiun-Kediri dan Kediri-Surabaya. Stasiun besar ini juga menjadi depo/bengkel dan pengisian logistik untuk lokomotifnya. Dengan Kertosono sebagai stasiun besar persilangan, pemerintah Hindia Belanda bisa menghemat hanya cukup membangun satu jembatan besar saja di atas sungai Brantas.

Dengan munculnya stasiun kereta api tersebut, maka semakin banyak penduduk Posono yang bermigrasi ke Kertosono, bahkan Kertosono menjadi kota yang padat penduduk, ramai dan lebih maju daripada daerah sekitar. Kertosono juga berkembang menjadi pusat perdagangan dan transportasi penduduk Kertosono dan sekitarnya. Sebaliknya, Posono menjadi kota yang sunyi, sepi dan jarang penduduknya karena hampir semua penduduk Posono pindah ke Kertosono. Terlebih lagi wilayah tersebut sangat rawan banjir besar. 

Pada era pemerintahan Hindia Belanda, kekuasaan Keraton Mataram baik Jogja maupun Solo semakin dibatasi. Di antaranya adalah wilayah yang menjadi otoritas Sultan Mataram saat itu hanya meliputi daerah-daerah sekitar kota praja. Sedangkan yang di luar wilayah kota praja menjadi negara manca, yang pelaksanaan pemerintahannya di bawah kekuasaan pemerintahan Hindia Belanda. Kadipaten Kertosono termasuk di antaranya, berubah menjadi Kabupaten Kertosono, yang lebih lanjut di tahun-tahun berikutnya semakin dikecilkan menjadi kawedanan.
 
Pada masa awalnya Kabupaten Nganjuk yang sekarang ini di sekitar tahun 1811 , berdasarkan peta Jawa Tengah dan Jawa Timur dalam buku tulisan Peter Carry, pada saat itu terdiri dari 4(empat) wilayah Kabupaten yaitu :
Kabupaten Berbek ;
Kabupaten Godean ;
Kabupaten Nganjuk ; dan
Kabupaten Kertosono.

Dalam perkembangan selanjutnya, berdasarkan dokumen-dokumen konstitu­sional Pemerintah Hindia Belanda, dari keempat Kabupaten tersebut, yang tercatat hanya ada tiga Kabupaten yaitu : Kabupaten Nganjuk ; Kabupaten Berbek ; dan Kabupaten Kertosono. Mungkin sekali berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tertentu, Kabupaten Godean dihapus dan bekas wilayahnya dijadikan satu dengan Kabupaten Berbek.

Tercatat dalam naskah Resolusi Pemerintah Hindia Belanda Nomor 10 tanggal 31 Desember 1830, yang merupakan tindak lanjut dari perjanjian antara Pemerintah Hindia Belanda dengan Kesultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta tanggal 3 Juli 1830 di Pendopo Sepreh ; bahwa yang tersebut hanyalah Kabupaten Nganjuk ; Kabupaten Berbek ; dan Kabupaten Kertosono (termasuk dalam wilayah Residensi Kedirie). Sedangkan Kabupaten Godean tidak disebutkan lagi.

Dipandang perlu untuk dijelaskan bahwa, perjanjian Sepreh antara lain berisi penyerahan kekuasaan dan pengawasan atas daerah-daerah Monconegoro Kesultanan Yogyakarta dan Kesunanan Surakarta kepada Nederlandsch Gouvernement, yang tidak lain adalah hasil dari politik Devide et Impera Pemerintah Hindia Belanda. Dengan demikian setelah penandatanganan naskah perjanjian Sepreh tersebut, praktis seluruh Kabupaten bekas daerah Monconegoro Kesultanan Yogyakarta dan Ke­sunanan Surakarta, termasuk Nganjuk, Berbek dan Kertosono tunduk dibawah kekuasaan dan pengawasan Pemerintah Hindia Belanda.

Berdasarkan Akte Komisaris Daerah-Daerah Keraton yang telah diambil alih dan ditanda tangani pada tanggal 16 Juni 1831 di Semarang oleh Van Lawick Van Pabst, yang ditunjuk untuk menjabat Bupati di ketiga kabupaten tersebut adalah :
–   R. Toemenggoeng Sosro Koesoemo sebagai Bupati Berbek ;
–   R. Toemenggoeng Brotodikoro sebagai Bupati Nganjuk ; dan
–   R. Toemenggoeng Soemodipoero sebagai Bupati Kertosono.

Pada kurun waktu berikutnya ketiga Kabupaten tersebut digabungkan menjadi satu dengan Kabupaten Berbek. Tentang waktu tepatnya penggabungan tersebut secara explisit sangat sulit dicarikan data autentiknya. Namun secara implisit dapat dilihat dalam Surat Residen Kedirie yang pertama, tanggal 20 September 1852, tentang pertimbangan-pertimbangan pengangkatan PRINGGODIKDO sebagai Bupati Berbek menggantikan KRT SOSROKOESOEMO II, yang antara lain menye­butkan bahwa, Kabupaten Berbek telah sangat luas yang meliputi 8‎ Distrik. 
Distrik-distrik ini tidak lain adalah :
–   2 (dua) Distrik bekas wilayah Kabupaten Nganjuk ;
–   3 (tiga) Distrik bekas wilayah Kabupaten Kertosono ; dan
–   3 (tiga) Distrik dari Kabupaten Berbek sendiri.

Namun, karena kekuasaan pemerintah Kolonial Belanda semakin kuat, kekuasaan kerajaan Mataram di Kertosono semakin dipersempit. Hingga pada suatu saat kekuasaan kerajaan Mataram di kota Kertosono hanya sebatas kekuasaan kepatihan dengan patih pertama yang bernama Mangun Praja (Raden Mas Ngabei Mangun Praja). Kemudian karena semakin hari kedudukan pemerintah kolonial Belanda di Indonesia semakin kuat, kekuasaan kepatihan diganti dengan kekuasaan Kawedanan. 
 
Dalam masa pemerintahan Republik Indonesia sendiri, sekarang kawedanan Kertosono sudah dihapuskan dan hanya menyisakan kecamatan Kertosono.
 
Juru Kunci Desa Pakuncen

Tiga hal dalam isi perjanjian Nur Jalipah dengan Kesultanan Mataram (Ngayogyokarto), oleh keturunan Nur Jalipah tetap dilaksanakan hingga sekarang, sehingga jabatan juru kunci yang merangkap sebagai Kepala Desa selalu dijabat oleh Keturunan langsung Nur Jalipah. Hal ini berlangsung sampai sat ini mulai dari:
Nur Jalipah,
Marsongko,
Kertosari,
Keromosari,
Martojo,
Keromorejo,
H. Nursalam,
Mashuri,
Khoiri.

Desa Pekuncen yang unik ini sampai saat ini tidak memiliki Sekdes dan perangkat desa lain, semua tugas perangkat desa dari Kepala Desa sampai modin dijabat satu orang. Keadaan seperti ini tentu aneh, namun Pemerintah Daerah menyadari keunikan desa Pekuncen ini, sehingga sampai sekarang tidak dituntut harus memiliki/melengkapi pejabat perangkat desanya.

Tahun 1990, Mashuri meninggal dunia dalam usia yang relatif muda (43 tahun), timbul kesulitan untuk mencari pengganti dari keturunan langsung Nur Jalipah yang mampu mengemban tugas sebagai kepala desa. Untuk mengisi kekosongan jabatan kepala desa Pakuncen, pada tahun 1990 diadakan pemilihaan secara demokratis. Dari hasil pemilihan tersebut yang berhasil meraih suara terbanyak adalah Munandar yang bukan keturunan langsung Nur Jalipah.

Berdasarkan kesepakatan antara Kepala Desa terpilih dengan pihak keluarga Nur Jalipah ditetapkan bahwa sebagai Juru Kunci, Perawat Makam dan Masjid peninggalan Nur Jalipah tetap diserahkan kepada keturunan langsung Nur Jalipah, yaitu Khoiri (Kakak Mashuri).

Peninggalan Bersejarah.

Di desa Pakuncen bagian utara terdapat Masjid Kuno dan kompleks makam (sehingga orang disitu memberi nama masjid MAKAM), yang dibangun oleh Nur Jalipah pada pertengahan abad ke 17. Masjid kuno ini semula terbuat dari kayu (tiang dan atap dari kayu), namun dalam perkembangannya Masjid ini telah mengalami perbaikan. Atas prakarsa Menteri Penerangan saat itu, H Harmoko yang juga merupakan warga desa Patianrowo, kemudian dilaksanakan perbaikan, atap yang semula dari kayu (sirap) kemudian diganti genting, lantai dan penambahan serambi. Masjid kuno ini sekarang lebih dikenal dengan nama “Baitur Rohman”.

Di belakang Masjid terdapat kompleks makam, memasuki kompleks makam Melalui pintu sebelah selatan masjid, ditengah-tengah makam terdapat sebuah bangunan berfungsi sebagai tempat menerima tamu, tempat selamatan dan membaca do’a bagi yang melaksanakan nadar. Di utara bangunan tersebut terdapat bangunan cungkup yang tertutup rapat, yang didalamnya terdapat 22 makam. 

Diantaranya terdapat 4 makam yang ditutup kelambu putih. Menurut data yang ada disitu terdapat makam :
RA. Tumenggung Purwodiningrat, isteri Tumenggung Posono I
RA. Tumenggung Sosrodiningrat, isteri Tumenggung Posono II
R. Soerjati (Kusumaningrat).
RA. Kusiyah (Kartodiningrat).

Di luar cungkup terdapat makam para bangsawan tinggi lainnya, antara lain RT. Koesoemaningrat, mantan Bupati Ngawi, R. Mangunredjo, Patih Kuto Lawas dan Notosari Patih Magetan. Di sebelah barat cungkup utama terdapat makam Nur Jalipah. Sedangkan di luar kompleks cungkup terdapat ratusan makam penduduk desa Pakuncen dan sekitarnya.

Legenda Terkait

Tumenggung Macan Kopek

Pada masa pemerintahan Patih pertama Kadipaten Posono, pasukan Belanda telah mulai menduduki jalur-jalur perdagangan antara Madiun - Surabaya, termasuk juga merambah ke Kadipaten Posono. Hal ini tentu saja mendapatkan perlawanan dari pemerintahan setempat yang didukung rakyatnya. Hingga pada suatu ketika, pasukan Belanda menyerbu ke pusat pemerintahan Kadipaten Posono di Pakuncen, yang dihadapi oleh istri sang patih yaitu RA. Tumenggung Purwodiningrat. Saat beliau membuka selendangnya dan menggelarnya di tanah, bumi Pakuncen tiba-tiba hilang dalam pandangan pasukan Belanda.

Setelah wafatnya, RA. Tumenggung Purwodiningrat selanjutnya dimakamkan di bumi Pakuncen di belakang masjid Baitur Rochman. Pada setelah 3 hari pemakaman beliau, tepatnya pada malam Jumat Legi, ada penampakan sosok gaib seekor macan putih betina teteknya (payudara) besar sampai menyentuh tanah. Dan sosok gaib tersebut diyakini masyarakat Pakuncen adalah jelmaan dari Nyai Tumenggung Purwodiningrat ,hingga makam di barat masjid Baitur Rohman Pakuncen tersebut dijuluki makam Tumenggung Kopek. 

Dalam kisahnya sosok gaib Mbah Tumenggung Kopek tidak pernah mengganggu atau membuat resah rakyat Pakuncen. Justru kemunculan beliau diyakini membawa ketentraman dan kedamaian masyarakat desa Pakuncen dan sekitarnya.

Masjid Tiban dan Syech Zakariya

Lestari merupakan nama sebuah desa yang terletak di Kecamatan Patianrowo Kabupaten Nganjuk. Nama Desa “Lestari” yang berartiabadi ini terdapat sebuah masjid yang merupakan peninggalan sejarah yang ada kaitannya dengan Kerajaan Mataram. Masjid tersebut bernama Masjid Tiban. Tentang asal mula nama dan tahun dibangun sampai sekarang belum ada yang tahu. Namun menurut salah satu penduduk sekitar masjid Tiban yang kita percayai sebagai narasumber mengatakan bahwa dulu ketika Kerajaan Mataram dijajah oleh Belanda ada salah satu prajuritnya yang menjadi korban pelarian sampai ke Jawa Timur. Prajurit tersebut bernama Syekh Zakariya. Syekh Zakariya datang ke desa Lestari untuk menegakkan kebenaran dibidang agama.

Setelah pasukan Belanda menemukan keberadaan Syekh Zakariya. Pasukan Belanda mengadakan sayembara untuk siapa saja yang menganggap dirinya sakti dan berhasil membunuh Syekh Zakariya yang terkenal Sakti Mandraguna. Setelah pasukan Belanda mendapatkan seseorang yang dipercaya memiliki kesaktian diatas kesaktian Syekh Zakariya. Pasukan Belanda mengutus orang tersebut untuk membunuh Syekh Zakariya dalam peperangan. Dan sebagai buktinya, orang tersebut harus membawa kepala Syekh Zakariya kepada pasukan Belanda. 

Ternyata orang suruhan pasukan Belanda tersebut berhasil membunuh Syekh Zakariya dan membawa kepala Syekh Zakariya kepada pasukan Belanda sebagai bukti. Namun pasukan Belanda berkata apabila Syekh Zakariya ini benar-benar sakti maka kepala Syekh Zakariya yang sudah dipenggal tadi bisa kembali menyatu dengan badannya dan bisa kembali hidup. Dan ternyata kepala yang sudah dipenggal itu tidak disangka bisa kembali menyatu dengan tubuhnya dan kembali hidup lagi. Ketika Belanda mengetahui adanya Syekh Zakariya lagi, Belanda membunuh lagi Syekh Zakariya. Namun berulang kali Syekh Zakariya Hidup Kembali. ‎

 

Kyai Ageng Gribig


Kyai Ageng Gribig Malang

Malang tak hanya menawarkan pesona alamnya yang memukau. Namun kota apel ini juga memiliki potensi wisata bernilai historis dan religius yang menarik. Salah satunya yaitu  Kompleks Makam Ki Ageng Gribig. Jika Anda penyuka wisata sejarah atau religi, kompleks pemakaman ini wajib untuk dikunjungi.

Kompleks Makam Ki Ageng Gribig terletak di Jalan Ki Ageng Gribig Gang II, Kelurahan Madyopuro, Kecamatan Kedung Kandang, Kota Malang. Tak hanya makam tokoh Ki Ageng Gribig, di kompleks ini juga terdapat makam para mantan Bupati Malang yang memerintah pada akhir abad XIX hingga awal abad XX. Menariknya, kompleks pekuburan ini diklaim sebagai makam para Bupati terbesar dan terindah di kawasan Jawa Timur. Di samping itu, terdapat pula makam mantan Bupati Surabaya, Bupati Bondowoso, dan keluarga Bupati Probolinggo.

Menurut masyarakat setempat, Ki Ageng Gribig merupakan adik kandung Sunan Giri, salah seorang Walisongo yang dimakamkan di Gresik. Adapun menurut Babad Malang, Ki Ageng Gribig adalah cicit dari Raja Majapahit, Brawijaya. Ayahnya bernama Pangeran Kedawung, salah seorang keturunan Lembu Niroto, pemilik Panembahan Bromo. Ki Ageng Gribig dikenal sebagai seorang ulama yang tersohor di Malang pada tahun 1600-an. Ia juga merupakan salah satu murid kesayangan Sunan Kalijaga.

Ki Ageng Gribig dipercaya sebagai pendiri atau cikal bakal kota Malang. Konon, adik Sunan Giri ini sangat suka berkelana ke tempat-tempat jauh untuk menimba ilmu dan memperkuat iman. Pada suatu ketika, sampailah Ki Ageng Gribig di sebuah tempat berupa hutan yang sangat lebat. Karena merasa cocok dengan tempat tersebut, maka Ki Ageng Gribig membabatnya dan menjadikan tempat itu sebagai pemukiman. Sejak itulah tempat tersebut dihuni orang dan dikenal dengan nama ‘Malang’. Nama ‘Malang’ sendiri diberikan oleh Ki Ageng Gribig berdasarkan kenyataan adanya Gunung Buring dan deretan pegunungan yang melintang di kiri dan kanannya.

Kisah tersebut diyakini oleh Bupati Malang yang pertama yakni R.A.A Notodiningrat. Setelah menemukan makam Ki Ageng Gribig, ia membangun dan memelihara tempat peristirahatan terakhir pendiri kota Malang tersebut. Kemudian kompleks makam itupun digunakan oleh R.A.A Notodiningrat sebagai makam keluarga dan berlangsung secara turun temurun.

Memasuki kompleks pemakaman Ki Ageng Gribig, kesan yang akan Anda rasakan pertama kali adalah nyaman dan asri. Jalan setapak di dalam makam dibuat dari beton yang kiri-kanannya ditumbuhi pohon-pohon hias yang terawat rapi. Terdapat tiga bangunan besar dan beberapa bangunan kecil di pekuburan itu. Bangunan terbesar terletak di bagian tengah, yakni tempat disemayamkannya Bupati Malang pertama yaitu R.A.A. Notodiningrat. Di sebelahnya, tepatnya di bagian teras terdapat 17 makam para kerabat dekat dan 8 kerabat jauh R.A.A. Notodiningrat. Bangunan kedua yang agak kecil adalah makam Bupati Malang kedua yaitu R.A.A. Notodiningrat II bersama 26 makam kerabat dekat dan 6 kerabat jauh. Di teras bangunan besar itu juga ada makam Mas Ajoe Aminah, istri dari Raden Toemenggoeng Ario Soerjoningrat, Bupati Probolinggo.

Sedangkan bangunan besar ketiga yang terletak di bagian paling belakang adalah tempat persemayaman Ki Ageng Gribig bersama istrinya. Di samping makam Ki Ageng Gribig terdapat sebuah bangunan mushola Kyai Ageng Gribig. Konon menurut juru kunci, dahulu di mushola itulah Ki Ageng Gribig berdakwah. Tak jauh dari makam juga terdapat Masjid Ki Ageng Gribig yang memiliki desain bangunan yang indah dan megah.

Makam Bupati Malang ketiga tidak berada dalam bangunan besar yang tertutup, tetapi dibuatkan bangunan kecil terbuka dan ditutup dengan kain kelambu. Terdapat tulisan jelas di batu nisan dari marmer berbunyi “R. Toemenggoeng Ario Notodingrat wafat 8 Juli 1898”. Walaupun makam ini berada di luar bangunan gedung, namun keadaannya tetap terawat rapi. Nisan dan payungnya ditutup dengan kain berwarna kuning tua. Di sebelah makam Bupati Malang ketiga, terdapat makam Bupati Bondowoso, RTA Notodiningrat yang wafat pada tengah malam 13 Oktober 1934. Sedangkan jauh di depan, di dekat jalan masuk terdapat makam Bupati Surabaya, R. Soekarso yang menjabat pada 1958-1968. Tertulis jelas di batu nisan terlahir pada 11 Desember 1908 dan wafat 7 Desember 1986.

Untuk masuk ke dalam kompleks pekuburan Ki Ageng Gribig, pengunjung harus menemui juru kunci terlebih dahulu. Kawasan makam ini tidak pernah sepi dari pengunjung, terutama pada malam Jumat dan hari-hari besar. Suasana hening dan khusyuk akan langsung terasa saat Anda berziarah di tempat ini. Banyak peziarah yang datang khusus untuk berkhalwat dan menyepi mendekatkan diri pada Tuhan.

Untuk mencapai tempat peristirahatan Ki Ageng Gribig ini, dari kota Malang bisa langsung menuju Kecamatan Kedung Kandang. Jika sudah memasuki wilayah Kedung Kandang, Anda harus menuju Jalan Ki Ageng Gribig. Tidak sulit menemukan jalan ini. Ikuti saja jalan tersebut hingga menemukan Masjid Ki Ageng Gribig. Letak kompleks pemakaman tak jauh dari masjid ini.

Kyai Ageng Gribig Jatinom

Ki Ageng Gribig, ulama besar yang waktu mudanya bernama Wasibagno Timur, adalah putra Kiai Ageng Gribig (Kyai Ageng Tinom putra Browijoyo Mojopahit) dari Ngibig (menantu Sunan Giri)  Saat Wasibagno berumur belasan tahun, ia sudah ditinggal wafat oleh ayah-ibundanya. Ia tidak mau mengikuti tradisi kerajaan, melainkan memilih jalan hidup bertapa.

Usai mendapatkan wangsit dari kakeknya, yaitu Sunan Giri, berangkatklah Wasibagno ke arah barat. Sesampainya dihutan Merbabu di lereng Gunung Merapi, ia memutuskan mulai bertapa (semedi) dibawah bendungan Kali Bogowondo. Di situlah ia bertapa bertahun-tahun lamanya. Mendengar kejadian itu, Sunan Kalijaga dari Kadilangu Demak segera menemui Sunan Tembayat, yang juga disebut Sunan Pandanaran, untuk memberitahukan bahwa di bawah Kali Bogowondo ada seorang pertapa yang masih punya hubungan darah dengan Sunan Tembayat. Sunan Kalijaga meminta agar Sunan Tembayat mau menemui dan mengajarkan ilmu kebendaan, serta yang menyangkut ilmu serengat (syari'ah), hakikat dan ma'rifat.

Setelah jelas apa yang dikehendaki Sunan Kalijaga, berangkatlah Sunan Tembayat menemui Wasigbagno. Di tempat pertapaan itulah terjadi perdebatan antara Wasigbagno dengan Sunan Tembayat mengenai ilmu yng dimaksud Sunan Kalijaga. Wasigbagno merasa kalah, dan ia pun bersujud serta menyatakan diri untuk masuk Islam dan meminta segera diberi pelajaran tata cara bersembahyang.

Setelah mendapat pelajaran dari Sunan tembayat, Wasigbagno pun segera berangkat ke arah timur Kali Bogowondo. Ia berganti nama menajdi Ki Ageng Gribig, nama ayahnya. Di sebuah hutan jati, ia memutuskan mulai babat alas dan membangun masjid serta mendirikan padukuhan. Bertahun-tahun lamanya Ki Ageng Gribig babat alas sendiri. Kemudian, ia memperdalam ilmu yang didapatnya dari Sunan Tembayat. apa yang diinginkan akhirnya terwujud, Padukuhan yang dibangun mulai didatangi orang.
Konon, suatu saat menjelang salat dluhur, Ki Ageng Gribig membunyikan tabuh. Tanpa disangka, suara itu terdengar sampai ke Mataram yang saat itu sedang punya hajat wisudan (pelantikan) Sultan Agung. Sultan Agung, tertarik dan memerintahkan mencari asal suara untuk diajak ke Mataram. Kemudian, padukuhan yang dibangun Ki Ageng Gribig diberi hadiah sebagai tanah perdikan. Sebagai gantinya, Ki Ageng Gribig diwajibkan ikut hadir setiap peringatan hari kelahiran Sultan Agung di Mataram. Selain itu Ki Ageng Gribig juga diberi hadiah isteri, yang tidak lain Raden Ayu Emas, adik Sultan Agung sendiri.

Seperti biasanya, setiap bulan Ramadhan, anak cucu Ki Ageng Gribig, pada sore hari sudah memenuhi halaman masjid Jatinom untuk darusan (pengajian) dan dilanjutkan salat Tarawih. Pada suatu malam, saat salat tarawih akan dimulai, Ki Ageng Gribig belum juga datang. Konon, pada saat tertentu di malam Ramadhan, Ki Ageng Gribig menghadiri salat Tarawih di Mekah bersama Sultan Agung. Kendati begitu, jamaah masih taat menunggu. Sepulang dari Mekah, Ki Ageng Gribig menuju masjid di Jatinom guna memimpin salat Tarawih. Selesai Tarawih, Ki Ageng Gribig bermaksud membagi oleh-oleh dari Mekah berupa kue apem. namun kuenya cuma tiga buah, sementara anak cucunya banyak. Karena itu Ki Ageng Gribig meminta pada Nyi Ageng untuk membuatkan kue apem yang terbuat dari beras. Saat itulah Ki Ageng Gribig berpesan, agar tiap bulan Sapar menyisihkan harta bendanya untuk zakat syukuran. "Menurut kepercayaan, apem Yaqawiyu yang selesai disalatkan dan dibagikan itu dapat mendatangkan rezeki,"
Sejarah Apem Gribig 

Pada mulanya, Kyai Ageng Gribig ke Mekkah untuk menunaikan Ibadah Haji. Sewaktu berada di Mekkah mendapat apem 3 buah yang masih hangat, kemudian dibawa pulang untuk anak cucunya, ternyata sampai di Jatinom apem tersebut masih hangat. Dengan bersabda “APEM YAQOWIYU” artinya kata yaa qowiyyu itu ialah Tuhan Mohon Kekuatan. Berhubung apem buah tangan itu tidak mencukupi untuk anak cucunya, maka Nyai Ageng Gribig diminta membuatkan lagi agar dapat merata.
Kyai Ageng Gribig juga meminta kepada orang-orang Jatinom; di bulan Sapar, agar merelakan harta bendanya sekedar untuk zakat kepada sesame yang datang (tamu). Oleh karena orang-orang semua tahu bahwa Nyai Ageng Gribig sedekah apem, maka kini penduduk Jatinom ikut-ikutan sama membawa apem untuk selamatan. Sekarang ini orang-orang Jatinom membawa apem untuk diserahkan ke Panitia Penyebaran Apem, dan sesudah sholat Jumat disebarkan di lapangan.

Menurut kepercayaan warga, apem tersebut sebagai syarat untuk bermacam-macam maksud. Bagi petani dapat untuk sawahnya, agar tanamannya selamat dari hama. Ada yang percaya bahwa apem tersebut akan membawa rezeki, membawa jodoh, dan lain-lain. Bahkan, ada yang percaya siapa yang mendapat banyak apem pada perebutan itu sebagai tanda akan memperoleh rezeki melimpah. Saking percaya hal itu ada yang kaul (nadar) menggelar wayang kulit, atau pertunjukan tradisional yang lain.

Jumat siang, ribuan orang memadati lapangan di dekat Masjid Ageng Jatinom  Kecamatan Jatinom Kabupaten Klaten untuk berebut kue apem yang disebar, yaa qowiyyu yang dirayakan pada setiap hari Jumat bakda sholat Jumat pada pertengahan bulan Sapar ini telah ada sejak jaman sejarah Kyai Ageng Gribig.

Maka, tak heran jika pada puncak acara peringatan yaaqowiyuu ini pengunjung melimpah yang datang dari berbagai daerah di Jawa Tengah, DI Yogyakarta, dan Jawa Timur. Acara tradisi budaya tersebut digelar untuk mengenang jasa Ki Ageng Gribig, tokoh ulama penyebar agama Islam di Jawa, yang menetap dan meninggal di Jatinom.

Pada Kamis siang sebelum apem disebar pada hari jumat, apem disusun dalam dua gunungan yaitu gunungan lanang dan gunungan wadon. Gunungan apem ini lalu akan diarak dari Kantor Kecamatan Jatinom menuju Masjid Ageng  Jatinom yang sebelumnya telah mampir terlebih dahulu ke Masjid Alit Jatinom. Arak-arakan ini diikuti oleh pejabat-pejabat kecamatan, kabupaten, Pemerintah Daerah Kabupaten, Bupati (atau yang mewakili), Disbudparpora (Dinas Kebudayaan, Pariwisata, Pemuda dan Olahraga) dari Klaten. Arak-arakan jalan kaki ini juga dimeriahkan oleh marching band, reog, seni bela diri dan Mas Mbak Klaten yang terpilih.

Setelah kedua gunungan apem sampai di Masjid Ageng Jatinom maka gunungan apem tersebut dimalamkan di dalam Masjid untuk diberi doa-doa. Pada hari Jumat setelah sholat Jumat, apem tersebut disebar oleh Panitia bersama dengan ribuan apem sumbangan dari warga setempat. 

Banyak orang berpendapat bahwa apem yang ada di gunungan dan telah dimalamkan di Masjid Ageng itulah apem yang paling “berkhasiat” atau manjur. Menurut banyak warga sebenarnya dari ribuan apem yang disebar apem yang telah dimalamkan di Masjid tersebut adalah apem yang benar-benar punya berkah. Tapi meskipun demikian tidak berarti ribuan apem lain yang disebar tidak membawa berkah, masyarakat percaya bahwa apem-apem yang disebar itu punya berkah. Menurut para sesepuh Jatinom, gunungan apem itu mulai diadakan sejak 1974, bersamaan dengan dipindahnya lokasi sebaran apem dari halaman Masjid Gedhe ke tempat sekarang. Sebelumnya, acara sebaran apem tidak menggunakan gunungan.

Penyusunan gunungan itu juga ada artinya, apem disusun menurun seperti sate 4-2-4-4-3 maksudnya jumlah rakaat dalam shalat Isa, Subuh, Zuhur, Asar, dan Magrib. Di antara susunan itu terdapat kacang panjang, tomat, dan wortel yang melambangkan masyarakat sekitarnya hidup dari pertanian. Di puncak gunungan terdapat mustaka (seperti mustaka masjid) yang di dalamnya berisi ratusan apem.

Ada perbedaan antara gunungan lanang danwadon. Gunungan wadon lebih pendek dan berbentuk lebih bulat. Gunungan lanang lebih tinggi dan di bawahnya terdapat kepala macan putih dan ular.

Kedua hewan itu adalah kelangenan Ki Ageng Gribig. Macan diibaratkan Kiai Kopek yakni macan putih kesayangan Ki Ageng Gribig, sedangkan ular adalah Nyai Kasur milik Ki Ageng Gribig.

Kota Jatinom penuh sesak adanya beribu-ribu orang yang ada disitu meminta berkah kepada Kyai Ageng Gribig yang dimakamkan di Jatinom itu. Tetapi hendaknya kita selalu sadar bahwa: Mintalah sesuatu itu hanya kepada Allah semata.

Perayaan Yaaqowiyuu di Jatinom, Klaten, banyak dikunjungi puluhan ribu wisatawan lokal dan mancanegara. Mereka berkumpul di lapangan dekat Masjid Besar Jatinom, menunggu acara sebar kue apem yang dilakukan setelah selesai salat Jumat. Sekarang ini, sebanyak 5 ton kue apem yang diperebutkan para pengunjung.

Di lokasi ini terdapat juga peninggalan Kyai Ageng Gribig berupa: Gua Belan, Sendang Suran, Sendang Plampeyan dan Oro oro Tarwiyah. Disamping itu masih ada satu peninggalan yaitu Masjid Alit atau Masjid Tiban. Perlu kiranya ditambahkan disini bahwa sepulangnya Kyai Ageng Gribig dari Mekah tidak hanya membawa apem saja tetapi juga membawa segenggam tanah dari Oro-Oro Arofah dan tanah ini ditanamkan di Oro-Oro Tarwiyah. 

Adapun Oro-Oro ini disebut Tarwiyah karena tanah dari Mekah yang ditanam Kyai Ageng Gribig yang berasal dari Padang Arofah ketika beliau sedang mengumpulkan air untuk bekal untuk bekal wukuf di Arofah pada tanggal 8 bulan Dzulhijah. Dari tanggal 8 Dzulhijah ini dinamakan Yaumul Tarwiyah yang artinya pada tanggal itu para jamaah Haji mengumpulkan air sebanyak banyaknya untuk bekal wukuf di Arofah.

 

Silsilah dan Sejarah KRT Djogo Negoro Wonosobo


Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِى شَيْبَةَ وَزُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ قَالاَ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عُبَيْدٍ عَنْ يَزِيدَ بْنِ كَيْسَانَ عَنْ أَبِى حَازِمٍ عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ زَارَ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- قَبْرَ أُمِّهِ فَبَكَى وَأَبْكَى مَنْ حَوْلَهُ فَقَالَ « اسْتَأْذَنْتُ رَبِّى فِى أَنْ أَسْتَغْفِرَ لَهَا فَلَمْ يُؤْذَنْ لِى وَاسْتَأْذَنْتُهُ فِى أَنْ أَزُورَ قَبْرَهَا فَأُذِنَ لِى فَزُورُوا الْقُبُورَ فَإِنَّهَا تُذَكِّرُ الْمَوْتَ »

Dari Abu Bakr bin Abi Syaibah dan Zuhair bin Harb, mereka berdua berkata: Muhammad Bin ‘Ubaid menuturkan kepada kami: Dari Yaziid bin Kasyaan, ia berkata: Dari Abu Haazim, ia berkata: Dari Abu Hurairah, ia berkata: Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam berziarah kepada makam ibunya, lalu beliau menangis, kemudian menangis pula lah orang-orang di sekitar beliau. Beliau lalu bersabda: “Aku meminta izin kepada Rabb-ku untuk memintakan ampunan bagi ibuku, namun aku tidak diizinkan melakukannya. Maka aku pun meminta izin untuk menziarahi kuburnya, aku pun diizinkan. Berziarah-kuburlah, karena ia dapat mengingatkan engkau akan kematian”
(HR. Muslim no.108, 2/671)

Keutamaan Ziarah kubur :

Haram hukumnya memintakan ampunan bagi orang yang mati dalam keadaan kafir (Nailul Authar [219], Syarh Shahih Muslim Lin Nawawi [3/402]). Sebagaimana juga firman Allah Ta’ala:

 مَا كَانَ لِلنَّبِيِّ وَالَّذِينَ آمَنُوا أَنْ يَسْتَغْفِرُوا لِلْمُشْرِكِينَ وَلَوْ كَانُوا أُولِي قُرْبَى

“Tiadalah sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memintakan ampun (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik, walaupun orang-orang musyrik itu adalah kaum kerabat (nya)” (QS. At Taubah: 113)

Berziarah kubur ke makam orang kafir hukumnya boleh (Syarh Shahih Muslim Lin Nawawi, 3/402). Berziarah kubur ke makam orang kafir ini sekedar untuk perenungan diri, mengingat mati dan mengingat akhirat. Bukan untuk mendoakan atau memintakan ampunan bagi shahibul qubur. (Ahkam Al Janaaiz Lil Albani, 187)

Jika berziarah kepada orang kafir yang sudah mati hukumnya boleh, maka berkunjung menemui orang kafir (yang masih hidup) hukumnya juga boleh (Syarh Shahih Muslim Lin Nawawi, 3/402).

Hadits ini adalah dalil tegas bahwa ibunda Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam mati dalam keadaan kafir dan kekal di neraka (Syarh Musnad Abi Hanifah, 334)
Tujuan berziarah kubur adalah untuk menasehati diri dan mengingatkan diri sendiri akan kematian (Syarh Shahih Muslim Lin Nawawi, 3/402)

An Nawawi, Al ‘Abdari, Al Haazimi berkata: “Para ulama bersepakat bahwa ziarah kubur itu boleh bagi laki-laki” (Fathul Baari, 4/325). Bahkan Ibnu Hazm berpendapat wajib hukumnya minimal sekali seumur hidup. Sedangkan bagi wanita diperselisihkan hukumnya. Jumhur ulama berpendapat hukumnya boleh selama terhindar dari fitnah, sebagian ulama menyatakan hukumnya haram mengingat hadits ,
 
لَعَنَ اللَّه زَوَّارَات الْقُبُور

“Allah melaknat wanita yang sering berziarah kubur” (HR. At Tirmidzi no.1056, komentar At Tirmidzi: “Hadits ini hasan shahih”)

Dan sebagian ulama berpendapat hukumnya makruh (Fathul Baari, 4/325). Yang rajih insya Allah, hukumnya boleh bagi laki-laki maupun wanita karena tujuan berziarah kubur adalah untuk mengingat kematian dan mengingat akhirat, sedangkan ini dibutuhkan oleh laki-laki maupun perempuan (Ahkam Al Janaaiz Lil Albani, 180).

Ziarah kubur mengingatkan kita akan akhirat. Sebagaimana riwayat lain dari hadits ini:
 
زوروا القبور ؛ فإنها تذكركم الآخرة

“Berziarah-kuburlah, karena ia dapat mengingatkanmu akan akhirat” (HR. Ibnu Maajah no.1569)

Ziarah kubur dapat melembutkan hati. Sebagaimana disebutkan dalam hadits yang lain:

كنت نهيتكم عن زيارة القبور ألا فزوروها فإنها ترق القلب ، وتدمع العين ، وتذكر الآخرة ، ولا تقولوا هجرا

“Dulu aku pernah melarang kalian untuk berziarah-kubur. Namun sekarang ketahuilah, hendaknya kalian berziarah kubur. Karena ia dapat melembutkan hati, membuat air mata berlinang, dan mengingatkan kalian akan akhirat namun jangan kalian mengatakan perkataan yang tidak layak (qaulul hujr), ketika berziarah” (HR. Al Haakim no.1393, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Al Jaami’, 7584)

Ziarah kubur dapat membuat hati tidak terpaut kepada dunia dan zuhud terhadap gemerlap dunia. Dalam riwayat lain hadits ini disebutkan:

كنت نهيتكم عن زيارة القبور فزوروا القبور فإنها تزهد في الدنيا وتذكر الآخرة

“Dulu aku pernah melarang kalian untuk berziarah-kubur. Namun sekarang ketahuilah, hendaknya kalian berziarah kubur. Karena ia dapat membuat kalian zuhud terhadap dunia dan mengingatkan kalian akan akhirat” (HR. Al Haakim no.1387, didhaifkan Al Albani dalam Dha’if Al Jaami’, 4279)
Al Munawi berkata: “Tidak ada obat yang paling bermanfaat bagi hati yang kelam selain berziarah kubur. Dengan berziarah kubur, lalu mengingat kematian, akan menghalangi seseorang dari maksiat, melembutkan hatinya yang kelam, mengusir kesenangan terhadap dunia, membuat musibah yang kita alami terasa ringan. Ziarah kubur itu sangat dahsyat pengaruhnya untuk mencegah hitamnya hati dan mengubur sebab-sebab datangnya dosa. Tidak ada amalan yang sedahsyat ini pengaruhnya” (Faidhul Qaadir, 88/4)
Disyariatkannya ziarah kubur ini dapat mendatangkan manfaat bagi yang berziarah maupun bagi shahibul quburyang diziarahi (Ahkam Al Janaiz Lil Albani, 188). Bagi yang berziarah sudah kami sebutkan di atas. Adapun bagi shahibul qubur yang diziarahi (jika muslim), manfaatnya berupa disebutkan salam untuknya, serta doa dan permohonan ampunan baginya dari peziarah. Sebagaimana hadits:
 
كيف أقول لهم يا رسول الله؟ قال: قولي: السلام على أهل الديار من المؤمنين والمسلمين، ويرحم الله المستقدمين منا والمستأخرين وإنا إن شاء الله بكم للاحقون
 
“Aisyah bertanya: Apa yang harus aku ucapkan bagi mereka (shahibul qubur) wahai Rasulullah? Beliau bersabda: Ucapkanlah: Assalamu ‘alaa ahlid diyaar, minal mu’miniina wal muslimiin, wa yarhamullahul mustaqdimiina wal musta’khiriina, wa inna insyaa Allaahu bikum lalaahiquun (Salam untuk kalian wahai kaum muslimin dan mu’minin penghuni kubur. Semoga Allah merahmati orang-orang yang telah mendahului (mati), dan juga orang-orang yang diakhirkan (belum mati). Sungguh, Insya Allah kami pun akan menyusul kalian” (HR. Muslim no.974)
Ziarah kubur yang syar’i dan sesuai sunnah adalah ziarah kubur yang diniatkan sebagaimana hadits di atas, yaitu menasehati diri dan mengingatkan diri sendiri akan kematian. Adapun yang banyak dilakukan orang, berziarah-kubur dalam rangka mencari barokah, berdoa kepada shahibul qubur adalah ziarah kubur yang tidak dituntunkan oleh Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam. Selain itu Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam juga melarang qaulul hujr ketika berziarah kubur sebagaimana hadits yang sudah disebutkan. Dalam riwayat lain disebutkan:
ولا تقولوا ما يسخط الرب
 
“Dan janganlah mengatakan perkataan yang membuat Allah murka” (HR. Ahmad 3/38,63,66, Al Haakim, 374-375)
Termasuk dalam perbuatan ini yaitu berdoa dan memohon kepada shahibul qubur, ber-istighatsah kepadanya, memujinya sebagai orang yang pasti suci, memastikan bahwa ia mendapat rahmat, memastikan bahwa ia masuk surga, (Ahkam Al Janaiz Lil Albani, 178-179)
Tidak benar persangkaan sebagian orang bahwa ahlussunnah atau salafiyyin melarang ummat untuk berziarah kubur. Bahkan ahlussunnah mengakui disyariatkannya ziarah kubur berdasarkan banyak dalil-dalil shahih dan menetapkan keutamaannya. Yang terlarang adalah ziarah kubur yang tidak sesuai tuntunan Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam y‎ang menjerumuskan kepada perkara bid’ah dan terkadang mencapai tingkat syirik.                                                                                                                                                                                       ‎

Kanjeng Raden Tumenggung Djogo Negoro merupakan tokoh yang tak lepas dari sejarah Wonosobo. 

Sisilah Nasab Beliau

Dari jalur Ayahandanya 

KRT Djogo Negoro  Bin
Raden Sutomarto 1 (Kyai Ageng Asmoro Gati). Bin
Raden Burhanuddin (KRT Kerto Waseso 1) Bin
Raden Achmad Husein (Kyai Ageng Alang-Alang) Bin
Raden Syahid (Sunan Kalijogo)  Bin
Raden Sahur (Tumenggung Wilotikto) Bin
Syaikh Subakir alias Sayid Muhammad Al-Baqir alias Mansur Bin 
Sayid Ali Nuruddin Bin 
Sayid Achmad Jalaluddin Bin 
Sayid Abdullah Khon Bin 
Sayid Abdul Malik Azmatkhan Bin 
Sayid Alwi Ammil Faqih Bin 
Sayid Muhammad Shahib Mirbath Bin 
Sayid Ali Khali’ Qasam Bin 
Sayid Alwi Bin 
Sayid Muhammad Bin 
Sayid Alwi Bin 
Sayid Ubaidillah Bin 
Sayid Achmad Al-Muhajir Bin 
Sayid Isa Ar Rumi Bin 
Sayid Muhammad Al Kadzim Bin 
Sayid Ali Al-Uraidhi Bin 
Sayid Ja’far AsShadiq Bin 
Sayid Muhammad Al-Baqir Bin 
Sayid Ali Zainal Abidin Bin 
Sayyidina Al-Husain Assahyid Bin 
Sayyidah Fathimah Az-Zahra Binti 
Sayyidina Muhammad Rasulullah SAW

Ada 2 Versi silsilah Sunan Kalijaga:
1. Sunan Kalijaga bernasab ke Abbas bin Abdul Mutholib (pendapat lemah)
2. Sunan Kalijaga bernasab ke Rasulullah (pendapat yang kuat)

Silsilah Sunan Kalijaga yang bernasab ke Rasulullah, bersumber pada:
1. Kitab Syamsud Dhahirah, Karya Al-Habib Abdurrahman bin Muhammad bin Husain Al-Masyhur
2. Kitab Nasab Wali Songo, Karya Al-Habib Bahruddin Azmatkhan Ba'alawi Al-Husaini
3. Data Kantor Pusat Rabithah Alawiyyah


Nasab dari Ibunda Beliau 

KRT Djogo Negoro Bin
Dewi Salamah (Nyai Ageng Asmoro Gati) Binti
Kyai Abdul Karim. Bin
Kyai Hasan Bin
Pangeran Suryo Negoro Bin
Raden Mas Garendi (Sunan Mas) Bin
Sunan Amangkurat Jawa Bin
Sunan Amangkurat Amral Bin
Sunan Amangkurat Agung Bin
Sultan Agung Mataram Bin
Mas Djolang (Panembahan Hanyokrowati) Bin
Panembahan Senopati Bin
Kyai Ageng Pemanahan Bin
Kyai Ageng Anis Bin
Kyai Ageng Selo Bin
Kyai Ageng Abdulloh Getas Pandowo Bin
Dewi Nawang Sih  Binti
Sayid Nur Rohmat (Kyai Ageng Tarub 1) Bin
Sayyid Ibrohim (Syaikh Maghribi) Bin
Sayid Jalaluddin Akbar Bin
Sayid Achmad Jalaluddin Bin
Sayid Abdullah Khon Bin 
Sayid Abdul Malik Azmatkhan Bin 
Sayid Alwi Ammil Faqih Bin 
Sayid Muhammad Shahib Mirbath Bin 
Sayid Ali Khali’ Qasam Bin 
Sayid Alwi Bin 
Sayid Muhammad Bin 
Sayid Alwi Bin 
Sayid Ubaidillah Bin 
Sayid Achmad Al-Muhajir Bin 
Sayid Isa Ar Rumi Bin 
Sayid Muhammad Al Kadzim Bin 
Sayid Ali Al-Uraidhi Bin 
Sayid Ja’far AsShadiq Bin 
Sayid Muhammad Al-Baqir Bin 
Sayid Ali Zainal Abidin Bin 
Sayyidina Al-Husain Assahyid Bin 
Sayyidah Fathimah Az-Zahra Binti 
Sayyidina Muhammad Rasulullah SAW

Beliau lahir pada hari Minggu Wage, 4 Agustus 1775M dengan diberi Nama Hasan (Bagus Hasan) dan merupakan salah satu keturunan bangsawan dari Mataram. Masa kecil Bagus Hasan Dibimbing oleh Ayahandanya sendiri yang sekaligus seorang Pembesar Mataram yang ditugaskan ngembani (penasehat) Adipati Wirodhuto Kalilusi.

Berbagai disiplin ilmu keagamaan di pelajari oleh nya pada Kyai Ustadz Honggodipuro serta dari saudara tuanya Kyai Ageng Asmoro Sufi. Ilmu tatanegara dan keprajuritan di pelajari dari Sang Ayah serta dari Sang Kakek (Kyai Karim) dan juga Kyai Walik. Yang dalam sejarah Sebagai Pendiri Wonosobo.

Setelah beranjak Dewasa Bagus Hasan oleh Kyai Ageng Di sowan kan  ke Kerajaan Mataram Ngayogjokarto  dan mengabdi sebagai Prajurit dan diangkat  sebagai kepala prajurit Beliau diberi Gelar dengan nama Raden Ngabehi Singowedono. Karena jasanya terhadap kerajaan beliau mendapat gelar Kanjeng Raden Tumenggung Djogo Negoro. Peristiwa ini terjadi pada masa menjelang perang Diponegoro atau pada era pemerintahan Sultan Sepuh atau Sultan Hamengku Buwono II.

Pada waktu perang Diponegoro meletus. Tumenggung Djogo Negoro bergerak dan bergabung dengan pasukan Pangeran Diponegoro sebagai salah satu Panglima perang dan melakukan siasat perang gerilya. Dalam perang ini sampailah Tumenggung Djogo Negoro dan prajuritnya di daerah Plabongan. Dan Plabongan menjadi ibu kota Kabupaten Wonosobo pada waktu itu dan dikenal sebagai Wonosobo Plabongan sebagai pemindahan pusat Kadipaten dari Kalilusi. 

Beliau terus melakukan perjuangan bersama para pejabat lain seperti Tumenggung Selomanik ke 3 Tumenggung Setjo Negoro dan lainnya dalam menghalau penjajah. Perlawanan terus di lakukan yang dipimpin oleh Tumenggung Setjo Negoro serta Tumenggung Selomanik dan putra Kyai Djogo Negoro yang Bernama Tumenggung NitiYudo. Atas perintah Tumenggung Djogo Negoro. Dikarenakan Tumenggung Djogo Negoro sudah cukup Sepuh pada waktu itu dan memilih pensiun.

Tumenggung Djogo Negoro dimasa Pensiun Memilih mendirikan Pesantren dan berjuang dalam agama dan sebagai guru Ilmu keagamaan serta Keprajuritan. Maka dari itu Beliau pindah dari Plobangan dan membuka hutan untuk dijadikan sebagai pusat keagamaan dan Keprajuritan. Dan tempat yang baru tersebut konon sebagai kunci kemenangan Laskar Wonosobo dalam menghadapi pertempuran dengan pihak Belanda di berbagai tempat karena para pimpinan laskar selalu meminta petunjuk pada Kyai Djogo Negoro dalam Strategi Perang. Oleh sebab itu tempat yang baru itu di beri Nama Pekuncen.

Dan ketika Kanjeng Pangeran Diponegoro ditangkap pihak Belanda dan diasingkan ke Makassar.. Pasukan Wonosobo terus berjuang. Dan atas Titah Ngarso Dalem Kanjeng Sultan Hamengku Buwono Ditetapkan Tumenggung Setjo Negoro di angkat sebagai Adipati Wonosobo dan KRT Djogo Negoro ditunjuk sebagai Emban (penasehat) Sang Adipati Sekaligus Pemangku Prodjo Mataram.

Atas Petunjuk dari KRT Djogo Negoro Sang Adipati diminta Untuk memindahkan pusat pemerintahan ke Wonosobo yang sekarang demi menjaga keamanan dari pihak Belanda. Kyai Djogo Negoro pun Terus berjuang sebagai seorang Pimpinan Pesantren serta Penasehat Adipati.

Dalam hal keagamaan Kyai Djogo Negoro pada masanya dianggap sebagai seorang Ulama linuwih yang mempunyai berbagai Karomah dan keilmuan yang luar biasa dalam hal Qur'an tafsir Fiqh Tashowwuf serta ilmu hikmah dan lainnya.

Banyak para santri yang datang dari berbagai daerah terutama putra2 prajurit dan laskar Diponegoro yang mukim belajar di pesantren Pekuncen yang di pimpin KRT Djogo Negoro. Kyai Djogo Negoro dianggap sebagai Pimpinan Para Ulama tanah Jawa pada masa itu. Dikarenakan beliau Pensiunan Panglima perang sekaligus ulama yang gigih dalam berjuang.

Di Pekuncen  inilah Kanjeng Raden  Tumenggung Djogo Negoro bertahan hingga mangkatnya. Beliu wafat pada hari Kamis Pon, 6 Februari 1855M.

Pesantren peninggalan Beliau Sempat mengalami kefakuman dikarenakan putra putri beliau banyak yang ikut terjun ke medan pertempuran melawan penjajah serta ada yang berpindah-pindah dalam berjuang pertahankan iman dan ilmu agama.

Saat ini di Desa Pekuncen masih Ada pesantren yang diasuh oleh Salah satu Trah KRT Djogo Negoro

Makam Kanjeng Raden Tumenggung Djogo Negoro terletak di desa Pekuncen, kec Selomerto. Konon ketika beliau wafat, rencana akan dimakamkan di sebelah barat sungai serayu demi keamanannya. Sebab orang-orang Belanda sering melecehkan makam-makam orang terkenal. Namun setelah jenazah dibawa menyebrang Sungai Serayu, tiba-tiba terjadi banjir besar sehingga rombongan harus kembali.

Sampai sekarang Kanjeng Raden Tumenggung Djogo Negoro dikenal sebagai tokoh yang sakti dan mempunyai daya linuwih, hingga banyak masyarakat Wonosobo masih menkeramatkan beliau. Dalam berbagai acara seperti mujadahan nama Kanjeng Raden Tumenggung Djogo Negoro sering disebut untuk melantarkan (wasilah) hajat bahkan tiap hari Kamis Wage, Jumat Kliwon, Senin Wage, dan hari Selasa Kliwon masih banyak orang berziarah dengan maksud tujuan masing-masing.

Tempat ziarah di Pekuncen ini tidak terlalu jauh dari Kota Wonosobo kira-kira 15 menit perjalanan ke arah Selatan atau ke arah Purwokerto. Untuk menuju ke sana dapat mempergunakan kendaraan pribadi maupun menggunakan angkutan umum jurusan Wonosobo-Sawangan yang banyak tersedia. Jika menggunakan kendaraan umum peziarah akan berjalan beberapa waktu untuk mencapai makam. 

Di kompleks makam Pekuncen tidak hanya makam Kanjeng Raden Tumengung Djogo Negoro saja yang berada di sana namun juga makam keluarga dan para pembantu setianya seperti Kyai Pulanggeni dan Kyai Sanggageni.

Konon menurut kepercayaan yang masih dipercaya sebagian masyarakat bahwa jika berada di lingkungan makam harus melepas alas kaki dan topi serta tidak boleh membelakangi makam. Juga dilarang melakukan tindakan-tindakan yang buruk maupun tidak sopan karena bisa mendapat “bebendu”. Benar tidaknya Wallahu a'lam.

Sumber Pengageng Prodjo Ing Ngayogjokarto Hadiningrat ‎

 

Sejarah Wirasaba


Kerajaan Majapahit berdiri pada tahun 1293 – 1500 M, dan mencapai masa kejayaan pada masa kekuasaan Hayam Wuruk yaitu pada tahun 1350 hingga 1389. Pada masa itu kekuasaan Majapahit adalah Jawa, Sumatra, Semenanjung Malaya, Kalimantan, Sulawesi dan Indonesia Bagian Timur (masih di perdebatkan). Sehingga kota-kota yang berada di selatan gunung Slamet seperti Wirasaba, Kedjawar dan Pasirluhur merupakan termasuk kota-kota di wilayah kekuasaan Majapahit.

Pada masa berdirinya Majapahit, pedagang-pedagang Islam dari Kasultanan Malaka sudah mulai masuk ke perairan Nusantara bagian barat dan menyebarkan Islam di daratan Sumatra. Sehingga menyebabkan pengaruh kekuasaan Majapahit mulai berkurang dan satu-persatu mulai melepaskan diri.

Pada tahun 1468 Pangeran Kertabhumi memberontak terhadap Singhawikramawardhana (Brawijaya IV) dan mengangkat dirinya sebagai raja Majapahit dengan gelar Brawijaya V. Sehingga sejumlah pembesar Majapahit yang tersisihkan dari istana termasuk saudara beda ibu Kerthabhumi yaitu Raden Harya Baribin Pandhita Putra melarikan diri ke arah barat, meminta suaka kepada penguasa Sunda - Galuh yaitu Prabu Niskala Wastu Kancana (1371-1475 ) di Ciamis.

Menurut saya melarikan diri bukan karena diserang oleh Kesultanan Demak/Keling, karena Kesultanan Demak menyerang Kerajaan Majapahit pada tahun 1527 M, dimana raja Majapahit adalah Ranawijaya dengan gelar Girindrawardhana (Brawijaya VI). Dimana Ranawijaya mengaku telah mengalahkan Kertabhumi dan telah memindahkan  ibukota kerajaan Majapahit ke Daha (Kediri), ini menyebabkan kemarahan Sultan Demak Pati Unus yang merupakan keturunan Kertabhumi dan Pendukung Ranawijaya mengungsi ke Pulau Bali

Dalam pelariannya, sampailah Raden Baribin di kerajaan Pajajaran yang kala itu diperintah oleh Prabu Siliwangi (Prabu Lingga Wastu ) Mendengar berita kedatangan adik raja Majapahit tersebut, Prabu Siliwangi memberikan suaka kepada Raden Haryo Baribin. Hingga pada akhirnya Raden Haryo Baribin menetap dan dinikahkan dengan Dewi Retna Pamekas, putri dari Prabu Siliwangi.

Adapun keturunan Raden Baribin dan Dyah Ayu Ratu Pamekas adalah Raden Ketuhu, Raden Banyaksasra, Raden Banyakkusuma yang kelak tinggal di Kaleng (Kebumen), dan yang keempat R. Rr Ngaisah.

R Jaka Katuhu meninggalkan Kraton Pakuan Parahyangan untuk berkelanan ke tanah Jawa dan akhirnya sampai di desa Buwara; Disana dijadikan anak angkat Ki Lurah Buwara yang tidak memiliki keturunan
Raden Jaka Ketuhu yang semula menyamar sebagai seorang peminta-minta. Karena merasa iba, maka pemuda itu lalu disuruh tinggal dirumah Kiai Gede Buara dipedukuhan itu.

Raden Jaka Ketuhu adalah Putera sulung Raden Beribin memerintahkan kepada Jaka Ketuhu agar pergi mengembara pergi ke timur serta mengabdi kepada siapa saja yang mau menerimanya. Sesampainya wilayah Kadipaten Wirasaba ia dapat diterima mengabdikan diri kepada Kiai Gede Buara.

Setiap hari ia bekerja di tegalan membantu Kiai Gede Buara menanam berbagai macam tanaman yang bisa menghasilkan termasuk karang kitri.
Tetapi aneh, tiap pulang kerumah, Jaka Ketuhu tidak mau berjalan bersama-sama Kiai Gede Buara. Ia selalu pulang belakangan. Hal ini tentu saja menimbulkan kecurigaan dibatin Kiai Gede Buara, sehingga ia ingin mengetahui apa sebab musababnya.

Pada suatu sore Kiai Gede Buara terpaksa mencoba menyelidikinya. Sementara itu tampaklah ditelaganya api yang berkobar. Dan apa yang dilihatnya? Raden Jaka Ketuhu tiba-tiba meloncat masuk kedalam kobaran api tersebut.

Tentu saja perbuatan itu membuat hati Kiai Gede Buara menjadi cemas Namu kecemasan itu tiba-tiba keheranan, karena beberapa saat kemudian Raden Jaka Ketuhu keluar dari kobaran api , dan tubuhnya tampak lebih bercahaya bagaikan emas dua pulu karat.

Bekas tegalan yang digarap Kiai Gede Buara itu hingga sekarang terkenal dengan sebutan “Cibuek”. Luasnya kurang lebih satu setengah hektar. Diatasnya tumbuh 25 dapuran bamboo dari berbagai macam jenis. Sementara orang masih menganggap , dukuh Cibuek itu sangat keramat. Lokasinya disebelah timur desa Majatengah kecamatan Kemangkon, dan merupakan tanah perdikan (tanah yang tidak dipungut pajak).

R.JaKa Katuhu membantu perluasan ladang pertanian Ki Lurah Buwara, dengan membakar daun/ranting sehingga tjahaya membumbung memancar keudara terlihat dari kadipaten Wirasaba;

Kanjeng Adipati Wirahudaya pun menyelidiki dan memanggil Ki Lurah Burawa & Jaka Katuhu, dan akhirnya  diketahuilah asal usul Jaka Katuhu;
Sehingga Adipati Wirahudaya berkeinginan mengangkat putera R.Jaka Katuhu karena di tidak dikarunia keturunan hingga usia tuanya.

Ketika tiba waktunya Pisowanan Ageng di Kraton Majapahit, Adipati Wirahudaya sedang menderita sakit. Maka diutuslah R Jaka Katuhu untuk mewakili menghadap Prabu Brawijaya V, menghaturkan upeti kepada Sri Baginda;

Keberangkatannya ke Majapahit diantar oleh Patih Wirasaba, Raden Bawang, dan adik Sang Adipati.
Pada saat menghadap Sang Prabu Brawijaya V, ditanyakan asal usul R Jaka Katuhu, karena yang bertanya adalah Raja yang sekaligus uwaknya maka ia terus terang bahwa ia adalah putera R Harya Baribin Pandhita Putera, menantu Sri Prabu Linggawastu Ratu Purana  dari Kraton Pakuan Parahiyangan di tanah Pasundan.

Mendengar nama R Harya Baribin, Sang Prabu terkejut dan tidak mengira bahwa Jaka Katuhu ternyata putera adik kandungnya sendiri. R Baribin melarikan diri pada masa Prabu Brawijaya V menjadi Raja Majapahit, ia difitnah oleh beberapa punggawa kraton yang akan merebut kekuasaaan, sehingga diperintahkan ditangkap; Fitnah itu dari kelompok Patih Majapahit saat itu. Fitnah tsb. yang akhirnya terbokngkar kedoknya; sehingga Sang Prabu Brawijaya V menyesal asal tindakannya terkena provokasi.

Raden Jaka Katuhu kasengkakaken ing ngaluhur (kembali diangkat derajatnya sebagai bangsawan Kraton) dan dibait'an menjadi Adipati Anom Wirasaba dengan gelar Adipati Anom Wirahutama. Selain dihadiahi seorang isteri bernama Putrisari salah satu puteri Mahapatih Majapahit; Dan dijinkan memperluas wilayah Kadipaten Wirasaba sampai ujung timur hingga lereng barat Gunung Sindoro Sumbing di Wilayah Kedu.

Karena perjalanan jauh dari Keraton Majapahit ke Kadipaten Wirasaba, sehari sebelum tiba di Wirasaba rombongan beristirahat agar sampai tujuan pasukan yang mengiringnya tidak kelelahan. Dan ini dijadikan kesempatan oleh Pangeran Bawang untuk menghalangi Adipati Anom kembali ke Wirasaba, karena dialah yang sudah sekian lama mengincar kedudukan Adipati Wirahudaya (Wirautama I). Dengan berpura-pura pulang terlebih dahulu untuk memberitahu Adipati Wirahudaya agar tidak terkejut menghadapi kedatangan rombongan Adipati Anom. Tapi justru Raden Bawang malah menghasut Adipati Wirahudaya dan mempersiapkan bala tentara Wirasaba dan kembali ketempat dimana Adipati Anom Beristirahat di Kali palet. Maka terjadilah pertempuran yang di menangkan oleh pasukan dari Majapahit dan bahkan Raden Bawang beserta keluarga dan pasukan nya  pun tewas dan di kebumikan di desa Bawang Banjarnegara.

Setelah Adipati Paguwan mangkat maka digantikan oleh anak angkatnya yaitu Raden Ketuhu (Adipati Anom Wirautama) dengan gelar Adipati Wirautama II.  Dan secara turun temurun di gantikan oleh Adipati Urang dengan gelar Wirautama III. Dipati Urang berputra Adipati Sutawinata/Surawin bergelar Wirautama IV. Adipati Sutawinata/Surawin digantikan Raden Tambangan diangkat menjadi adipati oleh Kesultanan Demak di beri gelar Sura Utama. Raden Tambangan  kemudian menjadin hubungan terlarang (misanan/tunggal buyut)  dengan Putri Banyak Geleh Pasirbatang (Pangeran Senapati Mangkubumi II) yaitu Dewi Lungge. Hubungan ini melahirkan tiga orang anak, yaitu Raden Warga (Warga Utama I), Jaka Gumingsir dan Ki Toyareka (Demang). Setelah Raden Tambangan meninggal lalu Raden Warga mengantikan ayahnya, dengan gelar Adipati Warga Utama I, dan mempunyai 4 keturunan yaitu Rara Kartimah, Ngabhei Wargawijaya, Ngabhei Wirakusuma dan Raden Rara Sukartiyah/Sukesi (istri anak dari Ki Demang Toyareka).

Pada masa pemerintahan Adipati Wirautama II sampai dengan Adipati Warga Utama I terjadi pergantian masa kekuasaan dari Majapahit ke Kesultanan Demak yang di dirikan oleh Raden Patah pada tahun 1478, Kesultanan Demak sebelumnya adalah kadipaten pada masa kekuasaan Majapahit yang menjadi pelopor penyebaran agama Islam di pulau Jawa. Kesultanan Demak cepat sekali mengalami kemunduran karena adanya perebutan kekuasan diantara kerabat Kesultanan. Pewaris tahta terakhir adalah Joko Tingkir yang merupakan menantu Sultan Trenggana dan anak dari Ki Ageng Pengging yang di hukum mati karena di tuduh akan memberontak terhadap Kesultanan Demak. Joko Tingkir bergelar Sultan Adiwijaya (1546 – 1587). Sultan Adiwijaya memindahkan ibukota Kesultanan Demak ke Pajang (Solo). Kerajaan Pajang (1568–1586) hanya memiliki tiga Raja dan raja yang terakhir adalah Pangeran Benawa yang berkuasa sampai tahun 1587 M.

Kisah Joko Kahiman

Saat Adipati Warga Utama I menjabat mempunyai banyak panakawan yang diambil dari para petinggi dan kadipaten Wirasaba. Para panakawan tidur di halaman. Pada suatu malam pada saat bulan purnama, Adipati Warga Utama melihat cahaya masuk ke dalam tubuh salah seorang panakawan yang tidak dikenali oleh Sang Adipati. Oleh karena itu, Sang Adipati merobek bebed panakawan tersebut untuk mengenalinya.

Pada pagi harinya, panakawan yang di sobek bebednya dipanggil, ternyata punakawan tersebut adalah Jaka kaiman punakawan dari Kejawar dan setelah itu diberitahunya bahwa ia akan dijadikan menantu. Jaka Kaiman akan dinikahkan dengan puteri Adipati Warga Utama yang bernama Rara Kartimah dan uang lima riyal sebagai pitukon.

Jaka Kaiman disuruh pulang oleh Sang Adipati agar memberitahukan ayahnya dan diikuti oleh dua orang utusan dari Wirasaba.

Pada suatu hari, Prabu Linggakarang dari Kerajaan Bonokeling, ingin menguji kesaktian Prabu Brawijaya V. Diutusnya seorang patih bernama Ki Tolih ke Majapahit. Ki Tolih pun berangkat dengan mengendarai seekor burung besar (sejenis garuda) yang dinamai burung Mahendra. Dan bersenjatakan keris ligan (tanpa sarung.) (keris Kyai Gajah Endro)

Pada waktu itu, Prabu Brawijaya mempunyai firasat yang tidak baik. Dia memerintahkan untuk menutup semua sumur dan mata air di Majapahit. Tetapi, ada satu sumur yang tidak di tutup, yaitu sumur di daerah kepatihan yang dijaga oleh Raden Arya Gajah.

Sesampainya di Majapahit, burung Mahendra kehausan. Setelah mencari kesana kemari, sampailah mereka di sumur yang terletak di kepatihan. Begitu burung Mahendra hendak minum dari sumur tersebut, tiba-tiba dihadang oleh Raden Arya Gajah dan dibunuh. Ki Tolih pun ditangkap.

Ketika Ki Tolih akan diadili dihadapan raja, tiba-tiba kuda milik Prabu Brawijaya terlepas dan memberontak. Tidak ada seorangpun yang dapat menangkapnya. Melihat itu, Ki Tolih memohon untuk membantu asalkan ia diberi tali kekang burung Mahendra Prabu Brawijaya mengijinkan dengan syarat bila berhasil, Ki Tolih akan dibebaskan dan diangkat menjadi pembesar Majapahit. Tetapi bila gagal, dia akan dihukum mati.

Dan benar saja, begitu kuda raja, yang dinamai Kiai Joyotopo, melihat tali kekang burung Mahendra di tangan Ki Tolih, langsung jinak kembali. Prabu Brawijaya masih belum begitu saja mempercayai Ki Tolih. Dilepasnya seekor singa buas. Ternyata singa itu pun langsung jinak begitu melihat tali kekang tadi.

Sesuai janji Prabu Brawijaya, Ki Tolih dibebaskan, tetapi dia menolak menerima hadiah dan jabatan. Dia memilih menetap di Majapahit. Permintaan Ki Tolih dikabulkan. Keris miliknya pun, yang tanpa sarung, juga dikembalikan pada Ki Tolih.

Setelah beberapa lama menetap di Majapahit, Ki Tolih berniat memesan sarung (wrangka) untuk kerisnya. Dia pergi ke daerah Banyumas dan menemui seorang ahli keris, Kiai Mranggi Kejawar.

Kiai Mranggi Kejawar, yang tak lain adalah ayah angkat Raden Jaka Kahiman, menyanggupi membuat sarung untuk keris Ki Tolih. Namun tiba-tiba keris itu hilang saat diserahkan kepada Kiai Mranggi Kejawar. Mereka berdua terperanjat. Kemudian Ki Tolih mengatakan bahwa mungkin keris itu memang bukan haknya.

Pada saat yang bersamaan, Raden Jaka Kahiman yang sedang dalam perjalanan dari Wirasaba menuju Kejawar, ke rumah orang tua angkatnya, untuk memberitahukan rencana pernikahannya dengan putri Adipati Wirasaba. Tiba-tiba ia merasakan sesuatu menyelinap di ikat pinggangnya. Ternyata itu adalah sebilah keris tanpa sarung. Dia sangat keheranan.

Sesampainya di Kejawar, Kiai Mranggi dan Ki Tolih yang masih ada di sana terheran-heran melihat Jaka Kahiman datang memakai keris tanpa sarung yang ternyata keris milik Ki Tolih.

Ketika ditanyakan oleh Ki Tolih, apakah Jaka Kahiman menyukai keris tadi, Jaka Kahiman mengatakan kalau dia amat suka dengan keris itu, tetapi tidak mau memilikinya karena bukan haknya.

Ki Tolih dengan ikhlas memberikan keris itu kepada Jaka Kahiman dan berpesan agar dipakai pada saat upacara pernikahannya.

Demikianlah, Raden Jaka Kahiman selain sebagai seorang yang “terpilih”, dia adalah seorang yang jujur dan baik hatinya.

Raden Joko Kahiman pun menyampaikan permintaan Kanjeng Adipati. Dan Karena tidak mampu, Kiai Mranggi Kejawar (ayah angkat Jaka Kaiman) meminta bantuan keuangan kepada Banyak Kumara di Kaleng yang masih Kerabat dari Joko Kahiman.. Sebenarnya Joko Kaiman adalah putera Raden Banyak Sosro dengan ibu adalah puteri Adipati Banyak Geleh (Wirakencana/Mangkubumi II) dari Pasir Luhur. Semenjak kecil Raden Joko Kaiman diasuh oleh Kyai Mranggi di Kejawar, yang terkenal dengan nama Kyai Sembarta dengan Nyi Ngaisah yaitu puteri Raden Baribin yang bungsu.‎

Setelah semuanya siap Raden Joko Kahiman pun berpamitan pulang ke Kadipaten.‎ Ki tolih pun meramalkan Jaka Kaiman akan menjadi Penguasa di Wirasaba dan akhirnya keris Gajah Endra di bawanya pulang  Jaka kaiman kembali ke Wirasaba dan menikahi Rara Kartimah putri dari Adipati Warga Utama I.

‎Adipati Wirasaba Wargatuma I mengawinkan puterinya yang belum cukup umur, bernama Rara Sukartiyah, mendapatkan Bagus Sukara anak Ki Gede Banyureka Demang Toyareka. Dalam hidup rumah tangga kedua pasangan itu tiada kecocokan. Pihak Puteri tidak bersedia melakukan kewajibannya sebagai seorang istri.

 Akibat sikap istrinya itu, Bagus Sukra terpaksa pulang kerumah orang tuanya di Toyareka. Kepulangan puterinya itu diterima oleh Ki Gede Banyureka dengan hati masygul. Ia menganggap dan menuduh Adipati Wirasaba tidak bisa membimbing Puterinya. Dan rasa dendam mulailah bersarang dalam batin Ki Gede Banyureka.

Begitulah sudah menjadi kebiasaan, tiap tahun Sultan Pajang R. Hadiwijaya yang menjadi atasannya, secara bergilir meminta upeti seorang gadis yang masih suci kepada bawahannya, untuk dijadikan selir atau penari kesultanan. Karena kesetiannya, Adipati Wargautama I menyerahkan Rr Sukartiyah (Puterinya) kepada Baginda Sultan. Ia mengatakan kepada Sultan bahwa puterinya itu masih dalam keadaan suci. Selesai menghaturkan segera ia beranjak meninggalkan pendapa kesultanan.

Tetapi sesaat kemudian, datanglah Ki Gede Bnyureka bersama Bagus Sukra menghadap Sultan. Kedua orang ini mengatakan, bahwa Rara Sukartiyah yang baru saja dihaturkan itu isteri Bagus Sukra.

Mendengar laporan itu, murkalah Sultan Mandiwidjaya karena merasa dirinya telah dikibuli dan dihina oleh Adipati Wargautama I. Tanpa pikir panjang disuruhlah seorang gandek (prajurit)agar memburu dan membunuh Adipati Wirasaba yang belum lama meninggalkan pendapa kesultanan.

Setelah Ki Banyureka beserta anaknya mohon diri, dipanggilah Rara Sukartiyah dimintai keterangan. Rara Sukartiyah menjelaskan, dan mengakui bahwa dirinya memang masih menjadi isteri Bagus Sukra, tetapi sejak mulai kawin belum pernah melakukan kewajiban sebagai seorang istreri.

Maka sadarlah Baginda Sultan, bahwa putusan yang diambilnya tadi sebenarnya sangat tergesa-gesa. Karenanya diperintahkan lagi seorang prajurit agar menyusul dan membatalkan hukuman mati yang akan oleh utusan pertama.

 Perjalanan Adipati Wirasaba Adipati Wirasaba sementara itu sudah sampai di desa Bener. Sedang mengaso di sebuah rumah balai malang (rumah yang pintu depannya dibawah pongpok) sambil makan hidangan nasi dan lauk daging angsa. Tiba-tiba datanglah seorang prajurit pajang dengan tombak di tangan siap membunuhnya. Tentu saja sikap prajurit Pajang itu menjadi kejutan bagi Adipati Wirasaba. Bersamaan dengan itu, dari kejauhanterdengar suara orang berteriak. Tatkala prajurit yang siap membunuh menoleh kearah datangnya suara itu, terlihat rekannya (utusan kedua) melambaikan tangan. Tanpa piker panjang diutuskannya tombak itu kepada Adipati Wirasaba, sehingga korban jatuh terkapar berlumuran darah. Peristiwa ini terjadi bertepatan dengan ari Sabtu Pahing.

Kedua prajurit itu kemudian menyesal, setelah sama-sama mengerti bahwa lambaian tangan tadi sebenarnya merupakan isyarat, agar pembunuhan dibatalkan. Sesaat sebelum menemui ajalnya Adipati Wargatuma I konon sempat member pesan, agar orang-orang Banyumas sampai turun-temurun jangan beprgian di hari sabtu pahing, jangan makan daging angsa, jangan menempati rumah balai malang dan jangan menaiki kuda berwarna dawuk bang. Karena menurutnya dapat mendatangkan malapetaka. Kecualai itu Adipati juga berpesan agar orang-orang Wirasaba tidak dikawinkan dengan orang Toyareka. Pesan-pesan tersebut dijadikan prasasti pada makam Adipati Wirasaba dan menjadi kepercayaan turun temurun di sementara masyarakat Banyumas. Namun kepercayaan itu kini kini sudah semakin menipis, karena masyarakat kian menyadari akan perlunya memelihara persatuan dan kesatuan serta demi suksesnya pembangunan nasional.

Jenazah Adipati Wirasaba Wrgautama I kemudian dimakamkan di desa klampok Kabupaten Banjarnegara dan dikenal dengan sebutan makam Adipati Wirasaba.

hikmah yang dapat diambil dari babad tersebut adalah

aja lelungan dina setu pahing, artinya dalam tradisi jawa adalah jangan bepergian, mantu, mbangun rumah, dan lain-lain di hari sabtu pahing.
aja mangan daging banyak, artinya sesama trah BANYAK jangan saling menzalimi. Hidup harus saling membantu tidak boleh saling menjatuhkan, apalagi satu trah.

aja nunggang jaran kulawu jongkla, artinya kuda pilihan tunggangan para senopati perang. penunggangnya pun harus tangkas dan gagah berani. wujud sikap ksatria biasanya menimbulkan sikap iri dan dengki dari pihak lain, bahkan kecurigaan dari pihak sang penguasa( jangan-jangan mau memberontak?), sehingga mudah menimbulkan fitnah. demikianlah peristiwa yang menimpa adipati.

aja manggon umah sunduk sate, artinya di Jawa sebagian besar adatnya istana menghadap simpang tiga jalan umum secara tegak lurus. maka yang sebenarnya adalah bersikap dan bertindak hati-hati jangan sampai menentang kehendak penguasa. akan tetapi secara rasional, rumah seperti itu memang sangat berbahaya dan tidak efisien. rumah pas di pertigaan tanpa ada halaman luas, jika ada angin kencang maka kotoran akan langsung masuk kerumah. begitu juga para maling akan lebih mudah dalam mencuri atau merampok sebuah rumah.

Setelah kematian Adipati Warga Utama I, Sultan Pajang Adiwijaya kebingungan dan merasa sangat bersalah dan atas kejadian ini. Maka dengan segera Sultan Pajang memanggil putera Adipati Warga Utama I, namun tidak ada yang berani menghadap. Maka satu dari dua putra menantu Adipati yaitu Raden Joko Kaiman (suami R. Rara Kartimah) memberanikan diri untuk menghadap dengan menanggung apapun segala resikonya.

Bukan amarah dan murka yang di dapat tetapi anugerah dijadikannya Adipati dengan gelar Adipati Warga Utama II. Karena Raden Joko Kaiman bukan keturunan kandung dari Adipati yang terbunuh maka teks pengangkatanpun harus dirubah.

Dan atas kemurahan Sultan Pajang akhirnya Wirasaba dibagi menjadi empat yaitu;

1. Wilayah Banjar Pertambakan diberikan kepada Kyai Ngabei Wirayuda.

2. Wilayah Merden diberikan kepada Kyai Ngabei Wirakusuma.

3. Wilayah Wirasaba diberikan kepada Kyai Ngabei Wargawijaya.

4. Wilayah Kejawar dikuasai sendiri dan kemudian dibangun dengan membuka hutan Mangli dibangun pusat pemerintahan dan diberi nama Kabupaten Banyumas.

Atas pembagian ini maka Adipati Warga Utama II juga Bergelar Adipati Mrapat

 

Doa Nabi Sulaiman Menundukkan Hewan dan Jin

  Nabiyullah Sulaiman  'alaihissalam  (AS) merupakan Nabi dan Rasul pilihan Allah Ta'ala yang dikaruniai kerajaan yang tidak dimilik...