Jumat, 20 November 2020

Sejarah Geger Kademangan Merden


Nama besar Merden sebagai Kota Kadipaten sekarang tinggal sejarah masa lalu yang sudah tidak banyak diketahui oleh generasi sekarang. Semua sudah musnah ditelan zaman. Tak sebuah pun peninggalan yang bisa dipertahankan dari kebesaran masa lalu, semua telah hancur oleh peperangan saudara yang tak kunjung padam, yang telah banyak membawa korban jiwa raga, harta benda. Semua berakhir tanpa ada yang kalah dan menang. Semua mengalami kehancuran peradaban sehingga kejayaan kejayaan masa lalu yang terjadi di Merden hanya sepotong-sepotong melalui serita babad yang disampaikan lewat kethoprak atau wayang golek, itupun sangat fariatif tidak urut dan utuh penyampaiannya.

Yang memprihatinkan adalah tidak terpeliharanya peninggalan berharga masa lalu sebagai dokumen penting sebagai data sejarah yang bisa dipelajari. Benda pusaka kademangan, buku babad, telah hilang tidak jelas keberadaanya. Yang masih menjadi saksi sekarang tinggal makam-makam tua para pelaku sejarah masa lalu yang juga sudah tidak begitu terawat.

Dari kondisi yang demikian penulis mencoba menghimpun data-data, cerita-cerita rakyat, benda-benda pusaka dan peninggalan, petilasan dan apa saja yang berkaitan dengan masa lalu Desa Merden. Penulis mencoba mengumpulkan sekaligus mendokumentasikan barang tersebut untuk melengkapi dan mendukung penulisan Babad Merden.

Harapan pemulis semua dapat tersusun menjadi sebuah buku yang lengkap yang menyimpan peristiwa masa lalu, minimal buku tersebut mampu memberi gambaran yang jelas dan lengkap akan sejarah kademangan Merden. Sehingga generasi sekarang akan mudah mempelajari sejarah Merden.

Disamping itu, deengan tersusunnya buku Babad Merden orang jadi lebih tahu dan mengerti akan eksistensi Merden sebagai desa tua bersejarah dengan potensi Sumber Daya Alam dan Sumber Daya Manusia yang besar yang bisa dikembangkan untuk kemajuan desa maupun Kabupaten Banjarnegara pada umumnya.

Guna mendukung atau setidaknya memberi motivasi yang kuat terhadap upaya untuk lebih mengoptimalkan peran masyarakat mengetahui dan memahami akan sejarah Merden sehingga akan lahir kecintaan dan kesadaran untuk membangun Merden ke depan yang lebih baik.‎

Penulisan peristiwa geger kademangan Merden yang kami rangkum dalam judul Babad Kadipaten Merden, diupayakan untuk menyajikan urutan kejadian atau peristiwa faktual yang saling berkait dan berkesinambungan.

Menyadari adanya permaslahan yang dihadapi, maka dilakukan dengan menggunakan wawancara, pengumpulan dokumen, petilasan-petilasan, cerita rakyat (tutur tinular) dan informasi yang ada yang dapat dihimpun.

Untuk itu penulisannya di upayakan agar peristiwa atau kejadian terutama yang menyangkut GEGER KADEMANGAN dapat disajikan dalam penulisan ini dapat mewakili gambaran seluruh peristiwa penting yang terjadi pada kademangan Merden sebelum dan sesudahnya.

Untuk memperkecil subyektifitas penulisan maka penulis mencari dan memperbanyak sumber-sumber, data, informasi dan pakar, sejarah dan budaya untuk mendukung penulisan buku ini antara lain:

1. Petilasan dan makan kuno, benda pusaka serta dokumen-dokumen tentang babad Merden yang ada diperpustakaan Keraton Solo dan di masyarakat dll.

2. Para pakar sejarah di Banjarnegara, Purbalingga dan para pemerhati budaya serta tokoh kesepuhan yang menguasai sejarah Merden.

3. Dengan sumber – sumber tersebut diatas setidaknya dapat memberikan dukungan terhadap penulisan Buku Babad Kadipaten Merden.‎

Dalam penulisan, lebih ditekankan pada pendekatan kronologis yang menggambarkan proses trjadinya GEGER Kademangan Merden. Saat ini sehingga metode penulisan lebih bersifat diskrptif analitis, sekalipun ada bumbu yang berbau romantis, mistis, akan tetapi apa yang disajikan mencakup data tentang kejadian atau peristiwa yang diperoleh dari sumber yang patut memberikan gambaran yang obyektif tentang peristiwa yang terjadi di Kademangan Merden.‎

Setelah Adipati Wirasaba VI Wargo Utomo I meninggal dunia Sultan Hadiwijaya mengangkat Jaka Kaiman putra mantu Wargo Utomo I untuk menjadi Adipati Wirasaba ke VII dengan gelar Wargo Utomo II.

Pada acara paseban agung Kabupaten Wirasaba Adipati Wargo Utomo II mengumumkan kebijakannya yang sangat terpuji, yaitu membagi wilayah kadipaten Wirasaba menjadi 4 wilayah kadipaten yang dibagikan pada saudara-saudara iparnya, yaitu :

1. Daerah Wirasaba diserahkan kepada Ngabehi Wargi Wijaya putra No.3;

2. Daerah Merden dengan wilayah ex Kawedanan Purworejo Klampok, diserahkan pada Wiro Kusumo putra No. 2 alian Ki Gede Senon;

3. Daerah Banjar Petambakan diserahkan pada Wirayuda putra No. 4;

4. Daerah Kejawar dikuasai oleh Joko Kaiman (Wargo Utomo II). Daerah ini merupakan cikal bakal Kabupaten Banyumas tahun 1585 dengan sebutan Adipati Mrapat.

Putra kedua Ngabehi wirokusumo yang terkenal dengan nama Ki Gede Senon tidak lama menetap di Merden, karena sudah merasa cocok di Senon (Kecamatan Kemangkon Purbalingga)‎‎

MASA AWAL GEGER KADIPATEN MERDEN


RADEN SUTAWIJAYA
Dari ayah, R. Sutawijaya adalah cucu dari KRAD Cokro Wedono Bupati Banyumas II yang menurunkan Raden Mas Cokro Atmojo dan kawin dengan RA Bojati.

Dari Ibu R. Sutawijaya cucu Paku Buwono yang menurunkan KGPA Mangkubumi dan menurunkan Raden Ajeng Bojati selanjutnya menurunkan Sutawijaya.

Raden Sutawijaya dapat istri anak Bupati Pasuruan yang dari kecil ikut kakeknya Panembahan Heru Cokro di Pancamanis Nusakambangan yang termasuk Guru Utama Raden Sutawijaya.

Setelah menikah Raden Sutawijaya diberi kekuasaan wilayah Kadipaten Merden yang lama kosong tidak ada pemerintahan kecuali setingkat kelurahan.

Raden Sutawijaya mulai membangun Merden dengan perencanaan yang cukup matang dari Tata Kota, ekonomi dan pemerintahan.

Dijantung Pemerintahan jalan dibuat 4 (empat) persimpangan, (Ke selatan menuju Gombong, Ke utara menuju Banjarnegara, ke Barat menuju Banyumas, Wirasaba, ke Timur menuju Kademangan Tampomas).

Di bidang industri Raden Sutawijaya mengundang ahli pande besi untuk membuka usaha di Merden. Pasar pun dibangun sebagai pusat perdagangan untuk wilayah kademangan Merden dan sekitarnya yang terkenal dengan Pasar Setu.

Dan juga mengundang para ahli Bathik dari Banyumas yang sengaja didatangkan oleh ayahandanya RM. Cokro Atmojo dari Banyumas, serta ahli pembuat alat dapur yang dibuat dari tanah liat (kundi) dan kerajinan dari bambu. Sisa-sisa kegiatan tersebut sampai sekarang masih ada.

Wilayah kademangan Merden adalah bekas kadipaten, saat itu sebelah barat Purworejo Klampok, sebelah utara dibatasi Sungai Serayu, sebelah selatan dibatasi Pegunungan Kendeng yang memisahkan Banjarnegara dan Kebumen, sebelah timur sampai Gunung Tampomas.

Ditengah-tengah wilayahnya terdapat sungai Sapi yang mengalir jernih, ikannya banyak dan sangat disukai para pejabat saat itu. Sungai Sapi dijadikan sebagai mata pencaharian serta kegiatan MCK dll.

Sebelah selatan sungai Sapi merupakan daerah pegunungan yang banyak menyimpan sumber daya alam antara lain : Batu Marmer, Feldspaar/Kreas pasir putih, Asbes, Lempung (bahan campuran semen) dll.

Sebelah utara Sungai Sapi dibagian tepi merupakan tanah kering, perumahan penduduk. Sebelah utaranya lagi sampai sungai serayu tanah persawahan dan pertanian lainnya.

Masyarakatnya hidup damai, semangat gotong-royong dan kebersamaannya sangat tinggi, dengan cara hidup yang sederhana, taat pada aturan pemerintah, agama dan tradisi-tradisi lainnya.

Pada saat kademangan mengalami kemajuan dalam pembangunan, pemerintahan, sektor ekonomi dan sosial budaya lainnya, orang-orang luar pun banyak yang datang untuk tinggal sementara karena urusan perdagangan atau sengaja menetap di Merden, sehingga kademangan Merden semakin hari semakin ramai.

Ditengah-tengah ketenangan dan kedamaian suasana alam pedesaan dibawah kepemimpinan Demang Sutawijaya tiba-tiba masyarakat dikejutkan oleh informasi bahwa Raden Sutawijaya harus pergi meninggalkan Kademangan Merden untuk magang patih di Keraton Surakarta. Dan sebagai penggantinya ditunjuk Ki Ageng Suta dengan catatan perjanjian kalau Raden Sutawijaya berhasil, kademangan diteruskan oleh Ki Ageng Suta, tapi kalau gagal dalam magang patih tersebut maka jabatan Kademangan dipegang kembali oleh Raden Sutawijaya.

Putra Putri Raden Sutawijaya adalah :

1. Dayun Sentradrana : di Banjar

2. Mentradana : Merden

3. Jiwa Yuda : Merden

4. Nyai Jiwa Menggala : Gumelem

5. Nyai Angga Menggala : Gumelem

6. Wira Seca : Batur

Anak yang pertama Dayun Senradrana dipondokan di Kudus anak yang ketiga R. Jiwayuda dibawa kakeknya Panembahan Heru Cokro ke Panca Manis di Nusakambangan untuk digembleng secara pribadi oleh sang panembahan. Adik-adiknya yang lain menemani ibunya tetap di Merden.
Akal Bulus (Konspirasi) Ki Ageng Suto
Singkat cerita Raden Sutawijaya tidak berhasil dalam magang patih di Keraton Surakarta, bahkan informasi kekosongan patih dalem di keraton tidak jelas seolah-olah ada skenario besar yang disiapkan oleh Ki Ageng Suta untuk menjebak Raden Sutawijaya agar pergi meninggalkan Kademangan Merden, ini merupakan kudeta terselubung saat itu.

Akhirnya Raden Sutawijaya pulang dengan mengendarai Kuda Dawuk yang gagah, kuda yang memiliki katuranggan hasil pemberian kakek gurunya Panembahan Heru Cokro yang juga merupakan kakek dari istrinya.

Dalam perjalanan pulang dari Surakarta Raden Sutawijaya tidak langsung ke Merden tetapi terus mengembara sebagai layaknya seorang pendekar sambil mematangkan ilmunya yang dipelajari dari guru-gurunya yang terkenal sakti mahamboro.

Kegagalan cita-citanya jadi pengalaman yang sangat berharga untuk direnungkan bagi dirinya bahwa hidup ini penuh dengan tipu daya dan selalu dalam kerugian kecuali orang-orang yang waspada dan selalu memasrahkan kehidupannya pada sang pencipta.

Diapun terus berpikir dan banyak merenung dalam kesunyian, ia sangat merasa bahwa ilmu yang dipelajarinya selama ini belum seberapa untuk mencapai kesempurnaan hidup.

Maka ketika dalam perjalanan pulang disempatkannya mampir ke pesanggrahan Eyang Krikil (anak dari Panembahan Heru Cokro), seorang yang gemar bertapa/uzlah sehingga memiliki kepekaan batin yang luar biasa. Dia seorang sufi yang tidak mementingkan kehidupan dunia. Melalui Eyang Krikil Raden Sutawijaya banyak belajar hakikat kehidupan dan ilmu Sufisme. Tapi jiwa muda dan watak pendekarnya tidak mudah membuat Raden Sutawijaya menjadi seorang Sufi, dia menerjemahkan kehidupan ini bagaikan ladang, siapa yang bercocok di dunia akan menuai di akherat, baik ketemu baik dan jelek ketemu jelek.

Maka kehidupan ini harus diisi dengan usaha keras yang baik, berkorban dan beramal semata mencari ridho Allah. Inilah Doktrin yang ditanamkan oleh kakek gurunya yang terpatri dalam hati dan pikirannya.

Memasuki wilayah kademangan Merden Raden Sutawijaya banyak mengalami kejadian-kejadian yang aneh dan tidak masuk akal. Mulai dari diserang orang tak dikenal, diracun saat berhenti di warung pinggir Alas Gunung Kemeyan sampai dengan dihadang puluhan orang bersenjatakan golok, tapi semua bisa diatasi dengan mudah bahkan sempat ada korban dipihak musuh.

Suasana masyarakat dan keamanan juga berubah, wajah mereka terlihat penuh dengan ketegangan yang mencekam. Penjagaan keamanan sangat berlebihan dengan terlihat banyaknya pos penjagaan yang ada di setiap sudut dan pintu masuk perkampungan. Setiap orang asing yang datang selalu ada tengara berbunyi kenthong.

Sesampainya dirumah Raden Sutawijaya disambut oleh istri tercintanya, anak, pembantu dan tangga teparo (sekeliling). Angga Menggala orang kepercayaan Raden Sutawijaya ikut menyambut kedatangannya dengan langsung memegang tali kuda dan diikatkan dipohon/Sawo Kecik yang ada di depan rumahnya.
Setelah menjelang tengah malam suasana di Kademangan Merden sangat sepi, orang-orang yang baru menengok kepulangan Raden Sutawijaya sudah pulang, tinggal Angga Menggala seorang pemuda yang gagah yang sangat setia mengabdi pada keluarga R. Sutawijaya selalu menjaga keamanan di kademangan, saat itu belum tidur sedang duduk didepan pendopo kademangan, sambil mengamat-amati Kuda Dawuk yang ditambatkan dipohon sawo.

Ditengah kesunyian malam, Nyai Sutawijaya duduk mendekati suaminya yang sedang duduk termenung dikursi panjang, yang dianyam dengan rotan yang ditaruh di bale tengah rumah belakang. Diatasnya lampu kastrol yang menyala terang tapi sejuk.‎

Dengan kehalusan budi dan bahasa, Nyai Sutawijaya menyampaikan hal ikhwal yang terjadi selama suaminya pergi meninggalkan kademangan. Dengan sangat hati-hati, istrinya juga memohon pada suaminya untuk bersabar dan tawakal pada gusti Allah.

Setelah Raden Sutawijaya cukup istirahatnya, dengan hati – hati istri tercintanya menyampaikan situasi dan kondisi kademangan setelah ditinggalkanya.

Menurut informasi bahwa kepergian Raden Sutawijaya ada sebuah rekayasa dan Ki Suta juga telah membangun kekuatan dengan mengumpulkan jawara-jawara dan pemuda-pemuda kampung untuk dijadikan muridnya.Padepokan dirubah persis seperti keraton. Bahkan kabar dari mulut ke mulut Ki Suta tidak akan mengembalikan mandatnya sebagai Demang sementara.

Mendengar kabar berita itu Darah pendekarnya pun bergelora ingin segera bertemu dengan Ki Suta tapi buru-buru istrinya mencegah dengan mengatakan pesan kakeknya Panembahan Heru Cokro yang juga guru utamanya Raden Sutawijaya.

“Apa pesan kakek Panembahan?” Kata Raden Sutawijaya.

“Beliau berpesan : anaknya Dayun Setradana dan Jiwa Yuda dibawa kakek, kang mas diminta anarimo, Kang mas supaya ingat akan pepatah Surodiro jayadiningrat lebur deening pangastuti, Kang Mas disuruh menemui kakek panembahan”

Kata-kata yang lembut, santun dan penuh keibuan keluar dari seorang istri yang cantik yang sangat dicintainya serasa memadamkan api yang membara karena tersiram air.

“Terima kasih Nimas, Nini telah mengingatkan aku dari kemarahan, Insya Allah kakang akan berpikir positif dan mengambil hikmah dari kejadian ini. Tapi Nimas! Sebagai jejering satria kakang akan menemui Ki Suta, kakang akan bicara baik-baik padanya”.

Situasi yang tegang tiba-tiba jadi luluh penuh keharuan. Dengan memeluk suami tercintanya Nyai Sutawijaya berkata lirih dengan linangan air mata :

“Kang mas! Dalem selalu setia mendampingi kang mas, apapun situasi dan kondisinya”.

Kata-kata yang bijak terus keluar dari seorang anak Bupati dan cucu seorang ulama yang lebih dikenal sebagai Panembahan Heru Cokro yang kini rela hidup di desa yang jauh dari keramaian kota, hanya untuk mengikuti suami tercintanya Raden Sutawijaya.

Mendengar tutur kata yang diucapkan istrinya dekapannya pun semakin kencang tanpa disadari air matanya menetes mengenai punggung istrinya. Nyai Sutawijaya melepaskan diri dari deekapan suaminya dan memandangi wajah suaminya yang gagah perkasa. “Kang mas apa menangis? Seru istrinya.

“Aku menangis karena sangat terharu padamu, kau begitu baik, sabar dan setia, kakek tidak sia-sia mendidikmu sejak kecil”. Sambil didekapnya lagi istrinya dengan penuh keharuan.

Pada hari berikutnya Raden Sutawijaya menemui Ki Suta. Pada saat itu sedang ada paseban, banyak orang asing yang datang yang tidak dikenal oleh Raden Sutawijaya dengan wajah-wajah seram dan tidak bersahabat.

Raden Sutawijaya masuk ke pendopo tanpa ada rasa takut sedikitpun sekalipun dalam pikirannya terheran-heran, baru ditinggal kurang lebih satu tahun Ki Suta mampu membangun padepokan begitu megah persis seperti Keraton Surakarta. Kayu yang digunakan dari kayu nangka yang diambil dari Gunung Gemulung yang terkenal sangat wingit, atapnya dari Sirap yang jarang orang menggunakannya, lantainya dari batu alam yang diambil dari Cikalong.

Kedatangan Raden Sutawijaya nampaknya sudah diketahui oleh padepokan sehingga segala sesuatu sudah disiapkan dengan matang karena yang dihadapi adalah bukan orang sembarangan, turun Bupati Banyumas dan menantu Bupati Pasuruhan serta murid dari Panembahan Heru Cokro. Sehingga pada saat kedatangannya dari suasana gaduh berubah menjadi terdiam semua tak ada yang berani memandang/menatap mukanya sedikitpun baik yang di luar maupun di dalam paseban.

Suasana menjadi tegang namun dengan gagah berani Raden Sutawijaya menemui Ki Suta yang saat itu sedang dikelilingi oleh ratusan anak buah dan murid-murid padepokan. Ki Suta jengkar dari tempat duduknya yang seperti singgasana.

“Selamat Datang Raden! Kapan Raden pulang? Kok tidak mengutus abdi dalem saja mengundang kami untuk menghadap?” kata Ki Suta penuh basa-basi.

Dan dengan salah tingkah Ki Suta mempersilahkan Raden Sutawijaya yang baru datang untuk duduk.

“Sudahlah Ki Suta aki tidak usah basa-basi dengan saya. Saya sudah tahu apa yang terjadi saat saya pergi dan saya mengerti maksud Ki Suta selama ini. Saya menerima dan menghormati pendapat Ki Suta karena Ki Suta orang yang saya tuakan dan saya jadikan contoh juga panutan dalam mengatur dan membangun kademangan, tapi kenapa Ki Suta justru berkhianat?”

Mendengar kata-kata Raden Sutawijaya yang pedas dan keras Ki Suta pun terperanjat! Namun belum sempat menjawabnya Raden Sutawijaya sudah meneruskan kembali ucapannya, “ Bukankah orang-orang Ki Suta yang menghadang dan menyerang saya di setiap perbatasan, tapi sayang mereka bukan prajurit sejati sehingga mudah buka mulut.”

Mendengar hardikan Raden Sutawijaya yang keras seolah-olah tahu segalanya yang terjadi, Ki Suta pun tak bisa mengelak dari kenyataan. Dan apa yang diucapkan Raden Sutawijaya juga memang benar adanya. Nasi sudah menjadi bubur ibarat orang menyeberang sungai sudah sampai di tengah. Sedang Ki Suta bukanlah orang sembarangan, disamping memiliki kesaktian yang luar biasa juga ahli strategi.

Jadi apa yang dilakukan pasti sudah melalui perhitungan yang matang. Termasuk kemarahan Raden Sutawijaya, sampai perang melawan pihak manapun sudah diperhitungkan.

Maka saat kemarahan Raden Sutawijaya sudah sampai puncaknya Ki Suta beranjak dari tempat duduknya yang tidak jauh dari Raden Sutawijaya.

“Sekarang Raden maunya apa?! Setelah tahu segala yang terjadi, apa Raden akan memimpin kembali di kademangan? Coba tanyakan kepada masyarakat yang hadir disini dari berbagai tempat”.

Ki Suta pun menghadap pada peserta paseban yang sudah dipersiapkan “ Hai kamu jangan diam, saya tanya kalian jawab!, apa kalian suka dan senag bila kademangan dipegang saya?

Hadirin yang sudah dipersiapkan menjawab dengan serempak “Senaaang”

“Bagaimana kalau kademangan dipegang kembali oleh Raden Sutawijaya? Apakah kalian setuju?

Tak seorangpun berani menjawab setuju.

“Raden.. kamu dengar kan bagaimana suara rakyat? Saya akan pasrah dengan keputusan rakyat, dan akan saya bela rakyatku dengan pecahing dada luntahing ludiro, sedumuk bathuk senyari bumi sekalipun dada sampai hancur darah terkucur akan kulalui”

Mendengar diplomasi yang dilakukan dan kesombongan yang diucapkan oleh Ki Suta, Raden Sutawijaya terpancing emosinya sampai berdiri menatap tajam Ki Suta tapi tiba-tiba teringat pesan kakak Panembahan Heru Cokro bahwa dalam menghadapi persoalan ini harus mengalah, bersabar jangan sampai emosional.

“O begitu ya! Ingat Ki Suta bagi saya soal kekuasaan bukan sesuatu yang harus di minta tapi sesuatu yang harus dijaga karena ini adalah amanah yang harus dijaga dan dilakukan sebaik-baiknya. Saya rela melepas hak saya kalau ini memang pilihan terbaik bagi rakyatku!, tapi kalau semua ini sebuah rekayasa yang kamu buat maka kamu adalah seorang Suta yang hatinya ALA, dan ingat setiap keturunanmu selalu ada yang tidak waras!!!

Konon sumpah serapah Raden Sutawijaya jadi kenyataan, setelah meninggal Ki Suta disebut Ki Sutanala dan keturunannya selalu saja ada yang gila.

Raden Sutawijaya pun pergi meninggalkan padepokan. Tak satu pun orang yang berani berdiri apalagi menghadang menyerangnya sebagaimana konsep yang dipersiapkan apabila Raden Sutawijaya marah-marah akan dikeroyok rame-rame.

Bagi Ki Suta pun hanya duduk tidak berkutik sedikit pun seperti dipaku ditempat duduknya, hanya sumpah serapah Raden Sutawijaya yang terngiang diudara.

Setelah tersadar barulah dia tahu kalau Raden Sutawijaya sudah tidak ada ditempat. Badannya pun jadi lemas seperti tidak berdaya apa-apa.

“Kekuatan apakah yang digunakan sampai aku tidak punya kekuatan untuk melawan?” gumamnya.

Paseban pun disuruhnya untuk dibubarkan.
KRATON KEMBAR‎

Setelah kejadian di paseban tersebut, Raden Sutawijaya pergi meninggalkan Kademangan Merden untuk menghadap kakek gurunya, Panembahan Heru Cokro dan juga sambil menengok anaknya yang ada disana yakni Dayun Setradana dan Jiwa Yuda. Raden Sutawijaya akhirnya menetap mengabdi sebagai prajurit dan meninggal di Lawiyan Solo.

Setelah Raden Sutawijaya meninggalkan kademangan Merden Ki Suta semakin bebas merencanakan niat besarnya karena sudah tidak ada kendalanya.

Padepokan pun disulapnya menjadi sebuah istana kecil yang mirip dengan keraton di Surakarta. Pendopo Agung pun dibuat dengan halaman depan yang luas, dibelakang pendopo rumah Ki Suta. Disamping kanan kiri ada yang digunakan untuk cantrik yang ngalap ilmu kanuragan pada Ki Suta. Sekalipun tidak ada masjid disampingnyaakan tetapi masyarakat menyebutnya sebagai keraton kembar. Kabar ini terdengar sampai di Keraton, Raja pun memerintahkan telik sandi (mata-mata) untuk menyelidiki berita yang beredar.
Diutuslah seorang prajurit wanita sebagai telik sandi yang ditugasi untuk mempelajari situasi dan kondisi di kademangan. Prajurit ini dikenal dengan nama Maskumambang. Sesampainya di Merden. Telik sandi ini pun terpengarah dibuatnya setelah melihat kademangan persis seperti keraton. Telik sandi terus mempelajari kegiatan-kegiatan yang dilakukan di kademangan maupun diluar kademangan, dari masalah sosial, kemasyarakatan, ekonomi, budaya dan politik semua dipelajarinya dengan teliti.

Setelah lama menetap dan cukup mendapatkan informasi, telik sandi pun pulang ke keraton untuk menyampaikan hasil penyelidikannya. Dan setelah mendengar informasi dari telik sandi Raja pun marah besar dan berkenan ingin mengecek sendiri Keraton Kembar.

Dengan diiringi prajurit dan bala bantuan secukupnya raja pun berangkat ke Kademangan Merden lewat tepi kali Lukulo terus ke utara sampai pegunungan Kendeng turun melewati hutan Glagah sampai di Sungai Sapi kebarat sampai di Merden.‎

SIHIR KI AGENG SUTA
Kedatangan rombongan Raja sudah tercium oleh Ki Suta, maka Ki Suta menyiapkan cara dan strategi untuk menyambut rombongan Raja.

Setelah Raja sampai di Merden, raja langsung minta di antar ke Lokasi Kademangan yang ada Keraton Kembar. Namun sesampainya di lokasi apa yang dilihat Raja hanya sebuah gubug yang terbuat dari alang-alang yang dijaga oleh kakek tua renta yang sedang duduk di risban yang sudah rusaklagi kumuh.

Melihat kenyataan ini Raja pun duka dan memanggil telik sandi yang menginformasikannya. “Hai! Kamu telah bertindak ceroboh, memalukan! ingsun (saya) paring ukuman marang siro, siro ingsun pecat nangkene, ora kena bali maring keraton” (saya kasih hukuman pada kamu, kamu saya pecat dan kamu harus menetap disini dan tidak boleh pulang ke keraton).

Keputusan Raja pun diterima dengan suka duka, “ untung tidak dibunuh, sungguh heran dan tidak masuk akal kenapa Keraton kembar bisa berubah jadi gubug alang-alang? Hebat benar Ki Suta” gumamnya.

Raja pun pergi meninggalkan Kademangan Merden, telik sandi pun akhirnya menetap di Merden.‎

Telik sandi yang bernama Maskumambang dengan nama samaran Sarintem adalah seorang wanita prajurit dengan potongan tubuh laki-laki dan rambut pendek dengan langkah layaknya seorang pendekar trampil lincah dan trengginas.

Setelah lama di Merden rambutnya dibiarkan tumbuh memanjang sehingga orang baru paham kalau Maskumambang itu seorang wanita yang cukup cantik.. Karena pengalaman dalam pergaulan ia pun cepat dikenal dan beradaptasi dengan lingkungan. Maka banyaklah orang yang menyukai dan ingin memperistrinya. Adapun pilihan hatinya adalah anak Lurah Karang Plak. Singkat cerita Maskumambang dilamar oleh Lurah Karang Plak. Setelah acara lamaran selesai Maskumambang berkenan mengirim panggang ayam pada mertuanya. Dengan memasak sendiri Maskumambang mempersiapkannya untuk mertua barunya.

Dengan bangga ia menyerahkan panggang ayam masakannya sendiri, dan langsung diterima oleh mertuanya dan langsung diminta dimakan bersama.‎

Setelah semua siap memakan, mertuanya yang Lurah Karang Plak mengambil dulu dan langsung dimakannya.

Namun apa yang terjadi? Panggang yang dimakan mertuanya itu berdarah, dan melihat hal tersebut mertuanya pun marah-marah dan langsung memaki-maki pada Maskumambang, “Perempuan itu tidak hanya bisa manak dan macak saja tapi harus bisa masak!”

Mendengar kata-kata yang keluar dari mertuanya itu Maskumambang merasa sedih dan pedih, ia merasa disini tidak mempunyai sanak famili.

Perasaan sedih itu tak mampu dikuasainya dan ia pun pergi meninggalkan rumah mertuanya tanpa ada yang mampu mencegah dan mengikuti langkahnya yang cepat bagai kilat. Ia pergi tanpa meninggalkan pesan. Setelah kepergiannya yang tidak bisa diketahui tempatnya, calon suaminya akhirnya meninggal karena keyungyun.Kepergian Maskumambang jadi misteri. Kadang ada orang yang melihat seperti sedang berbaring diatas batu (Jawa = Semampir) maka dukuh tersebut terkenal dengan nama Dukuh Semampir.

Setelah sekian tahun tidak terlihat kabar beritanya, tiba-tiba masyarakat dikejutkan oleh suara yang keluar dari Pohon Randu Alas yang sangat besar yang akan ditebang. Suara itu keluar dari lubang pohon “Sing ngati-ati aku nang njero” (yang hati-hati saya ada di dalam).

Setelah kayu roboh & dibuka secara hati-hati ternyata didalam adalah Maskumambang yang punya nama Sarintem calon menantu Lurah Karang Plak yang pergi tak pernah diketahui tempatnya. Kondisi Ni Sarintem sudah begitu kurus dan lemah tak berdaya.

Kemudian Ni Sarintem dibawa ke rumah penduduk, namun tak lama kemudian dia meninggal dunia. Sebelum meninggal dia berpesan untuk dimakamkan ditempat ia bertapa. Keanehan makamnya yang berada dipinggir sungai adalah meskipun sungai banjir besar makamnya selalu aman dari genangan air sekalipun sekitarnya sudah tergenang. Makam tersebut sampai sekarang terkenal dengan nama Maskumambang‎

Siapakah Sutanala tidak banyak orang yang tahu secara pasti. Konon dia seorang Nujum dari Keraton yang melarikan diri sampai di Merden dan mengawini anak lurah Denok dari wilayah Merden. Karena kemampuannya dalam ilmu kanuragan dan pengetahuan lainnya menjadikan dia disegani dan ditakuti orang. Apalagi setelah mampu mengelabuhi raja Mataran sampai tidak terjadi peperangan. Semua itu karena kemampuan strategi perang dan olah kanuragan yang sudah matang.Semakin hari muridnya semakin banyak yang datang untuk menimba ilmu dari Ki Suta dan tidak sedikit orang yang datang ingin menguji kesaktiannya‎

ASAL NAMA KALIDEPOK
Suatu hari ada seorang yang datang dari arah Tegal yang penasaran ingin mencoba kesaktian Ki Suta. Kedatangannya diketahui oleh Ki Ageng Suta, maka diutuslah muridnya untuk menjemput di perbatasan. Di tepi sungai (kali) tamu yang baru datang itu ditemuinya, ditanyakan maksud dan tujuannya. Setelah tahu kalau kedatangannya ingin menguji kesaktian gurunya maka ia pun ingin mengujinya sebelum ketemu gurunya.

“Hai Kisanak! Kalau kau ingin menguji guruku lawan dulu aku! Kalau kau bisa mengalahkan aku baru kau bisa menemui guruku Ki Ageng Suta”.

Mendengar tantangan dari muridnya tamu pun melayaninya, konon baru berjabatan tangan saja tamu tersebut sudah lemas tidak berdaya (Deprok).

Sebagai pengingat dukuh ini dinamakan Kali Depok.‎

WEWALER HARI JUMAT
Dihari siang bolong Ki Ageng Suta sedang duduk santai diatas risban model Banjaran. Tiba-tiba dikejutkan oleh kedatangan muridnya yang lari terengah-engah ketakutan. Setelah duduk agak tenang muridnya menceritakan hal ikhwal yang dialaminya, kalau dia sedang dikejar-kejar oleh Mbah Majir sak balanya.

Oleh Ki Suta muridnya itupun disuruh pergi bersembunyi dan Ki Ageng Suta yang akan menghadapinya.

Tak lama kemudian rombongan Mbah Majir dari lereng Gunug Igir Cempaka lewat depan pendopo padepokan. Ki Ageng Suta menyapanya, “Ada apa kang siang-siang begini kok rame-rame kaya mau nyerang?” kata Ki Ageng Suta dengan santai tapi menusuk dihati.

Mbah Majir menjawab “ Tidak ada apa-apa, hanya sedang mencari buruan yang kalau tidak salah tadi lewat sini” kata mbah Majir dengan basa-basi.

“Ya sudah sekarang mampir istirahat dulu, nini sedang masak nasi jagung nanti lauknya cari di kali”.

Ajakan Ki Ageng Suta diterima Mbah Majir dengan begitu saja tanpa ada yang menolak. Semua rombongan mampir di padepokan, sebagian ada yang tiduran, ada pula yang ikut rame-rame mencari ikan di Kali Sapi.

Waktu sudah siang saatnya untuk makan tapi yang mencari ikan belum juga pulang padahal nasi sudah masak. Ki Ageng Suta pun menyuruh para pencari ikan untuk pulang saja dan sesampainya dirumah mereka mengatakan “ Ora olih iwak olihe kesel thok!” (tidak dapat ikan, dapatnya cuma capek)”

Ki Ageng Suta tersenyum kecut “Oalah..Golet iwak bae ora teyeng jare? (cari ikan saja tidak bisa?) kok mau berburu, sini kuwunya “.

Alat yang biasa buat nangkap ikan itupun diminta lalu diletakkan dibawah risban yang didudukinya. “Tunggu sebentar yang masih lelah istirahat dulu”.

Ki Ageng Suta belum selesai bicara Nyai Suta keluar dari dalam rumah sambil teriak menanyakan ikan yang akan digoreng “Endi iwake selek garep digoreng” (mana ikannya segera akan dimasak).

Ki Ageng Suta akhirnya menyuruh pengikut Mbah Majir yang duduk berdekatan untuk mengambil kuwu yang ada dibawah tempat duduknya.

Kuwu pun diangkat dan “Hah!! Ikan masih segar Ki Ageng apa ini benar ikan?” anak buah Mbah Majir semua ingin melihat “Benar! Ikan! Ini ikan beneran!”

Suasana pun jadi rame penuh keheranan termasuk Mbah Majir yang dari tadi diam sambil nglinting rokok. Ki Ageng Suta berdiri untuk menenagkan suasana.

‘Sudahlah sekarang ikan dicuci di belakang, suruh dimasak Nyai nanti kita makan bersama”.

Setelah selesai makan rombongan Mbah Majir pulang, sesampainya dirumah Mbah Majir weling pada pada para pengikutnya “ Ingat malam jumat iki dina kang mirangna aku kabeh! Mula welingku aja pisan-pisan gawe rame-rame nang malaem Jumat nanging pada nggo merek maring sing gawe urip. (Ingat malam Jumat ini hari yang membuatku malu dan juga kita semua, maka pesanku jangan sekali-kali membuat acara rame-rame pada malam Jumat tapi untuk mendkatkan diri pada sang pencipta)”.

Pesan Mbah Majir ini akhirnya menjadi pantangan bagi masyarakat Kecamatan Purwanegara bagian selatan untuk tidak membuat acara pada malam dan hari Jumat kecuali acara pengajian.‎

Kraton Pun Turun Tangan

Kejadian yang terjadi di Merden ternyata beritanya sampai di keraton. Raja pun memerintahkan beberapa utusan khusus untuk menghadapkan Ki Ageng Suta baik hidup maupun mati. Tapi utusan-utusan itu selalu gagal, seperti R. Wahyu, Adipati Trewela Cakra Kusuma semua kalah dan tunduk menjadi pengikutnya sampai meninggal dan dimakamkan di wilayah Merden.

Akhirnya Raja memerintahkan seorang jawara dan pimpinan padepokan dari Tegal yang bernama Kyai Jamaludin. Dia memiliki kesaktian yang luar biasa tidak sembarang senjata mampu menembus tubuhnya. Sekalipun mampu menembus juga tidak mudah membunuhnya.

Konon dia punya aji Jebug Thukul sekelas Rawa Rontek atau Panca Sona. Jamaludin orangnya gagah, tinggi besar, hidungnya mancung, kumisnya lebat simbar dada (dadanya penuh dengan rambut), kepalanya ditutupi sorban, konon Kyai Jamaludin merupakan turunan Arab Jawa.

Singkat cerita perang pun terjadi, mulai wilayah perbatasan, dari peperangan ke peperangan sampai di kademangan Merden, Kyai Jamaludin selalu unggul.

Segala perangkap dan sihir yang dipasang oleh Ki Ageng Suta bisa diatasi oleh Jamaludin. Sehingga korban di pihak Ki Ageng Suta cukup banyak, sampai pasukannya kocar kacir dan mayat pun bergelimpangan. Wilayah ini sampai sekarang dinamai Dukuh Glempang, sedangkan wilayah yang digunakan untuk Nisih (Ngungsi) sekarang dinamakan Dukuh Penisihan. Tempat yang digunakan untuk mengumpulkan pasukan ditengah-tengah penduduk sekarang ketelah Bala Tengah.‎

Siasat Licik Ki Ageng Suta‎

Melihat kenyataan dengan kekalahan perang dimana-mana serta kehebatan Ki Jamaludin yang sakti mandraguna Ki Ageng Suta mengajukan gencatan senjata dan berjanji akan membicarakan kemungkinan penyerahan dirinya yang perlu dipersiapkan dengan baik. Mendengar penjelasan dari utusan Ki Ageng Suta, Kyai Jamaludin pun beritikad baik menerima gencatan senjata tersebut.‎

Pada saat gencatan senjata, ternyata dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh Ki Ageng Suta untuk mengatur siasat mengalahkan Kyai Jamaludin.

Langkah pertama yang diambil Ki Ageng Suta adalah konsolidasi pasukan yang terdiri dari para jawara dari luar kademangan, murid padepokan, masyarakat kademangan dan sekitarnya. Langkah kedua menyebar telik sandi untuk menyusup. Langkah ketiga mengempur dengan strategi cupit urang.

Telik sandi yang khusus mendekati dan merayu Jamaludin adalah anak angkatnya seorang reog/tayub yang saat itu sangat terkenal karena kecantikan dan kepandaiannya menari diatas panggung serta kekuatan magisnya untuk menghipnotis masa penonton.

Ronggeng ini ditugasi khusus menghibur dan menggoda Jamaludin dan pasukannya karena menurut berita Jamaludin suka pada tayub.

Aksi pun dimulai dengan tanggapan keliling dari rumah ke rumah sampai ke pasukan Jamaludin mendirikan perkemahan.
Karena desakan anak buahnya Jamaludin berkenan mengundang ronggeng tersebut untuk menghibur pasukannya. Pada saat hiburan dimulai orang pun mulai terkesima dengan penampilan ronggeng yang cantik lincah dan suaranya sangat merdu, minuman yang sudah di campur dengan ramu-ramuan yang memabukan sudah dipersiapkan oleh telik sandi untuk dihidangkan tanpa ada kendala semua bisa berjalan dengan lancar.

Makin malam makin rame makin mabuk, semua pasukan termasuk juga Jamaludin yang sudah terkena minuman yang memabukan. Pada saat kondisi sedang lengah karena sedang mabuk berat secara serentak pasukan Ki Ageng Suta menyerang pasukan Jamaludin.

Semuanya habis terbantai tinggal Kyai Jamaludin yang masih bertahan hidup sekalipun dalam kondisi mabuk dia masih mempu membunuh puluhan pasukan musuh yang mendekat mengepung Jamaludin. Tombak, panah, pedang segala senjata yang dibawa dihantamkan kepadnya tapi tak satu pun yang mampu membunuhnya.
Dalam kondisi tidak sadar ia berteriak-teriak “Saya mau mati asal bersama ronggeng”. Dengan serentak tanpa dikomando Ronggeng pun dibunuh bersama-sama, karena begitu kalapnya ingin membunuh Jamaludin, Ronggeng jadi sasaran kesadisan sampai mati terpotong-potong. Melihat Ronggeng telah mati di depan mata, Jamaludin mengikhlaskan untuk mati bersama Ronggeng tersebut dengan memberitahu pengapesannya.

Kematian ronggeng yang terpotong-potong masih membuat rebutan dalam pemakaman. Yang akhirnya mereka mengubur potongan jasad di daerahnya masing-masing sesuai yang didapat. Ada yang membawa tangan, kaki, perut dan kepala, sehingga sampai sekarang kuburan ronggeng (Setana Ronggeng) ada dimana-mana di desa-desa sekitar Merden.‎

Perang besarpun telah usai dengan kemenangan pada pihak Ki Ageng Suta dengan menggunakan strategi dan siasat yang jitu. Kekuatan dan kekuasaan Ki Ageng Suta pun semakin kokoh tak tergoyahkan sehingga sering berbuat yang arogan.

Para pendukungnya yang merasa berjasa dan mendapat perlindungan dari Ki Ageng Suta mereka sering menampakan kesombongan seolah-olah tidak ada kekuatan yang akan berani mengusiknya‎‎

MASA AKHIR KEJAYAAN KI AGENG SUTA‎

Tapi hukum Tuhan bicara lain, bahwa kekuatan manusia ada batasnya dan sangat terbatas. Diatas langit masih ada langit.

Disaat keadilan dan kebenaran telah dicampakan kedholiman telah melanda dimana-mana munculah seorang pemuda yang selalu tampil membela rakyat kecil. Pemuda itu adalah Raden Jiwa Yuda anak ketiga dari Raden Suta Wijaya yang dibawa kakeknya Panembahan Heru Cokro dari Pancamanis Daerah Nusakambangan.

Dengan kepandaian dalam ilmu bela diri dan olah kanuragan serta keberanian membela yang benar dan selalu berpihak pada rakyat kecil dan yang lemah dalam waktu singkat R. Jiwa Yuda jadi sangat terkenal dan merakyat. Keberadaanya di Kademangan Merden yang belum begitu lama sudah sangat diperhitungkan bahkan ditakuti dan disegani oleh orang-orang Ki Ageng Suta. Ketakutan itu bukan karena nama besar ayahnya R. Sutawijaya tapi memang karena kelebihan yang dimilikinya. Beberapa kali orang Ki Ageng Suta mencoba kemampuannya tapi semua bisa dikalahkan dengan mudah.

Melihat kenyataan ini Ki Ageng Suta bertindak sangat hati-hati untuk mengambil sikap, apalagi dia semakin tua, masyarakat banyak sekali yang berpihak kepada R. Jiwayuda yang sebenarnya memang ahli waris kademangan Merden. Diukur dari ilmu kanuragan dan bela dirinya, Ki Ageng Suta mengakui kehebatannya dan juga senjata yang dimilikinya yakni Pedang Siwarak dan Tombak Sibuntal.

Melihat kemampuan dan kehebatan Raden Jiwa Yuda maka Ki Ageng Suta mengutus orang kepercayaannya untuk menemui Raden Jiwa Yuda guna menyampaikan bahwa Ki Ageng Suta akan segera menyerahkan kekuasaan kademangan kepada Raden Jiwa Yuda dengan satu syarat Ki Ageng Suta dan keluarganya tidak diganggu dan diusik dengan masalah yang sudah terjadi.

Raden Jiwa Yuda menyanggupi selama ia mau bertobat dan tidak mengulangi perbuataan dholimnya. Ikrar pun telah disepakati bersama. Mulai saat itu Raden Jiwa Yuda memangku jabatan Demang Merden dan tidak lama kemudian Ki Ageng Suta meninggal dunia.

Tak lama kemudian Perang Diponegoro berkobar Raden Jiwa Yuda pergi meninggalkan kademangan untuk memnuhi seruan jihad melawan penjajah Belanda.‎

SEJARAH GEMEK (PUYUH) WATU GILIG
Gemek merupakan burung piaraan yang paling populer di tlatah Banyumas. Hampir setiap rumah memiliki burung Gemek (puyuh) ini, karena jenis burung yang palingmudah dipelihara dan manfaatnya cukup banyak. Kalau yang betina bisa bertelor setiap hari dan yang jantan disamping untuk cekekeran dengan suaranya yang nyaring seperti ayam alas, juga sering dimanfaatkan untuk aduan. Yang paling rame orang pelihara gemek saat itu untuk diadu, dari rakyat biasa sampai Bupati semua senang melihat atau mengadu gemek.

Saat itu gemek yang paling terkenal dan tak terkalahkan adalah Gemek Watu Gilig dari tlatah Kademangan Merden. Gemek Watu Gilig secara fisik memiliki bentuk yang sempurna atau memiliki katuranggan yang sangat baik seperti :

1. Kulitnya putih dengan ekor agak ngawet.

2. Kepalanya besar dan bulunya lebat.

3. Lehernya agak lemas dengan peregangan kerap (Kalung Tepung).

4. Cucuknya agak bujel.

5. Matanya bulat dan rata.

6. Pupunya mukang gasir (seperti kaki jangkrik hutan) dengan garis yang garing.

Ciri-ciri Gemek Watugilig yang sering keluar :

1. Ules (bentuk bulu) lurik semu klawu (blirik agak ungu) ciri seperti ini orang mengatakan Rayung.

2. Kadang keluar dengan bulu wido hijau agak ungu, orang menyebutnya Jemethi.

Sayangnya Gemek Watu Gilig tidak setiap saat keluar dan setiap orang bisa mendapatkannya.

Konon Gemek ini peliharaan R. Sutawijaya dari pemberian kakek gurunya Panembahan Heru Cokro dari Panca manis Nusakambangan. Burung ini sengaja dilepas bebas dialas Watu Gilig dari arah kademangan sebelah utara kurang lebih satu kilometer.

Watu Gilig saat itu merupakan padang ilalang ditengah-tengahnya mengalir sungai Karang Lo. Ditengah-tengah padang ilalang ada gundukan batu hitam yang rata kurang lebih 1,5 meter. Orang menyebutnya batu sembahyangan karena dulu di pakai R. Sutawijaya (Demang Merden) untuk melakukan ibadah sholat terutama kalau sedang menyendiri.

Jarang ada orang yang berani ke daerah situ karena takut kesambet, setannya galak-galak (jahat). Di batu sembahyangan ini Gemek Watu Gilig sering terlihat bertengger di atas batu. Kehebatan Gemek Watu Gilig sudah tidak asing lagi dan selalu menjadi incaran para penggemar burung Gemek kabar ini pun jadi perhatian khusus Bupati Banyumas saat itu. Sampai akhirnya mengutus orang untuk memesan Gemek Watu Gilig.

Setelah mengetahui maksud kedatangan utusan Bupati untuk memesan Gemek Watu Gilig, Ki Demang merasa berat hati karena Gemek Watu Gilig baru saja diberikan pada sahabatnya seorang Cina yang baru saja masuk Islam.

Keberatan hatinya pun disampaikan pada utusan Bupati tersebut. Tapi sang duta memaksa untuk dicarikan yang lainnya saja karena kalau gagal ia akan kena marah Bupati. Namun Ki Demang tetap tidak mau berbohong pada siapapun apalagi pada Bupati.

Utusan Bupati pun pulang dengan tangan hampa karena tidak bisa mendapatkan Gemek Watu Gilig. Untuk menutupi kekecewaan itu utusan mencari gemek pada penduduk yang kebetulan beternak gemek yang terbaik. Sesampainya di kabupaten, gemek ditaruh di kandang yang telah dipersiapkan.

Begitu dimasukan ke kandang dan langsung berbunyi cekeker-cekeker dan sebentar-sebentar bunyi. Bupati pun senang melihatnya karena sehat, lincah dan jinak.

Pada bulan berikutnya pertarungan gemek dimulai di alun-alun dengan peserta cukup banyak. Orang-orang banyak yang bertaruh kalau gemek sang Bupati akan menang karena baru didapatkan dari Kademangan Merden.

Setelah sampai akhir ternyata gemek yang tak terkalahkan adalah milih Babah Asan seorang Cina dari Cirebon, Bupati merasa wirang (malu) karena gemek andalannya terkalahkan.

Babah Asan sebagai pemenang diberi kehormatan untuk mampir di kabupaten. Sambil duduk dan ngobrol santai bupati memancing Abah Asan untuk menceritakan soal gemek miliknya dan asal muasalnya.

Abah Asan pun cerita apa adanya. Mendengar cerita yang dibeberkan oleh Abah Asan, Bupati marah besar dan merasa tersinggung karena sudah dibohongi oleh Demang Merden.

Pada hari berikutnya Bupati mengadakan paseban dan mengundang Demang Merden. Tanpa diberi kesempatan untuk menjelaskan duduk persoalannya bupati langsung memarahinya dengan mencaci maki, Demang Merden hanya terdiam sambil menahan emosinya.

Dan akhirnya bupati menjatuhkan hukuman dengan pemberhentian dengan tidak hormat pada Citra Drana dari jabatan Demang Merden. Dan pemerintahan dinyatakan demisioner.

Citra Drana pulang dengan hati yang massgul bukan karena jabatannya diambil tapi tidak diberi kesempatan padanya untuk menjelaskan persoalan tersebut.

Dari beberapa sumber menjelaskan kenapa bupati begitu marah terhadap Demang Merden antara lain :

Keluarga Kademangan Merden banyak yang mendukung pada pangeran-pangeran yang melakukan perlawanan pada penjajah seperti Demang Jiwa Yuda, KH. Musa keponakan Jiwa Yuda dll.

Sering mengkritik kebijakan Bupati yang terlalu dekat dengan Belanda.

Jadi masalah Gemek bukan persoalan pokok yang menjadikan kademangan dibekukan tapi ada kepentingan politik dibalik persoalan Gemek.

Itulah sepenggal kisah yang pernah Terjadi di Kademangan Merden
Merden saat Ini Hanyalah Sebuah Desa di Kecamatan Purwanegara Banjarnegara. ‎

 

Syaikh Dalhar Watucongol


Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِى شَيْبَةَ وَزُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ قَالاَ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عُبَيْدٍ عَنْ يَزِيدَ بْنِ كَيْسَانَ عَنْ أَبِى حَازِمٍ عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ زَارَ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- قَبْرَ أُمِّهِ فَبَكَى وَأَبْكَى مَنْ حَوْلَهُ فَقَالَ « اسْتَأْذَنْتُ رَبِّى فِى أَنْ أَسْتَغْفِرَ لَهَا فَلَمْ يُؤْذَنْ لِى وَاسْتَأْذَنْتُهُ فِى أَنْ أَزُورَ قَبْرَهَا فَأُذِنَ لِى فَزُورُوا الْقُبُورَ فَإِنَّهَا تُذَكِّرُ الْمَوْتَ »

Dari Abu Bakr bin Abi Syaibah dan Zuhair bin Harb, mereka berdua berkata: Muhammad Bin ‘Ubaid menuturkan kepada kami: Dari Yaziid bin Kasyaan, ia berkata: Dari Abu Haazim, ia berkata: Dari Abu Hurairah, ia berkata: Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam berziarah kepada makam ibunya, lalu beliau menangis, kemudian menangis pula lah orang-orang di sekitar beliau. Beliau lalu bersabda: “Aku meminta izin kepada Rabb-ku untuk memintakan ampunan bagi ibuku, namun aku tidak diizinkan melakukannya. Maka aku pun meminta izin untuk menziarahi kuburnya, aku pun diizinkan. Berziarah-kuburlah, karena ia dapat mengingatkan engkau akan kematian”
(HR. Muslim no.108, 2/671)

Keutamaan Ziarah kubur :

Haram hukumnya memintakan ampunan bagi orang yang mati dalam keadaan kafir (Nailul Authar [219], Syarh Shahih Muslim Lin Nawawi [3/402]). Sebagaimana juga firman Allah Ta’ala:

 مَا كَانَ لِلنَّبِيِّ وَالَّذِينَ آمَنُوا أَنْ يَسْتَغْفِرُوا لِلْمُشْرِكِينَ وَلَوْ كَانُوا أُولِي قُرْبَى

“Tiadalah sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memintakan ampun (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik, walaupun orang-orang musyrik itu adalah kaum kerabat (nya)” (QS. At Taubah: 113)

Berziarah kubur ke makam orang kafir hukumnya boleh (Syarh Shahih Muslim Lin Nawawi, 3/402). Berziarah kubur ke makam orang kafir ini sekedar untuk perenungan diri, mengingat mati dan mengingat akhirat. Bukan untuk mendoakan atau memintakan ampunan bagi shahibul qubur. (Ahkam Al Janaaiz Lil Albani, 187)

Jika berziarah kepada orang kafir yang sudah mati hukumnya boleh, maka berkunjung menemui orang kafir (yang masih hidup) hukumnya juga boleh (Syarh Shahih Muslim Lin Nawawi, 3/402).

Hadits ini adalah dalil tegas bahwa ibunda Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam mati dalam keadaan kafir dan kekal di neraka (Syarh Musnad Abi Hanifah, 334)
Tujuan berziarah kubur adalah untuk menasehati diri dan mengingatkan diri sendiri akan kematian (Syarh Shahih Muslim Lin Nawawi, 3/402)

An Nawawi, Al ‘Abdari, Al Haazimi berkata: “Para ulama bersepakat bahwa ziarah kubur itu boleh bagi laki-laki” (Fathul Baari, 4/325). Bahkan Ibnu Hazm berpendapat wajib hukumnya minimal sekali seumur hidup. Sedangkan bagi wanita diperselisihkan hukumnya. Jumhur ulama berpendapat hukumnya boleh selama terhindar dari fitnah, sebagian ulama menyatakan hukumnya haram mengingat hadits ,
لَعَنَ اللَّه زَوَّارَات الْقُبُور

“Allah melaknat wanita yang sering berziarah kubur” (HR. At Tirmidzi no.1056, komentar At Tirmidzi: “Hadits ini hasan shahih”)

Dan sebagian ulama berpendapat hukumnya makruh (Fathul Baari, 4/325). Yang rajih insya Allah, hukumnya boleh bagi laki-laki maupun wanita karena tujuan berziarah kubur adalah untuk mengingat kematian dan mengingat akhirat, sedangkan ini dibutuhkan oleh laki-laki maupun perempuan (Ahkam Al Janaaiz Lil Albani, 180).

Ziarah kubur mengingatkan kita akan akhirat. Sebagaimana riwayat lain dari hadits ini:
 
زوروا القبور ؛ فإنها تذكركم الآخرة

“Berziarah-kuburlah, karena ia dapat mengingatkanmu akan akhirat” (HR. Ibnu Maajah no.1569)

Ziarah kubur dapat melembutkan hati. Sebagaimana disebutkan dalam hadits yang lain:

كنت نهيتكم عن زيارة القبور ألا فزوروها فإنها ترق القلب ، وتدمع العين ، وتذكر الآخرة ، ولا تقولوا هجرا

“Dulu aku pernah melarang kalian untuk berziarah-kubur. Namun sekarang ketahuilah, hendaknya kalian berziarah kubur. Karena ia dapat melembutkan hati, membuat air mata berlinang, dan mengingatkan kalian akan akhirat namun jangan kalian mengatakan perkataan yang tidak layak (qaulul hujr), ketika berziarah” (HR. Al Haakim no.1393, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Al Jaami’, 7584)

Ziarah kubur dapat membuat hati tidak terpaut kepada dunia dan zuhud terhadap gemerlap dunia. Dalam riwayat lain hadits ini disebutkan:

كنت نهيتكم عن زيارة القبور فزوروا القبور فإنها تزهد في الدنيا وتذكر الآخرة

“Dulu aku pernah melarang kalian untuk berziarah-kubur. Namun sekarang ketahuilah, hendaknya kalian berziarah kubur. Karena ia dapat membuat kalian zuhud terhadap dunia dan mengingatkan kalian akan akhirat” (HR. Al Haakim no.1387, didhaifkan Al Albani dalam Dha’if Al Jaami’, 4279)
Al Munawi berkata: “Tidak ada obat yang paling bermanfaat bagi hati yang kelam selain berziarah kubur. Dengan berziarah kubur, lalu mengingat kematian, akan menghalangi seseorang dari maksiat, melembutkan hatinya yang kelam, mengusir kesenangan terhadap dunia, membuat musibah yang kita alami terasa ringan. Ziarah kubur itu sangat dahsyat pengaruhnya untuk mencegah hitamnya hati dan mengubur sebab-sebab datangnya dosa. Tidak ada amalan yang sedahsyat ini pengaruhnya” (Faidhul Qaadir, 88/4)
Disyariatkannya ziarah kubur ini dapat mendatangkan manfaat bagi yang berziarah maupun bagi shahibul quburyang diziarahi (Ahkam Al Janaiz Lil Albani, 188). Bagi yang berziarah sudah kami sebutkan di atas. Adapun bagi shahibul qubur yang diziarahi (jika muslim), manfaatnya berupa disebutkan salam untuknya, serta doa dan permohonan ampunan baginya dari peziarah. Sebagaimana hadits:
 
كيف أقول لهم يا رسول الله؟ قال: قولي: السلام على أهل الديار من المؤمنين والمسلمين، ويرحم الله المستقدمين منا والمستأخرين وإنا إن شاء الله بكم للاحقون
 
“Aisyah bertanya: Apa yang harus aku ucapkan bagi mereka (shahibul qubur) wahai Rasulullah? Beliau bersabda: Ucapkanlah: Assalamu ‘alaa ahlid diyaar, minal mu’miniina wal muslimiin, wa yarhamullahul mustaqdimiina wal musta’khiriina, wa inna insyaa Allaahu bikum lalaahiquun (Salam untuk kalian wahai kaum muslimin dan mu’minin penghuni kubur. Semoga Allah merahmati orang-orang yang telah mendahului (mati), dan juga orang-orang yang diakhirkan (belum mati). Sungguh, Insya Allah kami pun akan menyusul kalian” (HR. Muslim no.974)
Ziarah kubur yang syar’i dan sesuai sunnah adalah ziarah kubur yang diniatkan sebagaimana hadits di atas, yaitu menasehati diri dan mengingatkan diri sendiri akan kematian. Adapun yang banyak dilakukan orang, berziarah-kubur dalam rangka mencari barokah, berdoa kepada shahibul qubur adalah ziarah kubur yang tidak dituntunkan oleh Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam. Selain itu Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam juga melarang qaulul hujr ketika berziarah kubur sebagaimana hadits yang sudah disebutkan. Dalam riwayat lain disebutkan:
ولا تقولوا ما يسخط الرب
“Dan janganlah mengatakan perkataan yang membuat Allah murka” (HR. Ahmad 3/38,63,66, Al Haakim, 374-375)
Termasuk dalam perbuatan ini yaitu berdoa dan memohon kepada shahibul qubur, ber-istighatsah kepadanya, memujinya sebagai orang yang pasti suci, memastikan bahwa ia mendapat rahmat, memastikan bahwa ia masuk surga, (Ahkam Al Janaiz Lil Albani, 178-179)
Tidak benar persangkaan sebagian orang bahwa ahlussunnah atau salafiyyin melarang ummat untuk berziarah kubur. Bahkan ahlussunnah mengakui disyariatkannya ziarah kubur berdasarkan banyak dalil-dalil shahih dan menetapkan keutamaannya. Yang terlarang adalah ziarah kubur yang tidak sesuai tuntunan Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam y‎ang menjerumuskan kepada perkara bid’ah dan terkadang mencapai tingkat syirik.                                                                                                                                                                               
Riwayat Mbah Dalhar 

Beliau memang masih keturunan dari laskar pejuang Pangeran Diponegoro di eks Karsidenan Kedu. Tak heran selain berdakwah, Mbah Dalhar juga mewarisi semangat perjuangan dalam merebut dan mempertahankan Kemerdekaan RI

Mbah Kiai Dalhar lahir di komplek pesantren Darussalam, Watucongol, Muntilan, Magelang pada hari Rabu, 10 Syawal 1286 H (12 Januari 1870 M). Ketika lahir ia diberi nama oleh ayahnya dengan nama Nahrowi. Ayahnya adalah seorang mudda’i ilallah bernama Abdurrahman bin Abdurrauf bin Hasan Tuqo.

Kiai Abdurrauf adalah salah seorang panglima perang Pangeran Diponegoro. Nasab Kiai Hasan Tuqo sendiri sampai kepada Sunan Amangkurat Mas atau Amangkurat III. Oleh karenanya sebagai keturunan raja, Kiai Hasan Tuqo juga mempunyai nama lain dengan sebutan Raden Bagus Kemuning.

Diriwayatkan, Kiai Hasan Tuqo keluar dari komplek keraton karena ia lebih senang mempelajari ilmu agama daripada hidup dalam kepriyayian. Belakangan waktu baru diketahui jika ia hidup menyepi didaerah Godean, Yogyakarta. Sekarang desa tempat ia tinggal dikenal dengan nama desa Tetuko. Sementara itu salah seorang puteranya bernama Abdurrauf juga mengikuti jejak ayahnya yaitu senang mengkaji ilmu agama. Namun ketika Pangeran Diponegoro membutuhkan kemampuan beliau untuk bersama – sama memerangi penjajah Belanda, Abdurrauf tergerak hatinya untuk membantu sang Pangeran.

Dalam gerilyanya, pasukan Pangeran Diponegoro sempat mempertahankan wilayah Magelang dari penjajahan secara habis–habisan. Karena Magelang bagi pandangan militer Belanda nilainya amat strategis untuk penguasaan teritori lintas Kedu. Oleh karenanya, Pangeran Diponegoro membutuhkan figure–figure yang dapat membantu perjuangannya melawan Belanda sekaligus dapat menguatkan ruhul jihad di masyarakat.

Menilik dari kelebihan yang dimilikinya serta beratnya perjuangan waktu itu maka diputuskanlah agar Abdurrauf diserahi tugas untuk mempertahankan serta menjaga wilayah Muntilan dan sekitarnya. Untuk ini Abdurrauf kemudian tinggal di dukuh Tempur, Desa Gunung Pring, Kecamatan Muntilan. Beliau lalu membangun sebuah pesantren sehingga masyhurlah namanya menjadi Kiai Abdurrauf.

Pesantren Kiai Abdurrauf ini dilanjutkan oleh putranya yang bernama Abdurrahman. Namun letaknya bergeser ke sebelah utara ditempat yang sekarang dikenal dengan dukuh Santren (masih dalam desa Gunung Pring). Sementara ketika masa dewasa mbah Kiai Dalhar, beliau juga meneruskan pesantren ayahnya (Kiai Abdurrahman) hanya saja letaknya juga digeser kearah sebelah barat ditempat yang sekarang bernama Watu Congol.

Nama “Dalhar”

Mbah Kiai Dalhar adalah seorang yang dilahirkan dalam ruang lingkup kehidupan pesantren. Oleh karenanya semenjak kecil beliau telah diarahkan oleh ayahnya untuk senantiasa mencintai ilmu agama. Pada masa kanak-kanaknya, ia belajar Al-Qur’an dan beberapa dasar ilmu keagamaan pada ayahnya sendiri yaitu Kiai Abdurrahman. Menginjak usia 13 tahun, mbah Kiai Dalhar mulia belajar mondok. Ia dititipkan oleh sang ayah pada Mbah Kiai Mad Ushul (begitu sebutan masyhurnya) di Dukuh Mbawang, Desa Ngadirejo, Kecamatan Salaman, Kabupaten Magelang. Disini ia belajar ilmu tauhid selama kurang lebih 2 tahun.

Sesudah dari Salaman, saat ia berusia 15 tahun mbah Kiai Dalhar dibawa oleh ayahnya ke Pondok Pesantren Al-Kahfi Somalangu, Kebumen. Oleh ayahnya, mbah Kiai Dalhar diserahkan pendidikannya pada Syeikh As_Sayid Ibrahim bin Muhammad Al-Jilani Al-Hasani atau yang ma’ruf dengan laqobnya Syeikh Abdul Kahfi Ats-Tsani. Delapan tahun mbah Kiai Dalhar belajar di pesantren ini. Dan selama di pesantren beliau berkhidmah di ndalem pengasuh. Itu terjadi karena atas dasar permintaan ayahnya sendiri pada Syeikh As_Sayid Ibrahim bin Muhammad Al-Jilani Al-Hasani.

Kurang lebih pada tahun 1314 H/1896 M, mbah Kiai Dalhar diminta oleh gurunya yaitu Syeikh As_Sayid Ibrahim bin Muhammad Al-Jilani Al-Hasani untuk menemani putera laki – laki tertuanya yang bernama Sayid Abdurrahman Al-Jilani Al-Hasani thalabul ilmi ke Makkah Musyarrafah. Dalam kejadian bersejarah ini ada kisah menarik yang perlu disuri tauladani atas ketaatan dan keta’dziman mbah Kiai Dalhar pada gurunya.

Syeikh As_Sayid Ibrahim bin Muhammad Al-Jilani Al-Hasani punya keinginan menyerahkan pendidikan puteranya yang bernama Sayid Abdurrahman Al-Jilani Al-Hasani kepada shahabat karibnya yang berada di Makkah dan menjadi mufti syafi’iyyah waktu itu bernama Syeikh As_Sayid Muhammad Babashol Al-Hasani (ayah Syeikh As_Sayid Muhammad Sa’id Babashol Al-Hasani). Sayid Abdurrahman Al-Hasani bersama mbah Kiai Dalhar berangkat ke Makkah dengan menggunakan kapal laut melalui pelabuhan Tanjung Mas, Semarang.

Dikisahkan selama perjalanan dari Kebumen, singgah di Muntilan dan kemudian lanjut sampai di Semarang, saking ta’dzimnya mbah Kiai Dalhar kepada putera gurunya, beliau memilih tetap berjalan kaki sambil menuntun kuda yang dikendarai oleh Sayid Abdurrahman Alhasany. Padahal Sayid Abdurrahman telah mempersilahkan mbah Kiai Dalhar agar naik kuda bersama. Namun itulah sikap yang diambil oleh sosok mbah Kiai Dalhar.

Sesampainya di Makkah (waktu itu masih bernama Hejaz), mbah Kiai Dalhar dan Sayid Abdurrahman Alhasany tinggal di rubath (asrama tempat para santri tinggal) Syeikh As-Sayid Muhammad Babashol Al-Hasani yaitu didaerah Misfalah. Sayid Abdurrahman Alhasany  dalam rihlah ini hanya sempat belajar pada Syeikh As_Sayid Muhammad Babashol Al-Hasani selama 3 bulan, karena ia diminta oleh gurunya dan para ulama Hejaz untuk memimpin kaum muslimin mempertahankan Makkah dan Madinah dari serangan sekutu. Sebagai Panglima Perang.

Sementara itu mbah Kiai Dalhar diuntungkan dengan dapat belajar ditanah suci tersebut hingga mencapai waktu 25 tahun. Syeikh As-Sayid Muhammad Babashol Al-Hasani inilah yang kemudian memberi nama “Dalhar” pada mbah Kiai Dalhar. Hingga ahirnya ia memakai nama Nahrowi Dalhar. Dimana nama Nahrowi adalah nama aslinya. Dan Dalhar adalah nama yang diberikan untuk beliau oleh Syeikh As_Sayid Muhammad Babashol Al-Hasani. Rupanya atas kehendak Allah Swt, mbah Kiai Nahrowi Dalhar dibelakang waktu lebih masyhur namanya dengan nama pemberian sang guru yaitu Mbah Kiai “Dalhar”.

Ketika berada di Hejaz inilah Kiai Nahrowi Dalhar memperoleh ijazah kemusrsyidan Thariqah As-Syadziliyyah dari Syeikh Muhtarom Al-Makki dan ijazah aurad Dalailil Khoerat dari Sayid Muhammad Amin Al-Madani. Dimana kedua amaliyah ini dibelakang waktu menjadi bagian amaliah rutin yang memasyhurkan namanya di tanah Jawa.

Hizb Bambu Runcing

Mbah Kiai Dalhar adalah seorang ulama yang senang melakukan riyadhah. Selama di tanah suci, mbah Kiai Dalhar pernah melakukan khalwatselama 3 tahun disuatu goa yang teramat sempit tempatnya. Dan selama itu pula beliau melakukan puasa dengan berbuka hanya memakan 3 buah biji kurma saja serta meminum seteguk air zamzam secukupnya. Dari bagian riyadhahnya, beliau juga pernah melakukan riyadhah khusus untuk medoakan para keturunan beliau serta para santri – santrinya. Dalam hal adab selama ditanah suci, mbah Kiai Dalhar tidak pernah buang air kecil ataupun air besar di tanah Haram. Ketika merasa perlu untuk qadhil hajat, ia lari keluar tanah Haram.

Setelah pulang dari tanah suci, sekitar tahun 1900 M ia kemudian meneruskan perdikan peninggalan nenek moyangnya yang berupa pondok kecil di kaki bukit kecil Gunung Pring, Watu  Congol, Kecamatan Muntilan Kabupaten Magelang. Kurang lebih 3 kilometer sebelah timur Candi Borobudur. Pondok pesantren kecil ini lambat laun tidak hanya dihuni oleh santri-santri sekitar eks Karsidenan Kedu saja namun sampai pelosok tanah Jawa.

Bahkan ketika masa-masa perang pra dan masa kemerdekaan, pondok pesantren Watucongol menjadi markas dan sekaligus tempat singgah para pejuang tentara bambu runcing yang datang Jogjakarta dan wilayah Jawa bagian barat seperti eks Karsidenan Banyumas dan sebagian dari Jawa Barat. Konon ceritanya, bambu runcing para pejuang harus diasma hizb dahulu oleh KH Dalhar dan KH Subekhi (Parakan Temanggung) sebelum menyerang markas penjajah Belanda di Ambarawa, Semarang.

Dikisahkan, dengan bermodalkan bambu runcing, para pejuang kemerdekaan menyerang benteng Belanda di Ambarawa, bambu-bambu runcing mampu terbang dengan sendirinya bak senapan menyerang tentara-tentara Belanda. Sementara bombardir peluru serta granat tangan kumpeni Belanda tidak mampu melukai apalagi menyentuh kulit para pejuang Republik Indonesia.        

Karya mbah Kiai Dalhar yang sementara ini dikenal dan telah beredar secara umum adalah KitabTanwirul Ma’ani. Sebuah karya tulis berbahasa Arab tentang manaqib Syeikh As-Sayid Abu Hasan ‘Ali bin Abdillah bin Abdil Jabbar As-Syadzili Al-Hasani, imam thariqah As-Syadziliyyah.

Banyak sekali tokoh – tokoh ulama terkenal negara ini yang sempat berguru kepadanya semenjak sekitar tahun 1920 – 1959. Diantaranya adalah KH Mahrus, Lirboyo ; KH Dimyathi, Banten ; KH Marzuki, Giriloyo dll. Sesudah mengalami sakit selama kurang lebih 3 tahun, Mbah Kiai Dalhar wafat pada hari Rabu Pon, 29 Ramadhan 1890 – Jimakir (1378 H) atau bertepatan dengan 8 April 1959 M dan beliau kemudian di makamkan di komplek makam Gunung Pring, Watucongol, Kecamatan Muntilan Kabupaten Magelang, Jawa Tengah.

Sekalipun jasadnya telah terkubur dalam tanah, karya dan penerus perjuangan Mbah Dalhar tetap berkelanjutan sampai sekarang. Pondok Pesantren Darussalam, Watu Congol adalah saksi sejarah napak tilas perjuangan dakwah Mbah Dalhar. Jalan menuju makam Watucongol memang terbilang mudah. Peziarah ruhani biasanya melengkapi ziarah Wali Songo atau wisata liburan dengan melewati jalur tengah yang menghubungkan jalan utama dari Jogjakarta menuju Semarang. Ketika melewati kota Muntilan, dari arah pasar Muntilan cukup sekitar 5 kilo ke sebelah barat menunuju kawasan Gunung Pring.

Untuk memperingati jejak sejarah Mbah Dalhar dan Pesantren Darusalam Watu Congol Muntilan, setiap akhir bulan Sya’ban dan Senin setelah tanggal 10 Syawal tahun Hijriah biasanya haulnya diperingati di kompleks Pesantren Darussalam Watucongol, dan Kompleks makam Gunung Pring Muntilan Magelang. 

Dipastikan kedua kompleks perdikan bersejarah itu tak pernah sepi oleh penziarah yang datang tidak saja dari penjuru Nusantara namun juga Mancanegara.

 

Pondok Pesantren Tegalrejo


Pondok Pesantren Asrama Perguruan Islam (API) Tegalrejo didirikan pada tanggal 15 September 1944 oleh KH. Chudlori yaitu seorang ulama yang juga berasal dari desa Tegalrejo. Beliau adalah menantu dari KH. Dalhar pengasuh Pondok Pesantren ”Darus Salam” Watucongol Muntilan Magelang. KH. Chudlori mendirikan Pondok Pesantren di Tegalrejo pada awalnya tanpa memberikan nama sebagaimana layaknya Pondok Pesantren yang lain. Baru setelah berkalai-kali beliau mendapatkan saran dan usulan dari rekan seperjuangannya pada tahun 1947 di tetapkanlah nama Asrama Perguruan Islam (API). Nama ini ditentukannya sendiri yang tentunya merupakan hasil dari sholat Istikharoh. Dengan lahirnya nama Asrama Perguruan Islam, beliau berharap agar para santrinya kelak di masyarakat mampu dan mau menjadi guruyang mengajarkan dan mengembangkan syariat-syariat Islam.

Adapun yang melatar belakangi berdirinya Asrama Perguruan Islam adalah adanya semangat jihad ”I’Lai kalimatillah” yang mengkristal dalam jiwa sang pendiri itu sendiri. Dimana kondisi masyarakat Tegalrejo pada waktu itu masih banyak yang bergelumuran dengan perbuatan-perbuatan syirik dan anti pati dengan tata nilai sosial yang Islami. Respon Masyarakat Tegalrejo atas didirikannya Pondok Pesantren Asrama Perguruan Islam Tegalrejo pada waktu itu sangat memprihatinkan.

Karena pada saat itu masyarakat masih kental dengan aliran kejawen. Tidak jarang mereka melakukan hal-hal yang negatif yang mengakibatkan berhentinya kegiatan ta’lim wa-taa’llum (kegiatan belajar-mengajar). Sebagai seorang ulama yang telah digembleng jiwanya bertahun-tahun di berbagai pesantren, KH. Chudlori tetap tegar dalam menghadapi dan menangani segala hambatan dan tantangn yang datang.

Berkat ketegaran dan keuletan KH. Chudlori dalam upayanya mewujudkan Pondok Pesantren Asrama Perguruan Islam baik secara dhohir maupun batin. Santri yang pada awal berdirinya hanya berjumlah delapan, tiga tahun kemudian sudah mencapai sekitar 100-an. Prestasi ini jika di identikan dengan prestasi para pendiri pondok pesantren dalam era kemajuan ini, barang kali biasa-biasa saja. Akan tetapi kalau melihat situasi serta kondisi serta sistem sosial yang berlaku pada saat itu sungguh prestasi KH. Chudlori merupakan prestasi yang lebih. Aksi negatif masyarakat seputar setelah tiga tahun API berdiri semakin mereda, bahkan diantara mereka yang semula anti pati ada yang berbalik total menjadi simpati dan ikhlas menjadi pendukung setia dengan mengorbankan segala dana dan daya yang ada demi suksesnya perjuangan KH. Chudhori.

                        Akan tetapi di luar dugaan dan perhitungan pada awal tahun 1948 secara mendadak API diserbu Belanda tepat pada “Kles II”. Gedung atau fisik API yang sudah ada pada waktu itu diporak porandakan. Sejumlah 36 kitab termasuk Kitab milik KH. Chudhori dibakar hangus, sementara santrisantri termasuk KH.Chudhori mengungsi kesuatu desa yang bernama Tejo kecamatan Candimulyo. Kegiatan taklim wa-taalum nyaris terhenti.

Pada penghujung tahun 1949 dimana situasi nampak aman KH.Chudhori kembali mengadakan kegiatan taklim wa-taalum kepada masyarakat sekitar dan santripun mulai berdatangan terutama yang telah mendengar informasi bahwa situasi di Tegalrejo sudah normal kembali, sehingga KH.Chudhori mulai mendirikan kembali API lagi di temapt semula. Semenjak itulah API berkembang pesat seakan bebas dari hambatan, sehingga mulai tahun 1977 jumlah santri sudah mencapai sekitar 1500-an.

Inilah puncak prestasi KH.Chudhori di dalam membawa API ke permukaan umat. Adalah merupakan suratan taqdir, dimana pada saat API sedang berkembang pesat dan melambung ke atas, KH.Chudhori dipanggil kerahmatullah (wafat), sehingga kegiatan taklim wataalum terpaksa diambil alih oleh putra sulungnya (KH. Abdurrohman Ch) dibantu oleh putra Keduanya (Bp. Achmad Muhammad Ch).

Peristiwa yang mengaharukan ini terjadi pada penghujung tahun 1977. Sudah menjadi hal yang wajar bahwa apabila disuatu pondok pesantren terjadi pergantian pengasuh, grafik jumlah santri menurun. Demikina juga API pada awal periode KH. Abdurrohman Ch jumlah santri menurun drastis, sehingga pada tahun 1980 tinggal sekitar 760-an. Akan tetapi nampak keuletan dan kegigihan KH.Chudhori telah diwariskan kepada KH. Abdurrohman Ch, sehingga jumlah santri bisa kembali meningkat sampai pada tahun 1982 menurut catatan sekretaris mencapai 2698 santri.

Disini perlu dimaklumi oleh pembaca bahwa dari awal berdirinya hingga sekarang, API hanya menerima santri putra. Meskipun usulan dan saran dari berbagai kalangan saling berdatangan, namun belum pernah terpikirkan secara serius untuk mendirikan pondok pesantren putri hingga sekarang. Hal ini dapat dimaklumi karena faktor sarana dan prasarananya kurang mendukung terutama persediaan air bersih dan tanah lokasi. Dan Baru ada Santri Putri pada tahun 2000an

KH Abdurrahman Wahid. Mantan ketua Tanfidz PBNU dan Presiden RI, tercatat sebagai salah seorang alumni PP ini.

Kegiatan Pendidikan
Pendidikan Sekolah Selain kental dengan sistem salafnya yang mempelajari ilmu-ilmu fikih beserta ilmu-ilmu alatnya. Asrama Perguruan Islam Tegalrejo Magelang kini telah membuka jalur pendidikan formal (sekolah) yakni SMP dan SMK Syubbanul Wathon. Yang terakhir disebut adalah sebuah lembaga pendidikan kejuruan di lingkungan Pesantren salafiyyah A.P.I Tegalrejo Magelang yang bergerak di bidang IT (Information Technologi) dan dikelola oleh Yayasan Syubbanul Wathon. SMK berbasis pesantren yang terletak dikaki gunung merapi ini merupakan sebuah wujud kepedulian pesantren A P I Tegalrejo akan pentingnya pengembangan keilmuan yang mengedepankan akhlaqul karimah.

              Adapun program pendidikan (salaf) yang diselenggarakan sejak dahulu menggunakan sistem klasikal. Bentuk pendidikan yang ada berupa madrasah yang terdiri dari 7 kelas. Kurikulum yang dipakai di kelas 1 sampai kelas terakhir secara berjenjang mempelajari khusus ilmu agama, baik itu fikih, aqidah, akhlaq, tasawuf dan ilmu alat (nahwu dan sharaf) yang semuanya dengan kita berbahasa Arab. Kitab-kitab yang diajarkan di bidang fikih antara lain safinatun- Najah, fathul Qarib, Minhajul Qowim, Fathul Wahhab, al- Mahalli, Fathul Mu’in, dan Uqdatul-Farid. Di bidang ushul fiqh antara lin Faraidul – Bahiyah. Di bidang tauhid antara lain ‘Aqidatul ‘Awam. Dan dibidang akhlaq / Tasawwuf antara lin kitab Ihya Ulumuddin. Kelas satu sampai dengan tujuh di PP Tegalrejo, oleh masyarkat lebih dikenal dengan nama kitan yang dipelajari , seperti di tingkat I dikenal Jurumiyah Jawan, tingkat II dengan nama Jurumiyah, tingkat III dengan nama Fathul Qarib, tingkat IV dengan Alfiyah, tingkat V dengan Fathul Wahab, tingkat VI dengan Al Mahalli, tingkat VII dengan Fathul Mu’in dan di tingkat VIII dengan Ihayah Ulumuddin 2. Kegiatan Ekstarkulikuler Sejak tahun 1993, PP Tegalrejo juga aktif setiap b ulan Ramadhan mengirimkan santri seniornay ke daerah-daerah yang membutuhkan dai/mubaligh. Daerah yang sering mengajukan permintaan antara lain Gunung Kidul, Bojonegoro, Sragen dan Banyumas. Dilingkungan PP ini juga diselenggarakan Bahhtusl masail, yakni pembahasan masalah-masalah actual.

Kegiatan lainnya adalah Jam’iyatul Quro, yakni membaca Al Qur’an secara bersama-sama. Juga “Khotbah Komplek” yaitu latihan pidato Kemudian pertemuan setiap hari Senin yang dihadiri para alumni PP. Pertemuan ini dikenal dengan nama acara Seninin. Pertemuan digelar setiap 35 hari sekali, yaitu pada hari Ahad Kliwon. Acara ini juga lebih dikenal sebagai acara Selapanan

Pesantren Modern Tegalrejo KBR68H - Hampir seluruh kalangan ikut terlibat dalam menghijaukan kembali kawasan gunung Merapi, pasca erupsi 2012 lalu. Termasuk pimpinan pondok pesantren Salaf Tegalrejo, Magelang, Gus Yusuf. Melalui Komunitas 5 Gunung, pimpinan ponpes itu tak sungkan menghijaukan kembali kawasan tersebut. Hal yang paling berkesan saat Radio Fast FM milik Pesantren itu ikut terlibat membantu warga saat erupsi Merapi terjadi. Seperti apa geliat Pondok Pesantren Tegalrejo Magelang Jawa Tengah ini membumi dengan masyarakat? Pesantren yang lebih dikenal dengan asrama pendidikan Islam ini berdiri tahun 1944 Niat mengembangkan nilai-nilai keislaman melalui pesantren tradisional atau salaf menjadi tujuan pendirian pesantren Tegalrejo.

                                Namun, ponpes Tegalrejo tak lantas menutup diri dengan realita dan tuntutan masyarakat. Hingga akhirnya pesantren ini membuka pendidikan formal mulai dari jenjang SD hingga SMK. Meski begitu santri pesantren Salaf tak begitu saja ditinggalkan. Kini pesantren Salaf itu dihuni sekitar 3000 santri putra dan 1000 santri putri.

Modernitas pesantren Tegalrejo dibuktikan dengan adanya Radio yang mereka kelola. Radio bernama Fast FM itu berhasil mencakup empat Kabupaten, yakni: Temanggung, Purworejo, Megelang, dan sekitar Yogyakarta. ”Kami menyapa –jemaah di luar pesantren- tiap pagi dan terus mengajak mereka menuntut ilmu,” ungkap Pemimpin pesantren Tegalrejo Gus Yusuf Chudlori. Radio Fast FM, imbuh Gus Yusuf, menjadi sarana komunikasi pesantren dengan masyarakat. Interaktif mengudara saban hari, mulai dari tanya jawab tentang fiqih hingga persoalan kemasyarakatan. ”Setahun belakangan isu yang muncul di masyarakat adalah soal pengangguran,” jelas Gus Yusuf. Menyikapi permasalahan itu, ponpes Tegalrejo kembali menggeliat. Materi enterpreneurship pun menjadi solusi atas kegundahan masyarakat. Tak ingin menambah jumlah pengangguran. Begitu yang diungkapkan Gus Yusuf. ”Rosululloh adalah ekonom. Ini yang sedang kita kembangkan lagi agar santri bisa kembali ke masyarakat,” kata Gus Yusuf.

Bukti lain kalau asrama pendidikan Islam membumi adalah partisipasinya saat erupsi Merapi terjadi tahun 2010 lalu. Santriwan dan santriwati Tegalrejo membuka posko Program Rumah Persaudaraan. ”Kita mengetuk pintu-pintu di rumah warga lain untuk berbagi dengan para pengungsi agar mereka layak. Ini diilhami dari hijrahnya Rosul,” jelas Gus Yusuf. Waktu itu, jelas Gus Yusuf, Rosul hijrah ke Madinah dan kaum Anshor menerima membuka pintu, sementara Muhajirin masuk. ”nah kenapa konsep seperti ini tidak kita terapkan. Dan saat itu kita menjadi mediatornya,” terang Gus Yusuf. ”
Peran pesantren Tegalrejo sangat luar biasa untuk menyambungkan antara bencana, sosial dan eekosistemnya dan berhasil melihat erupsi Merapi secara utuh.

Sejarah pertumbuhan pesantren memang tumbuh menjadi bagian dari penyelesaian masalah di masyarakat. ”Jadi ketika mengajarkan agama pun, agama yang menjadi bagian yang menjadi solusi di masyarakat. Kyai berperan sebagai makelar budaya. Mendialogkan budaya-budaya baru yang datang dari luar, disaring dulu dan mengembangkan apa yang positif dan mengurangi yang negatif.” Pesantren Tegalrejo mampu menjawab tantangan zaman. Ini karena pesantren itu serupa dengan pesantren-pesantren sebelumnya yang tumbuh lantaran komitmennya menjaga pertumbuhan bangsa.


Mengenal Pengasuh Ponpes Tegalrejo saat ini



K.H Muhammad Yusuf Chudlori di tengah-tengah masyarakat lebih dikenal dengan sebutan khas kaum pesantren, yakni Gus Yusuf. Sebutan ini didasarkan oleh faktor kesejarahan atau latar belakang beliau yang merupakan salah satu dari sebelas putra dan putri ulama kharismatik Tegalrejo Magelang al-marhum al-magfurlah K.H Chudlori (w.1977), pendiri (muasis) Ponpes Asrama Perguruan Islam Tegalrejo Magelang yang didirikan pada tahun 1944 M. Pada tahun 2008 ini Ponpes tersebut memiliki ± 3.500 santri putra dan ± 2.500 santri putri.

Gus Yusuf yang lahir di Magelang pada 9 Juli 1973 ini sangat terkenal sebagai kiai muda yang dekat dengan berbagai kalangan. Hal ini dikarenakan selain beliau mengasuh pesantren, memberikan hikmah-hikmah keagamaan kepada masyarakat di berbagai majlis ta’lim, juga masih mencurahkan tenaga dan pikirannya untuk perjuangan sosial-kemasyarakatan.

Diantara perjuangan sosial-kemasyarakatan yang digeluti oleh beliau adalah, mengelola komunitas kesenian-kesenian tradisional yang ada di Kab. Magelang, penasehat organisasi Komunitas Gerakan Anti Narkoba dan Zat Adiktif (KOMGANAZ) Kab. Magelang, mengelola radio komunitas (Fast-FM) yang menyiarkan program-program populis untuk memenuhi kebutuhan masyarakat, mulai dari kajian keagamaan, mujahadah, berita-berita aktual, konsultasi kesehatan, bincang bisnis, infotainment, dsb.
Walaupun Gus Yusuf berlatar belakang pendidikan pesantren tapi beliau sangat dekat dengan para aktifis muda dan aktifis mahasiswa yang berlatar belakang pendidikan formal (sekolahan). Kedekatan ini dapat terjalin karena Gus Yusuf adalah kiai yang terbuka (egaliter) untuk berdiskusi dengan kalangan aktifis muda sebagai upaya mengurai kenyataan yang selalu berkembang seiring dengan lajunya zaman.

Aktifitas dengan kalangan muda dan mahasiswa diantaranya dapat dilihat dari seringnya beliau terlibat dalam forum-forum diskusi kaum muda NU Jawa Tengah, bahkan beliau adalah salah satu penggagas dari forum-forum diskusi di kalangan kaum muda NU tersebut. Dalam jumlah yang tidak terhitung, beliau juga sering diminta mengisi seminar, talk show, dan bentuk diskusi lainnya mulai dari tingkat lokal, nasional sampai tingkat internasional, terutama dalam forum-forum diskusi yang mengangkat tema seputar pluralisme, toleransi antar umat beragama, kebudayaan, tasawuf, dan peneguhan nilai-nilai kebangsaan.

Latar Belakang Keilmuan

Dalam bidang keilmuan, pada usia dini sampai usia SD, Gus Yusuf menempa ilmu di pondok pesantren ayahnya. Selanjutnya beliau menempa diri dalam ilmu agama pada beberapa pondok pesantren. Tahun 1985-1994, Gus Yusuf nyantri di Pesantren Lirboyo Kediri Jawa Timur di bawah asuhan KH Idris Marzuki. Selanjutnhya beliau menengguk ilmu di Pesantren Salafiyah Dawuhan KulonKedung Banteng Purwokerto dibawah Asuhan Mbah Kyai Tarmadi, terakhir Gus Yusuf memperdalam ilmu keagamaan di Pesantren Salafiyah Bulus Pesantren Kebumen.

Karena latar pendidikan pesantren inilah, maka transformasi kelimuan melalui tradisi lisan (tutur) sudah menjadi bagian dari diri suami Vina Rohmatul Ummah (22) ini. Selain menyampaikan ilmunya di Pesantren API Tegalrejo (asuhannya), beliau juga sering berceramah di banyak majlis ta’lim, serta di radio Fast FM kelolaannya yang beralamat di Jl. K.H Hasyim Asy’ary No. 7 Pagotan Tegalrejo Magelang. Jadi, dalam hal berpanjang-panjang kata lewat lisan, kepiawaiannya tak usah diragukan.

Belakangan, Gus Yusuf yang merupakan ayah dari Ahmad Haikal Tanjani Khumaid (6), Yusfina Zahru Tsania (4), dan Aqila Alaya Sya’an (1,5) itu begitu antusias mengembangkan konsep tasawuf yang berdimensi sosial. Hal tersebut paling tidak bisa dilihat dari dakwah-dakwahnya yang disampaikan lewat siaran di radionya. Selain itu, beliau juga sangat gandrung pada persoalan kebudayaan. Kedekatannya dengan kalangan budayawan seperti Gus Mus, Cak Nun, Romo Kirjito, Tanto Mendut, Slamet Gundono, dan banyak lagi yang lain merupakan bukti dari kegandrungannya terhadap dunia kebudayaan.

Kecintaannya dengan dunia kebudayaan tersebut juga menjadi pilihan metode dakwah keagamaanbeliau, yakni berdakwah dengan pendekatan ala Sunan Kalijaga. "Orang mungkin menganggap tasawuf itu sesuatu yang elitis dan sukar dipahami. Padahal kalau didedah secara sederhana dan diaplikasikan dalam dimensi kemasyarakatan, pasti akan mudah dipahami. Pola-pola dakwah Sunan Kalijaga tidak sedikit kandungan tasawufnya. Dan itu masih relevan untuk zaman sekarang." Tutur beliau penuh keyakinan.

Berjuang untuk Kepentingan Umat dalam Politik

Siklus zaman yang sedang sampai pada upaya demokratisasi sistem kehidupan di negeri ini, yang ditandai dengan terjadinya gerakan reformasi pada 1998, membangkitkan ghirah Gus Yusuf untuk bersama-sama dengan umat berjuang meningkatkan harkat hidup, merdeka, sejahtera, berdaulat, adil dan makmur. Dalam situasi bangsa yang dilanda krisis demikian akut sejak tahun 1997 ini, maka pilihan politik untuk perjuangan keumatan harus segera dijatuhkan.

Berangkat dari realitas sejarah bahwa selama kurang lebih 32 tahun negeri ini telah dikuasai oleh rezim otoriter, sehingga rakyat kebanyakan dibungkam hak-haknya untuk berekspresi, berpendapat, berkumpul, apalagi mengaktualisasikan ide-idenya dalam gerakan perjuangan. NU sebagai bagian integral dari rakyat Indonesia yang mayoritas hidup di pedesaan dalam tradisi pesantren juga telah dimatikan peran politik keumatan dan kebangsaannya. Maka, momentum reformasi menjadi titik awal kaum ’sarungan’ untuk bangkit kembali dengan didirikannya Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) oleh para ulama kharismatik pada 23 Juli 1998. Jejak para ulama inilah yang telah membangkitkan semangat Gus Yusuf untuk mengabdikan tenaga dan pikirannya dalam perjuangan politiknya melalui Partai Kebangkitan Bangsa.

Politik bagi Gus Yusuf adalah sebagaimana makna politik dalam Islam. Dalam Islam politik disebut dengan istilah Siyasyah (Indonesia: siasat), tapi siasat di sini adalah dalam makna positif. Siasat dijalankan adalah dalam kerangka memenuhi kemaslahatan, bukan kemadlaratan. Ini sesuai dengan kaidah fiqih "tasharruf al-imam 'ala al-ra'iyyah manut bil maslahah" (kebijakan penguasa politik yang diberlakukan untuk warga Negara harus berorientasi pada kemaslahatan atau kesejahteraan umat).

Gus Yusuf menemukan makna perjuangan politik di atas dalam Partai Kebangkitan Bangsa, karena PKB memiliki kriteria tentang kesejahteraan umat (al-maslahah al-'ammah), yaitu:

(1) kemaslahatn itu bersifat esensial: kepentingan yang secara praksis-operasional mampu mewujudkan kesejahteraan umum dan mencegah timbulnya kerusakan;

(2) maslahah itu ditujukan untuk kepentingan rakyat banyak, bukan semata-mata individu; dan

(3) maslahah itu tidak bertentangan dengan ketentuan atau dalil-dalil umum atau nash.

Selain kriteria kesejahteraan umat di atas, yang menjadikan Gus Yusuf ’se-hati’ dengan cita-cita politik Islam adalah kandungan mabda’ siyasy (prinsip-prinsip dasar politik) yakni menjamin hak-hak dasar rakyat yang harus dipenuhi oleh kebijakan pemerintah.

Hak-hak dasar tersebut adalah:

(1) kebebasan beragama atau mempertahankan keyakinan (hifz ad-din), sebagaimana dijamin dalam UUD 45;

(2) keselamatan jiwa atau fisik dari tindakan di luar ketentuan hukum (hifz an-nafs);

(3) keselamatan atau kelangsungan hidup keturunan atau keluarga (hifz an-nasl);

(4) keamanan harta benda atau hak milik pribadi (hifz al-mal); dan

(5) kebebasan berpendapat dan berekspresi (hifz al-'aql)



Peran Gus Yusuf Dalam Politik Nasional

Prinsip-prinsip perjuangan di ataslah yang menjadikan Gus Yusuf sampai hari ini masih mencurahkan tenaga dan gagasan-gagasannya di partai yang dilahirkan oleh Ormas Islam terbesar (NU) ini. Kiprahnya di dunia politik semata-mata dimaknai sebagai manifestasi diri sebagai insan yang mempunyai tanggung jawab untuk menjaga dan memperjuangkan keharmonisan dan keadilan dalam menata hidup secara kolektif. Beliau tidak pernah sama sekali berkeinginan untuk menjadi anggota legislatif atau bahkan kepala daerah.

"Untuk hidup keluarga saya, alhamdulillah saya masih cukup secara ekonomis. Saya masih punya sawah yang bisa digarap, sedikit-sedikit saya juga sudah mulai berwira usaha. Hal ini saya lakukan agar saya tidak mudah tergiur oleh ’kue-kue’ politik dan pragmatisme sesaat." Tutur Gus Yusuf.

Keteguhan komitmen beliau inilah yang memunculkan kepercayaan dari warga PKB sehingga pada tahun 1999–2007 beliau dipercaya memimpin DPC PKB Kab. Magelang. Setelah berkhidmat di DPC PKB Kab. Magelang selanjutnya Gus Yusuf ditunjuk oleh DPP PKB melalui keputusan rapat pleno DPP PKB pada 1 Mei 2007 untuk menjadi Pjs Ketua Dewan Tanfizd DPW PKB Jawa Tengah mengggantikan posisi Abdul Kadir Karding yang ditarik sebagai pengurus DPP PKB.

Transisi struktural yang terjadi di PKB Jawa Tengah dengan pengangkatan Abdul Kadir Karding sebagai pengurus DPP, menurut Gus Yusuf perlu dibarengi dengan pembenahan kultural. Dalam sebuah kesempatan ketika dihubungi Gus Yusuf menyampaikan “Di tubuh PKB sedang terjadi dua transisi, yakni transisi struklural dan transisi kultural. Transisi struktural lebih pada berjalannya roda organisasi untuk menjaga soliditas pengurus DPW dan DPC PKB se-Jawa Tengah. Sedangkan transisi kultural adalah bagaimana mengupayakan agar PKB lebih dekat dengan basis partai, yakni rakyat, pesantren, dan yang tidak kalah penting adalah kiai”. Selama ini pola hubungan antara yang struktural dengan yang kultural kurang berjalan secara seimbang. Yang sering diutamakan lebih pada hubungan struktural. Maka yang terjadi, kedekatan kultural sebagai pokok perjuangan partai menjadi tersisihkan.

Ketika proses sudah berjalan secara alamiah, dengan pengangkatan dirinya sebagai Pjs ketua DPW PKB Jateng, Gus Yusuf menilai bahwa ini adalah amanat. Ketika ditanya apa visi politiknya untuk membawa PKB Jateng ke depan, Gus Yusuf menjelaskan bahwa PKB tetap harus meneguhkan sebagai partai yang bergerak dijalur kultural, karena basis PKB memang dari akar rumput (grass root). “PKB tetap harus berjalan seiring dengan para kiai, karena memang beliau-beliau itu yang mendirikan PKB untuk kepentingan rakyat dan bangsa ini” tutur Gus Yusuf menegaskan arah perjuangan PKB Jawa Tengah ke depan. [jf]
Gu[disingkat

 

Pondok Pesantren Kalibeber


PPTQ Al- Asyariyyah, satu-satunya lembaga pendidikan di Kota Wonosobo Asri yang fokus pada pendalaman ilmu Al-Qur'an namun juga tetap mengikuti perkembangan zaman dengan menyediakan pendidikan formal mulai dari tingkat dasar sampai pendidikan tinggi.

Berbagai spesifikasi kajian ilmu agama bisa secara bebas dipilih oleh kalangan santri sebagai wujud kebebasan dalam memilih sekaligus pembelajaran yang selalu ditanamkan oleh Abah Faqih selaku pengasuh.

Sejarah Berdiri Pesantren

Periode Pertama; 

Syaikh Muntaha bin Nida' Muhammad (1832-1859)

Pada tahun 1830 Pangeran Diponegoro ditangkap atas tipu daya Belanda di Magelang termasuk para pengawalnya juga dilucuti. Diantara prajurit pengawalnya yang sempat meloloskan diri dari kejaran Belanda adalah Raden Hadiwijaya dengan nama samaran KH. Muntaha bin Nida' Muhammad. Pada tahun 1832 KH. Muntaha tiba di Desa Kalibeber yang waktu itu sebagai ibu kota Kawedanan Garung. Beliau diterima oleh Mbah Glondong Jogomenggolo, beliau mendirikan Masjid dan Padepokan Santri di Dusun Karangsari, Ngebrak, Kalibeber, dipinggir Sungai Prupuk yang sekarang dijadikan makam keluarga Kyai.

Ditempat ini beliau mengajarkan agama Islam kepada anak-anak dan masyarakat sekitar. Ilmu pokok yang diajarkan adalah baca tulis Al-Qur'an, Tauhid, dan Fiqih. Dengan penuh ketekunan, keuletan dan kesabaran, secara berangsur-angsur masyaraat Kalibeber dan sekitarnya memeluk agama Islam, atas kesadaran mereka sendiri. Mereka meninggalkan adat-istiadat buruknya seperti berjudi, manyabung ayam, minum khomr, dll.

Karena Padepokan Santri lama kelamaan tidak mampu menampung arus santri dan terkena banjir sungai Prupuk maka kegiatan pesantren dipindahkan ketempat yang sekarang dinamai Kauman, Kalibeber. Sedangkan yang tinggal di Padepokan baru yang tidak mau secara sukarela memeluk Islam, atas kemauan sendiri banyak yang meninggalakan kampung itu. Daerah selatan pesantren yang semula dihuni oleh Etnis China akhirnya ditinggalkan penghuninya, dan nama Gang Pecinan sampai sekarang masih dilestarikan. K. Muntaha wafat pada tahun 1860, setelah 26 tahun memimpin pesantren. Beliau digantikan oleh putranya KH. Abdurrochim bin KH. Muntaha.

Periode ke-Dua; KH. Abdurrochim (1860-1916)

Mulai tahun 1860, KH. Abdurrochim bin KH. Mutaha menerima estafet tugas mulia memimpin pesantren dari ayahnya. Beliau adalah seorang Kyai yang ahli dalam bidang pertanian dan tidak suka berpolitik praktis. Beliau juga ahli Tasawuf. Sejak mudanya beliau telah dipersiapkan untuk meneruskan perjuangan menyiarkan Islam dan memimpin pesantren. Beliau pernah nyantri di Pondok Pesantren Kyai Abdullah bin KH. Mustahal Jetis, Parakan, Temanggung, bahkan beliau dijadikan menantunya. Dibawah asuhan KH. Abdurrochim pesantren semakin maju. Satu hal yang sangat menarik dari Al-Maghfurllah KH. Abdurrochim adalah keahliannya dalam menulis Al-Qur'an. Sehingga ketika beliau pergi berhaji selama dalam perjalanan beliau menulis Qur'an dengan tangan Beliau sendiri sampai ketika beliau tiba di Kampung halaman penulisan Al-Qur'an tersebut dapat selesai sempurna 30 juz. Peristiwa bersejarah inilah yang nantinya menjadi sumber inspirasi bagi cucu Beliau yaitu Al-Maghfurllah KH. Muntaha Alh untuk membuat Al-Qur'an raksasa, yang menjadi Al-Qur'an terbesar di dunia. Dalam memimpin pesantren beliau masih melestarikan sistem dan materi pendidikan peninggalan ayahandanya. Bertepatan pada tanggal 3 Syawal 1337 H atau 1916 Masehi, KH. Abdurrochim dipanggil yang Maha Kuasa dan dimakamkan dibekas komplek Pondok Karangsari, Ngebrak. Sepeninggalan Beliau, kepemimpinan pesantren diteruskan oleh putranya KH. Asy'ari bin KH. Abdurrochim. 

Periode ke-tiga; 

KH. Asy'ari bin KH. Abdurrochim (1917-1949)

KH. Asy'ari mempunyai 2 saudara yaitu; KH. Marzuki dan Nyai Hj. Maemunnah (istri KH. Syuchaimi dari Malaysia). Beliau mempunyai wiridan rutin membaca Dalailul Khoirot kemanapun beliau pergi selalu membawa kitab tersebut. Beliau mempunya dua istri yaitu Nyai Hj. Safinah (Ibu kandung Al-Maghfurllah KH.Muntaha) dan Nyai Hj. Supi'ah (Ibu kandung KH. Mustahal Asy'ari). 

KH. Asy'ari pernah nyantri di Krapyak Yogyakarta dan ketika itu Beliau diajak oleh KH. Munawwir untuk mengikuti (ndere'ake) menuntut ilmu di Mekkah selama + 17 tahun. Pada saat nyantri di Mekkah inilah Beliau rutin membaca Al-Qur'an, bahkan setiap hari bisa khatam. selain itu Beliau juga pernah nyantri di Sumolangu, Kebumen, dan Termas Pacitan. Beliau meneruskan kepemimpinan Ayahandanya. Pada masa itu Indonesia telah melahirkan gerakan-gerakan Nasional, baik yang berdasarkan agama maupun kebangsaan. Pada tahun-tahun terakhir kehidupan beliau, Indoneia sedang gigih-gigihnya menentang kembali penjajahan Belanda oleh karena itu pesantren mengalami masa surut sebagian santrinya ikut dalam geriliya melawan Penjajah.

Pada aksi Polisionil kedua (Agresi Militer Belanda II) itu Belanda menyerang wilayah Wonosobo bahkan sampai ke Desa Dero Ngisor + 5 Km dari Kalibeber kesebalah barat. Pondok Pesantren pun tak luput dari amukan Belanda bahkan Al-Qur'an tulisan tangan Al-Maghfurllah KH. Abdurrochim ikut dibakar. Sementara itu KH. Asy'ari yang sudah lanjut usia terpaksa mengungsi ke Dero Duwur + 8 Km dari Kalibeber. Ternyata Belanda tidak berani meneruskan pengejaran Ulama' ini sampai ketempat pengungsian. Dalam pada itu beliau sedang sakit keras dan kemudian wafat dalam pengungsian dan dimakamkan disana pada tanggal 13 Dzulhijah 1371 H/ 1949 M. 

Menurut satu sumber yang dapat dipercaya (saksi sejarah yang masih hidup) termasuk dari satu keistimewaan Beliau adalah suatu ketika masjid dan pondok pesantren di bom oleh Belanda namun berkat doa beliau bom tersebut tidak meledak, malah berubah menjadi Singkong (Bodin- Bahasa Kalibeber red). Satu hal yang perlu dicatat bahwa wafatnya KH. Asy'ari teleh menyiapkan putra-putranya untuk kaderisasi kepemimpinan. Seluruh putranya dikirim ke berbagai pondok pesantren satu diantara putranya ialah KH. Muntaha Alh bin KH. Asy'ari

Makam KH. Asy’ari dan KH. Muntaha, Alh. terletak di dataran tinggi pegunungan Dieng. Tepatnya di desa Dero Duwur, Kecamatan Mojotengah, Kabupaten Wonosobo. Berjarak kurang lebih 8 km dari desa Kalibeber (desa terbesar di kawasan tersebut).

Akses menuju kemakam pun terbilang mudah. Umumnya, masyarakat sekitar mengendarai sepeda motor saat menziarahi makam. Akan tetapi tersedia angkutan umum yang dapat mengantar peziarah sampai ke lokasi makam.
Kondisi makam cukup bagus. Bersih dan terawat. Banyak santri di sekitar makam yang menjaga kebersihan dan keutuhan bangunannya. Ukuran makam tersebut kurang lebih 10 x 4 meter. Di sekitar komplek makam berdiri pusat pendidikan Al-Qur’an dan ilmu-ilmu umum; SMP dan SMU Takhassus Dero yang berafiliasi dengan Pondok Pesantren Al-Asy’ariyah, Kalibeber.

Bagi masyarakat Wonosobo, makam Dero Duwur termasuk makam yang wajib diziarahi. Di sana disemayamkan ulama kharismatik, shaleh, pejuang kemerdekaan dan pembela umat. Di antaranya adalah KH. Asy’ari yang merupakan generasi kedua dari pengasuh pesantren Al-Asy’ariyyah. Generasi pertamanya adalah KH. Abdurrohim, ulama seperjuangan dengan Pangeran Diponegoro. 
Ada catatan sejarah yang mengisahkan latar belakang Mbah Abdurahim mendirikan pondok pesantren. Pada saat Diponegoro ditangkap oleh Belanda, para pengikutnya melarikan diri dari kejaran penjajah. Salah satu dari mereka adalah Mbah Abdurrohim. Beliau berhasil meloloskan diri dan bersembunyi di lereng pegunungan Dieng yang kelak daerah tersebut dinamakan Kalibeber. Di desa inilah Mbah Abdurrohim menyebarkan dan mengajarkan Islam. Sepeninggal Mbah Abdurrohim, perjuangan dakwah islamiyah dilanjutkan oleh putra beliau, KH. Asy’ari.

Menjelang kemerdekaan Indonesia, giliran Mbah Asy’ari yang dikejar-kejar penjajah Belanda, karena keberpihakannya pada rakyat dan sikap kerasnya menentang penjajahan. Untuk menghindari konfrontasi langsung dengan penjajah, Mbah Asy’ari mengungsi ke dataran tinggi yang terjal di pegunungan Dieng. Daerah itu sangat sulit dijangkau orang. Bersama dengan berjalannya waktu, daerah tersebut kemudian dinamakan desa Dero Duwur. Belum sempat kembali ke Kalibeber, Mbah Asy’ari jatuh sakit dan wafat para tahun 1948 di tempat pengungsian. Beliau dimakamkan di sana.

Selain sebagai tempat peristirahatan KH. Asy’ari, makam Dero Duwur juga tempat persemayaman putra dan penerus perjuangan beliau, yakni KH Muntaha, Alh. Mbah Mun, sapaan akrab KH Muntaha, meninggal pada hari Rabu, 29 Desember 2004. Beliau adalah ulama penghafal Al-Qur’an yang kharismatik, alim dan pejuang kemerdekaan. Beliau pernah menjabat sebagai komandan pasukan Hisbullah pada zaman merebut kemerdekaan dari penjajah Belanda. Masyarakat Wonosobo dan sekitarnya menyejajarkan Mbah Mun dengan ulama-ulama ternama lainnya di Indonesia.
Beberapa tokoh penting yang disemayamkan di Makam Dero Duwur antara lain, KH. Asy’ari, KH. Muntaha Alh, Ny. Hj. Maryam Muntaha, dan KH. Mustahal Asy’ari.

Saat ini, tidak kurang dari 10.000 orang menziarahi makam Dero Duwur setiap tahunnya. Pada bulan Ruwah (Sya’ban) dan Poso (Ramadhan) jumlah peziarah yang terdiri dari santri, alumni Ponpes Al-Asy’ariyah dan masyarakat umum, meningkat tajam dibandingkan bulan-bulan lainnya.

Periode ke-empat 

KH. Muntaha Al-Hafidz bin KH. Asy'ari

KH. Muntaha Alh atau yang biasa dipanggil dengan sebutan Mbah Munt adalah seorang Ulama' legendaries, dan Kharismatik. Beliau dijuluki sang Maestro Al-Qur'an. Dibawah kepemimpinan Beliau inilah Al-Asy'ariyyah menemui kemajuan yang sangat pesat, dengan pertambahan santri yang menjadi ribuan dan juga pertambahan lembaga-lembaga pendidikan dibawah naungan Yayasan Al-Asy'ariyyah. Dan dengan satu karya yang sangat fenomenal yaitu : Al-Qur'an Akbar (Al-Qur'an terbesar di Dunia) yang kini disimpan di bait Al-Qur'an Taman Mini Indonesia indah (TMII).

Beliau adalah sosok ulama' yang juga pandai berpolitik, semasa masih muda beliau pernah menjadi anggota konstituante dari fraksi NU, tetapi beliau bukanlah politisi. Garis Politik beliau adalah mengutamakan kemaslahatan umat dari pada sekedar kepentingan/ambizi pribadi. Beliau juga seorang pejuang kemerdekaan, Beliau pernah ikut pertempuran di Palagan Ambarawa sebagai Komandan BMT (Barisan Muslim Temanggung). Mbah Munt adalah seorang Ulama' yang serius dan kreatif, sederhana, pemurah, dan seorang pribadi yang berakhlakul karimah. Orang-orang menyebutnya berhati Segara (laut), hatinya bagai samudera luas dan seperti air, setinggi apapun tempatnya air mengalir kearah dan tempat yang lebih rendah.

Dalam perjuangan memasyarakatkan Al-Qur'an, beliau mendirikan Yayasan Himpunan Penghafal Al-Qur'an dan dan pengajian Al-Qur'an. (Jama'atul Qur'an wa Diraasat Al-Qur'an atau YJHQ) yang menghimpun para hafidz-hafidzah se-Kabupaten Wonosobo. Beliau sering menasihati murid-muridnya untuk mengkhatamkan Al-Qur'an minimal seminggu sekali. Beliau juga penyusun Tafsir Maudlu'i yang kini berjudul Tafsir Al-Muntaha.

Beliau adalah hamba Allah dalam arti yang sebenarnya. Dalam zuhud dan taqwa beliau telah sampai pada maqam ma'rifat, keyakinan hatinya begitu tinggi sehingga seluruh hidupnya penuh dengan ketaatan kepada Allah SWT. Jiwa dan makna ma'rifat beliau berbeda sekali dari sikap hidup para zahid yang menjauhi dunia. Sebaliknya Irfan atau daya ma'rifat Mbah Muntaha adalah irfan yang positif dan dinamis, yakni penuh perhatian dan pemahaman terhadap masalah-masalah di sekitarnya. Banyak wali yang hidup zuhud dan menjauhi dunia. Tetapi Beliau adalah wali yang Zahid dan membangun dunia. 

Sejak pondok pesantren dipimpin oleh Al-Maghfurllah KH. Muntaha Alh, maka berbagai langkah inovativ dan pengembangan mulai dilakukan diberbagai aspek. Sehingga jika sekarang kita melihat perkembangan pesantren ini tida lain adalah karena jasa dan perjuangan beliau. Langkah pengembangan tersebut disesuaikan dengan situasi dan kondisi masyarakat. Pengembangan itu antara lain dalam masa-masa awalnya, pesantren pesantren yang lebih mnegkhususkan pada pengkajian dan hafalan Al-Qur'an masih tetap dipertahankan bahkan lebih dikembangkan lagi. Sehingga dalam waktu tidak lama jumlah santripun bertambah banyak. 

KH. Mustahal Asy'ari bin KH. Asy'ari

Apabila kita membicarakan KH. Muntaha, Alh maka tidak akan berpisah dari tokoh pendampingnya yaitu KH. Mustahal Asy'ari (Adik Beliau). Beliau dilahirkan pada tahun 1926 + 14 tahun lebih muda dari KH. Muntaha. Beliau mengawali menuntut ilmu dibawah bimbingan langsung dari ke-dua orang tuanya sendiri. Kemudian beliau mesantren pertama kali kepada Syech KH. Muntaha Parakan Temanggung pada tahun 1946 selama 1 tahun. Kemudian beliau meneruskan nyantri di Lasem dari tahun 1947 sampai dengan 1951. 

Setelah itu beliau memperdalam ilmu di Pondok Pesantren Al- Munawwir Krapyak Yogyakarta di bawah bimbingan langsung KH. Munawwir, Alh selama 3 tahun. 
Selama mesantren beliau "Tirakat" dengan tidak pernah makan nasi selama 13 tahun. Setelah dirasa cukup beliau pulang kerumah untuk membantu dakwah memperjuangkan syari'at islam di Kampung halamannya, Dengan mengawali mendirikan TK dan MI Ma'arif. Pada tahun 1958 beliau melaksanakan sunah Nabi SAW yaitu melangsungkan pernikhan dengan Nyai Tisfiyyah dari Kertijayan, Buaran, Pekalongan. Dari pernikahan ini dikaruniai 6 Orang putra yaitu : Mustaqimah, Masudan Asy'ari, Atho'illah Asy'ari, Mukarromah, Muhammad Muhlis dan Affan Mastur. 

Beliau pernah menjabat sebagai Ketua NU, Ketua Fatayat, Ketua Muslimat, Dan Ketua GP Anshor Cabang Wonosobo. Disamping itu beliau adalah sebagai pegawai KUA. Beliau juga menjabat sebagai anggota DPRD Kabupaten Wonosobo pada tahun 1961-1966. hal yang sangat patut di teladani oleh para santri adalah ke-istiqomahan beliau, salah satunya ialah dalam hal sholat 5 waktu. Sampai sekrang beliau masih aktif menjadi imam harian di Masjid Baiturrochim.

Periode ke-Lima (sekarang) KH. Achmad Faqih Muntaha

Beliau adalah putra sulung KH.Muntaha Alh dari istri yang bernama Nyai Hj Maiyan jariyah, lahir di Kalibeber pada tanggal 3 Maret 1955. beliau akarb dipanggil dengan Abah Faqih. 

Beliau mempunyai 5 putra dan 1 putri yaitu ; 
1. H. Abdurrohman Al-Asy'ari, Alh, S.H.I
2. H. Khairullah Al-Mujtaba, Alh
3. Siti Marliyah
4. Nuruzzaman 
5. Fadlurrohman Al-Faqih
6. Ahmad Isbat Caesar

Putra-putri beliau sudah ada yang menyelesaikan pendidikan baik formal maupun non formal, baik S1 maupun tahfidzul Qur'an dan juga pondok pesantren. Bahkan putra beliau yang pertama dan kedua adalah alumnus Yaman "Ribat ta'lim Khadzral maut" dibawah asuhan Habib Salim As-Satiri 

1. Riwayat Pendidikan 

Beliau menjalani masa kanak-kanak dibawah asuhan langsung dari Almaghfurlah KH. Muntaha Alh. Selain itu beliau juga sekolah formal di SD Kalibeber, sedangkan SMP di Wonosobo yang kemudian melanjutkan di STM juga di Wonosobo setelah selesai sekolah formal bilau dikirim untuk belajar di pesantren seperti kebayakan gus-gus yang lain. Pada tahun 1973 beliau nyantri di Pondok pesantren termas Pacitan dibawah asuhan KH. Chabib Dimyati, sampai tahun 1978. kemudian beliau pindah ke Krapyak yang pada waktu itu diasuh oleh beliau KH. Ali Maksum (juga termasuk salah satu teman seperjuangan Simbah Muntaha Alh) selama 1 tahun. 

Selanjutnya beliau nyantri lagi di Buaran Pekalongan kepada Al-Mukarrom KH. Syafi'I yang juga terkenal sebagai salah satu teman seperjuangan Al-Maghfurllah Simbah KH. Muntaha Al-Hafidz. Setelah itu pada tahun 1980 beliau pulang ke Kalibeber yang dilanjutkan dengan nyantri di kaliwiro kepada seorang kiyai yang terkenal dengan panggilan Mbah Dimyati. 

Belum genap satu tahun beliau kemudian melaksanakan akad nikah dengan salah seorang santri kalibeber yang bernama Shofiah binti KH Abdul Qodir Cilongok Banyumas, kendati beliau telah melangsungkan pernikahan, namun bukan berarti akhir dalam menuntut ilmu, karena beliau masih tetap nyantri dengan Mbah Dimyati di Kaliwiro selama kurang lebih satu tahun. Ketika di kaliwiro inilah beliau mendalami kitab-kitab yang besar antaralain : Shoheh Bukhori, Shoheh Muslim, Ihya' Ulummuddin, Tafsir Al-Munir, dan lain-lain. Kemudian beliau mukim membantu perjuangan Ayahanda beliau yaitu Simbah KH. Muntaha Al-Hafidz (Alm). 

Selama masa nyantri tersebut beliau mempunyai hobi yang sangat unik yang sama dengan hobinya Gus Dur yaitu Ziarah Qubur, beliau juga terkenal sebagai santri yang mempunyai dedikasi dan disiplin yang tinggi dan selalu mentaati peraturan (Qonun) pondok pesantren yang ada walaupun beliau adalah putra seorang Ulama besar yang kharismatik. 

2. Perjuangan Pendidikan 

Setelah pulang dari pesantren (Mukim pada tahun 1980) beliau aktif membantu mengajar di Pondok pesantren milik Ayahandanya dan ikut perkecimpung dalam masyarakat. Waktu itu santri di kalibeber baru sekitar 50 orang putra dan putri dengan prioritas Tahfidzul Qur'an (menghafal A-Qur'an) dan menggunakan sistem salafy. 

Pertama kali beliau mengajar pada santrinya yaitu kitab "Burdah" yang bertempat di masjid Baiturrochim. Selain mengajar pada santri beliau juga mengajar Diniyah ba'da dzuhur untuk orang kampung yang waktu itu bertempat di MI Ma'arif. Adapun kitab-kitab yang pernah beliau khatamkan antaralain adalah ; Taqrib, Bidayatul Hidayah, Sulamuttaufik, Safinah, dll sedangkan untuk ilmu nahwu diampu oleh teman beliau yaitu Bp H. Quraisyin.
 
Disamping mengajar, beliau juga ikut aktif dalam mendirikan lembaga-lembaga formal antara lain : SMP, SMA, SMK Takhassus Al-Qur'an dan IIQ (Sekarang UNSIQ). Beliau juga meneruskan cita-cita ayahanda beliau yang belum terealisir diantaranya; SD Takhassus Al-Qur'an, Darul Aitam, Menara Masjid Baiturrochim, dan gedung baru Pondok Pesantren Al-Asy'ariyyah. 

Beliau juga mendirikan kelas jauh diantaranya adalah : SMA Takhassus Al-Qur'an di Kepil, SMP + SMA Takhassus Al-Qur'an di Ndero duwur plus Pondok pesantren tanpa pemungutan biaya, Pondok Pesantren + SMA dan SMP Takhassus Al-Qur'an di Kalimantan barat, SMP TAQ Di Majalengka, di Tumiyang Purwokerto, di Buntu Banyumas, serta di Baran Gunung Ambarawa, dan masih banyak lagi. Satu cita-cita beliau yang belum terrealisasi adalah menjadikan Kalibeber sebagai "Semacam Vatikan" di Indonesia. Dimana nanti setiap fatwa dari kalibeber akan di patuhi oleh semua pemeluk islam diseantereo Nusantara.

3. Perjuangan Organisasi
Dalam bidang organisasi beliau aktif di Mabarot. Dan selanjutnya aktif di Tanfidziyah Ranting kalibeber, sekretaris MWC Mojotengah. Tercatat mulai Tahun 1996 sampai sekarang beliau aktif sebagai Mustasyar NU cabang Wonosobo. Dulunya Beliau juga aktif dalam partai politik antara lain P3, Golkar dan PKB. Namun demi kemaslahatan umat mulai tahun 2004 hingga sekarang beliau netral. Selain itu beliau juga menjadi salah satu sesepuh di Kalibeber bahkan diWonosobo beliau termasuk salah satu Kyai yang paling disegani. ‎

 

Sejarah Syaikh Imam Rozi Sokaraja


Sokaraja adalah Nama salah satu kecamatan di Kabupaten Banyumas. Sebuah kota kecil yang menyimpan banyak sejarah perkembangan dan perjuangan Islam.. mulai dari Kanjeng Adipati Jebu Kusuma di era Demak hingga saat ini.
Banyak tokoh yang dilahirkan di kota kecil ini. Diantaranya KH Saifuddin Zuhri Jendral Gatot Subroto dan lain-lain.

Dan disini saya akan menulis sekelumit sejarah tentang salah satu tokoh pejuang Islam pelarian keluarga Kanjeng Pangeran Diponegoro paska Kanjeng Pangeran ditangkap dan diasingkan di makassar. 
Beliau adalah Syaikh Imam Rozi bin Abdul 'Aziz menantu Sang Pangeran. 

Nasab Syaikh Imam Rozi 

Dari jalur Ayah 
Syaikh Imam Rozi.      Bin 
Syaikh Abdul Aziz.       Bin 
Syaikh Achmad.             Bin 
Raden Bagus Muhammad.    Bin 
 Syaikh  Abdul Muhyi Pamijahan.   Bin 
Syaikh Abdul Jalil (Sembah Dalem Lebe Warta Kusumah). Bin 
Entol Panengah. Bin 
Munding Cikawung Ading.   Bin 
Kudo Lalian


Dari Jalur Ibu 
Raden Ayu Djuwok (Salamah).    Binti 
Raden Ronggo Kusumo (Berbek) bin 
Kyai Adipati Purbo Kusumo.     Bin 
Raden Suryo Handoko.          Bin 
Raden Suryo Negoro.    Bin 
Pangeran Surya ningrat.     Bin 
Sunan Mas .    Bin 
Amangkurat Jawa . Bin 
Amangkurat Amral. Bin 
Amangkurat Agung. Bin 
Sultan Agung Mataram. Bin 
Panembahan Hanyokrowati. Bin 
Panembahan Senopati.   Bin 
Kyai Ageng Pemanahan 


Kelahiran dan Masa Kecil 

Syaikh Imam Rozi dilahirkan di wilayah Kadipaten Berbek (Nganjuk sekarang) akhir Abad 18 (1796M) di lingkungan Pesantren Ayahandanya yang berada di wilayah Wilangan Nganjuk. Di masa kecil Imam Rozi Dibimbing dalam ilmu Keagamaan (Qur'an. Fiqh. Dan berbagai disiplin ilmu pesantren)   oleh Ayahandanya serta Ibundanya di lingkungan Pesantren serta di latih ilmu kanuragan guno kasantikan oleh Ayahandanya dan oleh Senopati Sudiroyido yang masih pamannya sendiri. 

Imam Rozi kecil tumbuh menjadi anak yang tampan berakhlaq mulia dan menjadi Santri Bangsawan yang mempuni serta rupawan. Ketika Imam Rozi umur belasan Tahun Ayahandanya mengirimkan dia ke Pesantren Tegalsari Ponorogo untuk menambah ilmu pengetahuan tentang Agama dan Sastra serta ilmu Kanuragan. Hari demi hari berganti dan Imam Rozi Muda tumbuh Menjadi Seorang pemuda yang Mempunyai beberapa keistimewaan dlm hal ilmu serta akhlak dan adab. 


Pernikahan dan perjuangan 

Disaat Imam Rozi umur 25th Pesantren Tegalsari kedatangan tamu Ulama Priyagung Dari Mataram Ngayogjokarto yang dipimpin oleh Kanjeng Pangeran Purbo Negoro dan Kanjeng Pangeran Diponegoro.
Kyai Ageng Besari menjamu Tamu dengan sukacita dan berdiskusi tentang perkembangan Santri serta Islam wilayah Mataram Wetan. Setelah sekian lama saling Menceritakan keadaan... tibalah saat Kanjeng Pangeran Diponegoro ingin Melihat keadaan Pesantren. Dan Kyai Ageng pun berkenan untuk mengantar Kanjeng Pangeran. 

Malam semakin larut dan suasana pesantren hening tenang dan damai.
Kanjeng Pangeran disertai beberapa pengawal dan Kyai serta Kyai Ageng berjalan dilingkup Pesantren... dan tiba-tiba terlihat cahaya yang bersinar dari salah satu sudut Pesantren dan semua yang melihat terperanjat... Kyai Ageng dan Kanjeng Pangeran pun segera mendekati sumber Cahaya Tersebut. 

Kaget bercampur takjub setelah beliau Berdua melihat sesosok pemuda santri yang sedang duduk Bersila berdzikir dan di tangannya sebuah tasbih yang di pegang. Tubuh tersebut bercahaya dan mengeluarkan bau harum. 
Kanjeng Pangeran segera mengajak Kyai Ageng Kembali ke tempat para Pengawal. Tak lama kemudian semua kembali ke Pendopo. Dan Kanjeng Pangeran pun tidak lupa bertanya pada Kyai Ageng Siapa sosok Pemuda itu Sebenarnya
Kyai Ageng pun menjawab klo pemuda itu bernama Imam Rozi keponakan dari Adipati Berbek dan putra Kyai Aziz.
Kanjeng Pangeran pun senang mendengar nya. Dan dawuh pada Kyai Ageng agar esok hari Imam Rozi ikut di penghadapan pendopo Tegalsari. 
Kyai ageng pun menyanggupi permintaan Kanjeng Pangeran. 

Keesokan harinya Di penghadapan Pendopo para Santri dan warga sekitar pun berkumpul... tidak terkecuali Imam Rozi pun ikut menghadap di Pagelaran pendopo Tegalsari. 
Di dalam pendopo nampak Kanjeng Pangeran Diponegoro Kanjeng Pangeran Purbo Negoro Kyai Ageng Besari dan para tokoh lain duduk penuh wibawa.
Sesaat semua terdiam dan tidak berapa lama kemudian Sang Pangeran mulai pembicaraan.

Diawali dengan hamdalah dan sholawat lalu Sang Pangeran mengucapkan beribu terima kasih pada Kyai Ageng Yang telah Mendidik para Bangsawan dan semua santri dengan baik. 
Beberapa hal telah disampaikan oleh Kanjeng Pangeran dgn baik dan semua mendengar kan dengan seksama. 
Dan setelah semua selesai Kanjeng Pangeran nimbali Imam Rozi dan di perintahkan untuk menghadap pada Kyai Ageng.

Setelah tiba saat nya Imam Rozi menghadap dan diterima oleh Kyai Ageng beserta Para Priyagung dari Mataram. Dan Kyai Ageng Pun segera memulai Pembicaraan 
Raden Bagus Imam... ngertenono Yen ing dino iki wus dadi pepesthening uripmu lan ing waktu kang arep teko jeneng siro bakal daup kelawan Raden Ayu Retno Wulan Putri Dalem Kanjeng Pangeran Diponegoro. Lan jeneng siro kudu siap siaganing dhohir kelawan batin kanggo ngadepi bebrayan agung... Ramamu lan ugo ibumu uwis uningo ing babagan iku. Mulo digawe tentreming atimu..
Imam Rozi pun hny duduk terdiam dan hny tertunduk hingga akhirnya Kanjeng Pangeran meminta nya untuk mendekat. Dan Kanjeng Pangeran berkenan memberikan Salah satu pusaka beliau Keris Kyai Jangkung pada Bagus Imam dan tak lama dari itu Pisowanan dibubarkan
Kanjeng Pangeran pun segera Berpamitan dan beserta rombongan segera pulang menuju Negri Mataram.

Dan pada waktu yang telah ditentukan Imam Rozi pun menikah untuk yang pertama kali. Dan oleh Ayahandanya di minta untuk mukim di Pesantren membantu ngajar para santri. 
Kehidupan Imam Rozi seperti umumnya para Santri. Hidup sederhana dan mengajarkan apapun yang dibutuhkan oleh umat tentang ilmu agama dan keprajuritan dikarenakan saat itu masih suasana penjajahan. 

Beberapa bulan kemudian di Negri Mataram Ngayogjokarto terjadi huru hara dan Kanjeng Pangeran Diponegoro mempersiapkan diri untuk melawan kaum penjajah. 
Dan kabar yang di terima oleh Syaikh Abdul Aziz (Ayahandanya Imam Rozi) bahwa Kanjeng Pangeran Mempersiapkan diri untuk berperang dan para Kyai Santri serta kaum pendekar sudah banyak yang bergabung serta pos utama ada di goa selarong.
Syaikh Abdul Aziz pun segera memerintahkan Imam Rozi untuk segera menunjukkan darma bakti pada orang tua.. di perintahkan nya Imam Rozi untuk mengumpulkan Para tokoh persilatan serta santri untuk ikut berjihad fi sabilillah bergabung dengan laskar lain di wilayah Menoreh. 

Tak lama dari itu Bagus Imam Rozi pun berangkat menuju pos di selarong beserta istri dan jg para laskar yang ada.

Dan perang pun terjadi korban pun banyak berjatuhan dari kedua pihak 
Hiruk pikuk peperangan selama 5 telah banyak menghabiskan segalanya.. pengkhianatan demi pengkhianatan silih berganti. Dalam pertengahan peperangan Raden Ayu Retno Wulan melahirkan seorang bayi laki2 dan diberi Nama Abu Syuruj. Dan suatu ketika Kanjeng Pangeran pun Ditangkap.
Para laskar pun berlarian menyebar untuk meneruskan perjuangan. Tak terkecuali Bagus Imam Beserta keluarga dan laskar.

Perjalanan Bagus Imam ke arah Barat melewati wilayah Bagelen dan akhirnya Sampai di daerah Buntu... Bagus Imam pun segera membabat hutan dan mendirikan pesantren serta pemukiman... Namun baru beberapa bulan kemudian tempat tersebut diketahui oleh pihak Belanda hingga dibumihanguskan.
Tempat tersebut hingga kini masih ada puing2 pondasi.

Bagus Imam pun lari bersama keluarga dan para pengikut nya ke arah utara sampai di sebuah tempat yang banyak ditumbuhi pohon kepel (kapol) dan Bagus Imam serta para pengikut nya membuka tempat tersebut untuk bermukim. Tempat yang baru itu beliau beri Nama Kebon Kapol. Dan membuat pesantren yang diberi Nama Assuniyah.... Hingga saat ini pesantren tersebut masih berdiri dan masih Eksis dan dipimpin oleh keturunan Syaikh Imam Rozi secara turun Temurun.

Syaikh Imam Rozi terus berjuang dalam keagamaan serta mendidik murid murid nya dgn ilmu kanuragan untuk menghadapi kaum penjajah. Putra Beliau Abu Syuruj pun tumbuh menjadi seorang pemuda yang perkasa alim dan bersahaja.
Syaikh Imam Rozi selalu berkoordinasi dengan para pejabat sekitar dalam perjuangan. Diantaranya beliau bersama dengan Kanjeng Adipati Martodirejo membuat  benteng pertahanan dengan menempatkan para santri digaris depan dan meprakasai pembangunan masjid agung purwokerto bersama Kyai Faqih yang jaga sesama laskar Diponegoro. 

Dan pada suatu ketika Syaikh Imam Rozi menunaikan Ibadah Haji ke Tanah Suci dan sempat Mukim di Tanah Harom sampai 4 th. Sepulang dari tanah Suci beliau kembali berjuang di wilayah Sokaraja dan sekitarnya. Dan pada suatu ketika Syaikh diminta untuk menikah lagi oleh Dewi Retno Wulan dengan seorang wanita yang masih keturunan dari Adipati Jebu Kusumo... Dari pernikahan tersebut lahirlah seorang putra yang diberi Nama Nasrowi.

Syaikh Imam wafat sekitar tahun 1865 dan pesantrennya diteruskan oleh Syaikh Nasrowi.dan di makamkan di pasarean Kebutuh. 

Sementara Syaikh Abu Syuruj menjadi Imam Masjid Agung Purwokerto Mengganti kan Kyai Faqih dan memimpin pesantren di komplek Kadipaten pada masa itu.

Penerus perjuangan Syaikh 

Putra Beliau meneruskan perjuangan Syaikh dalam keagamaan dan perlawanan terhadap kaum penjajah.
Syaikh Abu Syuruj terus berjuang di kadipaten dalam keagamaan dan keprajuritan.
Syaikh Abu Syuruj mempunyai beberapa putra putri diantaranya Syaikh Achmad Masruri Ridho dan Syaikh Marwazy yang berjuang di Desa Kebumen Kec Baturaden dan Beliau berdua yang meletakkan dasar2 ideologi NU di wilayah Banyumas 
Syaikh Masruri Ridho adalah Ulama Agung salah satu pendiri NU dan sebagai Qodhi di Jam'iyah Nahdhotul Ulama atas permintaan Hadrotussyaikh Hasyim Asy'ari yang sebagai teman akrab di Makkah saat belajar bersama di Makkah. Serta Syaikh Bunyamin yang berjuang di wilayah perkotaan di Purwokerto sebagai benteng Pertahanan dari kaum Penjajah.

Hingga Saat ini para keturunan Syaikh Abu Syuruj masih mempertahankan perjuangan para pendahulu nya dalam Islam dan kemasyarakatan.

Syaikh Nasrowi meneruskan perjuangan di pesantren Assuniyah dan hingga saat ini pun masih berjalan dengan baik.
Perkembangan Islam Di sokaraja tidak bisa di kesampingkan dengan perjuangan dari para keturunan Bangsawan Mataram diantaranya dari Trah Pangeran Diponegoro dan Syaikh Imam Rozi.

Walaupun singkat semoga ada manfaatnya dan sebagai pengetahuan bagi masyarakat bahwa para pejuang Islam itu masih punya darah Ulama Agung di Zaman masing masing.

 

Doa Nabi Sulaiman Menundukkan Hewan dan Jin

  Nabiyullah Sulaiman  'alaihissalam  (AS) merupakan Nabi dan Rasul pilihan Allah Ta'ala yang dikaruniai kerajaan yang tidak dimilik...