Kamis, 14 Oktober 2021

Penjelasan Hukum Makmum Dalam Sholat



Makmum ialah orang shalat yang niat berjamaah dengan imam. Makmum Muwafiq ialah orang yang niat shalat berjamaah sejak pertama sampai terahir mengikuti pekerjaan shalat yang dilakukan oleh imam. Makmum Masbuq ialah orang shalat niat berjamaah setelah imam selesai satu rekaat atau lebih, atau setelah selesai imam membaca fatihah. Adapun Makmum Mufaraqah ialah orang yang makmum di tengah shalat hendak memisahkan diri (munfarid) dari jamaah karena sesuatu hal dan kemudian menyelesaikan shalatnya secara pribadi tanpa menganut pada imam.

Syarat-syarat makmum hendaklah dimasyhurkan dan dimasyarakatkan kepada orang-orang yang belum faham. Diantara mereka banyak yang mengrjakan shalat berjamaah, tetapi hanya sekedar ikut-ikutan, dan tidak mau belajar tata caranya yang diatur dalam kitab-kitab fiqih.

Istilah fiqih, apabila disebut sebagai ilmu ialah :
“Suatu bidang ilmu yang menerangkan hukum-hukum syar’iyah berbentuk amaliyah lahiriyah yang digali dari dalil-dalil syar’iyah (al-Qur’an dan al-Hadis secara terperinci)”.(Fath al-Qarib pada Hamisy al-Bajuri: I/18-19).

Maka patutlah bagi ulama mengamalkan ilmunya, menyebarkan dan mengajarkan ilmu tentang syarat-ayarat makmum kepada orang-orang awam yang belum mafhum. Akan tetapi masih pula didapati pada shalat jamaah orang-orang yang tak mau belajar kaifiyatnya. Akibatnya shalat jamaah mereka tidak sah dan mendapat dosa.

Dengan kenyataan seperti itu, maka syarat-syarat makmum wajib dijelaskan jumlah dan perinciaannya. Dari 12 macam syarat-syarat sah makmum, dibagi menjadi dua bagian. Pertama, syarat-syarat mathlub makmum, dan Kedua, syarat-syarat mathlub imam.

Mathlub makmum ialah syarat-syarat sah yang dituntut untuk dipenuhi oleh si makmum sendiri. Sedang mathlub imam ialah, syarat-syarat sah yang dituntut dan dmiliki bagi imam. Atau makmum harus mengetahui bahwa syarat lima itu harus ada pada imam. Kalau kurang dari lima syarat tadi, makmum tidak sah berjamaah dengannya. Dengan demikian 12 syarat makmum tersebut harus dipegang semuanya oleh makmum (Abyanal Hawaij: II/322).

Kedua mathlub tersebut harus diketahui oleh si makmum yang bersangkutan, karena juga sebagai syarat sah yang dilakukan si makmum.
Syarat Mathlub Makmum
Bahwa syarat-syarat sah yang diperintahkan untuk dipenuhi oleh makmum, atau mathlub makmum ialah sebanyak tujuh perkara:

1. Jangan sampai tumit makmum mendahului dari tempat berdirinya imam. Tidak mengapa kalau yang mendahului hanya jari-jari kaki saj atau sepadan tumitnya dengan tumit imam. Tetapi kedua hal tersebut adalah makruh. (Fathul Mu’in: 36) 
2. Mengetahui pada peralihan imam dalam gerakan rku’, sujud dan lainnya. Cara mengetahui boleh dengan barisan (shaf) atau dengan suara orang yang menyampaikan (mubaligh) atau dengan cara lain (Fathul Mu’in: 37)
3. Berkumpul imam dan makmum dalam satu tempat. Jangan lebih dari tigaratus zira’ (+ 150 meter) jarak antara imam dan makmum. Hal ini apabila shalat si imam di dalam masjid, sedang makmum berada di luar masjid. Akan tetapi kalau imam dan makmum dalam satu masjid, aturan tersebut tidak berlaku. Bahkan andaikata antara imam dan makmum berjarak lebih jauh dari ketentuan itupun tidak mengapa (Fathul Mu’in: 37)
4. Berniyat menganut kepada imam dan makmum.‎
5. Muwafakati makmum terhadap shalatnya imam. Tidak sah shalat dhuhur menganut pada imam yang menshalaatkan mayat. Karena jelas berbeda praktek shalat anatara imam dan makmum. 
6. Muwafakati pada pengamalan sunnah yang dikerjakan oleh imam. Janganlah terlalu berbeda dari sunnah yang dikerjakan oleh imam.  Seperti imam melakukan sujud shawi (sujud karena lupa), sedangkan makmum tidak melakukannya, dan demikian pula sebaliknya. Atau imam meninggalkan tahiyyat awal, sedang makmum melakukannya, dan demikian pula sebaliknya. Apabila terjadi pelanggaran “perbedaan jauh” dengan sengaja dan ia mengetahuinya, maka shalat si makmum menjadi batal. Lain masalah kalau sunnah yang dikerjakan itu tidak terlalu jauh berbeda dengan imam, maka shalatnya tidak batal. Seperti imam membaca qunut, sedang si makmum tidak membacanya, atau sebaliknya (Fathul Mu’in: 37).
7. Takbiratl Ihram si makmum setelah selesai takbiratul ihramnya imam.

Syarat-syarat Mathlub Imam 
Bahwa syarat-syarat yang harus terpenuhi (mathlub) oleh imam ialah sebanyak lima perkara. Akan tetapi syarat lima perkara itu merupakan tuntutan untuk diketahui oleh makmum, ialah:

1. Keyakinan atau kemantapan hati si makmum terhadap shalatnya imam tidak salah. Artinya makmum sudah tidak ragu-ragu lagi atas kebenaran shalatnya imam. Salah satu contoh imam yang sudah dikenal benar bacaannya, benar praktek shalatnya. Contoh lain orang Ahlussunnahmakmum kepada Ahlussunnah. Tidak sah makmum kepada imam beda firqoh /aliran Murji’ah, Kharajiya, Qadariyah, Jabariyah. syi'ah Bermazhab Syafi’i bermakmum kepada imam bermazhab Syafi’i.
2. Seorang imam itu bukan orang yang sedang makmum, baik ketika sendirian shalatnya (munfarid) ataupun niat menjadi imam shalat. Artinya makmum tidak menemukan sesuatu sebab imam akan mengulang kembali shalatnya nanti (mu’adah), misalnya hadtsnya imam, kufurnya imam dan lain-lain. Seperti dalam Hamisy Busyral Karim disebutkan:
ولوصلّى خلفة ثمّ تبيّن كفره او جنوبه اوكونه امرأة او مأموما اوامّيّاااعادها لاان بان محدثا او جنبااوعليه نجاسة خفيّة او ظاهرة. هامش يشرى الكريم الجزءالاول:123)

“Jika seorang shalat di belakang imam, kemudian ternyata kufurnya, atau gilanya si imam, atau adanya imam perempuan, atau sedang makmum, atau ummy, maka mengulanglah makmum akan shalatnya.”

Al-Muqaddimatul Hadlramiyah Ahmad Ibnu Hajar al-Haitami mengatakan:

ومحلّ هذاوماقبله في غير الدمعة وفيها ان زدالاماعلى الاربعين والاّ بطلت لبتلان صلاة الامام فلم يتمّ العدد , مختصر بفضال هامش الحوشي المدانية جزئ:2 صحفه: 11.

“Dan tempatnya ini dan yang sebelumnya itu pada selain shalat Jum’at, dan pada Jum’at jika lebih imam itu dari 40 orang. Dan jika tidak lebih dari 40 orang batallah Jum’at, karena batalnya shalat imam, maka tidak sempurnalah bilangan 40 orang”. (Mukhtashar: II/11)
    
3.  Shalatnya iamam tidak akan wajib mengulang. 
4.  Bacaan imam jangan ummy (rusak), baik karena malas belajar atau terdapat padanya uzur, kalau ternyata si makmum itu qari’ (benar bacaan) di dalam Fatihah atau ayat al-Qur’an. Tidak sah pula ummy makmum dengan imam ummy yang berbeda umminya dari bacaan huruf. 
5. Imam itu harus benar-benar orang lelaki, kalau makmum itu juga lelaki, atau khuntsa
 
Gambaran makmum sembilan orang itu sah dalam lima perkara:
(1) makmum lelaki dengan lelaki,
(2) wanita dengan lelaki,
(3) khuntsa dengan lelaki,
(4) wanita dengan khuntsa, dan
(5) wanita dengan wanita.

Dan batal dalam empat perkara:
(1) makmum lelaki dengan wanita,
(2) lelaki dengan khuntsa,
(3) khuntsa dengan wanita,
(4) khuntsa dengan khuntsa

(Syarh Kasyifat al-Syaja’ ala Safinat al-Naja: 89)

lalu bagaimana bila imam tersebut belum baligh, tapi dia laki laki...

jawabnya : SAAAAAAAAAH....

Kalangan Syafi’iyyah mengabshah kan dan membolehka nnya namun dalam kondisi normal hendaknya tidak menjadikan  imam shalat kecuali yang telah dewasa yang tahu tentang shalat agar dapat mengatasi hal-hal yang tiba-tiba terjadi dalam shalat.

(فرع) في مذاهب العلماء في صحة امامة الصبى للبالغين: قد ذكرنا ان مذهبنا صحتها وحكاه ابن المنذر عن الحسن البصري واسحق ابن راهويه وابي ثور قال وكرهها عطاء والشعبى ومجاهد ومالك والثوري واصحاب الرأى وهو مروى عن ابن عباس وقال الاوزاعي لا يؤم في مكتوبة الا ان لا يكون فيهم من يحفظ شيئا من القرآن غيره فيؤمهم المراهق وقال الزهري ان اضطروا إليه أمهم قال ابن المنذر وبالجواز اقول وقال العبدرى قال مالك وأبو حنيفة تصح امامة الصبى في النفل دون الفرض وقال داود لا تصح في فرض ولا نفل وقال احمد لا تصح في الفرض وفى والنفل روايتان وقال القاضى أبو الطيب قال أبو حنيفة ومالك والثوري والاوزاعي واحمد واسحق لا يجوز ان يكون اماما في مكتوبة ويجوز في النفل قال وربما قال بعض الحنفية لا تنعقد صلاته
‎‎
MENERANGKAN TENTANG PENDAPAT MADZHAB ULAMA DALAM KEABSAHAN MENJADI IMAM SHALATNYA BOCAH ATAS ORANG-ORAN G DEWASA  

Telah kami sebutkan bahwa dikalangan kami ((Syafi’iyyah) mengabshah kan keimaman bocah atas orang dewasa pendapat demikian dihkayahka n oleh Ibn Mundzir dari Hasan al-Bashri,  Ishaq, Ibn Rahaawih dan Abu Tsaur, sedang Imam ‘Atha’, as-Syi’bi,  Mujahid, Malik dan ats-Tsaury  serta para Ashab ar-Ra’yi dengan meriwayatk an dari Ibn Abbas memakruhka nnya.

al-Auzaa’i  berkata “Jangan dijadikan imam shalat lima waktu kecuali bila disana tidak terdapati seorangpun  yang hafal sedikitpun dari ayat-ayat al-Quran”.  
az-Zuhry berkata “Bila dibutuhkan (terpaksa)  jadikan ia imam”.

Sedang dalam kebolehan menjadi imamnya seorang bocah atas orang dewasa dalam shalat diatas Ibn Mundzir menyatakan beberapa pendapat :  

al-‘Abdari  berkata “Imam Malik dan Abu Hanifah sah dalam shalat sunat bukan shalat wajib”.

Daud berkata “Tidak sah dalam shalat wajib ataupun shalat sunat”.

Imam Ahmad berkata “Sah dalam shalat wajib sedang dalam shalat sunat terdapat dua riwayat”.  

al-Qadhi Abu Thayyib, Abu Hanifah, Malik, ats-Tsauri , al-Auzaa’i , Ahmad dan Ishaq berkata “Tidak boleh dalam shalat wajib dan boleh dalam shalat sunat

dan sebagian kalangan Hanafiyyah menyatakan  tidak sah shalatnya” Al-Majmuu ala Syarh al-Muhadzd zab IV/249

إمَامَةُ الصَّبِيِّ  لم يَبْلُغْ * + ( قال الشَّافِعِ يُّ ) رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى إذَا أَمَّ الْغُلَامُ  الذي لم يَبْلُغْ الذي يَعْقِلُ الصَّلَاةَ  وَيَقْرَأُ  الرِّجَالَ الْبَالِغِ ينَ فإذا أَقَامَ الصَّلَاةَ  أَجْزَأَتْ هُمْ إمَامَتُهُ  وَالِاخْتِ يَارُ أَنْ لَا يَؤُمَّ إلَّا بَالِغٌ وَأَنْ يَكُونَ الْإِمَامُ  الْبَالِغُ  عَالِمًا بِمَا لَعَلَّهُ يَعْرِضُ له في الصَّلَاةِ

Menjadi imamnya bocah yang belum balighImam Syafi’i berkata “Bila bocah yang belum baligh namun ia telah mengerti tentang shalat dan tahu bacaan-bac annya mengimami orang-oran g yang telah dewasa maka boleh keimamanny a namun dalam kondisi normal hendaknya tidak menjadikan imam shalat kecuali yang telah dewasa yang tahu tentang shalat agar dapat mengatasi hal-hal yang tiba-tiba terjadi dalam shalat. Al-Umm I/166‎

Makmum Masbuq ‎

Setiap muslim dianjurkan untuk melaksanakan sholat berjamaah di masjid tepat pada waktunya. Namun dalam  prakteknya ada diantara kaum muslimin yang masih tertinggal sholat berjamaah atau lebih di kenal dengan istilah Masbuq. Maka seperti apakah permasalahan Masbuq itu?‎
1. Devinisi Masbuq
Secara etimologi Masbuq adalah isim maf’ul dari kata “  سبق”  yang bermakna “ terdahului/tertinggal”.

Adapun secara terminologi Masbuq adalah Orang yang tertinggal sebagian raka’at atau semuanya dari imam dalam sholat berjama’ah. Atau orang yang mendapati imam setelah raka’at pertama atau lebih dalam sholat berjama’ah. (Kamus al-Muhith, Qawaid al-Fiqh dan Hasyiyah Ibnu ‘Abidin, 1/400)
2.  Kapan Seorang Makmum itu Disebut Masbuq?
Dalam hal ini, terdapat perbedaan pendapat. Dimana ada dua pendapat  mengenai kapan seorang makmum itu disebut masbuq.
Pendapat Pertama:

Yaitu pendapat Jumhur Ulama yang menyatakan bahwa seorang makmum disebut masbuq itu apabila ia tertinggal ruku’ bersama imam.  Jika seorang makmum mendapati imam sedang ruku’, kemudian ia ruku bersama imam, maka ia mendapatkan satu raka’at dan tidak disebut masbuq. Dan gugurlah kewajiban membaca surat al-Fatihah.

Dalil-dalil Pendapat Pertama:

مَنْ أَدْرَكَ الرُّكُوْعَ فَقَدْ أَدْرَكَ الرَّكْعَةَ  { أبو داود ، الفقه الإسلامي – سليمان رشيد 116 }
Artinya: “Siapa yang mendapatkan ruku’, maka ia mendapatkan satu raka’at”. (HR. Abu Dawud, FIqh Islam-Sulaiman Rasyid : 116)

عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رضي الله عنه قَالَ، قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلّى الله عليه و سلم : ” إِذَا جِئْتُمْ إِلَى الصَّلاَةِ وَ نَحْنُ سُجُوْدٌ فَاسْجُدُوْا وَ لاَ تَعُدُّوْهاَ شَيْئاً وَ مَنْ أَدْرَكَ الرَّكْعَةَ فَقَدْ أَدْرَكَ الصَّلاَةَ  “ { رواه أبو داود 1 : 207،عون المعبود  3 : 145}
Dari Abu Hurairah, ia mengatakan bahwa Rasulullah SAW telah bersabda : “ Apabila kamu datang untuk shalat, padahal kami sedang sujud, maka bersujudlah, dan jangan kamu hitung sesuatu (satu raka’at) dan siapa yang mendapatkan ruku’, bererti ia mendapat satu rak’at dalam sholat (nya)”. ( H.R Abu Dawud 1 : 207, Aunul Ma’bud – Syarah Sunan Abu Dawud  3 : 145 )

Jumhur Ulama berkata:  “Yang dimaksud dengan raka’at disni adalah ruku’, maka yang mendapati imam sedang ruku’ kemudian ia ruku’ maka ia mendapatkan satu raka’at. (Al-Mu’in Al-Mubin 1 : 93, Aunul Ma’bud 3 : 145)

إِنَّ أَباَ بَكْرَةَ إِنْتَهَى إِلَى النَّبِيِّ صلّى الله عليه و سلم وَ هُوَ رَاكِعٌ فَرَكَعَ قَبْلَ أَنْ يَصِلَ إِلَى الصَّفِّ فَذَكَرَ ذَلِكَ لِلنَّبِيِّ صلّى الله عليه و سلم فَقاَلَ : ” زَادَكَ اللهُ حِرْصاً وَ لاَ تُعِدْ “  { رواه البخاري، فتح الباري 2 : 381}
“ Sesungguhnya Abu Bakrah telah datang untuk solat bersama Nabi SAW (sedangkan) Nabi SAW dalam keadaan ruku’, kemudian ia ruku’ sebelum sampai menuju shaf. Hal itu disampaikan kepada Nabi SAW, maka Nabi SAW bersabda  (kepadanya) : “ Semoga Allah menambahkan kesungguhanmu, tetapi jangan kamu ulangi lagi ”.

Dari dalil-dalil diatas bisa ditarik kesimpulan bahwa menurut jumhur ulama seorang dikatakan masbuk itu apabila ia tidak sempat ruku’ bersama imam.
Pendapat Kedua

Pendapat ini mengatakan bahwa makmum disebut masbuk apabila ia tertinggal bacaan surat Al-Fatihah. Ini adalah pendapat segolongan dari ulama. Diantaranya adalah ucapan Abu Hurairah, diriwayatkan oleh Imam Bukhori tentang bacaan al-Afatihah di belakang imam dari setiap pendapat yang mewajibkan bacaan al-Afatihah di belakang imam. Demikian pula pendapat Ibnu Khuzaimah, Dhob’idan selain keduanya dari Muhaddits Syafi’iyyahkemudian diperkuat oleh Syaikh Taqiyyuddin As-Subki dari Ulama Mutakhkhirin dan ditarjih oleh al-Muqbili, ia berkata: “Aku telah mengkaji permasalahan ini dan aku menghimpunnya pada pengkajianku secara fiqih dan hadits maka aku tidak mendapatkan darinya selain yang telah aku sebutkan yaitu tidak terhitung raka’at dengan mendapatkan ruku’. (‘Aunul Ma’bud 3:146)

Sanggahan Pendapat kedua terhadap dalil-dalil jumhur ulama yang menyatakan bahwa makmum yang mendapatkan ruku bersama imam maka ia mendapatkan satu raka’at. Diantaranya:

Dalam Sunan Abu Dawud tidak ada redaksi hadits dengan lafazh matan seperti tersebut diatas. Pendapat ini cenderung beranggapan salah tukil saja.
Pada hadits (no 2) terdapat rawi yang bernamaYahya Bin Abi Sulaiman Al-Madani. Menurut Amirul Mukminin dalam hadits (yaitu) Muhammad Bin Ismail Al-Bukhari dalam (kitab) Juz-u Al-Qiraat, Yahya (ini) munkarul hadits. ( Mizanul I’tidal 4 : 383, Aunul Ma’bud 3 : 147 ) Sedangkan yang dimaksud dengan Munkarul Hadits menurut pernyataan Imam Bukhori adalah: “ Setiap orang yang aku nyatakan Munkarul Hadits, berarti tidak dapat dijadikan hujjah ”. Bahkan dalam satu riwayat (dinyatakan) : “ tidak boleh meriwayatkannya”. ( Fathul Mughits  1 : 346 ). Imam Syaukaniberkata : “Hadits tersebut bukan dalil atas pendapat mereka, kerana anda pasti tahu, bahwa yang disebut raka’at itu (mencakup) semua aspek; bacaan, rukun-rukunnya secara hakiki syar’i, maupun ‘urf (kebiasaan). Kedua arti tersebut harus lebih didahulukan daripada arti menurut bahasa. Demikian ketetapan para ahli Ushul Fiqih. ( Nailul Authar, Asy-Syaukani 2 : 219 )‎
Ibnu Hazm dalam kitab Al-Muhalla telah menjawab / membahas mengenai hadits Abu Bakrah, (menurutnya) bahwa hadits tersebut tidak dapat dijadikan hujjah / alasan / argumentasi oleh mereka dalam hal tersebut (yaitu termasuk raka’at asalkan mendapat ruku’) kerana pada hadits tersebut tidak dinyatakan cukup (terhitung) raka’at. ( Aunul Ma’bud, Syarah Sunan Abu Dawud 3  : 146 ).
Menurut Asy-Syaukani : Dalam hadits tersebut tidak ada dalil / bukan dalil yang menguatkan pendapat mereka, kerana sebagaimana (dimaklumi) tidak ada perintah mengulangi (raka’at), tapi juga tidak menyatakan terhitung raka’at. Adapun Nabi mendoakan kepadanya agar lebih bersungguh-sungguh, itu tidak berarti terhitung satu raka’at. ( ‘Aunul Ma’bud, 3:146 )

Adapun dalil-dalil pendapat kedua ini, bahwa seorang disebut masbuk apabila tertinggal bacaan al-Fatihah bukan tertinggal ruku’ adalah:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رضي الله عنه أَنَّهُ قاَلَ : إِنْ أَدْرَكْتَ الْقَوْمَ رُكُوْعاً لَمْ تَعْتَدَّ بِتِلْكَ الرَّكْعَةِ. { رواه البخاري، عون المعبود{ 3:147,
Dari Abi Hurairah ra, bahwasanya ia berkata : “ Jika engkau mendapatkan suatu kaum sedang ruku’, maka tidak terhitung raka’at ”. ( H.R Al-Bukhari, Aunul Ma’bud 3 : 147 )

Imam Syaukani berkata: “Telah diketahui sebelumnya bahwa kewajiban membaca Al-Fatihah itu untuk imam dan makmum pada setiap raka’at. Dan kami telah menjelaskan bahwa dalil-dalil tersebut sah untuk dijadikan hujjah bahwa membaca Al-Fatihah itu termasuk syarat sahnya sholat. Maka siapa saja yang mengira bahwa sholat itu sah tanpa membaca al-Fatihah, ia haruslah menunjukkan keterangan yang mengkhususkan dalil-dalil tersebut.”

عَنْ قَتاَدَةَ أَنَّ النَّبِيَّ صلّى الله عليه و سلّم كَانَ يَقْرَأُ فِي كُلِّ رَكْعَةٍ بِفاَتِحَةِ الْكِتاَبِ. { رواه الترمذي  
Dari Qatadah, bahwa Nabi SAW membaca Fatihatil Kitab pada setiap raka’at ”.  ( H.R  At-Tirmidzi )

عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِيِّ صلّى الله عليه و سلّم قاَلَ : إِذَا سَمِعْتُمُ اْلإِقاَمَةَ فَامْشُوْا إِلَى الصَّلاَةِ وَ عَلَيْكُمُ السَّكِيْنَةَ وَ الْوِقاَرَ وَ لاَ تُسْرِعُوْا فَماَ أَدْرَكْتُمْ فَصَلُّوْا وَ ماَ فاَتَكُمْ فَأَتِمُّوْا. { رواه الجماعة، فتح الباري{ 2: 167,  
Dari Abi Hurairah, dari Nabi SAW, ia bersabda : “ Apabila kamu mendengar Iqamah, pergilah untuk sholat, dan kamu mesti tenang, santai serta tidak terburu-buru. Apa yang kamu dapati (bersama imam) sholatlah, dan apa yang ketinggalan (dari imam), maka sempurnakanlah ”. ( H.R  Al-Jama’ah, Fathul Bari 2 : 167 )

Menurut Imam Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam kitab Fathul Bari : Hadits tersebut dapat dijadikan dalil / alasan bahwa orang yang mendapatkan imam sedang ruku tidak dihitung raka’at, kerana ada perintah untuk menyempurnakan  (apa-apa) yang ketinggalan, sedangkan (dalam hal ini) jelas makmum ketinggalan (tidak ikut berdiri dan membaca fatihah). (Fathul Bari : 2: 170)

Imam Syaukani berkata : “Dengan ini, jelaslah kelemahan alasan-alasan pendapat Jumhur Ulama yang menyatakan bahwa siapa yang mendapatkan imam dalam keadaan ruku’, termasuk raka’at bersamanya (imam) dan dapat dihitung satu raka’at sekalipun tidak mendapat bacaan (Al-Fatihah) sedikitpun”. ( Aunul Ma’bud, Syarah Sunan Abu Dawud 3 : 147 )

Inilah Muhammad Bin Ismail Al-Bukhari, salah seorang mujtahid serta tokoh agama, beliau berpendapat bahwa yang mendapat ruku’ (bersama-sama dengan imam) tidak dihitung mendapat raka’at, sampai ia membaca Fatihatul Kitab (dengan sempurna), maka ia mesti mengulangi lagi raka’at  (yang tidak sempat membaca Al-Fatihah) setelah imam salam.  ( Aunul Ma’bud, Syarah Sunan Abu Dawud 3 : 152 )
3. Waktu Berdirinya Orang yang Masbuk untuk Menyempurnakan Raka’at yang terlewat.
Menurut Madzhab Hanafi :

Seorang yang masbuk berdiri untuk menyempurnakan raka’at yang tertinggal bukanlah setelah dua salam, tetapi menunggu selesainya imam, dan diam sejenak sampai imam bangkit untuk melaksanakan sholat sunnah jika setelahnya ada sholat sunnah. Atau membelakangi mihrab jika setelahnya tidak ada sholat sunnah. Atau berpindah dari tempatnya.

Dan tidak boleh berdiri sebelum salam setelah tasyahud kecuali di beberapa kondisi: – apabila seorang pengukur tanah takut kehilangan masanya. – atau yang memiliki kebutuhan takut keluar dari waktunya. Apabila yang masbuk pada sholat jum’at khawatir masuk pada waktu ashar. Atau masuk sholat zhuhur pada sholat ‘id, atau terbit matahari pada sholat shubuh. Ataupun khwatir berhadats. Maka bagi yang tersebut itu boleh untuk tidak menunggu selesainya imam.

Menurut Madzhab Maliki:

Seorang yang masbuk berdiri untuk menyempurnakan raka’atnya yang terlewat setelah imam salam. Apabila ia berdiri sebelum imam salam, maka sholatnya batal. (Ad-Dasuki 1/345)

Menurut MAdzhab Safi’i:
Disunnahkan bagi yang masbuk untuk menyempurkan raka’at yang tertinggal setelah imam menyelesaikan kedua salamnya. Jika ia berdiri setelah imam selesai mengucapkan: “Assalamu’alaikum”, pada salam pertama, maka boleh. Jika ia berdiri sebelum imam mengucapkan dua salam maka sholatnya batal. Sekalipun ia berdiri setelah imam mengucapkan salam sebelum selesai membaca: “’alaikum”, maka hukumnya seperti apabila ia berdiri sebelum imam mengucapkan dua salam. (Roudhoh at-Tholibin 1/378 dan Majmu’, 3/487)
Menurut Madzhab Hanbali:

Seorang yang masbuk berdiri untuk menyempurnakan raka’at yang luput setelah salam kedua imamnya. Jika ia berdiri sebelum salam imam dan tidak kembali untuk berdiri setelah salamnya. Maka sholatnya berubah menjadi sunnah. (Syarah Muntaha Al-Iradat 1/248 dan al-Inshaf, 2/222)
Menyempurnakan Raka’at yang Tertinggal.

Jumhur Ulama (Hanafiyyah, Malikiyyah dan Hanabilah) berpendapat bahwa apa yang didapati seorang masbuk dari sholatnya bersama imam maka itu adalah akhir sholatnya. Dan apa yang disempurnakan oleh seorang masbuk adalah raka’at awal sholatnya. (Al-Bahru Raiq, 1/313, Asy-Syarh Ash-Shagir 1/458, dan Al-Inshaf 4/225)

Menurut Madzhab Syafi’i; Apa yang didapati masbuk dari sholat bersama imam maka itu adalah awal sholatnya. Dan apa yang disempurnakannya setelah imam salam adalah akhirnya. Berdasarkan sabda Rosulullah: “Maka apa yang kamu dapati (bersama imam) sholatlah, dan apa yang kamu luput (bersama imam) maka sempurnakanlah”. Dan penyempurnaan sesuatu itu tidaklah ada kecuali setelah permulaannya. Berdasarkan ini, apabila ia sholat shubuh bersama imam pada raka’at yang kedua kemudian qunut bersama imam, maka ia harus mengulang qunut. Kalau ia mendapati satu raka’at sholat magrib bersama imam, maka tasyahud yang keduanya itu sunnah, karena ia menempati tasyahudnya yang pertama. Dan tasyahudnya bersama imam lil mutaba’ah (mengikuti) hal itu adalah hujjah bahwa apa yang ia dapati bersama imam adalah permulaan sholatnya. (Mugni Al-Muhtaj 1/206)‎
4.  Mengangkat Imam Pada Sholat Masbuq?
Pada dasarnya tidak apa-apa seorang yang masbuk menjadi imam. Apabila seseorang datang untuk sholat berjama’ah, sedangkan imam dan jama’ahnya sudah selesai melaksanakan shalat. Kemudia ia mendapatkan seorang masbuk yang sedang menyempurnakan raka’at yang tertinggal, maka ia berdiri disamping kanannya dan menjadikan orang yang masbuk itu imam untuknya supaya mendapatkan pahala berjamaah. Maka insya Allah hal tersebut sah.

Pada contoh seperti ini, Syaikh Bin Baz berkata : “Tidak apa-apa akan hal tersebut insya Allah menurut yang shohih”. Dan ia berkata: “Dianjurkan baginya sholat bersama yang masbuk dimana ia berdiri disamping kanannya. Dengan semangat untuk mendapatkan fadhilah sholat berjama’ah. Dan orang yang masbuk merubah niatnya menjadi imam, maka tidaklah mengapa pada hal tersebut menurut ucapan para ulama yang paling shohih”. (Kitab Ad-Da’wah 2/117)

Tapi bagaimana jika mengangkat yang masbuk menjadi imam untuk yang masbuk. Misalkan ada tiga orang masbuk. Setelah imam salam, kemudian mereka berdiri untuk menyempurnakan raka’at yang tertinggal dan mengangkat imam dari salah seorang diantara mereka. Maka dalam hal ini terdapat perbedaan pendapat.

Pendapat Pertama:

Menurut pendapat ini, mengangkat yang masbuk menjadi imam pada sholat masbuk itu tidak boleh, bahkan sebagian dari mereka mengkategorikannya kepada perbuatan bid’ah. Hal tersebut dikarenakan tidak adanya satu pun dalil yang menjelaskan secara shorih bahwa Rosulullah memerintahkan atau mencontohkannya.

Ketika Abdurrahman bin ‘Auf yang menjadi imam shalat memberi salam (selesai shalat), kemudian Nabi shallahu’alaihi wa sallam dan Mughirah menyempurnakan satu raka’at yang tertinggal sendiri-sendiri tidak membuat jama’ah. (Hadits riwayat Muslim dan lain-lain.)

Pendapat Kedua:

Pendapat ini membantah pernyataan pendapat pertama, bahwa tidak boleh mengangkat imam pada sholat masbuk. Pendapat ini merujuk pada hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Mugirah bin Syu’bah diamana hadits ini menjelaskan bahwa Mugirah bersama Rosulullah pernah masbuq. Adapun hadits tersebut sebagai berikut:

عَنْ عُرْوَةَ بْنِ الْمُغِيرَةِ بْنِ شُعْبَةَ عَنْ أَبِيهِ قَالَ تَخَلَّفَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَتَخَلَّفْتُ مَعَهُ فَلَمَّا قَضَى حَاجَتَهُ قَالَ أَمَعَكَ مَاءٌ فَأَتَيْتُهُ بِمِطْهَرَةٍ فَغَسَلَ كَفَّيْهِ وَوَجْهَهُ ثُمَّ ذَهَبَ يَحْسِرُ عَنْ ذِرَاعَيْهِ فَضَاقَ كُمُّ الْجُبَّةِ فَأَخْرَجَ يَدَهُ مِنْ تَحْتِ الْجُبَّةِ وَأَلْقَى الْجُبَّةَ عَلَى مَنْكِبَيْهِ وَغَسَلَ ذِرَاعَيْهِ وَمَسَحَ بِنَاصِيَتِهِ وَعَلَى الْعِمَامَةِ وَعَلَى خُفَّيْهِ ثُمَّ رَكِبَ وَرَكِبْتُ فَانْتَهَيْنَا إِلَى الْقَوْمِ وَقَدْ قَامُوا فِي الصَّلَاةِ يُصَلِّي بِهِمْ عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ عَوْفٍ وَقَدْ رَكَعَ بِهِمْ رَكْعَةً فَلَمَّا أَحَسَّ بِالنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَهَبَ يَتَأَخَّرُ فَأَوْمَأَ إِلَيْهِ فَصَلَّى بِهِمْ فَلَمَّا سَلَّمَ قَامَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقُمْتُ فَرَكَعْنَا الرَّكْعَةَ الَّتِي سَبَقَتْنَا.

Artinya: Dari muqhirah bin syu’bah dari ayahnya dia berkata: Rasulullah tertinggal (dari rombongan pasukan) dan aku tertinggal bersama beliau, ketika beliau selesai dari hajatnya, beliau bertanya apakah kamu ada air? Maka aku bawakan ember (tempat bersuci), kemudian membasuh kedua telapak tanganya, wajahnya dan menyingkap lengannya, namun lengan jubahnya terlalu sempit, maka beliau mengeluarkan tangannya dari bahwa jubah, dan meletakkan jubahnya di atas bahunya, kemudian beliau membasuh kedua lengannya dan mengusap ubun-ubunnya, dan bagian atas surbannya serta kedua khufnya (semacam kaos kaki dari kulit), kemudian beliau naik (kendaraan) dan akupun naik, ketika kami sampai pada rombongan kaum (para sahabat), mereka sedang shalat yang diimami oleh Abdurrahman bin Auf, dan sudah selesai satu rakaat, ketika (Abdurrahman bin Auf) menyadari kedatangan Rasulullah, dia mundur, maka Rasulullah memberi isyarat kepadanya, maka (Abdurrahman bin Auf) meneruskan tetap mengimami shalat mereka, maka ketika Abdurrahman bin Auf salam (selesai shalat), Rasulullah berdiri, dan aku berdiri, kami ruku’ (menyempurnakan) rakaat yang tertinggal. (HR. Imam Muslim, 2/123 Bab Al-Mashu ‘ala An-Nashiyah wa al-‘Imamah no: 81)‎‎

أَنَّ الْمُغِيرَةَ بْنَ شُعْبَةَ أَخْبَرَهُ أَنَّهُ غَزَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَبُوكَ قَالَ الْمُغِيرَةُ فَتَبَرَّزَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قِبَلَ الْغَائِطِ فَحَمَلْتُ مَعَهُ إِدَاوَةً قَبْلَ صَلَاةِ الْفَجْرِ فَلَمَّا رَجَعَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَيَّ أَخَذْتُ أُهَرِيقُ عَلَى يَدَيْهِ مِنْ الْإِدَاوَةِ وَغَسَلَ يَدَيْهِ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ ثُمَّ غَسَلَ وَجْهَهُ ثُمَّ ذَهَبَ يُخْرِجُ جُبَّتَهُ عَنْ ذِرَاعَيْهِ فَضَاقَ كُمَّا جُبَّتِهِ فَأَدْخَلَ يَدَيْهِ فِي الْجُبَّةِ حَتَّى أَخْرَجَ ذِرَاعَيْهِ مِنْ أَسْفَلِ الْجُبَّةِ وَغَسَلَ ذِرَاعَيْهِ إِلَى الْمِرْفَقَيْنِ ثُمَّ تَوَضَّأَ عَلَى خُفَّيْهِ ثُمَّ أَقْبَلَ قَالَ الْمُغِيرَةُ فَأَقْبَلْتُ مَعَهُ حَتَّى نَجِدُ النَّاسَ قَدْ قَدَّمُوا عَبْدَ الرَّحْمَنِ بْنَ عَوْفٍ فَصَلَّى لَهُمْ فَأَدْرَكَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِحْدَى الرَّكْعَتَيْنِ فَصَلَّى مَعَ النَّاسِ الرَّكْعَةَ الْآخِرَةَ فَلَمَّا سَلَّمَ عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ عَوْفٍ قَامَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُتِمُّ صَلَاتَهُ فَأَفْزَعَ ذَلِكَ الْمُسْلِمِينَ فَأَكْثَرُوا التَّسْبِيحَ فَلَمَّا قَضَى النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَاتَهُ أَقْبَلَ عَلَيْهِمْ ثُمَّ قَالَ أَحْسَنْتُمْ أَوْ قَالَ قَدْ أَصَبْتُمْ يَغْبِطُهُمْ أَنْ صَلَّوْا الصَّلَاةَ لِوَقْتِهَا

Artinya: “Bahwasannya Muqhirah bin Syu’bah menceritakan, bahwa dia berperang bersama Rasulullah Saw diperang Tabuk. Mughirah berkata; Rasulullah hendak membuang hajat, kemudia mencari tempat yang tertutup, maka aku bawakan satu ember air sebelum shalat subuh, ketika beliau kembali, aku tuangkan air dari ember itu ketangannya, beliau membasuh tiga kali, kemudian membasuh wajahnya, kemudian menyingsingkan jubahnya untuk mengeluarkan lengannya, akan tetapi lengan jubah itu sempet, maka Rasulullah memasukan tangannya kedalam jubahnya dan mengeluarkannya dari bawah jubah, maka beliau membasuh kedua tangannya sampai kedua sikunya, kemudian beliau berwudlu di atas khuf (maksudnya tidak membasuh kaki, tapi beliau cukup mengusap bagian atas khuf (semacam kaos kaki yang terbuat dari kulit), kemudian beliau bergegas (menyusul rombongan), Mughirah berkata: akupun bergegas bersama beliau, maka kami mendapati romobongan (para sahabat) sedang shalat shalat, dan Abdurrahman bin Auf yang menjadi imam mereka, dan sudah masuk rakaat terakhir. Maka ketika Abdurrahman bin Auf salam dan selesai shalat, Rasulullah menyempurnakan shalatnya, maka hal itu membuat kaum muslimin keheranan (Rasulullah menjadi ma’mum), merekapun memperbanyak tasbih, maka ketika Rasulullah selesai shalat, beliau menghadap kepada para sahabat dan berkata: ahsantum (kalian telah berbuat benar), Mughirah berkata: atau beliau waktu itu mengatakan: kalian benar, dimana mengajak manusia untuk shalat tepat pada waktunya”. (HR. Imam Muslim 2/107 no: 105)

Itulah diantara dalil pendapat kedua ini yang menjelaskan bahwa Rosulullah dan Mugirah masbuk kemudian mereka menyempurnakan raka’at yang tertinggal secara berjama’ah. Hal teresebut seperti yang disebutkan dalam hadits :
 “قَامَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقُمْتُ فَرَكَعْنَا الرَّكْعَةَ الَّتِي سَبَقَتْنَا “

yang artinya : Rasulullah berdiri, dan aku berdiri, kami ruku’ (menyempurnakan) rakaat yang tertinggal.

Penggunaan dhamir nahnu secara makna asal (hakiki) menunjukkan bahwa orang pertama dan ketiga (yang dibicarakan) melakukan suatu perbuatan secara bersama-sama. Berarti melakukan rakaat shalat yang ketinggalan itu dengan berjamaah.Apabila tidak diartikan demikian harus menunjukkan qarinah (keterangan pendukung). Sebagai perbandingan kita lihat penggunaan dhamir yang sama pada kalimat sebelumnya dalam riwayat Muslim.

Oleh karena iltu lah pendapat ini berpegang pada hadits tersebut, bahwa seorang masbuk boleh mengangkat imam pada sholat masbuk. Kemudian juga didukung dengan hadits yang menjelaskan tentang keutamaan sholat berjamaah.‎

Penjelasan Tentang Anak Kecil Menjadi Imam Sholat

 

Pertama, batas jenjang usia anak dalam islam ada dua:

1. Batas tamyiz

Anak yang telah mencapai usia tamyiz disebut mumayiz. Diantara ciri anak yang mumayyiz : dia bisa membedakan antara yang baik dan yang tidak baik, dia sudah merasa malu ketika tidak menutup aurat, dia mengerti shalat harus serius, dst. yang menunjukkan fungsi akalnya normal.

Umumnya, seorang anak menjadi mumayiz ketika berusia 7 tahun.

2. Batas baligh

Batas dimana seorang anak telah dianggap dewasa oleh syariat, dan berkewajiban untuk melaksanakan beban syariat. Tidak ada batas usia baku untuk baligh, karena batas baligh kembali pada ciri fisik. Untuk laki-laki: telah mimpi basah, dan untuk wanita: telah mengalami haid. Untuk laki-laki, umumnya di usia 15 tahun.

(Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah, 7/157 – 160)

Kedua, fokus pembahasan kita adalah hukum anak mumayiz menjadi imam shalat jamaah, sementara makmumnya orang yang sudah baligh.

Para ulama membedakan antara shalat wajib dan shalat sunah. Berikut rincian yang disebutkan dalam Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah,

Mayoritas ulama (hanafiyah, malikiyah, dan hambali) berpendapat bahwa diantara syarat sah menjadi imam untuk shalat wajib, imam harus sudah baligh. Karena itu, anak mumayiz tidak bisa menjadi imam bagi makmumyang sudah baligh.
Untuk shalat sunah, seperti shalat taraweh, atau shalat gerhana, mayoritas ulama (Malikiyah, Syafiiyah, hambali, dan sebagian hanafiyah) membolehkan seorang anak mumayiz untuk menjadi imam bagi orang yang sudah baligh.
Pendapat yang kuat dalam madzhab hanafiyah, anak mumayiz tidak boleh jadi imam bagi orang baligh secara mutlak, baik dalam shalat wajib maupun shalat sunah.
Sementara Syafiiyah berpendapat, anak mumayiz boleh menjadi imam bagi orang baligh, baik dalam shalat wajib maupun shalat sunah. Terutama ketika anak mumayiz ini lebih banyak hafalan Al-Qurannya, dan lebih bagus gerakan shalatnya dibandingkan jamaahnya yang sudah baligh.
Al-Hafidz Ibn Hajar mengatakan,

إِلَى صِحَّة إِمَامَة الصَّبِيّ ذَهَبَ الْحَسَن الْبَصْرِيّ وَالشَّافِعِيّ وَإِسْحَاق , وَكَرِهَهَا مَالِك وَالثَّوْرَيْ , وَعَنْ أَبِي حَنِيفَة وَأَحْمَد رِوَايَتَانِ ، وَالْمَشْهُور عَنْهُمَا الْإِجْزَاء فِي النَّوَافِل دُونَ الْفَرَائِض

Tentang keabsahan anak kecil (mumayiz) yang menjadi imam merupakan pendapat Hasan Al-Bashri, As-Syafii, dan Ishaq bin Rahuyah. Sementara Imam Malik dan Ats-Tsauri melarangnya. Sementara ada dua riwayat keterangan dari Abu Hanifah dan Imam Ahmad. Pendapat yang masyhur dari dua ulama ini (Abu Hanifah dan Imam Ahmad), anak kecil sah jadi imam untuk shalat sunah dan bukan shalat wajib.
(Fathul Bari, 2/186)

Pendapat Terpilih

Pendapat yang rajih (lebih kuat) dalam hal ini adalah pendapat Imam As-Syafii, bahwa tidak dipersyaratkan imam shalat ‎harus sudah baligh. Anak kecil yang sudah tamyiz, memahami cara shalat yang benar, bisa jadi imam bagi makmum yang sudah baligh.

Dalil mengenai hal ini adalah hadis dari Amr bin Salamah radhiyallahu ‘anhuma, beliau menceritakan,

كُنَّا بِحَاضِرٍ يَمُرُّ بِنَا النَّاسُ إِذَا أَتَوُا النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَكَانُوا إِذَا رَجَعُوا مَرُّوا بِنَا، فَأَخْبَرُونَا أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ: كَذَا وَكَذَا وَكُنْتُ غُلَامًا حَافِظًا فَحَفِظْتُ مِنْ ذَلِكَ قُرْآنًا كَثِيرًا فَانْطَلَقَ أَبِي وَافِدًا إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي نَفَرٍ مِنْ قَوْمِهِ فَعَلَّمَهُمُ الصَّلَاةَ، فَقَالَ: «يَؤُمُّكُمْ أَقْرَؤُكُمْ» وَكُنْتُ أَقْرَأَهُمْ لِمَا كُنْتُ أَحْفَظُ فَقَدَّمُونِي فَكُنْتُ أَؤُمُّهُمْ وَعَلَيَّ بُرْدَةٌ لِي صَغِيرَةٌ صَفْرَاءُ…، فَكُنْتُ أَؤُمُّهُمْ وَأَنَا ابْنُ سَبْعِ سِنِينَ أَوْ ثَمَانِ سِنِينَ

Kami tinggal di kampung yang dilewati para sahabat ketika mereka hendak bertemu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di Madinah. Sepulang mereka dari Madinah, mereka melewati kampung kami. Mereka mengabarkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda demikian dan demikian. Ketika itu, saya adalah seorang anak yang cepat menghafal, sehingga aku bisa menghafal banyak ayat Al-Quran dari para sahabat yang lewat. Sampai akhirnya, ayahku datang menghadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersama masyarakatnya, dan beliau mengajari mereka tata cara shalat. Beliau bersabda, “Yang menjadi imam adalah yang paling banyak hafalan qurannya.”  Sementara Aku (Amr bin Salamah) adalah orang yang paling banyak hafalannya, karena aku sering menghafal. Sehingga mereka menyuruhku untuk menjadi imam. Akupun mengimami mereka dengan memakai pakaian kecil milikku yang berwarna kuning…, aku mengimami mereka ketika aku berusia 7 tahun atau 8 tahun. (HR. Bukhari 4302 dan Abu Daud 585).

Prinsip dasarnya dalam urusan shalat jamaah adalah apabila imamnya sah dalam melakukan shalat. Bila shalatnya imam sah, maka sah pula keberjamaahan shalat tersebut. Sebaliknya, bila shalat imam tidak sah, maka tidak sah pula jamaah itu.

Shalatnya seorang anak kecil yang belum baligh, sebenarnya sah-sah saja. Sebabsyarat sah sebuah shalat tidak bergantung apakah seseorang sudah baligh atau belum. Baligh adalah syarat wajib, bukan syarat sah.

Syarat wajib dengan syarat sah berbeda.Maksud dari syarat wajib adalah apabila syarat-syarat itu sudah terpenuhi, maka yang bersangkutan jadi wajib hukumnya untuk melakukan shalat atauibadah lainnya. Dan sebaliknya, bila syarat wajib belum terpenuhi, maka yang bersangkutan tidak wajib atau belum diwajibkan untuk melakukan ibadah tersebut.

Kondisi seorang anak yang belum baligh menunjukkan bahwa dirinya sebenarnya belum lagi diwajibkan untuk melakukan shalat. Kalau dibilang belum diwajibkan, berarti seandainya dia tidak mengerjakannya, maka tidak ada dosa atasnya. Namanya saja belum wajib, berarti hukumnya cuma sunnah. Seandainya tidak dikerjakan tidak mengapa, tapi kalau dikerjakan, sebagaimana makna sunnah, dia akan dapat pahala.

Sedangkan yang dimaksud dengan syarat sah adalah syarat-syarat yang harus dipenuhi agar shalat itu menjadi sah untuk dikerjakan. Misalnya, menghadap kiblat, suci dari najis, suci dari hadats kecil dan besar, sudah masuk waktu, menutup aurat dan seterusnya. Tapi urusan sudah baligh atau belum, ternyata tidak termasuk dalam syarat sah.

Jadi kalau ada anak kecil melakukan shalat fardhu dengan melengkapi syarat wajib, rukun dan kewajibannya, maka shalatnya sah. Walaupun jatuhnya bagi dirinya bukan wajib, melainkan menjadi shalat sunnah.‎

Penjelasan Tentang Imam Dalam Sholat


Kedudukan menjadi imam/pemimpin bagi orang-orang yang bertaqwa adalah sebuah keutamaan besar. Bahkan ia adalah do’a orang-orang yang sholeh. Sebagaimana firman Allah ‘Azza wa Jalla,

وَالَّذِينَ يَقُولُونَ رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا

“Dan orang orang yang berkata: “Ya Tuhan kami, anugrahkanlah kepada kami isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa”. [QS. Al Furqon (25) : 74]

Menjadi imam dalam sholat adalah merupakan salah satu cakupan dari ayat di atas. Namun sebagian orang –Allahu a’lam- karena terlalu bersemangat dalam meraih kedudukan yang mulia ini, mereka tidak segan-segan meraih posisi ini padahal ia tidaklah layak untuk itu dan masih ada orang yang layak untuk itu.

Oleh karena itulah kami memilih topik pembahasan kali ini mengenai masalah yang berhubungan dengan hal tersebut yaitu manakah yang lebih berhak menjadi imam seorang qori’ ‎atau seorang yang fakih tentang hukum-hukum (terutama sholat)? Dari kedua hal ini jelaslah bagi kita mereka adalah orang-orang yang tidak termasuk dalam kedua hal tersebut tidaklah layak menjadi imam. Semisal orang yang hafalannya sedikit dan bacaannya buruk maka orang yang demikian tidaklah layak menjadi imam. Apalagi jika hafalannya sedikit, bacaanya buruk dan tidak tahu bagaimana hukum-hukum (terutama sholat) maka orang yang demikian ini tidaklah layak menjadi imam. Maka sekali lagi penulis sampaikan topik pembahasan ini adalah manakah yang lebih utama untuk menjadi imam seorang qori’ yang hafalannya banyak atau orang yang fakih tentang hukum (terutama sholat) namun hafalannya tidak terlalu banyak.

Sebelum masuk ke dalam pembahasan yang dimaksud dengan qori’ adalah orang yang paling bagus bacaannya, sebagian ulama’ dari mazhab Hambali mengatakan, yang dimaksud dengan qori’ adalah orang yang paling banyak hafalannya. Penulis Shohih Fiqh Sunnah mengatakan, “Aku katakan pendapat sebagian ulama’ mazhab hambali inilah yang benar sesuai dengan dhohir hadits-hadits tentang hal ini akan tetapi dengan syarat bacaan Al Qur’annya benar dan sempurna makhrojul hurufnya”.

Berkaitan dengan masalah ini para ulama’ berbeda pendapat, mereka secara umum memiliki dua pendapat pokok.

[Pendapat Pertama, Qori’ yang Lebih Utama Menjadi Imam]

Pendapat ini adalah pendapat yang diambil oleh al Imam Abu Hanifah dan para pengikut mazhab Beliau, al Imam Sufyan Ats Tsauriy dan Al Imam Ahmad bin Hambal rohimahumullah. Dalil mereka adalah :

[1]. Hadits Abu Sa’id al Khudriy rodhiyallahu ‘anhu, Beliau mengatakan,

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « إِذَا كَانُوا ثَلاَثَةً فَلْيَؤُمَّهُمْ أَحَدُهُمْ وَأَحَقُّهُمْ بِالإِمَامَةِ أَقْرَؤُهُمْ »

Rosulullah Shallallahu ‘alaihi was sallam mengatakan, “Jika kalian berjumlah tiga orang (dan hendak mengerjakan sholat berjamaah) makan hendaklah salah seorang dari kalian yang paling banyak hafalannya (qori’) menjadi imam”‎.

[HR. Muslim juz 1, hal. 464]

[2]. Hadits Abu Mas’ud Al Anshori rodhiyallahu ‘anhu, Beliau mengatakan,

يَؤُمُّ الْقَوْمَ أَقْرَؤُهُمْ لِكِتَابِ اللهِ وَأَكْثَرُهُمْ قِرَاءَةً. فَإِنْ كَانَتْ قِرَاءَتُهُمِ سَوَاءً فَأَقْدَمُهُمْ هِجْرَةً . فَإِنْ كَانُوْا فِي الْهِجْرَةِ سَوًاءً فَأَكْبَرُهُمْ سَنًّا .
"Yang boleh mengimami kaum itu adalah orang yang paling pandai di antara mereka dalam memahami kitab Allah (Al Qur'an) dan yang paling banyak bacaannya di antara mereka. Jika pemahaman mereka terhadap Al-Qur'an sama, maka yang paling dahulu di antara mereka hijrahnya ( yang paling dahulu taatnya kepada agama). Jika hijrah (ketaatan) mereka sama, maka yang paling tua umurnya di antara mereka".[HR. Muslim juz 1, hal. 465]

[3]. Hadits Amr bin Salamah,

صَلُّوا صَلاَةَ كَذَا فِى حِينِ كَذَا ، وَصَلُّوا كَذَا فِى حِينِ كَذَا ، فَإِذَا حَضَرَتِ الصَّلاَةُ ، فَلْيُؤَذِّنْ أَحَدُكُمْ ، وَلْيَؤُمَّكُمْ أَكْثَرُكُمْ قُرْآنً

“Sholatlah kalian pada keadaan demikian, Sholatlah kalian pada keadaan demikian, jika telah datang waktu sholat maka hendaklah salah seorang dari kalian beradzan dan hendaklah salah seorang dari kalian yang paling banyak hafalan Al Qur’annya menjadi imam”

[Pendapat Kedua, Orang yang Fakih yang Lebih Utama Menjadi Imam]

Pendapat ini adalah pendapat yang diambil oleh al Imam Malik dan Syafi’i dan sebuah riwayat yang menyebutkan bahwa pendapat yang diambil oleh al Imam Abu Hanifah dan Ahmad bin Hambal rohimahumullah. Mereka mengambil pendapat ini berdasarkan dalil sebagai berikut.

[1]. Mungkin saja orang yang menggantikan imam dalam sholat orang yang tidak tidak tahu apa yang dilakukannya untuk menggantikan imam dalam sholat kecuali orang yang fakih. Maka orang yang fakih lebih utama.

[2]. Para ulama ini menjawab/berargumentasi dengan hadits yang dibawakan kelompok ulama sebelumnya bahwa orang yang paling banyak hafalan Al Qur’annya di masa sahabat adalah orang yang paling fakih. Karena para sahabat tidaklah mereka membaca sepuluh ayat hingga mereka memamahi maknanya dan kandungan (salah satunya adalah fikih/hukum) yang ada pada ayat-ayat tersebut dan mengamalkannya. Para ulama terdahulu sebelumnya membantah argumen di atas dengan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam, (فَإِنْ كَانُوا فِى الْقِرَاءَةِ سَوَاءً فَأَعْلَمُهُمْ بِالسُّنَّةِ) hadits ini menunjukkan lebih utamannya orang yang banyak hafalannya menjadi imam secara mutlak.

[3]. Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam menunjuk Abu Bakar rodhiyallahu ‘anhu menjadi imam bagi para sahabat untuk menggantikan beliau padahal Abu Bakar bukanlah sahabat yang paling banyak hafalannya diantara para sahabat. Para ulama terdahulu sebelumnya membantah argumen di atas dengan mengatakan bahwa pilihan Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam pada Abu Bakar untuk menggantikan beliau mengimami para sahabat merupakan isyarat agar beliau menggantikan Nabi ‎shallallahu ‘alaihi was sallam menjadi kholifah, dan kholifah lebih utama untuk menjadi imam walaupun ada orang yang lebih banyak hafalannya.

Penulis Shahih Fiqh Sunnah mengatakan, “Pendapat yang rojih/kuat adalah pendapat yang mendahulukan orang yang banyak hafalannya menjadi imam daripada orang yang fakih, akan tetapi dengan syarat orang yang banyak hafalannya tersebut memiliki pengetahuan tentang hukum-hukum seputar sholat. Jika ia bukan orang yang demikian maka orang yang banyak hafalannya semisal keadaan di atas tidaklah diutamakan menjadi imam dengan sepakat para ulama’.

Sahabat Nabi saw. yang paling banyak memahami kitab Al-Qur'an adalah orang yang paling banyak pengetahuannya terhadap fiqih. Karena mereka membaca ayat Al-Qur'an dan mempelajari hukum-hukumnya. Oleh karena shalat itu memerlukan keabsahan kepada bacaan Al-Qur'an dan fiqih, maka orang yang ahli membaca Al-Qur'an dan ahli fiqih harus didahuuan daripada selainnya.

Jika salah seorang di antara para ma'mum lebih pandai membaca Al-Qur'an dan lebih pandai dalam fiqih, maka dia didahulukan dari pada lainnya.

Jika salah seorang di antara para ma'mum pandai dalam bidang fiqih, sedang yang lain lebih pandai membaca Al-Qur'an, maka yang lebih pandai fiqih adalah lebih utama. Karena barangkali dalam shalat tersebut terjadi sesuatu kejadian yang memerlukan kepada ijtihad.

Jika ada dua orang yang sama pandainya dalam bidang fiqih dan bacaan Al-Qur'an, dalam hal ini ada dua pendapat:

Imam Asy-Syafi'i dalam qaul qodim berpendapat: "Yang didahulukan adalah orang yang lebih mulia kedudukannya dalam masyarakat, lalu orang yang lebih dahulu hijrahnya, kemudian orang yang lebih tua umurnya; dan inilah pendapat yang lebih kuat.
Orang yang lebih dahulu hijrahnya lebih didahulukan dari pada orang yang lebih tua umurnya adalah berdasarkan hadits dari Abu Mas'ud Al-Badri.

Tidak ada perbedaan pendapat mengenai orang yang mulia kedudukannya di masyarakat lebih didahulukan dari pada orang yang lebih dahulu hijrahnya.

Jika orang yang lebih dahulu hijrahnya lebih didaulukan dari pada orang yang lebih tua umurnya, maka mendahulukan orang yang lebih mulia keduduknya di masyarakat daripada orang yang lebih dahulu hijrahnya adalah lebih utama.

Dalam qaul jadid Imam Asy-Syafi'i berpendapat bahwa orang yang lebih tua umurnya harus didahulukan, kemudian orang yang lebih mulia kedudukannya di masyarakat, kemudian orang yang lebih dahulu hijrahnya. Hal ini berdasarkan riwayat Malik bin Huwairits bahwa Nabi Muhammad saw. telah bersabda:
صَلُّوْا كَمَا رَأَيْتُمُوْنِيْ أُصَلِّي وَلْيُؤَذِّنْ لَكُمْ أَحَدُكُمْ وَلْيَؤُمَّكُمْ أَكْبَرُكُمْ .
"Shalatlah kamu sekalian sebagaimana kamu sekalian melihat aku melakukan shalat. Hendaklah salah seorang dari kamu melakukan adzan untuk kamu sekalian, dan hendaklah orang yang paling tua di antara kamu mengimami kamu sekalian".

Mendahulukan orang yang umurnya lebih tua, adalah karena orang yang lebih tua itu lebih khusyu' dalam shalat, sehingga lebih utama.

Umur yang berhak untuk didahulukan menjadi imam adalah umur dalam masuk agama Islam. Adapun jika seseorang menjadi tua dalam kekafiran, kemudian masuk Islam, maka tidak didahulukan atas pemuda yang tumbuh dalam Islam.

Orang mulia yang berhak untuk didahulukan adalah apabila orang tersebut dari golongan Quraisy.

Yang dimaksud dengan hijrah di sini adalah dari orang yang berhijrah dari Makkah kepada Rasulullah saw., atau dari anak cucu mereka.

Apabila ada dua orang yang sama dalam ketentuan-ketentuan tersebut, maka sebagian dari para ulama' terdahulu berpendapat bahwa yang didahulukan adalah orang yang paling baik di antara mereka. Di antara para pendukung madzhab Syafi'i ada orang yang berpendapat bahwa yang dimaksud dengan orang yang paling baik tersebut adalah orang yang paling baik rupanya.

Di antara mereka ada orang yang berpendapat bahwa yang dimaksud dengan orang yang paling di sini adalah orang yang paling baik sebutannya di masyarakat.

Jika orang-orang yang berhak menjadi imam yang telah disebutkan di atas berkumpul dengan pemilik rumah, maka pemilik rumah adalah lebih utama menjadi imam daripada mereka. Hal ini sesuai dengan apa yang diriwayatkan dari Abu Mas'ud Al-Badri bahwa Nabi Besar Muhammad saw. bersabda:
لاَ يَؤُمَّنَّ الرَّجُلُ الرَّجُلَ فِي أَهْلِهِ وَلاَ سُلْطَانِهِ وَلاَ يَجْلِسْ عَلَى تَكْرِمَتِهِ إِلاَّ بِإِذْنِهِ.
"Janganlah sekali-kali seseorang laki-laki mengimami orang laki-laki lain pada keluarga laki-laki lain tersebut dan janganlah seseorang laki-laki duduk pada tempat duduk yang khusus bagi laki-laki lain, kecuali dengan izinnya".

Jika datang pemilik rumah dan orang yang menyewa rumah tersebut, maka penyewa rumah lebih utama untuk menjadi imam. Karena penyewa rumah lebih berhak mempergunakan manfaat-manfaat dari rumah tersebut.

Jika datang pemilik budak belian dan budak belian dalam sebuah rumah yang dibangunkan oleh majikan (pemilik budak) untuk tempat tinggal budak tersebut, maka sang majikan lebih utama untuk menjadi imam. Karena majikan tersebut adalah pemilik rumah tersebut pada hakikatnya, bukan si budak belian.

Jika berkumpul selain majikan dan budak dalam rumah budak tersebut, maka si budak lebih utama menjadi imam. Karena budak tersebut lebih berhak dalam mengatur rumah tersebut.

Jika orang-orang tersebut di atas berkumpul di masjid bersama imam masjid, maka imam masjid tersebut adalah lebih utama menjadi imam. Karena telah diriwayatkan bahwa Abdullah Umar mempunyai budak yang shalat dalam masjid, kemudian Ibnu Umar datang dan budaknya meminta beliau berdiri di depan sebagai imam. Ibnu Umar ra berkata: "Engkau lebih berhak menjadi imam di masjidmu!"

Jika imam dari orang-orang muslim berkumpul dengan pemilik rumah atau dengan imam masjid, maka imam dari orang-orang muslim tersebut adalah lebih utama, karena kekuasaannya adalah bersifat umum dan karena dia adalah pemimpin sedang orang-orang tersebut adalah orang-orang yang dipimpin; sehingga mendahulukan pemimpin adalah lebih utama.

Jika berkumpul orang musafir dan orang mukim, maka orang yang mukim adalah lebih utama. Karena sesungguhnya jiika orang mukim menjadi imam, maka seluruhnya menyempurnakan shalat sehingga mereka tidak berbeda. Dan jika orang musafir yang menjadi imam, maka mereka berbeda-beda dalam jumlah rakaat.

Jika orang merdeka berkumpul dengan budak belian, maka orang merdeka lebih utama. Karena menjadi imam itu adalah tempat kesempurnaan, sedangkan orang merdeka itu adalah yang lebih sempurna.

Jika orang yang adil dan orang yang fasik berkumpul, maka orang yang adil adalah lebih diutamakan, karena dia lebih utama.

Jika anak zina berkumpul dengan lainnya, maka lainnya adalah lebih utama. Sayyidina Umar ra. dan Mujahid menganggap makruh anak zina menjadi imam, sehingga selain anak zina adalah lebih utama dari pada anak zina.

Jika berkumpul orang yang dapat melihat dengan orang yang buta, maka menurut ketentuan nas dalam hal menjadi imam adalah bahwa kedua orang tesebut sama. Sebab orang yang buta itu mempunyai kelebihan karena dia tidak melihat hal-hal yang dapat melengahkannya. Sedang orang yang dapat melihat juga memiliki kelebihan, yaitu dapat menjauhkan diri dari najis.

Abu Ishaq Al-Maruzi berpendapat bahwa orang yang buta lebih utama. Sedangkan menurut Abu Ishaq As-Syairozi orang yang dapat melihat adalah lebih utama. Karena dia dapat menjauhi barang najis yang dapat merusak shalat. Sedang orang yang buta dapat meninggalkan memandang kepada hal-hal yang dapat melengahkannya; dan hal tersebut tidak merusak shalat.

عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَمْرٍو اَنَّ رَسُوْلَ اللهِ ص كَانَ يَقُوْلُ: ثَلاَ ثَةٌ لاَ يَقْبَلُ اللهُ مِنْهُمْ صَلاَةً: مَنْ تَقَدَّمَ قَوْمًا وَ هُمْ لَهُ كَارِهُوْنَ. وَ رَجُلٌ أَتَى الصَّلاَةَ دِبَارًا، وَ الدّبَارُ اَنْ يَأْتِيَهَا بَعْدَ اَنْ تَفُوْتَهُ، وَرَجُلٌ اعْتَبَدَ مُحَرَّرَهُ. ابو داود

Dari Abdullah bin 'Amr ia berkata : Sesungguhnya Rasulullah SAW pernah bersabda, "Ada tiga golongan yang Allah tidak mau menerima shalat mereka, yaitu : Orang yang mengimami suatu kaum sedang mereka (orang yang diimami tersebut) benci kepadanya, dan seseorang melaksanakan shalat yang sudah bukan waktunya, yaitu dia melaksanakan shalat setelah waktu shalat tersebut hilang, dan orang yang menjadikan orang merdeka sebagai budak". [HR. Abu Dawud Juz I, hal 162]

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ عَنْ رَسُوْلِ اللهِ ص قَالَ: ثَلاَثَةٌ لاَ تَرْتَفِعُ صَلاَتُهُمْ فَوْقَ رُءُوْسِهِمْ شِبْرًا: رَجُلٌ اَمَّ قَوْمًا وَ هُمْ لَهُ كَارِهُوْنَ، وَ امْرَأَةٌ بَاتَتْ وَ زَوْجُهَا عَلَيْهَا سَاخِطٌ، وَ اَخَوَانِ مُتَصَارِمَانِ. ابن ماجه

Dari Ibnu Abbas dari Rasulullah SAW, beliau bersabda, "Ada tiga golongan yang tidak terangkat shalat mereka di atas kepala mereka meskipun satu jengkal (yakni tidak diterima shalat mereka), yaitu : Seseorang yang mengimami suatu kaum sedang mereka (yang diimami itu) benci kepadanya, dan seorang isteri yang bermalam sedang suaminya marah kepadanya, dan dua orang yang saling memutus persaudaraan". [HR. Ibnu Majah juz 1, hal. 311, sanadnya shahih]

قَالَ مَالِكٌ بْنُ حُوَيْرِثٍ، سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ ص يَقُوْلُ: مَنْ زَارَ قَوْمًا فَلاَ يَؤُمَّهُمْ، وَ لْيَؤُمَّهُمْ رَجُلٌ مِنْهُمْ. ابو داود

Berkata Malik bin Huwairits : Saya pernah mendengar Rasulullah SAW bersabda, "Barangsiapa yang mengunjungi suatu kaum, maka janganlah mengimami mereka, dan hendaklah mengimami mereka salah seorang dari kaum itu". [HR. Abu Dawud 1 : 163]

Dari hadits-hadits tersebut dapat diambil pengertian bahwa tuan rumah atau orang yang berkuasa di daerah itu lebih berhak menjadi imam, kecuali bila mereka mempersilahkan orang lain untuk mengimaminya.

عَنْ اَبِى عَلِيّ اْلمِصْرِيّ قَالَ: سَافَرْنَا مَعَ عُقْبَةَ بْنِ عَامِرٍ اْلجُهَنِيّ فَحَضَرَتْنَا الصَّلاَةُ فَاَرَدْنَا اَنْ يَتَقَدَّمَنَا، قَالَ، قُلْنَا: اَنْتَ مِنْ اَصْحَابِ رَسُوْلِ اللهِ ص وَ لاَ تَتَقَدَّمُنَا. قَالَ: اِنّى سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ ص يَقُوْلُ: مَنْ اَمَّ قَوْمًا فَاِنْ اَتَمَّ فَلَهُ التَّمَامُ وَ لَهُمُ التَّمَامُ، وَ اِنْ لَمْ يُتِمَّ فَلَهُمُ التَّمَامُ وَ عَلَيْهِ اْلاِثْمُ. احمد

Dari Abu 'Ali Al-Mishriy, ia berkata : Kami pernah bepergian bersama 'Uqbah bin 'Amir Al-Juhaniy, kemudian datang waktu shalat, lalu kami menghendaki salah seorang dari kami untuk maju menjadi imam. (Abu ‘Ali) berkata : Lalu kami berkata, “Kamu saja (ya ‘Uqbah bin ‘Amir), yang termasuk shahabat Rasulullah SAW, kenapa tidak mau maju (untuk mengimami kami)?”. ‘Uqbah bin ‘Amir berkata : Sesungguhnya aku pernah mendengar Rasulullah SAW bersabda, "Barangsiapa mengimami suatu kaum, jika ia menyempurnakan shalat itu (shalat dengan baik), maka kesempurnaan itu (pahalanya) bagi imam dan bagi mereka (para makmum). Dan jika imam itu tidak menyempurnakan (shalatnya tidak baik), maka bagi mereka (para makmum) mendapat (pahala) shalat dengan sempurna, sedang imam tersebut mendapatkan dosa". [HR. Ahmad juz 4, hal. 154]

عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عُمَرَ اَنَّ رَسُوْلَ اللهِ ص قَالَ: مَنْ اَمَّ قَوْمًا فَلْيَتَّقِ اللهَ، وَ لْيَعْلَمْ اَنَّهُ ضَامِنٌ مَسْؤُوْلٌ لِمَا ضَمِنَ، وَ اِنْ اَحْسَنَ كَانَ لَهُ مِنَ اْلاَجْرِ مِثْلُ اَجْرِ مَنْ صَلَّى خَلْفَهُ مِنْ غَيْرِ اَنْ يَنْتَقِصَ مِنْ اُجُوْرِهِمْ شَيْئًا، وَ مَا كَانَ مِنْ نَقْصٍ فَهُوَ عَلَيْهِ. الطبرانى فى الاوسط

Dari Abdullah bin 'Umar, ia berkata : Sesungguhnya Rasulullah SAW pernah bersabda, "Barangisapa mengimami suatu kaum, maka hendaklah takut kepada Allah dan hendaklah mengetahui bahwa dia sebagai orang yang bertanggungjawab dan akan ditanya tentang apa yang menjadi tanggungjawabnya. Jika dia memperbagus (didalam shalatnya), maka dia mendapatkan pahala seperti pahalanya orang yang shalat dibelakangnya tanpa berkurang sedikitpun dari pahala mereka. Dan apa-apa yang berupa kekurangan (shalatnya tidak baik) maka yang demikian itu menjadi tanggungjawabnya". [HR. Thabrani dalam Al-Ausath, dlaif, karena di dalam sanadnya ada Mu’arik bin ‘Ibad]

عَنْ اَبِى هُرَيْرَةَ اَنَّ رَسُوْلَ اللهِ ص قَالَ: يُصَلُّوْنَ لَكُمْ، فَاِنْ اَصَابُوْا فَلَكُمْ وَ لَهُمْ، وَ اِنْ اَخْطَئُوْا فَلَكُمْ وَ عَلَيْهِمْ. البخارى

Dari Abu Hurairah, ia berkata : Sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda, "(Imam-imam itu) shalat untuk kamu sekalian. Jika mereka itu benar (di dalam shalatnya), maka (pahalanya) untuk kalian dan untuk mereka. Dan jika mereka itu berbuat salah (didalam shalatnya), maka kalian mendapatkan pahala shalat itu dan mereka mendapatkan dosanya". [HR. Bukhari juz 1, hal. 170]

Tata Tertib Dalam Shalat Berjama'ah

1. Hal-hal Yang Dilakukan Imam Sebelum Shalat Berjama'ah

Memperingatkan dan mengatur para makmum untuk merapikan shaff

عَنْ اَنَسٍ بْنِ مَالِكٍ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ ص: سَوُّوْا صُفُوْفَكُمْ فَاِنَّ تَسْوِيَةَ الصَّفّ مِنْ تَمَامِ الصَّلاَةِ. مسلم

Dari Anas bin Malik, ia berkata : Rasulullah SAW bersabda, "Ratakanlah shaff kalian, karena sesungguhnya meratakan shaff itu termasuk dari kesempurnaan shalat". [HR. Muslim, juz 1, hal. 324]

عَنْ اَنَسٍ عَنِ النَّبِيّ ص: سَوُّوْا صُفُوْفَكُمْ فَاِنَّ تَسْوِيَةَ الصُّفُوْفِ مِنْ اِقَامَةِ الصَّلاَةِ. البخارى

Dari Anas dari Nabi SAW (beliau bersabda), “Ratakanlah shaff kalian, karena sesungguhnya meratakan shaff itu termasuk dari mendirikan shalat”. [HR. Bukhari juz 1, hal. 177]

عَنِ النُّعْمَانِ بْنِ بَشِيْرٍ قَالَ: سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ ص يَقُوْلُ: لَتُسَوُّنَّ صُفُوْفَكُمْ اَوْ لَيُخَالِفَنَّ اللهُ بَيْنَ وُجُوْهِكُمْ. مسلم

Dari An-Nu'man bin Basyir, ia berkata : Saya pernah mendengar Rasulullah SAW bersabda, "Sungguh kalian akan meratakan shaff kalian, atau (jika tidak mau) Allah akan merubah diantara wajah-wajah kalian". [HR. Muslim, juz 1, hal. 324]

عَنِ اْلبَرَاءِ بْنِ عَازِبٍ قَالَ: كَانَ رَسُوْلُ اللهِ ص يَتَخَلَّلُ الصَّفَّ مِنْ نَاحِيَةٍ اِلىَ نَاحِيَةٍ يَمْسَحُ صُدُوْرَنَا وَ مَنَاكِبَنَا وَ يَقُوْلُ: لاَ تَخْتَلِفُوْا فَتَخْتَلِفَ قُلُوْبُكُمْ، وَ كَانَ يَقُوْلُ: اِنَّ اللهَ وَ مَلاَئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلَى الصُّفُوْفِ اْلاَوَّلِ. ابوداود

Dari Al-Bara' bin 'Azib, ia berkata : "Adalah Rasulullah SAW mendatangi barisan shaff dari sudut ke sudut, beliau meratakan dada-dada kami dan bahu-bahu kami sambil bersabda, "Janganlah kalian maju mundur, yang menyebabkan maju mundurnya hati kalian pula”. Dan beliau bersabda, “Sesungguhnya Allah dan para Malaikat-Nya bershalawat atas ahli shaff yang pertama". [HR. Abu Dawud juz 1, hal. 178].

عَنْ اَنَسٍ قَالَ: اُقِيْمَتِ الصَّلاَةُ فَاَقْبَلَ عَلَيْنَا رَسُوْلُ اللهِ ص بِوَجْهِهِ فَقَالَ: اَقِيْمُوْا صُفُوْفَكُمْ وَ تَرَاصُّوْا فَاِنّى اَرَاكُمْ مِنْ وَرَاءِ ظَهْرِى. البخارى

Dari Anas, ia berkata : Shalat telah diiqamati, lalu Rasulullah SAW menghadap kepada kami dengan wajahnya lalu bersabda, “Luruskanlah shaff kalian dan rapatkanlah, karena sesungguhnya aku bisa melihat kalian dari balik punggungku”. [HR. Bukhari juz 1, hal. 176]

عَنْ اَبِى مَسْعُوْدٍ قَالَ: كَانَ رَسُوْلُ اللهِ ص يَمْسَحُ مَنَاكِبَنَا فِى الصَّلاَةِ وَ يَقُوْلُ: اِسْتَوُوْا وَلاَ تَخْتَلِفُوْا فَتَخْتَلِفَ قُلُوْبُكُمْ لِيَلِنِى مِنْكُمْ اُولُو اْلاَحْلاَمِ وَ النُّهَى ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ. مسلم

Dari Abu Mas'ud, ia berkata : Adalah Rasulullah SAW meratakan pundak-pundak kami dikala membetulkan shaff untuk shalat seraya bersabda, "Luruskanlah shaff, janganlah kamu berselisih (satu maju ke muka dan yang lain mundur ke belakang) yang menyebabkan berselisih pula hatimu. Hendaklah dekat kepadaku orang-orang yang mempunyai a

Doa Nabi Sulaiman Menundukkan Hewan dan Jin

  Nabiyullah Sulaiman  'alaihissalam  (AS) merupakan Nabi dan Rasul pilihan Allah Ta'ala yang dikaruniai kerajaan yang tidak dimilik...