(مناقيب امام شافعي رضي الله عنه)
Ulama adalah pewaris para nabi. Keberadaannya di tengah umat bagai
pelita dalam kegelapan. Titah dan bimbingannya laksana embun penyejuk
dalam kehausan. Keharuman namanya pun seakan selalu hidup dalam sanubari
umat.
Dengan segala hikmah dan kasih sayang-Nya, Allah Subhanahu wa Ta’ala
yang Maha Hakim lagi Maha Rahim tak membiarkan umat Islam -dalam setiap
generasinya- lengang dari para ulama. Diawali dari para sahabat Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam manusia terbaik umat ini, kemudian
dilanjutkan oleh para ulama setelah mereka, dari generasi ke generasi.
Orang-orang pilihan pewaris para nabi yang selalu siaga membela agama
Allah Subhanahu wa Ta’ala dari pemutarbalikan pengertian agama yang
dilakukan oleh para ekstremis, kedustaan orang-orang sesat dengan kedok
agama, dan penakwilan menyimpang yang dilakukan oleh orang-orang jahil.
Di antara para ulama tersebut adalah Al-Imam Abu Abdillah Muhammad bin
Idris Asy-Syafi’i rahimahullahu. Seorang ulama besar umat ini yang
berilmu tinggi, berakidah lurus, berbudi pekerti luhur, lagi bernasab
mulia.
Nama dan garis keturunan Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu
Nama Al-Imam Asy-Syafi’i adalah Muhammad bin Idris. Beliau berasal dari
Kabilah Quraisy yang terhormat (Al-Qurasyi), tepatnya dari Bani
Al-Muththalib (Al-Muththalibi) dan dari anak cucu Syafi’ bin As-Saib
(Asy-Syafi’i). Adapun ibu beliau adalah seorang wanita mulia dari
Kabilah Azd (salah satu kabilah negeri Yaman). Kunyah beliau Abu
Abdillah, sedangkan laqab (julukan) beliau Nashirul Hadits (pembela
hadits NabiShallallahu ‘alaihi wa sallam). Nasab beliau bertemu dengan
nasab Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada Abdu Manaf bin
Qushay, sebagaimana dalam silsilah garis keturunan beliau berikut ini:
Muhammad bin Idris bin Al-Abbas bin Utsman bin Syafi’ bin As-Saib bin
Ubaid bin Abdu Yazid bin Hasyim bin Al-Muththalib bin Abdu Manaf bin
Qushay bin Kilab bin Murrah bin Ka’b bin Luay bin Ghalib bin Fihr bin
Malik bin An-Nadhr bin Kinanah bin Khuzaimah bin Mudrikah bin Ilyas bin
Mudhar bin Nizar bin Ma’d bin Adnan.
Kelahiran dan masa tumbuh kembang Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu
Para sejarawan Islam sepakat bahwa Al-Imam Asy-Syafi’i dilahirkan pada
tahun 150 H. Di tahun yang sama, Al-Imam Abu Hanifah An-Nu’man bin
Tsabit Al-Kufirahimahullahu meninggal dunia. Adapun tempat kelahiran
beliau, ada tiga versi: Gaza, Asqalan, atau Yaman.
Menurut Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullahu, tidak ada
pertentangan antara tiga versi tersebut, karena Asqalan adalah nama
sebuah kota di mana terdapat Desa Gaza. Sedangkan versi ketiga bahwa
Al-Imam Asy-Syafi’i dilahirkan di Yaman, menurut Al-Imam Al-Baihaqi,
bukanlah negeri Yaman yang dimaksud, akan tetapi tempat yang didiami
oleh sebagian kabilah Yaman, dan Desa Gaza termasuk salah satu darinya.
Dengan demikian tiga versi tersebut dapat dikompromikan, yaitu Al-Imam
Asy-Syafi’i dilahirkan di Desa Gaza, Kota ‘Asqalan (sekarang masuk
wilayah Palestina) yang ketika itu didiami oleh sebagian kabilah Yaman.
Para pembaca yang mulia, di Desa Gaza, Asy-Syafi’i kecil tumbuh dan
berkembang tanpa belaian kasih seorang ayah alias yatim. Walau demikian,
keberadaan sang ibu yang tulus dan penuh kasih sayang benar-benar
menumbuhkan ketegaran pada jiwa beliau untuk menyongsong hidup mulia dan
bermartabat. Pada usia dua tahun sang ibu membawa Asy-Syafi’i kecil ke
bumi Hijaz. Di Hijaz, Asy-Syafi’i kecil hidup di tengah-tengah keluarga
ibunya (keluarga Yaman). Di sana pula Asy-Syafi’i kecil belajar
Al-Qur’an dan dasar-dasar ilmu agama, sehingga pada usia tujuh tahun
beliau telah berhasil menghafalkan Al-Qur’an dengan sempurna (30 juz).
Saat memasuki usia sepuluh tahun, sang ibu khawatir bila nasab mulia
anaknya pudar. Maka dibawalah si anak menuju Makkah agar menapak
kehidupan di tengah-tengah keluarga ayahnya dari Kabilah Quraisy.
Kegemaran beliau pun tertuju pada dua hal: memanah dan menuntut ilmu.
Dalam hal memanah beliau sangat giat berlatih, hingga dari sepuluh
sasaran bidik, sembilan atau bahkan semuanya dapat dibidiknya dengan
baik. Tak ayal bila kemudian unggul atas kawan-kawan sebayanya. Dalam
hal menuntut ilmu pun tak kalah giatnya, sampai-sampai salah seorang
dari kerabat ayahnya mengatakan: “Janganlah engkau terburu menuntut
ilmu, sibukkanlah dirimu dengan hal-hal yang bermanfaat (bekerja)!”
Namun kata-kata tersebut tak berpengaruh sedikitpun pada diri
Asy-Syafi’i. Bahkan kelezatan hidup beliau justru didapat pada ilmu dan
menuntut ilmu, hingga akhirnya Allah Subhanahu wa Ta’ala karuniakan
kepada beliau ilmu yang luas.
Perjalanan Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu dalam menuntut ilmu
Di Kota Makkah dengan segala panorama khasnya, Asy-Syafi’i kecil mulai
mendalami ilmu nahwu, sastra Arab, dan sejarah. Keinginan beliau untuk
menguasainya pun demikian kuat. Sehingga setelah memasuki usia baligh
dan siap untuk berkelana menuntut ilmu, bulatlah tekad beliau untuk
menimba ilmu bahasa Arab dari sumbernya yang murni. Pilihan pun jatuh
pada Suku Hudzail yang berada di perkampungan badui pinggiran Kota
Makkah, mengingat Suku Hudzail -saat itu- adalah suku Arab yang paling
fasih dalam berbahasa Arab. Dengan misi mulia tersebut Asy-Syafi’i
seringkali tinggal bersama Suku Hudzail di perkampungan badui mereka.
Aktivitas ini pun berlangsung cukup lama. Sebagian riwayat menyebutkan
sepuluh tahun dan sebagian lainnya menyebutkan dua puluh tahun. Tak
heran bila di kemudian hari Asy-Syafi’i menjadi rujukan dalam bahasa
Arab. Sebagaimana pengakuan para pakar bahasa Arab di masanya, semisal
Al-Imam Abdul Malik bin Hisyam Al-Mu’afiri (pakar bahasa Arab di Mesir),
Al-Imam Abdul Malik bin Quraib Al-Ashma’i (pakar bahasa Arab di Irak),
Al-Imam Abu Ubaid Al-Qasim bin Sallam Al-Harawi (sastrawan ulung di
masanya), dan yang lainnya.
Kemudian Allah Subhanahu wa Ta’ala anugerahkan kepada Al-Imam
Asy-Syafi’i kecintaan pada fiqh (mendalami ilmu agama). Mush’ab bin
Abdullah Az-Zubairi menerangkan bahwa kecintaan Al-Imam Asy-Syafi’i pada
fiqh bermula dari sindiran sekretaris ayah Mush’ab. Kisahnya, pada
suatu hari Al-Imam Asy-Syafi’i sedang menaiki hewan tunggangannya
sembari melantunkan bait-bait syair. Maka berkatalah sekretaris ayah
Mush’ab bin Abdullah Az-Zubairi kepada beliau: “Orang seperti engkau tak
pantas berperilaku demikian. Di manakah engkau dari fiqh?” Kata-kata
tersebut benar-benar mengena pada jiwa Al-Imam Asy-Syafi’i, hingga
akhirnya bertekad untuk mendalami ilmu agama kepada Muslim bin Khalid
Az-Zanji -saat itu sebagai Mufti Makkah- kemudian kepada Al-Imam Malik
bin Anas di Kota Madinah.
Upaya menimba berbagai disiplin ilmu agama ditempuhnya dengan penuh
kesungguhan. Dari satu ulama menuju ulama lainnya dan dari satu negeri
menuju negeri lainnya; Makkah-Madinah-Yaman-Baghdad. Di daerahnya
(Makkah), Al-Imam Asy-Syafi’i menimba ilmu dari Muslim bin Khalid
Az-Zanji, Dawud bin Abdurrahman Al-Aththar, Muhammad bin Ali bin Syafi’,
Sufyan bin Uyainah, Abdurrahman bin Abu Bakr Al-Mulaiki, Sa’id bin
Salim, Fudhail bin Iyadh, dan yang lainnya.
Pada usia dua puluh sekian tahun -dalam kondisi telah layak berfatwa dan
pantas menjadi seorang imam dalam agama ini- Al-Imam Asy-Syafi’i
berkelana menuju Kota Madinah guna menimba ilmu dari para ulama Madinah:
Al-Imam Malik bin Anas, Ibrahim bin Abu Yahya Al-Aslami, Abdul Aziz
Ad-Darawardi, Aththaf bin Khalid, Ismail bin Ja’far, Ibrahim bin Sa’d,
dan yang semisal dengan mereka. Kemudian ke negeri Yaman, menimba ilmu
dari para ulamanya: Mutharrif bin Mazin, Hisyam bin Yusuf Al-Qadhi, dan
yang lainnya. Demikian pula di Baghdad, beliau menimba ilmu dari
Muhammad bin Al-Hasan Asy-Syaibani ahli fiqh negeri Irak, Ismail bin
‘Ulayyah, Abdul Wahhab Ats-Tsaqafi, dan yang lainnya.
Kedudukan Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu di mata pembesar umat
Perjalanan Al-Imam Asy-Syafi’i yang demikian panjang dalam menuntut ilmu
benar-benar membuahkan keilmuan yang tinggi, prinsip keyakinan (manhaj)
yang kokoh, akidah yang lurus, amalan ibadah yang baik, dan budi
pekerti yang luhur. Tak heran bila kemudian posisi dan kedudukan beliau
demikian terhormat di mata pembesar umat dari kalangan para ahli di
bidang tafsir, qiraat Al-Qur’an, hadits, fiqh, sejarah, dan bahasa Arab.
Kitab-kitab biografi yang ditulis oleh para ulama pun menjadi saksi
terbaik atas itu semua. Berikut ini contoh dari sekian banyak
penghormatan pembesar umat terhadap Al-Imam Asy-Syafi’i yang terdapat
dalam kitab-kitab tersebut:
Dalam kitab Tahdzibut Tahdzib karya Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullahudisebutkan bahwa:
Al-Imam Abu Zur’ah Ar-Razi rahimahullahu berkata: “Tidak ada satu hadits pun yang Asy-Syafi’i keliru dalam meriwayatkannya.”
Al-Imam Abu Dawud rahimahullahu berkata: “Asy-Syafi’i belum pernah keliru dalam meriwayatkan suatu hadits.”
Al-Imam Ali bin Al-Madini rahimahullahu berkata kepada putranya:
“Tulislah semua yang keluar dari Asy-Syafi’i dan jangan kau biarkan satu
huruf pun terlewat, karena padanya terdapat ilmu.”
Al-Imam Yahya bin Ma’in rahimahullahu berkata tentang Asy-Syafi’i: “Tsiqah (terpercaya).”
Al-Imam Yahya bin Sa’id Al-Qaththan rahimahullahu berkata: “Aku belum
pernah melihat seseorang yang lebih berakal dan lebih paham tentang
urusan agama daripada Asy-Syafi’i.”
Al-Imam An-Nasa’i rahimahullahu berkata: “Asy-Syafi’i di sisi kami adalah seorang ulama yang terpercaya lagi amanah.”
Al-Imam Mush’ab bin Abdullah Az-Zubairi rahimahullahu berkata: “Aku
belum pernah melihat seseorang yang lebih berilmu dari Asy-Syafi’i dalam
hal sejarah.”
Dalam Mukadimah Asy-Syaikh Ahmad bin Muhammad Syakir rahimahullahu
terhadap kitab Ar-Risalah karya Al-Imam Asy-Syafi’i (hal. 6) disebutkan
bahwa Al-Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullahu berkata: “Kalau bukan
karena Asy-Syafi’i (atas kehendak Allah Subhanahu wa Ta’ala,), niscaya
kami tidak bisa memahami hadits dengan baik.”
Beliau juga berkata: “Asy-Syafi’i adalah seorang yang paling paham
tentang Kitabullah dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.”
Dalam kitab Manaqib Asy-Syafi’i karya Al-Imam Dawud bin Ali
Azh-Zhahirirahimahullahu disebutkan: “Telah berkata kepadaku Ishaq bin
Rahawaih: ‘Suatu hari aku pergi ke Makkah bersama Ahmad bin Hanbal untuk
berjumpa dengan Asy-Syafi’i. Aku pun selalu bertanya kepadanya tentang
sesuatu (dari agama ini) dan aku dapati beliau sebagai seorang yang
fasih serta berbudi pekerti luhur. Setelah kami berpisah dengan beliau,
sampailah informasi dari sekelompok orang yang ahli di bidang tafsir
Al-Qur’an bahwa Asy-Syafi’i adalah orang yang paling mengerti tafsir
Al-Qur’an di masa ini. Kalaulah aku tahu hal ini, niscaya aku akan
bermulazamah (belajar secara khusus) kepadanya’.”
Dawud bin Ali Azh-Zhahiri berkata: “Aku melihat adanya penyesalan pada
diri Ishaq bin Rahawaih atas kesempatan yang terlewatkan itu.”
Dalam kitab Manaqib Asy-Syafi’i karya Al-Imam Al-Baihaqi rahimahullahu disebutkan bahwa:
Al-Imam Abdul Malik bin Hisyam Al-Mu’afiri rahimahullahu berkata: “Asy-Syafi’i termasuk rujukan dalam bahasa Arab.”
Al-Imam Abdul Malik bin Quraib Al-Ashma’i rahimahullahu berkata: “Aku
mengoreksikan syair-syair Suku Hudzail kepada seorang pemuda Quraisy di
Makkah yang bernama Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i.”
Al-Imam Abu Ubaid Al-Qasim bin Sallam Al-Harawi rahimahullahu berkata:
“Adalah Asy-Syafi’i sebagai rujukan dalam bahasa Arab atau seorang pakar
bahasa Arab.”
Al-Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullahu berkata: “Perkataan Asy-Syafi’i dalam hal bahasa Arab adalah hujjah.”
Al-Mubarrid rahimahullahu berkata: “Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala
merahmati Asy-Syafi’i. Beliau termasuk orang yang paling ahli dalam hal
syair, sastra Arab, dan dialek bacaan (qiraat) Al-Qur’an.”
Menelusuri prinsip keyakinan (manhaj) Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu
Prinsip keyakinan (manhaj) Al-Imam Asy-Syafi’i sesuai dengan prinsip
keyakinan (manhaj) Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para
sahabatnya. Untuk lebih jelasnya, simaklah keterangan berikut ini:
a. Pengagungan Al-Imam Asy-Syafi’i terhadap Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
Al-Imam Asy-Syafi’i adalah seorang ulama yang selalu merujuk kepada
Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, serta
berpegang teguh dengan keduanya. Cukuplah karya monumental beliau, kitab
Al-Umm (terkhusus pada Kitab Jima’ul Ilmi dan Kitab Ibthalul Istihsan)
dan juga kitab Ar-Risalah menjadi bukti atas semua itu. Demikian pula
beliau melarang dari taklid buta. Sebagaimana dalam wasiat beliau
berikut ini:
“Jika kalian mendapati sesuatu pada karya tulisku yang menyelisihi
Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka ambillah Sunnah
RasulullahShallallahu ‘alaihi wa sallam tersebut dan tinggalkan
perkataanku.”
“Jika apa yang aku katakan menyelisihi hadits yang shahih dari Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam lah yang lebih utama, dan jangan kalian taklid kepadaku.”
Al-Imam Al-Muzani rahimahullahu (salah seorang murid senior Al-Imam
Asy-Syafi’i) di awal kitab Mukhtashar-nya berkata: “Aku ringkaskan kitab
ini dari ilmu Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i rahimahullahu serta dari
kandungan ucapannya untuk memudahkan siapa saja yang menghendakinya,
seiring dengan adanya peringatan dari beliau agar tidak bertaklid kepada
beliau maupun kepada yang lainnya. Hal itu agar seseorang dapat melihat
dengan jernih apa yang terbaik bagi agamanya dan lebih berhati-hati
bagi dirinya.”
b. Hadits ahad dalam pandangan Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu
Menurut Al-Imam Asy-Syafi’i (dan para ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah
selainnya), tak ada perbedaan antara hadits mutawatir dan hadits ahad
dalam hal hujjah, selama derajatnya shahih. Bahkan dalam kitab
Ar-Risalah Al-Imam Asy-Syafi’i menjelaskan secara panjang lebar bahwa
hadits ahad adalah hujjah dalam segenap sendi agama. Lebih dari itu
beliau membantah orang-orang yang mengingkarinya dengan dalil-dalil yang
sangat kuat. Sehingga patutlah bila beliau dijuluki Nashirul Hadits
(pembela hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam)
c. Tauhid dalam pandangan Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu
Al-Imam Asy- Syafi’i merupakan sosok yang kokoh tauhidnya. Sangat
mendalam pengetahuannya tentang tauhid dan jenis-jenisnya, baik tauhid
rububiyah, tauhid uluhiyah maupun tauhid asma’ wash shifat. Bahkan
kitab-kitab beliau merupakan contoh dari cerminan tauhid kepada Allah
Subhanahu wa Ta’ala.
Di antaranya apa yang terdapat dalam mukadimah kitab Ar-Risalah berikut
ini: “Segala puji hanya milik Allah yang telah menciptakan langit dan
bumi, mengadakan gelap dan terang, namun orang-orang yang kafir
mempersekutukan (sesuatu) dengan Rabb mereka. Segala puji hanya milik
Allah yang tidaklah mungkin satu nikmat dari nikmat-nikmat-Nya disyukuri
melainkan dengan nikmat dari-Nya pula. Yang mengharuskan seseorang kala
mensyukuri kenikmatan-Nya yang lampau untuk mensyukuri kenikmatan-Nya
yang baru.
Siapa pun tak akan mampu menyifati hakikat keagungan-Nya. Dia
sebagaimana yang disifati oleh diri-Nya sendiri dan di atas apa yang
disifati oleh para makhluk-Nya. Aku memuji-Nya dengan pujian yang
selaras dengan kemuliaan wajah-Nya dan keperkasaan ketinggian-Nya. Aku
memohon pertolongan dari-Nya, suatu pertolongan dari Dzat yang tidak ada
daya dan upaya melainkan dari-Nya.
Aku memohon petunjuk dari-Nya, Dzat yang dengan petunjuk-Nya tidak akan
tersesat siapa pun yang ditunjuki-Nya. Aku pun memohon ampunan-Nya atas
segala dosa yang telah lalu maupun yang akan datang, permohonan seorang
hamba yang meyakini bahwa tiada yang berhak diibadahi melainkan Dia,
seorang hamba yang mengetahui dengan pasti bahwa tiada yang dapat
mengampuni dosanya dan menyelamatkannya dari dosa tersebut kecuali Dia.
Aku bersaksi bahwa tiada ilah yang berhak diibadahi melainkan Dia
semata, dan aku bersaksi pula bahwa Muhammad adalah hamba dan
Rasul-Nya…”
Al-Imam Asy-Syafi’i sangat berupaya untuk menjaga kemurnian tauhid. Oleh
karena itu, beliau sangat keras terhadap segala perbuatan yang dapat
mengantarkan kepada syirik akbar (syirik besar yang mengeluarkan
pelakunya dari Islam), seperti mendirikan bangunan di atas kubur dan
menjadikannya sebagai tempat ibadah, bersumpah kepada selain Allah
Subhanahu wa Ta’ala, dan sebagainya.
Penting untuk disebutkan pula bahwa prinsip Al-Imam Asy-Syafi’i dalam
hal tauhid asma’ wash shifat sesuai dengan prinsip Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallamdan para sahabatnya radhiyallahu ‘anhum
serta menyelisihi prinsip kelompok Asy’ariyyah ataupun Maturidiyyah.
Yaitu menetapkan semua nama dan sifat bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala
sebagaimana yang disebutkan dalam Al-Qur’an dan dijelaskan dalam hadits
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang shahih.
Menetapkannya tanpa menyerupakan dengan sesuatu pun, dan mensucikan
AllahSubhanahu wa Ta’ala tanpa meniadakan (ta’thil) nama-nama dan
sifat-sifat-Nya. Sebagaimana yang dikandung firman Allah Subhanahu wa
Ta’ala:
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
“Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha mendengar dan lagi Maha melihat.” (Asy-Syura: 11)
Jauh dari sikap membayangkan bagaimana hakikat sifat Allah Subhanahu wa
Ta’ala(takyif) dan jauh pula dari sikap memalingkan makna sifat Allah
Subhanahu wa Ta’ala yang sebenarnya kepada makna yang tidak dimaukan
Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya (tahrif). Demikianlah prinsip
yang senantiasa ditanamkan Al-Imam Asy-Syafi’i kepada murid-muridnya.
Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullahu berkata: “Telah diriwayatkan dari
Ar-Rabi’ dan yang lainnya, dari para pembesar murid-murid Asy-Syafi’i,
apa yang menunjukkan bahwa ayat dan hadits tentang sifat-sifat Allah
Subhanahu wa Ta’ala tersebut dimaknai sesuai dengan makna zhahirnya,
tanpa dibayangkan bagaimana hakikat sifat tersebut (takyif), tanpa
diserupakan dengan sifat makhluk-Nya (tasybih), tanpa ditiadakan
(ta’thil), dan tanpa dipalingkan dari makna sebenarnya yang dimaukan
Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam
(tahrif).”
d. Permasalahan iman menurut Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu
Iman menurut Al-Imam Asy-Syafi’i mencakup ucapan, perbuatan, dan niat
(keyakinan). Ia bisa bertambah dengan ketaatan dan bisa berkurang dengan
kemaksiatan. Adapun sikap beliau terhadap pelaku dosa besar (di bawah
dosa syirik) yang meninggal dunia dalam keadaan belum bertaubat darinya,
maka selaras dengan prinsip Ahlus Sunnah wal Jamaah dan menyelisihi
prinsip ahlul bid’ah, dari kalangan Khawarij, Mu’tazilah, maupun
Murji’ah. Yaitu tergantung kepada kehendak Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Jika Allah Subhanahu wa Ta’ala berkehendak untuk diampuni maka
terampunilah dosanya, dan jika Allah Subhanahu wa Ta’ala berkehendak
untuk diazab maka akan diazab terlebih dahulu dalam An-Nar, namun tidak
kekal di dalamnya.
e. Permasalahan takdir dan Hari Akhir menurut Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu
Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu berkata: “Sesungguhnya kehendak para
hamba tergantung kehendak Allah Subhanahu wa Ta’ala. Tidaklah mereka
berkehendak kecuali atas kehendak Allah Rabb semesta alam. Manusia
tidaklah menciptakan amal perbuatannya sendiri. Amal perbuatan mereka
adalah ciptaan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sesungguhnya takdir baik dan
takdir buruk semuanya dari Allah ‘Azza wa jalla. Sesungguhnya azab kubur
benar adanya, pertanyaan malaikat kepada penghuni kubur benar adanya,
hari kebangkitan benar adanya, penghitungan amal di hari kiamat benar
adanya, Al-Jannah dan An-Nar benar adanya, dan hal lainnya yang
disebutkan dalam Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam serta
disampaikan melalui lisan para ulama di segenap negeri kaum muslimin
(benar pula adanya)."
Ketika ditanya tentang dilihatnya Allah Subhanahu wa Ta’ala
(ru’yatullah) di hari kiamat, maka Al-Imam Asy-Syafi’i mengatakan: “Demi
Allah, jika Muhammad bin Idris tidak meyakini akan dilihatnya Allah
Subhanahu wa Ta’ala di hari kiamat, niscaya dia tidak akan beribadah
kepada-Nya di dunia.”
f. Penghormatan Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu terhadap para sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
Al-Imam Asy-Syafi’i sangat menghormati para sahabat Nabi. Hal ini
sebagaimana tercermin dalam kata-kata beliau berikut ini: “Allah
Subhanahu wa Ta’ala telah memuji para sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi
wa sallam dalam Al-Qur’an, Taurat, dan Injil. Keutamaan itu pun
(sungguh) telah terukir melalui lisan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Suatu keutamaan yang belum pernah diraih oleh siapa pun setelah
mereka. Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala merahmati mereka dan
menganugerahkan kepada mereka tempat tertinggi di sisi para shiddiqin,
syuhada, dan shalihin. Merekalah para penyampai ajaran Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada kita. Mereka pula para saksi atas
turunnya wahyu kepada RasulullahShallallahu ‘alaihi wa sallam. Oleh
karena itu, mereka sangat mengetahui apa yang dimaukan Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam terkait dengan hal-hal yang bersifat umum
maupun khusus, serta yang bersifat keharusan maupun anjuran. Mereka
mengetahui Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, baik yang
kita ketahui ataupun yang tidak kita ketahui. Mereka di atas kita dalam
hal ilmu, ijtihad, wara’, ketajaman berpikir dan menyimpulkan suatu
permasalahan berdasarkan ilmu. Pendapat mereka lebih baik dan lebih
utama bagi diri kita daripada pendapat kita sendiri. Wallahu a’lam.”
Demikian pula beliau sangat benci terhadap kaum Syi’ah Rafidhah yang
menjadikan kebencian terhadap mayoritas para sahabat Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallamsebagai prinsip dalam beragama. Hal ini sebagaimana
penuturan Yunus bin Abdul A’la: “Aku mendengar celaan yang dahsyat dari
Asy-Syafi’i -jika menyebut Syi’ah Rafidhah- seraya mengatakan: ‘Mereka
adalah sejelek-jelek kelompok’."
g. Sikap Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu terhadap kelompok-kelompok sesat
Al-Imam Al-Baihaqi rahimahullahu berkata: “Adalah Asy-Syafi’i seorang
yang bersikap keras terhadap ahlul ilhad (orang-orang yang menyimpang
dalam agama) dan ahlul bid’ah. Beliau tampakkan kebencian dan
pemboikotan (hajr) tersebut kepada mereka.”
Al-Imam Al-Buwaithi rahimahullahu berkata: “Aku bertanya kepada
Asy-Syafi’i, ‘Apakah aku boleh shalat di belakang seorang yang berakidah
Syi’ah Rafidhah?’ Maka beliau menjawab: ‘Jangan shalat di belakang
seorang yang berakidah Syi’ah Rafidhah, seorang yang berakidah
Qadariyyah, dan seorang yang berakidah Murjiah’.”
Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu berkata: “Tidaklah seorang sufi bisa
menjadi sufi tulen hingga mempunyai empat karakter: pemalas, suka makan,
suka tidur, dan selalu ingin tahu urusan orang lain."
Akhir kata, demikianlah sekelumit tentang kehidupan Al-Imam Muhammad bin
Idris Asy-Syafi’i rahimahullahu dan prinsip keyakinan (manhaj) beliau
yang dapat kami sajikan kepada para pembaca. Seorang ulama besar yang
penuh jasa, yang meninggal dunia di Mesir pada malam Jum’at 29 Rajab 204
H, bertepatan dengan 19 Januari 820 M, dalam usia 54 tahun.
Rahimahullahu rahmatan wasi’ah, wa ghafara lahu, wa ajzala matsubatahu, wa askanahu fi fasihi jannatihi. Amin.
Berikut salah satu Amaliah peninggalan Imam Syafi’i
Shalawat Imam Syafii
اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ بِعَدَدِ مَنْ صَلَّى عَلَيْهِ . وَصَلِّ
عَلَى مُحَمَّدٍ بِعَدَدِ مَنْ لَمْ يُصَلِّ عَلَيْهِ . وَصَلِّ عَلَى
مُحَمَّدٍ كَمَا أَمَرْتَ بِالصَّلاَةِ عَلَيْهِ . وَصَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ
كَمَا تُحِبُّ أَنْ يُصَلَّى عَلَيْهِ . وَصَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ كَمَا
تَنْبَغِي الصَّلاَةُ عَلَيْهِ.
Artinya: ”Ya Allah, limpahkanlah shalawat kepada Nabi Muhammad sebanyak
jumlah orang yang bershalawat kepadanya, limpahkanlah shalawat kepada
Nabi Muhammad sebanyak jumlah orang yang tidak bershalawat kepadanya,
limpahkanlah shalawat kepada Nabi Muhammad sebagaimana shalawat yang
Engkau perintahkan kepadanya, lim-pahkanlah shalawat kepada Nabi
Muhammad sebagaimana Engkau suka agar dibacakan shalawat atasnya, dan
limpahkanlah pula shalawat kepada Nabi Muhammad sebagaimana selayaknya
ucapan shalawat atasnya.”
صَلَّى اللهُ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ كُلَّما ذَكَرَهُ الذَّاكِرُوْنَ وَغَفَلَ عَنْ ذِكْرِهِ الْغَافِلُونَ.
Artinya: ”Ya Allah, limpakanlah shalawat atas Nabi kami, Nabi Muhammad,
selama orang-orang yang ingat menyebut-Mu dan orang-orang yang lalai
melupakan untuk menyebut-Mu.”
Berkaitan dengan redaksi shalawat pertama di atas telah diceritakan di
dalam syarah atas kitab Dala’il Khairat, Syaikh Abul Abbas Ibn Mindil
menyebutkan dalam kitab Tuhfah al-Maqashid bahwa Imam al-Syafi’i pernah
diimpikan oleh seseorang, lalu orang itu bertanya kepadanya, “Apa yang
telah diperbuat Allah atas diri Anda?” Imam al-Syafi’i menjawab, Allah
telah mengampuni diriku.” “Dengan amal apa?” orang itu bertanya lagi.
“Dengan lima kalimat yang aku pergunakan untuk bershalawat kepada Nabi”
Jawab Imam al-Syafi’i. “Bagaimana redaksinya?” Lantas beliau mengucapkan
shalawat tersebut di atas.
Sedangkan berkaitan dengan redaksi shalawat kedua, Imam al-Muzaniy
bertutur sebagai berikut: Saya bermimpi melihat Imam al-Syafi’i. Lalu
saya bertanya pada beliau, “Apa yang telah diperbuat Allah terhadap diri
Anda?” Beliau menjawab, Allah telah mengampuni diriku, memberikan kasih
sayang kepadaku dan meninggikan derajatku di surga berkat shalawat yang
aku cantumkan di dalam kitab Al-Risalah, yaitu:
اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ كُلَّمَا ذَكَرَهُ الذَّاكِرُوْنَ وَغَفَلَ عَنْ ذِكْرِهِ الْغَافِلُونَ .
Tatkala di pagi hari aku lihat kitab al-Risalah, maka aku temukan shalawat yang disebutkan oleh Imam al-Syafii.
Pada shalawat kedua ini terdapat sedikit perbedaan redaksi dari yang disebutkan oleh Imam Abdullah Ibn Hakam.
Imam Muhammad Ibn Muhammad al-Ghazaliy menyebutkan dalam kitab Ihya Ulumiddinriwayat Imam Abul Hasan al-Syafii yang mengatakan:
رَأَيْتُ النَّبِيَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الْمَنَامِ
فَقُلْتُ يَا رَسُوْلَ اللهِ بِمَ جُوْزِيَ الشَّافِعِيُّ عَنْكَ حَيْثُ
يَقُوْلُ فِي كِتَابِهِ الرِّسَالَةِ وَ صَلَّى اللَّهُ عَلَى مُحَمَّدٍ
كُلَّمَا ذَكَرَهُ الذَّاكِرُوْنَ وَغَفَلَ عَنْ ذِكْرِهِ
الْغَافِلُونَفَقَالَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ جُوْزِيَ عَنِّي
أَنَّهُ لاَ يُوْقَفُ لِلْحِسَابِ.
Artinya: ”Saya telah bermimpi melihat Rasulullah, lalu saya bertanya,
“Ya Rasulullah, dengan kebaikan apa Imam al-Syâfi’i diberi balasan dari
sebab ucapannya dalam kitab al-Risâlah: Washallallâhu ‘Alâ Muhammaddin
Kullamâ Dzakara al-Dzdâkirûn waghafala ‘an Dzikrik al-Ghâfilûn?’
Rasulullah menjawab:“Ia dibebaskan dari keharusan menghadapi perhitungan
(hisab di hari kiamat)