Rabu, 18 November 2020

Ulama Spanyol


Kota Granada menjadi terkenal ketika kaum Arab (disebut bangsa Moor oleh orang Barat) memilih daerah itu untuk menjadi lokasi perdagangan di awal abad ke-13. Se­gera setelah itu, sebuah kompleks ben­teng, dengan nama Qalat Al-Hamra (Ben­teng Merah), dibangun di atas plato tinggi untuk memberikan pemandangan kota yang indah bagi emir Moor, serta lokasi yang tepat untuk mempertahan­kan diri dari para penyerang.
 

Awalnya, sebagai sebuah tempat perlindungan ketika Granada dikepung, tembok-tembok tinggi Al-Hamra pada akhirnya menjadi sebuah benteng, me­magari pasar kecil dan beberapa istana indah. Perkembangan selanjutnya, “is­tana” ini kemudian dirancang untuk men­cerminkan keindahan surga. Al-Hamra pun akhirnya menjadi kompleks yang ter­diri atas taman-taman, air mancur, su­ngai kecil, istana, dan sebuah masjid, se­muanya di dalam tembok yang dikelilingi 13 menara raksasa di titik-titik strategis.

Kiblat Pelajar Dunia

Sejarah mencatat, Granada adalah salah satu pusat ilmu pengetahuan di masa kejayaan Islam. Granada menjadi tempat paling diburu oleh para pelajar di seluruh dunia.

Granada terletak di selatan kota Mad­rid, ibu kota Spanyol sekarang. Gra­nada memiliki keindahan yang amat mengagumkan. Itu sebabnya, nama “Granada” diambil dari nama keindahan (granada artinya “kecantikan” dan “ke­indahan”).

Kawasan ini terbentang di sekitar Laut Mediterranian dari selatan dan ber­ada di sekitar Sungai Syanil. Tempat yang enak dipandang mata, karena ber­ada di ketinggian 669 meter dari atas laut. Konon, inilah rahasia keindahan dan kecantikan Granada.

Setelah Islam memasuki Spanyol le­wat Andalusia, tempat ini menjadi salah satu pusat ilmu pengetahuan Islam yang agung dan tergolong dalam kawasan lain­nya yang tak kalah menarik dan ber­sejarah setelah Andalusia, Cordova, Ba­lansiah, Bahrit, Ichiliah, Tolaitalah, dan yang lainnya. Granada juga termasyhur sebagai kiblat yang menjadi tumpuan harapan para pelajar yang datang dari segenap kawasan yang berada di sekitar Granada, baik kaum muslimin maupun non-muslim. Pusat pengkajian yang termasyhur di Granada adalah Al-Yusufiah dan An-Nashriyyah.

Di sini juga telah terahir banyak ilmu­wan muslim yang terkenal. Di antaranya Abu Al-Qasim Al-Majrithi, sebagai pen­cetus kebangkitan astronomi Andalusia pada tahun 398 Hijriyyah atau sekitar tahun 1008 Masehi. Ia telah memberikan dasar bagi salah satu pusat pengkajian ilmu matematika.

Selain Abu Al-Qasim, juga masih ada sejumlah ilmuwan dan ulama terkenal, di antaranya Al-Imam Asy-Syathibi, Lisa­nuddin Al-Khatib, As-Sarqasti, Ibnu Zamrak, Muhammad Ibnu Ar-Riqah, Abu Yahya Ibnu Ridwan, Abu Abdullah Al-Fahham, Ibnu As-Sarah, Yahya Ibnu Al-Huzail At-Tajibi, As-Shaqurmi, Ibnu Zuh­ri. Di kalangan wanita, tercatat nama-nama seperti Hafsah binti Al-Haj, Ham­dunah binti Ziad, dan saudaranya, Zainab.

Setelah kekuasaan keturunan Bani Ahmar menetap di Granada dan sekitar­nya di Timur Laut, dekat dengan ke­dudukan Al-Hamra, pada tempat yang begitu strategis, mereka membangun salah satu istana yang terkenal dengan nama “Istana Al-Hamra”.

Al-Hamra juga menjadi nama salah satu kota yang sederhana saat berada dalam kekuasaan Badis bin Habus, lalu dia menjadikan kota Al-Hamra sebagai pusat pemerintahannya. Ia membangun sebuah benteng yang besar di sekitar bukit yang tinggi, yang kemudian ter­kenal dengan nama “Benteng Granada”.

Dalam waktu yang cukup lama, Gra­nada menjadi sebuah kota yang tidak da­pat dikalahkan. Karena dimakan umur, bangunan benteng kemudian berubah warna menjadi merah, dan di kawasan inilah Istana Al-Hamra dibangun (Al-Hamra artinya “Istana Merah”).

April Mop

Dalam budaya masyarakat Barat, ada satu hari yang dikenal dengan istilah “April Mop”. Sebenarnya, April Mop ter­kait dengan tragedi dalam sejarah Islam di Granada. Hari itu merupakan pera­ya­an hari kemenangan atas dibunuhnya ribuan umat Islam Spanyol oleh tentara salib yang dilakukan lewat cara-cara penipuan. Sebab itulah, April Mop “di­rayakan” dengan cara melegalkan pe­nipuan dan kebohongan walau dibung­kus dengan dalih sekadar hiburan atau keisengan.

Biasanya orang akan menjawab bah­wa April Mop, yang hanya berlaku pada tanggal 1 April, adalah hari di mana kita boleh dan sah-sah saja menipu te­man, orangtua, saudara, atau lainnya, dan sang target tidak boleh marah atau emosi ketika sadar bahwa dirinya telah menjadi sasaran April Mop. Biasanya sang target, jika sudah sadar kena April Mop, akan tertawa, atau mengumpat se­bal, tentu saja bukan marah sungguhan.

Walaupun belum sepopuler peraya­an tahun baru atau Valentine’s Day, bu­daya April Mop dalam dua dekade ter­akhir memperlihatkan kecenderungan yang makin akrab di masyarakat per­kotaan kita. Terutama di kalangan anak muda. Bukan mustahil pula, ke depan juga akan meluas ke masyarakat yang ting­gal di pedesaan. Ironisnya, masya­rakat dengan mudah meniru kebuda­ya­an Barat ini tanpa mengkritisinya terlebih dahulu, apakah budaya itu baik atau ti­dak, bermanfaat atau sebaliknya.

Perayaan April Mop berawal dari suatu tragedi besar yang sangat menye­dihkan dan memilukan? April Mop, atau The April’s Fool Day, berawal dari satu episode sejarah muslim Spanyol di tahun 1487 M, atau bertepatan dengan 892 H.

Sejak dibebaskan Islam pada abad ke-8 M oleh Panglima Thariq bin Ziyad, Spanyol berangsur-angsur tumbuh men­jadi satu negeri yang makmur. Pasukan Islam tidak saja berhenti di Spanyol, na­mun terus melakukan pembebasan di ne­geri-negeri sekitar menuju Prancis. Pran­cis Selatan dengan mudah dibebas­kan. Kota Carcassone, Nimes, Bordeaux, Lyon, Poitou, Tours, dan sebagainya jatuh. Walaupun sangat kuat, pasukan Islam masih memberikan toleransi ke­pada suku Goth dan Navaro di daerah sebelah barat yang berupa pegunungan. Islam telah menerangi Spanyol.

Karena sikap para penguasa Islam yang begitu baik dan rendah hati, banyak orang Spanyol yang kemudian dengan tulus dan ikhlas memeluk Islam. Muslim Spanyol bukan saja beragama Islam, namun sungguh-sungguh mempraktek­kan kehidupan secara Islami. Tidak saja membaca Al-Qur’an, namun bertingkah laku berdasarkan Al-Qur’an. Mereka se­lalu berkata “tidak” untuk musik, bir, per­gaulan bebas, dan segala hal yang di­larang Islam. Keadaan tenteram seperti itu berlangsung hampir enam abad lama­nya.

Selama itu pula kaum kafir yang ma­sih ada di sekeliling Spanyol terus berupaya membersihkan Spanyol dari Islam, namun selalu gagal. Maka dikirim­lah sejumlah mata-mata un­tuk mem­pelajari kelemahan umat Islam Spanyol.

Akhirnya mereka menemukan cara un­tuk menaklukkan Islam, yakni dengan pertama-tama melemahkan iman me­reka melalui jalan serangan pemikiran dan budaya. Musik diperdengarkan un­tuk membujuk kaum mudanya agar lebih suka bernyanyi dan menari daripada mem­­baca Al-Qur’an. Mereka juga me­ngirimkan sejumlah ulama palsu untuk meniup-niupkan perpecahan ke dalam tubuh umat Islam Spanyol. Lama-ke­lamaan upaya ini membuahkan hasil.

Akhirnya Spanyol jatuh dan bisa di­kuasai pasukan salib. Penyerangan oleh pasukan salib benar-benar dilakukan de­ngan kejam tanpa mengenal perike­ma­nusiaan. Tidak hanya pasukan Islam yang dibantai, tetapi juga penduduk sipil, wanita, anak-anak kecil, orang-orang tua. Satu per satu daerah di Spanyol jatuh.

Granada adalah daerah terakhir yang ditaklukkan. Penduduk-penduduk Islam di Spanyol (juga disebut orang Moor) terpaksa berlindung di dalam ru­mah untuk menyelamatkan diri, namun tentara-tentara salib terus mengejar me­reka. Ketika jalan-jalan sudah sepi, ting­gal menyisakan ribuan mayat yang ber­gelimpangan bermandikan genangan da­rah, tentara salib mengetahui bahwa banyak muslim Granada yang masih bersembunyi di rumah-rumah. Dengan lantang tentara salib itu meneriakkan pengumuman bahwa para muslim Gra­nada bisa keluar dari rumah dengan aman dan diperbolehkan berlayar keluar Spanyol dengan membawa barang-ba­rang keperluan mereka.

Orang-orang Islam masih curiga de­ngan tawaran ini. Namun beberapa di antara orang muslim diperbolehkan me­lihat sendiri kapal-kapal penumpang yang sudah dipersiapkan di pelabuhan. Setelah benar-benar melihat ada kapal yang sudah disediakan, mereka pun se­gera bersiap untuk meninggalkan Gra­nada dan berlayar meninggalkan Spa­nyol.

Keesokan harinya, ribuan penduduk mus­lim Granada keluar dari rumah-ru­mah mereka dengan membawa seluruh barang keperluan, beriringan berjalan me­nuju ke pelabuhan. Beberapa orang Islam yang tidak mempercayai pasukan salib memilih bertahan dan terus ber­sem­bunyi di rumah-rumah mereka.

Setelah ribuan umat Islam Spanyol berkumpul di pelabuhan, dengan cepat tentara salib menggeledah rumah-rumah yang telah ditinggalkan penghuninya. Lidah api terlihat menjilat-jilat angkasa ketika mereka membakari rumah-rumah tersebut bersama dengan orang-orang Islam yang masih bertahan di dalamnya.

Sedang ribuan umat Islam yang pergi menuju pelabuhan pun tertahan di sana, karena tentara salib juga memba­kar kapal-kapal yang dikatakan akan mengangkut mereka keluar dari Spa­nyol. Kapal-kapal itu dengan cepat teng­gelam. Ribuan umat Islam itu tidak bisa berbuat apa-apa, karena sama sekali ti­dak bersenjata. Mereka juga kebanyak­an terdiri dari para wanita dengan anak-anaknya yang masih kecil-kecil. Sedang para tentara salib telah mengepung me­reka dengan pedang terhunus.

Dengan satu teriakan dari pemim­pin­nya, ribuan tentara salib segera mem­ban­tai umat Islam Spanyol, tanpa rasa belas kasihan. Jerit tangis dan takbir mem­bahana. Seluruh muslim Spanyol di pelabuhan itu habis dibunuh dengan ke­jam. Darah menggenang di mana-mana, di darat dan di lautan. Laut yang biru ber­ubah menjadi merah kehitam-hitaman.

Tragedi ini bertepatan dengan tang­gal 1 April. Inilah yang kemudian diperi­ngati oleh dunia Kristen setiap tanggal 1 April sebagai April Mop, The April’s Fool Day. Pada tanggal 1 April, orang-orang diperbolehkan menipu dan berbo­hong kepada orang lain.

Dalam sejarahnya, bagi umat Kris­tiani, April Mop merupakan hari keme­nangan atas dibunuhnya ribuan umat Islam Spanyol oleh tentara salib lewat cara-cara penipuan. Sebab itulah, me­reka merayakan April Mop dengan cara melegalkan penipuan dan kebohongan walau dibungkus dengan dalih sekadar hiburan atau keisengan belaka. Namun dalam perkembangannya kini, unsur historis mungkin tidak lagi dominan, yang lebih kuat adalah hiburan atau keisengan dengan cara penipuan atau kebohongan, tentu tidak sungguh-sung­guh.

Sedang bagi umat Islam, dengan melihat sejarahnya, April Mop tentu merupakan perayaan akan tragedi yang sangat menyedihkan. Hari ketika ribuan saudara-saudara kita dibantai oleh ten­tara salib di Granada, Spanyol. Sebab itu, sangatlah tidak pantas jika ada orang Islam yang ikut-ikutan merayakan tradisi ini. Sekali lagi dengan melihat sejarah­nya, siapa pun orang Islam yang turut me­rayakan April Mop sesungguhnya tengah merayakan ulang tahun pembu­nuhan massal ribuan saudara-sau­daranya di Granada, Spanyol, lima abad silam.

Istana Al-Hamra

Al-Hamra adalah warisan yang membanggakan bagi kebudayaan Arab di Spanyol serta keahlian pembangun muslim, Yahudi, dan Kristen.

Nama “Al-Hamra” berasal dari warna merah tanah liat yang digali untuk mem­buat tembok-temboknya. Sebuah penje­lasan yang lebih puitis datang dari para cendekiawan muslim yang mengatakan bahwa pembangunan benteng Al-Hamra dilakukan dengan cahaya obor, yang kemudian memberikan warna merah pada tembok-tembok itu.

Dimulai pada tahun 1238 oleh penguasa muslim, Muhammad Al-Ahmar, pembangunan kompleks Al-Hamra diselesaikan oleh anak laki-lakinya, Muhammad II. Generasi pene­rus para pemimpin muslim terus mem­per­luas bangunan yang telah ada dan menambahkan beberapa bangunan baru.

Selesai dibangun menjelang akhir kekuasaan muslim oleh Yusuf I (1333-1353) dan Muhammad Sultan (1353-1391), beberapa bangunan terakhir yang dibangun di Al-Hamra mencerminkan kebudayaan Emirat Nasrid.

Lingkungan itu juga menjadi tempat mengungsi para seniman dan intelektual ketika Kristen Spanyol bergerak masuk ke kawasan tersebut.

Pada tahun 1527, ketika Andalusia jatuh ke tangan penjajah, kaum muslim akhirnya terpaksa meninggalkan lahan seluas 142.000 meter persegi itu.

Setelah invasi kaum Kristen, Al-Hamra mengalami penelantaran dan hampir menjadi puing-puing tak berbe­kas jika tak dikunjungi oleh seorang penulis terkenal Amerika.

Pada tahun 1829, saat mengelilingi Eropa, novelis Washington Irving – paling dikenal dengan horor klasiknya, The Legend of Sleepy Hollow – mengun­jungi Al-Hamra dan terinspirasi untuk menulis satu koleksi kisah petualangan romantis yang berjudul Tales of the Al-Hamra. Dalam suratnya yang dikirim ke seorang teman, Irving menuliskan bah­wa Al-Hamra adalah kota yang paling indah, berlokasi di lanskap yang paling cantik yang pernah ia lihat.

Pujian Irving terhadap Al-Hamra dan sukses besar bukunya mengubah Gra­nada dan sekitarnya menjadi kota yang paling sering dikunjungi di Eropa. Aliran uang dari wisatawan juga memfasilitasi perbaikan bangunan-bangunan, me­nara, lapangan, kolam ikan, dan taman-taman Al-Hamra.

Sekarang, Al-Hamra menjadi pa­meran arsitektur, desain lanskap, dan desain interior Islam, dan merupakan salah satu daya tarik wisatawan yang terkenal.


Tokoh Ulama Andalusia

Selama ini kita mengenal Eropa sebagai kawasan minoritas Islam dan mayoritas Nasrani. Akan tetapi kita wajib mengetahui bahwa pada masa dinasti Umayah Andalusia (Spanyol) banyak tokoh ilmuwan Islam yang uraian keilmuan beliau-beliau masih dipergunakan hingga saat ini dalam berbagai disiplin ilmu di berbagai Negara.
Berikut kami paparkan sebagian para ilmuwan (Ulama) Andalusia (Spanyol) yang masyhur dan ilmu beliau di gunakan hingga saat ini.

AL-ZAHRAWI

Peletak dasar-dasar ilmu bedah modern itu bernama Al-Zahrawi (936 M-1013 M). Orang barat mengenalnya sebagai Abulcasis. Al-Zahrawi adalah seorang dokter bedah yang amat fenomenal. Karya dan hasil pemikirannya banyak diadopsi para dokter di dunia barat. “Prinsip-prinsip ilmu kedokteran yang diajarkan Al-Zahrawi menjadi kurikulum pendidikan kedokteran di Eropa sampai saat ini.

Ahli bedah yang termasyhur hingga ke abad 21 itu bernama lengkap Sayidina Syaikh Abu al-Qasim Khalaf ibn al-Abbas Al-Zahrawi Al Anshori 
Beliau terlahir pada tahun 936 M di kota Al-Zahra, sebuah kota berjarak 9,6 km dari Cordoba, Spanyol. Al-Zahrawi merupakan keturunan Arab Ansar yang menetap di Spanyol. Di kota Cordoba inilah dia menimba ilmu, mengajarkan ilmu kedokteran, mengobati masyarakat, serta mengembangkan ilmu bedah bahkan hingga wafat.

Kisah masa kecilnya tak banyak terungkap. Sebab, tanah kelahirannya Al-Zahra dijarah dan dihancurkan. Sosok dan kiprah Al-Zahrawi baru terungkap ke permukaan, setelah ilmuwan Andalusia Abu Muhammad bin Hazm (993M-1064M) menempatkannya sebagai salah seorang dokter bedah terkemuka di Spanyol. Sejarah hidup alias biografinya baru muncul dalam Al-Humaydi’s Jadhwat al Muqtabis yang baru rampung setelah enam dasa warsa kematiannya.

Al-Zahrawi mendedikasikan separuh abad masa hidupnya untuk praktik dan mengajarkan ilmu kedokteran. Sebagai seorang dokter termasyhur, Al-Zahrawi pun diangkat menjadi dokter istana pada era kekhalifahan Al-Hakam II di Andalusia. Berbeda dengan ilmuwan muslim kebanyakan, Al-Zahrawi tak terlalu banyak melakukan perjalanan. Ia lebih banyak mendedikasikan hidupnya untuk merawat korban kecelakaan serta korban perang.

Para dokter di zamannya mengakui bahwa Al-Zahrawi adalah seorang dokter yang jenius terutama di bidang bedah. Jasanya dalam mengembangkan ilmu kedokteran sungguh sangat besar. Al-Zahrawi meninggalkan sebuah ‘harta karun’ yang tak ternilai harganya bagi ilmu kedokteran yakni berupa kitab Al-Tasrif li man ajaz an-il-talil—sebuah ensiklopedia kedokteran. Kitab yang dijadikan materi sekolah kedokteran di Eropa itu terdiri dari 30 volume.

Dalam kitab yang diwariskannya bagi peradaban dunia itu, Al-Zahrawi secara rinci dan lugas mengupas tentang ilmu bedah, orthopedic, opththalmologi, farmakologi, serta ilmu kedokteran secara umum. Ia juga mengupas tentang kosmetika. Al-Zahrawi pun ternyata begitu berjasa dalam bidang kosmetika. Sederet produk kosmetika seperti deodorant, hand lotion, pewarna rambut yang berkembang hingga kini merupakan hasil pengembangan dari karya Al-Zahrawi.

Popularitas Al-Zahrawi sebagai dokter bedah yang andal menyebar hingga ke seantero Eropa. Tak heran, bila kemudian pasien dan anak muda yang ingin belajar ilmu kedokteran dari Abulcasis berdatangan dari berbagai penjuru Eropa. Menurut Will Durant, pada masa itu Cordoba menjadi tempat favorit bagi orang-orang Eropa yang ingin menjalani operasi bedah. Di puncak kejayaannya, Cordoba memiliki tak kurang dari 50 rumah sakit yang memberikan pelayanan prima.

Sebagai seorang guru ilmu kedokteran, Al-Zahrawi begitu mencintai murid-muridnya. Dalam Al-Tasrif, dia mengungkapkan kepedulian terhadap kesejahteraan siswanya. Al-Zahrawi pun mengingatkan kepada para muridnya tentang pentingnya membangun hubungan yang baik dengan pasien. Menurut Al-Zahrawi, seorang dokter yang baik haruslah melayani pasiennya sebaik mungkin tanpa membedakan status sosialnya.

Dalam menjalankan praktik kedokterannya, Al-Zahrawi menanamkan pentingnya observasi tertutup dalam kasus-kasus individual. Hal itu dilakukan untuk tercapainya diagnosis yang akurat serta kemungkinan pelayanan yang terbaik. Al-Zahrawi pun selalu mengingatkan agar para dokter berpegang pada norma dan kode etik kedokteran, yakni tak menggunakan profesi dokter hanya untuk meraup keuntungan materi.

Menurut Al-Zahrawi profesi dokter bedah tak bisa dilakukan sembarang orang. Pada masa itu, dia kerap mengingatkan agar masyarakat tak melakukan operasi bedah kepada dokter atau dukun yang mengaku-ngaku memiliki keahlian operasi bedah. Hanya dokter yang memiliki keahlian dan bersertifikat saja yang boleh melakukan operasi bedah. Mungkin karena itulah di era modern ini muncul istilah dokter spesialis bedah (surgeon).

Kehebatan dan profesionalitas Al-Zahrawi sebagai seorang ahli bedah diakui para dokter di Eropa. “Tak diragukan lagi, Al-Zahrawi adalah kepala dari seluruh ahli bedah.” 
Kitab Al-Tasrif yang ditulisnya lalu diterjemahkan ke dalam bahasa Latin oleh Gerard of Cremona pada abad ke-12 M. Kitab itu juga dilengkapi dengan ilustrasi. Kitab itu menjadi rujukan dan buku resmi sekolah kedokteran dan para dokter serta ahli bedah Eropa selama lima abad lamanya pada periode abad pertengahan.

Sosok dan pemikiran Al-Zahrawi begitu dikagumi para dokter serta mahasiswa kedokteran di Eropa. Pada abad ke-14, seorang ahli bedah Perancis bernama Guy de Chauliac mengutip Al-Tasrif hampir lebih dari 200 kali. Kitab Al-Tasrif terus menjadi pegangan para dokter di Eropa hingga terciptanya era Renaissance. Hingga abad ke-16, ahli bedah berkebangsaan Prancis, Jaques Delechamps (1513M-1588M) masih menjadikan Al-Tasrif sebagai rujukan.

Al-Zahrawi tutup usia di kota Cordoba pada tahun 1013M—dua tahun setelah tanah kelahirannya dijarah dan dihancurkan. Meski Cordoba kini bukan lagi menjadi kota bagi umat Islam, namun namanya masih diabadikan menjadi nama jalan kehormatan yakni ‘Calle Albucasis’. Di jalan itu terdapat rumah nomor 6 –yakni rumah tempat Al-Zahrawi pernah tinggal . Kini rumah itu menjadi cagar budaya yang dilindungi Badan Kepariwisataan Spanyol.

Sang penemu puluhan alat bedah modern

Selama separuh abad mendedikasikan dirinya untuk pengembangan ilmu kedokteran khususnya bedah, Al-Zahrawi telah menemukan puluhan alat bedah modern. Dalam kitab Al-Tasrif, ‘bapak ilmu bedah’ itu memperkenalkan lebih dari 200 alat bedah yang dimilikinya. Di antara ratusan koleksi alat bedah yang dipunyainya, ternyata banyak peralatan yang tak pernah digunakan ahli bedah sebelumnya.

Menurut catatan, selama karirnya Al-Zahrawi telah menemukan 26 peralatan bedah. Salah satu alat bedah yang ditemukan dan digunakan Al-Zahrawi adalah catgut. Alat yang digunakan untuk menjahit bagian dalam itu hingga kini masih digunakan ilmu bedah modern. Selain itu, juga menemukan forceps untuk mengangkat janin yang meninggal. Alat itu digambarkan dalam kitab Al-tasrif.

Dalam Al-Tasrif, Al-Zahrawi juga memperkenalkan penggunaan ligature (benang pengikat luka) untuk mengontrol pendarahan arteri. Jarum bedah ternyata juga ditemukan dan dipaparkan secara jelas dalam Al-Tasrif. Selain itu, Al-Zahrawi juga memperkenalkan sederet alat bedah lain hasil penemuannya.

Peralatan penting untuk bedah yang ditemukannya itu antara lain, pisau bedah (scalpel), curette, retractor, sendok bedah (surgical spoon), sound, pengait bedah (surgical hook), surgical rod, dan specula. Tak cuma itu, Al-Zahrawi juga menemukan peralatan bedah yang digunakan untuk memeriksa dalam uretra, alat untuk memindahkan benda asing dari tenggorokan serta alat untuk memeriksa telinga. Kontribusi Al-Zahrawi bagi dunia kedokteran khususnya bedah hingga kini tetap dikenang dunia dan di jadikan rujukan dalam ilmu kedokteran. Di berbagai Negara. Termasuk Indonesia 

Syaikh Ibnu Hazm

Nama lengkapnya adalah sayidina Syaikh Abu Muhammad Ali bin Ahmad bin Sa’id bin Hazm bin Ghalib bin Sholeh bin Khalaf bin Ma’dan bin Sufyan bin Yazid bin Abi Sufyan bin Harb bin Umayah bin Abd Syams al-Umawiyah. atau lebih dikenal dengan nama Ibn Hazm diakui sebagai seorang ulama yang memiliki kontribusi luar biasa dalam dunia Islam. Ia dikenal sebagai ahli fikih dan hadits sekaligus teolog, sejarawan, penyair, negarawan, akademisi dan politisi yang handal. Tak kurang dari 400 judul kitab telah ditulisnya.

Ibn Hazm lahir di kota Cordoba, Spanyol pada akhir Ramadhan 384 H atau bertepatan dengan 7 November 994 M. Ia tumbuh dan besar di kalangan para pembesar dan pejabat. Ayahnya, Sayidina Ahmad, adalah seorang menteri pada masa pemerintahan Khalifah al-Mansur dan putranya, al-Muzaffar. Kendati demikian, kemewahan hidup yang dijalaninya itu tidak menjadikannya lupa diri dan sombong. Sebaliknya, ia dikenal sebagai seorang yang baik budi pekertinya, pemaaf dan penuh kasih sayang.

Sebagai seorang anak pembesar, Ibn Hazm mendapat pendidikan dan pengajaran yang baik. Pada masa kecilnya, ia dibimbing dan diasuh oleh guru-guru yang mengajarkan Alquran, syair, dan tulisan indah Arab (khatt). Ketika meningkat remaja, ia mulai mempelajari fikih dan hadits dari gurunya yang bernama Husain bin Ali al-Farisi dan Ahmad bin Muhammad bin Jasur. Ketika dewasa, ia mempelajari bidang ilmu lainnya, seperti filsafat, bahasa, teologi, etika, mantik, dan ilmu jiwa disamping memperdalam lagi ilmu fikih dan hadits.

Penguasaan terhadap berbagai disiplin ilmu tersebut pada akhirnya menjadikan Ibn Hazm seorang yang pakar dalam bidang agama. Kepakarannya ini bukan hanya diakui oleh kaum muslimin, namun juga diakui oleh kalangan sarjana Barat. Ada sebuah nasehat yang terkenal dari Ibn Hazm yang ditujukan kepada para pencari ilmu yaitu, "Jika Anda menghadiri majelis ilmu, maka janganlah hadir kecuali kehadiranmu itu untuk menambah ilmu dan memperoleh pahala, dan bukannya kehadiranmu itu dengan merasa cukup akan ilmu yang ada padamu, mencari-cari kesalahan dari pengajar untuk menjelekkannya. Karena ini adalah perilaku orang-orang yang tercela, yang mana orang-orang tersebut tidak akan mendapatkan kesuksesan dalam ilmu selamanya.''

Terjun ke politik

Sebagai anak seorang menteri dan hidup di lingkungan istana, Ibn Hazm mulai berkenalan dengan dunia politik ketika berusia lima tahun. Pada waktu itu terjadi kerusuhan politik dalam masa pemerintahan Khalifah Hisyam II al-Mu'ayyad (1010-1013 M) yang mengakibatkan Hisyam beserta ayah Ibn Hazm diusir dari lingkungan istana.

Keterlibatan Ibn Hazm di bidang politik secara langsung terjadi pada masa pemerintahan Khalifah Abdurrahman V al-Mustahdir (1023 M) dan Khalifah Hisyam III al-Mu'tamid (1027-1031 M). Pada masa kedua khalifah ini Ibn Hazm menduduki jabatan menteri.

Pada masa pemerintahan Abdurrahman V al-Mustahdir, Ibn Hazm bersama-sama dengan khalifah berusaha memadamkan berbagai kerusuhan dan mencoba merebut wilayah Granada dari tangan musuh. Akan tetapi dalam usaha merebut wilayah itu khalifah terbunuh dan Ibn Hazm tertangkap. Ia kemudian dipenjarakan.

Hal serupa juga dialaminya pada masa pemerintahan Hisyam III al-Mu'tamid. Ibn Hazm pernah dipenjarakan setelah sebelumnya ia ikut mengatasi berbagai keributan di istana. Selepas keluar dari tahanan, ia memutuskan untuk meninggalkan dunia politik dan keluar dari istana.

Sejak keluar dari istana, Ibn Hazm tidak menetap di satu tempat tertentu, tetapi berpindah-pindah. Selain mencari ilmu, motivasinya hidup berpindah-pindah tempat karena ingin mencari ketenangan dan keamanan hidupnya. Sejak saat itu ia juga mencurahkan perhatiannya kepada penulisan kitab-kitabnya.

Kitab-kitab karangan Ibn Hazm seperti yang dikatakan oleh anaknya, Abu Rafi'i al-Fadl, berjumlah 400 buah. Tetapi karyanya yang paling monumental adalah kitab al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam (Ilmu Ushul Fikih; terdiri dari delapan jilid) dan kitab al-Muhalla (Ilmu Fikih; terdiri dari tiga belas jilid). Kedua kitab ini menjadi rujukan utama para pakar fikih kontemporer.  

Karya-karyanya yang lain di antaranya adalah:

Risalah fi Fada'il Ahl al-Andalus (Risalah tentang Keistimewaan Orang Andalus), 

al-Isal Ila Fahm al-Khisal al-Jami'ah li Jumal Syarai' al-Islam(Pengantar untuk Memahami Alternatif yang mencakup Keseluruhan Syariat Islam), 

al-Fisal fi al-Milal wa al-Ahwa' wa an-Nihal (Garis Pemisah antara Agama, Paham dan Mazhab), 

al-Ijma' (Ijmak),Maratib al-'Ulum wa Kaifiyah Talabuha (Tingkatan-Tingkatan Ilmu dan Cara Menuntutnya), 

Izhar Tabdil al-Yahud wa an-Nasara (Penjelasan tentang Perbedaan Yahudi dan Nasrani), dan 

at-Taqrib lihadd al-Mantiq (Ilmu Logika).

Selain menulis kitab mengenai ilmu-ilmu agama, Ibn Hazm juga menulis kitab sastra. Salah satu karyanya dalam bidang sastra yang sangat terkenal adalah yang berjudul Tauq al-Hamamah (Di Bawah Naungan Cinta). Kitab ini menjadi karya sastra terlaris sepanjang abad pertengahan. Kitab yang berisikan kumpulan anekdot, observasi, dan puisi tentang cinta ini tidak hanya dibaca oleh kalangan umat Islam, tetapi juga kaum Nasrani di Eropa.    

Ibn Hazm wafat di Manta Lisham pada 28 Sya'ban 456 H bertepatan pada tanggal 15 Agustus 1064 M. Wafatnya Ibn Hazm cukup membuat masyarakat kala itu merasa kehilangan dan terharu. Bahkan, Khalifah Mansur al-Muwahidi, khalifah ketiga dari Bani Muwahid termenung menatap kepergian Ibn Hazm, seraya berucap: "Setiap manusia adalah keluarga Ibn Hazm”. 



Imam Al Qurthubi

Beliau adalah Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad bin Abu Bakr bin Farh al-Anshari al-Khazraji al-Andalusi al-Qurthubi, seorang ahli tafsir dari Cordova (sekarang bernama Spanyol). Ia berkelana ke negeri timur dan menetap di kediaman Abu Khusaib (di selatan Asyut, Mesir). Dia salah seorang hamba Allah yang soleh dan ulama yang arif, wara’ dan zuhud di dunia, yang sibuk dirinya dengan urusan akhirat. Waktunya dihabiskan untuk memberikan bimbingan, beribadah dan menulis.

Karya-Karya Beliau
Dia menulis mengenai tafsir al-Qur’an, sebuah kitab besar yang terdiri dari 20 jilid, yang diberinya judul: “Al-Jami’ liahkam al-Qur’an wa al-Mubayyin Lima Tadhammanahu Min as-Sunnah wa Ayi al-Furqan”. Kitab ini merupakan salah satu tafsir terbesar dan terbanyak manfaatnya. Penulis tidak mencantumkan kisah-kisah atau sejarah, dan sebagai gantinya, penulis menetapkan hukum-hukum al-Qur’an, melakukan istimbath atas dalil-dalil, menyebutkan berbagai macam qira’at, I’rab, nasikh, dan mansukh.
- Al-Asna fi Syarh Asma’illaj al-Husna
- At-Tidzkar fi Afdhal al-Adzkar
- Syar at-Taqashshi
- Qam’ al-Hirsh bi az-Zuhd wa al-Qana’ah
- At-Taqrib likitab at-Tamhid
- Al-I’lam biima fi Din an-Nashara min al-Mafasid wa al-Auham wa Izhharm Mahasin Din al-Islam
- At-Tadzkirah fi Ahwal al-Mauta wa umur al-Akhirah (edisi Indonesia: Buku Pintar Alam Akhirat)

Guru-Guru Beliau
Beliau mendengar pelajaran dari Syeikh Abu al-Abbas Ahmad bin Umar al-Qurthubi dan meriwayatkan dari al-Hafizh Abu Ali al-Hasan bin Muhammad bin Hafsh dan sebagainya.
Beliau tinggal di kediaman Abu al-Hushaib.

Wafat Beliau
Imam Abu Abdillah Al-Qurthubi meninggal dunia dan dimakamkan di Mesir iaitu dikediaman Abu al-Hushaib, pada malam isnin, tanggal 09 Syawal tahun 671 H. semoga Allah merahmati dan meredhai beliau.amiin

Ibnu Rusyd

Abu Walid Muhammad Ibnu Ahmad Ibnu Rusyd yang lebih di kenal dengan panggilan Ibnu Rusyd al-hafidh di lahirkan di kota cordoba pada tahun 520 H. Pada saat itu kota Cordoba adalah salah satu dari pusat budaya, seni dan sastra. Ayah Ibnu Rusyd adalah seorang hakim, dan kakeknya adalah ketua hakim di Andalus (Spanyol) Dia berkeinginan agar keluarganya menjadi orang-orang yang berilmu dan menjadi para hakim.

Kehidupan beliau rahimahullah

Ibnu Rusyd tumbuh besar di cordoba, di sana dia belajar fiqih, matematika, dan kedokteran kepada ulama-ulama yang terkenal pada zamannya. Diapun menjabat sebagai hakim dikota Cordoba. Namun propesinya sebagai hakim tersebut tidak melalaikannya dari membaca, sampai di ceritakan tentangnya bahwa ia tidak pernah meninggalkan satu malampun dari kehidupannya tanpa belajar dan menulis kitab, kecuali pada saat malam pernikahanya dan ketika wafat ayahandanya.

Adapun kebahagiaan Ibnu Rusyd yang hakiki adalah ketika ia di dampingi oleh kitab-kitabnya, dan dia juga menyukai buku-buku filsafat yang mana sebagian orang pada zamannya menganggapnya sebagai kekufuran dan kesesatan!! Akan tetapi dia tidak menghiraukan ucapan tersebut, karena dia yakin dengan aqidah dan agamanya. Maka ia pun mulai mambaca kisah pejalanan para filosof yang terkenal semisal Aristoteles dan selainnya, sehingga iapun menjadi pandai dalam ilmu filsafat, ilmu fiqih, dan semua bidang ilmu yang ada pada zamannya.

Melihat keilmuan yang di miliki Ibnu Rusyd rahimahullah maka al-Mansyur Abu Ya’qub penguasa negara muwahidin mengundangnya untuk datang ke kediamannya di (Marrakech). Maka al-Mansyur pun menjamunya dan memuliakannya, namun Ibnu Rusyd tidak menghadiri pertunjukan musiknya, bahkan dia menjaga diri dari menghadiri acara seperti itu. Dari kesungguhan Ibnu Rusyd dalam menjaga dirinya dari yang di haramkan, ia menjauhi rayuan-rayuan semu pada masa mudanya.

Ibnu Rusyd juga seorang dokter, dia berkata: “ Barangsiapa yang memperdalam ilmu pembedahan, maka hal tersebut akan menambah keyakinannya kepada Allah Ta’ala. ” Dia berpendapat bahwa orang yang beprofesi sebagai dokter akan menyaksikan kekuasaan Allah Ta’ala pada ciptaanNya. Itu semua dikarenakan ia menyaksikan anggota-anggota tubuh bekerja sesuai dengan kerjanya yang sempurna. Oleh karena, hal tersebut menjadikan keimanannya menjadi kuat dan kokoh.

Ibnu Rusyd mempunyai banyak karya tulis dalam bidang kedokteran, di antara kitabnya yang paling penting adalah kitab ‘ilal (nama-nama penyakit) yang mana kitab ini memaparkan tentang pengobatan penyakit tersebut.

Ibnu Rusyd adalah seorang ahli fiqih dan berilmu, Ibnul anbar berkata tentangnya: Bahwsanya dia di minta untuk memberikan fatwa dalam bidang kedokteran seperti dia di minta berfatwa di dalam bidang fiqih. Dia mempunyai kitab fiqih yang dia beri nama Bidayatul Mujtahid Wa Nihayatul Muqtashid, dan juga kitab-kitabnya yang lain, yang mana jumlahnya mencapai puluhan.

Wafatnya rahimahullah

Setelah perjalanan ilmiah yang di berkahi, Ibnu Rusyd sakit parah dan meninggal pada malam Kamis, 9 Safar 595 H. Jenazahnya di pindahkan dari Marrakech ke Cordoba, sesuai dengan wasiatnya, karena Cordoba adalah tempat asalnya dan tempat nenek moyangnya.


Imam Assathibi

IMAM al-Syatibi adalah seorang ulama besar dari Spanyol yang menguasai berbagai cabang ilmu keislaman. Dilahirkan di Granada, Spanyol pada tahun 720 H dan wafat pada tahun 790 H, semasa hidupnya dikenal sebagai seorang ulama yang ahli dalam bidang hukum Islam , sehingga ia berpropesi sebagai mufti, imam, guru dan penulis produktif. Selain itu beliau juga seoarang yang ahli dalam bahasa Arab dan pejuang akidah.

Al-Imam al-Hafizh bin Marzuq menjuluki beliau sebagai, “Seorang Syeikh, Profesor, ahli Ilmu Fikih, Imam, Muhaqqiq, dan ulama besar yang shalih

Karena keluasan ilmu dalam berbagai disiplin, maka beliau menjadi tempat rujukan masyarakat dan penguasa dalam menyelesaikan berbagai problem keagamaan di Spanyol kala itu.

Berdasarkan data dari berbagai sumber, Imam al-Syatibi bukanlah produk pendidikan formal, melainkan belajar secara otodidak dan mengembara dari satu guru ke guru yang lain. Berawal dari pendidikan rumah yakni dibawah asuhan orang tua tuanya sendiri, maka kemudian beliau melanjutkan pengembaraan mencari melalui halaqah-halaqah yang tersebar di berbagai masjid di Spanyol.

Dalam bidang pemikiran hukum Islam, beliau telah melahirkan karya agung, al-Muwafaqat fi Ushul al-Syariʿah. Kitab ini terdiri dari empat bab dan memuat tentang metodologi dan teori hukum Islam yang bercorak filosofis.

Karya ini mendapat pujian dari berbagai tokoh, baik masa setelah beliau maupun zaman kontempoer. Imam aI-Hafiz bin Marzuq menyebut al-Muwafaqat ini sebagai kitab yang paling hebat dalam pemikiran Hukum Islam: “Sesungguhnya kitab al-Muwafaqat termasuk kitab yang paling hebat.” 

Rasyid Ridha mengatakan, “Akan tetapi penulis kitab ini (maksudnya kitab al-Iʿtisham karya al-Syatibi) – yang juga penulis kitab al-Muwafaqat – termasuk dalam pembaharu-pembaharu yang luar biasa dalam Islam. Tidak ada yang menandingi kecermatannya dalam menuangkan buah pikiran. Ia seperti si bijak dalam ilmu sosial kemasyarakatan, yakni Abdurrahman Ibnu Khaldun. Keduanya membawa karya yang tidak dapat diungguli oleh seorang pun sebelumnya. Namun sayang sekali, umat tidak banyak memanfaatkan ilmu mereka sebagaimana mestinya.”

Sementara Fazlur Rahman di dalam Islamic Methodology in History – ia menyebut Imam al-Syatibi sebagai the Brilliant Jurist – meskipun Rahman sendiri tampak seperti dualisme terhadap Imam al-Syatibi. Satu sisi ia memuji al-Syatibi dan menjadikan konsep al-Istiqraʿ al-Maʿnawi dan Ushul al-Kulliyah yang dirumuskan al-Syatibi sebagai dasar analisis pada tema-tema pemikiran hukum yang dikembangkannya. Namun pada tempat lain, ia menolak unsur-unsur sunnah yang justeru ditekankan oleh al-Syatibi tersebut Dan sikap dualisme semacam ini – baik dalam bentuk yang sama dengan Rahman maupun berbeda – juga menular kepada beberapa tokoh yang berada dalam gerakan pemikiran Islam Liberal Indonesia.

Selain itu, seruan yang mengajak kepada para peneliti hukum Islam untuk mengkaji secara serius pemikiran hukum Imam al-Syatibi yang terdapat di dalam al-Muwafaqat juga pernah di serukan oleh Muhammad Abduh, kemudian disusul oleh Rasyid Ridha, Muhammad Iqbal dan Abdul Aʿla al-Maududi yang mengingatkan betapa arti penting untuk menelaah kitab ini.

Dalam bidang fikih, Imam al-Syatibi merupakan penganut Mazhab Maliki. Dan sumbangannya beliau dalam fikih dapat kita jumpai di dalam karyanya Fatwa al-Imam al-Syaṭibi yang menjadi bukti bahwa beliau itu ahli dalam berfatwa (mufti). Kitab ini diedit oleh Muhammad Abu al-Ajfan dan diterbitkan di Tunisia pada tahun 1985. Selain itu dalam bidang yang sama juga dijumpai karya beliau yang berjudul Kitab al-Majalis yang merupakan syarahan beliau atas Shahih Bukhari-Muslim tentang jual beli.

Selain itu beliau juga seorang pejuang akidah dan Sunnah, yang dibuktikan melalui karyanya, al-Iʿtisham. Kitab ini diedit dan diberi kata pengantar langsung oleh Rasyid Ridha. Pada dasarnya karya beliau yang satu ini lebih kepada membahas tentang bidʿah dan sunnah, yang tentu ia tidaklah lahir begitu saja dalam ruang kosong, melainkan atas dasar keprihatinannya terhadap kondisi umat Islam pada waktu itu yang mempraktekkan berbagai bidʿah serta menganggapnya sebagai sunnah. Hal ini terekam dari ungkapan beliau dalam pengantar kitabnya ini, “Aku berharap, dengan meneliti tema ini, akan kita ketahui orang-orang yang menghidupkan Sunnah dan orang-orang yang mematikan Sunnah. Dalam kurun waktu yang cukup lama dan dalam penelitian panjang, aku telah menyimpulkan dasar-dasar bidʿah dan Sunnah sesuai dengan ketentuan hukum syariat, cabang-cabangnya atau pecahan pembahasannya yang panjang….. Oleh karena itu, ada baiknya jika hal tersebut diungkap secara tertib dengan berbentuk tulisan, guna memenuhi tuntutan serta mengangkat dan menghilangkan hal-hal samar yang sering muncul, sehingga tidak sulit membedakan antara yang Sunnah dengan yang bid’ah.”

Adapun karya beliau dalam bidang bahasa Arab dapat dijumpai dalam al-Maqashid al-Syafiyah fī Syarh al-Khulashah al-Kafiyah. Diedit oleh ʿAbd al-Rahman ibn Sulaiman al-ʿUs Yamin dan Diterbitkan oleh Universitas Umm al-Qura, Saudi ʿArabiya pada tahun 2007 yang terdiri dari 10 jilid. Selain itu ada juga karya beliau dalam bidang yang sama yakni Syarh Rajaz ibn Malik fi al-Nahwi (al-fiyah). Berdasarkan karya beliau ini, maka nyatalah beliau itu seorang yang pakar dalam Bahasa Arab.

Pengetahuan dan keilmuan Imam al-Syatibi yang multi disiplin tersebut bukanlah barang asing dalam sejarah khazanah keilmuan kita. Sebut saja Imam Fakhruddin al-Razi, Imam al-Ghazali, Ibn Sina, al-Farabi atau juga sekelompok ilmuan yang berada dibawah payung Ihkwan al-Shafa dan sederet tokoh-tokoh lainnya yang menguasai berbagai bidang ilmu, baik itu – meminjam istilah Imam al-Ghazali dalam Ihya’ ʿUlum al-Din – ilmu fardu ʿain maupun ilmu fardu kifayah.

Apa yang terjadi pada Imam al-Syatibi tentulah tidak terlepas dari kehausan dan kecintaan beliau kepada ilmu serta sikap beliau yang tidak mendikotomikan dan mendualismekan ilmu. Hal ini terekam dalam ungkapan beliau sendiri di dalam pengantar al-Iʿtisham, “… Sejak otakku terbuka dalam pemahaman dan jiwaku selalu terarah untuk menelaah semua ilmu, baik logika, syariah, ushul (pokok-pokok dalam agama) maupun furuʿ (cabang-cabang dalam agama). 

Aku tidak pernah membatasi suatu ilmu tanpa ilmu yang lain dan tidak mengasingkan satu jenis ilmu dari jenis yang lain, sesuai dengan kebutuhan zaman dan kemampuan. Aku kerahkan segala kekuatan yang ada pada diriku, bahkan aku menenggelamkan diri dalam lautannya, sebagaimana menyelamnya orang yang pandai berenang. Aku maju ke medan peperangan sebagaimana seorang ksatria maju untuk berperang, hingga hampir saja aku binasa di tengah-tengah kedalaman ilmu, atau aku patah dalam kelembutanku, sebab hal itu terlalu besar bagi orang sepertiku.” 


Ibnu Malik, 

Nama lengkapnya adalah Syeikh Al-Alamah Muhammad Jamaluddin ibnu Abdillah ibnu Malik al-Thay, lahir di Jayyan. Daerah ini sebuah kota kecil di bawah kekuasaan Andalusia (Spanyol). Pada saat itu, penduduk negeri ini sangat cinta kepada ilmu, dan mereka berpacu dalam menempuh pendidikan, bahkan berpacu pula dalam karang-mengarang buku-buku ilmiah. Pada masa kecil, Ibn Malik menuntut ilmu di daerahnya, terutama belajar pada Syaikh Al-Syalaubini (w. 645 H).

Setelah menginjak dewasa, ia berangkat ke Timur untuk menunaikan ibadah haji,dan diteruskan menempuh ilmu di Damaskus. Di sana ia belajar ilmu dari beberapa ulama setempat, antara lain Al-Sakhawi (w. 643 H). Dari sana berangkat lagi ke Aleppo, dan belajar ilmu kepada Syaikh Ibn Ya’isy al-Halaby (w. 643 H).

Di kawasan dua kota ini nama Ibn Malik mulai dikenal dan dikagumi oleh para ilmuan, karena cerdas dan pemikirannya jernih. Ia banyak menampilkan teori-teori nahwiyah yang menggambarkan teori-teori mazhab Andalusia, yang jarang diketahui oleh orang-orang Syiria waktu itu. Teori nahwiyah semacam ini, banyak diikuti oleh murid-muridnya, seperti imam Al-Nawawi, Ibn al-Athar, Al-Mizzi, Al-Dzahabi, Al-Shairafi, dan Qadli al-Qudlat Ibn Jama’ah. Untuk menguatkan teorinya, sarjana besar kelahiran Eropa ini, senantiasa mengambil saksi (syahid) dari teks-teks Al-Qur’an. Kalau tidak didapatkan, ia menyajikan teks Al-Hadits. Kalau tidak didapatkan lagi, ia mengambil saksi dari sya’ir-sya’ir sastrawan Arab kenamaan. Semua pemikiran yang diproses melalui paradigma ini dituangkan dalam kitab-kitab karangannya, baik berbentuk nazhom (syair puitis) atau berbentuk natsar (prosa). Pada umumnya, karangan tokoh ini lebih baik dan lebih indah dari pada tokoh-tokoh pendahulunya.

Di antara ulama, ada yang menghimpun semua tulisannya, ternyata tulisan itu lebih banyak berbentuk nazham. Demikian tulisan Al-Sayuthi dalam kitabnya, Bughyat al-Wu’at. Di antara karangannya adalah Nazhom al-Kafiyah al-Syafiyah yang terdiri dari 2757 bait. Kitab ini menyajikan semua informasi tentang Ilmu Nahwu dan Shorof yang diikuti dengan komentar (syarah). Kemudian kitab ini diringkas menjadi seribu bait, yang kini terkenal dengan nama Alfiyah Ibnu Malik. Kitab ini bisa disebut Al-Khulashah (ringkasan) karena isinya mengutip inti uraian dari Al-Kafiyah, dan bisa juga disebut Alfiyah (ribuan) karena bait syairnya terdiri dari seribu baris. Kitab ini terdiri dari delapan puluh (80) bab, dan setiap bab diisi oleh beberapa bait.

Bab yang terpendek diisi oleh dua bait seperti Bab al-Ikhtishash dan bab yang terpanjang adalah Jama’ Taktsir karena diisi empat puluh dua bait. Dalam muqaddimahnya, kitab puisi yang memakai Bahar Rojaz ini disusun dengan maksud 
(1) menghimpun semua permasalahan nahwiyah dan shorof yang dianggap penting. 
(2) menerangkan hal-hal yang rumit dengan bahasa yang singkat , tetapi sanggup menghimpun kaidah yang berbeda-beda, atau dengan sebuah contoh yang bisa menggambarkan satu persyaratan yang diperlukan oleh kaidah itu.
(3) membangkitkan perasaan senang bagi orang yang ingin mempelajari isinya. 
Semua itu terbukti, sehingga kitab ini lebih baik dari pada Kitab Alfiyah karya Ibn Mu’thi. Meskipun begitu, penulisnya tetap menghargai Ibnu Mu’thi karena tokoh ini membuka kreativitas dan lebih senior. Dalam Islam, semua junior harus menghargai seniornya, paling tidak karena dia lebih sepuh, dan menampilkan kreativitas.

Kitab Khulashoh yang telah diterjemahkan ke dalam banyak bahasa di dunia ini, memiliki posisi yang penting dalam perkembangan Ilmu Nahwu. Berkat kitab ini dan kitab aslinya, nama Ibn Malik menjadi popular, dan pendapatnya banyak dikutip oleh para ulama, termasuk ulama yang mengembangkan ilmu di Timur. Al-Radli, seorang cendekiawan besar ketika menyusun Syarah Al-Kafiyah karya Ibn Hajib, banyaklah mengutip dan mempopulerkan pendapat Ibn Malik. Dengan kata lain, perkembangan nahwu setelah ambruknya beberapa akademisi Abbasiyah di Baghdad, dan merosotnya para ilmuan Daulat Fathimiyah di Mesir, maka para pelajar pada umumnya mengikuti pemikiran Ibnu Malik. Sebelum kerajaan besar di Andalusia runtuh, pelajaran nahwu pada awalnya, tidak banyak diminati oleh masyarakat.

Tetapi setelah lama, pelajaran ini menjadi kebutuhan dan dinamislah gerakan karang-mengarang kitab tentang ilmu yang menarik bagi kaum santri ini. Di sana beredarlah banyak karangan yang beda-beda, dari karangan yang paling singkat sampai karangan yang terurai lebar. Maksud penulisnya ingin menyebarkan ilmu ini, kepada masyarakat, dan dapat diambil manfaat oleh kaum pelajar. Dari sekian banyak itu, muncullah Ibn Malik, Ibn Hisyam, dan al-Sayuthi. Karangan mereka tentang kitab-kitab nahwu banyak menampilkan metoda baru dan banyak menyajikan trobosan baru, yang memperkaya khazanah keilmuan. Mereka tetap menampilkan khazanah keilmuan baru, meskipun banyak pula teori-teori lama yang masih dipakai. Dengan kata lain, mereka menampilkan gagasan dan kreatifitas yang baru, seolah-olah hidup mereka disiapkan untuk menjadi penerus Imam Sibawaih (Penggagas munculnya Nahwu dan Shorof,.). Atas dasar itu, Alfiyah Ibn Malik adalah kitab yang amat banyak dibantu oleh ulama-ulama lain dengan menulis syarah (ulasan) dan hasyiyah (catatan pinggir) terhadap syarah itu.

Dalam kitab Kasyf al-Zhunun, para ulama penulis Syarah Alfiyah berjumlah lebih dari empat puluh orang. Mereka ada yang menulis dengan panjang lebar, ada yang menulis dengan singkat (mukhtashar), dan ada pula ulama yang tulisannya belum selesai. Di sela-sela itu muncullah beberapa kreasi baru dari beberapa ulama yang memberikan catatan pinggir (hasyiyah) terhadap kitab-kitab syarah. Syarah Alfiyah yang ditulis pertama adalah buah pena putera Ibn Malik sendiri, Muhammad Badruddin (w.686 H). Syarah ini banyak mengkritik pemikiran nahwiyah yang diuraikan oleh ayahnya, seperti kritik tentang uraian maf’ul mutlaq, tanazu’ dan sifat mutasyabihat. Kritikannya itu aneh tapi putera ini yakin bahwa tulisan ayahnya perlu ditata ulang. Atas dasar itu, Badruddin mengarang bait Alfiyah tandingan dan mengambil syahid dari ayat al-Qur’an.

Disitu tampak rasional juga, tetapi hampir semua ilmuan tahu bahwa tidak semua teks al-Qur’an bisa disesuaikan dengan teori-teori nahwiyah yang sudah dianggap baku oleh ulama. Kritikus yang pada masa mudanya bertempat di Ba’labak ini, sangat rasional dan cukup beralasan, hanya saja ia banyak mendukung teori-teori nahwiyah yang syadz Karena itu, penulis-penulis Syarah Alfiyah yang muncul berikutnya, seperti Ibn Hisyam, Ibn Aqil, dan Al-Asymuni, banyak meralat alur pemikiran putra Ibn Malik tadi. Meskipun begitu, Syarah Badrudin ini cukup menarik, sehingga banyak juga ulama besar yang menulis hasyiyah untuknya, seperti karya Ibn Jama’ah (w.819 H), Al-‘Ainy (w.855 H), Zakaria al-Anshariy (w.191 H), Al-Sayuthi (w.911 H), Ibn Qasim al-Abbadi (w.994 H), dan Qadli Taqiyuddin ibn Abdulqadir al-Tamimiy (w.1005 H).

Di antara penulis-penulis Syarah Alfiyah lainnya, yang bisa ditampilkan dalam tulisan ini, adalah Al-Muradi, Ibnu Hisyam, Ibnu Aqil, dan Al-Asymuni.

Al-Muradi (w. 749 H) menulis dua kitab syarah untuk kitab Tashil al-Fawaid dan Nazham Alfiyah, keduanya karya Ibn Malik. Meskipun syarah ini tidak popular di Indonseia, tetapi pendapat-pendapatnya banyak dikutip oleh ulama lain. Antara lain Al-Damaminy (w. 827 H) seorang sastrawan besar ketika menulis syarah Tashil al-Fawaid menjadikan karya Al-Muradi itu sebagai kitab rujukan. Begitu pula Al-Asymuni ketika menyusun Syarah Alfiyah dan Ibn Hisyam ketika menyusun Al-Mughni banyak mengutip pemikiran al-Muradi yang muridnya Abu Hayyan itu.

Ibnu Hisyam (w.761 H) adalah ahli nahwu raksasa yang karya-karyanya banyak dikagumi oleh ulama berikutnya. Di antara karya itu Syarah Alfiyah yang bernama Audlah al-Masalik yang terkenal dengan sebutan Audlah . Dalam kitab ini ia banyak menyempurnakan definisi suatu istilah yang konsepnya telah disusun oleh Ibn Malik, seperti definisi tentang tamyiz. Ia juga banyak menertibkan kaidah-kaidah yang antara satu sama lain bertemu, seperti kaidah-kaidah dalam Bab Tashrif. Tentu saja, ia tidak hanya terpaku oleh Mazhab Andalusia, tetapi juga mengutip Mazhab Kufa, Bashrah dan semacamnya. Kitab ini cukup menarik, sehingga banyak ulama besar yang menulis hasyiyahnya. Antara lain Hasyiyah Al-Sayuthi, Hasyiyah Ibn Jama’ah, Ha-syiyah Putera Ibn Hisyam sendiri, Hasyiyah Al-Ainiy, Hasyiyah Al-Karkhi, Hasyiyah Al-Sa’di al-Maliki al-Makki, dan yang menarik lagi adalah catatan kaki ( ta’liq ) bagi Kitab al-Taudlih yang disusun oleh Khalid ibn Abdullah al-Azhari (w. 905 H).

Ibnu Aqil (w. 769 H) adalah ulama kelahiran Aleppo dan pernah menjabat sebagai penghulu besar di Mesir. Karya tulisnya banyak, tetapi yang terkenal adalah Syarah Alfiyah. Syarah ini sangat sederhana dan mudah dicerna oleh orang-orang pemula yang ingin mempelajari Alfiyah Ibn Malik . Ia mampu menguraikan bait-bait Alfiyah secara metodologis, sehingga terungkaplah apa yang dimaksudkan oleh Ibn Malik pada umumnya. Penulis berpendapat, bahwa kitab ini adalah Syarah Alfiyah yang paling banyak beredar di pondok-pondok pesantren, dan banyak dibaca oleh kaum santri di Indonesia. Terhadap syarah ini, ulama berikutnya tampil untuk menulis hasyiyahnya. Antara lain Hasyiyah Ibn al-Mayyit, Hasyiyah Athiyah al-Ajhuri, Hasyiyah al-Syuja’i, dan Hasyiyah Al-Khudlariy.

Syarah Alfiyah yang hebat lagi adalah Manhaj al-Salik karya Al-Asymuni (w. 929 H). Syarah ini sangat kaya akan informasi, dan sumber kutipannya sangat bervariasi. Syarah ini dapat dinilai sebagai kitab nahwu yang paling sempurna, karena memasukkan berbagai pendapat mazhab dengan argumentasinya masing-masing. Dalam syarah ini, pendapat para penulis Syarah Alfiyah sebelumnya banyak dikutip dan dianalisa. Antara lain mengulas pendapat Putra Ibn Malik, Al-Muradi, Ibn Aqil, Al-Sayuthi, dan Ibn Hisyam, bahkan dikutip pula komentar Ibn Malik sendiri yang dituangkan dalam Syarah Al-Kafiyah , tetapi tidak dicantumkan dalam Alfiyah . Semua kutipan-kutipan itu diletakkan pada posisi yang tepat dan disajikan secara sistematis, sehingga para pembaca mudah menyelusuri suatu pendapat dari sumber aslinya.

Kitab ini memiliki banyak hasyiyah juga, antara lain : Hasyiyah Hasan ibn Ali al-Mudabbighi, Hasyiyah Ahmad ibn Umar al-Asqathi, Hasyiyah al-Hifni, dan Hasyiyah al-Shabban. Dalam muqaddimah hasyiyah yang disebut akhir ini, penulisnya mencantumkan ulasan, bahwa metodanya didasarkan atas tiga unsur, yaitu 
(a) Karangannya akan merangkum semua pendapat ulama nahwu yang mendahului penulis, yang terurai dalam kitab-kitab syarah al-Asymuni. 
(b) Karangannya akan mengulas beberapa masalah yang sering menimbulkan salah faham bagi pembaca. 
(c) Menyajikan komentar baru yang belum ditampilkan oleh penulis hasyiyah sebelumnya. Dengan demikian, kitab ini bisa dinilai sebagai pelengkap catatan bagi orang yang ingin mempelajari teori-teori ilmu nahwu.

Itu sebagian Ulama Spanyol di masa lalu yang keilmuan Beliau2 masih di gunakan di lapisan masyarakat islam dan non Islam 
Semoga ada manfaatnya

 

Sepenggal kisah Cinta


Syekh Junaid Al-Baghdadi adalah seorang ulama sufi dan wali Allah yang paling menonjol namanya di kalangan ahli-ahli sufi. Tahun kelahiran Imam Junaid tidak dapat dipastikan. Tidak banyak dapat ditemui tahun kelahiran beliau pada biografi lainnya. Beliau adalah orang yang terawal menyusun dan membahas tentang ilmu tasawuf dengan ijtihadnya. Banyak kitab-kitab yang menerangkan tentang ilmu tasawuf berdasarkan kepada ijtihad Imam Junaid Al-Baghdadi

Imam Junaid adalah seorang ahli niaga yg kaya raya. Beliau memiliki sebuah gedung tempat beliau berdagang di kota Baghdad yang ramai pelanggannya. Sebagai seorang guru sufi, beliau tidaklah disibukkan dengan mengurusi dagangannya sebagaimana para pedagang lain yang kaya raya di Baghdad.

Waktu berdagangnya sering cuma sebentar saja karena lebih mengutamakan pengajian murid-muridnya yang haus akan ilmu pengetahuan.

Setiap malam beliau berada di masjid besar Baghdad untuk menyampaikan kuliahnya. Banyak penduduk Baghdad datang ke masjid untuk mendengar kuliahnya sehingga penuh sesak.

Imam Junaid hidup dalam keadaan zuhud. Beliau ridha dan bersyukur kepada Allah SWT dengan segala nikmat yang dikaruniakan kepadanya. Beliau tidak pernah berangan-angan untuk mencari kekayaan duniawi dari sumber pekerjaannya sebagai pedagang.

Beliau selalu membagi-bagikan hasil dagangannya kepada golongan fakir miskin, peminta dan orang-orang tua yang lemah.

Bertasawuf Ikut Sunnah Rasulullah saw, begitulah fatwa beliau.

Imam Junaid seorang yang berpegang kuat kepada al-Quran dan as-Sunnah. Beliau sentiasa merujuk kepada al-Quran dan sunnah Rasulullah saw dalam setiap pengajiannya.

Beliau pernah berkata:

“Setiap jalan tertutup, kecuali bagi mereka yang sentiasa mengikuti perjalanan Rasulullah saw. Siapa yang tidak menghafal al-Quran, tidak menulis hadis-hadis, tidak boleh dijadikan guru dalam bidang tasawuf ini.”

Kelebihan dan Karamah

Imam Junaid mempunyai beberapa kelebihan dan karamah. Di antaranya ialah pengaruhnya yg kuat setiap kali menyampaikan kuliahnya. Kehadiran murid-muridnya di masjid, bukan saja terdiri dari orang-orang biasa malah semua golongan menyukainya.

Masjid-masjid sering dipenuhi oleh ahli-ahli falsafah, ahli kalam, ahli Fiqih, ahli politik dan sebagainya. Namun begitu, beliau tidak pernah angkuh dan bangga diri dengan kelebihan tersebut.


Diuji Dengan Seorang Wanita Cantik

Setiap insan yang ingin mencapai keridhaan Allah pastinya akan menerima ujian dan cobaan. Imam Junaid menerima ujian dari beberapa orang musuhnya setelah pengaruhnya meluas. Mereka telah membuat fitnah untuk menjatuhkan citra Imam Junaid.

Musuh-musuhnya telah bekerja keras menghasut khalifah di masa itu agar membenci Imam Junaid. Namun usaha mereka untuk menjatuhkan kemasyhuran Imam Junaid tidak berhasil.

Musuh-musuhnya berusaha berbuat sesuatu yang bisa memalukan Imam Junaid. Pada suatu hari, mereka menyuruh seorang wanita cantik untuk memikat Imam Junaid. Wanita itu pun mendekati Imam Junaid yang sedang tekun beribadat. Ia mengajak Imam Junaid agar melakukan perbuatan terkutuk.

Namun wanita cantik itu hanya dikecewakan oleh Imam Junaid yang sedikitpun tidak mengangkat kepalanya. Imam Junaid meminta pertolongan dari Allah agar terhindar daripada godaan wanita itu. Beliau tidak suka ibadahnya diganggu oleh siapapun. Beliau melepaskan satu hembusan nafasnya ke wajah wanita itu sambil membaca kalimah Lailahailallah. Dengan takdir Tuhan, wanita cantik itu rebah ke bumi dan mati.

Khalifah yang mendapat berita kematian wanita itu akhirnya marah kepada Imam Junaid karena menganggapnya sebagai suatu perbuatan yang melanggar hukum.

Lalu khalifah memanggil Imam Junaid untuk memberikan penjelasan di atas perbuatannya. “Mengapa engkau telah membunuh wanita ini?” tanya khalifah.

Saya bukan pembunuhnya. Bagaimana pula dengan keadaan tuan yang diamanahkan sebagai pemimpin untuk melindungi kami, tetapi tuan berusaha untuk meruntuhkan amalan yang telah kami lakukan selama 40 tahun,” jawab Imam Junaid.

Wafatnya

Akhirnya kekasih Allah itu telah menyahut panggilan Ilahi pada 297 Hijrah. Imam Junaid telah wafat di sisi As-Syibli, salah satu dari muridnya.

Ketika sahabat-sahabatnya hendak mengajar kalimat tauhid, tiba-tiba Imam Junaid membuka matanya dan berkata, “Demi Allah, aku tidak pernah melupakan kalimat itu sejak lidahku pandai berkata-kata.”

PEMIKIRAN TASAWUF AL-JUNAYD AL-BAGHDADI

Pendahuluan

Tasawuf merupakan ungkapan pengalaman keagamaan yang bersifat subjektif dari seseorang dalam menanggapi mendekatkan diri kepada Allah dengan menitikberatkan pada aspek pemikiran dan perasaan. Bahkan tasawuf banyak juga menyinggung akan penyatuan diri dengan Tuhan serta menjalankan konsep zuhud di dunia. Akan tetapi Secara umum dapat dikatakan bahwa tasawuf itu merupakan usaha akal manusia untuk memahami realitas dan akan merasa senang manakala dapat sampai kepada Allah SWT.

Artinya, orang yang melakukan tasawuf akan mengalami ketenangan pada dirinya. Karena hal itu telah dijamin oleh Allah didalam al-Qur’an bahwasanya ketika mengingat Allah. Maka ia akan mengalami ketenangan dalam hatinya. Apalagi didalam Tasawuf terdapat ajaran-ajaran yang menuntut agar ia selalu ingat kepada Allah, agar ia bisa menyatu denganNya.

Dalam aliran taswuf, Banyak aliran-aliran tasawuf didalam Islam yang antara satu dan lainnya tidak sama dalam titik tekannya, yang kadangkala membuat para pengikutnya saling mengklim bahwa ajarannyalah yang benar. Sehingga dengan demikian, dalam makalah ini akan membahas mengenai tasawuf Al-Junayd al-Baghdadi. Yang corak pemikiran tasawufnya tidak terlepas dari al-Qur’an dan Hadis serta adanya hubungan antara ma’rifat dan syariat, dalam artian keseimbangan keduannya sangatlah penting dalam ranah tasawuf itu sendiri agar sampai pada bagaimana bisa bersama Allah SWT.

Biografi Al-Junayd al-Baghdadi

Abu AI-Qasim Al-Junayd bin Muhammad Al-Junayd AI-Khazzaz Al-Qawariri, lahir sekitar tahun 210 H di Baghdad, Iraq, la berasal dari keluarga Nihawand, keluarga pedagang di Persia, yang kemudian pindah ke Iraq. Ayahnya, Muhammad ibn Al-Junayd. Ia adalah murid dari Sirri al-Saqati dan Haris al-Muhasibi.

Al-Junayd pertama kali memperoleh didikan agama dari pamannya (saudara ibunya), yang bernama Sari Al-Saqati, seorang pedagang rempah-rempah yang sehari-harinya berkeliling menjajakan dagangannya di kota Baghdad. Pamannya ini dikenal juga sebagai seorang sufi yang tawadhu dan luas ilmunya. Berkat kesungguhan dan kecerdasan Al-Junayd, seluruh pelajaran agama yang diberikan pamannya mampu diserapnya dengan baik. Dan ia meninggal tahun 297 H / 298 M. dan dianggap sebagai perintis dari tasawuf yang bercorak ortodoks.

Pengertian tasawuf meneurut Junayd al-Baghdadi dan tokoh lainnya

Mengenai penegertian tasawuf, Al-Junayd al-Baghdadi mengatakan bahwasanya tasawuf ialah bahwa engkau bersama Allah tanpa penghubung.

Sementara menurut Basyuni mendefinisikan tasawuf ialah kesadaran murni yang mengarahkan jiwa kepada amal dan perbuatan yang sungguh-sungguh, menjauhkan diri dari kehidupan dunia dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah untuk mendapatkan perasaan berhubungan erat dengan-Nya.

Akan tetapi Al-Junayd al-Baghdadi, lebih memperinci lagi. Ia membagi definisi tasawuf ke dalam empat bagian, yaitu:

1. Tasawuf adalah Mengenal Allah, sehingga hubungan antara kita dengan-Nya tiada perantara. 
2. Tasawuf adalah Melakukan semua akhlak yang baik menurut sunah rasul dan meninggalkan akhlak yang buruk. 
3. Tasawuf adalah Melepaskan hawa nafsu menurut kehendak Allah. 
4. Tasawuf adalah Merasa tiada memiliki apapun, juga tidak di miliki oleh sesiapa pun kecuali Allah SWT.

Sehingga dari definisi-definisi taswuf diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwasanya tasawuf ialah upaya untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT, dengan jalan menyucikan diri dari segala sesutu yang dapat mencegah untuk dekat kepadaNya. Baik yang berupa perintah maupun yang dilarang oleh Allah SWT.

Pemikiran dan Ciri Tasawuf Al-Junayd al-Baghdadi

Sebelum ajaran tasawuf Al-Junayd al-Baghdadi, terdapat Pandangan-pandangan para sufi cukup radikal, memancing para yuris (fukaha) atau ahli fikih untuk mengambil sikap. Sehingga muncul pertentangan antara para pengikut tasawuf dan ahli fikih. Ahli fikih memandang pelaku tasawuf sebagai orang-orang zindik, yang mengaku Islam tapi tidak pernah menjalankan syariatnya. Hal ini karena, banyak pelaku tasawuf yang secara lahir meninggalkan tuntunan-tuntunan syari’at. Sebaliknya, tokoh zuhud-tasawuf memandang tokoh-tokoh fikih sebagai orang-orang yang hanya memperhatikan legalitas suatu persoalan, banyak penyelewengan dilakukan untuk mendapatkan hal-hal yang sebenarnya dilarang.

Dari adanya hal itu, Al-Junayd al-Baghdadi memberikan penegasan lebih lanjut akan pentingnya amalan untuk mendekatkan diri kepada Allah. Menurut al-Junayd, tasawuf adalah pengabdian kepada Allah dengan penuh kesucian. Oleh karena itu, barang siapa yang membersihkan diri dari segala sesuatu selain Allah, maka ia adalah sufi.

Karena penekanan pada aspek amaliah inilah, maka tasawuf Al-Junayd al-Baghdadi terkesan berusaha menciptakan keseimbangan antara syari’at dan hakikat. Ini merupakan kecenderungan yang berbeda sama sekali dengan tasawuf yang berorientasi pada pemikiran atau falsafah. syari’at yang tidak diperkuat dengan hakikat akan tertolak, demikian pula hakikat yang tidak diperkuat dengan syari’at juga akan tertolak. Syari’at datang dengan taklif kepada makhluk sedangkan hakikat muncul dari pengembaraan kepada yang Haq (Allah).

Hal itu berarti kedekatan kepada Allah dapat dicapai manakala orang telah melaksanakan amaliah lahiriah berupa syari’at dan kemudian dilanjutkan dengan amaliah batiniah berupa hakikat.

Al-Junayd dikenal pemikirannya beraliran salaf. la tidak bersikap radikal dalam menghadapi setiap persoalan. la lebih berkonsentrasi pada ajaran tasawufnya yang bersandarkan pada Al Quran dan Hadis.

Hal itu dapat dilihat pada pemikirannya yang disesuaikan dengan firman Allah:

Artinya: “Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah engkau lupakan bagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah engkau berbuat kerusakan di bumk Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.” (Surah AI-Qashash : 77).

Dimana, pada umumnya orang memahami Zuhud sebagai sikap hidup para sufi yang meninggalkan kebahagiaan duniawi. Mereka membekali diri untuk mengejar kehidupan dan kebahagiaan akhirat semata, seolah tidak peduli dengan urusan duniawi atau urusan orang lain di sekitarnya. Jangankan urusan duniawi orang lain, untuk kebutuhan hidupnya sendiri pun terkadang ia tidak terlalu peduli.

Karena diakuiatau tidak bahwasanya Tasawuf sebenarnya telah ada sejak Rasulullah, akan tetapi Rasulullah tidak secara langsung meneyebutkannya dengan tasawuf secara gamlang. Hal itu dapat terlihat dari pola hidup serta tata cara beliau dalam segala bentuk hidupnya yang menampilkan dengan penuh kesederhanaan. Namun pada perkembangan selanjutnya tasawwuf mengalami kemajuan yang dikembangkan oleh masing-masing tokoh tasawuf dengan model masing-masing.

Begituhalnya mengenai masalah hulul dan ittihad yang tetap melandasinya dengan apa yang terdapat didalam ajaran al-Qur’an dan hadis. Artinya tasawuf Junaid al-Baghdady ini tetap memandang bahwa pentingnya syariat demi mencapai akhirat. Dimana, ajaran tasawuf al-Junaid ini sama dengan ajaran tasawuf Al-Muhibbi yang memberi tekanan besar pada disiplin diri atau lebih sepesifik pada disiplin kalbu. Ia memperjelas antara orientasi ukrawi dan moralitas.

Dari ajaran tasawuf Al-Junayd al-Baghdadi ini sangat jelas bahwasanya, orang sufi itu tetap diwajibkan menjalankan syari’at untuk mencapai kehadirat Ilahi Rabbi. Tanpa menjalankan syari’at, seseorang tidak akan sampai kepada Allah SWT.


  
Pandngan Al-Junayd al-Baghdadi terhadap zuhud

Pada umumnya orang memahami Zuhud sebagai sikap hidup para sufi yang meninggalkan kebahagiaan duniawi. Mereka membekali diri untuk mengejar kehidupan dan kebahagiaan akhirat semata, seolah tidak peduli dengan urusan duniawi atau urusan orang lain di sekitarnya. Jangankan urusan duniawi orang lain, untuk kebutuhan hidupnya sendiri pun terkadang ia tidak terlalu peduli.

Pemahaman seperti itu jelas kurang tepat. Sebab banyak sufi tidak mengartikan zuhud seperti itu. Menurut Al-Junayd al-Baghdadi (210-298 H), misalnya, justru sangat tidak menyukai sikap zuhud demikian. Menurut dia, zuhud model itu hanya akan membawa orang, termasuk sufi, pada kondisi yang tidak menggembirakan. Padahal konsep Zuhud adalah dimana kita tetap memiliki harta, namun tidak terlalu mencintainya. Hal ini seperti yang dikatakan Husyain Assabuni bahwa tidak ada zuhud itu meninggalkan harta, akan tetapi bagaimana menggantinya dengan jalan rasa takut didalam hati dan tidak thama’.

Aplikasi zuhud, menurut Al-Junayd al-Baghdadi, bukanlah meninggalkan kehidupan dunia sama sekali, melainkan tidak terlalu mementingkan kehidupan duniawi belaka. Jadi, setiap Muslim termasuk juga para sufi, tetap berkewajiban untuk mencari nafkah bagi penghidupan dunianya, untuk diri dan keluarganya. Letak zuhudnya adalah, bila ia memperoleh rezeki yang lebih dari cukup. ia tidak merasa berat memberi kepada mereka yang lebih memerlukannya.

Berdasarkan pemahaman dan penghayatan Junayd al-Baghdadi tentang zuhud ini, maka tidak berlebihan kalau kemudian ia disebut sebagai “Sufi yang moderat”. Kemoderatan Junayd al-Baghdadi dalam bertasawuf jelas terlihat ketika ia bicara soal zuliud misalnya. Karena. zuhud merupakan pangkal atau dasar dari segala ajaran yang terkandung dalam sufisme yang diyakini oleh setiap sufi. Untuk menjadi sufi, setiap orang harus terlebih dulu menjalani zuhud atau menjadi zahid. Untuk menjadi zahid, seorang sufi harus melepaskan kesenangannya pada benda-benda yang selama ini telah memberinya kenikmatan duniawi. Sebab kesenangan kepada duniawi diyakini sebagai pangkal segala bencana. Sedangkan bencana yang paling besar bagi setiap sufi adalah ketika mereka tidak dapat mendekati dan bersatu dengan Tuhan.

Menurut Junayd al-Baghdadi, setiap Muslim, termasuk juga para sufi, seharusnya mengikuti jejak Rasulullah saw, yaitu menjalani kehidupan ini seperti manusia biasa, menikah, berdagang, berpakaian yang pantas. tapi juga dermawan, la tidak suka dengan sifat manusia yang apatis.

Kata Al-Junyad, “Seorang sufi tidak seharusnya hanya berdiam diri di masjid dan berzikir saja tanpa bekerja untuk nafkahnya. Sehingga untuk menunjang kehidupannya orang tersebut menggantungkan diri hanya pada pemberian orang lain. Sifat-sifat seperti itu sangatlah tercela. Karena sekali pun ia sufi, ia harus tetap bekerja keras untuk menopang kehidupannya sehari-hari. Dimana jika sudah mendapat nafkah, diharapkan mau membelanjakannya di jalan Allah SWT.”

Konsep taswuf Al-Junyad sperti itu dapat diterapkan pada keadaan zaman sekarang ini, karena pada kehidupan modern kali ini tidak mungkin seseorang melakukan zuhud yang meninggalkan kehidupan dunia secra total karena masih banyaknya tanggung jawab yang harus di pikilnya serta diperlukan adanya interaksi dengan banyak orang serta urusan dunia yang lain. Maka dengan demikian konsep zuhud yang ditawarkan Al-Junyad yang sangat cocok dengan tantangan zaman kali ini.

Selain itu, meski Al-Junayd seorang sufi, ia tidak melulu membicarakan soal tasawuf saja, tetapi juga berbagai masalah lain yang berhubungan dengan kemaslahatan umat Islam. Inilah juga yang membuat Al-Junayd agak berbeda dengan para sufi pada umumnya.

Misalnya. Al-Junayd sangat peduli terhadap berbagai penyakit yang timbul di masyarakat. Menurut dia, di dalam masyarakat lebih banyak ditemukan orang yang sakit jiwa ketimbang mereka yang sakit jasmani. Itu lantaran jiwa lebih sensitif dan lebih rapuh ketimbang fisik, sehingga jiwa lebih mudah menderita. Lebih lanjut, penyakit jiwa ini lebih merusak jika dibandingkan dengan penyakit fisik. Sebab penyakit tersebut lebih mudah menggerogoti jiwa dan moral manusia. Sedangkan jika jiwa seorang sudah rusak, maka dengan mudah ia akan terseret pada berbagai perbuatan yang menyalahi ajaran agama, yang lebih jauh akan menggiringnya masuk ke dalam neraka.

Al-Baghdadi dalam hal Ittihad dan Hulul

Berbicara Ittihad yang dikembangkan oleh al-Busthami dan Hulul yang dipopulerkan oleh al-Hallaj atau konsep cinta dan menyatu dengan Allah sangatlah menarik dalam taswwuf. Sehingga, Radikalisme dan liberalisme tasawuf dapat kita amati dalam fenomena ittihad dan hulul tersebut, yang keduanya memiliki kesamaan dalam menafikan realitas konkret manusia.

Keliaran pemikiran semacam itu dalam pandangan Junayd al-Baghdadi, tidaklah benar. Baginya, dunia tasawuf harus tetap berpijak pada realitas konkret manusia. Pencapaian tertinggi dalam dunia tasawuf hanyalah sampai level mahabbah dan ma’rifah. Dengan demikian eksistensi konkret hamba (ubudiah) tetap terpisah dari eksistensi tuhan (uluhiah). Menurut Al Junaid, syariat tetaplah penting dalam menuju mahabbah dan ma’rifah.

Kendati demikian, dari pemahan itu, manusia menurut Al-Junyad bisa mendekati bahkan bersatu dengan Tuhan melalui tasawuf. Dan untuk mencapai kebersatuan itu, orang harus mampu memisahkan ruhnya dari semua sifat kemakhlukan yang melekat pada dirinya. Walau begitu, kata Al-Junayd, sufisme adalah suatu sifat (keadaan) yang di dalamnya terdapat kehidupan manusia. Artinya, esensinya memang merupakan sifat Tuhan, Tapi gambaran formalnya (lahirnya) adalah sifat manusia.

Di sinilah Junayd al-Baghdadi ingin menegaskan bahwa sesungguhnya diri manusia telah dihiasi dengan sifat Tuhan, Sehingga, kondisi tingkat tertinggi dari suatu pengalaman sufistik yang dicapai seorang sufi pada persatuannya dengan Tuhan, juga dapat dilukiskan. Pada tingkat ini seorang sufi akan kehilangan kesadarannya, la tidak lagi merasa memiliki hubungan dengan lingkungannya. Seluruh perhatiannya hanya tertuju buat Tuhan dengan kehilangan kesadarannya akan keduniaan, maka ia otomatis sedang berada dengan Tuhan.

Pada tingkat yang demikian. seorang sufi merasakan tidak ada lagi jarak antara dirinya dengan Tuhan. Karena sifat-sifat yang ada pada dirinya semuanya sudah digantikan dengan sifat Tuhan. Segala kehendak pribadi manusia lenyap, digantikan dengan kehendakNya.

Ketika Al-Junayd al-Baghdadi ditanya mengenai al-Haaq yang dilontarkan pada diri al-Hallaj. Ia tidak mengartikan hal itu langsung kepada arti Allah SWT, Tetapi ia mengartikan al-Haqq itu merupakan lawan dari al-Bathil. Al-Hallaj dibunuh dijalan yang benar. 
Artinya, kata al-Haqq yang dikatakan oleh al-Hallaj tersebut menandakan bahwa ia adalah sesuatu yang benar bukanlah Allah SWT. Terlepas dari itu, dapat kita lacak apakah pernyataan al-Hallaj itu ada latar belakang dari apa yang dikatakan. Karna pada saat itu terdapat suatu kekuasan yang besar yang mungkin kebijakannya lepas dari ajaran agama, yang mendorong dirinya berkata demikian.

Al-Junayd al-Baghdadi bahkan berkata, bahwa yang mengetahui Allah hanyalah Allah sendiri. Demikian pula dengan orang yang dicintai Allah (Nabi Muhammad) yang telah dibukakan tabir 70.000 tabir hijab, hanya tinggal satu hijab antara ia dengan-Nya.

Hal itu dapat kita pahami dalam perjalanan Rasulullah saat kejadian Mi’raj. Begitu halnya dengan Nabi-Nabi lain disaat ia berhadapan dengan Allah, beliau tidak mampu melihat secara langsung. Apalagi manusia biasa yang derajatnya jauh dari Derajat kenabian itu sendiri.

Bahakan Al-Junayd al-Baghdadi memperlihatkan sikap cukup keras terhadap orang yang mengabaikan syari’at. Ketika diceritakan kepadnya tentang orang yang telah mencapai ma’rifat, kemudian ia dibebaskan oleh Allah dari amal ibadah. Ia justru berkata bahwa orang tersebut sebenarnya berada dalam lumuran dosa dan mereka lebih berbahya dari pada pencuri serta pembuat keonaran.

Dalam hal ini, Al-Junayd al-Baghdadi ingin menegaskan bahwasanya walaupun orang telah menyatu dengan Allah SWT. Baginya tetap dikenakan kewajiban melaksankan aturan-aturan syari’at, yang menandakan bahwa Manusia tetaplah manusia yang tidak akan berupah posisinya menjadi Allah SWT. walaupun ia sedang merasa dalam keadaan Ittihat ataupun Hulul itu sendiri.

Maka dengan demikian, untuk mencapai persatuan kepada Tuhan, menurut Al-Junayd al-Baghdadi. manusia harus menyucikan batin, mengendalikan nafsu, dan rnembersihkan hati dari segala sifat-sifat kemakhlukan. Setelah kebersatuan dengan Tuhan itu tercapai, seorang sufi kembali tersadar. Dan selanjutnya harus mengajak umat dan membimbingnya ke jalan yang diyakininya. Maksud dari apa yang ditawarkan Al-Junyad ini, diharapkan agar oaring yang bertaswuf harus seimbang antara urusan dunia dan ahirat serta bagaimana didalam perakteknya adanya keterkaitan antara syariat dan hakekat itu sendiri.

Rasa cinta di dalam diri adalah sebuah anugerah yang di berikan sang kholiq kepada hambanya. Cinta kepada anak,istri,harta benda dan pangkat adalah sebuah keindahan yang ada di dunia ini, apabila manusia bisa meletakkan perhiasan-perhiasan [dunia seisinya] tepat pada porsinya maka semua perhiasan itu akan memberi cahaya bagi kehidupan. 

Sebaliknya bila penempatannya bukan pada porsinya, maka semua perhiasan itu sewaktu-waktu membawa bencana dan kehancuran.
Fiman-NYA : “ Dijadikan indah pada [pandangan] manusia KECINTAAN kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas,perak,kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah semua PERHIASAN DUNIA, dan di sisi Allah-lah tempat kembali terbaik.” [ QS.Ali imran [3] : 14 ]. 

Dalam meletakkan cinta diperlukan kecerdasan ruhani, mereka yang memiliki kecerdasan ruhani memiliki prinsip yang menampilkan sosok dirinya sebagai insan yang berakhlaq, mereka tahu bagaimana meletakkan cinta. Para ahli TASAWUF yaitu ahli sufi [Arif-Billah] berlandaskan Al-Qur’an dan Sunnah dengan lugas mengatakan, “ Mencintai pemilik dan pemberi hiasan jauh lebih mulia dan jauh lebih berharga dibanding mencintai sekedar hiasan saja “. Ungkapan tersebut berlandaskan Firman Allah Swt :

قل متا ع الد نيا قليل والا خرة خير لمن اتقى ولا تظممو ن فتيلا انساء

“ Katakanlah olehmu [Hai Muhammad] : Hiasan dunia ini hanya sebentar [terlalu sedikit] dan [perhiasan Akhirat itu lebih baik untuk orang-orang yang bertaqwa “. [qs.An-Nisa’ [4] : 77 ] 


Alkisah,seorang sufi dari PERSIA yang bernama Abu bakar bin Dulaf ibnu juhdar Asy-Syibly. Nama asy-syibli di nisbatkan kepadanya karena ia dibesarkan di kota Syibli di wilayah Khurasan, Persia. Beliau di lahirkan pada Tahun 247 H. Di Baghdad atau Samarra dari keluarga yang cukup terhormat. karena kepandaian dan kedalaman ilmunya membuat karirnya menanjak pesat, ia menduduki beberapa jabatan 

Penting selama bertahun – tahun. Antara lain : menjabat sebagai Gubernur di Provinsi Dermaven. Bersama dengan seorang pejabat baru, Abu bakar Asy-Syibly di lantik oleh Kholifah dan secara resmi dikenakan seperangkat jubah pada dirinya. Setelah pulang, ditengah jalan pejabat baru itu bersin dan batuk –batuk seraya mengusapkan jubah baru itu kehidung dan mulutnya. Perbuatan pejabat tersebut dilaporkan kepada Kholifah. Dan Kholifahpun memecat langsung dan menghukumnya. Asy-Syibly pun terheran-heran, mengapa hanya karena jubah seseorang bisa di berhentikan dari jabatannya dan dihukum. Tak ayal, peristiwa ini membuatnya merenung selama berhari-hari. Ia kemudian menghadap Kholifah dan berkata :
“ Wahai Kholifah, Engkau sebagai manusia tidak suka bila jubah jabatan di perlakukan secara tidak wajar. Semua orang mengetahui betapa tinggi nilai jubah itu. 

Sang MahaRaja alam semesta telah menganugerahkan jubah kepadaku di samping CINTA dan PENGETAHUAN. Bagaimana DIA akan suka kepadaku jika aku menggunakannya sebagai sapu tangan dalam pengabdianku pada manusia ? “. 
Sejak saat itu Abu bakar asy syibly meninggalkan karir dan jabatannya, dan ia ingin bertaubat. Dalam perjalan membersihkan hatinya ia bertemu dengan seorang ulama sufi yang bernama Junaid Al Baghdadi,

asy syibly berkata : “ ENGKAU DIKATAKAN SEBAGAI PENJUAL MUTIARA, MAKA BERILAH AKU SATU ATAU JUALLAH KEPADAKU SEBUTIR “.

Maka Junaid Al Baghdadi pu menjawab, “ JIKA KUJUAL KEPADAMU, ENGKAU TIDAK SANGGUP MEMBELINYA. JIKA KUBERIKAN KEPADAMU SECARA CUMA-CUMA, KARENA BEGITU MUDAH MENDAPATKANNYA ENGKAU TIDAK MENYADARI BETAPA TINGGI NILAINYA. LAKUKANLAH APA YANG AKU LAKUKAN, BENAMKANLAH DULU KEPALAMU DI LAUTAN, APABILA ENGKAU DAPAT MENUNGGU DENGAN SABAR, NISCAYA KAMU AKAN MENDAPAT MUTIARAMU SENDIRI. “ 

Lalu Asy-syibli berkata, “ lalu apa yang harus kulakukan sekarang ? ” ,

Imam Junaid Berkata : hendaklah engkau berjualan belerang selama setahun [ untuk mengetahui nilai diri ] dan Mengemislah lalu sedekahkan uangnya selama setahun [ untuk membersihkan keangkuhan diri ] .“
Beberapa tahun telah berlalu dalam menjalani perintah sang Guru meskipun penuh dengan beribu-ribu kesulitan tapi ia jalani dengan penuh cinta [ikhlash] . akhirnya abu bakar asy-syibli menemukan mutiara di dalam dirinya. sehingga ia mengalami RASA CINTA yang teramat dalam di lubuk hatinya [ rindu kepada Allah ]. 

Suatu ketika disaksikan banyak orang, beliau berlari sambil membawa obor. Hendak kemana engkau wahai asy-syibli? , aku hendak membakar ka’bah, sehingga orang-orang dapat mengabdi kepada yang memiliki ka’bah dan akan aku BAKAR SURGA DAN NERAKA,sehingga manusia benar-benar ibadah hanya kepada Allah Swt [bukan yang lain-NYA]. Dalam keadaan MABUK CINTA yang dalam kepada Allah, ia selalu menyebut asma Alaah dan disetiap tempat yang ia temui, ia menuliskan lafadz Allah. Tiba-tiba sebuah suara berkata kepadanya,” Sampai kapan engkau akan terus berkutat dengan nama itu? Jika engkau merupakan pencari sejati, carilah pemiliknya! “ 

Kata-kata itu begitu menyentak Asy-sybly, sehingga tak ada lagi ketenangan dan kedamaian yang ia rasakan. Betapa kuatnya RASA CINTA yang menguasainya hingga ia menceburkan dirinya ke sungai Tigris dan akhirnya gelombang sungai membawanya kembali ketepi. Kemudian ia menghempaskan tubuhnya kedalam api, namun api tersebut kehilangan daya untuk membakar. Sehingga tubuhnya utuh tak terbakar sedikitpun. Lalu ia mencari tempat dimana sekelompok singa berkumpul lalu ia berdiam diri supaya dimangsa oleh singa tersebut, tapi singa-singa itu malah berlari tunggang langgang menjahui dirinya. Kemudian tanpa ada rasa takut sedikitpun ia terjun bebas dari puncak gunung, namun angin mencengkeram dan menurunkannya ketanah dengan selamat. 

Kegelisahannya semakain memuncak beribu-ribu kali lipat, sehingga ia berteriak,” terkutuklahia, yang tidak di terima oleh air maupun api, yang ditolak oleh binatang buas dan pegunungan! “ lalu terdengar sebuah suara. “ Ia yang diterima oleh Allah, tidak di terima oleh yang lain [makhluk-NYA]. 

Syeikh Al-ghozali menuliskan dalam kitabnya “ Raudhah al-Tholibin wa Umdah al-Salikin “ bahwa Al – Wushul adalh tersibaknya keindahan Al Haq kepada hamba,sehingga membuatnya luruh di dalamNYA. Jika dia melihat pengetahuan yang di milikinya, yang tampak hanyalah Allah swt, dan dia melihat ‘Himmah’ [keinginan kuat]nya,tidak ada Himmah selainNYA. Maka secara totalitas dia sibuk dengan kesaksian [ al-Musyahadah] dan keinginan kuat [Himmah]. Dan sama sekali tidak pernah berpaling dari keduanya, sampai-sampai dia tidak memiliki kesempatan untuk membenahi lahiriyahnya dalam bentuk-bentuk ibadah atau tidak sempat melihat batinnya. Baginya segala sesuatu yang di kerjakannya tampak suci. Sebagian kaum sufi mengatakan : 

وان طر فى موصول برء يته وان تبا عد عن مثواى مثوا ه

“ Sesungguhnya batas akhirku adalah dengan melihatNYA,sekalipun aksis [posisi]-NYA kian lama kian jauh dari aksis-ku. 

Dalam hal ini Allah Swt berfirman dalam Al-Qur’an, firmanNYA : 

قل ان كنتم تحبو ن الله فاتبعو نى يحببكم الله ويغفرلكم د نو بكم والله غفو ررحيم العمران

“ Katakanlah: “ jika kamu[benar-benar] mencintai Allah, ikutilah aku. niscayaAllah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu” Allah Maha pengampun lagi Maha penyayang.” [ qs.Ali imran [3] : 31 ]. 

Imam Qusyairi mengatakan bahwa Mahabbah [cinta] adalah nikmat yang berupa kecintaan Allah kepada hambaNYA yang DIA kehendaki secara khusus. Apabila nikmat tersebut untuk semua hambaNYA secara umum maka di namakan rahmat. 

GAMBARAN CINTA AHLI MAHABBAH 

Raja Andalusia, Al-Hikam bin Hisyam bin Abdurrahman Ad-Dakhil, bersyair : karena cinta……. Ia menjadi hamba, padahal sebelumnya ia adalah raja. Kegirangan istana tiada lagi menyertai. Ia dipuncak gunung menyendiri sendiri pipi tertempel di tanah berdebu. Seakan bantal-bantal sutra untuk bertumpu. Begitulah kehinaan menimpa orang merdeka. Jika cinta melanda, ia laksana hamba sahaya. 
Junaid al-baghdadi, mengartikan kata yang bernilai sufistik ini dengan masuknya sifat-sifat Zat yang di cintai mengganti apa yang ada di dalam jiwa sang pencinta, mendorong seorang pencinta untuk tidak mengingat selain Zat tersebut serta melupakan dan mencampakkan secara total sifat-sifat yang dulunya melekat pada dirinya. 

Ibnu Arabi dalam puisi-puisi pemandu rindu mengisahkan manakala jiwa berpisah dengan raga, ia selalu bernostalgia dan rindu pada perpaduan itu, meskipun pada hakekatnya mereka berdua, namun tampak sebagai satu pribadi. Kerinduan itu tidak lain karena jiwa memperoleh pengetahuan dan apa saja yang ada dalam kehidupan melalui raga. Namun,karena sifat jiwa yang halus,lembut dan bersifat cahaya, maka tidak dapat di lihat oleh mata. Bila tidak karena rintihan raga, maka takkan pernah terasa kesaksian jiwa. Inilah gambaran jiwa ataupun keadaan hati. 

Syeikh Ibnu Atho’illah bermunajat, “ Ya illahi, alam benda ini telah mendorong aku untuk pergi kepada-MU dan pengetahuanku terhadap kemurahan-MU itulah yang memberhentikan aku untuk berdiri di depan pintu-MU. 

Rabi’ah al-adawiyah seorang sufi dari Bashrah ketika berziarah kemakam Rosulullah saw pernah mengatakan Maafkan aku ya Rosul, bukan aku tidak mencintaimu tapi hatiku telah tertutup untuk cinta yang 
Lain,karena telah penuh cintaku hanya kepada Allah swt .“ tentang cinta itu sendiri Rabi’ah mengajarkan bahwa cinta itu harus menutup dari segala hal yang di cintainya [ bukan berarti Rabi’ah tidak cinta kepada Rosul, tapi kata-kata yang bermakna simbolis ini mengandung arti bahwa cinta kepada Allah adalh bentuk integrasi dari semua bentuk cinta termasuk cinta kepada Rasulullah ]. 
Dalam sebuah riwayat diceritakan bahwa Saiyidina Husain [cucu Rosulullah saw] bertanya kepada ayahnya [saiyidina Ali], “ apakah engkau mencintai Allah ? Ali menjawab, “ ya”. Lalu Husain bertanya lagi, “apakah engkau mencintai kakek dari ibu?” Ali menjawab kembali,”ya”. Husain bertanya lagi, “ apakah engakau mencintai aku dan ibuku? Ali menjawab “ya”. Terakhir, Husain yang polos itu bertanya,” Ayahku,bagaimana Engkau menyatukan begitu banyak cinta di hatimu?” kemudian saiyidina Ali menjelaskan,”Anakku, pertanyaanmu hebat sekali! Cintaku pada kakek dari ibumu, ibumu dan kamu sendiri adalah karena cinta kepada Allah swt. Setelah mendengar jawaban dari ayahnya Husain jadi tersenyum ngerti. 

Rumusan cinta Rabi’ah termaktub dalam do’anya, “ Ya Allah, jika aku menyembah-MU karena takut neraka maka bakarlah aku di dalamnya. Dan jika aku menyembahmu berharap surga, maka campakkanlah aku dari sana, tapi jika aku menyembah- MU karena Engkau semata, maka janganlah Engkau sembunyikan keindahan-MU yang abadi. “ dalam Al-Qur’an Allah swt berfirman : 

ومن الناس من يتخد من دو ن الله اندادا تحبو نهم كحب الله والدين امنو اشد حبا الله البقراه

“ Dan diantara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah. Mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman sangat cinta kepada Allah swt.[ hatinya tertutup untuk mencintai selain-NYA].” [qs. Al baqarah [2] : 165 ] 

Demikianlah sekelumit sejarah para pecinta Allah swt yang perjalanannya begitu menyayat jiwa, penuh onak dan duri dalam setiap langkahnya tapi tidak menyurutkan keinginan besarnya untuk bertemu dengan-NYA. para KEKASIH ALLAH SWT jiwanya terjaga dari hal-hal yang dapat menyeret keimanannya, dengan ilmu pengetahuannya yang merasuk di dalam dada mengkristal bagaikan batu karang. Para KEKASIH Allah musuhnya tak terkira banyaknya dan sahabatnya hanya sedikit. Itulah SUNNATULLAH. 

Cepat susul barisan mereka mumpung masih ada kesempatan, renungkanlah firman Allah swt di bawah ini : 


قل ان كا ن ابااؤ كم وابنا ؤكم واخوا نكم وازوا جكم وعشيرتكم واموال اقتر فتموها وتجا رة تخشون كسا دها ومسكن ترضونها احب اليكم من الله ورسوله وجها د فى سبيله فتربصوا حتى ياء تي الله بامره والله لا يهدى القوم الفسقين اتوبه

“ katakanlah : jika bapak –bapakmu, anak-anakmu, saudara-saudaramu, istri-istri kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu kwatirkan kerugiannya, dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari pada Allah dan RosulNYA dari jihad di jalan NYA [ mencari keridhoan-NYA]. Maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusanNYA. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang fasiq. “ [ qs. At-Taubah [9] : 24 ].

“ katakanlah : “ jika bapak-bapakmu, anak-anakmu,saudara-saudaramu ,istri-istri kaum keluargamu , harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu kuwatirkan kerugiannya, dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai daripada Allah dan Rosul-NYA dari jihad di jalan-NYA [mencari keridhoan-NYA]. Maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-NYA. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang fasiq. “ [qs. At-Taubah [9] : 24]

Syaikh Ibrohim Addasyuqi


Mengenal kezahidan dan kegigihan seorang Wali Agung beliau adalah Syekh Ibrahim bin Syekh Abdul-Aziz yang dikenal dengan Abul-Majdi bin Quraisy Ad-Dusuqi ra. Beliau lahir di kota Dusuq-Mesir pada malam terahir bulan Sya’ban 653 H yang bertepatan dengan tahun 1255M.

Beliau dilahirkan pada malam Syak, yaitu hari yang di ragukan dan menjadi teka-teki apakah sudah memasuki puasa Ramadlan atau belum. Ketika para ulama ragu akan munculnya bulan tsabit yang menunjukkan masuknya bulan Ramadan, Syekh Ibnu Harun As-shufi ketika itu berkata: "Lihatlah anak yang baru lahir ini apakah dia meminum air susu ibunya"? Maka ibunya menjawab, “Dari sejak azan subuh, ia berhenti meminum air susu ibunya". Dengan demikian Syekh Ibnu Harun mengumumkan bahwa hari itu adalah hari pertama bulan ramadhan dan tanda-tanda kewalian Syekh Ibrahim Ad-Dusuqi RA sudah nampak dari sejak kelahiran beliau.

Dalam manuskrip Taufiqiyah ada keterangan, bahwa pada abad ketiga Hijriah di Dasuk ada tiga buah istana, pertama milik Sayid Abd Ali, yang kedua milik Imam Qashabi guru di Masjid Sayid Ahmad Badawi dan yang ketiga milik Sayid Basuni Far, semua bangunan istana ini disediakan untuk menyambut para tamu yang datang ke Dasuk sewaktu peringatan Maulid Sayid Ibrahim Dasuki disamping juga menyediakan makanan bagi fakir miskin yang ikut datang ke perayaan itu.

Di antara tokoh-tokoh terkenal dari daerah ini adalah Syekh Ibrahim Dasuki bin Abd Aziz Abu al-Majd yang nasabnya berujung ke Imam Husain bin Ali bin Abi Thalib. Ibu Syekh Ibrahim Dasuki ini adalah Fatimah binti Abdullah bin Abd Jabar, saudari sekandung tokoh sufi terkenal Sheikh Abu Hasan Syadzili. Syekh Ibrahim Dasuki ini juga masih punya silsilah satu nasab dengan Wali Qutb kota Thanta Sheikh Ahmad Badawi pada kakek kesepuluh Ja’far al-Turki bin Ali al-Hadi.

Silsilah Sheikh Ibrahim Ad Dasuqi

Arif Billah Ibrahim ad-Dasuqi bin Abd Aziz Abu al-Majd bin Quraisy bin Muhammad bin Abi an-Naja bin Zainal Abidin bin Abdul Khaliq bin Muhammad Abi at-Thaib bin Abdul Katim bin Abdul Khaliq bin Abi Qasim bin Ja`far Zaki bin Ali bin Muhammad al-Jawwad bin Ali ar-Ridha bin Musa Kazhim bin JA`far as-Shadiq bin Muhammad al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Husein bin Ali bin Abi Thalib dan Sayyidah Fatimah binti Rasulullah s.a.w.

Dari kecil beliau dikenal sangat rajin beribadah, memiliki kerajian yang tinggi mengalahi teman-temannya, timbuh dan membesar di kalangan masyarkat yang soleh, memiliki sifat – sifat terpuji yang beliau warisi dari kakeknya baginda Rasulullah s.a.w.

Beliau sangat sopan santun, pengasih, pemurah, suka menolong orang, rajin beribadah, taat terhadap orang tua, menghormati ulama dan orang-orang soleh, wara`, pendiam, pintar dan pandai.

Dari kecilnya telah mengikuti pengajian-pengajian agama, belajar membaca dan menulis, belajar berbagai disiplin ilmu agama dari ulama-ulam yang berada di kampung halamannya, menekuni fiqih Syafi`i dan mendalaminya, dan seterusnya belau mempelajari ilmu tasawuf dan memperdalaminya dengan semangat yang kuat sehingga beliau memang benar-benar berenang di lautan makrifah, menjadi tonggak besar tasawuf di Mesir dan seluruh penjuru dunia.

Beliau juga mengikuti jejak pamannya dari ibu, Sheikh Abu Hasan Syadzili pendiri Tarekat Syadziliyah. Beliau belajar ilmu bahasa dan agama juga menghafal Al Qur’an dan hadits juga ushul fiqh berdasarkan madzhab Syafii sementara ia masih kecil. Ada suatu keterangan yang mengatakan beliau mulai ber-khalwat sejak usia lima tahun. Dan sewaktu memasuki usia remaja dan semakin rajin ber-khalwat maka kemudian mulailah datang kepada beliau beberapa orang untuk belajar tariqah, di antara mereka yang ternama adalah Sayid Abu Nasr yang makamnya dikenal dengan namanya di Dasuk.

Syekh Dasuki ini selalu berada di tempat khalwat-nya sampai ayahnya meninggal, kemudian turunlah beliau dari tempatnya itu, yang saat itu beliau masih berusia 23 tahun, murid-muridnya mengharapkan supaya beliau meninggalkan tempat khalwat-nya itu, sehingga bisa konsentrasi mengajar mereka, kemudian dibuatkanlah suatu tempat di samping tempat khalwat beliau.

Tariqah beliau ini dikenal dengan nama Tariqah Burhaniyah, yang diambil dari namanya atau Tariqah Dasukiyah, diambil dari nama daerahnya. Ibrahim Dasuki dan para pengikutnya ini memakai sorban warna hijau sementara sorban yang dipakai oleh Sayid Badawi dan para pengikutnya berwarna merah, sedangkan para pengikut Tariqah Rifaiyah berwarna hitam.

Sewaktu Sultan Dzahir mendengar tentang keilmuan Ibrahim Dasuki juga banyak pengikut yang dipimpinnya, segera dia mengeluarkan maklumat yang mengangkatnya sebagai Syekh Islam, maka beliau pun menerima jabatan itu dan melaksanakan tugasnya tanpa mengambil gajinya, tapi membagikan gaji dari jabatan ini kepada pada fakir miskin dari kalangan muslimin. Sultan kemudian juga membangun sebuah tempat pertemuan untuk Syekh dan para muridnya dalam belajar memahami agama, jabatan ini tetap dipegang oleh Syekh Ibrahim sampai meninggalnya Sultan kemudian setelah sultan meninggal, beliau mengundurkan diri, meluangkan waktunya bagi para muridnya.

Syekh Dasuki ini adalah seorang yang pemberani tidak mendekat kepada penguasa dan tidak takut akan celaan orang-orang yang mencela di dalam menyebarkan agama Allah. Syekh Jalaludin Karki bercerita; bahwasannya Syekh Dasuki ini pernah berkirim surat kepada Sultan Asyraf Khalil bin Qalawun yang berisi kritikan pedas padanya, karena perbuatan dhalim yang dilakukan kepada rakyat.

Maka Sultan pun murka dan memanggil Syekh, tapi Syekh Dasuki ini menolak untuk mendatangi panggilan ini dan berkata: ”Aku tetap di sini, siapa yang ingin bertemu saya, maka dialah yang harus menemuiku”. Dan Sultan pun tidak bisa berbuat banyak terhadap Syekh karena dia tahu posisinya di mata masyarakat, maka diapun datang kepadanya dan minta maaf. Dan Syekh pun menyambutnya dengan baik dan memberi kabar gembira akan kemenangannya dalam peperangan melawan tentara salib, dan memang terbuktilah kemudian kemenangan itu.

Latihan jiwa untuk menuju Allah tidak semudah mempelajari ilmu-ilmu yang lainnya, sebab perjalanan menuju Allah memiliki berbagai macam tantangan dan rintangan dari jiwa, masyarakat dan syaitan, cobaan tersebut datang menghalangi Sheikh Ibrahim menuju Allah, tetapi Syeikh Ibrahim berhasil menepis segala halangan dan rintangan yang mengganggunya untuk mengenal Allah dan berjalan munujunya, zikir, istighfar, salawat merupakan bagian penting menuju perjalanan yang penuh dengan rintangan.

Dengan mujahadahnya Allah memilih beliau menjadi walinya, bahkan beliau mendapat gelaran wali Qutub dari seluruh para wali, dan beliau juga diantara Qutub empat yang masyhur, Qutubul Arba`ah adalah : Sheikh Abdul Qodir Jilani, Sheikh Ahamd Ar Rifa`i, Sheikh Ahmad Badawi dan Sheikh Ibrahim Ad Dasuqi, sebagaimana diyakini ulama tasawuf seperti Syekh Mahmud al-Garbawi dalam kitabnya al-Ayatuzzahirah fi Manaqib al-Awliya’ wal-Aqthab al-Arba’ah.

Diantara Karomah beliau adalah :

Beliau dilahirkan pada malam syak, yaitu hari yang di ragukan dan menjadi teka-teki apakah sudah memasuki puasa Ramadhan atau belum. Ketika para ulama ragu akan munculnya bulan sabit yang menunjukkan masuknya bulan Ramadhan, Syekh Ibnu Harun As-shufi ketika itu berkata: "Lihatlah anak yang baru lahir ini apakah dia meminum air susu ibunya"? Maka ibunya menjawab, “Dari sejak azan subuh, ia berhenti meminum air susu ibunya". Dengan demikian Syekh Ibnu Harun mengumumkan bahwa hari itu adalah hari pertama bulan ramadhan dan tanda-tanda kewalian Syekh Ibrahim Ad-Dusuqi RA sudah nampak dari sejak kelahiran beliau.

Berkata Imam al-Munawi : Seekor buaya telah menelan seorang anak di sungai nil, maka ibu sang anak mendatangi Syeikh Ibrahim Dasuqi dengan menangis tersedu-sedu, maka Syeikh meyuruh muridnya untuk memanggil buaya yang memakan anak ibu tersebut, maka datang muridnya dan berseru di tepi sungai Nil : ” Wahai sekalian buaya , siapa diantara kalian yang memakan seorang anak maka hendaklah dia muncul dan menghadap Syeikh “. maka muncullah buaya dan berjalan beserta murid sehingga sampai kehadapan Syeikh Ibrahim Ad-Dusuqi, maka Syeikh menyuruh buaya itu untuk mengeluarkan anak itu, maka buaya itu mengeluarkan anak itu dalam keadaan hidup, kemudian Sheikh Ibrahim berkata : Matilah kamu dengan seizin Allah “, maka segara buaya itupun mati.

Salah satu karamahnya yang terkenal adalah ketika beliau meramalkan kemenangan Sultan Asyraf Khalin ibn Qalawun dalam peperangan melawan tentara salib – dan ramalan itu terbukti tepat.

Sheikh Ibrahim al-Qurasyi ad-Dusuqi adalah Wali Quthub yang keempat dan yang terahir setelah Sheikh Ahmad Arrifa’i RA, Sheikh Abdul-Qadir al-Jilani RA dan Sheikh Ahmad al-Badawi RA

Syekh Dasuki ini di samping menguasai bahasa arab juga menguasai bahasa asing lain seperti bahasa Suryaniyah dan Ibriyah, karena beliau telah menulis sejumlah buku dan risalah dalam bahasa Suryaniyah. Syekh Dasuki meninggalkan banyak kitab dalam bidang fiqih, tauhid, dan tafsir. yang paling terkenal adalah kitab yang masyhur di sebut “Al-Jawahir” atau “Al-Haqaiq”, beliau juga punya Qasidah-qasidah dan Mauidzoh-mauidzoh.

Syekh Ibrahim Addasuqi RA bermazhab Syafi’ dan terkenal dengan beberapa julukan seperti Abul Ainain, abul Aunain dan Burhanul Millati Waddin.

Sheikh Ibrahim Dasuqi meninggal dunia pada tahun 676 hijriyah dan makam beliau di kota Dusuq Mesir.
Semoga Allah SWT selalu meridhoinya dan memberi kita semua manfaat dengannya. Allahumma Amin.
Ya Allah, curahkan dan limpahkanlah keridhoan atasnya dan anugerahilah kami dengan rahasia-rahasia yang Engkau simpan padanya, Amin

Sayidi Ibrahim al-Qurasyi ad-Dusuqi adalah “Wali Quthub” yang ke lima dan yang terahir setelah Syekh Ahmad Arrifa’i RA, Syekh Abdul-Qadir al-Jaelani RA, Syekh Ahmad al-Badawi RA, dan Syekh Abul Hasan Ali Assyadzily Alhasany. sebagaimana diyakini ulama tashawuf seperti Syekh Mahmud al-Garbawi dalam kitabnya al-Ayatuzzahirah fi Manaqib al-Awliya’ wal-Aqthab al-Arba’ah, dan Assayyid Abul-Huda bin Hasan al-Khalidi Asshayyadi dalam kitabnya Farhatul-Ahbab fi Akhbar al-Arba’ah al-Ahbab dan kitab Qiladatul-Jawahir fi Zikril Gautsirrifa’I wa Atba’ihil-Akabir.

Sebagaimana Nabi Muhammad saw, yang diutus paling akhir dan menjadi imam dari para nabi dan rasul sebelumnya, begitu juga sayidi Ibrahim ad-Dasuqi adalah imam dari wali qutub.

Sayidi Ibrahim al-Qurasyi ad-Dusuqi adalah pendiri Thariqah yang dikenal dengan nama Burhamiyyah atau Dusuqiyyah. Pewaris beliau sebagai syekh Thariqah Dusuqiyah Muhammadiyah pada zaman ini adalah Mawlana syekh Mukhtar Ali Muhammad Ad-Dusuqi ra. "Semoga beliau senantiasa di beri kesehatan dan di panjangkan umurnya, amin".

Dalam kitab Thabaqat al-Kubra, anda akan menemukan Syekh Abdul-Wahhab Assya’rani ra, berbicara tentang riwayat Sayidi Abul-Hasan Assyazili ra, dalam 12 halaman, Sayidi Ahmad Arrifa’i dalam 7 halaman, Sayidi Abdul-Qadir Al-Jailani ra, dalam 9 halaman dan Sayidi Ahmad al-Badawi ra, dalam 7 halaman saja, sedangkan Sayidi Ibrahim Ad-Dusuqi ra, hingga 25 halaman…!

Syekh Abdul Wahhab As-Sya’rani ra, berkata: "Tuanku, Sayidi Ibrahim Ad-Dusuqi ra, memiliki keramat yang banyak, hal-hal yang luar biasa, menguasai rahasia-rahasia malakut, sejak lahir sudah puasa, menguasai bahasa Ajami, Siryani, Ibrani, zinji, seluruh bahasa burung, binatang dan makhluk-makhluk buas lainnya.

Beberapa kitabnya orang-orang salih yang berbicara tentang karamah dan riwayat hidupnya beliau, di antaranya adalah:

1) Farhatul Ahbab Fi Akhbar al-Arba’ah al-Ahbab, oleh al-Khalidi Asshayyadi.
2) Syaikhul Islam Addasuqi Quthbussyari’ah wal-Haqiqah, oleh Rajab Atthayyib al-Ja’fari.
3) Alamul Aqthab al-Haqiqi Sayyidi Ibrahim Ad-Dusuqi, oleh Abdurrazzaq al-King.
4) Lisanutta’rif bihalil-Wali As-Syarif Sayidi Ibrahim Ad-Dusuqi ra, oleh Syekh Ahmad bin Jalaluddin al-Karki ra.
5) Al-Ayatuzzahirah fi Manaqib al-Awliya’ wal-Aqthab al-Arba’ah, oleh Syekh Mahmud al-Garbawi.
6) Abul-Ainain Ad-Dusuqi, oleh Abdul-Al Kuhail.
7) Qiladatul Jawahir fi Zikril Gautsi wa Atba’ihil Akabir, oleh Syekh Abul Huda al-Khalidi As-Shayyadi.
8) Jami’ karamat al-Awliya’, oleh Syekh Yusuf An-nabhani.
9) Al-Arif Billahi Sayyidi Ibrahim Ad-Dusuqi, oleh Sa’ad al-Qadhi.
10) Biharul-Wilayah al-Muhammadiyyah Fi Manaqib A’lam Asshufiyyah, oleh Dr. Jaudah M. Abul Yazid.
11) Nailul Khairat al-Malmusah Biziyarati Ahlilbaiti Wasshalihin bi Mishr al-Mahrusah, oleh DR Sa’id abul As’ad.
12) Atthabaqat al-Kubra, oleh Syekh Abdul-Wahhab As-Sya’rani.
13) dan lain-lain

Syekh Ibrahim Addasuqi RA bermazhab Syafi’I dan terkenal dengan beberapa julukan seperti Abul Ainain, abul Aunain dan Burhanul Millati Waddin. Beliau wafat pada tahun 606H/1296M yang ketika itu beliau berumur 63 tahun dan dimakamkan di kota Dusuq-Mesir.

Beliau pernah berkata:

ولا تنتهي الدنيا ولا أيامها # حتى تعم المشرقين طريقتي


Yang artinya : “Dunia ini tidak akan berahir, sebelum tarekat-ku tersebar di seluruh penjuru dunia”

Walaa haula wala quwwata illa billah.

Doa Nabi Sulaiman Menundukkan Hewan dan Jin

  Nabiyullah Sulaiman  'alaihissalam  (AS) merupakan Nabi dan Rasul pilihan Allah Ta'ala yang dikaruniai kerajaan yang tidak dimilik...