Sumedang berasal dari kata “INSUN MEDAL” yang berarti Aku Lahir dan
“INSUN MADANGAN” yaitu Aku Menerangi . Di ikrarkan oleh Prabu Tajimalela
ketika melihat malela (selendang) menyerupai taji di angkasa.
Batas-batas Sumedang :
1. Dari Barat yaitu sampai tangerang tepatnya di sungai Cisadane
2. Dari Timur yaitu sampai brebes tepatnya di sungai atau kali Cipamali.
3. Dari Utara yaitu Laut Jawa.
4. Dari selatan yaitu Samudra Hindia.
Tonggak sejarah bagi kerajaan Sumedang Larang, sebagai kerajaan sunda
terbesar, setelah kerajaan Padjadjaran runtuh akibat serangan gabungan
banten dan Cirebon, maka kerajaan Sumedang Larang mencakup wilayah bekas
kerajaan Padjadjaran. Tonggak sejarah itulah menjadi dasar : Hari Jadi
Sumedang.
Pada waktu itu di Kerajaan Sumedang Larang akan diadakan pengangkatan
seorang raja, yang bernama Raden Wijaya, di Padjadjaran sedang ditempa
kekacauan karena mendapat serangan yang mendadak dari Kerajaan Banten.
Serangan tersebut bertujuan untuk menghancurkan kekuasaan agama hindu
dan digantikan oleh Dinul Islam. Pada penyerangan dari Banten dipimpin
oleh Syeh Maulana Yusuf.
Ketika mendapat serangan dari Banten yang mendadak itu Padjadjaran tidak
bisa berbuat banyak, kecuali menerima kekalahan. Kerajaan Padjadjaran
porak-poranda masyarakat banyak mengungsi sehingga rajanya pun (Prabu
Siliwangi) berangkat meninggalkan kerajaan. Hanya sebelum berangkat
beliau memanggil dulu empat patih kepercayaan Kerajaan (Kandaga Lante) ,
yang masing-masing ialah :
1. Sanghiyang Hawu (Embah Jaya Perkasa)
2. Bantara Dipatiwijaya (Embah Nanganan)
3. Sanghiyang Kondang Hapa
4. Batara Pancer Buana (Eyang Terong Peot)
Panggilan Sang Prabu Siliwangi berisikan yang berupa amanat yaitu :
a. Memberikan Mahkota Kerajaan Padjadjaran yang berupa :
-Mahkota Kerajaan yang dibuat dari emas
-Siger tampekan kilat bahu
-Kalung bersusun dua dan bersusun tiga
Semuanya dibuat dari emas dan sekarang masih ada di Museum Sumedang.
b. Memohon perlindungan untuk dirinya dan seluruh rakyatnya yang
masih berada di wilayah Padjadjaran. Menurut bahasa Prabu Siliwangi
ialah Geusan Ulun yang berarti Geusan Kumaula (Tempat Kumaula).
Setelah menerima amanat tersebut maka Kandaga Lante yang empat orang
tadi sepakat bahwa yang pantas menjalankan amanat tersebut tiada lain
adalah Raden Angkawijaya. Ini berdasarkan pertimbangan-pertimbangan
diantaranya :
1. Karena Raden Angkawijaya adalah asli keturunan Prabu Siliwangi .
2. Sangat pantas sekali (payus tur pantes) wilayah kekuasaan Padjadjaran dijadikan Kekuasaan Sumedang Larang.
Sejarah
Pada mulanya Kabupaten Sumedang adalah sebuah kerajaan di bawah
kekuasaan Raja Galuh. Didirikan oleh Prabu Guru Haji Aji Putih atas
perintah Prabu Suryadewata sebelum Keraton Galuh dipindahkan ke Pakuan
Pajajaran, Bogor.
Seiring dengan perubahan zaman dan kepemimpinan, nama Sumedang mengalami
beberapa perubahan. Yang pertama, yaitu Kerajaan Tembong Agung (Tembong
artinya nampak dan Agung artinya luhur) dipimpin oleh Prabu Guru Aji
Putih pada abad ke-12.
Kemudian pada masa zaman Prabu Tajimalela, diganti menjadi Himbar Buana
yang berarti menerangi alam, dan kemudian diganti lagi menjadi Sumedang
Larang (Sumedang berasal dari kata Insun Medal/Insun Medangan yang
berarti aku dilahirkan; aku menerangi dan larang berarti sesuatu yang
tidak ada tandingannya).
Sumedang Larang mengalami masa kejayaan pada waktu dipimpin oleh
Pangeran Angkawijaya atau Prabu Geusan Ulun sekitar tahun 1578, dan
dikenal luas hingga ke pelosok Jawa Barat dengan daerah kekuasaan
meliputi wilayah Selatan sampai dengan Samudera Hindia, wilayah Utara
sampai Laut Jawa, wilayah Barat sampai dengan Cisadane, dan wilayah
Timur sampai dengan Kali Pamali.
Kerajaan ini kemudian menjadi vazal Kesultanan Cirebon, dan selanjutnya
berada di bawah kendali Kesultanan Mataram, di masa Sultan Agung. Pada
masa Mataram inilah teknik persawahan diperkenalkan di tanah Pasundan
dan menjadi awal istilah "gudang beras" untuk daerah antara Indramayu
hingga Karawang/Bekasi. Dalam strategi penyerangan Sultan Agung ke
Batavia wilayah Sumedang dijadikan wilayah penyedia logistik pangan.
Selain itu, aksara Hanacaraka juga diperkenalkan di wilayah Pasundan
pada masa ini, dan dikenal sebagai Cacarakan.
Pusat kota Sumedang juga dirancang pada masa ini, mengikuti pola dasar
kota-kota Mataraman lainnya. Sebelum Bandung dibangun pada abad ke-19,
Sumedang adalah salah satu pusat budaya Pasundan yang penting.
Ketika Pakubuwono-I harus memberikan konsesi kepada VOC, wilayah
kekuasaan Sumedang diberikan kepada VOC, yang kemudian dipecah-pecah,
sehingga wilayah Sumedang menjadi seperti yang sekarang ini.
Sumedang mempunyai ciri khas sebagai kota kuno khas di Pulau Jawa, yaitu
terdapat Alun-alun sebagai pusat yang dikelilingi Mesjid Agung, rumah
penjara, dan kantor pemerintahan. Di tengah alun-alun terdapat bangunan
yang bernama Lingga, tugu peringatan yang dibangun pada tahun 1922.
Dibuat oleh Pangeran Siching dari Negeri Belanda dan dipersembahkan
untuk Pangeran Aria Soeriaatmadja atas jasa-jasanya dalam mengembangkan
Kabupaten Sumedang. Lingga diresmikan pada tanggal 22 Juli 1922 oleh
Gubernur Jenderal Mr. Dr. Dirk Fock Sampai saat ini Lingga dijadikan
lambang daerah Kabupaten Sumedang dan tanggal 22 April diperingati
sebagai hari jadi Kabupaten Sumedang. Lambang Kabupaten Sumedang,
Lingga, diciptakan oleh R. Maharmartanagara, putra seorang Bupati
Bandung Rd. Adipati Aria Martanegara, keturunan Sumedang. Lambang ini
diresmikan menjadi lambang Sumedang pada tanggal 13 Mei 1959.
Hal-hal yang terkandung pada logo Lingga:
1. Perisai : Melambangkan jiwa ksatria utama, percaya kepada diri sendiri
2. Sisi Merah : Melambangkan semangat keberanian
3. Dasar Hijau : Melambangkan kesuburan pertanian
4. Bentuk Setengah Bola dan Bentuk Setengah Kubus Pada Lingga : Melambangkan bahwa manusia tidak ada yang sempurna
5. Sinar Matahari : Melambangkan semangat dalam mencapai kemajuan
6. Warna Kuning Emas : Melambangkan keluhuran budi dan kebesaran jiwa
7. Sinar yang ke 17 Angka : Melambangkan Angka Sakti tanggal Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia
8. Delapan Bentuk Pada Lingga : Lambang Bulan Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia
9. 19 Buah Batu Pada Lingga, 4 Buah Kaki Tembik dan 5 Buah Anak Tangga
: Lambang Tahun Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia Tahun 1945
10. Tulisan Insun Medal : Tulisan Insun Medal erat kaitannya dengan kata Sumedang yang mengandung arti:
· Berdasarkan Prabu Tajimalela, seorang tokoh legendaris dalam
sejarah Sumedang, Insun Medal berarti (Insun : Aku,Medal : Keluar).
· Berdasarkan data di Museum Prabu Geusan Ulun; Insun berarti
(Insun: Daya, Madangan: Terang) Kedua pengertian ini bersifat mistik
Dalam Kropak 410 disbutkab, Pendiri Kerajaan Sumedang Larang tak lain
adalah Prabu Tajimalela. Ia berkedudukan di Tembong Agung yang disebut
Mandala Himbar Buana.
Masih belum jelas pula asal-usulnya tokoh Legendaris leluhur Sumedang
ini. Sebab ada yang berpendapat Tajimalela adalah nama lain dari Panji
Romahyang, putra Damung Tabela Panji Ronajaya dari Dayeuh Singapura
(Rintisan Penelusuran silam sejarah Jawa Barat).
Sumber lain menjelaskan, baik Kitab Waruga Jagat, Layang Darmaraja,
maupun riwayat yang berdasarkan tradisi lisan yang masih hidup,
disebutkan bahwa Prabu Tajimalela adalah putra Prabu Guru Aji Putih,
salah seorang keturunan raja Galuh yang masih bersaudara dengan Sri
Baduga Maharaja. Ia melakukan petualangan hingga ke kawasan Timur
sekitar pinggiran Sungai Cimanuk.
Prabu Tajimalela masih memiliki sejumlah nama, antara lain: Prabu Resi
Agung Cakrabuana, Batara Tuntang Buana, dan Aji Putih. Dalam Waruga
Jagat yang telah disalin dari huruf Arab ke dalam tulisan latin (1117
H), antara lain dikatakan: "Ari putrana Sang Dewa Guru Haji Putih,
nyaeta Sang Aji Putih."
Kehadiran Prabu Guru Haji Putih melahirkan perubahan-perubahan baru
dalam kemasyarakatan, yang telah dirintis sejak abad ke-8 oleh Sanghyang
Resi Agung.
Secara perlahan dusun-dusun di sekitar pinggiran sungai Cimanuk itu
diikat oleh suatu struktur pemerintahan dan kemasyarakatan hingga
berdirilah Kerajaan Tembong Agung yang merupakan cikal bakal Kerajaan
Sumedang Larang. Kerajaan Tembong Agung tersebut, menurut riwayat
teletak di Kampung Muhara, Desa Leuwihideung, Kecamatan Darmaraja.
Prabu Guru Haji Putih berputra Prabu Resi Tajimalela. Berdasarkan
perbandingan generasi dalam Kropak 410 Tajimalela sejajar dengan tokoh
Ragamulya (1340-1350) penguasa di Kawali dan tokoh Suryadewata, ayahanda
Batara Gunung Bitung di Majalengka.
Memang belum diperoleh keterangan sumber yang menyebut-nyebut siapa
gerangan istri Sang Prabu Resi Tajimalela. Namun demikian, dalam
beberapa sumber baik lisan maupun tertulis, dikatakan Prabu Resi
Tajimalela mempunyai dua orang putra: Prabu Gajah Agung dan Lembu Agung.
Tahta kerajaan Sumedang Larang dari Prabu Tajimalela dilanjutkan oleh
putranya bernama Atmabrata yang lebih dikenal dengan sebutan Gajah Agung
yang berkedudukan di Cicanting.
Demikian pula dalam naskah Layang Darmaraja, yang mengisahkan Prabu
Lembu Agung dan Gajah Agung yang melanjutkan tahta kepemimpinan dari
Prabu Resi Tajimalela.
Dikisahkan, pada suatu ketika Prabu Tajimalela memanggil kedua putra
kembarnya Lembu Agung dan Gajah Agung. Prabu Tajimalela berkata kepada
mereka agar ada di antara salah seorang putranya ini yang bersedia
melanjutkan kepemimpinannya.
"Adinda, adindalah kiranya yang lebih tepat menjadi raja," ujar Lembu
Agung kepada adiknya. "Kakanda, sungguh tidak pantas adinda yang masih
muda usia, bila harus menjadi raja. Kakandalah yang lebih tepat," jawab
Gajah Agung. Setelah di antara kedua putranya, masing-masing saling
menunjuk siapa di antara mereka yang pantas menjadi raja, akhirnya Prabu
Resi Tajimalela memetik buah kelapa muda lalu disimpannya kelapa tadi
serta sebilah pedang.
Mereka berdua disuruh menungguinya. "Adinda, tolong jaga kelapa ini.
Kakanda hendak pergi ke jamban dulu," kata Lembu Agung seraya pergi
meninggalkan Gajah Agung. Tiba-tiba sepeninggal Lembu Agung, Gajah Agung
merasakan haus yang bukan kepalang.
Apa boleh buat, untuk menghilangkan dahaganya, Prabu Gajah Agung
kemudian mengupas kelapa itu dan diminumlah airnya. Karenanya, ketika
Lembu Agung kembali lagi, Gajah Agung langsung menyampaikan permohonan
maaf kepada Lembu Agung karena rasa bersalahnya telah meminum air kelapa
yang semestinya dijaganya.
Semula Prabu Gajah Agung menyangka, Prabu Lembu Agung akan memarahinya.
Namun ternyata, dengan kebesaran jiwa Prabu Lembu Agung malah
berkata:"Adinda, tampaknya suratan takdir telah menentukan, dengan
diminumnya air kelapa tadi oleh adinda, sudah barang tentu Adindalah
yang sekarang terpilih menjadi raja," ucap Lembu Agung.
Singkat cerita, jadilah Prabu Gajah Agung meneruskan kepemimpinan Prabu
Tajimalela, yang kemudian ia meninggalkan tempat menuju daerah di
pinggiran Kali Cipeles untuk mendirikan kerajaan yang sekarang disebut
Ciguling.
Kemudian ia bergelar Prabu Pagulingan. Sementara kepemimpinan Prabu
Gajah Agung kemudian digantikan oleh putranya , Wirajaya, yang lebih
dikenal Sunan Pagulingan. Dalam Rintisan Penelusuran Masa Silam Sejarah
Jawa Barat, Sunan Pagulingan berkedudukan di Cipameungpeuk.
Namun ada pula yang mengisahkan, kedudukan Kerajaan Sumedang Larang pada
saat itu berada di Ciguling, Kelurahan Pasanggrahan, Kecamatan Sumedang
Selatan. Yang jelas, ketiga raja Sumedang Larang yang pertama ini
masing-masing berkedudukan di tempat yang berbeda-beda. Ini merupakan
suatu gejala, bahwa kerajaan tersebut belum permanen yang dapat
ditinggali turun temurun oleh para penerus pemegang kekuasaannya.
Keadaan tersebut berlangsung sampai beberapa generasi berikutnya.
Putri Sulung Pagulingan bernama Ratu Ratnasih alias Nyi Mas Rajamantri
diperistri Sri Baduga Maharaja. Karena itu, adiknya bernama Martalaya
menggantikan kedudukan ayahnya menjadi penguasa Sumedang yang keempat
dengan gelar Sunan Guling.
Sunan Guling digantikan oleh putranya bernama Tirta Kusumah atau Sunan
Patuakan sebagai raja kelima Sumedang Larang. Kemudian, ia digantikan
lagi oleh putri sulung bernama Shintawati alias Nyi Mas Patuakan.
Antara Ibu dan anak ini mempunyai gelar yang sama, yaitu Patuakan.
Ratu Shintawati berjodoh dengan Sunan Corenda, raja Talaga putra Ratu
Simbar Kencana dari Kusumalaya putra Dewa Niskala. Dengan demikian, ia
menjadi cucu menantu penguasa Galuh.
Sunan Corenda mempunyai dua permaisuri, yakni Mayangsari putri
Langlangbuana dari Kuningandan, Shintawati dari Sumedang. Dari
Mayangsari, Sunan Corenda memperoleh putri Bernama Ratu Wulansari alias
Ratu Parung.
Berjodoh dengan Rangga Mantri alias Sunan Parung Gangsa (Pucuk Umum
Talaga), putra Munding Surya Ageung. Tokoh ini putra Sri Baduga. Sunan
Parung Gangsa ditaklukkan oleh Cirebon tahun 1530 dan masuk Islam.
Dari Shintawati putri sulung Sunan Guling, Sunan Corenda mempunyai putri
bernama Setyasih, yang kemudian menjadi penguasa Sumedang dengan gelar
Ratu Pucuk Umun. Ratu Pucuk Umun Menikah dengan Ki Gedeng Sumedang yang
lebih dikenal dengan nama Pangeran Santri. Pangeran ini adalah putra
Pangeran Palakaran dari puteri Sindangkasih. Pangeran Palakaran putra
Maulana Abdurrahman alias Pangeran Panjunan putra Pangeran Cakra Buana
(Walang Sungsang).
Dengan perkawinan antara Ratu Setyasih dan Ki Gedeng Sumedang inilah agama Islam mulai menyebar di Sumedang pada tahun 1529.
Pangeran Santri dinobatkan sebagai penguasa Sumedang pada tanggal 13
bagian gelap bulan Asuji tahun 1452 Saka, atau kira-kira 21 Oktober 1530
M, tiga bulan setelah penobatan Pangeran Santri.
Pada tanggal 12 bagian terang bulan Margasira tahun 1452 di Keraton
Pakungwati diselenggarakan perjamuan "syukuran" untuk merayakan
kemenangan Cirebon atas Galuh dan sekaligus pula merayakan penobatan
Pangeran Santri.
Hal ini menunjukkan, bahwa Sumedang Larang telah masuk dalam lingkaran
pengaruh Cirebon. Pangeran Santri adalah murid Susuhunan Jati. Pangeran
Santri sebagai penguasa Sumedang pertama yang menganut Islam. Ia pula
yang membangun Kutamaya sebagai Ibukota baru untuk pemerintahannya.
Dari perkawinannya dengan Ratu Pucuk Umun alias Ratu Inten Dewata,
Pangeran Santri yang bergelar Pangeran Kusumahdinata-I ini dikaruniai
enam orang anak, yaitu Pangeran Angkawijaya (Prabu Geusan Ulun), Kiyai
Rangga Haji, Kiyai Demang Watang Walakung, Santowaan Wirakusumah, yang
melahirkan keturunan anak-cucu di Pagaden Subang, Santowaan Cikeruh dan
Santowaan Awiluar.
Pangeran Santri wafat 2 Oktober 1579. Di antara putra-putri Pangeran
Santri dari Ratu Inten Dewata (Pucuk Umun), yang melanjutkan
pemerintahan di Sumedang Larang ialah Pangeran Angkawijaya bergelar
Prabu Geusan Ulun. Menurut Babad, daerah kekuasaan Geusan Ulun dibatasi
kali Cipamali di sebelah Timur, Cisadane di sebelah Barat, sedangkan di
sebelah Selatan dan Utara dibatasi laut.
Daerah kekuasaan Geusan Ulun dapat disimak dari isi surat Rangga
Gempol-III yang dikirimkan kepada Gubernur Jenderal Willem Van Outhoorn.
Surat ini dibuat hari Senin, 2 Rabi'ul Awal tahun Je atau 4 Desember
1690, yang dimuat dalam buku harian VOC di Batavia tanggal 31 Januari
1691.
Dalam surat tadi, Rangga Gempol-III (Pangeran Panembahan
Kusumahdinata-VI) menuntut agar kekuasannya dipulihkan kembali seperti
kekuasaan buyutnya, yaitu Geusan Ulun. Rangga Gempol-III mengungkapkan
bahwa kekuasaan Geusan Ulun meliputi 44 penguasa daerah Parahyangan yang
terdiri dari 22 kandaga lante dan 18 umbul.
Ke-44 daerah di bawah kekuasaan Geusan Ulun meliputi:
I. Di Kabupaten Bandung
1. Timbanganten
2. Batulayang
3. Kahuripan
4. Tarogong
5. Curugagung
6. Ukur
7. Marunjung
8. Daerah Ngabei Astramanggala
II. Di Kabupaten Parakanmuncang
1. Selacau
2. Daerah Ngabei Cucuk
3. Manabaya
4. Kadungora
5. Kandangwesi (Bungbulang)
6. Galunggung (Singaparna)
7. Sindangkasih
8. Cihaur
9. Taraju
III. Di Kabupaten Sukapura
1. Karang
2. Parung
3. Panembong
4. Batuwangi
5. Saung Watang (Mangunreja)
6. Daerah Ngabei Indawangsa di Taraju
7. Suci
8. Cipiniha
9. Mandala
10. Nagara (Pameungpeuk)
11. Cidamar
12. Parakan Tiga
13. Muara
14. Cisalak
15. Sukakerta
Berdasarkan data yang dikirimkan Rangga Gempol-III pada masa VOC, maka
kekuasaan Prabu Geusan Ulun meliputi Sumedang, Garut, Tasikmalaya, dan
Bandung. Batas di sebelah Timur adalah Garis Cimanuk - Cilutung ditambah
Sindangkasih (daerah muara Cideres ke Cilutung).
Di sebelah Barat garis Citarum - Cisokan. Batas di sebelah Selatan laut.
Namun di sebelah Utara diperkirakan tidak meliputi wilayah yang telah
dikuasai oleh Cirebon.
Masa kekuasaan Prabu Geusan Ulun (1579-1601) bertepatan dengan runtuhnya
Kerajaan Pajajaran akibat serangan Banten di bawah Syaikh Maulana Yusuf
Banten.
Sebelum Prabu Siliwangi meninggalkan Pajajaran mengutus empat Kandaga
lante untuk menyerahkan Mahkota serta menyampaikan amanat untuk Prabu
Geusan Ulun yang pada dasarnya Kerajaan Sumedang Larang supaya
melanjutkan kekuasaan Pajajaran. Geusan Ulun harus menjadi penerus
Pajajaran.
Dalam Pustaka Kertabhumi I/2 yang berbunyi: "Ghesan Ulun nyakrawartti
mandala ning Pajajaran kangwus pralaya, ya ta sirna, ing bhumi
Parahyangan. Ikang kedatwan ratu Sumedang haneng Kutamaya ri
Sumedangmandala" (Geusan Ulun memerintah wilayah Pajajaran yang telah
runtuh, yaitu sirna, di bumi Parahyangan. Keraton raja Sumedang ini
terletak di Kutamaya dalam daerah Sumedang), selanjutnya diberitakan
"Rakyan Samanteng Parahyangan mangastungkara ring sira Pangeran Ghesan
Ulun" (Para penguasa lain di Parahiyangan merestui Pangeran Geusan
Ulun).
Keempat orang bersaudara, senapati dan pembesar Pajajaran yang diutus ke
Sumedang tersebut, yaitu Jayaperkosa (Sanghyang Hawu); Wirajaya
(Nangganan); Kondang Hapa; dan Pancar Buana (Embah Terong Peot).
Dalam Pustaka Kertabhumi I/2 menceritakan keempat bersaudara itu: "Sira
paniwi dening Prabu Ghesan Ulun, Rikung sira rumaksa wadyabala,
sinangguhan niti kaprabhun mwang salwirnya" (Mereka mengabdi kepada
Prabu Geusan Ulun. Di sana mereka membina bala tentara, ditugasi
mengatur pemerintahan dan lain-lain), sehingga peristiwa penobatan Prabu
Geusan Ulun sebagai Nalendra penerus Kerajaan Sunda Pajajaran dan Raja
Sumedang Larang ke-9 mendapat restu dari 44 penguasa daerah Parahyangan
yang terdiri dari 26 Kandaga Lante, Kandaga Lante adalah semacam Kepala
yang satu tingkat lebih tinggi dari pada Cutak (Camat) dan 18 Umbul
dengan cacah sebanyak + 9000 umpi, untuk menjadi Nalendra baru pengganti
penguasa Pajajaran yang telah sirna. Pemberian pusaka Pajajaran pada
tanggal 22 April 1578 akhirnya ditetapkan sebagai Hari Jadi Kabupaten
Sumedang.
Jayaperkosa adalah bekas senapati Pajajaran, sedangkan Batara Wiradijaya
sesuai julukannya bekas Nangganan. Menurut Kropak 630, jabatan
Nangganan lebih tinggi setingkat dari menteri, namun setingkat lebih
rendah dari Mangkubumi.
Di samping itu, menurut tradisi hari pasaran Legi (Manis), merupakan
saat baik untuk memulainya suatu upaya besar dan sangat penting.
Peristiwa itu dianggap sangat penting karena pengukuhan Geusan Ulun
"nyakrawartti" atau Nalendra merupakan semacam proklamasi kebebasan
Sumedang yang mensejajarkan diri dengan Kerajaan Banten dan Cirebon.
Arti penting lain yang terkandung dalam peristiwa itu adalah pernyataan
bahwa Sumedang Larang menjadi ahli waris serta penerus yang sah dari
kekuasaan Kerajaan Pajajaran, di Bumi Parahyangan.
Mahkota Binokasih dan beberapa atribut kerajaan yang dibawa oleh
senapati Jaya Perkosa dan diserahkan kepada Prabu Geusan Ulun merupakan
bukti legalisasi kebesaran Sumedang Larang, sama halnya dengan pusaka
Majapahit menjadi ciri keabsahan Demak, Pajang, dan Mataram.
Berdasarkan bukti-bukti sejarah baik yang tertulis maupun babad/cerita
rakyat, maka penetapan Hari Jadi Sumedang ditetapkan berdasarkan
pertimbangan-pertimbangan sejarah.
Serangan laskar gabungan Banten, Pakungwati, Demak, dan Angke pada abad
XVI ke Pajajaran, merupakan peristiwa yang membuat Kerajaan Pajajaran
Runtag (runtuh).
Berakhirnya Pajajaran pada waktu itu, tidak menyeret Sumedang Larang
dibawah kepemimpinan Pangeran Santri ikut runtuh pula. Soalnya, sebagian
rakyat Sumedang Larang pada itu sudah memeluk Agama Islam. Justru
dengan berakhirnya masa kekuasaan Pajajaran, Sumedang Larang kian
berkembang.
Penetapan Hari Jadi Kabupaten Sumedang erat kaitannya dengan peristiwa
di atas. Terdapat tiga sumber sejarah yang dijadikan pegangan dalam
menentukan Hari Jadi Kabupaten Sumedang:
Pertama : Kitab Waruga Jagat, yang disusun Mas Ngabehi Perana tahun 1117
H. Kendati tak begitu lengkap isinya, namun sangat membantu dalam upaya
mencari tanggal tepat untuk dijadikan pegangan/penentuan Hari Jadi
Sumedang."Pajajaran Merad Kang Merad Ing Dina Selasa Ping 14 Wulan
Syafar Tahun Jim Akhir," artinya: Kerajaan Pajajaran runtuh pada 14
Syafar tahun Jim Akhir.
Kedua : Buku Rucatan Sejarah yang disusun Dr. R. Asikin Widjayakusumah
yang menyertakan antara lain: Pangeran Geusan Ulun Jumeneng Nalendra
(harita teu kabawa kasasaha) di Sumedang Larang sabada burak Pajajaran.
Artinya, Pangeran Geusan Ulun menjadi raja yang berdaulat di Sumedang
Larang setelah Kerajaan Pajajaran berakhir.
Tiga : Dibuat Prof. Dr. Husein Djajadiningrat berjudul : Critise
Beshuocing van de Sejarah Banten. Desertasi ini antara lain menyebutkan
serangan tentara Islam ke Ibukota Pajajaran terjadi pada tahun 1579,
tepatnya Ahad 1 Muharam tahun Alif.
Mengacu pada ketiga sumber sejarah tadi, maka dalam diskusi untuk
menentukan Hari Jadi Sumedang yang dihadiri para sejarawan masing-masing
Drs. Said Raksakusumah; Drs. Amir Sutaarga; Drs. Saleh Dana Sasmita;
Dr. Atja dan Drs. A Gurfani, berhasil menyimpulkan bahwa 14 Syafar Tahun
Jim Akhir itu jatuh pada tahun 1578 Masehi, bukan tahun 1579, tepatnya
22 April 1578.
Atas dasar itu DPRD Daerah Tingkat-II Sumedang waktu itu, dalam
Keputusan Nomor 1/Kprs/DPRD/Smd/1973, Tanggal 8 Oktober 1973, menetapkan
tanggal 22 April 1578 sebagai Hari Jadi Kabupaten Sumedang.
SUSUNAN RAJA DAN BUPATI SUMEDANG
I. MASA KERAJAAN.
1. Prabu Guru Aji Putih (Raja Tembong Agung), 678 – 721
2. Batara Tuntang Buana / Prabu Tajimalela, 721 – 778
3. Jayabrata / Prabu Lembu Agung, 778 – 893
4. Atmabrata / Prabu Gajah Agung, 893 – 998
5. Jagabaya / Prabu Pagulingan, 998 – 1114
6. Mertalaya / Sunan Guling, 1114 – 1237
7. Tirtakusuma / Sunan Tuakan, 1237 – 1462
8. Sintawati / Nyi Mas Ratu Patuakan, 1462 – 1530
9. Satyasih / Ratu Inten Dewata Pucuk Umun, 1530 – 1578
(kemudian digantikan oleh suaminya Pangeran Kusumadinata - I / Pangeran Santri)
10. Pangeran Kusumahdinata - II / Prabu Geusan Ulun, 1578 – 1601
II. MASA BUPATI PENGARUH MATARAM.
11. Pangeran Suriadiwangsa / Rangga Gempol – I, 1601 – 1625
12. Pangeran Rangga Gede / Kusumahdinata - IV, 1625 – 1633
13. Raden Bagus Weruh / Pangeran Rangga Gempol – II, 1633 – 1656
14. Pangeran Panembahan / Rangga Gempol – III, 1656 – 1706
III. MASA PENGARUH KOMPENI VOC.
15. Dalem Adipati Tanumadja, 1706 – 1709
16. Pangeran Karuhun / Rangga Gempol – IV, 1709 – 1744
17. Dalem Istri Rajaningrat, 1744 – 1759
18. Dalem Adipati Kusumadinata - VIII / Dalem Anom, 1759 – 1761
19. Dalem Adipati Surianagara – II, 1761 – 1765
20. Dalem Adipati Surialaga, 1765 – 1773
IV. MASA BUPATI PENYELANG / SEMENTARA
21. Dalem Adipati Tanubaya, 1773 – 1775
22. Dalem Adipati Patrakusumah, 1775 – 1789
23. Dalem Aria Sacapati, 1789 – 1791
V. MASA PEMERINTAHAN BELANDA.
Merupakan Bupati Keturunan Langsung leluhur Sumedang.
24. Pangeran Kusumadinata IX / Pangeran Kornel, 1791 – 1828
25. Dalem Adipati Kusumayuda / Dalem Ageung, 1828 – 1833
26. Dalem Adipati Kusumadinata X / Dalem Alit, 1833 – 1834
27. Tumenggung Suriadilaga / Dalem Sindangraja, 1834 – 1836
28. Pangeran Suria Kusumah Adinata / Pangeran Sugih, 1836 – 1882
29. Pangeran Aria Suriaatmadja / Pangeran Mekkah, 1882 – 1919
30. Dalem Adipati Aria Kusumadilaga / Dalem Bintang, 1919 – 1937
31. Tumenggung Aria Suria Kusumahdinata / Dalem Aria, 1937 – 1946
VI. MASA REPUBLIK INDONESIA
32. Tumenggung Aria Suria Kusumahdinata / Dalem Aria, 1945 – 1946
33. R. Hasan Suria Sacakusumah, 1946 – 1947
34. R. Tumenggung Mohammad Singer, 1947 – 1949
35. R. Hasan Suria Sacakusumah, 1949 – 1950
(Bupati terakhir keturunan langsung leluhur Sumedang)
36. Raden Abdoerachman Kartadipoera : 1951-1958
37. Sulaeman Soemitakoesoemah : 1951-1958
38. Antam Sastradipura (Kepala Daerah) dan R. Enoh Soeriadikoesoemah (Pj. Bupati) : 1958-1960
39. Mohamad Chafil : 1960-1966
40. Adang Kartaman : 1966-1970
41. Drs. Supian Iskandar (Pj. Bupati) : 1970-1972
42. Drs. Supian Iskandar : 1972-1977
43. Drs. Soeyoed (Pj. Bupati) : 1977-1978
44. Drs. H. Kustandi Abdoerachman : 1978-1983
45. Drs. H. Sutardja : 1983-1993
46. Drs. H. Moch Husein Jachjasaputra : 1993-1998
47. Drs. H. Misbach : 1998-2003
48. H. Don Murdono, S.H., M.Si : 2003-2013
49. Drs. H. Endang Sukandar, M.Si : 2013 – sekarang