Kamis, 19 November 2020

Sejarah Sumedang Larang


Sumedang berasal dari kata “INSUN MEDAL” yang berarti Aku Lahir dan “INSUN MADANGAN” yaitu Aku Menerangi . Di ikrarkan oleh Prabu Tajimalela ketika melihat malela (selendang) menyerupai taji di angkasa.

Batas-batas Sumedang :
1.    Dari Barat yaitu sampai tangerang tepatnya di sungai Cisadane
2.    Dari Timur yaitu sampai brebes tepatnya di sungai atau kali Cipamali.
3.    Dari Utara yaitu Laut Jawa.
4.    Dari selatan yaitu Samudra Hindia.

Tonggak sejarah bagi kerajaan Sumedang Larang, sebagai kerajaan sunda terbesar, setelah kerajaan Padjadjaran runtuh akibat serangan gabungan banten dan Cirebon, maka kerajaan Sumedang Larang mencakup wilayah bekas kerajaan Padjadjaran.  Tonggak sejarah itulah menjadi dasar : Hari Jadi Sumedang.

Pada waktu itu di Kerajaan Sumedang Larang akan diadakan pengangkatan seorang raja, yang bernama Raden Wijaya, di Padjadjaran sedang ditempa kekacauan karena mendapat serangan yang mendadak dari Kerajaan Banten. Serangan tersebut bertujuan untuk menghancurkan kekuasaan agama hindu dan digantikan oleh Dinul Islam. Pada penyerangan dari Banten dipimpin oleh Syeh Maulana Yusuf.

Ketika mendapat serangan dari Banten yang mendadak itu Padjadjaran tidak bisa berbuat banyak, kecuali menerima kekalahan. Kerajaan Padjadjaran porak-poranda masyarakat banyak mengungsi sehingga rajanya pun (Prabu Siliwangi) berangkat meninggalkan kerajaan. Hanya sebelum berangkat beliau memanggil dulu empat patih kepercayaan Kerajaan (Kandaga Lante) , yang masing-masing ialah :

1.    Sanghiyang Hawu (Embah Jaya Perkasa)
2.    Bantara Dipatiwijaya (Embah Nanganan)
3.    Sanghiyang Kondang Hapa
4.    Batara Pancer Buana (Eyang Terong Peot)

Panggilan Sang Prabu Siliwangi berisikan yang berupa amanat yaitu :

   a.   Memberikan Mahkota Kerajaan Padjadjaran yang berupa :
                -Mahkota Kerajaan yang dibuat dari emas
                -Siger tampekan kilat bahu
                -Kalung bersusun dua dan bersusun tiga
         Semuanya dibuat dari emas dan sekarang masih ada di Museum Sumedang.

   b.     Memohon perlindungan untuk dirinya dan seluruh rakyatnya yang masih berada di wilayah Padjadjaran. Menurut bahasa Prabu Siliwangi ialah Geusan Ulun yang berarti Geusan Kumaula (Tempat Kumaula).

Setelah menerima amanat tersebut maka Kandaga Lante yang empat orang tadi sepakat bahwa yang pantas menjalankan amanat tersebut tiada lain adalah Raden Angkawijaya. Ini berdasarkan pertimbangan-pertimbangan diantaranya :
1.  Karena Raden Angkawijaya adalah asli keturunan Prabu Siliwangi .
2.  Sangat pantas sekali (payus tur pantes) wilayah kekuasaan Padjadjaran dijadikan Kekuasaan Sumedang Larang.

Sejarah

Pada mulanya Kabupaten Sumedang adalah sebuah kerajaan di bawah kekuasaan Raja Galuh. Didirikan oleh Prabu Guru Haji A‎ji Putih atas perintah Prabu Suryadewata sebelum Keraton Galuh dipindahkan ke Pakuan Pajajaran, Bogor. 

Seiring dengan perubahan zaman dan kepemimpinan, nama Sumedang mengalami beberapa perubahan. Yang pertama, yaitu Kerajaan Tembong Agung (Tembong artinya nampak dan Agung artinya luhur) dipimpin oleh Prabu Guru Aji Putih pada abad ke-12. 

Kemudian pada masa zaman Prabu Tajimalela, diganti menjadi Himbar Buana yang berarti menerangi alam, dan kemudian diganti lagi menjadi Sumedang Larang (Sumedang berasal dari kata Insun Medal/Insun Medangan yang berarti aku dilahirkan; aku menerangi dan larang berarti sesuatu yang tidak ada tandingannya).

Sumedang Larang mengalami masa kejayaan pada waktu dipimpin oleh Pangeran Angkawijaya atau Prabu Geusan Ulun sekitar tahun 1578, dan dikenal luas hingga ke pelosok Jawa Barat dengan daerah kekuasaan meliputi wilayah Selatan sampai dengan Samudera Hindia, wilayah Utara sampai Laut Jawa, wilayah Barat sampai dengan Cisadane, dan wilayah Timur sampai dengan Kali Pamali.

Kerajaan ini kemudian menjadi vazal Kesultanan Cirebon, dan selanjutnya berada di bawah kendali Kesultanan Mataram, di masa Sultan Agung. Pada masa Mataram inilah teknik persawahan diperkenalkan di tanah Pasundan dan menjadi awal istilah "gudang beras" untuk daerah antara Indramayu hingga Karawang/Bekasi. Dalam strategi penyerangan Sultan Agung ke Batavia wilayah Sumedang dijadikan wilayah penyedia logistik pangan. Selain itu, aksara Hanacaraka juga diperkenalkan di wilayah Pasundan pada masa ini, dan dikenal sebagai Cacarakan. 

Pusat kota Sumedang juga dirancang pada masa ini, mengikuti pola dasar kota-kota Mataraman lainnya. Sebelum Bandung dibangun pada abad ke-19, Sumedang adalah salah satu pusat budaya Pasundan yang penting.

Ketika Pakubuwono-I harus memberikan konsesi kepada VOC, wilayah kekuasaan Sumedang diberikan kepada VOC, yang kemudian dipecah-pecah, sehingga wilayah Sumedang menjadi seperti yang sekarang ini.

Sumedang mempunyai ciri khas sebagai kota kuno khas di Pulau Jawa, yaitu terdapat Alun-alun sebagai pusat yang dikelilingi Mesjid Agung, rumah penjara, dan kantor pemerintahan. Di tengah alun-alun terdapat bangunan yang bernama Lingga, tugu peringatan yang dibangun pada tahun 1922. Dibuat oleh Pangeran Siching dari Negeri Belanda dan dipersembahkan untuk Pangeran Aria Soeriaatmadja atas jasa-jasanya dalam mengembangkan Kabupaten Sumedang. Lingga diresmikan pada tanggal 22 Juli 1922 oleh Gubernur Jenderal Mr. Dr. Dirk Fock Sampai saat ini Lingga dijadikan lambang daerah Kabupaten Sumedang dan tanggal 22 April diperingati sebagai hari jadi Kabupaten Sumedang. Lambang Kabupaten Sumedang, Lingga, diciptakan oleh R. Maharmartanagara, putra seorang Bupati Bandung Rd. Adipati Aria Martanegara, keturunan Sumedang. Lambang ini diresmikan menjadi lambang Sumedang pada tanggal 13 Mei 1959.

Hal-hal yang terkandung pada logo Lingga:
1.       Perisai : Melambangkan jiwa ksatria utama, percaya kepada diri sendiri
2.       Sisi Merah : Melambangkan semangat keberanian
3.       Dasar Hijau : Melambangkan kesuburan pertanian
4.     Bentuk Setengah Bola dan Bentuk Setengah Kubus Pada Lingga : Melambangkan bahwa manusia  tidak ada yang sempurna
5.       Sinar Matahari : Melambangkan semangat dalam mencapai kemajuan
6.       Warna Kuning Emas : Melambangkan keluhuran budi dan kebesaran jiwa
7.      Sinar yang ke 17 Angka : Melambangkan Angka Sakti tanggal Proklamasi Kemerdekaan Republik  Indonesia
8.       Delapan Bentuk Pada Lingga : Lambang Bulan Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia
9.   19 Buah Batu Pada Lingga, 4 Buah Kaki Tembik dan 5 Buah Anak Tangga : Lambang Tahun Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia Tahun 1945
10.   Tulisan Insun Medal : Tulisan Insun Medal erat kaitannya dengan kata Sumedang yang mengandung  arti:
·    Berdasarkan Prabu Tajimalela, seorang tokoh legendaris dalam sejarah Sumedang, Insun Medal berarti (Insun : Aku,Medal : Keluar).
·        Berdasarkan data di Museum Prabu Geusan Ulun; Insun berarti (Insun: Daya, Madangan: Terang) Kedua pengertian ini bersifat mistik


Dalam Kropak 410 disbutkab, Pendiri Kerajaan Sumedang Larang tak lain adalah Prabu Tajimalela. Ia berkedudukan di Tembong Agung yang disebut Mandala Himbar Buana.

Masih belum jelas pula asal-usulnya tokoh Legendaris leluhur Sumedang ini. Sebab ada yang berpendapat Tajimalela adalah nama lain dari Panji Romahyang, putra Damung Tabela Panji Ronajaya dari Dayeuh Singapura (Rintisan Penelusuran silam sejarah Jawa Barat).

Sumber lain menjelaskan, baik Kitab Waruga Jagat, Layang Darmaraja, maupun riwayat yang berdasarkan tradisi lisan yang masih hidup, disebutkan bahwa Prabu Tajimalela adalah putra Prabu Guru Aji Putih, salah seorang keturunan raja Galuh yang masih bersaudara dengan Sri Baduga Maharaja. Ia melakukan petualangan hingga ke kawasan Timur sekitar pinggiran Sungai Cimanuk.

Prabu Tajimalela masih memiliki sejumlah nama, antara lain: Prabu Resi Agung Cakrabuana, Batara Tuntang Buana, dan Aji Putih. Dalam Waruga Jagat yang telah disalin dari huruf Arab ke dalam tulisan latin (1117 H), antara lain dikatakan: "Ari putrana Sang Dewa Guru Haji Putih, nyaeta Sang Aji Putih."
Kehadiran Prabu Guru Haji Putih melahirkan perubahan-perubahan baru dalam kemasyarakatan, yang telah dirintis sejak abad ke-8 oleh Sanghyang Resi Agung. 

Secara perlahan dusun-dusun di sekitar pinggiran sungai Cimanuk itu diikat oleh suatu struktur pemerintahan dan kemasyarakatan hingga berdirilah Kerajaan Tembong Agung yang merupakan cikal bakal Kerajaan Sumedang Larang. Kerajaan Tembong Agung tersebut, menurut riwayat teletak di Kampung Muhara, Desa Leuwihideung, Kecamatan Darmaraja.

Prabu Guru Haji Putih berputra Prabu Resi Tajimalela. Berdasarkan perbandingan generasi dalam Kropak 410 Tajimalela sejajar dengan tokoh Ragamulya (1340-1350) penguasa di Kawali dan tokoh Suryadewata, ayahanda Batara Gunung Bitung di Majalengka.

Memang belum diperoleh keterangan sumber yang menyebut-nyebut siapa gerangan istri Sang Prabu Resi Tajimalela. Namun demikian, dalam beberapa sumber baik lisan maupun tertulis, dikatakan Prabu Resi Tajimalela mempunyai dua orang putra: Prabu Gajah Agung dan Lembu Agung.

Tahta kerajaan Sumedang Larang dari Prabu Tajimalela dilanjutkan oleh putranya bernama Atmabrata yang lebih dikenal dengan sebutan Gajah Agung yang berkedudukan di Cicanting.

Demikian pula dalam naskah Layang Darmaraja, yang mengisahkan Prabu Lembu Agung dan Gajah Agung yang melanjutkan tahta kepemimpinan dari Prabu Resi Tajimalela.

Dikisahkan, pada suatu ketika Prabu Tajimalela memanggil kedua putra kembarnya Lembu Agung dan Gajah Agung. Prabu Tajimalela berkata kepada mereka agar ada di antara salah seorang putranya ini yang bersedia melanjutkan kepemimpinannya.

"Adinda, adindalah kiranya yang lebih tepat menjadi raja," ujar Lembu Agung kepada adiknya. "Kakanda, sungguh tidak pantas adinda yang masih muda usia, bila harus menjadi raja. Kakandalah yang lebih tepat," jawab Gajah Agung. Setelah di antara kedua putranya, masing-masing saling menunjuk siapa di antara mereka yang pantas menjadi raja, akhirnya Prabu Resi Tajimalela memetik buah kelapa muda lalu disimpannya kelapa tadi serta sebilah pedang.

Mereka berdua disuruh menungguinya. "Adinda, tolong jaga kelapa ini. Kakanda hendak pergi ke jamban dulu," kata Lembu Agung seraya pergi meninggalkan Gajah Agung. Tiba-tiba sepeninggal Lembu Agung, Gajah Agung merasakan haus yang bukan kepalang.

Apa boleh buat, untuk menghilangkan dahaganya, Prabu Gajah Agung kemudian mengupas kelapa itu dan diminumlah airnya. Karenanya, ketika Lembu Agung kembali lagi, Gajah Agung langsung menyampaikan permohonan maaf kepada Lembu Agung karena rasa bersalahnya telah meminum air kelapa yang semestinya dijaganya.

Semula Prabu Gajah Agung menyangka, Prabu Lembu Agung akan memarahinya. Namun ternyata, dengan kebesaran jiwa Prabu Lembu Agung malah berkata:"Adinda, tampaknya suratan takdir telah menentukan, dengan diminumnya air kelapa tadi oleh adinda, sudah barang tentu Adindalah yang sekarang terpilih menjadi raja," ucap Lembu Agung.

Singkat cerita, jadilah Prabu Gajah Agung meneruskan kepemimpinan Prabu Tajimalela, yang kemudian ia meninggalkan tempat menuju daerah di pinggiran Kali Cipeles untuk mendirikan kerajaan yang sekarang disebut Ciguling.

Kemudian ia bergelar Prabu Pagulingan. Sementara kepemimpinan Prabu Gajah Agung kemudian digantikan oleh putranya , Wirajaya, yang lebih dikenal Sunan Pagulingan. Dalam Rintisan Penelusuran Masa Silam Sejarah Jawa Barat, Sunan Pagulingan berkedudukan di Cipameungpeuk.

Namun ada pula yang mengisahkan, kedudukan Kerajaan Sumedang Larang pada saat itu berada di Ciguling, Kelurahan Pasanggrahan, Kecamatan Sumedang Selatan. Yang jelas, ketiga raja Sumedang Larang yang pertama ini masing-masing berkedudukan di tempat yang berbeda-beda. Ini merupakan suatu gejala, bahwa kerajaan tersebut belum permanen yang dapat ditinggali turun temurun oleh para penerus pemegang kekuasaannya. Keadaan tersebut berlangsung sampai beberapa generasi berikutnya.

Putri Sulung Pagulingan bernama Ratu Ratnasih alias Nyi Mas Rajamantri diperistri Sri Baduga Maharaja. Karena itu, adiknya bernama Martalaya menggantikan kedudukan ayahnya menjadi penguasa Sumedang yang keempat dengan gelar Sunan Guling.

Sunan Guling digantikan oleh putranya bernama Tirta Kusumah atau Sunan Patuakan sebagai raja kelima Sumedang Larang. Kemudian, ia digantikan lagi oleh putri sulung bernama Shintawati alias Nyi Mas Patuakan.
Antara Ibu dan anak ini mempunyai gelar yang sama, yaitu Patuakan.

Ratu Shintawati berjodoh dengan Sunan Corenda, raja Talaga putra Ratu Simbar Kencana dari Kusumalaya putra Dewa Niskala. Dengan demikian, ia menjadi cucu menantu penguasa Galuh.
Sunan Corenda mempunyai dua permaisuri, yakni Mayangsari putri Langlangbuana dari Kuningandan, Shintawati dari Sumedang. Dari Mayangsari, Sunan Corenda memperoleh putri Bernama Ratu Wulansari alias Ratu Parung.

Berjodoh dengan Rangga Mantri alias Sunan Parung Gangsa (Pucuk Umum Talaga), putra Munding Surya Ageung. Tokoh ini putra Sri Baduga. Sunan Parung Gangsa ditaklukkan oleh Cirebon tahun 1530 dan masuk Islam.

Dari Shintawati putri sulung Sunan Guling, Sunan Corenda mempunyai putri bernama Setyasih, yang kemudian menjadi penguasa Sumedang dengan gelar Ratu Pucuk Umun. Ratu Pucuk Umun Menikah dengan Ki Gedeng Sumedang yang lebih dikenal dengan nama Pangeran Santri. Pangeran ini adalah putra Pangeran Palakaran dari puteri Sindangkasih. Pangeran Palakaran putra Maulana Abdurrahman alias Pangeran Panjunan putra Pangeran Cakra Buana (Walang Sungsang).

Dengan perkawinan antara Ratu Setyasih dan Ki Gedeng Sumedang inilah agama Islam mulai menyebar di Sumedang pada tahun 1529.
Pangeran Santri dinobatkan sebagai penguasa Sumedang pada tanggal 13 bagian gelap bulan Asuji tahun 1452 Saka, atau kira-kira 21 Oktober 1530 M, tiga bulan setelah penobatan Pangeran Santri.

Pada tanggal 12 bagian terang bulan Margasira tahun 1452 di Keraton Pakungwati diselenggarakan perjamuan "syukuran" untuk merayakan kemenangan Cirebon atas Galuh dan sekaligus pula merayakan penobatan Pangeran Santri.

Hal ini menunjukkan, bahwa Sumedang Larang telah masuk dalam lingkaran pengaruh Cirebon. Pangeran Santri adalah murid Susuhunan Jati. Pangeran Santri sebagai penguasa Sumedang pertama yang menganut Islam. Ia pula yang membangun Kutamaya sebagai Ibukota baru untuk pemerintahannya.

Dari perkawinannya dengan Ratu Pucuk Umun alias Ratu Inten Dewata, Pangeran Santri yang bergelar Pangeran Kusumahdinata-I ini dikaruniai enam orang anak, yaitu Pangeran Angkawijaya (Prabu Geusan Ulun), Kiyai Rangga Haji, Kiyai Demang Watang Walakung, Santowaan Wirakusumah, yang melahirkan keturunan anak-cucu di Pagaden Subang, Santowaan Cikeruh dan Santowaan Awiluar.

Pangeran Santri wafat 2 Oktober 1579. Di antara putra-putri Pangeran Santri dari Ratu Inten Dewata (Pucuk Umun), yang melanjutkan pemerintahan di Sumedang Larang ialah Pangeran Angkawijaya bergelar Prabu Geusan Ulun. Menurut Babad, daerah kekuasaan Geusan Ulun dibatasi kali Cipamali di sebelah Timur, Cisadane di sebelah Barat, sedangkan di sebelah Selatan dan Utara dibatasi laut.

Daerah kekuasaan Geusan Ulun dapat disimak dari isi surat Rangga Gempol-III yang dikirimkan kepada Gubernur Jenderal Willem Van Outhoorn. Surat ini dibuat hari Senin, 2 Rabi'ul Awal tahun Je atau 4 Desember 1690, yang dimuat dalam buku harian VOC di Batavia tanggal 31 Januari 1691.

Dalam surat tadi, Rangga Gempol-III (Pangeran Panembahan Kusumahdinata-VI) menuntut agar kekuasannya dipulihkan kembali seperti kekuasaan buyutnya, yaitu Geusan Ulun. Rangga Gempol-III mengungkapkan bahwa kekuasaan Geusan Ulun meliputi 44 penguasa daerah Parahyangan yang terdiri dari 22 kandaga lante dan 18 umbul.

Ke-44 daerah di bawah kekuasaan Geusan Ulun meliputi:
I. Di Kabupaten Bandung
1.       Timbanganten
2.       Batulayang
3.       Kahuripan
4.       Tarogong
5.       Curugagung
6.       Ukur
7.       Marunjung
8.       Daerah Ngabei Astramanggala
II. Di Kabupaten Parakanmuncang
1.       Selacau
2.       Daerah Ngabei Cucuk
3.       Manabaya
4.       Kadungora
5.       Kandangwesi (Bungbulang)
6.       Galunggung (Singaparna)
7.       Sindangkasih
8.       Cihaur
9.       Taraju
III. Di Kabupaten Sukapura
1.       Karang
2.       Parung
3.       Panembong
4.       Batuwangi
5.       Saung Watang (Mangunreja)
6.       Daerah Ngabei Indawangsa di Taraju
7.       Suci
8.       Cipiniha
9.       Mandala
10.   Nagara (Pameungpeuk)
11.   Cidamar
12.   Parakan Tiga
13.   Muara
14.   Cisalak
15.   Sukakerta

Berdasarkan data yang dikirimkan Rangga Gempol-III pada masa VOC, maka kekuasaan Prabu Geusan Ulun meliputi Sumedang, Garut, Tasikmalaya, dan Bandung. Batas di sebelah Timur adalah Garis Cimanuk - Cilutung ditambah Sindangkasih (daerah muara Cideres ke Cilutung).
Di sebelah Barat garis Citarum - Cisokan. Batas di sebelah Selatan laut. Namun di sebelah Utara diperkirakan tidak meliputi wilayah yang telah dikuasai oleh Cirebon.

Masa kekuasaan Prabu Geusan Ulun (1579-1601) bertepatan dengan runtuhnya Kerajaan Pajajaran akibat serangan Banten di bawah Syaikh Maulana Yusuf Banten. 

Sebelum Prabu Siliwangi meninggalkan Pajajaran mengutus empat Kandaga lante untuk menyerahkan Mahkota serta menyampaikan amanat untuk Prabu Geusan Ulun yang pada dasarnya Kerajaan Sumedang Larang supaya melanjutkan kekuasaan Pajajaran. Geusan Ulun harus menjadi penerus Pajajaran.

Dalam Pustaka Kertabhumi I/2 yang berbunyi: "Ghesan Ulun nyakrawartti mandala ning Pajajaran kangwus pralaya, ya ta sirna, ing bhumi Parahyangan. Ikang kedatwan ratu Sumedang haneng Kutamaya ri Sumedangmandala" (Geusan Ulun memerintah wilayah Pajajaran yang telah runtuh, yaitu sirna, di bumi Parahyangan. Keraton raja Sumedang ini terletak di Kutamaya dalam daerah Sumedang), selanjutnya diberitakan "Rakyan Samanteng Parahyangan mangastungkara ring sira Pangeran Ghesan Ulun" (Para penguasa lain di Parahiyangan merestui Pangeran Geusan Ulun).

Keempat orang bersaudara, senapati dan pembesar Pajajaran yang diutus ke Sumedang tersebut, yaitu Jayaperkosa (Sanghyang Hawu); Wirajaya (Nangganan); Kondang Hapa; dan Pancar Buana (Embah Terong Peot).

Dalam Pustaka Kertabhumi I/2 menceritakan keempat bersaudara itu: "Sira paniwi dening Prabu Ghesan Ulun, Rikung sira rumaksa wadyabala, sinangguhan niti kaprabhun mwang salwirnya" (Mereka mengabdi kepada Prabu Geusan Ulun. Di sana mereka membina bala tentara, ditugasi mengatur pemerintahan dan lain-lain), sehingga peristiwa penobatan Prabu Geusan Ulun sebagai Nalendra penerus Kerajaan Sunda Pajajaran dan Raja Sumedang Larang ke-9 mendapat restu dari 44 penguasa daerah Parahyangan yang terdiri dari 26 Kandaga Lante, Kandaga Lante adalah semacam Kepala yang satu tingkat lebih tinggi dari pada Cutak (Camat) dan 18 Umbul dengan cacah sebanyak + 9000 umpi, untuk menjadi Nalendra baru pengganti penguasa Pajajaran yang telah sirna. Pemberian pusaka Pajajaran pada tanggal 22 April 1578 akhirnya ditetapkan sebagai Hari Jadi Kabupaten Sumedang.

Jayaperkosa adalah bekas senapati Pajajaran, sedangkan Batara Wiradijaya sesuai julukannya bekas Nangganan. Menurut Kropak 630, jabatan Nangganan lebih tinggi setingkat dari menteri, namun setingkat lebih rendah dari Mangkubumi.

Di samping itu, menurut tradisi hari pasaran Legi (Manis), merupakan saat baik untuk memulainya suatu upaya besar dan sangat penting. Peristiwa itu dianggap sangat penting karena pengukuhan Geusan Ulun "nyakrawartti" atau Nalendra merupakan semacam proklamasi kebebasan Sumedang yang mensejajarkan diri dengan Kerajaan Banten dan Cirebon. Arti penting lain yang terkandung dalam peristiwa itu adalah pernyataan bahwa Sumedang Larang menjadi ahli waris serta penerus yang sah dari kekuasaan Kerajaan Pajajaran, di Bumi Parahyangan.

Mahkota Binokasih dan beberapa atribut kerajaan yang dibawa oleh senapati Jaya Perkosa dan diserahkan kepada Prabu Geusan Ulun merupakan bukti legalisasi kebesaran Sumedang Larang, sama halnya dengan pusaka Majapahit menjadi ciri keabsahan Demak, Pajang, dan Mataram.

Berdasarkan bukti-bukti sejarah baik yang tertulis maupun babad/cerita rakyat, maka penetapan Hari Jadi Sumedang ditetapkan berdasarkan pertimbangan-pertimbangan sejarah.

Serangan laskar gabungan Banten, Pakungwati, Demak, dan Angke pada abad XVI ke Pajajaran, merupakan peristiwa yang membuat Kerajaan Pajajaran Runtag (runtuh).

Berakhirnya Pajajaran pada waktu itu, tidak menyeret Sumedang Larang dibawah kepemimpinan Pangeran Santri ikut runtuh pula. Soalnya, sebagian rakyat Sumedang Larang pada itu sudah memeluk Agama Islam. Justru dengan berakhirnya masa kekuasaan Pajajaran, Sumedang Larang kian berkembang.

Penetapan Hari Jadi Kabupaten Sumedang erat kaitannya dengan peristiwa di atas. Terdapat tiga sumber sejarah yang dijadikan pegangan dalam menentukan Hari Jadi Kabupaten Sumedang:

Pertama : Kitab Waruga Jagat, yang disusun Mas Ngabehi Perana tahun 1117 H. Kendati tak begitu lengkap isinya, namun sangat membantu dalam upaya mencari tanggal tepat untuk dijadikan pegangan/penentuan Hari Jadi Sumedang."Pajajaran Merad Kang Merad Ing Dina Selasa Ping 14 Wulan Syafar Tahun Jim Akhir," artinya: Kerajaan Pajajaran runtuh pada 14 Syafar tahun Jim Akhir.

Kedua : Buku Rucatan Sejarah yang disusun Dr. R. Asikin Widjayakusumah yang menyertakan antara lain: Pangeran Geusan Ulun Jumeneng Nalendra (harita teu kabawa kasasaha) di Sumedang Larang sabada burak Pajajaran. Artinya, Pangeran Geusan Ulun menjadi raja yang berdaulat di Sumedang Larang setelah Kerajaan Pajajaran berakhir.

Tiga : Dibuat Prof. Dr. Husein Djajadiningrat berjudul : Critise Beshuocing van de Sejarah Banten. Desertasi ini antara lain menyebutkan serangan tentara Islam ke Ibukota Pajajaran terjadi pada tahun 1579, tepatnya Ahad 1 Muharam tahun Alif.

Mengacu pada ketiga sumber sejarah tadi, maka dalam diskusi untuk menentukan Hari Jadi Sumedang yang dihadiri para sejarawan masing-masing Drs. Said Raksakusumah; Drs. Amir Sutaarga; Drs. Saleh Dana Sasmita; Dr. Atja dan Drs. A Gurfani, berhasil menyimpulkan bahwa 14 Syafar Tahun Jim Akhir itu jatuh pada tahun 1578 Masehi, bukan tahun 1579, tepatnya 22 April 1578.

Atas dasar itu DPRD Daerah Tingkat-II Sumedang waktu itu, dalam Keputusan Nomor 1/Kprs/DPRD/Smd/1973, Tanggal 8 Oktober 1973, menetapkan tanggal 22 April 1578 sebagai Hari Jadi Kabupaten Sumedang. 


SUSUNAN RAJA DAN BUPATI SUMEDANG
I. MASA KERAJAAN.
1. Prabu Guru Aji Putih (Raja Tembong Agung), 678 – 721
2. Batara Tuntang Buana / Prabu Tajimalela, 721 – 778
3. Jayabrata / Prabu Lembu Agung, 778 – 893
4. Atmabrata / Prabu Gajah Agung, 893 – 998
5. Jagabaya / Prabu Pagulingan, 998 – 1114
6. Mertalaya / Sunan Guling, 1114 – 1237
7. Tirtakusuma / Sunan Tuakan, 1237 – 1462
8. Sintawati / Nyi Mas Ratu Patuakan, 1462 – 1530
9. Satyasih / Ratu Inten Dewata Pucuk Umun, 1530 – 1578
    (kemudian digantikan oleh suaminya Pangeran Kusumadinata - I / Pangeran Santri)
10. Pangeran Kusumahdinata - II / Prabu Geusan Ulun, 1578 – 1601

II. MASA BUPATI PENGARUH MATARAM.
11. Pangeran Suriadiwangsa / Rangga Gempol – I, 1601 – 1625
12. Pangeran Rangga Gede / Kusumahdinata - IV, 1625 – 1633
13. Raden Bagus Weruh / Pangeran Rangga Gempol – II, 1633 – 1656
14. Pangeran Panembahan / Rangga Gempol – III, 1656 – 1706

III. MASA PENGARUH KOMPENI VOC.
15. Dalem Adipati Tanumadja, 1706 – 1709
16. Pangeran Karuhun / Rangga Gempol – IV, 1709 – 1744
17. Dalem Istri Rajaningrat, 1744 – 1759
18. Dalem Adipati Kusumadinata - VIII / Dalem Anom, 1759 – 1761
19. Dalem Adipati Surianagara – II, 1761 – 1765
20. Dalem Adipati Surialaga, 1765 – 1773

IV. MASA BUPATI PENYELANG / SEMENTARA
21. Dalem Adipati Tanubaya, 1773 – 1775
22. Dalem Adipati Patrakusumah, 1775 – 1789
23. Dalem Aria Sacapati, 1789 – 1791

V. MASA PEMERINTAHAN BELANDA.
Merupakan Bupati Keturunan Langsung leluhur Sumedang.
24. Pangeran Kusumadinata IX / Pangeran Kornel, 1791 – 1828
25. Dalem Adipati Kusumayuda / Dalem Ageung, 1828 – 1833
26. Dalem Adipati Kusumadinata X / Dalem Alit, 1833 – 1834
27. Tumenggung Suriadilaga / Dalem Sindangraja, 1834 – 1836
28. Pangeran Suria Kusumah Adinata / Pangeran Sugih, 1836 – 1882
29. Pangeran Aria Suriaatmadja / Pangeran Mekkah, 1882 – 1919
30. Dalem Adipati Aria Kusumadilaga / Dalem Bintang, 1919 – 1937
31. Tumenggung Aria Suria Kusumahdinata / Dalem Aria, 1937 – 1946

VI. MASA REPUBLIK INDONESIA
32. Tumenggung Aria Suria Kusumahdinata / Dalem Aria, 1945 – 1946
33. R. Hasan Suria Sacakusumah, 1946 – 1947
34. R. Tumenggung Mohammad Singer, 1947 – 1949
35. R. Hasan Suria Sacakusumah, 1949 – 1950
      (Bupati terakhir keturunan langsung leluhur Sumedang)‎
36.   Raden Abdoerachman Kartadipoera : 1951-1958
37.   Sulaeman Soemitakoesoemah : 1951-1958
38.   Antam Sastradipura (Kepala Daerah) dan R. Enoh Soeriadikoesoemah (Pj. Bupati) : 1958-1960
39.   Mohamad Chafil : 1960-1966
40.   Adang Kartaman : 1966-1970
41.   Drs. Supian Iskandar (Pj. Bupati) : 1970-1972
42.   Drs. Supian Iskandar : 1972-1977
43.   Drs. Soeyoed (Pj. Bupati) : 1977-1978
44.   Drs. H. Kustandi Abdoerachman : 1978-1983
45.   Drs. H. Sutardja : 1983-1993
46.   Drs. H. Moch Husein Jachjasaputra : 1993-1998
47.   Drs. H. Misbach : 1998-2003
48.   H. Don Murdono, S.H., M.Si : 2003-2013
49.   Drs. H. Endang Sukandar, M.Si : 2013 – sekarang

 

Sejarah Bandung


Sebelum Kabupaten Bandung berdiri, daerah Bandung dikenal dengan sebutan "Tatar Ukur". Menurut naskah Sadjarah Bandung, sebelum Kabupaten Bandung berdiri, Tatar Ukur adalah termasuk daerah Kerajaan Timbanganten dengan ibukota Tegalluar. Kerajaan itu berada dibawah dominasi Kerajaan Sunda-Pajajaran. Sejak pertengahan abad ke-15, Kerajaan Timbanganten diperintah secara turun temurun oleh Prabu Pandaan Ukur, Dipati Agung, dan Dipati Ukur. 

Pada masa pemerintahan Dipati Ukur, Tatar Ukur merupakan suatu wilayah yang cukup luas, mencakup sebagian besar wilayah Jawa Barat, terdiri atas sembilan daerah yang disebut "Ukur Sasanga". 

Setelah Kerajaan Sunda-Pajajaran runtuh (1579/1580) akibat gerakan Pasukan Banten dalam usaha menyebarkan agama Islam di daerah Jawa Barat, Tatar Ukur menjadi wilayah kekuasaan Kerajaan Sumedanglarang, penerus Kerajaan Pajajaran. Kerajaan Sumedanglarang didirikan dan diperintah pertama kali oleh Prabu Geusan Ulun pada (1580-1608), dengan ibukota di Kutamaya, suatu tempat yang terletak sebelah Barat kota Sumedang sekarang. Wilayah kekuasaan kerajaan itu meliputi daerah yang kemudian disebut Priangan, kecuali daerah Galuh (sekarang bernama Ciamis).

Ketika Kerajaan Sumedang Larang diperintah oleh Raden Suriadiwangsa, anak tiri Geusan Ulun dari Ratu Harisbaya, Sumedanglarang menjadi daerah kekuasaan Mataram sejak tahun 1620. Sejak itu status Sumedanglarang pun berubah dari kerajaan menjadi Kabupaten dengan nama Kabupaten Sumedang. Mataram menjadikan Priangan sebagai daerah pertahanannya di bagian Barat terhadap kemungkinan serangan Pasukan Banten dan atau Kompeni yang berkedudukan di Batavia, karena Mataram di bawah pemerintahan Sultan Agung (1613-1645) bermusuhan dengan Kompeni dan konflik dengan Kesultanan Banten. 

Untuk mengawasi wilayah Priangan, Sultan Agung mengangkat Raden Aria Suradiwangsa menjadi Bupati Wedana (Bupati Kepala) di Priangan (1620-1624), dengan gelar Pangeran Rangga Gempol Kusumadinata, terkenal dengan sebutan Rangga Gempol I. Tahun 1624 Sultan agung memerintahkan Rangga Gempol I untuk menaklukkan daerah Sampang (Madura). Karenanya, jabatan Bupati Wedana Priangan diwakilkan kepada adik Rangga Gempol I pangeran Dipati Rangga Gede. Tidak lama setelah Pangeran Dipati Rangga Gede menjabat sebagai Bupati Wedana, Sumedang diserang oleh Pasukan Banten. Karena sebagian Pasukan Sumedang berangkat ke Sampang, Pangeran Dipati Rangga Gede tidak dapat mengatasi serangan tersebut. 

 Akibatnya, ia menerima sanksi politis dari Sultan Agung. Pangeran Dipati Rangga Gede ditahan di Mataram. Jabatan Bupati Wedana Priangan diserahkan kepada Dipati Ukur, dengan syarat ia harus dapat merebut Batavia dari kekuasaan Kompeni. Tahun 1628 Sultan Agung memerintahkan Dipati Ukur untuk membantu pasukan Mataram menyerang Kompeni di Batavia. Akan tetapi serangan itu mengalami kegagalan. Dipati Ukur menyadari bahwa sebagai konsekwensi dari kegagalan itu ia akan mendapat hukuman seperti yang diterima oleh Pangeran Dipati Rangga Gede, atau hukuman yang lebih berat lagi. Oleh karena itu Dipati Ukur beserta para pengikutnya membangkang terhadap Mataram. Setelah penyerangan terhadap Kompeni gagal, mereka tidak datang ke Mataram melaporkan kegagalan tugasnya. Tindakan Dipati Ukur itu dianggap oleh pihak Mataram sebagai pemberontakan terhadap penguasa Kerajaan Mataram.

Terjadinya pembangkangan Dipati Ukur beserta para pengikutnya dimungkinkan, antara lain karena pihak Mataram sulit untuk mengawasi daerah Priangan secara langsung, akibat jauhnya jarak antara Pusat Kerajaan Mataram dengan daerah Priangan. Secara teoritis, bila daerah tersebut sangat jauh dari pusat kekuasaan, maka kekuasaan pusat di daerah itu sangat lemah. Walaupun demikian, berkat bantuan beberapa Kepala daerah di Priangan, pihak Mataram akhirnya dapat memadamkan pemberontakan Dipati Ukur. 

Menurut Sejarah Sumedang (babad), Dipati Ukur tertangkap di Gunung Lumbung (daerah Bandung) pada tahun1632. Setelah "pemberontakan" Dipati Ukur dianggap berakhir, Sultan Agung menyerahkan kembali jabatan Bupati Wedana Priangan kepada Pangeran Dipati Rangga Gede yang telah bebas dari hukumannya. Selain itu juga dilakukan reorganisasi pemerintahan di Priangan untuk menstabilkan situasi dan kondisi daerah tersebut. Daerah Priangan di luar Sumedang dan Galuh dibagi menjadi tiga Kabupaten, yaitu Kabupaten Bandung, Kabupaten Parakanmuncang dan Kabupaten Sukapura dengan cara mengangkat tiga kepala daerah dari Priangan yang dianggap telah berjasa menumpas pemberontakan Dipati Ukur.

Ketiga orang kepala daerah dimaksud adalah Ki Astamanggala, umbul Cihaurbeuti diangkat menjadi mantri agung (bupati) Bandung dengan gelar Tumenggung Wiraangunangun, Tanubaya sebagai bupati Parakanmuncang dan Ngabehi Wirawangsa menjadi bupati Sukapura dengan gelar Tumenggung Wiradadaha. Ketiga orang itu dilantik secara bersamaan berdasarkan "Piagem Sultan Agung", yang dikeluarkan pada hari Sabtu tanggal 9 Muharam Tahun Alip (penanggalan Jawa). Dengan demikian, tanggal 9 Muharam Taun Alip bukan hanya merupakan hari jadi Kabupaten Bandung tetapi sekaligus sebagai hari jadi Kabupaten Sukapura dan Kabupaten Parakanmuncang. 

Berdirinya Kabupaten Bandung, berarti di daerah Bandung terjadi perubahan terutama dalam bidang pemerintahan. Daerah yang semula merupakan bagian (bawahan) dari pemerintah kerajaan (Kerajaan Sunda-Pajararan kemudian Sumedanglarang) dengan status yang tidak jelas, berubah menjadi daerah dengan status administrative yang jelas, yaitu Kabupaten. Setelah ketiga bupati tersebut dilantik di pusat pemerintahan Mataram, mereka kembali ke daerah masing-masing. 

Sajarah Bandung (naskah) menyebutkan bahwa Bupati Bandung Tumeggung Wiraangunangun beserta pengikutnya dari Mataram kembali ke Tatar Ukur. Pertama kali mereka datang ke Timbanganten. Di sana bupati Bandung mendapatkan 200 cacah. Selanjutnya Tumenggung Wiraangunangun bersama rakyatnya membangun Krapyak, sebuah tempat yang terletak di tepi Sungat Citarum dekat muara Sungai Cikapundung, (daerah pinggiran Kabupaten Bandung bagian Selatan) sebagai ibukota Kabupaten. Sebagai daerah pusat Kabupaten Bandung, Krapyak dan daerah sekitarnya disebut Bumi Tatar Ukur Gede. 

Wilayah administrative Kabupaten Bandung di bawah pengaruh Mataram (hingga akhir abad ke-17), belum diketahui secara pasti, karena sumber akurat yang memuat data tentang hal itu tidak/belum ditemukan. Menurut sumber pribumi, data tahap awal Kabupaten Bandung meliputi beberapa daerah antara lain Tatar Ukur, termasuk daerah Timbanganten, Kahuripan, Sagaraherang, dan sebagian Tanah medang. 

Boleh jadi, daerah Priangan di luar Wilayah Kabupaten Sumedang, Parakanmuncang, Sukapura dan Galuh, yang semula merupakan wilayah Tatar Ukur (Ukur Sasanga) pada masa pemerintahan Dipati Ukur, merupakan wilayah administrative Kabupaten Bandung waktu itu. Bila dugaan ini benar, maka Kabupaten Bandung dengan ibukota Karapyak, wilayahnya mencakup daerah Timbanganten, Gandasoli, Adiarsa, Cabangbungin, Banjaran, Cipeujeuh, Majalaya, Cisondari, Rongga, Kopo, Ujungberung dan lain-lain, termasuk daerah Kuripan, Sagaraherang dan Tanahmedang. 

Kabupaten Bandung sebagai salah satu Kabupaten yang dibentuk Pemerintah Kerajaan Mataram, dan berada di bawah pengaruh penguasa kerajaan tersebut, maka sistem pemerintahan Kabupaten Bandung memiliki sistem pemerintahan Mataram. Bupati memiliki berbagai jenis symbol kebesaran, pengawal khusus dan prajurit bersenjata. Simbol dan atribut itu menambah besar dan kuatnya kekuasaan serta pengaruh Bupati atas rakyatnya. Besarnya kekuasaan dan pengaruh bupati, antara lain ditunjukkan oleh pemilikan hak-hak istimewa yang biasa dmiliki oleh raja. Hak-hak dimaksud adalah hak mewariskan jabatan, hak memungut pajak dalam bentuk uang dan barang, hak memperoleh tenaga kerja (ngawula), hak berburu dan menangkap ikan dan hak mengadili. 

Dengan sangat terbatasnya pengawasan langsung dari penguasa Mataram, maka tidaklah heran apabila waktu itu Bupati Bandung khususnya dan Bupati Priangan umumnya berkuasa seperti raja. Ia berkuasa penuh atas rakyat dan daerahnya. Sistem pemerintahan dan gaya hidup bupati merupakan miniatur dari kehidupan keraton. Dalam menjalankan tugasnya, bupati dibantu oleh pejabat-pejabat bawahannya, seperti patih, jaksa, penghulu, demang atau kepala cutak (kepala distrik), camat (pembantu kepala distrik), patinggi (lurah atau kepala desa) dan lain-lain. 

Kabupaten Bandung berada dibawah pengaruh Mataram sampai akhir tahun 1677. Kemudian Kabupaten Bandung jatuh ketangan Kompeni. Hal itu terjadi akibat perjanjian Mataram - Kompeni (perjanjian pertama) tanggal 19-20 Oktober 1677. Di bawah kekuasaan Kompeni (1677-1799), Bupati Bandung dan Bupati lainnya di Priangan tetap berkedudukan sebagai penguasa tertinggi di Kabupaten, tanpa ikatan birokrasi dengan Kompeni.Sistem pemerintahan Kabupaten pada dasarnya tidak mengalami perubahan, karena Kompeni hanya menuntut agar bupati mengakui kekuasaan Kompeni, dengan jaminan menjual hasil-hasil bumi tertentu kepada VOC. Dalam hal ini bupati tidak boleh mengadakan hubungan politik dan dagang dengan pihak lain. Satu hal yang berubah adalah jabatan bupati wedana dihilangkan. Sebagai gantinya, Kompeni mengangkat Pangeran Aria Cirebon sebagai pengawas (opzigter) daerah Cirebon - Priangan (Cheribonsche Preangerlandan). 

Salah satu kewajiban utama Bupati terhadap kompeni adalah melaksanakan penanaman wajib tanaman tertentu, terutama kopi, dan menyerahkan hasilnya. Sistem penanaman wajib itu disebut Preangerstelsel. Sementara itu bupati wajib memelihara keamanan dan ketertiban daerah kekuasaannya. Bupati juga tidak boleh mengangkat atau memecat pegawai bawahan bupati tanpa pertimbangan Bupati Kompeni atau penguasa Kompeni di Cirebon. Agar bupati dapat melaksanakan kewajiban yang disebut terakhir dengan baik, pengaruh bupati dalam bidang keagamaan, termasuk penghasilan dari bidang itu, seperti bagian zakat fitrah, tidak diganggu baik bupati maupun rakyat (petani) mendapat bayaran atas penyerahan kopi yang besarnya ditentukan oleh Kompeni. 

Hingga berakhirnya kekuasaan Kompeni - VOC akhir tahun 1779, Kabupaten Bandung beribukota di Krapyak. Selama itu Kabupaten Bandung diperintah secara turun temurun oleh enam orang bupati. Tumenggung Wiraangunangun (merupakan bupati pertama) angkatan Mataram yang memerintah sampai tahun 1681. Lima bupati lainnya adalah bupati angkatan Kompeni yakni Tumenggung Ardikusumah yang memerintah tahun 1681-1704, Tumenggung Anggadireja I (1704-1747), Tumenggung Anggadireja II (1747-1763), R. Anggadireja III dengan gelar R.A. Wiranatakusumah I (1763-1794) dan R.A. Wiranatakusumah II yang memerintah dari tahun 1794 hingga tahun 1829. Pada masa pemerintahan Bupati R.A. Wiranatakusumah II, ibukota Kabupaten Bandung dipindahkan dari Karapyak kota Bandung.

 

Hikayat Datuk Panglima Khotib


Diantara kita semua mungkin belum tau sejarah kaitannya antara Air Tiris dengan Makam Datuk Panglima Khotib yang terletak lebih kurang 1 KM dari Pasar Air tiris dan juga dengan Kerajaan Gunung Sahilan yang terletak di Kampar Kiri.

Dahulu, Air Tiris adalah Ibu Kota Kecamatan Kampar, Kabupaten Kampar-Riau, yang sekarang bernama Koto Pukatan. Menurut cerita, di suatu kampung ada seorang pemuda yang tampan memiliki kesaktian dan keberanian. Karena kehebatannya, pemuda yang bernama Khotib tersebut sangat disegani oleh orang kampungnya. Ayah Khotib adalah seorang guru agama Islam yang berasal dari Aceh. Beliau termasuk salah seorang yang berjasa dalam mengembangkan agama di daerah Limo Koto.  Karena jasa dan kebaikannya,maka ia berjodoh dengan seorang gadis asal daerah Koto Pukatan yang kemudian melahirkan Khotib.

Dari kecil hingga dewasa Khotib dididik dengan ilmu agama. Orang tua Khotib tidak melarang anaknya menuntut ilmu kebatinan selama tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Oleh karena itu, Khotib juga menguasai ilmu pemagar diri serta mahir dalam beladiri. Suatu hari Khotib mendapati bahwa dirumahnya sudah tidak ada lauk untuk dimakan. Dilihatnya neneknya termenung karena tidak ada lauk untuk dimasak. Khotib kemudian pergi ke suatu tempat di desanya yang bernama Ayiu Lului (yang dalam  bahasa Ocu disebut juga ayiu tiri), dimana terdapat banyak ikan. Setelah  beberapa lama mengamati lubuk dan lubang ikan di Ayiu Lului, tiba-tiba Khotib melihat seekor ikan Tapa yang sangat besar. 

Masyarakat Koto Pukatan telah mengenali ikan tersebut karena ekornya yang buntung. Karena ukurannya yang besar, masyarakat menjadi takut dan mengira ikan tersebut memangsa manusia. karena Khotib memang seorang yang pemberani dan sakti, ia tidak merasa takut kepada ikan tapa raksasa tersebut. Khotib bahkan merasa tertantang untuk menaklukkan ikan raksasa tersebut dan menyantap dagingnya.

Khotib meminta temannya yang mengendalikan perahu agar menempatkan perahu tepat berada di atas tapa tersebut, karena ia ingin menombak ikan besar tersebut. Dengan secepat kilat Khotib menombak dan menusuk tepat di punggung Tapa raksasa itu. Tapa Buntung tersebut lari sekencang-kencangnya karena menahan sakit, sehingga Khotib ikut tercebur kedalam air dan diseret ikan Tapa kesana-kemari. Khotib sengaja tidak melepaskan tali tombak yang terikat ditangannya karena ia memang berniat ingin menyantap Tapa raksasa itu. Selain itu, dengan manaklukkan Tapa raksasa tersebut ia telah memberi rasa aman kepada penduduk Koto Pukatan yang hendak mencari ikan di Sungai Kampar.

Telah berhari-hari Khotib diseret hilir-mudik oleh Tapa raksasa, dan ikan tersebut telah merasa kelelahan. Karena tarikan Tapa tidak lagi kuat, Khotib memiliki kesempatan untuk naik kepermukaan air untuk melihat kemana ikan tersebut telah membawanya. Tidak lama kemudian, tibalah mereka di sebuah lubuk yang dalam, dan di sana terdapat sebuah batang kayu yang besar. Tapa raksasa tersebut beristirahat di dalam rongga kayu tersebut. Karena merasa kelelahan setelah 12 hari diseret Tapa, Khotib juga merasa lapar, maka ia memutuskan untuk meninggalkan Tapa tersebut dan berenang menuju tepian. 

Ketika  sampai di tepian Khotib tidak mengetahui nama daerah dimana ia berada, yang jelas baginya hari masih pagi karena matahari terlihat belum terlalu tinggi. Khotib ingin segera mencari makan, namun ia malu karena ia sudah tidak mengenakan sehelai kainpun. Dilihatnya sekeliling tak ada orang, ia pun merangkak memasuki semak-semak di hulu tepian itu. Untuk menutupi tubuhnya digunakan daun kayu yang agak lebardan diikatkan dengan akar kepinggangnya, ia berharap ada orang yang mau meminjamkan kain.

Tidak lama kemudian, Khotib melihat seorang gadis turun ke tepian hendak mencuci kain. Dengan suara yang serak Khotib memanggil “Gadi, Gadi, Oiiiii Gadiii….!” Mendengar panggilan tersebut, sang gadis mendekati semak-semak. Dari balik semak samar-samar terlihat olehnya sosok manusia. Khotib memanggil kembali seraya mengacungkan tangannya kepada perempuan tersebut  “Oiii gadi, bulio pinjam kain solai?” (bolehkah saya meminjam sehelai kain?).

Melihat seorang pemuda tanpa pakaian dan hanya dibalut dedaunan, perempuan tersebut sangat ketakutan. Tanpa menghiraukan kain cuciannya gadis itu lari berteriak-teriak ke atas tebing “Hantuuuuu, hantuuuuuuu ada hantu di tepian” teriaknya. Kebetulan saat itu hulu balang sedang berada di sekitar tepian, ia datang lalu bertanya apa yang terjadi. Gadis itu berkisah “begini tuanku, sewaktu saya ingin mencuci di tepian sungai, tiba-tiba saya mendengar orang memanggil-manggil. 

Setelah diamati ternyata suara itu berasal dari semak di hulu tepian. Karena suaranya parau dan kurang jelas, maka saya dekati semak tersebut, dan samar-samar saya melihat orang yang kepala dan badannya dipenuhi lumut, pinggang hingga kaki ditutupi daun-daun. Melihat sosok itu saya jadi ketakutan, saya menduga mahkluk itu bukan manusia melainkan hantu. Sewaktu saya hendak pergi mahkluk itu melambai-laimbai dan berseru minta kain. Karena semakin takut maka saya lari kesini”.

Hulu balang berkata “ kalau begitu mari kita lihat kesana!”. “jangan tuanku saya takut, panggillah bantuan tuanku” sahut perempuan itu. “kalau begitu baiklah, saya beritahukan kepada baginda Raja Gunung Sahilan agar baginda ikut menyaksikan serta dapat mengambil keputusan mengenai hal ini” jawab hulu balang, dan iapun bergegas menuju istana. Tidak lama kemudian Raja,hulubalang dan pembesar kerajaan Gunung Sahilan lainnya diikuti oleh serombongan rakyat berbondong-bondong menuju tepian sungai dimana mahkluk itu berada. 

Raja beserta robongan kemudian tiba di tepian yang dimaksud. Baru saja hulu balang mendekati semak tersebut, Khotib pun berkata “Tuanku tolong pinjamkan aku kain, aku dalam keadaan telanjang”. “mahkluk itu bicara” ucap hulubalang. “apa katanya” tanya baginda raja. “dia hendak meminjam kain, tuan ku”. “raja memerintahkan hulubalang “coba selidiki, apakah dia manusia atau bukan”. Mendengar pembicaraan itu, Khotib langsung menyahut “saya manusia, tuanku”.

Sang Raja merangkul hulubalang agar mendekat kepadanya sambil berbisik “mendengar ucapannya, mungkin ia manusia, tapi melihat rupanya yang berlumut aku jadi ragu, mari kita lihat lebih dekat”. “jangan mendekat tuanku, saya tidak berkain” cegah si Khotib. Khotib menunduk malu sambil menutupi pangkal pahanya dengan kedua tangannya. Hulubalang berkata kepada raja “tuanku, saya kira dia benar-benar manusia”. “pendapatku juga demikian, baiklah berikan ia pakaian” perintah sang raja. Tidak lama kemudian Datuk bendahara tiba di dekat raja sambil berbisik kepada raja “tuanku, sebaiknya terlebih dahulu kita beri dia pakaian, lalu baru kita beri dia pisang. Jika pisang itu langsung dimakannya berarti dia orang hutan atau hantu, tetapi jika kulit pisang itu dikupasnya 4 belah, maka ia adalah orang yang beradat, sama seperti kita”. “itu cara yang cerdik tuanku” sahut hulubalang. “kalau begitu coba Datuk Bendahara berikan kain sarung dan baju kepada mahkluk itu” perintah raja.

Datuk bendahara kemudian memberikan kedua helai kain tersebut kepada Khotib, sambil berkata “nah, pakailah pakaian ini”. Khotib menerima kain tersebut dengan perlahan dipakainya kain sarung dan baju, baru kemudian ia berani berdiri. Hulubalang maju beberapa langkah lalu berkata “ makanlah pisang ini” sambil memberikan 2 buah pisang raja setali. Khotib menyambut pisang pemberian hulubalang itu dengan menggigil karena lapar. Khotib mengupas kulit pisang tersebut menjadi empat bagian, lalu memakannya sepotong demi sepotong. Keempat orang yang menyaksikan menjadi terheran-heran, dab timbul keyakinan di dalam hati mereka bahwa Khotib benar-benar manusia yang beradat. Raja kemudian kembali ke istana dan memerintahkan hulubalang memeriksa Khotib di Balairung kerajaan.

Setibanya di istana Khotib menceritakan kisahnya “Tuanku, nama saya Khotib, berasal dari dusun Ranah di negeri Koto Pukatan, karena takdir tuhanlah saya sampai kedaerah ini”.  “bagaimana kamu bisa sampai di daerah Gunung Sahilan ini?” tanya hulubalang keheranan. “panjang kisahnya tuanku, lagi pula tidak masuk diakal, mungkin tuanku tidak akan percaya” jawab Khotib. “kalau begitu, hal ini perlu diketahui oleh raja, mari kita menghadap raja” kata hulubalang. Setibanya di depan singgasana hulubalang mengatur sembah “ampun patik tuanku, kalau digantung patik tinggi, kalau dipancung patik mati, tuanku juga yang akan rugi”. Raja menjawab “kabar apa yang hendak engkau sampaikan hulubalang? katakanlah” titah baginda raja.  “ampun tuanku, apa yang tuanku titahkan kepada patik tadi telah patik laksanakan. Meskipun hanya sebagian kecil kisah anak muda tadi yang patik dengarkan, tahulah patik bahwa ia adalah pemuda yang baik budi. 

Karena kisahnya amatlah panjang, tentunya memerlukan pemahaman yang mendalam, menurut hemat patik sebaiknya baginda langsung mendengar dan memberikan pertimbangan” hulubalang memberikan saran. “Kalau itu yang terbaik menurut mu, baiklah, beta setuju. Bawalah anak itu ke sini” perintah sang raja. Hulubalang dan Khotib datang sambil mengatur sembah di hadapan raja. Raja mempersilahkan keduanya duduk dan bertitah “aku berkenan mendengar kisah mu anak muda, mulailah, biar kami mendengarkan”. Khotib menjawab “baiklah, titah tuanku patik junjung”. Khotib kemudian menceritakan kisanya kepada raja bahwa ia berasal dari Koto Pukatan, ayahnya adalah orang Aceh dan dikenal dengan nama Tuanku Syeh Aceh, sedangkan ibunya asli keturunan Koto Pukatan. “ jadi negeri mu terletak di pinggir Sungai Kampar kanan?” tanya raja. “benar tuanku” jawab Khotib. “apakah di sini daerah Kampar Kiri?” balas Khotib bertanya. “ya benar” jawab hulubalang. “bagaimana kisah mu hingga sampai ke sini” tanya raja?. Khotib menceritakan kisahnya menangkap Tapa Buntung raksasa, kemudian ia diseret ikan tersebut selama 12 hari melalui terowongan air bawah tanah, dan akhirnya sampai di Gunung Sahilan. Raja kemudian bertanya “dari lubuk ayiu lului, kamu ditarik Tapa Buntung melalui terowongan bawah air selama 12 hari, dan sampai di sini, lantas bagaimana kamu bisa bernafas?”. “ampun patik tuanku, bukan maksud hati hendak berbangga diri, dari beberapa ilmu dunia yang patik pelajari, ada salah satunya ilmu Piwang Ayiu. Dengan ridho Allah, jika kita menyelam dengan ilmu itu, kita mampu bertahan di dalam air selama 40 hari tuanku” jawab Khotib. “jadi selama itu kamu tidak makan apa-apa?” tanya raja lagi. “Khotib menjawab “boleh dikatakan tidak ada tuanku, kecuali air, berkat pertolongan Allah SWT saya mampu bertahan”. “hebat engkau Khotib, lengkap ilmu dunia dan akhirat mu” puji baginda raja.

Raja memaklumi Khotib yang sudah letih bercerita, sedangkan ia masih ingin mendengar kisah perjalanan Khotib dari Ayiu Lului ke Gunung Sahilan, maka raja mengajak Khotib menyantap makanan dan minuman. Setelah selesai bersantap dan sejenak melepas lelah, atas permintaan raja dan hulubalang, Khotibpun melanjutkan ceritanya. “Barangkali tuanku dan hulubalang ingin mengetahui mengapa hampir dua minggu saya di dalam air baru muncul di Kampar Kiri, sedangkan melalui jalan darat hanya memakan waktu selama dua hari, bukan begitu tua ku?” tanya Khotib. “ya, malah bunyi meriam di Limo Koto terdengar sampai kesini” jawab sang raja. Khotib melanjutkan ceritanya. “Jika jalannya lurus dan tidak ada penghalang, mungkin tidak akan terasa jauh dan dapat ditempuh dalam waktu singkat, tetapi terowongan yang saya lewati bersama Tapa Buntung Raksasa itu berkelok-kelok, kadang arah ke hulu dan kadang arah ke hilir. Ada bagian yang lapang, tetapi banyak bagian yang sempit. 

Ditambah pula si Ikan Tapa itu berenang tidak pilih jalan, malah ia suka mencari tempat yang sulit untuk dilalui. Sering tali tombak saya tersangkut pada batang kayu, atau batu runcing yang ada di dalam terowongan itu. Tidak hanya itu, di sana juga banyak terdapat binatang buas seperti ular dan buaya, menambah lama perjalanan saya”.

“lalu dimana Tapa Buntung itu sekarang?” tanya raja kepada Khotib. “Tapa Buntung itu terus memasuki lubuk, sembunyi di bawah batang kayu yang dipenuhi duri. Karena merasa sangat lelah, saya membuka ikatan tali tombak di pergelangan tangan saya dan mengikatkannya pada salah satu akar kayu besar itu. Sayapun berenang ke tepian, karena seluruh pakaian saya sudah hancur karena diseret Tapa, maka saat naik ke darat saya tidak berkain, hingga akhirnya bertemu dengan baginda” jawab Khotib. “sungguh kisah mengagumkan dan merupakan pengalaman yang sangat berharga. Hanya orang-orang yang bercita-cita mulia, istiqomah dan memiliki kesaktian luar biasa yang mampu melalui perjalanan tersebut”, puji sang raja sekaligus menutup perbincangan itu.

Sesaat kemudian, terdengar suara hingar bingar diselingi alunan suara gong di luar istana. Khotib merasa penasaran, dan bertanya kepada hulubalang. “ampun tuanku, bolehkah hamba tahu apa yang terjadi di luar sana?”. Hulubalang menjawab, “beberapa minggu yang lalu ada seseorang mendapatkan barang aneh. Tidak ada seorangpun yang mengetahui nama dan kegunaan barang itu. Karenanya, pihak istana mengadakan sayembara, bagi siapa yang dapat mengetahui nama dan guna barang itu, baginda raja akan memberikan hadiah yang besar”. Raja menambahkan “maksud beta, bagi siapa saja yang berhasil menyebutkan nama serta kegunaan benda tersebut, kepadanya akan dianugerahkan beberapa hadiah berupa benda berharga, pangkat dan fasilitas yang mewah. Jika berminat, kamu juga boleh mengikuti sayembara tersebut”, raja menawarkan kepada Khotib. “ampun patik tuanku, bolehkah patik melihat benda itu?” tanya Khotib penasaran. “bagaimana pendapatmu Hulubalang?” tanya sang raja. 

Hulubalang menjawab “ampun tuanku,menurut hemat patik, memang sebaiknya begitu. Jika Khotib mampu menerka nanti secara resmi dilakukan di depan khalayak ramai”. Kemudian raja menyuruh hulubalang untuk mengambil benda yang dimaksud. Setelah kembali, hulubalang memperlihatkan benda aneh tersebut di hadapan Khotib. Benda aneh itu dibungkus tiga lapis dan diikat dengan benang bencono. Ketika Khotib melihatnya, ia tersenyum dan berkata “oooh, saya tahu nama dan kegunaan benda ini baginda”, ucap Khotib. “Kamu tahu nama dan kegunaannya?, kalau begitu coba sebutkan”, titak raja.

“Ampun tuanku, benda ini umum dipakai petani di daerah Limo Koto, namanya sangkal bajak(mata bajak). Alat ini ditarik oleh satu atau dua ekor kerbau untuk mencangkul sawah”. Mendengar penjelasan Khotib raja berkata “astagfirullah….,hampir saja kita melakukan hal yang tidak patut, untunglah ada Khotib yang mengetauinya. Atas keterangan yang diberikan Khotib, raja merasa yakin bahwa nama benda aneh tersebut adalah sangkal bajak dan digunakan untuk membajak tanah. Setelah berfikir sejenak, raja kemudian berkata “sekarang waktunya untuk mulai sayembara”. Hingar-bingar di luar istana semakin jelas terdengar. Musik gong dan calempong semakin lantang, bunyi tabuh pun bertalu-talu pertanda sayembara akan dimulai.

Dalam pada itu Datuk bendahara datang menghadap raja, dan melaporkan bahwa seluruh rakyat kerajaan Gunung Sahilan telah berkumpul untuk menyaksikan perhelatan besar yang akan dilangsungkan selama tujuh hari tujuh malam, dengan menyembelih seekor kerbau. Setelah Datuk Bendahara selesai menyampaikan laporannya, baginda raja memerintahkan hulubalang untuk mempersiapkan segala keperluan sayembara tersebut. Sebelum raja pergi untuk melangsungkan pembukaan sayembara tersebut ia berpesan kepada Khotib “nanti sesudah pembukaan sayembara beta lakukan, semua rakyat dipersilahkan untuk menjelaskan nama dan kegunaan benda itu, beta yakin tidak seorangpun yang akan tahu. Namun biarkanlah dulu beberapa orang memberikan jawaban mereka, setelah beberapa lama berselang dan tidak ada lagi yang akan tampil memberikan jawaban, barulah kamu tampil ke hadapan khalayak dengan jawaban yang paling sempurna, dan kamulah yang menjadi pemenang sayembara besar ini, sehingga sayembara ini tidak kelihatan enteng. Pahamkah kamu maksud beta?” tanya sang raja kepada Khotib.

Khotib menjawab “hamba maklum tuanku, hamba akan berupaya memenuhi segala sesuatu yan tuanku titahkan”. Setelah baginda raja dan Khotib selesai mengenakan pakaian, hulubalangpun datang menjemput. Baginda raja diiringi Permaisuri, Khotib dan pembesar kerajaan berjalan menuju balairung dimana rakyat telah berkumpul. Kedatangan raja disambut meriah oleh para hadirin. Lelo(meriam dari bambu) dibunyikan sebanyak tiga kali sebagai pertanda pembukaan sayembara telah dimulai. Dalam pidato pembukaan, baginda raja sengaja memperkenalkan Khotib kepada seluruh pembesar kerajaan, para undangan dan seluruh rakyat. Raja mengatakan bahwa Khotib adalah tamu kerajaan, karenanya ia berhak mengikuti sayembara tersebut.

Sayembara segera berlangsung, beberapa peserta telah tampil dan memberikan jawabannya. Diantara mereka ada yang mengatakan nama benda itu sejenis beliung, ada yang mengatakan sabit, senjata untuk berburu, alat  pengupas kelapa dan lain-lain. Baginda raja yang bertindak sebagai hakim menyatakan bahwa jawaban para peserta belum ada yang sempurna. Sesuai dengan rencana semula, maka untuk giliran terakhir tampillah Khotib yang dengan lancar menjelaskan perihal benda tersebut. Khotib malah menambahkan kemungkinan benda tersebut dihanyutkan dari daerahnya Ayiu Lului Kampar, melewati terowongan bawah air hingga sampai di Gunung Sahilan.

Semua yang hadir dapat menerima jawaban Khotib, dan dengan demikian Khotib keluar sebagai pemenang sayembara. Sesuai dengan perjanjian, baginda raja mengumumkan hadiah yang akan dianugerahkan kepada pemenang. Kepada Khotib dianugerahi gelar Panglima kerajaan, diberi tanah ulayat yang luas dan dicarikan calon isteri yang sepadan. Hadiah yang diberikan oleh raja ditolak oleh Khotib, kecuali gelar kebesaran “Panglima”. Khotib menolak jabatan, harta dan pendamping hidup yang diberikan raja, karena ia tidak ingin lama tinggal di Gunung Sahilan, dan ingin segera kembali ke Koto Pukatan. Khotib teringat kepada orang tuanya yang mungkin menggap Khotib telah meninggal dunia ketika ia dilarikan ikan Tapa Buntung itu.

Baginda raja menghendaki supaya Khotib tetap tinggal di Gunung Sahilan selama 70 hari karena masih banyak yang perlu dikerjakannya. Setelah mempertimbangkan kepentingan raja yang baik itu, maka Khotib menyetujui untuk tinggal selama 70 hari. Raja sangat bersuka cita, sehingga baginda mengadakan upacara pulang sana (tradisi mengangkat saudara yang berlaku dalam masyarakat Kampar).

untuk Khotib yang berlangsung selama 7 malam berturut turut. Selesai 70 hari, tibalah waktunya bagi Khotib untuk pulang ke kampungnya. Dengan berat hati rajapun melepas kepergian Khotib pulang ke Koto Pukatan. Untuk kepulangan Khotib, pihak kerajaan telah mempersiapkan sebuah perahu yang cukup besar dengan ukiran yang indah. Setelah bermaaf-maafan Khotibpun mulai berlayar meninggalkan Gunung Sahilan diiringi beberapa perahu kerajaan. Lelo  dibunyikan tujuh kali melepas kepergian Khotib.

Setelah 6 hari menyusuri Sungai Kampar tibalah Khotib di kampungnya Koto Pukatan. Di tepian sungai Khotib melihat banyak perempuan yang sibuk bekerja. Sebagian mengupas dan mencincang cempedak muda, sebagian lagi membersihkan ayam dan ikan yang telah dipotong. Khotib yang telah bergelar panglima itu merasa penasaran, lalu ia menegur perempuan-perempuan tersebut dengan bertanya “sepertinya masyarakat desa ini akan melakukan kenduri besar?”. Salah seorang dari mereka menjawab “benar Tuk, kami akan mengadakan perhelatan besar”. “perhelatan untuk apa?” tanya Panglima Khotib. Mereka menjawab “kami hendak mengadakan upacara peringatan seratus hari meninggalnya pemuda desa sini”. Panglima Khotib termenung sejenak, lalu ia bertanya kembali “apa penyebab kematiannya?”. Perempuan itu menjawab “dia dilarikan Ikan Tapa Buntung”. Panglima Khotib berkata “oh begitu, apakah pemuda itu bernama Khotib?” Semua perempuan yang bekerja di tepian sungai tersebut terkejut mendengar nama pertanyaan Khotib. “dari mana orang asing ini mengetahui nama si Khotib” pikir mereka. 

Paglima Khotib kemudian mengatakan bahwa dirinya adalah pemuda yang disangka telah meninggal sejak seratus hari yang lalu. Perempuan-perempuan itu terkejut dan mengamati Panglima Khotib dengan seksama. Salah satu dari mereka kemudian berkata “iko ocu Khotib go, indak tio mati ocu do? Syukur Alhamdulillah (apakah anda ini bang Khotib, berarti bang Khotib tidak meninggal)”. Panglima Khotib kemudian berjalan kerumahnya meninggalkan perempuan-perempuan itu dalam kebingungan.

Dari kejauhan Panglima Khotib dapat mendengar suara gaduh dari rumahnya. Anggota keluarganya telah mendapat kabar bahwa ia masih hidup dan sedang berada di tepian. Sesampainya di halaman rumah, Panglima  Khotib bergegas naik ke rumah sambil mengucapkan salam. “Assalamualaikum” ucapnya. “waalaikumsalam” jawab orang seisi rumah. Melihat Panglima Khotib, seluruh keluarga segera menghampirinya, tangisan dan ratapan semakin menjadi-jadi. Untuk mengatasi situasi yang demikian, Panglima Khotib berkata “Bapak, Ibu, sanak saudara sekalian harap tenang dan jangan meratap lagi. Syukur Alhamdulilah saya telah kembali, memang benar pepatah orang tua-tua : indak gowuo bapantang luko, indak ajal bapantang mati (kalau tidak ada sebab tidak akan luka,  kalau tidak ajal tidak akan mati).

Sekonyong-konyong nenek Panglima Khotib mendekat dan menepuk bahu Panglima Khotib, dengan suara keras ia berkata “itu lah cu….. bukankah nenek tidak menyuruh kamu menombak Tapa Buntung? Akhirnya kami kehilangan kamu seratus hari, kami kira kamu sudah mati, inilah upacara seratus hari kematian mu, orang kampung sudah diundang untuk datang malam ini". 

Panglima Khotib segera memegang tangan neneknya yang mulai ingin meratap, dan berkata “sabar nek, coba nenek denarkan cerita saya,hal ini terjadi bukan karena salah siapa-siapa, ini terjadi karena memang sudah suratan hidup saya nek. Peristiwa ini adalah takdir Allah, kita hanya menjalani saja. Kita harus bersyukur saya masih diselamatkan Allah yang maha pengasih dan penyayang. Karena kenduri seratus hari ini sudah terlanjur dilaksanakan, maka sebaiknya kita ganti dengan doa selamat atas kepulangan saya ke Koto Pukatan”. “lalu bagaimana cara kita memberitahukan hal ini kepada para undangan?” sahut anggota keluarganya yang lain. “masalah itu tidak usah dirisaukan, orang kampung tentu ingin mengetahui perihal kisah hilangnya saya selama seratus hari, oleh karena itu, nanti malam setelah semua undangan hadir, saya sendiri yang akan mengumumkan bahwa acara ini telah berubah menjadi doa selamat atas kepulangan saya” jawab Panglima Khotib.

Setelah selesai sholat magrib, orangpun berdatangan ke rumah Panglima Khotib. Sebelum upacara peringatan seratus hari kematiannya dilangsungkan, Panglima Khotib memberikan kata sambutan. Ia menceritakan bagaimana ia diseret Ikan Tapa Buntung hingga sampai ke Gunung Sahilan, mengikuti dan memenangkan sayembara di sana, ia menerima gelar panglima dan menolaksemua hadiah lainnya dan proses kembali ke Koto Pukatan. Sebelum mengakhiri sambutannya Panglima Khotib menjelaskan tentang keadaan ayiu lului yang sebenarnya merupakan jalan tembus menuju Sungai Kampar Kiri. Panglima Khotib juga mengatakan bahwa tidak hanya dirinya, tetapi sebuah mata bajak dari Koto Pukatan juga pernah ditemukan orang di sungai Kampar Kiri, dan diperkirakan Panglima Khotib, mata bajak tersebut terseret arus terowongan bawah air di Ayiu Lului. Sejak peristiwa yang menakjubkan itu, daerah Koto Pukatan tempat terdapatnya ayiu lului perlahan-lahan dikenal orang dengan nama air tiris.

 

Tashowuf Imam Abu Yazid dan Faham Hulul Al Hallaj


Berbicara masalah tasawuf tentunya tidak akan terlepas dari tokoh-tokoh tasawuf itu sendiri yang menggunakan sebagian besar dari sisa hidupnya untuk memperoleh pengetahuan, pendekatan, kasih atau cinta Allah SWT, namun tasawuf ibarat induk jalan yang akan memunculkan jalan-jalan yang lebih kecil darinya sesuai dengan faham dan tokoh  yang merintis jalan tersebut faham tersebut. Jadi bagi yang ingin memilih jalan Tasawuf sebagai Jalan pikiran sekaligus menjadi Jalan hidup bisa memilih jalan mana   yang baik menurutnya.
Mereka yang merupakan tokoh tasawuf itu mempunyai konsep pendekatan kepada Allah yang bermacam-macam, ada yang ajarannya tentang mahabbah (Rabiatul Adawiyah), Ma'rifah (Ghazali), dan lain-lain.

Adapun tokoh yang akan penulis kemukakan adalah dua orang tokoh sufi fenomenal dan controversial yang memiliki corak tasawuf yang sejalan dari segi tujuan, berupa kedekatan atau lebih khususnya penyatuan diri manusia secara bathiniyah dengan Allah, namun memiliki konsep yang berbeda.  Abu Yazid Al-Bustami, beliau diberi gelar raja para mistikus, karena yang terlihat darinya adalah hal-hal yang berada diluar nalar manusia biasa. 

Di dalamnya akan dibahas sejarah hidupnya serta ajarannya yang sangat terkenal fana’ baqa dan Ittihad, serta Al-Hallaj dengan garis kehidupan dan konsepnya yang kontroversi terhadap pandangan ulama’ dan pemimpin waktu itu sehingga mengakhiri hidupnya di dunia, dukungan oleh banyak pengikutnya  dari berbagai kalangan, serta penjelasan tentang Hululnya.

Semoga pemaparan makalah ini akan meluruskan pandangan dan meluaskan wawasan terhadap kehidupan dan corak pikiran tokoh Islam di bidang, tidak dilihat dari sudut pandang  yang lain.

‎Riwayat Hidup Abu Yazid Al-Bustami

Nama lengkapnya adalah Abu Yazid Thoifur bin ‘Isa bin Surusyan Al-Bustami, lahir di daerah Bustam (Persia) tahun 874 - 947 M‎. Al Bustami adalah nama adalah nama yang dinisbatkan kepada tempat kelahiranya, Busthan sebuah kota kecil di Khurasan Barat, Persia atau sebelah tenggara dari laut Kaspia. Nama kecilnya adalah Taifur. Ayahnya Surusyan, pada mulanya seorang penganut agama Majusi kemudian masuk Islam. Pendidikan dasar yang dialami Abu Yazid ia belajar Figih mazhab Hanafi dengan Abu Ali al-Sindi, begitu juga ilmu tauhid dan ilmu hakikat, begitu juga ilmu pengetahuan mengenai alam fana. 

Keluarga Abu Yazid termasuk orang berada di daerahnya, tetapi ia lebih memilih hidup sederhana, Sejak dalam kandungan ibunya, konon kabarnya Abu Yazid telah mempunyai kelainan. Ibunya berkata bahwa ketika dalam perutnya, Abu Yazid akan memberontak sehingga ibunya muntah kalau menyantap makanan yang diragukan kehalalannya

Sewaktu meningkat usia remaja, Abu Yazid terkenal sebagai murid yang pandai dan seorang anak yang patuh mengikuti perintah agama dan berbakti kepada orang tuanya. Suatu kali gurunya menerangkan suatu ayat dari Surat Luqman yang berbunyi, "Berterima kasihlah kepada Aku dan kepada kedua orang tuamu". Ayat ini sangat menggetarkan hati Abu Yazid. Ia kemudian berhenti belajar dan pulang untuk menemui ibunya. Sikapnya ini menggambarkan bahwa ia selalu berusaha memenuhi setiap panggilan Allah

Perjalanan Abu Yazid untuk menjadi seorang sufi memakan waktu puluhan tahun. Sebelum membuktikan dirinya sebagai seorang sufi, ia terlebih dahulu telah menjadi seorang fakih dari mazhab Hanafi. Salah seorang gurunya yang terkenal adalah Abu Ali As-Sindi. la mengajarkan ilmu tauhid, ilmu hakikat, dan ilmu lainnya kepada Abu Yazid 

Pengetahuan yang mendalam mengenai fikih Hanafi menjadikan ia seorang yang kuat memegang Syari’at Islam. Hal ini dapat dipahami dari beberapa pernyataan yang pernah dilontarkanya, ia pernah berkata ; kalau kamu melihat seseorang telah mampu melakukan hal-hal keramat yang besar-besar, walau ia sanggup terbang di udara, namun janganlah kamu tertipu sebelum kamu melihat bagaimana ia mengikuti suruh dan  menghentikan larangan dan menjaga batas-batas syari’at.

Abu Yazid meninggal dunia tanpa meninggalkan karya tertulis riwayat hidup dan pemikiranya hanya diketahui Isa B. Adam Musa b Isa dan Thufaur b Isa dan tokoh lain yang pernah berjumpa dengan Yazid Abu Musa Al-Dabili, Abu Ishak Al-Harawi dan lain-lain. Pengikutnya tergabung kedalam tarekat Thaifuriyyah yang merupakan pelanjut dari ajarannya. Ia meninggal dunia tahun 261 H/ 874 M di kota kelahiranya Bustham.

Ajaran Fana’, Baqa' dan Al-IttihadAbu Yazid

Ajaran al-fana’, al-baqa’, dan al-ittihad Abu Yazid adalah satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan.

Dari segi bahasa, fana' berasal dari kata faniya yang berarti musnah atau lenyap. Keadaan dari Syai’ (sesuatu) yang tidak berakhir, artinya apabila tetapnya suatu keadaan telah berakhir, dikatakan bahwa ia telah mencapai fana 

Dalam hal ini Abu Bakar Al-Kalabadzi (w. 378 H / 988 M) mendefinisikannya : "hilangnya semua keinginan hawa nafsu seseorang, tidak ada pamrih dari segala kegiatan manusia, sehingga ia kehilangan segala perasaannya dan dapat membedakan sesuatu secara sadar, dan ia telah menghilangkan semua kepentingan ketika berbuat sesuatu”

Menurut al-Qusyairi, Fana’ yang dimaksud adalah : Fana’nya seseorang dari dirinya dan makhluk lain, terjadi dengan hilangnya kesadaran tentang dirinya dan tentang mahkluk lain itu. Sebenarnya dirinya tetap ada dan demikian pula mahkluk lain ada, tetapi ia tidak sadar lagi pada mereka dan pada dirinya
Di antara kaum sufi ada yang berpendapat bahwa manusia dapat bersatu dengan Tuhan. Seorang sufi yang sampai pada tingkat ma’rifah akan melihat Tuhan dengan mata sanubarinya .

Menurut al-Syathi, proses penghancuran sifat-sifat basyariah, disebut Fana’ al-sifat dan proses penghancuran tentang irodah dirinya disebut Fana’ al-irodah serta proses penghancuran tentang adanya wujud dirinya dan zat yang lain disekitarnya disebut Fana’ al-nafs

Menurut Al-Thusi : Fana’ adalah berarti sirnanya pandangan seseorang terhadap tindankan-tindakannya.
Al-Fana dalam pengertian umum dapat dilihat dari penjelasan al-Junaidi, yaitu :

ذهاب قلب عن حسن المحسوسات بمشاهدة ماشاهد ثم يذهب عن ذهابه والذهاب عن ذهاب هذا مالا نهاية له. يعنى قد غابت المحاضر وتلفت الاشياء فليس شيء يوجد ولا يحس بشيء يفقد

Hilangnya daya kesadaran qalbudari hal-hal yang bersifat inderawi karena adanya sesuatu yang dilihatnya. Situasi yang demikian akan beralih karena hilangnya sesuatu yang terlihat itu dan berlangsung terus secara slilih berganti sehingga tiada lagi yang disadaridan dirasakan oleh indera.


Sebelum sampai kepada al-ittihadseorang sufi terlebih dahulu menghancurkan dirinya, selama ia belum dapat menghancurkan dirinya, ia tidak dapat bersatu dengan Tuhan. Itu se babnyaal-fana’ sebagai proses awal lalu kemudian dilanjutkan dengan al-baqayang satu dengan yang lain merupakan kembar yang tidak dapat dipisahkan. Yang dimaksud dengan hancurnya jiwa suci bukan berarti hilang, tetapi kehancuran yang akan menimbulkan kesadaran sufi terhadap dirinya. Kesadaran ini disebut dengan al-fana ‘alan nafs wa al baqa’ billah, yaitu kesadaran tentang diri sendiri hancur dan timbulah kesadaran diri Tuhan. Dengan terjadinya fana otomatis baqa akan datang sendiri dalam kondisi seperti itu ittihad pun terjadi pula. Abu Yazid membawa pengertian  yang berbeda dengan Junaid khususnya dalam masalah sakar, yaitu mabuk dalam mencintai Tuhan. 

Abu Yazid al-Bustami berpendapat bahwa manusia hakikatnya se-esensi dengan Allah, dapat bersatu dengan-Nya apabila ia mampu melebur eksitensi keberadaan-Nya sebagi suatu pribadi sehingga ia tidak menyadari dirinya (fana an nafs) 

Apabila seorang sufi telah sampai kepada Fana’ al-nafs yaitu tidak disadarinya wujud jasmaniyah, maka yang tinggal adalah wujud rohaniahnya dan ketika itu ia bersatu dengan Tuhan secara rohani 

Dari berbagai uraian tersebut diketahui bahwa yang dituju dengan Fana’dan Baqa’ adalah mencapai persatuan secara rohaniah dan bathiniah dengan Tuhan, sehingga yang disadarinya hanya Tuhan dalam dirinya. Dengan demikian materimanusianya tetap ada, sama sekali tidak hancur, demikianlah juga alam sekitarnya, yang hilang atau hancur hanya kesadaran dirinya sebagai manusia, ia tidak lagi merasakan jasad kasarnya.

Bila seseorang telah Fana’ atau tidak sadar lagi tentang wujudnya sendiri dan wujud lain disekitarnya pada saat itulah ia sampai kepada Baqa’ dan berlanjut kepada Ittihad. Fana’ dan Baqa’ menurut sufi adalah kembar dan tak terpisahkan sebagaimana ungkapan mereka:“Siapa yang menghilangkan sifat-sifatnya, maka yang ada adalah sifat-sifat Tuhan”.

Dengan demikian bisa dikatakan pencapaian Abu Yazid ketahap fana' dicapai setelah meninggalkan segala keinginan selain keinginan kepada Allah SWT. 
Adapun salah satu jalan untuk mencapai fana’ fillah disamping mendalamnya cinta rindu, adalah dengan meditasi (pemusatan kesadaran) dengan perantaraan zikir, dalam kitab hikam diterangkan:

والذكر أعظم باب أنت داخله              
لله فأجعل له الأنفاس حراسا                                      

Zikir adalah sebuah pintu yang paling besar (untuk mencapai fana’ dan makrifah) pada Allah; maka masukilah, sertailah setiap keluar masuknya nafas dengan zikir       

 Jalan menuju fana’ menurut Abu Yazid dikisahkan dalam mimpinya menatap Tuhan. la bertanya, "Bagaimana caranya agar aku sampai pada- Mu? Tuhan menjawab, "Tinggalkan diri (nafsu)mu dan kemarilah. "Abu Yazid sendiri sebenarnya pernah melontarkan kata fana’ pada salah satu ucapannya:

أعرفه بى حتى فنيت ثمّ عرفته به فحيّيْتُ

Artinya:
"Aku tahu pada Tuhan melalui diriku hingga aku fana', kemudian aku tahu pada-Nya melalui diri-Nya, maka aku pun hidup”

Kehancuran (fana') dalam ucapan ini memberikan 2 bentuk pengenalan (Al-Ma'rifat) terhadap Tuhan, yaitu :
a. Pengenalan terhadap Tuhan melalui diri Abu Yazid.
b. Pengenalan terhadap Tuhan melalui diri Tuhan.

Adapun baqa' berasal dari kata baqiya. Arti dari segi bahasa adalah tetap. Sedangkan berdasarkan istilah tasawuf berarti mendirikan sifat-sifat terpuji kepada Allah. Paham baqa' tidak dapat dipisahkan dengan paham fana' karena keduanya merupakan paham yang berpasangan. Jika seorang sufi sedang mengalami fana', ketika itu juga ia sedang menjalani baqa'

 Dengan tercapainya Fana’ danBaqa’ maka seorang sufi dianggap telah sampai kepada tingkat ittihad atau menyatu dengan yang Maha Tunggal (Tuhan) yang oleh Bayazid disebut “Tajrid Fana’ fi at- Tauhid” yaitu dengan perpaduan dengan Tuhan tanpa diantarai oleh sesuatu apapun

Paham Fana’, Baqa’, dan Ittihad menurut kaum sufi sejalan dengan konsep pertemuan dengan Allah. Fana’ dan Baqa’juga dianggap merupakan jalan menuju pertemuan dengan Tuhan sesuai dengan firman Allah SWT yang bunyinya    

Barang siapa yang mengharapkan perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang shaleh dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadat kepada-Nya” (Q.S. al-Kahfi, 18: 110)

Ittihad adalah tahapan selanjutnya yang dialami seorang sufi setelah ia menempuhi tahapan fana dan baqa'. Disebutkan oleh Abdul Razaq Al-Katsani :

التحاد هو شهود الوجود الحق الواحد المطلق الذى الكل به موجود بالحق فيتحد به الكل من حيث كون كل شيء موجوداً به معدوما بنهسه، لا من حيث أنّ له وجوداً خاصاً اتحد به فإنه محال

Artinya:
Dalam tahapan ittihad, seorang sufi bersatu dengan Tuhan, antara yang mencintai dan yang dicintai menyatu, baik substansi maupun perbuatannya. Dalam ittihad identitas telah hilang dan identitas menjadi satu. Sufi yang bersangkutan, karena fananya tak mempunyai kesadaran lagidan berbicara dengan nama Tuhan.

Usaha untuk mencapai fana’,baqa’ dan ittihad itu bagi Abu Yazid, seperti sufi lainya, juga diawali dengan zuhud. Ia berkata ketika seseorang bertanya kepadanya, tentang perjuangan mencapai ittihad. Ia menjawab tiga tahun sedang umurnya pada waktu itu telah lebih dari tujuh puluh tahun. Dengan kata lain setelah ia berumur tujuh puluh tahun ia mencapai maqam ittihad. Ia juga berkata hari pertama aku zuhud terhadap dunia dan segala isinya, pada hari kedua aku zuhud terhadap akhirat dan segala yang akan terjadi disana, dan pada hari ketiga aku zuhud  terhadap apa saja selain Allah.‎

Seorang sufi dipandang telah mencapai station ittihad adalah ketika ia dalam keadaan mabuk (sakr atau trance). Ucapan-ucapan seperti itu juga diucapkan oleh Abu Yazid, antara lain ia berkata: “manusia tobat dari dosanya, tetapi aku tidak, aku hannya mengucapkan tiada Tuhan selain Allah"

Pengalaman kedekatan Abu Yazid dengan Tuhan hingga mencapai ittihad disampaikannya dalam ungkapan "pada suatu ketika aku dinaikkan kehadirat Tuhan, lalu Ia berkata: "Abu Yazid, makhluk-makhluk-Ku sangat ingin memandangmu. Aku menjawab: "Kekasihku, aku tak ingin melihat mereka. Tetapi jika itu kehendak-Mu, maka aku tak berdaya untuk menentang-Mu. Hiasilah aku dengan keesaan-Mu, sehingga jika makhluk-makhluk-Mu memandangku, mereka akan berkata: Kami telah melihat-Mu. Engkaulah itu yang mereka lihat, dan aku tidak berada di hadapan mereka itu. Pernyataan di atas menggambarkan bahwa Abu Yazid telah dekat dengan Tuhan, tetapi ittihad belum ia capai, ittihad tercapai ketika ia mengucapkan sebagai berikut: 

"Tuhan berkata, Abu Yazid, mereka semua kecuali engkau adalah makhluk-Ku. Aku pun berkata, aku adalah Engkau. Engkau adalah aku, dan aku adalah Engkau. Konversasi ; terputus Kata menjadi satu, bahkan semuanya menjadi satu. Tuhan berkata kepadaku, Hai engkau. Aku dengan perantaraan-Nya menjawab, Hai aku. Ia berkata, "Engkaulah yang satu. Aku menjawab, akulah yang satu. Ia berkata, Engkau adalah engkau. Aku menjawab, aku adalah aku." Pernyataan di atas menunjukan bahwa Abu Yazid mengucapkan “aku” bukan sebagai gambaran dirinya, tetapi sebagai gambaran Tuhan. Hal ini terjadi karena Abu Yazid sedang mengalami ittihad.

‎Dalam ajaran ittihad, yang dilihat hanya satu wujud meskipun sebenarnya ada dua wujud yaitu Tuhan dan manusia. Karena yang dilihat dan yang dirasakan hanya satu wujud maka dalam ittihad ini bisa jadi pertukaran peranan antara manusia dengan Tuhan. Dalam suasana seperti ini mereka merasa bersatu dengan Tuhan, suatu tingkatan di mana antara yang mencinta dan yang dicintai telah menjadi satu, sehingga salah satu memanggil yang lain dengan kata-kata “Hai Aku” . Dalam keadaan Fana’ si sufi yang bersangkutan tidak mempunyai kesadaran lagi sehingga ia berbicara atas nama Tuhan.   

Louis Massignon menyatakan bahwa ungkapan yang muncul pada seorang sufi diluar sadarnya berarti telah Fana’ dari dirinya sendiri serta kekal dalam zat Yang Maha Benar, sehingga ia mengucap dalam kalam Yang Maha Benar dan bukan ucapannya sendiri. Perkataan yang diucapkanya dalam kondisi begini tidak akan terucap dalam kondisi normal, bahkan akan ditolak oleh dirinya sendiri .

Hal ini sejalan dengan Firman Allah SWT pada surah Al-Kahfi ayat 110

Artinya:  Katakanlah: Sesungguhnya aku ini manusia biasa seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku: "Bahwa Sesungguhnya Tuhan kamu itu adalah Tuhan yang Esa". Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, Maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya".

Ayat tersebut memberi isyarat bahwa Allah SWT telah memberi peluang kepada manusia untuk menemuinya, bahkan karena sudah merasa terlalu dekat dengan Tuhan al-Bustami telah merasa berittihad dengan-Nya.


Biografi Al-Hallaj

Nama lengkapnya adalah Abu Bakar Al-Mughist Al-Husain ibn Mansyur ibnu Muhammad Al- Baidhawi. Al-Hallaj di lahirkan di kota Thur yang bercorak Arab di kawasan Baidhah, Iran tenggara, pada 244 H/ 858 M. Ia bukan orang Arab, melainkan keturunan Persia. Kakeknya adalah seorang Majusi dari silsilah Abi’ Ya’qub

Ketika al-Hallaj masih kanak-kanak, ayahnya, seorang penggaru kapas (penggaru adalah seorang yang bekerja menyisir dan memisahkan kapas dari bijinya). Bepergian bolak-balik antara Baidhah, Wasith, sebuah kota dekat Ahwaz dan Tustar. Dipandang sebagai pusat tekstil pada masa itu, kota-kota ini terletak di tapal batas bagian barat Iran, dekat dengan pusat-pusat penting seperti Bagdad, Bashrah, dan Kufah.

Ia mulai belajar Al-Qur’an pada Qura’ Al Qur’an mazhab Hambali dan dan sudah hafal pada usia dini, tahun 260 H/ 873 M, dia pindah ke Tustar dan menjadi murid Sahl bin Abdullah al-Tusturi, seorang sufi pengembara yang ketat dalam pengamalan tasaufnya. Dari al-Tusturi ia belajar mengenai teori Nur Muhammad (The light of Muhammad) yang selanjutnya sangat menentukan arah pemikiran al-Hallaj dikemudian hari. Setelah belajar 2 tahun dengan Tusturi, dia berangkat ke Basrah lalu melanjutkan perjalanan ke Baghdad. Di Basrah ia balajar dengan Amir Makki (w.279/909) salah seorang murid al-Junaid, di Baghdad ia menuntut ilmu dan berada di bawah asuhan sufi Abu Ya’kub al-Aqtha juga murid al-Junaid dan ia kawin dengan putri gurunya Umm al-Husain.

Pada tahun 892M, Al-Hallaj memutuskan untuk menunaikan ibadah haji ke Mekah. Kaum Muslimin diwajibkan menunaikan ibadah ini sekurang-kurangnya sekali selama hidup (bagi mereka yang mampu). Namun ibadah haji yang dilakukan al-Hallaj tidaklah biasa, melainkan berlangsung selama setahun penuh, dan setiap hari dihabiskannya dengan puasa dari siang hingga malam hari. 

Tujuan al-Hallaj melakukan praktek kezuhudan keras seperti ini adalah menyucikan hatinya menundukkannya kepada Kehendak Ilahi sedemikian rupa agar dirinya benar-benar sepenuhnya diliputi oleh Allah. Ia pulang dari menunaikan ibadah haji dengan membawa pikiran-pikiran baru tentang berbagai topik seperti inspirasi Ilahi, dan ia membahas pikiran-pikiran ini dengan para sufi lainnya.

Banyak reaksi baik positif maupun negatif yang diterima oleh Al-Hajjaj yang kemudian memberinya keputusan untuk kembali ke Bashrah. Ketika al-Hallaj kembali ke Bashrah, ia memulai mengajar, memberi kuliah, dan menarik sejumlah besar murid.

Namun pikiran-pikirannya bertentangan dengan ayah mertuanya. Sehingga  hubungan merekapun memburuk, dan ayah mertuanya sama sekali tidak mau mengakuinya. Ia pun kembali ke Tustar, bersama dengan istri dan adik iparnya, yang masih setia kepadanya. Di Tustar ia terus mengajar dan meraih keberhasilan gemilang. Akan tetapi, Amr al-Makki yang tidak bisa melupakan konflik mereka, mengirimkan surat kepada orang-orang terkemuka di Ahwaz dengan menuduh dan menjelek-jelekkan nama al-Hallaj, situasinya makin memburuk sehingga al-Hallaj memutuskan untuk menjauhkan diri dan tidak lagi bergaul dengan kaum sufi.

Al-Hallaj meninggalkan kehidupan sufi selama beberapa tahun, tapi tetap terus mencari Tuhan. Pada 899M, ia berangkat mengadakan pengembaraan apostolik pertamanya ke batasan timur laut negeri itu, kemudian menuju selatan, dan akhirnya kembali lagi ke Ahwaz pada 902M. Dalam perjalanannya, ia berjumpa dengan guru-guru spiritual dari berbagai macam tradisi di antaranya, Zoroastrianisme dan Manicheanisme. Ia juga mengenal dan akrab dengan berbagai terminologi yang mereka gunakan, yang kemudian digunakannya dalam karya-karyanya belakangan. 

Ketika ia tiba kembali di Tustar, ia mulai lagi mengajar dan memberikan kuliah. Ia berceramah tentang berbagai rahasia alam semesta dan tentang apa yang terbersit dalam hati jamaahnya. Akibatnya ia dijuluki Hallaj al-Asrar, (Hallaj berarti seorang penggaru sedangkan Asrar bisa bermakna rahasia atau kalbu) yang berarti sang penggaru segenap rahasia atau Kalbu.

Setahun kemudian, ia menunaikan ibadah haji kedua. Kali ini ia menunaikan ibadah haji sebagai seorang guru disertai empat ratus pengikutnya. Sesudah melakukan perjalanan ini, ia mutuskan meninggalkan Tustar untuk selamanya dan bermukim di Baghdad, tempat tinggal sejumlah sufi terkenal, ia bersahabat dengan dua diantaranya mereka, Nuri dan Syibli.

Pada 906M, ia memutuskan untuk mengemban tugas mengislamkan orang-orang Turki dan orang-orang kafir. Ia berlayar menuju India selatan, pergi keperbatasan utara wilayah Islam, dan kemudian kembali ke Bagdad. Perjalanan ini berlangsung selama enam tahun dan semakin membuatnya terkenal di setiap tempat yang dikunjunginya. Jumlah pengikutnya makin bertambah.

Ia kembali ke Baghdad pada tahun 296 H / 909 M. Di kota ini, secara kebetulan ia bersahabat dengan kepala rumah tangga istana, Nashr al-Qusyairi, yang mengingatkan sistem tata usaha yang baik dan pemerintah yang bersih. Al-Hallaj selalu mendorong sahabatnya melakukan perbaikan dalam pemerintahan dan selalu melontarkan kritik terhadap penyelewengan yang terjadi. Gagasan "pemerintah yang bersih" dari Nash al-Qusyairi dan al-Hallaj ini jelas berbahaya, karena khalifah tidak boleh dikatakan tidak memiliki kekuasaan yang nyata dan hanya merupakan lambang saja.

Karena kekhawatiran pada kebesaran pengaruhnya, kecenderungan pada aliran syi'ah, dan besarnya jumlah pengikutnya, penguasa di Baghdad menangkap dan memenjarakannya pada 910 (297 H). Dengan sejumlah tuduhan (bahwa ia berkomplot dengan kaum Qaramith, yang mengancam kekuasaan Daulat Bani Abbas; ia dianggap bersifat ketuhanan oleh sebagian pengikutnya yang fanatik; ia mengucapkan "ana al-haq" (akulah yang maha benar.

Karena ucapannya, al-Hallaj dipenjara, tetapi setelah satu tahun dipenjara dia dapat melarikan diri dengan pertolongan seorang penjaga yang menaruh simpati kepadanya. Dari Baghdad ia melarikan diri ke Sus dalam wilayah Ahwas. Disinilah ia bersembunyi selama empat tahun. Namun pada tahun 301 H / 930 M ditangkap kembali dan dimasukkan lagi ke penjara hampir sembilan tahun lamanya. Selama itu ia terjebak dalam baku sengketa antara segenap sahabat dan musuhnya. 

Serangkaian pemberontakan dan kudeta pun meletus di Baghdad. Ia dan sahabat-sahabatnya disalahkan dan dituduh sebagai penghasut. Berbagai peristiwa ini menimbulkan pergulatan kekuasaan yang keras di kalangan istana khalifah. Akhirnya pada tahun 309 H / 921 M, diadakan persidangan ulama dibawah kerajaan Bani Abbas di masa khalifah al-Muktadirbillah. Pada tanggal 18 Zulkaidah 309 H, jatuhlah hukuman padanya. Dia dihukum bunuh dengan mula-mula di pukul dan di cambuk dengan cemeti, lalu di salib, sesudah itu dipotong kedua tangan dan kakinya, di penggal lehernya dan ditinggalkan tergantung pecahan-pecahan tubuh itu di pintu gerbang kota Baghdad, kemudian dibakar dan abunya dihanyutkan ke sungai Dajlah

Selama di penjara, al-Hallaj banyak menulis hingga mencapai 48 buah buku. 

Judul-judul kitabnya itu tampak asing dan isinya juga banyak yang aneh dan sulit dipahami. Kitab-kitab itu antara lain :

1.      Kitab al-Shaihur fi Naqshid Duhur
2.      Kitab al-Abad wa al-Mabud
3.      Kitab Kaifa Kana wa Kaifa Yakun
4.      Kitab Huwa Huwa
5.      Kitab Sirru al-Alam wa al-Tauhid
6.      Kitab al-Thawasin al-Azal
7.      dan lain-lain.

Kitab-kitab itu hanya tinggal catatan, karena ketika hukuman dilaksanakan, kitab-kitab itu juga ikut dimusnahkan, kecuali sebuah yang disimpan pendukungnya yaitu Ibnu 'Atha dengan judul Al-Thawasin al-Azal. Dari kitab-kitab ini dan sumber-sumber muridnya dapat diketahui tentang ajaran-ajaran al-Hallaj dalam tasawuf.

Pemikiran Hulul Al Hallaj

Hulul merupakan ajaran al-Hallaj yang membedakan dari warna tasawuf lainya, dan hulul ini pula yang telah banyak menimbulkan polemik pada waktu itu bahkan dikalangan sufi sendiri.

Hulul secara leksikal merupakan kata benda abstrak (masdar) yang diderivisikan dari kata (حل يحل حلا لا حلو لا) lalu di Indonesiakan menjadi menempati, bertempat tinggal bahkan dalam bentuk plus alif-nun (حلاة)  ia dapat berarti luluh atau larut menyatu.

Doktrin al-hulul adalah salah satu tipe dari aliran tasawuf falsafi dan merupakan perkembangan lanjut dari paham it-tihad. Konsepsi al hulul pertama kali ditampilkan oleh Husen Ibn Mansur Al-Hallaj yang meninggal karena dihukum mati di Bagdad pada tahun 308 H, karena paham yang disebarkan itu dipandang sesat oleh penguasa pada masa itu.

Pengertian al-hulul secara singkat adalah Tuhan mengambil tempat dalam tubuh manusia tertentu, yaitu manusia yang telah dapat membersihkan dirinya dari sifat-sifat kemanusiaan melalui fana atau eksate. Sebab menurut Al-Halaj, manusia mempunyai sifat dasar yang ganda, yaitu sifat ketuhanan atau lahut dan sifat insani atau nasut. 

Demikian juga Tuhan memiliki sifat ganda yaitu sifat-sifat Ilahiyat atau lahut dan sifat insaniyah atau nasut. Apabila seseorang telah menghilangkan sifat kemanusiaanya dan mengembangkan sifat-sifat Ilahiyatnya melalui fana, Maka Tuhan akan mengambil tempat dalam dirinya dan terjadilah kesatuan antara manusia dengan Tuhan dan inilah yang dimaksud dengan hulul.  

‎Mempunyai perasamaan dengan faham yang dikemukakan sebelumnya yakitu Ittihad. 

Dalam terminologi Indonesia hulul dikenal sebagai : fusi penyerapan atau penyatuan ; istilah ini digunakan dalam filsafat dengan berbagai macam pengertian.
a.       Penyatuan substansial antara jasad (tubuh) dan ruh (jiwa),
b.      Penyatuan ruh dengan tuhan dalam diri manusia,
c.       Inherensi suatu aksi dalam substansinya,
d.      Penyatuan bentuk -bentuk (shurat) dengan materi pertama dan
e.       Hubungan antara suatu benda dengan tempatnya .

Meskipun demikian terdapat perbedaan al-Hulul dengan ittihad yaitu dalam hulul, jasad al-Hallaj tidak lebur sedangkan dalam ittihad dalam diri al-Bustami lebur dan yang ada hanya diri Allah, dan dalam ittihad yang dilihat hanya satu wujud dan dalam hulul ada dua wujud yang bersatu dalam satu tubuh.

Teori lahut dan nasut ini, berangkat dari pemahamanya tentang proses kejadian manusia. Al-Halaj berpendapat bahwa Adam sebagai manusia pertama diciptankan Tuhan sebagai copy dari diri-Nya surah min nafsih  dengan segenap sifat dan kebesaranya, sebagaimana yang ia ungkapkan dalam Syair nya 

Maha suci dzat yang menampakan nasut-Nya,
Seiring cemerlang bersama lahut-Nya,
Demikian pula pada makhluk-Nya pun terlihat nyata,
Seperti manusia yang makan dan minum layaknya.

Menurut pemahamanya adanya perintah Allah agar Malaikat sujud kepada Adam itu adalah karena Allah telah menjelma dalam diri Adam sehingga ia harus disembah sebagaimana menyembah Allah. Bagaimana gambaran hulul itu, dapat dipahami dalam ungkapan Al-Hallaj berikut ini:

Berbaur sudah sukmamu dalam rohku menjadi satu,
Bagai anggur dan air bening berpadu,
Bila engkau tersentuh terusik pula aku,
Karena ketika itu, Kau dalam segala hal adalah aku.
Aku yang kurindu, dan yang kurindu aku jua,
Kami dua jiwa padu dalam satu raga,
Bila kau lihat aku, tampak jua Dia dalam pandanganmu,
Jika kau lihat Dia, kami dalam penglihatanmu tampak nyata.

Dari ungkapan di atas terlihat bahwa wujud manusia tetap ada dan sama sekali tidak hancur atau sirna. Dengan demikian, nampaknya paham hulul ini bersifat figuratif, bukan riel karena berlangsung dalam kesadaran psikis dalam kondisi fana dalam iradat Allah. Olej karena itu ucapan ana al haq yang meluncur dari lidah Al-Hallaj bukanlah ia maksudkan sebagai pernyataan bahwa dirinya adalah Tuhan. Sebab yang mengucapkan kalimat itu pada hakikatnya adalah Tuhan juga tetapi melalui lidah Al-Hallaj.

 Interpensi ini sesuai pula dengan pernyataan Al-Hallaj dalam syair berikut:
Aku adalah rasia yang maha benar, aku bukanlah yang maha benar, aku hanyalah yang benar, bedakanlah antara kami.     

Al-Hallaj mengajarkan bahwa Tuhan memiliki sifat lahut dan nasut, demikian juga manusia. Melalui maqamat, manusia mampu ke tingkat fana, suatu tingkat dimana manusia telah mampu menghilangkan nasut-nya dan meningkatkan lahut yang mengontrol dan menjadi ini kehidupan. Yang demikian itu memungkinkan untuk hulul-nya Tuhan dalam dirinya, atau dengan kata lain, Tuhan menitis kepada hamba yang dipilih-Nya, melalui titik sentral manusia yaitu roh.

Adapun menurut istilah ilmu tasawuf, al-hulul berarti paham yang mengatakan bahwa Tuhan memilih tubuh-tubuh manusia tertentu untuk mengambil tempat di dalamnya setelah sifat-sifat kemanusiaan yang ada dalam tubuh itu dilenyapkan.

Al-Hallaj berpendapat bahwa dalam diri manusia sebenarnya ada sifat-sifat ketuhanan. Ia mentakwilkan ayat:

وَإِذْ قُلْنَا لِلْمَلاَئِكَةِ اسْجُدُواْ لآدَمَ فَسَجَدُواْ إِلاَّ إِبْلِيسَ أَبَى وَاسْتَكْبَرَ وَكَانَ مِنَ الْكَافِرِينَ {البقرة : ٣٤}

Artinya:  Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat: "Sujudlah kamu kepada Adam," maka sujudlah mereka kecuali Iblis; ia enggan dan takabur dan adalah ia termasuk golongan orang-orang yang kafir”. (QS. Al-Baqarah : 34).

Sesuai dengan ajarannya, maka tatkala ia mengatakan "Aku adalah al-Haq" bukanlah al-Hallaj yang mengucapkan kata-kata itu, tetapi roh Tuhan yang mengambil dalam dirinya.

Sementara itu, hululnya Tuhan kepada manusia erat kaitannya dengan maqamat sebagaimana telah disebutkan, terutama maqam fana. Fana bagi al-Hallaj mengandung tiga tingkatan : tingkat memfanakan semua kecenderungan dan keinginan jiwa; tingkat memfanakan semua fikiran (tajrid aqli), khayalan, perasaan dan perbuatan hingga tersimpul semata-mata hanya kepada Allah, dan tingkat menghilang semua kekuatan pikir dan kesadaran. Dari tingkat fana dilanjutkan ke tingkat fana al-fana, peleburan ujud jati diri manusia menjadi sadar ketuhanan melarut dalam hulul hingga yang disadarinya hanyalah Tuhan.‎

Dari uraian di atas dapat kami simpulkan sebagai berikut:
1.      Abu Yazid Al-Bustami adalah tokoh sufi yang pertama kali memperkenlkan faham fana,baqa dan ittihad.
2.      Al Hallaj Perbedaan adalah tokoh sufi yang pertama kali memperkenalkan faham hulul
3.      Antara al-Ittihad dengan al-Hulul
Dalam ittihad yang dilihat hanya satu wujud, diistilahkan diri al-Bustami lebur dan yang ada hanya diri Allah sedangkan dalam hulul, jasad al-Hallaj tidak lebur ada dua wujud yang bersatu dalam satu tubuh.‎

 

Doa Nabi Sulaiman Menundukkan Hewan dan Jin

  Nabiyullah Sulaiman  'alaihissalam  (AS) merupakan Nabi dan Rasul pilihan Allah Ta'ala yang dikaruniai kerajaan yang tidak dimilik...