Kamis, 19 November 2020

Pamor Keris dan Makna yang terkandung


Pamor dalam dunia perkerisan memiliki 3 (tiga) macam pengertian.  
Yang pertama menyangkut bahan pembuatannya; misalnya: pamor meteorit, pamor Luwu, pamor nikel, dan pamor sanak. 

Pengertian yang kedua menyangkut soal bentuk gambaran atau pola bentuknya. Misalnya:  pamor Ngulit Semangka, Beras Wutah, Ri Wader, Adeg, dan sebagainya. 

Ketiga, menyangkut soal teknik pembuatannya, misalnya: pamormlumah, pamor miring, dan pamor puntiran.
 
Selain itu, ditinjau dari niat sang empu, pola pamor yang terjadi masih dibagi lagi menjadi dua golongan. Kalau sang empu membuat pamor keris tanpa merekayasa polanya, maka pola pamor yang terjadi disebut pamor tiban. Orang akan menganggap bentuk pola pamor itu terjadi karena anugerah Tuhan.  

Sebaliknya, jika sang empu lebih dulu membuat rekayasa pla pamornya, disebut pamor rekan [rékan berasal dari kata réka = rekayasa]. Contoh pamortiban, misalnya: Beras wutah, Ngulit Semangka, Pulo Tirta. Contoh pamor rekan, misalnya: Udan Mas, Ron Genduru, Blarak Sinered, dan Untu Walang.

Ada lagi yang disebut pamor titipan atau pamorceblokan, yakni pamor yang disusulkan pembuatannya, setelah bilah keris selesai 90 persen. Pola pamor itu disusulkan pada akhir proses pembuatan keris. Contohnya, pamor Kul Buntet, Batu Lapak, dll.

Berikut nama jenis pamor 

PAMOR LULUHAN.
Pamor Luluhan adalah jenis pamor yang terjadi karena dalam proses pemanasan sewaktu penempaan saton keris suhunya terlalu tinggi. Bahan besi dan bahan pamor terlalu menyatu erat, tidak sekedar menempel berhimpitan, sehingga batas antar besi dan pamor sukar terlihat dengan mata telanjang.

PAMOR MIRING.
Pamor miring adalah pamor yang lapisan-lapisan saton-nya; besi-pamor-besi-pamor dst. Melintang atau tegak lurus dengan permukaan bilah keris. Penamaan untuk pamor ini berdasarkan teknik pembuatannya.

Ragam pola pamor yang bisa dibuat dengan teknik pamor miring antara lain : pamor Adeg, Blarak Ngirid, Ron Genduru, Ujung Gunung, dan Raja Abala Raja.
Kata ‘miring’ pada istilah miring bukan berarti condong seperti menyebut tiang bambu miring, melainkan miring dalam artian orang tidur miring.

PAMOR MLUMAH.
Pamor Mlumah adalah pamor yang lapisan saton-nya; besi-pamor-besi-pamor dst, mendatar atau sejajar dengan permukaan bilah keris atau tosan aji lainnya. Jadi pamor mlumah adalah penamaan salah satu teknik penempaan pada pembuatan pamor.

Ragam pola gambaran pamor yang dapat dihasilkan dengan cara penempaan pamor mlumah diantaranya adalah : pamor Wos Wutah, Ngulit Semangka, Udan mas, Uler Lulut dan Sumsun Buron.

PAMOR PUNTIRAN.
Pamor Puntiran bisa digolongkan sebagai pamor miring. Teknik pembuatan pamor puntiran hampir sama dengan pamor miring. Bedanya sebelum disatukan dengan baja inti keris, saton-nya di punter (dipilin) dahulu.

Pamor  yang bisa dihasilkan dengan teknik ini antara lain : Pamor Lawe Setukel, Tunggal Kukus, dan Buntel Mayit.

PAMOR REKAN.
Pamor rekan adalah pamor yang pola gambarannya direncanakan lebih dahulu oleh empu  pembuatnya. Biasanya, perencanaan pola pamor ini berdasarkan atas pesanan calon pemilik keris dan si empu tinggal merekayasa teknik pembuatannya.

Contoh pamor rekan atau pamor anukarta, antara lain : Pamor Udan Mas, Blarak Ngirid, Ri Wader, Naga Rangsang, Kupu Tarung, Ron Genduru, Lar Gangsir, dan Ujung Gunung.

PAMOR TIBAN.
Pamor tiban adalah pamor yang pola gambaranya tidak direncanakan lebih dahulu oleh empu pembuatnya. Biasanya, si empu hanya bekerja dengan teknik dasar pembuatan pamor tanpa merekeyasa bentuk pamor yang sedang dibuat, sambil terus berdoa. Bagaimanapun bentuk gambaran pamor yang akan terjadi kemudian dianggap sebagai anugerah Tuhan.

Jika ditinjau dari segi teknisnya, pamor tiban tergolong pamor mlumah. Contoh pamor tiban diantaranya adalah pamor Pulo Tirta, Pedaringan Kebak, Wos Wutah, Ngulit Semangka, Tunggak Semi.  Jenis-jenis pola pamor tiban yang dianggap baik dan langka adalah pamor Raja Gundala, Nur, Ratu Pinayungan, Slamet dan Kendit Gumantung.

‎SUMBER.
Pamor Sumber adalah pamor yang terletak di bagian ganja. Bentuknya berupa bulatan berlapis-lapis, paling sedikit tiga lapisan. Pada permukaan sebuah ganja, jumlah bulatan-bulatan yang menyerupai mata kayu itu paling sedikit enam buah. Pamor sumber tergolong baik dan dicari para pecinta keris, karena dipercayai dapat membantu mendatangkan rezeki .

WINIH.
Pamor winih adalah pamor yang terletak di bagian ganja. Bentuknya berupa bulatan berlapis-lapis, paling sedikit tiga lapisan,semacam “mata kayu”.
Pamor winih tergolong baik dan dicari orang, karena konon jika ia memulai suatu pekerjaan akan bisa selesai dengan baik. Kata Winih berasa sari kata bahasa Jawa yang berarti benih atau bibit.

CEBLOKAN.
Pamor Ceblokan atau pamor titipan adalah pamor yang menyelip masuk antara pamor lain. Secara umum, untuk menyebut pamor keris atau tosan aji lainnya, tidak perlu menyebutkan pamor titipan-nya, melainkan hanya nama pamor yang dominan saja.

Misalnya, pada pamor Wos Wutah, tetap saja disebut Pamor Wos Wutah meskipun dalam pamor itu terselip beberapa pamor titipan seperti Gaibul Guyub, Slamet, Kruta Mesir, Krudung atau pamor lainnya.

Istilah pamor ceblokan banyak digunakan di Surakarta dan sekitarnya, sedangkan istilah pamor titipan pada umumnya dipakai oleh pecinta keris di daerah Yogyakarta.

Keris yang diberi pamor ceblokan biasanya bukan keris yang bermutu tinggi. Sebab seorang empu biasanya merasa berkeberatan menambahkan pamor ceblokan bila keris buatannya tergolong keris yang adikarya.

Pamor ceblokan biasanya dibuat atas permintaan pemesan, bukan karena kemauan si empu, kecuali bila si empu merasa keris buatannya tidak sempurna.

PEGAT WOJO.
Pegat waja merupakan istilah yang digunakan untuk menyatakan keadaan keris yang retak pada sisi tajam bilahnya. Cacat ini serupa dengan keadaan kayu lapis yang sering terkena hujan dan kepanasan, sehingga lepas lapisan-lapisannya. Keris pegat waja tergolong cacat dan tidak disukai oleh sebagain besar  pecinta keris.

Bagian yang retak biasanya terjadi karena tidak menempelnya dengan sempurna, antara saton dan lapisan baja yang menjadi inti keris. Ini terjadi karena pada saat penempaan suhunya kurang tinggi.

Oleh kebanyakan pecinta keris, keris pegat waja dinilai bertuah buruk. Orang yang memiliki atau ketempatan keris atau tosan aji semacam itu akan mudah mengalami salah paham, mudah curiga dan mudah silang sengketa dengan orang lain, termasuk dengan keluarganya sendiri. Olah karena itu, banyak keris yang cacat semacam ini di larung.

Larung dapat diartikan membuang dengan cara menghanyutkan ke sungai besar atau laut. Menurut tata cara di Jawa Tengah dan Jawa Timur, keris yang akan dilarung lebih dahulu dibersihkan kemudian dibungkus dengan kain putih bersama kembang telon dan secuil kemenyan. Keris itu lalu dihanyutkan di tengah sungai atau di laut yang diperkirakan tidak akan terinjak orang.

Pegat waja juga disebut pancal pamor, tetapi cacat itu berbeda dengan pamor yang nglokop. Pada keris pegat waja yang lepas adalah saton dan inti bajanya. Sedangkan pada pamor nglokop yang lepas adalah bahan pamor dan besi pengikatnya.

PANCURAN MAS.
Pancuran Mas adalah salah satu motif pamor yang pola gambarannya menempati dua bagian keris sekaligus, yakni di bagian bilah dan bagian ganja keris.
Gambarnya pamor itu berupa garis lurus dari ujung sampai ke pangkal bilah yang bersinggungan dengan ganja. Kemudian di bagian ganja, garis itu seolah terbelah menjadi dua, Jadi, secara menyeluruh gambaran pamor itu serupa lidah ular yang bercabang.

Bagi penggemar keris, pamor Pancuran Mas ini dinilai baik untuk para pedagang dan pengusaha. Banyak diantara pecinta keris yang beranggapan bahwa pamor ini memiliki tuah yang dapat membantu pemilik keris itu mencari rezeki.

PAMOR MUNGGUL.
Munggul pamor adalah pamor yang bentuknya seperti bisul,menonjol dari permukaan bilah keris atau tombak. Ukurannya kira-kira sebesar biji kacang hijau atau sedikit lebih besar. Pamor Munggul ini keras sekali. Dikikir dengan kikir baja biasa tidak dapat hilang , karena besar kemungkian terjadi karena adanya kandungan titanium dalam kadar yang tinggi pada benjolan tersebut.

Pamor Munggul tergolong pamor yang dianggap baik, langka dan sukar didapatkan. Selain pada keris buatan Jawa, pamor munggul sering kali juga ditemui pada badik-badik dan keris buatan Bugis dan Luwu. Orang Bugis menyebutnya dengan istilah pamor tumbuh, atau pamor hidup, karena jika diperhatikan benar, pamor munggul  itu memang tampak semakin besar dari tahun ke tahun.

Banyak pecinta keris yakin, jika sebilah keris ada pamor munggul-nya, tentu keris itu dibuat dengan bahan pamor dari bongkahan batu bintang atau batu meteor bermutu tinggi, karena besar kandungan titaniumnya.

Pamor munggul yang terletak di bagian gandik atau kembang kacang, tidak lagi disebut pamor munggul, melainkan memiliki nama sendiri. Jika pamor munggul itu hanya sebuah, disebut pamor Simbang Patawe. Sedangkan, jika ada dua buah, disebut Simbang Kurung, dan jika ada tiga buah disebut Simbang Raja.

Dibandingkan dengan pamor munggul yang terletak di bagian lain, yang ada di bagian gandik atau kembang kacang ini dianggap lebih tinggi nilainya dan dengan demikian lebih tinggi pula nilai mas kawinnya.

Pamor munggul diperkirakan terjadi karena bahan pamor yang digunakan adalah batu meteor yang kebetulan memiliki kadar titanium tinggi. Ketika keris itu baru selesai dibuat, permukaan pamor itu masih rata dengan permukaan bilahnya. Tetapi setelah ratusan tahun, dan besi bilah itu semakin  aus termakan karat, sedangkan bagain pamornya tidak, pamor itu semakin lama akan menonjol ke permukaan bilah.

‎WOS WUTAH.
Pamor yang paling banyak dijumpai, bentuknya tidak teratur tetapi tetap indah dan umumnya tersebar dipermukaan bilah. Ada yang berpendapat pamor ini pamor gagal, saat si empu ingin membuat sesuatu pamor tetapi gagal maka jadilah Wos Wutah. Tetapi ini dibantah dan beberapa empu dan pamor ini memang sengaja dibuat serta termasuk pamor tiban.

Pamor ini berkhasiat baik untuk ketentraman dan keselamatan pemiliknya, bisa digunakan untuk mencari rejeki, cukup wibawa dan disayang orang sekelilingnya, pamor ini tidak pemilih.   

NGULIT SEMANGKA
Sepintas seperti kulit semangka, tuahnya seperti Sumsum Buron, memudahkan mencari jalan rejeki dan mudah bergaul pada siapa saja dan dari golongan manapun. Pamor ini tidak memilih dan cocok bagi siapa saja. 

TAMBAL.
Mirip goresan kuas besar pada sebuah bidang lukisan. Tuahnya biasanya menambah kewibawaan dan menunjang karier seseorang. Menurut istilah Jawa bisa menjunjung derajat. Pamor ini termasuk pemilih dan tidak setiap orang cocok. 

PULO TIRTO.
Seperti Wos Wutah hanya gumpalan gambarnya terpisah agak berjauhan, seperti bentuk pulau pada peta. Tuahnya sama dengan pamor Wos Wutah. 

SUMSUM BURON.
Pamor ini juga mirip Wos Wutah, gumpalan juga terpisah agak berjauhan seperti Pulo Tirto hanya agak lebih besar dan lebih menyatu. Tuahnya baik, tahan godaan dan murah rejeki serta tidak pemilih. 

MELATI RINONCE.
Bentuknya mirip pamor Rante tetapi umumnya bulatannya lebih kecil dan tidak berlubang. Bulatan itu berupa pusaran pusaran mirip dengan pamor Udan Mas tetapi agak lebih besar sedikit.
Tuahnya mencari jalan rejeki dan menumpuk kekayaan. Untuk pergaulan juga baik, pamor ini tidak memilih dan bisa digunakan siapa saja. 

RANTE.
Tuah utama pamor ini adalah untuk menampung dan mengembangkan rejeki yang didapat. Bisa mengurangi sifat boros, tetapi bukan pelit.
Cocok untuk semua orang baik digunakan berdagang atau berusaha. Bentuknya agak mirip pamor Melati Rinonce, hanya bedanya pada bulatannya ada semacam gambar “lubang”. 

ADEG.
Pamor Adeg banyak dijumpai, tergolong pamor pemilih tetapi lebih banyak yang cocok daripada tidak. Tuahnya terutama sebagai penolak, ada yang menolak guna-guna, ada yang menolak wabah, angin ribut, banjir dan lainnya. Ada yang hanya menolak satu sifat ada yang beberapa sifat penolakan.

MRAMBUT.
Sepintas seperti Adeg, bahkan ada yang menyamaratakan dengan membuat istilah baru Adeg-Mrambut. Padahal sebenarnya lain. Pamor Mrambut alurnya terputus-putus. Tuahnya hampir sama dengan pamor Adeg. Tergolong pemilih, tidak semua orang cocok.
 
SEKAR LAMPES.
Tuah dari pamor ini mirip dengan pamor Tumpal Keli. Hanya pada pamor Sekar Lampes umumnya juga mengandung tuah yang menambah kewibawaan pemakainya dan tergolong pamor yang tidak pemilih. 

ILINING WARIH.
Rejeki yang lumintu, walaupun sedikit demi sedikit tetapi selalu ada saja. Itulah yang utama tuah dari Ilining Warih. Selain soal rejaki, pamor ini juga baik untuk pergaulan. Tidak memilih dan umumnya cocok untuk siapapun.

BLARAK NGIRID.
Disebut juga kadang dengan “Blarak Sinered”, tapi ada juga yang menyebut Blarak Ngirid lain dengan Blarak Sinered. Tuah utamanya menambah kewibawaan dan juga baik untuk pergaulan karena disayang orang sekelilingnya, baik pihak atasan atau bawahan. Pamor ini tergolong pemilih. 

RON PAKIS.
Mirip sekali dengan Blarak Ngirid, hanya pada bagian tepinya seolah ada sobekan. Tergolong pemilih dan tuahnya untuk kewibawaan serta keberanian (tatag-bhs jawa). Baik dimiliki oleh orang yang berkecimpung dibidang Militer dan Keprajuritan.

KOROWELANG.
Juga hampir sama dengan Blarak Ngirid atau Ron Pakis, tetapi “daun” nya lebih besar dan lebih menyatu. Tuahnya juga hampir sama dengan Blarak Ngirid, tetapi fungsi pergaulannya lebih besar dari fungsi wibawanya. Beberapa keris dengan pamor ini (tidak semua) baik juga untuk mencari jalan rejeki. Tergolong pamor pemilih. 

RON GENDURU.
Ada yang menyingkat menjadi RONGENDURU atau menyebut RON KENDURU. Agak mirip Ganggeng Kanyut tetapi relatif susunannya lebih teratur dan rapi. Tuahnya berkisar pada kewibawaan dan rejeki. Baik digunakan untuk pengusaha yang punya banyak anak buah. Tergolong pamor pemilh.

MAYANG MEKAR.
Bentuknya indah sekali seperti daun Seledri, tuahnya memperlancar pergaulan dan dikasihani orang sekeliling. Beberapa diantaranya malah bertuah memikat lawan jenis. Tergolong pamor pemilih.

WIJI TIMUN.
Menyerupai biji ketimun. Hampir sama dengan pamor Uler Lulut tetapi lebih kecil dan lonjong. Tuahnya juga untuk mencari jalan rejeki. Ada sedikit unsure kewibawaan. Baik untuk pedagang maupun untuk pengusaha. Pamor ini agak pemilih.

KENONGO GINUBAH.
Tuahnya menarik perhatian orang. Pergaulannya baik dan diterima digolongan manapun. Tetapi pamor ini termasuk pemilih.

WALANG SINUDUK.
Bentuknya mirip dengan satai belalang. Posisi belalang-belalangnya bisa miring kekiri, bisa kekanan. Tuah utamanya mempengaruhi orang lain. Wibawanya besar sehingga baik dimiliki oleh pemuka masyarakat, guru, pemimpin politik. Tergolong pamor pemilih. 

TUMPAL KELI.
Tuahnya baik untuk pergaulan. Bisa menunjang karier karena pemiliknya akan disayang atasan. Termasuk pamor tidak pemilih.

BENDOSEGODO.
Bentuknya menyerupai bulatan menggumpal dari bawah keatas. Tuahnya untuk jalan rejeki dan pergaulan serta ketentraman rumah tangga. Tergolong tidak pemilih.

MELATI SINEBAR.
Mirip pamor Tetesing Warih, merupakan bulatan bersusun rangkap tiga atau lebih tetapi bulatannya tidak sempurna betul dengan garis tengah sekitar 1 cm. Tempatnya ditengah bilah dan jarak satu bulatan dengan lainnya sekitar 1 cm atau lebih. Pamor ini tergolong tidak pemilih dan tuahnya untuk mencari rejeki.

MANIKEM.

Tergolong pamor langka dan hanya dijumpai dikeris muda terutama tangguh Madura. Bentuknya mirip Melati Rinonce atau Melati Sato-or tetapi garis penghubung antar bulatan-bulatannya lebih gemuk, lebih lebar. Sedangkan bulatannya juga lebih lebar dibandingkan Melati Rinonce, bahkan ada yang hampir menyentuh tepi bilah. Tergolong tidak pemilih dan bertuah memudahkan mencari rejeki. 

SEKAR KOPI.
Ditengah bilah ada pamor yang menyerupai garis tebal dari sor-soran sampai dekat ujung bilah. Dikiri kanan garis tebal ini terdapat lingkaran-lingkaran bergerombol atau berkelompok. Satu kelompok terdiri dari dua atau tiga lingkaran menempel pada garis tebal seolah-olah biji kopi menempel pada tangkai bijinya. Tuahnya memperlancar rejeki tergolong tidak pemilih tetapi termasuk pamor langka. 

BONANG RINENTENG.
Ada yang menyebutnya Bonang Sarenteng, agak mirip dengan pamor Sekar Kopi tetapi bulatannya hanya satu. Boleh dikiri-kanan secara simetris atau selang seling. Baik Bonang Rinenteng ataupun Sekar Kopi, bulatannya seperti pusaran di pamor Udan Mas. Tergolong tidak pemilih dan memudahkan mencari rejeki.

JUNG ISI DUNYA.
Bentuknya mirip Putri Kinurung. Bedanya bulatan-bulatan kecil yang terdapat pada “kurungan” bulatan relatif lebih besar. Ada juga yang bentuknya sepintas mirip pamor Bendo Segodo. Tuahnya untuk “menumpuk” kekayaan dan tidak pemilih. 

WULAN-WULAN.
Di Jawa Timur disebut Bulan-Bulan. Mirip Melati Sinebar atau mirip Bendo Segodo. Bedanya pada pamor Wulan-Wulan , bagian tengahnya berlubang jelas. Tuahnya memudahkan mencari jalan rejeki dan mengikat langganan. Sering disimpan ditoko atau warung.

TUNGGAK SEMI.
Pamor ini terletak ditengah Sor-soran, bentuk seperti tampak digambar samping. Berkombinasi dengan pamor Wos Wutah. Tuahnya untuk mendapatkan rejeki walau bagaimanapun kecilnya. Tidak termasuk pamor pemilih.

BAWANG SEBUNGKUL.
Bentuknya memang mirip bungkul bawang, berlapis-lapis. Paling sedikit ada lima lapisan dan terletak di sor-soran. Tuahnya dibidang rejeki , untuk pengembangan modal. Cocok untuk orang yang bekerja di Bank dan pengembangan modal. Tidak pemilih.

UDAN MAS.
Pamor ini banyak dicari orang, terutama pedagang dan pengusaha. Bentuknya merupakan pusaran atau gelang-gelang berlapis, paling sedikit ada tiga lapisan. Letaknya ada yang beraturan dan ada yang berserakan. Pamor ini sering pula berkombinasi dengan Wos Wutah atau Tunggak Semi. Manfaatnya untuk mencari rejeki dan tidak pemilih.
 
SISIK SEWU.
Seperti gambar sisik ikan, tetapi bila diperhatikan seperti pamor Udan Mas menggumpal menjadi satu, namun pamor ini kurang begitu dikenal, mungkin karena memang jarang. Selain untuk rejeki juga untuk meningkatkan wibawa. Cocok bagi pengusaha dengan banyak karyawan. 

PUTRI KINURUNG.
Bentuknya menyerupai gambaran danau dengan tiga atau lebih “pulau” ditengahnya. Letaknya ditengah sor-soran. Tuahnya untuk memudahkan mencari rejeki dan mencegah sifat boros. Bisa diterima dikalangan manapun. Tidak pemilih. 

GUMBOLO GENI.
Sering juga disebut “Gumbolo Agni” atau “Gumbolo Gromo”. Letaknya ditengah sor-soran dan gambarnya seperti “binatang Kala” dengan posisi ekor seperti menyengat. Tuahnya baik, wibawanya besar dan bisa untuk “singkir baya”, baik dimiliki oleh pimpinan sipil ataupun militer. Termasuk pamor pemilih.

TANGKIS.
Panamaan dari pamor yang hanya terdapat pada satu sisi saja dan sisi lain tanpa pamor alias kelengan, kadang kalau pamor atau bentuk bilah berlainan kiri-kanan sering juga disebut pamor Tangkis. Namun ini harus diperhatikan juga apakah memang tidak ada pamornya ataukah sudah hilang karena terkikis atau aus. Kalau karena aus maka ini bukan pamor Tangkis. Tuahnya menolak wabah penyakit.

PENGAWAK WAJA.
Ini istilah untuk keris TANPA pamor sama sekali. Pada keris muda, Pengawak Waja memang tidak diselipi bahan pamor, tetapi pada keris tua masih mengandung bahan pamor walau tidak kelihatan karena penempaan dibuat ratusan kali bahkan ribuan kali lipatan sehingga sudah menyatu dan luluh bilahnya. Hanya tampak seperti urat halus atau serat saja.
Tuahnya susah dibaca, hanya mereka yang mengetahui ilmu esoteri saja yang bisa membaca.

TRIMAN.
Ada yang menyebut Pamor TARIMO, mirip sekali dengan WOS WUTAH, tetapi agak rapat dan pamor ini tiba tiba berhenti ditengah bilah, kadang hanya ada di sor-soran saja. Pamor ini sesuai untuk yang berusia lanjut, pensiunan dan tidak lagi memikirkan soal duniawi. Baik juga dipunyai oleh yang bersifat brangasan, suka marah tetapi kurang baik dipunyai oleh mereka yang masih aktif bekerja.

ANDHA AGUNG.
Mirip pamor Rojo Abolo Rojo tetapi ukurannya relatif lebih kecil. Terletak ditengah bilah biasanya dikelilingi pamor Wos Wutah dan panjang hanya sepertiga atau setengah bilah. Tuahnya menyangkut kederajatan dan kewibawaan. Tergolong pamor tidak pemilih.

KUL BUNTET.
Mirip pamor Batu Lapak, bedanya pusarannya hanya satu dan alurnya melingkar dan secara keseluruhan lebih bulat dibandingkan pamor Batu Lapak. Tuahnya hampir sama dengan Batu Lapak tetapi Kul Buntet punya nilai rejeki. Selain menghidarkan bahaya juga menghalangi usaha penipuan. Umumnya pamor ini baik untuk semua orang.

KUTO MESIR.
Ada yang menyebut “Kutu Mesir” atau “Kutu Masir”. Bentuknya terdiri dari tumpukan gelang gelang tidak begitu bulat tetapi cenderung agak persegi. Letaknya dibagian sor-soran dan tuahnya hampir sama dengan Kul Buntet tetapi fungsi rejeki nya lebih kuat. Biasanya dicari pedagang, pengusaha dan pejabat tinggi. Pamor ini sering dikombinasi dengan pamor lain seperti Wos Wutah dan Tunggak Semi.

UDAN RIRIS.
Ada yang menyebut Udan Riris, ada yang penuh dari sor-soran sampai ujung bilah, ada yang “mengisi” sebagian bilah saja. Walau bentuknya tidak seindah pamor Nogorangsang namun umumnya tuahnya lebih kuat. Selain kewibawaan dan kepemimpinan ada fungsi untuk menolak guna-guna. Pamor ini pemilih.

REGED BANYU.
Pamor ini ada yang menghias seluruh bilah, ada yang sebagian saja, tidak dari sor-soran keujung bilah. Tuahnya untuk melindungi si pemilik dari musibah mendadak. Bahasa Jawanya “Singkir Baya” atau “Tulak Bilahi”. Pamor ini tidak pemilih.

ROJO SULEMAN.
Ada yang menyebut pamor Nabi Sulaiman. Banyak pula yang mengatakan ini adalah rajanya pamor. Letaknya ditengah sor-soran. Tuahnya memang merupakan kumpulan dari hal-hal yang baik, positip. Menghindari bahaya dan mencari jalan rejeki, wibawanya kuat, disayang dan disegani orang disekilingnya. Namun pamor ini punya sifat “memilih”.

BATU LAPAK.
Bentuknya menyerupai pusaran yang melingkar-lingkar, biasanya lebih dari lima. Letaknya di sor-soran tengah. Tuahnya “Singkir Baya”. Baik untuk anggota Militer ataupun orang biasa. Berkhasiat bagi yang mempelajari kekebalan, bela diri. Pamor tidak memilih.

SIRAT.
Kadang disebut “Teja Bungkus” atau “Bima Bungkus”, baik dipegang oleh mereka yang punya posisi pimpinan karena factor wibawa, kepemimpinan dan disayang anak buah.

TUNGGUL WULUNG.
Yang baik kalau pamor Tunggul Wulung ini merupakan pamor tiban. Bentuknya mirip gambar anak yang sangat sederhana, hanya kepala, tangan dan kaki dan menempati daerah blumbangan. Tuahnya menolak berbagai macam penyakit dan tidak memilih tetapi pemiliknya harus berperi-laku baik, tak boleh menyeleweng. Tergolong pamor langka.

LINTANG KEMUKUS.
Disebut juga “Kukus Tunggal”, bentuknya seperti Sodo Saler, hanya dibagian sor-soran pamor ini menggumpal. Gumpalan ini boleh berupa Benang Setukel atau Tunggak Semi atau Wos Wutah atau juga Bawang Sebungkul. Selain dipercaya membawa rejeki juga untuk ketenaran dan menambah wibawa. Tidak pemilih.

PANCURAN MAS.
Banyak dicari pedagang dan pengusaha karena dipercaya membawa keberuntungan bagi pemiliknya, lagipula tidak pemilih. Bentuknya mirip Sada Saler tetapi dibagian ganjanya tepat diujung Sada Saler pamornya seperti bercabang dua.

SADA SALER.
Arti harfiahnya Lidi Sebatang, bentuknya sesuai dengan namanya. Berupa garis lurus membujur sepanjang bilah. Tuahnya ada yang untuk menambah kewibawaan, ketenaran (populeritas) atau keteguhan iman dan pamor ini cocok untuk semua orang.

WENGKON.
Ada yang menamakan pamor Tepen. Bentuknya mirip bingkai (wengkon artinya bingkai). Tuahnya untuk perlindungan, ada yang untuk menghindari dari godaan, ada yang memperbesar rasa hemat dan ada yang untuk menghindari dari guna-guna.

KUDHUNG.
Pamor ini selalu terletak diujung bilah dan tuahnya seperti namanya untuk melindungi pemiliknya dari serangan guna-guna dan perlindungan dalam situasi darurat. Pamor ini sering digunakan untuk “penunggu rumah”.

SATRIYA PINAYUNGAN.
Ada dua macam pamor Satriya Pinayungan. Yang pertama pamor pada bagian sor-soran, apa saja bentuknya, bisa Wos Wutah, lalu diatas pamor itu (dekat ujung bilah) terdapat pamor Kudhung.
Yang kedua, motif pada sor-soran menyerupai Udan Mas tapi bentuknya teratur. Tiga bulatan mendatar diteruskan beberapa bulatan keatas.

Tuahnya sama, membi perlindungan bagi pemiliknya dari perbuatan sirik orang lain. Walau keduanya tidak pemilih tetapi pamor yang pertama lebih cocok untuk mereka yang bekerja di pemerintahan sedangkan yang kedua untuk wiraswasta.
 Untuk yang pertama dianut oleh penggemar keris dari Solo ketimur, sedang kedua oleh penggemar dari Yogya ke barat, mana yang benar tetapi pendapat keduanya diterima oleh sebagian besar penggemar keris.

BADAELA.
Pamor ini tuahnya buruk, ada yang menyebut pamor Bebala. Sebaiknya dilarung saja sebab pemiliknya akan kena pindah, dicurigai serta menerima akibat buruk pekerjaan orang lain

SEGARA WEDHI.
Terjemahan dalam Bahasa Indonesia, Gurun Pasir. Namun sifat tuahnya bukan berarti “kering kerontang” atau “gersang” melainkan justru baik. Menurut banyak orang tuahnya mudah mendapatkan rejeki. Mirip Udan Mas tetapi bulatannya lebih kecil dan lebih banyak serta tersebar diseluruh permukaan bilah. Pamor ini tergolong tidak pemilih.

UNTU WALANG.
Arti harafiahnya “Gigi Belalang”, tuahnya menambah kewibawaan seseorang. Dituruti kata katanya dan pamor ini tergolong pemilih, hanya orang yang punya kedudukan cukup tinggi bisa cocok. Untuk guru dan pendidik biasanya juga cocok.

TUNDUNG.
Tergolong pamor yang buruk tuahnya. Sipemilik akan sering pindah rumah atau diusir oleh sesuatu sebab. Rumahtangga tidak tentram dan dijauhi rejeki. Sebaiknya dibuang saja.

ENDAS BAYA.
‎Tuahnya buruk, sipemilik sering dapat musibah karena tingkah lakunya sendiri. Sebaiknya dibuang saja karena siapapun pemakainya akan selalu sial.

DHADHUNG MUNTIR.
‎Mirip Sada Saler tetapi “garis” ditengah bilah mempunyai motif seperti pilinan tambang atau dhadhung. Tuahnya sama dengan Sada Saler, menyangkut kewibawaan, keteguhan hati. Pamor ini banyak terdapat pada keris buatan Madura dan tergolong pamor pemilih.

RAHTAMA.
Terletak dibagian sor-soran merupakan pamor tiban diantara pamor dominan seperti Wos Wutah dan Ngulit Semangka. Baik sekali jika diberikan pada suami-istri yang baru menikah dengan harapan agar memperoleh anak yang soleh dan berbudi luhur.

PUSAR BUMI.
Disebut juga Puser Bumi. Bentuknya mirip Udan Mas tetapi dengan skala yang jauh lebih besar, minimal sebesar koin limapuluh rupiah dan kadang sampai 8 cm, terutama pada bilah tombak. Pamor ini tergolong pamor miring, merupakan lingaran yang berlapis dan bukan melingkar seperti obat nyamuk, tuahnya baik tetapi pemilih dan tidak semua orang “kuat” memilikinya. Umumnya dipercaya sebagai pamor yang baik untuk menjaga rumah.

LINTAS MAS.
Letaknya dibagian tengah sor-roran, paling sedikit jumlah pusaran-pusarannya ada lima buah. Baik untuk berdagang terutama perhiasan. Pamor ini pemilih dan tuahnya hanya bisa dirasakan oleh yang cocok saja.

SODO SALER.
Bentuknya merupakan garis lurus dari sor-soran keujung bilah. Tuahnya untuk kewibawaan dan keprajuritan serta meneguhkan dalam mencapai cita-cita, baik untuk militer atau yang berambisi mencapai sesuatu cita-cita. Tergolong pemilih.

NUR.
Letaknya ditengah sor-soran, mirip huruf S. tuahnya baik terutama untuk guru, pemimpin atau orang yang dituakan serta wibawanya besar, punya sifat pelindung dan tempat bertanya orang lain. Sifatnya pemilih, untuk yang masih “muda”  umumnya kurang kuat.

SEKAR SUSUN.‎
Hampir seperti Melati Rinonce tetapi ukuran bunganya lebih besar. Bentuk bunga seperti bulatan pada pamor Bendo Segodo. Memudahkan dalam mencari rejeki dan tidak pemilih. Hanya ditemukan pada keris keris yang relatif muda.

SEKAR TEBU.
Hampir seperti Blarak Ngirid atau Sinered, tetapi ujungnya tidak sampai kebilah keris, malainkan agak mengumpul ditengah saja dan guratannya lebih halus. Tidak pemilih dan tuahnya untuk kewibawaan dan kepemimpinan.         
 
KLABANG SAYUTO.
Seperti paduan pamor Blarak Ngirid dan Naga Rangsang. Sepintas seperti seekor klabang dengan kaki seribunya. Dipercaya bisa menambah kewibawaan dan kekuasaan. Pamor ini tergolong pemilih dan hanya cocok bagi yang memegang posisi pimpinan.
 
MANGGAR.
Mirip untaian Bunga Kelapa. Merupakan kumpulan dari bentuk pamor macam pamor Wiji Timun tetapi letaknya sering menyudut, bersusun dari sor-soran keujung bilah. Memudahkan mencari rejeki dan menonjol dalam lingkungan pergaulan. Tidak pemilih.
 
JALA TUNDA.
Tergolong pamor pemilih. Tuahnya untuk ketenaran, untuk menonjol dalam lingkungandan tergolong pamor langka walau dari teknik pembuatan tidak terlampau sukar. Sepintas mirip pamor Wengkon tetapi lebar dan pada bagian dalam ada lekuk-lekuk yang terkadang simetris berhadapan tetapi pada bagian lain sering tidak simetris. Pamor Jala Tunda yang bagus, garis-garis yang menjadi wengkon biasanya halus dan rangkap banyak sekali.
 
SUMUR BANDUNG.
Merupakan bulatan hitam besi tanpa pamor sebesar uang logam lima puluh sen-an atau lebih kecil sedikit letaknya ditengah bilah, diantara pamor – biasanya Wos Wutah nggajih atau Pendaringan Kebak nggajih. Banyak terdapat pada keris buatan Madura. Tergolong pamor pemilih dan paling cocok buat keprajuritan, militer atau yang belajar ilmu kekebalan.
 
BUNTEL MAYIT.
Nama yang menyeramkan, artinya “pembungkus mayat”. Tergolong pamor sangat pemilih. Kalau cocok akan cepat menanjak kariernya atau kekayaannya tetapi kalau tidak cocok bisa mendapatkan malapetaka. Karena itu bila menginginkan pamor ini sebaiknya ditanyakan dulu pada mereka yang tahu agar bisa dilihat cocok atau tidaknya.
 
JAROT ASEM.
Ini termasuk pamor langka walau tampaknya sangat sederhana tetapi pembuatannya sangat sulit. Sepintas seperti jalinan serabut kasar, saling menyilang arahnya tetapi tidak ada kesan tumpang tindih. Pamor ini dipercaya memberikan pengarus baik pada pemiliknya, menjadi teguh hatinya dan besar tekatnya. Amat cocok bagi yang punya cita cita besar baik dalam pendidikan ataupun dalam pekerjaan.
 
KENDHIT GUMANTUNG.
Ini termasuk pamor tiba. Letaknya dibagian sor-soran dan biasanya bercampur pamor yang lebih dominan seperti Wos Wutah atau Ngulit Semangka. Baik untuk setiap orang. Dipercaya dapat menolak segala macam penyakit menular, jadi seperti anti wabah. Tetapi pemiliknya harus menjaga tingkah lakunya dan jangan sampai menyeleweng dari jalan yang lurus.
 
KUPU TARUNG.
Sepintas seperti gambar kupu-kupu sedang berlaga. Namun esoterinya tidak ada sangkut paut dengan bidang laga, bahkan baik untuk pergaulan. Pamor ini tidak pemilih dan terletak sepanjang bilah dari sor-soran hingga ujung bilah.
 
MRUTU SEWU.
Mirip Udan Mas dan Sisik Sewu. Pamornya berupa bulatan besar dan kecil, rapat satu sama lainnya dan disela pamor yang berbentuk pusaran-pusaran itu ada semacam titik-titik pamor kecil. Pamor ini memudahkan mencari rejaki juga dipercaya orang memudahkan anak gadis atau janda dalam mencari jodoh dan pamor ini tidak pemilih.
 
RATU PINAYUNGAN.
Tergolong pamor tiban yang letaknya di sor-soran dan biasanya bercampur pamor dominan lainnya. Pengaruhnya baik pada pemiliknya, melindungi marabahaya, berwibawa dan punya pengaruh luas. Baik bagi seorang pimpinan tetapi tergolong keris pemilih.
 
LAWE SETUKEL.
Biasa disebut “benang setukel” atau “saukel”. Sepintas memang mirip benang yang diurai dari gulungannya. Keris ini cocok untuk polisi, militer atau pekerja lapangan. Banyak yang menganggap keris ini bisa menolak guna-guna dan keris ini tergolong pemilih.
 
YOGAPATI.
Hati-hatilah bila berjumpa dengan keris ini. Pamor ini punya pengaruh buruk sekali, terutama buat yang bekeluarga. Sering anak-anak sang pemilik sakit-sakitan atau bahkan meninggal. Sebaiknya dilarung saja.
 
KINASIHAN.
Ini pamor baik dan tidak pemilih, tuahnya disayang dan dihormati orang sekeliling. Factor rejeki juga baik, bisa lumintu (selalu ada saja)  
 
KALACAKRA.
Tergolong pamor langka. Untuk penguasaan wilayah, kekuasaan dan kewibawaan serta kepemimpinan. Baik dipakai oleh pemimpin masyarakat. Ada faktor penolak bala dan guna-guna.
 
BUNGKUS.
Bentuknya sederhana, Cuma gambaran seperti tonjolan berlekuk-lekukbagai kepompong ulat dan letaknya di sor-soran. Tuahnya memudahkan mencari rejeki, hemat serta merupakan pamor yang tidak pemilih. Paling cocok untuk pedagang atau pengusaha.
 
SLAMET.
Bentuknya mirip bayi berjambul sedang tidur. Letaknya di sor-soran dan juga terdapat pada tombak atau pedang. Tuahnya adalah untuk keselamatan dan tergolong “singkir baya”, termasuk berguna untuk menolak guna-guna. Kelebihan dibanding pamor lain, pamor Slamet ini juga mencegah fitnah serta omongan negatif. Tidak pemilih dan cocok untuk semua orang.
 
MAKRIB.
Kadang disebut pamor Makarib. Tuahnya baik sekali, menyangkut kepemimpinan, rejeki dan keselamatan dalam perjalanan dan pamor ini tidak pemilih.
 
TELAGA MEMBLENG.
Bentuknya menyerupai gelang-gelang yang tidak begitu bulat dan paling sedikit ada tiga gelang-gelang. Letaknya pada bagian pejetan (blumbangan) dibelakang gandhik. Tuahnya untuk penumpukan harta dan rejeki, yang sudah kita terima sukar keluar lagi kecuali untuk hal yang bermanfaat. Baik buat orang yang pemboros agar bisa lebih hemat dan pamor ini tidak pemilih.
 
PANGURIPAN.
Disebut juga pamor Ngurip-urip, mirip pamor Tamsul Kinurung tetapi bentuk utamanya bukan jajaran genjang melainkan lingkaran-lingkaran yang pada satu sisinya seperti meleleh. Letaknya ditengah sor-soran, tuahnya seperti namanya untuk memudahkan mencari sandang-pangan, rejeki. Pamor ini istimewa dan kadang bisa digunakan untuk mengusir mahluk halus. Perbawanya dijauhi binatang buas. Termasuk pamor tidak pemilih.
 
DIKILING.
Ada yang menyebut pamor Dingkiling atau Cengkiling, tuahnya buruk bagi yang sudah berumah tangga. Sering ruwet, cekcok dan tidak tentram bahkan bisa jadi rumahtangganya akan bubar.
 
GANGGENG KANYUT.
Tuahnya seperti Sekar Lampes, tetapi yang menonjol justru kewibawaannya, tergolong juga pamor pemilih.
 
UNTHUK BANYU.
Mirip dengan air berbuih, tuahnya untuk rejeki dan pergaulan serta mengurangi sifat boros. Tergolong tidak pemilh.
 
WENGKON.
Ada yang menyebut pamot Tepen, ada yang menyebut Lis-lisan. Bentuknya merupakan alur pamor yang merata sepanjang pinggiran bilah keris. Tuahnya macam-macam, ada yang bersifat perlindungan bagi pemiliknya agar terhindar dari bahaya. Ad yang memberikan perlindungan terhadap godaan batin, ada pula yang menambah rasa hemat. Pamor ini tidak pemilih.
 
TEJO KINURUNG.
Seperti perpaduan pamor Sada Saler dan Wengkon, tuahnya cenderung seperti Sada Saler yaitu berkaitan dengan kepemimpinan dan derajat. Tergolong pemilih.
 
WIJI SEMEN.
Tergolong pamor rekan dan juga pemilih. Tuahnya melindungi dari guna-guna atau mahluk halus. Tergolong pamor miring yang menempati bagian bilah dari sor-soran sampai keujung bilah.
 
TUMPUK.
Terletak dibagian sor-soran, bentuknya menyerupai garis melintang antara tiga sampai lima lapis, manfaatnya seperti Udan Mas, memudahkan “menumpuk” rejeki. Pada umumnya kerisnya lurus dengan dapur kalau tidak Tilam Upih atau Brojol.
 
ROJOGUNDOLO (A).
Sebagian orang menyebut Gundolorojo. Umumnya terletak ditengah sor-soran, namun adakalanya terletak agak ketengah bilah keris. Bentuknya mirip gambar mahluk yang menakutkan, kadang seperti perempuan kadang seperti laki-laki atau juga hewan. Rojogundolo yang bertuah biasanya yang dari pamor tiban dan bukan rekan.
 
ROJOGUNDOLO (B).
Umumnya bersifat perlindungan terhadap pemiliknya, bisa digunakan menolak guna-guna, memindahkan mahluk halus, membersihkan rumah “angker” bahkan jika kerisnya istimewa bisa digunakan menyembuhkan orang yang kesurupan. Tergolong pamor tidak pemilih dan bisa juga terdapat di tombak atau pedang.
Masih banyak lagi pamor yang belum terdata disini, pamor buatanpun sering tidak terdata dengan baik dan kadang penamaan pamor juga hanya berdasarkan gambar yang terjadi belum ada padanannya atau juga karena timbul kreasi baru dari sipemesan keris kepada sang empu agar dibuatkan pamor seperti rancangannya.
Semua masukan mengenai pamor yang baik tercantum didalam tulisan ini ataupun belum tercantum sangat diharapkan untuk melengkapi data dan kekayaan informasi pamor agar informasi itu tidak hilang begitu saja.

 

Mengenal Filsafat Keris dan Tosan Aji


Ada pepatah yang menyatakan : "Penghargaan pada seseorang tergantung karena busananya." Mungkin pepatah itu lahir dari pandangan psikolog yang mendasarkan pada kerapian, kebersihan busana yang dipakai seseorang itu menunjukkan watak atau karakter yang ada dalam diri orang itu.
Di kalangan masyarakat Jawa Tengah pada umumnya untuk suatu perhelatan tertentu, misalnya pada upacara perkawinan, para kaum prianya harus mengenakan busana Jawi jangkep (busana Jawa lengkap).

Dan kewajiban itu harus ditaati terutama oleh mempelai pria, yaitu harus menggunakan/memakai busana pengantin gaya Jawa yaitu berkain batik, baju pengantin, tutup kepala (kuluk) dan juga sebilah keris diselipkan di pinggang. Mengapa harus keris? Karena keris itu oleh kalangan masyarakat di Jawa dilambangkan sebagai simbol "kejantanan." Dan terkadang apabila karena suatu sebab pengantin prianya berhalangan hadir dalam upacara temu pengantin, maka ia diwakili sebilah keris. Keris merupakan lambang pusaka.

Pandangan ini sebenarnya berawal dari kepercayaan masyarakat Jawa dulu, bahwa awal mula eksistensi mahkluk di bumi atau di dunia bersumber dari filsafat agraris, yaitu dari menyatunya unsur lelaki dengan unsur perempuan. Di dunia ini Allah Swt, menciptakan makhluk dalam dua jenis seks yaitu lelaki dan perempuan, baik manusia, hewan, maupun tumbuh-tumbuhan.

Kepercayaan pada filsafat agraris ini sangat mendasar di lingkungan keluarga besar Karaton di Jawa, seperti Karaton Kasunanan Surakarta, Kasultanan Yogyakarta, dan lain-lain. Kepercayaan itu mulanya dari Hinduisme yang pernah dianut oleh masyarakat di Jawa. Lalu muncul pula kepercayaan tentang bapa angkasa dan ibu bumi/pertiwi. 

Yang juga dekat dengan kepercayaan filsafat agraris di masyarakat Jawa terwujud dalam bentuk upacara kirab pusaka pada menjelang satu Sura dalam kalender Jawa dengan mengkirabkan pusaka unggulan Karaton yang terdiri dari senjata tajam: tombak pusaka, pisau besar (bendho).

Arak-arakan pengirab senjata pusaka unggulan Karaton berjalan mengelilingi komplek Karaton sambil memusatkan pikiran, perasaan, memuji dan memohon kepada Sang Maha Pencipta alam semesta, untuk beroleh perlindungan, kebahagiaan, kesejahteraan lahir dan batin.

Fungsi utama dari senjata tajam pusaka dulu adalah alat untuk membela diri dari serangan musuh, dan binatang atau untuk membunuh musuh. Namun kemudian fungsi dari senjata tajam seperti keris pusaka atau tombak pusaka itu berubah. Di masa damai, kadang orang menggunakan keris hanya sebagai kelengkapan busana upacara kebesaran saat temu pengantin. 

Maka keris pun dihias dengan intan atau berlian pada pangkal hulu keris. Bahkan sarungnya yang terbuat dari logam diukir sedemikian indah, berlapis emas berkilauan sebagai kebanggaan pemakainya. Lalu, tak urung keris itu menjadi komoditi bisnis yang tinggi nilainya.

Tosan Aji atau senjata pusaka itu bukan hanya keris dan tombak khas Jawa saja, melainkan hampir seluruh daerah di Indonesia memiliki senjata tajam pusaka andalan, seperti rencong di Aceh, badik di Makasar, pedang, tombak berujung tiga  (trisula), keris bali, dan lain-lain.

Ketika Sultan Agung menyerang Kadipaten Pati dengan gelar perang Garudha Nglayang, Supit Urang, Wukir Jaladri, atau gelar Dirada Meta, prajurit yang mendampingi menggunakan senjata tombak yang wajahnya diukir gambar kalacakra.

Keris pusaka atau tombak pusaka yang merupakan pusaka unggulan itu keampuhannya bukan saja karena dibuat dari unsur besi baja, besi, nikel, bahkan dicampur dengan unsur batu meteorid yang jatuh dari angkasa sehingga kokoh kuat, tetapi cara pembuatannya disertai dengan iringan doa kepada Sang Maha Pencipta Alam (Allah SWT) dengan suatu upaya spiritual oleh Sang Empu. 

Sehingga kekuatan spiritual Sang Maha Pencipta Alam itu pun dipercayai orang sebagai kekuatan magis atau mengandung tuah sehingga dapat mempengaruhi pihak lawan menjadi ketakutan kepada pemakai senjata pusaka itu.

Pernah ada suatu pendapat yang berdasarkan pada tes ilmiah terhadap keris pusaka dan dinyatakan bahwa keris pusaka itu mengeluarkan energi/kekuatan yang tidak kasat mata (tak tampak dengan mata biasa).

Yang menarik hati adalah keris yang dipakai untuk kelengkapan busana pengantin pria khas Jawa. Keris itu dihiasi dengan untaian bunga mawar melati yang dikalungkan pada hulu batang keris. Ternyata itu bukan hanya sekedar hiasan, melainkan mengandung makna untuk mengingatkan orang agar jangan memiliki watak beringas, emosional, pemarah, adigang-adigung-adiguna, sewenang-wenang dan mau menangnya sendiri seperti watak Harya Penangsang.

Kaitannya dengan Harya Penangsang ialah saat Harya Penangsang berperang melawan Sutawijaya, karena Penangsang pemarah, emosional, tidak bisa menahan diri, perutnya tertusuk tombak Kyai Plered yang dihujamkan oleh Sutawijaya. Usus keluar dari perutnya yang robek. Dalam keadaan ingin balas dendam dengan penuh kemarahan Penangsang yang sudah kesakitan itu mengalungkan ususnya ke hulu keris di pinggangnya. Ia terus menyerang musuhnya.

Pada suatu saat Penangsang akan menusuk lawannya dengan keris Kyai Setan Kober di bagian pinggang, begitu keris dihunus, ususnya terputus oleh mata keris pusakanya. Penangsang mati dalam perang dahsyat yang menelan banyak korban. Dari peristiwa itulah muncul ide keris pengantin dengan hiasan untaian bunga mawar dan melati.

Tosan aji atau senjata pusaka seperti tombak, keris dan lain-lain itu bisa menimbulkan rasa keberanian yang luar biasa kepada pemilik atau pembawanya. Orang menyebut itu sebagai piyandel, penambah kepercayaan diri, bahkan keris pusaka atau tombak pusaka yang diberikan oleh Sang Raja terhadap bangsawan Karaton itu mengandung kepercayaan Sang Raja terhadap bangsawan unggulan itu. Namun manakala kepercayaan sang raja itu dirusak oleh perilaku buruk sang adipati yang diberi keris tersebut, maka keris pusaka pemberian itu akan ditarik/diminta kembali oleh sang raja.

Hubungan keris dengan sarungnya secara khusus oleh masyarakat Jawa diartikan secara ilosoi sebagai hubungan akrab, menyatu untuk mencapai keharmonisan hidup di dunia. Maka lahirlah filosofi "manunggaling kawula – Gusti", bersatunya abdi dengan rajanya, bersatunya insan kamil dengan Penciptanya, bersatunya rakyat dengan pemimpinnya, sehingga kehidupan selalu aman damai, tentram, bahagia, sehat sejahtera.

Selain saling menghormati satu dengan yang lain masing-masing juga harus tahu diri untuk berkarya sesuai dengan porsi dan fungsinya masing-masing secara benar. Namun demikian, makna yang dalam dari tosan aji sebagai karya seni budaya nasional yang mengandung berbagai aspek dalam kehidupan masyarakat Jawa pada umumnya,kini terancam perkembangannya karena aspek teknologi sebagai sahabat budayanya kurang diminati ketimbang aspek legenda magisnya.

Makna keris Jalak Sangu Tumpeng

Dalam pakem perkerisan, sangat banyak dapur jalak yang kita kenal, antara lain : Jalak, Jalak Ngore, Jalak Dinding, Jalak Sinom, dan Jalak Sangu Tumpeng. Dapur Jalak hampir semuanya merupakan dapur yang populer. Bahkan kerap ditemui dapur Jalak Sangu Tumpeng disimpan sebagai pusaka keluarga. Keris dapur ini kadang diberikan orang tua kepada anaknya ketika hendak pergi merantau mencari nafkah (bekerja).

Dapur Keris Jalak merupakan dapur keris yang telah ada sejak jaman kuno. Bagi sebagian penggemar keris, dapur Jalak Sangu Tumpeng dipercaya sebagai pusaka yang mempunyai tuah ke-rejeki-an atau memudahkan mencari nafkah. Bagi sebagian orang hal semacam ini dianggap kepercayaan yang mistik dan sirik. 

Meski dalam kenyataannya, nuansa cultural leluhur (khususnya orang jawa) akan sulit ditinggalkan sampai kapan pun dalam memandang suatu pusaka. Karena itu tuduhan syirik jelas ditolak mentah-mentah, sebab budaya leluhur mengajarkan demikian dan sama sekali tidak memper-tuhan-kan sebilah keris. Meski demikian benturan anatar budaya dan agama masih saja sering terjadi.

Tidak ada salahnya jika kita sedikit memperluas cakrawala pemikiran. Kita mencoba untuk mencari, mempelajari dan memahami segala sesuatu dibalik nilai-nilai budaya, bukan sebaliknya justru meninggalkan dan membuang suatu karya budaya karena takut dituduh syirik atau dianggap kuno ketinggalan jaman.

Minimnya budaya baca-tulis bangsa ini di jaman dahulu menyebabkan banyak pengajaran hidup dilakukan secara lisan (tutur). Dan agar lebih mudah mengingatnya, banyak hal “dicatat” dalam bentuk simbol-simbol dari suatu produk budaya, misalkan dalam bentuk tarian, gambar, ukiran, cerita, upacara-upacara tradisi, dan tak terkecuali keris.

Tidak ada ukuran / standar bagaimana suatu dapur atau pamor keris harus diinterpretasikan maknanya. Makna yang direfleksikan pada sebuah dapur keris akan sangat tergantung pada keleluasaan cakrawala masing-masing individu. Ajaran filsafat jawa yang dibungkus dalam suatu karya seni keris, tentunya mempunyai suatu perlambang tentang ajaran mengenai hidup dan kehidupan. Dalam hal ini budaya jawa membuka lebar-lebar setiap interpretasi, dengan tetap berpijak pula kepada ajaran budi luhur para leluhur.

Penamaan dapur keris tidak lepas dari maksud dan tujuan yang hendak disampaikan dalam dapur keris itu sendiri. Hal ini tidak lepas dari makna setiap ricikan yang ada dalam sebilah keris. 

Mungkin dengan latar belakang demikianlah, seorang empu menciptakan dapur dan memberinya nama. Empu, dalam memberi nama dapur keris tidaklah sembarangan. Sebuah nama dapat merupakan doa, harapan, simbol dari suatu ajaran atau pun pandangan hidup. 

Para empu pinilih tersebut tidak hanya ahli dalam hal teknis olah tempa dan laras(“ilmu”), namun juga memiliki keleluasaan pengetahuan olah batin (“ngelmu”) yang dimanifestasikan dalam karyanya, baik secara estetika teknis fisik maupun aspek spiritual. Sehingga, dalam perkembangannya keris bukan hanya sebagai senjata, namun juga sebagai karya seni tempa logam yang memuat nilai-nilai budaya luhur.

Seseorang yang memberikan keris kepada orang lain atau keturunananya, seolah memberikan pesan dan harapan, agar penerima dapat menjalankan nilai-nilai yang terkandung di dalam dapur keris tersebut. Sedangkan empu keris seolah memberikan dorongan moril dan doa agar siapa pun yang menyimpan hasil karyanya, diberikan petunjuk oleh Tuhan, sesuai dengan nilai-nilai simbolik dalam keris karyanya tersebut.

Nama Jalak Sangu Tumpeng dapat diartikan Burung Jalak Berbekal Tumpeng. Tumpeng adalah nasi (dibentuk seperti gunung) dengan segala lauk pauknya dalam sebuah nampan. Hal tersebut nampaknya aneh dan tak masuk akal. 

Bagaimana burung jalak yang kecil dapat membawa bekal tumpeng yang sedemikian besar dan berat? Supaya tidak kekurangan makan? Padahal burung jalak tidak doyan nasi tumpeng. Jika keliru menafsirkan, bisa jadi Jalak Sangu Tumpeng diartikan sebagai symbol keserakahan dan orang yang memaksakan diri.

Philosofi dalam Burung Jalak dan Nasi Tumpeng

Jalak merupakan species burung yang di jawa terdapat beberapa jenis, anatar lain: Jalak Kebo (hitam), Jalak Pita (putih), dan alak Suren (hitam putih). Dari beberapa jenis ini, yang paling menarik tingkah lakunya adalah jalak suren (Sturnus Contra Jalla). 

Di Jawa, sejak dahulu burung ini dikenal sebagai burung peliharaan yang bisa membantu pemiliknya menjaga rumah. Burung tersebut mempunyai naluri yang peka (waspada) terhadap kedatangan tamu asing baik siang maupun malam. Dia akan berbunyi keras dan serak (bukan berkicau) jika ada orang datang dan belum dikenal seolah mengingatkan (ng-eling-ake) pemilik rumah. 

Selain itu, Jalak merupakan burung yang dalam mencari makan tidak merugikan orang lain. Sampai di sekitar tahun 70-an masih sering kita lihat burung ini di atas punggung kerbau di sawah. Relasi simbiosis mutualisme dengan kerbau. Jalak memperoleh makanan dan kerbau jadi sehat. Di sisi lain, jalak juga dikenal sebagai burung yang setia kepada pasangannya.

Kukila tumraping tiyang jawi, mujudaken simbul panglipur, saget andayani renaming penggalih, satemah saget ngicalaken raos bebeg, sengkeling penggalih. Candra pasemonanipun: pindha keblaking swiwi kukila, ingkang tansah ngawe-ngawe ngupaya boga, kinarya anyekapi ing bab kabetahanipun. Dene kukila ingkang sampun pikanthuk ing bab kabetahanipun, kukila kala wau lajeng wangsul dhumateng tuk sumberipun, asalusulipun, inggih punika wangsul dhateng susuhipun, ambekta kabetahaning gesangipun.

(terjemahan bebas: bagi orang Jawa, burung merupakan symbol pelipur duka, memberikan rasa senang di hati,menghilangkan rasa dongkol kejengkelan di hati. Sedangkan gambaran sosoknya, dimana kepakan sayapnya melambai-lambai merupakan usaha dalam mencari pangan (nafkah), untuk memenuhi kebutuhan. Urung yang telah mendapatkan pangan, kemudian pulang kembali ke sarangnya (rumah dan keluarganya).

Tumpeng merupakan sajian nasi kerucut dengan aneka lauk pauk yang ditempatkan dalam tampah (nampan besar, bulat, dari anyaman bambu). Tumpeng merupakan tradisi sajian yang digunakan dalam upacara, baik yang sifatnya kesedihan maupun gembira.

Tumpeng dalam ritual Jawa jenisnya ada bermacam-macam, antara lain : tumpeng sangga langit, Arga Dumilah, Tumpeng Megono dan Tumpeng Robyong. Tumpeng sarat dengan symbol mengenai ajaran makna hidup. Tumpeng robyong disering dipakai sebagai sarana upacara Slametan (Tasyakuran). 

Tumpeng Robyong merupakan symbol keselamatan, kesuburan dan kesejahteraan. Tumpeng yang menyerupai Gunung menggambarkan kemakmuran sejati. Air yang mengalir dari gunung akan menghidupitumbuh-tumbuhan. Tumbuhan yang dibentuk ribyong disebut semi atau semen, yang berarti hidup dan tumbuh berkembang. Pada jaman dahulu, tumpeng selalu disajikan dari nasi putih. Nasi putih dan lauk-pauk dalam tumpeng juga mempunyai arti simbolik, yaitu:

Nasi putih: berbentuk gunungan atau kerucut yang melambangkan tangan merapatmenyembah kepada Tuhan. Juga, nasi putih melambangkan segala sesuatu yang kita makan, menjadi darah dan daging haruslah dipilih dari sumber yang bersih atau halal. Bentuk gunungan ini juga bisa diartikan sebagai harapan agar kesejahteraan hidup kita pun semakin “naik” dan “tinggi”.

Ayam: ayam jago (jantan) yang dimasak utuh ingkung dengan bumbu kuning/kunir dan diberi areh (kaldu santan yang kental), merupakan symbol menyembah Tuhan dengan khusuk (manekung) dengan hati yang tenang (wening). Ketenangan hati dicapai dengan mengendalikan diri dan sabar (nge”reh” rasa). 

Menyembelih ayam jago juga mempunyai makna menghindari sifat-sifat buruk (yang dilambangkan oleh, red) ayam jago, antara lain: sombong, congkak, kalau berbicara selalu menyela dan merasa tahu/menang/benar sendiri (berkokok), tidak setia dan tidak perhatian kepada anak istri.

Ikan Lele: dahulu lauk ikan yang digunakan adalah ikan lele bukan banding atau gurami atau lainnya. Ikan lele tahan hidup di air yang tidak mengalir dan di dasar sungai. Hal tersebut merupakan symbol ketabahan, keuletan dalam hidup dan sanggup hidup dalam situasi ekonomi yang paling bawah sekalipun.

Ikan Teri / Gereh Pethek: Ikan teri/gereh pethek dapat digoreng dengan tepung atau tanpa tepung. Ikan Teri dan Ikan Pethek hidup di laut dan selalu bergerombol yang menyimbolkan kebersamaan dan kerukunan.

Telur: telur direbus pindang, bukan didadar atau mata sapi, dan disajikan utuh dengan kulitnya, jadi tidak dipotong – sehingga untuk memakannya harus dikupas terlebih dahulu. Hal tersebut melambangkan bahwa semua tindakan kita harus direncanakan (dikupas), dikerjakan sesuai rencana dan dievaluasi hasilnya demi kesempurnaan. 

Piwulang jawa mengajarkan “Tata, Titi, Titis dan Tatas”, yang berarti etos kerja yang baik adalah kerja yang terencana, teliti, tepat perhitungan,dan diselesaikan dengan tuntas. Telur juga melambangkan manusia diciptakan Tuhan dengan derajat (fitrah) yang sama, yang membedakan hanyalah ketakwaan dan tingkah lakunya.

Sayuran dan urab-uraban: Sayuran yang digunakan antara lain kangkung, bayam, kacang panjang, taoge, kluwih dengan bumbu sambal parutan kelapa atau urap. Sayuran-sayuran tersebut juga mengandung symbol-simbol antara lain: kangkung berarti jinangkung yang berarti melindung, tercapai. 

Bayam (bayem) berarti ayem tentrem,taoge/cambah yang berarti tumbuh, kacang panjang berarti pemikiran yang jauh ke depan/innovative, brambang(bawang merah) yang melambangkan mempertimbangkan segala sesuatu dengan matang baik buruknya, cabe merah diujung tumpeng merupakan symbol dilah/api yang meberikan penerangan/tauladan yang bermanfaat bagi orang lain. Kluwih berarti linuwih atau mempunyai kelebihan dibanding lainnya. Bumbu urap berarti urip/hidup atau mampu menghidupi (menafkahi) keluarga.

Pada jaman dahulu, sesepuh yang memimpin doa selamatan biasanya akan menguraikan terlebih dahulu makna yang terkandung dalam sajian tumpeng. Dengan demikian para hadirin yang datang tahu akan makna tumpeng dan memperoleh wedaran yang berupa ajaran hidup serta nasehat. 

Dalam selamatan, nasi tumpeng kemudian dipotong dan diserahkan untuk orang tua atau yang “dituakan” sebagai penghormatan. Setelah itu, nasi tumpeng disantap bersama-sama. Upacara potong tumpeng ini melambangkan rasa syukur kepada Tuhan dan sekaligus ungkapan atau ajaran hidup mengenai kebersamaan dan kerukunan.

Ada sesanti jawi yang tidak asing bagi kita yaitu: mangan ora mangan waton kumpul (makan tidak makan yang penting kumpul). Hal ini tidak berarti meski serba kekuarang yang penting tetap berkumpul dengan sanak saudara. 

Pengertian sesanti tersebut yang seharusnya adalah mengutamakan semangat kebersamaan dalam rumah tangga, perlindungan orang tua terhadap anak-anaknya, dan kecintaan kepada keluarga. Di mana pun orang barada, meski harus merantau, harus lah tetap mengingat kepada keluarganya dan menjaga tali silaturahmi dengan sanak saudaranya.

Ricikan pada Keris Dapur Jalak Sangu Tumpeng

Jalak Sangu Tumpeng adalah keris lurus yang mempunyai makna selalu menempuh “jalan lurus” menuju keutamaan hidup. Jalan lurus yang ditempuh yaitu dengan menjalani perbuatan yang baik (Dadya laku utama), yang antara lain: tidak sombong, dan tidak mencela orang lain serta introspeksi terhadap diri sendiri. 

Apalagi orang yang dianggap cerdik pandai atau berkeuasa, perlu dihindari menjadi Prawata Bramantara yaitu orang yang tutur katanya membuat gusar oang lain atau membuat suasana menjadi semakin keruh. Kata-katanya tidak menentramkan, ibarat gunung yang tampaknya indah namun menghasilkan hawa panas yang berbahaya. Lebih dari itu, “laku utama” juga meliputi tindakan selalu menjaga ketakwaan kepada Tuhandan hubungan kepada keluarga, masyarakat dan lingkungannya (eling lan waspada).

Gandik Polos, merupakan symbol kekuatan, ketabahan hati, ketekunan dan rajin bekerja. Dalam budaya Jawa ada sesanti yang mengatakan : sapa sing temen bakal tinemu, sapa sing tatag lan teteg bakal tutug (siapa yang tekun akan menemukan jalan, siapa yang ulet dan tabah akan tercapai cita-citanya)

Tikel Alis, merupakan symbol baik-buruk dalam diri manusia, yang keduanya harus selalu dikendalikan. Pengendalian dua sifat tersebut akan terpancar pada watak seseorang.

Sogokan angkap (dua) dan Ada-ada, merupakan symbol dorongan/motivasi untuk selalu mempunyai ide/gagasan/inovasi kreatif untuk maju. Motivasi yang murni harus mulai dari niat lahir dan batin.

Tingil merupakan symbol bekal pengetahuan dan ketrampilan yang pinunjul. Dalam berkarya tentunya seseorang harus berbekal pengetahuan dan ketrampilan yang memadai.

Sraweyan merupakan symbol keluwesan. Dalam lehidupan hendaknya menjaga keselarasan terhadap sesame, masyarakat dan lingkungan, dan dapat beradaptasi dengan kebiasaan setempat dan menghargai pendapat serta sikap orang lain.

Pijetan/blumbangan, merupakan symbol keikhlasan hati dan kesabaran. Hidup dan bekerja harus dilandasi dengan hati yang senang, mencintai akan pekerjaannta dan ikhtiar serta tawakal. Tidak ada yang disebut takdir sebelum diawali dengan ikhtiar.

Jalak Sangu Tumpeng Merupakan Ajaran Hidup Dalam Mencari Nafkah

Dapur Jalak Sangu Tumpeng secara keseluruhan sebagaimana ditunjukan dalam simbolisasi Jalak, Tumpeng, bentuk keris lurus dan ricikan bilah merupakan ajaran hidup dalam mencari nafkah. Jalak merupakan symbol atau gambaran seseorang yang berkewajiban mencari nafkah – dan tentunya untuk keperluan tersebut dia perlu mempersiapkan diri baik mental maupun spiritual. 

Sesorang dalam mencari nafkah dan menjalani hidup diharapkan lebih mengutamakan perbuatan yang baik (dadya laku utama) selalu menjaga ketakwaan kepada Tuhan dan hubungan dengan keluarga, masyarakat serta lingungannya (eling lan waspada). 

Dalam mencari nafkah hendaknya berlaku jujur dan tidak merugikan orang lain, Mencari nafkah memang tidak mudah, namun jika diberi kemudahan hendaknya selalu juga waspada. Sebab uang sebanyak apapun jika tidak halal sumbernya jangan diambil. Lebih baik uang sedikit namun halal dan sah. Sebagaimana diajarkan dalam tembang dandanggula serat sana sunu (Yasadipura II):

“..yang suksma, angupaya sandang pangan teka gampil, yen gampang den waspada. Sangkaning arta yen tanprayogi, haywa arsa sanajan akathah, yen during sah hywa pinet, sathitik yen panuju, den pakolih amburu kasil, liring pakolih ingkang, sah tentrem ing kukum….”

Hal-hal yang tersirat dalam dapur Jalak Sangu Tumpeng merupakan pandangan dan pegangan hidup untuk mencapai sukses dalam bekerja dan berusaha. Sehingga, nilai-nilai yang terkandung dalam dapur ini, menjadikannya sebagai symbol pusaka dalam mencari nafkah. Sesorang yang menyimpan keris dapur ini, seolah menyimpan nilai-nilai ajaran yang dapat digunakan sebagai pandangan hidup.

Makna keris dengan dapur sempaner 

Dapur Sempaner (Sempanan Bener) merupakan nama salah satu dapur keris lurus yang sering kita jumpai mulai dari tangguh sepuh seperti Pajajaran, Majapahit, sampai tangguh Nom-noman. Sempaner berasal dari kata Sempana / Sumpena Bener yang secara harafiah berarti Mimpi yang benar. Ricikan dapur ini : Kembang kacang, tikel alis, Ri Pandan – ada pula yang menyebutkan mempunyai greneng, jalen, lambe gajah. Sempana bener dalam arti lebih dalam merupakan suatu pesan, angan-angan, harapan, cita-cita, keinginan apabila dilandasi suatu pemahaman yang benar menjadi suatu kenyataan. Pemahaman yang benar itulah yang akan mewujudkan suatu tercapainya harapan atau cita-cita. 

Dalam hal ini, suatu pesan bahwa manusia dalam menggapai suatu keinginan hendaknya diselaraskan dengan kemampuan atau potensi yang dimiliki, sebagaimana dalam ujar-ujar jawa disebutkan “Bisa rumangsa – aja rumangsa bisa”.

Macam-macam MimpiMimpi atau sumpena merupakan suatu penggembaraan bawah sadar manusia selama tidur ke tempat antah berantah atau berinteraksi dengan lingkungan, baik yang sudah dikenal maupun belum. Mimpi tertentu dipercaya sebagai perlambang akan terjadinya “sesuatu” dimasa yang akan datang atau sering disebut “sasmita”. Namun tidak semua mimpi merupakan perlambang. Dalam budaya jawa, orang bermimpi dibedakan dalam tiga macam :

- Titiyoni
- Gondoyoni
- Puspa Tajem
Tiyoni, merupakan mimpi yang biasanya terjadi antara jam 19.00-22.00. Mimpi pada saat ini biasanya merupakan gambaran dari pikiran yang tidak mampu ditinggalkan oleh seseorang pada saat menjelang tidur, seperti rasa gelisah, stress, kalut, cemas, dan lelah akibat aktivitas seharian. 

Mimpi ini penggambaran kejadiannya berubah-ubah, kadang terjadi secara tiba-tiba dan tidak runtut. Pada saat terbangun, biasanya kita lupa mengenai hal-hal yang terjadi dalam mimpi tersebut. Mimpi pada saat tiyoni tidak mempunyai makna.

Gondoyoni, merupakan mimpi yang biasanya terjadi antara jam 22.00-01.00 pagi. Mimpi pada saat Gondoyoni juga tidak mempunyai makna. Biasanya muncul dari bayangan, pemikiran atau angan-anagan saat terjaga atau sebelum tidur. Mimpi demikian disebut juga “impen-impenen” atau “kembange wong turu” atau “bunga tidur”.Biasanya mimpi pada saat itu tidak runtut berurutan dan mudah terlupakan saat bangun.

Puspa Tajem merupakan mimpi yang biasanya terjadi antara jam 01-04.00 pagi atau menjelang subuh. Waktu tersebut memasuki dua per tiga malam merupakan waktu yang utama. Mimpi pada saat ini umumnya mempunyai makna atau kemungkinan merupakan perlambang/firasat mengenai suatu kejadian (sasmita) yang akan menjadi kenyataan. 

Apabila perlambang dalam mimpi ini kemudian benar-benar terjadi dimasa yang akan datang, maka disebut mimpi yang Daradasih. Kejadian dalam mimpi tersebut seolah-olah terjadi sungguhan dan kejadiannya runtut berurutan. Bahkan, kadang membuat kita terbangun jika terkejut. Kejadian dalam mimpi ini masih melekat dalam ingatan pada saat terbangun dan selalu diingat dalam waktu yang lama.

Bagaimana mimpi yang mempunyai makna ini akan terwujud, kapan dan bagaimana, tentunya masih menjadi misteri. Kadang kita baru menyadari arti mimpi tersebut setelah terjadi suatu peristiwa di kemudian hari. Bagi orang yang mampu mengartikan mimpi tersebut dan benar-benar terjadi di waktu yang akan datang maka disebut “orang yang waskita”.

Simbolisasi Ricikan Dapur Sempaner : Sekar Kacang, Tikel Alis, Jalen, Lambe Gajah dan Greneng

Kembang Kacang, jaman dahulu kembang kacang sebagai ricikan keris disebut juga tlale (belalai) Gajah. Hal tersebut teringat dengan mitologi Ganesha, sebagai dewa lambang ilmu pengetahuan yang digambarkan selalu menghirup ilmu pengetahuan yang tiada habisnya dengan belalainya. Sekar kacang juga menyimbolkan adanya aktifitas tumbuh dan berkembang dan berbuah.

Jalen merupakan simbol jalannya nafas yang terus menerus dan lambe gajah merupakan simbol masuknya energi. Motivasi dan niat.

Tikel Alis, mempunyai arti ua alis (bulu mata) menunjukkan kedua mata. Tikel alis merupakan simbol sifat manusia ada sisi baik dan buruk, keduanya harus dapat dikendalikan. Dalam menggapai harapan hendaknya dipertimbangkan pada sisi baik buruknya.

Greneng berbentuk Ron Dha (Huruf jawa : Dha) atau kadang hanya berbentuk sederhana yang disebut Ri Pandan menyimbolkan suasana hati atau perasaan. Dari semua organ tubuh manusia yang menentukan tingkat derajat manusia yaitu dada (dha-dha). 

Dalam rongga dada itulah terletak hati, bathin, atau “perasaan” atau disebut “rasa”. Kalau “rasa” seseorang baik maka baiklah semua anggota tubuhnya, sebaliknya kalau “rasa” menjadi sakit maka “sakit”lah semua anggota tubuhnya. Rasa berarti merasakan sesuatu itu dalam segala dimensi. 

Rasa merupakan suatu keadaan yang hendak dicapai dalam diri seseorang terhadap sesuatu. Setiap orang memiliki rasa rasa dengan eksistensi yang berbeda-beda, tergantung pada wawasan, pengetahuan, moral dan sebagainya. Siapa yang mencapai rasa yang lebih mendalam dengan sendirinya hidupnya akan berubah (sikap pola pikir, perilaku). Ia akan memiliki sikap-sikap lain, yang lebih benar, serta yang lebih cocok dengan realitas sebenarnya.

Secara umum semuanya itu adalah melambangkan suatu pencarian dan mengembangkan pengetahuan, wawasan dan ketrampilan secara terus-menerus sampai tingkat tertentu. Hal tersebut merupakan syarat tercapainya cita-cita dan harapan. Mencari pengetahuan harus dilandasi dengan niat, motivasi yang kuat dan keberanian. 

Harapan dan cita-cita harus dipertimbangan dari sisi baik dan buruknya. Namun demikian orang harus menerima segala keterbatasannya. Orang perlu bersikap rela menerima keadaan apa adanya (Nrimo ing pandum). Nrima juga berarti iklas, menerima segala konsekuensi dan persoalan apa yang mendatangi kita tanpa keluh kesah. 

Hal ini bukan berarti apatis, nrima dalam arti seseorangwalaupun dalam keadaan kecewa, kesulitan dan kegagalan, tetap harus beraksi secara rasional, tidak ambruk dan tidak menentang secara percuma. Nrima menuntut untuk menerima apa adanya, tapi tidak hancur karenanya. Sikap nrima memberikan daya tahan untuk menanggung keadaan nasib” yang buruk. Bagi orang yang memiliki sikap itu maka “malapetaka akan kehilangan sengsaranya”.

Dapur Lurus : Bener-Lurus

Dalam berdoa kita selalu memohon untuk diberikan “Jalan yang Lurus” (sirotol mustaqin) kepada Tuhan. Lurus berarti tidak menyimpang dari jalur yang ditetapkan. Lurus juga berarti tidak berlebihan juga tidak kekurangan, berada di tengah-tengah. Seseorang yang jika di dalam hidupnya mengusahakan selalu berada di jalur lurus berarti akan bertindak jujur dan luhur budinya.

Berlaku jujur, bener lan pener akan menuju batin manusia yang selaras dengan realitas yang sebenarnya, dan oleh karena itu dengan sendirinya (Otomatis-konsekuen) memenuhi kewajiban, tugas dan peranan dan jabatan yang dituntut dari padanya. Mengembangkan diri pribadi, pengetahuan sesuai dengan bakat dan kemampuan (empan papan) dan tidak memaksakan kehendak / mengendalikan hawa nafsu. 

Selain itu, pengembangan pribadi dengan pengekangan hawa nafsu adalah salah satu cara. Karena nafsu akan memperlemah manusia. Mengendalikan hawa nafsu berarti mengembangkan budi pekerti. Untuk pencapaian budi pekerti (etika) yang baik umumnya dihalangi dua hal yaitu hawa nafsu dan pamrih.

Nafsu yang terkait dengan pamrih (egoisme) antara lain :
- Nafsu selalu ingin menonjol (nepsu menange dhewe)- Menganggap diri selalu betul (nepsu benere dhewe)- Memperhatikan diri sendiri (nepsu butuhe dhewe)

Sikap dasar yang luhur adalah kebebasan tanpa pamrih. Ujar-ujar jawa mengajarkan “sepi ing pamrih, rame ing gawe”. Sepi ing pamrih berarti melepaskan diri diri dari kepentingan pribadi dan mengutamakan kepentingan masyarakat demi keselarasan kehidupan. Manusia mencapai “sepi ing pamrih” apabila ia semakin tidak lagi perlu gelisah dan prihatin terhadap diri sendiri, semakin bebas dari nafsu ingin memiliki serta mempunyai hati yang tenang.

Rame ing gawe berarti melakukan apa yang dituntut oleh jabatandan kedudukan kita dalam masyarakat atau pun pekerjaan. Masing-masing menjalankan sesuai dengan tugas dan kewajiban yang diemban. Setiap orang harus menyadari keterbatasannya, sehingga tumbuh kerelaan untuk membatasi diri pada peran yang telah ditentukan di dunia.

Dalam hidup ini hendaknya dipahami benar ajaran Catur Merti – bersatunya pikiran, perasaan, perkataan dan perbuatan :

- Pikiran yang benar
- Perasaan yang benar
- Perkataan yang benar
- Perbuatan yang benar

Harapan yang Menjadi Kenyataan – Sumpena yang Daradasih – Sumpena Bener – Sempaner

Mimpi yang benar adalah hanya mimpi yang menjadi kenyataan (puspatajem daradasih). Harapan dan cita-cita yang baik yaitu harapan yang dapat diwujudkan sebagai kenyataan. Hal tersebut tentunya suatu harapan yang luhur (bener). 

Sempana Bener (sempaner) memaparkan ajaran bagaimana seseorang dapat menggapai harapannya secara benar. Dalam menggapai harapan hendaknya dilandasi dengan laku yang lurus dan benar, khususnya dalam hal etika sehingga akan tumbuh budi luhurnya. 

Budi luhur dicapai dengan sikap sederhana (prasaja), bersedia untuk menganggap dirinya lebih rendah dibanding orang lain (andhap asor), selalu sadar akan batas-batas dalam situasi dan lingkungan (tepa selira). Sebaliknya menghindarkan diri dari sikap yang jauh dari sifat budi luhur, yaitu : mencampuri urusan orang lain (dahwen/open), iri-dengki (srei), suka main intrik (jail), dan bersikap kasar (methakil).

Dari kedalaman rasa, pengetahuan, kemampuan seperti diuraikan di atas semua tercakup, maka tergantung apakah manusia sanggup untuk menempatkan diri dalam kosmosnya, serta dapat menemukan tempatnya yang cocok dan selaras. 

Menurut Aristoteles, manusia hanya dapat menemukan kebahagiaan apabila ia dapat mengaktualkan bakat-bakatnya. Untuk mewujudkan suatu harapan harus disertai dengan usaha dan kemampuan yang sesuai. Harapan tidak akan menjadi kenyataan jika tanpa disertai dengan usaha dan memampuan yang menyertainya. Keinginan harus disesuaikan dengan kapasitas pribadi, bakat, pengetahuan, menepati janji, jujur dan melakukan sesuai kewajiban. Sepi ing pamrih rame ing gawe.

 

Mengenal Budaya Suku Baduy Banten


Orang Kanekes atau orang Baduy adalah suatu kelompok masyarakat adat Sunda di wilayah Kabupaten Lebak, Banten. Sebutan “Baduy” merupakan sebutan yang diberikan oleh penduduk luar kepada kelompok masyarakat tersebut, berawal dari sebutan para peneliti Belanda yang agaknya mempersamakan mereka dengan kelompok Arab Badawi yang merupakan masyarakat yang berpindah-pindah (nomaden). 

Kemungkinan lain adalah karena adanya Sungai Baduy dan Gunung Baduy yang ada di bagian utara dari wilayah tersebut. Mereka sendiri lebih suka menyebut diri sebagai urang Kanekes atau “orang Kanekes” sesuai dengan nama wilayah mereka, atau sebutan yang mengacu kepada nama kampung mereka seperti Urang Cibeo.

Bahasa yang mereka gunakan adalah Bahasa Sunda dialek a–Banten. Untuk berkomunikasi dengan penduduk luar mereka lancar menggunakan Bahasa Indonesia, walaupun mereka tidak mendapatkan pengetahuan tersebut dari sekolah. Orang Kanekes ‘dalam’ tidak mengenal budaya tulis, sehingga adat istiadat, kepercayaan/agama, dan cerita nenek moyang hanya tersimpan di dalam tuturan lisan saja.

Menurut kepercayaan yang mereka anut, orang Kanekes mengaku keturunan dari Batara Cikal, salah satu dari tujuh dewa atau batara yang diutus ke bumi. Asal usul tersebut sering pula dihubungkan dengan Nabi Adam sebagai nenek moyang pertama. Menurut kepercayaan mereka, Adam dan keturunannya, termasuk warga Kanekes mempunyai tugas bertapa atau asketik (mandita) untuk menjaga harmoni dunia.

Pendapat mengenai asal-usul orang Kanekes berbeda dengan pendapat para ahli sejarah, yang mendasarkan pendapatnya dengan cara sintesis dari beberapa bukti sejarah berupa prasasti, catatan perjalanan pelaut Portugis dan Tiongkok, serta cerita rakyat mengenai ‘Tatar Sunda’ yang cukup minim keberadaannya. Masyarakat Kanekes dikaitkan dengan Kerajaan Sunda yang sebelum keruntuhannya pada abad ke-16 berpusat di Pakuan Pajajaran (sekitar Bogor sekarang). 

Sebelum berdirinya Kesultanan Banten, wilayah ujung barat pulau Jawa ini merupakan bagian penting dari Kerajaan Sunda. Banten merupakan pelabuhan dagang yang cukup besar. Sungai Ciujung dapat dilayari berbagai jenis perahu, dan ramai digunakan untuk pengangkutan hasil bumi dari wilayah pedalaman. Dengan demikian penguasa wilayah tersebut, yang disebut sebagai Pangeran Pucuk Umum menganggap bahwa kelestarian sungai perlu dipertahankan. 

Untuk itu diperintahkanlah sepasukan tentara kerajaan yang sangat terlatih untuk menjaga dan mengelola kawasan berhutan lebat dan berbukit di wilayah Gunung Kendeng tersebut. Keberadaan pasukan dengan tugasnya yang khusus tersebut tampaknya menjadi cikal bakal Masyarakat Baduy yang sampai sekarang masih mendiami wilayah hulu Sungai Ciujung di Gunung Kendeng tersebut. 

Perbedaan pendapat tersebut membawa kepada dugaan bahwa pada masa yang lalu, identitas dan kesejarahan mereka sengaja ditutup, yang mungkin adalah untuk melindungi komunitas Baduy sendiri dari serangan musuh-musuh Pajajaran.

Kepercayaan masyarakat Kanekes yang disebut sebagai Sunda Wiwitan berakar pada pemujaan kepada arwah nenek moyang (animisme) yang pada perkembangan selanjutnya juga dipengaruhi oleh agama Budha, Hindu, dan Islam. Inti kepercayaan tersebut ditunjukkan dengan adanya pikukuh atau ketentuan adat mutlak yang dianut dalam kehidupan sehari-hari orang Kanekes. Isi terpenting dari ‘pikukuh’ (kepatuhan) Kanekes tersebut adalah konsep “tanpa perubahan apapun”, atau perubahan sesedikit mungkin :

Lojor heunteu beunang dipotong, pèndèk heunteu beunang disambung.

(Panjang tidak bisa/tidak boleh dipotong, pendek tidak bisa/tidak boleh disambung)

Objek kepercayaan terpenting bagi masyarakat Kanekes adalah Arca Domas,yang lokasinya dirahasiakan dan dianggap paling sakral. masyarakatnya mengunjungi lokasi tersebut dan melakukan pemujaan setahun sekali pada bulan kalima. Hanya ketua adat tertinggi puun dan rombongannya yang terpilih saja yang dapat mengikuti rombongan tersebut. Di daerah arca tersebut terdapat batu lumping yang dipercaya apa bila saat pemujaan batu tersebut terlihat penuh maka pertanda hujan akan banyak turun dan panen akan berhasil, dan begitu juga sebaliknya, jika kering atau berair keruh pertanda akan terjadi kegagalan pada panen.

Masyarakat Baduy sejak dahulu memang selalu berpegang teguh kepada seluruh ketentuan maupun aturan-aturan yang telah ditetapkan oleh Pu’un (Kepala Adat) mereka. 

Kepatuhan kepada ketentuan-ketentuan tersebut menjadi pegangan mutlak untuk menjalani kehidupan bersama. Selain itu, didorong oleh keyakinan yang kuat, hampir keseluruhan masyarakat Baduy Luar maupun Baduy Dalam tidak pernah ada yang menentang atau menolak aturan yang diterapkan sang Pu’un.

Dengan menjalani kehidupan sesuai adat dan aturan yang ditetapkan oleh Kepala Adat di sana, tercipta sebuah komunitas dengan tatanan masyarakat yang amat damai dan sejahtera. Di masyarakat Baduy, tidak ada orang kaya, namun tidak ada orang miskin.Kehidupan mereka, hakekatnya, sama seperti layaknya kehidupan masyarakat lainnya. Hanya saja yang membedakannya adalah begitu banyak aturan tradisional yang terkesan kolot yang harus mereka patuhi.

Pakaian Suku Baduy

Dalam kehidupan keseharian manusia, berpakaian merupakan salah satu alat untuk melindungi diri dan menunjukan citra diri terhadap orang lain. Dalam hal ini masyarakat Baduy yang merupakan suku terasing di Banten sudah memikirkan dalam hal berpakaian dalam masyarakatnya. Sebelumnya Suku Baduy adalah suku yang menetap di ujung Pulau Jawa sebelah barat Suku Baduy terdiri dari dua kelompok masyarakat, yaitu Baduy Luar, yang tinggal luar daerah Baduy Dalam,dan baduy dalam yang menetap di Cibeo, Cikertawana dan Cikeusik.

Dalam pandangannya mereka yakin berasal dari satu keturunan, yang memiliki satu keyakinan, tingkah laku, cita-cita, termasuk busana yang dikenakannya pun adalah sama. Kalaupun ada perbedaan dalam berbusana, perbedaan itu hanya terletak pada bahan dasar, model dan warnanya saja.

Baduy Dalam merupakan masyarakat yang masih tetap mempertahankan dengan kuat nilai-nilai budaya warisan leluhurnya dan tidak terpengaruh oleh kebudayaan luar. Ini berbeda dengan Baduy Luar yang sudah mulai mengenal kebudayaan luar. 


Perbedaan antara Baduy Dalam dan Baduy Luar seperti itu dapat dilihat dari cara busananya berdasarkan status sosial, tingkat umur maupun fungsinya. Perbedaan busana hanya didasarkan pada jenis kelamin dan tingkat kepatuhan pada adat saja, yaitu Baduy Dalam dan Baduy Luar.

Untuk Baduy Dalam, para pria memakai baju lengan panjang yang disebut jamang sangsang, serba putih polos itu dapat mengandung makna suci bersih karena cara memakainya hanya disangsangkan atau dilekatkan di badan. Desain baju sangsang hanya dilubangi/dicoak pada bagian leher sampai bagian dada saja. Potongannya tidak memakai kerah, tidak pakai kancing dan tidak memakai kantong baju. Warna busana mereka umunnya adalah serba putih. 

Pembuatannya hanya menggunakan tangan dan tidak boleh dijahit dengan mesin. Bahan dasarnya pun harus terbuat dari benang kapas asli yang ditenun. Untuk bagian bawahnya menggunakan kain serupa sarung warna biru kehitaman, yang hanya dililitkan pada bagian pinggang. Agar kuat dan tidak melorot, sarung tadi diikat dengan selembar kain. 

Untuk kelengkapan pada bagian kepala suku baduy menggunakan ikat kepala berwarna putih. Ikat kepala ini berfungsi sebagai penutup rambut mereka yang panjang, kemudian dipadukan dengan selendang atau hasduk Masyarakat Baduy yakin dengan pakaian yang serba putih polos itu dapat mengandung makna suci bersih.

Bagi suku Baduy Luar, busana yang mereka pakai adalah baju kampret berwarna hitam. Ikat kepalanya juga berwarna biru tua dengan corak batik. Desain bajunya terbelah dua sampai ke bawah, seperti baju yang biasa dipakai khalayak ramai. Sedangkan potongan bajunya mengunakan kantong, kancing dan bahan dasarnya tidak diharuskan dari benang kapas murni. 

Cara berpakaian suku Baduy Luar Panamping memamg ada sedikit kelonggaran bila dibandingkan dengan Baduy Dalam. Terlihat dari warna, model ataupun corak busana Baduy Luar, menunjukan bahwa kehidupan mereka sudah terpengaruh oleh budaya luar. busana bagi kalangan pria Baduy adalah amat penting. Bagi masyarakat Baduy Dalam maupun Luar biasanya jika hendak bepergian selalu membawa senjata berupa golok yang diselipkan di balik pinggangnya serta dilengkapi dengan membawa tas kain atau tas koja yang dicangklek (disandang) di pundaknya.

Sedangkan, untuk busana yang dipakai di kalangan wanita Baduy dalam maupun Baduy Luar tidak terlalu menampakkan perbedaan yang mencolok. Model, potongan dan warna pakaian, kecuali baju adalah sama. Mereka mengenakan busana semacam sarung warna biru kehitam-hitaman dari tumit sampai dada. Busana seperti ini biasanya dikenakan untuk pakaian sehari-hari di rumah. 

Bagi wanita yang sudah menikah, biasanya membiarkan dadanya terbuka secara bebas, sedangkan bagi para gadis buah dadanya harus tertutup. Untuk pakaian bepergian, biasanya wanita Baduy memakai kebaya, kain tenunan sarung berwarna biru kehitam-hitaman, karembong, kain ikat pinggang dan selendang. Warna baju untuk Baduy Dalam adalah putih dan bahan dasarnya dibuat dari benang kapas yang ditenun sendiri.

Untuk memenuhi kebutuhan pakaiannya, masyarakat suku Baduy menenun sendiri yang dikerjakan oleh kaum wanita. Dimulai dari menanam biji kapas, kemudian dipanen, dipintal, ditenun sampai dicelup menurut motifnya khasnya. Penggunaan warna pakaian untuk keperluan busana hanya menggunakan warna hitam, biru tua dan putih. Kain sarung atau kain wanita hampir sama coraknya, yaitu dasar hitam dengan garis- garis putih, sedangkan selendang berwana putih, biru, yang dipadukan dengan warna merah. 

Semua hasil tenunan tersebut umumnya tidak dijual tetapi dipakai sendiri. Bertenun biasanya dilakukan oleh wanita pada saat setelah panen. Jenis busana yang dikerjakan antara lain, baju, kain sarung, kain wanita, selendang dan ikat kepala. Selain itu, ada kerajinan yang dilakukan oleh kalangan pria di antaranya adalah membuat golok dan tas koja, yang terbuat dari kulit pohon teureup ataupun benang yang dicelup.

Hukum di Tatanan Masyarakat Baduy

Menurut keterangan Bapak Mursyid, Wakil Jaro Baduy Dalam, beliau mengatakan bahwa di lingkungan masyarakat Baduy, jarang sekali terjadi pelanggaran ketentuan adat oleh anggota masyarakatnya. Dan oleh karenanya, jarang sekali ada orang Baduy yang terkena sanksi hukuman, baik berdasarkan hukum adat maupun hukum positif (negara). Jika memang ada yang melakukan pelanggaran, pasti akan dikenakan hukuman. 

Seperti halnya dalam suatu negara yang ada petugas penegakkan hukum, Suku Baduy juga mempunyai bidang tersendiri yang bertugas melakukan penghukuman terhadap warga yang terkena hukuman. Hukuman disesuaikan dengan kategori pelanggaran, yang terdiri atas pelanggaran berat dan pelanggaran ringan.

Hukuman ringan biasanya dalam bentuk pemanggilan sipelanggar aturan oleh Pu’un untuk diberikan peringatan. Yang termasuk ke dalam jenis pelanggaran ringan antara lain cekcok atau beradu-mulut antara dua atau lebih warga Baduy.

Hukuman Berat diperuntukkan bagi mereka yang melakukan pelanggaran berat. Pelaku pelanggaran yang mendapatkan hukuman ini dipanggil oleh Jaro setempat dan diberi peringatan. Selain mendapat peringatan berat, siterhukum juga akan dimasukan ke dalam lembaga pemasyarakatan (LP) atau rumah tahanan adat selama 40 hari. Selain itu, jika hampir bebas akan ditanya kembali apakah dirinya masih mau berada di Baduy Dalam atau akan keluar dan menjadi warga Baduy Luar di hadapan para Pu’un dan Jaro. Masyarakat Baduy Luar lebih longgar dalam menerapkan aturan adat dan ketentuan Baduy.

Tahanan adat, sangat jelas berbeda dengan yang dikenal masyarakat umum di luar Baduy. Rumah Tahanan Adat Baduy bukanlah jeruji besi yang biasa digunakan untuk mengurung narapidana di kota-kota, melainkan berupa sebuah rumah Baduy biasa dan ada yang mengurus/menjaganya. Selama 40 hari sipelaku bukan dikurung atau tidak melakukan kegiatan sama sekali. Ia tetap melakukan kegiatan dan aktivitas seperti sehari-harinya, hanya saja tetap dijaga sambil diberi nasehat, pelajaran adat, dan bimbingan. 

Uniknya, yang namanya hukuman berat disini adalah jika ada seseorang warga yang sampai mengeluarkan darah setetes pun sudah dianggap berat. Berzinah dan berpakaian ala orang kota, sebagaimana kita berpakaian di masyarakat kota, juga termasuk pelanggaran berat yang harus diberikan hukuman berat. Masyarakat Baduy tidak pernah berkelahi sama sekali, paling hanya cekcok mulut saja.

Masyarakat Baduy sejak dahulu memang selalu berpegang teguh kepada seluruh ketentuan maupun aturan-aturan yang telah ditetapkan oleh Pu’un (Kepala Adat) mereka. Kepatuhan kepada ketentuan-ketentuan tersebut menjadi pegangan mutlak untuk menjalani kehidupan bersama. Selain itu, didorong oleh keyakinan yang kuat, hampir keseluruhan masyarakat Baduy Luar maupun Baduy Dalam tidak pernah ada yang menentang atau menolak aturan yang diterapkan sang Pu’un.

Dengan menjalani kehidupan sesuai adat dan aturan yang ditetapkan oleh Kepala Adat di sana, tercipta sebuah komunitas dengan tatanan masyarakat yang amat damai dan sejahtera. ”Di masyarakat Baduy, tidak ada orang kaya, namun tidak ada orang miskin.Kehidupan mereka, hakekatnya, sama seperti layaknya kehidupan masyarakat lainnya. Hanya saja yang membedakannya adalah begitu banyak aturan tradisional yang terkesan kolot yang harus mereka patuhi.

Bulan Puasa/Kawalu

Masyarakat Baduy Dalam sedang melaksanakan puasa yang dinamakan Kawalu. Di saat Kawalu ini, orang dari luar komunitas Baduy Dalam dilarang keras memasuki wilayah mereka.Inilah salah satu ketentuan adat Baduy Dalam, mereka harus menjalani puasa yang mereka disebut “Kawalu” dan jatuh bulannya adalah di Bulan Adapt. 

Di saat Kawalu, ada banyak kegiatan adat dan tidak ada kegiatan lain. Semua kegiatan yang dilakukan difokuskan kepada prosesi Kawalu. Pada bulan ini mereka tidak diperbolehkan membetulkan rumah atau selamatan-selamatan melainkan mempersiapkan penyambutan datangnya hari besar bagi masyarakat Baduy yang disebut Seba, berakhirnya masa Kawalu.

Satu-satunya kegiatan utama sebagai pesiapan yang mereka lakukan adalah mengumpulkan hasil panen padi dari ladang-ladang mereka dan menumbuknya menjadi beras. Dalam satu tahun masyarakat Baduy melaksanakan puasa selama 3 bulan berturut-turut sesuai dengan amanah adat-nya.

Pernikahan

Di dalam proses pernikahan yang dilakukan oleh masyarakat Baduy hampir serupa dengan masyarakat lainnya. Namun, pasangan yang akan menikah selalu dijodohkan dan tidak ada yang namanya pacaran. Orang tua laki-laki akan bersilaturahmi kepada orang tua perempuan dan memperkenalkan kedua anak mereka masing-masing.

Setelah mendapatkan kesepakatan, kemudian dilanjutkan dengan proses 3 kali pelamaran. Tahap Pertama, orang tua laki-laki harus melapor ke Jaro (Kepala Kampung) dengan membawa daun sirih, buah pinang dan gambir secukupnya. Tahap kedua, selain membawa sirih, pinang, dan gambir, pelamaran kali ini dilengkapi dengan cincin yang terbuat dari baja putih sebagai mas kawinnya. Tahap ketiga, mempersiapkan alat-alat kebutuhan rumah tangga, baju serta seserahan pernikahan untuk pihak perempuan.

Pelaksanaan akad nikah dan resepsi dilakukan di Balai Adat yang dipimpin langsung oleh Pu’un untuk mensahkan pernikahan tersebut. Uniknya, dalam ketentuan adat, Orang Baduy tidak mengenal poligami dan perceraian. Mereka hanya diperbolehkan untuk menikah kembali jika salah satu dari mereka telah meninggal. Jika setiap manusia melaksanakan hal tersebut.

Ekonomi dan pengabdian

Mata pencaharian masyarakat Baduy adalah bertani dan menjual buah-buahan yang mereka dapatkan dari hutan. Selain itu Sebagai tanda kepatuhan/pengakuan kepada penguasa, masyarakat Kanekes secara rutin melaksanakan seba yang masih rutin diadakan setahun sekali dengan mengantarkan hasil bumi kepada penguasa setempat yaitu Gubernur Banten. Dari hal tersebut terciptanya interaksi yang erat antara masyarakat Baduy dan penduduk luar.

Ketika pekerjaan mereka diladang tidak mencukupi, orang Baduy biasanya berkelana ke kota besar sekitar wilayah mereka dengan berjalan kaki, umumnya mereka berangkatdengan jumlah yang kecil antara 3 sampai 5orang untuk mejual madu dan kerajinan tangan mereka untuk mencukupi kebutuhan hidupnya. 

Perdagangan yang semula hanya dilakukan dengan barter kini sudah menggunakan mata uang rupiah. Orang baduy menjual hasil pertaniannya dan buah-buahan melalui para tengkulak. Mereka juga membeli kebutuhan hidup yang tidak diproduksi sendiri di pasar. Pasar bagi orang Kanekes terletak di luar wilayah Kanekes seperti pasar Kroya, Cibengkung dan Ciboleger. 

 

Sejarah Suku Rejang Bengkulu


Sejarah asal-usul Rejang yang sebenarnya sudah sangat tidak memungkinkan diriwayatkan secara benar senyata fakta sebenarnya. Hal ini disebabkan beberapa faktor yang mengakibatkan sejarah asal-usul Rejang yang terhapus dan hilang ditelan ketidaktahuan generasi masa lalu. Faktor-faktor tersebut adalah sebagai berikut:

Suku Rejang belum memahami media yang berperan untuk dijadikan pedoman yang tepat untuk meriwayatkan sejarah, seperti kemampuan menggambar, menulis, memahat, maupun hal-hal lain yang dapat memungkinkan untuk terdeteksi oleh generasi yang akan datang untuk disejarahkan. 
Bukti-bukti arkeolog tersebut belum ditemukan keberadaannya hingga zaman sekarang.

Suku Rejang masih dipengaruhi oleh tradisi yang bersifat fiktif, sehingga hal-hal yang tidak masuk akal dimasukkan dalam kisah sejarah. Hal ini menjadikan sejarah asal-usul Rejang menjadi kisah fiktif yang validitas dan reliabilitasnya jauh dari patokan untuk meriwayatkan sejarah.

Suku Rejang tidak terlalu mempedulikan masa lampau, tapi menerima sejarah masa lalu yang diriwayatkan oleh para sejarawan dan cendikiawan asing yang berstatus penjajah. Hal ini juga dihubungkan dengan beberapa oknum suku Rejang yang terlalu percaya diri berpendapat menurut kemauannya sendiri, padahal kemampuan berbahasa Rejang dengan berbagai dialek Rejang yang ada tidak dikuasainya. 

Suku Rejang yang berpartisipasi dalam proyek tersebut juga bukan berstatus orang Rejang asli, apalagi menjalani kehidupan di komunitas suku Rejang yang masih asli.

Suku Rejang dengan sumber daya alam yang paling dieksploitasi oleh penjajah menjadi daerah yang dijadikan asal-usul suku Rejang. Ini disebabkan oleh rekayasa dari para penjajah yang memang memiliki kemampuan membaca dan menulis, sedangkan suku Rejang sangat dibodohkan. Sifat dari penjajah yang seperti ini sudah diketahui oleh para sejarawan Indonesia, yakni penjajah menjauhkan bangsa Indonesia untuk mengetahui ilmu pengetahuan modern. 

Pengetahuan modern seperti kemampuan ilmu bahasa, ilmu hitung, ilmu filsafat, maupun ilmu-ilmu modern yang lainnya belum didapatkan oleh suku Rejang yang merupakan suku bangsa di Indonesia. Ini terbukti dengan aksara kaganga yang konon merupakan tulisan asli suku Rejang, tapi pada kenyataan tidak mampu dipahami suku Rejang masa silam hingga masa sekarang. Hal ini juga menumbuhkan keraguan bahwa aksara tersebut adalah asli tulisan suku Rejang yang memang prakarsa suku Rejang itu sendiri.

Suku Rejang terlalu suka meniru secara tidak kreatif, ini terbukti dengan alat musik tradisional, tari tradisional, rumah adat, adat upacara pernikahan, dan bahkan pakaian adat yang ada semuanya imitasi dari suku bangsa terdekat dan pendatang yang ada di tanah Rejang. Fenomena ini secara kasat mata dapat langsung ditebak oleh setiap pengamatnya, meskipun pengamat tersebut adalah seorang amatir.

Dari beberapa faktor di atas, sulit sekali mendeteksi sejarah asal-usul suku Rejang. Meskipun demikian, masih ada satu peninggalan yang masih diwariskan secara nyata dan masih ada hingga sekarang. Warisan tersebut adalah bahasa Rejang, sebuah bahasa yang unik yang belum punah hingga sekarang. Walaupun bukti-bukti arkeologi belum ada terbukti keberadaannya secara fakta, tapi bahasa dapat dijadikan pedoman menelusuri sejarah Rejang. Hal ini membuktikan bahwa orang yang paling berperan untuk meriwayatkan Rejang adalah suku Rejang dengan kemampuan bahasa Rejang tingkat mahir atau penutur asli bahasa Rejang yang mampu berkomunikasi dengan orang-orang Rejang dengan kemampuan meriwayatkan kisah lampau secara ilmiah.

Suku Rejang adalah salah satu suku tertua di pulau Sumatera selain suku bangsa Melayu. Suku rejang diyakini berasal dari daerah Sumatera bagian utara dan kemudian menyebar sampai ke daerah Lebong, kepahiang, sampai di tepi sungai ulu musi di perbatasan dengan Sumatera Selatan. Suku rejang terbanyak menempati Kabupaten rejang Lebong yang kini memekarkan diri menjadi kabupaten Rejang Lebong (induk), Kabupaten Lebong dan Kabupaten Kepahiang. 

Bila kita lihat dari dialek bahasa yang digunakan, sangat jelas perbedaan antara bahasa melayu dan bahasa daerah di Sumatra lainnya dengan bahasa Rejang. Suku Rejang menempati Bengkulu Utara, Lebong dan di kabupaten Rejang Lebong. Suku ini merupakan terbesar di provinsi Bengkulu. Berdasarkan Tambo, orang Rejang berasal dari Bidara Cina melewati Paguruyung, juga dari Majapahit dari Jawa. Leluhur suku Rejang berasal dari Mongolia, Cina Utara.

Suku Rejang, yang mempunyai garis keturunan yang jelas, mempunyai daerah dan wilayah tempat tinggal yang diakui etnisnya, memiliki adat istiadat dan tata cara yang tinggi diantara ratusan suku bangsa yang ada di bumi nusantara ini.Hampir semua dari unsur-unsur budaya telah dimiliki oleh suku Rejang, seperti: Sejarah,Bahasa, Aksara, Sistem pengetahuan, sistem organisasi sosial, sistem peralatan hidup, sistem religi dan kesenian.

Sejarah suku bangsa Rejang dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu sejarah Rejang Purba dan sejarah Rejang Modern.Sejarah Rejang Purba dimulai dari masa kedatangan kelompok bangsa Mongolia di Bintunan Bengkulu Utara pada tahun 2090 SM hingga sebelum kedatangan para Ajai di pertengahan abad ke 14 masehi.Sejarah Rejang Modern dimulai dari masa kedatangan dan kepemimpinan para”Ajai” di Renah Skalawi ( 1348) hingga sekarang.

Disebut Rejang Purba karena dalam kurun waktu 2090 SM hingga pertengahan abad-14 M itu kehidupan suku Rejang masih sangat primitif, hidup selalu berpindah-pindah( nomaden) dar satu tempa ke tempat lain dimana tempat yang dapat memberi merek kehidupan.Kemudian mereka mulai hidup menetap dalam kelompok masyarakat “kumunal” di pedalaman hutan rimba yang tertutup dunia luar, peralatan hidup teknologi yang masih sangat sederhana, mereka penganut animisme.

Sejarah rejang modern ditandai dengan masuknya para Ajai ( Sutan Gagu alias Ninik Bisu dan Zein Hadirsyah alias Tiea Keteko) pada pertengahan abad ke -14 yang membawa perubahan pada pola kehidupan masyarakat suku Rejang, mereka mulai mengenal sistem pengetahuan, sistem organisasi sosial, sistem peralatan hidup dan sistem religi.

Menurut sejarah, semua orang rejang yang bertebaran itu berasal dari pinang Belapis, Renah Skalawi yang kini disebut Lebong.Mereka adalah anak keturunan Rhe Jang Hyang dari bangsa Mongol, cina Utara.Kira -kira 4100 tahun yang lalu atau sekitar 2090 SM, Rhe jang Hyang bersama dengan kelompoknya mendarat di pantai Slolong, daerah Bintunan, Bengkulu Utara, sekarang, ketika itu Sumatera masih bernama Swarnadwiva.

Setelah bertahun-tahun hidup merejang di dalam hutan, akhirnya mereka mulai hidup menetap dan mereka mendirikan sebuah perkampungan yang diberi nama ” Kutai Nuak”, di daerah utara NapalPutih, perbatasan antara Kabupaten Lebong dan Bengkulu Utara sekarang, tetapi masih merupakan kelompok masyarakat “kumunal” dalam arti, setiap anggotanya belum mempunyai hak milik perorangan.

Dalam keempat kepemimpinan ini mereka ada sebuah falsafah hidup yang diterapkan yang itu pegong pakeui, adat cao beak nioa pinangyang berartikan adat yang berpusat ibarat beneu. Bertuntun ibarat jalai (jala ikan), menyebar ibarat jala, tuntunannya satu. Jika sudah berkembang biak asalnya rejang tetap satu. Kenapa ibaratbeneu? beneu ini satu pohon, tapi didahan daunnya kait-mengait walaupun ada yang menyebar atau menjalar jauh. Walaupun pergi ketempat yang jauh tapi tahu akan jalinan/hubungan kekeluargaannya. Bisa kembali lagi darimana asal mereka berada.

Pegong pakeui juga mengajarkan bahwa kita sebagai manusia mempunyai hak yang sama. Jika kita sama-sama memiliki, maka kita membaginya sama rata. Jika kita menakar (membagi), misalnya membagi beras, kita menakarnya sama rata atau sama banyaknya. Jika kita melakukan timbangan, beratnya harus sama berat. Itulah pegong pakeui orang rejang. Amen bagiea' samo kedaou, ameun betimbang samo beneug, amen betakea samo rato. Artinya jika membagi sama banyak, jika menimbang sama berat, jika menakar sama rata). Itulah cara adat rejang.

Suku Rejang memiliki lima marga, yaitu Jekalang, Manai, Suku Delapan, Suku Sembilan dan Selumpu. Lima marga inilah sekarang yang ada di tanah rejang yang ada di Bengkulu. Jika ada yang pindah ketempat lain mereka akan tetap berdasarkan lima marga tersebut. Walaupun mungkin banyak orang-orang rejang yang ada di Bengkulu sudah tidak tahu lagi mereka masuk kedalam marga apa. Dikatakan oleh orang tua dahulu pecua' bia piting kundei tanea' ubeuat, pecua bia' piting kundei tanea' guao', istilah rejangnya mbon stokot, 'mbar-mbar ujung aseup, royot kundeui ujung stilai. Artinya masih ada asal usul yang menyangkut tanah lebong, walau dia berpencar kemanapun. 

Dari kepercayaan yang ada, mereka percaya asal mula rejang itu satu. Tidak ada bibitnya (asal usulnya) dari orang lain. Semuanya berasal dari Ruang Lebong atau Daerah Lebong yaitu dari Ruang Sembilan Sematang. Walaupun sekarang orang rejang atau suku-suku rejang sudah menyebar dipelosok nusantara ini ataupun diluar negeri sekalipun.

Bahasa Rejang adalah bahasa yang digunakan di Kabupaten Rejang Lebong, Kabupaten Bengkulu Utara, Kabupaten Lebong, dan Kabupaten Kepahiang. Keempat kabupaten tersebut termasuk dalam wilayah Provinsi Bengkulu, Indonesia. Bahasa Rejang memiliki abjad tersendiri yang dikenali sebagai abjad Kaganga. Abjad Kaganga identik dengan huruf yang ada pada abjad Batak dan abjad lampung. Kemungkinan besar karena adanya asimilasi tradisi melalui informasi di masa yang tidak kita mengerti. Bahasa Rejang terbagi dari tiga kelompok dialek, yakni dialek Rejang Curup, Rejang Kepahiang, dan Rejang Lebong. Dialek yang di Kabupaten Bengkulu Utara termasuk dialek Curup, karena tidak berbeda dengan dialek Curup.

Dari tiga pengelompokan dialek Rejang tersebut, saat ini Rejang terbagi menjadi Rejang Kepahiang, Rejang Curup, dan Rejang Lebong. Namun, meskipun dialek dari ketiga bahasa Rejang tersebut relatif berbeda, tapi setiap penutur asli bahasa Rejang dapat memahami perbedaan kosakata pada saat komunikasi berlangsung. Karena perbedaan tersebut seperti perbedaan dialek pada bahasa Inggris Amerika, bahasa Inggris Britania, dan bahasa Inggris Australia. Secara filosofis, perbedaan dialek bahasa Rejang terjadi karena faktor jarak, faktor sosial, dan faktor psikologis dari suku Rejang itu sendiri. 

Hal ini juga membuktikan bahwa tingkat persatuan dan kesatuan suku Rejang masih sangat rendah jika dibandingkan dengan suku bangsa terdekat lainnya anatara suku Lembak, suku Srawai dan suku Pasemah. Itu disebabkan karena suku Rejang bukan suku bangsa perantau sehingga tingkat kepemilikan tanah mereka tergolong tinggi, mereka masih mudah dipengaruhi devide et empera yang dilancarkanpenjajah sejak zaman pemerintahan Hindia-Belanda. Pada zaman sekarang, politik pecah belah tersebut dilancarkan oleh golongan tertentu dengan tujuan yang relatif sama dengan penjajahan Hindia-Belanda.
Sejarah asal-usul suku Rejang telah terhapus dan hilang atau tidak tercatat, sehingga hanya terdapat beberapa spekulasi sejarah mengenai asal-usul mereka, selain beberapa cerita rakyat yang tidak dapat dibuktikan kebenarannya. 

 

Doa Nabi Sulaiman Menundukkan Hewan dan Jin

  Nabiyullah Sulaiman  'alaihissalam  (AS) merupakan Nabi dan Rasul pilihan Allah Ta'ala yang dikaruniai kerajaan yang tidak dimilik...